PEMERINTAHAN UMUM DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DI DAERAH. (Irfan Ridwan Maksum) ABSTRAK

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMERINTAHAN UMUM DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DI DAERAH. (Irfan Ridwan Maksum) ABSTRAK"

Transkripsi

1 PEMERINTAHAN UMUM DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DI DAERAH (Irfan Ridwan Maksum) ABSTRAK Sebagai suatu keniscayaan dalam kehidupan bernegara, pemerintahan daerah memiliki prasyarat mutlak yakni adanya wilayah. The founding fathers pun sudah memikirkannya sejak awal, bahkan sejak belum lahirnya Republik Indonesia. Demi kepentingan pemerintahan daerah dalam menggapai cita-cita demokrasi dan kesejahteraan masyarakat, Wilayah Negara dibagi-bagi ke dalam sub-sub wilayah Negara. Dalam karya ini, pandangan terhadap Negara kesatuan adalah satu hal yang pokok dan utama. Oleh karena itu penelusuran aspek wilayah di dalam karya ini lebih ditujukan dalam kerangka (konsep) Negara kesatuan. Wilayah Negara dapat dibagi-bagi 1 sebagai wadah desentralisasi. Namun harus diperhatikan adanya dua makna. Pertama, subsub wilayah Negara yang ditujukan untuk kepentingan dekonsentrasi. Kedua, sub-sub wilayah Negara yang ditujukan untuk kepentingan desentralisasi. A. PENDAHULUAN: Aspek wilayah dan Fungsi Pemerintahan dalam sebuah Tata Negara Basis Pemerintahan Daerah Fungsi dan wilayah seperti dua sisi dari satu keping mata uang, tidak dapat dipisahkan satu sama lain dalam organisasi Negara atau pemerintahan daerah seperti ditulis oleh Higshaw dan Dyer. Dua pakar tersebut menuliskannya sebagai berikut: 2 In the context of local government, function means the activities, actions, and services performed by the various units within their legal yurisdictions. Indeed, the principal purpose of all local governments is to perform services or function for the people living within their legal yurisdiction. 1 Kata-kata dibagi-bagi ini sudah ada sejak praktek pemerintahan masa Hindia Belanda. Lihat tulisan Hoessein, Bhenyamin.et al, dalam Laporan Penelitian Kajian Tata Hubungan Kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, Kerjasama antara PKPADK-FISIP-UI dengan Kantor Menpan (2003) mencurigai kata-kata ini sebagai propaganda Belanda dalam penjajahan karena di negeri Belanda sendiri desentralisasi tidak dikonkritkan dengan pembagian wilayah melainkan langsung dengan UU, terjadi pembentukan daerah otonom. Namun, dalam karya ilmiah seperti Chandler dalam Comparative Public Administration, Routledge, (New York: 2000)., terdapat kata-kata pembagian wilayah bukan Negara dibagi. Untuk itu karya ini mengatakan bahwa dalam sebuah Negara terdiri atas sub -sub wilayah Negara dengan batas tertentu. 2 Higshaw, Robert B., and Dyer, John A., Conflict and Change in Local Government: Patterns of Co-operation, University of Alabama Press, Alabama: 1965, hal.12

2 Dalam hal ini desentralisasi bukan hanya penyerahan wewenang semata melainkan meliputi pembentukan daerah otonom. 3 Di satu sisi, dalam rangka dekonsentrasi, sub-sub wilayah Negara tersebut berbentuk pemerintahan wilayah pelayanan tingkat lapangan (field services area government). 4 Di sisi lain dalam rangka desentralisasi, sub-sub wilayah Negara tersebut berbentuk dua macam: (1) pemerintahan wilayah umum (general governmental areas); dan (2) pemerintahan wilayah khusus (special governmental areas). Fesler menuliskannya sebagai berikut: Administrative areas have been of three major types which we shall call the general governmental area, the special or limited-purpose governmental area, and field service area. The first two types, which have in common a broad governmental characteristic, as distinct from the narrowly administrative, are the areas that mark out the jurisdictions of unit of government. Tipe pemerintahan wilayah ketiga dituliskan oleh Fesler sebagai berikut: Field service areas are established for the convenient execution of the duties of an administrative part of unit of Government. Berbagai pakar telah mengungkapkan konsep dekonsentrasi. Henry Maddick seperti dikutip oleh Hoessein menuliskannya sebagai berikut: The delegation of authority adequate for the discharge of specified functions to staff 3 Hoessein, Bhenyamin, et al., dalam Laporan Penelitian Kajian Tata Hubungan Kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, Kerjasama antara PKPADK -FISIP-UI dengan Kantor Menpan (2003), hal II.7 4 Lihat saja dalam berbagai produk UU pemerintahan daerah sejak berdirinya Republik Indonesia, dan lebih mendasar lagi dalam UUD 1945, UUDS 1950, dan amandemen UUD Selalu diutarakan set-up kelembagaan pemerintahan daerah yang memiliki wilayah jurisdiksinya masing-masing disamping adanya badan-badan pemerintah pusat yang bekerja di seluruh penjuru Republik baik dengan menempatkan perangkatnya sekaligus wilayah kerjanya, maupun yang hanya berada di Ibukota Negara.

3 of central department who are situated outside the head-quarter. 5 Sementara beranjak dari pendapat Smith, BC, Hoessein menyatakan pula bahwa dekonsentrasi menciptakan local state government atau field administration berbeda dengan desentralisasi yang menciptakan local self government. 6 Alderfer seperti dikutip juga oleh Hoessein 7 di tempat lain menyebutkan dekonsentrasi sebagai berikut: In de-concentration, it merely sets up administrative units or field administration, singly or in hierarchy, separately or jointly, with order as to what they should do it. No major matters of policy are decided locally, no fundamental decision making taken. The central agency reserves all basic powers to itself. Local official are strictly subordinate, they carry out order. Mawhood 8 dalam bukunya mengartikan dekonsentrasi merupakan pendelegasian kewenangan antar pihak-pihak yang mewakili aspirasi nasional yang bersifat administrative belaka (untuk mengimplementasikan kebijakan) dengan wilayah yang telah ditentukan yang disebut local administration. Oleh karena itu, cirinya adalah: (1) mewakili kepentingan pusat (2) keberadaannya sangat tergantung dari penguasa pusat; (3) hanya memiliki kewenangan administratif belaka, dan, (4) wewenang (administratif) tersebut dilakukan oleh pejabat yang diangkat, bukan yang dipilih; (5) memiliki yurisdiksi tertentu --- wilayah administrasi. 5 Hoessein, Bhenyamin. Disertasi-FISIP-UI (1993), Loc cit., hal 72 6 Hoessein Bhenyamin, Landasan Filosofis tentang Pembentukan Daerah Otonom di Indonesia, makalah Lokakarya IULA-ASPAC tentang Tinjauan terhadap Undang-Undang RI No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Jakarta: 22 Juli Hoessein, Bhenyamin., Disertasi-FISIP-UI (1993), Loc cit., hal Mawhood, Phillip., Local Government in The Third World, John Wiley and Sons: New York: 1983, hal. 4

4 Secara kelembagaan, dekonsentrasi mengakibatkan terciptanya administrasi lapangan (field administration) dan administrator lapangan (field administrator). Administrasi lapangan mampu menjadi perekat dalam suatu susunan pemerintahan. Oleh karena itu hubungan yang tercipta dinamai oleh Hoessein sebagai hubungan kekuasaan intra-organisasi berbeda dari hubungan akibat dari desentralisasi (devolusi) yang membawa kepada hubungan kekuasaan antar-organisasi. 9 Hubungan intra-organisasi ini dikenal juga menciptakan local state atau local administration, sedangkan hubungan antar-organisasi menciptakan local self-government atau daerah otonom. Hal ini karena adanya prinsip separateness antara Negara dan daerah otonom yang tercipta. 10 Terkadang, perangkat desentralisasi dijadikan bertalian dengan dekonsentrasi. Di sini terjadi peran ganda (dual function) 11 antara sebagai administrasi lapangan dengan sebagai perangkat pemerintahan umum (selfgovernment). Hoessein 12 menuliskan: Berbeda dengan desentralisasi (devolusi), dekonsentrasi tidak melahirkan local (self) government, tetapi menciptakan Field Administration (Leemans: 1970). Secara teoritis terdapat dua model dari Field Administration: Fragmented Field Administration dan Integrated Field Administration (Leemans : 1970) Model pertama membenarkan batas-batas wilayah kerja (yurisdiksi) dari perangkat departemen di lapangan (Instansi Vertikal) secara berbeda menurut pertimbangan fungsi dan organisasi departemen induknya. Dalam hal ini tidak terdapat apa yang dalam sistem Indonesia disebut Daerah (Wilayah) Administrasi dengan Wakil Pemerintahnya untuk keperluan koordinasi dan kegiatan pemerintahan umum lainnya. Model kedua mengharuskan terdapatnya keseragaman batas-batas wilayah kerja (yurisdiksi) dari berbagai instansi vertikal atas dasar Daerah (Wilayah) 9 Hoessein, Bhenyamin., Loc cit., hal.2 10 Hoessein, Bhenyamin, et al., (Laporan Penelitian: 2003), Loc cit., hal II.4 11 Fried, Robert C., Major Traits of Prefectoral Systems, dalam Readings in Comparative Public Administration, Raphaeli, Nimrod., (ed.), Allyn and Bacon Inc., Boston: 1971, hal Hoessein, et.al., (laporan Penelitian: 2003) Loc cit., hal. II.4

5 Administrasi beserta Wakil Pemerintah. Dalam kaitannya dengan desentralisasi, maka model ini mengharuskan pula berhimpitnya daerah otonom dengan Daerah Administrasi dan perangkapan jabatan Kepala Daerah dan Wakil Pemerintah. Sistem pemerintahan lokal dengan karakteristik tersebut dikenal dengan sebutan Integrated Prefectoral Sistem (Fried : 1963). Konsekuensi sistem tersebut adalah terdapatnya hirarki daerah otonom. Pada masa yang lalu kita pernah menganut integrated prefectoral sistem sampai dua tingkatan dan bahkan pernah pula tiga tingkatan daerah otonom. Dalam rangka dekonsentrasi, Negara itu sendiri adalah pemerintahan wilayah umum dengan keseluruhan (totalitas) wilayah negara. Negara sudah pasti mengerjakan banyak fungsi untuk kepentingan warganya, dan tidak pernah sebuah negara memiliki fungsi terbatas (tertentu) atau spesifik. Dalam rangka desentralisasi, daerah otonom adalah pemerintahan wilayah umum dengan teritori terbatas dalam sebuah Negara seperti dikatakan oleh Fesler sebagai berikut: The general governmental areas serve the governments of the nation, the states, counties, and parishes, cities, villages, and other incorporated places, and towns and townships in the New England and Congressional land-survey sense. 13 Ungkapan tersebut dapat diartikan bahwa praktek di Amerika yang ditandai oleh adanya sub-sub wilayah negaranya yang terdiri dari berbagai bagian hingga paling rendah di tingkat villages adalah sebagai kerangka adanya Pemerintahan Wilayah Umum yang kompleks. Bahkan disebut-sebut dalam tulisan Fesler Parishes yang juga merupakan struktur pemerintahan umum terendah di Inggris. 13 Fesler, James W, Op cit., hal 6-7

6 Memang belum terlihat apakah dalam kerangka dekonsentrasi atau desentralisasi. Jika dirangkai dengan referensi lain susunan tersebut memang bervariasi apakah dalam kerangka desentralisasi atau dekonsentrasi atau bisa kedua-duanya. Dalam hal ini tergantung dari tata pemerintahan secara nasional yang sangat dipengaruhi oleh kondisi sejarah dan masing-masing bangsa. Leemans menyebutkan adanya tiga pola: (1) dual hierarchy model; (2) fused/ single hierarchy model; dan (3) split model seperti ditulis Leemans: 14 Various basic patterns of relationship exist between central government field administration and representative local government institutions. Selanjutnya dikatakan sebagai berikut: There are two hierarchies of decentralization: the central government field administration ( ) and the representative local government institutions. Each hierarchy is composed of several levels of local government or administration, each responsible for areas of decreasing size. This pattern may be called the dual hierarchy model. 15 Dari uraian di atas, dual hierarchy model menganjurkan adanya dua jenis lembaga yang muncul karena dekonsentrasi dan desentralisasi bersama-sama tanpa terjadi pertautan di setiap jenjang (tingkatan). Model ini secara murni tidak mungkin terjadi karena diktum desentralisasi selalu kontinum dengan dekonsentrasi. Berbeda dengan model tersebut, model fused/ single hierarchy dalam berbagai jenjang (tingkatan) pemerintahan yang tercipta selalu terjadi pertautan antara penggunaan asas (mekanisme) desentralisasi dan dekonsentrasi. Leemans menyatakan sebagai berikut: 14 Leemans, AF., The Changing Patterns of Local Government, Netherlands, IULA: 1970, hal Ibid., hal 52

7 The central government field organization is fused with local representative institutions. This pattern may be called or single hierarchy model. In such a case, only one integrated organization for government and administration exist at each level, composed of central government officials and local representatives. 16 Dalam hal split model, mekanisme desentralisasi dan dekonsentrasi dapat tidak saling bertalian pada jejang tertentu seperti diungkapkan oleh Leemans 17 sebagai berikut: In what might be termed the split-hierarchy model, only central government field organizations are found on some levels of the local government and administration hierarchy, and only local representative institutions on others. Daerah otonom sebagai wilayah pemerintahan umum akhirnya pun dapat memiliki mekanismenya sendiri dalam membagi-bagi wilayahnya karena sebagai badan hukum publik daerah otonom dapat menciptakan administrasi pelayanan tingkat lapangan (field administration) sendiri disamping melakukan proses delegasi kepada unit-unit di dalamnya. Kemudian, Pemerintahan khusus dalam wilayah Negara dapat berbentuk otorita, distrik-distrik khusus, dan lainlain seperti ditulis oleh Fesler: The special governmental areas illustrated by school districts, road and bridge districts, drainage districts, irrigation and conservation districts, soil conservations districts, and housing authorities. 18 Hal tersebut senada dengan yang dikatakan oleh Maas berikut: Thus, the effect an adp certain functions (the coining of money, the conduct of foreign relations) could be assigned to the central government, others to state or provincial governments, and yet others to municipal and local governments; and at the local level, functions could be assigned variously to special purpose district with unique territorial boundaries Leemans, AF., Ibid., hal Ibid., hal Fesler, James W, Op cit., hal 7

8 Pernyataan tersebut, menandakan bahwa adp (areal division of power) yang dicapai melalui desentralisasi, tidak menyangkut hanya desentralisasi territorial, melainkan juga desentralisasi fungsional yang melahirkan adanya special purpose district. Smith sangat jelas mengakui pentingnya aspek wilayah yang menjadi basis terciptanya lembaga-lembaga khusus yang disebut sebagai special-purpose government sebagai berikut: 20 Areas have also to be delimited for special-purpose government agencies health boards, planning committees, water authorities, development agencies, and so on. Some statutory bodies, such as public corporations, are national in scope and may require a field organization comparable to that of central government department. A public utility such as water or electricity may be provided throughout the national territory, but by quasi-autonomous regional may have a special agency for a special prupose and in this respect be different from all other regions the Scottish highlands and islands developing boards, or Sudan s gazira development board, for example. Special governmental areas (fesler: 1949) may also be needed for functions coming under local political control rather than bureaucratic administration school districts in the USA, for example. Adanya mekanisme desentralisasi territorial ini diakui dalam karya disertasi Budisetyowati yang menyatakan pengakuannya secara eksplisit hanya meneliti desentralisasi teritorial dalam Negara kesatuan RI sesuai judul karya disertasinya. Dituliskan sebagai berikut: Dengan diselenggarakannya desentralisasi (territorial), maka terbentuk apa yang disebut oleh para sarjana hukum tata Negara Indoensia sebagai daerah otonom, yaitu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yuruisdiksi tertentu, berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat Maas, Arthur,. Area and Power: A Theory of Local Government. The Free Press Glencoe. Illinois: hal Smith, BC., Decentralization: The territorial dimension of the state, George Allen and Unwin, London: 1985, hal Budisetyowati, Dwi Andayani,. Keberadaan Otonomi Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Disertasi-FH-UI hal. 65.

9 Dalam catatan kaki karya tersebut 22 disebutkan pula pakar yang menyebutkan adanya jenis desentralisasi fungsional disamping desentralisasi territorial yang dipraktekkan di berbagai negara. Pakar tersebut adalah Tresna dan Danuredjo yang menyebutkan adanya ambtelijke decentralisatie atau deconsentratie dan staatkundige decentralisatie yang dibedakan menjadi territorial decentralisatie dan functionele decentralisatie. B. DESENTRALISASI TERITORIAL DAN FUNGSIONAL Desentralisasi territorial menghubungkan perangkat Negara dengan administrasi umum lokal. 23 Fesler meyakinkannya dengan menuliskan sebagai berikut: The devolution of authority can take place either along functional lines at the center or along areal lines emphasizing the usefulness of government and field service areas. 24 Selain itu, Fesler dalam Hoessein yang menuliskan desentralisasi di Perancis yang tidak memasukkan dekonsentrasi sebagai bagian dari definisinya dengan kalimat berikut: In French usage decentralization is a term reserved for the transfer of power from a central government to an areally or functionally specialized authority of distinct legal personality Ibid., hal Bisa dilihat dari berbagai literatur antara lain: E. Koswara (2001), Situmorang (2003), Amrah Muslimin (1982), Worldbank (1992), Alderfer (1964), Smith BC (1985), Cheema dan Rondinelli (1983). Di sini ada perbedaan sebutan antara pengertian dari Eropa daratan dan Inggris Amerika (anglo-saxon). Eropa daratan menyebut pelimpahan kewenangan yang tidak berakibat adanya otonomi hanya sebagai pelaksana saja adalah dekonsentrasi dimana perangkat yang menerima kewenangan sebenarnya masih merupakan bagian dari Pemerintah Pusat, sedangkan Inggris -Amerika memiliki sebutan Desentralisasiadministrasi untuk hal tersebut. Karya ilmiah ini tidak menelusuri definisi desentralisasi walaupun arti dari desentralisasi merupakan konsep yang paling mendasar dalam karya ini. Seperti diketahui bahwa pengelompokan definisi ini mengalami pergeseran sejak Worldbank (1992) mengeluarkan rincian definisi terbaru berdasarkan penelitiannya yang kemudian diikuti oleh Cohen dan Peterson (1999) bahkan Rondinelli (2003) dalam kelompok Worldbank. 24 Fesler, James W,. Op cit,. hal Hoessein, Bhenyamin., Disertasi FISIP-UI (1993)., loc cit., hal 60

10 Kedua uraian di atas, sama-sama mengakui dua bentuk desentralisasi (teritorial dan fungsional) yang bisa berjalan berbarengan. Baik wilayah administrasi umum yang muncul akibat desentralisasi teritorial maupun wilayah administrasi khusus akibat desentralisasi fungsional dapat menerima wewenang pemerintahan dan administratif umum. Oleh karena itu, nomenklatur umum dalam terminologi wilayah administrasi umum tidak sama dengan nomenklatur umum pada terminologi wewenang pemerintahan/ administrasi umum. Atmosudirdjo 26 mengingatkan hal semacam dengan kalimat: Kita perlu membedakan Administrasi sebagai badan atau aparatur pemerintahan (the Administration, de administratie) dan administrasi sebagai proses kegiatan-kegiatan (bestuur dalam arti dinamis). Administrasi dalam arti institusional adalah keseluruhan (aggregate, het geheel) daripada badan-badan (aparatur) yang menyelenggarakan tugas/ kegiatan-kegiatan kenegaraan di bawah pimpinan Pemerintah. Karya ini menyimpulkan bahwa kata umum dalam frasa wewenang pemerintahan (administrasi) umum bermakna kegiatan atau fungsi, sedangkan kata umum dalam frasa pemerintahan wilayah umum menandakan badan yang berkategori umum seperti kata Fesler di muka. Atmosudirdjo mempertegas kembali dengan menyatakan: Di antara unit-unit organisasi masing-masing merupakan konstruksi daripada Administrasi Negara terdapat jawatan dan badan hukum teritorial, sosial atau fungsional, misalnya seperti desa, kabupaten, propinsi, perusahaan umum, dan sebagainya. 27 Menurut Syafrudin 28, urusan pemerintahan umum yang Hal Atmosudirdjo, Prajudi,. Op cit., hal Atmosudirdjo, Prajudi,. Ibid,. hal Syafrudin, Ateng,. Pasang Surut Otonomi Daerah. Bina Cipta. Bandung:

11 diselenggarakan oleh Kepala Wilayah meliputi tugas-tugas sebagi berikut: (1) pembinaan ketentraman dan ketertiban di wilayahnya; (2) pembinaan idiologi negara, politik dalam negeri dan kesatuan bangsa; (3) penyelenggaraan koordinasi terhadap instansi-instansi vertical Pusat di Daerah; (4) bimbingan dan pengawasan terhadap daerah; (5) pembinaan tertib pemerintahan; (6) pelaksanaan tugas-tugas lain yang tidak termasuk dalam sesuatu instansi dan tidak termasuk urusan rumah tangga daerah. Atmosudirdjo 29 menyatakan bahwa wewenang administrasi umum dari segi hukum adalah: pengaturan administrative, tata pemerintahan atau pembinaan masyarakat (dalam arti sempit besturen ), kepolisian administrative, dan peradilan administrative (atau penyelesaian perselisihan). Wewenang administratif umum terdiri dari wewenang untuk melaksanakan fungsi yuridis administratif yaitu: (1) regeling yakni kekuasaan untuk membuat peraturanperaturan daerah dan keputusan-keputusan daerah guna melaksanakan undang-undang pada rumah tangga sendiri; (2) bestuur yakni kekuasaan untuk mengurus rumah tangganya sendiri; (3) politie; dan (4) rechtspleging. Berbeda dengan Administrasi umum (pemerintahan wilayah umum dalam rangka desentralisasi), Administrasi lapangan dalam rangka dekonsentrasi (desentralisasi Administrasi) tidaklah otonom baik dari segi fungsinya maupun aspek keuangannya. 30 Humes IV pun mengakui perbedaan antara lembaga desentralisasi fungsional dengan lembaga desentralisasi teritorial dengan menuliskan sebagai berikut: Atmosudirdjo, Prajudi,. Op cit,. hal Fesler, James, W., Op cit., hal Humes IV, Samuel., Op cit,, hal 186

12 Special purpose authorities, as their names implies, area constituted separately from the general prupose governments to meet a specific purpose in a particular area; thus they differ from general purpose governments and from specific field agencies which generally comprise country-wide patterns Most such authorities have a single operational responsibility, such as highways and bridges, transit (sea-or-air) ports, parks and recreation, hospitals and health care, housing, water supply and sewers, schools or social services. Other specifically constituted authorities have less specific mandate, e.g. regional planning or economic development. A few have multi-purpose (but not a general purpose) regional role. Dengan demikian, di satu sisi, desentralisasi dapat dipandang mampu menciptakan pemerintahan yang bersifat umum jika basis-nya dominan unsur teritorialnya dengan desentralisasi teritorial dan juga dapat mampu menciptakan pemerintahan yang spesifik jika basisnya fungsi tertentu dengan desentralisasi funsgional. Di sisi lain, dekonsentrasi pun demikian, dapat menciptakan pemerintahan umum jika administrasi lapangan yang ada merupakan perpanjangan Pemerintah (wakil Pemerintah di daerah), dan dapat pula bersifat spesifik jika merupakan perpanjangan tangan dari departemen atau Lembaga Non Departemen di Pusat (instansi vertikal). C. PEMERINTAHAN UMUM BERBASIS DEKONSENTRASI Berbagai pakar telah mengungkapkan konsepsi dekonsentrasi seperti Henry Maddick yang menuliskannya sebagai berikut: The delegation of authority adequate for the discharge of specified functions to staff of central department who are situated outside the headquarter. Sementara Hoessein secara sederhana mendefinisikan: Pelimpahan wewenang tertentu dari Pemerintah (pusat) kepada aparaturnya di Daerah (yang berada di daerah).

13 berikut: Alderfer di tempat lain menyebutkan dekonsentrasi menurutnya sebagai In de-concentration, it merely sets up administrative units or field administration, singly or in hierarchy, separately or jointly, with order as to what they should do it. No major matters of policy are decided locally, no fundamental decision making taken. The central agency reserves all basic powers to itself. Local official are strictly subordinate, they carry out order. Mawhood dalam bukunya mengartikan dekonsentrasi merupakan pendelegasian kewenangan antar pihak-pihak yang mewakili aspirasi nasional yang bersifat administrative belaka (untuk mengimplementasikan kebijakan) dengan wilayah yang telah ditentukan yang disebut local administration Oleh karena itu, cirinya adalah: (1) mewakili central interest (2) keberadaannya sangat tergantung dari penguasa pusat; (3) hanya memiliki kewenangan administratif belaka, dan, (4) pengambilan keputusan (administratif) tersebut dilakukan oleh pejabat yang diangkat, bukan yang dipilih; (5) memiliki yurisdiksi tertentu ---wilayah administrasi. Secara kelembagaan, dekonsentrasi mengakibatkan terciptanya administrasi lapangan (field administration) dan administrator lapangan (field administrator). Administrasi lapangan mampu menjadi perekat dalam suatu susunan pemerintahan. Oleh karena itu hubungan yang tercipta dinamai oleh Fried (1963) sebagai electric field berbeda dari hubungan akibat dari desentralisasi (devolusi) yang membawa kepada hubungan magnetic field. Hubungan electric field ini dikenal juga menciptakan local state atau local administration, sedangkan hubungan magnetic field menciptakan local selfgovernment atau daerah otonom.

14 Oleh karena itu, jika pembagian wilayah menghendaki adanya hirarkis sebenarnya juga berarti menciptakan pola electric field sampai level paling bawah. Menyambungkan kembali kedua daerah otonom secara hirarkis membawa kepada pilihan menempatkan daerah Kabupaten/ Kota menjadi wilayah administrasi yang artinya pemahaman local state juga muncul di kedua daerah (bawah) tersebut yang berarti juga menempatkan Indonesia pada integrated prefectoral sistem sama dengan UU No. 5 tahun 1974 padahal di bawah UU No. 22 Tahun 1999 hanya bersifat parsial di level Provinsi saja. Dengan demikian perubahan yang semestinya dilakukan adalah gradual dan tidak mungkin kembali lagi. Hoessein (2004) menuliskan: Berbeda dengan desentralisasi (devolusi), dekonsentrasi tidak melahirkan local (self) government, tetapi menciptakan Field Administration (Leemans: 1970). Secara teoritis terdapat dua model dari Field Administration: Fragmented Field Administration dan Integrated Field Administration (Leemans : 1970) Model pertama membenarkan batas-batas wilayah kerja (yurisdiksi) dari perangkat departemen di lapangan (Instansi Vertikal) secara berbeda menurut pertimbangan fungsi dan organisasi departemen induknya. Dalam hal ini tidak terdapat apa yang dalam sistem Indonesia disebut Daerah (Wilayah) Administrasi dengan Wakil Pemerintahnya untuk keperluan koordinasi dan kegiatan pemerintahan umum lainnya. Model kedua mengharuskan terdapatnya keseragaman batas-batas wilayah kerja (yurisdiksi) dari berbagai instansi vertikal atas dasar Daerah (Wilayah) Administrasi beserta Wakil Pemerintah. Dalam kaitannya dengan desentralisasi, maka model ini mengharuskan pula berhimpitnya daerah otonom dengan Daerah Administrasi dan perangkapan jabatan Kepala Daerah dan Wakil Pemerintah. Sistem pemerintahan lokal dengan karakteristik tersebut dikenal dengan sebutan Integrated Prefectoral Sistem (Fried : 1963). Konsekuensi sistem tersebut adalah terdapatnya hirarki daerah otonom. Pada masa yang lalu kita pernah menganut integrated prefectoral sistem bahkan sampai tiga tingkatan daerah otonom.

15 D. ANALISIS KRITIS UU NO. 32 TAHUN 2004 Berbeda dari UU No. 22 tahun 1999, UU No. 32 Tahun 1999 sebagai penggantinya tidak terdapat satu pasal pun yang menyebutkan adanya wilayah administrasi di RI untuk kepentingan dekonsentrasi dengan jelas. Dalam bab 1 pasal 1 ayat 8, disebutkan: Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Frasa di wilayah tertentu bagi operasi instansi vertikal cukup absurd dan dapat membuka peluang perbedaan batas yurisdiksi antara peta administrasi lapangan dengan peta yurisdiksi daerah otonom tertentu baik Provinsi maupun Kabupaten/ Kota. Menurut UU ini pun Provinsi sebagai wilayah yurisdiksi operasi Gubernur selaku wakil pemerintah tidak didefinisikan sebagai wilayah administrasi. Menurut sebagian pakar hal ini akan otomatis mengikuti peta dari Provinsi sebagai daerah otonom. Secara teoritis, pandangan seperti ini tidak bersifat menyeluruh karena wilayah administrasi akibat dari dekonsentrasi bukan hanya ditujukan kepada Gubernur namun juga kepada instansi vertikal. Perubahan seperti ini nampak akan berakibat pada pendefinisian dari konsep dekonsentrasi dalam praktek kenegaraan di RI. Semakin tampak bahwa dalam konstruksi dekonsentrasi mungkin terjadi ketidaksinkronan ketika kita jumpai pasal 37 ayat (1) pasal 38 ayat (1) yang mengatur tugas dan wewenang Gubernur sebagai wakil pemerintah sebagai berikut:

16 Pasal 37 (1) Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintah di wilayah provinsi yang bersangkutan. Pasal 38 (1) Gubernur dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 memiliki tugas dan wewenang: (a) pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota; (b) koordinasi penyelenggaraan urusan Pemerintah di daerah provinsi dan kabupaten/kota; (c) koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota. Dari kedua pasal tersebut, terutama pasal 38 ayat (1), tampak Gubernur tidak diberi tugas untuk berhadapan dengan instansi vertikal. Padahal teori wakil pemerintah tidak demikian. Hoessein (1978) merujuk Fried (1963) menyebutkan terdapatnya tanggungjawab wakil pemerintah sebagai integrator dan koordinator seluruh instansi vertikal di daerahnya. Membangun sistem pemerintahan daerah dengan menempatkan seorang wakil pemerintah di daerah bukan sekedar persoalan teknis pemerintahan menurut pendapat Fried (1963) sebab di dunia ini seperti ditulis di depan jika tidak dianut penempatan wakil pemerintah (administrasi lapangan generalis), maka terdapat sistem lain yang berpola fungsional yang mengandalkan instansi vertikal (administrasi lapangan sektoral). Oleh karena itu, dituntut konsistensi dalam mengembangkan masing-masing sistem tersebut. Undang-undang 32 Tahun 2004 tampak dikacaukan oleh pola fungsional 32 yang mengandalkan keberadaan instansi vertikal dan mereduksi 32 Pola tersebut banyak diacu oleh Negara-negara commonwealth yang menganut sistem pemerintahan daerah dengan mekanisme mirip parlementer tingkat lokal. Ciri-cirinya: (1) tidak ada wakil pemerintah; (2) instansi vertikal memiliki yurisdiksi yang tidak harus berhimpitr dengand aerah otonom tertentu, melainkan memiliki pertimbangan masing-masing departemen (kementerian negara) sektoral secara rasional; (3) pemerintahan daerah dikendalikan oleh council (DPRD). Jadi di Inggris kepala pemerintah daerah adalah CEO dari ketua-ketua komisi dalam council yang dipilih secara primus inter pares. Instansi vertikal sangat kuat dalam memantau wewenang yang diemban daerah otonom yang berkaitan dengan tugasnya (concurrent). Namun, pemerintahan daerah dikembangkan dengan sangat membuka lebar partisipasi masyarakat lokal.

17 keberadaan dan peran wakil pemerintah. Instansi vertikal akan dihidupkan kembali jika kita lihat pada pasal 228 UU tersebut. (1) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi wewenang Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) yang didekonsentrasikan, dilaksanakan oleh instansi vertikal di daerah. (2) Instansi vertikal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jumlah, susunan dan luas wilayah kerjanya ditetapkan Pemerintah. (3) Pembentukan, susunan organisasi, dan tata laksana instansi vertikal di daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan dengan Keputusan Presiden. (4) Semua instansi vertikal yang menjadi perangkat daerah, kekayaannya dialihkan menjadi milik daerah. Susunan kalimat Pasal 228 ayat (1) dan pasal 1 ayat 8 berbeda pada frasa di wilayah tertentu dan di daerah. Interpretasi terhadap kedua frasa jelas berbeda dampaknya bagi praktek pengembangan instansi vertikal. Penyusun UU No. 32 Tahun 2004 dari sisi ini tampak tidak jeli atau memiliki maksudmaksud tertentu. Perubahan UU yang mengatur pemerintahan daerah bahkan sejak pergantian UU No. 5 tahun 1974 tidak dipandang sebagai perubahan paradigmatik. Perubahan tersebut oleh banyak pihak masih dipandang perubahan mekanisme pemerintahan. Berbeda dari UU tersebut, di satu sisi, undang-undang sebelumnya, yakni UU No. 22 Tahun 1999, tidak tuntas dalam mengatur tugas dan wewenang Gubernur sebagai wakil Pemerintah meskipun kemudian diatur lebih lanjut dalam PP No. 39 Tahun 2001 yang juga masih tampak tidak mengena (efektif). Di sisi lain, keberadaan instansi vertikal walaupun didefinisikan di Pasal 1 dilebur dalam pasal akhir pada UU No. 22 Tahun 1999 ke dalam dinas (perangkat daerah). Oleh karena itu tidak perlu khawatir dalam memikirkan

18 bagaimana peran integrator, komando, dan koordinasi dari Gubernur sebagai wakil Pemerintah. Menurut UU No. 22 Tahun 1999 dekonsentrasi diartikan dengan kalimat pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan atau perangkat pusat di Daerah. Frasa di Daerah berarti simetris dengan wilayah kerja Gubernur walaupun secara pasti kemudian dilebur/ dihapus ke dalam dinas. Persoalan timbul akibat dari absurd-nya pembagian wewenang yang tidak dipahami secara baik oleh semua pihak yang terkait dalam implementasi desentralisasi. Belum lagi terdapat pertanyaan bagaimana hubungan antara wakil pemerintah terhadap instansi vertikal dari bidang-bidang yang tidak didesentralisasikan menurut pasal 7 UU No. 22 Tahun 1999 pada masa lalu. Perubahan kepada UU No. 32 Tahun 2004 justru dapat diartikan adanya tekanan dari instansi pemerintah di Pusat kepada Departemen Dalam Negeri yang diakomodasi dalam pasal-pasal yang terkait dengan keberadaan wakil pemerintah dan pengembangan instansi vertikal. Pada masa UU No. 22 tahun 1999, perubahan dari UU No. 5 Tahun 1974, tampak tekanan datang dari bawah (pemerintah daerah/ elit lokal). Adanya mekanisme Pemilihan Kepala Daerah baik bagi Gubernur maupun Bupati/ walikota sangat menyita perhatian banyak kalangan sehingga tidak memperhatikan hal-hal lain pada pemerintahan daerah. Suasana ini pula yang meloloskan jalannya perubahan pengaturan tersebut yang masih terlihat ganjil bagi keterpaduan sistem pemerintahan daerah di Indonesia yang sedang diperbaharui.

19 E. PENUTUP: Prediksi Prediksi dari pengaturan dekonsentrasi dalam UU No. 32 Tahun 2004 terhadap praktek pemerintahan daerah paling tidak ada tiga hal: Pertama, departemen/ kementerian negara dapat memasuki arena kegiatan lokal sesuai justifikasi masing-masing dengan koridor pasal 10, 11, dan 12 tanpa terdapat keterkaitan yang tegas antar departemen/ kementerian---garis batas yang tidak sama dimungkinkan. Kedua, Gubernur semakin berkuasa hanya pada persoalan daerah otonom Kabupaten/ Kota di wilayahnya sekalipun sebagai wakil pemerintah---tidak disebutkan aturan menjadi titik temu bagi departemen/ kementerian negara di tingkat lokal apalagi dengan interpretasi di wilayah tertentu yang bisa lebih luas dari Provinsi tertentu atau tidak selamanya simetris dengand aerah otonom tertentu. Ketiga, Departemen dalam negeri memainkan peranan yang dominan dan sengaja meng-kotakan persoalan daerah otonom di luar kepentingan Departemen/ kementerian lain baik mendapat tekanan maupun atas inisiatif departemen tersebut. Sebaliknya persoalan instansi vertikal juga bukan wilayah operasi kerja Gubernur karena dianggap gubernur dimiliki oleh atau berada di wilayah Depdagri. Dengan kata lain seolah-olah Gubernur adalah instansi vertikalnya Depdagri bukan wakil pemerintah. Dapat disimpulkan bahwa yang utama adalah hilangnya hubungan antara wakil pemerintah dengan instansi vertikal yang bakalan terbentuk kembali. Oleh karena itu, rekomendasi dari adanya kemungkinan terjadinya halhal di atas adalah

20 sudah semestinya perlu diantisipasi dengan menyusun aturan main tata hubungan antara Gubernur dan instansi vertikal, termasuk hubungan antara Bupati/ Walikota dengan isntansi vertikal di wilayahnya walaupun bukan sebagai wakil pemerintah. Daftar Pustaka Clarke, Michael and Stewart, John. The Choices for Local Government; for The 1990 s and Beyond, Longmann UK, General Management in Local Government: Getting the Balance Right. Longmann. UK Cochrane, Allan. Whatever happened to Local Government. Open University Press, Buckingham Conyers, Diana. Regional Administration and Regional Planning: A Plea for Integration. University of Nottingham, The Hague Couch, Chrish. Urban Renewal; Theory and Practice. Mac Millan, London Daft, Richard, L,. Organization Theory and Design. West Publishing Co,. Singapore Daldjoeni, N,. Seluk-beluk Masyarakat Kota. Alumni. Bandung Davey, K.J.. Pembiayaan Pemerintah Daerah: Praktek-praktek internasional dan relevansinya bagi dunia ketiga. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1988 Devas, Nick. et.al.. Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia Press, Elcock, Howard. Local Government; Policy and Management in Local Authorities. Routledge, London, 1994 Ed.III. Fesler, James W,. Area and Administration. Univ. Alabama Press. Alabama:1949 Leach, Steve,. Davis, Howard and Associates,. Enabling or Disabling Local Government. Open Univ. Press. Bristol:1996 Leach, Steve., Stewart, John., and Walsh, Kieron,. The Changing Organization and Management of Local Government. London. Mac Millan:1994 Leemans, A.F., Changing Patterns of Local Government, The Hague, IULA, Maryanov, Gerald S,. Decentralization in Indonesia as a Political Problems. Cornell University Press. Itahca, New York: 1958 Massam, Bryan. Location and Space in Social Administration. John Wiley & Sons. New York: 1975 Newell, Charldean (ed). The Effective Local Government Manager. ICMA. Washington Norton, Alan,. International Handbook of Local and Regional Government. Edward Elgar:1994, UK.

21 Schneider, Hartmut and Libercier, Marie Helene. Concept, Issues and Experiences for Building up Participatory in Participatory Development. DCS. USA Smith, BC., Decentralization: The Territorial Dimension of The State. George Allen & Unwin Publiher. London: 1985.

PENGAWASAN INTERNAL DAERAH OTONOM OLEH DPRD 1 (Irfan Ridwan Maksum) 2. Abstrak

PENGAWASAN INTERNAL DAERAH OTONOM OLEH DPRD 1 (Irfan Ridwan Maksum) 2. Abstrak PENGAWASAN INTERNAL DAERAH OTONOM OLEH DPRD 1 (Irfan Ridwan Maksum) 2 Abstrak Peran DPRD dalam kancah pemerintahan daerah di Indonesia telah mengalami perubahan sejak diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999

Lebih terperinci

DEKONSENTRASI & TIPOLOGI PEMERINTAHAN DAERAH

DEKONSENTRASI & TIPOLOGI PEMERINTAHAN DAERAH DEKONSENTRASI & TIPOLOGI PEMERINTAHAN DAERAH Bahan Kuliah 3 Pemerintahan Daerah DIA FISIP UI Senin & Selasa, 10 & 11 September 2007 Teguh Kurniawan, M.Sc http://teguh-kurniawan.web.ugm.ac.id Dekonsentrasi

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI PROGRAM PASCASARJANA DESENTRALISASI DALAM PENGELOLAAN AIR IRIGASI TERSIER (Suatu Studi dengan Kerangka Konsep Desentralisasi

Lebih terperinci

KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN PEMERINTAH KECAMATAN DI KOTA DENPASAR MENURUT UNDANG UNDANG NO.32 TAHUN 2004 DAN PERDA NO.9 TAHUN 2008

KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN PEMERINTAH KECAMATAN DI KOTA DENPASAR MENURUT UNDANG UNDANG NO.32 TAHUN 2004 DAN PERDA NO.9 TAHUN 2008 KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN PEMERINTAH KECAMATAN DI KOTA DENPASAR MENURUT UNDANG UNDANG NO.32 TAHUN 2004 DAN PERDA NO.9 TAHUN 2008 Oleh I Made Sudarmayasa I Gusti Ayu Puspawati Bagian Hukum Administrasi Negara

Lebih terperinci

PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL TERKAIT IMPLEMENTASI UU NOMOR 23 TAHUN 2014 SEKTOR LHK

PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL TERKAIT IMPLEMENTASI UU NOMOR 23 TAHUN 2014 SEKTOR LHK PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL TERKAIT IMPLEMENTASI UU NOMOR 23 TAHUN 2014 SEKTOR LHK Oleh Kedeputian Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam BAPPENAS Disampaikan pada RAKORNAS Kementerian Lingkungan

Lebih terperinci

INDIKATOR KINERJA OTONOMI DAERAH D.I. JOGJAKARTA. Pengantar Diskusi

INDIKATOR KINERJA OTONOMI DAERAH D.I. JOGJAKARTA. Pengantar Diskusi INDIKATOR KINERJA OTONOMI DAERAH D.I. JOGJAKARTA Pengantar Diskusi Dr. Wahyudi Kumorotomo, MPP www.kumoro.staff.ugm.ac.id kumoro@map.ugm.ac.id KONSEP DASAR DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH Devolution

Lebih terperinci

PEMERINTAHAN DAERAH DESENTRALISASI, DEKONSENTRASI, TUGAS PEMBANTUAN

PEMERINTAHAN DAERAH DESENTRALISASI, DEKONSENTRASI, TUGAS PEMBANTUAN PEMERINTAHAN DAERAH DESENTRALISASI, DEKONSENTRASI, TUGAS PEMBANTUAN DALY ERNI http://dalyerni.multiply.com daly972001@yahoo.com daly97@ui.edu daly.erni@ui.edu Kontribusi Bahan dari: Dian Puji Simatupang,

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N

BAB I P E N D A H U L U A N BAB I P E N D A H U L U A N Deskripsi Singkat Topik : Pokok Bahasan : Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi Kecamatan Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 dan PP Nomor 19 Tahun 2008 Sub Pokok Bahasan : 1. Kedudukan

Lebih terperinci

ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN HUKUM Dl BIDANG PENYELENGGARAAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN HUKUM Dl BIDANG PENYELENGGARAAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN HUKUM Dl BIDANG PENYELENGGARAAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH ~HUBUNGAN KEWENANGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH)* 0/eh: Prof. Dr. Bhenyamin Hoessein Arah kebijakan pembangunan

Lebih terperinci

commit to user BAB II TINJAUAN PUSTAKA

commit to user BAB II TINJAUAN PUSTAKA 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Pemerintah Daerah a. Pengertian Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.Pernyataan ini

Lebih terperinci

Keywords: Position, Authority, Governor, Local Government Administration

Keywords: Position, Authority, Governor, Local Government Administration 1 KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN GUBERNUR DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH Oleh : Ni Luh Putu Arianti A.A Ariani Program Kekhususan : Hukum Pemerintahan, Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstrak;

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN. Modul ke: Otonomi Daerah. Fakultas Ilmu Komunikasi. Program Studi Hubungan Masyarakat. Ramdhan Muhaimin, M.Soc.

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN. Modul ke: Otonomi Daerah. Fakultas Ilmu Komunikasi. Program Studi Hubungan Masyarakat. Ramdhan Muhaimin, M.Soc. Modul ke: 11 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Otonomi Daerah Fakultas Ilmu Komunikasi Program Studi Hubungan Masyarakat Ramdhan Muhaimin, M.Soc.Sc Sub Bahasan 1. Pengertian Otonomi Daerah 2. Latar Belakang Otonomi

Lebih terperinci

PELAKSANAAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH BERDASARKAN U.U. NO. 32 TAHUN SANTOSO BUDI N, SH.MH. Dosen Fakultas Hukum UNISRI

PELAKSANAAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH BERDASARKAN U.U. NO. 32 TAHUN SANTOSO BUDI N, SH.MH. Dosen Fakultas Hukum UNISRI PELAKSANAAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH BERDASARKAN U.U. NO. 32 TAHUN 2004 SANTOSO BUDI N, SH.MH. Dosen Fakultas Hukum UNISRI Abstract:In order to establish the local autonomy government, the integration

Lebih terperinci

KEDUDUKAN GUBERNUR DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

KEDUDUKAN GUBERNUR DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH KEDUDUKAN GUBERNUR DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH Abd. Rais Asmar Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar Email:rais.asmar@uin-alauddin.ac.id Abstract Governor is administration of the district

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN. Modul ke: Otonomi Daerah. Fakultas EKONOMI. Program Studi MANAJEMEN. Nabil Ahmad Fauzi, M.Soc.

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN. Modul ke: Otonomi Daerah. Fakultas EKONOMI. Program Studi MANAJEMEN.  Nabil Ahmad Fauzi, M.Soc. Modul ke: 11 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Otonomi Daerah Fakultas EKONOMI Program Studi MANAJEMEN www.mercubuana.ac.id Nabil Ahmad Fauzi, M.Soc.Sc Sub Bahasan 1. Pengertian Otonomi Daerah 2. Latar Belakang

Lebih terperinci

Otonomi Daerah : Formulasi. 3/11/2016 Marlan Hutahaean

Otonomi Daerah : Formulasi. 3/11/2016 Marlan Hutahaean Otonomi Daerah : Formulasi 1 Asas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Dekonsentrasi : Pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi

Lebih terperinci

Kata Kunci: Kedudukan, Kewenangan, Pemerintah Kecamatan ABSTRACT

Kata Kunci: Kedudukan, Kewenangan, Pemerintah Kecamatan ABSTRACT KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN PEMERINTAH KECAMATAN MENURUT UDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH Oleh: Anak Agung Ngurah Fajar Nugraha Pandji I Wayan Parsa Kadek Sarna Bagian Hukum Pemerintahan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 68 ayat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 68 ayat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 68 ayat

Lebih terperinci

INSENTIF DAN DISINSENTIF PERAN SERTA MASYARAKAT

INSENTIF DAN DISINSENTIF PERAN SERTA MASYARAKAT SUBSTANSI KELEMBAGAAN PROSEDUR PERATURAN ZONASI PROSEDUR PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG INSENTIF DAN DISINSENTIF PERAN SERTA MASYARAKAT PENILAIAN DAN PENETAPAN DAMPAK PEMBANGUNAN KONSEPSI POLA KELEMBAGAAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 68 ayat

Lebih terperinci

INDUSTRI DI DAERAH. Oleh : DR.MADE SUWANDI Msoc.sc Direktur Urusan Pemerintahan Daerah DITJEN OTDA DEPARTEMEN DALAM NEGERI

INDUSTRI DI DAERAH. Oleh : DR.MADE SUWANDI Msoc.sc Direktur Urusan Pemerintahan Daerah DITJEN OTDA DEPARTEMEN DALAM NEGERI PERAN PUSAT DALAM PENGEMBANGAN INDUSTRI DI DAERAH (Dalam Koridor UU 32/2004) Oleh : DR.MADE SUWANDI Msoc.sc Direktur Urusan Pemerintahan Daerah DITJEN OTDA DEPARTEMEN DALAM NEGERI HP 0816914482 EMAIL:

Lebih terperinci

PP No.19/2010 dan Reposisi Gubernur: Menemukan Kembali The Missing Middle?

PP No.19/2010 dan Reposisi Gubernur: Menemukan Kembali The Missing Middle? PP No.19/2010 dan Reposisi Gubernur: Menemukan Kembali The Missing Middle? Oleh: Robert Endi Jaweng Manajer Hubungan Eksternal KPPOD Pengantar Keberadaan Gubernur dan Propinsi sebagai lingkungan kerja

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DALAM BIDANG KESEHATAN MASYARAKAT

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DALAM BIDANG KESEHATAN MASYARAKAT SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DALAM BIDANG KESEHATAN MASYARAKAT Endang lndriasih1 -- Decentraliz~tion in health sector has enable to identify many health problems, population characteristics, and locally

Lebih terperinci

KEDUDUKAN GUBERNUR SUMATERA-UTARA SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

KEDUDUKAN GUBERNUR SUMATERA-UTARA SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH KEDUDUKAN GUBERNUR SUMATERA-UTARA SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH TESIS HENKIE YUSUF WAU Nim : 992105029 / ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

Asas pemerintahan umum adalah asas yang diterima dimana saja dan dapat terjadi kapan saja, terdiri dari : 1. Asas Vrij Bestuur : pengisian kekosongan

Asas pemerintahan umum adalah asas yang diterima dimana saja dan dapat terjadi kapan saja, terdiri dari : 1. Asas Vrij Bestuur : pengisian kekosongan Asas pemerintahan umum adalah asas yang diterima dimana saja dan dapat terjadi kapan saja, terdiri dari : 1. Asas Vrij Bestuur : pengisian kekosongan pemerintahan Ex : di pusat masih kita temui pos dan

Lebih terperinci

Perekonomian Indonesia

Perekonomian Indonesia Perekonomian Indonesia Modul ke: Membahas Sistem Otonomi Daerah - DAU Fakultas Ekonomi & Bisnis Abdul Gani,SE MM Program Studi Manajemen www.mercubuana.ac.id Definisi Definisi Pemerintahan Daerah (Pasal

Lebih terperinci

Lina Miftahul Jannah.

Lina Miftahul Jannah. Lina Miftahul Jannah miftahul@ui.ac.id http://linamjannah.wordpress.com Sub Pokok Bahasan Administrasi Kepegawaian Negara Kegiatan penyelenggaraan negara Pegawai dalam kegiatan penyelenggaraan negara Administrasi

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN. Materi Kuliah. GEOPOLITIK INDONESIA (Otonomi Daerah) Modul 13. Oleh : Rohdearni Tetty Yulietty Munthe, SH/

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN. Materi Kuliah. GEOPOLITIK INDONESIA (Otonomi Daerah) Modul 13. Oleh : Rohdearni Tetty Yulietty Munthe, SH/ PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Materi Kuliah GEOPOLITIK INDONESIA (Otonomi Daerah) Modul 13 Oleh : Rohdearni Tetty Yulietty Munthe, SH/08124446335 93 1. Tujuan Pembelajaran Umum Setelah proses pembelajaran

Lebih terperinci

DESENTRALISASI. KONSEP TEORI ILMU ADMINISTRASI K-5 PROGRAM S2 STIA-LAN BANDUNG Endang Wirjatmi. K-5-KTIA/S2 STIA LAN Endang wirjatmi 1

DESENTRALISASI. KONSEP TEORI ILMU ADMINISTRASI K-5 PROGRAM S2 STIA-LAN BANDUNG Endang Wirjatmi. K-5-KTIA/S2 STIA LAN Endang wirjatmi 1 DESENTRALISASI KONSEP TEORI ILMU ADMINISTRASI K-5 PROGRAM S2 STIA-LAN BANDUNG -2007- Endang Wirjatmi LAN Endang wirjatmi 1 PENGERTIAN DESENTRALISASI Pustaka Inggris: mencakup konsep: devolution, deconcentration.

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PEMERINTAHAN

KEBIJAKAN PEMERINTAHAN KEBIJAKAN PEMERINTAHAN POLICY BERBEDA DENGAN WISDOM KAJIAN UTAMA KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN ADALAH ADALAH KEBIJAKAN PEMERINTAHAN (PUBLIC POLICY) KEBIJAKAN ADALAH WHATEVER GOVERMENT CHOOSE TO DO OR NOT TO

Lebih terperinci

ASAS HUKUM TATA NEGARA. Riana Susmayanti, SH.MH

ASAS HUKUM TATA NEGARA. Riana Susmayanti, SH.MH ASAS HUKUM TATA NEGARA Riana Susmayanti, SH.MH SUMBER HTN Sumber hukum materiil, yaitu Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia dan falsafah negara. Sumber hukum formil, (menurut Pasal7 UU No.

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KONSEP DASAR PKN

PENGEMBANGAN KONSEP DASAR PKN Handout Perkuliahan PENGEMBANGAN KONSEP DASAR PKN Program Studi PGSD Program Kelanjutan Studi Semester Gasal 2011/2012 Kelas G, H, dan I. Oleh: Samsuri E-mail: samsuri@uny.ac.id Universitas Negeri Yogyakarta

Lebih terperinci

PERSPEKTIF JANGKA PANJANG DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

PERSPEKTIF JANGKA PANJANG DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH PERSPEKTIF JANGKA PANJANG DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH Oleh, Bhenyamin Hoessein Disampaikan pada Diskusi Kebijakan Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dalam Jangka Panjang Bappenas, 27 Nopember 2002

Lebih terperinci

RINGKASAN. vii. Ringkasan

RINGKASAN. vii. Ringkasan RINGKASAN Politik hukum pengelolaan lingkungan menunjukkan arah kebijakan hukum tentang pengelolaan lingkungan yang akan dibentuk dan dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan dan sasaran tertentu.

Lebih terperinci

PENGELOLAAN TAMAN MELALUI KERJASAMA PEMERINTAH-SWASTA. (Studi Kasus: Kota Bandung)

PENGELOLAAN TAMAN MELALUI KERJASAMA PEMERINTAH-SWASTA. (Studi Kasus: Kota Bandung) PENGELOLAAN TAMAN MELALUI KERJASAMA PEMERINTAH-SWASTA (Studi Kasus: Kota Bandung) T 711.558 SAM This study is trying to analyze public private partnership (P3) opportunities in urban park management. The

Lebih terperinci

PENGELOLAAN IRIGASI D.I CIPAMINGKIS DALAM RANGKA OTONOMI DAERAH

PENGELOLAAN IRIGASI D.I CIPAMINGKIS DALAM RANGKA OTONOMI DAERAH PENGELOLAAN IRIGASI D.I CIPAMINGKIS DALAM RANGKA OTONOMI DAERAH ABSTRAK PENGELOLAAN IRIGASI D.I CIPAMINGKIS DALAM RANGKA OTONOMI DAERAH Oleh Yusmanadi Departemen Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung

Lebih terperinci

LEMBAGA NEGARA DAN PEMBAGIAN KEKUASAAN HORISONTAL

LEMBAGA NEGARA DAN PEMBAGIAN KEKUASAAN HORISONTAL LEMBAGA NEGARA DAN PEMBAGIAN KEKUASAAN HORISONTAL R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA. Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga 16/5/2007 SUB POKOK BAHASAN Memahami Macam

Lebih terperinci

KAJIAN KONSEP DAN STRATEGI PENGELOLAAN JALAN NASIONAL DAN PROPINSI DALAM ERA OTONOMI DAERAH TESIS MAGISTER. Oleh : LUSIANA

KAJIAN KONSEP DAN STRATEGI PENGELOLAAN JALAN NASIONAL DAN PROPINSI DALAM ERA OTONOMI DAERAH TESIS MAGISTER. Oleh : LUSIANA KAJIAN KONSEP DAN STRATEGI PENGELOLAAN JALAN NASIONAL DAN PROPINSI DALAM ERA OTONOMI DAERAH TESIS MAGISTER Oleh : LUSIANA BIDANG KHUSUS MANAJEMEN DAN REKAYASA KONSTRUKSI PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL PROGRAM

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N. telah berjalan cukup memadai. Konsep ini telah menjadi pilihan kebijakan

BAB I P E N D A H U L U A N. telah berjalan cukup memadai. Konsep ini telah menjadi pilihan kebijakan BAB I P E N D A H U L U A N 1.1 Latar Belakang Dinamika pelaksanaan desentralisasi di Indonesia dipandang dari penyerahan urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintahan Daerah dengan kewenangan

Lebih terperinci

BENTUK POKOK SISTEM KESEHATAN NASIONAL

BENTUK POKOK SISTEM KESEHATAN NASIONAL BENTUK POKOK SISTEM KESEHATAN NASIONAL A. TUJUAN SKN Tujuan SKN adalah terselenggaranya pembangunan kesehatan oleh semua potensi bangsa, baik masyarakat, swasta, maupun pemerintah secara sinergis, berhasil

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2000 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2000 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2000 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 68 ayat (1)

Lebih terperinci

KOORDINASI PEMERINTAHAN DI DAERAH

KOORDINASI PEMERINTAHAN DI DAERAH KOORDINASI PEMERINTAHAN DI DAERAH OLEH : PROF. DR. SADU WASISTIONO, MS A. PENDAHULUAN Makin maju suatu masyarakat, maka makin beraneka ragam kegiatannya disertai dengan spesialisasi bidang pekerjaan dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG OTONOMI DAERAH DAN PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH

UNDANG-UNDANG OTONOMI DAERAH DAN PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH UNDANG-UNDANG OTONOMI DAERAH DAN PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH Oleh: Yulia Devi Ristanti. mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Semarang Jurusan Pendidikan IPS Angkatan 2015 Eko Handoyo, Dosen pada Program

Lebih terperinci

Ombudsman dalam Perspektif Hukum Tata Negara: Beberapa Catatan 1. Satya Arinanto 2

Ombudsman dalam Perspektif Hukum Tata Negara: Beberapa Catatan 1. Satya Arinanto 2 Ombudsman dalam Perspektif Hukum Tata Negara: Beberapa Catatan 1 Satya Arinanto 2 Good governance telah menjadi salah satu isu penting di dunia dewasa ini. 3 Menurut Transparency International, suatu lembaga

Lebih terperinci

MAKALAH PEMBICARA. The Rule of Law dan Hak Asasi Manusia. Oleh: Ifdhal Kasim

MAKALAH PEMBICARA. The Rule of Law dan Hak Asasi Manusia. Oleh: Ifdhal Kasim TRAINING TINGKAT LANJUT RULE OF LAW DAN HAK ASASI MANUSIA BAGI DOSEN HUKUM DAN HAM Jakarta, 3-6 Juni 2015 MAKALAH PEMBICARA The Rule of Law dan Hak Asasi Manusia Oleh: Ifdhal Kasim Ifdhal Kasim HAM menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah dengan menerapkan kebijakan desentralisasi (Smith, 1985).

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah dengan menerapkan kebijakan desentralisasi (Smith, 1985). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara teoritis, salah satu cara untuk mendekatkan pemerintahan kepada masyarakat adalah dengan menerapkan kebijakan desentralisasi (Smith, 1985). Berangkat dari pemahaman

Lebih terperinci

BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL

BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL 1.0 Pendahuluan Hukum internasional, pada dasarnya terbentuk akibat adanya hubungan internasional. Secara spesifik, hukum internasional terdiri dari peraturan-peraturan

Lebih terperinci

PENDEKATAN BANGUN MATRIKS KORELASI untuk IDENTIFIKASI KOMPONEN HIDRODINAMIKA dan MORFODINAMIKA PANTAI dalam PERSPEKTIF MANAJEMEN TATA RUANG WILAYAH

PENDEKATAN BANGUN MATRIKS KORELASI untuk IDENTIFIKASI KOMPONEN HIDRODINAMIKA dan MORFODINAMIKA PANTAI dalam PERSPEKTIF MANAJEMEN TATA RUANG WILAYAH PENDEKATAN BANGUN MATRIKS KORELASI untuk IDENTIFIKASI KOMPONEN HIDRODINAMIKA dan MORFODINAMIKA PANTAI dalam PERSPEKTIF MANAJEMEN TATA RUANG WILAYAH PESISIR (Studi Kasus : Kabupaten Ciamis - Jawa Barat)

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 126 ayat (1)

Lebih terperinci

HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH (SUATU PENDEKATAN TEORITIS)

HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH (SUATU PENDEKATAN TEORITIS) HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH (SUATU PENDEKATAN TEORITIS) Oleh : I WAYAN PARSA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH (Suatu Pendekatan Teoritis) Oleh : I Wayan Parsa I.

Lebih terperinci

PILKADA DAN SINERGI PERENCANAAN PEMBANGUNAN ANTAR PEMERINTAH DAERAH: Peran Gubernur yang Nyata tapi Tak Kentara. Zarida Hermanto dan Joko Suryanto 1

PILKADA DAN SINERGI PERENCANAAN PEMBANGUNAN ANTAR PEMERINTAH DAERAH: Peran Gubernur yang Nyata tapi Tak Kentara. Zarida Hermanto dan Joko Suryanto 1 31 PILKADA DAN SINERGI PERENCANAAN PEMBANGUNAN ANTAR PEMERINTAH DAERAH: 1 Abstract Local election which is implemented since 2004 have contrast paradigm in new orde. Governor as local head in province

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, yaitu adanya pelimpahan wewenang dari organisasi tingkat atas kepada tingkat bawahnya

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DESENTRALISASI

KEBIJAKAN DESENTRALISASI Jurnal Administrasi Negara Vol. I, No. 02, Maret 2002 KEBIJAKAN DESENTRALISASI Oleh: Bhenyamin Hoessein Bhenyamin Hoessein, Pengajar Pemerintahan dan politik Lokal FISIP UI Sudah merupakan kelaziman, setiap

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Page 1 of 9 NO.14.2003 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAH DAERAH. Pemerintah Daerah Provinsi. Kabupaten. Kota. Desentralisasi. Dekosentralisasi. Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. (Penjelasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PEMERINTAHAN DAERAH DAN PENERAPAN SANKSI ADMINISTRASI DALAM PERATURAN DAERAH. Oleh : Michael Barama 1

PELAKSANAAN PEMERINTAHAN DAERAH DAN PENERAPAN SANKSI ADMINISTRASI DALAM PERATURAN DAERAH. Oleh : Michael Barama 1 Barama M : Pelaksanaan Pemerintah Daerah... Vol.22/No.5/Januari /2016 Jurnal Hukum Unsrat PELAKSANAAN PEMERINTAHAN DAERAH DAN PENERAPAN SANKSI ADMINISTRASI DALAM PERATURAN DAERAH Oleh : Michael Barama

Lebih terperinci

AMANDEMEN UUD 1945 IZA RUMESTEN RS

AMANDEMEN UUD 1945 IZA RUMESTEN RS AMANDEMEN UUD 1945 IZA RUMESTEN RS AMANDEMEN UUD 1945 AMANDEMEN 1 1999 AMANDEMEN 2 2000 AMANDEMEN 3 2001 AMANDEMEN 4 2002 Prinsip Dasar Kesepakatan MPR Dalam Perubahan UUD 1945 1. Tidak mengubah Pembukaan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 14, 2003 PEMERINTAH DAERAH. Pemerintahan Daerah. Provinsi. Kabupaten. Kota. Desentralisasi. Dekosentrasi. Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. (Penjelasan dalam Tambahan

Lebih terperinci

NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMILIHAN KEPALA DAERAH

NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMILIHAN KEPALA DAERAH NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMILIHAN KEPALA DAERAH BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasca reformasi bergulir di Indonesia, salah satu aspek penting dalam penyelenggaraan otonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah.

BAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di negara Indonesia salah satu institusi yang menunjukkan pelaksanaan sistem demokrasi tidak langsung adalah DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah.

Lebih terperinci

APA ITU DAERAH OTONOM?

APA ITU DAERAH OTONOM? APA OTONOMI DAERAH? OTONOMI DAERAH ADALAH HAK DAN KEWAJIBAN DAERAH OTONOM UNTUK MENGATUR DAN MENGURUS SENDIRI URUSAN PEMERINTAHAN DAN KEPENTINGAN MASYARAKATNYA SESUAI DENGAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kualitas pelayanan menjadi bahasan yang penting dalam penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. kualitas pelayanan menjadi bahasan yang penting dalam penyelenggaraan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelayanan publik merupakan unsur yang penting dalam meningkatkan kualitas hidup sosial di dalam masyarakat manapun(saragih,2005). Dewasa ini kualitas pelayanan menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Dampak diberlakukannya Undang Undang tentang otonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Dampak diberlakukannya Undang Undang tentang otonomi daerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahirnya kebijakan pemerintah dengan kehadiran UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah telah membawa dampak yang cukup besar dalam berbagai aspek pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemberlakukan otonomi daerah berakibat pada terjadinya dinamika perkembangan dan perbaikan sistem keuangan serta akuntansi di pemerintahan daerah menuju pengelolaan

Lebih terperinci

Jurnal Panorama Hukum

Jurnal Panorama Hukum ANALISIS YURIDIS KETENTUAN PASAL 152 AYAT (3) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH MENGENAI KEWENANGAN PEMBATALAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA OLEH MENTERI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara yuridis, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara yuridis, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Penggabungan Kecamatan Secara yuridis, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa proses penggabungan daerah dengan

Lebih terperinci

DAN DAERAH. Oleh Miftah Thoha,Ph.D Guru Besar UGM

DAN DAERAH. Oleh Miftah Thoha,Ph.D Guru Besar UGM PEMBAGIAN KEWENANGAN PUSAT DAN DAERAH Oleh Miftah Thoha,Ph.D Guru Besar UGM Disampaikan pada Pelatihan Ombudsman Daerah, diselenggarakan oleh Pusham UII, bekerjasama dengan Partnership for Government Reform

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang menganut sistem

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang menganut sistem 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang menganut sistem desentralisasi. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 18

Lebih terperinci

Oleh : Herma Yanti, SH.MH. Abstract. Key Note : Development of Local Government Supervision

Oleh : Herma Yanti, SH.MH. Abstract. Key Note : Development of Local Government Supervision PERAN GUBERNUR SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH PUSAT DALAM MELAKSANAKAN PEMBINAAN DAN PENGAWASAN ATAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 Oleh : Herma Yanti, SH.MH

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2011 NOMOR 18 PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SEMARANG, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

ADLN PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA RINGKASAN PENGUJIAN DALAM PENGUNAAN... KEWENANGAN PEMERINTAHAN

ADLN PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA RINGKASAN PENGUJIAN DALAM PENGUNAAN... KEWENANGAN PEMERINTAHAN RINGKASAN PENGUJIAN DALAM PENGGUNAAN KEWENANGAN PEMERINTAHAN Dalam disertasi ini isu hukum yang dikaji (1) filosofi pengujian dalam penggunaan kewenangan pemerintahan, (2) prinsip -prinsip hukum sebagai

Lebih terperinci

RENCANA BAB V ASPEK PENGELOLAAN PEMBANGUNAN. RUTRK Dengan Kedalaman RDTRK IKK Lamongan Struktur Organisasi Pemerintahan P

RENCANA BAB V ASPEK PENGELOLAAN PEMBANGUNAN. RUTRK Dengan Kedalaman RDTRK IKK Lamongan Struktur Organisasi Pemerintahan P BAB V ASPEK PENGELOLAAN PEMBANGUNAN RENCANA 5.1. Struktur Organisasi Pemerintahan P embagian daerah dalam wilayah Negara Republik Indonesia (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah),

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: PP 8-2003 file PDF: [1] LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 89, 2007 OTONOMI. PEMERINTAHAN. PEMERINTAHAN DAERAH. Perangkat Daerah. Organisasi.

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG PEMERINTAHAN PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA SEBAGAI IBUKOTA NEGARA KESATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa Provinsi Daerah

Lebih terperinci

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di TUGAS DAN WEWENANG DPRD DALAM PENGAWASAN PELAKSANAAN APBD DI KABUPATEN BEKASI JURNAL ILMIAH Fajar Bayu Suseto,Untung Dwi Hananto *), Ratna Herawati ABSTRAK Fungsi Pengawasan DPRD Kabupaten Bekasi merupakan

Lebih terperinci

FUNGSI LEGISLASI DPR DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG

FUNGSI LEGISLASI DPR DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG FUNGSI LEGISLASI DPR DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG Oleh Epita Eridani I Made Dedy Priyanto Bagian Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK The House of Representatives is a real

Lebih terperinci

FREIES ERMESSEN DALAM KONSEP NEGARA KESEJAHTERAAN. Oleh :

FREIES ERMESSEN DALAM KONSEP NEGARA KESEJAHTERAAN. Oleh : 41 FREIES ERMESSEN DALAM KONSEP NEGARA KESEJAHTERAAN Oleh : Gusti Ayu Ratih Damayanti, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Al-Azhar Mataram Abstract In principle, there were two forms of

Lebih terperinci

REDEFINISI dan KODE KEHORMATAN KORPS PAMONG PRAJA BAHAN DISKUSI DIKLAT SESPIMDAGRI OLEH : PROF. DR. SADU WASISTIONO, MS JUNI 2010

REDEFINISI dan KODE KEHORMATAN KORPS PAMONG PRAJA BAHAN DISKUSI DIKLAT SESPIMDAGRI OLEH : PROF. DR. SADU WASISTIONO, MS JUNI 2010 REDEFINISI dan KODE KEHORMATAN KORPS PAMONG PRAJA BAHAN DISKUSI DIKLAT SESPIMDAGRI OLEH : PROF. DR. SADU WASISTIONO, MS JUNI 2010 A. PENDAHULUAN APAKAH KORPS PAMONG PRAJA ITU MASIH ADA? APABILA MASIH ADA,

Lebih terperinci

ALASAN ALASAN PERLUNYA BAGI HASIL ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DALAM BIDANG USAHA PERTAMBANGAN

ALASAN ALASAN PERLUNYA BAGI HASIL ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DALAM BIDANG USAHA PERTAMBANGAN BAB II ALASAN ALASAN PERLUNYA BAGI HASIL ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DALAM BIDANG USAHA PERTAMBANGAN A. Penguasaan Negara Atas Kekayaan Alam yang Terkandung di Bawah Tanah 1. Pengertian

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEWENANGAN DAN KETERLIBATAN PEMERINTAHAN DAERAH DALAM PENGATURAN DAN PELAKSANAAN CSR (CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEWENANGAN DAN KETERLIBATAN PEMERINTAHAN DAERAH DALAM PENGATURAN DAN PELAKSANAAN CSR (CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY) TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEWENANGAN DAN KETERLIBATAN PEMERINTAHAN DAERAH DALAM PENGATURAN DAN PELAKSANAAN CSR (CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY) ABSTRAK Corporate Social Responsibility atau Tanggung Jawab

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG PEMERINTAHAN PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA SEBAGAI IBUKOTA NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk penyelenggaraan

Lebih terperinci

HUBUNGAN DESENTRALISASI PEMBERIAN PERSETUJUAN DAN PERIZINAN PENANAMAN MODAL DENGAN OTONOMI DAERAH

HUBUNGAN DESENTRALISASI PEMBERIAN PERSETUJUAN DAN PERIZINAN PENANAMAN MODAL DENGAN OTONOMI DAERAH HUBUNGAN DESENTRALISASI PEMBERIAN PERSETUJUAN DAN PERIZINAN PENANAMAN MODAL DENGAN OTONOMI DAERAH Oleh MADE IRAWAN Pembimbing Ni luh Gede Astariyani,SH.,MH Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

PERAN KEPALA DAERAH DALAM PENINGKATAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH

PERAN KEPALA DAERAH DALAM PENINGKATAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH PERAN KEPALA DAERAH DALAM PENINGKATAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH Oleh : I Putu Eka Sanjaya Pembimbing : I Nyoman Gatrawan Bagian Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstract This paper

Lebih terperinci

Kebijakan Publik & kebijakan Kesehatan. Mata Ajaran Kebijakan Kesehatan PS IKM FKM UI. Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD Departemen AKK, FKM UI

Kebijakan Publik & kebijakan Kesehatan. Mata Ajaran Kebijakan Kesehatan PS IKM FKM UI. Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD Departemen AKK, FKM UI Kebijakan Publik & kebijakan Kesehatan Mata Ajaran Kebijakan Kesehatan PS IKM FKM UI Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD Departemen AKK, FKM UI What is policy? About decision making Non decision vs decision

Lebih terperinci

ASPEK YURIDIS PENYERAHAN WEWENANG DARI PEMERINTAH PUSAT KEPADA PEMERINTAH DAERAH DALAM HAL PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH

ASPEK YURIDIS PENYERAHAN WEWENANG DARI PEMERINTAH PUSAT KEPADA PEMERINTAH DAERAH DALAM HAL PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH ASPEK YURIDIS PENYERAHAN WEWENANG DARI PEMERINTAH PUSAT KEPADA PEMERINTAH DAERAH DALAM HAL PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH I Gede Sidi Purnama I Gusti Ayu Agung Ariani Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN FORUM KOORDINASI PIMPINAN DI DAERAH DAN DI KECAMATAN

PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN FORUM KOORDINASI PIMPINAN DI DAERAH DAN DI KECAMATAN PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN FORUM KOORDINASI PIMPINAN DI DAERAH DAN DI KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGANYAR, Menimbang : a. bahwa guna

Lebih terperinci

HUBUNGAN EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF DI ERA OTONOMI DAERAH

HUBUNGAN EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF DI ERA OTONOMI DAERAH RUANG UTAMA HUBUNGAN EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF DI ERA OTONOMI DAERAH Siti Nuraini Abstrak Perubahan sistem politik pasca tumbangnya rezim Orde Baru berdampak pada semua sendi perpolitikan di Indonesia,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG NOMOR 6 TAHUN 1988 TENTANG KOORDINASI KEGIATAN INSTANSI VERTIKAL DI DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG NOMOR 6 TAHUN 1988 TENTANG KOORDINASI KEGIATAN INSTANSI VERTIKAL DI DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1988 TENTANG KOORDINASI KEGIATAN INSTANSI VERTIKAL DI DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka tertib penyelenggaraan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

KONSTITUSI SEBAGAI LANDASAN POLITIK HUKUM. Muchamad Ali Safa at

KONSTITUSI SEBAGAI LANDASAN POLITIK HUKUM. Muchamad Ali Safa at KONSTITUSI SEBAGAI LANDASAN POLITIK HUKUM Muchamad Ali Safa at KEDAULATAN RAKYAT DAN KONSTITUSI Rakyat Yang Berdaulat Constituent power PERJANJIAN SOSIAL Perjanjian tertinggi, hukum dasa Konstitusi Tiga

Lebih terperinci

POLA PENYELESAIAN MASALAH PERTAHANAN PADA AREAL PERKEBUNAN DI SUMATERA UTARA (Studi Kasus Pada Areal PT. Perkebunan Nusantara-II)

POLA PENYELESAIAN MASALAH PERTAHANAN PADA AREAL PERKEBUNAN DI SUMATERA UTARA (Studi Kasus Pada Areal PT. Perkebunan Nusantara-II) POLA PENYELESAIAN MASALAH PERTAHANAN PADA AREAL PERKEBUNAN DI SUMATERA UTARA (Studi Kasus Pada Areal PT. Perkebunan Nusantara-II) TESIS Oleh : ABD RAHIM NIM : 037011001 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tekad pemerintah pusat untuk meningkatkan peranan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

Lebih terperinci

Idham: Kajian kritis pelaksanaan konsolidasi tanah perkotaan dalam perspektif otonomi..., USU e-repository 2008

Idham: Kajian kritis pelaksanaan konsolidasi tanah perkotaan dalam perspektif otonomi..., USU e-repository 2008 INTI SARI Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis terhadap proses dan hasil pelaksanaan konsolidasi tanah perkotaan di Provinsi Sumatera Utara, apakah telah sesuai dengan aspirasi bagi peserta

Lebih terperinci

LEMBAGA NEGARA BERDASARKAN FILOSOFI NEGARA HUKUM PANCASILA. Oleh :

LEMBAGA NEGARA BERDASARKAN FILOSOFI NEGARA HUKUM PANCASILA. Oleh : 209 LEMBAGA NEGARA BERDASARKAN FILOSOFI NEGARA HUKUM PANCASILA Oleh : I Wayan Wahyu Wira Udytama, S.H.,M.H. Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract Indonesia is a unitary state based

Lebih terperinci

Aji Wicaksono S.H., M.Hum. Modul ke: Fakultas DESAIN SENI KREATIF. Program Studi DESAIN PRODUK

Aji Wicaksono S.H., M.Hum. Modul ke: Fakultas DESAIN SENI KREATIF. Program Studi DESAIN PRODUK Modul ke: Otonomi Daerah Pada Modul ini kita akan mempelajari tentang pengertian otonomi daerah pemahaman tentang alasan, tujuan, dan prinsip otonomi, penerapan otonomi daerah dan membedakan pembagian

Lebih terperinci

PEMERINTAHAN DAERAH. Harsanto Nursadi

PEMERINTAHAN DAERAH. Harsanto Nursadi PEMERINTAHAN DAERAH Harsanto Nursadi Beberapa Ketentuan Umum Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk penyelenggaraan

Lebih terperinci