JENIS, KELIMPAHAN, DAN DISTRIBUSI LARVA DAN JUVENIL IKAN DI MUARA SUNGAI CITEPUS DAN SUKAWAYANA TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "JENIS, KELIMPAHAN, DAN DISTRIBUSI LARVA DAN JUVENIL IKAN DI MUARA SUNGAI CITEPUS DAN SUKAWAYANA TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT"

Transkripsi

1 JENIS, KELIMPAHAN, DAN DISTRIBUSI LARVA DAN JUVENIL IKAN DI MUARA SUNGAI CITEPUS DAN SUKAWAYANA TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT SYAHRUL RIFAI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 Jenis, Kelimpahan, dan Distribusi Larva dan Juvenil Ikan Di Muara Sungai Citepus dan Sukawayana, Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat Variety, Abundance, and Distribution of Fish Larvae and Juveniles in Citepus and Sukawayana Estuaries, Gulf of Palabuhanratu, Sukabumi, West Java Oleh: Syahrul Rifai C Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, FPIK, IPB ABSTRAK Peneltian ini bertujuan untuk mengetahui jenis, kelimpahan, dan distribusi larva dan juvenil ikan dan keterkaitan faktor lingkungan terhadap penyeberan. Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret-Juli dengan selang waktu pengambilan contoh sebanyak 1 bulan sekali. Lokasi penelitian dibagi menjadi empat lokasi yaitu muara Citepus dan Sukawayana yang mengarah ke sungai dan muara Citepus dan Sukawayana yang mengarah ke laut. Alat tangkap yang digunakan selama penelitian adalah sirib untuk muara yang mengarah ke sungai dan larva net untuk muara yang mengarah ke laut. Terdapat 19 jenis spesies, 12 genus, dan 6 famili yang tertangkap dengan jumlah total individu sebanyak 1087 individu. Ikan yang tertangkap sebagian besar berada pada fase postlarva dan juvenil. Muara Citepus yang mengarah ke sungai memiliki kepadatan tertinggi sebesar 166 ind/m 2 dan terendah pada muara Citepus yang mengarah ke laut dengan kepadatan 10 ind/m 2. Larva Sicyopterus sp dan Ambassis vachelli memiliki kelimpahan yang tinggi di muara yang mengarah ke sungai sedangkan di muara yang mengarah ke laut yaitu Secutor indicius. Muara Citepus yang mengarah ke laut memiliki kekayaan spesies yang paling tinggi sebsar 1,34. Pola distribusi atau penyebaran ikan cenderung menunjukkan pola distribusi secara acak. Muara Sukawayana yang mengarah ke laut memiliki nilai keanekaragaman (H') tertinggi sebesar 1.77, keseragaman (E) tertinggi yaitu 0.91 dan dominansi (C) terendah sebesar 0,21 sehingga lokasi tersebut lebih stabil dibandingkan lokasi lain. Menurut Pariwono et al. (1998) arus pada bulan Maret dan April mencapai 75 cm/detik sedangkan bulan Mei, Juni, dan Juli kecepatan arus sebesar 50 cm/detik. Selama pengambilan contoh suhu perairan berkisar antara 26-28,5 o C. Salinitas di muara Citepus dan Sukawayana yang mengarah ke sungai berkisar antara 3,8-36 sedangkan di muara Citepus dan Sukawayana yang mengarah ke laut berkisar antara 30-31,5. Kekeruhan muara Citepus dan Sukawayana yang mengarah ke sungai berkisar antara 0-18 NTU. Hampir di semua lokasi, parameter suhu berkorelasi negatif terhadap kelimpahan. Kata kunci : jenis, distribusi, dan kelimpahan; larva dan juvenil; Teluk Palabuhanratu

3 RINGKASAN Syahrul Rifai. C Jenis, Distribusi, dan Kelimpahan Larva dan Juvenil Ikan di Muara Sungai Citepus dan Sukawayana, Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Dibawah Bimbingan M. Mukhlis Kamal dan Yunizar Ernawati. Perkembangan larva dan juvenil ikan sangat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor-faktor tersebut sangat mempengaruhi larva dan juvenil dalam hal jenis, kelimpahan, kepadatan, pola distribusi, struktur komunitas, dan recruitment terhadap suatu populasi. Sehingga kajian mengenai pengaruh faktor lingkungan baik fisika maupun kimia sangat penting dilakukan. Muara Sungai Citepus dan Sukawayana merupakan perairan yang unik yaitu daerah nursery ground bagi spesies ikan sehingga diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kondisi biologi dari larva dan juvenil. Penelitian ini dilaksanakan di muara Citepus dan Sukawayana yang mengarah ke sungai, muara Citepus dan Sukawayana yang mengarah ke laut, Teluk Palabuhanratu, Jawa Barat dengan waktu penelitian dilaksanakan dari bulan Maret- Juli 2011 dengan selang waktu pengambilan contoh setiap satu bulan sekali. Alat tangkap yang digunakan selama pengambilan contoh larva dan juvenil adalah sirib dan larva net. Jenis spesies yang tertangkap sebanyak 12 jenis di muara yang mengarah sungai dan sembilan jenis di muara yang mengarah ke laut dengan total individu sebanyak 1087 individu. Ikan yang tertangkap sebagian besar berada pada fase postlarva dan juvenil. Muara Citepus yang mengarah ke sungai memiliki kepadatan tertinggi sebesar 166 ind/m 2 dan terendah pada muara Citepus yang mengarah ke laut dengan kepadatan 10 ind/m 2. Larva Sicyopterus sp dan Ambassis vachelli memiliki kelimpahan yang tinggi di muara yang mengarah ke sungai sedangkan di muara yang mengarah ke laut yaitu Secutor indicius. Muara Citepus yang mengarah ke laut memiliki kekayaan spesies yang paling tinggi sebsar 1,34. Pola distribusi atau penyebaran ikan cenderung menunjukkan pola distribusi secara acak. Muara Sukawayana yang mengarah ke laut memiliki nilai keanekaragaman (H') tertinggi sebesar 1.77, keseragaman (E) tertinggi yaitu 0.91 dan dominansi (C) terendah sebesar 0,21 sehingga lokasi tersebut lebih stabil dibandingkan lokasi lain. Menurut Pariwono et al. (1998) arus pada bulan Maret dan April mencapai 75 cm/detik sedangkan bulan Mei, Juni, dan Juli kecepatan arus sebesar 50 cm/detik. Selama pengambilan contoh suhu perairan berkisar antara 26-28,5 o C. Salinitas di muara Citepus dan Sukawayana yang mengarah ke sungai berkisar antara 3,8-36 sedangkan di muara Citepus dan Sukawayana yang mengarah ke laut berkisar antara 30-31,5. Kekeruhan muara Citepus dan Sukawayana yang mengarah ke sungai berkisar antara 0-18 NTU. Hampir di semua lokasi, parameter suhu berkorelasi negatif terhadap kelimpahan. Kata kunci : jenis, distribusi, dan kelimpahan; larva dan juvenil; Teluk Palabuhanratu iv

4 JENIS, KELIMPAHAN, DAN DISTRIBUSI LARVA DAN JUVENIL IKAN DI MUARA SUNGAI CITEPUS DAN SUKAWAYANA TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT SYAHRUL RIFAI C Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 v

5 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Jenis, Kelimpahan, dan Distribusi Larva dan Juvenil Ikan di Muara Sungai Citepus dan Sukawayana, Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat adalah benar merupakan hasil karya seni saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau kutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, November 2011 Syahrul Rifai C iii

6 PENGESAHAN SKRIPSI Judul Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi : Jenis, Kelimpahan, dan Distribusi Larva dan Juvenil Ikan Di Muara Sungai Citepus dan Sukawayana, Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat : Syahrul Rifai : C : Manajemen Sumberdaya Perairan Menyetujui: Pembimbing I, Pembimbing II, Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS NIP NIP Mengetahui: Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M. Sc NIP Tanggal ujian : 13 Oktober 2011 Tanggal lulus : 13 Oktober 2011 vi

7 PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan hidayah-nya skripsi Jenis, Kelimpahan, dan Distribusi Larva dan Juvenil Ikan di Muara Sungai Citepus dan Sukawayana, Teluk Palabuhanratu, Jawa Barat telah tersusun. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah banyak membantu dalam memberikan bimbingan, dukungan, masukan dan arahan sehingga penulis dapat menyusun skripsi ini dengan baik. Penulis menyadari skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, penulis berharap dengan tersusunnya skripsi ini dapat memberikan manfaat untuk berbagai pihak. Bogor, November 2011 Penulis vii

8 UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan bimbingan, motivasi, serta bantuan dana penelitian dan Dr. Ir. Yunizar Ernawati, M.S, selaku anggota komisi pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan, dan saran selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini. 2. Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil selaku ketua Komisi Pendidikan dari program studi dan Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA selaku dosen penguji tamu yang telah memberikan saran yang sangat berarti bagi penulis dalam penyusunan skripsi ini. 3. Taryono, S.Pi, M.Si selaku pembimbing akademik atas saran, motivasi, dan nasihat yang telah diberikan serta Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si atas bimbingan, masukan, dan saran selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini. 4. Keluarga tercinta Mama (Siti Fatimah), Bapak (Maman Uhid), dan Saudara (Ari Fazri (Alm), Faishal Aly, Fauzan Aly, Radityawan Rifai) untuk kasih sayang, doa, semangat dan motivasinya selama ini. 5. Rekan penelitian saya Nina Ratna Furry dan Putri Marini Said atas suka duka selama penelitian dan perkuliahan. 6. Staf Tata Usaha MSP (Mba Widar, Mba Maria, Mba Yani, Ibu Siti, dll) atas bantuannya selama kuliah, Kang Agus atas bantuannya selama penelitian, PPN Palabuhanratu. 7. Rekan-rekan Manajemen Sumberdaya Perairan 44 (Nugrah, Ari, Dwi Yuni, Arif, August, Dita, Ayu, Endah, Nuralim, Anisa, Mega, Armaya, Dercy, Amanah, dll), MSP 45, MSP 46 dan rekan-rekan UKM LISES Gentra Kaheman (Erna, Kosmas, Nenden, Putri, Punjung, dll) serta rekan-rekan kostan Girma (Yan, Umar, Mahendra, Subhan, Budi, Herul, Atok, Mas Yono, Mas Munir) viii

9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ciamis, pada tanggal 12 Januari 1990 dari pasangan Maman Uhid dan Siti Fatimah. Penulis merupakan putra pertama dari lima bersaudara. Pendidikan formal ditempuh di TK Lidia (1995), SD Duren Jaya 1 (2001), SMPN 11 Bekasi (2004), dan SMA PGRI 1 Bekasi (2007). Pada tahun 2007 penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI, kemudian diterima di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahan penulis berkesempatan menjadi Asisten Luar Biasa Mata Kuliah Biologi Perikanan (2009/2010, 2010/2011), Dinamika Populasi Ikan (2010/2011), Pengkajian Stok Ikan (2010/2011), dan Ikhtiologi Fungsional (2010/2011), serta aktif sebagai anggota Divisi Informasi dan Komunikasi Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER) pada tahun 2008/2009, anggota Divisi Profesi dan Keahlian Unit Kegiatan Mahasiswa Lingkung Seni Sunda Gentra Kaheman pada tahun 2008/2009 dan ketua Divisi Profesi dan Keahlian UKM LISES Gentra Kaheman 2009/2010. Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul Jenis, Kelimpahan, dan Distribusi Larva dan Juvenil Ikan di Muara Sungai Citepus dan Sukawayana, Teluk Palabuharatu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. ix

10 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan dan Manfaat... 4 xii xiii xv 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teluk Palabuhanratu Ichthyoplanktonologi Biologi Larva Ikan Pola Distribusi Larva Ikan Identifikasi Larva Parameter Fisika Cahaya Suhu Arus Salinitas Kekeruhan METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penentuan Stasiun Alat dan Bahan Prosedur Penelitian Pengumpulan data larva Pengumpulan data parameter fisika dan kimia Identifikasi larva dan juvenil ikan Analisis Data Kekayaan spesies (Richness Index) Kepadatan larva dan juvenil ikan Kelimpahan larva dan juvenil ikan Pola penyebaran larva dan juvenil ikan Struktur komunitas larva and juvenil ikan Keterkaitan parameter lingkungan dengan larva dan juvenil ikan x

11 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Muara Sungai Muara Sungai Citepus Muara Sungai Sukawayana Aktivitas Nyalawean Komposisi Jenis dan Kelimpahan Larva dan Juvenil Ikan Kepadatan Larva dan Juvenil Ikan Kekayaan Spesies Pola Distribusi dan Penyebaran Spesies Struktur Komunitas Kondisi Lingkungan Perairan Arus Suhu Salinitas Kekeruhan Hubungan Kondisi Lingkungan Perairan dengan Kelimpahan Larva dan Juvenil Ikan Rekomendasi Pengelolaan KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xi

12 DAFTAR TABEL Halaman 1. Jenis dan kelimpahan spesies yang tertangkap Jenis dan kelimpahan spesies (ikan dan non ikan) yang tertangkap pada fase dewasa Struktur komunitas spesies Teluk Palabuhanratu Keterkaitan parameter fisika kimia perairan dengan kelimpahan larva dan juvenil ikan xii

13 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Diagram alir penelitian Sebaran vertikal suhu secara umum di Perairan Indonesia Peta lokasi penelitian, memperlihatkan aliran sungai-sungai yang bermuara Teluk Palabuhanratu. Kotak-kotak berwarna adalah lokasi pengambilan contoh Kondisi perairan muara Sungai Citepus Kondisi perairan muara Sungai Sukawayana Kelimpahan relatif larva di muara Citepus yang mengarah ke sungai Kelimpahan relatif juvenil di muara Citepus yang mengarah ke sungai Kelimpahan relatif larva di muara Sukawayana yang mengarah ke sungai Kelimpahan relatif juvenil di muara Sukawayana yang mengarah ke sungai Kelimpahan relatif larva di muara Citepus yang mengarah ke laut Kelimpahan relatif juvenil di muara Citepus yang mengarah ke laut Kelimpahan relatif larva di muara Sukawayana yang mengarah ke laut Kelimpahan relatif juvenil di muara Sukawayana yang mengarah ke laut Kepadatan relatif larva dan juvenil di muara Citepus yang mengarah ke sungai, Teluk Palabuhanratu Kepadatan relatif larva dan juvenil di muara Sukawayana yang mengarah ke sungai, Teluk Palabuhanratu Kepadatan relatif larva dan juvenil di muara Citepus yang mengarah ke laut, Teluk Palabuhanratu Kepadatan relatif larva dan juvenil di muara Sukawayana yang mengarah ke laut, Teluk Palabuhanratu Distribusi suhu muara Citepus yang mengarah ke sungai dan muara Citepus yang mengarah ke laut Distribusi suhu muara Sukawayana yang mengarah ke sungai dan muara Sukawayana yang mengarah ke laut Distribusi salinitas muara Citepus yang mengarah ke sungai dan muara Citepus yang mengarah ke laut xiii

14 21. Distribusi salinitas muara Sukawayana yang mengarah ke sungai dan muara Sukawayana yang mengarah ke laut Distribusi kekeruhan muara Citepus yang mengarah ke sungai dan muara Citepus yang mengarah ke laut Distribusi kekeruhan muara Sukawayana yang mengarah ke sungai dan muara Sukawayana yang mengarah ke laut xiv

15 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Alat dan bahan yang digunakan selama pengambilan contoh Koordinat pengambilan contoh larva dan juvenil Deskripsi spesies yang tertangkap Data panjang, berat, dan tinggi Data larva dan juvenil Kelimpahan larva dan juvenil Pola distribusi dan kekayaan spesies larva dan juvenil Struktur komunitas Teluk Palabuhanratu Parameter fisika kimia perairan Contoh perhitungan xv

16 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya ikan di suatu perairan akan sangat dipengaruhi oleh proses recruitment. Recruitment merupakan masuknya individu ke dalam populasi. Jika recruitment besar maka sumberdaya ikan di suatu perairan juga akan semakin besar. Pemijahan ikan akan menghasilkan suatu bakal calon anak baru yang akan berkembang menjadi dewasa nantinya dan melakukan reproduksi sehingga bisa melangsungkan fungsi ekologisnya. Keberhasilan dari faktor reproduksi akan sangat berpengaruh terhadap populasi dari suatu spesies ikan. Muara Sungai Citepus, Kecamatan Palabuhanratu dan muara Sungai Sukawayana, Kecamatan Cikakak yang terletak di Teluk Palabuhanratu merupakan daerah nursery ground karena banyak ditemukan larva ikan. Larva-larva tersebut harus beradaptasi dan bertahan dari berbagai macam pengaruh baik internal maupun eksternal seperti faktor lingkungan dan predator. Faktor lingkungan merupakan faktor yang harus dikaji dalam hal distribusi dan kelimpahan dari larva karena faktor lingkungan tersebut memegang peranan penting bagi kehidupan atau aktivitas larva ikan di perairan. Pada fase larva, tingkat mortalitas tinggi karena peka terhadap predator dan perubahan lingkungan seperti suhu, salinitas bahkan ketersediaan makanan di alam (Olii 2003) sehingga apabila kondisi lingkungan tidak sesuai atau tidak tercukupi maka larva akan mati. Ichthyoplankton merupakan tahapan awal (stadia telur, larva, juvenil) dari dari daur hidup ikan (Olii 2003). Dalam rangka terwujudnya pengelolaan yang lestari, maka perlu dilakukan kajian mengenai pengaruh faktor fisika dari perairan Teluk Palabuhanratu terhadap larva ikan. Kajian tersebut diharapkan dapat memberikan arahan mengenai keberadaan ichthyoplankton di Teluk Palabuhanratu agar tetap lestari mengingat larva atau impun tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar Palabuhanratu sebagai sumber makanan yang pada tahun 1994 mencapai 25 ton per tahun (Affandi and Aktani 1994). Pemahaman tentang biologi ikan sangatlah penting dimulai dengan pengetahuan tentang perkembangan awal daur hidup ikan, baik ekologi maupun

17 2 kehidupannya (Olii 2003). Pemahaman tersebut dimulai dengan mengidentifikasi larva ikan. Berdasarkan hal tersebut Teluk Palabuhanratu dipilih sebagai lokasi penelitian. Selain itu, Palabuhanratu merupakan perairan unik yang merupakan tempat nursery ground bagi spesies ikan sehingga diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai keberadaan, kelimpahan, dan distribusi dari larva ikan mengingat studi tentang larva masih sangat jarang dilakukan dan penelitian tentang hal terkait terakhir dilakukan oleh H. C. Delsman pada tahun Perumusan Masalah Sumberdaya ikan merupakan potensi semua jenis ikan yang dapat dimanfaatkan. Sebagian besar ikan dalam siklus hidupnya mengalami fase perkembangan dimulai dari telur, larva, juvenil, dan ikan. Ketersediaan suatu sumberdaya di perairan sangat dipengaruhi oleh jumlah larva ikan yang mampu bertahan hidup dari berbagai faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal antara lain penyakit, kemampuan daya tahan tubuh dari larva. Faktor eksternal misalnya predator, penangkapan, makanan, dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan dan makanan merupakan faktor yang memegang peranan penting bagi kehidupan dan aktivitas organisme di perairan. Faktor lingkungan merupakan faktor pembatas bagi kelangsungan hidup dari larva dan juvenil. Pengaruhnya akan terlihat jelas dalam hal kekayaan spesies, kelimpahan spesies, kepadatan spesies, pola distribusi dan penyebaran dari larva dan juvenil. Selain itu, faktor lain yang mempengaruhi adalah aktivitas nyalawean di Teluk Palabuhanratu yang akan menghambat proses migrasi ikan-ikan baik yang akan menuju ke laut maupun masuk ke sungai sehingga apabila penangkapan terhadap larva dan juvenil dilakukan secara terus-menerus oleh masyarakat akan berdampak pada recruitment dari ikan-ikan yang habitatnya di Palabuhanratu dan juga akan memberikan dampak negatif bagi populasi ikan serta berpengaruh pada keseimbangan ekologis di Teluk Palabuhanratu.

18 3 Pengaruh eksternal Sumberdaya Ikan Pengaruh internal FISIKA KIMIA PERAIRAN Suhu Salinitas Arus Kekeruhan PREDATOR EKSPLOITASI MAKANAN Penyakit Kemampuan bertahan Telur Larva Juvenil Dewasa Kekayaan jenis Kepadatan jenis Kelimpahan larva dan juvenil ikan Pola distribusi dan penyebaran Struktur komunitas Pengelolaan Keterangan: : Ruang lingkup penelitian : Hubungan Gambar 1. Diagram alir penelitian

19 4 1.3 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui jenis, kelimpahan, dan struktur komunitas larva dan juvenil ikan di perairan Teluk Palabuhanratu 2. Mengetahui kaitan antara pola distribusi larva dan juvenil ikan dan kondisi lingkungan di Teluk Palabuhanratu 1.4 Manfaat Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kondisi larva ikan muara sungai di sekitar Palabuhanratu sehingga nantinya dapat memberikan gambaran mengenai dasar pertimbangan bagi pengelolaan perikanan yang lestari dan berkelanjutan khususnya dalam pengelolaan larva ikan.

20 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teluk Palabuhanratu Teluk Palabuhanratu terletak di pantai selatan Jawa Barat, Kabupaten Sukabumi dengan posisi geografis 6 o 57-7 o 07 LS dan 106 o o 23 BT dan mempunyai hubungan bebas dengan Samudera Hindia. Pantai Palabuhanratu terbagi menjadi tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Cisolok, Kecamatan Palabuhanratu, dan Kecamatan Ciemas. Perairan ini merupakan tempat bermuaranya sungai Cimadiri, Citepus, Cidadap, Cipalabuhan (Pariwono et al. 1988). Selanjutnya Pariwono et al. (1988) mengemukakan bahwa sebagian besar daratan berupa topografi berbukit dengan tingkat kesuburan cukup tinggi yang dicirikan dengan daerah dekat pantai. Topografi dasar perairan dangkal di Palabuhanratu dapat ditemukan hingga jarak 300 m dari garis pantai dan mempunyai kedalaman hingga 200 m. Semakin jauh jarak dari pantai terdapat lereng kontinen dengan kedalaman lebih dari 600 m. Arus pantai selatan Jawa ini sering berlawanan arah dengan arus di laut dalam (Samudera Hindia). Kecepatan arus pantai tersebut mencapai 75 cm/detik pada bulan Februari yang kemudian melemah dan mencapai 50 cm/detik dalam bulan April hingga Juni. Pada bulan Agustus arus pantai berubah arah menjadi ke barat dengan kecepatan arus sekitar 75 cm/detik. Sampai bulan Oktober, arah arus pantai tetap ke barat tetapi kecepatan berkurang menjadi 50 cm/detik. Kecepatan angin di Teluk Palabuhanratu berkisar antara 1-15 mil/jam. Kisaran suhu di kawasan pantai Teluk Palabuhanratu berkisar antara o C, dimana suhu rata-rata pada akhir musim timur adalah 26,57 o C dan pada musim hujan sebedsar 27,78 o C. Pada kedalaman 50 m, kisaran suhu berkisar antara 23,37 o C pada akhir musim timur dan 28,72 o C pada musim hujan. Tingkat salinitas perairan Teluk Palabuhanratu berkisar antara (Pariwono et al. 1988).;

21 6 2.2 Ichthyoplankton Ichtyoplankton merupakan cabang ilmu yang membahas tentang larva ikan yang bersifat planktonik atau merupakan cabang ilmu ichthyologi yang membahas tentang stadia larva yang sifatnya sangat ditentukan oleh lingkungan terutama dalam pergerakan dan migrasinya (Sulistiono et al. 2001). Ichthyoplankton menurut Olii (2003) muncul setelah beberapa ahli membedakannya berdasarkan istilah plankton yang berarti pengembara dan ichthyes yang berarti ikan atau dengan kata lain ikan yang masih bersifat planktonis. Organisme ini dikategorikan sebagai meroplankton atau plankton sementara, dimana hanya sebagian dari hidupnya bersifat sebagai plankton. Adapun setelah dewasa mereka menjalani kehidupan sebagai perenang yang aktif yang masuk dalam kategori nekton. 2.3 Biologi Larva Ikan Menurut Sjafei et al. (1992), proses reproduksi ikan dapat dibagi menjadi dalam tiga periode, yaitu periode pre-spawning, periode spawning, dan periode postspawning. Proses pre-spawning merupakan proses berlangsungnya persiapan gonad untuk menghasilkan sperma dan sel telur. Proses spawning merupakan proses pengeluaran telur dan sperma dan pembuahan telur oleh sperma. Proses postspawning dimulai dari perkembangan telur yang telah dibuahi, penetasan telur dari pembesaran dari telur menjadi embrio, dan larva sampai menjadi ikan. Awal periode larva ditandai dengan munculnya kemampuan embrio untuk menangkap organisme makanan dari luar. Pada fase ini, struktur larva yang berkembang adalah organ pernafasan dan juga ditandai pula dengan pertumbuhan organ-organ embrio dan organ-organ larva seperti organ pernafasan pada lipatanlipatan sirip, pada daerah pektoral, tutup insang, jari-jari keran dan jelambir. Organorgan ini akan digantikan oleh organ-organ yang sama fungsinya dan akan menetap atau menghilang karena fungsinya tidak diperlukan lagi. Akhir dari periode ini adalah rangka aksial mulai terbentuk dan lipatan-lipatan sirip tengah menghilang (Sjafei et al. 1992). Selanjutnya Effendie (2002) mengemukakan bahwa larva ikan yang baru biasanya ditetaskan dalam keadaan terbalik karena kuning telurnya banyak mengandung minyak. Apabila kuning telur tersebut telah habis dihisap maka posisi

22 7 larva akan kembali ke awal. Larva ikan yang baru ditetaskan pergerakannya hanya sewaktu-waktu saja dengan menggerakkan bagian ekornya ke kiri dan ke kanan dengan banyak diselingi oleh waktu istirahat karena tidak dapat mempertahankan keseimbangan posisi tegak. Effendie (2002) menjelaskan, perkembangan larva dibagi menjadi dua tahap yaitu prolarva dan postlarva. Prolarva masih mempunyai kantung kuning telur, tubuhnya transparan dengan beberapa butir pigmen. Sirip dada dan ekor sudah berkembang tetapi belum sempurna bentuknya dan kebanyakan prolarva yang baru keluar dari cangkang telur ini tidak mempunyai sirip perut yang nyata melainkan hanya bentuk tonjolan saja. Mulut dan rahang belum berkembang dan ususnya masih merupakan tabung yang lurus. Sistem pernapasan dan peredaran darahnya belum sempurna. Makanannya hanya didapatkan dari sisa kuning telur yang belum habis dihisap. Masa postlarva adalah masa larva mulai dari hilangnya kantung kuning telur sampai terbentuknya organ-organ baru atau selesainya taraf penyempurnaan organorgan yang telah ada sehingga pada masa akhir dari postlarva tersebut secara morfologis sudah mempunyai bentuk yang hampir sama dengan induknya. Sirip dorsal sudah mulai dapat dibedakan, demikian juga sirip ekor yang sudah terbentuk garisnya. Pada masa ini, ikan sudah berenang lebih aktif dan kadang-kadang memperlihatkan sifat bergerombol (Effendie 2002). Tingginya tingkat kematian alami bagi telur dan larva ikan dalam suatu populasi dipengaruhi oleh faktor endogeneous dan eksogenous. Faktor endogenous memegang peranan penting untuk melindungi suatu populasi dalam mendapatkan makanan sehingga terhindar dari pemangsa dan bahaya lainnya. Faktor eksogenous berupa proses eksternal biologis dan karakter fisik lingkungan seperti kekurangan makanan, pemangsa, penyakit, parasit, polusi, racun, dan tekanan psikologis yang mungkin menyebabkan kematian individu (Sulistiono et al. 2001) Keberlangsungan hidup larva sangat tergantung pada jumlah makanan yang ada. Ketersediaan makanan sangat dipengaruhi oleh lingkungan (Laevastu and Hayes 1981). Sulistiono et al. (2001) menjelaskan bahwa ukuran mulut dan tingkat perubahan mulut merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap perbedaan spesifik dalam seleksi ukuran makanan.

23 8 2.4 Pola Distribusi Larva Ikan Pengetahuan mengenai pola distribusi larva ikan sangat penting (Brodeur and Rugen 1994). Selanjutnya pada hal yang sama Brodeur and Rugen (1994) menjelaskan pula bahwa pola distribusi vertikal dari larva ikan ada dua macam, yaitu Tipe I dengan penjelasan bahwa larva akan melakukan migrasi ke permukaan pada malam hari. Sedangkan Tipe II dari distribusi larva merupakan kebalikan dari Tipe I, yaitu larva akan cenderung ke kolom perairan saat siang hari. Laevastu and Hela (1970) memiliki pendapat lain mengenai migrasi vertikal. Menurutnya, vertikal migrasi yang dilakukan oleh larva ikan pelagis didasarkan pada beberapa fitoplankton melakukan fotosintesis untuk menghasilkan zat beracun bagi hewan pemangsa sehingga larva melakukan migrasi vertikal ke kolom perairan untuk menghindar dari zat tersebut. Lalu pada malam hari melakukan migrasi ke permukaan untuk mencari makan. 2.5 Identifikasi Larva Leis and Ewart (2000) menjelaskan terdapat empat macam cara untuk mengidentifikasi larva ikan diantaranya menggunakan literatur, metode biokimia, metode seri atau bertahap, dan metode pemeliharaan. Metode yang pertama adalah metode dengan menggunakan literatur. Dalam metode ini, proses indentifikasi dilakukan dengan menggunakan literatur atau sumber bacaan untuk menentukan jenis dari spesies larva. Metode seri merupakan metode yang banyak digunakan dalam hal identifikasi larva ikan. Namun, dalam metode ini membutuhkan banyak bahan, untuk dapat mengumpulkan larva dalam berbagai ukuran. Dalam penggunaan metode ini menyebabkan kemungkinan tercampurnya larva-larva ikan saat pengumpulan sehingga dapat mengarah terhadap salahnya dalam proses identifikasi. Metode biokimia dapat dipadukan dengan metode seri atau bertahap untuk memudahkan dalam proses identifikasi. Namun, kelemahan dari metode ini adalah tidak praktis dalam hal identifikasi larva ikan, tetapi metode ini hasil akhir dalam proses identifikasi biasanya baik (Leis and Ewart 2000). Hunter (1984) in Leis and Ewart (2000) menambahkan proses identifikasi dalam metode pemeliharaan dilakukan suatu laboratorium, dimulai dari telur yang dibuahi oleh ikan dewasa hingga larva tersebut tumbuh. Namun, dalam pemeliharaan sering tidak sesuai

24 9 dengan larva yang ada di alam. Kondisi laboratorium dapat merubah perkembangan larva secara normal, pigmentasi yang berbeda, proporsi tubuh, dan karakter meristik (Balxter 1984; Hunter 1984 in Leis and Ewart 2000). Selanjutnnya Leis and Ewart (2000) myomer, usus, gelembung renang, duri di kepala, mata, bentuk sirip, ukuran, morfometrik, meristik, dan pigmentasi dapat dijadikan karakteristik dalam menggambarkan larva. 2.6 Parameter Fisika Cahaya Penetrasi cahaya ke dalam air sangat dipengaruhi oleh intensitas dan sudut datang cahaya, kondisi permukaan air, dan bahan-bahan yang terlarut dan tersuspensi di dalam air (Boyd 1988; Welch 1952 in Effendi 2003). Jeffries and Mills (1996) in Effendi (2003) menambahkan cahaya merupakan sumber utama dalam ekosistem perairan, cahaya memiliki dua fungsi utama, yaitu: 1. Memanasi air sehingga terjadi perubahan suhu dan berat jenis (densitas) dan selanjutnya menyebabkan terjadinya pencampuran massa dan kimia air. Perubahan suhu juga mempengaruhi tingkat kesesuaian perairan sebagai habitat bagi suatu organisme akuatik, karena setiap organisme akuatik memiliki kisaran suhu minimum dan maksimum bagi kehidupannya. 2. Merupakan sumber energi bagi proses fotosintesis alga dan tumbuhan. Cahaya merupakan faktor lingkungan yang penting untuk kehidupan ikan dan organisme akuatik lainnya (Laevastu and Hayes 1981). Menurut Laevastu and Hela (1970), cahaya memiliki pengaruh penting bagi pemijahan ikan dan bagi larva. Cahaya dapat mempengaruhi waktu kematangan gonad ikan. Pemijahan biasanya berlangsung pada kondisi dimana suhu yang tepat dan penetasan terjadi pada saat makanan melimpah. Secara tidak langsung faktor suhu sulit dipisahkan dari efek cahaya (Sullivan and Fisher 1953 in Laevastu and Hela 1970). Allen (1909) in Laevastu and Hela (1970) mengemukakan bahwa cahaya diawal musim semi mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup dari larva. Hal ini disebabkan secara tidak langsung bahwa jumlah produksi bahan organik di perairan sangat dipengaruhi oleh cahaya.

25 10 Cahaya secara langsung mempengaruhi penglihatan dari ikan. Banyak ikan yang memanfaatkan cahaya untuk membantu dalam mencari makan, menerima signal untuk memijah, dan tempat berlindung. Cahaya memicu ikan untuk melakukan migrasi dan perpindahan secara vertikal ketika ingin memijah dan berpengaruh terhadap pola pertumbuhan (Laevastu and Hayes 1981) Suhu Suhu merupakan suatu ukuran dari energi kintetik rata-rata dari molekulmolekul (Odum 1992). Suhu di laut merupakan salah satu faktor penting bagi kehidupan organisme di lautan, karena suhu mempengaruhi baik aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan dari organisme-organisme tersebut (Hutabarat and Evans 1985). Suhu air permukaan di perairan Indonesia umumya berkisar antara o C. Di lokasi tempat terjadinya penaikan massa air (upwelling) suhu permukaan bisa turun menjadi 25 o C. Hal ini disebabkan karena air dingin dari lapisan bawah terangkat ke atas. Suhu air di daerah dekat pantai biasanya lebih tinggi daripada di lepas pantai (Nontji 2005). Menurut Nontji (2005), suhu air di permukaan di pengaruhi oleh kondisi meteorologi seperti curah hujan, penguapan, kelembaban udara, kecepatan angin dan intensitas radiasi matahari. King (1963) menambahkan bahwa perubahan suhu terhadap kedalaman dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu jumlah panas yang diserap, efek konduksi panas, perpindahan massa air oleh arus, pergerakan vertikal dari air. Sebaran suhu secara vertikal di perairan Indonesia umunya mempunyai pola seperti Gambar 2. Sebaran suhu secara vertikal dibedakan menjadi tiga lapisan yaitu, lapisan hangat di bagian atas, lapisan termoklin di tengah dan lapisan dingin di bagian paling bawah. Secara alami lapisan permukaan lebih hangat daripada lapisan lain karena mendapat radiasi matahari secara langsung (Nontji 2005) dan King (1963) menambahkan sebaran suhu di permukaan sangat dipengaruhi oleh distribusi sinar matahari yang diterima. Nontji (2005) mengemukakan bahwa lapisan termoklin merupakan lapisan dimana suhu menurun dengan cepat secara kedalaman. Karena suhu turun maka densitas air meningkat. Tebal lapisan termoklin bervariasi sekitar m. Lapisan di bawah termoklin merupakan lapisan yang homogen

26 11 dan dingin. Makin ke bawah maka suhu akan berangsur-angsur turun hingga pada kedalaman lebih m suhu biasanya kurang dari 5 o C. Gambar 2. Sebaran vertikal suhu secara umum di Perairan Indonesia. A: Lapisan hangat; B: Lapisan termoklin; C: Lapisan Dingin (Nontji 2005) Effendi (2003) menjelaskan bahwa peningkatan suhu menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air dan mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu perairan sebesar 10 o C menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen dari organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat. Menurut Sullivan (1954) in Laevastu and Hela (1970) ikan akan memilih suhu yang sesuai kerena akan berdampak aktivitasnya. Selain itu, perubahan suhu perairan akan berdampak pada stimulus sistem syaraf ikan, proses metabolisme, dan aktivitas tubuh ikan. Peningkatan suhu merupakan faktor pengontrol dari pemijahan dan recruitment karena kebanyakan ikan memijah selama musim panas atau saat suhu meningkat (Pohlor 1984 in de Castro et al. 2005). Menurut Laevastu and Hayes (1981) setiap spesies memiliki batas suhu yang berbeda untuk melakukan pemijahan. Laevastu and Hela (1970) menambahkan bahwa pengaruh suhu sangat terlihat jelas pada kebiasaan ikan selama pemijahan dan sebelum pemijahan pun akan suhu memberikan pengaruh terhadap perkembangan kematangan gonad ikan. Suhu akan secara langsung mempengaruhi perkembangan dari telur dan larva yang

27 12 merupakan fase kritis dan akan mempengaruhi kemampuan mengapung (buoyancy) dari telur ikan Arus Menurut Nontji (2005) arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin, atau karena perbedaan dalam dimensitas air laut atau dapat pula disebabkan oleh gerakan bergelombang panjang. Selain itu juga bisa disebabkan karena pasang surut. Arus dibagi menjadi tiga bagian. Pertama arus yang disebabkan kerena distribusi dari densitas laut, arus yang secara langsung disebabkan oleh angin, dan disebabkan karena pasang surut (Sverdrup et al. 1960). Menurut Wibisono (2005) besar kecilnya arus disebabkan oleh berbagai faktor antara lain kecepatan angin. Kecepatan angin dapat menimbulkan gaya gesek di permukaan laut. Faktor selanjutnya adalah tahanan dasar. Walaupun sifat fisik air selalu mencari tempat yang lebih rendah, namun makin tinggi tahanan dasar maka arus akan semakin lemah. Selain itu kecepatan arus dipengaruhi oleh gaya koriolis. Efek ini timbul akibat gerak rotasi bumi dan posisi bumi dalam mengitari matahari, serta berperan dalam menetukan arah arus. Perbedaan densitas merupakan faktor yang mempengaruhi kecepatan arus. Arus ini bersama dengan drift current membentuk arus umum atau horizontal. Arus yang timbul sebagai akibat dari perbedaan suhu dan salinitas mengontrol distribusi suhu dan salinitas di samudera. Gerlach et al. (2006) menjelaskan bahwa arus laut merupakan faktor utama dalam hal penyebaran larva. Doherty (1987); Milich et al. (1992); Thorrold (1992) in Brogan (1993) menjelaskan faktor fisik seperti kecepatan arus akan mempengaruhi sistem penglihatan dari perkembangan larva, perilaku atau respon terhadap cahaya, dan kemampuan berenang Salinitas Salinitas adalah konsentrasi total ion yang terdapat dalam perairan (Boyd 1988 in Effendi 2003). Salinitas menggambarkan padatan total di dalam air, setelah

28 13 semua karbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromida dan iodida digantikan oleh klorida, dan semua bahan organik telah dioksidasi (Effendi 2003). Nontji (2005) menjelaskan bahwa sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran sungai yang masuk ke laut. Di perairan samudera salinitas normal berkisar antara 33-37, namun kisaran salinitas tersebut bisa berubah tergantung pada masukan air tawar ke laut melalui sungai, melalui tanah, dan penguapan di bagian permukaan perairan. King (1963) menjelaskan bahwa salinitas dipengaruhi oleh musim, tekanan, angin. Salinitas di perairan laut bebas memiliki salinitas yang lebih tinggi daripada di sekitar perairan pesisir. Perbedaan salinitas tersebut disebabkan karena perairan pesisir masih dipengaruhi oleh masukan air tawar dari daratan atau dari sungai. Laevastu and Hela (1970) salinitas perairan pesisir lebih kecil karena dipengaruhi oleh dari daratan. Selain itu, salinitas berpengaruh terhadap pengaturan tekanan osmotik pada ikan dan kemampuan mengapung (buoyancy) telur ikan pelagis. Salinitas sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan biota laut. Salinitas yang mendekati optimum akan membuat larva ikan bertahan dan mengalami pertumbuhan yang optimum (Davis and Calabrese 1964). Salinitas mempengaruhi fisiologis kehidupan organisme dalam hubungannya dengan penyesuaian tekanan osmotik antara sitoplasma dengan lingkungan. Pengaruh ini berbeda pada setiap organisme baik itu fitoplankton, zooplankton, dan ichthyoplankton. Pengaruh salinitas terhadap ikan dewasa sangat kecil karena salinitas di laut relatif lebih stabil yaitu berkisar antara 30-36, sedangkan larva biasanya cepat menyesuaikan diri terhadap tekanan osmotik. Namun demikian, ikan cenderung lebih memilih air dengan kadar salinitas yang sesuai dengan tekanan osmotik tubuhnya, hal ini langsung akan sangat mempengaruhi distribusi ikan (Rahmawati 2004). Hoar and Randall (1969) menjelaskan bahwa kemampuan bertahan larva untuk bertahan terhadap salinitas tergantung pada dua faktor, yaitu kemampuan dari cairan tubuh untuk bertahan dari kondisi tidak normal melalui pengaturan tekanan osmotik dan konsentrasi cairan di dalam tubuh, yang kedua yaitu kemampuan cairan tubuh untuk mengembalikan tekanan osmotik pada kondisi yang normal.

29 Kekeruhan Menurut Effendi (2003), kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahanbahan yang terdapat dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus), maupun bahan anorganik dan organik yang berupa plankton dan mikroorganisme air (APHA 1976; Davis and Cornwell 1991 in Effendi 2003). Effendi (2003) menyatakan, kekeruhan yang tinggi dapat menyebabkan terganggunya sistem osmoregulasi, misalnya pernafasan dan daya lihat organisme akuatik, serta dapat menghambat penetrsi cahaya ke dalam air. Salonen et al. (2009) menyatakan bahwa kondisi dari larva sangat tergantung oleh faktor kekeruhan air. Utne-Palm (2002) in Salonen et al. (2009) kekeruhan sangat mempengaruhi siklus hidup ikan dan akan menjadi masalah dalam bagi ikan yang menggunakan penghilatannya untuk menangkap mangsa. Kekeruhan yang tinggi dapat menghambat proses migrasi dari ikan (Bell 1963 in Pauley b et al. 1989). Selanjutnya Bianchi (1963) in Pauley a et al. (1989) menambahkan sedimen tersuspensi pada tingkat 103 ppm, oksigen terlarut dengan konsentrasi dibawah 6.9 mg/l dapat mengurangi kelangsungan hidup telur dibawah 10%.

30 15 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di muara Sungai Citepus, Kecamatan Palabuhanratu dan muara Sungai Sukawayana, Kecamatan Cikakak, Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi. Survei lokasi dan penetapan stasiun pengamatan dilakukan pada pertengahan Desember 2010 dan pertengahan Februari Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret hingga Juni 2011 dengan periode pengambilan data setiap satu bulan sekali pada keadaan bulan gelap. Sukawayana Citepus Gambar 3. Peta lokasi penelitan, memperlihatkan aliran sungai-sungai yang bermuara ke Teluk Palabuhanratu. Kotak-kotak berwarna adalah lokasi pengambilan contoh 3.2 Penentuan Stasiun Di perairan Teluk Palabuhanratu terdapat beberapa muara sungai yaitu Sungai Cikeueus, Cimandiri, Citepus, Sukawayana, Cimaja, Citiis. Dalam penelitian ini, muara yang mengarah ke sungai dan muara yang mengarah ke laut baik Citepus maupun Sukawayana dijadikan sebagai lokasi untuk penelitian. Di sekitar muara

31 16 yang mengarah ke sungai dan muara yang mengarah ke laut tersebut masing-masing dilakukan pengambilan data larva dan juvenil ikan. 3.3 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perahu nelayan, termometer (pembacaan skala Hg) untuk mengukur suhu perairan, Global Positioning System (Lampiran 2.) untuk penentuan lokasi stasiun penelitian, kamera digital, larva net dan sirib untuk mengambil contoh larva, hand refraktometer untuk mengukur salinitas perairan, timbangan digital mikroskop, botol sampel, penggaris, baki, dan alat bedah. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah formalin 4%, alat tulis, dan buku identifikasi larva ikan. 3.4 Prosedur Penelitian Pengumpulan data larva Pengambilan contoh larva dan juvenil dibagi menjadi dua lokasi yaitu di muara yang mengarah ke sungai dan muara yang mengarah ke laut. Di daerah Citepus dibagi menjadi dua lokasi yaitu muara Citepus yang mengarah ke sungai dan muara Citepus yang mengarah ke laut. Daerah Sukawayana dibagi menjadi dua lokasi pula yaitu muara Sukawayana yang mengarah ke sungai dan muara Sukawayana yang mengarah ke laut. Pengambilan contoh di muara yang mengarah ke sungai baik di muara Sungai Citepus maupun Sukawayana dilakukan pada sore hari pada pukul WIB sedangkan pengambilan contoh di muara sungai arah laut dilakukan pada pukul WIB. Pengambilan contoh dilakukan pada bulan gelap sekitar tanggal berdasarkan kalender Hijriah. Tahap pertama yang dilakukan adalah penetuan titik lokasi pengambilan contoh dengan menggunakan Global Positioning System (GPS) dan mendokumentasikan lokasi penelitian dengan kamera digital. Pengukuran suhu dengan menggunakan termometer secara in-situ dan pengambilan contoh air untuk pengukuran salinitas dan kekeruhan yang disimpan dibotol sampel. Pengambilan contoh larva dan juvenil dilakukan dengan menggunakan sirib. Sirib merupakan alat tangkap yang banyak digunakan untuk menangkap larva dan juvenil oleh

32 17 masyarakat sekitar. Jenis sirib yang digunakan berbentuk segitiga samakaki dengan panjang alas 1 meter dan panjang kaki 1,5 meter dan memiliki jaring halus dengan meshsize ± 5 mm. Selanjutnya dilakukan penyusuran dari muara sungai ke arah hulu dengan jarak ± 5 meter dan dengan penangkapan dilakukan pula dengan berdasarkan arus datang ke arah muara sungai dengan selang waktu yang digunakan adalah 30 menit. Contoh larva dan juvenil yang didapatkan dimasukkan ke dalam botol sampel lalu di awetkan dengan menggunakan formalin 4%. Penangkapan di muara yang mengarah arah laut dilakukan dengan jarak ± 1 km dari bibir pantai dan menggunakan perahu nelayan. Setelah itu, dilakukan penetuan titik pengambilan lokasi pengambilan contoh dengan menggunakan Global Positioning System (GPS) dan mendokumentasikan lokasi penelitian dengan kamera digital. Setelah itu dilakukan pengukuran suhu dengan menggunakan termometer secara in-situ dan pengambilan contoh air untuk pengukuran salinitas dan kekeruhan yang disimpan ke dalam botol sampel. Penangkapan larva dan juvenil dilakukan dengan menggunakan larva net. Ada dua jenis larva net yang digunakan. Larva net yang pertama memiliki diameter 60 cm, tinggi ± 2 meter dan memiliki jaring yang kaku dengan meshsize µmeter. Larva net yang ke- 2 merupakan modifikasi, berbentuk persegi dengan luas permukaan 1 m 2, tinggi ± 2 meter dan memiliki jaring dengan meshsize 5 mm. Setelah itu, dilakukan penyisiran perairan menggunakan perahu yang melawan arus dengan kecepatan ± 2 knot secara horizontal selama kurang lebih menit dengan tiga hingga lima kali ulangan. Contoh larva dan juvenil yang didapatkan dimasukkan ke dalam botol sampel lalu di awetkan dengan menggunakan formalin 4%. Contoh air yang didapatkan dilakukan analisis salinitas dengan hand refraktometer dan kekeruhan dengan turbidity meter di Laboratorium Produktivitas Lingkungan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (IPB), sedangkan contoh larva dan juvenil yang didapat selanjutnya di pisihakan/sortir berdasarkan lokasi. Setelah itu, di Laboratorium Biologi Makro 1, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (IPB) dilakukan penggantian pengawet dengan alkohol 70% dan dilakukan identifikasi jenis dari larva ikan dengan menggunakan petunjuk identifikasi larva dan juvenil ikan.

33 Pengumpulan data parameter fisika dan kimia Pengumpulan data parameter fisika dan kimia dilakukan secara langsung di lokasi penelitian dan di laboratorium. Pengukuran data yang dilakukan secara langsung adalah suhu ( o C) dengan menggunakan termometer. Pengukuran data yang dilakukan di laboratorium antara lain kekeruhan (NTU) dengan menggunakan turbidity meter, salinitas ( ) dengan menggunakan hand refraktometer. Data arus (cm/detik) yang digunakan diperoleh dengan menggunakan data sekunder Identifikasi larva dan juvenil ikan Metode identifikasi larva dan juvenil yang digunakan adalah perpaduan antara metode seri dengan metode litetatur. Sumber pustaka Leis and Ewart (2000), Fisher and Whitehead (1974), dan Allen (1999). Identifikasi yang pertama kali dilakukan adalah dengan mengelompokkan ikan kedalam fase larva dan juvenil. Fase larva ditandai dengan tubuh yang transparan sedangkan fase juvenil ditandai dengan bentuk dan warna yang menyerupai induknya serta pada fase ini biasanya ditandai dengan kelengkapan sirip yang lengkap. Contoh larva dan juvenil yang diperoleh dilakukan pengukuran proporsi tinggi tubuh (BD) terhadap panjang tubuh (BL) larva dan juvenil. Setelah itu, dilakukan pengelompokkan berdasarkan Leis and Ewart (2000) yaitu very elongate (BD < 10% BL), elongate (BD 10-20% BL), depth moderate (BD 20-40% BL), deep to very deep (BD >400% BL). Setelah itu, identifikasi yang digunakan dengan mengamati morfologi luar, mulut, dan usus dari larva dan juvenil dengan menggunakan mikroskop. Selain itu, identifikasi juvenil dengan sumber pustaka Fisher and Whitehead (1974) dan Allen (1999) dilakukan dengan mengamati secara fisik (morfologi). 3.5 Analisis Data Kekayaan spesies (Richness Index) Indeks ini digunakan untuk mengetahui banyak atau sedikitnya spesies serta konsentrasi biota dalam suatu komunitas. Brower et al. (1990) menjelaskan bahwa indeks kekayaan jenis menggambarkan ukuran dari contoh. Odum (1971)

34 19 menambahkan kekayaan spesies (Richness Index) dijelaskan dengan Menhinick Index dengan rumus: Keterangan: D : Indeks kekayaan spesies S : Jumlah spesies pada satu sampel N : Jumlah sel/ekor dari biota dalam satu spesies atau sampel Kepadatan larva dan juvenil ikan Kepadatan populasi merupakan jumlah individu per satuan luas (Brower et al. 1990) dengan rumus: Keterangan: D : Kepadatan spesies (ind/m 2 ) n i : Jumlah total individu suatu jenis larva i (ind) A : Luas seluruh stasiun contoh (m 2 ) Kelimpahan larva dan juvenil ikan Kelimpahan larva ikan menurut Romimohtarto and Juwana (1999) in Prasetyati (2004) merupakan banyaknya larva ikan per satuan luas dengan daerah pengambilan contoh, dengan rumus: Keterangan: N : Kelimpahan larva ikan (ind/m 3 ) n : Jumlah larva ikan (ind) V tsr : Volume air tersaring (V tsr = l x t x v) l : Luas bukaan mulut larva net (m 2 ) t : Lama waktu penarikan saringan (menit) v : Kecepatan tarikan kapal (m/menit)

35 Pola penyebaran larva dan juvenil ikan Brower et al. (1990) menjelaskan bahwa pola peyebaran atau distribusi dari larva dapat jelaskan dengan menggunakan Morisita Index of Dispersion dengan persamaan: Keterangan: I d : Indeks Morisita n : Jumlah seluruh stasiun pengambilan contoh N : Jumlah seluruh individu dalam total n X 2 : Kuadrat jumlah jenis larva per stasiun per lokasi pengambilan contoh Nilai indeks yang diperoleh dapat diinterpretasikan sebagai berikut: I d < 1, pola penyebaran larva ikan cenderung acak I d = 1, pola penyebran larva ikan cenderung seragam I d > 1, pola penyebaran larva ikan cenderung berkelompok Setelah itu, dilakukan uji stastistik, yaitu uji Chi-Square dengan persamaan: Keterangan: x 2 : Uji Chi-Square n : Jumlah pengamatan X 2 : Kuadrat jenis larva ikan yang ditemukan per stasiun contoh N : Jumlah seluruh individu larva ikan Nilai Chi-Square yang didapat kemudian dibandingkan dengan nilai Chi- Square dengan selang kepercayaan 95% (α = 0.05). Jika nilai x 2 hitung yang diperoleh lebih kecil dibandingkan dengan nilai x 2 tabel maka tidak berbeda nyata yang berarti pola sebaran dari larva dan juvenil ikan bersifat acak Struktur komunitas larva dan juvenil ikan Komunitas larva dalam suatu ekosistem perairan terdiri dari beranekaragam jenis dengan jumlah individu yang berbeda masing-masing spesies. Menurut Basmi (1999) tiga unsur pokok dalam komunitas adalah jumlah macam spesies, jumlah individu masing-masing spesies, dan total individu dalam komunitas. Hubungan

36 21 ketiga komponen ini digambarkan melalui Indeks Shannon and Weaver. Odum (1971) menjelaskan rumus Indeks Keanekaragaman adalah ; dengan Keterangan: H : Indeks Diversitas Shannon-Wiener s : Jumlah spesies dalam komunitas larva Pi : Sebagai proporsi jenis ke-i ni : Jumlah total individu larva i N : Jumlah seluruh individu dalam total n Indeks Keseragaman digunakan untuk melihat keseragaman dari suatu komunitas (Basmi 1999). Odum (1971) menjelaskan dengan rumus dengan rumus: ; dengan Keterangan: E : Indeks Keseragaman H : Indeks Diversitas atau Keanekaragaman S : Jumlah spesies Struktur komunitas larva tersusun dari berbagai jenis populasi yang memiliki jumlah yang berbeda-beda. Indeks Simpson merupakan salah satu indeks untuk memperoleh infomarsi jenis larva yang mendominasi dalam perairan (Basmi 1999). Odum (1971) menjelaskan persamaan Indeks Simpson adalah: ;dengan Keterangan: C : Indeks Dominansi s : Jumlah spesies dalam komunitas larva Pi : Sebagai proporsi jenis ke-i ni : Jumlah total individu larva i N : Jumlah seluruh individu dalam total Keterkaitan parameter lingkungan dengan larva dan juvenil ikan Keterkaitan antara pola distribusi larva ikan dengan parameter lingkungan, dapat digunakan analisis regresi linier sederhana dengan persamaan:

37 22 dengan: X : Parameter lingkungan Y : Kelimpahan larva dan juvenil Untuk mengetahui keterkakaitan antara faktor fisika dengan kelimpahan larva maka dilakukan analisis regresi dengan model persamaan sebagaai berikut: Dengan persamaan penduganya adalah Keterangan: Y : Kelimpahan larva dan juvenil x 1, x 2,, x 4 : Peubah bebas parameter fisika (suhu, salinitas, arus, kekeruhan) b 0 : Interceps b 1, b 2,, b 3 : Koefisien regresi Nilai R 2 atau koefisien determinasi (%) digunakan untuk menggambarkan seberapa besar model yang digunakan mewakili kondisi yang ada di alam. Kisaran R 2 berkisar antara 0-100%. Semakin besar kisaran koefisien determinasi maka model yang digunakan semakin mewakili kondisi di alam. Koefisien korelasi (r) digunakan untuk menggambarkan keeratan hubungan antara parameter lingkungan dengan kelimpahan larva dan juvenil. Jika nilai r < 0.5 maka hubungan antara parameter lingkungan dengan distribusi larva kurang erat. Jika nilai 0.5 r > 0.7 maka hubungan antara parameter lingkungan dengan distribusi larva erat. Jika nilai r 0.7 maka hubungan antara parameter lingkungan dengan distribusi larva sangat erat.

38 23 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Muara Sungai Muara Sungai Citepus Muara Sungai Citepus terletak di Kecamatan Palabuhanratu pada koordinat lintang 6 o 58'47.30" dan bujur 106 o 31'34.80". Muara sungai ini memiliki bukaan mulut muara sungai ± 3 meter dan memiliki mulut pantai dengan luas ± 1 kilometer dan memiliki substrat pasir. Air muara Sungai Citepus cenderung berwarna coklat dengan kekeruhan yang cukup keruh. Muara Sungai Citepus merupakan salah satu objek wisata yang banyak dikunjungi oleh masyarakat, sehingga aktivitas di muara sungai ini cukup padat. Selain itu, muara Sungai Citepus merupakan tempat bermuaranya aliran Sungai Citepus yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat MCK (mandi, cuci, dan kakus) sehingga terkadang banyak terdapat limbah rumah tangga yang bermuara ke laut. Gambar 4. Kondisi perairan muara Sungai Citepus

39 Muara Sungai Sukawayana Muara Sungai Sukawayana terletak di Kecamatan Cikakak dengan koordinat lintang 6 o 57'48.24 dan bujur 106 o 30'11.20". Muara sungai ini memiliki bukaan mulut muara sungai ± 3 meter. Kondisi perairan di muara sungai ini relatif keruh. Muara Sungai Sukawayana memiliki jenis substrat batu berpasir. Air sekitar muara Sungai Sukawayana cenderung coklat dengan kekeruhan yang cukup keruh. Di sekitar muara Sungai Sukawayana banyak terdapat pepohonan. Aktivitas muara sungai ini sangat sedikit. Lokasi ini jarang dijadikan sebagai lokasi wisata oleh masyarakat. Sungai Sukawayana juga dijadikan tempat untuk MCK. Gambar 5. Kondisi perairan muara Sungai Sukawayana 4.2 Aktivitas Nyalawean Aktivitas nyalawean di pesisir laut Teluk Palabuhanratu contohnya di muara Sungai Citepus dan muara Sungai Sukawayana terjadi pada bulan tertentu setiap tanggal 25 Hijriah khususnya bulan Maulud. Nyalawean merupakan aktivitas penangkapan impun dengan menggunakan sirib. Impun merupakan larva-larva ikan yang tertangkap. Saat musimnya, kelimpahan impun yang tertangkap sangat melimpah. Impun biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar sebagai sumber pangan.

40 Komposisi Jenis dan Kelimpahan Larva dan Juvenil Ikan Total larva dan juvenil ikan yang didapatkan berjumlah 1087 individu, dengan komposisi 6 famili, 12 genus, dan 19 spesies. Spesies yang ditemukan berada dalam fase larva dan juvenil. Jumlah spesies yang ditemukan di muara yang mengarah ke sungai lebih banyak dibandingkan di muara yang mengarah ke laut dengan jumlah spesies yang ditemukan sembilan spesies. Tabel 1. Jenis dan kelimpahan spesies yang tertangkap Lokasi Muara yang mengarah ke sungai Muara yang mengarah ke laut Kelimpahan (ind/m 3 ) Spesies Larva Juvenil Jul Jul- Apr-11 May Apr-11 May Megalops cyprinoides Mugilidae Caranx sp Congridae Sicyopterus sp Cynoglosus sp Microchantus sp Sardinella sp Sillago sp Platychephalidae Ambassis vachelli Gobiidae Sicyopterus sp Caranx leptolepis Secutor indicus Cyniglosus sp Serranidae Anguilla sp Sardinella gibbosa Tetraroge barbata Johnius belangerii Selama pengambilan contoh, larva Sicyopterus sp. memiliki kelimpahan total terbesar di muara yang mengarah ke sungai dengan nilai kelimpahan sebesar 241 ind/m 3, sedangakan di muara yang mengarah ke laut, spesies Secutor indicius

41 26 memiliki kelimpahan total terbesar selama pengambilan contoh yaitu sebesar 9 ind/m 3. Selain itu, Caranx sp., Sardinella sp., dan Cynoglossus sp. ditemukan di muara yang mengarah ke sungai juga di temukan di muara yang mengarah ke laut. Spesies yang ditemukan di bagan didominasi oleh larva Sicyopterus sp. dengan kelimpahan total adalah 1284 ind/m 3. Kelimpahan spesies lain yang ditemukan memiliki kelimpahan yang berbeda-beda (Tabel 1). Selama pengambilan contoh juga didapatkan spesies lain (ikan dan non ikan) dalam pada fase ikan dewasa dengan nilai kelimpahan dan jumlah individu yang berbeda-beda (Tabel 2). Tabel 2. Jenis dan kelimpahan spesies (ikan dan non ikan) yang tertangkap pada fase dewasa Muara yang mengarah ke laut Bagan *) Keterangan : *) : Pengambilan contoh ke 1, 2, dan 3 Spesies Kelimpahan (ind/m 3 ) 30-Apr May-11 3-Jul-11 Engraulididae Udang Ronggeng Bintang laut Keptiring Jumlah (ind) Udang Rebon 1151 Gempylus sp. 1 Sicyopterus sp. 734 Polydactylus sp. 93 Buntal 7 Engraulididae 5300 Anguilla sp. 1 Clupeidae 40 Mugilidae 7 Lutjanidae 3 Ambassis vachelli 4 Kuhlidae 1 Lepturachantus sp. 1 Leiognathidae 363 Spesies yang tertangkap selama pengambilan contoh di luar larva dan juvenil di muara Citepus dan Sukawayana arah laut di dominasi oleh famili Engraulididae.

42 27 Selain itu, spesies lain yang tertangkap adalah bintang laut, kepiting, serta udang ronggeng (Tabel 2). Berdasarkan Tabel 2, pada pengambilan contoh ke-1 dan 2 tidak didapatkan contoh larva dan juvenil dari muara yang mengarah ke sungai dan muara yang mengarah ke laut. Namun, contoh tersebut lebih dominan didapatkan dari bagan yang berasal dari Citepus dan Sukawayana. Kondisi arus pada pengambilan contoh ke- 1 dan 2 relatif lebih besar dibandingkan pada pengambilan contoh ke- 3, 4, dan 5. Spesies yang tertangkap di bagan selama pengambilan contoh di dominasi oleh famili Engraulididae sehingga jumlah individu yang tertangkap relatif besar dibandingkan spesies lainnya. Speseis lain yang ditemukan dalam jumlah yang besar antara lain family Leiognathidae, Sicyopterus sp., dan udang rebon dalam fase postlarva. Menurut Pariwono et al. (1998) arus pada bulan Maret dan April mencapai 75 cm/detik. Pada bulan Mei, Juni, dan Juli arus di Palabuhanratu relatif tenang dan lebih kecil dari bulan Maret dan April yaitu sebesar 50 cm/detik. Gerlach et al. (2006) menambahkan bahwa arus laut merupakan faktor utama dalam hal penyebaran larva. Arus akan mempengaruhi kebiasaan ikan, antara lain membawa telur ikan spawning ground ke nursery ground, dari nursery ground ke feeding ground, menyebabkan migrasi pada ikan dewasa, arus (pasang surut) akan mengakibatkan terjadinya migrasi diurnal, arus akan mempengaruhi distribusi dan kelimpahan ikan. Arus juga memiliki kecepatan maksimum bagi larva ikan (Laevastu and Hela 1970). Misalnya larva ikan herring (clupea) kecepatan maksimum agar menunjang perkembangannya adalah cm/detik (Bishai 1970 in Laevastu and Hela 1970). Selain itu, faktor lain yang mempengaruhi tidak didapatkannya contoh larva dan juvenil ikan adalah faktor alat tangkap yang digunakan yaitu diameter larva net yang relatif kecil dan elastisitas dari jaring yang kaku. Pada pengambilan contoh ke- 3, 4, dan 5 dibuat modikasi larva net dengan luas permukaan 1 m 2 dengan meshsize jaring 5 mm. Faktor lain yang menyebabkan tidak didapatkannya contoh larva dan juvenil pada pengambilan contoh ke- 1 adalah terjadinya fenomena super moon. Bagan yang terdapat di Teluk Palabuhanratu adalah bagan apung dengan menggunakan alat bantu lampu petromaks. Didapatkannya spesies ikan di bagan baik dari

43 28 Citepusmaupun Sukawayana lebih disebabkan karena faktor sinar lampu yang digunakan saat penangkapan oleh nelayan. Sinar yang dipantulkan oleh lampu ke perairan memiliki kemampuan menarik perhatian ikan untuk migrasi ke permukaan. Menurut Thorson (1996) in Sulistiono et al (2001) pada tahap awal kehidupan larva bersifat fototaksis positif sehingga larva akan mengapung bebas diperairan. Namun adapula beberapa larva sangat sensitif terhadap cahaya dan tekanan sehingga mereka hanya menenmpati tingkatan pada kolom air. Menurut Yami (1987) in Magdalena (2010) pemikatan oleh suatu sumber pencahayaan tidak hanya tergantung kepada sifat fototaksis positif dari ikan tersebut, tetapi juga oleh faktor ekologis yang berpengaruh terhadap makhluk hidup lainnya. Pada mulanya yang tertarik adalah zooplankton, kemudian diikuti oleh ikan kecil akhirnya ikan besar. Penangkapan larva dan juvenil banyak dilakukan pada bulan gelap dan pada bulan tertentu. Berdasarkan hasil informasi masyarakat sekitar, kelimpahan larva dan juvenil khususnya Sicyopterus sp. meningkat pada bulan-bulan tertentu sekitar tanggal 25 pada kalender Hijriah. Penentuan bulan terang dan bulan gelap berdasarkan siklus bulan. Pada bulan terang, cahaya yang dipantulkan ke perairan bersifat menyebar, sehingga ikan pun akan menyebar rata akibat pantulan cahaya. Pada bulan gelap ikan cenderung mengelompok sehingga dalam hal penangkapan lebih banyak yang tertangkap dibandingkan bulan terang. Kelimpahan Relatif (%) Megalops cyprinoides % Sicyopterus sp. Spesies Sillago sp. Gambar 6. Kelimpahan relatif larva di muara Citepus yang mengarah ke sungai

44 29 Kelimpahan Relatif (%) % Gambar 7. Kelimpahan relatif juvenil di muara Citepus yang mengarah ke sungai Spesies Terdapat 10 jenis spesies ikan yang tertangkap selama pengampilan contoh dengan masing-masing tiga jenis larva dan tujuh jenis juvenil. Selama pengambilan contoh di muara Citepus yang mengarah ke sungai larva dari Sicyopterus sp. memiliki kelimpahan tertinggi dengan total kelimpahan sebanyak 220 ind/m 3 dengan kelimpahan relatif sebesar 98.65%. Jenis juvenil dari famili Platycephalidae memiliki kelimpahan tertinggi dibandingkan dengan spesies lain yaitu sebesar 4 ind/m 3 dengan kepadatan relatif sebesar 33.33%. 100 Kelimpahan Relatif (%) % % 0 Ambassis vachelli Sicyopterus sp. Spesies Gambar 8. Kelimpahan relatif larva di muara Sukawayana yang mengarah ke sungai

45 Kelimpahan Relatif (%) % % 0 Mugilidae Spesies Gobiidae Gambar 9. Kelimpahan relatif juvenil di muara Sukawayana yang mengarah ke sungai Jumlah spesies yang tertangkap selama pengambilan contoh di muara Sukawayana yang mengarah ke sungai adalah empat jenis dengan dua jenis larva dan dua jenis juvenil. Larva dari spesies Ambassis vachelli memiliki kelimpahan larva tertinggi yaitu sebesar 39 ind/m 3 dengan kelimpahan realatif sebesar 55.71%. Selain itu, spesies Sicyopterus sp. memiliki kelimpahan relatif sebesar 44.29%. Sedangkan untuk juvenil di muara Sukawayana yang mengarah ke sungai famili Gobiidae memiliki kelimpahan juvenil tertinggi dengan persentase kelimpahan relatif sebesar 66.67%. Kelimpahan Relatif (%) % % % % Sicyopterus sp. Serranidae Secutor indicius Cynoglosus sp. Spesies Gambar 10. Kelimpahan relatif larva di muara Citepus yang mengarah ke laut

46 31 Kelimpahan Relaatif (%) % Caranx leptolepis Spesies % Secutor indicius Gambar 11. Kelimpahan relatif juvenil di muara Citepus yang mengarah ke laut Spesies yang tertangkap selama pengambilan contoh di muara Citepus yang mengarah ke laut adalah lima spesies dengan empat jenis berada pada fase larva dan dua jenis berada pada fase juvenil. Spesies Secutor indicius ditemukan pada fase larva dan juvenil. Jumlah spesies yang tertangkap di muara yang mengarah ke laut lebih sedikit dibandingkan di muara yang mengarah ke sungai. Kelimpahan relatif larva di muara Citepus hampir sama yaitu sebesar 28.57% dengan kelimpahan individu masing-masing sebesar 2 ind/m 3 dengan jenis Sicyopterus sp., Secutor indicius, dan Cynoglossus sp., namun famili dari Serranidae memiliki kelimpahan relatif sebesar 14.29%. Juvenil dari Secutor indicius memiliki kelimpahan tertinggi di muara Citepus yang mengarah ke laut dengan persentase kelimpahan relatif sebesar 66.67% dan kelimpahan individu sebesar 2 in/m 3. Kelimpahan Relatif (%) % Cynoglosus sp. Anguilla sp. Sicyopterus sp. Spesies Gambar 12. Kelimpahan relatif larva di muara Sukawayana yang mengarah ke laut

47 32 Kelimpahan Relatif (%) % Secutor indicius Sardinella gibbosa Spesies Tetraroge barbata Johnius belangerii Gambar 13. Kelimpahan relatif juvenil di muara Sukawayana yang mengarah ke laut Spesies yang tertangkap di muara Sukawayana yang mengarah ke laut berjumlah tujuh spesies dengan tiga jenis larva dan empat jenis juvenil. Larva yang memiliki kelimpahan tertinggi di muara Sukawayana yang mengarah ke laut adalah jenis Anguilla sp. dengan nilai kelimpahan 2 ind/m 3 dan persentasi kelimpahan sebesar 50%. Sama seperti Gambar 11, di muara Sukawayana yang mengarah ke laut, juvenil dari spesies Secutor indicius memiliki kelimpahan yang lebih besar pada lokasi tersebut yaitu sebesar 4 ind/m 3 dengan kepadatan relatif sebesar 57.14%. Individu lain yang ditemukan (Gambar 13) memiliki kelimpahan yang lebih rendah dibandingkan Secutor indicius. Sicyopterus sp. merupakan famili dari Gobiidae. Banyaknya larva Sicyopterus sp. yang tertangkap disebabkan muara Citepus dan Sukawayana yang mengarah ke sungai merupakan daerah migrasi spesies tersebut. Saat pengambilan contoh terjadi migrasi Sicyopterus sp. ke muara yang mengarah ke sungai pada fase postlarva dan juvenil. Menurut masyarakat sekitar di teluk Palabuhanratu pada tanggal 25 Hijriah pada bulan April-Juni kelimpahan larva dari Sicyopterus meningkat akibat dari aktivitas ruaya dari laut ke sungai. Menurut Sanches-Velasco et al. (1996) in Nursid (2002) kelompok larva tersebut dalam hidupnya sangat tergantung pada estuaria. Jenkins and Boseto (2007) menjelaskan larva Sicyopterus sp. termasuk jenis ruaya amphidromus yaitu melakukan ruaya mencari makan. Pemijahan berlangsung di sungai dan saat penetasan ke laut. Saat ikan pada fase postlarva dan juvenil spesies tersebut kembali lagi ke muara yang mengarah ke sungai untuk mencari makan dan pembesaran.

48 33 Larva Anguilla sp. dan Congridae merupakan jenis ikan katadromus yaitu spesies bermigrasi dari tawar ke laut untuk pemijahan (Kenninsh 1990 in Nursid 2002). Larva Megalops cyprinoides merupakan jenis spesies anadromus yang dapat hidup pada salinitas Saat pengambilan contoh larva ini ditemukan di daerah muara yang mengarah ke sungai. Menurut Jayaseelan (1998); Fish Base (2002) in Nursid (2002) pada spesies ini, saat dewasa ditemukan di laut, tetapi pada fase larva dan juvenil banyak yang tinggal di estuaria atau hutan mangrove. Selain itu, spesies ini kawin di laut dan pemijahan berlangsung sepanjang tahun. Jenis spesies Tetraroge barbata dan Ambassis termasuk dalam freshwater migrant. Jenis migrasi ini, pemijahan dilakukan di perairan tawar dan ada di perairan tawar dan estuari sepanjang tahun (Jenkins and Boseto 2007). Ditemukannya spesies Tetraroge barbata di daerah laut sekitar muara di bahwa spesies tersebut merupakan spesies euryhaline sehingga memiliki kisaran salinitas yang luas. Jenkins and Boseto (2007) mengelompokkan spesies Caranx sp. termasuk dalam marine migrant yaitu spesies dengan kisaran salinitas yang luas (euryhaline) yang melakukan pemijahan di laut dan menggunakan daerah estuari untuk pembesaran juvenil dan dewasa. Kelimpahan larva dan juvenil di muara Citepus yang mengarah ke sungai lebih besar dibandingkan muara Sukawayana yang mengarah ke sungai. Faktor yang menyebabkan melimpahnya larva dan juvenil di daerah muara Citepus yang mengarah ke sungai diduga karena daerah tersebut merupakan daerah migrasi dari larva Sicyopterus sp. dan ketersediaan makanan lebih banyak dibandingkan muara Sukawayana yang mengarah ke laut. Faktor lain adalah lebar garis pantai muara Citepus yang mengarah ke sungai lebih panjang dibandingkan muara Sukawayana. Selain itu, di muara Citepus tersebut dijadikan kawasan objek wisata oleh masyarakat sekitar sehingga hanya spesies-spesies tertentu yang dapat beradaptasi dilokasi tersebut. Banyaknya spesies Ambassis vachelli di muara Sukawayana diduga kawasan tersebut merupakan kawasan yang tepat bagi pembesaran dari larva dan juvenil tersebut. Secara morfologi, muara tersebut memiliki substrat pasir dan berbatu sehingga saat pengambilan contoh banyak bersembuyi di bebatuan dan aktivitas yang ada lebih sedikit dibandingkan di muara Sungai Citepus.

49 34 Selain itu, larva dan juvenil dari Secutor indicius termasuk dalam famili Leiognathidae. Spesies tersebut termasuk dalam estuarine migrant. Pemijahan dilakukan di estuari dan larva berkembang di laut. Sehingga migrasi yang dilakukan anra estuari atau muara dengan habitat yang sejenis Camargo & Isaac (2003); Re (2005) in Bonecker et al. (2009) menambahkan kelimpahan ikan dan larva ikan di estuari sangat dipengaruhi oleh musim, morfologi dari muara, masuknya air laut, dinamika pasang surut, arus, dan ketersediaan makanan. Laevastu and Hela (1970) menyatakan bahwa perubahan suhu akan mempengaruhi distribusi dan kelimpahan ikan. Banyak ikan yang melakukan migrasi dari perairan yang suhunya tinggi ke perairan yang suhunya lebih rendah. Secara tidak langsung migrasi tersebut dipengaruhi oleh kelimpahan dari makanan. Selain itu, kelimpahan dipengaruhi oleh tekanan psikologis dan kerusakan fisik, blooming alga dan racun, polusi, penyakit dan pencemaran, dan pemangsaan (Sulistiono 2001). Romomiharto and Juwana (1999) in Nursid (2002) menyatakan bahwa ekosistem estuaria merupakan ekosistem yang produktif, rapuh, dan sekaligus penuh dengan sumberdaya. Ekosistem ini mendapat subsisdi energi, karena pasang surut banyak membantu dalam menyebarkan zat-zat hara. Sehingga akan berkorelasi dengan ketersediaan makanan, maka menyebabkan kelimpahan di muara lebih besar dibandingkan di laut. Dando (1984) in Nursid (2002) spesies ikan laut banyak menggunakan estuaria untuk berlindung dan mencari makan karena estuaria kaya akan nutrient. Dandao (1984) in Nursid (2002) menambahkan bahwa banyak spesies ikan laut masuk ke muara atau naik ke perairan tawar untuk bertelur tetapi pada masa larva dan postlarvanya menggunakan daerah estuaria sebagi tempat asuhannya. Sulistiono et al. (2000) in Nursid (2002) mejelaskan ekosistem estuaria merupakan jalan masuk dan jalan keluar bagi ikan-ikan diadromus (andromus dan katadromus). Ikan andaromus menggunakan jalan masuk dari laut menuju sungai atau estuaria, sebaliknya ikan katadromus menggunakan estuaria sebagai jalan keluar dari sungai atau danau untuk migrasi ke laut.

50 Kepadatan Larva dan Juvenil Ikan Kepadatan di muara Citepus dan Sukawayana yang mengarah ke sungai dan Sukawayana digambarkan pada Gambar 14 dan 15. Komposisi dalam gambar tersebut masing-masing terdapat larva dan juvenil. Kepadatan spesies dari muara Citepus yang mengarah ke sungai lebih besar dari muara Sukawayana yang mengarah ke sungai. Kepadatan muara Citepus yang mengarah ke sungai adalah 166 ind/m 2 dengan 10 spesies yang tertangkap, sedangkan kepadatan dari muara Sukawayana yang mengarah ke sungai adalah 52 ind/m 2 dengan jumlah spesies yang tertangkap sebanyak empat jenis. a b Gambar 14. Kepadatan relatif larva (a) dan juvenil (b) di muara Citepus yang mengarah ke sungai, Teluk Palabuhanratu Muara Citepus yang mengarah ke sungai, pada fase larva didominasi oleh larva Sicyopterus sp. dengan persentasi 98.72% nilai kepadatan sebesar 154 ind/m 2. Selain itu, larva lain yang ditemukan adalah Megalops cyrinoides dan Sillago sp. Selama pengambilan contoh di muara Citepus yang mengarah ke sungai ditemukan tujuh jenis ikan pada fase juvenil. Mugilidae, Caranx sp., dan Platycephalidae memiliki kepadatan relatif sebesar 20% dengan nilai kepadatan masing-masing 2 ind/m 2, sedangkan Ophictidae, Sardinella sp., Microchantus sp., Congridae, dan Cynoglossus sp. memiliki kelimpahan relatif yang lebih kecil masing-masing 10%.

51 36 a b Gambar 15. Kepadatan relatif larva (a) dan juvenil (b) di muara Sukawayanan arah sungai, Teluk Palabuhanratu Spesies ikan yang terdapat di muara Sukawayana yang mengarah ke sungai antara lain Sicyopterus sp., Ambassis vachelli., Mugilidae, dan Gobiidae. Masingmasing spesies berada pada fase yang berbeda. Ambassis vachelli dan Sicyopterus sp. yang tertangkap berada pada fase larva, sedangkan Mugilidae dan Gobiidae berada pada fase juvenil. memiliki komposisi kepadatan yang berbeda. Larva Sicyopterus sp. memiliki persentasi kepadatan relatif 44.91% dengan nilai kepadatan spesies 22 ind/m 2. Komposisi kepadatan spesies dari Ambassis vachelli pada fase postlarva adalah 27 ind/m 2 dengan persentasi kepadatan relatif sebesar 55.10%. Selama pengambilan contoh di muara Sukawayana yang mengarah ke sungai, famili Mugilidae memiliki prensentasi kepadatan relatif sebesar 33.33% dengan nilai kepadatan spesies sebesar 1 ind/m 2. Sedangkan untuk spesies Gobiidae memiliki persentasi kepadatan spesies 66.67% dengan nilai kepadatan spesies sebesar 2 ind/m 2. Persentasi kepadatan spesies ikan yang tertangkap selama pengambilan contoh di muara Citepus yang mengarah ke laut dan di muara Sukawayana yang mengarah ke laut (Gambar 16 dan 17) memiliki nilai persentasi kepadatan dan nilai kepadatan spesies yang berbeda-beda. Nilai kepadatan tertinggi adalah di muara Citepus yang mengarah ke laut dengan nilai 10 ind/m 2 dengan lima spesies ikan, sedangkan disekitar muara Sukawayana yang mengarah ke laut memiliki kepadatan 16 ind/m 2 dengan spesies yang tertangkap sebanyak tujuh jenis. Komposisi jenis

52 37 spesies ikan di setiap lokasi berbeda-beda. Selain itu, fase ikan pada lokasi ini juga berbeda-beda mulai dari larva, juvenil, dan ikan. a b Gambar 16. Kepadatan relatif larva (a) dan juvenil (b) di muara Citepus yang mengarah ke sungai, Teluk Palabuhanratu Spesies-spesies ikan yang terdapat di muara Citepus yang mengarah ke laut pada fase larva adalah Sicyopterus sp., Cynoglossus sp, Secutor indicius, dan Serranidae, sedangkan pada fase juvenil adalah Caranx sp. dan Caranx leptolepis. Larva Secutor indicius memiliki nilai kepadatan spesies 3 ind/m 2 dengan persentasi kepadatan relatif 37.5%. Untuk spesies larva Sicyopterus sp., larva Cynoglossus sp. masing-masing memiliki nilai kepadatan sebesar 2 ind/m 2 dengan persentasi kepadatan sebesar 25%. Spesies Secutor indicius pada fase juvenil di muara Citepus yang mengarah ke laut memiliki kepadatan sebesar 2 ind/m 2 dengan kepadatan relatif 66.67%. Spesies yang tertangkap selama pengambilan contoh di muara Sukawayana yang mengarah ke laut sebanyak tujuh jenis dengan tiga jenis larva dan empat jenis juvenil. Larva yang ditemukan antara lain larva Sicyopterus sp., Cynoglossus sp., dan Anguilla sp. sedangkan juvenil yang ditemukan adalah Secutor indicius, Sardinella sp., Tertaroge barbata, Johniuss belangerii. Larva dari Anguilla sp. memiliki kelimpahan larva tertinggi yaitu 2 ind/m 2 dengan persentasi kepadatan relatif sebesar 50%.

53 38 a b Gambar 17. Kepadatan relatif larva (a) dan juvenil (b) di muara Sukawayana yang mengarah ke laut, Teluk Palabuhanratu Sama seperti pengambilan contoh di muara Citepus yang mengarah ke laut, di Sukawayana komposisi kepadatan ikan tertinggi adalah spesies Secutor indicius dengan nilai kepadatan spesies sebesar 9 ind/m 2 dan persentasi kepadatan relatif sebesar 75%. Spesies-spesies seperti larva Sicyopterus sp., Sardinella sp., Tertaroge barbata, larva Cynoglossus sp., dan Johniuss belangerii memiliki nilai kepadatan individu sebesar 1 ind/m 2. Selama pengambilan contoh lokasi muara yang mengarah ke laut memiliki komposisi spesies yang lebih sedikit dibandingkan dengan muara yang mengarah ke sungai. Kepadatan pada ikan akan sangat mempengaruhi pertumbuhan. Akibatnya akan berdampak pada stabilitas populasi (Rotschild 1986; Beyer 1989; Houde 1989 in Sulistiono 2001). Dalam suatu kepadatan ikan akan ada persaingan terhadap makanan, umur dari stadia larva, dan akan meningkatkan stadia mortalitas (Ricker and Foerster 1948; Shepherd and Cushing 1980 in Sulistiono 2001). Kepadatan spesies sangat dipengaruhi tekanan psikologis dan kerusakan fisik, blooming alga dan racun, polusi, penyakit dan pencemaran, ketersediaan makanan, dan pemangsaan (Sulistiono 2001). 4.5 Kekayaan Spesies Kekayaan spesies pada setiap individu yang tertangkap selama pengambilan contoh berbeda-beda. Kekayaan spesies sangat dipengaruhi jumlah jenis spesies dan

54 39 jumlah total individu dari spesies. Semakin kecil nilai kekayaan spesies maka menunjukkan lokasi kaya akan spesies. Sebaliknya jika nilai kekayaan spesies besar maka lokasi tersebut miskin. Berdasarkan Lampiran 7, kekayaan jenis larva tertinggi terdapat di lokasi muara Sukawayana yang mengarah ke laut, sedangkan untuk kekayaan jenis juvenil tertinggi terdapat di lokasi muara Citepus yang mengarah ke sungai. Secara total, muara Sukawayana yang mengarah ke sungai memiliki nilai kekayaan spesies yang paling rendah dibandingkan dengan muara Citepus yang mengarah ke laut. Kekayaan spesies terendah terdapat di muara Sukawayana yang mengarah ke sungai memiliki nilai 0,3227. Selain itu, muara Citepus yang mengarah ke laut memiliki nilai kekayaan spesies yang lebih tinggi dibandingkan dengan muara Sukawayana yang mengarah ke laut yaitu 1,3360. Kekayaan spesies sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor baik internal dan eksternal. Dalam Sulistiono et al. (2001) dijelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain kematian akibat tekanan psikologis dan kerusakan fisik, blooming alga dan racun, polusi di perairan, penyakit dan parasit, kekurangan makanan, dan pemangsaan. Semakin besar pengaruh dari faktor-faktor tersebut, maka akan kekayaan spesies dalam suatu perairan akan semakin kecil sebagai akibat banyaknya individu yang tidak mampu bertahan hidup dari gangguan-gangguan yang ada. 4.6 Pola Distribusi dan Penyebaran Spesies Sebagian besar pola penyebaran dari larva saat pengambilan contoh adalah acak (Lampiran 7). Cara hidup biota berkelompok menunjukkan kecenderungan yang kuat untuk berkompetisi dengan biota yang lain terutama dalam hal makanan. Dalam hal ini, pula penyebaran biota sangat dipengaruhi oleh tipe habitat yang meliputi parameter fisik kimia perairan serta makanan dan kemampuan adapatasi dari suatu biota dalam sebuah ekosistem. Sifat penyebaran dari ikan disebabkan oleh beberapa faktor antara lain kondisi lingkungan, tipe substrat, kebiasaan makan, dan cara bereproduksi (Alfitriatussulus 2003). Selama pengambilan contoh, pola penyebaran dan distribusi cenderung menunjukkan pola acak. Pola distribusi acak ini disebabkan karena sifat mobile yang tinggi. Pola penyebaran acak menyebabkan ikan cenderung hidup secara soliter dan

55 40 adanya persaingan antara individu. Hal ini, akan menyebabkan tingakat mortalitas larva dan juvenil terhadap predator akan semakin besar dibandingkan dengan spesies ikan yang berkelompok. Penyebaran larva dan juvenil secara spasial memiliki kelimpahan yang berbeda-beda setiap pengambilan contoh. Di muara yang mengarah ke sungai lebih didominasi oleh larva Sicyopterus sp., dan Ambassis sedangkan di muara yang mengarah ke laut didominasi oleh larva dan juvenil dari Secutor indicius. Penyebaran secara temporal, dalam suatu lokasi menunjukkan kelimpahan yang berbeda-beda setiap pengambilan contoh. Penyebaran yang berbeda-beda baik secara spasial maupun temporal tersebut bisa disebabkan karena arus, ketersediaan makanan di perairan, dan aktivitas ruaya. Selain itu, pola penyebaran sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik kimia perairan. Larva dan juvenil akan memilih habitat yang sesuai untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan. Penyebaran larva akan bergerak ke suatu titik dimana mungkin akan mempengaruhi pertumbuhan suatu individu dengan ukuran yang berbeda. Misalnya saat pertumbuhan, larva ikan menidia memerlukan waktu lama untuk tumbuh apabila hidup bersama-sama dalam suatu kelompok dibandingkan tumbuh secara individual (Sulistiono et al. 1970). 4.7 Struktur Komunitas Sturktur komunitas selama pengambilan contoh di Teluk Palabuhanratu digambarkan oleh Tabel 3. Berdasarkan tabel tersebut, nilai keanekaragaman (H'), keseragaman (E), dan dominansi (C) di setiap lokasi pengambilan contoh berbedabeda. Tabel 3. Struktur komunitas spesies larva dan juvenil Teluk Palabuhanratu Muara yang mengarah ke sungai Muara yang mengarah ke laut Indeks Citepus Sukawayana Citepus Sukawayana Keanekaragaman (H') Keseragaman (E) Dominansi (C)

56 41 Nilai keanekaragaman (H') tertinggi di muara Sukawayana yang mengarah ke laut adalah lebih tinggi dibandingkan dengan muara Citepus yang mengarah ke laut dengan nilai 1.77, sedangkan muara Sukawayana yang mengarah ke sungai memiliki nilai keanekaragaman (H') yang lebih tinggi dibandingkan dengan muara Citepus yang mengarah ke sungai dengan nilai 0,86. Menurut Alfitriatussulus (2003) nilai indeks keanekaragaman tergantung dari jumlah variasi jumlah individu tiap spesies yang didapatkan. Semakin kecil dari jumlah variasi spesies dan jumlah individu tiap spesies yang didapatkan. Semakin kecil jumlah spesies dan variasi jumlah individu tiap spesies maka keanekaragaman suatu ekosistem semakin kecil. Hal ini juga dapat menyebabkan terjadinya ketidakkeseimbangan ekosistem yang disebabkan gangguan atau tekanan dari lingkungan, berarti hanya satu jenis spesies yang dapat bertahan hidup. Nilai keseragaman (E) tertinggi terdapat di muara Citepus dan Sukawayana yang mengarah ke laut sama yaitu 0,91, sedangkan nilai keseragaman di muara yang mengarah ke sungai terendah terdapat dilokasi muara Citepus dengan nilai 0,16. Semakin besar nilai keseagaman maka dapat dikatakan bahwa keseragaman antar spesies merata atau jumlah individu dalam suatu spesies relatif sama dan sebaliknya jika nilai keseragaman semakin kecil maka jumlah individu dalam suatu spesies tidak merata. Dominansi (C) terbesar terdapat di muara Citepus yang mengarah ke sungai lebih besar dibandingkan dengan muara Sukawayana arah sungai dengan nilai 0,88. Nilai dominansi (C) di muara Sukawayana yang mengarah ke laut lebih rendah dibandingkan dengan muara Citepus dengan nilai 0,21. Semakin besar nilai dominansi (C) maka menunjukkan ditemukannya suatu spesies yang jumlahnya dominan di bandingkan spesies lainnya. Nilai dominansi (C) di muara Citepus yang mengarah ke sungai disebabkan oleh banyaknya individu dari larva Sicyopterus sp. yang tertangkap. Struktur komunitas larva dan juvenil akan sangat dipengaruhi oleh hal-hal berikut, antara lain kematian akibat tekanan psikologis dan kerusakan fisik, blooming alga dan racun, polusi, penyakit dan pencemaran, ketersediaan makanan, dan pemangsaan (Sulistiono 2001). Tekanan psikologis dan kerusakan fisik bisa disebabkan oleh tekanan dari suatu lingkungan misalnya toleransi terhadap suhu,

57 42 salinitas, dan oksigen (Holliday and Blaxter 1960; Aldedice and Velsesn 1971; Braoum 1973 in Sulistiono 2001). Gosselin et al. (1989) in Sulistiono (2001) gejala alga beracun yang berbahaya akan mempengaruhi dari rekruitmen baik secara temporal maupun spasial. Hunter (1981) in Sulistiono (2001) berkurangnya makanan merupakan sebab utama dari kematian larva. Selain itu, struktur komunitas larva dan juvenil sangat dipengaruhi oleh habitat yang ditempati. Menurut Wilson (1952) in Sulistiono et al. (2001) larva akan memilih daerah yang mereka tempati. Larva dan juvenil tidak begitu saja menetap pada perairan atau substrat. Larva dan juvenil memiliki kemapuan untuk mencoba substratnya. Apabila lingkungan tersebut cocok maka larva dan juvenil tersebut akan bermetamorfosis. Selain itu menurut Crips and Meadows (1962) in Sulistiono et al. (2001) larva tertarik ke suatu daerah oleh bahan kimia atau feromon yang dikeluarkan oleh organisme dewasa. Mekanisme ini menjamin kelangsungan hidup yang muda karena terdapat hewan dewasa berarti daerah tersebut cocok dengan habitat hidup. 4.8 Kondisi Lingkungan Perairan Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa parameter fisika dan kimia parameter merupakan parameter yang berpengaruh terhadap distribusi dan kelimpahan jenis dari larva dan juvenil. Dalam hal ini, parameter yang diamati adalah arus, suhu, kekeruhan, dan salinitas. Pengambilan contoh parameter fisik kimia di setiap lokasi dilakukan dalam waktu yang berbeda. Di muara Citepus yang mengarah ke sungai pengambilan contoh dilakukan pukul WIB sedangkan di muara Sukawayana pengambilan contoh parameter fisika kimia dilakukan pukul Selain itu, pengambilan contoh air di muara Citepus yang mengarah ke laut dilakukan pukul WIB sedangkan muara Sukawayana yang mengarah ke laut pada pukul WIB Arus Pengambilan contoh larva di Teluk Palabuhanratu dilakukan sebanyak lima kali yaitu pada tanggal 19 Maret 2011, 2 April 2011, 30 April 2011, 30 Mei 2011,

58 43 dan 3 Juli Selama pengambilan contoh, pada pengambilan contoh ke- 1 dan ke-2 tidak didapatkan contoh ikan dan larva. Faktor-faktor yang mempengaruhi tidak didapatnya contoh larva dan ikan adalah arus yang relatif lebih besar dibandingkan dengan bulan Mei, Juni, dan Juli. Menurut Pariwono et al. (1998) arus pada bulan Maret dan April mencapai 75 cm/detik. Pada bulan Mei, Juni, dan Juli arus di Palabuhanratu relatif tenang dan lebih kecil dari bulan Maret dan April yaitu sebesar 50 cm/detik. Gerlach et al. (2006) menambahkan bahwa arus laut merupakan faktor utama dalam hal penyebaran larva. Arus akan mempengaruhi kebiasaan ikan, antara lain membawa telur ikan spawning ground ke nursery ground, dari nursery ground ke feeding ground, menyebabkan migrasi pada ikan dewasa, arus (pasang surut) akan mengakibatkan terjadinya migrasi diurnal, arus akan mempengaruhi distribusi dan kelimpahan ikan. Arus juga memiliki kecepatan maksimum bagi larva ikan (Laevastu and Hela 1970). Misalnya larva ikan herring (clupea) kecepatan maksimum agar menunjang perkembangannya adalah cm/detik (Bishai 1970 in Laevastu and Hela 1970). Pasang surut di Teluk Palabuhanratu lebih disebabkan karena arus perairan. Sehingga arus akan membawa larva dan juvenil ke arah muara yang mengarah ke sungai atau ke estuari. Menurut Barber and Lee (1975) in Sulistiono et al. (2001) pergerakan larva tergantung arus pasang surut. Pada saat arus pasang akan terbawa ke estuari dan sedikit terbawa ke arah tengah saat surut Suhu Gambar 18 dan Gambar 19 menggambarkan sebaran atau distribusi suhu perairan di muara Citepus dan Sukawayana arah sungai serta di muara Citepus dan Sukawayana arah laut selama pengambilan contoh yang ke-3, 4, dan 5. Dalam hal ini kisaran yang tidak terlalu jauh. Sebaran suhu di muara Citepus yang mengarah ke sungai adalah 27-28,5 o C, sedangkan sebaran suhu permukaan muara Citepus yang mengarah ke laut adalah 26-27,67 o C. Sebaran suhu di muara Sukawayana yang mengarah ke sungai tidak jauh berbeda, yaitu o C dan untuk sebaran suhu permukaan muara Sukawayana yang mengarah ke laut adalah 26-27,33 o C. Pariwono et. al. (1998) menyatakan bahwa kisaran suhu di kawasan pantai Teluk Palabuhanratu berkisar antara o C,

59 44 dimana suhu rata-rata pada akhir musim timur adalah 26,57 o C dan pada musim hujan sebesar 27,78 o C. 30 Suhu ( o C) Muara Citepus Sungai Muara Citepus Arah Laut 0 30-Apr May-11 3-Jul-11 Pengambilan Contoh Gambar 18. Distribusi suhu muara Citepus yang mengarah ke sungai dan muara Citepus yang mengarah ke laut 30 Suhu ( o C) Apr May-11 3-Jul-11 Muara Sukawayana Arah Sungai Muara Sukawayana Arah Laut Pengambilan Contoh Gambar 19. Distribusi suhu muara Sukawayana yang mengarah ke sungai dan muara Sukawayana yang mengarah ke laut Suhu memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan telur dan larva yang merupakan fase kritis dan akan mempengaruhi kemampuan mengapung (buoyancy) dari telur ikan (Laevastu and Hela 1970). Faktor suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi distribusi atau sebaran larva (Harris et al. 1999; Mariani 2001 in Nursid 2002). Setiap ikan memiliki kisaran suhu normal untuk menunjang kehidupannya (Poulsen 1994 in La Laevastu and Hela 1970). Misalnya, menurut Yamasaki and Tachihara (2006) pada contoh family Gobiidae dengan spesies Awounus

60 45 melanocephalus, penyerapan kuning telur berakhir selama 5 hari pada suhu o C. Disetiap lokasi, ikan memiliki suhu optimum untuk menunjang pertumbuhan dan suhu untuk melakukan spawaning yang berbeda-beda. Misalnya famili Engraulididae (Anchovy) di perairan Mediterania (Laevastu and Hela 1970) memiliki kisaran suhu untuk pertumbuhan antara 6-29 o C, sedangkan untuk pemijahan memerlukan kisaran suhu antara o C. Menurut Laevastu and Hela (1970) bagi larva ikan sendiri, suhu akan berpengaruh terhadap ketersediaan makanan diperairan. Suhu akan mempengaruhi produksi dari fitoplankton. Selain itu,juga akan mempengaruhi zooplankton yang merupakan makanan penting bagi larva. Kelimpahan zooplankton akan sangat dipengaruhi oleh produksi dari fitoplankton dan pemijahan dari hewan-hewan planktonik yang sudah dewasa. Kisaran suhu yang lebih tinggi dari suhu optimum akan bersifat lethal bagi ikan dan larva. Blaxter (1960) in Laevastu and Hela (1970) menemukan bahwa larva ikan herring (Clupea) pada ukuran 6-8 mm, kisaran suhu o C merupakan kondisi yang lethal bagi ikan sehingga menyebabkan larva tersebut mati atau hampir mati Salinitas Salinitas menggambarkan kandungan garam dalam suatu perairan. Sebaran salinitas (NTU) di setiap lokasi penelitian selama pengambilan contoh berbeda-beda. Salinitas tersebut jelaskan pada Gambar 20 dan Salinitas ( ) Apr May-11 3-Jul-11 Pengambilan Contoh Muara Citepus Arah Sungai Muara Citepus Arah Laut Gambar 20. Distribusi salinitas muara Citepus yang mengarah ke sungai dan muara Citepus yang mengarah ke laut

61 46 40 Salinitas ( ) Apr May-11 3-Jul-11 Pengambilan Contoh Muara Sukawayana Arah Sungai Muara Sukawayana Arah Laut Gambar 21. Distribusi salinitas muara Sukawayana yang mengarah ke sungai dan muara Sukawayana yang mengarah ke laut Salinitas muara Citepus yang mengarah ke sungai berkisar antara sedangkan salinitas muara Sukawayana yang mengarah ke sungai berkisar antara 7,35-15,6. Rendahnya salinitas dimuara Citepus dan Sukawayana yang mengarah ke sungai dan disebabkan karena muara yang mengarah ke sungai tersebut dipengaruhi oleh masukan air tawar dari darat. Salinitas muara Citepus yang mengarah ke sungai pada pengambilan contoh tanggal 30 April 2011 mencapai 36 diduga disebabkan karena terjadinya pasang masukan air laut yang lebih besar ke muara yang mengarah ke sungai daripada masukan air tawar. Menurut King (1963) perbedaan salinitas tersebut disebabkan karena perairan pesisir masih dipengaruhi oleh masukan air tawar dari daratan atau dari sungai. Laevastu and Hela (1970) menambahkan bahwa salinitas perairan pesisir lebih kecil karena dipengaruhi oleh dari daratan. Salinitas di perairan laut bebas memiliki salinitas yang lebih tinggi daripada di sekitar perairan pesisir (King 1963). Nontji (2005) menjelaskan bahwa di perairan samudera salinitas normal berkisar antara 33-37, namun kisaran salinitas tersebut bisa berubah tergantung pada masukan air tawar ke laut melalui sungai, melalui tanah, dan penguapan di bagian permukaan perairan. Salinitas muara Citepus yang mengarah ke laut berdasarkan hasil pengamatan berkisar antara 30,55-31,5 sedangkan untuk muara Sukawayana yang mengarah ke laut berkisar antara 30-31,05. Selain itu, Nontji (2005) sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran sungai yang masuk ke laut dan King (1963) menabahkan bahwa salinitas dipengaruhi pula oleh musim, tekanan, angin.

62 47 Morais dan Morais (1994) in Nursid (2002) menyatakan bahwa kelimpahan relatif larva di estuaria daerah tropik sangat dipengaruhi oleh salinitas dan masukan air tawar. Faria et al. (2006); Ramos et al. (2006) in Bonecker (2009) salinitas merupakan faktor lingkungan yang penting dan berpengaruh terhadap densitas dan pertumbuhan telur dan larva ikan di muara. Selain itu, ikan memiliki kisaran salinitas untuk pertumbuhan optimum. Misalnya pada ikan herring (clupe) (Holliday and Blaxter 1960 in Laevastu and Hela 1970) saat fertilisasi, perkembangan dan penetasan telur ikan perairan harus memiliki kisaran salinitas Kekeruhan Kekeruahan selama pengambilan contoh di empat lokasi digambarkan oleh Gambar 22 dan 23. Selama pengambilan contoh, nilai kekeruhan dari setiap lokasi berbeda-beda. 20 Kekeruhan (NTU) Apr May-11 3-Jul-11 Muara Citepus Arah Sungai Muara Citepus Arah Laut Pengambilan Contoh Gambar 22. Distribusi kekeruhan muara Citepus yang mengarah ke sungai dan muara Citepus yang mengarah ke laut 15 Kekeruhan (NTU) Apr May-11 3-Jul-11 Muara Sukawayana Arah Sungai Muara Sukawayana Arah Laut Pengambilan Contoh Gambar 23. Distribusi kekeruhan muara Sukawayana yang mengarah ke sungai dan muara Sukawayana yang mengarah ke laut

63 48 Kekeruhan muara Citepus yang mengarah ke laut berkisar antara 0,475-1,7 NTU sedangkan kekeruhan muara Sukawayana yang mengarah ke laut berkisar antara 0, NTU. Kekeruhan muara Citepus yang mengarah ke sungai berkisar antara 0-18 NTU sedangkan kekeruhan muara Sukawayana yang mengarah ke sungai berkisar antara 3-10 NTU. Perbedaan kisaran kekeruhan antara muara yang mengarah ke sungai dengan laut disebabkan karena muara yang mengarah ke sungai masih dipengaruhi oleh aktivitas dari daratan sehingga masukan bahan organik dan anorganik baik yang terlarut maupun yang tidak terlarut lebih besar dibandingkan denga air laut. Hal ini sesuai dengan APHA (1976); Davis and Cornwell (1991) in Effendi (2003) kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus), maupun bahan anorganik dan organik yang berupa plankton dan mikroorganisme air. Menurut Richardson et al. (1995); Maes et al. (1998) in Nursid (2001) pengaruh langsung dari kekeruhan adalah berkurangnya jarak pandang larva terhadap prey (mangsa). Meskipun demikian, banyak dari larva ikan yang tinggal didaerah estuaria memanfaatkan kondisi perairan yang keruh untuk menghindar dari predator. 4.9 Hubungan Kondisi Lingkungan dengan Kelimpahan Larva dan Juvenil Ikan Keterkaitan antara faktor lingkungan dengan kelimpahan spesies diperoleh dengan meregresikan antara kedua parameter. Berdasarkan perhintungan diperoleh hasil bahwa dalam parameter setiap parameter memberikan pengaruh yang berbeda terhadap kelimpahan spesies. Keterkaitan tersebut digambarkan melalui koefisien determinasi (R 2 ) dan koefisien korelasi (r). Koefisien determinasi digunakan untuk menggambarkan keadaan di alam, sedangkan koefisien korelasi menggambarkan keeratan parameter fisika kimia perairan dengan kelimpahan larva dan juvenil ikan.

64 49 Tabel 4. Keterkaitan parameter fisika kimia perairan dengan kelimpahan larva dan juvenil ikan Parameter Lokasi Persamaan R 2 r Muara Citepus yang mengarah ke sungai y = x Suhu Muara Sukawayana yang mengarah ke sungai y = x Muara Citepus yang mengarah ke laut y = x Muara Sukawayana yang mengarah ke laut y = x Muara Citepus yang mengarah ke sungai y = x Salinitas Muara Sukawayana yang mengarah ke sungai y = x Muara Citepus yang mengarah ke laut y = x Muara Sukawayana yang mengarah ke laut y = x Muara Citepus yang mengarah ke sungai y = x Kekeruhan Muara Sukawayana yang mengarah ke sungai y = x Muara Citepus yang mengarah ke laut y = x Muara Sukawayana yang mengarah ke laut y = x Parameter fisika kimia berkorelasi negatif terhadap kelimpahan. Artinya semakin besar nilai parameter fisika maka akan mengurangi kelimpahan. Pamater fisika kimia memberikan pengaruh yang ditunjukkan dengan nilai R 2 dan r. Parameter suhu nilai R 2 adalah 81.18%, salinitas memiliki nilai R 2 adalah 88.83%, dan kekeruhan memiliki nilai R 2 adalah 100%. Berdasarkan Tabel 4, parameter suhu merupakan parameter yang berkorelasi negatif terhadap kelimpahan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, parameter-parameter fisika dan kimia memberikan pengaruh terhadap perkembangan larva dan juvenil. Sehingga, larva dan juvenil harus memiliki kemampuan untuk bertahan hidup terhadap kemungkinan perubahan lingkungan perairan. Parameter-parameter tersebut merupakan parameter kunci dari keberhasilan hidup larva yang merupakan stadia awal atau fase kritis ikan Rekomendasi Pengelolaan Penangkapan larva dan juvenil pada aktivitas nyalawean tentunya akan berdampak pada kelimpahan, kepadatan, dan distribusi dari larva dan juvenil sehingga akan berpengaruh terhadap recruitment ikan. Oleh karena itu diperlukan suatu pengelolaan yang berbasiskan kelestarian sumberdaya dengan memperhatikan

65 50 bahwa larva dan juvenil merupakan fase kritis dari ikan yang akan berpengaruh terhadap keseimbangan alam dan ketersediaan ikan berikutnya. Hal yang harus dilakukan adalah pelarangan terhadap masyarakat untuk tidak melakukan penangkapan larva dan juvenil di Teluk Palabuhanratu sehingga dapat meminimalisi penangkapan larva dan juvenil. Dalam hal ini, perlu adanya kerjasama dari pemerintah setempat dan masyarakat. Setelah itu, menjadikan Teluk Palabuhanratu sebagai kawasan perlindungan atau kawasan konservasi mengingat di Teluk Palabuhanratu terdapat lokasi kritis (lokasi pemijahan ikan, lokasi penetasanan telur, lokasi pembesaran ikan). Dari semua total sungai yang bermuara ke Teluk Palabuhanratu sebagian lokasi dijadikan sebagai kawasan konservasi dan lokasi lainnya boleh dilakukan penangkapan sehingga dapat menjamin ketersediaan sumberdaya ikan dewasa berikutnya.

66 51 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Jenis larva dan juvenil yang banyak ditemukan adalah Sicyopterus sp. Sicyopterus sp. dan Ambassis vachelli memiliki kelimpahan yang relatif tinggi di muara yang mengarah ke sungai, sedangkan di muara yang mengarah ke laut spesies Secutor indicius yang memiliki kelimpahan tertinggi. Struktur komunitas muara Sukawayana yang mengarah ke laut memiliki nilai keanekaragaman (H ) dan keseragaman (E) tertinggi dan dominansi (C) yang paling rendah dibandingkan dengan muara Citepus yang mengarah ke laut, sedangkan struktur komunitas muara Sukawayana yang mengarah ke sungai memiliki nilai keanekaragaman (H ) dan keseragaman (E) tertinggi dan dominansi (C) yang paling rendah dibandingkan dengan muara Citepus yang mengarah ke sungai. Selama pengambilan contoh, disemua lokasi menunjukkan bahwa parameter suhu berkorelasi negatif terhadap kelimpahan. 5.2 Saran Perlu dilakukannya kajian tentang unsur hara dan kondisi pasang surut di masing-masing lokasi agar dapat menggambarkan pola sebaran larva dan juvenil yang lebih akurat di Teluk Palabuhanratu. Pengambilan contoh yang dilakukan baik di muara yang mengarah ke sungai maupun laut seyogyanya menggunakan effort yang sama. Pengambilan contoh larva dan juvenil serta pengukuran parameter fisika kimia air seyogyanya dilakukan dalam waktu yang bersamaan.

67 52 DAFTAR PUSTAKA Affandi R & U Aktani Studi potensi sumberdaya impun di Perairan Teluk Palabuhanratu Sukabumi, Jawa Barat. [14 Mei 2010]. Alfatriatussulus Sebaran molusca (Bivalva dan Gastropoda) di muara sungai Cimandiri, Teluk Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat. [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Allen G A field guide for anglers and divers: Marine fishes of South East Asia. Singapore: Periplus Editions (HK) Ltd. Basmi J Planktonologi: Plankton sebagai bioindikator kulaitas air. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakutas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Insttitut Pertanian Bogor. v + 60 p. Bonecker FT, MS de Castro, & Bonecker ACT Larval fish assemblage in tropical estuary ini relation to tidal cycles, day/night and seasonal variations. Pan-American Journal of Aquatic Science, 4(2): Brodeur RD & WC Rugen Diel vertikal distribution of ichthyoplankton in the Northern Gulf of Alaska. Fishery Bulletin 92(21). Brogan MW Two methods of sampling fish larvae over reefs: A comparison from the Gulf of California. Marine Biology 118: Brower J, J. Zar, & C. von Ende Field and laboratory methods for general ecology. Third Edition. Wm. C. Brown Publishers. xi p. Davis HC & A Calabrese Combine effect of temperature and salinity on development of eggs and growth of larvae of M. Mercenaria and C. Virginica. Fishery Bulletin: Vol. 63: No 3. de Castro MS, AC. T Bonecker, & JL Valentin Seasonal variation in fish larvae at the entrance of Guanabara Bay, Brazil. Brazilian Archives of Biology and Technology. Vol. 48 no. 1: Effendie MI Biologi perikanan. Jakarta: Yayasan Pustaka Nusatama. iii + 57 p. Effendi H Telaah kualitas air. Yogyakarta: Kanisisus. 258 p.

68 53 Fischer W & PJP Whitehead FAO species identification sheets for fishery purpose in Eastern Indian Ocean (fishing area 57) and Western Central Pasific (fishing area 71). Roma: Food and Agriculture Organization of the United Nations. Vol: I-IV. Gerlach G, J Atema, MJ Kingsford, KP Black, & VM Sims Smelling home can prevent dispersal of reef fish larvae. Edition: January Vol: 104 No.3. Hoar WS & DJ Randall Fish physiology. Academic Press, INC.Harcourt Brace Jovanovich, Publishers. Volume 1: xiv p. Hutabarat S & SM Evans Pengantar oseonografi. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press). ix p. Jenkins AP & D Boseto Freshwater fishes of Tetepare Island, Western Province, Solomon Island. Wetlands International. 35 p. King CAM An introduction to oceanography. McGraw Hill Book Company, INC. New York: San Francisco. 337 p. Laevastu T & I Hela Fisheries oceanography: New ocean environmental services. Fishing News (Books) Ltd. London. xv p. Laevastu T & ML Hayes Fisheries oceonography and ecology. Fishing News Book Ltd. England. xvi p. Leis JM & BMC Ewart The larva of Indo-Pacific coastal fishes: An identification guide to marine fish larvae. Australia: Brill. xix p. Magdalena AF Dinamika stok ikan teri Stolephorus indicius (Van Hasselt, 1983) di Teluk Banten, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Nontji A Laut nusantara. Jakarta: Djambatan. vii p. Nursid M Distribusi dan kelimpahan larva ikan di estuaria Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah. [tesis]. Bogor: Sekolah Pacscasarjana, Institut Pertanian Bogor. Odum EP Fundamentals of ecology, 3 th ed. W. B. Sounder Co. Philadelphia. xiv p. Odum HT Ekologi sistem: Suatu pengantar. [Systems ecology: An Introduction]. Supriharyono, Preseno K, & Srigandono B. Semarang: Gajah Mada University Press. xii p.

69 54 Olii AH Kajian faktor fisik yang mempengaruhi distribusi ichtyoplanktonologi (awal daur hidup ikan). Pengantar Falsafah Sains (PPS702). Program Pascasarjana/S3. Bogor: Institiut Pertanian Bogor. Pariwono JI, M Eidman, S Raharjo, M Purba, T Partono, R Widodo, U Djuarah, & JH Hutapea Studi Upwelling di Perairan Selatan Pulau Jawa. Laporan proyek pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. viii + 59 p. Pauley a GB, BM Bortz, & MF Shepard Species profile: Life history and environmental requirement of coastal fisheries and invertebrate (Pacific Northwest) Steelhead Trout. U. S. Army Corps of Enginers. Biological Report 82 (11.62). Pauley b GB, K Oshima, KL Bowers, & GL Thomas. Species profile: Life history and environmental requirement of coastal fisheries and invertebrate (Pacific Northwest) Sea Run-cutthroat Trout. U. S. Army Corps of Enginers. Biological Report 82 (11.86). Prasetyati DW Hubungan antara suhu, salinitas, dan arus dengan distribusi kelimpahan zooplankton dan ichthyoplankton yang tersaring dengan Bonggo net di Perairan Teluk Tomini pada musim Timur [skripsi]. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Rahmawati H Studi karakteristik massa air dan arus geostrofik di Perairan Selatan Jawa Barat pada bulan Desember [skripsi]. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautas. Institut Pertanian Bogor. xii + 74 p Salonen M, L Urho & J Engstrӧm-Ӧst Effect of turbidity and zooplankton availability on the condition and prey selection of Pike larvae. Helsinki: Boreal Environment Research 14: Sjafei DS, MF Raharjo, R Affandi, M Brojo, & Sulistiono Fisiologi ikan II: Reproduksi ikan. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 213 p. Sulistiono, MF Rahardjo, & MI Effendie Pengantar iktioplankton. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. xii p. Sverdrup HU, WJ Martin, & HF Richard The oceans: Their physic, chemistry, and general biology. Englewood Clift, Practice Hall p. Wibisono MS Pengantar ilmu kelautan. Jakarta: Grasindo. xiv p.

70 Yamasaki N & K Tachihira Eggs and larvae of Amounus melanocephalus (Telestoi: Gobiidae). Vol. 54 No.1:

71 56

72 57 Lampiran 1. Alat dan bahan yang digunakan selama pengambilan contoh GPS (Global Positioning System) Termometer (Skala Hg) Perahu Nelayan Kamera Digital Life Jacket Larva net Larva net (Waring) Sirib Timbangan Digital Senter

73 58 Lampiran 1. (Lanjutan) Hand Refraktometer Turbidity Meter Mikroskop Dino Lite Alat Tulis Alat Bedah Buku Identifikasi Saringan

74 59 Lampiran 2. Koordinat pengambilan contoh larva dan juvenil Muara Citepus yang mengarah ke laut Pengambilan Contoh Ke- Stasiun Lintang Bujur 1 6 o 58'32.34" 106 o 31'30.00" o 58'49.80" 106 o 30'06.48" 3 6 o 58'41.09" 106 o 31'38.20" 1 6 o 58'03.09" 106 o 31'32.80" o 58'29.82" 106 o 29'56.00" 3 6 o 58'33.96" 106 o 30'05.04" 1 6 o 58'37.56" 106 o 31'27.40" o 58'32.52" 106 o 31'25.30" 3 6 o 58'03.00" 106 o 31'27.40" 1 6 o 57'59.22" 106 o 30'07.92" o 57'59.04" 106 o 30'01.44" 3 6 o 57'58.58" 106 o 30'09.36" 1 6 o 58'34.32" 106 o 31'29.20" o 58'39.72" 106 o 31'36.80" 3 6 o 58'37.56" 106 o 31'33.60" Muara Sukawayan yang mengarah ke laut Pengambilan Contoh Ke- Stasiun Lintang Bujur 1 6 o 57'59.94" 106 o 31'30.00" o 57'54.54" 106 o 30'06.48" 3 6 o 58'02.46" 106 o 31'09.12" 1 6 o 58' o 29'57.80" o 58' o 29'56.00" 3 6 o 57'59.04" 106 o 30'05.04" 1 6 o 58'07.50" 106 o 30'06.48" o 58'00' o 30'07.56" 3 6 o 58'00' o 30'09.00" 1 6 o 58'20.28" 106 o 31'13.40" o 58'23.88" 106 o 31'09.12" 3 6 o 58'28.56" 106 o 31'20.60" 1 6 o 58'02.82" 106 o 30'06.48" o 58'35.58" 106 o 30'04.32" 3 6 o 57'59.22" 106 o 30'05.04"

75 60 Lampiran 2. (Lanjutan) Muara Sungai Muara Sungai Citepus Sukawayana Lintang Bujur 6 o 58'47.30" 106 o 31'34.80" 6 o 57'48.24" 106 o 30'11.20"

76 61 Lampiran 3. Deskripsi spesies yang tertangkap Ambassis vachelli Deskripsi Bagian famili Ambassidae yang pada saat larva berukuran kecil dan transparan atau tembus cahaya. Biasanya terdapat diperairan yang relatif dangkal, baik di muara ataupun di perairan tawar disekitar Indo-Pasific. Terdapat 40 spesies dari genus Ambassis yang hidup di perairan tawar dan terdapat kurang lebih 20 spesies yang hidup di muara dan pesisir pantai (Munro 1967; Allen&Bergess 1990 in Leis and Ewart 2000) Telur dari Ambassis sp. berbentuk bola, kecil, dan pelagis ( mm). Pada saat penetasan larva berukuran mm dengan memiliki kuning telur, mulutnya yang belum sempurna, pada mata tidak terdapat pigmentasi, dan perubahan pigmentasi terjadi selama penyerapan kuning telur (Nair 1957; Eng 1969; Venkatarmanujam 1975 in Leis and Ewart 2000). Larva Ambassis berbentuk moderate depth dan pipih serta memiliki 24 myomere. Usus dari larva ini berbentuk melingkat dan tersusun rapi. Panjang anusnya bisa mencapai 40-50% dari panjang tubuhnya sebagian besar saat postflexion Caranx sp. Deskripsi Tubuh famili Carangidae berbentuk pipih dan merupakan ikan pelagis. Jenisnya sangat banyak mulai dari yang bergerombol dan pemakan plankton hingga yang soliter. Habitat dari Carangidae di estuary dan laut hingga perairan karang. Terdapat 18 genus dengan 60 spesies. (Gushiken 1983; Laroche et al. 1984; Smith- Vaniz 1984; Gunn 1990 in Leis and Ewart 2000) Larva Carangidae berbentuk bola, berukuran kecil, dan pelagis ( mm). Saat penetasan larva Carangidae biasanya beukuran mm, mempunyai kuning telur dengan mulut yang belum sempurna, dan pegmentasi berubah selama penyerapan kuning telur ) (Laroche et al. 1984; Ikeda&Mito 1988 in Leis and Ewart 2000).

77 62 Larva Carangidae mengalami pigmentasi. Selain itu, larva Carangidae mempunyai myomer. Usus tersusun rapi, tetapi akan melingkar pada ukuran 2.5mm. Panjang ususnya bisa mencapai 53-68% dari panjang tubuhnya saat preflexion. Larva Carangidae mempunyai melenophore di dorsal dan ventral dari ekor. Pigmentasi juga terjadi pada hidung dan otak, sepanjang rahang, Gobiidae Deskripsi Kelimpahan dari famili Gobiidae di alam sangat melimpah dan terdapat di estuari dan lautan yang dangkal. Famili ini biasanya beradaptasi di dasar perairan dan ada juga yang bersembunyi dengan membuat lubang.terdapat 160 genus dengan 1200 speseis (Hoese 1984; Birdsong et al in Leis and Ewart 2000). Telur dari famili Gobiidae berbentuk oval, bersifat demersal, dan dilindungi oleh induknya. Ukuran telur bervariasi dengan panjang antara mm dan lebar mm (Ruple 1984 in Leis and Ewart 2000). Saat penetasan larva berukuran mm, mengalami perkembangan rahang, dan mengalami pigmentasi pada mata. Selain itu Gobiidae memiliki kuning telur yang kecil. Pigmentasi pada tubuhnya tidak terjadi selama fase kuning telur. Tubuh dari larva Gobiidae biasanya lonjong dengan bentuk membundar dan mempunyai myomer Cynoglosus sp.

78 63 Deskripsi Larva ikan lidah mempunyai pemanfaatan kuning telur yang efisien dalam pemetaan optimum temperatur antara 6.5 o C yang jika disadari dapat menghasilkan larva 10% lebih besar waktu pertama kali makan (Ryland and Nichols 1967 in Sulistiono 2001) Kuhlidae Deskripsi Famili Kuhlidae termasuk karnivora. Famili ini biasanya bersifat euryhaline dan banyak ditemukan di kawasan yang terkena pasang surut, batu karang, estuary dan perairan tawar. Famili ini dibagi menjadi 8 spesies (Heemstra 1984; Masuda et al.1984 in Leis and Ewart 2000). Larva Kuhliidae mengalamai pigmentasi. Pewarnaaan tersebut ada di sekitar mulut, operculum, usus, dan pada sirip ekor. Lepturacanthus sp. Deskripsi Famili ini memeliki tubuh yang memanjang dengan pigmentasi yang berwarna hitam atau keemasan. Termasuk dalam pemakan bentopalagic dan banyak ditemukan di estuari dan laut lepas. Dalam famili ini terdapat 22 spesies. Larva dari famili Trichiuridae berbentuk membulat dan pelagis dengan ukuran ( mm)(mito 1966; Robertson 1980; Sha et al. 1981; Zhang 1981 in Leis and Ewart 2000). Setelah penetasan larva Trichiuridae memiliki panjang mm dan memiliki kuning telur yang berukuran sedang. Tidak terdapat pigmentasi pada mata, mulut yang belum semurna dan perubahan pigmentasi akan berkembang selama penyerapan kuning telur (Robertson 1980; Sha et al. 1981; Zhang 1981 in Leis and Ewart 2000). Larva dari famili ini berbentuk memanjang dan agak pipih. Usus dari larva Trichiuridae berbentuk melingkar dan tersusun rapi.

79 64 Lutjanidae Deskripsi Lutjanus termasuk dalam ikan karnivora. Biasanya ditemukan di kawasan mangrove, terumbu karang, perairan bepasir. Sebagian besar dari famili Lutjanidae hidup secara demersal namun ada juga yang hidup di pelagis atau permukaan. Banyak famili dari Lutjanus merupakan ikan ekonomis penting. Famili ini di bagi kedalam 17 genus. (Allen 185; Carpenter 1987 in Leis and Ewart 2000). Telur dari Lutjanidae adalah pelagis, berukuran kecil ( mm), dan berbentuk bulat (Leis 1987; Leis&Lee 1994; Doi et al. 1994; Leis&Bray 1995; Reader&Leis 1996, Leis et al in Leis and Ewart 2000). Saat sudah menetas larva tersebut berukuran mm, memiliki kuning telur yang besar, tidak terdapat pigmentasi pada mata, mulut yang belum sempurna, dan selama fase kuning telur terjadi perubahan pigemntasi yang kecil. Larva berukuran elongate. Lutjanidae memiliki 24 myomer. Usus dari larva ini melingkar dengan ukuran kecil setelah penetasan. Larva Lutjanidae mengalami pigmentasi. Salah satu pewarnaan terdapat pada sirip dorsal. Larva ikan kakap menyimpan kuning telur lebih lama pada saat pertama kali makan pada suhu 26 o C dari pada temperatur lain dengan waktu demikian memunyai lebih banyak kuning telur untuk aktu ketahanan larva pada waktu tidak ada makanan (Houde 1974 in Sulistiono 2001). Microchantus sp. Deskripsi Microcanthidae tropis biasanya belang, berukuran kecil, karnivora, dan biasanya berasosiasi dengan perairan dasar yang berbatu (Faser-Brunner 1945; Johnson 1984 in Leis and Ewart 2000). Larva Microchantidae memiliki tubuh compressed, dan memiliki 25 myomer. Ususnya melingkar, rapi, dan panjang bisa mencapai 45% dari panjang tubuhnya. Pigmentasi terjadi saat larva mash preflexion dan pewarnaan terjadi pada tak, operkulum, usus. Peningkatan pigmentasi seiiring dengan pertumbuhan tubuh.

80 65 Megalops cyprinoides Deskripsi Fase dewasa dari jenis ini umumnya hidup di laut, tetapi pada fase larva dan juvenil banyak yang tinggal di estuaria atau hutan mangrove. Spesies ini biasanya kawin di lautan.pemijahan berlangsung sepanjang tahun (Jayaseelan 1998; Fish Base 200 in Nursid 2002) Mugilidae Deskripsi Mugilidae memiliki dua garis di sirip dorsal, memiliki warna silver (Stiassny 1993; Johnson&Patterson 1993 in Leis and Ewart 2000). Mugilidae berukuran sedang. Makanannya berupa detritus, tanaman, dan cenderung berkelompok. Termasuk dalam ekonomis penting. Dalam famili ini terdapat 30 spesies (Thomson&Luther 1984; Thomson 1997 in Leis and Ewart 2000). Telur dari famili Mugilidae pelagis, berukuran kecil ( mm) dan bulat (Helfrich&Allen 1975; de Sylva 1984; Sha et al. 1986; Ikeda&Mito 1988; Yoshimatsu et al in Leis and Ewart 2000). Saat penetasan larva berukuran mm dengan jumlah kuning telur yang sedang, tidak terdapat pigmentasi pada mata, dan mulut yang belum sempurna. Perkembangan pigmentasi berlangasung selama penyerapan kuning telur (Sha et al. 1986; Ikeda&Mito 1988; Yoshimatsu et al in Leis and Ewart 2000). Larva mugilidae berbentuk agak memanjang dan sedang, tetapi setelah flexion tubuhnya menjadi lebih tegak. Terdapat myomer. Ususnya melingkar. Setiap spesiesnya, larva mugilidae memiliki pigmentasi yang berbeda-beda tergantung dari distribusi spesies tersebut. Pewarnaan biasanya terjadi pada ekor, usus, otak, mulut. Penyebaran pigmentasi berlangsung selama perkembangannya. Setelah postflexion larva berwarna silver dan pada bagian dorsal berwarna agak gelap.

81 66 Platicephalidae Deskripsi Platycephalidae memiliki tubuh yang panjang dan kepala yang picak. Pemakan benthos dan banyak ditemukan di perairan yang berpasir di estuari maupun di laut. Pada beberapa speseis, Platycepalidae berasosiasi di perairan yang berbatu atau terumbu karang. Famili ini dibagi menjadi 14 genus dan kurang kebih 50 spesies (Immamura 1996 in Leis and Ewart 2000). Telur dari Platycehalidae pelagis, kecil ( mm) dan bulat (Fujita&Uneyo 1956; Uchida et al. 1958; Chang et al. 1980; Hyndes 1992 in Leis and Ewart 2000). Saat penetasan larva berukuran ( mm), mempunyai kuning telur yang banyak, mulut yang belu sempurna, tidak terdapat pigmentasi pada mata, dan perkembangan pigmentasi berlangsung selama penyerapan kuning telur (Fujita&Uneyo 1956: Chang et al. 1980, Washington et al in Leis and Ewart 2000). Larva Platycephalidae meanjang. Memiliki myomer. Pigmentasi pada larva ini sangat sedikit dan menyebar pada ekor, operculum. Sardinella sp. Deskripsi Termasuk dalam famili Clupeid. Dengan ukuran kecil hingga sedang. Berwarna silver, planktivor, biasa bergerombol, dan ikan ekonomis penting. Terbagi dalam 14 genus dengan 52 spesies (Whitehead 1985;Nelson 1994 in Leis and Ewart 2000). Telur Clupeid berbentuk bulat dengan ukuran bervariasi antara mm. Telur pada Clupeid ada yang bersifat pelagis dan ada pula yang bersifat demersal. Saat penetasan clupeid memiliki panjang mm. tidak terdapat pigmentasi selama larva dan mulut belum sempurna (McGowan&Berry 1984; Jiang&Lin 1986).

82 67 Secutor indicius Deskripsi Termasuk dalam famili Leiognathidae. Berukuran kecil, pipih, berwarna silver, memiliki bentuk mulut yang agak menonjol. Biasanya ditemukan didaerah dekat pantai. Pada siang hari ikan ini di dasar perairan dan pada malam hari ikan ini ke permukaan. Ikan ini merupakan ikan ekonomis penting. Famili ini dibagi menjadi 3 genus dengan 27 spesies (James 19778; Jones 1985; Mochizuki&Hayasi 1989 in Leis and Ewart 2000). Telur dari famili ini biasanya pelagis dan kecil ( mm) dan bulat. Saat penetasan larva ini berukuran 1.3 mm dan memiliki kuning telur yang banyak. Selain itu, perkembangan mulut belum sempurna, tidak terdapat pigmentasi pada mata, dan perkembangan pigmetasi berlangsung selama penyerapan kuning telur (Fujita 1960 in Leis and Ewart 2000). Terdapat tiga perbedaan dalam morfologi dalam perkembangan larva Leiognathidae. Diantaranya pigmentasi, duri di kepala, dan panjang sirip dorsal dan sirip anal. Larva bebentuk pipih dan mempunyai myomer. Usus dari famili ini biasanya melingkar. Larva ini mengalami pigmentasi yang banyak. Pada saat preflexion pigmentasi terlihat pada ekor. Pewarnaan terjadi pada anus, usus, otak, dan sirip. Sillago sp. Deskripsi Termasuk dalam famili Sillaginids dengan ukuran kecil hingga sedang, karnivora, dan biasa ditemukan diperairan dangkal. Famili ini dibagi menjadi tiga genus dengan 25 spesies (McKay in Leis and Ewart 2000). Telur dari Sillago biasanya pelagis, bulat, dan kecil dengan ukuran ( mm) (Johnson 1984; Ikeda&Mito in Leis and Ewart 2000). Saat pertama kali ditetaskan larva Sillago memiliki panjang mm, memiliki kuning telur yang banyak, tidak terdpat pigmentasi pada mata, mulut yang belum sempurna, dan perkembangan pigmetasi belangsung selama penyerapan kuning telur (Ikeda&Mito 1988; Oozeki et al in Leis and Ewart 2000). Sillago memiliki 39 myomer. Usus biasanya melingkar dengan panjang bisa mencapai 64% dari panjang tubuh. Sillaginids mengalami pigmentasi. Pewarnaan terjadi pada ekor.

83 68 Engraulididae Deskripsi Termasuk dalam famili Engraulididae dengan ukuran kecil hingga sedang, berkelompok, dan planktivor. Memiliki peranan yang sangat penting bagi ekosistem dan merupakan ikan ekonomis penting. Famili ini dibagi menjadi tujuh jenis dengan 65 spesies (Grande 1985; Grande&Nelson in Leis and Ewart 2000). Telur dari Engraulididae pelagis, bulat. Telur dari Thryssa memiliki ukuran mm dan memiliki bentuk yang bulat. Namun untuk jenis Stolephorus, telur berbentuk elips ( x mm) (Zhang et al. 1982; Fukuhara 1983; McGowan&Berry in Leis and Ewart 2000). Larva Engraulididae panjang dan ada juga yang silindris. Memiliki myomer. Pemijahan dilakukan di dekat pantai. Postlarva dan juvenil bermigrasi dan menetap di estuary hingga dewasa (Cushing 1975 in Tzeng et al. 2008).

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di muara Sungai Citepus, Kecamatan Palabuhanratu dan muara Sungai Sukawayana, Kecamatan Cikakak, Teluk Palabuhanratu, Kabupaten

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teluk Palabuhanratu

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teluk Palabuhanratu 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teluk Palabuhanratu Teluk Palabuhanratu terletak di pantai selatan Jawa Barat, Kabupaten Sukabumi dengan posisi geografis 6 o 57-7 o 07 LS dan 106 o 22-106 o 23 BT dan mempunyai

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 12 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret - Juli 2011 dalam selang waktu 1 bulan sekali. Pengambilan contoh dilakukan sebanyak 5 kali (19 Maret

Lebih terperinci

3. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan

3. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 18 3. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di muara arah laut dan muara arah sungai Cimaja, Citiis, Citepus dan Sukawayana yang mengalir menuju Teluk Palabuhanratu, Kabupaten

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Teluk Palabuhan Ratu Kecamatan Palabuhan Ratu, Jawa Barat. Studi pendahuluan dilaksanakan pada Bulan September 007 untuk survey

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH Hidup ikan Dipengaruhi lingkungan suhu, salinitas, oksigen terlarut, klorofil, zat hara (nutrien)

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 0 I. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan zat yang sangat penting bagi kehidupan semua makhluk hidup yang ada di bumi. Hampir 71%

Lebih terperinci

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Migrasi ikan adalah adalah pergerakan perpindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain yang mempunyai arti penyesuaian terhadap kondisi alam yang menguntungkan

Lebih terperinci

PENENTUAN TINGKAT KESEHATAN SUNGAI BERDASARKAN STRUKTUR KOMUNITAS MAKROAVERTEBRATA DI SUNGAI CIHIDEUNG, KABUPATEN BOGOR

PENENTUAN TINGKAT KESEHATAN SUNGAI BERDASARKAN STRUKTUR KOMUNITAS MAKROAVERTEBRATA DI SUNGAI CIHIDEUNG, KABUPATEN BOGOR PENENTUAN TINGKAT KESEHATAN SUNGAI BERDASARKAN STRUKTUR KOMUNITAS MAKROAVERTEBRATA DI SUNGAI CIHIDEUNG, KABUPATEN BOGOR RIRIN ANDRIANI SILFIANA C24104086 SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas 2.3 suhu 2.3.1 Pengertian Suhu Suhu merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan organisme di lautan. Suhu mempengaruhi aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan dari organisme-organisme tersebut.

Lebih terperinci

JENIS, KELIMPAHAN, DAN DISTRIBUSI LARVA DAN JUVENIL IKAN DI MUARA SUNGAI CIMAJA DAN CITIIS, TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT

JENIS, KELIMPAHAN, DAN DISTRIBUSI LARVA DAN JUVENIL IKAN DI MUARA SUNGAI CIMAJA DAN CITIIS, TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT i JENIS, KELIMPAHAN, DAN DISTRIBUSI LARVA DAN JUVENIL IKAN DI MUARA SUNGAI CIMAJA DAN CITIIS, TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT NINA RATNA FURRY SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai merupakan suatu perairan yang airnya berasal dari air tanah dan air hujan, yang mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran tersebut dapat

Lebih terperinci

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM POLA DISTRIBSI SH DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian telah dilaksanakan di perairan Pulau Biawak Kabupaten Indramayu dan Laboratorium Manajemen Sumberdaya dan Lingkungan Perairan Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 21 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Situ IPB yang terletak di dalam Kampus IPB Dramaga, Bogor. Situ IPB secara geografis terletak pada koordinat 106 0 34-106 0 44 BT dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan

BAB I PENDAHULUAN. Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan mempunyai kemampaun berenang yang lemah dan pergerakannya selalu dipegaruhi oleh gerakan massa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makanan Alami Ikan Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam perkembangbiakan ikan baik ikan air tawar, ikan air payau maupun ikan air laut. Fungsi utama

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilakukan di kawasan perairan Pulau Biawak, Kabupaten Indramayu. Penelitian ini dilaksanakan selama 1 bulan, dimulai dari bulan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan Selat merupakan perairan relatif sempit yang menghubungkan dua buah perairan yang lebih besar dan biasanya terletak di antara dua daratan

Lebih terperinci

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH Oleh : Helmy Hakim C64102077 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu DKI Jakarta pada bulan Maret 2013. Identifikasi makrozoobentos dan pengukuran

Lebih terperinci

RESPON ORGANISME AKUATIK TERHADAP VARIABEL LINGKUNGAN (ph, SUHU, KEKERUHAN DAN DETERGEN)

RESPON ORGANISME AKUATIK TERHADAP VARIABEL LINGKUNGAN (ph, SUHU, KEKERUHAN DAN DETERGEN) 1 RESPON ORGANISME AKUATIK TERHADAP VARIABEL LINGKUNGAN (ph, SUHU, KEKERUHAN DAN DETERGEN) Angga Yudhistira, Dwi Rian Antono, Hendriyanto Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al.,

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al., I. PENDAHULUAN Segara Anakan merupakan perairan estuaria yang terletak di pantai selatan Pulau Jawa, termasuk dalam wilayah Kabupaten Cilacap, dan memiliki mangroveestuaria terbesar di Pulau Jawa (7 o

Lebih terperinci

KANDUNGAN LOGAM BERAT Hg, Pb DAN Cr PADA AIR, SEDIMEN DAN KERANG HIJAU (Perna viridis L.) DI PERAIRAN KAMAL MUARA, TELUK JAKARTA DANDY APRIADI

KANDUNGAN LOGAM BERAT Hg, Pb DAN Cr PADA AIR, SEDIMEN DAN KERANG HIJAU (Perna viridis L.) DI PERAIRAN KAMAL MUARA, TELUK JAKARTA DANDY APRIADI KANDUNGAN LOGAM BERAT Hg, Pb DAN Cr PADA AIR, SEDIMEN DAN KERANG HIJAU (Perna viridis L.) DI PERAIRAN KAMAL MUARA, TELUK JAKARTA DANDY APRIADI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PLANKTON Plankton merupakan kelompok organisme yang hidup dalam kolom air dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas (Wickstead 1965: 15; Sachlan

Lebih terperinci

ANALISIS KUALITAS AIR PADA SENTRAL OUTLET TAMBAK UDANG SISTEM TERPADU TULANG BAWANG, LAMPUNG

ANALISIS KUALITAS AIR PADA SENTRAL OUTLET TAMBAK UDANG SISTEM TERPADU TULANG BAWANG, LAMPUNG ANALISIS KUALITAS AIR PADA SENTRAL OUTLET TAMBAK UDANG SISTEM TERPADU TULANG BAWANG, LAMPUNG RYAN KUSUMO ADI WIBOWO SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM HBNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERHAN PADA PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Perkembangan pembangunan yang semakin pesat mengakibatkan kondisi Teluk Ambon, khususnya Teluk Ambon Dalam (TAD)

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 11 3. METODE PENELITIAN 3. 1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Danau Lido, Bogor, Jawa Barat. Danau Lido berada pada koordinat 106 48 26-106 48 50 BT dan 6 44 30-6 44 58 LS (Gambar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi komunitas plankton sampai tingkat genus di Pulau Biawak terdiri dari 18 genus plankton yang terbagi kedalam 14 genera

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Situ Gede. Situ Gede terletak di sekitar Kampus Institut Pertanian Bogor-Darmaga, Kelurahan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan 5 TINJAUAN PUSTAKA Estuari Estuari merupakan suatu komponen ekosistem pesisir yang dikenal sangat produktif dan paling mudah terganggu oleh tekanan lingkungan yang diakibatkan kegiatan manusia maupun oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat I. PENDAHULUAN Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat dengan cara membendung aliran sungai sehingga aliran air sungai menjadi terhalang (Thohir, 1985). Wibowo (2004) menyatakan

Lebih terperinci

III. MATERI DAN METODE

III. MATERI DAN METODE III. MATERI DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juni - Nopember 2010. Sampling dilakukan setiap bulan dengan ulangan dua kali setiap bulan. Lokasi sampling

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KELIMPAHAN FITOPLANKTON DENGAN ZOOPLANKTON DI PERAIRAN SEKITAR JEMBATAN SURAMADU KECAMATAN LABANG KABUPATEN BANGKALAN

HUBUNGAN ANTARA KELIMPAHAN FITOPLANKTON DENGAN ZOOPLANKTON DI PERAIRAN SEKITAR JEMBATAN SURAMADU KECAMATAN LABANG KABUPATEN BANGKALAN HUBUNGAN ANTARA KELIMPAHAN FITOPLANKTON DENGAN ZOOPLANKTON DI PERAIRAN SEKITAR JEMBATAN SURAMADU KECAMATAN LABANG KABUPATEN BANGKALAN Novi Indriyawati, Indah Wahyuni Abida, Haryo Triajie Jurusan Ilmu Kelautan

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI 2 STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil penelitian di perairan Kepulauan Seribu yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, diperoleh nilai-nilai parameter

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

b) Bentuk Muara Sungai Cimandiri Tahun 2009

b) Bentuk Muara Sungai Cimandiri Tahun 2009 32 6 PEMBAHASAN Penangkapan elver sidat di daerah muara sungai Cimandiri dilakukan pada malam hari. Hal ini sesuai dengan sifat ikan sidat yang aktivitasnya meningkat pada malam hari (nokturnal). Penangkapan

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN KRONJO, KABUPATEN TANGERANG BANTEN DEDY FRIYANTO

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN KRONJO, KABUPATEN TANGERANG BANTEN DEDY FRIYANTO STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN KRONJO, KABUPATEN TANGERANG BANTEN DEDY FRIYANTO SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chironomida Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat ditemukan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos Odum (1993) menyatakan bahwa benthos adalah organisme yang hidup pada permukaan atau di dalam substrat dasar perairan yang meliputi organisme

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Lokasi Penelitian Cirebon merupakan daerah yang terletak di tepi pantai utara Jawa Barat tepatnya diperbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Lokasi penelitian

Lebih terperinci

KAJIAN FAKTOR LINGKUNGAN HABITAT KERANG MUTIARA (STADIA SPAT ) DI PULAU LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT

KAJIAN FAKTOR LINGKUNGAN HABITAT KERANG MUTIARA (STADIA SPAT ) DI PULAU LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT KAJIAN FAKTOR LINGKUNGAN HABITAT KERANG MUTIARA (STADIA SPAT ) DI PULAU LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT Oleh : H. M. Eric Harramain Y C64102053 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN ESTUARIA SUNGAI BRANTAS (SUNGAI PORONG DAN WONOKROMO), JAWA TIMUR FAJLUR ADI RAHMAN SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN ESTUARIA SUNGAI BRANTAS (SUNGAI PORONG DAN WONOKROMO), JAWA TIMUR FAJLUR ADI RAHMAN SKRIPSI STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN ESTUARIA SUNGAI BRANTAS (SUNGAI PORONG DAN WONOKROMO), JAWA TIMUR FAJLUR ADI RAHMAN SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai dingin dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaan Umum Pulau Biawak Pulau Biawak terletak di sebelah utara pantai Indramayu secara geografis berada pada posisi 05 0 56 002 LS dan 108 0 22 015 BT. Luas pulau ± 120 Ha,

Lebih terperinci

genus Barbodes, sedangkan ikan lalawak sungai dan kolam termasuk ke dalam species Barbodes ballaroides. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol berbeda

genus Barbodes, sedangkan ikan lalawak sungai dan kolam termasuk ke dalam species Barbodes ballaroides. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol berbeda 116 PEMBAHASAN UMUM Domestikasi adalah merupakan suatu upaya menjinakan hewan (ikan) yang biasa hidup liar menjadi jinak sehingga dapat bermanfaat bagi manusia. Domestikasi ikan perairan umum merupakan

Lebih terperinci

KAJIAN POLA PERTUMBUHAN DAN CIRI MORFOMETRIK-MERISTIK BEBERAPA SPESIES IKAN LAYUR

KAJIAN POLA PERTUMBUHAN DAN CIRI MORFOMETRIK-MERISTIK BEBERAPA SPESIES IKAN LAYUR KAJIAN POLA PERTUMBUHAN DAN CIRI MORFOMETRIK-MERISTIK BEBERAPA SPESIES IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT Oleh : IRWAN NUR WIDIYANTO C24104077 SKRIPSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air laut merupakan suatu medium yang unik. Sebagai suatu sistem, terdapat hubungan erat antara faktor biotik dan faktor abiotik, karena satu komponen dapat

Lebih terperinci

2.2. Struktur Komunitas

2.2. Struktur Komunitas 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makrozoobentos Hewan bentos dibagi dalam tiga kelompok ukuran, yaitu makrobentos (ukuran lebih dari 1,0 mm), meiobentos (ukuran antara 0,1-1 mm) dan mikrobentos (ukuran kurang

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek II. TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek Puntius Orphoides C.V adalah ikan yang termasuk anggota Familia Cyprinidae, disebut juga dengan ikan mata merah. Ikan brek mempunyai garis rusuk

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial 5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial Hasil pengamatan terhadap citra SPL diperoleh bahwa secara umum SPL yang terendah terjadi pada bulan September 2007 dan tertinggi pada bulan Mei

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak pada garis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. upaya untuk meningkatkan produksi perikanan adalah melalui budidaya (Karya

BAB I PENDAHULUAN. upaya untuk meningkatkan produksi perikanan adalah melalui budidaya (Karya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan merupakan salah satu sumber makanan yang sangat digemari masyarakat karena mengandung protein yang cukup tinggi dan dibutuhkan oleh manusia untuk pertumbuhan.

Lebih terperinci

II. MATERI DAN METODE PENELITIAN. 1. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1.1. Materi Penelitian Bahan

II. MATERI DAN METODE PENELITIAN. 1. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1.1. Materi Penelitian Bahan II. MATERI DAN METODE PENELITIAN 1. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1.1. Materi Penelitian 1.1.1. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah sampel plankton, formalin 40%, MnSO4, KOH-KI,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yaitu berbagai jenis ikan untuk memenuhi permintaan sebagai sumber

Lebih terperinci

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG Oleh: Muhammad Firly Talib C64104065 PROGRAM STUDI ILMU DAN

Lebih terperinci

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR Oleh: Sabam Parsaoran Situmorang C64103011 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

PERUBAHAN Total Suspended Solid (TSS) PADA UMUR BUDIDAYA YANG BERBEDA DALAM SISTEM PERAIRAN TAMBAK UDANG INTENSIF

PERUBAHAN Total Suspended Solid (TSS) PADA UMUR BUDIDAYA YANG BERBEDA DALAM SISTEM PERAIRAN TAMBAK UDANG INTENSIF PERUBAHAN Total Suspended Solid (TSS) PADA UMUR BUDIDAYA YANG BERBEDA DALAM SISTEM PERAIRAN TAMBAK UDANG INTENSIF INNA FEBRIANTIE Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan ix M Tinjauan Mata Kuliah ata kuliah ini merupakan cabang dari ekologi dan Anda telah mempelajarinya. Pengetahuan Anda yang mendalam tentang ekologi sangat membantu karena ekologi laut adalah perluasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak di Cagar Alam Leuweung Sancang. Cagar Alam Leuweung Sancang, menjadi satu-satunya cagar

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU i ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU DESI HARMIYATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH INTAN KUSUMA JAYANTI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH Oleh: Livson C64102004 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Clownfish Klasifikasi Clownfish menurut Burges (1990) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Perciformes

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakasanakan mulai awal bulan Maret sampai bulan Mei, dengan interval pengambilan data setiap dua minggu. Penelitian berupa pengumpulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman hayati, diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia memiliki banyak hutan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2. Tahapan Penelitian Persiapan

3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2. Tahapan Penelitian Persiapan 9 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei - Juli 2011, berlokasi di Laboratorium Biologi Mikro I, Bagian Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen

Lebih terperinci

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM 69 4. DESKRIPSI SISTEM SOSIAL EKOLOGI KAWASAN PENELITIAN 4.1 Kondisi Ekologi Lokasi studi dilakukan pada pesisir Ratatotok terletak di pantai selatan Sulawesi Utara yang termasuk dalam wilayah administrasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif,

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Estuari Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, karena area ini merupakan area ekoton daerah pertemuan dua ekosistem berbeda (tawar dan laut)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut, seperti halnya daratan, dihuni oleh biota yakni tumbuh-tumbuhan, hewan dan mikroorganisme hidup.biota laut hampir menghuni semua bagian laut, mulai dari pantai,

Lebih terperinci

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi 4 2.2. Morfologi Ikan Tambakan (H. temminckii) Ikan tambakan memiliki tubuh berbentuk pipih vertikal. Sirip punggung dan sirip analnya memiliki bentuk dan ukuran yang hampir serupa. Sirip ekornya sendiri

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 16 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Kajian populasi Kondisi populasi keong bakau lebih baik di lahan terlantar bekas tambak dibandingkan di daerah bermangrove. Hal ini ditunjukkan oleh nilai kepadatan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada kawasan perikanan keramba jaring apung (KJA) di Waduk Ir. H. Juanda Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat (Gambar 4). Kegiatan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Selat Bali

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Selat Bali 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Selat Bali Selat adalah sebuah wilayah perairan yang menghubungkan dua bagian perairan yang lebih besar, dan karenanya pula biasanya terletak diantara dua

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta lokasi pengamatan.

Gambar 2. Peta lokasi pengamatan. 3. METODOLOGI 3.1. Rancangan penelitian Penelitian yang dilakukan berupa percobaan lapangan dan laboratorium yang dirancang sesuai tujuan penelitian, yaitu mengkaji struktur komunitas makrozoobenthos yang

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Perairan Palabuhanratu terletak di sebelah selatan Jawa Barat, daerah ini merupakan salah satu daerah perikanan yang potensial di Jawa

Lebih terperinci

DI DWERAN INTERTlDAk PBNTAI KAMAL

DI DWERAN INTERTlDAk PBNTAI KAMAL KWRAKTERlSTIK #OMUNITAS FAUNA BENTHOS DI DWERAN INTERTlDAk PBNTAI KAMAL KECAMWTWN PEHJARINGAH, JAKARTA UFARA C/"&lsp/ 'Oh,! L>;2nzt KARYA ILMIAH Oleh IMSTITUT PERTANlAN BOGOR FAKULTAS PERIMAMAN 1989 YENNI,

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Penelitian dilakukan di perairan Pulau Penjaliran Timur, Kepulauan

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Penelitian dilakukan di perairan Pulau Penjaliran Timur, Kepulauan BAB III BAHAN DAN CARA KERJA A. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilakukan di perairan Pulau Penjaliran Timur, Kepulauan Seribu dan Teluk Jakarta. Waktu pengambilan data dilakukan pada tanggal 11

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan karena lingkungan air tawar memiliki beberapa kondisi, antara lain:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan karena lingkungan air tawar memiliki beberapa kondisi, antara lain: 18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Indonesia adalah negara kepulauan dengan kawasan maritim yang sangat luas sehingga Indonesia memiliki kekayaan perikanan yang sangat kaya.pengetahuan lingkungan

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KARTIKA NUGRAH PRAKITRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA Umroh 1, Aries Dwi Siswanto 2, Ary Giri Dwi Kartika 2 1 Dosen Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian,Perikanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam

I. PENDAHULUAN. besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Plankton merupakan salah satu jenis biota yang penting dan mempunyai peranan besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam air atau

Lebih terperinci

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai SUHU DAN SALINITAS. Oleh. Nama : NIM :

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai SUHU DAN SALINITAS. Oleh. Nama : NIM : Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. 2. 3. Nilai SUHU DAN SALINITAS Nama : NIM : Oleh JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA 2015 MODUL 3. SUHU DAN SALINITAS

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD

STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD Oleh : IRMA DEWIYANTI C06400033 SKRIPSI PROGRAM STUD1 ILMU

Lebih terperinci

KAJIAN AIR LIMBAH DOMESTIK DI PERUMNAS BANTAR KEMANG, KOTA BOGOR DAN PENGARUHNYA PADA SUNGAI CILIWUNG. Oleh : Muhammad Reza Cordova C

KAJIAN AIR LIMBAH DOMESTIK DI PERUMNAS BANTAR KEMANG, KOTA BOGOR DAN PENGARUHNYA PADA SUNGAI CILIWUNG. Oleh : Muhammad Reza Cordova C KAJIAN AIR LIMBAH DOMESTIK DI PERUMNAS BANTAR KEMANG, KOTA BOGOR DAN PENGARUHNYA PADA SUNGAI CILIWUNG Oleh : Muhammad Reza Cordova C24104056 DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh

TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Sungai Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh karena itu, sumber air sangat dibutuhkan untuk dapat menyediakan air yang baik dari segi kuantitas

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 1. Peta Lokasi penelitian

BAB III METODOLOGI. Gambar 1. Peta Lokasi penelitian BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di perairan Pulau Bintan Timur, Kepulauan Riau dengan tiga titik stasiun pengamatan pada bulan Januari-Mei 2013. Pengolahan data dilakukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan sungai Sungai merupakan salah satu dari habitat perairan tawar. Berdasarkan kondisi lingkungannya atau daerah (zona) pada sungai dapat dibedakan menjadi tiga jenis,

Lebih terperinci