ANALISIS POLA TANAM LAHAN PERTANIAN MENGGUNAKAN CITRA MODIS DI PROVINSI LAMPUNG DIMAS PANUJI WICAKSONO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS POLA TANAM LAHAN PERTANIAN MENGGUNAKAN CITRA MODIS DI PROVINSI LAMPUNG DIMAS PANUJI WICAKSONO"

Transkripsi

1 ANALISIS POLA TANAM LAHAN PERTANIAN MENGGUNAKAN CITRA MODIS DI PROVINSI LAMPUNG DIMAS PANUJI WICAKSONO DEPARTEMEN TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017

2

3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Pola Tanam Lahan Pertanian Menggunakan Citra MODIS di Provinsi Lampung adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2017 Dimas Panuji Wicaksono F

4 ABSTRAK DIMAS PANUJI WICAKSONO. Analisis Pola Tanam Menggunakan Citra MODIS di Provinsi Lampung. Dibimbing oleh LIYANTONO. Penerapan pola tanam yang tepat dalam suatu proses kegiatan pertanian dapat berpengaruh terhadap produktivitas. Oleh karena itu, dibutuhkan monitoring yang cepat dan efisien pada areal pertanian. Citra MODIS dapat digunakan untuk memantau lahan pertanian dengan cepat. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan pola tanam pertanian yang ada di Provinsi Lampung dengan menggunakan citra MODIS MOD13Q1, h28v09 pada resolusi 6.25 hektar per piksel. Reduksi noise dilakukan pada penelitian ini untuk mengurangi gangguan yang sering terjadi menggunakan metode tranformasi wavelet. Identifikasi lahan dilakukan dengan menggunakan algoritma k-means clustering pada data temporal dari tahun dan menghasilkan pola tanam yang berbeda-beda. Pola tanam yang berhasil diidentifikasi adalah pola tanam sawah padi-bera-padi, padipalawija-bera, bera-palawija-padi, tebu dan pertanian campuran. Berdasarkan hasil validasi menggunakan Google Earth, akurasi pola tanam pada penelitian ini sebesar 72.00% Kata kunci: citra MODIS, penginderaan jauh, pola tanam, transformasi wavelet ABSTRACT DIMAS PANUJI WICAKSONO. Crops Pattern Analyze Using MODIS Imagery in Lampung Province. Supervised by LIYANTONO Implementation of proper crops pattern in a agricultural activity process can take effect to productivity. Therefore, fast and efficient monitoring system is needed in agricultural area. MODIS imagery can be used for fast monitoring agricultural area. This study was to determine agricultural crops pattern in Lampung Province using MODIS MOD13Q1, h28v hectare per pixel resolution. Noise reduction in this study was to reduce noise using wavelet transform method. Area identification was done using k-means clustering algorithm for temporal data between and generate different crops pattern. Crops pattern which can be identified are paddy-bare-paddy, paddysecondary-bare, bare-secondary-paddy, cane, and mixed crops pattern. Based on validation result using Google Earth, accuracy assesment of this results revealed up to 72.00% Keywords: crop pattern, MODIS image, remote sensing, wavelet tranform

5 ANALISIS POLA TANAM LAHAN PERTANIAN MENGGUNAKAN CITRA MODIS DI PROVINSI LAMPUNG DIMAS PANUJI WICAKSONO Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik pada Departemen Teknik Mesin dan Biosistem DEPARTEMEN TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017

6

7

8 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan mulai bulan Juli 2015 ini berjudul Analisis Pola Tanam Menggunakan Citra MODIS di Provinsi Lampung. Di samping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr Liyantono STP MAgr selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan arahan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi. 2. Dr Ir Mohamad Solahudin MSi dan Dr Slamet Widodo STP MSc yang telah banyak memberi saran. 3. Ayah Agus Jaeni dan Ibu Endah Winarni, kakak Singgih Giri Prasetyo dan Yusvita Sari serta adik Anggraito Putra atas segala doa dan memberikan semangat yang tiada henti sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas akhir. 4. Seluruh dosen dan staf Laboratorium Teknik Bioinformatika atas segala bantuanya. 5. Alvin, Tajul, Milion, dan Rizky yang sangat membantu saat penelitian. 6. Najmi dan rekan-rekan Antares 47 atas perjuangan dan kerjasamanya. 7. Semua pihak yang telah membantu penulis untuk menyelesaikan tugas akhir. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan khususnya dapat berguna untuk kemajuan teknologi pertanian di Indonesia. Bogor, Februari 2017 Dimas Panuji Wicaksono

9 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ix DAFTAR GAMBAR x DAFTAR LAMPIRAN x PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 2 Tujuan Penelitian 2 Ruang Lingkup Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA 2 Pola Tanam 2 Sistem Penginderaan Jauh (Remote Sensing) 3 Citra MODIS 4 Indeks Vegetasi 4 NDVI dan EVI 5 Noise dan Tranformasi Wavelet 6 K-means Clustering 7 Penelitian Terdahulu 7 METODE 8 Waktu dan Tempat Penelitian 8 Jenis Data dan Alat Penelitian 8 Prosedur Analisis Data 8 HASIL DAN PEMBAHASAN 16 Analisis Citra MODIS Provinsi Lampung 16 Identifikasi Pola Tanam 20 Analisis Perubahan Pola Tanam 24 Akurasi Pola Tanam 25 SIMPULAN DAN SARAN 26 Simpulan 26 Saran 26 DAFTAR PUSTAKA 27 RIWAYAT HIDUP 39

10 DAFTAR TABEL Tabel 1 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian 8 Tabel 2 Pengelompokkan cluster 20 Tabel 3 Rata-rata umur tanam dan puncak nilai EVI 21 Tabel 4 Luas lahan tiap cluster 21 Tabel 5 Luas lahan pertanian yang teridentifikasi 22 Tabel 6 Analisis perubahan pola tanam sawah 24 Tabel 7 Hasil dari tabel confusion matrix 26 DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Ilustrasi reflektan pada tanaman 5 Gambar 2 Diagram alir penelitian 9 Gambar 3 Hasil stacking data 10 Gambar 4 Hasil clipping peta lahan pertanian 11 Gambar 5 Citra MODIS nilai EVI dalam format tif 12 Gambar 6 Ilustrasi proses stacking data citra MODIS 13 Gambar 7 Peta administrasi sebelum dan sesudah digabung dengan sawah 13 Gambar 8 Sebelum (biru) dan sesudah (merah) tranformasi wavelet 14 Gambar 9 Diagram alir k-means clustering 15 Gambar 10 Grafik pola tanam sawah (padi-bera-padi) 16 Gambar 11 Grafik pola tanam sawah (padi-palawija-bera) 17 Gambar 12 Grafik pola tanam sawah (bera-palawija-padi) 18 Gambar 13 Pola tanam tebu 18 Gambar 14 Pola tanam campuran hutan (a), dan tanaman tahunan (b) 19 Gambar 15 Pola tanam sawah (padi-bera-padi) tahun Gambar 16 Hasil identifikasi sesuai dengan pola tanam 22 Gambar 17 Perbandingan pola tanam hasil penelitian dengan data BPS 23 Gambar 18 Perubahan pola bera-palawija-padi (a), dan padi-palawija-bera (b) 25 DAFTAR LAMPIRAN 1 Script untuk mereduksi noise dengan metode wavelet tranform 29 2 Hasil klasterisasi menggunakan algoritma k-means clustering 30 3 Hasil analisis autocorrelation semua cluster 34 4 Tabel koordinat yang dipilih pada validasi Google Earth 35

11 PENDAHULUAN Latar Belakang Pola tanam merupakan susunan tanam pada suatu lahan selama beberapa tahun mulai dari masa pengolahan tanah sampai panen. Pola tanam di daerah tropis biasanya disusun selama satu tahun dengan memperhatikan curah hujan terutama pada daerah atau lahan yang sepenuhnya tergantung dari hujan. Terdapat dua jenis pola tanam yaitu monokultur (pola tanam dengan satu komoditas) dan Polikutur (pola tanam lebih dari satu komoditas). Pola tanam ini diterapkan dengan tujuan untuk memanfaatkan sumber daya secara optimal dan untuk menghindari resiko gagal panen. Dalam usaha memelihara penggunaan pola tanam yang efisien pada areal pertanian, maka diperlukan sistem monitoring yang mampu mengamati, menganalisa, menyajikan, serta membuat model-model keputusan sehingga aktifitas pertanian yang berkelanjutan tetap terjaga (Uchida 2010). Teknologi penginderaan jauh merupakan salah satu teknologi pendekatan terintegrasi yang dapat memodelkan masalah-masalah pertanian berhubungan dengan usaha monitoring penggunaan lahan dan proteksi stabilitas lingkungan. Penginderaan jauh merupakan suatu ilmu atau teknologi untuk memperoleh informasi atau alam melalui analisis suatu data yang diperoleh dari rekaman objek, daerah, atau fenomena yang dikaji. Perekaman atau pengumpulan data penginderaan jauh dapat dilakukan dengan menggunakan sensor yang dipasang pada pesawat terbang atau satelit (Lillesand dan Keifer 1997). Aplikasi satelit penginderaan jauh telah mampu memberikan data atau informasi tentang sumberdaya alam dataran dan sumberdaya kelautan secara teratur dan periodik. Data-data tersebut berasal dari rekaman sensor yang memiliki kharakteristik berbeda-beda pada masing-masing tingkat ketinggian dan menentukan perbedaan dari data penginderaan jauh yang dihasilkan (Richards dan Jia 2006). Pengumpulan data penginderaan jauh dapat dilakukan dalam berbagai bentuk sesuai dengan tenaga yang digunakan. Tenaga yang digunakan dapat berupa variasi distribusi daya, distribusi gelombang bunyi atau distribusi energi elektromagnetik (Purwadhi dan Hardiyanti 2001). Teknologi satelit digunakan untuk kegiatan penginderaan jauh atau pemantauan perubahan lahan dikarenakan kegiatan ini memerlukan data dan informasi secara berkala, luas, dan cepat sehingga membutuhkan sensor MODIS. Citra MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectrodiometer) merupakan salah satu teknologi penginderaan jauh yang tepat dalam kegiatan pemantauan kondisi lahan atau kondisi pertanian untuk skala pulau. Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Setiawan et al. (2014) dalam sebuah jurnal yang membahas dinamika perubahan lahan padi menggunakan citra MODIS. Penelitian tersebut dilakukan pada areal Pulau Jawa. Hasil dari penelitian tersebut dapat menampilkan pendugaan pola tanam padi dari tahun 2001 sampai tahun 2007 dengan nilai akurasi 71.11%. Pada penelitian kali ini dilakukan pendugaan pola tanam padi yang terletak di Provinsi Lampung dengan menggunakan citra MODIS berbasis waktu. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui jumlah pola tanam yang ada serta untuk mengoptimalkan produktivitas pertanian di Provinsi Lampung.

12 2 Perumusan Masalah Pola tanam diterapkan untuk mengoptimalkan produktivitas pertanian dan menghindari gagal panen. Sehingga diperlukan monitoring pola tanam secara berkala untuk menjamin produktivitas lahan pertanian. Pemantauan lahan dengan cara manual membutuhkan waktu yang lama dan menghabiskan biaya. Untuk itu, diperlukan analisis citra satelit MODIS agar dapat menganalisis pola tanam dengan cepat sehingga pertanian bekelanjutan dapat tetap terjaga. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah menentukan luas dan mengidentifikasi pola tanam lahan pertanian dengan menggunakan metode k-means clustering pada penginderaan jauh dari data citra MODIS Provinsi Lampung tahun Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini berfokus pada identifikasi pola tanam di Provinsi Lampung menggunakan k-means clustering dengan menggunakan software Rstudio. Identifikasi dilakukan dengan menganalisa data cluster dan menentukan pola tanam berdasarkan nilai Enhanced Vegetation Index. TINJAUAN PUSTAKA Pola Tanam Pola tanam merupakan urutan penggunaan lahan pertanian dalam kurun waktu tertentu. Pola tanam merupakan bagian dari sistem budidaya tanaman, maka dari sistem budidaya ini dapat dikembangkan bentuk pola tanam lain. Pola tanam merupakan salah satu bentuk teknologi budidaya pertanian yang bertujuan untuk mengoptimalkan semua potensi yang berkaitan dengan efisiensi lahan. Pola tanam di daerah tropis berbeda dengan di daerah non tropis. Daerah tropis pertanian dapat dilaksanakan sepanajang tahun. Akan tetapi, syarat tumbuh optimal untuk setiap jenis tanaman berbeda dalam kaitanya dengan musim yang ada di daerah tropis (Wirosoedarmo 1985). Ada tanaman yang baik dibudidayakan pada curah hujan tinggi, ada tanaman yang sesuai dengan curah hujan rendah, ada juga yang tumbuh di dua musim tersebut. Secara umum, pola tanam dapat di bedakan menjadi dua, yaitu pola tanam tunggal (monokultur) dan pola tanam ganda (polikultur). Pertanian monokultur merupakan pola tanam dengan hanya menanam satu jenis komoditas pada suatu lahan pertanian dalam kurun waktu tertentu. Pertanian polikultur merupakan suatu pola pertanaman dengan membudidayakan lebih dari satu jenis komoditas pada suatu lahan pertanian dalam kurun waktu tertentu. Pada penelitian kali ini berfokus pada pertanian monokultur.

13 Pada dasarnya, penentuan pola tanam akan sangat tergantung kepada kearifan lokal dimana pola tersebut dilaksanakan dan juga ketersediaan sumber daya yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman, khususnya ketersediaan air. Pada pedesaan dengan pola pertanian subsisten (digunakan untuk mencukupi kebutuhan sendiri), pola tanam yang banyak digunakan adalah polikultur karena meminimalisir adanya gagal panen satu jenis komoditas. Untuk pertanian dengan tujuan komersial, pola tanam yang banyak digunakan adalah monokultur karena bisa mengintensifkan satu jenis komoditas yang bernilai ekonomi tinggi. Selain pola tanam, ada juga istilah yang disebut dengan pola hubungan tanaman, yaitu hubungan yang dibentuk antar individu-individu tanaman pada lahan yang telah ditanami. Pola hubungan tanaman bertujuan untuk mengatur semua individu tanaman agar dapat memanfaatkan semua lingkungan tumbuhnya untuk tumbuh optimal dan seragam, serta untuk pertimbangan teknis lainya. Ada beberapa macam pola hubungan tanaman. Pertama, pola hubungan barisan (row spacing), pola hubungan sama sisi (square spacing), dan pola hubungan segitiga sama sisi (equidistance spacing). Pola hubungan tanam adalah gambaran rencana tanaman berbagai jenis tanaman yang akan dibudidayakan dalam suatu lahan beririgasi dalam satu tahun. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pola tanam yaitu iklim, topografi, debit atau ketersedian air), jenis tanah, dan sosial ekonomi. 3 Sistem Penginderaan Jauh (Remote Sensing) Penginderaan jauh merupakan terjemahan dari remote sensing yang telah dikenal di Amerika Serikat sekitar akhir tahun 1950-an. Menurut Manual of Remote sensing (ASPRS 1983), penginderaan jauh didefinisikan sebagai ilmu dan seni pengukuran untuk mendapatkan informasi suatu objek atau fenomena menggunakan suatu alat perekam dari kejauhan tanpa melakukan kontak fisik dengan objek atau fenomena yang diamati (Setiawan et al. 2014). Penginderaan jauh tidak hanya mencakup kegiatan pengumpulan data mentah, tetapi juga mencakup pengolahan data secara komputerisasi dan interpretasi (manual), analisis citra, dan penyajian data yang diperoleh. Kegiatan penginderaan dibatasi pada penggunaan energi elektromagnetik (Verbesselt et al. 2012). Berdasarkan sifat sumber energi elektromagnetik yang digunakan, penginderaan jauh dibedakan atas penginderaan jauh pasif (passive remote sensing) dan penginderaan jauh aktif (active remote sensing). Penginderaan jauh pasif merupakan suatu sistem yang menggunakan energi seperti reflektansi energi matahari atau radiasi dari objek secara langsung. Beberapa sensor yang menggunakan sistem ini adalah MSS, TM, ETM+, NOAA, AVHRR, MOS-1, MESSR, IRS, dan potret udara. Sedangkan penginderaan jauh aktif merupakan suatu sistem yang menggunakan sumber energi buatan seperti gelombang. Beberapa sensor yang menggunakan ini sistem ini adalah RADAR, RADARSAT, ERS-1, JERS-1, SLAR, dsb. Kualitas data yang diperoleh dipengaruhi oleh komponen yang terlibat secara langsung. Menurut Butler et al. (1988) komponen yang terlibat pada proses pengumpulan data terdiri dari sumber energi elektromagnetik, atmosfer sebagai media lintasan energi elektromagnetik, keadaan

14 4 objek sebagai fenomena yang diamati, dan sensor sebagai alat yang mendeteksi radiasi elektromagnetik dari suatu objek dan merubahnya menjadi sinyal yang selanjutnya dapat direkam dan diproses. Citra MODIS MODIS merupakan sensor yang berguna untuk menyediakan data darat, laut, dan atmosfer secara berkesinambungan. Sensor MODIS terpasang pada satelit Terra dan Aqua. Satelit Terra dan Aqua dirancang juga untuk membawa sensor lain yaitu Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR) dan Coastal Zone Color Scanner (CZCS) (Sudiana dan Diasmara 2008). Satelit Terra dan Aqua memiliki orbit selaras matahari (sun synchronous) dan dekat kutub (nearpolar). Satelit mengorbit bumi 2 hari sekali dengan ketinggian 705 kilometer diatas permukaan bumi. Field of View MODIS adalah ± 55 o dan lebar sapuan 2330 km. Citra yang dihasilkan memiliki tiga resolusi spasial yaitu 250 meter, 500 meter, dan 1000 meter dengan total kharakteristik panjang gelombang 36 buah saluran dan 12-bit kepekaan radiometik (Sari et al. 2010). Satelit Terra berhasil diluncurkan pada Desember 1999 dan disempurnakan dengan satelit Aqua pada tahun MODIS mengorbit bumi secara polar (arah utara-selatan) pada ketinggian 705 m dan melewati garis khatulistiwa pada jam 10:30 waktu lokal. MODIS memiliki kelebihan dibandingkan NOAA-AVHRR. Diantara kelebihanya adalah lebih banyaknya spektral panjang gelombang (resolusi radiometrik) dan lebih telitinya cakupan lahan (resolusi spasial) serta lebih kerapnya frekuensi pengamatan (resolusi temporal). Hasil dari citra MODIS dikategorikan menjadi tiga bagian yaitu pengamatan vegetasi, radiasi permukaan bumi, dan tutupan lahan. Riset yang sudah dikembangkan antara lain pendeteksi kebakaran hutan, pendeteksi perubahan tutupan lahan dan pengukuran suhu permukaan bumi dipadukan dengan data albedo (fraksi cahaya yang dipantulkan permukaan bumi) dimanfaatkan untuk pemodelan iklim. Dengan resolusi spasial yang semakin tinggi, dimungkinkan riset tentang prakiraan, dampak serta adaptasi regional yang diperlukan dalam menghadapi perubahan lingkungan global. Indeks Vegetasi Indeks vegetasi merupakan nilai yang diperoleh dari gabungan beberapa spektral band spesifik dari citra penginderaan jauh. Gelombang indeks vegetasi diperoleh dari energi yang dipancarkan oleh vegetasi pada citra penginderaan jauh untuk menunjukan tingkat kehijauan dan jumlah dari suatu tanaman. Tanaman memancarkan dan menyerap gelombang yang unik sehingga keadaan ini dapat dihubungkan dengan pancaran gelombang dari objek-objek yang lain sehingga dapat dibedakan antara objek vegetasi dan objek selain vegetasi (Horning 2004). Indeks vegetasi pada dasarnya hanya menggunakan saluran merah (visible) dan saluran inframerah dekat (NIR). Ini dikarenakan tanaman hidup menyerap gelombang tampak biru dan merah sedangkan gelombang hijau dipantulkan sehingga mata manusia dapat mendeteksi warna hijau pada tanaman.

15 5 Gambar 1 Ilustrasi reflektan pada tanaman (sumber: rintoarjani.wordpress.com) Terdapat beberapa macam indeks vegetasi yang sering digunakan untuk aplikasi-aplikasi tertentu. Indeks vegetasi pertama adalah Ratio Vegetation Index (RVI) yang dipublikasikan oleh Jordan (1969). Salah satu indeks vegetasi yang paling terkenal adalah Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) dipublikasikan oleh Deering (1978). Kedua indeks vegetasi ini menggunakan band atau saluran pada panjang gelombang inframerah dekat (NIR) dan merah (red). Selain RVI dan NDVI, masih banyak jenis-jenis indeks vegetasi yang bisa diterapkan untuk berbagai keperluan pemetaan vegetasi diantaranya Tranformed Vegetation Index (TVI), Soil-Adjusted Vegetation Index (SAVI), Tranformed Normalized Difference Vegetation Index (TNDVI), Atmospherically Ressistant Vegetation Index (ARVI), Enhanced Vegetation Index (EVI) dan lain-lain. NDVI dan EVI NDVI atau Normalized Difference Vegetation Index merupakan index vegetasi yang menggambarkan tingkat kehijauan suatu tanaman. Index vegetasi merupakan kombinasi matematis antara saluran merah dan saluran NIR (Near- Infrared Radiation) yang telah lama digunakan sebagai indikator keberadaan dan kondisi vegetasi (Lillesand dan Kiefer 1997). Sehingga untuk pemantauan vegetasi, dilakukan proses pembandingan antara tingkat kecerahan saluran merah dan saluran inframerah dekat. Fenomena penyerapan cahaya merah oleh klorofil dan pemantulan cahaya inframerah dekat oleh jaringan mesofil yang terdapat pada daun akan membuat nilai kecerahan yang diterima sensor satelit pada saluransaluran tersebut akan jauh berbeda. Pada daratan non-vegetasi, termasuk diantaranya wilayah perairan, pemukiman penduduk, tanah kosong terbuka, dan wilayah dengan kondisi vegetasi yang rusak, tidak akan menunjukan nilai rasio yang tinggi (minimum). Sebaliknya pada wilayah bervegetasi sangant rapat, dengan kondisi sehat, perbandingan kedua saluran tersebut akan sangat tinggi (maksimum). Menurut Ryan (1997), perhitungan NDVI berdasarkan prinsip bahwa tanaman hijau tumbuh secara sangat efektif dengan menyerap radiasi di daerah spektrum cahaya tampak atau Photosynthetically Active Radiation (PAR). Sementara itu, tanaman hijau sangat memantulkan radiasi dari daerah inframerah dekat. Konsep pola spektral yang didasarkan oleh prinsip ini menggunakan citra saluran merah adalah sebagai berikut :

16 6 NDVI = NIR RED... (1) NIR +RED Nilai NDVI merupakan selisih antara saluran inframerah dan saluran merah dibagi dengan jumlah antara saluran inframerah dan saluran merah. Sehingga rentang nilai yang dihasilkan hanya berkisar antara -1 sampai 1. Semakin mendekati nilai satu maka menunjukan tingkat aktivitas fotosintesis pada tanaman semakin tinggi dan mengindikasikan tanaman sehat. Sebaliknya, apabila nilai NDVI mendekati nilai minus satu maka menunjukan tingkat aktivitas fotosintesis pada tanaman semakin rendah dan mengindikasikan tanaman kurang sehat. Kisaran umum untuk vegetasi hijau ada pada rentan 0.2 sampai 0.8. Beberapa varian dan penyempurnaan NDVI telah banyak dikembangkan. Contohnya, Soil-Adjusted Vegetation Index (SAVI), dan Atmospherically Ressistant Vegetation Index (ARVI). Salah satu pengembangan indeks vegetasi yang merupakan penurunan SAVI dan ARVI adalah Enhanced Vegetation Index (EVI) yang lebih tahan terhadap pengaruh komposisi aerosol, atmosfir, dan pengaruh variasi tanah. EVI dirumuskan sebagai berikut: EVI = G (NIR RED ) NIR +C1 RED C2 BLUE +L... (2) NIR, RED, dan BLUE merupakan reflektansi yang sudah dikoreksi sepenuhnya atau sebagian terhadap gangguan atmosfer. Agar tahan terhadap distorsi atmosfir, EVI menggunakan informasi saluran cahaya biru. Variabel C1 dan C2 pada persamaan diatas merupakan faktor pembobotan untuk mengatasi aerosol, sedangkan variabel L adalah faktor koreksi efek kanopi dan tanah, sedangkan G merupakan faktor skala agar nilai EVI berada pada rentang antara -1 hingga 1. Noise dan Tranformasi Wavelet Noise adalah permasalahan yang sering terjadi pada proses pengolahan data citra satelit. Noise selalu terjadi dalam proses pengolahan informasi digital. Hal ini mengakibatkan informasi yang diterima sering mengalami gangguan sehingga hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Noise menyebabkan nilai intensitas piksel tidak memberikan nilai intensitas piksel yang sebenarnya. Intensitas noise yang tinggi maupun rendah dapat menurunkan kualitas citra dan menyebabkan hilangya detail informasi citra. Oleh karena itu, diperlukan suatu proses reduksi noise atau denoising yang bertujuan untuk memperoleh hasil citra yang lebih akurat dan mendekati aslinya (Gunara et al. 2007). Proses denoising yang digunakan pada penelitian ini adalah metode tranformasi wavelet. Transformasi wavelet merupakan uraian dari suatu sinyal atau citra menggunakan fungsi wavelet. Tranformasi wavelet memiliki prinsip dasar membagi data menjadi komponen-komponen frekuensi yang berbeda atau yang disebut dengan proses dekomposisi. Proses tranformasi sinyal menjadi koefisienkoefisien wavelet diperoleh dengan filtering menggunakan highpass filter dan

17 lowpass filter yang kemudian dilakukan proses downsampling. Proses downsampling adalah proses untuk mengurangi sampel sinyal menjadi setengahnya dan tetap mempertahankan periodenya. Downsampling dapat dilakukan dengan cara menghilangkan titik-titik yang bernomor ganjil dan hanya mengambil sampel yang berindeks genap. Sedangkan untuk menggabungkan koefisien-koefisien wavelet dinamakan rekontruksi yaitu proses yang merupakan kebalikan dari proses dekomposisi (Pramiswari et al. 2012). 7 K-means Clustering Pengelompokkan data merupakan salah satu penggalian data yang bertujuan untuk membagi data yang ada kedalam satu atau lebih cluster berdasarkan kharakteristiknya. Data dengan kharakteristik yang sama dikelompokkan dalam satu cluster dan data dengan kharakteristik berbeda dikelompokkan kedalam cluster lain. Penelitian ini menggunakan k-means clustering untuk mengklasifikasi masing-masing data. Algoritma k-means clustering memiliki ketelitian yang cukup tinggi terhadap ukuran data, sehingga algoritma ini relatif lebih terukur dan efisien untuk pengolahan data dalam jumlah besar (Simamora 2005). Pada algoritma k-means clustering terdapat beberapa langkah yang perlu dilakukan yaitu menentukan nilai k, mengalokasikan data ke dalam cluster secara sembarang, menghitung centroid sampel yang ada di masing-masing cluster, dan mengalokasikan masing-masing data ke centroid terdekat. Apabila masih ada objek yang berpindah cluster atau masih ada perubahan nilai centroid, lakukan kembali perhitungan centroid sampel yang ada di masing-masing cluster dan mengalokasikan kembali masing-masing data ke centroid terdekat (Agusta 2007). Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan menggunakan citra satelit sebelumnya telah banyak dilakukan terutama di daerah Pulau Jawa akan tetapi analisis pola tanam menggunakan citra MODIS di Provinsi Lampung belum pernah dilakukan. Salah satu penelitian yang menggunakan citra MODIS dilakukan oleh Setiawan et al. (2014) yaitu melakukan analisis perubahan pola tanam padi di Pulau Jawa. Pada penelitian tersebut menganalisis data temporal nilai EVI menggunakan citra MODIS MOD13Q1 komposit 16 hari dengan time-series dan dapat mengklasifikasi 8 jenis pola tanam padi yang ada di Pulau Jawa. Selain itu, penelitian yang dilakukan Xiao et al. (2004) berhasil untuk memetakan lahan padi sawah di 13 provinsi di Cina yang bertujuan untuk mendukung data pertanian khususnya padi dengan ciri fisik yang unik secara temporal pada skala besar dengan menggunakan citra MODIS MOD09A1 komposit 8 harian. Penelitian dengan menggunakan citra MODIS juga dilakukan Avicienna (2011) untuk mengidentifikasi lahan pertanian yang berkelanjutan di daerah Jawa Barat berdasarkan nilai EVI.

18 8 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juni 2015 sampai dengan bulan Februari 2017 dengan cakupan wilayah Provinsi Lampung. Penelitian dilakukan di bagian Teknik Bioinformatika, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakulatas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Jenis Data dan Alat Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder.dari citra MODIS. Data sekunder yang digunakan merupakan citra MODIS tipe MOD13Q1 (16 hari dengan resolusi 250 m, lokasi MODIS h28v09 dari tahun 2001 sampai dengan 2014 sebanyak 322 band), dan peta administrasi Provinsi Lampung. Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian No. Jenis Data Ektraksi Data Sumber Data 1 Citra satelit MODIS, h28v09, tahun sebanyak 322 band File ektensi hdf yang di ekstrak (mengambil nilai EVI) dan di konversi menjadi tif Website USGS 2 Peta RBI 50k Penutupan Lahan Provinsi Lampung Proses clipping file ektensi tif oleh file shp lahan sawah Badan Informasi Geospasial Alat dan software penunjang yang digunakan untuk pengolahan data citra satelit ini antara lain : 1. Rstudio 2. Quantum GIS Microsoft Excel 4. Laptop/Personal Computer Prosedur Analisis Data Penelitian ini dilaksanakan dengan melalui beberapa tahap, yaitu : 1) tahap persiapan, studi literatur, dan pengumpulan data, 2) tahap pra-pengolahan citra MODIS, 3) tahap analisis citra MODIS, 4) tahap analisis pola tanam. Tahap-tahap tersebut akan dijelaskan sebagai berikut dan dapat dilihat bagan alirnya pada Gambar 2.

19 9 Mulai Citra MODIS , peta administrasi, dan lahan sawah Provinsi Lampung Ektraksi nilai EVI Stacking data Clipping berdasarkan peta administrasi dan lahan pertanian Provinsi Lampung Tranformasi wavelet untuk mereduksi noise Klasifikasi data menggunakan metode k-means clustering Identifikasi pola tanam tiap cluster Groundcheck menggunakan Google Earth Selesai Gambar 2 Diagram alir penelitian Tahap Persiapan Pada tahap persiapan dilakukan pemilihan tema penelitian, studi literatur, pembuatan proposal, dan pengumpulan data yang diperlukan dalam penelitian serta penentuan metode yang akan digunakan pada tahap analisis data. Tahap pengumpulan data diantaranya ialah mengumpulkan data MODIS yang akan digunakan dalam proses penelitian.

20 10 Pada tahap persiapan penelitian ini menggunakan beberapa data antara lain peta lahan pertanian Provinsi Lampung dari website Badan Informasi Geografis (BIG) dalam format shp untuk dilakukan clipping pada lahan sawah di daerah pertanian dan peta administrasi Provinsi Lampung. Citra MODIS yang digunakan pada penelitian ini mempunyai kode MOD13Q1 yang berarti mampu mengidentifikasi lahan sawah dan memiliki resolusi spasial 250 meter. Citra MODIS MOD13Q1 merilis data setiap 16 hari selama satu tahun dimulai dari hari pertama di awal tahun. Jadi, situs NASA (earthexplorer.usgs.gov) merilis 23 citra MODIS pada titik yang sama setiap tahun. Citra MODIS yang digunakan pada penelitian ini terletak pada scene h28v09 yang merupakan sekitar daerah Provinsi Sumatera Selatan sampai Provinsi Jawa Tengah. Citra MODIS dapat langsung di unduh gratis dari situs NASA. Pra-pengolahan Citra Pada tahap awal setelah data terkumpul adalah tahap pra-pengolahan citra. Pada tahap ini citra MODIS yang telah diunduh dari situs NASA akan dilakukan beberapa proses diantaranya ektraksi nilai EVI, stacking data, pemotongan lahan pertanian dan reduksi noise. Penelitian ini dimulai dengan cara mengunduh file berformat hdf mulai dari tahun sebanyak 322 buah data. Kemudian, untuk prosedur pertama yang harus dilakukan adalah mengektraksi nilai EVI sehingga dapat digunakan untuk proses pengolahan selanjutnya. Setelah itu, penelitian dilanjutkan dengan stacking data yaitu menggabungkan 322 file yang sudah diektraksi nilai EVI nya dalam format tif menjadi 1 buah file. Proses stacking data dilakukan dengan menggunakan software QuantumGIS Hasil dari proses stacking data dapat terlihat pada Gambar 3. Gambar 3 Hasil stacking data Gambar 3 menampilkan hasil stacking data pada lokasi h28v09 yang terdiri dari Provinsi Sumatra Selatan sampai dengan Jawa Tengah. Tahap selanjutnya yaitu melakukan clipping data berupa pemotongan peta yang sudah di stacking terhadap peta lahan sawah. Dari proses clipping tersebut, dihasilkan daerah pertanian pada Provinsi Lampung seperti yang terlihat pada Gambar 4.

21 11 Gambar 4 Hasil clipping peta lahan pertanian Tahap selanjutnya yaitu dengan melakukan tranformasi wavelet yang bertujuan untuk mengurangi gangguan atau noise yang terjadi pada perekaman data citra MODIS. Tranformasi wavelet ini dilakukan dengan menggunakan software Rstudio pada 322 titik data citra MODIS time series pada level 1 dengan filter coiflet 1. a. Ektraksi Nilai EVI Data citra MODIS yang di unduh dari situs NASA masih berupa format hdf yang mencakup beberapa indeks vegetasi seperti NDVI, EVI, kualitas indeks vegetasi, reflektan merah, reflektan biru, reflektan NIR dan lain-lain dengan jumlah total 12 indeks vegetasi. Jadi, masing-masing titik piksel yang terdapat pada peta menyimpan informasi 12 nilai indeks vegetasi yang berbeda-beda sesuai dengan indeks yang sudah ditentukan. Pada data citra MODIS dengan format hdf yang telah di unduh, Setiap 1 buah data hanya mewakili 1 data citra MODIS yang memiliki jarak 16 hari dari data berikutnya. Sehingga untuk melakukan pengolahan data citra MODIS mulai dari tahun 2001 sampai 2014, dibutuhkan sebanyak 322 buah data citra MODIS. Setelah semua data telah di unduh, kemudian masuk ke tahap ektraksi. Pada tahap ini file berformat hdf dikonversi menjadi berformat tif sehingga dapat digunakan untuk proses pengolahan berikutnya. Sedangkan 12 nilai indeks vegetasi dipisahkan, sehingga hanya nilai EVI yang akan digunakan. Ektraksi nilai EVI dilakukan satu per satu dari total 322 buah data dengan menggunakan software Quantum GIS Pada software Rstudio yang digunakan untuk pengolahan citra MODIS, tidak dapat membaca file dengan format hdf untuk itu selain ektraksi nilai EVI

22 12 perlu dilakukan konversi dari file hdf ke tif sehingga dihasilkan file ektraksi berupa nilai EVI dalam format tif yang dapat digunakan untuk proses pengolahan citra. Gambar 5 menunjukan satu file tif dari total 322 buah nilai EVI yang di ektraksi pada scene h28v09. Gambar 5 Citra MODIS nilai EVI dalam format tif b. Stacking data Pada proses stacking data dilakukan proses penyatuan data dari 322 data EVI yang telah ada (citra MODIS dari tahun ) dijadikan satu buah file data sehingga dari setiap satu titik piksel terdapat 322 nilai EVI yang berbedabeda berdasarkan waktu perekaman pada titik yang sama. Proses stacking data dilakukan dengan menggunakan software QuantumGIS Output dari proses stacking data ini adalah satu buah file dalam format tif dengan ukuran file merupakan jumlah dari 322 file sehingga proses ini memakan waktu yang cukup lama. Setelah proses penggabungan data selesai kemudian file dipotong sesuai dengan peta lahan sawah Provinsi Lampung sehingga keluaran yang dihasilkan hanya menggambarkan citra MODIS nilai EVI yang ada di Provinsi Lampung. Dengan dilakukannya proses stacking data ini, maka akan dihasilkan satu buah file dengan format tif dengan kapasitas data yang besar yaitu sesuai dengan total jumlah 322 file tersebut sehingga dibutuhkan ruang harddisk yang cukup besar pada penelitian ini.

23 13 Citra MODIS Stacking data dengan menggunakan QuantumGIS Citra MODIS Gambar 6 Ilustrasi proses stacking data citra MODIS c. Clipping data Pada proses clipping data yaitu dilakukan pemotongan nilai EVI Provinsi Lampung dengan menggunakan peta lahan pertanian sehingga nilai EVI yang dihasilkan hanya pada daerah pertanian dan daerah yang bukan merupakan daerah pertanian akan menunjukan nilai 0 atau tidak ada data. Hal ini menyebabkan tampilan peta sulit untuk dikenali untuk itu peta perlu di gabungkan dengan peta administrasi sehingga dapat terlihat batas-batas daerah pada Provinsi Lampung. setelah dilakukan proses stacking dan clipping, selanjutnya dilakukan proses reduksi noise yang merupakan tahap akhir sebelum memasuki tahap pengolahan citra untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi data. Gambar 7 Peta administrasi sebelum dan sesudah digabung dengan sawah d. Reduksi Noise Noise adalah suatu gangguan yang dapat terjadi disaat perekaman data sedang berlangsung sehingga menyebabkan data tidak sesuai seperti yang diharapkan. Telah banyak metode yang digunakan untuk mereduksi atau mengurangi gangguan. Salah satunya ialah tranformasi wavelet. Metode tranformasi wavelet digunakan pada penelitian ini bertujuan untuk mengurangi gangguan yang sering terjadi antara nilai EVI di setiap titik piksel. Gangguan pada citra satelit sering terjadi disebabkan karena akurasi sensor citra MODIS terganggu oleh beberapa faktor seperti awan dan sebagainya sehingga menimbulkan noise yang dapat mempengaruhi proses pengolahan citra. Gambar 8 menunjukan grafik salah satu piksel sebelum dan sesudah dilakukan tranformasi wavelet pada nilai EVI. Terlihat pada grafik hasil tranformasi wavelet (merah) tampak lebih halus dibandingkan nilai asli EVI (biru). Hal ini, sangat penting untuk dilakukan sehingga didapatkan hasil klasterisasi yang lebih akurat. Script pemrograman untuk melakukan reduksi noise dapat dilihat di Lampiran 1.

24 EVI Sebelum Sesudah Hari ke- Gambar 8 Sebelum (biru) dan sesudah (merah) tranformasi wavelet e. Klasfikasi dan Identifikasi Pola Tanam Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan menggunakan analisis k-means clustering. Algoritma k-means clustering adalah metode iterasi sederhana untuk membagi kumpulan data menjadi beberapa cluster yang sudah ditentukan jumlahnya (Ye et al. 2009). Algoritma ini bekerja dengan menggunakan centroid atau rata-rata untuk menentukan cluster. Langkah pertama yaitu membagi data pada beberapa cluster yang ditentukan terlebih dahulu jumlahnya. Setelah itu menentukan centroid dari setiap data. Kemudian dihitung jarak antara centroid dengan data tersebut. Suatu objek data termasuk dalam cluster tersebut jika memiliki jarak terpendek antara data dengan centroid pada cluster tersebut. Secara umum algoritma k-means adalah sebagai berikut: 1. Menentukan banyaknya cluster. 2. Menentukan cluster secara acak 3. Menghitung centroid dari setiap cluster. 4. Menghitung jarak dari centroid 5. Mengelompokkan data sesuai cluster dari jarak terdekat 6. Hitung kembali centroid dari setiap cluster. Jika centroid berubah kembali ke tahap 4. Jika centroid tidak berubah proses klasterisasi selesai. Pengelompokkan data ditentukan dari kemiripan nilai EVI setiap piksel yang ada pada citra MODIS. Pengelompokkan akan terus dilakukan jika centroid berubah sehingga dibutuhkan beberapa pengulangan atau iterasi sampai di dapatkan 12 cluster dengan kemiripan nilai yang berbeda. Jika centroid tidak berubah setelah pengelompokkan ulang, maka proses klasterisasi selesai. Penelitian ini menggunakan software Rstudio untuk melakukan metode k-means clustering dan menggunakan 12 cluster. Diagram alir proses algoritma k-means clustering dijelaskan pada Gambar 9.

25 15 Mulai Menentukan jumlah cluster (k) Menentukan cluster secara acak Menghitung centroid tiap cluster Menghitung jarak dari centroid Mengelompokkan sesuai jarak terdekat Hitung kembali centroid tiap cluster Ya Centroid berubah? Tidak Selesai Gambar 9 Diagram alir k-means clustering Kemudian setelah dilakukan proses pengolahan data k-means clustering, dilanjutkan dengan proses klasifikasi dan identifikasi lahan pertanian. Dari hasil analisis k-means clustering tersebut akan didapatkan nilai EVI yang dikelompokan setiap cluster sebanyak yang telah ditetapkan pada penelitian ini yaitu 12 cluster. Nilai EVI akan memiliki kharakteristik yang hampir sama dalam setiap cluster. Setiap cluster yang sudah di klasifikasi dan identifikasi akan ditampilkan pada peta. Setelah itu, penelitian dilanjutkan dengan analisis autocorrelation dan menghitung luas lahan berdasarkan cluster yang telah ditentukan.

26 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Citra MODIS Provinsi Lampung Pada penelitian ini, pengolahan citra dilakukan dengan melalui tahap klasterisasi yaitu proses membagi data kedalam beberapa cluster yang sudah ditentukan jumlahnya. Pada penelitian ini telah dilakukan proses k-means clustering pada Provinsi Lampung yang terbagi kedalam 11 cluster daerah pertanian dan 1 cluster merupakan daerah non pertanian. Selanjutnya, pada penelitian ini, klasifikasi dan identifikasi dilakukan pada 11 cluster tersebut. Klasifikasi dan identifikasi dilakukan dengan cara menghitung rata-rata nilai EVI dari total jumlah piksel tiap cluster sehingga setiap cluster dapat diwakili dengan 1 buah grafik yang menampilkan hubungan antara rata-rata nilai EVI terhadap jumlah data pertahun selama 14 tahun. Dari grafik tersebut, dapat ditentukan beberapa pola tanam lahan pertanian dengan cara menghitung rata-rata nilai puncak dan lama tanamnya. Selanjutnya, pola tanam yang terbentuk di kelompokkan dengan analisa visual untuk cluster yang memiliki pola mirip dengan cluster lain. Dari hasil penelitian, pola tanam yang dapat berhasil di identifikasi adalah pola tanam padi-bera-padi, padi-palawija-bera, bera-palawijapadi, dan pola tanam tebu. Sedangkan sisanya dikelompokkan menjadi beberapa pola tanam lain. Hanya ada 3 pola tanam pada lahan sawah dan 1 pola tanam tebu yang dapat diidientifkasi dengan jelas pada penelitian ini. Ini dikarenakan sedikitnya luas lahan sawah di Provinsi Lampung yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) hanya berjumlah 360,237 hektar. Jumlah ini sangat berbeda jauh dibandingkan jumlah lahan sawah yang ada di Provinsi Jawa Barat yang mencapai 925,042 hektar. Sedangkan luas perkebunan di Provinsi Lampung lebih besar dibandingkan dengan luas sawah yang berjumlah 743,725 hektar termasuk tebu dan palawija EVI Gambar 10 Grafik pola tanam sawah (padi-bera-padi)

27 Pola tanam padi yang dapat diidentifikasi salah satunya adalah pola tanam dengan pola padi-bera-padi seperti yang ditunjukan pada Gambar 10. Grafik tersebut menunjukan rata-rata nilai EVI terhadap jumlah data pada cluster 7. Pola tanam ini diidentifikasi dengan cara memperhatikan nilai EVI tertinggi setiap tahunnya pada musim pertama. Kemudian diikuti dengan nilai EVI yang rendah pada musim kedua yang merupakan bera karena menunjukan nilai EVI yang rendah dan waktu yang singkat. Lalu nilai EVI kembali naik pada musim ketiga. Jadi, grafik ini dapat menggambarkan tanaman padi pada ditanam pada musim pertama dan ketiga. Sedangkan musim kedua merupakan bera. Kemudian pola yang dapat diidentifikasi selanjutnya ialah pola sawah padipalawija-bera seperti digambarkan pada Gambar 11. Pola tanam ini terbentuk dari grafik antara nilai EVI dan jumlah data pada cluster EVI Gambar 11 Grafik pola tanam sawah (padi-palawija-bera) Pola tanam ini diidentifikasi dengan cara yang sama pada pola sebelumnya yaitu dengan menghitung nilai puncak EVI. Dari analisis tersebut, terlihat pola nilai EVI tertinggi terjadi di setiap tahun pada musim pertama dan kedua. Hal ini sama dengan sawah dengan pola tanam padi-bera-padi pada analisis sebelumnya. Pada pola tanam padi-bera-padi, memiliki perbedaan rata-rata waktu penanaman yang sedikit. Sedangkan pada pola pertanian padi-palawija-bera memiliki perbedaan waktu yang cukup jauh antara musim pertama dan musim kedua setiap tahunya sehingga dapat dikatakan bahwa musim pertama merupakan padi dan musim kedua merupakan palawija yang memiliki rata-rata lama penanaman yang lebih lama dari padi pada musim pertama. Sedangkan musim ketiga memiliki ratarata lama penanaman dua kali lebih pendek dibandingkan musim pertama dan kedua selain itu nilai EVI tertinggi yang terdapat pada musim ketiga jauh lebih rendah dibandingkan dengan musim pertama dan kedua sehingga musim ketiga dapat dikatakan bera. Selanjutnya, pola tanam ketiga yang dapat diidentifikasi adalah pola tanam bera-palawija-padi. Pola ini cukup sulit diidentifikasi dikarenakan berubah-ubah namun memiliki pola musim yang sama tiap tahun. Gambar 12 menunjukan grafik pola bera-palawija-padi.

28 18 EVI Gambar 12 Grafik pola tanam sawah (bera-palawija-padi) Dibandingkan dengan grafik yang telah diidentifikasi sebelumnya, grafik pola bera-palawija-padi sangat berbeda namun tetap memiliki tiga musim tanam. Musim pertama merupakan bera dikarenakan jangka waktu yang pendek dan nilai puncak EVI yang paling rendah. Sedangkan musim kedua merupakan palawija dikarenakan lama penananman yang jauh lebih lama dibandingkan dengan musim pertama dan ketiga. Musim ketiga yang merupakan padi memiliki nilai EVI tidak jauh berbeda dengan musim kedua namun lama penanamanya lebih singkat dibandingkan musim kedua. Kemudian untuk pola tanam selain padi, dihasilkan pola tanam pada perkebunan tebu yang ada pada cluster 11 dan ditampilkan pada Gambar EVI Gambar 13 Pola tanam tebu Pola tanam tebu dapat diidentifikasi dengan pola EVI yang tertinggi terjadi hanya satu kali dalam satu tahun. Hal ini sesuai dengan lama tanam tebu yang memerlukan waktu satu tahun mulai dari penanaman sampai masa panen.

29 Selain dari keempat pola tanam yang dapat diidentifikasi tersebut, grafik pada cluster lain menunjukan pola tanaman campuran. Pola tanam campuran tersebut diidentifikasi dengan cara visual. Pola tanam yang dapat diidentifikasi adalah pola tanam campuran tanaman tahunan dan pola tanam campuran hutan. Pada pola tanam campuran hutan tediri dari cluster 1, 4, 8, dan 12. Pola tanam campuran tanaman tahunan terdiri dari cluster 2, 6, dan 10. Pada pola tanam yang sudah di kelompokkan ini, masih terlalu sulit untuk diidentifikasi jika dilihat dari bentuk grafik tiap cluster. Pola tanam campuran yang telah dikelompokkan ini, ditampilkan pada Gambar 14. Pada penelitian ini tidak terdapat pola tanam sawah teridentifikasi (cluster 3,7, dan 9) yang mirip dengan cluster lain. Namun, pada penelitian yang dilakukan oleh Milion (2016) mengenai dinamika penggunaan lahan sawah Jawa Timur, terdapat beberapa cluster pola tanam yang dapat dikelompokkan sehingga pada pola tanam tersebut ada lebih dari 1 cluster yang dapat diidentifikasi sebagai pola tanam yang sama. Pola tanam tiap cluster dapat dilihat pada Lampiran EVI Cluster 1 Cluster 4 Cluster 8 Cluster 12 1/1/2001 1/1/2002 1/1/2003 1/1/2004 1/1/2005 1/1/2006 1/1/2007 1/1/2008 1/1/2009 1/1/2010 1/1/2011 1/1/2012 1/1/2013 1/1/2014 (a) EVI Cluster 2 Cluster 6 Cluster 10 1/1/2001 1/1/2002 1/1/2003 1/1/2004 1/1/2005 1/1/2006 1/1/2007 1/1/2008 1/1/2009 1/1/2010 1/1/2011 1/1/2012 1/1/2013 1/1/2014 (b) Gambar 14 Pola tanam campuran hutan (a), dan tanaman tahunan (b)

30 20 Identifikasi Pola Tanam Sebelum dilakukan analisis citra MODIS, pada penelitian ini dilakukan perhitungan data terlebih dahulu. Sehingga dari data hasil perhitungan tersebut, dapat ditentukan pola tanamnya dengan membandingkan kharakteristik nilai EVI dan masa tanamnya. Perhitungan data dilakukan dengan cara menentukan secara visual puncak dari nilai EVI setiap musim pertahunya. Sebagai ilustrasi, Gambar 15 menunjukan grafik pola padi-bera-padi tahun EVI m1 m2 m3 0 Gambar 15 Pola tanam sawah (padi-bera-padi) tahun 2007 Pada grafik tersebut, musim pertama, kedua, dan ketiga ditentukan dengan cara visual yaitu dengan melihat setiap gelombang yang terbentuk. Sedangkan penentuan jenis tanaman dibandingkan dengan nilai puncak EVI dan lama tanam. Dari hasil cluster, pola yang memiliki kemiripan dikelompokkan secara visual sehingga ditentukan kelompok pola tanam seperti pada Tabel 2. Pengelompokkan ini perlu dilakukan karena jika terdapat cluster yang mirip dengan cluster lainya, maka kedua cluster tersebut akan terbaca sebagai pola yang sama. Tabel 2 Pengelompokkan cluster Kelompok Cluster K1 7 K2 9 K3 3 K4 11 K5 2, 6, dan 10 K6 1, 4, 8, dan 12 Dari pengelompokkan cluster tersebut dihasilkan 6 kelompok yang dapat digunakan untuk menentukan pola tanam. Pengelompokkan tersebut bertujuan untuk menghindari pola tanam yang sama setelah dilakukan perhitungan nilai puncak EVI. Sehingga setelah dikelompokkan secara visual, jika masing-masing kelompok berbeda pola bentuk grafik dengan kelompok lainya maka pola tanam yang terbentuk akan berbeda.

31 Proses identifikasi pola tanam dilanjutkan dengan cara menghitung rata-rata puncak nilai EVI dan lama penanaman berdasarkan jumlah data tiap musim. Data identifikasi ditampilkan pada Tabel 3. Tabel 3 Rata-rata umur tanam dan puncak nilai EVI Pola Tanam Jumlah data Puncak nilai EVI Musim 1 Musim 2 Musim 3 Musim 1 Musim 2 Musim 3 Padi-bera-padi (K1) 7.93 ± ± ± ± ± ± Padi-palawija-bera (K2) 8.07 ± ± ± ± ± ± Bera-palawija-padi (K3) 4.43 ± ± ± ± ± ± Tebu (K4) ± ± Tanaman tahunan (K5) ± ± Hutan (K6) ± ± Pada tabel tersebut, terlihat bahwa terdapat 3 pola tanam yang diidentifikasi memiliki tiga musim pertahun dan pola tanam lainya merupakan tanaman yang tumbuh hanya setahun sekali sehingga hanya terdapat satu musim. Pola tanam campuran dominan tanaman tahunan dan hutan memiliki grafik yang hampir sama. Ini disebabkan karena masih sulit untuk mengidentifikasi pola tersebut dan juga pola hutan yang selalu menunjuka nilai EVI tinggi setiap tahunnya. Hal itu dapat dilihat dari nilai EVI pola tanam hutan yang lebih tinggi dari pola tanaman tahunan. Berbeda dengan kondisi di Provinsi Lampung yang hanya dapat diidentifikasi 4 pola tanam, terdapat berbagai pola tanam yang ada di Jawa Timur seperti padi-padi-bera, padi-padi-palawija, padi-palawija-palawija, dan padipalawija-bera. Hal ini dapat disebabkan oleh luas pertanian sawah di Provinsi Lampung yang hanya sepertiga dibandingkan dengan luas pertanian sawah di Provinsi Jawa Timur. Luasan pada tiap cluster dihitung dengan cara menghitung jumlah piksel yang ada pada tiap cluster. Kemudian, jumlah piksel tiap cluster tersebut dikalikan dengan resolusi yang digunakan. Citra MODIS yang digunakan pada penelitian ini memiliki resolusi 250 meter artinya tiap 1 piksel memiliki luas 250m x 250m sehingga tiap piksel memiliki luas 62,500 m 2. Kemudian diubah dalam satuan hektar sehingga untuk menghasilkaan luas lahan tiap cluster dilakukan dengan cara jumlah piksel dikalikan dengan 6.25 ha. Perhitungan jumlah luas lahan pada cluster ditampilkan pada Tabel 4. Tabel 4 Luas lahan tiap cluster Cluster Pola Tanam Hasil Identifikasi Jumlah Piksel Luas Lahan (ha) 1 Campuran dominan hutan Campuran dominan tanaman tahunan Bera-palawija-padi Campuran dominan hutan Campuran dominan tanaman tahunan Padi-Bera-Padi Campuran Dominan Hutan Padi-palawija-bera Campuran dominan tanaman tahunan Tebu Campuran Dominan Hutan

32 22 Dari tabel 4 dapat terlihat bahwa pola tanam dominan hutan lebih banyak teridentifikasi dibandingkan dengan pola tanam yang lain kemudian diikuti dengan pola campuran dominan tanaman tahunan lalu pola tanam sawah dan tebu. Dengan demikian, dari hasil identifikasi terlihat bahwa pola tanam perkebunana di Provinsi Lampung lebih banyak dibandingkan dengan pola tanam sawah. Jika dijumlahkan sesuai dengan pertanian yang sudah diidentifikasi maka hasilnya ditunjukan pada Tabel 5. Tabel 5 Luas lahan pertanian yang diidentifikasi Jenis Pertanian Luas Lahan (ha) Padi 280, Tebu 113, Perkebunan 719, Dari Tabel 5, terlihat bahwa jumlah luas padi hampir 3 kali lebih banyak dibandingkan dengan luas tebu. Namun, jumlah luas perkebunan 2 kali lebih besar dibandingkan dengan luas padi. Data ini kemudian dibandingkan dengan data yang dimiiliki oleh BPS untuk membandingkan hasil penelitian. Selanjutnya, setelah dilakukan klasifikasi dan identifikasi pola tanam lahan pertanian, dapat dilakukan pembuatan peta klasifikasi menggunakan software QuantumGIS dan hasilnya seperti yang ditampilkan pada gambar 16. Gambar 16 Hasil identifikasi sesuai dengan pola tanam Dari hasil identifikasi yang ditampilkan pada gambar 16, tampak pola tanam pertanian campuran dengan dominan hutan lebih besar dibandingkan dengan pola tanam lainya. Sedangkan paling sedikit adalah pola sawah padi-bera-padi dan pola bera-palawija-padi. Pola tanam sawah padi-palawija-bera lebih banyak ditanam pada daerah Lampung Tengah jika dibandingkan dengan pola tanam sawah lainya. Pada pola tanam tebu juga lebih banyak terletak di daerah Lampung Tengah. Di daerah Lampung Tengah terdapat PT. Gunung Madu Plantation (GMP) yang merupakan pabrik pembuatan gula tebu sehingga tebu lebih mudah diidentifikasi.

33 Sedangkan pada pola campuran dominan tanaman tahunan juga lebih banyak ditanam di daerah Lampung Tengah. Penelitian ini dilanjutkan dengan membandingkan data yang yang diperoleh melalui penelitian dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik mengenai jumlah persawahan dan perkebunan di Provinsi Lampung. Gambar 17 menampilkan histogram perbandingan jumlah data padi, tebu, dan perkebunan yang telah ditampilkan pada Tabel 5 dengan data yang dimiliki oleh Badan Pusat Statistik. Pada gambar 17, kolom pertama merupakan perbandingan jumlah lahan tanaman padi, kolom kedua merupakan perbandingan jumlah lahan tebu dan pada kolom ketiga merupakan perbandingan luas lahan semua perkebunan termasuk perkebunan tebu Luas (ha) hasil penelitian data BPS 0 Padi Tebu Perkebunan Gambar 17 Perbandingan pola tanam hasil penelitian dengan data BPS Hasil perhitungan luas lahan yang dilakukan oleh BPS di Provinsi Lampung terhadap lahan sawah berjumlah 360,237 ha, lahan tebu berjumlah 145,476 ha, dan lahan perkebunan berjumlah 743,725 ha. Dengan demikian, akurasi yang dihasilkan pada penelitian ini terhadap data BPS sebesar 77.80% untuk tanaman padi, 77.96% untuk lahan tebu, dan 96.78% untuk lahan perkebunan. Pada penelitian ini, memiliki perbedaan luas lahan padi terhadap data BPS sebesar 79,975 ha, perbedaan luas tebu sebesar 32,063.5 ha, dan perbedaan luas lahan perkebunan sebesar 23, ha. Dari data tersebut dapat terlihat bahwa perbedaan lahan yang terjadi pada lahan sawah merupakan yang terbesar dibandingkan dengan yang lain. Perbedaan ini dapat terjadi dikarenakan terdapat beragam jenis pertanian di Provinsi Lampung yang lebih sulit untuk diidentifikasi dibandingkan dengan tebu yang memiliki pola tanam tertentu dan hanya dipanen satu kali dalam setahun.

34 24 Analisis Perubahan Pola Tanam Analisis perubahan pola tanam dilakukan dengan menggunakan metode autokorelasi. Deteksi perubahan pola tanam dilakukan terhadap empat pola tanam yang sudah diidentifikasi sebelumnya sedangkan, untuk pola tanaman tahunan dan pola tanam hutan tidak perlu dilakukan analisisnya. Perubahan pola tanam yang terjadi dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Analisis perubahan pola tanam sawah Pola Tanam Kelas Perubahan Bera-palawija-padi 3 Berubah Padi-bera-padi 7 Tetap Padi-Palawija-bera 9 Berubah Tebu 11 Tetap Perubahan pola tanam terjadi pada pola tanam bera-palawija-padi dan padipalawija-bera. Perubahan pola tanam bera-palawija-padi terjadi pada tahun 2009 sampai 2014 sedangkan pola tanam padi-palawija-bera berubah pada tahun 2013 dan Hasil semua analisis autokerelasi dapat dilihat pada Lampiran (a)

35 (b) Gambar 18 Perubahan pola bera-palawija-padi (a), dan padi-palawija-bera (b) Perubahan pola tanam yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 18. Dari gambar tersebut, pola tanam yang ditandai dengan lingkaran menandakan mulai terjadi perubahan. Pada bagian (a) pola tanam bera-palawija-padi menunjukan pola yang sama dari tahun 2001 sampai Kemudian, mulai dari tahun 2009 grafik mulai menunjukan pola yang berbeda dari pola sebelumnya. Sedangkan, pada bagian (b) pola tanam padi-palawija-bera menunjukan pola yang sama dari 2001 sampai 2012 dan mulai berubah pada tahun 2013 dan Perubahan pola tanam ini dapat disebabkan karena konversi lahan pertanian dari padi menjadi pemukiman. Akurasi Pola Tanam Akurasi pola tanam ditentukan dengan menggunakan metode confusion matrix. Metode ini menggunakan sampel sebanyak 100 titik yang ditentukan secara acak pada tiap pola tanam yang sudah dikelompokkan. Banyaknya sampel tiap kelompok, ditentukan sesuai dengan jumlah luas kelompoknya sehingga, tiap kelompok memiliki jumlah sampel yang berbeda-beda.

36 26 Pada penelitian ini, proses validasi hanya menggunakan Google Earth. Sehingga, penentuan pola tanam hanya dilakukan dengan cara melihat secara visual bentuk dan warna dari citra yang terlihat berdasarkan koordinat yang dipilih. Dengan begitu, untuk 3 pola tanam padi yang telah diidentifikasi, pada proses validasi ini dijadikan satu jenis pola tanam padi. Data hasil dari confusion matrix ditampilkan pada Tabel 7. Koordinat yang dipilih untuk validasi dapat dilihat pada Lampiran 4. Tabel 7 Hasil dari tabel confusion matrix Pola Tanam Sampel data Akurasi P1 P2 P3 P4 pengguna (%) Pola tanam padi (P1) Tebu (P2) Tanaman tahunan (P3) Hutan (P4) Akurasi keseluruhan = 72.00% n = 100 Dari Tabel 7, didapatkan akurasi pengguna terkecil yaitu sebesar 62 % yang merupakan pola tanam dominan hutan. Tingkat akurasi yang kecil dapat disebabkan karena ketidakmampuan sistem untuk mengidentifikasi pola tersebut. Selain itu, tingkat akurasi yang kecil juga dapat disebabkan oleh sensor MODIS dengan resolusi 6.25 hektar per piksel yang dianggap masih terlalu sulit untuk mengidentifikasi lahan sawah di Provinsi Lampung. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian analisis pola tanam dengan menggunakan algoritma k-means clustering pada citra MODIS di Provinsi Lampung, didapatkan hasil identifikasi 6 pola tanam yaitu pola tanam sawah (padi-bera-padi), pola tanam sawah (padi-palawija-bera), pola tanam sawah (bera-palawija-padi), pola tanam tebu, pola tanam campuran dominan tanaman, dan pola tanam campuran dominan hutan. Luas lahan pola tanam pertanian yang dapat diidentifikasi yaitu untuk tanaman padi sebesar 280,263 ha, untuk tanaman tebu sebesar 113,412.5 ha, dan untuk tanaman perkebunan sebesar 719, ha. Akurasi data hasil penelitian yang dibandingkan dengan Badan Pusat Statistik sebesar 77.80% pada lahan sawah, 77.96% pada lahan tebu dan 96.78% pada lahan perkebunan. Sedangkan, akurasi penelitian yang didapatkan dari validasi sebesar 72.00%. Saran Kesulitan yang dihadapi pada penelitian ini adalah melakukan identifikasi lahan yang akurat. Masih banyak tanaman yang belum diketahui dikarenakan sensor citra MODIS dengan resolusi 6.25 hektar per piksel masih sulit untuk mengidentifikasi seluruh tanaman di Provinsi Lampung yang luas daerahnya tidak

37 terlalu besar. Sehingga, perlu resolusi citra yang lebih tinggi seperti LANDSAT untuk mendapatkan hasil identifikasi pola tanam yang lebih akurat. 27 DAFTAR PUSTAKA [ASPRS] American Society of Photogrammetry Manual of Remote Sensing (ed. R. N. Colwell). Jilid 2. ASP. Washington DC. Agusta Y K-means Penerapan, Permasalahan, dan Metode Terkait. Jurnal Sistem dan Informatika. 3 : Avicienna M Teknik pemilihan lahan pertanian padi sawah berkelanjutan. [tesis]. Bogor (ID) : Program Pasca Sarjana IPB. Butler MJA, Mouchot, Barale V, Blanc CL The Application of Remote Sensing Technology to Marine Fisheries : An Introduction Manual. FAO Fisheries Technical Paper. Deering DW Rangeland Reflectance Characteristics Measured by Aircraft and Spacecraft Sensors[disertasi]. Texas(US): A&M University. Gunara, Andra, Tritoasmoro I, Raharjo J Analisa Perbandingan Reduksi Noise Pada Citra Antara Discrete Wavelet Tranform (DWT) dengan Dual-Tree Complex Wavelet Transform (DTCWT). Seminar Nasional Sistem dan Informatika. SNSI Horning N Land cover classification methods, Version 1.0. American Museum of Natural History, Center for Biodiversity and Conservation. Huete AR A soil-adjusted vegetation index (SAVI). Remote Sensing Environment. 25 : Jordan CF Derivation of Leaf Area Index from Quality of Light on the Forest Floor. Ecology. 50 : Lillesand TM, Kiefer RW Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Dulbahri, Suharsono P, Hartono, Suharyadi, penerjemah. Yogyakarta(ID) : Gajah Mada University Press. Terjemahan dari : Remote Sensing and Image Interpretation. Milion M Analisis Dinamika Pola Penggunaan Lahan Sawah Menggunakan Citra MODIS di Provinsi Jawa Timur[skripsi]. Bogor(ID) : Institut Pertanian Bogor. Pramiswari, Niken A, Purwananto Y, Sulaiman R Implementasi Denoising Citra RGB Menggunakan Metode Wavelet Berbasis Logika Fuzzy[skripsi]. Surabaya(ID) : ITS. Purwadhi, Hardiyanti S Interpretasi Citra Digital. Jakarta (ID) : Grasindo. Richard JA, Jia X Remote Sensing Digital Image Analysis. Volume ke-4. Berlin(DE) : Springer-Verlag. Ryan L Creating a Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) Image Using MultiSpec. University of New Hampshire. Sari DK, Ismullah IH, Sulasdi WN, Harto AB Detecting Rice Phenology in Paddy Fields with Complex Cropping Pattern Using Time Series MODIS Data. Journal Science. 42A(2) :

38 28 Setiawan Y, Rustiadi E, Yoshino K, Liyantono, Effendi H Assessing the Seasonal Dynamics of the Java s Paddy Field Using MODIS Satellite Images. Journal Geo-Information. 3(1) : Simamora B Analisis Multivariat Pemasaran. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Sudiana D, Diasmara E Analisis Index Vegetasi Menggunakan Data Satelit NOAAA/AVHRR dan TERRA/AQUA-MODIS. Jurnal Pendidikan. 1 : Uchida S Monitoring of Planting Paddy Rice With Complex Cropping Pattern In the Tropical Humid Climate Region Using LANDSAT and MODIS Data. Remote Sensing and Spatial Information Science. 38 : Verbesselt J, Zeileis A, Herold M Near Real-Time Disturbance Detection Using Satellite Image Time Series: Drought Detection in Somalia. Journal Science. 1 : Wirosoedarmo Dasar-Dasar Irigasi Pertanian. Malang(ID) : Universitas Brawijaya. Xiao X, Boles S, Liu J, Zhuang D, Frolking S, Li C, Salas W, Moore B Mapping paddy rice agriculture in Southern China using multi-temporal MODIS images. Journal Remote Sensing of Environment. 95 (2005): Ye J, Zhao Z, Wu M Discriminative K-means for clustering. In Advances in Neural Information Processing Systems 20 Proceedings of the 2007 Conference.

39 29 Lampiran 1 Script reduksi noise pada metode tranformasi wavelet library("raster") library("sp") library("rgdal") library("wavelets") library("bigmemory") library("biganalytics") #tentukan working directory setwd('d:/evi/') #persiapan raster lmpg <- raster('evilampungcut.tif') data1 <- big.matrix(nrow = lmpg@nrows * lmpg@ncols, ncol = lmpg@file@nbands, type = "double", init = 0) jml_band <- lmpg@file@nbands for(i in 1:jml_band){ lmpg <- raster('evilampungcut.tif', band = i) data1[,i] <- getvalues(lmpg) } #dwt c6.filter <- wt.filter("c6") dwt.v <- numeric(jml_band) jml_band_2 <- lmpg@nrows * lmpg@ncols for(i in 1:jml_band_2){ #ambil 322 data tiap 1 piksel for(j in 1:jml_band){ dwt.v[j] <- data1[i,j] } #proses dwt data1.n.wt <- dwt.forward(dwt.v, c6.filter) #mengubah koefisien menjadi nol for(k in 1:jml_band/2){ data1.n.wt$w[k] <- 0 } #invers dwt data1.n.dwt <- dwt.backward(data1.n.wt$w, data1.n.wt$v,c6.filter) #timpah nilai sebelumnya dengan hasil invers dwt data1[i,] <- data1.n.dwt } #stacking lmpg1 <- stack() lmpg2 <- raster(lmpg) for(i in 1:jml_band){ lmpg2 <- setvalues(lmpg2, data1[,i]) lmpg1 <- stack(lmpg1,lmpg2) } #writeraster writeraster(lmpg1, "EVILampungdwt.tif")

40 30 Lampiran 2 Hasil klasterisasi menggunakan algoritma k-means clustering Cluster 1 EVI Cluster 2 EVI Cluster 3 EVI

41 31 Cluster EVI Cluster EVI Cluster EVI

42 32 Cluster EVI Cluster EVI Cluster EVI

43 Cluster 11 EVI Cluster 12 EVI

44 34 Lampiran 3 Hasil analisis autocorrelation pola tanam padi-bera-padi (a), padipalawija-bera (b), bera-palawija-padi (c), dominan tanaman tahunan (d), dan dominan hutan (e) (a) (b) (c) (d) (e)

45 35 Lampiran 4 Tabel koordinat yang dipilih pada validasi Google Earth Cluster 1 (Pola Tanam Dominan Hutan) No. Longitude Latitude Identifikasi E S Pola Tanam Dominan Hutan E S Pola Tanam Dominan Hutan E S Pola Tanam Tanaman Tahunan E S Pola Tanam Tanaman Tahunan E S Pola Tanam Tanaman Tahunan E S Pola Tanam Tanaman Tahunan E S Pola Tanam Tanaman Tahunan E S Pola Tanam Dominan Hutan E S Pola Tanam Dominan Hutan E S Pola Tanam Dominan Hutan E S Pola Tanam Dominan Hutan E S Pola Tanam Tanaman Tahunan E S Pola Tanam Tanaman Tahunan Cluster 2 (Pola Tanam Dominan Tanaman Tahunan) No. Longitude Latitude Identifikasi E S Pola Tanam Tanaman Tahunan E S Pola Tanam Tanaman Tahunan E S Pola Tanam Tanaman Tahunan E S Pola Tanam Tanaman Tahunan E S Pola Tanam Tanaman Tahunan E S Pola Tanam Dominan Hutan E S Pola Tanam Tanaman Tahunan E S Pola Tanam Tanaman Tahunan E S Pola Tanam Tanaman Tahunan E S Pola Tanam Dominan Hutan E S Pola Tanam Dominan Hutan Cluster 3 (Pola Tanam Padi) No. Longitude Latitude Identifikasi E S Pola Tanam Padi E S Pola Tanam Padi

46 36 Cluster 4 (Pola Tanam Dominan Hutan) No. Longitude Latitude Identifikasi E S Pola Tanam Dominan Hutan E S Pola Tanam Dominan Hutan E S Pola Tanam Dominan Hutan E S Pola Tanam Dominan Hutan E S Pola Tanam Dominan Hutan E S Pola Tanam Dominan Hutan E S Pola Tanam Tanaman Tahunan E S Pola Tanam Tanaman Tahunan E S Pola Tanam Tanaman Tahunan Cluster 6 (Pola Tanam Dominan Tanaman Tahunan) No. Longitude Latitude Identifikasi E S Pola Tanam Tanaman Tahunan E S Pola Tanam Dominan Hutan E S Pola Tanam Dominan Hutan E S Pola Tanam Dominan Hutan E S Pola Tanam Tanaman Tahunan E S Pola Tanam Tanaman Tahunan E S Pola Tanam Tanaman Tahunan E S Pola Tanam Dominan Hutan Cluster 7 (Pola Tanam Padi) No. Longitude Latitude Identifikasi E S Pola Tanam Padi E S Pola Tanam Padi E S Pola Tanam Padi Cluster 8 (Pola Tanam Dominan Hutan) No. Longitude Latitude Identifikasi E S Pola Tanam Dominan Hutan E S Pola Tanam Dominan Hutan E S Pola Tanam Tanaman Tahunan E S Pola Tanam Dominan Hutan E S Pola Tanam Dominan Hutan E S Pola Tanam Dominan Hutan E S Pola Tanam Dominan Hutan E S Pola Tanam Tanaman Tahunan E S Pola Tanam Dominan Hutan E S Pola Tanam Tanaman Tahunan E S Pola Tanam Tanaman Tahunan E S Pola Tanam Tanaman Tahunan E S Pola Tanam Tanaman Tahunan

47 Cluster 9 (Pola Tanam Padi) No. Longitude Latitude Identifikasi E S Pola Tanam Padi E S Pola Tanam Padi E S Pola Tanam Padi E S Pola Tanam Padi E S Pola Tanam Padi E S Pola Tanam Tanaman Tahunan E S Pola Tanam Padi E S Pola Tanam Padi E S Pola Tanam Padi 37 Cluster 10 (Pola Tanam Dominan Tanaman Tahunan) No. Longitude Latitude Identifikasi E S Pola Tanam Tanaman Tahunan E S Pola Tanam Tanaman Tahunan E S Pola Tanam Tanaman Tahunan E S Pola Tanam Tanaman Tahunan E S Pola Tanam Hutan E S Pola Tanam Tanaman Tahunan E S Pola Tanam Tanaman Tahunan E S Pola Tanam Tanaman Tahunan E S Pola Tanam Tanaman Tahunan E S Pola Tanam Tanaman Tahunan E S Pola Tanam Tanaman Tahunan Cluster 11 (Pola Tanam Tebu) No. Longitude Latitude Identifikasi E S Pola Tanam Tebu E S Pola Tanam Tebu E S Pola Tanam Tebu E S Pola Tanam Tebu E S Pola Tanam Tebu E S Pola Tanam Tebu

48 38 Cluster 12 (Pola Tanam Dominan Tanaman Tahunan) No. Longitude Latitude Identifikasi E S Pola Tanam Hutan E S Pola Tanam Hutan E S Pola Tanam Hutan E S Pola Tanam Hutan E S Pola Tanam Hutan E S Pola Tanam Hutan E S Pola Tanam Hutan E S Pola Tanam Hutan E S Pola Tanam Hutan E S Pola Tanam Hutan E S Pola Tanam Hutan E S Pola Tanam Hutan E S Pola Tanam Tanaman Tahunan E S Pola Tanam Tanaman Tahunan E S Pola Tanam Tanaman Tahunan

49 39 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kecamatan Langkapura Kota Bandar Lampung Provinsi Lampung pada tanggal 2 Oktober Penulis adalah anak dari pasangan Agus Jaeni dan Endah Winarni yang merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Penulis mengawali pendidikan taman kanak-kanak pada tahun 1997 di TK Kartika II-32 Bandar Lampung. Kemudian melanjutkan sekolah dasar di SD Kartika II-6 pada tahun 1998 dan lulus pada tahun Penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 9 Bandar Lampung pada tahun 2004 sampai dengan tahun Selanjutnya penulis diterima di SMA Negeri 3 Bandara Lampung pada tahun 2007 dan lulus tahun Pada tahun 2010, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian (FATETA) Departemen Teknik Mesin dan Biosistem. Penulis melakukan Praktek Lapang (PL) di PTPN 7 Bandar Lampung pada tahun 2013.

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usahatani Padi dan Mobilitas Petani Padi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usahatani Padi dan Mobilitas Petani Padi II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usahatani Padi dan Mobilitas Petani Padi Usahatani merupakan organisasi dari alam, kerja, dan modal yang ditujukan kepada produksi lapangan pertanian (Hernanto, 1995). Organisasi

Lebih terperinci

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing).

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing). Istilah penginderaan jauh merupakan terjemahan dari remote sensing yang telah dikenal di Amerika Serikat sekitar akhir tahun 1950-an. Menurut Manual of Remote Sensing (American Society of Photogrammetry

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 LAMPIRAN Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 17 Lampiran 2. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 2006 18 Lampiran 3. Peta sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN Rahayu *), Danang Surya Candra **) *) Universitas Jendral Soedirman

Lebih terperinci

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan : MAKSUD DAN TUJUAN q Maksud dari kegiatan ini adalah memperoleh informasi yang upto date dari citra satelit untuk mendapatkan peta penggunaan lahan sedetail mungkin sebagai salah satu paramater dalam analisis

Lebih terperinci

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002) BAB III METODA 3.1 Penginderaan Jauh Pertanian Pada penginderaan jauh pertanian, total intensitas yang diterima sensor radar (radar backscattering) merupakan energi elektromagnetik yang terpantul dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman perkebunan utama di Indonesia. Kelapa sawit menjadi komoditas penting dikarenakan mampu memiliki rendemen

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekeringan Kekeringan (drought) secara umum bisa didefinisikan sebagai kurangnya persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) xviii BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) Evapotranspirasi adalah jumlah air total yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air, dan vegetasi oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kandungan air kanopi (Canopy Water Content) sangat erat kaitannya dalam kajian untuk mengetahui kondisi vegetasi maupun kondisi ekosistem terestrial pada umumnya. Pada

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA

MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.. Variasi NDVI Citra AVNIR- Citra AVNIR- yang digunakan pada penelitian ini diakuisisi pada tanggal Desember 008 dan 0 Juni 009. Pada citra AVNIR- yang diakuisisi tanggal Desember

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Ilmu penginderaan jauh berkembang sangat pesat dari masa ke masa. Teknologi sistem sensor satelit dan berbagai algoritma pemrosesan sinyal digital memudahkan pengambilan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan Pengertian masyarakat adat berdasarkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu

Lebih terperinci

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi Ukuran Hubungan antar obyek Informasi spasial dari obyek Pengambilan data fisik dari

Lebih terperinci

Oleh : Hernandi Kustandyo ( ) Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Oleh : Hernandi Kustandyo ( ) Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Oleh : Hernandi Kustandyo (3508100001) Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Ekosistem mangrove adalah salah satu obyek yang bisa diidentifikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dimana sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk yang bermata pencaharian

Lebih terperinci

REVIEW JURNAL INTERNASIONAL TENTANG PENGINDRAAN JAUH (REMOTE SENSING)

REVIEW JURNAL INTERNASIONAL TENTANG PENGINDRAAN JAUH (REMOTE SENSING) REVIEW JURNAL INTERNASIONAL TENTANG PENGINDRAAN JAUH (REMOTE SENSING) Poin Review Judul Jurnal Remote Sensing of the Seasonal Variability of Penulis/Peneliti Abstract Pendahuluan Vegetation in A Semi-Arid

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

III. METODE PENELITAN ' ' KEC. BINONG KEC. PAMANUKAN KAB. INDRAMAYU KAB. SUMEDANG ' ' Gambar 2.

III. METODE PENELITAN ' ' KEC. BINONG KEC. PAMANUKAN KAB. INDRAMAYU KAB. SUMEDANG ' ' Gambar 2. III. METODE PENELITAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelititan Penelitian ini dilakukan mulai dari bulan Juni di lokasi pengamatan lapang yaitu di wilayah kerja PT. Sang Hyang Seri yang berlokasi di Kecamatan

Lebih terperinci

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan)

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan) Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan) Ardiawan Jati, Hepi Hapsari H, Udiana Wahyu D Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas

Lebih terperinci

Studi Akurasi Citra Landsat 8 dan Citra MODIS untuk Pemetaan Area Terbakar (Studi Kasus: Provinsi Riau)

Studi Akurasi Citra Landsat 8 dan Citra MODIS untuk Pemetaan Area Terbakar (Studi Kasus: Provinsi Riau) A758 Studi Akurasi Citra Landsat 8 dan Citra MODIS untuk Pemetaan Area Terbakar (Studi Kasus: Provinsi Riau) Agita Setya Herwanda, Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan

Lebih terperinci

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E14101043 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN LUKMANUL HAKIM.

Lebih terperinci

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN Rahayu *), Danang Surya Candra **) *) Universitas Jendral Soedirman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Posisi Indonesia berada di daerah tropis mengakibatkan hampir sepanjang tahun selalu diliputi awan. Kondisi ini mempengaruhi kemampuan citra optik untuk menghasilkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. and R.W. Kiefer., 1979). Penggunaan penginderaan jauh dalam mendeteksi luas

BAB I PENDAHULUAN. and R.W. Kiefer., 1979). Penggunaan penginderaan jauh dalam mendeteksi luas BAB I PENDAHULUAN Bab I menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan masalah serta sistematika penulisan yang menjadi dasar dari Perbandingan Penggunaan

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. 3.1 Data. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa :

BAB III PEMBAHASAN. 3.1 Data. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa : 3.1 Data BAB III PEMBAHASAN Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa : 1. Citra Landsat-5 TM, path 122 row 065, wilayah Jawa Barat yang direkam pada 2 Juli 2005 (sumber: LAPAN). Band yang digunakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu terluar suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pendugaan Parameter Input 4.1.1. Pendugaan Albedo Albedo merupakan rasio antara radiasi gelombang pendek yang dipantulkan dengan radiasi gelombang pendek yang datang. Namun

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing) Pengolahan awal citra (Pre Image Proccesing) merupakan suatu kegiatan memperbaiki dan mengoreksi citra yang memiliki kesalahan

Lebih terperinci

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO Usulan Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi Disusun Oleh: Sediyo Adi Nugroho NIM:

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1 KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1 1. Pendahuluan Penginderaan jarak jauh merupakan salah satu teknologi penunjang pengelolaan sumber daya alam yang paling banyak digunakan saat ini. Teknologi

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: kebakaran hutan, penginderaan jauh, satelit Landsat, brightness temperature

ABSTRAK. Kata Kunci: kebakaran hutan, penginderaan jauh, satelit Landsat, brightness temperature ABSTRAK Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki hamparan hutan yang luas tidak terlepas dengan adanya masalah-masalah lingkungan yang dihasilkan, khususnya kebakaran hutan. Salah satu teknologi yang

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO. Risma Fadhilla Arsy

PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO. Risma Fadhilla Arsy PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO Risma Fadhilla Arsy Abstrak : Penelitian di Daerah Aliran Sungai Oyo ini bertujuan mengesktrak parameter

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah sebuah kejadian terbakarnya bahan bakar di hutan oleh api dan terjadi secara luas tidak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan TINJAUAN PUSTAKA KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan

Lebih terperinci

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 Any Zubaidah 1, Suwarsono 1, dan Rina Purwaningsih 1 1 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Tutupan Lahan di Lapangan Berdasarkan hasil observasi lapangan yang telah dilakukan di Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara, dan Kabupaten

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang terletak pada wilayah ekuatorial, dan memiliki gugus-gugus kepulauan yang dikelilingi oleh perairan yang hangat. Letak lintang Indonesia

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA LANDSAT 8 UNTUK IDENTIFIKASI NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX (NDVI) DI KECAMATAN SILAT HILIR KABUPATEN KAPUAS HULU

PEMANFAATAN CITRA LANDSAT 8 UNTUK IDENTIFIKASI NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX (NDVI) DI KECAMATAN SILAT HILIR KABUPATEN KAPUAS HULU PEMANFAATAN CITRA LANDSAT 8 UNTUK IDENTIFIKASI NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX (NDVI) DI KECAMATAN SILAT HILIR KABUPATEN KAPUAS HULU Ajun Purwanto Program Sudi Pendidikan Geografi Fakultas Ilmu

Lebih terperinci

PERUBAHAN LUAS DAN KERAPATAN EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA

PERUBAHAN LUAS DAN KERAPATAN EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA PERUBAHAN LUAS DAN KERAPATAN EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA Inggriyana Risa Damayanti 1, Nirmalasari Idha Wijaya 2, Ety Patwati 3 1 Mahasiswa Jurusan Oseanografi, Universitas Hang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sumberdaya alam ialah segala sesuatu yang muncul secara alami yang dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan manusia pada umumnya. Hutan termasuk kedalam sumber daya

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

JURNAL GEOGRAFI Media Pengembangan Ilmu dan Profesi Kegeografian

JURNAL GEOGRAFI Media Pengembangan Ilmu dan Profesi Kegeografian JURNAL GEOGRAFI Media Pengembangan Ilmu dan Profesi Kegeografian http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujet ESTIMASI PRODUKTIVITAS PADI MENGGUNAKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DALAM MENDUKUNG PROGRAM SWASEMBADA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang memiliki iklim tropis, serta tidak lepas dari pengaruh angin muson barat maupun angin muson timur. Dalam kondisi normal, angin muson barat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Maret hingga Agustus. Kondisi ini didukung oleh suhu rata-rata 21 0 C 36 0 C dan

BAB I PENDAHULUAN. Maret hingga Agustus. Kondisi ini didukung oleh suhu rata-rata 21 0 C 36 0 C dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Dumai merupakan salah satu dari 12 Kabupaten/Kota di Provinsi Riau. Kota Dumai sangat dipengaruhi oleh iklim laut. Musim hujan jatuh pada bulan September hingga

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis jacq) merupakan tanaman yang

BAB I PENDAHULUAN. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis jacq) merupakan tanaman yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis jacq) merupakan tanaman yang berasal dari Afrika dan Amerika Selatan, tepatnya Brasilia. Tanaman kelapa sawit awalnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di daerah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Jawa Barat (Gambar 1). DAS Cipunagara berada dibawah pengelolaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM ( Digital Elevation Model

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM ( Digital Elevation Model 15 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM (Digital Elevation Model) Digital Elevation Model (DEM) merupakan bentuk 3 dimensi dari permukaan bumi yang memberikan data berbagai morfologi permukaan bumi, seperti kemiringan

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Agustus 2011 dengan

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Agustus 2011 dengan 22 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Agustus 2011 dengan menggunakan citra MODIS. Lokasi untuk objek penelitian adalah perairan Barat-

Lebih terperinci

LOGO PEMBAHASAN. 1. Pemetaan Geomorfologi, NDVI dan Temperatur Permukaan Tanah. 2. Proses Deliniasi Prospek Panas Bumi Tiris dan Sekitarnya

LOGO PEMBAHASAN. 1. Pemetaan Geomorfologi, NDVI dan Temperatur Permukaan Tanah. 2. Proses Deliniasi Prospek Panas Bumi Tiris dan Sekitarnya PEMBAHASAN 1. Pemetaan Geomorfologi, NDVI dan Temperatur Permukaan Tanah 2. Proses Deliniasi Prospek Panas Bumi Tiris dan Sekitarnya Pemetaan Geomorfologi,NDVI dan Temperatur Permukaan Tanah Pemetaan Geomorfologi

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penampilan Citra Dual Polarimetry PALSAR / ALOS Penampilan citra dual polarimetry : HH dan HV level 1. 5 PALSAR/ALOS masing-masing dapat dilihat pada ENVI 4. 5 dalam bentuk

Lebih terperinci

Pemanfaatan Data Landsat-8 dan MODIS untuk Identifikasi Daerah Bekas Terbakar Menggunakan Metode NDVI (Studi Kasus: Kawasan Gunung Bromo)

Pemanfaatan Data Landsat-8 dan MODIS untuk Identifikasi Daerah Bekas Terbakar Menggunakan Metode NDVI (Studi Kasus: Kawasan Gunung Bromo) Pemanfaatan Data Landsat-8 dan MODIS untuk Identifikasi Daerah Bekas Terbakar Menggunakan Metode NDVI (Studi Kasus: Kawasan Gunung Bromo) Nurul Aini Dan Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Curah hujan merupakan salah satu parameter atmosfer yang sulit untuk diprediksi karena mempunyai keragaman tinggi baik secara ruang maupun waktu. Demikian halnya dengan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian tugas akhir ini. Proses ini sangat berpengaruh terhadap hasil akhir penellitan. Pada tahap ini dilakukan

Lebih terperinci

DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+

DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+ DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+ Oleh : Ganjar Saefurahman C64103081 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file PENGINDERAAN JAUH copyright@2007 --- anna s file Pengertian Penginderaan Jauh Beberapa ahli berpendapat bahwa inderaja merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh data di permukaan bumi, jadi inderaja

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian didasarkan pada penelitian Botanri (2010) di Pulau Seram Maluku. Analisis data dilakukan di Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN I-1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman padi merupakan sumber daya alam yang sangat penting bagi kelangsungan masyarakat Indonesia. Peningkatan produksi tanaman pangan perlu dilakukan untuk mencapai

Lebih terperinci

(Studi kasus : Taman Nasional Lore-Lindu, Sulawesi Tengah) MOCHAMMAD TAUFIQURROCHMAN ABDUL AZIZ ZEIN

(Studi kasus : Taman Nasional Lore-Lindu, Sulawesi Tengah) MOCHAMMAD TAUFIQURROCHMAN ABDUL AZIZ ZEIN PENYERAPAN RADIASI MATAHARI OLEH KANOPI HUTAN ALAM : KORELASI ANTARA PENGUKURAN DAN INDEKS VEGETASI (Studi kasus : Taman Nasional Lore-Lindu, Sulawesi Tengah) MOCHAMMAD TAUFIQURROCHMAN ABDUL AZIZ ZEIN

Lebih terperinci

Gregorius Anung Hanindito 1 Eko Sediyono 2 Adi Setiawan 3. Abstrak

Gregorius Anung Hanindito 1 Eko Sediyono 2 Adi Setiawan 3. Abstrak ANALISIS PANTAUAN DAN KLASIFIKASI CITRA DIGITAL PENGINDRAAN JAUH DENGAN DATA SATELIT LANDASAT TM MELALUI TEKNIK SUPERVISED CLASSIFICATION (STUDI KASUS KABUPATEN MINAHASA TENGGARA, PROVINSI SULAWESI UTARA)

Lebih terperinci

Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam

Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam Arif Roziqin 1 dan Oktavianto Gustin 2 Program Studi Teknik Geomatika, Politeknik Negeri Batam, Batam 29461 E-mail : arifroziqin@polibatam.ac.id

Lebih terperinci

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang 17 III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Oktober 2010 dan berakhir pada bulan Juni 2011. Wilayah penelitian berlokasi di Kabupaten Subang, Jawa Barat (Gambar

Lebih terperinci

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel. Lampiran 1. Praproses Citra 1. Perbaikan Citra Satelit Landsat Perbaikan ini dilakukan untuk menutupi citra satelit landsat yang rusak dengan data citra yang lainnya, pada penelitian ini dilakukan penggabungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang rawan terjadi kekeringan setiap tahunnya. Bencana kekeringan semakin sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia dengan pola dan

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan penggunaan lahan akhir-akhir ini semakin mengalami peningkatan. Kecenderungan peningkatan penggunaan lahan dalam sektor permukiman dan industri mengakibatkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil 4 TINJAUAN PUSTAKA Makin banyak informasi yang dipergunakan dalam klasifikasi penutup lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil klasifikasinya. Menggunakan informasi multi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian ini. Proses persiapan data ini berpengaruh pada hasil akhir penelitian. Persiapan yang dilakukan meliputi

Lebih terperinci

Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya,

Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya, KAJIAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI BRANTAS BAGIAN HILIR MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTI TEMPORAL (STUDI KASUS: KALI PORONG, KABUPATEN SIDOARJO) Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari anjungan minyak Montara Australia. Perairan tersebut merupakan perairan Australia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan merupakan sumberdaya alam yang bersifat langka karena jumlahnya tidak bertambah, tetapi kebutuhan terhadap lahan selalu meningkat. Alih fungsi lahan pertanian

Lebih terperinci

DAFTAR TABEL. No. Tabel Judul Tabel No. Hal.

DAFTAR TABEL. No. Tabel Judul Tabel No. Hal. DAFTAR ISI Halaman Judul... No Hal. Intisari... i ABSTRACT... iv KATA PENGANTAR... v DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xi BAB I... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2.

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan

Lebih terperinci

Gambar 1. Satelit Landsat

Gambar 1. Satelit Landsat 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

Analisis Rona Awal Lingkungan dari Pengolahan Citra Landsat 7 ETM+ (Studi Kasus :Daerah Eksplorasi Geothermal Kecamatan Sempol, Bondowoso)

Analisis Rona Awal Lingkungan dari Pengolahan Citra Landsat 7 ETM+ (Studi Kasus :Daerah Eksplorasi Geothermal Kecamatan Sempol, Bondowoso) JURNAL TEKNIK POMITS Vol. X, No. X, (Mar, 2013) ISSN: 2301-9271 Analisis Rona Awal Lingkungan dari Pengolahan Citra Landsat 7 ETM+ (Studi Kasus :Daerah Eksplorasi Geothermal Kecamatan Sempol, Bondowoso)

Lebih terperinci

ix

ix DAFTAR ISI viii ix x DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Emisivitas dari permukaan benda yang berbeda pada panjang gelombang 8 14 μm. 12 Tabel 1.2. Kesalahan suhu yang disebabkan oleh emisivitas objek pada suhu 288

Lebih terperinci

PENDUGAAN PRODUKTIVITAS PADI DENGAN PENGOLAHAN CITRA YANG DIAMBIL DARI PESAWAT TERBANG MINI

PENDUGAAN PRODUKTIVITAS PADI DENGAN PENGOLAHAN CITRA YANG DIAMBIL DARI PESAWAT TERBANG MINI PENDUGAAN PRODUKTIVITAS PADI DENGAN PENGOLAHAN CITRA YANG DIAMBIL DARI PESAWAT TERBANG MINI I Wayan Astika 1, Hasbi M. Suud 2, Radite P.A. Setiawan 1, M. Faiz Syuaib 1, M. Solahudin 1 1 Departemen Teknik

Lebih terperinci

PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA

PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA Nirmalasari Idha Wijaya 1, Inggriyana Risa Damayanti 2, Ety Patwati 3, Syifa Wismayanti Adawiah 4 1 Dosen Jurusan Oseanografi, Universitas

Lebih terperinci

Norida Maryantika 1, Lalu Muhammad Jaelani 1, Andie Setiyoko 2.

Norida Maryantika 1, Lalu Muhammad Jaelani 1, Andie Setiyoko 2. ANALISA PERUBAHAN VEGETASI DITINJAU DARI TINGKAT KETINGGIAN DAN KEMIRINGAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT LANDSAT DAN SPOT 4 (STUDI KASUS KABUPATEN PASURUAN) rida Maryantika 1, Lalu Muhammad Jaelani 1,

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xii ABSTRACT... xiii

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura WAR). Berdasarkan administrasi pemerintahan Provinsi Lampung kawasan ini berada

Lebih terperinci

3. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelitian. Lokasi pengamatan konsentrasi klorofil-a dan sebaran suhu permukaan

3. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelitian. Lokasi pengamatan konsentrasi klorofil-a dan sebaran suhu permukaan 20 3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi pengamatan konsentrasi klorofil-a dan sebaran suhu permukaan laut yang diteliti adalah wilayah yang ditunjukkan pada Gambar 2 yang merupakan wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Teh merupakan salah satu komoditi subsektor perkebunan yang memiliki berbagai peranan dan manfaat. Teh dikenal memiliki kandungan katekin (antioksidan alami) yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan organik merupakan komponen tanah yang terbentuk dari jasad hidup (flora dan fauna) di tanah, perakaran tanaman hidup maupun mati yang sebagian terdekomposisi

Lebih terperinci