PELAKSANAAN VESSEL MONITORING SYSTEM (VMS) DI INDONESIA YOSEP HADINATA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PELAKSANAAN VESSEL MONITORING SYSTEM (VMS) DI INDONESIA YOSEP HADINATA"

Transkripsi

1 PELAKSANAAN VESSEL MONITORING SYSTEM (VMS) DI INDONESIA YOSEP HADINATA MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Pelaksanaan Vessel Monitoring System (VMS) di Indonesia adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan sebelumnya maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Januari 2010 Yosep Hadinata

3 ABSTRAK YOSEP HADINATA, C Pelaksanaan Vessel Monitoring System (VMS) di Indonesia. Dibimbing oleh BUDHI HASCARYO ISKANDAR dan FIS PURWANGKA. Vessel Monitoring System (VMS) merupakan program pengawasan kapal perikanan yang dibentuk oleh Departemen Kelautan dan Perikanan sejak tahun Informasi mengenai VMS bagi pelaku perikanan masih sangat kurang. Penelitian ini ditujukan untuk mengidentifikasi sistem kerja VMS (Vessel Monitoring System) dan mengetahui persepsi para pelaku perikanan tentang VMS yang telah dilaksanakan di Indonesia. Metode yang digunakan studi kasus untuk menggambarkan prosedur-prosedur yang berkaitan dengan Vessel Monitoring System (VMS) dan menganalisis persepsi pelaku perikanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat transmitter online dan offline dalam sistem ini. Hasil yang ditemukan terdapat beberapa kelebihan yang merupakan keberhasilan tujuan pelaksanaan VMS, sedangkan kelemahan ditemukan dari pendapat pelaku perikanan yang menggunakan transmitter. Kelemahan yang terjadi diantaranya rumitnya prosedur mengenai transmitter, mahalnya biaya transmitter, tidak mengurangi IUU fishing dan kurangnya sosialisasi mengenai transmitter. Kata kunci : persepsi pelaku perikanan, transmitter, vessel monitoring system (VMS)

4 Hak cipta IPB, Tahun 2010 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber: a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah,penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2) Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.

5 PELAKSANAAN VESSEL MONITORING SYSTEM (VMS) DI INDONESIA YOSEP HADINATA Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

6 Judul Skripsi : Pelaksanaan Vessel Monitoring System (VMS) di Indonesia Nama Mahasiswa : Yosep Hadinata NRP : C Mayor : Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap Disetujui : Pembimbing I, Pembimbing II, Dr. Ir. Budhi Hascaryo Iskandar, M.Si. Fis Purwangka, S.Pi., M.Si. NIP: NIP: Diketahui : Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc. NIP: Tanggal Lulus : 25 Januari 2010

7 KATA PENGANTAR Skripsi ditujukan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Judul skripsi ini adalah Pelaksanaan Vessel Monitoring System (VMS) di Indonesia. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Budhi Hascaryo Iskandar, M.Si. dan Fis Purwangka, S.Pi, M.Si. selaku dosen pembimbing atas segala saran, arahan, perhatian dan motivasi yang sungguh tak ternilai harganya selama penelitian ini berlangsung; 2. Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.sc selaku Ketua Departemen PSP dan Dr. Ir. Mohammad Imron, M.Si. selaku komisi pendidikan Departemen PSP; 3. Kedua orang tua yang selalu memberikan dukungan, perhatian dan doa dalam menghadapi segala sesuatunya; 4. Bapak Iyus, Bapak Nias, serta pengawas di Pangkalan PPS Nizam Zachman yang telah membantu proses pengambilan data dan wawancarabapak Budi dan semua petugas di sekretariat VMS selaku narasumber yang telah memberikan informasi dan bantuan yang sangat berarti; 5. Margaretha Angela Dian Indrawatie buat dukungan dan semangat yang sudah diberikan selama ini. 6. Teman-teman PSP dan khususnya PSP 42 yang selalu memberikan semangat dan menjadi keluarga baru. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna sehingga diharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan. Bogor, Januari 2010 Yosep Hadinata

8 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 16 Desember 1987 dari pasangan Suwandi dan Inawati. Penulis adalah anak ke dua dari tiga bersaudara. Tahun 1992 penulis mengawali pendidikan di Taman Kanak-kanak Putra IV Jakarta Barat dan pada tahun 1993 penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 05 Pagi Tg. Duren Selatan Jakarta Barat, Tahun 1999 penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 69 Jakarta dan pada tahun 2002 penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Umum Negeri 16 Jakarta. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2005 melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Mayor Teknologi dan Manakemen Perikanan Tangkap. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam berbagai kegiatan organisasi. Penulis pernah menjabat sebagai anggota Departemen Penelitian dan Pengembangan Keprofesian HIMAFARIN periode dan Selain itu, penulis juga menjadi asisten Mata kuliah Tingkah Laku Ikan tahun Tahun 2009, penulis melakukan penelitian dengan judul Pelaksanaan Vessel Monitoring System (VMS) di Indonesia sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan.

9 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN... xii 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Perumusan masalah Tujuan Manfaat TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Vessel Monitoring System (VMS) Pengertian Manfaat Perlengkapan Kapal Perikanan Perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Dasar Hukum Code of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing Monitoring, Controlling, and Surveillance (MCS) Pengawasan Pengawasan Kapal Perikanan Persepsi Definisi Persepsi Faktor yang mempengaruhi persepsi METODOLOGI 3.1 Waktu dan tempat penelitian Metode penelitian Jenis dan sumber data Metode pengumpulan data HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Sistem pemantauan kapal perikanan Provider Pusat pemantauan kapal perikanan Transmitter Transmitter offline Website Vessel Monitoring System (VMS) Pelanggaran Sanksi viii

10 4.2 Pembahasan Persepsi pelaku perikanan Persepsi peneliti KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN ix

11 DAFTAR TABEL Halaman 1. Daftar penyedia transmitter VMS Pembagian operator berdasarkan alat tangkap Toolbar website VMS Ketaatan kapal berpangkalan berdasarkan SLO tahun Tingkat pengetahuan tentang VMS Jenis tindak pidana Data keaktifan transmitter Kelebihan dan kelemahan VMS x

12 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Skema jaringan VMS Wilayah perairan Indonesia terjadinya IUU fishing Skema Monitoring, Controlling and Surveillance (MCS) Pangkalan Kapal Pengawas DITJEN PSDKP Warna pola pergerakkan kapal Prosedur pemasangan transmitter negara Prosedur pengembalian transmitter milik Prosedur izin docking kapal Prosedur penggantian transmitter Prosedur penggantian surat izin Prosedur izin yang sedang menjalani proses hukum Prosedur izin kapal tidak beroperasi Prosedur izin bila terjadi kerusakan transmitter Pola pergerakkan kapal melakukan pelanggaran pair trawl Grafik keaktifan transmitter tahun xi

13 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Form surat keterangan aktivasi transmitter Form 2 Lembar peminjaman transmitter Form 3 Lembar pemasangan transmitter Form 4 Lembar pengembalian transmitter Form 6 Lembar pemeriksaan transmitter Surat keterangan aktivasi dan bukti pembayaran airtime dari provider VMS Surat pendaftaran transmitter Surat pernyataan (transmitter milik negara) Surat pernyataan pinjam pakai (transmitter milik negara) Surat pernyataan (transmitter milik sendiri) Surat perpanjangan transmitter Tampilan website Kegiatan pendaftaran dan pemasangan transmitter Transmitter dari setiap provider Ruang server FMC Ruang pemantauan FMC Pemasangan junction box di dalam wheelhouse Pemasangan transmitter di atas kapal xii

14 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Departemen Kelautan dan Perikanan sejak tahun 2003 telah melakukan pengawasan dengan menggunakan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan atau yang sering disebut dengan Vessel Monitoring System (VMS). Sistem ini merupakan salah satu program pengawasan yang dilakukan dalam menjaga sumberdaya kelautan dan perikanan Indonesia. Program ini menjadi komponen pelaksanaan Monitoring, Controlling, and Surveillance (MCS) dalam memerangi IUU fishing. Program VMS diatur dalam Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan, Peraturan Menteri No.PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap dan Peraturan Menteri No.PER.05/MEN/2007 tentang Penyelenggaraan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan. Peraturan tersebut mengamanatkan kewajiban kapal-kapal perikanan untuk memasang transmitter Vessel Monitoring System. Berdasarkan Peraturan Menteri No.PER.05/MEN/2007 pasal 2, dalam pelaksanaannya VMS bertujuan meningkatkan efektivitas pengelolaan sumberdaya ikan melalui pengendalian dan pemantauan terhadap kapal perikanan; meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan usaha perikanan yang dilakukan oleh perusahaan perikanan; meningkatkan ketaatan kapal perikanan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; serta memperoleh data dan informasi kegiatan kapal perikanan dalam rangka pengelolaan sumberdaya ikan secara bertanggung jawab dan berkelanjutan. Sejak dilaksanakannya program ini, dirasakan bahwa masih kurang informasi yang dapat diperoleh oleh masyarakat khususnya pelaku perikanan tangkap. Kekurangan tersebut antara lain: kegunaan VMS, cara kerja, prosedur pemasangan transmitter, manfaat yang akan diterima, dan masih banyak hal mengenai VMS yang belum mereka ketahui. Kurangnya sosialisasi yang dilakukan Departemen Kelautan dan Perikanan menyebabkan hal ini terjadi. Pelaku perikanan selama ini hanya diwajibkan memasang transmitter yang telah menjadi peraturan dalam bidang perikanan tangkap. Kelebihan atau kekurangan program VMS yang telah dijalankan hingga kini tidak banyak diketahui oleh masyarakat. Informasi ini lebih sering diterima oleh instansi terkait atau orang/perusahaan perikanan yang telah cukup besar usahanya, sedangkan

15 2 masyarakat kecil pelaku perikanan hanya dapat kabar dari orang-orang yang belum tentu kebenarannya. Sejak dilaksanakannya program Vessel Monitoring System (VMS) di Indonesia, penelitian mengenai VMS hingga saat ini masih sangat sedikit dilakukan. Tujuan, manfaat, komponen ataupun mengenai sistem kerja VMS masih banyak masyarakat yang belum paham. Bahkan tak sedikit yang tidak mengetahui apa itu VMS. Selain itu yang menjadi pertanyaan adalah apakah program ini memiliki kelebihan ataupun kekurangan sejak dilaksanakannya tahun Berdasarkan itu, maka penelitian ini sangat perlu untuk dilakukan agar dapat memberikan informasi mengenai Vessel Monitoring System (VMS) kepada masyarakat khususnya pelaku perikanan di Indonesia. 1.2 Perumusan Masalah Vessel Monitoring System (VMS) adalah salah satu dari penerapan Monitoring, Controlling and Surveillance (MCS) yang berbasiskan pengawasan dengan satelit. Indonesia sendiri telah menerapkan sistem ini sejak tahun Prosedur atau tata cara pelaksanaan vessel monitoring system (VMS) masih banyak yang belum diketahui terutama oleh pelaku perikanan (nelayan/pemilik kapal). Sistematis pelaksanaan mulai dari pemasangan, pendaftaran hingga pelaporan hasil yang dilakukan Fisheries Monitoring Centre (FMC) hingga saat ini hanya beberapa orang atau instansi yang mengetahuinya. Secara sistematis penelitian ini akan membahas beberapa permasalahan sebagai berikut: 1) Bagaimana sistem kerja program VMS dilaksanakan?; 2) Apa saja kelebihan dan kekurangan yang terjadi dalam pelaksanaan program VMS?; dan 3) Manfaat apa yang diterima bagi para pelaku perikanan (nelayan/pemilik kapal) dengan adanya VMS?

16 3 1.3 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk : 1) Mengidentifikasi sistem kerja Vessel Monitoring System (VMS) yang ada di Indonesia; 2) Mengetahui persepsi para pelaku perikanan tentang VMS yang telah dilaksanakan di Indonesia; dan 3) Mengidentifikasi manfaat yang diterima oleh pemerintah dan pemilik kapal atau nelayan. 1.4 Manfaat Manfaat dari yang ingin dicapai penelitian ini : 1) Sebagai informasi kepada pelaku perikanan khususnya pemilik kapal mengenai prosedur pelaksanaan program VMS yang ada di Indonesia; 2) Sebagai salah satu informasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan; dan 3) Sebagai acuan untuk penelitian tentang VMS selanjutnya.

17 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Vessel Monitoring System (VMS) Pengertian Menurut peraturan menteri kelautan dan perikanan Nomor PER.05/MEN/2007 tentang penyelenggaraan sistem pemantauan kapal perikanan, sistem pemantauan kapal perikanan adalah salah satu bentuk sistem pengawasan di bidang penangkapan dan/atau pengangkutan ikan, yang menggunakan peralatan pemantauan kapal perikanan yang telah ditentukan. Sistem pemantauan kapal perikanan/vessel Monitoring System (VMS) adalah sebuah program pengawasan kegiatan perikanan, yang menggunakan peralatan yang terpasang di kapal perikanan memberikan informasi mengenai kegiatan dan posisi kapal (FAO, 2009). Pada Gambar 1 di bawah ini merupakan skema jaringan VMS. Sumber: P2SDKP, 2008 Gambar 1 Skema Jaringan VMS. Berdasarkan peraturan menteri kelautan dan perikanan Nomor PER.05/MEN/2007, penyelenggaraan sistem pemantauan kapal perikanan/vessel Monitoring System (VMS) bertujuan untuk: 1) Meningkatkan efektivitas pengelolaan sumberdaya ikan melalui pengendalian dan pemantauan terhadap kapal perikanan; 2) Meningkatkan efektivitas pengelolaan usaha perikanan yang dilakukan oleh perusahaan perikanan;

18 5 3) Meningkatkan ketaatan kapal perikanan yang melakukan kegiatan penangkapan dan/atau pengangkutan ikan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan 4) Memperoleh data dan informasi tentang kegiatan kapal perikanan dalam rangka pengelolaan sumberdaya ikan secara bertanggung jawab dan berkelanjutan Manfaat Vessel Monitoring System (VMS) sangat berguna dalam manajemen perikanan diantaranya adalah (FAO, 1998): 1) VMS dapat meningkatkan pemantauan, pengendalian dan pengawasan (MCS) perikanan dengan biaya yang efektif. MCS metode tradisional, seperti patroli udara dan darat tidak efisien dan mahal dalam penggunaan personil dan peralatannya, serta jangkauan metode tradisional ini relatif terbatas; 2) VMS dapat berperan dalam keselamatan kapal perikanan; 3) Membantu operator atau petugas pengawasan dalam melaksanakan peraturan perikanan, karena adanya tindakan penyelewengan hukum dari kegiatan penangkapan ikan yang tidak legal yang telah terdeteksi; 4) VMS dapat memberikan dokumentasi dari kapal perikanan dan dugaan pelanggaran. Peralatan VMS di atas kapal secara otomatis menghasilkan laporan posisi kapal, yang kemudian divalidasi dan disusun di pusat pemantauan perikanan. Sistem pengamanan informasi dengan cara yang sesuai dengan bukti-aturan dan pedoman penanganan potensial untuk proses hukum. Informasi dapat ditindak segera, atau dapat disimpan untuk investigasi berikutnya; 5) Efisien patroli dapat direncanakan dengan menggunakan VMS. VMS perikanan yang memungkinkan lembaga-lembaga untuk menyebarkan patroli aset efektif. Pencarian perjalanan waktu berkurang karena lokasi armada kapal telah diketahui; 6) VMS efektif membantu dalam melakukan pengawasan di pelabuhan. VMS yang dapat memberitahukan ke petugas pengawasan di pelabuhan mengenai kedatangan rutin kapal-kapal perikanan, dan juga memberitahukan tentang kedatangan kapal yang menjadi target pengawasan; dan

19 6 7) VMS menawarkan layanan komunikasi yang terjangkau dan aman. Contohnya pengaturan penjualan ikan di atas kapal di laut, tanpa melakukan pendaratan ikan di pelabuhan terlebih dulu. Adapun manfaat sistem pemantauan kapal perikanan bagi pemerintah Indonesia adalah (Mukhtar, 2008): 1) Dapat melindungi ZEEI Indonesia dari kegiatan-kegiatan kapal perikanan, melacak dan mengidentifikasi tindakan-tindakan illegal fishing, dan dengan demikian menegakkan hukum Indonesia dan melindungi kepentingankepentingan ekonomi; 2) Dapat menunjukkan penyebaran kapal-kapal di wilayah penangkapan ikan dan membantu penegak hukum terkait untuk memeriksa apakah kapal-kapal tersebut sungguh-sungguh beroperasi di areal penangkapan ikan yang telah ditetapkan; dan 3) Memberikan informasi segera mengenai posisi kapal-kapal yang meminta bantuan sehingga dapat terlacak dan bereaksi secara cepat dan efektif dalam situasi-situasi darurat, seperti perampokan, atau kecelakaan-kecelakaan. Manfaat sistem pemantauan kapal perikanan bagi pengusaha/pemilik kapal adalah (Mukhtar, 2008) : 1) Dapat memanfaatkan informasi dari Vessel Monitoring System untuk memantau keberadaan dan perilaku kapal di laut melalui Website; dan 2) Dapat memanfaatkan informasi Vessel Monitoring System untuk keadaan darurat (pembajakan, kebakaran, tenggelam dan lain-lain) Perlengkapan VMS merupakan suatu sistem yang menggabungkan antara teknologi dan sumberdaya manusia. Secara teknis VMS memiliki tiga elemen umum yaitu (FAO, 1998): 1) Peralatan di atas kapal Peralatan elektronik yang terpasang pada sebuah kapal adalah kebutuhan utama kapal untuk berpartisipasi dalam program VMS. Alat ini biasanya terdiri dari beberapa kombinasi antena dan transceiver, sumber daya eksternal dan kabel. Menurut permen kelautan dan perikanan No. 5/MEN/2007, Transmitter adalah alat yang berfungsi untuk melakukan pemantauan kapal perikanan secara

20 7 langsung yang dipasang dan dioperasikan di atas kapal perikanan yang telah ditentukan serta dipergunakan untuk menerima/mengirimkan data posisi kapal perikanan ke pengelola sistem (FAO, 1998). Teknologi VMS memiliki fungsi dalam menyediakan informasi umum dalam laporan data VMS seperti unit identifier (ID transmitter kapal), tanggal dan waktu, serta garis lintang dan bujur. Penyediaan informasi mengenai posisi kapal menggunakan sistem GPS. GPS yang telah terintegrasi dengan unit dapat menentukan posisi secara langsung termasuk laporan posisinya, atau sistem satelit yang dapat menentukan posisi dengan mengukur pergeseran sinyal Doppler yang dikirim dari unit di atas kapal (perubahan frekuensi dari gelombang ketika emitted electromagnetic penerima yang berada dalam gerakan relatif terhadap satu sama lain) (FAO, 1998). Peralatan kapal (transmitter) yang mengirimkan laporan posisi dan informasi dalam beberapa cara. Sistem satu arah secara otomatis mengirimkan laporan dalam pra-interval yang telah ditetapkan, dan dapat juga mengirimkan informasi tambahan. Sistem dua arah, laporan juga dikirim secara otomatis dalam pra-interval yang ditetapkan. pusat pemantauan perikanan memungkinkan untuk meminta informasi dari kapal, termasuk laporan posisi kapal yang terbaru atau status peralatan, dan juga mengubah interval pelaporan. Arah pergerakkan dan kecepatan kapal dapat dihitung secara langsung dan dikirim bersama-sama dengan laporan posisi kapal, atau dapat juga dihitung dengan software di pusat pemantauan perikanan, yang berdasarkan waktu dan jarak antara posisi laporan (FAO, 1998). Jenis transmitter yang paling banyak digunakan dalam program ini termasuk VMS Argos transmitters, Inmarsat-C dan Inmarsat-D+ transceivers, Qualcomm unit (EutelTRACS dan Boatracs), dan Orbcomm sistem. Kebanyakan dari peralatan ini merupakan integrasi dari GPS untuk mendapatkan posisi (FAO, 1998). 2) Sistem komunikasi Sistem komunikasi membawa laporan posisi dan pesan lainnya dari peralatan yang berada di atas kapal, melalui ruang angkasa dan jalur darat, menuju pusat pemantauan perikanan. Provider yang menggunakan segmen ruang angkasa

21 8 dalam program VMS di bidang perikanan adalah Argos, dan Inmarsat-C dan Inmarsat D+. Sistem Argos (CLS) memiliki orbit satelit di daerah kutub dan dioperasikan oleh National Oceanic and Atmospheric Administration USA. Orbital satelit di daerah kutub memberikan cakupan pengawasan yang baik pada daerah lintang tinggi, dan prosesnya satu arah, dari kapal langsung ke pantai. Inmarsat-C dan Inmarsat D+ menggunakan satelit geostationary sepanjang khatulistiwa, memberikan wilayah cakupan pengawasan hampir global dua arah. Karena lokasi satelit di khatulistiwa, maka tidak dapat melakukan cakupan pada wilayah lintang tinggi. Inmarsat menawarkan beberapa jenis layanan komunikasi, tetapi Inmarsat-C dan Inmarsat D+ adalah yang paling sesuai untuk aplikasi VMS karena biaya-efektif untuk pesan teks dan paket data (FAO, 1998). 3) Pusat pemantauan perikanan Pusat pemantauan perikanan/fisheries Monitoring Centre (FMC) adalah sebuah pusat yang memantau dan menerima laporan yang dikirimkan melalui transmitter dan kemudian menyimpannya ke dalam database dari semua kegiatan kapal penangkap ikan yang telah menggunakan sistem VMS. Pengawas di FMC mengawasi seluruh kegiatan penangkapan dari monitor dan dianalisis jika terjadi indikasi pelanggaran untuk segera diambil tindakan. FMC merupakan lokasi yang aman dimana hanya personil atau petugas pengawasan yang berwenang yang dapat mengakses data VMS. Semua data dilindungi dari kesengajaan atau kebetulan atau memperlihatkan kerusakan. Informasi mengenai posisi kapal sangat berharga dan sensitif karena untuk kegiatan komersial. Dengan demikian, lembaga pengawasan harus berusaha untuk menjamin keamanan dari fisik peralatan dan operasional kapal, komunikasi, dan pusat pemantauan perikanan. Keamanan adalah penting bagi manajer perikanan untuk memastikan bahwa informasi dari VMS asli dan non-repudiated, memiliki integritas yang tinggi, dan bersifat pribadi. Program VMS tidak hanya menjadi solusi teknis dalam memantau kapal perikanan. Komponen tambahan dari program VMS kebanyakan adalah manusia, yaitu orang-orang yang membuat kebijakan dan kerangka hukum, teknisi yang memasang dan memelihara peralatan di atas kapal, orang-orang yang menggunakan link komunikasi dan staf pusat pemantauan perikanan, serta petugas

22 9 pengawasan, penyelidik dan para personil hukum yang menganalisis dan menanggapi informasi yang diberikan oleh VMS. Operator kapal dan industri perikanan yang berperan dalam penangkapan ikan bertanggung jawab untuk berpartisipasi dalam program ini (FAO, 1998). 2.2 Kapal Perikanan Menurut Fyson (1985) kapal perikanan adalah kapal yang dibangun untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan usaha penangkapan ikan dengan ukuran, rancangan bentuk dek, kapasitas muat, akomodasi, mesin serta berbagai perlengkapan yang secara keseluruhan disesuaikan dengan fungsi dalam rencana operasi. Menurut Nomura & Yamazaki (1977) mengemukakan bahwa kapal perikanan adalah kapal yang digunakan dalam kegiatan perikanan yang mencakup penggunaan atau aktivitas penangkapan atau mengumpulkan sumberdaya penangkapan atau mengumpulkan sumberdaya perairan, serta penggunaan dalam beberapa aktivitas seperti riset, training dan inspeksi sumberdaya perairan. Berdasarkan Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang perikanan bahwa kapal perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lainnya yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian atau eksplorasi perikanan. 2.3 Perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) ZEE adalah suatu jalur laut yang berada diluar dan berbatasan dengan laut teritorial yang batas terluarnya diukur dari suatu garis pangkal atau surut terendah ke arah laut bebas sejauh tidak melebihi jarak 200 mil laut. ZEE merupakan suatu rezim hukum khusus dimana negara pantai memiliki hak dan kedaulatan untuk melakukan kegiatan eksploitasi dan ekplorasi sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati, termasuk yuridikasi lainnya, sedang kepentingan masyarakat internasional seperti kebebasan berlayar tetap berlaku (Wirjono, 1984). Berdasarkan pengumuman pemerintah RI tanggal 21 mei 1980 tentang ZEE Indonesia dan lahirnya konfensi dewan PBB tentang hukum laut internasional tahun 1982, maka sejak saat itu hak kedaulatan Indonesia atas wilayah perairan

23 10 laut bertambah sekitar 2,7 juta km 2. Dengan demikian maka segala kekayaan sumberdaya yang berada di dalamnya seperti salah satunya sumberdaya hayati laut menjadi hak bangsa Indonesia untuk mengelola dan memanfaatkannya (Dirjen Perikanan, 1994). 2.4 Dasar Hukum Terdapat beberapa dasar hukum yang menjadi pedoman dalam pelaksanaan sistem pemantauan kapal perikanan atau VMS, yaitu: 1) Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan pada Pasal 7 ayat 1 butir j Dalam mendukung kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan, Menteri menetapkan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan dan Pasal 7 ayat 2 Setiap orang melakukan usaha dan/atau kegiatan pengelolaan perikanan wajib mematuhi ketentuan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan ; 2) Kepmen Nomor 60/MEN/2001 tentang Penataan Penggunaan Kapal Perikanan di ZEEI pada Pasal 32 Ayat 1 Kapal perikanan yang diperoleh dengan cara usaha patungan, beli-angsur atau lisensi, wajib memasang transmitter untuk kepentingan sistem pemantauan kapal (Vessel Monitoring System / VMS) ; 3) Permen Nomor 05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap pada Pasal 88 ayat (1) Setiap kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan berbendera asing, wajib memasang dan mengaktifkan transmitter atau sistem pemantauan kapal perikanan (Vessel Monitoring System / VMS). Ayat (2) Setiap kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia berukuran lebih dari 30 (tiga puluh) GT wajib memasang dan mengaktifkan transmitter atau sistem pemantauan kapal perikanan (Vessel Monitoring System/VMS). Ayat (3) Pelaksanaan pemasangan dan pengaktifan transmitter atau sistem pemantauan kapal perikanan (VMS) sebagaimana dimaksud ayat 1 dan ayat 2 dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai penyelenggaraan system pemantauan kapal perikanan; 4) Permen Nomor 03/MEN/2007 tentang Surat Laik Operasi Kapal Perikanan pada Pasal 8 ayat (1) Persyaratan kelayakan teknis operasional bagi kapal penangkap ikan meliputi keberadaan dan keaktifan alat pemantauan kapal

24 11 perikanan yang dipersyaratkan. Ayat (2) Bagi kapal perikanan yang dinyatakan tidak memenuhi syarat administrasi dan kelayakan teknis operasional tidak diterbitkan SLO; dan 5) Permen Nomor 05/MEN/2007 tentang Penyelengaraan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan pasal 11, pasal 12 dan pasal 13. Kapal perikanan Indonesia berukuran 60 GT keatas dan seluruh kapal perikanan asing wajib dilengkapi transmitter yang diadakan sendiri oleh pengguna transmitter. Kapal perikanan Indonesia berukuran 60 GT sampai dengan kurang dari 100 GT dapat menggunakan transmitter milik negara sepanjang masih tersedia. Kapal perikanan Indonesia berukuran diatas 30 GT sampai dengan 60 GT wajib dilengkapi transmitter offline. Kapal perikanan Indonesia berukuran 60 GT keatas dan seluruh kapal perikanan Asing yang telah dilengkapi SIPI dan/atau SIKPI dapat dioperasionalkan apabila telah dilengkapi dengan Surat Keterangan Aktivasi Transmitter. 2.5 Code of Conduct for Resposible Fisheries (CCRF) Code of Conduct for Responsible Fisheries atau juga disebut CCRF merupakan hasil kesepakatan dalam konferensi Committee on Fisheries (COFI) ke-28 FAO tanggal 31 Oktober Di dalam resolusi Nomor : 4/1995 secara resmi mengadopsi dokumen Code of Conduct for Responsible Fisheries, serta meminta FAO berkolaborasi dengan anggota dan organisasi yang relevan untuk menyusun technical guidelines yang mendukung pelaksanaan Code of Conduct for Responsible Fisheries tersebut. Berikut ini adalah prinsip-prinsip umum Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO, 1995): 1) Pelaksanaan hak untuk menangkap ikan bersamaan dengan kewajiban untuk melaksanakan hak tersebut secara berkelanjutan dan lestari agar dapat menjamin keberhasilan usaha konservasi dan pengelolaannya; 2) Pengelolaan sumber-sumber perikanan harus menggalakkan upaya mempertahankan kualitas, keanekaragaman hayati dan kelestarian sumbersumber perikanan dalam jumlah yang mencukupi untuk kepentingan generasi sekarang dan akan datang;

25 12 3) Pengembangan armada perikanan harus mempertimbangkan ketersediaan sumberdaya sesuai dengan kemampuan reproduksi demi keberlanjutan pemanfaatannya; 4) Perumusan kebijakan dalam pengelolaan perikanan harus didasarkan pada bukti-bukti ilmiah yang terbaik, dengan memperhatikan pengetahuan tradisional tentang pengelolan sumber-sumber perikanan serta habitatnya; 5) Dalam rangka konservasi dan pengelolaan sumber-sumber perikanan, setiap negara dan organisasi perikanan regional harus menerapkan prinsip kehatihatian (precautionary approach) seluas-luasnya; 6) Alat-alat penangkapan harus dikembangkan sedemikian rupa agar semakin selektif dan aman terhadap kelestarian lingkungan hidup sehingga dapat mempertahankan keanekaragaman dan populasinya; 7) Cara penangkapan ikan, penanganan, pemrosesan dan pendistribusiannya harus dilakukan sedemikian rupa agar dapat mempertahankan nilai kandungan nutrisinya; 8) Habitat sumber-sumber yang kritis sedapat mungkin harus dilindungi dan direhabilitasi; 9) Setiap negara harus mengintegrasikan pengelolaan sumber-sumber perikanannya ke dalam kebijakan pengelolaan wilayah pesisir; 10) Setiap negara harus mentaati dan melaksanakan mekanisme monitoring, controlling and surveillance (MCS) yang diarahkan pada penataan dan pengakuan hukum di bidang konservasi sumber-sumber perikanan; 11) Negara bendera harus mampu melaksanakan pengendalian secara efektif terhadap kapal-kapal perikanan yang mengibarkan benderanya guna menjamin pelaksanaan CCRF ini secara efektif; 12) Setiap negara harus bekerjasama melalui organisasi regional untuk mengembangkan cara penangkapan ikan secara bertanggung jawab, baik di dalam maupun di luar wilayah yuridiksinya; 13) Setiap negara harus mengembangkan mekanisme pengambilan keputusan secara transparan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan terhadap pengembangan peraturan dan kebijakan pengelolaan di bidang perikanan;

26 13 14) Perdagangan perikanan harus diselenggarakan sesuai dengan prinsip-prisip, hak dan kewajiban sebagaimana diatur dalam persetujuan World Trade Organization (WTO); 15) Apabila terjadi sengketa, setiap negara harus bekerjasama secara damai untuk mencapai penyelesaian sementara sesuai dengan persetujuan internasional yang relevan; 16) Setiap negara harus mengembangkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya konservasi melalui pelatihan dan pendidikan, serta melibatkan di dalam proses pengambilan keputusan; 17) Setiap negara harus menjamin bahwa segala fasilitas dan peralatan perikanan serta lingkungan kerjanya memenuhi standar keselamatan internasional; 18) Setiap negara harus memberikan perlindungan terhadap lahan kehidupan nelayan dengan mengingat kontribusinya yang besar terhadap penyediaan kesempatan kerja, sumber penghasilan dan keamanan pangan; serta 19) Setiap negara harus mempertimbangkan pengembangan budidaya perikanan untuk menciptakan keragaman sumber penghasilan dan bahan makanan. 2.6 Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing IUU fishing merupakan kegiatan perikanan yang sangat merugikan dapat mengancam manajemen perikanan yang bertanggung jawab. IUU fishing dapat dikategorikan dalam tiga kelompok yaitu (Widodo, 2003) : 1) Illegal fishing, mengacu kepada berbagai kegiatan : (1) Dilakukan oleh kapal-kapal nasional atau asing di dalam perairan di bawah yuridikasi suatu negara, tanpa ijin dari negara itu, atau dalam keadaan melawan hukum dan regulasi negara tersebut. (2) Dilakukan oleh kapal-kapal berbendera negara beranggota dari suatu organisasi pengelolaan yang relevan tetapi beroperasi melawan aturanaturan konservasi dan pengelolaan sumberdaya yang diadopsi oleh organisasi tersebut, dimana negara-negara tersebut terikat, atau melawan hukum internasional yang sedang dilaksanakan; atau melanggar hukum nasional, atau kewajiban internasional, termasuk yang dilaksanakan oleh

27 14 negara-negara yang bekerjasama dengan suatu organisasi pengelolaan yang relevan. 2) Unreported fishing, mengacu pada kegiatan penangkapan : (1) Tidak dilaporkan, atau dilaporkan secara tidak benar (misreported), kepada otoritas nasional yang relevan, bertentangan dengan peraturan dan perundang-undangan; atau (2) Dilakukan di dalam area di bawah kompetensi sebuah organisasi pengelolaan perikanan regional yang tidak dilaporkan atau dilaporkan secara tidak benar, bertentangan dengan prosedur pelaporan dari organisasi tersebut. 3) Unregulated fishing, mengacu pada kegiatan penangkapan : (1) Di dalam area suatu organisasi pengelolaan regional yang dilakukan kapal tanpa nasionalitas, atau oleh kapal dengan bendera suatu negara bukan anggota dari organisasi tersebut, atau oleh suatu fishing entity dengan cara yang tidak konsisten dengan atau melawan aturan konservasi dan pengelolaan organisasi tersebut; atau (2) Di area dari berbagai stok ikan yang berkaitan dengan tiadanya aturan (tindakan) konservasi dan pengelolaan yang diaplikasikan dan dimana aktivitas penangkapan dilakukan dengan cara-cara yang tidak konsisten dengan tanggung jawab negara bagi konservasi sumberdaya hayati kelautan di bawah tanggung jawab hukum internasional. IUU fishing terjadi di wilayah perairan Indonesia karena beberapa alasan, yaitu (Widodo, 2003): 1) Industri pengolahan ikan di negara-negara tetangga membutuhkan sumberdaya ikan yang cukup banyak agar kegiatan industri dapat tetap berjalan; 2) Sedikitnya jumlah sumberdaya ikan yang dimiliki oleh negara lain; 3) Rasionalisasi kapal perikanan; 4) Perbedaan harga ikan khususnya untuk ikan-ikan ekonomis penting yang menjadi komoditas utama pasar dunia; 5) Sangat terbukanya teritorial perairan Indonesia yang menyebabkan mudahnya akses masuk kapal-kapal penangkapan asing; dan

28 15 6) Terbatasnya kapasitas pengawasan (wilayah, sarana dan prasarana, sumberdaya manusia dan dana). Jenis-jenis IUU Fishing yang sering terjadi di Indonesia diantaranya (Latar, 2004): 1) Kegiatan penangkapan ikan tanpa memiliki ijin penangkapan; 2) Penggunaan ijin palsu dalam kegiatan penangkapan ikan; 3) Tidak melaporkan hasil penangkapan ikan di pelabuhan perikanan; 4) Penggunaan alat tangkap yang dilarang digunakan di wilayah perairan Indonesia; 5) Melakukan kegiatan penangkapan ikan di wilayah perairan yang dilarang untuk dilakukannya kegiatan penangkapan ikan; dan 6) Melakukan penangkapan ikan di wilayah yang tidak sesuai dengan ijin penangkapan yang telah diberikan. Kasus-kasus pelanggaran penangkapan ikan di wilayah Indonesia terjadi di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan di perairan teritorial Indonesia. Gambar 2 wilayah Indonesia yang menjadi focal point atau wilayah utama sering terjadinya kegiatan IUU fishing adalah Laut Sulawesi bagian utara dan Laut Natuna yang berada di ZEE Indonesia berbatasan dengan Laut Cina Selatan dan Samudera Pasifik, serta Laut Arafura yang berada di bagian timur Indonesia. Sumber: P2SDKP, 2008 Gambar 2 Wilayah perairan Indonesia terjadinya IUU fishing. 2.7 Monitoring, Controlling and Surveillance (MCS) Monitoring, Controlling and Surveillance (MCS) merupakan salah satu kebijakan manajemen perikanan dalam memerangi masalah IUU fishing yang terjadi di dunia (P2SDKP, 2008). MCS telah disepakati dalam konferensi FAO di Roma dengan uraian sebagai berikut :

29 16 1) Monitoring : the continuous requirement for the measurement of fishing effort characteristics and resources yield; 2) Control : the regulatory conditions under which the exploitation of the resource may be conducted; dan 3) Surveillance : the degree and types of observation required to maintain with the regulatory control imposed on fishing activities. Pada Gambar 3 dibawah ini merupakan contoh skema MCS yang telah disepakati dalam konferensi FAO. Sumber: P2SDKP, 2008 Gambar 3 Skema Monitoring, Controlling and Surveillance (MCS). Ditjen Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (P2SDKP) mendefinisikan MCS sebagai berikut (Mukhtar, 2008): 1) Monitoring (pemantauan) adalah pencarian dan pengumpulan data, informasi, fakta yang dilakukan setiap saat secara berkelanjutan untuk memperoleh kejelasan serta akibat peristiwa yang terjadi; 2) Controlling (pemeriksaan) adalah upaya menemukan terjadinya sebuah peristiwa yang dilakukan di luar ketentuan perundang-undangan yang berlaku; dan 3) Surveillance (pengamatan) adalah tindakan hukum yang dilakukan terhadap suatu tindak pidana yang disengaja atau tidak disengaja oleh seseorang atau badan hukum.

30 Pengawasan Handayaningrat (1994) yang dikutip oleh Mansur (2007), menyatakan pengawasan dimaksudkan untuk memperbaiki kesalahan, penyimpangan, ketidaksesuaian, penyelewengan dan lainnya yang tidak sesuai dengan tugas dan wewenang yang telah ditentukan. Tujuan pengawasan adalah agar pelaksanaan pekerjaan diperoleh secara berdaya guna dan berhasil guna sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya. Berikut adalah macam-macam pengawasan (Handayaningrat, 1994 yang dikutip oleh Mansur, 2007) : 1) Pengawasan dari dalam adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat atau unit pengawasan yang dibentuk dari dalam organisasi itu sendiri, aparat pengawas bertindak untuk dan atas nama pimpinan organisasi. Aparat pengawas ini bertugas mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan oleh pimpinan organisasi untuk perbaikan atau kebijaksanaan lebih lanjut; 2) Pengawasan dari luar adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat atau unit dari luar organisasi itu. Aparat atau unit pengawasan bertindak atas nama atasan dari pimpinan organisasi itu, atau atas nama pimpinan organisasi itu atas permintaannya; 3) Pengawasan preventif adalah pengawasan sebelum suatu rencana dilaksanakan, pengawasan untuk mencegah terjadinya kekeliruan, kesalahan dalam pelaksanaan kegiatan; serta 4) Pengawasan represif, pengawasan kapal ikan dimaksudkan untuk memastikan bahwa tidak terjadi kesalahan atau kekeliruan dalam pelaksanaan ijin oleh kapal ikan tersebut, berupa surveillance dengan cara melakukan pemeriksaan secara langsung pelaksanaan kegiatan kapal ikan tersebut di laut. Metode pengawasan terdiri dari enam jenis (Handayaningrat, 1994 yang dikutip oleh Mansur, 2007) : 1) Pengawasan langsung adalah apabila aparat pengawasan atau pimpinan organisasi melakukan pemeriksaan langsung pada tempat pelaksanaan pekerjaan, baik dengan sistem inspektif, verifikatif, maupun investigative. Metode ini dimaksudkan agar segera dapat dilakukan tindakan perbaikan dan penyempurnaan dalam pelaksanaan pekerjaan;

31 18 2) Pengawasan tidak langsung adalah apabila aparat pengawasan atau pimpinan organisasi melakukan pemeriksaan pelaksanaan pekerjaan hanya melalui laporan-laporan yang masuk padanya. Laporan dapat berupa deretan angkaangka statistik dan lain-lain tentang kemajuan pelaksanaan pekerjaan. Kelemahan laporan ini tidak segera mengetahui kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan pekerjaan sehingga dapat menimbulkan kerugian yang sangat besar; 3) Pengawasan formal adalah pengawasan yang dilakukan oleh unit atau aparat pengawas yang bertindak atas nama pimpinan organisasi itu atau atasan dari pimpinan organisasi tersebut. Dalam pengawasan ini telah diatur prosedur, hubungan dan tata kerja, dan periode waktunya. Aparat pengawasan ini harus melakukan pengawasan dan pelaporan pengawasannya secara periodik, laporan harus disertai saran-saran perbaikan atau penyempurnaan; 4) Pengawasan informal adalah pengawasan yang tidak melalui saluran formal atau prosedur yang telah ditentukan. Pengawasan informal ini biasanya dilakukan oleh Pejabat Pimpinan dengan melalui kunjungan yang tidak resmi (pribadi), atau secara incognito. Hal ini berguna untuk menghindari kekakuan hubungan antara atasan dan bawahan, sehingga tercipta suasana keterbukaan dalam memperoleh informasi tentang pelaksanaan pekerjaan, usul dan saran-saran dari bawahan; 5) Pengawasan administratif adalah pengawasan meliputi bidang keuangan, kepegawaian dan material; dan 6) Pengawasan teknis adalah pengawasan terhadap hal-hal yang bersifat fisik, misalnya pemeriksaan terhadap pembangunan gedung, pembuatan kapal dan sebagainya. Prinsip-prinsip pengawasan (Handayaningrat, 1994 yang dikutip oleh Mansur, 2007) adalah : 1) Pengawasan berorientasi pada tujuan organisasi; 2) Pengawasan harus objektif, jujur dan mendahulukan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi; 3) Pengawasan harus berorientasi pada kebenaran menururt peraturan perundangan yang berlaku (wetmatigheid), berorientasi pada kebenaran atas

32 BELAWAN BUNGUS JAKARTA TG. PANDAN CILACAP KETAPANG SEMARANG BANJARMASIN BENOA TARAKAN MATARAM KOTABARU PAOTERE BIMA GORONTALO KENDARI MUNA KUPANG BITUNG SORONG MANOKWARI TUAL MERAUKE 19 prosedur yang telah ditetapkan (rechtmatigheid), dan berorientasi terhadap tujuan atau manfaat dalam pelaksanaan pekerjaan (doelmatifheid); 4) Pengawasan harus menjamin daya guna dan hasil guna pekerjaan; 5) Pengawasan harus berdasarkan atas standar yang objektif, teliti dan tepat; 6) Pengawasan harus bersifat terus menerus; dan 7) Hasil pengawasan harus dapat memberikan umpan balik terhadap perbaikan dan penyempurnaan pelaksanaan, perencanaan dan kebijaksanaan di masa depan. 2.9 Pengawasan Kapal Perikanan Pengawasan kapal perikanan adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparatur pengawas yang ditunjuk oleh Menteri Kelautan dan Perikanan atau Gubernur atau pejabat yang ditunjuk dan Gubernur Propinsi atau pejabat yang ditunjuk atas nama pemerintah untuk melakukan pengawasan terhadap kapal perikanan yang masuk, membongkar ikan hasil tangkapan serta kapal perikanan yang keluar pelabuhan dengan tata cara dan prosedur sebagaimana ditetapkan. Pelaku utama pengawasan kapal perikanan adalah pemerintah atau petugas yang ditunjuk atas nama pemerintah. Pertimbangan pemerintah utamanya adalah efektifitas dan bukan efesiensi, karena sulit untuk mengukur efisiensi dalam pekerjaan pemerintah (Handayaningrat 1994 yang dikutip oleh Mansur 2007). Gambar 4 merupakan pangkalan kapal pengawas yang tersebar di beberapa pelabuhan di Indonesia. HIU 006 HIU 007 HIU 002 BARRACUDA 01 TODAK 02 HIU 008 MARLIN 09 HIU 001 BARRACUDA 02 MARLIN 08 MARLIN 07 TODAK 01 HIU MACAN 001 MARLIN 05 HIU 003 MARLIN 11 MARLIN 04 HIU MACAN 002 TIPE KAPAL PENGAWAS: MARLIN 01 & 02 MARLIN 10 KP. HIU MACAN (36 METER) MARLIN 03 KP. HIU (28 METER) MARLIN 06 HIU 004 HIU 005 KP. TODAK (18 METER) KP. BARRACUDA (17 METER) MARLIN (SPEEDBOAT) PANGKALAN KAPAL PENGAWAS DITJEN PSDKP Sumber: P2SDKP, 2008 Gambar 4 Pangkalan kapal pengawas DITJEN PSDKP.

33 20 Pengawasan kapal ikan sebagai pengawasan represif dapat menggunakan beberapa sistem (Handayaningrat, 1994 yang dikutip oleh Mansur, 2007) yaitu : 1) Sistem komparatif yaitu mempelajari laporan penangkapan ikan (Fishing Log Book) dibandingkan dengan lamanya trip penangkapan dan jenis ikan yang tertangkap, mengadakan analisa dan memberikan penilaian serta penyempurnaan; 2) Sistem verifikatif yaitu pemeriksaan berdasarkan pedoman atau petunjuk teknis dan dibuat laporan periodik, melihat perkembangan dan penilaian hasil pelaksanaan serta memutuskan tindakan-tindakan lebih lanjut; 3) Sistem inspektif yaitu dengan cara mengecek kebenaran dari suatu laporan penangkapan ikan dengan pemeriksaan di tempat (on the spot inspection); dan 4) Sistem investigative yaitu pemeriksaan dengan titik berat pada penyelidikan atau penelitian yang lebih mendalam terhadap indikasi adanya pelanggaran perikanan, baik dari laporan masyarakat atau laporan dari masyarakat atau dari pengamatan langsung di lapangan, tujuannya untuk memberi keyakinan tentang kebenaran laporan atau dugaan pelanggaran yang telah diterima sebelumnya. Keempat sistem tersebut saat ini digunakan dalam pelaksanaan kebijakan pengawasan kapal ikan di Indonesia. Kebijakan tersebut dikenal dengan sistem MCSI yang merupakan singkatan dari Monitoring, Controlling, Surveillance, and Investigation Persepsi Definisi Persepsi Persepsi (perception) dalam arti sempit ialah penglihatan, bagaimana cara orang melihat sesuatu, sedangkan dalam arti luas adalah pandangan atau pengertian, yaitu bagaimana cara seseorang memandang atau mengartikan sesuatu (Leavitt, 1978). Persepsi secara umum bergantung pada faktor-faktor perangsang, cara belajar, keadaan jiwa atau suasana hati, dan faktor-faktor motivasional. Menurut Sukmalana (2004) yang dikutip oleh Herryanto (2008) persepsi adalah proses pemberian arti (kognitive) terhadap lingkungan oleh seseorang

34 21 kepada stimulus. Demikian setiap individu yang berbeda akan melihat hal yang sama dengan cara yang berbeda-beda. Maka arti suatu objek atau suatu kejadian objektif ditentukan baik oleh kondisi perangsang maupun faktor-faktor organisme. Dengan alasan demikian, persepsi mengenai dunia oleh pribadi-pribadi yang berbeda juga akan berbeda karena setiap individu menanggapinya berkenaan dengan aspek situasi yang mengandung arti khusus sekali bagi dirinya Faktor yang mempengaruhi persepsi Persepsi pada prinsipnya dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal. Selain itu faktor lain yang mempengaruhi proses persepsi adalah faktor stimulus itu berlangsung (faktor eksternal). Sedangkan salah satu faktor internal yang mempengaruhi persepsi seseorang adalah usia. Karakteristik populasi seperti usia, kecerdasan, karakteristik biologis, mempengaruhi persepsi anggota-anggota populasi itu (Rakhmat, 2003). Setiap orang punya persepsi yang berbeda-beda, (Yuniarti, 2000 yang dikutip oleh Herryanto, 2008) hal itu disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: 1) Keadaan pribadi yang mempersepsikan Hal ini adalah suatu faktor yang terdapat dalam diri seseorang. Kebutuhan akan sesuatu, suasana hati, pengalaman akan masa lalu mempengaruhi persepsi seseorang terhadap sesuatu hal. 2) Karakteristik target yang dipersepsikan Hubungan antar target dan latar belakang serta kedekatan akan beberapa hal yang dipersepsikan juga dapat mempengaruhi pandangan seseorang terhadap sesuatu. 3) Konteks terjadinya persepsi Waktu ataupun faktor-faktor eksternal yang lain seperti lokasi memiliki kekuatan untuk membuat persepsi seseorang akan sesuatu objek menjadi berbeda dengan persepsi orang lain yang juga memandang sesuatu objek yang sama. Ketiga faktor di atas dapat menyebakan berbedanya persepsi setiap orang terhadap objek yang sama. Faktor yang paling mendasar mempengaruhi persepsi seseorang terhadap dunia menurut Leavitt (1978), adalah relevansinya terhadap kebutuhan dirinya, dimana besar kecenderungan seseorang melihat sesuatu berarti

35 22 jika hal-hal itu mereka anggap dapat memenuhi kebutuhan mereka dan mengabaikan hal-hal yang mengganggu mereka, serta kemudian melihat pada gangguan yang berlangsung lama dan cenderung meningkat. Kecenderungan diperolehnya persepsi atau pandangan yang berbeda-beda dari beberapa orang terhadap suatu objek yang sama wajar. Dalam pembahasannya mengenai persepsi sosial, Rakhmat (2003) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dapat dirinci sebagai berikut: 1) Faktor stimuli yang terdiri dari nilai, familiaritas, arti emosional, dan intensitas; 2) Faktor yang berhubungan dengan ciri-ciri khas kepribadian seseorang; 3) Faktor pengaruh kelompok; dan 4) Faktor perbedaan latar belakang kultural yang menyangkut antara lain: kekayaan bahasa dan pembentukkan konsep-konsep serta pengalaman khusus seseorang anggota kebudayaan tertentu. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi menurut Caphlin (1999) yang dikutip oleh Herryanto (2008) adalah: 1) Kemampuan dan keterbatasan fisik dari alat indera dapat mempengaruhi persepsi untuk sementara waktu maupun permanen; 2) Kondisi lingkungan; 3) Pengalaman masa lalu. Bagaimana cara individu untuk menginterpretasikan atau bereaksi terhadap suatu stimulus tergantung dari pengalaman masa lalunya; 4) Kebutuhan dan keinginan. Ketika seseorang individu membutuhkan atau menginginkan sesuatu maka ia akan terus berfokus pada hal-hal yang dibutuhkan dan diinginkannya tersebut; dan 5) Kepercayaan, prasangka, dan nilai. Individu akan lebih memperhatikan dan menerima orang lain yang memiliki kepercayaan dan nilai yang sama dengannya.

36 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan dua tahap. Tahap pertama adalah pengumpulan data yang dilaksanakan pada bulan Juni hingga Agustus 2009 di Fisheries Monitoring Centre (FMC) Direktorat P2SDKP Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta Pusat, dan Pangkalan Pengawasan P2SDKP di PPS Nizam Zachman Jakarta. Tahap kedua adalah tahap pengolahan data dan penulisan yang dilakukan pada bulan September hingga Oktober Metode Penelitian Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah studi kasus (case study). Studi kasus merupakan cara yang logis dan individu-individu yang diteliti dibandingkan dan dianalisis (Myers, 1999 yang dikutip oleh Herryanto, 2008). Menurut Suryabrata (1995) yang dikutip oleh Herryanto (2008), keunggulan penelitian kasus terutama sangat berguna untuk informasi mengenai latar belakang permasalahan guna perencanaan penelitian yang lebih besar karena intensif sifatnya dan studinya menerangkan variabel-variabel yang penting, proses-proses dan interaksi-interaksi yang memerlukan perhatian lebih luas. Studi kasus bertujuan untuk memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter yang khas dari kasus ataupun status dari individu yang kemudian dari sifat-sifat khas diatas akan dijadikan suatu hal yang bersifat umum (Nazir, 1985). Penelitian ini menggunakannya metode studi kasus bertujuan agar mampu menggambarkan dan menganalisis sistem kerja Vessel Monitoring System yang telah dijalankan serta menganalisis persepsi pelaku perikanan baik nelayan, pemilik usaha perikanan, maupun pengawas perikanan. Untuk itu dilakukan pengamatan langsung dan wawancara dengan pihak yang terkait. 3.3 Jenis dan Sumber Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini ada dua jenis yaitu data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan dengan melakukan wawancara

37 24 kepada pengawas kapal perikanan yang berada di PPS Nizam Zachman maupun di Fisheries Monitoring Centre (FMC) serta unit kerja yang berhubungan dengan VMS dan kepada pelaku perikanan (nelayan ABK, kapten kapal, pemlik kapal) yang telah menggunakan transmitter pada kapalnya. Wawancara ini dimaksudkan untuk mengetahui pendapat mereka dan mendapatkan gambaran terkait dengan sistem pemantauan kapal perikanan. Serta mengetahui permasalahan mendasar dalam pelaksanaan dan pengembagan serta solusi yang diambil untuk mengatasi permasalahan. Data sekunder yang dikumpulkan antara lain data keaktifan transmitter. Data sekunder ini merupakan data dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sebelum dan setelah dilakukannya sistem pengawasan kapal perikanan. 3.4 Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Teknik ini digunakan untuk menentukan responden dalam melakukan wawancara. Responden yang dipilih telah ditentukan sebelumnya menjadi nelayan ABK, kapten kapal, pemilik kapal yang telah memasang transmitter pada kapalnya. Ini untuk mengetahui tanggapan (persepsi) dari pelaku perikanan tentang Vessel Monitoring System. Wawancara kepada pengawas perikanan dilakukan untuk mengetahui kinerja dari VMS yang telah dilakukan hingga saat ini.

38 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Sistem pemantauan kapal perikanan Sistem pemantauan kapal perikanan ini merupakan sistem pemantauan dengan menggunakan satelit dan peralatan transmitter yang ditempatkan pada kapal perikanan. Di dalam sistem pemantauan kapal perikanan memiliki sistem kerja yang dibagi menjadi tiga berdasarkan pelakunya yaitu sebagai pemasang dan penyedia layanan, pemantau, dan penindak. Pemasang dan penyedia layanan dilakukan oleh provider. Provider sebagai penyedia layanan bertugas menyediakan transmitter dan layanan satelit dalam pelaksanaanya. Sebagai pemasang, provider bertugas melakukan pemasangan unit-unit transmitter ke setiap kapal perikanan yang telah diwajibkan untuk memasang. Akan tetapi terkadang pula pemasangan transmitter dilakukan oleh pengawas di tiap-tiap pelabuhan. Pemantau dalam sistem pemantauan kapal perikanan dilakukan oleh pengawas atau operator di Fisheries Monitoring Centre (FMC) atau sekretariat VMS dan pengawas di pelabuhan. Operator melakukan pemantauan dengan mengamati pergerakkan kapal-kapal perikanan yang telah memasang transmitter dari layar monitor. Operator menganalisis setiap pergerakkan kapal berdasarkan data-data kapal yang telah divalidasi. Selain pengawas di FMC terdapat juga pengawas di pelabuhan yang bertugas memeriksa kondisi transmitter yang ditempatkan di setiap kapal perikanan. Penindak di dalam sistem pemantauan kapal perikanan adalah Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (P2SDKP). Dirjen P2SDKP memiliki tugas mengambil keputusan dalam kegiatan sistem pemantauan kapal perikanan jika terjadi pelanggaran kapal perikanan yang berada di Indonesia. Keputusan tersebut dilakukan berdasarkan laporan dari hasil pemantauan yang dilakukan oleh operator di sekretariat VMS. Sistem pemantauan kapal perikanan atau Vessel Monitoring System (VMS) telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun Di tahun 2007, sistem ini berubah dan berkembang. Pengaturan penggunaan transmitter dibedakan menjadi

39 26 dua, transmitter online dan transmitter offline. Penggunaan transmitter online berlaku bagi Kapal Ukan Indonesia (KII) berukuran 60GT keatas dan seluruh Kapal Ikan Asing (KIA), sedangkan transmitter offline dipasangkan pada kapal berukuran 30GT hingga 60GT. Rangkaian cara kerja dari sistem pemantauan kapal perikanan ini adalah sebagai berikut : 1) Setiap Kapal Perikanan Asing (KIA) dan Kapal Ikan Indonesia (KII) di atas 60 GT wajib memasang transmitter pada kapalnya; 2) Transmitter yang telah terpasang akan mengirimkan sinyal kepada satelit provider masing-masing. Pengiriman sinyal dilakukan secara otomatis oleh transmitter dengan interval waktu satu jam; 3) Sinyal-sinyal yang diterima oleh satelit teruskan atau dikirimkan kembali ke processing centre untuk diolah data-data yang telah dikirimkan satelit. Lokasi processing centre ini berbeda-beda tergantung provider. Untuk argos lokasinya berada di Perancis dan inmarsat di Inggris; 4) Setelah diolah menjadi data-data posisi kapal, kemudian data dikirimkan ke pusat pemantauan kapal perikanan. Di FMC, data tersebut diolah serverserver yang dimiliki untuk dapat tampilan gambar pergerakan kapal serta data-data lainnya; 5) Di FMC data kapal di analisis. Jika terdapat pelanggaran maka akan dilakukan pemeriksaan; 6) Tampilan posisi kapal yang telah diterima FMC, kemudian akan di beritahukan kepada para pemilik kapal. Ini dilakukan dengan menggunakan fasilitas website yang dikelola oleh FMC; dan 7) Pemilik yang ingin mengetahui posisi kapalnya dapat mengakses website ke dapat dilihat pada Lampiran 1. Tampilan yang dapat dilihat oleh pemilik berupa gambar sejarah pergerakan kapal beserta posisinya. Pelanggaran yang dilakukan oleh kapal perikanan dapat terpantau melalui pergerakkan kapal di layar pengawasan FMC. Pelanggaran-palanggaran yang terpantau adalah pelanggaran yang dilakukan pada saat pengawasan ataupun

40 27 pelanggaran yang dilakukan di waktu yang lampau. Pelanggaran yang dilakukan kapal perikanan seperti : 1) Mematikan transmitter secara disengaja; 2) Menggunakan alat tangkap yang dilarang; 3) Melakukan penangkapan di wilayah yang tidak sesuai izin penangkapan; 4) Melakukan penangkapan di wilayah yang dilarang; 5) Melakukan penangkapan atau kapal berlayar melewati wilayah ZEE Indonesia; 6) Melakukan ketidaktaatan berlabuh di pelabuhan pangkalan; dan 7) Melakukan transshipment Provider Provider merupakan suatu perusahaan yang bekerjasama dengan pemerintah dalam menyelenggarakan sistem pemantauan kapal perikanan. Provider bekerjasama dalam menyediakan alat dan perlengkapan komunikasi sistem satelit. Provider yang bekerjasama kini berjumlah empat perusahaan provider. Keempat perusahaan tersebut adalah PT. CLS Argos Indonesia, PT. Amalgam Indocorpora, PT. SOG Indonesia, dan PT. Pasifik Satelit Nusantara. Tiga dari empat provider tersebut adalah perusahaan swasta asing yang berada di Indonesia. Jumlah provider yang bekerjasama dengan pemerintah tersebut merupakan perbaikan atau peningkatan dalam pelaksanaan sistem pemantauan kapal perikanan. Pada awal pelaksanaan periode pertama sistem ini yaitu tahun 2003 hingga 2006, provider yang bekerjasama hanya PT. CLS Argos Indonesia. Provider ini menyediakan segala kebutuhan alat transmitter dan sarana sistem satelit untuk kapal perikanan dan pusat pemantauan kapal perikanan dalam melaksanakan sistem ini. Pada periode kedua pelaksanaannya, pemerintah telah bekerjasama dengan empat provider. Akan tetapi hanya tiga provider yang telah aktif dalam pelaksanaanya. PT. Amalgam Indocorpora hingga saat ini belum aktif dalam kegiatan sistem pemantauan kapal perikanan. Provider-provider tersebut memiliki peranan dalam menyediakan alat dan sarana komunikasi yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan sistem pemantauan kapal perikanan. Provider menyediakan kebutuhan transmitter yang akan

41 28 dipasangkan pada kapal-kapal perikanan. Dalam satu unit transmitter tersebut memiliki kelengkapan seperti: 1) Kabel catu daya; 2) Kabel data; 3) Junction box (Lampiran 2); 4) Bracket; 5) Tiang; dan 6) Buku petunjuk. Satelit dan tipe transmitter yang dimiliki oleh setiap perusahaan berbedabeda dapat dilihat pada Lampiran 3. Satelit ini berfungsi sebagai alat dan sarana komunikasi dalam pemantauan kapal perikanan. Tipe transmitter yang disediakan merupakan keputusan hasil kerjasama dengan pemerintah. Setiap transmitter dilengkapi dengan nomor ID yang diberikan oleh pihak provider. Nomor ID tersebut berbeda-beda pada setiap transmitter. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi kesamaan penomoran ID transmitter pada kapal yang berbeda. Karena nomor ID yang sama akan membuat kesalahan analisis yang akan dilakukan oleh pengawas. Dapat dilihat pada Tabel 1 Satelit dan tipe transmitter tersebut adalah : Tabel 2 Daftar penyedia transmitter VMS No Nama perusahaan Satelit Tipe transmitter ID transmitter 1 PT. CLS Argos ARGOS Mar-GE 5 angka Indonesia 2 PT. Amalgam Iridium Iridium Indocorpora 3 PT. SOG Indonesia Inmarsat C Inmarsat D+ Thrane & Thrane mini C Satamatic D+ Dimulai angka PT. Pasifik Satelit Nusantara Sumber: Ditsarpras pengawasan, Garuda 1 (SAT 201) Byru Marine Tracking Provider mengeluarkan surat keterangan aktivasi. Dimulai angka 8681 Surat tersebut dikeluarkan setelah dilaksanakannya pemasangan transmitter dan pembayaran airtime oleh pemilik kapal atau pengguna transmitter. Transmitter yang

42 29 dibuatkan surat keterangan aktivasi yaitu transmitter yang telah terpasang dan diaktifkan di atas kapal. Harga satu unit transmitter berbeda pada setiap transmitter. Harga tersebut berkisar dua puluh juta hingga dua puluh lima juta untuk satu unit transmitter. Selain itu terdapat pula biaya airtime transmitter yang harus dibayarkan oleh pengguna. Biaya airtime berkisar enam juta hingga tujuh juta setiap transmitter. Biaya tersebut merupakan biaya yang harus dibayarkan oleh pengguna untuk penggunaan transmitter yang telah mengirimkan sinyal setiap satu jam. Pembayaran tersebut dilakukan untuk jangka waktu satu tahun penggunaan Pusat pemantauan kapal perikanan Pusat pemantauan kapal perikanan adalah tempat pemantauan dan pengelolaan sistem pemantauan kapal perikanan. Di Indonesia, pusat pemantauan kapal perikanan ini berada di Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta. Selain Fisheries Monitoring Centre (FMC), Direktorat Jenderal Pengawasan memiliki dua Regional Monitoring Centre (RMC) yang berada di Batam dan Ambon. Fisheries Monitoring Centre (FMC) di Indonesia terletak di Sekretariat VMS Departemen Kelautan dan Perikanan. Sekretariat VMS merupakan tim kerja yang berada di bawah tanggung jawab Direktur Sarana dan Prasarana Pengawasan yang bertugas untuk menangani operasional pelaksanaan VMS. FMC bertugas memantau dan mengawasi kegiatan kapal perikanan yang melakukan operasi penangkapan di perairan Indonesia. Kegiatan ini berlaku bagi kapal-kapal yang telah memasang transmitter pada kapal. Hal ini untuk mengawasi indikasi tindak pelanggaran yang dilakukan oleh kapal penangkapan ikan. Selain itu pusat pemantauan kapal perikanan juga mengelola website yang digunakan sebagai fasilitas kepada pemilik kapal untuk mengakses posisi kapalnya. 1) Keadaan pusat pemantauan kapal perikanan FMC memiliki delapan unit perangkat komputer yang digunakan untuk memantau kapal perikanan yang sedang beroperasi dapat dilihat pada Lampiran 4. Komputer tersebut digunakan oleh masing-masing operator dalam melakukan pengawasan. Selain komputer untuk proses pengawasan kapal, FMC juga

43 30 memiliki empat unit komputer yang digunakan sebagai server. Serta tujuh unit komputer yang digunakan untuk pengentrian database kapal yang telah mendaftarkan ke sekretariat dan untuk kepentingan pembuatan laporan hasil pemantauan. FMC juga memiliki satu unit monitor layar lebar yang dapat digunakan sewaktu-waktu jika dibutuhkan ketika proses pengawasan. Pusat pemantauan kapal perikanan memiliki sepuluh unit server, dapat dilihat pada Lampiran 5. Server-server tersebut digunakan untuk menjalankan program dan sebagai database untuk kapal-kapal perikanan yang telah mendaftarkan transmitternya ke sekretariat VMS. Server beroperasi selama dua puluh empat jam dalam seharinya tanpa henti. Setiap satu unit server hanya menjalankan satu program yang ada di FMC. Di dalam melakukan pemantauan, FMC menggunakan program-program software yang dapat membaca data yang masuk ke Pusat Pemantauan Kapal Perikanan. FMC menggunakan software Terravision untuk menampilkan data kapal pada layar monitor. Data tersebut adalah data posisi kapal, pergerakan kapal, kecepatan, ID transmitter, nama kapal. Dari data tersebut pengawas dapat menganalisis kegiatan kapal tersebut. Selain software Terravision, sistem pengawasan ini didukung juga dengan software lain seperti Display x, Indonesian Map 007i, Traffic table, DB Eksplorer, dan DB Mapper. Fungsi software-software ini ialah untuk mendukung kerja Terravision, seperti Indonesian Map 007i untuk menampilkan peta wilayah Indonesia yang merupakan wilayah pengawasan kapal perikanan di perairan Indonesia. Software lain berfungsi untuk menyimpan data tentang kapal-kapal yang telah memasang transmitter. Hasil yang ditampilkan pada layar monitor dapat beragam tergantung kebutuhan pengawasan. Posisi kapal, ID transmitter, nama kapal, kecepatan kapal, tanggal serta pergerakannya dapat dilihat. Namun pada umumnya data yang ditampilkan posisi kapal, tanggal dan pergerakannya. Hal ini karena pengawas hanya akan menganalisis pergerakan kapal yang diindikasi melakukan pelanggaran. Pergerakan yang ditampilkan pada layar monitor ditunjukan dengan bentuk garis. Kapal yang bergerak akan digambarkan dengan garis lurus. Garis-garis ini

44 31 merupakan hasil dari sinyal yang dikirimkan transmitter. Pada setiap jamnya transmitter akan mengirimkan sinyal, dan interval waktu tersebut dihubungkan dengan garis pada layar monitor. Garis-garis tersebut menyatakan posisi terakhir kapal tersebut berada. Tampilan garis pergerakan kapal juga berhubungan dengan kecepatan kapal tersebut bergerak yang dapat dilihat pada gambar 5. Garis pada tampilan tersebut memiliki warna yang mengartikan besar kecepatan kapal bergerak. Arti dan Warna-warna tersebut adalah: 1) Hijau, kecepatan > 4 knots; 2) Hijau tua, kecepatan 3 4 knots; 3) Coklat, kecepatan 2 3 knots; 4) Merah tua, kecepatan 1 2 knots; dan 5) Merah, kecepatan 0 knots. Sumber: P2SDKP, 2008 Gambar 5 Warna pola pergerakan kapal.. Pusat pemantauan kapal perikanan atau disebut juga sekretariat VMS memiliki sembilan orang petugas pengawasan, satu orang petugas server, dan satu orang kepala sekretariat VMS yang bertanggung jawab atau semua kegiatan di Sekretariat VMS. Petugas server bertugas menangani server yang rusak dan menjaga agar dapat bekerja dengan baik. Petugas pengawasan atau operator

45 32 tersebut bertugas mengawasi kapal perikanan sesuai dengan jenis alat tangkapnya. Masing-masing operator menangani kapal dengan jenis alat tangkap tertentu. Selain itu pengawasan yang dilakukan, operator melakukan pengentrian data kapal. Berikut kapal dengan jenis alat tangkapnya yang telah diklasifikasikan untuk masing-masing operator seperti dapat dilhat pada Tabel 2. Tabel 2 Pembagian operator berdasarkan alat tangkap No Jenis alat tangkap Operator 1 Bouke ami Deddy 2 Jaring insang (gillnet) Jaring insang (gillnet) hanyut organik Nanang 3 Pancing cumi Bambang 4 Hand line Huhate (pole and line) Payang Totok Pancing rawai dasar 5 Pengangkut atau pengumpul Aning 6 Pukat ikan Atik 7 Pukat udang Ferry 8 Purse seiner Purse seine (pukat cincin) besar Purse seine (pukat cincin) kecil Purse seine PB armada (light) Herry Purse seine PB armada (pengangkut) Purse seine PK armada (pengangkut) 9 Rawai tuna (tuna longline) Danang Sumber : Sekretariat VMS, 2009 Petugas operator bertugas mengawasi kapal perikanan setiap hari selama jam kerja (Senin-Jum at). Akan tetapi petugas operator juga melakukan pengawasan jika diperlukan selain di jam kerjanya. Setiap operator harus melakukan pengentrian database kapal-kapal perikanan berdasarkan alat tangkap

46 33 yang menjadi tanggung jawabnya masing-masing. Jumlah kapal yang banyak membuat kerja operator dalam pemantauan menjadi kurang optimal. 2) Cara kerja pusat pemantauan kapal perikanan Setiap minggunya setiap operator membuat laporan analisa dari hasil pengamatan minimal dua laporan analisa. Hasil laporan analisis yang dibuat oleh operator wajib disampaikan kepada Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. Laporan-laporan tersebut diserahkan satu kali dalam seminggunya. Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, dan Kepala Badan Riset Kelautan dan Perikanan wajib melakukan evaluasi kegiatan tersebut dari laporan-laporan yang telah diberikan. Hasil evaluasi tersebut kemudian wajib dilaporkan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan sekurang-kurangnya satu kali dalam tiga bulan. Jika didapatkan terjadi tindak pelanggaran yang dilakukan atau transmitter yang tidak aktif, maka operator wajib memberitahukan kepada nakhoda atau pemilik kapal dan membuat laporannya. Laporan tentang pemantauan wajib dilaporkan kepada Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. Laporan tersebut seperti terjadinya indikasi terjadinya pelanggaran kapal perikanan. Pelanggaran tersebut dapat diketahui oleh operator setelah dianalisis. Kegiatan analisis tersebut dilakukan dengan sangat teliti melihat data yang diperoleh pusat pemantauan kapal perikanan. Cara menganalisis dan menetapkan kapal terbukti melakukan pelanggaran berbeda-beda. Keahlian dan pengalaman dalam menganalisis tindak pelanggaran sangat dibutuhkan dalam hal ini. Cara menganalisis tersebut adalah: (1) Mematikan transmitter secara disengaja Operator menetapkan bahwa kapal perikanan melakukan pematian transmitter secara disengaja dengan melihat pergerakan dan kecepatan kapal yang tiba-tiba menjadi nol knot. Hal ini ditandai dengan garis berwarna merah. Sinyal akan kembali diterima dan tampilan di layar akan membentuk garis lurus berwarna merah. Akan tetapi matinya transmitter dapat terjadi karena kerusakan.

47 34 Maka sebelum menetapkan pelanggaran operator memberitahu dan menanyakan terlebih dahulu kondisi transmitter. (2) Menggunakan alat tangkap yang dilarang Penggunaan alat tangkap yang dilarang dapat diketahui dengan melihat data kapal yang telah didaftarkan. Jenis alat tangkap apa yang digunakan kapal pada awal pendaftarannya. Jika digunakan alat tangkap yang dilarang dapat diketahui dengan pergerakan dan kecepatan kapal dalam melakukan operasi penangkapannya. (3) Melakukan penangkapan yang tidak sesuai dengan izin penangkapan Penentuan pelanggaran ini diketahui dengan melihat wilayah operasi dilakukanya penangkapan yang dicocokkan dengan jenis alat tangkap dan ukuran GT kapal. Alat tangkap dan ukuran GT kapal telah diatur wilayah penangkapannya. Kapal-kapal yang telah mengajukan izin terhadap wilayah penangkapannya akan ditetapkan telah melakukan pelanggaran dan akan diberi sanksi. (4) Melakukan penangkapan di wilayah yang dilarang. Operator menetapkan pelanggaran telah dilakukan oleh kapal yang melakukan penangkapan di wilayah yang dilarang. Hal ini dibuktikan dengan pergerakan penangkapan yang dilakukan apakah dilakukan di wilayah yang dilarang beroperasinya alat tangkap tersebut. Jika terbukti operator langsung menetapkan kapal tersebut melakukan pelanggaran dan membuat laporannya. (5) Melakukan penangkapan atau kapal berlayar melewati wilayah ZEE Indonesia. Kapal-kapal dengan ukuran GT tertentu dilarang untuk melakukan penangkapan melewati wilayah ZEE Indonesia. Jika hal tersebut dilakukan, maka kapal tersebut terbukti telah melanggar peraturan. Operator mencocokan data kapal yang dimiliki dengan pergerakan yang telah dilakukannya. (6) Melakukan ketidaktaatan berlabuh di pelabuhan pangkalan. Pada saat pendaftaran, kapal perikanan juga mencantumkan pelabuhanpelabuhan yang menjadi tempat pendaratan hasil tangkapannya. Petugas operator bertugas mengawasi ketaatan kapal perikanan tersebut agar mendaratkan hasil tangkapan hanya di pelabuhan yang telah didaftarkan sebagai lokasi pendaratan.

48 35 Jika diketahui terdapat kapal yang melakukan pendaratan atau berhenti di pelabuhan lain, maka kapal tersebut telah melakukan pelanggaran. Tugas operator untuk menetapkan dan membuatkan laporan yang berisikan bahwa kapal tersebut telah melakukan pelanggaran. (7) Melakukan transshipment. Transshipment atau penjualan ikan di tengah laut secara ilegal merupakan salah satu pelanggaran yang cukup sering terjadi. Operator berkewajiban untuk mengawasi agar tindakan ini tidak terjadi. Petugas yang mengawasi dari layar monitor pengawasan dapat mengetahui tindakan transshipment dengan pergerakan dan posisi kapal yang merapat kepada kapal lain dengan kurun waktu yang cukup lama. Tampilan gambar tersebut diyakini petugas bahwa kapal telah menjual hasil tangkapannya. Petugas membuat laporan tentang terjadinya pelanggaran transshipment dengan bukti yang dimiliki. Akan tetapi terdapat pengecualian untuk kapal-kapal yang bertindak sebagai pengangkut untuk kapal-kapal kelompoknya. Kapal pengangkut tersebut menerima hasil tangkapan dari kapalkapal yang menjadi kelompoknya. Tindakan tersebut dibenarkan pelaksanaannya oleh Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Perikanan. Pusat pemantauan kapal perikanan dapat memberikan laporan rekaman pergerakan kapal ketika dibutuhkan saat proses penegakan hukum di persidangan. Rekaman tersebut sebagai barang bukti dalam persidangan untuk kasus pelanggaran yang dilakukan oleh kapal-kapal perikanan. Hal ini dilakukan untuk memperkuat tindakan yang telah dilakukan kapal perikanan ketika melakukan pelanggaran. Selain itu petugas pengawasan di FMC juga dapat dijadikan saksi ahli selama proses persidangan. Pusat pemantauan kapal perikanan melayani perusahaan atau pemilik kapal yang ingin mendaftarkan transmitternya. Pelayanan ini dilakukan dari hari senin hingga jum at selama jam kerja. Pendaftaran dilakukan dengan mengisi buku acara tentang maksud dan tujuannya terlebih dahulu. Petugas yang menerima permohonan tersebut akan mencek kelengkapan pendaftaran sesuai dengan syarat telah ditentukan. Lengkapnya berkas dokumen pendaftaran yang diberikan akan diterima dan diberikan kepada operator yang menangani kapal berdasarkan alat tangkapnya. Operator akan memeriksa apakah transmitter yang telah dipasang

49 36 telah terpantau pada sistem pemantauan. Transmitter yang telah aktif ditandai dengan terdeteksinya transmitter tersebut di layar pemantauan. Hal kemudian yang dilakukan operator adalah membuatkan Surat Keterangan Aktivasi Transmitter dan disahkan oleh direktur sarana dan prasarana pengawasan. SKAT yang telah disahkan dapat diberikan kepada pemohon. Setelah pendaftaran dan SKAT telah diterima, kapal dapat melakukan operasi penangkapan dengan menempatkan SKAT bersama dokumen yang lainnya di atas kapal Transmitter 1) Prosedur pemasangan transmitter Dalam pemasangan unit transmitter di atas kapal memiliki dua prosedur yaitu pemasangan transmitter milik sendiri dan transmitter milik negara. Pemasangan transmitter milik sendiri dimulai dengan pembelian unit transmitter di provider dan membayarkan biaya airtime untuk masa jangka waktu satu tahun dan selanjutnya diperpanjang setiap tahun hingga izin berakhir. Pemasangan unit transmitter yang dilakukan harus disaksikan oleh pengawas perikanan di pelabuhan setempat dan mengisi Form 3 lembar pemasangan transmitter yang ditandatangani oleh pemasang yang dapat dilihat pada Lampiran 6 dan pada Lampiran 7 (bawah) adalah kegiatan pemasangan transmitter yang dilakukan oleh pengawas. Apabila pemasangan transmitter dilakukan di negara lain maka pengisisan Form 3 ditandatangani pemasang, nakhoda, dan wakil perusahaan serta oleh pengawas pada saat dilakukan pemeriksaan kapal di pelabuhan pangkalan. Setelah pemasangan selesai dilakukan maka tahap selanjutnya yang harus dilakukan adalah mendaftarkan transmitter. Pendaftaran transmitter ini dilakukan untuk mandapatkan Surat Keterangan Aktivasi Transmitter (SKAT). Pendaftaran dilakukan di Sekretariat VMS (FMC) pusat yang berada di Departemen Kelautan dan Perikanan, dapat dilihat pada Lampiran 7 (atas). Pendaftaran transmitter yang telah dipasang di kapal perikanan harus dilengkapi surat pendaftaran transmitter (Lampiran 8) dengan mencantumkan data-data seperti: nomor ID transmitter, nomor seri, jenis, tipe, merk, spesifikasi dan provider, dokumen pembelian transmitter dan pembayaran airtime, bukti aktivasi dari provider dan Form 3 Lembar Pemasangan Transmitter

50 37 serta surat pernyataan transmitter milik sendiri (Lampiran 9). Setelah pendaftaran dilakukan oleh pemilik kapal, maka kemudian Surat Keterangan Aktivasi Transmitter (Form FMC 1) akan dikeluarkan oleh Direktorat Sarana dan Prasarana, Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan dapat dilihat pada Lampiran 10. Form FMC 1 (pada Lampiran 10) sebagai bukti telah terpantaunya kapal perikanan tersebut oleh Sistem Pemantauan Kapal Perikanan, sehingga kapal diizinkan untuk beroperasi melakukan penangkapan dan/atau pengangkutan ikan di perairan Indonesia. Kewajiban selanjutnya yang harus dilakukan oleh pemilik kapal atau nakhoda kapal adalah meletakkan SKAT bersama dokumen perizinan lainnya di atas kapal. Hal ini dimaksudkan agar mempermudah pemeriksaan kapal ketika berada di laut ataupun di pelabuhan pangkalan. Pemasangan transmitter milik Negara dimulai dengan mengajukan permohonan peminjaman berupa surat pinjam pakai transmitter milik Negara (Lampiran 11) ke Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan c.q. Direktur Sarana dan Prasarana. Di dalam surat permohonan tersebut dicantumkan nama kapal, nama perusahaan, jenis atau status atau alat tangkap atau GT kapal, bendera dan SIPI atau SIKPI serta SIUP. Peminjaman transmitter milik Negara dapat dilakukan bila persediaan transmitter tersebut masih ada. Peminjaman transmitter milik negara, hanya diperbolehkan bagi kapal ikan Indonesia (KII) berukuran 30 GT hingga 60 GT. Ketentuan ini berlaku sejak tahun 2007 hingga sekarang. Hal ini dikarenakan keterbatasan unit transmitter yang dimiliki oleh negara. Pemilik kapal atau perusahaan perikanan yang berhasil meminjam transmitter milik Negara selanjutnya akan diberikan nomor ID transmitter. Nomor ID transmitter tersebut diberikan oleh sekretariat VMS. Kemudian pihak pemohon harus menghubungi provider transmitter sesuai dengan yang diberikan. Hal ini dilakukan untuk menyelesaikan biaya airtime yang nantinya harus dibayarkan terlebih dahulu. Setelah pembayaran diselesaikan dan mendapatkan bukti dokumen pembayaran airtime dan bukti aktivasi dari pihak provider (pada Lampiran 12),

51 38 maka selanjutnya pihak pemohon dapat menerima transmitter dan semua kelengkapannya dari Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. Penerimaan transmitter dilengkapi dengan bukti penerimaan dan lembar peminjaman transmitter Negara (Form 2) yang dapat dilihat pada Lampiran 13. Di dalam Form 2 tersebut harus diisi dengan data seperti nama kapal, nama perusahaan, jenis atau status atau alat tangkap atau GT kapal, nomor SIPI atau SIKPI, penerima transmitter, petugas yang menyerahkan transmitter, dan diketahui oleh wakil perusahaan. Pemasangan transmitter milik Negara di atas kapal harus diketahui/disaksikan oleh pengawas perikanan. Saat pemasangan harus melakukan pengisian Form 3 Lembar Pemasangan Transmitter dan ditandatangani oleh pemasang, nakhoda, wakil perusahaan dan pengawas perikanan setempat. Seperti pada pemasangan transmitter milik sendiri, pemasangan transmitter yang dilakukan di Negara lain proses pengisian Form 3 dilakukan saat pemeriksaan terhadap kapal perikanan ketika berlabuh di pelabuhan pangkalan. Proses pendaftaran dan meminta Surat Keterangan Aktivasi Transmitter (SKAT) dilakukan setelah pemasangan selesai dan Form 3 telah diisi dan ditandatangani. Pendaftaran transmitter harus dilengkapi dengan bukti pembayaran airtime, bukti aktivasi dari provider, Surat pernyataan transmitter milik negara (Lampiran 14), dan lembar Form 3. Setelah kapal pemohon tersebut dapat terpantau pada sistem pemantauan kapal perikanan di FMC, maka selanjutnya akan dikeluarkannya Surat Keterangan Aktivasi Transmitter. Surat ini nantinya harus ditempatkan bersama dengan dokumen perizinan lainnya. Prosedur pemasangan transmitter milik sendiri ataupun milik negara dapat dilihat pada Gambar 6.

52 39 Mulai Prosedur pemasangan transmitter sendiri Prosedur pemasangan transmitter milik negara Pembelian unit transmitter Pemberian nomor ID transmitter Pemasangan transmitter diketahui oleh pengawas perikanan Pembayaran airtime oleh pihak pemohon Penerimaan transmitter dan kelengkapannya Mendaftarkan dan meminta Surat Keterangan Aktivasi Transmitter (SKAT) Pengeluaran SKAT oleh Direktorat Sarana dan Prasarana Pengawasan Pemasangan transmitter di atas kapal dan pengisian form 3 Lembar Pemasangan Transmitter Mendaftarkan dan meminta SKAT SKAT asli ditaruh bersama dokumen perizinan pada kapal perikanan. Pengeluaran SKAT oleh Direktorat Sarana dan Prasarana Pengawasan Selesai SKAT asli ditaruh bersama dokumen perizinan pada kapal perikanan. Selesai Gambar 6 Prosedur pemasangan transmitter. 2) Prosedur pengembalian transmitter Prosedur pengembalian hanya dilakukan untuk transmitter milik Negara. Masa peminjaman transmitter milik Negara hanya berlaku untuk jangka waktu satu tahun. Dan setelah jangka waktu tersebut selesai transmitter yang telah tersebut wajib di kembalikan ke Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. Selain karena jangka waktu peminjaman yang telah berakhir, pengembalian juga dilakukan karena suatu sebab izin dinonaktifkan, dicabut, atau tidak diperpanjang. Pengembalian transmitter

53 40 ditujukan kepada Direktur Sarana dan Prasarana P2SDKP. Prosedur pengembalian transmitter milik negara dapat dilihat pada Gambar 7 dibawah ini. Mulai Pengecekan kelengkapan dan berfungsinya transmitter Penerimaan lembar pengembalian transmitter milik negara Selesai Gambar 7 Prosedur pengembalian transmitter milik negara. Pengembalian transmitter dilakukan setelah masa peminjaman berakhir. Pengembalian dilakukan di Sekretariat VMS. Di sekretariat tersebut, transmitter yang akan dikembalikan diperiksa kelengkapan dan fungsi transmitter. Pemeriksaan ini dilakukan oleh petugas dan hasil pemeriksaan dilaporkan ke dalam Form 4 Lembar Pengembalian Transmitter (Lampiran 15). Form tersebut berisikan tanggal pengembalian, nama kapal, nama perusahaan, jenis atau alat tangkap, GT kapal, nomor SIPI atau SIKPI, pengecekan kelengkapan dan fungsi transmitter, petugas yang menerima, dan wakil perusahaan yang menyerahkan. Ketidaklengkapan ataupun tidak berfungsinya transmitter menjadi tanggung jawab peminjam dan dikenakan sanksi. Peminjam wajib mengganti atau memperbaiki kerusakan yang telah terjadi pada transmitter. Pengembalian tersebut harus menyertakan surat pernyataan sanggup memperbaiki atau menggantinya di atas materai enam ribu rupiah dan mempunyai kekuatan hukum. Ketidakpatuhan dalam mengembalikan, memperbaiki, atau mengganti transmitter milik Negara yang rusak atau hilang akan diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemilik yang ingin memperpanjang transmitternya baik milik sendiri atau milik negara harus mengirimkan surat perpanjangan transmitter dan menyertakan SIUP/SIKPI, bukti pembayaran airtime, bukti aktivasi dari provider, Form

54 41 pemeriksaan transmitter, kartu identitas pemilik kapal, dan SKAT asli yang lama. Surat perpanjangan transmitter dapat dilihat pada Lampiran 16. 3) Pemeriksaan transmitter Pemeriksaan transmitter adalah kegiatan yang dilakukan pada kapal-kapal ikan yang telah memasang transmitter untuk mengetahui keadaan atau kondisi transmitter. Pemeriksaan dilakukan untuk melakukan konfirmasi terhadap fisik, fungsi, dan lingkungan transmitter. Pemeriksaan ini meliputi hal sebagai berikut : (1) Pemasangan dilakukan sesuai atau benar pada kapal perikanan, seperti yang tertera pada saat pengajuan pemasangan transmitter. (2) Hasil kualitas pemasangan, dibuktikan dengan terpantaunya posisi kapal di layar monitor Pusat Pemantauan Kapal Perikanan. (3) Penempatan transmitter tidak mengganggu dan terganggu oleh, peralatan navigasi, komunikasi dan peralatan komunikasi lainnya. Pemeriksaan transmitter ini dilakukan sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan. Kegiatan ini dilakukan oleh pengawas perikanan di pelabuhan, staf Direktorat Sarana dan Prasarana Pengawasan atau oleh staf Direktorat Jenderal P2SDKP. Hasil dari pemeriksaan tersebut dicatat ke dalam Form Pemeriksaan Transmitter (Form 6) dapat dilihat pada Lampiran 17. Hasil pemeriksaan dilaporkan kepada Direktur Sarana dan Prasarana Pengawasan. Lembar pemeriksaan transmitter (Form 6) berisikan : (1) Lokasi pemeriksaan; (2) Tanggal pemeriksaan; (3) Nama kapal; (4) Nama perusahaan; (5) Jenis/status/alat tangkap/gt kapal; (6) Call sign dan frekuensi; (7) Nomor SIPI/SIKPI; (8) Transmitter; a) Merk; b) Tipe; c) No. ID/No. Seri; dan d) Provider.

55 42 (9) Pengecekan kelengkapan dan fungsi transmitter; serta (10) Petugas pemeriksa. Bila dalam hasil pemeriksaan ditemukan adanya pelanggaran, maka Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan akan menindaklanjuti dengan memberikan peringatan dan sanksi. Kerusakan atau ketidakaktifan pada transmitter milik sendiri ataupun transmitter milik negara akan menjadi kewajiban pihak pengguna untuk memperbaiki atau mengganti transmitternya. Jika terjadi ketidaktaatan dari pihak pengguna, maka pihak pengguna akan dikenakan sanksi administrasi atau pidana. 4) Kewajiban pengguna transmitter Dalam sistem pemantauan kapal perikanan setiap kapal diatas 60 GT ke atas memiliki kewajiban diantaranya : (1) Wajib memasang dan mengaktifkan transmitter. (2) Dalam melakukan kegiatan perikanan tangkap di Indonesia, setiap kapal perikanan wajib ikut serta dalam sistem pemantauan kapal perikanan. Salah satu peran sertanya dalam kegiatan ini adalah setiap kapal wajib memasang dan mengaktifkan transmitter pada kapalnya masing-masing. Transmitter ini dapat berupa transmitter milik sendiri ataupun transmitter milik negara yang telah dipinjam. (3) Wajib membayar airtime. (4) Setiap pemilik ataupun perusahaan yang telah memasang transmitter pada kapalnya wajib membayarkan biaya airtime. Pembayaran biaya airtime dilakukan pada awal pemasangan transmitter dan setiap satu tahun berikutnya. Airtime ini merupakan biaya pengiriman posisi yang dilakukan transmitter selama satu tahun dengan interval pengiriman posisi setiap satu jam sekali. (5) Wajib mendaftarkan transmitter (6) Pendaftaran transmitter merupakan salah kewajiban penting yang harus dilakukan oleh pengguna transmitter. Hal ini dikarenakan agar transmitter terdaftar dalam sistem pemantauan kapal perikanan dan dapat terpantau dalam FMC. Pendaftaran transmitter dilakukan di Sekretariat VMS dan ditujukan kepada Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian

56 43 Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. Proses pendaftaran transmitter, pemohon menyerahkan Form 3 Lembar Pemasangan Transmitter, bukti pembayaran airtime dan aktivasi dari provider, serta dilengkapi dengan dokumen pembelian transmitter. (7) Wajib melaporkan kepada Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan hal-hal yang terkait dengan kapal atau transmitter, dengan ketentuan batas waktu sebagai berikut: a) Docking kapal, selambat-lambatnya satu bulan sebelum pelaksanaan docking. b) Penggantian transmitter, selambat-lambatnya satu minggu sebelum dilaksanakan penggantian c) Penggantian surat izin, selambat-lambatnya satu bulan sebelum dilaksanakan penggantian. d) Perubahan pemilik, nama, fungsi, dan keagenan kapal perikanan selambatlambatnya satu minggu sebelum dan satu minggu sesudah dilaksanakan perubahan. e) Proses penegakan hukum yang sedang dijalani, selambat-lambatnya dua hari sejak dimulai penyelidikan. f) Tidak beroperasinya kapal perikanan, selambat-lambatnya satu minggu sejak kapal tidak beroperasi. g) Tidak diperpanjang izinnya kapal perikanan, selambat-lambatnya satu bulan sebelum habisnya masa berlaku izin. h) Force Majeure, selambat-lambatnya satu minggu sesudah kejadian dilengkapi dengan laporan kejadian dan berita acara dari pihak berwajib. (8) Laporan sebagaimana dimaksud angka empat dengan tembusan kepada: Direktur Sarana dan Prasarana Pengawasan, Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautaan dan Perikanan. (9) Wajib menempatkan Surat Keterangan Aktivasi Transmitter bersama dengan dokumen perizinan. SKAT yang telah diterima ditempatkan bersama dokumen-dokumen lain di atas kapal. SKAT yang ditaruh adalah SKAT asli yang diberikan oleh sekretariat VMS. Hal ini bertujuan agar

57 44 mempermudahkan proses pemeriksaan perizinan kapal saat berada di laut ataupun ketika berada di pelabuhan. (10) Wajib menjaga, memelihara dan memperlakukan transmitter dengan baik. Transmitter yang ada di atas kapal wajib dijaga dan dipeliahara dengan baik kondisinya oleh nakhoda ataupun ABK kapal. Ini bertujuan agar transmitter dapat tetap berfungsi secara teknis dan dapat menyampaikan data kegiatan penangkapan atau pengangkutan ikan. (11) Wajib memelihara lingkungan teknis transmitter. Lingkungan sekitar tempat transmitter di pasang juga wajib dipelihara dan dijauhkan dari segala macam gangguan termasuk alat komunikasi dan alat komunikasi lainnya di atas kapal. Upaya ini dilakukan agar pengiriman atau penerimaan data yang dilakukan transmitter dapat berfungsi dengan baik. (12) Wajib menempatkan transmitter pada posisi yang tepat seperti dapat dilihat pada Lampiran 18. Penempatan posisi transmitter di atas kapal sangat penting. Posisi transmitter yang tepat di atas kapal akan mempengaruhi kerja transmitter sehingga dapat mengirimkan data posisi kapal dengan baik dan tidak menggangu peralatan navigasi, peralatan komunikasi atau peralatan elektronik lainnya serta terhindar dari gangguan lain yang menyebabkan terhalangnya fungsi teknis dan komunikasi. (13) Wajib membalas, menanggapi, menindaklanjuti setiap surat pemberitahuan/peringatan dari Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. (14) Wajib menerima petugas atau pengawas dan kapal pengawas perikanan untuk melakukan pemeriksaan transmitter. Setiap pengawas yang hendak memeriksa keadaan dan kondisi transmitter di atas kapal harus diperbolehkan kegiatannya. Pemeriksaan ini dilakukan karena adanya laporan dari FMC ataupun sekedar untuk memeriksa kondisi fisik transmitter di atas kapal. (15) Wajib mematuhi petunjuk teknis tentang Sistem Pemantauan Kapal Perikanan atau Standar Operasional Prosedur yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan.

58 45 5) Pengaturan lain transmitter Di dalam pelaksanaan sistem pemantauan kapal perikanan, setiap kapal wajib memasang dan mengaktikan transmitter secara terus-menerus. Pengguna transmitter wajib melaporkan kepada Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan mengenai hal-hal yang terkait dengan transmitternya atau kapalnya. Wajib lapor ini seperti izin kapal untuk melakukan docking, penggantian transmitter, penggantian surat izin (SIPI atau SIKPI), perubahan pemilik kapal, proses hukum yang sedang dijalani, sedang tidak beroperasinya kapal, izin yang tidak diperpanjang, izin dicabut, transmitter dalam keadaan rusak, kapal mengalami force majeure. (1) Docking kapal Kapal ikan yang akan melakukan docking di pelabuhan wajib melaporkan kepada Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan c.q. Direktur Sarana dan Prasarana Pengawasan. Izin yang diberikan berupa laporan tertulis dan diberikan satu bulan sebelum dilaksanakannya proses docking. Di dalam izin tersebut berisikan jangka waktu, tempat pelaksanaan, dan saat dimulainya docking. Pada saat docking dilaksanakan, disampaikan pula laporan tertulis susulan yang dilengkapi dengan surat keterangan dari galangan kapal. Di dalam surat tersebut menyatakan bahwa kapal tersebut sedang melakukan docking. Setelah surat izin disampaikan, transmitter pada kapal dapat dinonaktifkan pada saat dimulainya sampai dengan selesai docking. Pihak pengguna wajib melaporkan kembali docking yang telah selesai dilaksanakan kepada Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan c.q. Direktorat Sarana dan Prasarana Pengawasan. Laporan tersebut menyatakan bahwa docking kapal telah selesai dilaksanakan dan transmitter sudah diaktifkan kembali. Prosedur perizinan untuk kapal yang akan melakukan docking dapat dilihat pada Gambar 8.

59 46 Mulai Docking kapal Laporan tertulis alasan penggantian Docking dilakukan Transmitter non aktif Docking selesai Transmitter aktif Izin tertulis selesai docking Selesai Gambar 8 Prosedur izin docking kapal. (2) Penggantian transmitter Penggantian transmitter yang dilakukan oleh pemilik kapal atau perusahaan perikanan wajib dilaporkan kepada Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. Laporan tersebut dikirimkan selambat-lambatnya satu minggu sebelum dilaksanakannya penggantian. Dalam izin tersebut, pihak pengguna menyebutkan alasan penggantian transmitter serta spesifikasi transmitter pengganti yang dilengkapi identitas transmitter tersebut. Penggantian transmiter yang baru di atas kapal harus diketahui atau disaksikan oleh pengawas perikanan di pelabuhan. Proses pemasangan transmitter pengganti sama seperti pemasangan transmitter baru pada kapal perikanan. Pengisian Form 3 lembar pemasangan transmitter harus dilakukan kembali dan ditandatangani oleh nakhoda, pemasang transmitter, wakil perusahaan dan pengawas perikanan yang menyaksikannya.

60 47 Setelah pemasangan transmitter pengganti selesai, selanjutnya pemilik kapal atau perusahaan mendaftarkan dan meminta Surat Keterangan Aktivasi Transmitter pengganti. Surat Keterangan Aktivasi Transmitter diberikan setelah posisi transmitter terpantau pada Pusat pemantauan kapal perikanan. Surat tersebut nantinya wajib ditempatkan bersama dengan surat izin lainnya di atas kapal. Gambar 9 berikut merupakan prosedur untuk melakukan penggantian transmitter pada kapal perikanan. Mulai Penggantian transmitter Izin tertulis pelaksanaan docking Pemasangan transmitter pengganti Pendaftaran transmitter dan meminta SKAT SKAT diterima SKAT ditempatkan di atas kapal Selesai Gambar 9 Prosedur penggantian transmitter. (3) Penggantian surat izin (SIPI atau SIKPI) Penggatian surat izin penangkapan ikan (SIPI) atau surat izin kapal penangkapan ikan (SIKPI) yang dimiliki oleh kapal perikanan wajib melaporkannya. Pengguna wajib melaporkan selambat-lambatnya satu bulan sebelum dilaksanakannya penggantian. Penggantian surat izin tersebut meliputi : a) Penggantian izin karena perpanjangan masa berlakunya izin; b) Penggantian izin karena perubahan fungsi kapal (dari kapal pengangkut menjadi kapal penangkap dan sebaliknya);

61 48 c) Penggantian izin karena perubahan pemilik; d) Penggantian izin karena perubahan nama kapal; dan e) Penggantian izin karena perubahan keagenan kapal perikanan. Proses penggantian yang telah selesai dilaksanakan harus dilaporkan kembali ke Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan dengan melampirkan dokumen perizinan yang baru selambat-lambatnya satu minggu setelah selesai penggantian izin. Selama proses penggantian izin tersebut, transmitter tetap diaktifkan. Gambar 10 berikut merupakan prosedur untuk melakukan penggantian surat izin bagi kapal yang memiliki transmitter. Mulai Penggantian Surat Izin Melaporkan izin yang ingin diganti Proses penggantian izin Transmitter aktif Melaporkan dan menyertakan izin baru Selesai Gambar 10 Prosedur penggantian surat izin. (4) Perubahan pemilik kapal Pengguna transmitter wajib melaporkan perubahan kepemilikan kapal, nama, fungsi, dan keagenan kapal perikanan. Perubahan tersebut dilaporkan selambat-lambatnya satu minggu sebelum dan sesudah dilaksanakannya perubahan. Surat tersebut dilaporkan kepada Direktur Jenderal Pengawasan dan

62 49 Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan beserta dengan dokumen perubahan yang baru. Apabila pengguna menggunakan transmitter milik negara, maka pemilik kapal yang baru harus membuat surat pernyataan peminjaman transmitter milik negara. Selama proses perubahan pemilik, nama, fungsi, dan keagenan kapal perikanan transmitter harus tetap diaktifkan. (5) Pemilik sedang menjalani proses hukum Perusahaan atau pemilik kapal yang sedang menjalani proses pengadilan atau penegakan hukum wajib melaporkannya kepada Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan c.q Direktur Sarana dan Prasarana Pengawasan. Kewajiban ini dilakukan selambat-lambatnya dua hari sejak dimulainya proses penyidikan. Di dalam laporan tersebut dijelaskan tentang kasus yang sedang dihadapi, tempat pelaksanaan penyidikan dan perkiraan lamanya proses pengadilan tersebut. Laporan tersebut dilengkapi dengan surat keterangan dari penyidik atau pengadilan setempat. Setelah proses pengadilan selesai dijalani, perusahaan perikanan atau pemilik kapal memberikan laporan tertulis kepada Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan c.q Direktur Sarana dan Prasarana Pengawasan yang menyatakan bahwa proses pengadilan telah selesai dijalani dengan melampirkan bukti-bukti hasil penetapan pengadilan. Apabila keputusan pengadilan menyatakan bahwa kapal perikanan miliknya disita untuk negara, maka transmitter negara wajib dikembalikan ke sekretariat VMS. Jika pengadilan menyatakan atau menetapkan putusan bebas terhadap kapal perikanan tersebut, maka perusahaan atau pemilik kapal wajib melaporkan bahwa proses peradilan telah selesai dilaksanakan. Selama proses peradilan dilaksanakan, transmitter pada kapal perikanan dapat dinonaktifkan. Dan setelah masa proses peradilan selesai, kapal tersebut harus mengaktifkan kembali transmitternya. Pada Gambar 11 berikut prosedur perizinan bagi kapal bertransmitter yang sedang menjalani proses hukum.

63 50 Mulai Menjalani proses hukum Melaporkan hukum yang dijalani Proses penyidikan dijalani Transmitter dinonaktifkan Pelaporan hasil pengadilan Ditetapkan tidak bersalah Ditetapkan bersalah Melaporkan dan menyertakan hasil pengadilan Transmitter Negara dikembalikan Transmitter diaktifkan kembali Selesai Selesai Gambar 11 Prosedur izin yang sedang menjalani proses hukum. (6) Kapal tidak beroperasi Kapal perikanan yang tidak beroperasi wajib dilaporkan oleh pemilik kapal selambat-lambatnya satu minggu sejak kapal tidak beroperasi. Pada Gambar 12 dapat dilihat prosedur perizinan bagi kapal bertransmitter yang tidak beroperasi. Laporan tidak beroperasinya kapal dilengkapi dengan informasi mengenai sebabsebab yang saat dipertanggung jawabkan perihal tidak beroperasinya kapal. Kapal yang tidak beroperasi dilaporkan lokasi dan jangka waktu tidak beroperasinya kapal dengan melampirkan surat keterangan dari pengawas perikanan atau galangan kapal tempat perbaikan. Selama kapal tidak beroperasi, transmitter dapat dinonaktifkan.

64 51 Setelah perbaikan selesai dan kapal siap beroperasi, pihak pengguna memberikan laporan tertulis kepada Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan c.q Direktur Sarana dan Prasarana Pengawasan. Laporan tersebut menyatakan bahwa kapal siap beroperasi kembali dan transmitter sudah diaktifkan kembali. Apabila posisi kapal tidak terpantau di Pusat Pemantauan Kapal Perikanan, maka Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan akan memberikan surat pemberitahuan kepada pengguna, kapal belum diizinkan beroperasi dan pengawas perikanan tidak akan menerbitkan SLO. Kapal yang tidak beroperasi seterusnya, maka transmitter milik negara harus segera dikembalikan ke sekretariat VMS. Pengembalian transmitter tersebut harus dalam keadaan lengkap dan berfungsi serta dilengkapi Lembar Pengembalian Transmitter (Form 4). Mulai Kapal tidak beroperasi Melaporkan dan menuliskan sebab kapal tidak beroperasi Kapal rusak Kapal tidak beroperasi selamanya Menyertakan surat keterangan pengawas perikanan Transmitter Negara dikembalikan Selesai Transmitter dinonaktifkan Melaporkan kembali kapal telah diperbaiki Transmitter diaktifkan kembali Selesai Gambar 12 Prosedur izin kapal tidak beroperasi

65 52 (7) Izin tidak diperpanjang Perusahaan atau pemilik kapal perikanan wajib melaporkan kepada Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan tentang tidak diperpanjangnya izin kapal perikanan. Kewajiban tersebut dilakukan selambat-lambatnya satu bulan sebelum habisnya masa berlaku izin. Dalam laporan tersebut menyebutkan nomor ID transmitter, nama kapal, nama perusahaan, nomor SIPI atau SIKPI. Pemilik kapal wajib mengembalikan transmitter milik negara yang telah dipinjam dalam keadaan baik dan lengkap dengan dilengkapi Form 4 lembar pengembalian transmitter. Transmitter yang mengalami kerusakan harus diperbaiki atau diganti oleh pihak peminjam. (8) Izin dicabut Pemilik kapal melaporkan kepada Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan perihal izin yang dinonaktifkan atau dibekukan atau dicabut. Waktu pemilik kapal melaporkan hal ini selambat-lambatnya dua hari setelah izin dinonaktifkan atau dicabut. Isi laporan tersebut disebutkan nomor ID transmitter, nama kapal, nama perusahaan, nomor SIPI atau SIKPI. Pemilik kapal wajib mengembalikan transmitter milik negara yang telah dipinjam dalam keadaan baik dan lengkap dengan dilengkapi Form 4 lembar pengembalian transmitter. Transmitter yang mengalami kerusakan harus diperbaiki atau diganti oleh pihak peminjam. (9) Transmitter dalam keadaan rusak Pemilik kapal wajib menyediakan pengganti transmitter yang mengalami kerusakan. Transmitter yang tidak terpantau di Pusat Pemantauan Kapal Perikanan ketika kapal sedang beroperasi akan diberitahukan kepada pemilik kapal melalui sarana komunikasi yang tersedia. Nakhoda atau pemilik kapal wajib memberitahukan kepada provider tentang kerusakan transmitternya setelah informasi diterima dari Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. Kapal yang sedang beroperasi ketika terjadi kerusakan pada transmitternya wajib menyampaikan posisi kapal ke Sekretariat VMS dan kepala UPT atau

66 53 pelabuhan pangkalan, minimal satu kali dalam dua puluh empat jam secara terus menerus. Kapal diwajibkan merapat ke pelabuhan terdekat untuk melakukan pemeriksaan. Bagi kapal yang memiliki transmitter cadangan dapat terus melakukan operasi setelah melaporkan penggunaan serta berfungsinya transmitter cadangan yang dibuktikan dengan terpantaunya posisi kapal di Pusat Pemantauan Kapal Perikanan. Pengawas perikanan wajib melakukan pemeriksaan transmitter setelah kapal merata di pelabuhan. Hasil pemeriksaan transmitter tersebut dituangkan ke dalam Form 6 untuk kemudian dilaporkan ke Direktur Sarana dan Prasarana Pengawasan. Transmitter yang mengalami kerusakan setelah dilakukan pengecekan harus diperbaiki atau diganti oleh pemilik kapal. Proses penggantian transmitter baru harus melaksanakan prosedur pemasangan transmitter dengan mengisi Form 3 dan melapokannya ke Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. Transmitter yang telah terpantau akan diberikan Surat Keterangan Aktivasi Transmitter kepada pemilik kapal dan ditempatkan bersama dokumen perizinan lain di atas kapal. Perbaikan atau penggantian transmitter yang belum dapat terpantau posisinya tidak akan dikeluarkannya Surat Laik Operasi (SLO) oleh pengawas perikanan. Gambar 13 berikut merupakan prosedur perizinan bila terjadi kerusakan pada transmitter.

67 54 Mulai Transmitter rusak Diberitahukan bahwa transmitter tidak aktif Memberitahukan kepada provider terjadi kerusakan transmitter Menyampaikan posisi terakhir Merapat ke pelabuhan terdekat Mengganti dengan transmitter baru Dilakukan pemeriksaan Melaporkan penggunaannya Penggantian atau perbaikan transmitter Tetap beroperasi Pendaftaran untuk penggantian transmitter Selesai Kapal beroperasi kembali Selesai Gambar 13 Prosedur izin bila terjadi kerusakan transmitter. (10) Kejadian force majeure Kejadian force majeure adalah peristiwa yang terjadi yang tidak diperkirakan sebelumnya sebagai akibat terjadinya perubahan kondisi cuaca, kondisi alam, dan atau kejadian lainnya yang tidak dapat dikendalikan dan diluar unsur kesengajaan yang mengakibatkan kecelakaan antara lain: a) Tenggelam di laut; b) Tersambar petir; dan c) Kebakaran di kapal.

68 55 Kehilangan atau kerusakan yang diakibatkan kejadian force mejeure wajib dilaporkan kepada Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan c.q Direktur Sarana dan Prasarana Pengawasan selambatlambatnya satu minggu sesudah kejadian dilengkapi dengan berita acara laporan kejadian dari pihak berwajib. Apabila kapal perikanan tersebut menggunakan transmitter milik negara, maka wajib mengganti dengan transmitter yang sejenis Transmitter offline Transmitter offline merupakan alat yang berfungsi untuk melakukan pemantauan kapal perikanan secara tidak langsung, yang dipasang dan dioperasikan di atas kapal perikanan yang telah ditentukan serta dipergunakan untuk menerima atau mengirimkan data posisi kapal perikanan ke pengelola sistem. Transmitter offline diwajibkan penggunaannya pada kapal perikanan yang berukuran 30 GT hingga 60 GT. Transmitter ini dipinjamkan oleh pemerintah kepada kapal perikanan yang telah ditetapkan. Unit transmitter offline yang dimiliki oleh pemerintah sebanyak 500 unit. Dan baru 400 unit yang dipasangkan pada kapal perikanan 30 GT hingga 60 GT. Jenis transmitter yang digunakan dalam transmitter offline sama seperti transmitter online. Di dalam sistem penggunaannya transmitter offline tidak jauh berbeda dengan transmitter online. Perbedaan terdapat pada proses pengiriman sinyal data oleh transmitter dan pemantauan yang dilakukan pengawas. Transmitter offline tidak mengirimkan sinyal data melalui satelit. Transmitter ini hanya menyimpan data kegiatan yang telah dilakukan oleh kapal perikanan. Kapal perikanan yang memasang transmitter offline akan menjalani pemeriksaan oleh pengawas perikanan. Sesampainya di pelabuhan pangkalan, transmitter offline yang dipasang pada kapal perikanan akan diolah data-datanya. Pengawas perikanan mendatangi kapal dengan transmitter offline untuk melihat apa saja yang telah dilakukan kapal selama melakukan operasi. Data dari transmitter ditransfer ke laptop pengawas perikanan. Dari data-data tersebut pengawas akan melihat kegiatan kapal. Pengawas akan menganalisis kegiatan tersebut, apa ada indikasi pelanggaran yang dilakukan oleh kapal tersebut. Jika dari hasil analisis terbukti kapal melakukan pelanggaran, maka pengawas tersebut

69 56 berkewajiban menindak dan membuat berita acaranya. Pengawas lapangan akan menyerahkan berkas tersebut kepada Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. Keterampilan dan kemampuan dari pengawas perikanan di pelabuhan sangat dibutuhkan. Hal ini dikarenakan proses kegiatan kapal penangkapan yang dilakukan cukup lama, jadi pengawas harus menganalisa seluruh kegiatan dari awal keberangkatan hingga kapal tersebut kembali ke pelabuhan Website Vessel Monitoring System (VMS) Website Vessel Monitoring System (VMS) merupakan alat komunikasi yang disediakan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan sebagai layanan fasilitas untuk para perusahaan atau pemilik kapal yang telah mengikuti program VMS. Website ini beralamat di dapat dilihat pada Lampiran 1. Sistem informasi ini memungkinkan perusahaan perikanan untuk memantau kapal perikanan yang dimilikinya tanpa memandang letak geografisnya. Website ini dapat digunakan untuk melakukan kegiatan pemantauan kapal perikanan dengan mengakses internet kapanpun dan di manapun pengguna berada. Fasilitas website VMS hanya bisa digunakan oleh perusahaan atau pemilik kapal yang telah memiliki user account dan password. User account dan password diberikan oleh sekretariat VMS kepada pemilik kapal setelah terlebih ahulu mendaftarkan transmitternya. User account dan password tersebut pribadi dan rahasia, maka pemilik kapal hanya dapat melihat posisi kapal perikanannya sendiri. Kapal milik orang lain tidak dapat terpantau atau dilihat dengan password yang berbeda. User dan password tidak boleh digunakan sembarangan dan harus dijaga kerahasiaannya. Tata tertib pengguna user dan password adalah sebagai berikut: 1) User dan password diberikan oleh Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan kepada pengusaha atau pemilik kapal dalam amplop tertutup dan dikirim langsung untuk dipergunakan sebagaimana mestinya; 2) User dan password tidak boleh diberitahukan kepada pihak lain;

70 57 3) User dan password menjadi tanggung jawab perusahaan perikanan atau pemilik kapal dan pengelola (DKP) tidak bertanggung jawab atas pemberian password yang telah diseahkan ke user; dan 4) Administrator Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan dapat melakukan perubahan user dan password apabila dianggap perlu dan perusahaan perikanan atau pemilik kapal diberitahukan perubahan tersebut dalam amplop tertutup yang dikirimkan secara langsung. Pada halaman daftar kapal terdapat empat menu dengan masing-masing kegunaan sebagai berikut : 1) Available unit, adalah daftar nama kapal yang memasang transmitter. Memilih lebih dari satu kapal gunakan tombol SHIFT atau CTRL disertai dengan klik kiri mouse; 2) Position labeling, adalah menampilkan informasi label di posisi peta; 3) History mode, adalah menampilkan sejarah pergerakan kapal; dan 4) Centre on mobile, adalah untuk menampilkan posisi di peta. Di bawah peta terdapat toolbar yang berisikan sekumpulan tombol perintah untuk navigasi peta seperti terlihat pada Tabel 3 dibawah ini. Tabel 3 Toolbar website VMS No Nama tombol Keterangan 1 Zoom into selected point or region Untuk memperbesar target atau daerah. Gunakan klik kiri mouse atau membuat seleksi daerah 2 Zoom away from Untuk memperkecil target atau daerah. Gunakan selected point klik kiri mouse 3 Click to recentre Untuk membuat target berada di tengah-tengah layar jendela peta 4 Pan map Untuk menggeser peta 5 Measure distance Mengukur jarak 6 Position Informasi posisi di peta Sumber: Ditsarpras pengawasan, 2008

71 Pelanggaran 1) Bentuk pelanggaran Di dalam penggunaan transmitter pada kapal perikanan masih banyak ditemukan pelanggaran yang dilakukan. Bentuk-bentuk pelanggaran tersebut diantaranya : (1) Tidak memasang transmitter VMS bagi kapal perikanan 60 GT keatas dan seluruh kapal asing. (2) Memasang transmitter tetapi tidak memberikan informasi secara terus menerus dengan periode waktu setiap jam sekali. (3) Memasang transmitter tetapi dengan sengaja tidak mengaktifkan seperti : 1) Melakukan pemutusan arus listrik dengan sengaja, sehingga transmitter tidak berfungsi dan tidak dapat terpantau di Pusat Pemantauan Kapal Perikanan. 2) Melakukan sesuatu terhadap transmitter dan peralatan pendukungnya seperti menutup transmitter dengan sesuatu atau karena perlakuan lain, sehingga mengakibatkan transmitter tidak dapat terpantau di Pusat Pemantauan Kapal Perikanan (4) Tidak mendaftarkan transmitter (yang dilengkapi nomor ID, nomor seri, jenis, tipe, merk, spesifikasi, provider, dokumen pembelian, dokumen pembayaran airtime, bukti aktivasi dari provider), kepada Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan yang dipasang pada kapal perikanan berukuran di atas 60 GT dan seluruh Kapal Ikan Asing. (5) Tidak melengkapi Surat Keterangan Aktivasi Transmitter yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (Form FMC 1) untuk kapal perikanan di atas 60 GT dan seluruh Kapal Ikan Asing. (6) Tidak melaporkan kepada Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, sesuai dengan waktu yang ditetapkan pada saat docking kapal, penggantian transmitter, penggantian surat izin, perubahan pemilik, nama fungsi, dan keagenan kapal perikanan, proses

72 59 penegakan hukum yang sedang dijalani, tidak beroperasinya kapal perikanan, tidak diperpanjangnya izin kapal perikanan dan force majeure. (7) Tidak melaporkan perubahan kepemilikan, keagenan, nama, spesifikasi, dan perizinan kapal perikanan, serta perubahan nomor ID transmitter, kepada Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. 2) Pelanggaran operasional kapal perikanan Pelanggaran operasional kapal perikanan adalah pelanggaran yang dilakukan oleh kapal perikanan terhadap ketentuan-ketentuan perizinan dan ketentuan-ketentuan lain yang berlaku yang dapat diketahui dari hasil pemantauan VMS terhadap kapal perikanan yang telah memasang transmitter seperti : (1) Perizinan (SIPI/SIKPI/SIUP); (2) Dokumen kapal/spesifikasi; (3) Wilayah penangkapan; (4) Wilayah tertutup/terbatas; (5) Alat tangkap; dan (6) Indikasi pelanggaran seperti ; transshipment, ketaatan berlabuh di pelabuhan pangkalan, dan lain-lain. Gambar 14 berikut merupakan contoh pola pergerakkan kapal melakukan pelanggaran pair trawl yang berhasil terdeteksi. Dan pada Tabel 4 merupakan data ketaatan kapal berpangkalan berdasarkan SLO tahun Sumber: P2SDKP, 2008 Gambar 14 Pola pergerakan kapal melakukan pelanggaran pair trawl.

73 60 Tabel 4 Ketaatan kapal berpangkalan berdasarkan SLO tahun 2008 N0 Pelabuhan Jumlah kapal yang memiliki izin berpangkalan Jumlah ketaatan kapal berpangkalan Sesuai izin Tidak sesuai izin Kapal yang tidak berpangkalan Tingkat ketaatan (%) 1 PPS Belawan ,53 2 PPS Bungus ,42 3 PPS Cilacap ,81 4 PPS Nizam ,79 5 PPN Pemangkat ,75 6 PPN Pekalongan ,44 7 PPN Kejawanan ,00 8 PPN Sibolga ,21 9 PPN Pelabuhan ,41 10 Juwana ,61 11 Tegalsari/Tegal ,43 12 PU Probolinggo ,69 13 Tanjung Pandan Sungai Liat Sei Rengas ,11 16 Batam ,18 17 Natuna/Ranai ,71 18 TB Asahan ,65 19 Muara Angke ,42 20 PPN Bitung ,00 21 PPS Kendari ,16 22 PPN Ambon ,74 23 PPN Ternate ,30 24 PPN Tual ,76 25 Pel. Benoa ,92 26 Pel. Benjina ,62 27 PPP Kupang ,97 28 PPP Merauke ,53 29 PPP Sorong ,00 30 Pel. Dobo ,46 31 Pel Biak ,76 32 Kaimana Avona ,25 33 Melanguane ,71 34 Timika ,94 Sumber: P2SDKP, 2008

74 61 3) Proses penanganan pelanggaran Proses penanganan pelanggaran kapal perikanan yang telah terjadi yaitu dengan : (1) Dilakukan proses hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan mengenakan sanksi administratif dan sanksi pidana; dan (2) Dilakukan pemantauan terhadap tindak lanjut penanganan pelanggaran Sanksi Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.PER.03/MEN/2007, tentang Surat Laik Kapal Perikanan 1) Sesuai dengan pasal 10 dinyatakan bahwa : bagi kapal perikanan yang dinyatakan tidak memenuhi persyaratan adminitrasi dan kelayakan teknis operasional, tidak diterbitkan Surat Laik Operasi (SLO); 2) Bagi kapal perikanan yang tidak memenuhi syarat untuk diterbitkan SLO, pengawas perikanan merekomendasikan kepada syahbandar untuk tidak menerbitkan Surat Izin Berlayar (SIB); 3) Sesuai dengan pasal 8 dinyatakan bahwa: persyaratan kelayakan teknis operasional, diantaranya keberadaan dan keaktifan alat pemantau perikanan; serta 4) Dengan demikian apabila kapal perikanan tidak dilengkapi dengan transmitter atau dilengkapi transmitter tetapi tidak aktif/ tidak dapat terpantau di pusat pemantauan kapal perikanan, maka tidak diterbitkan SLO Berdasarkan peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. PER.05/MEN/2007, tentang Penyelenggaran Sistem Pemantauan Kapal Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan dapat memberikan sanksi apabila orang atau badan hukum atau pengusaha atau pemilik kapal melakukan pelanggaran dalam pelaksanaan sistem pemantauan kapal perikanan, dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Setiap orang dan/atau badan hukum yang menggunakan kapal perikanan berukuran 60GT ke atas dan seluruh kapal perikanan asing yang tidak dilengkapi transmitter dikenakan sanksi pidana berdasarkan pasal 100 undang-undang no. 31 tentang perikanan;

75 62 2) Setiap orang dan/atau badan hukum yang menggunakan kapal perikanan berukuran 60GT ke atas dan seluruh kapal perikanan asing yang tidak mengaktifkan transmitter secara terus menerus dan membayar air time dikenakan sanksi pidana berdasarkan pasal 100 Undang-Undang No. 31 tentang perikanan. 3) Bagi pengguna transmitter yang: (1) Tidak mendaftarkan transmitter (yang dilengkapi no. ID, no. Seri, jenis, tipe, merk, spesifikasi, provider, dokumen pembelian, dokuman pembayaran air time, bukti aktifasi dari provider), kepada Direktorat Jendral Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan Perikanan dan Kelautan yang dipasang pada kapal perikanan berukuran di atas 60GT dikenakan sanksi pidana sesuai dengan pasal 100 undang-undang no. 31 tentang perikanan; (2) Tidak melakukan perubahan kepemilikan, keagenan, nama, spesifikasi dan perizinan kapal perikanan, serta perubahan ID transmitter kepada Direktorat Jendral Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan Perikanan dikenakan sanksi pidana sesuai dengan pasal 100 Undang- Undang No. 31 tentang perikanan; serta (3) Menggunakan kapal perikanan berukuran di atas 60 GT dan seluruh kapal perikanan asing yang dilengkapi SIPI dan/atau SIKPI tetapi tidak dilengkapi surat keterangan aktivasi transmitter yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan Perikanan (FORM FMC 1), dikenakan sanksi pidana sesuai dengan pasal 100 Undang-Undang No. 31 tentang perikanan. 4) Bagi pengguna transmitter yang: (1) Tidak memberi informasi posisi kapal perikanan ke pusat pemantauan kapal perikanan, Direktorat Jendral Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya kelautan perikanan, sekurang-kurangnya setiap jam sekali kecuali dalam keadaan docking dan/atau kapal perikanan sedang tidak beroperasi, dikenakan sanksi adminitratif berupa penerbitan surat peringatan I, II, dan III disertai surat rekomendasi pencabutan izin

76 63 dan/atau sanksi pidana sesuai dengan pasal 100 Undang-Undang No. 31 tentang perikanan. (2) Tidak melaporkan kepada Direktorat Jendral Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan Perikanan mengenai hal-hal yang terkait dengan kapal dan/atau transmitter sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan seperti : a) Docking kapal, selambat-lambatnya satu bulan sebelum pelaksanaan docking; b) Penggantian transmitter, selambat-lambatnya satu minggu sebelum dilaksanakan penggantian; c) Penggantian surat izin, selambat-lambatnya satu bulan sebelum dilaksanakan penggantian; d) Perubahan pemilik, nama, fungsi, dan keagenan kapal perikanan selambat-lambatnya satu minggu sebelum dan satu minggu sesudah dilaksanakan perubahan; e) Proses penegakan hukum yang sedang dijalani, selambat-lambatnya dua hari sejak dimulai penyelidikan; f) Tidak beroperasinya kapal perikanan, selambat-lambatnya satu minggu sejak kapal tidak beroperasi; g) Tidak diperpanjang izinnya kapal perikanan, selambat-lambatnya satu bulan sebelum habisnya masa berlaku izin; dan h) Force Majeure, selambat-lambatnya satu minggu sesudah kejadian dilengkapi dengan laporan kejadian dan berita acara dari pihak berwajib. Sanksi administratif akan dikenakan berupa surat peringatan I, II dan III disertai surat rekomendasi pencabutan izin dan/atau sanksi pidana sesuai dengan pasal 100 Undang-Undang No. 31 tentang perikanan 5) Sanksi administratif dan/atau pidana sebagai mana yang dimaksud pada ayat (3), dikenakan dengan tahapan sebagai berikut: (1) Diberikan peringatan I oleh Direktorat Jendral Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan Perikanan;

77 64 (2) Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak terbitnya peringatan tertulis I, pengguna transmitter tidak melaksanakan isi peringatan tertulis I, diberikan peringatan II; (3) Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak terbitnya perimgatan tertulis II, pengguna transmitter tidak melaksanakan isi peringatan tertulis I, diberikan peringatan III, disertai dengan rekomendasi pencabutan izin kepada Direktur Jendral Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan Perikanan tidak menerbitkan Surat Laik Operasi; dan (4) Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak terbitnnya perimgatan tertulis III, pengguna transmitter tidak melaksanakan isi peringatan tertulis III dan Direktur Jendral Perikanan Tangkap tidak mencabut izin, penyidik pegawai negeri sipil perikanan berhak menahan izin kapal perikanan yang bersangkutan dan dilakukan proses hukum berdasarkan pasal 100 Undang-Undang No. 31 tentang perikanan. 6) Sanksi terhadap penggunaan transmitter milik negara: (1) Kerusakan yang mengakibatkan tidak berfungsinya transmitter maka perusahaan atau pemilik kapal atau agen perusahaan dikenakan sanksi berupa penggantian tranmitter baru; (2) Kerusakan yang terjadi pada keseluruhan ataupun bagian-bagian dari transmitter, maka pihak pengguna wajib memperbaiki dan/atau mengganti dengan transmitter baru; dan (3) Kehilangan transmitter karena berbagai sebab, termasuk force majeure, maka pihak pengguna wajib mengganti dengan transmitter baru yang sejenis

78 Pembahasan Persepsi pelaku perikanan Di dalam pelaksanaan sistem pemantauan kapal perikanan (VMS) di Indonesia, banyak ditemukan pendapat-pendapat atau persepsi dari para pelaku perikanan. Dari mereka dapat diketahui berbagai hal teknis dalam pelaksanaan VMS, baik itu berupa kelebihan maupun kekurangan yang ditimbulkan dari program ini. Dan itu semua di dapat dari pengalaman-pengalaman mereka selama berpartisipasi dalam program VMS. Salah satu kekurangannya adalah biaya yang harus mereka keluarkan untuk kepartisipasian dalam program ini menurut mereka dinilai terlalu mahal. Mereka harus membeli transmitter untuk dipasang pada kapal mereka yang harga satu unitnya berkisar dua puluh juta hingga tiga puluh juta rupiah. Biaya airtime yang harus dibayarkan setiap satu tahunnya yang juga tidak kecil yaitu berkisar enam juta hingga delapan juta rupiah pertahunnya. Biaya ini tentunya akan menambah biaya tetap dan biaya operasional penangkapan ikan. Menurut kebanyakan kapten dan ABK kapal, biaya ini masih terlalu mahal karena dengan bertambahnya biaya ini akan mengurangi pendapatan mereka. Selain biaya pembelian dan pembayaran airtime, biaya tersebut akan bertambah jika terjadi kerusakan terhadap transmitter. Kerusakan yang terjadi akan menjadi tanggung jawab pemilik kapal. Kerusakan transmitter tersebut harus segera diperbaiki oleh provider. Perbaikan ini tentunya akan mengeluarkan biaya perbaikan. Biaya perbaikkan untuk teknisinya sekitar satu juta lima ratus ribu rupiah per satu kali perbaikkan. Biaya tersebut belum termasuk dengan komponen yang harus diganti jika terdapat yang rusak. Karena dalam setiap pembelian tidak berlaku garansi yang diberikan pihak provider. Jika transmitter tersebut tidak dapat diperbaiki, maka harus diganti dengan yang baru. Dengan demikian akan terus menambah biaya yang harus dikeluarkan pemilik kapal. Menurut pengawas perikanan di pelabuhan bahwa pada awal pelaksanaan periode kedua program vessel monitoring system, banyak ditemukan terjadinya kerusakan transmitter. Kerusakan yang terjadi disebabkan oleh kejadian force majeure atau lebih sering dikarenakan kondisi kapal yang tidak mendukung. Kerusakan yang sering dialami adalah putusnya sikring pada transmitter atau

79 66 kabel yang putus karena gigitan tikus. Hal ini dapat terjadi karena kondisi wheel house yang terlalu berantakan disekitar transmitter. Seharusnya kejadian ini tidak harus terjadi jika saja terdapat pengetahuan yang cukup dari kapten kapal ataupun ABK. Transmitter yang tidak aktif di tengah laut sering dianggap bahwa sengaja dilakukan oleh kapten kapal. Akan tetapi tidak semuanya kejadian tersebut benar, karena sering ditemukan kapal yang transmitternya mati bukan karena sengaja dimatikan akan tetapi kapten atau ABK kapal tidak tahu kalau transmitternya telah tidak aktif. Jika seperti ini keadaannya akan menghalangi kegiatan penangkapan, karena transmitter pada kapal tersebut harus segera diperbaiki dan jika tidak kapal harus segera merapat ke pelabuhan terdekat yang selanjutnya dilakukan perbaikan oleh pengawas perikanan di pelabuhan tersebut. Kerusakan tersebut harusnya dapat diatasi sendiri oleh kapten ataupun ABK kapal perikanan. Namun karena kurangnya pengalaman dan sosialisasi kepada mereka dalam menangani kerusakan kecil transmitter diatas kapal, membuat mereka merasa takut untuk bertindak. Walaupun telah terdapat panduan pemeliharaan transmitter yang diberikan oleh pihak provider, mereka tetap tidak mengetahui cara pelaksanaannya. Hal ini disebabkan tidak adanya tindakan langsung dalam latihan penanganan pemeliharaan transmitter. Salah satu pemilik kapal yang juga merupakan anggota Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) menyatakan bahwa kewajiban menggunakan transmitter sangat berpengaruh besar terhadap usaha perikanannya. Setiap kapal penangkapan ikan tuna untuk ekspor wajib memiliki transmitter. Hal ini disebabkan ikan tuna yang ditangkap oleh kapal yang tidak memiliki transmitter akan dikembalikan kembali atau ditolak untuk pasar ekspor. Ketetapan ini sudah menjadi keputusan atau peraturan dalam asosiasi tuna longline dunia. Pemeriksaan yang dilakukan pengawas perikanan terhadap kapal perikanan di tengah laut, menurut salah satu kapten kapal mengatakan bahwa pemeriksaan pertama kali adalah pengecekan transmitter. Saat ini pemeriksaan kapal lebih diutamakan kelengkapan transmitter yang dimiliki kapal ukuran 30 GT ke atas. Pengecekan ini untuk mengetahui kondisi transmitter yang telah terpasang. Jika di kapal tidak dilengkapi transmitter atau transmitter tidak aktif, maka pengawas

80 67 langsung melakukan hendrik (kegiatan membawa kapal perikanan ke pelabuhan terdekat oleh pengawas kapal perikanan yang terbukti melakukan pelanggaran) terhadap kapal tersebut. Ketika dalam penerimaan sinyal dari unit transmitter setelah dilakukan pemasangan di atas kapal terdapat pula kendala yang dihadapi. Menurut pengawas perikanan di pelabuhan, bahwa sering terjadi keterlambatnya penerimaan sinyal oleh pusat pemantauan kapal perikanan dalam menerima sinyal dari transmitter yang telah diaktifkan. Kendala tersebut seharusnya tidak terjadi, karena setelah dilakukan pengecekan kepada pihak provider, bahwa transmitter tersebut telah terpantau oleh provider. Kendala tersebut akan merugikan pihak nelayan. Terjadinya hal ini akan menghambat kegiatan penangkapan. Pemilik kapal sesekali mengecek posisi kapalnya. Akan tetapi tampilan gambar yang ada menurutnya masih sangat kurang. Tampilan yang hanya berbentuk titik dan garis pola pergerakkan belum sepenuhnya dapat mewakili kegiatan kapal tersebut. Mereka belum mengetahui cara mengartikan tampilan tersebut. Beda halnya jika tampilan tersebut berupa gambar asli yang direkam oleh satelit. Seperti salah satu program internet Google Earth yang pernah mereka lihat. Tampilan gambar yang disajikan dapat memperlihatkan keadaan muka bumi dari satelit. Jika seperti ini tentunya akan membantu mereka melihat kapalnya di laut. Pengawas perikanan berpendapat bahwa program VMS tidak dapat mengurangi praktek IUU fishing yang dilakukan oleh kapal perikanan. Menurut mereka jika hanya mengandalkan VMS untuk mengurangi illegal fishing sangat kecil peluangnya. Setiap kapal perikanan akan terus mencari cara untuk terhindar dari pengawasan dan akan tetap mencari keuntungan dari sumberdaya ikan yang ada di Indonesia. Jadi menurut mereka VMS hanya dapat mengawasi pergerakan kapal. Hasil rekaman pergerakkan dapat sebagai bukti persidangan jika terdapat kapal yang telah melakukan pelanggaran. Salah satu tindakan yang dilakukan ABK kapal perikanan agar terhindar dari pengawasan adalah memindahkan transmitter kepada kapal lain. Menurut pengawas perikanan bahwa sering ditemui pelanggaran seperti ini. Cara ini yang sering dilakukan ABK kapal perikanan saat ini. Jadi seharusnya terdapat

81 68 perbaikkan dalam instalasi pemasangan dari provider yang membuat agar transmitter tersebut tidak dapat dipindah-pindahkan. kelemahan. Setiap unit transmitter yang dikeluarkan oleh provider juga memiliki Menurut pengawas perikanan, transmitter-transmitter tersebut memiliki kelemahan mengirimkan sinyal di wilayah perairan tertentu. Di dalam pengawasan, transmitter tertentu tidak dapat terdeteksi di pusat pemantauan kapal perikanan. Seperti argos yang tidak dapat terdeteksi di wilayah perairan timur Indonesia. Hal ini karena posisi satelit yang orbit lintasannya tidak dapat mendeteksi daerah tersebut. Jika seperti ini tentunya akan menghambat proses pengawasan. Oleh karena itu kapal perikanan yang wilayah operasi penangkapannya di daerah tersebut harus memasang transmitter yang dapat terdeteksi di daerah tersebut. Manfaat yang seharusnya diterima juga sangat kurang atau tidak dirasakan langsung oleh pengguna transmitter. Menurut beberapa nelayan bantuan sering terlambat ataupun tidak ada bantuan sama sekali ketika terjadi masalah terhadap kapalnya. Hal ini membuat pengguna transmitter merasa tidak mendapatkan keuntungan dari pemasangan transmitter. Selain itu manfaat yang diberikan dari VMS yaitu pemilik dapat memantau kapalnya bagi mereka tidak berpengaruh besar. Menurut mereka hal semacam itu dapat mereka lalukan dengan radio komunikasi ataupun telepon selular. Cara ini cukup mudah dilakukan dan murah. Jika dilihat tingkat pengetahuan tentang VMS dari nelayan pemilik kapal, kapten, maupun ABK kapal sangat berbeda. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini: Tabel 5 Tingkat pengetahuan tentang VMS Sangat tidak Sangat Mengetahui mengetahui mengetahui Jumlah Nelayan ABK Nakhoda Pemilik Berdasarkan Tabel 5 diatas, masih banyak ditemukan kekurang-pahaman dari para pelaku perikanan seperti pemilik kapal, nakhoda, serta ABK kapal. Hasil wawancara yang dilakukan pada kapal perikanan di PPS Nizam Zachman

82 69 menunjukkan bahwa masih banyak pelaku perikanan tidak mengetahui maksud, tujuan, maupun manfaat dari sistem pemantauan kapal perikanan ini. Hasil wawancara sebanyak lima belas orang dari dua puluh responden pada posisi sebagai ABK dihasilkan bahwa mereka sangat tidak mengetahui tentang VMS. Lima orang ABK lainnya mengetahui VMS. Akan tetapi tingkat kepahaman mereka hanya sebatas tentang fungsinya. Mereka mengatakan bahwa VMS dapat menampilkan posisi kapal mereka di layar monitor. Pengetahuan ini mereka dapat dari informasi yang berasal dari kapten kapal mereka. Hal yang sama terjadi pada posisi nakhoda atau kapten kapal. Tingkat pemahaman mereka tentang VMS masih belum terlalu banyak. Dari sepuluh orang responden pada posisi nakhoda, terdapat empat orang sangat tidak mengetahui, empat orang mengetahui, dan dua orang yang sangat mengetahui. Mereka mendapatkan pengetahuan tentang VMS dari lingkungan dan pemilik kapal. Dua orang nakhoda yang sangat mengetahui tentang VMS mengatakan bahwa tidak ada sosialisasi yang diberikan tentang VMS. Akan tetapi mereka telah mengetahui fungsi, cara kerja, dan manfaat yang dapat diterima dengan pemasangan transmitter pada kapalnya. Di lain pihak pemahaman tentang VMS yang dimiliki oleh pemilik kapal sangat berbeda dengan nakhoda ataupun kapten kapal. Fungsi, tujuan, manfaat, bahkan cara kerja sistem ini cukup mereka ketahui. Teknologi informasi yang membantu pemilik kapal mengetahui semua tentang VMS Persepsi peneliti Vessel monitoring system (VMS) memiliki fungsi dan manfaat untuk memantau kapal perikanan yang beroperasi di wilayah perairan Indonesia. Di dalam PERMEN No PER. 05/MEN/2007 tentang penyelenggaraan sistem pemantauan kapal perikanan terdapat empat tujuan penyelenggaraan. Keempat tujuan tersebut telah terlaksana dengan baik yang menjadi kelebihan sistem ini. Selain kelebihan yang diperoleh, jika dilihat pada pelaksanaannya masih banyak kekurangan atau kendala yang terjadi. Kendala tersebut terjadi di tingkat pengguna maupun di tingkat pengawasan.

83 70 Tujuan pertama yaitu meningkatkan efektivitas pengelolaan sumberdaya ikan melalui pengendalian dan pemantauan terhadap kapal perikanan hingga saat ini sudah dijalankan dengan baik. Dengan pemasangan transmitter pada kapal perikanan akan memudahkan pemantauan kapal perikanan yang akan berdampak langsung terhadap peningkatan efektivitas pengelolaan sumberdaya ikan. Akan tetapi terdapat pula kelemahan dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Pemantauan terhadap kapal ikan belum sepenuhnya dapat mengelola sumberdaya ikan. Masih sering ditemukan pelanggaran yang dilakukan kapal perikanan dalam operasinya. Kapal ikan melakukan pelanggaran dengan memanfaatkan kelemahan dari sistem ini, seperti mematikan transmitter ditengah laut. Pusat pemantauan kapal perikanan mengetahui hal ini dan mengirimkan surat peringatan kepada pemilik kapal untuk disampaikan kepada kapten kapalnya. Tetapi apakah transmitter yang tidak aktif benar karena kerusakan yang terjadi di atas kapal atau memang kesengajaan yang dilakukan kapal perikanan. Di dalam kasus ini pengawas di FMC hanya mengawasi dan tidak dapat bukti, maka VMS belum sepenuhnya efektif dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Tujuan yang kedua meningkatkan efektivitas pengelolaan usaha perikanan yang dilakukan oleh perusahaan perikanan. Sebelum VMS dilaksanakan di Indonesia, para pengusaha perikanan yang dalam hal ini adalah pemilik kapal, tidak dapat mengetahui keberadaan dan kondisi kapal mereka ketika melakukan operasi penangkapan. Komunikasi yang dilakukan hanya dengan menggunakan radio atau telepon satelit. Ini tidak membantu banyak dalam mengetahui keberadaan kapalnya. Salah satu pelaksanaannya adalah dengan memberikan fasilitas website VMS yang dikelola oleh Direktorat Sarana dan Prasarana Pengawasan. Website tersebut akan menampilkan pergerakan dan posisi kapal perikanan di perairan Indonesia. Tujuan tersebut diharapkan dapat membantu perusahaan perikanan. Efeknya sudah cukup dirasakan oleh perusahaan perikanan, akan tetapi masih terdapat sedikit kekurangan. Tampilan yang menggambarkan pola garis pergerakan kapal menyulitkan perusahaan perikanan mengartikannya. Perlu dilakukan sosialisasi kepada pengguna website dalam mengartikan maksud pola pergerakan tersebut, serta perbaikkan tampilan gambar di website.

84 71 Tujuan ketiga meningkatkan ketaatan kapal perikanan yang melakukan kegiatan penangkapan dan/atau pengangkutan ikan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini ketaatan hanya terjadi dengan pemasangan transmitter pada kapal perikanan yang melakukan operasi penangkapan ikan di Indonesia. Pelaksanaan operasi perikanan di laut, masih banyak pelanggaran yang dilakukan kapal perikanan. Di dalam penangkapan, masih terdapat kapal perikanan yang berusaha mencari cara untuk terhindar dari pengawasan. Hal ini disebabkan tujuan mereka mencari ikan sebanyak mungkin. Jadi peningkatkan efektivitas ketaatan kapal perikanan tidak akan terlaksana dengan program ini, jika tidak ada kerjasama dari kapal perikanan tersebut. Tujuan keempat memperoleh data dan informasi tentang kegiatan kapal perikanan dalam rangka pengelolaan sumberdaya ikan secara bertanggung jawab dan berkelanjutan. Tujuan keempat ini telah terlaksana dengan baik. Terpasangnya transmitter pada kapal perikanan akan diperoleh data dan informasi mengenai posisi dan pergerakan kapal. Hal tersebut akan membantu pengelolaan sumberdaya perikanan. Berdasarkan empat tujuan dari penyelengaraan sistem pemantauan kapal perikanan yang dilakukan oleh DKP hanya tiga tujuan dirasakan dapat terlaksana dengan baik. Ketiga tujuan tersebut seperti meningkatkan efektivitas pengelolaan sumberdaya ikan melalui pengendalian dan pemantauan terhadap kapal perikanan, meningkatkan efektivitas pengelolaan usaha perikanan yang dilakukan oleh perusahaan perikanan, dan memperoleh data dan informasi tentang kegiatan kapal perikanan dalam rangka pengelolaan sumberdaya ikan secara bertanggung jawab dan berkelanjutan. Hal ini menjadi suatu manfaat yang diterima oleh pemerintah dari pelaksanaan sistem pemantauan kapal perikanan. Sedangkan apa yang menjadi manfaat bagi pemilik kapal dengan mengikuti program ini. Di dalam pelaksanaan sistem pemantauan kapal perikanan manfaat bagi pengusaha/pemilik kapal menurut Mukhtar (2008) terdapat dua yaitu dapat memanfaatkan informasi dari Vessel Monitoring System untuk memantau keberadaan dan perilaku kapal di laut melalui website dan dapat memanfaatkan informasi Vessel Monitoring System untuk keadaan darurat (pembajakan, kebakaran, tenggelam dan lain-lain). Akan tetapi hingga saat ini pemilik kapal

85 72 hanya menerima satu dari dua manfaat yaitu memudahkan pemantauan kapalnya ketika beroperasi. Sedangkan jika terjadi kecelakaan atau sesuatu hal yang menimpa tidak dengan cepat bantuan yang dijanjikan datang ke lokasi. Berdasarkan perbandingan jumlah manfaat yang diperoleh antara pemerintah dan pemilik kapal/nelayan sangat tidak berimbang. Jumlah manfaat yang diperoleh pemerintah lebih banyak dibandingkan dengan pemilik kapal. Jika dilihat dari pelaksanaannya pemerintah hanya sebagai pengelola sistem, sedangkan pemilik kapal sebagai pengguna yang harus mengeluarkan biaya pembelian transmitter dan pembayaran airtime setiap tahunnya. Pemilik kapal merasa dengan penggunaan transmitter sangat tidak menguntungkan. Karena dengan penambahan penggunaan transmitter di kapal, akan meningkatkan beban biaya operasional. Selain itu kerahasiaan operasi penangkapan yang dilakukan kapal perikanan akan mudah diketahui. Kenyataannya setiap kapal menginginkan daerah penangkapan ikan yang menguntungkan tidak diketahui oleh kapal lain. Oleh karena itu pelaksanaan sistem ini dirasakan masih belum dapat terlaksana dengan baik dan tidak mampu menguntungkan pemerintah dan pelaku perikanan, sehingga kekurangan masih terjadi dalam sistem pemantauan kapal perikanan. Berdasarkan hasil observasi masih banyak ditemukan kekurangan atau hambatan dalam pelaksanaan sistem pemantauan kapal perikanan. Seperti dalam pemasangan dan pendaftaran transmitter. Prosedur yang harus dilakukan oleh perusahaan perikanan terlampau lama dan rumit. Ketika mendaftarkan transmitter, pengguna harus mendaftarkannya sekretariat VMS gedung Departemen Kelautan dan Perikanan. Akan menggangu atau mempersulit kapal atau pemilik yang berada jauh dari Departemen Perikanan dan Kelautan dalam mendaftarkan transmitternya. Ini menjadi hambatan besar bagi perusahaan perikanan. Ketika pendaftaran transmitter untuk mendapatkan SKAT juga harus menunggu transmitter pada kapalnya dapat terpantau di Pusat Pemantauan Kapal Perikanan. Server yang terlambat atau tidak dapat menerima sinyal akan menghambat kapal yang akan melakukan operasi. Padahal transmitter telah diaktifkan dan dapat terpantau pada monitor provider.

86 73 SKAT yang dikeluarkan harus disahkan dengan ditandatangani oleh Direktur Sarana dan Prasarana Pengawasan. Akan tetapi akan menjadi satu hambatan lagi bagi pengguna transmitter jika direktur tidak berada ditempat atau sedang menjalani tugas lain. Kapal yang seharusnya sudah dapat berangkat beroperasi menjadi terhambat dengan terjadinya hal ini. Jika hambatan-hambatan tersebut dapat diminimalisir atau tidak ada sama sekali akan membantu cepatnya proses pemasangan dan pendaftaran transmitter. Oleh karena itu perlu dilakukan perbaikan sistem ini. Transmitter negara yang dipinjam oleh pemilik kapal terdapat prosedur yang merumitkan para peminjam. Peminjam harus melakukan permohonan izin peminjaman yang rumit. Transmitter milik negara yang seharusnya membantu nelayan yang tidak mampu membeli transmitter, kini merasa disusahkan dengan prosedur yang rumit. Pengguna transmitter langsung dalam hal ini adalah kapten dan ABK kapal sering dipersulit jika transmitternya rusak. Kurangnya sosialisasi kepada kapten atau ABK kapal membuat pelaksanaanya terhambat. Meskipun telah terdapat panduan pemeliharaan dan perbaikan transmitter, mereka masih segan atau takut bertindak untuk memperbaiki. Hal ini karena mereka tidak mengetahui maksud dan cara penanganannya jika hanya dengan membaca panduan. Komponenkomponen pada transmitter belum mereka ketahui. Jadi jika terjadi kerusakan, kapten kapal tidak tahu komponen mana yang rusak pada transmitter. Jarak tempat atau lokasi pengguna transmitter dengan FMC akan menjadi kendala dalam pelaksanaan sistem ini. Jarak ini akan mempersulit pengguna ketika akan melakukan perizinan terhadap kapalnya. Pengguna yang berada jauh akan menggunakan jasa agen yang tentu akan menambah biaya yang dikeluarkan. Seperti yang banyak terjadi di PPS Nizam Zachman, pemilik kapal yang berada jauh sedangkan kapalnya berpangkalan di Jakarta akan menggunakan jasa agen untuk mengurus perizinannya. Jasa agen ini yang selama ini membantu perizinan kapal yang pemiliknya berada jauh. Jarak yang menjadi hambatan selama ini mungkin akan dapat teratasi dengan membuat tempat pengawasan transmitter tersebut di setiap pelabuhan pangkalan kapal perikanan. Seperti pelaksanaan transmitter offline, bahwa

87 74 pengawas perikanan di pelabuhan dapat langsung melihat kegiatan kapal setelah kapal berlabuh dengan pengawasan langsung ke kapal tersebut. Jika pemantauan transmitter online juga dilaksanakan di pelabuhan pangkalan dengan terdapat unit alat pegawasan, tentunya akan mempersingkat waktu penindakan pelanggaran jika terbukti terdapat pelanggaran. Proses pengawasan kapal perikanan yang dilakukan di Pusat Pemantauan Kapal Perikanan dirasakan juga memiliki sedikit kekurangan. Di dalam pengawasan kapal perikanan hanya dilakukan oleh sepuluh orang operator yang telah dibagi berdasarkan alat tangkap. Jumlah operator ini dirasakan sangat kurang jika dilihat kefektifannya. Kapal perikanan yang telah memasang transmitter pada kapal yang sudah mencapai dua ribu sembilan ratus unit pada tahun Jika dilihat maka setiap operator harus mengawasi kapal perikanan sekitar dua ratus sembilan puluh unit. Pengawasan terhadap kapal perikanan tiap harinya tidak optimal. Dengan keterbatasan operator maka pengawasan terhadap satu unit kapal tidak dapat dilakukan setiap harinya. Dengan begitu akan mengurangi proses pengawasan kapal perikanan. Kapal yang tidak terawasi pada saat melakukan pelanggaran tidak akan dapat langsung diambil tindakan penegakkan sanksi. Kapal perikanan yang telah memasang transmitter tidak menutup kemungkinan tetap melakukan pelanggaran. Hal ini disebabkan yang terawasi hanya pola pergerakan kapal dan posisinya. Pelaku perikanan akan mencari cara untuk tetap melakukan pelanggaran. VMS yang diharapkan dapat menghilangkan praktek IUU fishing, tidak mungkin dapat terjadi. Hal ini dikarenakan fungsi sistem ini yang hanya melakukan pengawasan tidak dapat kegiatan yang dilakukan kapal perikanan secara langsung. Berikut Tabel 6 berisikan jenis tindak pidana yang dilakukan oleh kapal perikanan selama tahun 2004 hingga 2008.

88 75 Tabel 6 Jenis tindak pidana Tahun Jenis tindak pidana Tanpa ijin Alat tangkap terlarang Tanpa ijin dan alat tangkap Pemalsuan dokumen Dokumen tidak lengkap Electrical fishing Bahan peledak/bom Fishing ground Fishing ground dan alat tangkap Pengangkutan ikan (transhipment) Menampung ikan tidak sesuai SIKPI Tanpa keterangan jenis tindak pidana stranshipment dan alat tangkap Tidak ada transmitter Pencurian terumbu karang Alat tangka tidak sesuai ijin (SIPI) Jumlah Sumber: P2SDKP, 2008 Berdasarkan Tabel 6 tersebut diketahui bahwa terjadi pengurangan tindak pidana yang dilakukan kapal perikanan. Pengurangan tersebut tidak terjadi hanya dengan melakukan sistem pemantauan kapal perikanan. Jika dilihat bahwa pelanggaran yang terjadi sebagian besar adalah tindak pelanggaran yang kemungkinan bukan karena hasil pengawasan dengan VMS. Selama tahun 2008, jumlah pengguna transmitter terus bertambah. Dalam setiap bulannya mulai Januari hingga Desember terdapat peningkatan kapal perikanan yang memasang transmitter. Pada bulan Januari transmitter yang telah terpasang berjumlah 1278 unit transmitter dan diakhir tahun yaitu bulan Desember kapal yang memasang transmitter sebanyak 2902 unit. Seperti yang dapat dilihat pada Tabel 7 data keaktifan transmitter dan Gambar 15 grafik keaktifan transmitter berikut :

89 Januai Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Jumlah 76 Tabel 7 Data keaktifan transmitter Bulan Transmitter terpasang Transmitter aktif Prosentase keaktifan Januai Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Rata-rata prosentase keaktifan 54.5 Sumber: P2SDKP, 2008 Data Keaktifan Transmitter Tahun Transmitter Terpasang Transmitter Aktif Bulan Sumber: P2SDKP, 2008 Gambar 15 Grafik keaktifan transmitter tahun Berdasarkan Tabel 7 tersebut dapat dilihat bahwa tingkat keaktifan transmitter sekitar 54,5%. Jadi walaupun telah terdapat peraturan untuk selalu mengaktifkan transmitter pada kapal perikanan, masih terdapat kapal yang tidak mengaktifkan transmitternya. Persentase terbesar hanya sekitar 68% dan terendah 34%. Dari sini terbukti bahwa tidak semua peraturan tersebut dapat terlaksana seluruhnya.

90 77 Berikut disajikan Tabel 8 mengenai kelemahan dan kelebihan yang terjadi dalam sistem pemantauan kapal perikanan. Kelebihan dan kelemahan tersebut diperoleh dari wawancara dan observasi yang telah dilakukan. Tabel 8 Kelebihan dan kelemahan VMS Kelebihan Efektif dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Membantu perusahaan perikanan dalam mengetahui kondisi keberadaan kapal. Diperoleh data dan informasi kegiatan kapal perikanan. Membantu pengawasan perikanan dalam program MCS. Dapat menjadi bukti pelanggaran dalam persidangan. VMS membantu pengusaha tuna longline dalam mengekspor ikan. Kelemahan Prosedur pengurusan mengenai transmitter rumit dan lama. Biaya pembelian, airtime, dan perbaikkan mahal. Pengetahuan penanganan dan pemeliharaan transmitter masih rendah. Penerimaan sinyal oleh pusat pemantauan kapal perikanan terganggu. Tampilan gambar pergerakkan kapal di website sulit dimengerti. VMS tidak menghentikan kegiatan IUU fishing. Tidak ada manfaat langsung yang diterima nelayan. Masih kurang sosialisasi mengenai VMS.

91 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 1) Sistem kerja Vessel Monitoring System (VMS) dibagi menjadi tiga, yaitu pemasang yang dilakukan oleh provider atau pengawas lapangan, pemantau oleh petugas atau operator pengawasan, dan penindak oleh Ditjen P2SDKP. 2) Pengelolaan sistem VMS dilakukan oleh Fisheries Monitoring Centre (FMC) Jakarta sebagai pusat dan dua Regional Monitoring Centre (RMC) di Batam dan Ambon sebagai pengelolaan pendukung. 3) Sistem pemantauan kapal perikanan memiliki dua jenis sistem pemantauan yang diterapkan pada kapal perikanan di Indonesia yaitu pemantauan dengan sistem transmitter online dan offline yang dibedakan berdasarkan dengan ukuran GT kapal. 4) Transmitter online berlaku untuk Kapal Ikan Indonesia (KII) berukuran 60 GT ke atas dan semua Kapal Ikan Asing (KIA), sedangkan transmitter offline berlaku pada kapal berukuran 30 GT hingga 60 GT. 5) Pelaksanaan sistem ini terdapat ketentuan mengenai transmitter yaitu prosedur pemasangan transmitter, prosedur pengembalian transmitter, pemeriksaan transmitter, kewajiban pengguna transmitter, serta pengaturan lain transmitter. 6) Pelanggaran kapal perikanan teknis maupun operasional dikenakan sanksi berdasarkan peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. PER.05/MEN/2007, tentang penyelenggaraan sistem pemantauan kapal perikanan. 7) Persepsi pelaku perikanan mengenai VMS berpendapat bahwa sistem ini memiliki beberapa kelebihan dan masih banyak kekurangannya. Diantara persepsi tersebut pengusaha perikanan mudah memantau kapalnya. Pendapat pelaku perikanan lebih banyak menyatakan bahwa VMS lebih banyak menyulitkan dan merugikan nelayan baik dari pengadaan transmitter maupun pelaksanaannya.

92 79 8) Manfaat yang diterima oleh pemerintah adalah meningkatkan efektivitas pengelolaan sumberdaya ikan melalui pengendalian dan pemantauan terhadap kapal perikanan, meningkatkan efektivitas pengelolaan usaha perikanan yang dilakukan oleh perusahaan perikanan, dan memperoleh data dan informasi tentang kegiatan kapal perikanan dalam rangka pengelolaan sumberdaya ikan secara bertanggung jawab dan berkelanjutan 9) Manfaat yang diterima pemilik kapal atau nelayan hanya sebatas untuk memantau keberadaan dan perilaku kapal di laut yang dilakukan melalui Website. 5.2 Saran 1) Direktorat Perikanan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan hendaknya perlu melakukan perbaikan sistem pemantauan kapal perikanan dalam proses pengurusan transmitter, proses analisis data transmitter, pelaksanaan transmitter di kapal dan penampilan gambar pada website VMS. 2) Perlu dilakukan sosialisasi dan pelatihan terhadap pelaku perikanan (pengusaha, nakhoda, dan ABK kapal) mengenai tujuan, manfaat, cara teknis pengelolaan, dan perawatan transmitter. 3) Perlu penelitian tentang pengaruh VMS terhadap pelanggaran kapal perikanan di Indonesia.

93 DAFTAR PUSTAKA Caphlin, J. P Kamus Lengkap Psikologi. Edisi 5. Jakarta: Raja Grafindo Persada. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No: Kep 60/MEN/2001 tentang Penataan Penggunaan Kapal Perikanan di ZEEI. Jakarta: DKP. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan UU No. 31 Tentang Perikanan. Jakarta: DKP [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No: Permen. 03/MEN/2007 tentang Surat Laik Operasi Kapal Perikanan. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No: Permen. 05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Jakarta: DKP. Direktorat Jenderal Perikanan Pola Pengembangan dan Pengelolaan Berkelanjutan di ZEEI. Jakarta: Departemen Pertanian. 141 hal. Direktorat Sarana dan Prasarana Pengawasan Standar Operasional Prosedur Sistem Pemantauan Kapal Perikanan (Vessel Monitoring System). Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. 34 hal. FAO Code of Conduct For Responsible Fisheries. ROMA. 218 hal. FAO Technical Guidelines for Rensponsible Fisheries - Fishing Operaions - 1 Suppl Vessel Monitoring Systems. Roma Fyson, J Design of Small Fishing Vessels. England: Fishing News Book. Handayaningrat Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen CV. Haji Mas Agung. Jakarta. 172 hal. Herryanto, D Persepsi Masyarakat Pesisir di Kabupaten Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Latar, A.R Strategi Kebijakan Untuk Penanggulangan Kegiatan IUU Fishing di Perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia Utara Papua [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

94 81 Leavitt, Hj Psikologi Manajemen. Muslichah Zarkasi, penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Managerial Psychology. Mansur, A Kinerja Pengawasan Kapal Perikanan (Studi Kasus di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta). [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Mukhtar Pengaturan Penggunaan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan (Vessel Monitoring Sistem). [terhubung tidak berkala]. [17 Juli 2009]. Myers, D Social Psychology. USA: Mc Grow-Hill College. Nomura, M dan T. Yamazaki Fishing Techniques I. Tokyo: Japan Internasional Cooperation Agency.206 hal. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No: Permen. 05/MEN/2007. Tentang Penyelenggaraan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan. P2SDKP IUU Fishing in Indonesia. Jakarta P2SDKP The Policy of Surveillance and Control for Marine Resources and Fisheries. Jakarta Rakhmat, J Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Sukmalana, S Peranan dalam MSDM Organisasi Bisnis Global. Modul (tidak dipublikasikan). Bandung. Widodo Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Ikan di Perairan ZEE Indonesia dan Sekitarnya. Balai Riset Perikanan Laut. Jakarta: Departemen Kelautan Perikanan. 37 hal. Wirjono, P Hukum Laut Bagi Indonesia. Bandung: PT. Sumur Bandung. 205 hal. Yuniarti, NT Persepsi Masyarakat Pesisir Terhadap Pendidikan Formal di Pantai Pemayang. Kabupaten Tasikmalaya. Skripsi. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

95 LAMPIRAN

96 83 Lampiran 1 Tampilan website Sumber: Dirsarpras, 2008

97 Lampiran 2 Pemasangan junction box di dalam wheelhouse 84

98 85 Lampiran 3 Transmitter dari setiap provider Argos Argos MARGE V2 SOG Inmarsat Indonesia D+ Inmarsat D+ SAT201 Byru Marine Tracking PSN Byru Marine Iridium Amalgam Iridium

99 Lampiran 4 Ruang pemantauan FMC 86

100 Lampiran 5 Ruang server FMC 87

101 88 Lampiran 6 Form 3 Lembar pemasangan transmitter Sumber: Dirsarpras, 2008

102 89 Lampiran 7 Kegiatan pendaftaran dan pemasangan transmitter Kegiatan pendaftaran transmitter Kegiatan pemasangan transmitter Argos - MARGE

103 90 Lampiran 8 Surat pendaftaran transmitter Sumber: Dirsarpras, 2008

104 91 Lampiran 9 Surat pernyataan (transmitter milik sendiri) Sumber: Dirsarpras, 2008

105 92 Lampiran 10 Form surat keterangan aktivasi transmitter Sumber: Dirsarpras, 2008

106 93 Lampiran 11 Surat pernyataan pinjam pakai (transmitter milik negara) Sumber: Dirsarpras, 2008

107 94 Lampiran 12 Surat keterangan aktivasi dan bukti pembayaran airtime dari provider VMS Sumber: Dirsarpras, 2008

108 95 Lampiran 13 Form 2 Lembar peminjaman transmitter Sumber: Dirsarpras, 2008

109 96 Lampiran 14 Surat pernyataan (transmitter milik negara) Sumber: Dirsarpras, 2008

110 97 Lampiran 15 Form 4 Lembar pengembalian transmitter Sumber: Dirsarpras, 2008

111 98 Lampiran 16 Surat perpanjangan transmitter Sumber: Dirsarpras, 2008

112 99 Lampiran 17 Form 6 Lembar pemeriksaan transmitter Sumber: Dirsarpras, 2008

113 Lampiran 18 Pemasangan transmitter di atas kapal 100

Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab

Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) adalah salah satu kesepakatan dalam konferensi Committee

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Perubahan arah kebijakan pembangunan dari yang berbasis pada sumber daya terestrial ke arah sumber daya berbasis kelautan merupakan tuntutan yang tidak dapat dielakkan. Hal ini dipicu

Lebih terperinci

ANALISA SWOT DALAM PENERAPAN VESSEL MONITORING SYSTEM (VMS) UNTUK KAPAL PENANGKAP IKAN DI INDONESIA

ANALISA SWOT DALAM PENERAPAN VESSEL MONITORING SYSTEM (VMS) UNTUK KAPAL PENANGKAP IKAN DI INDONESIA ANALISA SWOT DALAM PENERAPAN VESSEL MONITORING SYSTEM (VMS) UNTUK KAPAL PENANGKAP IKAN DI INDONESIA Darman Dosen : DR Ir Iwan Krisnadi MBA Graduate Program of Electrical Engineering Department, Mercu Buana

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 05/MEN/2007 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM PEMANTAUAN KAPAL PERIKANAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 05/MEN/2007 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM PEMANTAUAN KAPAL PERIKANAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 05/MEN/2007 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM PEMANTAUAN KAPAL PERIKANAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB IV. A. Pengaturan Penggunaan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan. VMS/(Vessel Monitoring System) dihubungkan dengan Undang-

BAB IV. A. Pengaturan Penggunaan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan. VMS/(Vessel Monitoring System) dihubungkan dengan Undang- BAB IV Mengenai Kewenangan Mengadili Atas Kasus Illegal Fishing Berdasarkan Track Record Data VMS (Vessel Monitoring System) Dihubungkan dengan Undang-Undang 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia. 161 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Menjawab rumusan masalah dalam Penulisan Hukum ini, Penulis memiliki kesimpulan sebagi berikut : 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal Asing yang Melakukan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut Arafura merupakan salah satu bagian dari perairan laut Indonesia yang terletak di wilayah timur Indonesia yang merupakan bagian dari paparan sahul yang dibatasi oleh

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Selama ini, kegiatan pengawasan kapal perikanan dilakukan di darat dan di laut. Pengawasan langsung di laut terhadap kapal-kapal yang melakukan kegiatan penangkapan ikan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi Strategi adalah istilah yang sering kita dengar untuk berbagai konteks pembicaraan, yang sering diartikan sebagai cara untuk mencapai keinginan tertentu

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 3 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim yang kaya akan sumber daya hayati maupun non hayati. Letak Indonesia diapit oleh Samudera Pasifik dan Samudera Hindia yang merupakan

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982,

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982, PERSETUJUAN PELAKSANAAN KETENTUAN-KETENTUAN KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG HUKUM LAUT TANGGAL 10 DESEMBER 1982 YANG BERKAITAN DENGAN KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SEDIAAN IKAN YANG BERUAYA TERBATAS

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Analisis 2.2 Kinerja

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Analisis 2.2 Kinerja 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Analisis Soedjadi (1996) menyatakan bahwa, analisis adalah rangkaian kegiatan pemikiran yang logis, rasional, sistematis dan obyektif dengan menerapkan metodologi atau teknik ilmu

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia perikanan tangkap kini dihadang dengan isu praktik penangkapan ikan yang ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur atau yang disebut IUU (Illegal, Unreported, and

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendayagunaan sumber daya kelautan menjanjikan potensi pembangunan ekonomi yang luar biasa. Hal ini dapat dilihat dari potensi yang terkandung dalam eksistensi Indonesia

Lebih terperinci

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUNLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2007 TENTANG SURAT LAIK OPERASI KAPAL PERIKANAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUNLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2007 TENTANG SURAT LAIK OPERASI KAPAL PERIKANAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUNLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2007 TENTANG SURAT LAIK OPERASI KAPAL PERIKANAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sebagai

Lebih terperinci

ASPEK LEGAL INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL IMPLEMENTASI PENGAWASAN SUMBERDAYA PERIKANAN

ASPEK LEGAL INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL IMPLEMENTASI PENGAWASAN SUMBERDAYA PERIKANAN ASPEK LEGAL INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL IMPLEMENTASI PENGAWASAN SUMBERDAYA PERIKANAN Pandapotan Sianipar, S.Pi Kasi Pengawasan Usaha Pengolahan, Pengangkutan, dan Pemasaran Wilayah Timur, Direktorat

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.29/MEN/2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.29/MEN/2012 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.29/MEN/2012 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN PERIKANAN DI BIDANG PENANGKAPAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN PANGKALAN PENDARATAN IKAN DAN TEMPAT PELELANGAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

2 Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647); 3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lemb

2 Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647); 3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lemb No.1618, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN KKP. Penangkapan. Ikan. Log Book. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48/PERMEN-KP/2014 TENTANG LOG BOOK PENANGKAPAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR PER. 07/MEN/2010 TENTANG SURAT LAIK OPERASI KAPAL PERIKANAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR PER. 07/MEN/2010 TENTANG SURAT LAIK OPERASI KAPAL PERIKANAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 07/MEN/2010 TENTANG SURAT LAIK OPERASI KAPAL PERIKANAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR 56/KEP-DJPSDKP/2015 TENTANG

SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR 56/KEP-DJPSDKP/2015 TENTANG KEMENTERIAN DIREKTORAT JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA Jalan Medan Merdeka Timur Nomor 16 Gedung Mina Bahari III Lantai 15, Jakarta 10110 Telepon (021) 3519070, Facsimile (021) 3520346 Pos Elektronik ditjenpsdkp@kkp.goid

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERIZINAN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERIZINAN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERIZINAN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KABUPATEN BELITUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa sebagai kekayaan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG IZIN USAHA PERIKANAN TANGKAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR RIAU,

PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG IZIN USAHA PERIKANAN TANGKAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR RIAU, PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG IZIN USAHA PERIKANAN TANGKAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR RIAU, Menimbang: a. bahwa sumber daya ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1072, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KELAUTAN PERIKANAN. Kapal Perikanan. Pendaftaran. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/PERMEN-KP/2013

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42/PERMEN-KP/2015 TENTANG SISTEM PEMANTAUAN KAPAL PERIKANAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42/PERMEN-KP/2015 TENTANG SISTEM PEMANTAUAN KAPAL PERIKANAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42/PERMEN-KP/2015 TENTANG SISTEM PEMANTAUAN KAPAL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dijaga keamanan dan dimanfaatkan untuk kemakmuran Indonesia. Wilayah negara

BAB 1 PENDAHULUAN. dijaga keamanan dan dimanfaatkan untuk kemakmuran Indonesia. Wilayah negara 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan yang merupakan satu kesatuan dan harus dijaga keamanan dan dimanfaatkan untuk kemakmuran Indonesia. Wilayah negara Indonesia yang

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. KKP. Usaha Perikanan. Sertifikasi. Sistem. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA. KKP. Usaha Perikanan. Sertifikasi. Sistem. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA No.1841, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KKP. Usaha Perikanan. Sertifikasi. Sistem. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35/PERMEN-KP/2015 TENTANG SISTEM DAN SERTIFIKASI

Lebih terperinci

GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR, PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PENGENDALIAN USAHA PERIKANAN

GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR, PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PENGENDALIAN USAHA PERIKANAN GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PENGENDALIAN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN TENTANG PETUNJUK TEKNIS VERIFIKASI PENDARATAN IKAN

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN TENTANG PETUNJUK TEKNIS VERIFIKASI PENDARATAN IKAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORATJENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN Jl. Medan Merdeka Timur No.16 Lt.15 Gd.Mina Bahari II, Jakarta Pusat 10110 Telp (021) 3519070 ext 1524/1526,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /PERMEN-KP/2017 TENTANG TINDAKAN KHUSUS TERHADAP KAPAL PERIKANAN BERBENDERA ASING YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERIKANAN DENGAN

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komparasi Port State Measures dengan Aturan Indonesia Indonesia telah memiliki aturan hukum dalam mengatur kegiatan perikanan, pelabuhan perikanan, dan hal lain terkait perikanan

Lebih terperinci

BAB III PRASARANA DAN SARANA Pasal 7

BAB III PRASARANA DAN SARANA Pasal 7 PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10/PERMEN-KP/2013 TENTANG SISTEM PEMANTAUAN KAPAL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN Voluntary National Review (VNR) untuk Tujuan 14 menyajikan indikator mengenai rencana tata ruang laut nasional, manajemen

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 256, 2000 Perekonomian.Kelautan.Usaha.Izin.Nelayan.Perikanan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan No. 152, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-KP. SLO. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1/PERMEN-KP/2017 TENTANG SURAT LAIK OPERASI KAPAL PERIKANAN DENGAN

Lebih terperinci

TARGET INDIKATOR KETERANGAN

TARGET INDIKATOR KETERANGAN TARGET INDIKATOR KETERANGAN 14.1 Pada tahun 2025, mencegah dan secara signifikan mengurangi semua jenis pencemaran laut, khususnya dari kegiatan berbasis lahan, termasuk sampah laut dan polusi nutrisi.

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 36 TAHUN 2017 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 36 TAHUN 2017 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 36 TAHUN 2017 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN NELAYAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki potensi kelautan dan perikanan yang sangat besar. Secara fisik potensi tersebut berupa perairan nasional seluas 3,1 juta km 2, ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelagic State) memiliki lebih kurang 17.500 pulau, dengan total panjang garis pantai mencapai 95.181 km

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /PERMEN-KP/2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45/PERMEN-KP/2014 TENTANG SURAT

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2002 TENTANG USAHA PERIKANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2002 TENTANG USAHA PERIKANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2002 TENTANG USAHA PERIKANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya ikan sebagai bagian kekayaan bangsa Indonesia perlu dimanfaatkan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/PERMEN-KP/2013 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/PERMEN-KP/2013 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/PERMEN-KP/2013 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32/PERMEN-KP/2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR 15/PERMEN-KP/2016 TENTANG KAPAL PENGANGKUT IKAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 44, 1983 (KEHAKIMAN. WILAYAH. Ekonomi. Laut. Perikanan. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1996 WILAYAH. KEPULAUAN. PERAIRAN. Wawasan Nusantara (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/2010 TENTANG PEMBERIAN KEWENANGAN PENERBITAN SURAT IZIN PENANGKAPAN IKAN (SIPI) DAN SURAT IZIN KAPAL PENGANGKUT IKAN (SIKPI)

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PERIZINAN USAHA PERIKANAN

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PERIZINAN USAHA PERIKANAN PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PERIZINAN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPULAUAN SELAYAR, Menimbang

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. (check list) dan negara. aturan hukum. analisis deskriptif mengacu dari. Jakarta, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan

3 METODOLOGI. (check list) dan negara. aturan hukum. analisis deskriptif mengacu dari. Jakarta, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan 31 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian dengan judul Analisis Praktik IUU (Illegal, Unreported, and Unregulated) Fishing dan Upaya Penanganannya melalui Adopsi Mekanisme Port State Measures

Lebih terperinci

- 2 - MEMUTUSKAN : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 15 TAHUN 1990 TENTANG USAHA PERIKANAN.

- 2 - MEMUTUSKAN : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 15 TAHUN 1990 TENTANG USAHA PERIKANAN. www.legalitas.org PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 141 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 15 TAHUN 1990 TENTANG USAHA PERIKANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

SE)ARAH HUKUM laut INTERNASIONAl 1. PENGATURAN KONVENSI HUKUM laut 1982 TENTANG PERAIRAN NASIONAl DAN IMPlEMENTASINYA DI INDONESIA 17

SE)ARAH HUKUM laut INTERNASIONAl 1. PENGATURAN KONVENSI HUKUM laut 1982 TENTANG PERAIRAN NASIONAl DAN IMPlEMENTASINYA DI INDONESIA 17 Daftar lsi leata PENGANTAR DAFTAR lsi v vii BAB I SE)ARAH HUKUM laut INTERNASIONAl 1 BAB II PENGATURAN KONVENSI HUKUM laut 1982 TENTANG PERAIRAN NASIONAl DAN IMPlEMENTASINYA DI INDONESIA 17 A. Pendahuluan

Lebih terperinci

DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP.322/DJ-PSDKP/2012 TENTANG PETUNJUK TEKNIS VERIFIKASI PENDARATAN IKAN DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas terdiri dari

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas terdiri dari I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas terdiri dari beberapa pulau besar antara lain Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PERIZINAN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PERIZINAN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PERIZINAN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPULAUAN SELAYAR, Menimbang : a. bahwa Kabupaten Kepulauan Selayar

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hakekatnya tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi ketimpangan kesejahteraan antar kelompok masyarakat dan wilayah. Namun

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT FOR THE IMPLEMENTATION OF THE PROVISIONS OF THE UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA OF 10 DECEMBER 1982 RELATING

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.668,2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI LAUT LEPAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia

Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia Abdul Muthalib Tahar dan Widya Krulinasari Dosen Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum

Lebih terperinci

7 PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PENGELOLA PERIKANAN TANGKAP DI PERBATASAN

7 PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PENGELOLA PERIKANAN TANGKAP DI PERBATASAN 7 PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PENGELOLA PERIKANAN TANGKAP DI PERBATASAN 7.1 Kajian Peraturan dan Kebijakan Pengelolaan Pengaturan dan pengelolaan perikanan tangkap di wilayah perbatasan belum secara spesifik

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR 11 /PER-DJPSDKP/2017. TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR 11 /PER-DJPSDKP/2017. TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR 11 /PER-DJPSDKP/2017. TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENGAWASAN DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 141 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 15 TAHUN 1990 TENTANG USAHA PERIKANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Penggunaan VMS Dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

Penggunaan VMS Dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Penggunaan VMS Dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Luh Putu Ayu Savitri Chitra Kusuma 1) dan Nur Azmi Ratna Setyawidati 1) 1) Pusat Riset Teknologi Kelautan Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2002 TENTANG USAHA PERIKANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2002 TENTANG USAHA PERIKANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2002 TENTANG USAHA PERIKANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya ikan sebagai bagian kekayaan bangsa Indonesia perlu dimanfaatkan

Lebih terperinci

PROTOKOL CARTAGENA TENTANG KEAMANAN HAYATI ATAS KONVENSI TENTANG KEANEKARAGAMAN HAYATI

PROTOKOL CARTAGENA TENTANG KEAMANAN HAYATI ATAS KONVENSI TENTANG KEANEKARAGAMAN HAYATI PROTOKOL CARTAGENA TENTANG KEAMANAN HAYATI ATAS KONVENSI TENTANG KEANEKARAGAMAN HAYATI Para Pihak pada Protokol ini, Menjadi Para Pihak pada Konvensi Tentang Keanekaragaman Hayati, selanjutnya disebut

Lebih terperinci

BAB II. Aspek-Aspek Hukum Tentang VMS (Vessel Monitoring System) dan Illegal Fishing

BAB II. Aspek-Aspek Hukum Tentang VMS (Vessel Monitoring System) dan Illegal Fishing BAB II Aspek-Aspek Hukum Tentang VMS (Vessel Monitoring System) dan Illegal Fishing A. Dasar Hukum VMS (Vessel Monitoring System) VMS (Vessel Monitoring System)/ Sistem Pemantauan Kapal Perikanan merupakan

Lebih terperinci

BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR PROVINSI JAMBI

BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR PROVINSI JAMBI BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAN PENANGKAPAN IKAN DI WILAYAH PERAIRAN KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

Lebih terperinci

BUPATI KEPULAUAN MERANTI

BUPATI KEPULAUAN MERANTI BUPATI KEPULAUAN MERANTI PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG PERIZINAN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPULAUAN MERANTI, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANAU LINDU

BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANAU LINDU BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANAU LINDU PEMERINTAH KABUPATEN SIGI TAHUN 2013 0 BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.05/MEN/2008 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.05/MEN/2008 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP 3333 PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.05/MEN/2008 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP Menimbang: MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa sumber daya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/PERMEN-KP/2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.30/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP

Lebih terperinci

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN SITUBONDO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB III TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING) SEBAGAI TINDAK PIDANA INTERNASIONAL DI PERAIRAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA

BAB III TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING) SEBAGAI TINDAK PIDANA INTERNASIONAL DI PERAIRAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA BAB III TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING) SEBAGAI TINDAK PIDANA INTERNASIONAL DI PERAIRAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA A. Kasus Pencurian Ikan Di Perairan Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia telah melakukan kegiatan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sejak jaman prasejarah. Sumberdaya perikanan terutama yang ada di laut merupakan

Lebih terperinci

DAMPAK KEGIATAN IUU-FISHING DI INDONESIA

DAMPAK KEGIATAN IUU-FISHING DI INDONESIA DAMPAK KEGIATAN IUU-FISHING DI INDONESIA Oleh : Dr. Dina Sunyowati,SH.,MHum Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum-Universitas Airlangga Email : dinasunyowati@gmail.com ; dina@fh.unair.ac.id Disampaikan

Lebih terperinci

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 20 1.1 Latar Belakang Pembangunan kelautan dan perikanan saat ini menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional yang diharapkan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan mempertimbangkan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI LAUT LEPAS

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI LAUT LEPAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI LAUT LEPAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2005

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2005 PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2005 TENTANG PELABUHAN PERIKANAN PANTAI (PPP) DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DENGAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan data PBB pada tahun 2008, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, serta

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perairan yang berada di bawah kedaulatan dan yurisdiksi

Lebih terperinci

DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN,

DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN, KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORATJENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN Jl. Medan Merdeka Timur No.16 Lt.15 Gd.Mina Bahari II, Jakarta Pusat 10110 Telp (021) 3519070 ext 1524/1526,

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 30/MEN/2004 TENTANG PEMASANGAN DAN PEMANFAATAN RUMPON

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 30/MEN/2004 TENTANG PEMASANGAN DAN PEMANFAATAN RUMPON KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP. 30/MEN/2004 TENTANG PEMASANGAN DAN PEMANFAATAN RUMPON MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa dengan semakin meningkat dan berkembangnya

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa potensi pembudidayaan perikanan

Lebih terperinci

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan

Lebih terperinci

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si ZONASI LAUT TERITORIAL Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas. Untuk landas kontinen negara Indonesia berhak atas segala kekayaan alam yang terdapat

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT FOR THE IMPLEMENTATION OF THE PROVISIONS OF THE UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA OF 10 DECEMBER

Lebih terperinci

EFISIENSI TEKNIS UNIT PENANGKAPAN MUROAMI DAN KEMUNGKINAN PENGEMBANGANNYA DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU

EFISIENSI TEKNIS UNIT PENANGKAPAN MUROAMI DAN KEMUNGKINAN PENGEMBANGANNYA DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU EFISIENSI TEKNIS UNIT PENANGKAPAN MUROAMI DAN KEMUNGKINAN PENGEMBANGANNYA DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU PUSPITA SKRIPSI PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 27 /MEN/2009 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 27 /MEN/2009 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 27 /MEN/2009 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.862, 2013 KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Wilayah Pesisir. Pulau-Pulau Kecil. Pengelolan. Pengawasan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BUPATI LUMAJANG PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI LUMAJANG PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN BUPATI LUMAJANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI LUMAJANG NOMOR 77 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, URAIAN TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 9 TAHUN 2003 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN IJIN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 9 TAHUN 2003 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN IJIN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Klik Dibatalkan dan Ditindaklanjuti Instruksi Bupati No 8 Tahun 2006 PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 9 TAHUN 2003 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN IJIN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57/PERMEN-KP/2014 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.30/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN [LN 2004/118, TLN 4433]

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN [LN 2004/118, TLN 4433] UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN [LN 2004/118, TLN 4433] BAB XV KETENTUAN PIDANA Pasal 84 (1) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan

Lebih terperinci

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2017 NOMOR : SP DIPA /2017

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2017 NOMOR : SP DIPA /2017 SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 217 NOMOR SP DIPA-32.5-/217 DS6-9464-235-812 A. DASAR HUKUM 1. 2. 3. UU No. 17 Tahun 23 tentang Keuangan Negara. UU No.

Lebih terperinci

GERAKAN NASIONAL PENYELAMATAN SUMBERDAYA ALAM INDONESIA SEKTOR KELAUTAN

GERAKAN NASIONAL PENYELAMATAN SUMBERDAYA ALAM INDONESIA SEKTOR KELAUTAN GERAKAN NASIONAL PENYELAMATAN SUMBERDAYA ALAM INDONESIA SEKTOR KELAUTAN PROGRESS IMPLEMENTASI 4 FOKUS AREA RENCANA AKSI Disampaikan oleh: Ir. H. M. NATSIR THAIB WAKIL GUBERNUR PROVINSI MALUKU UTARA PEMERINTAH

Lebih terperinci