EKOLOGI-EKONOMI SUMBERDAYA LARVA DAN JUVENIL IKAN DI TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EKOLOGI-EKONOMI SUMBERDAYA LARVA DAN JUVENIL IKAN DI TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT"

Transkripsi

1 EKOLOGI-EKONOMI SUMBERDAYA LARVA DAN JUVENIL IKAN DI TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT PUTRI MARINI SAID SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 i

2 Ekologi Ekonomi Sumberdaya Larva dan Juvenil Ikan di Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat Ecologi-Economi of Fish Larvae and Juvenile Resources from Gulf of Palabuhanratu, Sukabumi, West Java Putri Marini Said Manajemen Sumberdaya Perairan-FPIK-IPB Bogor Penelitian ini didasari oleh tradisi masyarakat di Teluk Palabuhanratu yang disebut dengan ngala impun/nyalawean dan pengoperasian alat tangkap yang tidak selektif dengan ukuran mata jaring yang kecil. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak upaya penangkapan terhadap sumberdaya larva dan juvenil ikan di Teluk Palabuhanratu. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret-Juli Total larva dan juvenil ikan yang diperoleh terdiri dari 36 jenis yang termasuk dalam 29 famili dan 10 ordo. Spesies yang dominan tertangkap di muara sungai adalah Sicyopterus sp. dan Ambassis vachelli. Spesies yang dominan tertangkap di laut sekitar muara sungai dan bagan adalah Secutor indicius. Penelitian ini menunjukan bahwa secara ekonomi ikan dewasa memiliki harga yang jauh lebih tinggi daripada ikan pada stadia larva dan juvenil yang mengandung ribuan individu didalamnya. Ikan pada stadia dewasa yaitu pepetek (Secutor indicius) dan ikan layur (Lepturacanthus savala) telah mengalami overfishing, sehingga perlunya pengendalian output dan input terhadap ikan tersebut. Tingginya konektivitas antara larva, juvenil dan ikan dewasa maka perlu adanya pengelolaan, agar sumberdaya ikan tersebut dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan tanpa harus mengganggu kelangsungan hidup suatu spesies.

3 RINGKASAN Putri Marini Said. C Ekologi-Ekonomi Sumberdaya Larva dan Juvenil Ikan di Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Dibawah bimbingan Achmad Fahrudin dan M. Mukhlis Kamal. Perairan Teluk Palabuhanratu memiliki sumberdaya ikan yang cukup melimpah. Mengingat sumberdaya ikan bersifat renewable, open acces dan common property serta bermanfaat untuk pemenuhan gizi dan kegiatan perekonomian mendorong manusia untuk mengeksploitasi ikan sebanyak-banyaknya, termasuk larva dan juvenil ikan. Fase larva merupakan fase awal dalam siklus biota untuk berkembang menjadi dewasa dan melakukan reproduksi. Kurangnya informasi mengenai jenis dan kelimpahan larva ikan yang tertangkap akibat eksplotasi yang terjadi di Teluk Palabuhanratu menjadi alasan mendasar untuk melakukan penelitian yang difokuskan kepada aspek ekologi serta ekonomi dari sumberdaya larva ikan dengan batasan stadia larva hingga juvenil sebagai landasan bagi tindakan pengelolaan larva selanjutnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak upaya penangkapan terhadap larva dan juvenil ikan yang ditinjau dari aspek ekologi dan ekonomi. Pengambilan contoh larva ikan berlangsung dari bulan Maret Juli 2011, dilakukan di lokasi muara arah laut dan muara arah Sungai Cimaja, Citiis, Citepus dan Sukawayana. Larva ikan diidentifikasi serta diukur panjang dan beratnya. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kekayaan spesies menggunakan menhinick index, kepadatan populasi (D), kelimpahan, struktur komunitas larva ikan yang digambarkan melalui indeks keragaman (H ), keseragaman (E) dan dominansi (C), serta kajian pendukung dalam pemanfaatan stok sumberdaya ikan yaitu dengan analisis model bioekonomi Gordon-Schaefer. Selama periode penelitian telah ditemukan 36 jenis yang termasuk dalam 29 famili dan 10 ordo yang didominasi oleh stadia post larva dan juvenil. Spesies yang memiliki kelimpahan terbesar pada laut sekitar muara sungai adalah Secutor indicius, sedangkan di muara sungai adalah Sicyopterus sp. Indeks keanekaragaman laut sekitar muara sungai berkisar sedangkan di muara sungai berkisar Laut sekitar muara sungai memiliki jenis yang lebih beragam dengan kelimpahan yang rendah sedangkan di muara sungai memiliki jenis yang lebih sedikit dengan kelimpahan yang tinggi. Berdasarkan indeks keseragaman spesies di laut terdistribusi secara merata, sedangkan di muara sungai tidak terdistribusi secara merata karena ada spesies yang mendominasi yaitu dari jenis Sicyopterus sp. Larva ikan di Teluk Palabuhanratu dijual dengan harga berkisar Rp /kg. Perbandingan berat dan jumlah individu per kilogram ikan dewasa dengan larva ikan sangatlah tidak berimbang, dimana 1 kg larva mengandung ribuan ekor ikan. Secara ekonomi ikan dewasa akan memiliki biomassa yang lebih besar, sehingga produksi dan harganya pun akan meningkat. Pengkajian pemanfaatan stok sumberdaya ikan dewasa digunakan untuk mengetahui status pemanfaatan ikan ketika stadia dewasa, sehingga dapat diketahui korelasi anatra penangkapan ikan pada fase larva dan dewasa. Ikan pepetek dan ikan layur dipilih untuk dikaji status pemanfaatannya menggunakan pendekatan bioekonomi karena kedua ikan ini ketika iii

4 pada stadia larva dan juvenil banyak tertangkap. Disamping itu ikan ini memiliki nilai ekonomis penting. Setelah dikaji menggunakan model bioekonomi Gordon-Schaefer diduga bahwa ikan pepetek dan ikan layur telah mengalami economic overfishing, dimana upaya tangkap telah melebihi MEY. Eksploitasi ikan dewasa dan stadia larva secara terus menerus akan menyebabkan terjadinya penurunan stok. Jika ikan yang masih dalam stadia larva dan juvenil tidak dieksploitasi maka secara alami economic overfishing yang telah terjadi yaitu sebagai contoh pada perikanan pepetek (Secutor indicius) dan layur (Lepturacanthus savala) dapat tertanggulangi karena jika larva ikan dibiarkan tumbuh menjadi dewasa maka produksi dari ikan tersebut akan meningkat sehingga secara alami titik keseimbangan MEY, MSY dan OA juga akan bergeser. Oleh sebab itulah perlu dilakukannya konservasi untuk melindungi habitathabitat yang dijadikan sebagai spawning ground dan nursery ground bagi larva dan juvenil ikan. Tingginya tingkat konektivitas antara perairan tawar dan laut juga menunjukkan bahwa perlunya pengelolaan secara terpadu terhadap habitat-habitat tersebut. iv

5 EKOLOGI-EKONOMI SUMBERDAYA LARVA DAN JUVENIL IKAN DI TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT PUTRI MARINI SAID C Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 v

6 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul: Ekologi-Ekonomi Sumberdaya Larva dan Juvenil Ikan di Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat adalah benar merupakan karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, November 2011 Putri Marini Said C ii

7 PENGESAHAN SKRIPSI Judul Skripsi Nama NIM Program Studi : Ekologi-Ekonomi Sumberdaya Larva dan Juvenil Ikan di Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat : Putri Marini Said : C : Manajemen Sumberdaya Perairan Menyetujui : Pembimbing I Pembimbing II Dr. Ir. Achmad Fahrudin, MSi NIP Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc NIP Mengetahui, Ketua Departemen Manajemen Sumberaya Perairan Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP Tanggal Lulus : 13 Oktober 2011 vi

8 PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karunia Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Ekologi-Ekonomi Sumberdaya Larva dan Juvenil Ikan di Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan penulis selama lima bulan pada Maret 2011 hingga Juli 2011 dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah banyak membantu dalam memberikan bimbingan, dukungan, masukan dan arahan sehingga penulis dapat menyusun skripsi ini dengan baik. Penulis menyadari skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, penulis berharap dengan tersusunnya skripsi ini dapat memberikan manfaat untuk berbagai pihak. Bogor, November 2011 Penulis vii

9 UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si selaku dosen pembimbing I dan Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc selaku pembimbing II yang telah memberikan dana untuk pelaksanaan penelitian serta memberikan bimbingan, masukkan, dan saran yang sangat berarti dalam penyusunan skripsi. 2. Ir. Etty Riani H, MS selaku Pembimbing Akademik, Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS dan Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA yang banyak memberikan bimbingan serta masukan dan arahan selama penulis menempuh pendidikan di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. 3. Ir. Gatot Yulianto, M.Si selaku dosen penguji tamu dan Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil selaku dosen penguji dari program studi yang telah memberikan masukkan dan saran yang sangat berarti untuk penulis. 4. Keluarga tercinta; Papa, Mama, kakak Iyan, Adan, Mba Siti, Mba i, dan Anggi atas doa, kasih sayang, pengorbanan, keikhlasan serta dukungan baik moril maupun materil. 5. Muhammad Fadhli atas doa, dukungan serta perhatiannya selama ini kepada penulis. 6. Para staf Tata Usaha MSP terutama Mba Widar dan Pak Zainal, Mba Maria Bagian Manajemen Sumberdaya Perairan atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis. 7. Ibu Imas dan Pak Bebey dari PPN Palabuhanratu dan Kang Agus atas segala bantuan dan kerjasamanya. 8. Kak Shelly NE Tutupoho dan Bang Budi atas bantuan, dukungan dan semangatnya kepada penulis. 9. Syahrul Rifai dan Nina Ratna Furry selaku partner penelitian atas kebersamaan dan dukungannya selama penelitian berlangsung. 10. Rekan-rekan MSP 44; Ari, Nunu, Dede, Nto, Adit, Adang, Alim, Endah, Ayu, Eci dan teman-teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu. 11. MOSI crew atas saran dan kerjasamanya selama ini kepada penulis. 12. Rekan-rekan Wisma Carokah Resty Indah Sari dan Elvia Sari Utami. viii

10 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 24 Mei 1989 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Malindrung Said dan Ibu Suhartini. Pendidikan formal yang pernah dijalani oleh penulis berawal dari TK Kencana (1995), SDS Hang Tuah I (1996), SLTPN 129 (2002), dan SMAN 80 Jakarta (2004). Pada tahun 2007 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Setelah melewati tahap Tingkat Persiapan Bersama selama 1 tahun, penulis diterima di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama mengikuti perkuliahan penulis pernah menjadi Asisten Dinamika Populasi (2010/2011), Asisten Pengkajian Stok Ikan (2010/2011), Asisten Praktikum Iktiologi Fungsional (2010/2011) dan Asisten Praktikum Avertebrata Air (2011/2012). Penulis juga aktif mengikuti organisasi kemahasiswaan sebagai sekertaris Divisi Minat dan Bakat HIMASPER (Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan) periode 2008/2009, anggota soprano dalam Paduan Suara Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (Endeavour), anggota Saman Bungong Puteh, serta turut aktif mengikuti seminar maupun berpartisipasi dalam berbagai kepanitiaan di lingkungan kampus IPB. Selain itu, pada tahun 2009 penulis (kelompok) juga berkesempatan mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa-Artikel Ilmiah (PKM-AI) yang berjudul Pengelolaan Air Limbah Organik Secara Biologi: Efektivitas Penggunaan Mikroorganisme. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi dengan judul Ekologi-Ekonomi Sumberdaya Larva dan Juvenil Ikan di Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. ix

11 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Manfaat TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Teluk Palabuhanratu Identifikasi Larva Ikan Biologi Larva Ikan Stok dan Rekruitmen Model Bioekonomi Gordon-Schaefer Ekologi Ekonomi Perikanan Ikan pepetek (Secutor indicius) Ikan Layur (Lepturacanthus sp.) METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Prosedur Penelitian Pengumpulan Data Sekunder Analisis Data Kekayaan spesies (Species richness) Kepadatan populasi Kelimpahan larva ikan Struktur komunitas ikan Analisis bioekonomi Analisis fungsi produksi lestari perikanan tangkap Konsep Maximum Economic Yield (MEY) atau optimal statis HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian Cimaja Citiis Citepus Sukawayana Komposisi Hail Tangkapan Kekayaan Spesies Kepadatan dan Kelimpahan Relatif Larva dan Juvenil Ikan xii xiii xv x

12 4.5 Struktur Komunitas Komposisi Larva dan Juvenil Ikan dalam Bagan Perbandingan Harga, Bobot dan Jumlah antara Larva dan Juvenil Ikan dengan Ikan Dewasa Kondisi Perikanan Pepetek di Teluk Palabuhanratu Hasil tangkapan ikan pepetek di Teluk Palabuhanratu Upaya penangkapan ikan pepetek di Teluk Palabuhanratu Catch per unit effort (CPUE) ikan pepetek Model bioekonomi stok ikan pepetek Kondisi Perikanan Layur di Teluk Palabuhanratu Hasil tangkapan ikan layur di Teluk Palabuhanratu Upaya penangkapan ikan layur di Teluk Palabuhanratu Catch per unit effort (CPUE) ikan layur Model bioekonomi stok ikan layur Hubungan Ekologi dan Ekonomi Sumberdaya Larva Ikan Pengelolaan Sumberdaya Larva dan Juvenil Ikan KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA xi

13 DAFTAR TABEL Halaman 1. Parameter pertumbuhan ikan layur (Lepturacanthus savala) di Teluk Palabuhanratu Kekayaan spesies (menhinick index) pada setiap lokasi penelitian Indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominansi larva dan juvenil ikan di Teluk Palabuhanratu Komposisi larva ikan dalam bagan Citepus Komposisi larva dan non-larva ikan dalam bagan Sukawayana Harga ikan Perbandingan berat dan jumlah individu antara larva dan juvenil ikan dengan ikan dewasa Perbandingan harga per ekor larva ikan dan ikan dewasa Nilai parameter biologi dan ekonomi yang digunakan dalam perhitungan model bioekonomi ikan pepetek Hasil analisis parameter bioekonomi ikan pepetek dengan model Gordon Schaefer Nilai parameter biologi dan ekonomi yang digunakan dalam perhitungan model bioekonomi ikan layur Hasil analisis parameter bioekonomi ikan layur dengan model Gordon- Schaefer xii

14 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka perumusan masalah Keseimbangan statik model Gordon Schaefer Larva ikan pepetek Ikan pepetek (Secutor indicius) Larva ikan layur jenis Lepturacanthus savala (a), Juvenil ikan layur jenis Gempylus (b) Trichiurus lepturus Linnaeus, Lepturacanthus savala Cuvier, Gempylus serpens Cuvier, Peta lokasi penelitian, memperlihatkan aliran sungai-sungai yang bermuara ke Teluk Palabuhanratu. Kotak-kotak berwarna adalah lokasi pengambilan contoh Tradisi ngala impun di muara sungai sekitar Teluk Palabuhanratu Lokasi muara Sungai Cimaja Lokasi muara Sungai Citiis Lokasi muara Sungai Citepus Lokasi muara Sungai Sukawayana Kepadatan relatif (%) di muara arah sungai Kepadatan relatif (%) di laut muara arah laut Kelimpahan larva dan juvenil ikan di muara Cimaja arah laut Kelimpahan larva dan juvenil ikan di muara Citiis arah laut Kelimpahan larva dan juvenil ikan di muara Citepus arah laut Kelimpahan larva dan juvenil ikan di muara Sukawayana arah laut Kelimpahan larva dan juvenil ikan di muara Cimaja arah sungai Kelimpahan larva dan juvenil ikan di muara Citiis arah sungai Kelimpahan larva dan juvenil ikan di muara Citepus arah sungai Kelimpahan larva dan juvenil ikan di muara Sukawayana arah sungai Grafik hasil tangkapan perikanan pepetek di Teluk Palabuhanratu tahun Grafik upaya penangkapan perikanan pepetek di Teluk Palabuhanratu xiii

15 tahun Grafik CPUE tahunan ikan pepetek di Teluk Palabuhanratu Grafik hasil tangkapan perikanan layur di Teluk Palabuhanratu tahun Grafik upaya penangkapan perikanan layur di Teluk Palabuhanratu Tahun Grafik CPUE tahunan ikan pepetek di Teluk Palabuhanratu Pergeseran kurva produksi xiv

16 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Komposisi hassil tangkapan larva dan juvenil ikan serta kelimpahan spesies (ind/m³) yang ditemukan selama penelitian Kepadatan spesies (ind/m²) di setiap lokasi penelitian Komunitas larva dan juvenil ikan yang ditemukan di Teluk Palabuhanratu selama penelitian Koordinat stasiun pengambilan contoh di Teluk Palabuhanratu Data panjang, tinggi dan berat larva dan juvenil ikan Gambar larva dan juvenil ikan yang ditemukan di Teluk Palabuhanratu Alat dan Bahan Contoh perhitungan Kuestioner Harga rata-rata ikan pepetek dan ikan layur beserta biaya penangkapan rata-rata dalam satu kali trip Perhitungan bioekonomi ikan layur (Lepturacanthus savala) menggunakan model Gordon-Schaefer Perhitungan bioekonomi ikan pepetek (Secutor indicius) menggunakan model Gordon-Schaefer xv

17 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan suatu sumberdaya yang dapat diperbaharui, yang artinya jika sumberdaya ikan tersebut dimanfaatkan sebagian maka sebagian ikan yang tersisa mampu memperbaharui dirinya dengan cara berkembang biak. Mengingat sifat dari sumberdaya ikan adalah milik bersama (common property) sehingga dapat dimanfaatkan oleh siapa pun (open access) mendorong manusia untuk mengeksploitasinya. Eksploitasi terhadap sumberdaya ikan tentu dapat mendatangkan keuntungan ekonomi, namun jika terjadi eksploitasi secara berlebih (overfishing) bukan keuntungan ekonomi yang didapatkan melainkan kerugian secara ekologi. Hal ini terjadi karena, jika kondisi tangkap lebih ini terjadi terus menerus tanpa adanya pengendalin dapat mengganggu keseimbangan ekosistem di suatu perairan, yang kemudian akan berdampak pula terhadap kerugian secara ekonomi. Teluk Palabuhanratu merupakan salah satu lokasi terjadinya berbagai kegiatan perikanan tangkap, baik perikanan offshore yaitu perikanan laut lepas maupun inshore yaitu perikanan pantai. Kegiatan perikanan tangkap yang terjadi di daerah inshore teluk ini meliputi kegiatan penangkapan ikan menggunakan perahu motor, bagan, dan tradisi nyalawean/ngala impun. Tradisi ini merupakan suatu kegiatan penangkapan ikan di muara sungai sekitar Teluk Palabuhanratu. Ikan yang tertangkap dari tradisi ini adalah ikan dalam stadia larva dan juvenil. Pengoperasian alat tangkap yang tidak selektif seperti bagan dapat menangkap ikan dari berbagai ukuran termasuk larva dan juvenil ikan. Jika kegiatan penangkapan terhadap larva terjadi secara terus menerus dapat menyebabkan penurunan stok dari suatu sumberdaya ikan. Hal ini disebabkan tidak adanya regenerasi atau rekruit yang masuk ke perairan yang ketika pada stadia larvanya saja sudah ditangkap dan belum sempat menjadi dewasa untuk melakukan pemijahan (reproduksi). Seperti diketahui bahwa keberhasilan faktor reproduksi ini merupakan faktor yang mempengaruhi keberlangsungan suatu sumberdaya ikan. Oleh karena itu, perlu adanya pengendalian operasi penangkapan yang ditargetkan pada larva ikan.

18 2 Teluk Palabuhanratu ditetapkan sebagai lokasi penelitian karena teluk ini merupakan daerah penangkapan ikan (fishing ground) dan sebagai daerah asuhan anak-anak ikan (nursery ground), sehingga diharapkan mampu memberikan informasi mengenai keberadan larva ikan. Selain itu, Teluk Palabuhanratu juga memiliki potensi sumberdaya ikan yang cukup tinggi. Oleh karena itu, perlu adanya pengelolaan agar sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu tetap lestari. 1.2 Rumusan Masalah Mencermati sumberdaya ikan sangat penting bagi kehidupan manusia baik untuk pemenuhan gizi maupun kegiatan perekonomian serta mengingat sifat dari sumberdaya ikan adalah common property dan open access mendorong manusia untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan sebanyak-banyaknya, termasuk larva ikan. Oleh karena itu, perlu adanya pengelolaan agar sumberdaya ikan dapat tetap lestari serta dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan dan bertanggung jawab. Kelangsungan hidup dari suatu populasi ikan sangat dipengaruhi oleh keberhasilan dari proses rekruitmen, yaitu masuknya suatu individu ke dalam suatu populasi. Semakin banyak jumlah rekruit yang masuk ke perairan maka semakin besar pula populasi dari suatu spesies ikan tersebut. Seperti diketahui pula bahwa fase larva merupakan fase awal dalam siklus biota untuk berkembang menjadi dewasa dan melakukan reproduksi. Oleh sebab itu, eksploitasi terhadap larva ikan harus dikendalikan karena akan berdampak negatif terhadap keberlangsungan populasi ikan serta dapat mengganggu keseimbangan ekologis perairan. Secara ekonomi pun ikan dewasa ukuran konsumsi memiliki harga yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan per kilogram larva ikan yang dijual, dimana dalam 1 kilogram larva ikan memungkinkan terdapat banyak spesies yang ketika dewasa per ekor ikannya dapat memiliki nilai ekonomi yang jauh lebih tinggi. Pemahaman mengenai biologi dan ekologi larva ikan sangatlah penting karena memiliki keterkaitan dengan fluktuasi sumberdaya ikan, bahkan kelangsungan hidup dari spesies ikan itu sendiri (Anwar 2008). Selain itu, studi mengenai larva masih sangat jarang dilakukan maka perlu dilakukan suatu studi mengenai pengelolaan terhadap sumberdaya larva ikan, baik dari segi ekologis maupun ekonomis. Dari hal tersebut diharapkan kelestarian dari sumberaya ikan

19 3 dapat terjaga dan dapat dimanfaatkan secara optimal tanpa menggangu kelangsungan hidupnya. Common property Open access Bioekonomi Sumberdaya Ikan Ikan Dewasa Larva ikan Eksploitasi EKOLOGI EKONOMI Pengelolaan = Hubungan langsung = Ruang lingkup penelitian Gambar 1. Kerangka perumusan masalah Kurangnya dan ketidaklengkapan informasi mengenai jenis dan kelimpahan larva ikan yang tertangkap akibat tradisi nyalawean/ngala impun serta larva yang tertangkap dalam bagan di Teluk Palabuhanratu menjadi alasan mendasar untuk melakukan penelitian ini. Fokusnya adalah aspek ekologi serta ekonomi dari sumberdaya larva ikan dengan batasan stadia larva hingga juvenil pada daerah muara Sungai Cimaja, Citiis, Citepus dan Sukawayana. Sungai-sungai ini pada akhirnya akan bermuara ke Teluk Palabuhanratau. Informasi hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai landasan bagi tindakan pengelolaan larva selanjutnya. Pokok permasalahan yang akan diangkat dalam rangka pengelolaan larva secara tepat dan berkelanjutan pada penelitian ini adalah aspek ekologis larva ikan dan aspek ekonomis larva berdasarkan perbandingan harga antara larva ikan dengan ikan dewasa ukuran konsumsi, yang kemudian akan dikaitkan dengan status pemanfaatan

20 4 ikan dewasa menggunakan model bioekonomi, sehingga dapat dilakukan pengelolaan untuk mendatangkan keuntungan yang maksimum (Gambar 1). 1.3 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak upaya penangkapan terhadap sumberdaya larva dan juvenil ikan yang ditinjau dari aspek ekologi dan ekonomi. 1.4 Manfaat Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi dalam pengelolaan sumberdaya larva ikan. Hal ini dapat diketahui berdasarkan peran ekologis larva ikan serta nilai ekonomis dari pengelolaan sumberdaya larva ikan di Teluk Palabuhanratu agar mendatangkan keuntungan yang maksimum.

21 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Teluk Palabuhanratu Teluk Palabuhanratu terletak di Pantai Selatan Jawa Barat, termasuk dalam wilayah Kabupaten Sukabumi. Perairan Teluk Palabuhanratu terletak pada posisi geografis 6 o 57-7 o 07 LS dan 106 o o 23 BT. Perairan ini mempunyai hubungan bebas dengan Samudera Hindia. Pantai Palabuhanratu terbagi menjadi tiga Kecamatan, yaitu Kecamatan Cisolok, Kecamatan Palabuhanratu dan Kecamatan Ciemas. Perairan ini juga merupakan tempat bermuaranya empat sungai antara lain, Sungai Cimandiri, Citepus, Cidadap dan Cipalabuhan (Pariwono et al. 1988). Menurut Pariwono et al. (1988) jika dilihat berdasarkan sifat arusnya, arus Pantai Selatan Jawa ini sering berlawanan arah dengan arus di laut dalam (Samudera Hindia). Pada bulan Februari sampai Juni arus permukaan di pantai bergerak ke arah Timur di sepanjang Pantai Jawa, sedangkan arah arus di Samudera Hindia menuju ke Barat. Kecepatan arus pada bulan Februari mencapai 75 cm/detik yang kemudian semakin lemah pada bulan April sampai dengan Juni mencapai 50 cm/detik. Pada bulan Agustus arus pantai berganti arah ke Barat dengan kecepatan sekitar 75 cm/detik. Arah dan kecepatan arus di Lautan Hindia pada bulan itu sama dengan arus pantai. Sampai bulan Oktober, arah arus pantai tetap ke Barat dengan kecepatan 50 cm/detik. Sementara itu, arus di lautan Hindia kecepatan dan arah arus tetap. Bulan Desember terjadi perubahan arah arus lagi menuju Timur, sedangkan di Samudera Hindia arus mengarah ke Barat Laut. Sifat angin di perairan Selatan Jawa sangat bersesuaian dengan sifat laut seperti dinyatakan oleh Wyrtki (1961) in Pariwono et al. (1988). Kecepatan angin di Teluk Palabuhanratu berkisar antara 1-15 mil/jam, karena angin merupakan penyebab utama gelombang, maka tinggi gelombang sangat ditentukan kecepatan angin tersebut. Di daerah ini dikenal dua musim ikan, yaitu musim timur dan musim barat. Musim timur merupakan musim banyak ikan, terjadi pada bulan Juni sampai dengan September/Oktober. Periode ini ditandai dengan angin lemah, laut tenang serta kemarau, sedangkan musim barat ditandai dengan angin kencang, gelombang besar dan bersesuaian dengan musim hujan. Periode musim barat ini merupakan musim

22 6 kurang ikan, berlangsung sekitar bulan November/Desember sampai dengan bulan April/Mei. Alat penangkapan ikan yang dominan diperairan Palabuhanratu adalah payang dan gill net. Hasil tangkapan kedua alat tersebut merupakan 70% dari total hasil tangkap seluruh alat tangkap yang beroperasi di daerah tersebut. Jenis ikan yang banyak tertangkap adalah cakalang (Katsuwonus pelamis) dan Tuna (Thunnus albacares). Selain itu tertangkap pula ikan-ikan eteman, peda, tembang, layur, petek dan teri. 2.2 Identifikasi Larva Ikan Identifikasi menurut Mayr (1971) in Laily (2006) adalah menempatkan atau memberikan identitas suatu individu melalui prosedur deduktif ke dalam suatu takson dengan menggunakan kunci determinasi. Kunci determinasi adalah kunci jawaban yang digunakan untuk menetapkan identitas suatu individu. Kegiatan identifikasi bertujuan untuk mencari dan mengenal ciri-ciri taksonomi yang sangat bervariasi dan memasukkannya ke dalam suatu takson. Selain itu, untuk mengetahui identitas atau nama suatu individu atau spesies dengan cara mengamati beberapa karakter atau ciri morfologi spesies tersebut dengan membandingkan ciri-ciri yang ada sesuai dengan kunci determinasi. Leis and Ewart (2000) mengemukakan ada empat metode dalam mengidentifikasi larva ikan, antara lain dengan menggunakan literatur, metode seri atau bertahap, metode biokimia, dan metode rearing (pemeliharaaan). Metode dengan menggunakan literatur merupakan metode identifikasi larva ikan dengan menggunakan literatur atau sumber bacaan dalam menentukan spesies larva ikan. Metode seri merupakan metode yang paling umum digunakan dalam mengidentifikasi larva ikan, namun metode ini membutuhkan banyak bahan, untuk dapat mengumpulkan larva dalam berbagai ukuran. Metode ini diterapkan berdasarkan kemiripan dalam pendugaan identifikasi, sehingga memungkinkan terjadinya kesalahan dalam identifikasi. Metode biokimia dapat digunakan bersamaan dengan metode seri untuk membantu dalam identifikasi. Sayangnya metode ini tidak praktis digunakan untuk mengidentifikasi spesimen dari studi lapang yang dilakukan secara rutin, tetapi metode ini berkontribusi dalam pengembangan identifikasi menjadi lebih baik. Metode rearing yaitu metode

23 7 identifikasi larva ikan dengan cara memelihara ikan muda (larva) hingga menjadi dewasa di laboratorium. Namun dalam identifikasi dengan metode ini kerap kali tidak sesuai dengan spesies yang sebenarnya. Hal ini disebabkan, kondisi laboratorium dapat membawa perubahan perkembangan secara normal, perbedaan pigmentasi, proporsi tubuh dan ciri-ciri meristik umumnya dapat mengalami perubahan. Cara yang baik dalam mengidentifikasi larva ikan yaitu dengan cara mengkombinasikan metode-metode tersebut. 2.3 Biologi Larva Ikan Istilah ichthyoplankton menurut Olii (2003) berasal dari kata ichthyes (ikan) dan plankton (pengembara) artinya ikan yang masih bersifat plaktonis. Organisme ini dikategorikan sebagai meroplankton atau plankton sementara, dimana hanya sebagian dari hidupnya bersifat sebagai plankton dan ketika dewasa menjadi perenang aktif kategori nekton. Syahailatua (2006) mengatakan bahwa dalam fasenya sebagai plankton mempunyai pergerakkan yang sangat terbatas karena alat geraknya berupa sirip yang belum berkembang dengan sempurna. Hal ini memudahkannya untuk dimangsa oleh predator-predator di perairan. Keterbatasannya dalam bergerak juga menyebabkan keterbatasan dalam mendapatkan makanan alami pada saat persediaan kuning telur telah diserap habis, sehingga kondisi larva ikan sangat ditentukan oleh peluang dimana mereka berada. Keterbatasan dalam menghindari predator dan mendapatkan makanan inilah yang menyebabkan tingkat mortalitas yang tinggi dari ichthyoplankton. Olii (2003) juga menyatakan bahwa ichthyoplankton sebagai tahapan awal daur hidup ikan mulai dari perkembangan sejak dari stadia telur, larva dan juvenil ikan, dimana ichthyoplankton ini memiliki tingkat mortalitas tinggi karena peka terhadap predator, perubahan lingkungan, dan ketersediaan makanan di alam. Effendi (2002) mempertegas bahwa stadia larva merupakan masa kritis dalam daur hidup ikan, dimana pada stadia ini terbilang kritis disebabkan faktor biotik yang berhubungan dengan larva itu sendiri. Masa kritis dari stadia ini terletak pada sebelum dan sesudah penghisapan kuning telur dan pada masa transisi ketika mulai mengambil makanan dari luar. Hal ini menunjukan bahwa pergerakkan larva atau

24 8 tingkah laku untuk mendapatkan makanan serta kepadatan persediaan makanan merupakan faktor yang mempengaruhi keberhasilan hidup ikan. Menurut Effendi (2002) perkembangan larva secara garis besar dibagi menjadi dua tahap, yaitu prolarva dan post larva. Sedangkan menurut Balon (1975) and Kendal et al. (1984) in Sjafei (1992) periode larva terdiri dari fase protopterygiolarva dan pterygiolarva. Effendi (2002) menjelaskan bahwa tahap prolarva ditandai dengan masih adanya kuning telur, tubuhnya transparan dengan beberapa butir pigmen yang belum diketahui fungsinya, sirip dada dan sirip ekor sudah ada namun belum sempurna bentuknya, sirip perut hanya bentuk tonjolan saja, sistem pernafasan dan pencernaan serta peredaran darah belum sempurna. Tahap postlarva mulai dari hilangnya kantung kuning telur sampai terbentuknya organ-organ baru dan penyempurnaan organ-organ tersebut sehingga pada masa akhir postlarva secara morfologi sudah menyerupai induknya. Kendal et al. (1984) in Sjafei (1992) menjelaskan bahwa fase protopterygiolarva, meliputi peralihan makanan dari masa kuning telur dengan masa makanan yang berasal dari luar dan mulainya diferensiasi lipatan sirip tengah sampai pertama kali munculnya gambaran tonjolan lepidotrichia, sirip dorsal, dan sirip anal di dalam lipatan sirip. Fase pterygiolarva berlangsung sejak dimulainya pembentukan sirip-sirip tunggal sampai lipatan sirip tengah benar-benar berdiferensiasi atau tidak terlihat lagi. Hoar and Randall (1987) in Anwar (2008) mengatakan bahwa ikan dalam mengawali daur hidupnya akan melalui tiga tahap, yaitu telur, larva dan juwana. Diantaranya terdapat dua tahap transisi antara telur dan larva dan antara larva dan juwana, yaitu tahap yolk sac, dan tahap transformasi larva. Dalam tahap telur, dibagi kedalam tiga sub divisi yaitu awal, tengah, dan akhir. Pada tahap larva juga di bagi menjadi 3 sub divisi, yaitu preflexion, plexion dan postflexion larva. Leis and Ewart (2000) mendefinisikan preflexion adalah tahap awal perkembangan sirip ekor dimana tulang hipural rata atau kebawah. Flexion adalah pembengkokan tulang hipural ke atas, sedangkan postflexion adalah tahap perkembangan bentuk sirip ekor hingga terbentuk semua kelengkapan meristik luar dan sirip ekor mulai dapat digerakkan dengan baik.

25 9 Ikan-ikan yang hidup di laut, periode larva berlangsung lebih lama. Pada ikan sardin dan ikan-ikan karang sampai ½ minggu, pada ikan belut (Anguilla sp.) dapat berbulan-bulan (Sjafei 1992). Menurut Houde (1994) perbedaan dinamika dan sifat energentik dari larva ikan laut dan air tawar memiliki implikasi penting dalam menentukan perkembangan awal daur hidup ikan. Larva ikan laut memiliki berat yang lebih ringan, memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi, mempunyai kebutuhan metabolisme yang lebih tinggi dan memiliki durasi menjadi larva yang lebih lama dibandingkan dengan larva ikan air tawar. Perbedaan ukuran tubuh antara kedua kategori larva tersebut, yaitu larva ikan laut lebih kecil dibandingkan dengan larva ikan air tawar, dimana hal ini merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi dinamika pertumbuhan dan sifat energetik. Larva ikan laut lebih memungkinkan terjadinya mortalitas akibat kelaparan karena ukuran tubunya yang kecil dan memungkinkan material makanannya lebih besar. Hal ini terkait pula dengan kebutuhan metabolismenya. Houdo (1994) mengemukakan bahwa ketahanan hidup rata-rata (survival rate) larva ikan air tawar diduga lebih tinggi dibandingkan dengan larva ikan laut. Survival rate ini berhubungan terbalik dengan fekunditas. Sjafei (1992) ikan-ikan yang fekunditasnya tinggi mempunyai mortalitas yang tinggi terutama pada fase embrio dan larva. Pengurangan dan penambahan pada survival rate periode larva akan berpengaruh besar terhadap ukuran populasi ikan dewasa. 2.4 Stok dan Rekruitmen Jaminan stok berbagai komoditas perikanan umumnya tergantung pada keberadaan fase larva, dimana larva inilah yang menjadi rekruit di suatu perairan untuk mempertahankan kelestarian stok sumberdaya ikan (Anwar 2008). Menurut Cushing (1968) penurunan stok perikanan dikarenakan ikan-ikan kecil yang tidak diproduksi dalam jumlah yang cukup untuk mempertahankan stok perikanan. Banyak kegagalan yang terjadi dalam perikanan disebabkan karena kegagalan dalam rekruitmen. Menurut Rounsefell (1958) 1956 in Cushing (1968) kegagalan rekruitmen menjadi stok ikan dikaitan dengan penangkapan ikan. Menurut Widodo dan Suadi (2006) peningkatan (increment) populasi ikan diperoleh dari sejumlah ikan-ikan muda yang dihasilkan setiap tahun. Sedangakan penurunan dari populasi tersebut (decrement) akibat dari mortalitas baik karena

26 10 faktor alami (predasi, penyakit, dll) maupun mortalitas yang disebabkan eksploitasi oleh manusia. Faktor yang mempengaruhi stok perikanan adalah pertumbuhan, rekruitmen, penangkapan dan mortalitas alami. Hubungan stok dewasa dengan rekruitmen adalah berbanding lurus, dimana ketika jumlah stok dewasa banyak maka jumlah rekruitmennya pun akan banyak. Namun, pada kondisi ketika jumlah stok dewasa banyak tetapi jumlah rekruitmen sedikit, hal ini disebabkan karena adanya mortalitas perekruitmen (Syahailatua 2006). Watanabe (2002) in Syahailatua (2006) menyatakan bahwa penyebab menurunya produksi perikanan akibat tangkap lebih (overfishing). Tangkap lebih ini diakibatkan karena banyak tertangkapnya ikan-ikan muda dan gagalnya proses rekruitment (recruitment overfishing). Penangkapan yang intensif dalam pengeksploitasian ikan-ikan dewasa juga akan menurunkan stok biomas pemijahan dan kemudian akan berdampak pada produksi telur yang rendah dalam setahun, dimana rekruitmen mengalami kegagalan. Kegagalan dalam rekruitmen juga disebabkan karena faktor lingkungan perairan yang sangat mempengaruhi kelangsungan hidup ichthyoplankton. Syahailatua (2006) juga menjelaskan bahwa tingginya tingkat mortalitas dari ichthyoplankton mengindikasikan penurunan laju kelangsungan hidupnya (survival rate). Hal ini sangat mempengaruhi keberhasilan dalam proses rekruitmen ikan dewasa dan sekaligus mempengaruhi produksi perikanan. 2.5 Model Bioekonomi Gordon-Schaefer Dalam penggunaan model produksi yang didasarkan pada sifat biologis hanya dapat mengetahui potensi sumberdaya perikanan dan tingkat produksi maksimum. Akan tetapi suatu usaha perikanan ditunjukan untuk mendapatkan keuntungan, sedangkan model produksi belum dapat menunjukan prilaku dan potensi ekonomi industri penangkapan ikan dan belum dapat menentukan tingkat pengusahaan yang akan menghasilkan keuntungan ekonomi maksimum bagi masyarakat. Teori ekonomi perikanan yang didasarkan atas sifat dasar biologis populasi ikan ditunjukan untuk memahami prilaku ekonomi dan industri perikanan tangkap (Purwanto 1988). Pendekatan yang memadukan faktor ekonomi yang

27 11 mempengaruhi industri penangkapan dan faktor biologi yang menetukan produksi dan suplay disebut pendekatan bioekonomi (Clark 1985 in Purwanto 1988) Model bioekonomi perikanan pertama kali ditulis oleh Gordon (1954) dalam artikelnya menyatakan bahwa sumberdaya perikanan pada umumnya bersifat terbuka (open acces) sehingga setiap orang dapat memanfaatkannya atau tidak ada seorang pun yang memiliki hak khusus untuk memanfaatkan sumberdaya alam ataupun melarang orang lain untuk ikut memanfaatkannya (common property). Pendekatan bioekonomi diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya karena permasalahan perikanan selama ini terfokus pada maksimalisasi penangkapan dengan mengabaikan faktor produksi dan biaya yang dipergunakan dalam usaha perikanan. Dalam permasalahan tersebut maka Gordon (1954) melakukan analisis berdasarkan konsep produksi biologi yang kemudian dikembangkan oleh Schaefer (1957), kemudian konsep dasar bioekonomi ini dikenal dengan teori Gordon- Schaefer. Pendekatan ini dengan memasukkan parameter ekonomi, yaitu harga dari output (harga ikan persatuan berat) dan biaya dari input produksi (cost per unit effort). Pemanfaatan sumberdaya ikan yang bersifat open access dapat mengakibatkan terjadinya permasalahan overfishing, baik economic overfishing maupun biological overfishing. Economic overfishing terjadi ketika upaya penangkapan (effort) melebihi kapasitas produksinya dan jika dinilai dengan uang, maka pendapatan total (TR) lebih kecil dibandingkan dengan biaya total (TC), sedangakan biological overfishing terjadi jika hasil tangkapan telah melebihi potensi lestarinya sehingga akan mengarah pada kelangkaan sumberdaya perikanan. Dalam memahami pendekatan pengelolaan sumberdaya ikan harus memperhatikan prinsipprinsip model bioekonomi Gordon-Shaefer (Fauzi 2006). Menurut Ruslan (2005) berdasarkan segi ekonomi, tingkat optimum pemanfaatan perikanan dilakukan untuk mendapatkan keuntungan maksimum (maximum profit). Hal ini disebut sebagai hasil maksimum secara ekonomi (Maximum Economic Yields) yang disingkat "MEY", yaitu selisih antara biaya total (TC) dan penerimaan total (TR). Dalam menentukan MEY ini terlebih dulu harus mengkonversi hasil tangkapan menjadi penerimaan dalam bentuk uang dan tingkat usaha penangkapan (effort) dirubah menjadi biaya. Penerimaan (Total Revenue =

28 12 TR ) merupakan hasil tangkapan yang dikalikan dengan harga ikan, sedangakan biaya total (Total cost = TC) merupakan effort yang dikalikan dengan harga per unit effort TC OA Gambar 2. Keseimbangan statik model Gordon Schaefer Sumber : Clark (1985) in Wahyudin et al. (2005) 2.6 Ekologi Ekonomi Perikanan Ekologi merupakan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Oleh karena itu, permasalahan lingkungan hidup pada hakekatnya adalah permasalah ekologi. Ekologi dan ekonomi mempunyai persamaan yaitu sama-sama mempunyai alat transaksi. Alat transaksi dalam ekonomi adalah uang, sedangkan dalam ekologi alat traksaksi yang digunakan adalah materi (seperti sumberdaya ikan). Oleh karena itu ekologi perikanan dapat disebut sebagai ekonomi alam dari suatu sumberdaya ikan. Ekonomi mempelajari keinginan manusia untuk memenuhi kebutuhannya dan lingkungan dikatakan dalam keseimbangan ekologis jika proses aliran energi dan materi tidak terganggu (elerning.gunadarma.ac.id). Pauly et al. (2002) in Wiyono (2006) mengatakan bahwa kegiatan perikanan merupakan suatu kegiatan perburuan atau penangkapan sumberdaya ikan. Ia juga menjelaskan bahwa tidak ada perburuan atau penangkapan yang dilakukan secara industri di dunia ini, kecuali pada sumberdaya ikan. Jika kegiatan penangkapan sumberdaya ikan ini dijadikan industri dalam skala besar, maka aspek ekonomi akan menjadi lebih dominan dibandingkan dengan aspek biologi maupun ekologi dari

29 13 sumberdaya ikan itu sendiri. Hal ini akan memicu peningkatan upaya penangkapan (effort) hingga melebihi kapasitas maksimumnya dan mengakibatkan kerusakan dan kepunahan dari sumberdaya ikan Secara umum, tujuan pengelolaan sumberdaya ikan adalah untuk mengoptimalkan tiga tujuan utama, yaitu ekonomi, biologi dan sosial. Kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan diharapkan mampu untuk memuaskan aspek ekonomi dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya sehingga mampu mensejahterakan masyarakat, khususnya nelayan secara berkelanjutan. Namun demikian, dari ketiga tujuan utama tersebut, khususnya antara tujuan ekonomi dan biologi sering kali bertentangan dan sulit dicapai secara bersamaan. Mengoptimalkan ekonomi akan berdampak pada kerusakan sumberdaya ikan dan sebaliknya mengoptimalkan sumberdaya ikan (kelestarian sumberdaya ikan) tidak akan mampu memuaskan aspek ekonomi. Perkembangan model pengelolaan sumberdaya ikan yang pada awalnya hanya diukur dengan aspek biologi semata, maximum sustainable yield (MSY) yang kemudian dimodifikasi dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, maximum economic yield (MEY) dan terakhir menjadi optimum sustainable yield (OSY) menunjukkan upaya-upaya perbaikan terhadap model yang ada (Wiyono 2006). Mudzakir (2003) juga mendukung pernyataan diatas dengan mengatakan bahwa pembangunan untuk memanfaatkan potensi sumberdaya alam harus memperhatikan pengembangan dan pengelolaan pada keseimbangan aspek ekologi dan ekonomi secara berkelanjutan. Alder et al. (2001) in Mudzakir (2003) menegaskan bahwa agar pemanfaatan sumberdaya perikanan dapat dilakukan secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, maka perlu dilakukan upaya pengelolaan yang dapat menyeimbangkan tingkat pemanfaatannya. Ia juga mengatakan bahwa menurunnya sumberdaya perikanan tangkap tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekologi tetapi juga oleh faktor sosial, ekonomi, dan teknologi akibat dari rezim pengelolaan sumberdaya perikanan yang diterapkan. 2.7 Ikan Pepetek (Secutor indicus) Klasifikasi ikan pepetek menurut Saanin (1984) in Muliawarman adalah sebagai berikut : Filum : Chordata

30 14 Sub Film Kelas Sub Kelas Ordo Sub Ordo Famili Genus Nama Indonesia : Vertebrata : Pisces : Teleostei : Percomorphi : Percoidea : Leognathidae : Leognathus Secutor Gazza : Pepetek, petek, peperek, kope, maco, Pettah, Dodok dan Gampar Gambar 3. Larva ikan pepetek Gambar 4. Ikan pepetek (Secutor indicius) Sumber : Muliawarman (1997) Ikan pepetek termasuk ke dalam suku Leiognathidae, bentuknya pipih, berukuran kecil dan panjangnya jarang yang melebihi 15 cm. Ikan pepetek ini bisa digolongkan dalam 3 marga yaitu Leiognathus, Gazza dan Secutor. Ketiga marga ini bisa dibedakan dari bentuk mulut dan giginya. Gazza mempunyai gigi taring, sedangkan yang lain hanya mempunyai gigi kecil dan mulutnya dapat dijulurkan ke depan dengan mengarah ke atas (Secutor) ataupun ke bawah (Leiognathus) (Nontji 2005). Pepetek adalah salah satu ikan demersal yang cukup banyak tertangkap di perairan indonesia. Beberapa perairan Laut Jawa, seperti Pantai Utara Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Pantai Timur Lampung/Sumatra Selatan ikan yang dominan tertangkap adalah ikan pepetek (Dwiponggo and Badrudin 1980 in Mulawarman 1997). Berdasarkan data statistik PPN Palabuhanratu ikan pepetek ditangkap dengan menggunakan alat tangkap payang, bagan, pure seinne dan gillnet.

31 15 Bila ditinjau dari segi ekonomi, ikan pepetek di Indonesia terutama di Pantai Utara Jawa dan Timur Sumatra banyak dikonsumsi oleh masyarakat dan harganya pun relatif baik, dengan demikian ikan pepetek dapat dikategorikan sebagai salah satu jenis ikan demersal yang mempunyai nilai ekonomis penting (Muliawarman 1997). Ikan pepetek hidup di perairan dangkal dan biasanya dalam gerombolan yang besar. Operasi penangkapan ikan dengan kapal pukat (Trawler) dan dengan bagan bisa memperoleh ikan pepetek dalam jumlah yang sangat besar. Produksi pepetek yang tertinggi di pesisir Jawa Timur biasanya sekitar bulan Desember-Maret, sedangkan terendah pada bulan Juli-September (Nontji 2005). Berdasarkan penelitian Chu et al. (2011) ikan pepetek spesies Secutor ruconius memiliki persamaan panjang berat W = 0.06 L Ikan Layur (Lepturacanthus savala) Penelitian mengenai biologi reproduksi ikan layur mencakup dua famili yaitu Trichiuridae dan Gempylidae. Famili Trichiuridae terdiri dari dua genus yaitu Trichiurus (Gambar 7) dan Lepturacanthus (Gambar 8). Famili Gempylidae terdiri dari genus Gempylus (Gambar 9). Ada pun klasifikasi ikan layur menurut Nakamura and Parin (1993) in Ambarwati (2008) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Sub Film : Vertebrata Kelas : Pisces Sub Kelas : Teleostei Ordo : Percomorphi Sub Ordo : Scrombroidea Famili : Thrichiuridae Gempilydae Genus : Thrichiurus Lepturacanthus Gempylus Spesies : Trichiurus lepturus Linnaeus, 1758 Lepturacanthus savala Cuvier, 1829 Gempylus serpens Cuvier, 1829

32 16 Nama Indonesia Nama Internasional : Layur : Hairtails, ribbon fish (a) (b) Gambar 5. Larva ikan layur jenis Lepturacanthus savala (a), Juvenil ikan layur jenis Gempylus (b) Gambar 6. Trichiurus lepturus Linnaeus, 1758 Sumber : Ambarwati (2008) Gambar 7. Lepturacanthus savala Cuvier, 1829 Sumber : Ambarwati (2008) Gambar 8. Gempylus serpens Cuvier, 1829 Sumber : Ambarwati (2008) Ikan layur memiliki tubuh yang panjang dan gepeng serta ekornya panjang. Kulitnya tak bersisik dan berwarna keperak-perakan. Sirip perut tak ada sedangkan

33 17 sirip dubur terdiri dari sebaris duri-duri kecil yang lepas. Rahang bawah lebih panjang daripada rahang atas. Mulutnya Lebar dan kedua rahangnya bergigi kuat dan tajam. Ikan layur dapat berukuran panjang sampai lebih 100 cm (Nontji 2005). Pada siang hari, ikan layur dewasa biasanya bermigrasi vertikal ke dekat permukaan untuk mencari makan dan kembali bermigrasi ke dasar perairan pada malam hari. Ikan layur muda (anak) yang berukuran kecil akan membentuk gerombolan (schooling) mulai dari dasar sampai dekat permukaan pada siang hari dan pada malam haari menyebar serta mengelompok untuk mencari makan sampai kedekat permukaan. Habitat layur meliputi perairan laut, estuari, rawa pantai dan mangrove. Populasi ikan layur banyak tertangkap di perairan pantai yang dangkal di sekitar muara sungai (Badrudin & Wudianto 2004 in Sharif 2009). Berdasarkan data statistik PPN Palabuhanratu ikan layur ditangkap dengan menggunakan payang, gillnet, bagan, pancing (pancing ulur dan rawai), dan pure seinne. Alat tangkap dominan yang digunakan dalam menangkap ikan layur di Teluk Palabuhanratu adalah pancing ulur (wawancara). Ikan layur yang banyak tertangkap di Teluk Palabuhanratu dan yang biasa diekspor adalah dari jenis Lepturacanthus savala (Anita 2003 in Sharif 2009). Tabel 1. Parameter pertumbuhan ikan layur (Lepturacanthus savala) di Teluk Palabuhanratu (Sharif 2009) Parameter Biologi Nilai K (per tahun) 0.56 L (mm) 1348 t Pola pertumbuhan ikan layur adalah allometrik negatif yang berarti bahwa pertumbuhan berat lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan panjang. Hal ini dilihat berdasarkan nilai b>3 berdasarkan hubungan panjang-berat ikan layur W = 2x10-8 L 3.55 dan telah dilakukan uji t (α =0.05) terhadap nilai b tersebut (Sharif 2009). Menurut penelitian Ambarwati (2008) juga menyatakan pola pertumbuhan ikan layur jantan allometrik positif (W = 2x10-7 L ) dan ikan layur betina (W = 2x10-6 L ) memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif yang berarti bahwa pertumbuhan panjang lebih cepat daripada pertumbuhan beratnya.

34 18 3. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di muara arah laut dan muara arah sungai Cimaja, Citiis, Citepus dan Sukawayana yang mengalir menuju Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Perbedaan muara arah sungai dengan muara arah laut yaitu dilihat berdasarkan jarak antar kedua lokasi tersebut. Jarak pengambilan contoh di muara arah laut berkisar meter dari mulut muara sungai itu sendiri. Studi pendahuluan telah dilaksanakan pada bulan Desember 2010 untuk survei lokasi dan penetapan stasiun penelitian. Pengambilan sampel larva ikan dilakukan setiap gelap bulan mulai bulan Maret 2011 hingga Juli Gambar 9. Peta lokasi penelitian, memperlihatkan aliran sungai-sungai yang bermuara ke Teluk Palabuhanratu. Kotak-kotak berwarna adalah lokasi pengambilan contoh 3.2 Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi contoh larva dan juvenil ikan, formalin 4% dan alkohol 70% untuk mengawetkan sampel ikan, buku identifikasi larva karangan Leis and Ewart (2000), Fischer and Whitehead

35 19 (1974), Allen (1999) dan Okiyama (1988), alat tulis, botol sampel, saringan, botol film, baki, perahu nelayan, Global Positioning System (GPS) untuk menentukan posisi stasiun pengamatan, penggaris dengan ketelitian 0,5 mm, mikroskop binokuler (Olympus CH2O) perbesaran 4 kali, dinolite untuk memfoto sample larva ikan, larva net (mesh zise μm, diameter 60 cm), waring berbentuk persegi (1m x 1m) dengan mesh size 0.5 cm, sirib berbentuk segitiga sama kaki dengan panjang alas 1 m dan panjang sisi kaki 1.5 m kamera digital, timbangan digital dan alat bedah. 3.3 Prosedur Penelitian Pengambilan contoh (sampling) larva ikan dilakukan sebanyak 5 kali. Pengambilan contoh ke-1 dan ke-2 memiliki rentan waktu 2 minggu dan kemudian untuk selanjutnya pengambilan contoh dilakukan dalam rentan waktu sebulan sekali. Pada pengambilan contoh ke-1 pada tanggal 19 Maret 2011 sampel larva ikan tidak ditemukan karena bertepatan dengan bulan terang. Oleh karena itu, pengambilan contoh dilakukan pada saat bulan gelap yang jatuh pada sekitar tanggal 29 akhir bulan hingga tanggal 3 pada awal bulan, sehingga pengambilan contoh dilakukan sebulan sekali. Pengambilan contoh larva ikan awalnya yaitu pada pengambilan contoh ke-1 (19 Maret 2011) dan ke-2 (1 April 2011) dilakukan di daerah Cimandiri, Cikeueus, Citepus dan Sukawayana, akan tetapi karena adanya keterbatasan teknis maka pengambilan sampel larva ikan di daerah Cimandiri dan Cikeueus dipindahkan ke daerah Cimaja dan Citiis pada pengambilan contoh ke-3 (30 April 2011), ke-4 (30 Mei 2011) dan ke-5 (3 Juli 2011). Kegiatan penelitian ini dilakukan di lapang dan di laboratorium. Kegiatan di lapang meliputi penentuan lokasi titik sampling menggunakan GPS, pengambilan contoh larva ikan di laut sekitar muara Sungai Cimaja, Citiis, Citepus, dan Sukawayana menggunakan larva net dengan mesh zise μm, diameter 60 cm dan menggunakan waring berbentuk persegi berukuran 1m x 1m dengan mesh size 0.5 cm. Pengambilan contoh larva di lokasi sekitar laut dilakukan pada pagi dini hari dari pukul dengan cara menyisir kolom perairan secara horizontal melawan arus selama menit menggunakan perahu fiber yang panjangnya sekitar 8 meter dengan lebar 2 meter dan tinggi 75 cm pada kecepatan ± 3 knot sebanyak tiga hingga lima kali ulangan. Selain itu, sampel larva juga diambil dari

36 20 bagan yang beroperasi di laut sekitar muara Sungai Cimaja, Citiis, Citepus dan Sukawayana. Pengambilan sampel larva juga dilakukan di muara Cimaja, Citiis, Citepus dan Sukawayana arah sungai pada sore hari pukul menggunakan alat tangkap sirib berbentuk segitiga sama kaki dengan panjang alas 1 m dan panjang sisi kaki 1.5 m. Selanjutnya dilakukan penyusuran dari muara sungai ke arah hulu dengan jarak ± 5 m dan dengan penangkapan dilakukan pula berdasarkan arus dan gelombang yang datang ke arah muara sungai dengan lama waktu 30 menit. Larva ikan yang ditemukan kemudian dikumpulkan dan diawetkan dalam formalin 4%. Kegiatan dilapang juga meliputi wawancara yang dilakukan kepada nelayan payang dan bagan (16 orang) untuk mengetahui harga ikan pepetek dan biaya operasional selama satu kali trip melaut, serta nelayan yang mengoperasikan alat tangkap pancing ulur dan rawai (8 orang) untuk mengetahui harga ikan layur dan biaya operasional dalam penangkapan ikan layur. Kegiatan di laboratorium meliputi, pengantian formalin 4% dengan alkohol 70% untuk mengawetkan sampel larva ikan, menghitung jumlah individu larva dan juvenil ikan, kemudian dilakukan identifikasi dengan menggunakan petunjuk buku identifikasi larva ikan (Leis and Ewart 2000, Allen 1999, Fischer and Whitehead 1974) serta dengan bantuan mikroskop binokuler (Olympus CH2O) perbesaran 4 kali yang dilakukan di Laboratorium Biologi Makro II. Identifikasi larva ikan menggunakan buku karangan Leis and Ewart 2000, dilakukan dengan cara mengukur proporsi tinggi tubuh (body deep = BD) terhadap panjang tubuh (body length = BL) yang kemudian akan dibedakan berdasarkan kategori very elongate, elongate, moderate, deep, dan very deep. Larva ikan yang dimasukkan dalam kategori very elongate jika BD < 10% BL, elongate BD 10-20% BL, moderate BD 20-40% BL, deep BD 40-70% BL dan very deep BD >70% BL. Setelah itu, untuk mengetahui jenis larva ikan tersebut dilakukan dengan bantuan mikroskop untuk melihat pigmentasi yang terdapat pada tubuh, melihat bentuk mulutnya, serta menghitung jumlah siripnya. Identifikasi ikan stadia juvenil dengan cara menyamakan larva ikan dengan gambar pada literatur karangan Allen 1999 dan Fischer and Whitehead 1974 yang dilihat berdasarkan pewarnaan tubuh, kelengkapan sirip, dan bentuk mulut. Larva dan juvenil ikan dibedakan berdasarkan warna tubuh dan kelengkapan sirip-siripnya. Larva ikan memiliki tubuh yang masih

37 21 transparan, blok-blok urat daging/myomer terlihat serta siripnya yang belum lengkap, sedangkan juvenil memiliki tubuh yang sudah menyerupai ikan stadia dewasa hanya ukurannya yang masih relatif kecil. Setelah dilakukan identifikasi, contoh larva dan juvenil ikan ditimbang kemudian difoto menggunakan dinolite yang dilakukan di Laboratorium Biologi Mikro 1, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 3.4 Pengumpulan Data Sekunder Pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini meliputi data produksi hasil tangkapan ikan pepetek (Secutor indicius) dan ikan layur (Lepturacanthus savala) yang didaratkan di PPN Palabuhanratu serta upaya penangkapan (jumlah kapal, alat tangkap, dan trip) yang digunakan dalam perhitungan model bioekonomi stok dan potensi sumberdaya ikan tersebut. Ikan pepetek (Secutor indicius) dan ikan layur (Lepturacanthus savala) ditentukan untuk dikaji secara ekonomi menggunakan model bioekonomi Gordon-Schaefer yaitu berdasarkan data kelimpahan larva ikan yang paling dominan ditemukan saat pengambilan contoh berlangsung, memiliki nilai ekonomis penting serta memiliki data statistik yang mendukung. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelusuran literatur terhadap beberapa data statistik yang relevan dengan penelitian ini. Data-data tersebut diperoleh dari Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu (PPNP). 3.5 Analisis Data Kekayaan Spesies (Species Richness) Kekayaan spesies dijelaskan dengan menhinick index, yaitu dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Keterangan: D : Indeks Kekayaan Jenis S : Jumlah spesies dalam suatu sampel N : Jumlah sel dari suatu spesies

38 Kepadatan populasi Kepadatan populasi menunjukan rataan individu suatu jenis larva ikan per stasiun dari seluruh contoh yang diamati, yaitu menggunakan rumus: Keterangan: Xi = jumlah total individu jenis larva i n = luas seluruh stasiun contoh (m 2 ) Kepadatan populasi (Ind/m 3 ) yang didapatkan akan digunakan untuk menganalisis tingkat keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi serta pola penyebaran spesies larva ikan Kelimpahan Larva Ikan Kelimpahan larva ikan didefinisikan sebagai banyaknya larva ikan per satuan luas daerah pengambilan contoh dihitung dengan menggunakan rumus: Keterangan: N = Kelimpahan Larva ikan ( ind/m 3 ) n = Jumlah Larva ikan yang tercacah (ind) Vtsr = Volume air tersaring (Vtsr = l x t x v) l : Luas bukaan mulut saringan t : Lama waktu penarikan saringan (menit) v : Kecepatan tarikan (m/menit) Struktur Komunitas Larva Ikan Menurut Basmi (1999) tiga unsur pokok dalam komunitas adalah jumlah macam spesies, jumlah individu masing-masing spesies dan total individu dalam komunitas. Hubungan ketiga komponen ini digambarkan melalui Indeks Keanekaragaman. Indeks Shannon-Weaver merupakan salah satu Indeks Diversitas atau Keanekaragaman dengan rumus :

39 23 Kerangan: H : Indeks Diversitas Shannon-Wiener s : Jumlah spesies dalam komunitas larva Pi : Sebagai proporsi jenis ke-i ni : Jumlah total individu larva i N : Jumlah seluruh individu dalam total n Indeks Keseragaman digunakan untuk melihat keseragaman dari suatu komunitas dengan rumus : Keterangan: H max = ln S E : Indeks Keseragaman H : Indeks Diversitas atau Keanekaragaman S : Jumlah spesies Indeks Simspon merupakan salah satu indeks untuk mengetahui jenis larva yang mendominasi di suatu perairan, persamaan Indeks Simpson adalah: Keterangan: C : Indeks Dominansi s : Jumlah spesies dalam komunitas larva Pi : Sebagai proporsi jenis ke-i ni : Jumlah total individu larva i N : Jumlah seluruh individu dalam total n Analisis Bioekonomi Dalam penelitian ini akan menduga kondisi stok ikan serta pemanfaatannya berdasarkan model bioekonomi. Metode dalam menganalisis bioekonomi terdiri dari analisis fungsi produksi lestari perikanan tangkap dan analisis bioekonomi model statik Gordon Schaefer. Analisis fungsi produksi lestari perikanan tangkap digunakan untuk menentukan tingkat pemanfaatan maksimum, sedangkan analisis bioekonomi model statik Gordon-Schaefer untuk menentukan tingkat pengelolaan maksimum bagi pelaku perikanan.

40 24 Ikan pepetek dan ikan layur dipilih untuk dikaji secara bioekonomi karena selama penelitian berlangsung ikan ini banyak tertangkap dalam stadia larva dan juvenil. Selain itu, ikan ini memiliki nilai ekonomis penting serta kedua ikan ini memiliki data statistik yang relevan untuk digunakan dalam pengkajian model bioekonomi. Dengan demikian dapat diketahui kondisi stok ikan pepetek dan layur saat dewasa serta dapat diketahui pula keuntungan ekonomi yang akan didapat yang kemudian akan dikaitkan dengan ekologi larva ikan Analisis fungsi produksi lestari perikanan tangkap Perubahan stok ikan merupakan fungsi pertumbuhan stok ikan. Pertumbuhan stok ikan dipengaruhi oleh stok ikan (x), laju pertumbuhan intrinsik (r) dan kapasitas daya dukung (K). Metode ini disebut surplus produksi dengan persamaan sebagai berikut:... (1) Keterangan : f(x) x r k = Laju pertumbuhan biomass = Fungsi pertumbuhan biomass ikan = Biomass dari stok yang diukur dalam berat = Laju pertumbuhan instrinsik = Daya dukung lingkungan Bila ada upaya penangkapan ikan yang produksinya (H) diasumsikan berhubungan linier dengan koefisien daya tangkap (q), stok ikan (x) dan upaya atau effort (E) yang dinyatakan dengan fungsi berikut : Keterangan :... (2) h = Produksi q = Koefisien daya tangkap x = Biomass stok ikan E = Upaya penangkapan dengan adanya intervensi manusia melalui aktifitas penangkapan, maka perubahan stok ikan menjadi :... (3)

41 25 Pada kondisi keseimbangan ekologi, dimana dx/dt = 0 maka stok ikan (x) dapat ditulis sebagai berikut :... (4) sehingga dengan mensubtitusikan persamaan (4) ke dalam persamaan (2), akan diperoleh fungsi upaya produksi (yield effort curve) atau fungsi produksi lestari yang dapat ditulis :... (5) dari persamaan (5) dapat diturunkan menjadi kurva CPUE yang linier, yaitu dengan membagi kedua sisi pesamaan dengan E sehingga menghasilkan :... (6) atau bila persamaan tersebut diatas disederhanakan menjadi :... (7) U = H/E = CPUE... (8)... (9) Melalui teknik regresi antara variable U dan E dari runtun waktu yang tersedia, maka dapat diperoleh nilai-nilai koefisien α dan β. Kemudian dengan mensubtitusikan persamaan (8) dan (9) ke fungsi produksi lestari pada persamaan (5), akan diperoleh fungsi produksi lestari dalam bentuk yang lain, yaitu : ²... (10) dari persamaan (7) sampai (10) akan diperoleh laju pertumbuhan intrinsik ikan (r), koefisien daya tangkap (q) dan kapasitas daya dukung (K). Teknik inilah yang disebut dengan model Schaefer. Nilai MSY diperoleh dengan menggunakan kurva yield effort terhadap E atau dh/de = 0 E MSY...(11)

42 26 dengan demikian produksi ikan pada tingkat MSY diperoleh dengan mensubtitusikan nilai E MSY tersebut ke persamaan (10) : Hasil subtitusi tesebut menghasilkan persamaan sebagai berikut :... (12) sedangakan stok ikan (x) pada tingkat MSY dapat diperoleh dengan mensubtitusikan nilai E MSY = α/2β ke persamaan (4), sehingga stok pada keseimbangan ekologis (X MSY ) :... (13) Konsep Maximum Economic Yield (MEY) atau optimal statis Analisis keuntungan ekonomi digunakan melalui pendekatan statis Gordon- Schaefer. Keuntungan ekonomi yang diperoleh dari pemanfaatan sumberdaya perikanan merupakan selisih antara total penerimaan (total revenue) dengan total biaya yang dikeluarkan dalam melakukan usaha penangkapan (total cost). Secara matematis dapat dituliskan : π = TR TC π = ph ce... (14) Keterangan : π TR TC p c = Keuntungan dari upaya pemanfaatan sumberdaya (Rp) = Total penerimaan (Rp) = Total biaya (Rp) = Harga (Rp) = Biaya penangkapan per satuan upaya (Rp)

43 27 Pada kondisi MEY, stok ikan (x), upaya (E) dan produksi (H) dapat diperoleh dengan memasukan fungsi produksi lestari pada persamaan (5) ke dalam fungsi rente sumberdaya : π = p ( ce...(15) nilai E MEY diperoleh dengan menurunkan persamaan (15) terhadap upaya dπ/de=0, sehingga diperoleh :... (16) dengan asumsi dalam keseimbangan lestari F(x) = H sehingga stok ikan pada kondisi MEY, x MEY diperoleh dengan mensubstitusikan persamaan (1), fungsi pertumbuhan F(x), dan fungsi upaya (H/qx), dari persamaan (2), ke dalam persamaan keuntungan (π), fungsi rente sumberdaya, dan kemudian membuat dπ/de = 0... (17) sehingga H MEY dapat diperoleh dengan mensubtitusikan E MEY dan X MEY ke dalam persamaan (2) :... (18)

44 28 Kondisi ini disebut optimal statis Kondisi open access π = 0, sehingga... (19) Untuk mencari tingkat produksi pada kondisi open access, H OA adalah dengan mensubtitusikan persamaan (19) ke persamaan (1) :... (20) Dengan demikian tingkat upaya E OA, dapat dicari dari persamaan (2), yaitu :... (21)

45 29 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian Teluk Palabuhanratu merupakan perairan pantai selatan Jawa Barat yang memiliki hubungan dengan Samudera Hindia dan tempat bermuaranya beberapa sungai seperti Sungai Cimandiri, Cikeueus, Citepus, Cimaja, Citiis, Sukawayana, Cidadap, Cipalabuhan dan Cibareno. Daerah muara sungai merupakan daerah yang sangat subur karena mengandung sejumlah besar zat-zat hara yang berasal dari darat, sehingga daerah ini dijadikan sebagai daerah asuhan (nursery ground) dan tempat mencari makan (feeding ground) bagi kehidupan larva dan juvenil ikan. Pengambilan contoh larva dan juvenil ikan dilakukan di muara arah sungai dan laut sekitar muara sungai Cimaja, Citiis, Citepus dan Sukawayana. Pada awalnya, yaitu pada pengambilan contoh ke-1 (19 Maret 2011) dan pengambilan contoh ke-2 (1 April 2011) lokasi penelitian berada di Cimandiri, Cikeueus, Citepus dan Sukawayana, namun lokasi di Cimandiri dan Cikeueus dipindahkan ke daerah Cimaja dan Citiis pada pengambilan contoh ke-3 (30 April 2011), ke-4 (30 Mei 2011) dan ke-5 (3 Juli 2011). Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan teknis yang tidak mendukung untuk dilakukannya penelitian di daerah tersebut dan adanya pembangunan PLTU serta tidak didapatkannya contoh larva dan juvenil ikan di lokasi Cimandiri dan Cikeueus. Ada sebuah tradisi yang sering dilakukan oleh masyarakat sekitar Teluk Palabuhanratu. Tradisi ini dikenal dengan sebutan ngala impun/nyalawean. Ribuan warga baik anak-anak maupun orang tua membaur di hilir sungai Cimandiri, Citepus, Cimaja, Citiis, Sukawayana hingga sungai Cibareno yang berbatasan dengan Banten untuk melakukan penjaringan impun menggunakan alat tangkap berbentuk segiempat ataupun segitiga yang disebut dengan sirib. Impun merupakan sumberdaya hayati perairan yang sangat terkenal oleh masyarakat Palabuhanratu sebagai sumber pangan, dan memiliki rasa yang enak serta menjadi penghasilan tambahan bagi masyarakat sekitar. Tradisi tersebut ternyata bila dikaji lebih dalam dapat menyebabkan putusnya perkembangbiakan beberapa jenis ikan karena impun yang ditangkap merupakan sumberdaya ikan dalam stadia larva dan juvenil. Hasil tangkapan dari tradisi ini biasanya dikonsumsi pribadi atau dijual

46 30 dengan harga berkisar Rp /kg. Ngala impun/nyalawean biasa dilakukan di daerah muara sungai sekitar Teluk Palabuhanratu tanggal 25 setiap bulan yang mengikuti kalender hijriah dan biasanya melimpah pada bulan Juni- Juli. Gambar 10. Tradisi ngala impun di muara sungai sekitar Teluk Palabuhanratu Selain adanya tradisi ngala impun/nyalawean yang menangkap larva dan juvenil ikan, nelayan di Teluk Palabuhanratu juga banyak mengoperasikan alat tangkap yang tidak selektif dengan ukuran mata jaring yang relatif kecil, seperti bagan yang juga memungkinkan tertangkapnya ikan pada stadia larva dan juvenil. Penelitian ini juga meninjau lebih dalam komposisi larva ikan yang tertangkap dalam bagan Cimaja Lokasi muara Sungai Cimaja terletak pada geografis LS dan BT. Muara Sungai Cimaja terletak di Desa Cimaja, Kecamatan Cikakak. Muara Sungai Cimaja merupakan tempat bermuaranya aliran sungai Cimaja. Muara sungai ini akan berhulu di perairan Teluk Palabuhanratu yang akhirnya akan mengalir ke Samudera Hindia, karena perairan Teluk Palabuhanratu mempunyai hubungan bebas dengan Samudera Hindia. Lokasi di muara sungai ini didominasi oleh substrat pasir berbatu. Lebar mulut sungai sekitar 3-5 meter dan memiliki debit aliran yang cukup deras. Muara Cimaja arah sungai memiliki air yang cukup jernih dan kekeruhan yang retatif rendah yaitu berkisar NTU dan di muara Cimaja arah laut NTU. Muara Cimaja arah sungai memiliki salinitas dan muara Cimaja arah laut berkisar Di sekitar muara sungai Cimaja terdapat kegiatan penambangan pasir dan batu kali.

47 31 Gambar 11. Lokasi muara Sungai Cimaja Citiis Muara Sungai Citiis terletak pada geografis LS dan BT. Muara Sungai Citiis terletak di Desa Cikahuripan, Kecamatan Cisolok. Muara sungai ini akan berhulu di perairan Teluk Palabuhanratu yang akhirnya mengalir ke Samudera Hindia. Lokasi ini memiliki karakter fisik yang hampir sama dengan lokasi yang berada di muara Sungai Cimaja yaitu didominasi oleh substrat pasir berbatu, lebar mulut sungai juga berkisar 3-5 meter dan memiliki debit aliran yang cukup deras. Di sekitar muara Sungai Citiis juga terdapat kegiatan penambangan pasir dan batu kali. Muara Citiis arah sungai memiliki salinitas dan kekeruhan berkisar NTU. Muara Citiis arah laut memiliki salinitas dan kekeruhan berkisar NTU. Muara arah sungai memiliki salinitas yang lebih rendah dan kekeruhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan muara arah laut yang bersalinitas lebih tinggi dan kekeruhan yang rendah. Gambar 12. Lokasi muara Sungai Citiis

48 Citepus Muara Sungai Citepus terletak pada geografis LS dan BT. Muara Sungai Citepus terletak di Desa Citepus, Kecamatan Palabuhanratu. Wilayah pesisir daerah Citepus yaitu ± 1, Ha (Hartami 2008). Aktivitas masyarakat di sekitar muara Sungai Citepus cukup tinggi, dimana kawasan ini dijadikan sebagai tempat wisata karena memiliki panorama yang cukup indah dan memiliki pantai yang cukup luas. Dari pantauan terhadap sekeliling di sekitar lokasi ini terdapat perhotelan dan pemukiman warga. Tingginya aktivitas wisata yang dilakukan di lokasi ini menyebabkan banyak terdapat sampah anorganik berupa plastik bungkusan makanan. Lokasi ini didominasi oleh substrat pasir berlumpur. Muara Sungai Citepus memiliki debit aliran yang tenang. Berdasarkan pengamatan muara Sungai Citepus sedikit berwarna kecoklatan dan memiliki tingkat kekeruhan yang cukup tinggi yaitu berkisar NTU. Salinitas di muara arah sungai berkisar Muara arah laut memiliki kekeruhan NTU dan salinitas berkisar Gambar 13. Lokasi muara Sungai Citepus Sukawayana Muara Sungai Sukawayana terletak pada geografis LS dan BT. Muara Sungai Sukawayana terletak di Desa Sukawayana, Kecamatan Cikakak. Muara Sungai Sukawayana di dominasi oleh substrat pasir berbatu dan memiliki debit aliran yang cukup deras. Lebar mulut sungai berkisar 3-5 meter. Di samping muara sungai ini terdapat suatu pemukiman warga dan muara sungai ini dijadikan sebagai sumber air bersih untuk mandi dan mencuci (MCK). Di

49 33 sekitar muara Sungai Sukawayana juga terdapat pepohonan. Muara sungai ini memiliki salinitas berkisar dan kekeruhan berkisar 3-14 NTU. Muara Sukawayana arah laut memiliki salinitas dan kekeruhan NTU. Gambar 14. Lokasi muara Sungai Sukawayana 4.2 Komposisi Hasil Tangkapan Jumlah hasil tangkapan larva dan juvenil ikan yang diperoleh selama penelitan dari bulan Maret-Juli 2011 yaitu sebanyak 5585 individu yang terdiri atas 130 individu yang ditemukan pada lokasi muara arah laut menggunakan alat tangkap larva net dan waring, 3909 individu yang ditemukan di muara arah sungai menggunakan alat tangkap berupa sirib, dan 1546 individu yang ditemukan dalam sampel bagan (± gram). Hasil tangkapan selama penelitian berlangsung tidak hanya ikan pada stadia larva dan juvenil saja yang ditemukan, namun ada pula ikan yang sudah mencapai stadia dewasa yaitu ikan teri famili Engraulididae (6856 individu). Ada pula ikan yang ditemukan pada fase pra dewasa yaitu jenis dari Sicyopterus microcephalus (1 individu), S. cyanocephalus (10 individu) dan S. longifilis (1 individu) serta ditemukan pula larva non-ikan berupa udang sebanyak 1152 individu. Komposisi hasil tangkapan selama bulan pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 1. Spesies larva dan juvenil ikan yang ditemukan pada lokasi muara arah sungai sebanyak 14 jenis, 21 jenis yang ditemukan pada lokasi muara arah laut dan 16 jenis yg ditemukan dalam sampel bagan. Beberapa jenis diantaranya terdapat pada dua lokasi tersebut yaitu, di muara arah sungai, muara arah laut dan bagan yang letaknya lebih jauh ke arah laut, dimana jenis-jenisnya terdiri dari famili Elopidae (Megalops

50 34 cyprinoides), Gobiidae (Sicyopterus sp.), Cynoglossidae (Cynoglossus sp.), Microcanthidae (Microcanthus sp.), Carangidae (Caranx sp.), Clupeidae (Sardinella sp.) dan Mugilidae. Jenis larva dan juvenil ikan ini memiliki kisaran toleransi yang luas terhadap salinitas (euryhaline) dilihat berdasakan ditemukannya jenis tersebut pada kedua lokasi yang memiliki perbedaan salinitas. Jadi, total spesies yang ditemukan pada lokasi muara arah sungai, muara arah laut serta bagan berjumlah 36 jenis. Secara keseluruhan, komposisi hasil tangkapan di muara arah sungai lebih banyak dibandingkan dengan muara arah laut. Begitu pula dengan jenis yang dominan ditemukan selama penelitian pun berbeda antara kedua lokasi tersebut. Hal ini dikarenakan perbedaan dimensi dan karakteristik lingkungan, dimana lokasi di muara arah sungai memiliki salinitas yang berfluktuatif berkisar 0-25, dangkal ( cm), luas area yang lebih sempit dan alat tangkap yang lebih terkontrol, sedangkan muara arah laut cenderung memiliki salinitas yang lebih tinggi berkisar , lebih dalam (4-5 m), luasan area yang lebih luas dan alat tangkap yang sulit dikontrol. Komposisi hasil tangkapan selama penelitian dari bulan Maret Juli 2011 spesies yang sering ditemukan di muara arah sungai yaitu Sicyopterus sp. dan Ambassis vachelli, sedangkan komposisi hasil tangkapan yang paling banyak ditemukan di muara arah laut dan bagan yang lebih menjorok ke arah laut adalah Secutor indicius. Secutor indicius merupakan jenis ikan yang berasosiasi dengan laut sedangkan Sicyopterus sp. dan Ambassis vachelli merupakan jenis ikan yang berasosiasi dengan air tawar. Pada contoh larva ikan yang diambil dari bagan, ikan teri famili Engraulididae juga ditemukan dalam jumlah yang cukup banyak. Hal ini dikarenakan, bagan merupakan alat tangkap dengan ukuran mata jaring yang sangat kecil (0.3 cm) dan ditargetkan untuk menangkap ikan-ikan kecil seperti ikan teri. Namun demikian, alat tangkap ini tidak selektif yang menyebabkan ikan tertangkap dari berbagai ukuran dari ikan-ikan kecil hingga ikan besar, bahkan ikan dalam stadia larva dan juvenil pun ikut tertangkap dalam bagan. Jenis-jenis larva dan juvenil ikan yang tertangkap dalam bagan dapat dilihat pada Lampiran 1. Selain hasil dari bagan, ikan famili Engraulididae ini juga banyak ditemukan di muara arah laut hasil dari menyisiri kolom perairan menggunakan larva net dan

51 35 waring. Menurut Effendi (1997) in Nursid (2002) famili Engraulididae memijah sepanjang tahun, sehingga ikan ini banyak ditemukan selama penelitian berlangsung. Menurut Nontji (2005) meskipun ikan teri dewasa banyak dijumpai di perairan payau namun telurnya tak dapat ditemukan pada salinitas yang kurang dari 17 0 / 00. Komposisi ikan famili Engraulididae di tiap bulan pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 1. Hasil tangkapan larva dan juvenil ikan bayak ditemukan pada bulan gelap, karena ketika pada pengambilan contoh ke-1 bertepatan pada bulan terang yaitu pada tanggal 19 Maret 2011 tidak ditemukannya larva dan juvenil ikan. Hal ini dikarenakan pada bulan terang cahaya menyebar rata di kolom perairan sehingga pada saat seperti ini ikan pun akan menyebar rata di kolom perairan dan peluang tertangkapnya larva dan juvenil ikan juga menjadi lebih kecil. Bahkan bagan pun banyak yang tidak beroperasi pada saat bulan terang karena cahaya bulan dapat menjadi tandingan bagi cahaya lampu, dimana bagan dioperasikan dengan bantuan lampu petromaks sebagai daya tarik bagi ikan. Menurut Effendy (2005) in Magdalena (2010) kondisi lingkungan yang berpengaruh terhadap keberhasilan penangkapan ikan dengan cahaya lampu adalah musim, fase bulan, kecerahan, dan ada atau tidaknya predator. Menurut Thorson (1996) in Sulistiono et al. (2001) pada tahap awal kehidupan larva bersifat fototaksis positif. Namun, ada pula beberapa larva sangat sensitif terhadap cahaya dan tekanan sehingga larva tersebut hanya menempati tingkatan kolom perairan. Pemikatan ikan terhadap cahaya tidak hanya berdasarkan sifat fototaksis positif, tetapi juga dikarenakan oleh faktor ekologis yang berpengaruh terhadap makhluk hidup lainnya, dimana zooplankton yang pertama kali tertarik pada cahaya kemudian diikuti oleh ikan kecil dan kemudian ikan besar. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, komposisi terbesar dari hasil tangkapan tradisi ngala impun/nyalawean yang dilakukan di sekitar muara sungai Cimaja, Citiis, Citepus dan Sukawayana, Teluk Palabuhanratu didominasi oleh famili Gobiidae dari spesies Sicyopterus sp. Larva dan juvenil jenis Ambasiis vachelli juga dominan tertangkap dalam tradisi ngala impun ini, khususnya banyak ditemukan di muara Sungai Sukawayana. Selain itu, larva ikan sidat (Anguilla sp.) juga ditemukan namun dalam jumlah yang tidak banyak. Komposisi

52 36 larva terbesar dalam hasil tangkapan bagan adalah ikan pepetek (Secutor indicius) dan larva ikan famili Gobiidae jenis Sicyopterus sp. 4.3 Kekayaan Spesies Kekayaan jenis di empat lokasi penelitian yang dibedakan berdasarkan muara arah sungai dan muara arah laut ini memiliki nilai yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan tiap lokasi memiliki karakteristik lingkungan yang berbeda pula, sehingga jenis-jenis ikan yang mendiami suatu perairan juga berbeda-beda. Kekayaan spesies menggunakan indeks menhinick disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Kekayaan spesies (menhinick index) pada setiap lokasi penenlitian Cimaja Citiis Citepus Sukawayana Struktur Komunitas Muara Muara Muara Muara Muara Muara Muara Muara arah arah arah arah arah arah arah arah sungai laut sungai laut sungai laut sungai laut Jumlah Taksa Jumlah individu Kekayaan Spesies Spesies yang banyak ditemukan selama penelitian berlangsung yaitu spesies dengan stadia postlarva dan juvenil, dan tidak ditemukan spesies dengan stadia yolk sac dan prolarva. Postlarva dan juvenil dibedakan berdasarkan pewarnaan tubuh, dan kelengkapan sirip. Postlarva memiliki warna tubuh yang masih transparan dan siripnya yang belum lengkap, sedangkan juvenil warna tubuh dan sirip-siripnya sudah menyerupai ikan stadia dewasa hanya saja masih dalam ukuran yang relatif kecil dan belum mencapai tahap matang gonad. Jenis larva dan juvenil ikan yang ditemukan di perairan Teluk Palabuhanratu selama penelitian dari bulan Maret Juli 2011 di lokasi muara arah laut dan muara arah Sungai Cimaja, Citiis, Citepus dan Sukawayana berjumlah 36 jenis yang termasuk dalam 29 famili dan 10 ordo. Kekayaan spesies yang telah dihitung menggunakan indeks menhinick diperoleh bahwa kekayaan spesies paling tinggi berada di daerah Citiis baik pada lokasi di muara arah sungai maupun di muara arah laut, sebesar 2.10 untuk lokasi di muara arah laut, dan 0.60 untuk lokasi di muara arah sungai. Secara berurutan kekayaan spesies dari yang tertinggi hingga terendah yaitu, Citiis, Citepus, Sukawayana dan Cimaja. Muara arah laut memiliki jenis yang lebih banyak dengan jumlah individu yang relatif sedikit, sedangkan di muara arah sungai memiliki jenis

53 37 yang lebih sedikit dengan jumlah individu yang lebih banyak. Dilihat secara keseluruhan, lokasi yang berada di muara arah laut memiliki indeks kekayaan spesies yang lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi yang berada di muara arah sungai. Hal ini dapat dilihat berdasarkan jumlah spesies/taksa yang ditemukan di lokasi tersebut relatif lebih banyak dan beragam. Menurut Abele (1982) in Sembiring (2008) struktur kompleksitas dari suatu habitat dengan kekayaan spesies memiliki hubungan yang positif, semakin baik struktur kompleksitas suatu habitat maka spesies yang ditemukan pada habitat tersebut akan semakin banyak. Selain itu, kekayaan spesies juga memiliki hubungan positif dengan suatu area yang ditempatinya. Area yang lebih luas memiliki variasi habitat yang lebih besar dibandingan dengan area yang lebih sempit sehingga, semakin luas suatu area perairan maka semakin banyak pula jumlah jenis ikan yang menempatinya (Kottelat et al in Yustina 2001). Oleh karena itulah jenis larva dan juvenil ikan pada lokasi muara arah laut yang memiliki area lebih luas relatif lebih banyak dibandingkan dengan muara arah sungai. Ekman (1953) and Brunn (1957) in Genisa (2000) berpendapat bahwa secara geografis semakin jauh suatu perairan dari pantai dan semakin dalam suatu perairan tersebut maka, semakin sedikit pula jenisnya. Pada penelitian ini jenis larva yang ditemukan cukup beragam karena jika didasari oleh pendapat dari Ekman and Burnn lokasi penelitian masih termasuk dalam perairan yang dangkal dengan kedalaman perairan berkisar antara meter. Suku Leiognathidae dikenal dengan nama ikan petek. Menurut FAO (Food and Agriculture Organization 1974) in Genisa (2000) tercatat 28 jenis ikan petek yang hidup di Indonesia. Ikan petek hidup bergerombol di dasar perairan dangkal hingga kedalaman lebih dari 60 meter dan paling banyak tertangkap pada kedalaman air antara meter. Selama penelitian, larva dan juvenil ikan dari suku Leiognathidae yang tertangkap hanya terdiri dari dua jenis yaitu Secutor indicius dan Leiognathus sp., dimana jenis Secutor indicius dominan tertangkap di lokasi yang berada di laut sekitar muara sungai. 4.4 Kepadatan dan Kelimpahan Relatif Larva dan Juvenil Ikan Lokasi muara arah sungai yang memiliki kepadatan relatif terbesar adalah muara Sungai Cimaja yaitu sebesar 70% sedangkan yang terendah yaitu muara

54 38 sungai Citiis sebesar 3% (Gambar 15). Muara arah laut yang memiliki kepadatan relatif tertinggi adalah Laut sekitar muara sungai Citiis sebesar 33% sedangkan yang terendah yaitu laut sekitar muara Sungai Citepus sebesar 18% (Gambar 16). 6% Muara Sungai Cimaja 21% Muara Sungai Citiis 3% 70% Muara Sungai Citepus Muara Sungai Sukawayana Gambar 15. Kepadatan relatif (%) di muara arah sungai 27% 22% Laut sekitar muara Sungai Cimaja Laut sekitar muara Sungai Citiis 18% 33% Laut sekitar muara Sungai Citepus Laut sekitar muara Sungai Sukawayana Gambar 15. Kepadatan relatif (%) di muara arah laut Kepadatan populasi tertinggi pada lokasi di muara arah sungai yaitu dari spesies Sicyopterus sp. sebesar 747 ind/m² dan kepadatan populasi tertinggi pada lokasi muara arah laut adalah Secutor indicius sebanyak 24 ind/m². Secara keseluruhan lokasi yang berada di muara arah sungai memiliki kepadatan yang lebih besar (797 ind/m²) daripada lokasi muara arah laut (60 ind/m²). Hal ini dikarenakan, hamparan area muara arah laut itu sendiri lebih luas dibandingkan dengan muara arah sungai, sehingga penyebaran dari larva dan juvenil ikan di muara arah laut lebih menyebar secara luas. Hal ini pula yang menyebabkan jenis larva dan juvenil ikan yang memiliki kepadatan terendah di muara arah laut lebih banyak daripada lokasi yang berada di muara sungai. Kepadatan spesies di muara arah sungai lebih tinggi dibandingkan dengan di muara arah laut lebih dipengaruhi oleh kandungan nutrien.

55 39 Menurut Effendi (2002) pergerakkan larva atau tingkah laku larva untuk mendapatkan makanan serta kepadatan persediaan makanan merupakan faktor yang mempengaruhi keberhasilan hidup ikan. Tabel kepadatan populasi pada lokasi muara arah sungai dan muara arah laut dapat dilihat pada Lampiran 3. Kepadatan dan kelimpahan memiliki hubungan yang berbanding lurus dimana kepadatan tinggi kelimpahannya pun juga tinggi. Kelimpahan larva dan juvenil ikan selama pengamatan di muara arah laut dan muara arah sungai Cimaja, Citiis, Citepus dan Sukawayana disajikan pada Gambar Kelimpahan relatif (%) Polydactylus Terapon theraps Secutor indicius Gobiidae Polydactylus nigripinnus Archamia fucata Cynoglosus sp. Jenis ikan Gambar 17. Kelimpahan larva dan juvenil ikan di muara Cimaja arah laut Kelimpahan relatif (%) Jenis ikan Gambar 18. Kelimpahan larva dan juvenil ikan di muara Citiis arah laut

56 40 Kelimpahan relatif (%) Sicyopterus sp. Caranx sp. Secutor indicius Cynoglosus sp. Serranidae Jenis ikan Gambar 19. Kelimpahan larva dan juvenil ikan di muara Citepus arah laut 40 Kelimpahan relatif (%) Jenis ikan Gambar 20. Kelimpahan larva dan juvenil ikan di muara Sukawayana arah laut Kelimpahan relatif (%) Sicyopterus sp. Jenis ikan Gambar 21. Kelimpahan larva dan juvenil ikan di muara Cimaja arah sungai

57 41 Kelimpahan relatif (%) Kelimpahan relatif (%) Jenis ikan Gambar 22. Kelimpahan larva dan juvenil ikan di muara Citiis arah sungai Jenis ikan Gambar 23. Kelimpahan larva dan juvenil ikan di muara Citepus arah sungai Kelimpahan relatif (%) Ambassis vachelli Sicyopterus sp. Mugilidae Gobiidae Jenis ikan Gambar 24. Kelimpahan larva dan juvenil ikan di muara Sukawayana arah sungai

58 42 Ikan pepetek dari spesies Secutor indicius memiliki kelimpahan relatif yang paling besar di lokasi muara Cimaja, Citepus dan Sukawayana arah laut masingmasing sebesar 25%, 40% dan 36%. Pada lokasi muara Citiis arah laut ada beberapa jenis yang memiliki kelimpahan relatif tertinggi yaitu sebesar 11% antara lain, Polydactylus sp., Secutor indicius, Diodon dan Archamia fucata, sedangkan pada lokasi yang berada di muara Cimaja, Citiis dan Citepus arah sungai, spesies yang memiliki kelimpahan relatif terbesar adalah Sicyopterus sp. masing-masing sebesar 100%, 73% dan 94% dan di lokasi muara Sukawayana arah sungai spesies yang memiliki kelimpahan terbesar adalah Ambassis vachelli sebesar 53%. Kelimpahan lokasi yang berada di muara arah laut berkisar antara 5-40%, sedangkan pada lokasi yang berada di muara arah sungai berkisar antara 1-100%. Hal ini menunjukan bahwa secara keseluruhan lokasi yang berada di muara arah sungai memiliki nilai kelimpahan relatif yang lebih besar daripada lokasi di muara arah laut. Hal ini dikarenakan, adanya pengaruh dari faktor lingkungan antara lain faktor arus, salinitas, dan nutrien. Pada penelitian ini lokasi muara arah sungai memiliki nilai kelimpahan yang lebih tinggi karena pada lokasi tersebut memiliki kandungan nutrien yang cukup melimpah, dimana masih ada pengaruh masukan dari daratan serta menurut Anwar (2008) karakteristik lingkungan yang diduga berpengaruh terhadap populasi larva dan juvenil ikan adalah arus dan kandungan bahan organik, dimana pada lokasi muara arah sungai arus berdampak langsung terhadap struktur sedimen, pasokan nutrien dan pasokan oksigen. Gerlach et al. (2006) mengemukakan pula bahwa arus laut akan mempengaruhi penyebaran dan kelimpahan larva ikan. Menurut Anwar (2008) perbedaan habitat akan mempengaruhi jumlah kelimpahan spesiesnya karena setiap spesies berbeda frefensinya terhadap kebutuhan lingkungan. Menurut Negelkerken (1981) in Anwar (2008) habitat yang sesuai memegang peranan penting bagi keberadaan suatu jenis dan dikemukakan pula bahwa pada daerah terbuka atau yang terlindung mendapat masukan jenis dan jumlah larva yang sama, tetapi karena adanya perbedaan tipe habitat maka pada akhirnya jenis larva yang dapat bertahan menjadi berbeda. Seperti diketahui pula bahwa estuari adalah suatu tempat pertemuan antara air tawar dan air laut. Habitat ini lebih subur dan produktif sehingga daerah ini

59 43 sering dijadikan sebagai daerah asuhan (nursery ground) bagi anak-anak ikan. Salah satu estuari adalah muara sungai yang selalu dipengaruhi oleh pasang surut dan salinitas yang berfluktuasi, yang mempengaruhi bentuk kehidupan biota di daerah tersebut, sehingga didasarkan pada pustaka Odum (1971) in Genisa (2000) biota yang hidup di daerah estuari adalah biota yang mempunyai toleransi yang tinggi terhadap perubahan lingkungan, yang ditandai dengan jumlah jenis sedikit dan potensi yang tinggi. Hal ini dapat dilihat pada hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa jumlah jenis larva dan juvenil ikan yang ditemukan dimuara sungai lebih sedikit dengan kelimpahan yang tinggi sedangkan di muara arah laut/laut sekitar muara sungai memiliki jenis yang lebih banyak dan beragam dengan kelimpahan yang rendah. Menurut Jenkins and Davis (2007) spesies dari genus Ambassis dan spesies Tetraroge barbata termasuk dalam kelompok freshwater migrants yang artinya ikan memijah dan keberadaannya berada di air tawar dan muara sepanjang tahun. Spesies dari famili Leiognathidae termasuk dalam kelompok estuarine migrants yang artinya memijah di estuari dengan fase larva di laut dan atau bermigrasi sekitar estuari. Oleh sebab itu, larva dan juvenil dari spesies Secutor indicius yang termasuk dalam famili Leiognathidae banyak di temukan di sekitar lokasi pengamatan. Kelompok berikutnya yaitu freshwater stargglers yang artinya ikan memijah di air tawar dan masuk kedalam estuari hanya jika kondisi menguntungkan seperti kondisi lingkungan yang tenang dan bersalinitas rendah, contoh kelompok ini adalah jenis Mugilidae. Marine migrants yang berarti ikan memijah dilaut dan penyebaran secara luas dalam fase juvenil dan dewasa menggunakan estuari sebagai tempat perkembangannya. Selain itu, spesies-spesies yang termasuk dalam kategori marine migrant memiliki toleransi yang tinggi terhadap salinitas (euryhaline) seperti ikan dari jenis Caranx. Hal ini dapat dilihat berdasarkan ditemukannya spesies Caranx sp. pada lokasi muara Citepus arah sungai dan arah laut. Anguilla sp. dan beberapa larva famili gobiidae termasuk dalam kelompok katadromus yang artinya, ikan memijah di laut dan juvenil atau dewasa harus mengakses ke air tawar, atau dengan kata lain kelompok ikan katadromus adalah kelompok ikan dari air tawar bermigrasi ke laut untuk memijah. Famili Kuhlidae bersifat euryhaline dan banyak ditemukan

60 44 di kawasan yang terkena pasang surut, batu karang, estuari dan perairan tawar. (Heemstra 1984; Masuda et al.1984 in Leis and Ewart 2000). Megalops cyprinoides cendrung memiliki sebaran yang merata, hal ini di lihat berdasarkan ditemukannya spesies ini pada lokasi baik di muara arah sungai, muara arah laut maupun bagan yang terletak di lebih jauh ke arah laut. Spesies ini dapat hidup pada salinitas antara / 00. Fase dewasa dari spesies ini umumnya hidup di laut, tetapi pada fase larva dan juvenil banyak yang hidup di daerah estuari atau hutan mangrove karena Megalops cyprinoides termasuk dalam kelompok anadromus yang artinya ikan air laut bermigrasi ke air tawar untuk memijah (Jayaseelan 1998; Fishbase 2002 in Nursid 2002). Muara sungai merupakan habitat yang penting untuk ikan-ikan dari jenis penetap sekaligus sebagai daerah asuhan penting untuk ikan-ikan peruaya. Contoh jenis ikan peruaya yaitu ikan dari famili Lutjanidae. Ikan penetap misalnya ikan famili Gobiidae. Ikan yang bermigrasi dari laut ke air tawar untuk bertelur (spesies anadromus) misalnya dari famili Serranidae dam Clupeidae (Kennish 1990 in Nursid M 2002). Ditemukannya larva sidat (Anguilla sp.) yang bersifat katadrom dan beberapa larva dan juvenil ikan dari famili gobiidae yang juga banyak diantaranya bersifat katadrom yang artinya ikan beruaya atau bermigrasi dari air tawar ke laut hanya untuk memijah. Hal ini mengindikasikan bahwa ekosistem ini sangat berperan sebagai jalan keluar masuknya bagi beberapa ikan untuk melakukan ruaya pemijahan. Di samping itu, kehadiran larva ikan Megalops cyprinoides, Caranx sp. dan Sardinella sp. yang merupakan jenis-jenis ikan laut yang ditemukan di daerah muara menunjukkan bahwa ekosistem ini memegang peranan penting dalam siklus hidup bagi ikan-ikan tersebut sebagai daerah asuhan (nursery ground) dan mencari makan (feeding ground). Menurut Jenkins and Davis (2007) larva ikan dari jenis Gobiidae (Sicyopterus sp.), Terapontidae (Terapon theraps) dan Ophichtidae termasuk dalam kategori ikan amphidromus, yaitu ikan yang beruaya untuk mencari makan. Ikanikan ini memijah di air tawar, larva menetas hingga di laut, kemudian pada fase juvenil kembali ke air tawar untuk mencari makan. Oleh karena itu, pada lokasi yang berada di muara arah sungai larva dari spesies Sicyopterus sp. memiliki kepadatan

61 45 dan kelimpahan yang paling tinggi. Spesies ini memiliki toleransi yang tinggi terhadap salinitas (euryhaline). Hal ini dapat dilihat berdasarkan lokasi yang mengarah ke laut dan bagan juga ditemukan spesies Sicyopterus sp dengan kepadatan sebesar 29 ind/m². 4.5 Struktur Komunitas Keanekaragaman (H ), keseragaman (E) dan dominansi (C) merupakan kajian indeks yang sering digunakan untuk menduga kondisi suatu lingkungan perairan berdasarkan komponen biologis. Kondisi lingkungan suatu perairan dikatakan baik bila diperoleh nilai indeks keanekaragaman (H ) dan keseragaman (E) yang tinggi serta indeks dominansi (C) yang rendah (Hukom 1999). Indeks keanekaragaman menggambarkan keanekaragaman jenis ikan di suatu kawasan. Nilai indeks keanekaragaman tergantung dari variasi jumlah spesies dan variasi jumlah individu tiap spesies. Apabila jumlah spesies dan variasi jumlah individu tiap spesies relatif kecil berarti terjadi ketidakseimbangan ekosistem yang disebabkan gangguan atau tekanan dari lingkungan, hal ini berarti hanya jenis tertentu saja yang dapat bertahan hidup (Risawati 2002 in Alfatriatussulus 2003). Tabel 3. Indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominansi larva dan juvenil ikan di Teluk Palabuhanratu Cimaja Citiis Citepus Sukawayana Struktur Komunitas Muara Muara Muara Muara Muara Muara Muara Muara arah arah arah arah arah arah arah arah sungai laut sungai laut sungai laut sungai laut Jumlah Taksa Kelimpahan (Ind/m 3 ) Indeks Keanekaragaman (H ) Indeks Keseragaman (E) Indeks Dominansi (C) Hasil perhitungan indeks keanekaragaman (H ) pada lokasi Cimaja, Citiis, Citepus dan Sukawayana berkisar antara untuk di daerah muara arah laut dan untuk di daerah muara arah sungai. Muara Citiis arah laut memiliki indeks keanekaragaman paling tinggi yaitu sebesar Hal ini dikarenakan lokasi kawasan tersebut baik bagi kehidupan larva dan juvenil ikan, dapat dilihat berdasarkan jumlah jenis/taksa yang ditemukan di lokasi tersebut lebih besar

62 46 daripada lokasi lainnya yaitu sebanyak 15 jenis. Suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman spesies yang tinggi apabila terdapat banyak spesies dengan jumlah individu masing-masing spesies relatif sama (Brower et al in Sembiring 2008). Nilai indeks keanekaragaman terendah terdapat pada lokasi muara Cimaja arah sungai, karena hanya sedikitnya jenis larva dan juvenil ikan yang ditemukan dan mampu bertahan hidup di lokasi tersebut. Tinggi rendahnya nilai keanekaragaman dan keseragaman pada tiap lokasi penelitian dapat disebabkan faktor fisik-kimia perairan dan ketersediaan nutrisi yang sangat mempengaruhi keanekaragaman dan keseragaman dari suatu jenis ikan. Secara keseluruhan dapat kita lihat bahwa indeks keanekaragaman pada lokasi muara arah laut lebih tinggi daripada muara arah sungai. Hal ini disebabkan fluktuatifnya kondisi lingkungan di daerah muara arah sungai yang sangat dipengaruhi oleh pasang surut, sehingga hanya jenis-jenis tertentu saja (euryhaline) yang dapat bertahan dalam kondisi lingkungan yang berfluktuatif tersebut. Menurut Odum (1971) in Genisa (2000) biota yang hidup di daerah muara sungai adalah biota yang mempunyai toleransi yang tinggi terhadap perubahan lingkungan, yang ditandai dengan jumlah jenis yang sedikit dan potensi yang tinggi. Indeks keseragaman mengindikasikan tiap spesies terdistribusi secara merata, dimana tingginya nilai indeks keseragaman menunjukkan bahwa spesiesspesies tersebut terdistribusi secara merata atau jumlah individu dalam spesies relatif sama. Pada Tabel 7 menunjukkan indeks keseragaman berkisar untuk lokasi muara arah laut dan untuk lokasi muara arah sungai. Lokasi di muara arah laut memiliki nilai indeks keseragaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan muara arah sungai. Hal ini menunjukan bahwa jumlah individu dalam spesies yang ditemukan di muara arah laut relatif sama/terdistribusi secara merata, sedangkan pada lokasi di muara arah sungai ada beberapa spesies yang memiliki jumlah individu dalam suatu spesies yang lebih dominan. Berdasarkan hal tersebut dapat dikaitkan dengan ada tidaknya spesies yang mendominasi di setiap lokasi penelitian, dilihat dari nilai indeks dominansinya. Indeks dominansi tertinggi yaitu berada di lokasi muara Cimaja arah sungai. Hal ini menunjukkan bahwa di lokasi tersebut terdapat spesies yang mendominasi yaitu dari spesies Sicyopterus sp. Dapat disimpulkan bahwa kondisi lingkungan di muara Citiis arah laut dapat dikatakan

63 47 baik karena memiliki nilai indeks keanekaragaman (H ) dan keseragaman (E) yang tinggi serta indeks dominansi (C) yang rendah, sedangkan kondisi lingkungan yang kurang baik berada pada lokasi muara Cimaja arah sungai, dimana nilai indeks keanekaragaman (H ) dan keseragaman (E) tinggi serta indeks dominansi (C) yang tinggi. 4.6 Komposisi Larva dan Juvenil Ikan dalam Bagan Komposisi larva dan juvenil ikan dalam salah satu bagan di sekitar muara Sungai Citepus dihitung berdasarkan proporsi jenis dalam contoh bagan yang diambil sebanyak 75 gram dari total tangkapan bagan sebesar 5 kilogram. Setelah diamati dan diidentifikasi komposisi hasil tangkapan dalam sampel bagan sebanyak 75 gram tersebut hanya terdiri dari jenis Sicyopterus sp. Setelah dikonversi dalam seluruh hasil tangkapan bagan sebesar 5 kilogram Sicyopterus sp. sebanyak individu. Tabel 4. Komposisi larva ikan dalam bagan Citepus Jumlah Komposisi berat Berat Nama spesies individu dalam total contoh (gr) (ekor) tangkapan maka diduga terdapat jenis Komposisi Jumlah dalam total tangkapan Sicyopterus sp Komposisi ikan dalam salah satu bagan di daerah Sukawayana pada pengambilan contoh ke-4 (30 Mei 2011) yang terlihat pada Tabel 5, telah ditemukan beberapa spesies dari 186 gram sampel yang diambil dalam hasil tangkapan bagan sebesar 15 kilogram. Larva dan juvenil ikan yang ditemukan meliputi larva dan juvenil ikan pepetek (Secutor indicius) dan larva Sicyopterus sp. (impun menga), serta ikan yang telah mencapai ukuran dewsa yang terdapat dalam bagan yaitu teri famili Engraulididae. Setelah dilakukan konversi dari proporsi bobot dan jumlah individu larva ikan contoh (186 gram) ke dalam seluruh hasil tangkapan bagan sebesar 15 kilogram, maka diduga terdapat individu dari Sicyopterus sp. dan individu dari spesies Secutor indicius, serta ikan teri famili Engraulididae yang ditemukan sebanyak individu. Pada Tabel 4 dan 5 menunjukkan proporsi larva terbesar yang tertangkap dalam bagan di laut sekitar muara Sungai Citepus dan Sukawayana pada pengambilan contoh ke-4 (30 Mei 20011).

64 48 Tabel 5. Komposisi larva dan non-larva ikan dalam bagan Sukawayana Nama spesies Jumlah Komposisi bobot Berat Komposisi Jumlah individu dalam total contoh (gr) dalam total tangkapan (ekor) tangkapan Secutor indicius Sicyopterus sp Engraulididae Total Proporsi terbesar yang tertangkap dalam bagan Sukawayana adalah dari jenis Sicyopterus sp. yang masih dalam stadia larva. Proporsi terbesar ke-2 yaitu dari kelompok ikan pelagis kecil yaitu ikan teri famili Engraulididae dan komposisi larva terbesar setelah Sicyopterus sp. yang tertangkap dalam bagan yaitu larva ikan pepetek (Secutor indicius). Berdasarkan data ini dapat kita lihat bahwa bagan yang memiliki ukuran mata jaring yang kecil (0.3 cm) dan ditargetkan untuk menangkap ikan-ikan berukuran kecil seperti ikan teri, menyebabkan bukan hanya ikan teri saja yang tertangkap melainkan ribuan ikan yang masih dalam stadia larva dan juvenil pun ikut tertangkap. Hal ini dapat mengganggu keberlangsungan hidup dari suatu spesies, karena tertangkapnya ikan-ikan yang masih dalam stadia larva ini dapat memutuskan perkembangbiakan dari suatu jenis ikan. Menurut Syahailatua (2006), tingginya tingkat mortalitas dari iktioplankton (larva ikan) dapat menurunkan laju kelangsungan hidupnya (survival rate). Hal ini sangat mempengaruhi keberhasilan dalam proses rekruitmen ikan dewasa dan produksi sumberdaya perikanan. Dua hipotesa tentang tangkap lebih (overfishing) yang terjadi pada sumberdaya perikanan yaitu tangkap lebih yang diakibatkan oleh banyak tertangkapnya ikan-ikan muda (growth overfishing) dan tangkap lebih yang diakibatkan oleh gagalnya proses rekruitmen (recruitmen overfishing). Penelitian ini menunjukan bahwa gagalnya proses rekruitmen bukan hanya karena mortalitas alami melainkan disebabkan pula penangkapan yang terjadi pada stadia larva dan juvenil ikan. Hal ini dapat dilihat berdasarkan tertangkapnya ribuan larva dan juvenil ikan dalam alat tangkap berupa bagan dan tradisi nyalawean/ngala impun yang terjadi di Teluk Palabuhanratu. 4.7 Perbandingan Harga, Berat dan Jumlah Individu antara Larva dan Juvenil Ikan dengan Ikan Dewasa Perbandingan harga larva dan juvenil ikan dengan ikan dewasa dilakukan

65 49 dengan cara sampling harga di pasar selama penelitian melalui proses wawancara kepada pedagang ikan di TPI Palabuhanratu dan nelayan sekitar. Larva ikan hasil dari tradisi ngala impun/ nyalaewan atau pun larva ikan yang tertangkap oleh bagan memiliki harga berkisar Rp /kg, dimana dalam satu kilogram terdiri dari ribuan individu, sedangkan harga ikan dewasa berkisar Rp /kg. Hasil dari sampling harga tersebut disajikan pada Tabel 6. Berdasarkan tabel tersebut menunjukkan bahwa perbandingan harga antara larva dengan ikan dewasa cukup signifikan. Tabel 6. Harga ikan Jenis ikan Harga (Rp/kg) Larva ikan Pepetek Layur Lidah Belanak Sardin Sebelah Kakap Pada Tabel 7 memperlihatkan perbandingan berat rata-rata per ekor larva dan juvenil ikan dengan per ekor ikan dewasa, serta perbandingan jumlah individunya dalam satu kilogram. Tabel 7. Perbandingan berat dan jumlah individu antara larva dan juvenil ikan dengan ikan dewasa Jenis Berat rata-rata per ekor (gr) Jumlah individu dalam 1 kg ikan larva/juvenil ikan dewasa larva/juvenil ikan dewasa Pepetek Layur Lidah Belanak Sardin Sebelah Kakap Berat rata-rata larva dan juvenil ikan diperoleh berdasarkan hasil penimbangan panjang dan berat dari masing-masing jenis larva dan juvenil yang ditemukan selama penelitian. Berat rata-rata ikan dewasa diperoleh berdasarkan hasil konversi jumlah individu yang ada dalam satu kilogram, dimana jumlah

66 50 individu ikan dewasa dalam 1 kilogram diketahui berdasarkan literatur yang diperoleh serta informasi dari para pedagang ikan di TPI Palabuhanratu begitu pula dengan jumlah individu larva dan juvenil ikan yang didapatkan dengan cara mengkonversi bobot rata-rata per spesies dalam satu kilogram. Berdasarkan Tabel 6 dan Tabel 7 tampak jelas perbandingan harga, berat dan jumlah individu antara larva dan juvenil ikan dengan ikan dewasa ukuran konsumsi. Larva dan juvenil ikan pepetek yang dominan tertangkap selama penelitian setelah dikonversi dalam satu kilogram, terdiri dari ekor, sedangkan ikan pepetek dewasa hanya terdiri dari 23 ekor dalam satu kilogram. Larva dan juvenil ikan lain yang tertangkap meliputi ikan layur, lidah, belanak, sardin, sebelah dan kakap namun, jumlahnya tidak sebanyak jumlah individu larva ikan pepetek, tetapi setelah dikonversi dalam satu kilogram, larva ikan-ikan tersebut juga terdiri dari ribuan ekor yang dapat dilihat pada Tabel 7, yang jika dibandingkan dengan jumlah individu ikan dewasa menunjukkan perbandingan yang sangat signifikan. Hal ini diasumsikan jika peluang hidup dari larva dan juvenil ikan adalah 100%. Seperti yang diketahui bahwa larva ikan memiliki tingkat mortalitas yang tinggi, sehingga peluang hidupnya pun relatif tergantung kondisi lingkungan dimana larva tersebut berada. Jika peluang hidup dari larva dan juvenil ikan hanya sebesar 1% saja dan tidak dieksploitasi secara dini, maka sumberdaya ikan akan tetap dapat lestari. Sebagai contoh yaitu larva ikan pepetek dengan asumsi peluang hidup 100 % perbandingan antara larva dan ikan dewasa 3396:1 dan jika peluang hidupnya hanya sebesar 1% saja dan tidak mengalami penangkapan dini maka perbandingannya masih tetap menguntungkan yaitu 3:1. Dengan kata lain, jika larva ikan dan juvenil ikan tidak dieksploitasi maka produksi dari masing-masing jenis ikan akan meningkat. Harga larva dan juvenil ikan pepetek, layur, lidah, belanak, sardin, sebelah dan kakap yang tertangkap selama penelitian baik menggunakan larva net, waring maupun hasi dari tangkapan bagan dapat dilihat pada Tabel 8. Berdasarkan harga tersebut kita dapat mengetahui bahwa ikan dewasa akan memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi daripada larva dan juvenil ikan. Oleh karena itu, jika larva dan juvenil ikan dibiarkan tumbuh hingga dewasa produksi dari masing-masing jenis

67 51 ikan akan meningkat sehingga keuntungan ekonomi yang di peroleh juga lebih besar. Tabel 8. Perbandingan harga per ekor larva ikan dan ikan dewasa Harga rata-rata per ekor (Rp/ekor) Jenis ikan larva/ juvenil ikan dewasa Pepetek (Secutor indicius) Layur (Lepturacanthus sp.) Lidah (Cynoglossus sp.) Blanak (Mugillidae) Sardin (Sardinella sp.) Sebelah (Psettodes erumei) Kakap (Lutjanidae) Kondisi Perikanan Pepetek di Teluk Palabuhanratu Berikut ini akan dipaparkan mengenai kondisi perikanan pepetek pada stadia dewasa yang dilihat berdasarkan hasil tangkapan, upaya penangkapan dan CPUE dari ikan pepetek, yang kemudian akan dianalisis menggunakan pendekatan bioekonomi model Gordon-Schaefer guna untuk mengetahui status pemanfaatan yang terjadi pada ikan pepetek di Teluk Palabuhanratu. Ikan pepetek dewasa dipilih untuk dikaji secara bioekonomi karena ikan ini ketika pada stadia larva dan juvenil banyak tertangkap selama penelitian baik itu tertangkap oleh larva net, waring, maupun bagan yang menjadi obejek kajian dalam penelitian ini. Pendekatan ini bertujuan untuk melihat korelasi antara ikan pepetek pada stadia dewasa dan larva, dimana penelitian ini ingin mengetahui kondisi perikanan pepetek yang ketika pada stadia awal larva dan juvenil serta stadia dewasa yang dieksploitasi secara terus menerus Hasil tangkapan ikan pepetek di Teluk Palabuhanratu Berdasarkan Gambar 25, terlihat bahwa hasil tangkapan ikan pepetek berfluktuasi dari tahun ke tahun. Hasil tangkapan tertinggi terjadi pada tahun 2010 sebanyak ton. Hasil tangkapan terendah terjadi pada tahun 2009 sebanyak ton. Hasil tangkapan mengalami penurunan pada tahun 2002, 2003, 2006, 2008 dan Hal tersebut terjadi akibat penangkapan yang telah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya yaitu pada tahun 2001, 2004 dan Penurunan hasil tangkapan juga dapat disebabkan oleh faktor cuaca, dimana pada musim banyak

68 52 ikan pepetek di daerah penangkapan yang dikehendaki akan tetapi gelombang laut tinggi sehingga nelayan tidak melaut dan menyebabkan hasil tangkapan ikan pepetek berkurang. Menurut Widodo dan Suadi (2006) laju produksi sangat bervariasi karena faktor fluktuasi lingkungan, pemangsaan dan berbagai interaksi dengan populasi yang lain. Selain itu, fluktuasi hasil tangkapan ikan pepetek tiap tahun dipengaruhi oleh jumlah unit penangkapan yang menangkap ikan pepetek yang berfluktuasi setiap tahunnya, musim penangkapan ikan pepetek, dan ketersediaan ikan pepetek pada tahun tersebut. 500 Hasil tangkapan (ton) Tahun Gambar 25. Grafik hasil tangkapan perikanan pepetek di Teluk Palabuhanratu tahun (Ditjen-Tangkap DKP) Upaya penangkapan ikan pepetek di Teluk Palabuhanratu Upaya penangkapan ikan pepetek di Teluk Palabuhanratu didapatkan dari standarisasi data jumlah trip alat tangkap payang, bagan, pure seinne dan gillnet dari tahun Upaya penangkapan merupakan masukkan dari kegiatan penangkapan. Ikan pepetek dominan tertangkap oleh alat tangkap payang. Berdasarkan Gambar 26, terlihat bahwa upaya penangkapan berfluktuasi dari tahun ke tahun. Hal tersebut terjadi karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan ekonomi. Faktor lingkungan yang mempengaruhi adalah cuaca dan musim yang mempengaruhi operasi penangkapan ikan. faktor ekonomi, seperti kecenderungan nelayan dalam memperhitungkan untung/ruginya dalam melakukan operasi penangkapan.

69 53 Upaya penangkapan (trip) Tahun Gambar 26. Grafik upaya penangkapan perikanan pepetek di Teluk Palabuhanratu tahun (Ditjen-Tangkap DKP) Apabila dibandingkan antara hasil tangkapan ikan pepetek dengan upaya penangkapan, maka dapat dilihat bahwa pada tahun 2002, 2003 dan 2005 hasil tangkapan menurun seiring dengan meningkatnya upaya tangkap, sebaliknya pada tahun 2010 hasil tangkapan meningkat dengan upaya penangkapan yang rendah. Hubungan yang berbanding terbalik antara hasil tangkapan dan upaya penangkapan disebabkan oleh upaya penangkapan yang dapat menyebabkan menurunnya produksi ikan sehingga kelimpahannya di perairan berkurang Catch per unit effort (CPUE) ikan pepetek Catch per unit ffort (CPUE) diperoleh dengan cara membagi hasil tangkapan ikan pepetek dengan upaya penangkapannya. Hasil tangkapan dalam ton sedangkan upaya penangkapan dalam jumlah trip. Masing-masing alat tangkap (payang, bagan, pure seinne dan gillnet) memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam menangkap ikan pepetek. Maka diperlukan suatu proses standarisasi upaya penangkapan terlebih dahulu sebelum mencari nilai CPUE. Proses untuk mencari nilai upaya penagkapan standar dapat dilihat pada Lampiran 12. Berdasarkan Gambar 27. Terlihat bahwa nilai CPUE ikan pepetek berfluktuasi setiap tahunya. Nilai CPUE tertinggi terjadi pada tahun 2010 sebesar ton/trip sedangkan CPUE terendah terjadi pada tahun 2003 sebesar ton/trip. Peningkatan CPUE pada tahun 2010 menggambarkan pada masa tersebut kelimpahan ikan pepetek cukup banyak serta merupakan musim penangkapan yang

70 54 baik bagi nelayan. Nilai CPUE yang rendah seperti pada tahun 2003 disebabkan kelimpahan ikan cenderung enurun akibat penagkapan pada tahun-tahun sebelumnya. CPUE (ton/trip) Tahun Gambar 27. Grafik CPUE tahunan ikan pepetek di Teluk Palabuhanratau Model bioekonomi stok ikan pepetek Parameter biologi r, q dan K dapat mempengaruhi biomassa, jumlah tangkapan dan upaya penangkapan. Menurut Fauzi (2006) stok akan mencapai keseimbangan maksimum pada tingkat carrying capacity (K) tergantung pada tingkat pertumbuhan intrinsik (r), semakin tinggi nilai r maka semakin cepat carrying capacity dicapai. Koefisien kemampuan alat tangkap (q) diartikan sebagai proporsi stok ikan yang dapat ditangkap oleh satu unit upaya. Bentuk fungsi produksi yang realistik adalah dimana jika upaya ditingkatkan maka produksi juga akan naik dengan kecepatan yang menurun. Berdasarkan hasil analisis menggunakan model Gordon-Schaefer diperoleh parameter biologi (r, q dan K) ikan pepetek yang disajikan pada Tabel 9. Laju pertumbuhan intrinsik (r) ikan pepetek bernilai % per tahun yang berarti bahwa biomassa ikan pepetek tumbuh alami tanpa gangguan dari kegiatan manusia sebesar ton per tahun. Carrying capacity (K) bernilai ton, berarti bahwa kapasitas lingkungan dalam menampung sumberdaya ikan pepetek sebesar ton. Koefisien alat tangkap (q) bernilai berarti

71 55 setiap peningkatan upaya penangkapan akan berpengaruh sebesar ton per tahun dari aspek biologinya (pertumbuhan populasi dan ukuran ikan) Tabel 9. Nilai parameter biologi dan ekonomi yang digunakan dalam perhitungan model bioekonomi ikan pepetek Parameter Nilai p (harga Rp/kg) c (biaya Rp/trip) r (intrinsic growth rate) q (catchability coefficient) K (carrying capacity) Perbandingan hasil tangkapan dan upaya penangkapan terhadap ikan pepetek pada kondisi Maximum Sustinaible Yield (MSY), Maximum Economic Yield (MEY), Aktual dan Open Access mengunakan model Gordon-Schaefer disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Hasil analisis parameter bioekonomi ikan pepetek dengan model Gordon- Schaefer Kondisi Variabel MEY MSY OA Catch (h) Effort (E) TR (Rp) TC (Rp) Rente ekonomi (π) Berdasarkan hasil analisis bioekonomi dapat diketahui bahwa tingkat produksi (h) tertinggi pada kondisi Maximum Sustinaible Yield (MSY) yaitu sebesar ton per tahun, setelah itu secara berturut-turut diikuti oleh tingkat produksi pada kondisi Maximum Economic Yield (MEY) dan Open Access (OA) sebesar ton per tahun dan ton per tahun. Tingkat upaya (effort) optimal dari yang tertinggi sampai dengan yang terendah secara berurut adalah Open Access (OA) sebanyak 886 trip per tahun, Maximum Sustinaible Yield (MSY) sebanyak 507 trip per tahun dan Maximum Economic Yield (MEY) sebanyak 443 trip per tahun. Tingkat rente dari yang tertinggi sampai dengan yang terendah secara berturut adalah Maximum Economic Yield (MEY) sebesar Rp per tahun, Maximum Sustinaible Yield

72 56 (MSY) sebesar Rp per tahun, Open Access (OA) sebesar Rp 0 per tahun. Hasil analisis dari model bioekonomi ini dapat diketahui hasil tangkapan dan upaya optimal ikan pepetek yang dapat mendatangkan rente ekonomi maksimum sehingga dapat ditentukan kapan terjadinya overfishing secara ekonomi maupun secar biologi yang dapat menyebabkan terkurasnya rente ekonomi dengan cara membandingkan upaya dan hasil tangkapan setiap tahunnya dari tahun Berdasarkan perbandingan antara hasil analisis bioekonomi Gordon-Schaefer dengan hasil tangkapan aktual (Lampiran 12 dan Gambar 25), terlihat bahwa pada tahun 2001, 2004, 2005, 2007 dan 2010 hasil tangkapan yang diperoleh telah melebihi hasil tangkapan optimal secara ekonomi dan telah melebihi potensi lestarinya serta pada tahun upaya penangkapan telah melebihi upaya penangkapan optimalnya. Upaya tangkap lebih dapat diartikan sebagai penerapan sejumlah upaya penangkapan yang berlebih terhadap suatu stok ikan dan terbagi ke dalam dua pengertian, yaitu penangkapan berlebihan yang mempengaruhi pertumbuhan dan penangkapan berlebihan yang mempengaruhi rekruitmen. Upaya penangkapan yang telah melebihi upaya optimal sebaiknya dikurangi dengan pembatasan upaya penangkapan ikan pepetek di Teluk Palabuhanratu. Menurut Widodo & Suadi (2006) perikanan dalam kondisi upaya tangkap lebih memiliki beberapa indikasi, diantaranya waktu melaut lebih panjang, lokasi penangkapan lebih jauh, ukuran mata jaring yang kecil, nilai CPUE yang menurun, ukuran ikan semakin mengecil dan biaya penangkapan yang meningkat. Kondisi tangkap lebih di Teluk Palabuhanratu diindikasikan dengan nilai CPUE yang rendah dikarenakan upaya penangkapan yang tinggi tidak diikuti dengan peningkatan produksi. 4.9 Kondisi Perikanan Layur di Teluk Palabuhanratu Berikut ini akan dipaparkan pula mengenai kondisi perikanan layur pada stadia dewasa yang dilihat berdasarkan hasil tangkapan, upaya penangkapan dan CPUE dari ikan layur, yang kemudian akan dianalisis menggunakan pendekatan bioekonomi model Gordon-Schaefer guna untuk mengetahui status pemanfaatan yang terjadi pada ikan layur di Teluk Palabuhanratu. Ikan layur dewasa dipilih untuk dikaji secara bioekonomi karena ikan ini ketika pada stadia larva tertangkap dalam

73 57 bagan, dan ikan layur dewasa memiliki harga yang cukup tinggi dan merupakan salah satu komoditi ekspor Hasil tangkapan ikan layur di Teluk Palabuhanratu Berdasarkan Gambar 28, terlihat bahwa hasil tangkapan ikan layur berfluktuasi dari tahun ke tahun. Hasil tangkapan tertinggi pada tahun 2007 sebanyak ton. Hasil tangkapan terendah terjadi pada tahun 2010 sebanyak ton. Hasil tangkapan dari tahun mengalami peningkatan kemudian menurun pada tahun Penurunan hasil tangkapan pada tahun tersebut terjadi akibat penangkapan yang telah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya. Penurunan hasil tangkapan juga dapat disebabkan oleh faktor cuaca. Selain itu, fluktuasi hasil tangkapan ikan pepetek tiap tahun dipengaruhi oleh jumlah unit penangkapan yang menangkap ikan pepetek yang berfluktuasi setiap tahunnya, musim penangkapan ikan pepetek, dan ketersediaan ikan pepetek pada tahun tersebut. 300 Hasil tangkapan (ton) Tahun Gambar 28. Grafik hasil tangkapan perikanan layur di Teluk Palabuhanratu tahun (Ditjen-Tangkap DKP) Upaya penangkapan ikan layur di Teluk Palabuhanratu Upaya penangkapan ikan layur di Teluk Palabuhanratu didapatkan dari standarisasi data jumlah trip alat tangkap Pancing ulur, rawai, bagan, pureseinne, dan Gillnet dari tahun Berikut ini adalah grafik upaya penangkapan ikan pepetek di Teluk Palabuhanratu (Gambar 29).

74 58 Upaya penangkapan (trip) Tahun Gambar 29. Grafik upaya penangkapan perikanan layur di Teluk Palabuhanratu tahun (Ditjen-Tangkap DKP) Ikan layur dominan tertangkap oleh alat tangkap pancing ulur. Berdasarkan Gambar 27, terlihat bahwa upaya penangkapan berfluktuasi dari tahun ke tahun. Hal tersebut terjadi karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan ekonomi. Faktor lingkungan yang mempengaruhi adalah cuaca dan musim yang mempengaruhi operasi penangkapan ikan. faktor ekonomi, seperti kecenderungan nelayan dalam memperhitungkan untung/ruginya dalam melakukan operasi penangkapan. Apabila dibandingkan antara hasil tangkapan ikan layur dengan upaya penangkapannya, maka dapat dilihat bahwa pada tahun hasil tangkapan meningkat seiring dengan meningkatnya upaya tangkap. Penurunan hasil tangkapan pada tahun 2010 mencapai ton seiring dengan peningkatan upaya tangkap sebanyak 756 trip. Hubungan yang berbanding terbalik pada tahun 2010 antara hasil tangkapan dan upaya penangkapan disebabkan oleh upaya penangkapan yang dapat menyebabkan menurunnya produksi ikan sehingga kelimpahannya di perairan berkurang Catch per unit effort (CPUE) ikan layur Catch per unit ffort (CPUE) diperoleh dengan cara membagi hasil tangkapan ikan pepetek dengan upaya penangkapannya. Hasil tangkapan dalam ton sedangkan upaya penangkapan dalam jumlah trip. Grafik CPUE ikan layur dari tahun disajikan pada Gambar 30.

75 CPUE (ton/trip) Tahun Gambar 30. Grafik CPUE tahunan ikan pepetek di Teluk Palabuhanratau Masing-masing alat angkap Pancing ulur, rawai, bagan, pureseinne, dan Gillnet memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam menangkap ikan layur. Maka diperlukan suatu proses standarisasi upaya penangkapan terlebih dahulu sebelum mencari nilai CPUE. Proses untuk mencari nilai upaya penagnkapan standar dapat dilihat pada Lampiran 13. Berdasarkan Gambar 30. Terlihat bahwa nilai CPUE ikan pepetek berfluktuasi setiap tahunya. Nilai CPUE tertinggi terjadi pada tahun 2009 sebesar ton/trip sedangkan CPUE terendah terjadi pada tahun 2010 sebesar ton/trip. Nilai CPUE yang rendah seperti pada tahun 2010 disebabkan kelimpahan ikan cenderung menurun akibat penagkapan pada tahun-tahun sebelumnya Model bioekonomi stok ikan layur pada Tabel 11. Berikut ini nilai parameter biologi dan ekonomi ikan layur yang disajikan Tabel 11. Nilai parameter biologi dan ekonomi yang digunakan dalam perhitungan model bioekonomi ikan layur Parameter Nilai p (harga Rp/kg) c (biaya Rp/trip) r (intrinsic growth rate) q (catchability coefficient) K (carrying capacity)

76 60 Berdasarkan hasil analisis perhitungan parameter biologi (r, q dan K) menggunakan model Gordon-Schaefer didapatkan laju pertumbuhan intrinsik (r) ikan layur bernilai % per tahun yang berarti bahwa biomassa ikan layur tumbuh alami tanpa adanya gangguan dari kegiatan manusia sebesar ton per tahun. Carrying capacity bernilai ton, berarti kemampuan atau kapasitas lingkungan dalam menampung sumberdaya ikan layur sebesar ton per tahun. Koefisien alat tangkap (q) bernilai yang berarti bahwa setiap peningkatan upaya penangkapan akan berpengaruh sebesar ton per tahun terhadap aspek biologinya seperti pertumbuhan populasi dan ukuran ikan. Berikut ini adalah tabel perbandingan hasil tangkapan dan upaya penangkapan terhadap ikan layur yang terjadi di Teluk Palabuhanratu pada kondisi Maximum Sustinaible Yield (MSY), Maximum Economic Yield (MEY), Aktual dan Open Access (OA) mengunakan model Gordon-Schaefer Tabel 12. Hasil analisis parameter bioekonomi ikan layur dengan model Gordon- Schaefer Kondisi Variabel MEY MSY OA Catch (h) Effort (E) TR (Rp) TC (Rp) Rente ekonomi (π) Berdasarkan hasil analisis bioekonomi dapat diketahui bahwa tingkat produksi (h) ikan layur tertinggi pada kondisi Maximum Sustinaible Yield (MSY) yaitu sebesar ton per tahun, setelah itu secara berturut-turut diikuti oleh tingkat produksi pada kondisi Maximum Economic Yield (MEY) dan Open Access (OA) sebesar ton per tahun dan ton per tahun. Tingkat upaya (effort) optimal dari yang tertinggi sampai dengan yang terendah secara berurut adalah Open Access (OA) sebanyak 1153 trip per tahun, Maximum Sustinaible Yield (MSY) sebanyak 599 trip per tahun dan Maximum Economic Yield (MEY) sebanyak 577 trip per tahun. Tingkat rente dari yang tertinggi sampai dengan yang terendah secara berturut adalah Maximum Economic Yield (MEY) sebesar Rp per tahun, Maximum Sustinaible Yield

77 61 (MSY) sebesar Rp per tahun, Open Access (OA) sebesar Rp 0 per tahun. Hasil analisis dari model bioekonomi ini dapat diketahui hasil tangkapan dan upaya optimal ikan layur yang dapat mendatangkan rente ekonomi maksimum sehingga dapat ditentukan kapan terjadinya overfishing secara ekonomi maupun secar biologi yang dapat menyebabkan terkurasnya rente ekonomi dengan cara membandingkan upaya dan hasil tangkapan setiap tahunnya dari tahun Berdasarkan perbandingan antara hasil analisis bioekonomi Gordon-Schaefer dengan hasil tangkapan aktual (Lampiran 13 dan Gambar 28), terlihat bahwa pada tahun hasil tangkapan yang diperoleh telah melebihi hasil tangkapan optimal secara ekonomi dan telah melebihi potensi lestarinya serta pada tahun 2001, 2002, 2005, 2006, 2007 dan 2010 upaya penangkapan telah melebihi upaya penangkapan optimalnya. Upaya penangkapan yang melebihi upaya optimal sebaiknya dikurangi dengan pembatasan upaya penangkapan ikan layur di Teluk Palabuhanratu. Menurut Widodo & Suadi (2006) perikanan dalam kondisi upaya tangkap lebih memiliki beberapa indikasi, diantaranya waktu melaut lebih panjang, lokasi penangkapan lebih jauh, nilai CPUE yang menurun, ukuran ikan semakin mengecil dan biaya penangkapan yang meningkat. Kondisi tangkap lebih di Teluk Palabuhanratu diindikasikan dengan nilai CPUE yang rendah dikarenakan upaya penangkapan yang tinggi tidak diikuti dengan peningkatan produksi. Pada kondisi open access (Tabel 10 dan Tabel 12) terlihat bahwa upaya penangkapan yang semakin tinggi tidak pula menghasilkan hasil tangkapan yang tinggi, melainkan upaya penangkapan atau cost yang dikeluarkan tidak sebanding dengan hasil atau keuntungan yang didapatkan. Rente yang didapat pada kondisi open access sama dengan nol karena pendapatan yang diperoleh sama dengan biaya yang dikeluarkan untuk melakukan penangkapan, dimana upaya tangkap pada kondisi open access berlebih. Fauzi (2006) mengemukaan dari sudut pandang ilmu ekonomi bahwa, keseimbangan open access menimbulkan terjadinya alokasi sumberdaya yang tidak tepat karena kelebihan faktor produksi (tenaga kerja, modal) yang seharusnya bisa dialokasikan untuk kegiatan ekonomi lainnya yang lebih produktif. Kondisi perikanan yang open access akan menimbulkan kondisi economic

78 62 overfishing dan biological overfishing. Pemanfaatan sumberdaya pada kondisi Maximum Economic Yield (MEY) terlihat lebih bersahabat untuk diterapkan karena mampu menghasilkan rente yang jauh lebih besar dan secara biologi pun sumberdaya ikan dapat tetap lestari. Penangkapan yang intensif dalam mengeksploitasi sumberdaya ikan dapat menurunkan stok biomas pemijahan dan menghasilkan produksi telur yang rendah (Syahailatua 2006) Hubungan Ekologi dan Ekonomi Sumberdaya Larva Ikan Stok sumberdaya ikan dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan, rekruitmen, mortalitas alami dan mortalitas penangkapan. Rekruitmen merupakan masuknya individu baru ke dalam suatu perairan dalam hal ini rekruit yang dimaksud adalah ikan-ikan muda (larva dan juvenil ikan). Larva ikan merupakan stadia awal dalam menjaga kelestarian dari suatu spesies ikan. Larva ikan memiliki fungsi ekologis dalam mempertahankan siklus atau daur hidup dari suatu spesies. Dengan kata lain, larva ikan berfungsi menjaga keseimbangan ekosistem. Teluk Palabuhanratu merupakan daerah yang potensial dalam hal sumberdaya ikan, namun penggunaan alat tangkap dengan ukuran mata jaring yang sangat kecil dapat menyebabkan keseimbangan ekologis menjadi terganggu. Salah satu contoh alat tangkap yang memiliki ukuran mata jaring yang kecil adalah bagan. Bagan merupakan alat tangkap yang banyak dioperasikan di Teluk Palabuhanratau dan jumlahnya mengalami peningkatan dari tahun ketahun. Alat tangkap ini digunakan untuk menangkap ikan-ikan yang berukuran kecil seperti teri, namun bukan hanya ikan-ikan berukuran kecil saja yang tertangkap bahkan larva dan juvenil ikan pun ikut tertangkap dalam pengoperasian alat tangkap ini. Seperti pada Lampiran 1 menunjukan larva ikan yang tertangkap menggunakan alat tangkap bagan. Selain penangkapan dengan bagan di Teluk Palabuhanratu ada suatu tradisi yang disebut ngala impun yang merupakan tradisi menangkap ikan impun. Ikan yang banyak tertangkap yaitu larva dan juvenile ikan dari jenis Sicyopterus sp., Ambassis vachelli, Anguilla sp. dan Plathycephalus sp. Tradisi ini dilakukan baik oleh masyarakat sekitar maupun nelayan dan hasil tangkapan banyak digunakan untuk dikonsumsi sendiri ataupun dijual. Harga impun ini pun cukup tinggi mencapai Rp /kg (wawancara).

79 63 Penggunaan alat tangkap dengan ukuran mata jaring yang kecil dan tradisi masyarakat dalam menangkap ikan impun dapat mengganggu keseimbangan ekologis, karena ikan-ikan ini tertangkap pada stadia larva hingga juvenil. Jika hal ini terjadi terus menerus dapat menyebabkan terjadiya penurunan populasi dari spesies ikan-ikan tersebut. Ikan-ikan tersebut seharusnya dibiarkan tumbuh menjadi dewasa dan melakukan pemijahan sehingga ada rekruit yang masuk ke dalam perairan untuk menjaga kelestarian dari spesies itu sendiri. Secara ekonomi pun larva dan juvenil ikan tidak sebanding dengan ikan dewasa ketika dijual, yang dapat dilihat pada Tabel 7 dan 8. Berdasarkan hal tersebut dan diacu oleh Pauly et al. (2002) in Wiyono (2006) kondisi sumberdaya ikan di perairan Teluk Palabuhanratu aspek ekonomi terlihat menjadi lebih dominan dibandingkan dengan aspek biologi maupun ekologi. Hal ini akan memicu kerusakan dan kepunahan dari sumberdaya ikan. Oleh karena itu, permasalahan lingkungan hidup pada hakekatnya adalah permasalah ekologi. Ekologi dan ekonomi mempunyai persamaan yaitu sama-sama mempunyai alat transaksi. Alat transaksi dalam ekonomi adalah uang, sedangkan dalam ekologi alat traksaksi yang digunakan adalah materi (seperti sumberdaya ikan). Oleh karena itu, ekologi perikanan dapat disebut sebagai ekonomi alam dari suatu sumberdaya ikan. Ekonomi mempelajari keinginan manusia untuk memenuhi kebutuhannya dan lingkungan dikatakan dalam keseimbangan ekologis jika proses aliran energi dan materi tidak terganggu Pengelolaan Sumberdaya Larva dan Juvenil Ikan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa ada keterkaitan antara larva ikan yang dieksploitasi terhadap keberlangsungan stok sumberdaya ikan. Sebagai contoh adalah ikan pepetek dan ikan layur yang merupakan salah satu ikan yang pada stadia larva dan juvenilnya sudah tertangkap dan meupakan ikan ekonomis penting, dimana ikan layur merupakan komoditas ekspor. dan setelah dikaji menggunakan model bioekonomi menunjukkan bahwa kedua ikan ini telah mengalami overfishing ditinjau dari upaya penangkapan dan hasil tangkapan dari tahun Penelitian ini menunjukan bahwa eksploitasi yang terjadi bukan hanya pada ikan dewasa melainkan pada ikan stadia larva dan juvenil. Hal ini akan dapat menyebabkan penurunan stok dari suatu sumberdaya ikan, bahkan jika hal ini

80 64 terjadi secara terus menerus tanpa adanya pengendalian akan menyebabkan kepunahan terhadap sumberdaya ikan tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya pengelolaan terhadap sumberdaya ikan baik larva maupun ikan dewasa, dimana keduanya memiliki keterkaitan satu sama lain dalam menjaga kelestariannya. H π TC π E MEY E MEY E MSY E MSY E OA E OA Gambar 31. Pergeseran kurva produksi Effort Penglolaan terhadap sumberdaya larva dan juvenil ikan sangatlah penting, karena dengan mengelola larva dan juvenil ikan untuk tidak dieksploitasi, overfishing sebagai contoh yang terjadi pada ikan pepetek dan layur dapat tertanggulangi secara alami. Secara alami larva dan juvenil ikan akan tumbuh menjadi dewasa yang kemudian akan diikuti oleh peningkatan produksi dan pergeseran titik keseimbangan MEY, MSY dan OA. Gambar 31 menunjukan pergeseran kurva produksi, dimana garis parabola merah yang menunjukan peningkatan produksi dapat terjadi jika larva dan juvenil ikan tidak dieksploitasi. Berdasarkan gambar tersebut dapat terlihat pula bahwa bukan hanya produksinya saja yang meningkat tetapi titik keseimbangan Maximum Economic Yield (MEY), Maximum Sustainable Yield (MSY), dan Open acces (OA) juga akan bergeser. Hal ini dapat terjadi dengan asumsi bahwa kondisi lingkungan, harga, biaya dan stoknya tetap. Oleh karena itu, overfishing yang telah terjadi akan terhindar secara alami

81 65 dengan terjadinya pergeseran titik keseimbangan E MEY dan E MSY menjadi E MEY dan E MSY tersebut. Oleh karena itulah, pengelolaan terhadap sumberdaya larva dan juvenil ikan sangat penting dilakukan agar sumberdaya ikan dapat tetap lestari dan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Adapun rekomendasi pengelolaan yang dapat ditawarkan adalah : 1. Penyadaran kepada masyarakat sekitar dan nelayan untuk tidak menangkap larva dan juvenil ikan. 2. Tingginya tingkat konektivitas antara perairan tawar dan laut menunjukkan bahwa perlunya pengelolaan secara terpadu untuk melindungi habitat-habitat yang dijadikan sebagai spawning ground dan nursery ground bagi larva dan juvenil ikan. 3. Mengatur perizinan alat tangkap yang boleh beroperasi di Teluk Palabuhanratu dengan pengaturan ukuran mata jaring, guna mencegah terjadinya penangkapan terhadap ikan-ikan yang masih dalam sadia larva dan juvenil. 4. Pengendalian jumlah upaya tangkap meliputi jumlah kapal, jumlah alat tangkap dan jumlah trip yang diperbolehkan beroperasi di Teluk Palabuhanratu, guna meminimalisir terjadinya tangkap lebih terhadap sumberdaya ikan. 5. Pengendalian hasil tangkapan yang diperbolehkan agar sumberdaya ikan dapat tetap lestari dan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.

82 66 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 1. Jenis larva ikan yang ditemukan di Perairan Teluk Palabuhanratu selama periode penelitian dari bulan Maret-Juli 2011 terdiri dari 36 jenis yang termasuk dalam 28 famili dan 10 ordo yang meliputi genus Sicyopterus, Ambassis, Secutor, Cynoglosus, Microcanthus, Polydactylus, Archamia, Megalops, Anguilla, Caranx, Kuhlia, Pomadasys, Tetraroge, Terapon, Selaroides, Selar, Gempylus, Lepturacanthus, Lutjanus, Diodon, Tetraodon, Mugil, Sardinella, Sillago, Muraenichthys, Johnius, Psettodes dan Trachyrhamphus. 2. Pengoperasian alat tangkap bagan yang tidak selektif seperti bagan dengan mesh size 0.3 cm menyebabkan ikan dalam stadia larva dan juvenil ikut tertangkap seperti larva ikan pepetek dan ikan layur. Hal ini dapat membahayakan kelangsungan hidup dari suatu spesies 3. Tradisi ngala impun dapat memutuskan perkembangbiakan suatu spesies, karena impun ini merupakan sumberdaya ikan dalam stadia larva dan juvenil. Jenis yang dominan tertangkap adalah Sicyopterus sp. dan Ambassis vachelli dan Anguilla sp. 4. Harga ikan dewasa memiliki keuntungan yang lebih besar daripada stadia larva dan juvenil ikan 5. Berdasarkanan analisisi model bioekonomi Gordon-Schaefer menunjukan bahwa perikanan pepetek dan layur di perairan Teluk Palabuhanratu sudah mengalami overfishing sehingga perlu memperbaiki kondisi pengelolan sumber daya perikanan pepetek dan layur dengan pengelolaan yang optimal melalui penggunaan input yang optimal. 5.2 Saran Diperlukan adanya penelitian dalam kurun waktu 1 tahun untuk mengetahui musim pemijahan ikan-ikan yang berada di Teluk Palabuhanratu, sehingga dapat diketahui musim penangkapan yang diperbolehkan untuk menjamin kelestarian dari sumberdaya ikan.

83 67 DAFTAR PUSTAKA Alfatriatussulus Sebaran molusca (Bivalvia dan Gastropoda) di muara Sungai Cimandiri, Teluk Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat [skripsi]. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Allen G Marine fishes of south-east asia. Singapore: Periplus Editions (HK) Ltd. Ambarwati DVS. Studi biologi reproduksi ikan layur (Superfamili Trichiuroidae) di Perairan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Anwar N Karakteristik fisika kimia perairan dan kaitannya dengan distribusi serta kelimpahan larva ikan di Teluk Palabuhanratu [tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Basmi J Planktonologi: Plankton sebagai bioindikator kulaitas air. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakutas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Insttitut Pertanian Bogor. v + 60 p. Chu WS, JP Wang, YY Hou, YT Ueng and PH Chu Length-weight relationships for fishes off the southwestern coast of Taiwan. Journal of biotechnology vol. 10 (19) Cushing DH Fisheries biologi a study in population dynamics. The University of Wisconsin Press. [Ditjen Tangkap-DKP] Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Dinas Kelautan dan Perikanan Statistik perikanan tahun 2010 Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. PPN Palabuhanratu. Sukabumi. Effendie MI Biologi perikanan. Jakarta: Yayasan Pustaka Nusatama. iii + 57 p. Fauzi A Ekonomi suberdaya alam dan lingkungan : Teori dan aplikasi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. xx p. Fischer W and PJP Whitehead FAO species identification sheets for fishery purposes. Eastern Indian Ocean (Fishing area 57) and Western Central Pasific (fishing area 71). Italy: Fishery Resources Survey and Evaluation Service, Fishery Resources and Environment Division. Rome: Food and Agriculture Organization of the United Nation. Vol: I-IV. Gerlach G, J Atema, MJ Kingsford, KP Black, VM Sims Smelling home can prevent dispersal of reef fish larvae. Edition: January Vol: 104 No.3. Genisa A S Kekayaan jenis ikan-ikan dasar di Muara Sungai Mamberamo, Irian Jaya. Balitbang Biologi Laut. Oseanologi LIPI. Jakarta.

84 68 Gordon HS The economic theory of a common property resources: The Fishery. Journal Political Economic, 62 : Hartami P Analisis wilayah perairan Teluk Palabuhanratu untuk kawasan budidaya perikanan sistem keramba jaring apung [tesis]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Hukom F D Ekostruktur dan distribusi spasial ikan karang (famili Labridae) di perairan Teluk Ambon. Lok. Pengelolaan dan Iptek Terumbu Karang Indonesia Houde ED Differences between marine and freshwater fish larvae: implications for recruitment. International Counsil for the Exploration of the sea. ICES J. mar. Sci. 511: Jenkins A P& David B Freshwater fishes of Tetepare Island. Western province Solomon Island. Wetlands international. Oseania, Canberra. 35 p. Laily N Identifikasi jenis-jenis ikan teleostei yang tertangkap nelayan di wilayah perairan pesisir Kota Semarang [skripsi] Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang. Leis and E. Carson The larva of Indo-Pacific coastal fishes: An identification guide to marine fish larvae. Australia: Brill. xix p. MagdalenaAF Dinamika stok ikan teri Stolephorus indicus (Van Hasselt, 1983) di Teluk Banten Kabupaten Serang, Provinsi Banten [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor Mudzakir AK Analisi potensi dan upaya pengembangan sumberdaya perikanan Jawa Tengah. Laporan Hasil Penelitian. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro. Semarang Muliawarman A Pendugaan stok ikan pepetek (Leiognathidae) dengan menggunakan metode SWEPT AREA di perairan Teluk Lampung [skripsi]. Program Studi Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Nikijuluw VPH Rezim pengelolaan sumberdaya perikanan. Pustaka Cidesindo. Jakarta Selatan. xv+254 p. Nontji A Laut nusantara. Jakarta: Djambatan. viii+372p. Nursid M Distribusi dan kelimpahan larva ikan di estuary Segara Anakan, Cilacap Jawa Tengah [tesis]. Program Pascasarjana Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Okiyama M An atlas of the early stage fishes in Japan. Tokai University Press. Olii AH Kajian faktor fisik yang mempengaruhi distribusi ichthyoplankton (awal daur hidup ikan). Pengantar Falsafah Sains. Program Pascasarjana/ S3, Institut Pertanian Bogor.

85 69 Pariwono JI, M Eidman, S Rahardjo, M Purba, T Partono, R Widodo, U Djuariah JH Hutapea Studi Up welling di perairan Selatan Jawa. Bogor: Fakultas Perikanan IPB. Purwanto Bioekonomi penangkapan ikan : Model Statik. Jurnal Oseana. XVII, Nomor 2: Ruslan D Model analisis ekonomi dan optimasi pengusahaan sumberdaya perikanan. Jurnal Sistem Teknik Industri, Vol 6, Nomor 3. Sharif A Studi dinamika stok ikan layu (Lepturacanthus savala) di Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat [skripsi]. DepartemenManajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Sembiring H Keanekaragaman dan distribusi udang serta kaitannya dengan faktor fisik kimia di Perairan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang [tesis]. Sekolah Pascasarjana Biologi. Universitas Sumatera Utara. Medan Sjafei DS, MF Rahardjo, R Affandi, M Brojo, Sulistiono Fisiologi ikan II reproduksi ikan. Departemen Menejemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Sulistiono, MF Rahardjo, dan MI Effendie Pengantar iktioplankton. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. xii p. Syahailatua A Penelitian Iktioplankton Perlu dan Penting. Bidang Sumberdaya Laut vol XXXI.. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Jakarta Wahyudin Y et al Alokasi optimum sumberdaya perikanan di Teluk Palabuhanratu [makalah]. Bogor: Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Widodo J & Suadi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Gajah Mada University Press. xv+252p. Wiyono ES Mengapa Sebagian Besar Perikanan Dunia Overfishing? (Suatu Telaah Manajemen Perikanan Konvensional). Jurnal Inovasi vol.6/xviii Yustina Keanekaragaman jenis ikan di sepanjang perairan Sungai Rangau, Riau Sumatra. Jurnal Natur Indonesia 4:1-14. Program Studi Biologi PFMIPA, FKIP, Universitas Riau.

86 70 70

87 71 Lampiran 1. Komposisi hasil tangkapan larva dan juvenil ikan serta kelimpahan spesies (ind/m³) yang ditemukan selama penelitian Muara arah sungai Lokasi Jenis Komposisi (ekor) 30-Apr Mei-11 3-Jul-11 Kelimpahan (ind/m2) Cimaja Sicyopterus sp Platycephalus sp Microchantus sp Citiis Trachyrhamphus longirostris Kuhlia marginata Sicyopterus sp Megalops cyprinoides Megalops cyprinoides Mugilidae Caranx sp Congridae Citepus Sicyopterus sp Cynoglosus sp Microchantus sp Sardinella sp Sillago sp Platycephalus sp Sicyopterus sp Mugilidae Sukawayana Gobiidae Ambassis vachelli JUMLAH

88 72 Lampiran 1. (lanjutan) Muara arah laut Lokasi Cimaja Citiis Jenis Komposisi (ekor) 30-Apr Mei-11 3-Jul-11 Kelimpahan (ind/m2) Polydactylus sp Terapon theraps Secutor indicius Gobiidae Polydactylus nigripinnus Archamia fucata Cynoglosus sp Terapon theraps Polydactylus sp Serranidae Secutor indicius Cynoglosus sp Diodon Sciaenidae Archamia fucata Anguilla sp Kuhlia Pomadasys kaakan

89 73 Lampiran 1. (lanjutan) Muara arah laut Lokasi Citiis Citepus Sukawayana Jenis Komposisi (ekor) 30-Apr Mei-11 3-Jul-11 Kelimpahan (ind/m2) Polydactylus nigripinnus Tetraroge barbata Megalops cyprinoides Muraenichthys gymnotus Sicyopterus sp Caranx sp Secutor indicius Cynoglossus sp Serranidae Secutor indicius Sardinella sp Tetraroge barbata Johnius belangerii Cynoglosus sp Anguilla sp Sicyopterussp JUMLAH

90 74 Lampiran 1. (lanjutan) Bagan Komposisi (ekor) Lokasi Jenis 1-Apr Apr Mei-11 3-Jul-11 Cimandiri Leiognathus sp Cikeueus Citepus Sukawayana Leiognathus sp Microchantus Psettodes erumei Lepturacanthus sp Secutor indicius Gobiidae Anguilla sp Secutor indicius Mugilidae Lutjanidae Sicyopterus sp Tetraodon Caranx sp Anguilla sp Selaroides leptolepis Sardinella gibbosa Gempylus sp Lepturacanthus sp Ambassis vachelli Secutor indicius Sicyopterus sp JUMLAH 1546 JUMLAH TOTAL LARVA DAN JUVENIL IKAN 5585 Komposisi hasil tangkapan non-larva ikan Muara arah laut Bagan Lokasi Cimaja Citiis Jenis Komposisi (ekor) 1-Apr Apr Mei-11 3-Jul-11 Engraulididae S. cyanocephalus S. microcephalus S. longifilis Engraulididae S. cyanocephalus Citepus Engraulididae Sukawayana Engraulididae Cimandiri Engraulididae Cikeueus Engraulididae

91 75 Lampiran 1. (lanjutan) Lokasi Jenis Komposisi (ekor) 1-Apr Apr Mei-11 3-Jul-11 Citepus Engraulididae Sukawayana Engraulididae JUMLAH 6856 Komposisi hasil tangkapan larva non-ikan Lokasi Jenis Komposisi (ekor) 1-Apr Apr Mei-11 3-Jul-11 Laut sekitar muara sungai Cimaja Udang Bagan Citepus Udang JUMLAH

92 76 Lampiran 2. Kepadatan spesies (ind/m²) di setiap lokasi penelitian Jenis Muara Sungai Laut Bagan Subjumlah Subjumlah I II III IV I II III IV V VI III IV Subjumlah Polydactylus sp Terapon theraps Secutor indicius Gobiidae Polydactylus nigripinus Archamia fucata Cynoglossus sp Serranidae Diodon Sciaenidae Anguilla sp Kuhlia sp Pomadasys kaakan Tetraroge barbata Megalops cyprinoides Leiognathus sp Psettodes erumei Lepturacanthus sp Mugil Lutjanus ruselli Tetraodon Caranx sp Jumlah total 76

93 77 Lampiran 2. (lanjutan) Jenis Muara Sungai Laut Bagan I II III IV Subjumlah I II III IV Subjumlah V VI III IV Subjumlah Lutjanidae Gempylus sp Selaroides sp Caranx sp Sardinella sp Johnius belangerii Muraenichthys gymnotus Sicyopterus sp Platycephalus sp Microcanthus sp Trachyrhampus longirostris Kuhlia marginata Mugilidae Caranx sp Congridae Sardinella sp Sillago sp Ambassis vachelli TOTAL Jumlah total Keterangan : I. Cimaja, II. Citiis, III. Citepus, IV. Sukawayana, V. Cikeueus, VI. Cimandiri 77

94 78 Lampiran 3. Komunitas larva dan juvenil ikan yang ditemukan di Teluk Palabuhanratu selama penelitian Spesies Genus Famili Ordo Nama Indonesia Sicyopterus sp. Sicyopterus Gobiidae Perciformes Menga - - Platychepalidae Scorpaniformes Mayangan Ambassis vachelli Ambassis Ambassidae Perciformes Secutor indicius Secutor Leiognathidae Percomorphi Pepetek Cynoglosus sp. Cynoglosus Cynoglossidae Pleuronectiformes Lidah Microcanthus sp. Microcanthus Microcanthidae Perciformes Polydactylus nigripinnus Polydactylus Polynemidae Perciformes Archamia fucata Archamia Apogonidae Perciformes Megalops cyprinoides Megalops Elopidae Elopiformes - - Gobiidae Perciformes Impun Anguilla sp. Anguilla Anguilidae Anguiliformes Sidat Caranx sp. Caranx Carangidae Perciformes Selar Kuhlia marginata Kuhlia Kuhlidae Perciformes Kerung polydactylus sp. polydactylus Polynemidae Perciformes Pomadasys kaakan Pomadasys Haemulidae Perciformes - - Serranidae Perciformes Tetraroge barbata Tetraroge Tetrarogidae Scorpaeniformes Terapon theraps Terapon Terapontidae Perciformes - - Congridae Anguiliformes Sidat - - Ophichthidae Anguiliformes Sardinella sp. Sardinella Clupeidae Clupeiformes Sardin - - Mugilidae Mugiliformes Blanak - Mugil Mugilidae Mugiliformes Blanak Mugil sp. Mugil Mugilidae Mugiliformes Blanak Sillago sp. Sillago Sillaginidae Perciformes Muraenichthys gymnotus Muraenichthys Ophichthidae Anguiliformes Kuhlia sp. Kuhlia Kuhlidae Perciformes - - Sciaenidae Sardinella gibbosa Sardinella Clupeidae Clupeiformes Sardin Johnius belangerii Johnius Sciaenidae Perciformes Tetet Trachyrhamphus longirostris Trachyrhamphus Shyngnathidae Syngnathiformes Diodon sp. Diodon Diodontidae Tetraodontiformes Buntal Polydactylus Polydactylus Polynemidae Perciformes Tetraodon sp. Tetraodon Tetraodontidae Tetraodontiformes Psettodes erumei Psettodes Psettodidae Pleuronectiformes Sebelah Lepturachantus sp. Lepturachantus Trichiuridae Percomorphi Layur Lutjanus ruselli Lutjanus Lutjanidae Perciformes Kakap Gempylus sp. Gempylus Trichiuridae Percomorphi Layur Anguilla sp Anguilla Anguilidae Anguiliformes Sidat 78

95 79 Lampiran 4. Koordinat stasiun pengambilan contoh di Teluk Palabuhanratu Muara Cimaja arah laut Sampling ke Stasiun Posisi Stasiun 3 S 6 56'58.20" E '12.90" 3 4 S 6 56'58.02" E '13.30" 5 S 6 56'58.00" E '13.40" 3 S 6 56'57.70" E '21.30" 4 4 S 6 56'57.40" E '17.30" 5 S 6 56'58.40" E '16.80" 3 S 6 56'58.10" E '16.30" 5 4 S 6 56'57.70" E '07.20" 5 S 6 56'58.40" E '14.40" Muara Citiis arah laut Sampling ke Stasiun Posisi Stasiun 1 S 6 56'58.00" E '20.02" 3 2 S 6 56'57.80" E '1.50" 3 S 6 56'58.30" E '33.70" 1 S 6 56'57.60" E '23.80" 4 2 S 6 56'57.90" E '27.20" 3 S 6 56'58.10" E '19.90" 1 S 6 56'57.70" E '31.20" 5 2 S 6 56'58.30" E '28.40" 3 S 6 56'58.50" E '24.00" Muara Citepus arah laut Sampling ke Stasiun Posisi Stasiun 1 S 6 o 58'31.34" E 106 o 31'30.00" 1 2 S 6 o 58'49.80" E 106 o 31'06.48" 3 S 6 o 58'41.09" E 106 o 31'38.20" 1 S 6 o 58'03.09" E 106 o 31'32.80" 2 2 S 6 o 58'29.82" E 106 o 31'56.00" 3 S 6 o 58'33.96" E 106 o 31'05.04" 1 S 6 o 58'37.56" E 106 o 31'27.40" 3 2 S 6 o 58'32.52" E 106 o 31'25.30" 3 S 6 o 58'03.00" E 106 o 31'27.40" 1 S 6 o 57'59.22" E 106 o 31'07.92" 4 2 S 6 o 57'59.04" E 106 o 31'01.44" 3 S 6 o 57'58.58" E 106 o 31'09.36" 1 S 6 o 58'34.32" E 106 o 31'29.20" 5 2 S 6 o 58'39.72" E 106 o 31'36.80" 3 S 6 o 58'37.56" E 106 o 31'33.60" 79

96 80 Lampiran 4. (lanjutan) Muara Sukawayana arah laut Sampling ke Stasiun Posisi Stasiun 1 S 6 o 57'49.50" E 106 o 30'30.00" 1 2 S 6 o 57'49.57" E 106 o 30'46.48" 3 S 6 o 58'49.60" E 106 o 30'55.12" 1 S 6 o 58'49.90" E 106 o 30'67.80" 2 2 S 6 o 58'50.03" E 106 o 30'73.00" 3 S 6 o 57'50.10" E 106 o 30'80.04" 1 S 6 o 57'50.14" E 106 o 29'06.48" 3 2 S 6 o 57'50'28 E 106 o 29'07.56" 3 S 6 o 57'50'35 E 106 o 29'39.00" 1 S 6 o " E 106 o 30'33.40" 4 2 S 6 o 57'49.32" E 106 o 30'38.12" 3 S 6 o 57'49.46" E 106 o 30'20.60" 1 S 6 o 57'49.42" E 106 o 30'21.48" 5 2 S 6 o 57'49.58" E 106 o 30'21.50" 3 S 6 o 57'49.22" E 106 o 30'23.04" Muara Sungai Posisi Stasiun Cimaja S 6 56'56.90" E '29.20" Citiis S 6 56'56.30" E '28.50" Citepus S 6 o 57'70.00" E 106 o 32'00.00" Sukawayana S 6 o 57'48.24" E 106 o 31'00.00" 80

97 81 Lampiran 5. Data panjang, tinggi dan berat larva dan juvenil ikan Spesies/ family Panjang (cm) Tinggi (cm) Berat (gr) Polydactylus 4,9 1 0,7855 Terapon theraps 5,5 1,8 31, ,4 0, ,7 0,1674 Polydactylus 3,9 0,7 0,2218 nigripinus 3,9 0,7 0,2218 Kuhlia 2,3 0,4 0,1181 2,3 0,5 0,1355 Diodon 3 1,7 0,3296 2,5 0,8 0,2856 2,3 0,9 0,1057 2,5 1 0,1643 1,9 0,6 0,0057 3,7 1,5 0,6683 3,5 1,5 0,6816 3,6 1,5 0,6811 2,7 1,1 0,3109 2,5 1 0,2043 2,4 0,9 0, Secutor indicius ,5 1 0,2108 2,2 0,9 0,16 2,5 1 0,1798 2,4 0,9 0,1617 2,1 0,9 0,1237 2,1 0,8 0,1155 2,3 0,9 0,178 2,5 1 0,2019 2,6 1,1 0,2602 2,7 1,2 0,3079 3,7 1,6 0,6829 2,4 1 0,1547 2,4 0,9 0,1538 2,8 1,2 0,2861 3,8 1,2 0,5023 2,3 1 0, ,7 0,

98 82 Lampiran 5. (lanjutan) Spesies/ family Panjang (cm) Tinggi (cm) Berat (gr) 3,5 0,5 0, Gobiidae ,4 0,2166 4,8 1,5 11,038 5,2 1,5 14,943 4,6 1,3 0,9385 Archamia fucata 2,4 0,6 0,0923 2,6 0,7 0,1608 3,2 1 0,3344 4,8 1,4 0, Cynoglosus sp ,5 0,0409 2,5 0,6 0,0671 Johnidae 4,3 1 0, ,7 0,2005 S. microcephalus 6,8 1 33,129 S. longifilis 8 1,2 24,783 S. cyanocephalus 5,5 1,2 1,887 T.longirostris 8,5 0,2 0,147 Kuhlia marginata 5,8 1,8 2,309 Sillago Serranidae Congridae ,7 1,334 Lepturacanthus 5,5 0,3 0, ,2 0,0962 1,2 0,4 0, ,1 1 1,834 Anguilla sp ,3 0,3 0,0328 1,2 0,3 0,0262 1,5 0,3 0,0206 Microchantus sp. 1,4 0,3 0,0191 1,8 0,2 0,

99 83 Lampiran 5. (lanjutan) Spesies/ family Panjang (cm) Tinggi (cm) Berat (gr) 4,2 0,2 0,0273 M. cyprinoides 2,5 0,4 0, Psettodes erumei 2,5 1 0,0779 5,5 0,9 0, ,4 0,0091 Caranx sp ,9 0,2945 4,5 1,5 12,849 Pomadasys maculatum 3,1 1 0,3977 2,9 1 0, ,8 0, ,5 0,0926 Tetraroge barbata ,5 0,0926 Muraenichthys gymnotus 14,5 0,8 1, ,4 0, Ambassis sp Johnius belangerii Mugilidae Platychephalidae Sardinella sp

100 84 Lampiran 5. (lanjutan) Spesies/ family Panjang (cm) Tinggi (cm) Berat (gr) Sicyopterus sp

101 85 Lampiran 6. Gambar larva dan juvenil ikan yang ditemukan di Teluk Palabuhanratu Sicyopterus sp. Larva/juvenil Ikan Dewasa Ambassis vachelli Secutor indicius Leiognathus sp. Cynoglossus sp. Psettodes erumei Microcanthus sp. Lepturacanthus sp. Gempylus sp. 85

102 86 Lampiran 6. (lanjutan) Larva/juvenil Megalops cyprinoides Ikan Dewasa Anguilla sp. Polydactylus nigripinus Polydactylus sp. Archamia fucata Kuhlia sp. Kuhlia marginata Pomadasys kaakan Tetraroge barbata 86

103 87 Lampiran 6. (lanjutan) Terapon theraps Larva/juvenil Ikan Dewasa Sardinella sp. Mugilidae Sillago sp. Muraenichtys gymnotus Johnius belangeri Tetraodon sp. Diodon sp. Trachyrhamphus longirostris 87

104 88 Lampiran 6. (lanjutan) Platycephalus sp. Larva/juvenil Ikan Dewasa Serranidae Gobiidae Seciaenidae Congridae Ophichthydae Lutjanidae Caranx sp. 88

105 89 Lampiran 7. Alat dan bahan Perahu Congkreng Life jacket Timbangan digital Alat bedah Sirib Kamera digital Net Larvae GPS Buku identifikasi Dino-Lite Waring Sirib Alat tulis Lampu senter Larva Ikan 89

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Teluk Palabuhanratu

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Teluk Palabuhanratu 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Teluk Palabuhanratu Teluk Palabuhanratu terletak di Pantai Selatan Jawa Barat, termasuk dalam wilayah Kabupaten Sukabumi. Perairan Teluk Palabuhanratu terletak pada

Lebih terperinci

3. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan

3. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 18 3. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di muara arah laut dan muara arah sungai Cimaja, Citiis, Citepus dan Sukawayana yang mengalir menuju Teluk Palabuhanratu, Kabupaten

Lebih terperinci

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di muara Sungai Citepus, Kecamatan Palabuhanratu dan muara Sungai Sukawayana, Kecamatan Cikakak, Teluk Palabuhanratu, Kabupaten

Lebih terperinci

KAJIAN POLA PERTUMBUHAN DAN CIRI MORFOMETRIK-MERISTIK BEBERAPA SPESIES IKAN LAYUR

KAJIAN POLA PERTUMBUHAN DAN CIRI MORFOMETRIK-MERISTIK BEBERAPA SPESIES IKAN LAYUR KAJIAN POLA PERTUMBUHAN DAN CIRI MORFOMETRIK-MERISTIK BEBERAPA SPESIES IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT Oleh : IRWAN NUR WIDIYANTO C24104077 SKRIPSI

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Perikanan Layur di PPN Palabuhanratu Secara geografis, Teluk Palabuhanratu ini terletak di kawasan Samudera Hindia pada posisi 106 10-106 30 BT dan 6 50-7 30 LS dengan

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU i ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU DESI HARMIYATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan layur (Trichiurus lepturus) (Sumber :

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan layur (Trichiurus lepturus) (Sumber : 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Layur (Tricihurus lepturus) Layur (Trichiurus spp.) merupakan ikan laut yang mudah dikenal dari bentuknya yang panjang dan ramping. Ikan ini tersebar di banyak perairan dunia.

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 12 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret - Juli 2011 dalam selang waktu 1 bulan sekali. Pengambilan contoh dilakukan sebanyak 5 kali (19 Maret

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan Teluk Banten Perairan Karangantu berada di sekitar Teluk Banten yang secara geografis terletak pada 5 0 49 45 LS sampai dengan 6 0 02

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 0 I. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian mengenai dinamika stok ikan peperek (Leiognathus spp.) dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi

Lebih terperinci

MODEL PRODUKSI SURPLUS UNTUK PENGELOLAAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN

MODEL PRODUKSI SURPLUS UNTUK PENGELOLAAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN i MODEL PRODUKSI SURPLUS UNTUK PENGELOLAAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN NURALIM PASISINGI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

VI. ANALISIS BIOEKONOMI

VI. ANALISIS BIOEKONOMI 111 VI. ANALISIS BIOEKONOMI 6.1 Sumberdaya Perikanan Pelagis 6.1.1 Produksi dan Upaya Penangkapan Data produksi yang digunakan dalam perhitungan analisis bioekonomi adalah seluruh produksi ikan yang ditangkap

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata kedalaman

Lebih terperinci

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali didasarkan atas kelompok ikan Pelagis Kecil, Pelagis Besar, Demersal

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Perairan Palabuhanratu terletak di sebelah selatan Jawa Barat, daerah ini merupakan salah satu daerah perikanan yang potensial di Jawa

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Partisipatif Daerah Penangkapan Ikan kurisi dapat ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang dan jaring rampus. Kapal dengan alat tangkap cantrang memiliki

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR 1 PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR (Trichiurus sp.) DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROPINSI JAWA BARAT Adnan Sharif, Silfia Syakila, Widya Dharma Lubayasari Departemen Manajemen Sumberdaya

Lebih terperinci

JENIS, KELIMPAHAN, DAN DISTRIBUSI LARVA DAN JUVENIL IKAN DI MUARA SUNGAI CIMAJA DAN CITIIS, TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT

JENIS, KELIMPAHAN, DAN DISTRIBUSI LARVA DAN JUVENIL IKAN DI MUARA SUNGAI CIMAJA DAN CITIIS, TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT i JENIS, KELIMPAHAN, DAN DISTRIBUSI LARVA DAN JUVENIL IKAN DI MUARA SUNGAI CIMAJA DAN CITIIS, TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT NINA RATNA FURRY SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH INTAN KUSUMA JAYANTI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

KARAKTERISASI ALAT PENANGKAP IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANTAI UTARA JAWA BARAT FIFIANA ALAM SARI SKRIPSI

KARAKTERISASI ALAT PENANGKAP IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANTAI UTARA JAWA BARAT FIFIANA ALAM SARI SKRIPSI KARAKTERISASI ALAT PENANGKAP IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANTAI UTARA JAWA BARAT FIFIANA ALAM SARI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) (Gambar 1) merupakan salah satu ikan pelagis kecil yang sangat potensial

Lebih terperinci

2.1. Ikan Kurau. Klasiflkasi ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) menurut. Saanin (1984) termasuk Phylum chordata, Class Actinopterygii, Genus

2.1. Ikan Kurau. Klasiflkasi ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) menurut. Saanin (1984) termasuk Phylum chordata, Class Actinopterygii, Genus 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kurau Klasiflkasi ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) menurut Saanin (1984) termasuk Phylum chordata, Class Actinopterygii, Genus eleutheronema dan Species Eleutheronema

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Common property & open acces. Ekonomis & Ekologis Penting. Dieksploitasi tanpa batas

PENDAHULUAN. Common property & open acces. Ekonomis & Ekologis Penting. Dieksploitasi tanpa batas 30 mm 60 mm PENDAHULUAN Ekonomis & Ekologis Penting R. kanagurta (kembung lelaki) ~ Genus Rastrelliger spp. produksi tertinggi di Provinsi Banten, 4.856,7 ton pada tahun 2013, menurun 2.5% dari tahun 2010-2013

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teluk Palabuhanratu

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teluk Palabuhanratu 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teluk Palabuhanratu Teluk Palabuhanratu terletak di pantai selatan Jawa Barat, Kabupaten Sukabumi dengan posisi geografis 6 o 57-7 o 07 LS dan 106 o 22-106 o 23 BT dan mempunyai

Lebih terperinci

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

JENIS, KELIMPAHAN, DAN DISTRIBUSI LARVA DAN JUVENIL IKAN DI MUARA SUNGAI CITEPUS DAN SUKAWAYANA TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT

JENIS, KELIMPAHAN, DAN DISTRIBUSI LARVA DAN JUVENIL IKAN DI MUARA SUNGAI CITEPUS DAN SUKAWAYANA TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT JENIS, KELIMPAHAN, DAN DISTRIBUSI LARVA DAN JUVENIL IKAN DI MUARA SUNGAI CITEPUS DAN SUKAWAYANA TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT SYAHRUL RIFAI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini menyebabkan terumbu karang memilki spesies yang amat beragam. Terumbu karang menempati areal

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang bersifat terbarukan (renewable). Disamping itu sifat open access atau common property yang artinya pemanfaatan

Lebih terperinci

STABILITAS STATIS KAPAL PAYANG DI PALABUHANRATU PADA SAAT MEMBAWA HASIL TANGKAPAN MAKSIMUM NENI MARTIYANI SKRIPSI

STABILITAS STATIS KAPAL PAYANG DI PALABUHANRATU PADA SAAT MEMBAWA HASIL TANGKAPAN MAKSIMUM NENI MARTIYANI SKRIPSI STABILITAS STATIS KAPAL PAYANG DI PALABUHANRATU PADA SAAT MEMBAWA HASIL TANGKAPAN MAKSIMUM NENI MARTIYANI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan peperek (Leiognathus spp.) Sumber : dkp.co.id

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan peperek (Leiognathus spp.) Sumber :  dkp.co.id 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Peperek 2.1.1. Klasifikasi dan morfologi Menurut Saanin (1984) klasifikasi ikan peperek (Gambar 1) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum :

Lebih terperinci

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Pesisir Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jakarta dibatasi oleh garis bujur 106⁰33 00 BT hingga 107⁰03 00 BT dan garis lintang 5⁰48

Lebih terperinci

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). 7 spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). Ikan kembung lelaki terdiri atas ikan-ikan jantan dan betina, dengan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Organ reproduksi Jenis kelamin ikan ditentukan berdasarkan pengamatan terhadap gonad ikan dan selanjutnya ditentukan tingkat kematangan gonad pada tiap-tiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU INDAH HERAWANTY PURWITA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti Sebuah lagu berjudul Nenek moyangku seorang pelaut membuat saya teringat akan kekayaan laut Indonesia. Tapi beberapa waktu lalu, beberapa nelayan Kepulauan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Semak Daun merupakan salah satu pulau yang berada di Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Pulau ini memiliki daratan seluas 0,5 ha yang dikelilingi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

TINGKAT KONSUMSI PADA DUA POPULASI KEONG MURBEI (Pomacea canaliculata) SEBAGAI ALTERNATIF PENANGANAN GULMA AIR

TINGKAT KONSUMSI PADA DUA POPULASI KEONG MURBEI (Pomacea canaliculata) SEBAGAI ALTERNATIF PENANGANAN GULMA AIR TINGKAT KONSUMSI PADA DUA POPULASI KEONG MURBEI (Pomacea canaliculata) SEBAGAI ALTERNATIF PENANGANAN GULMA AIR PUNGKY KUMALADEWI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

PENENTUAN TINGKAT KESEHATAN SUNGAI BERDASARKAN STRUKTUR KOMUNITAS MAKROAVERTEBRATA DI SUNGAI CIHIDEUNG, KABUPATEN BOGOR

PENENTUAN TINGKAT KESEHATAN SUNGAI BERDASARKAN STRUKTUR KOMUNITAS MAKROAVERTEBRATA DI SUNGAI CIHIDEUNG, KABUPATEN BOGOR PENENTUAN TINGKAT KESEHATAN SUNGAI BERDASARKAN STRUKTUR KOMUNITAS MAKROAVERTEBRATA DI SUNGAI CIHIDEUNG, KABUPATEN BOGOR RIRIN ANDRIANI SILFIANA C24104086 SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR ALTERNATIF PEMANFAATAN DANAU BAGI PENGEMBANGAN WISATA MELALUI KONSEP KEBERLANJUTAN SUMBERDAYA PERAIRAN DAN PERIKANAN DI DANAU SINGKARAK, SUMATERA BARAT FITRI EMELIA SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1. 1.Kondisi umum Perairan Utara Jawa Perairan Utara Jawa dulu merupakan salah satu wilayah perikanan yang produktif dan memilki populasi penduduk yang padat. Panjang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Menurut klasifikasi Bleeker, sistematika ikan selanget (Gambar 1) adalah sebagai berikut (www.aseanbiodiversity.org) :

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al.,

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al., I. PENDAHULUAN Segara Anakan merupakan perairan estuaria yang terletak di pantai selatan Pulau Jawa, termasuk dalam wilayah Kabupaten Cilacap, dan memiliki mangroveestuaria terbesar di Pulau Jawa (7 o

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer METODE PENELITIAN 108 Kerangka Pemikiran Agar pengelolaan sumber daya udang jerbung bisa dikelola secara berkelanjutan, dalam penelitian ini dilakukan beberapa langkah perhitungan untuk mengetahui: 1.

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum PPP Labuan, Banten Wilayah Kabupaten Pandeglang secara geografis terletak antara 6 0 21-7 0 10 Lintang Selatan dan 104 0 48-106 0 11 Bujur Barat dengan luas

Lebih terperinci

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA SISTEM INFORMASI IDENTIFIKASI IKAN BERBASIS WEBSITE. Bidang Kegiatan : PKM Gagasan Tertulis.

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA SISTEM INFORMASI IDENTIFIKASI IKAN BERBASIS WEBSITE. Bidang Kegiatan : PKM Gagasan Tertulis. i PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA SISTEM INFORMASI IDENTIFIKASI IKAN BERBASIS WEBSITE Bidang Kegiatan : PKM Gagasan Tertulis Diusulkan Oleh : Nimas Utariningsih Precia Anita Andansari (C24080077/2008) (C24080029/2008)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

2014, No Republik Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia T

2014, No Republik Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia T No.714, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN KP. Larangan. Pengeluaran. Ikan. Ke Luar. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/PERMEN-KP/2014 TENTANG LARANGAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Lokasi Penelitian Cirebon merupakan daerah yang terletak di tepi pantai utara Jawa Barat tepatnya diperbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Lokasi penelitian

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis).

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis). 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Kuniran 2.1.1 Klasifikasi Ikan Kuniran Upeneus moluccensis, Bleeker 1855 Dalam kaitan dengan keperluan pengkajian stok sumberdaya ikan, kemampuan untuk mengidentifikasi spesies

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sumberdaya Ikan Tembang Klasifikasi dan deskripsi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sumberdaya Ikan Tembang Klasifikasi dan deskripsi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sumberdaya Ikan Tembang 2.1.1 Klasifikasi dan deskripsi Klasifikasi ikan Tembang (Gambar 1) menurut www.fishbase.org (2012) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Kelas : Actinopterygii

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35/PERMEN-KP/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

POTENSI, TINGKAT PEMANFAATAN DAN KEBERLANJUTAN IKAN TEMBANG (Sardinella sp.) DI PERAIRAN SELAT MALAKA, KABUPATEN SERDANG BEDAGAI, SUMATERA UTARA

POTENSI, TINGKAT PEMANFAATAN DAN KEBERLANJUTAN IKAN TEMBANG (Sardinella sp.) DI PERAIRAN SELAT MALAKA, KABUPATEN SERDANG BEDAGAI, SUMATERA UTARA POTENSI, TINGKAT PEMANFAATAN DAN KEBERLANJUTAN IKAN TEMBANG (Sardinella sp.) DI PERAIRAN SELAT MALAKA, KABUPATEN SERDANG BEDAGAI, SUMATERA UTARA SKRIPSI OLEH RINA SARI LUBIS 090302054 PROGRAM STUDI MANAJEMEN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan selat sunda Selat Sunda merupakan selat yang membujur dari arah Timur Laut menuju Barat Daya di ujung Barat Pulau Jawa atau Ujung Selatan

Lebih terperinci

PENGARUH PADAT PENEBARAN 60, 75 DAN 90 EKOR/LITER TERHADAP PRODUKSI IKAN PATIN

PENGARUH PADAT PENEBARAN 60, 75 DAN 90 EKOR/LITER TERHADAP PRODUKSI IKAN PATIN PENGARUH PADAT PENEBARAN 60, 75 DAN 90 EKOR/LITER TERHADAP PRODUKSI IKAN PATIN Pangasius hypophthalmus UKURAN 1 INCI UP (3 CM) DALAM SISTEM RESIRKULASI FHEBY IRLIYANDI SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yaitu berbagai jenis ikan untuk memenuhi permintaan sebagai sumber

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

PENGARUH PENGGUNAAN MATA PANCING GANDA PADA RAWAI TEGAK TERHADAP HASIL TANGKAPAN LAYUR

PENGARUH PENGGUNAAN MATA PANCING GANDA PADA RAWAI TEGAK TERHADAP HASIL TANGKAPAN LAYUR Pengaruh Penggunaan Mata Pancing.. terhadap Hasil Tangkapan Layur (Anggawangsa, R.F., et al.) PENGARUH PENGGUNAAN MATA PANCNG GANDA PADA RAWA TEGAK TERHADAP HASL TANGKAPAN LAYUR ABSTRAK Regi Fiji Anggawangsa

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL TANGKAPAN UTAMA DAN SAMPINGAN PADA ALAT TANGKAP DOGOL DI GEBANG MEKAR, KABUPATEN CIREBON, JAWA BARAT ISTRIANA RACHMAWATI

ANALISIS HASIL TANGKAPAN UTAMA DAN SAMPINGAN PADA ALAT TANGKAP DOGOL DI GEBANG MEKAR, KABUPATEN CIREBON, JAWA BARAT ISTRIANA RACHMAWATI ANALISIS HASIL TANGKAPAN UTAMA DAN SAMPINGAN PADA ALAT TANGKAP DOGOL DI GEBANG MEKAR, KABUPATEN CIREBON, JAWA BARAT ISTRIANA RACHMAWATI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI

OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... Halaman xii DAFTAR GAMBAR... DAFTAR

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 31 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum PPP Labuan PPP Labuan secara administratif terletak di Desa Teluk, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang. PPP Labuan memiliki batas administratif,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat I. PENDAHULUAN Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat dengan cara membendung aliran sungai sehingga aliran air sungai menjadi terhalang (Thohir, 1985). Wibowo (2004) menyatakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan industri. Salah satu sumberdaya tersebut adalah

Lebih terperinci

MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT

MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT JEANNY FRANSISCA SIMBOLON SKRIPSI PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. jika dibandingkan dengan panjangnya, dengan perkataan lain jumlah mesh depth

TINJAUAN PUSTAKA. jika dibandingkan dengan panjangnya, dengan perkataan lain jumlah mesh depth TINJAUAN PUSTAKA Alat Tangkap Jaring Insang (Gillnet) Gillnet adalah jaring dengan bentuk empat persegi panjang, mempunyai mata jaring yang sama ukurannya pada seluruh jaring, lebar jaring lebih pendek

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN UMUM 1.1. Latar belakang

1. PENDAHULUAN UMUM 1.1. Latar belakang 1. PENDAHULUAN UMUM 1.1. Latar belakang Estuari merupakan daerah pantai semi tertutup yang penting bagi kehidupan ikan. Berbagai fungsinya bagi kehidupan ikan seperti sebagai daerah pemijahan, daerah pengasuhan,

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakasanakan mulai awal bulan Maret sampai bulan Mei, dengan interval pengambilan data setiap dua minggu. Penelitian berupa pengumpulan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis Klasifikasi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis Klasifikasi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Klasifikasi ikan tembang (Sardinella maderensis Lowe, 1838 in www.fishbase.com) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Subfilum

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 31 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi Umum Perairan Teluk Banten Letak geografis Teluk Banten berada dalam koordinat 05 o 49 45-06 o 02 00 LS dan 106 o 03 20-106 o 16 00 BT. Teluk Banten

Lebih terperinci

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI &[MfP $00 4 oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI RAJUNGAN (Portiinirspelngicus) DI PERAIRAN MAYANGAN, KABWATEN SUBANG, JAWA BARAT Oleh: DEDY TRI HERMANTO C02499072 SKRIPSI Sebagai Salah

Lebih terperinci

KANDUNGAN LOGAM BERAT Hg, Pb DAN Cr PADA AIR, SEDIMEN DAN KERANG HIJAU (Perna viridis L.) DI PERAIRAN KAMAL MUARA, TELUK JAKARTA DANDY APRIADI

KANDUNGAN LOGAM BERAT Hg, Pb DAN Cr PADA AIR, SEDIMEN DAN KERANG HIJAU (Perna viridis L.) DI PERAIRAN KAMAL MUARA, TELUK JAKARTA DANDY APRIADI KANDUNGAN LOGAM BERAT Hg, Pb DAN Cr PADA AIR, SEDIMEN DAN KERANG HIJAU (Perna viridis L.) DI PERAIRAN KAMAL MUARA, TELUK JAKARTA DANDY APRIADI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN KRONJO, KABUPATEN TANGERANG BANTEN DEDY FRIYANTO

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN KRONJO, KABUPATEN TANGERANG BANTEN DEDY FRIYANTO STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN KRONJO, KABUPATEN TANGERANG BANTEN DEDY FRIYANTO SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Palabuhanratu merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi sumberdaya perikanan laut yang cukup tinggi di Jawa Barat (Oktariza et al. 1996). Lokasi Palabuhanratu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Wilayah laut Indonesia kaya akan ikan, lagi pula sebagian besar merupakan dangkalan. Daerah dangkalan merupakan daerah yang kaya akan ikan sebab di daerah dangkalan sinar

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rajungan (Portunus pelagicus) Menurut www.zipcodezoo.com klasifikasi dari rajungan adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Malacostrata Ordo : Decapoda

Lebih terperinci

STUDI DINAMIKA STOK IKAN LAYUR (Lepturacanthus savala) DI TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROPINSI JAWA BARAT

STUDI DINAMIKA STOK IKAN LAYUR (Lepturacanthus savala) DI TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROPINSI JAWA BARAT STUDI DINAMIKA STOK IKAN LAYUR (Lepturacanthus savala) DI TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROPINSI JAWA BARAT ADNAN SHARIF SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

KAJIAN AIR LIMBAH DOMESTIK DI PERUMNAS BANTAR KEMANG, KOTA BOGOR DAN PENGARUHNYA PADA SUNGAI CILIWUNG. Oleh : Muhammad Reza Cordova C

KAJIAN AIR LIMBAH DOMESTIK DI PERUMNAS BANTAR KEMANG, KOTA BOGOR DAN PENGARUHNYA PADA SUNGAI CILIWUNG. Oleh : Muhammad Reza Cordova C KAJIAN AIR LIMBAH DOMESTIK DI PERUMNAS BANTAR KEMANG, KOTA BOGOR DAN PENGARUHNYA PADA SUNGAI CILIWUNG Oleh : Muhammad Reza Cordova C24104056 DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

PENGARUH KECEPATAN ARUS TERHADAP DINAMIKA JARING KEJER PADA PERCOBAAN DI FLUME TANK

PENGARUH KECEPATAN ARUS TERHADAP DINAMIKA JARING KEJER PADA PERCOBAAN DI FLUME TANK PENGARUH KECEPATAN ARUS TERHADAP DINAMIKA JARING KEJER PADA PERCOBAAN DI FLUME TANK SINGGIH PRIHADI AJI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi 93 6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu Unit penangkapan bagan yang dioperasikan nelayan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar berukuran panjang lebar tinggi adalah 21 2,10 1,8 m, jika dibandingkan

Lebih terperinci

Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Vol. 18. No. 2, April 2013 ISSN

Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Vol. 18. No. 2, April 2013 ISSN ANALISIS BIOEKONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN KAKAP DI KABUPATEN KUTAI TIMUR (Bio-economic Analysis of Blood Snaper Resources Utilization in Kutai Timur Regency) ERWAN SULISTIANTO Jurusan Sosial Ekonomi

Lebih terperinci

LIRENTA MASARI BR HALOHO C SKRIPSI

LIRENTA MASARI BR HALOHO C SKRIPSI KEBIASAAN MAKANAN IKAN BETOK (Anabas testudineus) DI DAERAH RAWA BANJIRAN SUNGAI MAHAKAM, KEC. KOTA BANGUN, KAB. KUTAI KERTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR LIRENTA MASARI BR HALOHO C24104034 SKRIPSI DEPARTEMEN

Lebih terperinci

PELUANG EKSPOR TUNA SEGAR DARI PPI PUGER (TINJAUAN ASPEK KUALITAS DAN AKSESIBILITAS PASAR) AGUSTIN ROSS SKRIPSI

PELUANG EKSPOR TUNA SEGAR DARI PPI PUGER (TINJAUAN ASPEK KUALITAS DAN AKSESIBILITAS PASAR) AGUSTIN ROSS SKRIPSI PELUANG EKSPOR TUNA SEGAR DARI PPI PUGER (TINJAUAN ASPEK KUALITAS DAN AKSESIBILITAS PASAR) AGUSTIN ROSS SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Letak dan Kondisi Penelitian Kabupaten Cirebon dengan luas wilayah 990,36 km 2 merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian timur dan merupakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil penelitian di perairan Kepulauan Seribu yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, diperoleh nilai-nilai parameter

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU

PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU Zulkhasyni Fakultas Pertanian Universitas Prof. Dr. Hazairin, SH Bengkulu ABSTRAK Perairan Laut Bengkulu merupakan

Lebih terperinci

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5.1 Pendahuluan Pemanfaatan yang lestari adalah pemanfaatan sumberdaya perikanan pada kondisi yang berimbang, yaitu tingkat pemanfaatannya

Lebih terperinci

PENGARUH PADAT PENEBARAN 1, 2 DAN 3 EKOR/L TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN MAANVIS Pterophyllum scalare BASUKI SETIAWAN

PENGARUH PADAT PENEBARAN 1, 2 DAN 3 EKOR/L TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN MAANVIS Pterophyllum scalare BASUKI SETIAWAN PENGARUH PADAT PENEBARAN 1, 2 DAN 3 EKOR/L TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN MAANVIS Pterophyllum scalare BASUKI SETIAWAN PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR DEPARTEMEN

Lebih terperinci

PROPORSI HASIL TANGKAP SAMPINGAN JARING ARAD (MINI TRAWL) YANG BERBASIS DI PESISIR UTARA, KOTA CIREBON. Oleh: Asep Khaerudin C

PROPORSI HASIL TANGKAP SAMPINGAN JARING ARAD (MINI TRAWL) YANG BERBASIS DI PESISIR UTARA, KOTA CIREBON. Oleh: Asep Khaerudin C PROPORSI HASIL TANGKAP SAMPINGAN JARING ARAD (MINI TRAWL) YANG BERBASIS DI PESISIR UTARA, KOTA CIREBON Oleh: Asep Khaerudin C54102009 PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek II. TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek Puntius Orphoides C.V adalah ikan yang termasuk anggota Familia Cyprinidae, disebut juga dengan ikan mata merah. Ikan brek mempunyai garis rusuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) dan berdasarkan habitatnya di laut secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu

Lebih terperinci

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG Oleh: Muhammad Firly Talib C64104065 PROGRAM STUDI ILMU DAN

Lebih terperinci