APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK ANALISIS POLA SEBARAN DAN PERKEMBANGAN PERMUKIMAN (Studi Kasus Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK ANALISIS POLA SEBARAN DAN PERKEMBANGAN PERMUKIMAN (Studi Kasus Kabupaten Bogor, Jawa Barat)"

Transkripsi

1 APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK ANALISIS POLA SEBARAN DAN PERKEMBANGAN PERMUKIMAN (Studi Kasus Kabupaten Bogor, Jawa Barat) RIZMA HUDAYYA A PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

2 RINGKASAN RIZMA HUDAYYA. Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk Analisis Pola Sebaran dan Perkembangan Permukiman (Studi Kasus Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Dibawah bimbingan KOMARSA GANDASASMITA dan BOEDI TJAHJONO. Semakin meningkatnya jumlah penduduk, maka semakin dibutuhkan lahan untuk tempat tinggal manusia. Hal tersebut mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan non permukiman menjadi permukiman. Pola sebaran dan perkembangan permukiman tersebut banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor fisik lahan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor fisik seperti kemiringan lereng, elevasi, dan aksesibilitas terhadap pola sebaran dan perkembangan permukiman di Kabupaten Bogor dalam kurun waktu tahun 1990 hingga tahun 2008 dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG). Data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah data citra satelit Landsat multi temporal, yaitu tahun 1990, 2001, 2004, dan Data ini digunakan untuk klasifikasi penggunaan lahan khususnya kawasan permukiman yang selanjutnya teknik Sistem Informasi Geografis (SIG) digunakan untuk melakukan analisis terhadap pola sebaran dan perkembangan permukiman di daerah penelitian. Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa di Kabupaten Bogor pola sebaran permukiman terbanyak pada empat titik tahun, yaitu 1990, 2001, 2004, dan 2008 terdapat pada elevasi <250 m dpl, pada kemiringan lereng 15%, dan mempunyai jarak terhadap aksesibilitas <250 m. Berdasarkan wilayah administrasinya wilayah tersebut terdapat di Kecamatan Ciomas pada tahun 1990, Kecamatan Cibinong pada tahun 2001 dan 2008, serta Kecamatan Citeureup pada tahun Hal tersebut sesuai dengan perkembangan jumlah penduduk dan adanya kebijakan pemerintah (RTRW) yang menetapkan bahwa fungsi dari kecamatan tersebut sebagai kawasan permukiman dan industri. Kecamatan Ciomas memiliki jumlah penduduk terbanyak pada tahun 1990, Kecamatan Cibinong memiliki jumlah penduduk terbanyak kedua pada tahun 2001, Kecamatan Citeureup memiliki jumlah penduduk terbanyak ketujuh pada tahun 2004, dan tahun 2008 jumlah penduduk terbanyak terdapat di Kecamatan Cibinong. Selain itu menurut RTRW Kabupaten Bogor, kecamatan-kecamatan tersebut berfungsi sebagai kawasan permukiman. Pola perkembangan permukiman pada periode tahun , , dan terbanyak terdapat pada elevasi <250 m dpl, pada kemiringan lereng 15%, dan mempunyai jarak terhadap aksesibilitas <250 m. Berdasarkan analisis Regresi Logistik dengan metode Binomial Logit didapat faktor fisik yang paling mempengaruhi perkembangan permukiman yaitu kemiringan lereng 15% dan aksesibilitas <250 m. Kata kunci: permukiman, pola sebaran, pola perkembangan, Kabupaten Bogor

3 SUMMARY RIZMA HUDAYYA. Aplication of Geographic Information System (GIS) for Distribution and Development Pattern of Residential Analysis (Cases of Bogor District, West Java). Supervised by KOMARSA GANDASASMITA dan BOEDI TJAHJONO. The more increasing number of population, the more land is needed for human habitation. This led to the change in non-residential land use to residential. Distribution and development pattern of residence mostly influenced by physical factors of land and infrastructure. The aim of study is to analize the physical factors such as slope, elevation, and accessibility in a relation to the distribution and development of settlement areas in Bogor District in the period of using Geographic Information System (GIS). This research is using several datas such as Landsat satellite image multitime of 1990, 2001, 2004, and These data are used to classified the land use especially the settlement area. Furthermore, the Geographic Information System is used to analize the distribution and development pattern of residential in research area. From this research, the most widespread residential distribution pattern in Bogor District in four period of 1990, 2001, 2004, and 2008 is on elevation <250 m above sea level, slope 15%, and accessibility of <250 m. Based on administrative areas, that areas are in Ciomas Sub-District in 1990, Cibinong Sub- District in 2001 and 2008, and Citeureup Sub-District in It is in accordance with population growth and government s regulation which determine that the function of these Sub-Districts as a residential and industrial area. Ciomas sub district has a population most in 1990, Cibinong sub District has the second largest population in 2001, Citeureup sub District has the seventh largest population in 2004, and in 2008 the highest population is in sub District Cibinong. Beside that, according to RTRW of Bogor District, those sub districts is used to settlement areas. Most of development pattern of residential in period , , and are at an elevation <250 m above sea level, slope 15%, and the accessibility of <250 m. Based on Logistic Regression analysis with Binomial Logit method found that physical factors such as the slope 15% and the accessibility of <250 m are the most influence for development of residential. Key words: residential, distribution pattern, development pattern, Bogor District

4 APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK ANALISIS POLA SEBARAN DAN PERKEMBANGAN PERMUKIMAN (Studi Kasus Kabupaten Bogor, Jawa Barat) Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor RIZMA HUDAYYA A PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

5 Judul Skripsi Nama NIM : Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk Analisis Pola Sebaran dan Perkembangan Permukiman (Studi Kasus Kabupaten Bogor, Jawa Barat) : Rizma Hudayya : A Menyetujui: Pembimbing I, Pembimbing II, (Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc.) (Dr. Boedi Tjahjono) NIP NIP Mengetahui: Ketua Departemen, (Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc.) NIP Tanggal Lulus :

6 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 April 1988 dan merupakan anak tunggal dari Ayahanda Sapto Hoesodo dan Ibunda Helnawati. Jenjang pendidikan penulis dimulai dari SDN Pancoran 03 Pagi Jakarta pada tahun 1993 hingga tahun Penulis melanjutkan jenjang pendidikannya ke SLTPN 115 Jakarta dan lulus pada tahun Tahun 2005 penulis menyelesaikan pendidikannya dari SMA 26 Jakarta dan pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Melalui program Mayor-Minor penulis diterima di Mayor Manajemen Sumberdaya Lahan, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan pada tahun Selama menjadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor penulis aktif di organisasi kemahasiswaan yaitu Badan Eksekutif Mahasiswa, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor selama dua periode, yaitu pada tahun 2007 sebagai staf Departemen Kominfo dan pada tahun 2008 sebagai Sekretaris Departemen Kominfo. Penulis juga aktif mengikuti seminar dan menjadi panitia berbagai kegiatan. Selama menjadi mahasiswa penulis mendapatkan beasiswa PPA (Peningkatan Prestasi Akademik) pada tahun dan beasiswa BBM (Bantuan Belajar Mahasiswa) pada tahun Penulis juga menjadi asisten praktikum untuk mata kuliah Geomorfologi dan Analisis Lanskap, Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra pada tahun 2009, serta mata kuliah Sistem Informasi Geografis pada tahun 2009 dan 2010.

7 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk Analisis Pola Sebaran dan Perkembangan Permukiman (Studi Kasus Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Atas selesainya skripsi ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc. dan Dr. Boedi Tjahjono selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, bimbingan, motivasi, saran, dan kritik sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 2. Dr. Khursatul Munibah selaku dosen penguji atas masukan, kritik, dan sarannya hingga terselesaikannya skripsi ini. 3. Kedua orang tua dan seluruh keluarga yang telah memberikan motivasi, doa, dukungan, dan kasih sayang yang tiada hentinya. 4. Mbak Reni, Mbak Agi, Mbak Nisa, Nurul dan semua staf Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial atas segala bantuan selama penulis melakukan penelitian hingga selesainya skripsi ini. 5. Linda dan Rani atas kerja keras dan semangatnya, serta semua teman seperjuangan Penginderaan Jauh: Tety, Ai, Rinjani, Nadia, Ikhsan, Anter, Aufa, Tyo, Benk2, dan Yudi atas kebersamaan dan bantuannya selama ini. 6. Shanty, Reni, Nana, Dena, Xenia, Vicka, dan semua soilers atas persahabatan, support, bantuan dan kebersamaannya. 7. Dewi, Sri, Teti, Wening, Pita, Ayu, Tiwi, Ateph, Gustin, Atrie, Winda, Devi, Linda, Fitri n All Sabrinerz atas keceriaan dan persahabatan yang tak terlupakan. 8. Butunerzz: Mery, Dhini, Sari, Una, Inka, Niqu dan Teman-teman kkp: Rya, Febri, Furqon, Deddy, Boep atas segala kegilaan, persahabatan dan supportnya.

8 9. Ibu Tini, Pak Ratman, Mbak Hesti, serta semua dosen dan staf Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan atas segala bantuan yang telah diberikan selama ini kepada penulis. 10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah memberikan bantuan dan semangat kepada penulis. Akhir kata, semoga skripsi ini berguna untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan bermanfaat untuk penulis secara pribadi dan semua pihak yang membacanya. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, selanjutnya saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan guna perbaikan di waktu mendatang. Bogor, Februari 2010 Penulis

9 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xiii I. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA Lahan dan Penggunaan Lahan Perubahan Penggunaan Lahan Permukiman Sistem Informasi Geografis (SIG) Penginderaan Jauh Pendekatan pada Interpretasi Citra dengan Bantuan Komputer Landsat Sifat Khas Satelit Landsat Penerimaan Data Landsat, Pengolahan, dan Distribusinya Interpretasi Citra Landsat Metode Regresi Logistik III. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian Tahap Persiapan dan Pengumpulan Data Tahap Pengolahan Data Citra Satelit Landsat Peta Lereng Peta Elevasi Peta Jaringan Jalan Tahap Analisis Data Analisis Pola dan Sebaran Permukiman ix

10 Analisis Perubahan Penggunaan Lahan dan Perkembangan Permukiman IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Lokasi Kabupaten Bogor Kondisi Fisik Lingkungan Iklim Topografi Bentuk Lahan, Bahan Induk, dan Tanah Sosial dan Ekonomi Jumlah Penduduk Mata Pencaharian dan Penggunaan Lahan Penduduk di Kabupaten Bogor V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Permukiman Tahun 1990, 2001, 2004, dan Pola Perkembangan Permukiman Pola Pertambahan Permukiman pada Setiap Periode Pertambahan Permukiman dari Periode Awal Hingga Akhir Pola Pertambahan Luas Permukiman Menurut Elevasi Pola Pertambahan Luas Permukiman Menurut Kemiringan Lereng Pola Pertambahan Luas Permukiman Menurut Aksesibilitas Analisis Regresi Logistik VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran VII. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN x

11 DAFTAR TABEL Nomor Halaman Teks 1. Kriteria kelas kemiringan lereng Kriteria kelas elevasi Kriteria aksesibilitas Kecamatan di Kabupaten Bogor dan luasannya Nilai elevasi wilayah Kabupaten Bogor dan luasannya Kemiringan lereng wilayah Kabupaten Bogor dan luasannya Jenis tanah wilayah Kabupaten Bogor dan luasannya Jumlah penduduk dan laju pertumbuhan penduduk tahun 2002 hingga tahun Mata pencaharian penduduk Kabupaten Bogor Komposisi pemanfaatan lahan Kabupaten Bogor Pola sebaran luasan permukiman berdasarkan elevasi Pola sebaran luasan permukiman berdasarkan kemiringan lereng Pola sebaran luasan permukiman berdasarkan aksesibilitas Perubahan penggunaan lahan tahun Perubahan penggunaan lahan tahun Perubahan penggunaan lahan tahun Pola pertambahan permukiman berdasarkan elevasi Pola pertambahan permukiman berdasarkan kemiringan lereng Pola pertambahan permukiman berdasarkan aksesibilitas Hasil analisis regresi logistik Lampiran 1. Jumlah penduduk Kabupaten Bogor tahun Jumlah penduduk Kabupaten Bogor tahun Jumlah penduduk Kabupaten Bogor tahun Jumlah penduduk Kabupaten Bogor tahun xi

12 5. Kriteria kelas lereng menurut Food and Agricurtural Organization (FAO) xii

13 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman Teks 1. Diagram alir tahapan penelitian Peta administrasi Kabupaten Bogor Peta elevasi wilayah Kabupaten Bogor Peta kemiringan lereng wilayah Kabupaten Bogor Peta sebaran jenis tanah wilayah Kabupaten Bogor Permukiman di Desa Girimulya, Kecamatan Cibungbulang Peta landuse Kabupaten Bogor tahun Peta landuse Kabupaten Bogor tahun Peta landuse Kabupaten Bogor tahun Peta landuse Kabupaten Bogor tahun Permukiman dan kawasan induatri di Kecamatan Citeureup Permukiman di kawasan Cisarua Pola pertambahan permukiman tahun berdasarkan elevasi Pola pertambahan permukiman tahun berdasarkan kemiringan lereng Pola pertambahan permukiman tahun berdasarkan aksesibilitas Lampiran 1. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor xiii

14 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, maka kebutuhan untuk tempat tinggal juga semakin meningkat. Hal tersebut mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan non permukiman menjadi permukiman. Penggunaan lahan adalah pencerminan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu (Lillesand and Kiefer, 1997). Dengan berjalannya waktu penggunaan lahan dapat terkonversi dan yang sering terjadi adalah sawah, tegalan, atau bahkan hutan. Sehingga meningkatnya luas lahan untuk permukiman seringkali mencerminkan penurunan jumlah lahan sawah, tegalan, dan hutan. Perubahan penggunaan lahan dari non permukiman menjadi permukiman banyak terjadi di berbagai wilayah Indonesia terutama yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi permukiman, namun penelitian ini hanya dipusatkan pada Kabupaten Bogor. Menurut Undang-Undang RI No. 24 tahun 1992 tentang penataan ruang, permukiman didefinisikan sebagai bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai tempat tinggal dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Dalam Keppres No. 5 tahun 1989 tentang pedoman penyusunan tata ruang di daerah, kawasan permukiman adalah kawasan yang diperuntukkan bagi permukiman dengan kriteria ketersediaan air terjamin, kesesuaian lahan dengan masukan teknologi dan lokasi berkaitan dengan kawasan hunian yang telah ada dan berkembang. Semakin bertambahnya jumlah permukiman di Indonesia seperti tersebut di atas, mendorong untuk dilakukannya studi mengenai pola sebaran dan perkembangan permukiman yang terjadi di Kabupaten Bogor. Perubahan suatu penggunaan lahan adalah bertambahnya suatu penggunaan lahan yang diikuti dengan berkurangnya suatu penggunaan lahan lainnya pada kurun waktu tertentu, sehingga untuk mengetahui perubahan lahan di suatu daerah diperlukan minimum dua data pada daerah yang sama dengan kurun waktu yang berbeda. Pola sebaran penggunaan lahan permukiman dan pola perkembangannya banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor fisik dan non fisik lahan, seperti yang

15 2 dikatakan oleh Barlowe (1986) bahwa pola penggunaan lahan banyak dipengaruhi oleh tiga faktor penting, yaitu faktor fisik lahan, faktor ekonomi, dan faktor kelembagaan Tujuan Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk: 1. Menganalisis pola sebaran permukiman antara tahun 1990 sampai dengan tahun 2008 di Kabupaten Bogor. 2. Menganalisis pola perkembangan atau pola perubahan penggunaan lahan non permukiman menjadi permukiman dalam kurun waktu tersebut, berdasarkan pada faktor-faktor fisik lahan yaitu elevasi dan kemiringan lereng, serta prasarana wilayah yaitu aksesibilitas.

16 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan dan Penggunaan Lahan Lahan merupakan bagian dari bentang alam (landscape) yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi atau relief, hidrologi dan bahkan keadaan vegetasi alami yang secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan. Lahan mempunyai sifat keruangan, unsur estetis dan merupakan lokasi aktivitas ekonomi manusia. Keberadaannya sangat terbatas, oleh karena itu diperlukan pertimbangan dalam pemanfaatannya agar memberikan hasil yang optimal bagi perikehidupan. Lahan yang berkualitas dapat dimanfaatkan untuk banyak kegiatan dan banyak jenis tanaman (Mather, 1986 dalam Ishak, 2008). Menurut Lillesand dan Kiefer (1997), penggunaan lahan merupakan perwujudan fisik objek-objek yang menutupi lahan dan berhubungan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tersebut, sedangkan menurut R.P. Sitorus (1992) penggunaan lahan (land use) adalah penggunaan utama atau penggunaan utama dan kedua (apabila merupakan penggunaan berganda) dari sebidang lahan seperti lahan pertanian, lahan hutan, padang rumput, dan sebagainya. Jadi lebih merupakan tingkat pemanfaatan oleh masyarakat. Penggunaan lahan dapat dikelompokkan dalam dua golongan besar yaitu penggunaan lahan pertanian dan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan atas tegalan, sawah, kebun, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung dan sebagainya, sedangkan penggunaan lahan bukan pertanian dibedakan kedalam penggunaan kota atau desa (permukiman), industri, rekreasi, pertambangan dan sebagainya (Arsyad, 2000). Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan adalah faktor fisik lahan, ekonomi, dan kelembagaan (Barlowe, 1986). Menurut Mather (1986) dalam Ishak (2008), terdapat dua pendekatan dalam penentuan tata guna lahan. Pendekatan pertama adalah berdasarkan asumsi bahwa tata guna lahan ditentukan oleh kondisi fisik lahan, sedangkan pendekatan kedua berdasarkan asumsi bahwa tata guna lahan ditentukan oleh kekuatan ekonomi. Tidak dapat dipungkiri, bahwa keduanya mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pemanfaatan lahan, namun akhirnya semua kembali kepada pengguna lahan. Selain itu pemanfaatan

17 4 lahan juga dipengaruhi oleh lokasi, ketersediaan modal dan distribusinya, ketersediaan dan biaya tenaga kerja, ketersediaan sarana transportasi serta iklim sosial dan politik di lokasi tersebut Perubahan Penggunaan Lahan Perubahan penggunaan lahan adalah perubahan penggunaan atau aktivitas terhadap suatu lahan yang berbeda dari aktivitas sebelumnya, baik untuk tujuan komersial maupun untuk industry (Kazaz, 2001 dalam Arifiyanto, 2005). Perubahan penggunaan lahan dari lahan non pertanian (permukiman) bersifat tidak dapat balik, karena untuk mengembalikannya membutuhkan modal yang sangat besar. Perubahan penggunaan lahan umumnya dapat diamati dengan menggunakan data-data spasial dari peta penggunaan lahan dari titik tahun yang berbeda. Data-data penginderaan jauh (remote sensing data) seperti citra satelit, radar dan foto udara sangat berguna dalam pengamatan perubahan penutupan atau penggunaan lahan (Arifiyanto, 2005) Permukiman Permukiman merupakan kawasan permukiman baik perkotaan, pedesaan, pelabuhan, bandara, industri, dan lain-lain yang memperlihatkan pola alur jalan yang rapat (Anonim, 2006). Menurut Syartinilia (2001), permukiman merupakan suatu sumber informasi tentang manusia dan aktivitasnya dalam suatu habitat. Permukiman memiliki dua arti yaitu suatu proses dimana manusia menetap pada suatu area dan hasil dari proses tersebut. Permukiman tidak hanya sebagai tempat tinggal dan tempat bekerja manusia melainkan juga untuk memenuhi fasilitas jasa, komunikasi, pendidikan dan rekreasi. Permukiman idealnya harus memuat dua syarat utama yaitu: (1) fisik lingkungan harus mencerminkan pola kehidupan dan pola budaya setempat, (2) lingkungan pemukiman harus didukung oleh fasilitas pelayanan dan utilitas umum yang sebanding dengan ukuran atau luasnya lingkungan dan banyaknya penduduk. Luasan dan perkembangan areal permukiman dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan luas fasilitas yang dikembangkan, jarak dari jalan utama, akses

18 5 jalan, seperti jalan arteri dan ketersediaan sarana dan prasarana yaitu pasar dan terminal (Patria, 1997). menurut Suhadak (1995), perkembangan juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jarak terhadap jalan utama, jarak dari pusat aktivitas, kenaikan harga lahan dan jumlah penduduk Sistem Informasi Geografis (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem berdasar komputer yang mempunyai kemampuan untuk menangani data yang bereferensi geografis yang mencakup pemasukan, manajemen data (peyimpanan data dan pemanggilan data), manipulasi dan analisis dan pengembangan produk serta pencetakan (Aronoff, 1989). Dengan kata lain, suatu SIG adalah suatu sistem database dengan kemampuan khusus untuk data yang bereferensi spasial bersamaan dengan seperangkat operasi kerja. Sistem Informasi Geografis berdasarkan operasinya, dapat dibagi kedalam (1) cara manual, yang beroperasi memanfaatkan peta cetak (kertas/transparan), bersifat data analog, dan (2) cara terkomputer atau lebih sering disebut cara otomatis, yang prinsip kerjanya sudah dengan menggunakan komputer sehingga datanya merupakan data digital. SIG manual biasanya terdiri dari beberapa unsur data termasuk peta-peta, lembar material transparansi untuk tumpang tindih, foto udara dan foto lapangan, laporan-laporan statistik dan laporan-laporan survai lapangan. Saat ini prosedur analisis manual masih banyak dilakukan, akan tetapi dengan berjalannya waktu mungkin akan berangsur-angsur hilang. Pada kondisi di negara kita saat ini beberapa aplikasinya SIG secara manual masih sesuai, bahkan dari segi efisiensi lebih sesuai disebabkan masih banyaknya kendala pada sumberdaya manusia, peralatan, terutama biaya menggunakan sistem terkomputerkan. Disamping itu, SIG otomatis selain membutuhkan peralatanperalatan khusus, membutuhkan keterampilan yang khusus pula, biayanya cukup mahal, terutama pada tahap awal pembentukannya. Keuntungan SIG otomatis akan terasakan pada tahap analisis dan penggunaan data yang berulang-ulang, terutama bila melakukan analisis yang kompleks dan menggunakan data yang sangat besar jumlahnya. Untuk memahami SIG otomatis, sebaiknya dilakukan

19 6 bertahap melalui pemahaman SIG manual, karena sebagian besar prosedur kerjanya masih relevan (Barus dan Wiradisastra, 1996) Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan suatu teknik untuk mengumpulkan informasi mengenai objek dan lingkungannya dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik. Biasanya teknik ini menghasilkan beberapa bentuk citra yang selanjutnya diproses dan diinterpretasi guna membuahkan data yang bermanfaat untuk aplikasi di bidang pertanian, arkeologi, kehutanan, geografis, geologi, perencanaan dan bidang-bidang lainnya. Tujuan utama penginderaan jauh ialah mengumpulkan data sumberdaya alam dan lingkungan. Informasi tentang objek disampaikan ke pengamat melalui energi elektromagnetik, yang merupakan pembawa informasi dan sebagai penghubung komunikasi. Oleh karena itu kita dapat menganggap bahwa data penginderaan jauh pada dasarnya merupakan informasi intensitas panjang gelombang yang perlu diberikan kodenya sebelum informasi tersebut dapat dipahami secara penuh. Proses pengkodean ini setara dengan interpretasi citra penginderaan jauh yang sangat sesuai dengan pengetahuan kita mengenai sifat-sifat radiasi elektromagnetik (Lo, 1996) Pendekatan pada Interpretasi Citra dengan Bantuan Komputer Pendekatan manual dalam interpretasi citra kurang baik dalam hal ketidakmampuannya untuk menangani dengan cepat jumlah data citra yang besar. Kelemahan ini jelas terlihat, khususnya bila menganalisis citra penyiam multisperktral atau foto multisaluran. Rujukan silang nilai rona daerah demi daerah atau kenampakan demi kenampakan sangat sulit untuk menanganinya secara manual. Instrument analog seperti pengamat aditif atau metode penajaman citra seperti perincian rona (density slicing) dapat membantu memudahkan interpretasi pada tingkat tertentu, namun kecepatannya masih belum cukup cepat untuk mengimbangi tingkat masukan data penginderaan jauh setiap harinya dari wahana ruang angkasa luar. Komputer elektronik merupakan satu-satunya pemecahan masalah itu. Karena interpretasi citra pada dasarnya merupakan proses

20 7 klasifikasi, maka identifikasi dan pengenalan dapat dilakukan secara matematik, apabila tersedia data citra dalam bentuk digital. Pendekatan dengan bantuan komputer meliputi sejumlah langkah. Pertama data citra analog harus dikonversikan dulu ke dalam bentuk digital. Hal ini dilakukan dengan cara penyiam TV untuk digitasi atau mikrodensitometer. Untuk data citra yang dikirim dari satelit yang dulu, tingkat sinyal pantulan atau emisi energi telah diterima dalam bentuk digital. Langkah kedua adalah pemrosesan data, yang merupakan suatu kelompok prosedur untuk merapikan data masukan mentah, seperti koreksi geometrik dan distorsi radiometrik. Kemudian dilanjutkan dengan penyadapan kenampakan. Tipe-tipe kenampakan atau pengukuran yang penting untuk mengklasifikasi data citra, diseleksi pada tingkat ini. Kenampakan yang mungkin digunakan ialah kenampakan spasial, spektral, dan temporal. Bagi klasifikasi tersedia (supervised classification), dipilih daerah contoh dari data citra guna pengujian yang lebih rinci. Kelompok data contoh kemudian dikompilasi. Kelompok data ini merupakan subsampel dari citra yang identifikasinya sudah dikenal dengan baik. Kelompok contoh ini lalu diperlakukan sebagai stereotipe kelas khusus data, yang dapat digunakan sebagai perbandingan bagi daerah yang belum dikenal. Parameter statistik seperti rata-rata dan deviasi standar untuk kelompok contoh dihitung dengan komputer, yang dikerjakann untuk mengklasifikasi daerah lain yang belum diketahui. Metode statistik pada umumnya dilakukan bagi klasifikasi tersedia yang merupakan analisis diskriminan yang menentukan suatu rangkaian fungsi diskriminan untuk membagi ruang kenampakan atau pengukuran ke dalam wilayah-wilayah yang tepat. Tiap wilayah secara idealnya harus mengandung titik-titik hanya dari satu kelas Landsat Sifat Khas Satelit Landsat Setelah keberhasilan misi satelit berawak, NASA dan Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat mengembangkan seri satelit sumberdaya bumi. Seri satelit ini adalah satelit Landsat-1, Landsat-2, dan Landsat-3. Satelit ini merupakan hasil modifikasi satelit cuaca Nimbus. Sensornya ada dua jenis, yaitu sistem penyiaman multispektral dengan empat saluran dan tiga kamera Return Beam Vidicon (Sutanto, 1987).

21 Penerimaan Data Landsat, Pengolahan, dan Distribusinya Ketika sebuah satelit Landsat berada di dalam jangkauan suatu stasiun penerima data di bumi, data MSS (Multispectral Scanner) dan RBV (Return Beam Vidicon) secara langsung dikirimkan dan direkan pada saat itu juga (real time) pada pita magnetik yang terletak di stasiun bumi tersebut. Pada saat satelit diorbitkan jauh dari jangkauan stasiun bumi, perekam pita pada wahana digunakan untuk menyimpan data, masing-masing 30 menit. Data yang terekam dikirimkan ke bumi bila satelit lewat lagi diatas suatu stasiun bumi. Data RBV dikirimkan ke bumi dalam bentuk data analog. Data MSS diubah menjadi bentuk angka dengan suatu pengubah sinyal A ke D di dalam satelit dan dikirimkan dalam bentuk data digital (Lillesand dan Kiefer, 1997) Interpretasi Citra Landsat Terapan interpretasi citra Landsat telah dilakukan di dalam berbagai disiplin ilmu seperti pertanian, botani, kartografi, teknik sipil, pantauan lingkungan, kehutanan, geografi, geologi, geofisika, analisis sumberdaya lahan, perencanaan tataguna lahan, oseanografi, dan analisis sumberdaya air. Skala citra dan luas daerah liputan per kerangka citra sangat berbeda antara citra Landsat dan foto udara konvensional. Sebagai contoh, untuk meliput suatu citra Landsat diperlukan lebih dari 1600 foto udara berskala 1: dengan tanpa adanya tampalan. Oleh karena adanya perbedaan skala dan resolusi, citra Landsat harus dianggap sebagai alat interpretasi pelengkap dan bukan sebagai pengganti foto udara berskala besar (Lillesand dan Kiefer, 1997). Analisis Digital Data MSS Landsat Analisis data Landsat dengan komputer dapat dikelompokkan atas: 1. Pemulihan Citra (Image restoration) Pengandaran ini bertindak untuk memulihkan data citra yang mengalami distorsi kearah gambaran yang lebih sesuai dengan scene aslinya. Langkahnya meliputi koreksi berbagai distorsi radiometrik dan geometrik yang mungkin ada pada data citra asli. 2. Penajaman Citra (Image enhancement)

22 9 Sebelum menayangkan data citra untuk analisis visual teknik penajaman dapat diterapkan untuk menguatkan tampak kontras di antara kenampakan di dalam scene. Pada berbagai terapan, langkah ini banyak meningkatkan jumlah informasi yang dapat diinterpretasi secara visual dari data citra. Baik pemulihan maupun penajaman citra keduanya termasuk di dalam tahap pengandaran pengolahan awal (preprocessing operation). Artinya langkah tersebut dilakukan sebelum interpretasi data secara aktual. Pengandaran ini mengalih ragam nilai citra ke dalam bentuk yang lebih sesuai untuk interpretasi, tetapi tidak secara langsung meliputi interpretasi data. 3. Klasifikasi Citra (Image classification) Teknik kuantitatif dapat diterapkan untuk interpretasi secara otomatik data citra digital. Pada proses ini maka tiap pengamatan pixel dievaluasi dan ditetapkan pada satu kelompok informasi, jadi mengganti arsip data citra dengan suatu matrik jenis kategori (Lillesand dan Kiefer, 1997). Keunggulan dan Keterbatasan Citra Landsat Sabins Jr. (1978) dalam Sutanto (1987) mengutarakan Sembilan keunggulan citra Landsat, yaitu: 1. Liputannya luas, menyeluruh, dengan penyinaran seragam sehingga memudahkan pengenalan obyeknya. Sifat demikian juga menguntungkan di dalam pembuatan mosaik yang baik. 2. Di samping citra Landsat tersedia pula data digital yang sangat menguntungkan karena pemrosesannya dapat dilakukan dengan menggunakan komputer. 3. Distorsi citranya kecil. 4. Frekuensi perekaman ulangnya memungkinkan penyediaan citra Landsat di dalam berbagai musim dan berbagai kondisi. 5. Penyinaran matahari yang bersudut kecil mempertajam wujud geologi yang kurang jelas karena ukurannya yang kecil. 6. Ketersediaan citra bebas awan meliputi sebagian besar permukaan bumi tanpa ada pembatasan oleh masalah politik dan keamanan. 7. Ketersediaan citra berwarna semu cukup banyak. 8. Harganya murah.

23 10 9. Meskipun tidak luas, ada tampalan samping yang memungkinkan untuk pengamatan secara stereoskopik. Keterbatasan citra Landsat terletak pada resolusi spasialnya yang kasar, yaitu 79m untuk citra MSS dan sekitar 30m pada citra RBV Landsat 3, karena resolusinya kasar maka citra landsat cocok untuk perolehan data secara umum bagi daerah luas. Perolehan data rinci sulit diharapkan daripadanya. Hal ini harus diperhatikan benar oleh para penggunanya Metode Regresi Logistik Model Logit adalah model non-linear, baik dalam parameter maupun dalam variabel (Nachrowi dan Usman, 2002 dalam Andriyani, 2007). Pada prinsipnya variabel respon pada regresi logistik bersifat kategorikal, sedangkan variabel bebas dapat berupa variabel kategorik maupun variabel interval (bersifat kuantitatif maupun kualitatif). Metode regresi logistik (logistic regression) baik binomial logit maupun multinomial logit adalah suatu metode analisis statistika yang mendeskripsikan hubungan ketergantungan suatu variabel respon atau tujuan (dependent variable) dengan satu atau lebih variabel bebas atau penjelas (explanatory variable). Secara umum fungsi hubungan tersebut dituliskan dalam rumus matematika sederhana yaitu: Yi = f (X1,..., Xp) dimana : Yi = variabel respon X1- Xp = variabel-variabel bebas Fungsi hubungan tersebut sama dengan regresi linear yang mendasari model regresi logistik. Persamaan umum regresi linear ditulis sebagai berikut: Yi = α + β Xi + ε i Dimana : Yi α dan β Xi ε i = variabel respon = parameter regresi = variabel bebas = galat (error) perbedaan utama antara model regresi linear dan regresi logistik adalah bahwa variabel respon pada regresi logistik adalah variabel binary, sedangkan

24 11 variabel bebas dapat berupa variabel kategorik maupun variabel interval (bersifat kuantitatif maupun kualitatif). Apabila data hasil pengamatan mempunyai variabel bebas yang ditunjukkan oleh X dan variabel respon Y, dimana Y mempunyai dua kemungkinan nilai yaitu nilai 0 dan 1. Nilai Y = 1 menyatakan bahwa respon memiliki criteria yang ditentukan (present) dan sebaliknya jika Y = 0 respon tidak memiliki kriteria (absent). Adapun persamaan umum logit model adalah sebagai berikut (Hashimoto, et al., 2005 dalam Andriyani, 2007): P i/r = Keterangan P i/r Β 0r Β jr X = peluang lahan ke-i berubah menjadi penggunaan lahan jenis ke-r = parameter intersept untuk perubahan menjadi penggunaan jenis ke-r = parameter koefisien variabel ke-j untuk perubahan menjadi penggunaan jenis ke-r r = 1, 2, 3, R-1 j = 1, 2, 3, q X n j = variabel bebas

25 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penelitian dilakukan kurang lebih selama sebelas bulan yaitu sejak Februari 2009 hingga Januari 2010, sedangkan tempat penelitian dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dan pengecekan lapang dlakukan di kawasan permukiman di Kabupaten Bogor Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: (1) Peta Rupa Bumi digital Kabupaten Bogor skala 1: tahun 1999 produksi Bakosurtanal, (2) Peta Administrasi Kabupaten Bogor skala 1: tahun 2005 produksi Bakosurtanal, (3) Citra Satelit Landsat lembar Bogor tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008, serta (4) Data jumlah penduduk Kabupaten Bogor tahun 1990, 2001, 2004, dan 2007 yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bogor. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: (1) perangkat keras berupa seperangkat komputer, (2) perangkat lunak berupa ArcView ver. 3.3, Erdas Imagine 8.6, Statistica 8, Microsoft Excel, Microsoft Word, Microsoft Access, Microsoft Visio, (3) GPS (Global Positioning System) Garmin Map 76CSx, (4) USB (Universal Serial Bus), (5) Alat tulis, (6) Scanner, dan (7) Printer Metode Penelitian Penelitian ini terdiri dari tiga tahap, yaitu: (1) tahap persiapan dan pengumpulan data, (2) tahap pengolahan data, dan (3) tahap analisis data. Langkah-langkah untuk pengolahan dan analisis digambarkan secara diagramatis pada Gambar 1.

26 Gambar 1. Diagram alir tahapan penelitian 13

27 Tahap Persiapan dan Pengumpulan Data Tahap ini dimulai dengan studi literatur yang berhubungan dengan topik penelitian. Studi literatur dilakukan untuk mempelajari sumber-sumber yang mendukung pelaksanaan penelitian. Setelah itu dilakukan pengumpulan data yang meliputi Peta Rupa Bumi digital, dan Citra Satelit Landsat TM. Peta Rupa Bumi digital yang didapat telah mencakup peta kontur, peta administrasi, serta peta jaringan jalan dan sungai Tahap Pengolahan Data Citra Satelit Landsat Pengolahan citra satelit Landsat bertujuan untuk mendapatkan peta penggunaan lahan pada tahun 1990, 2001, 2004, dan Kegiatan utama yang dilakukan pada pengolahan citra satelit Landsat yaitu: (a) Koreksi Geometrik, (b) Digitasi, dan (c) Pengecekan Lapang. Koreksi Geometrik Koreksi Geometrik dilakukan dengan menggunakan proyeksi UTM dengan datum WGS 84 South. Koreksi Geometrik ini dilakukan untuk memperbaiki distorsi geometrik yang ada pada citra sehingga diperoleh citra yang mirip dengan keadaan geometrik sebenarnya di bumi. Digitasi Citra landsat yang telah di koreksi geometrik kemudian di interpretasi secara visual berdasarkan ciri-ciri kenampakan permukaan penggunaan lahan dan digitasi untuk mendapatkan peta penggunaan lahan. Pengecekan Lapang Pengecekan lapang bertujuan untuk mengetahui kebenaran objek atau penggunaan lahan dari hasil interpretasi terhadap kenyataan di lapangan. Pengecekan lapang dilakukan terhadap citra tahun 2008 dengan asumsi penggunaan lahan dari tahun 2008 hingga sekarang belum banyak berubah. Tahap ini dilakukan dengan mengambil titik-titik sample di peta dan selanjutnya

28 15 dilakukan pengecekan di lapangan dengan GPS (Global Positioning System). Setelah melakukan pengecekan lapang, kemudian dilakukan reinterpretasi dan perbaikan peta terhadap penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan Peta Lereng Peta lereng Kabupaten Bogor diperoleh melalui pembuatan Digital Elevation Model (DEM) terlebih dahulu. DEM adalah model kuantitatif dari elevasi permukaan bumi dalam bentuk digital. DEM yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk menghitung kemiringan lereng dalam persen. Kemudian dilakukan pengkelasan sesuai dengan kelas lereng yang diinginkan. Setelah peta lereng terbentuk, kemudian dilakukan digitasi menurut kelas lereng yang telah dibuat. Adapun kelas lereng yang dibuat yaitu kelas lereng menurut kriteria Food and Agricultural Organization (FAO) dengan modifikasi. Kriteria kelas kemiringan lereng tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel lampiran 11. Tabel 1. Kriteria Kelas Kemiringan Lereng Kemiringan Lereng (%) Kelas Lereng Kategori 15 1 Landai Agak Curam Curam >50 4 Sangat Curam Sumber: FAO dengan modifikasi Peta Elevasi Peta kelas elevasi diperoleh dengan mendigitasi peta kontur yang telah dibuat DEM terlebih dahulu. Kemudian dilakukan pengkelasan elevasi dengan selang ketinggian 250 meter dpl. Besarnya selang ketinggian ini didasarkan pada suatu kenyataan bahwa di daerah penelitian wilayah yang banyak digunakan untuk permukiman sebagian besar berada pada elevasi <250 meter dpl. Kriteria kelas elevasi dapat dilihat pada Tabel 2.

29 16 Tabel 2. Kriteria Kelas Elevasi Kelas Elevasi Nilai Elevasi (meter dpl) 1 < > Peta Jaringan Jalan Peta jaringan jalan digunakan untuk menilai pengaruh aksesibilitas terhadap sebaran permukiman dan perkembangannya. Sebelum dilakukan analisis, terlebih dahulu pada peta tersebut dibuat zona buffer pada masing-masing kelas jalan. Zona buffer dibuat setiap 250 m hingga jarak m dari jalan utama (Tabel 3). Besarnya zona buffer 250 meter ini didasarkan pada suatu kenyataan di lapangan bahwa pada jarak tersebut terdapat permukiman secara dominan dan berkurang sejalan dengan bertambahnya jarak. Jalan utama yang dipakai terdiri dari jalan arteri, jalan kolekor, jalan lokal, dan jalan lain. Zona buffer ini dibuat dengan mengasumsikan bahwa pemusatan permukiman berada pada jalan-jalan tersebut dan besar-kecilnya pengaruh jenis jalan terhadap permukiman dianggap sama. Tabel 3. Kriteria aksesibilitas Kriteria Aksesiblitas Nilai (meter) Dekat <250 Sedang Agak Jauh Jauh

30 Tahap Analisis Data Analisis Pola dan Sebaran Permukiman Pada tahap ini dilakukan analisis tumpang tindih (overlay) antara peta permukiman tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 dengan peta zonasi jalan, peta lereng, peta elevasi, dan peta administrasi. Overlay antara peta permukiman dengan peta lereng akan menghasilkan peta persebaran permukiman berdasarkan lereng, overlay peta permukiman dengan peta elevasi akan menghasilkan peta persebaran permukiman berdasarkan elevasi, overlay peta permukiman dengan peta zonasi jalan akan menghasilkan peta persebaran permukiman berdasarkan aksesibilitasnya, dan overlay peta permukiman dengan peta administrasi menghasilkan persebaran permukiman berdasarkan wilayah administrasinya Analisis Perubahan Penggunaan Lahan dan Perkembangan Permukiman Pada tahap ini dilakukan proses analisis tumpang tindih (overlay) untuk tiga periode, yaitu antar peta penggunaan lahan tahun 1990 dengan 2001, kemudian antara tahun 2001 dengan 2004, dan antara tahun 2004 dengan Hal ini dilakukan untuk mendapatkan peta perubahan penggunaan lahan dan peta perkembangan permukiman secara khusus dalam tiga periode, yaitu dari tahun 1990 sampai tahun Overlay antara peta permukiman multi tahun terhadap peta zonasi jalan, peta elevasi, dan peta kemiringan lereng dilakukan untuk mengetahui pola perkembangan permukiman multi tahun tersebut berdasarkan elevasi, kemiringan lereng, dan aksesibilitas. Setelah itu digunakan analisis regresi binomial logit untuk mengetahui faktor fisik mana yang paling berpengaruh terhadap perkembangan permukiman.

31 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak dan Lokasi Kabupaten Bogor Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah yang berbatasan langsung dengan ibukota Republik Indonesia dan secara geografis mempunyai luas sekitar Ha, terletak antara 6 o o Lintang Selatan dan 106 o o Bujur Timur. Wilayah ini berbatasan dengan : Sebelah Utara Sebelah Barat Sebelah Barat Daya Sebelah Timur Sebelah Timur Laut Sebelah Selatan Sebelah Tenggara Sebelah Tengah : Kabupaten Bekasi, Kota Depok : Kabupaten Lebak (Propinsi Banten) : Kabupaten Tangerang : Kabupaten Karawang : Kabupaten Purwakarta : Kabupaten Sukabumi : Kabupaten Cianjur : Kotamadya Bogor Secara administratif, Kabupaten Bogor terdiri dari 411 desa dan 17 kelurahan (428 desa/ kelurahan), RW dan RT yang tercakup dalam 40 kecamatan (Gambar 2). Berdasarkan Soemirat 2005, Jumlah kecamatan sebanyak 40 tersebut merupakan jumlah kumulatif setelah adanya hasil pemekaran 5 (lima) Kecamatan di tahun 2005, yaitu Kecamatan Leuwisadeng (pemekaran dari Kecamatan Leuwliang), Kecamatan Tanjungsari (pemekaran dari Kecamatan Cariu), Kecamatan Cigombong (pemekaran dari Kecamatan Cijeruk), Kecamatan Tajurhalang (pemekaran dari Kecamatan Bojonggede) dan Kecamatan Tenjolaya (pemekaran dari Kecamatan Ciampea). Selain itu, pada akhir tahun 2006 telah dibentuk pula sebuah desa baru, yaitu Desa Wirajaya, sebagai hasil pemekaran dari Desa Curug Kecamatan Jasinga. Luasan dan proporsi masingmasing kecamatan dapat dilihat pada Tabel 4.

32 19 Tabel 4. Kecamatan di Kabupaten Bogor dan luasannya Luas Luas No Kecamatan (Ha) (%) No Kecamatan (Ha) (%) 1 Cigudeg Gunung Sindur ,6 2 Sukamakmur ,7 23 Cigombong ,6 3 Tanjungsari ,4 24 Ciawi ,6 4 Nanggung ,3 25 Cijeruk ,6 5 Sukajaya ,2 26 Cibinong ,5 6 Jasinga ,9 27 Tenjolaya ,4 7 Rumpin ,5 28 Sukaraja ,3 8 Jonggol ,5 29 Ciseeng ,3 9 Pamijahan ,2 30 Cibungbulang ,3 10 Kelapa Nunggal ,2 31 Leuwisadeng ,2 11 Babakan Madang ,1 32 Tamansari ,1 12 Leuwiliang ,0 33 Ciampea ,1 13 Cariu ,9 34 Kemang ,0 14 Tenjo ,7 35 Tajurhalang ,0 15 Caringin ,6 36 Parung ,9 16 Parung Panjang ,4 37 Bojong Gede ,9 17 Cisarua ,4 38 Dramaga ,9 18 Cileungsi ,3 39 Rancabungur ,8 19 Citeureup ,3 40 Ciomas ,6 20 Megamendung ,1 (blank) 830 0,3 21 Gunung Putri ,0 Total ,0 Sumber: Peta administrasi Kabupaten Bogor tahun Kondisi Fisik Lingkungan Iklim Iklim wilayah Kabupaten Bogor termasuk iklim tropis sangat basah di bagian selatan dan iklim tropis basah di bagian utara, dengan rata-rata curah hujan tahunan mm/ tahun, kecuali di wilayah bagian utara dan sebagian kecil wilayah timur curah hujan kurang dari mm/ tahun. Suhu rata-rata di wilayah Kabupaten Bogor adalah 20 o 30 o C, dengan rata-rata tahunan sebesar 25 o C. kelembaban udara 70 %. Kecepatan angin cukup rendah, dengan rata-rata 1,2 m/ detik dengan evaporasi di daerah terbuka rata-rata sebesar 146,2 mm/ bulan (Soemirat, 2005).

33 20 Gambar 2. Peta administrasi Kabupaten Bogor Topografi Kabupaten Bogor merupakan wilayah daratan dengan tipe morfologi wilayah yang bervariasi, dari dataran yang relatif rendah di bagian Utara hingga daerah pegunungan di bagian Selatan, sehingga membentuk bentangan lereng yang menghadap ke Utara. Persebaran, klasifikasi, dan proporsi elevasi disajikan pada Gambar 3 dan Tabel 5, sedangkan untuk kemiringan lereng wilayah Kabupaten Bogor disajikan pada Gambar 4 dan Tabel 6.

34 21 Gambar 3. Peta elevasi wilayah Kabupaten Bogor Tabel 5. Nilai elevasi wilayah Kabupaten Bogor dan luasannya No Nilai Elevasi (m dpl) Luas (Ha) (%) 1 < , , , , , ,2 7 > ,0 Total ,0 Sumber: Hasil analisis peta RBI 1999 skala 1:25.000, penerbit Bakosurtanal Nilai elevasi <250 m dpl adalah elevasi yang paling luas yaitu ha (53,0%), elevasi terluas kedua adalah elevasi m dpl yaitu seluas ha (20,5%). Kemudian berturut-turut adalah elevasi m dpl seluas ha (12,5%), m dpl seluas ha (6,7%), m dpl seluas ha (4,2%), m dpl seluas ha (2,2%), dan elevasi dengan luasan paling kecil adalah >1.500 m dpl yaitu seluas ha (1,0%).

35 22 Gambar 4. Peta kemiringan lereng wilayah Kabupaten Bogor Tabel 6. Kemiringan lereng wilayah Kabupaten Bogor dan luasannya No Kemiringan Lereng (%) Kategori Luas (Ha) (%) 1 15 Landai , Agak Curam , Curam ,3 4 > 50 Sangat Curam ,0 Total ,0 Sumber: Hasil analisis peta RBI 1999 skala 1:25.000, penerbit Bakosurtanal Kemiringan lereng yang memiliki luasan terbesar di Kabupaten Bogor adalah kemiringan lereng 15% dengan kategori lereng landai yaitu seluas ha (58,3%), kategori lereng agak curam dengan kemiringan lereng 15%- 30% menempati urutan kedua dengan luasan ha (22,4%), urutan ketiga adalah lereng curam dengan kemiringan 30%-50% dengan luasan ha (10,3%), dan luasan paling sedikit di wilayah Kabupaten Bogor yaitu lereng sangat curam dengan kemiringan lereng >50% seluas ha (9,0%).

36 Bentuklahan, bahan induk, dan tanah Secara umum wilayah Bogor terbentuk oleh batuan vulkanik yang bersifat piroklastik, yang berasal dari endapan (batuan sedimen) dua gunung berapi, yaitu Gunung Pangrango (berupa batuan breksi tufaan/kbpp) dan Gunung Salak (berupa alluvium/ kal dan kipas alluvium/kpal). Endapan permukaan umumnya berupa alluvial yang tersusun oleh tanah, pasir, dan kerikil hasil dari pelapukan endapan. Bahan induk geologi tersebut menghasilkan tanah-tanah yang relatif subur. Wilayah Kabupaten Bogor memiliki jenis tanah yang cukup subur untuk kegiatan pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Persebarannya jenis tanah pada Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 5, sedangkan luasan dan proporsi disajikan pada Tabel 7. Gambar 5. Peta sebaran jenis tanah wilayah Kabupaten Bogor

37 24 Tabel 7. Jenis tanah wilayah Kabupaten Bogor dan luasannya No Jenis Tanah Luas (Ha) (%) 1 Latosol ,6 2 Podsolik Merah Kuning ,1 3 Aluvial ,3 4 Grumusol ,4 5 Andosol ,7 6 Regosol ,1 7 Rensina ,9 Total ,0 Sumber: Peta tanah tinjau Kabupaten Bogor 1966 skala 1: , penerbit Lembaga Penelitian Tanah Secara umum terdapat tujuh jenis tanah yang menyebar di wilayah Kabupaten Bogor, yaitu Latosol, Podsolik Merah Kuning, Aluvial, Grumusol, Andosol, Regosol, dan Rensina. Jenis tanah yang paling luas adalah Latosol dengan luasan ha (58,6%) yang menyebar di sebagian besar wilayah Kabupaten Bogor. Podsolik Merah Kuning seluas ha (16,1%), Aluvial seluas ha (13,3%), Grumusol seluas ha (5,4%), Andosol seluas ha (3,7%), Regosol seluas ha (2,1%), dan jenis tanah yang luasannya paling kecil adalah Rensina yaitu seluas ha (0,9%) (Soemirat, 2005) Sosial dan Ekonomi Jumlah penduduk Jumlah penduduk Kabupaten Bogor pada tahun 2006 menurut hasil SUSDA (Sensus Daerah) sebanyak jiwa dan pada tahun 2007 telah mencapai jiwa atau 10,32% dari jumlah penduduk Propinsi Jawa Barat ( jiwa). Berarti dalam lingkup Provinsi Jawa Barat, jumlah penduduk tersebut menempati urutan kedua setelah Kabupaten Bandung ( jiwa). LPP (Laju Pertumbuhan Penduduk) Kabupaten Bogor tahun adalah 0,53%, lebih rendah dibandingkan dengan LPP tahun yang mencapai 2,79%. Sementara LPP selama periode , rata-rata mencapai 4% atau masih berada diatas 2% per tahun. Kondisi ini disebabkan oleh tingginya laju pertumbuhan alami dan migrasi masuk ke Kabupaten Bogor (Soemirat, 2005).

38 25 Menurut data Susenas 2005, jumlah penduduk Kabupaten Bogor sebesar 3,80 juta jiwa. Jumlah tersebut mendiami wilayah seluas km 2 sehingga secara rata-rata kepadatan penduduk di Kabupaten Bogor adalah jiwa per Km 2. Jumlah penduduk yang besar seringkali menjadi beban dalam proses pembangunan jika berkualitas rendah. Oleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Kabupaten Bogor harus secara terusmenerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan menciptakan tatanan keluarga kecil sehat dan berkualitas sebagai upaya meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) ke depan (Pemkab Bogor, 2007). Tabel 8. Jumlah penduduk dan laju pertumbuhan penduduk tahun 2002 hingga 2005 Tahun Indikator (1) (2) (3) (4) (5) 1. Jumlah Penduduk Laju Pertumbuhan r ( ) = 5,34 Penduduk (LPP) r ( ) = 0,17 r ( ) = 0,10 Sumber : IPM (Indeks Pembangunan Manusia) Kab. Bogor Tahun Mata pencaharian dan penggunaan lahan Jumlah penduduk yang bekerja berdasarkan mata pencaharian atau profesi dapat dilihat pada Tabel 9. Dapat dilihat dari tabel tersebut bahwa profesi terbanyak adalah wiraswasta/pengusaha dan profesi yang paling sedikit adalah peternak. Tabel 9. Mata pencaharian penduduk Kabupaten Bogor No Profesi Jumlah Penduduk (jiwa) Jumlah Penduduk (%) 1 PNS ,36 2 TNI/Polri ,93 3 Karyawan/Pegawai Swasta ,95 4 Wiraswasta/Pengusaha ,75 5 Petani ,85 6 Peternak ,10 7 Jasa ,64 8 Buruh ,81 9 Lainnya ,62 Sumber: Soemirat, 2005

39 26 Pola penggunaan lahan di Kabupaten Bogor dikelompokkan menjadi hutan/vegetasi lebat, tegalan, semak belukar, kawasan terbangun/permukiman, dan sawah, sedangkan komposisi pemanfaatan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 2006 dapat dilihat pada Tabel 10 (Soemirat, 2005). Tabel 10. Komposisi pemanfaatan lahan Kabupaten Bogor No Pemanfaatan Lahan Luas (Ha) Luas (%) 1 Kawasan Hutan Lindung ,3 2 Kawasan Lahan Basah ,9 3 Kawasan Lahan Kering ,1 4 Kawasan Tanaman Tahunan ,8 5 Kawasan Hutan Produksi ,3 6 Kawasan Pariwisata ,5 7 Kawasan Permukiman Pedesaan ,4 8 Kawasan Permukiman Perkotaan ,4 9 Kawasan Pengembangan Perkotaan ,6 10 Kawasan Peruntukan Industri , Permukiman di Kabupaten Bogor Jumlah rumah di Kabupaten Bogor sampai tahun 2005 sebanyak unit rumah dari jumlah kepala keluarga (KK) sebanyak KK, dengan kondisi rumah yang tidak layak huni sebanyak unit (26,48 %) dan rumah layak huni sebanyak unit (73,52 %). Kecamatan dengan persentase rumah layak huni tertinggi terdapat di Gunung Putri sebesar 99,04 % sedangkan untuk persentase terendah terdapat di Kecamatan Sukajaya sebesar 2,11 %. Untuk rumah tidak layak huni persentase tertinggi terdapat di Kecamatan Sukajaya (97,89 %) dan persentase terendah terdapat di Kecamatan Cisarua (0,47 %) (Pemkab Bogor, 2007). - Jumlah Rumah S/D Tahun 2005 : Unit - Jumlah Kepala Keluarga : Kk - Tidak Layak Dihuni : Unit (26,48 %) - Layak Huni : Unit (73,52 %)

40 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pola Sebaran Permukiman Tahun 1990, 2001, 2004, dan Pola sebaran luasan permukiman dapat dilihat pada Tabel 11, Tabel 12, dan Tabel 13. Dari tabel tersebut terlihat bahwa proporsi luasan permukiman tertinggi dari tahun 1990 hingga tahun 2008 terdapat pada nilai elevasi <250 m dpl, kemiringan lereng 15% dan aksesibilitas dekat (<250 m), dengan luasan yang cenderung terus bertambah. Hal ini berarti bahwa pada elevasi <250 m dpl, kemiringan lereng 15%, dan aksesibilitas dekat sangat disukai orang atau sangat cocok untuk permukiman. Hingga tahun 2008 luasan lahan yang cocok ini masih mencukupi untuk dikembangkan lagi untuk permukiman. Contoh lokasi permukiman dengan elevasi <250 m dpl, kemiringan lereng 15% dan aksesibilitas <250 m dapat dilihat pada Gambar 6. Pola sebaran spasial permukiman serta penggunaan lahan lainnya dapat dilihat pada Gambar 7, Gambar 8, Gambar 9, dan Gambar 10. Tabel 11. Pola sebaran luasan permukiman berdasarkan elevasi Nilai Elevasi (m dpl) Total Luas (ha) Permukiman 1990 Luas Proporsi (Ha) (%) Permukiman 2001 Luas Proporsi (Ha) (%) Permukiman 2004 Luas (Ha) Proporsi (%) Permukiman 2008 Luas (Ha) Proporsi (%) < , , , , , , , , , , , , , , , , , > Tabel 12. Pola sebaran luasan permukiman berdasarkan kemiringan lereng Kemiringan Lereng (%) Total Luas (ha) Permukiman 1990 Luas Proporsi (Ha) (%) Permukiman 2001 Luas Proporsi (Ha) (%) Permukiman 2004 Luas (Ha) Proporsi (%) Permukiman 2008 Luas (Ha) Proporsi (%) , , , , , , , , >

41 28 Tabel 13. Pola sebaran luasan permukiman berdasarkan aksesibilitas Aksesibilitas (meter) Total Luas (ha) Permukiman 1990 Luas Proporsi (Ha) (%) Permukiman 2001 Luas Proporsi (Ha) (%) Permukiman 2004 Luas (Ha) Proporsi (%) Permukiman 2008 Luas (Ha) Proporsi (%) < , , , , , , , , , , , ,0 20 0,1 90 0,3 Sumber: Dokumen pribadi Gambar 6. Permukiman di Desa Girimulya, Kecamatan Cibungbulang Dari tabel tersebut terlihat pula bahwa proporsi luasan permukiman terbanyak kedua dari tahun 1990 hingga tahun 2004 terdapat pada elevasi m dpl, sedangkan pada tahun 2008 terdapat pada elevasi m dpl, atau pada kemiringan lereng 15-30%, atau aksesibilitas m. Perkembangan permukiman pada elevasi m berkaitan dengan banyaknya pembangunan rumah peristirahatan pada periode tahun 2004 hingga tahun 2008 di wilayah puncak (Kecamatan Cisarua).

42 29 Gambar 7. Peta land use Kabupaten Bogor tahun 1990 Gambar 8. Peta land use Kabupaten Bogor tahun 2001

43 30 Gambar 9. Peta land use Kabupaten Bogor tahun 2004 Gambar 10. Peta land use Kabupaten Bogor tahun 2008

44 31 Berdasarkan wilayah administrasinya, daerah yang memiliki proporsi elevasi <250 m dpl, kemiringan lereng 15%, dan aksesibilitas <250 m tertinggi adalah Kecamatan Ciomas, Kecamatan Cibinong dan Kecamatan Citeureup. Kecamatan-kecamatan ini memiliki angka proporsi permukiman terbanyak yaitu pada tahun 1990 (Kecamatan Ciomas), tahun 2001 dan 2008 (Kecamatan Cibinong), serta pada tahun 2004 (Kecamatan Citeureup). Pola-pola tersebut nampaknya sesuai dengan perkembangan jumlah penduduk atau kebijakan pemerintah berkaitan dengan pola penataan ruang di Kabupaten Bogor. Pada tahun 1990 Kecamatan Ciomas memiliki jumlah penduduk terbanyak, sedangkan tahun 2001 Kecamatan Cibinong hanya memiliki jumlah penduduk terbanyak kedua, adapun pada tahun 2004 Kecamatan Citeureup hanya menduduki jumlah penduduk terbanyak ketujuh. Untuk Kecamatan Cibinong dan Citeureup jumlah penduduk memang bukan pada ranking terbanyak, namun berdasarkan Peta Pola Ruang RTRW (Gambar Lampiran 1) alokasi untuk ruang terbangun (permukiman, zona industri dan sebagainya) cukup besar, sehingga perkembangan permukiman (dalam hal ini sama dengan ruang terbangun) menjadi meningkat. Adapun untuk tahun 2008 diperkirakan jumlah penduduk terbanyak terdapat di Kecamatan Cibinong. Permukiman dan kawasan industri pada Kecamatan Citeureup dapat dilihat pada Gambar 11. Sumber: Google image, 2010 Gambar 11. Permukiman dan kawasan industri di Kecamatan Citeureup

45 32 Kecamatan dengan jumlah permukiman terbanyak pada elevasi m, kemiringan lereng 15-30%, dan aksesibilitas m adalah Cisarua pada tahun 2001, 2004, dan 2008 (Gambar 12). Gambaran ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Saefulhakim (1996) yaitu faktor-faktor seperti sarana dan prasarana, aksesibilitas dan jarak terhadap jalan mempengaruhi perkembangan dan perluasan permukiman, seperti halnya yang terjadi di Kecamatan Cisarua. Sumber: Google image, 2010 Gambar 12. Permukiman di kawasan Cisarua 5.2. Pola Perkembangan Permukiman Gambar 7, Gambar 8, Gambar 9, dan Gambar 10 memperlihatkan pola perkembangan permukiman dari tahun 1990 hingga tahun Gambar tersebut memperlihatkan bahwa permukiman berkembang pada daerah yang telah memiliki permukiman sebelumnya, sedangkan pembukaan lahan permukiman baru jarang terjadi. Seperti halnya pola persebaran permukiman, analisis pola perkembangan permukiman dilakukan juga terhadap elevasi, kemiringan lereng, dan aksesibilitas. Sedangkan faktor jenis tanah tidak dimasukkan, karena menurut Arifiyanto (2005) perubahan permukiman terhadap jenis tanah tidak mempunyai pola yang teratur.

46 Pola Pertambahan Permukiman Pada Setiap Periode Pola perubahan luas permukiman dari tiga periode, yaitu antara tahun , , dan secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 14, Tabel 15, dan Tabel 16. Dari Tabel 14 terlihat bahwa penggunaan lahan permukiman pada periode 1990 sampai 2001 mengalami peningkatan yang cukup tinggi yaitu sebanyak ha, yang merupakan konversi dari beberapa penggunaan lahan lain, yaitu dari hutan sebesar 70 ha, dari sawah sebesar ha, dari tegalan sebesar ha, dan dari semak belukar sebesar 420 ha. Dari angka-angka tersebut terlihat bahwa konversi dari penggunaan lahan sawah menjadi permukiman mempunyai luasan yang paling besar dibandingkan dengan penggunaan lahan yang lain. Tabel 14. Perubahan penggunaan lahan tahun Tahun 1990 Tahun 2001 Penggunaan Lahan (ha) Hutan Permukiman Sawah Tegalan Semak belukar Total (ha) Total (%) Hutan ,5 Permukiman ,1 Sawah ,6 Tegalan ,0 Semak belukar ,8 Total (ha) Total (%) 34,5 2,5 37,8 20,5 4,8 Tabel 15. Perubahan penggunaan lahan tahun Tahun 2001 Tahun 2004 Penggunaan Lahan (ha) Hutan Permukiman Sawah Tegalan Semak belukar Total (ha) Total (%) Hutan ,5 Permukiman ,5 Sawah ,8 Tegalan ,5 Semak belukar ,8 Total (ha) Total (%) 31,5 5,0 34,6 23,7 5,2

47 34 Dari Tabel 15 diatas terlihat bahwa perkembangan penggunaan lahan permukiman dari tahun 2001 hingga 2004 mencapai luasan sebesar ha, sehingga perubahan tersebut terhitung lebih tinggi jika dibandingkan dengan perubahan permukiman pada periode sebelumnya, yaitu antara tahun 1990 dan Dari tabel tersebut dapat dilihat pula bahwa perubahan permukiman pada periode merupakan hasil konversi dari beberapa penggunaan lahan lain, yaitu dari sawah sebesar ha, dari tegalan sebesar ha, dari semak belukar sebesar ha, dan dari hutan sebesar 190 ha. Dari angka-angka tersebut terlihat bahwa penggunaan lahan tegalan merupakan bagian yang paling banyak terkonversi menjadi permukiman. Hal ini berbeda dengan periode sebelumnya, dimana lahan sawah merupakan penggunaan lahan yang paling banyak terkonversi. Tabel 16. Perubahan penggunaan lahan tahun Tahun 2004 Tahun 2008 Penggunaan Lahan (ha) Hutan Permukiman Sawah Tegalan Semak belukar Total (ha) Total (%) Hutan ,5 Permukiman ,0 Sawah ,6 Tegalan ,7 Semak belukar ,2 Total (ha) Total (%) 25,3 8,9 33,5 15,7 16,7 Dari Tabel 16 diatas terlihat bahwa perkembangan penggunaan lahan permukiman pada periode mencapai luasan sebesar ha, sehingga perubahan tersebut mempunyai angka yang lebih tinggi lagi jika dibandingkan dengan perubahan permukiman pada periode dan periode Perkembangan permukiman pada periode ini merupakan hasil konversi dari beberapa penggunaan lahan lain, yaitu dari hutan sebesar 50 ha, dari sawah sebesar ha, dari tegalan sebesar ha, dan dari semak belukar sebesar ha. Sama halnya dengan periode sebelumnya ( ), penggunaan lahan tegalan pada periode ini merupakan penggunaan lahan yang paling banyak terkonversi menjadi permukiman.

48 35 Jika dibandingkan antara tiga periode tersebut diatas, maka sangat jelas bahwa pola perubahan penggunaan lahan dari non permukiman ke permukiman mempunyai kecenderungan yang berbeda, dimana pada periode ada kecenderungan lahan sawah terkonversi menjadi permukiman, sedangkan pada dua periode sesudahnya lahan tegalan yang paling banyak terkonversi menjadi permukiman. Perbedaan kecenderungan ini pada dasarnya berkaitan dengan adanya Keppres No 53 tahun 1990 yang melarang terjadinya konversi lahan dari lahan sawah (pertanian lahan basah) menjadi lahan permukiman. Oleh sebab itu kecenderungan konversi lahan pada periode berikutnya (pasca peraturan tersebut dijalankan) adalah dari lahan tegalan (pertanian lahan kering) menjadi lahan permukiman. Untuk mengubah lahan sawah menjadi lahan permukiman, pada periode tersebut ada kecenderungan masyarakat menyiasatinya dengan mengonversi sawah terlebih dahulu menjadi tegalan sebelum dikonversi menjadi permukiman. Kecenderungan ini diperkirakan akan sama untuk periode-periode mendatang sesuai dengan kebutuhan permukiman. Menurut penelitian Marstaningsih (2008) kebutuhan akan permukiman akan semakin meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk, dan mendorong masyarakat mengubah penggunaan lahan tegalan menjadi permukiman. Berdasarkan pertambahan permukiman pada tiga periode tersebut, terlihat bahwa kenaikan permukiman paling sedikit terjadi pada kurun waktu sebelas tahun, yaitu pada periode dibandingkan dengan periode ataupun periode Hal tersebut dikarenakan pada tahun 1990 hingga 2001 peningkatan jumlah penduduk masih relatif rendah jika dibandingkan dengan pertambahan penduduk pada periode dan periode (Lampiran 1, Lampiran 2, Lampiran 3, dan Lampiran 4), dan diperkirakan jumlah penduduk tahun 2008 hampir sama atau hanya meningkat sedikit dari jumlah penduduk tahun 2007.

49 Pertambahan Permukiman dari Periode Awal hingga Akhir Jika dilihat dari tahun 1990 hingga tahun 2008, maka secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa telah terjadi penambahan permukiman seluas ha (728%). Pertambahan permukiman dari tahun 1990 hingga 2008 diketahui dengan cara melakukan overlay peta penggunaan lahan 1990 dengan peta penggunaan lahan 2008, dan didapatkan bahwa landuse yang paling banyak menjadi permukiman adalah sawah seluas ha (62%), kedua adalah tegalan seluas ha (22,8%), ketiga adalah semak belukar seluas ha (12,3%), dan yang paling kecil adalah hutan seluas 670 ha (2,9%) Pola Pertambahan Luas Permukiman Menurut Elevasi Dari hasil analisis tentang perkembangan permukiman terhadap elevasi terlihat bahwa pola perkembanga an permukiman dengan proporsi terbanyak terdapat pada elevasi <250 m dpl (Tabel 17), hal ini menunjukan bahwa pada elevasi tersebut hingga tahun 2008 konversi lahan banyak terjadi dari lahan non permukiman ke permukiman. Pada Gambar 13 dapat dilihat bahwa pertambahan permukiman terbesar dari tahun 1990 hingga tahun 2008 secara keseluruhan adalah ha (11,1%) pada elevasi <250 m dpl, kemudian diikuti secara berturut-turut oleh elevasi m dpl seluas ha (6,6%), elevasi m dpl seluas ha (4,0%), elevasi m dpl seluas ha (3,8%), dan yang terkecil adalah elevasi m dpl seluas 410 ha (3,3%) Proporsi (%) Permukiman Gambar 13. Elevasi (m dpl) Pola pertambahan permukiman tahun berdasarkan elevasi

50 37 Tabel 17. Pola pertambahan permukiman berdasarkan elevasi Nilai Elevasi (m dpl) < >1500 Luas Total (ha) Luas (ha) Luas (ha) Luas (ha) Luas (ha) Luas (%) , , , , , Pola Pertambahan Luas Permukiman Menurut Kemiringan Lereng Pola perkembangan permukiman dengan proporsi terbanyak berdasarkan kemiringan lereng terdapat pada elevasi 15% % (Tabel 18) ). Hal ini menunjukan bahwa padaa kemiringan lereng tersebut hingga tahun 2008 konversi lahan terbanyak adalah dari non permukiman ke permukiman. Secara keseluruhan dari tahun 1990 hingga 2008 perubahan terbesar pada kemiringan lereng 15% seluas ha (13,1%) dan urutan kedua pada kemiringan lereng 15-30% seluas 430 ha (0,6%) (Gambar 14) ). Berdasarkan administrasi, wilayah dengan kemiringan lereng 15-30% tersebut adalah daerah puncak, yaitu Kecamatan Cisarua. 15 Proporsi (%) 10 5 Permukiman > 50 Kemiringan Lereng (%) Gambar 14. Pola pertambahan permukiman tahun berdasarkan kemiringan lereng

51 38 Tabel 18. Pola pertambahan permukiman berdasarkan kemiringan lereng Kemiringan Lereng (%) > 50 Luas Total (ha) Luas (ha) Luas (ha) Luas (ha) Luas (ha) Luas (%) 13,1 0, Pola Pertambahan Luas Permukiman Menurut Aksesibilitas Pola perkembangan permukiman dengan proporsi terbanyak berdasarkan aksesibilitass adalah pada elevasi 15% (Tabel 19). Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkatt elevasi tersebut hingga tahun 2008 konversi lahan terbanyak dari non permukiman ke permukiman. Secara keseluruhan dari tahun 1990 hingga 2008 pertambahan permukiman terbanyak terdapat pada aksesibilitas dekat yaitu seluas ha (21,7%), kemudian diikuti oleh aksesibilitas sedang sebesar ha (6,3%), aksesibilitas agak jauh sebesar 860 ha (2,3%), dan aksesibilitas jauh sebesar 90 ha (0,3%) (Gambar 15). 25 Proporsi (%) Permukiman 0 Dekat (<250) Sedang ( ) Agak Jauh ( ) Jauh ( ) Aksesibilitas (meter) Gambar 15. Pola pertambahan permukiman tahun berdasarkan aksesibilitas

52 39 Tabel 19. Pola pertambahan permukiman berdasarkan aksesibilitas Aksesibilitas (meter) Luas Total (ha) Luas (ha) Luas (ha) Luas (ha) Luas (ha) Luas (%) Dekat (<250) ,7 Sedang ( ) ,3 Agak Jauh ( ) ,3 Jauh ( ) , Analisis Regresi Logistik Dari data faktor-faktor fisik seperti elevasi, kemiringan lereng, dan aksesibilitas yang telah didapatkan, kemudian dapat dianalisis secara regresi dengan menggunakan metode binomial logit. Analisis ini digunakan untuk mengetahui faktor fisik apa yang paling mempengaruhi terhadap perubahan permukiman. Hasil dari analisis data ini disajikan pada Tabel 20, sedangkan untuk mengetahui faktor yang berpengaruh nyata terhadap perkembangan permukiman dapat dilihat pada nilai-p yang berada di bawah 5%. Dari Tabel 20 terlihat bahwa kelas lereng dan jarak terhadap jalan merupakan faktor yang paling mempengaruhi dalam pertambahan permukiman, dalam hal ini adalah pada kemiringan lereng 15% dan aksesibilitas dekat. Tabel 20. Hasis analisis regresi logistik Level of Column Estimate Standard Wald p Effect Effect Error Stat. Intercept 1-24, ,233 0,0002 0, KELAS_LERE 15% 2 6,3101 1,078 34,2646 0, KELAS_LERE 15%-30% 3 4,8939 KLS_ELEV <250 m dpl 4 6, ,233 0,0000 0, KLS_ELEV m dpl 5 7, ,233 0,0000 0, KLS_ELEV m dpl 6 7, ,233 0,0000 0, KLS_ELEV m dpl 7-11, ,023 0,0000 0, JARAK_JLN <250 m 8 8,8979 0, ,3926 0, JARAK_JLN m 9 8,3588 JARAK_JLN m 10-9, ,027 0,0000 0, Scale 1,0000 0,000

53 VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, didapatkan beberapa kesimpulan yaitu: 1. Pola sebaran permukiman terbanyak pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 terdapat pada elevasi <250 m dpl, kemiringan lereng 15%, dan aksesibilitas dekat. Terlihat bahwa topografi merupakan faktor yang mempengaruhi sebaran permukiman. 2. Berdasarkan wilayah administrasinya wilayah pada kesimpulan nomor 1 tersebut terdapat di Kecamatan Ciomas pada tahun 1990, Kecamatan Cibinong pada tahun 2001 dan 2008, serta Kecamatan Citeureup pada tahun Hal tersebut selain berkaitan dengan jumlah penduduk, pada Peta Pola Ruang RTRW (Gambar Lampiran 1), kecamatan-kecamatan tersebut berfungsi sebagai kawasan permukiman. Selain itu Kecamatan Cibinong juga merupakan Ibukota Kabupaten Bogor. 3. Pola perkembangan permukiman terbanyak dari seluruh periode yaitu , , dan , terdapat pada elevasi <250 m dpl, kemiringan lereng 15%, dan aksesibilitas dekat. Dari fakta ini maka dapat dikatakan bahwa pola sebaran permukiman yang ada berpengaruh terhadap pola perkembangan permukiman selanjutnya. 4. Berdasarkan hasil analisis regresi logistik, faktor fisik yang paling mempengaruhi perkembangan permukiman adalah kemiringan lereng 15% dan aksesibilitas dekat. 5. Permukiman berkembang pada daerah yang telah memiliki permukiman sebelumnya atau memperluas kawasan permukiman yang sudah ada, sedangkan pembukaan lahan permukiman baru jarang terjadi Saran Perlu dilakukan penelitian yang lebih lanjut mengenai hubungan pola sebaran dan perkembangan permukiman terhadap faktor-faktor lainnya, seperti keadaan sosial, ekonomi, status lahan, dan lain sebagainya.

54 VII. DAFTAR PUSTAKA Andriyani, Dinamika Spasial Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktorfaktor Penyebabnya di Kabupaten Serang Provinsi Banten. Thesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Anonim Definisi Istilah. DFE8J: 006/definisi.pdf+definisi+tegalan&hl=id&ct=clnk&cd=9&gl=id. [diakses 10 Desember 2008] Permukiman dan Perumahan Kabupaten Bogor. Kabupaten Bogor tahun [diakses 7 Maret 2009]. Arifiyanto, D Identifikasi Pengaruh Berbagai Faktor Fisik Lahan Terhadap Pola dan Distribusi Perubahan Penutupan atau Penggunaan Lahan dengan Sistem Informasi Geografi dan Penginderaan Jauh (Studi Kasus DAS Citarum Tengah III, Cianjur, Jawa Barat). Skripsi. Departemen Tanah. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan. Aronoff, S Geographic Information System: A Management Perspective. WDL Publication. Ottawa, Canada. Arsyad, S Konservasi Tanah dan Air. IPB-Press. Bogor. Barlowe, R Land Resources Economic. 4 th Prentice Hall Inc. New Jersey. Barus, B dan Wiradisastra, U. S Sistem Informasi Geogafi. IPB: Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. BPS Bogor dalam Angka tahun Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Bogor. BPS Bogor dalam Angka tahun Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Bogor. BPS Bogor dalam Angka tahun Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Bogor. BPS Bogor dalam Angka tahun Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Bogor. Google Image Kawasan Industri Citeureup. [diakses 8 Maret 2010].

55 42 Google Image Villa Kawasan Puncak, Bogor. [diakses 8 Maret 2010]. Hashimoto H, Natuhara Y, Morimoto Y A Habitat Model for Parus Major Minor Using a Logistic Regression Model for the Urban Area of Osaka, Japan. Landscape and Urban Planning 70 (2005) /$20.00 Elsevier B.V. Ishak, M. S Penentuan Pemanfaatan Lahan: Kajian Land Use Planning dalam Pemanfaatan Lahan untuk Pertanian. Makalah Panduan Proses Penentuan Pemanfaatan Lahan. Jurusan Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Universitas Padjajaran. Bandung. Kazaz, C Contaminated Lands-Presentation of Bill 72 Establishing New Rules for the Protection and Rehabilitation of Contaminated Lands B360077D436/File/ENVIROBULLETIN_FLASH_ANG.PDF?Open Element. Keppres No. 5 Tahun 1989 Tentang Pedoman Penyusunan Tata Ruang di Daerah. Keppres No. 53 Tahun 1990 Tentang Pelarangan Konversi Sawah Menjadi Permukiman. Lillesand, T. M. dan R. W. Kiefer Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Terjemahan Dulbahri, Prapto Suharsono, Hartono, Suharyadi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Linsley, Ray K. et. all Applied Hydrology. Tata McGraw Hill Publication. Co. New Delhi. Lo, C. P Penginderaan Jauh Terapan. Terjemahan Bambang Purbowaseso. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta. Marstaningsih, A Pengaruh Pendidikan, Usia, dan Jumlah Anak dari Pemilik Lahan Terhadap Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian Menjadi non Pertanian, Studi Kasus Desa Sukamanah, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor. Skripsi. Program Studi Ilmu Tanah. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak dipublikasikan. Mather, A. S Land Use. Longman. London and New York. Nachrowi, D. N, dan Usman, H Penggunaan Teknik Ekonometri Pendekatan Popular dan Praktis Dilengkapi Teknik Analisis dan Pengolahan Data dengan Menggunakan Paket Program SPSS. Divisi Buku Perguruan Tinggi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

56 43 Patria, C Zonasi Perkembangan Permukiman di Kecamatan Pamanukan dan Ciasem, Kabupaten Subang, Jawa Tengah. Skripsi. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan. Pemkab Bogor Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Bogor tahun Pemerintah Kabupaten Bogor. Bogor Demografi Kabupaten Bogor. bogorkab.go.id/ indeks.php?option=comcontent&task=view&id=50&itemid=273 [diakses 15 Desember 2009] Permukiman dan Perumahan. bogorkab.go.id/ indeks.php?option=comcontent&task=view&id=50&itemid=273 [diakses 15 Desember 2009]. Sabins, F. F. Jr Remote Sensing, Principles and Interpretation. W. H. Freeman and Co, San Francisco. Saefulhakim, R. S Efektifitas Kelembagaan Pengendalian Alih Guna Tanah. Laboratorium Perencanaan Pengembangan Sumberdaya Lahan, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Sitorus, S. R. P Perencanaan dan Pengembangan Sumberdaya Lahan. Makalah Disampaikan pada Lokakarya Pengelolaan Lingkungan Hidup Bagi Perugas Kecamatan di Denpasar, Bali, Tanggal 9-11 Nopember Soemirat Lampiran Peraturan Daerah Kabupaten Bogor tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Bogor tahun w&gid=5. [diakses 15 Desember 2009]. Suhadak Pola Konservasi Lahan Sawah dan Keterkaitannya dengan Pola Perubahan Struktur Penguasaan Lahan dan Pola Perkembangan Wilayah Pantai Utara Jawa Barat (Studi Kasus di Kabupaten Bekasi, Karawang, Subang dan Indramayu. Skripsi. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan. Sutanto Penginderaan Jauh Jilid 2. Fakultas Geografi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Syartinilia Karakteristik Pemukiman di DAS Ciliwung Bagian Tengah, Kota Bogor, Jawa Barat. Skripsi. Jurusan Budi Daya Pertanian. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan. Undang-Undang RI No. 24 tahun 1992 Tentang Penataan Ruang.

57 LAMPIRAN

58 45 Tabel Lampiran 1. Jumlah penduduk Kabupaten Bogor tahun 1990 No Kecamatan Jumlah Penduduk 1 Ciomas Cibungbulang Citeureup Cileungsi Bojonggede Ciasarua Ciampea Parung Jonggol Cibinong Cijeruk Leuwiliang Ciawi Cigudeg Parungpanjang Gunung Putri Rumpin Jasinga Cariu Caringin Nanggung Gunung Sindur Total Sumber: Sensus Penduduk 1990 dalam Bogor dalam angka 1990

59 Tabel Lampiran 2. Jumlah penduduk Kabupaten Bogor tahun 2001 No Kecamatan Jumlah Penduduk 1 Bojonggede Cibinong Ciampea Leuwiliang Cijeruk Sukaraja Cileungsi Citeureup Gunung Putri Pamijahan Rumpin Cibungbulang Cigudeg Ciomas Cariu Ciasarua Caringin Jasinga Jonggol Parung Panjang Megamendung Dramaga Ciseeng Babakan Madang Nanggung Kemang Ciawi Parung Tamansari Sukamakmur Gunung Sindur Klapanunggal Sukajaya Tenjo Rancabungur Total Sumber: Registrasi Penduduk dalam Bogor dalam angka

60 Tabel Lampiran 3. Jumlah penduduk Kabupaten Bogor tahun 2004 No Kecamatan Jumlah Penduduk 1 Cibinong Cileungsi Gunung Putri Bojonggede Babakan Madang Sukaraja Citeureup Pamijahan Ciampea Cibungbulang Cigudeg Ciomas Rumpin Caringin Ciasarua Jasinga Jonggol Leuwiliang Parung Panjang Ciseeng Megamendung Dramaga Nanggung Kemang Parung Tajurhalang Ciawi Tamansari Gunung Sindur Cigombong Sukamakmur Cijeruk Klapanunggal Leuwisadeng Tenjo Sukajaya Tanjungsari Tenjolaya Cariu Rancabungur Total Sumber: Dinas kependudukan, catatan sipil dan keluarga berencana dalam Bogor dalam angka

61 Tabel Lampiran 4. Jumlah penduduk Kabupaten Bogor tahun 2007 No Kecamatan Jumlah Penduduk 1 Cibinong Bojonggede Cileungsi Gunung Putri Citeureup Sukaraja Ciampea Pamijahan Ciomas Rumpin Cibungbulang Cigudeg Jonggol Leuwiliang Ciasarua Caringin Parung Jasinga Ciseeng Parung Panjang Ciawi Megamendung Dramaga Nanggung Tajurhalang Babakan Madang Gunung Sindur Cigombong Tamansari Kemang Klapanunggal Cijeruk Sukamakmur Leuwisadeng Tenjo Sukajaya Tenjolaya Tanjungsari Rancabungur Cariu Total Sumber: Dinas kependudukan, catatan sipil dan keluarga berencana dalam Bogor dalam angka

62 49 Tabel Lampiran 5. Kriteria kelas lereng menurut Food and Agricultural Organization (FAO) Kemiringan Lereng (%) Kelas Lereng Kategori Datar/landai Berombak Bergelombang Berbukit Kecil Berbukit Curam Lereng Terjal >65 7 Lereng Sangat Terjal Sumber: FAO dalam Arifiyanto (2005) Gambar Lampiran 1. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penelitian dilakukan kurang lebih selama sebelas bulan yaitu sejak Februari 2009 hingga Januari 2010, sedangkan tempat penelitian dilakukan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH KABUPATEN BOGOR

BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH KABUPATEN BOGOR BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH KABUPATEN BOGOR 3.7. Kondisi Geografis dan Administratif Kabupaten Bogor merupakan salah satu kabupaten dalam lingkungan Provinsi Jawa Barat. Luas wilayah Kabupaten Bogor adalah

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 11 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Februari 2009 sampai Januari 2010 yang berlokasi di wilayah administrasi Kabupaten Bogor. Analisis data dilaksanakan

Lebih terperinci

Sekapur Sirih. Jakarta, Agustus 2010 Kepala Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, Ahmad Koswara, MA

Sekapur Sirih. Jakarta, Agustus 2010 Kepala Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, Ahmad Koswara, MA Sekapur Sirih Sebagai pengemban amanat Undang-undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik dan sejalan dengan rekomendasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai Sensus Penduduk dan Perumahan Tahun 2010

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penggunaan Lahan Lahan (land) adalah lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada diatasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu.

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu. 25 IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak dan luas DAS Cisadane segmen Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane secara keseluruhan terletak antara 106º17-107º BT dan 6º02-6º54 LS. DAS Cisadane segmen hulu berdasarkan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Febuari 2009 sampai Januari 2010, mengambil lokasi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengolahan dan Analisis

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR FISIK YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR FISIK YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS ANALISIS FAKTOR-FAKTOR FISIK YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus di Kabupaten Bogor, Jawa Barat) RANI YUDARWATI PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Kabupaten Bogor Penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 masih didominasi oleh lahan pertanian yaitu

Lebih terperinci

VI. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

VI. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 18 VI. KODII UMUM DARAH PLITIA 4.1 Letak dan Lokasi Kabupaten Bogor Kabupaten Bogor adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Ibukotanya adalah Cibinong. Kabupaten Bogor dengan luas wilayah

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN GUNUNG DEPOK SINDUR PARUNG RUMPIN CISEENG CIBINONG BOJONG GEDE KEMANG RANCA BUNGUR KOTA BOGOR CIBUNGBULANG CIAMPEA DRAMAGA

III. METODOLOGI PENELITIAN GUNUNG DEPOK SINDUR PARUNG RUMPIN CISEENG CIBINONG BOJONG GEDE KEMANG RANCA BUNGUR KOTA BOGOR CIBUNGBULANG CIAMPEA DRAMAGA 13 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kawasan Agropolitan Cendawasari yang terletak di, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Sedangkan, analisis spasial

Lebih terperinci

DATA UMUM 1. KONDISI GEOGRAFIS

DATA UMUM 1. KONDISI GEOGRAFIS DATA UMUM 1. KONDISI GEOGRAFIS Wilayah Kabupaten Bogor memiliki luas ± 298.838,31 Ha. Secara geografis terletak di antara 6⁰18'0" 6⁰47'10" Lintang Selatan dan 106⁰23'45" 107⁰13'30" Bujur Timur, dengan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 13 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari 2010 sampai Februari 2011 yang berlokasi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Kabupaten

Lebih terperinci

Gambar 7. Lokasi Penelitian

Gambar 7. Lokasi Penelitian III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat sebagai daerah penelitian yang terletak pada 6 56'49''-7 45'00'' Lintang Selatan

Lebih terperinci

BAB II DAERAH PENELITIAN & BAHAN

BAB II DAERAH PENELITIAN & BAHAN BAB II DAERAH PENELITIAN & BAHAN 2.1 Daerah Penelitian Daerah studi penelitian ini adalah Kabupaten dan Kota Bogor (Gambar 2.1). Secara geografis Kabupaten Bogor terletak di Propinsi Jawa Barat bagian

Lebih terperinci

ANALISIS SITUASI DAN KONDISI KABUPATEN BOGOR

ANALISIS SITUASI DAN KONDISI KABUPATEN BOGOR ANALISIS SITUASI DAN KONDISI KABUPATEN BOGOR Oleh : Drs. Adang Suptandar, Ak. MM Disampaikan Pada : KULIAH PROGRAM SARJANA (S1) DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA, IPB Selasa,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Keadaan Umum, Geografis dan Iklim Kabupaten Bogor Secara geografis Kabupaten Bogor terletak antara 6º18 0-6º47 10 Lintang Selatan dan 106º 23 45-107º 13 30 Bujur

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian 8 3 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah Kabupaten Bogor Jawa Barat yang secara geografis terletak pada 6º18 6º47 10 LS dan 106º23 45-107º 13 30 BT. Lokasi ini dipilih karena Kabupaten

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Letak dan Kondisi Fisik Wilayah

IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Letak dan Kondisi Fisik Wilayah IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Letak dan Kondisi Fisik Wilayah Kabupaten Bogor merupakan salah satu kabupaten dalam wilayah Propinsi Jawa Barat yang pada tahun 2004 memiliki luas wilayah 2.301,95 kilometer persegi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi

Lebih terperinci

METODE. Waktu dan Tempat

METODE. Waktu dan Tempat Dengan demikian, walaupun kondisi tanah, batuan, serta penggunaan lahan di daerah tersebut bersifat rentan terhadap proses longsor, namun jika terdapat pada lereng yang tidak miring, maka proses longsor

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI TENTANG PEMBENTUKAN, ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS PAJAK DAERAH PADA BADAN PENGELOLAAN PENDAPATAN DAERAH

PERATURAN BUPATI TENTANG PEMBENTUKAN, ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS PAJAK DAERAH PADA BADAN PENGELOLAAN PENDAPATAN DAERAH 6. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5494); 7. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH

BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH 2.1. Geografis, Administratif dan Kondisi Fisik 2.1.1 Geografis Secara geografis Kabupaten Bogor terletak diantara 6 18 0 6 47 10 Lintang Selatan dan 106 23 45 107 13 30 Bujur

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan Pengertian masyarakat adat berdasarkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun)

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Gambaran Wilayah Kabupaten Bogor Kabupaten Bogor merupakan salah satu Kabupaten di Jawa Barat yang memiliki potensi besar dalam sektor pertanian. Berdasarkan data

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BOGOR RINGKASAN PERUBAHAN APBD MENURUT URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DAN ORGANISASI TAHUN ANGGARAN 2015

PEMERINTAH KABUPATEN BOGOR RINGKASAN PERUBAHAN APBD MENURUT URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DAN ORGANISASI TAHUN ANGGARAN 2015 PEMERINTAH KABUPATEN BOGOR RINGKASAN APBD MENURUT TAHUN ANGGARAN 205 KODE PENDAPATAN DAERAH 2 3 4 5 = 4 3 URUSAN WAJIB 5,230,252,870,000 5,84,385,696,000 584,32,826,000 0 PENDIDIKAN 0 0 Dinas Pendidikan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Cidokom Kecamatan Rumpin. Kecamatan Leuwiliang merupakan kawasan

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Cidokom Kecamatan Rumpin. Kecamatan Leuwiliang merupakan kawasan V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5. Kecamatan Leuwiliang Penelitian dilakukan di Desa Pasir Honje Kecamatan Leuwiliang dan Desa Cidokom Kecamatan Rumpin. Kecamatan Leuwiliang merupakan kawasan pertanian

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara Geografis Kota Depok terletak di antara 06 0 19 06 0 28 Lintang Selatan dan 106 0 43 BT-106 0 55 Bujur Timur. Pemerintah

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27 Lintang Selatan dan 110º12'34 - 110º31'08 Bujur Timur. Di IV. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai lima Kabupaten dan satu Kotamadya, salah satu kabupaten tersebut adalah Kabupaten Bantul. Secara geografis,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 22 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai analisis data Landsat 7 untuk estimasi umur tanaman kelapa sawit mengambil daerah studi kasus di areal perkebunan PTPN VIII

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Penyebaran Desa IDT

HASIL DAN PEMBAHASAN Penyebaran Desa IDT HASIL DAN PEMBAHASAN Penyebaran Desa IDT Berdasarkan data yang diperoleh dari Bappeda Kabupaten Bogor, terdapat 80 desa yang tergolong pada desa tertinggal berdasarkan kriteria indeks desa tertinggal (IDT)

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 15 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Sub DAS Model DAS Mikro (MDM) Barek Kisi berada di wilayah Kabupaten Blitar dan termasuk ke dalam Sub DAS Lahar. Lokasi ini terletak antara 7 59 46 LS

Lebih terperinci

V. KARAKTERISTIK DAN KEMAMPUAN DAYA BELI MASYARAKAT MISKIN DI KABUPATEN BOGOR. Tabel. 22 Dasar Perwilayahan di Kabupaten Bogor

V. KARAKTERISTIK DAN KEMAMPUAN DAYA BELI MASYARAKAT MISKIN DI KABUPATEN BOGOR. Tabel. 22 Dasar Perwilayahan di Kabupaten Bogor V. KARAKTERISTIK DAN KEMAMPUAN DAYA BELI MASYARAKAT MISKIN DI KABUPATEN BOGOR 5.1 Zona Pengembangan Pertanian dan Perdesaan di Kabupaten Bogor Kabupaten Bogor berdasarkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah

Lebih terperinci

ARAHAN PEMANFAATAN DAYA DUKUNG LAHAN PERTANIAN DI KABUPATEN BOGOR

ARAHAN PEMANFAATAN DAYA DUKUNG LAHAN PERTANIAN DI KABUPATEN BOGOR Arahan Pemanfaatan Daya Dukung Lahan Pertanian di Kabupaten Bogor... (Kurniasari dkk.) ARAHAN PEMANFAATAN DAYA DUKUNG LAHAN PERTANIAN DI KABUPATEN BOGOR (Direction of Using Carrying Capacity Agricultural

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Lahan merupakan faktor input penting dalam berbagai aktivitas ekonomi

PENDAHULUAN. Lahan merupakan faktor input penting dalam berbagai aktivitas ekonomi I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan merupakan faktor input penting dalam berbagai aktivitas ekonomi seperti pertanian dan kehutanan, pemukiman penduduk, komersial, dan penggunaan untuk industri serta

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 14 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Bandung Barat yang merupakan kabupaten baru di Provinsi Jawa Barat hasil pemekaran dari Kabupaten Bandung. Kabupaten

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 31 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Kabupaten Bogor Wilayah Kabupaten Bogor memiliki luas ± 298.838, 304 hektar, yang secara geografis terletak di antara 6 o 18 0-6 o 47 lintang selatan dan 6

Lebih terperinci

TABEL 1 Nilai dan Kontribusi Sektor dalam PDRB Kabupaten Bogor Atas Dasar Harga Konstan Tahun

TABEL 1 Nilai dan Kontribusi Sektor dalam PDRB Kabupaten Bogor Atas Dasar Harga Konstan Tahun Data dan informasi perencanaan pembangunan daerah yang terkait dengan indikator kunci penyelenggaraan pemerintahan daerah, sebagaimana yang diinstruksikan dalam peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54

Lebih terperinci

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI 16 KONDISI UMUM WILAYAH STUDI Kondisi Geografis dan Administratif Kota Sukabumi terletak pada bagian selatan tengah Jawa Barat pada koordinat 106 0 45 50 Bujur Timur dan 106 0 45 10 Bujur Timur, 6 0 49

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI Administrasi Secara administrasi pemerintahan Kabupaten Sukabumi dibagi ke dalam 45 kecamatan, 345 desa dan tiga kelurahan. Ibukota Kabupaten terletak di Kecamatan

Lebih terperinci

Prediksi Spasial Perkembangan Lahan Terbangun Melalui Pemanfaatan Citra Landsat Multitemporal di Kota Bogor

Prediksi Spasial Perkembangan Lahan Terbangun Melalui Pemanfaatan Citra Landsat Multitemporal di Kota Bogor Prediksi Spasial Perkembangan Lahan Terbangun Melalui Pemanfaatan Citra Landsat Multitemporal di Kota Bogor Siti Zahrotunisa 1, Prama Wicaksono 2 1,2 Program Studi Kartografi dan Penginderaan Jauh, Departemen

Lebih terperinci

BAB V KELEMBAGAAN PENYULUHAN PERTANIAN DI KABUPATEN BOGOR

BAB V KELEMBAGAAN PENYULUHAN PERTANIAN DI KABUPATEN BOGOR BAB V KELEMBAGAAN PENYULUHAN PERTANIAN DI KABUPATEN BOGOR Bab ini menjelaskan berbagai aspek berkenaan kelembagaan penyuluhan pertanian di Kabupaten Bogor yang meliputi: Organisasi Badan Pelaksana an Pertanian,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

Gambar 9. Peta Batas Administrasi IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Letak Geografis Wilayah Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6 56'49'' - 7 45'00'' Lintang Selatan dan 107 25'8'' - 108 7'30'' Bujur

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM LOKASI. Gambar 2. Wilayah Administrasi Kabupaten Bogor. tanah di wilayah Kabupaten Bogor memiliki jenis tanah yang cukup subur

KEADAAN UMUM LOKASI. Gambar 2. Wilayah Administrasi Kabupaten Bogor. tanah di wilayah Kabupaten Bogor memiliki jenis tanah yang cukup subur 34 IV. KEADAAN UMUM LOKASI 4.1. Geografis Secara geografis Kabupaten Bogor terletak diantara 6 18"0" - 6 47"10" Lintang Selatan dan 106 23"45" - 107 13"30" Bujur Timur, yang berdekatan dengan Ibu kota

Lebih terperinci

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Kondisi Geografis Wilayah Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak antara 5 54' - 7 45' LS dan 106 22' - 108 50 BT dengan areal seluas 37.034,95

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Wilayah Bodetabek Sumber Daya Lahan Sumber Daya Manusia Jenis tanah Slope Curah Hujan Ketinggian Penggunaan lahan yang telah ada (Land Use Existing) Identifikasi Fisik Identifikasi

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret hingga bulan November 2009, bertempat di laboratorium dan di lapangan. Penelitian di lapangan ( pengecekan

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 Prosedur analisis citra untuk penggunaan tanah 1. Pra-pengolahan data atau pengolahan awal yang merupakan restorasi citra 2. Pemotongan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Penggunaan lahan Sub DAS Cisadane Hulu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Penggunaan lahan Sub DAS Cisadane Hulu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Sub DAS Cisadane Hulu Sub Daerah Aliran Sungai Cisadane Hulu merupakan bagian dari DAS Cisadane yang terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian hilir, tengah,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kawasan Hutan Adat Kasepuhan Citorek, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Pengambilan data lapangan dilaksanakan bulan Februari

Lebih terperinci

KONDISI UMUM. Bogor Tengah, Bogor Timur, Bogor Barat, Bogor Utara, Bogor Selatan, dan Tanah Sareal (Gambar 13).

KONDISI UMUM. Bogor Tengah, Bogor Timur, Bogor Barat, Bogor Utara, Bogor Selatan, dan Tanah Sareal (Gambar 13). 28 IV. KONDISI UMUM 4.1 Wilayah Kota Kota merupakan salah satu wilayah yang terdapat di Provinsi Jawa Barat. Kota memiliki luas wilayah sebesar 11.850 Ha yang terdiri dari 6 kecamatan dan 68 kelurahan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan banyak digunakan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, selain itu lahan

Lebih terperinci

APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG) DALAM ANALISIS SAWAH DAN TEGALAN BERDASARKAN KARAKTERISTIK FISIK LINDA SARIASIH

APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG) DALAM ANALISIS SAWAH DAN TEGALAN BERDASARKAN KARAKTERISTIK FISIK LINDA SARIASIH APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG) DALAM ANALISIS SAWAH DAN TEGALAN BERDASARKAN KARAKTERISTIK FISIK LINDA SARIASIH PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

Lebih terperinci

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN METODE PENELITIAN

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN METODE PENELITIAN APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DALAM EVALUASI DAERAH RAWAN LONGSOR DI KABUPATEN BANJARNEGARA (Studi Kasus di Gunung Pawinihan dan Sekitarnya Sijeruk Kecamatan Banjarmangu Kabupaten

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil 4 TINJAUAN PUSTAKA Makin banyak informasi yang dipergunakan dalam klasifikasi penutup lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil klasifikasinya. Menggunakan informasi multi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) 24/09/2012 10:58 Sistem (komputer) yang mampu mengelola informasi spasial (keruangan), memiliki kemampuan memasukan (entry), menyimpan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di daerah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Jawa Barat (Gambar 1). DAS Cipunagara berada dibawah pengelolaan

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Administrasi Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6º56'49'' - 7 º45'00'' Lintang Selatan dan 107º25'8'' - 108º7'30'' Bujur Timur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di bumi terdapat kira-kira 1,3 1,4 milyar km³ air : 97,5% adalah air laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah,

Lebih terperinci

KONDISI UMUM. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 12. Peta Adminstratif Kecamatan Beji, Kota Depok

KONDISI UMUM. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 12. Peta Adminstratif Kecamatan Beji, Kota Depok IV. KONDISI UMUM 4.1 Lokasi Administratif Kecamatan Beji Secara geografis Kecamatan Beji terletak pada koordinat 6 21 13-6 24 00 Lintang Selatan dan 106 47 40-106 50 30 Bujur Timur. Kecamatan Beji memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia baik yang berlangsung secara siklus atau permanen pada sumberdaya lahan alami maupun buatan guna terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan menegaskan bahwa air beserta sumber-sumbernya, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi

HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi 9 HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi Wilayah DAS Cileungsi meliputi wilayah tangkapan air hujan yang secara keseluruhan dialirkan melalui sungai Cileungsi. Batas DAS tersebut dapat diketahui dari

Lebih terperinci

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi Ukuran Hubungan antar obyek Informasi spasial dari obyek Pengambilan data fisik dari

Lebih terperinci

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI UNTUK KESESUAIAN LAHAN PERMUKIMAN KOTA BEKASI. Dyah Wuri Khairina

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI UNTUK KESESUAIAN LAHAN PERMUKIMAN KOTA BEKASI. Dyah Wuri Khairina APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI UNTUK KESESUAIAN LAHAN PERMUKIMAN KOTA BEKASI Dyah Wuri Khairina dyah.wuri.k@mail.ugm.ac.id Taufik Hery Purwanto taufikhery@mail.ugm.ac.id Abstract

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 12 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan mulai dari Bulan Juni sampai dengan Bulan Desember 2009. Penelitian ini terbagi atas pengambilan dan pengumpulan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi III. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Kondisi Fisiografi 1. Letak Wilayah Secara Geografis Kabupaten Sleman terletak diantara 110 33 00 dan 110 13 00 Bujur Timur, 7 34 51 dan 7 47 30 Lintang Selatan. Wilayah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM 7 BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Sejarah Singkat Perusahaan PT Lotus SG Lestari resmi berdiri sejak tahun 2011. Sebelum beralih kepemilikan PT Lotus SG Lestari bernama PT KML pada tahun yang sama. Adapun bisnis

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 6 3.3.5 Persamaan Hubungan RTH dengan Suhu Udara Penjelasan secara ilmiah mengenai laju pemanasan/pendinginan suhu udara akibat pengurangan atau penambahan RTH adalah mengikuti hukum pendinginan Newton,

Lebih terperinci

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Sub DAS pada DAS Bekasi Hulu Berdasarkan pola aliran sungai, DAS Bekasi Hulu terdiri dari dua Sub-DAS yaitu DAS Cikeas dan DAS Cileungsi. Penentuan batas hilir dari DAS Bekasi

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

ANALISIS PERKEMBANGAN DAERAH PEMUKIMAN DI KECAMATAN BALIK BUKIT TAHUN (JURNAL) Oleh: INDARYONO

ANALISIS PERKEMBANGAN DAERAH PEMUKIMAN DI KECAMATAN BALIK BUKIT TAHUN (JURNAL) Oleh: INDARYONO ANALISIS PERKEMBANGAN DAERAH PEMUKIMAN DI KECAMATAN BALIK BUKIT TAHUN 2005-2014 (JURNAL) Oleh: INDARYONO 1113034039 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI LAHAN PERTANIAN SAWAH BERDASARKAN INDEKS POTENSI LAHAN (IPL) DI KABUPATEN WONOSOBO PUBLIKASI KARYA ILMIAH

ANALISIS POTENSI LAHAN PERTANIAN SAWAH BERDASARKAN INDEKS POTENSI LAHAN (IPL) DI KABUPATEN WONOSOBO PUBLIKASI KARYA ILMIAH ANALISIS POTENSI LAHAN PERTANIAN SAWAH BERDASARKAN INDEKS POTENSI LAHAN (IPL) DI KABUPATEN WONOSOBO PUBLIKASI KARYA ILMIAH Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Derajat S-1 Program Studi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan dari bulan Juli sampai September 2011 di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Analisis Lingkungan

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Sejarah Kota Bekasi Berdasarkan Undang-Undang No 14 Tahun 1950, terbentuk Kabupaten Bekasi. Kabupaten bekasi mempunyai 4 kawedanan, 13 kecamatan, dan 95 desa.

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM WILAYAH

BAB IV KONDISI UMUM WILAYAH 57 BAB IV KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Gambaran Umum Kabupaten Bogor Kabupaten Bogor merupakan salah satu kabupaten dalam lingkungan Provinsi Jawa Barat. Luas wilayah Kabupaten Bogor adalah 298.838,304 Ha,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim merupakan salah satu isu yang paling hangat dibicarakan secara global belakangan ini. Meningkatnya gas rumah kaca di atmosfer adalah pertanda iklim

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

PERAMBAHAN KOTA (URBAN SPRAWL) TERHADAP LAHAN PERTANIAN DI KOTA MAKASSAR BERDASARKAN CITRA SATELIT LANDSAT 5 TM (STUDI KASUS KECAMATAN BIRINGKANAYA)

PERAMBAHAN KOTA (URBAN SPRAWL) TERHADAP LAHAN PERTANIAN DI KOTA MAKASSAR BERDASARKAN CITRA SATELIT LANDSAT 5 TM (STUDI KASUS KECAMATAN BIRINGKANAYA) PERAMBAHAN KOTA (URBAN SPRAWL) TERHADAP LAHAN PERTANIAN DI KOTA MAKASSAR BERDASARKAN CITRA SATELIT LANDSAT 5 TM (STUDI KASUS KECAMATAN BIRINGKANAYA) SRI WAHYUNI WERO G 621 08 264 Skripsi Hasil Pertanian

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD NASKAH PUBLIKASI Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan Mencapai derajat Sarjana

Lebih terperinci

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH 01. Teknologi yang terkait dengan pengamatan permukaan bumi dalam jangkauan yang sangat luas untuk mendapatkan informasi tentang objek dipermukaan bumi tanpa bersentuhan

Lebih terperinci

V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5. 1. Letak Geografis Kota Depok Kota Depok secara geografis terletak diantara 106 0 43 00 BT - 106 0 55 30 BT dan 6 0 19 00-6 0 28 00. Kota Depok berbatasan langsung dengan

Lebih terperinci

PENGARUH PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN KENYAMANAN DI WILAYAH PENGEMBANGAN TEGALLEGA, KOTA BANDUNG

PENGARUH PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN KENYAMANAN DI WILAYAH PENGEMBANGAN TEGALLEGA, KOTA BANDUNG PENGARUH PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN KENYAMANAN DI WILAYAH PENGEMBANGAN TEGALLEGA, KOTA BANDUNG DIAR ERSTANTYO DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN WILAYAH KABUPATEN SLEMAN

BAB III TINJAUAN WILAYAH KABUPATEN SLEMAN BAB III TINJAUAN WILAYAH KABUPATEN SLEMAN 3.1. Tinjauan Umum Kota Yogyakarta Sleman Provinsi Derah Istimewa Yogyakarta berada di tengah pulau Jawa bagian selatan dengan jumlah penduduk 3.264.942 jiwa,

Lebih terperinci