PENGARUH PEMBERIAN BAP DAN NAA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN TUNAS MIKRO KANTONG SEMAR (Nepenthes mirabilis) SECARA IN VITRO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGARUH PEMBERIAN BAP DAN NAA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN TUNAS MIKRO KANTONG SEMAR (Nepenthes mirabilis) SECARA IN VITRO"

Transkripsi

1 PENGARUH PEMBERIAN BAP DAN NAA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN TUNAS MIKRO KANTONG SEMAR (Nepenthes mirabilis) SECARA IN VITRO Oleh: YAYU ALITALIA A PROGRAM STUDI HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

2 RINGKASAN YAYU ALITALIA. Pengaruh Pemberian BAP dan NAA Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Tunas Mikro Kantong Semar (Nepenthes Mirabilis) Secara In Vitro. (Dibimbing oleh DINY DINARTI) Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh BAP dan NAA yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan tunas mikro kantong semar (Nepenthes mirabilis) secara in vitro. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2007 hingga Maret 2008 di Laboratorium Bioteknologi Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini disusun menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dua faktor yaitu konsentrasi BAP dan NAA pada media dasar yaitu ½ MS. Faktor pertama adalah BAP yang terdiri dari empat taraf konsentrasi, yaitu 0; 0.5; 1.0 dan 2.0 ppm. Faktor kedua adalah NAA dengan empat taraf konsentrasi, yaitu 0; 0.1; 0.2 dan 0.5 ppm. Penelitian ini terdiri dari 16 kombinasi perlakuan masingmasing diulang sebanyak 10 kali, sehingga terdapat 160 satuan percobaan dengan 1 eksplan untuk setiap satu satuan percobaan (1 botol kultur). Pengamatan dilakukan setiap hari dan minggu selama 16 minggu setelah tanam. Peubah yang diamati setiap hari yaitu: waktu inisiasi tunas, waktu inisiasi daun, waktu inisiasi kantong dan waktu inisiasi akar. Peubah yang diamati setiap minggu yaitu: jumlah tunas, jumlah daun, jumlah kantong dan jumlah akar. Peubah yang diamati pada akhir pengamatan yaitu: panjang daun terpanjang, panjang akar terpanjang dan tinggi tanaman. Sidik ragam menunjukkan pengaruh BAP nyata terhadap inisiasi tunas dan inisiasi daun dan sangat nyata terhadap inisiasi kantong, panjang daun terpanjang dan tinggi tanaman. BAP memberikan pengaruh yang nyata pada 2 MST dan sangat nyata pada 3 hingga 16 MST terhadap jumlah tunas yang terbentuk. BAP juga memberikan pengaruh yang nyata pada 3 MST dan sangat nyata pada 4 hingga 16 MST terhadap jumlah daun dan pengaruh sangat nyata terhadap jumlah kantong pada 5-16 MST. NAA memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap panjang akar terpanjang, panjang daun terpanjang, tinggi tanaman dan jumlah akar pada 10 hingga 16 MST. NAA memberi pengaruh nyata terhadap jumlah tunas pada 3 hingga 7 MST dan terhadap jumlah kantong pada 5 MST. NAA juga menunjukkan pengaruh sangat nyata terhadap jumlah daun pada 4 hingga 8 MST dan pengaruh nyata pada 9-14 MST dan 16 MST. Kombinasi antara BAP dan NAA hanya memberikan pengaruh sangat nyata terhadap panjang daun terpanjang (30.9 mm), jumlah tunas pada 2 MST (1.6 tunas per eksplan) dan jumlah daun pada 4 MST (4.1 daun per eksplan).

3 PENGARUH PEMBERIAN BAP DAN NAA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN TUNAS MIKRO KANTONG SEMAR (Nepenthes mirabilis) SECARA IN VITRO Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh: Yayu Alitalia A PROGRAM STUDI HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

4 Judul : PENGARUH PEMBERIAN BAP DAN NAA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN TUNAS MIKRO KANTONG SEMAR (Nepenthes mirabilis) SECARA IN VITRO Nama : Yayu Alitalia NRP : A Menyetujui, Dosen Pembimbing Ir. Diny Dinarti, MSi NIP Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr. NIP Tanggal Lulus :

5 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 13 maret Penulis merupakan putri pertama dari Bapak Lili Hanapi dan Ibu Aminah. Riwayat pendidikan penulis yaitu pada tahun 1998 lulus dari SD Negeri Puspanegara 03 Citeureup-Bogor, pada tahun 2001 lulus dari SLTP Negeri 1 Cibinong-Bogor, pada tahun 2004 lulus dari SMU Negeri 3 Bogor dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Program Studi Hortikultura. Selama kuliah penulis sempat menjadi panitia Festival Tanaman (FESTA) yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Agronomi (Himagron) ke-xxvi (2005), FESTA ke-xxvii (2006), Panitia Pelatihan Terarium (2006) dan menjadi panitia pada Hard Launching Indo Flower Nursery IPB (2008). Pada tahun 2005 penulis juga mendapat kesempatan magang di Agrowisata Strawberry Petik Sendiri di Kurnia Strawberry Ciwidey, Bandung selama 1 bulan.

6 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas berkat, rahmat dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pengaruh Pemberian BAP dan NAA Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Tunas Mikro Kantong Semar (Nepenthes Mirabilis) Secara In Vitro ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Ir Diny Dinarti, MSi selaku dosen pembimbing akademik dan pembimbing skripsi atas bimbingan, kesabaran, motivasi dan waktu hingga terselesaikannya skripsi ini. 2. Dr Ir Nurul Khumaida, MSi dan Ir Megayani Sri Rahayu, MS sebagai penguji atas masukan ilmu serta kritik dan sarannya. 3. Papa dan Mama tercinta yang telah memberikan segala kasih sayang, doa dan cinta yang tidak akan pernah terbalaskan. 4. M. Reza Cordova atas segala motivasi, semangat, bantuan dan dorongan yang telah diberikan. 5. Urip Sayekti, atas semua arahan dalam pelaksanaan penelitian ini. 6. Purnawati, Ardhanariswari, Rima dan Rini Riestiani atas semua bantuan dan waktu untuk saling berbagi suka dan duka. 7. Melly, Aji, Hanna, Mbak Retno, Mbak Ella, Doni, Eneng dan temanteman di Laboratorium Kultur Jaringan. 8. Noni, Kiki, Yesa, Heni, Rini, Mbak Ayi, Enggar, Nika, Roy, Mega dan teman-teman yang telah membantu dalam setiap kegiatan. 9. Teman-teman Hortikultura angkatan 41 serta semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukan. Bogor, Mei 2008 Penulis

7 DAFTAR ISI Halaman PENDAHULUAN... 1 Latar belakang... 1 Tujuan... 3 Hipotesis... 4 TINJAUAN PUSTAKA... 5 Botani dan Morfologi Kantong Semar... 5 Ekologi Kultur Jaringan Tanaman Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Kultur Jaringan Eksplan Media Kultur Zat Pengatur Tumbuh Kultur JaringanTanaman Karnivora BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian Pelaksanaan Sterilisasi Alat, Botol dan Media Tanam Pembuatan Larutan Stok Pembuatan Media Kultur Persiapan Ruang Tanam Penanaman Pemeliharaan Pengamatan HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Waktu Inisiasi Tunas Waktu Inisiasi Daun Waktu Inisiasi Kantong Waktu Inisiasi Akar Jumlah Tunas Jumlah Daun Jumlah Kantong Jumlah Akar Tinggi Tanaman Panjang Daun Terpanjang Panjang Akar Terpanjang... 45

8 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 51

9 DAFTAR TABEL Nomor Teks Halaman 1. Rekapitulasi Sidik Ragam Respon Peubah yang Diamati pada Kultur Nepenthes mirabilis Pengaruh Pemberian BAP terhadap Waktu Inisiasi Tunas, Inisiasi Daun, dan Inisiasi Kantong Nepenthes mirabilis Pengaruh Pemberian BAP dan NAA terhadap Waktu Inisiasi Akar Nepenthes mirabilis Pengaruh Pemberian BAP terhadap Rata-rata Jumlah Tunas Nepenthes mirabilis pada 2-16 MST Pengaruh Pemberian NAA terhadap Rata-rata Jumlah Tunas Nepenthes mirabilis pada 2-8 MST Pengaruh Interaksi BAP dan NAA terhadap Rata-rata Jumlah Tunas Nepenthes mirabilis pada 2 MST Pengaruh Pemberian BAP terhadap Rata-rata Jumlah Daun Nepenthes mirabilis pada 3-16 MST Pengaruh Pemberian NAA terhadap Rata-rata Jumlah Daun Nepenthes mirabilis pada 3-16 MST Pengaruh Interaksi BAP dan NAA terhadap Rata-rata Jumlah Daun Nepenthes mirabilis pada 4 MST Pengaruh Pemberian BAP terhadap Rata-rata Jumlah Kantong Nepenthes mirabilis pada 5-16 MST Pengaruh Pemberian NAA terhadap Rata-rata Jumlah Kantong Nepenthes mirabilis pada 5-16 MST Pengaruh Pemberian NAA terhadap Rata-rata Jumlah Akar Nepenthes mirabilis pada MST Pengaruh Pemberian BAP dan NAA terhadap Rata-rata Tinggi Tanaman Nepenthes mirabilis Pengaruh Pemberian BAP dan NAA terhadap Rata-rata Panjang Daun Terpanjang Nepenthes mirabilis Pengaruh Interaksi BAP dan NAA terhadap Rata-rata Panjang Daun Terpanjang Nepenthes mirabilis Pengaruh Pemberian NAA terhadap Rata-rata Panjang Akar Terpanjang Nepenthes mirabilis... 46

10 Nomor Lampiran Halaman 1. Komposisi Media Murashige-Skoog Sidik Ragam Waktu Inisiasi Tunas N.mirabilis Sidik Ragam Waktu Inisiasi Daun N.mirabilis Sidik Ragam Waktu Inisiasi Kantong N.mirabilis Sidik Ragam Waktu Inisiasi Akar N.mirabilis Sidik Ragam Panjang Daun Terpanjang N.mirabilis Sidik Ragam Panjang Akar Terpanjang N.mirabilis Sidik Ragam Tinggi Tanaman N.mirabilis Sidik Ragam Jumlah Tunas N.mirabilis pada 2-16 MST Sidik Ragam Jumlah Daun N.mirabilis pada 3-16 MST Sidik Ragam Jumlah Kantong N.mirabilis pada 5-16 MST Sidik Ragam Jumlah Akar N.mirabilis pada 6-16 MST... 60

11 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman Teks 1. (A) Nepenthes yang Merambat di Pohon... 5 (B) Menyemak Diatas Permukaan Tanah (A) Bunga Jantan N.mirabilis... 6 (B) Bunga Betina N.gracilis (A) Struktur Bunga Jantan... 6 (B) Struktur Bunga Betina (A) Buah N.mirabilis... 7 (B) Buah yang Telah Merekah (A) Biji yang Berasal dari Buah yang Matang... 7 (B) Biji yang Siap Ditanam (A) Tipe Kantong Atas... 8 (B) Tipe Kantong Bawah Serangga yang Terjebak di dalam Kantong (A) N.hookeriana x N.mirabilis (B) N.gracilis x N.mirabilis Struktur Molekul NAA Struktur Molekul BAP Tanaman Induk yang Digunakan Sebagai Eksplan (A) Kontaminasi yang Disebabkan oleh Cendawan (B) Kontaminasi yang Disebabkan oleh Bakteri Kantong yang Terbentuk pada Eksplan N.mirabilis (A) Tahap Perkembangan Eksplan dari Sebelum Bertunas (B) Tahap Perkembangan Eksplan Setelah 2 MST Inisiasi Daun pada Eksplan Nepenthes (A) Ukuran Daun Nepenthes pada Perlakuan NAA 0.2 ppm (B) Ukuran Daun Nepenthes pada Perlakuan NAA 0.5 ppm Inisiasi Kantong pada Eksplan Nepenthes Inisiasi Akar pada Eksplan Nepenthes (A) Jumlah Tunas yang Dihasilkan pada Perlakuan BAP 1 ppm (B) Jumlah Tunas yang Dihasilkan pada Perlakuan BAP 2 ppm (A) Jumlah Tunas yang Dihasilkan pada Perlakuan NAA 0.1 ppm (B) Jumlah Tunas yang Dihasilkan pada Perlakuan NAA 0.5 ppm... 34

12 21. Jumlah Tunas pada Perlakuan BAP 1 ppm + NAA 0.5 ppm Jumlah Daun Nepenthes pada Perlakuan Tanpa Penambahan Zat Pengatur Tumbuh Warna Daun pada Eksplan Nepenthes mirabilis Kantong yang Terbentuk pada Eksplan Nepenthes mirabilis Jumlah Akar dilihat dari Bagian Bawah Botol Kultur Bulu Akar pada Akar Nepenthes mirabilis (A) Tinggi Tanaman Nepenthes pada Perlakuan BAP 2 ppm (B) Perlakuan NAA 0.2 ppm + BAP 1 ppm Panjang Daun Terpanjang pada Perlakuan BAP 1 ppm + NAA 0.2 ppm Panjang Akar Terpanjang pada Perlakuan Tanpa Penambahan Zat Pengatur Tumbuh... 46

13 PENDAHULUAN Latar Belakang Nepenthes atau yang lebih dikenal dengan sebutan kantong semar merupakan salah satu tanaman unik dan langka yang ada di Indonesia. Menurut Direktorat Budidaya Tanaman Hias (2006), nepenthes merupakan jenis tumbuhan yang termasuk dalam CITES Appendix 1 Tahun Tanaman yang termuat di dalamnya merupakan jenis-jenis yang telah terancam punah (endangered) sehingga perdagangan internasional spesimen yang berasal dari habitat alam harus dikontrol dengan ketat dan hanya diperkenankan untuk kepentingan non komersial tertentu dengan izin khusus. Menurut Mansur (2007), terdapat 64 jenis nepenthes yang hidup di Indonesia dari sekitar 82 jenis yang ada di dunia. Borneo (Kalimantan, Serawak, Sabah dan Brunei) merupakan pusat penyebaran nepenthes di dunia dan saat ini terdapat sekitar 32 jenis nepenthes yang hidup disana. Sumatera menempati urutan kedua dengan jumlah sebanyak 29 jenis. Berdasarkan hasil penelusuran spesimen herbarium di Herbarium Bogorinse-Bogor, ditemukan bahwa di Sulawesi terdapat minimum 10 jenis, New Guinea 9 jenis, Maluku 4 jenis dan Jawa hanya terdapat 2 jenis nepenthes. Nepenthes diberi sebutan kantong semar karena ujung daunnya termodifikasi menjadi kantong seperti perut semar yang buncit. Kantong-kantong ini sangat menarik, karena bentuk dan warnanya yang indah. Keunikan lainnya terdapat pada kantung yang berbentuk corong berisi cairan yang di dalamnya dapat ditemukan berbagai jenis serangga. Penampilannya yang seperti ini menjadikannya sebagai tanaman yang unik jika dibandingkan dengan tanaman yang lain. Menurut Handayani (2006), tanaman ini memiliki potensi untuk dijadikan tanaman hias ornamental karena bentuk, warna dan ukurannya yang menarik. Tanaman nepenthes sebenarnya hanya menjadi tanaman liar di hutanhutan tempat asalnya. Kelestarian nepesthes semakin terancam akhir-akhir ini karena adanya konversi lahan. Keadaan ini justru sangat berbeda dengan kondisi

14 2 nepenthes di luar negeri. Tanaman ini banyak digemari dan bahkan pengembangan budidayanya jauh lebih maju. Semakin menyusutnya luasan hutan yang disertai kerusakan pada beberapa waktu ini, dikhawatirkan akan berdampak langsung terhadap berkurangnya populasi dan keanekaragaman nepenthes. Kepunahan nepenthes pun bisa terjadi jika hal ini tidak ditanggulangi. Usaha konservasi ex-situ perlu dilakukan dengan cara domestikasi melalui mekanisme budidaya dan pemuliaan (Mansur, 2007). Metode perbanyakan tanaman nepenthes yang banyak dilakukan selama ini adalah dengan menggunakan biji, stek dan pemisahan anakan. Cara perbanyakan melalui stek terbatas dari jumlah buku dan waktu yang relatif lama untuk menyiapkan tanaman induk siap stek (Sayekti, 2007). Suska (2006) dalam Sayekti (2007) juga menyatakan bahwa untuk mempersiapkan tanaman induk siap stek pada Nepenthes mirabilis yang berasal dari semai biji diperlukan waktu sekitar dua tahun. Metode perbanyakan dengan pemisahan anakan terbatas oleh sedikitnya jumlah anakan yang terbentuk. Pada Nepenthes mirabilis juga anakan jarang terbentuk. Salah satu alternatif metode perbanyakan yang dapat ditempuh adalah melalui kultur in vitro. Metode ini diharapkan mampu menghasilkan tanaman dalam skala besar dengan waktu yang relatif cepat serta kualitas tanaman yang dihasilkan menjadi lebih baik. Menurut Gunawan (1992), melalui kultur jaringan kebutuhan ketersediaan bibit tanaman dalam jumlah yang banyak dapat terpenuhi. Sudarmonowati et al. (2002) juga menambahkan bahwa perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan (in vitro) telah banyak dilakukan untuk tanaman yang bernilai ekonomi tinggi atau tanaman yang tergolong langka dan sulit dipropagasi dengan cara konvensional. Penelitian tentang pengaruh media terhadap pertumbuhan dan perkembangan Nepenthes mirabilis secara in vitro telah dilakukan sebelumnya oleh Sayekti (2007) dengan menghasilkan media perkecambahan yang terbaik adalah ¼ KC dan ½ MS. Pada penelitian ini juga diperoleh tanaman yang membentuk kalus dan multiplikasi tunas pada minggu ke-8 setelah berkecambah. Media yang mampu memberikan respon pertumbuhan tersebut adalah ¼ KC + Thidiazuron (TDZ) dan ½ MS + TDZ. Pertumbuhan tanaman pada media ini

15 3 berbeda dengan yang lain. Tanaman menjadi kerdil (abnormal), daun tidak berkantong, roset, berukuran kecil dengan jumlah yang banyak. Hal ini diduga disebabkan oleh aktivitas TDZ sebagai sitokinin yang sangat aktif walaupun dalam konsentrasi yang sangat rendah. Menurut Maryani dan Zamroni (2005), perbanyakan krisan secara kultur jaringan melalui multiplikasi tunas dapat menghemat waktu dan dapat diperoleh bibit dalam jumlah banyak. Keseimbangan antara BAP dan IAA juga sangat penting dalam menginduksi tunas karena masing-masing zat pengatur tumbuh tersebut mempunyai peranan dalam menginduksi tunas. Hal ini menunjukkan bahwa sitokinin (termasuk BAP) dan auksin (termasuk IAA) berperanan saling melengkapi dalam menginduksi tunas. Keadaan ini juga dibuktikan oleh kombinasi BAP 1 ppm dan IAA 1 ppm yang memberikan penggandaan tunas krisan terbanyak. Sudarmonowati et al. (2002) juga menyatakan, respon tanaman untuk menghasilkan tunas baru (multiplikasi tunas) atau kalus embriogenik bervariasi dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain bagian tanaman yang digunakan, umur fisiologis bagian tersebut atau umur pohon induk, jenis (spesies) tanaman dan prosedur perbanyakan termasuk jenis zat pengatur tumbuh yang ditambahkan pada media. Tujuan 1. Mempelajari pengaruh BAP pada pertumbuhan dan perkembangan tunas mikro Nepenthes mirabilis. 2. Mempelajari pengaruh NAA pada pertumbuhan dan perkembangan tunas mikro Nepenthes mirabilis. 3. Mendapatkan perlakuan terbaik untuk pertumbuhan dan perkembangan tunas mikro Nepenthes mirabilis.

16 4 Hipotesis 1. Terdapat pengaruh BAP pada pertumbuhan dan perkembangan tunas mikro Nepenthes mirabilis. 2. Terdapat pengaruh NAA pada pertumbuhan dan perkembangan tunas mikro Nepenthes mirabilis. 3. Terdapat interaksi BAP dan NAA terbaik untuk pertumbuhan dan perkembangan tunas mikro Nepenthes mirabilis.

17 TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Kantong Semar Nepenthes pada sistem klasifikasi tanaman termasuk dalam kerajaan Plantae, filum Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, Subkelas Dilleniidae, Ordo Nepenthales, famili Nepenthaceae, dan genus Nepenthes (Mansur, 2007). Menurut James dan Pietropaolo (1996), tanaman nepenthes merupakan herba tahunan yang mempunyai batang sangat kasar dengan diameter lebih dari 2 inchi (5 cm). Pada beberapa spesies panjang batang nepenthes dapat mencapai hingga 66 kaki (20 m). Batang tersebut merambat diantara semak belukar dan pohon atau dapat juga menyemak di atas permukaan tanah (Gambar 1). (A) (B) Gambar 1. Nepenthes yang Merambat di Pohon (Mansur, 2007) (A), dan Menyemak Diatas Permukaan Tanah (Tim Redaksi, 2006) (B). Nepenthes termasuk jenis tanaman berumah dua. Satu tanaman berupa tanaman jantan dan yang lainnya betina, tidak keduanya. Bunga dihasilkan dari bagian apex pada batang tanaman yang telah dewasa (Gambar 2). Untuk menghasilkan biji pada tanaman ini dibutuhkan pollen dari tanaman jantan untuk di transfer ke stigma pada tanaman betina (Gambar 3). Ovary akan berkembang menjadi buah setelah fertilisasi berlangsung (Clarke, 1997).

18 6 (A) (B) Gambar 2. Bunga Jantan N.mirabilis (Mansur, 2007) (A), dan Bunga Betina N.gracilis (Tim Redaksi, 2006) (B). anters column stigma ovary sepal pedicel (A) (B) Gambar 3. Struktur Bunga Jantan (A), dan Bunga Betina (B) (Clarke, 1997) Buah nepenthes membutuhkan waktu sekitar 3 bulan untuk berkembang penuh hingga masak setelah masa fertilisasi (Gambar 4.A). Ketika masak, buah akan retak menjadi empat bagian dan biji-bijinya akan terlepas (Gambar 4.B). Penyebaran biji biasanya dengan bantuan angin. Kapsul buah nepenthes tersebut banyak yang rusak karena gigitan ngengat. Ngengat biasanya memakan buah nepenthes yang sedang berkembang (Clarke, 1997).

19 7 (A) (B) Gambar 4. Buah N.mirabilis (Mansur, 2007) (A), dan Buah yang Telah Merekah (Tim Redaksi, 2006) (B). Biji yang dihasilkan tanaman nepenthes memiliki sayap yang panjangnya dapat mencapai 30 mm, sangat ringan dengan endosperm yang kecil (Gambar 5). Terdapat lebih dari 500 biji dalam satu kapsul biji yang masak, tapi diantaranya banyak yang merupakan biji-biji steril. Biji-biji tersebut juga hanya sedikit yang mampu bertahan hidup hingga menjadi tanaman dewasa. (A) (B) Gambar 5. Biji yang Berasal dari Buah yang Matang ( (A), dan Biji yang Siap Ditanam (B). Bentuk batang dari tiap tanaman kantong semar berbeda tergantung dari spesiesnya. Batang berbentuk segitiga dimiliki oleh N. gracillis dan N. reinwardtiana; batang segi empat dimiliki oleh N. spathulata; dan batang bersudut dimiliki oleh N. andrianii. Batang ini berwarna hijau, kadang-kadang ungu tua atau merah tua. Daun kantong semar akan muncul di ruas-ruas batang

20 dengan jarak tetap, pada ujung daun tersebut akan muncul sulur panjang yang tipis, sulur ini menjadi penopang ketika ia merambat ke pohon lain dan di ujung sulur inilah akan muncul kantong-kantong yang sangat unik (Tim Redaksi, 2006). Daun nepenthes mempunyai helaian yang panjang berwarna hijau sampai hijau kekuningan dengan calon kantong terdapat di luar helaian daun keluar dari sulur berbentuk silinder dengan ukuran sama panjang atau lebih panjang dari daun. Ujung sulur yang berwarna kuning kehijauan berkembang menjadi kantong pada lingkungan yang sesuai (James dan Pietropaolo, 1996). Tiap spesies tanaman nepenthes memiliki tipe kantong yang berbeda. Secara umum tanaman ini memiliki dua tipe kantong, yaitu kantong atas dan bawah (Gambar 6). Kantong bawah (kantong roset) biasanya memiliki mulut yang lebar. Kantong roset muncul pada tanaman yang relatif muda atau yang sudah dipangkas. Kantong atas bentuknya cenderung seperti corong jika dibandingkan kantong bawah. Kantong atas juga menyimpan cairan dalam jumlah sedikit dibandingkan kantong bawah sehingga lebih ringan. Kantong tersebut muncul pada ujung sulur yang memiliki warna dan bentuk yang beragam. Kantong itu juga berlubang dan terbuka, dengan tepi lubang yang disebut peristome. Kantong tertutup oleh penutup yang beraneka macam bentuknya pada awal pembentukan (Tim Redaksi, 2006). Struktur tambahan berambut kelenjar Penutup 8 Peristome/bibir sulur Zona pencernaan sayap A B Gambar 6. Tipe Kantong Nepenthes, Tipe Kantong Atas (A), dan Tipe Kantong Bawah (B) (Clarke, 1997).

21 9 Biasanya serangga-serangga mendatangi kantong nepenthes karena tertarik oleh bentuk, warna dan aroma dari cairan nepenthes yang khas (Gambar 7). Cairan ini berguna untuk menjebak serangga atau binatang kecil lainnya yang terbang mengerumuni, sehingga terjerumus masuk ke dalam kantung (Pudjiastuti et al., 1997). Cairan khas ini sebenarnya merupakan enzim yang disebut proteolase. Enzim ini dikeluarkan oleh kelenjar yang ada pada dinding kantong di zona pencernaan yang berfungsi sebagai enzim pengurai. Enzim ini juga dikenal dengan sebutan nepenthesin, bekerja dengan cara menguraikan protein serangga atau binatang lain yang terperangkap di dalam cairan kantong menjadi zat-zat yang lebih sederhana, seperti nitrogen, fosfor, kalium dan garam-garam mineral. Zat-zat sederhana inilah yang kemudian diserap oleh tanaman untuk kebutuhan hidupnya. Aktivitas enzim ini sangat dipengaruhi oleh ph (keasaman) cairan kantong dan setiap jenis nepenthes memiliki nilai ph yang berbeda, umumnya di bawah 4 (Mansur, 2007). Gambar 7. Serangga yang Terjebak di dalam Kantong (Tim Redaksi, 2006).

22 10 Ekologi Seperti kebanyakan carnivorous plant lainnya, nepenthes tumbuh pada tanah yang miskin unsur hara, seperti tanah kapur, tanah pasir, tanah merah dan tanah gambut. Umumnya, tanah-tanah tersebut kekurangan unsur nitrogen dan fosfor. Dengan kondisi ini sering kali nepenthes dijadikan sebagai indikator bahwa tempat tersebut merupakan tanah marginal (Mansur, 2007). Dilihat dari segi geografis, tanaman ini tumbuh di daerah tropis yang basah dan tersebar mulai dari Madagaskar, Kepulauan Seychelles, Srilanka, India, menyebrang ke Cina, Asia Tenggara, Papua, Australia dan Kaledonia Baru. Menurut James dan Pietropaolo (1996), penyebaran nepenthes juga terbatas di daerah-daerah tropis di dunia. Clarke (1997) menambahkan bahwa populasi paling banyak terdapat di Pulau Kalimantan dan Sumatra. Menurut Mansur (2007), N. mirabilis memiliki daya adaptasi lebih tinggi daripada N. gracilis dan jenis nepenthes lainnya. Jenis ini dapat hidup di berbagai habitat pada tempat-tempat yang basah dan kering. Penyebaran N. mirabilis juga sangat luas di Asia Tenggara. Di Indonesia tumbuh mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi hingga ke Irian Jaya. N. mirabilis umumnya ditemukan tumbuh baik di bawah ketinggian 500 m dpl pada tanah podsolik merah, tanah liat, tanah gambut, maupun tanah kapur. Tanaman ini juga sering tumbuh bersama dengan jenis nepenthes lainnya, khususnya N. reinwardthiana, N. rafflesiana, N. gracilis, N. ampullaria dan N. bicalcarata sehingga sering terjadi silang alami antara N. mirabilis dan jenis nepenthes lain (Gambar 8). (A) (B) Gambar 8. N.hookeriana x N.mirabilis (Tim Redaksi, 2006), dan N.gracilis x N.mirabilis (Mansur, 2007) (B).

23 11 Kultur Jaringan Tanaman Kultur jaringan merupakan suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan dan organ, serta menumbuhkannya dalam kondisi yang aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap kembali. Pada mulanya, orientasi teknik kultur jaringan hanya pada pembuktian teori totipotensi sel. Kemudian hal ini menjadi sarana penelitian di bidang fisiologi tanaman dan aspek-aspek biokimia tanaman (Gunawan, 1987). Perbanyakan mikro beberapa tanaman yang biasa diperbanyak secara vegetatif, merupakan contoh aspek yang menarik dari penerapan kultur jaringan. Teknik kultur jaringan juga dapat diterapkan dalam pemuliaan tanaman untuk mempercepat pencapaian tujuan dan membantu dimana cara-cara konvensional menemui rintangan alamiah (Gunawan, 1987). Teknik kultur jaringan tanaman terdiri dari beberapa tahapan yang secara umum terdiri dari: tahap persiapan, tahap inisiasi kultur, tahap multiplikasi tunas, tahap pemanjangan tunas, induksi akar dan perkembangan akar dan tahap terakhir berupa pemindahan ke rumah kaca (aklimatisasi). Salah satu teknik yang dilakukan di kultur jaringan yaitu subkultur. Subkultur merupakan pemindahan kultur ke media yang baru, baik media yang sama maupun media yang komposisi kimianya berbeda (Gunawan, 1992). Subkultur dapat menjadi kebutuhan untuk memperbanyak tanaman dan mempertahankan kultur (George dan Sherrington, 1984). Pierik (1987) juga menyatakan bahwa subkultur perlu dilakukan jika unsur hara dan hormon yang terdapat pada media telah berkurang atau habis, untuk merubah pola pertumbuhan dan perkembangan kultur, serta bila kultur telah memenuhi botol kultur. Cahaya dalam kultur jaringan berguna untuk mengatur proses-proses morfogenik tertentu seperti pembentukan pucuk dan akar, dan tidak untuk fotosintesis karena sumber energi bagi eksplan telah disediakan oleh sukrosa (George dan Sherrington, 1984). Cahaya juga penting dalam pengendalian perkembangan eksplan dan unsur-unsur cahaya yang perlu diperhatikan adalah kualitas cahaya, panjang penyinaran dan intensitas cahaya. Temperatur ruang kultur juga menentukan respon fisiologi kultur dan kecepatan pertumbuhannya

24 12 (Gunawan, 1987). Armini et al. (1991), menambahkan bahwa fotosintesis jaringan sebagian besar jenis tanaman secara in vitro sangat rendah dan sebagian besar tergantung pada suplai sukrosa dari luar (medium kultur). Dalam hal ini cahaya sangat penting untuk fotomorfogenesis. Fotomorfogenesis merupakan proses menginduksi perkembangan suatu tanaman dan tidak melibatkan energi cahaya dalam jumlah besar. Reaksi fotomorfogenesis dibagi menurut tipe bagian spektrum yang menghasilkan respon. Respon yang utama adalah yang diinduksi oleh spekrum cahaya merah atau biru. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Kultur Jaringan Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan propagul in vitro adalah eksplan, media tanam, kondisi fisik media, Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) dan lingkungan tumbuh (Wattimena et al., 1992). Eksplan Eksplan merupakan sebutan bagi bahan tanaman yang dikulturkan. Menurut Harjadi (1989) bagian tanaman yang dijadikan sebagai eksplan mencakup ujung pucuk (shoot tips), irisan-irisan batang, daun, daun bunga, daun keping biji, akar, buah, embrio, meristem pucuk apikal (yang betul-betul merupakan titik tumbuh) dan jaringan nuselar. Rasco jr dan Maquilan (2005) menggunakan eksplan biji pada studi perkecambahan N. truncata, dan Sayekti (2007) juga menggunakan eksplan biji pada studi perkecambahan N. mirabilis dan N. ampularia. Menurut Gunawan (1987), eksplan harus diusahakan agar dalam keadaan aseptik melalui prosedur sterilisasi dengan berbagai bahan kimia. Melalui eksplan yang aseptik kemudian diperoleh kultur yang axenik yaitu kultur dengan hanya satu macam organisme yang diinginkan. Eksplan yang ditanam pada media tumbuh yang tepat dapat beregenerasi melalui proses yang disebut organogenesis atau embriogenesis. Organogenesis merupakan suatu proses terbentuknya organ-organ seperti pucuk dan akar. Sedangkan embriogenesis merupakan suatu proses terbentuknya embrio somatik.

25 13 Embrio yang terbentuk ini bukan dari zigot, melainkan dari sel biasa dari tubuh tanaman (Gunawan, 1987). Menurut Gunawan (1987), ukuran eksplan yang dikulturkan turut menentukan keberhasilan dari suatu teknik kultur jaringan. Ukuran eksplan yang terlalu kecil akan kurang daya tahannya bila dikulturkan. Sedangkan bila ukurannya terlalu besar akan sulit didapatkan eksplan yang steril. Mariska dan Sukmadjaja (2003) juga menambahkan bahwa ukuran eksplan yang dapat digunakan dalam teknik kultur jaringan bervariasi dari ukuran mikroskopik (± 0,1 mm) hingga 5 cm. Media Kultur Gunawan (1987) menyatakan bahwa keberhasilan dalam penggunaan metode kultur jaringan sangat bergantung pada media yang digunakan. Media ini tidak hanya menyediakan unsur hara (makro dan mikro) tetapi juga karbohidrat (gula) untuk menggantikan karbon yang biasanya didapat dari atmosfer melalui fotosintesis. Hasil yang lebih baik akan kita peroleh, bila ke dalam media tersebut ditambahkan vitamin, asam amino dan zat pengatur tumbuh. Umumnya media kultur jaringan tersusun atas komposisi hara makro, hara mikro, vitamin, gula, asam amino dan N-organik, persenyawaan kompleks alamiah (air kelapa, ekstak ragi, juice tomat, dsb), buffer, arang aktif, zat pengatur tumbuh (terutama auksin dan sitokinin) dan bahan pemadat. Faktor lain yang tidak kalah penting dalam teknik kultur jaringan adalah pengaturan ph media. Tingkat kemasaman media harus diatur supaya tidak mengganggu fungsi membran sel dan ph sitoplasma (Gunawan, 1987). Gamborg dan Shyluk (1981) menambahkan bahwa sel-sel tanaman membutuhkan ph yang sedikit asam berkisar antara Secara umum menurut Armini (1991), pembentukan tunas secara in vitro baik melalui morfogenesis langsung maupun tidak langsung sangat tergantung pada jenis dan konsentrasi yang tepat dari senyawa organik, in-organik dan zat pengatur tumbuh. Namun tidak berarti bahwa suatu kombinasi medium hanya untuk satu jenis tanaman.

26 14 Penambahan agar-agar ke dalam kultur bertujuan agar terjadinya kontak antara jaringan tanaman, media dan udara. Jika media berbentuk cair, kultur harus selalu digoyangkan dengan shaker agar aerasi yang baik tetap terjaga. Jika media tersebut tidak digoyang-goyangkan, eksplan akan tenggelam seluruhnya yang dapat menyebabkan terjadinya kematian eksplan karena kondisi anaerobik (Wetherell, 1982). Sayekti (2007) menyatakan media ½ MS mampu menghasilkan waktu inisiasi berkecambah tercepat pada perkecambahan Nepenthes mirabilis (37.61 HST), jumlah daun terbanyak dan tanaman paling tinggi (3.99 mm). Tinggi tanaman terendah (1.07 mm) diperoleh pada media MS. Hal ini diduga terjadi karena adanya penghambatan pertumbuhan pada media MS yang disebabkan oleh konsentrasi garam yang tinggi. Zat Pengatur Tumbuh Zat pengatur tumbuh (ZPT) didefinisikan sebagai senyawa organik bukan nutrisi yang aktif dalam jumlah kecil ( mm) yang disintesiskan pada bagian tertentu tanaman dan pada umumnya diangkut ke bagian lain tanaman dimana zat tersebut menimbulkan tanggapan secara biokimia, fisiologis dan morfologis (Wattimena, 1988). Dua golongan zat pengatur tumbuh yang penting dalam kultur jaringan yaitu auksin dan sitokinin. Zat pengatur tumbuh ini mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel dan organ. Interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh yang diberikan dalam media dan yang diproduksi oleh sel secara endogen menentukan arah perkembangan suatu kultur (Gunawan, 1987). Armini et al. (1991) menambahkan bahwa untuk pertumbuhan dan perkembangan kultur in vitro diperlukan komposisi dan atau konsentrasi zat pengatur tumbuh yang berbeda untuk satu varietas dengan varietas lain dari suatu tanaman. Penentuan taraf konsentrasi juga disesuaikan dengan tipe organ atau eksplan, metode kultur jaringan dan tingkat kultur jaringan (pembuatan kalus, induksi tunas, induksi akar, dan lain-lain).

27 15 Auksin banyak digunakan secara luas pada kultur jaringan dalam merangsang pertumbuhan kalus, suspensi sel dan organ (Gunawan, 1987). Bentuk-bentuk auksin yang biasa ditambahkan ke dalam media kultur adalah 2.4- D (2.4 Diclorophenoxy Asetic Acid), IBA (Indole Butyric Acid), NAA (Naphthalene Asetic Acid) dan IAA (Indole-3-Acetic Acid). Auksin yang secara alami terdapat dalam tumbuhan adalah IAA. Menurut Wattimena (1988), setelah ditemukan IAA sebagai salah satu fitohormon yang penting, maka disintesis senyawa-senyawa serupa dan diuji keaktifan biologis dari senyawa-senyawa tersebut. Asam naftalena asetat (NAA) dan 2.4-D merupakan senyawa tanpa ciri indol tapi mempunyai aktivitas biologis seperti IAA. NAA banyak digunakan sebagai hormon akar dan selang konsentrasi yang mendorong pembesaran sel-sel pada akar adalah sangat rendah. Menurut Zaer dan Mapes (1985), NAA memiliki sifat kimia lebih stabil dibanding IAA dan tidak mudah teroksidasi oleh enzim. Anwar (2007) menambahkan bahwa NAA merupakan IAA sintetik yang sering digunakan karena memiliki sifat yang lebih tahan, tidak terdegradasi dan lebih murah. Naphthalene Asetic Acid/Naphtyl Acetic Acid (NAA) memiliki berat molekul dengan rumus molekul C 12 H 10 O 2 (Gambar 9). Gambar 9. Struktur Molekul NAA Sitokinin merupakan senyawa organik yang menyebabkan pembelahan sel yang dikenal dengan proses sitokinesis. Menurut Wattimena (1988), sitokinin mempengaruhi berbagai proses fisiologis di dalam tanaman terutama mendorong pembelahan sel. Selain itu menurut Armini (1991), sitokinin juga berpengaruh dalam ploriferasi tunas ketiak, penghambatan pertumbuhan akar dan induksi umbi mikro pada kentang. Sitokinin yang biasa digunakan adalah kinetin, zeatin, 2iP (N 6-2-Isopentanyl Adenin), BAP (6-Benzyl Amino Purin), PBA, 2C 1-4 PU, 2.6- C1-4 dan TDZ (thidiazuron) (Gunawan, 1987).

28 16 6-Benzyl amino purine (BAP) merupakan sitokinin sintesis yang memiliki berat molekul sebesar dengan rumus molekul C 12 H 11 N 5. Wattimena (1988) menambahkan bahwa BAP merupakan turunan adenin yang disubstitusi pada posisi 6 adalah yang memiliki aktivitas kimia paling aktif (Gambar 10). Gambar 10. Stuktur Molekul BAP ( Hasil penelitian Maryani dan Zamroni (2005), pada penggandaan tunas krisan secara in vitro apabila perlakuan tanpa BAP (0 ppm) ternyata memberikan jumlah akar banyak dan kecenderungan jumlah akar menurun dengan meningkatnya konsentrasi BAP. Keadaan ini membuktikan bahwa BAP mampu menekan pertumbuhan akar. Kemampuan menghambat pertumbuhan akar ini sangat penting dalam penggandaan tunas atau (multiplikasi). Nursandi (2006) juga menambahkan bahwa BAP dan TDZ bisa menghambat pembentukan akar nenas secara spontan pada konsentrasi yang berbeda, yaitu BAP dengan konsentrasi µm sedangkan TDZ dengan konsentrasi 4.54 x 10-2 µm. Menurut Supriati et al., (2006), zat pengatur tumbuh BAP juga telah banyak digunakan pada berbagai spesies tanaman karena dapat meningkatkan multiplikasi tunas secara langsung maupun tidak langsung. Aktivitas sitokinin tergantung juga dari aktivitas fitohormon yang lainnya, terutama auksin baik dalam efek menghambat maupun efek yang mendorong pembelahan sel (Wattimena, 1988). Sitokinin dan auksin memiliki peran yang sangat penting dalam hal menginduksi tunas adventif. Nisbah keduanya akan menentukan apakah suatu kalus akan membentuk tunas adventif, akar, atau tunas adventif dan akar (Armini et al., 1991). Menurut Gunawan (1992), nisbah auksinsitokinin yang tinggi akan mendorong morfogenesis akar, sebaliknya nisbah sitokinin-auksin yang tinggi akan mendorong pembentukan tunas.

29 17 Kultur Jaringan Tanaman Karnivora Salah satu yang meneliti perbanyakan tanaman karnivora secara in vitro yaitu Rasco dan Maquilan (2005) tentang perkecambahan Nepenthes truncata secara in vitro yang menghasilkan waktu inisiasi perkecambahan tercepat 18 hari setelah tanam (HST). Pada peubah persentase inisiasi perkecambahan hasil yang terbaik yaitu pada perlakuan media ¼ WPM (17.5%) diikuti ¾ KC (14 %) dan KC (13.8 %). Pada peubah rata-rata perkecambahan terbaik pada media MS (1.8 % perkecambahan per hari) dan peubah perkecambahan akhir terbaik pada media KC (95 %). Pada peubah bentuk kantong, kondisi daun dan panjang pucuk terbaik pada media ¼ KC. Penelitian tentang pengaruh media terhadap pertumbuhan dan perkembangan Nepenthes mirabilis secara in vitro telah dilakukan oleh Sayekti (2007) dengan menghasilkan media perkecambahan yang terbaik adalah ¼ KC dan ½ MS. Media ½ MS mampu menghasilkan waktu inisiasi berkecambah tercepat yaitu pada HST, tanaman tertinggi dengan nilai 3.99 mm dan jumlah daun terbanyak setiap minggu. Media ¼ KC menghasilkan waktu inisiasi kecambah pada HST dan terbukti dapat menghasilkan jumlah akar terbanyak pada setiap minggu selama 12 minggu setelah tanaman berkecambah dan daun terpanjang (9.11 mm). Perbedaan waktu inisiasi diduga dipengaruhi oleh perbedaan spesies dan perbedaan masa simpan sebelum biji dikecambahkan.

30 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini berlangsung mulai bulan Oktober 2007 hingga Maret Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bahan dan Alat Bahan tanaman yang digunakan adalah tunas mikro Nepenthes mirabilis. yang merupakan hasil dari penelitian Sayekti (2007) di Laboratorium Kultur Jaringan, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Media yang digunakan adalah ½ MS ditambah dengan zat pengatur tumbuh, yaitu sitokinin (BAP) dan auksin (NAA). Pengaturan ph media dengan menambahkan KOH (1 N) atau HCl (1 N). Bahan yang digunakan untuk sterilisasi berupa alkohol 70%. Bahan lainnya adalah agar-agar, gula pasir, aquades, karet gelang, plastik, tissue, spirtus dan label. Alat yang digunakan antara lain botol kultur, pipet, cawan petri, labu takar, alat ukur gelas, pinset, gunting, scalpel, mata pisau, timbangan, ph paper, hand sprayer, bunsen, autoklaf dan laminar air flow cabinet. Rak penyimpanan kultur dilengkapi dengan lampu fluorescence yang mempunyai intensitas lux sebagai sumber penyinaran dengan suhu ruang C. Metode Penelitian Penelitian ini disusun menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua faktor yaitu konsentrasi BAP dan NAA pada media dasar yaitu ½ MS. Faktor pertama adalah BAP yang terdiri dari empat taraf konsentrasi, yaitu 0 ppm; 0.5 ppm; 1.0 ppm dan 2.0 ppm. Faktor kedua adalah NAA dengan empat taraf konsentrasi, yaitu 0 ppm; 0.1 ppm; 0.2 ppm dan 0.5 ppm. Penelitian ini terdiri dari 16 kombinasi perlakuan, masing-masing diulang sebanyak 10 kali sehingga terdapat 160 satuan percobaan dengan 1 eksplan untuk setiap ulangannya (1 botol kultur).

31 19 Model statistika yang digunakan sebagai berikut: Y ijk = µ + α i + β j + (αβ) ij + ε ijk Dimana: Y ijk = Nilai pengamatan unit percobaanpada taraf perlakuan BAP ke-i, NAA ke-j, dan ulangan ke-k µ = Nilai tengah umum α i β j (αβ) ij ε ijk = Pengaruh BAP ke-i = Pengaruh NAA ke-j = Nilai tambah pengaruh interaksi BAP ke-i dan NAA ke-j = Galat percobaan i = 1, 2, 3 dan 4 j = 1, 2, 3 dan 4 k = 1, 2, dan 10 Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan uji F pada sistem SAS (Statistical Analysis Sistem). Perlakuan yang berpengaruh nyata pada uji F diuji lanjut menggunakan DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada taraf 5%. Pelaksanaan Sterilisasi Alat, Botol dan Media Tanam Sterilisasi merupakan kunci keberhasilan dari pelaksanaan kultur jaringan. Botol dan alat-alat yang akan dipakai dalam pembuatan media dan penanaman tunas nepenthes dicuci hingga bersih kemudian disterilkan ke dalam autoklaf pada temperatur C dengan tekanan 17.5 psi dengan waktu satu jam. Penghitungan waktu dimulai saat tekanan yang diinginkan telah dicapai. Alat-alat yang perlu disterilkan yaitu pinset, gunting, pengaduk, erlenmeyer, botol kultur, gelas piala dan cawan petri. Pembuatan larutan stok Larutan stok dibuat sesuai dengan komposisi media MS yang disimpan dalam erlenmeyer dengan konsentrasi yang lebih pekat. Larutan stok F, vitamin dan myo-inositol disimpan dalam lemari es sedangkan stok A, B, C, D dan E disimpan dalam suhu kamar. Pembuatan larutan stok ini bertujuan untuk

32 memudahkan pekerjaan dalam pembuatan media. Larutan stok ini kemudian disimpan dalam lemari es. 20 Pembuatan Media Kultur Media yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu media ½ MS. Media ½ MS dibuat dengan memipet 10 ml larutan stok A, 10 ml larutan stok B, 2.5 ml larutan stok C, D dan E, 5 ml larutan stok F, 10 ml vitamin, 5 ml larutan stok myoinositol ke dalam labu takar satu liter (Tabel Lampiran 1). Setelah itu ditambahkan NAA sebanyak 1 ml untuk mendapatkan media dengan konsentrasi 0.1 mg/l dari stok 100 mg/l NAA dan BA sebanyak 1 ml untuk mendapatkan media dengan konsentrasi 0.1 mg/l dari stok 100 mg/l BA. Kemudian gula dilarutkan sebanyak 20 gram dalam aquades dan dimasukkan ke dalam larutan media setelah disaring lebih dahulu. Volume ditetapkan dengan menambahkan aquades hingga 1 liter. Kemasaman media diukur menggunakan ph meter 6.0 diatur dengan penambahan KOH atau HCl. Larutan media tersebut dipindahkan ke panci pemanas yang volumenya 1 liter lalu ditambahkan agar-agar sebanyak 6 gram. Larutan media tersebut di panaskan sambil diaduk-aduk. Botol kultur yang telah steril disiapkan untuk menempatkan larutan agar-agar tersebut. Larutan media yang telah mendidih dituang ke botol kultur yang telah disiapkan. Botol ditutup rapat dengan plastik setelah semua media dituang ke botol kultur. Botol-botol yang telah terisi media disterilkan dengan autoklaf pada suhu C dan tekanan 17.5 psi selama 30 menit. Media steril disimpan dalam ruang penyimpan media. Media ini dapat digunakan setelah diinkubasi selama 4 hari dan bebas dari kontaminasi. Persiapan Ruang Tanam Seluruh permukaan laminar air flow cabinet sebelumnya dibersihkan terlebih dahulu dengan di lap menggunakan alkohol 70% lalu di sterilkan dengan sinar Ultra Violet selama 1 jam sebelum proses penanaman dilakukan. Semua alat dan bahan yang akan dipakai harus disemprot dengan alkohol 70% sebelum dimasukkan ke dalam laminar air flow cabinet. Hal ini dilakukan untuk menghindari resiko bahan penelitian terkontaminasi.

33 21 Penanaman Eksplan tunas Nepenthes mirabilis dikeluarkan dari botol kultur dan dipilih yang memiliki penampilan baik. Kriteria tunas yang baik yaitu tanaman Nepenthes mirabilis yang pertumbuhannya baik, daunnya hijau cerah tidak berwarna kuning, tidak vitrus, pertumbuhannya tidak merana seperti kekurangan hara dan tidak berbentuk kalus. Eksplan diperoleh dari tunas yang dipotong dari pangkal batang tanpa akar, tiap potongan masing-masing memiliki 5 buku. Ujung tanaman yang memiliki tunas apikal di potong agar semua eksplan seragam. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan dominasi tunas apikal pada pucuk tersebut. Potongan kecil ini kemudian ditanam di media perlakuan. Setiap botol kultur terdiri dari 1 eksplan. Botol kultur diletakkan di rak kultur di bawah cahaya penuh. Pemeliharaan Botol kultur diletakkan pada rak kultur selama 16 minggu. Kondisi ruang kultur dijaga pada suhu C dan dijaga kebersihannya agar terhindar dari kontaminasi.

34 22 Pengamatan Pengamatan dilakukan setiap hari dan minggu selama 16 minggu setelah tanam. Peubah yang diamati: 1. Waktu inisiasi tunas, diamati setiap hari setelah tanam. 2. Waktu inisiasi daun, diamati setiap hari setelah eksplan bertunas. 3. Waktu inisiasi kantong, diamati setiap hari setelah eksplan memiliki daun. 4. Waktu inisiasi akar, diamati setiap hari selama 16 minggu setelah tanam. 5. Jumlah tunas diamati setiap minggu setelah tanam. 6. Jumlah daun diamati setiap minggu dimulai setelah munculnya tunas. 7. Jumlah kantong diamati setiap minggu dimulai setelah munculnya daun. 8. Jumlah akar diamati setiap minggu dimulai setelah munculnya tunas. 9. Panjang daun terpanjang, panjang akar terpanjang dan tinggi tanaman diamati pada minggu terakhir pengamatan dengan cara mengeluarkan tanaman dari botol kultur kemudian diukur menggunakan milimeter block.

35 23 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Eksplan (tunas mikro Nepenthes mirabilis) yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Sayekti (2007) di Laboratorium Kultur Jaringan, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ekplan tersebut telah berumur sekitar satu tahun (Gambar 11). Gambar 11. Tanaman Induk yang Digunakan Sebagai Eksplan. Kontaminasi terjadi pada minggu ketiga setelah tanam (MST) sebesar 15%. Terjadinya kontaminasi pada eksplan diduga karena beberapa hal, antara lain kurang sterilnya ruang tanam maupun laminar air flow cabinet saat penanaman dan ruang kultur yang terekspos lingkungan luar yang tidak steril serta kurangnya perlakuan sterilisasi pada ruang kultur. Kontaminan yang ditemukan selama pengamatan yaitu cendawan dan bakteri (Gambar 12). Kultur yang terkontaminasi cendawan ditandai dengan adanya benang-benang hifa maupun spora cendawan pada tunas, media ataupun botol kultur, sedangkan tunas yang terkontaminasi oleh bakteri ditandai dengan munculnya lendir pada eksplan maupun pada media perlakuan. Menurut Gunawan (1992), inisiasi kultur yang bebas kontaminasi merupakan langkah yang sangat penting. Kontaminan akan tumbuh dengan cepat pada media yang mengandung gula, vitamin dan mineral

36 24 bila faktor kontaminasi tidak dihilangkan. Eksplan dapat mati sebagai akibat langsung dari serangan cendawan atau bakteri atau secara tidak langsung akibat persenyawaan toksik yang diproduksi cendawan atau bakteri. (A) (B) Gambar 12. Kontaminasi yang Disebabkan oleh Cendawan (A); dan yang Disebabkan oleh Bakteri (B). Eksplan pada penelitian ini menghasilkan kantong seperti tanaman yang berada di lapang. Kantong terbentuk di setiap ujung daun. Kantong-kantong tersebut memiliki ukuran yang beragam menyesuaikan dengan bentuk daun yang ada (Gambar 13). Gambar 13. Kantong yang Terbentuk pada Eksplan N.mirabilis.

37 25 Rekapitulasi sidik ragam (Tabel 1) menunjukkan pengaruh BAP nyata terhadap inisiasi tunas dan inisiasi daun dan sangat nyata terhadap inisiasi kantong, panjang daun terpanjang dan tinggi tanaman. BAP memberikan pengaruh yang nyata pada 2 MST dan sangat nyata pada 3 hingga 16 MST terhadap jumlah tunas yang terbentuk. BAP juga memberikan pengaruh yang nyata pada 3 MST dan sangat nyata pada 4 hingga 16 MST terhadap jumlah daun dan pengaruh sangat nyata terhadap jumlah kantong pada 5-16 MST. NAA memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap panjang akar terpanjang, panjang daun terpanjang, tinggi tanaman dan jumlah akar pada 10 hingga 16 MST. NAA memberi pengaruh nyata terhadap jumlah tunas pada 3 hingga 7 MST dan terhadap jumlah kantong pada 5 MST. NAA juga menunjukkan pengaruh sangat nyata terhadap jumlah daun pada 4 hingga 8 MST dan pengaruh nyata pada 9-14 MST dan 16 MST. Kombinasi antara BAP dan NAA memberikan pengaruh sangat nyata terhadap panjang daun terpanjang, jumlah tunas pada 2 MST dan jumlah daun pada 4 MST.

38 26 Tabel 1. Rekapitulasi Sidik Ragam Respon Peubah yang Diamati pada Kultur Nepenthes mirabilis Peubah Perlakuan BAP NAA BAP*NAA 1 Inisiasi Akar tn tn tn 2 Inisiasi Daun * tn tn 3 Inisiasi Tunas * tn tn 4 Inisiasi Kantong ** tn tn 5 Panjang Akar Terpanjang 16 MST tn ** tn 6 Panjang Daun Terpanjang 16 MST ** ** ** 7 Tinggi tanaman 16 MST ** ** tn 8 Jumlah Tunas a 2 MST * tn ** 3 MST ** tn tn 4-7 MST ** * tn 8-16 MST ** tn tn 9 Jumlah Daun a 3 MST * tn tn 4 MST ** ** ** 5-8 MST ** ** tn 9-14 MST ** * tn 15 MST ** tn tn 16 MST ** * tn 10 Jumlah Kantong a 5 MST ** * tn 6-16 MST ** tn tn 11 Jumlah Akar a 6-9 MST tn tn tn MST tn ** tn Keterangan: tn : Tidak nyata pada uji F 5% * : Nyata pada uji F 5% ** : Sangat nyata pada uji F 5% a : Hasil Transformasi (x+0.5) MST : Minggu Setelah Tanam

39 27 Waktu Inisiasi tunas Berdasarkan hasil sidik ragam, pemberian kombinasi BAP dan NAA tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap waktu inisiasi tunas mikro Nepenthes mirabilis. Pengaruh yang nyata diperoleh dari pemberian BAP secara tunggal (Tabel 2). Pemberian BAP hingga 1 ppm mampu menghasilkan waktu inisiasi tunas tercepat. memperlambat waktu inisiasi tunas. BAP (ppm) Peningkatan konsentrasi BAP menjadi 2 ppm justru Tabel 2. Pengaruh Pemberian BAP terhadap Waktu Inisiasi Tunas, Inisiasi Daun dan Inisiasi kantong Nepenthes mirabilis. Inisiasi Tunas (HST) Inisiasi Daun (HST) Inisiasi Kantong (HST) b 29.1 b 41.4 c b 29.7 b 52.7 b b 27.3 b 56.0 b a 35.7 a 69.7 a Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5% Data pada tabel 2 memperlihatkan waktu inisiasi tunas terjadi pada konsentrasi BAP rendah atau tanpa pemberian BAP. Hal ini diduga adanya akumulasi sitokinin endogen yang cukup tinggi pada tanaman induk nepenthes yang dijadikan eksplan, sehingga dengan pemberian BAP lebih dari 1 ppm akan menghambat inisiasi tunas. Pada perbanyakan klon lili yang dilakukan oleh Setiawati (2003), konsentrasi sitokinin yang tinggi akan mempercepat inisiasi tunas. Waktu inisiasi tunas lili paling cepat terjadi pada klon pada media MS + BA 2 mg/l + NAA 1 mg/l (13 HST). Klon yang paling lambat bertunas yaitu klon 500-3, pada media MS + BA 1 mg/l + NAA 1 mg/1 (23 HST). Menurut Gunawan (1992), sitokinin sering berperan penting dalam pengaturan pembelahan sel. Mufa adi (2003) juga menyatakan tanaman terpacu untuk lebih cepat melakukan multiplikasi tunas disebabkan oleh pemberian sitokinin BAP. Pada penelitian ini pengaruh BAP 0, 0.5 dan 1 ppm tidak menghasilkan perbedaan yang nyata dalam mempercepat waktu munculnya tunas sehingga tanpa pemberian BAP pun dapat menginisiasi tunas mikro Nepenthes dengan cepat. Menurut Sudarmonowati et al. (2002), apabila penggunaan tanpa

40 28 hormon tidak berpengaruh nyata maka tidak diperlukan penggunaan BAP sehingga biaya produksi akan jauh lebih murah. Tahap inisiasi tunas diawali dengan munculnya calon tunas berupa tonjolan kecil menyerupai calon batang berwarna hijau (Gambar 14). Umumnya inisiasi tunas ini terjadi pada minggu kedua setelah tanam, sekitar satu minggu kemudian muncul daun pertama yang berukuran sangat kecil pada tunas tersebut. Tunas baru (A) (B) Gambar 14. Tahap Perkembangan Eksplan dari Sebelum Bertunas (A) dan Setelah 2 MST (B). Waktu Inisiasi Daun Berdasarkan hasil sidik ragam, kombinasi BAP dan NAA tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap waktu inisiasi daun. Pemberian BAP secara tunggal memberikan pengaruh yang nyata terhadap waktu inisiasi daun (Tabel 2). Pemberian BAP hingga 1 ppm mampu menghasilkan waktu inisiasi daun tercepat. Hasil ini sesuai dengan waktu inisiasi tunas pada tabel 2, karena inisiasi daun terjadi setelah inisiasi tunas sebelumnya. Inisiasi daun terbentuk sekitar satu minggu setelah adanya inisiasi tunas pada eksplan. Daun pertama yang terbentuk berukuran sangat kecil (Gambar 15). Daun pertama ukurannya seperti tereduksi dan belum memiliki kantong di ujungnya. Daun yang terbentuk berikutnya memiliki ukuran dan bentuk yang normal.

41 29 Gambar 15. Inisiasi Daun pada Eksplan Nepenthes. Bentuk dan ukuran daun eksplan umumnya normal seperti tanaman induk. Pada perlakuan NAA 0.1 ppm, NAA 0.2 ppm dan NAA 0.5 ppm ukuran daun seperti tereduksi sehingga berukuran kecil (Gambar 16). Hal ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan eksplan tersebut lambat. Keadaan ini diduga karena perlakuan tersebut tidak mendapat tambahan sitokinin eksogen, yaitu BAP. (A) Gambar 16. Ukuran Daun Nepenthes pada Perlakuan NAA 0.2 ppm (A) dan Perlakuan NAA 0.5 ppm (B). (B)

42 30 Waktu Inisiasi Kantong Pemberian BAP secara tunggal memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap waktu inisiasi kantong Nepenthes mirabilis. Data pada tabel 2 memperlihatkan perlakuan tanpa pemberian BAP mampu memberikan waktu inisiasi kantong tercepat. Pemberian BAP 2 ppm justru memberikan waktu inisiasi kantong paling lama. Hal ini terjadi karena BAP 2 ppm memiliki waktu inisiasi daun terlama sehingga proses pembentukan kantong pun menjadi terhambat. Inisiasi kantong nepenthes terjadi setelah daun terbentuk sempurna. Kantong-kantong tersebut umumnya mulai terbentuk pada daun kedua di setiap eksplan (Gambar 17). Kantong yang terbentuk mulanya berukuran sangat kecil dan lama-kelamaan akan membesar menyesuaikan dengan ukuran daunnya. Gambar 17. Inisiasi Kantong pada Eksplan Nepenthes. Waktu Inisiasi Akar Berdasarkan hasil sidik ragam, pemberian BAP dan NAA memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap waktu inisiasi akar tunas Nepenthes mirabilis, baik secara tunggal maupun kombinasi. Umumnya akar akan terbentuk apabila nisbah konsentrasi sitokinin dan auksin rendah. Menurut Sukawan (2000), pembentukan akar selain dipengaruhi oleh pemberian auksin eksogen juga dipengaruhi oleh perbedaan genetik yang disebabkan oleh eksplan yang digunakan dan kandungan sitokinin endogennya.

43 31 Tabel 3. Pengaruh Pemberian BAP dan NAA terhadap Waktu Inisiasi Akar Nepenthes mirabilis Perlakuan Waktu Inisiasi Akar (HST) BAP (ppm) NAA (ppm) Menurut Sukawan (2000), pembentukan akar ditentukan oleh keseimbangan yang tepat antara auksin dan nutrisi. Auksin bertindak sebagai trigger pada level transkripsi dan nutrisi sebagai sumber karbon untuk mengatur translasi dalam sintesis protein yang diperlukan untuk diferensiasi aktivitas kambium menjadi primordial akar dan perkembangan dari primordial akar. Inisiasi akar yang terjadi pada penelitian ini membutuhkan waktu yang cukup lama (Gambar 18). Menurut Pierik (1987), sitokinin efektif dalam menghambat inisiasi akar. Rasco jr dan Maquilan (2005) juga menambahkan bahwa untuk menghindari tekanan osmotik, kekurangan air dan nutrisi memungkinkan terjadinya penghambatan pertumbuhan akar pada perkecambahan Nepenthes truncata di media MS. Gambar 18. Inisiasi Akar pada Eksplan Nepenthes.

44 32 Jumlah Tunas Pemberian BAP dan NAA secara tunggal memberikan pengaruh nyata terhadap rata-rata jumlah tunas Nepenthes mirabilis pada 2-16 MST. Kombinasi pemberian NAA dan BAP hanya memberikan hasil yang nyata terhadap jumlah tunas pada 2 MST. Rata-rata jumlah tunas umumnya meningkat pada semua perlakuan BAP setiap minggunya (Tabel 4). Penggunaan 0, 0.5 dan 1 ppm BAP tidak berbeda nyata terhadap rata-rata jumlah tunas yang dihasilkan. Pemberian BAP 2 ppm menghasilkan jumlah tunas yang lebih rendah daripada pemberian konsentrasi BAP yang lain. BAP (ppm) Tabel 4. Pengaruh Pemberian BAP Terhadap Rata-rata Jumlah Tunas Nepenthes mirabilis pada 2-16 MST Waktu Pengamatan (MST) b 3.1 a 4.1 a 4.7 a 4.9 a 5.3 a 5.3 a b 2.6 a 3.8 a 4.4 a 4.8 a 5.0 a 5.0 a a 2.8 a 3.8 a 4.6 a 4.6 a 4.9 a 4.9 a b 1.8 b 2.8 b 2.9 b 3.1 b 3.2 b 3.2 b Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5% Data merupakan hasil transformasi (x+0.5). Data pada tabel 4 memperlihatkan bahwa nepenthes sudah mampu menghasilkan rata-rata jumlah tunas yang banyak dengan konsentrasi BAP yang rendah atau tanpa penambahan BAP. Pemberian BAP hingga 1 ppm menghasilkan jumlah tunas yang banyak, sedangkan BAP 2 ppm menunjukkan penurunan jumlah tunas (Gambar 19). Hal ini diduga karena adanya kandungan sitokinin endogen yang cukup tinggi pada eksplan, sehingga dengan penambahan BAP berkonsentrasi rendah sudah mampu merangsang tanaman untuk manghasilkan tunas yang banyak.

45 33 (A) (B) Gambar 19. Jumlah Tunas yang Dihasilkan pada Perlakuan BAP 1 ppm (A) dan Perlakuan BAP 2 ppm (B). Penelitian kultur kaspea yang telah dilakukan oleh Wydiastuti (2001), juga menghasilkan jumlah tunas yang semakin banyak dengan meningkatnya konsentrasi BAP hingga 1 ppm, sedangkan BAP 2 ppm menunjukkan penurunan jumlah tunas. Menurut Wydiastuti (2001), diduga pada konsentrasi 2 ppm tanaman sudah tidak responsif terhadap penambahan BAP dan pertumbuhannya menjadi terhambat. Tanaman yang tidak diberikan NAA mampu menghasilkan jumlah tunas paling banyak pada 5 hingga 8 MST (Tabel 5). Semakin meningkatnya konsentrasi NAA, jumlah tunas yang dihasilkan semakin sedikit (Gambar 20). Keadaan ini terjadi karena pada konsentrasi yang tinggi auksin akan menghambat pertumbuhan tunas. Hal ini sesuai dengan yang diutarakan oleh Gunawan (1992), dimana nisbah auksin-sitokinin yang tinggi akan mendorong morfogenesis akar, sebaliknya nisbah sitokinin-auksin yang tinggi akan mendorong pembentukan tunas.

46 34 NAA (ppm) Tabel 5. Pengaruh Pemberian NAA Terhadap Rata-rata Jumlah Tunas Nepenthes mirabilis pada 2-8 MST Waktu Pengamatan (MST) ab 3.7 a 3.9 a 4.2 a a 3.5 a 3.7 a 3.8 ab ab 3.2 ab 3.5 ab 3.7 ab b 2.9 b 3.1 b 3.3 b 3.6 Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT Data merupakan hasil transformasi (x+0.5). (A) (B) Gambar 20. Jumlah Tunas yang Dihasilkan pada Perlakuan NAA 0.1 ppm (A) dan Perlakuan NAA 0.5 ppm (B). Data pada tabel 6 memperlihatkan pengaruh interaksi BAP dan NAA, perlakuan BAP 1 ppm + NAA 0.5 ppm merupakan perlakuan yang mampu menghasilkan jumlah tunas terbanyak pada 2 MST yaitu 1.6 tunas per eksplan (Gambar 21). Menurut Sayekti (2007), pertumbuhan nepenthes setelah berkecambah relatif lambat jika dibandingkan dengan pertumbuhan tanaman herbaceous lain secara in vitro tetapi jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan pertumbuhan tanaman Nepenthes di lapang.

47 35 NAA (ppm) Tabel 6. Pengaruh Interaksi BAP dan NAA Terhadap Rata-rata Jumlah Tunas Nepenthes mirabilis pada 2 MST BAP (ppm) bc 0.3 bc 0.7 abc 0.3 bc c 0.0 c 0.8 abc 0.4 bc c 1.4 ab 0.2 c 0.3 bc bc 0.0 c 1.6 a 0.2 c Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5% Data merupakan hasil transformasi (x+0.5). Gambar 21. Jumlah Tunas pada Perlakuan BAP 1 ppm + NAA 0.5 ppm. Jumlah Daun Pemberian BAP dan NAA sebagai faktor tunggal memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah daun Nepenthes mirabilis. Kombinasi pemberian BAP dan NAA memberikan pengaruh yang nyata hanya pada 4 MST. Rata-rata jumlah daun umumnya meningkat untuk perlakuan BAP setiap minggu (Tabel 7). Jumlah daun terbanyak dihasilkan oleh perlakuan tanpa pemberian BAP pada 6 hingga 16 MST. Seperti halnya jumlah tunas pada tabel 4, pemberian BAP 0, 0.5 dan 1 ppm mampu menghasilkan rata-rata jumlah daun paling banyak. Penggunaan BAP dalam konsentrasi rendah atau tidak ditambahkan BAP cukup efisien untuk menghasilkan jumlah daun yang banyak.

48 36 BAP (ppm) Tabel 7. Pengaruh Pemberian BAP Terhadap Rata-rata Jumlah Daun Nepenthes mirabilis pada 3-16 MST Waktu Pengamatan (MST) b 1.5 a 10.8 a 13.6 a 15.5 a 16.1 a a 5.9 a 9.5 a 12.2 a 15.3 a 15.8 a ab 6.4 a 9.9 a 12.8 a 14.7 a 15.7 a b 2.7 b 4.6 b 6.4 b 8.1 b 8.5 b Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5% Data merupakan hasil transformasi (x+0.5). Pertumbuhan daun pada nepenthes tergolong cukup lambat. Keadaan ini diindikasikan dari sedikitnya jumlah daun yang terbentuk setiap minggunya. Menurut Sayekti (2007), jumlah daun pada tanaman Nepenthes dapat dijadikan sebagai indikator jumlah buku dimana dalam tiap buku tersebut terdapat satu helai daun. Sedikitnya jumlah buku mempengaruhi jumlah bagian tanaman untuk disubkultur atau diperbanyak pada tahapan berikutnya. Data pada tabel 8 memperlihatkan tanpa pemberian NAA mampu memberikan jumlah daun terbanyak pada setiap minggu pengamatan. Pemberian NAA 0.5 ppm menghasilkan jumlah daun lebih sedikit dari perlakuan lain NAA (ppm) Tabel 8. Pengaruh Pemberian NAA Terhadap Rata-rata Jumlah Daun Nepenthes mirabilis pada 3-16 MST Waktu Pengamatan (MST) a 10.3 a 12.9 a a b 8.8 ab 11.4 ab ab b 8.2 b 10.7 ab ab b 7.6 b 10.0 b b Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT Data merupakan hasil transformasi (x+0.5).

49 Data pada tabel 9 memperlihatkan interaksi BAP dan NAA yang mampu memberikan jumlah daun terbanyak pada 4 MST yaitu perlakuan tanpa pemberian BAP dan NAA (4.1 daun per eksplan). Hal ini diduga karena tanaman memiliki kandungan sitokinin endogen yang cukup tinggi, sehingga tanpa penambahan BAP dan NAA tanaman dapat menghasilkan jumlah daun yang banyak (Gambar 22). Tabel 9. Pengaruh Interaksi BAP dan NAA Terhadap Rata-rata Jumlah Daun Nepenthes mirabilis pada 4 MST NAA (ppm) BAP (ppm) a 2.7 ab 2.7 abc 1.0 cde e 1.7 bcd 2.7 abc 0.9 cde de 3.5 ab 2.0 abc 0.4 de bcde 0.4 de 1.9 bcd 0.4 de Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5% Data merupakan hasil transformasi (x+0.5). 37 Gambar 22. Jumlah Daun Nepenthes pada Perlakuan Tanpa Penambahan Zat Pengatur Tumbuh. Warna daun yang terbentuk secara umum tidak berbeda untuk semua perlakuan yaitu hijau kekuningan (Gambar 23). Warna kekuningan daun ini diduga karena tanaman kekurangan unsur besi dan magnesium pada media. Salisbury dan Ross (1995) menyatakan bahwa belum diketahui dengan jelas mengapa kekahatan besi dengan cepat dapat menghambat pembentukan klorofil. Tapi ada dua atau tiga macam enzim yang mengkatalis reaksi tertentu dalam

50 38 sintesis klorofil tampaknya memerlukan Fe 2+. Salah satu bentuk besi yang mantap dan banyak terdapat di daun disimpan dalam kloroplas sebagai kompleks besi-protein yang disebut fitoferitin. Lakitan (2004) menambahkan bahwa kekurangan magnesium juga dapat menyebabkan tanaman tidak dapat membentuk klorofil dengan sempurna. Magnesium merupakan unsur penyusun klorofil dan aktivator dari berbagai enzim dalam reaksi fotosintesis, respirasi, dan pembentukan DNA dan RNA. Gambar 23. Warna Daun pada Eksplan Nepenthes mirabilis. Sayekti (2007) juga mengemukakan warna kuning pada daun tanaman nepenthes disebabkan oleh pertumbuhan sel yang terlalu cepat tetapi tidak diikuti oleh pembentukan klorofil yang cepat. Selain itu diduga kandungan sukrosa pada media juga telah habis diserap tanaman, sehingga tanaman kekurangan sukrosa yang mengakibatkan daun berwarna kekuningan. Jumlah Kantong Pemberian BAP secara tunggal memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap jumlah kantong pada 5 hingga 16 MST. Jumlah kantong umumnya meningkat pada semua perlakuan BAP setiap minggunya (Tabel 10). Pemberian BAP hingga 1 ppm mampu menghasilkan jumlah kantong paling banyak. Hal ini sesuai dengan tabel 7, pemberian BAP hingga 1 ppm menghasilkan jumlah daun paling banyak sehingga akan menghasilkan jumlah kantong yang banyak juga.

51 39 BAP (ppm) Tabel 10. Pengaruh Pemberian BAP Terhadap Rata-rata Jumlah Kantong Nepenthes mirabilis pada 5-16 MST Waktu Pengamatan (MST) a 3.5 a 5.9 a 7.8 a 9.1 a 10.5 a 11.2 a a 3.3 a 4.6 a 6.6 a 7.9 a 9.6 a 10.6 a a 2.8 a 5.0 a 6.3 a 8.1 a 10.0 a 10.5 a b 1.3 b 1.9 b 2.8 b 3.5 b 4.5 b 5.9 b Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5% Data merupakan hasil transformasi (x+0.5). Pemberian NAA secara tunggal memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah kantong N.mirabilis hanya pada 5 MST (Tabel 11). Jumlah kantong pada minggu berikutnya tidak berbeda nyata pada semua perlakuan. Hal ini menunjukkan pemberian NAA tidak memberikan pengaruh terhadap jumlah kantong N.mirabilis yang dihasilkan. NAA (ppm) Tabel 11. Pengaruh Pemberian NAA Terhadap Rata-rata Jumlah Kantong Nepenthes mirabilis pada 5-16 MST Waktu Pengamatan (MST) a ab b b Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5% Data merupakan hasil transformasi (x+0.5). Kantong pada tanaman nepenthes merupakan modifikasi dari daun. Strukturnya di alam, daun akan membentuk sulur panjang terlebih dahulu baru membentuk kantong di bagian ujung sulur tersebut. Pada penelitian ini, kantongkantong nepenthes langsung terbentuk di bagian ujung daun tanpa pembentukan sulur terlebih dahulu (Gambar 24). Hal ini diduga karena kantong belum berfungsi sebagai penyedia hara bagi tanaman. Ketersediaan hara bagi tanaman sudah dipenuhi oleh zat hara pada media yang diberikan.

52 40 Gambar 24. Kantong yang Terbentuk pada Eksplan Nepenthes mirabilis. Jumlah Akar Hasil sidik ragam menunjukkan kombinasi pemberian BAP dan NAA memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap rata-rata jumlah akar setiap minggunya. Pengaruh yang nyata terhadap rata-rata jumlah akar diperoleh dari pemberian NAA secara tunggal. Jumlah akar umumnya meningkat setiap minggunya. Data pada tabel 12 memperlihatkan bahwa perlakuan tanpa pemberian NAA menghasilkan rata-rata jumlah akar terbanyak pada MST. Hal ini menunjukkan bahwa eksplan yang dikulturkan tanpa penambahan NAA memperlihatkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan perlakuan yang lain. Menurut Ammirato (1986) dalam Marlin (2005), beberapa sel tanaman dapat tumbuh, berkembang dan beregenerasi menjadi tanaman baru dalam media tanpa penambahan hormon. Dengan demikian, tanpa suplai auksin dan sitokinin eksogen, akar akan tetap tumbuh dan memanjang.

53 41 NAA (ppm) Tabel 12. Pengaruh Pemberian NAA Terhadap Rata-rata Jumlah Akar Nepenthes mirabilis pada MST Waktu Pengamatan (MST) a 1.9 a 2.7 a 3.2 a 4.0 a 4.6 a 4.9 a b 0.2 b 0.2 b 0.3 b 0.3 b 0.3 b 0.3 b b 0.4 b 0.5 b 0.5 b 0.6 b 0.6 b 0.6 b b 0.0 b 0.0 b 0.1 b 0.2 b 0.3 b 0.3 b Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5% Data merupakan hasil transformasi (x+0.5) Jumlah akar yang terbentuk pada tanaman nepenthes sangat sedikit seperti strukturnya di alam (Gambar 25). Menurut Sayekti (2007), jumlah akar yang berjumlah sedikit ini menunjukkan bahwa fungsi akar tidak terlalu berperan dalam memberikan stok hara bagi pertumbuhan tanaman. Mansur (2007), menambahkan secara alami kantong dibuat untuk mensuplai kekurangan nutrisi yang diserap akar dari tanah. Gambar 25. Jumlah Akar dilihat dari Bagian Bawah Botol Kultur. Akar yang terbentuk pada eksplan berwarna cokelat kehitaman dengan banyak bulu halus disekitarnya (Gambar 26). Menurut Lakitan (2004), akar membentuk bulu-bulu akar untuk memperluas permukaan kontaknya. Bulu akar merupakan penonjolan dari sel-sel epidermis akar. Lapisan sel ini berada pada bagian paling luar dan umumnya berbentuk agak pipih. Panjang bulu akar umumnya sekitar 1.5 mm. Bulu-bulu akar ini terbentuk pada daerah dekat dengan ujung akar, tidak pada semua bagian akar.

54 42 Gambar 26. Bulu Akar pada Akar Nepenthes mirabilis. Tinggi tanaman Hasil analisis ragam menunjukkan kombinasi pemberian BAP dan NAA memberikan pengaruh yang tidak nyata pada peubah tinggi tanaman. Pengaruh sangat nyata di dapat dari pemberian BAP dan NAA secara tunggal. Data pada tabel 13 memperlihatkan tanaman tertinggi di dapat dari pemberian BAP hingga 1 ppm dan tanpa pemberian NAA. Hal ini menunjukkan untuk menghasilkan tanaman yang cukup tinggi hanya diperlukan konsentrasi BAP yang cukup rendah. Hasil ini serupa dengan penelitian yang telah dilakukan Marlin (2005), eksplan jahe yang dikulturkan pada media tanpa pemberian BAP (0 ppm) atau BAP dengan konsentrasi yang rendah menghasilkan tunas yang berukuran lebih tinggi. Dalam kondisi tersebut kebutuhan sel akan sitokinin untuk pemanjangan sel telah terpenuhi.

55 43 Tabel 13. Pengaruh Pemberian BAP dan NAA terhadap Rata-rata Tinggi Tanaman Nepenthes mirabilis Perlakuan Tinggi Tanaman (mm) BAP (ppm) a a a b NAA (ppm) a b b b Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5% Tinggi tanaman merupakan peubah yang sering diamati baik sebagai indikator pertumbuhan maupun untuk mengukur pengaruh lingkungan atau perlakuan yang diterapkan. Hal ini didasarkan karena tinggi tanaman merupakan ukuran pertumbuhan yang paling mudah dilihat (Anwar, 2007). Pertumbuhan tanaman nepenthes cukup lambat, hal ini dapat dilihat dari tinggi tanaman yang relatif pendek (Gambar 27). (A) (B) Gambar 27. Tinggi Tanaman Nepenthes, pada Perlakuan BAP 2 ppm (A) dan Perlakuan NAA 0.2 ppm + BAP 1 ppm (B).

56 44 Panjang Daun Terpanjang Panjang daun terpanjang diamati pada minggu pengamatan terakhir (Gambar 28). Berdasarkan hasil sidik ragam, kombinasi pemberian BAP dan NAA memberikan pengaruh yang sangat nyata pada peubah panjang daun terpanjang. Pemberian NAA dan BAP secara tunggal juga memberikan pengaruh yang sangat nyata. Data pada tabel 14 memperlihatkan bahwa pemberian BAP yang mampu menghasilkan panjang daun terpanjang yaitu BAP 0.5 ppm (19.5 mm) dan BAP 1 ppm (19.8 mm). Ketika konsentrasi BAP ditingkatkan menjadi 2 ppm, panjang daun menjadi setengahnya (9.1 mm). Hal ini mengindikasikan BAP efektif digunakan dalam konsentrasi yang rendah. Panjang daun terpanjang juga didapat dari NAA 0 ppm (23.4 mm). Gambar 28. Panjang Daun Terpanjang pada Perlakuan BAP 1 ppm + NAA 0.2 ppm. Tabel 14. Pengaruh Pemberian BAP dan NAA terhadap Rata-rata Panjang Daun Terpanjang Nepenthes mirabilis Perlakuan Panjang Daun (mm) BAP (ppm) b a a c NAA (ppm) a b b b

57 Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5% Panjang daun terpanjang dipengaruhi sangat nyata oleh pemberian BAP dan NAA. Data pada tabel 15 memperlihatkan panjang daun terpanjang diperoleh dari perlakuan tanpa pemberian zat pengatur tumbuh (30.9 mm) dan panjang daun terpendek dari perlakuan 2 ppm BAP NAA (5.8 mm). 45 Hal ini mengindikasikan perlakuan tanpa pemberian zat pengatur tumbuh memiliki kemampuan perpanjangan sel tanaman paling besar. Tabel 15. Pengaruh Interaksi BAP dan NAA terhadap Rata-rata Panjang Daun Terpanjang Nepenthes mirabilis NAA (ppm) BAP (ppm) a 26.1 ab 23.3 abc 13.4 def def 19.9 bcd 19.8 bcd 5.8 f f 15.2 de 24.5 abc 6.4 f ef 16.7 cde 11.7 def 10.9 ef Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5% Panjang Akar Terpanjang Panjang akar terpanjang diamati pada minggu akhir pengamatan. Berdasarkan hasil sidik ragam, interaksi pemberian BAP dan NAA memberikan pengaruh yang tidak nyata pada peubah panjang akar. Pengaruh yang sangat nyata didapat dari pemberian BAP secara tunggal. Tabel 16 memperlihatkan bahwa panjang akar terpanjang didapat dari perlakuan tanpa pemberian NAA. Hal ini diduga kandungan auksin endogen tanaman cukup tinggi. Peningkatan konsentrasi auksin akan menghambat inisiasi akar, pembelahan sel dan pemanjangan akar (Wattimena, 1988). Ekawati (2006), juga menambahkan konsentrasi NAA yang ditingkatkan ke media pengakaran akan meningkatkan auksin endogen sehingga terjadi akumulasi auksin. Akumulasi auksin ini akan menghambat pemajangan akar. Konsentrasi auksin endogen yang tinggi dapat menyebabkan pemendekan sel-sel.

58 46 Tabel 16. Pengaruh Pemberian NAA terhadap Rata-rata Panjang Akar Terpanjang Nepenthes mirabilis NAA (ppm) Panjang Akar (mm) a b b b Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5% Panjang akar merupakan hasil dari perpanjangan sel-sel dibelakang meristem ujung (Gardner et al., 1991 dalam Anwar, 2007). Pertumbuhan akar dipengaruhi oleh pertumbuhan tunas, tunas yang terbentuk makin banyak maka akar akan semakin pendek atau bahkan tidak memiliki akar sama sekali (Mufa adi, 2003). Akar nepenthes yang terbentuk pada percobaan ini umumnya pendek dan berjumlah sedikit (Gambar 29). Di alam pun, akar nepenthes tidak dapat masuk jauh ke dalam tanah. Akarnya hanya terbenam hingga kedalaman 10 cm dari permukaan tanah (Tim Redaksi, 2006). Gambar 29. Panjang Akar Terpanjang pada Perlakuan Tanpa Penambahan Zat Pengatur Tumbuh Wattimena (1987) menyatakan bahwa selang konsentrasi zat pengatur tumbuh untuk pembesaran sel-sel pada batang menjadi penghambat pada pembentukan sel-sel akar. Interaksi BAP dan NAA mempengaruhi aktivitas selsel di batang untuk memunculkan tunas sehingga aktivitas sel-sel di akar terhambat.

PENGARUH PEMBERIAN BAP DAN NAA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN TUNAS MIKRO KANTONG SEMAR (Nepenthes mirabilis) SECARA IN VITRO

PENGARUH PEMBERIAN BAP DAN NAA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN TUNAS MIKRO KANTONG SEMAR (Nepenthes mirabilis) SECARA IN VITRO PENGARUH PEMBERIAN BAP DAN NAA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN TUNAS MIKRO KANTONG SEMAR (Nepenthes mirabilis) SECARA IN VITRO Oleh: YAYU ALITALIA A34304025 PROGRAM STUDI HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2010 sampai dengan bulan Oktober 2010 di Laboraturium Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan Tanaman dan Media

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan Tanaman dan Media BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAHA DA METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHA DA METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHA DA METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dimulai

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat 17 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Perlakuan iradiasi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari 2009 sampai dengan bulan Agustus 2009 di Laboratorium Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura,

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan tempat 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Penelitian pendahuluan

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan tempat 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Penelitian pendahuluan 12 menjadi planlet/tanaman. Hormon NAA cenderung menginduksi embrio somatik secara langsung tanpa pembentukan kalus. Embrio somatik yang dihasilkan lebih normal dan mudah dikecambahkan menjadi planlet/tanaman,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian 14 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2009 sampai dengan bulan Juni 2011 di Laboratorium Kultur Jaringan Kelompok Peneliti Biologi Sel dan Jaringan, Balai

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Kelompok Peneliti Biologi Sel dan Jaringan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PEELITIA 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Balai Pengkajian Bioteknologi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Serpong, Tangerang. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Anggrek, Kebun Raya Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2010 hingga Juni 2011. Bahan dan Alat

Lebih terperinci

The Effect of Auxin (NAA) and Cytokinin (BAP, Kinetin and 2iP) on in vitro Growth of Tropical Pitcher Plant (Nepenthes mirabilis)

The Effect of Auxin (NAA) and Cytokinin (BAP, Kinetin and 2iP) on in vitro Growth of Tropical Pitcher Plant (Nepenthes mirabilis) Pengaruh Pemberian Auksin (NAA) dengan Sitokinin (, dan 2ip) terhadap Daya Proliferasi Tanaman Kantong Semar (Nepenthes mirabilis) Secara In Vitro The Effect of Auxin (NAA) and Cytokinin (, and ) on in

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 22 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari 2010 sampai dengan Pebruari 2011. Tempat pelaksanaan kultur jaringan tanaman adalah di Laboratorium Kultur Jaringan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dimulai pada bulan

BAHAN DAN METODE. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dimulai pada bulan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Fakultas Pertanian, Medan. Penelitian ini dimulai pada bulan Maret 2010 sampai dengan Juni 2010.

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Pelaksanaan Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Pelaksanaan Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Pelaksanaan Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM KULTUR JARINGAN TANAMAN

LAPORAN PRAKTIKUM KULTUR JARINGAN TANAMAN LAPORAN PRAKTIKUM KULTUR JARINGAN TANAMAN MULTIPLIKASI TUNAS DARI TUNAS IN VITRO (TANAMAN ANGGREK DAN KRISAN) Disusun Oleh : Puji Hanani 4411413023 JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

Tabel 1. Kombinasi Perlakuan BAP dan 2,4-D pada Percobaan Induksi Mata Tunas Aksilar Aglaonema Pride of Sumatera Secara In Vitro

Tabel 1. Kombinasi Perlakuan BAP dan 2,4-D pada Percobaan Induksi Mata Tunas Aksilar Aglaonema Pride of Sumatera Secara In Vitro 11 agar. Zat pengatur tumbuh yang digunakan antara lain sitokinin (BAP dan BA) dan auksin (2,4-D dan NAA). Bahan lain yang ditambahkan pada media yaitu air kelapa. Bahan untuk mengatur ph yaitu larutan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN A.

III. METODE PENELITIAN A. 13 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Oktober 2015 sampai bulan Februari 2016 yang bertempat di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan dan Bioteknologi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 17 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Institut Pertanian Bogor (PPLH IPB) dari bulan Oktober

Lebih terperinci

III. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur In vitro Fakultas

III. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur In vitro Fakultas III. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur In vitro Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, pada Bulan November 2015 hingga

Lebih terperinci

IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Air leri merupakan bahan organik dengan kandungan fosfor, magnesium

IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Air leri merupakan bahan organik dengan kandungan fosfor, magnesium IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Air leri merupakan bahan organik dengan kandungan fosfor, magnesium dan vitamin B1 yang efektif bila dimanfaatkan sebagai bahan tambahan pada proses perbanyakan tanaman

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 26 A. Jenis Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Jenis Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen. Penelitian eksperimen merupakan metode penelitian yang digunakan untuk mengetahui pengaruh

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dimulai

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE. Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Teknologi

BAB III BAHAN DAN METODE. Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Teknologi BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Percobaan Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Teknologi Benih, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Jatinangor. Penelitian dilakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ekosistemnya dalam pasal 20 ayat 1 dan 2 serta Peraturan Pemerintah No. 77

I. PENDAHULUAN. Ekosistemnya dalam pasal 20 ayat 1 dan 2 serta Peraturan Pemerintah No. 77 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kantong Semar merupakan tanaman yang unik dan langka di Indonesia. Status tanaman ini termasuk tanaman yang dilindungi berdasarkan Undang- Undang No. 5 Tahun 1990 tentang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN A.

III. METODE PENELITIAN A. 9 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dimulai pada bulan Juni 2015 sampai Februari 2016 dan dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan dan Bioteknologi Fakultas Pertanian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Anggrek Tebu (Grammatophyllum speciosum) Anggrek tebu (Grammatophyllum speciosum) merupakan anggrek yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Anggrek Tebu (Grammatophyllum speciosum) Anggrek tebu (Grammatophyllum speciosum) merupakan anggrek yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Anggrek Tebu (Grammatophyllum speciosum) Anggrek tebu (Grammatophyllum speciosum) merupakan anggrek yang diyakni merupakan anggrek terbesar yang pernah ada. Anggrek ini tersebar

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Botani Tanaman Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit disebut dengan nama latin Elaeis guineensis Jacq. Elaeis berasal dari Elaion yang dalam bahasa Yunani berarti minyak. Guineensis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dalam kelas Liliopsida yang merupakan salah satu tumbuhan berbunga lidah dari

TINJAUAN PUSTAKA. dalam kelas Liliopsida yang merupakan salah satu tumbuhan berbunga lidah dari TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Menurut Jones dan Luchsinger (1979), tumbuhan anggrek termasuk ke dalam kelas Liliopsida yang merupakan salah satu tumbuhan berbunga lidah dari sekian banyak tumbuhan berbunga

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Pelaksanaan

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Pelaksanaan 13 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli 2011 hingga bulan Februari 2012 di Laboratorium Kultur Jaringan, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan mulai bulan Maret sampai Juli 2014 di

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan mulai bulan Maret sampai Juli 2014 di III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini telah dilaksanakan mulai bulan Maret sampai Juli 2014 di Laboratorium Genetika dan Pemuliaan Tanaman Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium UPT BBI (Balai Benih Induk) Jl.

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium UPT BBI (Balai Benih Induk) Jl. III. BAHA DA METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium UPT BBI (Balai Benih Induk) Jl. Jendral Besar Dr. Abdul Haris asution Gedung Johor Medan Sumatera Utara, selama

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Pisang

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Pisang TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Pisang Pisang termasuk ke dalam famili Musaceae. Famili Musaceae terdiri dari dua genera, yaitu genus Musa dan Ensete. Genus Musa terbagi atas empat kelompok, yaitu Australimusa,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. (Adrian, 2011). Menurut James dan Pietropaolo (1996) cit. Alitalia (2008),

TINJAUAN PUSTAKA. (Adrian, 2011). Menurut James dan Pietropaolo (1996) cit. Alitalia (2008), II. TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Tanaman Kantong Semar 1.1.1. Taksonomi dan Morfologi Tanaman kantong semar merupakan herba tahunan. Menurut Astuti dan Sugiarto (2007), tanaman kantong semar termasuk dalam kerajaan

Lebih terperinci

PEMBUATAN MEDIA KULTUR JARINGAN TANAMAN

PEMBUATAN MEDIA KULTUR JARINGAN TANAMAN Laporan Pratikum Dasar-Dasar Bioteknologi Tanaman Topik 1 PEMBUATAN MEDIA KULTUR JARINGAN TANAMAN Oleh : Arya Widura Ritonga ( A24051682 ) Agronomi dan Hortikultura 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kultur

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanaman, Jurusan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanaman, Jurusan 22 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanaman, Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung, Bandar Lampung. Penelitian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, Fakultas

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, Fakultas 21 III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari

Lebih terperinci

in. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Fisiologi dan Kultur Jaringan

in. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Fisiologi dan Kultur Jaringan in. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Fisiologi dan Kultur Jaringan Balai Penelitian Sei Putih Medan Sumatra Utara. Penelitian ini dilaksanakan selama 4

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. 1. Pengaruh konsentrasi benziladenin dengan dan tanpa thidiazuron terhadap

III. BAHAN DAN METODE. 1. Pengaruh konsentrasi benziladenin dengan dan tanpa thidiazuron terhadap III. BAHAN DAN METODE Penelitian ini terdiri atas 2 percobaan, yaitu: 1. Pengaruh konsentrasi benziladenin dengan dan tanpa thidiazuron terhadap multiplikasi tunas pisang Kepok Kuning (genom ABB) eksplan

Lebih terperinci

RESPONS PERTUMBUHAN TANAMAN ANGGREK (Dendrobium sp.) TERHADAP PEMBERIAN BAP DAN NAA SECARA IN VITRO

RESPONS PERTUMBUHAN TANAMAN ANGGREK (Dendrobium sp.) TERHADAP PEMBERIAN BAP DAN NAA SECARA IN VITRO RESPONS PERTUMBUHAN TANAMAN ANGGREK (Dendrobium sp.) TERHADAP PEMBERIAN BAP DAN NAA SECARA IN VITRO ABSTRAK Ernitha Panjaitan Staf Pengajar Fakultas Pertanian UMI Medan Percobaan untuk mengetahui respons

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Eksplorasi Eksplan Terubuk

HASIL DAN PEMBAHASAN Eksplorasi Eksplan Terubuk 22 HASIL DAN PEMBAHASAN Eksplorasi Eksplan Terubuk Bahan tanam awal (eksplan) merupakan salah satu faktor penting dalam keberhasilan perbanyakan tanaman secara in vitro. Eksplan yang baik untuk digunakan

Lebih terperinci

PENGGUNAAN IAA DAN BAP UNTUK MENSTIMULASI ORGANOGENESIS TANAMAN Anthurium andreanum DALAM KULTUR IN VITRO

PENGGUNAAN IAA DAN BAP UNTUK MENSTIMULASI ORGANOGENESIS TANAMAN Anthurium andreanum DALAM KULTUR IN VITRO PENGGUNAAN IAA DAN BAP UNTUK MENSTIMULASI ORGANOGENESIS TANAMAN Anthurium andreanum DALAM KULTUR IN VITRO Oleh : SITI SYARA A34301027 PROGRAM STUDI HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 26 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan 3, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB selama sembilan minggu sejak Februari hingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anggrek yang mendominasi pasar adalah anggrek impor, yaitu Dendrobium dan

BAB I PENDAHULUAN. anggrek yang mendominasi pasar adalah anggrek impor, yaitu Dendrobium dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anggrek merupakan jenis tanaman hias yang digemari konsumen. Jenis anggrek yang mendominasi pasar adalah anggrek impor, yaitu Dendrobium dan Phalaenopsis dari Negara

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca, Fakultas Pertanian, Universitas

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca, Fakultas Pertanian, Universitas 23 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung, Kampus Gedung Meneng, Bandar Lampung pada bulan Desember 2013

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Mansur (2006) menyebutkan bahwa Nepenthes ini berbeda dengan

TINJAUAN PUSTAKA. Mansur (2006) menyebutkan bahwa Nepenthes ini berbeda dengan TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Mansur (2006) menyebutkan bahwa Nepenthes ini berbeda dengan tumbuhan carnivorous plant lainnya (Doaea muscipula, Drosera sp, Pinguicula sp dan Utriculara sp), karena Nepenthes

Lebih terperinci

Pembuatan Larutan Stok, Media Kultur Dan Sterilisasi Alat Kultur Jaringan Tumbuhan. Nikman Azmin

Pembuatan Larutan Stok, Media Kultur Dan Sterilisasi Alat Kultur Jaringan Tumbuhan. Nikman Azmin Pembuatan Larutan Stok, Media Kultur Dan Sterilisasi Alat Kultur Nikman Azmin Abstrak; Kultur jaringan menjadi teknologi yang sangat menentukan keberhasilan dalam pemenuhan bibit. Kultur jaringan merupakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dracaena adalah tanaman yang tumbuh tegak dengan bentuk batang bulat dan

TINJAUAN PUSTAKA. Dracaena adalah tanaman yang tumbuh tegak dengan bentuk batang bulat dan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi dan Taksonomi Tanaman Dracaena Dracaena adalah tanaman yang tumbuh tegak dengan bentuk batang bulat dan beruas-ruas. Daun dracaena berbentuk tunggal, tidak bertangkai,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pisang Barangan (Musa acuminata L.) Pisang adalah nama umum yang diberikan pada tumbuhan terna raksasa berdaun besar memanjang dari suku Musaceae. Beberapa jenisnya seperti

Lebih terperinci

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. hidup, terkontaminasi dan eksplan Browning. Gejala kontaminasi yang timbul

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. hidup, terkontaminasi dan eksplan Browning. Gejala kontaminasi yang timbul IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Keberhasilan suatu penelitian kultur in vitro dipengaruhi oleh eksplan yang hidup, terkontaminasi dan eksplan Browning. Gejala kontaminasi yang timbul dapat dicirikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gaharu merupakan produk hasil hutan non kayu bernilai komersial tinggi berupa gumpalan padat, berwarna cokelat kehitaman hingga hitam dan memiliki bau harum pada bagian

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur In Vitro Fakultas

TATA CARA PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur In Vitro Fakultas III. TATA CARA PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur In Vitro Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada bulan Januari April 2016.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan 13 I. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan dan Bioteknologi Fakultas Pertanian Univeristas Sebelas Maret Surakarta mulai bulan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 17 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Lingkungan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Institut Pertanian Bogor (PPLH IPB) dari

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. eksplan hidup, persentase eksplan browning, persentase eksplan kontaminasi,

HASIL DAN PEMBAHASAN. eksplan hidup, persentase eksplan browning, persentase eksplan kontaminasi, IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan terhadap proses induksi akar pada eksplan dilakukan selama 12 minggu. Pengamatan dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan dan pengaruh pada setiap perlakuan yang diberikan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mudah diperbanyak dan jangka waktu berbuah lebih panjang. Sedangkan

BAB I PENDAHULUAN. mudah diperbanyak dan jangka waktu berbuah lebih panjang. Sedangkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Perbanyakan tanaman dapat dilakukan dengan cara generatif dan vegetatif. Perbanyakan tanaman secara generatif biasanya dilakukan melalui biji dan mengalami penyerbukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kantong semar merupakan tanaman hias yang tumbuh di beberapa hutan

I. PENDAHULUAN. Kantong semar merupakan tanaman hias yang tumbuh di beberapa hutan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kantong semar merupakan tanaman hias yang tumbuh di beberapa hutan Indonesia. Tanaman ini disebut tanaman hias karena memiliki kantong yang unik hasil dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pisang merupakan salah satu jenis tanaman asal Asia Tenggara yang kini sudah tersebar luas ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Tanaman pisang memiliki ciri spesifik

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman panili termasuk famili Orchidaceae, yang terdiri dari 700 genus

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman panili termasuk famili Orchidaceae, yang terdiri dari 700 genus II. TINJAUAN PUSTAKA Tanaman panili termasuk famili Orchidaceae, yang terdiri dari 700 genus dan 20.000 species. Kedudukan tanaman ini dalam sistematika tumbuhan diklasifikasikan sebagai Divisi Spermatophyta,

Lebih terperinci

PENGGUNAAN KOMPOSISI MEDIA DASAR DAN BAP UNTUK INDUKSI ORGANOGENESIS ANTHURIUM WAVE OF LOVE (Anthurium plowmanii) SECARA IN VITRO

PENGGUNAAN KOMPOSISI MEDIA DASAR DAN BAP UNTUK INDUKSI ORGANOGENESIS ANTHURIUM WAVE OF LOVE (Anthurium plowmanii) SECARA IN VITRO PENGGUNAAN KOMPOSISI MEDIA DASAR DAN BAP UNTUK INDUKSI ORGANOGENESIS ANTHURIUM WAVE OF LOVE (Anthurium plowmanii) SECARA IN VITRO Oleh Riyanti Catrina Helena Siringo ringo A34404062 PROGRAM STUDI PEMULIAAN

Lebih terperinci

3 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat

3 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat 15 Tabel 8 Daftar komposisi media pada kultur mangga Komponen A B C D E Unsur makro ½ MS B5 B5 B5 ½B5 Unsur mikro MS MS MS MS MS Fe-EDTA ½MS MS MS MS MS Vitamin dan asam amino MS MS MS MS MS Asam askorbat

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan / Ilmu Tanaman Fakultas

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan / Ilmu Tanaman Fakultas III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan / Ilmu Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Penelitian dilaksanakan mulai Maret 2013

Lebih terperinci

GAHARU. Dr. Joko Prayitno MSc. Balai Teknologi Lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

GAHARU. Dr. Joko Prayitno MSc. Balai Teknologi Lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Kuliah 11 KULTUR JARINGAN GAHARU Dr. Joko Prayitno MSc. Balai Teknologi Lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi KULTUR JARINGAN Apa yang dimaksud dengan kultur jaringan? Teknik menumbuhkan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 24 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung, dimulai dari Maret sampai dengan Mei 2013. 3.2 Bahan

Lebih terperinci

PENGARUH KONSENTRASI IAA, IBA, BAP, DAN AIR KELAPA TERHADAP PEMBENTUKAN AKAR POINSETTIA (Euphorbia pulcherrima Wild Et Klotzch) IN VITRO

PENGARUH KONSENTRASI IAA, IBA, BAP, DAN AIR KELAPA TERHADAP PEMBENTUKAN AKAR POINSETTIA (Euphorbia pulcherrima Wild Et Klotzch) IN VITRO PENGARUH KONSENTRASI IAA, IBA, BAP, DAN AIR KELAPA TERHADAP PEMBENTUKAN AKAR POINSETTIA (Euphorbia pulcherrima Wild Et Klotzch) IN VITRO Oleh : Pratiwi Amie Pisesha (A34303025) DEPARTEMEN AGRONOMI DAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. Fabaceae. Kedudukan tanaman kacang hijau dalam taksonomi tumbuhan diklasifikasikan

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. Fabaceae. Kedudukan tanaman kacang hijau dalam taksonomi tumbuhan diklasifikasikan TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Menurut Tjitrosoepomo (1989) tanaman kacang hijau termasuk suku (famili) Fabaceae. Kedudukan tanaman kacang hijau dalam taksonomi tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Laboratorium terpadu Kultur jaringan Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Laboratorium terpadu Kultur jaringan Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April sampai bulan Agustus 2016 di Laboratorium terpadu Kultur jaringan Fakultas Sains dan Teknologi,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tanaman karet merupakan komoditi perkebunan yang penting dalam

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tanaman karet merupakan komoditi perkebunan yang penting dalam 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman karet merupakan komoditi perkebunan yang penting dalam industri otomotif dan merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memberikan sumbangan besar bagi perekonomian

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan, Gedung

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan, Gedung 20 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan, Gedung Bioteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung dari Bulan November 2011

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan ZipcodeZoo.com (2012) klasifikasi tanaman. Boesenbergia flava Holttum adalah Kingdom: Plantae, Class: Magnoliopsida

TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan ZipcodeZoo.com (2012) klasifikasi tanaman. Boesenbergia flava Holttum adalah Kingdom: Plantae, Class: Magnoliopsida TINJAUAN PUSTAKA Berdasarkan ZipcodeZoo.com (2012) klasifikasi tanaman Boesenbergia flava Holttum adalah Kingdom: Plantae, Class: Magnoliopsida Ordo: Zingiberales, Family: Zingiberaceae, Genus: Boesenbergia,

Lebih terperinci

BAB 3 BAHAN DAN METODA

BAB 3 BAHAN DAN METODA BAB 3 BAHAN DAN METODA 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai dengan Oktober 2007 di Laboratorium Kultur Jaringan Unit Pelaksana Teknis Balai Benih Induk Dinas Pertanian Sumatera

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur In Vitro Fakultas

TATA CARA PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur In Vitro Fakultas III. TATA CARA PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur In Vitro Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Penelitian dimulai pada bulan April

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim

Lebih terperinci

INDUKSI MUTASI KROMOSOM DENGAN KOLKISIN PADA TANAMAN STEVIA (Stevia rebaudiana Bertoni) KLON ZWEETENERS SECARA IN VITRO

INDUKSI MUTASI KROMOSOM DENGAN KOLKISIN PADA TANAMAN STEVIA (Stevia rebaudiana Bertoni) KLON ZWEETENERS SECARA IN VITRO INDUKSI MUTASI KROMOSOM DENGAN KOLKISIN PADA TANAMAN STEVIA (Stevia rebaudiana Bertoni) KLON ZWEETENERS SECARA IN VITRO Oleh: ASEP RODIANSAH A34302032 PROGRAM STUDI HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. penambahan sukrosa dalam media kultur in vitro yang terdiri atas 5 variasi

BAB III METODE PENELITIAN. penambahan sukrosa dalam media kultur in vitro yang terdiri atas 5 variasi BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 1 faktor perlakuan, yaitu penambahan sukrosa dalam media

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan krisan dalam sistematika tumbuhan (Holmes,1983)

TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan krisan dalam sistematika tumbuhan (Holmes,1983) TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Kedudukan krisan dalam sistematika tumbuhan (Holmes,1983) diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Plantae Subkingdom : Spermatophyta Superdivisio : Angiospermae Divisio

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan 2 faktor yaitu:

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan 2 faktor yaitu: BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian eskperimental yang menggunakan Rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan 2 faktor yaitu: 1. Faktor pertama: konsentrasi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain

BAB III METODE PENELITIAN. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain eksperimen. Menurut Nasution (2009) desain eksperimen yaitu penelitian yang dilakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. berbagai macam tanaman hias. Pengembangan komoditi tanaman hias dilakukan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. berbagai macam tanaman hias. Pengembangan komoditi tanaman hias dilakukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki kondisi yang memenuhi persyaratan bagi pertumbuhan berbagai macam tanaman hias. Pengembangan komoditi tanaman hias dilakukan atas berbagai pertimbangan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan 3 ulangan. Faktor pertama, konsentrasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini dilakukan dalam dua tahapan pelaksanaan, yaitu tahap kultur in vitro dan aklimatisasi. Tahap kultur in vitro dilakukan di dalam Laboratorium Kultur Jaringan

Lebih terperinci

PERBANYAKAN TUNAS APIKAL KRISAN (Chrysanthemum morifolium Ram.) DENGAN PENAMBAHAN NAA, BAP DAN AIR KELAPA SECARA KULTUR IN VITRO

PERBANYAKAN TUNAS APIKAL KRISAN (Chrysanthemum morifolium Ram.) DENGAN PENAMBAHAN NAA, BAP DAN AIR KELAPA SECARA KULTUR IN VITRO PERBANYAKAN TUNAS APIKAL KRISAN (Chrysanthemum morifolium Ram.) DENGAN PENAMBAHAN NAA, BAP DAN AIR KELAPA SECARA KULTUR IN VITRO Miranty Trinawaty Sp, M.Si RINGKASAN Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi

Lebih terperinci

REGENERASI TANAMAN SENGON (Albizia falcataria) MELALUI MULTIPLIKASI TUNAS AKSILAR DENGAN PENGGUNAAN KOMBINASI ZPT DAN AIR KELAPA SKRIPSI.

REGENERASI TANAMAN SENGON (Albizia falcataria) MELALUI MULTIPLIKASI TUNAS AKSILAR DENGAN PENGGUNAAN KOMBINASI ZPT DAN AIR KELAPA SKRIPSI. REGENERASI TANAMAN SENGON (Albizia falcataria) MELALUI MULTIPLIKASI TUNAS AKSILAR DENGAN PENGGUNAAN KOMBINASI ZPT DAN AIR KELAPA SKRIPSI Oleh: RAHADI PURBANTORO NPM : 0825010009 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kultur Jaringan Tanaman Eksplan

TINJAUAN PUSTAKA Kultur Jaringan Tanaman Eksplan TINJAUAN PUSTAKA Kultur Jaringan Tanaman Kultur in vitro merupakan suatu budidaya dalam botol. Salah satu kegiatan dalam kultur in vitro adalah kultur jaringan yaitu budidaya in vitro yang menggunakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kenaf (Hibiscus cannabinus L.)

TINJAUAN PUSTAKA. Kenaf (Hibiscus cannabinus L.) TINJAUAN PUSTAKA Kenaf (Hibiscus cannabinus L.) Tanaman ini merupakan tanaman herba semusim dengan tipe pertumbuhan semak berbentuk semak tegak (Balittas 1996). Kenaf termasuk kedalam famili Malvaceae

Lebih terperinci

KULTUR JARINGAN TANAMAN

KULTUR JARINGAN TANAMAN KULTUR JARINGAN TANAMAN Oleh : Victoria Henuhili, MSi Jurdik Biologi victoria@uny.ac.id FAKULTAS MATEMATIKA DA/N ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2013 1 Kultur Jaringan Tanaman Pengertian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. bersifat eksperimen karena pada penelitian menggunakan kontrol yaitu

BAB III METODE PENELITIAN. bersifat eksperimen karena pada penelitian menggunakan kontrol yaitu 30 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan termasuk ke dalam penelitian yang bersifat eksperimen karena pada penelitian menggunakan kontrol yaitu pada medium Murashige-Skoog

Lebih terperinci

RESPON PERTUMBUHAN MERISTEM KENTANG (Solanum tuberosuml) TERHADAP PENAMBAHAN NAA DAN EKSTRAK JAGUNG MUDA PADA MEDIUM MS

RESPON PERTUMBUHAN MERISTEM KENTANG (Solanum tuberosuml) TERHADAP PENAMBAHAN NAA DAN EKSTRAK JAGUNG MUDA PADA MEDIUM MS 1 RESPON PERTUMBUHAN MERISTEM KENTANG (Solanum tuberosuml) TERHADAP PENAMBAHAN NAA DAN EKSTRAK JAGUNG MUDA PADA MEDIUM MS Nurhafni Pembimbing : Dra. Yusmanidar Arifin, M. Si dan Milda Ernita, S. Si. MP

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) tergolong dalam famili Graminae yaitu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) tergolong dalam famili Graminae yaitu 11 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Tanaman Tebu Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) tergolong dalam famili Graminae yaitu rumput-rumputan. Saccharum officinarum merupakan spesies paling penting

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jack.) Kelapa sawit merupakan tanaman yang berasal dari Nigeria di Afrika Barat, kemudian menyebar ke Amerika Selatan dan sampai kesemenanjung

Lebih terperinci

Kultur Jaringan Menjadi Teknologi yang Potensial untuk Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jambu Mete Di Masa Mendatang

Kultur Jaringan Menjadi Teknologi yang Potensial untuk Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jambu Mete Di Masa Mendatang AgroinovasI Kultur Jaringan Menjadi Teknologi yang Potensial untuk Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jambu Mete Di Masa Mendatang Tanaman jambu mete (Anacardium occidentale. L.) merupakan salah satu tanaman

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Induk Hortikultura Gedung Johor Medan. Penelitian ini dimulai pada bulan

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Induk Hortikultura Gedung Johor Medan. Penelitian ini dimulai pada bulan BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan UPT. Benih Induk Hortikultura Gedung Johor Medan. Penelitian ini dimulai pada bulan November

Lebih terperinci

Tugas Akhir - SB091358

Tugas Akhir - SB091358 Tugas Akhir - SB091358 EFEKTIVITAS META-TOPOLIN DAN NAA TERHADAP PERTUMBUHAN IN VITRO STROBERI (Fragaria ananassa var. DORIT) PADA MEDIA MS PADAT DAN KETAHANANNYA DI MEDIA AKLIMATISASI Oleh Silvina Resti

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Kultur Jaringan Tanaman Fakultas

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Kultur Jaringan Tanaman Fakultas III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Kultur Jaringan Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung pada bulan Desember 2011 hingga Maret 2012.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Pertumbuhan dan perkembangan stek pada awal penanaman sangat dipengaruhi oleh faktor luar seperti air, suhu, kelembaban dan tingkat pencahayaan di area penanaman stek.

Lebih terperinci

PERBANYAKAN CEPAT TANAMAN DENGAN TEKNIK KULLTUR JARINGAN

PERBANYAKAN CEPAT TANAMAN DENGAN TEKNIK KULLTUR JARINGAN Laporan Pratikum Dasar-Dasar Bioteknologi Tanaman Topik 2 PERBANYAKAN CEPAT TANAMAN DENGAN TEKNIK KULLTUR JARINGAN Oleh : Jimmy Alberto ( A24050875 ) Agronomi dan Hortikultura 9 PENDAHULUAN Latar Belakang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis yang mempunyai keanekaragaman tanaman hortikultura meliputi tanaman buah, tanaman sayuran dan tanaman hias. Menurut Wijaya (2006), Indonesia

Lebih terperinci

II. MATERI DAN METODE PENELITIAN. agar, arang, NaOH, HCl dan akuades. spirtus, timbangan analitik, beker gelas, LAF vertikal.

II. MATERI DAN METODE PENELITIAN. agar, arang, NaOH, HCl dan akuades. spirtus, timbangan analitik, beker gelas, LAF vertikal. 6 II. MATERI DAN METODE PENELITIAN 1. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1.1. Materi 1.1.1. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ubi jalar varietas cilembu, ubi jalar varietas sukuh,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan, Fakultas Pertanian,

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan, Fakultas Pertanian, III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung pada November 2014 sampai April 2015. 3.2 Metode Penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana

BAB III METODE PENELITIAN. Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana 38 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di laboratorium Plant Physiology and Culture Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik

Lebih terperinci