Edisi Vol.14/XXI/Juli 2009 Tanggal cetak : Senin, 08 Februari 2010 Kolom : Catatan Riset

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Edisi Vol.14/XXI/Juli 2009 Tanggal cetak : Senin, 08 Februari 2010 Kolom : Catatan Riset"

Transkripsi

1 1 / /02/08 17:52 INOVASI Online Website : redaksi@io.ppi-jepang.org CETAK TUTUP Edisi Vol.14/XXI/Juli 2009 Tanggal cetak : Senin, 08 Februari 2010 Kolom : Catatan Riset Qualifier Bahasa Jepang Berdasarkan Jenis Predikat: Dalam Hubungannya Dengan Jodooshi Oleh : Roni Abstrak Bahasa-bahasa di dunia dibedakan menjadi bahasa VO dan bahasa OV. Bahasa Indonesia adalah jenis bahasa VO dan bahasa Jepang merupakan bahasa OV. Ada konstituen modifier yang mempunyai peran khusus hanya menerangkan arti konstituen inti yang mengisi V predikat. Modifier itu disebut qualifier (Q). Letak qualifier adalah sebelum V pada bahasa VO dan setelah V pada bahasa OV, jadi Q-V-O atau O-V-Q. Terdapat dua syarat untuk menjadi konstituen qualifier dalam bahasa Jepang yaitu pertama, konstituen yang bersangkutan harus menyatu dengan konstituen inti dalam predikat membentuk konstruksi frasa predikat. Kedua, karena berbentuk konstruksi frasa, di antara konstituen qualifier dan konstituen inti dalam predikat tersebut tidak diperkenankan penyisipan oleh konstituen lain yang besarnya sejajar dengan fungsi sintaksis. Berdasarkan jenis kata pengisi predikat dalam bahasa Jepang, qualifier dapat dibedakan menjadi qualifier predikat verba, qualifier predikat adjektiva, dan qualifier predikat nomina. Kata-kata kunci: qualifier, kata bantu predikat, tipologi bahasa 1. Pengantar Penelitian linguistik kontrastif yang membandingkan dua bahasa, yakni antara bahasa Indonesia dan bahasa Jepang sudah banyak dilakukan. Akan tetapi, penelitian yang mendetail tentang konstruksi urutan konstituen dalam frasa predikat yang terdapat dalam tata bahasa kedua bahasa tersebut, terutama masalah tipologinya kurang mendapat perhatian. Pusat kalimat dalam teori tata bahasa kasus adalah predikat. Konstituen dalam predikat tersebut pada masing-masing bahasa berbeda. Namun, secara umum adalah verba. Konstituen yang bertugas menambah sifat secara tata bahasa terhadap arti verba disebut dengan verb qualifier atau di sini hanya disebut dengan qualifier saja 1. bahasa Indonesia bahasa Jepang (1). ingin minum nomitai Q V V Q (2). harus minum noma nakerebanaranai Q V V Q Konstruksi predikat pada kedua bahasa tersebut, seperti terlihat pada contoh (1) dan (2) bahasa Indonesia, menempatkan qualifier (Q) sebelum verba (V), sedangkan bahasa Jepang menempatkan qualifier setelah verba. Qualifier adalah konstituen periferal yang menerangkan konstituen inti dalam konstruksi predikat. Dalam bahasa Indonesia verba minum yang menjadi konstituen inti diterangkan oleh ingin dan harus. Dalam bahasa Jepang yang menjadi konstituen inti adalah verba nom(i) dan nom(a) yang berarti minum. Verba ini dijelaskan oleh -tai 'ingin' (1) dan -nakerebanaranai 'harus' (2). Dalam konstruksi tersebut juga terlihat adanya gejala mirror image (bayangan cermin) dalam hal urutan qualifier dan verba di antara kedua bahasa. Konstituen qualifier dalam bahasa Indonesia secara umum telah dibahas oleh Sudaryanto (1993) dalam bukunya Predikat-Objek dalam Bahasa Indonesia, Keselarasan Pola-Urutan. Sejauh pengetahuan penulis informasi tentang qualifier ini dalam bahasa Jepang belum ada. Tulisan ini akan mengulas jenis-jenis qualifier dilihat dari konstituen pembentuk konstruksi predikat dalam bahasa Jepang. 2. Urutan Kata Dalam kajian sintaksis terdapat istilah fungsi sintaksis dan kategori sintaksis. Fungsi sintaksis berkaitan dengan slot-slot dalam kalimat, yang sering disebut dengan subjek (S), predikat (P), dan objek (O) 2. Sedangkan kategori sintaksis

2 2 / /02/08 17:52 berhubungan dengan jenis kata dalam bahasa, misalnya verba, adjektiva, nomina, dan sebagainya. Konstruksi sintaksis bahasa pada level terbesar kebanyakan didasarkan pada urutan fungsi sintaksisnya, terutama urutan objek dan predikatnya. Fungsi predikat secara kategori sintaksis diisi oleh jenis kata verba (V). Oleh karena itu, dalam penyebutan jenis bahasa selain ada istilah bahasa dengan urutan SPO ada juga istilah penyebutan bahasa SVO. V pada konstruksi yang disebutkan terakhir bisa berarti fungsi sintaksis predikat dan tentu saja bisa juga berarti kategori sintaksis verba dalam arti sesungguhnya. Dalam penelitian selanjutnya Lehmann menganggap fungsi sintaksis subjek merupakan konstituen yang tidak begitu penting secara antar-bahasa. Artinya, ada bahasa yang sering mengabaikan keberadaan subjek. Hal ini kebetulan terjadi dalam bahasa Jepang. Dalam bahasa ini sering sekali subjek tidak disebut dalam percakapan. Misalnya dalam (anata wa) doko e ikimasuka 'kamu akan pergi ke mana'?, subjek anata wa 'kamu' sering dihilangkan. Sebaliknya subjek dalam bahasa Indonesia sering dimunculkan. Dengan contoh bahasa Jepang ini tentu kita bisa mudah menerima bahwa subjek menjadi hal yang kurang begitu penting secara antar-bahasa. Rupanya dengan alasan ini, berdasarkan urutan fungsi sintaksisnya, bahasa-bahasa di dunia dibedakan menjadi bahasa tipe VO (atau PO) dan bahasa OV (atau OP). Bahasa Indonesia dan bahasa Jepang mewakili kedua tipe bahasa tersebut. Dalam hubungannya dengan adposisi (Ad) terdapat preposisi (Pr) dan postposisi (Po). Bahasa yang menempatkan objeknya setelah verba atau predikat (bahasa VO) biasanya mempunyai preposisi (Pr). Sebaliknya bahasa yang menempatkan objeknya sebelum verba (bahasa OV) mempunyai postposisi (Po). Fungsi sintaksis objek (O) diisi oleh kategori sintaksis nomina (N). Di sini, adposisi dan verba mempunyai kesamaan dalam hubungannya dengan penguasaan terhadap nomina 3. Bahasa Indonesia sebagai bahasa VO yang menempatkan objeknya setelah verba mempunyai adposisi berupa preposisi, dan bahasa Jepang sebagai bahasa OV menempatkan objeknya sebelum verba beradposisi berupa postposisi. Dalam konstruksi misalnya membeli buku (V-O) atau dalam bahasa Jepangnya hon o kau (O-V), maka verba membeli atau verba kau 'membeli' dalam bahasa Jepang mempunyai kekuasaan (menguasai) terhadap buku atau hon o 'buku'. Sejajar dengan konstruksi ini misalnya konstruksi frasa adposisi di toko (Pr-N) atau dalam bahasa Jepangnya mise de (N-Po) 'di toko', maka preposisi di dan postposisi de 'di' mempunyai kekuasaan terhadap nomina toko atau mise 'toko'. Dengan demikian, dalam bahasa Indonesia yang VO itu urutannya adalah verba-nomina (V-N), sejajar urutannya dengan preposisi-nomina (Pr-N); dan dalam bahasa Jepang yang OV itu urutannya adalah nomina-verba (N-V), sejajar urutannya dengan nomina-postposisi (N-Po). Jadi, penguasaan verba terhadap nomina sama urutannya dengan penguasaan adposisi (preposisi/postposisi) terhadap nomina 4. Sebuah konstituen akan menguasai konstituen yang lain, atau sebaliknya sebuah konstituen akan memodifikasi/menerangkan konstituen yang lainnya. Di sini terdapat konstituen inti yang menjadi pusat konstruksi dan konstituen periferal yang bertugas menjadi modifier (M). Prinsip dasar posisi modifier terhadap inti ini menjadi salah satu pusat keistimewaan pentipologian bahasa. Prinsip urutan antara keduanya juga berbeda dalam bahasa VO dan OV. Jika VO atau OV adalah sebuah rangkaian untaian, bentuk formal modifier V dan O yang diisi oleh nomina (N) itu berada di luarnya: M-V-O-M atau M-O-V-M. (3) Posisi bentuk formal modifier (M) terhadap V dan O (a) Bahasa Indonesia: ingin minum kopi hangat M V O/N M (b) Bahasa Jepang : atatakai kohi o nomi tai 'hangat' 'kopi' 'minum' 'ingin' M O/N V M Dalam bahasa Indonesia (3a), pada konstruksi urutan minum kopi, verba minum dimodifikasi oleh ingin dan nomina kopi dimodifikasi oleh hangat. Demikian juga dalam bahasa Jepang (3b), pada konstruksi urutan kohi o nomi, verba nomi 'minum' dimodifikasi oleh -tai 'ingin' dan nomina kohi 'kopi' dimodifikasi oleh atatakai 'hangat'. Bentuk formal modifier terhadap V inilah yang oleh Lehmann disebut dengan istilah qualifier. Mengenai posisi bentuk formal atau konstituen qualifier (Q), Lehmann (1973) menggambarkan urutannya terhadap nomina atau objek sebagai berikut. (4)# QV(N obj ) #QV(N obj )#

3 3 / /02/08 17:52 #(N obj )VQ# Pada rumusan #QV(N obj )# tersebut di atas, N obj berada di dalam kurung. Artinya keberadaan nomina (objek) tersebut bersifat opsional, boleh ada boleh tidak. Pada verba transitif yang menuntut adanya objek maka N obj diperlukan. Akan tetapi pada verba intransitif bagian N obj tersebut tidak diperlukan karena verba intransitif tidak menuntut adanya objek. Selanjutnya, rumusan #QV(N obj )# itu dibedakan menjadi dua yaitu pada bahasa VO berlaku rumusan urutan #QV(N obj )' dan pada bahasa OV berlaku rumusan urutan '(N obj )VQ'. Konstituen qualifier memberikan 'kualitas' terhadap arti kalimat. Jadi, keberadaan qualifier mempengaruhi arti keseluruhan kalimat. Sudaryanto (1983) menggunakan istilah pendesak untuk menerjemahkan qualifier 5. Sesuai dengan namanya, konstituen pendesak tersebut mendesak salah satu bagian atau keseluruhan kalimat dengan cara menambahkan, mengurangi, membatasi, atau mempengaruhi artinya. Dengan demikian, qualifier adalah konstituen kategori tata bahasa (gramatikal) yang memberi kualitas secara tata bahasa pula terhadap arti konstituen inti yang terdapat dalam slot predikat. Sementara itu, seperti sudah disinggung di atas bahwa V pada konstruksi VO/OV dalam tipologi bahasa Greenberg- Lehmann bisa berarti verba, bisa juga berarti predikat. Jika V tersebut adalah verba maka penjelasan lainnya tidak diperlukan. Artinya memang V yang dimaksud adalah fungsi sintaksis yang diisi oleh kategori verba. Namun, jika V tersebut adalah predikat, dalam hubungannya dengan keistimewaan masing-masing bahasa, V predikat tersebut perlu dijelaskan lebih lanjut. Karena kategori sintaksis yang dapat mengisi slot predikat dalam bahasa Jepang tidak hanya verba saja. Adjektiva dan nomina juga bisa menduduki slot predikat. Untuk itulah V dalam tipologi bahasa tersebut bagaimana menerapkannya dalam bahasa Jepang. Dan setelah V predikat tersebut jelas, bagaimana dengan halnya konstituen modifier yang disebut dengan qualifier itu. 3. Verba Bantu (Jodooshi) Sekilas dengan rumusan Lehmann pada poin (4) dapat disimpulkan secara cepat bahwa qualifier dalam bahasa Jepang sejajar dengan jodooshi atau sering diterjemahkan kata bantu verba atau ada juga yang menyebut verba bantu 6. Jo berarti bantu dan dooshi berarti verba. Akan tetapi penerjemahan ini menurut penulis kurang tepat. Yang pas, sekali lagi menurut penulis adalah kata bantu predikat. Di akhir tulisan ini penulis akan mengemukakan alasannya. Istilah jodooshi (selanjutnya digunakan istilah verba bantu) dalam bahasa Jepang ditentukan berdasarkan penggolongan arti jenis katanya. Oleh karena itu, pada kenyataannya masing-masing peneliti mempunyai standar yang berbeda. Kalau demikian, sebenarnya apa yang dimaksud dengan verba bantu itu tidak jelas. Dalam tata bahasa secara umum, yang disebut dengan verba bantu adalah kausatif -seru/-saseru, pasif/kemungkinan/hormat -reru/ -rareru, kesopanan -masu, negatif -nai/-nu/-mai, kehendak/dugaan -u/-yo, dugaan/kemiripan -rashii/-yooda, keinginan -tai, selesai/lampau -ta, katanya -sooda, dan keputusan -da/-desu. Terhadap beberapa jenis verba bantu ini Shinkichi Hashimoto menggunakan istilah ji (imbuhan), sedangkan Yoshio Yamada menggunakan istilah fukugobi (ekor majemuk) 7. Isago Mio (2003) menata ulang verba bantu tersebut sebagai berikut. (5) A. Yang dimasukkan pengecualian 1. Yang sebaiknya dianggap sebagai akhiran (a) -reru, -rareru, -seru, -saseru, -tai (b) -nai, -nu, -masu 2. Yang sebaiknya dianggap sebagai ekor kata -u, -yoo, -ta B. Yang tetap sebagai verba bantu -da, -desu, -gozaimasu, -rashii, -yooda, -soda, -mai C. Yang dimasukkan sebagai verba bantu baru -(wa)suru, -(kuwa)aru, -(ku)nai, -dearu, -denai, -degozaimasu

4 ETAK ARTIKEL / /02/08 17:52 Dengan melihat klasifikasi verba bantu tersebut di atas istilah verba bantu menjadi kabur. Tidak jelas pula bagaimana hubungan antara kala, aspek, dan modal. Oleh karena itu tidak berlebihan jika Mio (2003) menambahkan penjelasannya bahwa 'Tidak ada persoalan jenis kata yang serumit verba bantu.' Berdasarkan pernyataan ini, klasifikasi verba bantu dalam bahas Jepang masih memerlukan penataan ulang. Tulisan ini akan mencoba melihat secara garis besar dari sudut pandang qualifier menurut tipologi bahasa gaya Lehmann. 4. Syarat Qualifier dalam Bahasa Jepang Sudah dikemukakan di subbab 2 di depan bahwa bentuk formal yang memodifikasi verba itulah yang disebut dengan qualifier. Qualifier merupakan istilah yang muncul pada tipologi bahasa gaya Lehmann. Bersama dengan tipologi bahasa gaya Greenberg, tipologi bahasa Lehmann ini saling melengkapi. Jadi, istilah qualifier lahir dari kajian tipologi bahasa yang mendasarkan pentipologiannya pada urutan morfem dan kata dalam kalimat. Dalam bahasa Indonesia teori qualifier ini diterapkan oleh Sudaryanto (1993) dalam salah satu bab di bukunya. Selanjutnya, dalam bahasa Jawa diterapkan oleh Roni (2001). Dengan memperhatikan penerapan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jawa tersebut Roni (2008) berusaha menerapkannya dalam bahasa Jepang. Ringkasan makalah Nihongo no Dooshi Qualifier yang dimuat dalam jurnal ilmiah Nagoya Daigaku Kokugo Kukubungaku Edisi 101, November 2008 halaman 89 adalah sebagai berikut. Posisi modifier verba yang disebut dengan qualifier dalam bahasa Jepang berada setelah verba: (O)VQ. Jadi, konstituen setelah verba besar kemungkinannya untuk menjadi qualifier. Selanjutnya, karena perannya dalam kalimat tidak jelas, konstituen qualifier tidak dibahas dalam hubungannya dengan konstruksi klausa, melainkan dimasukkan pada konstruksi yang lebih kecil yaitu frasa, jelasnya frasa predikat. Dengan demikian, konstituen qualifier tersebut bersama dengan konstituen inti pengisi predikat membentuk konstruksi bahasa paling besar berupa konstruksi frasa predikat. Artinya bisa konstruksi frasa jika qualifier berupa kata (morfem bebas), atau konstruksi kata jika qualifier berupa morfem (morfem terikat). Karena konstituen qualifier dan konstituen inti pengisi predikat membentuk konstruksi frasa maka hubungan keduanya sangat erat. Di antara keduanya tidak boleh ada konstituen lain yang sejajar dengan fungsi sintaksis mengisi, menyela, atau membatasi. Pada contoh (6) sementara dianggap bahwa morfem ta 'sudah' yang menyatakan kala lampau dan kata to omou 'pikir' karena berada setelah verba tabe 'makan', diandaikan dapat berstatus sebagai bentuk formal qualifier. Kata tabeta 'sudah makan' dapat dibagi menjadi dua yaitu tabe yang merupakan akar verba dan ta. Di antara keduanya jika disisipi konstituen yang sejajar dengan fungsi sintaksis watashi ga 'saya' seperti contoh (7), keseluruhan konstruksi tersebut tidak berterima. Artinya, hubungan antara tabe dan ta sangat erat sehingga tidak dapat dipisahkan oleh watashi ga. Jadi, ta bisa berstatus qualifier. Pada contoh (6), to omou kelihatan seperti bentuk formal qualifier. Dengan penyisipan watashi ga sebelum omou, konstruksi (8) tetap berterima. Jadi, to omou tidak bisa berstatus sebagai qualifier. (6) tabe ta to omou. 'makan' kala: lampau 'pikir' V Q Q (7) * tabe watashi ga ta 'makan' 'saya' kala: lampau V S/pelaku Q (8) tabe ta to watashi ga omou. 'makan' kala: lampau 'saya' 'pikir' V Q S/pelaku Q Dengan cara tersebut, konstruksi lingual pada frasa predikat dapat dites. Misalnya, konstruksi yukkuri aruku 'berjalan pelan' dan hayaku kaeru 'pulang cepat'. Walaupun kata keterangan yukkuri 'pelan' dan hayaku cepat' berada sebelum verba aruku 'berjalan' dan kaeru 'pulang' terlihat hubungan di antaranya terasa erat seperti membentuk frasa predikat. Dan kata keterangannya dapat dianggap berstatus qualifier. Tetapi setelah disisipi watashi ga 'saya' seperti contoh (10) maka konstruksi tersebut tetap berterima. Jadi, status qualifier pada yukkuri dan hayaku tidak terbukti. (10) Yukkuri aruku Hayaku kaeru

5 5 / /02/08 17:52 Yukkuri watashi ga aruku S/pelaku Hayaku watashi ga kaeru S/pelaku Dengan penjelasan di atas, Roni (2008) mengemukakan dua syarat suatu konstituen dalam bahasa Jepang dapat menyandang status sebagai qualifier. Pertama, konstituen tersebut menyatu dengan konstituen inti dalam slot predikat membentuk frasa predikat. Pengertian menyatu di sini boleh di depan atau di belakang konstituen inti. Dan kedua, karena berbentuk konstruksi frasa, di antara konstituen qualifier dan konstituen inti dalam slot predikat tersebut tidak boleh disisipi konstituen lain yang sejajar dengan fungsi sintaksis. 5. Konstituen Pengisi Predikat dalam Bahasa Jepang Seperti sudah disinggung sebelumnya pada subbab 2 bahwa pada pola SVO dan SOV, V yang dimaksud bisa berarti fungsi sintaksis yang disebut dengan predikat, karena sebagai imbangan S subjek dan O objek seharusnya adalah P predikat. Akan tetapi, P predikat tidak dipergunakan dalam pola tersebut. Alasannya semata-mata bahwa jenis kata pengisi predikat secara antar-bahasa adalah verba (V). V verba inilah yang digunakan sebagai pengganti lambang P predikat pada pola SVO dan SOV tersebut. Jadi, V pada pola itu bisa berarti kategori sintaksis verba atau fungsi sintaksis predikat. Untuk poin yang pertama tidak akan dibahas pada tulisan ini. Karena predikatnya sudah jelas yaitu diisi oleh verba: V sama dengan verba. Pada subbab ini akan dibahas mengenai poin yang kedua, V sama dengan predikat. Kalimat yang predikatif 8 sebagai pusatnya adalah predikat itu sendiri. Jadi, predikat adalah konstituen penguasa primer dan menjadi konstituen pusat dalam sebuah kalimat (Nida, 2004: 152). Kategori sintaksis atau jenis kata yang dapat mengisi slot predikat dalam bahasa Jepang bermacam-macam, yang utama adalah verba, adjektiva (baik adjektiva i maupun adjektiva na), dan nomina. Nida (2005) menjelaskan bahwa klasifikasi konstruksi kalimat yang predikatif dipandang dari jenis kata pengisi predikat dapat dibedakan menjadi kalimat dengan predikat verba, kalimat dengan predikat adjektiva, dan kalimat dengan predikat nomina. Dalam hal ini adjektiva bahasa Jepang dibedakan menjadi dua, yaitu adjektiva i dan adjektiva na. Jika konstituen pengisi slot predikat ini diamati lebih jauh akan terdapat dua kelompok konstruksi kalimat. Pertama, kelompok kalimat predikatif yang predikatnya diisi oleh leksikal apa adanya tanpa bantuan konstituen lain; dan kedua, kelompok kalimat predikatif yang predikatnya diisi oleh leksikal dengan bantuan konstituen lain. Kelompok yang pertama adalah kalimat dengan predikat verba dan predikat adjektiva i; dan kelompok yang kedua adalah kalimat dengan predikat adjektiva na dan predikat nomina. Kelompok yang terakhir dalam pengisian predikat memerlukan bantuan konstituen da dan sejenisnya 9. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa kalimat dengan predikat verba dan adjektiva i merupakan kalimat dengan sifat pengisian predikat sempurna. Sebaliknya dalam kalimat dengan predikat adjektiva na dan nomina, karena memerlukan bantuan konstituen da, sifat pengisian predikatnya tidak sempurna. Yang disebut sifat pengisian predikat di sini adalah dapat atau tidaknya suatu konstituen mengisi slot predikat. Kalau bisa mengisinya secara mandiri, konstituen tersebut mempunyai sifat pengisian sempurna, dan sebaliknya jika tidak dapat melakukan pengisian secara mandiri, konstituen tersebut mempunyai sifat pengisian tidak sempurna (Isao Iori, 2001). Hanya saja, seperti halnya dengan ekor kata -u/-ru pada verba dan -i pada adjektiva i yang dapat bertugas sebagai katsuyoogobi (ekor kata konjugasi), jika da pada predikat adjektiva na dan nomina tersebut dianggap sebagai ekor kata konjugasi juga, adjektiva na dan nomina juga mempunyai sifat predikat sempurna. Akan tetapi, cara berpikir yang disebutkan belakangan tidak dijadikan acuan dalam tulisan ini. Pendapat yang lain mengatakan bahwa tanpa da dan sejenisnya adjektiva na dan nomina dapat mengisi slot predikat (Maya Kobayashi, 2005). Misalnya dalam kalimat kumo no ue wa tengoku (da) 'di atas awan ada surga' dan yoru wa shizuka (da) 'malam itu tenang', keberadaan da boleh ada boleh tidak, bersifat opsional. Menurut penulis setidaknya ada dua alasan tentang keopsionalan da ini. Pertama, konstituen da yang menyatakan bentuk biasa ini akan dihadirkan jika akan dikontraskan dengan desu yang menyatakan bentuk sopan. Kedua, untuk membedakan bahasa tulis dan bahasa lisan. Dalam bahasa tulis keberadaan da dan sejenisnya diperlukan untuk menutup kalimat dengan predikat adjektiva na dan nomina. Sebaliknya dalam bahasa lisan da sering dihilangkan. Tulisan ini akan memperlakukan da sebagai konstituen yang diperlukan dalam jenis kalimat tersebut. Selain verba, adjektiva, dan nomina seperti yang sudah dijelaskan di atas terdapat juga kategori sintaksis yang dapat mengisi predikat, yaitu adverbia. Misalnya kata keterangan mada 'belum' dalam kalimat berikut berterima: chooshoku wa mada desu 'makan paginya belum'. Tetapi sebaliknya kata keterangan moo 'sudah' dalam kalimat berikut tidak berterima: *chooshoku wa moo desu 'makan paginya sudah'. Dengan demikian, sifat adverbia bermacam-macam. Tidak semua adverbia

6 6 / /02/08 17:52 dapat mengisi slot predikat. Mungkin karena alasan inilah kalimat dengan predikat adverbia seringkali tidak dipermasalahkan (Yoshifumi Tobita dan Takeyoshi Sato, 1941) Dari uraian subbab 3 dan subbab 5 ini, kategori sintaksis dalam bahasa Jepang dilihat dari sudut pandang kemampuannya mengisi predikat dan kesempurnaan sifat predikatnya dapat diringkas seperti tabel (11) berikut. (11) Kategori Sintaksis dan Fungsi Sintaksis Predikat Kategori Subkategori Kemampuan Kesempurnaan Sintaksis Sintaksis Mengisi Pengisian Predikat Predikat Verba Transitif O O Intransitif O O Adjektiva Tipe i O O Tipe na O X Nomina - O X Adverbia - Kategori lain - Keterangan, O: memenuhi syarat; X: tidak memenuhi syarat; : memenuhi sebagian; : tidak dipermasalahkan 6. Jenis Qualifier Berdasarkan Kategori Sintaksis Pengisi Predikat Seperti terlihat pada tabel (11), fungsi sintaksis pada kalimat bahasa Jepang dapat diisi oleh verba, adjektiva, nomina, dan sebagian adverbia. Perlu pengkajian lebih lanjut tentang adverbia, mana adverbia yang bisa mengisi predikat dan mana yang tidak bisa menduduki predikat. Verba dilihat dari keperluan munculnya objek dibedakan menjadi dua, verba transitif dan instransitif. Sedangkan, adjektiva dalam dunia pendidikan bahasa Jepang di luar Jepang, dilihat dari hubungannya dengan nomina dalam membentuk konstruksi frasa nomina dibedakan menjadi dua, yaitu adjektiva tipe i dan adjektiva tipe na. Pada adjektiva i atsui 'panas' dalam frasa nomina atsui kohi 'kopi panas'(13) mempunyai model penyambungan seperti verba tatsu 'berdiri' dalam frasa nomina tatsu hito 'orang yang berdiri' (12), yaitu tanpa partikel penyambung. Sedangkan, adjektiva na kirei cantik' dalam frasa nomina kirei na hito 'orang yang cantik' (14) dalam penyambungannya dengan nomina hito 'orang' memerlukan partikel penyambung na. Perbedaan dalam model penyambungan inilah yang menjadi salah satu pembedaan antara adjektiva dalam bahasa Jepang. Adjektiva yang tanpa penyambungan dalam memodifikasi nomina dan ditambah karena memang berakhir dengan fonem i maka disebut adjektiva tipe i (atau disebut adjektiva i saja). Sedangkan, adjektiva yang membutuhkan penyambungan partikel na dalam memodifikasi nomina disebut dengan adjektiva tipe na (atau adjektiva na saja). (12) Tatsu hito wa chichi desu. 'berdiri' 'orang' penanda: topik 'ayah saya' bantu predikat: sopan 'Orang yang berdiri itu ayah saya.' (13) Atsui kohi o onegai shimasu. 'panas' 'kopi' penanda: pasien 'minta' 'Minta kopi panas!' (14) Megumi wa kirei na hito da.

7 7 / /02/08 17:52 nama orang penanda: topic cantik' penyambung 'orang' bantu predikat: biasa 'Megumi itu orang yang cantik.' Untuk kategori sintaksis verba, adjektiva dan nomina, meskipun sedikit berbeda dalam kesempunaannya mengisi predikat, tapi ketiganya mempunyai kemampuan penuh dalam mengisi predikat. Dilihat dari faktor ini, predikat dalam bahasa Jepang dibedakan menjadi tiga, yaitu predikat verba, predikat adjektiva, dan predikat nomina. Sudah dijelaskan pula di depan bahwa dalam tipologi bahasa yang didasarkan pada urutan kata dan morfem, konstituen periferal yang memodifikasi (M) konstituen inti dalam frasa predikat disebut dengan qualifier. Dengan demikian, jenis qualifier dipandang dari konstituen inti pengisi predikat sebaiknya juga dibedakan menjadi tiga, yaitu qualifier predikat verba, qualifier predikat adjektiva, dan qualifier predikat nomina. Lebih jauh dalam sub-subnya secara relatif dapat pula dibedakan menjadi qualifier predikat verba transitif, qualifier predikat verba intransitif, qualifier predikat adjektiva i, dan qualifier predikat adjektiva na. Dengan urutan pemikiran seperti ini, seandainya konstituen qualifier itu sejajar dengan jodooshi, penerjemahannya bukan kata bantu verba melainkan kata bantu predikat. Sedangkan istilah verba bantu lebih cenderung untuk jenis qualifier yang berasal dari leksikal berupa verba dan setelah melalui proses gramatikalisasi atau bunpooka (''') menjadi kategori gramatikal/tata bahasa. Misalnya verba iku 'pergi' yang termasuk kategori leksikal, ketika bergabung dengan bentuk te menjadi te iku (arti: bernuansa menjauh) dimasukkan dalam kategori gramatikal. Contoh lain miru 'melihat' menjadi te miru 'mencoba', oku 'meletakkan' menjadi te oku (arti: bernuansa persiapan), dan lain-lain. Dengan analogi ini akan timbul pula adjektiva bantu. Misalnya kategori leksikal yasui 'murah' dan hoshii 'butuh' menjadi kategori tata bahasa dalam konstruksi tabeyasui 'mudah dimakan' dan tabete hoshii 'berharap dimakan'. Beberapa persoalan yang disebutkan belakangan masih memerlukan kajian lebih lanjut. 7. Kesimpulan Dari uraian tersebut dapat ditegaskan beberapa hal sebagai berikut. Tipologi bahasa yang mendasarkan analisisnya pada urutan kata dan morfem membedakan bahasa-bahasa di dunia menjadi bahasa VO dan bahasa OV. Bahasa Indonesia dan bahasa Jepang mewakili kedua tipe bahasa ini. Terdapat konstituen modifier yang mempunyai tugas memberi keterangan terhadap konstituen inti pengisi V predikat, yang disebut dengan qualifier (Q). Letak qualifier adalah sebelum V pada bahasa VO dan setelah V pada bahasa OV: QVO atau OVQ. Syarat sebagai konstituen qualifier dalam bahasa Jepang adalah konstituen tersebut menyatu dengan konstituen inti dalam slot predikat membentuk frasa predikat, dan karena berbentuk konstruksi frasa, di antara konstituen qualifier dan konstituen inti dalam slot predikat tersebut tidak boleh disisipi oleh konstituen lain yang sejajar dengan fungsi sintaksis. Berdasarkan jenis kata pengisi predikat secara garis besar terdapat qualifier pada predikat verba, qualifier pada predikat adjektiva, dan qualifier pada predikat nomina. Berdasarkan jenis-jenis qualifier ini pula, jika jodooshi dianggap sejajar dengan qualifier, istilah yang tepat untuk memaknai jodooshi dalam bahasa Indonesia bukan kata bantu verba ataupun verba bantu melainkan kata bantu predikat. 8. Daftar Pustaka Hideo, Teramura Teramura Hideo Rombunshuu I, Nihongo Bunpoohen. Kuroshio Shuppan Isago, Mio. 2003a. Mio Isago Chosakushuu I. Hitsuji Shoboo Isago, Mio. 2003b. Mio Isago Chosakushuu II. Hitsuji Shoboo Isao, Iori Atarashii Nihongogaku Nyuumon, Kotoba no Shikumi o Kangaeru. 3A Net work Lehmann, WP. Language: An Introduction. terjemahan oleh Yamasaki Toshi Gengogaku Nyuumon. Gakushoboo Shuppan Kabushikigaisha Lehmann, WP 'A Structural Principle Of Language And Its Implications' dalam jurnal ilmiah Language Vol. 49 No. 1 Maya, Kobayashi 'Keiyoodooshi to Keiyooshi no Toogoteki Sooi' dalam jurnal ilmiah Nihongo Bunpo Vol 5 No 2 September 2005 Roni 'Nihongo no Dooshi Qualifier' dalam jurnal ilmiah Nagoya University Japanese Linguistics and Japanese Literature Edisi 101 Nopember 2008 Roni Pendesak dalam Bahasa Jawa, Kajian Tipologis. Tesis Master tidak dipublikasikan Sebelas Maret

8 8 / /02/08 17:52 University Sudaryanto Predikat-objek dalam Bahasa Indonesia, Keselarasan Pola-urutan. Penerbit Djambatan Tasaku, Tsunoda Sekai no Gengo to Nihongo. Kuroshio Shuppan Verhaar, JWM Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Catatan Kaki 1 Qualifier sebenarnya sejajar dengan yang menerangkan dalam tata bahasa Sutan Takdir Alisjahbana, pembatas dalam bukunya Sudaryanto, atau modifier dalam tata bahasa Inggris. Sudaryanto menerjemahkan kata qualifier ini menjadi pendesak dalam bahasa Indonesia. Dalam tulisan ini digunakan istilah aslinya saja yaitu qualifier, dan selanjutnya ditulis dengan huruf tegak (tidak ditulis miring) untuk menaturalisasikannya. 2 Dalam tata bahasa tradisional bahasa Indonesia terdapat satu slot lagi yaitu keterangan (K). Terhadap keterangan ini masih terjadi silang pendapat di antara para ahli bahasa. Pada tulisan ini sementara konstituen keterangan diabaikan. 3 Lehmann WP (1992: 208) 4 Secara historis, adposisi diperkirakan secara hipotesis berasal dari verba. Perhatikan adposisi mengenai dalam bahasa Indonesia atau nitsuite (tentang) dan nikansuru (berhubungan dengan) dalam bahasa Jepang. Ketiga adposisi tersebut menunjukkan tanda-tanda verba. Awalan me- dalam bahasa Indonesia sering berfungsi sebagai tanda verba. Kata tsuku dan kansuru dalam bahasa Jepang juga mengindikasikan verba. Beberapa kasus ini menjadi peluang untuk penelitian secara historis: butuh pembuktian. 5 Verhaar menggunakan istilah penegas (1996:266) 6 Misalnya Tsunoda Tasaku (1991) dalam bukunya 'Sekai no Gengo to Nihongo' menggunakan tipologi bahasa gaya Greenberg-Lehmann, tetapi pada konstruksi frasa verba (frasa predikat) tidak menggunakan istilah qualifier, melainkan jodooshi atau verba bantu. 7 Kata imbuhan dan ekor majemuk merupakan terjemahan bebas penulis. 8 Kalimat predikatif merupakan kalimat yang mempunyai predikat atau kalimat yang mempunyai konstituen yang dapat dianalisis sebagai bagian dari predikat. Kebalikan dari kalimat jenis ini adalah kalimat dengan kata mandiri yang tidak mempunyai predikat atau konstituen yang dapat dianggap sebagai predikat (Nida, 2005: 20) 9 Hideo Teramura (1999: 3). Tidak diperkenankan memperbanyak artikel ini untuk kepentingan komersial, kecuali atas izin penulisnya. Untuk kepentingan komersial, silakan ajukan permohonan secara tertulis melalui formulir yang kami sediakan.

Edisi Vol.13/XXI/Maret 2009 Tanggal cetak : Senin, 08 Februari 2010 Kolom : Catatan Riset

Edisi Vol.13/XXI/Maret 2009 Tanggal cetak : Senin, 08 Februari 2010 Kolom : Catatan Riset 1 / 7 2010/02/08 17:59 INOVASI Online Website : http://io.ppi-jepang.org Email : redaksi@io.ppi-jepang.org CETAK TUTUP Edisi Vol.13/XXI/Maret 2009 Tanggal cetak : Senin, 08 Februari 2010 Kolom : Catatan

Lebih terperinci

Ekor Verba -u/-ru sebagai Konstituen Penyambung dalam Bahasa Jepang, Sebuah Pemikiran

Ekor Verba -u/-ru sebagai Konstituen Penyambung dalam Bahasa Jepang, Sebuah Pemikiran HUMANIORA INOVASI Vol.16/XXII/Maret 2010 Ekor Verba -u/-ru sebagai Konstituen Penyambung dalam Bahasa Jepang, Sebuah Pemikiran R o n i Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya Fakultas Sastra

Lebih terperinci

VERBAL CLAUSAL STRUCTURE IN INDONESIAN AND JAPANESE: CONTRASTIVE ANALYSIS

VERBAL CLAUSAL STRUCTURE IN INDONESIAN AND JAPANESE: CONTRASTIVE ANALYSIS STRUKTUR KLAUSA VERBAL DALAM BAHASA INDONESIA DAN BAHASA JEPANG: SUATU ANALISIS KONTRASTIF Wahya, Nani Sunarni, Endah Purnamasari Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran Jatinangor, Bandung 40600 ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gramatikal dalam bahasa berkaitan dengan telaah struktur bahasa yang berkaitan. dengan sistem kata, frasa, klausa, dan kalimat.

BAB I PENDAHULUAN. gramatikal dalam bahasa berkaitan dengan telaah struktur bahasa yang berkaitan. dengan sistem kata, frasa, klausa, dan kalimat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian dalam bidang linguistik berkaitan dengan bahasa tulis dan bahasa lisan. Bahasa tulis memiliki hubungan dengan tataran gramatikal. Tataran gramatikal

Lebih terperinci

KALIMAT. Menu SK DAN KD. Pengantar: Bahasa bersifat Hierarki 01/08/2017. Oleh: Kompetensi Dasar: 3. Mahasiwa dapat menjelaskan kalimat

KALIMAT. Menu SK DAN KD. Pengantar: Bahasa bersifat Hierarki 01/08/2017. Oleh: Kompetensi Dasar: 3. Mahasiwa dapat menjelaskan kalimat KELOMPOK 5 MATA KULIAH: BAHASA INDONESIA Menu KALIMAT Oleh: A. SK dan KD B. Pengantar C. Satuan Pembentuk Bahasa D. Pengertian E. Karakteristik F. Unsur G. 5 Pola Dasar H. Ditinjau Dari Segi I. Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan alat untuk berinteraksi dengan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan alat untuk berinteraksi dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan alat untuk berinteraksi dengan orang lain. Oleh karena itu, bahasa adalah alat yang digunakan sebagai sarana interaksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang terus meninggi, ragam inovasi media terus bermunculan. Berbagai

BAB I PENDAHULUAN. yang terus meninggi, ragam inovasi media terus bermunculan. Berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dewasa ini, lalu lintas informasi berada pada tingkat kecepatan yang belum pernah dicapai sebelumnya. Demi memenuhi hasrat masyarakat akan informasi yang terus

Lebih terperinci

Alat Sintaksis. Kata Tugas (Partikel) Intonasi. Peran. Alat SINTAKSIS. Bahasan dalam Sintaksis. Morfologi. Sintaksis URUTAN KATA 03/01/2015

Alat Sintaksis. Kata Tugas (Partikel) Intonasi. Peran. Alat SINTAKSIS. Bahasan dalam Sintaksis. Morfologi. Sintaksis URUTAN KATA 03/01/2015 SINTAKSIS Pengantar Linguistik Umum 26 November 2014 Morfologi Sintaksis Tata bahasa (gramatika) Bahasan dalam Sintaksis Morfologi Struktur intern kata Tata kata Satuan Fungsi Sintaksis Struktur antar

Lebih terperinci

KAKUJOSHI NI IN JAPANESE SENTENCES

KAKUJOSHI NI IN JAPANESE SENTENCES 1 KAKUJOSHI NI IN JAPANESE SENTENCES Suci Ramdani, Hana Nimashita, Nana Rahayu ramdanijantapan@gmail.com, hana_nimashita@yahoo.co.id, nana_rh12@yahoo.com Number Phone: 085272517366 Japanese Language Study

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG JOSHI

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG JOSHI BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG JOSHI 2.1 Pengertian Joshi Joshi memiliki beberapa pengertian. Salah satu pengertian joshi dapat dilihat dari penulisannya. Istilah joshi ditulis dengan dua buah huruf kanji.

Lebih terperinci

JENIS, STRUKTUR, SERTA VARIASI TERJEMAHAN HATSUWA DAN DENTATSU NO MODARITI DALAM NOVEL KOGOERU KIBA KARYA ASA NONAMI

JENIS, STRUKTUR, SERTA VARIASI TERJEMAHAN HATSUWA DAN DENTATSU NO MODARITI DALAM NOVEL KOGOERU KIBA KARYA ASA NONAMI JENIS, STRUKTUR, SERTA VARIASI TERJEMAHAN HATSUWA DAN DENTATSU NO MODARITI DALAM NOVEL KOGOERU KIBA KARYA ASA NONAMI Sarah Mayung Sarungallo Program Studi Sastra Jepang Fakultas Sastra dan Budaya Universitas

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA

BAB IV ANALISIS DATA BAB IV ANALISIS DATA Analisis data pada penelitian ini meliputi : (i) perilaku argumen pada perubahan struktur klausa bahasa Indonesia, (ii) pelesapan argumen pada penggabungan klausa bahasa Indonesia,

Lebih terperinci

ELIPSIS PARTIKEL (JOSHI) DALAM BAHASA JEPANG PADA DIALOG FILM BOKURA GA ITA PART I KARYA TAKAHIRU MIKI SKRIPSI

ELIPSIS PARTIKEL (JOSHI) DALAM BAHASA JEPANG PADA DIALOG FILM BOKURA GA ITA PART I KARYA TAKAHIRU MIKI SKRIPSI ELIPSIS PARTIKEL (JOSHI) DALAM BAHASA JEPANG PADA DIALOG FILM BOKURA GA ITA PART I KARYA TAKAHIRU MIKI SKRIPSI OLEH: AYU PUJANING ARDAENU 105110203111003 PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG JURUSAN BAHASA DAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:88) mengartikan bahasa sebagai, sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan manusia, untuk berinteraksi antara satu sama lain selalu dibutuhkan komunikasi. Bahasa adalah alat komunikasi yang dimiliki setiap orang untuk berinteraksi.

Lebih terperinci

FUNGSI DAN PERAN SINTAKSIS PADA KALIMAT TRANSITIF BAHASA JEPANG DALAM NOVEL CHIJIN NO AI KARYA TANIZAKI JUNICHIRO

FUNGSI DAN PERAN SINTAKSIS PADA KALIMAT TRANSITIF BAHASA JEPANG DALAM NOVEL CHIJIN NO AI KARYA TANIZAKI JUNICHIRO FUNGSI DAN PERAN SINTAKSIS PADA KALIMAT TRANSITIF BAHASA JEPANG DALAM NOVEL CHIJIN NO AI KARYA TANIZAKI JUNICHIRO Ni Kadek Nomi Dwi Antari Program Studi Sastra Jepang Fakultas Sastra dan Budaya Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa Jepang seperti layaknya bahasa lain pada umumnya, memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa Jepang seperti layaknya bahasa lain pada umumnya, memiliki 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Bahasa Jepang seperti layaknya bahasa lain pada umumnya, memiliki berbagai karakteristik sendiri termasuk dalam aspek fonologi, morfologi, semantik atau sintaksisnya.

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PARTIKEL GURAI DAN GORO. Menurut Drs. Sugihartono ( 2001:178 ), joshi adalah jenis kata yang tidak

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PARTIKEL GURAI DAN GORO. Menurut Drs. Sugihartono ( 2001:178 ), joshi adalah jenis kata yang tidak BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PARTIKEL GURAI DAN GORO 2.1 Pengertian Partikel Menurut Drs. Sugihartono ( 2001:178 ), joshi adalah jenis kata yang tidak mengalami perubahan dan tidak bisa berdiri sendiri

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Setelah melakukan analisis seperti yang tercantum pada bab

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Setelah melakukan analisis seperti yang tercantum pada bab 1 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Setelah melakukan analisis seperti yang tercantum pada bab sebelumnya, telah diuraikan satu persatu mengenai berbagai macam contoh kalimat yang mengandung verba

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan orang lain. Oleh karena itu, bahasa adalah alat yang digunakan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dengan orang lain. Oleh karena itu, bahasa adalah alat yang digunakan sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan alat untuk berinteraksi dengan orang lain. Oleh karena itu, bahasa adalah alat yang digunakan sebagai sarana interaksi dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makna apabila melekat pada kelas kata lain dalam suatu kalimat. Joshi dalam bahasa Jepang

BAB I PENDAHULUAN. makna apabila melekat pada kelas kata lain dalam suatu kalimat. Joshi dalam bahasa Jepang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Joshi dalam bahasa Indonesia biasa disebut partikel merupakan kata bantu dalam bahasa Jepang. Partikel adalah suatu kesatuan yang berdiri sendiri dan hanya akan memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu objek kesalahan dalam mempelajari bahasa Jepang yaitu dalam membuat

BAB I PENDAHULUAN. satu objek kesalahan dalam mempelajari bahasa Jepang yaitu dalam membuat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perbedaan karakteristik bahasa Jepang dan bahasa Indonesia melahirkan kesalahan berbahasa dalam berbagai aspek keterampilan bahasa Jepang. Salah satu objek kesalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pula ada bahasa tanpa masyarakat, karena bahasa merupakan alat penghubung

BAB I PENDAHULUAN. pula ada bahasa tanpa masyarakat, karena bahasa merupakan alat penghubung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Badudu (1989:3), bukan hal yang baru lagi jika dikatakan bahwa bahasa dan masyarakat merupakan dua unsur yang tidak dapat dipisahkan. Tidak mungkin ada masyarakat

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada penelitian ini penulis bermaksud melakukan penelitian kontrastif, yaitu

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada penelitian ini penulis bermaksud melakukan penelitian kontrastif, yaitu BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Pada penelitian ini penulis bermaksud melakukan penelitian kontrastif, yaitu aktivitas atau kegiatan yang mencoba membandingkan struktur B1 dengan struktur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat mendampingi numeralia atau preposisi dalam kalimat. Adverbia dalam

BAB I PENDAHULUAN. dapat mendampingi numeralia atau preposisi dalam kalimat. Adverbia dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Adverbia merupakan kata yang dipakai untuk menerangkan verba, adjektiva, dan adverbia lain. Disamping itu, adverbia termasuk kategori yang dapat mendampingi numeralia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Tabel Jumlah Pembelajar Bahasa Jepang (2012) Sumber: Japan Foundation (2012)

BAB 1 PENDAHULUAN. Tabel Jumlah Pembelajar Bahasa Jepang (2012) Sumber: Japan Foundation (2012) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Jepang merupakan bahasa nasional yang digunakan secara resmi di negara Jepang oleh kurang lebih 125 juta penutur. (Parkvall, 2010) Bahasa Jepang juga merupakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Jenis Penelitian. dan analisis, yaitu mendeskripsikan dan menganalisis verba berprefiks ber- dalam

BAB III METODE PENELITIAN. A. Jenis Penelitian. dan analisis, yaitu mendeskripsikan dan menganalisis verba berprefiks ber- dalam BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif karena bersifat deskriptif dan analisis, yaitu mendeskripsikan dan menganalisis verba berprefiks ber- dalam

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. jawaban suatu permasalahan. Atau konsep adalah gambaran mental diri objek, proses, atau

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. jawaban suatu permasalahan. Atau konsep adalah gambaran mental diri objek, proses, atau BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah suatu rangkaian kegiatan yang terencana dan sistematis untuk menemukan jawaban suatu permasalahan. Atau konsep adalah gambaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan salah satu alat komunikasi yang penting dalam kontak

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan salah satu alat komunikasi yang penting dalam kontak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan salah satu alat komunikasi yang penting dalam kontak sosial antarmanusia, karena kehidupan manusia yang tidak lepas dari aktivitas berkomunikasi

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain ( Kridalaksana,

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain ( Kridalaksana, BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Frasa Verba Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal-hal tersebut

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal-hal tersebut BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah gambaran mental dari obyek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal-hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termasuk ke dalam kategori ini bermacam-macam, seperti : ukemi (bentuk pasif),

BAB I PENDAHULUAN. termasuk ke dalam kategori ini bermacam-macam, seperti : ukemi (bentuk pasif), BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Kridalaksana (dalam Sutedi, 2004 : 75) diatesis yaitu kategori gramatikal yang menunjukkan hubungan antara partisipan atau subjek dengan perbuatan yang dinyatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Setiap bahasa memiliki aturan gramatikal yang memuat kaidah-kaidah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Setiap bahasa memiliki aturan gramatikal yang memuat kaidah-kaidah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap bahasa memiliki aturan gramatikal yang memuat kaidah-kaidah tentang bentuk kata, urutan kata, fungsi kata dan kalimat. Begitu juga bahasa Jepang, dimana aturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan komunikasi (Sutedi:2003). Modalitas merupakan kata keterangan yang

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan komunikasi (Sutedi:2003). Modalitas merupakan kata keterangan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Modalitas merupakan kategori gramatikal yang digunakan pembicara dalam menyatakan suatu sikap terhadap sesuatu kepada lawan bicara, seperti dengan menginformasikan,

Lebih terperinci

BAB II KONSEP,LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ekstrinsik; unsur dan hubungan itu bersifat abstrak dan bebas dari isi yang

BAB II KONSEP,LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ekstrinsik; unsur dan hubungan itu bersifat abstrak dan bebas dari isi yang BAB II KONSEP,LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Struktur adalah perangkat unsur yang di antaranya ada hubungan yang bersifat ekstrinsik; unsur dan hubungan itu bersifat abstrak dan bebas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alat untuk menyampaikan gagasan, pikiran, maksud, serta tujuan kepada orang lain.

BAB I PENDAHULUAN. alat untuk menyampaikan gagasan, pikiran, maksud, serta tujuan kepada orang lain. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Berkomunikasi merupakan suatu kegiatan yang mempergunakan bahasa sebagai alat untuk menyampaikan gagasan, pikiran, maksud, serta tujuan kepada orang lain.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi antara satu

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi antara satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi antara satu dengan yang lainnya, yang kemudian disebut dengan komunikasi. Bahasa merupakan alat komunikasi

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN. Berdasarkan analisis dokumen, analisis kebutuhan, uji coba I, uji coba II,

BAB 5 SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN. Berdasarkan analisis dokumen, analisis kebutuhan, uji coba I, uji coba II, 654 BAB 5 SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN 5.1 Simpulan Berdasarkan analisis dokumen, analisis kebutuhan, uji coba I, uji coba II, uji lapangan, dan temuan-temuan penelitian, ada beberapa hal yang dapat

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut.

BAB V PENUTUP. dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut. BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan Berdasarkan penelitian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut. Secara garis besar kalimat imperatif bahasa Indonesia dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ditinjau dari karakteristik gramatikalnya, kata-kata dalam bahasa Jepang

BAB I PENDAHULUAN. Ditinjau dari karakteristik gramatikalnya, kata-kata dalam bahasa Jepang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ditinjau dari karakteristik gramatikalnya, kata-kata dalam bahasa Jepang dapat dikelompokan menjadi sebelas kelas kata. Kesebelas kata tersebut yaitu : doushi (verba),

Lebih terperinci

Jenis Verba Jenis Verba ada tiga, yaitu: Indikatif (kalimat berita) Imperatif (kalimat perintah) Interogatif (kalimat tanya) Slot (fungsi)

Jenis Verba Jenis Verba ada tiga, yaitu: Indikatif (kalimat berita) Imperatif (kalimat perintah) Interogatif (kalimat tanya) Slot (fungsi) Lecture: Kapita Selekta Linguistik Date/Month/Year: 25 April 2016 Semester: 104 (6) / Third Year Method: Ceramah Credits: 2 SKS Lecturer: Prof. Dr. Dendy Sugono, PU Clues: Notes: Kapita Selekta Linguistik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Komunikasi dalam kehidupan sehari-hari manusia sebagai makhluk sosial

BAB I PENDAHULUAN. Komunikasi dalam kehidupan sehari-hari manusia sebagai makhluk sosial BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Komunikasi dalam kehidupan sehari-hari manusia sebagai makhluk sosial memegang peranan yang sangat penting. Komunikasi yang baik perlu mempertimbangkan sikap

Lebih terperinci

BAB 1. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang

BAB 1. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Jepang adalah salah satu negara maju di Asia Timur yang dikenal memiliki berbagai macam budaya dan keunikan tersendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, budaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makna kausatif. Meskipun demikian kausatif dalam masing-masing bahasa

BAB I PENDAHULUAN. makna kausatif. Meskipun demikian kausatif dalam masing-masing bahasa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap bahasa memiliki ungkapan yang digunakan untuk menyampaikan makna kausatif. Meskipun demikian kausatif dalam masing-masing bahasa dinyatakan dengan

Lebih terperinci

UNGKAPAN MAKNA VERBA SHIKARU DAN OKORU SEBAGAI SINONIM

UNGKAPAN MAKNA VERBA SHIKARU DAN OKORU SEBAGAI SINONIM UNGKAPAN MAKNA VERBA SHIKARU DAN OKORU SEBAGAI SINONIM Nandi S. Departemen sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara ABSTRAK Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hubungan manusia dan dunia sekitarnya (Sudaryanto, 1990:65 via Hidayati, 2004:1).

BAB I PENDAHULUAN. hubungan manusia dan dunia sekitarnya (Sudaryanto, 1990:65 via Hidayati, 2004:1). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kalimat sebagai salah satu satuan bahasa dapat digunakan untuk menyatakan ide atau pengalaman kita tentang proses, orang, objek, kualitas keadaan, dan hubungan manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah suatu alat komunikasi pada manusia untuk menyatakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah suatu alat komunikasi pada manusia untuk menyatakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah suatu alat komunikasi pada manusia untuk menyatakan tanggapannya terhadap alam sekitar atau peristiwa-peristiwa yang dialami secara individual atau secara

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan persamaan atau perbedaan antara diatesis

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan persamaan atau perbedaan antara diatesis BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan persamaan atau perbedaan antara diatesis pasif bahasa Jepang dan bahasa Indonesia. Oleh karena itu, metode yang

Lebih terperinci

KISI UJI KOMPETENSI 2013 MATA PELAJARAN BAHASA JEPANG

KISI UJI KOMPETENSI 2013 MATA PELAJARAN BAHASA JEPANG KISI UJI KOMPETENSI 2013 MATA PELAJARAN BAHASA JEPANG Kompetens Pedagogik 2. Menguasai teori belajar dan prinsip prinsip pembelajaran yang mendidik. 1. Memahami berbagai teori belajar dan prinsip prinsip

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam pesebab (Payne, 2002: 175). Ketiga, konstruksi tersebut menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. dalam pesebab (Payne, 2002: 175). Ketiga, konstruksi tersebut menunjukkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai bagian dari kajian tipologi gramatikal, konstruksi kausatif cukup menarik untuk dikaji. Hal itu dilandaskan pada beberapa alasan. Pertama, konstruksi tersebut

Lebih terperinci

Tugas Bahasa Indonesia

Tugas Bahasa Indonesia 2013 Tugas Bahasa Indonesia Pentingnya EYD dan Pemakaian Kalimat Efektif Ratna Fitrianingsih 18111837 3KA34 Kata Pengantar Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-nya,

Lebih terperinci

no ni digunakan untuk menunjukkan tujuan kegunaan, cara penggunaan,dll. Memiliki arti "memiliki kegunaan untuk...".

no ni digunakan untuk menunjukkan tujuan kegunaan, cara penggunaan,dll. Memiliki arti memiliki kegunaan untuk.... no ni no ni digunakan untuk menunjukkan tujuan kegunaan, cara penggunaan,dll. Memiliki arti "memiliki kegunaan untuk...". pembentukannya: bentuk kamus + no ni... biasanya setelah no ni di gunakan kata

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 57 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif karena penelitian ini bersifat deskriptif. Peneliti mencatat dengan teliti dan cermat data yang berwujud katakata,

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah suatu sistem lambang bunyi yang jika digabungkan menurut aturan tertentu menimbulkan arti yang dapat ditangkap oleh masyarakat yang berbicara dalam bahasa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan salah satu media dalam interaksi antar sesama. Dengan adanya bahasa, orang-orang di setiap negara dapat saling berkomunikasi dan bersosialisasi satu

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN TEORI BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka memuat uraian sistematis tentang teori-teori dasar dan konsep atau hasil-hasil penelitian yang ditemukan oleh peneliti terdahulu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu kelas kata dalam bahasa Jepang yang dapat berdiri sendiri dan dipakai untuk

BAB I PENDAHULUAN. salah satu kelas kata dalam bahasa Jepang yang dapat berdiri sendiri dan dipakai untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Verba dalam bahasa Jepang disebut dengan 働詞 doushi. Doushi termasuk salah satu yoogen dalam kelas kata bahasa Jepang. Menurut Sudjianto (2007:149), verba merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap bahasa yang ada di dunia ini pasti memiliki perbedaan tersendiri jika dibandingkan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap bahasa yang ada di dunia ini pasti memiliki perbedaan tersendiri jika dibandingkan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Setiap bahasa yang ada di dunia ini pasti memiliki perbedaan tersendiri jika dibandingkan dengan bahasa-bahasa yang lainnya. Perbedaan tersebut dapat terlihat

Lebih terperinci

Bab 1. Pendahuluan. semua ahli yang bergerak dalam bidang pengetahuan yang lain semakin memperdalam

Bab 1. Pendahuluan. semua ahli yang bergerak dalam bidang pengetahuan yang lain semakin memperdalam Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Belakangan ini makin dirasakan betapa pentingnya fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Kenyataan yang dihadapi dewasa ini adalah bahwa selain ahli-ahli bahasa, semua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sosial, manusia saling berinteraksi satu sama lain

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sosial, manusia saling berinteraksi satu sama lain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan sosial, manusia saling berinteraksi satu sama lain dengan bahasa sebagai alat komunikasi. Setiap bangsa di dunia memiliki bahasa yang digunakan sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI Tinjauan pustaka memaparkan lebih lanjut tentang penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan. Selain itu, dipaparkan konsep

Lebih terperinci

STRUKTUR KALIMAT BAHASA INDONESIA DALAM KARANGAN DESKRIPSI MAHASISWA PROGRAM BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA.

STRUKTUR KALIMAT BAHASA INDONESIA DALAM KARANGAN DESKRIPSI MAHASISWA PROGRAM BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA. STRUKTUR KALIMAT BAHASA INDONESIA DALAM KARANGAN DESKRIPSI MAHASISWA PROGRAM BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA oleh Dra. Nunung Sitaresmi, M.Pd. FPBS UPI 1. Pendahuluan Bahasa

Lebih terperinci

PENANDA KOHESI GRAMATIKAL KONJUNGSI ANTARKALIMAT DAN INTRAKALIMAT PADA TEKS PIDATO KENEGARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PENANDA KOHESI GRAMATIKAL KONJUNGSI ANTARKALIMAT DAN INTRAKALIMAT PADA TEKS PIDATO KENEGARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENANDA KOHESI GRAMATIKAL KONJUNGSI ANTARKALIMAT DAN INTRAKALIMAT PADA TEKS PIDATO KENEGARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NASKAH PUBLIKASI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. mengenai makna, fungsi, dan pemakaian masing-masing dari kibou hyougen ~tai

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. mengenai makna, fungsi, dan pemakaian masing-masing dari kibou hyougen ~tai BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dalam analisis pada bab sebelumnya, telah diuraikan secara khusus mengenai makna, fungsi, dan pemakaian masing-masing dari kibou hyougen ~tai dan ~hoshii dalam

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN IMPLIKASI

BAB V SIMPULAN DAN IMPLIKASI 174 BAB V SIMPULAN DAN IMPLIKASI A. Simpulan Berdasarkan analisis data pada bab sebelumnya, pengungkapan modalitas desideratif BI dan BJ dapat disimpulkan seperti di bawah ini. 1. Bentuk-bentuk pegungkapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengulangan unsur harus dihindari. Salah satu cara untuk mengurangi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengulangan unsur harus dihindari. Salah satu cara untuk mengurangi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada penggabungan klausa koordinatif maupun subordinatif bahasa Indonesia sering mengakibatkan adanya dua unsur yang sama atau pengulangan unsur dalam sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diungkapkan kembali kepada orang-orang lain sebagai bahan komunikasi.

BAB I PENDAHULUAN. diungkapkan kembali kepada orang-orang lain sebagai bahan komunikasi. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Semua orang menyadari betapa pentingnya peranan bahasa sebagai alat komunikasi. Dengan adanya bahasa sebagai alat komunikasi, maka yang berada di sekitar manusia

Lebih terperinci

TATA KATA DAN TATA ISTILAH BAHASA INDONESIA

TATA KATA DAN TATA ISTILAH BAHASA INDONESIA TATA KATA DAN TATA ISTILAH BAHASA INDONESIA Tata bentukan dan tata istilah berkenaan dengan kaidah pembentukan kata dan kaidah pembentukan istilah. Pembentukan kata berkenaan dengan salah satu cabang linguistik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan Bahasa Indonesia di sekolah merupakan salah satu aspek

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan Bahasa Indonesia di sekolah merupakan salah satu aspek 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan Bahasa Indonesia di sekolah merupakan salah satu aspek pengajaran yang sangat penting, mengingat bahwa setiap orang menggunakan bahasa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pesan yang disampaikan dapat melalui karya sastra.

BAB I PENDAHULUAN. Pesan yang disampaikan dapat melalui karya sastra. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Bahasa memiliki peranan penting dalam hal berkomunikasi. Fungsi penting dari bahasa adalah menyampaikan pesan dengan baik secara verbal atau tulisan. Pesan yang disampaikan

Lebih terperinci

Kesuma, Tri Mastoyo Jati Pengantar (Metode) Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Penerbit Carasvatibooks. Kridalaksana, Harimurti

Kesuma, Tri Mastoyo Jati Pengantar (Metode) Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Penerbit Carasvatibooks. Kridalaksana, Harimurti 133 DAFTAR PUSTAKA Alwi, Hasan, Soenjono Dardjowidjojo, Hans Lapoliwa, dan Anton M. Moeliono. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Alwi, Hasan. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Kridalaksana, 1983:3). Dalam bahasa Jepang, adjektiva disebut keiyoushi. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. (Kridalaksana, 1983:3). Dalam bahasa Jepang, adjektiva disebut keiyoushi. Menurut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Adjektiva atau kata sifat adalah kata yang menerangkan kata benda (Kridalaksana, 1983:3). Dalam bahasa Jepang, adjektiva disebut keiyoushi. Menurut Kitahara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pemikiran pemakai bahasa. Manusia menggunakan kata-kata dan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pemikiran pemakai bahasa. Manusia menggunakan kata-kata dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Komunikasi merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Dengan adanya komunikasi manusia bisa saling berinteraksi. Salah satu alat komunikasi manusia

Lebih terperinci

2. Punya pendirian, peduli sesama, berkomitmen dan bisa bertanggung jawab. Menurut aku, gentleman punya sifat yang seperti itu. Kalau punya pacar, dia

2. Punya pendirian, peduli sesama, berkomitmen dan bisa bertanggung jawab. Menurut aku, gentleman punya sifat yang seperti itu. Kalau punya pacar, dia VERBA PREDIKAT BAHASA REMAJA DALAM MAJALAH REMAJA Renadini Nurfitri Abstrak. Bahasa remaja dapat dteliti berdasarkan aspek kebahasaannya, salah satunya adalah mengenai verba. Verba sangat identik dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alat komunikasi. Penggunaan bahasa oleh manusia merupakan salah satu. serta latar belakang suatu bangsa (Simatupang, 1999 : 8)

BAB I PENDAHULUAN. alat komunikasi. Penggunaan bahasa oleh manusia merupakan salah satu. serta latar belakang suatu bangsa (Simatupang, 1999 : 8) BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang dan Permasalahan 1.1.1 Latar Belakang Bahasa memegang peranan yang sangat penting dalam masyarakat sebagai alat komunikasi. Penggunaan bahasa oleh manusia merupakan

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis pada bab III mengenai kesalahan pemakaian verba ~te kara dan verba ~ta ato de mahasiswa semester 4 dan 6 Fakultas Sastra Jurusan Sastra

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI. penelitian yang relevan digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini, sebagai

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI. penelitian yang relevan digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini, sebagai BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan, terdapat beberapa hasil penelitian yang relevan digunakan sebagai acuan dalam penelitian

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI. Shuujoshi Danseigo Pada Komik One Piece Volume 1 Karya Eiichiro Oda

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI. Shuujoshi Danseigo Pada Komik One Piece Volume 1 Karya Eiichiro Oda BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan, terdapat beberapa hasil penelitian yang relevan digunakan sebagai acuan dalam penelitian

Lebih terperinci

UNGKAPAN DALAM BAHASA JEPANG YANG MENUNJUKKAN KERAMAHAN DAN KEAKRABAN. Oleh Fenny Febrianty. Abstrak

UNGKAPAN DALAM BAHASA JEPANG YANG MENUNJUKKAN KERAMAHAN DAN KEAKRABAN. Oleh Fenny Febrianty. Abstrak UNGKAPAN DALAM BAHASA JEPANG YANG MENUNJUKKAN KERAMAHAN DAN KEAKRABAN Oleh Fenny Febrianty Abstrak Ungkapan yang menunjukkan keramahan dan keakraban dalam bahasa Jepang dapat ditunjukkan dengan berbagai

Lebih terperinci

BENTUK KALIMAT IMPERATIF OLEH GURU DALAM KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR DI MTS MUHAMMADIYAH 4 TAWANGHARJO KABUPATEN WONOGIRI NASKAH PUBLIKASI

BENTUK KALIMAT IMPERATIF OLEH GURU DALAM KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR DI MTS MUHAMMADIYAH 4 TAWANGHARJO KABUPATEN WONOGIRI NASKAH PUBLIKASI BENTUK KALIMAT IMPERATIF OLEH GURU DALAM KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR DI MTS MUHAMMADIYAH 4 TAWANGHARJO KABUPATEN WONOGIRI NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna mencapai derajat Sarjana

Lebih terperinci

PENGAJARAN TATA BAHASA BAHASA JEPANG TINGKAT MADYA DENGAN PENDEKATAN ALAMIAH

PENGAJARAN TATA BAHASA BAHASA JEPANG TINGKAT MADYA DENGAN PENDEKATAN ALAMIAH PENGAJARAN TATA BAHASA BAHASA JEPANG TINGKAT MADYA DENGAN PENDEKATAN ALAMIAH Fachril Subhandian Program Studi Jepang Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia fachril.subhandian@gmail.com

Lebih terperinci

Analisis Morfologi Kelas Kata Terbuka Pada Editorial Media Cetak. Abstrak

Analisis Morfologi Kelas Kata Terbuka Pada Editorial Media Cetak. Abstrak Analisis Morfologi Kelas Kata Terbuka Pada Editorial Media Cetak Rina Ismayasari 1*, I Wayan Pastika 2, AA Putu Putra 3 123 Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana

Lebih terperinci

10 Jenis Kata Menurut Aristoteles

10 Jenis Kata Menurut Aristoteles Nomina (Kata Benda) 10 Jenis Kata Menurut Aristoteles Nomina adalah kelas kata yang dalam bahasa Indonesia ditandai oleh tidak dapatnya bergabung dengan kata tidak. Contohnya, kata rumah adalah nomina

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. onoma yang berarti nama dan syn yang berarti dengan. Secara harfiah sinonim

BAB II KAJIAN PUSTAKA. onoma yang berarti nama dan syn yang berarti dengan. Secara harfiah sinonim BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Hakikat Sinonim Secara etimologi kata sinonim berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma yang berarti nama dan syn yang berarti dengan. Secara harfiah sinonim berarti nama lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari lapisan atas sampai lapisan bawah. Bahasa surat kabar harus lancar agar

BAB I PENDAHULUAN. dari lapisan atas sampai lapisan bawah. Bahasa surat kabar harus lancar agar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sekarang kita dapat dengan mudah memperoleh informasi mengenai berbagai peristiwa yang terjadi di dalam atau luar negeri melalui media elektronik atau cetak. Setiap

Lebih terperinci

KONSTRUKSI OBJEK GANDA DALAM BAHASA INDONESIA

KONSTRUKSI OBJEK GANDA DALAM BAHASA INDONESIA HUMANIORA Suhandano VOLUME 14 No. 1 Februari 2002 Halaman 70-76 KONSTRUKSI OBJEK GANDA DALAM BAHASA INDONESIA Suhandano* 1. Pengantar ahasa terdiri dari dua unsur utama, yaitu bentuk dan arti. Kedua unsur

Lebih terperinci

BAB IV SIMPULAN. Frasa 1 + dan + Frasa 2. Contoh: Veel kleiner dan die van Janneke

BAB IV SIMPULAN. Frasa 1 + dan + Frasa 2. Contoh: Veel kleiner dan die van Janneke BAB IV SIMPULAN Dan sebagai konjungsi menduduki dua kategori sekaligus yaitu konjungsi koordinatif dan konjungsi subordinatif. Posisi konjungsi dan berada di luar elemen-elemen bahasa yang dihubungkan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Surat kabar sebagai media informasi dan publikasi. Surat kabar sebagai media

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Surat kabar sebagai media informasi dan publikasi. Surat kabar sebagai media 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Surat kabar sebagai media informasi dan publikasi. Surat kabar sebagai media cetak selalu identik dengan tulisan dan gambar-gambar yang dicetak pada lembaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang belum mengecap ilmu pengetahuan di sekolah atau perguruan tinggi

BAB I PENDAHULUAN. yang belum mengecap ilmu pengetahuan di sekolah atau perguruan tinggi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesalahan berbahasa ini tidak hanya terjadi pada orang-orang awam yang belum mengecap ilmu pengetahuan di sekolah atau perguruan tinggi tertentu, tetapi sering

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Unsur sintaksis yang terkecil adalah frasa. Menurut pandangan seorang

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Unsur sintaksis yang terkecil adalah frasa. Menurut pandangan seorang BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Menurut KBBI (2003 : 588), konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses atau apapun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 199 BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN 1. Dari segi bentuk pengungkap BI diungkapkan dengan pengungkap kausatif tipe morfologis, leksikal, dan analitik. Pengungkap kausatif morfologis BI memiliki banyak

Lebih terperinci

FRASA ADJEKTIVA BAHASA JEPANG: ANALISIS X-BAR

FRASA ADJEKTIVA BAHASA JEPANG: ANALISIS X-BAR FRASA ADJEKTIVA BAHASA JEPANG: ANALISIS X-BAR Puti Novianti Aristia Magister Linguistik, Universitas Sumatera Utara Jl. A. Hakim no. 1 Kampus USU Medan 20155 Email: putiaristia@yahoo.com Abstract: The

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan kekayaan alam yang sangat menakjubkan. Summer Institute of

BAB I PENDAHULUAN. merupakan kekayaan alam yang sangat menakjubkan. Summer Institute of 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kajian bahasa dimulai setelah manusia menyadari keberagaman bahasa merupakan kekayaan alam yang sangat menakjubkan. Summer Institute of Linguistics menyebutkan bahwa

Lebih terperinci

PEMERIAN TENTANG DEIKSIS DALAM BAHASA INDONESIA (RUMUSAN TENTANG TIPE BAHASA INDONESIA) Oleh: Dra. Rahayu Sulistyowati. Abstrak

PEMERIAN TENTANG DEIKSIS DALAM BAHASA INDONESIA (RUMUSAN TENTANG TIPE BAHASA INDONESIA) Oleh: Dra. Rahayu Sulistyowati. Abstrak PEMERIAN TENTANG DEIKSIS DALAM BAHASA INDONESIA (RUMUSAN TENTANG TIPE BAHASA INDONESIA) Oleh: Dra. Rahayu Sulistyowati Abstrak Tulisan ini membahas tentang rumusan tipe-tipe deiksis dalam bahasa Indonesia.

Lebih terperinci

BENTUK KATA DAN MAKNA

BENTUK KATA DAN MAKNA BENTUK DAN MAKNA BENTUK KATA DAN MAKNA 1. FONEM bunyi bahasa yang membedakan arti/ makna Contoh : /apēl/ dan /apəl/ /mental/ dan /məntal/ /s/ayur - /m/ayur /s/ : /m/ Fonem ada dua : Konsonan dan Vokal

Lebih terperinci

04/10/2016. Dengan bangga, kami mempersembahkan KALIMAT. Pertemuan 6

04/10/2016. Dengan bangga, kami mempersembahkan KALIMAT. Pertemuan 6 Dengan bangga, kami mempersembahkan KALIMAT Pertemuan 6 1 Bahasan Identifikasi Aktualisasi Unsur-unsur Struktur Pengembangan Identifikasi Kalimat ialah satuan bahasa terkecil, dalam wujud lisan atau tulisan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Dalam memahami konsep mengenai teori kebahasaan, linguistik

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Dalam memahami konsep mengenai teori kebahasaan, linguistik BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam memahami konsep mengenai teori kebahasaan, linguistik sistemik fungsional berperan penting memberikan kontribusi dalam fungsi kebahasaan yang mencakup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1992, Narrog: 2009). Hal ini berarti, setiap bahasa alami di dunia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. 1992, Narrog: 2009). Hal ini berarti, setiap bahasa alami di dunia mempunyai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Modalitas merupakan salah satu fenomena kesemestaan bahasa (Alwi: 1992, Narrog: 2009). Hal ini berarti, setiap bahasa alami di dunia mempunyai modalitas, yakni

Lebih terperinci

BAB V P E N U T UP. adverbia dalam bahasa Inggris dan bahasa Arab berdasarkan pada tinjauan

BAB V P E N U T UP. adverbia dalam bahasa Inggris dan bahasa Arab berdasarkan pada tinjauan BAB V P E N U T UP Penelitian dalam thesis ini mengungkapkan persamaan dan perbedaan antara adverbia dalam bahasa Inggris dan bahasa Arab berdasarkan pada tinjauan analisis kontrastif. Adapun adverbia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiripan makna dalam suatu bentuk kebahasaan dapat menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. Kemiripan makna dalam suatu bentuk kebahasaan dapat menimbulkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiripan makna dalam suatu bentuk kebahasaan dapat menimbulkan kekacauan pada tindak berbahasa. Salah satu contoh penggunaan bentuk bersinonim yang dewasa ini sulit

Lebih terperinci