KAJIAN STRATEGI PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN BRUSELOSIS DI KALIMANTAN ENDANG SRI PERTIWI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN STRATEGI PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN BRUSELOSIS DI KALIMANTAN ENDANG SRI PERTIWI"

Transkripsi

1 KAJIAN STRATEGI PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN BRUSELOSIS DI KALIMANTAN ENDANG SRI PERTIWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR... xiii PENDAHULUAN... 1 Latar belakang... 1 Rumusan Masalah... 3 Tujuan Penelitian... 3 Manfaat Penelitian... 3 TINJAUAN PUSTAKA... 5 Bruselosis... 5 Kebijakan Publik Dalam Pengendalian Penyakit Hewan Standar Internasional Strategi Pencegahan dan Pengendalian Bruselosis Strategi Pengendalian Penyakit di Negara Yang Berhasil Memberantas Bruselosis Program Pencegahan dan Pengendalian Bruselosis di Kalimantan BAHAN DAN METODE Kerangka Konsep Penelitian Variabel Penelitian Sistem Skoring Pengambilan Data Responden Waktu dan Penelitian Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pembahasan Strategi Pencegahan dan Pengendalian Bruselosis yang Terpadu di Kalimantan Usulan Teknis Strategi Pencegahan Bruselosis di Kalimantan pada UPTKP x

3 Usulan Teknis Strategi Pengendalian Bruselosis di Kalimantan pada Dinas Kabupaten/Kota yang Membawahi Fungsi Kesehatan Hewan SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA xi

4 DAFTAR TABEL Halaman 1. Stabilitas Brucella sp dalam beberapa kondisi lingkungan Jenis species Brucella sp pada inang Sensitivitas dan spesifisitas beberapa pengujian bruselosis Ketersediaan sumber daya manusia UPTKP Karakteristik Pelaku Kebijakan UPTKP Alokasi dana UPTKP untuk pencegahan bruselosis di Kalimantan Ketersediaan sarana prasana UPTKP Sistem Kebijakan UPTKP Ketersediaan sumber daya manusia dinas kabupaten/kota Karakteristik pelaku kebijakan dinas kabupaten/kota Alokasi sumber dana untuk pengendalian bruselosis di Kalimantan Ketersediaan sarana prasarana dinas kabupaten/kota Sistem kebijakan Dinas yang menjalankan fungsi kesehatan hewan xii

5 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Peta distribusi bruselsosis secara serologis Skema analisa kebijakan publik Alur Strategi Kebijakan untuk pengendalian bruselosis Kerangka konsep penelitian xiii

6 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Strategi Pencegahan Dan Pengendalian Bruselosis Di Kalimantan, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Juni 2012 Endang Sri Pertiwi NIM. B

7

8 ABSTRACT ENDANG SRI PERTIWI. ANALYST OF PREVENTION AND CONTROL BRUCELLOSIS IN KALIMANTAN. Under direction of ETIH SUDARNIKA and USAMAH AFIFF. The strategy of prevention and control of brucellosis has been implemented in Kalimantan and this province of Indonesia has been declare free of brucellosis in Cattle movement from brucellosis infected areas to Kalimantan poses a high risk of entry and spreading of brucellosis in this island. The purpose of this study is to analyse the strategy of prevention and control of brucellosis in Kalimantan. The study used a descriptive analysis including human resources, policy environment (fund and infrastructure) and policy system. The result of this study proves that AQA has been able to implement, monitor and control animal movement in Kalimantan in preventing new cases of brucellosis. Each AQA involved in sending and receiving cattle has adequate qualified human resources with sufficient knowledge and attitude related with brucellosis although the majority they never have additional training about brucellosis. Most of AQA already have enough funds and infrastructure to implement the strategy. Policy system in controlling cattle movement in relation with prevention of brucellosis has been implemented, but is not fully executed according to OIE. A total of 14 District veterinary services in this study that have a function to control brucellosis does not have enough veterinarian and para-veterinarian to implementing the strategy to control brucellosis in their area. In general, the district veterinary officer have sufficient knowledge and good attitude toward brucellosis, although the majority they never have additional training about brucellosis. Most of district veterinary services do not have funds and infrastructure related with strategy control of brucellosis. And also most of district veterinary services do not implemented yet the strategy of control of brucellosis which is based on the ministry of Agriculture and OIE. Key words: brucellosis, prevention, control, Kalimantan

9

10 RINGKASAN ENDANG SRI PERTIWI. Kajian Strategi Pencegahan dan Pengendalian Bruselosis di Kalimantan. Dibimbing oleh ETIH SUDARNIKA dan USAMAH AFIFF. Kebijakan nasional pemberantasan dan pengendalian penyakit bruselosis telah diterapkan dan Kalimantan telah berhasil mendapatkan status bebas bruselosis pada tahun Namun pemasukan sapi dari berbagai daerah di Indonesia tentu saja berisiko tinggi terhadap masuk dan tersebarnya bruselosis di Pulau Kalimantan. Melihat kondisi ini maka dilakukan sebuah kajian strategi pencegahan dan pengendalian bruselosis khususnya di pulau Kalimantan. Kajian ini untuk melihat kondisi nyata implementasi strategi pencegahanan dan pengendalian bruselosis yang diterapkan di Kalimantan. Standar-standar internasional seperti OIE, WHO, FAO dan pedoman strategi penyakit dari negara yang berhasil memberantas bruselosis akan dijadikan referensi sebagai standar dalam menyusun usulan strategi pencegahan dan pengendalian bruselosis yang terpadu antar instansi yang terkait sesuai dengan tupoksinya masing masing. Tujuan penelitian adalah untuk melakukan kajian terhadap program strategi pencegahan dan pengendalian bruselosis di Kalimantan serta dapat menyusun usulan strategi pencegahan dan pengendalian bruselosis yg terpadu berdasarkan fakta dan referensi yang ada. Metode penelitian ini menggunakan analisa kebijakan strategis dan Menurut Dunn (2011) analisa kebijakan strategis terdiri dari pelaku kebijakan, lingkungan kebijakan (sumber dana dan sarana prasarana dan kebijakan publik (sistem kebijakan). Analisa kebijakan ini oleh peneliti dijadikan kerangka metode penelitian yang dijabarkan dalam beberapa variabel. Penelitian ini menggunakan kuisioner kepada para pelaku kebijakan. Tempat penelitian dilaksanakan di seluruh Dinas Kabupaten/Kota yang membawahi fungsi kesehatan hewan yang ada di Kalimantan dan Unit Pelaksana Teknis Karantina Pertanian (UPTKP) yang mempunyai tupoksi dalam pengawasan pergerakan hewan (sapi dan kerbau) ke Kalimantan. Dalam analisis data penulis menggunaka analisa deskripsi yang disajikan dalam bentuk tabel. Strategi pencegahan dan pengendalian bruselosis di Kalimantan telah dilaksanakan oleh beberapa instansi terkait yang mempunyai tupoksi dalam strategi tersebut. Instansi-instansi tersebut adalah UPT Karantina Pertanian sebagai instansi yang mempunyai tupoksi dalam pencegahan bruselosis dan Dinas Kabupaten/Kota yang membawahi fungsi kesehatan hewan yang mempunyai tupoksi dalam pengendalian bruselsosis di Kalimantan. Seluruh UPT Karantina Pertanian baik yang di pintu pemasukan dan di pintu pengeluaran telah dapat mengimplementasikan tupoksinya yang berkaitan dengan pengawasan lalu lintas hewan dalam pencegahan bruselosis di Kalimantan. Setiap UPTKP mempunyai sumber daya manusia sebagai pelaku kebijakan yang cukup baik dari kualitas dan kuantitas. Pelaku kebijakan mempunyai pendidikan, pengetahuan dan sikap yang baik. Namun sebagian besar dari pelaku kebijakan belum mengikuti pelatihan khusus mengenai bruselosis. Sumber dana dan sarana prasarana terlihat cukup memadai. Sebagian besar UPTKP telah memiliki sarana dan prasarana yang cukup baik hanya saja pada

11 beberapa hal penting yang belum semua dapat terpenuhi sehingga perlu ditingkatkan. Sistem kebijakan dalam pengawasan lalu lintas hewan terkait pencegahan bruselosis di Kalimantan telah diimplementasikan tetapi belum sepenuhnya dilakukan berdasarkan standar internasional (OIE) Ke-14 Dinas Kabupaten/Kota yang membawahi fungsi kesehatan hewan terlihat bahwa ada sebagian dinas yang tidak mempunyai SDM berkompetensi dalam melaksanakan strategi pengendalian bruselosis di Kalimantan dalam hal ini dokter hewan dan paramedik veteriner. Secara umum pelaku kebijakan mempunyai pengetahuan yang cukup dan sikap yang baik serta mayoritas belum pernah mengikuti pelatihan terkait pengendalian bruselosis. Sumber dana dan sarana prasarana kurang memadai. Belum semua Dinas Kab/Kota yang dapat mengimplementasikan pengendalian bruselosis berdasarkan kepada keputusan Menteri Pertanian Nomor: 828/Kpts/OT.210/10/98 tentang pedoman pemberantasan penyakit hewan keluron menular (bruselosis) pada ternak. Dalam mempertahankan status bebas bruselosis di pulau Kalimantan sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 2540/Kpts/Pd.610/6/2009 tentang Pernyataan Pulau Kalimantan Bebas Dari Penyakit Hewan Keluron Menular (bruselosis) Pada Sapi Dan Kerbau, maka dibutuhkan suatu perhatian yang serius terhadap sistem kebijakan dalam pengawasan lalu lintas hewan terkait pencegahan dan pengendalian bruselosis di Kalimantan. Pada implementasi sistem kebijakan pengawasan lalu lintas hewan seharusnya dilakukan berdasarkan standar internasional (OIE). Kata kunci : Bruselosis, pencegahan, pengendalian, Kalimantan

12 @ Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa ijin IPB.

13

14 KAJIAN STRATEGI PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN BRUSELOSIS DI KALIMANTAN Endang Sri Pertiwi B Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

15

16 Judul Tesis : Kajian Strategi Pencegahan dan Pengendalian Bruselosis di Kalimantan Nama : Endang Sri Pertiwi NRP : B Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Etih sudarnika, M.Si Ketua drh. Usamah Afiff, M.Sc Anggota Diketahui Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si Prof. Dr. Ir. Khairil Notodiputro, M.S Tanggal Ujian : Tanggal Lulus :

17 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Kedi Suradisastra, M.Sc

18 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini berjudul Kajian Pencegahan dan Pengendalian Bruselosis di Kalimantan. Karya ilmiah ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner, Sekolah Pascasarjana IPB. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada ibu Dr. Ir. Etih Sudarnika, M.Si dan bapak drh. Usamah Afiff, M.Sc selaku komisi pembimbing atas arahan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis, kepada Dr. Ir. Kedi Suradisastra, M.Sc selaku penguji luar komisi pada ujian tesis. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Badan Karantina Pertanian yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pascasarjana. Terima kasih perlu penulis sampaikan kepada drh. Mulyanto, MM, drh Sujarwanto, MM, drh. Mira Hartati, M.Si, drh. R. Nurcahyo, M.Si, drh. Esmiralda Eka Fitri, M.Si beserta staf Badan Karantina Pertanian atas kesempatan dan bantuan yang telah diberikan selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kepala Balai Besar Soekarno Hatta beserta staf, Kepala Balai Karantina Pertanian Kelas I Balikpapan beserta staf, seluruh pengajar Kesmavet berserta staf, dan rekan rekan KMV 15 dan rekan rekan mahasiswa pascasarjana atas segala saran, masukan dan bantuan yang diberikan. Ungkapan terimakasih penulis juga sampai kan kepada suami tercinta drh. Al Habib, ibu dan bapak ibu mertua serta seluruh keluarga atas segala do a, kasih sayang dan pengertian yang telah diberikan Rasa terimakasih juga disampaikan kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang telah memberikan bantuan kepada penulis. Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi pihak yang membutuhkan. Bogor, Mei 2012 ENDANG SRI PERTIWI

19

20 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 16 Desember 1977 dari ayahanda Alm. Sutarto dan ibunda Cici Sumiati. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dan menikah dengan drh. Al Habib pada tahun Pendidikan SD Negeri ditempuh di SD Singdanglaya 4 Bandung lulus pada tahun 1991, Pendidikan SLTP ditempuh di SMP Negeri 1 Ujungberung dan SMP Negeri 1 Cibinong Bogor lulus tahun 1993, Pendidikan SLTA ditempuh di SMA Negeri 6 Bogor lulus tahun Kemudian penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor Fakultas kedokteran hewan dan gelar Sarjana Kedokteran Hewan diraih tahun 2000 serta melanjutkan Program Pendidikan Dokter Hewan dan gelar dokter hewan diraih tahun Pada Tahun penulis bekerja pada perusahaan swasta dan pada tahun 2005 penulis bekerja sebagai Medik Veteriner di Balai Karantina Pertanian Kelas I Balikpapan dan selama menempuh pendidikan ditempatkan di Balai Besar Karantina Soekarno Hatta sampai sekarang.

21

22 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Potensi Kalimantan dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan hewani asal ternak berbasis sumberdaya domestik dinilai cukup besar mengingat alam yang luas untuk padang pengembalaan, penanaman rumput unggul dan integrasi antara perkebunan dan ternak. Kapasitas daya tampung sapi di Kalimantan belum optimal, sehingga bila dioptimalkan dapat mendukung Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau Tahun 2014 (PSDSK-2014) yang merupakan salah satu program utama Kementerian Pertanian terkait dengan ternak. Untuk mewujudkan program swasembada tersebut, pemerintah daerah di seluruh Kalimantan menambah populasi sapi dengan mendatangkan dari beberapa daerah di luar Kalimantan. Sebagian pemasukan sapi ini memang berasal dari daerah yang bebas bruselosis seperti pulau Lombok, Madura dan Bali tetapi pemasukan sapi dari daerah-daerah tersebut tidak cukup untuk memenuhi jumlah target pemasukan ternak. Dengan pertimbangan tertentu pemasukan dari daerah yang tidak bebas bruselosis seperti daerah Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan ataupun Jawa dilakukan. Pada saat ini Pulau Kalimantan telah ditetapkan sebagai daerah yang bebas bruselosis, sehingga pemasukan sapi dari berbagai daerah tentu saja berisiko tinggi terhadap masuk dan tersebarnya bruselosis di Pulau Kalimantan. Bruselosis atau penyakit keluron menular merupakan penyakit strategis dan bersifat zoonosis yang disebabkan oleh bakteri Brucella abortus, dan juga oleh Br. melitensis dan Br. suis walaupun kedua penyebab terakhir relatif jarang ditemui di Indonesia. Pada saat infeksi kuman Brucella sp. akan berkembang pada limfoglandula superficial dan menyebar ke berbagai organ tubuh seperti organ reproduksi, limpa dan hati. Pada hewan betina yang terinfeksi, Brucella sp. akan mudah ditemukan pada jaringan dan cairan plasenta, hal ini dikarenakan adanya pengaruh eritriol yang dihasil oleh plasenta yang akan merangsang multifikasi kuman ini. Pada saat keguguran, fetus dan membran alantois mengandung kuman B. abortus per mililiter sedangkan pada cairan alantois mengandung kuman B. abortus per mililiter. Cairan tersebut berpotensial untuk

23 2 mengkontaminasi lingkungan dan juga sumber penularan. Penularan bisa melalui konjungtivita mata atau hidung. Oleh karena itu bruselosis merupakan penyakit yang cara penularannya relatif cepat. Penyakit ini menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar meskipun mortalitasnya rendah. Hal ini menjadi salah satu dasar bahwa penyakit ini termasuk dalam daftar hewan menular strategis dan daftar hama penyakit hewan karantina (HPHK) golongan II. Menurut BPPV (2008) Surveilans bruselosis di Kalimantan telah dilakukan secara bertahap (on going surveilance) sejak tahun 1998 berdasarkan kemampuan anggaran yang tersedia di BPPV regional V Banjarbaru. Pelaksanaan baru dilakukan secara intensif pada periode tahun , hingga pertengahan tahun Berdasarkan data tahun , apparent prevalence penyakit bruselosis di Kalimantan sangat rendah yaitu 0.087% dari jumlah sampel yang diuji. Kondisi ini sebenarnya menunjukan bahwa Kalimantan layak dinyatakan sebagai daerah bebas bruselosis. Program pengendalian bruselosis di Kalimantan dilakukan dengan jalan test and slaughter, yaitu dengan menguji serum sapi dengan menggunakan RBT (rose bengal test) yang dilanjutkan dengan pengujian seri menggunakan CFT (complement fixation test). Sapi-sapi bibit yang masuk Kalimantan dilakukan pengujian 100% terhadap bruselosis di pintu pemasukan oleh Karantina Hewan diseluruh Kalimantan dan terhadap reaktor (hewan yang positip RBT dan CFT) dilakukan pemotongan. Terhadap sapi-sapi yang dipelihara oleh peternak dilakukan serosurveilans yang dilakukan oleh BPPV Regional V banjarbaru dan Laboratorium Kesehatan Hewan Propinsi. Berdasarkan hasil surveilans bruselosis tahun di Kalimantan serta memperhatikan ketentuan OIE maka dapat disimpulkan bahwa Kalimantan dapat dinyatakan sebagai zona bebas bruselosis karena prevalensinya kurang dari 0.2%. Pada tahun 2009, status bebas bruselosis di Pulau Kalimantan ditetapkan dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 2540/Kpts/Pd.610/6/2009 Tentang Pernyataan Pulau Kalimantan Bebas Dari Penyakit Hewan Keluron Menular (bruselosis) Pada Sapi Dan Kerbau.

24 3 Rumusan Masalah Kebijakan nasional pemberantasan dan pengendalian penyakit bruselosis telah diterapkan dan Kalimantan telah berhasil mendapatkan status bebas bruselosis pada tahun Namun selama tahun 2010 kasus bruselosis telah ditemukan di beberapa daerah di Kalimatan diantaranya ditemukan adanya beberapa reaktor bruselosis di propinsi Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur. Jumlah reaktor memang masih dibawah nilai toleransi yaitu masih dibawah 0.2%, tetapi mengingat sifat dari bakteri ini yang cepat menyebar dan mempunyai nilai kerugian ekonomi yang cukup besar maka hal ini seharusnya menjadi perhatian dari instansi yang berwenang untuk melaksanakan program strategi pencegahan dan pengendalian bruselosis di Kalimantan agar tetap bebas. Sehubungan dengan kondisi diatas maka diperlukan sebuah kajian strategi pencegahanan dan pengendalian bruselosis khususnya di pulau Kalimantan. Kajian ini untuk melihat kondisi nyata implementasi strategi pencegahanan dan pengendalian bruselosis yang diterapkan di Kalimantan. Standar-standar internasional seperti OIE, WHO, FAO dan pedoman strategi penyakit dari negara yang berhasil memberantas bruselosis akan dijadikan referensi sebagai standar dalam menyusun usulan strategi pencegahan dan pengendalian bruselosis yang terpadu antar instansi yang terkait sesuai dengan tupoksinya masing masing Tujuan Penelitian Melakukan kajian terhadap program strategi pencegahan dan pengendalian bruselosis di Kalimantan. Menyusun usulan strategi pencegahan dan pengendalian bruselosis yg terpadu berdasarkan fakta dan referensi yang ada. Manfaat Penelitian Dapat memberikan informasi mengenai hasil evaluasi terhadap program strategi pencegahan dan pengendalian penyakit bruselosis di Kalimantan. Dapat memberikan data pendukung untuk penyusunan strategi pencegahan dan pengendalian bruselosis selanjutnya yg terpadu berdasarkan fakta dan referensi yang ada.

25 4

26 5 TINJAUAN PUSTAKA Bruselosis Bruselosis merupakan salah satu penyakit zoonosis utama yang bisa berdampak negatif pada kesehatan masyarakat dan perekonomian di banyak bagian dunia (Agasthya et al. 2007). Agen patogen utama pada sapi adalah genus Brucella abortus (Crawford et al. 1990). Penyakit ini pada manusia dikenal dengan Malta fever, Mediterranean fever dan Gilbaltar fever sesuai dengan nama daerah tempat pertama kali penyakit ini ditemukan. Juga dikenal sebagai nama undulant fever karena gejala demam dengan suhu yang bervariasi dan berulang pada orang yang terinfeksi (Megid et al. 2010). Infeksi penyakit ini ditularkan secara langsung maupun tidak langsung melalui kontak dengan hewan atau produk hewan yang terinfeksi (WHO 2006). Oleh karena itu alat-alat yang telah tercemar bakteri brucella sebaiknya tak bersentuhan langsung dengan manusia. Bruselosis adalah penyakit zoonosis serius yang menyebabkan aborsi, infertilitas, retensi plasenta, kelahiran mati dan kerugian ekonomi yang sangat besar (Dhand et al. 2004). Sapi dapat terinfeksi oleh Brucella melitensis dan Brucella suis ketika merumput atau menggunakan secara bersama-sama peralatan kambing, domba atau babi yang terinfeksi (PAHO 2003). Etiologi Bruselosis disebabkan oleh infeksi dari berbagai spesies dari genus brucella, termasuk pada bakteri gram negatif, coccobacillus fakultatif intraseluler atau berbatang pendek (Bret et al. 2007). Organisme ini biasanya aerobik tetapi pada beberapa jenis memerlukan lingkungan yang mengandung karbondioksida 5-10%. Pertumbuhan Brucella sp lambat, kadang-kadang memakan waktu 2-3 hari dengan memerlukan media enriched dengan suhu 37 0 C (Puto et al. 2010). Kestabilitan Brucella sp dapat bertahan dalam beberapa kondisi lingkungan tertentu. Beberapa kondisi pada kestabilan bakteri terlihat seperti pada Tabel 1.

27 6 Tabel 1 Stabilitas Brucella sp dalam beberapa kondisi lingkungan LINGKUNGAN KONDISI STABILITAS Sinar matahari <31 0 C 4.5 jam Air 4 0 C 4 bulan Air laboratorium 20 0 C 2.5 bulan Tanah Kering dalam laboratorium <4 hari 18 0 C dengan kelembaban hari 7 hari Urin 37 0 C 16 jam 0 8 C 6 hari Susu mentah C 24 jam 0 8 C 48 jam Whey C <5 hari 0 5 C >6 hari Wol Gudang 5 bulan Manure 25 0 C 1 bulan Jerami - Hari-bulanan Debu hari Padang rumput Dibawah sinar matahari Terlindung sinar matahari <5 hari >6 hari Kayu, dinding dan lantai hari (Sumber: Puto et al. 2010) Beberapa spesies yang dapat menginfeksi hewan antara lain: Brucella abortus, B. Melitensis, B. Suis, B. Ovis, B. canis dan B. Neotomae (CFSPH 2007). Setiap spesies brucella mempunyai sifat karakteristik yang khas tetapi tidak mutlak, predileksi untuk menginfeksi hewan maupun manusia dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Jenis species Brucella sp pada inang Brucella sp Inang (host) Patogenitas Pada Manusia B. suis Babi Tinggi B. melitensis Kambing, domba Tinggi B. abortus Sapi, bison Menengah B. canis Anjing Menengah Marine species Mamalia laut Jarang B. ovis Domba Tidak ada B. neotama Rodensia Tidak ada (Sumber: Bret et al. 2007) B. melitensis, B. suis, B. abortus dan B. canis merupakan agen yang sering menyebabkan infeksi pada manusia. Infeksi strain Brucella sp yang dapat menginfeksi hewan laut juga pernah dilaporkan dapat menginfeksi manusia (Bret et al. 2007). Bruselosis pada manusia sering disebabkan oleh B. abortus, B. melitensis dan B. suis biovars 1-4, jarang disebabkan oleh B. canis ataupun brucella yang menginfeksi mamalia laut. Telah terbukti secara genetik dan imunologi menunjukan bahwa semua anggota genus Brucella terkait erat. Beberapa ahli mikrobiologi telah mengusulkan bahwa genus ini dikelompokan dalam spesies

28 7 tunggal (B. melitensis) yang mempunyai banyak biovars. Tetapi usulan ini masih kontroversial dan kedua taksonomi saat ini masih digunakan (CFSPH 2007). Epidemiologi Bruselosis pada hewan adalah penyakit populasi ternak atau disebut herd or flock Problem. Penyebaran penyakit antar ternak dalam populasi biasanya tidak menyebabkan gejala yang jelas dan terjadi secara kronis atau menahun. Penyebaran penyakit dalam suatu populasi terutama disebabkan oleh pakan yang terkontaminasi. Infeksi melalui kontak perkawinan juga biasa terjadi terutama pada infeksi B.suis. Infeksi secara kongenital (in utero) atau infeksi perinatal juga bisa terjadi dengan perkembangan infeksi yang laten (FAO 2003). Penularan dari manusia ke manusia jarang terjadi, kejadian penyakit pada manusia erat kaitannya dengan prevalensi bruselosis pada hewan, praktek-praktek atau kontak langsung dengan hewan yang berpotensi penyakit dan produk hewan itu sendiri. Penularan bruselosis pada manusia melalui kontak langsung biasa terjadi pada dokter hewan, penggembala, peternak atau pekerja rumah potong hewan. Di beberapa negara lain banyak manusia yang terinfeksi bruselosis melalui produk hewan yaitu dengan adanya kebiasaan meminum susu tanpa pasteurisasi atau memakan keju yang berasal dari susu yang tidak dipasteurisasi (Bret et al. 2007). Bruselosis adalah salah satu penyakit zoonosis penting yang pernah tersebar diseluruh dunia. Penyakit ini walaupun telah berhasil dikendalikan di beberapa negara maju tetapi masih menjadi masalah di beberapa negara di Afrika, Mediteranian, Timur tengah, sebagian Asia dan Amerika latin (Gul dan Khan 2007). Negara negara seperti Jepang, Kanada, beberapa negara Eropa, Australia, Selandia Baru dan Israel telah berhasil memberantas bruselosis (CFSPH 2007). Semua hewan domestik dapat menderita bruselosis. Bruselosis pada kerbau telah dilaporkan di Egypt (10.0%) dan pakistan (5.05%). Pada unta bruselosis dilaporkan di negara negara Arab dan Afrika ( %), pada saat itu juga dilaporkan kasus yang terjadi pada kerbau, kuda dan babi (Gul dan Khan 2007). Pada sapi, domba, kambing dan babi yang telah mengalami dewasa kelamin rentan terhadap bruselosis. Pada hewan yang muda biasanya terjadi resisten walaupun dapat terjadi infeksi laten pada saat hewan tersebut telah dewasa (WHO 2006).

29 8 Di Indonesia, bruselosis secara serologis diketahui pertama kali pada tahun 1953, ditemukan pada sapi perah di Grati, kabupaten pasuruan, Jaawa Timur. B. abortus berhasil diisolasi pada tahun Pada tahun 1940 penyakit bruselosis juga dilaporkan di Sumatera Utara dan Aceh, dikenal dengan nama sebutan sakit sane (radang sendi) atau sakit burut (radang testis). Dilihat dalam daftar penyakit hewan menular yang diatur oleh Pemerintah Hindia Belanda yang tertuang staatsblaad 1912 No.432 dan 435, penyakit ini belum terdaftar dalam staatsblaad tersebut. Lebih lanjut dalam catatan Roza tahun 1958 bahwa sampai tahun 1957 bruselosis belum dimasukan ke dalam daftar penyakit menular di Indonesia sedangkan penyakit ini diidentifikasi sudah bersifat endemis pada banyak peternakan sapi perah di Jakarta, Bandung, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada tahun 1958 roza mengusulkan agar bruselosis segera diklasifikasikan sebagai penyakit hewan menular dan pada tahun 1959 terbit surat keputusan menteri pertanian No5494 C/SK/M tertanggal 4 Juli 1959 tentang Peraturan pengawasan dan tindakan-tindakan terhadap hewan bruselosis (Putra et al. 2002). Beberapa daerah telah bebas bruselosis yaitu Pulau Lombok di Prop NTB (SK Mentan No. 444/Kpts/TN.540/7/2002), Pulau Bali (SK Mentan No. 443/Kpts/TN.540/7/2002), Pulau Sumbawa di Prop NTB (SK Mentan No. 97/Kpts/PO.660/2/2006), Provinsi Sumatera Barat, Riau, Jambi dan Kep. Riau (SK Mentan No. 2541/Kpts/PD.610/6/2009), dan Pulau Kalimantan (SK Mentan No. 2540/Kpts/PD.610/6/2009). Namun seperti yang terlihat pada Gambar 1, selama tahun 2010 kasus Brucellosis telah ditemukan di 16 provinsi di Indonesia yaitu Sumatera Utara, Aceh, Bengkulu, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, DKI Jakarta, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Maluku, Maluku Utara, dan Papua.

30 9 Gambar 1 Peta distribusi bruselsosis secara serologis. Perkembangan penyakit brucellosis sangat cepat, pada awal tahun 2010 brucellosis hanya terdeteksi di 5 provinsi tetapi pada akhir tahun 2010 kasus brucellosis telah terdeteksi di 10 provinsi walaupun hewan yang terjangkit penyakit tersebut langsung dipotong (Ditjennakeswan 2010). Kondisi di Kalimantan dapat dideskripsikan setelah dilakukan surveilans awal tahun diketahui ada 3 kabupaten di Kalimantan yang merupakan daerah reaktor bruselosis, yaitu Kotabaru, Tanah Bumbu dan Tanah Laut. Surveilans lanjutan tahun dikonsentrasikan juga pada ketiga kabupaten ini. Secara komulatif pada tahun surveilans dilakukan di 41 kabupaten, 180 kecamatan dan 385 desa. Total sampel yang terambil dan diuji bruselosis pada tahun tersebut sebanyak sampel dengan jumlah reaktor yang ditemukan sebanyak 72 ekor atau 0.17%. Nilai prevalensi sebesar 0.17% ini lebih kecil dari ketentuan OIE untuk persyaratan yaitu sebesar 2%. Dengan demikian secara keseluruhan dengan pendekatan zona per-pulau, Pulau Kalimantan dapat dinyatakan sebagai zona bebas bruselosis (BBPV 2008). Patogenesa Sumber utama infeksi adalah cairan leleran dari sapi betina abortus yang mencemari lingkungan via fetus, litter dan peralatan yang terkontaminasi. Ingesti pakan/makanan yang terkontaminasi merupakan rute utama penularan bruselosis. Penularan juga dapat terjadi melalui inhalasi debu yang mengandung kuman

31 10 Brucella sp atau melalui kontak langsung. Brucella abortus paling sering ditemukan pada kelompok ternak yang bebas bruselosis melalui pemasukan sapi betina dan dara yang terinfeksi secara laten. Infeksi dapat juga berasal dari hewan lain yang telah terinfeksi (kuda, babi, kambing, domba, anjing) dan manusia yang terpapar (Blaha 1989). Bruselosis dapat menginfeksi hewan melalui luka pada kulit, konjunktivita mata, saluran pernafasan dan saluran pencernaan. Dalam saluran pencernaan, organisme akan difagosit oleh sel dari epitel usus yang terkait dengan jaringan limfoid lalu akan terus masuk ke submukosa. Organisme dengan cepat dicerna oleh leukosit polimorfnuklear tapi pada umumnya gagal dieleminasi kemudian difagositosis oleh makrofag. Bakteri kemudian diangkut oleh makrofag ke jaringan limfoid dan akhirnya melokalisasi di beberapa organseperti kelenjar getah bening, hati, limpa, kelenjar susu, sendi, ginjal dan sumsum tulang. Pada ruminansia, organisme Brucella dapat melewati pertahanan tubuh inang yang paling efektif dengan menargetkan jaringan embrio dan trofoblas. Pada sel dari jaringan, bakteri tidak hanya tumbuh di phagosome tetapi juga dalam sitoplasma dan retikulum endoplasma kasar. Dengan tidak adanya mekanisme mikrobisidal intraseluler maka akan menyebabkan kemungkinan pertumbuhan bakteri, sehingga menyebabkan kematian janin dan aborsi. Pada saat kelahiran eritriol yang meningkatkan pertumbuhan brucella berkumpul di plasenta. Pada organ plasenta saat aborsi kemungkinan berisi bakteri per-gram jaringan. Ketika aborsi septik terjadi konsentrasi bakteri dari cairan plasenta sering mengakibatkan infeksi hewan lain dan manusia (Bret et al. 2007). Gejala Klinis Bruselosis adalah penyakit sub-akut atau kronis yang dapat mempengaruhi banyak spesies hewan yaitu pada sapi, domba, kambing, ruminansia lainnya dan babi, fase awal setelah infeksi seringkali tidak jelas. Pada hewan seksual dewasa infeksi melokalisasi pada sistem reproduksi dan biasanya menghasilkan placentitis yang diikuti dengan aborsi pada hewan betina bunting, biasanya selama sepertiga terakhir kehamilan, dan epididimitis dan orchitis pada hewan jantan. Klinis tandatanda tidak patognomonik dan diagnosis tergantung pada jenis Brucella spp. baik oleh isolasi bakteri atau deteksi dari antigen atau materi genetik, atau dengan

32 11 demonstrasi antibodi spesifik atau kekebalan tanggapan sel-dimediasi (WHO 2006). Ada kejadian pada beberapa anak sapi dapat lahir secara normal namun kondisi tubuhnya sangat lemah (OIE 2009). Diagnosa Semua kejadian aborsi pada sapi pada masa kebuntingan mulai dari bulan ke- 5 harus dicurigai sebagai infeksi bruselosis dan harus diinvestigasi. Gambaran klinis bruselosis biasanya tidak begitu jelas, meskipun dibantu oleh sejarah penyakit sehingga dibutuhkan peneguhan diagnosa. Peneguhan diagnosa seharusnya harus dengan isolasi dan identifikasi organismenya sendiri, tetapi dalam situasi tertentu dimana isolasi dan identifikasi tidak praktis dilakukan maka diagnosa dilakukan dengan pemeriksaan secara serologis (OIE 2009). Pada sapi, kambing dan domba pengujian serologis biasa dilaksanakan. Pengujian yang sering dilaksanakan disetiap individu ataupun kumpulan hewan adalah Rose Bengal Test (RBT), Complement Fixation test (CFT) dan Elisa (CPFSH 2007). Evaluasi uji serologis bruselosis sangat penting dilakukan untuk menunjang keberhasilan program pengendalian dan pemberantasan. Idealnya uji serologis harus mampu mendeteksi hewan yang terinfeksi dengan serum hewan sehat. Secara epidemiologi ada 2 faktor penting yang berhubungan dengan uji serologis yaitu sensitifitas dan spesifisitas (Dirkeswan 2000). Sensitivisitas dan spesifisitas macam-macam pengujian serologis dapat terlihat pada Tabel 3. Tabel 3 Sensitivitas dan spesifisitas beberapa pengujian bruselosis Test Sensitivitas (%) Spesifisitas (%) Literatur Serological test RBT Sulaiman (1998) dalam Dirkeswan (2000) CFT Sulaiman (1998) dalam Dirkeswan (2000) Godfroid (2010) ELISA Sulaiman (1998) dalam Dirkeswan (2000) MILK TEST MRT Godfroid (2010) RBT : Rose bengal test; CFT : Complement fixation test; Elisa : Enzym linked imunosorbent assay; MRT : milk ring test

33 12 Rose Bengal Test (RBT) Rose Bengal Test (RBT) adalah salah satu dari kelompok pengujian yang menggunakan antigen Brucella, pengujian ini mengandalkan prinsip dari kemampuan antibodi IgM dalam mengikat antigen dalam serum. RBT merupakan pengujian dengan menggunakan cara aglutinasi dengan cara mereaksikan antigen dan antibodi, setiap aglutinasi yang dihasilkan mendakan positip reaksi. Pengujian ini merupakan screening test yang sangat baik tetapi juga sangat sensitif untuk diagnosa hewan individu terutama hewan yang divaksinasi (WHO 2006). Pengujian ini merupakan uji cepat aglutinasi yang hanya dalam waktu kira-kira 4 menit bisa dilihat hasilnya. Pengujian ini telah dikenalkan di banyak negara sebagai screening test yang standar karena sangat sederhana dan bahkan lebih sensitif dari Slow Agglutination TestSlow Agglutination Test (SAT) (Godfroid 2010) Reaksi positif nterhadap pasca vaksinasi S19 akan berjalan cukup lama (Dirkeswan 2000). Complement Fixation Test (CFT) Sensitivitas dan spesifisitas CFT sangat baik, tetapi metode pengujiannya komplek dan tidak sesederhana RBT, dibutuhkan suatu fasilitas laboratorium dan SDM yang terlatih. Jika fasilitas tersebut tersedia dan dilakukan secara teratur maka hasilnya akan baik (WHO 2006). CFT memungkinkan mendetekasi antibodi yang dapat mengaktifkan komplemen. Imunoglobulin pada sapi yang dapat diaktifkan oleh komplemen ini adalah IgM dan IgG. Menurut beberapa literatur CFT ini tidak menunjukan sensitivitas yang tinggi tetapi menunjukan spesifisitas yang tinggi (Godfroid 2010). Reaksi positif tidak dapat membedakan antara hewan yang divaksin dan infeksi alam (Dirkeswan 2000). Enzym Linked Imunnosorbent Assay (ELISA) Pengujian ELISA mempunyai sensitivitas dan spesitifitas yang tinggi dan metode pengujiannya sederhana dengan minimal peralatan dan juga tersedia juga secara komersil dalam bentuk kit (WHO 2006). Ada 2 kelemahan yang seringkali terjadi pada uji serologis bruselosis yang disebut negatif palsu dan positif palsu. Kelemahan ini dapat terjadi karena beberapa alasan. Pada negatif palsu dapat terjadi antara lain karena pengambilan darah pada

34 13 masa inkubasi penyakit, infeksi laten pada anak sapi, sapi dara dan sapi bunting, setelah melahirkan atau keguguran, infeksi kronis ataupun karena kesalahan petugas pada saat pemberian label. Sedangkan pada positif palsu dapat terjadi dikarenakan adanya titer antibodi yang persisten setelah vaksinasi, adanya reaksi silang dengan bakteri lain seperti Yersinia enterolitica, ada beberapa hewan yang menghasilkan abnormal serum globulin yang dapat menimbulkan reaksi aglutinasi (Dirkeswan 2000). Kebijakan Publik Dalam Pengendalian Penyakit Hewan Terminologi kebijakan publik itu ternyata banyak sekali, tergantung dari sudut mana kita mengartikannya. Harold Laswel dan Abraham kaplan dalam Nugroho (2011) mendefinisikannya sebagai suatu program yang diproyeksikan dengan tujuan tujuan tertentu, dan praktik-praktik tertentu sedangkan David Easton Nugroho (2011) mendefinisikannya sebagai akibat dari aktifitas pemerintah. Definisi lainnya dari R.S Parker dalam Wahab (2008) menjelaskan bahwa kebijakan publik adalah Suatu tujuan tertentu, atau serangkaian asas tertentu atau tindakan yang dilaksanakan pemerintah pada suatu waktu tertentu dalam kaitannya dengan subyek atau sebagai respon terhadap suatu krisis. Pada dasarnya kebijakan publik terdiri dari 2 kata: kebijakan dan publik. Kebijakan berasal dari kata bijak yang artinya kepandaian atau kemahiran. Kebijakan dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah rangkaian konsep dan asas yg menjadi garis besar dan dasar rencana pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak sedangkan publik adalah sekelompok orang. Sehingga secara sederhana dapat dikatakan bahwa kebijakan publik adalah setiap keputusan yang dibuat oleh negara, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan dari negara. Kebijakan publik adalah strategi untuk mengantar masyarakat pada masa transisi, untuk menuju masyarakat yang dicitacitakan (Nugroho 2011). Kebijakan menurut Nugroho (2011) adalah teori yang berasal dari pengalaman terbaik dan bukan diawali oleh temuan. Dengan demikian pengembangan teori analisis kebijakan di masa mendatang akan semakin ditentukan akan semakin ditentukan baik oleh keberhasilan ataupun kegagalan.

35 14 Menurut Dunn (2011) Analisis kebijakan dapat diletakkan pada konteks sistem kebijakan yang dapat digambarkan sebagai berikut : Pelaku kebijakan Kebijakan Publik lingkungan kebijakan Gambar 2 Skema analisa kebijakan publik. Analisa kebijakan adalah satu diantara sejumlah banyak faktor lainnya dalam sistem kebijakan (policy system) atau seluruh pola institusional dimana didalamnya kebijakan dibuat. Analisa mencakup hubungan timbal balik diantara tiga unsur, yaitu: kebijakan publik, pelaku kebijakan dan lingkungan kebijakan seperti pada gambar 1 diatas. Suatu kebijakan di suatu institusi dapat dikatakan berjalan dengan baik apabila ada keselarasan dari ketiga unsur tersebut. Institusi yang terkait dalam kebijakan strategi pencegahan dan pengendalian penyakit hewan adalah karantina hewan, direktorat jendral peternakan dan pemerintah daerah. Dalam hal tersebut diatas seluruh institusi yang terkait harus mempunyai keselarasan antara kebijakan publik, pelaku kebijakan dan lingkungan kebijakan. Menurut OIE (2011) Seluruh institusi yang terkait harus mempunyai kompetensi, integritas dan kepercayaan sebagai kunci dari good governance. Standar Internasional Strategi Pencegahan dan Pengendalian Bruselosis Pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan termasuk bruselosis merupakan tujuan utama dari pelayanan kesehan hewan. Pemilihan strategi dalam pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menjadi sangat penting dan sering menjadi penyebab kontroversi diantara pengambil keputusan. Strategi yang akan dilaksanakan harus sesuai dengan kualitas instansi pelayanan kesehatan hewan, sumber daya ekonomi yang tersedia dan

36 15 prevalensi penyakit. Kerjasama dengan petani menjadi sangat penting sebagai dasar untuk melaksanakan program strategi ini (Blasco 2010). Strategi Pencegahan Menurut WHO (2006) Pencegahan penyakit akan selalu lebih ekonomis dan praktis daripada pengendalian dan pemberantasan. Strategi pencegahan bruselosis meliputi : Seleksi pada hewan ternak pengganti. Ternak harus bebas bruselosis dan harus berasal dari peternakan yang bebas bruselosis pula. Isolasi ternak pengganti setidaknya selama 30 hari dan dilakukan pemeriksaan secara serologis. Pencegahan kontak dengan ternak lain Pengawasan secara periodik pada sapi (setidaknya empat kali per tahun) dan pemotongan bersyarat pada hewan dengan prosedur skrining serologis sederhana seperti RBT dan CFT. Melakukan disposal pada material bekas aborsi (fetus, plasenta dan organ lainnya) dengan cara penguburan atau pembakaran serta desinfeksi daerah yang terkontaminasi secara menyeluruh. Strategi Pengendalian Menurut WHO (2006) Tujuan dari program pengendalian hewan adalah untuk mengurangi dampak dari penyakit dan konsekuensi ekonomi. Eliminasi penyakit dari populasi bukanlah tujuan dari program kontrol, kejadian penyakit masih ada dalam populasi dengan prevalensi yang dapat diterima. Program pengendalian memiliki durasi yang tidak terbatas dan perlu dipertahankan bahkan setelah "tingkat yang dapat diterima" infeksi telah tercapai, sehingga penyakit tidak muncul kembali. Di banyak negara, metode untuk pengendalian bruselosis didukung oleh peraturan pemerintah/perundang-undangan tetapi ada di sebagian negara yang tidak. Oleh karena itu, prosedur untuk pengelolaan populasi ternak yang terinfeksi sangat bervariasi. Namun demikian, ada beberapa prinsip yang berlaku, yaitu: 1) Pengurangan paparan Brucella sp. dan 2) Meningkatkan perlawanan terhadap infeksi hewan dalam populasi. Prosedur Ini selanjutnya dapat

37 16 diklasifikasikan pada kategori umum yaitu test and Isolation/slaughter, higiene lingkungan, pengendalian lalulintas hewan, vaksinasi serta surveilans untuk menentukan status daerah yang diperlukan dalam menentukan kebijakan. Penentuan Strategi Dalam Pencegahan dan Pengendalian Bruselosis Berbagai negara atau daerah yang berbeda dalam suatu negara mungkin memerlukan strategi yang berbeda dalam melaksanakan program pencegahan dan pengendalian brucellosis. Strategi bisa tergantung pada epidemiologi dan kondisi sosial ekonomi. Keputusan mengenai strategi yang tepat untuk pengendalian dan/atau pemberantasan brucellosis biasanya tanggung jawab pemerintah pusat meskipun ada beberapa negara yang mendelegasikan kepada daerah atau provinsi serta dibuat berlaku untuk individu atau masyarakat pulau. Dalam memutuskan suatu strategi, banyak faktor yang harus dipertimbangkan yaitu jenis peternakan, geografi daerah, pola perdagangan, keuangan, teknis dan personil sumber daya yang tersedia dan yang paling penting, prevalensi penyakit dan penerimaan strategi oleh ternak pemilik (WHO / MZCP 1988 dalam Abellan 2002) Hal utama yang harus dipertimbangkan untuk pemilihan strategi yang tepat untuk kontrol brucellosis diilustrasikan dalam Gambar 3. Gambar 3 Alur Strategi Kebijakan untuk pengendalian bruselosis. (Sumber : Abellan 2002)

38 17 Pembebasan Suatu Wilayah Menurut OIE (2011) suatu negara atau daerah dapat dianggap bebas bruselosis setelah memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1. Wajib melaporkan apabila ditemukan adanya hewan tersangka bruselosis 2. Surveilans dilakukan diseluruh wilayah oleh instansi berwenang. Tingkat infeksi atau prevalensi di wilayah tersebut tidak boleh lebih dari 0.2% 3. Dilakukan pengujian diagnostik pada populasi hewan secara periodik 4. Tidak dilakukan vaksinasi paling tidak selama tiga tahun terakhir 5. Dilakukan kebijakan pemotongan pada semua hewan reaktor. 6. Pemasukan hewan rentan bruselosis ke daerah bebas bruselosis harus berasal dari daerah yang bebas bruselosis juga. Kondisi ini bisa diperbolehkan apabila hewan tersebut tidak divaksinasi dan dilakukan pengujian serologi dengan hasil negatif yang dilakukan dua kali (duplo) dengan jarak waktu 30 hari diantara kedua pengujian. Pengujian kedua dilaksanakan 15 hari sebelum keberangkatan. Kondisi ini dianggap tidak sah pada sapi yang baru melahirkan selama 14 hari. Pada daerah bebas bruselosis yang telah dinyatakan bebas dan tidak ditemukan reaktor selama 5 tahun terakhir, sistem pengendalian diserahkan pada daerah yang bersangkutan. Strategi Pengendalian Penyakit Di Negara Yang Berhasil Memberantas Bruselosis Menurut AHA (2005) bruselosis telah berhasil diberantas di Australia setelah beberapa tahun melaksanakan pengendalian dan usaha pemberantasan, banyak negara yang lain juga yang telah berhasil memberantas penyakit ini. Strategi vaksinasi dalam periode yang panjang diperlukan dalam mengendalikan bruselosis dalam setiap kasus infeksi yang sangat meluas untuk mengurangi kejadian namun vaksinasi saja tidak pernah dapat dipakai untuk mencapai pemusahan bruselosis sehingga diperlukan strategi lain yaitu test and slaughter. Bruselosis dapat diberantas dengan 2 prinsip yaitu melakukan stamping out pada populasi yang terkena bruselosis dan yang kedua adalah melakukan test and slaughter. Kedua kebijakan ini memang dikenal tepat untuk melakukan pemberantasan bruselosis.

39 18 Strategi kebijakan untuk pengendalian dan pemberantasan yang dilaksanakan oleh Australia dalam beberapa metode berikut ini, meliputi: 1. Depopulasi hewan reaktor (hewan terinfeksi bruselosis) 2. Karantina dan pengawasan lalu lintas hewan 3. Sistem ketertelusuran (traceability) dan surveilans 4. Vaksinasi 5. Perlakuan hewan terinfeksi 6. Perlakuan produk pangan dan non pangan asal hewan 7. Disposal produk pangan dan non pangan asal hewan 8. Dekontaminasi 9. Pengendalian hewan liar 10. Pengendalian vektor 11. Kesadaran masyarakat dan media masa 12. Implikasi kesehatan masyarakat Strategi yang utama dalam pengendalian dan pemberantasan adalah penentuan prevalensi dan distribusi penyakit. Setelah diketahui prevalensi dan distribusi penyakit maka dapat ditentukan strategi mana yang akan dilaksanakan. Program Pencegahan Dan Pengendalian Bruselosis Di Kalimantan Pada prinsipnya, tujuan dan sasaran program pemberantasan bruselosis pada sapi adalah memperbaiki lingkungan budi daya peternakan sehingga bebas dari bruselosis, meningkatkan produktifitas dan reproduktifitas ternak sapi dan pada akhirnya untuk meningkatkan pendapatan petani peternak (Rompis 2002). Konsep untuk melaksanakan program pemberantasan bruselosis secara nasional di Indonesia tercetus sejak tahun 1995/1996, setelah melihat situasi penyebaran penyakit yang semakin meluas dan dari kajian ekonomi di lapangan tahun 1994 kerugian ekonomi yang ditimbulkan pada daerah daerah tertular sangat besar (Ditjennak 1998). Strategi pemberantasan bruselosis harus disesuaikan dengan kondisi sistem peternakan setempat. Di Indonesia, usaha peternakan sapi kebanyakan dalam skala kecil dan bersifat tradisional atau peternakan rakyat. Sistem manajemen peternakan seperti ini sangat mempengaruhi pola penularan penyakit (Rompis 2002). Menurut Ditjennak (1998), Untuk menentukan strategi

40 19 dan sistim pemberantasan bruselosis maka terlebih dahulu ditetapkan peta status penyakit daerah bebas, daerah tersangka ataupun daerah tertular. Strategi pada daerah bebas dan tersangka adalah mempertahankan statusnya sedangkan Sistem Pemberantasan pada daerah tertular ringan dengan angka prevalensi dibawah 2% dilakukan test and slaughter sampai dicapai status bebas. Pada daerah tertular berat dengan angka prevalensi diatas 2% dilakukan vaksinasi masal secara serentak untuk semua polulasi terancam sampai menekan angka prevalensi dibawah 2% setelah itu dilakukan test and slaughter secara bertahap sampai dicapai status bebas. Strategi test and slaughter untuk daerah tertular ringan ini dianggap tepat dan menurut Noor (2008) mengatakan bahwa pemberantasan bruselosis dengan potong bersyarat dapat memberikan hasil yang sangat nyata apabila prevalensi penyakit rendah. Potong bersyarat harus dilakukan secara ketat untuk menghindarkan reinfeksi. Adapun negara yang menerapkan sistem ini dan berhasil adalah Cekoslovakia dan Swis. Selain itu program vaksinasi secara masal sangat efektif untuk menurunkan angka prevalensi. Menurut Hadi (2009) Kalimantan merupakan areal potensial untuk pengembangan sapi potong bagi Indonesia. Pulau yang sangat besar ini baru memiliki populasi sapi ekor, 2008 atau 4.4% dari populasi sapi potong di Indonesia atau kurang 1/5 populasi sapi potong Jawa Timur. Namun demikian, sebagai daerah pengembangan sapi, Kalimantan sudah layak dinyatakan sebagai pulau atau zona yang bebas dari bruselosis, sesuai dengan kaidah yang diatur dalam terrestrial animal health code OIE, chapter , article Kondisi bebas dari bruselosis ini tentunya tidak mudah, melalui upaya panjang selama lebih kurang 10 tahun. Tindak penolakan telah dilakukan oleh pengawas pintu masuk ke Kalimantan, pihak Karantina Pertanian (Karantina Hewan) terhadap sapi bibit yang datang dari NTB, Sulawesi Selatan, Jawa Timur dan daerah lain melalui kebijakan test and slaughter. Melalui beberapa rapat koordinasi regional di Kalimantan telah diputuskan bahwa terhadap sapi bibit yang masuk ke Kalimantan, harus di test ulang bruselosis 100%. Terjadi komitmen dengan pemasok, dinas peternakan dan karantina hewan, sapi yang positif RBT pun segera dipotong tanpa menunggu uji konfirmatif dengan CFT. Test ulang 100% dilakukan untuk lebih meningkatkan jaminan bahwa sapi bibit yang masuk dan akan disebarkan ke peternak memang

41 20 benar-benar bebas bruselosis, dan tidak ada tersembunyi sapi karier yang false negatif uji. Kegiatan yang tidak kalah penting adalah surveilans dan pengujian di lokasi penyebaran dan daerah padat ternak, yang dilakukan oleh BPPV regional V Banjarbaru selama 10 tahun lebih dari tahun Melalui metodologi sampling, multistage sampling dan targeted sampling, dengan memperhatikan sensitifitas dan spesifitas seri uji RBT dan CFT sebesar 73.9% dan 99.6%, telah dilakukan surveilans di 41 kabupaten/kota, 180 kecamatan, 385 desa/kelurahan dan telah diuji ekor sapi terhadap bruselosis. Karena apparent prevalence bruselosis di Kalimantan sangat kecil, jauh dari 2%, kebijakan yang diambil adalah test and slaughter, semua reaktor bruselosis dipotong dengan pengawasan petugas dinas peternakan setempat. Targeted sampling, sensus dan resampling dilakukan di kabupaten tempat reaktor dengan menempatkan beberapa petugas BPPV yang terlatih untuk menyisir, menguji RBT di tempat dan menandai sapi-sapi reaktor. Data sampling, sensus dan resampling serta pengujian bruselosis di Kalimantan telah dianalisis dengan pisau analitik BPPV regional V Banjarbaru dan pemerintah daerah telah melaksanakan surveilans bruselosis di Kalimantan selama 10 tahun berjalan pada 53 kabupaten/kota dalam 4 propinsi. Tindakan yang telah dilakukan oleh dinas peternakan atau instansi terkait dalam pengendalian bruselosis adalah dengan memotong segera reaktor bruselosis, sehingga jumlah reaktor menurun setiap tahunnya hingga dalam taraf serendah mungkin. Evaluasi hasil surveilans Bruselosis Kalimantan telah dilakukan oleh komisi ahli kesehatan hewan Direktorat Jenderal Peternakan pada tanggal 22 Desember 2008 di Jakarta dan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 2540/Kpts/PD.610/6/2009 tanggal 15 Juni 2009 dinyatakan bahwa pulau Kalimantan bebas dari penyakit keluron menular brucelosis pada sapi dan kerbau.

TINJAUAN PUSTAKA Bruselosis Etiologi

TINJAUAN PUSTAKA Bruselosis Etiologi 5 TINJAUAN PUSTAKA Bruselosis Bruselosis merupakan salah satu penyakit zoonosis utama yang bisa berdampak negatif pada kesehatan masyarakat dan perekonomian di banyak bagian dunia (Agasthya et al. 2007).

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pertama kali saat terjadinya perang di Crimea, Malta pada tahun Gejala

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pertama kali saat terjadinya perang di Crimea, Malta pada tahun Gejala 5 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Etiologi Brucellosis Penyakit keguguran / keluron menular pada hewan ternak kemungkinan telah ada sejak berabad-abad lalu seperti deskripsi dari Hippocrates dan mewabah pertama

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 27 HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini kajian dilakukan diseluruh instansi yang mempunyai tupoksi berkaitan dengan strategi pencegahan dan pengendalian bruselosis di seluruh Kalimantan. Instansi-instansi

Lebih terperinci

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

umum digunakan untuk brucellosis yang di Indonesia umumnya menggunakan teknik Rose Bengal Plate Test (RBPT), Serum Agglutination Test (SAT), dan Compl

umum digunakan untuk brucellosis yang di Indonesia umumnya menggunakan teknik Rose Bengal Plate Test (RBPT), Serum Agglutination Test (SAT), dan Compl DIAGNOSA PENYAKIT BRUCELLOSIS PADA SAP] DENGAN TEKNIK UJI PENGIKATAN KOMPLEMEN Yusuf Mukmin Balai Penelitian Veteriner, Jalan R.E. Martadinata 30, Bogor 11614 PENDAHULUAN Brucellosis adalah penyakit bakterial

Lebih terperinci

PENGENDALIAN PENYAKIT BRUCELLOSIS DI KABUPATEN SLEMAN TAHUN 2017

PENGENDALIAN PENYAKIT BRUCELLOSIS DI KABUPATEN SLEMAN TAHUN 2017 PENGENDALIAN PENYAKIT BRUCELLOSIS DI KABUPATEN SLEMAN TAHUN 2017 Oleh : drh Nyoman A Anggreni T PENDAHULUAN Pengendalian terhadap penyakit brucellosis di Indonesia, pulau Jawa dan khususnya di terus dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bujur Timur dengan jarak 149 km dari Dili, suhu maksimun 32 o C dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bujur Timur dengan jarak 149 km dari Dili, suhu maksimun 32 o C dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Distrik Bobonaro Distrik Bobonaro terletak di antara 8 o 48-9 15 Lintang Selatan dan 125 o 55-125 24 Bujur Timur dengan jarak 149 km dari Dili, suhu maksimun 32 o C dan suhu

Lebih terperinci

LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS

LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS Oleh : 1. Drh. Muhlis Natsir NIP 080 130 558 2. Drh. Sri Utami NIP 080 130 559 BALAI

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Sebanyak 173 dan 62 contoh serum sapi dan kambing potong sejumlah berasal dari di provinsi Jawa Timur, Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Barat, Jakarta dan

Lebih terperinci

Balai Karantina Pertanian Kelas I Banjarmasin Jl. Mayjend Sutoyo S. No Banjarmasin

Balai Karantina Pertanian Kelas I Banjarmasin Jl. Mayjend Sutoyo S. No Banjarmasin Kontak kami Jl. Mayjend Sutoyo S. No. 1134 Banjarmasin go to url: Makalah Karya Tulis Ilmiah UPAYA MEMPERTAHANKAN KALIMANTAN SELATAN BEBAS BRUCELLOSIS Yuswandi* * Jl. Mayjend. Sutoyo S. No 1134 Banjarmasin

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Kerangka Konsep Penelitian Variabel Penelitian Pelaku kebijakan

BAHAN DAN METODE Kerangka Konsep Penelitian Variabel Penelitian Pelaku kebijakan 21 BAHAN DAN METODE Kerangka Konsep Penelitian Menurut Dunn (2011) analisa kebijakan strategis terdiri dari kebijakan publik, pelaku kebijakan dan lingkungan kebijakan dan oleh pemikiran peneliti dapat

Lebih terperinci

TENTANG. wilayah Provinsi Sumatera Utara dapat menyebabkan penyebaran penyakit keluron menular (Brucr,llosis);

TENTANG. wilayah Provinsi Sumatera Utara dapat menyebabkan penyebaran penyakit keluron menular (Brucr,llosis); SALINAN MENULAR GUBERNUR SUMATERA UTARA PERATURAN GUBERNUR SUMATERA UTARA NOMOR 21. TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN MASUKI{YA PEI{YAKIT KELURON {BRUCELLOS$I KE DALAM WILAYAH PROVINSI SUMATERA UTARA DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil)

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil) BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit antraks merupakan salah satu penyakit zoonosa yang disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil) dengan ujung siku-siku bersifat

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

2015, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 2

2015, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 2 No.1866, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMTAN. Hewan. Penyakit. Pemberantasan. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun Jumlah (ekor) Frekuensi

PENDAHULUAN. Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun Jumlah (ekor) Frekuensi PENDAHULUAN Latar Belakang Keanekaragaman sumber daya hayati merupakan modal dasar dan faktor dominan dalam penyelenggaraan pembangunan nasional. Seiring dengan perkembangan ekonomi, perdagangan dan teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama

Lebih terperinci

GUBERNUR RIAU PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR : 72 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN KOMISI INFORMASI PROVINSI

GUBERNUR RIAU PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR : 72 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN KOMISI INFORMASI PROVINSI GUBERNUR RIAU PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR : 72 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN KOMISI INFORMASI PROVINSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR RIAU, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor),

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor), Babi Aceh 0.20 0.20 0.10 0.10 - - - - 0.30 0.30 0.30 3.30 4.19 4.07 4.14 Sumatera Utara 787.20 807.40 828.00 849.20 871.00 809.70 822.80 758.50 733.90 734.00 660.70 749.40 866.21 978.72 989.12 Sumatera

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Peternakan babi berperan penting dalam meningkatkan perekonomian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Peternakan babi berperan penting dalam meningkatkan perekonomian BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hog cholera 2.1.1 Epizootiologi Peternakan babi berperan penting dalam meningkatkan perekonomian masyarakat pedesaan di Bali. Hampir setiap keluarga di daerah pedesaan memelihara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid akut merupakan penyakit infeksi akut bersifat sistemik yang disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang dikenal dengan Salmonella

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.130, 2014 LINGKUNGAN HIDUP. Penyakit Hewan. Peternakan. Pengendalian. Penanggulangan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5543) PERATURAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/OT.140/1/2008 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/OT.140/1/2008 TENTANG PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/OT.140/1/2008 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BENIH, BIBIT TERNAK, DAN TERNAK POTONG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN,

Lebih terperinci

STANDAR PELAYANAN PUBLIK JANGKA WAKTU LAYANAN KARANTINA ( SERVICE LEVEL AGREEMENT )

STANDAR PELAYANAN PUBLIK JANGKA WAKTU LAYANAN KARANTINA ( SERVICE LEVEL AGREEMENT ) 1 STANDAR PELAYANAN PUBLIK JANGKA WAKTU LAYANAN KARANTINA ( SERVICE LEVEL AGREEMENT ) KEMENTERIAN PERTANIAN BADAN KARANTINA PERTANIAN BALAI KARANTINA PERTANIAN KELAS I BANJARMASIN 2015 2 STANDAR PELAYANAN

Lebih terperinci

Anjing Anda Demam, Malas Bergerak dan Cepat Haus? Waspadai Leptospirosis

Anjing Anda Demam, Malas Bergerak dan Cepat Haus? Waspadai Leptospirosis Anjing Anda Demam, Malas Bergerak dan Cepat Haus? Waspadai Leptospirosis Leptospirosis adalah penyakit berbahaya yang diakibatkan oleh bakteri Leptospira interrogans sensu lato. Penyakit ini dapat menyerang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. mamalia dan memiliki tingkat kematian yang sangat tinggi. Sangat sedikit penderita

PENDAHULUAN. Latar Belakang. mamalia dan memiliki tingkat kematian yang sangat tinggi. Sangat sedikit penderita PENDAHULUAN Latar Belakang Rabies adalah penyakit viral yang mempengaruhi sistem saraf pusat pada mamalia dan memiliki tingkat kematian yang sangat tinggi. Sangat sedikit penderita yang dapat bertahan

Lebih terperinci

RILIS HASIL AWAL PSPK2011

RILIS HASIL AWAL PSPK2011 RILIS HASIL AWAL PSPK2011 Kementerian Pertanian Badan Pusat Statistik Berdasarkan hasil Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau (PSPK) 2011 yang dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia mulai 1-30

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

PREVALENSI DAN RISIKO INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING YANG DIIMPOR MELALUI BANDARA SOEKARNO-HATTA ESMIRALDA EKA FITRI

PREVALENSI DAN RISIKO INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING YANG DIIMPOR MELALUI BANDARA SOEKARNO-HATTA ESMIRALDA EKA FITRI PREVALENSI DAN RISIKO INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING YANG DIIMPOR MELALUI BANDARA SOEKARNO-HATTA ESMIRALDA EKA FITRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

OLEH DR. Drh. RAIHANAH, M.Si. KEPALA DINAS KESEHATAN HEWAN DAN PETERNAKAN ACEH DISAMPAIKAN PADA :

OLEH DR. Drh. RAIHANAH, M.Si. KEPALA DINAS KESEHATAN HEWAN DAN PETERNAKAN ACEH DISAMPAIKAN PADA : OLEH DR. Drh. RAIHANAH, M.Si. KEPALA DINAS KESEHATAN HEWAN DAN PETERNAKAN ACEH DISAMPAIKAN PADA : WORKSHOP PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN BAHAYA RABIES DINAS PETERNAKAN KAB/KOTA SE PROVINSI ACEH - DI

Lebih terperinci

Tabel 1 Daya tahan Brucella abortus pada berbagai kondisi lingkungan (Crawford et al. 1990). Terkena sinar matahari langsung Tanah : tanah kering

Tabel 1 Daya tahan Brucella abortus pada berbagai kondisi lingkungan (Crawford et al. 1990). Terkena sinar matahari langsung Tanah : tanah kering 4 TINJAUAN PUSTAKA Kabupaten Belu Letak Geografis, Topografi dan Iklim. Kabupaten Belu adalah salah satu kabupaten dari lima kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang terletak di daratan Timor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terakhir, tidak hanya menimbulkan kepanikan bagi masyarakat tetapi juga menjadi

BAB I PENDAHULUAN. terakhir, tidak hanya menimbulkan kepanikan bagi masyarakat tetapi juga menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Merebaknya kasus flu burung di dunia khususnya Indonesia beberapa tahun terakhir, tidak hanya menimbulkan kepanikan bagi masyarakat tetapi juga menjadi masalah kesehatan

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA

Lebih terperinci

BAB I. Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh

BAB I. Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh mikroorganisme Leptospira interogans yang mempengaruhi baik manusia maupun hewan. Manusia terinfeksi melalui

Lebih terperinci

PROGRAM AKSI PERBIBITAN DAN TRADISI LOKAL DALAM PENGELOLAAN TERNAK KERBAU DI KABUPATEN SUMBAWA, NUSA TENGGARA BARAT

PROGRAM AKSI PERBIBITAN DAN TRADISI LOKAL DALAM PENGELOLAAN TERNAK KERBAU DI KABUPATEN SUMBAWA, NUSA TENGGARA BARAT PROGRAM AKSI PERBIBITAN DAN TRADISI LOKAL DALAM PENGELOLAAN TERNAK KERBAU DI KABUPATEN SUMBAWA, NUSA TENGGARA BARAT H. ZULQIFLI Dinas Peternakan, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat PENDAHULUAN Kabupaten

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 28 HASIL DAN PEMBAHASAN Dipilihnya desa Tanjung, Jati, Pada Mulya, Parigi Mulya dan Wanasari di Kecamatan Cipunegara pada penelitian ini karena daerah ini memiliki banyak peternakan unggas sektor 1 dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Toksoplasmosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan parasit protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia (Kijlstra dan Jongert, 2008).

Lebih terperinci

MATRIKS DOMESTIK MASUK MEDIA PEMBAWA HPHK BKP KELAS II GORONTALO

MATRIKS DOMESTIK MASUK MEDIA PEMBAWA HPHK BKP KELAS II GORONTALO MATRIKS DOMESTIK MASUK MEDIA PEMBAWA HPHK BKP KELAS II GORONTALO NO JENIS MEDIA PEMBAWA PEMERIKSAAN DOKUMEN TINDAKAN KARANTINA HEWAN PEMERIKSAAN TEKNIS MASA KARANTINA KETERANGAN 1. HPR 14 hari Bagi HPR

Lebih terperinci

ASPEK MIKROBIOLOGIS DAGING AYAM BEKU YANG DILALULINTASKAN MELALUI PELABUHAN PENYEBERANGAN MERAK MELANI WAHYU ADININGSIH

ASPEK MIKROBIOLOGIS DAGING AYAM BEKU YANG DILALULINTASKAN MELALUI PELABUHAN PENYEBERANGAN MERAK MELANI WAHYU ADININGSIH ASPEK MIKROBIOLOGIS DAGING AYAM BEKU YANG DILALULINTASKAN MELALUI PELABUHAN PENYEBERANGAN MERAK MELANI WAHYU ADININGSIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

GUBERNUR RIAU PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR : 30 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN RABIES DI PROVINSI RIAU

GUBERNUR RIAU PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR : 30 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN RABIES DI PROVINSI RIAU GUBERNUR RIAU PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR : 30 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN RABIES DI PROVINSI RIAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR RIAU Menimbang : a. bahwa rabies merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1). Pembangunan bidang kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1). Pembangunan bidang kesehatan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan amanat Undang-Undang

Lebih terperinci

AKABANE A. PENDAHULUAN

AKABANE A. PENDAHULUAN AKABANE Sinonim : Arthrogryposis Hydranencephaly A. PENDAHULUAN Akabane adalah penyakit menular non contagious yang disebabkan oleh virus dan ditandai dengan adanya Arthrogryposis (AG) disertai atau tanpa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan penyakit infeksi tropik sistemik, yang disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak,

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak, pemeliharaan stamina tubuh, percepatan regenerasi sel dan menjaga sel darah merah (eritrosit) agar tidak mudah

Lebih terperinci

PEDOMAN IDENTIFIKASI DAN PENGAWASAN TERNAK RUMINANSIA BESAR BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN IDENTIFIKASI DAN PENGAWASAN TERNAK RUMINANSIA BESAR BAB I PENDAHULUAN LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 16/Permentan/OT.140/1/2010 TANGGAL : 29 Januari 2010 PEDOMAN IDENTIFIKASI DAN PENGAWASAN TERNAK RUMINANSIA BESAR A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Ternak

Lebih terperinci

RENCANA KERJA TAHUNAN BALAI INSEMINASI BUATAN LEMBANG TAHUN 2018

RENCANA KERJA TAHUNAN BALAI INSEMINASI BUATAN LEMBANG TAHUN 2018 RENCANA KERJA TAHUNAN BALAI INSEMINASI BUATAN LEMBANG TAHUN 2018 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Organisasi dan Tata Kerja Balai Inseminasi Buatan Lembang ditetapkan dengan Surat Keputusan (SK) Menteri

Lebih terperinci

WASPADA, ADA PMK DI DEPAN MATA Perlunya Analisa Risiko

WASPADA, ADA PMK DI DEPAN MATA Perlunya Analisa Risiko WASPADA, ADA PMK DI DEPAN MATA Perlunya Analisa Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang bebas dari penyakit mulut dan kuku (PMK) yang diakui oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE). Sebagai

Lebih terperinci

PEMANTAUAN DAN KAJIAN KEBERADAAN KUMBANG KHAPRA,

PEMANTAUAN DAN KAJIAN KEBERADAAN KUMBANG KHAPRA, PEMANTAUAN DAN KAJIAN KEBERADAAN KUMBANG KHAPRA, Trogoderma granarium Everts., (COLEOPTERA: DERMESTIDAE) DAN HAMA GUDANG LAINNYA DI WILAYAH DKI JAKARTA, BEKASI, SERANG, DAN CILEGON MORISA PURBA SEKOLAH

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS PENGEMBANGAN PEMBIBITAN BABI TAHUN 2012 DIREKTORAT PERBIBITAN TERNAK

PEDOMAN TEKNIS PENGEMBANGAN PEMBIBITAN BABI TAHUN 2012 DIREKTORAT PERBIBITAN TERNAK PEDOMAN TEKNIS PENGEMBANGAN PEMBIBITAN BABI TAHUN 2012 DIREKTORAT PERBIBITAN TERNAK DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2012 KATA PENGANTAR Pengembangan pembibitan

Lebih terperinci

TINGKAT KEAMANAN SUSU BUBUK SKIM IMPOR DITINJAU DARI KUALITAS MIKROBIOLOGI UTI RATNASARI HERDIANA

TINGKAT KEAMANAN SUSU BUBUK SKIM IMPOR DITINJAU DARI KUALITAS MIKROBIOLOGI UTI RATNASARI HERDIANA TINGKAT KEAMANAN SUSU BUBUK SKIM IMPOR DITINJAU DARI KUALITAS MIKROBIOLOGI UTI RATNASARI HERDIANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN I. UMUM Pengaturan pengendalian dan penanggulangan Penyakit Hewan menjadi

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.214, 2012 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Peternakan. Kesehatan. Veteriner. Hewan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5356) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING

BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING 3.1. Virus Tokso Pada Kucing Toksoplasmosis gondii atau yang lebih sering disebut dengan tokso adalah suatu gejala penyakit yang disebabkan oleh protozoa toksoplasmosis

Lebih terperinci

LAPORAN KINERJA 2014 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

LAPORAN KINERJA 2014 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 9 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Provinsi

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.5543 LINGKUNGAN HIDUP. Penyakit Hewan. Peternakan. Pengendalian. Penanggulangan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 130) PENJELASAN ATAS

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2015

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2015 1 LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2015 PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN PEMOTONGAN TERNAK RUMINANSIA BESAR BETINA PRODUKTIF

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 52/Permentan/OT.140/9/2011 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 52/Permentan/OT.140/9/2011 TENTANG PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 52/Permentan/OT.140/9/2011 TENTANG REKOMENDASI PERSETUJUAN PEMASUKAN DAN PENGELUARAN TERNAK KE DALAM DAN KELUAR WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ini tersebar di berbagai penjuru dunia. Di Indonesia, penyakit ini bersifat

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ini tersebar di berbagai penjuru dunia. Di Indonesia, penyakit ini bersifat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Toksoplasmosis merupakan salah satu dari sekian banyak penyakit zoonosis, yaitu penyakit yang secara alami dapat menular dari hewan ke manusia. Gejala klinis dari penyakit

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA

SEKOLAH PASCASARJANA ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN TANAH TERHADAP LINGKUNGAN DI KABUPATEN TANGERANG Oleh: Sri Martini PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 ANALISIS DAMPAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. sapi secara maksimal masih terkendala oleh lambatnya pertumbuhan populasi sapi

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. sapi secara maksimal masih terkendala oleh lambatnya pertumbuhan populasi sapi BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Produksi daging sapi pada tahun 2012 mengalami defisit sebesar 78.329 ton (21,40%). Upaya yang telah dilakukan untuk peningkatan produksi daging sapi secara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan Kesehatan merupakan bagian integral dari Pembangunan. Indonesia. Pembangunan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan Kesehatan merupakan bagian integral dari Pembangunan. Indonesia. Pembangunan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan Kesehatan merupakan bagian integral dari Pembangunan Nasional Indonesia. Pembangunan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. Leptospirosis disebabkan oleh Spirochaeta termasuk genus Leptospira. Pada

PENGANTAR. Latar Belakang. Leptospirosis disebabkan oleh Spirochaeta termasuk genus Leptospira. Pada PENGANTAR Latar Belakang Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyerang manusia dan hewan (zoonosis). Penyakit ini sangat penting dan ditemukan hampir di seluruh dunia, terutama di belahan

Lebih terperinci

COXIELLA BURNETII OLEH : YUNITA DWI WULANSARI ( )

COXIELLA BURNETII OLEH : YUNITA DWI WULANSARI ( ) COXIELLA BURNETII OLEH : YUNITA DWI WULANSARI (078114113) KLASIFIKASI ILMIAH Kingdom : Bacteria Phylum : Proteobacteria Class : Gamma Proteobacteria Order : Legionellales Family : Coxiellaceae Genus :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peningkatan angka kejadian, tidak hanya terjadi di Indonesia juga di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peningkatan angka kejadian, tidak hanya terjadi di Indonesia juga di berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak beberapa tahun terakhir ini, berbagai penyakit infeksi mengalami peningkatan angka kejadian, tidak hanya terjadi di Indonesia juga di berbagai belahan dunia

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG OTORITAS VETERINER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG OTORITAS VETERINER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG OTORITAS VETERINER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

ROAD MAP NASIONAL PEMBERANTASAN RABIES DI INDONESIA

ROAD MAP NASIONAL PEMBERANTASAN RABIES DI INDONESIA KEMENTERIAN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DIREKTORAT KESEHATAN HEWAN ROAD MAP NASIONAL PEMBERANTASAN RABIES DI INDONESIA N I KETUT DIARMITA DIREKTUR KESEHATAN HEWAN BOGOR,

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI Isu-isu strategis berdasarkan tugas dan fungsi Dinas Peternakan adalah kondisi atau hal yang harus diperhatikan atau dikedepankan dalam perencanaan

Lebih terperinci

Proses Penyakit Menular

Proses Penyakit Menular Proses Penyakit Menular Bagaimana penyakit berkembang? Spektrum penyakit Penyakit Subklinis (secara klinis tidak tampak) Terinfeksi tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda penyakit; biasanya terjadi perubahan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 83/Permentan/OT.140/12/2012 TENTANG PEDOMAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL MEDIK VETERINER DAN PARAMEDIK VETERINER

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 83/Permentan/OT.140/12/2012 TENTANG PEDOMAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL MEDIK VETERINER DAN PARAMEDIK VETERINER PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 83/Permentan/OT.140/12/2012 TENTANG PEDOMAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL MEDIK VETERINER DAN PARAMEDIK VETERINER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN LALU LINTAS TERNAK DAN PEREDARAN BAHAN ASAL HEWAN DI KABUPATEN BULUKUMBA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN LALU LINTAS TERNAK DAN PEREDARAN BAHAN ASAL HEWAN DI KABUPATEN BULUKUMBA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN LALU LINTAS TERNAK DAN PEREDARAN BAHAN ASAL HEWAN DI KABUPATEN BULUKUMBA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUKUMBA,

Lebih terperinci

BUPATI MALANG BUPATI MALANG,

BUPATI MALANG BUPATI MALANG, BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS (UPTD) RUMAH POTONG HEWAN (RPH) PADA DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN KABUPATEN MALANG BUPATI MALANG, Menimbang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat seiring dengan pertambahan penduduk yang pesat, membaiknya keadaan ekonomi dan meningkatnya kesadaran masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. Rabies merupakan Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) Golongan II

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. Rabies merupakan Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) Golongan II BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Rabies merupakan Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) Golongan II berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 3238/Kpts/PD.630/9/2009 tentang Penggolongan

Lebih terperinci

LAPORAN KEGIATAN INVESTIGASI WABAH PENYAKIT HEWAN TAHUN Penyakit hewan masih menjadi permasalahan bagi industri peternakan di Indonesia

LAPORAN KEGIATAN INVESTIGASI WABAH PENYAKIT HEWAN TAHUN Penyakit hewan masih menjadi permasalahan bagi industri peternakan di Indonesia LAPORAN KEGIATAN INVESTIGASI WABAH PENYAKIT HEWAN TAHUN 2014 PENDAHULUAN Penyakit hewan masih menjadi permasalahan bagi industri peternakan di Indonesia dan berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap

Lebih terperinci

PENYAKIT STRATEGIS RUMINASIA BESAR DAN SITUASINYA DI KALIMANTAN TIMUR

PENYAKIT STRATEGIS RUMINASIA BESAR DAN SITUASINYA DI KALIMANTAN TIMUR PENYAKIT STRATEGIS RUMINASIA BESAR DAN SITUASINYA DI KALIMANTAN TIMUR WAFIATININGSIH 1, BARIROH N.R 1 dan R.A. SAPTATI 2. 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Timur 2 Pusat Penelitian dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid merupakan infeksi bakteri sistemik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi yang dijumpai di berbagai negara berkembang terutama di daerah tropis

Lebih terperinci

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF I. UMUM Provinsi Jawa Timur dikenal sebagai wilayah gudang ternak sapi

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF

PEMERINTAH PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF PEMERINTAH PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI Menimbang : a.

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.20, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Otoritas Veteriner. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6019) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

KEBIJAKAN NASIONAL DAN STRATEGI PENGENDALIAN DAN PEMBERANTASAN PENYAKIT RABIES

KEBIJAKAN NASIONAL DAN STRATEGI PENGENDALIAN DAN PEMBERANTASAN PENYAKIT RABIES KEBIJAKAN NASIONAL DAN STRATEGI PENGENDALIAN DAN PEMBERANTASAN PENYAKIT RABIES Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Workshop Pengendalian dan Penanggulangan Bahaya Penyakit Rabies Banda Aceh,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara berkembang, salah satunya di Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica

Lebih terperinci

FOKUS PROGRAM DAN KEGIATAN PEMBANGUNAN PETERNAKAN DAN KESWAN TAHUN 2016

FOKUS PROGRAM DAN KEGIATAN PEMBANGUNAN PETERNAKAN DAN KESWAN TAHUN 2016 DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN FOKUS PROGRAM DAN KEGIATAN PEMBANGUNAN PETERNAKAN DAN KESWAN TAHUN 2016 Disampaikan pada: MUSRENBANGTANNAS 2015 Jakarta, 04 Juni 2015 1 TARGET PROGRAM

Lebih terperinci

RENCANA KINERJA TAHUNAN

RENCANA KINERJA TAHUNAN RENCANA KINERJA TAHUNAN BALAI EMBRIO TERNAK CIPELANG Tahun 2017 KEMENTERIAN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN BALAI EMBRIO TERNAK CIPELANG-BOGOR 1 RENCANA KINERJA TAHUNAN BALAI

Lebih terperinci

MODEL PERAMALAN HARGA SAHAM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK TRIANA ENDANG

MODEL PERAMALAN HARGA SAHAM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK TRIANA ENDANG MODEL PERAMALAN HARGA SAHAM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK TRIANA ENDANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini

Lebih terperinci

RENCANA KINERJA TAHUNAN

RENCANA KINERJA TAHUNAN RENCANA KINERJA TAHUNAN BALAI EMBRIO TERNAK CIPELANG Tahun 2016 KEMENTERIAN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN BALAI EMBRIO TERNAK CIPELANG-BOGOR 1 RENCANA KINERJA TAHUNAN BALAI

Lebih terperinci

PEDOMAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL MEDIK VETERINER DAN PARAMEDIK VETERINER BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL MEDIK VETERINER DAN PARAMEDIK VETERINER BAB I PENDAHULUAN 5 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA Nomor 83/Permentan/OT.140/12/2012 TENTANG PEDOMAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL MEDIK VETERINER DAN PARAMEDIK VETERINER PEDOMAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL

Lebih terperinci

GUBERNUR SUMATERA BARAT

GUBERNUR SUMATERA BARAT GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 103TAHUN 2017 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS DAERAH DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN PROVINSI SUMATERA

Lebih terperinci

Press Release. 1. Terkait persiapan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan:

Press Release. 1. Terkait persiapan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan: Press Release Pelepasan Tim Pemantau Pelaksanaan Pemotongan Hewan Qurban 1435 H Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Jakarta, 1 Oktober 2014 Dalam rangka upaya penjaminan

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PELAKU USAHA TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PERIZINAN PADA PUSAT PERIZINAN DAN INVESTASI KEMENTERIAN PERTANIAN

ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PELAKU USAHA TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PERIZINAN PADA PUSAT PERIZINAN DAN INVESTASI KEMENTERIAN PERTANIAN ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PELAKU USAHA TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PERIZINAN PADA PUSAT PERIZINAN DAN INVESTASI KEMENTERIAN PERTANIAN Oleh : Dewi Maditya Wiyanti PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH

Lebih terperinci

DUKUNGAN PASCAPANEN DAN PEMBINAAN USAHA

DUKUNGAN PASCAPANEN DAN PEMBINAAN USAHA DUKUNGAN PASCAPANEN DAN PEMBINAAN USAHA PEDOMAN TEKNIS PEMBINAAN USAHA PERKEBUNAN TAHUN 2013 DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN DESEMBER 2012 KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37/Permentan/OT.140/3/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37/Permentan/OT.140/3/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37/Permentan/OT.140/3/2014 TENTANG TlNDAKAN KARANTINA HEWAN TERHADAP PEMASUKAN DAN PENGELUARAN UNGGAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN

Lebih terperinci

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Instalasi Karantina Hewan

TINJAUAN PUSTAKA Instalasi Karantina Hewan TINJAUAN PUSTAKA Instalasi Karantina Hewan Instalasi karantina hewan (IKH) adalah bangunan berikut peralatan, lahan dan sarana pendukung lainnya yang diperlukan sebagai tempat pelaksanaan tindakan karantina

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkarantinaan hewan

Lebih terperinci