BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Permasalahan Wilayah negara Indonesia terdiri dari beribu-ribu pulau serta memiliki daerah pantai yang sangat panjang, yaitu sekitar km. Pantai menjadi salah satu keunggulan dan ciri khas negara Indonesia. Pantai menjadi tempat untuk menggantungkan hidup bagi masyarakat pesisir yang kebanyakan bermata pencaharian sebagai nelayan. Pantai juga berfungsi sebagai daya tarik tersendiri untuk wisatawan-wisatawan asing agar berkunjung ke Indonesia, sehingga dapat menghasilkan devisa yang berguna untuk menambah pemasukan negara. Kawasan yang menghubungkan antara wilayah darat dan laut dinamakan pantai. Kawasan pantai menjadi transisi ekosistem laut dengan ekosistem darat. Dua pertiga luas wilayah Indonesia terdiri dari laut sehingga laut mempunyai arti dan fungsi strategis bagi negara Indonesia. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu menyebutkan bahwa wilayah pesisir sebagai wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi, 12 mil dari garis pantai ke arah laut untuk propinsi dan sepertiga dari wilayah laut itu (kewenangan propinsi) untuk kabupaten/kota dan ke arah darat batas administrasi kabupaten/kota ( Menteri Lingkungan Hidup, 2002). 1

2 2 Kawasan pesisir pantai merupakan daerah yang sangat potensial untuk dikembangkan. Daerah pantai memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi bagi pemerintah daerah, karena daerah pantai merupakan wilayah yang paling mudah dikembangkan sebagai sarana transpotasi dari satu daerah ke daerah lain. Wilayah pantai menghasilkan sumber daya alam yang sangat produktif, baik sebagai sumber pangan, tambang mineral dan energi, media komunikasi maupun kawasan rekreasi atau pariwisata. Kawasan pantai dijadikan tumpuan harapan manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya di masa yang akan datang. Sekitar % manusia hidup dan bekerja di wilayah pantai yang luasnya hanya 8% dari muka bumi. Wilayah pesisir pantai sangat potensial sebagai penghasil 26% dari produksi perikanan global. Wilayah pantai merupakan wilayah yang sangat penting bagi kehidupan manusia (Darsef, 2003: 3). Pemanfaatan wilayah pesisir pantai yang meningkat, perlahan-lahan membuat daerah pantai akan berubah fungsi menjadi daerah yang sangat komplek, sehingga dapat menyebabkan berkurangnya daya dukung wilayah pantai jika penggunaaannya tidak dilakukan secara terpadu dan terkendali. Kondisi lingkungan pesisir di beberapa pantai di Indonesia akhir-akhir ini cenderung mengalami penurunan kualitas, sehingga lingkungan pesisir di lokasi tersebut dapat berkurang fungsinya atau bahkan sudah tidak mampu berfungsi lagi untuk menunjang pembangunan dan kesejahteraan penduduk secara berkelanjutan. Penurunan kualitas lingkungan pesisir di banyak tempat terjadi terutama akibat pencemaran atau perusakan lingkungan di sekitanya.

3 3 Pencemaran lingkungan pantai dapat terjadi karena masukan polutan dari kegiatan di sepanjang garis pantai, secara tidak langsung: melalui aliran sungai, kegiatan di lepas pantai, karena intrusi (tercampurnya) air laut ke dalam air tanah dan sebagainya. Kerusakan lingkungan pantai dapat berupa: abrasi pantai, kerusakan hutan mangrove, kerusakan terumbu karang, penurunan sumber daya perikanan, serta penambangan pasir yang berlebihan. Akibat berbagai eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya alam lingkungan pesisir dan laut pada umumnya ini, dapat merugikan masyarakat, khususnya penduduk sekitar pantai (Menteri Lingkungan Hidup, 2009). Pihak pemerintah mulai memikirkan berbagai cara untuk menanggulangi permasalahan-permasalahan yang semakin merusak ekosistem lingkungan pantai. Salah satunya dengan mengupayakan program penanaman mangrove. Program tersebut mulai diaplikasikan di daerah pantai Baros, Bantul. Kata mangrove adalah kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Kata mangrove dalam bahasa Inggris digunakan untuk menunjuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang-surut maupun untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut. Dalam bahasa Portugis kata mangrove digunakan untuk menyatakan individu spesies tumbuhan, sedangkan kata mangal untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut (Keeley, 2007:1-2). Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah perairan pesisir. Pantai memiliki fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi berbagai

4 4 macam biota, penahan abrasi, amukan angin, juga berfungsi sebagai pemecah gelombang. Hutan mangrove juga memiliki fungsi ekonomis penting yaitu sebagai penyedia kayu, sebagai bahan bangunan maupun sebagai kayu bakar (Dahuri,1993: 3-4). Berdasarkan manfaat yang terdapat dari hutan mangrove tersebut dapat diketahui pentingnya peranan hutan mangrove sebagai penyangga kehidupan baik di darat maupun di laut, luas hutan mangrove dari tahun ke tahun semakin berkurang. Data yang ada menyebutkan luas hutan mangrove pada tahun 1982 di Indonesia sekitar 4,25 juta hektar sedangkan pada tahun 1993 menjadi sekitar 2,49 juta hektar. Hutan mangrove penting sekali untuk dipertahankan dan dijaga kelestarian ekosistemnya (Mentri Lingkungan Hidup, 2009). Penelitian ini akan menganalisis permasalahan hubungan manusia dengan alam tersebut melalui sudut pandang teori Deep Ecology Arne Naess. Deep Ecology merupakan teori etika lingkungan yang memandang manusia bukan sebagai pusat dari alam melainkan hanya merupakan bagian dari alam. Semua unsur alam dan manusia mempunyai kedudukan yang sama di dalam suatu lingkungan hidup. Nilai-nilai moral bukan hanya berlaku bagi komunitas manusia, tetapi juga komunitas seluruh anggota lingkungan hidup. Pusat perhatian Deep Ecology meliputi dua hal. Pertama tentang manusia dan kepentingannya. Manusia bukan hanya memenuhi kepentingannya saja, melainkan juga kepentingan seluruh komunitas lingkungan hidup untuk kepentingan jangka panjang. Kedua, Deep Ecology diterjemahkan dalam aksi yang nyata dan konkret. Aksi/gerakan ini berusaha untuk mengubah paradigma

5 5 secara revolusioner, yaitu: perubahan cara pandang, nilai, dan gaya hidup manusia yang antroposentris (Keraf, 2002:76). Aksi/gerakan nyata ini diterjemahkan oleh Naess ke dalam platform aksi, dan beberapa prinsip-prinsip yang dijadikan pedoman dalam gerakan/aksi Deep Ecology. Platform aksi dan prinsip-prinsip dalam gerakan Deep Ecology yang nantinya akan dijadikan sebagai dasar analisis untuk permasalahan hubungan manusia dengan lingkungan hutan mangrove yang berada di pesisir pantai Baros. 2. Rumusan Masalah Analisis pada latar belakang permasalahan menjadi dasar perumusan permasalahan, yaitu: a. Bagaimana kehidupan masyarakat dan keadaan habitat mangrove di lingkungan pesisir pantai Baros? b. Apa konsep pemikiran Deep Ecology Arne Naess? c. Apa peran masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di lingkungan pesisir pantai Baros ditinjau dari Deep Ecology Arne Naess? 3. Keaslian Penelitian Sejauh penelusuran penulis, terdapat beberapa skripsi yang membahas mengenai permasalahan lingkungan dan aliran etika lingkungan. Skripsi tersebut di antaranya, yaitu:

6 6 a. Skripsi Davit Oktiyadi tahun 2002 yang berjudul Relevansi Konsep Ecosophy dalam Etika Ekosentrisme sebagai Alternatif atas Krisis Ekologis di Indonesia. Davit Oktiyadi dalam penelitiannya memposisikan Ecosophy dalam etika ekosentrisme sebagai sebuah solusi alternatif atas krisis ekologis yang sedang terjadi di Indonesia. Pertimbangan itu menurut Davit muncul dari dampak modernisasi yang terjadi saat ini. b. Skripsi Irfan Ardani tahun 2007 yang berjudul Eksistensi Manusia dalam Aliran Deep Ecology Movement: Study Filsafat Manusia. Irfan dalam penelitiannya menjelaskan tentang posisi kedudukan manusia dan alam, agar tidak terjadi kesalah pahaman yang menyebabkan manusia bisa berfikir semaunya. Dengan adanya penjelasan tentang kedudukan manusia dengan alam ini diharapkan manusia dapat lebih menghargai alam dan melestarikannya. c. Skripsi Ayu Tyas Fitriani tahun 2008 yang berjudul Konsep Etika Lingkungan dalam Kearifan Lokal Masyarakat Lereng Utara Gunung Arjuna ditinjau dari Deep Ecology Arne Naess. Ayu Tyas dalam penelitiannya mengungkapkan keanekaragaman dan nilai kompleksitas ekologi serta etika lingkungan yang terdapat dalam lingkungan kehidupan masyarakat lereng Utara gunung Arjuna dengan menggunakan nilai-nilai serta prinsip-prinsip yang terdapat dalam Deep Ecology.

7 7 d. Skripsi Yan Warisma Tri Wulansari tahun 2009 yang berjudul Sampah Plastik sebagai Masalah Lingkungan Hidup ditinjau dari Konsep Deep Ecology Arne Naess. Yan Warisma dalam penelitiannya memberi pemaparan tentang permasalahan sampah, terutama sampah plastik yang ada dalam kehidupan sehari-hari dan itu terkadang dianggap remeh. Yan Warisma memberi pengertian akan pentingnya menjaga lingkungan sekitar menggunakan pendekatan dengan konsep pemikiran Deep Ecology. e. Skripsi Nirmala Ekawati tahun 2009 yang berjudul Deep Ecology sebagai Dasar Mengatasi Permasalahan Illegal Loging di Indonesia. Nirmala dalam penelitiannya memberikan sorotan kritis mengenai permasalahan Illegal Loging yang terdapat di Indonesia dengan menggunakan konsep pemikiran Deep Ecology. Dengan adanya penelitian tersebut diharapkan masyarakat memiiki kesadaran serta pemahaman yang lebih baik tentang menjaga dan melestarikan lingkungan hidup. f. Skripsi Estine Dewi Damayanti tahun 2010 yang berjudul Peran Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Pesisir Ditinjau dari Deep Ecology Arne Naess (Studi Kasus pada Masyarakat sekitar Pantai Samas Kabupaten Bantul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta). Estine dalam penelitiannya menggunakan pemikiran Deep Ecology sebagai solusi alternatif dalam mengatasi permasalahan yang ada di lingkungan pesisir. Di sini Deep Ecology diharapkan dapat memberikan

8 8 penjelasan kepada masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan hidup. Beberapa penelitian di atas memiliki objek formal dan materi yang hampir sama dengan penelitian ini. Adapula beberapa penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa fakultas Kehutanan UGM, yang juga membahas tentang hutan mangrove. Penulis belum menemukan penelitian yang membahas sebuah aliran dalam etika lingkungan yang membicarakan satu kasus permasalahan lingkungan yang penulis angkat dalam penelitian ini, yakni peran masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di lingkungan pesisir pantai Baros sebagai objek materi dan objek formal Deep Ecology Arne Naess sebagai konsep yang memberikan alternatif pemecahan masalah. 4. Manfaat Penelitian a. Bagi ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan bisa menambah inventarisasi penganalisaan baru terhadap kasus lingkungan, khususnya ilmu pengetahuan tentang fungsi dan manfaat hutan mangrove serta peranan masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di daerah pesisir pantai Baros. b. Bagi Filsafat, penelitian ini diharapkan sedikitnya mampu menambah wawasan mengenai permasalahan lingkungan ditinjau dari pemikiran yang menyeluruh di bidang etika lingkungan atas suatu fenomena dan mampu mengkritisi terhadap fenomena yang terjadi. Pengelolaan lingkungan tidak mungkin mengabaikan nilai-nilai hidup masyarakatnya.

9 9 c. Bagi bangsa Indonesia, penelitian ini diharapkan dapat memberi pemahaman serta wacana tersendiri pada masyarakat mengenai permasalahan yang terjadi di lingkungan masyarakat dan agar masyarakat juga dapat menyadari akan pentingnya menjaga lingkungan terutama memberi kesadaran akan pentingnya hutan mangrove di wilayah pantai. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: a. Menganalisis kehidupan masyarakat pantai Baros serta merumuskan pengertian serta manfaat dan fungsi dari hutan mangrove. b. Merumuskan pemahaman prinsip-prinsip dalam Deep Ecology Arne Naess. c. Menganalisis peran masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di lingkungan pesisir pantai Baros dengan menggunakan Deep Ecology Arne Naess sebagai konsep yang memberikan alternatif pemecahan masalah. C. Tinjauan Pustaka Lingkungan hidup bagi manusia adalah sebagai tempat tinggal, tempat berinteraksi, dan tempat bagi manusia menjalankan segala aktivitasnya. Aktivitas atau perilaku yang dilakukan manusia terhadap lingkungan alam sekarang bisa dikatakan berlebihan, sehingga menyebabkan kerusakan pada diri alam dan ketidak seimbangan pada seluruh realitas ekosistem, termasuk manusia. Salah satunya adalah kerusakan pada ekosistem di daerah pantai.

10 10 Kerusakan yang terjadi pada ekosistem daerah pantai adalah salah satu contoh permasalahan lingkungan hidup yang sering diabaikan oleh manusia. Beberapa penyebabnya adalah faktor alam itu sendiri dan faktor dari aktivitas yang berlebihan dari manusia. Kerusakan daerah pantai yang disebabkan oleh faktor alam biasanya diantisipasi oleh pemerintah agar dampaknya dapat diminimalkan, namun kerusakan daerah pantai seringkali diperparah oleh aktivitas manusia. Aktivitas manusia yang berlebihan dalam mengembangkan atau mengeksploitasi sumber daya daerah pantai menimbulkan permasalahan serius dalam etika lingkungan. Perilaku manusia sudah tak terkendali dan mengabaikan semua larangan, sanksi, atau yang paling parah mengabaikan semua dampak dari perbuatannya. Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup no 32 pasal 1 ayat 1 dan 2 tahun 2009 telah menetapkan bahwa, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain, serta perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Pemerintah kabupaten Bantul mulai berupaya membudidayakan tanaman mangrove, yang ditempatkan di daerah pantai Baros tepatnya di desa Tirtohargo, kecamatan Kretek. Upaya pembudidayaan tersebut diharapkan dapat mengurangi

11 11 berbagai kerusakan yang terjadi di daerah pesisir pantai dan diharapkan dapat mengembalikan keseimbangan ekosistem yang terdapat di daerah pantai selatan D.I. Yogyakarta. Mangrove adalah tanaman yang tumbuh di daerah rawa-rawa yang berair payau yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi oleh pasang-surutnya air laut. Tanaman ini tumbuh khususnya di tempat terjadinya pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Biasanya terdapat di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai dengan aliran air melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu. Hutan mangrove merupakan formasi khas daerah tropika, terdapat pada pantai yang landai dengan lebar kawasan berkisar antara 25 m sampai beberapa kilometer ke darat (Keeley, 2007: 3). Hutan mangrove merupakan vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini pada umumnya tumbuh pada daerah interdial yang cukup mendapat genangan air laut dan air tawar secara berkala, selain itu juga terlindungi dari gelombang besar dan arus pasang-surut yang kuat. Mangrove sering dijumpai di daerah pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta, dan daerah pantai yang terlindungi. Beberapa definisi lain tentang hutan mangrove adalah: a. Hutan mangrove: hutan yang tumbuh di daerah tropis dan sub tropis di sepanjang pantai atau estuaria dan dipengaruhi oleh pasang-surut.

12 12 b. Hutan mangrove: formasi hutan yang vegetasinya hidup di muara sungai, daerah pasang-surut dan tepi laut ( Harahab, 2010: 28). Program pembudidayaan tersebut tidak akan berjalan dengan baik bila tanpa adanya suatu kerja sama, koordinasi antara masyarakat, pemerintah dan pihak-pihak yang terkait sangat dibutuhkan dalam menanggulangi permasalahan lingkungan di pesisir pantai. Namun masyarakat seringkali kurang berperan serta dalam koordinasi pengelolaan lingkungan pesisir pantai. Dibutuhkan strategi pengelolaan yang sangat bagus untuk memberdayakan masyarakat secara optimal. Sosialisasi tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang diadakan pada tanggal 11 Februari 2010 di Yogyakarta oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup secara jelas mengemukakan bahwa peran masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk berperan aktif dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (pasal 70 RUU PPLH). Penelitian ini akan memperhatikan kebijakan pemerintah kabupaten Bantul untuk mengikutsertakan dan memberdayakan masyarakat, terutama pemberdayaan nilai-nilai hidup masyarakat setempat agar terjalin pengelolaan lingkungan pesisir secara baik oleh semua pihak-pihak yang terkait. D. Landasan Teori Etika lingkungan hidup merupakan disiplin ilmu yang berbicara mengenai norma dan kaidah moral yang mengatur perilaku manusia dalam berhubungan dengan alam serta nilai dan prinsip moral yang menjiwai perilaku manusia dalam

13 13 berhubungan dengan alam tersebut (Keraf, 2006: 26). Etika lingkungan hidup disini mengungkapkan bagaimana seharusnya manusia memperlakukan alam, manusia bagian dari alam bukan terpisah dari alam. Etika lingkungan hidup memiliki teori-teori dalam menentukan pola perilaku manusia dengan lingkungan. Teori-teori tersebut antara lain: Antroposentrisme, Biosentrisme, Ekosentrisme, Hak asasi alam, dan Ekofeminisme (Keraf, 2002: 31-32). Salah satu teori lingkungan hidup yang penulis angkat adalah Ekosentrisme. Ekosentrisme merupakan teori etika lingkungan hidup yang memusatkan perhatian etika pada seluruh makhluk ciptaan, baik yang hidup (biotis) maupun yang kebendaan (abiotis). Ekosentrisme menekankan hubungan seluruh makhluk ciptaan di dalam realitas ekosistem, karena satu sama lain saling terkait. Kewajiban dan tanggung jawab moral bukan hanya milik komunitas makhluk hidup melainkan juga milik seluruh realitas ekosistem (Keraf, 2002: 75). Etika Ekosentrisme adalah suatu usaha untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan keseluruhan dalam ekosistem (Borrong, 2000: 157). Ekosentrisme pertama kali dibangun atas dasar etika tanah klasik Aldo Leopold. Leopold mempunyai keyakinan bahwa awal etika muncul adalah sebagai sarana untuk organisasi sosial dan bahwa manusia mempunyai tugas dan kewajiban terhadap komunitas tempat manusia berada, dan kepada masing-masing sesama anggota (Tucker dan Grim, 2003:30).

14 14 Salah satu teori Ekosentrisme yang terkenal adalah Deep Ecology (ekologi dalam). Deep Ecology pertama kali dikenal sebagai istilah untuk permasalahan lingkungan oleh Arne naess, seorang filsuf asal Norwegia, pada tahun 1973 (Keraf, 2002:75). Naess memperkenalkan istilah Deep Ecology pada tulisannya yang berjudul The Shallow and the Deep, Long-range Ecology Movement, Naess membedakan antara Shallow Eecology (ekologi dangkal) dan Deep Ecology (ekologi dalam), seperti berikut: The emergence of ecologist from their former relative obscurity marks a turning point in our scientific communities. But their message is twisted and misused. A shallow, but presently rather powerful, movement, and a deep, but less influential, movement, complete for our attention. I shall make an effort to characteristic the two: The shallow ecology movement dan The deep ecology movement (Naess, 1989: 27). (Kemunculan pemahaman ekologi dari para pendahulu kita relatif tidak dikenal secara jelas yang ditandai sebuah point penting pada komunitas ilmiah kita. Tetapi pesan dari mereka (para pendahulu) adalah membingungkan dan disalah gunakan. Dangkal, namun di masa kini lebih kuat, sebuah gerakan, dan dalam, namun kurang berpengaruh, sebuah gerakan, menyeluruh untuk perhatian kita. Aku (Naess) akan membuat sebuah upaya untuk mengkhaskannya menjadi dua: Ekologi dangkal dan Ekologi dalam) Shallow Ecology lebih memperhatikan pada pemenuhan kepentingan/kebutuhan umat manusia dalam mengelola alam tanpa memperhatikan daya dukung alam tersebut. Deep Ecology mengubah paradigma pemikiran banyak orang tentang manusia dan alam, bahwa pusat dari seluruh alam bukanlah manusia (antroposentris ) melainkan seluruh realitas ekosistem (ekosentris). Seluruh komunitas ekosistem, termasuk komunitas manusia, mempunyai kedudukan yang sama dalam lingkungan alam.

15 15 Deep Ecology dipahami oleh Naess melalui filsafat dasarnya, yakni Ecosophy. Ecosophy berasal dari kata Eco yang berarti rumah tangga dan Sophy yang berarti kearifan, sehingga pengertian Ecosophy adalah kearifan yang mengatur hidup selaras dengan alam sebagai sebuah rumah tangga dalam pengertian yang luas. Beberapa tahun kemudian tepatnya sekitar tahun 1984, Naess merumuskan dasar gerakan/aksi Deep Ecology (Deep Ecology Movement) yang dinamakannya Platform Aksi. Naess membuatkan versi mudah dalam Platform Aksi bagi semua kalangan, tak terkecuali masyarakat umum yang ingin mengerti dan membuat gerakan lingkungan yang berdasarkan Deep Ecology. Naess merumuskan Platform Aksi ini menjadi delapan butir (Naess, 1989: 29), yaitu: 1. Kesejahteraan dan perkembangan kehidupan manusia dan makhluk lain di bumi ini mempunyai nilai pada dirinya sendiri. Nilai-nilai ini tidak tergantung dari apakah dunia luar manusia mempunyai kegunaan atau tidak bagi kehidupan manusia. 2. Kekayaan dan keanekaragaman bentuk-bentuk kehidupan mempunyai sumbangsih bagi perwujudan nilai-nilai tersebut dan juga mempunyai nilai pada dirinya sendiri dan mempunyai sumbangsih bagi perkembangan manusia dan bukan manusia di bumi ini. 3. Manusia tidak mempunyai hak untuk mereduksi kekayaan dan keanekaragaman ini kecuali untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya yang vital

16 16 4. Perkembangan kehidupan manusia dan kebudayaannya berjalan seiring dengan penurunan yang cukup berarti dari jumlah penduduk. Perkembangan kehidupan di luar manusia membutuhkan penurunan jumlah penduduk seperti itu. 5. Campur tangan manusia dewasa ini terhadap dunia di luar manusia sudah sangat berlebihan, dan situasi ini semakin memburuk. 6. Perlu ada perubahan kebijakan, sehingga mempengaruhi struktur ekonomi, teknologi, dan ideologi. Hasilnya akan berbeda dari keadaan sekarang ini. 7. Perubahan ideologis terutama menyangkut penghargaan terhadap kualitas kehidupan dan bukan bertahan pada standar kehidupan yang semakin meningkat. Akan muncul kesadaran mengenai perbedaan antara besar dan megah. 8. Orang-orang yang menerima pokok-pokok pemikiran itu mempunyai kewajiban secara langsung atau tidak langsung untuk ikut ambil bagian mewujudkan perubahan-perubahan yang sangat diperlukan. Naess dalam perkembangannya juga merumuskan 5 prinsip dasar dari gerakan Deep Ecology (Keraf, 2002 : 91-95), antara lain: 1. Prinsip Non-Antroposentrisme. Sebuah pandangan tentang manusia yang merupakan bagian dari alam, bukan di atas atau terpisah dari alam. Posisi manusia tidak dilihat sebagai tuan dan penguasa dari alam semesta, tetapi sama statusnya sebagai ciptaan Tuhan.

17 17 2. Prinsip Kesamaan status organisme (Biospheric egalitarianism-in principle). Sebuah pengakuan bahwa semua organism dan makhluk hidup adalah anggota yang sama statusnya dari suatu keseluruhan yang terkait sehingga memiliki martabat yang sama. Pengakuan ini menunjukan adanya sikap hormat terhadap semua cara dan bentuk kehidupan di alam semesta. 3. Prinsip Realisasi diri (Self-realization). Sebuah anggapan tentang manusia yang dapat merealisasikan dirinya dengan mengembangkan potensi di dalam dirinya. Hanya melalui hal tersebut manusia dapat mempertahankan hidupnya. 4. Pengakuan dan penghargaan terhadap keanekaragaman dan kompleksitas ekologis dalam suatu hubungan simbiosis. Hubungan simbiosis berarti hidup bersama secara saling menguntungkan. Setiap bentuk kehidupan yang menjadi bagian dari komunitas ekologis seluruhnya harus mempertahankan keanekaragamannya, agar dapat menunjang kelangsungan hidup dari ekosistem itu sendiri. 5. Perubahan politik menuju Ecopolitics. Bagi Naess persoalan politik paling pokok bagi Shallow Ecological Movement adalah rekayasa sosial, dalam bentuk modifikasi perilaku manusia demi kesejahteraan dalam jangka pendek. Permasalahan tersebut tentu dapat menyebabkan kerusakan alam karena produksi dan konsumsi yang berlebihan. Upaya untuk menyelamatkan lingkungan diperlukan adanya perubahan politik yang mendasar untuk melahirkan ecopolitics.

18 18 Perubahan itu tidak hanya melibatkan individu tapi juga membutuhkan transformasi kultural dan politik yang dapat mempengaruhi serta menyentuh struktur-struktur dasar ekonomi dan ideologi. E. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat kualitatif dengan pengambilan data yang dilakukan melalui studi pustaka. Penelitian ini menggunakan model penelitian tentang masalah aktual. Model penelitian ini membahas permasalahan aktual, yaitu peran masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di lingkungan pesisir dengan menggunakan kerangka pemikiran aliran dalam etika lingkungan yaitu Deep Ecology untuk menganalisis permasalahan. 1. Bahan dan Materi Penelitian Bahan-bahan dalam penelitian ini didapat dari sumber kepustakaan. a. Primer : 1. Kusmana, Cecep, 2003, Jenis-Jenis Pohon Mangrove, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Bogor 2. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, 2009, Undang-undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Bapedal, Jakarta 3. Dahuri, 1993, Ekosistem Hutan Mangrove. Balai Pustaka Institut Pertanian Bogor, Bogor

19 19 4. Keeley Martin, 2007, Hutan Mangrove Yang Menakjubkan. Mangrove Action Project Indonesia dan Pusat Studi Asia Pasifik Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. 5. Harahab, Nuddin, 2010, Penilaian Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove Aplikasinya Dalam Perencanaan Wilayah Pesisir. Graha Ilmu, b. Sekunder : 1) Naess, Arne, 1989, Ecology, Community and Lifestyle, Diterjemahkan oleh David Rothenberg, Cambridge University Press, New York 2) Borrong, Robert P, 2000, Etika Bumi Baru, Gunung Mulia, Jakarta 3) Keraf, Sonny, 2002, Etika Lingkungan, Kompas, Jakarta 4) Soemarwoto, Otto, 2004, Ekologi, Lingkungan Hidup, dan Pembangunan, Djambatan, Jakarta 5) Tucker, Mary. E dan Grim, John. A, 2003, Agama, Filsafat, dan Lingkungan Hidup. Kanisius, Yogyakarta 6) Bakker, Anton, 1995, Kosmologi dan Ekologi: Filsafat Tentang Kosmos dan Rumah Tangga Manusia, Kanisius, Yogyakarta 7) Manik, K.E.S, 2003, Pengelolaan Lingkungan Hidup. Djambatan, Jakarta. 8) Resosoedarmo, R. Soedjiran, Kartawinata, Kuswata dan Soegiarto, Apriliani, 1985, Pengantar Ekologi. Remaja Karya CV, Bandung. 9) Bertens. K, 1993, Etika. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 10) Skolimowski, Henryk, 2004, Filsafat Lingkungan. Bentang Budaya, Jogjakarta.

20 20 Data mengenai peran masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di lingkungan pesisir di beberapa daerah di Indonesia diperoleh dari jurnal, majalah, media cetak dan elektronik, serta essai. 2. Jalan Penelitian Jalan penelitian ini melewati empat tahap : a. Pengumpulan data; mengumpulkan sumber pustaka yang berkaitan dengan objek penelitian yang dikaji. b. Klasifikasi; data yang telah diperoleh dikelompokkan sebagai data primer dan sekunder. c. Pengolahan data; menganalisis hasil dari data yang sudah diklasifikasi sehingga diperoleh pemahaman dalam menentukan arah penelitian. d. Memaparkan hasil analisis berupa uraian tertulis. 3. Analisis Hasil Penelitian ini menggunakan hermeneutika filosofis dengan menggunakan unsur-unsur metodis merujuk pada buku Metode Penelitian Filsafat (Bakker dan Zubair, 1993 : ), antara lain: a. Deskripsi; Uraian dan Gambaran menyeluruh mengenai data yang terkait dengan objek formal dan objek material. b. Interpretasi; Usaha mengungkapkan konsepsi filosofis dari data tentang objek formal dan objek material. c. Idealisasi; penggunaan objek formal yaitu Deep Ecology sebagai sikap yang cocok digunakan untuk menganalisis permasalahan peran masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di lingkungan pesisir pantai Baros.

21 21 d. Induksi; Usaha untuk mengumpulkan data dan mengidentifikasi mengenai permasalahan peran masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di lingkungan pesisir pantai Baros. e. Holistika; Usaha memahami konsep Deep Ecology yang tersirat dalam permasalahan peran masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di lingkungan pesisir pantai Baros. F. Hasil Yang Telah Dicapai Penelitian ini akan mencapai beberapa hasil sebagai berikut: 1. Memperoleh pengetahuan tentang habitat mangrove, serta pengelolaan hutan mangrove yang baik di kawasan pantai Baros oleh masyarakat untuk upaya menjaga keseimbangan lingkungan hidup. 2. Memperoleh pemahaman mengenai sejauh mana pentingnya koordinasi yang baik antara pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di lingkungan pesisir pantai Baros. 3. Memberikan pengetahuan dan alternatif pemecahan masalah dalam menanggulangi kerusakan lingkungan pesisir pantai Baros dengan mengikut sertakan peran masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di lingkungan pesisir pantai Baros dengan menggunakan dasar analis dari teori DeepEecology Arne Naess.

22 22 G. Sistematika Penulisan Hasil penelitian ini akan diuraikan dalam lima bab, antara lain: Bab I : Berisi pendahuluan tentang latar belakang dilakukannya penelitian ini, rumusan masalah yang hendak dijawab, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian yang digunakan, hasil yang akan dicapai, dan sistematika penulisan. Bab II : Berisi tentang pengertian, manfaat, serta permasalahan yang terdapat dalam pengelolaan hutan mangrove di pesisir pantai Baros dengan studi kasus peran masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di lingkungan pesisir pantai Baros Kabupaten Bantul. Bab III: Berisi tentang teori etika lingkungan hidup, dan konsep Deep Ecology yakni platform aksi beserta prinsip-prinsipnya yang digunakan untuk menganalisis permasalahan. Bab IV : Berisi tentang analisis permasalahan pada studi kasus jika ditinjau dari teori Deep Ecology Arne Naess. Bab V : Berisi kesimpulan yang merupakan jawaban dari keseluruhan permasalahan beserta saran.

DAFTAR PUSTAKA. Bakker, Anton dan Zubair, Charris, 1990, Metode Penelitian Filsafat, Kanisius, Yogyakarta

DAFTAR PUSTAKA. Bakker, Anton dan Zubair, Charris, 1990, Metode Penelitian Filsafat, Kanisius, Yogyakarta 113 DAFTAR PUSTAKA Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, 2009, Undang-undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Bapedal, Jakarta Bakker, Anton dan Zubair, Charris,

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang seluruh anggota komunitasnya (manusia, hewan, tumbuhan, mikroorganisme, dan abiotis) saling

Lebih terperinci

Baca artikel ini,diskusikan kemudian buat rangkuman.

Baca artikel ini,diskusikan kemudian buat rangkuman. Baca artikel ini,diskusikan kemudian buat rangkuman. 1. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan deep ecology? 2. Bagaimana menerapkan konsep ini dalam kehidupan sehari-hari? 3. Apa peran pemerintah dalam konsep

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Permasalahan Manusia adalah makhluk yang istimewa di bumi ini yang berbeda dengan makhluk yang lain. Manusia diciptakan dengan memiliki akal-budi, kehendak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

Etika Lingkungan dan Politik Lingkungan

Etika Lingkungan dan Politik Lingkungan Etika Lingkungan dan Politik Lingkungan Onrizal Oktober 2008 Daftar Isi Pendahuluan Teori Etika Teori Etika Lingkungan Etika Lingkungan dan Politik Lingkungan 1 Pendahuluan Berbagai kasus lingkungan hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang sangat kaya raya akan keberagaman alam hayatinya. Keberagaman fauna dan flora dari dataran tinggi hingga tepi pantai pun tidak jarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. baik produktivitasnya serta memiliki nilai ekonomis lebih tinggi. Kegiatan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. baik produktivitasnya serta memiliki nilai ekonomis lebih tinggi. Kegiatan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Konversi tanaman adalah kegiatan menggantikan tanaman yang sudah rendah produktivitasnya dan tidak ekonomis lagi dengan tanaman baru yang lebih baik produktivitasnya serta memiliki

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang. sepanjang km (Meika, 2010). Wilayah pantai dan pesisir memiliki arti

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang. sepanjang km (Meika, 2010). Wilayah pantai dan pesisir memiliki arti I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Salah satu bagian terpenting dari kondisi geografis Indonesia, sebagian wilayah kepulauan adalah wilayah pantai dan pesisir dengan garis pantai sepanjang 81.000 km (Meika,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang sangat vital, baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, ekosistem mangrove memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di wilayah pesisir. Hutan mangrove menyebar luas dibagian yang cukup panas di dunia, terutama

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir bukan merupakan pemisah antara perairan lautan dengan daratan, melainkan tempat bertemunya daratan dan perairan lautan, dimana didarat masih dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon bakau yang mampu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas garis pantai yang panjang + 81.000 km (Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2007), ada beberapa yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai lebih dari 8.100 km serta memiliki luas laut sekitar 5,8 juta km2 dan memiliki lebih dari 17.508 pulau, sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang ada, dan mampu meningkatkan ekonomi masyarakat sehingga membuat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang ada, dan mampu meningkatkan ekonomi masyarakat sehingga membuat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Permasalahan Kemajuan teknologi mampu mengeksploitasi, mengubah sumber daya alam yang ada, dan mampu meningkatkan ekonomi masyarakat sehingga membuat manusia

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir PENDAHULUAN Latar belakang Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan bahari yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya. Indonesia mempunyai garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan erat. Selain keunikannya, terdapat beragam fungsi yang dapat dihasilkan

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan erat. Selain keunikannya, terdapat beragam fungsi yang dapat dihasilkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik karena terdapat pada daerah peralihan (ekoton) antara ekosistem darat dan laut yang keduanya saling berkaitan erat. Selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada 8 februari 2010 pukul Data dari diakses

BAB I PENDAHULUAN. pada 8 februari 2010 pukul Data dari  diakses BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fakta jumlah pulau di Indonesia beserta wilayah laut yang mengelilinginya ternyata menempatkan Indonesia sebagai negara yang memiliki wilayah pesisir yang terpanjang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Alam adalah suatu dunia yang berbeda terpisah dari dirinya sendiri dan dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Alam adalah suatu dunia yang berbeda terpisah dari dirinya sendiri dan dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Permasalahan Alam adalah suatu dunia yang berbeda terpisah dari dirinya sendiri dan dapat dipelajari dengan cara yang berjarak dan ilmiah. Keberadaannya mendahului

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggunaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggunaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara berkembang yang terus menerus melakukan pembangunan nasional. Dalam mengahadapi era pembangunan global, pelaksanaan pembangunan ekonomi harus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pencemaran merupakan sesuatu hal yang dapat merusak lingkungan. Jenisjenis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pencemaran merupakan sesuatu hal yang dapat merusak lingkungan. Jenisjenis 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Permasalahan Pencemaran merupakan sesuatu hal yang dapat merusak lingkungan. Jenisjenis pencemaran yang dapat digolongkan dalam degradasi lingkungan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Alam adalah suatu dunia yang berbeda terpisah dari dirinya sendiri dan dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Alam adalah suatu dunia yang berbeda terpisah dari dirinya sendiri dan dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Permasalahan Alam adalah suatu dunia yang berbeda terpisah dari dirinya sendiri dan dapat dipelajari dengan cara yang berjarak dan ilmiah. Keberadaannya mendahului

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan dan keanekaragaman sumber daya alam dan jenis endemiknya sehingga Indonesia dikenal sebagai Negara dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seperti tercantum dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 di dalam

BAB I PENDAHULUAN. seperti tercantum dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 di dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lingkungan hidup mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia, seperti tercantum dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 di dalam pengertian lingkungan hidup

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang . 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak

Lebih terperinci

Etika lingkungan dapat diartikan sebagai dasar moralitas yang memberikan pedoman bagi individu atau masyarakat dalam berperilaku atau memilih

Etika lingkungan dapat diartikan sebagai dasar moralitas yang memberikan pedoman bagi individu atau masyarakat dalam berperilaku atau memilih ix U Tinjauan Mata Kuliah ntuk menjaga agar setiap kegiatan yang menyangkut lingkungan dipertimbangkan secara cermat sehingga keseimbangan lingkungan tetap terjaga, diperlukan etika lingkungan. Etika lingkungan

Lebih terperinci

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R Oleh : Andreas Untung Diananto L 2D 099 399 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU Zonasi Wilayah Pesisir dan Lautan PESISIR Wilayah pesisir adalah hamparan kering dan ruangan lautan (air dan lahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI BARAT

GUBERNUR SULAWESI BARAT GUBERNUR SULAWESI BARAT PERATURAN GUBERNUR SULAWESI BARAT NOMOR 2TAHUN 2013 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PROVINSI SULAWESI BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai hampir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. Garis pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan

Lebih terperinci

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan menjadi lebih baik, wilayah pesisir yang memiliki sumber daya alam

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan menjadi lebih baik, wilayah pesisir yang memiliki sumber daya alam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wilayah pesisir merupakan kawasan yang memiliki potensi memadai untuk dikembangkan menjadi lebih baik, wilayah pesisir yang memiliki sumber daya alam yang tidak

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu sumberdaya pesisir yang penting adalah ekosistem mangrove, yang mempunyai fungsi ekonomi dan ekologi. Hutan mangrove dengan hamparan rawanya dapat menyaring dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pesisir merupakan daratan pinggir laut yang berbatasan langsung dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pesisir merupakan daratan pinggir laut yang berbatasan langsung dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesisir merupakan daratan pinggir laut yang berbatasan langsung dengan laut yang masih di pengaruhi pasang dan surut air laut yang merupakan pertemuan anatara darat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

ETIKA LINGKUNGAN (Kuliah V)

ETIKA LINGKUNGAN (Kuliah V) ETIKA LINGKUNGAN (Kuliah V) Tim Pengajar MK Ekologi Manusia 2010 Etika Kebiasaan, cara hidup yang baik Dibakukan menjadi Kaidah, norma, aturan Nilai-nilai & prinsip moral Pedoman hidup: Man-Manusia Man-Masyarakt

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 7 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG,

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 7 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG, PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 7 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG, Menimbang : a. bahwa hutan mangrove di Kota Bontang merupakan potensi

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan yang wilayahnya disatukan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan yang wilayahnya disatukan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang wilayahnya disatukan oleh lautan dengan luas seluruh wilayah teritorial adalah 8 juta km 2. Menurut Puslitbang Geologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bahan tambang. Eksplorasi berlebihan tersebut memacu terjadinya kerusakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bahan tambang. Eksplorasi berlebihan tersebut memacu terjadinya kerusakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Permasalahan Peningkatan jumlah penduduk dunia yang sangat pesat telah mengakibatkan terjadinya eksplorasi berlebihan terhadap sumber daya alam, terutama

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG LARANGAN PENGAMBILAN KARANG LAUT DI WILAYAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia sebagai suatu negara kepulauan dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. Salah satu ekosistem

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Permasalahan Air merupakan sumber daya yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Air digunakan untuk dikonsumsi maupun untuk keperluan lain yang menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi. pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi. pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat diperbaharui seperti perikanan

Lebih terperinci

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.180, 2013 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5460) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis berbentuk kepulauan dengan 17.500 pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan kawasan tempat tumbuh hutan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM Nomor 09/PRT/M/2010 Tentang PEDOMAN PENGAMANAN PANTAI MENTERI PEKERJAAN UMUM,

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM Nomor 09/PRT/M/2010 Tentang PEDOMAN PENGAMANAN PANTAI MENTERI PEKERJAAN UMUM, MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM Nomor 09/PRT/M/2010 Tentang PEDOMAN PENGAMANAN PANTAI MENTERI PEKERJAAN UMUM, Menimbang : a. bahwa pantai merupakan garis pertemuan

Lebih terperinci

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan 1 2 Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Menurut Mastaller (1997) kata mangrove berasal dari bahasa Melayu kuno mangi-mangi untuk menerangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan dengan panjang garis pantai mencapai 95.181 km (Rompas 2009, dalam Mukhtar 2009). Dengan angka tersebut menjadikan Indonesia sebagai

Lebih terperinci

MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN.

MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN. MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN Faisyal Rani 1 1 Mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Riau 1 Dosen

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mempunyai panjang garis pantai lebih kurang 114 km yang membentang

BAB 1 PENDAHULUAN. mempunyai panjang garis pantai lebih kurang 114 km yang membentang 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indramayu merupakan salah satu kota di Jawa Barat yang mempunyai potensi perikanan dan kelautan yang cukup tinggi. Wilayah pesisir Indramayu mempunyai panjang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. potensial untuk pembangunan apabila dikelola dengan baik. Salah satu modal

BAB I PENDAHULUAN. potensial untuk pembangunan apabila dikelola dengan baik. Salah satu modal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dengan jumlah pulau mencapai 17.508 dan garis pantai sepanjang 81.000 km, dengan garis pantai yang panjang menyebabkan Indonesia

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove tergolong ekosistem yang unik. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Selain itu, mangrove

Lebih terperinci

Matakuliah : CB142 Tahun : 2008

Matakuliah : CB142 Tahun : 2008 Matakuliah : CB142 Tahun : 2008 Pertemuan 2 MANUSIA DAN LINGKUNGAN HIDUP Learning outcome Mahasiswa mempu membedakan beberapa teori etika lingkungan dan konsekwensinya terhadap lingkungan hidup Teori Etika

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/PRT/M/2015 TENTANG PENGAMANAN PANTAI

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/PRT/M/2015 TENTANG PENGAMANAN PANTAI PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/PRT/M/2015 TENTANG PENGAMANAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks

Lebih terperinci

KULIAH 3. ETIKA LINGKUNGAN : Antroposentris, Biosentris dan Ekosentris

KULIAH 3. ETIKA LINGKUNGAN : Antroposentris, Biosentris dan Ekosentris KULIAH 3 ETIKA LINGKUNGAN : Antroposentris, Biosentris dan Ekosentris Pada tahun 2000-2006 24 juta ha hutan dan lahan terbakar 81.1% dari 289 ribu hot spots muncul di konsesi 9,23 % dari 289 ribu hot

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG LARANGAN PENGAMBILAN KARANG LAUT DI WILAYAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi geografis yang dimiliki Indonesia berpengaruh terhadap pembangunan bangsa dan negara. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2011 menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih 50.000 km 2 (Moosa et al dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 16,9 juta ha hutan mangrove yang ada di dunia, sekitar 27 % berada di Indonesia

I. PENDAHULUAN. 16,9 juta ha hutan mangrove yang ada di dunia, sekitar 27 % berada di Indonesia 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN Wilayah pesisir dan lautan merupakan salah satu wilayah yang kaya akan sumberdaya alam hayati dan non hayati. Salah satu sumberdaya alam hayati tersebut adalah hutan mangrove.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang , 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang , 2014 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara di Asia Tenggara, terletak di daerah khatulistiwa dan berada di antara benua Asia dan Australia serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mangrove. Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan

I. PENDAHULUAN. mangrove. Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut. Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

1. Pengantar A. Latar Belakang

1. Pengantar A. Latar Belakang 1. Pengantar A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang memiliki sekitar 17.500 pulau dengan panjang sekitar 81.000, sehingga Negara kita memiliki potensi sumber daya wilayah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove 1. Pengertian Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan sub tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove mampu tumbuh

Lebih terperinci

Etika dan Filsafat Lingkungan Hidup Lokakarya Peradilan dalam Penanganan Hukum Keanekaragaman Hayati. A.Sonny Keraf Jakarta, 12 Januari 2015

Etika dan Filsafat Lingkungan Hidup Lokakarya Peradilan dalam Penanganan Hukum Keanekaragaman Hayati. A.Sonny Keraf Jakarta, 12 Januari 2015 Etika dan Filsafat Lingkungan Hidup Lokakarya Peradilan dalam Penanganan Hukum Keanekaragaman Hayati A.Sonny Keraf Jakarta, 12 Januari 2015 Krisis dan Bencana LH Global (1) 1. Kerusakan: hutan, tanah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Mahluk hidup memiliki hak hidup yang perlu menghargai dan memandang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Mahluk hidup memiliki hak hidup yang perlu menghargai dan memandang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mahluk hidup memiliki hak hidup yang perlu menghargai dan memandang makhluk hidup lain sebagai bagian dari komunitas hidup. Semua spesies hidup memiliki

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam dan lingkungan hidup merupakan salah satu modal utama untuk mendukung tercapainya tujuan pembangunan nasional, yaitu pemanfaatan sumber daya yang sebesar-besarnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang BAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakang Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang 95.181 km terdiri dari sumber daya alam laut dan pantai yang beragam. Dengan kondisi iklim dan substrat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.508 pulau dan panjang garis pantai lebih dari 81.000

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada, dua per tiga wilayah Indonesia adalah kawasan perairan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut yang tergenang oleh air laut, komunitasnya dapat bertoleransi terhadap air garam, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis terletak di antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai keanekaragaman

Lebih terperinci

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia adalah negara bahari dan negara kepulauan terbesar di dunia dengan keanekaragaman hayati laut terbesar (mega marine biodiversity) (Polunin, 1983).

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis yang

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis yang didominasi oleh beberapa jenis mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai berlindung, laguna, dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang

Lebih terperinci