BAGIAN V PRINSIP EKONOMI, KONSEP BISNIS, DAN ETIKA BISNIS RUMAH SAKIT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAGIAN V PRINSIP EKONOMI, KONSEP BISNIS, DAN ETIKA BISNIS RUMAH SAKIT"

Transkripsi

1 BAGIAN V PRINSIP EKONOMI, KONSEP BISNIS, DAN ETIKA BISNIS RUMAH SAKIT PENGANTAR Tujuan penulisan Bagian V untuk memahami pergeseran rumah sakit di Indonesia dari lembaga sosial ke arah lembaga usaha dan memahami konsep etika bisnis rumah sakit. Pemahaman ini diperlukan untuk mencari bentuk rumah sakit yang tepat di masa depan dan norma-norma yang dianut. Pembahasan dimulai dari kajian mengenai industri farmasi yang merupakan komponen sektor kesehatan yang secara tegas bersifat for-profit (Bab XIV). Satu hal penting yang menjadi bahan perdebatan dalam kegiatan rumah sakit dan obat; apakah layak sebuah organisasi atau orang menjadi kaya karena menolong orang lain yang mengalami kesusahan? Lebih lanjut, apakah keberadaan lembaga for-profit dalam sektor kesehatan merupakan sesuatu yang tidak baik? Dalam hal ini dibutuhkan indikator untuk menilai rumah sakit yang sedang berubah dari lembaga sosial ke lembaga usaha yang sosial. Kebutuhan akan indikator ini dibahas dalam Bab XV mengenai perubahan rumah sakit dari lembaga sosial menjadi lembaga usaha tetapi mempunyai aspek usaha, indikator, dan evaluasi ekonomi. Dalam hal ini perlu dicatat bahwa kemungkinan terjadi konflik antarberbagai indikator. Adanya konflik ini menimbulkan perenungan mendalam mengenai etika profesi dan etika kelembagaan yang dibahas pada Bab XVI mengenai etika bisnis rumah sakit. Sebagaimana diketahui, dalam teori ekonomi, masalah profit ataupun insentif untuk profesional merupakan hal yang wajar asalkan berada dalam batas-batas

2 230 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi norma masyarakat. Oleh karena itu, muncul berbagai peraturan hukum yang mengatur masalah keuntungan dan keadaan monopoli agar terjadi kewajaran. Tanpa adanya keuntungan ataupun insentif, kehidupan ekonomi dapat berhenti karena menyalahi sifat manusia. Dengan latar belakang keadaan nyata yang dilematis, Bab XVI membahas berbagai pernyataan normatif dalam manajemen rumah sakit. Memang akan ada pihak yang skeptis, apakah norma-norma yang ada mampu mempengaruhi kehidupan nyata? Dalam konteks pengembangan manajemen rumah sakit, analisis normatif perlu dilakukan untuk mempengaruhi kegiatan-kegiatan nyata sektor kesehatan. Sebagaimana kehidupan lain di masyarakat, dalam kehidupan manusia yang semakin keras dan bersaing, normanorma yang berdasarkan moralitas masih harus dikembangkan. Jangan sampai kehidupan nyata berjalan tanpa analisis normatif. Di sektor kesehatan, banyak ahli sependapat bahwa pelayanan kesehatan seharusnya bertujuan untuk tercapainya keadilan sosial dalam pembiayaan dan pemberian pelayanan kesehatan. Ilmu ekonomi, khususnya yang membahas masalah alokasi sumber daya dapat membantu sektor kesehatan mencapai tujuan tercapainya keadilan sosial tersebut.

3 Bagian V 231 BAB XIV INDUSTRI FARMASI, PROFIT, DAN ETIKA Bab ini membahas industri farmasi yang merupakan komplemen penting di sektor rumah sakit. Tanpa obat, rumah sakit akan sulit melakukan kegiatan. Yang menarik, perilaku industri farmasi sebenarnya mengacu pada memaksimalkan keuntungan. Perilaku ini tentunya masuk ke dalam sektor rumah sakit yang merupakan sektor dengan tradisi sosial kemanusiaan. Dalam hal ini pertanyaannya, apakah ada pertimbangan etika dalam industri farmasi yang memaksimalkan keuntungan? 14.1 Sifat Maksimalisasi Keuntungan Industri Farmasi Dalam sektor kesehatan, industri farmasi mempunyai pengaruh besar terhadap rumah sakit dan berbagai organisasi pelayanan kesehatan. Besarnya omzet obat dapat mencapai 50%-60% dari anggaran rumah sakit. Obat merupakan bagian penting dalam kehidupan rumah sakit, dokter, dan pasien. Oleh karena itu, perlu untuk memahami perilaku industri farmasi dalam konteks aplikasi ekonomi di rumah sakit. Berdasarkan sifatnya obat-obatan ada yang mempunyai barang substitusi, tetapi ada pula yang tidak. Sebagai contoh untuk masyarakat yang membutuhkan obat-obat pelangsing tubuh, terdapat produk substitusi berupa peralatan fitnes untuk menjaga berat badan. Akan tetapi, obat-obatan di rumah sakit banyak yang tidak mempunyai barang substitusi dan merupakan barang komplemen untuk tindakan medik. Sebagai contoh, operasi di ruang bedah membutuhkan obatobatan narkose. Dalam hal ini tidak ada pengganti untuk obat-obatan narkose. Tindakan untuk menjaga keseimbangan elektrolit membutuh-

4 232 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi kan cairan infus. Tidak adanya barang susbtitusi menjadikan obatobatan sebagai barang yang harus dibeli oleh pasien yang ingin sembuh dari suatu penyakit atau membutuhkan tindakan tertentu. Sering timbul kasus tidak adanya obat pengganti atau tindakan alternatif, akibatnya obat-obat tertentu yang bersifat menyelamatkan jiwa (life-saving) justru sangat mahal karena memang tidak ada pilihan lain. Sebagai gambaran Gamimune, sebuah obat berisi imunoglobulin untuk pasien yang berada dalam keadaan kritis karena mempunyai daya tahan rendah, mempunyai harga yang sangat mahal: 25cc seharga sekitar Rp ,00 pada tahun Kebutuhan dalam proses pengobatan tidak hanya 25cc, mungkin sampai berkalikali. Contoh lain, obat-obatan untuk AIDS sangat mahal, sehingga tidak terjangkau oleh penderita dengan kemampuan ekonomi rendah. Wajar jika keluarga pasien mengeluh karena mahalnya obat-obat di rumah sakit yang seharusnya membutuhkan nilai kemanusiaan. Dalam hal ini memang timbul kesan bahwa industri farmasi memanfaatkan kesempatan pada saat manusia mengalami kemalangan dan tidak mempunyai pilihan lain karena tidak ada obat pengganti yang lebih murah. Para tenaga kesehatan yang berada di ICU atau OK sering mengalami keadaan ketika dihadapkan pada pilihan yang harus membeli obat mahal, keluarga pasien terpaksa harus menjual aset keluarga, berhutang, ataupun yang paling drastis adalah menghentikan proses penyembuhan karena tidak tersedianya sumber daya untuk membeli obat atau membiayai proses penyembuhan di rumah sakit. Dengan sifat tersebut maka obat merupakan barang ekonomi strategis di rumah sakit. Berbagai rumah sakit melaporkan bahwa keuntungan dari obat yang dijual merupakan hal paling mudah dilakukan dibandingkan dengan keuntungan pada jasa lain, misalnya pelayanan laboratorium, radiologi, pelayanan rawat inap, ataupun pelayanan gizi. Walaupun sulit dibuktikan, dokter menerima berbagai keuntungan dan fasilitas dari industri obat. Sementara itu, masyarakat sering mengeluh tentang mahalnya harga obat yang dibutuhkan justru pada saat orang sakit dan tidak mampu bekerja. Tidak semua obat mempunyai sifat tersebut. Dalam hubung-

5 Bagian V 233 annya dengan dampak terhadap masyarakat, terdapat obat-obatan yang mempunyai eksternalitas positif yang besar, misalnya obat-obatan untuk menyembuhkan pasien yang terkena penyakit menular ataupun untuk imunisasi. Untuk obat-obatan yang mempunyai eksternalitas, sebagian negara mempunyai kebijakan menjadikannya sebagai obat gratis yang dibiayai oleh pemerintah bagi masyarakat yang membutuhkan. Pada prinsipnya, industri farmasi di dunia merupakan sektor yang berjalan seperti industri-industri lain. Dalam sifat ini memang harus dipahami bahwa industri obat berjalan dengan sifat memaksimalkan keuntungan, sejak dari pabrik, distributor hingga apotek pengecer. Patut dicatat bahwa kinerja keuntungan industri farmasi sangat besar, lebih besar dibandingkan rata-rata industri, walaupun masih lebih rendah di banding dengan industri software. Kasus obat Viagra yang sangat mahal menunjukkan pola memaksimalkan keuntungan. Pola ini diambil karena sampai saat ini masih sedikit pengganti Viagra. Dalam hal ini demand untuk Viagra bersifat inelastik dan ada unsur monopoli karena paten. Menurut Folland dkk (2001) industri farmasi mempunyai nilai pasar yang besar. Dua raksasa industri farmasi, Merck dan Pfizer (pembuat Viagra ) berada pada ranking ke-10 terbesar di dunia, dan 7 lainnya berada pada top 50 tahun Di Indonesia, menurut laporan Warta Ekonomi, jumlah pendapatan grup Kalbe Farma berada di urutan ke-14 rangking pendapatan para konglomerat Indonesia di tahun Kompetisi sektor industri farmasi sangat tinggi, terutama untuk obat-obatan yang tidak dilindungi lagi oleh hak paten. Di samping memaksimalkan profit, beberapa hal menarik lain untuk dicatat. Pabrik obat di dunia ternyata mempunyai penetapan harga yang berbeda antarnegara. Hal ini tergantung pada kemampuan membayar, tuntutan pemerintah yang menjadi pembeli besar obat, elastisitas harga, dan keadaan sistem asuransi kesehatan. Perilaku industri farmasi dalam mencari keuntungan ternyata tidak terpengaruh oleh krisis ekonomi. Sebuah gambaran mengenai omzet dan keuntungan PT Kimia Farma Indonesia. Laba perusahaan

6 234 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi tidak turun walaupun Indonesia mengalami krisis ekonomi dan yang terjadi justru kenaikan keuntungan yang cukup mencolok. Menarik untuk diperhatikan bahwa laba bersih justru meningkat tinggi pada saat krisis ekonomi. Logika normatif menyatakan bahwa pada saat rakyat miskin menderita, seharusnya perusahaan tidak boleh untung banyak dari kesakitan rakyat. Pernyataan yang penuh nilai ini ternyata tidak ditemui di dunia nyata Mengapa Industri Farmasi Berbeda dengan Industri Lain? Secara sifat, industri farmasi tidak berbeda dengan berbagai industri yang mengandalkan pada penemuan teknologi tinggi. Pola kerja untuk memproduksi obat pada industri farmasi dapat dibagi menjadi dua periode. Periode pertama adalah penelitian dasar dan pengembangan di laboratorium serta masyarakat. Periode kedua adalah setelah peluncuran obat di masyarakat. Periode pertama merupakan investasi yang mempunyai risiko tinggi berupa kegagalan secara ilmiah. Sementara itu, periode kedua mempunyai risiko pula dalam penjualan. Yang menarik pada periode kedua, undang-undang paten melindungi industri farmasi dari pesaing (lihat Gambar 14.1) Apabila masa paten selesai, maka pabrik obat lain boleh memproduksi dalam bentuk obat generik sehingga pendapatan akan turun. Mekanisme ini menimbulkan peluang bagi industri farmasi untuk memperoleh untung banyak. Setelah menemukan obat baru dan mempunyai hak paten, maka perusahaan farmasi dapat membuat tarif untuk produk baru secara maksimal (lihat Bagian III). Tarif dapat ditentukan setinggi-tingginya tanpa khawatir muncul persaingan. Sebagai hasilnya adalah keuntungan luar biasa dapat diperoleh. Clarkson (1996) menunjukkan bahwa industri farmasi merupakan salahsatu industri yang paling menguntungkan. Keuntungan industri farmasi berada pada ranking ke-4 setelah industri software, perminyakan, dan makanan. Dibanding rata-rata industri, keuntungan perusahaan farmasi lebih besar yaitu 13.27% dibanding dengan ratarata 10.19%.

7 Bagian V 235 Pendapatan Fase 1. Biaya riset dan pengembangan Peluncuran obat Fase 2. Pendapatan dari pasar Pengeluaran Sumber: Wildus, 2001 Paten berakhir Gambar 14.1 Dua periode pengembangan dan penjualan obat baru Mekanisme mendapat keuntungan ini dipengaruhi berbagai sifat khas industri farmasi yang tidak dijumpai pada industri lain. Salahsatu sifat tersebut adalah adanya Barriers to Entry yang akan mempengaruhi harga obat. Hambatan untuk masuk ke industri farmasi dilakukan dalam berbagai bentuk: (1) regulasi obat; (2) hak paten; dan (3) sistem distribusi. Hambatan pertama masuk pada industri farmasi adalah aspek regulasi dalam industri farmasi yang sangat ketat. Di Amerika Serikat regulator utama adalah Food and Drug Administration (FDA), sedang di Indonesia dipegang oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Proses pengujian obat di Amerika Serikat (termasuk dalam periode 1) berlangsung lama, bisa terjadi hingga 15 tahun dengan proses yang sangat kompleks. Setelah menemukan formula kimia baru untuk menangani suatu penyakit, perusahaan obat harus melakukan uji coba pada binatang untuk mengetahui daya racun jangka pendek dan keselamatan obat. Selanjutnya, FDA akan memberikan persetujuan melakukan uji klinik yang tersusun atas tiga tahap. Tahap I dimulai dengan sekelompok kecil orang sehat dan berfokus pada dosis dan keamanan obat. Tahap II akan diberikan kepada sejumlah orang yang lebih banyak (sampai ratusan) yang mempunyai penyakit untuk menguji efikasi obat (kemanjurannya). Tahap III akan dilakukan ke

8 236 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi ribuan pasien dengan berbagai latar belakang berbeda untuk menguji efikasi dan keselamatannya secara lebih terinci. Dapat dibayangkan betapa berat dan mahal proses ini. Faktor penghambat kedua adalah hak paten yang diberikan oleh pemerintah untuk industri farmasi yang berhasil menemukan obat baru. Contoh yang paling hangat adalah hak paten untuk obat Viagra yang sangat menguntungkan karena pembelinya banyak dan harga tinggi. Dengan adanya kebijakan paten maka perusahaan farmasi baru harus mempunyai obat baru yang membutuhkan biaya riset tinggi atau memproduksi obat-obat generik yang sudah tidak ada patennya lagi dengan risiko banyak pesaing. Setelah sebuah obat habis waktu hak patennya, perusahaan-perusahaan lain dapat memproduksi obat serupa. Oleh karena itu, hambatan untuk masuk menjadi lebih rendah, dan harga dapat turun. Obat-obat ini disebut generik yang dampak terapinya sama dengan obat bermerek. Secara logika, paten memang Sebuah pabrik mempunyai hak eksklusif untuk memproduksi obat karena mempunyai paten Industri Farmasi satu sumber Masa paten habis Industri Farmasi banyak sumber Setiap pabrik boleh untuk memproduksi obat yang mempunyai campuran sama Merek asli Merek Generik Gambar 14.2 Siklus hidup produk farmasi

9 Bagian V 237 ditujukan dalam usaha merangsang penelitian ilmiah untuk menemukan obat-obatan baru. Secara diagram, Reuter Business Insight menggambarkan life-cycle produksi obat pada Gambar Dalam siklus hidup ini terlihat bahwa terjadi saat ketika industri farmasi menikmati masa monopoli, yaitu hanya ada sebuah pabrik obat yang mempunyai hak menjual dan memproduksi obat karena paten. Hak paten berlaku dengan masa 17 tahun, bahkan hingga 25 tahun. Dengan hak paten yang bersifat monopoli maka terdapat kebebasan bagi pabrik menetapkan harga setinggi mungkin untuk mendapatkan profit setinggi-tingginya. Hambatan ketiga untuk masuk adalah sistem jaringan distribusi dan pemasaran industri farmasi yang sangat kompleks. Jaringan sistem distribusi dan pemasaran mempunyai ciri menarik yaitu menggunakan konsep detailling, yaitu perusahaan farmasi dengan melalui jaringan distributor melakukan pendekatan tatap muka dengan dokter yang berpraktik di rumah sakit ataupun praktik pribadi. Kegiatan detailing ini melibatkan banyak pihak dan mempunyai berbagai nuansa termasuk adanya komunikasi untuk mendapatkan situasi saling menguntungkan antara dokter dan industri farmasi. Dalam komunikasi ini terbuka kemungkinan terjadi bentuk kolusi antara dokter dan industri farmasi. Dengan bentuk pemasaran seperti ini, akan sulit bagi pemain baru masuk dalam industri farmasi. Di dalam masyarakat, sistem promosi dan pemasaran obat akan menambah mahalnya harga obat. Berbagai hal tersebut terkait secara kompleks sehingga sulit untuk menurunkan harga obat. Sebagai contoh, kebijakan memperpendek waktu paten, atau memberi lisensi kepada pabrik obat di negara sedang berkembang memproduksi obat secara murah ditentang keras oleh perusahaan obat. Logika yang dipergunakan adalah apabila kebijakan ini berjalan maka motivasi melakukan penelitian obat baru akan rendah. Dengan logika ini diperkirakan bahwa di dunia tidak akan ada penelitian baru mengenai obat, kecuali yang disponsori pemerintah tanpa ada hak paten yang optimal. Pola pengembangan obat ini membuat industri farmasi tidak banyak mengembangkan obat baru untuk penyakit-penyakit yang

10 238 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi diderita orang miskin. Pecoul dkk (1999) menyatakan bahwa dari komposisi kimia baru untuk obat yang diproduksi dari tahun , hanya 13 yang ditujukan pemasarannya untuk penyakitpenyakit tropis. Hal serupa dinyatakan oleh Webber dan Kramer (1999) yang menyebutkan adanya investasi yang sangat rendah untuk pengembangan obat TBC yang dibutuhkan banyak orang miskin. Terlihat perusahaan obat tidak berani menanggung risiko untuk pengembangan obat baru yang nilai komersialnya rendah. Pertanyaan menarik, apakah dengan adanya obat-obatan generik, maka obat-obat bermerek akan lebih murah dan kurang diresepkan oleh dokter? Kebijakan obat generik ternyata tidak mampu menekan biaya obat secara signifikan. Graboswski dan Vernon (1992) melaporkan bahwa walaupun ada obat generik yang murah, produsen obat tetap menaikkan harga. Dalam hal ini terdapat loyalitas dokter terhadap merek-merek obat yang bukan generik. Hellerstein (1998) melaporkan bahwa hanya 29% resep ditulis dengan obat generik di Amerika Serikat. Keadaan ini dapat dipahami karena adanya teori dokter sebagai agen pasien dalam memilih obat dan informasi. Dalam teori agensi, para dokter tidak mendapat manfaat ekonomi dari penghematan harga obat. Sementara itu, berdasarkan informasi, para dokter tidak menerima informasi cukup mengenai efektivitas dan harga obat generik. Seperti yang diduga, dokter yang berada dalam sistem managed care lebih cenderung menulis obat generik. Hal ini disebabkan oleh tekanan sistem managed care dengan daftar formularium dan sistem insentif atau disinsentif untuk para dokter dalam peresepan obat. Hubungan industri farmasi dengan rumah sakit dan dokter merupakan hal yang umum terjadi di seluruh dunia. Industri farmasi bahkan mempengaruhi rumah sakit pendidikan, fakultas kedokteran, dan para peneliti (Angell, 2000; Martin dan Kasper, 2000; Bodenheimer, 2000). Pengaruh industri farmasi terhadap rumah sakit dan dokter dilakukan dengan pendekatan pemasaran canggih seperti menggunakan konsep detailling tatap muka dan berbagai hal lain termasuk mensponsori pertemuan-pertemuan ilmiah, jurnal, bahkan penelitian-penelitian ilmiah.

11 Bagian V 239 Dilaporkan pula bahwa tenaga pemasaran perusahaan farmasi mengirimkan hadiah-hadiah untuk mahasiswa kedokteran dan residen di rumah sakit pendidikan. Angell dan Relman (2001) melaporkan bahwa pada tahun 2000 perusahaan farmasi menghabiskan 8 miliar dollar untuk menyenangkan dokter dengan memperkerjakan tenaga pemasaran di Amerika Serikat. Di samping itu, perusahaan farmasi memberikan 8 miliar dollar untuk obat-obatan sampel di ruang praktik dokter. Di Indonesia, belum ada data seperti ini. Akan tetapi secara pengamatan dapat dilihat bahwa kehidupan dokter dan sektor rumah sakit dipengaruhi oleh industri farmasi dengan memberikan berbagai hal yang menyenangkan. Semua kegiatan ini tentunya dimasukkan dalam proses penetapan harga obat. Walaupun tidak ditemukan data rinci, di Indonesia fenomena hubungan dekat antara industri farmasi dan dokter serta rumah sakit mempunyai gambaran serupa. Dalam pertemuan perhimpunan ahli, seminar-seminar ilmiah, pertemuan manajemen rumah sakit, dan berbagai penelitian klinik didanai oleh perusahaan farmasi. Menjadi pertanyaan besar, apakah perilaku dokter dipengaruhi oleh industri farmasi? Walaupun ada berbagai pengamatan, termasuk laporan investigasi oleh majalah Tempo, tetapi belum dilakukan penelitian serius mengenai hubungan dokter dan industri farmasi di Indonesia Apakah Terdapat Etika dalam Bisnis Farmasi? Secara praktis harga obat memang sulit diturunkan. Di Indonesia keadaan menjadi lebih sulit karena pemerintah tidak mempunyai wewenang mengendalikan harga obat seperti yang dinyatakan Kepala BPOM Drs. Sampurno, MBA. Dinyatakan bahwa berbeda dengan Pemerintah Italia atau Kanada yang mengatur harga obat yang beredar di negara itu, atau India yang mengatur harga obat yang dianggap sangat esensial, Indonesia tidak secara langsung mengatur harga obat bermerek (branded). Indonesia hanya membuat program obat generik yang harganya ditetapkan pemerintah (Kompas, 2001). Dalam keadaan ini apa yang dapat dilakukan? Pendekatan

12 240 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi pertama adalah menekan harga obat mulai dari fase riset hingga pemasaran. Penekanan ini dapat menggunakan berbagai bentuk, termasuk pembiayaan riset oleh pemerintah atau masyarakat. Di samping itu, diharapkan kerja sama antara perusahaan obat yang mempunyai sistem produksi dan distribusi baik dengan pemerintah untuk menyediakan obat murah terutama bagi masyarakat miskin (Wildus 2001). Pendekatan ini sedang dilakukan oleh TB Alliance, kelompok yang berusaha mengembangkan obat TB baru dengan dana campuran dari berbagai sumber, pemerintah, masyarakat, dan industri farmasi. Di samping itu, timbul usaha untuk memperpendek waktu paten, tetapi hal ini ditentang keras oleh industri obat. Pendekatan kedua adalah menggunakan pendekatan etika. Dalam hal ini Burton dkk (2001) menyatakan bahwa harus ada nilai normatif dalam bentuk etika yang dipunyai oleh sektor kesehatan dalam mengendalikan biaya obat. Nilai-nilai tersebut akan hadir apabila timbul kesadaran mengenai keterbatasan sumber daya untuk pengadaan obat, rasa kemanusiaan untuk menolong orang yang sakit dan sengsara, adanya hak pasien mendapatkan yang terbaik, kepercayaan bersama, dan adanya kesadaran mengenai pemilihan obat sebagai keputusan bersama. Apa yang diuraikan oleh Burton dkk (2001) merupakan harapan normatif yang disampaikan untuk sektor kesehatan dan industri farmasi. Banyak pihak yang skeptis terhadap pendekatan normatif ini, tanpa suatu peraturan tegas. Pertanyaan penting: apakah ada etika dalam industri farmasi? Velasquez (1998) menguraikan sebuah contoh etika bisnis perusahaan yang berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh Merck, perusahaan obat raksasa. Pada tahun 1979, Dr. William Campbell, seorang peneliti yang bekerja pada Merck and Co, menemukan bukti bahwa salah satu obat binatang Ivermectin mungkin dapat membunuh parasit yang menyebabkan penyakit river blindness di Afrika dan Amerika Latin. Dr. Campbell dan timnya kemudian menghubungi Dr. P. Roy Vagelos, Chairman Merck mengenai hal ini. Penemuan ini menjadikan perdebatan di dalam Merck, apakah akan meneruskan penelitian ini dan mencobakannya ke manusia. Para manajer yang menentang menyatakan bahwa masyarakat miskin tidak akan mampu

13 Bagian V 241 membeli obat ini. Di samping itu, timbul pertanyaan mengenai bagaimana ongkos distribusinya untuk mencapai penduduk miskin di pedalaman? Di samping itu, risiko Merck akan rugi besar karena dapat menghancurkan pasar obat binatang Ivermectin yang mempunyai omzet 300 juta $ setahun, jika versi manusia ini gagal. Dalam perdebatan ini, muncul isu moral yang menyatakan bahwa manfaat obat ini untuk manusia tidak dapat diabaikan. Pertimbangan ini akhirnya mengalahkan aspek untung-rugi. Berdasarkan usul tim peneliti, akhirnya Merck setuju mengembangkannya. Setelah 7 tahun bekerja keras, dengan biaya cukup besar obat tersebut dapat diproduksi. Akan tetapi, tidak ada negara yang mau membeli, bahkan WHO pun tidak. Padahal obat ini potensial untuk mengobati 85 juta orang. Apa yang dibayangkan dalam perdebatan awal terjadi, terjadi produksi tanpa ada pembeli. Akhirnya, Merck memutuskan memberikan obat ini secara gratis untuk penderita yang potensial, bahkan memberikan bantuan dalam distribusinya. Merck kemudian bekerja sama dengan WHO, membentuk kelompok kerja internasional untuk mendistribusikan obat ke penderita secara aman dan menjamin untuk tidak dijual sebagai obat binatang. Pada tahun 1996, obat ini berhasil menyembuhkan banyak orang hasil kerja sama antara Merck dan berbagai negara serta lembaga sukarelawan. Pertanyaan penting mengapa Merck mau menempuh risiko dan kemudian membiayai berbagai hal yang tentunya mengurangi profitnya? Dalam hal ini Dr. Vagelos menyatakan bahwa saat pertama kali perusahaannya menduga bahwa salah satu obat untuk binatang dapat mengobati manusia maka satu-satunya etika adalah harus mengembangkannya. Namun, dikatakan lebih lanjut bahwa dunia akan mengenang Merck dalam hal ini, sehingga nama Merck akan menjadi kenangan baik. Tentunya dalam hal ini akan timbul pengaruh positif untuk penjualan Merck di kelak kemudian hari. Contoh kasus ini menunjukkan bahwa masih terdapat etika bisnis yang dimiliki oleh Merck, sebuah perusahaan farmasi yang terkemuka dengan keuntungan luar biasa. Memang pada jangka pendek, seolah etika akan bertabrakan dengan tujuan bisnis untuk menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Akan tetapi, dalam

14 242 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi jangka panjang etika dan profit akan berjalan bersama. Dengan kasus ini, sebenarnya terdapat etika bisnis dalam perusahaan yang mencari keuntungan. Sebagai penutup secara ringkas dapat disebutkan bahwa industri farmasi merupakan industri yang sama dengan industri lain dengan tujuan memaksimalkan keuntungan. Ciri ini juga terjadi pada industri peralatan rumah sakit yang menggunakan teknologi tinggi. Tujuan industri sektor rumah sakit ini mempunyai indikator keuntungan ataupun naik-turunnya harga saham industri tersebut. Dengan demikian, perilaku industri farmasi dari pabrik hingga para detailman adalah memaksimalkan keuntungan. Pertanyaan penting adalah: (1) Apakah para dokter dan manajer rumah sakit yang berada dalam sistem rumah sakit non-profit ataupun sosial akan berperilaku forprofit pula, seperti industri farmasi?; (2) Apakah para manajer rumah sakit dan dokter menggunakan obat sebagai alat untuk mendapatkan pendapatan dan keuntungan setinggi-tingginya?; dan (3) Apakah masih ada pertimbangan moral dan kaidah etika dalam sektor farmasi di rumah sakit?

15 Bagian V 243 BAB XV TRANSISI RUMAH SAKIT, INDIKATOR, DAN EVALUASI EKONOMI Dalam kegiatan yang berjalan bersama dengan industri farmasi dan berbagai industri penunjang pelayanan kesehatan, sistem manajemen rumah sakit berada pada dilema; apakah mengikuti pola seperti masa rumah sakit misionaris, atau berpindah ke sistem yang mencari keuntungan. Dalam hal ini timbul suatu keadaan yang relatif lebih sulit dikelola apabila sebagian input untuk produksi di rumah sakit bersifat mengutamakan profit, sementara rumah sakit berperilaku tidak untuk mencari keuntungan. Secara praktis akan timbul keganjilan, misalnya di rumah sakit keagamaan, manajemen obat dan bahan habis pakai dilakukan berdasarkan kaidah memaksimalkan keuntungan sementara misi rumah sakit adalah menolong orang miskin. Andaikata rumah sakit menekan harga obat atau bahkan mensubsidi (menjual obat di bawah harga beli dari distributor), akhirnya rumah sakit keagamaan akan kesulitan membiayai pelayanan bagi orang miskin karena biaya faktor produksi tidak dapat ditekan dan tidak diperoleh subsidi. Hal ini terjadi pula pada rumah sakit pemerintah. Apakah rumah sakit kemanusiaan akan berpindah menjadi lembaga usaha yang for-profit? Pertanyaan-pertanyaan ini memicu timbulnya perubahan di berbagai rumah sakit dari suatu lembaga sosial ke lembaga usaha. Dalam perubahan tersebut dibutuhkan berbagai indikator agar terdapat pedoman melakukan perubahan.

16 244 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi 15.1 Pergeseran Rumah Sakit dari Lembaga Sosial ke Lembaga Usaha yang Sosial Pada akhir abad ke-20, pemerintah di berbagai negara kesulitan untuk membiayai pelayanan kesehatan secara penuh. Menurut pakar manajemen pelayanan kesehatan (Studin, 1995) dalam keadaan yang menjauhi konsep welfare-state, terjadi suatu transisi pandangan yaitu dari perencanaan rumah sakit yang berorientasi pelayanan kesehatan masyarakat menjadi suatu perencanaan strategis yang menyerupai perencanaan lembaga usaha. Keadaan ini dapat dilihat pada proses otonomi rumah sakit seperti yang dibahas pada Bab IV. Pada intinya terjadi berbagai transisi antara lain, sistem perencanaan rumah sakit berubah dari perencanaan yang birokratis tahunan atau pelayanan organisasi sosial menjadi suatu proses perencanaan yang disebut sebagai perencanaan strategis. Pada perencanaan ini dikenal berbagai teknik yang dipergunakan pada perencanaan perusahaan misalnya analisis Strength, Weakness, Opportunity dan Threats (SWOT), serta penyusunan strategi bisnis. Penyusunan rencana strategis ini membutuhkan ketrampilan khusus yang dapat dipelajari dari buku-buku dan pelatihan manajemen strategis. Hal lain yang diperlu diperhatikan adalah penggunaan istilah needs untuk perencanaan. Dalam pendekatan needs (lihat Bab III), maka perencanaan pelayanan kesehatan dilakukan berdasarkan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan tanpa membedakan status ekonominya. Transisi pada aspek ini menggunakan konsep demand, yaitu masyarakat dinilai mengenai kemauan dan kemampuannya mendapatkan pelayanan kesehatan. Dengan menggunakan pendekatan demand ini maka ada berbagai kelompok masyarakat yang mampu untuk membiayai sendiri, tetapi ada yang memerlukan subsidi dari pemerintah atau bantuan lembaga sosial untuk memenuhi kebutuhannya (needs) akan pelayanan kesehatan. Pola penyakit dan kematian, atau yang disebut sebagai data epidemiologi berubah menjadi data yang dapat dipergunakan untuk pemasaran rumah sakit. Berbagai trend perkembangan penyakit dipergunakan untuk melakukan peramalan akan prospek pasar

17 Bagian V 245 pengguna rumah sakit. Transisi ini mengenal istilah manajemen produksi untuk menyebutkan pengembangan program rumah sakit di masyarakat. Istilah kelompok masyarakat yang menggunakan rumah sakit kemudian disebut sebagai customer. Dalam perubahan ini berbagai prinsip dalam bisnis dipergunakan oleh rumah sakit. Rumah sakit tidak hanya berorientasi pada kesehatan masyarakat saja, tetapi juga harus memikirkan sistem bisnis agar dapat tumbuh dan berkembang. Keadaan pada sebagian rumah sakit daerah di Indonesia menunjukkan bahwa orientasi bisnis tidak diperhatikan sehingga terjadi kegagalan berkembang. Akibatnya, seluruh fungsi rumah sakit menjadi terganggu. Transisi ini menyebabkan rumah sakit menjadi lebih bersifat lembaga usaha dengan berbasis pada prinsip-prinsip ekonomi dan manajemen yang dipergunakan oleh badan-badan usaha lain (Kaluzny dkk., 1995; Mick, 1990). Dampak ini menuntut adanya perubahan pada berbagai tatanan baku yang secara tradisional sudah mengakar pada sistem pelayanan kesehatan, termasuk yang dikelola oleh pemerintah. Transisi ini mengakibatkan rumah sakit menjadi lembaga yang mempunyai karakter ekonomi sekaligus mempunyai karakter sosial. Dalam hal ini dikhawatirkan apabila dampak tersebut tidak dikelola secara benar akan terjadi kesimpangsiuran dan ketidaktepatan pola manajemen yang dipakai. Transisi ini tidak harus dari satu ekstrim ke ekstrim lain. Dalam hal ini diperlukan suatu kombinasi yang tepat antara orientasi kesehatan masyarakat dan orientasi bisnis. Lembaga kemanusiaan yang bersifat non-profit Lembaga usaha yang berfungsi sosial Lembaga usaha komersial bersifat for-profit Gambar 15.1 Spektrum rumah sakit berbentuk lembaga kemanusiaan murni hingga lembaga usaha komersial

18 246 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi Sebagaimana diuraikan pada Bagian II, pada dasarnya sebuah firma atau lembaga usaha diasumsikan mempunyai tujuan untuk memaksimalkan keuntungan (for-profit). Akan tetapi, sebagian lembaga usaha bertujuan tidak memaksimalkan untung (non-profit). Di sinilah letak rumah sakit sebagai lembaga usaha non-profit. Dengan menggunakan spektrum yang disusun oleh Dees (1999), rumah sakit dapat dibedakan dari lembaga usaha yang mempunyai motivasi campuran (rumah sakit berbentuk lembaga usaha non-profit), sampai pada bentuk lembaga usaha profit. Di Indonesia, sulit mencari rumah sakit yang benar-benar murni kemanusiaan. Sebagai lembaga usaha non-profit dan profit, rumah sakit tidak lepas dari pengaruh lingkungan. Dalam hal ini perubahan lingkungan secara alamiah akan mendorong rumah sakit menjadi organisasi berciri multiproduk sehingga membutuhkan penanganan dengan konsep manajemen yang tepat. Secara garis besar konsep ini dapat diuraikan sebagai berikut: rumah sakit sebenarnya adalah sebuah badan usaha yang mempunyai berbagai macam unit-unit usaha strategis, misalnya instalasi rawat inap, laboratorium, rawat darurat, gizi, hingga urusan pemulsaraan jenazah. Sebuah controh ekstrim menunjukkan bahwa terdapat sebuah rumah sakit yang dikelola sebagai sebuah mall, dengan instalasi laboratorium, poliklinik, gizi, bahkan perawatnya dikontrak dari pihak luar. Dengan demikian rumah sakit secara keseluruhan dapat dianggap sebagai suatu lembaga usaha yang mempunyai berbagai unit bisnis (usaha) strategis. Mengapa disebut sebagai unit usaha strategis? Unitunit inilah yang dipergunakan langsung oleh masyarakat, dinilai, dan mempunyai semacam akuntabilitas (untung-rugi). Hax dan Majluf (1991) memberikan definisi unit bisnis strategis sebagai berikut: A Strategic Business Unit (SBU) is an operating unit or a planning focus that groups a distinct set of products or services sold to a uniform set of customers, facing well defined set of competitors. Unit-unit bisnis ini ditopang oleh manajemen pada tingkat rumah sakit dan oleh manajemen fungsional. Secara garis besar, beberapa area utama manajemen fungsional yaitu: (1) keuangan; (2)

19 Bagian V 247 sumber daya manusia, (3) teknologi; (4) pengadaan dan pembelian; (5) medis fungsional; (6) sistem informasi, dan (7) pemasaran. Unitunit bisnis strategis antara lain: Instalasi Rawat Jalan, Rawat Inap, Rawat Darurat, Laboratorium, Radiologi, dan lain sebagainya. Unit usaha dalam rumah sakit merupakan suatu hal yang masih kontroversial. Cara pandang yang menolak menyatakan bahwa unit usaha rumah sakit dapat menimbulkan batas-batas yang tidak diperlukan sehingga membahayakan mutu pelayanan bagi pasien. Hal ini disebabkan oleh seorang pasien, misalnya pasien bedah caesar, mendapatkan pelayanan dari berbagai unit usaha rumah sakit secara terpadu. Antara unit-unit usaha sebenarnya tidak ada independensi mutlak. Pasien yang masuk ke rumah sakit dan mendapatkan pelayanan dari seluruh unit secara integrative. Apabila unit-unit usaha terlalu independen dan terlalu mementingkan diri sendiri serta chauvinistic, justru dapat terjadi hal yang membahayakan mutu pelayanan pasien bedah caesar tersebut. Kekhawatiran lain bahwa pengembangan sistem unit usaha akan menyebabkan rumah sakit mempunyai tujuan menghasilkan keuntungan semata dengan mengabaikan fungsi lainnya. Pada saat ini konsep unit usaha strategis rumah sakit masih membutuhkan penelitian dan pengembangan lebih lanjut. Akan tetapi, yang perlu ditekankan adalah adanya kenyataan bahwa instalasiinstalasi di rumah sakit merupakan unit-unit usaha yang harus dikelola dalam suasana kompetitif. Dengan demikian, semangat lembaga usaha seharusnya dimiliki oleh para kepala instalasi. Hal ini terkait dengan konsep otonomi rumah sakit yang diharapkan juga ada otonomi dalam pengambilan keputusan di rumah sakit yang dapat didelegasikan sebagian ke manajer instalasi. Dalam perkembangan menjadi lembaga usaha, rumah sakit pemerintah tentunya tidak akan berkembang menjadi lembaga usaha for-profit, tetapi lebih sebagai lembaga usaha non-profit. Saat ini Departemen Kesehatan mengubah RSUP menjadi lembaga yang berada di bawah predikat BUMN dalam bentuk Perjan, sesuai dengan UU No. 9/1969. Dengan adanya PP No. 64/2001 mengenai BUMN, secara hukum RSUP akan berada di bawah Kementerian BUMN. Hal

20 248 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi ini merupakan perkembangan dari pembatalan status rumah sakit swadana kembali menjadi instansi PNBP dan adanya kebijakan desentralisasi pelayanan kesehatan. Perkembangan menjadi Perjan dan BUMD untuk rumah sakit daerah masih kontroversial, terlebih di tahun 2003 ketika muncul kebijakan baru untuk membawa RSUP menjadi Perum. Pendapat yang kontra menyatakan bahwa bentuk Perjan (terlebih Perum) merupakan pengingkaran dari aspek sosial rumah sakit. Sementara itu, pihak yang pro perubahan ini menyatakan bahwa bentuk Perjan merupakan strategi untuk pengembangan rumah sakit. Di samping itu, ada pendapat ketiga yang menyatakan bahwa bentuk Perjan tidak tepat untuk rumah sakit. Diusulkan untuk menjadi bentuk khusus yang diatur dengan undang-undang untuk rumah sakit (Trisnantoro, 1999a). Perkembangan-perkembangan terakhir ini semakin menunjukkan bahwa rumah sakit secara de-facto telah bergeser dari lembaga sosial menjadi sebuah lembaga usaha dengan berbagai konsep bisnis seperti yang dikemukakan oleh Studin (1995). Kecenderungan ini tercatat dalam penelitian yang dilakukan oleh Trisnantoro (1999b). Hasil penelitian ini menunjukkan sejarah pelayanan kesehatan yang berubah dari pelayanan dengan dasar imperialisme, berkembang dengan dasar misionarisme, dan akhirnya pada akhir abad ke-20 berkembang dengan nilai-nilai badan usaha. Tidak ada lagi subsidi yang substansial untuk membiayai pelayanannya. Praktis rumah sakit keagamaan tersebut telah menjadi lembaga usaha yang harus membiayai segala kegiatannya dari pendapatan pasien. Hasil penelitian oleh Aji (1999) menunjukkan bahwa rumah sakit-rumah sakit keagamaan di Yogyakarta telah kehilangan sumber subsidi. Dengan kehilangan sumber subsidi ini mau tidak mau rumah sakit-rumah sakit keagamaan atau kemanusiaan harus menggunakan pendapatan dari pasien sebagai sumber dana. Dalam hal ini secara kenyataan rumah sakit keagamaan telah berkembang menjadi lembaga usaha, tetapi tetap mempunyai misi keagamaan atau misi sosial. Menjadi pertanyaan di titik ini, apakah menjadi lembaga usaha itu merupakan hal yang baik atau buruk karena lembaga usaha

21 Bagian V 249 merupakan pelayanan yang berdasarkan prinsip-prinsip bisnis? Pertanyaan lebih lanjut, apakah bisnis merupakan tindakan yang jahat? Dalam hal ini perlu dikaji mengenai makna dari bisnis. Definisi bisnis menurut Mulyadi (1995) sebagai berikut: Bisnis merupakan usaha penyediaan produk dan jasa berkualitas bagi pemuasan kebutuhan customers untuk memperoleh return jangka panjang memadai bagi kemampuan bertahan dan berkembang bisnis tersebut. Berdasarkan definisi di atas, rumah sakit merupakan lembaga yang dapat menerapkan prinsip bisnis dengan tidak melanggar etika kedokteran dan melindungi orang miskin. Kata-kata pemuasan kebutuhan customer, mempunyai makna kebutuhan yang ditetapkan berdasarkan indikasi medis. Return jangka panjang dapat berupa return keuangan atau return nonkeuangan. Dengan demikian, penanganan orang miskin merupakan tindakan yang mempunyai return bukan uang, tetapi berupa tercapainya misi sosial rumah sakit. Bertahan dan berkembang merupakan asas pokok sebuah lembaga untuk menempuh masa depan. Tanpa pengembangan yang bertumpu pada mutu, sebuah rumah sakit akan terus-menerus menurun kinerjanya dan akhirnya terpuruk. Dalam hal ini rumah sakit perlu untuk berkembang dan mampu menjalankan fungsi sosialnya dengan menerapkan prinsip bisnis yang etis. Oleh karena itu, diperlukan konsep rumah sakit yang dikelola berdasarkan asas lembaga usaha tetapi tetap mempunyai fungsi sosial. Salah satu prinsip bisnis yang dapat dipergunakan dalam rumah sakit adalah konsep Balanced Scorecard. Pada akhir dekade 1990-an, kalangan industri mendapat masukan mengenai konsep Balanced Scorecard yang diusulkan oleh Kaplan dan Norton (1995). Konsep ini menegaskan bahwa perusahaan yang sukses tidak hanya mengejar keuntungan saja, tetapi juga berusaha untuk mengejar kepuasan pengguna, pengembangan SDM, dan proses yang bermutu. Pengembangan konsep Balanced Scorecard ini relevan untuk diaplikasikan dalam rumah sakit. Dengan berbasis pada prinsip pelayanan prima dan konsep Balanced Scorecard, indikator yang dipergunakan untuk

22 250 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi menilai keberhasilan rumah sakit sebagai sebuah lembaga usaha yang mempunyai fungsi sosial, Trisnantoro (1999a) mengusulkan adanya empat perspektif yaitu: 1. Pemberdayaan dan pengembangan sumber daya manusia 2. Proses pelaksanaan kegiatan 3. Indikator kepuasan pengguna atau donor. Indikator ini merupakan adaptasi dari konsep Balanced Scorecard yang dikembangkan oleh Kaplan dan Norton (1995). 4. Indikator keuangan. Secara lebih rinci, nilai-nilai empat perspektif indikator tersebut dilihat pada Gambar Karyawan medis, paramedis, dan karyawan lain merupakan aset penting rumah sakit yang harus diberdayakan dengan berbagai program pengembangan sumber daya manusia serta kompensasi yang baik. Mutu proses pelayanan kesehatan hanya dapat meningkat apabila karyawan mempunyai komitmen dan terlatih dalam pekerjaannya. Tidak mungkin akan terjadi proses pelayanan rumah sakit yang bermutu apabila karyawan tidak baik. Pelayanan kesehatan bermutu yang efisien merupakan hal yang dituju. Dalam hal ini efisiensi dapat dicapai tidak hanya dari perbaikan sistem manajemen tetapi juga dalam proses medis klinis dan keperawatan. Selanjutnya, mutu proses pelayanan rumah sakit yang baik dan cost-effective akan meningkatkan kepuasan pengguna pelayanan kesehatan. Kepuasan para pengguna akan memicu kesuksesan dalam keuangan secara berkesinambungan (sustainable). Dalam hal ini perlu ditekankan bahwa pengguna rumah sakit tidak hanya masyarakat yang membeli sendiri, tetapi juga masyarakat yang menyumbang atau membelikan untuk orang lain (pemberi dana kemanusiaan), serta pihak-pihak yang memberi subsidi, seperti lembaga-lembaga pemerintah. Nilai-nilai kepuasan mereka harus diperhatikan dengan baik. Tanpa adanya subsidi dari pemerintah atau donor-donor kemanusiaan, rumah sakit akan kesulitan untuk mengembangkan diri. Keberhasilan rumah sakit dalam bidang keuangan akan memungkinkannya untuk mewujudkan berbagai misi termasuk melindungi orang miskin, menjadi tempat bekerja yang baik bagi sumber daya manusia, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat

23 Bagian V 251 luas. Secara sistemik dan berkesinambungan, rumah sakit yang baik secara keuangan akan mampu terus-menerus meningkatkan mutu proses pelayanan dan komitmen sumber daya manusia. Perspektif Keuangan Perspektif Pengguna Dan Donor Peningkatan sumber keuangan rumah sakit dari penjualan jasa dan sumbangan donor, serta subsidi yang disertai dengan efisiensi biaya Peningkatan kepuasan pengguna yang membeli, pemberi donor dan pemberi subsidi melalui efisiensi biaya Peningkatan kesehatan keuangan Peningkatan kepercayaan pengguna yang membeli, pemberi donor dan subsidi Perspektif Proses Pelayanan Peningkatan kualitas proses layanan klinik dan non-klinik Pengintegrasian proses layanan dan peningkatan efisiensi Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan Sumber Daya Manusia Peningkatan produktivitas dan komitmen karyawan Gambar 15.2 Nilai-nilai kelembagaan berbasis pada empat perspektif (diadaptasi dari Mulyadi 2000).

24 252 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi Rumah sakit sebagai lembaga usaha perlu memperhatikan konsep Balanced Scorecard agar berkembang. Dengan mengacu pada prinsip Balanced Scorecard yang dimodifikasi untuk rumah sakit, kemungkinan suatu bentuk lembaga usaha dapat berfungsi sosial. Dalam hal ini terdapat dua kemungkinan: (1) pendekatan crosssubsidy; dan (2) pendekatan donor dan subsidi. Pertanyaan kritis saat ini, apakah aspek sosial lembaga usaha dapat dijalankan berdasarkan pendekatan cross-subsidy? Jawabannya sulit, karena cross-subsidy sulit meningkatkan daya kompetisi sebuah rumah sakit sebagai lembaga usaha. Penelitian penulis di satu rumah sakit pemerintah menunjukkan bahwa tarif kamar VIP jauh di bawah unit cost (Trisnantoro dan Setyawan, 1995). Penelitian Abeng (1997) pada sebuah rumah sakit swasta menunjukkan bahwa tarif kamar VIP berada di bawah unit cost. Hal yang dikhawatirkan justru pasien kelas bawah memberikan subsidi ke kelas atas. Hal ini dimungkinkan karena harga obat yang mempunyai keuntungan yang sama besarnya antara kelas atas dan kelas bawah, sedangkan jumlah pasien kelas bawah jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pasien kelas atas. Konsep subsidi silang, apabila dilakukan secara murni, akan merugikan daya kompetitif sebuah rumah sakit, termasuk daya kompetitif internasional. Pendekatan subsidi silang ini secara praktis mengharapkan direktur rumah sakit melakukan pekerjaan yang sangat berat; yaitu sebagai manajer lembaga pelayanan kesehatan, sekaligus sebagai pengatur redistribusi pendapatan masyarakat yang notabene adalah tanggung jawab pemerintah. Dapat dibayangkan bahwa beban direksi dan staf manajemen sangat berat dalam melakukan subsidi silang ini, yang sebenarnya berada di luar jangkauan mereka. Pendekatan kedua yang berdasarkan pada donor dan subsidi akan lebih masuk akal seperti apa yang terdapat dalam Gambar Dengan demikian, donor atau subsidi merupakan aspek sosial dari rumah sakit, bukan dengan menggunakan subsidi silang. Pertanyaan sekarang adalah siapa yang memberikan subsidi untuk orang miskin? Pemerintah tentu merupakan pihak yang harus bertanggung jawab terhadap subsidi ini. Pemerintah merupakan pihak yang seharusnya

25 Bagian V 253 melakukan alokasi anggaran secara adil. Fungsi untuk melakukan alokasi anggaran sebaiknya tidak berada pada direksi rumah sakit. Di Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah menjamin bahwa fakir miskin berada di bawah tanggungan negara, bukan tanggungan sumber keuangan rumah sakit pemerintah atau swasta. UUD 1945 memang mengisyaratkan bahwa Republik Indonesia sebenarnya berpaham welfare-state. Paham ini terbukti dengan adanya JPS di Indonesia atau Medicaid dan Medicare di Amerika Serikat. Problemnya di Indonesia, program JPS pada awalnya bukan dirancang sebagai suatu sistem pembiayaan rumah sakit yang permanen, sehingga ada istilah exit strategy. Di Inggris, subsidi pemerintah berasal dari pajak dan hasil negara. Di samping subsidi pemerintah, terdapat alternatif lain berupa penggalian dana-dana kemanusiaan. Siapa yang memberikan donor kemanusiaan? Dalam hal ini empat pasar donor yang utama yaitu individual atau perorangan, yayasan, perusahaan, dan pemerintah. Saat ini di Indonesia, donor-donor kemanusiaan ini semakin lama semakin mengecil. Rumah sakit-rumah sakit keagamaan semakin sulit mendapatkan dana, khususnya biaya operasional untuk menangani orang miskin. Apakah memang sumber donor kemanusiaan untuk melayani orang miskin sudah habis? Sulit untuk menjawab masalah ini. Pada tahun 2001 Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan UGM, Yogyakarta mengembangkan berbagai pelatihan untuk menggali dana kemanusiaan. Akan tetapi, hasilnya belum dapat diketahui. Saat ini dapat dikatakan bahwa secara de-facto rumah sakit memang merupakan lembaga usaha. Akan tetapi, secara hukum dan juga secara filosofi serta kultur bekerja ternyata sebagian rumah sakit belum siap menjadi sebuah lembaga usaha. Hal penting lain dalam kebijakan rumah sakit yang terkait dengan sumber biaya dan pendapatan rumah sakit adalah masalah pajak. Berbagai pengamatan menunjukkan bahwa rumah sakit dianggap sebagai lembaga usaha yang sama dengan lembaga usaha for-profit lain. Akibatnya, berbagai kegiatan ekonomi, termasuk pembelian alat kedokteran berbagai pajak diterapkan, termasuk pajak barang mewah. Hal ini berbeda dengan di Malaysia bahwa rumah

26 254 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi sakit mempunyai berbagai pengecualian dalam hal perpajakan. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan baru di Indonesia dalam masalah pajak untuk rumah sakit Bagaimana Menjamin Orang Miskin? Pengembangan ke model badan usaha dalam sektor kesehatan berdasarkan pasar (market-driven) harus dilakukan dengan syarat bahwa orang miskin atau pihak-pihak yang perlu dibantu tetap dijamin aksesnya terhadap pelayanan kesehatan. Dalam hal ini dikenal konsep JPS. Di samping itu, banyak ahli berpendapat, termasuk Anthony Culyer dari University of York yang menyatakan bahwa berbagai public service dalam pelayanan kesehatan tetap wajib diberikan oleh pemerintah sebagai pihak yang menentukan pembagian anggaran secara adil. Sistem pembiayaan untuk orang miskin tetap harus dijaga melalui berbagai mekanisme, misalnya dengan: (1) subsidi dari pemerintah melalui mekanisme pajak pusat, pendapatan asli daerah, bantuan luar negeri; atau (2) dari dana-dana kemanusiaan. Agar terjadi pengembangan sumber dana pelayanan kesehatan yang mengarah pada prinsip gotong-royong, pemerintah pusat atau daerah yang mampu dapat mengadakan peraturan yang mewajibkan seluruh penduduk mempunyai jaminan pelayanan kesehatan. Kepesertaan asuransi kesehatan bersifat wajib karena budaya masyarakat di Indonesia masih belum mengenal manajemen risiko sakit. Organisasi penyelenggara asuransi kesehatan dan JPKM yang sukarela saat ini cenderung mengalami kesulitan berkembang secara luas terutama yang beroperasi pada segmen masyarakat berpenghasilan rendah. Bagi masyarakat yang menginginkan jasa asuransi kesehatan yang lebih tinggi dari paket dasar mempunyai kesempatan mengikuti asuransi kesehatan sukarela (komersial) tanpa meninggalkan keanggotaan asuransi kesehatan wajibnya. Walaupun belum pasti, dengan sistem ini diharapkan terjadi cross-subsidy dari masyarakat sehat yang kaya kepada masyarakat bawah yang miskin. Bagi masyarakat yang tidak mampu membeli premi asuransi kesehatan atau

27 Bagian V 255 tidak terjangkau pelayanan kesehatan diperlukan suatu jaminan dari pemerintah untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Secara diagramatik, keadaan ini dapat digambarkan sebagai berikut: Asuransi Kesehatan Wajib (on top) Askes sukarela ekonomi tinggi ekonomi menengah Jaminan Pemeliharaan Kesehatan ekonomi rendah ekonomi sangat rendah dan sulit dijangkau Gambar 15.3 Kerangka jaminan kesehatan untuk masyarakat 15.3 Kebutuhan akan Indikator yang Tepat Dalam masa perubahan bentuk rumah sakit, maka diperlukan pengukuran untuk menilai apakah lembaga berjalan baik atau tidak. Penggunaan indikator seperti Balanced Scorecard merupakan gabungan antara indikator klinik, nonklinik, termasuk ekonomi. Hal penting yang perlu diperhatikan bahwa penggunaan indikator yang menyeluruh ini harus dapat diterapkan secara praktis sehingga keberhasilan rumah sakit dapat terukur. Dalam manajemen penggunaan sistem indikator kinerja merupakan bagian dari proses pengendalian sebuah lembaga, termasuk rumah sakit. Standar merupakan sebuah hasil akhir atau target yang akan menjadi nilai yang diperbandingkan dengan kinerja.

28 256 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi Pada rumah sakit, indikator yang dipergunakan dalam pengukuran kinerja dapat menjadi banyak. Sampai saat ini dikenal berbagai indikator klinik seperti yang pernah dihasilkan oleh Departemen Kesehatan dan WHO, indikator manajemen, indikator kinerja rumah sakit dengan menggunakan model Barber-Johnson. Pertanyaan penting di sini adalah; indikator apa yang akan dipergunakan? Apakah menggunakan grafik Barber Johnson? Ataukah Cost Recovery, ataukah apa? Secara lebih rinci, bagaimanakah indikator rumah sakit sebagai lembaga usaha yang mempunyai fungsi sosial? Untuk pembahasan hal ini dapat dilihat pada kasus di bawah ini. Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Berdikari di Kabupaten Karangombo telah menjalankan kebijakan swadana selama 3 tahun. Setahun setelah kebijakan swadana berjalan, tarif bangsal kelas I dinaikkan 100% menjadi Rp35.000,00 per hari, dan tahun lalu membangun bangsal VIP. Tarif bangsal VIP ditetapkan seharga Rp ,00. Tarif kelas III tidak dinaikkan (tetap Rp7.500,00) akan tetapi jumlah kamarnya secara relatif menjadi berkurang. Dari 60% menjadi 45%. Secara fisik, setelah kebijakan swadana rumah sakit menjadi lebih baik, lebih megah, lebih bersih, dan karyawannya lebih produktif, serta keluhan dari masyarakat menurun. BOR rumah sakit secara total meningkat dari 57% menjadi 85%. Namun, tiba-tiba muncul suatu kritikan dari seorang wakil rakyat di DPRD Kabupaten Karangombo, Drs. Subroto. Dalam suatu kesempatan sidang anggaran kesehatan, Drs. Subroto mengkritik keras RSUD Berdikari. Dalam pidato di depan sidang, Drs. Subroto menyatakan bahwa RSUD Berdikari telah menjalankan kebijakan swadana yang melenceng dari misi utamanya yaitu menolong orang miskin. Dengan memberi data yang akurat, Drs. Subroto mengevaluasi bahwa BOR kelas III semakin meningkat. Sebelum swadana BOR-nya sebesar 78% dan saat ini menjadi 95%. Drs. Subroto menyatakan bahwa BOR yang tinggi ini menunjukkan bahwa akses orang miskin ke RSUD Berdikari menjadi sulit karena kamar kelas III sering penuh sehingga pasien disalurkan ke Puskesmas dengan Rawat Inap yang jaraknya 10 km dari RSUD Berdikari. Dengan data lain, Drs. Subroto menunjukkan bahwa BOR bangsal VIP relatif rendah,

29 Bagian V 257 yaitu sekitar 45% dan pembangunan bangsal VIP ternyata mempunyai subsidi berupa pembangunan gedung dan harga tanah. Pada penutupnya sebagai anggota dewan, Drs. Subroto mengusulkan agar dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap RSUD Berdikari, termasuk komitmen pelayanan sosialnya. Kasus tersebut menunjukkan bahwa memang timbul berbagai perspektif dalam menilai kinerja rumah sakit. Rumah sakit perlu memikirkan indikator yang menyeluruh. Drs. Subroto sebagai wakil masyarakat menggunakan perspektif akses untuk orang miskin, sementara itu direksi rumah sakit menggunakan kebijakan swadana tidak hanya dengan perspektif masyarakat, tetapi juga perspektif sumber daya manusia rumah sakit. Sementara itu kebijakan swadana dengan membangun bangsal VIP dan mengurangi kelas III berusaha Tabel 15.1 Perbedaan sikap dan interest pada stakeholders rumah sakit pemerintah Stakeholders Masyarakat Pemerintah sebagai regulator Pemerintah sebagai pemilik rumah sakit Board of Trustees (Dewan Penyantun RS) Manajer rumah sakit Para professional yang bekerja di rumah sakit Sikap dan interest Menginginkan rumah sakit yang dapat memberi akses untuk pelayanan bagi orang miskin secara adil dan bermutu baik Sama dengan masyarakat karena pemerintah yang demokratis terpilih berdasarkan suara masyarakat. Menginginkan rumah sakit yang dapat memberi akses untuk pelayanan bagi orang miskin secara adil dan bermutu baik Rumah sakit dapat berjalan baik dengan memberikan hasil sesuai dengan prinsip usaha dan tidak ada penyimpanganpenyimpangan Bekerja atas garis yang ditetapkan oleh pemilik rumah sakit Bekerja sesuai dengan tugas yang diberikan. Para direksi harus dapat melakukan pekerjaan sehingga hasilnya dapat memuaskan berbagai stakeholders lain. Bekerja dengan baik sesuai standar profesional masingmasing dan mendapat suasana kerja yang nyaman, termasuk kompensasi yang baik. untuk memperbaiki suasana kerja di rumah sakit agar para dokter dapat lebih mendapatkan kompensasi. Dalam hal ini terkesan terjadi

30 258 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi suatu konflik antar-stakeholders. Barnett dkk (2001) menguraikan bahwa ada berbagai motivasi para stakeholders dalam menilai rumah sakit seperti yang terdapat pada Tabel Dengan memperhatikan tabel di atas, maka kemungkinan memang ada konflik antar-stakeholders. Pertanyaan pentingnya dalam kasus RSUD Berdikari apakah dengan mengurangi bangsal kelas III, akses untuk orang miskin dapat terjamin? Dalam kasus tersebut Direktur RSUD Berdikari menyatakan bahwa RSUD bekerja sama dengan berbagai Puskesmas Rawat Inap di sekitar rumah sakit dalam sistem rujukan karena ada sekitar 30% pasien rawat inap kelas III yang tidak perlu masuk RSUD. Jenis penyakit pasien ini dapat ditangani di Puskesmas Rawat Inap dengan mutu yang sama, tetapi biaya lebih murah dan jarak lebih dekat. Dengan demikian, masyarakat akan diuntungkan. Sebagai dampak kebijakan menganjurkan para pasien dengan penyakit tertentu untuk berobat ke Puskesmas Rawat Inap, maka BOR kelas III akan turun sehingga tidak terjadi antrian. Dengan kebijakan ini maka masalah akses dapat diatasi. Kasus RSUD Berdikari menunjukkan bahwa rumah sakit memang perlu diukur dengan berbagai perspektif. Untuk menggabungkan berbagai perspektif tersebut, konsep Balanced Scorecard mempunyai berbagai indikator menyeluruh yang dapat dipergunakan untuk menilai rumah sakit tersebut. Pertama, perspektif sumber daya manusia mengukur pemberdayaan dan pengembangan sumber daya manusia dengan indikator misalnya: besarnya kompensasi untuk sumber daya manusia, perbandingan jumlah karyawan yang sudah dilatih dengan yang belum, kinerja karyawan (kedisiplinan, loyalitas, prestasi) yang dilatih dan yang belum, perubahan kinerja karyawan (meningkat atau menurun), keluhan karyawan. Tanpa adanya karyawan yang puas dengan pekerjaannya, RSUD Berdikari tidak akan berjalan dengan mutu baik. Dalam hal ini perlu ditetapkan standar mengenai keadaan karyawan, termasuk kompensasinya. Sebelum kebijakan swadana, para karyawan, terutama para dokter banyak menggunakan waktunya pada saat jam dinas di rumah sakit swasta. Akibatnya, mutu proses pelayananan menurun.

31 Bagian V 259 Perspektif proses pelayanan, misalnya di Instalasi Rawat Inap RSUD Berdikari berusaha mencapai semua ukuran mutu pelayanan rawat inap sesuai standar Depkes yang meliputi jumlah pasien dekubitus, infeksi jarum infus, penyulit infeksi transfusi darah, kelambatan gawat darurat, kekambuhan rawat jalan, dan berbagai hal lainnya. Perlu dicatat bahwa indikator mutu klinik dan keperawatan saat ini sedang dikembangkan oleh Depkes RI. Selain itu, ada pula indikator proses pelayanan rawat inap misalnya berbagai macam rates, quick to respond rates: cepat memenuhi panggilan, cepat menangani keluhan/complain, dan waiting time yang minimal. Perspektif konsumen adalah bagaimana caranya agar konsumen yang membeli akan puas dan menjadi pelanggan serta merekomendasikan pelayanan kepada orang lain. Sebagai contoh indikator kepuasan bagi pembeli adalah nilai berdasarkan survei kepuasan, angka keluhan, pengguna jasa pelayanan kesehatan yang semakin luas. Di samping itu, harus ada pula indikator yang mengukur kepuasan pemberi dana kemanusiaan dan pemberi subsidi. Bagi pemberi donor dan subsidi, indikator keberhasilan adalah sesuai dengan apa yang dipersyaratkan oleh pemberi. Kepuasan pemberi donor dan pemberi subsidi merupakan salah satu indikator bahwa rumah sakit menjalankan misi sosialnya. Perspektif ini yang dipergunakan oleh Drs. Subroto pada kasus di atas. Di dalam perspektif keuangan, ada berbagai indikator yang dapat dipergunakan misalnya berbagai rates untuk kesehatan perusahaan, persentase sumber dana rumah sakit yang akan dipergunakan untuk kegiatan kemanusiaan, peningkatan pendapatan, dan penurunan biaya operasional serta berbagai hal lainnya. Dalam hal aspek keuangan ini terdapat indikator yang dapat dipakai untuk mengukur misi sosial rumah sakit, misalnya berapa persen pengeluaran untuk orang miskin yang dirawat di rumah sakit. Dalam indikator ini dapat dibahas bagaimana sumber pembiayaan untuk orang miskin. Apabila memang dibutuhkan maka bangsal kelas III dapat diperluas, tetapi perlu untuk mencari sumber pembiayaannya. Sebagaimana cockpit ataupun dashboard mobil, akan timbul perdebatan; indikator yang dipakai apakah terlalu sedikit atau terlalu

32 260 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi banyak? Apabila terlalu sedikit, maka mungkin terjadi kekurangan informasi, tetapi apabila terlalu banyak maka akan timbul pemborosan tenaga dan perhatian untuk hal-hal yang tidak diperlukan oleh lembaga sebagai alat kontrol. Oleh karena itu, muncul Key Performance Indicators, yang menunjukkan indikator-indikator kunci yang diharapkan optimal untuk menilai kinerja lembaga. Dalam hal ini Balanced Scorecard dapat dipergunakan sebagai Key Performance Indicators. Dengan Balanced Scorecard indikator rumah sakit mencakup pula indikator ekonomi ataupun nonekonomi. Kesepakatan untuk menetapkan standar dan indikatornya merupakan hal penting untuk mencapai tujuan rumah sakit sebagai lembaga usaha dan sosial. Penggunaan laporan indikator kinerja di dalam rumah sakit Di dalam kegiatan rumah sakit, hasil penilaian kinerja harus ditindaklanjuti dengan berbagai kemungkinan. Tanpa ada tindak lanjut maka penggunaan indikator tidak mencapai sasaran. Dengan menggunakan indikator kinerja, maka dapat dilakukan proses pengendalian yang dapat bersifat strategis atau operasional. Pengendalian strategis akan terkait dengan hal paling hakiki dalam rumah sakit. Sebagai contoh, setelah melakukan evaluasi berdasarkan hasil kerja dengan berbagai indikator, sebuah rumah sakit yang sebelumnya berstatus yayasan, merubah diri menjadi rumah sakit for-profit. Alasan perubahan agar terjadi sistem manajemen yang lebih baik, transparan, dan jelas indikator kesuksesannya. Secara operasional berbagai indikator akan dipergunakan untuk menilai kinerja rumah sakit. Sebagai contoh dalam indikator ekonomi untuk status keuangan rumah sakit dikenal berbagai laporan misalnya laporan akuntansi, laporan cash-flow hingga paparan neraca rugi-laba tahunan. Dalam laporan rumah sakit for-profit dengan nilai ekonomi, berbagai macam rasio keuangan akan dikemukakan misalnya: Return on Investment (ROI), Return on Equity (ROE), profit margin, debt to equity, earning pershare, revenue growth, dan asset growth (Duncan dkk, 1995). Secara praktis, masalah besar dalam menggunakan indikator

33 Bagian V 261 tersebut adalah mencari keseimbangan antara berbagai indikator. Sebagai contoh, apabila terlalu besar penekanan pada keuntungan atau nilai sosial rumah sakit maka kemungkinan mengurangi indikator kepuasan karyawan ataupun pasien. Kasus RSUD Berdikari menujukkan usaha untuk meningkatkan kepuasan dokter menyebabkan kritikan dari pihak lain. Akan tetapi, apabila karyawan rumah sakit tidak dipenuhi harapannya maka mutu kegiatan akan menurun. Keseimbangan ini sangat tergantung pada konteks pemilik dan lingkungan usaha setiap rumah sakit Evaluasi ekonomi untuk tindakan klinik Dalam manajemen rumah sakit, banyak tindakan yang membutuhkan evaluasi ekonomi untuk pelayanan kesehatan (Lemieux- Charles, Hall, 1997). Sebagai contoh, apakah rumah sakit akan membeli CT scan baru? Apakah akan memasukkan obat baru ke dalam daftar formularium rumah sakit? Apakah perlu memberikan antibiotika sebelum operasi? Atau pertanyaan mengenai efektifitas biaya operasi sehari untuk hernia (Russel dkk., 1977). Evaluasi ekonomi ini menjadi sering dibutuhkan karena teknologi pelayanan kesehatan berkembang sangat cepat, termasuk pelayanan kesehatan di rumah sakit. Hal-hal ini membutuhkan informasi mengenai cara yang paling efisien dari berbagai alternatif pelayanan yang ada. Sebagai contoh, apabila rumah sakit salah memilih CT Scan, kemungkinan hasil yang dicapai tidak memuaskan dan biayanya sangat tinggi. Akibat menggunakan teknologi yang tidak cost-effective ini, rumah sakit berkurang mutu pelayanannya. Konsep evaluasi ekonomi terhadap pelayanan kesehatan berasal dari pertanyaan kritis mengenai manfaat teknologi kedokteran untuk masyarakat. Ilmu kedokteran-kesehatan merupakan ilmu yang harus diterapkan dalam masyarakat untuk mengurangi beban akibat adanya penyakit atau turunnya indikator kesehatan masyarakat. Dalam usaha mengurangi beban akibat penyakit, terdapat pilihan berbagai teknologi kedokteran dan kesehatan. Dalam konteks ilmu terapan Tugwell dkk

34 262 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi (1986) mengusulkan sebuah kerangka berpikir untuk evaluasi teknologi kedokteran-kesehatan. Kerangka berpikir ini sangat menarik dalam kaitannya dengan evaluasi ekonomi sektor kesehatan. Kerangka berpikir tersebut terdapat pada Gambar Identifikasi teknologi 7. Monitoring dan Penilaian Ulang 6. Sintesis dan Pelaksanaan 5. Efisiensi klinik 2. Efikasi 3. Screening dan Diagnosis 4. Efektivitas Tindakan Gambar 15.4 Kerangka berpikir technology assessment iterative loop Dalam kerangka berpikir ini terlihat proses pemilihan teknologi penanganan masalah kesehatan, mulai dari pemikiran awal mengenai beban penyakit yang harus ditangani. Dari pemikiran awal ini kemudian ada pilihan teknologi pelayanan kesehatan yang dapat dipergunakan untuk mengurangi beban penyakit. Teknologi ini kemudian menjalani uji coba pada kondisi ideal untuk menentukan apakah tindakan kesehatan ada pengaruhnya (uji efikasi). Jika dalam uji efikasi ini tindakan kesehatan tidak ada gunanya, maka akan dihentikan. Apabila berguna dalam ujiefikasi, maka tindakan kesehatan tersebut akan sampai pada pelaksanaan di lapangan yang mengandung berbagai kata kunci seperti efektivitas, efisiensi, dan evaluasi dengan indikator yang jelas untuk menilai keberhasilan intervensi di masyarakat. Dalam hal ini salah satu indikator yang dipakai menggunakan ukuran ekonomi. Kerangka berpikir ini sejalan dengan konsep dasar

35 Bagian V 263 ilmu manajemen bahwa input dan struktur harus diatur dalam proses yang baik untuk mencapai tujuan berupa hasil (yang dapat diukur) dengan sebaik-baiknya (Drucker dan Eccles, 1998; Burrows dkk., 1994). Bersamaan dengan konsep ini Drummond dkk (1997) mengembangkan metode evaluasi ekonomi untuk pelayanan kesehatan yang sistematis. Dua hal penting dalam evaluasi ekonomi. Pertama adalah evaluasi ekonomi berarti mencakup biaya dan hasil dari proses yang menggunakan biaya tersebut. Kedua, evaluasi ekonomi selalu mengandung kegiatan membandingkan antaralternatif-alternatif pilihan pelayanan kesehatan. Dalam hal ini Drummond dkk (1997) menyatakan bahwa evaluasi ekonomi adalah The comparative analysis of alternative courses of action in terms of both their costs and concequences. Oleh karena itu, manfaat utama evaluasi ekonomi adalah untuk mengidentifikasi, mengukur, menilai, dan membandingkan biaya dan konsekuensi dari alternatif yang dipertimbangkan. Gambar 15.5 berikut ini menunjukkan prinsip evaluasi ekonomi. Gambar 15.5 memperlihatkan bahwa evaluasi ekonomi membandingkan pilihan antara berbagai alternatif. Dalam hal ini misalnya terjadi perbandingan antara tindakan A dan pembanding B. Evaluasi ekonomi dapat dipergunakan dalam pemahaman mengenai konsep evaluasi tindakan atau teknologi kesehatan. Secara tradisional pada sektor rumah sakit dan kesehatan pada umumnya, sering dilakukan Biaya A Tindakan A Hasil A Pilihan Biaya B Pembanding B Hasil B Gambar 15.5 Prinsip evaluasi ekonomi melakukan perbandingan antaralternatif evaluasi untuk menguji efikasi atau efek dari obat, alat, dan prosedur tindakan. Pengujian ini sering dilakukan dalam konteks memban-

36 264 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi dingkan dua tindakan. Hal ini dapat dibaca pada berbagai jurnal kedokteran yang banyak melaporkan hasil penelitian evaluasi. Evaluasi jenis ini lebih banyak mengukur hasil, bukan pada biaya tindakan. Drummond dkk (1997) menggambarkan hal tersebut dengan Tabel 15.2 di bawah ini. Pada kotak 1A, 1B, dan 2 tidak ada perbandingan alternatif (hanya ada satu tindakan atau program yang sedang dievaluasi). Sebenarnya evaluasi harus mempunyai arti membandingkan satu dengan lainnya. Oleh karena itu, evaluasi dalam kotak ini sebenarnya bukan evaluasi sesungguhnya, tapi lebih merupakan suatu gambaran. Pada kotak 1A hanya hasil dari tindakan yang diperiksa, dan disebut Tabel 15.2 Klasifikasi evaluasi ekonomi Apakah biaya (input) dan hasil (output) dari alternatif-alternatif diperiksa? Tidak Ya Tidak Menilai hasil saja Menilai biaya saja 1A Evaluasi Sebagian 1B Evaluasi Sebagian 2 Evaluasi Sebagian Apakah ada perbandingan antara dua atau lebih alternatif Ya Gambaran hasil 3A Evaluasi Sebagian Gambaran biaya 3B Evaluasi Sebagian Gambaran Hasil-biaya 4 Evaluasi Ekonomi Penuh Uji efikasi atau efektivitas Analisis Biaya Cost-minimization analysis Cost-effectiveness analysis Cost-utility analysis Cost-benefit analysis sebagai gambaran hasil. Dalam kotak 1B karena hanya biaya yang dilihat maka disebut sebagai gambaran biaya. Karena tidak melihat

37 Bagian V 265 pada hasil, maka tidak dapat disebut sebagai evaluasi ekonomi penuh. Pada kotak 3A dan 3B terdapat perbandingan antara dua alternatif tindakan kesehatan, tetapi tidak melakukan penghitungan biaya. Pada kotak 3A tindakan ini disebut sebagai evaluasi efektivitas yang banyak dilakukan dalam uji klinik. Dalam kotak 3B hanya biaya yang dibandingkan sehingga disebut sebagai analisis biaya. Kotak 4 merupakan evaluasi ekonomi penuh dengan biaya dan hasil antar alternatif dibandingkan. Dikenal empat jenis evaluasi ekonomi penuh yaitu cost-minimization analysis, cost-effectiveness analysis, costutility analysis, dan cost-benefit analysis. Analisis biaya minimalisasi (Cost Minimization Analysis) Evaluasi ekonomi penuh jenis ini mempunyai ciri yaitu hasil dari dua alternatif yang diukur adalah sama. Berdasarkan hal ini maka komponen input atau biaya dari kedua alternatif akan dihitung untuk mendapatkan data tindakan mana yang paling rendah biayanya. Evaluasi ini banyak dilakukan pada berbagai tindakan bedah minor. Sebagai contoh Russsel dkk (1977) meneliti perbadingan bedah sehari untuk hernia dan hemoroid dibandingkan dengan teknik perawatan saat ini. Analisis biaya dan hasil guna (Cost Effectiveness Analysis) Apabila keluaran (outcome) dari tindakan proyek tersebut tidak sama, maka dilakukan pengukuran hasil dan biaya melalui metode cost-effectiveness. Dalam hal ini hasil (outcome) diukur dengan indikator status kesehatan yang alamiah, misalnya perpanjangan masa kehidupan. Indikator status kesehatan lain misalnya; penyembuhan, penghindaran dari kematian. Analisis utilitas biaya (Cost Utility Analysis)

38 266 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi Pengukuran ini membutuhkan data hasil dalam bentuk utilitas atau kegunaan hidup. Dalam khasanah ekonomi kesehatan terdapat berbagai metode untuk menghitung kegunaan hidup. Salah satu yag paling yang populer adalah berdasarkan konsep Quality Adjusted Life Years (QALY) dan untuk menghitung beban penyakit Disability Adjusted Life Years (DALY). Perhitungan QALY berdasarkan kombinasi antara lama kehidupan dan mutu kehidupan. Dalam aplikasi di rumah sakit, analisis ini penting untuk mempertimbangkan keputusan penggunaan teknologi yang mahal bagi pasien-pasien yang sudah dipastikan tidak mendapat manfaat banyak. Analisis biaya dan keuntungan (Cost benefit Analysis) Jika perhitungan biaya dan keluarannya menggunakan satuan yang sama, biasanya dengan nilai uang, maka analisis yang dilakukan adalah cost benefit analysis. Karena menggunakan ukuran yang sama maka dapat menggunakan perbandingan benefit atau cost sebagai satuannya. Pemahaman mengenai evaluasi ekonomi ini menjadi dasar untuk menentukan tindakan yang dilakukan oleh rumah sakit bersifat etis atau tidak. Namun, kesulitan yang sering dihadapi pada praktik sehari-hari adalah tidak adanya data mengenai evaluasi ekonomi untuk berbagai tindakan klinik ataupun peralatan teknologi kedokteran. Di samping itu, penghitungan biaya evaluasi ekonomi merupakan satu hal yang sangat sulit. Dapat dipahami bahwa evaluasi ekonomi dengan menggunakan model Drummond (1997) ini masih jarang dipergunakan dalam pembuatan keputusan manajemen pada rumah sakit di Indonesia.

39 Bagian V 267 BAB XVI ETIKA BISNIS RUMAH SAKIT Seperti kecenderungan di berbagai negara, rumah sakit di Indonesia bergerak ke arah sistem manajemen berdasarkan konsep usaha yang mengarah pada mekanisme pasar dan prinsip efisiensi. Dalam transisi ini pertanyaannya adalah, apakah ada yang dirugikan? dan apakah ada pedoman etika yang dapat diikuti? Saat ini memang timbul kekhawatiran mengenai akibat negatif dari transisi rumah sakit ke arah lembaga usaha. Pertanyaan mengenai siapa yang dirugikan atas perkembangan ini perlu dibahas untuk mencari usaha mengatasinnya. Pembahasan diawali dengan tinjauan konseptual mengenai dasar keadilan dalam peningkatan efisiensi. Dari pembahasan mengenai konsep dasar ini, berbagai kasus abu-abu dalam rumah sakit dianalisis untuk mencari jawaban akan pertanyaan penting: adakah etika untuk bisnis di sektor rumah sakit? 16.1 Konsep Dasar untuk Keadilan Dalam perubahan rumah sakit menjadi lebih bersifat lembaga usaha diperlukan suatu filosofi agar secara etika dapat dipertanggungjawabkan. Tujuan penting dalam perubahan rumah sakit adalah peningkatan efisiensi dan penjaminan bagi orang miskin untuk mendapatkan pelayanan rumah sakit. Dengan demikian perubahan akan diukur dengan indikator ekonomi dan indikator lain termasuk fungsi sosial rumah sakit. Dalam hal ini, pernyataan Pareto cit. Friedman 1995 perlu diperhatikan bahwa perubahan kebijakan harus berprinsip: tidak ada satu orang atau satu lembaga pun yang dirugikan.

40 268 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi One allocation is defined as Pareto superior to another if and only if it makes at least one person better off and no one worse off. Teori ekonomi mikro menyatakan bahwa model standar suatu organisasi perusahaan adalah bersifat for profit. Oleh karena itu, untuk meningkatkan efisiensi di lembaga usaha for profit dilakukan dengan berbagai usaha yaitu: (1) menjaga agar biaya produksi berada pada tingkat mimimum; (2) menetapkan harga di atas unit cost; dan (3) melebarkan penjualan (misalnya meningkatkan BOR dan berbagai produk rumah sakit). Sementara itu, pengertian efisiensi dalam organisasi non profit dapat berarti cara menghasilkan produk dan tercapainya misi dengan biaya produksi atau operasional yang serendah mungkin. Oleh karena itu, dalam transformasi lembaga sosial menjadi lembaga usaha yang mempunyai fungsi sosial, pertanyaan pentingnya adalah apakah ada kelompok masyarakat yang dirugikan. Untuk membahas hal ini pemahaman mengenai model utilitas di masyarakat perlu dipelajari. Model ini penting sebagai dasar kebijakan transisi rumah sakit. Pemahaman mengenai efisiensi Pareto ini terlihat pada Gambar 16.1 yang menggunakan model utilitas. Dalam model ini digambarkan dunia terdiri atas 22 utilitas yang dibagi dua, untuk Jamhuri dan Suroto. Batas efisiensi pembagian antara Jamhuri dan Suroto dibatasi oleh kurva batas utilitas. Misalnya dimulai pada posisi awal A. Pada titik ini Jamhuri sebagai orang yang lebih kaya mempunyai 10 utilitas (titik J 1 ), sementara Suroto mempunyai 6 (titik S 1 ). Total yang dimiliki bersama adalah 16 utilitas. Dalam hal ini masih ada 6 utilitas yang belum terpakai. Jumlah ini merupakan peluang peningkatan efisiensi karena belum dikembangkan sampai batas lingkaran. Dalam hal ini keadaan di titik A masih dapat ditingkatkan efisiensinya ke titik D, H. atau B. Akan tetapi tidak dapat dikembangkan sampai titik R karena berada di luar batas kurva. Pada pengertian efisiensi menurut Pareto, maka perubahan dari A ke B secara keseluruhan akan meningkatkan efiensi. Dalam perubahan ini yang meningkat hanya Suroto, dari 6 menjadi 12 (titik S 2 ), sedangkan Jamhuri tidak mendapat keuntungan, tetap 10 utilitas

41 Bagian V 269 Utilitas milik Jamhuri J 2 D. H. R J 1 A B Kurve batas utilitas S 3 S 1 S 2 Utilitas milik Suroto Gambar 16.1 Konsep efisiensi menurut Pareto (titik J 1 ). Perubahan dari A ke B ini masih disebut sebagai efisiensi Pareto. Akan tetapi apabila keadaan berubah dari A ke D, maka hanya Jamhuri sebagai orang yang lebih kaya justru mendapat keuntungan, berpindah dari titik J 1 ke titik J 2. Sementara Suroto berkurang utilitas, dari titik S 1 ke titik S 3. Dalam hal ini berarti ada pihak yang dirugikan, sehingga tidak memenuhi efisiensi Pareto. Perubahan ke titik H, dapat menjadikan pembagian utilitas menjadi 11 untuk Jamhuri dan 11 untuk Suroto. Hal ini menjadikan pembagian yang merata. Bagaimana aplikasi di rumah sakit? Perubahan dari lembaga sosial birokrasi menjadi lembaga usaha yang sosial seharusnya mengacu pada filosofi Pareto. Dalam hal ini tidak boleh ada pihak yang dirugikan. Sebagai contoh, kebijakan Perjan harus mempunyai efek efisiensi menurut Pareto. Apakah perubahan kebijakan menjadi Perjan merugikan salah satu pihak? Misalnya orang miskin akan

42 270 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi kesulitan mendapatkan akses ke rumah sakit. Apabila kebijakan menjadi Perjan mengurangi akses untuk orang miskin, berarti perubahan menjadi Perjan tidaklah efisien menurut Pareto karena ada pihak yang dirugikan. Gambar 16.2 Pertumbuhan Benthamite dan Rawlsian. Akan tetapi, ada yang tidak menggunakan efisiensi secara Pareto. Mereka berpendapat bahwa yang penting adalah pertumbuhan. Masyarakat harus berkembang, walaupun ada yang dirugikan. Paham ini disebut Benthamite karena diusulkan oleh seorang ahli sosiologi bernama Jeremy Bentham pada tahun Menurut Bentham dalam peningkatan efisiensi yang penting adalah pertumbuhan dengan adanya peningkatan efisiensi. Apabila ada pihak yang dirugikan bukan menjadi masalah. Pemerataan merupakan hal lain yang tidak terkait dengan efisiensi. Pendapat yang mengambil efisiensi Pareto secara radikal adalah paham Rawlsian, yang bersumber dari pendapat seorang filsuf John

INDUSTRI FARMASI, PROFIT, DAN ETIKA

INDUSTRI FARMASI, PROFIT, DAN ETIKA Bagian V 231 BAB XIV INDUSTRI FARMASI, PROFIT, DAN ETIKA Bab ini membahas industri farmasi yang merupakan komplemen penting di sektor rumah sakit. Tanpa obat, rumah sakit akan sulit melakukan kegiatan.

Lebih terperinci

TRANSISI RUMAH SAKIT, INDIKATOR, DAN EVALUASI EKONOMI

TRANSISI RUMAH SAKIT, INDIKATOR, DAN EVALUASI EKONOMI Bagian V 243 BAB XV TRANSISI RUMAH SAKIT, INDIKATOR, DAN EVALUASI EKONOMI Dalam kegiatan yang berjalan bersama dengan industri farmasi dan berbagai industri penunjang pelayanan kesehatan, sistem manajemen

Lebih terperinci

INDEKS. C Cash and Carry, 43 Cash-Flow, 161 Circular Flow, 61, 68-70, 75, 84-86, 109, 163, 165, 168, 172, 191

INDEKS. C Cash and Carry, 43 Cash-Flow, 161 Circular Flow, 61, 68-70, 75, 84-86, 109, 163, 165, 168, 172, 191 INDEKS A Akuntabilitas Usaha, 178 Akuntabilitas, 50, 52, 57, 58, 179, 246 Asuransi Kesehatan, 3, 7, 27, 29, 31, 41-44, 58, 65, 116, 120-123, 151, 187, 199, 233, 254, 274, 285 B Bad Externalities, 279 Badan

Lebih terperinci

Modul. Blok II 1. Magister Manajemen Rumahsakit Fakultas Kedokteran UGM. Prinsip Ekonomi Manajerial dan Penerapannya Dalam Manajemen Rumah Sakit

Modul. Blok II 1. Magister Manajemen Rumahsakit Fakultas Kedokteran UGM. Prinsip Ekonomi Manajerial dan Penerapannya Dalam Manajemen Rumah Sakit 1 Modul Minat Utama Manajemen Rumahsakit Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran UGM Gedung IKM Lt. 2 Jln Farmako, Sekip Utara, Jogjakarta 55281 Telp. (0274) 581679, 551408 Fax. (0274)

Lebih terperinci

DAFTAR ISI... PRAKATA...

DAFTAR ISI... PRAKATA... DAFTAR ISI PRAKATA... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... v xvii xxii DAFTAR GAMBAR... xxiv BAGIAN I PERKEMBANGAN SISTEM MANAJEMEN RUMAH SA- KIT DAN REFORMASI PELAYANAN KESEHATAN... 1 Pengantar... 1 Bab I Sistem

Lebih terperinci

KEBIJAKAN OTONOMI DALAM MANAJEMEN RUMAH SAKIT

KEBIJAKAN OTONOMI DALAM MANAJEMEN RUMAH SAKIT Bagian I 51 BAB IV KEBIJAKAN OTONOMI DALAM MANAJEMEN RUMAH SAKIT 4.1 Globalisasi dan Otonomi Rumah Sakit Di Indonesia problem keuangan menyebabkan kemampuan pemerintah pusat untuk membiayai pembangunan

Lebih terperinci

RUMAH SAKIT SEBAGAI LEMBAGA USAHA

RUMAH SAKIT SEBAGAI LEMBAGA USAHA Bagian III 129 BAB IX RUMAH SAKIT SEBAGAI LEMBAGA USAHA 9.1 Konsep Biaya dan Aplikasinya di Rumah Sakit Dalam model Circular Flow, firma atau lembaga usaha merupakan salahsatu dari empat faktor pembentuk

Lebih terperinci

Perkembangan mutakhir sektor rumahsakit di Indonesia: Mengapa RS Non-Profit membutuhkan dana kemanusiaan

Perkembangan mutakhir sektor rumahsakit di Indonesia: Mengapa RS Non-Profit membutuhkan dana kemanusiaan Perkembangan mutakhir sektor rumahsakit di Indonesia: Mengapa RS Non-Profit membutuhkan dana kemanusiaan Laksono Trisnantoro Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Tujuan Instruksional: 1. Memahami

Lebih terperinci

STRATEGI RUMAH SAKIT DAN ETIKA BISNIS

STRATEGI RUMAH SAKIT DAN ETIKA BISNIS BAB 12 STRATEGI RUMAH SAKIT DAN ETIKA BISNIS D alam membahas strategi rumah sakit terdapat beberapa isu yang terkait dengan etika, antara lain: Apabila rumah sakit menyusun rencana strategis, apakah kegiatan

Lebih terperinci

PENGANTAR EKONOMI MANAJERIAL UNTUK RUMAH SAKIT

PENGANTAR EKONOMI MANAJERIAL UNTUK RUMAH SAKIT 98 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi BAB VII PENGANTAR EKONOMI MANAJERIAL UNTUK RUMAH SAKIT 7.1 Masalah Manajemen dan Ekonomi Perubahan disadari telah terjadi dalam rumah sakit. Fakta di lapangan dan sejarah

Lebih terperinci

KONSEP PENETAPAN TARIF DAN INVESTASI

KONSEP PENETAPAN TARIF DAN INVESTASI 146 Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi BAB X KONSEP PENETAPAN TARIF DAN INVESTASI 10.1 Konsep Penetapan Tarif dalam Manajemen Rumah Sakit Tarif adalah nilai suatu jasa pelayanan yang ditetapkan dengan ukuran

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN TEKNOLOGI, PENGARUH PASAR, DAN PERILAKU PROFESIONAL

PERKEMBANGAN TEKNOLOGI, PENGARUH PASAR, DAN PERILAKU PROFESIONAL BAB 10 PERKEMBANGAN TEKNOLOGI, PENGARUH PASAR, DAN PERILAKU PROFESIONAL I su penting yang semakin relevan dalam manejemen rumah sakit adalah hubungan antara perilaku rumah sakit dengan teknologi kedokteran,

Lebih terperinci

Intan Silviana Mustikawati, SKM, MHP ETIKA BISNIS RS

Intan Silviana Mustikawati, SKM, MHP ETIKA BISNIS RS Intan Silviana Mustikawati, SKM, MHP ETIKA BISNIS RS Pokok Bahasan Pendahuluan Konsep Efisiensi Berbagai Kasus Abu abu dalam RS Konsep Etika Bisnis RS Pendahuluan RS di Indonesia bergerak ke arah sistem

Lebih terperinci

Perencanaan Strategis dan Perubahan Budaya Organisasi

Perencanaan Strategis dan Perubahan Budaya Organisasi Perencanaan Strategis dan Perubahan Budaya Organisasi Isi: Pelajaran dari RS yang melakukan Perubahan Perubahan Budaya di RS Tabanan Dimana peran Perencanaan Strategis pada perubahan? Pelajaran dari berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan tersebut adalah pelayanan kesehatan di rumah sakit. Menurut Undang-

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan tersebut adalah pelayanan kesehatan di rumah sakit. Menurut Undang- BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelayanan kesehatan masyarakat pada umumnya diselenggarakan oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah dan salah satu bentuk pelayanan kesehatan tersebut adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mencakup penekanan pada produk, biaya, harga, pelayanan, penyerahan tepat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mencakup penekanan pada produk, biaya, harga, pelayanan, penyerahan tepat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketatnya persaingan bisnis dan adanya pasar bebas memaksa perusahaan untuk membuat terobosan. Hal tersebut harus dilakukan agar mampu bersaing secara sehat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan adalah kebutuhan primer yang harus dipenuhi oleh seluruh

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan adalah kebutuhan primer yang harus dipenuhi oleh seluruh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan adalah kebutuhan primer yang harus dipenuhi oleh seluruh manusia, karena kesehatan menentukan segala aktivitas dan kinerja manusia. Pengertian sehat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dan rehabilitasi dengan mendekatkan pelayanan pada masyarakat. Rumah sakit

BAB 1 PENDAHULUAN. dan rehabilitasi dengan mendekatkan pelayanan pada masyarakat. Rumah sakit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rumah sakit merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan yang kompleks dan mempunyai fungsi luas menyangkut fungsi pencegahan, penyembuhan dan rehabilitasi dengan

Lebih terperinci

SIFAT LEMBAGA RUMAH SAKIT

SIFAT LEMBAGA RUMAH SAKIT BAB 4 SIFAT LEMBAGA RUMAH SAKIT S ifat rumah sakit sebagai suatu lembaga diperlukan untuk menyusun rencana. Proses perencanaan rumah sakit berbentuk PT dengan rumah sakit daerah tentunya berbeda, termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. persaingan antar rumah sakit baik lokal, nasional, maupun regional. kebutuhan, tuntutan dan kepuasan pelanggan.

BAB I PENDAHULUAN. persaingan antar rumah sakit baik lokal, nasional, maupun regional. kebutuhan, tuntutan dan kepuasan pelanggan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menghadapi era globalisasi seperti sekarang ini, banyak tantangan yang harus dihadapi oleh rumah sakit. Diantara tantangan yang ada adalah bagaimana mengubah paradigma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan. Tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan disebut

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan. Tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan disebut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Upaya kesehatan terdiri dari berbagai kegiatan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan disebut sarana kesehatan.

Lebih terperinci

Professional Development

Professional Development Professional Development untuk Peningkatan Mutu Laksono Trisnantoro Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan FK- UGM/Magister Manajemen Rumahsakit/Magister Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan UGM 1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut WHO (World Health Organization), rumah sakit adalah bagian integral dari suatu organisasi sosial dan kesehatan dengan fungsi menyediakan pelayanan paripurna

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kenyamanan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang

Lebih terperinci

viii Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

viii Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi PRAKATA Aplikasi ekonomi dalam manajemen rumah sakit merupakan suatu topik menarik untuk dibahas. Buku ini bertujuan membahas berbagai aspek aplikasi ekonomi, khususnya ekonomi mikro dalam manajemen rumah

Lebih terperinci

Rumah Sakit Perjan: Konsep Salah Kaprah

Rumah Sakit Perjan: Konsep Salah Kaprah Rumah Sakit Perjan: Konsep Salah Kaprah Hasbullah Thabrany 1 Jika kita memperhatikan prilaku masyarakat Indonesia, maka terdapat dua perbedaan sikap yang sangat menyolok terhadap dua jenis institusi sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya

BAB I PENDAHULUAN. orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kesehatan merupakan salah satu indikator suksesnya pembangunan suatu bangsa sehingga diperlukan adanya suatu upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Pembangunan

Lebih terperinci

Pemangku Kepentingan, Manajer, dan Etika

Pemangku Kepentingan, Manajer, dan Etika Modul ke: Pemangku Kepentingan, Manajer, dan Etika Fakultas Pasca Sarjanan Dr. Ir. Sugiyono, Msi. Program Studi Magister Manajemen www.mercubuana.ac.id Source: Jones, G.R.2004. Organizational Theory, Design,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kompleksitas dunia bisnis yang ada sekarang baik dalam produk/jasa yang dihasilkan,

BAB I PENDAHULUAN. Kompleksitas dunia bisnis yang ada sekarang baik dalam produk/jasa yang dihasilkan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kompleksitas dunia bisnis yang ada sekarang baik dalam produk/jasa yang dihasilkan, proses dalam menghasilkan produk/jasa tersebut, sistem jual-beli yang ada

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAYANAN KLINIS PUSKESMAS TAROGONG

PEDOMAN PELAYANAN KLINIS PUSKESMAS TAROGONG PEDOMAN PELAYANAN KLINIS PUSKESMAS TAROGONG BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Akreditasi Puskesmas dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama merupakan upaya peningkatan mutu dan kinerja pelayanan

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG TARIF LAYANAN KESEHATAN PADA BADAN LAYANAN UMUM DAERAH RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan bisnis di Indonesia menunjukkan kemajuan pesat seiring

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan bisnis di Indonesia menunjukkan kemajuan pesat seiring BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan bisnis di Indonesia menunjukkan kemajuan pesat seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, antar lembaga atau organisasi saling berkompetisi

Lebih terperinci

ASPEK STRATEGIS MANAJEMEN RUMAH SAKIT

ASPEK STRATEGIS MANAJEMEN RUMAH SAKIT Pengantar R umah sakit merupakan sebuah lembaga yang melakukan kegiatan tidak di ruang hampa. Dalam sejarah perkembangan rumah sakit terdapat interaksi antara lingkungan dengan keadaan dalam rumah sakit.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberadaan suatu perusahaan tentunya tidak terlepas dari aset yang dimiliki. Salah satu aset penting perusahaan adalah sumber daya manusia atau karyawan. Sumber

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pelanggan terbagi menjadi dua jenis, yaitu: fungsi atau pemakaian suatu produk. atribut yang bersifat tidak berwujud.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pelanggan terbagi menjadi dua jenis, yaitu: fungsi atau pemakaian suatu produk. atribut yang bersifat tidak berwujud. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Kepuasan Konsumen Kepuasan konsumen berarti bahwa kinerja suatu barang atau jasa sekurang kurangnya sama dengan apa yang diharapkan (Kotler & Amstrong, 1997).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termasuk Indonesia. Doktrin New Public Management (NPM) atau Reinveting

BAB I PENDAHULUAN. termasuk Indonesia. Doktrin New Public Management (NPM) atau Reinveting 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan reformasi administrasi publik makin nyata di berbagai negara termasuk Indonesia. Doktrin New Public Management (NPM) atau Reinveting Government yang didasarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak pertama kali berdirinya suatu negara, pemerintah dan masyarakat

I. PENDAHULUAN. Sejak pertama kali berdirinya suatu negara, pemerintah dan masyarakat 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak pertama kali berdirinya suatu negara, pemerintah dan masyarakat telah melakukan upaya pembangunan dalam rangkaian program-program yang berkesinambungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rumah sakit sebagai organisasi pelayanan kesehatan mengalami pertumbuhan yang sangat pesat dalam satu dasawarsa terakhir. Hal ini menimbulkan persaingan

Lebih terperinci

Undang-Undang Dasar 1945, secara berkesinambungan hams dilakukan berbagai. optimal. Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1991a), menjelaskan bahwa

Undang-Undang Dasar 1945, secara berkesinambungan hams dilakukan berbagai. optimal. Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1991a), menjelaskan bahwa 1.1. Latar Belakang Dalam mewujudkan tujuan negara, seperti yang diamanatkan &lam Undang-Undang Dasar 1945, secara berkesinambungan hams dilakukan berbagai kegiatan pembangunan. Salah satu kegiatan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan aktiftas pelayanan kesehatan baru dimulai pada akhir abad ke -19,

BAB I PENDAHULUAN. melakukan aktiftas pelayanan kesehatan baru dimulai pada akhir abad ke -19, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peranan dan fungsi rumah sakit sebagai sarana yang semata mata hanya melakukan aktiftas pelayanan kesehatan baru dimulai pada akhir abad ke -19, dimana dimasa masa

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 70 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN REMUNERASI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 70 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN REMUNERASI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO 1 BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 70 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN REMUNERASI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

Lebih terperinci

BAB 1 P E N D A H U L U A N. kekayaan alam lainnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran

BAB 1 P E N D A H U L U A N. kekayaan alam lainnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran BAB 1 P E N D A H U L U A N 1.1. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam lainnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Lebih terperinci

MAKALAH MANAJEMEN REKAM MEDIS DI RUMAH SAKIT

MAKALAH MANAJEMEN REKAM MEDIS DI RUMAH SAKIT MAKALAH MANAJEMEN REKAM MEDIS DI RUMAH SAKIT DISUSUN OLEH MARIA YOSEFINA SARINA BIMA 10.001.068 Semester/Kelas : III/C AKADEMI PEREKAM MEDIS DAN INFORMATIKA KESEHATAN YAYASAN BINA ADMINISTRASI BANDUNG

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. Rumah Sakit Atma Jaya didirikan oleh Yayasan Atma Jaya sebagai rumah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Patient Safety yang menjadi bagian dari sistem pelayanan kesehatan yang berkualitas dapat meraih pencapaian standar dari patient safety yang dibutuhkan di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan kebutuhan pokok yang harus diperhatikan setiap

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan kebutuhan pokok yang harus diperhatikan setiap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan kebutuhan pokok yang harus diperhatikan setiap orang demi mempertahankan kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, rumah sakit sebagai fasilitas kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Pada umumnya rumah sakit terbagi menjadi dua yaitu rumah sakit umum

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Pada umumnya rumah sakit terbagi menjadi dua yaitu rumah sakit umum BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan kebutuhan dasar bagi manusia. Untuk mendukung kesehatan bagi masyarakat maka banyak didirikan lembaga atau organisasi yang memberikan pelayanan

Lebih terperinci

.BAB 1 PENDAHULUAN. dari sistem pemerintahan yang bercorak sentralisasi mengarah kepada sistem

.BAB 1 PENDAHULUAN. dari sistem pemerintahan yang bercorak sentralisasi mengarah kepada sistem .BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Munculnya otonomi daerah menyebabkan terjadinya pergeseran paradigma dari sistem pemerintahan yang bercorak sentralisasi mengarah kepada sistem pemerintahan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan (Depkes RI, 1999). Peningkatan kebutuhan dalam bidang kesehatan ini

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan (Depkes RI, 1999). Peningkatan kebutuhan dalam bidang kesehatan ini BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan utama dari pembangunan kesehatan adalah peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang optimal, sehat secara fisik, mental dan sosial, untuk mencapai suatu kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Kebijakan pemerintah memberikan dana pelayanan kesehatan, yang secara implisit merupakan pemahaman pemerintah atas tanggung jawab kepentingan umum. Sebagai negara berkembang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut World Health Organization tahun 2011 stroke merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut World Health Organization tahun 2011 stroke merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut World Health Organization tahun 2011 stroke merupakan penyebab kematian ketiga (10%) di dunia setelah penyakit jantung koroner (13%) dan kanker (12%) dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Strategi pemerintah dalam pembangunan kesehatan nasional 2015-2019 bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang. Peningkatan

Lebih terperinci

BUPATI BOYOLALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI BOYOLALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI BOYOLALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG TARIF PELAYANAN KESEHATAN KELAS III PADA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PANDAN ARANG KABUPATEN BOYOLALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2011 NOMOR 7 SERI E PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2011 NOMOR 7 SERI E PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2011 NOMOR 7 SERI E PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 3 TAHUN 2005 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEHATAN

Lebih terperinci

MISI MENJADI RUMAH SAKIT BERSTANDAR KELAS DUNIA PILIHAN MASYARAKAT KEPUASAN DAN KESELAMATAN PASIEN ADALAH TUJUAN KAMI

MISI MENJADI RUMAH SAKIT BERSTANDAR KELAS DUNIA PILIHAN MASYARAKAT KEPUASAN DAN KESELAMATAN PASIEN ADALAH TUJUAN KAMI MISI MENJADI RUMAH SAKIT BERSTANDAR KELAS DUNIA PILIHAN MASYARAKAT 1. Mewujudkan kualitas pelayanan paripurna yang prima dengan mengutamakan keselamatan pasien dan berfokus pada kepuasan pelanggan. 2.

Lebih terperinci

BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 39 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN INTERNAL RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BLAMBANGAN KABUPATEN BANYUWANGI

BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 39 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN INTERNAL RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BLAMBANGAN KABUPATEN BANYUWANGI BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 39 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN INTERNAL RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BLAMBANGAN KABUPATEN BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. PERSI 1995 mengutip pendapat Ohmae (1992) menyebutkan bahwa perubahan akan

BAB I PENDAHULUAN. PERSI 1995 mengutip pendapat Ohmae (1992) menyebutkan bahwa perubahan akan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era globalisasi telah mendorong perubahan di segala bidang termasuk perubahan paradigma di bidang jasa kesehatan. Kerangka acuan seminar nasional PERSI 1995 mengutip

Lebih terperinci

BAB I BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Obat merupakan komponen penting dalam pelayanan kesehatan. Pengelolaan obat yang efisien diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi rumah sakit dan pasien

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 13 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satu dari sepuluh Kebijakan Pembangunan Daerah Kabupaten Sukabumi Periode 2006-2010 adalah Peningkatan Derajat Kesehatan Masyarakat dan Pelayanan Sosial. Kebijakan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BERAU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BERAU - 1 - SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BERAU NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM JAMINAN KESEHATAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BERAU, Menimbang : a. bahwa dalam rangka upaya memenuhi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kelompok dan bahkan oleh masyarakat. Untuk dapat mewujudkan keadaan sehat

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kelompok dan bahkan oleh masyarakat. Untuk dapat mewujudkan keadaan sehat 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Terwujudnya keadaan sehat adalah kehendak semua pihak, baik oleh keluarga, kelompok dan bahkan oleh masyarakat. Untuk dapat mewujudkan keadaan sehat tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan

BAB I PENDAHULUAN. suatu upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rumah sakit adalah salah satu organisasi sektor publik yang bergerak dalam bidang pelayanan jasa kesehatan yang mempunyai tugas melaksanakan suatu upaya kesehatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat karena rumah sakit memberikan pelayanan medik dengan tujuan

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat karena rumah sakit memberikan pelayanan medik dengan tujuan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan memiliki peran yang sangat strategis dalam upaya mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat

Lebih terperinci

viii Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi

viii Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi PRAKATA Aplikasi ekonomi dalam manajemen rumah sakit merupakan suatu topik menarik untuk dibahas. Buku ini bertujuan membahas berbagai aspek aplikasi ekonomi, khususnya ekonomi mikro dalam manajemen rumah

Lebih terperinci

Ahmad Ansyori. Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi UIN Maliki Malang. Abstrak

Ahmad Ansyori. Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi UIN Maliki Malang. Abstrak Analisis Tarif Rawat Inap Dengan Menggunakan Metode Biaya Berbasis Aktivitas di RSNU Banyuwangi Ahmad Ansyori Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi UIN Maliki Malang Abstrak Activity Based Costing merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Industri Rumah Sakit pada dasarnya adalah kumpulan dari berbagai unit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Industri Rumah Sakit pada dasarnya adalah kumpulan dari berbagai unit BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Manajemen Sumber Daya Manusia Industri Rumah Sakit pada dasarnya adalah kumpulan dari berbagai unit pelayanan. Berbagai unit tersebut terdiri dari sekumpulan individu yang berusaha

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT DAN INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT 2.1 Rumah Sakit

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT DAN INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT 2.1 Rumah Sakit BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT DAN INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT 2.1 Rumah Sakit 2.1.1 Definisi Rumah Sakit Menurut Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009, rumah sakit adalah Institusi pelayanan kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di era globalisasi, telah terjadi pertumbuhan yang sangat pesat di berbagai sektor industri,

BAB I PENDAHULUAN. Di era globalisasi, telah terjadi pertumbuhan yang sangat pesat di berbagai sektor industri, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di era globalisasi, telah terjadi pertumbuhan yang sangat pesat di berbagai sektor industri, tak kecuali juga di industri kesehatan. Pertumbuhan tersebut diiringi dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rumah sakit adalah salah satu contoh sarana kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan optimal bagi masyarakat.

Lebih terperinci

2016 GAMBARAN PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG MANAJEMEN PELAYANAN HOSPITAL HOMECARE DI RSUD AL-IHSAN PROVINSI JAWA BARAT

2016 GAMBARAN PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG MANAJEMEN PELAYANAN HOSPITAL HOMECARE DI RSUD AL-IHSAN PROVINSI JAWA BARAT BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya,

Lebih terperinci

sakit, sehingga tidak ada pengelolaan sediaan farmasi, bahan medis habis pakai di

sakit, sehingga tidak ada pengelolaan sediaan farmasi, bahan medis habis pakai di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Berdasarkan UU nomor 44 tahun 09 pelayanan kefarmasian di rumah sakit harus dilakukan dengan sistem satu pintu. Permenkes nomor 58 tahun 14 menyatakan semua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan tingkat keberadaan perusahaan tersebut di tengah-tengah masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. dengan tingkat keberadaan perusahaan tersebut di tengah-tengah masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sebuah perusahaan, kegiatan promosi sangat erat hubungannya dengan tingkat keberadaan perusahaan tersebut di tengah-tengah masyarakat. Tidak berbeda dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Pembangunan kesehatan pada dasarnya

Lebih terperinci

Perkembangan RS. Sektor RS dan Ideologinya di Indonesia

Perkembangan RS. Sektor RS dan Ideologinya di Indonesia Perkembangan RS Sektor RS dan Ideologinya di Indonesia 1 Apa arti ideologi? 1. The body of ideas reflecting the social needs and aspirations of an individual, group, class, or culture. 2. A set of doctrines

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang. menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang. menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Puskesmas Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk memberikan pelayanan medis yang dibutuhkan bagi setiap

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk memberikan pelayanan medis yang dibutuhkan bagi setiap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Rumah Sakit adalah salah satu tempat penyelenggaraan kegiatan yang dimanfaatkan untuk memberikan pelayanan medis yang dibutuhkan bagi setiap pasien. Rumah Sakit

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Rumah sakit adalah salah satu sarana kesehatan tempat menyelenggarakan

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Rumah sakit adalah salah satu sarana kesehatan tempat menyelenggarakan BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT 2.1. Defenisi Rumah Sakit Rumah sakit adalah salah satu sarana kesehatan tempat menyelenggarakan upaya kesehatan dengan memberdayakan berbagai kesatuan personel terlatih

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peranan yang amat vital untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peranan yang amat vital untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembiayaan Kesehatan Pembiayaan kesehatan yang kuat, stabil dan berkesinambungan memegang peranan yang amat vital untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam rangka mencapai

Lebih terperinci

BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA. Daerah. Reformasi tersebut direalisasikan dengan ditetapkannya Undang

BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA. Daerah. Reformasi tersebut direalisasikan dengan ditetapkannya Undang 10 BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA Semenjak krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia, Pemerintah Indonesia melakukan reformasi di bidang Pemerintahan Daerah dan Pengelolaan Keuangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan Nasional (UU No.40 Tahun 2004 tentang SJSN) yang menjamin

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan Nasional (UU No.40 Tahun 2004 tentang SJSN) yang menjamin 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam persaingan global saat ini, khususnya dunia kesehatan mengalami kemajuan yang pesat dalam teknologi kesehatan, menajemen dan regulasi di bidang kesehatan.

Lebih terperinci

70BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

70BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian 1 70BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah di Indonesia yang dimulai pada tahun 1988 dengan didasarkan pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 SERI D NOMOR 9 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 SERI D NOMOR 9 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 SERI D NOMOR 9 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA RUMAH SAKIT

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis peran..., Rizka Arofani, FKM UI, 2009

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis peran..., Rizka Arofani, FKM UI, 2009 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pelayanan kesehatan merupakan sektor yang bersifat multiinstitusional. Sektor yang bersifat multi-institusional terdiri dari sistem yang terintegrasi secara

Lebih terperinci

Diskusi Kebijakan Publik untuk RS swasta di Indonesia: Kontroversi UU RS

Diskusi Kebijakan Publik untuk RS swasta di Indonesia: Kontroversi UU RS Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan (PMPK) Fakultas Kedokteran UGM Diskusi Kebijakan Publik untuk RS swasta di Indonesia: Kontroversi UU RS Kamis, 10 Desember 2009 pkl. 18.00 21.00 WIB Hotel Parklane,

Lebih terperinci

ETIKA BISNIS RUMAH SAKIT

ETIKA BISNIS RUMAH SAKIT Bagian V 267 BAB XVI ETIKA BISNIS RUMAH SAKIT Seperti kecenderungan di berbagai negara, rumah sakit di Indonesia bergerak ke arah sistem manajemen berdasarkan konsep usaha yang mengarah pada mekanisme

Lebih terperinci

Administrasi dan Kebijakan Upaya Kesehatan Perorangan. Amal Sjaaf Dep. Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, FKM UI

Administrasi dan Kebijakan Upaya Kesehatan Perorangan. Amal Sjaaf Dep. Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, FKM UI Administrasi dan Kebijakan Upaya Kesehatan Perorangan Amal Sjaaf Dep. Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, FKM UI Pasal 28H Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai pihak dan secara psikologis membantu proses penyembuhan. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. berbagai pihak dan secara psikologis membantu proses penyembuhan. Untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kualitas layanan gizi akan berpengaruh terhadap kepuasan pasien yang pada akhirnya akan mempengaruhi keputusan pasien dalam memilih pelayanan rumah sakit. Hal ini sangat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. efisiensi biaya obat pasien JKN rawat jalan RS Swasta

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. efisiensi biaya obat pasien JKN rawat jalan RS Swasta BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Gambaran umum Penelitian ini bertujuan untuk melihat seberapa besar efisiensi biaya obat pasien JKN rawat jalan RS Swasta Yogyakarta melalui

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG POLA TARIF LAYANAN BADAN LAYANAN UMUM DAERAH RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Keadaan Gawat Darurat bisa terjadi kapan saja, siapa saja dan dimana saja.

BAB 1 PENDAHULUAN. Keadaan Gawat Darurat bisa terjadi kapan saja, siapa saja dan dimana saja. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keadaan Gawat Darurat bisa terjadi kapan saja, siapa saja dan dimana saja. Kondisi ini menuntut kesiapan petugas kesehatan untuk mengantisipasi kejadian itu. Bila

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. teknologi atau industrial competition menjadi persaingan informasi (information

BAB 1 PENDAHULUAN. teknologi atau industrial competition menjadi persaingan informasi (information 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan teknologi di zaman sekarang ini tampak berkembang sangat pesat. Banyak hal yang bisa dilakukan oleh perusahaan dengan menggunakan teknologi-teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkecuali pelayanan penunjang medis di bidang farmasi. Pelayanan yang baik

BAB I PENDAHULUAN. terkecuali pelayanan penunjang medis di bidang farmasi. Pelayanan yang baik 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini kemajuan perkembangan rumah sakit mengalami perubahan besar dimana rumah sakit sedang berada dalam suasana global dan kompetitif. Pelayanan rumah sakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rumah Sakit merupakan fasilitas atau institusi pelayanan kesehatan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rumah Sakit merupakan fasilitas atau institusi pelayanan kesehatan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rumah Sakit merupakan fasilitas atau institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. rumah sakit. Rumah sakit adalah suatu organisasi yang kompleks, menggunakan

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. rumah sakit. Rumah sakit adalah suatu organisasi yang kompleks, menggunakan BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT 2.1 Definisi Rumah Sakit Salah satu sarana untuk penyelenggaraan pembangunan kesehatan adalah rumah sakit. Rumah sakit adalah suatu organisasi yang kompleks, menggunakan

Lebih terperinci

TINGKAT KEPUASAN PASIEN RAWAT JALAN TERHADAP KUALITAS PELAYANAN DI APOTEK INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SRAGEN SKRIPSI

TINGKAT KEPUASAN PASIEN RAWAT JALAN TERHADAP KUALITAS PELAYANAN DI APOTEK INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SRAGEN SKRIPSI TINGKAT KEPUASAN PASIEN RAWAT JALAN TERHADAP KUALITAS PELAYANAN DI APOTEK INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SRAGEN SKRIPSI Oleh : MEILINA DYAH EKAWATI K 100 050 204 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit sebagai institusi yang bergerak di bidang pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit sebagai institusi yang bergerak di bidang pelayanan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rumah sakit sebagai institusi yang bergerak di bidang pelayanan kasehatan mengalami perubahan, pada awal perkembangannya, rumah sakit merupakan lembaga yang berfungsi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pelayanan kepada masyarakat dalam lingkup lokal maupun internasional.

BAB 1 PENDAHULUAN. pelayanan kepada masyarakat dalam lingkup lokal maupun internasional. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumah sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan haruslah memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam lingkup lokal maupun internasional. Berdasarkan hal tersebut,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yayasan yang sudah disahkan sebagai badan hukum. rawat inap, rawat darurat, rawat intensif, serta pelayanan penunjang lainnya.

BAB 1 PENDAHULUAN. yayasan yang sudah disahkan sebagai badan hukum. rawat inap, rawat darurat, rawat intensif, serta pelayanan penunjang lainnya. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumah sakit merupakan salah satu bidang usaha yang berorientasi non-profit yang dibangun untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Berdasarkan Peraturan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.266, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Badan Layanan Umum. Rumah Sakit. Pola Tarif. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG POLA TARIF BADAN

Lebih terperinci