PENDUGAAN PERTUMBUHAN DAN MORTALITAS IKAN CAKALANG

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENDUGAAN PERTUMBUHAN DAN MORTALITAS IKAN CAKALANG"

Transkripsi

1 PENDUGAAN PERTUMBUHAN DAN MORTALITAS IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis Linnaeus, 1758) YANG DIDARATKAN DI PPN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWABARAT LULY NURUL FADHILAH SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul : Pendugaan Pertumbuhan dan Mortalitas Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis Linnaeus, 1758) yang Didaratkan di PPN Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir skripsi ini. Bogor, Agustus 2010 Luly Nurul Fadhilah C

3 RINGKASAN Luly Nurul Fadhilah, C Pendugaan Pertumbuhan dan Mortalitas Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis Linnaeus, 1758) yang Didaratkan di PPN Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Dibawah bimbingan Zairion dan Rahmat Kurnia. Palabuhanratu merupakan lokasi penting bagi perikanan tangkap di daerah pantai selatan Jawa Barat. Salah satu hasil tangkapan yang dominan dan memiliki nilai ekonomis penting yang didaratkan di PPN Palabuhanratu yaitu ikan cakalang (Katsuwonus pelamis Linnaeus 1758). Data statistik perikanan PPN Palabuhanratu tahun menunjukkan jumlah produksi penangkapan ikan cakalang mengalami penurunan setiap tahunnya. Oleh karena itu diperlukan suatu alternatif pengelolaan yang berkelanjutan agar perikanan cakalang tetap lestari, dengan dilakukannya suatu kajian mengenai pertumbuhan, mortalitas, dan laju eksploitasi ikan cakalang yang didaratkan di PPN Palabuhanratu. Penelitian dilaksanakan di PPN Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Pengambilan data primer dilakukan selama tiga bulan dari tanggal 9 Maret 18 Mei 2010 dengan interval waktu pengambilan dua minggu. Alat dan bahan yang digunakan yaitu meteran kain dengan ketelitian 0,1 cm, timbangan digital dengan ketelitian 1 gram, kamera digital, alat tulis, kuesioner wawancara, data statistik dan ikan cakalang yang digunakan sebagai contoh. Data dianalisis dengan menggunakan analisis regresi linier hubungan panjang dan bobot untuk menduga pola pertumbuhan diikuti perhitungan faktor kondisi, metode NORMSEP (Normal Separation) dalam program FiSAT II ( FAO-ICLARM Fish Stock Assesment Tool) untuk menganalisis kelompok ukuran, metode ELEFAN I (Electronik Lenght Frequency Analisis) yang terdapat dalam program FiSAT II digunakan untuk menduga parameter pertumbuhan, kemudian mortalitas total (Z) menggunakan metode Jones&Van Zalinge yang juga terdapat pada program FiSAT II, mortalitas alami (M) dengan menggunakan rumus empiris Pauly, mortalitas penangkapan (F) dengan rumus F=Z-M, serta laju eksploitasi menggunakan rumus E=F/Z. Musim penangkapan ikan cakalang berlangsung antara bulan Juni hingga Oktober, dengan puncaknya pada bulan Agustus hingga September. Ikan cakalang didistribusikan dalam bentuk segar ataupun olahan seperti pindang. Berdasarkan hasil wawancara harga ikan cakalang yang dijual di pasar ikan Palabuhanratu dalam bentuk segar yaitu seharga ± Rp /kg, sedangkan pindang berkisar antara Rp Rp /kg. Ikan yang memiliki kualitas tinggi di ekspor ke negara Korea dan Jepang. Hasil analisis diperoleh bahwa persamaan hubungan panjang bobot ikan cakalang selama pengamatan adalah W = 4x10-6 L 3,1982.Setelah dilakukan uji-t diperoleh hasil t hit>t tab yang berarti tolak H 0 yaitu pola pertumbuhan ikan cakalang bersifat allometrik positif, yaitu pertambahan bobot lebih cepat daripada pertambahan panjangnya. Faktor kondisi rata-rata yang diperoleh yaitu berkisar antara 0,99-1,45. Modus kelas panjang sebaran ukuran ikan cakalang relatif terjadi pergeseran ke kanan, hal ini menunjukkan adanya pertumbuhan. Persamaan pertumbuhan von Bertalannfy yang diperoleh adalah L t = 662,03(1-e -0,17(t+0,6909) ). Panjang infinitif atau panjang maksimum teoritis (L ) diperoleh sebesar 662,03 mm dengan koefisien pertumbuhan (K) sebesar 0,17 serta umur ikan pada saat panjangnya nol (t 0) adalah - 0,6909 tahun. Umur ikan cakalang untuk maksimum (L ) yaitu selama 96 bulan.

4 Laju mortalitas total (Z) ikan cakalang sebesar 3,2390 per tahun dengan mortalitas alami (M) sebesar 0,1934 per tahun, mortalitas penangkapan (F) sebesar 3,0456 per tahun serta laju eksploitasi sebesar 0,94, yang artinya 94% kematian ikan cakalang diakibatkan oleh penangkapan. Dari hasil-hasil analisis tersebut maka diperlukannya suatu alternatif pengelolaan agar perikanan cakalang tetap lestari serta berkelanjutan, dengan pembatasan upaya penangkapan, pengalihan atau perluasan daerah penangkapan, dan penutupan musim penangkapan.

5 PENDUGAAN PERTUMBUHAN DAN MORTALITAS IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis Linnaeus, 1758) YANG DIDARATKAN DI PPN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT LULY NURUL FADHILAH C Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

6 PENGESAHAN SKRIPSI Judul Skripsi Nama N I M Program Studi : Pendugaan Pertumbuhan dan Mortalitas Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis Linnaeus, 1758) yang Didaratkan di PPN Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat : Luly Nurul Fadhilah : C : Manajemen Sumberdaya Perairan Menyetujui : Pembimbing I, Pembimbing II, Ir. Zairion, M.Sc Ir. Rahmat Kurnia, M.Si NIP NIP Mengetahui : Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP Tanggal Lulus : 3 Agustus 2010

7 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pendugaan Pertumbuhan dan Mortalitas Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis Linnaeus, 1758) yang Didaratkan di PPN Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat; disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan pada Maret-Mei Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi. Penulis juga menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengaharapkan saran dan kritik guna kemajuan penulis dimasa mendatang. Semoga penyusunan skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak. Bogor, Agustus 2010 Penulis vii

8 UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Ir. Zairion, M.Sc dan Ir. Rahmat Kurnia, M.Si selaku pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, nasehat, saran serta masukan kepada penulis selama pelaksaan penelitian sampai dengan penyusunan skripsi ini. 2. Dr. Ir. Achmad Fachrudin, MS selaku dosen penguji tamu dan Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil selaku dosen penguji dari program studi yang telah memberikan saran bagi penulis. 3. Pengelola PPN Palabuhanratu atas dukungan dan bantuannya selama penulis melaksanakan penelitian. 4. Untuk keluarga tercinta, Ibunda (T. Sukeisih), Ayahanda (Purqon), kakak-kakakku dan kedua keponakanku yang telah memberikan doa, dukungan, semangat dan kasih sayang yang diberikan selama ini. 5. Dany Hidayat atas doa, kesabaran, dukungan, semangat dan kasih sayang yang selama ini diberikan kepada penulis. 6. Mba Widar dan staf TU Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan atas bantuan dan dukungannya kepada penulis. 7. Sahabat-sahabatku ADC++, Dinda Zakiyah H, Restu Rahayu B, Dwi Endah W, Astri Ayuningtias, Maretha Isyana, Gafar Abdul K, Khoirul umam, Edwin A Habibun, Deny wahyudi, Danang Dwiananto serta Afifah Hazrina (selaku partner penelitian) yang telah memberikan dukungan, masukkan, dan bantuan kepada penulis selama masa perkuliahan sampai dengan penyusunan skripsi ini. 8. Andreana Friska M, Octavianies S, dan keluarga besar MSP 43 yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas dukungan, bantuan dan kebersamaannya selama ini. viii

9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 18 Mei Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak H. Purqon, S.Pd dan Ibu Hj. T. Sukeisih. Penulis menjalani pendidikan formal berawal dari TK Islam Arafah ( ), SDN Menteng Atas 11 ( ), SLTP 67 Jakarta ( ) dan SMAN 3 Teladan Jakarta ( ). Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Penulis diterima di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama mengikuti masa perkuliahan penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Sumberdaya Perikanan (2009/2010). Untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan, penulis menyusun skripsi yang berjudul Pendugaan Pertumbuhan dan Mortalitas Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis Linnaeus, 1758) yang Didaratkan di PPN Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. ix

10 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Manfaat TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Ikan Cakalang Morfologi Ikan Cakalang Biologi dan Distribusi Ikan Cakalang Pola Migrasi Ikan Cakalang Alat Tangkap Ikan Cakalang Hubungan Panjang dan bobot Faktor Kondisi Sebaran Frekuensi Panjang Pertumbuhan Mortalitas dan Laju Eksploitasi Pengelolaan Perikanan Kondisi Lingkungan Perairan METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Pengumpulan Data Pengumpulan data primer Pengumpulan data sekunder Analisis Data Hubungan Panjang dan Bobot Faktor Kondisi Sebaran Frekuensi Panjang Pertumbuhan Mortalitas dan Laju Eksploitasi HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Perairan Teluk Palabuhanratu dan Sekitarnya Kondisi Umum Perikanan Cakalang di Palabuhanratu Hubungan Panjang dan Bobot Faktor Kondisi Sebaran Frekuensi Panjang Kelompok Ukuran Pertumbuhan xiii xiv x

11 4.8. Mortalitas dan Laju eksploitasi Alternatif Rencana Pengelolaan KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xi

12 DAFTAR TABEL Halaman 1. Data Produksi ikan cakalang (kg) yang di daratkan di Palabuhanratu Tahun Hubungan panjang dan bobot ikan cakalang pada setiap pengamatan setelah dilakukan uji-t Pola pertumbuhan ikan cakalang dari beberapa penelitian Nilai tengah panjang cagak setiap kelompok ukuran ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) pada setiap pengamatan Parameter pertumbuhan K, L, t 0 ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) yang didaratkan di PPN Palabuhanratu Parameter pertumbuhan ikan cakalang dari dua lokasi penelitian Laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) yang didaratkan di PPN Palabuhanratu xii

13 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) Peta lokasi penelitian Skema pengambilan contoh Grafik persentase alat tangkap ikan cakalang Grafik persentase jenis ikan yang ditangkap dengan alat tangkap pancing tonda Grafik hubungan panjang bobot ikan cakalang Grafik nilai tengah faktor kondisi Sebaran frekuensi panjang ikan cakalang Kelompok ukuran ikan cakalang Kurva pertumbuhan ikan cakalang Grafik produksi ikan cakalang tahun Grafik persentasi ikan cakalang yang belum dan sudah mencapai ukuran matang gonad xiii

14 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Alat-alat dan bahan yang digunakan Data yang diambil di PPN Palabuhanratu Alat tangkap ikan cakalang Proses pembongkaran ikan cakalang di PPN Palabuhanratu Kuesioner nelayan ikan cakalang Data panjang cagak dan bobot basah ikan cakalang Perhitungan uji statistik nilai b hubungan panjang bobot ikan cakalang pada seluruh pengamatan Grafik hubungan panjang bobot ikan cakalang yang didaratkan di PPN Palabuhanratu pada setiap pengamatan Sebaran frekuensi panjang dengan metode NORMSEP dalam program FiSAT II pada pengambilan contoh Sebaran frekuensi panjang dengan metode NORMSEP dalam program FiSAT II pada pengambilan contoh Sebaran frekuensi panjang dengan metode NORMSEP dalam program FiSAT II pada pengambilan contoh Sebaran frekuensi panjang dengan metode NORMSEP dalam program FiSAT II pada pengambilan contoh Sebaran frekuensi panjang dengan metode NORMSEP dalam program FiSAT II pada pengambilan contoh Sebaran frekuensi panjang dengan metode NORMSEP dalam program FiSAT II pada pengambilan contoh Faktor kondisi (FK) ikan cakalang setiap pengamatan Pendugaan pertumbuhan dengan metode ELEFAN I dalam program FiSAT II Pendugaan laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan cakalang xiv

15 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki sumberdaya perikanan yang sangat besar. Walaupun demikian seiring meningkatnya jumlah penduduk dunia dan kebutuhan akan pangan dan gizi yang lebih baik maka permintaan ikan pun terus meningkat dari tahun ketahun. Hal ini akan mengakibatkan penurunan dari sumberdaya perikanan tersebut. Di daerah pantai selatan Jawa Barat terdapat lokasi penting bagi perikanan tangkap yaitu Palabuhanratu. Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu yang berada di kota Palabuhanratu di Teluk Palabuhanratu menghadap ke Samudera Indonesia dipandang sangat strategis karena berada pada posisi dekat dengan daerah penangkapan (fishing ground), yakni Perairan Samudera Indonesia. Potensi sumberdaya ikan di Samudera Indonesia untuk Selatan Jawa dimana Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu berada cukup besar, yaitu sebesar ton per tahun (Ditjen Tangkap-DKP 2000). Secara geografis Teluk Palabuhanratu terletak pada posisi LS dan BT dengan panjang pantai lebih kurang 105 km. Perairan tersebut merupakan perairan pantai selatan Jawa Barat yang memilliki hubungan dengan Samudra Hindia. Kecamatan Palabuhanratu berbatasan dengan Kecamatan Cikedang di sebelah utara, di sebelah barat dengan Kecamatan Cisolok, Samudera Indonesia di sebelah barat daya dan di sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Warung Kiara (Ditjen Tangkap-DKP 2000). Salah satu hasil tangkapan yang dominan dan memiliki nilai ekonomis penting di Palabuhanratu yaitu ikan cakalang (Katsuwonus pelamis Linnaeus, 1758). Ikan cakalang adalah salah satu hasil tangkapan ikan pelagis besar yang dominan selain ikan tuna dan tongkol. Ikan ini merupakan sumberdaya ikan yang potensial untuk dikembangkan, karena salah satu sumber makanan sehat bagi masyarakat dan juga sebagai sumber devisa negara. Ikan cakalang termasuk kedalam keluarga scombroidae yang tergolong ikan perenang cepat. Ikan ini ditangkap dengan menggunakan alat tangkap gill net, pancing tonda, purse seinne, huhate, rawai tuna dan payang. Wilayah penangkapan ikan cakalang meliputi Ujung Genteng, Cidaun, Ujung Kulon (Perairan Selatan Jawa), dan Samudera Hindia (Ditjen Tangkap-DKP 2000).

16 2 Pertumbuhan merupakan parameter utama untuk ikan-ikan bernilai ekonomis, karena pertumbuhan ini dapat menentukan hasil produksi. Pertumbuhan didefinisikan sebagai pertambahan ukuran panjang atau berat dalam satuan waktu (Effendie 1997). Pertumbuhan merupakan salah satu aspek biologi ikan yang diperlukan dalam pengelolaan perikanan. Mengingat semakin tingginya tingkat eksploitasi sumberdaya ikan cakalang untuk pemenuhan gizi maupun perekonomian. Dengan mengetahui pola pertumbuhan ikan cakalang dapat dijadikan informasi sebagai acuan dalam suatu pengelolaan sumberdaya ikan cakalang yang berkelanjutan di PPN Palabuhanratu. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan data Food Outlook (FAO 2007 in Suhana 2009) produksi perikanan tangkap Indonesia mengalami penurunan sebesar 4,55%. Penurunan tersebut lebih besar dari rata-rata penurunan produksi perikanan dari sepuluh negara produser perikanan dunia, yaitu sebesar 2,37%. Pada tahun yang sama (2007), FAO mempublikasikan bahwa kondisi sumberdaya ikan di sekitar perairan Indonesia, terutama di sekitar perairan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik sudah menujukan kondisi full exploited. Bahkan di perairan Samudera Hindia kondisinya cenderung mengarah kepada overexploited, dengan demikian dikedua perairan tersebut saat ini sudah tidak memungkinkan lagi untuk dilakukan ekspansi penangkapan ikan secara besar-besaran. Permintaan ikan yang selalu meningkat tentunya memiliki makna positif bagi pengembangan perikanan. Terlebih bagi negara kepulauan seperti Indonesia yang memiliki potensi perairan yang cukup luas dan potensial untuk pengembangan perikanan baik penangkapan maupun akuakultur. Namun dengan adanya tuntutan pemenuhan kebutuhan akan sumberdaya tersebut maka tekanan eksploitasi terhadap sumberdaya ikan tersebut tidak dapat dihindari. Penangkapan yang terus meningkat dapat membahayakan kelestarian ikan cakalang di Palabuhanratu (seperti data produksi ikan cakalang tahun yang disajikan pada Tabel 1). Karena semakin meningkatnya upaya penangkapan terhadap suatu sumberdaya ikan maka akan mengakibatkan menurunnya populasi ikan tersebut dikemudian hari. Oleh karena itu untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya ikan cakalang di PPN Palabuhanratu diperlukannya suatu pengkajian mengenai pertumbuhan yang mencakup struktur ukuran panjang dan pola pertumbuhan agar

17 3 dapat mengetahui ukuran ikan cakalang yang sebaiknya ditangkap oleh nelayan agar tidak merusak kelestarian dari populasi ikan cakalang. Tabel 1. Data produksi ikan cakalang (kg) yang di daratkan di Palabuhanratu Tahun Tahun Produksi (kg) Sumber : PPN Palabuhanratu Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, antara lain : 1. Mengetahui beberapa aspek biologi pertumbuhan ikan cakalang yang didaratkan di PPN Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. 2. Menduga mortalitas total dan laju eksploitasi. 3. Merumuskan alternatif rencana pengelolaan perikanan cakalang. 1.4 Manfaat Penelitian mengenai pendugaan pertumbuhan dan mortalitas ikan cakalang ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pola pertumbuhan serta ukuran ikan cakalang yang sebaiknya ditangkap dalam upaya pengaturan dan pengendalian penangkapan ikan cakalang agar tercapai pemanfaatan sumberdaya ikan yang berkelanjutan di Teluk Palabuhanratu dan sekitarnya, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat.

18 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Ikan Cakalang Ikan cakalang (Gambar 1) dikenal sebagai skipjack tuna dengan nama lokal cakalang. Adapun klasifikasi ikan cakalang menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut : Kelas : Chordata Subkelas : Pisces Ordo : Perciformes Subordo : Scombroidei Famili : Scrombridae Subfamili : Thunninae Genus : Katsuwonus Spesies : Katsumonus pelamis (Linnaeus, 1758) Nama umum : Skipjack tuna Nama lokal : Cakalang, salur (Palabuhanratu) Gambar 1. Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) Sumber : Morfologi Ikan Cakalang Cakalang termasuk jenis ikan tuna dalam famili Scombridae, species Katsuwonus pelamis (Linnaeus, 1758). Ikan cakalang memiliki bentuk tubuh fusiform, memanjang dan agak bulat. Gigi-giginya kecil dan berbentuk kerucut dalam seri tunggal. Tapis insang (gill rakes) berjumlah pada helai pertama. Mempunyai dua sirip punggung yang terpisah. Pada sirip punggung yang pertama terdapat 14-16

19 5 jari-jari keras, jari-jari lemah pada sirip punggung kedua diikuti oleh 7-9 finlet. Sirip dada pendek, terdapat dua flops diantara sirip perut. Sirip anal diikuti dengan 7-8 finlet. Badan tidak bersisik kecuali pada barut badan (corselets) dan lateral line terdapat titik-titik kecil. Bagian punggung berwarna biru kehitaman (gelap) disisi bawah dan 6 perut keperakan, dengan 4-6 buah garis-garis berwarna hitam yang memanjang pada bagian samping badan. Ukuran fork length maksimum ikan cakalang kurang lebih 108 cm dengan berat 32,5 34,5 kg, sedangkan ukuran yang umumnya tertangkap adalah cm dengan berat 8 10 kg (FAO 1983) Biologi dan Distribusi Ikan Cakalang FAO (1983) menyebutkan bahwa makanan utama ikan cakalang adalah ikanikan kecil, crustacea, dan moluska. Ikan Cakalang termasuk ikan perenang cepat dan mempunyai sifat makan yang rakus. Biasanya ikan cakalang luar biasa rakus pada waktu pagi hari (sekitar jam 09.00), kemudian menurun pada tengah hari dan nampak menanjak kembali pada waktu senja (Gunarso 1985). Pada umumnya ikan cakalang yang berukuran panjang lebih besar dari 50 cm memangsa lebih banyak cephalopoda dan crustacea dibandingkan dengan ikan cakalang yang ukuran panjangnya lebih kecil dari 50 cm. Walaupun demikian ikanikan kecil masih merupakan makanan utamanya. Bervariasi berbagai jenis organisme dalam makanan ikan cakalang serta adanya sifat kanibalisme menunjukkan bahwa ikan cakalang tergolong oportunistic feeder, yaitu ikan yang memangsa segala jenis makanan yang tersedia di perairan. Ikan cakalang yang berukuran panjang cm biasanya sudah mulai memijah dan dapat menghasilkan sekitar telur (FAO 1983). Namun ukuran ikan cakalang pertama kali matang gonad yaitu pada ukuran cm ( Penyebaran ikan cakalang umumnya mengikuti penyebaran atau sirkulasi arus garis konvergensi diantara arus dingin dan arus panas yang merupakan daerah kaya akan organisme. Daerah penyebarannya membentang di sekitar 40 0 LU-30 0 LS, sedangkan daerah penangkapannya yang terbesar berada sepanjang katulistiwa, yaitu antara 10 0 LU-10 o LS. Di perairan Indonesia yang padat sering dijumpai pada perairan sekitar kalimantan, Sulawesi, Halmahera, kepulauan Maluku dan Irian Jaya (Gunarso 1985).

20 Pola Migrasi Ikan Cakalang Migrasi atau ruaya ikan adalah adalah pergerakan perpindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain yang mempunyai arti penyesuaian terhadap kondisi alam yang menguntungkan untuk eksistensi hidup dan keturunannya. Ikan mengadakan migrasi dengan tujuan untuk pemijahan, mencari makanan dan mencari daerah yang cocok untuk kelangsungan hidupnya. Migrasi ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor baik faktor eksternal dan faktor internal (Reinnamah 2010). Chusing (1968) in Effendie (1997) mengemukakan bahwa studi ruaya ikan merupakan hal yang fundamental untuk biologi perikanan, karena dengan mengetahui lingkaran ruaya akan diketahui batas-batas daerah mana stok atau sub populasi itu hidup. Ikan cakalang dapat hidup nyaris di semua lautan yang ada di muka bumi ini karena itulah dapat dikatakan bahwa ikan cakalang termasuk jenis oseanodrom (hidup dan beruaya atau bermigrasi di lautan). Ruaya jenis cakalang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu penyebaran secara vertical dan penyebaran secara horizontal. Penyebaran secara vertical berarti penyebaran menurut kedalaman perairan, sedangkan penyebaran horizontal berarti penyebaran berdasarkan letak geografis suatu perairan ( Penyebaran cakalang secara horizontal memiliki tujuan yang berbeda dengan penyebaran secara vertikal. Ruaya vertikal yang dilakukan oleh cakalang dimaksudkan untuk memijah, sedangkan ruaya secara horizontal dilakukan cakalang untuk mencari makan dan melakukan pengungsian. Di Pantai Kulisusu Buton Utara pada bulan September-November jutaan ikan cakalang biasanya melakukan migrasi ke arah pantai untuk memijah (Mukhtar 2009). Cakalang sering membentuk gerombolan untuk melakukan ruaya atau migrasi jarak jauh dengan melawan arus. Karena biasa bergerombol di perairan pelagis hingga kedalaman 200 m maka cakalang dapat pula dikatakan sebagai brakheadrom yaitu ikan yang beruaya di perairan dangkal. Di samudra Hindia secara terus-menerus dan teratur cakalang bergerak mulai dari pantai Barat Australia, sebelah selatan Kepulauan Nusa Tenggara, sebelah selatan Pulau Jawa, sebelah barat Sumatra, laut Andaman, menuju luar Pantai Bombay, di luar pantai Ceylon, sebelah barat Hindia, Teluk Aden, perbatasan samudra Hindia dengan pantai Sobali, pantai timur dan selatan Afrika dimana pergerakannya dilakukan pada bulan April hingga September. Sementara itu, di kawasan Atlantik ikan cakalang bergerak dari laut Barents menuju pantai utara Inggris Raya hingga ke kepulauan Bermuda pada September hingga Februari (

21 7 Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi ruaya atau migrasi ikan cakalang (Musida 2009) yaitu : A. Faktor Eksternal Suhu Fluktuasi suhu dan perubahan geografis merupakan faktor penting yang merangsang dan menentukan keberadaan ikan. Suhu akan mempengaruhi proses metabolisme, aktifitas gerakan tubuh, dan berfungsi sebagai stimulus saraf. Salinitas Ikan cenderung memilih medium dengan salinitas yang lebih sesuai dengan tekanan osmotik tubuh mereka masing-masing. Perubahan salinitas akan merangsang ikan cakalang dan jenis ikan lainnya untuk melakukan migrasi ke tempat yang memiliki salinitas yang sesuai dengan tekanan osmotik tubuhnya. Arus pasang surut Arus akan mempengaruhi migrasi ikan melalui transport pasif telur ikan dan juvenil dari daerah pemijahan menuju daerah asuhan dan mungkin berorientasi sebagai arus yang berlawanan pada saat spesies dewasa bermigrasi dari daerah makanan menuju ke daerah pemijahan. Ikan dewasa yang baru selesai memijah juga memanfaatkan arus untuk kembali ke daerah makanan. Pasang surut di perairan menyebabkan terjadinya arus di perairan yang disebut arus pasang dan arus surut. Intensitas cahaya Perubahan intensitas cahaya sangat mempengaruhi pola penyebaran ikan, tetapi respon ikan terhadap perubahan intensitas cahaya dipengaruhi oleh jenis ikan, suhu, dan tingkat kekeruhan perairan. Ikan cakalang mempunyai kecenderungan membentuk kelompok kecil pada siang hari dan menyebar pada malam hari. Musim Musim akan mempengaruhi migrasi vertikal dan horisontal ikan, migrasi diindikasikan dikontrol oleh suhu dan intensitas cahaya. Ikan pelagis dan ikan demersal mengalami migrasi musiman horisontal, mereka biasanya menuju ke perairan lebih dangkal atau dekat permukaan selama musim panas dan menuju perairan lebih dalam pada musim dingin. Matahari Ikan-ikan pelagis, termasuk cakalang, yang bergerak pada lapisan permukaan diindikasikan menggunakan matahari sebagai kompas.

22 8 Pencemaran air limbah Pencemaran air limbah akan mempengaruhi migrasi ikan, penambahan kualitas air limbah dapat menyebabkan perubahan pola migrasi ikan. B. Faktor internal Kematangan gonad Kematangan gonad diduga merupakan salah satu pendorong bagi ikan untuk melakukan migrasi. Akan tetapi, ikan cakalang melakukan migrasi sebagai proses untuk pematangan gonad sehingga mampu memijah. Insting Semua jenis ikan mampu menemukan kembali daerah asal mereka meskipun sebelumnya ikan tersebut menetas dan tumbuh di daerah yang sangat jauh dari tempat asalnya dan belum pernah melewati daerah tersebut. Kemampuan ini diindikasikan merupakan insting yang dimiliki oleh ikan bahkan oleh semua jenis hewan. Aktifitas renang Aktifitas renang ikan meningkat pada malam hari, kebanyakan ikan bertulang rawan (elasmobranch) dan ikan bertulang keras (teleost) lebih aktif berenang pada malam hari daripada di siang hari Alat Tangkap Ikan Cakalang Nelayan Palabuhanratu dalam melakukan operasi penangkapan ikan menggunakan berbagai alat penangkapan ikan. Ikan cakalang biasanya ditangkap dengan menggunakan alat tangkap gillnet, pancing tonda, purse seinne, huhate, rawai tuna dan payang. Pancing tonda merupakan salah satu alat tangkap ikan pelagis besar yang memiliki nilai ekonomis tinggi, seperti ikan tuna, ikan cakalang dan tongkol sebagai target penangkapannya. Pancing tonda adalah alat penangkapan ikan yang sederhana dan tidak memerlukan biaya besar dalam pengoperasiannya. Pancing tonda adalah pancing yang diberi tali panjang dan ditarik oleh perahu atau kapal. Pancing diberi umpan ikan segar atau umpan palsu yang karena pengaruh tarikan bergerak di dalam air sehingga merangsang ikan buas menyambarnya. Pengoperasian tonda memerlukan kapal atau perahu yang selalu bergerak di depan gerombolan ikan sasaran. Biasanya pancing ditarik dengan kecepatan 2-6 knot tergantung jenisnya. Ukuran perahu atau kapal yang digunakan berkisar 0,5-10 GT (Sudirman & Mallawa 2004).

23 9 Rumpon biasa juga disebut dengan Fish Agregation Device (FAD) yaitu suatu alat bantu penangkapan yang berfungsi untuk memikat ikan agar berkumpul dalam suatu catchble area (Sudirman & Mallawa 2004). Ada beberapa prediksi mengapa ikan senang berada di sekitar rumpon : Rumpon tempat berkumpulnya plankton dan ikan-ikan kecil lainnya, sehingga mengundang ikan-ikan yang lebih besar untuk tujuan feeding. Merupakan suatu tingkah laku dari berbagai jenis ikan untuk berkelompok di sekitar kayu terapung (seperti jenis-jenis tuna dan cakalang). Dengan demikian, tingkah laku ikan ini dimanfaatkan untuk tujuan penangkapan. Kepadatan gerombolan ikan pada rumpon diketahui oleh nelayan berdasarkan buih atau gelembung-gelembung udara yang timbul di permukaan air, warna air yang gelap karena pengaruh gerombolan ikan atau banyaknya ikan-ikan kecil yang bergerak disekitar rumpon. Di Indonesia, nelayan umumnya menggunakan pelampung dari bambu, sedangkan tali temalinya masih menggunakan natural fibres (bahan alamiah) biasanya dari rotan dan pemberatnya menggunakan batu gunung atau batu karang, sedangkan atraktornya dari daun kelapa. Rumpon ini jenis ini biasanya dipasang di perairan dangkal puluhan sampai ratusan meter dengan tujuan untuk mengumpulkan ikan-ikan pelagis kecil. Sedangkan rumpon yang dipasang pada perairan yang lebih dalam (ratusan sampai ribuan meter tali temalinya telah menggunakan sintetic fibres (tali nylon)), dengan tujuan utama mengumpulkan ikan layang, tuna dan cakalang (Sudirman & Mallawa 2004) Hubungan Panjang dan Bobot Analisis hubungan panjang dan bobot bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan dengan menggunakan parameter panjang dan bobot ikan. Hasil analisis pertumbuhan panjang-bobot akan menghasilkan suatu nilai konstanta (b), yang akan menunjukkan laju pertumbuhan parameter panjang dan bobot. Ikan yang memiliki nilai b=3 (isometrik) menunjukkan pertambahan panjangnya seimbang dengan pertambahan bobot. Sebaliknya jika nilai b 3 (allometrik) menunjukkan pertambahan panjang tidak seimbang dengan pertambahan bobotnya. Jika pertambahan bobot lebih cepat dibandingkan pertambahan panjang (b>3), maka disebut sebagai pertumbuhan allometrik positif. Sedangkan apabila pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan pertambahan bobot (b<3), maka disebut sebagai pertumbuhan allometrik negatif (Effendie 1997).

24 Faktor Kondisi Faktor kondisi yaitu keadaan atau kemontokan ikan yang dinyatakan dalam angka-angka. Perhitungan faktor kondisi didasarkan pada panjang dan bobot. Perhitungan faktor kondisi ini untuk melihat pada panjang dan bobot berapa ikan mencapai kondisi maksimum atau minimum. Faktor kondisi dapat mengindikasikan musim pemijahan bagi ikan khususnya untuk ikan-ikan betina (Effendie 1997). Nilai faktor kondisi dipengaruhi makanan, umur, jenis kelamin dan kematangan gonad. Selain itu faktor kondisi juga dipengaruhi oleh indeks relatif penting makanan dan pada ikan betina dipengaruhi oleh indeks kematangan gonad. Ikan yang cenderung menggunakan cadangan lemaknya sebagai sumber tenaga selama proses pemijahan, sehingga akibatnya ikan akan mengalami penurunan faktor kondisi (Effendie 1979) Sebaran Frekuensi Panjang Data sebaran frekuensi panjang digunakan untuk mengetahui frekuensi persebaran ikan di perairan berdasarkan ukuran panjangnya. Sebaran frekuensi panjang yang dibuat ini selanjutnya digunakan untuk pendugaan kelompok umur ikan. Analisis data frekuensi panjang ditujukan untuk menentukan umur terhadap kelompok-kelompok panjang tertentu. Analisis ini berguna dalam pemisahan suatu sebaran frekuensi panjang yang kompleks kedalam sejumlah kelompok ukuran (Sparre & Venema 1999). Menurut Busacker et al. (1990) umur ikan dapat ditentukan dari sebaran frekuensi panjang melalui analisis kelompok umur karena panjang ikan dari kelompor umur yang sama cenderung akan membentuk suatu sebaran normal. Dengan mengelompokkan ikan kedalam kelas-kelas panjang dan menggunakan modus panjang kelas tersebut kelompok umur ikan dapat diketahui. Tanda tahunan pada ikan tropis sangat sulit diamati untuk pendugaan umur karena tanda tahunan pada musim hujan tidak berbeda jelas dengan tanda tahunan pada musim kemarau. Ikan tropis relatif mengalami pertumbuhan sepanjang tahun. Oleh karena itu pendugaan umur ikan tropis umumnya dilakukan dengan metode frekuensi panjang (Tutupoho 2008). Berbeda dengan ikan sub tropis yang mengalami pertumbuhan cepat pada saat musim panas dan mengalami pertumbuhan yang lambat pada musim dingin (Sparre & Venema 1999). Indeks separasi merupakan kuantitas yang relevan terhadap studi bila dilakukan kemungkinan bagi suatu pemisahan yang berhasil dari dua komponen yang berdekatan, apabila indeks separasi kurang dari dua (I<2) maka tidak mungkin

25 11 dilakukan pemisahan di antara dua kelompok ukuran karena terjadi tumpang tindih yang besar antar kelompok ukuran tersebut (Hasselblad 1969, McNew & Summerflat 1978 dan Clark 1981 in Sparre & Venema 1999) Pertumbuhan Menurut Effendie (1997) pertumbuhan adalah pertambahan ukuran panjang atau berat dalam satu ukuran waktu, sedangkan bagi populasi adalah pertambahan jumlah. Pertumbuhan merupakan proses biologi yang kompleks, dimana banyak faktor yang mempengaruhinya. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dibagi menjadi dua bagian besar yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam adalah faktor yang sukar untuk dikontrol, seperti keturunan, sex, umur, parasit, dan penyakit. Sedangkan faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan antara lain jumlah dan ukuran makanan yang tersedia, suhu, oksigen terlarut, dan faktor kualitas air. Faktor ketersedian makanan sangat berperan dalam proses pertumbuhan. Pertama ikan memanfaatkan makanan untuk memelihara tubuh dan menggantikan sel-sel tubuh yang rusak, kemudian kelebihan makanan yang tersisa baru dimanfaatkan untuk pertumbuhan. Persamaan pertumbuhan Von Bertalanfy merupakan persamaan yang umum digunakan dalam studi pertumbuhan suatu populasi (King 1995) Mortalitas dan Laju Eksploitasi Mortalitas alami adalah mortalitas yang terjadi karena berbagai sebab selain penangkapan seperti pemangsaan, penyakit, stres pemijahan, kelaparan dan usia tua (Sparre & Venema 1999). Laju mortalitas total (Z) adalah penjumlahan laju mortalitas penangkapan (F) dan laju mortalitas alami (M) (King 1995). Nilai laju mortalitas alami berkaitan dengan nilai parameter pertumbuhan von Bertalanffy K dan L. Ikan yang pertumbuhannya cepat (nilai K tinggi) mempunyai M tinggi dan sebaliknya. Nilai M berkaitan dengan nilai L karena pemangsa ikan besar lebih sedikit dari ikan kecil. Mortalitas penangkapan adalah mortalitas yang terjadi akibat adanya aktivitas penangkapan (Sparre & Venema 1999). Mortalitas alami dipengaruhi oleh predator, penyakit, dan usia. Selain itu menurut Pauly (1980) in Sparre & Venema (1999) bahwa faktor lingkungan yang mempengaruhi laju mortalitas alami yaitu suhu rata-rata perairan, selain itu panjang maksimum (L ) dan laju pertumbuhan (K). Laju eksploitasi (E) merupakan bagian

26 12 suatu kelompok umur yang akan ditangkap selama ikan tersebut hidup. Atau dapat diartikan sebagai jumlah ikan yang ditangkap dibandingkan dengan jumlah total ikan yang mati karena semua faktor baik faktor alam maupun faktor penangkapan (Pauly 1984). Gulland (1971) in Pauly (1984) menduga bahwa stok yang dieksploitasi optimal maka laju mortalitas penangkapan (F) akan sama dengan laju mortalitas alami (M) atau laju eksploitasi (E) sama dengan 0,5 ( F optimum = M atau E optimum = 0,5) Pengelolaan Perikanan Pengelolaan perikanan meliputi beberapa aspek termasuk sumberdaya ikan, habitat atau lingkungan, dan manusia serta berbagai faktor eksternalnya. Pengelolaan sumberdaya perikanan saat ini menuntut perhatian penuh dikarenakan oleh semakin meningkatnya tekanan eksploitasi terhadap berbagai stok ikan dan meningkatnya kesadaran dan kepedulian umum untuk memanfaatkan lingkungannya secara bijaksana, yakni dengan upaya pembangunan secara berkelanjutan. Namun demikian, upaya pengelolaan perikanan memiliki beberapa keterbatasan (constraint) karena umum sumberdaya ikan dan pemanfaatnya. Permasalahan dalam pengelolaan perikanan akan ditemui pada tiap bagian atau fungsi manajemen. Kondisi seperti ini membutuhkan berbagai upaya inovasi agar tujuan pengelolaan secara efektif dan efesien dapat tercapai (Widodo & Suadi 2006). Secara umum tujuan utama dari pengelolaan perikanan adalah untuk menjaga kelestarian produksi terutama melalui berbagai regulasi serta tindakan perbaikan (enhancement) untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan serta untuk memenuhi keperluan industri yang memanfaatkan produksi tersebut (mencapai tujuan biologi, ekonomi dan sosial). Untuk mencapai tujuan pengelolaan, pihak yang berwenang mengelola (pengelola) harus mampu merancang, memberikan alasan yang kuat (secara politis), dan melaksanakan sekumpulan jenis pengendalian (menyelenggarakan undang-undang terhadap aktivitas penangkapan) (Widodo & Suadi 2006). Umumnya kegiatan pengelolaan perikanan mulai bekerja ketika isu-isu ini berkembang. Jarang ditemui upaya pengelolaan diberlakukan sejak awal pengembangan perikanan di suatu wilayah tertentu. Sehingga konsep overfishing sering menjadi acuan akan perlunya berbagai tindakan pengelolaan melalui pengaturan perikanan. Overfishing secara sederhana dapat kita pahami sebagai

27 13 penerapan sejumlah upaya penangkapan yang berlebihan terhadap suatu stok ikan. Menurut Widodo & Suadi (2006) terdapat berbagai bentuk overfishing, yaitu : a. Growth overfishing Ikan ditangkap sebelum mereka sempat tumbuh mencapai ukuran dimana peningkatan lebih lanjut dari pertumbuhan akan mampu membuat seimbang dengan penyusutan stok yang diakibatkan oleh mortalitas alami (misalnya pemangsaan). Pencegahan Growth overfishing meliputi pembatasan upaya penangkapan, pengaturan ukuran mata jaring dan penutupan musim atau daerah penangkapan. b. Recruitment overfishing Pengurangan melalui penangkapan terhadap suatu stok sehingga jumlah stok induk tidak cukup banyak untuk memproduksi telur yang kemudian menghasilkan rekrut terhadap stok yang sama. Pencegahan terhadap recruitment overfishing meliputi proteksi (misalnya melalui reservasi) terhadap sejumlah stok induk (parental stock, broadstock) yang memadai c. Biological overfishing Kombinasi dari growth dan recruitment overfishing akan terjadi apabila tingkat upaya penangkapan dalam suatu perikanan tertentu melampaui tingkat yang diperlukan untuk menghasilkan MSY. Pencegahan terhadap biological overfishing meliputi pengaturan upaya penangkapan dan pola penangkapan (fishing pattern). d. Economic overfishing Terjadi bila tingkat upaya penangkapan dalam suatu perikanan melampaui tingkat yang diperlukan untuk menghasilkan MEY, yang dirumuskan sebagai perbedaan maksimum antara nilai kotor dari hasil tangkapan dan seluruh biaya dari tangkapan (tingkat upaya penangkapan MEY lebih kecil daripada tingkat upaya MSY). e. Ecosystem overfishing Overfishing jenis ini dapat terjadi sebagai hasil dari suatu perubahan komposisi jenis dari suatu stok sebagai akibat dari upaya penangkapan yang berlebihan, dimana spesies target menghilang dan tidak digantikan secara penuh oleh jenis pengganti. Biasanya ecosystem overfishing mengakibatkan timbulnya suatu transisi dari ikan bernilai ekonomi tinggi berukuran besar kepada ikan kurang bernilai ekonomi berukuran kecil, dan akhirnya kepada ikan rucah (trash fish) dan/atau invertebrata non komersial seperti ubur-ubur. f. Malthusian overfishing Malthusian overfishing merupakan suatu istilah untuk mengungkapkan masuknya tenaga kerja yang tergusur dari berbagai aktivitas berbasis darat (land-based

28 14 activities) kedalam perikanan pantai dalam jumlah yang berlebihan, yang berkompetisi dengan nelayan tradisional yang telah ada dan yang cenderung menggunakan caracara penangkapan yang bersifat merusak, seperti dinamit untuk ikan-ikan pelagis, sianida untuk ikan-ikan di terumbu karang dan/atau insektisida di beberapa perikanan laguna dan estuaria. Beberapa ciri-ciri yang dapat menjadi patokan suatu perikanan sedang menuju kondisi ini antara lain, waktu melaut menjadi lebih panjang dari biasanya, lokasi penangkapan menjadi lebih jauh dari biasanya, ukuran mata jaring menjadi lebih kecil dari biasanya, yang kemudian diikuti produktivitas (hasil tangkapan per satuan upaya/trip, CPUE) yang menurun, ukuran ikan sasaran yang semakin kecil dan biaya penangkapan (operasional) yang semakin meningkat (Widodo & Suadi 2006) Kondisi Lingkungan Perairan Kondisi lingkungan perairan sangat berpengaruh dengan pola kehidupan ikan. Menurut Gunarso (1985) fluktuasi keadaan lingkungan mempunyai pengaruh yang besar terhadap periode migrasi musiman serta terdapatnya ikan disuatu tempat. Adapun parameter yang relatif mudah untuk diukur adalah suhu perairan. Suhu memiliki pengaruh terhadap proses fisiologi hewan seperti metabolisme dan siklus reproduksi. Peningkatan suhu dapat mengakibatkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme akuatik dan selanjutnya meningkatkan konsumsi oksigen. Effendi (2003) menyatakan peningkatan suhu 10 o C menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat. Namun, peningkatan suhu ini disertai dengan penurunan kadar oksigen terlarut (Effendi 2003). Menurut Gunarso (1985) pada suatu daerah penangkapan ikan cakalang suhu permukaan laut yang disukai biasanya berkisar antara o C, walaupun untuk Indonesia suhu optimumnya adalah berkisar o C. Sedangkan suhu untuk pemijahan berkisar pada o C. Setiap ikan mempunyai kisaran suhu tertentu untuk melakukan pemijahan, bahkan mungkin dengan suatu siklus musiman yang tertentu pula. Selain itu biasanya ikan cakalang hidup pada perairan dengan kadar salinitas antara o / oo dengan salinitas untuk pemijahan sebesar 33 o / oo. Ikan ini jarang dijumpai pada perairan dengan kadar salinitas yang lebih rendah atau tinggi dari kisaran tersebut.

29 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di PPN Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat (Gambar 2). Pengambilan data primer dilakukan selama tiga bulan dari tanggal 9 Maret 18 Mei 2010 dengan interval waktu pengambilan contoh dua minggu. Daerah penangkapan ikan cakalang bermula dari mulut teluk Palabuhanratu sampai perbatasan Pangandaran (area berwarna kuning). Pada daerah penangkapan tersebut terdapat rumpon sebagai alat bantu pengumpul ikan. Gambar 2. Peta lokasi penelitian 3.2. Pengumpulan Data Pengumpulan data primer Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara pengambilan contoh jenis ikan cakalang yang di daratkan di PPN Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Metode yang digunakan yaitu dengan melakukan pengukuran panjang cagak dan bobot basah untuk pendugaan parameter pertumbuhan dan pola pertumbuhan ikan cakalang di Palabuhanratu. Panjang ikan diukur dari ujung terdepan bagian kepala sampai dengan lekuk cabang sirip ekor (panjang cagak). Panjang cagak digunakan untuk ikan yang sirip ekornya keras seperti tuna (Sparre & Venema 1999). Pengukuran panjang cagak dilakukan dengan menggunakan meteran kain yang mempunyai ketelitian 0,1 cm. Sedangkan bobot ikan cakalang yang ditimbang adalah bobot basah total yaitu bobot total jaringan tubuh ikan dan air yang

30 16 terdapat di dalamnya dengan menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 1 gram. Ikan cakalang yang digunakan sebagai contoh diambil dari 3 kapal dari beberapa kapal yang mendaratkan ikan cakalang di PPN Palabuhanratu dengan cara meminjam. Pengambilan contoh 3 kapal tersebut dilakukan dengan metode campuran, berdasarkan waktu (kesamaan waktu pengambilan contoh dengan pendaratan 3 kapal tersebut), alat tangkap dan lokasi penangkapan (fishing ground). Kemudian dari 3 kapal diambil contoh ikan ±35 ekor secara acak oleh nelayan dari dalam drum plastik (blong) dengan jumlah seluruh contoh yang digunakan sebanyak ±100 ekor dalam setiap samplingnya, sehingga jumlah contoh yang diambil selama penelitian sebanyak 622 ekor (Gambar 3). Dalam melakukan pengambilan contoh, digunakan kapal-kapal yang sama selama penelitian. PPN Palabuhanratu Kapal pancing tonda Kapal 1 Kapal 2 Kapal 3 ± 100 contoh ikan cakalang Pengukuran panjang dan berat Gambar 3. Skema Pengambilan Contoh

31 17 Pengumpulan data primer dan informasi lainnya dengan cara mewawancarai nelayan ikan cakalang di Palabuhanratu. Informasi tersebut diantaranya berupa kegiatan operasi penangkapan, dan daerah penangkapan (fishing ground) Pengumpulan data sekunder Pengumpulan data sekunder yaitu meliputi data produksi hasil tangkapan ikan cakalang di PPN Palabuhanratu pada tahun sebagai data penunjang untuk analisis mortalitas dan laju eksploitasi serta pengumpulan data mengenai kondisi lingkungan Teluk Palabuhanratu termasuk data suhu yang akan digunakan untuk analisis mortalitas alami Analisis Data Hubungan Panjang Bobot Bobot dapat dianggap sebagai suatu fungsi dari panjang. Hubungan panjang dan bobot dapat diketahui dengan rumus (Effendi 1997): W = al b Keterangan : W = bobot ikan (gram) L = panjang total ikan (milimeter) a, b = konstanta Jika rumus umum tersebut ditransformasikan ke dalam logaritma, maka akan didapatkan persamaan linier atau persamaan garis lurus sebagai berikut : Log W = log a + b log L Untuk mendapatkan nilai konstanta a dan b maka dilakukan analisis regresi dengan menggunakan nilai Log W sebagai y dan Log L sebagai x maka akan didapatkan persamaan sebagai berikut : y = a + bx Uji-t dilakukan untuk menguji b = 3 atau b 3, dengan hipotesis sebagai berikut : H 0 : b = 3, isometrik (pertambahan panjang seimbang dengan pertambahan bobot)

32 18 H 1 : b 3, allometrik (pertambahan panjang tidak sama dengan pertambahan bobot) dimana : Bilamana nilai b = 3 menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan tidak berubah bentuknya, pertambahan panjang ikan seimbang dengan pertambahan bobotnya (isometrik). Sedangkan apabila b > menunjukkan pertambahan bobot lebih cepat dari pertambahan panjangnya (allometrik positif), dan jika b < 3 menunjukkan pertambahan panjang lebih cepat dari pertambahan bobotnya (allometrik negatif) (Effendi 1997). Keterangan : b 1 : Nilai b (dari analisis regresi hubungan panjang bobot) b 0 : 3 Sb 1 : Simpangan koefisien b Setelah didapatkan nilai t hit dari perhitungan diatas lalu bandingkan dengan nilai t tab pada selang kepercayaan 95% kemudian untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan, kaidah keputusan yang diambil adalah : t hit > t tab : tolak H 0 (Hipotesis nol) t hit < t tab : gagal tolak H 0 (Hipotesis nol) Faktor Kondisi Faktor kondisi yaitu keadaan atau kemontokan ikan yang dinyatakan dalam angka-angka. Perhitungan faktor kondisi didasarkan pada panjang dan bobot ikan. Faktor kondisi dapat dihitung dengan rumus (Effendie 1979) sebagai berikut : Jika nilai b = 3 (isometrik), maka faktor kondisi ditentukan dengan rumus : W10 K (t,s,f) = 3 L Jika nilai b 3 (allometrik), maka faktor kondisi ditentukan dengan rumus : K (t,s,f) = W b al 5

33 19 Keterangan : K = faktor kondisi W = bobot ikan (gram) L = panjang total ikan (milimeter) a, b = konstanta Sebaran Frekuensi Panjang Dalam metode sebaran frekuensi panjang data yang digunakan adalah data panjang cagak dari ikan cakalang. Dilakukan pengukuran ikan cakalang dengan menggunakan meteran kain yang memiliki ketelitian 0,1 cm. Adapun langkah-langkah untuk membuat sebaran frekuensi panjang adalah sebagai berikut (Walpole 1992) : Langkah 1 : Menentukan banyaknya selang kelas yang diperlukan Langkah 2 : Menentukan wilayah data tersebut Langkah 3 : Bagilah wilayah tersebut dengan banyaknya kelas untuk menduga lebar selang kelasnya Langkah 4 : Menentukan limit bawah kelas bagi selang yang pertama dan kemudian batas bawah kelasnya, kemudian tambahkan lebar kelas pada batas bawah kelas untuk mendapatkan batas atas kelasnya Langkah 5 : Mendaftarkan semua limit kelas dan batas kelas dengan cara menambahkan lebar kelas pada limit dan batas selang sebelumnya Langkah 6 : Menentukan titik tengah kelas bagi masing-masing selang dengan merata-ratakan limit kelas atau batas kelasnya Langkah 7 : Menentukan frekuensi bagi masing-masing kelas Langkah 8 : Menjumlahkan kolom frekuensi kemudian periksa apakah hasilnya sama dengan banyaknya total pengamatan Pertumbuhan Model pertumbuhan yang berhubungan dengan panjang ikan yang rumusnya dikemukaan oleh Von Bertalanffy yang kemudian disebut Model Von Bertalanffy adalah (Sparre & Venema 1999) : L t = L (1-e -K(t-to) ) atau L t = L (1-e -Kt )+ L 0 e -Kt

34 20 Keterangan : L t = panjang ikan pada waktu t (milimeter) L = panjang maksimum (milimeter) L 0 = panjang ikan pada waktu t=0 (milimeter) K = koefesien pertumbuhan (per tahun) = umur ikan pada waktu panjang nol t 0 Untuk nilai L dan K didapatkan dari hasil perhitungan dengan metode ELEFAN 1 yang terdapat dalam program FiSAT II. Sedangkan nilai t 0 (umur teoretis ikan pada saat panjang sama dengan nol) dapat diduga dengan persamaan empiris Pauly (Pauly 1984) sebagai berikut : Log (-t 0) = 0,3922 0,2752 (Log L ) 1,0380 (Log K) Mortalitas dan laju eksploitasi (E) Laju mortalitas total (Z) diduga dengan menggunakan metode Jones & Van Zalinge yang dikemas dalam program FiSAT II. Sedangkan untuk menduga laju mortalitas alami (M) menggunakan rumus empiris Pauly (1984). Untuk memperhitungkan jenis ikan yang memiliki kebiasaan bergerombol dikalikan dengan nilai 0,8 sehingga untuk spesies yang bergerombol seperti ikan cakalang nilai dugaan menjadi 20% lebih rendah. ln M = -0,0152 0,279 ln + 0,6543 ln K + 0,463 ln T M = 0,8 e (lnm) Keterangan : M = mortalitas alami L = panjang asimtotik pada persamaan pertumbuhan Von Bartalanffy K = koefisien pertumbuhan pada persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy T = rata-rata suhu permukaan air ( 0 C) Laju mortalitas penangkapan (F) dapat ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut : F = Z M

35 21 Laju eksploitasi ditentukan dengan membandingkan mortalitas panangkapan (F) terhadap mortalitas total (Z) (Pauly 1984) : E = F F M = Z F Keterangan : F = Mortalitas penangkapan Z = Mortalitas total M = Mortalitas alami

36 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Perairan Teluk Palabuhanratu dan Sekitarnya Perairan Teluk Palabuhanratu terletak pada posisi geografis LS dan BT dengan panjang pantai lebih kurang 105 km. Batas-batas wilayah secara administratif di sebelah Utara dengan Kabupaten Bogor, Samudera Indonesia (Samudera Hindia) di sebelah Selatan, Kabupaten Cianjur di sebelah Timur, sedangkan di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak dan Samudera Indonesia (Samudera Hindia) (Wahyudin 2004). Perairan tersebut merupakan perairan pantai selatan Jawa Barat yang memilliki hubungan dengan Samudra Hindia. Sistem sungai yang bermuara di perairan teluk diketahui ada 7 buah yaitu 2 buah golongan besar: S. Cimandiri dan S. Cibareno dan 5 buah lainnya tergolong sungai kecil: S. Cimaja, Cipalabuhan, Cidadap, Cibutun dan Ciletuh. Musim sangat berpengaruh terhadap kondisi hidrodinamika perairan teluk. Pada periode Musim Timur (Mei-Agustus) gelombang dan arus relatif lebih tenang dibandingkan pada periode musim barat (November-Februari). Kondisi Teluk Palabuhanratu banyak dipengaruhi oleh kondisi oseanografi Samudera Hindia seperti adanya pengaruh angin yang besar. Perairan Teluk Palabuhanratu mempunyai suhu permukaan laut pada musim barat berkisar o C dan pada musim timur o C. Sedangkan keadaan suhu pada umumnya di Teluk Palabuhanratu dan sekitarnya berkisar antara o C sebagaimana suhu permukaan laut di perairan Indonesia ( blogspot.com). Menurut Gunarso (1985) pada suatu daerah penangkapan ikan cakalang suhu permukaan laut yang disukai biasanya berkisar antara o C, walaupun di Indonesia suhu optimumnya adalah berkisar o C. Hal ini mengindikasikan bahwa ikan cakalang dapat hidup di perairan Teluk Palabuhanratu dan sekitarnya. Berdasarkan topografi dasar perairannya, perairan dangkal di Teluk Palabuhanratu dapat dijumpai sampai jarak 300 meter dari garis pantai dengan kedalaman kurang dari 200 meter (Pariwono et al in Wahyudin 2004). Perairan Palabuhanratu memiliki kadar salinitas yang cukup tinggi yaitu berkisar Tingginya kadar salinitas tersebut dipengaruhi oleh curah hujan (presipitasi), penguapan (evaporasi), dan adanya hubungan terbuka dengan Samudera Hindia juga dapat meningkatkan kadar salinitas di Teluk Palabuhanratu. Selain itu salinitas juga

37 23 dipengaruhi oleh keadaan musim dengan faktor utama adanya masukan massa air sungai yang bermuara. Menurut Gunarso (1985) ikan cakalang hidup pada perairan dengan kadar salinitas antara o / oo dan pada salinitas 33 o / oo biasanya ikan cakalang melakukan pemijahan. Hal ini menunjukkan ikan cakalang dapat hidup di perairan tersebut. Menurut Widiyanto (2008) terdapat dua pola musim di perairan Palabuhanratu yang berpengaruh terhadap aktivitas penangkapan ikan, yaitu musim timur yang berlangsung dari bulan Juni hingga September dan musim barat yang berlangsung dari bulan Desember hingga februari. Kondisi perairan pada musim timur relatif tenang, angin serta gelombang tidak begitu besar sehingga aktivitas penangkapan ikan cukup tinggi pada musim ini. Periode ini berlangsung pada musim kemarau. Hal yang sebaliknya terjadi pada musim barat. Pada musim ini, angin dan gelombang laut cukup tinggi sehingga menyulitkan nelayan untuk melaut. Pada musim barat umumnya aktivitas penangkapan akan menurun. Diantara kedua musim tersebut terdapat musim peralihan pertama yaitu antara bulan Maret sampai Mei dan musim peralihan kedua yang berlangsung antara bulan Oktober sampai November Kondisi Umum Perikanan Cakalang di PPN Palabuhanratu Ikan cakalang merupakan salah satu hasil tangkapan ikan pelagis besar yang dominan dan memiliki nilai ekonomis penting di PPN Palabuhanratu selain ikan tuna dan tongkol. Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan cakalang yaitu gill net, purse seinne, pancing tonda dan payang. Persentase alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan cakalang di PPN Palabuhanratu disajikan pada Gambar 4. Pada saat pengambilan contoh selama tiga bulan alat tangkap yang beroperasi adalah pancing tonda dengan bantuan rumpon. Hal ini terkait dengan biaya operasional yang lebih murah menggunakan alat tangkap pancing tonda dibandingkan dengan menggunakan alat tangkap yang lain, selain itu pengoperasian dengan alat tangkap pancing tonda juga relatif lebih mudah dan menghemat waktu. Pancing tonda terdiri dari mata pancing, tali pancing dan umpan buatan. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan ketiga kapal pancing tonda, lamanya trip yaitu selama satu minggu dengan biaya operasi penangkapan berkisar Rp Rp Panjang tali pancing yang digunakan ±110 m, jumlah mata pancing ±20 buah dengan ukuran mata pancing 9 disetiap pancing tonda. Dalam satu kapal biasanya terdiri dari 4-5 orang ABK dan 4-6 buah pancing tonda. Jenis kapal

38 24 motor yang dipakai untuk operasional alat tangkap ini adalah kapal motor dengan ukuran 6 GT. Pengoperasian tonda memerlukan kapal atau perahu yang selalu bergerak di depan gerombolan ikan sasaran. Ukuran perahu atau kapal yang digunakan berkisar 0,5-10 GT (Sudirman & Mallawa 2004). Pancing tonda di PPN Palabuhanratu digunakan sejak tahun 2004 dengan bantuan rumpon. Rumpon biasa juga disebut dengan Fish Agregation Device (FAD) yaitu suatu alat bantu penangkapan yang berfungsi untuk memikat ikan agar berkumpul dalam suatu catchble area (Sudirman & Mallawa 2004). Rumpon berfungsi juga sebagai sumber makanan dan tempat berlindung ikan kecil dari predator, sedangkan ikan cakalang bermigrasi untuk mencari makanan di daerah rumpon yang banyak terdapat ikan-ikan kecil dan plankton. Kemudian nelayan melakukan penangkapan ikan cakalang di daerah tersebut dengan menggunakan alat tangkap pancing tonda. Kepadatan gerombolan ikan pada rumpon diketahui oleh nelayan berdasarkan buih atau gelembung-gelembung udara yang timbul di permukaan air, warna air yang gelap karena pengaruh gerombolan ikan atau banyaknya ikan-ikan kecil yang bergerak disekitar rumpon (Sudirman & Mallawa 2004). Persentasen tertinggi jenis ikan yang ditangkap paling banyak dengan menggunakan pancing tonda yaitu cakalang, kemudian tongkol abu-abu, tuna madidihang, tuna mata besar, tongkol lisong dan persentase terendah yaitu layang (Gambar 5). Berdasarkan hasil wawancara musim penangkapan ikan cakalang berkisar dari bulan Juni-Oktober dengan puncaknya berkisar pada bulan Agustus-September. Ikan cakalang didistribusikan dalam bentuk segar ataupun olahan seperti pindang. Harga ikan cakalang yang dijual di pasar ikan palabuhanratu dalam bentuk segar yaitu seharga Rp /kg sedangkan yang sudah diolah yaitu dalam bentuk pindang berkisar Rp Rp /kg. Umumnya ikan hasil olahan (pindang) ini didistribusikan secara lokal ke daerah Palabuhanratu itu sendiri, Sukabumi, Cianjur, Bogor, Bandung dan Jakarta. Ikan yang memiliki kualitas tinggi di ekspor dengan cara dibekukan dengan tingkat kesegaran tinggi ke negara Korea dan Jepang.

39 25 Gambar 4. Grafik persentase alat tangkap ikan cakalang Gambar 5. Grafik persentase jenis ikan yang ditangkap dengan alat tangkap pancing tonda 4.3. Hubungan Panjang dan Bobot Analisis hubungan panjang dan bobot digunakan panjang cagak (mm) dan bobot contoh ikan cakalang. Pada Tabel 2 dapat dilihat persamaan dan pola pertumbuhan berdasarkan hubungan panjang dan bobot ikan cakalang pada setiap pengamatan. Tabel 2. Hubungan panjang dan bobot ikan cakalang pada setiap pengamatan setelah dilakukan uji-t Sampling ke- Persamaan hubungan panjang berat Pola pertumbuhan 1 W = 4x10-6 L 3,1962 (n = 107; r = 0,9907) Allometrik positif 2 W = 8x10-7 L 3,4963 (n = 105; r = 0,9765) Allometrik positif 3 W = 10-5 L 3,0179 (n = 101; r = 0,9598) Isometrik 4 W = 2x10-5 L 2,9639 (n = 100; r = 0,9363) Isometrik 5 W = 7x10-6 L 3,1221 (n = 100; r = 0,9676) Isometrik 6 W = 2x10-6 L 3,3152 (n = 109; r = 0,9382) Allometrik positif

40 26 Secara umum hasil analisis pada tabel di atas menunjukkan bahwa hubungan panjang dan bobot ikan cakalang memiliki hubungan yang sangat erat (nilai koefisien korelasi (r) mendeketi satu). Setelah dilakukan uji-t pada sampling pertama, kedua dan keenam ikan cakalang memiliki pola pertumbuhan allometrik positif, dimana nilai b>3 yang memiliki arti bahwa pertambahan bobot lebih dominan dibandingkan pertambahan panjang, sedangkan pada sampling ketiga, keempat dan kelima ikan cakalang memiliki pola pertumbuhan isometrik yang berarti pertambahan panjang seimbang dengan pertambahan bobot (Effendie 1997). Gambar 6. Grafik hubungan panjang bobot ikan cakalang Hasil keseluruhan analisis hubungan panjang dan bobot ikan cakalang memiliki persamaan W = 4x10-6 L 3,1982 (Gambar 6), koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 0,97 dan dengan nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,9895. Ini menunjukkan bahwa model dugaan menggambarkan 97% model sebenarnya dialam. Untuk hubungan panjang dan bobot pada ikan cakalang memiliki korelasi yang sangat erat (koefisien korelasi (r) mendekati satu). Berdasarkan uji-t pada selang kepercayaan 95% diperoleh nilai t hit>t tabel yang berarti tolak H 0 yaitu pola pertumbuhan ikan cakalang bersifat allometrik positif, yaitu pertambahan bobot lebih cepat daripada pertambahan panjangnya (pertambahan panjang tidak sama dengan pertambahan bobot) (Effendie 1997). Hal ini diduga karena ketersediaan makanan yang cukup banyak diperairan untuk ikan cakalang. FAO

41 27 (1983) menyebutkan bahwa makanan utama ikan cakalang yaitu ikan-ikan kecil (makanan utama), crustacea dan moluska. Dengan bervariasanya berbagai jenis organisme dalam makanan serta adanya sifat kanibalisme menunjukkan bahwa ikan cakalang tergolong oportunistic feeder, yaitu ikan yang memangsa segala jenis makanan yang tersedia di perairan. Ikan cakalang juga mempunyai sifat makan yang rakus. Tabel 3. Pola pertumbuhan ikan cakalang dari beberapa penelitian Sumber Uktoselja (1987) Mayangsoka (2010) Fadhilah (2010) Lokasi Perairan Indonesia Timur Samudera Hindia Barat (Barat Sumatera) Teluk Palabuhanratu dan sekitarnya Persamaan pertumbuhan W=1,0773E-05L 3,1260 W=0,00001L 3,0449 W=4x10 6 L 3,1982 Pola pertumbuhan Allometrik positif Isometrik Allometrik positif Periode pengambilan data Desember Februari 1986 Maret-Mei 2010 Maret-Mei 2010 Berdasarkan Tabel 3, dapat dilihat bahwa pola pertumbuhan ikan cakalang yang berlokasi di Perairan Timur Indonesia dengan di Teluk Palabuhanratu dan sekitarnya memiliki kesamaan pola pertumbuhan yaitu allometrik positif, sedangkan pola pertumbuhan ikan cakalang yang berlokasi di Samudera Hindia Barat (Barat Sumatera) memiliki pola pertumbuhan isometrik. Perbedaan pola pertumbuhan diduga karena perbedaan lokasi penangkapan (berkaitan dengan kondisi perairan), waktu penelitian, kepadatan populasi, dan genetik dari ikan cakalang itu sendiri. Selain itu perbedaan pola pertumbuhan dapat disebabkan oleh perbedaan jumlah dan variasi ukuran ikan yang diamati (Moutopoulos & Stergiou 2002 in Kharat et al. 2008). Menurut Effendie (1997) faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dibagi menjadi dua bagian besar yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam seperti keturunan, sex, umur, parasit, dan penyakit. Sedangkan faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan antara lain jumlah dan ukuran makanan yang tersedia, suhu, oksigen terlarut, dan faktor kualitas air.

42 Faktor Kondisi Faktor kondisi yaitu keadaan atau kemontokan ikan yang dinyatakan dalam angka-angka. Perhitungan faktor kondisi didasarkan pada panjang dan bobot. Panjang yang digunakan untuk analisis adalah panjang cagak. Nilai rata-rata faktor kondisi ikan cakalang selama pengamatan berkisar pada 0,99-1,45 (Lampiran 15). Nilai rata-rata faktor kondisi tertinggi terdapat pada sampling ketiga yaitu pada tanggal 6 April 2010 sebesar 1,45 dan nilai rata-rata faktor kondisi terkecil terdapat pada sampling kedua yaitu pada tanggal 23 Maret 2010 sebesar 0,99. Nilai faktor kondisi ikan cakalang selama pengamatan cukup berfluktuatif (Gambar 7). Nilai faktor kondisi tertinggi ikan cakalang terdapat pada sampling ketiga, hal dikarenakan pada sampling ketiga ikan yang digunakan sebagai contoh memiliki ukuran yang besar-besar dibandingkan oleh ikan-ikan yang digunakan pada sampling yang lain. Selain itu hal ini diduga karena kondisi perairan ikan tersebut baik untuk proses pertumbuhan ikan cakalang. Faktor kondisi dipengaruhi makanan, umur, jenis kelamin dan kematangan gonad. Faktor kondisi juga dipengaruhi oleh indeks relatif penting makanan dan pada ikan betina dipengaruhi oleh indeks kematangan gonad. Ikan yang cenderung menggunakan cadangan lemaknya sebagai sumber tenaga selama proses pemijahan, sehingga akibatnya ikan akan mengalami penurunan faktor kondisi. Faktor kondisi juga akan meningkat apabila kepadatan populasi berkurang sehingga kompetisi dalam mencari makan juga rendah (Effendie 1979). Gambar 7. Grafik nilai tengah faktor kondisi

43 Sebaran Frekuensi Panjang Sebaran ukuran panjang ikan cakalang selama pengamatan disajikan pada Gambar 8. Untuk panjang yang digunakan yaitu panjang cagak. Ikan cakalang yang diamati selama penelitian sebanyak 622 ekor. Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat bahwa terdapat pergeseran sebaran ukuran panjang. Pada tanggal 9 Maret 2010 panjang ikan cakalang terletak pada selang kelas sampai dengan frekuensi tertinggi pada selang kelas Pada tanggal 23 Maret 2010 panjang ikan cakalang terletak pada selang kelas sampai dengan frekuensi tertinggi pada selang kelas Pada tanggal 6 April 2010 panjang ikan cakalang terletak pada selang kelas sampai dengan frekuensi tertinggi pada selang kelas Pada tanggal 20 April panjang ikan cakalang terletak pada selang kelas sampai dengan frekuensi tertinggi pada selang kelas Pada tanggal 4 Mei 2010 panjang ikan cakalang terletak pada selang kelas sampai dengan frekuensi tertinggi pada selang kelas Pada tanggal 18 Mei 2010 panjang ikan cakalang terletak pada selang kelas sampai dengan frekuensi tertinggi pada selang kelas Pergeseran selang ukuran panjang ikan ke arah kanan dari tanggal 9 Meret 2010 sampai dengan 6 April 2010 dapat dijadikan sebagai indikasi adanya pertumbuhan ikan cakalang. Namun selang kelas pada tanggal 20 April 2010 sampai dengan tanggal 4 Mei 2010 mengalami pergeseran ke arah kiri, hal ini dapat diduga karena adanya rekruitmen ikan cakalang sehingga masuknya individu baru yang membentuk kelompok ukuran panjang yang baru. Selanjutnya pada sampling terakhir tanggal 18 Mei 2010 selang kelas panjang kembali bergeser ke arah kanan, hal ini diduga karena adanya aktivitas migrasi. Ikan cakalang dapat hidup nyaris di semua lautan yang ada di muka bumi ini karena itulah dapat dikatakan bahwa ikan cakalang termasuk jenis oseanodrom (hidup dan beruaya atau bermigrasi di lautan). Cakalang sering membentuk gerombolan untuk melakukan ruaya atau migrasi jarak jauh dengan melawan arus (

44 Gambar 8. Sebaran frekuensi panjang ikan cakalang 30

45 Kelompok Ukuran Kelompok ukuran adalah sekelompok individu ikan dari jenis yang sama dan berasal dari tempat pemijahan yang sama. Hasil analisis pemisahan kelompok ukuran ikan cakalang dengan menggunkan NORMSEP disajikan pada Gambar 9. 9 Maret 2010 N = Maret 2010 N = April 2010 N = April 2010 N = Mei 2010 N = Mei 2010 N = 109 Gambar 9. Kelompok ukuran ikan cakalang

46 32 Dari Gambar 9 dapat dilihat pada tanggal 9 Maret 2010 terdapat tiga kelompok ukuran ikan cakalang. Sedangkan pada tanggal 23 Maret 2010, 6 April 2010, 18 Mei 2010 terdapat dua kelompok ukuran dan pada tanggal 20 April 2010, 4 Mei 2010 hanya terdapat satu kelompok ukuran ikan cakalang. Dari hasil analisis kelompok ukuran ikan cakalang diperoleh nilai tengah dan indeks separasi seperti yang disajikan pada Tabel 4. Secara keseluruhan dapat dilihat kelompok ukuran pertama memiliki nilai tengah panjang cagak pada 307,70-513,13 mm, kelompok ukuran kedua memiliki nilai tengah panjang cagak pada 363,70-583,49 dan kelompok ukuran ketiga ikan cakalang memiliki nilai tengah panjang cagak sebesar 403,07 mm. Tabel 4. Nilai tengah panjang cagak setiap kelompok ukuran ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) pada setiap pengamatan Tanggal Nilai tengah Standar Deviasi Jumlah Populasi 307,71±16,46 16, Maret 2010 Indeks Separasi 363,7±14,27 14, ,64 403,07±7,84 7, ,56 23 Maret ±11,47 11, ,53±15,88 15, ,35 06 April ,49±15,38 15, ,81±17,7 17,7 43 3,77 20 April ,38±12,13 12, Mei ,65±17,70 17, Mei ,13±23,65 23, ,49±5,44 5, ,84 Kelompok ukuran pertama ikan cakalang hampir dapat ditemukan disetiap pengamatan, namun untuk kelompok ukuran kedua dan ketiga (kelompok ukuran yang lebih besar) ikan cakalang tidak ditemukan disetiap pengamatan (Tabel 4). Hal ini diduga oleh adanya aktivitas migrasi (mengikuti populasi yang baru). Ikan cakalang sering bergerombol dan melakukaan ruaya secara hampir bersamaan (FAO 1983). Selain itu hal ini juga diduga karena terjadinya mortalitas alami dan mortalitas penangkapan. Mortalitas dapat terjadi karena berbagai sebab selain penangkapan seperti pemangsaan, penyakit, stres pemijahan, kelaparan dan usia tua (Sparre & Venema 1999). Indeks separasi merupakan kuantitas yang relevan terhadap studi bila dilakukan kemungkinan bagi suatu pemisahan yang berhasil dari dua komponen yang

47 33 berdekatan, bila indeks separasi kurang dari dua (I<2) maka tidak mungkin dilakukan pemisahan di antara dua kelompok ukuran karena terjadi tumpang tindih yang besar antar kelompok ukuran tersebut (Hasselblad 1969, McNew & Summerflat 1978 dan Clark 1981 in Sparre & Venema 1999). Berdasarkan hasil pemisahan kelompok ukuran ikan cakalang. Bahwa nilai indeks separasi antar kelompok ukuran ikan cakalang yaitu sebesar 3,56-4,84. Hal ini berarti pemisahan kelompok ukuran ikan cakalang dapat diterima karena nilai I> Pertumbuhan Jumlah contoh ikan yang digunakan dalam analisis paremeter pertumbuhan sebanyak 622 ekor. Berikut adalah hasil analisis parameter pertumbuhan ikan cakalang yang disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Parameter pertumbuhan K, L, t 0 ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) yang didaratkan di PPN Palabuhanratu Parameter Nilai K (per tahun) 0,17 L 662,03 t 0 (per tahun) -0,6909 Berdasarkan hasil analisis parameter pertumbuhan (K dan L ) dengan menggunakan Metode ELEFAN 1 dalam program FiSAT II parameter pertumbuhan ikan cakalang diperoleh nilai K sebesar 0,17 per tahun dan nilai L sebesar 662,03 mm. Kemudian nilai t 0 ikan cakalang yang didapat secara empiris sebesar -0,6909 per tahun. Ikan yang memiliki nilai K yang kecil akan memiliki nilai L yang besar, dan sebaliknya. Ikan cakalang memiliki nilai K yang kecil yang berati memiliki laju pertumbuhan yang lambat dan memiliki umur panjang dalam mendekati L. Tabel 6. Parameter pertumbuhan ikan cakalang dari dua lokasi penelitian Sumber Lokasi L (mm) Mayangsoka (2010) Fadhilah (2010) Samudera Hindia Barat Teluk Palabuhanratu dan sekitarnya Koefisien pertumbuhan (K) per tahun Periode pengambilan data 591,15 0,41 Maret-Mei ,03 0,17 Maret-Mei 2010

48 34 Berdasarkan parameter pertumbuhan yang di dapat oleh Mayangsoka (2010) untuk L sebesar 591,15 mm dengan K 0,41 per tahun sedangkan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan L sebesar 662,03 mm dengan K 0,17 per tahun. Semakin besar nilai K maka semakin cepat ikan mendekati L, sehingga nilai L semakin kecil (Tabel 6). Perbedaan nilai parameter pertumbuhan tersebut dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam meliputi faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dari ikan itu sendiri, seperti genetik ikan cakalang, umur, parasit, dan penyakit. Sedangkan faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan antara lain jumlah dan ukuran makanan yang tersedia serta kondisi lingkungan perairan (Effendie 1997). Selain itu perbedaan nilai L dan K diduga karena perbedaan panjang maksimum ikan yang diperoleh ketika pengambilan contoh, lokasi penangkapan, jumlah contoh yang diambil, dan juga disebabkan oleh stok dan rekruitmennya yang berbeda. Pada Gambar 10 disajikan kurva pertumbuhan ikan cakalang dengan memplotkan umur (bulan) pada sumbu x dan panjang teoritis mm (panjang cagak) pada sumbu y sampai dengan ikan berumur 96 bulan. Kurva di bawah ini menggambarkan laju pertumbuhan ikan cakalang, ikan cakalang yang memiliki umur muda memiliki laju pertumbuhan lebih cepat dibandingkan dengan ikan cakalang yang memiliki umur tua (mendekati L ). Dari kurva tersebut juga dapat dilihat waktu yang dibutuhkan ikan cakalang untuk mendekati L sebesar 662,03 mm yaitu 96 bulan (±8 tahun), sedangkan panjang cagak maksimum ikan cakalang yang diamati yaitu sebesar 635 mm. L Gambar 10. Kurva pertumbuhan ikan cakalang

49 Mortalitas dan Laju Eksploitasi Mortalitas yang dihitung adalah laju mortalitas total (Z), laju mortalitas alami (M) dan juga laju mortalitas penangkapan (F). Mortalitas alami adalah mortalitas yang terjadi karena berbagai sebab selain penangkapan seperti pemangsaan, penyakit, stres pemijahan, dan usia tua (Sparre & Venema 1999). Laju mortalitas total (Z) adalah penjumlahan laju mortalitas penangkapan (F) dan laju mortalitas alami (M). Hasil analisis dugaan laju mortalitas dan laju eksploitasi disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) yang didaratkan di PPN Palabuhanratu Mortalitas Total (Z) 3,2390 Alami (M) 0,1934 Penangkapan (F) 3,0456 Laju Eksploitasi (E) 0,94 Nilai (per tahun) Laju mortalitas total ikan cakalang (Z) yaitu sebesar 3,2390 per tahun, laju mortalitas alami (M) 0,1934 dan laju mortalitas penangkapan (F) sebesar 3,0456. Mortalitas alami dipengaruhi oleh predator, penyakit, dan usia. Selain itu menurut Pauly (1980) in Sparre & Venema (1999) bahwa faktor lingkungan yang mempengaruhi laju mortalitas alami yaitu suhu rata-rata perairan, selain itu panjang maksimum (L ) dan laju pertumbuhan (K). Jika dibandingkan nilai mortalitas penangkapan lebih besar dari nilai mortalitas alami. Perbandingan nilai mortalitas penangkapan (F) dengan nilai mortalitas total (Z) menghasilkan nilai laju eksploitasi (E). Laju eksploitasi ikan cakalang yang didapat sebesar 0,94 artinya 94% kematian ikan cakalang diakibatkan oleh penangkapan. Gulland (1971) in Pauly (1984) menduga bahwa stok yang dieksploitasi optimal maka laju mortalitas penangkapan (F) akan sama dengan laju mortalitas alami (M) atau laju eksploitasi (E) sama dengan 0,5 ( F optimum = M atau E optimum = 0,5). Dibandingkan dengan laju eksploitasi optimum, laju eksploitasi ikan cakalang sudah melebihi nilai optimum tersebut. Nilai ini dapat mengindikasikan adanya penangkapan yang tinggi dan berlebih (overfishing) terhadap ikan cakalang. Dengan tingginya penangkapan tersebut mengakibatkan nilai panjang maksimum ikan cakalang yang tertangkap lebih kecil.

50 36 Selain itu data hasil tangkapan ikan cakalang juga dapat dijadikan indikasi laju eksploitasi yang telah melebihi nilai optimum. Pada grafik produksi ikan cakalang tahun tersebut dapat dilihat terjanya penurunan produksi disetiap tahunnya (Gambar 11). Gambar 11. Grafik produksi ikan cakalang tahun Sumber : PPN Palabuhanratu Alternatif Rencana Pengelolaan Pengelolaan sumberdaya perikanan saat ini menuntut perhatian penuh dikarenakan oleh semakin meningkatnya tekanan eksploitasi terhadap berbagai stok ikan dan meningkatnya kesadaran dan kepedulian umum untuk memanfaatkan lingkungannya secara bijaksana, yakni dengan upaya pembangunan secara berkelanjutan. Dari hasil analisis dapat diketahui bahwa sudah terjadi overfishing (tangkap lebih) terhadap populasi ikan cakalang karena laju eksploitasi ikan cakalang yang didapat sebesar 0,94 melebihi laju eksploitasi optimum sebesar 0,5. Hal ini didukung oleh hasil tangkapan ikan cakalang yang menurun setiap tahunnya. Bentuk overfishing tersebut ialah growth overfishing, karena selama pengambilan contoh tiga bulan frekuensi tertinggi ikan yang tertangkap berada pada selang kelas 31,6-32,5 cm, dimana ukuran ini lebih kecil dari ukuran pertaman kali ikan cakalang matang gonad yaitu cm ( Pada Gambar 12 terlihat bahwa ikan-ikan yang ditangkap oleh nelayan masih kecil-kecil dan belum sempat tumbuh mencapai ukuran dimana peningkatan lebih lanjut dari pertumbuhan akan mampu membuat seimbang dengan penyusutan stok (Widodo & Suadi 2006). Adapun pencegahan terhadap growth overfishing yaitu meliputi pembatasan upaya penangkapan, pengalihan atau perluasan daerah penangkapan, dan penutupan

51 37 musim (Widodo & Suadi 2006). Pembatasan upaya penangkapan, yaitu dengan pengaturan ukuran mata pancing dan tidak menambah armada. Mata pancing yang digunakan sebaiknya tidak berukuran 9, melainkan berukuran 4 agar ikan-ikan cakalang yang tertangkap berukuran besar. Pengalihan atau perluasan daerah penangkapan dan penutupan musim penangkapan yaitu dengan cara mencarikan daerah perikanan baru di tempat lain yang tidak mengalami overfishing. Karena hal ini menyangkut dengan kehidupan para nelayan. Para nelayan tidak bisa menunggu sampai ikan-ikan kembali banyak, karena mereka membutuhkan biaya untuk kehidupannya. Penelitian berlangsung dari bulan Maret-Mei 2010, sedangkan musim penangkapan ikan cakalang berkisar pada bulan Juni-Oktober dengan puncaknya pada bulan Agustus-September. Dapat disimpulkan bahwa selama penelitian belum masuk pada musim penangkapan ikan cakalang, sehingga ikan-ikan yang didapat berukuran kecil-kecil dan belum mencapai ukuran pertama kali matang gonad. Sehingga sebaikanya pada bulan-bulan tersebut dilakukan penutupan musim penangkapan agar ikan-ikan tersebut diberi kesempatan untuk tumbuh. Namun peran serta dan kesadaran para pelaku perikanan dalam upaya pengelolaan perikanan cakalang juga sangat dibutuhkan untuk menciptakan pemanfaatan sumberdaya ikan cakalang yang berkelanjutan. Gambar 12. Grafik persentase ukuran ikan cakalang yang belum dan mencapai ukuran pertama kali matang gonad

52 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini yaitu : 1. Pola pertumbuhan ikan cakalang yang didaratkan di PPN Palabuhanratu bersifat allometrik positif dengan persamaan pertumbuhan von Bertalanffy adalah L t = 662,03(1-e -0,17(t+0,6909) ). 2. Laju mortalitas total (Z) ikan cakalang sebesar 3,2390 dengan mortalitas alami (M) sebesar 0,1934, mortalitas penangkapan (F) sebesar 3,0456 serta laju eksploitasi sebesar 0,94, dari hasil analisis tersebut menunjukkan telah terjadi overfishing (laju eksploitasi ikan cakalang melebihi laju eksploitasi optimum), yaitu growth overfishing. 3. Alternatif pengelolaan yang disarankan yaitu pembatasan upaya penangkapan, pengalihan atau perluasan daerah penangkapan dan penutupan musim penangkapan Saran Alternatif pengelolaan sumberdaya ikan cakalang yang disarankan yaitu dengan pembatasan upaya penangkapan, pengalihan atau perluasan daerah penangkapan dan penutupan musim penangkapan. Kemudian untuk lebih merealisasikan hal tersebut sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan mengenai pola migrasi dan pola rekruitment agar dapat menduga musim pemijahan sehingga musim penangkapan dapat diketahui, serta penelitian lanjutan mengenai bioekonomi dan stok ikan cakalang agar kelestarian perikanan cakalang tetap terjaga.

53 DAFTAR PUSTAKA Busacker GP, Adelman IR & Goolish EM Growth. P in Schreck, C. B and P. B. Moyle (editor), Methods for Fish Biology. American Fisheries Society, Maryland. USA. [Ditjen Tangkap-DKP] Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Statistik perikanan pelabuhan perikanan nusantara palabuhanratu tahun PPN Palabuhanratu. Sukabumi. [Ditjen Tangkap-DKP] Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Statistik perikanan pelabuhan perikanan nusantara palabuhanratu tahun PPN Palabuhanratu. Sukabumi. [Ditjen Tangkap-DKP] Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Statistik perikanan pelabuhan perikanan nusantara palabuhanratu tahun PPN Palabuhanratu. Sukabumi. 77 hlm. [Ditjen Tangkap-DKP] Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Statistik perikanan pelabuhan perikanan nusantara palabuhanratu tahun PPN Palabuhanratu. Sukabumi. 81 hlm. [Ditjen Tangkap-DKP] Rencana induk pengelolaan dan pengembangan pelabuhan perikanan nusantara palabuhanratu. Jakarta. Effendie MI Metoda biologi perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112 hlm. Effendie MI Biologi perikanan.yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 163 hlm. Effendi H Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumberdaya dan lingkungan perairan. Kanisius. Yogyakarta. 258 hlm. [FAO] Food and Agriculture Organization FAO spesies catalogue, Scombrids of the world, An annotated and illustrated catalogue of tuna, mackerels, bonitos and related spesies known to date, Volume 2. Synop. 125 (2) : Gunarso W Tingkah laku ikan dalam hubungannya dengan alat, metode dan taktik penangkapan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 149 hlm. Kharat SS, Khillare YK & Dahanukar N Allometric scallingin growth and reproduction of a freshwater loach Nemacheilus mooreh (Sykes 1839). Electric Journal of Ichtiology, Volume 1 : April, p (terhubung berkala). http//ichtiology.tau.ac.id/(25 Mei 2010). King M Fishery biology, assessment, and management. Fishing News Books. London. 341p.

54 40 Mayangsoka ZA Aspek biologi dan ketidakpastian perikanan cakalang (Katsuwonus pelamis) yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 82 hlm. Mukhtar Pantai Kulisusu Buton Utara merupakan tempat pemijahan ikan cakalang. [terhubung berkala]. [23 Juli 2010]. Musida Faktor-faktor ruaya ikan. [terhubung berkala]. [7 Agustus 2010]. Pauly D Fish population dynamic in tropical waters : a manual for use with programmable calculators. ICLARM Manila. 325p. Reinnamah R Migrasi ikan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. [terhubung berkala]. blogspot.com [5 Agustus 2010]. Saanin H Taksonomi dan kunci identifikasi ikan volume I dan II. Bina Cipta. Jakarta. 508 hlm. Sparre P & Venema SC Introduksi pengkajian stok ikan tropis buku-i manual (Edisi Terjemahan). Kerjasama Organisasi Pangan, Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. 438 hlm. Sudirman & Mallawa A Teknik penangkapan ikan. Rineka Cipta. Jakarta 168 hlm. Suhana Laporan perkembangan ekonomi perikanan Indonesia triwulan [terhubung berkala]. [7 Agustus 2010]. Tutupoho SNE Pertumbuhan ikan motan (Thynnichthys thynnoides Bleeker, 1852) di Rawa Banjiran Sungai Kampar Kiri, Riau [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 45 hlm. Uktolseja, JBC Estimates growth parameters and migrations of skpijack tuna (Katsuwonus pelamis), in the Eastern Indonesian waters through tagging experiments. Jurnal penelitian perikanan laut. 43: Wahyudin Y Karakteristik sumberdaya pesisir dan laut kawasan teluk palabuhanratu kabupaten Sukabumi [makalah]. Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 33 hlm. Walpole RE Pengantar statistika, Edisi ke-3. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 515 hlm. Widiyanto IN Kajian pola pertumbuhan dan ciri morfometrik-meristik beberapa spesies ikan layur (Superfamili Trichiuroidea) di perairan Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat. [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 81 hlm.

55 41 Widodo J & Suadi Pengelolaan sumberdaya perikanan laut. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 252 hlm. Cakalang. [terhubung berkala]. bleekeria&speciesname=splendens [13 Februari 2010]. www. veteriania.blogspot. com. Suhu. [terhubung berkala] Agustus 2010]. Ruaya Katsuwonus pelamis. [terhubung berkala] [5 Agustus 2010].

56 LAMPIRAN

57 43 Lampiran 1. Alat-alat dan bahan yang digunakan Gambar 1. Meteran Gambar 2. Timbangan digital Gambar 3. Kamera digital Gambar 4. Ikan cakalang

58 44 Lampiran 2. Data yang diambil di PPN Palabuhanratu Gambar 5. Bobot basah ikan cakalang Gambar 6. Panjang cagak ikan cakalang

59 45 Lampiran 3. Alat tangkap ikan cakalang Gambar 7. Alat tangkap pancing tonda Gambar 8. Mata pancing dan umpan buatan

60 46 Lampiran 4. Proses pembongkaran ikan cakalang di PPN Palabuhanratu Gambar 9. Pemilihan ikan cakalang dari palka Gambar 10. Ikan cakalang dimasukkan ke dalam blong Gambar 11. Penimbangan blong

61 47 Lampiran 5. Kuesioner nelayan cakalang Hari/Tanggal : Kode Nelayan : Nama Nelayan : Usia : Jenis Alat Tangkap : Spesifikasi Panjang : Lebar : Panjang : Jumlah Mata Pancing : Daerah Penangkapan : Biaya Operasional : Jumlah ABK : Lamanya Trip : Info Lain :

62 48 Lampiran 6. Data panjang cagak dan bobot basah ikan cakalang Sampling 1 Sampling 2 Sampling 3 Sampling 4 Sampling 5 Sampling 6 B(gr) PC (mm) B (gr) PC (mm) B (gr) PC (mm) B(gr) PC (mm) B (gr) PC (mm) B (gr) PC (mm)

63 49 Lampiran 6 (lanjutan) Sampling 1 Sampling 2 Sampling 3 Sampling 4 Sampling 5 Sampling 6 B(gr) PC (mm) B (gr) PC (mm) B (gr) PC (mm) B(gr) PC (mm) B (gr) PC (mm) B (gr) PC (mm)

64 50 Lampiran 6 (lanjutan) Sampling 1 Sampling 2 Sampling 3 Sampling 4 Sampling 5 Sampling 6 B(gr) PC (mm) B (gr) PC (mm) B (gr) PC (mm) B(gr) PC (mm) B (gr) PC (mm) B (gr) PC (mm)

65 51 Lampiran 6 (lanjutan) Sampling 1 Sampling 2 Sampling 3 Sampling 4 Sampling 5 Sampling 6 B(gr) PC (mm) B (gr) PC (mm) B (gr) PC (mm) B(gr) PC (mm) B (gr) PC (mm) B (gr) PC (mm)

66 52 Lampiran 7. Uji statistik nilai b hubungan panjang bobot ikan cakalang yang di daratkan di PPN Palabuhanratu pada seluruh pengamatan H 0 : b = 3 H 1 : b 3 SUMMARY OUTPUT Statistik regresi r 0,9895 R 0,97 Tabel sidik ragam df Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F hitung F tabel Regresi 1 48, , , Sisa 620 1,0326 0,0017 Total ,6558 Simpangan baku Intercep (a) -5,3512 0,0480 Slope (b) 3,1982 0,0187 = 10,5888 t tab = t (0,025;620) = 2,2469 t hit > t tab maka tolak H 0 (hipotesis nol) nilai b 3, maka hubungan panjang dan bobot adalah allometrik positif, pertumbuhan bobot lebih cepat daripada pertumbuhan panjang.

67 53 Lampiran 8. Grafik hubungan panjang bobot ikan cakalang yang di daratkan di PPN Palabuhanratu pada setiap pengamatan 9 Maret 2010 n = Maret 2010 n = April 2010 n = 101

68 54 Lampiran 8 (lanjutan) 20 April 2010 n = Mei 2010 n = Mei 2010 n = 109 Gambar 12. Hubungan panjang bobot ikan cakalang pada setiap pengamatan

69 55 Lampiran 9. Sebaran frekuensi panjang dengan metode NORMSEP yang dikemas dalam program FiSAT II pada pengambilan contoh 1 a. Sebaran frekuensi panjang Selang kelas BB BA xi fi ,5 245,5 240, ,5 255,5 250, ,5 265,5 260, ,5 275,5 270, ,5 285,5 280, ,5 295,5 290, ,5 305,5 300, ,5 315,5 310, ,5 325,5 320, ,5 335,5 330, ,5 345,5 340, ,5 355,5 350, ,5 365,5 360, ,5 375,5 370, ,5 385,5 380, ,5 395,5 390, ,5 405,5 400, ,5 415,5 410, ,5 425,5 420, ,5 435,5 430, ,5 445,5 440, ,5 455,5 450, ,5 465,5 460, ,5 475,5 470, ,5 485,5 480, ,5 495,5 490, ,5 505,5 500, ,5 515,5 510, ,5 525,5 520, ,5 535,5 530, ,5 545,5 540, ,5 555,5 550, ,5 565,5 560, ,5 575,5 570, ,5 585,5 580, ,5 595,5 590, ,5 605,5 600, ,5 615,5 610, ,5 625,5 620, ,5 635,5 630,5 0 Keterangan : BB = batas bawah; xi = nilai tengah BA = batas atas ; fi = frekuensi

70 56 Lampiran 9 (lanjutan) b. Print screen sebaran frekuensi panjang menggunakan metode NORMSEP dengan program FiSAT II pada pengambilan contoh 1

71 57 Lampiran 10. Sebaran frekuensi panjang dengan metode NORMSEP yang dikemas dalam program FiSAT II pada pengambilan contoh 2 a. Sebaran frekuensi panjang Selang kelas BB BA xi fi ,5 245,5 240, ,5 255,5 250, ,5 265,5 260, ,5 275,5 270, ,5 285,5 280, ,5 295,5 290, ,5 305,5 300, ,5 315,5 310, ,5 325,5 320, ,5 335,5 330, ,5 345,5 340, ,5 355,5 350, ,5 365,5 360, ,5 375,5 370, ,5 385,5 380, ,5 395,5 390, ,5 405,5 400, ,5 415,5 410, ,5 425,5 420, ,5 435,5 430, ,5 445,5 440, ,5 455,5 450, ,5 465,5 460, ,5 475,5 470, ,5 485,5 480, ,5 495,5 490, ,5 505,5 500, ,5 515,5 510, ,5 525,5 520, ,5 535,5 530, ,5 545,5 540, ,5 555,5 550, ,5 565,5 560, ,5 575,5 570, ,5 585,5 580, ,5 595,5 590, ,5 605,5 600, ,5 615,5 610, ,5 625,5 620, ,5 635,5 630,5 0 Keterangan : BB = batas bawah ; xi = nilai tengah BA = batas atas ; fi = frekuensi

72 58 Lampiran 10 (lanjutan) b. Print screen sebaran frekuensi panjang menggunakan metode NORMSEP dengan program FiSAT II pada pengambilan contoh 2

73 59 Lampiran 11. Sebaran frekuensi panjang dengan metode NORMSEP yang dikemas dalam program FiSAT II pada pengambilan contoh 3 a. Sebaran frekuensi panjang Selang kelas BB BA xi fi ,5 245,5 240, ,5 255,5 250, ,5 265,5 260, ,5 275,5 270, ,5 285,5 280, ,5 295,5 290, ,5 305,5 300, ,5 315,5 310, ,5 325,5 320, ,5 335,5 330, ,5 345,5 340, ,5 355,5 350, ,5 365,5 360, ,5 375,5 370, ,5 385,5 380, ,5 395,5 390, ,5 405,5 400, ,5 415,5 410, ,5 425,5 420, ,5 435,5 430, ,5 445,5 440, ,5 455,5 450, ,5 465,5 460, ,5 475,5 470, ,5 485,5 480, ,5 495,5 490, ,5 505,5 500, ,5 515,5 510, ,5 525,5 520, ,5 535,5 530, ,5 545,5 540, ,5 555,5 550, ,5 565,5 560, ,5 575,5 570, ,5 585,5 580, ,5 595,5 590, ,5 605,5 600, ,5 615,5 610, ,5 625,5 620, ,5 635,5 630,5 0 Keterangan : BB = batas bawah ; xi = nilai tengah BA = batas atas ; fi = frekuensi

74 60 Lampiran 11 (lanjutan) b. Print screen sebaran frekuensi panjang menggunakan metode NORMSEP dengan program FiSAT II pada pengambilan contoh 3

75 61 Lampiran 12. Sebaran frekuensi panjang dengan metode NORMSEP yang dikemas dalam program FiSAT II pada pengambilan contoh 4 a. Sebaran frekuensi panjang Selang kelas BB BA xi fi ,5 245,5 240, ,5 255,5 250, ,5 265,5 260, ,5 275,5 270, ,5 285,5 280, ,5 295,5 290, ,5 305,5 300, ,5 315,5 310, ,5 325,5 320, ,5 335,5 330, ,5 345,5 340, ,5 355,5 350, ,5 365,5 360, ,5 375,5 370, ,5 385,5 380, ,5 395,5 390, ,5 405,5 400, ,5 415,5 410, ,5 425,5 420, ,5 435,5 430, ,5 445,5 440, ,5 455,5 450, ,5 465,5 460, ,5 475,5 470, ,5 485,5 480, ,5 495,5 490, ,5 505,5 500, ,5 515,5 510, ,5 525,5 520, ,5 535,5 530, ,5 545,5 540, ,5 555,5 550, ,5 565,5 560, ,5 575,5 570, ,5 585,5 580, ,5 595,5 590, ,5 605,5 600, ,5 615,5 610, ,5 625,5 620, ,5 635,5 630,5 0 Keterangan : BB = batas bawah ; xi = nilai tengah BA = batas atas ; fi = frekuensi

76 62 Lampiran 12 (lanjutan) b. Print screen sebaran frekuensi panjang menggunakan metode NORMSEP dengan program FiSAT II pada pengambilan contoh 4

77 63 Lampiran 13. Sebaran frekuensi panjang dengan metode NORMSEP yang dikemas dalam program FiSAT II pada pengambilan contoh 5 a. Sebaran frekuensi panjang Selang kelas BB BA xi fi ,5 245,5 240, ,5 255,5 250, ,5 265,5 260, ,5 275,5 270, ,5 285,5 280, ,5 295,5 290, ,5 305,5 300, ,5 315,5 310, ,5 325,5 320, ,5 335,5 330, ,5 345,5 340, ,5 355,5 350, ,5 365,5 360, ,5 375,5 370, ,5 385,5 380, ,5 395,5 390, ,5 405,5 400, ,5 415,5 410, ,5 425,5 420, ,5 435,5 430, ,5 445,5 440, ,5 455,5 450, ,5 465,5 460, ,5 475,5 470, ,5 485,5 480, ,5 495,5 490, ,5 505,5 500, ,5 515,5 510, ,5 525,5 520, ,5 535,5 530, ,5 545,5 540, ,5 555,5 550, ,5 565,5 560, ,5 575,5 570, ,5 585,5 580, ,5 595,5 590, ,5 605,5 600, ,5 615,5 610, ,5 625,5 620, ,5 635,5 630,5 0 Keterangan : BB = batas bawah ; xi = nilai tengah BA = batas atas ; fi = frekuensi

78 64 Lampiran 13 (lanjutan) b. Print screen sebaran frekuensi panjang menggunakan metode NORMSEP dengan program FiSAT II pada pengambilan contoh 5

79 65 Lampiran 14. Sebaran frekuensi panjang dengan metode NORMSEP yang dikemas dalam program FiSAT II pada pengambilan contoh 6 a. Sebaran frekuensi panjang Selang kelas BB BA xi fi ,5 245,5 240, ,5 255,5 250, ,5 265,5 260, ,5 275,5 270, ,5 285,5 280, ,5 295,5 290, ,5 305,5 300, ,5 315,5 310, ,5 325,5 320, ,5 335,5 330, ,5 345,5 340, ,5 355,5 350, ,5 365,5 360, ,5 375,5 370, ,5 385,5 380, ,5 395,5 390, ,5 405,5 400, ,5 415,5 410, ,5 425,5 420, ,5 435,5 430, ,5 445,5 440, ,5 455,5 450, ,5 465,5 460, ,5 475,5 470, ,5 485,5 480, ,5 495,5 490, ,5 505,5 500, ,5 515,5 510, ,5 525,5 520, ,5 535,5 530, ,5 545,5 540, ,5 555,5 550, ,5 565,5 560, ,5 575,5 570, ,5 585,5 580, ,5 595,5 590, ,5 605,5 600, ,5 615,5 610, ,5 625,5 620, ,5 635,5 630,5 2 Keterangan : BB = batas bawah ; xi = nilai tengah BA = batas atas ; fi = frekuensi

80 66 Lampiran 14 (lanjutan) b. Print screen sebaran frekuensi panjang menggunakan metode NORMSEP dengan program FiSAT II pada pengambilan contoh 6

81 67 Lampiran 15. Faktor kondisi (FK) ikan cakalang setiap pengamatan FK 1 FK 2 FK 3 FK 4 FK 5 FK 6 1,1260 0,9439 1,3616 1,3846 1,3810 1,0783 1,0061 0,9260 1,4794 1,3446 1,1822 1,0352 1,0828 0,9517 1,3270 1,3010 1,2728 1,0404 0,9755 0,9812 1,4473 1,2696 1,4973 1,0060 1,0882 0,8894 1,4062 1,2636 1,3257 1,0508 1,0284 0,9336 1,6008 1,2403 1,2342 1,0232 1,0594 0,9552 1,7075 1,2260 1,3199 1,0924 1,1258 0,9975 1,3879 1,2520 1,4802 1,0935 0,9975 0,9904 1,6435 1,3566 1,2998 1,1119 1,1250 0,9637 1,5067 1,3823 1,2654 1,2293 1,0870 0,9869 1,3616 1,3721 1,3816 1,0543 1,1806 1,0215 1,6360 1,5222 1,2923 1,0827 1,0593 0,9318 1,2520 1,4777 1,4414 1,2057 1,1710 0,8912 1,6032 1,4352 1,6296 1,0991 1,1037 0,9257 1,3075 1,3616 1,4214 1,0860 0,9651 1,0639 1,4481 1,8513 1,4214 1,0515 1,0223 0,8775 1,5815 1,3054 1,9437 1,0033 1,0516 1,0289 1,9279 1,2999 1,4214 0,6975 1,0469 0,9852 1,4379 1,3528 1,4214 0,9582 1,0928 0,9911 1,3840 1,2772 1,4214 1,1302 1,1072 1,0631 1,4807 1,2667 1,4214 1,0845 1,0758 1,0807 1,2935 1,2593 1,4214 1,0723 1,1064 0,8476 1,5402 1,2704 1,4083 1,1043 1,1382 0,9038 1,4768 1,2541 1,4054 1,0450 1,0865 1,0937 1,4833 1,4338 1,3525 1,1095 1,0402 1,1329 1,5845 1,5817 1,3826 1,1780 1,2134 1,0543 1,4956 1,4199 1,4461 0,9505 1,1044 0,9957 1,1774 1,3840 1,3899 1,0785 1,1271 0,9572 1,3998 1,6284 1,1611 0,9905 1,0877 0,8852 1,3040 1,7164 1,3574 1,0272 1,1824 1,0240 1,4960 1,3686 1,4720 1,0481 1,1402 0,9826 1,4545 1,3548 1,4720 1,1744 1,1379 0,9807 1,3373 1,2545 1,4386 1,2130 1,1548 0,8371 1,5485 1,3993 1,2698 1,0562 1,1732 1,0877 1,3821 1,3403 1,2698 1,0767 1,0848 0,9559 1,3656 1,3469 1,2960 1,0806 1,1000 1,0561 1,3278 1,6349 1,2586 1,1489 1,1403 1,1248 1,3123 1,4736 1,4580 1,0703 1,3116 0,9092 1,4343 1,4800 1,4580 1,1412 1,2748 0,9717 1,1963 1,4647 1,4580 1,0551 1,2663 0,9380 1,5167 1,2439 1,4580 1,1565 1,0595 0,9733 1,2238 1,3589 1,4400 1,0660 1,0559 0,9931 1,7203 1,3652 1,5042 1,1054 1,1331 1,0046 1,3539 1,4553 1,2212 0,9467 1,0975 1,1896 1,4125 1,3341 1,3866 0,9889 1,1706 1,0014 1,2731 1,5331 1,3459 1,0402 1,1688 0,9434 1,4759 1,5891 1,3739 1,2013 1,0811 0,9880 1,8935 1,4355 1,3224 1,1440 1,0255 0,8830 1,3248 1,1383 1,8874 1,1066 1,1177 1,1505 1,3699 1,3635 1,6058 1,0575

82 68 Lampiran 15 (lanjutan) FK 1 FK 2 FK 3 FK 4 FK 5 FK 6 1,1329 1,0116 1,4778 1,1810 1,6058 1,0500 1,1595 1,0063 1,4056 1,2849 1,3084 1,0785 1,2546 1,0882 1,3291 1,5186 1,4420 1,0416 1,1018 0,9941 1,1654 1,3898 1,4271 1,0307 1,1907 1,1141 1,3704 1,4527 1,4171 1,0842 1,1002 1,1040 1,6055 1,3829 1,5644 1,0099 1,1632 1,0319 1,4968 1,4877 1,3157 1,1932 1,0907 0,9733 1,4888 1,0895 1,4049 1,0540 1,2025 0,9399 1,4044 0,9817 1,3044 1,0885 1,2453 0,9112 1,4099 1,5061 1,4049 1,0720 1,0214 1,2224 1,3264 1,3138 1,4049 1,1612 1,0947 1,0899 1,5044 1,3421 1,4049 1,1490 1,2105 1,0452 1,6088 1,2671 1,4049 1,0320 1,1703 1,0094 1,5440 1,5182 1,6227 1,0974 0,9884 0,8884 1,7760 1,1805 1,2932 1,0268 1,1559 1,1029 1,3135 1,2555 1,2932 1,2544 1,1299 0,9221 1,4376 1,3404 1,3003 1,1084 1,0858 1,0605 1,5339 1,3234 1,2932 1,0974 1,1378 0,9756 1,4163 1,4434 1,7459 1,0974 1,1196 1,0034 1,5459 1,3704 1,2335 1,0691 1,2234 0,9271 1,4797 1,3346 1,4858 1,1327 1,0066 0,9613 1,2966 1,2898 1,3459 1,0196 1,1283 0,9651 1,3099 1,3062 1,4858 1,1259 1,1497 1,0874 1,1780 1,4346 1,4732 1,0088 1,0432 0,9317 1,5283 1,3193 1,4732 1,0905 1,1623 1,0141 1,5072 1,1970 1,3299 1,0379 1,0010 0,9800 1,3913 1,1705 1,6997 1,0440 1,0868 0,9309 1,3945 1,2431 1,7256 1,0753 1,1498 1,0810 1,4395 1,3622 1,4005 1,2006 1,0904 0,8278 1,4457 1,4658 1,2925 0,8550 1,1225 1,0007 1,6306 1,6533 1,6048 1,1229 1,1900 1,0393 1,6073 1,3585 1,4398 1,0517 1,0953 1,0014 1,2401 1,8143 1,4566 1,0888 1,1042 0,9887 1,3404 1,4417 1,4279 1,2671 1,1101 0,9629 1,5126 1,5030 1,3986 1,0224 1,1259 1,0403 1,4274 1,2094 1,6803 0,9336 1,1263 0,9254 1,7194 1,4277 1,6803 1,0849 1,1643 0,9088 1,4738 1,3897 1,5006 1,1999 1,1475 0,9210 1,5777 0,7381 1,5699 1,2380 1,2517 0,9349 1,3559 1,3209 1,5574 1,0498 1,0134 0,9871 1,5571 1,2510 1,4411 0,9564 1,2290 0,9526 1,4238 1,4602 1,7261 1,1851 1,1408 0,9601 1,4085 1,3992 1,4640 1,2550 1,2270 1,0326 1,3667 1,2392 1,4656 0,9896 1,0343 0,9789 1,7848 1,3643 1,5050 1,0818 1,1636 0,9831 1,5741 1,2629 1,5185 1,1216 1,0302 0,9815 1,4377 1,3561 1,1996 1,1536 1,0157 0,9512 1,4508 1,3522 1,1459 1,1270 1,1205 0,9125 1,6524 1,2856 1,5128 1,2581 1,1234 0,8920 1,5313 1,4584 1,5004 1,0702

83 69 Lampiran 15 (lanjutan) FK 1 FK 2 FK 3 FK 4 FK 5 FK 6 1,1059 0,9685 1,1827 1,1333 1,0804 0,8806 1,1107 0,8969 1,0742 0,9071 0,8665 0,9934 0,9449 1,0550 0,8909 0,9617 1,1102 1,0499 1,0533 0,9924 1,0574 1,0063 Sampling ke- Rata-rata sd 1 1,11 0,08 2 0,99 0,07 3 1,45 0,15 4 1,36 0,15 5 1,43 0,14 6 1,08 0,09 Nilai rata-rata faktor kondisi ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) Contoh perhitungan : Pada pengambilan contoh ke-1(data yang digunakan data pertama) pola pertumbuhan setelah uji t diperoleh hasil yaitu allometrik, maka perhitungannya: W K = b al 216 K = 6 3,1962 4x10 (253 ) K = 1,1260 Pada pengambilan contoh ke-3 (data yang digunakan data pertama) pola pertumbuhan setelah uji t diperoleh hasil yaitu isometrik, maka perhitungannya: 5 W10 K = 3 L 271x10 K = K = 1,3616 5

84 70 Lampiran 16. Pedugaan pertumbuhan dengan metode ELEFAN I dalam program FiSAT II Print screen parameter pertumbuhan menggunakan metode ELEFAN I yang dikemas dalam program FiSAT II Untuk nilai t 0 menggunakan persamaan empiris Pauly 1984 : Log (-t 0) = 0,3922-0,2752 (Log L )-1,038 (Log K) = 0,3922-0,2752 (log 662,03)-1,308 (log 0,17) t 0 = -0,6909

85 71 Lampiran 17. Pendugaan laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan cakalang 1) Laju mortalitas total (Z) dengan menggunakan metode Jones&van Zalinge dalam program FiSAT II. Print screen nilai mortalitas total dengan metode Zone & Van Zalinge yang dikemas dalam program FiSAT II 2) Laju mortalitas alami (M) dengan rumus empiris Pauly 1984 : M = 0,8 e (-0,0152-0,279*Ln L +0,6543*Ln K+0,463*Ln T) M = 0,8 e (-0,0152-0,279*Ln 662,03+0,6543*Ln 0,17+0,463*ln (29,5) M = 0,1934 Nilai T yang digunakan berasal dari data sekunder rata-rata suhu permukaan pada umumnya di Teluk Palabuhanratu dan sekitarnya yaitu o C 3) Laju mortalitas penangkapan (F) menggunakan rumus : F = Z-M F = 3,2390-0,1934 F = 3,0456 4) Laju eksploitasi (E) menggunakan rumus : E = F/Z E = 3,0456/3,2390 E = 0,94

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) Sumber :

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) Sumber : 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Ikan Cakalang Ikan cakalang (Gambar 1) dikenal sebagai skipjack tuna dengan nama lokal cakalang. Adapun klasifikasi ikan cakalang menurut Saanin (1984) adalah sebagai

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki sumberdaya perikanan yang sangat besar. Walaupun demikian seiring meningkatnya jumlah penduduk dunia dan kebutuhan akan pangan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di PPN Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat (Gambar 2). Pengambilan data primer dilakukan selama tiga bulan dari tanggal

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian mengenai dinamika stok ikan peperek (Leiognathus spp.) dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata kedalaman

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian. 14 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di PPI Labuan, Provinsi Banten. Ikan contoh yang diperoleh dari PPI Labuan merupakan hasil tangkapan nelayan disekitar perairan Selat

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta, terletak di sebelah utara kota Jakarta, dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan Teluk Banten Perairan Karangantu berada di sekitar Teluk Banten yang secara geografis terletak pada 5 0 49 45 LS sampai dengan 6 0 02

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di TPI Cilincing, Jakarta Utara. Pengambilan data primer berupa pengukuran panjang dan bobot ikan contoh yang ditangkap

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Cumi-Cumi Sirip Besar 4.1.1. Distribusi spasial Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun yang tertangkap

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perairan dangkal Karang Congkak, Kepulauan Seribu, Jakarta. Pengambilan contoh ikan dilakukan terbatas pada daerah

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun Kepulauan Seribu (Gambar 2). Lokasi pengambilan contoh dilakukan di perairan yang

Lebih terperinci

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Migrasi ikan adalah adalah pergerakan perpindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain yang mempunyai arti penyesuaian terhadap kondisi alam yang menguntungkan

Lebih terperinci

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). 7 spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). Ikan kembung lelaki terdiri atas ikan-ikan jantan dan betina, dengan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakasanakan mulai awal bulan Maret sampai bulan Mei, dengan interval pengambilan data setiap dua minggu. Penelitian berupa pengumpulan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 32 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Ikan Kurisi di Perairan Teluk Banten Penduduk di sekitar Teluk Banten kebanyakan memiliki profesi sebagai nelayan. Alat tangkap yang banyak digunakan oleh para nelayan

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU i ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU DESI HARMIYATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) (Gambar 1) merupakan salah satu ikan pelagis kecil yang sangat potensial

Lebih terperinci

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004).

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004). 24 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2011 sampai dengan bulan Oktober 2011. Lokasi penelitian berada di Selat Sunda, sedangkan pengumpulan data dilakukan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1. 1.Kondisi umum Perairan Utara Jawa Perairan Utara Jawa dulu merupakan salah satu wilayah perikanan yang produktif dan memilki populasi penduduk yang padat. Panjang

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH Hidup ikan Dipengaruhi lingkungan suhu, salinitas, oksigen terlarut, klorofil, zat hara (nutrien)

Lebih terperinci

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti Sebuah lagu berjudul Nenek moyangku seorang pelaut membuat saya teringat akan kekayaan laut Indonesia. Tapi beberapa waktu lalu, beberapa nelayan Kepulauan

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

2. METODOLOGI PENELITIAN

2. METODOLOGI PENELITIAN 2. METODOLOGI PENELITIAN 2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian terdiri dari lokasi pengambilan udang mantis contoh dan lokasi pengukuran sumber makanan potensial udang mantis melalui analisis

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Perikanan Layur di PPN Palabuhanratu Secara geografis, Teluk Palabuhanratu ini terletak di kawasan Samudera Hindia pada posisi 106 10-106 30 BT dan 6 50-7 30 LS dengan

Lebih terperinci

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 16 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di dua lokasi perairan pesisir Banten yaitu perairan PLTU-Labuan Teluk Lada dan Teluk Banten Bojonegara, Provinsi Banten.

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rajungan (Portunus pelagicus) Menurut www.zipcodezoo.com klasifikasi dari rajungan adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Malacostrata Ordo : Decapoda

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Ikan cakalang (sumber : http//www.fishbase.org)

2 TINJAUAN PUSTAKA. Ikan cakalang (sumber : http//www.fishbase.org) 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Aspek Biologi Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) Cakalang sering disebut skipjack tuna dengan nama lokal cakalang. Adapun klasifikasi cakalang menurut Matsumoto, et al (1984) adalah

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Pesisir Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jakarta dibatasi oleh garis bujur 106⁰33 00 BT hingga 107⁰03 00 BT dan garis lintang 5⁰48

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan tata nama

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan tata nama 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang 2.1.1. Klasifikasi dan tata nama Menurut www.fishbase.org (2009) taksonomi ikan tembang (Gambar 3) diklasifikasikan sebagai berikut : Filum : Chordata Subfilum :

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Terisi Menurut Richardson (1846) (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut :

2. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Terisi Menurut Richardson (1846)  (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut : 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Terisi Menurut Richardson (1846) www.fishbase.org (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kuniran Klasifikasi dan tata nama

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kuniran Klasifikasi dan tata nama 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kuniran 2.1.1. Klasifikasi dan tata nama Menurut www.fishbase.org (2010) taksonomi ikan kuniran (Gambar 2) dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum

Lebih terperinci

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 9 dan MSY adalah: Keterangan : a : Perpotongan (intersept) b : Kemiringan (slope) e : Exponen Ct : Jumlah tangkapan Ft : Upaya tangkap (26) Model yang akan digunakan adalah model yang memiliki nilai korelasi

Lebih terperinci

Length-Weight based Stock Assesment Of Round Scad ( Decapterus russelli ) From Mapur Fishing Ground and Landed at Pelantar KUD Tanjungpinang

Length-Weight based Stock Assesment Of Round Scad ( Decapterus russelli ) From Mapur Fishing Ground and Landed at Pelantar KUD Tanjungpinang KAJIAN STOK IKAN LAYANG (Decapterus russelli) BERBASIS PANJANG BERAT DARI PERAIRAN MAPUR YANG DIDARATKAN DI TEMPAT PENDARATAN IKAN PELANTAR KUD KOTA TANJUNGPINANG Length-Weight based Stock Assesment Of

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. besar maupun sedikit. Di perairan Indo-Pasifik terdapat 3 spesies ikan Kembung

TINJAUAN PUSTAKA. besar maupun sedikit. Di perairan Indo-Pasifik terdapat 3 spesies ikan Kembung TINJAUAN PUSTAKA Ikan Kembung (Rastrelliger spp.) Ikan Kembung merupakan salah satu ikan pelagis yang sangat potensial di Indonesia dan hampir seluruh perairan Indonesia ikan ini tertangkap dalam jumlah

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis).

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis). 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Kuniran 2.1.1 Klasifikasi Ikan Kuniran Upeneus moluccensis, Bleeker 1855 Dalam kaitan dengan keperluan pengkajian stok sumberdaya ikan, kemampuan untuk mengidentifikasi spesies

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU

PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU Zulkhasyni Fakultas Pertanian Universitas Prof. Dr. Hazairin, SH Bengkulu ABSTRAK Perairan Laut Bengkulu merupakan

Lebih terperinci

5 HASIL TANGKAPAN DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU

5 HASIL TANGKAPAN DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU 5 HASIL TANGKAPAN DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU 5.1 Jenis dan Volume Produksi serta Ukuran Hasil Tangkapan 1) Jenis dan Volume Produksi Hasil Tangkapan Pada tahun 2006, jenis

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Octinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Osteochilus vittatus ( Valenciennes, 1842)

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Octinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Osteochilus vittatus ( Valenciennes, 1842) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Palau Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Octinopterygii Ordo : Cypriniformes Famili : Cyprinidae Genus : Osteochilus Spesies : Osteochilus vittatus

Lebih terperinci

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH 1,2) Urip Rahmani 1, Imam Hanafi 2, Suwarso 3 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Letak dan Kondisi Penelitian Kabupaten Cirebon dengan luas wilayah 990,36 km 2 merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian timur dan merupakan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 24 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Pengambilan sampel ikan tuna mata besar dilakukan pada bulan Maret hingga bulan Oktober 2008 di perairan Samudera Hindia sebelah selatan Jawa

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR 1 PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR (Trichiurus sp.) DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROPINSI JAWA BARAT Adnan Sharif, Silfia Syakila, Widya Dharma Lubayasari Departemen Manajemen Sumberdaya

Lebih terperinci

2.1. Ikan Kurau. Klasiflkasi ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) menurut. Saanin (1984) termasuk Phylum chordata, Class Actinopterygii, Genus

2.1. Ikan Kurau. Klasiflkasi ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) menurut. Saanin (1984) termasuk Phylum chordata, Class Actinopterygii, Genus 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kurau Klasiflkasi ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) menurut Saanin (1984) termasuk Phylum chordata, Class Actinopterygii, Genus eleutheronema dan Species Eleutheronema

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan selat sunda Selat Sunda merupakan selat yang membujur dari arah Timur Laut menuju Barat Daya di ujung Barat Pulau Jawa atau Ujung Selatan

Lebih terperinci

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi 4 2.2. Morfologi Ikan Tambakan (H. temminckii) Ikan tambakan memiliki tubuh berbentuk pipih vertikal. Sirip punggung dan sirip analnya memiliki bentuk dan ukuran yang hampir serupa. Sirip ekornya sendiri

Lebih terperinci

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali didasarkan atas kelompok ikan Pelagis Kecil, Pelagis Besar, Demersal

Lebih terperinci

Penangkapan Tuna dan Cakalang... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.)

Penangkapan Tuna dan Cakalang... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.) Penangkapan Tuna dan... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.) PENANGKAPAN TUNA DAN CAKALANG DENGAN MENGGUNAKAN ALAT TANGKAP PANCING ULUR (HAND LINE) YANG BERBASIS DI PANGKALAN PENDARATAN

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 16 3. METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Pola reproduksi ikan swanggi (Priacanthus tayenus) pada penelitian ini adalah tinjauan mengenai sebagian aspek reproduksi yaitu pendugaan ukuran pertama

Lebih terperinci

STRUKTUR UKURAN DAN PARAMETER PERTUMBUHAN HIU MACAN (Galeocerdo cuvier Peron & Lesuer, 1822) DI PERAIRAN SELATAN NUSA TENGGARA BARAT

STRUKTUR UKURAN DAN PARAMETER PERTUMBUHAN HIU MACAN (Galeocerdo cuvier Peron & Lesuer, 1822) DI PERAIRAN SELATAN NUSA TENGGARA BARAT STRUKTUR UKURAN DAN PARAMETER PERTUMBUHAN HIU MACAN (Galeocerdo cuvier Peron & Lesuer, 1822) DI PERAIRAN SELATAN NUSA TENGGARA BARAT Umi Chodrijah 1, Agus Arifin Sentosa 2, dan Prihatiningsih 1 Disampaikan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Wilayah laut Indonesia kaya akan ikan, lagi pula sebagian besar merupakan dangkalan. Daerah dangkalan merupakan daerah yang kaya akan ikan sebab di daerah dangkalan sinar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ikan Sardinella sp. merupakan kelompok ikan-ikan pelagis kecil, dari famili

TINJAUAN PUSTAKA. Ikan Sardinella sp. merupakan kelompok ikan-ikan pelagis kecil, dari famili TINJAUAN PUSTAKA Ikan Tamban (Sardinella albella) Ikan Sardinella sp. merupakan kelompok ikan-ikan pelagis kecil, dari famili Clupeidae yang lebih umum dikenal sebagai ikan herring. Famili Clupeidae terdiri

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek II. TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek Puntius Orphoides C.V adalah ikan yang termasuk anggota Familia Cyprinidae, disebut juga dengan ikan mata merah. Ikan brek mempunyai garis rusuk

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Produksi Hasil Tangkapan Yellowfin Tuna

6 PEMBAHASAN 6.1 Produksi Hasil Tangkapan Yellowfin Tuna 38 6 PEMBAHASAN 6.1 Produksi Hasil Tangkapan Yellowfin Tuna Berdasarkan data statistik Palabuhanratu tahun 1997-2011, hasil tangkapan Yellowfin Tuna mengalami fluktuasi. Jika dilihat berdasarkan data hasil

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan layur (Trichiurus lepturus) (Sumber :

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan layur (Trichiurus lepturus) (Sumber : 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Layur (Tricihurus lepturus) Layur (Trichiurus spp.) merupakan ikan laut yang mudah dikenal dari bentuknya yang panjang dan ramping. Ikan ini tersebar di banyak perairan dunia.

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 21 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Situ IPB yang terletak di dalam Kampus IPB Dramaga, Bogor. Situ IPB secara geografis terletak pada koordinat 106 0 34-106 0 44 BT dan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Produktivitas 2.2 Musim

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Produktivitas 2.2 Musim 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Produktivitas Secara umum produktivitas diartikan sebagai hubungan antara hasil yang diperoleh secara nyata maupun fisik dengan masukan yang sebenarnya. Artinya produktivitas sama

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Menurut klasifikasi Bleeker, sistematika ikan selanget (Gambar 1) adalah sebagai berikut (www.aseanbiodiversity.org) :

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil penelitian di perairan Kepulauan Seribu yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, diperoleh nilai-nilai parameter

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan akan bahan pangan dan gizi yang lebih baik, permintaan ikan terus meningkat dari tahun ke tahun. Permintaan ikan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Organ reproduksi Jenis kelamin ikan ditentukan berdasarkan pengamatan terhadap gonad ikan dan selanjutnya ditentukan tingkat kematangan gonad pada tiap-tiap

Lebih terperinci

LEMBAR PENGESAHAN ARTIKEL JURNAL

LEMBAR PENGESAHAN ARTIKEL JURNAL LEMBAR PENGESAHAN ARTIKEL JURNAL ANALISIS PARAMETER DINAMIKA POPULASI IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) YANG DIDARATKAN DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN KELURAHAN TENDA KECAMATAN HULONTHALANGI KOTA GORONTALO

Lebih terperinci

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4.1. Letak Geografis Kabupaten Sukabumi yang beribukota Palabuhanratu termasuk kedalam wilayah administrasi propinsi Jawa Barat. Wilayah yang seluas 4.128 Km 2, berbatasan dengan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan pesisir Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, Kepulauan Seribu DKI Jakarta (Lampiran 2 dan Lampiran 3). Penelitian

Lebih terperinci

KAJIAN POLA PERTUMBUHAN DAN CIRI MORFOMETRIK-MERISTIK BEBERAPA SPESIES IKAN LAYUR

KAJIAN POLA PERTUMBUHAN DAN CIRI MORFOMETRIK-MERISTIK BEBERAPA SPESIES IKAN LAYUR KAJIAN POLA PERTUMBUHAN DAN CIRI MORFOMETRIK-MERISTIK BEBERAPA SPESIES IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT Oleh : IRWAN NUR WIDIYANTO C24104077 SKRIPSI

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Partisipatif Daerah Penangkapan Ikan kurisi dapat ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang dan jaring rampus. Kapal dengan alat tangkap cantrang memiliki

Lebih terperinci

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang 4.1.1 Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang Produksi ikan terbang (IT) di daerah ini dihasilkan dari beberapa kabupaten yang

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 13 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di perairan Cirebon yang merupakan wilayah penangkapan kerang darah. Lokasi pengambilan contoh dilakukan pada dua lokasi yang

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 010 di daerah pantai berlumpur Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Udang contoh yang

Lebih terperinci

3.3 Pengumpulan Data Primer

3.3 Pengumpulan Data Primer 10 pada bagian kantong, dengan panjang 200 m dan lebar 70 m. Satu trip penangkapan hanya berlangsung selama satu hari dengan penangkapan efektif sekitar 10 hingga 12 jam. Sedangkan untuk alat tangkap pancing

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun memiliki hak yang sama untuk mengambil atau mengeksploitasi sumberdaya didalamnya. Nelayan menangkap

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN TERI PEKTO (Stolephorus Waitei) DI PERAIRAN BELAWAN KOTA MEDAN SUMATERA UTARA

PERTUMBUHAN DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN TERI PEKTO (Stolephorus Waitei) DI PERAIRAN BELAWAN KOTA MEDAN SUMATERA UTARA PERTUMBUHAN DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN TERI PEKTO (Stolephorus Waitei) DI PERAIRAN BELAWAN KOTA MEDAN SUMATERA UTARA Growth and the rate exploitation of Anchovy Pekto (Stolephorus waitei) in the sea of

Lebih terperinci

BEBERAPA JENIS PANCING (HANDLINE) IKAN PELAGIS BESAR YANG DIGUNAKAN NELAYAN DI PPI HAMADI (JAYAPURA)

BEBERAPA JENIS PANCING (HANDLINE) IKAN PELAGIS BESAR YANG DIGUNAKAN NELAYAN DI PPI HAMADI (JAYAPURA) Tersedia online di: http://ejournal-balitbang.kkp.go.id/index.php/btl e-mail:btl.puslitbangkan@gmail.com BULETINTEKNIKLITKAYASA Volume 15 Nomor 2 Desember 2017 e-issn: 2541-2450 BEBERAPA JENIS PANCING

Lebih terperinci

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh 14 Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2009. Lokasi pengambilan ikan contoh adalah tempat pendaratan ikan (TPI) Palabuhanratu. Analisis contoh dilakukan di Laboratorium Ekobiologi,

Lebih terperinci

DISTRIBUSI SUHU PERMUKAAN LAUT DAN ASPEK BIOLOGI CAKALANG (Katsuwonus pelamis) HASIL TANGKAPAN HUHATE di BITUNG

DISTRIBUSI SUHU PERMUKAAN LAUT DAN ASPEK BIOLOGI CAKALANG (Katsuwonus pelamis) HASIL TANGKAPAN HUHATE di BITUNG DISTRIBUSI SUHU PERMUKAAN LAUT DAN ASPEK BIOLOGI CAKALANG (Katsuwonus pelamis) HASIL TANGKAPAN HUHATE di BITUNG 1 Agus Setiyawan, 2 A. Anung Widodo dan 3 Candra Nainggolan 12 Pusat Penelitian dan Pengelolaan

Lebih terperinci

Length-Weight based Stock Assessment Of Eastern Little Tuna (Euthynnus affinis ) Landed at Tarempa Fish Market Kepulauan Anambas

Length-Weight based Stock Assessment Of Eastern Little Tuna (Euthynnus affinis ) Landed at Tarempa Fish Market Kepulauan Anambas KAJIAN STOK IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) BERBASIS PANJANG BERAT YANG DIDARATKAN DI PASAR IKAN TAREMPA KECAMATAN SIANTAN KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS Length-Weight based Stock Assessment Of Eastern Little

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 9 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Ikan contoh diambil dari TPI Kali Baru mulai dari bulan Agustus 2010 sampai dengan bulan November 2010 yang merupakan hasil tangkapan nelayan di

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Clownfish Klasifikasi Clownfish menurut Burges (1990) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Perciformes

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

RUAYA IKAN Macam-macam Ruaya a. Ruaya Pemijahan

RUAYA IKAN Macam-macam Ruaya a. Ruaya Pemijahan RUAYA IKAN Ruaya merupakan satu mata rantai daur hidup bagi ikan untuk menentukan habitat dengan kondisi yang sesuai bagi keberlangsungan suatu tahapan kehidupan ikan. Studi mengenai ruaya ikan menurut

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Ikan Lencam

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Ikan Lencam 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Ikan Lencam Ikan lencam (Gambar 1) merupakan salah satu jenis ikan karang yang termasuk dalam kelompok ikan target konsumsi dan memiliki nilai ekonomis penting. Menurut

Lebih terperinci

ASPEK BIOLOGI DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN PERIKANAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) YANG DIDARATKAN DI PPS NIZAM ZACHMAN JAKARTA

ASPEK BIOLOGI DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN PERIKANAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) YANG DIDARATKAN DI PPS NIZAM ZACHMAN JAKARTA ASPEK BIOLOGI DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN PERIKANAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) YANG DIDARATKAN DI PPS NIZAM ZACHMAN JAKARTA ZHANAZHA ALDYASTELLA MAYANGSOKA SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id METODE PENELITIAN A. Spesifikasi Alat dan Bahan

bio.unsoed.ac.id METODE PENELITIAN A. Spesifikasi Alat dan Bahan III. METODE PENELITIAN A. Spesifikasi Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah jaring tancap (gillnet), jala tebar, perahu, termometer, secchi disk, spuit, botol plastik, gelas ukur

Lebih terperinci

Indonesia adalah Negara maritime terbesar di dunia, sekitar 2/3 wilayahnya terdiri dari

Indonesia adalah Negara maritime terbesar di dunia, sekitar 2/3 wilayahnya terdiri dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah Negara maritime terbesar di dunia, sekitar 2/3 wilayahnya terdiri dari laut. Luat wilayah laut Indonesia 5,8 juta km². Luas perairan 3,1 juta km² terdiri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia merupakan hasil tangkap sampingan dari perikanan rawai tuna (Prager et

BAB I PENDAHULUAN. dunia merupakan hasil tangkap sampingan dari perikanan rawai tuna (Prager et BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ikan berparuh (Istioporidae dan Xiphiidae) merupakan hasil tangkapan kedua terbesar setelah tuna, dimana terkadang tidak tercatat dengan baik di logbook (Cramer et

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jenis Hasil Tangkapan Hasil tangkapan pancing ulur selama penelitian terdiri dari 11 famili, 12 genus dengan total 14 jenis ikan yang tertangkap (Lampiran 6). Sebanyak 6

Lebih terperinci

TEKNIK PENANGKAPAN IKAN PELAGIS BESAR MEMAKAI ALAT TANGKAP FUNAI (MINI POLE AND LINE) DI KWANDANG, KABUPATEN GORONTALO

TEKNIK PENANGKAPAN IKAN PELAGIS BESAR MEMAKAI ALAT TANGKAP FUNAI (MINI POLE AND LINE) DI KWANDANG, KABUPATEN GORONTALO Teknik Penangkapan Ikan Pelagis Besar... di Kwandang, Kabupaten Gorontalo (Rahmat, E.) TEKNIK PENANGKAPAN IKAN PELAGIS BESAR MEMAKAI ALAT TANGKAP FUNAI (MINI POLE AND LINE) DI KWANDANG, KABUPATEN GORONTALO

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat I. PENDAHULUAN Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat dengan cara membendung aliran sungai sehingga aliran air sungai menjadi terhalang (Thohir, 1985). Wibowo (2004) menyatakan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Sebaran frekuensi panjang ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina yang dianalisis dengan menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation)

Lampiran 1. Sebaran frekuensi panjang ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina yang dianalisis dengan menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) 58 Lampiran 1. Sebaran frekuensi panjang ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina yang dianalisis dengan menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) menggunakan program FiSAT II 59 Lampiran 1. (lanjutan)

Lebih terperinci

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sebaran Frekuensi Ikan Tetet (Johnius belangerii) Ikan contoh ditangkap setiap hari selama 6 bulan pada musim barat (Oktober-Maret) dengan jumlah total 681 ikan dan semua sampel

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 19 Dimana : Log m = logaritma dari panjang pada kematangan yang pertama Xt = logaritma nilai tengah panjang ikan 50% matang gonad x = logaritma dari pertambahan nilai tengah panjang pi = jumlah matang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. : Actinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Barbichthys laevis (Froese and Pauly, 2012)

TINJAUAN PUSTAKA. : Actinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Barbichthys laevis (Froese and Pauly, 2012) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ulubatu (Barbichthys laevis) Kelas Filum Kerajaan : Chordata : Actinopterygii : Animalia Genus Famili Ordo : Cyprinidae : Barbichthys : Cypriniformes Spesies : Barbichthys laevis

Lebih terperinci

HUBUNGAN BOBOT PANJANG IKAN TUNA MADIDIHANG Thunnus albacares DARI PERAIRAN MAJENE SELAT MAKASSAR SULAWESI BARAT Wayan Kantun 1 dan Ali Yahya 2

HUBUNGAN BOBOT PANJANG IKAN TUNA MADIDIHANG Thunnus albacares DARI PERAIRAN MAJENE SELAT MAKASSAR SULAWESI BARAT Wayan Kantun 1 dan Ali Yahya 2 HUBUNGAN BOBOT PANJANG IKAN TUNA MADIDIHANG Thunnus albacares DARI PERAIRAN MAJENE SELAT MAKASSAR SULAWESI BARAT Wayan Kantun 1 dan Ali Yahya 2 1) Sekolah Tinggi Teknologi Kelautan Balik Diwa 2) Politeknik

Lebih terperinci