BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Kepribadian Big Five 1. Sejarah Trait adalah unit fundamental dari kepribadian, yang mewakili watak secara luas untuk merespon suatu kondisi dengan cara tertentu. Penelitian mengenai trait kepribadian membutuhkan model persetujuan yang general mengenai penelitian yang dilakukan oleh peneliti, sama halnya dengan ilmu pengetahuan yang lain. Selama 40 tahun terakhir, sejumlah konsep kepribadian, dan sejumlah skala pertanyaan didesain untuk mengukur trait kepribadian tersebut, dan hal ini semakin meluas tanpa ada akhir yang jelas. Dalam bahasa inggris sendiri, terdapat lebih dari 5000 kata yang menjelaskan trait kepribadian (Pervin, dkk, 2005). Selama bertahun-tahun, para peneliti trait termasuk Eysenck, Cattell, dan yang lainnya telah melakukan perdebatan mengenai jumlah dan asal dimensi dasar trait kepribadian. Namun hal ini tidak terselesaikan, hingga tahun 1980an terdapat perkembangan secara bertahap dalam kualitas dan pengalaman metode, yang berujung pada banyaknya peneliti yang setuju bahwa perbedaan individu dapat dikategorikan ke dalam lima faktor bipolar yang dikenal sebagai Big Five (John & Srivastava; McCrae & Costa dalam Pervin, dkk, 2005). Kelima faktor yang berbeda-beda tersebut adalah Neuroticism (N), Extraversion (E), Openness (O), Agreeableness (A), dan Conscientiousness (C),

2 atau yang sering disingkat dengan sebutan OCEAN. Masing-masing faktor dalam BFI tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut (Pervin, dkk, 2005): 1. Neuroticism (N). Mengidentifikasi kecenderungan individu akan mengalami kondisi psikologis yang kurang baik, memiliki ide-ide yang tidak realistis, kebutuhan/keinginan yang berlebihan, dan tidak dapat menyesuaikan respon dengan kondisi yang ada. Dimensi bipolar dari faktor ini adalah Emotional Stability 2. Extraversion (E). Mengukur kuantitas dan intensitas interaksi intrapersonal, aktivitas yang dilakukan, kebutuhan akan stimulasi, melakukan hal yang disenangi. Dimensi bipolar dari faktor ini adalah Introversion 3. Openness (O). Mengukur keinginan untuk mencari dan menghargai pengalaman baru bagi dirinya sendiri, senang mengetahui sesuatu yang tidak terkenal atau tidak familiar. Dimensi bipolar dari faktor ini adalah Closedness 4. Agreeableness (A). Mengukur kualitas orientasi interpersonal seseorang, mulai dari perasaan kasihan sampai pada sikap permusuhan dalam hal pikiran, perasaaan, dan tindakan. Dimensi bipolar dari faktor ini adalah Antagonism. 5. Conscientiousness (C). Mengukur tingkat keteraturan seseorang, ketahanan dan motivasi dalam mencapai tujuan. Berlawanan dengan ketergantungan, dan kecenderungan untuk menjadi malas dan lemah. Dimensi bipolar dari faktor ini adalah Lack of Direction.

3 Keterangan lebih lengkap mengenai dimensi bipolar dari kelima faktor kerpribadian Big Five dapat dilihat pada tabel 1 berikut: Tabel 1. Karakteristik Sifat-Sifat Big Five Model Dengan Skor Tinggi dan rendah Skor tinggi Sifat Skor rendah Kuatir, cemas, emosional, merasa tidak nyaman, kurang penyesuaian, kesedihan yang tak beralasan. Mudah bergaul, aktif, banyak bicara, orientasi pada manusia, optimis, menyenangkan, kasih sayang, bersahabat. Rasa ingin tahu tinggi, ketertarikan luas, kreatif, orisinil imajinatif, tidak ketinggalan zaman. Berhati lembut, baik, suka menolong, mudah percaya, mudah memaafkan, mudah untuk dimanfaatkan, terus terang. Teratur, dapat dipercaya, pekerja keras, disiplin, tepat waktu, teliti, rapi, ambisius, tekun. Neuroticism Extraversion Openness Agreeableness Conscientiousness Tenang, santai, tidak emosional, tabah, nyaman, puas terhadap diri sendiri. Tidak ramah, tenang, tidak periang, menyendiri, orientasi pada tugas, pemalu, pendiam. Mengikuti apa yang sudah ada, kembali ke alam, tertarik hanya pada satu hal, tidak memiliki jiwa seni, kurang analitis. Sinis, kasar, rasa curiga, tidak mau bekerjasama, pendendam, kejam, mudah marah, manipulatif. Tidak bertujuan, tidak dapat dipercaya, malas, kurang perhatian, lalai, sembrono, tidak disiplin, keinginan lemah, suka bersenang-senang. Tabel 1 menunjukkan dimensi bipolar dari masing-masing faktor yang ada pada Big Five, yaitu karakterisitik dari individu yang berada pada skor yang tinggi ataupun rendah, sehingga dapat dilihat kecenderungan sifat-sifat individu yang berada pada masing-masing faktor tersebut.

4 2. Keuniversalan Dimensi Big Five Jika ada pertanyaan umum yang fokus pada perbedaan individu dan interaksi manusia, maka untuk menjawab hal ini perlu dilakukan pembuktian terhadap keuniversalan struktur faktor Big Five. Untuk membuktikan keuniversalan faktor Big Five, sejumlah penelitian lintas budaya mengenai trait kepribadian semakin meningkat secara dramatis pada dekade sebelumnya, terutama penelitian yang dilakukan secara internasional oleh tim yang berasal dari negara yang berbedabeda. Hal ini mungkin dapat menjadi awal untuk menjawab pertanyaan tersebut mengenai keuniversalan Big Five (Pervin, dkk, 2005). Penelitian lintas budaya sangat penting untuk menjadi acuan dalam menjawab keuniversalan faktor Big Five. Namun, sebelum melihat hasil dari penelitian, satu hal yang perlu diperhatikan yaitu metode yang digunakan dalam penelitian tersebut. Dalam penelitian, yaitu mengenai apakah Big Five bersifat universal, masalah metodologi dapat memberikan suatu perbedaan besar. Salah satu masalahnya meliputi penejermahan. Banyak peneliti yang mempelajari apakah trait kepribadian bersifat universal hanya dengan menerjemahkan kuesioner dari satu bahasa asli (seperti bahasa Inggris) menjadi beberapa bahasa yang lain (seperti bahasa Jerman, Jepang, dan lain-lain), tanpa mempertimbangkan terjemahan tersebut dapat bersifat menjebak, dan mungkin juga kurang satu persatu kata dari tiap terjemahan dan pemaknaan yang berbeda juga. Bahasa boleh berbeda dan bahkan kata-kata yang diterjemahkan sama dapat memiliki arti yang berbeda. Contohnya adalah kata aggressive dalam bahasa Inggris memiliki makna yang berbeda dengan kata yang sama dalam bahasa Jerman. Dalam bahasa

5 Jerman, kata aggressive memiliki arti hostile (bersifat mengancam) dibanding forceful-assertive (ketegasan yang berlebihan) (Pervin, dkk, 2005). Sebuah resensi kuantitatif yang dilakukan oleh De Raad, dkk (dalam Pervin, dkk, 2005) membandingkan banyak penelitian Eropa, dan menyimpulkan bahwa faktor yang mirip dengan Big Five muncul dalam banyak bahasa tetapi faktor Openness yang paling sedikit muncul. Hanya sedikit penelitian pada budaya dan bahasa non-western yang pernah dilakukan (seperti Cina, Jepang, Filipina) dan faktor Openness tidak begitu terlihat. Penelitian-penelitian yang ada menemukan bahwa tiga faktor yaitu extraversion, agreeableness dan conscientiousness dapat ditemukan di hampir semua bahasa, hanya dua faktor lain yaitu neuroticism dan openness yang kurang reliabel secara lintas budaya (Saucier, Hampson, & Goldberg dalam Pervin, dkk, 2005). Penelitian yang ada di Indonesia, yaitu yang dilakukan oleh Mastuti (2005) menemukan bahwa terdapat satu faktor tambahan ketika dilakukan analisis faktor pada mahasiswa suku Jawa. Selain itu, penelitian lain juga dilakukan oleh Mariyanti (2012) menemukan lima faktor yang ada pada Big Five tersebut ketika diberikan pada sampel yang lebih umum, dan penelitian Samosir (2013) menemukan bahwa terdapat dua faktor tambahan ketika dilakukan analisis faktor terhadap suku Batak Toba. Memandang perbedaan hasil tersebut, maka sangat perlu dilakukan pengujian terhadap aitem-aitem yang ada pada Big Five Inventory.

6 3. Big Five Inventory (BFI) Berbicara mengenai kebutuhan akan sebuah instrumen pendek untuk mengukur komponen khusus dari Big Five, maka John, Donahue dan Kentle (dalam John & Srivastava, 1999) mengkonstrak Big Five Inventory (BFI). Empat puluh empat aitem BFI dikembangkan merepresentasikan definisi asli yang dikembangkan berdasarkan penilaian ahli dan kemudian dilakukan pembuktian dengan analisis faktor dan pembuktian terhadap penilaian kepribadian oleh pengamat. Tujuan dari pembuatan alat ukur singkat ini adalah agar tercipta alat ukur yang efisien dan fleksibel dari kelima faktor tersebut. Terdapat juga tokoh yang menjelaskan mengenai BFI tersebut, yaitu Burisch (dalam John & Srivastava, 1999) mengatakan bahwa skala yang singkat tidak hanya mempersingkat waktu tes, tetapi juga menghindari kebosanan dan kelelahan yang dialami subjek, subjek yang tidak memberikan respon yang sesungguhnya jika tes terlihat membutuhkan waktu yang panjang. BFI tidak menggunakan kata sifat tunggal sebagai aitem karena aitem seperti itu direspon dengan tidak konsisten dibandingkan ketika aitem ditambahkan definisi ataupun kalimat tertentu (Goldberg & Kilkowski, 1985 dalam John & Srivastava, 1999). BFI menggunakan frase yang singkat didasarkan kata sifat yang diketahui merepresentasikan kelima faktor Big Five (John, 1989, 1990 dalam John & Srivastava, 1999). Kata sifat yang ada pada faktor Big Five disajikan sebagai inti dari aitem dimana informasi yang jelas, luas, dan kontekstual menjadi tambahan. Contohnya, kata sifat dari faktor Openness merupakan kata sifat yang original kemudian menjadi aitem BFI muncul dengan definisi berhubungan dengan ide

7 baru dan kata sifat untuk faktor Conscientiousness disajikan sebagai dasar untuk aitem dengan tambahan bertahan hingga tugas diselesaikan. Aitem-aitem yang ada dalam BFI memberikan keuntungan dengan kata sifat (ringkas dan sederhana) yaitu dapat mencegah ambiguitas atau arti ganda (multiple meaning). Ketika dilakukan pengujian pada sampel yang berasal dari negara Kanada dan Amerika Serikat, diperoleh reliabilitas alpha skala BFI berkisar antara 0.75 sampai 0.90 dan rata-rata reliabilitas tiap faktor diatas 0.80; reliabilitas tes retesnya dalam rentang waktu tiga bulan berada antara 0.80 sampai 0.85 dimana memiliki mean sebesar 0.80 (John & Srivastava, 1999). Sedangkan penelitian yang dilakukan di Indonesia oleh Mariyanti (2012) diperoleh reliabilitas alpha skala sebesar 0.70, yang berarti bahwa BFI yang telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia memiliki reliabilitas yang baik. BFI yang digunakan dalam penelitian ini adalah BFI yang telah diadaptasi kedalam versi bahasa Indonesia yang dilakukan oleh Mariyanti (2012). Berdasarkan teori tersebut ditemukan bahwa terjadi perbedaan indikator dari kelima faktor yang menyusun alat ukur BFI versi adaptasi Bahasa Indonesia, yaitu (Mariyanti, 2012): 1. Openness (O) adalah faktor yang melihat keterbukaan individu untuk mencari tantangan dan hal-hal baru. Seseorang dikatakan terbuka terhadap pengalaman (open to experience) ketika memiliki karakteristik seperti cerdas dan suka berpikir, memiliki ide-ide inovatif, percaya diri, mampu mempertimbangkan dan membuat suatu rencana dan menjalankannya serta memiliki rasa ingin tahu yang besar.

8 2. Neuroticism (N) adalah faktor yang mengidentifikasi individu yang rentan terhadap distress psikologis, yaitu mudah mengalami rasa sedih, takut dan cemas berlebihan, memiliki dorongan berlebihan, tidak bisa menyesuaikan respon dengan kondisi yang ada. Selain itu juga terlihat dalam bentuk perilaku mudah tersinggung (irritability) dan pemarah (hostile). Seseorang dikatakan neurotis ketika individu tersebut mudah merasa tertekan dan sedih, tidak mampu menghadapi situasi stress dengan baik, pencemas, suasana hati mudah berubah, labil, pemalu dan perhatiannya mudah terganggu. 3. Conscientiousness (C) adalah faktor yang melihat kesadaran diri, motivasi dan kemampuan mengorganisasikan sesuatu dalam mencapai suatu tujuan. Seseorang dikategorikan dalam faktor Conscientiousness ketika individu tersebut memiliki karakteristik seperti teliti, terorganisir, tidak pemalas, menyukai suatu pekerjaan yang rutin serta mampu bertahan dan mengerjakan suatu tugas hingga selesai. 4. Extraversion (E) adalah faktor yang melihat aktivitas yang dilakukan seharihari dan kemampuan melakukan hubungan interpersonal individu. Seseorang dikatakan extrovert apabila individu tersebut suka mengobrol, tidak pendiam, santai, mudah bergaul dan senang bekerjasama dengan orang lain. 5. Agreeableness (A) adalah faktor yang melihat kualitas trust dan seni individu. Seseorang dikategorikan dalam faktor Agreeableness ketika individu tersebut memiliki karakteristik seperti senang membantu dan tidak egois, mudah memaafkan dan mempercayai orang lain, dan memiliki apresiasi terhadap seni, musik atau sastra.

9 B. Differential Item Functioning (DIF) 1. Definisi DIF adalah istilah teknis dalam ilmu pengukuran. DIF merupakan keadaan yang menyatakan bahwa fakta-fakta empiris yang telah dianalisis menggunakan metodologi yang terstandarisasi menunjukkan bahwa sebuah aitem tes bekerja secara berbeda untuk dua kelompok atau lebih. Semua prosedur yang digunakan untuk mengidentifikasi DIF perlu mempertimbangkan variasi kemampuan kelompok (Osterlind & Everson, 2009 dalam Osterlind, 2010). DIF juga menjelaskan performansi aitem secara individual dan tidak dihubungkan dengan tes secara keseluruhan (Osterlind, 2010). Selain definisi diatas, Thiesse, Steinberg & Wainer (dalam Reeve, 2002) menyatakan bahwa DIF merupakan kondisi sebuah aitem yang berfungsi secara berbeda untuk responden dari kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Dengan kata lain, responden dengan kesamaan pada level trait laten, tetapi berasal dari populasi yang berbeda memiliki kemungkinan berbeda dalam merespon sebuah aitem. Menurut kajian psikometri, awalnya diskusi mengenai DIF berada pada tataran emosional dan politik yaitu mengenai tes yang dianggap adil dan konsekuensi dari penggunaan tes terhadap pengambilan keputusan, kemudian diskusi terkini yang dilakukan oleh Camilli (dalam Osterlind, 2010) mengenai tes yang adil dipandang dari perspektif yang lebih luas, yaitu meliputi dampak dan penggunaan tes yang bersifat merugikan. Banyak ahli psikometri yang menguji masalah-masalah praktis pengujian DIF memfokuskan usaha-usaha mereka pada pengidentifikasian secara akurat terhadap fenomena tersebut (Osterlind, 2010).

10 Istilah DIF sering dianggap sama dengan bias aitem. Beberapa penelitian menyatakan bahwa istilah DIF dan bias aitem sering dipertukarkan. Sebaliknya, terdapat juga penelitian yang menyatakan bahwa DIF dan bias aitem merupakan dua konsep yang berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh Ellis & Raju (dalam Acar, 2011) menggunakan istilah DIF yang sering dipertukarkan dengan bias aitem. Pada akhir tahun 1980an, istilah DIF berubah posisi dari istilah bias aitem. DIF mengungkap perbedaan dalam kesempatan menjawab aitem dengan benar dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan tiap kelompok yang telah diukur disesuaikan dengan aitem (Embretson & Reise, 2000; Lord, 1980 dalam Acar, 2011). Dalam studi mengenai DIF, diperlukan perbandingan performansi pada aitem tes suatu kelompok pada tingkat kemampuan yang sama tetapi memiliki karakteristik demografis yang berbeda, seperti pria-wanita atau Asia-Eropa (Greer, 2004 dalam Acar, 2011). Sebaliknya, Camilli, dkk (dalam Zumbo, 1999) menjelaskan bahwa konsep mengenai DIF dan Bias merupakan dua hal yang berbeda. Bias aitem terjadi ketika individu dari satu kelompok cenderung untuk menjawab aitem dengan benar (atau menyetujui pernyataan dalam aitem) dibandingkan peserta individu dari kelompok lainnya, karena beberapa karakteristik dari aitem yang dipakai dalam mengukur atau situasi pengukuran yang tidak relevan dengan tujuan tes. Sedangkan DIF merupakan sebuah kondisi yang terjadi ketika pengujian terhadap dua kelompok menunjukkan kemungkinan untuk menyetujui atau tidak menyetujui aitem yang berbeda,karena faktor-faktor seperti ras, budaya,

11 kabangsaan, daerah demografis, dan lain-lain, setelah kemampuan dasar yang telah disetarakan (Camilli & Shepard, 1994; Clauser & Mazor, 1998 dalam Zumbo, 1999). Dalam penelitian ini menggunakan konsep DIF yang sama dengan bias aitem. Hal ini dikarenakan DIF merupakan bagian dari bias, yaitu dua kelompok berasal dari populasi yang berbeda memiliki kesempatan yang berbeda dalam menyetujui aitem setelah kemampuan dasar yang telah disetarakan. Hal ini disebabkan oleh beberapa karakteristik seperti budaya, demografis, ras, dan lainlain. 2. Jenis-jenis DIF Penelitian mengenai DIF menguji dua kelompok, yaitu kelompok Referensi (Reference Group) dan kelompok Fokal (Focal Group). Dan hal ini lebih umum dikenal dengan kelompok mayoritas dan kelompok minoritas. Dalam sebuah penelitian, seorang individu dapat termasuk ke dalam kelompok referensi, dan sebaliknya dapat pula termasuk dalam kelompok fokal untuk penelitian lain. Contohnya, wanita kulit putih mungkin termasuk kedalam kelompok Referensi untuk satu analisis dan masuk kedalam kelompok Fokal untuk hal yang lain (Camilli & Shepard, 1994). Dalam teori respon aitem (Item Response Theory), DIF terbagi atas dua kategori, yaitu Uniform atau Consistent DIF dan Nonuniform atau inconsistent DIF. Pembagian kelompok tersebut dilihat dari Item characteristic curves (ICCs), yaitu kurva yang menunjukkan hubungan antara kemungkinan jawaban benar terhadap suatu aitem dengan kemampuan individu (Camilli & Shepard, 1994):

12 1. Uniform atau Consistent DIF, terjadi ketika satu kelompok relatif diuntungkan untuk keseluruhan aitem skala kemampuan, sedangkan kelompok lain dirugikan. Hal ini dapat dilihat dari Item characteristic curves (ICCs) yang tidak berpotongan atau bersinggungan pada semua aitem skala kemampuan yang disajikan pada figure 1 berikut. Figure 1. Dua ICC yang tidak bersinggungan 2. Non-uniform atau inconsistent DIF: terjadi ketika satu kelompok relatif diuntungkan untuk beberapa aitem skala kemampuan, sedangkan kelompok lain dirugikan. Oleh karena itu, DIF dapat memberikan keseimbangan ataupun tidak pada masing-masing kelompok untuk ditingkat tertentu. Hal ini dapat dilihat dari Item characteristic curves (ICCs) yang berpotongan atau bersinggungan pada beberapa aitem skala kemampuan disajikan pada figure 2 berikut.

13 Figure 2. Dua ICC yang bersinggungan Kajian Psikometri menjelaskan bahwa DIF memiliki hubungan dengan validitas. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan dalam penelitian Salehi & Tayebi (2012) bahwa konsep mengenai proses validasi berhubungan secara umum dengan pembuatan tes dan juga dengan konsep keadilan tes dan bias tes, serta sumber-sumber lain yang berhubungan dengan hal tersebut (seperti gender, hasil penelitian, usia, kebangsaan, latar belakang pengetahuan/pendidikan, dan lainlain) dan umumnya dapat memberikan ancaman terhadap validitas tes (Salehi & Tayebi, 2012). Ketika membahas mengenai validitas dalam pengukuran, maka sangat penting untuk menilai secara utuh bahwa validitas merupakan sebuah konsep ilmiah dan merupakan hal yang penting dalam ilmu pengukuran. Menurut American Educational Research Association, dkk (1999 dalam Osterlind, 2010), validitas merupakan hal yang menjadi pertimbangan utama ketika hendak mengembangkan dan mengevaluasi suatu tes (Osterlind, 2010).

14 Selain validitas, karakterisitk lain yang perlu diperhatikan dalam sebuah alat ukur adalah reliabilitas. Reliabilitas hasil pengukuran memiliki hubungan dengan kesalahan (error), yaitu random error, yaitu kesalahan yang terjadi karena adanya perbedaan antara skor yang sebenarnya (true score) dan skor yang diamati (observed score) pada individu yang dapat berpengaruh kepada hasil kelompok. Hubungan antara reliabilitas dengan DIF adalah bahwa DIF terjadi karena adanya kesalahan (error) dalam pengukuran, yaitu kesalahan sistematis (systematic error), yaitu kesalahan yang melibatkan respon kelompok yang dapat mempengaruhi hasil pengukuran. Oleh karena itu, munculnya kesalahan dalam pengukuran dapat menghasilkan reliabilitas yang rendah (Osterlind, 2010). Jadi, aitem yang mengandung DIF bisa dikatakan sebagai aitem yang memiliki kesalahan (error) karena bersifat tidak adil untuk dua kelompok yang berasal dari populasi yang berbeda dan dapat mengakibatkan pengukuran menjadi tidak reliabel. 3. Dampak DIF Validitas pengukuran merupakan salah satu masalah utama yang dipengaruhi oleh bias pengukuran. Seperti yang kita ketahui bahwa salah satu keobjektifan suatu aplikasi pengukuran adalah diperolehnya informasi mengenai individu dan aitem-aitem tes. Oleh karena itu, maka instrumen dan hasil pengukuran yang valid dan akurat sangat dibutuhkan untuk menghasilkan objektivitas. Namun, salah satu faktor yang dapat memberikan pengaruh yang negatif pada validitas adalah bias aitem yang dapat memberikan hasil yang tidak objektif. Selain itu, kehadiran bias

15 aitem pada tes dapat melemahkan reliabilitas hasil yang berpengaruh terhadap keputusan yang dibuat (Acar, 2011). Selanjutnya, Thiesse, Steinberg, & Wainer (dalam Reeve, 2002) menyatakan bahwa aitem yang terdeteksi DIF merupakan sebuah ancaman yang serius terhadap validitas sebuah instrumen yang mengukur level trait kelompok ataupun populasi yang berbeda. Instrumen yang berisi aitem-aitem yang terdeteksi DIF mungkin dapat mengurangi validitas untuk perbandingan antarkelompok, karena skor mereka mungkin menunjukkan atribut lain dibandingkan skala yang mengukur apa yang seharusnya diukur. Kemudian, dalam penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati (2010) dijelaskan bahwa bias aitem juga merupakan ancaman terhadap validitas pengukuran. Bila aitem tes berfungsi secara berbeda pada dua kelompok peserta, mungkin aitem tersebut mengukur trait yang berbeda pada kelompok tersebut. Hal ini akan menyebabkan kesimpulan yang salah mengenai kemampuan tes untuk mengukur apa yang seharusnya diukur. DIF merupakan titik awal studi tentang bias aitem. Salehi & Tayebi (2012) dalam penelitiannya menjelaskan mengenai konsep validitas yaitu berperan dalam hal bahasa yang digunakan dalam tes dan pengukuran. Proses validasi kemudian dikaitkan dengan usaha untuk proses membuat tes yang bisa digunakan secara umum, yaitu tes-tes keahlian bahasa tertentu, seperti bahasa Inggris. Kemudian dihubungkan dengan konsep keadilan tes dan bias tes dan sumber-sumber penyebabnya (seperti gender, hasil penelitian, usia, kebangsaan, latar belakang pengetahuan/pendidikan, dan lain-lain) dan kontribusi serta mengarah kepada validitas tes pada umumnya dan bahasa yang

16 digunakan. Lebih lagi, dalam penelitian terkini, telah dilakukan peninjauan terhadap pendekatan-pendekatan yang berdeda-beda untuk meneliti validitas tes. DIF, diantara metode lain untuk meneliti validitas tes dengan deskripsi dan penjelasan serta kelebihan dan kelemahan masing-masing metode dan pendekatan berbeda menyimpulkan bahwa regresi logisitik adalah salah satu diantara metode terbaik saat ini (Salehi & Tayebi, 2012). 4. Analisis DIF Menurut Gierl, Khalia, & Baughton (dalam Acar, 2011), DIF secara luas digunakan untuk menyelidiki bias dalam pengukuran. Terdapat beberapa metode untuk menentukan DIF. Beberapa contoh metode yang didasarkan pada CTT adalah teknik Mantel Haenzel (M-H) yang sebagian besar sering digunakan, regresi logistik (LR) dan simultaneous bias test (subtest). Dalam penelitian ini, analisis yang digunakan untuk menganalisis DIF adalah menggunakan Regresi logistik (logistic regression), yaitu model regresi logistik ordinal (ordinal logistic regression). Regresi logistik ordinal merupakan salah satu metode terkini yang tersedia untuk menginvestigasi DIF aitem-aitem yang biasanya ditemukan dalam pengukuran kepribadian dan psikologi sosial. Alasan memilih regresi logistik ordinal antara lain (Miller & Spray dalam Zumbo, 1999): (a) Penggunaan regresi logistik ordinal memiliki keuntungan yaitu dapat digunakan untuk model aitem bineri dan ordinal (b) Model statistik yang digunakan untuk aitem bineri dan ordinal ini sebaiknya memudahkan proses implementasi ketika analisis DIF belum biasa digunakan

17 (c) Model regresi logistik ordinal diperluas oleh Zumbo-Thomas, yaitu memiliki uji statistik dan pengukuran yang cocok mengenai effect size, tidak seperti metode yang lainnya. Regresi logistik ordinal ini dapat diinterpretasi seperti regresi linear yang menjadi variabel prediktor terhadap sebuah variabel random yang yang tidak dapat diobservasi secara terus menerus, Y *. persamaan ini dapat ditunjukkan sebagai berikut: Y* = b 0 + b 1 TOT + b 2 GENDER + b 3 TOT * GENDER i + ε i...(1) ε i untuk model regresi logistik didistribusi dengan mean zero dan varian π2 3. Dari beberapa kondisi ini, kriteria aitem mengandung DIF adalah jika (a) nilai p 0.01, dan (b) R (Zumbo, 1999; hal.23 & 27). C. Etnis 1. Batak Toba Etnis Batak Toba dikenal dengan penggunaan marga pada nama, sebagai penanda asal usul keluarga seseorang. Simanjuntak (2009) menyatakan bahwa menurut pandangan orang Batak toba, kebudayaannya memiliki sistem nilai budaya yang sangat penting, yang menjadi tujuan dan pandangan hidup mereka secara turun-temurun yakni kekayaan (hamoraon), keturunan (hagabeon) dan penghornatan (hasangapon). Yang dimaksud dengan kekayaan ialah harta milik berwujud materi maupun non-materi yang diperoleh melalui usaha atau melalui warisan. Keturunan juga termasuk kedalam kategori kekayaan. Banyak keturunan

18 adalah mempunyai banyak anak, cucu, cicit, dan keturunan-keturunannya, termasuk pemilikan tanaman dan ternak. Kehormatan merupakan pengakuan dan penghormatan orang lain atas wibawa dan martabat seseorang. Hubungan sosial diatur oleh sistem sosial yang didasarkan pada marga. Hubungan sosial antarmarga diatur menurut dasar struktur sosial tungku berkaki tiga (Dalihan Na Tolu) (Simanjuntak, 2009). a) Nilai Budaya Batak Menurut Harahap & Siahaan (1987), nilai budaya Batak yang mencakup semua aspek kehidupan orang Batak dikelompokkan dalam sembilan nilai, yang disebut sebagai budaya utama, yaitu antara lain: 1. Kekerabatan, yang mencakup hubungan primordial suku, kasih sayang atas hubungan darah, kerukunan, dan segala yang berkaitan dengan hubungan kekerabatan karena pernikahan, solidaritas marga, dan lain-lain. 2. Religi, mencakup kehidupan keagamaan, baik agama tradisional maupun agama yang datang kemudian yang mengatur hubungannya dengan Maha Pencipta serta hubungannya dengan manusia dan lingkungan hidupnya. 3. Hagabeon, artinya banyak keturunan dan panjang umur. Satu ungkapan tradisional Batak yang terkenal yang disampaikan pada saat upacara pernikahan ialah ungkapan yang mengharapkan agar kelak pengantin baru dikaruniai putra tujuh belas orang dan putri enam belas orang. Sumber daya manusia bagi orang Batak merupakan hal sangat penting. 4. Hasangapon, artinya kemuliaan, kewibawaan, kharisma, suatu nilai utama yang memberi dorongan kuat untuk meraih kejayaan. Nilai ini memberi

19 dorongan kuat untuk meraih jabatan dan pangkat yang memberikan kemuliaan, kewibawaan, kharisma dan kekuasaan. 5. Hamoraon, artinya kaya raya, salah satu nilai budaya yang mendasari dan mendorong orang Batak untuk mencari harta benda yang banyak. 6. Hamajuon, artinya kemajuan, yang diraih melalui merantau dan menuntut ilmu. Nilai budaya ini sangat kuat mendorong orang Batak untuk bermigrasi ke seluruh pelosok tanah air. 7. Hukum, Patik dohot uhum, artinya aturan dan hukum. Nilai patik dohot uhum merupakan nilai yang kuat disosialisasikan oleh orang Batak. Budaya menegakkan kebenaran, terlibat dalam dunia hukum, merupakan dunia orang Batak. 8. Pengayoman dalam kehidupan sosiokultural orang Batak kurang kuat dibandingkan nilai-nilai yang disebutkan sebelumnya. Hal ini mungkin disebabkan kemandirian yang berkadar tinggi. Kehadiran orang yang mengayomi, pelindung, pemberi kesejahteraan, hanya diperlukan dalam keadaan yang sangat mendesak. 9. Konflik dalam kehidupan orang Batak Toba cenderung tinggi, dan hal ini menyagkut perjuangan meraih hasil nilai budaya lainnya, antara lain hamoraon yang mau ataupun tidak merupakan sumber konflik yang abadi. b) Hubungan Kontroversial dan Inkonsistensi kepada Suku Bangsa Lain Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Simanjuntak (2009) ditemukan bahwa orang Batak Toba selalu menaruh rasa hormat dan percaya orang lain. Berikut akan dijelaskan mengenai gambaran hubungan kontroversial dan

20 inkonsistensi yang ditunjukkan oleh orang Batak terhadap suku bangsa lain yaitu dapat disusun berdasarkan peringkat. Hubungan kontroversi tersebut ditunjukkan dengan sikap antara yang paling disenangi dengan yang tidak disenangi. Secara logis, seharusnya orang yang menghormati orang lain hendaknya memperlakukan orang tersebut sebagai saudara serta suka memberi pertolongan. Demikian juga kepada orang yang dipercaya seharusnya menganggap dan memperlakukannya sebagai saudara, menolong dan mau saling mengalah. Sedangkan kepada orang lain yang tidak dipercaya memang tidak perlu untuk mengalah. Hal ini dapat ditunjukkan pada tabel berikut (Simanjuntak, 2009). Tabel 2. Hubungan dengan Suku Bangsa Lain Rank A n % B n % C n % Nilai D n % E n % n= , ,4 22 4, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,8 41 8, , Keterangan: A. Hormat, B. Sebagai Saudara, C. Menolong, D. Mempercayai, E. Mengalah Tabel 2 menggambarkan sikap yang ditunjukkan oleh orang Batak Toba terhadap orang lain, yaitu sikap yang tidak termasuk dalam hubungan Dalihan Na Tolu, yaitu rasa hormat, sebagai saudara, menolong, mempercayai,dan mengalah yang diurutkan berdasarkan tingkatan atau peringkat yang ditentukan mulai dari hal yang disenangi sampai yang tidak disenangi. Apabila disusun berdasarkan peringkat yang diperoleh dari besarnya persentase lebih besar dari 30%, kedua indikasi sikap, yaitu rasa hormat dan mempercayai orang lain berada pada

21 peringkat 1 dan 2. Sementara yang paling tidak disenangi ialah mengalah (peringkat 5) dan selalu menolong serta memperlakukan orang lain sebagai saudara, keduanya berada pada peringkat 4, sedangkan untuk peringkat 3 tidak ada (Simanjuntak, 2009 hal ). c) Kepribadian Batak Toba Dalihan Na Tolu adalah sistem nilai dan sekaligus sebagai sistem dari peraturan-peraturan mengenai nilai-nilai tersebut. Sebagai suatu sistem yang bertumpu pada tiga aktor, yaitu hulahula/mora (orang yang dihormati) - Dongan Sabutuha/Kahanggi (satu marga) - Boru/Anak Boru (anak perempuan); sistem ini menanamkan kepribadian yang mandiri, sangat menghargai keterbukaan, sadar diri dan sangat menghargai desentralisasi (Harahap & Siahaan, 1987). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sianipar (2008), yaitu mengenai gambaran kepribadian suku Batak Toba di Pematangsiantar dengan menggunakan Big Five Inventory (BFI), menunjukkan bahwa dimensi Neuroticism adalah dimensi yang yang paling dominan pada suku Batak Toba, kemudian diikuti oleh dimensi extraversion dan openness, sedangkan dimensi yang kurang dominan adalah agreeableness dan conscientiousness. 2. Jawa Etnis Jawa memiliki nilai-nilai yang membentuk pribadi mereka. Terdapat dua gambaran mengenai kebiasaan-kebiasaan yang ditunjukkan oleh orang Jawa yang sering bertolak belakang yang dijelaskan sebagai berikut.

22 a. Kebiasaan Ingin Menang Sendiri Setelah dicermati, ternyata tidak semua budaya orang Jawa itu baik. Ada juga budaya orang Jawa yang kalau dibiarkan akan berbahaya. Artinya akan merugikan orang lain dan orang Jawa itu sendiri. Kebiasaan orang Jawa yang negatif itu ternyata telah mendarah daging dan sulit dilenyapkan begitu saja. Beberapa kebiasaan buruk yang perlu mendapat perhatian oleh pemerhati budaya, terutama yang mendorong untuk hidup menang sendiri, antara lain sebagai berikut (Endraswara, 2010): 1) Jail methaki,. artinya keinginan untuk mencelakakan pihak lain karena ingin menang sendiri. Orang Jawa yang berwatak demikian, segalanya ingin bagian yang lebih banyak. Mereka ingin lebih berwibawa, berkuasa, lebih kaya, dan selalu menang dalam segala hal. Dalam diri orang jail methakil, selalu dibayang-bayangi oleh rasa khawatir jika orang lain mengungguli dirinya. 2) Merkengkong, artinya orang yang merasa terganggu, rewel, dan sulit dipegang hatinya. Tegasnya orang Jawa yang merkengkong, hatinya bagaikan besi tua, sulit diingatkan orang lain meskipun salah. Oleh karena itu, seringkali akan menghalalkan berbagai cara untuk merobohkan dan menaklukkan kebenaran. 3) Kikrik, adalah watak orang Jawa yang sangat sulit. Biasanya orang yang berwatak kikrik, sulit dikendalikan pihak lain. Kikrik biasanya muncul dalam budaya Jawa yang tersubordinasi. Hubungan antara atasan dan

23 bawahan, seringkali muncul watak semacam ini. Watak kikrik selalu diliputi rasa dumeh (merasa dirinya lebih). Implikasi watak kikrik, disamping kata-kata kasar (marah), misuh (menghujat), juga seringkali berupa tindakan keras. 4) Ngrasani. Budaya Ngrasani, tampaknya telah mengarah kedalam pribadi orang Jawa semu. Budaya negatif ini, lahir atas dorongan budaya semu, karena orang Jawa memang tak suka menyatakan sesuatu secara terbuka (blak-blakan). Oleh karena segala sesuatu selalu dibungkus dengan rasa, tibalah pilihan yang tepat adalah ngrasani (membicarakan orang lain) secara sembunyi-sembunyi. b. Kebiasaan Yang Menjatuhkan Harga Diri 1) Trocoh, artinya berhubungan dengan penggunaan kata-kata yang sangat jelek. Kata-kata atau bahasa adalah simbol kepribadian. Jika orang Jawa menggunakan bahasa sesuka hati, yaitu memanfaatkan kata kasar sering dinamakan trocoh. Kata-kata yang tergolong trocoh biasanya tidak cocok diucapkan pada semua tempat. 2) Nyelekuthis, adalah tradisi budaya Jawa yang sangat rendah. Watak yang satu ini akan menurunkan harga diri. Misalkan saja, ada orang yang memakai sepatu semiran, berdasi, memakai jas, tetapi minta rokok dan jajan di pinggir jalan. Orang nyelekuthis tidak dapat menyesuaikan diri, tidak dapat menempatkan diri secara tepat. c. Dunia Damai

24 Keistimewaan orang Jawa adalah cita-cita luhur tentang budaya damai. Kedamaian akan menyebabkan suasana tenang dan aman tenteram. Prinsip suka damai, tidak sekedar falsafah sosial Jawa, melainkan merupakan manifestasi batin yang luar biasa. Prinsip yang dianut dalam mencapai kedamaian adalah konsep rukun. Rukun adalah kondisi dimana keseimbangan sosial tercapai. Kerukunan hidup terjadi karena masing-masing individu terjalin saling menghormati, sopan santun terjaga, dan saling menghargai satu sama lain. Jiwa kekeluargaan, gotongroyong, dan konsep tepa selira selalu dikedepankan dalam kehidupannya (Endraswara, 2010). Prinsip hidup dunia damai yang dipegang orang Jawa, yakni adanya ungkapan rukun agawe santosa. Artinya, kerukunan akan menyebabkan seseorang kuat dan sentosa. Hidup rukun digambarkan kedalam perangkat merial berupa sapu lidi (Endraswara, 2010). d. Toleransi Orang Jawa Telah diakui oleh berbagai pihak, orang Jawa yang masih mengenang dan menghayati peradaban lama yang sangat dikagumi oleh orang asing. Anderson (dalam Endraswara, 2010) yang telah menjalani Asia Tenggara, terutama ke Jawa, telah mengakui sikap savior vivre (lapang dada) orang Jawa. Sikap inilah yang disebut sebagai toleransi orang Jawa. Toleransi menjadi pokok (induk) sikap mental orang Jawa. Toleransi boleh dikatakan sebagai reputasi dan rapor hijau bagi orang Jawa sementara ini. Orang Jawa sekarang telah bersikap toleran dan egaliter, artinya tidak membeda-bedakan kesukuan dan kebangsaan. Hidup orang Jawa yang toleran itu

25 telah menciptakan dunia damai di lingkungan masyarakat Jawa. Akibatnya, konflik-konflik sosial yang bersifat horizontal dapat dicegah. Kebatinan merupakan akar teologi Jawa. Kebatinan menjadi sentral kerpibadian Jawa yang tangguh. Atas dasar ini pula, keistimewaan orang Jawa semakin nampak. Melalui kebatinan, toleransi orang Jawa semakin kuat. Karena, mereka tidak lagi mempersoalkan hal-hal yang bersifat material atau lahiriah. Hidup adalah dunia batin yang sangat spiritual (Endraswara, 2010). e. Kepribadian Jawa Pribadi orang Jawa memang unik. Umumnya orang Jawa lebih tertutup dalam segala hal. Hal ini ditunjukkan dengan pakaian yang tertutup yang digunakan oleh putri, yaitu nyamping (kain) dan kebaya, sedangkan laki-laki menggunakan surjan dan kain. Pakaian yang serba panjang itu menjadi ciri bahwa orang Jawa memiliki kepribadian yang tertutup. Namun, sikap ini bukan berarti bahwa orang Jawa tidak mau membuka diri. Orang Jawa mau terbuka (tinarbuka) hanya pada waktu dan tempat-tempat tertentu (Endraswara, 2010). Orang Jawa selalu menyampaikan segala hal dengan tertutup, halus, dan bermakna. Perilaku bahasa cukup lemah lembut, terlebih lagi di Jawa mengenal ragam karma alus dan ngoko (kasar). Mereka menggunakan ragam halus untuk keperluan tertentu dan hal ini sering ditunjukkan pada saat melakukan aktivitas publik, yaitu selalu rendah diri (anoraga) dalam hal bergaul dengan sesama. Sikap mereka yang seperti ini bertujuan untuk membahagiakan orang lain. Kepribadian Jawa yang hakiki seperti itu sangat jelas tampak dalam dunia wayang, yaitu wayang dijadikan sebagai sebuah sosok baik dan buruk. Watak istimewa dan hina

26 selalu tampil dalam wayang. Oleh karena itu, dunia wayang adalah dunia manusia Jawa, dan orang jawa selalu mengidentikkan dirinya dengan wayang (Endraswara, 2010). Disamping watak baik, terdapat juga watak jelek. Kedua watak ini selalu berlawanan dan tarik-menarik yang sering ditunjukkan dalam wayang. Hal ini merupakan simbol kepribadian orang Jawa yang melukiskan sifat kemunafikan antara bibir dan hati, dan antara kata dan perbuatan. Selain itu, hati teguh adalah keprbadian Jawa yang luhur (Endraswara, 2010). D. DIF Etnis pada Big Five Inventory Penelitian mengenai DIF mencakup dua kelompok yang diuji, yaitu Kelompok Referensi (Reference Group) dan Kelompok Fokal (Focal Group). Bagaimanapun, terdapat banyak kelompok Referensi dan Fokal, dan seorang individu mungkin terlibat pada satu atau lebih. Contohnya, wanita kulit putih mungkin termasuk kedalam kelompok referensi untuk satu analisis dan masuk kedalam kelompok fokal untuk hal yang lain (Camilli & Shepard, 1994). Dalam penelitian ini, pengelompokan kedua etnis tersebut menjadi kelompok Referensi atau kelompok Fokal ditentukan berdasarkan masing-masing faktor yang ada dalam Big Five Inventory, antara lain: Tabel 3. Pengelompokan Etnis ke dalam kelompok Referensi dan Fokal Faktor/Kelompok Referensi Fokal Openness Batak Toba Jawa Extraversion Batak Toba Jawa Agreeableness Jawa Batak Toba Conscientiousness Jawa Batak Toba Neuroticism Batak Toba Jawa

27 Pengelompokan ini didasarkan pada kepribadian dari kedua etnis, yaitu etnis Batak yang sangat menghargai keterbukaan, sadar diri dan sangat desentralisasi dan menanamkan kepribadian yang mandiri, maka dipandang sebagai kelompok Referensi pada faktor Openness, Extraversion, dan Neuroticism yang memiliki kecenderungan menyetujui aitem pernyataan mendukung (favorable) yang ada pada ketiga faktor tersebut, dan menjadi kelompok Fokal pada faktor Agreeableness dan Conscientiousness. Hal in didukung oleh penelitian Sianipar (2008), yaitu mengenai gambaran kepribadian suku Batak Toba di Pematangsiantar dengan menggunakan Big Five Inventory (BFI), menunjukkan bahwa dimensi Neuroticism adalah dimensi yang yang paling dominan pada suku Batak Toba, kemudian diikuti oleh dimensi extraversion dan openness, sedangkan dimensi yang kurang dominan adalah agreeableness dan conscientiousness. Sedangkan etnis Jawa sebagai suku bangsa yang halus dan sopan, dan mereka juga terkenal sebagai suku bangsa yang tertutup dan tidak mau terus terang, maka dipandang menjadi kelompok Referensi pada faktor Agreeableness dan Conscientiousness yang memiliki kecenderungan untuk menyetujui aitem pernyataan mendukung (favorable) yang ada pada kedua faktor tersebut, dan menjadi kelompok Fokal pada faktor Openness, Extraversion, dan Neuroticism.

BAB I PENDAHULUAN. dengan kata lain dilakukan tes psikologi. Salah satu pengukuran yang dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. dengan kata lain dilakukan tes psikologi. Salah satu pengukuran yang dilakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ilmu Psikologi merupakan salah satu cabang ilmu yang berperan untuk mempelajari proses mental dan perilaku manusia. Untuk mempelajari perilaku manusia, para

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. PERILAKU PROSOSIAL 1. Definisi Perilaku Prososial Perilaku prososial merupakan tindakan sukarela yang dimaksudkan untuk membantu dan menguntungkan individu atau kelompok individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pekerjaan, dan klinis (Anastasi dan Urbina, 1997; Aslam, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. pekerjaan, dan klinis (Anastasi dan Urbina, 1997; Aslam, 2011). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Psikologi adalah cabang ilmu yang mempelajari tentang perilaku manusia. Terdapat banyak cara untuk mempelajari perilaku manusia, salah satunya adalah dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Pembelian Impulsif adalah salah satu jenis dari perilaku membeli, dimana

BAB II LANDASAN TEORI. Pembelian Impulsif adalah salah satu jenis dari perilaku membeli, dimana BAB II LANDASAN TEORI A. PEMBELIAN IMPULSIF Pembelian Impulsif adalah salah satu jenis dari perilaku membeli, dimana perilaku pembelian ini berhubungan dengan adanya dorongan yang menyebabkan konsumen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. organisasi yang efektif (Yukl, 2010). Tidak ada organisasi yang mampu berdiri tanpa adanya

BAB I PENDAHULUAN. organisasi yang efektif (Yukl, 2010). Tidak ada organisasi yang mampu berdiri tanpa adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kepemimpinan diyakini menjadi unsur kunci dalam melakukan pengelolaan suatu organisasi yang efektif (Yukl, 2010). Tidak ada organisasi yang mampu berdiri tanpa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Feist (2010:134) kajian mengenai sifat manusia pertama kali

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Feist (2010:134) kajian mengenai sifat manusia pertama kali BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Uraian Teoritis A. Teori Lima Besar (Big Five Model) 1. Sejarah Big Five Model Menurut Feist (2010:134) kajian mengenai sifat manusia pertama kali dilakukan oleh Allport dan

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Uji Asumsi 1. Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui sebaran data normal atau tidak. Alat yang digunakan adalah One Sample Kolmogorov- Smirnov

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS. Sumbayak (2009) dengan judul skripsi Pengaruh Tipe Kepribadian Big Five

BAB II URAIAN TEORITIS. Sumbayak (2009) dengan judul skripsi Pengaruh Tipe Kepribadian Big Five 35 BAB II URAIAN TEORITIS A. Penelitian Terdahulu Sumbayak (2009) dengan judul skripsi Pengaruh Tipe Kepribadian Big Five Personality Terhadap Coping Stress Pada Polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap sampel dari suatu perilaku. Tujuan dari tes psikologi sendiri adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN. terhadap sampel dari suatu perilaku. Tujuan dari tes psikologi sendiri adalah untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tes psikologi adalah suatu pengukuran yang objektif dan terstandar terhadap sampel dari suatu perilaku. Tujuan dari tes psikologi sendiri adalah untuk mengukur perbedaan

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. tahun 1996 yang merupakan ahli teori pembelajaran sosial. Locus of control dapat

BAB 2 LANDASAN TEORI. tahun 1996 yang merupakan ahli teori pembelajaran sosial. Locus of control dapat BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Locus of Control 2.1.1 Definisi Locus of Control Konsep tentang locus of control pertama kali dikemukakan oleh Rotter pada tahun 1996 yang merupakan ahli teori pembelajaran sosial.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Berubah atau mati!, adalah kalimat yang diserukan oleh para manajer di seluruh dunia untuk menggambarkan keharusan setiap organisasi atau perusahaan untuk terus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menghadapi tantangan hidup, terkadang orang akan merasakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menghadapi tantangan hidup, terkadang orang akan merasakan bahwa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam menghadapi tantangan hidup, terkadang orang akan merasakan bahwa hidup yang dijalaninya tidak berarti. Semua hal ini dapat terjadi karena orang tersebut

Lebih terperinci

3. Emosi subyek ketika menjawab pertanyaan interview. 4. Bagaimana kebudayaan etnis Cina dalam keluarga subyek?

3. Emosi subyek ketika menjawab pertanyaan interview. 4. Bagaimana kebudayaan etnis Cina dalam keluarga subyek? Pedoman Observasi 1. Kesan umum subyek secara fisik dan penampilan 2. Relasi sosial subyek dengan teman-temannya 3. Emosi subyek ketika menjawab pertanyaan interview Pedoman Wawancara 1. Bagaimana hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan memegang peranan penting

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan memegang peranan penting BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan memegang peranan penting untuk menghasilkan tenaga ahli yang tangguh dan kreatif dalam menghadapi tantangan pembangunan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. meneliti sejauh mana variasi pada satu variabel berkaitan dengan variasi pada satu

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. meneliti sejauh mana variasi pada satu variabel berkaitan dengan variasi pada satu BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan korelasional yang bertujuan meneliti sejauh mana variasi pada satu variabel berkaitan dengan variasi pada satu atau

Lebih terperinci

BAB 3 Metode Penelitian

BAB 3 Metode Penelitian BAB 3 Metode Penelitian 3.1. Variabel Penelitian dan Hipotesis 3.1.1. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Terdapat enam variabel dalam penelitian ini, yaitu faktor kepribadian yang terdiri dari

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. merupakan penelitian kuantitatif yang bersifat deskriptif komparatif, yakni jenis

BAB III METODE PENELITIAN. merupakan penelitian kuantitatif yang bersifat deskriptif komparatif, yakni jenis 26 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Menurut Arikunto (2002) desain penelitian merupakan serangkaian proses yang diperlukan dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian. Penelitian ini merupakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini menggunakan dua variabel, yaitu variabel komitmen, dan

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini menggunakan dua variabel, yaitu variabel komitmen, dan BAB III METODE PENELITIAN A. Variabel Dan Difinisi Operasional 1. Identivikasi Variabel. Dalam penelitian ini menggunakan dua variabel, yaitu variabel komitmen, dan variabel big five personality. Dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. juga merupakan calon intelektual atau cendikiawan muda dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. juga merupakan calon intelektual atau cendikiawan muda dalam suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mahasiswa merupakan suatu kelompok dalam masyarakat yang memperoleh statusnya karena ikatan dengan perguruan tinggi. Mahasiswa juga merupakan calon intelektual atau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kepribadian menurut Allport (dalam Schultz, 2005) didefinisikan sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kepribadian menurut Allport (dalam Schultz, 2005) didefinisikan sebagai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Big Five 1. Sejarah Big Five Kepribadian menurut Allport (dalam Schultz, 2005) didefinisikan sebagai suatu organisasi dinamik dalam diri individu yang merupakan sistem psychophysical

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Hubungan Nilai..., Dian Rahmi Iskandar, F.PSI UI, 2008

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Hubungan Nilai..., Dian Rahmi Iskandar, F.PSI UI, 2008 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang ditemui setiap individu yang lahir ke dunia ini. Keluarga sebagai bagian dari suatu kelompok sosial mentransformasikan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi subjek PT. Pusat Bisnis Ponorogo merupakan sebuah perusahaan muda yang berdiri pada tahun 2013. Perusahaan ini berfokus pada pengembangan pusat perbelanjaan

Lebih terperinci

TRAIT FACTOR THEORY EYSENCK, CATTELL, GOLDBERG. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi

TRAIT FACTOR THEORY EYSENCK, CATTELL, GOLDBERG. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi Modul ke: 13 Yoanita Fakultas PSIKOLOGI TRAIT FACTOR THEORY EYSENCK, CATTELL, GOLDBERG Eliseba, M.Psi Program Studi Psikologi HANS EYSENCK Dasar umum sifat-sifat kepribadian berasal dari keturunan, dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mandailing, dan Batak Angkola. Kategori tersebut dibagi berdasarkan nama

BAB I PENDAHULUAN. Mandailing, dan Batak Angkola. Kategori tersebut dibagi berdasarkan nama BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Batak adalah salah satu suku di Indonesia di mana sebagian besar masyarakatnya bermukim di Sumatera Utara. Suku yang dikategorikan sebagai Batak adalah Batak Toba, Batak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai fakta sosial, manusia sebagai makhluk kultural (Ratna, 2005:14). Dalam

BAB I PENDAHULUAN. sebagai fakta sosial, manusia sebagai makhluk kultural (Ratna, 2005:14). Dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan salah satu hasil karya seni yang sekaligus menjadi bagian dari kebudayaan. Sebagai salah satu hasil kesenian, karya sastra mengandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Utuh berarti bahwa individu tidak dapat dipisahkan dengan segala cirinya,

BAB I PENDAHULUAN. Utuh berarti bahwa individu tidak dapat dipisahkan dengan segala cirinya, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap individu berfungsi sebagai satu kesatuan yang utuh dan unik. Utuh berarti bahwa individu tidak dapat dipisahkan dengan segala cirinya, karena individu

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hari Minggu tanggal 29 April 2007 seorang siswa kelas 1 (sebut saja A) SMA swasta di bilangan Jakarta Selatan dianiaya oleh beberapa orang kakak kelasnya. Penganiayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang tiap elemen bangsanya sulit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang tiap elemen bangsanya sulit BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang tiap elemen bangsanya sulit lepas dari belenggu anarkisme, kekerasan, dan perilaku-perilaku yang dapat mengancam ketenangan masyarakat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Bungaran A. Simanjuntak, Konflik, status dan kekuasaan orang Batak Toba, Yogyakarta, Jendela, 2002, hal 10

BAB I PENDAHULUAN. 1 Bungaran A. Simanjuntak, Konflik, status dan kekuasaan orang Batak Toba, Yogyakarta, Jendela, 2002, hal 10 BAB I PENDAHULUAN A. PERMASALAHAN A.1 LATAR BELAKANG MASALAH Orang Batak Toba sebagai salah satu sub suku Batak memiliki perangkat struktur dan sistem sosial yang merupakan warisan dari nenek moyang. Struktur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. lazimnya dilakukan melalui sebuah pernikahan. Hurlock (2009) menyatakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. lazimnya dilakukan melalui sebuah pernikahan. Hurlock (2009) menyatakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk sosial ditakdirkan untuk berpasangan yang lazimnya dilakukan melalui sebuah pernikahan. Hurlock (2009) menyatakan bahwa pernikahan adalah salah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian, identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, subjek penelitian,

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian, identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, subjek penelitian, BAB III METODE PENELITIAN Metode merupakan unsur penting dalam penelitian ilmiah, karena metode yang digunakan dalam penelitian dapat menemukan apakah penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan hasilnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. moral dan sebaliknya mengarah kepada nilai-nilai modernitas yang sarat dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. moral dan sebaliknya mengarah kepada nilai-nilai modernitas yang sarat dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Pada era modern saat ini, orang sudah mulai terlena dengan nilai-nilai moral dan sebaliknya mengarah kepada nilai-nilai modernitas yang sarat dengan permissiveness

Lebih terperinci

menjadi bagian dari kelompoknya dengan mengikuti norma-norma yang telah

menjadi bagian dari kelompoknya dengan mengikuti norma-norma yang telah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Seks pranikah merupakan aktivitas seksual yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan yang resmi menurut hukum maupun menurut agama dan kepercayaan masing-masing

Lebih terperinci

Data Diri TES DISC. M L Baik hati, berhati lembut, manis M L Pintar memperngaruhi orang lain, meyakinkan

Data Diri TES DISC. M L Baik hati, berhati lembut, manis M L Pintar memperngaruhi orang lain, meyakinkan LAMPIRAN 70 Lampiran 1 Kuesioner tes DISC Data Diri Nama : Tempat, tanggal lahir : Usia : Jenis Kelamin : No. Telfon : TES DISC Instruksi : Silahkan pilih salah satu dari empat kelompok kata di bawah ini

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Universitas Indonesia

2. TINJAUAN PUSTAKA. Universitas Indonesia 10 2. TINJAUAN PUSTAKA Bab ini mengulas tentang pelbagai teori dan literatur yang dipergunakan dalam penelitian ini. Adapun teori-teori tersebut adalah tentang perubahan organisasi (organizational change)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki beranekaragam kebudayaan. Sebagaimana telah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki beranekaragam kebudayaan. Sebagaimana telah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki beranekaragam kebudayaan. Sebagaimana telah diketahui bahwa penduduk Indonesia adalah multietnik (plural society). Indonesia merupakan negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dirasakan dan dialami serta disadari oleh manusia dan masyarakat Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. dirasakan dan dialami serta disadari oleh manusia dan masyarakat Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia Indonesia telah menerima Pancasila sebagai ideologinya. Ideologi yang bersumberkan pandangan hidup merupakan kristalisasi nilai-nilai yang diterima dan

Lebih terperinci

5. Pilihlah salah satu dari pilihan di bawah ini yang merupakan KELEMAHAN anda! (Jawablah dengan sejujur-jujurnya)

5. Pilihlah salah satu dari pilihan di bawah ini yang merupakan KELEMAHAN anda! (Jawablah dengan sejujur-jujurnya) Nama : No HP : Alamat : Pendidikan Terakhir : 1. Pilihlah salah satu dari pilihan di bawah ini yang merupakan KELEMAHAN anda! (Jawablah dengan sejujur-jujurnya) Pemikiran dan perhatian ditujukan ke dalam,

Lebih terperinci

BAB II. meningkatkan fungsi konstruktif konflik. Menurut Ujan, dkk (2011) merubah perilaku ke arah yang lebih positif bagi pihak-pihak yang terlibat.

BAB II. meningkatkan fungsi konstruktif konflik. Menurut Ujan, dkk (2011) merubah perilaku ke arah yang lebih positif bagi pihak-pihak yang terlibat. BAB II LANDASAN TEORI A. Manajemen Konflik 1. Pengertian Manajemen Konflik Menurut Rahim (2001) manajemen konflik tidak hanya berkaitan dengan menghindari, mengurangi serta menghilangkan konflik, tetapi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Logoterapi ditemukan dan dikembangkan oleh Victor E. Frankl, seorang

BAB II LANDASAN TEORI. Logoterapi ditemukan dan dikembangkan oleh Victor E. Frankl, seorang BAB II LANDASAN TEORI A. Sumber Nilai Makna Hidup 1. Definisi Sumber Nilai Makna Hidup Logoterapi ditemukan dan dikembangkan oleh Victor E. Frankl, seorang neuropsikiater keturunan Yahudi dari kota Wina,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki peran sebagai suami dan istri dengan tugasnya masing-masing. Pada keluarga

BAB I PENDAHULUAN. memiliki peran sebagai suami dan istri dengan tugasnya masing-masing. Pada keluarga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Di dalam keluarga, pria dan wanita sebagai individu dewasa yang telah menikah memiliki peran sebagai suami dan istri dengan tugasnya masing-masing. Pada keluarga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, terdapat berbagai macam agama dan kepercayaan- kepercayaan

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, terdapat berbagai macam agama dan kepercayaan- kepercayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di Indonesia, terdapat berbagai macam agama dan kepercayaan- kepercayaan yang dianut oleh penduduknya. Masing-masing agama memiliki pemuka agama. Peranan pemuka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan. Kebutuhan-kebutuhan tersebut akan terus-menerus mendorong manusia

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan. Kebutuhan-kebutuhan tersebut akan terus-menerus mendorong manusia BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Manusia sebagai Homo economicus, tidak akan pernah lepas dari pemenuhan kebutuhan. Kebutuhan-kebutuhan tersebut akan terus-menerus mendorong manusia untuk melakukan

Lebih terperinci

6. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

6. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 66 6. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN Pada bab ini akan disimpulkan mengenai hasil penelitian yang telah disampaikan pada bab sebelumnya. Pada bab ini juga akan dijelaskan diskusi yang menyatakan analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Perkembangan sosial masa dewasa awal (young adulthood) adalah puncak dari perkembangan sosial masa dewasa. Masa dewasa awal adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hasil Sumber daya manusia merupakan salah satu aset terpenting bagi perusahaan.

BAB I PENDAHULUAN. hasil Sumber daya manusia merupakan salah satu aset terpenting bagi perusahaan. 11 A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Peranan sumber daya manusia bagi perusahaan tidak hanya dapat dilihat dari hasil Sumber daya manusia merupakan salah satu aset terpenting bagi perusahaan.

Lebih terperinci

MYERSS BRIGGS TYPE INDICATOR

MYERSS BRIGGS TYPE INDICATOR MYERSS BRIGGS TYPE INDICATOR Personality Questionaire PANDUAN PENGISIAN MBTI NO. A 1. Isilah dengan jujur & refleksikan setiap pernyataan yang ada ke dalam keseharian Anda 2. JANGAN terlalu banyak berpikir,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. Penelitian ini menggunakan pendekatan korelasi ganda. Penelitian korelasi

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. Penelitian ini menggunakan pendekatan korelasi ganda. Penelitian korelasi BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan korelasi ganda. Penelitian korelasi ganda merupakan angka yang menunjukkan arah dan kuatnya hubungan antara dua variabel

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Bab dua (kajian pustaka) telah membahas teori yang telah menjadi dasar penelitian. Bab ini akan memaparkan metode penelitian dan bagaimana teori yang dibahas dalam bab kajian

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI A. LANDASAN TEORI PSYCHOLOGICAL ADJUSTMENT. Weiten dan Lloyd (2006) menyebutkan bahwa psychological adjustment

BAB II LANDASAN TEORI A. LANDASAN TEORI PSYCHOLOGICAL ADJUSTMENT. Weiten dan Lloyd (2006) menyebutkan bahwa psychological adjustment BAB II LANDASAN TEORI A. LANDASAN TEORI PSYCHOLOGICAL ADJUSTMENT 1. Definisi Psychological Adjustment Weiten dan Lloyd (2006) menyebutkan bahwa psychological adjustment merupakan proses psikologis yang

Lebih terperinci

Resolusi Konflik dalam Perspektif Kepribadian

Resolusi Konflik dalam Perspektif Kepribadian Resolusi Konflik dalam Perspektif Kepribadian Zainul Anwar Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang zainulanwarumm@yahoo.com Abstrak. Karakteristik individu atau sering dikenal dengan kepribadian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini bisa dilihat dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok

BAB I PENDAHULUAN. ini bisa dilihat dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dalam sejarah penyelenggaraan pemerintahan daerah, tidak berubah dan selalu dibutuhkan. Hal ini bisa dilihat

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Bab ini akan memaparkan metode penelitian dan bagaimana teori yang dibahas dalam kajian pustaka diaplikasikan dalam penelitian. Bab ini terdiri dari beberapa bagian, diantaranya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena perilaku seks pranikah di kalangan remaja di Indonesia semakin

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena perilaku seks pranikah di kalangan remaja di Indonesia semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Fenomena perilaku seks pranikah di kalangan remaja di Indonesia semakin meningkat prevalensinya dari tahun ke tahun. Hasil survei yang dilakukan oleh Biro

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengelolaan. Menurut Mangkunegara (2005) manajemen adalah suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengelolaan. Menurut Mangkunegara (2005) manajemen adalah suatu BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian dan Fungsi Manajemen 2.1.1 Pengertian Manajemen Manajemen adalah sebuah disiplin ilmu yang berkaitan dengan pengelolaan. Menurut Mangkunegara (2005) manajemen adalah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini, yaitu kepribadian, yang terdiri dari:

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini, yaitu kepribadian, yang terdiri dari: 28 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi. Regresi berguna untuk mencari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Secondary Traumatic Stress Terdapat beberapa istilah yang berkaitan dengan trauma sekunder yang sering diartikan dengan salah. Walau terlihat mirip akan tetapi memiliki definisinya

Lebih terperinci

Bab III METODE. analisisnya pada data-data numerical (angka) yang diolah dengan metode

Bab III METODE. analisisnya pada data-data numerical (angka) yang diolah dengan metode Bab III METODE A. Rancangan Penelitian Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah penelitian kuantitatif. Penelitian dengan pendekatan kuantitatif yaitu menekankan analisisnya pada data-data

Lebih terperinci

bersikap kolot, dan lebih mudah menerima perubahan yang terjadi di dalam masyarakat terutama pada perempuan yang tidak menikah ini.

bersikap kolot, dan lebih mudah menerima perubahan yang terjadi di dalam masyarakat terutama pada perempuan yang tidak menikah ini. BAB V KESIMPULAN Suku Batak Toba merupakan suku yang kaya akan budaya salah satunya falasafah Dalihan Na Tolu yang menjadi landasan orang Batak Toba dalam bermasyarakat. Dalihan Na Tolu ini mengandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari hubungannya dengan orang lain. Keberadaan orang lain dibutuhkan manusia untuk melakukan suatu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. menggambarkan gejala dan menjelaskan hubungan antar variabel yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN. menggambarkan gejala dan menjelaskan hubungan antar variabel yang ditemukan BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Penelitian kuantitatif merupakan pendekatan penelitian yang berguna menggambarkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 43 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode dan Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif.adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif korelasional.

Lebih terperinci

4. METODE PENELITIAN

4. METODE PENELITIAN 40 4. METODE PENELITIAN Bab ini terbagi ke dalam empat bagian. Pada bagian pertama, peneliti akan membahas responden penelitian yang meliputi karakteristik responden, teknik pengambilan sampel, jumlah

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kuantitatif karena menurut Sugiyono (2012) metode penelitian kuantitatif

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Metode merupakan unsur penting dalam penelitian ilmiah, karena metode yang digunakan dalam penelitian dapat menemukan apakah penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan hasilnya.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Metode penelitian mempunyai peranan yang penting dalam penelitian karena berhasil tidaknya pengujian suatu hipotesis sangat tergantung pada ketepatan dan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Pada bab ini peneliti akan memaparkan kesimpulan dan saran dari hasil diskusi yang telah dilakukan. 5.1 Kesimpulan Berikut adalah kesimpulan dari hasil diskusi yang telah dilakukan

Lebih terperinci

IDENTITAS DIRI. Contoh Pengisian: No Pernyataan SS S N TS STS 1. Saya orang yang menyenangkan X

IDENTITAS DIRI. Contoh Pengisian: No Pernyataan SS S N TS STS 1. Saya orang yang menyenangkan X LAMPIRAN A : SKALA TRY OUT SKALA I Nama/Inisial :... Usia IDENTITAS DIRI :... tahun PETUNJUK PENGISIAN - 1 Berikut ada sejumlah pernyataan. Baca dan pahami dengan baik setiap pernyataan. Anda diminta untuk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Bab ini akan membahas tentang hasil yang diperoleh dari penelitian,

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Bab ini akan membahas tentang hasil yang diperoleh dari penelitian, 71 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini akan membahas tentang hasil yang diperoleh dari penelitian, mengenai hubungan antara tipe kepribadian dengan interaksi interpersonal pada mahasiswa Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ia berada karena tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan

BAB I PENDAHULUAN. ia berada karena tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu faktor yang berperan besar bagi kehidupan bangsa karena pendidikan dapat mendorong serta menentukan maju mundurnya suatu proses

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. dengan judul Nilai-Nilai Moral dalam Novel Nyanyian Lembayung Karya Sin

BAB II LANDASAN TEORI. dengan judul Nilai-Nilai Moral dalam Novel Nyanyian Lembayung Karya Sin 8 BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Sebelumnya yang Relevan Penelitian tentang nilai-nilai moral sudah pernah dilakukan oleh Lia Venti, dengan judul Nilai-Nilai Moral dalam Novel Nyanyian Lembayung Karya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. publik harus bersikap independen terhadap berbagai kepentingan.

BAB I PENDAHULUAN. publik harus bersikap independen terhadap berbagai kepentingan. BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Pemimpin menjadi penentu keberhasilan sebuah organisasi dalam mencapai tujuannya. Kantor Akuntan Publik (KAP) sebagai suatu organisasi di bidang jasa keuangan memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan Indonesia kearah modernisasi maka semakin banyak peluang bagi perempuan untuk berperan dalam pembangunan. Tetapi berhubung masyarakat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebudayaan merupakan sebuah cara hidup yang dimiliki oleh sekelompok

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebudayaan merupakan sebuah cara hidup yang dimiliki oleh sekelompok BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebudayaan merupakan sebuah cara hidup yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat dan diwariskan secara turun temurun dari generasi kegenerasi berikutnya. Indonesia

Lebih terperinci

Pendekatan Regresi Logistik dalam Pendektesian DIF

Pendekatan Regresi Logistik dalam Pendektesian DIF Pendekatan Regresi Logistik dalam Pendektesian DIF Oleh: Kana Hidayati Jurusan Pendidkan Matematika FMIPA UNY ABSTRAK Kegiatan pengukuran dalam bidang pendidikan sangat memerlukan suatu alat ukur yang

Lebih terperinci

Variabel Penelitian Identifikasi Variabel Penelitian Variabel dapat diartikan sebagai konsep mengenai atribut atau sifat yang terdapat pa

Variabel Penelitian Identifikasi Variabel Penelitian Variabel dapat diartikan sebagai konsep mengenai atribut atau sifat yang terdapat pa BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis dan Desain Penelitian 3.1.11 Jenis Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif. Menurut Azwar (1998) pendekatan kuantitatif

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Konsep tentang locus of control pertama kali dikemukakan oleh Rotter pada tahun

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Konsep tentang locus of control pertama kali dikemukakan oleh Rotter pada tahun 18 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Locus Of Control 2.1.1 Definisi Locus Of Control Konsep tentang locus of control pertama kali dikemukakan oleh Rotter pada tahun 1996 yang merupakan ahli teori pembelajaran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perumusan dari berbagai kalangan dalam suatu masyarakat. Terlebih di dalam bangsa

I. PENDAHULUAN. perumusan dari berbagai kalangan dalam suatu masyarakat. Terlebih di dalam bangsa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan salah satu praktek kebudayaan yang paling mengundang upaya perumusan dari berbagai kalangan dalam suatu masyarakat. Terlebih di dalam bangsa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengikuti dan menaati peraturan-peraturan nilai-nilai dan hukum

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengikuti dan menaati peraturan-peraturan nilai-nilai dan hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Disiplin merupakan kesadaran diri yang muncul dari batin terdalam untuk mengikuti dan menaati peraturan-peraturan nilai-nilai dan hukum yang berlaku dalam satu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. muncul dari perubahan konteks sosio-ekonomi, politik dan budaya. Konteks ini

BAB 1 PENDAHULUAN. muncul dari perubahan konteks sosio-ekonomi, politik dan budaya. Konteks ini BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor LSM di Indonesia kini tengah menghadapi berbagai tantangan yang muncul dari perubahan konteks sosio-ekonomi, politik dan budaya. Konteks ini termasuk perubahan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ADVERSITY QUOTIENT DAN KECERDASAN RUHANIAH DENGAN KECENDERUNGAN POST POWER SYNDROME PADA ANGGOTA TNI AU DI LANUD ISWAHJUDI MADIUN.

HUBUNGAN ADVERSITY QUOTIENT DAN KECERDASAN RUHANIAH DENGAN KECENDERUNGAN POST POWER SYNDROME PADA ANGGOTA TNI AU DI LANUD ISWAHJUDI MADIUN. HUBUNGAN ADVERSITY QUOTIENT DAN KECERDASAN RUHANIAH DENGAN KECENDERUNGAN POST POWER SYNDROME PADA ANGGOTA TNI AU DI LANUD ISWAHJUDI MADIUN Skripsi Untuk Memenuhi Sebagian Dari Syarat-Syarat Guna Memperoleh

Lebih terperinci

ANALISA VALIDITAS DAN RELIABILITAS TES KESABARAN VERSI KEDUA PADA MAHASISWA

ANALISA VALIDITAS DAN RELIABILITAS TES KESABARAN VERSI KEDUA PADA MAHASISWA Jurnal Ilmiah Penelitian Psikologi: Kajian Empiris & Non-Empiris Vol. 2., No. 1., 2016. Hal. 1-7 ANALISA VALIDITAS DAN RELIABILITAS TES KESABARAN VERSI KEDUA PADA MAHASISWA JIPP Anggun Lestari a dan Fahrul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Perempuan merupakan kaum yang sering di nomor duakan di kehidupan sehari-hari. Perempuan seringkali mendapat perlakuan yang kurang adil di dalam kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode kuantitatif, yaitu metode yang menekankan analisis pada data-data numerikal (angka) yang diolah dengan metode statistika

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

BAB III METODE PENELITIAN. A. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional BAB III METODE PENELITIAN A. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Identifikasi Variabel Dalam penelitian ini yang menjadi variabel independen (bebas) adalah big five personality yang terdiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Kepribadian Big Five 1. Sejarah Perkembangan Kepribadian Big Five Kepribadian telah dikonsepkan dari bermacam-macam perspektif teoritis yang masing-masing berbeda tingkat keluasannya

Lebih terperinci

PEDOMAN WAWANCARA. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penyesuaian dengan

PEDOMAN WAWANCARA. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penyesuaian dengan PEDOMAN WAWANCARA I. Judul Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan pada pria WNA yang menikahi wanita WNI. II. Tujuan Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi

Lebih terperinci

DESKRIPSI BUTIR INSTRUMEN 1 (BUKU SISWA) BUKU TEKS PELAJARAN SOSIOLOGI SMA/MA KELAS X

DESKRIPSI BUTIR INSTRUMEN 1 (BUKU SISWA) BUKU TEKS PELAJARAN SOSIOLOGI SMA/MA KELAS X DESKRIPSI BUTIR INSTRUMEN 1 (BUKU SISWA) BUKU TEKS PELAJARAN SOSIOLOGI SMA/MA KELAS X I. KOMPONEN KELAYAKAN ISI A. Kelengkapan Materi Butir 1 Butir 2 Kelengkapan kompetensi Materi yang disajikan mengandung

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL

BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Karakteristik Etnis Arab dan Etnis Sunda Kata Arab sering dikaitkan dengan wilayah Timur Tengah atau dunia Islam. Negara yang berada di wilayah Timur

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. merupakan penelitian yang menekankan analisisnya pada data-data numerical

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. merupakan penelitian yang menekankan analisisnya pada data-data numerical BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Data kuantitatif merupakan penelitian yang menekankan analisisnya pada data-data numerical (angka)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Tes psikologi merupakan alat yang digunakan oleh Psikolog dalam

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Tes psikologi merupakan alat yang digunakan oleh Psikolog dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekarang ini tes Psikologi bukan merupakan hal yang asing lagi bagi masyarakat. Tes psikologi merupakan alat yang digunakan oleh Psikolog dalam melakukan penilaian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Wade dan Tavris (2007: 194) menyebutkan bahwa kepribadian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Wade dan Tavris (2007: 194) menyebutkan bahwa kepribadian BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Kepribadian 1. Pengertian Kepribadian Wade dan Tavris (2007: 194) menyebutkan bahwa kepribadian (personality) adalah

Lebih terperinci

Gambaran Kepribadian Dosen-Tetap pada Universitas Swasta Terbaik di Indonesia

Gambaran Kepribadian Dosen-Tetap pada Universitas Swasta Terbaik di Indonesia Gambaran Kepribadian Dosen-Tetap pada Universitas Swasta Terbaik di Indonesia Fakultas Psikologi, Universitas Tarumanagara Email:zamralita@fpsi.untar.ac.id ABSTRAK Dosen adalah salah satu komponen utama

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Metode penelitian merupakan suatu kegiatan pengumpulan, pengolahan, penyajian dan analisis data yang dilakukan dengan metode ilmiah secara sistematis yang hasilnya berguna untuk

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Penelitian kuantitatif merupakan pendekatan penelitian yang yang bertujuan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepribadian. konsistensi perasaan, pemikiran, dan perilaku-perilaku (Pervin & Cervone, 2010).

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepribadian. konsistensi perasaan, pemikiran, dan perilaku-perilaku (Pervin & Cervone, 2010). BAB II LANDASAN TEORI A. Kepribadian 1. Pengertian Kepribadian Kepribadian adalah karakteristik seseorang yang menyebabkan munculnya konsistensi perasaan, pemikiran, dan perilaku-perilaku (Pervin & Cervone,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan manusia lainnya untuk menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk membangun relasi sosial

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sikap (attitude) adalah pernyataan evaluatif, baik yang menyenangkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sikap (attitude) adalah pernyataan evaluatif, baik yang menyenangkan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Uraian Teoritis 2.1.1. Sikap 1. Pengertian Sikap Sikap (attitude) adalah pernyataan evaluatif, baik yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan terhadap objek, individu, atau

Lebih terperinci