V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 41 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Habitat Tangkap Habitat tangkap labi-labi di Kalimantan Tengah terdiri dari beberapa tipe yaitu sungai, danau, rawa, dan kanal. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa labi-labi ditemukan di sungai, anak sungai dan danau. Danau yang dimaksud di sini adalah rawa yang terhubung dengan anak sungai (pond). Tipe habitat yang paling banyak ditemukan labi-labi pada saat penelitian adalah sungai. Beberapa hasil penelitian dan survei memberikan informasi bahwa labi-labi dapat ditemukan di tipe habitat perairan yang berbeda, antara lain: di daerah hilir sungai di Jambi (Elviana 2000), sungai dan anak sungai di Kalimantan Timur (Kusrini et al 2009), dan Kalimantan Barat (Lilly 2010), sungai dan rawa di Sumatera Selatan (Oktaviani 2008), rawa dan rawa gambut di dalam kawasan Taman Nasional Berbak di Jambi serta sungai kecil dan rawa gambut dalam areal perkebunan sawit di provinsi Riau (Mumpuni & Riyanto 2010). Bahkan hasil survei yang dilakukan Mumpuni et al. (2011) di Sumatera Barat juga Subasli & Dadang (2002) di Kalimantan Tengah menemukan labi-labi di lokasi persawahan dan parit dekat perkampungan Sebaran Habitat Tangkap Berdasarkan wawancara dengan pemancing dan pengamatan di lapangan diketahui bahwa daerah target pemanenan labi-labi di Kalimantan Tengah bagian selatan adalah di (Gambar 3): 1. Anak Sungai Kahayan yaitu Sungai Rungan, Sungai Sangomang, Sungai Tahai, Sungai Bangamat, dan di Danau Sangomang, Danau Tahai, Danau Pehun, dan Danau Tintu di Kecamatan Bukit Batu Kota Palangkaraya. 2. Anak Sungai Katingan yaitu Sungai Halukis, Sungai Liting, Sungai Tambasirak, Sungai Kabipah, Sungai Kamipang, Sungai Baner, dan Danau Liliput di Kabupaten Katingan.

2 42 3. Anak Sungai Mentaya yaitu Sungai Parebok dan Sungai Ijum di Kecamatan Samuda Kabupaten Kotawaringin Timur. 4. Sungai Seruyan dan di anak sungainya yaitu Sungai Tabuk Bakambat, Sungai Lesung, Sungai Tatah Pinang, Sungai Pukun, Kanal Transmigrasi Unit 1-8, Danau Burung, Danau Kapar dan Danau Sembuluh di Kabupaten Seruyan. Hasil pengamatan di 8 (delapan) lokasi ditemukannya labi-labi diketahui beberapa faktor fisik dan kimia perairan yang mempengaruhi sebaran populasi labi-labi. Kisaran hasil pengamatan disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Faktor fisik dan kimia perairan yang mempengaruhi sebaran populasi labi-labi di lokasi tangkap Lokasi Pengamatan ph Kecepatan Arus (m/dtk) Sifat Kimia dan Fisik Kecerahan Kedalaman (cm) (m) Tipe Substrat Danau Pehun 5-6 0,0-0,31 20,25-30,00 2,7-6,0 Pasir Danau Sangomang 5 0,06-0,09 50,40-50,15 1,8-2,0 Pasir Danau Tahai 4-6 0,23-0,31 20,00-20,60 2,5-5,0 Lumpur-pasir Danau Tintu 5 0,07-0,09 45,00-65,00 1,2-2,4 Lumpur Sungai Rungan 5 0,05-0,53 15,00-22,50 0,7-2,1 Lumpur Sungai Sangomang 4-5 0,21-0,42 40,35-71,00 2,7-7,5 Lumpur-pasir Sungai Tahai 5-6 0,29-0,30 1,55-65,00 1,7-3,0 Lumpur-pasir Sungai Bangamat 5-6 0,07-0,34 15,00-20,00 1,1-1,3 Lumpur Sungai yang menjadi target para pemancing memiliki berbagai variasi kedalaman mulai dari 0,5-7,5 meter, dasar sungai berlumpur hingga berpasir dan banyak dihuni hewan air (molusca, ikan, crustacea dll) serta permukaan air yang terdapat banyak tumbuhan air seperti eceng gondok (Eicchornia crassipes), bakung (Hanguana malayana) dan Hydrilla verticillata. Kawasan pinggir sungai dengan cekungan-cekungan yang dalam biasanya terdapat di bawah vegetasi pohon maupun jenis-jenis herba diperkirakan banyak didatangi labi-labi untuk mencari makan, karena kawasan ini memang disukai oleh beberapa jenis ikan untuk memijah. Para pemancing labi-labi biasa memasang perangkap di kawasan ini.

3 Gambar 3 Sebaran wilayah tangkapan labi-labi di Kalimantan Tengah. 43

4 44 Dataran rendah Kalimantan Tengah didominasi oleh rawa gambut yang memiliki sifat asam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa labi-labi masih dapat ditemukan pada perairan yang bersifat asam dengan ph berkisar antara 4-6, lebih asam pada lokasi sebaran labi-labi di Jambi yang hanya berkisar antara 5,3-7 (Elviana 2000; Mumpuni & Riyanto 2010; Ginting 2012), di Sumatera Selatan berkisar antara 5,7-6,5 dan di Riau berkisar antara 5,6-6,8 (Mumpuni & Riyanto 2010). Amri & Khairuman (2002) menyatakan bahwa nilai ph air yang ideal untuk budidaya labi-labi adalah berkisar antara 7-8. Secara umum habitat tangkap labi-labi terdapat di perairan berarus lambat, dengan substrat lumpur atau pasir dan vegetasi dominan semak, sesuai dengan hasil penelitian Iskandar (2000) dan Kusrini et al. (2009). Berdasarkan pengukuran, diperkirakan panjang sungai yang menjadi habitat tangkap memiliki total panjang 574,28 km (Tabel 8) yang meliputi kelompok anak sungai Kahayan, anak sungai Katingan, anak sungai Mentaya dan anak sungai Seruyan. Tabel 8 Estimasi panjang wilayah target pemanenan labi-labi di Kalimantan Tengah yang diukur dari peta Nama Kelompok Sungai Panjang Sungai (km) Kahayan 50,96 Katingan 97,93 Mentaya 195,67 Seruyan 229,72 Panjang Total 574, Identifikasi Komponen Habitat Ketinggian Tempat Hasil tumpang tindih antara titik-titik labi-labi tertangkap dengan peta ketinggian tempat (elevasi) di atas permukaan laut (mdpl) menunjukkan bahwa dari 60 titik labi-labi tertangkap, frekuensi terbanyak ada pada ketinggian 7-15 mdpl (61,7% atau 37 titik) semakin menurun pada ketinggian mdpl (16,67% atau 10 titik), ketinggian mdpl (13,33% atau 8 titik), ketinggian

5 mdpl (11,67% atau 7 titik), ketinggian lebih dari 40 mdpl (6,67% atau 4 titik) sebagaimana disajikan pada Gambar 4. Junlah labi-labi (ekor) Ketinggian tempat (mdpl) Gambar 4 Sebaran jumlah labi-labi panenan menurut kelas ketinggian di Kecamatan Bukit Batu. Ketinggian tempat merupakan salah satu komponen fisik habitat yang mempengaruhi kehidupan satwaliar termasuk labi-labi. Semakin tinggi suatu wilayah, ternyata frekuensi ditemukannya labi-labi semakin menurun. Kecenderungan labi-labi yang menempati daerah dataran rendah daripada pegunungan terutama apabila menuju dataran tinggi tersebut memiliki kelerengan yang curam. Dataran yang memiliki kelerengan yang curam memiliki sungai yang berarus deras, hal ini tidak disukai oleh labi-labi karena dibutuhkan tenaga lebih untuk dapat menyeberanginya.tipe perairan berarus lambat, dengan dasar sungai berlumpur berada pada hilir sungai. Tipe perairan tersebut banyak terdapat di dataran rendah yang meliputi sungai, rawa, dan danau sungai mati (oxbow). Tipe dasar perairan yang berlumpur sangat disukai A. cartilaginea karena dapat menunjang kegiatan reproduksinya (tempat breeding ground) dan sebagai tempat bersembunyi (Ernst & Barbour 1989) Suhu Udara Hasil pengukuran dapat diketahui bahwa rata-rata suhu udara lokasi ditemukannya labi-labi berkisar antara 28 0 C sampai 33 0 C (Gambar 5). Hal ini tidak jauh berbeda dengan karakteristik habitat labi-labi di Jambi yaitu berkisar antara 28 0 C sampai 31 0 C (Elviana 2000). Suhu yang paling ideal untuk budidaya

6 46 labi-labi antara 22 0 C sampai 31 0 C, dan pada suhu yang lebih rendah aktivitas labilabi akan terganggu (Kairuman & Amri 2000). Hasil pengukuran suhu udara di lokasi labi-labi tertangkap disajikan pada Tabel 9 berikut : Tabel 9 Suhu udara minimum, maksimum dan rataan pada lokasi pengamatan No. Nama Lokasi Suhu udara ( 0 C) Minimum Maksimum Rataan Frekuensi Labi-labi Tertangkap 1 Danau Pehun Danau Sangomang Danau Tahai Danau Tintu Sungai Rungan , Sungai Sangomang , Sungai Tahai , Sungai Bangamat ,83 6 Berdasarkan Tabel diatas, suhu udara minimum, maksimum dan rataan harian dari beberapa areal terdapat perbedaan. Pada areal yang memiliki suhu lebih tinggi mungkin kondisi tersebut disebabkan oleh penutupan vegetasi yang jarang sehingga radiasi matahari yang sampai dipinggiran perairan lebih besar. Tingginya penerimaan radiasi matahari ini menyebabkan pemanasan udara di atasnya sehingga meningkatkan suhu udara rataan harian dan suhu udara maksimumnya (Rushayati & Arief 1997). Suhu merupakan salah satu komponen fisik habitat yang dapat mempengaruhi kehidupan satwaliar termasuk labi-labi. Pada umumnya temperatur berpengaruh terhadap perilaku dan ukuran tubuh satwaliar (Alikodra, 2002). Labilabi termasuk hewan berdarah dingin, yang artinya suhu tubuhnya tidak tetap, tetapi berubah-ubah mengikuti suhu lingkungan di sekitarnya. Perubahan suhu lingkungan dapat mempengaruhi aktivitas satwa tersebut. Kairuman dan Amri (2002) menyatakan bahwa labi-labi bersifat lebih aktif pada suhu tinggi dan pada suhu rendah bersifat kurang aktif.

7 47 Jumlah labi-labi (ekor) Gambar 5 Sebaran jumlah labi-labi panenan menurut kelas suhu udara di Kecamatan Bukit Batu Suhu Air Suhu udara ( 0 C) Hasil pengukuran suhu perairan di lokasi labi-labi tertangkap disajikan pada Tabel 10 berikut: Tabel 10 Suhu permukaan perairan minimum, maksimum dan rataan pada lokasi pengamatan No. Nama Lokasi Suhu air ( 0 C) Minimum Maksimum Rataan Frekuensi Labi-labi Tertangkap 1 Danau Pehun ,5 4 2 Danau Sangomang ,5 2 3 Danau Tahai ,5 4 4 Danau Tintu ,8 8 5 Sungai Rungan , Sungai Sangomang ,6 8 7 Sungai Tahai ,3 7 8 Sungai Bangamat ,2 6 Pengukuran suhu air di lokasi ditemukannya labi-labi berkisar 26 0 C sampai 29 0 C. Labi-labi paling banyak ditemukan pada suhu 26 0 C sampai 27 0 C (66,67%) (Gambar 6). Kondisi ini lebih rendah dari habitat labi-labi di Palembang yaitu 28 0 C sampai 33 0 C dan lebih tinggi dari habitat labi-labi di Bengkulu yaitu 24 0 C sampai 25 0 C (Kasmirudin 1998). Satwaliar yang hidup di dalam air mempunyai toleransi yang sempit terhadap suhu jika dibandingkan dengan satwaliar yang hidup di darat. Kairuman dan Amri (2002) menyebutkan bahwa suhu merupakan faktor penting dalam kehidupan labi-labi karena dapat mempengaruhi

8 48 metabolisme. Jika suhu air rendah, derajat metabolisme akan rendah, begitu pula sebaliknya. Derajat metabolisme tersebut sangat berpengaruh terhadap kebutuhan oksigen dan akan sebanding dengan kenaikan suhu air. Alikodra (2002) menyatakan bahwa organisme yang mengalami stres akan menyebabkan terganggunya sistem reproduksi mereka. Jumlah labi-labi (ekor) Gambar 6 Sebaran jumlah labi-labi panenan menurut kelas suhu perairan di Kecamatan Bukit Batu Kelembaban Udara Nisbi Suhu air ( 0 C) Hasil pengukuran kelembaban udara nisbi pada titik labi-labi tertangkap disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Kelembaban udara minimum, maksimum dan rataan pada lokasi pengamatan Kelembaban (%) Frekuensi No. Nama Lokasi Minimum Maksimum Rataan Labi-labi Tertangkap 1 Danau Pehun Danau Sangomang ,5 2 3 Danau Tahai ,6 4 4 Danau Tintu ,6 8 5 Sungai Rungan , Sungai Sangomang ,6 8 7 Sungai Tahai ,3 7 8 Sungai Bangamat ,8 6 Labi-labi paling banyak ditemukan pada kelas kelembaban 61% sampai 70% (71,67% atau 43 titik), kemudian pada kelas kelembaban 51% sampai 60% (18,33% atau 11 titik), dan yang terendah pada kelas kelembaban dibawah 50%

9 49 (10% atau 6 titik) (Gambar 7). Penentuan jenis kelamin tukik kura-kura dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban sarang. Kelembaban akan menentukan pertukaran gas antara telur dengan lingkungan, mempengaruhi penyerapan kuning telur dan pertumbuhan embrio. Bertelur pada saat yang disesuaikan membuat inkubasi berpeluang aman, menghindari tergenangnya sarang dan kematian embrio berikutnya (Ferreira 2009). Jumlah labi-labi (ekor) Kelembaban (%) Gambar 7 Sebaran jumlah labi-labi panenan menurut kelas kelembaban di Kecamatan Bukit Batu Peubah Determinan Keberadaan Labi-labi Panenan Berdasarkan hasil analisis regresi logistik biner, dari 8 (delapan) variabel biofisik, ada satu variabel tereliminasi dari model regresi dikarenakan adanya multikolinearitas. Di dalam penelitian ini ditemukan adanya korelasi yang kuat antara variabel elevasi dengan kelembaban yaitu -0,756. Angka korelasi negatif menunjukkan bahwa semakin tinggi elevasi maka kelembaban akan semakin rendah. Angka t hitung dari variabel elevasi (2,869) lebih besar dari t hitung dari variabel kelembaban (0,134), yang menunjukkan bahwa variabel elevasi lebih kuat pengaruhnya terhadap keberadaan labi-labi daripada variabel kelembaban. Karena itu variabel kelembaban dikeluarkan dari model. Model merupakan simplikasi atau penyederhanaan dari proses yang terjadi di alam. Analisis regresi logistik biner menghasilkan model regresi dengan tujuh variabel yang tidak terjadi multikolinearitas.

10 50 Penghitungan nilai variabel determinan dengan taraf kepercayaan 95%, menghasilkan konstanta regresi logistik biner sebesar 58,784. Koefisien regresi masing-masing peubah determinan labi-labi yang tertangkap dan taraf signifikansinya sebagaimana disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Taraf signifikansi dan koefisien regresi peubah determinan No. Variabel determinan Koefisien regresi Signifikansi 1 Kecepatan arus -5,856 0,000 2 Suhu udara -1,609 0,000 3 Suhu air -0,325 0,016 4 Elevasi/ketinggian tempat -0,072 0,000 Konstanta 58,784 0,000 Model regresi logistik biner yang berpengaruh terhadap peluang labi-labi yang tertangkap adalah sebagai berikut : Z = 58,784 + (-5,856) X1(kecepatan arus) + (-1,609) X2(suhu udara) + (-0,325) X3(suhu air) + (-0,072) X6(elevasi),,,,, 1,,,,, Koefisien regresi suatu model matermatika menunjukkan hubungan antara variabel bebas dengan variabel terkait. Model matematika yang terbentuk dalam penelitian ini menjelaskan hubungan antara kecepatan arus, suhu udara, suhu air dan elevasi dengan peluang tertangkapnya labi-labi. Koefisien regresi variabel kecepatan arus sebesar -5,856 menunjukkan bahwa kecepatan arus suatu sungai atau danau semakin rendah, peluang tertangkapnya labi-labi pun semakin tinggi. Koefisien regresi variabel suhu udara sebesar -1,609 dapat diinterpretasikan bahwa semakin tinggi suhu udara maka semakin rendah peluang tertangkapnya labi-labi. Koefisien regresi variabel suhu air sebesar -0,325 menjelaskan bahwa semakin tinggi suhu air maka semakin rendah peluang tertangkapnya labi-labi begitupula dengan interpretasi yang sama terhadap nilai koefisien regresi variabel elevasi sebesar -0,072. Hasil uji Hosmer and Lemeshow dengan signifikansi sebesar (> 0,05) menunjukkan variabel prediktor yang dipergunakan cocok (fit) dengan model yang disusun. Nilai Negelkerke R 2 0,688 (68,8%) menunjukkan bahwa variasi dari tertangkapnya labi-labi (Z) bisa dijelaskan oleh variasi variabel bebas; kecepatan

11 51 arus, suhu udara, suhu air dan ketinggian tempat sebesar 68,8% atau variabel bebas yang digunakan dalam model mampu menjelaskan 68,8% variasi dependen (Z), sedangkan sisanya 31,2% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model penelitian ini. Kecepatan arus mempengaruhi pergerakan labi-labi, berpotensi membatasi pergerakan individu yang lebih kecil (tukik dan remaja) (Carreare et al. 2009), sehingga peluang tertangkapnya labi-labi akan semakin tinggi pada sungai atau danau yang berarus tenang/lambat dan lebih mudah didapatkan labi-labi dewasa. Labi-labi memerlukan lumpur didasar perairan sebagai tempat berlindung (Ernst & Barbour 1989), pada perairan yang berarus lambat kebutuhan berlindung dapat terpenuhi karena substrat dasar perairan tidak dapat hanyut terbawa arus. Suhu udara dan suhu perairan mempengaruhi metabolisme labi-labi (Kairuman & Amri 2002), karena labi-labi memiliki toleransi yang sempit terhadap suhu jika dibandingkan dengan satwa yang hidup di darat. Elevasi merupakan faktor topografi yang berpengaruh terhadap tipe perairan. Tipe perairan yang sangat disukai labi-labi adalah perairan tenang dengan dasar berlumpur (Rooij 1970; Nutaphand 1979; Ernst & Barbour 1989).Tipe perairan tersebut banyak terdapat di dataran rendah, sehingga semakin rendah dan datar suatu habitat maka peluang tertangkapnya labi-labi semakin tinggi Penggunaan Habitat oleh Labi-labi Panenan Menurut Tipe Penutupan Lahan Banyaknya titik labi-labi tertangkap (presence points) dari sebaran penggunaan habitat menurut tipe penutupan lahan selama penelitian sebanyak 60 titik. Keseluruhan jumlah titik ini digunakan dalam menganalisis komponen habitat yang berpengaruh penting terhadap keberadaan labi-labi panenan. Hasil analisis klasifikasi penutupan lahan di buffer 1 km 2 dari titik labi-labi tertangkap diperoleh 6 (enam) kelas penutupan lahan yaitu rawa, sungai, semak belukar, pemukiman, kebun campuran, dan lahan terbuka. Pada lokasi ini, semak belukar memiliki proporsi luas paling besar yaitu mencakup 72,11% dari total luas buffer yang dibuat, diikuti oleh pemukiman13,02%, sungai 11,14%, rawa 2,95%, lahan terbuka 0,61%, dan kebun campuran 0,18 %. Tipe penutupan lahan di sekitar titik penangkapan disajikan pada Tabel 13 berikut.

12 52 Tabel 13 Tipe penutupan lahan di sekitar titik penangkapan Tipe Penutupan Lahan Luas (Ha) Persentase (%) Jumlah Titik Labi-labi Tertangkap Persentase (%) Rawa , Sungai 2, , Semak belukar 13, , Pemukiman 2, , Kebun campuran , Lahan terbuka , Total 18, Sehubungan dengan proporsi sebaran penggunaan habitat oleh labi-labi panenan di berbagai tipe tutupan lahan, diduga labi-labi melakukan seleksi dalam menempati habitatnya. Penggunaan habitat oleh labi-labi panenan memiliki hubungan yang signifikan dengan tipe tutupan lahan (P<0,05) yang secara lengkap disajikan pada Tabel 14. Hal ini mengindikasikan bahwa tipe tutupan lahan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sebaran penggunaan habitat oleh labi-labi pada suatu tempat. Peta indikasi sebaran penggunaan habitat oleh labi-labi pada berbagai tipe tutupan lahan di lanskap Bukit Batu disajikan pada Gambar 8. Tabel 14 Rekapitulasi perhitungan χ 2 untuk uji signifikansi seleksi tipe tutupan lahan oleh labi-labi panenan Tipe Habitat Luas (Ha) Proporsi Frekuensi Frekuensi (Oi-Ei) 2 / Ei (%) observasi (Oi) harapan (Ei) Rawa , ,77 148,82 Sungai 2, , ,68 186,75 Semak belukar 13, , ,27 43,27 Pemukiman 2, ,02 0 7,81 7,81 Kebun campuran ,18 0 0,11 0,11 Lahan terbuka ,61 0 0,37 0,37 Total 18, ,13 Keterangan : Menggunakan formula 1 diperoleh χ 2 hitung = 387,13 > χ 2 (0.05,5) = 11,07

13 53 44 Gambar 8 Tutupan lahan di sekitar lokasi penangkapan labi-labi di Kecamatan Bukit Batu.

14 54 Ketersediaan sumber pakan merupakan salah satu syarat habitat bagi satwaliar. Sungai memiliki lebih tinggi produktivitas primer sebagai sumber pakan (Ryder & Pesendorfer 1986; Randall et al dalam Carriere et al. 2009), karenanya labi-labi lebih menyukai habitat sungai. Labi-labi juga terdapat di rawa mati yang terhubung dengan sungai (pond), masyarakat lokal biasa menyebutnya danau. Rawa ini digunakan labi-labi sebagai tempat mencari makan karena banyak ikan dan hewan air lainnya yang terjebak di kawasan ini pada saat musim kering. Pinggiran sekitar sungai dan rawa didominasi oleh semak belukar yang digunakan sebagai breeding site. 5.2 Parameter Demografi Populasi Panenan Ukuran Populasi Jumlah labi-labi di setiap pemancing bervariasi antara 1-30 ekor. Jumlah tangkapan labi-labi berbeda dikarenakan bervariasinya kondisi perairan yang digunakan untuk memancing. Menurut para pemancing saat penelitian ini dilakukan bukan merupakan waktu puncak panen labi-labi dikarenakan air sungai masih dalam dan berarus deras sehingga menyulitkan pemancingan. Jumlah labilabi di pengumpul bervariasi antara ekor. Menurut pengumpul yang hanya memiliki 4 ekor labi-labi, menyatakan bahwa stok yang dimiliki sedikit dikarenakan belum adanya pesanan labi-labi. Hasil analisis parameter demografi populasi panenan di tingkat pemancing dan pengumpul disajikan dalam Tabel 15. Tabel 15 Peubah parameter demografi populasi panenan labi-labi di pemancing dan Pengumpul Tingkat Panenan Ukuran Populasi Jenis Kelamin Kelas Umur Jantan Betina Remaja Dewasa Muda Dewasa Pemancing Pc Pc Pc Pc Pc Pc Pc Pc Pc Pc

15 55 Tabel 15 Lanjutan Tingkat Panenan Ukuran Populasi Jenis Kelamin Kelas Umur Jantan Betina Remaja Dewasa Muda Dewasa Pc Pengumpul P P P Pendekatan estimasi kelimpahan panenan labi-labi yang digunakan adalah menghitung kelimpahan relatif labi-labi per kilometer sungai dibagi hari kerja. Berdasarkan usaha penangkapan, jumlah tangkapan labi-labi di habitat danau dan sungai ternyata bervariasi, hal ini dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Jumlah tangkapan labi-labi menggunakan pancing di lokasi pengamatan Lokasi Hari Kerja Jumlah Panjang Jalur Kelimpahan Tangkapan (km) (ind/km) Danau Pehun 3 4 2,25 1,78 Danau Sangomang 1 2 1,75 1,14 Danau Tahai ,8 Danau Tintu 3 8 5,25 1,52 Sungai Rungan ,00 Sungai Sangomang ,33 Sungai Tahai 5 7 6,25 1,12 Sungai Bangamat 6 6 7,5 0,8 Total ,09 Data pada Tabel 16 mengindikasikan bahwa peluang untuk menangkap seekor labi-labi ternyata cukup kecil. Dari 36 hari pemancingan pada berbagai lokasi, dengan waktu pemancingan yang relatif lama (rata-rata 12 jam per hari) dan jumlah mata pancing cukup banyak (rata-rata 70 mata pancing), hanya dihasilkan 60 ekor labi-labi. Mengingat tingginya variasi pada upaya pemancingan (lama pemancingan, jumlah mata pancing, panjang wilayah yang dipancing), sesungguhnya data yang dikumpulkan belum dapat menggambarkan kondisi populasi labi-labi di lokasi pengamatan. Perhitungan selanjutnya di bawah ini, mengenai estimasi kelimpahan panenan dan keberhasilan penangkapan merupakan hasil pendugaan kasar yang memerlukan pengulangan pada masa mendatang.

16 56 Hasil pengamatan di lapangan diketahui bahwa selama 36 hari pemancingan pada habitat sungai dan danau di Kecamatan Bukit Batu sepanjang 55 km dapat diperoleh 60 ekor labi-labi. Dengan asumsi bahwa upaya penangkapan (capture effort) konstan, maka selama 1 bulan pemancingan pada sungai sepanjang 1 km dapat diperoleh angka estimasi kelimpahan panenan 0,91 ekor labi-labi. Berdasarkan penghitungan panjang sungai di peta, diketahui bahwa panjang sungai yang menjadi habitat tangkap labi-labi adalah 574,28 km. Jika diasumsikan bahwa seluruh habitat tangkap ini dihuni oleh labi-labi, maka dengan menggunakan angka estimasi kelimpahan panenan 0,91 ekor/km/bulan, diperoleh estimasi kelimpahan panenan labi-labi perbulan sebanyak 523 ekor. Jika diekstrapolasikan, maka total panenan yang bisa dihasilkan mencapai >5.000 individu/tahun (6.276 individu). Angka ini merupakan jumlah labi-labi yang dapat dihasilkan dari wilayah Kalimantan Tengah bagian selatan yang meliputi anak Sungai Kahayan, Sungai Katingan, Sungai Mentaya dan anak sungai Seruyan. Sementara itu, kuota tangkap untuk Kalimantan Tengah selama 1 tahun adalah ekor, mengingat bahwa estimasi produksi di wilayah ini adalah individu/tahun, maka persentase kuota yang diperbolehkan sekitar 39,83% (2.500 dari ekor). Penelitian tentang populasi labi-labi panenan telah dilakukan di beberapa provinsi yang menjadi wilayah sebaran labi-labi di Indonesia. Studi pemanenan dan perdagangan labi-labi di Kalimantan Timur yang dilakukan selama 17 hari pemancingan pada sungai sepanjang 10,57 km diperoleh angka estimasi produksi 1,17 ekor/km/bulan, diasumsikan 80% dari habitat kunci sepanjang 482,34 km dihuni labi-labi maka memberikan angka estimasi populasi panenan sebanyak 451 ekor/bulan (Kusrini et al. 2009). Hasil penelitian Ginting (2012) di Jambi menyatakan estimasi kelimpahan labi-labi panenan di satu pedagang 123,34 ekor/bulan. Mumpuni dan Riyanto (2010) dalam surveinya di tiga provinsi menyebutkan estimasi kelimpahan di Sumatera Selatan adalah 70,54 ekor/bulan, di Riau 60,89 ekor/bulan, dan di Jambi 74,09 ekor/bulan.

17 Struktur Populasi Pada tingkat pengumpul 99,74% (n=385) labi-labi panenan merupakan kelas umur dewasa, hanya di pengumpul 2 (P2) terdapat labi-labi kelas umur dewasa muda. Pada pengumpul 1 (P1) dan pengumpul 3 (P3) 100% labi-labi panenan merupakan kelas umur dewasa, hanya di pengumpul 2 (P2) terdapat labi-labi kelas umur dewasa muda (25%). Di tingkat pemancing (Pc) ditemukan kelas umur remaja sebesar 5% (n=60) (Gambar 9 a). Persentase labi labi (%) P1 P2 P3 Pc Remaja Dewasa muda Dewasa 21 Dewasa Dewasa Muda Remaja Tukik 0 31 Betina Jantan Tempat pengukuran Gambar 9 (a). Struktur populasi panenan labi-labi di pemancing dan pengumpul berdasarkan kelas umur. (b). Struktur populasi panenan labi-labi di tingkat pemancing berdasarkan kelas umur. Pengumpul P1 dan P2 hanya menerima labi-labi pada kelas umur dewasa yang dibatasi berbobot di atas 3 kg dikarenakan untuk mengurangi resiko kematian. Pengumpul ini merupakan agen yang mengirimkan labi-labinya ke eksportir di Banjarbaru Kalimantan Selatan. Cara kerja yang mereka lakukan adalah dengan mendatangi pemancing-pemancing yang berada di sepanjang sungai Seruyan untuk membeli labi-labi langsung dari pemancing yang dikumpulkan di rumah bagan yang mereka tempati. Sebulan sekali mereka kirimkan barangnya ke Banjarbaru. Kedua pengumpul ini tidak memiliki ijin tangkap dan edar dari BKSDA Kalimantan Tengah, jadi selama ini tidak ada pencatatan dan monitoring besarnya labi-labi yang keluar dari Kalimantan Tengah masuk ke Kalimantan Selatan. Hasil wawancara dengan pengumpul yang berada di kota Pangkalan Bun Kabupaten Kotawaringin Barat (A) menyatakan bahwa rata-rata berat labi-labi yang dikirim ke Banjarmasin Kalimantan Selatan adalah berkisar antara 500 kg 1000 kg per bulan.

18 58 Pengumpul P2 merupakan pengumpul yang berada di Kota Palangkaraya yang pada saat penelitian hanya memiliki 4 ekor labi-labi. Pengumpul ini merupakan pengumpul yang justru mendapatkan ijin tangkap dan edar dari BKSDA Kalimantan Tengah. Alasannya tidak menerima labi-labi lagi adalah karena belum adanya permintaan dari pelanggannya yang berada di Jakarta. Menurut keterangan para pengumpul, pemilihan labi-labi hanya pada kelas umur dewasa yang biasa diterima adalah yang berbobot di atas 3 kg dikarenakan untuk mengurangi resiko kematian yang lebih tinggi. Terhadap labi-labi muda yang tertangkap pancing, biasanya oleh para pemancing dilepaskan lagi atau bagi pemancing yang bersuku dayak digunakan untuk konsumsi sendiri. Struktur umur labi-labi dibedakan atas kelas umur tukik, remaja, dewasa muda dan dewasa. Jumlah labi-labi di setiap kelas umur tersebut dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Jumlah labi-labi panenan pada setiap kelas umur Struktur Umur PLK (cm Jumlah labi-labi Pemancing Pengumpul Total Tukik 5, Remaja 6,0 19, Dewasa Muda 20 24, Dewasa Total Struktur populasi panenan berdasarkan kelas umur di tingkat pemancing menunjukkan kondisi populasi panenan didominasi kelas umur dewasa (52 ekor, n=60), dan terbanyak adalah betina dewasa (31 ekor). Hasil penelitian Ginting (2012) juga menyebutkan bahwa populasi labi-labi panenan didominasi kelas umur dewasa. Peluang hidup yang tinggi pada kelas umur dewasa menjadi penting bagi pertumbuhan populasi kura-kura (Heppel 1998 dalam Chacín 2010), jika pemanenan labi-labi terus dilakukan pada kelas umur dewasa maka dapat mengancam proses perkembangbiakan dan pemulihan populasinya di alam.

19 Nisbah kelamin Labi-labi hasi tangkapan pemancing tidak semuanya dapat diketahui jenis kelaminnya. Kelas umur remaja dan dewasa muda (9 ekor) tidak dapat diidentifikasi jenis kelaminnya karena ukuran PLK < 25 cm. Labi-labi dapat dibedakan jenis kelaminnya setelah masuk usia dewasa yaitu yang memiliki panjang lengkung karapas lebih dari 25 cm. Hasil tangkapan selama penelitian, menunjukkan bahwa pemancing tidak membedakan jenis kelamin dalam menangkap labi-labi. Demikian juga hasil penelitian Walter (2009) dan Lilly (2010) di Kalimantan Barat, dimana masyarakat lokal baik dayak iban maupun melayu mengambil semua labi-labi yang tertangkap tanpa membedakan jenis kelaminnya. Hasil penelitian ini menunjukkan presentase labi-labi jantan dewasa yang dipanen adalah 40,4% dan betina dewasa 59,6% dengan nisbah kelamin 1:1,47. Betina dewasa berpindah lebih jauh untuk bersarang (Carriere et al. 2009), sehingga diduga mengakibatkan semakin besarnya peluang betina dewasa untuk tertangkap. Nisbah kelamin optimal merupakan faktor yang sangat menentukan dalam pertumbuhan populasi, betina dewasa optimal penting untuk dijaga agar pertumbuhan populasi di alam masih dapat berjalan. Pembatasan pada ukuran tertentu untuk tidak dipanen harus dipatuhi oleh pemancing dan pengumpul sebagai stakeholder pemanfaat labi-labi. Kontrol pemanenan harus dilakukan oleh management authority dalam hal ini BKSDA Kalimantan Tengah Angka Kematian Angka kematian (mortalitas) pada saat dilakukan penelitian hanya terjadi di satu pemancing di Kota Palangkaraya. Kematian satu ekor labi-labi terjadi pada bulan Mei 2012 saat populasi panenan berjumlah 30 ekor, sehingga angka kematian pada bulan tersebut adalah 3,33%. Jumlah kematian tersebut terhadap total jumlah populasi panenan di seluruh pemancing yang berjumlah 60 ekor adalah sebesar 1,67%. Kematian terjadi pada labi-labi dewasa dan tidak ada pada kelas umur tukik. Pemanenan masih bisa lestari jika telur dan kelas umur tukik dijaga dan tidak dimanfaatkan. Ginting (2012) menghitung angka kematian panenan di lokasi

20 60 pengumpulan di Jambi sebesar 3,23% dari total populasi panenan 743 ekor.kusrini et al. (2009) menyebutkan angka kematian di lokasi pengumpulan di Kalimantan Timur sebesar 2,01% dari total populasi panenan sebesar 526 ekor, sementara Lilly (2010) menyebutkan angka kematian sebesar 15% di tingkat pengumpul di Kabupaten Sambas dan Ketapang Kalimantan Barat. Kematian yang terjadi di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat disebabkan oleh luka akibat bekas pemancingan, berbeda dengan hasil penelitian Ginting (2012) yang menyatakan bahwa kematian labi-labi di tingkat pengumpul di Jambi diakibatkan oleh padatnya kolam penampungan sehingga terjadi perkelahian antar labi-labi Morfometri Pada penelitian ini diketahui labi-labi pada kisaran berat antara 5,1 kg 15 kg masih dilakukan pemanenan (pemancing 35%, n=60; pengumpul 7,8%, n=385). Kisaran berat ini oleh pengumpul dijual untuk kebutuhan masyarakat lokal karena tidak diterima oleh eksportir. Berdasarkan kebijakan yang mengatur penangkapannya di alam, ukuran labi-labi yang diperbolehkan ditangkap adalah individu dengan berat kurang dari 5 kg dan lebih dari 15 kg karena diasumsikan pada kisaran berat antara 5 kg 15 kg individu labi-labi berada pada umur reproduksi yang optimal. Kebijakan ini digunakan sebagai salah satu rambu untuk mengontrol pemanenan labi-labi di alam. Kontrol pemanenan labi-labi di Kalimantan Tengah masih kurang dilakukan karena sebagian besar kelas umur labi-labi dimanfaatkan baik untuk kebutuhan lokal dan kebutuhan ekspor. Bila dilihat dari struktur populasi panenan berdasarkan berat badan, terlihat bahwa jumlah labi-labi berbobot kecil lebih banyak daripada labi-labi berbobot besar. Hal ini berlaku pada labi-labi hasil tangkapan dan labi-labi di pengumpul, dimana ukuran populasi panenan tersebut didominasi pada ukuran dibawah 5 kg. Kecenderungan hasil panenan labi-labi di Kabupaten Sambas dan Ketapang Kalimantan Barat juga didominasi labi-labi berbobot di bawah 5 kg (Lilly 2010), berbeda halnya dengan labi-labi yang dipanen di Kalimantan Timur bagian utara (Kaltara) yang didominasi pada kisaran berat antara 5,5 13,5 kg (Kusrini et al. 2009). Hasil pengukuran morfometri labi-labi panenan disajikan pada Tabel 18.

21 61 Tabel 18 Hasil pengukuran morfometri labi-labi di Kalimantan Tengah Lokasi Pengukuran Massa (kg) PLK (cm) Kisaran Rata2 ± SD Kisaran Rata2 ± SD Pemancing (n=60) 0,6-20 6,6 ± 5, ,4 ± 12,3 Pengumpul 1 (n=236) ,5 ± 7, ,7 ± 8,3 Pengumpul 2 (n=4) 3,5-10 6,6 ± 2, ,5 ± 8,7 Pengumpul 3 (n=145) ,4 ± 8, ,5 ± 7,95 Jumlah individu < 1 kg 1-5 kg kg kg kg Jumlah Individu kg kg kg kg kg Gambar 10 (a) Proporsi populasi panenan berdasarkan bobot tubuh di tingkat Pemancing. (b) Proporsi populasi panenan berdasarkan bobot tubuh di tingkat pengumpul. Analisis yang dilakukan pada peubah morfometri menghasilkan kesimpulan bahwa bobot tubuh labi-labi hasil tangkapan di habitat sungai dan habitat danau tidak berbeda nyata, begitu juga untuk ukuran Panjang Lengkung Karapas (PLK) (Tabel 19).

22 62 Tabel 19 Hasil analisis morfometri pada tipe habitat danau dan sungai Peubah Rata-rata hasil pengukuran Hasil Uji Kolmogorov- Smirnov Danau Sungai Probabilitas Kesimpulan N Bobot tubuh 0,609 Ho diterima PLK 0,431 Ho diterima Teknik Pemanenan Kriteria tempat pemasangan pancing yang biasa dilakukan para pemancing adalah di tepi sungai yang arus airnya tenang tidak deras, warna airnya agak keruh, dengan kedalaman sedang antara 1,5 2 m, terdapat pohon besar dipinggir sungai dimana akarnya digunakan sebagai tempat sembunyi labi-labi atau di danau dan rawa-rawa yang terdapat tumbuhan pelindung seperti eceng gondok, bakung. Hampir semua responden melakukan pemancingan labi-labi melalui jalur sungai, sejak awal menuju lokasi ditempuh dengan menggunakan transportasi air yang disebut perahu ces yang biasanya ditumpangi oleh 1-2 orang. Pancing di pasang dari atas perahu pada tepi sungai dengan jarak tertentu. Cara menempuh lokasi pemancingan ini berbeda dengan hasil survei di Kalimantan Timur yang menyatakan bahwa pemancing melalui jalur sungai dan jalur darat (sepeda motor, mobil) (Kusrini et al. 2009). Modal yang dikeluarkan selama 1 kali berangkat Rp ,- untuk areal tangkap yang dekat dan menggunakan perahu ces milik pribadi. Apabila berangkat sendiri ke lokasi tangkap yang jauh, modal untuk sekali berangkat antara Rp ,- (tanpa keluarga) dan mencapai Rp ,- (dengan keluarga). Biasanya bila berangkat memancing ke daerah hulu/mudik dengan waktu selama ± 15 hari maximum pendapatan labi-labi sekitar 10 ekor dengan jumlah kg sekitar 80 kg. Sedangkan pendapatan minimal sekitar 7 ekor dengan jumlah sekitar 28 kg. Rata-rata labi-labi yang didapatkan sekali memancing di daerah kuala pembuang 2-5 ekor dengan jumlah mata banjur sekitar 70 mata banjur untuk sekali pasang/ sekali membanjur (memancing).

23 63 Alat tangkap yang digunakan antara lain: a) Pancing /banjur Pancing/banjur yang terdiri dari tali yang panjangnya ± 5 m 10 m,dan mata banjurnya yang terbuat dari kawat ukuran no 6. Untuk pemasangan banjur ini di pasang mulai pukul WIB WIB, kemudian di ambil besok pagi sekitar pukul WIB. b) Rawai Rawai ini terbuat dari tali yang panjangnya sampai sekitar 50 m atau lebih dan mata banjur, untuk pemasangan rawai ini dengan menyeberang sungai artinya untuk pemasangannya ini ujung tali satu di ikatkan di pinggir sungai kemudian ujung talinya di ikatkan di seberang sungai, sedangkan pada tali yang berada di tengah sungainya di beri batu atau karung pasir agar tali dan mata banjur tenggelam sampai dasar sungai. Pemasangannya dilakukan pada sore hari pukul wib, dan di ambil besok paginya sekitar pukul wib. Jumlah mata pancing pada rawai ini biasanya sekitar mata banjur tergantung panjang dan lebar tali dan sungainya. c) Rempa Rempa ini sejenis jaring ikan juga, tetapi cara penggunaannya dengan cara ujung rempa di tarik ke tengah sungai atau danau kemudian setelah cukup lama lalu ujung satu dengan ujung satunya ditemukan ( dengan cara melingkar) tujuannya agar labi-labinya terkurung. Kalau di sungai yang ada pasir atau gosong yang tinbul di sekitar sungai itu maka rempa ini setelah di lakukan pemasangan seperti diatas kemudian rempa ini kita tarik dan kita naikan ke atas pasir untuk memperoleh labi-labi atau ikan. d) Kalang Kalang berbentuk kotak/segi empat, terbuat dari rangkaian kayu bulat dan tali yang di buat seperti jaring kemudian di pasang dan di satukan berbentuk kotak, pemasangan dilakukan di tempat yang banyak rerumputan yang ada di pinggir sungai ataupun danau biasanya di umpan dengan ikan busuk. Untuk pemasangan di pasang pada pagi atau sore hari, diperiksa keesokan harinya.

24 64 e) Taut Sejenis pancing dengan panjang tali sekitar 3 m, ketebalan 2 mm, menggunakan mata pancing nomor 11, dipasang dengan ditautkan ke pohon di pinggir sungai atau diikatkan pada tumbuhan air yang tumbuh di atas danau. f) Lapak Pancing menggunakan bambu dengan panjang ± 1 m, menggunakan senar 2,5 mm dan mata pancing nomor 11, dipasang dipinggir-pinggir sungai dengan ditancapkan. Waktu yang mudah untuk penangkapan labi-labi menurut pemancing adalah pada musim banjir dengan menggunakan alat tangkap taut atau lapak dengan umpan daging ayam segar atau ikan toman segar yang dipotong-potong dan pada musim kemarau menggunakan kayu atau besi yang ditusukkan ke lumpur untuk mengetahui keberadaan labi-labi. Apabila ditemukan, labi-labi dapat diambil dengan menggunakan gancu atau ditusuk bagian belakang/ samping agar labi keluar dari sarangnya. Metode yang sama dilakukan juga di wilayah lain dimana terdapat aktivitas pemanenan labi-labi dari habitat alaminya (Kusrini et al. 2009; Lilly 2010; Mumpuni & Riyanto 2010; Mumpuni et al. 2011; Ginting 2012). Gambar 11 Alat tangkap yang digunakan pemancing.

25 65 Menurut informasi dari pemancing, labi-labi lebih cepat didapatkan pada hari setelah turun hujan. Pemasangan pancing atau banjur dilakukan pada saat mendung dan setelah turun hujan pancing atau banjur diperiksa kembali, dan biasanya labi-labi mudah didapatkan. Hal ini ternyata sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Jensen dan Das (2008) yang menyatakan bahwa labi-labi lebih banyak ditangkap pada saat mendung, yang mengindikasikan bahwa cuaca mendung lebih banyak dilakukan untuk aktifitas berpindah dan mencari makan. Umpan yang digunakan oleh setiap pemancing bervariasi. Di desa Pematang Limau, seorang pemancing menggunakan ayam sebagai umpan. Ayam diperoleh dari membeli, dengan harga satu kilo ayam negeri Rp , ayam diiris-iris dengan ukuran sekitar dua jari. Para pemancing yang menggunakan perahu biasanya menggunakan ikan toman dan baung sebagai umpan. Ikan ini didapat dengan cara memancing di sungai-sungai sepanjang daerah pemancingan. Di Kecamatan Bukit Batu, sebagian besar pemancing menyebutkan bahwa lele merupakan umpan favorit untuk memancing labi-labi. Lele memiliki bau amis yang tajam dan labi-labi menyukainya. Selain ayam dan ikan, pemancing juga menggunakan daging primata sebagai umpan. Daging primata yang biasa digunakan adalah monyet ekor panjang. Daging monyet ekor panjang diperoleh dengan cara ditembak menggunakan senapan rakitan lalu dikuliti dan dipilah dagingnya sebagai umpan. Menurut para pemancing, daging segar jenis primata, unggas dan aves yang masih memiliki darah sangat disukai labi-labi karena bau amis darahnya. Umpan yang sama juga digunakan ditempat lain dimana terdapat aktivitas pemanenan labi-labi di habitat alaminya (Kusrini et al. 2009); Lilly 2010). Gambar 12 Umpan yang digunakan untuk memancing labi-labi.

26 66 Tempat penyimpanan labi-labi di 3 pengumpul berbeda-beda. Pada pengumpul 1 dan 2, labi-labi yang diterima dari pemancing disimpan di dalam bak-bak penampungan yang terbuat dari semen permanen. Bak-bak tersebut diisi air ±0,3 m agar labi-labi tidak dapat lompat keluar dari bak. Di tempat penampungan milik pengumpul 1 terdapat 5 bak penampungan dengan ukuran masing-masing (2 x 3 x 0,5) m. Di penampungan milik pengumpul 2 terdapat 3 bak penampungan dengan ukuran masing-masing (3 x 3 x 1) m. Pengumpul 3 menyimpan labi-labi pada kotak yang terbuat dari kayu, dengan ukuran (2 x 3 x 1,5) m. kotak penyimpanan diletakkan dipinggir sungai yang berada didekat rumah terapung (lanting) miliknya. Setengah bagian kotak tersebut berada di atas permukaan air, dan setengahnya lagi berada di bawah permukaan. Hal tersebut memberikan ruang bernafas labi-labi yang disimpan didalamnya. Labi-labi hanya diletakkan begitu saja tidak diberikan perlakuan apapun, berbeda yang dilakukan pengumpul di Jambi. Ginting (2012) menyatakan bahwa salah satu pengumpul di Jambi melakukan pembesaran labi-labi di kolam penampungan. Labi-labi berukuran kecil dipelihara hingga mencapai ukuran super yang harga jualnya lebih tinggi. Bak-bak penyimpanan tersebut dapat dilihat pada Gambar 13. Gambar 13 Bak penampungan dan kotak penyimpanan labi-labi di penampung Alur perdagangan Alur perdagangan labi-labi di Kalimantan Tengah terdiri dari 3 tingkatan yaitu; (1) pemancing/penangkap; (2) pengumpul; dan (3) penampung. Pemancing merupakan orang yang mencari langsung labi-labi di habitat alam. Para pencari juga biasanya bekerja sebagai nelayan pencari ikan (tidak bekerja secara khusus sebagai pencari labi-labi). Pengumpul adalah orang yang menerima labi-labi

27 67 secara langsung dari para pemancing, namun terkadang juga mereka menjemput labi-labi panenan pemancing di lokasi. Para penampung biasanya mempunyai pengumpul khusus yang bekerja dan menyuplai kura-kura. Penampung merupakan orang yang menjadi perantara para pemancing dan pengumpul dengan eksportir. Eksportir yang menerima labi-labi pasokan dari Kalimantan Tengah adalah eksportir dari Kota Banjarbaru, Pontianak, Balikpapan dan Medan. Letak eksportir yang jauh dari lokasi penangkapan labi-labi tidak memungkinkan para pemancing menjual langsung hasil tangkapannya kepada eksportir. Frekuensi pengangkutan labi-labi bergantung pada jumlah perolehan panenan yang dapat dikumpulkan oleh para penampung. Labi-labi akan diangkut jika jumlah yang ada di penampung minimal 1 pikul (± 100 kg). Panjang pendeknya alur perdagangan menentukan motif dan jumlah tangkapan labi-labi oleh pemancing. Alur perdagangan di Kabupaten Seruyan menggunakan sistem jalur pendek, yaitu penampung juga sebagai pengumpul yang membeli langsung labi-labi ke pemancing dan setelah terkumpul minimal 1 pikul mereka langsung menjualnya ke eksportir di Kota Banjarbaru. Harga labilabi di tingkat pemancing bisa menjadi lebih tinggi pada alur perdagangan ini, sehingga pemancing termotivasi untuk lebih banyak lagi menangkap labi-labi. Berbeda halnya di Kota Palangkaraya, alur perdagangan di sini menggunakan sistem jalur panjang, yaitu pemancing menjual ke pengumpul kemudian dijual lagi ke penampung kemudian dikirim ke eksportir di Jakarta, Pontianak atau Balikpapan. Harga yang ditawarkan pengumpul menjadi lebih rendah karena panjangnya alur perdagangan dan biaya transportasi yang semakin tinggi. Rendahnya harga jual labi-labi di Palangkaraya mengakibatkan pemancing tidak lagi menjadikan labi-labi sebagai target pancingan utama dan hasil panenan labilabi di Kota Palangkaraya lebih sedikit bila dibandingkan dengan hasil panenan di Kabupaten Seruyan. Hasil pengumpulan data yang berasal dari pengiriman labi-labi oleh 3 (tiga) pengumpul di Kalimantan Tengah yang memiliki ijin selama tahun 2011 menunjukkan bahwa terdapat beberapa daerah utama penerima pasokan labi-labi dari Kalimantan Tengah yang ditunjukkan pada Gambar 14.

28 68 Seruyan Pemancing/ Penampung Pontianak Eksportir Banjarmasin Pengumpul Eksportir Balikpapan Eksportir Katingan Pemancing/ Penampung Palangkaraya Pemancing/ Pengumpul Jakarta Restoran/Pasar Medan Eksportir Gambar 14 Alur perdagangan labi-labi di Kalimantan Tengah Pontianak Medan Jakarta Balikpapan Gambar 15 Volume labi-labi yang dikirim dari Kalimantan Tengah pada bulan Maret sampai dengan Nopember Tabel 20 Harga labi-labi di tingkat pemancing dan pengumpul No. Klasifikasi Ukuran (kg) Harga di Pemancing (Rp/kg) Harga di Penampung (Rp/kg) 1 < > Jenis dan ukuran tubuh menentukan harga seekor labi-labi. Tabel 21 diatas memperlihatkan variasi harga untuk setiap klasifikasi ukuran. Ukuran 5-15 kg

29 69 mempunyai harga yang paling tinggi yaitu di tingkat penampung mencapai Rp /kg. Menurut keterangan dari penampung bahwa variasi harga tersebut terkait dengan permintaan pasar terutama pasar ekspor. Nilai estetika pada saat penyajian mengakibatkan permintaan yang tinggi sementara ketersediaan ukuran tersebut semakin langka. Fluktuasi harga juga dijadikan sebagai alat untuk mengendalikan volume pembelian dari pemancing karena terkait dengan resiko atas kematian labi-labi yang akan ditanggung oleh pengumpul. Variasi harga antar pengumpul juga dijadikan sebagai alat persaingan antar pengumpul agar pemancing mau menjual labi-labi hasil tangkapannya kepada mereka. Harga labi-labi di Jambi juga dibedakan berdasarkan ukuran berat yaitu kelas kecil <7 kg, kelas super 7-20 kg, dan kelas besar >20 kg (Ginting 2012), namun ada perbedaan antara Kalimantan Tengah dengan Jambi yaitu klasifikasi ukuran termahal, di Kalimantan Tengah pada kisaran 5-15 kg sementara di Jambi pada kisaran berat 7-20 kg mencapai harga Rp Harga labi-labi di Kalimantan Timur dibagi menjadi tiga kelas yaitu : kelas < 20 kg, kelas kg dan kelas > 30 kg berturut-turut Rp /kg, Rp /kg dan /kg (Kusrini et al. 2009). Oktaviani & Samedi (2008) menyebutkan bahwa harga labilabi di Sumatera Selatan juga dibedakan berdasarkan klasifikasi ukuran namun dengan interval berat yang lebih sempit menjadi 8 kelas, harga tertinggi berkisar antara Rp Rp per kg pada labi-labi ukuran 3,1-9,9 kg. 5.3 Implikasi Terhadap Pelestarian Populasi Labi-labi Panjang sungai yang diukur dalam dugaan populasi hanya sebagian kecil dari luasan habitat utama labi-labi di Kalimantan Tengah, karena bagian yang diukur hanya panjang sungai lokasi tangkap tidak mencakup anak sungai dan lahan basah lainnya (rawa, danau dan kanal). Estimasi populasi labi-labi panenan yang bisa dihasilkan selama 1 tahun mencapai ekor, sedangkan kuota tangkap dalam satu tahun ekor. Berdasarkan estimasi yang didapatkan menunjukkan bahwa kuota yang ditetapkan selama ini masih dalam kisaran yang aman untuk pelestarian labi-labi di alam, namun adanya preferensi pada kelas

30 70 umur dewasa dapat memberikan implikasi negatif terhadap populasi labi-labi di alam dan juga pemanfaatan di masa mendatang. Berdasarkan kelas umur, labi-labi panenan di Kalimantan Tengah didominasi oleh kelas umur dewasa (97,98% dari 445 ekor) terbanyak adalah betina dewasa dengan nisbah kelamin 1:1,47. Baik pemancing maupun pengumpul menginginkan labi-labi hasil tangkapan berbobot besar yang termasuk dalam kelas umur dewasa. Labi-labi panenan yang berbobot kurang dari 1 kg oleh pemancing biasanya dilepaskan lagi karena tidak laku di pasar tradisional maupun di pengumpul. Keberadaan individu dewasa dalam suatu populasi labi-labi merupakan hal yang sangat penting (Heppel 1998 dalam Chacín 2010). Kelas umur dewasa merupakan umur reproduksi optimal. Reproduksi adalah faktor penentu dalam memelihara keseimbangan populasi maupun untuk meningkatkan jumlah populasi. Keberhasilan reproduksi sangat menentukan perkembangan populasi. Rekomendasi CITES mengenai kisaran berat labi-labi yang dipanen ternyata belum sepenuhnya berhasil diimplementasikan yang tergambar dari karakteristik populasi panenan di Kalimantan Tengah, dimana labi-labi berumur reproduksi optimal (berat 5,1 kg 15 kg) masih dilakukan pemanenan 11,46% (n=445). Kuota tangkap hanya mengakomodir 39,83% kemampuan produksi pemancing di Kalimantan Tengah. Kemampuan produksi yang tidak dapat diakomodir kuota tangkap ini memberikan celah bagi pengumpul yang tidak memiliki ijin untuk dapat mengedarkan labi-labi ke wilayah lain, terutama di Kalimantan Selatan. Dari 3 pengumpul yang diukur labi-labinya sebagai sampel morfometri, 2 diantaranya tidak memiliki ijin tangkap dan edar dari BKSDA Kalimantan Tengah. Mereka mengirimkan labi-labi ke Kalimantan Selatan tanpa SATS-DN. Hal ini menyebabkan peluang terjadinya data yang tidak dikatakan (unreported), mengindikasikan bahwa pemanfaatan labi-labi di Kalimantan Tengah melebihi kuota yang ditentukan. Konsistensi penegakan peraturan termasuk perijinan dan jumlah kuota tangkap merupakan salah satu prasyarat untuk pengelolaan sumberdaya alam yang baik sehingga pelestarian populasi labilabi di habitat alaminya dapat terjamin. Kontrol pemanenan harus dilakukan oleh BKSDA Kalimantan Tengah dengan memberikan pendekatan kepada pengumpul

31 71 yang tidak berijin untuk diterbitkan ijin tangkap dan edarnya. Pengumpul wajib melaporkan hasil tangkapan sesuai dengan ijin yang diberikan, yang diverifikasi oleh penerbit ijin. Penangkapan berkelanjutan (sustainable harvest) merupakan satu konsep yang memerlukan pemahaman yang mendalam, namun diikuti dengan implementasi secara praktis oleh multi pihak dan digunakan dalam kegiatan konservasi saat ini (Struhsaker 1998). Keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya labi-labi berhubungan erat dengan kajian pengaturan penangkapan yang ditinjau dari aspek biologi. Charles (2001) mengatakan bahwa produksi berkelanjutan adalah penangkapan hari ini tanpa merusak sumberdaya alam di masa yang datang. Jumlah kuota tangkap labi-labi di Kalimantan Tengah masih dapat ditingkatkan menjadi 50% estimasi kemampuan produksi pemancing yaitu mencapai ± ekor, namun kontrol ukuran panenan harus dilakukan oleh BKSDA Kalimantan Tengah. Ukuran reproduksi optimal labi-labi betina dengan berat 5,1 kg 15 kg tidak dilakukan pemanenan untuk memberikan kesempatan labi-labi bereproduksi menghasilkan telur. Telur dan tukik tidak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memberikan kesempatan telur menetas menjadi tukik dan berkembang hingga mencapai kelas umur yang sesuai untuk dipanen. Penambahan jumlah kuota juga dimaksudkan untuk mengakomodir labi-labi panenan dari pemancing. Hal ini dimaksudkan agar kontrol peredaran labi-labi dapat berjalan dengan baik. Upaya pemanfaatan sumberdaya labi-labi yang berkelanjutan memerlukan dukungan dan kerjasama yang baik antara komponen yang terlibat langsung di lapangan. Unsur utama yang terlibat dalam sistem dan mekanisme perdagangan labi-labi ada 3 yaitu pemanfaatan (pemancing; pengumpul), perijinan dan pengawasan. Strategi yang harus dilakukan untuk mendukung upaya pemanfaatan labi-labi berkelanjutan adalah : a. Penyadartahuan pentingnya tidak mengganggu dan menjaga sarang labi-labi termasuk telurnya untuk menjaga pertumbuhan populasi labi-labi, dilakukan melalui kegiatan penyuluhan dan sosialisasi kepada masyarakat pemancing & sekitar sungai.

METODE PENELITIAN. 4.1 Lokasi dan Waktu

METODE PENELITIAN. 4.1 Lokasi dan Waktu 31 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Kalimantan Tengah bagian selatan dengan rincian lokasi: a. Lokasi habitat tangkap labi-labi di kelompok anak Sungai Kahayan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Tata Niaga Labi-labi 5.1.1 Pelaku Tata Niaga Pelaku perdagangan labi-labi terdiri dari para pedagang besar, pengumpul dan para penangkap yang tersebar di kota Jambi dan 8 kabupaten

Lebih terperinci

TUJUAN umum. Lokasi penelitian 27/11/2011

TUJUAN umum. Lokasi penelitian 27/11/2011 MIRZA D. KUSRINI ANI MARDIASTUTI BOBY DARMAWAN MEDIYANSYAH ABDUL MUIN NATUREharmony promoting a balance between development and conservation of biological resources Latar Belakang Labi-labi (Amyda cartilaginea)

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN KETAPANG

III. METODE PENELITIAN KETAPANG III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dua lokasi tangkapan labi-labi (Amyda cartilaginea) yaitu di Kabupaten Sambas dan Kabupaten Ketapang untuk tingkat pemancing

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1 Parameter Demografi Populasi Panenan Tingkat pemancing dan pengumpul di Kabupaten Sambas Pemanenan labi-labi di Kalimantan Barat dilakukan dengan menggunakan pancing

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id di alternatif usaha budidaya ikan air tawar. Pemeliharaan ikan di sungai memiliki BUDIDAYA IKAN DALAM KERAMBA DI PERAIRAN MENGALIR

bio.unsoed.ac.id di alternatif usaha budidaya ikan air tawar. Pemeliharaan ikan di sungai memiliki BUDIDAYA IKAN DALAM KERAMBA DI PERAIRAN MENGALIR BUDIDAYA IKAN DALAM KERAMBA DI PERAIRAN MENGALIR Oleh: Dr. Endang Widyastuti, M.S. Fakultas Biologi Unsoed PENDAHULUAN Ikan merupakan salah satu sumberdaya hayati yang dapat dimanfaatkan untuk pemenuhan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemeliharaan Induk Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk terlebih dahulu di kolam pemeliharaan induk yang ada di BBII. Induk dipelihara

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Lokasi penelitian ini meliputi wilayah Kota Palangkaraya, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kabupaten Seruyan, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Katingan, Kabupaten

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

TEKNIK PENGUKURAN MORFOLOGI LABI LABI (Amyda cartilaginea) DI SUMATERA SELATAN

TEKNIK PENGUKURAN MORFOLOGI LABI LABI (Amyda cartilaginea) DI SUMATERA SELATAN TEKNIK PENGUKURAN MORFOLOGI LABI LABI (Amyda cartilaginea) DI SUMATERA SELATAN Tri Muryanto dan Sukamto Teknisi Litkayasa pada Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan-Jatiluhur Teregistrasi

Lebih terperinci

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec BAB III KONDISI UMUM LOKASI Lokasi penelitian bertempat di Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Kota Banjarbaru, Kabupaten Kota Banjarmasin, dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

TEKNIK PENANGKAPAN IKAN SIDAT DENGAN MENGGUNAKAN BUBU DI DAERAH ALIRAN SUNGAI POSO SULAWESI TENGAH

TEKNIK PENANGKAPAN IKAN SIDAT DENGAN MENGGUNAKAN BUBU DI DAERAH ALIRAN SUNGAI POSO SULAWESI TENGAH Teknik Penangkapan Ikan Sidat..di Daerah Aliran Sungai Poso Sulawesi Tengah (Muryanto, T & D. Sumarno) TEKNIK PENANGKAPAN IKAN SIDAT DENGAN MENGGUNAKAN BUBU DI DAERAH ALIRAN SUNGAI POSO SULAWESI TENGAH

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI KERBAU KALANG DI KECAMATAN MUARA WIS, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR

ANALISIS POTENSI KERBAU KALANG DI KECAMATAN MUARA WIS, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR ANALISIS POTENSI KERBAU KALANG DI KECAMATAN MUARA WIS, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR LUDY K. KRISTIANTO, MASTUR dan RINA SINTAWATI Balai Pengkajian Teknologi Pertanian ABSTRAK Kerbau bagi

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Letak dan Luas Daerah penelitian mencakup wilayah Sub DAS Kapuas Tengah yang terletak antara 1º10 LU 0 o 35 LS dan 109 o 45 111 o 11 BT, dengan luas daerah sekitar 1 640

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat 4 TINJAUAN PUSTAKA Pendekatan Agroekologi Agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat diharapkan tidak

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Sejarah Perusahaan 5.2. Struktur Organisasi

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Sejarah Perusahaan 5.2. Struktur Organisasi V. GAMBARAN UMUM 5.1. Sejarah Perusahaan Ben s Fish Farm mulai berdiri pada awal tahun 1996. Ben s Fish Farm merupakan suatu usaha pembenihan larva ikan yang bergerak dalam budidaya ikan konsumsi, terutama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat I. PENDAHULUAN Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat dengan cara membendung aliran sungai sehingga aliran air sungai menjadi terhalang (Thohir, 1985). Wibowo (2004) menyatakan

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 19 3.1 Luas dan Lokasi BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luas wilayah seluas 2.335,33 km 2 (atau 233.533 ha). Terletak pada 2 o l'-2 o 28' Lintang Utara dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai merupakan suatu perairan yang airnya berasal dari air tanah dan air hujan, yang mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran tersebut dapat

Lebih terperinci

Spesies yang diperoleh pada saat penelitian

Spesies yang diperoleh pada saat penelitian PEMBAHASAN Spesies yang diperoleh pada saat penelitian Dari hasil identifikasi sampel yang diperoleh pada saat penelitian, ditemukan tiga spesies dari genus Macrobrachium yaitu M. lanchesteri, M. pilimanus

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU

GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU 75 GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU Sumatera Barat dikenal sebagai salah satu propinsi yang masih memiliki tutupan hutan yang baik dan kaya akan sumberdaya air serta memiliki banyak sungai. Untuk kemudahan dalam

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LABI-LABI (Amyda cartilaginea Boddaert, 1770) DI KABUPATEN MUSI BANYUASIN, SUMATERA SELATAN ABSTRAK

PEMANFAATAN LABI-LABI (Amyda cartilaginea Boddaert, 1770) DI KABUPATEN MUSI BANYUASIN, SUMATERA SELATAN ABSTRAK PEMANFAATAN LABI-LABI (Amyda cartilaginea Boddaert, 1770) DI KABUPATEN MUSI BANYUASIN, SUMATERA SELATAN Astri Suryandari, Danu Wijaya, dan Agus Arifin Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Budidaya laut (marinecultur) merupakan bagian dari sektor kelautan dan perikanan yang mempunyai kontribusi penting dalam memenuhi target produksi perikanan. Walaupun

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Kabupaten Bogor Penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 masih didominasi oleh lahan pertanian yaitu

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan.

BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan. 43 BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Fisik Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan. Kecamatan Sragi merupakan sebuah Kecamatan yang ada

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Pulau Pramuka secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu, Kotamadya Jakarta

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sungai Tabir terletak di Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin. Sungai Tabir

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sungai Tabir terletak di Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin. Sungai Tabir BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian Sungai Tabir terletak di Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin. Sungai Tabir memiliki lebar maksimal 20 meter dan kedalaman maksimal 10 meter.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan industri. Salah satu sumberdaya tersebut adalah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Intensitas cahaya dan penutupan tajuk Cahaya digunakan oleh tanaman untuk proses fotosintesis. Semakin baik proses fotosintesis, semakin baik pula pertumbuhan tanaman (Omon

Lebih terperinci

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Kondisi Geografis Wilayah Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak antara 5 54' - 7 45' LS dan 106 22' - 108 50 BT dengan areal seluas 37.034,95

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. kaca, dan air. Suhu merupakan faktor eksternal yang akan mempengaruhi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. kaca, dan air. Suhu merupakan faktor eksternal yang akan mempengaruhi 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Uji Coba Lapang Paremeter suhu yang diukur pada penelitian ini meliputi suhu lingkungan, kaca, dan air. Suhu merupakan faktor eksternal yang akan mempengaruhi produktivitas

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU 4.1 Kondisi Geografis Secara geografis Provinsi Riau membentang dari lereng Bukit Barisan sampai ke Laut China Selatan, berada antara 1 0 15 LS dan 4 0 45 LU atau antara

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak Geografis dan Aksesibilitas

IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak Geografis dan Aksesibilitas 42 IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak Geografis dan Aksesibilitas Secara geografis, perumahan Bukit Cimanggu City (BCC) terletak pada 06.53 LS-06.56 LS dan 106.78 BT sedangkan perumahan Taman Yasmin terletak pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sumberdaya lahan merupakan suatu sumberdaya alam yang sangat penting bagi mahluk hidup, dengan tanah yang menduduki lapisan atas permukaan bumi yang tersusun

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian pendahuluan dilakukan pada bulan November sampai Desember 2008 di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Penelitian pendahuluan ini untuk

Lebih terperinci

KONDISI PERIKANAN DI KECAMATAN TELUK MERANTI

KONDISI PERIKANAN DI KECAMATAN TELUK MERANTI Ba b 5 KONDISI PERIKANAN DI KECAMATAN TELUK MERANTI 5.1. Potensi Sumberdaya Perairan dan Perikanan Sumberdaya perairan yang terdapat di Kecamatan Teluk Meranti diantaranya terdapatnya empat buah tasik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM Gambaran Lokasi Penelitian

V. GAMBARAN UMUM Gambaran Lokasi Penelitian V. GAMBARAN UMUM 5.1. Gambaran Lokasi Penelitian 5.1.1. Letak dan Keadaan Alam Kecamatan Babelan adalah kecamatan yang terletak di bagian utara Kebupaten Bekasi yang mempunyai garis pantai sepanjang 1,5

Lebih terperinci

KONDISI PERIKANAN DI KECAMATAN KUALA KAMPAR

KONDISI PERIKANAN DI KECAMATAN KUALA KAMPAR Ba b 4 KONDISI PERIKANAN DI KECAMATAN KUALA KAMPAR 4.1. Potensi Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Kecamatan Kuala Kampar memiliki potensi perikanan tangkap dengan komoditas ikan biang, ikan lomek dan udang

Lebih terperinci

Stadia Sungai. Daerah Aliran Sungai (DAS)

Stadia Sungai. Daerah Aliran Sungai (DAS) Stadia Sungai Sungai adalah aliran air di permukaan tanah yang mengalir ke laut. Dalam Bahasa Indonesia, kita hanya mengenal satu kata sungai. Sedangkan dalam Bahasa Inggris dikenal kata stream dan river.

Lebih terperinci

PENGARUH KUALITAS AIR TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN NILA (Oreochromis sp.) DI KOLAM BETON DAN TERPAL

PENGARUH KUALITAS AIR TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN NILA (Oreochromis sp.) DI KOLAM BETON DAN TERPAL PENGARUH KUALITAS AIR TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN NILA (Oreochromis sp.) DI KOLAM BETON DAN TERPAL FAISOL MAS UD Dosen Fakultas Perikanan Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Universitas Islam Lamongan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. untuk penggemukan dan pembibitan sapi potong. Tahun 2003 Pusat Pembibitan dan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. untuk penggemukan dan pembibitan sapi potong. Tahun 2003 Pusat Pembibitan dan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Wilayah Penelitian Pusat Pembibitan dan Penggemukan Ternak Wonggahu pada tahun 2002 dikelola oleh Dinas Pertanian, Peternakan dan Ketahanan Pangan Provinsi Gorontalo

Lebih terperinci

4.1. Letak dan Luas Wilayah

4.1. Letak dan Luas Wilayah 4.1. Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Lamandau merupakan salah satu Kabupaten hasil pemekaran Kabupaten Kotawaringin Barat. Secara geografis Kabupaten Lamandau terletak pada 1 9-3 36 Lintang Selatan dan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata kedalaman

Lebih terperinci

Bab III Karakteristik Desa Dabung

Bab III Karakteristik Desa Dabung Bab III Karakteristik Desa Dabung III.1. Kondisi Fisik Wilayah III.1.1. Letak Wilayah Lokasi penelitian berada di Desa Dabung yang merupakan salah satu desa dari 18 desa yang terdapat di Kecamatan Kubu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil penelitian di perairan Kepulauan Seribu yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, diperoleh nilai-nilai parameter

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 15 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Sub DAS Model DAS Mikro (MDM) Barek Kisi berada di wilayah Kabupaten Blitar dan termasuk ke dalam Sub DAS Lahar. Lokasi ini terletak antara 7 59 46 LS

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN A. Kesimpulan Secara umum kinerja produksi ternak sapi dan kerbau di berbagai daerah relatif masih rendah. Potensi ternak sapi dan kerbau lokal masih dapat ditingkatkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Lele Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Filum: Chordata Kelas : Pisces Ordo : Ostariophysi Famili : Clariidae Genus : Clarias Spesies :

Lebih terperinci

KONDISI UMUM BANJARMASIN

KONDISI UMUM BANJARMASIN KONDISI UMUM BANJARMASIN Fisik Geografis Kota Banjarmasin merupakan salah satu kota dari 11 kota dan kabupaten yang berada dalam wilayah propinsi Kalimantan Selatan. Kota Banjarmasin secara astronomis

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

VI HASIL DAN PEMBAHASAN

VI HASIL DAN PEMBAHASAN VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Saluran dan Lembaga Tataniaga Dalam menjalankan kegiatan tataniaga, diperlukannya saluran tataniaga yang saling tergantung dimana terdiri dari sub-sub sistem atau fungsi-fungsi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. transportasi, Wisata air, olah raga dan perdagangan. Karena kondisi lahan dengan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. transportasi, Wisata air, olah raga dan perdagangan. Karena kondisi lahan dengan 252 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Perairan Sagara Anakan memiliki potensi yang besar untuk dikelola, karena berfungsi sebagai tempat pemijahan biota laut, lapangan kerja, transportasi,

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

Budidaya Nila Merah. Written by admin Tuesday, 08 March 2011 10:22

Budidaya Nila Merah. Written by admin Tuesday, 08 March 2011 10:22 Dikenal sebagai nila merah taiwan atau hibrid antara 0. homorum dengan 0. mossombicus yang diberi nama ikan nila merah florida. Ada yang menduga bahwa nila merah merupakan mutan dari ikan mujair. Ikan

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Kabupaten Bengkalis merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Riau. Wilayahnya mencakup daratan bagian pesisir timur Pulau Sumatera dan wilayah kepulauan,

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Lokasi Penelitian Secara umum RW 3 dan RW 4 Kelurahan Pasir Kuda memiliki pemukiman yang padat dan jumlah penduduk yang cukup tinggi. Jumlah sampel rumah yang diambil

Lebih terperinci

KONSERVASI Habitat dan Kalawet

KONSERVASI Habitat dan Kalawet 113 KONSERVASI Habitat dan Kalawet Kawasan hutan Kalimantan merupakan habitat bagi dua spesies Hylobates, yaitu kalawet (Hylobates agilis albibarbis), dan Hylobates muelleri. Kedua spesies tersebut adalah

Lebih terperinci

Bab 4 Hasil Dan Pembahasan

Bab 4 Hasil Dan Pembahasan Bab 4 Hasil Dan Pembahasan 4.1. Potensi Sumberdaya Lahan Pesisir Potensi sumberdaya lahan pesisir di Kepulauan Padaido dibedakan atas 3 tipe. Pertama adalah lahan daratan (pulau). Pada pulau-pulau berpenduduk,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil

Lebih terperinci

BUDIDAYA IKAN LELE DI KOLAM TERPAL

BUDIDAYA IKAN LELE DI KOLAM TERPAL BUDIDAYA IKAN LELE DI KOLAM TERPAL Siapa yang tak kenal ikan lele, ikan ini hidup di air tawar dan sudah lazim dijumpai di seluruh penjuru nusantara. Ikan ini banyak dikonsumsi karena rasanya yang enak

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Teknik Budidaya Ikan Nila, Bawal, dan Udang Galah

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Teknik Budidaya Ikan Nila, Bawal, dan Udang Galah V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Teknik Budidaya Ikan Nila, Bawal, dan Udang Galah 1. Persiapan kolam Di Desa Sendangtirto, seluruh petani pembudidaya ikan menggunakan kolam tanah biasa. Jenis kolam ini memiliki

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Cumi-Cumi Sirip Besar 4.1.1. Distribusi spasial Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun yang tertangkap

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. lokal adalah salah satu unggas air yang telah lama di domestikasi, dan

I PENDAHULUAN. lokal adalah salah satu unggas air yang telah lama di domestikasi, dan I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ternak unggas penghasil telur, daging dan sebagai binatang kesayangan dibedakan menjadi unggas darat dan unggas air. Dari berbagai macam jenis unggas air yang ada di Indonesia,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi setiap tahun dan cenderung meningkat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Peningkatan kebakaran hutan dan lahan terjadi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hubungan Curah Hujan dengan Koefisien Regim Sungai (KRS) DAS Ciliwung Hulu Penggunaan indikator koefisien regim sungai pada penelitian ini hanya digunakan untuk DAS Ciliwung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai lahan basah paling luas dan paling beragam di Asia Tenggara, meliputi lahan basah alami seperti hutan rawa, danau,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Pesisir Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jakarta dibatasi oleh garis bujur 106⁰33 00 BT hingga 107⁰03 00 BT dan garis lintang 5⁰48

Lebih terperinci

Bab 3. Deskripsi Daerah Penelitian

Bab 3. Deskripsi Daerah Penelitian Bab 3 Deskripsi Daerah Penelitian 25 III.1. Pengantar Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Aluh-Aluh, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, dengan mengambil studi kasus praktik pendidikan dan pembelajaran

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian. 59. mengidentifikasi, mengklasifikasi dan menginventarisasi.

BAB III METODE PENELITIAN. mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian. 59. mengidentifikasi, mengklasifikasi dan menginventarisasi. 35 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang telah dilaksanakan adalah penelitian deskriptif yaitu penelitian yang bermaksud untuk membuat pencandraan (deskripsi) mengenai situasi-situasi

Lebih terperinci

Tabel 3 Kecamatan dan luas wilayah di Kota Semarang (km 2 )

Tabel 3 Kecamatan dan luas wilayah di Kota Semarang (km 2 ) 8 Tabel 3 Kecamatan dan luas wilayah di Kota Semarang (km 2 ) (Sumber: Bapeda Kota Semarang 2010) 4.1.2 Iklim Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) Kota Semarang tahun 2010-2015, Kota

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Kabupaten Kerinci 5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kerinci terletak di sepanjang Bukit Barisan, diantaranya terdapat gunung-gunung antara lain Gunung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. beragam adat istiadat, bahasa, agama serta memiliki kekayaan alam, baik yang ada di

I. PENDAHULUAN. beragam adat istiadat, bahasa, agama serta memiliki kekayaan alam, baik yang ada di 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang cukup luas dengan penduduk yang beragam adat istiadat, bahasa, agama serta memiliki kekayaan alam, baik yang ada di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat besar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia. masak, minyak industri, maupun bahan bakar (biodiesel).

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat besar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia. masak, minyak industri, maupun bahan bakar (biodiesel). BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Indonesia sebagai Negara agraris memiliki potensi pertanian yang cukup besar dan berkontribusi terhadap pembangunan dan ekonomi nasional. Penduduk di Indonesia

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/KEPMEN-KP/2016 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/KEPMEN-KP/2016 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/KEPMEN-KP/2016 TENTANG PELEPASAN IKAN KELABAU (OSTEOCHILUS MELANOPLEURUS) HASIL DOMESTIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Penggunaan Kamera IR-CCTV

PEMBAHASAN Penggunaan Kamera IR-CCTV PEMBAHASAN Penggunaan Kamera IR-CCTV Kendala utama penelitian walet rumahan yaitu: (1) rumah walet memiliki intensitas cahaya rendah, (2) pemilik tidak memberi ijin penelitian menggunakan metode pengamatan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ordo : Liliales ; Famili : Liliaceae ; Genus : Allium dan Spesies : Allium

TINJAUAN PUSTAKA. Ordo : Liliales ; Famili : Liliaceae ; Genus : Allium dan Spesies : Allium 14 TINJAUAN PUSTAKA Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) Dalam dunia tumbuhan, tanaman bawang merah diklasifikasikan dalam Divisi : Spermatophyta ; Sub Divisi : Angiospermae ; Class : Monocotylodenae ;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan perkotaan semakin meningkat sejalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem merupakan suatu interaksi antara komponen abiotik dan biotik

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem merupakan suatu interaksi antara komponen abiotik dan biotik BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang merupakan suatu interaksi antara komponen abiotik dan biotik yang saling terkait satu sama lain. di bumi ada dua yaitu ekosistem daratan dan ekosistem perairan. Kedua

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODE

BAB 2 BAHAN DAN METODE BAB 2 BAHAN DAN METODE 2.1 Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2011 pada beberapa lokasi di hilir Sungai Padang, Kecamatan Medang Deras, Kabupaten Batubara. Metode yang digunakan

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 2 BAHAN DAN METODA BAB 2 BAHAN DAN METODA 2.1 Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 10 Maret- 20 Juli 2011 di Perairan Kuala Tanjung Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara, dan laboratorium Pengelolaan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Tata Niaga 5.1.1 Pelaku Tata Niaga Pelaku tata niaga Python reticulatus di Kalimantan Tengah adalah penangkap, pengumpul perantara dan pemilik ijin resmi (penangkap berijin

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Faktor manajemen lingkungan juga berpengaruh terhadap pertumbuhan ternak. Suhu dan kelembaban yang sesuai dengan kondisi fisiologis ternak akan membuat

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 21 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan secara langsung di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan yaitu pada bulan Maret sampai dengan bulan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia diramaikan oleh isu perubahan iklim bumi akibat meningkatnya gas rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang memicu terjadinya perubahan

Lebih terperinci

ANALISIS TUTUPAN LAHAN TERHADAP KUALITAS AIR SITU BURUNG, DESA CIKARAWANG, KABUPATEN BOGOR

ANALISIS TUTUPAN LAHAN TERHADAP KUALITAS AIR SITU BURUNG, DESA CIKARAWANG, KABUPATEN BOGOR ANALISIS TUTUPAN LAHAN TERHADAP KUALITAS AIR SITU BURUNG, DESA CIKARAWANG, KABUPATEN BOGOR R Rodlyan Ghufrona, Deviyanti, dan Syampadzi Nurroh Fakultas Kehutanan - Institut Pertanian Bogor ABSTRAK Situ

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makanan Alami Ikan Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam perkembangbiakan ikan baik ikan air tawar, ikan air payau maupun ikan air laut. Fungsi utama

Lebih terperinci

Penyiapan Mesin Tetas

Penyiapan Mesin Tetas Dian Maharso Yuwono Pemeliharaan unggas secara intensif memerlukan bibit dalam jumlah yang relatif banyak, sehingga penetasan dengan mesin semakin diperlukan. Penetasan telur unggas (ayam, itik, puyuh,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kemampuan suatu perairan dalam menerima suatu beban bahan tertentu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kemampuan suatu perairan dalam menerima suatu beban bahan tertentu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Kemampuan suatu perairan dalam menerima suatu beban bahan tertentu dari luar sistem perairannya sehingga dapat dinetralkan atau distabilkan kembali dalam jangka waktu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Timur. Wilayah Kepulauan Derawan secara geografis terletak di 00 51`00-0l

BAB I PENDAHULUAN. Timur. Wilayah Kepulauan Derawan secara geografis terletak di 00 51`00-0l 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Derawan terletak di perairan Kabupaten Berau yang merupakan salah satu dari 13 kabupaten yang terdapat di Provinsi Kalimantan Timur. Wilayah Kepulauan Derawan

Lebih terperinci

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT Dr. David Pokja Pangan, Agroindustri, dan Kehutanan Komite Ekonomi dan Industri

Lebih terperinci