PERKEMBANGANN TEGAKAN PADA HUTAN ALAM PRODUKSI DALAM SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF (TPTII) IWAN AMINUDIN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERKEMBANGANN TEGAKAN PADA HUTAN ALAM PRODUKSI DALAM SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF (TPTII) IWAN AMINUDIN"

Transkripsi

1 PERKEMBANGANN TEGAKAN PADA HUTAN ALAM PRODUKSI DALAM SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF (TPTII) IWAN AMINUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Perkembangan Tegakan Pada Hutan Alam Produksi Dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir disertaasi ini. Bogor, Januari 2012 Iwan Aminudin NIM. E

3

4 ABSTRACT IWAN AMINUDIN. The Development Stands on Production Natural Forest in TPTII Silvicultural System. Advisory Committee : ANDRY INDRAWAN (as Chairman), PRIJANTO PAMOENGKAS and BASUKI WASIS (as Members). TPTII silvicultural system are expected to increase the productivity of forests through stripline planting system. Planting lane on one side allows the growth of Meranti type group, but on the other hand alleged damages arising out of land and vegetation changes. This study aims to analyze the structure and composition of the residual stand on logged-over natural forests, to evaluate plant growth Red Meranti (Shorea leprosula) and is identify soil quality on production of natural forest management in the application of TPTII silvicultural system. The research was carried out in working area IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Ketapang District, West Kalimantan Province. Growth of S. leprosula is predicted to reach the first cycle at the age of 25 years, with a diameter increment reached 1.67 cm/year, with an average diameter of cm and the productivity reached m 3 /ha. The potential total production of m 3 /ha of TPTII higher than TPTI which only had the potential value of production amounting to m 3 /ha. S. leprosula plant stand structure resembles the forest plantations spread diameter bell-shaped curve, while the residual stand structure following the pattern of distribution of natural forests inverted J-shaped curve. Changes in vegetation is shown from the community similarity index (IS) value. The diversity index(h ) ware varies value, generally ware same higher value at TPTII, TPTI and Virgin Forest. Land degradation can be seen from some of the parameters of chemical properties, soil physics and biology. Soil characteristics at different TPTII logged over area, TPTI logged over area and Virgin Forest. TPTII silvicultural systems have advantages in terms of timber production potential, but has the disadvantage of the soil quality. Keyword: TPTII, Shorea leprosula, productivity, diversity, soil quality.

5

6 RINGKASAN IWAN AMINUDIN. Perkembangan Tegakan pada Hutan Alam Produksi dalam Sistem Silvikultur TPTII. Dibimbing oleh : ANDRY INDRAWAN, PRIJANTO PAMOENGKAS DAN BASUKI WASIS. Sistem silvikultur TPTII merupakan salah satu pilihan dalam pengelolaan hutan yang diperkirakan dapat meningkatkan produktivitas hutan melalui penanaman dengan sistem jalur. Permasalahan yang muncul dalam penerapan sistem silvikultur TPTII adalah tingkat keterbukaan tajuk pada tahap awal cukup besar sebagai akibat pembuatan Jalur Tanam. Terciptanya ruang-ruang tumbuh yang cukup besar ini pada satu sisi memungkinkan bagi pertumbuhan dari kelompok jenis Meranti, namun di sisi lain dugaan adanya kerusakan tanah dan perubahan vegetasi kemudian dipertanyakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pertumbuhan tanaman Shorea leprosula pada Jalur Tanam pada penerapan sistem silvikultur TPTII serta memprediksi produktivitasnya, menganalisa struktur dan komposisi dari tegakan sisa pada hutan alam bekas tebangan dalam penerapan sistem silvikultur TPTII serta memprediksi produktivitasnya dan mengidentifikasi kualitas tanah pada pengelolaan hutan alam produksi dalam penerapan sistem silvikultur TPTII serta mencari hubungannya dengan tegakan. Penelitian dilaksanakan di areal kerja IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kabupaten Ketapang, Propinsi Kalimantan Barat. Pengambilan data primer dilakukan pada areal hutan TPTII yang berumur 0, 1, 2, 3, 4, dan 5 tahun yang terletak pada blok tebangan TPTII tahun 2010 (TPTI 1983), 2009, 2008, 2007, 2006, dan Pengambilan data primer pada blok KPPN (Kawasan Konservasi Plasma Nutfah) merupakan areal representasi dari Virgin Forest. Data sekunder untuk vegetasi dan tanaman diperoleh dari petak ukur permanen. Riap diameter Shorea leprosula pada umur 5 tahun mencapai 0,77 cm/th, dan terus meningkat sejalan dengan peningkatan umur. Pada umur umur 25 tahun riap diameter diprediksi akan mencapai 1,67cm/th. Daur pertama tanaman Shorea leprosula pada Jalur Tanam dalam sistem silvikultur TPTII akan diperoleh pada umur 25 tahun, dengan rata-rata diameter tanaman 41,83 cm. Potensi tegakan tanaman Shorea leprosula pada daur pertama tersebut akan mencapai 91,79 m 3 /ha. Struktur tegakan tanaman Shorea leprosula pada Jalur Tanam dalam sistem silvikultur TPTII membentuk struktur tegakan yang lebih menyerupai hutan tanaman seumur dengan kurva diameter menyebar berbentuk lonceng. Pada penerapan sistem silvikultur TPTII telah terjadi perubahan vegatasi, hal ini dapat terlihat dari nilai indeks persamaan komunitas (IS). Nilai indeks tersebut pada hutan bekas tebangan dalam penerapan sistem silvikultur TPTII lebih kecil dibandingkan dengan TPTI. Nilai indeks keanekaragaman jenis (H ) sangat fluktuatif, tetapi secara umum antara TPTII, TPTI dan Virgin Forest mempunyai tingkat keanekaragaman jenis yang sama, yaitu pada tingkat sedang. Struktur tegakan sisa pada hutan bekas tebangan dengan menerapkan sistem silvikultur TPTII mengikuti pola sebaran hutan alam berbentuk kurva J terbalik. Struktur tegakan tersebut menyerupai struktur tegakan sisa pada sistem silvikultur

7 TPTI dan virgin forest. Pengelolaan hutan dengan menerapkan sistem silvikultur TPTII atau TPTI telah merubah komposisi tegakan. Pada hutan primer (virgin forest) Shorea laevis mendominasi komposisi tegakan, namun pada hutan sekunder yaitu pada hutan bekas tebangan TPTII dan TPTI jenis tersebut hilang dari nominasi jenis dominan. Dengan hilangnya jenis tersebut, pada tingkat pohon telah terjadi perbedaan komposisi jenis antara hutan primer dengan hutan sekunder. Penerapan sistem silvikultur TPTII mempunyai produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan TPTI. Hal tersebut dilihat dari nilai potensi produksi total dari TPTII yaitu sebesar 255,34 m3/ha, sedangkan TPTI hanya mempunyai nilai potensi produksi sebesar 192,43 m3/ha. Dalam penerapan Sistem silvikultur TPTII terjadi penurunan kualitas tanah, penurunan tersebut terlihat dari beberapa parameter sifat kimia, fisika dan biologi tanah. Karakteristik Tanah pada bekas tebangan TPTII berbeda dengan TPTI dan Virgin Forest. Perbedaan tersebut terlihat dari sifat kimia, fisika dan biologi tanah. Pada penerapan sistem silvikultur TPTII tegakan sisa yang berada dalam Jalur Antara sebaiknya tidak ditebang. Jalur Antara harus dipertahankan dan difungsikan sebagai areal konservasi keanekaragaman jenis sekaligus sebagai areal konservasi unsur hara tanah, penyeimbang mikroklimat serta dapat berfungsi sebagai penciri (Karakterisasi) keberlanjutan hutan alam. Sistem Silvikultur TPTII mempunyai keunggulan dari sisi potensi produksi kayu, akan tetapi mempunyai kelemahan dari sisi kualitas tanah. Atas dasar kondisi tersebut perlu adanya memodifikasi terhadap sistem silvikultur TPTII, dualisme penebangan, antara tebang pilih dan tebang jalur pada pembuatan Jalur Tanam perlu dicoba untuk dihilangkan. Diperlukan penelitian lebih lanjut yang merubah pola penebangan dari tebang pilih menjadi tebang jalur, sehingga tidak diperlukan lagi adanya pembuatan Jalur Tanam.

8 @ Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendididkan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritis, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

9

10 PERKEMBANGAN TEGAKAN PADA HUTAN ALAM PRODUKSI DALAM SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF (TPTII) IWAN AMINUDIN Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

11 Penguji pada Ujian Tertutup: (1) Prof.(Ris). Dr. Ir. Pratiwi, MSc. (Ahli Peneliti Utama pada Bidang Konservasi Tanah dan Air Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan Kementrian Kehutanan Republik Indonesia) (2) Dr. Ir. Supriyanto. DEA (Staf Pengajar Bidang Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB) Penguji pada Ujian Terbuka : (1) Dr. Ir. Iman Santoso, MS (Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Kementrian Kehutanan Republik Indonesia) (2) Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS. (Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB)

12 Judul Disertasi : Perkembangan Tegakan Pada Hutan Alam Produksi Dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) Nama : Iwan Aminudin Nomor Pokok : E Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan Disetujui : Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS. Ketua Dr. Ir. Prijanto Pamoengkas, M.Sc F. Trop Anggota Dr. Ir. Basuki Wasis, MS. Anggota Diketahui : Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir.Naresworo Nugroho, MS Dr. Ir. Dahrul Syah M.Sc.Agr Tanggal ujian : 15 Desember 2011 Tanggal Lulus :

13

14 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan karunia-nya penulis dapat menyelesaikan Disertasi yang berjudul Perkembangan Tegakan Pada Hutan Alam Produksi Dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII). Disertasi ini tidak dapat terwujud tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Penghargaan dan terima kasih yang tulus dan sebesar-besarnya kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS., Dr. Ir. Prijanto Pamoengkas, M.Sc.F.Trop. dan Dr Ir. Basuki Wasis, MS., selaku ketua dan anggota komisi pembimbing, atas waktu, perhatian, bimbingan dan dorongan semangat yang tulus kepada penulis dalam penyusunan Disertasi ini. 2. Ketua dan Staf Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sekolah Pascasarjana IPB. 3. Dr.Ir. Supriyanto, DEA dan Prof (Ris) Dr.Ir. Pratiwi, M.Sc selaku penguji pada ujian tertutup. 4. Dr. Ir. Iman Santoso, MS dan Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmama, MS. Selaku penguji pada ujian terbuka 5. Segenap Management dan Staf IUPHHK PT. Sukajaya Makmur yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan penelitian di lokasinya. 6. Secara khusus penulis ingin mempersembahkan Karya Tulis ini buat seluruh keluarga tercinta. Terima kasih atas Dorongan dan doa dari istri tercinta Nuning Nursari serta putra-putri tersayang Arini, Arrifa, Ilyas dan Ilyasa. Doa yang tulus penulis panjatkan, semoga Allah SWT membalas jasa dan budi baik yang telah diberikan kepada penulis dengan berkah dan pahala-nya. Amin. Semoga Disertasi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan bagi pengembangan pengusahaan hutan alam di Indonesia. Bogor, Januari 2012 Penulis

15

16 RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat pada tanggal 9 Pebruari 1970, merupakan putra keempat dari 9 bersaudara, dari ayah Mulyana dan ibu Entin Kartini. Pada tanggal 11 April 1998 penulis menikah dengan Nuning Nursari, STP, daan dikaruniai empat orang anak yaitu Arini Nurhaqiqi, Arrifa Murodhiya Alhaq, M Arkaz Ilyas dan M Arsyad Ilyasa. Penulis menempuh pendidikan formal dimulai dari SDN Guntur I Garut, SMPN III Garut dan SMAN I Garut. Jenjang Pendidikan sarjana ditempuh penulis pada tahun 1990 di Jurusan Manajemen Hutan Fakultas kehutanan IPB. Pada tahun 2000 Penulis mengikuti Program Magister Sains di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sekolah Pasca Sarjana IPB, lulus pada tahun Pada tahun yang sama Penulis langsung melanjutkan studi Program Doktor pada lembaga yang sama. Sebagai seorang sarjana kehutanan penulis banyak beraktivitas dalam dunia praktisi pengusahaan hutan. Beberapa perusahaan IUPHHK/HPH dan HTI pernah menjadi tempat penulis berkarya diantaranya HTI Trans PT. Rimba Rokan Hulu Riau (Suya Dumai Group), HPH PT. Kalhold Tolitoli Sulawesi Tengah (Kalimanis Group), HPH PT. Bina Balantak Raya Luwuk Banggai Sulawesi Tengah (CCM Group) dan PT. Multi Wahana Wijaya Sorong Irian Jaya. Aktifitas lainnya, sejak tahun 2000 sampai sekarang Penulis menekuni dunia akademisi menjadi staf pengajar pada Program Studi Agribisnis dan Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Mata kuliah yang diampu oleh penulis antara lain : Ilmu Tanaman, Ilmu Tanah, Agroklimatologi, Hama dan Penyakit Tanaman, Teknik Budidaya Hortikultura, Teknik Produksi Tanaman dan mata kuliah lainnya yang relevan dengan budidaya pertanian dan kehutanan.

17 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Hipotesis Manfaat Penelitian Kerangka Pemikiran... 6 II. TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Silvikultur Di Indonesia Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) Perubahan Ekosistem Hutan Dalam Penerapan Sistem Silvikultur Pertumbuhan Tanaman Kualitas Tanah Penentu Keberhasilan Penerapan Sistem Silvikultur III. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Metode Penelitian Rancangan Plot Penelitian Pengambilan Data Vegetasi Pengambilan Data Pertumbuhan Tanaman Pengambilan Data Tanah Analisis Data Vegetasi Distribusi Diameter Tegakan Tinggal Pertumbuhan Tanaman Potensi Produksi Pada Beberapa Sistem Silvikultur Analisis Data Tanah Pendugaan Nilai Tengah, Keragaman dan Uji Beda Nyata Analisis Biplot Analisis Hubungan Sifat-sifat Tanah dengan Tinggi Tegakan Shorea leprosula IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas Areal... 49

18 4.2. Topografi Geologi dan Jenis Tanah Hidrologi Iklim Kondisi Vegetasi Hutan Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat Aksesibilitas V. HASIL DAN PEMBAHASAN PERTUMBUHAN TANAMAN MERANTI MERAH (Shorea leprosula) Sejarah Pengelolaan Tanaman Pertumbuhan Diameter Pertumbuhan Tinggi Model Pertumbuhan Tanaman Meranti merah (Shorea leprosula) Prakiraan Potensi Tegakan Distribusi Pertumbuhan Diameter Persentase Tumbuh Luas Areal Efektif PERKEMBANGAN VEGETASI HUTAN ALAM Perkembangan Vegetasi Tingkat Semai Perkembangan Vegetasi Tingkat Pancang Perkembangan Vegetasi Tingkat Tiang Perkembangan Vegetasi Tingkat Pohon Kanekaragaman Jenis Pada LOA TPTII, TPTI dan Virgin forest Kesamaan Komunitas Pada LOA TPTII, TPTI dan Virgin forest Struktur Hutan Bekas Tebangan Pada Sistem Silvikultur TPTII Perbandingan Struktur Hutan Bekas Tebangan antara TPTII, TPTI dan Virgin forest Indeks Nilai Penting (INP) Tingkat Pohon Potensi Produksi Hutan Alam Pada Penerapan Silvikultur TPTII dan TPTI KARAKTERISTIK TANAH HUTAN PADA SISTEM SILVIKULTUR TPTII Perubahan Kualitas Tanah dalam Penerapan Sistem Silvikultur TPTII Perubahan Sifat Kimia Tanah Perubahan Sifat Fisik Tanah Perubahan Sifat Biologi Tanah Status Hara Tanah Pada Penerapan Sistem Silvikultur TPTII, TPTI dan Virgin Forest Strategi Pemulihan Kualitas Tanah Sifat-sifat Tanah yang Berkorelasi dengan Tinggi Tanaman. 140

19 Perbedaan Karakteristik Tanah Perbedaan Karakteristik Tanah dalam Sistem Silvikultur TPTII Perbedaan Karakteristik Tanah antara TPTII dan TPTI Perbedaan Karakteristik Tanah antara TPTII dan Virgin Forest Kesamaan Karakteristik Tanah antara TPTI dan Virgin Forest. 144 VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA 149 LAMPIRAN 163

20 DAFTAR TABEL Halaman 1. Luas Areal IUPHHK PT.Suka Jaya Makmur Berdasarkan Kelas lereng Deskripsi Satuan Peta Tanah Yang Terdapat di Wilayah Studi dan Areal IUPHHK PT.Suka Jaya Makmur Hasil Pengamatan Cuaca di Stasiun Pengamat Cuaca Arboretum dan Camp 128 Pada Bulan Desember Pertumbuhan Diameter Tanaman Meranti Merah (S. leprosula) Pada Jalur Tanam Dalam Sistem Silvikultur TPTII Pertumbuhan Tinggi Tanaman Meranti Merah (S. leprosula) Pada Jalur Tanam Dalam Silvikultur TPTII Prediksi Pertumbuhan Tanaman Meranti Merah (S. leprosula) per pohon Pada Jalur Tanam dalam Silvikultur TPTII Prediksi Potensi Produksi Tanaman Meranti Merah (S. leprosula) Pada Jalur Tanam dalam Silvikultur TPTII Nilai INP Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest Pada Tingkat Permudaan Semai Nilai INP Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest Pada Tingkat Permudaan Pancang Nilai INP Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest Pada Tingkat Permudaan Tiang Nilai INP Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest Pada Tingkat Pohon Prediksi Potensi Produksi Pada Penerapan Silvikultur TPTII dan TPTI Dalam Satuan m 3 /ha Perubahan Kandungan Hara Tanah Dalam Sistem Silvikultur TPTII Perubahan Beberapa Sifat Kimia Tanah Dalam Penerapan Sistem Silvikultur TPTII Perubahan Sifat Fisik Tanah Dalam Penerapan Sistem Silvikultur

21 TPTII Perubahan Sifat Biologi Tanah Dalam Penerapan Sistem Silvikultur TPTII Peubah Sifat-sifat Tanah dan Umur yang Teruji Berkorelasi dengan Tinggi Tanaman Shorea leprosula Pada Jalur Tanam dalam Silvikultur TPTII

22 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Skema Kerangka Berpikir Penelitian Perkembangan Tegakan Pada Hutan Alam Produksi dalam Sistem Silvikultur TPTII Skema Pelaksanaan Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) Kurva Pertumbuhan Tanaman Bentuk Plot Contoh Pengamatan Vegetasi dan Pengambilan Sampel Tanah Peta Areal Kerja PT. Suka Jaya Makmur Grafik Pertumbuhan Diameter Tanaman Meranti Merah (S. leprosula) Pada Jalur Tanam Dalam Silvikultur TPTII Grafik Pertumbuhan Tinggi Tanaman Meranti Merah (S. leprosula) Pada Jalur Tanam Dalam Silvikultur TPTII Model Pertumbuhan Tanaman Meranti Merah (S. leprosula) Pada Penerapan Silvikultur TPTII Penyebaran Diameter Tanaman Meranti Merah (S. leprosula) Pada Jalur Tanam Dalam Penerapan Silvikultur TPTII Persentase Tumbuh Tanaman S. leprosula Pada Jalur Tanam Dalam Silvikultur TPTII Grafik Indeks Keanekaragaman Jenis Tingkat Semai Pada Vegetasi Hutan-Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest Grafik Indeks Kekayaan Jenis Tingkat Semai Pada Vegetasi Hutan-Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest Grafik Indeks Kemerataan Jenis Tingkat Semai Pada Vegetasi Hutan-Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest Grafik Indeks Kesamaan Komunitas Permudaan Tingkat Semai Pada Vegetasi Hutan Bekas Tebangan TPTII dan TPTI Dibandingkan Dengan Virgin forest Grafik Nilai Indeks Dominansi Tingkat Semai Pada Vegetasi Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest... 83

23 16. Grafik Indeks Keanekaragaman Jenis Tingkat Pancang Pada Vegetasi Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest Grafik Indeks Kemerataan Jenis Tingkat Pancang Pada Vegetasi Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest Grafik Indeks Kekayaan Jenis Tingkat Pancang Pada Vegetasi Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest Grafik Indeks Dominansi Jenis Tingkat Pancang Pada Vegetasi Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest Grafik Indeks Kesamaan Komunitas Tingkat Pancang Pada Vegetasi Hutan Bekas Tebangan TPTII dan TPTI dibandingkan dengan Virgin forest Grafik Indeks Keanekaragaman Jenis Tingkat Tiang Pada Vegetasi Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest Grafik Indeks Kemerataan Jenis Tingkat Tiang Pada Vegetasi Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest Grafik Indeks Keanekaragaman Jenis Tingkat Tiang Pada Vegetasi Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest Grafik Indeks Dominansi Jenis Tingkat Tiang Pada Vegetasi Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest Grafik Indeks Kesamaan Komunitas Tingkat Tiang Pada Vegetasi Hutan Bekas Tebangan TPTII dan TPTI dibandingkan Virgin forest Grafik Indeks Keanekaragaman Jenis Tingkat Pohon Pada Vegetasi Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest Grafik Indeks Kemerataan Jenis Tingkat Pohon Pada Vegetasi Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest Grafik Indeks Kekayaan Jenis Tingkat Pohon Pada Vegetasi Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTI dan Virgin forest Grafik Indeks Dominansi Jenis Tingkat Pohon Pada Vegetasi Hutan Bekas Tebangan TPTII, TPTII dan Virgin forest Grafik Indeks Kesamaan Komunitas Tingkat Pohon Pada Vegetasi Hutan Bekas Tebangan TPTII dan TPTI dibandingkan

24 Virgin forest Grafik Rata-rata Nilai Indeks Keanekaragaman Jenis Pada Hutan Bekas Tebangan TPTII,TPTI dan Virgin forest Grafik Rata-rata Nilai Indeks Kesamaan Komunitas Pada Hutan Bekas Tebangan TPTII dan TPTI dibandingkan dengan Virgin forest Struktur Tegakan Sisa Pada Hutan Bekas Tebangan Dengan Menerapkan Sistem Silvikultur TPTII Mengikuti Pola Sebaran Hutan Alam Berbentuk Kurva J Terbalik Perbandingan Kurva Struktur Hutan Bekas Tebangan Antara TPTII, TPTI dan Virgin forest, Semua Kurva Mengikuti Pola J Terbalik Grafik Prediksi Potensi Produksi Hutan Alam Produksi Dalam Penerapan Silvikultur TPTII dan TPTI Grafik perbandingan kandungan unsur Kalsium (Ca) dan Magnesium (Mg) pada hutan produksi yang dikelola dengan sistem silvikultur TPTII, TPTI dan virgin forest (ton/ha) Grafik perbandingan kandungan unsur Nitrogen (N) dan Pospor (P) pada hutan produksi yang dikelola dengan sistem silvikultur TPTII, TPTI dan virgin forest (ton/ha) Grafik perbandingan kandungan unsur Karbon (C) dan Kalium (K) pada hutan produksi yang dikelola dengan sistem silvikultur TPTII, TPTI dan virgin forest (ton/ha Diagram Biplot Karakteristik Sifat Tanah Pada Hutan Produksi

25 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Penghitungan prediksi potensi tegakan pada penerapan berbagai sistem silvikultur Rekapitulasi perhitungan riap diameter Petak Ukur Permanen (PUP) PT. Sukajaya Makmur RKT 2005 Tahun Pengukuran 2005 dan Hasil analisis regresi antara tinggi dan diameter pohon pada PUP di areal PT. Sukajaya Makmur Daftar nama jenis pohon yang terdapat di areal IUPHHK PT. Sukajaya Makmur Peta areal keja IUPHHK PT. Sukajaya Makmur Hasil analisis regresi berganda antara tinggi pohon dan umur serta sifatsifat tanah Hasil uji beda nyata Tukey (uji T) pada beberapa sifat tanah antara Jalur Antara dan Jalur Tanam pada penerapan silvikultur TPTII di PT. Sukajaya Makmur Regresi diameter dengan umur pada tanaman Meranti merah (Shorea leprosula) di Jalur Tanam pada penerapan silvikultur TPTII Regresi tinggi dan diameter pada tanaman Meranti merah (Shorea leprosula) di Jalur Tanam pada penerapan silvikultur TPTII Hasil Uji T sifat-sifat tanah antara Jalur Antara dan Jalur Tanam dalam penerapan silvikultur TPTII dengan umur tanaman 1 sampai 5 tahun

26 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keterpurukan sektor kehutanan sudah berjalan hampir 14 tahun belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Masih besarnya angka laju kerusakan hutan serta bangkrutnya dunia usaha di sektor kehutanan sebagai akibat besarnya dominasi pengusahaan hutan dalam bentuk konsesi HPH atau IUPHHK serta diperburuk lagi dengan praktek perambahan hutan, penebangan liar dan penyelundupan kayu. Keberlanjutan peran dan kontribusi sektor kehutanan dalam pembangunan nasional dipertanyakan, masih bisakah sektor kehutanan bangkit kembali pada masa yang akan datang. Peran sektor kehutanan dalam pembangunan banyak dipertanyakan, utamanya yang terkait dengan pengelolaan hutan alam Indonesia dalam bentuk konsesi HPH (IUPHHK). Sejarah pengelolaan hutan di Indonesia dimulai dengan keluarnya Undang- Undang Nomor 5 tahun 1967 menjadi penanda awal lahirnya pengelolaan hutan dalam bentuk konsesi HPH. Kebutuhan modal yang besar guna mengejar pertumbuhan ekonomi telah memalingkan penguasa Orde Baru ke arah sektor kehutanan sebagai sumber devisa. Pada awal tahun 1969 tercatat 53 unit konsesi HPH dan meningkat sampai 632 unit pada akhir tahun 1980-an dengan luas konsesi mencapai sekitar 64,3 juta ha. Pada masa tersebut merupakan era emas sektor kehutanan, devisa dari eksport produksi sektor kehutanan pada puncaknya mencapai USD 8 Milyar pertahun (Ngadiono 2004). Atas pencapaian tersebut sektor kehutanan menjadi penyumbang devisa terbesar kedua setelah Migas. Setelah era tersebut sampailah pada masa keterpurukan. Pada tahun 2003 jumlah HPH yang beroperasi hanya tinggal 266 unit dengan luas konsesi tinggal 28,1 juta ha. Kontribusi sektor kehutanan terhadap perolehan devisa merosok tajam menjadi tinggal USD 1,5 Milyar pertahun (Ngadiono 2004). Kondisi tersebut berlanjut sampai saat ini, sektor kehutanan tidak lagi mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap devisa nasional bahkan menjadi beban dan masalah bagi pembangunan nasional. Dunia kehutanan memang terpuruk tetapi belum mati, oleh karena itu untuk memulai kembali kebangkitan kehutanan di Indonesia langkah pokok yang harus

27 2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, terutama pada hutan produksi sehingga pada hutan produksi tersebut tetap terjadi kelestarian fungsi produksi dan ekologi. Diperlukan redesign kelola produksi untuk membangkitkan kembali sektor kehutanan. Terkait kelola produksi dan peningkatan produktivitas perlu penelaahan kembali sistem-sistem silvikultur yang pernah diterapkan di Indonesia. Sistem silvikultur memegang peranan sentral dalam pengelolaan hutan karena didalamnya terdapat pengaturan mengenai daur tebang, riap, tahapan kegiatan dari seluruh penebangan kayu sampai pada kegiatan penanaman pengayaan pada kawasan hutan bekas tebangan (Indrawan 2008). Kesalahan dalam penerapan sistem silvikultur akan berakibat pada kerusakan hutan. Sistem silvikultur yang menjadi landasan praktek pengusahaan hutan alam tropis di luar Jawa adalah keputusan Dirjen Kehutanan Nomor 35/Kpts/DD/I/1972 tanggal 13 Maret 1972, tentang Pedoman Tebang Pilih Indonesia (TPI), Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB), Tebang Habis dengan Permudaan Alam (THPA) dan Pedoman-pedoman Pengawasannya. Dalam perjalanannya sistem silvikultur TPI disempurnakan dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), yang diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 485/Kpts-II/1989 tanggal 18 September 1989 tentang Sistem Silvikultur pengelolaan Hutan Alam Produksi di Indonesia. Keputusan tersebut dioperasionalkan dengan Surat Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 564/Kpts-IV/BPHH/1989 tanggal 30 November 1989 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Konsep sistem silvikultur TPTI yang semula diyakini mampu melestarikan sumberdaya hutan ternyata belum sepenuhnya mewujud di lapangan. Salah satu fenomena utama yang mengemuka sebagai akibat kondisional di atas adalah menurunnya luas hutan alam yang dikelola dengan sistem tebang pilih dari 59,6 juta hektar (tahun 1990) menjadi 28,7 juta hektar (tahun 2007). Kondisi tersebut juga tercermin dari penurunan produktivitas kayu bulat dari 28 juta m 3 menjadi hanya 9,1 juta m 3. Riap tahunan juga menurun dengan rerata 0,46 m 3 /ha/tahun (Ditjen BPK 2010).

28 3 Dalam kondisi berat dan kompleknya problema kegiatan pengusahaan hutan tersebut, diperlukan sebuah terobosan solusi. Sebagai landasan utama aktivitas kelola hutan, maka sistem silvikultur merupakan salah satu kunci solusi. Diperlukan penyempurnaan sistem silvikultur yang mampu mengatasi berbagai problema akibat dinamika dan perubahan lingkungan strategis di berbagai tingkatan. Konfigurasi kawasan hutan alam produksi yang dewasa ini didominasi oleh hutan bekas tebangan atau logged over area (LoA) yang produktivitas dan potensi tegakannya cenderung menurun. Konsekwensi dari kondisi tersebut maka penerapan sistem silvikultur hutan alam harus memenuhi beberapa syarat yaitu: mampu meningkatkan produktivitas lahan, mendongkrak potensi dan riap tegakan, menjamin kepastian hukum tenurial dan keamanan berusaha serta meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Untuk menjawab tantangan permasalahan tersebut maka digagaslah sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII). Sebagai landasan hukum, telah ditetapkan Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor SK.226/VI-BHPA/2005 tanggal 1 September 2005 tentang Pedoman Sistem Silvikultur TPTI Intensif. Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) merupakan suatu teknik silvikultur yang memadukan tindakan maupun prinsip-prinsip dasar silvikultur. Prinsip-prinsip tersebut adalah pemuliaan pohon, perbaikan tapak/tempat tumbuh dan perlindungan terhadap serangan hama dan penyakit (Indrawan 2008). TPTII lebih dikenal dengan istilah Silvikultur intensif (SILIN) dipandang merupakan cara-cara penyelenggaraan dan pemeliharaan hutan, serta penerapan praktikpraktik pengaturan komposisi dan pertumbuhan hutan yang secara intensif dilakukan untuk mewujudkan hutan dengan struktur dan komposisi yang dikehendaki dan disesuaikan dengan lingkungan setempat, dengan harapan dapat menyempurnakan sistem silvikultur TPTI yang sudah selama 30 tahun diterapkan pada hutan alam di Indonesia. Sistem silvikultur TPTII berkembang sebagai salah satu upaya untuk penyelamatan hutan tropis Indonesia yang semakin rusak. Sistem silvikultur TPTII mampu mengatasi kelemahan sistem silvikultur TPTI dalam hal pengontrolan hasil penanaman, namun apakah sitem silvikultur tersebut mampu mengatasi kelemahan yang paling penting dalam pengelolaan hutan alam, yaitu meningkatkan produktifitas hutan. Untuk menjawab pertanyaan

29 4 tersebut sangat diperlukan agar kegagalan yang berujung pada deforestasi dan degradasi hutan tidak terulang kembali serta tercipta kepastian dan kegairahan usaha di bidang pengelolaan hutan dengan tetap menjaga kelestariannya Perumusan Masalah Secara umum praktek tebang pilih yang diterapkan di dalam areal konsesi hutan (IUPHHK/HPH) telah menyebabkan perubahan baik vegetasi, iklim mikro maupun sifat tanah. Berbagai studi menunjukan adanya peningkatan kehilangan unsur hara sebagai akibat deforestasi. Sebagai basis dalam pengelolaan hutan maka ketiga aspek tersebut sangat menentukan produktifitas hutan yang menjadi faktor penting dalam penilaian kelestarian sumber daya hutan di daerah tropis. Menurut Wasis (2005), pengelolaan sumberdaya alam (hutan) akan lestari jika mempertahankan produktivitas yang tinggi per satuan luas secara terus-menerus dan meningkatnya kualitas tanah. Sejalan dengan pendapat tersebut Lal (1995) mengemukakan pendapat, pengelolaan hutan yang berbasis pada cadangan unsur hara yang rendah karena adanya penebangan, perubahan jumlah dan kualitas bahan organik, erosi dan pencucian hara mempunyai sifat tidak lestari (Lal 1995). Dengan kata lain kelestarian suatu sistem penggunaan lahan terkait secara langsung dengan kualitas tanah yang harus dipertahankan atau ditingkatkan. Kualitas tanah memuat dua aspek, yaitu aspek yang bersifat pokok (intrinsic part) yang mencakup kapasitas yang melekat pada sifat tanah tersebut untuk pertumbuhan tanaman, dan aspek dinamik (dinamic part) yang dipengaruhi oleh cara pengelolaan terhadap tanah tersebut. ( Carter et al. 1997). Dalam kaitannya dengan produktivitas hutan, sistem silvikultur TPTII merupakan salah satu pilihan dalam pengelolaan hutan yang diperkirakan dapat meningkatkan produktivitas hutan melalui penanaman dengan sistem jalur. Permasalahan yang muncul dalam penerapan sistem silvikultur TPTII adalah tingkat keterbukaan tajuk pada tahap awal cukup besar sebagai akibat pembuatan Jalur Tanam. Terciptanya ruang-ruang tumbuh yang cukup besar ini pada satu sisi memungkinkan bagi pertumbuhan dari kelompok jenis Meranti, namun pada sisi lain muncul kekhawatiran adanya kerusakan tanah dan perubahan vegetasi. kedua hal tersebut merupakan pertanyaan-pertanyaan yang harus mendapat jawaban pasti.

30 5 Untuk memahami perubahan baik fungsi ekosistem maupun struktur ekosistem akibat penerapan sistem silvikultur TPTII maka diperlukan penelitian untuk melihat bagaimana kondisi kualitas tanah pada areal TPTII umur 0,1,2,3, 4, 5 tahun dan hutan alam primer sebagai pembanding. Untuk mengkaji atau menilai kualitas tanah, indikator kunci biologi, kimia dan fisik harus diidentifikasi atau dievaluasi untuk melihat sensitivitas dari indikator tersebut terhadap sistem silvikultur TPTII. Beberapa parameter penting dari sifat tanah yang menentukan kualitas tanah dalam penelitian ini adalah meliputi sifat fisik tanah, sifat kimia tanah dan sifat biologi tanah. Selain itu struktur ekosistem juga perlu diketahui untuk melihat struktur vertikal dan horizontal pada plot yang sama. Beberapa masalah yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah : a. Apakah pada areal hutan alam terjadi peningkatan produktivitas setelah dikelola dengan sistem silvikultur TPTII. b. Sejauh mana perkembangan tegakan sisa pada areal hutan alam yang dikelola dengan sistem silvikultur TPTII. c. Sifat-sifat tanah apa yang secara signifikan mempengaruhi pertumbuhan tegakan pada areal hutan alam yang dikelola dengan sistem silvikultur TPTII Tujuan Penelitian Secara umum penelitian bertujuan untuk mengetahui perkembangan tegakan dan mengetahui produktivitas tegakan hutan dalam penerapan sistem silvikultur TPTII, sedangkan tujuan khusus adalah : a. Mengevaluasi pertumbuhan tanaman Meranti merah (Shorea leprosula) pada jalur tanam pada penerapan sistem silvikultur TPTII serta memprediksi produktivitasnya. b. Menganalisa struktur dan komposisi dari tegakan sisa pada hutan alam bekas tebangan dalam penerapan sistem silvikultur TPTII serta memprediksi produktivitasnya. c. Mengidentifikasi kualitas tanah pada pengelolaan hutan alam produksi dalam penerapan sistem silvikultur TPTII serta mencari hubungannya dengan tegakan.

31 Hipotesis a. Sistem silvikultur TPTII mampu meningkatkan produktifitas hutan b. Tegakan sisa pada hutan alam bekas tebangan dalam penerapan sistem silvikultur TPTII mempunyai struktur dan komposisi yang berbeda dengan tegakan sebelumnya. c. Pada penerapan sistem silvikultur TPTII terjadi penurunan kualitas tanah Manfaat Penelitian a. Memberikan sumbangan pemikiran untuk pengembangan kebijakan dalam pengelolaan hutan alam produksi lestari pada tingkat IUPHHK. b. Sebagai bahan referensi dalam pengembangan ilmu pengetahuan bidang pengelolaan hutan dan kehutanan. c. Sebagai bahan referensi bagi para stakeholder diantaranya yaitu : pemegang IUPHHK, Kementrian Kehutanan RI, dan peneliti dalam menetapkan sistem silvikultur, seberapa besar pengaruh keterkaitannya. d. Untuk memperoleh gambaran yang holistik mengenai produktivitas lahan yang saling berinteraksi dalam pengelolaan sumberdaya hutan ditingkat pengelolaan hutan alam produksi yang ramah lingkungan pada IUPHHK. e. Sebagai acuan bagi Pemerintah Khususnya Kementrian Kehutanan untuk pengambilan kebijakan dalam pengelolaan hutan alam produksi Kerangka Pemikiran Dalam konsep pengelolaan hutan lestari, multi fungsi (multiple functions), yaitu kayu dan jasa ekosistem (ecosystem services) sudah menjadi tuntutan yang harus dipenuhi. Sebagai respon atas konsep tersebut, kebijakan pengelolaan hutan bekas tebangan mengalami modifikasi dari TPTI menjadi TPTI-Intensif. Secara umum, praktek tebang pilih menyebabkan perubahan baik pada vegetasi, iklim mikro maupun kondisi tanah. Sebagai basis dalam pengelolaan hutan maka ketiga aspek tersebut (tanah, iklim dan vegetasi) sangat menentukan produktivitas hutan yang menjadi faktor penting dalam penilaian kelestarian sumberdaya hutan di daerah tropis. Dalam cakupan pengelolaan hutan alam poduksi aspek tanah dan vegetasi merupakan dua faktor utama yang menjadi pijakan penerapan silvikultur.

32 7 Pengelolaan sumberdaya hutan akan lestari jika tetap mempertahankan produktivitas yang tinggi per satuan luas secara terus-menerus dan meningkatnya kualitas tanah. Dalam kaitannya dengan produktivitas hutan, sistem silvikultur TPTII merupakan salah satu pilihan dalam pengelolaan hutan yang diperkirakan dapat meningkatkan produktivitas hutan melalui penanaman secara jalur. Permasalahan yang muncul dalam penerapan sistem silvikultur TPTII adalah tingkat keterbukaan tajuk pada tahap awal yang cukup besar sebagai akibat pembuatan Jalur Tanam (Jalur Bersih). Terciptanya ruang-ruang tumbuh yang cukup besar ini pada satu sisi memungkinkan bagi pertumbuhan anakan dari kelompok jenis Meranti, namun pada sisi lain muncul dugaan adanya kerusakan tanah dan perubahan vegetasi secara spesifik keanekaragaman jenis, kemudian dipertanyakan. Untuk memahami dan mengetahui produktivitas hutan akibat penerapan TPTII maka diperlukan suatu penelitian terhadap komponen ekosistem hutan, diantaranya adalah struktur dan komposisi tegakan sisa, pertumbuhan tanaman Meranti pada jalur tanam dan kondisi tempat tumbuh (site). Penelitian ini penting dilakukan untuk melihat kecenderungan ketiga aspek tersebut pada areal IUPHHK yang menerapkan sistem silvikultur TPTII. Hal tersebut dapat dicapai dengan mengetahui pengaruh penerapan sistem silvikultur TPTII terhadap komponen ekosistem hutan yang meliputi biodiversitas jenis vegetasi, pertumbuhan tanaman target dan kualitas tanah. Dengan demikian akan tersusun sebuah informasi dari pengaruh penerapan sistem silvikultur TPTII terhadap ekosistem hutan yang merupakan indikator penilaian produktivitas hutan.

33

34 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Silvikultur Di Indonesia Silvikultur adalah seni dan ilmu membangun dan memelihara hutan dengan menerapkan ilmu silvika untuk memperoleh manfaat optimal. Menurut PP Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, sistem silvikultur adalah sistem budidaya hutan mulai dari memilih benih atau bibit, menyemai, menanam, memelihara tanaman dan memanen. Di dalam sistem silvukultur terdapat pengaturan mengenai kelas diameter atau kelas umur, riap kegiatan penanaman/pengayaan (enrichment planting), pemangkasan (pruning), penjarangan (thinning), siklus tebang, rotasi tebang serta informasi silvikultur jenis (Pasaribu 2008). Menurut Nyland (2002) sistem silvikultur adalah rangkaian kegiatan berencana mengenai pengelolaan hutan yang meliputi penebangan, peremajaan, pemeliharaan tegakan hutan untuk menjamin kelestarian produksi atau hasil hutan lainnya. Sedangkan menurut Mattews (1997) sistem silvikultur merupakan proses pemeliharaan, pemanenan, dan penggantian dengan tanaman baru sehingga menghasilkan tegakan dengan bentuk yang berbeda. Pada hutan alam produksi sistem silvikultur dimulai dari kegiatan pemanenan sedangkan pada hutan tanaman dimulai dari kegiatan pembibitan dan perawatan tanaman. Dengan demikian definisi sitem silvikultur dapat berbeda-beda, namun semuanya mengandung tiga komponen utama yaitu permudaan (regeneration), pemeliharaan (tending), dan pemanenan (Harvesting/removing). Sistem silvikultur yang diterapkan dalam unit manajemen dapat dibedakan berdasarkan umur tegakan maupun sistem penebangan. Berdasarkan umur tegakan terdiri dari sistem silvikultur untuk tegakan seumur (even-aged stands) seperti THPA dan THPB, sistem silvikultur untuk tegakan beberapa umur (uneven-aged stands) dan tegakan semua umur (all aged-stands) seperti tebang pilih individu (TPI, TPTI, Bina Pilih), kelompok melingkar (tebang rumpang) dan kelompok dalam jalur (TPTJ dan TPTII). Berdasarkan sistem penebangan pohon terdiri dari sistem silvikultur tebang pilih (selective cutting) dan sistem tebang habis (clear cutting).

35 10 Menurut Manan (1976), sistem silvikultur dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu : a. polycyclic system, yaitu jumlah penebangan (siklus tebang) yang lebih dari satu kali selama rotasi. Sistem TPI dan TPTI termasuk polycyclic system karena menggunakan dua kali siklus tebang (2x35 tahun) selama rotasi 70 tahun. b. Monocyclic system, yaitu jumlah penebangan (siklus tebang) yang hanya sekali selama rotasi, seperti sistem silvikultur THPA dan THPB. Setelah pengelolaan hutan berjalan lebih dari dua puluh tahun, banyak hutan alam produksi yang mengalami fragmentasi (Indrawan 2008). Lanskap hutan hujan tropis telah membentuk mozaik (Pasaribu 2008; Suhendang 2008) yang terdiri dari hutan primer, hutan sekunder, hutan rawang, hutan bekas penebangan liar, hutan bekas kebakaran, semak belukar, padang alang-alang dan tanah kosong. Pada kondisi seperti ini penerapan multisistem silvikultur menjadi keniscayaan agar setiap bagian hutan mendapatkan perlakuan silvikultur yang sesuai dengan kondisi hutannya. Menurut Indrawan (2008) multisistem silvikultur adalah sistem pengelolaan hutan produksi lestari yang terdiri dari dua atau lebih sistem silvikultur yang diterapkan pada satu unit manajemen dan merupakan multi usaha dengan tujuan mempertahankan dan meningkatkan produksi kayu dan hasil hutan lainnya serta dapat mempertahankan kepastian kawasan hutan produksi. Suhendang (2008) menulis bahwa sistem silvikultur menurut Society of American Forester tahun 1998 adalah rangkaian perlakuan terencana terdiri dari kegiatan pemeliharaan, pemanenan, dan pembangunan kembali tegakan. Skema penerapan sistem silvikultur ada dua macam yaitu sistem silvikultur tunggal (single silvicultural system) dan sistem silvikultur jamak (multiple silvicultural system). Tehnik silvikultur adalah upaya mengintegrasikan atribut ekologi, ekonomi, sosial, dan administrasi menjadi pendekatan yang bulat dalam rangka mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan akan datang tanpa mengurangi kemampuan fungsi hutan (Soekotjo 2009). Tehnik silvikultur dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :

36 11 a. Tehnik pengendalian struktur, komposisi, kerapatan, pertumbuhan dan rotasi serta kombinasi antara spesies (genetik), memanipulasi lingkungan dan pengendalian hama terpadu (intregated pest management). Tehnik pengendalian ini diterapkan dalam sistem TPTI intensif. b. Tehnik perlindungan tempat tumbuh (agar permukaan tanah selalu tertutup vegetasi sehingga stabil dan terjaga kesuburannya) dan pohon (dari hama, penyakit dan kerusakan mekanis) c. Tehnik pelayanan eksploitasi, pengelolaan dan pemanfaatan Sejarah perjalanan sistem silvikultur di Indonesia diawali dari Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 1970 (yang merupakan penjabaran dari UU Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan, UU Nomor 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing dan UU Nomor 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri) yang menyebutkan bahwa hutan produksi dapat diusahakan dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan. Sistem silvikultur yang dipakai dalam mengelola hutan alam produksi adalah Tebang Pilih Indonesia (TPI) berdasarkan surat keputusan Dirjen Kehutanan Nomor 35/Kpts/DD/I/1972 tanggal 13 Maret Namun sistem ini mempunyai kelemahan pada ketidakpastian besaran limit diameter serta jumlah pohon inti yang harus ditinggalkan per hektar. Pada tahun 1980, Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan melakukan revisi terhadap ketentuan limit diameter dan jumlah pohon inti menjadi diameter 25 cm sebanyak 25 pohon per hektar serta menambah ketentuan yang disesuaikan dengan kondisi hutan eboni campuran dan ramin campuran. Pada tahun 1987 dibentuk tim materi diskusi penyempurnaan pedoman TPI dari Badan Litbang Kehutanan, Fakultas Kehutanan IPB dan Fakultas Kehutanan UGM. Pergantian sistem TPI menjadi Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 485/Kpts/II/1989 yang dijabarkan dalam Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 564/Kpts/IV-BPHH/1989 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia. Alasannya pergantian ini antara lain untuk menyeimbangkan porsi kegiatan pemungutan hasil (yang lebih menonjol pada sistem TPI) dengan kegiatan pembinaan hutan agar tercapai kelestarian hutan (Ditjen BPK 2005).

37 12 Pada tahun 1993 dilakukan revisi TPTI berdasarkan Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 151/Kpts/IV-BPHH/1993 yang memisahkan organisasi pembinaan hutan dengan pemungutan hasil (produksi), alokasi anggaran kegiatan pembinaan hutan yang memadai serta pergeseran beberapa tahapan kegiatan pembinaan hutan. Sistem tebang pilih (TPI maupun TPTI) masih mempunyai beberapa kelemahan antara lain sulit mengontrol hasil kegiatan pembinaan hutan, terutama hasil penanaman/pengayaan (Enrichment/planting). Sistem ini juga tidak sesuai diterapkan pada hutan alam Duabanga moluccana di Nusa Tengagara Barat dan Lophopetalum multinervium di Kalimantan Timur (Ditjen BPK 2005). Sistem TPTI dinilai kurang luwes dan bersifat kaku sehingga sangat sedikit bidang gerak bagi tenaga kehutanan di lapangan (Suhendang 2008). Menurut Santoso et al. (2008) kelemahan sistem TPTI adalah: a. Masih menggunakan asumsi riap 1 cm per tahun, padahal riap diameter pohon sangat bervariasi tergantung jenis pohon dan kondisi tempat tumbuh. b. Penetapan siklus tebang yang sama untuk setiap kondisi tegakan hutan, yaitu 35 tahun. Seharusnya siklus tebang ditentukan berdasarkan riap dan dinamika struktur tegakan hutan. c. Penetapan etat volume berdasarkan volume tegakan tersedia (hasil survei) tanpa memperhitungkan riap tegakan. Cara seperti ini hanya dapat dilakukan di hutan primer namun tidak bisa pada hutan sekunder. Menurut Wahyono dan Anwar (2008) sistem TPTI hanya dapat diterapkan pada areal hutan yang potensial saja, sementara pada areal lain seperti hutan muda (potensi < 20 m 3 /ha), semak belukar, padang alang-alang dan tanah kosong tidak bisa. Padahal kondisi hutan produksi saat ini sangat bervariasi. Kelemahan lain sistem TPTI adalah rendahnya produktivitas hutan, yaitu kurang dari 1 m 3 /ha/th (Ditjen BPK 2010). Menurut Santosa et al. (2008) dengan meningkatnya laju degradasi hutan, rendahnya laju pembangunan hutan tanaman, masih rendahnya perekonomian masyarakat di sekitar hutan dan meningkatnya kawasan hutan produksi yang tidak dikelola dengan baik menunjukkan bahwa kinerja pemegang IUUPHK dengan

38 13 menerapkan satu sistem silvikultur TPTI belum memenuhi prinsip pengelolaan hutan lestari. Minimnya keberhasilan penerapan pengelolaan hutan lestari menyebabkan kondisi hutan saat ini menyerupai mosaik, karena di dalam kawasan hutan alam terdapat berbagai tipe penutupan lahan berupa areal terbuka, hutan alam kurang produktif dan yang masih produktif. Upaya optimalisasi pengelolaan kawasan hutan yang berbentuk mosaik adalah penerapan multisistem silvikultur (Indrawan 2008; Santoso et al. 2008). Menurut Pasaribu (2008) kondisi areal hutan produksi saat ini sudah tidak utuh lagi yang disebabkan penataan ruang untuk pembangunan non kehutanan, kebakaran hutan, perubahan akibat ekses ekonomi daerah serta pengaturan batas areal yang mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Terfragmentasinya areal hutan produksi (Suhendang 2008), meningkatnya laju kerusakan hutan (Indrawan 2008) serta rendahnya riap hutan bekas tebangan pada sistem TPTI (Ditjen BPK 2005, 2010) telah memicu munculnya beberapa sistem silvikultur alternatif. Menurut Suhendang (2008) paradigma baru pengelolaan hutan saat ini adalah pendekatan pada bentuk hutan alam (close to natural forest). Menurut Mitlohner (2009) close to nature forestry adalah upaya pengelolaan hutan alam dengan tetap mempertahankan lapisan strata hutan serta menjaga kelestarian lingkungan, seperti iklim mikro, tanah, air dan keanekaragaman jenis. Menurut Coates dan Philip (1997) penebangan hutan dengan sistem celah (gap) lebih sesuai dengan kondisi hutan alam karena menyerupai fenomena pohon atau kelompok pohon yang mati dalam hutan lalu terbentuk regenerasi alam yang baik. Sistem gap termasuk sistem silvikultur untuk tegakan semua umur (all-aged stands) dengan penebangan dalam kelompok pohon dalam bentuk gap melingkar (rumpang) atau memanjang (strips). Menurut Pasaribu (2008) tehnik silvikultur tebang rumpang menunjukan hasil yang baik pada kebun percobaan Badan Litbang Kehutanan Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, karena dalam rumpang telah terjadi regenerasi alam dan membentuk tegakan seumur berlapis seperti tegakan primer.

39 14 Penelitian sistem gap memanjang (strips) telah dilakukan pada beberapa IUPHHK sejak tahun 1993 dengan nama sistem silvikultur Tebang Jalur Tanam Indonesia (TJTI) yang selanjutnya berubah menjadi Tebang Jalur Tanam Konservasi (TJTK). Prinsip sistem ini adalah membangun hutan tanaman diantara hutan alam dalam bentuk jalur selebar m. Hambatan pelaksanaan sistem ini adalah adanya PP Nomor 21 tahun 1970 dan PP Nomor 7 tahun 1990 yang melarang pembangunan hutan tanaman dalam kawasan pengelolaan hutan alam. Kendala ini mengakibatkan munculnya keinginan untuk menggabungkan kedua PP tersebut. Sistem TJTK akhirnya berubah menjadi sistem Hutan Tanaman Industri dengan Tebang Tanam Jalur (HTI-TTJ) berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan Nomor 453/Kpts-II/1997) yang dijabarkan dalam pedoman teknis berdasarkan keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 220/Kpts/IV-BPH/1997. Dalam sistem ini jalur tanam dipersempit menjadi 3 meter namun dilakukan pembuatan jalur bebas naungan selebar 10 meter. Interval penanaman 5 meter dan jarak antar jalur 25 meter, sehingga membentuk jarak tanam 5x25 meter. Sistem Hutan Tanaman Industri-Tebang Tanam Jalur (HTI-TTJ) kemudian diganti menjadi sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) berdasarkan keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 55/Kpts/IV-BPH/1998. Evaluasi sistem TPTJ menunjukan hasil yang memuaskan, karena regenerasi terbentuk dengan baik dan tegakan tinggal serta lingkungan dapat terjaga, sehingga TPTJ dimasukkan sebagai salah satu sistem silvikultur untuk pengelolaan hutan alam produksi berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 309/Kpts-II/1999. Namun pada tahun 2002 keputusan ini dibatalkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 1072/Kpts-II/2002 dan selanjutnya kembali kepada sistem TPTI kecuali PT. Sari Bumi Kusuma (Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 201/Kpts-II/1998) dan PT. Erna Juliawati (Surat Keputusan Menhutbun Nomor 15/Kpts-II/1999). Hasil yang memuaskan dari pelaksanaan TPTJ pada kedua IUPHHK tersebut telah menginspirasi para pakar dari perguruan tinggi untuk menyempurnakan sistem silvikultur ini dengan menerapkan tehnik silvikultur intensif (silin) melalui penggunaan bibit unggul, tehnik manipulasi lingkungan

40 15 dan pengendalian hama terpadu (integrated pest management). Sistem silvikultur hasil penyempurnaan tersebut adalah Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) yang dikeluarkan tahun Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) merupakan kombinasi sistem tebang pilih dengan limit diameter 40 cm ke atas dan tebang habis dengan penanaman buatan dalam jalur tanam selebar 3 m. Jarak tanam dalam jalur 2,5 m dengan lebar jalur antara 17 meter sehingga tanaman membentuk jarak tanam 2,5 m x 20 m (Ditjen BPK 2005). Sistem silvikultur yang menerapkan penanaman/pengayaan dalam jalur ini pertama kali diperkenalkan oleh Aubreville di Afrika Barat dan Afrika Tengah dan disempurnakan oleh Catinot. Penanaman dalam jalur memungkinkan terbentuk regenerasi dan pertumbuhan pohon yang baik sebagai respon dari tehnik silvikultur berupa pembukaan kanopi tajuk sehingga intensitas cahaya lebih banyak (Mitlohner 2009). Sistem ini juga sesuai dengan perkembangan anakan famili Dipterocarpaceae yang bersifat semi toleran dengan tetap menjaga kualitas tanah (Wahyudi 2009). Sejak tahun 2005 TPTII diujicobakan pada 6 IUPHHK termasuk di dalamnya PT. Sukajaya Makmur, berdasarkan Surat Keputusan Direktorat Jenderal BPK Nomor 77/VI-BPHA/2005 tanggal 3 Mei 2005 dan pada tahun 2007 dikembangkan pada 25 IUPHHK berdasarkan surat keputusan Direktorat Jenderal BPK Nomor 41/VI-BPHA/2007 tanggal 10 April Pedoman teknis sistem silvikultur TPTII mengacu kepada Keputusan Dirjen BPK Nomor SK.226/VI-BPHA/2005 tanggal 1 September Menurut Ditjen BPK (2005) dan Soekotjo (2009) pengelolaan hutan dengan sistem TPTII dengan jumlah bibit 200 batang per hektar per tahun selama 30 tahun akan dihasilkan luasan hektar, dijamin dapat menjadi areal pengelolaan hutan yang lestari. Dengan asumsi diameter pohon ditebang rata-rata 50 cm per 30 tahun sebanyak 160 pohon per hektar, akan dihasilkan standing stock sebanyak 400 m 3 per hektar, belum termasuk tegakan sisa yang masih dapat dimanfaatkan.

41 16 Tahapan kegiatan sistem silvikultur TPTII (Ditjen BPK 2005) adalah : a. Penataan areal (P-3) b. Risalah hutan (P-3) c. Pembukaan wilayah hutan (P-2) d. Pengadaan bibit (P-1) e. Penyiapan lahan yang terdiri dari tebang penyiapan lahan dan pembuatan Jalur Tanam (P-1) f. Penanaman (P) g. Pemeliharaan tanaman yang meliputi : 1) Penyiangan dan pemulsaan 1,II, III (P+1, P+2, P+3) 2) Penyulaman I dan II (P+0, P+1) 3) Pemupukan I dan II (P +0, P+1) 4) Pembebasan Vertikal I dan II (P+1, P+3) h. Penjarangan I dan II (P+5 dan P+10) i. Perlindungan tanaman (terus menerus) j. Penelitian dan pengembangan k. Pemanenan kayu (P+31) Sistem TPTII ini merupakan sistem silvikultur yang dalam pengelolaan hutan alam dapat mengakomodasi beberapa tuntutan sekaligus, yaitu tuntutan terhadap peningkatan produktivitas (kayu), kepastian usaha, kepastian kawasan dan tuntutan sosial ekonomi masyarakat setempat (Soekotjo, 2005). Menurut Suparna (2005) sistem TPTII memiliki beberapa ciri-ciri mendasar, yaitu : a. Diterapkan sistem Reduced Impact Logging (RIL). b. Ruang tumbuh tegakan dibuka optimal dengan fleksibilitas dalam menetapkan limit diameter pohon yang ditebang sehingga kepentingan pertumbuhan, produksi dan lingkungan terakomodasi secara seimbang. c. Dilakukan penanaman sistem jalur secara intensif dengan memasukan teknologi yang memadai, dengan jarak antar Jalur Tanam m. d. Dilakukan kegiatan bina pilih pada pohon-pohon inti tertentu pada tegakan alam yang terletak diantara jalur-jalur tanaman.

42 Jalur Tanam Jalur Tanam a - b Jalur Antara a - b

43 18 dengan interaksi dinamis antar komponen ekosistem dalam dimensi ruang dan waktu untuk melihat bagaimana mereka berinteraksi. Salah satu fungsi ekosistem hutan adalah produktivitas. Produktivitas dalam ekosistem didefinisikan sebagai laju tahunan produktivitas primer bersih (net primery productivity=npp) yaitu total kuantitas fotosintesis (gross primary productivity = GPP) dikurangi respirasi (Bruenig 1996), sedangkan produktivitas primer kotor (GPP) adalah total produksi primer yaitu jumlah energi cahaya yang dirubah menjadi energi kimia. Dengan kata lain produktivitas primer bersih (NPP) dialokasikan pada beberapa bagian pohon dan disimpan atau digunakan sebagai sumber energi untuk pertumbuhan. Produktivitas suatu ekosistem bervariasi menurut tipe hutan, lanskap dan komposisi jenis (Perry 1994). Dua faktor utama yang menentukan perbedaan produktivitas menurut tipe hutan, yaitu energi matahari dan lama musim pertumbuhan. Perbedaan produktivitas juga ditentukan oleh lanskap seperti ketersediaan hara, air, suhu dan komposisi jenis. Ada saling keterkaitan antara faktor-faktor tersebut dalam mempengaruhi produktivitas suatu ekosistem, sebagai contoh suhu dan kelembaban berpengaruh secara langsung terhadap proses dekomposisi bahan organik yang penting perannya bagi suplai ketersediaan hara dalam suatu ekosistem. Demikian juga dengan komposisi jenis, makin beragam komposisi jenis suatu ekosistem maka makin optimal ekosistem tersebut dalam mengembangkan strategi yang efektif untuk mencegah hilangnya hara dari suatu ekosistem, sehingga dalam hubungannya dengan produktivitas maka ekosistem tersebut lebih stabil. Dipertahankannya stabilitas ekosistem hutan beserta komponenkomponennya dalam batas kapasitas produksi hutan optimum serta tidak terganggunya sistem ekologi merupakan sasaran yang harus dicapai guna kelestarian ekosistem hutan. Stabilitas ekosistem merupakan ukuran keseimbangan dinamis dalam suatu struktur ekosistem. Perubahan mendasar pada struktur dan fungsi ekosistem akan terjadi jika stabilitas ekosistem mengalami gangguan.

44 19 Komponen stabilitas ekosistem meliputi : a. Resistensi, menunjukan kemampuan suatu ekosistem untuk melanjutkan fungsinya untuk tetap stabil ketika terjadi adanya suatu gangguan. b. Resiliensi, merupakan kemampuan suatu ekosistem untuk pulih kembali setelah mengalami gangguan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi stabilitas suatu ekosistem (Anonimous 2004), yaitu : a. Frekwensi dan intensitas kerusakan ekosistem baik alami maupun yang diakibatkan oleh manusia b. Keragaman species dan interaksi antar komponen ekositem c. Laju perubahan hara Meskipun beberapa ahli ekologi setuju bahwa keragaman berperan penting terhadap laju proses ekosistem seperti laju dekomposisi dan produktivitas, namun data terkini hanya didasarkan pada prediksi dan argumen yang berlaku umum (Bengtsson et al. 2000). Sedikit penelitian yang mendukung pendapat di atas. Tilman et al. (1996) dalam Bengtsson et al. (2000) mengatakan bahwa ada pengaruh positif antara keragaman dengan produktivitas, sementara Ruch dan Oesterheld (1997) dalam Bengtsson et al. (2000) mengatakan yang sebaliknya. Kaitannya dengan penurunan keanekaragaman jenis terhadap suatu ekositem ternyata ada overlapping kondisi ekologi suatu spesies sehinga meskipun terjadi pengurangan terhadap keanekaragaman spesies maka stabilitas ekosistem tersebut masih tetap bertahan. Sementara itu ada pernyataan bahwa dengan makin meningkatnya keragaman spesies maka makin stabil suatu ekosistem (Anonimous 2003). Alasan yang dikemukakan adalah bahwa dengan adanya penambahan spesies pada suatu ekosistem maka fungsi ekositem tersebut akan meningkat sehingga menjadi lebih stabil. Beberapa argumen menyatakan bahwa isu penebangan hutan mengundang kontraversi, pada satu sisi mengatakan bahwa kestabilan ekosistem hutan akan tetap terpelihara melalui pengelolaan yang tepat sementara pendapat lain justru mengkhawatirkan terjadinya bencana dan penurunan kualitas lahan secara cepat setelah dilakukan pembukaan lahan hutan (Lal 1986). Salah satu akibat dari

45 20 penebangan hutan pada tingkat regional adalah terganggunya fungsi hidrologi yang ditandai oleh adanya perbedaan debit air yang mencolok antar musim, yaitu besarnya fluktuasi aliran sungai pada musim hujan dan sebaliknya pada musim kemarau. Dalam kondisi ekstrim apabila hutan dibuka pada areal yang lebih luas akan meningkatkan kemungkinan banjir. Pada tingkat lokal (site) dapat terjadi perubahan tingkat iklim mikro, kesuburan tanah dan vegetasi (Lal 1995). Secara umum faktor lingkungan, terutama suhu dan kelembaban udara mengalami perubahan akibat berkurangnya tutupan vegetasi. Permukaan tanah menjadi lebih terbuka sehingga menyebabkan fluktuasi suhu dan kelembaban lebih besar. Kondisi ini mempercepat laju dekomposisi dan pelepasan hara (Vitousek 1981). Pelepasan Ammonium dari proses dekomposisi bahan organik merupakan sumber N dalam tanah hutan, dan penyerapan ammonium dan nitrat oleh tanaman dan mikroba sebagai pengikat N yang sangat besar. Proses lainnya yaitu masukan yang berasal dari atmosfir, pencucian dan denitrifikasi juga merupakan tambahan dan pengurangan N tetapi umumnya sedikit sekali (<10%) dibanding proses mineralisasi tahunan. Intervensi manusia terhadap hutan termasuk penebangan hutan untuk peruntukan lain menyebabkan peningkatan mineralisasi N di dalam tanah hutan. Pada saat yang sama penyerapan N oleh tanaman menurun hingga 2 atau beberapa tahun setelah penebangan. Ammonium diperkirakan meningkat pada ekosistem yang terganggu (Vitoseuk dan Matson 1985). Pembukaan lahan hutan atau pengurangan serapan N oleh pohon akan mengurangi juga kompetisi terhadap N dan akan menstimulasi produksi nitrat dan pencucian tetapi proses ini cenderung normal lagi ketika lahan mulai tertutup oleh vegetasi. Penebangan hutan menyebabkan sebagian besar N hasil mineralisasi (sekitar 85%) dioksidasi menjadi nitrit. N hasil mineralisasi dapat dikonversi menjadi nitrat jika kondisi lingkungannya memungkinkan. Terdapat dua faktor utama yang mengendalikan laju nitrifikasi, yaitu keberadaan ammonium dan oksigen (Vitousek dan Matson 1985). Selanjutnya ditambahkan oleh Van Migroet dan Johnson (1993) bahwa laju nitrifikasi sangat berfluktuasi menurut besaran skala studi (regional, ekositem, atau tegakan hutan). Variabilitas tersebut sangat berkaitan dengan perubahan kondisi lingkungan seperti suhu dan

46 21 kelembaban tanah, komposisi dan tingkat keragaman vegetasi penutup tanah, kualitas serasah serta ketersediaan N. Nitrat akan mengalami beberapa kemungkinan diantaranya, yaitu tercuci oleh air perkolasi sehingga berada di luar jangkauan sistem perakaran, terkonversi ke dalam bentuk N gas atau diserap oleh tanaman (Robertson 1989). Hilangnya Nitrat dari ekosistem terganggu dikendalikan oleh meningkatnya proses mineralisasi, proses imobilisasi dan penundaan produksi nitrat sehingga tetap dalam bentuk ammonium yang kurang mobil dan penanaman kembali terutama dengan jenis yang mempunyai kebutuhan tinggi terhadap N. Dengan kata lain proses yang meregulasi pencucian Nitrat sangat dipengaruhi oleh ketersediaan awal N pada tanah tersebut (Vitousek dan Matson 1985). Secara umum sistem silvikultur tebang pilih menyebabkan degradasi hutan dan tanah. Definisi degradasi bersifat subyektif (Lamb 1994), memiliki pengertian berbeda tergantung pada cara pandang suatu kelompok masyarakat. Rimbawan memiliki persepsi yang bervariasi terhadap arti degradasi. Sebagian masyarakat mengartikan bahwa degradasi hutan sebagai hutan yang telah mengalami kerusakan sehingga pada satu titik dimana manfaat yang diperoleh baik kayu maupun non kayu pada periode yang akan datang menjadi tertunda atau terhambat. Sebagian lain mendefinisikan degradasi hutan sebagai suatu kondisi dimana fungsi ekologis, ekonomis maupun sosial hutan tidak terpenuhi. Berkaitan dengan degradasi hutan, Brown dan Lugo (1994) memberikan illustrasi bahwa gangguan yang menimbulkan kerusakan kecil pada hutan tidak memerlukan intervensi manusia untuk memulihkan kembali produktivitas hutan. Namun sebaiknya areal yang telah mengalami kerusakan akibat penebangan memerlukan campur tangan manusia untuk memperoleh kembali produktivitasnya dengan melalui pendekatan restorasi, rehabilitasi dan reklamasi (Lamb 1994). Tanah di daerah hutan tropika basah termasuk ke dalam katagori miskin hara. Namun demikian, ekosistem hutan primer tidak menunjukan adanya gejala kekurangan hara karena siklus hara berada dalam kondisi keseimbangan yang dinamis dimana input dan output hara seimbang dan kebutuhan tanaman akan hara terpenuhi melalui recycling sistem yang efisien, perubahan dari kondisi yang stabil menjadi tidak stabil sebagai dampak penebangan hutan berakibat pada

47 22 berubahnya simpanan hara dan suplai hara bagi pertumbuhan pohon dan konsekwensinya untuk jangka panjang pada kelestarian penggunaan lahan tersebut. Kaitannya dengan kerusakan tanah, Oldeman (1992) menyatakan bahwa kerusakan tanah adalah suatu proses dimana telah terjadi penurunan kapasitas tanah baik saat ini maupun masa yang akan datang dalam memberikan produk maupun jasa. Katagori pertama degradasi tanah berkaitan dengan pemindahan material tanah sedangkan katagori kedua berhubungan dengan degradasi tanah insitu yang berupa degradasi kimia (penurunan bahan organik tanah dan hilangnya hara) dan atau fisika tanah (pemadatan tanah) (Barrow 1991; Oldeman 1992). Kerusakan tanah didefinisikan sebagai proses atau fenomena penurunan kemampuan tanah dalam mendukung kehidupan tanaman yang dicirikan oleh menurunnya produktivitas tanah. Dengan demikian kerusakan tanah mencakup permasalahan penurunan rangking atau status lahan sebagai hasil dari rangkaian proses alami atau akibat dari intervensi manusia (Barrow 1991). Salah satu bentuk kerusakan tanah adalah hilangnya atau menurunnya bahan organik yang lebih cepat dibandingkan penambahannya pada lapisan tanah atas. Ketidakseimbangan antara masukan bahan organik dengan hilangnya yang terjadi melalui dekomposisi berdampak pada penurunan kadar bahan organik di dalam tanah. Penurunan kandungan bahan organik tanah membawa dampak pada kelestarian jangka panjang oleh karena bahan organik memainkan peranan penting bagi pertumbuhan pohon melalui pengaruhnya terhadap sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Faktor-faktor tersebut dalam gilirannya akan berpengaruh terhadap struktur tanah, laju infiltrasi, kapsitas pegang air, ketersediaan hara tanaman dan laju mineralisasi. Pada tanah yang diolah, lapisan tanah atas (0-30) kehilangan sekitar 20 60% dari karbon yang terdapat pada vegetasi alami. Terjadinya penurunan karbon dalam tanah yang begitu cepat mewakili adanya proses dekomposisi fraksi aktif yang begitu cepat. Pengaruh yang merugikan dari kerusakan tanah ini telah menyebabkan menurunnya kualitas tanah dengan cepat. Bentuk kerusakan tanah yang terjadi akibat penebangan hutan (Lal 1995) adalah :

48 23 a. Perubahan struktur tanah seperti pemadatan tanah yang menyebabkan penurunan daya retensi air, aerasi tanah buruk dan terhambatnya pertumbuhan akar. b. Penurunan kualitas dan kuantitas bahan organik tanah, dan terganggunya siklus C dan N c. Gangguan siklus hidrologi, bersama dengan deteriorasi struktur tanah menyebabkan erosi dan pencucian hara meningkat. Pemadatan dilaporkan sebagai bentuk kerusakan fisik tanah yang berkaitan dengan lintasan alat-alat berat yang digunakan terutama dalam kegiatan penyaradan kayu dari lokasi penebangan ke tempat penampungan kayu sementara. Menurut Malmer (1993) berat isi tanah pada jalan sarad meningkat sebesar 5 % pada kedalaman 5 cm dibanding hutan primer. Berdasarkan hasil kajian Greacen dan Sands (1980) dilaporkan bahwa pemadatan tanah menyebabkan menurunnya aerasi tanah, infiltrasi air dan pertumbuhan akar tanaman. Dalam penebangan yang intensif di hutan tropika basah dataran rendah, hanya sekitar 10 % dari volume kayu yang dikeluarkan tergolong strata emergent dengan ukuran tajuk besar yang merusak strata pohon dibawahnya. Setelah penebangan, terbentuk luasan kecil yang tediri dari tegakan sisa yang mencapai sekitar 35 % dari luas areal penebangan, dan sekitar 55 % dari luasan termasuk katagori rusak (Whitmore 1984 dalam Anderson dan Spancer 1991). Anderson dan spencer (1991) memperkirakan akibat praktek penebangan di Asia Tenggara pada areal bekas tebangan sekitar % nya merupakan tanah terbuka (bare soil). Kerusakan yang terjadi baik pada tanah maupun vegetasi berkaitan dengan intensitas penebangan, seperti dilaporkan oleh Jonkers (1987) dalam Anderson dan Spencer (1991) bahwa dengan intensitas penebangan sebesar 15 m 3 /ha terjadi kerusakan vegetasi sekitar 6 % untuk diameter diatas 5 cm dibandingkan 13 % untuk tebangan sebesar 46 m 3 /ha. Dalam kaitannya dengan regenerasi setelah penebangan di hutan tropika, peranan gap atau rumpang sangat penting. Brown (1992) menyatakan bahwa dalam gap terjadi peningkatan yang cepat terhadap radiasi dan suhu dan sebaliknya terjadi penurunan terhadap kelembaban relatif. Selanjutnya terdapat perbedaan antara spesies yang tergolong pioneer dan bukan pioneer dalam

49

50 25 menyatakan pertumbuhan tahunan berdasarkan interval waktu pengamatan terdiri tiga macam riap, yaitu : a. Riap Tahunan Berjalan (Current Annual Increament, CAI), yaitu riap yang diukur untuk setiap satuan waktu pengukuran yang terkecil, biasanya satu tahun. b. Riap Rata-Rata Tahunan (Meant Annual Increament, MAI), yaitu besarnya rata-rata tahunan yang sampai pada umur tertentu. c. Riap Periodik Tahunan (Periodic Annual Increament, PAI), yaitu besarnya rata-rata tahunan yang terjadi selama periode waktu tertentu diantara dua kali pengukuran kebanyakan periode yang digunakan adalah interval lima atau sepuluh tahun. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan hasil (growth and yield) pohon adalah faktor genetik (Finkeldey 1989; Hani in 1999; Kumar dan Matthias 2004; Na iem dan Raharjo 2006), lingkungan atau tempat tumbuh (Fisher dan Binkey 2000; Kozlowky dan Pallardy 1997; Sukotjo 1995) dan tehnik silvikultur (Coates dan Philip 1997; Halle et al.1978; Pasaribu 2008; Santosa et al. 2008). Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan hasil pohon adalah iklim dan tanah. Faktor iklim banyak ditentukan oleh curah hujan, intensitas cahaya, suhu, kelembaban, kecepatan angin dan letak geografis. Sedangkan faktor tanah banyak dipengaruhi oleh sifat kimia, fisika dan biologi tanah serta ketinggian kelerengan dan arah lereng. Faktor bawaan dan genetik pohon memegang peranan cukup penting dalam mengontrol pertumbuhan pohon. Penggunaan bibit unggul hasil pemuliaan tanaman diperkirakan dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil hingga 2-4 kali (Danida dan Dephut 2001). Karakteristik genetik dalam suatu spesies berhubungan erat dengan perilaku sel, arsitektur pohon dan akar, hormon, Zat pengatur tumbuh dan tingkat pembentukan serat (Kozlowki dan Pallardi 1997; Landsberg 1986). Upaya untuk meningkatkan kualitas genetik benih dan bibit tanaman hutan hingga saat ini masih mengandalkan pada tegakan benih dan kebun benih.

51 26 Menurut peratruran Menteri Kehutanan Nomor P.10/Menhut-II/2007 tanggal 13 maret 2007, tegakan benih teridentifikasi adalah sumber benih dengan kualitas rata-rata yang digunakan untuk menghasilkan benih dan lokasinya dapat diidentifikasikan dengan tepat. Sedangkan tegakan benih terseleksi adalah sumber benih dengan pohon fenotif bagus dan mempunyai sifat penting antara lain batang lurus, tidak cacat dan percabangan ringan. Kebun benih yang telah dikelola dengan baik serta mempunyai sekat isolasi yang memisahkan dengan tegakan lain dapat menjadi kebun benih. Dengan program pemuliaan pohon seperti ini diharapkan kualitas tegakan hutan akan semakin meningkat melalui kegiatan penanaman dan pengayaan menggunakan bibit unggul yang dilakukan setiap tahun. Pemilihan pohon induk dalam tegakan benih menggunakan kriteria antara lain sebagai pohon peninggi, mempunyai diameter paling besar diantara yang lain, bebas cabang yang tinggi, bentuk batang lurus dan silindris, bentuk tajuk silindris dan seimbang, riap tinggi dan bebas dari hama dan penyakit (Hani in 1999; Soekotjo 2009). Lal (1995) telah menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi besar kecilnya riap suatu tegakan, faktor itu adalah sebagai berikut: a. Tindakan silvikultur, Dalam hal ini tindakan silvikultur yang diutamakan adalah penjarangan. Hal ini mengingatkan tindakan penjarangan merupakan tindakan silvikultur yang sangat penting dalam pemeliharaan hutan. Dari penjarangan akan diperoleh dua keuntungan yaitu hasil kayu penjarangan dan hasil tegakan akhir yang baik. Masalah silvikultur ini akan berhubungan dengan produksi kemudian hari. b. Jenis, Setiap jenis pohon mempunyai sifat pertumbuhan yang berbeda-beda. Sebagian pohon mempunyai kecepatan tumbuh yang besar dan sebagian lagi cukup kecil. Pohon yang tumbuh lebih cepat akan mempunyai riap yang lebih besar dibandingkan dengan pohon-pohon yang mempunyai kecepatan tumbuh yang lebih kecil. c. Kualitas tempat tumbuh, merupakan ukuran tingkat kesuburan tanah untuk dapat menunjukkan produktivitas tanah, guna menghasilkan volume kayu jenis tertentu. Kualitas tempat tumbuh akan mempengaruhi pertumbuhan pohon. Pohon-pohon yang tumbuh pada tanah yang subur akan memberikan hasil yang

52 27 lebih besar dibandingkan dengan pohon yang tumbuh di tanah yang kurang subur. Menurut Soekotjo (1995) variabel yang mempengaruhi riap tanaman adalah jenis, sumber benih, jenis yang dimuliakan, manipulasi atribut lingkungan, tehnik silvikultur yang dipakai serta kelas diameter. Pemilihan jenis yang tepat untuk tujuan budidaya sangat berpengaruh terhadap nilai yang dihasilkan. Jenis unggul hasil pemuliaan pohon mempunyai riap yang lebih besar (inherent growth rate). Pada kelas diameter yang berbeda, meskipun pada pohon yang sama, dapat mempunyai riap yang berbeda (reit of growth). Pada lokasi yang berbeda, meskipun jenisnya sama, dapat mempunyai riap yang berbeda pula. Sebagai contoh, penelitian pertumbuhan Meranti di hutan Semengoh (Serawak) menunjukkan bahwa Shorea stenoptera mempunyai riap 79% lebih besar dibandingkan Shorea pinanga pada kondisi lingkungan yang sama. Penanaman Shorea macrophylla di Kalbar menunjukkan riap yang lebih besar dibandingkan penanaman di Kalimantan Selatan. Dengan demikian menurut Soekotjo (1995) informasi tentang riap harus dilengkapi dengan data inherent growth dan reit of growth dan informasi data riap bersifat spesifik untuk setiap tempat tumbuh sehingga tidak dapat digunakan untuk memprediksi riap tanaman sejenis pada tempat yang berbeda. Menurut Dirjen BPK (2005) dan Soekotjo (2009) pengelolaan hutan menggunakan sistem TPTII dengan jumlah bibit 200 batang per hektar akan dihasilkan standing stock sebanyak 400 m3/ha setelah 30 tahun dari pohon berdiameter 50. Asumsi tersebut menyatakan bahwa MAI diameter tanaman Meranti (Shorea spp) pada jalur tanam sistem TPTII sebesar 1,67 cm/th atau 13,33 m 3 /ha/th. Sementara itu data lain menunjukan bahwa MAI diameter Shorea platyclados di Sumatra Utara sebesar 1,32 cm/th (Ditjen Hut 1980) dan Shorea leprosula, Shorea ovalis serta Shorea parvifolia sebesar 10 m 3 /ha/th (Hutan Industri 1958 dalam Manan 1995). Soekotjo (1995) yang mengutip riap beberapa tanaman Shorea spp di komplek hutan Semengoh (Serawak) menyatakan bahwa Shorea pinanga umur 38 tahun yang ditanam dengan jarak 4,5 m x 4,5 m mempunyai diameter 31,35 cm dengan kisaran riap diameter 0,49 1,24 cm/th. Shorea splendica umur 35 tahun

53 28 yang ditanam dengan jarak 3,6 m x 3,6 m mempunyai diameter 31,62 cm dengan kisaran riap diameter 0,53 1,39 cm/th. Shorea stenoptera umur 34 tahun yang ditanam dengan jarak 3,5 m x 3,6 m mempunyai kisaran riap diameter 0,53 1,39 cm/th. Meskipun tidak menyebutkan data kuantitatif, Soekotjo (1995) menyebutkan bahwa pertumbuhan Shorea macrophylla di Kalimantan Barat lebih tinggi dibanding di Kalimantan Selatan dan sebaliknya Shorea stenoptera di Kalimanatan Selatan tumbuh lebih baik dibanding di kalimantan Barat Kualitas Tanah Penentu Keberhasilan Penerapan Sistem Silvikultur Dalam beberapa tahun terakhir, karena keprihatinan terhadap kerusakan tanah dan tuntutan pengelolaan tanah secara berkelanjutan, terjadi perubahan perhatian terhadap beberapa peubah tanah. Seiring dengan hal tersebut, penggunaan tanah ditekankan pada nilai dan karakteristik tanah untuk suatu tujuan tertentu. Secara umum perhatian terhadap kualitas tanah berkembang pada seputar bahasan tentang fungsi tanah yang menjadi prioritas utama dari suatu ekosistem. Tanah dikenal sebagai komponen penting dari suatu ekosistem. Oleh karena itu, kualitas tanah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dan bahkan menjadi kunci indikator dari konsep pengelolaan lahan secara berkelanjutan (Carter, 1997). Kualitas tanah merupakan gambaran utuh dari suatu kondisi spesifik tanah untuk melakukan fungsinya (Karlen, 1997). Kemudian definisi ini mengalami perluasan, bahwa kualitas tanah sebagai gabungan ciri tanah yang menyatakan kemampuan alami untuk melakukan fungsinya di dalam ekosistem alami maupun yang dikelola untuk mencapai kelestarian produktivitas tanaman dan binatang, mempertahankan kualitas lingkungan (air dan udara) dan memacu kesehatan tanaman (Soil Science Society of America, 1995). Definisi ini mirip dengan konsep yang diajukan oleh Doran et al. (1996) yang menyatakan bahwa kualitas tanah sebagai kemampuan tanah untuk melakukan fungsinya, dalam suatu ekosistem dan batasan penggunaan lahan untuk kelestarian produktivitas biologi, mempertahankan kualitas lingkungan dan memacu kesehatan tanaman, binatang dan manusia. Definisi tersebut mempunyai implikasi bahwa kualitas tanah terdiri atas dua bagian, yaitu intrinsic part yang mencakup sifat atau kapasitas yang melekat pada tanah tersebut untuk mendukung pertumbuhan tanaman, dan

54 29 dynamic part yang dipengaruhi oleh tindakan pengelolaan terhadap tanah tersebut oleh manusia (Carter, 1997). Sifat yang melekat pada tanah merupakan gabungan atau integrasi dari beberapa faktor pembentuk tanah seperti iklim, topografi, vegetasi, bahan induk dan waktu. Dengan demikian tiap tanah mempunyai kapasitas yang baik. Gambar kedua kualitas tanah berkaitan dengan kemampuan alami tanah untuk melakukan fungsinya, nilai kegunaannya dan tindakan pengelolaan yang memiliki arti penting dalam penilaian kualitas tanah. Fungsi utama tanah menurut Karlen (1997) meliputi : a. Sebagai sumberdaya dalam menyimpan dan mendaur hara dalam biosfer tanah yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman dan hijauan makan ternak. b. Sebagai matriks, tempat akar berpegang serta tumbuh dan tempat menyimpan dan meregulasi aliran air dan larutan. c. Menyaring, mencegah, mendegradasi dan menurunkan kadar racun dari material organik maupun anorganik. Ada kesepakatan umum bahwa kualitas tanah mencakup 3 isu utama, yaitu 1) produktivitas tanaman secara berkelanjutan, 2) kualitas lingkungan, baik tanah, air maupun udara, dan 3) kesehatan mahluk hidup (Parr, 1992 dalam Doran dan Parkin, 1994). Oleh karena itu penilaian atau assessment terhadap suatu sistem pengelolaan lahan khususnya terhadap fungsi tanah harus terkait dengan salahsatu dari isu di atas. Penilaian terhadap kualitas tanah adalah sesuatu yang sangat penting dalam menentukan sistem pengelolaan lahan yang lestari baik untuk masa sekarang maupun yang akan datang. Hal ini diperlukan untuk, 1) identifikasi problem produksi untuk tujuan estimasi produksi secara realistik dan 2) memonitor perubahan yang terjadi terhadap ekosistem kaitannya dengan pengelolaan lahan (Doran dan Parkin, 1994). Dengan kata lain penilaian kualitas tanah memberikan pemahaman yang mendasar tentang evaluasi kelestarian sistem pengelolaan lahan. Tanah memiliki berbagai level kualitas yang secara mendasar didefinisikan sebagai sumberdaya alam stabil atau yang melekat dengan faktor pembentukan tanah dan perubahan yang dinamis sebagai dampak dari pengelolaan tanah. Deteksi terhadap perubahan dari komponen dinamis adalah hal penting dalam evaluasi kinerja dan kelestarian pengelolaan tanah (Doran dan Parkin, 1994).

55 30 Konsep kualitas tanah umumnya digunakan untuk mengevaluasi atau mengkaji aspek kelestarian dari suatu penggunaan lahan dalam agroekosistem (Carter, 2002). Dengan kata lain kualitas tanah merupakan satu kesatuan dengan prinsip kelestarian. Ditambahkan oleh Handayani (2001) bahwa perubahan kualitas menunjukan respon suatu jenis tanah terhadap penggunaan dan pengelolaannya. Oleh karena itu suatu penggunaan lahan hanya akan lestari jika kualitas tanah tetap dipertahankan atau ditingkatkan. Pemilihan indikator kualitas tanah sangat tergantung pada konteks permasalahan yang ingin diteliti. Isu yang penting adalah bagaimana mengevaluasi kualitas tanah oleh karena hasil tersebut akan digunakan untuk mengklasifikasikan kapabilitas lahan, melihat dampak dari suatu sistem penggunaan lahan, sebagai basis untuk membuat regulasi dan sebagai data untuk memonitor perubahan lingkungan (Parr, 1992 dalam Halvorson, 1997). Oleh karena itu diperlukan identifikasi terhadap sifat tanah yang berkaitan dengan kualitas tanah (Smith, 1993). Para ilmuwan sepakat bahwa untuk mengevaluasi kualitas tanah membutuhkan integrasi dari beberapa jenis data tanah yang meliputi sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Doran et al dalam Halvorson et al. 1997). Doran dan Parkin (1994) menyatakan bahwa indikator kualitas tanah harus memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut : a. Berkorelasi secara baik dengan proses ekosistem dan berorientasi modelling. b. Sebagai satu-kesatuan dari sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Pendekatan harus secara holistik tidak dilakukan per bidang yang cenderung sempit (reductionistis). c. Indikator harus dapat diakses atau diaplikasikan di lapangan oleh banyak pihak d. Peka terhadap perubahan pengelolaan dan iklim. Indikator yang tidak sensitif kurang bermanfaat dalam memonitor perubahan kualitas tanah dan dalam pengajuan rekomendasi dalam rangka meningkatkan kualitas tanah. e. Jika mungkin, indikator merupakan komponen data yang sudah ada yang berasal dari data base.

56 31 Indikator kualitas tanah yang diajukan oleh Doran dan Parkin (1994) terdiri dari : a. Fisik tanah yang meliputi, tekstur tanah, kedalaman tanah, bobot isi tanah dan infiltrasi, kapasitas pegang air, karakteristik air, kadar air, suhu tanah. b. Kimia tanah yang mencakup, total C-organik dan total N, ph, N mineral, P dan K c. Biologi tanah yang meliputi, C-mic, N-mic, N mineralisasi potensial, respirasi tanah, rasio C biomasa terhadap total C-org, rasio respirasi terhadap biomasa. Menurut Halvorson et al. (1997) terdapat variabilitas indikator tanah menurut waktu (temporal) dan tempat (spatial) yang mempengaruhi kualitas tanah. Beberapa sifat tanah yang perubahannya cepat atau bersifat sementara (highly dynamic) adalah bobot volume, total porositas, suhu tanah, kadar air, kapasitas lapangan, ph, unsur yang mudah larut (Ammonium dan Nitrat), biomassa C dan N, dan lain-lain. Sifat-sifat tanah lainnya yang mempunyai sifat relatif statis, antara lain kandungan bahan organik dan tekstur. Selain itu ada beberapa sifat tanah yang sifatnya intermediate, diantara kapasitas tukar kation, stabilitas agregat dan mikro dan meso fauna (Coleman et al, 1992 dalam Halvorson et al.1997). Meskipun banyak sifat-sifat tanah yang potensial untuk dijadikan sebagai indikator kualitas tanah namun pemilihan sifat-sifat tanah yang akan digunakan sangat tergantung pada tujuan dilakukannya evaluasi. Karlen et al (1997) menyatakan bahwa untuk mengimplementasikan penilaian kualitas tanah perlu dilakukan identifikasi terhadap indikator-indikator yang sensitif terhadap karakter pengelolaan lahan. Selanjutnya Islam dan Weil (2000) mengklasifikasikan sifat-sifat tanah yang turut membantu kualitas tanah yang didasarkan atas sifat kepermanenannya dan tingkat kepekaan terhadap pengelolaan. Beberapa sifat tanah dapat berubah dalam waktu harian atau mudah berubah dari hari ke hari sebagai hasil dari praktek pengelolaan secara rutin atau adanya pengaruh iklim. Sifat tanah lainnya adalah sifat-sifat yang permanen yang merupakan sifat bawaan (inherent) tanah atau lokasi (site) dan sedikit terpengaruh oleh pengelolaan.

57 32 Berdasarkan sifat kepermanenannya, Islam dan Weil (2000) mengklasifikasikan sifat-sifat tanah yang memiliki kontribusi terhadap kualitas tanah sebagai berikut : a. Ephemeral (berubah dalam jangka waktu harian atau rutin), seperti kadar air, respirasi tanah, ph, N mineral, K tersedia, P tersedia, dan berat isi tanah. b. Intermediate (dampak dari suatu pengelolaan lebih dari beberapa tahun), seperti agregasi tanah, biomasa mikroba, basal respirasi, specific respiration quotient, C aktif dan kandungan bahan organik c. Permanent (sifat bawaan), seperti kedalaman tanah, lereng, iklim, restictive layers, tekstur, batuan dan mineralogi. Selama ini evaluasi terhadap kualitas tanah lebih dititikberatkan pada sifat fisik dan kimia karena metode pengukurannya sederhana (Larson dan Pierce, 1991). Akhir-akhir ini telah disepakati bahwa sifat biologi dan biokimia dapat diidentifikasikan lebih awal atau cepat dan merupakan indikator sensitif terhadap kerusakan atau perubahan produktivitas tanah (Kennedy dan Papendick, 1995). Bahan organik tanah mempunyai peranan besar dalam menentukan sifat tanah baik fisik, kimia maupun biologi tanah. Bahan organik penting dalam perbaikan sifat-sifat fisik tanah, terutama melalui peningkatan ukuran dan stabilitas agregat. Peningkatan ukuran dan stabilitas agregat berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap sifat-sifat fisik tanah lainnya, antara lain peningkatan kapasitas retensi air dan jumlah air tersedia, peningkatan pori makro dan meso, peningkatan porositas total, peningkatan aerasi dan peningkatan permeabilitas serta infiltrasi. Di dalam tanah, bahan organik akan mengalami dekomposisi dan mineralisasi yang hasilnya dapat berupa senyawa organik yang relatif resisten terhadap dekomposisi lanjutan (senyawa humat) dan sebagian akan dilepaskan sebagai unsur hara yang dapat dimanfaatkan kembali oleh tanaman. Dengan demikian hasil akhir tersebut merupakan senyawa-senyawa yang dapat berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap sifat kimia tanah. Melihat demikian besarnya peranan tersebut maka penurunan kadar bahan organik tanah perlu diwaspadai.

58 33 Menurut Karlen et al. (1999) perubahan bahan organik tanah yang diakibatkan oleh praktek pengelolaan lahan dapat dideteksi melalui pengukuran biomassa mikroorganisme tanah (C-mic). Bahan organik yang diukur perubahannya adalah bagian bahan organik tanah aktif. Indikasi perubahan bahan organik tanah biasanya diukur juga dari kadar total karbon. Indikator ini berguna untuk mengevaluasi perubahan kualitas tanah dalam jangka panjang tetapi kurang peka untuk mendeteksi perubahan jangka pendek (Woomer dan Swift, 1994), sedangkan peubah N total dan N tersedia untuk melihat kemampuan lahan dalam mensuplai N bagi ekosistem dan N yang tercuci atau hilang dari profil tanah (Handayani, 1999). Salah-satu sifat tanah yang juga direkomendasikan sebagai indikator kualitas tanah adalah stabilitas agregat atau distribusi ukuran agregat dan bobot isi. Stabilitas agregat berkaitan dengan resistensi agregat yang berkaitan dengan fungsi tanah lainnya seperti sifat biologi, kimia dan fisik tanah (Karlen et al. 1999). Selain itu bobot isi juga dimasukkan kedalam indikator kualitas tanah karena pengaruhnya terhadap penetrasi akar tanaman dan pori-pori yang terisi oleh air dan udara (Karlen et al. 1997).

59 III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian tentang Perkembangan Tegakan Pada Hutan Alam Produksi Dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) dilaksanakan di areal kerja IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan bulan Mei Pengambilan data primer dilakukan pada areal hutan bekas tebangan TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif) pada umur 0, 1,2, 3, 4 dan 5 tahun, yaitu blok tebangan TPTII pada tahun 2005, 2006, 2007, 2008, Pada hutan bekas tebangan TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia) pengambilan sampel diambil pada hutan bekas tebangan pada umur 27 tahun yaitu pada blok LOA TPTI (Logged Over Area Tebang Pilih Tanam Indonesia) tahun 1983, yang merupakan representasi dari kondisi hutan sebelum dikelola dengan sistem silvikultur TPTII. Pengambilan data primer pada blok KPPN (Kawasan Konservasi Plasma Nutfah) merupakan areal representasi dari virgin forest. Data sekunder untuk vegetasi dan tanaman diperoleh dari petak ukur permanen Metode Penelitian Rancangan Plot Penelitian Plot penelitian dibuat khusus pada areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur. Plot penelitian dibuat pada areal hutan blok TPTII tahun 2005, 2006, 2007, 2008, 2009, LOA TPTI dan virgin forest yang berada pada areal KPPN. Plot penelitian ditempatkan pada tiga petak berbeda yang dipilih secara acak. Pada tiap petak dibuat plot penelitian sebanyak tiga plot dengan masing-masing luasan 1 hektar. Dalam satu plot penelitian terdapat 5 jalur pengambilan data. Secara keseluruhan pada setiap blok tebangan terdapat 3 plot dan 15 jalur pengambilan data, masingmasing untuk Jalur Antara dan Jalur Tanam. Model plot Penelitan mengacu kepada Soerianegara dan Indrawan (2005) yaitu berbentuk petak tunggal berupa bujur sangkar, sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 4.

60

61 37 mengetahui stratifikasi dan bersama diameter batang dapat digunakan untuk mengetahui dan menaksir ukuran volume pohon. Kriteria tingkat permudaan dan pohon serta ukuran sampel plotnya mengacu kepada Soerianegara dan Indrawan (2005). Pohon (Tree) adalah tumbuhan yang memiliki kayu besar, tinggi dan memiliki satu batang atau tangkai utama dengan ukuran diameter lebih dari 20 cm, Semai (Seedling) : Permudaan mulai dari kecambah sampai anakan kurang dari 1,5 m, Pancang (Sapling) : Permudaan dengan tinggi 1,5 m sampai anakan berdiameter kurang dari 10 cm, Tiang (Poles) : Pohon muda berdiameter 10 cm sampai kurang dari 20 cm. Kriteria ukuran plot untuk pohon dan permudaannya diilustrasikan pada Gambar 4. Pengukuran diameter dilakukan pada diameter setinggi dada (Dbh) pada ketinggian 1,30 meter dari permukaan tanah. atau 20 cm di atas banir (Dab) bagi pohon-pohon yang berbanir lebih tinggi dari 1,30 m dari permukaan tanah, dengan menggunakan phiband Pengambilan Data Pertumbuhan Tanaman Tanaman Meranti merah (Shorea leprosula) yang berada pada Jalur Tanam dievaluasi pertumbuhannya. Tanaman yang dievaluasi adalah tanaman yang terdapat pada areal hutan blok TPTII. Evaluasi dilakukan pada tiga petak terpilih secara acak pada setiap blok TPTII. Parameter yang diukur untuk pertumbuhan tanaman adalah tinggi, diameter, persentasi tanaman yang tumbuh dan luas areal efektif. Data pertumbuhan tanaman yang diambil berupa sampling sepanjang 100 meter jalur sebanyak 3 kali ulangan Pengambilan Data Tanah Pengambilan sampel tanah dilakukan dengan mengikuti pengambilan data vegetasi dan tanaman. Pada setiap plot dan jalur yang dilakukan pengambilan data vegetasi dan tanaman maka padanya dilkukan pula pengambilan sampel data tanah. Untuk blok TPTII sampel tanah diambil dari blok tebangan dengan umur 1, 2, 3, 4, dan 5 tahun. Untuk blok TPTI sampel diambil pada blok tebangan dengan umur 27 tahun. Untuk blok virgin forest sampel tanah diambil dari areal Kawasan Perlindungan Plasma Nutfah (KPPN). Sampel tanah diambil pada dua tingkat kedalaman yaitu kedalaman 0 20 cm dan cm. Pengambilan sampel tanah untuk setiap kedalaman dilakukan pada lima tempat berbeda,

62 38 selanjutnya contoh tanah tersebut dicampur menjadi satu sampel tanah. Sehingga dari setiap plot atau jalur penelitian diambil 3 (tiga) buah contoh tanah komposit. Pengambilan sampel tanah Untuk dianalisis sifat fisiknya dilakukan dengan menggunakan ring/tabung tembaga yang mempunyai diameter 8 cm dan tinggi 4 cm. Setiap plot dan jalur pengamatan diambil tiga sampel tanah dari lapisan top soil yaitu pada kedalaman 0-20 cm. Cara pengambilan tanah utuh sebagaimana dilakukan oleh Wasis (2005) adalah sebagai berikut : a. Lapisan tanah diratakan dan dibersihkan dari serasah serta bahan organik lainnya, kemudian tabung diletakkan tegak lurus dengan permukaan tanah b. Tanah di sekitar tabung digali dengan sekop c. Tanah dikerat dengan pisau sampai hampir mendekati bentuk tabung d. Tabung ditekan sampai ¾ bagiannya masuk ke dalam tanah e. Tabung lainnya diletakkan tepat diatas tabung pertama, kemudian ditekan kembali sampai bagian bawah dari tabung ini masuk ke dalam tanah kira-kira 1 cm. f. Tabung kedua dipisahkan dengan hati-hati, kemudian tanah yang berlebihan pada bagian atas dan bawah tabung dibersihkan. g. Tabung ditutup dengan tutup plastik. Pengambilan sampel tanah utuh yang paling baik adalah sewaktu tanah dalam keadaan kandungan air disekitar kapasitas lapang. Kalau tanah terlalu kering dianjurkan untuk menyiramnya dengan air yang cukup sehari sebelum pengambilan sampel. Apabila tanahnya keras maka memasukkan tabung ke dalam tanah dapat dipikul perlahan-lahan dan diatas tabung harus memakai bantalan kayu. Masuknya tabung ke dalam tanah harus tetap tegak lurus dan jangan goncang. Untuk menganalisa sifat kimia tanah dilakukan pengambilan sampel tanah biasa sebanyak 250 gram. Pengambilan ini diperlakukan juga untuk menganalisa sifat biologi tanah. Mengacu pada Lembaga Penelitian Tanah (1979) cara pengambilan sampel tanah biasa (agregat tanah) dari suatu profil tanah adalah sebagai berikut : a. Tanah dibersihkan dan diratakan

63 39 b. Setiap lapisan tanah diambil 250 gram agregat tanah. Contoh tanah yang diambil dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diberi label Analisis Data Vegetasi Hasil pengukuran lapangan dilakukan dianalisis data untuk mengetahui kondisi kawasan yang diukur secara kuantitatif. nilai indeks yang dihitung dari data analisis vegetasi. a. Indeks Nilai Penting (INP) Dibawah ini adalah beberapa Indeks Nilai Penting (INP) ini digunakan untuk menetapkan dominasi suatu jenis terhadap jenis lainnya atau dengan kata lain nilai penting menggambarkan kedudukan ekologis suatu jenis dalam komunitas. Indeks Nilai Penting dihitung berdasarkan penjumlahan nilai Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR) dan Dominansi Relatif (DR), (Mueller-Dombois dan ellenberg, 1974 dalam Soerianegara dan Indrawan, 2005). INP = KR + FR + DR...( 1 ) Kerapatan = Jumlah individu suatu jenis...( 2 ) Luas areal sampel KR = Kerapatan suatu jenis x 100%...( 3 ) Kerapatan seluruh jenis Dominansi = Jumlah LBDS suatu jenis...( 4 ) Luas areal sampel DR = Dominansi suatu jenis x 100%...( 5 ) Dominansi seluruh jenis Frekuensi = Jumlah plot ditemukan suatu jenis... ( 6) Jumlah seluruh plot FR = Frekuensi suatu jenis x 100%...( 7 ) Frekuensi seluruh jenis b. Indeks Keanekaragaman Jenis (H ) Keanekaragaman jenis adalah parameter yang sangat berguna untuk membandingkan dua komunitas, terutama untuk mempelajari pengaruh gangguan biotik, untuk mengetahui tingkatan suksesi atau kestabilan suatu komunitas. Keanekaragaman jenis ditentukan dengan menggunakan rumus Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener :

64

65

66 Distribusi Diameter Tegakan Tinggal Grafik distribusi tegakan tinggal dapat digambarkan menyerupai huruf J terbalik dengan pola persamaan eksponensial seperti diungkapkan oleh Meyer et al (1961), Davis dan Johnson (1987), Apanah dan Weiland (1993), Suhendang (1985) dan Bettinger et al (2009) melalui persamaan : N = N0 e -cdbh...( 13 ) Dimana : N = Kerapatan (Pohon /ha) No = Konstanta e = Nilai eksponensial DBH = Diameter setinggi dada Persamanan tersebut mengandung komponen negatif pada diameter (DBH) yang berarti semakin besar diameter pohon maka semakin sedikit populasinya (N) Pertumbuhan Tanaman Model pertumbuhan diameter tanaman Meranti diperoleh dengan cara membuat hubungan regresi antara diameter dengan umur. Untuk membuat persamaan tersebut dipergunakan data primer pertumbuhan diameter tanaman yang berumur 1, 2, 3, 4 dan 5 tahun. Pola persamaan regresi yang dikembangkan adalah : Log U = a + b Log D...( 14 ) Dimana : U = Umur D = Diameter a, b adalah konstanta Model pertumbuhan tinggi tanaman meranti diperoleh dengan cara membuat hubungan regresi antara tinggi dengan diameter. Untuk membuat persamaan tersebut dipergunakan data primer pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman yang berumur 1, 2, 3, 4 dan 5 tahun. Pola persamaan regresi yang dikembangkan adalah : Log T = a + b Log D...( 15 ) Dimana : T = Tinggi D = Diameter a, b adalah konstanta Volume pohon dihitung dengan menggunakan rumus :

67 43 Volume Pohon = ¼ πd 2 T (0,45) (0,8) (0,7)... ( 16 ) Dimana : π = 3,14 D = Diameter T = Tinggi Areal efektif tanaman adalah areal dalam jalur tanam yang layak dipergunakan untuk tempat penanaman sehingga dapat menggambarkan jumlah tanaman sesungguhnya per hektar. Areal efektif dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut : Aef = (At Att) / 100%...( 17 ) Dimana : Aef = Areal efektif tanaman (% ) At = Areal penanaman Att = Areal tidak layak tanam Potensi Produksi Pada Beberapa Sistem Silvikultur Perbedaan Sistem silvikultur yang diterapkan dalam satu areal hutan akan berdampak pada produktivitas hutan. Prediksi potensi produksi dilakukan terhadap areal yang dikelola dengan penerapan sistem silvikultur TPTII. Areal yang dijadikan data dasar adalah areal blok TPTII tahun 2005, 2006, 2007, 2008 dan Dari data yang tersedia dianalisis potensi produksi pada akhir rotasi tebang dan daur. Dari hasil analisis ini dihitung beberapa pola pengelolaan produksi atas dasar sistem silvikultur. a. Potensi Produksi TPTI Potensi produksi pada areal hutan yang dikelola dengan menggunakan sistem silvikultur TPTI diprediksi setelah umur 25 tahun (akhir rotasi tebang). Penetapan rotasi tebang 25 tahun didasarkan atas lamanya daur tebang yang telah ditetapkan dalam penerapan silvikultur TPTII. Potensi produksi yang diperoleh dibedakan atas dasar kelompok diameter dan pengelompokan jenis kayu. Untuk limit diameter dibedakan pada besaran diameter 40 cm, 50 cm dan 60 cm, sedangkan untuk pengelompokan jenis dibedakan atas jenis komersial dan non komersial. khusus untuk jenis komersial dibedakan lagi menjadi kelompok Dipterocarpaceae dan Non Dipterocarpaceae. Untuk menghitung potensi tegakan perhektar pada masing-masing silvikultur TPTI dan TPTII dilakukan sebagai berikut :

68 44 i. Riap diameter pohon ditentukan dari Petak Ukur Permanen (PUP) tahun pengukuran 2005 dan ii. Tinggi pohon ditentukan berdasarkan analisis regresi antara tinggi dengan diameter setinggi dada (Dbh) dari plot PUP tahun 2005 dengan menggunakan persamaan sebagai berikut Log T = Log a + b Log D... ( 18 ) Dimana : T = Tinggi pohon total (m) D = Diameter setinggi dada (cm) a, b = Konstanta iii. Tinggi bebas cabang ditentukan 45% dari tinggi total (Sarijanto; 2010), komunikasi pribadi di lapangan. Tbc = 0,45 T... ( 19 ) Dimana : Tbc = Tinggi bebas cabang (m) T = Tinggi total (m) iv. Untuk menghitung Volume pohon digunakan rumus sebagai berikut : Vph = [(0,25) π D 2 T] (Fk) (Fex)...( 20 ) Dimana : Vph = Volume Pohon π = 3,14 D = Diameter T = Tinggi Bebas Cabang Fk = Faktor Keamanan Fex = Faktor Ekploitasi v. Penetapan potensi tegakan perhektar, luas areal petak contoh untuk TPTI yaitu 17m X 100m = 1700 m2 = 0,17 ha. Volume tegakan dikelompokan berdasarkan jenis komersial dan non komersial serta dari jenis komersial dibedakan menjadi kelompok Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae. Selanjutnya masing-masing kelompok jenis tersebut dikelompokan berdasarkan kelas diameter yaitu : kelas diameter cm, cm, cm, 60 cm up dan 50 cm up. Untuk menghitung volume tegakan di setiap kelompok jenis dan kelas diameter dihitung berdasarkan volume masing-masing kelompok jenis dan kelas diameter dibagi luasan petak

69 45 contoh. Luasan petak contoh untuk TPTI adalah 0,17 ha sedangkan untuk TPTII luas petak contohnya 0,2 ha. b. Potensi Produksi Tanaman TPTII Apabila areal hutan dikelola dengan menggunakan Sistem silvikultur TPTII pada akhir daur akan diperoleh beberapa nilai potensi produksi yang didasarkan atas limit diameter tebangan dan perbedaan jumlah tanaman pada akhir daur. Jumlah tanaman pada akhir daur dapat berbeda-beda tergantung pada tingkat intensitas penjarangan. Limit diameter untuk tanaman Meranti dibatasi mulai dari 40 cm. Jumlah tanaman dibedakan menjadi tiga katagori yaitu intensitas penjarangan rendah dengan jumlah tanaman pada akhir daur 150 pohon/ha, Intensitas sedang dengan jumlah tanaman pada akhir daur 125 pohon/ha dan intensitas tinggi dengan jumlah tanaman pada akhir daur 100 pohon/ha. c. Potensi Produksi Tanaman TPTII dan Tegakan Sisa Apabila areal hutan dikelola dengan menggunakan Sistem silvikultur TPTII plus pengelolaan tegakan sisa yang terdapat pada Jalur Antara pada akhir daur akan diperoleh beberapa nilai potensi produksi yang didasarkan atas limit diameter tebangan dan perbedaan jumlah tanaman pada akhir daur. Jumlah tanaman pada akhir daur dapat berbeda-beda tergantung pada tingkat intensitas penjarangan. Limit diameter untuk tanaman Meranti yang ditebang dibatasi mulai dari 40 cm. Jumlah tanaman dibedakan menjadi tiga katagori yaitu intensitas penjarangan rendah dengan jumlah tanaman pada akhir daur 150 pohon/ha, intensitas sedang dengan jumlah tanaman pada akhir daur 125 pohon/ha dan intensitas tinggi dengan jumlah tanaman pada akhir daur 100 pohon/ha. Pada akhir daur akan ikut dipanen pula tegakan sisa yang terdapat pada Jalur Antara. Pada tegakan sisa di akhir rotasi tebang akan diperoleh beberapa nilai potensi produksi yang didasarkan atas batas limit diameter dan pengelompokan jenis kayu. Limit diameter dibatasi hanya pohon yang berdiameter minimal 40 cm saja yang akan dipanen. Pengelompokan jenis dibedakan atas jenis komersial dan non komersial. Khusus untuk jenis komersial dibedakan lagi menjadi kelompok Dipterocarpaceae dan Non Dipterocarpaceae.

70 Analisis data Tanah Pengukuran sifat kimia tanah adalah untuk melihat komponen-komponen unsur hara tanah, terutama unsur-unsur hara yang mempengaruhi terhadap pertumbuhan tanaman. Untuk kegiatan analisis tanah ini dilaksanakan di Laboratorium Departemen Tanah, Fakultas Pertanian IPB. Sampel tanah dianalisis secara lengkap mencakup sifat fisika, kimia dan biologinya Pendugaan Nilai Tengah, Keragaman dan Uji Beda Nyata Besarnya nilai rata-rata dan selang penduga dari seluruh komponen sifat fisik, kimia dan biologi tanah pada sampel tanah dan ditentukan secara statistik. Nilai rata-rata ditentukan dengan rumus sebagai berikut : - X = ni i = 1 n X i...( 21 ) Dimana : X = Nilai rata-rata X i = Nilai X ke i n = Banyaknya contoh Nilai keragaman ditentukan dengan rumus : S 2 = n i i = 1 X i ( X i ) 2 / n n ( 22 ) dimana : S 2 = Nilai keragaman ke i Sedang untuk mengetahui perbedaannya dilakukan uji beda nyata dari Tukey (Steel dan Torrie, 1980). Hasil uji beda nyata diklasifikasikan menjadi dua golongan peubah respon yaitu peubah respon tanah yang tidak berubah dan peubah respon tanah yang berubah. Peubah respon tanah yang berubah ditunjukan dengan hasil uji T yang berbeda nyata, sedangakan peubah respon tanah yang tidak berubah ditunjukan dengan hasil uji T yang tidak berbeda nyata.

71 Analisis Biplot Semua peubah respon tanah yang berbeda nyata selanjutnya dianalisis dengan menggunakan Biplot. Biplot adalah teknik statistika deskriptif yang dapat disajikan secara visual guna menyajikan secara simultan n obyek pengamatan dan p peubah dalam ruang bidang datar, sehingga ciri-ciri peubah dan obyek pengamatan serta posisi relatif antar obyek pengamatan dengan peubah dapat dianalisis. (Jollife, 1986, Rawlings 1988). Dengan analisis biplot dapat diperoleh Interpretasi dan informasi dari obyek berupa: a. Kedekatan antar obyek, dua obyek dengan karakteristik sama akan digambarkan sebagai dua faktor yang posisi-nya berdekatan. b. Keragaman peubah, Peubah dengan keragaman kecil digambarkan sebagai vektor yang pendek. Begitu pula sebaliknya. c. Hubungan antar peubah, Jika sudut dua peubah < 90 0 maka korelasi bersifat positif, Jika sudut dua peubah > 90 0 maka korelasi bersifat negative, semakin kecil sudutnya, maka semakin kuat korelasinya. d. Nilai peubah pada suatu obyek, Karakteristik suatu obyek bisa disimpulkan dari posisi relatifnya yang paling dekat dengan suatu peubah Analisis Hubungan Sifat-sifat Tanah dengan Tinggi Tegakan Shorea leprosula Analisis statistik ditujukan untuk mengidentifikasi peubah sifat-sifat tanah yang paling erat hubungannya dengan pertumbuhan tanaman Shorea leprosula pada jalur tanam serta mencari pola hubungan matematik antara peubah sifa-sifat tanah tersebut dengan peubah pertumbuhan tanaman. Model matematik yang digunakan berbentuk persamaan logaritma. mengacu kepada Wasis (2005) persamaan umum yang digunakan untuk penelitian hubungan sifat-sifat tanah dengan rata-rata tinggi tegakan Shorea leprosula adalah regresi linier berganda menurut persamaan sebagai berikut : Log Y = b 0 + b 1 X 1 + b 2 X b n X n + E...( 23 ) Dimana : Log Y = Rata-rata Tinggi X 1 = 1/Umur X 2, X 3, X 4, X n = Sifat-sifat Tanah b 0, b 1, b 2, b n = Konstanta

72 48 E = Sisaan Adapun varibel-variabel bebas yang dipilih dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : X 1 = 1/umur X 2 = ph X 3 = C - Organik X 4 = N X 5 = P X 6 = Ca X 7 = Mg X 8 = K X 9 = Pasir X 10 = Debu Untuk menyaring peubah-peubah bebas yang memberikan sumbangan nyata dalam menerangkan keragaman pertumbuhan hutan tanaman Shorea leprosula digunakan metode Stepwise dengan program Minitab Release 15.

73 IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Keadaan umum lokasi penelitian ini diperoleh dari data Litbang Pawan Selatan di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur-Kalimantan Barat ' BT ' BT ' BT ' BT ' BT L 2 1 H IV/ / IV/ /1999 L IV/ /2000 HPT IV/ / IV/ /1998 Keluing D' K er ab Taja 8 M M S. V/ HPT VI/ V/ E IV/ /1997 BT. TETUDUNG 10 i ba V/ /2000 p D ra S. Ke IV/ / HL V/ Gurung Agung Ng. Penjengkuwang S. Kapua Ng. Ora s Kecil HPT KL HP T S 2 V/ ' LS U B 1 V/ /2000 p BT. SERANG 0 p IV/ /1999 HL V/ SKALA 1 : V/ u V/ ria Ke Duta Tama A N' N 2 HP ing Kun VI/ NG SINTA PANG KETA KAB. 5 KAB. 6 G 3 3 PT. WANASOKAN HASILINDO 7 4 Keluing 2 4 ai las Nge S. S ' LS S. p 2 HL Ngo las G' U' 1 00' LS 3 Saka Dua V/ S. Pinoh Sedawak 4 S. lai Peku 1 10' LS 7 S p S. O ra U 6 C V/ BT. PERAI IV/ / HL IV/ /1996 III/ /1993 HL 4 p 6 VI/ PUP TPTII 7 Pe ra i 3 S. Q VI/ HPT P S. Bi ya III/ / VI/ p III/ /1994 Eks. PT. KAWEDAR MUKTI TIMBER III/14 92/93 III/12 90/ L HPT Beginci p Ta ya Ti ga l T p HP 4 I/5 1983/1984 II/6 1984/1985 HL 2 III/ /1990 VII/ HP 16 LOKASI PENELITIAN II/8 1986/1987 K 17 VII/ V/ II/9 1987/1988 U PUTUSSIBAU P PINTURAJA VII/ II/10 88/89 HP p VII/ II/7 1985/1986 p 1 4 HL III/ /1991 III/ /1993 II/ /1989 VII/ T' 1 20' LS 12 III/ / VII/ S. S. KA LIM KA AN LIM TA N AN BA TA RA N T TE NG AH HP ng S. Gentara 1 20' LS KAL-TIM Z SKALA 1 : II/ / SANGGAU PONTIANAK SINTANG J 2 1 KAL-BAR Nangapinoh Serawai 5 I/4 1982/1983 I/3 1981/ ' LS I/2 1980/1981 Jemuat VII/ HL 7 8 HPT VII/ HP 1 30' LS KETAPANG PUP TPTII KAL-TENG Tumbangtiti Kina S. Batangk awa HL Marau VII/ VII/ VII/ Airhitam VII/ MENY EMBAH BT. PERING MELIT II/3 1981/1982 P p I/1 1979/1980 Q R Eks. PT. KAYU PESAGUAN Z ' LS 1 40' LS ' BT ' BT ' BT ' BT ' BT www. gis.com/sjm/data/kalbar/suka jaya makmur/penataan/0604 Gambar. 5. Peta Areal Kerja PT. Suka Jaya Makmur 4.1. Letak dan Luas Areal Berdasarkan Buku Rencana Karya Tahunan PT. SJM (2010) PT. Suka Jaya Makmur merupakan salah-satu anak perusahaan yang tergabung dalam kelompok Alas Kusuma Group berdasarkan Surat Keputusan Hak Pengusahaan Hutan No. 106/KPTS-II/2000 tanggal 29 Desember Luas areal berdasarkan SK Menhut No. 106/Kpts-II/2000 adalah seluas Ha, dimana luas Hutan Produksi Terbatas seluas Ha dan Hutan Produksi Tetap seluas Ha. Menurut pembagian wilayah administrasi pemerintah, areal PT. Suka Jaya Makmur meliputi Kecamatan Tumbang Titi, Nanga Tayap, Sandai, Matan Hilir Selatan dan Nanga Sokan, Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat.

74 50 Berdasarkan pembagian Administrasi Kehutanan, areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur termasuk ke dalam wilayah Kesatuan Pemangku Hutan Ketapang dan Sintang Selatan, Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat. Berdasarkan pembagian kesatuan wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS), areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur termasuk ke dalam wilayah DAS Pawan, Sub DAS Pesaguan (Sub-sub DAS Pending, Sub-sub DAS Burung), Sub DAS Kerabai, Sub DAS Tayap dan Sub DAS Pinoh. Wilayah ini termasuk dalam wilayah Kesatuan Pemangku Hutan Ketapang Dinas Kehutanan Kalimantan Barat tepatnya dikelompok Hutan Sungai Pesaguan dan Sungai Biya. Secara geografis, areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur merupakan areal kompak yang terletak diantara BT BT dan LS LS LS. Sedangkan batas areal PT. Suka Jaya Makmur : Utara : IUPHHK PT. Duaja II dan PT. Wanasokan Hasillindo Timur : Hutan Lindung dan Hutan Negara Selatan : IUPHHK PT. Wanakayu Batuputih dan Hutan Negara Barat : HPT PT. Triekasari, PT. Kawedar dan Hutan Negara 4.2. Topografi Berdasarkan Buku Rencana Pengusahaan Hutan PT. SJM (2004) topografi areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur umumnya bergelombang, datar dan landai hingga agak curam dengan presentase kemiringan lapangan seperti pada Tabel 1. Areal tersebut memiliki ketinggian minimum 300 m dpl dan maksimum 700m dpl. Tabel 1. Luas Areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur Berdasarkan Kelas Lereng Klasifikasi Kelerengan (%) Luas (Ha) Persentase (%) Datar ,84 Landai ,56 Agak curam ,48 Curam ,67 Sangat curam > ,45 Jumlah Sumber Litbang PT. Suka Jaya Makmur

75 Geologi dan Jenis Tanah Berdasarkan peta geologi provinsi Dati I Kalimantan Barat, diketahui bahwa bantuan yang terdapat pada areal unit hutan produksi PT. Suka Jaya Makmur adalah (1) Efusif (2) Intrusif dan Plutonik asam serta Intrusif dan Plutonik basa. Formasi-formasi tersebut mengandung sedikit kadar magnetik merupakan peleburan dari sisa-sisa letusan gunung api. Sesuai dengan peta tanah Provinsi Dati I Kalimantan Barat, jenis tanah yang terdapat pada areal pengusahaan hutan PT. Suka Jaya Makmur hampir seluruhnya terdiri atas jenis tanah Podsolik Merah Kuning. Sebagian besar jenis tanah di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur adalah Podsolik Merah Kuning (PMK), Latosol, Litosol dengan bantuan induknya adalah batuan sedimen, batuan beku dan batuan metamorf. Untuk lebih jelas kondisi ini dapat dilihat pada Tabel 2. berikut : Tabel 2. Deskripsi satuan peta tanah yang terdapat di wilayah studi dan areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur. SPT Jenis Tanah Bahan Induk Fisiografi Bentuk Wilayah Uraian 1 Padsolik Merah Kuning 2 Podsolik Merah 3 Podsolik Merah Kuning Batuan endapan Batuan endapan Batuan beku dan metamorf Batuan beku dan endapan Sumber Litbang PT. Suka Jaya Makmur Dataran hingga perbukitan Perbukitan berpasir, Solum dalam Dataran, perbukitan Bergelombang Datar dan bergelombang Bertekstur liat solum dalam, drainase baik, masam, KTK rendah, KB rendah Bertekstur liat, drainase baik, KTK rendah, KB rendah Bertekstur liat, solum dalam, Drainase Sedang hingga cepat, KTK sangat rendah, KB rendah

76 Hidrologi Areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur pada dasarnya masuk dalam Kesatuan DAS Pawan, Sub DAS Pesaguan (Sub-sub DAS Pending, Sub-sub DAS Burung), Sub DAS Kerabai, Sub DAS Tayap dan Sub DAS Pinoh. Sungai utama adalah Sungai Pawan dengan lebar antara m dengan kedalaman antara 5-15 m dimana kedua sungai tersebut bermuara ke Laut Cina Selatan. (Sumber Data Litbang PT. Suka Jaya Makmur) Iklim Menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, kondisi iklim di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur termasuk tipe iklim A, dengan nilai Q = 0,4. Curah hujan rata-rata tahunan berkisar antara mm/tahun. Hasil pengamatan cuaca di Stasiun Pengamatan Cuaca Camp Arboretum dan Camp 128 adalah sebagai berikut : Tabel 3. Hasil pengamatan cuaca di stasiun pengamat cuaca arboretum dan camp 128 pada bulan Desember No. Parameter Stasiun Pengamat Cuaca Camp Arboretum Camp Jumlah hari hujan 18 hari 28 hari 2 Curah hujan : Curah Hujan Total 3720 ml 7250 ml Curah Hujan Rata-rata ml ml Curah Hujan Maksimum 510 ml 600 ml 3 Suhu rata-rata Pagi C C Siang C C Sore C C 4 Kelembaban rata-rata Pagi 90.39% 84.83% Siang 78.26% 75.70% Sore 85.74% 79.30% Sumber : pengukuran stasiun pengamat cuaca camp arboretum dan camp 128 Desember 2004

77 53 Bulan-bulan basah (> 100mm/bulan) yang merupakan musim penghujan teradi hampir sepanjang tahun sedangkan bulan kering tidak sampai dibawah 60 mm/bulan. Suhu udara rata-rata tahunan berkisar antara 26 0 Celcius-28 0 Celcius, kelembaban udara rata-rata 85% - 95% Kondisi Vegetasi Hutan Areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur Kalimantan Barat sebagian besar merupakan Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang memiliki tipe Hutan Hujan Tropika Basah (Low land tropical rain forest) didominasi oleh famili Dipterocarpaceae dengan komposisi jenis secara keseluruhan adalah sebagai berikut : (sumber : Data Litbang PT. Suka Jaya Makmur) a. 60% Dipterocarpaceae yang terdiri dari 44,58 % jenis Meranti (Shorea, spp.), 2,45% Keruing (Dipterocarpaceae spp), 1,40 % kapur (Dryobalanops spp.), dan 11,57% Bangkirai/Bengkirai (Shorea leavifolia). b. 30,14 % non Dipterocarpaceae yang terdiri dari Nyatoh (Palaqium spp), Jelutung (Dyera costulata) dan Medang (Litsea Firma Hook.f.). c. 6% jenis pisang-pisangan (Mizzetia spp), Perupuk (Lophopetalum Malaccencis) dan Benuang (Octomeles sumatrana). Di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur Kalimantan Barat terdapat kelompok flora dan fauna yang dilindungi. Untuk kelompok flora antara lain adalah Tengkawang (Shorea stenoptera), Ulin (Eusideroxylon zwageri), dan Jelutung (Dyera costulata) serta jenis buah-buahan. Sedangkan kelompok fauna yang dilindungi antara lain adalah Beruang Madu (Helarctus malayanus), Owa (Hillobates spp), Rusa (Cervus spp) dan Burung Rangkong (Bucherostidae spp). Tipe hutan di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur Kalimantan Barat termasuk dalam tipe hutan hujan tropika (Low land tropical rain forest). Dari tipe hutan tersebut sebaran jenisnya untuk jenis komersial didominasi oleh kelompok kayu meranti (Dipterocarpaceae) yang terdiri dari : Meranti (Shorea spp), Kapur (Dryobalanops spp), Mersawa (Anisoptera spp), Melapi (Shorea spp), Bengkirai (shorea leavifolia), dan Keruing (Dipterocarpus spp). Kelompok Non Dipterocarpaceae yang terdiri dari : Nyatoh (Palaqium spp), Durian Burung (Durio spp), Geronggang (Cratoxilon celebious), Jelutung (Dyera spp), Resak

78 54 (Vatica spp,. Kelompok kayu Rimba Campuran yang terdiri dari : Benuang (Octomeles malaccensis), Bintangur (Callopylum spp), Medang (Litsea firma Hook.f.), Kempas (Koompassia malaccensis), Ubar (Dillenia pulchella), Kulim (Scorodocarpus spp), Kumpang, Sawang, Pulai (Alstonia spp.), dan kelompok kayu indah yang terdiri dari : Ulin (Eusideroxylon zwageri), Rengas (Gluta renghas), dan Sindur (Sindora spp). (PT. SJM 2004) 4.7. Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat Penduduk desa yang berbeda disekitar IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur hampir seluruhnya merupakan Etnis Dayak yang berdomisili di wilayah IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur adalah Dayak Kapus Laman Tawa, Dayak Laman Tuha dan Dayak Keluas. Mayoritas agama yang dipeluk oleh penduduk desa adalah Agama Khatolik. Kedua terbesar adalah agama Kristen Protestan dan sisanya pemeluk agama Islam dan agama lainnya. (Sumber Data Litbang PT. Suka Jaya Makmur). Pada umumnya mata pencaharian penduduk desa disekitar IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur mayoritas adalah petani tradisional yang lebih dikenal sebagai peladang berpindah. Selain berladang, sebagian penduduk desa juga mempunyai aktifitas di kebun karet, sawah dan mengumpulkan biji Tengkawang pada musim buah. (PT. SJM 2004) Aksesibilitas Areal unit hutan produksi PT. Suka Jaya Makmur memiliki tingkat aksesibilitas yang tinggi. Untuk menuju areal tersebut dapat melalui dua macam rute, yaitu : (Sumber Data Litbang PT. Suka Jaya Makmur) a. Jalan darat yang melalui ruas jalan Ketapang Sinduk (60 km). Sinduk Desa Sei Kelly (61 km), dan desa Sei Kelly-Base Camp (38 km). Sebagian besar keadaan jalan darat tersebut dapat dilalui kendaraan pada musim kemarau. b. Jalan air melalui Sungai Pawan antara Ketapang Log Pond di Desa Sei Kelly (+ 3 jam) dengan speed boat dan jalan darat antara Log Pond Base Camp (38 km).

79 55 Untuk mencapai ke setiap bagian hutan dapat melalui jalan darat berupa jalan pengerasan yang keadaannya sangat baik. Di dalam areal hutan banyak terdapat jalan-jalan pengerasan dan jalan tanah, dalam rencananya akan dikembangkan menjadi jalan cabang maupun jalan batas petak. Untuk menuju Ketapang lewat udara dapat melalui Lapangan Udara Rahardi Oesman. Lapangan udara tersebut dapat didarati pesawat jenis Twin Otter dari Pontianak, Jakarta dan Semarang. Hubungan udara antara Ketapang dengan Pontianak dilaksanakan oleh perusahaan penerbangan Deraya dan Dirgantara Air Sevice (DAS) dengan frekuensi penerbangan dua kali sehari dalam seminggu. Sedangkan dari Jakarta dan Semarang, hubungan udara tersebut hanya dilayani oleh Merpati Nusantara Airways (MNA) dengan frekuensi tiga kali seminggu.

80 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pertumbuhan Tanaman Meranti Merah (Shorea leprosula) pada Jalur Tanam. Sistem silvikultur TPTII mempunyai dua lokasi pengelolaan, yaitu Jalur Tanam dengan sistem tebang habis permudaan buatan dan Jalur Antara dengan sistem tebang pilih. Jalur Tanam dibuat dengan lebar 3 m dan jarak tanam dalam jalur ditetapkan 2,5 m. Penanaman dalam jalur ini bertujuan agar tanaman S. leprosula mendapatkan sinar matahari yang cukup untuk pertumbuhannya disamping mempermudah aspek pengawasan dan pemantauan. Hutan alam yang lebat dan rapat menyebabkan sinar matahari sangat sedikit tersedia bagi pertumbuhan anakan. Karenanya diperlukan pembukaan tajuk pohon agar sinar matahari dapat mencapai lantai hutan dan memacu pertumbuhan anakan. Penelitian mengungkapkan bahwa pertumbuhan tanaman Meranti memerlukan sinar matahari secara bertahap dan akan terganggu pertumbuhannya apabila kekurangan sinar (Soekotjo 2009). Pertumbuhan tanaman adalah suatu proses yang dilalui oleh tanaman untuk meningkatkan ukurannya (tinggi dan diameter) dengan menggunakan faktorfaktor lingkungan yang dibutuhkan. Mengetahui pertumbuhan diameter dan tinggi tanaman merupakan salah satu faktor penting menentukan keberhasilan pengaturan kelestarian hasil. Untuk memperoleh pertumbuhan yang baik diperlukan pemilihan jenis yang tepat, modifikasi tempat tumbuh dan pemeliharaan yang intensif sehingga pertumbuhan tanaman dapat ditingkatkan untuk diterapkan pada kegiatan penanaman dalam rangka silvikultur intensif. Pertumbuhan suatu tanaman merupakan hasil interaksi antara faktor-faktor genetik dan lingkungannya. Keduanya mengendalikan mekanisme tumbuh yang dinyatakan dalam kegiatan fisiologis. Berapa jauh tanggap fisiologis ini terhadap faktor-faktor lain sangat ditentukan oleh derajat toleransi tanaman bersifat genetik (Kramer dan Kozlowski, 1960). Tanaman akan menunjukkan pertumbuhan yang baik apabila tanaman tersebut mampu beradaptasi yang sempurna di tempat tumbuhnya.

81 Sejarah Pengelolaan Tanaman IUPHHK PT. Sukajaya Makmur merupakan salah satu dari enam perusahaan yang pertama kali menjadi tempat percontohan penerapan sistem silvikultur TPTII pada tahun Dalam perkembangannya perusahaan ini membuat satu unit manajemen tersendiri yang secara khusus menangani penerapan sistem silvikultur TPTII. Pada tingkat operasional kegiatan TPTII dipusatkan di Base Camp TPTII KM 64, terpisah dari Base Camp TPTI. Gambaran intensifikasi budidaya tanaman kehutanan terlihat di tempat tersebut. Tahapan operasional TPTII di PT Sukajaya Makmur meliputi pengadaan bibit, penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan tanaman dan perlindungan tanaman. Tahapan pengadaan bibit dan pemeliharaan merupakan tahapan operasional paling penting dalam menentukan keberhasilan tanaman. Kegiatan pengadaan bibit dilakukan di Persemaian khusus untuk Tanaman TPTII terletak di KM 62, menyatu dengan Base Camp dengan luas 0,8 ha. Sampai saat ini persemaian tersebut telah memproduksi bibit sebanyak (satu juta seratus dua puluh enam ribu lima puluh) batang, yang terdiri dari berbagai jenis bibit Meranti (Shorea sp). Ada tiga jenis bentuk pengadaan bibit dilaksanakan oleh PT. SJM. Pertama dari benih yang disemai, benih tersebut diperoleh dari tegakan alam yang ada di areal hutan. Kedua diperoleh dari stek pucuk, berasal dari kebun pangkas yang berada di lahan persemaian. Ketiga diperoleh dari cabutan, berasal dari anakan yang tersebar di bawah tegakan areal hutan. Kegiatan pengadaan bibit di PT. SJM belum sepenuhnya memenuhi kaidah-kaidah pengadaan bibit sebagaimana digariskan pada sistem silvikultur TPTII. Pengadaan bibit masih terpaku pada alam, belum sepenuhnya mengandalkan bibit unggul yang sudah diketahui fenotif dan genotifnya. Penggunaan bibit unggul dalam sistem silvikultur TPTII merupakan prinsip mutlak yang harus diterapkan. Tahapan penting lainnya dalam kegiatan TPTII adalah pemeliharaan. Kegiatan pemeliharaan mempunyai peranan yang cukup penting dalam keberhasilan tanaman. Pemeliharaan tanaman yang dilakukan oleh PT. SJM hanya mencapai 999,31 ha dari rencana seluas 4074 atau hanya mencapai 24,53%. Kondisi ini pasti berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Pertumbuhan tanaman pada

82 59 tahap awal memerlukan pemeliharaan yang intensif. Tanaman harus terbebas dari gulma agar mencapai pertumbuhan yang optimal. Kondisi Jalur Tanam yang dipenuhi oleh gulma sangat mengganggu pertumbuhan tanaman. Pertumbuhan gulma pada Jalur Tanam lebih cepat sehingga menutup tanaman. Tanaman yang tetutup oleh gulma petumbuhannya kerdil bahkan ada yang sampai mati. Beberapa tanaman juga mengalami etiolasi karena tertutup oleh gulma. Sistem silvikultur TPTII telah mensyaratkan manipulasi lingkungan agar tanaman dapat tumbuh dengan baik. Manipulasi lingkungan tersebut diantaranya adalah pembukaan tajuk. Pembukaan tajuk memungkinkan tanaman Meranti mendapatkan ruang dan cahaya yang lebih besar. Peran pembukaan tajuk tersebut akan hilang apabila tidak ada pemeliharaan. Jalur Tanam akan didominasi oleh gulma apabila tidak dilaksanakan pemeliharaan yang intensif. Kegiatan pengadaan bibit dan pemeliharaan tanaman di PT. SJM mempunyai keterkaitan dengan pertumbuhan tanaman. Pertumbuhan tanaman di PT.SJM pada penelitian ini relatif rendah bila dibandingkan dengan beberapa penelitian lainnya. Kondisi pertumbuhan tanaman diuraikan dalam hasil penelitian ini. Dua kondisi kegiatan ini membuat penerapan sistem silvikultur TPTII di PT. SJM belum memenuhi syarat kecukupan Pertumbuhan Diameter Salah satu fungsi ekosistem adalah produktivitas. Produktivitas tanaman dapat diukur melalui beberapa parameter, salah satunya adalah pertumbuhan diameter, disamping karena mudah pelaksanaannya, juga memiliki keakuratan yang cukup tinggi. Oleh karena itu pertumbuhan diameter dapat digunakan untuk menjelaskan produktivitas tanaman (Pamoengkas 2006). Rata-rata diameter tanaman S. leprosula, yang ditanam pada Jalur Tanam TPTII pada umur 1, 2, 3, 4 dan 5 tahun dapat dilihat pada Tabel 4. Tanaman S. leprosula pada Jalur Tanam dalam sistem silvikultur TPTII mengalami pertumbuhan normal. Pertambahan nilai rata-rata diameter pada semua umur menunjukan bahwa tanaman tersebut tumbuh normal. Secara berurutan tanaman S. leprosula pada umur 1, 2, 3, 4 dan 5 tahun mempunyai nilai rata-rata diameter sebesar 0,36 cm, 0,99 cm, 1,81 cm, 2,78 cm dan 3,86 cm. Pada setiap umur

83 60 terjadi peningkatan nilai rata-rata diameter. Dengan demikian tanaman tersebut terkatagori tumbuh normal. Tabel 4. Pertumbuhan diameter tanaman S. leprosula pada jalur tanam dalam sistem silvikultur TPTII. Umur (Th) Diameter (cm) MAI (cm/th) 1 0,36 0,36 2 0,99 0,50 3 1,81 0,60 4 2,78 0,69 5 3,86 0,77 Sebagai pembanding dari hasil penelitian ini perlu dikemukakan hasil penelitian beberapa IUPHHK yang menerapkan silvikultur TPTII. Pada umur 5 tahun tanaman S. leprosula yang berada di Jalur Tanam di PT. SJM mempunyai rata-rata diameter sebesar 7,95 cm (Sardiyanto 2010), nilai tersebut jauh lebih besar bila dibandingkan dengan hasil penelitian ini yang hanya mencapai 3,86 cm. Hal ini dimungkinkan karena Plot yang diukur merupakan petak ukur permanen yang dipelihara dengan baik sehingga tanaman yang diukur mempunyai pertumbuhann yang lebih baik dibandingkan dengan tanaman operasional. Tanaman operasional mempunyai intensitas pemeliharaan hanya mencapai 24,53%, sedangkan tanaman PUP pemeliharaannya mencapai 100%. IUPHHK PT. Balik Papan Forest Industri mempunyai tanaman operasional S. leprosula dengan rata-rata diameter 5,57 cm (PT. BFI 2010), PT. SBK tanaman operasionalnya mempunyai rata-rata diameter 11 cm (Purnomo et al 2010), PT. Erna Djuliawati mempunyai rata-rata diameter 4,6 cm (PT. Erna Djuliawati 2010). Semua IUPHHK tersebut di atas mempunyai rata-rata diameter yang lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian ini, kecuali IUPHHK PT. Sarpatim (2010) yang mempunyai tanaman operasional dengan rata-rata diameter 3,7 cm, lebih kecil dibandingkan dengan penelitian ini. Perbedaan tempat tumbuh dan sumber benih yang sangat variatif merupakan penyebab dari perbedaan pertumbuhan diameter tersebut. Riap adalah salah satu informasi yang paling esensial dan mendasar dalam penyusunan ketentuan-ketentuan pada perencanaan pengelolaan hutan. Riap diartikan sebagai pertambahan dimensi tanaman atau tegakan hutan selama selang

84 61 waktu tertentu (Vanclay 1994). Pertumbuhan riap MAI diameter tanaman S. leprosula umur 1, 2, 3, 4 dan 5 tahun tertera pada Tabel 4. Riap diameter tanaman S. leprosula yang ditanam pada sistem silvikultur TPTII sangat bervariasi, meskipun demikian riap tersebut cenderung meningkat. Pada Umur 1, 2, 3, 4 dan 5 tahun, masing-masing mempunyai riap diameter sebesar 0,36 cm/tahun, 0,50 cm/tahun, 0,60 cm/tahun, 0,69 dan 0,77 cm/tahun. Riap diameter pada penelitian ini jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan hasil penelitian pada beberapa IUPHHK yang menerapkan silvikultur intesif, seperti di PT. SBK riap diameternya mencapai 2,53 cm/tahun (Purnomo et al 2010), PT. Erna Djuliawati (2010) mencatatkan hasil pengukuran riap diameternya 2,80 cm/tahun, Litbang PT. SJM tempat penelitian ini dilakukan mencatatkan riap diameter sebesar 1,94 cm/th (Sardiyanto 2010), nilai tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan hasil penelitian ini yang hanya mencapai 0,77 cm/tahun. PT. BFI (2010) mencatatkan riap diameter tanaman sebasar 1,39 cm/tahunh lebih besar bila dibandingkan dengan hasil penelitian ini. Perbedaan riap pertumbuhan hasil penelitian ini dengan yang lainnya disebabkan oleh perbedaan tempat tumbuh dan variasi dari sumber benih. Adapun penelitian yang dilakukan oleh Litbang PT. SJM mempunyai plot yang berbeda dengan penelitian ini, yaitu plot yang ada di dalam PUP. Faktor intensitas pemeliharaan yang terjadi antara plot PUP dengan tanaman operasional menyebabkan pertumbuhan riap tanaman yang berbeda. Tanaman operasional intensitas pemeliharaannya hanya mencapai 24,52% sedangkan PUP mencapai 100%. Menurut Tourney dan Korstia (1974) dalam Simarangkir (2000) mengemukakan pertumbuhan diameter tanaman berhubungan erat dengan laju fotosintesis akan sebanding dengan jumlah intensitas cahaya matahari yang diterima dan respirasi. Akan tetapi pada titik jenuh cahaya, tanaman tidak mampu menambah hasil fotosintesis walaupun jumlah cahaya bertambah. Selain itu produk fotosintesis sebanding dengan total luas daun aktif yang dapat melakukan fotosintesis. Pernyataan Baker et al, (1992) bahwa terhambatnya pertumbuhan diameter tanaman karena produk fotosintesisnya serta spektrum cahaya matahari yang kurang merangsang aktivitas hormon dalam proses pembentukan sel.

85 Diameter (cm) 4,50 4,00 3,50 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,

86 63 Persamaan tersebut mempunyai nilai koefesien determinasi (R 2 ) sebesar 96,2 % (Lampiran 9). Pada Tabel 5. tertera nilai rata-rata tinggi tanaman S. leprosula pada berbagai umur. Secara berurutan tanaman S. leprosula pada umur 1, 2, 3, 4, dan 5 tahun mempunyai nilai rata-rata tinggi sebesar 0,90 m, 1,87 m, 2,86 m, 3,87 m dan 4,89 m. Pada setiap pertambahan umur terjadi peningkatan nilai rata-rata tinggi tanaman, maka tanaman tersebut terkatagori tumbuh normal. Nilai rata-rata tinggi dari tanaman S. leprosula pada penelitian ini cenderung moderat, berada pada kisaran nilai rata-rata tinggi hasil penelitian beberapa IUPHHK. PT. BFI (2010) mencatatkan nilai rata-rata tinggi tanaman 5,71 m, Litbang PT. SJM mencatatkan nilai rata-rata tingginya 5,6 m (Sardiyanto 2010), PT. Erna Djuliawati (2010) mencatatkan nilai rata-rata tingginya 4,41 m, dan PT. Sarpatim (2010) mencatatkan nilai rata-rata tingginya 6,8 m, semua nilai pembanding tersebut secara umum berkisar hampir sama dengan hasil penelitian ini. Pada penelitian ini nilai rata-rata pertumbuhan tinggi tanaman S. leprosula pada umur 1,5 tahun mencapai 1,4 m. Pertumbuhan tinggi tersebut lebih cepat bila dibandingkan dengan pertumbuhan tanaman S. leprosula yang ditunjukkan oleh Sagala (1994). Sagala (1994) menjelaskan bahwa S. leprosula mempunyai pertumbuhan yang cepat dan lebih mampu tumbuh di tempat terbuka, S. leprosula dengan umur 1.5 tahun mempunyai tinggi 1.2 m sedangkan Shorea parvifolia pada umur yang sama tingginya 1 m di daerah yang ternaungi. Suhardi (1996) mengemukakan S. leprosula yang tumbuh di daerah terbuka menunjukkan pertumbuhan tinggi yang lebih baik yaitu 2.04 m daripada pada daerah ternaung 1.98 m. Pertumbuhan tinggi yang ideal harus diimbangi dengan pertumbuhan diameter. Pertumbuhan tinggi yang lebih cepat yang tidak sebanding dengan pertumbuhan diameter akan menyebabkan tanaman mempunyai penampakan lebih kurus. Kondisi ini dapat dilihat pada tegakan yang mempunyai kerapatan yang tinggi, atau jarak tanam yang rapat. Pembebasan tanaman dari gulma dan tanaman non target serta jarak tanam yang optimal akan memmacu pertumbuhan tanaman yang ideal.

87 Umur (tahun) Tinggi total (m) MAI (m/tahun) 1 0,90 0,90 2 1,87 0,93 3 2,86 0,95 4 3,87 0,97 5 4,89 0,98 Tinggi (m) 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,

88 ). PT. Erna Djuliawati (2010) dan PT. BFI (2010) mencatakan riap diameter tanaman masing-masing sebesar 1,22 m/tahun dan 1,43 m/tahun, nilai tersebut masih dalam kisaran nilai hasil penelitian ini. Pertumbuhan Shorea spp dilaporkan oleh Otasamo dan Adjers (1996) di Kalimantan Selatan menunjukan pertumbuhan yang lambat, disebabkan oleh kondisi iklim mikro yang tidak baik pada tapak penanaman, yaitu paparan langsung pada sinar matahari dan suhu udara yang tinggi pada permukaan tanah. Besarnya intensitas cahaya yang diterima oleh tanaman berkaitan erat dengan intensitas keterbukaan tajuk. Pemberian naungan pada tanaman baik secara alami maupun buatan, akan berarti mengurangi intensitas cahaya yang diterima oleh tanaman tersebut, hal ini akan mempengruhi pertumbuhan maupun hasil tanaman. Daubenmire (1962). Peranan naungan disamping mengurangi kecepatan angin dan laju transpirasi, juga mengurangi laju evaporasi air permukaan tanah karena daya evaporasi udara yang menurun. Tetapi pada sisi yang berbeda, adanya naungan dapat menimbulkan kompetisi dalam pengambilan air dan nutrisi (Daubenmire, 1967). Tanaman S. leprosula sampai umur 5 tahun mempunyai trend pertumbuhan tinggi yang meningkat. Gambar 7 menyajikan grafik pertumbuhan tinggi tanaman S. leprosula pada jalur tanam dalam silvikulur TPTII. kurva pertumbuhan tinggi tersebut merupakan bentuk awal kurva pertumbuhan tanaman pada umumnya, atau biasa disebut dengan kurva pertumbuhan tanaman pada tahap 1 dari 3 tahapan pertumbuhan (Gambar 3). Kurva ini masih berbentuk logaritmix. Pada kurva pertumbuhan tanaman tahap 1 terdapat hubungan yang positif antara umur dengan tinggi. Tinggi akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya umur tanaman Model Pertumbuhan Tanaman Meranti merah (S. leprosula) Pertumbuhan tanaman S. leprosula pada Jalur Tanam diprediksi dengan membuat regresi antara umur dengan diameter. Model Pertumbuhan tanaman S. leprosula pada Jalur Tanam dalam silvikultur TPTII mengikuti persamaan sebagai berikut :

89 60 Pertumbuhan Diameter Shorea leprosulla 50 Diameter (cm) Diameter (cm) Umur (tahun)

90 67 merupakan daur tebangan dari tanaman Meranti. Daur tersebut lebih cepat dari yang diperkirakan oleh Wahyudi (2011), dimana batas diameter tersebut dicapai dalam waktu 37 tahun. Tabel 6. Prediksi Pertumbuhan tanaman S. leprosula per pohon pada Jalur Tanam dalam silvikultur TPTII Umur (th) Ratarata (cm) Diameter Tinggi Volume Ket MAI (cm/th) Ratarata (m) MAI (m/th) Ratarata (m3) MAI (m3/th) 5 3,86 0,77 4,89 0,98 0,0014 0, ,77 1,08 10,13 1,01 0,0233 0, ,64 1,31 15,50 1,03 0,1183 0, ,06 1,50 20,98 1,05 0,3750 0, ,31 1,54 22,08 1,05 0,4561 0, ,62 1,57 23,19 1,05 0,5497 0, ,97 1,61 24,29 1,06 0,6569 0, ,38 1,64 25,41 1,06 0,7792 0, ,83 1,67 26,52 1,06 0,9179 0, ,33 1,70 27,63 1,06 1,0743 0, ,88 1,74 28,75 1,06 1,2499 0, ,47 1,77 29,87 1,07 1,4462 0, ,11 1,80 30,99 1,07 1,6648 0, ,79 1,83 32,12 1,07 1,9073 0,2425 Pada petunjuk pelaksanaan TPTII (Ditjen BPK 2005 dan Soekotjo 2009) telah ditetapkan bahwa daur tanaman adalah 30 tahun dengan batas diameter tebangan 40 cm. Mengacu pada model pertumbuhan tanaman maka batas diameter tersebut dapat diperoleh pada umur 25 tahun, dengan nilai diameter mencapai 41,83 cm (Tabel 6; Stabillo kuning). Dengan demikian pertumbuhan tanaman meranti pada Jalur Tanam dalam silvikultur TPTII lebih cepat dari yang diperkirakan oleh Ditjen BPK dan Soekotjo (2009). Perusahaan juga telah memprediksi nilai diameter pada umur 25 tahun akan mencapai 50 cm (PT. SJM 2010), nilai ini lebih kecil dibanding dengan nilai dimeter hasil prediksi model pada tahun yang sama. Pada umur 25 tahun diameter tanaman diprediksi baru akan mencapai 41,83 cm (Tabel 6). Apabila perusahaan menetapkan batas diameter tebangan sebesar 50 cm pada umur 25 tahun, maka daur tersebut tidak akan tercapai. Daur tersebut akan tercapai lebih lama 4 tahun.

91 68 Konsekwensi manajemen dari kondisi tersebut adalah perlunya penerapan kaidah-kaidah sistem silvikultur TPTII yang lebih nyata di lapangan. Penggunaan bibit unggul dan pemeliharaan tanaman yang lebih intensif akan meningkatkan riap pertumbuhan tanaman. Realitas di lapangan bibit yang digunakan untuk penanaman masih bersalal dari alam yang belum terseleksi keunggulannya. Intensitas pemeliharaan tanaman dalam kurun waktu 5 tahun hanya mencapai 24,52% dari total luasan yang ada. Kedua faktor tersebut perlu diperhatikan dan ditingkatkan realisasinya di lapangan, sehingga target riap yang telah digariskan oleh manajemen PT. SJM dapat tercapai dengan tepat Prakiraan Potensi Tegakan Dalam penentuan model pertumbuhan volume digunakan asumsi-asumsi sebagai berikut : a. Menggunakan silvikultur TPTII, yaitu penanaman dalam jalur tanam selebar 3 m dengan jarak tanam 2,5 m x 20 m sehingga dalam satu hektar terdapat 200 tanaman (Ditjen BPK 2005) b. Penelitian ini mencatatkan areal efektif untuk penanaman dalam jalur tanam sebesar 79,8 % c. Faktor eksploitasi 0,8 dan faktor pengaman sebesar 0,7 (Soekotjo 2009) d. Pada akhir daur setelah dilakukan penjarangan jumlah tanaman menurun secara bertahap mulai dari 150, 125 da100 pohon per hektar. Pencapaian diameter tanaman S. leprosula sebesar 50 cm ke atas menjadi acuan untuk menentukan daur tanaman. Batasan diameter 50 cm ini menjadi penting karena banyak industri pengolahan kayu yang memerlukan kayu bulat berdiameter minimal 50 cm. Harga kayu bulat kelompok Meranti akan lebih tinggi bila telah mencapai diameter 50 cm ke atas. Pada umur 29 tahun diprediksi akan diperoleh tanaman S. leprosula yang telah mencapai diameter 50 cm ke atas (Tabel 7; Stabillo kuning). Pada saat itu akan diperoleh kayu bulat dari tanaman S. leprosula sebesar 166,48 m3/ha. Apabila luasan efektif tanaman sebesar 79,08% maka volume pada akhir daur akan mencapai 131,65 m3/ha. Hasil prediksi pertumbuhan ini lebih moderat dibandingkan dengan prediksi pertumbuhan Meranti yang diperkirakan oleh beberapa kalangan.

92 69 Tabel 7. Prediksi Potensi produksi tanaman S. leprosula pada Jalur Tanam dalam silvikultur TPTII. Umur (tahun) Diameter (cm) Tinggi (m) Volume (m3/ph) Jumlah (pohon/ha) Potensi (m3/ha) 5 3,86 4,89 0, , ,77 10,13 0, , ,64 15,50 0, , ,06 20,98 0, , ,31 22,08 0, , ,62 23,19 0, , ,97 24,29 0, , ,38 25,41 0, , ,83 26,52 0, , ,33 27,63 1, , ,88 28,75 1, , ,47 29,87 1, , ,11 30,99 1, , ,79 32,12 1, ,73 Ditjen BPK (2010) memprediksi potensi tanaman (standing stock) pada akhir daur (siklus tebang 30 tahun) sistem TPTII sebesar 320m3/ha. Dengan asumsi FE dan FP sebesar 0,7; luasan efektif tanaman 79,8 % dan sisa tanaman pada akhir daur sebesar 71,32 %, maka akan diperoleh kayu bulat sebesar 126,91 m3/ha. Menurut Na iem (2006) potensi tanaman (standing stock) pada akhir daur (siklus tebang 30 tahun) sistem TPTII sebesar m3/ha atau rata-rata 350 m3/ha (Ditjen BPK 2010), dengan asumsi yang sama akan diperoleh kayu bulat sebesar 138,56 m3/ha. Wahyudi (2011) memprediksi potensi tanaman pada akhir daur akan mencapai 109,08 m3/ha. Nilai tersebut lebih kecil apabila dibandingkan dengan hasil penelitian ini. Hasil penelitian Wahyudi (2011) mempunyai beberapa nilai asumsi yang berbeda dengan penelitian ini. Soekotjo (2009) memprediksi potensi tanaman (standing stock) pada akhir daur (siklus tebang 30 tahun) dalam silvikultur TPTII sebesar 400 m3/ha. Asumsi ini hanya didasarkan pada persentase tumbuh tertinggi pada akhir daur sebesar 80%. Apabila menggunakan asumsi yang sama dalam perhitungan ini, diprediksi akan diperoleh kayu bulat sebesar 158,64 m3/ha. Prediksi Soekotjo (2009)

93 70 nampak paling besar karena menggunakan asumsi penerapan teknik silvikultur intensif (silin), yaitu mengunakan bibit unggul, perlakuan silvikultur yang tepat dengan senantiasa menjaga pembukaan tajuk dalam Jalur Tanam (pembebasan vertikal) serta dilakukannya pemberantasan hama terpadu. Hasil penelitian ini menunjukkan jumlah kayu bulat yang diperoleh pada akhir daur pada sistem silvikultur TPTII sebesar 131,65 m3/ha. Nilai tersebut cukup moderat, berada diantara prediksinya Naíem (2006) dan Ditjen BPK (2010). Petunjuk teknis pelaksanaan TPTII telah menetapkan panjang daur selama 30 tahun. Volume kayu pada umur 30 tahun diperkirakan akan mencapai 190,73 m 3 /ha. Nilai volume tersebut jauh lebih kecil dari nilai volume yang diprediksi oleh peruhaan PT Sukajaya Makmur yaitu 400 m 3 /ha pada umur 25 tahun. Penentuan volume produksi akhir daur oleh perusahaan terlalu optimistik sehingga nilainya sangat tinggi. Perhitungan tersebut tidak menyertakan luasan areal efektif dari luasan lahan dan persentase tumbuh dari tanaman. Prediksi riap diameter yang ditetapkan perusahaan juga terlalu tinggi yaitu 2 cm/th. Hasil perhitungan MAI ternyata sampai umur 30 tahun hanya mencapai 1,83 cm/th. Presentase tumbuh terkecil mencapai 62,08 persen, jumlah tanaman akan terus menurun sampai akhir daur karena adanya kematian alami dan faktor kesalahan teknis dalam pemeliharaan serta adanya penjarangan. Pada akhir daur jumlah tanaman diperkirakan hanya tersisa sekitar 100 pohon/ha atau sekitar 50% dari jumlah tanaman pada awal tanam. Jumlah tanaman tersebut sangat jauh berbeda dengan prediksi perusahaan yaitu 160 pohon pada akhir daur Distribusi Pertumbuhan Diameter Data hasil pengukuran pertumbuhan diameter tanaman S. leprosula yang berada di dalam Jalur Tanam dalam silvikultur TPTII pada umur 1,2,3,4 dan 5 tahun dikelompokkan ke dalam kelas diameter dengan selang interval 1 cm. Selang interval adalah A (kelas diameter <1 cm), B (Kelas diameter 1,1 2 cm), C (Kelas diameter 2,1 3 cm), dan seterusnya dengan selang 1 cm. Hasil dari pengelompokan tersebut sebagaimana terlihat pada Gambar 9. Tanaman yang di tanam dalam Jalur Tanam membentuk suatu tegakan, dimana tegakan tersebut membentuk suatu tegakan seumur yang mana semua po-

94 71 honnya ditanam pada tahun yang sama, atau ditanam pada waktu yang bersamaan. Tanaman yang ditanam dalam jalur menunjukkan suatu komposisi tegakan yang dikelompokkan berdasarkan kelompok umur. Untuk mengetahui bagaimana struktur dari tegakan yang berada dalam jalur tanam oleh Loetsch, et.al (1973), menyatakan bahwa pembuatan distribusi diameter batang yang dilakukan dengan cara mengelompokkan data hasil pengamatan diameter di lapangan ke dalam kelaskelas, dimana hasil pengelompokan ini akan memberikan struktur tegakan. Perkembangan struktur tegakan sangat dipengaruhi oleh jenis penyusun tegakan dan faktor lingkungan dari tegakan tersebut. Distribusi pertumbuhan diameter tanaman S. leprosula dalam Jalur Tanam Menyerupai model struktur tanaman hutan seumur (even aged stand forest) yang berbentuk lonceng (parabola terbalik) dengan jumlah pohon terbesar berada dalam kisaran diameter pertengahan. Kelompok pohon yang mempunyai diameter kecil dan besar berjumlah lebih sedikit masing-masing tersebar pada grafik sebelah kiri dan kanan, sebagaimana terlihat pada Gambar 9. Model Persamaan polinomial yang terbentuk untuk tanaman S. leprosula pada tahun 2005, 2006, 2007, 2008 dan 2009 masing-masing adalah sebagai berikut : Y = -0,642X 2 + 5,769X + 8,921 Y = -1,047X 2 + 9,523X + 4,571 Y = -3,607X ,39X + 7 Y = -12X X 5 Y = -8,5X ,5X 5 Dimana : X = Jumlah pohon Y = Diameter Pohon Hal ini sejalan dengan pernyataan Hauchs et al. (2003) bahwa pola penyebaran diameter pada hutan seumur membentuk persamaan polinomial dengan grafik berbentuk lonceng. Hasil penelitian ini sejalan pula dengan Wahyudi (2011), dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa distribusi diameter tanaman S. leprosula dalam Jalur Tanam pada penerapan silvikultur TPTJ menyerupai model struktur tanaman hutan seumur. Jumlah tanaman sebagian besar terkonsentrasi pada tanaman yang mempunyai ukuran diameter yang besar, sedangkan tanaman yang berdiameter kecil dan besar jumlahnya lebih sedikit.

95 Poly. (2005.) Poly. (2006.) Poly. (2007.) Poly. (2008.) Poly. (2009.)

96 73 Bila dilihat dari distribusi penyebaran pertumbuhan diameter tanaman S. leprosula pada umur 3 dan 5 tahun terlihat sebaran diameter tanaman di dalam jalur tanam hampir sama jumlah pertumbuhan diameternya. Dimana pada umur 3 tahun terlihat sebaran pertumbuhan diameter dominan berada pada kelas diameter 3,1-4 cm, begitu juga pada umur 5 tahun pertumbuhan diameter berkelompok pada kelas diameter yang sama. Struktur tegakan tanaman S. leprosula pada umur 3 dan 5 tahun membentuk tegakan intoleran dimana peningkatan pertumbuhan diameter yang diiringi dengan peningkatan tinggi membentuk formasi pertumbuhan yang sama dengan pertumbuhan pohon yang ada disekitarnya. Hal tersebut menandakan terjadinya persaingan mendapatkan cahaya matahari oleh sebab itu teknik silvikultur yang diperlukan terhadap pertumbuhan S. leprosula yaitu dengan meningkatkan intensitas cahaya melalui kegiatan pemeliharaan seperti pembukaan tajuk dan pembersihan gulma. Bila dilihat dari kurva distribusi diameter terdapat pertumbuhan diameter terfokus pada pada diameter besar atau dengan kata lain menyebar ke kanan, yaitu beberapa tanaman diameternya bertambah besar yang mengakibatkan jumlah pada kelas diameter diatasnya menjadi naik. Hal di atas menunjukkan bahwa penyebaran diameter yang condong kearah kanan atau diameter besar seperti ini dikarenakan tingkat persaingan terhadap pertumbuhannya rendah terhadap tanaman produksi yang berada dalam Jalur Tanam sedangkan penyebaran diameter condong menyebar kekiri atau diameter kecil hal ini disebabkan karena tingkat persaingan tanaman pada Jalur Tanam tinggi oleh sebab itu perlakuan pemeliharaan lebih intensif lagi. Variasi jumlah tanaman dalam kelas diameter terhadap umur pertumbuhannya di dalam Jalur Tanam TPTII pada suatu lokasi tegakan adalah sangat nyata. Terlihat bahwa semakin besar pertumbuhan diameter maka semakin sedikit/kecil jumlah tanamannya. Hal yang sama ditunjukkan pada hasil pengamatan yang dilakukan oleh Sutisna dan Suyana (1997) di PT ITCI Kenangan Kalimantan Timur, Sutisna dan Ruhiyat (2005) di PT. Sari Bumi Kusuma Kalimantan Barat, menunjukkan bahwa bentuk struktur diamati yang sama yaitu tegakan tanaman paling banyak pada diameter kecil dan semakin sedikit dengan bertambahnya diameter.

97 74 Hal ini menampakkan suatu ciri khas struktur diameter hutan alam. Diagram kurva pertumbuhan diameter menunjukkan bahwa struktur pola hubungan antara jumlah tanaman per ha dan diameter pada seluruh plot penelitian kecenderungannya sama yaitu membentuk kurva sebaran normal. Selanjutnya Smith (1962) menyatakan bahwa struktur suatu tegakan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman penyusunnya, misalnya faktor biotik dan genetik yang dimiliki setiap spesies tanaman serta faktor lingkungannya. Jumlah tanaman pada setiap kelas diameter selalu berubah menurut waktu. Perubahan tersebut disebabkan oleh adanya kecepatan pertumbuhan diameter tanaman dalam kelas diameter dan adanya variasi ruang tumbuh yang diperlukan dalam pertumbuhan tanaman Persentase Tumbuh Persentase pertumbuhan tanaman S. leprosula pada tahun 2008 dan 2009 sangat rendah yaitu 62,08 % dan 64,98 %. Nilai tersebut sangat rendah apabila dibandingkan dengan ambang batas pelaksanaan penyulaman. Penyulaman harus dilaksanakan apabila persentase tumbuh tanaman tidak mencapai 80% (Dephut 1989). Tanaman S. leprosula pada tahun tersebut banyak mengalami kematian. Penyulaman pada tahun pertama dan kedua akan meningkatkan nilai persentase tumbuh, sehingga pada tahun-tahun selanjutnya persentase tumbuh tanaman lebih stabil pada nilai sekitar 75 %. Persentase pertumbuhan tanaman S. leprosula di jalur tanam dalam sistem TPTII pada akhir daur diperkirakan akan mencapai 50%. Luasan tajuk antar tanaman S.leprosula dan tegakan sisa akan mengalami persaingan pada akhir daur, sehingga sebelum akhir daur harus dilaksanakan penjarangan. Perlakuan tersebut akan menurunkan jumlah tanaman S. leprosula sampai mencapai 50% pada akhir daur. Persentase tumbuh merupakan parameter yang mencerminkan keberhasilan penerapan silvikultur TPTII. Persentase tumbuh yang tinggi menandakan bahwa silvikultur TPTII sangat cocok untuk jenis permudaan yang ditanam. Tanaman Meranti yang menjadi jenis permudaan dalam silvikultur TPTII dapat berdaptasi dengan lingkungannya. Sifat dari tanaman Meranti yang membutuhkan cahaya sangat sesuai dengan pola penanaman jalur yang diterapkan dalam silvikultur TPTII. Silvikultur TPTII memberikan peluang yang lebih besar terhadap

98 Persentase Tumbuh (%) ,23 74,58 78, ,08 64, TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009

99 76 dan campur tangan manusia, atau lebih mengarah pada penerapan silvikultur hutan alam. Tentunya hutan dengan luasan areal efktif yang tinggi harus diarahkan pada penerapan sistem silvikultur hutan tanaman. Pada penerapan sistem TPTII perlu dikembangkan ambang batas areal efektif penanaman. Selama ini tidak ada batasan areal efektif yang ditentukan dalam penerapan sistem silvikultur. Padahal hal tersebut sangat menentukan keberhasilan penerapan sistem silvikultur. Mengacu kepada ketentuan penyulaman maka nilai ambang batas areal efekif penanaman berkisar pada nilai 80% (Dephut 1989) Perkembangan Tegakan Sisa Pada Jalur Antara Penerapan sistem silvikultur TPTII meninggalkan tegakan sisa yang berada pada Jalur Antara. Keberadaan tegakan sisa tersebut tidak bisa diabaikan tanpa pengelolaan yang terarah. Dari sisi luasan tegakan sisa masih mendominasi hutan alam produksi yang dikelola dengan sistem silvikultur TPTII. Sekitar 85% (17/20 bagian) dari total luasan hutan alam produksi yang dikelola dengan sistem silvikultur TPTII merupakan tegakan sisa. Tegakan sisa tersebut diharapkan dapat menyimpan keanekaragaman jenis dari spesies tumbuhan yang tersisa. Salah satu syarat menuju pengelolaan yang lebih terarah adalah adanya dukungan data terkait struktur dan komposisi tegakan sisa. Dengan adanya dukungan data tersebut penerapan tindakan silvikultur menjadi lebih produktif, efisien, efektif dan terarah sebagaimana diharapkan dalam tujuan awal (Background) dari diterapkannya sistem silvikultur TPTII. Penggunaan sistem silvikultur TPTII menyebabkan perubahan terhadap dinamika masyarakat tumbuhan pada tegakan tinggal. Hal ini berkaitan dengan penetapan limit diameter pohon ditebang dengan diameter lebih dari 40 cm dan adanya perlakuan pembersihan Jalur Tanam dengan tebang habis terhadap vegetasinya. Perubahan tersebut dapat dilihat dari struktur dan komposisi tegakan pada semua tingkat permudaan dan pohon. Struktur dan komposisi tegakan sisa tingkat semai, pancang, tiang dan pohon dianalisa, dengan demikian akan diperoleh informasi perkembangan dari tegakan sisa tersebut. Data vegetasi yang dianalisa mencakup blok dari sistem silvikultur TPTII tahun 2005, 2006, 2007, 2008, 2009, TPTI dan virgin forest.

100 Keanekaragaman Jenis (H') 4,00 3,50 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00 1,62 0,37 2,26 2,05 2,14 1,88 2,05 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI Virgin Forest

101 78 Keanekaragaman jenis dalam suatu komunitas sangat dipengaruhi oleh kesesuaian tempat tumbuh dari jenis-jenis yang membangunnya, karena hanya jenis tersebut yang dapat beradaptasi dengan lingkungan dalam komunitas tersebut. Indeks keanekaragaman jenis dapat menunjukkan tingkat keanekaragaman vegetasi pada suatu komunitas hutan, sehingga makin tinggi nilai H maka semakin banyak jenis yang menyusun komunitas hutan. Berdasarkan hasil analisis vegetasi tingkat semai diketahui bahwa keanekaragaman jenis pada lokasi penelitian, berada pada tingkat sedang kecuali pada blok tebangan TPTII 2006 sebesar 0,37 yang tergolong rendah. Rendahnya nilai tersebut disebabkan karena semai pada blok tersebut sudah mencapai tingkat pancang. Penyebab lainnya adalah bertambahnya luasan tajuk sejalan dengan bertambahnya umur tegakan. Peluang tumbuhnya semai yang baru semakin kecil dengan semakin besarnya luasan tajuk. Keanekaragaman jenis tingkat permudaan semai pada virgin forest dan TPTI lebih kecil dibandingkan dengan blok tebangan TPTII 2007, 2008 dan Virgin forest merupakan hutan dengan komposisi sebagian besar tegakannya didominasi oleh tingkat pohon. Tegakan tingkat pohon mempunyai karakteristik tajuk yang rapat sehingga meminimalkan tumbuhnya semai baru. Hal tersebut menyebabkan keragaman jenis tingkat semai menjadi rendah. Mekanisme ini berlaku pula pada tegakan TPTI. Hasil penelitian ini sejalan dengan Pamoengkas (2006) yang mencatatkan indeks keanekaragaman jenis tingkat semai pada hutan primer dengan nilai 1,97 lebih kecil dari tegakan sisa hutan bekas tebangan TPTJ yang berumur 1 sampai 5 tahun dengan nilai bervariasi diatas 2,5. Keanekaragaman jenis pada tingkat semai mempunyai nilai yang bersifat fluktuatif, tetapi secara umum antara TPTII, TPTI dan Virgin Forest mempunyai tingkat keanekaragaman jenis yang sama yaitu ada pada tingkat sedang. b. Kekayaan Jenis Indeks kekayaan jenis (R1) dapat mempengaruhi tingkat keanekaragaman jenis. Nilai R1 dapat menunjukkan indeks kekayaan jenis pada suatu komunitas hutan, yang keberadaannya dipengaruhi oleh banyaknya jenis dan jumlah individu yang terdapat dalam komunitas tersebut. Besaran R1 kurang dari 3,5 menunjuk-

102 79 kan kekayaan jenis yang tergolong rendah, bila nilai R1 berkisar antara 3,5 5,0 menunjukkan kekayaan jenis tergolong sedang dan R1 tergolong tinggi jika nilainya lebih dari 5,0 Magurran (1988) ; Soerianegara dan Indrawan (2005). Berdasarkan hasil analisis vegetasi pada lokasi penelitian, dapat diketahui bahwa nilai R1 tingkat semai tergolong rendah dan sedang. Nilai R1 terendah terdapat pada lokasi virgin forest yaitu sebesar 2,14 sedangkan nilai R1 tertinggi berada pada lokasi TPTII Hal tersebut berbanding terbalik dengan nilai indeks keanekaragaman jenisnya. Hutan virgin forest mempunyai nilai Indeks kekayaan jenis sangat rendah. Semai yang ada pada virgin forest jumlahnya sangat kurang. Semai-semai baru susah terbentuk karena rapatnya tutupan tajuk pada hutan tersebut. Rapatnya tutupan tajuk akan meminimalkan peluang tumbuhnya semai baru. Pada blok TPTII 2005 juga diperoleh nilai indeks kakayaan jenis yang rendah. Hal tersebut menandakan bahwa blok TPTII 2005 telah mengalami perkembangan hutan tingkat lanjut, dimana tajuknya sudah mulai rapat sehingga meminimalkan pertumbuhan semai baru yang sebelumnya tumbuh melimpah pada awal pembukaan lahan. Secara umum ada kesamaan antara blok tebangan 2005 dengan virgin forest dalam hal komposisi dan struktur permudaan pada tingkat semai. Tegakan tinggal pada blok TPTII 2006 mempunyai indeks kekayaan jenis tertinggi dibandingkan dengan blok lainnya. Kondisi ini berbanding terbalik dengan nilai keanekaragaman jenis. Hal tersebut menandakan bahwa pada blok 2006 terjadi penurunan keragaman jenis akan tetapi tidak disertai dengan penurunan kekayaan jenis. Pada tingkat semai kuantitas jenis mengalami penurunan akan tetapi jenis-jenis yang masih ada mengalami peningkatan dari segi jumlah individu. Permudaan tingkat semai pada Blok tebangan 2007 dan 2008, ada pada tingkat kriteria rendah, hal ini menandakan bahwa pada blok tersebut terjadi penurunan jumlah individu jenis. Penurunan jumlah individu tersebut disebabkan oleh aktivitas pembuatan jalur tanam dan penebangan. Penurunan jumlah semai pada blok ini diakibatkan adanya dinamika perpindahan tingkat permudaan dari tingkat semai memasuki tingkat pancang. Adapun Blok tebangan 2009 masih

103 Kekayaan Jenis (R1) 4,5 4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0 2,2 4,09 3,07 3,38 3,78 3,13 2,14 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI Virgin Forest

104 Kemerataan Jenis (E) 0,90 0,80 0,70 0,60 0,50 0,40 0,30 0,20 0,10 0,00 0,65 0,14 0,85 0,72 0,76 0,69 0,82 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI Virgin Forest

105 Kesamaan Komunitas (%) ,03 40,74 38,16 37,66 30,13 11,37 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI

106 Dominansi (C) 0,25 0,2 0,15 0,1 0,19 0,09 0,11 0,14 0,16 0,21 0,16 0,05 0 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI Virgin Forest

107 Keanekaragaman Jenis (H') 3,50 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00 2,15 3,04 2,03 2,06 2,48 2,37 2,37 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI Virgin Forest

108 Kemerataan Jenis (E) 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 0,77 1,02 0,79 0,78 0,87 0,82 0,73 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI Virgin Forest

109 Kekayaan Jenis (R1) ,36 3,89 2,56 2,65 4,09 4,04 4, TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI Virgin Forest

110 Dominansi (C) 0,16 0,15 0,14 0,14 0,13 0,13 0,12 0,12 0,12 0,10 0,1 0,08 0,06 0,04 0,02 0 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI Virgin Forest

111 Kesamaan Komunitas (%) ,74 38,31 34,83 35,78 26,77 21,62 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI

112 Keanekaragaman Jenis (H') 3,50 3,10 3,04 3,04 3,00 2,75 2,54 2,95 2,94 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI VF

113 Kemerataan Jenis (E) 0,94 0,92 0,9 0,88 0,86 0,84 0,82 0,8 0,93 0,92 0,87 0,85 0,90 0,90 0,89 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI Virgin Forest

114 Kekayaan Jenis (R1) ,85 6,87 7,06 4,46 6,66 5,99 5,48 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI Virgin Forest Dominansi (C) 0,12 0,11 0,1 0,08 0,06 0,07 0,06 0,07 0,06 0,07 0,06 0,04 0,02 0 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI Virgin Forest

115 Kesamaan Komunitas (%) 60 51,61 48, ,16 31, ,79 23, TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI

116 Keanekaragaman Jenis (H') 3,25 3,20 3,18 3,17 3,15 3,10 3,10 3,08 3,04 3,05 3,01 3,00 2,95 2,91 2,90 2,85 2,80 2,75 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI Virgin Forest

117 Kemerataan Jenis (E) 0,89 0,88 0,87 0,86 0,85 0,84 0,83 0,82 0,81 0,8 0,79 0,83 0,82 0,84 0,88 0,84 0,84 0,86 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI Virgin Forest

118 Kekayaan Jenis (R1) 9 8,13 8,03 8 7,12 7,33 6,45 6,58 6, TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI Virgin Forest

119 Dominansi (C) 0,09 0,08 0,07 0,06 0,05 0,04 0,03 0,02 0,01 0 0,06 0,06 0,08 0,06 0,07 0,06 0,06 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI Virgin Forest

120 97 tinggi bila dibandingkan dengan ambang batas nilai IS yaitu sekitar 50%. Tebang pilih merupakan satu-satunya sistim silvikultur pada hutan alam. Sistim ini telah lama diterapkan pada hutan alam yang ada di indonesia. Dalam berbagai referensi diungkapkan bahwa sistim silvikultur tebang pilih merupakan sistem yang paling ideal dari sistem yang ada, namun sistem ini tidak menjamin keberadaan jenis-jenis komersial pada tegakan sisa. Jenis-jenis komersial banyak yang ditebang secara menyeluruh sehingga tidak ditemukan jenis tersebut di hutan bekas tebangan. Dipandang perlu untuk menerapkan ketentuan jenis-jenis yang ditebang seharusnya ditanam kembali pada lokasi bekas tebangan tersebut. Jenis pohon seharusnya tidak ditebang semuanya tetapi disisakan sebagai tegakan sisa yang berfungsi sebagai pohon induk. Dengan demikian kehilangan jenis-jenis pohon yang ditebang tidak akan terjadi. Nilai indeks kesamaan komunitas blok tebangan TPTI lebih besar dibandingkan dengan blok tebangan TPTII. Intensitas Penebangan pada blok tebangan TPTII terjadi sebanyak dua kali yaitu pada saat diterapkan sistem TPTI dan pada saat diterapkan TPTII, bahkan terjadi penebangan sebanyak tiga kali yaitu pada saat pembuatan jalur tanam. Sementara blok TPTI hanya mengalami satu kali penebangan. Kondisi tersebut yang menyebabkan nilai IS di blok TPTI lebih besar. Jenis-jenis yang hilang di blok TPTII lebih banyak dibandingkan dengan blok TPTI. Perlu adanya perlakuan dalam penerapan sistem sistem silvikultur TPTII untuk menanam jenis-jenis yang telah hilang di blok akibat penebangan. Dengan penanaman tersebut diharapkan jenis-jenis komersial yang ditebang masih tetap ditemui pada tegakan sisa di blok tebangan. Indeks kesamaan komunitas merupakan cerminan tingkat perubahan vegetasi yang diakibatkan oleh diterapkannya sistem pengelolaan silvikultur. Perubahan vegetasi dalam penerapan sistem silvikultur tertentu tidak dapat dihindari, perubahan vegetasi tersebut mutlak ada. Meskipun demikian perubahan vegetasi perlu dikendalikan agar tidak terlalu besar nilainya. Beberapa konsep yang mengemuka diantaranya adalah diterapkannya konsep RIL (Reduce Impact Logging) dalam pengelolaan hutan. Rehabilitasi hutan bekas tebangan dengan cara menanamnya kembali mutlak harus dilaksanakan dengan mengacu kepada jenis-jenis yang ditebang.

121 Kesamaan Komunitas (%) ,17 37,39 40,39 47,73 34,35 47, TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI

122 3,5 H 1 3 2,5 2 1,5 1 TPTII TPTI VF 0,5 0 Semai pancang tiang pohon

123 TPTII TPTI VF 20 0 Semai pancang tiang pohon

124 Struktur Hutan Bekas Tebangan Pada Sistem silvikultur TPTII Secara umum struktur tegakan hutan alam mengikuti pola kurva J terbalik. Begitu pula dengan areal LOA TPTII, secara keseluruhan membentuk kurva J terbalik sebagaimana tertera pada Gambar. 33 dengan demikian struktur hutan dapat dikatakan tidak berubah. Pengelolaan hutan dengan menggunakan sistem silvikultur TPTII ternyata tidak merubah struktur hutan. Hal tersebut terlihat dari kurva J terbalik yang dibentuk oleh struktur tegakan pada hutan bekas tebangan. Hasil penelitian ini sesuai dengn penelitian-penelitian struktur hutan terdahulu. Pada penelitian ini diperoleh formula eksponensial negatif dari struktur tegakan hutan bekas tebangan TPTII, formula tersebut sebagai berukut : TPTII 2005 :N = 139, e -0,062170DBH TPTII 2006 : N = 141, e -0,073683DBH TPTII 2007 : N = 82, e -0,059867DBH TPTII 2008 : N = 126, e -0,066775DBH TPTII 2009 : N = 116, e -0,066775DBH Di mana : N = Jumlah pohon per hektar (N/ha) DBH = Diameter Setinggi Dada Formula tersebut dapat diandalkan karena mempunyai koefesien determinasi (R 2 ) yang cukup tinggi yaitu 0,848, 0,863, 0,832, 0,933 dan 0,931 masing-masing untuk tegakan hutan bekas tebangan TPTII tahun 2005, 2006, 2007, 2008 dan Menurut Bettinger et al (2009), Davis dan Johnson (1987), Meyer et al (1961), Suhendang (1985) dan Wahyudi (2011) sebaran diameter tegakan hutan alam menyerupai J terbalik dengan pola persamaan eksponensial : Q = Q0. e -cdbh. Persamaan tersebut mengandung komponen negatif pada diameter (DBH) yang berarti semakin besar diameter pohon maka semakin sedikit populasinya (N). Struktur tegakan hutan alam bekas tebangan TPTII didominasi oleh pohon yang berdiameter kecil. Pohon yang berdiameter besar semakin sedikit jumlahnya dengan semakin tua umur tegakan. Struktur ini berbeda dengan struktur tanaman yang ada di jalur tanam yang menyerupai kurva lonceng, dimana struktur diameternya menyebar normal.

125 TPTII2005 Expon. (TPTII2005) TPTII TPTII2006 Expon. (TPTII2006) TPTII2007 TPTII TPTII TPTII Expon. (TPTII2007) Expon. 2008) (TPTII TPTII TPTII Expon. (TPTII 2009) Gambar 33. Struktur tegakan sisa pada hutan bekas tebangan dengan menerapkan sistem silvikultur TPTII mengikuti pola sebaran hutan alam berbentuk kurva J terbalik. Keterangan : Sumbu Y = Jumlah Pohon (Batang/ha) Sumbu X = Diameter Pohon (cm)

126 Perbandingan Struktur Hutan Bekas Tebangan antara TPTII, TPTI dan Virgin forest Secara keseruluruhan ketiga tipe hutan yaitu hutan bekas tebangan TPTII, hutan bekas tebangan TPTI dan virgin forest mempunyai struktur tegakan yang sama yaitu berupa kurva J terbalik. Perbedaan dari ketiga kondisi hutan tersebut terletak pada jumlah maksimal pohon per hektar (N/ha). Struktur tegakan hutan bekas tebangan TPTI mempunyai kurva yang lebih mirip dengan virgin forest. Sedangkan kurva TPTII mempunyai beberapa perbedaan bila dibandingkan dengan virgin forest. Kurva TPTI dan virgin forest mempunyai persamaan nilai N/ha yang tinggi pada kelas diameter awal, walaupun pada kelas diameter akhir virgin forest mempunyai nilai N/ha yang lebih tinggi. secara keseluruhan keduanya mempunyai kurva yang terletak pada posisi kanan atas, sedangkan TPTII posisinya menempati kiri bawah. Hal ini menandakan jumlah pohon per hektar (N/ha) dari TPTII lebih kecil bila dibandingkan dengan TPTI dan Virgin forest. Grafik penyebaran diameter pada 3 kondisi hutan yaitu tegakan sisa pada hutan bekas tebangan TPTII, TPTI dan virgin forest di PT Sukajaya Makmur menyerupai J terbalik, seperti terlihat pada Gambar 34, dengan persamaan exponensial sebagai berikut : TPTII : N = 88, e -0,055262DBH TPTI : N = 307,6097. e -0,073683DBH Virgin forest : N = 113,5011. e -0,05066DBH Di mana : N = Jumlah pohon per hektar (N/ha) DBH = Diameter Setinggi Dada Persamaan yang mendukung pola J terbalik pada tiga kelompok hutan tersebut cukup meyakinkan karena nilai koefesien determinasinya (R 2 ) cukup tinggi yaitu, 0,970, 0,940 dan 0,864, masing-masing untuk tegakan hutan bekas tebangan TPTII, TPTI dan virgin forest. Pola persamaan J terbalik yang terbentuk menandakan bahwa struktur hutan alam (all even aged forest) bekas tebangan dalam pengelolaan sistem silvikultur TPTII dan TPTI dalam penelitian ini masih terjaga dengan baik. Hal ini sejalan dengan pendapat Meyer et al (1961), Davis dan Johnson (1987), Nyland (1996), Suhendang (1985), Bettinger et.al (2009) dan

127 LOA TPTII LOA TPTI LOA TPTII Expon. (LOA TPTII) LOA TPTI Expon. (LOA TPTI) VF VF Expon. (VF)

128 Indeks Nilai Penting (INP) Tingkat Pohon Indeks nilai penting mempunyai skala nilai sampai dengan 300. Semakin besar nilai INP menandakan jenis tersebut semakin dominan pada komunitas tersebut. Indeks Nilai Penting (INP) ini digunakan untuk menetapkan dominasi suatu jenis terhadap jenis lainnya atau dengan kata lain nilai penting menggambarkan kedudukan ekologis suatu jenis dalam komunitas. Indeks Nilai Penting dihitung berdasarkan penjumlahan nilai Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR) dan Dominansi Relatif (DR). (Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974 dalam Soerianegara dan Indrawan, 2005). Pada setiap strata suksesi secara umum jenis Medang dan Ubar mempunyai nilai INP tertinggi pada semua blok TPTII, TPTI dan virgin forest. Kedua jenis tersebut selalu muncul pada setiap blok dengan nilai INP tertinggi. Artinya kedua jenis tersebut lebih dominan dibandingkan dengan jenis lainnya. Dominannya jenis Medang dan Ubar pada seluruh strata suksesi menandakan bahwa jenis tersebut mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan hutan. Namun demikian kedua jenis ini tidak termasuk jenis komersial sehingga dalam pengelolaan hutan tidak ditebang. Pada permudaan tingkat semai jenis Ubar (Eugenia sp) mendominasi pada hutan bekas tebangan yang berumur 5 tahun (TPTII 2005), 4 tahun (TPTII 2006), pada areal bekas tebangan TPTI dan virgin forest (Tabel 8, stabillo warna kuning). Jenis Ubar mendominasi pada hutan bekas tebangan yang tajuknya sudah mulai tertutup serta hutan yang tajuknya rapat. Jenis Ubar tidak mendominasi pada blok TPTII 2007, TPTII 2008 dan 2009, areal tersebut semuanya merupakan jenis areal tebangan muda. Tajuknya masih terbuka lebar sehingga cahaya masih bisa masuk ke lantai hutan. Permudaan tingkat semai jenis Ubar dapat beradaptasi dengan naungan. Jenis tersebut mendominasi pada hutan bekas tebangan yang berumur lanjut dan virgin forest. Jenis-jenis pohon yang dapat berdaptasi pada hutan yang berumur lanjut adalah jenis-jenis dari kelompok tahan naungan. Hutan yang berusia lanjut tajuknya akan semakin tertutup, cahaya matahari tidak akan menjangkau lantai hutan secara penuh sehingga hanya tanaman yang tahan naungan saja yang dapat beadaptasi.

129 106 Tabel 8. Nilai INP hutan bekas tebangan TPTII, TPTI dan virgin forest pada tingkat permudaan semai Tipe Hutan Jenis Nama Botani INP VF Laevis Shorea leavis 31,933 Medang Litsea firma 40,210 Ubar Eugenia sp 54,475 TPTI Laevis Shorea Leavis 13,535 Medang Litsea firma 50,035 Ubar Eugenia sp 73,516 TPTII 2009 Kumpang Myristica sp 11,060 Medang Litsea firma 52,670 Ubar Eugenia sp 52,670 TPTII 2008 Jambu monyet Eugenia sp 50,805 Medang Litsea firma 18,825 Ubar Eugenia sp 42,699 TPTII 2007 Jambu monyet Eugenia sp 27,790 Medang Litsea firma 36,341 Ubar Eugenia sp 33,442 TPTII 2006 Pisang-pisang Mezzetia parvifolia 25,000 Johor shorea johoriensis 18,750 Ubar Eugenia sp 33,333 TPTII 2005 Kelampai Elaterospermum tapos 38,447 Medang Litsea firma 49,680 Ubar Eugenia sp 55,960 Pada permudaan tingkat semai Jenis Medang (Litsia firma) dan Jambu Monyet (Eugeunia sp) mendominasi hutan bekas tebangan yang berumur muda yaitu areal hutan bekas tebangan TPTII tahun 2009, TPTII tahun 2008 dan TPTII tahun 2007 masing-masing baru berumur 1,2 dan 3 tahun (Tabel 8, stabillo warna merah muda). Perbukaan tajuk secara besar-besaran telah menyebabkan cahaya matahari dapat menjangkau lantai hutan, sehingga memacu pertumbuhan semai kedua jenis tersebut. Permudaan tingkat semai jenis Medang dan Jambu Monyet mempunyai adaptasi yang tinggi terhadap intensitas cahaya matahari yang tinggi. Tingkat permudaan semai Shorea laevis termasuk jenis dominan ke tiga pada areal hutan bekas tebangan TPTI dan virgin forest. Berbeda dengan jenis dominan lainnya, Shorea laevis tidak terdapat pada seluruh areal hutan bekas tebangan TPTII. Penebangan intensif yang terjadi pada penerapan sistem silvikultur TPTII telah menyebabkan hilangnya jenis-jenis komersial seperti

130 107 Shorea laevis. Dengan tidak adanya pohon jenis komersial menyebabkan hilangnya dominasi permudaan tingkat semai pada areal tersebut. Hal ini menandakan telah terjadi perubahan komposisi jenis antara hutan primer dan hutan sekunder akibat adanya penglolaan hutan dengan menerapkan sistem sistem silvikultur TPTII. Pada permudaan tingkat tiang komposisi jenis hutan bekas tebangan baik TPTII maupun TPTI masih didominasi oleh jenis-jenis non komersial seperti Ubar dan Medang. Hal ini menunjukan bahwa kedua jenis tersebut dapat beradaptasi dengan lingkungan. Proses suksesi sekunder dapat dijalani oleh kedua jenis pohon tersebut. Namun secara ekonomis kedua jenis tersebut masih dipertanyakan nilai ekonominya, apalagi kedua jenis tersebut masuk ke dalam daftar jenis non komersial. Pada tingkat pohon jenis Shorea laevis menjadi pohon paling dominan pada virgin forest (Tabel 11, stabillo warna kuning). Shorea laevis menjadi jenis penentu komposisi virgin forest. Jenis tersebut telah membedakan komposisi tegakan antara hutan primer (virgin forest) dengan semua hutan bekas tebangan baik TPTII maupun TPTI. Pada hutan primer (virgin forest) Shorea laevis mendominasi komposisi tegakan, namun pada hutan sekunder yaitu pada hutan bekas tebangan TPTII dan TPTI jenis tersebut hilang dari nominasi jenis dominan. Dengan hilangnya jenis tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada tingkat pohon telah terjadi perbedaan komposisi jenis antara hutan primer dengan hutan sekunder. Pengelolaan hutan dengan menerapkan sistem silvikultur TPTII dan TPTI telah merubah komposisi tegakan. Jenis-jenis komersial dari kelompok Dipterocarpaceace menjadi tidak dominan lagi bahkan pada beberapa plot hutan bekas tebangan tidak ditemukan lagi keberadaanya. Komposisi jenis yang menyusun hutan bekas tebangan baik TPTII maupun TPTI berbeda dengan komposisi jenis virgin forest. Hal tersebut menunjukan terjadinya perubahan jenis vegetasi yang menyusun hutan setelah dilakukannya penebangan. Jenis-jenis yang hilang dalam proses pengelolaan hutan seharusnya ditanam kembali dalam kegiatan penanaman. Jenis-jenis yang mendominasi hutan-hutan berumur lanjut dipastikan merupakan jenis potensial yang dapat tumbuh dan berkembang di areal tersebut.

131 108 Tabel 9. Nilai INP hutan bekas tebangan TPTII, TPTI dan virgin forest pada tingkat permudaan pancang Tipe Hutan Jenis Nama Botani INP VF Kumpang Myristica sp 43,363 Medang Litsea firma 35,71 Ubar Eugenia sp 28,799 TPTI Kumpang Myristica sp 23,94 Medang Litsea firma 43,881 Ubar Eugenia sp 44,388 TPTII 2009 Medang Litsea firma 27,889 Purang 20,333 Ubar Eugenia sp 41,444 TPTII 2008 jambu monyet Eugenia sp 41,825 Medang Litsea firma 32,976 Purang 33,981 TPTII 2007 Medang Litsea firma 34,7 Purang 38,591 Ubar Eugenia sp 43,682 TPTII 2006 Medang Litsea firma 49,1 Purang 21,496 Ubar Eugenia sp 30,777 TPTII 2005 Medang Litsea firma 57,121 Purang 29,26 Ubar Eugenia sp 32,334 Jenis-jenis non komersial seperti Ubar dan Medang mendominasi komposisi tegakan pada hutan bekas tebangan baik TPTI maupun TPTII (Tabel 11, stabillo warna merah muda). Fenomena ini menunjukan bahwa sistem silvikultur tebang pilih hanya menyisakan jenis-jenis non komersial. Jenis-jenis komersial menjadi berkurang atau hilang dari komposisi tegakan sisa. Berdasarkan penelitian ini dipandang perlu adanya penanaman kembali jenis-jenis komersial yang hilang dari blok tebangan. Disamping itu perlu adanya peraturan untuk menyisakan pohon induk dari jenis-jenis komersial pada tiap blok tebangan sehingga akan terjadi regenerasi yang normal.

132 109 Tabel. 10 Nilai INP hutan bekas tebangan TPTII, TPTI dan virgin forest pada tingkat permudaan tiang Tipe Hutan Jenis Nama Botani INP VF Kumpang Myristica sp 47,359 Medang Litsea firma 26,508 Ubar Eugenia sp 22,947 TPTI Ketikal Ochanostachys amentaceal 22,628 Kumpang Myristica sp 25,441 Medang Litsea firma 50,995 TPTII 2009 Medang Litsea firma 42,666 Pisang-pisang Mezzetia parvifolia 20,077 Ubar Eugenia sp 34,966 TPTII 2008 Medang Litsea firma 47,203 parvi shorea parvifolia 33,164 Ubar Eugenia sp 63,469 TPTII 2007 Medang Litsea firma 41,02 Sampe Costanopsis sp 21,947 Ubar Eugenia sp 46,019 TPTII 2006 Medang Litsea firma 26,814 Sampe Costanopsis sp 27,324 Parvi Shorea parvifolia 41,467 TPTII 2005 Berobak Shorea sp 34,267 Medang Litsea firma 35,128 Ubar Eugenia sp 33,195

133 110 Tabel 11. Nilai INP hutan bekas tebangan TPTII, TPTI dan virgin forest pada tingkat pohon Nomor Jenis Nama Botani INP VF laevis shorea leavis 44,927 Mayau Shorea verescen 21,633 Medang Litsea firma 36,399 TPTI Medang Litsea firma 40,868 Parvi shorea parvifolia 29,095 ubar Eugenia sp 37,441 TPTII 2009 Kelampai Elaterospermum tapos 20,262 Medang Litsea firma 48,593 Ubar Eugenia sp 43,854 TPTII 2008 Laevis Shorea laevis 36,713 Medang Litsea firma 36,765 Ubar Eugenia sp 34,327 TPTII 2007 Kumpang Myristica sp 25,051 Medang Litsea firma 43,249 Ubar Eugenia sp 50,758 TPTII 2006 Kelampai Elaterospermum tapos 31,896 Medang Litsea firma 33,830 Parvi shorea parvifolia 34,132 TPTII 2005 Medang Litsea firma 35,947 Sampe Costanopsis sp 27,482 Ubar Eugenia sp 37, Potensi Produksi Hutan Alam Pada Penerapan Sistem silvikultur TPTII dan TPTI Perbedaan penerapan silvikultur dalam satu areal hutan akan berdampak pada produktivitas hutan. Prediksi potensi produksi dilakukan terhadap areal yang dikelola dengan penerapan sistem TPTII dan TPTI. Areal yang dijadikan data dasar adalah areal blok TPTII tahun 2005, 2006, 2007, 2008, 2009 dan areal TPTI. Dari data yang tersedia dibuat prediksi potensi produksi pada akhir rotasi tebang dan daur. Hasil dari prediksi ini diperoleh beberapa pola pengelolaan produksi atas dasar penerapan silvikultur. Dari prediksi ini diperoleh juga beberapa alternatif pengaturan hasil yang didasarkan pada potensi produksi. Potensi produksi hutan alam produksi (tegakan sisa) pada akhir rotasi tebang diprediksi dengan mengacu pada beberapa asumsi dasar. Asumsi riap diameter untuk semua jenis adalah 0,82 cm/tahun yang diperoleh dari rata-rata riap diameter PUP PT. Sukajaya Makmur pada tahun 2005 ke tahun 2006

134 111 (Lampiran 2). Untuk penentuan tinggi pohon diperoleh dari hasil analisis regresi antara tinggi dengan diameter dari plot PUP PT. Sukajaya Makmur tahun 2005 dengan persamaaan sebagai berikut : Log T = 0, ,53 Log D Dimana : T = Tinggi Pohon Total D = Diameter Pohon Persamaan regresi tersebut mempunyai koefesien determinan (R-Sq-adj) sebesar 76,7% dan tingkat kepercayaan (P- value) sebesar 99 % (Lampiran 3). Untuk tanaman Meranti yang berada pada Jalur Tanam potensi produksi diprediksi dari model pertumbuhan diameter dan tinggi yang dikembangkan dari hasil penelitian ini (Tabel 7). Rotasi tebang atau daur diasumsikan selama 25 tahun, hal ini disesuaikan dengan model yang dikembangkan dari penelitian ini dimana diameter 40 cm dicapai pada umur 25 tahun (Tabel 6). Berdasarkan perhitungan potensi produksi pada akhir rotasi tebang (Lampiran 1) maka diperoleh prediksi potensi produksi pohon layak tebang pada akhir rotasi tebang atau daur sebagaimana tertera pada Tabel 12. a. Potensi Produksi pada Silvikultur TPTI Apabila areal hutan dikelola dengan menggunakan Sistem silvikultur TPTI pada akhir rotasi tebang akan diperoleh beberapa nilai potensi produksi yang didasarkan atas perbedaan limit diameter dan pengelompokan jenis kayu. Untuk limit diameter dibedakan pada besaran diameter 40 cm, 50cm dan 60 cm, sedangkan untuk pengelompokan jenis dibedakan atas jenis komersial dan non komersial. khusus untuk jenis komersial dibedakan lagi menjadi kelompok Dipterocarpaceae dan Non Dipterocarpaceae. Apabila Pada sistem TPTI diterapkan limit diameter tebangan sebesar 40 cm dan semua jenis kayu ditebang maka pada akhir rotasi tebangan akan mempunyai potensi produksi sebesar 192,43 m 3 /ha. Lain halnya apabila yang ditebang hanya jenis komersial saja atau kelompok Dipterocarpaceae saja maka akan diperoleh potensi tegakan sebesar 32,14 m 3 /ha dan 22,72 m 3 /ha. Apabila pada sistem TPTI diterapkan limit diameter tebangan sebesar 50 cm dan semua jenis kayu ditebang maka pada akhir rotasi tebangan akan mempunyai

135 112 potensi produksi sebesar 132,81 m 3 /ha. Hal tersebut kondisinya akan berbeda apabila yang ditebang hanya jenis komersial saja atau kelompok Dipterocarpaceae saja maka akan diperoleh potensi tegakan sebesar 19,24 m 3 /ha dan 14,06 m 3 /ha. Apabila pada sistem TPTI diterapkan limit diameter tebangan sebesar 60 cm dan semua jenis kayu ditebang maka pada akhir rotasi tebangan akan mempunyai potensi produksi sebesar 90,60 m 3 /ha. Apabila yang ditebang hanya jenis komersial saja atau kelompok Dipterocarpaceae saja maka akan diperoleh potensi tegakan sebesar 7,16 m 3 /ha dan 10,18 m 3 /ha. b. Potensi Produksi Tanaman Meranti Pada Sistem silvikultur TPTII Apabila areal hutan dikelola dengan menggunakan sistem silvikultur TPTII pada akhir daur akan diperoleh beberapa nilai potensi produksi yang didasarkan atas limit diameter tebangan dan perbedaan jumlah tanaman pada akhir daur. Jumlah tanaman pada akhir daur dapat berbeda-beda tergantung pada tingkat intensitas penjarangan. Limit diameter untuk tanaman meranti dibatasi mulai dari 40 cm. Jumlah tanaman dibedakan menjadi tiga katagori yaitu intensitas penjarangan rendah dengan jumlah tanaman pada akhir daur 150 pohon/ha, Intensitas sedang dengan jumlah tanaman pada akhir daur 125 pohon/ha dan intensitas tinggi dengan jumlah tanaman pada akhir daur 100 pohon/ha. Apabila pada sistem TPTII dilakukan penjarangan dengan intensitas yang rendah maka pada akhir daur akan mempunyai potensi produksi sebesar 137,68 m 3 /ha. Lain halnya apabila pada sistem TPTII dilakukan penjarangan dengan intensitas yang sedang maka pada akhir daur akan mempunyai potensi produksi sebesar 114,74 m 3 /ha. Selanjutnya apabila pada sistem TPTII dilakukan penjarangan dengan intensitas yang tinggi maka pada akhir daur akan mempunyai potensi produksi sebesar 91,79 m 3 /ha. Potensi produksi TPTII pada Jalur Antara jauh lebih besar bila dibandingkan dengan potensi produksi pada Jalur Antara atau tegakan sisa TPTI. Jalur Antara hanya mempunyai potensi produksi dari jenis Dipterocarpaceae sebesar 19,31 m 3 /ha dan potensi produksi Dipterocarpaceae TPTI hanya mencapai 22,71 m 3 /ha. Potensi produksi Dipterocarpaceae yang ada pada Jalur Tanam jauh lebih besar bila dibandingkan Jalur Antara dan TPTI.

136 113 Tabel 12. Prediksi potensi produksi pada penerapan sistem silvikultur TPTII dan TPTI dalam satuan m 3 /ha PEMBAGIAN JENIS NO SISTEM SILVIKULTUR JENIS TEGAKAN BATAS DIAMETER (Cm Up) SISA PENJARA NGAN (batang) DIPTERO KOMERSIAL NON DIPTE RO TOTAL NON KOMERSIA L JUMLAH TOTAL 1. TPTI 40 22,72 9,42 32,14 160,29 192, ,06 5,18 19,24 113,57 132, ,16 3,02 10,18 80,42 90,6 2. TPTI INTENSIF 2a. ALTERNATIF SATU 2b. ALTERNATIF DUA TEGAKAN SISA TANAMAN MURNI TANAMAN PLUS TS 40 19, ,31 136,24 163, ,95 4,4 16,35 96,53 112, ,09 2,56 8,65 68, , , , , ,99 136,24 301, , ,05 136,24 278, , ,1 136,24 255,34 c. Potensi Produksi Tanaman Meranti dan Tegakan Sisa pada Silvikultur TPTII Apabila areal hutan dikelola dengan menggunakan sistem silvikultur TPTII ditambah dengan pengelolaan tegakan sisa yang terdapat pada jalur antara pada akhir daur akan diperoleh beberapa nilai potensi produksi yang didasarkan atas limit diameter tebangan dan perbedaan jumlah tanaman pada akhir daur. Jumlah tanaman pada akhir daur dapat berbeda-beda tergantung pada tingkat intensitas penjarangan. Limit diameter untuk tanaman meranti yang ditebang dibatasi mulai dari 40 cm. Jumlah tanaman dibedakan menjadi tiga katagori yaitu intensitas penjarangan rendah dengan jumlah tanaman pada akhir daur 150 pohon/ha, intensitas sedang dengan jumlah tanaman pada akhir daur 125 pohon/ha dan intensitas tinggi dengan jumlah tanaman pada akhir daur 100 pohon/ha. Pada akhir daur akan ikut dipanen pula tegakan sisa yang terdapat pada jalur antara. Pada tegakan sisa di akhir rotasi tebang akan diperoleh beberapa nilai potensi produksi yang dida-

137 114 sarkan atas batas limit diameter dan pengelompokan jenis kayu. Limit diameter dibatasi hanya pohon yang berdiameter minimal 40 cm saja yang akan dipanen. Pengelompokan jenis dibedakan atas jenis komersial dan non komersial. Khusus untuk jenis komersial dibedakan lagi menjadi kelompok Dipterocarpaceae dan Non Dipterocarpaceae. Apabila pada sistem TPTII dilakukan penjarangan dengan intensitas yang rendah maka pada akhir daur akan mempunyai potensi produksi sebesar 137,68 m 3 /ha. Nilai tersebut akan berbeda jika pemanenan tidak hanya dilakukan pada tanaman yang ada di jalur tanam saja, akan tetapi dilakukan pada tegakan sisa yang ada di jalur antara. Apabila potensi produksi pada tanaman ditambah dengan potensi produksi tegakan sisa yang diterapkan limit diameter tebangan sebesar 40 cm dan semua jenis kayu ditebang maka pada akhir rotasi tebangan akan mempunyai potensi produksi sebesar 301,23 m 3 /ha. Apabila yang ditebang hanya jenis komersial saja atau kelompok Dipterocarpaceae saja maka akan diperoleh potensi tegakan sebesar 164,99 m 3 /ha dan 156,99 m 3 /ha. Apabila pada sistem TPTII dilakukan penjarangan dengan intensitas yang sedang maka pada akhir daur akan mempunyai potensi produksi sebesar 114,74 m 3 /ha. Nilai tersebut akan berbeda jika pemanenan tidak hanya dilakukan pada tanaman yang ada dijalur tanam saja, akan tetapi dilakukan pada tegakan sisa yang ada di jalur antara. Apabila potensi produksi pada tanaman ditambah dengan potensi produksi tegakan sisa yang diterapkan limit diameter tebangan sebesar 40 cm dan semua jenis kayu ditebang maka pada akhir rotasi tebangan akan mempunyai potensi produksi sebesar 278,29 m 3 /ha. Apabila yang ditebang hanya jenis komersial saja atau kelompok Dipterocarpaceae saja maka akan diperoleh potensi tegakan sebesar 142,05 m 3 /ha dan 134,05 m 3 /ha. Apabila pada sistem TPTII dilakukan penjarangan dengan intensitas yang tinggi maka pada akhir daur akan mempunyai potensi produksi sebesar 91,79 m 3 /ha. Nilai tersebut akan berbeda jika pemanenan tidak hanya dilakukan pada tanaman yang ada dijalur tanam saja, akan tetapi dilakukan pada tegakan sisa yang ada di jalur antara. Apabila potensi produksi pada tanaman ditambah dengan potensi produksi tegakan sisa yang diterapkan limit diameter tebangan sebesar 40 cm dan semua jenis kayu ditebang maka pada akhir rotasi tebangan akan mempu-

138 115 nyai potensi produksi sebesar 255,34 m 3 /ha. Apabila yang ditebang hanya jenis komersial saja atau kelompok Dipterocarpaceae saja maka akan diperoleh potensi tegakan sebesar 119,10 m 3 /ha dan 111,10 m 3 /ha TPTI TS TPTII Tanaman TPTII Total up 50 up 60 up Gambar 35. Grafik prediksi potensi produksi hutan alam produksi dalam penerapan sistem silvikultur TPTII dan TPTI Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengelolaan hutan dengan menerapkan sistem silvikultur TPTII mempunyai potensi tegakan yang lebih tinggi dibandingkan dengan TPTI. Sistem silvikultur TPTII mempunyai produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan TPTI. Pada sistem silvikuktur TPTII, pengaturan hasilnya sebaiknya mengacu kepada alternatif satu. pengaturan hasil alternatif satu hanya memanen tanaman Meranti yang berada di jalur tanam. Tegakan sisa yang berada di jalur antara sebaiknya tidak ditebang. Tegakan yang ada pada jalur tersebut harus dijadikan Buffer Biodiversity (penyangga keanekaragaman Hayati) yang berfungsi sebagai jalur konservasi keanekaragaman hayati pada hutan produksi. Disamping itu dapat berfungsi pula sebagai penyeimbang iklim mikro yang berfungsi untuk menstabilkan kondisi iklim mikro tanaman meranti yang berada di jalur tanam. Dan yang lebih penting lagi, tegakan pada jalur antara dapat berfungsi sebagai penyimpan unsur hara yang sangat dibutuhkan oleh tanaman Meranti yang berada pada jalur tanam.

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keterpurukan sektor kehutanan sudah berjalan hampir 14 tahun belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Masih besarnya angka laju kerusakan hutan serta bangkrutnya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indo nesia merupaka n negara yang memiliki hutan trop ika terluas di dunia setelah Brasilia di Amerika Selatan dan Zaire di Afrika sekaligus menyimpan keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian tentang Perkembangan Tegakan Pada Hutan Alam Produksi Dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) dilaksanakan di areal

Lebih terperinci

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM Muhdi Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan USU Medan Abstract A research was done at natural tropical

Lebih terperinci

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan tropis merupakan sumber utama kayu dan gudang dari sejumlah besar keanekaragaman hayati dan karbon yang diakui secara global, meskupun demikian tingginya

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.65/Menhut-II/2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.11/MENHUT-II/2009 TENTANG SISTEM SILVIKULTUR DALAM AREAL IZIN USAHA

Lebih terperinci

SEJARAH PERKEMBANGAN SISTEM SILVIKULTUR DI INDONESIA 1. Oleh: Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan 2

SEJARAH PERKEMBANGAN SISTEM SILVIKULTUR DI INDONESIA 1. Oleh: Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan 2 SEJARAH PERKEMBANGAN SISTEM SILVIKULTUR DI INDONESIA 1 Oleh: Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan 2 Pendahuluan Negara Indonesia yang terletak di daerah tropika mempunyai kekayaan alam yang berlimpah ruah dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di Indonesia. Hutan rawa gambut mempunyai karakteristik turnbuhan maupun hewan yang khas yaitu komunitas

Lebih terperinci

Sistem Tebang Parsial & Tebang Habis

Sistem Tebang Parsial & Tebang Habis SISTEM SILVIKULTUR Sistem Tebang Parsial & Tebang Habis Laboratorium Silvikultur &Agroforestry Jurusan Budidaya Hutan FakultasKehutanan, UGM Tebang Parsial (Seed tree dan Shelterwood method) Seedtree Shelterwood

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Silvilkultur. Hasil Hutan Kayu. Pemanfaatan. Pengendalian. Areal.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Silvilkultur. Hasil Hutan Kayu. Pemanfaatan. Pengendalian. Areal. No.24, 2009 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Silvilkultur. Hasil Hutan Kayu. Pemanfaatan. Pengendalian. Areal. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor :P.11/Menhut-II/2009

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian

Lebih terperinci

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT.

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT. Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH Oleh : PT. Sari Bumi Kusuma PERKEMBANGAN HPH NASIONAL *) HPH aktif : 69 % 62% 55%

Lebih terperinci

10 Menurut Manan (1976), sistem silvikultur dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu : a. polycyclic system, yaitu jumlah penebangan (siklus tebang) y

10 Menurut Manan (1976), sistem silvikultur dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu : a. polycyclic system, yaitu jumlah penebangan (siklus tebang) y II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Silvikultur Di Indonesia Silvikultur adalah seni dan ilmu membangun dan memelihara hutan dengan menerapkan ilmu silvika untuk memperoleh manfaat optimal. Menurut

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG 133 PROSIDING Workshop Nasional 2006 134 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG PERTAMA KESIMPULAN 1. Ramin dan ekosistemnya saat ini terancam kelestariannya. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

MODUL 1 SISTEM DAN TEKNIK SILVIKULTUR PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DI INDONESIA PADA DIKLAT WAS-GANIS PEMANENAN HUTAN PRODUKSI

MODUL 1 SISTEM DAN TEKNIK SILVIKULTUR PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DI INDONESIA PADA DIKLAT WAS-GANIS PEMANENAN HUTAN PRODUKSI MODUL 1 SISTEM DAN TEKNIK SILVIKULTUR PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DI INDONESIA PADA DIKLAT WAS-GANIS PEMANENAN HUTAN PRODUKSI Oleh: ELIAS DOSEN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR MEI 2009 MODUL

Lebih terperinci

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT. SARMIENTO PARAKANTJA TIMBER KALIMANTAN TENGAH Oleh : SUTJIE DWI UTAMI E 14102057 DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai bulan Juni tahun 2009, pada areal hutan produksi perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaturan hasil saat ini yang berlaku pada pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia menggunakan sistem silvikultur yang diterapkan pada IUPHHK Hutan Produksi dalam P.11/Menhut-II/2009.

Lebih terperinci

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM KARYA TULIS KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM OLEH : DIANA SOFIA H, SP, MP NIP 132231813 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2007 KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah,

Lebih terperinci

DINAMIKA PERMUDAAN ALAM AKIBAT PEMANENAN KAYU DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) MUHDI, S.HUT., M.SI NIP.

DINAMIKA PERMUDAAN ALAM AKIBAT PEMANENAN KAYU DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) MUHDI, S.HUT., M.SI NIP. KARYA TULIS DINAMIKA PERMUDAAN ALAM AKIBAT PEMANENAN KAYU DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) MUHDI, S.HUT., M.SI NIP. 1961 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 37 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pola Sebaran Pohon Pemetaan sebaran pohon dengan luas petak 100 ha pada petak Q37 blok tebangan RKT 2011 PT. Ratah Timber ini data sebaran di kelompokkan berdasarkan sistem

Lebih terperinci

Baharinawati W.Hastanti 2

Baharinawati W.Hastanti 2 Implementasi Sistem Silvikultur TPTI : Tinjauan eberadaan Pohon Inti dan ondisi Permudaannya (Studi asus di Areal IUPHH PT. Tunas Timber Lestari, Provinsi Papua) 1 Baharinawati W.Hastanti 2 BP Manokwari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Sebaran luas lahan gambut di Indonesia cukup besar, yaitu sekitar 20,6 juta hektar, yang berarti sekitar 50% luas gambut tropika atau sekitar 10,8% dari luas daratan Indonesia.

Lebih terperinci

IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 40 IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Sejarah Pengelolaan Hutan Pengusahaan hutan atas nama PT. Sari Bumi Kusuma memperoleh izin konsesi pengusahaan hutan sejak tahun 1978 sejak dikeluarkannya Forest

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 KAJIAN ASPEK VEGETASI DAN KUALITAS TANAH SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (STUDI KASUS DI AREAL HPH PT. SARI BUMI KUSUMA, KALIMANTAN TENGAH) PRIJANTO PAMOENGKAS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas Lokasi penelitian terletak di dalam areal HPH PT. Sari Bumi Kusuma Unit Seruyan (Kelompok Hutan Sungai Seruyan Hulu) yang berada pada koordinat 111 0 39 00-112

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

EVALUASI PERTUMBUHAN TANAMAN MERANTI PADA SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (KASUS DI KONSESI HUTAN PT

EVALUASI PERTUMBUHAN TANAMAN MERANTI PADA SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (KASUS DI KONSESI HUTAN PT EVALUASI PERTUMBUHAN TANAMAN MERANTI PADA SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (KASUS DI KONSESI HUTAN PT. SARI BUMI KUSUMA UNIT SERUYAN, KALIMANTAN TENGAH) IRVAN DALI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. unsur unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air, vegetasi serta

BAB I PENDAHULUAN. unsur unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air, vegetasi serta BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air, vegetasi serta sumberdaya manusia.das

Lebih terperinci

PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia

PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia Authors : Wahyu Catur Adinugroho*, Haruni Krisnawati*, Rinaldi Imanuddin* * Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan,

Lebih terperinci

KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI HUTAN LOA BEKAS KEBAKARAN 1997/1998 SERTA PERTUMBUHAN ANAKAN MERANTI

KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI HUTAN LOA BEKAS KEBAKARAN 1997/1998 SERTA PERTUMBUHAN ANAKAN MERANTI KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI HUTAN LOA BEKAS KEBAKARAN 1997/1998 SERTA PERTUMBUHAN ANAKAN MERANTI (Shorea spp.) PADA AREAL PMUMHM DI IUPHHK PT. ITCI Kartika Utama KALIMANTAN TIMUR YULI AKHIARNI DEPARTEMEN

Lebih terperinci

SINTESA HASIL PENELITIAN PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI KOORDINATOR: DARWO

SINTESA HASIL PENELITIAN PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI KOORDINATOR: DARWO SINTESA HASIL PENELITIAN PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI KOORDINATOR: DARWO PERMASALAHAN HUTAN ALAM TERFRAGMENTASI HUTAN PRIMER LOA (KONDISI BAIK, SEDANG) LOA RUSAK PENERAPANTEKNOLOGI PENGELOLAAN

Lebih terperinci

Struktur Dan Komposisi Tegakan Sebelum Dan Sesudah Pemanenan Kayu Di Hutan Alam. Muhdi

Struktur Dan Komposisi Tegakan Sebelum Dan Sesudah Pemanenan Kayu Di Hutan Alam. Muhdi Struktur Dan Komposisi Tegakan Sebelum Dan Sesudah Pemanenan Kayu Di Hutan Alam Muhdi Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara tropika yang

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ)

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ) LAMPIRAN 2. PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN NOMOR : P.9/VI-BPHA/2009 TANGGAL : 21 Agustus 2009 PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ) 1 PEDOMAN PELAKSANAAN

Lebih terperinci

KOMPOSISI JENIS SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM TROPIKA SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU

KOMPOSISI JENIS SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM TROPIKA SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU KOMPOSISI JENIS SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM TROPIKA SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU Diana Sofia 1 dan Riswan 1 Staf Pengajar Fakultas Pertanian USU Medan Staf Pengajar SMAN I Unggulan (Boarding

Lebih terperinci

MEMBENDUNG meluasnya preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia

MEMBENDUNG meluasnya preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia www.greenomics.org MEMBENDUNG meluasnya preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia 5 Desember 2011 HPH PT Mutiara Sabuk Khatulistiwa -- yang beroperasi di Provinsi Riau -- melakukan land-clearing hutan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

E ROUP PUROBli\1 .IURUSAN TEKNOLOGI BASIL HUTAN E C\KULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR. Oleh :

E ROUP PUROBli\1 .IURUSAN TEKNOLOGI BASIL HUTAN E C\KULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR. Oleh : PERKEMBANGAN KEADAAN TEGAKAN TINGGAL DAN RIAI' DIAMETER POHON SETELAH PEMANENAN KAYU DENGAl\' SISTEM TPTI DI AREAL HPH PT. KlANI LESTARI KALIMANTAN TIMUR Oleh : ROUP PUROBli\1 E 27.0932.IURUSAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

Proses Pemulihan Vegetasi METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

Proses Pemulihan Vegetasi METODE. Waktu dan Tempat Penelitian 4 praktek perambahan masyarakat lokal melalui aktivitas pertanian atau perladangan berpindah dan mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak. Hal ini sesuai dengan karakteristik usaha kehutanan yang

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

Sejarah Pengelolaan Tanaman IUPHHK PT. Sukajaya Makmur merupakan salah satu dari enam perusahaan yang pertama kali menjadi tempat percontoha

Sejarah Pengelolaan Tanaman IUPHHK PT. Sukajaya Makmur merupakan salah satu dari enam perusahaan yang pertama kali menjadi tempat percontoha V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pertumbuhan Tanaman Meranti Merah (Shorea leprosula) pada Jalur Tanam. Sistem silvikultur TPTII mempunyai dua lokasi pengelolaan, yaitu Jalur Tanam dengan sistem tebang habis

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 28 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Komposisi dan Struktur Tegakan 5.1.1. Komposisi Jenis Komposisi jenis merupakan salah satu faktor yang dapat digunakan untuk mengetahui proses suksesi yang sedang berlangsung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks global emisi gas rumah kaca (GRK) cenderung meningkat setiap tahunnya. Sumber emisi GRK dunia berasal dari emisi energi (65%) dan non energi (35%). Emisi

Lebih terperinci

Hutan. Padang, 20 September Peneliti pada Balai Litbang Kehutanan Sumatera, Aek Nauli

Hutan. Padang, 20 September Peneliti pada Balai Litbang Kehutanan Sumatera, Aek Nauli KAJIAN SISTEM SILVIKULTUR DAN PERTUMBUHAN HUTAN BEKAS TEBANGAN PADA BERBAGAI TIPE HUTAN DI SUMATERA BAGIAN UTARA 1) Oleh : Aswandi 2) dan Rusli MS Harahap 2) ABSTRAK Dasar ilmiah berbagai sistem silvikultur

Lebih terperinci

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang PENDAHULUAN BAB A. Latar Belakang Pemerintah telah menetapkan bahwa pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjadi salah satu prioritas nasional, hal tersebut tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA)

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENlS TUMBUHAN, STRUKTUR TEGAKAN, DAN POLA SEBARAN SPASIAL BEBERAPA SPESIES POHON TERTENTU Dl HUTAN KERANGAS

KEANEKARAGAMAN JENlS TUMBUHAN, STRUKTUR TEGAKAN, DAN POLA SEBARAN SPASIAL BEBERAPA SPESIES POHON TERTENTU Dl HUTAN KERANGAS KEANEKARAGAMAN JENlS TUMBUHAN, STRUKTUR TEGAKAN, DAN POLA SEBARAN SPASIAL BEBERAPA SPESIES POHON TERTENTU Dl HUTAN KERANGAS OLEH : KlSSlNGER PROGRAM PASCASARJAVA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2002 ABSTRAK KISSINGER.

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN Nomor : SK.40/VI-BPHA/2007 TENTANG

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN Nomor : SK.40/VI-BPHA/2007 TENTANG KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN Nomor : SK.40/VI-BPHA/2007 TENTANG PEMBENTUKAN TIM PELAKSANA FASILITASI KEGIATAN SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF (TPTII) PERIODE TAHUN

Lebih terperinci

ANALISA PERTUMBUHAN TEGAKAN MUDA MERANTI (Shorea sp.) DENGAN TEKNIK SILVIKULTUR INTENSIF (SILIN) DI PT. TRIWIRAASTA BHARATA KABUPATEN KUTAI BARAT

ANALISA PERTUMBUHAN TEGAKAN MUDA MERANTI (Shorea sp.) DENGAN TEKNIK SILVIKULTUR INTENSIF (SILIN) DI PT. TRIWIRAASTA BHARATA KABUPATEN KUTAI BARAT Jurnal AGRIFOR Volume XV mor 2, Oktober 2016 ISSN P 1412-6885 ISSN O 2503-4960 ANALISA PERTUMBUHAN TEGAKAN MUDA MERANTI (Shorea sp.) DENGAN TEKNIK SILVIKULTUR INTENSIF (SILIN) DI PT. TRIWIRAASTA BHARATA

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan hujan tropika yang berlokasi di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi sehingga rentan terhadap terjadinya erosi tanah, terlebih pada areal-areal

BAB I PENDAHULUAN. tinggi sehingga rentan terhadap terjadinya erosi tanah, terlebih pada areal-areal BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara beriklim tropis dengan curah hujan yang tinggi sehingga rentan terhadap terjadinya erosi tanah, terlebih pada areal-areal tidak berhutan.

Lebih terperinci

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO 1 PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO RESTU GUSTI ATMANDHINI B E 14203057 DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

KERAGAMAN STRUKTUR TEGAKAN HUTAN ALAM TANAH KERING BEKAS TEBANGAN DI KALIMANTAN HERI EKA SAPUTRA

KERAGAMAN STRUKTUR TEGAKAN HUTAN ALAM TANAH KERING BEKAS TEBANGAN DI KALIMANTAN HERI EKA SAPUTRA KERAGAMAN STRUKTUR TEGAKAN HUTAN ALAM TANAH KERING BEKAS TEBANGAN DI KALIMANTAN HERI EKA SAPUTRA DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 KERAGAMAN STRUKTUR TEGAKAN HUTAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) merupakan salah satu penghasil batubara terbesar di Indonesia. Deposit batubara di Kalimantan Timur mencapai sekitar 19,5 miliar ton

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon

BAB I PENDAHULUAN. dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Definisi atau pengertian tentang hutan menurut Dengler (1930) dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon atau tumbuhan berkayu lainya

Lebih terperinci

Sistem silvikultur. Sistem silvikultur & Model Struktur Hutan:

Sistem silvikultur. Sistem silvikultur & Model Struktur Hutan: Sistem silvikultur. Sistem silvikultur & Model Struktur Hutan: Sistem Silvikultur, Daur & Rotasi Tebang, Hutan Normal & Regulated Forest Suatu sistem silvikultur : menjabarkan kegiatan, karakteristik dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. klimaks pada daerah dengan curah hujan mm per tahun, rata-rata

BAB I PENDAHULUAN. klimaks pada daerah dengan curah hujan mm per tahun, rata-rata 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI)

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) LAMPIRAN 1. PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN NOMOR : P.9/VI-BPHA/2009 TANGGAL : 21 Agustus 2009 PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) 1 PEDOMAN PELAKSANAAN

Lebih terperinci

Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. IX No. 2 : (2003)

Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. IX No. 2 : (2003) Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. IX No. 2 : 35-44 (2003) Artikel (Article) VERIFIKASI MODEL SISTEM PENGELOLAAN TEGAKAN HUTAN ALAM SETELAH PENEBANGAN DENGAN TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) II Verification

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 08.1/Kpts-II/2000 TENTANG KRITERIA DAN STANDAR PEMANFAATAN HASIL HUTAN DALAM HUTAN PRODUKSI SECARA LESTARI

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 08.1/Kpts-II/2000 TENTANG KRITERIA DAN STANDAR PEMANFAATAN HASIL HUTAN DALAM HUTAN PRODUKSI SECARA LESTARI KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 08.1/Kpts-II/2000 TENTANG KRITERIA DAN STANDAR PEMANFAATAN HASIL HUTAN DALAM HUTAN PRODUKSI SECARA LESTARI MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa berdasarkan Pasal 2

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi

BAB I PENDAHULUAN. Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi untuk mencukupi kebutuhan kayu perkakas dan bahan baku industri kayu. Guna menjaga hasil

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN Nomor : SK.41/VI-BPHA/2007 TENTANG

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN Nomor : SK.41/VI-BPHA/2007 TENTANG KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN Nomor : SK.41/VI-BPHA/2007 TENTANG PENUNJUKAN PEMEGANG IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN ALAM SEBAGAI MODEL PEMBANGUNAN SILVIKULTUR

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

PERBANDINGAN KUALITAS TEMPAT TUMBUH ANTARA DAUR PERTAMA DENGAN DAUR KEDUA PADA HUTAN TANAMAN Acacia mangium Willd BASUKI WASIS

PERBANDINGAN KUALITAS TEMPAT TUMBUH ANTARA DAUR PERTAMA DENGAN DAUR KEDUA PADA HUTAN TANAMAN Acacia mangium Willd BASUKI WASIS PERBANDINGAN KUALITAS TEMPAT TUMBUH ANTARA DAUR PERTAMA DENGAN DAUR KEDUA PADA HUTAN TANAMAN Acacia mangium Willd (Studi Kasus di HTI PT Musi Hutan Persada, Propinsi Sumatera Selatan) BASUKI WASIS SEKOLAH

Lebih terperinci

Judul Buku: Sistem Silvikultur di Indonesia Teori dan Implementasi. Dr. Wahyudi SISTEM SILVIKULTUR DI INDONESIA TEORI DAN IMPLEMENTASI

Judul Buku: Sistem Silvikultur di Indonesia Teori dan Implementasi. Dr. Wahyudi SISTEM SILVIKULTUR DI INDONESIA TEORI DAN IMPLEMENTASI 0 SISTEM SILVIKULTUR DI INDONESIA TEORI DAN IMPLEMENTASI Judul Buku: Sistem Silvikultur di Indonesia Teori dan Implementasi Ditulis Oleh: Dr. Wahyudi Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Tahun 2013 Diterbitkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pengelolaan hutan alam produksi, produktivitas hutan menjadi satu

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pengelolaan hutan alam produksi, produktivitas hutan menjadi satu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam pengelolaan hutan alam produksi, produktivitas hutan menjadi satu tuntutan yang harus dipenuhi. Produktivitas ditentukan oleh kualitas tempat tumbuh dan teknik

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) merupakan upaya strategis dalam mengatasi permasalahan kelangkaan bahan baku industri pengolahan kayu domestik di Indonesia. Tujuan pembangunan

Lebih terperinci

PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS

PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS (Pinus merkusii) DENGAN METODE KOAKAN DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT YUDHA ASMARA ADHI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI

MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NOMOR P.12/MENLHK-II/2015

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS MERANTI (SHORE SPP) PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA PROPINSI KALIMANTAN BARAT

KEANEKARAGAMAN JENIS MERANTI (SHORE SPP) PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA PROPINSI KALIMANTAN BARAT KEANEKARAGAMAN JENIS MERANTI (SHORE SPP) PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA PROPINSI KALIMANTAN BARAT Diversity of Species Meranti (Shore spp) In Protected Forest Area Ambawang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli ` I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM. Gambar 3. Peta Lokasi PT. RAPP (Sumber: metroterkini.com dan google map)

IV. KONDISI UMUM. Gambar 3. Peta Lokasi PT. RAPP (Sumber: metroterkini.com dan google map) 19 IV. KONDISI UMUM 4.1 Profil Umum PT. Riau Andalan Pulp and Paper PT. Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP) adalah bagian dari Asia Pasific Resources International Holdings Limitied (APRIL) Group, perusahaan

Lebih terperinci

Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September )

Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September ) KONSERVASI TANAH DAN AIR: PEMANFAATAN LIMBAH HUTAN DALAM REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN TERDEGRADASI 1) Oleh : Pratiwi 2) ABSTRAK Di hutan dan lahan terdegradasi, banyak dijumpai limbah hutan berupa bagian

Lebih terperinci

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Multisistem.

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Multisistem. Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan Policy ISSN : 2085-787X Volume 4 No. 4 Tahun 2010 Daftar Isi Ringkasan 1 Latar

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG RUMPANG (TR)

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG RUMPANG (TR) LAMPIRAN 3. PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN NOMOR : P.9/VI-BPHA/2009 TANGGAL : 21 Agustus 2009 PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG RUMPANG (TR) 1 PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG HABIS PENANAMAN BUATAN (THPB)

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG HABIS PENANAMAN BUATAN (THPB) LAMPIRAN 4. PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN NOMOR : P.9/VI-BPHA/2009 TANGGAL : 21 Agustus 2009 PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG HABIS PENANAMAN BUATAN (THPB) 1 PEDOMAN

Lebih terperinci

Dewi Kartika Sari, Iskandar AM,Gusti Hardiansyah Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura. Jln Imam Bonjol Pontianak

Dewi Kartika Sari, Iskandar AM,Gusti Hardiansyah Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura. Jln Imam Bonjol Pontianak POTENSI PERTUMBUHAN MERANTI DI AREAL BEKAS TEBANGAN DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ) DI PT. SUKA JAYA MAKMUR KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT The Potential of Meranti growth

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 201/KPTS-II/1998. Tentang

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 201/KPTS-II/1998. Tentang MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 201/KPTS-II/1998 Tentang PEMBERIAN HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DENGAN SISTEM TEBANG PILIH DAN TANAM JALUR KEPADA ATAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang berkaitan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang berkaitan dengan manusia di muka bumi. Hutan menjadi pemenuhan kebutuhan manusia dan memiliki fungsi sebagai penyangga

Lebih terperinci

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis

Lebih terperinci

PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI

PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Hutan tropis ini merupakan habitat flora dan fauna (Syarifuddin, 2011). Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menutupi banyak lahan yang terletak pada 10 LU dan 10 LS dan memiliki curah

BAB I PENDAHULUAN. menutupi banyak lahan yang terletak pada 10 LU dan 10 LS dan memiliki curah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe vegetasi hutan tertua yang menutupi banyak lahan yang terletak pada 10 LU dan 10 LS dan memiliki curah hujan sekitar 2000-4000

Lebih terperinci

MONITORING LINGKUNGAN

MONITORING LINGKUNGAN MONITORING LINGKUNGAN Monitoring dalam kegiatan pengelolaan hutan sangat diperlukan guna mengetahui trend/kecenderungan perkembangan vegetasi (flora), fauna maupun kondisi alam dengan adanya kegiatan pengelolaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hujan atau presipitasi merupakan jatuhnya air dari atmosfer ke permukaan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hujan atau presipitasi merupakan jatuhnya air dari atmosfer ke permukaan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hujan atau presipitasi merupakan jatuhnya air dari atmosfer ke permukaan bumi baik dalam bentuk cairan maupun es. Hujan merupakan faktor utama pengendali daur hidrologis

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA PENGELOLAAN HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan lingkungan seperti banjir, erosi dan longsor terjadi dimana-mana pada musim penghujan, sedangkan pada musim kemarau terjadi kekeringan dan kebakaran hutan

Lebih terperinci

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, pada 3 tipe penggunaan lahan gambut yaitu; Hutan Alam, Kebun Rakyat dan Areal HTI Sagu, yang secara geografis

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanenan Hutan Pemanenan merupakan kegiatan mengeluarkan hasil hutan berupa kayu maupun non kayu dari dalam hutan. Menurut Suparto (1979) pemanenan hasil hutan adalah serangkaian

Lebih terperinci

MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI

MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya

Lebih terperinci

STRATEGI PENYELAMATAN EBONI (Diospyros celebica Bakh.) DARI ANCAMAN KEPUNAHAN. Edi Kurniawan

STRATEGI PENYELAMATAN EBONI (Diospyros celebica Bakh.) DARI ANCAMAN KEPUNAHAN. Edi Kurniawan Strategi Penyelamatan Eboni (Diospyros celebica Bakh.) dari... STRATEGI PENYELAMATAN EBONI (Diospyros celebica Bakh.) DARI ANCAMAN KEPUNAHAN Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Jl. Perintis Kemerdekaan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN A. Dasar Manajemen Hutan working plan perhitungan dan pengaturan hasil Manajemen Hutan

1. PENDAHULUAN A. Dasar Manajemen Hutan working plan perhitungan dan pengaturan hasil Manajemen Hutan 1. PENDAHULUAN A. Dasar Manajemen Hutan Manajemen hutan merupakan suatu pengertian luas dari pengetrapan / aplikasi pengetahuan tentang kehutanan dan ilmu yang sejenis dalam mengelola hutan untuk kepentingan

Lebih terperinci

ANALISIS VEGETASI DAN PENDUGAAN CADANGAN KARBON DI KAWASAN HUTAN CAGAR ALAM LEMBAH HARAU KABUPATEN 50 KOTA SUMATERA BARAT

ANALISIS VEGETASI DAN PENDUGAAN CADANGAN KARBON DI KAWASAN HUTAN CAGAR ALAM LEMBAH HARAU KABUPATEN 50 KOTA SUMATERA BARAT ANALISIS VEGETASI DAN PENDUGAAN CADANGAN KARBON DI KAWASAN HUTAN CAGAR ALAM LEMBAH HARAU KABUPATEN 50 KOTA SUMATERA BARAT SKRIPSI MHD. IKO PRATAMA 091201072 BUDIDAYA HUTAN PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS

Lebih terperinci