UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI PROGRAM PASCASARJANA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI PROGRAM PASCASARJANA"

Transkripsi

1 UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI PROGRAM PASCASARJANA DESENTRALISASI DALAM PENGELOLAAN AIR IRIGASI TERSIER (Suatu Studi dengan Kerangka Konsep Desentralisasi Teritorial dan Fungsional di Kabupaten dan Kota Tegal-Jawa Tengah, di Kabupaten Jembrana-Bali, serta di Hulu Langat Selangor Malaysia) RINGKASAN EKSEKUTIF DISERTASI Disusun Oleh IRFAN RIDWAN MAKSUM Y Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan Mencapai Gelar Doktor dalam Ilmu Administrasi D E P O K Januari, 2007

2 2 Latar Belakang Konstitusi di berbagai Negara mengamanatkan akan pentingnya pengelolaan air oleh Negara. 31 Di Indonesia, dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945 pun tercantum perihal air dalam salah satu pasalnya, yakni pasal 33 ayat (3): Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, pemerintah memiliki kewajiban untuk mewujudkan pengelolaan air bagi warganya termasuk air bagi pertanian (irigasi). Pengelolaan air bagi warga dalam lingkup tugas-tugas kepemerintahan dalam sebuah negara meliputi berbagai urusan. Salah satu di antaranya adalah urusan pengairan (irigasi) yang sejak dulu di Indonesia sudah diserahkan kepada daerah otonom. Hoessein dalam disertasinya menyebutkan bahwa urusan pengairan (irigasi) merupakan urusan pangkal dalam pembentukan beberapa daerah otonom di Indonesia pada masa UU No. 22 Tahun 1948 yang meliputi empat rincian kegiatan bagi Provinsi; 3 rincian kegiatan medebewind bagi Kota Besar dan kabupaten; dan 2 rincian kegiatan medebewind bagi Kota Kecil. 32 Hal itu menandakan bahwa dikembangkannya berbagai kegiatan dalam urusan pengairan (irigasi) pada tingkatan daerah otonom di Indonesia diwadahi oleh instrumen desentralisasi. Sebagian para ahli seperti Amrah Muslim 33, Hoessein 34 dan Koswara 35 menyebutkan bukan hanya desentralisasi territorial semata, melainkan dikembangkan pula desentralisasi fungsional dalam urusan 31 Lihat konstitusi Negara Malaysia, Belanda, Jerman, Negara bagian di USA seperti New York dan California, dan masih banyak Negara lain, terdapat pengaturan mengenai sumberdaya air yang dikelola oleh Negara. 32 Hoessein, Bhenyamin,. Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi Daerah Tingkat II, Disertasi Program Doktor Ilmu Administrasi Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta: hal Muslim, Amrah., Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, (Bandung: 1978), hal Hoessein, Bhenyamin., Loc.cit. hal Koswara, E., Otonomi Daerah: Untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat, Pariba, Jakarta: 2001, hal 58.

3 3 ini. Para ahli tersebut menyatakan bahwa terdapat organisasi pengelolaan air di masyarakat Bali yang dikenal dengan Subak dan berbagai otorita sebagai contoh dari praktek desentralisasi fungsional. Praktek pengelolaan irigasi di Indonesia dengan landasan desentralisasi fungsional sesungguhnya telah ada sejak Hindia Belanda pada 1920 seperti diutarakan Wolhoff sebagai duplikasi apa yang dikembangkan di negeri Belanda. 36 Persoalan pengelolaan air irigasi di Indonesia turut berubah ketika UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah berlaku menggantikan UU No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Pada masa UU No. 5 Tahun 1974 tersebut, irigasi untuk pertanian secara umum dikembangkan oleh instansi Dinas Provinsi dan aparatusnya hingga ke tingkat Kabupaten/ Kotamadya. Urusan irigasi pada jenjang tersier memang telah diserahkan kepada Kabupaten/ Kotamadya. Namun irigasi primer dan sekunder, meskipun wilayah irigasinya berada di dalam wilayah Kabupaten/ Kotamadya tertentu, sebelum UU No. 22 Tahun 1999 masih dikelola oleh Dinas Provinsi. Dengan berlakunya UU No. 22 tahun 1999, medebewind yang dilakukan oleh Kabupaten/ Kotamadya dalam irigasi sejak bertahun-tahun kemudian didesentralisasikan kepada Daerah Kabupaten/ Kota. Hutapea, Kristyanto, dan Warsito 37 mengakui bahwa masalah pengelolaan pengairan (irigasi) adalah suatu masalah yang sangat rumit. Diakui oleh ketiga peneliti tersebut bahwa pengelolaan irigasi bukan hanya 36 Wolhoff, GJ,. dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Cet. II Timun Emas. Jakarta: hal 285, mencatat ditetapkannya Wet. Ind. Staatblad 1919 ditambahkan Regeringsreglement bab XI baru (Ind. Staatsregeling Bab XII pasal 186) yang memungkinkan pembentukan persekutuan Hukum Publik semacam Waterschappen dengan ordonantie. Dituliskan oleh Amrah Muslim sebagai berikut: Pemerintah Belanda tidak hanya melakukan territoriale decentralisatie, tetapi juga menjalankan functionale desentralisatie, yaitu mengadakan persekutuan hukum yang menyelenggarakan kepentingan pengairan, yaitu di Daerah-Daerah Swapraja Solo dan Yogyakarta (lihat Vorstenlandse Waterschapsordonantie Stb , beberapa kali diubah, perubahan terakhir Stb ). Subak di Bali tidak diatur dan ditetapkan dengan satu ordonantie pun melainkan dengan hukum adat semata. 37 Hutapea, Richard, S., Kristyanto, Aris., Warsito, Rukmadi., Petak Tersier Percontohan dan Dharma Tirta di Daerah Pengairan Pemali-Comal, Jurnal Cakrawala, No. 3 Tahun XI, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga: 1979, hal 28.

4 4 menyangkut segi-segi teknis pengairan (irigasi) khususnya dan pertanian pada umumnya, akan tetapi menyangkut berbagai segi sosial-ekonomi. Pengelolaan irigasi tersebut perlu memperhatikan aspek-aspek non-teknis. Baik Dharma Tirta maupun Subak, sebagai organisasi pengelola air irigasi tersier di tingkatan grassroot, bekerja pada suatu jangkauan wilayah kerja hidrologis karena karakter irigasi tidak mengenal batas-batas administratif. Hanya saja karena tingkatan-nya berupa tersier, maka daerah administratif yang dilewati pun sebatas antar Desa atau kelurahan atau antar bagian-bagian wilayah dari beberapa Kecamatan. Kecilnya jangkauan tersier hampir tidak mungkin terjadi antar daerah otonom Kabupaten/ Kota, meskipun bila ditarik lingkupnya pada irigasi sekunder atau primer menjadi sangat besar kemungkinannya. Inilah sebabnya, diaturnya kawasan khusus dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah, apakah juga terkait dengan kelembagaan irigasi tersebut. Dilihat dari karakter fungsinya, yang menjadi basis konstruksi pengembangan kawasan khusus UU No. 32 Tahun 2004, memiliki kemungkinan adanya keterkaitan antara kawasan khusus dengan fungsi apapun dalam pemerintahan termasuk fungsi irigasi. Namun, dilihat dari faktor lingkungan kebijakan yang ada sangat mungkin pula konstruksi kawasan khusus tidak ditujukan dan tidak terkait dengan fungsi irigasi pada khususnya atau fungsifungsi pemerintahan lainnya yang tidak memiliki daya dukung ekonomi politik yang memadai pada umumnya. Dari fakta empirik yang ditemui pada awal penelitian, dapat disimpulkan adanya persoalan utama berupa ketidak-jelasan praktek Subak dan P3A dharma Tirta sebagai organisasi pengelola irigasi tersier dalam konteks pemerintahan daerah dan desentralisasi serta sistem administrasi negara RI termasuk dalam pengembangan kawasan khusus pada UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Ketidakjelasan tersebut adalah mengenai lokus dari praktek tersebut yang beranjak di satu sisi perlu mengikuti kaidah

5 5 hidrologi 38 dalam penentuan yurisdiksi fungsi irigasi, di sisi lain juga perlu mengikuti kaidah teritori administrasi pemerintahan karena bangun struktur pemerintahan di Indonesia secara makro terdiri atas satuan-satuan pemerintahan atas dasar wilayah. Ketidakjelasan tersebut berimplikasi antara lain: pertama, dapat terjadi dominasi karakter informal kelembagaan irigasi tersier yang berdampak pada rendahnya kinerja kelembagaan tersebut, ketidak-sinkronan aktivitas kelembagaan irigasi tersier dalam konteks yang lebih luas, dan arah perkembangan kelembagaan yang tidak menentu. Kedua, dapat terjadi ketidakutuhan pengaturan kelembagaan tersebut dalam sistem peraturan formal Pemerintahan dalam konteks distribusi urusan irigasi antara Pusat dan Daerah; dan ketiga, dapat terjadi kekeliruan aturan formal yang dikembangkan dalam menata keberadaan kelembagaan tersebut dalam rangka kepentingan masyarakat petani. Ketidak jelasan tersebut tidak dapat dipahami dengan memuaskan tanpa membandingkan praktek pengelolaan air irigasi tersier di Negara lain. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan di Kabupaten dan Kota Tegal Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Jembrana Provinsi Bali dan Daerah Hulu Langat Selangor Malaysia. Adapun alasan dan proses mengangkat ke-empat lokasi tersebut diuraikan lebih jauh pada Bab III Karya utuh penelitian ini dan disinggung sedikit pada bagian metode penelitian dalam ringkasan ini. B. Fokus Masalah Berangkat dari pemaparan di atas, karya ini mengkaji fokus-fokus permasalahan sebagai berikut: (1) Perbandingan pengelolaan air irigasi tersier bagi pertanian antara di Hulu-Langat-Selangor-Malaysia dan praktek di Kabupaten dan Kota Tegal Jawa Tengah serta di Kabupaten Jembrana Bali; (2) Perspektif stakeholder dalam memahami fenomena praktek pengelolaan sumberdaya air 38 Kodoatie, Robert, J., dan Sjarief, Roestam, Pengelolaan Sumberdaya Air Terpadu, Andi-Press, Jogjakarta: 2005, hal

6 6 irigasi tersier bagi pertanian di Kabupaten dan Kota Tegal, di Jembrana, serta di Hulu Langat terkait dengan sistem pemerintahan daerah yang dibangun; (3) Perspektif stakeholder terhadap arah pengaturan kawasan khusus dalam UU No. 32 Tahun 2004, terkait dengan pengelolaan sumberdaya air irigasi. C. Tujuan Penelitian Berdasarkan pokok masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah: (1) membandingkan praktek pengelolaan irigasi tersier bagi pertanian di Hulu- Langat-Selangor-Malaysia dan di Kabupaten dan Kota Tegal Jawa Tengah serta di Kabupaten Jembrana Bali. (2) menganalisis perspektif stakeholder dalam memahami praktek penanganan sumberdaya air irigasi tersier bagi pertanian di empat lokasi tersebut terkait dengan sistem pemerintahan daerah yang di bangun. (3) mengidentifikasi perspektif stakeholder terhadap arah pengaturan kawasan khusus dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah kaitannya dengan kawasan yang tercipta akibat pengelolaan sumberdaya air irigasi. D. Signifikansi Penelitian Penelitian ini memiliki signifikansi akademik dan praktis. Penelitian-penelitian sebelumnya mengenai lembaga irigasi umumnya datang dari disiplin ilmu di luar administrasi negara, sedangkan penelitian desentralisasi yang ada sebelumnya umumnya berlandaskan pada konsep desentralisasi teritorial yang merupakan satu bagian yang membentuk konsep desentralisasi secara total bersamaan dengan konsep desentralisasi fungsional dalam sebuah administrasi negara. Oleh karena itu, secara akademik, belum adanya riset di bidang administrasi negara yang mengkhususkan pada konsep desentralisasi fungsional menjadikan penelitian ini merupakan jalan untuk memberikan suatu sumbangan berharga bagi pengayaan wawasan dan keilmuwan dalam kajian pemerintahan pada umumnya dan kajian administrasi (pemerintahan) daerah pada khususnya.

7 7 Disamping itu, secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan sumbangan pengembangan kebijakan yang berkaitan dengan desentralisasi dan pemerintahan daerah. E. Kerangka Konseptual Seperti dikemukakan di muka, pengelolaan air irigasi berhubungan erat dengan sistem pemerintahan yang dikembangkan di suatu negara. Hal tersebut dapat dikembangkan baik melalui desentralisasi teritorial maupun desentralisasi fungsional. Di Belanda dikenal melalui waterschappen yang pengembangannya didasari oleh mekanisme desentralisasi fungsional. Di negara berkembang, menurut pakar-pakar pemerintahan daerah konsep desentralisasi fungsional hampir dirancukan oleh konsep delegasi seperti diakui oleh Cheema, Rondinelli dan Nellis. Cheema, Rondinelli dan Nellis melukiskannya sebagai berikut: In developing countries, responsibilities have been delegated to public corporations, regional development agencies, special function authorities, semi autonomous project implementation units, and a variety of parastatal organization. 39 Sementara itu Amrah Muslim 40 sebagai berikut: mendefiniskan desentralisasi fungsional Desentralisasi fungsional adalah pemberian hak dan kewenangan pada golongan-golongan mengurus suatu macam atau golongan kepentingan dalam masyarakat, baikpun terikat atau pun tidak pada suatu daerah tertentu, umpama mengurus kepentingan irigasi bagi golongan tani dalam suatu atau beberapa daerah tertentu (waterschap; subak di Bali). Desentralisasi fungsional menurut pendapat tersebut, membawa adanya otonomi bagi segolongan masyarakat hanya pada fungsi tertentu. Sejalan dengan pendapat di atas, Koswara mengartikan desentralisasi fungsional 39 Cheema, G, Shabir,. Dan Rondinelli, Dennis, A,. Op cit. hal Muslim, Amrah., Op.cit, hal 15

8 8 sebagai Pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus sesuatu atau beberapa kepentingan tertentu. 41 Indonesia mengungkapkan sebagai berikut: Disamping itu Hoessein merujuk pustaka sedangkan desentralisasi fungsional adalah pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus fungsi tertentu. Batas pengaturan tersebut adalah jenis fungsi. Subak di Bali merupakan contoh dari desentralisasi fungsional 42 Seperti diakui pula oleh Hoessein 43 bahwa di Perancis sebutan terhadap desentralisasi fungsional dikenal dengan desentralisasi teknik. Sarwoto menuliskan desentralisasi teknik di Perancis sebagai berikut: Desentralisasi teknik (desentralisation technique atau decentralization par service) menjelmakan instansi-instansi yang mengambil peranan amat penting dalam kehidupan Perancis modern yaitu pelbagai macam etablissements publics yang berwujud instansi-instansi yang memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam bidang-bidang atau sektor-sektor khusus. 44 Sarwoto melihat adanya berbagai lembaga modern di Perancis yang berperan dalam sektor tertentu (khusus) dan amat penting bagi masyarakat dengan didasari oleh instrument yang dikenal sebagai desentralisasi teknik. Belanda menganut lebih tegas lagi bahwa disamping adanya pemerintahan daerah yang lahir akibat desentralisasi territorial, di sana juga dikenal desentralisasi fungsional yang melahirkan lembaga semacam pemerintahan daerah dengan bidang yang khusus (tertentu). Antara praktek di Belanda dan di Perancis terdapat persamaan yang besar menyangkut otonominya dan organ yang dibentuk seperti dituliskan oleh Sarwoto berikut: Koswara, E., Otonomi Daerah: Untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat, Pariba, (Jakarta: 2001), hal Hoessein, Bhenyamin., Disertasi-FISIP-UI (1993), Loc cit., hal Hossein, Bhenyamin., Ibid.,, hal Sarwoto. Administrasi Pemerintahan Perancis. Ghalia Indonesia. Jakarta hal Sarwoto,. Op Cit., Hal. 38.

9 9 Sebagai instansi atau institusi yang diciptakan atas dasar desentralisasi (teknik) establissement publics pada umumnya berstatus otonom, merupakan badan hukum yang mempunyai anggaran pendapatan dan belanja sendiri, mempunyai baik organ eksekutif maupun deliberatif (permusyawaratan) dan tunduk pada tutelle kewenangan pemerintah Pusat. Kedudukan establissements publics dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat berdampingan dengan administrasi pemerintahan. Terlihat dari pendapat di atas, bahwa desentralisasi fungsional menciptakan pemerintahan khusus (specific) di tingkat lokal yang otonom. Bersifat khusus karena mengenai satu fungsi spesifik (tertentu) yang diembannya dan memiliki otonomi. Disamping itu dalam praktek Belanda dan Perancis terdapat penyebutan peristilahan desentralisasi yang berbeda secara eksplisit terhadap praktek yang secara substansial sama. Pendapat tersebut juga mengindikasikan bahwa dari segi otonomi antara desentralisasi fungsional di Belanda dan desentralisasi teknik di Perancis terdapat perbedaan. Otonomi dari lembaga yang dibentuk secara eksplisit dengan terminologi desentralisasi fungsional di Belanda menandakan adanya keterlibatan warga setempat dengan adanya lembaga permusyawaratan. Oleh karena itu, di Belanda melibatkan otonomi masyarakat (konstituen) dari lembaga otonom tersebut, sedangkan di Perancis tidak melibatkan otonomi masyarakat (konstituen) dari lembaga otonom yang tercipta. Cheema dan Rondinelli 46 mengakui bahwa pengembangan lembaga khusus ini lebih luas tidak hanya untuk penanganan air semata, misalnya di Indonesia dikenal dengan adanya pengembangan otorita. 47 Oentarto, Suwandi, dan Riyadmadji Cheema, G, Shabir,. Dan Rondinelli, Dennis, A,. Decentralization and Development: Policy Implementation in Developing Countries. Sage Publication. London: hal Kasus-kasus yang hampir sama dengan bentuk perwujudan desentralisasi fungsional sebenarnya tidak hanya penanganan air semata, masih ada otorita Batam, Kawasan Bebas Sabang, kawasan bandara Kemayoran, Taman Mini Indonesia Indah, dan Kawasan Gelora Bung Karno di Jakarta. Beberapa kasus tersebut keberadaanya secara hukum sebagai sebuah UPT dari Sekretariat Negara yang semangat pembentukannya mirip dengan desentralisasi fungsional. Kasus lain yang hampir senafas adalah Kawasan Berikat yang dibuat atas dasar Keputusan Menteri Keuangan (KMK) dengan kewenangan yang tidak kalah dari otorita seperti tertuang dalam UU No. 53 Tahun 1986.

10 10 mengakuinya sebagai model ketiga dari devolusi dengan terminologi delegasi sebagai berikut: Model ketiga dari kebijakan desentralisasi dalam arti luas adalah kebijakan delegasi (delegation). Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan pelaksanaan suatu tugas tertentu kepada suatu lembaga atau unit pemerintahan yang khusus dibentuk untuk keperluan termaksud. Pemerintah Indonesia sebagai contoh membentuk badan usaha Milik negara (BUMN) untuk menyelenggarakan kegiatan ekonomi tertentu seperti penerbangan oleh Garuda, perminyakan oleh Pertamina, Listrik oleh PLN, pembentukan otorita Batam, pembentukan kawasan khusus lainnya, untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus dan /atau berskala nasional. Tampaklah dari pandangan ketiga penulis buku tersebut dalam penyebutan contoh-contoh praktek model ketiga dari desentralisasi, otorita Batam dan kawasan khusus disejajarkan dengan pembentukan BUMN. Definisi tersebut tampaknya mengikuti apa yang dikemukakan oleh Cheema dan Rondinelli yang menyebutkan adanya intsrumen dengan terminology delegation di antara berbagai kemungkinan adanya kebijakan desentralisasi dalam sebuah sistem administrasi negara. Cheema dan Rondinelli menyebutkan istilah delegation sebagai berikut: Another form of decentralization is the delegation of decision making and management authority for specific funstions to organizations that are not under the direct control of central government ministries. Often the organizations to which development functions are delegated have semi-independent authority to perform their responsibilities and may not even be located within regular government structure. 49 Dilihat dari segi pemahaman yang melahirkan otonomi (decision making and management authority) dan menyangkut fungsi khusus (specific function), maka delegation menurut kedua pakar adalah tidak sama dengan desentralisasi fungsional yang dipahami oleh 48 Oentarto, Suwandi, I Made., Riyadmadji, Dodi,. Menggagas Format Otonomi daerah Masa Depan. Samitra Media Utama. Jakarta: hal Cheema, G, Shabir,. Dan Rondinelli, Dennis A, Op cit., hal 20

11 11 Koswara 50, dan Muslim 51. Pandangan Rondinelli mengarah kepada praktek desentralisasi teknik di Perancis yang tidak menyangkut otonomi bagi masyarakat, sedangkan pendapat Koswara dan Muslim tentang desentralisasi fungsional mengarah kepada adanya otonomi kepada masyarakat walaupun menyangkut fungsi tertentu saja. Berkaitan dengan administrasi negara, Cheema dan Rondinelli, menuliskan sebagai berikut: Administrative theorists argued that public corporations or regional development authorities most used the Tennessee Valley Authority in the USA as implicit model- had distinct advantages over regular government agencies in that they could make decisions more expeditiously, free from the red tape and political maneuvering found in bureaucracies in most developing nations, Dengan demikian delegasi ini menciptakan struktur yang tidak biasa (nonregular) dalam suatu sistem administrasi negara terlebih lagi desentralisasi fungsional yang menyangkut otonomi bagi masyarakat dengan fungsi tertentu seperti dikatakan oleh Fesler 53 khusus daripada Negara. karena sifatnya yang khusus --administrasi Adanya lembaga deliberatif (permusyawaratan/ perwakilan), membedakan organisasi desentralisasi fungsional dengan penciptaan organisasi parastatal seperti desentralisasi teknik di Perancis atau makna kata delegation menurut Cheema dan Rondinelli. Organisasi parastatal tidak memerlukan organ permusyawaratan karena merupakan kepanjangan dari salah satu organ di dalam lingkungan sektoral pemerintah yang membutuhkan otonomi dalam aktivitasnya sesuai sektor tersebut dan umumnya berorientasi 50 Koswara, E., Op cit., hal Muslim, Amrah., Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, (Bandung: 1978), hal Cheema, G, Shabir,. dan Rondinelli, Dennis A,. Op cit., hal Fesler, James W., Op.cit.,. hal. 6-8

12 12 bisnis bukan dalam kerangka ejawantah dari golongan masyarakat (lokal) seperti dalam desentralisasi fungsional. Organisasi parastatal juga dapat diciptakan oleh unit organisasi dari dalam pemerintah Kabupaten/ kota atau Provinsi (sebutan desentralisasi teritorial). Organisasi Desentralisasi fungsional bukan merupakan bagian dari unit organisasi desentralisasi teritorial tetapi tetap tunduk kepada kekuasaan tutelle Pemerintah Pusat. Antara perangkat Negara dan perangkat pemerintahan khusus (selanjutnya disingkat administrasi khusus ) ini memiliki hubungan yang lebih luwes katimbang antara perangkat Negara dengan perangkat pemerintahan pelayanan tingkat lapangan (selanjutnya disingkat administrasi lapangan ) yang lebih ketat. Hubungan perangkat Negara dengan Administrasi khusus diwujudkan melalui desentralisasi fungsional, sedangkan antara perangkat Negara dengan Administrasi lapangan diwujudkan melalui desentralisasi Administrasi (dekonsentrasi). Sementara delegasi sebagai dasar penciptaan organisasi parastatal dapat terjadi baik di dalam tubuh organ Pemerintah Pusat maupun organ Pemerintah Daerah melalui upaya independensi manajerial sebagai sama-sama organ badan hukum publik. Desentralisasi territorial menghubungkan perangkat Negara dengan administrasi umum lokal. 54 Fesler meyakinkannya dengan menuliskan sebagai berikut: The devolution of authority can take place either along functional lines 54 Bisa dilihat dari berbagai literatur antara lain: E. Koswara dalam Otonomi Daerah: Untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat, Pariba, (Jakarta: 2001), Situmorang (2003), Amrah Muslimin (1982), Worldbank (1992). Di sini ada perbedaan sebutan antara pengertian dari Eropa daratan dan Inggris Amerika (anglo-saxon). Eropa daratan menyebut pelimpahan kewenangan yang tidak berakibat adanya otonomi hanya sebagai pelaksana saja adalah dekonsentrasi dimana perangkat yang menerima kewenangan sebenarnya masih merupakan bagian dari Pemerintah Pusat, sedangkan Inggris-Amerika memiliki sebutan Desentralisasi-administrasi untuk hal tersebut. Karya ilmiah ini tidak akan menelusuri definisi desentralisasi walaupun arti dari desentralisasi merupakan konsep yang paling mendasar dalam karya ini. Seperti diketahui bahwa pengelompokan definisi ini mengalami pergeseran sejak Worldbank (1992) mengeluarkan rincian definisi terbaru berdasarkan penelitiannya yang kemudian diikuti oleh Cohen dan Peterson (1999) bahkan Rondinelli (2003) dalam kelompok Worldbank.

13 13 at the center or along areal lines emphasizing the usefulness of government and field service areas. 55 Selain itu, Fesler dalam Hoessein yang menuliskan desentralisasi di Perancis yang tidak memasukkan dekonsentrasi sebagai bagian dari definisinya dengan kalimat berikut: In French usage decentralization is a term reserved for the transfer of power from a central government to an areally or functionally specialized authority of distinct legal personality 56 Kedua uraian di atas, sama-sama mengakui dua bentuk desentralisasi (teritorial dan fungsional) yang bisa berjalan berbarengan. Baik wilayah administrasi umum yang muncul akibat desentralisasi teritorial maupun wilayah administrasi khusus akibat desentralisasi fungsional dapat menerima wewenang pemerintahan dan administratif umum. Oleh karena itu, nomenklatur umum dalam terminologi wilayah administrasi umum tidak sama dengan nomenklatur umum pada terminologi wewenang pemerintahan/ administrasi umum. Atmosudirdjo mengingatkan hal semacam dengan kalimat: Kita perlu membedakan Administrasi sebagai badan atau aparatur pemerintahan (the Administration, de administratie) dan administrasi sebagai proses kegiatan-kegiatan (bestuur dalam arti dinamis). Administrasi dalam arti institusional adalah keseluruhan (aggregate, het geheel) daripada badan-badan (aparatur) yang menyelenggarakan tugas/ kegiatan-kegiatan kenegaraan di bawah pimpinan Pemerintah. 57 Karya ini menyimpulkan bahwa kata umum dalam frasa wewenang pemerintahan (administrasi) umum bermakna kegiatan atau fungsi, sedangkan kata umum dalam frasa pemerintahan wilayah umum menandakan badan yang berkategori umum seperti kata Fesler di muka. 55 Fesler, James W,. Op cit,. hal Hoessein, Bhenyamin (1993), loc cit., hal 60 (b) 57 Atmosudirdjo, Prajudi,. Op cit., hal 79

14 14 Di negara-negara maju seperti Belanda, Jepang, USA, dan Jerman pengembangan praktek lembaga desentralisasi fungsional ditandai oleh sifatsifat otonom yang sejajar dengan pemerintah daerah dalam konstelasi sistem administrasi negaranya. Lembaga ini bersifat khusus dan otonom di tingkat lokal mengerjakan fungsi yang spesifik. Baik di negara Kesatuan maupun negara Federal terdapat lembaga tersebut. Lembaga ini pertanda sebagai kompleksnya sistem administrasi negara dimana persoalan sosial-ekonomi masyarakat tidak melulu diselesaikan oleh tingkatan pemerintahan yang selama ini dikenal, melainkan dapat dikembangkan lembaga khusus yang otonom tersebut yang menciptakan regime khusus di tingkat lokal. Dari uraian praktek di empat negara tersebut di atas dapat diambil intisari karakter penyelenggaraan desentralisasi fungsional melalui aspek-aspek yang melekat di dalamnya: (1) struktur organisasi (2) wewenang;(3) wilayah kerja (yurisdiksi); (4) letak (lokus);(5) proses terbentuknya; (6) pola intervensi Pemerintah (pusat); (7) Mekanisme pemilihan pimpinan kelembagaan; (8) pembiayaan; (9) kepegawaiannya; (10) mekanisme pertanggungjawaban lembaganya; dan, (11) partisipasi masyarakat. Berikut ini ringkasan dari aspekaspek tersebut dalam tabel:

DEKONSENTRASI & TIPOLOGI PEMERINTAHAN DAERAH

DEKONSENTRASI & TIPOLOGI PEMERINTAHAN DAERAH DEKONSENTRASI & TIPOLOGI PEMERINTAHAN DAERAH Bahan Kuliah 3 Pemerintahan Daerah DIA FISIP UI Senin & Selasa, 10 & 11 September 2007 Teguh Kurniawan, M.Sc http://teguh-kurniawan.web.ugm.ac.id Dekonsentrasi

Lebih terperinci

MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 10, NO. 1, JUNI 2006: 1-7 1

MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 10, NO. 1, JUNI 2006: 1-7 1 MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 10, NO. 1, JUNI 2006: 1-7 1 DESENTRALISASI DALAM PENGELOLAAN AIR IRIGASI TERSIER (Suatu Studi dengan Kerangka Konsep Desentralisasi Teritorial dan Fungsional di Kabupaten

Lebih terperinci

Otonomi Daerah : Formulasi. 3/11/2016 Marlan Hutahaean

Otonomi Daerah : Formulasi. 3/11/2016 Marlan Hutahaean Otonomi Daerah : Formulasi 1 Asas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Dekonsentrasi : Pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi

Lebih terperinci

PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL TERKAIT IMPLEMENTASI UU NOMOR 23 TAHUN 2014 SEKTOR LHK

PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL TERKAIT IMPLEMENTASI UU NOMOR 23 TAHUN 2014 SEKTOR LHK PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL TERKAIT IMPLEMENTASI UU NOMOR 23 TAHUN 2014 SEKTOR LHK Oleh Kedeputian Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam BAPPENAS Disampaikan pada RAKORNAS Kementerian Lingkungan

Lebih terperinci

commit to user BAB II TINJAUAN PUSTAKA

commit to user BAB II TINJAUAN PUSTAKA 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Pemerintah Daerah a. Pengertian Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.Pernyataan ini

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN. Materi Kuliah. GEOPOLITIK INDONESIA (Otonomi Daerah) Modul 13. Oleh : Rohdearni Tetty Yulietty Munthe, SH/

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN. Materi Kuliah. GEOPOLITIK INDONESIA (Otonomi Daerah) Modul 13. Oleh : Rohdearni Tetty Yulietty Munthe, SH/ PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Materi Kuliah GEOPOLITIK INDONESIA (Otonomi Daerah) Modul 13 Oleh : Rohdearni Tetty Yulietty Munthe, SH/08124446335 93 1. Tujuan Pembelajaran Umum Setelah proses pembelajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi. Ini memberikan implikasi terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi. Ini memberikan implikasi terhadap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah berimplikasi pada pergeseran sistem pemerintahan dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi. Ini memberikan implikasi terhadap perubahan

Lebih terperinci

PEMERINTAHAN DAERAH DESENTRALISASI, DEKONSENTRASI, TUGAS PEMBANTUAN

PEMERINTAHAN DAERAH DESENTRALISASI, DEKONSENTRASI, TUGAS PEMBANTUAN PEMERINTAHAN DAERAH DESENTRALISASI, DEKONSENTRASI, TUGAS PEMBANTUAN DALY ERNI http://dalyerni.multiply.com daly972001@yahoo.com daly97@ui.edu daly.erni@ui.edu Kontribusi Bahan dari: Dian Puji Simatupang,

Lebih terperinci

RINGKASAN. vii. Ringkasan

RINGKASAN. vii. Ringkasan RINGKASAN Politik hukum pengelolaan lingkungan menunjukkan arah kebijakan hukum tentang pengelolaan lingkungan yang akan dibentuk dan dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan dan sasaran tertentu.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan otonomi daerah berdampak pada pergeseran sistem pemerintahan dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi, yaitu dari pemerintah pusat kepada

Lebih terperinci

INDIKATOR KINERJA OTONOMI DAERAH D.I. JOGJAKARTA. Pengantar Diskusi

INDIKATOR KINERJA OTONOMI DAERAH D.I. JOGJAKARTA. Pengantar Diskusi INDIKATOR KINERJA OTONOMI DAERAH D.I. JOGJAKARTA Pengantar Diskusi Dr. Wahyudi Kumorotomo, MPP www.kumoro.staff.ugm.ac.id kumoro@map.ugm.ac.id KONSEP DASAR DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH Devolution

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN. Modul ke: Otonomi Daerah. Fakultas Ilmu Komunikasi. Program Studi Hubungan Masyarakat. Ramdhan Muhaimin, M.Soc.

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN. Modul ke: Otonomi Daerah. Fakultas Ilmu Komunikasi. Program Studi Hubungan Masyarakat. Ramdhan Muhaimin, M.Soc. Modul ke: 11 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Otonomi Daerah Fakultas Ilmu Komunikasi Program Studi Hubungan Masyarakat Ramdhan Muhaimin, M.Soc.Sc Sub Bahasan 1. Pengertian Otonomi Daerah 2. Latar Belakang Otonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan berapapun bantuan yang diberikan kepada negara-negara berkembang, pasti habis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan berapapun bantuan yang diberikan kepada negara-negara berkembang, pasti habis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Paradigma good governance muncul sekitar tahun 1990 atau akhir 1980-an. Paradigma tersebut muncul karena adanya anggapan dari Bank Dunia bahwa apapun dan berapapun bantuan

Lebih terperinci

HARMONISASI KEWENANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH

HARMONISASI KEWENANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH HARMONISASI KEWENANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH Oleh: MUHAMMAD AKBAL Dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar ABSTRAK: Implementasi otonomi

Lebih terperinci

HUBUNGAN EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF DI ERA OTONOMI DAERAH

HUBUNGAN EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF DI ERA OTONOMI DAERAH RUANG UTAMA HUBUNGAN EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF DI ERA OTONOMI DAERAH Siti Nuraini Abstrak Perubahan sistem politik pasca tumbangnya rezim Orde Baru berdampak pada semua sendi perpolitikan di Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan khususnya penyelenggaraan pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan khususnya penyelenggaraan pemerintahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan khususnya penyelenggaraan pemerintahan daerah, instrumen pemerintahan memegang peran yang sangat penting dan vital guna melancarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM. Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM. Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering ditemukan BAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Pengertian kewenangan Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang. Kekuasaan sering disamakan

Lebih terperinci

Keywords: Position, Authority, Governor, Local Government Administration

Keywords: Position, Authority, Governor, Local Government Administration 1 KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN GUBERNUR DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH Oleh : Ni Luh Putu Arianti A.A Ariani Program Kekhususan : Hukum Pemerintahan, Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstrak;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan yang terlepas dari kekuasaan eksekutif, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (selanjutnya

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN. Modul ke: Otonomi Daerah. Fakultas EKONOMI. Program Studi MANAJEMEN. Nabil Ahmad Fauzi, M.Soc.

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN. Modul ke: Otonomi Daerah. Fakultas EKONOMI. Program Studi MANAJEMEN.  Nabil Ahmad Fauzi, M.Soc. Modul ke: 11 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Otonomi Daerah Fakultas EKONOMI Program Studi MANAJEMEN www.mercubuana.ac.id Nabil Ahmad Fauzi, M.Soc.Sc Sub Bahasan 1. Pengertian Otonomi Daerah 2. Latar Belakang

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N

BAB I P E N D A H U L U A N BAB I P E N D A H U L U A N Deskripsi Singkat Topik : Pokok Bahasan : Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi Kecamatan Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 dan PP Nomor 19 Tahun 2008 Sub Pokok Bahasan : 1. Kedudukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelaksanaan otonomi daerah merupakan suatu harapan cerah bagi pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki kesempatan untuk mengelola,

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perkembangan kota kecil di Joglosemar

BAB VI PENUTUP. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perkembangan kota kecil di Joglosemar BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perkembangan kota kecil di Joglosemar dalam konteks sistem perkotaan wilayah Jawa Tengah dan DIY. Ada empat pertanyaan yang ingin dijawab

Lebih terperinci

PEMIKIRAN MENGENAI RUU PEMERINTAHAN DAERAH (RENCANA REVISI UU NO.32/2004)

PEMIKIRAN MENGENAI RUU PEMERINTAHAN DAERAH (RENCANA REVISI UU NO.32/2004) PEMIKIRAN MENGENAI RUU PEMERINTAHAN DAERAH (RENCANA REVISI UU NO.32/2004) Wahyudi Kumorotomo, PhD Guru-besar pada Jurusan Manajemen Kebijakan Publik Fisipol UGM 2014 APAKAH KOMITMEN UNTUK REVISI UU.32/2004

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi di Indonesia telah bergulir selama lebih dari satu

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi di Indonesia telah bergulir selama lebih dari satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Reformasi yang terjadi di Indonesia telah bergulir selama lebih dari satu dekade dan hal itu menandakan pula bahwa pelaksanaan otonomi dalam penyelenggaraan pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selanjutnya disebut sebagai UU Kepariwisataan), Pariwisata adalah berbagai

BAB I PENDAHULUAN. selanjutnya disebut sebagai UU Kepariwisataan), Pariwisata adalah berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan upaya pencapaian sasaran nasional di daerah sesuai

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan upaya pencapaian sasaran nasional di daerah sesuai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan daerah merupakan upaya pencapaian sasaran nasional di daerah sesuai masalah, potensi, aspirasi dan prioritas kebutuhan masyarakat di daerah, karena

Lebih terperinci

Relevansi dan Revitalisasi GBHN dalam Perencanaan Pembangunan di Indonesia 1. Tunjung Sulaksono 2

Relevansi dan Revitalisasi GBHN dalam Perencanaan Pembangunan di Indonesia 1. Tunjung Sulaksono 2 Relevansi dan Revitalisasi GBHN dalam Perencanaan Pembangunan di Indonesia 1 Tunjung Sulaksono 2 A. Pendahuluan Runtuhnya rezim otoriter Orde Baru membawa banyak perubahan dalam berbagai aspek dan dimensi

Lebih terperinci

Desentralisasi dan Devolusi Pengelolaan Sumber Daya Alam. Kuliah Pengelolaan Kolabora/f Sumberdaya Alam Soeryo Adiwibowo

Desentralisasi dan Devolusi Pengelolaan Sumber Daya Alam. Kuliah Pengelolaan Kolabora/f Sumberdaya Alam Soeryo Adiwibowo ì Desentralisasi dan Devolusi Pengelolaan Sumber Daya Alam Kuliah Pengelolaan Kolabora/f Sumberdaya Alam Soeryo Adiwibowo Pemerintah Pusat Dekonsentrasi, Desentralisasi & Devolusi Dekonsentrasi Instansi

Lebih terperinci

KINERJA PEGAWAI DALAM PELAYANAN PUBLIK DI UPTD LABORATORIUM DAN PERALATAN DINAS BINA MARGA DAN PENGAIRAN KOTA SAMARINDA

KINERJA PEGAWAI DALAM PELAYANAN PUBLIK DI UPTD LABORATORIUM DAN PERALATAN DINAS BINA MARGA DAN PENGAIRAN KOTA SAMARINDA ejournal Administrative Reform, 2014, 2 (1):934-945 ISSN 2338-7637, ar.mian.fisip-unmul.ac.id Copyright 2014 KINERJA PEGAWAI DALAM PELAYANAN PUBLIK DI UPTD LABORATORIUM DAN PERALATAN DINAS BINA MARGA DAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam era globalisasi dan

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam era globalisasi dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pembangunan adalah kegiatan yang berkesinambungan dengan tujuan utama adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam era globalisasi dan persaingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi Daerah merupakan fenomena yang sangat dibutuhkan dalam era

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi Daerah merupakan fenomena yang sangat dibutuhkan dalam era BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi Daerah merupakan fenomena yang sangat dibutuhkan dalam era globalisasi, demokratisasi, terlebih dalam era reformasi. Bangsa dan negara Indonesia menumbuhkan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN DAERAH DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. demorasi secara langsung, desa juga merupakan sasaran akhir dari semua program

BAB I PENDAHULUAN. demorasi secara langsung, desa juga merupakan sasaran akhir dari semua program 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Desa merupakan basis bagi upaya penumbuhan demokrasi, karena selain jumlah penduduknya masih sedikit yang memungkinkan berlangsungnya proses demorasi secara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pemerintah pusat telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun

I. PENDAHULUAN. pemerintah pusat telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah sebagai bagian dari adanya reformasi atas kehidupan bangsa termasuk reformasi pengelolaan pemerintahan di daerah, oleh pemerintah pusat telah diatur

Lebih terperinci

If Irfan Ridwan Maksum

If Irfan Ridwan Maksum If Irfan Ridwan Maksum A. Pendahuluan B. Kedudukan Menteri C. Menteri Sebagai Pimpinan Puncak Birokrasi Kementerian D. Materi Persetujuan Menteri E. Standard Prosedur Operasional F. Aransemen Kelembagaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paket kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. paket kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak awal tahun 2001 secara resmi pemerintah mengimplementasikan paket kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

Lebih terperinci

SKRIPSI PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA PADANG PERIODE TERHADAP PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG

SKRIPSI PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA PADANG PERIODE TERHADAP PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG SKRIPSI PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA PADANG PERIODE 2009-2014 TERHADAP PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG KETERTIBAN UMUM DAN KETENTRAMAN MASYARAKAT Diajukan untuk

Lebih terperinci

ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN HUKUM Dl BIDANG PENYELENGGARAAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN HUKUM Dl BIDANG PENYELENGGARAAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN HUKUM Dl BIDANG PENYELENGGARAAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH ~HUBUNGAN KEWENANGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH)* 0/eh: Prof. Dr. Bhenyamin Hoessein Arah kebijakan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi kewenangan ke tingkat sekolah.

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi kewenangan ke tingkat sekolah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penyelenggaraan pendidikan dalam otonomi daerah mengalami perubahan yang signifikan. Hal ini tercermin dalam pola pengelolaan sekolah yang dikenal dengan

Lebih terperinci

1. NURMAYENI 2. CHAIRUNNISA 3. MUHAMMAD ARDY YUSUF 4. DELA KURNIA sari 5. Siti balqis. M Kelas x mia 1

1. NURMAYENI 2. CHAIRUNNISA 3. MUHAMMAD ARDY YUSUF 4. DELA KURNIA sari 5. Siti balqis. M Kelas x mia 1 ASSALAMUALAIKUM... KELOMPOK 6 1. NURMAYENI 2. CHAIRUNNISA 3. MUHAMMAD ARDY YUSUF 4. DELA KURNIA sari 5. Siti balqis. M Kelas x mia 1 NAMA NAMA ANGGOTA ANGGOTA Peta konsep Hubungan Struktural dan Fungsional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan ruang adanya otonomi oleh masing-masing daerah untuk. adanya pemerintahan daerah yang menjalankan pemerintahan daerah

BAB I PENDAHULUAN. memberikan ruang adanya otonomi oleh masing-masing daerah untuk. adanya pemerintahan daerah yang menjalankan pemerintahan daerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan ruang adanya otonomi oleh masing-masing daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya

Lebih terperinci

APA ITU DAERAH OTONOM?

APA ITU DAERAH OTONOM? APA OTONOMI DAERAH? OTONOMI DAERAH ADALAH HAK DAN KEWAJIBAN DAERAH OTONOM UNTUK MENGATUR DAN MENGURUS SENDIRI URUSAN PEMERINTAHAN DAN KEPENTINGAN MASYARAKATNYA SESUAI DENGAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN

Lebih terperinci

- Dibentuk oleh suatu Perjanjian Internasional - Memiliki organ yang terpisah dari negara-negara anggotanya - Diatur oleh hukum internasional publik

- Dibentuk oleh suatu Perjanjian Internasional - Memiliki organ yang terpisah dari negara-negara anggotanya - Diatur oleh hukum internasional publik BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 6 KEPRIBADIAN HUKUM / PERSONALITAS YURIDIK / LEGAL PERSONALITY, TANGGUNG JAWAB, DAN WEWENANG ORGANISASI INTERNASIONAL A. Kepribadian Hukum Suatu OI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah.

BAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di negara Indonesia salah satu institusi yang menunjukkan pelaksanaan sistem demokrasi tidak langsung adalah DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah.

Lebih terperinci

Oleh: Novianto Murti Hantoro Sulasi Rongiyati Denico Doly Monika Suhayati Trias Palupi Kurnianingrum

Oleh: Novianto Murti Hantoro Sulasi Rongiyati Denico Doly Monika Suhayati Trias Palupi Kurnianingrum LAPORAN HASIL PENELITIAN KELOMPOK TENTANG BENTUK PENGHORMATAN DAN PENGAKUAN NEGARA TERHADAP KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT BESERTA HAK-HAK TRADISIONALNYA Oleh: Novianto Murti Hantoro Sulasi Rongiyati Denico

Lebih terperinci

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Pemikiran Pada dasarnya negara Republik Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendapat perhatian yang serius. Orientasi pembangunan lebih banyak diarahkan

BAB I PENDAHULUAN. mendapat perhatian yang serius. Orientasi pembangunan lebih banyak diarahkan BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Perkembangan akuntansi sektor publik di Indonesia sebelum era reformasi dapat dinilai kurang pesat. Pada waktu itu, akuntansi sektor publik kurang mendapat perhatian

Lebih terperinci

PEMERINTAHAN UMUM DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DI DAERAH. (Irfan Ridwan Maksum) ABSTRAK

PEMERINTAHAN UMUM DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DI DAERAH. (Irfan Ridwan Maksum) ABSTRAK PEMERINTAHAN UMUM DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DI DAERAH (Irfan Ridwan Maksum) ABSTRAK Sebagai suatu keniscayaan dalam kehidupan bernegara, pemerintahan daerah memiliki prasyarat mutlak yakni adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Dampak diberlakukannya Undang Undang tentang otonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Dampak diberlakukannya Undang Undang tentang otonomi daerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahirnya kebijakan pemerintah dengan kehadiran UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah telah membawa dampak yang cukup besar dalam berbagai aspek pemerintahan

Lebih terperinci

HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH (SUATU PENDEKATAN TEORITIS)

HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH (SUATU PENDEKATAN TEORITIS) HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH (SUATU PENDEKATAN TEORITIS) Oleh : I WAYAN PARSA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH (Suatu Pendekatan Teoritis) Oleh : I Wayan Parsa I.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah mengharuskan untuk diterapkannya kebijakan otonomi daerah. Meskipun dalam UUD 1945 disebutkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia adalah negara kesatuan, dalam penyelenggaraan

I. PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia adalah negara kesatuan, dalam penyelenggaraan 1 I. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara kesatuan, dalam penyelenggaraan pemerintahannya menekankan asas desentralisasi yang secara utuh dilaksanakan di daerah kota/kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi yang ditandai dengan tidak adanya batas-batas negara (

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi yang ditandai dengan tidak adanya batas-batas negara ( 1 BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Era globalisasi yang ditandai dengan tidak adanya batas-batas negara ( boundary-less world) memberikan peluang sekaligus tantangan bagi seluruh negara.

Lebih terperinci

Pengaturan dan Permasalahan Tata Kelola Badan Usaha Milik Negara Oleh: Febry Liany * Naskah diterima: 13 Oktober 2015; disetujui: 13 Oktober 2015

Pengaturan dan Permasalahan Tata Kelola Badan Usaha Milik Negara Oleh: Febry Liany * Naskah diterima: 13 Oktober 2015; disetujui: 13 Oktober 2015 Pengaturan dan Permasalahan Tata Kelola Badan Usaha Milik Negara Oleh: Febry Liany * Naskah diterima: 13 Oktober 2015; disetujui: 13 Oktober 2015 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan salah satu perwujudan

Lebih terperinci

Desain Tata Kelola Kelembagaan Hulu Migas Menuju Perubahan UU Migas Oleh: Wiwin Sri Rahyani * Naskah diterima: 13 April 2015; disetujui: 22 April 2015

Desain Tata Kelola Kelembagaan Hulu Migas Menuju Perubahan UU Migas Oleh: Wiwin Sri Rahyani * Naskah diterima: 13 April 2015; disetujui: 22 April 2015 Desain Tata Kelola Kelembagaan Hulu Migas Menuju Perubahan UU Migas Oleh: Wiwin Sri Rahyani * Naskah diterima: 13 April 2015; disetujui: 22 April 2015 Sudah lebih dari 2 (dua) tahun tepatnya 13 November

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Good governance sering diartikan sebagai tata kelola yang baik. World

BAB I PENDAHULUAN. Good governance sering diartikan sebagai tata kelola yang baik. World BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Good governance sering diartikan sebagai tata kelola yang baik. World Bank memberikan definisi governance sebagai: The way statement is used in managing economic

Lebih terperinci

Konsep Dasar Pemerintahan Daerah

Konsep Dasar Pemerintahan Daerah Modul 1 Konsep Dasar Pemerintahan Daerah Drs. Hanif Nurcholis, M.Si. N PENDAHULUAN egara kita adalah negara kesatuan. Sebagai negara kesatuan maka kedaulatan negara adalah tunggal, tidak tersebar pada

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Otonomi daerah yang disahkan melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG OTONOMI DAERAH DAN PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH

UNDANG-UNDANG OTONOMI DAERAH DAN PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH UNDANG-UNDANG OTONOMI DAERAH DAN PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH Oleh: Yulia Devi Ristanti. mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Semarang Jurusan Pendidikan IPS Angkatan 2015 Eko Handoyo, Dosen pada Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. besarnya penyerahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, dimana

BAB I PENDAHULUAN. besarnya penyerahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, dimana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia dari pola sentralisasi menjadi pola desentralisasi membawa konsekuensi terhadap makin besarnya

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA DUMAI

PEMERINTAH KOTA DUMAI KOTA DUMAI PEMERINTAH KOTA DUMAI PERATURAN DAERAH KOTA DUMAI NOMOR 10 TAHUN 2005 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA DINAS KESEHATAN KOTA DUMAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA DUMAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia Tahun Dalam rangka penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia Tahun Dalam rangka penyelenggaraan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia menyelenggarakan pemerintahan negara dan pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat adil, makmur dan merata berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hasil pertanian. Jumlah penduduk Idonesia diprediksi akan menjadi 275 juta

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hasil pertanian. Jumlah penduduk Idonesia diprediksi akan menjadi 275 juta BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Irigasi Indonesia adalah Negara yang sebagian besar penduduknya hidup dari pertanian dengan makanan pokoknya bersumber dari beras, sagu, serta ubi hasil pertanian.

Lebih terperinci

Keywords : Local Authorities, The Principle of Decentralization, Natural Resource

Keywords : Local Authorities, The Principle of Decentralization, Natural Resource KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM (Tinjauan Yuridis Kekhususan Suatu Daerah Dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia) oleh: Dwi Kherisna Payadnya I Wayan Suarbha Bagian

Lebih terperinci

KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN PEMERINTAH KECAMATAN DI KOTA DENPASAR MENURUT UNDANG UNDANG NO.32 TAHUN 2004 DAN PERDA NO.9 TAHUN 2008

KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN PEMERINTAH KECAMATAN DI KOTA DENPASAR MENURUT UNDANG UNDANG NO.32 TAHUN 2004 DAN PERDA NO.9 TAHUN 2008 KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN PEMERINTAH KECAMATAN DI KOTA DENPASAR MENURUT UNDANG UNDANG NO.32 TAHUN 2004 DAN PERDA NO.9 TAHUN 2008 Oleh I Made Sudarmayasa I Gusti Ayu Puspawati Bagian Hukum Administrasi Negara

Lebih terperinci

DESENTRALISASI. KONSEP TEORI ILMU ADMINISTRASI K-5 PROGRAM S2 STIA-LAN BANDUNG Endang Wirjatmi. K-5-KTIA/S2 STIA LAN Endang wirjatmi 1

DESENTRALISASI. KONSEP TEORI ILMU ADMINISTRASI K-5 PROGRAM S2 STIA-LAN BANDUNG Endang Wirjatmi. K-5-KTIA/S2 STIA LAN Endang wirjatmi 1 DESENTRALISASI KONSEP TEORI ILMU ADMINISTRASI K-5 PROGRAM S2 STIA-LAN BANDUNG -2007- Endang Wirjatmi LAN Endang wirjatmi 1 PENGERTIAN DESENTRALISASI Pustaka Inggris: mencakup konsep: devolution, deconcentration.

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PEMERINTAHAN DAERAH DAN PENERAPAN SANKSI ADMINISTRASI DALAM PERATURAN DAERAH. Oleh : Michael Barama 1

PELAKSANAAN PEMERINTAHAN DAERAH DAN PENERAPAN SANKSI ADMINISTRASI DALAM PERATURAN DAERAH. Oleh : Michael Barama 1 Barama M : Pelaksanaan Pemerintah Daerah... Vol.22/No.5/Januari /2016 Jurnal Hukum Unsrat PELAKSANAAN PEMERINTAHAN DAERAH DAN PENERAPAN SANKSI ADMINISTRASI DALAM PERATURAN DAERAH Oleh : Michael Barama

Lebih terperinci

BENTUK POKOK SISTEM KESEHATAN NASIONAL

BENTUK POKOK SISTEM KESEHATAN NASIONAL BENTUK POKOK SISTEM KESEHATAN NASIONAL A. TUJUAN SKN Tujuan SKN adalah terselenggaranya pembangunan kesehatan oleh semua potensi bangsa, baik masyarakat, swasta, maupun pemerintah secara sinergis, berhasil

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia mengalami perubahan yang cukup besar sejalan runtuhnya rezim Orde

I. PENDAHULUAN. Indonesia mengalami perubahan yang cukup besar sejalan runtuhnya rezim Orde I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia mengalami perubahan yang cukup besar sejalan runtuhnya rezim Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto pada tahun 1998 lalu. Proses reformasi muncul sebagai bentuk

Lebih terperinci

3. Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, sedang Daerah Provinsi merupakan Otonomi yang

3. Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, sedang Daerah Provinsi merupakan Otonomi yang Pengertian Otonomi Daerah adalah hak dan kewajiban Daerah Otonomi, untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN memuat ketentuan yang bersifat groundnorm sebagai pandangan hidup

BAB I PENDAHULUAN memuat ketentuan yang bersifat groundnorm sebagai pandangan hidup BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memuat ketentuan yang bersifat groundnorm sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia. Pandangan hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sesungguhnya. Seperti dikemukakan oleh Menteri Keuangan Boediono (Sidik et

BAB I PENDAHULUAN. sesungguhnya. Seperti dikemukakan oleh Menteri Keuangan Boediono (Sidik et BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah yang mulai dilaksanakan secara efektif tanggal 1 Januari 2001 merupakan kebijakan yang dipandang sangat demokratis

Lebih terperinci

Volume 11 Nomor 1 Maret 2014

Volume 11 Nomor 1 Maret 2014 Volume 11 Nomor 1 Maret 2014 ISSN 0216-8537 9 7 7 0 2 1 6 8 5 3 7 2 1 11 1 Hal. 1-102 Tabanan Maret 2014 Kampus : Jl. Wagimin No.8 Kediri - Tabanan - Bali 82171 Telp./Fax. : (0361) 9311605 PENYERAHAN WEWENANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diserahkan kepadanya. Dengan demikian, pemerintah daerah tidak sekedar

BAB I PENDAHULUAN. diserahkan kepadanya. Dengan demikian, pemerintah daerah tidak sekedar BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Berdasarkan Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut paham. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945)

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut paham. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut paham demokrasi, sehinggga semua kewenangan adalah dimiliki oleh rakyat. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara

Lebih terperinci

BUPATI ALOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENGELOLA PERBATASAN KABUPATEN ALOR

BUPATI ALOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENGELOLA PERBATASAN KABUPATEN ALOR BUPATI ALOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENGELOLA PERBATASAN KABUPATEN ALOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR, Menimbang : a.

Lebih terperinci

INDEPENDENSI BANK INDONESIA SEBAGAI BANK SENTRAL NEGARA

INDEPENDENSI BANK INDONESIA SEBAGAI BANK SENTRAL NEGARA INDEPENDENSI BANK INDONESIA SEBAGAI BANK SENTRAL NEGARA OLEH MUSA MUJADDID IMADUDDIN 19010110 Pendahuluan Pemerintah Indonesia menganut sistem pemerintahan demokratis dalam penyelenggaraan negaranya. Kekuasaan

Lebih terperinci

Panduan diskusi kelompok

Panduan diskusi kelompok Panduan diskusi kelompok Mahasiswa duduk perkelompok (5 orang perkelompok) Mahasiswa mengambil dan membaca (DUA KASUS) yang akan di angkat sebagai bahan diskusi. Mahasiswa mendiskusikan dan menganalisis

Lebih terperinci

Desentralisasi dan Otonomi Daerah:

Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Teori, Permasalahan, dan Rekomendasi Kebijakan Drs. Dadang Solihin, MA www.dadangsolihin.com 1 Pendahuluan Diundangkannya UU 22/1999 dan UU 25/1999 merupakan momentum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG PEMERINTAHAN PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA SEBAGAI IBUKOTA NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PELALAWAN NOMOR 12 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PELALAWAN NOMOR 12 TAHUN 2002 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PELALAWAN NOMOR 12 TAHUN 2002 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA KABUPATEN PELALAWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PELALAWAN,

Lebih terperinci

ALASAN ALASAN PERLUNYA BAGI HASIL ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DALAM BIDANG USAHA PERTAMBANGAN

ALASAN ALASAN PERLUNYA BAGI HASIL ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DALAM BIDANG USAHA PERTAMBANGAN BAB II ALASAN ALASAN PERLUNYA BAGI HASIL ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DALAM BIDANG USAHA PERTAMBANGAN A. Penguasaan Negara Atas Kekayaan Alam yang Terkandung di Bawah Tanah 1. Pengertian

Lebih terperinci

DESENTRALISASI. aris subagiyo

DESENTRALISASI. aris subagiyo DESENTRALISASI aris subagiyo PENGERTIAN DESENTRALISASI : Penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kpd daerah otonom utk mengatur & mengurus urusan pemerintahan dlm sistem NKRI. OTONOMI DAERAH :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. harapan kehidupan yang lebih sejahtera. Dunia sedang menuju ke arah

BAB I PENDAHULUAN. harapan kehidupan yang lebih sejahtera. Dunia sedang menuju ke arah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kemajuan pesat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi telah mendorong perkembangan kemajuan dan membuka tabir masa depan bangsa dan memberi harapan kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setelah Orde Baru jatuh dikarenakan reformasi maka istilah Good

BAB I PENDAHULUAN. Setelah Orde Baru jatuh dikarenakan reformasi maka istilah Good BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setelah Orde Baru jatuh dikarenakan reformasi maka istilah Good Governance begitu popular. Hampir di setiap peristiwa penting yang menyangkut masalah pemerintahan,

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG PEMERINTAHAN PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA SEBAGAI IBUKOTA NEGARA KESATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa Provinsi Daerah

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN UPAYA PENINGKATANNYA DALAM PENGELOLAAN JARINGAN IRIGASI MENDUT KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN UPAYA PENINGKATANNYA DALAM PENGELOLAAN JARINGAN IRIGASI MENDUT KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN UPAYA PENINGKATANNYA DALAM PENGELOLAAN JARINGAN IRIGASI MENDUT KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh : DHONI SUTRISNO L2D 098 419 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA DUMAI

PEMERINTAH KOTA DUMAI KOTA DUMAI PEMERINTAH KOTA DUMAI PERATURAN DAERAH KOTA DUMAI NOMOR 15 TAHUN 2005 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA DINAS PERINDUSTRIAN, PERDAGANGAN, KOPERASI DAN INVESTASI KOTA DUMAI DENGAN

Lebih terperinci

BAB IV KETENTUAN PENGECUALIAN PASAL 50 HURUF a UU NOMOR 5 TAHUN 1999 DALAM KAITANNYA DENGAN MONOPOLI ATAS ESSENTIAL FACILITY

BAB IV KETENTUAN PENGECUALIAN PASAL 50 HURUF a UU NOMOR 5 TAHUN 1999 DALAM KAITANNYA DENGAN MONOPOLI ATAS ESSENTIAL FACILITY 62 BAB IV KETENTUAN PENGECUALIAN PASAL 50 HURUF a UU NOMOR 5 TAHUN 1999 DALAM KAITANNYA DENGAN MONOPOLI ATAS ESSENTIAL FACILITY A. Ketentuan Pengecualian Pasal 50 huruf a UU Nomor 5 Tahun 1999 1. Latar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia adalah sebuah negara yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia adalah sebuah negara yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah sebuah negara yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Negara ini lahir dari perjuangan bangsa Indonesia yang bertekad mendirikan Negara kesatuan

Lebih terperinci

Investasi di Era Otonomi Daerah Dalam Rangka Interaksi Antara Penanaman Modal Dengan Keuangan Daerah 1

Investasi di Era Otonomi Daerah Dalam Rangka Interaksi Antara Penanaman Modal Dengan Keuangan Daerah 1 Investasi di Era Otonomi Daerah Dalam Rangka Interaksi Antara Penanaman Modal Dengan Keuangan Daerah 1 Setyo Pamungkas Pendahuluan Perkembangan investasi di Indonesia merupakan saklah satu indikator kemajuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan serta Perimbangan

Lebih terperinci

BAB I. Beranjak dari Pasal 33 ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945 menyatakan. oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

BAB I. Beranjak dari Pasal 33 ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945 menyatakan. oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Beranjak dari Pasal 33 ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945 menyatakan bahwa, Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan

Lebih terperinci

SISTEM PELAYANAN TERPADU SATU PINTU SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PELAYANAN PUBLIK YANG OPTIMAL DALAM BIROKRASI PERIZINAN

SISTEM PELAYANAN TERPADU SATU PINTU SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PELAYANAN PUBLIK YANG OPTIMAL DALAM BIROKRASI PERIZINAN SISTEM PELAYANAN TERPADU SATU PINTU SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PELAYANAN PUBLIK YANG OPTIMAL DALAM BIROKRASI PERIZINAN Oleh: Nyoman Putri Purnama Santhi Ni Made Ari Yuliartini Griadhi Bagian Hukum Pemerintahan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Implementasi desentralisasi menandai proses demokratisasi di daerah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Implementasi desentralisasi menandai proses demokratisasi di daerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Implementasi desentralisasi menandai proses demokratisasi di daerah mulai berlangsung. Setidaknya hal tersebut diindikasikan dengan terbentuknya pemerintahan daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Sri Soemantri tidak ada satu negara pun yang tidak mempunyai konstitusi atau Undang-Undang

Lebih terperinci

OTONOMI DAERAH PERTEMUAN 7

OTONOMI DAERAH PERTEMUAN 7 OTONOMI DAERAH PERTEMUAN 7 A. Ancaman Disintegrasi 1. Ancaman bermula dari kesenjangan antar daerah Adanya arus globalisasi, batas-batas negara kian tipis, mobilitas faktor produksi semakin tinggi, tidak

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI KEMAUAN POLITIK PEMERINTAH DAERAH DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH YANG DEMOKRATIS BIDANG PENDIDIKAN DI KABUPATEN SEMARANG

IMPLEMENTASI KEMAUAN POLITIK PEMERINTAH DAERAH DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH YANG DEMOKRATIS BIDANG PENDIDIKAN DI KABUPATEN SEMARANG IMPLEMENTASI KEMAUAN POLITIK PEMERINTAH DAERAH DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH YANG DEMOKRATIS BIDANG PENDIDIKAN DI KABUPATEN SEMARANG Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana

Lebih terperinci