V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Komposisi dan Similaritas Spesies pada Elemen Lanskap dan Korelasi Jarak dengan Keanekaragaman Komposisi dan Similaritas Spesies Pada Elemen Lanskap Kurva akumulasi spesies Pengamatan di lapangan yang telah dilakukan pada kawasan perkebunan kelapa sawit PT. Kencana Sawit Indonesia, tercatat 5 Famili, 9 Genus dan 27 spesies dengan total sebanyak 1055 Individu ditemukan pada 22 lokasi dengan menggunakan metode Visual Encounter Survei (VES) desain transek dengan dua kali pengulangan. Kurva akumulasi spesies dapat dilihat pada Gambar Jumlah Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4 Minggu 5 Minggu 6 Spesies Genus Famili Gambar 10 Diagram kurva akumulasi spesies pada semua lokasi. Lima genus yang teramati pada kawasan PT. KSI, empat diantaranya teramati pada minggu pertama pengamatan. Pada minggu kelima terdapat satu satu penambahan famili yaitu Megophrydae lalu tren mendatar hingga minggu keenam pengamatan. Sementara pada tingkatan genus, hampir seluruhnya telah teramati pada minggu pertama dan juga mengalami penambahan satu genus pada minggu kelima yang dilanjutkan dengan kurva mendatar hingga minggu keenam

2 38 pengamatan. Pada tingkatan spesies terdapat 3 fase yang teramati: fase pertama peningkatan spesies terjadi dari minggu pertama terkoleksi 24 spesies hingga minggu kedua terjadi penambahan satu spesies, kemudian memasuki fase mendatar dimana tidak terjadi penambahan jenis spesies dari minggu kedua hingga minggu keempat, kemudian fase ketiga dimana kurva kembali naik ketika terjadi penambahan jumlah spesies kembali dari minggu kelima hingga minggu ke keenam, masing-masing satu spesies pada tiap minggunya. Lokasi pengamatan lanskap perkebunan yang terbagi menjadi tiga elemen terdiri dari: area inti terdiri atas Bukit Tengah Pulau (5 transek) dan Bukit Salo (3 transek); matriks yang terdiri atas Matriks Bukit Tengah Pulau (4 transek) dan Bukit Salo (2 transek) dan koridor yang dibagi menjadi koridor Sungai Jujuan (4 transek) dan Sungai Suir (4 transek). Estimasi kekayaan spesies pada masingmasing elemen menggunakan Indeks Kekayaan Spesies Jackknife dengan hasil seperti yang tertera pada Gambar Jumlah Area inti Matriks Koridor 5 0 S S Max S Min Kekayaan Jenis Gambar 11 Diagram estimasi kekayaan jenis pada elemen lanskap perkebunan kelapa sawit. Estimasi spesies pada elemen lanskap perkebunan kelapa sawit pada PT.KSI, Elemen dengan kekayaan spesies tertinggi adalah elemen area inti dengan jumlah spesies perkiraan sebanyak 23 spesies dengan estimasi tertinggi 28 spesies dan terendah 21 spesies (stdev=3,75) dengan tingkat ketelitian 6,5%. Elemen dengan estimasi kekayaan spesies teringgi kedua adalah matriks, dengan jumlah perkiraan sebanyak 21 spesies dengan perkiraan maksimal sebanyak 23 spesies dan yang

3 39 terendah 18 spesies (st dev= 2,87) dengan tingkat ketelitian 5,5% dan yang terakhir elemen dengan perkiraan spesies paling rendah adalah koridor dengan perkiraan kekayaan spesies sebanyak 18 spesies dan diperkirakan masih bisa bertambah hingga 22 spesies dan yang perkiraan terendah sebanyak 13 spesies saja (st dev= 4,25) dengan tingkat ketelitian 10,4%. Dalam pengamatan jumlah spesies aktual; keanekaragaman dan kemerataan pada ketiga elemen didapatkan hasil seperti yang tertera pada Gambar 12. A. B. C. Ket: BTP=Bukit Tengah Pulau; BS= Bukit Salo; MBTP= Matriks Bukit Tengah Pulau; BS=Matriks Bukit Salo; SJ= Sungai Jujuan; SS= Sungai Suir. Gambar 12 Diagram diversitas amphibia pada elemen lanskap A. Jumlah Spesies, B. Keanekaragaman, C. Kemerataan. Pada pengamatan yang telah dilakukan terdata spesies terbanyak tercatat pada bagian MBTP dengan total 18 spesies dan yang paling sedikit pada MBS dengan 10 spesies. Pada elemen area inti yang diwakili oleh BTP dan BS secara berurutan dengan nilai 16 dan 15 spesies kemudian pada elemen koridor yang yang terdiri atas SJ dan SS memiliki jumlah spesies yang sama yaitu 14 spesies.

4 40 Keanekaragaman amphibia tertinggi ditemukan pada elemen area inti bagian BTP dengan nilai 2,50 diikuti oleh elemen area inti lainnya yaitu BS dengan nilai 2,25. Elemen matriks memiliki keanekaragaman amphibia terbaik kedua dimana bagian MBTP memiliki nilai indeks 2,31, sedangkan MBS dengan nilai 1,94. Elemen koridor secara rata-rata memiliki nilai indeks keanekaragaman terburuk dibandingkan dua elemen lainnya. Bagian SJ hanya memiliki nilai 1,98 dan yang paling buruk adalah bagian SS dengan nilai 1,91. Secara umum seluruh lokasi masuk dalam kategori keanekaragaman sedang. Kemerataan spesies merupakan alat yang baik untuk menganalisa hubungan kekayaan spesies dengan keanekaragaman. Area inti memiliki jumlah spesies dan nilai indeks keanekaragaman tertinggi dengan nilai kemerataan 90% dan 83% menunjukkan hampir tidak ada dominansi dari spesies yang ada, sedangkan pada elemen matriks terbaik kedua. Perbandingan pada MBTP dengan MBS menunjukan adanya spesies yang mendominasi pada MBS karena nilai kemerataannya lebih baik 4% meski jumlah spesiesnya hanya 10. Komposisi spesies pada area inti dibagi menjadi dua bagian habitat aqutik dan terrestrial. Pada habitat akuatik spesies yang ditemukan umumnya merupakan spesies dengan habit semi akuatik (Bufo asper, Limnonectes blythii, L. crybetus dan L. microdiscus); akuatik (L. kuhlii, Occidozyga laevis, O. Sumatrana, Rana picturata, R. erythraea dan R. hosii); semi arboreal (R. parvaccola dan R. raniceps). Sedangkan habitat terrestrial yang ditemukan adalah Akuatik (L. kuhlii); semi akuatik (L. microdiscus); terrestrial (B. biporcatus, Leptobrachium wayseputiense, Kalophrynus pleurostigma, Microhyla heymonsi, M. borneensis dan Microhyla sp); semi arboreal (R. raniceps); Arboreal (Polypedates leucomystax dan Polypedates sp). Dari daftar ini semua spesies merupakan jenis yang mampu hidup pada wilayah hutan yang telah terdegradasi Matriks didominasi oleh spesies dengan relung generalis dan memiliki daya adaptasi yang tinggi untuk dapat hidup pada beberapa tipe habitat. Semua spesies yang ditemukan pada matriks dapat ditemukan pada elemen area inti dan sebagian lagi pada elemen koridor. Kecuali P. cf macrotis yang hanya ditemukan pada matriks saja, komposisi spesiesnya terdiri atas habit akuatik (L. kuhlii, R. erythraea dan R. hosii); semi akuatik (B. asper, Fejervayra cancrivora, F.

5 41 limnocaris, L. blythii, L. crybetus dan L. microdiscus); Terrestrial (L. wayseputiense,, M. heymonsi dan M. berdmorei); semi arboreal (R. nicobariensis, R. raniceps dan R. parvaccola) dan Arboreal (P. leucomystax, P. cf macrotis dan Polypedates sp). Koridor juga di dominasi oleh spesies generalis kecuali Huia sumatrana dan Rhacophorus cyanopunctatus. Komposisi spesies nya terdiri atas habit Akuatik (H. Sumatrana, L. kuhlii, R. erythraea, R. picturata dan R. hosii); semi akuatik (B. asper, Fejervayra cancrivora, F. limnocaris, L. blythii, L. crybetus dan L. microdiscus); Terrestrial (M. berdmorei); semi arboreal (R. parvaccola, R. raniceps dan R. nicobariensis) dan arboreal (R. cyanopunctatus). Similaritas dari komposisi dan kelimpahan dikelompokkan dengan menggunakan analisis kluster dengan hasil seperti yang tertera pada Gambar ,42 Similarity -106,94-3,47 100,00 BTPU (C) BTPT (C) BTPB (C) BTPS (C) BS (C) MBTPT (M) MBTPU (M) MBSB (M) MBST (M) MBTPB (M) MBTP-S (M) ST (C) BTPSK (C) BSSS (C) SSHU0 (K) SSHI0 (K) SSHI5 (K) SJHU0 (K) SJHU5 (K) SJHI0 (K) SJHI5 (K) SSHU5 (K) Lokasi Gambar 13 Diagram similaritas komposisi dan kelimpahan amphibia pada tiap lokasi menggunakan metode ward Analisis kluster membagi lokasi secara umum berdasarkan komposisi dan kelimpahan spesies menjadi dua kelompok besar yaitu: kelompok pertama merupakan gabungan antara elemen area inti daratan dengan elemen matriks kelompok ini mewakili daratan sedangkan kelompok kedua adalah elemen koridor ditambah elemen area inti akuatik yang cenderung berupa perairan.

6 42 Pada kelompok yang pertama terbagi kembali menjadi dua bagian yaitu cluster area inti dan matriks. Pada cluster area inti daratan bagian sisi Bukit Tengah Pulau Utara, Timur dan Barat komposisi spesiesnya hanya berbeda 1-2 spesies dan kelimpahan yang bervariasi dengan angka yang sama. Sisi selatan dari bukit ini bersebelahan dengan Bukit Salo, komposisinya juga cenderung menyerupai Bukit Salo sehingga sedikit berbeda dengan kelompok cluster BTPU, BTPB dan BTPT dengan tingkat similaritas 82,6. Sementara sisi selatan Bukit Tengah Pulau lebih dekat dengan Bukit Salo memiliki tingkat kesamaan komposisi spesies dengan nilai similaritas 80,37. Spesies yang absen pada cluster area inti daratan adalah semua pesies dengan habit akuatik kecuali L. kuhlii, R. raniceps, M. berdmorei dan Genus Rhacophorus. Cluster matriks membentuk kelompok dengan similaritas tertinggi pada MBTPU dengan MBSB dengan nilai 96. Komposisi dan kelimpahan spesies pada paling rendah 70,4 pada cabang ke lima, cluster pada elemen matriks relatif tidak terlalu jauh berbeda secara komposisi dan kelimpahan spesiesnya. Spesies yang absen pada cluster matriks adalah Spesies Spesialis interior hutan, Genus Huia dan Rhacophorus serta R. picturata. Pada Kelompok habitat akuatik, elemen area inti akuatik mengelompok dan tampak lebih dekat dengan koridor bagian Sungai Suir, bagian SSHU5 tampak mengelompok dengan semua lokasi pada Sungai Jujuan yang tingkat similaritasnya paling tinggi dibandingkan seluruh lokasi dengan tingkat kesamaan 98,6. Sedangkan tingkat kesamaan terendah komposisi antara area inti dengan matriks adalah 52,68-72,44. Pada Sungai Jujuan dan Suir perbedaan komposisi spesies hanya berbeda masing-masing dua spesies, pada Sungai Jujuan terdapat F. limnocaris dan R. cyanopuntatus sedangkan pada Sungai Suir terdapat F. cancrivora dan M. berdmorei, Genus yang tidak ditemukan pada koridor adalah Genus Polypedates, Kalophrynus, Occidozyga dan Leptobrachium.

7 Korelasi Jarak Dengan Keanekaragaman Berdasarkan analisis hasil korelasi antara jarak dengan keanekaragaman diperoleh hasil seperti pada Tabel 3. Tabel 3 Persamaan regresi antara jarak (Euclidian distance) dengan diversitas Shannon-Wienner. No. Variabel Persamaan Regresi P Value R square 1. Area inti- Koridor H = 1,37 + 0, Jarak+ ϵ 0,379 2,0% 2. Area inti-matriks H = 0, ,00159 Jarak+ϵ 0,004 30,6% Ket:P>0.05 tidak signifikan Pada korelasi antara area inti dengan koridor persamaan regresi menunjukkan korelasi yang tidak signifikan antara keanekaragaman dengan jarak. Hal ini dikarenakan adanya ketidakkonsistenan antara pertambahan jarak dengan bertambahnya nilai indeks keanekaragaman pada semua lokasi. Rata-rata nilai indeks keanekaragaman tidak terlalu berbeda pada tiap pertambahan jarak, sementara nilai jarak secara konsisten bertambah. Sehingga pola yang dihasilkan bervariasi, dapat dilihat pada hubungan korelasi pada tiap lokasi. Pengujian yang dilakukan dengan melihat korelasi antara jarak area inti dengan keanekaragaman dengan menggunakan korelasi Pearson menunjukkan korelasi positif antara dua variabel yang tidak signifikan pada Sungai Suir, (Sungai Suir hilir r = 0,405, n = 10, p 0,05; Sungai Suir Hulu r = 0,307, n = 10, p 0,05). Pada Sungai Jujuan ada sedikit variasi dimana Sungai Jujuan Hulu berkorelasi positif (r = 0,093, n = 10, p 0,05), sedangkan bagian hilirnya berkorelasi negatif (r = -0,142, n = 10, p 0,05). Korelasi pada bagian hilir Sungai Jujuan dapat dilihat sebagai penyebab utama ketidak konsistenan karena bernilai negatif, dimana nilai indeks keanekaragaman cenderung menurun dengan pertambahan jarak dari area inti, sementara lokasi yang lain memiliki nilai korelasi positif yang rendah dan tidak signifikan. Korelasi antara jarak dengan keanekaragaman pada elemen matriks berdasarkan analisa diatas didapatkan hasil korelasi antara jarak dengan keanekaragaman yang signifikan. Dimana keanekaragaman tiap pertambahan

8 44 jarak satu meter, keanekaragaman akan bertambah sebanyak 0,00159 kali ditambah dugaan nilai rataan pada daerah matriks Perbandingan Keanekaragaman Jenis Amphibia pada Koridor yang Terpapar dan Tidak dengan Area Inti Serta pada Bagian Hulu dan Hilir Perbandingan Keanekaragaman Jenis Amphibia pada Koridor yang Terpapar dan Tidak Terpapar dengan Area Inti Uji beda keanekaragaman jenis amphibia pada koridor Sungai Suir yang terpapar dan Sungai Jujuan tidak terpapar dengan area inti dilakukan dengan uji t student dengan hasil seperti yang tertera pada Tabel 4 berikut: Tabel 4 Nilai t hitung uji t student keanekaragaman antara sungai jujuan dengan Sungai Suir. No. Habitat Sungai Suir Hilir Sungai Suir Hulu 1. Sungai Jujuan hilir -1,03 ts -1,45 ts 2. Sungai Jujuan hulu -0,04 ts -0,62 ts Ket: ts = tidak signifikan Pada Tabel 4 dapat dilihat ada empat perbandingan dengan hasil tidak ada perbedaan keanekaragaman amphibia yang signifikan antara Sungai Jujuan yang tidak terpapar dengan area inti dan Sungai Suir yang terpapar dengan area inti, baik pengujiannya pada bagian hulu dan hilir dari dua sungai ini. Secara jumlah jenis kedua sungai juga memiliki jumlah spesies yang sama yaitu 14 spesies, memiliki tingkat kesamaan komposisi spesies sebanyak 85,7%, spesies yang hanya ditemukan pada Sungai Jujuan adalah F. cancrivora dan R. cyanopunctatus sedangkan yang hanya ditemukan pada Sungai Suir saja adalah M. berdmorei dan F. limnocaris.

9 Perbandingan Keanekaragaman Jenis Amphibia pada Aliran Sungai Bagian Hulu dan Hilir Uji beda keanekaragaman jenis amphibia pada bagian hulu dan hilir dari koridor Sungai Jujuan dan Suir dilakukan dengan uji t student dengan hasil seperti yang tertera pada Tabel 5. Tabel 5 Nilai t hitung uji t student keanekaragaman pada bagian hulu dan hilir No. Habitat Sungai Jujuan Hulu Sungai Suir Hulu 1 Sungai Jujuan hilir -0,99 ts - 2 Sungai Suir hilir - -0,60 ts Ket:ts=tidak signifikan Berdasarkan pada uji t pada keanekaragaman jenis amphibia pada koridor Sungai Jujuan bagian hulu dan hilir di dapatkan hasil tidak ada perbedaan yang signifikan antara keanekaragaman amphibia pada bagian hulu dan hilir dari Sungai Jujuan. Demikian juga dengan bagian hulu dan hilir dari Sungai Suir dimana tidak ada perbedaan yang signifikan pada keanekaragaman amphibianya. Adapun sebaran berdasarkan komposisi spesies pada tiap subtransek pada Sungai Jujuan dapat dilihat pada Gambar 14. Ket A = B. asper; B = F. limnocaris; C = H. sumatrana; D = L. blythii; E = L. crybetus; F = L. kuhlii; G = L. microdiscus; H = R. erythraea; I = R. hosii; J = R. nicobariensis; K = R. parvaccola; L = R. picturata; M = R. raniceps; N = R. cyanopunctatus Gambar 14 Diagram komposisi spesies antara bagian hulu dan hilir sungai jujuan.

10 46 Pada diagram dapat dilihat variasi komposisi dari spesies pada setiap subtransek, tidak terdapat perbedaan yang mencolok antara spesies pada bagian hulu dengan hilir sungai. Spesies yang ditemukan pada bagian hulu sebanyak 12 spesies sedangkan spesies yang ditemukan pada bagian hilir sebanyak 14 spesies, lebih banyak dua spesies yaitu L. microdiscus dan F. limnocaris di bandingkan dengan bagian hulu. Sedangkan pola pada komposisi spesies pada bagian hulu dan hilir sungai suir dapat dilihat pada Gambar 15. Ket: A = B. asper; B = F. cancrivora; C = H. sumatrana; D = L. blythii; E = L. crybetus; F = L. kuhlii; G = L. microdiscus; H = M. berdmorei; I = R. erythraea; J = R. hosii; K = R. nicobariensis; L = R. parvaccola; M = R. picturata; N = R. raniceps). Gambar 15 Diagram komposisi spesies antara bagian hulu dan hilir sungai suir. Pada Gambar 15 terlihat kondisi sebaran spesies juga tidak jauh berbeda antara bagian hilir spesies tidak memiliki pola jumlahnya meningkat pada bagian hulu dan menurun pada bagian hilir. Perbedaan terlihat pada jumlah spesies yang ditemukan pada bagian hulu lebih banyak sejumlah 13 spesies dibandingkan dengan bagian hilir yang hanya memiliki kekayaan spesies sebanyak 9 spesies. Spesies yang hanya ditemukan pada bagian hilir adalah F. cancrivora sedangkan spesies yang hnaya ditemukan pada bagian hulu saja adalah L. microdiscus, R. nicobariensis, R. picturata dan M. berdmorei.

11 Distribusi dan Dispersal Amphibia Distribusi Amphibia Peta sebaran amphibia pada lanskap Bukit Tengah Pulau dan Salo dapat dilihat pada Gambar 16 dan 17. Gambar 16 Peta sebaran amphibia pada area inti, matriks dan koridor bukit tengah pulau. Gambar 17. Peta sebaran amphibia pada area inti, matriks dan koridor bukit salo.

12 48 Berdasarkan pada analisis pola sebaran spasialnya (Lampiran 15.) spesies amphibia pada kawasan KSI memiliki tiga pola: Agregat (B. asper, F. cancrivora, F. limnocharis, H. sumatrana, K. pleurostigma, L. wayseputiense, L. blyhtii, L. crybetus, L. kuhlii, M. borneensis, M. heymonsi, O. sumatrana, P. leucomystax, Polypedates sp, R. erythraea, R. hosii, R. nicobariensis, R. parvaccola, R. picturata dan R. raniceps); Acak (B. biporcatus, Microhyla sp dan O. laevis); dan Homogen (L. microdiscus, M. berdmorei, P. cf macrotis dan R. cyanopunctatus). Pola sebaran spasial ini dapat tergambar melalui distribusi kelimpahan populasi amphibia pada elemen lanskap, seperti pada: Area Inti Wilayah area inti umumnya memiliki tipe habitat yang sama yaitu hutan yang telah terdegradasi. Pada area inti dengan habitat terrestrial, tipe lokasi bisa dibedakan menjadi tiga berdasarkan pola area yang berbatasan dengan matriks yaitu 1). lokasi yang diawali dengan dominasi semak, lokasi yang di awali dengan dominasi semak ditemukan pada BTPT dan BS, pada BTPT. Daerah yang berbatasan dengan matriks berupa semak dan perdu dengan pepohonan yang jarang-jarang, pada 100 meter pertama daerah ini ditemukan P. leucomystax dan R. raniceps namun pada BS tidak ditemukan amphibia pada daerah perbatasan ini; 2). lokasi yang diawali dengan hutan sekunder. Tipe lokasi ini dapat ditemukan pada BTPB dan BTPS. Pada BTPB amphibia yang mampu hidup pada daerah perbatasan ini adalah K. Pleurostigma sedangkan pada BTPS adalah L. wayseputiense dan 3). Hutan yang didominasi Euphorbiaceae, satu-satunya lokasi dengan tipe hutan yang didominasi oleh vegetasi Macaranga adalah pada lokasi BTPU pada lantai hutannya ditutupi dengan serasah-serasah daun lebar dan tebal namun tampaknya daerah ini dihindari oleh amphibia. Pada bagian dalam hutan spesies amphibia banyak ditemukan pada daerah pertengahan transek dan tampaknya menghindari daerah puncak bukit yang lebih terbuka tutupan kanopinya. Amphibia yang umum ditemukan berada diatas lapisan serasah seperti K. Pleurostigma, L. wayseputiense, M. heymonsi, M. borneensis dan L. microdiscus dan B. biporcatus. Mikrohabitat lainnya yang digunakan adalah kubangan oleh L. kuhlii dan akar banir oleh Microhyla sp. Pada

13 49 perdu-perdu yang tumbuh di dalam hutan digunakan oleh Polypedates sp, satusatunya amphibia arboreal yang mampu hidup didalam hutan. Area inti yang habitatnya berupa akuatik pada daerah yang berbatasan dengan matriks biasanya ditemukan B. asper, L. blythii, L. crybetus, L. kuhlii dan R. erythraea. Bagian yang sungai yang berada di dalam hutan juga memiliki komposisi yang sama dengan perbatasan hanya saja R. picturata dan R. hosii merupakan spesies ciri pada daerah ini spesies semi arboreal juga dapat ditemukan seperti R. raniceps dan R. parvaccola. Spesies di dalam hutan ini umum ditemukan pada tepian sungai, mikrohabitat yang lain seperti tebing digunakan oleh L. microdiscus dan kubangan babi yang berada tidak jauh dari sungai ditemukan amphibia dari genus Occidozyga. Matriks Secara umum amphibia pada matriks tampaknya tidak terlalu menyenangi daerah perbatasan dengan area inti yang memiliki kontur berbukit yang kering dan sering kali ditanami dengan sawit yang berusia muda. Seperti pada lokasi MBTPB, MBST dan MBTP-S pada 100 meter pertama dari jarak tersebut hanya ditemukan P. cf macrotis dan M. heymonsi masing-masing hanya satu individu, malah pada MBTPB tidak ditemukan satu pun amphibia. Matriks yang memiliki perbatasan dengan area inti berupa perkebunan kelapa sawit yang telah dewasa seperti pada lokasi MBSB juga tidak ditemukan amphibia pada 100 meter pertama. Berbeda dengan matriks yang memiliki perbatasan yang basah dengan area inti seperti pada MBTPU. Beberapa jenis amphibia memanfaatkan bekas aliran sungai dengan batu-batu besar bersemak yang masih dialiri air dibawahnya menggenangi area berupa rawa yang dihuni oleh R. erythraea dan R. parvaccola pada vegetasinya. Pada MBTPT perbatasan berupa areal berawa yang ditanami dengan sawit muda umumnya digunakan oleh Genus Fejervarya, L. kuhlii, R. parvaccola dan R. nicobariensis. Pada perkebunan Amphibia dapat dengan mudah ditemukan pada parit-parit yang bersemak spesies yang biasa ditemukan adalah B. asper, L. blythii, L. kuhlii. Kemudian pada bagian tepi jalan perkebunan yang membentuk kubangan banyak sekali ditemukan R. nicobariensis, M. heymonsi dan beberapa P. leucomystax,

14 50 Polypedates sp. Kelimpahan R. nicobariensis dan M. heymonsi sangat menonjol pada kawasan yang memiliki pelepah sawit kering yang jamak digunakan sebagai pembatas piringan sawit semak. Pakis yang tumbuh subur diantara rentang jarak tanam sering ditemukan digunakan oleh Genus Polypedates, R. parvaccola, R. raniceps. Biasanya semakin rimbun semak pakis tersebut makin banyak ditemukan spesies-spesies ini ditemukan. Pada permukaan tanah perkebunan di bawah kanopi kelapa saiwt jenis yang kerap ditemukan lainnya adala Genus Fejervarya, L. microdiscus dan M. berdmorei. Koridor Amphibia terdistribusi secara merata di sepanjang koridor hanya saja komposisi spesiesnya yang tidak seragam. Jenis yang paling terdistribusi secara merata adalah B. asper jenis ini sangat mendominasi kawasan sering didapati pada pinggiran sungai baik yang bertebing maupun landai namun tidak ditemukan pada bagian sungai yang berlubuk dengan tepian yang terbuka dan ditumbuhi oleh pakis-pakisan, jenis lain yang umum terdistribusi adalah R. hosii selalu dapat dengan mudah ditemukan pada sungai dengan jeram yang kuat dan kelembaban yang tinggi. Pada daerah yang berlubuk dan dilingkupi oleh riparia yang rimbun dapat ditemukan R. picturata yang menggunakan akar dan cabang-cabang vegetasi dipinggiran sungai. Bagian tepiannya banyak digunakan oleh L. blythii dan L. crybetus meskipun kedua jenis ini juga ditemukan pada perairan bersubstrat batubatuan kerikil dangkal, pada vegetasi pinggirnya digunakan oleh R. raniceps dan R. parvaccola. L. kuhlii banyak ditemukan pada pinggiran sungai yang landai dan genangan air sungai berlumpur hingga diatas tebing hingga ke tinggian 3 meter pada air yang terperangkap pada ceruk bebatuan. R. nicobariensis hanya ditemukan pada bebatuan lava dimana air terperangkap pada Sungai Jujuan. Sedangkan pada Sungai Suir berada pada genangan air ditepi lahan pertanian yang dibuka oleh masyarakat. Pada sungai yang bertebing dapat ditemukan L. microdiscus dan R. cyanopunctatus. Sedangkan R. erythraea cenderung lebih tidak terikat, dalam pengamatan ini sering ditemukan pada pinggian sungai yang berair tenang dan daerah yang melingkupinya relatif terbuka, sering ditemukan pada tebing dan pada daun-daun

15 51 keladi yang tumbuh dipinggir sungai. Spesies yang jarang ditemukan adalah Genus Fejervarya pada bagian hilir sungai dalam rentang 100 meter awal pengamatan dan M. berdmorei ditemukan di dekat lahan pertanian yang dibaru dibuka oleh masyarakat pada bagian hulu Sungai Suir Dispersal Amphibia Komposisi amphibia pada tiap-tiap elemen dapat dilihat pada Gambar 18. Bufo biporcatus Microhyla sp Occidozyga laevis Occidozyga sumatrana Microhyla borneensis Kalophrynus pleurostigma Rana picturata Huia sumatrana Rhacophorus cyanopunctatus Area inti Koridor Bufo asper Rana erythraea Rana hosii Rana parvaccola Rana raniceps Limnonectes microdiscus Limnonectes blythii Limnonectes crybetus Limnonectes kuhlii Polypedates leucomistax Polypedates sp Leptobrachium wayseputiense Microhyla heymonsi Polypedates cf macrotis Matriks Microhyla berdmorei Fejervarya cancrivora Fejervarya limnocaris Rana nicobariensis Gambar 18 Komposisi amphibia berdasarkan sebarannya pada elemen lanskap. Berdasarkan pada Gambar 18 Amphibia pada kawasan PT.KSI dapat dibagi menjadi tiga kategori. Kategori pertama adalah kategori spesies obligat, terlihat bahwa pada area inti hanya dapat ditemukan 6 spesies, pada matriks 1 spesies dan 2 spesies pada koridor, secara umum dapat diasumsikan spesies-spesies ini merupakan spesies spesialis dan bersifat spesifik serta memiliki preferensi habitat sesuai dengan elemen lanskap yang ditempatinya. Spesies spesifik ini diyakini tidak melakukan dispersal karena tidak ditemukan pada elemen lainnya. Kategori kedua adalah spesies fakultatif, kategori terdiri atas spesies yang memiliki kemampuan untuk hidup pada dua elemen yang berbeda dan memiliki preferensi pada salah satu atau kedua elemen untuk ditempati, terdiri atas tiga bagian yaitu:

16 52 1. Area inti-koridor, spesies yang mampu hidup pada kedua elemen ini hanya R. picturata. Dimana spesies ini ditemukan pada area inti perairan dan koridor yang juga berbentuk badan air. Namun preferensi dari spesies lebih dominan pada area inti. 2. Area inti-matriks, terdiri atas 4 spesies yaitu P. leucomystax, Polypedates sp, M. heymonsi dan L. wayseputiense. P. leucomystax dan M. heymonsi memiliki preferensi habitat pada matriks, sedangkan spesies yang terakhir lebih dikenal sebagai spesies interior hutan dan memiliki preferensi habitat pada area inti. 3. Matriks-koridor, Terdiri atas 4 spesies juga yaitu semua Genus Fejervarya, M. berdmorei dan R. nicobariensis. Semua spesies ini lebih umum ditemukan pada matriks dan pengukuran dengan menggunakan indeks preferensi habitatnya membuktikan hal ini. Pada koridor hanya R. nicobariensis yang kelimpahannya masuk dalam kategori jarang sedangkan 3 spesies lainnya kelimpahannya berkategori langka. Kategori ketiga adalah Spesies generalis, terdiri atas Spesies amphibia yang mampu hidup beradaptasi pada ketiga elemen lanskap perkebunan, dengan total 9 spesies dan kesemuanya memiliki habit akuatik. Badan perairan dapat ditemukan pada area inti berupa sungai-sungai kecil dalam hutan, beberapanya memiliki aliran air yang berhulu melintasi matriks, badan air pada matriks sendiri berupa parit-parit kecil di pinggir kolom perkebunan yang mengalir dan bergabung menjadi sungai kecil yang melintasi area inti dan akhirnya bermuara pada sungaisungai besar berkoridor yaitu Sungai Jujuan dan Sungai Suir. Berdasarkan analisis preferensi habitat (Lampiran 14.) menunjukkan sebagian besar spesies hanya memiliki preferensi pada satu habitat saja seperti pada: Area inti (B. biporcatus, R. picturata, O. laevis, O. sumatrana, K. pleurostigma, L. wayseputiense, M. borneensis dan Microhyla sp); matriks (F. cancrivora, F. limnocharis, R. nicobariensis, R. parvaccola, M. berdmorei, M. heymonsi, P. leucomistax dan P. cf macrotis); dan koridor (B. asper, H. sumatrana, R. hosii, L. blythii, L. kuhlii dan R. cyanopunctatus). Sebagian lainnya memiliki preferensi pada dua habitat yang berbeda antara lain: pada area inti-matriks (L. microdiscus

17 53 dan Polypdates sp); area inti-koridor (L. crybetus); dan matriks-koridor (R. erythraea dan R. raniceps) Pembahasan Keanekaragaman dan Similaritas Spesies pada Elemen Lanskap dan Korelasi Jarak dengan Keanekaragaman Keanekaragaman dan Similaritas Spesies pada Elemen Lanskap Kurva akumulasi spesies Kurva akumulasi spesies berhenti pada jumlah 27 spesies dan masih menunjukan tren menanjak walau cenderung mendatar. Hal ini menunjukkan masih ada kemungkinan untuk penemuan spesies lainnya namun relatif sedikit bila variasi habitat yang dijadikan lokasi pencarian masih sama, semakin luasnya area pencarian akan mencakup habitat yang lebih heterogen (Shen et al. 2009) dan lamanya waktu (Crosswhite et al. 1999) yang diperlukan akan menentukan seberapa banyak spesies yang teramati. Jumlah spesies yang ditemukan termasuk tinggi dan lebih baik dari rata-rata jumlah spesies yang ditemukan oleh Kurniati (2009) yang melakukan pengamatan diversitas amphibia di 14 lokasi yang berbeda pada Taman Nasional Kerinci Sebelat dengan jumlah rata-rata kekayaan spesies 16 (stdev= 6). Estimasi dalam kekayaan jenis merupakan cara paling sederhana dalam mengukur keanekaragaman. Munculnya area inti sebagai elemen lanskap yang memiliki nilai tertinggi dengan 23 spesies (stdev=3,75) secara umum menyatakan bahwa area inti merupakan wilayah dengan keanekaragaman tertinggi, mengingat jumlah transek yang digunakan pada area inti lebih besar dan lebih beragam jenis habitat yang di survei membuat label keanekagaraman tertinggi pada kawasan ini tidak tergambarkan dengan baik, karena elemen matriks yang lebih relatif lebih homogen kawasannya menempati posisi terbaik kedua dengan jumlah 21 spesies (stdev= 2,87) dengan jumlah transek yang lebih sedikit, sedangkan koridor merupakan elemen dengan kekayaan jenis terendah. Faktor ketidakstabilan lingkungan mungkin mempengaruhi rendahnya kekayaan jenis pada koridor. Faktor dominansi menyebabkan kekayaan spesies yang diperkirakan lebih cenderung dibawah estimasi (Magurran 2004).

18 54 Kurniati (2011) melakukan penelitian pada kawasan yang sama menemukan 6 spesies yang berbeda dengan yang tercatat dalam penelitian ini pada matriks. Hal ini dikarenakan lebih cenderung kepada variasi daerah yang disurvei mencakup aliran sungai, kolam dan perkebunan sawit itu sendiri yang ke semuanya didalam matriks, sedangkan pencarian pada koridor ditemukan 11 spesies dimana 4 spesies berbeda dengan yang ditemukan dalam penelitian ini dengan menggunakan dua metode pecarian dan aliran sungai yang berbeda, pencarian pada area inti tidak ditemukan amphibia karena hanya satu lokasi dan metode yang digunakan. Hal ini menggambarkan variasi dari lokasi, luas area dan metode yang digunakan sangat menentukan keanekaragaman pada suatu lokasi. Kekayaan spesies yang berasal dari komunitas yang berbeda seharusnya dibandingkan berdasarkan pada ukuran sampling effort yang sama termasuk area yang dieksplorasi, waktu yang digunakan (Begon et al. 2006) dan metode sampling yang dipakai (Magurran 2004). Jumlah Jenis, Diversitas dan Kemerataan. Lanskap Bukit Tengah Pulau (BTP-MBTP-SJ) dan lanskap Bukit Salo (BS- MBS-SS). Bila perbandingan dilakukan dengan persepsi ini sekilas terlihat keanekaragaman pada lanskap Bukit Tengah Pulau lebih baik dibandingkan dengan lanskap Bukit Salo, baik dari sisi jumlah spesies, keanekaragaman dan kemerataan. Menunjukkan bahwa karakter lanskap pada Bukit Tengah Pulau lebih padu dengan mozaik yang homogen dibandingkan dengan Bukit Salo. Namun hal ini juga cukup bias dikarenakan luas area yang disurvei lebih banyak dibandingkan Bukit Salo. Secara keseluruhan lanskap bukit tengah pulau juga memiliki porsi wilayah yang lebih banyak dibandingkan dengan Bukti Salo ditambah kawasan lanskap Bukit Salo terutama pada area inti dan koridornya terus tergerus oleh penebangan liar sehingga luasan hutannya terus menyusut pada beberapa sisi, tergambar dari tutupan tajuk (Lampiran 1). Secara umum pada area inti spesies yang ditemukan merupakan spesies yang mampu hidup pada wilayah hutan sekunder diantaranya adalah L. wayseputiense, K. Pleurostigma, dan M. borneensis. Kelimpahan yang rendah menunjukkan adanya tekanan habitat pada populasi, perpaduan antara pembalakan liar dan perkebunan memberikan efek berantai bagi spesies spesialis hutan. Faktor penentu

19 55 utama efek perkebunan terhadap amphibia adalah temperatur, lingkungan dengan kanopi terbuka akan meningkatkan eksposur cahaya bagi amphibia, meningkatkan tekanan fisiologi karena stress panas (Wanger et al. 2009). Selain spesies-spesies ini, rata-rata amphibia lainnya mampu hidup diluar hutan dan beradaptasi dengan baik. Dengan melihat kondisi pada area inti yang telah jauh terdegradasi maka diyakini spesies yang hanya mampu hidup pada hutan primer diyakini telah punah keberadaaannya pada area inti, fragmen kecil yang terisolasi juga memiliki spesies yang kecil pada taxa lain seperti pada kupukupu (Benedict et al. 2006). Faktor lainnya diyakini karena daya dispersal yang rendah juga mempengaruhi amphibia sendiri (Gillespie, in press), mempengaruhi migrasi antar habitat yang penting untuk aliran genetik (Wang & Whitlock 2003). Transformasi pada daratan mempengaruhi integritas dari sistem ekologi melalui hilangnya spesies asli, invansi spesies eksotik, erosi pada tanah dan menurunnya kualitas air (Forman & Godron 1986). Spesies asli yang tersisa setelah modifikasi secara umum akan berkurang dalam jumlah dan tidak terhubung dengan batasan habitat yang masih utuh. Hasilnya populasi dari tumbuhan dan hewan yang ada pada habitat yang tertingggal ini juga akan terbagi dan berkurang dan juga menyebabkan beberapa spesies tertentu menghadapi kepunahan. Keanekaragaman yang cukup tinggi di kawasan area inti terbantu karena kemerataan yang baik. Meski secara kuantitas sebenarnya populasinya mengkhawatirkan karena setiap spesies hanya diwakili oleh satu individu bila dirata-ratakan dengan jumlah lokasi yang dijadikan titik pengambilan data. Sedangkan pada area inti yang habitatnya akuatik tidak jauh berbeda dengan koridor, hanya R. picturata dan R. hosii yang memiliki keterikatan yang tinggi dengan hutan, meskipun R. hosii juga dapat ditemukan diluar hutan (Kurniati 2009). Keanekaragaman spesies pada akuatik tidak lebih baik dibandingkan pada area inti pada habitat daratan karena beberapa spesies semi akuatik dan akuatik yang sedikit dominan diwilayah tersebut namun lebih baik dibandingkan dengan koridor. Matriks Bukit Tengah Pulau dan Matriks Bukit Salo merupakan bagian dari elemen matriks. Kedua lokasi ini memiliki nilai yang kontras pada jumlah spesies dimana Matriks Bukit Tengah Pulau merupakan bagian dengan jumlah spesies

20 56 paling tinggi dengan jumlah 18 spesies sementara Matriks Bukit Salo merupakan yang terendah bila dibandingkan dengan lokasi keseluruhan. Hal ini disebabkan oleh jumlah transek pada Matriks Bukit Tengah Pulau jauh dua kali lebih banyak bila dibandingkan dengan Matriks Bukit Salo. Matriks Bukit Tengah Pulau diwakili dengan empat transek sedangkan matriks bukit salo dengan dua transek. Jumlah transek ini sebanding dengan luas area yang diamati menjadi dua kali lebih banyak, luas area sebanding dengan jumlah spesies (Tjorve 2003), karena area yang lebih luas memiliki habitat yang lebih heterogen dan lingkungan mikro yang lebih bervariasi pula. Namun terbatasnya daya dispersal dan minimnya mikrohabitat yang tersedia juga mempengaruhi hal ini (Shen et al. 2009; Donald & Evans 2006). Spesies yang mampu bertahan pada matriks merupakan spesies generalis dengan relung yang luas, dan beberapa spesies mampu hidup sama baiknya pada perkebunan dan hutan yang telah terdegradasi. Koridor pada Sungai Jujuan dan Sungai Suir memiliki jumlah spesies, keanekaragaman dan kemerataan yang relatif paling buruk bila dibandingkan dengan elemen lainnya. Hal ini disebabkan karena dominasi beberapa spesies yang sangat kental karena habitat yang relatif homogen dan lingkungan yang sangat fluktuatif menyangkut debit air, sifat fisika dan kimia karena tidak stabilnya sistem hidrologi karena mulai tergerusnya sistem penyangga yang tidak kontinyu. Hal ini dapat tergambar dengan mudah pada kondisi populasi H. sumatrana di kawasan ini. Jenis spesies ini adalah amphibia yang menyenangi air berjeram jernih di dalam hutan (Mistar 2003), kondisi populasinya dari kedua sungai hanya di dapati 10 individu saja dalam rentang total 4 kilometer panjang transek. Hal ini mungkin disebabkan sungai yang ada tidak memiliki hutan yang berkesinambungan menyebabkan menurunnya kelembaban, suhu, fluktuasi debit air (Olson et al. 2007). Pendangkalan karena sedimentasi, dan masuknya material kimiawi ke dalam perairan. Faktor ini menyebabkan spesies yang paling mampu beradaptasi akan mendominasi kawasan dan spesies yang memiliki batas toleransi lingkungan akan menghadapi hambatan dalam struktur populasinya. Hal yang sama juga terjadi pada taxa yang lain, spesies hutan yang ditemukan pada perkebunan sedikit dan spesies yang umum ditemukan berlimpah (Bruhl et al. 2003; Sheldon et al. 2010)

21 57 Disamping itu struktur komunitas amphibia yang berada di elemen koridor, dihindari oleh spesies interior hutan dan amphibia dengan habit arboreal dari genus Polypedates. Spesies spesialis interior hutan menghindari daerah riparia mungkin dikarenakan karena faktor efek tepi mengingat lebar koridor riparia yang berkisar antara meter dan karakter habitat yang tidak menunjang bagi siklus hidup mereka. Riparian pada koridor berupa hutan sekunder yang memiliki lapisan serasah yang tipis, mikrohabitat yang dapat menunjang hidup mungkin saja tidak tersedia, sementara absennya genus Polypedates belum diketahui penyebabnya. Bickford et al. (2009) memiliki persepsi yang berbeda mengenai ini hasil penelitiannya menunjukan habitat untuk berreproduksi yang lebih heterogen berperan dalam menentukan kekayaan spesies, fragmen yang besar dan berdekatan memiliki spesies yang lebih banyak dan kelimpahan tidak memiliki korelasi dengan area hutan atau konektivitas. Similaritas Tingkat persamaan antara tipe area inti perairan dengan Koridor juga tidak terlalu banyak berbeda. Pada dispersal pada area inti Bukit Tengah Pulau- Koridor Sungai Jujuan, pada area inti terrestrial tingkat persentase kesamaan komposisi spesies tertinggi hanya 14,3% pada Bukit Tengah Pulau Selatan (BTPS) 4,3% pada Bukit Tengah Pulau Timur (BTPT), 9,5% pada Bukit Tengah Pulau utara (BTPU) dan bahkan pada Bukit Tengah Pulau barat (BTPB) tidak ada spesies yang sama, bandingkan dengan area inti berkarakter perairan (Bukit Tengah Pulau Sungai Kecil) yang memiliki tingkat kesamaan tertinggi 22,2%. Jumlah individu pada area inti terrestrial yang terlalu kecil juga menghindari terjadinya dispersal rata-rata jumlah individu pada tiap area inti bertipe terrestrial hanya 1 individu/spesies. Tidak memenuhi syarat alasan mengapa suatu organisme berdispersal. Berdasarkan pada kesamaan komposisi dan kelimpahan spesiesnya, area inti terrestrial memiliki tingkat kesamaan yang lebih baik dengan matriks dibandingkan dengan koridor, sebaliknya area inti akuatik memiliki tingkat kesamaan yang lebih baik dengan matriks, data karakter lingkungan perairan pada

22 58 koridor juga mendukung dugaan ini (Lampiran 1). Hal ini membuktikan bahwa spesies dengan habitat terrestrial lebih memilih preferensi habitat lain dengan tipe terrestrial pula. Dan spesies akuatik juga lebih memiliki preferensi pada habitat akuatik lainnya. Habitat yang memiliki kemiripan karakter akan menarik komposisi spesies yang sama pula (Craig & Beal 1992). Hasil ini diperkuat dengan tipe lokasi yang serupa antara Bukit Tengah Pulau-Salo yang lebih dekat dengan Matriks Bukit Tengah Pulau Barat, kesamaan keduanya adalah topografi lokasi yang serupa dimulai pada kelerengan tinggi, MBSB-MBTPU dan MBTPT memiliki tipe transek yang diawali dengan trek yang relatif basah dan lembab. Dalam diagram terlihat lokasi yang memiliki komposisi dan kelimpahan yang paling sama adalah habitat yang paling homogen diantara lainnya. Koridor adalah habitat yang paling homogen diantara habitat lainnya, karena komposisi dan kelimpahan spesies antar lokasinya diatas 96%. Hal ini dapat menerangkan mengapa kekayaan spesies pada koridor lebih sedikit dibandingkan lokasi lainnya. Heterogenitas pada habitat mempengaruhi kekayaan jenis pada suatu lokasi, pada Bukit Tengah Pulau Sungai Kecil dan Sungai Ternuk juga terlihat pola dimana hulu keduanya berasal dari parit-parit perkebunan yang membentuk sungai kecil dan mengalir ke melintasi area inti. Berbeda dengan Bukit Salo Sungai Jernih yang asal airnya dari perbukitan bukit salo menunjukan kesamaan dengan Sungai Suir yang merupakan sungai besar terdekat, meski pun letaknya bersebelahan dengan Sungai Ternuk, pengaruh lokasinya yang berada di dalam hutan mempengaruhi komposisi spesies yang serupa karakternya dengan Sungai Suir. Hal yang menarik dari kesamaan komposisi ini adalah spesies amphibia yang memiliki habit arboreal, dari 4 spesies yang ditemukan hanya 1 spesies saja (Genus Rhacophorus) yang memanfaatkan habitat akuatik, sedangkan 3 spesies lainnya (Genus Polypedates) hidup pada habitat terrestrial. Hal ini diduga juga bergantung kepada heterogenitas habitat reproduksi yang memiliki perbedaan pada Genus Rhacophorus dan Genus Polypedates. Katak pohon diketahui juga terbagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang menggunakan sungai sebagai tempat berbiak dan kelompok yang menggunakan air tergenang untuk berbiak (Inger & Stuebing 1997).

23 Korelasi Jarak dengan Keanekaragaman Berdasarkan pada perhitungan yang telah dilakukan pada area inti-koridor dengan melihat korelasi antara keanekaragaman amphibia dengan jarak dari hutan, menunjukan bahwa jarak dari hutan tidak berpengaruh signifikan terhadap peningkatan maupun penurunan keanekaragaman amphibia di sepanjang koridor sungai jujuan maupun Sungai Suir. Hal ini bertentangan dengan model equilibrium teori biogeografi pulau yang dikemukakan oleh McArthur (1972), bahwa semakin jauh jarak dengan sumber keanekaragaman berbanding terbalik dengan keanekaragaman. Hasil ini merupakan salah satu dari efek dari jarak, semakin jauh jarak maka akan menyebabkan makin tingginya tingkat kepunahan suatu spesies dan imigrasi menurun dengan drastis (Simberloff 1974), karena kekayaan spesies dalam komunitas berhubungan dengan proses imigrasi dan emigrasi dari satwa (MacArthur & Wilson 1967). Laurance (2008) mengkaji secara global mengenai teori biogeografi pulau memiliki batasan dalam relevansinya memahami ekosistem terfragmen; Pertama, teori biogeografi pulau hanya memberikan sedikit prediksi mengenai bagaimana komposisi dalam komunitas berubah dengan berjalannya waktu; Amphibia seperti satwa lainnya juga memiliki preferensi sendiri terhadap habitatnya dan merupakan satwa yang sangat terikat dengan mikrohabitatnya dan berkarakter phylopatric. Amphibia cenderung untuk menetap pada suatu lokasi ketika dewasa. Fase juvenile amphibia paling banyak melakukan dispersal dan mungkin butuh beberapa generasi untuk melintasi koridor (Burbrink 1998). Faktor ini sangat berbahaya bagi populasi amphibia pada perkebunan kelapa sawit terutama spesies spesialis hutan, perkebunan kelapa sawit dibuka dengan proses konversi yang cepat secara luas (Koh & Wilcove 2008). Perubahan suhu, kelembaban, eksposur cahaya, hidrologi mempengaruhi fisiologi yang menyebabkan stress bagi amphibia akan menyebabkan kepunahan pada seluruh strata umur. Kondisi hutan yang tidak seragam juga tidak mempengaruhi secara nyata (lihat sub bab 5.2.2). Ketersediaan mikrohabitat yang disenangi oleh amphibia itu sendiri lebih menentukan keanekaragaman pada amphibia dari pada kebutuhannya dengan hutan (Nuzzo & Mierzwa 2000). Perlu dicatat definisi habitat bagi amphibia tidak selalu diassosiasikan dengan hutan

24 60 beberapa jenis amphibia mampu hidup di luar hutan selama mikrohabitatnya tersedia dan juga tergantung pada seberapa lebar relung ekologi dari spesies tersebut. Ke-2, efek tepi dapat menjadi pengarah terjadinya kepunahan spesies lokal yang tidak dipertimbangkan oleh teori biogeografi pulau; Pada koridor yang berbentuk garis persegi seperti pada kawasan KSI, efek tepi sangat berpengaruh karena hampir setiap sisi dari hutan riparia dipengaruhi oleh efek tepi. Hal ini menyebabkan spesies interior hutan tidak ditemukan pada pada koridor (Santosbarerra & Urbina-cardona 2011). Gangguan pada habitat yang utuh menyebababkan peningkatan pada panjang batas antara fragmen dan habitat yang melingkupinya. Tepi baru yang tercipta menyebabkan perubahan pada karakteristik iklim mikro, yang mana secara signifikan merubah tumbuhan asli dan komunitas hewan yang ada. Ukuran dari fragmen habitat mempengaruhi dengan mencolok proses ekologi yang terjadi, sebagian besar perubahan disebabkan oleh bagian tepi habitat ini. secara umum kekayaan spesies menurun seiring dengan berkurangnya luasan fragmen (Collinge 1996). Untuk spesies interior hutan dimensi koridor dengan tipe panjang dan sempit akan dirasa seperti tepian habitat yang besar dan menghindarinya. Namun pengujian yang dilakukan Burbrink (1998) terhadap korelasi antara lebar riparia dengan kekayaan spesies tidak menunjukan hasil yang signifikan pada amphibia karena keterbatasan dalam memisahkan efek dari lebar koridor dan jarak dari area inti. Faktor ini juga berlaku pada KSI bila melihat komposisi komunitas amphibia dengan tidak ditemukannya spesies interior hutan. Ke-3, matriks dari vegetasi yang mengungkung habitat dapat mempengaruhi konektivitas fragmen, memberikan efek pada demografi, genetik, dan survival dari populasi lokal; keterkaitan pada poin ini dijelaskan lebih lanjut pada area intimatriks. dan beberapa penelitian menunjukan bahwa matriks tidak bisa sama dengan lautan pada konsep teori biogeografi karena tidak sepenuhnya bertindak sebagai barrier bagi satwa (Fahrig et al. 2011). Ke-4, Kebanyakan lanskap yang terfragmen juga dipengaruhi oleh faktor manusia seperti perburuan, pembalakan, kebakaran dan polusi, yang berinteraksi sinergis dengan fragmentasi habitat. Kenyataannya dilapangan gangguan yang

25 61 dapat terjadi pada lanskap terfragmen juga terjadi pada koridor. Lahan koridor yang dibiarkan oleh perusahaan sebagai bagian dari HCVF, disalahartikan oleh masyarakat sebagai wilayah terlantar dan peluang ini banyak digunakan untuk mengembangkan usaha perkebunan sendiri. Seringkali kontrol yang lemah dari pihak perusahaan menyuburkan faktor ini. Proses ini pun melibatkan pembalakan, kemudian pembukaan lahan dengan cara di bakar dan polusi secara langsung adalah polusi akibat erosi tanah yang parah dilapangan pelanggaran berat dapat ditemukan pada Bukit Salo. Perubahan ini mempengaruhi komunitas amphibia. daerah koridor akan dihindari oleh spesies interior hutan karena faktor efek tepi yang ditimbulkan. Pembakaran dan pembukaan lahan menjadi barrier baru bagi pergerakan amphibia. Perubahan fungsi kawasan menyebabkan hilangnya mikrohabitat yang dibutuhkan oleh amphibia dan merubah karakter sungai yang menyebabkan terjadi perubahan komposisi dalam komunitas dan adanya dominasi oleh beberapa spesies dan menurunnya populasi spesies lain secara drastis. Ditambah dengan adanya perburuan bagi spesies tertentu di dalam koridor dan hadirnya predator baru seperti biawak (Varanus salvator) dan kobra (Naja sumatrana) pada koridor yang juga turut mempengaruhi dominasi oleh spesies tertentu. Kegiatan ini dilakukan secara selektif oleh masyarakat dan seringkali wilayah yang dikelola berada didekat area inti yang masih luas kawasan hutannya dan relatif jarang dipantau oleh perusahaan. Ke-5, fragmentasi seringkali memiliki dampak yang berbeda-beda pada properti ekologi seperti dinamika gap-kanopi, cadangan karbon, dan struktur tropik dari komunitas. Hal ini akan menyebabkan variasi pada koridor tergantung dari struktur yang membangun ekosistem itu sendiri dan tingkat kestabilannya. Collinge (1996) menjelaskan bahwa Derajat heterogenitas habitat pada fragment yang terisolasi merupakan faktor yang bertanggung jawab secara parsial atas hubungan antara komposisi spesies dan karakteristik fragmen spasial. Fragment yang besar lebih berkemungkinan mengandung variasi dari tipe tanah, topografi, iklim mikro dan jumlah habitat yang lebih besar dari fragmen yang lebih kecil fragment. Penggunaan koridor oleh hewan juga bervariasi tergantung pada pola mencari makan, ukuran tubuh, ukuran home range, derajat spesialisasi makanan,

26 62 pergerakan dan tingkah laku sosial. Keberadaan satwa pada koridor lebih besar ditentukan oleh tingkah laku mencari makan dan tingkah laku sosial dari pada ukuran tubuh. Namun bagi amphibia ketersediaan kebutuhan untuk siklus hidupnya lebih penting, alasan ini mungkin menjadi penyebab tidak terbentuknya pola model equilibrium McArthur& Wilson karena keterbatasan daya dispersal amphibia (Burbrink 1998). Pada kawasan KSI koridor sendiri berupa hutan sekunder dengan derajat kelerengan yang tinggi, ketebalan serasah rendah dan kering. Gap antar kanopinya termasuk luas hal ini mempengaruhi struktur tropik dimana semua derajatnya termasuk miskin baik mangsa mau pun predator yang berada pada status populasi yang belum stabil. Disamping argumen yang diutarakan oleh Laurance (2008), definisi koridor pada kawasan perkebunan dan keefektifan koridor itu sendiri masih terus diperdebatkan hingga sekarang. Beberapa pendapat penggiat konservasi mengutarakan bahwa area hutan yang berada pada pinggiran sungai yang tidak bisa disebut sebagai koridor karena tidak ditujukan untuk pergerakan satwa. Wilayah ini diidentifikasi dan dikelompokkan ke dalam hutan yang bernilai konservasi tinggi karena masuk dalam kategori HCV 1 dan 4, dimana pada wilayah tersebut terdapat satwa yang dikategorikan bernilai konservasi (HCV 1) dan memiliki jasa lingkungan seperti mencegah erosi dan sebagai daerah tangkapan hujan (HCV 4) dalam kutipan pada dasar HCV (KRHTI 2008), tidak disebutkan dalam klausal HCV. Hutan digunakan untuk pergerakan satwa termasuk pada hutan bernilai konservasi tinggi, Koridor yang terdapat pada kawasan PT.KSI bisa digolongkan dalam pengertian koridor satwa yang didefinisi berdasarkan McEuen (1993) karena meskipun tidak diperuntukkan untuk memfasilitasi pergerakan satwa antar area alami namun secara fungsional dapat menghubungkan dua habitat alami (Bukit Salo-Bukit Lipai). Selama definisi tersebut terpenuhi maka semestinya pengelolaan koridor juga berdasarkan fungsinya sebagai wilayah pergerakan satwa termasuk untuk pergerakan home range, migrasi dan dispersal. Koridor hingga saat ini masih dianggap sebagi solusi terbaik bagi wilayah yang terisolasi. McEuen (1993) dalam reviewnya pada teori koridor satwa liar, membuat daftar argumen dari beberapa author yang tidak menyetujui konsep

27 63 koridor, mempertanyakan alasan mengenai pergerakan pada koridor satwa liar dan menyatakan mengenai ambiguitas dan kekurangan mengenai konsep koridor. Alasan-alasan ekologi ini dapat dikelompokan menjadi 2 antara lain: 1). Kekurangan data mengenai penggunaan koridor dan tidak adanya kontrol dalam studi lapangan, kekurangan data mengenai signifikansi dari variasi kehilangan genetik dikarenakan inbreeding dan populasi kecil menyebabkan kemungkinan terjadinya genetic drift; 2). Habitat pada koridor yang tidak sesuai, dapat mendorong koridor berfungsi sebagai perangkap genetik dan genetik sink, koridor juga dapat digunakan oleh predator dan tempat kontak penyakit. Pada area inti-matriks berdasarkan pada perhitungan yang telah dilakukan dengan melihat korelasi antara keanekaragaman amphibia dengan jarak dari hutan pada matriks, menunjukan bahwa jarak dari hutan berpengaruh signifikan terhadap peningkatan keanekaragaman amphibia di kawasan perkebunan kelapa sawit. Amphibia di kawasan perkebunan kelapa sawit lebih cenderung menghindari daerah perbatasan dan memiliki korelasi yang positif dengan pertambahan jarak. hal ini menunjukan perkebunan kelapa sawit yang telah dewasa merupakan habitat yang baik bagi spesies yang menggunakannya, ini dikarenakan jumlah jenis yang ditemukan dan kelimpahannya lebih tinggi bila dibandingkan dengan populasinya didalam hutan maupun pada daerah tepi yang berbatasan dengan hutan. Faktor ini dipengaruhi oleh daerah perbatasan didominasi oleh semak berkayu dan tidak ada pohon yang menaungi dan umumnya ditanam dengan kelapa sawit usia muda. Hutan memiliki kondisi iklim moderat dan kelengkapan struktur yang menyediakan perlindungan dan kelembaban bagi amphibia, berkurangnya kekayaan dan kelimpahan amphibia pada hutan yang telah dibabat dan habitat yang mengalami pertumbuhan sekunder pada tegakan mengimplikasikan kurang sesuainya tipe habitat bila dibandingkan dengan hutan yang telah matang (Wind 1999). Sementara jenis yang hidup di perkebunan kelapa sawit semuanya memiliki relung ekologi yang lebar (Gillespie in press) dan Pengaruh matriks tidak selalu sama pada spesies, bahkan pada spesies yang dekat sekali pun (Ricketts 2001). Pola ini juga tampak perkebunan lain dimana spesies general

Lampiran 1. Karakter lingkungan. Data lingkungan. Hasil pengujian kualitas air. No. Parameter Uji Satuan. Jumlah Orang.

Lampiran 1. Karakter lingkungan. Data lingkungan. Hasil pengujian kualitas air. No. Parameter Uji Satuan. Jumlah Orang. 95 Lampiran 1. Karakter lingkungan Data lingkungan Lokasi Tanggal Cuaca Jumlah Orang Lokasi Tanggal Cuaca BTPU 13/7 Cerah 3 MBTP-S 06/7 Berawan 2 19/9 Berawan 10/7 Gerimis BTPB 26/4 Cerah 3 MBST 14/6 Mendung

Lebih terperinci

METODE CEPAT PENENTUAN KERAGAMAN, KEPADATAN DAN KELIMPAHAN JENIS KODOK

METODE CEPAT PENENTUAN KERAGAMAN, KEPADATAN DAN KELIMPAHAN JENIS KODOK METODE CEPAT PENENTUAN KERAGAMAN, KEPADATAN DAN KELIMPAHAN JENIS KODOK Oleh: Hellen Kurniati Editor: Gono Semiadi LIPI PUSAT PENELITIAN BIOLOGI LIPI BIDANG ZOOLOGI-LABORATORIUM HERPETOLOGI Cibinong, 2016

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkebunan dan Biodiversitas 2.1.1 Perkebunan dan Konservasi Biodiversitas Pemenuhan kebutuhan untuk konsumsi dunia akan menyebabkan perluasan lahan perkebunan yang sebagian besar

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Hutan tropis ini merupakan habitat flora dan fauna (Syarifuddin, 2011). Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Klasifikasi ilmiah dari Katak Pohon Bergaris (P. Leucomystax Gravenhorst 1829 ) menurut Irawan (2008) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia, Phyllum: Chordata,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan di kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan

Lebih terperinci

dan penggunaan sumber daya alam secara tidak efisien.

dan penggunaan sumber daya alam secara tidak efisien. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan komponen penting bagi proses kehidupan di bumi karena semua organisme hidup membutuhkan air dan merupakan senyawa yang paling berlimpah di dalam sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang sangat produktif dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan ini terletak di

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian. sumber: (http://www.google.com/earth/) Keterangan: Lokasi 1: Sungai di Hutan Masyarakat

LAMPIRAN. Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian. sumber: (http://www.google.com/earth/) Keterangan: Lokasi 1: Sungai di Hutan Masyarakat LAMPIRAN Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian Keterangan: Lokasi 1: Sungai di Hutan Masyarakat sumber: (http://www.google.com/earth/) Lampiran 2. Data spesies dan jumlah Amfibi yang Ditemukan Pada Lokasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004),

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman hayati (biological

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 8 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Lokasi pelaksanaan penelitian adalah di Taman Nasional Lore Lindu, Resort Mataue dan Resort Lindu, Provinsi Sulawesi Tengah. Penelitian ini dilaksanakan pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Distribusi dan status populasi -- Owa (Hylobates albibarbis) merupakan

I. PENDAHULUAN. Distribusi dan status populasi -- Owa (Hylobates albibarbis) merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Distribusi dan status populasi -- Owa (Hylobates albibarbis) merupakan satwa endemik di Kalimantan Tengah. Distribusi owa (H. albibarbis) ini terletak di bagian barat daya

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Struktur Vegetasi Struktur vegetasi merupakan komponen penyusun vegetasi itu sendiri. Struktur vegetasi disusun oleh tumbuh-tumbuhan baik berupa pohon, pancang,

Lebih terperinci

DISTRIBUSI VERTIKAL ANURA DI GUNUNG SEBLAT KABUPATEN LEBONG, BENGKULU VERTICAL DISTRIBUTION OF ANURA IN SEBLAT MOUNT LEBONG REGENCY, BENGKULU

DISTRIBUSI VERTIKAL ANURA DI GUNUNG SEBLAT KABUPATEN LEBONG, BENGKULU VERTICAL DISTRIBUTION OF ANURA IN SEBLAT MOUNT LEBONG REGENCY, BENGKULU Prosiding Semirata 2015 bidang MIPA BKSPTN Barat Hal 173 178 DISTRIBUSI ERTIKAL ANURA DI GUNUNG SEBLAT KABUPATEN LEBONG, BENGKULU ERTICAL DISTRIBUTION OF ANURA IN SEBLAT MOUNT LEBONG REGENCY, BENGKULU

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Revegetasi di Lahan Bekas Tambang Setiadi (2006) menyatakan bahwa model revegetasi dalam rehabilitasi lahan yang terdegradasi terdiri dari beberapa model antara lain restorasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman hayati yang terkandung

Lebih terperinci

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau ABSTRAK Sejalan dengan peningkatan kebutuhan penduduk, maka kebutuhan akan perluasan lahan pertanian dan perkebunan juga meningkat. Lahan yang dulunya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan lindung. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hujan adalah jatuhnya air hujan dari atmosfer ke permukaan bumi dalam wujud cair maupun es. Hujan merupakan faktor utama dalam pengendalian daur hidrologi di suatu

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi I. Keanekaragaman hayati UU No. 5, 1990 Pasal 21 PP No. 68, 1998 UU No. 41, 1999 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya melalui Cagar Alam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. inventarisasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan data tentang jenis-jenis tumbuhan bawah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. inventarisasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan data tentang jenis-jenis tumbuhan bawah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Inventarisasi Inventarisasi adalah kegiatan pengumpulan dan penyusunan data dan fakta mengenai sumber daya alam untuk perencanaan pengelolaan sumber daya tersebut. Kegiatan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian

Lebih terperinci

EKOLOGI KUANTITATIF KOMUNITAS AMFIBI DI BEBERAPA SUNGAI PADA SUAKA MARGASATWA NANTU PROVINSI GORONTALO. Disusun oleh : RIZKI KURNIA TOHIR E

EKOLOGI KUANTITATIF KOMUNITAS AMFIBI DI BEBERAPA SUNGAI PADA SUAKA MARGASATWA NANTU PROVINSI GORONTALO. Disusun oleh : RIZKI KURNIA TOHIR E EKOLOGI KUANTITATIF KOMUNITAS AMFIBI DI BEBERAPA SUNGAI PADA SUAKA MARGASATWA NANTU PROVINSI GORONTALO Disusun oleh : RIZKI KURNIA TOHIR E34120028 Dosen : Dr Ir Agus Priyono Kartono, M.Si KONSERVASI BIODIVERSITAS

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS

ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS KOMUNITAS ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS KONSEP KOMUNITAS BIOTIK Komunitas biotik adalah kumpulan populasi yang menempati suatu habitat dan terorganisasi sedemikian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Amfibi merupakan salah satu komponen penyusun ekosistem yang memiliki

I. PENDAHULUAN. Amfibi merupakan salah satu komponen penyusun ekosistem yang memiliki 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Amfibi merupakan salah satu komponen penyusun ekosistem yang memiliki peranan sangat penting, baik secara ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis, amfibi berperan sebagai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Burung Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem maupun bagi kepentingan kehidupan manusia dan membantu penyebaran Tumbuhan yang ada disuatu kawasan

Lebih terperinci

3 SEBARAN SPASIAL-TEMPORAL IKAN T. sarasinorum DI DANAU MATANO

3 SEBARAN SPASIAL-TEMPORAL IKAN T. sarasinorum DI DANAU MATANO 35 3 SEBARAN SPASIAL-TEMPORAL IKAN T. sarasinorum DI DANAU MATANO Pendahuluan Sebaran ikan T. sarasinorum di Danau Matano pertama kali dilaporkan oleh Kottelat (1991). Hingga saat ini diketahui terdapat

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi studi

Gambar 2 Peta lokasi studi 15 III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Studi Studi dilakukan di Kebun Anggrek yang terletak dalam areal Taman Kyai Langgeng (TKL) di Jalan Cempaka No 6, Kelurahan Kemirirejo, Kecamatan Magelang Tengah,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Serangga merupakan bagian dari keanekaragaman hayati yang harus dijaga kelestariannya dari kepunahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Serangga merupakan bagian dari keanekaragaman hayati yang harus dijaga kelestariannya dari kepunahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Serangga merupakan bagian dari keanekaragaman hayati yang harus dijaga kelestariannya dari kepunahan maupun penurunan ragam jenisnya. Serangga memiliki beberapa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di Indonesia. Hutan rawa gambut mempunyai karakteristik turnbuhan maupun hewan yang khas yaitu komunitas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut TINJAUAN PUSTAKA Hutan Manggrove Hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut Kusmana dkk (2003) Hutan mangrove

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 15 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Kawasan Lindung Sungai Lesan Kawasan lindung Sungai Lesan terletak di Kecamatan Kelai Kabupaten Berau Kalimantan Timur dalam koordinat antara 01 0 32

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi umum daerah Wonorejo Kawasan mangrove di Desa Wonorejo yang tumbuh secara alami dan juga semi buatan telah diputuskan oleh pemerintah Surabaya sebagai tempat ekowisata.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anggapan ini terbentuk berdasarkan observasi para ahli akan keanekaragamannya

BAB I PENDAHULUAN. Anggapan ini terbentuk berdasarkan observasi para ahli akan keanekaragamannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan tropis adalah maha karya kekayaaan species terbesar di dunia. Anggapan ini terbentuk berdasarkan observasi para ahli akan keanekaragamannya flora dan faunanya.

Lebih terperinci

EKOSISTEM. Yuni wibowo

EKOSISTEM. Yuni wibowo EKOSISTEM Yuni wibowo EKOSISTEM Hubungan Trofik dalam Ekosistem Hubungan trofik menentukan lintasan aliran energi dan siklus kimia suatu ekosistem Produsen primer meliputi tumbuhan, alga, dan banyak spesies

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satwa liar mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, baik untuk kepentingan keseimbangan ekosistem, ekonomi, maupun sosial budaya (Alikodra, 2002).

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari pemanfaatan yang tidak banyak mempengaruhi kondisi ekosistem hutan sampai kepada

BAB I PENDAHULUAN. dari pemanfaatan yang tidak banyak mempengaruhi kondisi ekosistem hutan sampai kepada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan semakin banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia seiring dengan perkembangan zaman. Pemanfaatan hutan biasanya sangat bervariasi, mulai dari

Lebih terperinci

BAB III KERAGAMAN SPECIES SEMUT PADA EKOSISTEM TERGANGGU DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT

BAB III KERAGAMAN SPECIES SEMUT PADA EKOSISTEM TERGANGGU DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT BAB III KERAGAMAN SPECIES SEMUT PADA EKOSISTEM TERGANGGU DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT PENDAHULUAN Semut (Formicidae:Hymenoptera) merupakan hewan Avertebrata komponen terestrial yang melimpah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia, flora, fauna maupun makhluk hidup yang lain. Makhluk hidup memerlukan air tidak hanya sebagai

Lebih terperinci

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan Latar Belakang Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang utama memegang posisi penting dalam kelestarian lingkungan. Kemerosotan kemampuan tanah yang ditunjukkan dengan meningkatnya laju erosi dari

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Timor memiliki avifauna yang unik (Noske & Saleh 1996), dan tingkat endemisme burung tertinggi dibandingkan dengan beberapa pulau besar lain di Nusa Tenggara (Pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar peranannya dalam Pembangunan Nasional, kurang lebih 70% dari luas daratan berupa hutan. Hutan sangat

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Struktur Komunitas Struktur komunitas merupakan suatu konsep yang mempelajari sususan atau komposisi spesies dan kelimpahannya dalam suatu komunitas. Secara umum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap makhluk hidup yang berada di suatu lingkungan akan saling berinteraksi, interaksi terjadi antara makhluk hidup dengan makhluk hidup itu sendiri maupun makhluk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tapir asia dapat ditemukan dalam habitat alaminya di bagian selatan Burma, Peninsula Melayu, Asia Tenggara dan Sumatra. Berdasarkan Tapir International Studbook, saat ini keberadaan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 28 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan selama satu bulan, dimulai dari bulan November- Desember 2011. Lokasi pengamatan disesuaikan dengan tipe habitat yang terdapat di

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program Konsep Perencanaan Pengelolaan DAS Terpadu, dengan ciri-ciri sebagai berikut (1) hutan masih dominant, (2) satwa masih baik, (3) lahan pertanian masih kecil, (4) belum ada pencatat hidrometri, dan (5)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang memiliki ciri khusus yaitu lantai hutannya selalu digenangi air, dimana air tersebut sangat dipengaruhi oleh pasang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bogor merupakan kota yang terus berkembang serta mengalami peningkatan jumlah penduduk dan luas lahan terbangun sehingga menyebabkan terjadinya penurunan luas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi dan hal itu telah diakui oleh negara-negara lain di dunia, terutama tentang potensi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE Berdasarkan tinjauan pustaka yang bersumber dari CIFOR dan LEI, maka yang termasuk dalam indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan dilihat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 3.1 Lokasi dan Waktu BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Kawasan Lindung Sungai Lesan. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 31 Juli sampai 19 Agustus 2010 di Kawasan Lindung Sungai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. organisme dapat disebut alamat suatu organisme. Relung (Ninche) adalah

BAB I PENDAHULUAN. organisme dapat disebut alamat suatu organisme. Relung (Ninche) adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Habitat dan relung merupakan dua istilah tentang kehidupan organisme. Habitat adalah tempat suatu organisme hidup. Habitat suatu organisme dapat disebut alamat suatu

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Amfibi Amfibi berasal dari kata amphi yang berarti ganda dan bio yang berarti hidup. Secara harfiah amfibi diartikan sebagai hewan yang hidup di dua alam, yakni dunia darat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 41 tahun 1999). Menurut Indriyanto (2006), hutan merupakan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. 41 tahun 1999). Menurut Indriyanto (2006), hutan merupakan masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan tropis di Indonesia meliputi areal seluas 143 juta hektar dengan berbagai tipe dan peruntukan (Murdiyarso dan Satjaprapdja, 1997). Kerusakan hutan (deforestasi) masih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal memiliki banyak hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan tropis Indonesia adalah

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari Bryophyta (Giulietti et al., 2005). Sedangkan di Indonesia sekitar

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari Bryophyta (Giulietti et al., 2005). Sedangkan di Indonesia sekitar 14 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, setelah Brazil (Anonimus, 2009). Brazil merupakan salah satu negara dengan flora

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. atau disebut juga perairan lotik dan perairan menggenang atau disebut juga perairan lentik.

I. PENDAHULUAN. atau disebut juga perairan lotik dan perairan menggenang atau disebut juga perairan lentik. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem perairan di daratan secara umum dibagi menjadi dua yaitu perairan mengalir atau disebut juga perairan lotik dan perairan menggenang atau disebut juga perairan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia menempati peringkat keempat sebagai negara yang memiliki kekayaan spesies burung dan menduduki peringkat pertama di dunia berdasarkan jumlah spesies burung

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Rukmana (1997), sistematika tanaman jagung (Zea mays L.) adalah sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Rukmana (1997), sistematika tanaman jagung (Zea mays L.) adalah sebagai TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Tanaman Jagung berikut : Menurut Rukmana (1997), sistematika tanaman jagung (Zea mays L.) adalah sebagai Kingdom Divisi Subdivisi Kelas Ordo Famili Genus : Plantae : Spermatophyta

Lebih terperinci

INVENTARISASI ANURA DI KAWASAN TAMAN WISATA ALAM SITU GUNUNG SUKABUMI

INVENTARISASI ANURA DI KAWASAN TAMAN WISATA ALAM SITU GUNUNG SUKABUMI INVENTARISASI ANURA DI KAWASAN TAMAN WISATA ALAM SITU GUNUNG SUKABUMI Lutfi Aditia Pratama 1), Moerfiah 2), Rouland Ibnu Darda 3) 1,2,3) Program Studi Biologi FMIPA Universitas Pakuan Jalan Pakuan PO.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rusa timor (Rusa timorensis Blainville 1822) merupakan salah satu jenis satwa liar yang hidup tersebar pada beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sampai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kawasan hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional,

I. PENDAHULUAN. Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional, 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional, khususnya pembangunan sektor pertanian. Perkebunan juga berperan dalam membangun perekonomian nasional,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, setelah Brazil (Anonimus, 2009). Brazil merupakan salah satu negara dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sumberdaya lahan merupakan suatu sumberdaya alam yang sangat penting bagi mahluk hidup, dengan tanah yang menduduki lapisan atas permukaan bumi yang tersusun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Owa Jawa atau Javan gibbon (Hylobates moloch) merupakan jenis primata endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 1999). Dalam daftar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan praktek model agroforestri yang mempunyai fungsi ekonomi dan ekologi, akhir-akhir ini menjadi perhatian khusus. Banyak kawasan hutan yang beralih fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hujan atau presipitasi merupakan jatuhnya air dari atmosfer ke permukaan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hujan atau presipitasi merupakan jatuhnya air dari atmosfer ke permukaan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hujan atau presipitasi merupakan jatuhnya air dari atmosfer ke permukaan bumi baik dalam bentuk cairan maupun es. Hujan merupakan faktor utama pengendali daur hidrologis

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Semak Daun merupakan salah satu pulau yang berada di Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Pulau ini memiliki daratan seluas 0,5 ha yang dikelilingi

Lebih terperinci

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk 122 VI. PEMBAHASAN UMUM Perluasan TNGH (40.000 ha) menjadi TNGHS (113.357 ha) terjadi atas dasar perkembangan kondisi kawasan disekitar TNGH, terutama kawasan hutan lindung Gunung Salak dan Gunung Endut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang dipengaruhi sifat-sifat

BAB I PENDAHULUAN. arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang dipengaruhi sifat-sifat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut. Wilayah pesisir menuju ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang dipengaruhi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan I. PENDAHULUAN Mangrove adalah tumbuhan yang khas berada di air payau pada tanah lumpur di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam 11 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan, termasuk hutan tanaman, bukan hanya sekumpulan individu pohon, namun merupakan suatu komunitas (masyarakat) tumbuhan (vegetasi) yang kompleks yang terdiri dari pohon,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. intensitas ultraviolet ke permukaan bumi yang dipengaruhi oleh menipisnya

BAB I PENDAHULUAN. intensitas ultraviolet ke permukaan bumi yang dipengaruhi oleh menipisnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan kehidupan paling signifikan saat ini adalah meningkatnya intensitas ultraviolet ke permukaan bumi yang dipengaruhi oleh menipisnya lapisan atmosfer.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rekrekan (Presbytis comata fredericae Sody, 1930) merupakan salah satu primata endemik Pulau Jawa yang keberadaannya kian terancam. Primata yang terdistribusi di bagian

Lebih terperinci

Ekologi Padang Alang-alang

Ekologi Padang Alang-alang Ekologi Padang Alang-alang Bab 2 Ekologi Padang Alang-alang Alang-alang adalah jenis rumput tahunan yang menyukai cahaya matahari, dengan bagian yang mudah terbakar di atas tanah dan akar rimpang (rhizome)

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN ORDO ANURA DI KAWASAN KAMPUS UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU. A. Nola 1, Titrawani 2, Yusfiati 2

KEANEKARAGAMAN ORDO ANURA DI KAWASAN KAMPUS UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU. A. Nola 1, Titrawani 2, Yusfiati 2 KEANEKARAGAMAN ORDO ANURA DI KAWASAN KAMPUS UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU A. Nola 1, Titrawani 2, Yusfiati 2 1 Mahasiswa Program Studi S1 Biologi FMIPA-UR 2 Bidang Zoologi Jurusan Biologi FMIPA-UR Fakultas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang terkaya (mega biodiversity). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman hayati

Lebih terperinci