Judul Buku: Sistem Silvikultur di Indonesia Teori dan Implementasi. Dr. Wahyudi SISTEM SILVIKULTUR DI INDONESIA TEORI DAN IMPLEMENTASI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Judul Buku: Sistem Silvikultur di Indonesia Teori dan Implementasi. Dr. Wahyudi SISTEM SILVIKULTUR DI INDONESIA TEORI DAN IMPLEMENTASI"

Transkripsi

1 0

2 SISTEM SILVIKULTUR DI INDONESIA TEORI DAN IMPLEMENTASI Judul Buku: Sistem Silvikultur di Indonesia Teori dan Implementasi Ditulis Oleh: Dr. Wahyudi Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Tahun 2013 Diterbitkan Oleh: Dr. Wahyudi Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya Jl. Yos Sudarso, 73111, Palangka Raya, Indonesia Telepon: , ISBN Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Ketentuan Pidana Pasal 72 (ayat 2): Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp ,00 (lima ratus juta rupiah).

3 KATA PENGANTAR Indonesia sebagai pemilik hutan tropis terbesar ketiga di dunia sudah selayaknya memiliki sistem silvikultur untuk mengelola hutan produksi secara lestari. Sistem silvikultur Tebang Habis dengan Permudaan Buatan telah diterapkan di Pulau Jawa sejak jaman kolonial Belanda dan masih dipakai hingga saat ini untuk mengelola hutan tanaman sedangkan sistem silvikultur Tebang Pilih untuk mengelola hutan alam baru dimulai tahun 1972 dan senantiasa mengalami perubahan seiring perkembangan kehutanan dan kebijakan pemerintah. Buku Sistem Silvikultur di Indonesia, Teori dan Implementasi ini disusun berdasarkan teori dan praktek silvikultur yang didapatkan dari penerapan sistem Tebang Pilih Indonesia (TPI), Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII), Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ), Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB), sistem Agroforestry, Tebang Jalur Tanam Indonesia (TJTI) serta plot penelitian Tebang Rumpang yang menghasilkan draft system silvikultur Tebang Pilih Tanam Rumpang (TPTR). Tahapan kegiatan dalam setiap sistem silvikultur dalam buku ini diuraikan secara lengkap menggunakan petunjuk teknis sesuai dengan sistem masing-masing dengan tujuan memberi pengetahuan dan bekal bagi para pembaca tentang praktek beberapa sistem silvikultur yang pernah dan sedang diimplementasikan di lapangan. Meskipun beberapa tahapan kegiatan tersebut sudah tidak dianjurkan dengan alasan efisiensi dan efektifitas, namun relevansi dan urgensi tahapan tersebut masih sangat terasa dan masih penting untuk diketahui, khususnya bagi para praktisi dan rimbawan dalam melakukan pengelolaan hutan secara bijaksana sesuai sifat dan kondisi ekosistemnya. Penulis juga menyadari bahwa buku ini masih banyak kekurangan. Untuk itu saran dan kritik sangat diharapkan untuk perbaikan pada edisi mendatang. Akhirnya dengan segala keterbatasan yang ada, penulis berharap, semoga buku ini bermanfaat bagi kita. Terima kasih. Penulis, Dr. Wahyudi

4 SAMBUTAN Saya sangat mengapresiasi buku berjudul Sistem Silvikultur di Indonesia, Teori dan Implementasi yang ditulis oleh Dr. Wahyudi. Tulisan ini merupakan salah satu dari 100 karya tulis yang lulus dan mendapat pembiayaan dari Dirjen Dikti tahun 2014 melalui Program Hibah Penulisan Buku Ajar Perguruan Tinggi. Sebagai reviewer, saya mendapat kesempatan untuk membaca dan terlibat dalam pembahasan buku ini. Buku ini sangat baik dibaca oleh para pihak yang ingin menambah ilmu pengetahuan dan teknologi serta praktek silvikultur di hutan produksi Indonesia. Dr.Ir.Prijanto Pamoengkas,M.Sc F.Trop Ketua Program Studi Silvikultur, IPB SAMBUTAN Buku ini berusaha menghimpun sistem-sistem silvikultur yang pernah dan sedang diterapkan pada hutan Indonesia, mulai dari sistem Tebang Pilih Indonesia tahun 1972 sampai sistem Tebang Jalur Tanam Indonesia yang disusun tahun Pada beberapa bagian, penulis juga menyertakan perhitungan untuk memprediksi sediaan hutan pada siklus tebang berikutnya berdasarkan model dinamis yang berkembang dalam ekosistem hutan. Suatu usaha yang baik. Buku ini dapat menjadi bagian dari referensi buku kehutanan kita. Prof. Dr. Ir. Samuel A. Paembonan, MSc Guru besar silvikultur, Universitas Hasanuddin

5 DAFTAR ISI SAMBUTAN Paradikma baru pengelolaan hutan adalah kembali pada alam (back to nature). Prinsip kelestarian hasil hutan (sustained yield principles) yang diterapkan tahun 80-an sudah tidak sejalan lagi dengan perkembangan ilmu dan pengetahuan kehutanan saat ini. Pengelolaan hutan harus bertumpu pada kelestarian ekosistem hutan (sustained forest ecosystem) karena pohon merupakan bagian dari ekosistem itu sendiri. Buku ini menjelaskan tentang praktek silvikultur di Indonesia yang disertai dengan pengenalan dasar-dasar dan teori tentang silvikultur menggunakan paradikma baru dalam pengelolaan hutan, sehingga pembaca dapat mengetahui secara baik tentang pelaksanaan sistem silvikultur di hutan Indonesia. Saya mengucapkan selamat kepada penulis yang telah menghimpun pengetahuan silvikultur dalam buku ini. Prof. Dr. Ir. Nina Mindawati, MS Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI I. II. III. IV. V. VI. VII. Halaman KATA PENGANTAR... iii SAMBUTAN... v DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi PENDAHULUAN... 1 KEBIJAKAN DAN SISTEM SILVIKULTUR... 8 A. Sejarah dan Kebijakan... 8 B. Pengertian Sistem Silvikultur C. Landasan Sistem Silvikultur D. Beberapa Sistem Silvikultur PERTUMBUHAN DAN HASIL A. Pertumbuhan Pohon B. Perhitungan Hasil C. Pemodelan Dinamika Hutan D. Analisis Finansial Proyek Kehutanan TEBANG PILIH INDONESIA A. Pengertian dan Dasar TPI B. Tahapan Kegiatan Sistem TPI C. Evaluasi Sistem TPI TEBANG PILIH TANAM INDONESIA A. Pengertian dan Dasar TPTI B. Tahapan Kegiatan Sistem TPTI C. Evaluasi Sistem TPTI TEBANG PILIH TANAM JALUR A. Pengertian dan Dasar TPTJ B. Tahapan Kegiatan Sistem TPTJ C. Evaluasi Sistem TPTJ TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIP A. Pengertian dan Dasar TPTII B. Tahapan Kegiatan Sistem TPTII C. Evaluasi Sistem TPTII

6 VIII. IX. X. XI. XII. TEBANG RUMPANG... A. Pengertian dan Dasar TR... B. Tahapan Kegiatan Sistem TR... C. Evaluasi Sistem TR... TEBANG HABIS DENGAN PERMUDAAN BUATAN... A. Pengertian dan Dasar THPB... B. Tahapan Kegiatan Sistem THPB... C. Evaluasi Sistem THPB... TEBANG HABIS DENGAN PERMUDAAN ALAM... A. Pengertian dan Dasar THPA... B. Tahapan Kegiatan Sistem THPA... C. Evaluasi Sistem THPA... AGROFORESTRY... A. Pengertian dan Dasar Agroforestry... B. Hubungan Agroforestry dengan Bidang Lain... C. Desain Agroforestry... MULTISISTEM SILVIKULTUR... A. Pengertian dan Dasar Multisistem Silvikultur... B. Pelaksanaan Multisistem Silvikultur... DAFTAR PUSTAKA... LAMPIRAN.... DAFTAR ISTILAH DAFTAR TABEL Nomor Halaman Teks Kerapatan tingkat semai, pancang, tiang dan pohon pada hutan bekas tebangan... Persyaratan batas diameter, rotasi, jumlah dan diameter pohon inti sistem TPI... Syarat pelaksanaan sistem TPI dan pedoman TPI hasil revisi tahun Perbedaan tahapan sistem TPTI tahun 1989 dan Thally sheet kegiatan PAK... Thally sheet kegiatan ITSP... Thally sheet kegiatan Penebangan... Perbandingan sistem RIL dan konvensional pada kegiatan eksploitasi hutan... Thally sheet kegiatan perapihan... Thally sheet kegiatan ITT... Thally sheet kegiatan tempat kosong dan kurang permudaan... Thally sheet kegiatan pembebasan I... Thally sheet kegiatan pengadaan bibit... Thally sheet kegiatan pengayaan/rehabilitasi... Thally sheet kegiatan pemeliharaan... Thally sheet kegiatan pembebasan II dan III... Thally sheet kegiatan penjarangan I, II, III... Tahapan kegiatan TPTJ... Dampak pemanenan pada jalur antara sistem TPTJ... Beberapa jenis pohon yang muncul pada daerah terbuka bekas penebangan

7 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman Teks State of the art sistem silvikultur... Sebaran kawasan hutan alam yang pernah dan sedang dibebani konsesi... Tegakan Eucalyptus pellita di Kalsel... Areal bekas tebangan sistem TPTI... Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan pohon... Kurva pertumbuhan pohon, CAI dan MAI... Contoh penataan areal kerja hutan tanaman... Model pertumbuhan tanaman meranti... Struktur diameter tanaman meranti... Model perkembangan semai pada hutan alam setelah penebangan... Diagram alir stok pohon berdasarkan fungsi kerapatan tegakan... Contoh penataan seluruh areal kerja pada sistem TPTI... Contoh label pohon tebang, pohon inti dan pohon dilindungi... Penandaan dan penempelan label pohon... Pengangkutan kayu bulat... Pengukuran jaringan jalan menggunakan theodolit... Tempat pengumpulan kayu... Posisi petak ukur sesuai tingkat pertumbuh annya pada kegiatan ITT... Kegiatan ITT... Persemaian tempat memproduksi bibit... Hasil kegiatan penanaman Shorea spp... Posisi jalur bersih dan jalur antara pada sistem TPTJ... Tingkat penutupan tajuk pada sistem TPTJ... Kurva sigmoid, CAI dan MAI pada meranti... Respon pertumbuhan volume pada Shorea leprosula terhadap pemanenan... Kuvio dengan bestek yang jelas pada sistem Tebang Rumpang Pembibitan sistem THPB di tempat terbuka... Pengangkutan bibit ke lokasi penanaman... Pengolahan lahan secara mekanis... Penyiapan lahan secara kimia... Hutan tanaman dibuat dengan sistem THPB (a) tanaman sungkai (b) tanaman ampupu... Pemanenan Acacia mangium secara manual... Sistem mekanis penuh dalam pemanenan hasil hutan kayu... Agroforestry: tanaman pokok (jati) dengan tanaman semusim (jagung)... Sistem agroforestry: tanaman keras melindungi tanaman semusim dari angin/ badai... Rehabilitasi lahan dengan agroforestry... Sistem agroforestry mengoptimalkan penggunaan lahan... Menugal. menyemai benih padi gogo diantara tanaman sengon... Tanaman padi gogo berdampingan dengan tanaman sengon... Kawasan hutan produksi terfragmentasi... Respon perkembangan kerapatan pohon masak tebang terhadap pemanenan sistem TPTI di PT GM... Respon perkembangan kerapatan pohon masak tebang terhadap pemanenan sistem TPTJ di PT GM... Tanaman sengon dibangun pada lahan kosong dalam kawasan hutan produksi... Sistem agroforestry tanaman sengon dan padi gogo... Lereng Gunung Tambora di Sumbawa merupakan hutan alam monokultur yang dikelola menggunakan sistem TJTI... Tanaman meranti merah umur 20 tahun pada sistem TPTR

8 I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan tropika terluas di dunia setelah Brasilia di Amerika Selatan dan Zaire di Afrika sekaligus menyimpan keanekaragaman hayati (biodiversity) tertinggi setelah Brasilia. Berdasarkan batas geografis, hutan tropika terletak antara 23½o LU sampai 23½o LS, yang dicirikan dengan lanskap yang selalu hijau (evergreen), intensitas cahaya matahari merata sepanjang tahun serta curah hujan yang relatif tinggi. Dalam rentang batas tersebut, dapat dijumpai beberapa formasi hutan tropika seperti hutan pantai (coastal) atau hutan bakau (mangrove forest), hutan gambut (peat forest), hutan rawa (swam forest), hutan dataran rendah (low land forest), hutan dataran tinggi (high land forest) dan hutan pegunungan (mountain forest). Pada mosaik hutan daratan dengan formasi edafis yang khas (sand soil) sering dijumpai formasi hutan kerangas (heath forest) dan pada formasi klimatis yang khas terdapat hutan musim (monsoon forest) dan sering terbentuk tegakan yang menggugurkan daur daun (deciduous forest). Sejak tahun 2000 sampai tahun 2009, luas kawasan hutan di Indonesia dilaporkan 120,35 juta ha yang menempati lebih dari 60 % luas daratan Indonesia (Balitbanghut 2008). Namun berdasarkan hasil penataan kawasan hutan tahun 2010 tercatat luas kawasan hutan sebesar 137,6 juta ha (Ditjen BUK 2011). Berdasarkan UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, kawasan hutan di Indonesia dibagi menjadi tiga berdasarkan fungsinya, yaitu fungsi perlindungan, fungsi konservasi dan fungsi produksi. Kawasan hutan produksi, baik hutan produksi tetap maupun hutan produksi terbatas, dikelola melalui sistem konsesi hutan berdasarkan azas kelestarian ekosistem hutan (sustainable forest management) dan azas manfaat yang meliputi aspek produksi, ekologi dan sosial. Pengelolaan hutan alam produksi dengan sistem konsesi dalam bentuk Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA) (dulu bernama Hak Pengusahaan Hutan HPH) dilakukan sejak awal tahun 70-an dengan berlandaskan pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan. PP ini lahir sebagai penjabaran dari UU Nomor 1 tahun 1967, UU Nomor 5 tahun 1967 dan UU Nomor 6 tahun Sistem silvikultur yang dipergunakan pertama kali adalah Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPI) berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal (SK Dirjen) Kehutanan Nomor 35/KPTS/DD/1/1972 tanggal 13 Maret Pada tahun 1989 sistem TPI diganti dengan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Pada tahun 1997 dikeluarkan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) dalam skala uji coba dan pada tahun 2005 dikeluarkan sistem yang hampir sama yaitu Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII). Beberapa sistem silvikultur lain yang pernah diterapkan secara terbatas dalam skala uji coba pada beberapa izin konsesi hutan alam adalah Tebang Jalur Tanam Indonesia (1993), Tebang Jalur Tanam Konservasi (1994), Hutan Tanaman Industri dengan Tebang Tanam Jalur (1997), Tebang Rumpang dan Bina Pilih. Sistem silvikultur agroforestry banyak diterapkan di dalam dan di luar kawasan hutan dengan melibatkan masyarakat setempat sedangkan sistem silvikultur yang bersifat perlindungan dan konservasi alam diterapkan dalam kawasan hutan lindung dan hutan konservasi. Kawasan hutan produksi yang tidak produktif berupa hutan rawang dan semak belukar dapat dibangun hutan tanaman menggunakan sistem silvikultur tebang habis perbuatan buatan (THPB) sedangkan pada padang alang-alang dan tanah kosong dapat dilakukan reboisasi. Sistem silvikultur adalah rangkaian kegiatan yang terencana dan sistematis mengenai kegiatan pengelolaan hutan yang terdiri dari beberapa kegiatan teknis seperti pembibitan, penanaman, perawatan dan pemanenan. Kegiatan ini semakin berkembang dengan adanya pengendalian hama terpadu, pemuliaan pohon, rekayasa tapak, pengelolaan struktur dan

9 komposisi tegakan dan lain-lain. Sistem silvikultur juga pernah mengakomodasi kepentingan pemanfaatan hasil hutan, terutama kayu bulat, secara berlebihan sehingga mengedepankan prinsip kelestarian hasil hutan (sustained yield principle). Prinsip ini terbukti kurang sesuai sehingga perlu diganti dengan prinsip kelestarian hutan (sustained forest management) yang mengedepankan aspek ekosistem setempat. Pada dua dasawarsa pertama semenjak sistem konsesi hutan alam dibuka, kepentingan pemanfaatan hasil hutan kayu telah memenuhi sasarannya sampai mengantarkan Indonesia sebagai penghasil kayu bulat terbesar di dunia, menjadi pemasok 79 persen kebutuhan tropical hardwood dunia dan eksportir plywood terbesar di dunia. Pada akhir tahun 80-an sektor kehutanan menyumbang devisa terbesar setelah migas. Pada masa itu produksi kayu bulat Indonesia pernah mencapai juta meter kubik per tahun. Keberhasilan pemanfaatan hasil hutan kayu dari hutan alam rupanya tidak diikuti dengan keberhasilan regenerasi hutan. Laju kerusakan hutan (forest degradation) dan perubahan hutan (deforestation) di Indonesia terus meningkat dan mencapai puncaknya pada masa reformasi digulirkan sebagai imbas dari eforia masyarakat. Hutan tropis Indonesia mengalami deforestasi sebesar 1,8 juta ha/tahun ( ) sampai 2,8 juta ha/tahun ( ). Indonesia pernah tercacat sebagai negara dengan laju kerusakan hutan tercepat didunia (Global Forest Resources Assessment (GFRA 2005) dan menyandang predikat sebagai negara penghasil gas rumah kaca (CO2) terbesar ke-3 di dunia. Kerusakan hutan di Indonesia disebabkan banyak faktor yang saling berkaitan, diantaranya konversi hutan untuk berbagai kepentingan di luar sektor kehutanan seperti perkebunan, pertambangan, areal pemukiman, pertanian dan lain-lain. Faktor lainnya adalah kebakaran hutan (forest fire) dan lahan, penebangan liar (illegal logging), perambahan hutan, perladangan berpindah (shifting cultivation), kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar hutan yang masih miskin, lemahnya kelembagaan, koordinasi dan konsolidasi, lemahnya pengawasan dan evaluasi, lemahnya penegakan hukum (low enforcement), ketimpangan antara kemampuan suplai kayu bulat dengan kapasitas terpasang industri pengolahan kayu, penebangan lebih besar dari riap hutan, konsesi hutan, lesunya pembangunan hutan tanaman, pungutan liar dan lain-lain. Faktor lain yang perlu mendapat perhatian adalah sistem dan teknik silvikultur yang digunakan dalam mengelola hutan. Para ahli kehutanan menilai sistem silvikultur yang pakai untuk mengelola hutan di Indonesiadi sudah cukup baik, namun dalam tahap pelaksanaan di lapangan terdapat pergeseran atau penyimpangan dari ketentuan yang termuat dalam sistem itu sendiri. Banyak pula yang berpendapat masih terdapat kelemahan dalam sistem silvikultur kita. Sistem TPI dirasakan masih terlalu sulit dalam aplikasinya karena menggunakan beberapa pilihan teknis limit diameter berdasarkan kondisi hutan yang tidak mudah dipraktekan di lapangan serta aspek pembinaan hutan yang masih belum memadai dibanding kegiatan pemungutan hasil hutan kayu. Kelemahan sistem TPTI terletak pada aspek pengawasan (controlling) dan indikator keberhasilan regenerasi hutan, baik dari tegakan tinggal (residual trees) maupun hasil penanaman perkayaan (enrichment planting). Melimpahnya permudaan alam sering dijadikan alasan untuk mengabaikan kegiatan penanaman pengayaan di lapangan. Sistem kubikasi yang diterapkan dalam kegiatan eksploitasi hutan membawa dampak yang kurang baik pada tegakan tinggal. Para penebang sering memilih pohonpohon yang besar dan bernilai tinggi dengan meninggalkan jenis yang kurang dikenal (lesser know species) serta pohonpohon cacat, seperti growong, terpuntir, luka dan sebagainya. Akhirnya komposisi tegakan tinggal akan lebih banyak terisi oleh pohon-pohon berkualitas lebih rendah dan cacat. Dikhawatirkan, regenerasi hutan berikutnya didominasi bibitbibit yang berasal dari tegakan yang berkualitas rendah tersebut sehingga teknik ini dapat menyebabkan degradasi genetik tegakan.

10 Untuk meningkatkan transparansi kegiatan regenerasi hutan serta meningkatkan pertumbuhan tanaman, diperkenalkan sistem TPTJ. Namun sistem ini dinilai beberapa pihak masih mengandung kerawanan karena adanya variasi lebar jalur tanam, yang menerapkan tebang habis, sehingga dikhawatirkan mengurangi keanekaragaman jenis di areal tersebut serta dapat disalah gunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Sistem TPTII hanya menerapkan satu cara saja dalam pembuatan jalur tanam dengan lebar 3 meter serta jalur antara 17 meter. Adanya titik-titik kelemahan semacam ini dijadikan alasan untuk mengganti sistem silvikultur yang satu dengan lainnya, meskipun sistem silvikultur lama belum pernah tuntas sampai satu siklus tebang atau akhir daur. Namun demikian ada baiknya apabila kita tetap mengkaji kembali semua sistem silvikultur yang pernah dan sedang diterapkan di hutan Indonesia untuk mendapatkan akumulasi historis ilmu pengetahuan dan teknologi kehutanan yang bermanfaat dalam melangkah ke depan serta mengambil pelajaran berharga dari pengalaman masa lalu. Pembangunan hutan tanaman seharusnya dilakukan pada kawasan hutan tidak produktif, yaitu semak belukar, padang alang-alang dan lahan kosong. Namun banyak kasus di lapangan menyalahi ketentuan tersebut. Pembangunan hutan tanaman yang memerlukan dana besar sering dijadikan alasan untuk mengambil hasil hutan kayu melalui tebang penyiapan lahan sebelum penanaman itu dilakukan. Mereka lupa bahwa kondisi tanah di hutan tropis yang marginal rentan terhadap pencucian hara dan erosi, sehingga sangat cepat mengalami degradasi kesuburan. Tanaman biasanya tumbuh subur pada 3 sampai 5 tahun pertama, setelah itu mengalami staknasi disebabkan minimnya unsur hara tanah yang tersisa. Menurut Wasis (2006), telah terjadi penurunan kualitas tempat tumbuh sebesar 26,6% di hutan tanaman yang berdampak pada penurunan pertumbuhan diameter sebesar 19,8%; biomassa sebesar 16,8% dan volume batang sebesar 19,0%. Hal ini disebabkan adanya penurunan ph tanah C organik, N, Ca dan Mg. Pemanfaatan dana reboisasi dinilai belum efektif untuk menunjang kegiatan reboisasi itu sendiri, terutama dalam mengatasi peningkatan jumlah kawasan hutan yang tidak produktif dan lahan kosong. Dalam banyak kasus pemanfaatan dana yang berasal dari kayu bulat hutan alam ini sering menyimpang dari tujuan semula, bahkan pernah dipergunakan untuk hal-hal diluar sektor kehutanan seperti pembangunan pabrik pesawat terbang di Bandung dan pembukaan lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan Tengah. Tropical Forest Landscape Wet Land Mangrove Forest Peat Forest Dry Land Swamp Forest Protection Forest Production Forest Berhutan Kawasan lindung Kawasan produksi Sistem Silvikultur TPI, TPTI, TPTJ,TPTII Low Land Forest Lestari High Land Forest Mountain Forest Heath Monsoon Forest Forest Conservation Forest Tidak produktif Kawasan Semak be non produksi lukar,alangalang, lahan Degradasi kosong Hutan tanaman Gambar 1. State of the art penerapan sistem silvikultur pada hutan produksi Target pembangunan hutan tanaman industri sebesar 6 juta ha pada tahun 1990 hanya terealisasi 2-3 juta ha (berdasarkan

11 laporan). Pengucuran dana reboisasi untuk kegiatan Gerakan Nasional-Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) juga masih belum menampakkan hasil. Pada tahun 2007 Departemen Kehutanan meluncurkan program Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dengan target 9 juta ha sampai tahun Pengelolaan hutan alam dan pembangunan hutan tanaman di daerah tropis dapat memberi prospek yang sangat baik karena wilayah ini kaya akan sinar matahari dan curah hujan, sebagai modal utama bagi pertumbuhan pohon. Sebagai contoh, untuk mendapatkan potensi kayu bulat sebesar 60 m3/ha, Indonesia hanya memerlukan waktu 6 tahun sementara Korea Selatan di daerah temperate memerlukan waktu hingga 60 tahun. Namun, apabila terjadi kesalahan dalam pengelolaan hutan dan penerapan sistem silvikultur di daerah tropis, degradasi hutan akan lebih mudah terjadi dan memerlukan waktu yang lama untuk pemulihannya (recovery), karena dengan curah hujan dan suhu yang tinggi, proses penguraian dan pelapukan bahan induk juga berjalan lebih cepat yang diikuti oleh laju pencucian hara dan erosi yang tinggi. Kedepan, pembangunan kehutanan akan semakin mendapat perhatian dengan semakin meningkatnya kebutuhan akan hasil hutan kayu (timber forest product) dan hasil hutan non kayu (non timber forest product), terlebih lagi adanya kecenderungan back to nature, perhatian pada keanekaragaman jenis (biodiversity) dan isu perubahan iklim serta pemanasan global (global warming and climate change issues). II. KEBIJAKAN DAN SISTEM SILVIKULTUR A. Sejarah dan Kebijakan Sejarah pengelolaan hutan alam di luar Jawa pada jaman Belanda belum banyak dilaporkan kecuali dalam skala kecil di Kalimantan Timur, demikian pula pada jaman Jepang. Pada jaman orde lama pengelolaan hutan alam telah dilakukan di Kalimantan Timur dalam skala terbatas. Pada jaman ini pemerintah menyadarai adanya keterbatasan sumber daya manusia dalam pengelolaan sumber daya hutan. Dengan mengacu pada UUD 1945 pasal 33, pemerintah mulai menata pengaturan hukum pengelolaan hutan yang sesuai dengan kondisi Indonesia sebagai suatu negara yang merdeka dan berdaulat penuh. Pada tahun 1957 dikeluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 64 tahun 1957 (Lembaran Negara Tahun 1957 No. 169) tentang Penyerahan urusan bidang kehutanan kepada Daerah Swatantra Tingkat I. Pada jaman orde baru pemerintah mulai menggalakkan pembangunan di segala bidang, tidak terkecuali bidang kehutanan. Pemerintah mengeluarkan UU Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), UU Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan (direvisi dengan UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan), UU Nomor 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 tahun 1970 junto PP No. 18 Tahun 1975 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPH dan HPHH). Sejak saat itu banyak investor asing maupun domistik yang menanamkan modalnya di bidang Kehutanan. Hutan alam yang masih perawan terbentang dari Sabang sampai Merauke laksana emas hijau mulai dibagi-bagi dalam bentuk areal konsesi pengusahaan hutan. Sistem silvikultur yang dipergunakan pertama kali adalah Tebang Pilih Tanam

12 Indonesia (TPI) berdasarkan SK Dirjen Kehutanan Nomor 35/KPTS/DD/1/1972 tanggal 13 Maret 1972 tentang Tebang Pilih Indonesia, Tebang Habis dengan Penanaman, Tebang Habis dengan Permudaan Alam dan Pedoman-Pedoman Pengawasannya. Kelemahan sistem TPI terletak pada dominasi kegiatan penebangan dibanding kegiatan pembinaan hutan. Sistem ini juga mengandung ketidakpastian limit diameter pohon tebang serta jumlah pohon inti yang harus tersedia. Perbedaan ini menyebabkan para praktisi kesulitan dalam menentukan pilihan. Evaluasi sistem ini dilakukan pertama kali tahun 1974 oleh konseptor TPI Sugiarto Warsopranoto dan Ishemat Soerianegara yang menghasilkan beberapa kewaspadaan penerapan sistem. Evaluasi berikutnya dilakukan Direktorat Reboisasi tahun 1980 dengan merevisi beberapa ketentuan limit diameter pohon tebang dan jumlah pohon inti berdasarkan tipe hutan dan pada tahun 1987 Badan Litbang Kehutanan, IPB dan UGM melakukan pengkajian sistem TPI. Sistem ini berjalan hampir dua dasawarsa sebelum diganti dengan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) pada tahun Sistem TPTI mulai digunakan sejak dikeluarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 485/Kpts-II/1989 tentang Sistem Silvikultur Pengelolaan Hutan Alam di Indonesia serta pedoman pelaksanaannya berdasarkan SK Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 564/Kpts/IV-BPHH/1989 tanggal 10 April Setelah empat tahun digunakan, sistem TPTI direvisi dengan SK Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 151/Kpts/IVBPHH/1993 tanggal 19 Oktober Tidak banyak yang berubah dalam revisi tersebut kecuali beberapa tahapan pembinaan hutan yang dibuat lebih jelas pada sasarannya. Pada tahun 1993 diujicobakan sistem silvikultur Tebang Jalur Tanam Indonesia (TJTI) yang berubah nama menjadi Tebang Jalur Tanam Konservasi tahun Pada tahun 1997 dikeluarkan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) dalam skala uji coba berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 435/Kpts-II/1997 dan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 625/Kpts-II/1998. PT Sari Bumi Kusuma menggunakan sistem TPTJ berdasarkan SK Menhut Nomor 201/Kpts-II/1998. Pada tahun 2002 sistem TPTJ dicabut berdasarkan Kepmenhut Nomor tahun 2002 namun masih diterapkan PT Sari Bumi Kusuma berdasarkan SK Menhut Nomor 201/Kpts-II/1998 dan PT Erna Djuliawati berdasarkan SK Menhut Nomor 15/Kpts-II/1999. Tahun 2005 dikeluarkan sistem yang hampir sama dengan nama Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif berdasarkan SK Dirjen Bina Produksi Kehutanan Nomor 77/VI-BPHA/2005 tanggal 3 Mei 2005 dan Nomor 226/VI-BPHA/2005 tanggal 1 September 2005 tentang Pedoman TPTII. IUPHHK-HA yang menerapkan sistem TPTII pertama kali adalah PT. Sari Bumi Kusuma, PT. Erna Djuliawati, PT. Suka Jaya Makmur, PT Balikpapan Forest Industry, PT. ITCI dan PT. Sarpatim. Sistem TPTII dapat diterapkan pada sebagian areal konsesi berdampingan dengan sistem lama (TPTI) pada 25 IUPHHK berdasarkan SK Dirjen Bina Produksi Kehutanan Nomor SK.41/VI-BPHA/2007 tanggal 10 April Pada tahun 2010 bertambah lagi menjadi 29 IUPHHK-HA yang menerapkan sistem TPTII. Beberapa sistem silvikultur lain yang pernah diterapkan secara terbatas adalah Tebang Rumpang dan Bina Pilih. Kawasan hutan produksi yang tidak produktif berupa hutan rawang (low potential forest) dan semak belukar dapat dibangun hutan tanaman menggunakan sistem silvikultur tebang habis dengan permudaan buatan (THPB) sedangkan pada padang alang-alang dan lahan kosong dapat dihutankan kembali (reboization.) Beberapa landasan hukum yang mengatur pembangunan hutan tanaman adalah PP Nomor 7 tahun 1990 tanggal 16 Maret 1990 tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri, Kepmenhut Nomor 200/Kpts-II/1994 tentang Kriteria Hutan Produksi Alam yang Tidak Produktif (pasal 2), Kepmenhut Nomor 10.1/Kpts-II/2000 tanggal 6 Nopember 2000 tentang Pedoman Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (pasal 3), PP Nomor 34 tahun 2002 tanggal 8 Juni 2002 tentang Tata Hutan

13 dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan (pasal 30) dan PP Nomor 6 tahun 2007 tanggal 8 Januari 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan (pasal 38, masih menggunakan kriteria hutan tidak produktif sesuai Kepmenhut No.200/Kpts-II/1994). = Areal yang pernah dan sedang dibebani konsesi Gambar 2. Sebaran kawasan hutan alam produksi di Indonesia yang pernah dan sedang di bebani konsesi (IUPHHK) dengan sistem silvikultur tebang pilih. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 200/Kpts-II/1994 bahwa kriteria hutan produksi alam yang tidak produktif adalah: 1) Pohon inti yang berdiameter minimum 20 cm kurang dari 25 pohon/ha 2) Pohon induk kurang dari 10 pohon/ha 3) Permudaan alam kurang, yaitu: a) Permudaan tingkat semai kurang dari batang/ha b) Permudaan tingkat pancang kurang 240 batang/ha c) Permudaan tingkat tiang kurang dari 75 batang/ha. Perhitungan tersebut didasarkan pada jumlah petak ukur (PU) per ha sesuai tingkat pertumbuhan dikalikan dengan 100%, 75%, 60% dan 40% masing-masing untuk tingkat pohon, tiang, pancang dan semai, sebagai berikut: 1) Tingkat pohon = ( m2/400 m2) x 100% = 25 (batang/ha) 2) Tingkat tiang = ( m2/100 m2) x 75% = 75 (batang/ha) 3) Tingkat pancang = ( m2/ 25 m2) x 60% = 240 (batang/ha) 4) Tingkat semai = ( m2/ 4 m2) x 40% = (batang/ha) Berdasarkan SK Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 151/Kpts/IV-BPHH/1993 bahwa areal bekas tebangan pada IUPHHK tidak perlu diperkaya (enrichment planting) apabila memenuhi persyarakatan sebagai berikut: 1) Mempunyai pohon inti minimal 1 batang/pu (1x25 PU= 25 btg/ha) atau 2) Mempunyai permudaan tiang minimal 2 batang/pu (2x100 PU=200 btg/ha) atau 3) Mempunyai permudaan pancang minimal 4 batang/pu (4x400 PU)=1600 btg/ha 4) Mempunyai permudaan semai minimal 8 batang/pu (8x2500 PU)= btg/ha Sebagai contoh, hasil analisis vegetasi di areal kerja PT GM (Wahyudi 2011), PT RTC (Indrawan, 2000) dan PT SBK (Pamoengkas 2006) menunjukan bahwa kerapatan pohon pada ketiga areal tersebut tergolong baik, karena lebih dari yang dipersyaratkan kedua ketentuan di atas (Tabel 1) Pada tanggal 4 Pebruari 2008 dikeluarkan PP Nomor 3 tahun 2008 tentang Perubahan PP Nomor 6 tahun Pada PP ini kriteria hutan tidak produktif menjadi kabur kembali dan kewenangan ada pada Menteri Kehutanan. Mengingat kondisi hutan di Indonesia semakin menurun kuantitas maupun kualitasnya, seyogyanya pembangunan hutan tanaman tetap berada pada kawasan hutan yang sudah tidak

14 produktif dan lahan kosong dengan memanfaatkan dana reboisasi yang memang sejak awal diperuntukkan untuk itu. Tabel 1. Kerapatan tingkat semai, pancang, tiang dan pohon pada hutan bekas tebangan (Et+0) di areal PT GM, PT RTC dan PT SBK Tingkat Kelompok Jenis Meranti Dipt.non meranti Komersial lain Meranti Pancang Dipt.non meranti Komersial lain Meranti Tiang Dipt.non meranti Komersial lain Meranti Pohon Dipt.non meranti Komersial lain Semai PT Gunung Meranti (Btg/ha) PT RTC Datar-landai Ac-curam Rata-rata Btg/ha* PT SBK Kepmenhut Dirjen PH Btg/ha** No.200 (Btg/ha) No.151 (Btg/ha) Keterangan * ) Terdiri dari kelompok komersial ditebang, komersial tidak ditebang dan jenis lain (Indrawan 2000) **) Terdiri dari kelompok dipterocarp, non dipterocarp dan non komersial (Pamoengkas 2006) PT RTC : PT Ratah Timber Co; PT SBK: PT Sari Bumi Kusuma Menurut Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999, sebagai pengganti UU Nomor 5/1967, keberadaan hutan dapat dilihat dari status maupun peranannya, yaitu sebagai hutan lindung, hutan konservasi dan hutan produksi. Beberapa aspek penting yang termuat dalam UU ini antara lain: 1. Berdasarkan statusnya, hutan terdiri dari hutan negara (termasuk hutan adat) dan hutan hak. 2. Berdasarkan fungsinya, hutan dibagi menjadi 3 yaitu: a. Hutan konservasi, yang terdiri dari hutan suaka alam, hutan pelestarian alam dan taman buru b. Hutan lindung c. Hutan produksi 3. Luas kawasan yang harus dipertahankan dalam suatu das atau pulau minimal sebesar 30% yang tersebar secara proporsional. 4. Ijin pemanfaatan hasil hutan dapat diberikan kepada perorangan, koperasi, badan usaha swasta Indonesia dan badan usaha negara atau daerah. 5. Perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan untuk menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, konservasi dan produksi dapat tercapai secara optimal dan lestari. 6. Larangan-larangan: - Merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan - Mengerjakan/menggunakan/menduduki kawasan hutan secar tidak sah - Merambah kawasan hutan - Menebang pohon dalam radius 500 m dari tepi waduk/danau, 200 m dari mata air dan sempadan sungai di rawa, 100 m kiri kanan sungai dan 50 m kiri kanan anak sungai, 2 kali kedalaman jurang dari tepi jurang, 130 kali selisih pasang tertinggi dan terendah di pantai - Membakar hutan - Menebang tanpa hak dan tanpa ijin dari pejabat berwenang - Menerima, membeli, menjual, menyimpan hasil hutan yang berasal dari kawasan hutan yang dipungut secara tidak sah. - Eksplorasi dan eksploitasi bahan tambang dalam kawasan hutan tanpa ijin Menteri - Mengangkut, menguasai hasil hutan tanpa dokumen yang sah (SKSHH) - Penggembalaan liar - Membawa alat berat dan alat penebang/pemotong kayu tanpa ijin pejabat berwenang - Membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan

15 - Mengeluarkan tumbuhan dan hewan tanpa ijin pejabat berwenang. 7. Tugas perlindungan hutan ada pada kepolisian khusus (polsus) 8. Litbang kehutanan bertujuan meningkatkan kemampuan pengurusan hutan dalam mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari dan peningkatan nilai tambah hasil hutan. 9. Pendidikan dan latihan kehutanan bertujuan untuk membentuk sumber daya manusia yang menguasai dan mampu memanfaatkan/mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pengurusan hutan secara adil dan lestari didasari iman dan taqwa pada Tuhan Yang Maha Esa 10. Penyuluhan kehutanan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan serta mengubah sikap dan perilaku masyarakat agar mau dan mampu mendukung pembangunan kehutanan atas dasar iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta sadar akan pentingnya sumber daya hutan bagi kehidupan manusia. 11. Kewajiban pengawasan ada pada pemerintah dan pemda. Masyarakat dan perorangan dapat berperan serta melakukan pengawasan (Bab VII). 12. Untuk meningkatkan efektifitas pengurusan hutan dalam rangka otonomi daerah, maka pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah. (Bab VIII) 13. Masyarakat hukum adat yang masih ada dan diakui keberadaannya berhak untuk: - Memungut hasil hutan untuk keperluan hidup seharihari - Mengelola hutan berdasarkan hukum adat - Mendapatkan pemberdayaan 14. Penyelesaian sengketa kehutanan dapat dilakukan melalui pengadilan atau diluar pengadilan. 15. Sanksi pidana dapat diberikan kepada pihak yang melanggar ketentuan dalam UU No.41/1999 ini berupa denda uang dan pidana penjara. Penjabaran UU No. 41/1999 dilakukan melalui Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 2002 tentang pengaturan hutan dan kehutanan, termasuk sebagian menyangkut konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Urusan pemerintahan di bidang kehutanan yang dianggap terlalu sentralistis di zaman orde baru ditindaklanjuti dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No. 62/1998 tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan di bidang kehutanan kepada daerah, meskipun masih menimbulkan perbedaan penafsiran di lapangan. Kebijakan selanjutnya sebagai implementasi UU No. 41/1999 adalah Peraturan Pemerintah No. 6/1999 tanggal 27 Januari 1999 dengan beberapa poin penting antara lain: 1. Pemberian HPH dengan luas lebih dari hektar dilakukan melalui pelelangan. 2. Ada pembatasan luas HPH yang dapat diberikan kepada suatu perusahaan 3. Tanaman hasil HTI menjadi aset perusahaan yang mengusahakannya sepanjang ijinnya masih berlaku 4. Masa konsesi HPH Alam diperpanjang menjadi 20 tahun ditambah daur tanaman pokok, sedangkan masa konsesi HPH tanaman diperpanjang menjadi 35 tahun ditambah daur tanaman pokok. 5. HPH bisa dipindahtangankan 6. Koperasi dapat memperoleh HPH 7. Adanya kesatuan pengusahaan hutan produksi (KPHP). Adanya ketentuan bahwa HPH dapat digunakan sebagai jaminan kemudian mendorong pemerintah mengeluarkan produk hukum baru yaitu Peraturan Pemerintah No.34/ 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan; Peraturan Pemerintah No. 35/2002 tentang Dana Reboisasi dan Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Hutan. Dalam Peraturan Pemerintah No. 34/2002 terdapat beberapa poin penting, antara lain:

16 1. Pemanfaatan jasa lingkungan dan pemanfaatan kawasan 2. Kesatuan pengusahaan hutan produksi diubah menjadi kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP), disamping ada bentuk kesatuan pengelolaan hutan yang berfungsi lain seperti KPHL untuk Hutan Lindung dan KPHK untuk Hutan Konservasi 3. Hak pengusahaan hutan (HPH) diganti menjadi ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) 4. Wewenang pemberian ijin kepada pemerintah propinsi dan kabupaten/kota. Meskipun menggunakan nama Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) namun pemegang ijin masih dibebani berbagai pekerjaan yang sebenarnya tergolong sebagai pekerjaan pengelolaan hutan. Pemegang ijin usaha diwajibkan membayar dana reboisasi yang menjadi pendapatan negara bukan pajak, tetapi pada saat yang sama pemegang ijin masih diwajibkan melakukan kegiatan rehabilitasi hutan. Apakah tidak sebaiknya nama Hak Pengusahaan Hutan (HPH) diganti dengan Hak Pengelolaan Hutan (HPH) saja? Peraturan Pemerintah No. 34/2002 direvisi oleh Peraturan Pemerintah No. 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, yang berisi antara lain: 1. Diperkenalkannya Hutan Tanaman Rakyat (HTR) untuk memberi akses kepada masyarakat pada kawasan hutan serta pembentukan lembaga keuangannya 2. Dihilangkannya pemberian IUPHHK melalui lelang B. Pengertian Sistem Silvikultur Silvikultur berasal dari kata sylva yang berarti hutan dan culture yang berarti budidaya atau pengelolaan sehingga sistem silvikultur dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan terencana yang berhubungan dengan budidaya dan pengelolaan hutan. Dalam sistem silvikultur terdapat pengaturan mengenai kelas diameter, kelas umur, riap, kegiatan pembibitan (nursery), penanaman pengayaan (enrichment planting), pemangkasan (pruning), penjarangan (thinning), siklus tebang, daur, penebangan (harvesting) serta informasi silvikultur jenis (Pasaribu 2008). Silvikultur adalah seni dan ilmu membangun dan memelihara hutan dengan menerapkan ilmu silvika untuk memperoleh manfaat optimal. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, sistem silvikultur adalah sistem budidaya hutan mulai dari memilih benih atau bibit, menyemai, menanam, memelihara tanaman dan memanen. Definisi serupa juga termuat dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 309/Kpts-II/1999. Menurut Ditjen PH (1993) tentang pedoman teknis TPTI, sistem silvikultur adalah rangkaian kegiatan berencana mengenani pengelolan hutan yang meliputi penebangan, peremajaan, pemeliharaan tegakan hutan untuk menjamin kelestarian produksi kayu atau hasil hutan lainnya. Sedangkan menurut Mattews (1992) dalam Mansur (2008) sistem silvikultur merupakan proses pemeliharaan, pemanenan dan penggantian dengan tanaman baru sehingga menghasilkan tegakan dengan bentuk yang berbeda. Berdasarkan keterangan di atas, tahapan suatu sistem silvikultur dapat berbeda-beda. Pada sistem tebang habis (seperti THPB), sistem silvikultur dimulai dari pembibitan atau regenerasi atau peremajaan sampai penanaman (regeneration) kemudian pemeliharaan (tending) dan pemanenan (harvesting), namun pada sistem tebang pilih (seperti TPTI) dimulai dari pemanenan, regenerasi dan pemeliharaan. Dengan demikian tahapan sistem silvikultur dapat berbeda-beda, namun semuanya mengandung tiga komponen utama, yaitu permudaan (regeneration), pemeliharaan (tending) dan pemanenan (harvesting/removing) (Mansur 2008).

17 Sistem silvikultur dapat dibedakan berdasarkan umur tegakan maupun sistem penebangan. Berdasarkan umur tegakan terdiri dari sistem silvikultur untuk hutan seumur (even-aged forest) yaitu hutan yang mempunyai tumbuhan dengan umur yang sama, biasanya terdiri dari satu jenis pohon (monoculture), contoh sistem THPA dan THPB; sistem silvikultur untuk tegakan beberapa umur (uneven-aged forest) yaitu hutan yang mempunyai lebih dari satu umur tumbuhan namun tidak sampai membentuk strata berlapis dan sistem silvikultur untuk tegakan semua umur (all-aged forest) yaitu hutan yang mempunyai semua umur tumbuhan, dimulai dari semai, pancang, tiang dan pohon, yang ditandai oleh multi strata serta keanekaragaman jenis yang tinggi, contoh pada sistem TPI dan TPTI. Berdasarkan sistem penebangan pohon terdiri dari sistem silvikultur tebang pilih (selective cutting) dan sistem tebang habis (clear cutting). Menurut Manan (1995) dalam Indrawan (2008), sistem silvukultur dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu: 1. Sistem silvikultur siklus berganda (Polycyclic system), yaitu sistem yang mempunyai jumlah penebangan (siklus tebang) lebih dari satu kali selama rotasi. Sistem TPI dan TPTI termasuk dalam sistem ini karena menggunakan dua kali siklus tebang (2x35 tahun) selama rotasi 70 tahun 2. Sistem silvikultur siklus tunggal (Monocyclic system), yaitu sistem yang mempunyai jumlah penebangan (siklus tebang) yang hanya sekali selama rotasi, seperti sistem THPA dan THPB. Sistem silvikultur siklus berganda (polycyclic system) hingga kini masih dipercaya paling aman karena berdampak minimal terhadap tapak hutan. Sistem ini banyak digunakan diberbagai negara yang mempunyai hutan alam campuran semua umur (allaged-mixed forest). Namun demikian, sistem siklus berganda mempunyai permasalahan yang perlu mendapat perhatian, yaitu: a. Variasi genetik yang sangat tinggi. Pada allaged forest selalu mengandung vegetasi tingkat semai, pancang, tiang dan pohon. Kenyataan ini sering mengecoh pola pemikiran linier, karena mereka beranggapan semua vegetasi dalam berbagai tingkatan mempunyai dinamika pertumbuhan yang konstan. Kenyataannya tidak selalu demikian sebab tidak adanya hubungan antara diameter dengan umur dalam beradaptasi terhadap peningkatan ruang tumbuh dan intensitas cahaya di hutan yang sangat rapat. Banyak pohon berdiameter kecil atau menengah yang telah mencapai daur teknis sehingga sangat sedikit atau sudah tidak mampu bertambah besar lagi, bahkan beberapa jenis komersial yang secara umum mampu mencapai diameter besar ternyata hanya menampilkan fenotip berukuran sedang meskipun telah berusia ratusan tahun karena tertekan di bawah kanopi jenis dominan atau faktor genetik. Di sisi lain, pohon-pohon yang berada dalam lingkungan yang lebih baik dan atau mempunyai kombinasi genetik yang lebih unggul dapat tumbuh sangat cepat dan mampu membentuk diameter besar. b. Degradasi genetik pohon unggul atau ekonomis (the poor performance of residual trees). Sistem tebang pilih hanya memanen pohon-pohon yang unggul dengan diameter besar, sehingga yang tertinggal hanya pohon-pohon yang lebih kecil dan cacat sehingga dikhawatirkan terjadi degradasi genetik dalam ekosistem hutan yang menyebabkan ketidakmampuan beradaptasi dengan peningkatan ruang tumbuh dan intensitas cahaya yang ada. c. Penyebaran diameter pohon dari spesies ekonomis yang tidak merata. Jenis Dipterocarpaceae umumnya mengelompok sedangkan jenis lainnya menyebar random. Pada sistem ini juga ditemukan kasus lack of pole-sized dan pada penyaradan yang intensif menimbulkan kerusakan lahan dan mengganggu regenerasi dan kualitas tegakan tinggal.

18 Beberapa contoh sistem siklus berganda yang digunakan di daerah tropis antara lain Philippine selective logging system, Nqueensland selective logging system, CELOS-system of Surinam, Tebang Pilih Indonesia dan Tebang Pilih Tanam Indonesia. Sistem silvikultur dengan siklus tunggal (monocyclic system) menerapkan sistem tebang habis dan penanaman dilakukan serentak sehingga vegetasi hutan tumbuh bersama sampai mencapai daur dan siap tebang pada siklus berikutnya. Pada hutan alam campuran sistem ini sangat jarang digunakan, karena merusak keanekaragaman jenis yang tinggi serta penurunan kualitas tapak. Namun demikian dengan berbagai pertimbangan ekonomi serta kemudahan dalam pengelolaannya sistem ini masih sering diadopsi diberbagai tempat dan negara. Beberapa sistem silvikultur siklus tunggal ini adalah Malayan Regeneration Improvement System (MRIS), Malayan Uniform System (MUS), Tropical Shelterwood System in West Africa, High Shade Shelterwood System (HSSS) of Trinidad, Andaman Canopy Lifting System, THPA, THPB (untuk Hutan Tanaman Industri) dan lain-lain. Berdasarkan pemilihan jenis, sistem silvikultur dibedakan menjadi dua, yaitu sistem silvikultur untuk jenis toleran/ semi toleran, yaitu jenis-jenis yang memerlukan naungan penuh atau sebagian untuk pertumbuhannya dan sistem silvikultur untuk jenis intoleran, yaitu jenis-jenis yang memerlukan cahaya penuh agar pertumbuhan berjalan optimal. Yang termasuk jenis toleran adalah meranti dan jenis-jenis dari Dipterocarpaceae dan jenis intoleran seperti sengon (Paraserianthes falcataria), jabon (Anthocephalus cadamba) dan lain-lain. Sesuai dengan sifatnya, jenis intoleran mampu memanfaatkan sinar matahari secara maksimal, sehingga pertumbuhannya dapat berlangsung lebih cepat, namun tidak semua jenis intoleran masuk dalam kelompok jenis cepat tumbuh (fast growing species) seperti jati (Tectona grandis), sungkai (Peronema canescens) dan lain-lain. Setelah berjalan lebih dari 20 tahun, banyak hutan alam produksi yang mengalami fragmentasi (Indrawan 2008). Lanskap hutan hujan tropis telah membentuk mosaik (Pasaribu 2008; Suhendang 2008) yang terdiri dari hutan primer, hutan sekunder, hutan rawang, hutan bekas penebangan liar, hutan bekas kebakaran, semak belukar, padang alang-alang dan tanah kosong. Pada kondisi seperti ini penerapan multi sistem silvikultur (multiple silvicultural system) menjadi keniscayaan agar setiap bagian hutan mendapatkan perlakuan silvikultur yang sesuai dengan kondisi hutannya. Menurut Indrawan (2008) multisistem silvikultur adalah sistem pengelolaan hutan produksi lestari yang terdiri dua atau lebih sistem silvikultur yang diterapkan pada suatu unit manajemen dan merupakan multi usaha dengan tujuan mempertahankan dan meningkatkan produksi kayu dan hasil hutan lainnya serta dapat mempertahankan kepastian kawasan hutan produksi. Suhendang (2008) menulis bahwa sistem silvikultur menurut Society of American Forester tahun 1998 adalah rangkaian perlakuan terencana terdiri dari kegiatan pemeliharaan, pemanenan dan pembangunan kembali tegakan. Skema penerapan sistem silvikultur ada dua macam yaitu sistem silvikultur tunggal (single silvicultural system) dan sistem silvikultur jamak (multiple silvicultural system). Teknik silvikultur adalah upaya mengintegrasikan atribut ekologi, ekonomi, sosial dan administrasi menjadi pendekatan yang bulat dalam rangka mengelola dan memanfaatkan sumber daya hutan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan akan datang tanpa mengurangi kemampuan fungsi hutan (Soekotjo 2009). Teknik silvikultur merupakan kegiatan teknis yang menjadi bagian dari sistem silvikultur, seperti teknik pembibitan yang berasal dari cabutan anakan meranti atau kebun pangkas, teknik membasmi gulma pengganggu, teknik penanaman, teknik pemupukan, teknik peneresan, teknik pembebasan, teknik penjarangan, teknik rekayasa lingkungan, teknik pengendalian hama terpadu, teknik pembalakan ramah

19 lingkungan dan lain-lain. Menurut Soekotjo (2009) teknik silvikultur dapat digolongkan menjadi tiga yaitu: 1. Teknik pengendalian struktur, komposisi, kerapatan, pertumbuhan dan rotasi serta kombinasi antara spesies (genetik), manipulasi lingkungan dan pengendalian hama terpadu (integrated pest management). 2. Teknik perlindungan tempat tumbuh (agar permukaan tanah selalu tertutup vegetasi sehingga stabil dan terjaga kesuburannya) dan pohon (dari hama, penyakit dan kerusakan mekanis) 3. Teknik pelayanan eksploitasi, pengelolaan dan pemanfaatan. a. b. C. Landasan Sistem Silvikultur 1. Prinsip sistem silvikultur Dalam menentukan sistem silvikultur harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Azas kelestarian hutan - Tidak terjadi penurunan atau kekosongan produksi jenis komersial pada rotasi tebang berikutnya. - Konservasi tanah dan air - Perlindungan hutan dari gangguan. b. Teknik silvikultur. Teknik silvikultur yang digunakan harus sesuai dengan: - Keadaan tempat tumbuh atau tapak (site) - Tipe hutan, baik komposisi maupun struktur hutan - Karakteristik pertumbuhan tiap jenis pohon. c. Pengusahaan hutan yang menguntungkan d. Transparan, yaitu dapat diawasi secara efektif dan efisien e. Pengusahaan hutan yang melibatkan peran serta masyarakat sekitar kawasan hutan. Menurut Soerianegara (1970), pemilihan dan penggunaan sistem silvikultur di daerah tropika ditentukan oleh: c. d. Syarat penggunaan sistem masing-masing Setiap sistem silvikultur telah didesain dalam kerangka kerja yang jelas dan terarah, sehingga sering kali mencantumkan syarat-syarat teknis yang harus dijalani. Contoh persyaratan sistem silvikultur tebang pilih adalah penerapan batas limit diameter dalam penebangan, penetapan rotasi tebang, jumlah dan batas diameter pohon inti atau alokasi waktu dalam setiap tahapan kegiatan. Tipe hutan yang terdiri dari struktur dan komposisi hutan. Suatu sistem silvikultur dirancang dengan memperhatikan stuktur hutan awal dan struktur hutan yang akan terbentuk kemudian. Pada hutan hujan tropis memilki strata yang berlapis. Untuk menjaga dan meminimalisir kerusakan struktur hutan diterapkan sistem tebang pilih (selective longging) dengan limit diameter. Komposisi hutan adalah susunan vegetasi penyusun tegakan. Beberapa ahli menghawatirnya kemunduran komposisi tegakan pada sistem tebang pilih, karena hanya beberapa jenis komersial yang diambil. Sifat silvikultur dan ekologi jenis pohon Setiap jenis pohon mempunyai sifat dan karakteristik berbeda-beda. Pembedaan sifat yang melekat pada suatu pohon sering dilihat dari sudut toleran (perlu naungan) atau intoleran (perlu cahaya penuh), jenis cepat tumbuh (fast growing species) atau lambat tumbuh (slow growing species), komersial atau non komersial, jenis terapung atau tenggelam, sifat fisik kayu, riap pohon, arsitek batang, asosiasi, kesesuaian dengan tempat tumbuh, ketahanan terhadap hama dan penyakit dan lain-lain. Produktifitas dan nilai ekonomi jenis pohon Produktifitas sering dijadikan alasan untuk menguatkan pilihan pada sistem tebang habis dengan penanaman (THPB). Untuk mengejar produktifitas sering kali pilihan diarahkan pada pembuatan hutan tanaman yang monokultur, dengan alasan:

20 a) Pemilihan jenis yang paling unggul dalam pertumbuhan dan harga b) Lebih mudah memanipulasi lingkungan c) Menggunakan bibit unggul d) Hasil lebih besar e) Pemanfaatan lahan lebih optimal f) Memungkinkan mekanisasi g) Biaya operasinal dapat diturunkan h) Cepat regenerasi i) Ukuran pohon lebih seragam j) Perbaikan kualitas kayu k) Sistem silvikultur lebih sederhana dan mudah dipahami e. f. Teknik penebangan yang dipakai Pilihan pada teknik penebangan dapat mempengaruhi teknik silvikultur yang dipakai. Dalam sistem tebang pilih, teknik penebangan diarahkan pada jenis komersial terpilih dan meminimalkan kerusakan tegakan tinggal. Penebangan pada jalur bersih sering diarahkan pada pembersihan lahan untuk tujuan penanaman dari awal. Pada daerah yang mempunyai topografi curam penebangan dan penyaradan menggunakan sistem kabel. Sistem tebang habis diarahkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pekerjaan melalui penyederhanaan ekosistem. Pekerjaan pemanenan, peremajaan dan pemeliharaan dilakukan serentak dalam areal yang cukup luas dengan teknik yang lebih sederhana sehingga dapat meminimalisir biaya. Pendanaan Setiap kegiatan akan berhasil baik apabila ditunjang dengan pendanaan kegiatan yang cukup, misalnya untuk pemenuhan sarana dan prasarana, adminsitrasi, upah tenaga kerja dan biaya produksi, peremajaan, pemeliharaan dan lain-lain. 2. Pengelolaan tapak hutan Sistem silvikultur diperlukan dalam rangka pengelolaan hutan secara ekonomi menguntungkan dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan (ekonomi dan ekologi) serta dapat memberi manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat, khusus yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan pengelolaan tegakan sebagai subyek (seperti komposisi, struktur dan dinamika tegakan, kualitas pohon, riap, regenerasi dll) dan tempat tumbuh atau tapak (site), yaitu komponen lingkungan. Menurut Lamprecht (1990) faktor tapak terdiri dari suhu, curah hujan, kelembaban, sinar, unsur hara (di tanah dan udara), angin (mechanical factors) dan kombinasinya. Lebih jauh, sistem harus memperhatikan komponen site relationship triangle yang terdiri dari faktor tanah (edapis), iklim (klimatis) dan vegetasi. Menurut Pancel (1993) variasi dari komponen-komponen tersebut akan menentukan sistem silvikultur yang dipakai serta hasil yang akan diperoleh. Sistem silvikultur diciptakan agar hutan mampu menjalankan fungsi dengan baik, yaitu fungsi perlindungan, fungsi konservasi dan fungsi produksi. Salah satu keunikan pengelolaan hutan dalam rangka memenuhi fungsi produksi adalah tegakan hutan yang berperan sebagai alat produksi sekaligus sebagai hasil dari produksi itu sendiri. Sementara itu, untuk menciptakan pengelolaan hutan lestari, prinsip yang dipakai tidak sekedar menciptakan kelestraian hasil, namun harus didasarkan pada pengelolaan ekosistem hutan agar fungsi hutan dapat berjalan secara kontinyu. Pengelolaan hutan alam dilakukan dengan merekayasa sebagian kecil dari ekosistem hutan untuk memenuhi fungsi produksi dan sebagian besar masih dipertahankan. Menurut Mitlöhner (2009), kecenderungan teknik pengelolaan hutan dunia saat ini adalah kembali ke alam (back to nature). Pada awalnya hutan berada dalam kondisi klimak yang telah mencapai keseimbangan ekosistem. Salah satu

21 keseimbangan ekosistem dalam hutan adalah kematian pohon secara alami yang disebabkan telah tercapainya daur biologis pohon tersebut. Pohon yang mati akan menciptakan ruang tumbuh bagi permudaan sebagai bagian dari suksesi hutan. Kematian sekelompok pohon juga dapat terjadi disebabkan oleh bencana alam. Makin besar bencana yang terjadi makin lambat suksesi mencapai klimaknya seperti semula. Sistem tebang pilih individu atau tebang pilih dalam kelompok pohon dapat menyerupai fenoma alam ini. Dengan demikian, pengelolaan hutan tidak lagi menggunakan prinsip kelestarian hasil namun berubah menjadi prinsip pengelolaan hutan lestari yang mengedepankan pengelolaan ekosistem hutan. Setelah pengelolaan hutan berjalan lebih dari tiga dasawarsa, kondisi ekologis kawasan hutan tropis di Indonesia sangat bervariasi, mulai dari yang masih asli sebagai hutan primer maupun yang telah berubah menjadi hutan bekas tebangan atau hutan sekunder, hutan rawang, semak dan belukar, padang herba (alang-alang, paku-pakuan) sampai pada lahan kosong. Hutan primer masih mempunyai kondisi ekologis yang baik dan sering dijadikan rujukan untuk menilai perubahan dan tingkat degradasi hutan dalam berbagai penelitian. Struktur dan komposisi tegakan sangat beragam dan komplek. Puluhan ribu jenis vegetasi dalam berbagai tingkatan umur terdapat di sana menyebar secara randon dan contigious dalam strata yang berlapis-lapis. Hutan tropis tumbuh lebat dan selalu hijau padahal hanya tumbuh pada kondisi tanah marginal. Dalam kondisi itu, ekosistem hutan membentuk siklus hara tertutup. Menurut McKinnon (2000) mekanisme siklus hara tertutup pada hutan hujan tropis mampu mempertahankan kesuburan lapisan atas tanah dan proses kehilangan unsur hara masih dapat diabaikan karena diimbangi oleh proses pembentukan kembali, kecuali dalam beberapa kasus, unsur Kalium sering tercuci lebih besar. Sistem silvikultur tebang pilih telah dipercaya para ahli selama puluhan tahun sebagai sistem yang mempunyai serangkaian teknik berdampak minimal terhadap ekosistem hutan. Pembinaan hutan setelah pemanenan disarankan terutama untuk pemeliharaan pohon inti dan permudaan termasuk kegiatan rehabilitasi lahan yang kurang dan tidak produktif agar menjadi tegakan hutan sekunder yang baik sehingga mampu menciptakan kelestarian hasil. Pada hutan sekunder dengan keadaan tapak yang lebih terbuka dan kondisi tegakan tidak selebat pada hutan primer dapat disarankan menggunakan sistem tebang pilih dan tanam jalur atau rumpang. Sistem ini yang mengkombinasi polycyclic system pada jalur antara atau areal konservasi dan monocyclic system pada jalur bersih (jalur tanam) atau rumpang. Pada jalur antara ekosistem relatif tidak mengalami perubahan yang menyolok dan dapat berfungsi sebagai konservasi hutan dan menjaga keanekaragaman jenis, menjaga kondisi tapak serta menciptakan ruang tumbuh yang optimal bagi tanaman yang berada dalam jalur tanam seperti berbagai jenis Shorea spp yang berifat toleran dan semi toleran. Jalur tanam ditujukan untuk penanaman dan pengayaan jenis terpilih yang bernilai komersil tinggi dan cepat tumbuh seperti Shorea leprosula, s. parvifolia, s. smithiana, s. johorensis, s. macrophylla, s.ovalis, s. platyclados, s. selanica, dan lain-lain. Pada hutan rawang (low potential forest), hutan terdegradasi (degraded forest), semak belukar (shrub and bushes) dan padang alang-alang (grass land) serta lahan kosong dapat diterapkan pembinaan hutan yang lebih intensif atau menggunakan sistem tebang habis dan penanaman buatan. Secara umum areal ini mempunyai tapak yang kurang mendukung terjadinya suksesi komersial secara alami. Daerah ini mempunyai intensitas sinar yang berlebih sehingga tidak sesuai untuk suksesi jenis Dipterocarpaceae secara langsung disamping rawan pencucian unsur hara, erosi dan terbakar yang berdampak pada semakin menurunnya kesuburan tanah. Kondisi tegakan biasanya didominasi jenis pionir seperti alaban (vitex pubescens), mahang (Macaranga spp), jabon (Anthocephallus cadamba) dan lain-lain. Pada daerah kritis biasanya muncul jenis karamunting (Melastoma affine), kirinnyu sampai alang-alang (Imperata cylindrica).

22 Sistem silvikultur yang diterapkan pada suatu kawasan harus sesuai dengan kondisi tapak setempat. Di daerah tropis kondisi tapak dicirikan dengan intensitas sinar, suhu, kelembaban dan curah hujan yang tinggi dan merata. Keadaan ini menyebabkan pelapukan (oleh alam) dan penguraian (oleh mikroba) berjalan lebih cepat. Pada kondisi yang terbuka faktor pelapukan lebih dominan. Struktur dan agregat tanah akan mengalami kerusakan oleh tumbukan air hujan sehingga sangat rawan erosi dan pencucian. Keadaan tanah umumnya marginal (kurang dan tidak subur) dengan kesuburan dan ph yang rendah. Kandungan biomass pada hutan tropis sebagian besar (hampir 75 %) berada dalam vegetasi. Kegiatan penebangan dan pemanfaatan pohon dalam jumlah besar dari hutan berarti pengurangan sejumlah besar biomassa dari daerah tersebut yang dapat berakibat penurunan potensi biomassa dan mengganggu neraca hara. Selama ekosistem hutan masih terjada, kelangsungan pertumbuhan hutan ditopang oleh siklus hara tertutup. Sistem silvikultur yang dipakai harus dapat melindungi ekosistem hutan dan menjamin kelestarian berbagai fungsi yang telah berjalan dengan baik. Dengan demikian sistem silvikultur yang diterapkan pada hutan alam tropis harus memenuhi persyaratan seperti: a. Tidak menimbulkan pembukaan lahan secara besarbesaran karena dapat memperbesar erosi dan pencucian hara. b. Tidak mengambil biomassa (tegakan) dalam jumlah yang melebihi daya dukung hutan. Penebangan hendaknya sama atau lebih kecil dari riap hutan. c. Mempertahankan siklus hara tertutup untuk menjaga kesuburan tanah dan kondisi tapak secara keseluruhan serta menjamin kontinyuitas pertumbuhan tegakan d. Mempertahankan strata dalam hutan untuk menjamin kelangsungan regenerasi dan perlindungan tanah. Banyak jenis-jenis dalam hutan yang bersifat toleran dan semi toleran yang memerlukan naungan pada awal pertumbuhannya. e. Mempertahankan lapisan serasah dan humus di permukaan tanah sebagai sumber nutrisi utama bagi pertumbuhan vegetasi. f. Penebangan harus meminimalkan pembukaan areal dan kerusakan tegakan tinggal g. Secara ekonomi masih menguntungkan. h. Bermanfaat bagi masyarakat Sistem silvikultur harus sesuai dengan kondisi tegakan hutan. Hutan alam tropis mempunyai komposisi, struktur, dinamika, karakteristik dan nilai ekonomi yang spesifik. a. Komposisi vegetasi dalam hutan alam tropis sangat banyak dan beragam yang menyebabkan jumlah jenis per satuan luas lahan menurun. Menurut Whitmore (1975) dan Mc Kinnon, K. (2000) variasi vegetasi dalam hutan tropis Kalimantan berkisar sampai jenis dan sekitar 4000 diantaranya tumbuhan berkayu. Jenis komersial diperkirakan hanya 450 jenis yang didominasi famili Dipterocarpaceae, seperti marga Shorea (sekitar 200 jenis), Dipterocarpus, Dryobalanops, Hovea, Vatica, Anisoptera dan Parashorea. Jenis komersial lainnya seperti Scapium podocarpum, ulin (Eusyderoxilon zwageri), Aghatis bornensis, marijang (Sindora sp), kempas (Koompassia malaccensis), nyatoh (Palaquium sp) dan lain-lain. Dominasi famili Dipterocarpaceae pada pohon-pohon dalam hutan tropis, khususnya di wilayah Indonesia bagian Barat yang mencapai 70-80%, menyebabkan hutan ini sering disebut sebagai hutan Dipterocarpaceae (Mc Kinnon et al. 2000). b. Struktur vertikal hutan hujan tropis mempunyai beberapa strata yang berguna untuk regenerasi dan perlindungan tanah c. Struktur horisontal hujan alam tropis mempunyai nilai distribusi > 1 yang menunjukkan pola contigious (mengelompok) khususnya pada jenis Dipterocarpaceae dan

23 nilai distribusi = 1 yang menunjukkan pola random (menyebar) pada beberapa jenis lainnya. d. Pada hutan primer umumnya telah mencapai klimak. Suksesi alami terjadi ketika terjadi celah (gap), misalnya pada saat pohon tua mati atau karena bencana alam dan pengaruh manusia. e. Jenis komersial seperti famili Dipterocarpaceae umumnya bersifat toleran (perlu naungan) dan semi toleran pada awal pertumbuhannya, kemudian berubah pada saat dewasa. f. Semua tumbuhan di hutan tropis melakukan simbiosis dengan cendawan (mikoriza). Perlakuan yang diberikan pada tumbuhan harus memperhatikan keberadaan dan karakteristik kehidupan mikorisa pula. Dengan demikian sistem silvikultur yang diterapkan pada hutan alam tropis harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Menjaga komposisi dan keanekaragaman jenis dalam hutan tropis b. Mempertahankan struktur hutan dengan 5 strata secara vertikal c. Distribusi contigious dan random dapat dirubah menjadi reguler (merata) dengan melakukan enrichment planting. d. Teknik penebangan meniru pola regenerasi hutan alami melalui sistem tebang pilih individu (seperti TPI dan TPTI) atau sistem tebang pilih kelompok, baik kelompok melingkar (rumpang) atau memanjang (TPTJ dan TPTII). e. Penanaman dan pemeliharaan permudaan alam memperhatikan karakteristik jenis, misalnya memberi naungan ringan pada tingkat anakan jenis Dipterocarpaceae dengan cara ditanam dalam celah. Apabila tidak tersedia celah dengan intensitas cahaya yang cukup maka permudaan yang melimpah di lantai hutan akan mengalami staknasi pertumbuhan. f. Tetap menjaga kondisi tanah melalui mekanisme siklus hara tertutup g. Mempertahankan keberadaan dan fungsi pengurai (cendawan-mikoriza, bakteri, serangga dan lain-lain) sebagai bagian penting dalam ekosistem hutan. h. Melakukan kegiatan penanaman dan pengayaan jenis (enrichment planting) i. Melakukan kegiatan perawatan tanaman untuk menekan gulma dan menciptakan ruang tumbuh tanaman yang optimal j. Melakukan pembebasan dan penjarangan untuk menciptakan ruang tumbuh yang lebih baik bagi pohon binaan. Dengan demikian faktor tapak dan kondisi vegetasi sangat diperlukan dalam menentukan suatu sistem silvikultur yang terkait dengan karakteristik pertumbuhan jenis-jenis yang dipilih. Perlakuan sistem silvikultur dengan memodifikasi tapak hutan untuk mendapatkan intensitas sinar yang cukup bagi pertumbuhan permudaan hutan dengan meminimalkan perubahan ekosistem hutan menjadi pilihan dalam pengelolaan hutan alam produksi lestari. Beberapa teknik silvikultur dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan ini, seperti: a. Menebang dengan limit diameter tertentu (misalnya 50 atau 60 cm ke atas) dapat meningkatkan intensitas sinar di lantai hutan, khususnya pada lokasi pohon ditebang. Pola ini meniru perilaku hutan dalam kasus terciptanya celah pada saat pohon tua tumbang. b. Menebang dengan limit diameter tertentu (misalnya 40 cm ke atas) dalam jalur antara atau areal konservasi c. Menebang habis pada kelompok pohon dalam rangka membuat rumpang dengan jari-jari setinggi pohon besar yang rebah dapat menciptakan ruang terbuka dengan intensitas sinar yang optimum untuk memacu pertumbuhan permudaan alam atau tanaman jenis meranti d. Menebang habis pada kelompok pohon dalam rangka membuat jalur tanam secara memanjang dengan lebar 3, 4 atau 5 meter dapat menciptakan ruang terbuka dengan

24 intensitas sinar optimum untuk memacu pertumbuhan tanaman meranti atau permudaan lainnya. e. Pada metode line enrichment dengan lebar jalur bersih 2 meter dan pada batas kiri dan kanan jalur masing-masing selebar 4 m, seluruh pohon yang tingginya > 4 m ditebang, juga dapat menciptakan ruang tumbuh dengan intensitas sinar yang baik untuk memacu anakan alam serta tanaman meranti. f. Pada line enrichment yang dimodifikasi Catinot, lebar jalur 5 m dan semua pohon pada jalur tanam yang berdiameter < 15 cm ditebang serta pohon berdiameter > 15 cm diteres. g. Variasi jarak tanam dalam jalur tanam sebesar 2,5 m pada sistem TPTII atau 3 m pada line enrichment Catinot atau 5 m dalam TPTJ atau pada kegiatan penanaman yang lain tidak memberi pengaruh berarti pada saat tanaman berumur kurang dari 5 tahun. Namun demikian jarak tanam yang lebih rapat dapat meningkatkan kerapatan tanaman (N/ha) sehingga prosen jadi tanaman serta jumlah tanaman di akhir daur dapat lebih banyak sehingga dapat meningkatkan potensi dan produktifitas hutan. Tanaman yang ditanam dalam jalur tanam mempunyai variasi genetik yang tinggi sehingga seleksi tanaman yang mempunyai kualitas baik akan lebih menguntungkan bila dilakukan pada kasus dengan kerapatan yang lebih tinggi. Sebagai contoh, dengan menggunakan lebar jalur tanam 3 meter, maka pada jarak tanam 2,5 m x 17 m (pada sistem TPTII) dan 5 m x 25 m (pada sistem TPTJ) masing-masing akan mempunyai kerapatan 200 tanaman/ha dan 80 tanaman/ha. Dengan asumsi faktor areal efektif 76%, prosen hidup tanaman unggul di akhir daur 61% serta faktor eksploitasi 70%, maka jumlah pohon yang dapat diambil pada saat pemanenan masing-masing sebesar 93 pohon/ha dan 37 pohon/ha dengan kubikasi masing-masing (93 x V/phn x 0,7) m3/ha dan (37 x V/phn x 0,7) m3/ha. Dengan demikian sepanjang kegiatan pemuliaan pohon belum mendapatkan hasil yang baik dan bibit yang diproduksi masih mempunyai variasi genetik yang tinggi atau cenderung berkualitas rendah, maka penerapan jarak tanam dalam jalur tanam sebaiknya lebih pendek. Teknik rekayasan tapak hutan (lingkungan) dilakukan melalui faktor-faktor yang masih memungkinkan dengan biaya yang rasional. Sifat fisik tanah seperti lereng, aspek, kondisi struktur dan tekstur tanah umumnya sulit untuk dimanipulasi sedangkan sifat kimia tanah pada hutan tanaman masih memungkinkan, misalnya melalui pengapuran dan pemupukan, namun pada hutan alam hampir tidak rasional. Rekayasa tapak hutan yang paling efektif dilakukan pada pengelolaan hutan alam adalah pembuatan celah (jalur atau rumpang) untuk meningkatkan intensitas sinar yang sampai ke lantai hutan dalam rangka perbaikan mekanisme regenerasi, yaitu mempercepat pertumbuhan anakan Dipterocarpaceae serta permudaan lainnya. Beberapa faktor yang berkaitan dengan tapak hutan adalah: a. Intensitas sinar Intensitas sinar berkaitan dengan perolehan energi untuk proses fotosintesis yang dilakukan pada organ-organ tanaman yang mengandung zat hijau daun (klorofil) dengan menggunakan karbondioksida (CO2) dari udara dan air (H2O). Proses endoterm ini menghasilkan karbohidrat (C6H12O6) dan gas oksigen (O2) dari proses fotofosforilasi yang dilepas ke udara. Persamaan reaksi fotosintesis adalah adalah: sinar 6CO2 + 6H2O C6H12O6 + 6O2 klorofil Karbohidrat (C6H12O6) sebagai energi potensial disimpan dalam tubuh tanaman dan dapat dipergunakan untuk menjalankan proses metabolisme. Pemecahan karbohidrat untuk mendapatkan energi dilakukan melalui proses pernapasan (respiration). Menurut Sutejo dan Kartasapoetra (1991), satu molekul karbohidrat (C6H12O6) dioksidasi dengan 6 molekul

25 oksigen (O2) menghasilkan 6 molekul karbondioksida, 6 molekul air dan energi sebesar 674 kalori. Kalori inilah yang dipergunakan untuk menjalankan metabolisme tumbuhan. Persamaan reaksi eksoterm dalam proses respirasi (kebalikan dari reaksi endoterm dalam proses fotosintesis) adalah proses oksidasi sebagai berikut: C6H12O6 + 6O2 6CO2 + 6H2O kalori b. Suhu Suhu (temperature) merupakan salah satu faktor pembatas dalam pertumbuhan tanaman. Setiap jenis tanaman mempunyai relung suhu tertentu untuk menjalankan proses metabolisme. Suhu yang terlalu rendah atau tinggi dapat mengganggu kehidupan dan pertumbuhan tanaman. Menurut Ormorod (1961), semakin tinggi suhu maka semakin banyak cahaya yang diperlukan agar tanaman dapat berfotosintesis secara normal. Suhu mempengaruhi kegiatan fotosintesa, respirasi, serapan air dan hara, aktifitas enzym, koagulasi protein dan permeabilitas dinding sel (bila suhu rendah maka translokasi berjalan lambat karena dinding sel kurang melewatkan cairan sebaliknya bila suhu tinggi terjadi denaturasi protein). Sebagai contoh, tanaman jenis akasia mangium dan jabon memerlukan kisaran suhu antara 18-34oC (Deptan, 1980a), tanaman sungkai hidup baik pada suhu 21-34oC (Hatta, 1999), tanaman sengon mampu tumbuh pada suhu 18-31oC (Dephut, 1998) dan tanaman meranti memerlukan suhu yang lebih rendah pada awal pertumbuhannya kemudian mampu hidup pada suhu yang lebih tinggi di daerah tropis (Mc Kinnon et al, 2000). Iklim mikro dalam hutan mempunyai kisaran suhu yang lebih rendah dibanding suhu di luar hutan. c. Curah hujan Besarnya curah hujan (precipitation) yang terjadi di suatu wilayah terutama dipengaruhi oleh letak geografisnya. Angin muson dan angin pasat yang berasal dari lautan membawa uap air sebaliknya yang berasal dari daratan biasanya kering. Musim hujan di Indonesia terjadi pada saat posisi matahari berada di Lintang Selatan (bulan Oktober-Maret) sehingga terjadi pergerakan angin dari arah Timur Laut (samudera pasifik) menuju wilayah Indonesia yang membawa banyak uap air. Sebaliknya, musim kemarau terjadi pada saat posisi matahari di Lintang Utara (bulan April-September) sehingga pergerakan angin yang menuju wilayah Indonesia berasal dari Tenggara (benua Australia) yang relatif kering. Hasil penelitian terakhir menunjukkan bahwa hutan dapat memompa udara dari lautan menuju daratan sehingga dapat meningkatkan curah hujan. Disamping berasal dari lautan, uap air juga berasal dari proses evapotranspirasi. Curah hujan merupakan komponen iklim yang paling penting di daerah tropis. Schmidt and Ferguson menciptakan klasifikasi iklim berdasarkan jumlah dan karakteristik curah hujan. Perbandingan antara bulan kering (<100 mm/bln) dan bulan basah membentuk iklim A (basah), B (cukup basah), C (kering) dan seterusnya. Pada umumnya wilyah Indonesia membentuk iklim A dan B dan sedikit iklim C seperti di beberapa tempat di wilayah Nusa Tenggara Timur. Tingginya curah hujan di hutan tropis menyebabkan hutan ini sering disebut sebagai hutan hujan tropis (tropical rain forest) (Whitmore, 1975). d. Kelembaban Curah hujan yang tinggi dan merata menyebabkan tingkat kelembapan udara (humidity) dalam hutan tropis juga tinggi. Kelembaban yang tinggi sangat diperlukan dalam proses perkecambahan biji di lantai hutan serta munculnya tunas-tunas baru sebagai komponen penting dalam regenerasi hutan. Kelembaban juga dapat meningkatkan aktifitas mikroorganisme dan menopang proses penguraian bahan organik. Terbentuknya iklim mikro yang selalu lembab dalam hutan menyebabkan hutan ini sering disebut sebagai hutan tropika basah (tropical moist forest).

26 e. Unsur hara Unsur hara (soil nutrient) yang larut dalam air tanah berupa ion (misalnya K+, Ca2+, Mg2+, Na+, NO-3, SO4-2) atau molekul tertentu diserap bulu-bulu akar melalui mekanisme osmosis, difusi dan daya tarik menarik (adhesi dan kohesi) kimia serta perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar tubuh tanaman untuk keperluan kegiatan fisiologis tanaman. Unsur hara yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman dibagi menjadi dua kelompok, yaitu unsur makro dan unsur mikro. Unsur hara makro diperlukan dalam jumlah banyak, seperti Karbon (C), Hidrogen (H), Oksigen (O), Nitrogen (N), Pospor (P), Belerang (Sulfur/S), Kalium (K), Kalsium (Ca) dan Magnesium (Mg). Sedangkan unsur mikro diperlukan dalam jumlah sedikit namun bila kekurangan dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Pada umumnya unsur hara mikro merupakan zat katalisator yang dapat membantu proses persenyawaan kimia tanaman. Unsur hara mikro terdiri dari Besi (Ferum/Fe), Mangan (Mn), Seng (Zn), Tembaga (Cuprum/Cu), Borium (Bo), Clorida (Cl), Silisium (Si), Natrium (Na), Kobalt (Co), Molybden (Mo) dan lain-lain. Kondisi tanah di hutan tropis umumnya marginal dengan kesuburan dan ph yang rendah, sehingga sebagian unsur hara, terutama Posfor (P) terikat dan menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Serasah dan humus di permukaan tanah merupakan penyuplai utama unsur hara tumbuhan dalam hutan. Kandungan biomass pada hutan tropis sebagian besar berada dalam vegetasi, dengan demikian kegiatan pemanenan pohon dalam jumlah besar merupakan pengurangan sebagian besar biomassa dari ekosistem hutan. Keadaan yang lebih parah terjadi pada saat terjadi kebakaran atau konversi hutan. Kelangsungan pertumbuhan hutan ditopang oleh siklus hara tertutup yang terjadi di dalamnya. Sistem silvikultur yang dipakai harus dapat melindungi dan mempertahankan kondisi ekosistem ini. D. Beberapa Sistem Silvikultur Beberapa negara yang mempunyai hutan tropis melakukan pengelolaan dan pemanfaatan hutannya dengan sistem silvikultur yang berbeda-beda. Meskipun banyak praktek yang mengacu pada sistem silvikultur siklus tunggal karena pengelolaan dan perhitungannya lebih sederhana, lebih praktis dan menguntungkan secara finansial, namun banyak yang percaya bahwa sistem silvikultur berdaur banyak lebih sedikit menimbulkan dampak ekologis. Kawasan tropika cenderung memiliki curah hujan yang tinggi dan radiasi yang merata sepanjang tahun. Keadaan ini menyebabkan aktifitas mikroorganisme berjalan lebih cepat sehingga meningkatkan laju penguraian bahan organik (decomposition) dan proses pelapukan bahan induk (corrosion). Aliran permukaan (run off) yang besar menyebabkan rawan terhadap pencucian lapisan hara (leaching) dan erosi. Sistem silvikultur yang pernah dan sedang diterapkan di beberapa negara tropika antara lain: 1. Philippine Selective Logging System. Pada prinsipnya sistem silvikultur Philippine Selective Logging System memuat dasar-dasar pengelolaan hutan yang mengikuti pola siklus berganda atau tebang pilih (selective logging). Sistem ini menerapkan siklus tebang (cutting cycle) bervariasi sesuai kondisi hutan yaitu 30, 35 atau 40 tahun. Kegiatan penataan areal kerja dilakukan dengan memberi tanda batas blok dan petak kerja agar mudah dalam pelaksanaan eksploitasi serta pengontrolan. Pembuatan sampling area untuk menghitung jumlah tegakan tinggal dengan intensitas sampling 5%. Pohon yang ditinggalkan 70% dari kelas diameter cm. Dipilih sekitar 70 jenis pohon Dipterocarpaceae yang ada. Penebangan dilakukan terhadap semua pohon berdiameter 75 cm ke atas dan 60% tegakan berdiameter cm. Setelah penebangan, dilakukan inventarisasi semua tegakan

27 tinggal (residual trees) yang bernilai ekonomis berdiameter 15 cm ke atas. Melakukan kegiatan pembinaan tegakan tinggal (timber stand improvement) pada 6 sampai 10 tahun setelah penebangan dengan membuang liana dan tumbuhan pengganggu tanaman pokok untuk mendapatkan pertumbuhan pohon yang tinggi. 2. Sistem silvikultur di North Queensland Sistem silvikultur yang diterapkan di negara bagian Queensland Utara, Australia, secara garis besar mengacu pada sistem siklus berganda, karena penebangan hanya dilakukan terhadap pohon-pohon berdiameter 58 cm ke atas. Pada 3 atau 4 tahun setelah penebangan, dilakukan pembebasan terhadap tanaman pokok (liberation). Siklus tebang ditetapkan selama 15 sampai 20 tahun. 3. Celos System of Surinam Prinsip dasarnya sistem silvikultur Celos yang diterapkan di hutan tropis Suriname (Amerika Selatan) mengacu pada sistem siklus berganda. Sistem ini pada dasarnya tidak membatasi limit diameter dan jenis pohon yang ditebang. Semua ukuran dan jenis pohon dapat ditebang sesuai kebutuhan dengan batasan kubikasi maksimal 20 m3 / ha setiap 20 tahun dengan kondisi pertumbuhan tegakan yang ekonomis sekitar 40 m3/ ha. 4. Malayan Regeneration Improvement System (MRIS) Sistem silvikultur ini memberikan porsi regenerasi hutan secara lebih banyak. Sebelum kegiatan penebangan, dibuat rumpang (gap) untuk memacu keberadaan dan pertumbuhan permudaan alam secara bertahap. Pembuatan rumpang dilakukan dengan penebangan/ pembersihan semua vegetasi tingkat semai sampai pada tingkat tiang. Setelah 4 sampai 5 tahun baru diadakan kegiatan pemanenan hutan. Dengan demikian pada saat penebangan, jaminan regenerasi hutan telah nampak. Kegiatan pembinaan tegakan penebangan. hutan tetap dilakukan setelah 5. Malayan Uniform System (MUS) MUS mengacu pada sistem silvikultur siklus tunggal dan berusaha membentuk tegakan hutan yang lebih homogen namun mempunyai produktifitas yang tinggi. Sebelum kegiatan penebangan dilakukan telah dipastikan adanya persediaan permudaan alam dalam jumlah yang cukup (natural regeneration in waiting position), terutama jenis Dipterocarpaceae. Penebangan dilakukan terhadap semua jenis pohon (clear cutting) termasuk pohon-pohon cacat (gerowong, cacat, bengkok dll). Penggunakan racun (poison girdted) dibenarkan dalam rangka membersihkan areal dari pohon-pohon yang jelek. Siklus tebang ditentukan 70 tahun, karena regenerasi dimulai dari tingkat semai. 6. Tropical Shelterwood System. Tropical Shelterwood System dikembangkan di Nigeria, Afrika Barat. Pada sistem ini dikenal pula tahapan kegiatan yang dimulai dari survei dan pembinaan permudaan alam sebelum kegiatan penebangan dilakukan. Pada tahun pertama, areal kerja ditata setiap 250 ha. Segala jenis liana dan tumbuhan pengganggu yang tidak komersial ditebang agar permudaan alam dan jenis yang komersial lainnya dapat tumbuh lebih baik. Pada tahun kedua tetap melanjutkan pembebasan dan dapat mengunakan racun untuk membunuh pohon penggangu. Survei permudaan alam yang terpilih dilakukan dengan sistem sampling dan jumlah permudaan alam minimum 100 batang per ha. Pada tahun ke tiga tetap melakukan pembinaan terhadap permudaan alam. Tahun ke empat melakukan survei permudaan alam. Pada tahun ke enam dapat dilakukan penebangan pohon yang komersial jika permudaan alam telah memenuhi batas minimum. Pada tahun ke tujuh dilakukan perapihan terhadap permudaan alam. Pada tahun

28 ke-16 dilakukan penjarangan pertama untuk memberi ruang tumbuh yang lebih baik pada tegakan muda dan pada tahun ke-21 dilakukan penjarangan ke Sistem Silvikultur di Indonesia Beberapa sistem silvikultur yang pernah dan sedang diterapkan dalam kawasan hutan di Indonesia adalah: a. Tebang Pilih Indonesia (TPI) berlaku sejak 1972 sampai 1989 di hutan alam produksi b. Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) berlaku sejak1989 sampai sekarang di hutan alam produksi (sebagai pengganti sistem TPI) c. Tebang Habis Permudaan Alam (THPA) berlaku sejak 1972 sampai sekarang. Sistem ini tidak pernah secara resmi diaplikasikan di lapangan. d. Tebang Habis Permudaan Buatan (THPB) berlaku sejak 1972 sampai sekarang. Sistem ini (seyogyanya) banyak diterapkan pada hutan rawang dan semak belukar menggunakan teknik tebang habis untuk membangun hutan tanaman. e. Reboisasi dan rehabilitasi lahan. Kegiatan ini banyak dilakukan pada kawasan hutan yang berbentuk padang alang-alang, tanah kosong dan lahan kritis. f. Sistem Tebang Jalur, terdiri dari Tebang Jalur Tanam Indonesia (TJTI) yang berlaku dalam skala uji coba tahun 1993 sampai 1994, Tebang Jalur Tanam Konservasi (TJTK) berlaku tahun 1994 sampai 1997, Hutan Tanaman Industri dengan Tebang Tanam Jalur (HTI-TTJ) berlaku tahun g. Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) berlaku sejak tahun 1998 sampai 2002 dan dilanjutkan tahun 2009 sampai sekarang. Lebar jalur tanam 3 m dan jalur antara 22 m sehingga membentuk jarak tanam 5 m x 25 m. h. Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif berlaku sejak tahun 2005 sampai sekarang. Lebar jalur tanam 3 m i. j. k. l. dan jalur antara 17 m sehingga membentuk jarak tanam 2,5 m x 20 m. Tebang rumpang, berlaku dalam skala penelitian sejak tahun 1990 kemudian diadopsi tahun Bina pilih. Sistem ini dapat dianggap sebagai pelengkap sistem TPTI yang bertujuan memusatkan kegiatan pemeliharaan pada pohon inti yang terpilih Sistem Agroforestry atau tumpang sari. Sistem ini sangat dianjurkan untuk dikembangkan pada hutan rakyat atau pengelolaan hutan yang melibatkan secara aktif peran serta masyarakat. Sistem ini dapat meningkatkan jaringan pengaman unsur hara (Nutrient Safety Network) dan proses biogeokimia sehingga mengoptimalkan pemanfaatan ruang tumbuh dan unsur hara yang terdapat di tanah. Multi sistem silvikultur. Sistem ini sangat sesuai diterapkan pada kawasan hutan yang sudah terfragmentasi dan berbentuk mosaik. Saat ini, sebagian besar kawasan hutan terdiri dari bermacam-macam tipe penutupan lahan, mulai dari hutan primer, hutan sekunder, hutan rawang, semak belukar, padang alangalang dan tanah kosong. Sistem silvikultur yang baik adalah sesuai dengan kondisi hutannya, oleh karena itu multi sistem silvikultur merupakan jawaban terhadap perkembangan kondisi hutan saat ini dan dimasa datang. Menurut Indrawan (2008) multisistem silvikultur adalah sistem pengelolaan hutan produksi lestari yang terdiri dua atau lebih sistem silvikultur yang diterapkan pada suatu unit manajemen dan merupakan multi usaha dengan tujuan mempertahankan dan meningkatkan produksi kayu dan hasil hutan lainnya serta dapat mempertahankan kepastian kawasan hutan produksi. Menurut Suhendang (2008), skema penerapan sistem silvikultur ada dua macam yaitu sistem silvikultur tunggal (single silvicultural system) dan sistem silvikultur jamak (multiple silvicultural system).

29 III. PERTUMBUHAN DAN HASIL Pertumbuhan dan hasil (growth and yield) merupakan tujuan akhir dari sistem silvikultur. Hutan produksi dikelola untuk mendapatkan hasil hutan secara lestari melalui rekayasa sebagian atau seluruh ekosistem hutan. Rekayasa sebagian ekosistem hutan dengan mempertimbangkan kemampuan pemulihan kembali (recovery) dilakukan pada pengelolaan hutan alam melalui sistem tebang pilih, sedangkan rekayasa seluruh ekosistem dengan tetap mempertimbangkan daya dukung tapak hutan dilakukan pada semak belukar, padang alang-alang dan tanah kosong melalui sistem tebang habis. Rekayasa tapak dilakuan untuk memberikan ruang tumbuh yang lebih baik pada tanaman sehingga pertumbuhannya dapat optimal dan diperoleh hasil akhir yang lebih tinggi dengan pengorbanan lingkungan yang minimal. Rekayasa tapak diwujudkan melalui kegiatan teknis yang sejalan dengan prinsip-prinsip silvikultur dan tujuan pengelolaan hutan. Gambar 4. Areal bekas tebangan (loged over forest) sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) di Kapuas, Kalimantan Tengah A. Pertumbuhan Pohon Gambar 3. Tegakan Eucalyptus pellita di Tanah Laut Kalimantan Selatan, dibangun menggunakan sistem silvikultur Tebang Habis Permudaan Buatan (THPB). Penetapan sistem silvikultur hendaknya sejalan dengan mekanisme pertumbuhan, perkembangan dan rencana pencapaian hasil hutan yang diinginkan. Penyusunan sistem silvikultur harus mengakomodir segala aspek teknis yang diperlukan dalam rangka terbentuknya proses pertumbuhan pohon yang optimal untuk tujuan budidaya dengan

30 pengorbanan ekosistem yang minimal serta pembiayaan yang rasional. Oleh karena itu diperlukan keahlian memilah faktorfaktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan pohon, untuk keperluan rekayasa dan pengelolaan tegakan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan pohon adalah genetik (Finkeldey 1989; Hani in 1999; Kumar & Matthias 2004), lingkungan atau tempat tumbuh atau tapak (site) (Fisher & Binkley 2000; Kozlowski & Pallardy 1997; Soekotjo 1995) dan teknik silvikultur (Coates & Philip 1997; Halle et al. 1978; Pasaribu 2008; Santoso et al. 2008). Bagan alir faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan pohon terlihat pada Gambar 5. Sistem silvikultur mengandung beberapa teknik silvikultur serta serangkaian tahapan teknis yang harus diberikan pada tanaman atau tegakan. Para praktisi dapat mengembangkan dan merekayasa teknik silvikultur dalam ruang lingkungan sistem yang masih diperkenankan. Dengan demikian masih terbuka peluang inovasi dan kreatifitas para praktisi dan rimbawan untuk menemukan teknis yang lebih baik dan sesuai dengan lokasi kerjanya. Pengendalian hama dan penyakit tanaman merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari teknik silvikultur. Belakangan berkembangan teknik pengendalian hama terpadu (integrated pest management) yang menekankan pada teknik pengendalian hama yang ramah lingkungan menggunakan predator, parasit hama dan meningkatkan kualitas (kesehatan) pohon (biocontrol). Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan pohon adalah iklim dan tanah. Faktor iklim banyak ditentukan oleh curah hujan, intensitas cahaya, suhu, kelembaban, kecepatan angin dan letak geografis. Sedangkan faktor tanah banyak dipengaruhi oleh sifat kimia, fisika dan biologi tanah serta ketinggian, kelerengan dan arah lereng. Faktor bawaan atau genetik pohon memegang peranan cukup penting dalam mengontrol pertumbuhan pohon. Penggunaan bibit unggul hasil pemuliaan tanaman diperkirakan dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil hingga 2-4 kali (Danida & Dephut 2001). Karakteristik genetik dalam suatu spesies berhubungan erat dengan perilaku sel, arsitektur pohon dan akar, hormon, zat pengatur tumbuh dan tingkat pembentukan serat (Kozlowski & Pallardy 1994; Landsberg 1986). Upaya untuk meningkatkan kualitas genetik benih dan bibit tanaman, khususnya pada pengelolaan hutan alam, masih mengandalkan pada tegakan benih dan kebun benih. Silvikultur Sistem silvikultur Teknik silvikultur Pengendalian hama terpadu Iklim Presipitasi Cahaya Suhu udara Iklim A Iklim B Iklim C Fotosintesis Metabolisme Kelembaban Angin Letak geografi Lingkungan Pertumbuhan dan Hasil Arah lereng Tanah Ketinggian Kelerengan Udara Arsitek pohon Cahaya Suhu Pencucian Erosi Unsur hara Arsitek akar Kerapatan Sifat fisik Anakan alam Genetik Sifat kimia Tegakan benih Kebun benih Biologi tanah a bit of blood Tree superior Pemuliaan pohon Gambar 5. Air tanah Tekstur tanah Struktur tanah KTK Keasaman tanah Mineral tanah Iklim mikro Mikroorganisme Mikoriza Rhizobium Biomassa Serapan hara Katalisator Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan pohon

31 Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.10/Menhut-II/2007 tanggal 13 Maret 2007, tegakan benih teridentifikasi adalah sumber benih dengan kualitas rata-rata yang digunakan untuk menghasilkan benih dan lokasinya dapat diidentifikasikan dengan tepat. Sedangkan tegakan benih terseleksi adalah sumber benih dengan pohon fenotipa bagus yang mempunyai sifat penting antara lain batang lurus, tidak cacat dan percabangan ringan. Tegakan benih (seed stand) adalah areal tegakan yang dipilih untuk menghasilkan benih dan bibit berkualitas tinggi melalui pohon-pohon induk yang terdapat di dalamnya. Penunjukkan tegakan benih juga didasarkan pada kemampuan berbuah pohon induk untuk dapat menyuplai benih dan bibit bagi keperluan persemaian dan penanaman. Tegakan benih dalam IUPHHK dikenal dengan nama Areal Sumber Daya Genetik (ASDG), diwajibkan dibuat seluas 100 ha dalam setiap 5 blok kerja tahunan (dulu bernama blok RKL) sehingga secara keseluruhan, setiap IUPHHK wajib mempunyai 700 ha ASDG (PT GM 2008a). Tegakan benih yang telah dikelola dengan baik serta mempunyai sekat isolasi yang memisahkan dengan tegakan lain dapat menjadi kebun benih. Dengan program pemuliaan pohon seperti ini diharapkan kualitas tegakan hutan akan semakin meningkat melalui kegiatan penanaman dan pengayaan menggunakan bibit unggul yang dilakukan setiap tahun. Pemilihan pohon induk dalam tegakan benih menggunakan kriteria antara lain sebagai pohon peninggi, mempunyai diameter paling besar diantara yang lain, bebas cabang yang tinggi, bentuk batang lurus dan silindris, bentuk tajuk silindris dan seimbang, riap tinggi dan bebas dari hama dan penyakit (Hani in 1999; Soekotjo 2009). Menurut Soekotjo (1995) variabel yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman adalah jenis, sumber benih, jenis yang dimuliakan, manipulasi atribut lingkungan, teknik silvikultur yang dipakai serta kelas diameter. Pemilihan jenis yang tepat untuk tujuan budidaya sangat berpengaruh terhadap nilai yang dihasilkan. Jenis unggul hasil pemuliaan pohon mempunyai riap yang lebih besar (inherent growth rate). Pada kelas diameter yang berbeda, meskipun pada pohon yang sama, dapat mempunyai riap yang berbeda (reit of growth). Pada lokasi yang berbeda, meskipun jenisnya sama, dapat mempunyai riap yang berbeda pula. Sebagai contoh, penelitian pertumbuhan meranti di hutan Semengoh (Serawak) menunjukkan bahwa Shorea stenoptera mempunyai riap 79% lebih besar dibanding Shorea pinanga pada kondisi lingkungan yang sama. Dan penanaman Shorea macrophylla di Kalbar menunjukkan riap yang lebih besar dibandingkan penanaman di Kalsel. Dengan demikian, menurut Soekotjo (1995) informasi tentang pertumbuhan pohon harus dilengkapi dengan data inherent growth dan reit of growth dan informasi data riap bersifat spesifik untuk setiap tempat tumbuh sehingga tidak dapat digunakan untuk memprediksi riap tanaman sejenis pada tempat yang berbeda. Pertumbuhan atau riap (increment) adalah pertambahan tumbuh tanaman, baik pertumbuhan diameter, tinggi, volume, jumlah daun, berat bersih dan lain-lain dalam satuan waktu tertentu. Menurut Bettinger et al. (2009) dan Nyland (1996) pertumbuhan pohon dapat digambarkan sebagai riap tahunan berjalan (curren annual increment=cai) dan riap tahunan ratarata (mean annual increment=mai). CAI menunjukkan pertumbuhan tanaman setiap tahun, sedangkan MAI menunjukkan pertumbuhan rata-rata dalam waktu tertentu, yang dihitung berdasarkan data terakhir dibagi dengan umur. Akumulasi pertumbuhan, CAI dan MAI digambarkan dalam bentuk grafik untuk menentukan daur tanaman. Daur tanaman sebaiknya ditentukan pada saat kurva MAI bertemu dengan CAI, setidaknya pada tahap ke-2. Pada tahap ke-3 tanaman sudah tidak memberi pertambahan pertumbuhan. Kurva pertumbuhan tanaman dapat dilihat pada Gambar 6. Menurut Ditjen BPK (2005) MAI diameter tanaman meranti (Shorea leprosula, S.johorensis, S.platyclados,

32 S.macrophylla, S.parfivolia, S.selanica dan S.smithiana) pada jalur bersih sistem TPTII sebesar 1,67 cm/ th atau 13,33 m3 /ha/th. Sementara itu, data lain menunjukkan bahwa MAI diameter Shorea platyclados di Sumatera Utara sebesar 1,32 cm /th (Ditjen Hut 1980) dan Shorea leprosula, S. ovalis serta S. parvifolia sebesar 10 m3/ha/th (Hutan Industri 1958 dalam Manan 1995). Akumulasi pertumbuhan CAI Pertumbuhan MAI Tahap ke-1 Tahap ke-2 Tahap ke-3 Waktu Gambar 6. Kurva pertumbuhan pohon (CAI dan MAI) Soekotjo (1995) yang mengutip riap beberapa tanaman Shorea spp di komplek hutan Semengoh (Serawak) menyatakan bahwa Shorea pinanga umur 38 tahun yang ditanam dengan jarak 4,5 m x 4,5 m mempunyai diameter 31,35 cm dengan kisaran riap diameter 0,49-1,24 cm /th. Shorea splendica umur 35 tahun yang ditanam dengan jarak 3,6 m x 3,6 m mempunyai diameter 31,62 cm dengan kisaran riap diameter 0,53-1,39 cm /th. Shorea stenoptera umur 34 tahun yang ditanam dengan jarak 3,5 m x 3,6 m mempunyai kisaran riap diameter 0,53-1,39 cm /th. Meskipun tidak menyebutkan data kuantitatif, Soekotjo (1995) menyebutkan bahwa pertumbuhan Shorea macrophylla di Kalbar lebih tinggi dibanding di Kalsel dan sebaliknya Shorea stenoptera di Kalsel tumbuh lebih baik dibanding di Kalbar. Data pertumbuhan tanaman meranti sangat bervariasi. Penelitian yang lebih mendalam terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman perlu dilakukan agar data riap tegakan dan prediksi hasil yang diperoleh lebih akurat, spesifik dan komprehensip dalam setiap kondisi tempat tumbuh dan teknik silvikultur. Dengan demikian riap tanaman meranti dalam jalur bersih sistem TPTII dipengaruhi oleh jenis pohon, genetik, sistem dan teknik silvikultur, rekayasa lingkungan dan pengendalian hama terpadu. Tingkat penerapan teknik silvikultur dipengaruhi oleh kondisi tempat tumbuh atau lingkungan di sekitarnya. Salah satu faktor yang membentuk kondisi tempat tumbuh adalah kelerengan (slope) karena berkaitan erat dengan pencucian hara (leaching) dan erosi yang disebabkan aliran permukaan sehingga dapat mengurangi ketersediaan unsur hara bagi tanaman (Fisher & Dan-Binkley 2000; Siswomartono 1989; Soemarwoto 1991). Makin tinggi tingkat kelerengan makin rendah kapasitas infiltrasi tanah karena makin tinggi aliran permukaan sehingga dapat mempengaruhi ketersediaan air tanah (Lee 1990). Kerapatan, arsitek akar dan ketahanan fisik tanaman juga dapat dipengaruhi oleh kelerengan. Diperkirakan faktor kelerengan dapat mempengaruhi tingkat pertumbuhan tanaman dan turut menentukan hasil yang akan diperoleh pada akhir rotasi. B. Perhitungan Hasil Hasil hutan berupa kayu bulat baru dapat di hitung dengan mudah dan tepat setelah pemanenan. Namun permasalahan akan muncul ketika menentukan potensi kayu yang masih berdiri (standing stock) terlebih lagi memprediksi potensi kayu pada beberapa tahun yang akan datang. Kemampuan membuat perhitungan dalam rangka memprediksi potensi hutan pada

33 akhir daur atau pada akhir siklus tebang menjadi sangat penting untuk memberi kepastian sistem dan menumbuhkan iklim usaha yang mantap. Salah satu sifat pengusahaan hutan adalah berjangka waktu panjang, oleh karena itu maka sistem silvikultur selayaknya disusun secara holistik termasuk mengedepankan aspek perencanaan dan perhitungan pertumbuhan dan hasil hutan yang baik. Dalam kegiatan perencanaan harus dibuat penataan areal yang meliputi seluruh areal kerja, inventarisasi kondisi tempat tumbuh, persiapan sarana dan prasarana termasuk jaringan jalan dan lain-lain. Pada sistem TPI dan TPTI ditetapkan siklus tebang selama 35 tahun dan pada sistem TPTJ dan TPTII beberapa sumber menyebutkan selama 25, 30 sampai 35 tahun. Bahkan dengan asumsi riap diameter 1 cm/th pada jenis-jenis kayu keras (slow growing species), maka pada kelas perusahaan pertukangan konvensional, anakan baru siap panen pada umur umur 50 tahun. Belakangan muncul kelas perusahaan pulp, papan partikel atau kelas perusahaan pertukangan yang telah mengadopsi teknologi pengolahan kayu modern yang dapat mengolah kayu berdiameter kecil dari jenis cepat tumbuh (fast growing species) sehingga tanaman hanya memerlukan daur selama 5 sampai 10 tahun. Berdasarkan data pendahuluan yang ada, perusahaan harus melakukan kegiatan penataan yang meliputi seluruh areal kerja. Kegiatan ini bertujuan untuk membuat dan atau menata ulang batas areal kerja serta menentukan jumlah dan luas masingmasing blok kerja tahunan dan petak kerja. Blok kerja tahunan adalah sejumlah areal yang diperuntukkan untuk kegiatan pembangunan hutan tanaman dalam jangka waktu satu tahun. Dalam blok kerja tahunan dibagi menjadi petak-petak kerja. Berdasarkan hasil penataan inilah maka akan diketahui perkiraan jumlah produksi kayu bulat setiap tahunnya. Areal kerja pengusahaan hutan dibagi menjadi tiga, yaitu areal efektif, areal tidak efektif dan areal perlindungan. Areal efektif adalah areal kerja yang memenuhi syarat sebagai tempat pembangunan hutan tanaman, areal tidak efektif adalah sejumlah areal di dalam wilayah pengusahaan hutan yang tidak dapat dipergunakan sebagai areal penanaman, seperti sarana dan prasarana (perkantoran, camp, jalan angkutan), daerah tergenang permanen atau periodik, daerah konflik atau enclave, daerah berbukit atau jurang sangat terjal, daerah kerangas dan lain-lain, sedangkan daerah perlindungan adalah bagian areal kerja yang diperuntukan untuk penelitian, areal konservasi dan perlindungan alam, sempadan sungai, sempadan danau atau waduk, buffer zone hutan lindung atau hutan konservasi, kelerengan sangat curam, sumber benih dan lain-lain. Blok kerja tahunan serta perkiraan produksi kayu bulat setiap tahun dapat ditentukan dengan persamaan berikut ini: Luas blok kerja tahunan (Bt) (ha/th): Lt (Ate + Ap) Bt = Dt Perkiraan produksi kayu bulat (P) (m3/th): P = Bt x V/ha x FE dimana Lt Ate Ap Dt V FE = = = = = = luas areal kerja keseluruhan (ha) luas areal tidak efektif (ha) luas areal perlindungan (ha) daur tanaman (th) volume standing stock faktor eksploitasi. Beasaran faktor eksploitasi bermacam-macam. Menurut Soekotjo (2009) faktor eksploitasi tanaman dalam jalur tanam sisten silin sebesar 0,7. Pada hutan alam produksi, perhitungan untuk memprediksi hasil akhir harus dikalikan 0,64 (0,8 x 0,8) atau 0,56 (0,8 x 0,7). Menurut Wahyudi (2011) besaran faktor eksploitasi dan faktor pengaman pada hutan produksi terbatas sebesar 0,5655.

34 Pada Gambar 7 terlihat contoh penataan areal kerja menggunakan daur tanaman 7 tahun, sehingga seluruh areal kerja ditata menjadi 7 blok tanaman tahunan (I s/d VII). Batas blok menggunakan bentang alam, seperti sungai atau puncak tebing atau batas yang permanen lainnya, seperti jalan angkutan. Apabila tidak terdapat batas alam dapat dibuat batas buatan menggunakan patok setinggi 1,5 m yang dipasang setiap 50 m. Pada blok kerja tahunan V terlihat contoh pembuatan petak kerja berbentuk papan catur menggunakan batas buatan. Pembuatan batas buatan diusahakan tertib dan menggunakan koordinat bulat dengan arah Utara-Selatan dan Timur-Barat. Contoh 1: IUPHHK-HT PT Pupl Hutan Lestari mendapatkan areal konsesi seluas ha untuk membangun hutan tanaman Acacia mangium. Daur tanaman ditetapkan selama 7 tahun. Sebagai langkah awal, perusahaan itu berencana membangun komplek perkantoran, perumahan, bengkel, persemaian, jaringan jalan, lapangan olah raga dan lain-lain seluas 200 ha. Setelah dilakukan penataan areal, terdapat areal yang tergenang seluas ha, daerah konflik yang telah di enclave seluas 500 ha, sempadan sungai 50 ha, petak ukur permanen 350 ha, sumber benih 100 ha dan konservasi hutan 3000 ha. 1. Berapa luas blok penanaman tahunan perusahan? 2. Apabila potensi standing stock rata-rata 450 m3/ha, berapa perkiraan produksi tahunan perusahaan? 3. Berapa produktifitas hutan tanamam Acacia mangium di perusahaan tersebut? Jawab: 1. Luas blok penanaman tahunan (Bt): ha (5.700 ha ha) Bt = = 5.828,6 ha/th 7 tahun 2. Produksi tahunan = 5.828,6 ha/th x 450 m3/ha x 0,7 = m3/th 3. Produktifitas hutan tanaman (P): m3/th P = = 5,25 m3/ha/th ha x 7 tahun C. Pemodelan Dinamika Hutan Gambar 7. Contoh penataan areal kerja menggunakan daur tanaman 7 tahun Pengusahaan hutan menggunakan alat produksi sebagai hasil produksi itu sendiri setelah melalui serangkaian proses pertumbuhan pohon dan interaksi dalam lingkungannya dalam jangka waktu yang lama. Dimensi tegakan bersifat dinamis dari tahun ke tahun dengan komponen produk yang bervariasi

35 kondisinya. Prediksi hasil pada tegakan berdiri melalui pengukuran tidak langsung sering menimbulkan bias disebabkab areal yang sangat luas sehingga sering menggunakan sampling, jumlah pohon yang banyak, kesulitan dalam mengukur tinggi pohon, bentuk batang tidak persis sama dan faktor kesalahan dalam pengukuran. Untuk keperluan perhitungan hutan, selain menggunakan persamaan matematis biasa, beberapa sumber menggunakan pemodelan dengan memanfaatkan beberapa variabel yang terukur. Perhitungan ini dapat membantu dalam memprediksi pertumbuhan dan hasil (growth and yield) tegakan yang sesuai dengan karakteristik jenis serta kondisi tapak setempat, sehingga perkiraan produksi pada saat pemanenan dapat dibuat sedini mungkin serta dapat mengantisipasi segala kemungkinan yang bakal terjadi selama proses sedang berjalan. Kegiatan ini dapat meningkatkan kepastian usaha di bidang kehutanan sehingga para investor lebih tertarik menggeluti usaha di bidang kehutanan. Model adalah suatu bentuk virtual yang dibuat untuk menirukan suatu proses yang terjadi pada dunia nyata (Muhammadi et al. 2001, Purnomo 2005). Kenyataan yang terjadi pada dunia nyata (real world) biasanya sangat komplek namun masih dapat dipelajari dan disederhanakan, terutama yang berkaitan dengan hubungan sebab akibat (causal loop). Pemindahan kondisi dunia nyata ke dalam bentuk dunia maya yang dilengkapi dengan sistem dan simulasinya dapat membantu kita dalam memahami suatu ekosistem secara lebih mudah. Model adalah gambaran kondisi alam yang menunjukkan proporsi dan susunan komponen penyusun serta ekspresi nyata dari suatu teori (Ford 1977). Model sering menggunakan persamaan matematika, angka, logika yang tepat dan kode-kode komputer. Hutan tropika mengandung banyak species, variasi umur, riap dan ukuran vegetasi, sehingga memerlukan model yang sangat komplek untuk menggambarkannya. Suatu model hampir mustahil mampu menggambarkan kondisi hutan secara keseluruhan. Dinamika hutan hanya dapat digambarkan melalui beberapa variasi dan level tegakan yang terbatas serta hanya menggunakan unsur pendekatan. Model pertumbuhan dan hasil dapat diprediksi melalui luas bidang dasar atau diameter pohon. Hutan tropika yang merupakan ekosistem sangat komplek menawarkan tantangan tersendiri bagi para pembuat model. Dalam satu hektar hutan dapat mengandung ratusan atau ribuan spesies dan ratusan jenis komersial. Pada hutan alam yang rapat, terdapat variasi yang besar pada jenis dan ukuran batang pohon dan nampak bahwa umur kurang berkorelasi dengan ukuran batangnya. Nilai suatu model terletak pada kemudahan untuk digunakan, mudah disimpan dan digunakan kembali (Vanclay 1995). Model juga dapat digunakan untuk menggambarkan dinamika hutan, perlakuan silvikultur, menentukan teknik pengelolaan, mengetahui kondisi tegakan dan memprediksi tebangan pada akhir daur atau siklus berikutnya. Model tegakan hutan dapat digambarkan melalui stok pohon (jumlah pohon), luas bidang dasar atau volume tegakan per ha untuk memprediksi pertumbuhan dan hasil tegakan. Model suksesi untuk memprediksi pertumbuhan pernah dilakukan menggunakan input cahaya, suhu, kesuburan tanah, fotosintesis dan alokasi fotosintesis untuk akar, batang dan daun (Landsberg 1986; Sievanen & Burk 1988; McMurtrie et al. 1990). Bossel and Krieger (1991) mencari pendekatan untuk membangun model lapisan kanopi tajuk di hutan Malaysia, namun menemukan hambatan dalam pemodelan hutan tropis yang komprehensif karena keterbatasan data pendukung yang menyangkut aspek fisiologi, ekologi, tapak dan kondisi tegakan hutan. Table pertumbuhan dan hasil hutan tidak seumur dipublikasikan pertama kali di Jerman pada tahun 1787 (Vanclay 2001). Saat ini, tabel hasil meliputi tabel tinggi, diameter, kerapatan, luas bidang dasar, riap rata-rata tahunan dan tabel volume. Pemodelan meliputi seni dan ilmu untuk menggambarkan kondisi alam yang sebenarnya. Banyak model

36 dibuat dengan pendekatan empiris, kalibrasi data dan mendasarkan pada teori-teori biologi yang berkembang dan semuanya dikumpulkan untuk menyusun model hutan alam yang komplek. Tidak ada pendekatan tunggal yang optimal dalam pemodelan hutan tropika. Semua metode yang akan digunakan harus diperhitungkan kelebihan dan kekurangannya. 1. Model pertumbuhan tanaman Sistem silvikultur yang menerapkan tebang habis dengan permudaan buatan membentuk pola tegakan seumur (even-aged forest). Model pertumbuhan tanaman pada pola ini dapat digambarkan dengan grafik sigmoid growth melalui persamaan eksponensial seperti diungkapkan oleh Brown (1997), Grant et al. (1997), Radonsa et al. (2003), yaitu: y= c1.e c2x dimana x y c1,c2 ditentukan berdasarkan jumlah kelompok yang diinginkan, sebagai berikut: Ir = (rb rk) / 5 dimanair : interval berdasarkan riap rb : riap terbesar rk : riap terkecil Model persamaan polinomial menggunakan kelompok tanaman dapat dirumuskan sebagai berikut: yi = ci1 + ci2x + ci3x2 dimanayi : diameter akhir rata-rata kelompok ke-i x : waktu (tahun) ci1,ci2,ci3 : konstanta. : diameter awal : diameter akhir : konstanta Brown (1997) dan Burkhart (2003) menggunakan persamaan polinomial rata-rata dalam menggambarkan pertumbuhan tanaman, yaitu: y = c1 + c2x + c3x2 dimana: y : diameter akhir rata-rata x : waktu dalam tahun c1,c2,c3 : konstanta. Wahyudi (2010) menuliskan model dinamika pertumbuhan tanaman meranti di Kapuas, Kalimantan Tengah, menggunakan persamaan polinomial rata-rata, yaitu: y = 0,0297x2 + 0,8208x+0,3728; dengan R2= 86,89% seperti terlihat pada Gambar 12. Dalam rangka mendapatkan informasi pertumbuhan yang lebih detail, Wahyudi (2011) memisahkan data pertumbuhan tanaman dalam 5 kelompok tanaman berdasarkan kecepatan pertumbuhannya, yaitu kelompok pertumbuhan sangat lambat, lambat, sedang, cepat dan sangat cepat. Interval riap Gambar 8. Model pertumbuhan diameter tanaman meranti menggunakan model persamaan polinomial Penyebaran diameter pada hutan tanaman (even-aged forest) selalu tidak merata sehingga ditemukan pola grafik berbentuk lonceng dalam menggambarkan penyebaran diameter ini (Hauhs et al. 2003, Wahyudi, 2010). Hal ini menandakan

37 bahwa kelompok pertumbuhan menengah selalu mempunyai jumlah tertinggi dalam tegakan dan sebaliknya kelompok pertumbuhan terkecil dan terbesar mempunyai jumlah terendah. Pada penelitian tanaman Shorea leprosula dalam jalur tanam sistem TPTII, Wahyudi (2010) menemukan distribusi diameter tanaman membentuk garfik seperti lonceng. Grafik tersebut semakin bergeser ke arah kanan sejalan dengan bertambahnya umur, yang menandakan semakin banyak pohon yang berada pada kelompok diameter yang lebih besar, namun semuanya masih mempunyai pola yang sama yaitu berbentuk lonceng. Selanjutnya, Wahyudi (2011) menemukan jumlah kelompok tanaman yang terdapat dalam setiap kelompok pertumbuhan sangat lambat, lambat, sedang, cepat dan sangat cepat masingmasing sebesar 17,36%; 25,62%; 27,27%; 25,62% dan 4,13%. Untuk mempermudah pemodelan serta mendapatkan pemahaman yang lebih lengkap tentang pertumbuhan tanaman serta faktor-faktor yang mempengaruhinya dapat dibuat analisis umpan balik. Pemodelan dapat menggunakan berbagai perangkat lunak seperti stella, powersim, symfor dan lain-lain. Gadow dan Hui (1999) memperkenalkan tiga model pertumbuhan untuk menentukan tinggi tegakan, yaitu model Bertalanffy, model Biging and Wensel (1985) dan model Schumacher, sebagai berikut : -bx c a. Model Bertalanffy. H = a(1-e ) b. Model Biging and Wensel (1985). H= a.sb.(1-e-ct)d c. Model Schumacher H= a.e-b1/t dimana H: tinggi (m), S: kelas tapak (baik:1, buruk:0), e: eksponensial dan t: waktu. Gadow dan Hui (1999) mengembangkan persamaan untuk mengetahui luas bidang dasar tegakan Cunninghamia lanceolata di China, yaitu: G2 = G1N21-0,142H2 Dimana: G1 G2 N1 N2 H1 H2 0,601 N10,142H1 0,601-1 (H2/H1)4,292 : luas bidang dasar pada t1 (m2/ha) : luas bidang dasar pada t2 (m2/ha) : kerapatan pada t1 (phn/ha) : kerapatan pada t2 (phn/ha) : tinggi tegakan dominan pada t1 : tinggi tegakan dominan pada t2 Untuk tegakan seumur digunakan persamaan berdasarkan pertumbuhan luas bidang dasar, dengan asumsi riap luas bidang dasar per ha adalah fungsi dari umur tegakan (t) dan luas bidang dasar awal. Contoh kasus diambil dari tanaman Pinus pinaster di Spanyol yang melahirkan persamaan: Gambar 9. Dinamika struktur tanaman meranti membentuk grafik lonceng G = 27,78.G0,3367. t -1,3407. dimana: G: luas bidang dasar (m2/ha) t : umur tegakan

38 Pienaar et al. (1990) membuat model untuk tanaman Pinus elliothi di Georgia melalui persamaan: lng = α0 + α1(1/t) + α2.ln(h)+ α3(n), dimana G : Pertumbuhan luas bidang dasar tahunan (m2/ha/th) G : Luas bidang dasar (m2/ha) N : Jumlah pohon per ha (N/ha) H : Tinggi tegakan dominan (m) t : Umur tegakan Dari persamaan di atas, Forss et al. (1996) mengaplikasikan persamaan di Pienaar et al. (1990) dan mendapatkan konstanta untuk tegakan Acacia mangium di Kalsel (Indonesia), yaitu: α0= -4,147; α1= -2,074; α2= 0,9958 dan α3= 0,6239. Gadow and Hui (1999) mengembangkan persamaan Pienaar et al. (1990) untuk meningkatkan akurasi hasil pengukuran melalui persamaan: ln(g 1/t-11/t ) + 1α)2 + [ln(h ) - ln(h α3[ln(n ln(g ln(g1)1)+α+α α2 2[ln(H - ln(h 1(1/t 2-2 2)-ln(N1)] 2)2)== ln(g 1(1/t 2)1)]+ 1)]+ α3[ln(n2)-ln(n1)] Munculnya pohon tertekan yang berdampak pada kematian (mortality) merupakan fungsi dari kerapatan tegakan yang dirumuskan oleh Reineke (1933) dalam Gadow dan Hui melalui persamaan: Nmax= α0 Dg α1. Selanjutnya Gadow dan Hui (1999) menemukan persamaan untuk Pinus radiata di Afrika Selatan sebagai berikut: Nmax= Dg -1,91 dimana: Nmax : jumlah pohon hidup maksimum per ha Dg : kwadratik diameter rata-rata α0, α1 : konstanta Kerapatan pohon (N) dan luas bidang dasar (B) adalah parameter dasar dari stok yang saling berhubungan serta dapat dipergunakan untuk memprediksi karakteristik tegakan. Kerapatan tegakan dapat dipergunakan sebagai input dalam memprediksi pertumbuhan dan hasil tegakan sebagai reaksi dari perlakuan silvikultur. Rodriguez and Soalleiro (1995) menemukan konstanta yang menghubungkan volume dengan luas bidang dasar, yaitu V= 0,4215 G.H dimana: V : volume (m3/ha) G : luas bidang dasar (m2/ha) H : tinggi (m). Jansen et al. (1996) memasukkan unsur waktu dalam persamaan di atas sehingga persamaan tersebut menjadi: V = G.H 1,073-0,00133t e-1,144+0,00432t. Pada tegakan Cunninghamia lanceolata di China berlaku persamaan: V= 0, d 1,9699 h 0, Model pertumbuhan tegakan tinggal Sistem silvikultur yang menerapkan tebang pilih membentuk pola tegakan tinggal semua umur (all-aged forest). Pertumbuhan tegakan dipengaruhi oleh jenis pohon, genetik, perlakuan silvikultur, faktor lingkungan, baik biotik maupun abiotik, serta interaksi diantara komponen-komponen tersebut (Suhendang 1998). Dimensi tegakan yang sering dijadikan parameter adalah diameter, tinggi, luas bidang dasar, diameter tajuk, kerapatan, kelas tapak dan lain-lain. Menurut Bella (1971) data berupa luas bidang dasar memberi nilai R2 yang lebih baik dibanding data diameter, namun menurut West (1980) dan Shifley (1987) tidak ada bedanya menggunakan data luas bidang dasar atau diameter. Pembuatan model berdasarkan riap tinggi pohon tidak efektif dilakukan di hutan tropis karena pengukurannya sulit dan hasilnya tidak akurat. Sebagai gantinya dapat ditempuh menggunakan tabel volume lokal. Kurva sebaran pohon dibuat untuk mengetahui kenormalan sebaran tegakan hutan semua umur (Appanah & Weinland

39 1993; Davis & Johnson 1987; Meyer et al. 1961; Nyland 1996; Suhendang 1998) dengan persamaan: N=No e-kd, dimana N : kerapatan (phn/ha) No,k : konstanta E : eksponensial D : kelas diameter. Mengingat pengukuran tinggi pohon khususnya dalam tegakan hutan campuran yang rapat sulit dilakukan dan menimbulkan masalah keakuratan, maka disusunlah tabel volume untuk mengkonversi diameter pohon menjadi volumenya. Balitbanghut (2008) telah menyusun tabel volume untuk berbagai wilayah di Indonesia melalui pendekatan kelompok pohon. Persamaan tabel volume hutan alam di Kalimantan Tengah selain telah disusun oleh Balitbanghut (2008), juga telah dibuat oleh Rombe et al. (1982). Wahyudi dan Matthews (1996) menyusun persamaan tabel volume lokal di areal PT GM (wilayah Kapuas Hulu, Kalimantan Tengah) dalam proyek percontohan pembentukan KPHP di Kalimantan. Perbandingan ke-3 tabel volume di wilayah Kalimantan tengah tersebut adalah: - Balitbanghut (2008) Kel. meranti V= 0, D2,5844 Kel. diptero non meranti V= 0, D2,5035 Ramin V= 0, D2, Rombe et al. (1982) Kel. meranti V= 0, D2,3218 Kel. diptero non meranti V= 0, D2,4310 Kel. lain-lain V= 0, D2, Wahyudi dan Matthews (1996) Kel. meranti V= 0, D2,5617 Kel. diptero non meranti V= 0, D2,4131 Kel. komersial lain V= 0, D2,6388 Struktur tegakan dalam hutan semua umur senantiasa berubah menurut fungsi waktu dan bentuk perlakuan yang ada (Oliver & Larson 1990) sehingga memerlukan minimal dua kali pengukuran untuk mendapatkan dinamikanya (Davis & Johnson 1987; Buongiorno & Gilles 1987). Data yang terkumpul dapat diolah menurut persamaan biometrika hutan untuk menjalankan suatu model. Komponen utama dalam pemodelan hutan adalah laju pertumbuhan, sebaran diameter, komposisi jenis dan penjadwalan (Leuschner 1990). Pemodelan dapat dipergunakan untuk mengetahui ketersediaan tegakan (pohon/ha), luas bidang dasar (m2/ha) dan volumenya (m3/ha) (Vanclay 1995) melalui aliran stok pohon (N, kubikasi) dalam setiap kelas diameter dan kelompok jenis (Labetubun 2004; Suhendang 1998; Vanclay 1995, 2001). Komponen yang bekerja dalam aliran stok pohon (N) adalah ingrowth, upgrowth dan mortality yang merupakan fungsi dari kerapatan tegakan (N), diameter (D) dan luas bidang dasar (m2/ha) (Buongiorno & Michie 1980; Solomon et al. 1986; Mengel & Roise 1990). Penentuan komponen yang akan digunakan tergantung pada nilai koefisien determinasinya yang sering berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Komponen kelas tapak sering menjadi masalah dalam menetapkan model hutan alam karena keterbatasan data, namun beberapa peneliti sering menetapkan kisaran angka antara 1 (baik) sampai 0 (buruk). Ingrowth adalah pertambahan permudaan dalam kelas pertumbuhan tertentu menurut fungsi waktu. Ingrowth dapat dimulai dari tingkat semai yang merupakan fungsi dari jumlah pohon fertil (Nguyen & Sist 1998), kelembaban, prosen perkecambahan alami dan prosen kematian anakan yang terjadi dalam waktu satu tahun. Proses perkecambahan akan berjalan normal bila berada pada kelembaban yang cukup tinggi. Semai yang keluar disebabkan proses perpindahan dari tingkat semai ke tingkat pancang (upgrowth) dan karena kematian, baik kematian alami maupun akibat pemanenan kayu (Indrawan 2003a). Upgrowth adalah peluang pohon yang hidup dalam kelas diameter tertentu yang pindah ke dalam kelas diameter di

40 atasnya dalam waktu satu tahun. Upgrowth merupakan fungsi dari nilai tengah diameter (D) dan luas bidang dasar (B) (Buongiorno et al. 1995, Favrichon 1998, Favrichon & Kim 1998, Fyllas et al. 2010, Vanclay 1995). Mortality adalah jumlah pohon yang mati dalam kelompok jenis dan kelas diameter tertentu selama satu tahun. Kematian pohon dalam hutan yang dikelola dapat disebabkan faktor alam dan faktor disturbance, seperti efek penebangan, sehingga sulit mengaitkan kematian pohon dalam hutan seperti ini hanya sekedar dari faktor alam saja. Berdasarkan hasil penelitian Elias (1997) dan Sist and Bertault (1998) bahwa tingkat kerusakan tegakan tinggal, yang dapat bermuara pada kematian, sangat berkaitan dengan intensitas penebangan yang dilakukan. Kematian catastropic (pencurian kayu, kebakaran dll) tidak diperhitungan dalam persamaan yang akan dibuat. Gambar 10. Model perkembangan tingkat semai pada hutan alam setelah penebangan (Indrawan 2003a) Ingrowth dan upgrowth pada dasarnya merupakan gambaran dari pertumbuhan tegakan hutan sebagai fungsi dari faktor klimatis (iklim mikro), edapis dan jenis atau kelompok jenis. Pemodelan menggunakan mekanisme ingrowth, upgrowth dan mortality dapat dilakukan dalam beberapa kelompok pohon, namun dalam perhitungan interaksi dalam ekosistem hutan semua kelompok tersebut menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan saling berhubungan satu dengan lainnya. Sebagai contoh, pertumbuhan jenis pohon tertentu dalam hutan alam campuran yang rapat terutama dipengaruhi oleh kerapatan tegakan secara keseluruhan, bukan saja kerapatan kelompok pohon tersebut. Kerapatan tegakan terutama berhubungan dengan intensitas cahaya serta persaingan tempat tumbuh untuk mendapatkan unsur hara, sehingga semakin tinggi kerapatan tegakan maka semakin rendah pertumbuhan pohon-pohon penyusun tegakan hutan. Persamaan ingrowth, upgrowth dan mortality diolah melalui data hasil pengukuran minimal sebanyak empat kali dalam kurun waktu masing-masing minimal satu tahun sehingga diperoleh data pertumbuhan tegakan minimal tiga kali. Makin banyak data yang diolah makin akurat persamaan yang dihasilkan. Dalam merancang pemodelan dinamika hutan, ingrowth merupakan fungsi dari luas bidang dasar tegakan (B) dan kerapatan (N) (Buongiorno & Michie 1980; Coates 2002 dalam Fyllas 2010; Vancly 2001). Menurut Vanclay (2001) persamaan ingrowth merupakan fungsi dari jumlah pohon (kerapatan) dan luas bidang dasar per ha melalui persamaan: Nr = a + bn - cb dimana: Nr : ingrowth (phn/ha/th) N : total stok (phn/ha) B : luas bidang dasar (m2/ha) a,b,c : konstanta. Buongiorno dan Michie (1980) juga memprediksi ingrowth berdasarkan N dan B. Bosch (1971) memprediksi regenerasi berdasarkan jumlah pohon mati saja. Vanclay (1989) dalam Vanclay (2001) memprediksi ingrowth berdasarkan luas bidang dasar (B) dan kualitas tapak (S) melalui persamaan: Nr = a+bb+cs.

41 Buongiorno et al. (1995) membuat persamaan ingrowth, upgrowth dan mortality untuk mengetahui dinamika hutan tidak seumur di Perancis melalui tiga pengelompokkan jenis pohon (Fir, Spruce dan Beach) sebagai berikut: m n n 2 Ikt = Nik B (yijt hijk) + ek (ykjt-hkjt) + ck..(r = 0,37-0,47) i=1 j=1 j=1 m n Uij = pi + qi B (yijt hijt) + sjdj...(r2= 0,013-0,4) i=1 j=1 m n 2 Mij = ui + vi B (yijt hijt) + wjdj (R = 0,07) i=1 j=1 dimana: Ikt : ingrowth jenis ke-k (phn/ha/th) Uij : upgrowth jenis ke-i kelas diameter ke-j (phn/ha/th) B : total luas bidang dasar semua jenis pohon ke-i, kelas diameter ke-j (m2/ha) Dj : rata-rata diameter pada kelas diameter ke-j (cm) Mij : mortality jenis ke-i kelas diemeter ke-j (phn/ha/th) d,e,c,p,q,s,u,v,w : konstanta. Favrichon dan Kim (1998) membuat model dinamika hutan tropis di Kalimantan Timur dengan membuat dua kelompok pohon, yaitu kelompok dipterocarp dan non dipterocarp, melalui persamaan ingrowth, upgrowth dan mortality sebagai berikut: a. Persamaan ingrowth : Igd = 4,22 0,06989 Bt... (R2= 0,04) Ignd = 14,73 0,27603 Bt... (R2= 0,1) b. Persamaan upgrowth : Ugd = 0, ,0028D 0, D2+0, D30,00235Bt (R2=0,57) Ugnd= 0, ,0025D-0, D2+0, D30,00143Bt (R2=0,71) c. Persamaan mortality dibuat konstan. dimana: Igd : ingrowth kelompok dipterocarp (phn/ha/th) Ignd : ingrowth kelompok non dipterocarp (phn/ha/th) Ugd : upgrowth kelompok dipterocarp (phn/ha/th) Ugnd : upgrowth kelompok non dipterocarp (phn/ha/th) B : total luas bidang dasar tegakan waktu ke-t (m2/ha) D : rata-rata diameter Favrichon (1998) membuat persamaan ingrowth, upgrowth dan mortality di hutan tropis Guyana melalui lima pengelompokkan jenis pohon yaitu (1) sangat toleran naungan, (2) toleran naungan, (3) toleran darurat, (4) intoleran naungan dan (5) pionir sebagai berikut: a. Persamaan ingrowth: I1 = 15,306 13,173 (Yt/Yo)...(R2= 0,15) I2 = 14,562 12,358 (Yt/Yo)...(R2= 0,15) I3 = 5,193 4,258 (Yt/Yo)...(R2= 0,09) I4 = 11,320 10,670 (Bt/Bo)...(R2= 0,20) I5 = 681,89 e -13,173 (Bt/B0) b. Persamaan upgrowth: U1= 0,0595-0,0067D+0,00034D2-0,000005D3+0,05210,0424(Bt/Bo)...(R2= 0,09) U2= -0,0438+0,0095D-0,00028D2+0,000003D3+0,11770,1213(Bt/Bo)...(R2=0,22) U3= -0,1048+0,0188D-0,00052D2+0,000004D3+0,16420,1526(Bt/Bo)... (R2=0,12) U4= -0,1463+0,0269D+0,0009 D2+0,000009D3+0,23130,2309(Bt/Bo)...(R2=0,17) U5= 0,5677-0,0873D+0,00498 D2-0, D3+0,35200,219(Bt/Bo)...(R2= 0,05) c. Persamaan mortality: M1= 0,0062+0,014 D-0,000018D2...(R2= 0,11) 2 M2= -0,0166+0,002 D-0,00002D...(R2= 0,23) 2 M3= 0,0088+0,0004 D-0,000006D...(R2= 0,04) M4= -0,0056+0,097 D-0,0001D2 (R2= 0,63)

42 M5= -0,148 +0,0236 D-0,0006D2 (R2= 0,09) dimana: I, U, M : ingrowth, upgrowth dan mortality Yt dan Yo : pohon pada tahun ke-t dan 0 (phn/ha) Bt dan Bo : luas bidang dasar pada tahun ke-t dan 0 (m2/ha) D : rataan diameter pohon. Dalam rangka menyusun model dinamika pertumbuhan hutan campuran semua umur untuk memprediksi potensi hutan pada saat pemanenan, Wahyudi (2011) menggunakan pendekatan diagram aliran stok yang dimulai dari tiang sampai tingkat pohon dewasa, karena pada tingkat ini dimungkinkan mendapatkan data pertumbuhan diameter, luas bidang dasar, kerapatan dan kubikasi. Model ini disusun berdasarkan persamaan ingrowth, upgrowth dan mortality pada kelompok pohon meranti, dipterocarp non meranti, komersial ditebang dan komersial lain belum ditebang serta dinamika perkembangan kerapatan tegakan hutan yang digambarkan melalui dinamika jumlah pohon (N) per ha dan luas bidang dasar (B) per ha. Model diagram alir (time lags) tersebut apat dilihat pada Gambar 11. Mendoza dan Gumpal (1987) memprediksi pertumbuhan dan hasil untuk jenis dipterocarp di Pilipina melalui persamaan yang mengakomodir fungsi luas bidang dasar tegakan tinggal dan tinggi rata-rata pohon berdiameter cm, sebagai berikut: Log(YT) = 1,34 +0,394 Log(B0) +0,346 Log(T) S/T dimana: YT : hasil produksi (yield) (m3/ha) pada tahun ke-t BO : luas bidang dasar tegakan tinggal (m2/ha) S : rataan tinggi (m) pada jenis dipterocarp berdiameter cm T : waktu (tahun) Ket: St: stock (N/ha) tiap kelas diameter B : luas bidang dasar (m2/ha) N : kerapatan (N/ha) CE : cutting effect (efek tebangan) Tab : tabel volume pohon berdiri Vol : volume pohon Ingrowth,upgrowth,mortality: Sudah jelas Gambar 11. Diagram alir stok pohon berdasarkan fungsi kerapatan tegakan Dari semua pembahasan tentang pemodelan dinamika hutan tropis, Vanclay (1995, 2001) menyimpulkan bahwa kualitas

43 model pertumbuhan dan hasil dipengaruhi banyak faktor, namun yang paling penting adalah kualitas data. Untuk mendapatkan data yang berkualitas sebaiknya data diambil dari Petak Ukur Permanen. Sebagian besar model cukup baik digunakan pada hutan tanaman namun sangat sedikit untuk hutan hujan tropis karena kondisinya sangat komplek dan jumlah jenis yang sangat banyak dengan berbagai ukuran sehingga sangat sulit bila didekati dengan hanya beberapa variable. Pendekatan dengan pengelompokan kelas tegakan dapat direkomendasikan karena lebih sederhana dan dapat menyediakan informasi yang lebih mewakili kondisinya. D. Analisis Finansial Usaha di bidang kehutanan mempunyai ciri-ciri khusus yang tidak selalu sama dengan usaha di bidang lainnya. Oleh karena itu perhitungan ekonomi dan analisis finansial harus memperhatikan fenomena ini secara cermat. Ciri-ciri usaha di bidang kehutanan antara lain: 1. Mempunyai sifat mendua, yaitu pohon atau tegakan hutan berperan sebagai alat produksi sekaligus sebagai hasil produksi itu sendiri. Namun paradikma ini dapat dipatahkan apabila pemanfaatan hutan dapat diperluas, seperti untuk ekowisata (ecotourism), cadangan karbon (carbon stock), kawasan perlindungan dan konservasi serta pemanfaatan hasil hutan non kayu. Pada kenyataannya, hutan alam tropis mengandung beragam hasil hutan seperti rotan, getah, gaharu, obat-obatan, sarang walet dan lain-lain 2. Jangka waktu yang panjang. Sistem TPTI menerapkan siklus tebang antara 30 sampai 35 tahun dan sistem TPTJ antara 25 sampai 40 tahun. Pada sistem THPB yang menggunakan slow growing species seperti jati (Tectona grandis), mahoni (Swietenia spp), sungkai (Peronema canescens), pinus (Pinus merkusii), meranti (Shorea spp) dan lain-lain diperlukan daur yang lebih panjang lagi karena tanaman dimulai dari awal (semai). Paradikma ini dapat berbeda pada hutan tanaman yang menggunakan jenis-jenis cepat tumbuh (fast growing species) seperti sengon (Paraserianthes falcataria), jabon (Anthocephalus cadamba), Akasia (Acacia spp), Ampupu (Eucalyptus spp), Gmelina arborea, Balsa (Ochroma bicolor), Mahang (Macaranga spp) dan lain-lain. Dengan pemuliaan pohon slow growing species dapat menjadi fast growing species, seperti jati super. 3. Mengandalkan sifat alami. Pohon sebagai alat produksi sekaligus sebagai hasil produksi sangat tergantung pada kondisi alam. Faktor alam yang sangat menentukan keberhasilan usaha ini adalah faktor iklim (curah hujan, intensitas cahaya, suhu, kelembaban, angin dll) dan faktor tanah (fisik tanah: jenis tanah, tebal tanah, tekstur dan struktur tanah; kimia tanah: ph, bahan organik, unsur hara, KTK, air tanah; biologi tanah: mikroorganisme, pengurai). Pada hutan alam (production natural forest) faktor alam lebih dominan dibanding hutan tanaman (plantation forest) yang dikelola secara intensif. 4. Dapat bersifat lestari. Pengelolaan hutan, baik pada hutan alam maupun hutan tanaman dapat bersifat lestari (renewable resources), bahkan siklus tebang dapat tidak terhingga apabila ekosistem hutan dikelola secara baik dan benar. 5. Berdasarkan daya dukung ekologis. Pembangunan kehutanan tidak dapat dipisahkan dari kondisi ekologis dan lingkungan setempat. 6. Mempunyai manfaat langsung (seperti hasil hutan kayu dan non kayu) dan tidak langsung (seperti manfaat lingkungan) 7. Pada pengelolaan hutan yang berdaur panjang sering mempunyai produktifitas yang rendah (0,5-10 m3/ha/tahun), namun kekurangan itu dapat ditutupi oleh manfaat ganda dari hutan. Adakalanya suatu proyek penanaman tidak memberi keuntungan secara finansial namun tetap dikerjakan karena

44 untuk perbaikan lingkungan, seperti penghijauan, reboisasi hutan lindung dan kawasan konservasi. Menurut Handadari (2005) jangka waktu yang relatif panjang pada usaha di bidang kehutanan dapat menimbulkan resiko usaha yang relatif besar. Biasanya resiko tersebut muncul dengan adanya perubahan kebijakan pemerintah, perubahan iklim usaha dan investasi, krisis moneter, bencana alam, kebakaran dan lain-lain. Untuk menambah minat investor dalam melakukan kegiatan di bidang pengelolaan hutan, maka dapat dibuat perhitungan dan analisis biaya yang diperlukan dalam menjalankan kegiatan tersebut. Suatu sistem silvikultur akan mempunyai bobot tersendiri apabila disertai perhitungan untuk memprediksi pertumbuhan dan hasil yang akan diperoleh pada akhir daur. Untuk melengkapi perhitungan hasil, maka diperlukan pula perhitungan dan analisis finansial agar diperoleh informasi menyeluruh tentang sistem silvikultur yang akan digunakan. Dengan demikian serangkaian kegiatan teknis yang dijalankan dalam sistem silvikultur tertentu dapat bersinergi dengan kondisi finansial sehingga kinerja perusahaan dapat positif dan sehat. Sistem silvikultur yang terlalu teoritis adakalanya sulit diaplikasikan di lapangan dan memerlukan biaya yang tinggi untuk menjalankan. Menurut Gregory dan Robinson (1972) nilai tegakan (stumpage value) masih bersifat potensial dan baru bernilai apabila dapat dijual dan menguntungkan. Menurut Stenzel et al. (1985) tegakan hutan dapat dianggap sebagai bahan baku berbentuk hasil hutan (kayu atau non kayu) yang nilainya dipengaruhi oleh jenis, ukuran, kualitas tegakan, potensi (volume per ha), aksesibiltas dan topografi, pasar dan tipe penjualan. Besaran nilai tegakan dapat dinyatakan dengan nilai moneter kayu berdiri yang merupakan selisih antara nilai jual kayu bulat dengan biaya produksi, margin keuntungan dan resiko (Nugroho 2002). Analisis finansial dapat menggambarkan posisi pendapatan (benefit) dan pengeluaran (cost) suatu kegiatan yang dapat dinyatakan dengan uang, tanpa memandang aspek ekonomi dan manfaat secara keseluruhan, misalnya aspek dan manfaat lingkungan. Analisis finansial dilihat dari sudut usaha atau proyek penanaman modal (investasi) yang menyandarkan pada harga pasar dan biasanya dinyatakan dalam nilai sekarang (present value). Perhatian utama dalam analisis finansial adalah hasil atas modal yang ditanamkan dalam suatu proyek. Termasuk analisis ini adalah besaran upah dan insentif karyawan serta semua komponen masukan (input) dan keluaran (output) yang terlibat dalam proyek. Perhitungan nilai tegakan hutan yang bersandar pada manfaat langsung dapat menggunakan pendekatan compound atau discount yang dikumpulkan dalam tahun yang sama. Pendekatan untuk menentukan nilai pada tahun ke-n (Vn) dan nilai sekarang (Vo) menurut Gray et al. (1999) dan Nair (1993) adalah: Vn = Vo (1+i)n dan Vo = Vn / (1+i)n dimana: i : Suku bunga n : Tahun (tahun ke-n) Menurut Djamin (1993), FAO (1979), Gray et al. (1999) dan Nair (1993) untuk menilai kelayakan usaha dapat dilakukan dengan analisis Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR) dan Benefit Cost Ratio (BCR). NPV adalah selisih penerimaan (benefit) dengan pengeluaran (cost) yang dinyatakan dalam nilai sekarang (present value). IRR adalah nilai discount rate ke-i yang menghasilkan nilai NPV proyek sama dengan nol. Sedangkan BCR adalah perbandingan nilai penerimaan dengan nilai pengeluaran suatu proyek. Agar suatu proyek dapat dikatakan layak, maka nilai NPV 0, nilai IRR > suku bunga (social discount rate) dan nilai BCR 1. NPV yang lebih besar dari nol menjadi indikator adanya keuntungan usaha. Apabila waktu efektif dilewati maka NPV menurun sampai berada pada titik nol atau negatif. Kondisi ini disebut batas keuntungan kedaluwarsa (financial maturity date), yaitu suatu umur yang apabila dilampaui tidak akan

45 memberikan keuntungan lagi. Berikut ini rumus umum untuk menghitung NPV, IRR dan BCR : Bi r NPV = t=0 Ci r - (1+i)t t=0 (1+i)t NPV1 IRR = i1 + X (i2 i1) NPV1 NPV2 Bi r BCR = t=0 dimana: Bt Ct NPV1 NPV2 r t i : : : : : : : (1+i)t r : t=0 V. TEBANG PILIH INDONESIA Ci (1+i)t penerimaan (benefit) tahun ke-t pengeluaran (cost) tahun ke-t nilai NPV positif terdekat dengan nol nilai NPV negatif terdekat dengan nol siklus tebang atau daur tanaman waktu (tahun) suku bunga A. Pengertian dan Dasar Sistem Tebang Pilih Indonesia Tebang Pilih Indonesia (TPI) adalah sistem silvikultur yang menerapkan teknik tebang pilih (selective cutting), permudaan (regeneration) dan pemeliharaan (tending). Sistem TPI mengkombinasikan beberapa prinsip silvikultur, antara lain: a. Penebangan dengan limit diameter dari Indonesia, yaitu Sistem Tebang Pilih dengan Limit Diameter. b. Tebang Pilih Pilipina (Philippine Selective Logging) c. Penyempurnaan hutan dengan penanaman sulaman (enrichment planting) d. Pembinaan permudaan dengan pembebasan dari tumbuhan pengganggu (refining). Pedoman Tebang Pilih Indonesia ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal Kehutanan (Departemen Pertanian) Nomor 35/Kpts/DD/I/1972 tanggal 13 Maret Pedoman ini berlaku dari tanggal ditetapkan sampai berlakunya SK Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan (Departemen Kehutanan) Nomor 564/Kpts/IV-BPHH/1989 tanggal 30 Nopember 1989 tentang TPTI. Tebang Pilih Indonesia menganut sistem silvikultur berdaur banyak (polycyclic management system) dengan melakukan tebang pilih pada areal yang telah ditetapkan sebagai lokasi penebangan. Dasar-dasar penentuan sistem Tebang Pilih Indonesia adalah: 1. Batas diameter minimum yang boleh ditebang adalah adalah 50 Cm 2. Pohon muda berdiameter cm berada pada tahap pertumbuhan yang besar. Penebangan terhadap pohonpohon tersebut tidak sepadan dengan kerugian dalam pertumbuhannya.

46 3. Rotasi tebang 35 tahun didasarkan pada riap diameter pohon muda sebesar 1 cm per tahun, maka setelah 35 tahun pohon inti telah mencapai diameter 55 cm (20+35) cm sampai 85 cm (50+35) cm. 4. Etat tebang ditentukan 1/35 x 80% x volume standing stok jenis komersial 5. Tidak diperkenankan melakukan tebang ulang sebelum mencapai akhir siklus tebang (35 tahun) Sebagai sistem silvikultur yang diciptakan dengan pengalaman yang cukup lama, sistem TPI dirancang dengan menggunakan azas sebagai berikut: 1. Kelestarian hutan 2. Menggunakan teknik silvikultur tebang pilih dengan limit diameter 3. Pengusahaan hutan yang menguntungkan 4. Pengawasan d. inti) dan 2 tanda silang pada pangkal dan setinggi dada serta arah rebah dengan cat warna kuning. Apabila keadaan hutan berpotensi lebih rendah dan kurang mempunyai pohon berdiameter 50 cm ke atas, maka dapat diadakan penurunan batas diameter dengan ketentuan seperti tertera dalam tabel 1 berikut ini: Tabel 2. Persyaratan batas diameter, rotasi, jumlah dan diameter pohon inti pada sistem silvikultur TPI Batas diameter (cm) Siklus tebang (th) Jumlah Pohon Inti (Phn) Diameter Pohon Inti (cm) B. Tahapan Kegiatan Sistem TPI 1. Inventarisasi tegakan (Et x) a. Inventarisasi tegakan dan permudaan untuk mengetahui komposisi dan struktur hutan. Kegiatan ini dilakukan berdasar Rencana Tebangan dan Rencana Tahunan Pengusahaan Hutan serta dilakukan sebelum diadakan penebangan. b. Penunjukkan dan penandaan pohon inti, yaitu pohon yang akan membentuk tegakan utama pada rotasi tebang berikutnya. Pohon inti berukuran Cm, diberi nomor urut dan tanda cat berwarna kuning melingkar batang. Pohon inti menggunakan jenis komersial dengan jumlah 25 pohon per Ha. c. Penunjukkan dan penandaan pohon tebang, yaitu pohon yang berdiameter 50 cm ke atas. Pohon tebang diberi nomor urut (bergabung dengan nomor pohon Etat tebang disesuaikan dengan rotasi tebang dan volume standing stock pohon komersial. 2. Persemaian (ET-x) Sebelum dilakukan kegiatan penebangan harus dibuat terlebih dahulu persemaian untuk pengadaan bibit dari jenis-jenis komersial yang sesuai dengan tempat tumbuh. Bibit dapat berasal dari biji atau cabutan anakan alam. Luas persemaian harus sebanding dengan luas kesatuan operasional. Penyediaan bibit dilakukan dengan perhitungan jumlah penyulaman sebanyak 20%. B = T + (Tx20%) dimana B: jumlah bibit yang dibuat T: perhitungan jumlah penanaman 3. Penebangan dan penyaradan a. Penebangan dilakukan pada pohon-pohon yang telah diberi tanda silang

47 b. 4. Luas tempat pengumpulan kayu (TPn) disesuaikan dengan luas penebangan. - Luas penebangan < 10 Ha, maka luas TPn 0,220,3 Ha - Luas penebangan Ha, maka luas TPn 0,30,35 Ha - Luas penebangan > 15 Ha, maka luas TPn 0,5 Ha. c. Penebangan dan penyaradan kayu diusahakan meminimalkan kerusakan tegakan tinggal, pohon inti dan permudaan lainnya. Jalan sarad harus dibuat sebelum penyaradan. Arah tebangan searah dengan jalan sarad. Pada waktu hujan tidak dianjurkan untuk menyarad kayu, karena akan memperbesar kerusakan tanah dan erosi. d. Pada penyaradan sistem High Lead Yarding, harus menempatkan spar tree yang tepat sehingga memungkinkan penyaradan log ke atas dan memakai parit dan jurang sebagai jalan kabel utama (main cable ways). Jarak penyaradan tak boleh lebih dari m. Bila log tersangkut pada pohon, tidak diperbolehkan dipaksakan ditarik. Jumlah cable ways yang keluar dari TPn tidak boleh lebih dari 12 dan dapat digunakan pohon penahan (rub trees) untuk melindungi pohon inti dan permudaan. Inventarisasi tegakan sisa (ITS) (Et+x) a. Kegiatan Inventarisasi Tegakan Sisa (ITS) dilakukan setelah penebangan (Et+x). Pohon yang perlu di inventarisasi adalah pohon komersial atau jenis kayu perdagangan berdiameter dibawah 50 Cm khususnya pohon inti. Pohon inti diinventarisasi 100% sedangkan pohon lainnya dengan sampling. b. Kerusakan pohon dapat dibedakan sebagai berikut: - Sehat : tidak rusak atau kerusakannya sedikit sekali - Luka : ada kerusakan pada tajuk atau akar tapi - dapat sembuh dan tidak mengganggu kwalitas dan kwantitas pohon di kemudian hari Rusak : tidak dapat baik kembali dan pertumbuhan menurun. 5. Pembebasan (Et+x) a. Pembebasan dilakukan untuk membebaskan permudaan jenis perdagangan dari tumbuhan pengganggu. b. Tujuan pembebasan adalah untuk membantu pertumbuhan pohon muda dan permudaan terutama jenis kayu perdagangan dengan membebaskan dari saingan akar, ruang tumbuh dan cahaya. Jenis-jenis liana kecuali rotan dipotong pada pangkal batang. Jenis pohon pengganggu (wood species) perlu ditebang, diteras dan di racun. Pohon-pohon yang tidak mengganggu pohon inti tidak perlu dibunuh karena dapat melindungi tanah dan cadangan kayu. 6. Penanaman sulaman (Et+1) a. Untuk menjamin azas kelestarian maka perlu dilakukan kegiatan penanaman sulaman pada bekas tebangan 1 tahun yang lalu. b. Pada tanah terbuka seperti bekas TPn, jalan traktor, jalan kabel, jalan lori dan lain-lain perlu dilakukan penanaman sulaman dengan bibit yang berasal dari persemaian. c. Pada blok tebangan (kesatuan operasional) yang tidak atau kurang mengandung permudaan tingkat semai dan pancang dari jenis komersial juga dilakukan penanaman sulaman. 7. Pencegahan erosi parit (gully erosion) Bekas jalan traktor atau kabel pada tanah yang miring yang dapat menimbulakn bahaya erosi parit harus dibuat galangan atau parit horisontal.

48 Pengamanan hutan a. Pemangku hutan (HPH) bekerja sama dengan instansi pemerintah harus mencegah terjadinya perladangan liar, kebakaran dan penggembalaan liar pada bekas tebangan dengan mengerjakan penjaga hutan (forest guard). b. Jumlah penjaga hutan disesuaikan dengan luas areal pengelolaaan. Luas Ha ditempatkan 1 penjaga hutan, Ha ditempatkan 2 penjaga hutan dan setiap luas Ha ditempatkan 2 penjaga hutan. Pemeliharaan permudaan (Et+5) a. Pemeliharaan permudaan dilakukan 5 tahun setelah penebangan b. Kegiatan berupa pembebasan pohon muda dan permudaan jenis niagawi c. Diadakan ulangan penanaman sulaman d. Bila perlu dengan penjarangan Menurut Soerianegara, pada hutan yang kaya jenis perdagangan dengan potensi 100 m3/ha, penebangan dan penarikan kayu akan banyak menimbulkan kerusakan hutan, terutama pada pohon-pohon muda dan permudaan alam, sehingga sistem TPI sukar dilaksanakan. Sistem TPI telah mengalami revisi pada tahun 1980 melalui Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. Arah revisi terutama pada penurunan diameter minimal pohon inti dari 35 cm menjadi 20 cm dan jumlahnya dari 40 batang/ha menjadi 25 batang/ha. Syarat pelaksanaan TPI dalam revisi ini disajikan dalam tabel berikut ini. Tabel 3. Syarat pelaksanaan sistem TPI dalam pedoman TPI hasil revisi Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan tahun No Tipe hutan Pohon inti minimal (phn) Diameter phn inti minimun (cm) Siklus tebang (tahun) Jatah tebang tahunan (etat volume) Hutan 1/35x80%xmassa alam tegakan campuran Hutan 1/35x80%xmassa 2. eboni 16* tegakan campuran Hutan 1/35x80%xmassa 3. ramin 15** tegakan campuran Keterangan: *) Kekurangan dipenuhi dengan jenis lain 1. C. Evaluasi Sistem TPI Evaluasi sistem TPI dilakukan pada seminar Reforestation dan Afforestion di Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta tanggal Agustus Pada seminar ini konseptor TPI, Ir. Sugiarto Warsopranoto, menyatakan bahwa: 1. Pada hutan dengan potensi jenis kayu perdagangan yang rendah, m3/ha, penebangan hutan dengan sistem TPI tidak banyak menimbulkan kerusakan hutan, karena pohon yang ditebang per hektar tidak banyak. Namun dikhawatirkan adanya over cutting jenis-jenis tertentu dan penebangan pohon-pohon dengan diameter kurang dari 50 cm. Pada hutan eboni campuran, jumlah pohon inti jenis eboni sebesar 16 batang per hektar dan sisanya 9 batang per hektar dapat berasal dari jenis perdagangan lainnya. Pada hutan ramin campuran, jumlah pohon inti jenis ramin sebesar 15 batang per hektar dan sisanya 10 batang per hektar dapat berasal dari jenis perdagangan lainnya.

49 Pada tahun 1987 dibentuk tim materi, Panitia Pengarah dan Panitia Penyelenggara Diskusi Penyempurnaan Pedoman Tebang Pilih Indonesia berdasarkan SK Kepala Badan Litbang Kehutanan Nomor 02/1987 tanggal 6 Januari 1987 dengan anggota dari staf Badan Litbang, Fahutan IPB dan Fahutan UGM. Data diambil dari pelaksanaan TPI pada beberapa HPH seperti PT Silvasaki, PT Hatma Santi (Riau), PT Kayu Lapis Indonesia (Kalbar), PT Inhutani II, PT Hutan Kintap (Kalsel) dan PT Inhutani I, PT ITCI, PT BFI (Kaltim). Hasil kajian menunjukkan bahwa pada tegakan sisa sistem TPI masih mengandung jumlah pohon inti berdiameter 20 cm yang cukup dan munculnya permudaan alam yang melimpah pada rumpang bekas tebangan. Hasil kerja tim dan panitia tidak dipergunakan untuk penyempurnaan sistem TPI. Dalam pelaksanaan di lapangan belum semua praktisi melaksanakan TPI secara baik dan benar. Beberapa tahapan silvikultur yang sering ditinggalkan adalah inventarisasi sebelum eksploitasi, menyisihkan pohon inti dalam jumlah cukup, inventarisasi tegakan bekas penebangan, penanaman perkayaan, penanaman tanah terbuka dan pemeliharaan tegakan bekas penebangan. Penyimpangan yang sering muncul pada pelaksanaan TPI juga tidak terlepas dari masih adanya beberapa kelemahan sistem ini, seperti: 1. Belum ada kepastian dan kejelasan hasil pembinaan hutan karena indikator keberhasilan sulit diukur dan memerlukan waktu yang lama. 2. Biaya operasional dalam skala yang luas sangat tinggi 3. Kekurangan tenaga ahli dan staf teknis kehutanan 4. Kurang seimbang antara kegiatan pemungutan hasil dengan pembinaan hutan. Intensitas pemungutan hasil lebih besar dibanding pembinaannya. 5. Lebih sulit dilaksanakan dibanding sistem tebang pilih biasa karena adanya variasi limit diameter 6. Tidak tahu menggunakan sistem TPI pada kondisi tertentu, misalnya pada hutan alam Duabanga moluccana di NTB atau Lophopetalum multinervium di Kaltim yang sulit menerapkan konsep tebang pilih. Pelaksana TPI harus mempunyai dasar yang kuat tentang tipe dan kondisi hutan, baik struktur maupun komposisinya. Belum adanya pengaturan anggaran kegiatan perencanaan dan pembinaan hutan. Belum ada pemisahan organisasi yang menangani kegiatan sebelum penebangan (perencanaan), pemanenan dan kegiatan setelah penebangan (pembinaan hutan).

50 V. TEBANG PILIH TANAM INDONESIA Pada edisi ini sistem TPTI dilengkapi dengan ketentuan menyediakan anggaran untuk kegiatan pembinaan hutan serta menyediakan tenaga teknis yang memadai. Beberapa tahapan kegiatan teknis dirubah meskipun tidak terlalu signifikans pengaruhnya, seperti terlihat pada Tabel 4. A. Pengertian dan Dasar Sistem TPTI Sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) adalah rangkaian kegiatan terencana tentang pengelolaan hutan. Rangkaian kegiatan teknis yang terdapat dalam sistem ini adalah kegiatan perencanaan sebelum penebangan, teknik penebangan dan kegiatan pembinaan hutan setelah penebangan, yang kesemuanya ditujukan untuk menjamin kelestarian hutan termasuk kelestaian hasil hutan baik kayu maupun non kayu. Secara prinsipil sistem TPTI tidak berbeda jauh dengan sistem TPI. Beberapa kelemahan sistem TPI telah dikoreksi, direvisi sampai akhirnya diganti dengan sistem silvikultur baru berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 485/Kpts-II/1989 tentang sistem silvikultur pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia, yang ditindak lanjuti dengan SK Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 564/Kpts/IV-BPHH/1989 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia. Sistem TPTI memperbaiki kekurangan sistem TPI dengan menetapkan ketentuan sebagai berikut: 1. Kegiatan pembinaan hutan mendapat perhatian yang lebih besar dengan membentuk organisasi pembinaan hutan yang terpisah dengan organisasi kegiatan lainnya termasuk organisasi kegiatan sebelum penebangan dan penebangan. 2. Menetapkan batas limit diameter pohon tebang sebesar 50 cm ke atas pada hutan produksi dan 60 cm ke atas pada hutan produksi terbatas 3. Menetapkan siklus tebang 35 tahun dan jumlah pohon inti berdiameter cm sebanyak 25 pohon/ ha. Pada tahun 1993 dikeluarkan SK Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 151/Kpts/IV-BPHH/1993 tanggal 19 Oktober 1993 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia edisi revisi. Tabel 4. Perbedaan tahapan kegiatan teknis pada sistem TPTI tahun 1989 dan 1993 N o Kegiatan Penataan Areal Kerja (PAK) Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) Penebangan Perapihan Inventarisasi Tegakan Tinggal (ITT) Pembebasan I Pengadaan Bibit Penanaman (Rehabilitasi)/ Pengayaan Pemeliharaan Tanaman Pembebasan II dan III Penjarangan Tegakan Tinggal I, II, III Penelitian Perlindungan Sumber: Tahapan Kegiatan TPTI Et-3 Et-3 Et-2 Et-2 Et-1 Et Et+1 Et+1 Et+2 Et+2 Et+3 Et+4 Et+9, 14,19 Terus Terus Et-1 Et Et+1 Et+2 Et+2 Et+2 Et+3 Et+3,4,5 Et+4,6 Et+10, 15,20 - SK Dirjen PH No.564/Kpts/IV-BPHH/1989 dan SK Dirjen PH No.151/Kpts/IV-BPHH/1993 Dalam sistem silvikultur TPTI edisi 1993 tidak dimasukkan Penelitian dan Perlindungan hutan. Pelaksanaan kedua kegiatan tersebut diatur dalam ketentuan tersendiri. Sistem ini juga mempunyai daya elastisitas yang membedakan praktek pengelolaan pada hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas. Kelenturan ini sering diterjemahkan oleh masingmasing daerah dengan membuat ketentuan yang lebih sesuai

51 dengan kondisi hutan di daerahnya. Sebagai contoh, berdasarkan Surat Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi Kalimantan Tengah Nomor 2144/Kwl3/IX/1996 tanggal 11 September 1996 ditetapkan bahwa pada wilayah kerja provinsi Kalimantan Tengah kegiatan Perapihan serta Pembebasan I, II dan III tidak dilaksanakan pada Hutan Produksi Terbatas (HPT) untuk kepentingan konservasi tanah dan air serta perlindungan biodiversity. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.11/Menhut-2/2009 tentang sistem silvikultur pada areal izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) pada hutan produksi, sistem silvikultur yang berlaku di Indonesia adalah Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ), Tebang Rumpang dan Tebang Habis Permudaan Buatan (THPB). Petunjuk teknis keempat sistem tersebut dituangkan dalam Peraturan Dirjen Bina Produksi Kehutanan Nomor P.9/VI/BPHA/2009. Dalam ketentuan tersebut tidak dicantumkan tata waktu pelaksanaan kegiatan secara ketat dan penghapusan beberapa tahapan kegiatan seperti perapihan, inventarisasi tegakan tinggal dan penjarangan. Pada kawasan hutan produksi terbatas tidak dilakukan pula kegiatan pembebasan. B. Tahapan Kegiatan Sistem TPTI Tahapan pelaksanaan kegiatan sistem TPTI yang lebih lengkap mengacu pada Surat Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan Nomor 151/Kpts/IV-BPHH/1993 tanggal 19 Oktober Pada Peraturan Dirjen BPK No.P.9/VI/BPHA/2009, tahapan dan petunjuk kegiatan TPTI dibuat lebih umum sehingga memberi ruang yang lebih banyak bagi para praktisi untuk mengembangkan teknik pelaksanaannya. Tahapan kegiatan yang masih diberlakukan pada sistem TPTI tahun 2009, tanpa menyertakan tata waktunya, adalah: Penataan Areal Kerja Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan Pembukaan Wilayah Hutan Pemanenan Penanaman dan pemeliharaan Pembebasan pohon binaan Perlindungan dan pengamanan hutan Bentuk, tahapan dan tata waktu kegiatan sistem TPTI selengkapnya (berdasarkan juknis TPTI tahun 1993) sebagai berikut: 1. Penataan Areal Kerja (PAK) ET-3 a. Penataan Areal Kerja (PAK) adalah kegiatan untuk mengatur dan membuat batas blok kerja tahunan serta petak kerja bagi kepentingan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pengawasan unit pengelolaan hutan. Batas blok dan petak kerja dilapangan berupa rintisan dan patok batas, selanjutnya digambar dalam peta kerja. b. Blok kerja tahunan adalah blok yang dibuat untuk pengelolaan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun. Batas blok kerja tahunan dapat dibuat menggunakan batas alam atau buatan. Petak kerja adalah bagian dari blok kerja tahunan yang luasnya 100 Ha berbentuk bujur sangkar yang dibuat dengan batas buatan. Penataan untuk seluruh areal pengelolaan dilakukan dengan membagi luas total dengan siklus tebangnya, yaitu 35 tahun. Dengan cara ini maka realisasi luas penebangan tidak akan mencapai 100% dari rencana karena di dalamnya selalu ditemukan areal tidak efektif (seperti sarana prasarana dan lain-lain) serta kawasan perlindungan (PUP, tegakan benih, plasma nutfah, sempadan sungai dan lainlain).

52 1980/81 (1) (36) 83/84 (4) 1981/82 (2) (37) 84/85 (5) 82/83 (3) (dst) 85/86 (6) 86/87 (7) 87/88 (8) 88/89 (9) 89/90 (10) 1998/1999 (19) 95/96 (16) 94/95 (15) 92/93 (13) 90/91 (11) 1999/2000 (20) 97/98 (18) 96/97 (17) 93/94 (14) 91/92 (12) 2000 (21) 2002 (23) 2008 (29) 2009 (30) 2010 (31) 2001 (22) 2003 (24) 2007 (28) 2014 (35) 2011 (32) 2004 (25) 2005 (26) 2006 (27) 2013 (34) 2012 (33) Urutan blok kerja tahunan dalam RKL serta angka periode RKL. Pada bagian atas ditandai menjadi 4 bagian masingmasing menunjuk nomor petak kerja. f. Bahan yang diperlukan adalah camping unit, logistik dan obat-obatan. Peralatan terdiri GPS, Theodolit/BTM/T-nol, Kompas, Peta kerja, Thally sheet, Tali 25 m, alat tulis menulis, penanda (cat). g. Regu kerja PAK terdiri 10 orang, terdiri 1 ketua regu (pemegang GPS dll), 1 pencatat, 2 pemegang tali dan rambu, 2 perintis jalan, 2 pemasang tanda batas, 1 pembantu umum, 1 pembawa alat ukur. Pimpinan regu dari tenaga berpengalaman seperti dari SKMA, Sarjana muda, Sarjana kehutanan. h. Pelaksanaan kegiatan PAK adalah menelaah peta kerja skala 1:10.000, mendatangi starting point (tanda alam/patok permanen), menentukan titik ikatan, membuat batas blok dan petak kerja serta membuat peta hasil kerja skala 1: Tabel 5. Contoh thally sheet kegiatan penataan areal kerja Gambar 12. Contoh penataa blok kerja tahunan dalam unit manajemen sistem TPTI. Anak panah menunjukkan contoh pergiliran pengelolaan blok kerja tahunan. c. Maksud PAK adalah membuat batas blok dan petak kerja untuk memudahkan pengelolaan unit pengelolaan hutan, dengan tujuan untuk mengatur areal kerja sehingga pengelolaan hutan dapat tertib dan efisien. d. Penetapan blok kerja tahunan berdasarkan daur yang diperkirakan mempunyai produktifitas hampir sama serta mempertimbangkan bentang alam, seperti punggung, lereng, lembah dan sungai. e. Pal batas blok kerja tahunan dibuat dengan kayu keras berukuran 10x10x180 Cm bertuliskan angka tahun RKT, Tahun kegiatan : Lokasi kegiatan : Titik Ikat : Rencana blok tahun Waktu Total No. Ptk Luas : Azimut: : Panjang alur batas Blok Petak (Hm) Hm Jumlah pal batas Blok (B) Petak Bh Jumla h HOK Jumlah biaya

53 2. Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (ITSP) ET-2 a. Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (ITSP) adalah kegiatan pengukuran, pencatatan dan penandaan pohon dalam blok kerja tahunan untuk mengetahui jumlah, jenis, diameter dan tinggi pohon tebang, pohon inti dan pohon dilindungi serta data bentang alam seperti sungai, bukit, jurang, kawasan dilindungi. b. Maksud kegitan ITSP adalah mengetahui penyebaran pohon dalam tegakan meliputi jumlah dan komposisi jenis serta volume pohon tebang, mengetahui jumlah jenis pohon inti dan lindung yang dipelihara sampai rotasi berikutnya. Tujuan ITSP adalah mengetahui data penyebaran pohon tebang terdiri dari komposisi jenis, jumlah dan volume pohon yang digunakan untuk menetapkan target produksi tahunan pada blok bersangkutan, mengetahui arah trace jalan dan perencanaan penggunaan peralatan eksploitasi serta tenaga kerja. c. ITSP dilakukan dalam petak ukur (PU) berukuran 20x20m. PU terletak dalam jalur sepanjang 1000m. Dalam setiap petak mengandung 50 Jalur. ITSP dilakukan dengan IS 100% terhadap semua pohon berdiameter 20 Cm ke atas. d. Pohon tebang adalah pohon berdiameter 50 cm ke atas (60 cm ke atas untuk HPT) yang diberi label 3 bagian berwarna merah berukuran 12x6 Cm. Tiap label bertuliskan identitas pohon meliputi RKT, Petak, Nomor, Jenis, Diameter dan Tinggi pohon. e. Pohon inti adalah pohon komersial berdiameter Cm (20-59 Cm untuk HPT) diberi label warna kuning bertuliskan identitas pohon. f. Pohon dilindungi adalah jenis pohon penghasil buah dan hasil hutan non kayu lainnya yang dimanfaatkan masyarakat setempat, seperti Tengkawang (Shorea spp), Gaharu (Aquilaria sp dll), Jelutung (Dyera spp), Daha (Koompassia exelsa) dll. Pohon dilindungi diberi label kuning bertuliskan identitas pohon. PT. RKT No. Petak No. Pohon Jenis Diameter Label 1 No. Petak No.Pohon Jenis Label 2 No. Petak No.Pohon Jenis Label 3 8 Cm Label pohon tebang PT. RKT No.Petak No.Phn Jenis Diameter Label pohon inti dan lindung Gambar 13. Contoh label pohon tebang, pohon inti dan pohon dilindungi Gambar 14. Penandaan dan penempelan label pohon inti pada kegiatan ITSP

54 Tabel 6. Contoh thally sheet kegiatan ITSP Nama HPH Lokasi kegiatan Rencana blok RKT Waktu kegiatan : No. PU 1 No. Phn 2 Jenis Pohon 3 : : : Luas : Nomor petak : Nomor jalur : Φ T 4 5 Koordinat Pohon X Y 6 7 Kelerengan (+/-) 8 g. Bahan yang diperlukan adalah camping unit, logistik dan obat-obatan. Peralatan terdiri Kompas, Peta kerja skala 1:10.000, pengukur tinggi, pita diameter, klinometer, alat rintis, tabel volumethally sheet, Tali 25 m, alat tulis menulis, penanda (cat), plat plastik merah dan kuning, paku. h. Regu kerja PAK terdiri 10 orang, terdiri 1 pemegang kompas, 2 pemegang tali batas, 2 orang rintis batas jalur, 2 pengenal dan pengukur pohon, 2 penanda pohon, 1 pencatat. Pimpinan regu dari tenaga berpengalaman seperti dari SKMA, Sarjana muda, Sarjana kehutanan. i. Pelaksanaan kegiatan ITSP adalah menelaah peta kerja skala 1:10.000, mendatangi starting point (tanda alam/patok permanen) dan menentukan titik ikatan, menentukan petak yang akan dikerjakan, membuat jalur utara selatan dari nomor 1 s/d 50. Inventarisasi dalam jalur dilakukan setiap Petak Ukur. j. Dalam satu petak kerja nomor urut pohon, baik pohon tebang, pohon inti maupun pohon dilindungi, diurut dari PU 1 Jalur 1 s/d PU 50 Jalur 50. Koordinat pohon dibuat berdasarkan sumbu x yang merupakan as jalur dengan nilai 10 s/d 10 serta sumbu y dengan nilai 0 s/d 20. Dari koordinat pohon dibuat peta pohon dengan skala 1: k. Pelaksanaan kegiatan ITSP adalah menelaah peta kerja skala 1:10.000, mendatangi starting point (tanda alam/patok permanen) dan menentukan titik ikatan, menentukan petak yang akan dikerjakan, membuat jalur utara selatan dari nomor 1 s/d 50. Inventarisasi dalam jalur dilakukan setiap Petak Ukur. l. Dalam satu petak kerja nomor urut pohon, baik pohon tebang, pohon inti maupun pohon dilindungi, diurut dari PU 1 Jalur 1 s/d PU 50 Jalur 50. Koordinat pohon dibuat berdasarkan sumbu x yang merupakan as jalur dengan nilai 10 s/d 10 serta sumbu y dengan nilai 0 s/d 20. Dari koordinat pohon dibuat peta pohon dengan skala 1: Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) Et-1 a. Pembukaan Wilayah Hutan adalah kegiatan penyediaan prasarana (jalan) wilayah bagi kegiatan produksi kayu, pembinaan hutan, perlindungan, inspeksi, transportasi dan komunikasi antar pusat kegiatan. Hasil kegiatan PWH berupa jaringan jalan utama, cabang dan sarat, TPn, TPK, Camp dll. b. Sebelum pembuatan jalan dilakukan, didahului dengan pembuatan trace jalan, yang merupakan rintisan tempat badan jalan akan dibuat. Tim trace jalan terdiri dari 5-7 orang yang dipimpin tenaga yang mengerti karakteristik bentang alam dan konstruksi jalan. Pembuatan trace jalan memperhatikan topografi, sungai, kondisi tanah, arah perbukitan dan lembah. c. Jalan utama mempunyai spesifikasi: umur permanen, sifat tahan cuaca, lebar permukaan jalan 6-8 m, lebar bahu jalan 2-3 m, tebal perkerasan cm, tanjakan menguntungkan 10% dan kapasitas 60 ton. Jalan cabang dengan perkerasan mempunyai spesifikasi umur 5 tahun, sifat tahan cuaca,

55 lebar jalan diperkeras 4 m, tebal perkerasan cm, tanjakan 12%, kapasistas 60 ton. d. Pembuatan jalan diluar areal uni manajemen disebut jalan koridor. Setiap kegiatan pembuatan jalan harus mendapat ijin dari instansi berwenang. e. Teknis pembuatan jalan harus menghindari tanjakan berat, teknis punggung penyu dan membuat saluran drainase di kiri kanan jalan. Pembuatan jembatan, gorong-gorong dan knepel dapat dilakukan bila diperlukan. Gambar 15. Jaringan jalan untuk pengangkutan kayu bulat dari blok tebangan menuju TPK atau logpond atau IPHHK (Foto: Wahyudi) f. Peralatan untuk membuat badan jalan antara lain chain saw, traktor (buldozer), motor grader, dump truck dan lainlain. g. Setelah badan jalan dibuat, dilakukan pengukuran secara cermat menggunakan theodolit serta pemasangan pal Km dan rambu lalu lintas. Hasil pengukuran dituangkan dalam peta ber skala 1: Biasanya dapat terjadi pergeseran atau perbedaan antara trace jalan dengan badan jalan jadi. Hal ini disebabkan adanya faktor alam dan data bentang alam yang sulit dideteksi sebelum kegiatan operasional di jalankan. Gambar 16. Pengukuran jaringan jalan menggunakan theodolit h. Semua pohon yang berada dalam jalur jalan dapat ditebang. Pohon yang bernilai dapat diregister, dicacat dalam buku ukur dan dapat di LHP kan sebagai target tebangan trace jalan.

56 4. Penebangan ( Et ) a. Penebangan adalah kegiatan pengambilan kayu dari pohonpohon dalam tegakan yang berdiameter sama atau lebih besar dari limit diameter yang ditetapkan. Pada hutan produksi (HP) limit diameter sebesar 50 Cm, pada hutan produksi terbatas 60 cm, pada hutan rawa 40 cm, trace jalan 30 cm dan pada hutan tanaman sesuai peruntukkan/kelas perusahaan. b. Tahapan kegiatan penebangan pohon adalah penentuan arah rebah, penebangan, pembagian batang, penyaradan, pengupasan dan pengangkutan (haulling). c. Maksud kegiatan penebangan adalah memanfaatkan kayu secara optimal dari blok tebangan yang telah disahkan atas pohon yang berdiameter sama tau lebih besar dari limit diameter serta meminimalkan kerusakan tegakan tinggal. Tujuan penebangan adalah mendapatkan keuntungan perusahaan berupa kayu dengan jumlah yang cukup serta bermutu. d. Pelaksanaan penebangan berdasarkan pada buku RKT yang telah disahkan instansi berwenang, dengan peta kerja skala 1: yang memuat jaringan jalan utama, cabang (dan sarad) serta peta penyebaran pohon skala 1:1000. e. Penebangan dilakukan oleh regu tebang dengan memperhatikan kaidah takik rebah dan takik balas. Arah rebah dipilih pada lokasi yang seminimal mungkin merusak tegakan tingggal, tidak mengarah ke jurang atau tempat berbatu serta searah dengan jalan sarad agar kegiatan penyaradan dapat berlangsung dengan efisien dan menekan kerusakan tegakan. Tekik rebah dibuat serendah mungkin untuk memperkecil limbah pembalakan. Banir yang besar dapat dipangkas dahulu untuk mempermudah penebangan. f. Regu tebang harus memperhatikan keselamatan. Menggunakan helm, masker, sarung tangan dll. Sebelum pohon ditebang harus dihilangkan dahulu liana atau vegetasi pengait pohon tebang. Membuat jalur lari pada saat pohon rebah dll. g. Pohon yang telah ditebang dilakukan triming. Pada tunggak pohon diberi label 1, balok diberi label 2 dan label 3 disimpan untuk laporan administrasi TUK dan pengupahan. h. Penyaradan dilakukan dengan traktor melalui jalan sarad menuju TPn. Penyaradan semaksimal mungkin menggunakan winch atau seminimal mungkin menjelajahi hutan. Makin pendek jalan sarad makin baik untuk menekan kerusakan lingkungan. i. Kayu yang telah terkumpul di TPn dilakukan pengupasan kulit, dicatat dalam buku ukur untuk pembuatan Laporan Hasil Produksi (LHP). Semua bontos kayu tebang diberi palu Tok sesuai kode perusahaan. Gambar 17. Tempat pengumpulan kayu j. Kayu bulat yang berada di TPn diangkut menggunakan logging truck. Pada beberapa TPK selanjutnya dibawa ke logpond untuk IPKH, baik dengan cara merakit dan atau menuju TPK HPH, kayu di dimilirkan ke menggunakan

57 tongkang. Setiap kayu yang diangkut harus disertai daftar mutasi kayu. Setiap kayu yang dimilirkan harus disertai dokumen Daftar Hasil Hutan (DHH) dan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) yang dikeluarkan oleh instansi kehutanan terkait. Tabel 7. Thally sheet kegiatan penebangan Perusahaan Lokasi kegiatan RKL/Tahun ke Bulan No. Petak : : : Luas (Ha) Target luas : Target Volume: Luas (Ha) Jumlah Pohon Volume (m3) Ket Januari Pebruari Maretl. Jumlah diharapkan volume jalan sarad dan jalan cabang dapat ditekan sehingga mengurangi kerusakan tegakan tinggal, tanah dan air. Dengan semakin pendeknya jaringan jalan, maka produktifitas pembalakan juga semakin tinggi karena daya jelajah dan penggunaan BBM dapat ditekan. Menururt Wahyudi dan Panjaitan (2008) Sistem Reduced Impact Logging (RIL) dapat meningkatkan daya jelajah traktor sarad dibanding sistem konvensional dengan perbandingan 1,22 km per jam dan 0,863 km per jam atau meningkat sebesar 141,4%. Sistem RIL dapat meningkatkan kemampuan penyaradan kayu bulat dibanding sistem konvensional dengan perbandingan 61,39 m3 per jam dan 23,58 m3 per jam atau meningkat 286,2%. Dengan menggunakan BBM solar yang relatif sama, sistem RIL dapat meningkatkan daya jelajah traktor dan hasil penyaradan kayu bulat, dibanding sistem konvensional. Sistem RIL dapat meningkatkan produktifitas kerja, menghemat biaya operasional, efisien dan meminimalkan kerusakan tegakan tinggal, tanah dan air. Tabel 8. Reduced Impact Logging Reduced Impact Logging (RIL) atau pembalakan ramah lingkungan mulai diperkenalkan sejak awal tahun 90-an. Kegiatan ini bertujuan untuk mengurangi dampak negatif pada vegetasi atau tegakan tinggal dan tapak (tanah dan air) akibat kegiatan eksploitasi hutan serta meningkatkan efisiensi, efektifitas dan produktifitas kerja. Kegiatan RIL dimulai dari tahapan ITSP, PWH dan penebangan. Pada kegiatan ITSP didata pula kondisi bentang alam, azimut dan kelerengan sehingga dapat dibuat peta kontur. Peta ini kemudian dipadukan dengan peta penyebaran pohon sehingga dapat dirancang jaringan jalan sarad yang mengarah pada sebaran pohon tebang serta kondisi kelerengan yang relatif datar. Jaringan jalan lebih utama menyusuri punggung bukit dibanding pada lembah. Dengan rancangan ini Perbandingan sistem RIL dan konvensional pada jelajah traktor, produksi kayu dan konsumsi BBM Hari Ulangan Jelajah Traktor (Km) Kerja Ke (n) RIL Konvens. 1 (7jam) 1 7,411 4,542 2 (7jam) 2 8,831 6,855 3 (7jam) 3 8,722 5,983 4 (7jam) 4 9,211 6,784 Jumlah 34,175 24,164 Volume Kayu (m3) BBM Solar (Liter) RIL Konvens RIL Konvens 413,78 101, ,75 179, ,02 165, ,45 154, , Elias (1999) mengatakan bahwa pemanenan kayu cara konvensional dalam sistem TPTI mengakibatkan kerusakan lebih berat dan lebih besar pada tanah dan tegakan tinggal dibanding dengan sistem yang berwawasan lingkungan.

58 Pemanenan kayu yang berwawasan lingkungan dapat mengurani sampai 50% kerusakan dibanding dengan cara konvensional. Sementara menurut Sukanda (1999), berdasarkan hasil penelitian di Wanariset Sangai, kerusakan tegakan tinggal yang diakibatkan pemanenan dengan penerapan RIL dapat dikurangi sampai 40%. Dengan perencanaan jalan sarad yang tepat, tidak akan ditemukan tanjakan atau turunan yang tajam pada penyaradan, hal ini membuat aktifitas traktor sarad berjalan dengan lancar, mudah dan efisien serta memperpanjang masa pakainya. Pekerjaan dapat dilakukan dengan baik dengan hasil yang maksimal. serta menebas belukar yang rapat sehingga dapat menghalangi jatunya biji ke lantai hutan. e. Regu perapihan terdiri 6 orang yang tugas utamanya adalah menebas. Bahan yang diperlukan adalah camping unit, logistik dan obat-obatan. Peralatan terdiri Kompas, Peta kerja skala 1:10.000, parang, thally sheet dll. Tabel 9. Thally sheet perapihan Perusahaan Lokasi kegiatan Bulan 5. Perapihan Et+1 a. Perapihan adalah kegiatan pada areal bekas tebangan dengan memperbaiki batas blok dan petak kerja agar tegakan tinggal mudah diinventarisasi, diperbaiki serta ditingkatkan produktifitasnya. b. Perapihan dilakukan dengan penebasan semak belukar yang dimaksudkan untuk membuang jenis tumbuhan yang tak berharga yang menyaingi permudaan serta mengganggu jatuhnya biji ke lantai hutan dan tempat kosong. c. Maksud kegiatan perapihan adalah untuk memudahkan kegiatan silvikultur seperti inventarisasi, pembebasan, penentuan pohon binaan serta mempertahankan permudaan dalam jumlah cukup, menyiapkan kehadiran permudaan baru. Tujuannya adalah meningkatkan mutu tegakan untuk dipersiapkan menjadi tegakan yang memiliki produktifitas tinggi serta meningkatkan keamanan dan kenyamanan bekerja. d. Perapihan dilakukan dengan menebas semak belukar yang mengganggu permudaan sampai setinggi 7 cm, menebas perambat (liana) kecuali rotan dan jensi berharga lainnya No. Petak : : Blok RKT tahun: Luas : Penataan Ulang Blok (Hm) Luas Perapihan Jumlah Biaya Januari Pebruari Maret Jumlah 6. Inventarisasi Tegakan Tinggal (ITT) Et+2 a. Inventarisasi tegakan tinggal adalah kegiatan pengukuran pohon dan permudaan serta pencatatannya pada areal tegakan tinggal untuk mengetahui komposisi jenis, penyebaran dan kerapatan pohon dan permudaan serta jumlah dan tingkat kerusakan pohon inti. b. ITT dilakukan pada setiap petak kerja sesuai hasil ITSP, yang terdiri dari jalur (ada 50) dan setiap jalur terdiri dari Petak Ukur (PU) sesuai tingkat pertumbuhan pohon. c. Beberapa istilah yang perllu diketahui dalam kegiatan ITT adalah - Pohon inti adalah pohon jenis komersial (niagawi) berdiameter cm (20-59 cm untuk HPT) yang akan membentuk tegakan utama dan pohon tebang pada rotasi berikutnya. Jumlah pohon inti minimal 25

59 pohon/ha, bila kurang dapat ditunjuk pohon lainnya. PU pengamatan berukuran 20x20 m. Inventarisasi dilakukan pada jenis, diameter, tinggi dan kerusakannya. - Permudaan tingkat tiang adalah pohon muda berdiameter cm. PU berukuran 10x10 m. Inventarisasi dilakukan pada jenis dan jumlahnya (diameter) - Permudaan tingkat pancang adalah permudaan yang lebih tinggi dari 1,5 m dengan diameter kurang dari 10 Cm. PU berukuran 5x5 m. Inventarisasi dilakukan pada jenis dan jumlahnya. - Permudaan tingkat semai adalah permudaan yang tingginya 0,3-1,5 m. PU berukuran 2x2 m. Inventarisasi dilakukan pada jenis dan jumlahnya. - Pohon dikatakan rusak bila tajuknya rusak lebih dari 30% atau cabang besar patah atau terdapat luka lebih dari ¼ keliling dengan panjang lebih dari 1,5 m. d. Maksud kegiatan ITT adalah mengetahui jumlah, jenis dan mutu pohon inti dan permudaan dan mengetahui jenis dan jumlah pohon inti yang rusak serta tingkat kerusakannya pada masing-masing petak kerja. data ITT juga dipergunakan untuk mengetahui letak dan luas penanaman dan perkayaan. Tujuan ITT adalah untuk menentukan perlakuan silvikultur pada petak kerja tahunan serta letak dan luas lokasi penanaman dan perkayaan. e. Suatu areal tidak perlu dilakukan perkayaan bila pada PU 20x20 m ditemukan minimal 1 pohon inti, bila tak ada turun pada PU 10x10 m minimal ada 2 tiang, bila tak ada turun pada PU 5x5 m minimal ada 4 pancang, bila tak ada turun pada PU 2x2 m minimal ada 8 semai (kaidah ). Bila batas minimal pada PU 2x2 m juga tidak dipenuhi maka lokasi tersebut diberi patok bercat kuning yang artinya perlu diperkaya bila jumlah tersebut mengelompok lebih dari 1 Ha (25 PU). As Jalur 20x20 m PU 10x10 PU 5x5 m PU 2mx2m 20 m Gambar 18. Posisi petak ukur sesuai tingkat pertumbuhan vegetasi dalam kegiatan ITT f. Bahan yang diperlukan adalah camping unit, logistik dan obat-obatan. Peralatan terdiri Kompas, Peta kerja skala 1:10.000, parang, pengukur tinggi, pita diameter, klinometer, alat rintis, tabel volumethally sheet, Tali 25 m, alat tulis menulis, penanda (cat), kwas, plat/label plastik kuning, paku, spidol permanen, helm dll. g. Tim ITT terdiri dari 7 orang dengan pembagian tugas 1 orang ketua regu (pencatat), 1 kompasmen, 2 perintis batas jalur, 2 pemberi tanda dan 1 pemegang tali. dapat ditambah dengan 1 orang pembantu umum sehingga jumlah 8 orang.

60 Tabel 11. Thally sheet tempat kosong dan kurang permudaan hasil ITT RKL/RKT Nomor Jalur 1 2 : Petak : Nomor PU Kosong Nomor PU Kurang Permudaan 7. Pembebasan Pertama (Et+2) Gambar 19. Kegiatan ITT (Foto: Wahyudi) Tabel 10. Thally sheet inventarisasi tegakan tinggal Perusahaan RKL/RKT PU Pohon inti Φ Jenis Jlh : : Nomor Petak Waktu kegiatan Tiang Jenis Jumlah Pancang Jenis Jumlah : : Semai Jenis Jumlah HO K Rp a. Pembebasan pertama adalah kegiatan pemeliharaan tegakan tinggal berupa pembebasan tajuk dari 200 pohon dan permudaan komersial (pohon binaan) per Ha (jarak antar pohon 5-9 m) dari persaingan dengan vegetasi lain. b. Kegiatan pembebasan dapat berupa penebangan pohon penyaing, peneresan yang dapat membunuh pohon tersebut dan peracunan dengan arborisida (garam organik isopropilamin-glyfosat) c. Maksud pembebasan I adalah mengadakan ruang tumbuh yang optimal bagi pohon binaan. Tujuannya adalah meningkatkan riap pohon binaan untuk memperbesar produktifitas tegakan tinggal sehingga nilai komersialnya tinggi. d. Kriteria pohon binaan adalah jarak rata-rata 5-9 m, jenis komersial, ukuran terbesar disekitarnya, batang sehat, lurus, bundar/silindris, tajuk besar dan rimbun, semua jenis pohon termasuk yang dilindungi. e. Dilarang membunuh pohon yang dilindungi, semua pohon yang tidak mengganggu pohon binaan, pohon yang berada dalam sempadan sungai atau danau dan pohon besar (berdiameter 50 Cm up).

61 f. Label yang sudah ada pada saat kegiatan ITSP dan ITT tetap dilanjutkan dan diperbaiki. g. Bahan yang diperlukan adalah camping unit, logistik dan obat-obatan. Peralatan terdiri Kompas, Peta kerja skala 1:10.000, parang, pengukur tinggi, pita diameter, klinometer, thally sheet, Tali 25 m, alat tulis menulis, penanda (cat), kwas, plat/label plastik kuning, paku, spidol permanen, helm dll. h. Regu Pembebasan ada 8 orang terdiri 1 orang ketua regu, 2 orang pengenal pohon, 2 orang menebas dan meneres, 2 orang membawa kapak dan racun arborisida dan ikut meneres dan 1 orang membawa arborisida cadangan. c. d. Tabel 12. Thally sheet pembebasan tahap pertama Perusahaan Lokasi : : Waktu : e. PU Phn Inti Jns Tiang Jns Pancang Jns Semai Jns Phn di bunuh H O K R p f. 8. Pengadaan Bibit (Et+2) a. Pembibitan adalah kegiatan dimana biji atau bibit yang berasal dari hutan / kebun bibit/ kebun pangkas dikumpulkan dan dipelihara pada suatu lokasi yang tertata dengan baik. Pengadakan bibit adalah kegiatan yang meliputi penyiapan tempat pembibitan, pengadaan sarana dan prasarana serta kegiatan lain yang berhubungan dengan pengadaan bibit. b. Bibit adalah anakan yang akan dibudidayakan. Benih adalah adalah biji yang telah diseleksi dan diperlakukan g. h. dengan baik untuk tujuan budidaya. Benih dikatakan baik apabila mempunyai kemurnian dan daya kecambah tinggi (>80%). Biji adalah bakal bibit yang belum mendapat perlakuan. Biji dapat dipergunaan untuk makanan, budidaya atau lain keperluan. Bedeng tabur adalah bedengan yang berisi media/tanah untuk membiakkan benih. Benih yang berukuran kecil seperti Jelutung, Jabon, Sengon dll dapat dibiakkan melalui bedeng tabur, sedangkan biji berukuran besar seperti Meranti, Jati, Ulin, Mahoni dll dapat langsung disemai dalam polly bag. Biji yang berukuran sangat kecil dapat melalui bedeng sapih. Persemaian adalah areal pembuatan dan pemeliharaan bibit yang lokasinya tetap dan dibangun dengan penataan yang sesuai serta berhubungan dengan penghutanan kembali areal kosong dan hutan rusak. Persemaian ada 3 tipe, yaitu persemaian sederhana, semi permanen dan permanen. Maksud pengadaan bibit adalah untuk memperoleh bibit yang bermutu tinggi dalam jumlah yang memadai dan tata waktu yang tepat. Tujuannya adalah meningkatkan produktifitas hutan berupa kayu dengan menggunakan bibit berkualitas. Pada prinsipnya pengadaan bibit dapat berasal dari benih, cabutan dan stek (vegetatif). Pengadakan bibit yang berasal dari benih dapat dilakukan untuk jenis Dipterocarp (Meranti, Keruing dll), Sengon, Jati, Ulin, Mahoni, Karet, buah-buahan dan lain-lain. Pengadakan bibit dari stek dapat dilakukan untuk jenis Sungkai, Dipterocarp (Meranti, Kapur dll) dan lain-lain sedangkan dari cabutan anakan alam dapat dilakukan untuk jenis Dipterocarp. Pengadakan bibit dari biji dan stek sungkai dapat berumur 3-5 bulan, dari cabutan anakan alam berumur 5-8 bulan dan dari stek pucuk Dipterocarp dapat berumur sekitar 1 tahun. Perawatan bibit dapat dilakukan dengan penyiraman, pemupukan, penyiangan, pendangiran, pemberantasan hama dan penyakit serta perenggangan. Sebelum bibit diangkut

62 dan ditanam di lapangan, terlebih dahulu harus diadaptasikan dengan cara mengeluarkan dari bedengan untuk disusun dalam kotak bibit. i. Bibit dikatakan baik mempunyai ciri-ciri sehat, segar, daun lebat, tinggi sekitar Cm, kokoh/ tidak ceking, perakaran kompak, lurus, tidak patah. 9. Pengayaan dan rehabilitasi (Et+3) a. Pengayaan adalah kegiatan penanaman pada areal bekas tebangan yang kurang cukup mengandung permudaan jenis niagawi dengan tujuan untuk memperbaiki komposisi jenis, penyebaran pohon dan nilai tegakan. Jarak tanam pengayaan adalah 5x5 m b. Rehabilitasi adalah kegiatan penanaman pada bidang kosong di dalam kawasan hutan agar setiap bidang hutan memiliki produktifitas dan nilai maksimum. Jarak tanam kegiatan rehabilitasi adalah 3x3 m. c. Areal yang perlu dikayakan adalah areal yang kurang permudaan yang luasnya lebih dari 1 Ha atau kumpulan dari 25 PU hasil ITT yang kurang permudaan secara mengelompok. Gambar 20. Persemain untuk memproduksi bibit berkualitas Tabel 13. Thally sheet pengadaan bibit Perusahaan Lokasi persemaian Jenis Bibit Biji I. Stok Awal II. Penambahan III. Pengurangan IV...Stok Akhir Jumlah Akhir : : Luas persemaian Waktu (bln) Jumlah Bibit Cabut Stek Jumlah Jumlah Biaya : : Tanam Pada Blok Gambar 21. Hasil kegiatan penanaman Shorea spp d. Kegiatan penanaman harus didahului dengan persiapan lapangan, pemasangan ajir dan pembuatan lubang tanam. Polly bag bibit harus ditancapkan diatas ajir untuk

63 memastikan bahwa polly bag telah dilepas. Penimbunan kembali lubang yang telah berisi bibit sebaiknya menggunakan top soil dari lantai hutan. Penanaman dilakukan pada waktu musim hujan. Bila dilakukan pada musim kemarau harus dipersiapkan sarana penyiraman. e. Maksud kegiatan rehabilitasi/pengayaan adalah menambah jumlah anakan semai dengan cara menanam pada areal bekas tebangan yang tidak atau kurang memiliki permudaan jenis niagawi serta menanam pada areal terbuka seperti bekas Tpn dan TPK, bekas jalan sarad serta area terbuka lainnya. Tujuannya adalah memperbaiki komposisi jenis dan penyebaran permudaan jenis niagawi serta meningkatkan nilai dan produktifitas tegakan tinggal. f. Bahan yang diperlukan adalah camping unit, logistik dan obat-obatan. Peralatan terdiri Kompas, Peta kerja skala 1:10.000, parang, cangkul, alat rintis, thally sheet, Tali dengan simpul 3 dan 5 meter, alat tulis menulis, helm dll. g. Regu pengayaan/rehabilitasi terdiri 12 orang terdiri 1 orang ketua regu, 1 orang kompasmen, 2 orang membuat jalur penanaman, 2 orang mencari ajir ITT dan memasang ajir penanaman, 2 orang membuat lubang tanam, 2 orang membawa bibit dan 2 orang menanam. Tabel 14. Thally sheet pengayaan dan rehabilitasi Perusahaan Lokasi Nomor Jalur Jumlah : : Nomor PU Pengayaan Nomor petak Waktu kegiatan Nomor PU Rehabilitasi Jenis Bibit Jumlah Bibit a. Pemeliharaan adalah kegiatan perawatan tanaman, baik tanaman hasil pengayaan maupun rehabilitasi, dengan cara membersihkan jalur penanaman (penyiangan), membunuh gulma dan pohon penyaing, memperbaiki sifat fisik tanah dan tempat penanaman (pendangiran dll) serta penyulaman. b. Maksud kegiatan pemeliharaan adalah membebaskan tanaman baru hasil pengayaan rehabilitasi dari berbagai bentuk gangguan tumbuhan pengganggu serta menyulam tanaman mati dengan bibit sehat. Tujuannya adalah mempertahankan jumlah tanaman pohon niagawi dan memacu pertumbuhan dan produktifitasnya. c. Bahan yang diperlukan adalah camping unit, logistik dan obat-obatan. Peralatan terdiri Kompas, Peta kerja skala 1:10.000, parang, alat tebas/rintis, cangkul, Thally sheet, Tali bersimpul 3 dan 5 m, alat tulis menulis, helm dll. d. Regu pemeliharaan berjumlah 6 orang terdiri 1 orang ketua regu/pencatat data, 4 orang membersihkan jalur tanam dan 1 orang pembantu umum. Tabel 15. Thally sheet pemeliharaan tanaman pengayaan dan rehabilitasi Perusahaan Lokasi : : Jumlah HOK 10. Pemeliharaan (Et+3,4,5) Biaya (Rp) No. Jalur Jumlah : : Nomor PU Pengayaan Luas RKT Waktu pelaksanaan Nomor PU Rehabilitasi Jenis Pekerjaan Jumlah HOK : : Biaya (Rp)

64 11. Pembebasan Kedua (Et+4) dan Ketiga (Et+6) a. Pembebasan Kedua dan Ketiga adalah pengulangan seperlunya pembebasan pertama agar tajuk pohon binaan selalu menerima cahaya matahari langsung dari atas atau samping serta memiliki ruang rumbuh tajuk yang baik. b. Pohon binaan yang dibebaskan ini adalah 200 pohon niagawi terpilih per Ha, termasuk 25 pohon inti. Kriteria pohon binaan adalah jarak 5-9 m, jenis niagawi, ukuran terbesar dalam kelompoknya, tajuk dan batang sehat, semua pohon berdiameter di atas 40 cm yang sehat dan baik serta pohon dilindungi. c. Maksud kegiatan ini adalah memelihara kebebasan sinar dan ruang dari tajuk pohon binaan agar riap pohon binaan maksimal. Tujuannya memusatkan riap tegakan kepada pohon binaan yang merupakan pohon niagawi terbaik dalam tegakan tinggal dan letaknya tersebar merata. d. Yang perlu dibunuh dalam kegiatan pembebasan ini adalah semua liana kecuali rotan dan jenis niagawi serta pohon yang mengganggu pohon binaan. Tabel 16. Thally sheet pembebasan kedua dan ketiga Perusahaan Lokasi PU Phn Inti Jns : : Tiang Jns Waktu : Pancang Jns Semai Jns Phn di bunuh H O K R p e. Bahan yang diperlukan adalah camping unit, logistik dan obat-obatan. Peralatan terdiri Kompas, Peta kerja skala 1:10.000, parang, kapak, botol racun, jerigen racun, alat rintis, Thally sheet, alat tulis menulis, penanda (cat), kwas, helm dll. f. Regu pembebasan II dan III masing-masing ada 8 orang dengan pembagian tugas 1 orang ketua regu/pencatat data, 4 orang penebas, 2 orang peracun dan 1 orang pembantu umum. 12. Penjarangan I, II dan III (Et+10, +15 dan +20) a. Penjarangan adalah kegiatan penyingkiran penyaing pohon binaan bilamana pohon binaan telah berupa tiang dan pohon. Penjarangan sebaiknya difokuskan pada penjarangan tajuk, yaitu penjarangan untuk membuang penaung dan pendesak tajuk pohon binaan. Pohon binaan adalah 200 pohon binaan per Ha termasuk pohon inti (sama dengan pembebasan II dan III). b. Maksud kegiatan penjarangan adalah untuk mempertahankan riap pohon binaan yang tinggi. Tujuannya adalah untuk memusatkan riap tegakan tinggal kepada pohon-pohon binaan yang merupakan pohon terbaik dalam tegakan tinggal. c. Penjarangan I (Et+10) dibebaskan minimal 200 tajuk pohon binaan. Penjarangan II (Et+15) dibebaskan minimal 150 tajuk pohon binaan. Penjarangan I (Et+20) dibebaskan minimal 100 tajuk pohon binaan. d. Bahan yang diperlukan adalah camping unit, logistik dan obat-obatan. Peralatan terdiri Kompas, Peta kerja skala 1:10.000, parang, kapak, botol racun, jerigen racun, alat rintis, Thally sheet, alat tulis menulis, penanda (cat), kwas, helm dll. e. Regu penjarangan I, II dan III masing-masing ada 6 orang dengan pembagian tugas 1 orang ketua regu/pencatat data, 2 orang penebas, 2 orang peracun dan 1 orang pembantu umum.

65 f. Pelaksanaan kegiatan penjarangan adalah: Kepala regu berjalan ditengah jalur menunjuk pohon binaan yang harus dirawat dan pohon penyaing yang harus dibunuh sambil mencatat jumlah dan jenisnya perpetak ukur 20x20m. Penebas mendatangi pohon binaan untuk membersihkan lahan di sekitar pohon binaan. Juru racun mendatangi pohon penyaing untuk membunuh penyaing pohon binaan. Pembantu umum berjalan paling belakang untuk mengoreksi. Pembantu umum berjalan paling belakang untuk mengoreksi pekerjaan penebas. Tidak diperbolehkan membunuh pohon yang bukan penyaing walaupun dari jenis tidak komersial atau pohon cacat. Tabe 17. Thally sheet penjarangan I, II dan III Perusahaan Lokasi Luas Nomor PU : : : Pohon Binaan Jenis Jumlah Nomor petak Nomor jalur Waktu kegiatan Pohon Di Bunuh Jumlah jenis Jumlah HOK : : : Jumlah Biaya (Rp) Jumlah C. Evaluasi Sistem TPTI Sistem TPTI telah mengikuti kaidah alami dengan menerapkan sistem tebang pilih, menebang jenis-jenis pohon komersial dengan limit diameter 50 cm ke atas pada hutan produksi tetap dan 60 cm ke atas pada hutan produksi terbatas. Bekas tebangan pohon pada sistem TPTI membentuk celah yang menyerupai kondisi alam ketika pohon tua mati dan tumbang. Pada celah bekas tebangan ini banyak dijumpai permudaan alam yang tumbuh relatif baik dibanding daerah sekitarnya yang masih tertutup oleh tegakan. Faktor yang paling menentukan adalah meningkatnya intensitas sinar yang merangsang pertumbuhan anakan. Sistem TPTI diharapkan dapat mengadakan perbaikan komposisi jenis dengan melakukan kegiatan penanaman/ perkayaan (enrichment planting) pada areal hutan yang kurang permudaan dan pada areal yang kosong seperti bekas jalan sarad, bekas TPn dan TPK serta tempat kosong lainnya. Pemilihan jenis untuk penanaman/pengayaan disesuaikan dengan keadaan ekologis setempat khususnya keadaan tanah dan cahaya. Penanaman dapat menggunakan jenis pionir domestic (seperti jabon, sungkai) atau exotic (seperti sengon, akasia, ampupu) yang ditanam pada tempat terbuka. Sedangkan pengayaan menggunakan jenis toleran yang masih memerlukan naungan tegakan seperti jenis Dipterocarpaceae. Kelebihan TPTI dibanding sistem sebelumnya (TPI) adalah pemisahan dan memberikan porsi kegiatan pembinaan hutan sejajar dengan kegiatan pemanenan, dengan membuat organisasi pembinaan hutan dan penyediaan anggaran yang lebih memadai. Namun kelemahan TPTI yang juga terdapat pada TPI adalah lemah dan sulitnya pengawasan kegiatan, terutama kegiatan pembinaan hutan serta belum ada kriteria dan indikator yang jelas tentang keberhasilan kegiatan pembinaan hutan seperti penanaman, pembebasan dan penjarangan. Sistem TPTI dengan penebangan menggunakan limit diameter 50 cm menimbulkan kerusakan % (Inhutani II, 1992) atau % bila menerapkan RIL (Sukanda, 1998). Menurut Triyono (1995) kerusakan tegakan akibat pemanenan sebesar 36,1% yang terdiri dari kerusakan akibat penebangan sebesar 5,25% dan kerusakan akibat penyaradan sebesar 30,98%.

66 Beberapa catatan lain pada pelaksanaan sistem TPTI adalah sering terjadi kelebihan bibit di persemaian karena kemampuan regenerasi alami hutan alam yang sangat tinggi secara kuantitas. Perusahaan sering kesulitan menemukan lokasi penanaman karena areal yang semula dinyatakan kosong (ketentuan 1, 2, 4, 8 dalm ITT) ternyata telah tertutup kembali dengan anakan alam pada saat penanaman hendak dilaksanakan. Kondisi hutan bekas penebangan dengan sistem TPTI selalu terlihat masih lebat, namun ternyata banyak mengandung pohon-pohon cacat, baik cacat dari awal (alami) maupun cacat akibat kegiatan eksploitasi hutan serta terjadi perubahan komposisi jenis karena sebagian besar jenis komersial telah ditebang. Masih terdapat kesulitan dalam penerapkan tata waktu kegiatan ITT dan pembibitan pada sistem TPTI tahun 1993 juga menambah kebingungan para praktisi lapangan. Perusahaan tidak dapat menentukan jumlah bibit yang harus dibuat pada tahun berjalan karena informasi areal kosong dan kurang permudaan masih didatakan pada kegiatan ITT. Pemerintah sempat mengeluarkan kebijakan pembuatan bibit 1:20, artinya 1 pohon di tebang harus membuat 20 bibit. Permasalahan sejak awal bukan pada keengganan perusahaan membuat bibit atau menanam, namun pada masalah ketidaktersediaan lokasi penanaman. Akhirnya over supply bibit terus terjadi. Memang agak aneh, disatu sisi terjadi over supply bibit dan sisi lain realisasi penanaman tidak terpenuhi dan diduga terjadi penurunan kualitas komposisi hutan yang mengancam kelestarian hasil (sustained yield) sebagai bagian dari kelestarian hutan (sustained forest). Para praktisi di lapangan sering memandang tahapan sistem TPTI terlalu banyak dan panjang sehingga kurang efisien dan tidak efektif dilaksanakan. Efisiensi selalu dikaitkan dengan jumlah anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan serta manfaat yang didapatkan dari kegiatan tersebut. Sistem TPTI memerlukan tenaga survei yang sangat banyak yang secara langsung berhubungan dengan pembengkakan biaya. Pos-pos pembiayaan tersebut antara lain gaji tenaga survei, premi, keperluan logistik, akomodasi dan biaya administrasi. Efektifitas sering dikaitkan dengan tingkat pencapaian sasaran dari suatu kegiatan. Sasaran kegiatan pembinaan hutan dalam sistem TPTI adalah meningkatkan riap tanaman dan tegakan tinggal. Namun pada kenyataannya, keberadaan tanaman selalu tidak muncul seperti yang diharapkan karena kemampuan regenerasi hutan alam yang sangat tinggi. Tegakan tinggal yang sangat rapat dengan komposisi yang sangat banyak menimbulkan keraguan untuk melakukan pembebasan dan penjarangan dengan alasan biodiversitas, tingkat manfaat dan efektifitas pekerjaan tersebut. Dengan menggunakan peralatan GPS maka kegiatan PAK konvensional sering kurang efisien, karena penataan secara keseluruhan terhadap areal kerja sebenarnya telah dilakukan diluar kegiatan TPTI. Kegiatan ITSP pada hutan tropis dengan komposisi floristik yang sangat tinggi, rapat, lebat dan komplek yang dilakukan dengan intensitas 100% terhadap setiap individu pohon (diameter dan tinggi pohon) menimbulkan beban kerja tersendiri. Akibat beratnya beban kerja ini banyak praktisi yang mengambil jalan pintas. Bukti-bukti pekerjaan disiapkan hanya untuk memenuhi peraturan bukan tuntutan pekerjaan. Kegiatan pembukaan wilayah hutan dan eksploitasi hutan banyak menggunakan keahlian teknik sipil. Pekerjaan ini telah memasuki ranah road construction dan sarat dengan penggunaan alat-alat berat. Banyak perusahaan yang menyerahkan pekerjaan ini kepada kontaktor atau membentuk divisi khusus yang agak jauh dari profesi rimbawan. Dari beberapa hasil penelitian, jumlah anggaran pada pekerjaan ini selalu di atas 60% dari total cast flow yang ada, seakan-akan kegiatan pengusahaan hutan alam hanyalah kegiatan eksploitasi hutan. Kegiatan penanaman sering tidak efektif karena dominasi permudaan alam yang melimpah di areal bekas tebangan.

67 Kegiatan perawatan tanaman menjadi tidak efektif pula karena keberadaan tanaman yang selalu tereduksi oleh permudaan alam serta tingkat revegetasi yang sangat tinggi di areal hutan. Pembebasan dan penjarangan ditujukan untuk memberi ruang tumbuh yang optimal pada pohon binaan agar mencapai riap maksimal. Kegiatan ini seharusnya dilakukan dengan mematikan pohon-pohon yang menjadi pesaing, bukan hanya mematikan liana dan vegetasi kecil (karena mudah dilakukan) serta hanya mencatat dalam thally sheet saja. Mematikan sejumlah pohon pesaing menimbulkan kontroversi dari aspek biodiversitas serta efektifitas pekerjaan. Dengan hanya berbekal parang, tim pembinaan tidak akan mampu mematikan sejumlah pohon pesaing karena jenis ini banyak terdiri dari pohon berkayu keras. Peracunan pohon dalam kegiatan pembinaan hutan dalam skala besar dapat membawa permasalahan tersendiri mengingat keberadaan zat kimia berbahaya dapat membahayakan kesehatan (manusia dan binatang) serta merusak lingkungan. Pohon-pohon yang diracuni akan mati secara perlahan sehingga tegakan hutan pasca dibina sangat berbahaya untuk dimasuki pada tahapan kegiatan berikutnya ataupun untuk keperluan lain karena mengandung banyak pohon mati yang sewaktu-waktu dapat roboh. Dengan alasan efisiensi dan efektifitas inilah maka kegiatan TPTI (1989 dan 1993) direvisi kembali dengan juknis TPTI 2009 seperti tercantum dalam lampiran 1 Peraturan Dirjen BPK No. P.9/VI/BPHA/2009. Prinsip-prinsip sistem TPTI 2009 adalah: 1. Sistem silvikultur untuk tegakan tidak seumur 2. Teknik pemanenan dengan tebang pilih 3. Meningkatkan riap sebagai aset 4. Mempertahankan keanekaragaman hayati Sedangkan tujuannya adalah meningkatkan produktivitas hutan alam tegakan tidak seumur (unevenaged stands) melalui tebang pilih dan pembinaan tegakan tinggal dalam rangka memperoleh panenan yang lestari. Sistem ini diterapkan pada hutan alam produksi di areal IUPHHK atau KPHP dengan tahapan kegiatan sebagai berikut: 1. Penataan Areal Kerja (PAK) 2. Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (ITSP) 3. Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) 4. Pemanenan 5. Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman Pengayaan 6. Pembebasan Pohon Binaan (hanya pada hutan produksi tetap dan tidak pada hutan produksi terbatas) 7 Perlindungan dan Pengamanan Hutan. Secara umum juknis sistem TPTI 2009 telah banyak mengakomodir usul dan saran dari berbagai kalangan yang menghendaki peraturan/juknis TPTI tidak memasuki hal-hal teknis yang dapat berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya serta memberi ruang gerak yang lebih luas bagi para teknisi/ rimbawan di lapangan untuk mengembangkan kreatifitas, ilmu pengetahuan dan idealismenya. Berdasarkan penelitian Balitbang Kehutanan, riap tegakan hutan alam bekas tebangan adalah 1,749 m3/ha/th *). Data ini bersifat lokal pada kawasan hutan produksi yang efektif untuk produksi dan tidak memperhatikan kawasan hutan produksi yang tidak efektif produksi seperti tegakan benih, plot penelitian (PUP), sarana prasarana dan tanah kosong dalam kawasan hutan serta keberadaan kawasan lindung di sana seperti sempadan sungai, koridor satwa, buffer zone, kawasan pelestarian plasma nutfah, hutan kerangas (heath forest), areal kelerengan curam >40% dan lain-lain. Menurut Suparna (2010), produktifitas kawasan hutan produksi (secara keseluruhan) di Indonesia hanya berkisar antara 0,07 m3/ha/th sampai 0,67 m3/ha/th pada periode 1992 sampai Produksi kayu bulat nasional dari hutan alam produksi pada tahun 2008 sebesar 4,6 juta m3 yang bersal dari kawasan hutan produksi (308 unit manajemen) seluas 25,9 juta ha atau 18,13 juta ha yang aktif. Berdasarkan data tersebut, maka produktifitas hutan alam produksi hanya 0,18 m3/ha/th sampai 0,25 m3/ha/th saja. Dengan demikian, apakah sistem

68 pengelolaan hutan alam produksi saat ini telah memenuhi prinsip kelestarian hasil (sustained yield) atau kelestarian hutan (sustained forest)? Menurut Indrawan (2003a), sistem TPTI di Inhutani 1 mempunyai siklus lestari untuk rotasi I dan II masing-masing pada 24 tahun dan 37 tahun sedangkan pada PT.Ratah Timber (Kaltim) pada 30 tahun dan 43 tahun (Indrawan, 2003b). Menurut Wahyudi (2011) sistem TPTI di PT GM (Kalteng) mempunyai siklus lestari untuk rotasi I dan II masing-masing pada 29 tahun dan 37 tahun. Dengan demikian penentuan waktu siklus tebang tidaklah sama pada setiap kawasan hutan produksi, melainkan tergantung pada komposisi floristik, struktur dan komposisi, tegakan tinggal masing-masing. Menurut Wahyudi (2011) pertumbuhan tegakan tinggal pada hutan bekas tebangan dipengaruhi oleh: 1. Jenis pohon (dapat dikelompokkan) 2. Tingkat pertumbuhan dan kelas diameter pohon 3. Faktor bawaan (genetik) yang bisa diimprove melalui pemuliaan pohon 4. Faktor iklim (curah hujan, suhu, intensitas cahaya, iklim mikro) 5. Faktor tanah (kedalaman, jenis tanah, kelerengan, sifat fisik, kimia dan biologi tanah) 6. Ingrowth, upgrowth dan mortality 7. Intensitas penebangan dan kelerengan lahan 8. Target tebangan 9. Sistem pembalakan 10. Kerapatan tegakan yang dicerminkan melalui kerapatan (N per ha) dan luas bidang dasar (LBD) per ha. 11. Faktor lain seperti kelas tapak (site class), fotosintesis, diameter tajuk, kesehatan pohon dan lain-lain. Faktor-faktor di atas bekerja secara simultan dan saling terkait. Adakalanya beberapa data masih sulit didapatkan, seperti kemampuan fotosintesis, kelas tapak dan kesehatan pohon, sehingga pemodelan dinamika tegakan tinggal hanya menggunakan data yang tersedia. Untuk selanjutnya akurasi model harus dapat ditunjukkan melalui validasi model, koefisien determinasi serta mean absolute percentage error (MAPE). Dengan model ini kita dapat menentukan siklus tebang lestari berdasarkan target tebang yang diinginkan (Lihat Gambar 11).

69 VI. TEBANG PILIH DAN TANAM JALUR A. Pengertian dan Dasar Sistem TPTJ Sistem silvikultur Tebang dan Tanam Jalur (TPTJ) dirancang untuk untuk menjawab kelemahan sistem TPTI pada aspek penanaman dan pengawasannya. Dengan menyiapkan tempat penanaman secara lebih baik, terutama dari segi penyinaran dan ruang tumbuh, dalam bentuk gap memanjang (jalur) maka pertumbuhan tanaman dapat berjalan lebih optimal dan aspek pengawasan dapat dilakukan lebih mudah. Sistem TPTJ diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 435/Kpts-II/1997 dan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 625/Kpts-II/1998 tentang Sistem Silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Jalur (TPTJ) dalam Pengelolaan Hutan Produksi Alam. Sistem Tebang Pilih Tanam jalur (TPTJ) adalah sistem silvikultur yang meliputi cara tebang pilih dengan batas diamater minimal 40 cm diikuti dengan permudaan buatan dalam jalur selebar 3 m. Jalur antara selebar 22 m (1998) atau 20 m (TPTII dan TPTJ 2009). Sistem TPTJ akan membawa dampak terhadap penutupan lahan, cadangan unsur hara dan keragaman biotik. Dampakdampak tersebut akan menciptakan kondisi tempat tumbuh yang lebih baik sehingga pertumbuhan tanaman, permudaan alam dan tegakan tinggal menjadi meningkat dan kelestarian produksi dapat tercapai. Sistem silvikultur TPTJ dilaksanakan pada kawasan hutan alam produksi yang termasuk katagori hutan tanah kering dataran rendah (lowland forest) dan kawasan lain yang memungkinkan sesuai ketetapan Menteri. Hutan tanah kering dataran rendah adalah kawasan hutan pada lahan kering dengan ketinggian tempat kurang dari 500 m dpl dan memiliki kelerengan lapangan rata-rata maksimal 25%. Pada tahun 2005 muncul petunjuk teknis yang mengatur sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) namun masih menggunakan nama sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII), berdasarkan SK Direjen BPK No.226/VI-BPHA/2005 tanggal 1 September Sistem TPTII ini menggunakan lebar jalur tanam 3 meter dengan jarak tanaman 2,5 meter serta lebar jalur antara 17 meter. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.11/Menhut-2/2009 tentang sistem silvikultur pada areal izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) pada hutan produksi, sistem silvikultur yang berlaku di Indonesia adalah Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ), Tebang Rumpang dan Tebang Habis Permudaan Buatan (THPB). Petunjuk teknis keempat sistem tersebut dituangkan dalam Peraturan Dirjen Bina Produksi Kehutanan Nomor P.9/VI/BPHA/2009 dan petunjuk teknis TPTJ terdapat pada Lampiran 2. Prinsip-prinsip sistem TPTJ adalah 1. Sistem silvikultur untuk tegakan tidak seumur. 2. Teknik pemanenan dengan tebang pilih. 3. Meningkatkan riap. 4. Mempertahankan keanekaragaman hayati. 5. Menciptakan ruang tumbuh optimal bagi tanaman. 6. Penanaman jenis unggulan lokal dalam jalur. Tujuan TPTJ adalah meningkatkan produktivitas hutan alam tegakan tidak seumur (unevenaged stands) melalui tebang pilih dan memanfaatkan ruang tumbuh dalam jalur untuk meningkatkan riap dalam rangka memperoleh panenan yang lestari. Sasaran TPTJ adalah pada hutan alam produksi bekas tebangan di areal IUPHHK atau KPHP.

70 B. Tahapan Kegiatan TPTJ Kegiatan Tebang Pilih dengan Tanam Jalur (TPTJ) pada prinsipnya sama dengan TPTI, perbedaan terletak pada batas diameter minimum yang ditebang yaitu 40 cm dan penanaman menggunakan jalur tanam yang sengaja di buat. Tahapan kegiatan TPTJ diajikan dalam tabel berikut ini. Tabel 18. Tahapan kegiatan Tebang Pilih dan Tanam Jalur No Kegiatan Penataan Areal Kerja Perisalahan Hutan Pembukaan Wilayah Hutan Pengadaan Bibit Penebangan Penyiapan Jalur Penanaman Pemeliharaan Tanaman Perlindungan Tanaman Waktu Et-2 Et-2 Et-1 Et-1 Et Et Et Et+1 s/d Panen Terus menerus Sumber: SK Menhutbun Nomor 625/Kpts-II/1998 Tahapan kegiatan sistem TPTJ 2009 berdasarkan Peraturan Dirjen BPK No. P.9/VI/BPHA/2009 adalah 1. Penataan Areal Kerja (PAK) (tidak lebih dari Et-4) 2. Inventarisasi Hutan 3. Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) 4. Pengadaan Bibit 5. Tebang Naungan 6. Penyiapan dan Pembuatan Jalur Tanam 7. Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman Jalur 8. Pembebasan dan Penjarangan 9. Pemanenan 10.Perlindungan dan Pengamanan Secara umum tahapan sistem TPTJ 1998 dengan TPTJ 2009 adalah sama. Terdapat sedikit perbedaan hanya pada tata waktu pelaksanaan kegiatan dan penamaan tahapan kegiatan. TPTJ 2009 tidak menerapkan tata waktu yang ketat sebagaimana TPTJ 1998 dan TPTII Tahapan kegiatan TPTJ adalah sebagai beikut: 1. Penataan Areal Kerja (PAK) PAK sama dengan TPTI, yang bertujuan untuk mengatur perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pengawasan kegiatan pengusahaan hutan pada blok kerja tahunan. Maksud kegiatan PAK adalah mempersiapkan areal kerja yang meliputi pembuatan alur batas blok dan petak kerja, penataan batas hutan, pemasangan pal batas blok dan petak serta pengukuran dan pemetaan. Batas blok dan petak kerja memakai batas alam, yaitu sungai, jalan, bukit serta rintisan manual. 2. Perisalahan Hutan Perisalahan hutan terdiri dari Inventarisasi Vegetasi dan Keadaan Lapangan. Inventarisasi vegetasi bertujuan mengetahui penyebaran pohon berdiameter 20 cm ke atas yang meliputi jumlah, komposisi jenis serta volume pohon yang akan di tebang, dipertahankan serta kondisi permudaan. Hasil inventarisasi digambar pada peta penyebaran pohon. Inventarisasi Keadaan Lapangan bertujuan untuk mengetahui topografi blok kerja untuk digunakan membuat peta kerja dengan menggambarkan letak, luas, kondisi aliran sungai dan garis bentuk lapangan. 3. Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) PWH sama dengan TPTI, yaitu meliputi pembangunan jalan angkutan, menyediakan sarana dan prasarna base camp, pondok kerja dll guna menunjang kegiatan produksi kayu, pembinaan, perlindungan, inspeksi kerja, transportasi dan komunikasi. 4. Pengadaan Bibit Pengadaan bibit sama dengan kegiatan TPTI, yaitu dapat berasal dari biji/benih (biji dan cabutan anakan alam) serta

71 dari stek, baik stek pucuk jenis Dipterocarp maupun stek sungkai. 5. Penebangan Metode penebangan sama dengan TPTI. Beberapa tahapan penebangan yang menggunakan kaidah RIL sebagai brikut: a. Perencanaan jalan sarad dan TPn berdasarkan hasil inventarisasi keadaan lapangan dengan memperhatikan topografi, jenis tanah, bentang alam dll. b. Penandaan trase jalan, arah rebah dan lokasi TPn dilapangan. c. Pembuatan jaringan jalan berdasarkan trase jalan termasuk jalan sarad. d. Penebangan jenis niagawi berdiameter 40 cm ke atas dengan meminimalkan kerusakan tegakan sekelilingnya, kerusakan batang dan searah dengan jalan sarad. e. Setelah melakukan penyaradan, dibuat sodetan melintang (cros drain) pada bekas jalan sarad untuk menghambat aliran air sehingga erosi dapat ditekan. 6. Penyiapan Jalur a. Penyiapan jalur adalah kegiatan penyiapan lahan tanam sampai siap dilakukan penanaman. Pembuatan jalur bersih lebar 3 meter, jarak antar jalur tanam (dari sumbu jalur) 25 m yang dikerjakan secara manual. Pada juknis TPTJ 2009 jarak antar jalur tanam (dari sumbu jalur) 20 m. b. Jarak antar ajir dengan jarak 5 m atau 2,5 meter c. Pembuatan lubang tanam berukuran 30 x 30 x 30 cm serta diisi dengan top soil dari lantai hutanpembebasan jalur dari naungan pohon. Bila diperlukan dapat menggunakan chainsaw. 7. Penanaman Kegiatan penanaman dimulai dari order dan pengangkutan bibit dari persemaian ke lokasi penanaman. Mengecer bibit dalam jalur tanam dan menanam pada lubang tanam. Gambar 22. Posisi jalur bersih dan jalur antara dalam sistem TPTJ (Sumber: Prijanto Pamoengkas, 2006) 8. Pemeliharaan a. Pemeliharaan awal - Penyiangan (weeding) yaitu kegiatan membebaskan tanaman pokok dari pengganggu atau gulma. Kegiatan ini dilakukan Et+1, Et+2 dan Et+3. - Pendangiran yaitu menggemburkan tanah disekitar tanaman, membentuk piringan selebar tajuk, dikerjakan Et+1 - Penyulaman yaitu menanami kembali tempat-tempat yang kosong akibat kematian tanaman, dilakukan Et+1 - Pemupukan dan pemulsaan yaitu menambah zat hara pada tanaman untuk memacu pertumbuhannya. - Pembebasan naungan yaitu membebaskan jalur tanam dari naungan pohon, khususnya pohon non

72 komersial. Pada TPTJ 1998, lebar jalur pembebasan 2 m pada Et+1, berikutnya 4 m pada ET+2 dan 8 m pada Et+3. Pada TPTII 2005 dan TPTJ 2009 lebar jalur pembebasan dimulai dari 3 m. b. Pemeliharaan Lanjutan adalah kegiatan perawatan yang dilakukan pada tanaman pokok yang lewat umur muda, yaitu telah saling bersinggungan satu dengan lainnya baik tajuk maupun perakaran (Et+3 ke atas). Bentuk kegiatan meliputi pembesan vertikal dan horisontal, pemangkasan cabang dan penjarangan seleksi. 9. Perlindungan Hutan Meliputi kegiatan pengendalian hama dan penyakit, kebakaran dan lain-lain. C. Evaluasi Sistem TPTJ Sistem TPTJ yang diberlakukan sejak tahun 1997 dalam skala terbatas masih belum menunjukkan hasil akhir yang nyata. Namun baru 5 tahun berjalan (tahun 2002), sistem ini dibekukan karena dengan penerapan variasi lebar jalur bersih dianggap rawan penyalahgunaan dan membahayakan keberadaan biodiversity dan kelestarian hutan. Tiga tahun kemudian (tahun 2005) dikeluarkan juknis sistem TPTI Intensif yang sangat mirip dengan TPTJ, dengan tidak memberi variasi lebar jalur bersih melainkan hanya satu teknik dengan lebar jalur bersih (jalur tanam) sebesar 3 m dan jalur antara 17 m. Pada sistem TPTII dan TPTJ 2009, jarak antar tanaman dalam jalur tanam selebar 5 m (jarak tanam 5 m x 20 m) namun dalam perkembangan selanjutnya dan dengan menekankan pada aspek silvikultur intensif, diterapkan jarak antar tanaman dalam jalur tanam selebar 2,5 m (jarak tanam 2,5 m x 20 m). Perbedaan jarak tanam ini berkaitan dengan kerapatan tanaman dan prediksi hasil panen pada akhir daur. 1. Dampak TPTJ terhadap penutupan lahan a. Pada jalur antara Sistem TPTJ membawa dampak pada berkurangnya penutupan lahan pada jalur antara yang disebabkan oleh: - Dampak pengambilan pohon berdiameter 40 cm ke atas (sebanyak 7-15 pohon per hektar) berupa celah-celah (gaps) yang mengarah pada jalan sarad - Dampak pembuatan jaringan jalan sarad, jalan cabang dan jalan utama menimbulkan kerusakan tegakan tinggal dan tanah - Dampak penyaradan menimbulkan kerusakan tegakan tinggal dan tanah Sistem TPTJ dengan limit diameter 40 cm diperkirakan menimbulkan kerusakan (pembukaan canopi) antara 25,44% sampai 34,64% (Beni, 2006) Tabel 19. Dampak pemanenan pada jalur antara sistem TPTJ Kelerengan Tebang 40 cm up 0-15% 15-25% 25-40% 5 6,6 7 Terbuka 25,44% 33,96% 34,64% Penyebab Tebang an 80% 72% 88% Penyarad an 20% 28% 12% b. Pada jalur bersih Pada jalur bersih (lebar 3 meter) penutupan lahan hampir sudah tidak ada lagi. Namun demikian bahan organik bawah berupa sisa-sisa tunggak dan perakaran, serasah dan humus masih dipertahankan. Horison tanah berupa lapisan O (litter and duff - fermentation, humus), lapisan A, B, C sampai bedrock masih dipertahankan dengan baik. Jalur bersih mempunyai intensitas sinar dan suhu yang lebih banyak serta ruang tumbuh lebih besar.

73 Menurut Mori (2001) dan Romell (2007), pertumbuhan tanaman dalam jalur tanam lebih banyak disebab faktor cahaya yang berasal dari pembukaan jalur, disamping faktor lain yang menyertai sebagai efek dari pembukaan jalur tersebut, seperti suhu dan kelembaban. Namun perlu diwaspadai efek kenaikan suhu terhadap akumulasi bahan organik dalam jalur tanam, karena menurut Kikuchi (1996), suhu udara yang meningkat akan mengurangi kandung bahan organik. Faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman adalah sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Menurut Wahyudi et al. (2010) tingkat penutupan tajuk pada jalur tanam berkisar antara densiometer scale (ds) atau berada pada kelompok penutupan tajuk 1 (1-25 ds), 2 (26-50 ds) dan 3 (51-75 ds) namun rata-rata berada dalam kelompok penutupan tajuk 3 dengan skor 53,5 ds. Gambaran tingkat penutupan tajuk pada kelompok 3 di jalur tanam terlihat pada Gambar 23. a b Gambar 23. Gambaran tingkat penutupan tajuk kelompok 3 berdasarkan skala densiometer (ds). Jalur tanam lebar 3 m (a) tampak horisontal (b) tampak vertikal Menurut Wahyudi (2011) jumlah areal efektif tanaman pada jalur tanam sebesar 76,8% dan sisanya areal tidak efektif berupa parit, jalan angkutan, rawa, sungai, daerah berbatu dan kelerengan sangat curam yang tidak dapat dipergunakan sebagai areal penanaman. Areal efektif tanaman di PT Sari Bumi Kusuma sebesar 53%-79% (PT SBK 2010) dan PT Sarmiento Parakantja Timber sebesar 71,7%-85,06% (PT Sarpatim 2010). Dengan demikian, jumlah tanaman efektif pada sistem TPTJ (jarak tanam 2,5 m x 20 m) bukan lagi 200 batang per ha melainkan 106 batang sampai 170 batang per ha saja. 2. Implikasi pada kelestarian produksi a. Pada jalur antara Penebangan sistem TPTJ dengan limit diameter 40 cm menyebabkan intensitas sinar dan suhu lebih banyak dan menciptakan ruang tumbuh yang lebih baik bagi tegakan tinggal serta menyisakan pohon inti berdiameter cm. Dengan asumsi riap diameter sebesar 1 cm/th serta siklus tebang 25 tahun maka pada daur ke-2, pohon inti telah berubah menjadi pohon tebang dengan diameter cm (Beberapa penelitian menunjukkan riap diameter tegakan tinggal sebesar 0,5-0,9 cm/th namun hasil penelitian Indrawan (1992) menunjukkan riap diameter tegakan tinggal sebesar 1,2 cm/th). Riap diameter pohon pada sistem TPTJ diperkirakan akan bertambah (dibanding TPTI) karena intensitas penutupan canopi yang berkurang, sehingga meningkatkan intensitas sinar dan suhu serta memberi ruang tumbuh yang lebih baik pada pertumbuhan permudaan alam (natural regeneration) terutama pohon inti. Menurut Maman Sutisna (1996) pertumbuhan pohon, khususnya meranti, akan melambat setelah mencapai diameter 40 cm. Oleh karena itu penebangan dengan limid diameter 40 cm adalah langkah yang tepat untuk meningkatkan produktifitas hutan.

74 Wahyudi (2011) menunjukkan kurva pertumbuhan sigmoid serta kurva MAI dan CAI pada pohon meranti di PUP hutan bekas tebangan dengan persamaan sebagai berikut a. Pertumbuhan meranti (sigmoid growth): G = -0,007 X2 + 1,9105X 4,6489 b. Pertumbuhan tahunan rata-rata (MAI): M = -0,0009X2 + 0,0578X + 0,6618 c. Pertumbuhan tahunan berjalan (CAI): C = -0,0026X2 + 0,1193X + 0,5465 Gambar 24 menunjukkan bahwa daur ekonomis pohon meranti tercapai pada tahun ke-35 yang ditandai dengan kurva sigmoid mulai mendatar dan terjadi perpotongan kurva MAI dan CAI. Sebelum tahun ke-35 pertumbuhan pohon meranti masih menguntungkan secara signifikans dan setelah tahun ke35 pertumbuhannya mengalami menurunan secara ekonomis. Pada tahun ke-35, diameter pohon meranti diprediksi telah mencapai 55 cm. 2,5 80 Pertumbuhan Sigmoid CAI dan MAI Diameter (Cm) ,5 MAI ,5 CAI Tahun Tahun Gambar 24. Kurva sigmoid, MAI dan CAI pohon meranti Melihat data-data tersebut, maka kelestarian produksi pada jalur antara masih dapat dipertahankan, apalagi bila disertai pembinaan pohon inti (pohon binaan) secara lebih intensif. Kelemahan sistem ini terletak pada penurunan diameter kayukayu yang diproduksi dibanding pada virgin forest. b. Pada jalur bersih Pada jalur bersih ditanam anakan dengan jenis terpilih, yang mempunyai pertumbuhan lebih cepat dan kualitas batang yang baik. Pertumbuhan anakan memerlukan intensitas sinar, suhu dan ruang tumbuh yang cukup. Jalur bersih telah memberikan tempat tumbuh yang optimal bagi pertumbuhan anakan. Menurut Soekotjo (2009), dengan menggunakan asumsi siklus tebang 30 tahun maka diprediksi potensi produksi sebesar 400 m3/ha yang berasal dari 160 pohon masak tebang (80% dari stok) berdiameter rata-rata 50 cm. Berdasarkan hasil pemodelan terhadap pertumbuhan tanaman Shorea leprosula pada jalur tanam sistem TPTJ di PT GM, diperoleh daur ke-1 selama 32 tahun dengan pencapaian kubikasi sebesar 136,72 m3/ha, yang terdiri dari 125,14 m3/ha berdiameter 40 cm ke atas dan 11,58 m3/ha berdiameter cm. Pencapaian kubikasi pada siklus ke-1 ini lebih besar dibanding kubikasi yang diperoleh dari hasil tebang penyiapan lahan sistem TPTJ sebesar 22, 41 m3/ha (40 cm ke atas) atau dari sistem TPTI sebesar 34,56 m3/ha (60 cm ke atas) sehingga produktifitas hutan meningkat sebesar 458,41% dari sebelumnya. Pada sistem TPTJ diperkirakan perusahaan akan mendapatkan hasil hutan kayu yang lebih besar dibanding pada periode sebelumnya meskipun hanya memanfaatkan hasil tanaman dalam jalur tanam. Oleh karena itu pada siklus berikutnya sebaiknya tegakan tinggal pada jalur antara dijadikan sebagai jalur konservasi. Menurut Wasis (2006), pada daur ke-2 akan terjadi penurunan kualitas tempat tumbuh sebesar 26,6% di hutan tanaman yang berdampak pada penurunan pertumbuhan diameter sebesar 19,8%; biomassa sebesar 16,8% dan volume batang sebesar 19,0%. Hal ini disebabkan adanya penurunan

75 sepenuhnya dapat diterapkan karena masih terdapat jalur antara yang mampu menopang kondisi lingkungan di sekitarnya. Oleh karena itu penelitian lanjutan untuk mengetahui tingkat penurunan kualitas tempat tumbuh pada jalur tanam sistem TPTJ perlu dilakukan. ph tanah C organik, N, Ca dan Mg. Berdasarkan asumsi ini, maka untuk menciptakan kelestarian produksi tanaman Shorea leprosula pada jalur tanam pada daur ke-2 diperlukan waktu yang lebih panjang, yaitu 39 tahun (Gambar 25). 3. Cadangan unsur hara Gambar 25. Respon pertumbuhan volume (m3/ha) tanaman Shorea leprosula terhadap pemanenan dan asumsi penurunan kualitas tempat tumbuh pada daur ke-2 Untuk memperpendek waktu daur ke-2 supaya mendekati waktu daur ke-1 (32 tahun) diperlukan teknik silvikultur intensif berupa perbaikan kualitas tempat tumbuh, baik melalui pembukaan jalur yang optimal maupun perbaikan sifat kimia tanah dengan pemberian bahan organik (mulsa), pupuk dan kapur secara berimbang. Pemakaian bibit unggul hasil pemuliaan pohon serta pengendalian hama terpadu juga dapat mempersingkat daur tanaman. Meskipun penanaman pada sistem TPTJ menerapkan sistem tebang habis pada jalur tanam, namun asumsi di atas belum Cadangan unsur hara dalam jalur antara sistem TPTJ relatif masih baik dan terlindungi. Dalam waktu 3-5 tahun celahcelah yang terbuka akibat pembalakan telah tertutup kembali secara baik. Ekosistem kembali stabil dan siklus hara tertutup serta iklim mikro berfungsi seperti sedia kala. Dalam celah (gaps) itulah pertumbuhan berjalan paling cepat karena mendapat rangsangan sinar, sehingga kemampuan recovey hutan berjalan lebih baik. Cadangan unsur hara dalam jalur bersih terdapat dalam lapisan tanah yang tidak terganggu serta bahan organik, seperti sisa-sisa tunggak dan perakaran, serasah dan humus. Horison tanah berupa lapisan O (litter and duff - fermentation, humus), lapisan A, B, C sampai bedrock masih dipertahankan dengan baik. Pertumbuhan tanaman juga mendapat pengaruh positif dari jalur antara di sampingnya, berupa ruang tumbuh yang optimal, suplai bahan organik, mikorisa dan lain-lain. Tanah di hutan tropis adalah marginal dengan kesuburan tanah yang rendah, miskin unsur hara dan berifat masam, sehingga banyak unsur hara yang tertahan (tidak tersedia untuk tanaman). Sebagain besar (sekitar 75%) biomassa hutan terletak pada vegetasi dan hanya sebagian kecil yang berada dalam tanah. Ekosistem hutan telah membentuk iklim mikro dan membangun mekanisme siklus hara tertutup. Interaksi berbagai komponen dalam hutan menunjukkan adanya hubungan saling ketergantungan yang tinggi dan semua mekanisme fungsi dan sistem berlangsung sangat efisiensi. Tegakan hutan telah membentuk safety nutrient network dan kerja sama dengan berbagai mikroba tanah termasuk mikorisa.

76 Tegakan hutan adalah biomassa yang tersusun dari unsur hara. Makin banyak biomassa yang diambil, misalnya dalam proses penebangan dan pemanfaatan kayu bulat, maka makin berkurang kandungan biomassa dan unsur hara dalam areal tersebut. Sistem TPTJ dengan limit dimeter 40 cm serta pembuatan jalur bersih telah banyak mengeluarkan biomassa dan unsur hara dari hutan. Namun sistem ini dapat menjaga kelestraian produksi bahkan meningkatkan produktifitas hutan. Pada hutan klimak (virgin forest atau LOA) pemanfaatan sinar matahari untuk menghasilkan biomassa lanjutan relatif kecil. Sebagian besar sinar matahari hanya diterima oleh pohon-pohon tua yang sudah tidak produktif yang mendominasi lapisan tajuk paling atas (stara A). Pohon-pohon muda, permudaan tingkat tiang, pancang dan semai sangat sedikit mendapatkan sinar, sehingga pertumbuhan dan produktifitasnya sangat kecil, padahal kelompok ini adalah bagian yang paling berpotensi untuk dapat tumbuh lebih besar lagi. Sinar adalah limiting factor bagi pertumbuhan permudaan di dalam dan di lantai hutan. Ketersediaan unsur hara dalam tanah menjadi tidak berarti bagi pertumbuhan permudaan apabila tidak ada sinar atau intensitasnya sangat kecil. Dengan demikian, penerapan TPTJ akan menambah intensitas sinar dalam jalur antara dan terlebih lagi dalam jalur bersih, sehingga pertumbuhan tegakan tinggal, permudaan dan tanaman menjadi lebih baik. Ketersediaan unsur hara dalam tanah harus ditunjang oleh intensitas sinar yang cukup (untuk mematahkan faktor pembatas sinar) agar pertumbuhan terjadi secara optimal. 4. Keragaman biotik Keragaman biotik dalam sistem TPTJ masih dipertahankan dalam jalur antara. Dengan memperhatikan kurva spesies area dalam hutan tropika basah, maka keberadaan jalur antara dengan lebar 17 sampai 22 meter sudah dapat mewakili keanekaragaman jenis (biodiversity), terutama flora, dalam kawasan hutan tersebut. Jalur bersih dalam sistem TPTJ dibuat untuk memberi ruang tumbuh yang optimal bagi pertumbuhan tanaman, sehingga dapat meningkatkan produktiftas hutan. Namun demikian keragaman biotik hutan tropika masih dipertahankan dalam jalaur antara yang menempati porsi 85%. Keragaman biotik dalam jalur antara dapat berfungsi sebagai sumber plasma nutfah (genetic resource conservation area) yang dapat memberi kontribusi nyata bagi peningkatan produktifitas dan kualitas produksi dari satu generasi ke generasi berikutnya dan memberi peluang bagi kegiatan penelitian hasil hutan non kayu seperti biji tengkawang, minyak, senyawa kimia, obat-obatan, penyerap karbon dan lain-lain. Keragaman biotik akan semakin meningkat dan potensi hutan akan semakin baik pada saat dilakukan penanaman dan pengayaan jenis-jenis unggul dalam jalur tanam (line enrichment planting) (Coates dan Philip, 1997). Sepuluh jenis yang direkomendasikan pakar TPTII dalam kegiatan line enrichment planting adalah Shorea leprosula, s. parvifolia, s. smithiana, s. johorensis, s. macrophylla, s.ovalis, s. platyclados, s. selanica, s. javanica, Dryobalanops spp. Sementara itu menurut Dephut (2005), terdapat tujuh jenis yang paling baik, yaitu Shorea leprosula, s. johorensis, s. platyclados, s. macrophylla, s. parvifolia, s. selanica dan s. smithiana. Seringkali ditemukan jenis pionir yang berifat intoleran tumbuh pada jalur tanam yang lebih kaya sinar, dimana jenisjenis tersebut tidak ditemukan pada hutan klimak atau pada jalur antara, seperti jabon, mahang, trema dan lain-lain. Berikut ini disajikan daftar spesies yang sering muncul pada daerah terbuka bekas tebangan.

77 Tabel 20. Beberapa jenis yang sering muncul pada daerah terbuka bekas tebangan di hutan tropis No Jenis Hopea sangal + Macaranga gigantea ++ Litsea costalis + Symplocos fasciculata + Glochidion colmanianum ++ Elliphanthus beccarii + Nephelium eriopetalum + Geunsia pentandra ++ Gironniera nervosa + Trema orientalis +++ Mallotus paniculatus +++ Macaranga hypoleuca +++ Dacryodes rostrata + Ficus virgata +++ Melastoma malabathricum +++ Vernonia arborea ++ Palaquium rostratum + Vitex pubescens ++ Piper aduncum +++ Cratoxylon clandestinum + Anthocephallus cadamba ++ Keterangan: + jenis toleran ++ jenis pionir umur panjang +++ jenis pionir umur pendek Klimak - Tipe Suksesi (%) 10 Tahun 5 Tahun 29,58 23,07 39,57 15,04 13,57 11,02 9,92 9,05 7,65 14,53 7,01 31,09 21,72 17,19 17,19 16,85 9,5 9,08 8,74 6,63 6,19 5,18 1,23 2,11 VII. TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF A. Pengertian Dasar Sistem TPTII Sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) pada prinsipnya sama dengan sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ), yang dapat menjawab kelemahan sistem sebelumnya (TPTI) terutama dalam penanaman dan aspek pengawasan hasil penanaman. Perbedaan hanya terletak pada pembuatan lebar jalur bersih selebar 3 meter dan jalur antara 17 meter dan tidak ada alternatif lain sebagaimana sistem TPTJ sebelum tahun Sistem ini dijalankan dengan berpedoman pada Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor 77/VI-BPHA/2005 tanggal 13 Mei 2005 dan Nomor SK.226/VI-BPHA/2005 tanggal 1 September 2005 tentang pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII). Sistem TPTII dinyatakan tidak berlaku semenjak dikeluarkannya Peraturan Dirjen BPK No. P.9/VI/BPHA/2009. Namun dasar dan landasan pemikiran sistem ini masih perlu diabadikan untuk pembelajaran generasi mendatang. Tujuan umum sistem TPTII adalah membangun hutan tropis lestari dinamis, yang dicirikan dengan selalu meningkatnya potensi dan fungsi hutan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas dari satu rotasi tebang ke rotasi tebang berikutnya. Sedangkan tujuan khusus silin TPTII adalah membangun hutan sebagai transisi menuju hutan tanaman meranti dan untuk menjamin fungsi hutan yang optimal. Pengelolaan hutan pada hutan perawan (virgin forest) maupun hutan bekas tebangan (log over area) secara Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) dengan jumlah bibit 200 batang per hektar seluas minimal hektar per tahun selama 30 tahun akan dihasilkan luasan hektar, dijamin dapat menjadi areal pengelolaan hutan yang lestari. Dengan

78 asumsi diameter pohon tebang rata-rata 50 cm per 30 tahun sebanyak 160 pohon per hektar, akan dihasilkan standing stock sebanyak 400 m3 per hektar, belum termasuk tegakan sisa yang masih dapat dimanfaatkan. Mengingat keseragaman individu penyusun tegakan pada akhir rotasi tebang diperkirakan memiliki keseragaman yang tinggi, maka model ini akan berfungsi sebagai transisi perubahan sistem silvikultur tebang pilih dengan permudaan buatan menjadi sistem silvikultur intensif. Dengan meningkatnya potensi hutan, maka luas areal hutan alami fungsi produksi yang digunakan untuk menghasilkan kayu pertukangan akan semakin kecil sehingga alokasi areal untuk konservasi genetik akan bertambah luas. Dengan demikian komponen keanekaragaman yang ada sebagai sumber plasma nutfah dan keanekaragaman jenis akan dapat dipertahankan. Areal konservasi yang terjaga dapat dipergunakan untuk penelitian hasil hutan lainnya, misalnya penghasil lemak, minyak, senyawa kimia dan bioaktif. Dengan meningkatnya produktifitas, maka lokasi tanaman dapat lelbih leluasa diterapkan terutama dengan mempertimbangkan aspek asesibilitas, jarak angkut dan sarad serta topografi yang mendukung. Akibatnya akan semakin banyak areal hutan yang dimanfaatkan sesuai fungsinya, yaitu sebagai kawasan perlindungan dan pengatur tata air, sumber plasma nutfah, suaka alam, hutan lindung, taman wisata, pendidikan dan lain-lain. B. Tahapan Kegiatan Sistem TPTII Tahapan kegiatan silin TPTII antara lain: Penataan areal Risalah hutan Pembukaan wilayah hutan Pengadaan bibit Penyiapan lahan (tebang penyiapan lahan dan pembuatan jalur tanam) Penanaman Pemeliharaan tanaman (penyiangan/pemulsaan I s/d X, penyulaman I dan II, pemupukan awal dan lanjutan, pembebasan vertikal I dan II dan penjarangan I dan II) 8. Perlindungan tanaman 9. Penelitian dan pengembangan 10. Pemanenan kayu. Pada tahap awal, kegiatan TPTI Intensif (TPTII) hanya menempati areal pengelolaan hutan seluas 10% dari total luas areal kerja (konsesi). Areal lainnya masih tetap menggunakan sistem TPTI. Pengaturan luasan dilakukan sedemikian rupa sehingga luas areal pengelolaan hutan sistem TPTI dan TPTII sesuai dengan etat luas perusahaan. Pada perkembangan selanjutnya luas areal yang dipergunakan untuk pengelolaan hutan sistem TPTJ (sebagai pengganti dari TPTII) disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan dengan tetap mengedepankan aspek kelestarian hutan. Secara umum penataan areal kerja sistem TPTII adalah sama dengan sistem TPTI. Setelah dikurangi kawasan perlindungan dan areal tidak efektif untuk produksi, areal kerja yang efektif untuk produksi dibagi menjadi blok kerja tahunan dan blok kerja tahunan dibagi menjadi beberapa petak dengan ukuran sekitar 100 ha. Pembagian petak kerja menggunakan sistem papan catur dengan bagian luar tetap memakai batas alam. Batas petak lainnya memakai alur selebar 4 meter yang juga berfungsi untuk jalan pemeriksaan dan jalan angkutan. Setiap 200 meter diberi patok kayu setinggi 0,5 m. Pada tiap sudut petak diberi patok kayu setinggi 1 m dengan nomor petak. Anak petak diperlukan apabila terdapat sifat silvika yang berbeda dalam satu petak. Resort hutan atau kemantren dibentuk sebagai unit pengelolaan gabungan yang merupakan kesatuan areal yang kompak dan tidak terfrakmentasi. Kepala resort membawahi mandor fungsional. Setiap 5 resort hutan bergabung menjadi satu Asistenan dan setiap 5 Asistenan bergabung menjadi bagain hutan.

79 Penataan areal dilakukan bersamaan dengan kegiatan perisalahan hutan pada kawasan hutan unit kelola hutan. Kegiatan penataan areal kerja meliputi pembuatan alur batas petak, pemasangan pal-pal batas blok dan petak kerja serta pemetaan areal kerja. Kegiatan perisalahan hutan dilakukan melalui survei potensi tegakan dan topografi, menyusun risalah hutan untuk mengetahui potensi hutan dan situasi serta kondisi lapangan sebagai dasar perencanaan jaringan jalan dan pemungutan hasil hutan. Dalam melaksanakan penataan areal harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: - Pembuatan blok dan petak kerja dilakukan sebelum penanaman - Blok kerja tahunan adalah blok yang dibuat pada areal yang akan ditanami dalam waktu satu tahun. - Pembagian areal yang akan ditanami ditata menjadi blok kerja tahunan. Blok kerja tahunan dibagi menjadi petakpetak kerja. Apabila diperlukan petak kerja dapat dibagi menjadi anak petak. - Pembuatan batas blok kerja tahunan, petak dan anak petak menggunakan alat pemetaan dan penataan kawasan. Penebangan penyiapan lahan dilakukan terhadap semua pohon komersial yang berdiameter 40 cm ke atas. Pada jalur tanam selebar 3 meter penebangan dan pemanfaatan kayu dilakukan terhadap pohon berdiameter 20 cm ke atas. Jalur tanam dibuat dengan interval 20 meter dari pusat jalur sehingga jarak antar jalur adalah 17 meter. Perlakuan ini diharapkan dapat menciptakan ruang tumbuh yang optimal bagi anakan, khususnya jenis meranti, serta tegakan di sekitarnya sehingga dapat memenuhi tujuan pembangunan sistem silvikultur TPTI Intensif. Pemanenan kayu sistem TPTII meliputi penebangan pohon, pembagian batang, penyaradan, operasi TPn dan pengangkutan kayu. Pada tahap awal kegiatan penyiapan lahan sistem TPTII, dapat dimanfaatkan sejumlah kayu yang berasal dari tebang penyiapan lahan (40 cm up) dan tebang pembuatan jalur tanam (20 cm up). Pengelolaan hutan menggunakan sistem silvikultur intensif Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) bertujuan membangun hutan tropis lestari dinamis, yang dicirikan dengan selalu meningkatnya potensi dan fungsi hutan baik dari segi kuantitas maupun kualitas dari satu rotasi tebang ke rotasi tebang berikutnya. Secara khusus, silin TPTI bertujuan untuk membangun hutan sebagai transisi menuju hutan tanaman meranti dan menjamin fungsi hutan yang optimal. Pembuatan tanaman dilakukan dalam jalur tanam dengan lebar 3 meter memanjang ke arah Utara Selatan. Menurut beberapa pakar arah jalur juga dapat memanjang ke arah Timur Barat atau sesuai kontur di lapangan. Dengan demikian kegiatan pembuatan jalur dapat dilakukan lebih fleksibel dengan menyesuaikan kondisi lapangan. Jarak tanaman dalam jalur adalah 2,5 m dan jarak antar sumbu as jalur adalah 20 meter. Secara umum jarak tanam dilapangan adalah 2,5 m x 20 m, sehingga dalam satu hektar terdapat 200 tanaman. Tahapan kegiatan pembinaan tanaman dalam sistem silvikultur TPTI Intensif adalah: 1. Pengadaan bibit Pengadaan bibit dilakukan sebelum dan pada saat penyiapan lahan dilakukan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengadaan bibit adalah sumber bibit dan penyemaian. Sumber bibit dapat berasal dari benih, semai dari anakan alam (cabutan) dan stek pucuk. Sedangkan hal-hal yang harus diperhatikan dalam penyemaian adalah bahan semai benih, bahan semai alami dan pembuatan stek. Untuk jangka pendek benih didapatkan dari tegakan baik, tegakan benih dan pohon plus sedangkan untuk jangka panjang diusahakan berasal dari kebun benih. Cabutan anakan alam harus berasal dari tegakan yang baik sedangkan stek pucuk

80 dapat dibuat dari kebun pangkas, persemaian (pemangkasan bergulir) dan semai alami. Jumlah bibit yang disediakan didasarkan pada luas areal pengelolaan tiap tahun. Keperluan bibit tiap hektar ditambah keperluan penyulaman sebesar 10% adalah 200 x (10% x 200) = 220 batang per hektar. Data keperluan bibit selengkapnya disajikan dalam tabel berikut ini. 2. Penyiapan lahan Kegiatan penyiapan lahan meliputi pembuatan jalur tanam selebar 3 meter dengan jarak antar poros jalur sejauh 20 meter atau jarak antar jalur selebar 17 meter. Kegiatan penyiapan lahan didahului oleh kegiatan tebang penyiapan lahan terhadap pada pohon-pohon berdiameter 40 cm ke atas, karena pertumbuhan pohon muda berdiameter di bawah 40 cm adalah lebih cepat dibanding di atas 40 cm. Pada daerah jalur tanam, penebangan dan pemanfaatan dilakukan pada pohon berdiameter 20 cm ke atas. Penyiapan lahan pertanaman berupa jalur tanam selebar 3 meter dibuat secara semi mekanis, yaitu menggunakan tenaga manusia serta peralatan mekanis seperti chainsaw dan traktor. Chainsaw diperlukan untuk menebang pohon-pohon yang berada dalam jalur tanam sedangkan traktor diperlukan untuk menerangi jalur. Traktor hanya melewati jalur tanam sebanyak 1-2 kali (pp) dengan posisi pisau terangkat (tidak mengupas lapisan serasah dan top soil). Peralatan ini sangat diperlukan untuk membuat jalur tanam yang bersih selebar 3 meter secara vertikal, sehingga tidak ada lagi tajuk pohon disekitar jalur yang masih menaungi jalur tanam. Pembuatan jalur tanam yang benar dan bersih secara vertikal disamping akan mempercepat pertumbuhan tanaman juga dapat meminimalisir pekerjaan perawatan tanaman berikutnya, mengingat suksesi hutan alam berlangsung relatif cepat sehingga dapat menutup keberadaan jalur tanam yang telah dibuat hanya dalam waktu beberapa bulan. Rencana pembuatan trase dan jalur tanam selebar 3 meter dalam sistem TPTII periode disajikan dalam tabel berikut ini. 3. Penanaman Kegiatan penanaman dilakukan segera setelah penyiapan lahan dan pembuatan jalur tanam selesai, disusul pemasangan ajir dan pembuatan lubang tanam. Pemasangan ajir dengan jarak 2,5 m sepanjang jalur tanam dan pembuatan lubang tanam disamping ajir, sehingga dalam 1 hektar terdapat 200 lubang tanam. Ajir dibuat dari kayu dengan panjang sekitar 1,25 m dan pada bagian ujing dicat kuning/merah. Sedangkan lubang tanam dibuat berukuran 40 cm x 40 cm x 30 cm dengan memberi humus atau kompos secukupnya. Jumlah pemasangan ajir dan pembuatan lubang tanamnya menjadi dasar dalam kegiatan penanaman. Penanaman meliputi pengangkutan bibit, penampungan bibit dan penanaman bibit. Bibit dikatakan siap tanam bila telah mencapai tinggi sekitar 30 cm, daun berjumlah 10 helai atau lebih, mempunyai pertumbuhan sehat, telah beradaptasi di ruang terbuka serta sehat. Penanaman dilakukan pada musim hujan dengan melepas kantong plastik, menjaga akar tanaman tetap utuh, bibit ditanam tegak lurus dan diberi pupuk. Penanaman dilakukan disepanjang jalur dengan jarak 2,5 m sehingga dalam 1 hektar terdapat sekitar 200 tanaman. Setelah penanaman bibit dilakukan pemulsaan dengan serasah serta pendangiran dengan radius 50 cm di sekeliling tanaman. 4. Pemeliharaan tanaman Kegiatan pemeliharaan tanaman meliputi pembersihan jalur tanaman, penyiangan, pemulsaan, pembebasan vertikal, penyulaman, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit dan pemantauan.

81 a. Penyiangan dan pemulsaan I s/d X (Et+1,2,3,4) Kegiatan penyiangan bertujuan untuk membersihkan jalur penanaman, menghilangkan pesaing tanaman pokok serta untuk menggemburkan tanah sedangkan pemulsaan adalah kegiatan pemberian humus untuk menambah zat hara kepada tanaman. Kegiatan ini dilakukan 4 kali pada tahun pertama penanaman (4x pada Et+1), 3 kali pada tahun ke dua (3 x pada Et+2), 2 kali pada tahun ke tiga (2 x pada Et+3) dan 1 kali pada tahun ke empat (1 x pada Et+4). b. Penyulaman I dan II (Et+1,2) Penyulaman I dilakukan setelah tanaman berumur 3 bulan dan penyulaman II dilakukan setelah tanaman berumur 1 tahun. Kegiatan ini dapat dilakukan bersamaan dengan tahapan kegiatan penyiangan dan pemulsaan. c. Pemupukan awal dan lanjutan Pemupukan awal dan pemupukan lanjutan dilakukan pada tahun pertama dan tahun kedua penanaman. Kegiatan ini dapat dilakukan bersamaan dengan tahapan kegiatan penyiangan dan pemulsaan. d. Pembebasan vertikal I dan II (Et+ 2,4) Kegiatan pembebasan vertikal bertujuan untuk menciptakan ruang tumbuh yang baik bagi tanaman, terutama dari segi pencahayaan. Kegiatan ini dilakukan pada tahun pertama dan ketiga setelah penanaman. e. Penjarangan (Et+5, 10) Kegiatan penjarangan dilakukan pada tahun ke-5 dan 10 yang bertujuan untuk memusatkan riap pohon binaan sebanyak pohon per hektar. Apabila tiap hektar diperoleh 160 pohon dengan diameter rata-rata 50 cm, maka pada akhir daur (setelah 30 tahun) diperkirakan akan dapat dipanen sekitar 400 m3 per hektar. C. Evaluasi Sistem TPTII Prinsip dasar sistem Tebang Pilih Tanam Konservasi, Tebang Pilih Tanam Jalur dan Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif adalah pembuatan celah (gap) dalam bentuk jalur memanjang. Gap yang dibuat melingkar pernah diperkenalkan oleh Balai Teknologi Reboisasi (BTR) Banjarbaru dan telah diakomodir dalam Peraturan Dirjen BPK No. P.9/VI/BPHA/2009 dengan nama Tebang Rumpang. Pada awalnya sistem Tebang Rumpang kurang mendapat sambutan karena belum mencantumkan analisis ekonomi, kelayakan, arah pemanfaatan kayu berdiameter kecil serta kesulitan dalam operasional di lapangan karena gap yang disarankan terletak secara acak berdasarkan potensi pohon, bukan secara sistematis sebagaimana sistem jalur. Sistem gap berbentuk jalur telah banyak diperkenalkan diberbagai negara maju untuk mengurangi eksploitasi hutan alam yang dilakukan menggunakan THPB. Secara ekologi, sistem jalur dapat menjawab permasalahan yang ada sebelumnya dan pemulihan keanekaragaman jenis juga dapat diandalkan (Coates dan Philip, 1997). Sistem silvikultur dengan teknik gap menyerupai suksesi alam pada kejadian pohon mati dan roboh atau jatuhnya cabang besar sehingga membentuk gap (celah) dan ruang terbuka sebagai tempat tumbuh yang baru. Sistem silvikultur dengan teknik gap dirancang dengan melakukan penebangan pohon atau kelompok pohon besar dengan ukuran, bentuk dan distribusi tertentu. Studi tentang dinamika gap, yang dianggap sebagai perubahan kecil pada ekosistem hutan, sangat penting diperhatikan karena dapat digunakan untuk memprediksi respon pertumbuhan dan dinamika ekosistem pada gap (ruang tumbuh). Banyak literatur tentang dinamika gap menekankan pada ukuran gap atau posisi vegetasi dalam gap tersebut dalam

82 rangka meningkatkan pertumbuhan dan menjamin dinamika ekosistem hutan. Fenomena dan pengelolaan dalam gap menurut Coates dan Philip (1997) adalah: - Gap diperlukan untuk merangsang regenerasi dan suksesi alami. - Gap menghasilkan keadaan tapak dan umur anakan yang relatif seragam. - Pengelolaan gap diarahkan pada kerapatan, ukuran (luas), bentuk, frekwensi, distribusi, dinamika komunitas, orientasi, umur, struktur lapisan bawah dan yang paling penting adalah tingkat keterbukaan ruang tumbuh. - Jenis yang dibina diutamakan jenis asli - Di Selandia Baru ditemukan hubungan antara pola regenerasi dan pertumbuhannya dengan ukuran gap. - Perlakuan silvikultur dapat membuat sistem gap dengan beberapa variasi. Hubungan gap dengan spesies yang terdapat didalamnya (Lertzman, 1992): - Ukuran gap dapat menyebabkan perbedaan tingkat pertumbuhan dan dominasi spesies - Gap sering dikuasai jenis-jenis dominan - Terdapat spesies yang sesuai di tengah gap atau di tepi gap. Pengetahuan tentang teknik gap meliputi pola suksesi, dinamika populasi dan komunitas hutan. Teknik ini dapat dipakai dalam sistem silvikultur. Pemodelan gap juga dapat dipergunakan untuk memprediksi dan menguji tingkat efektifitas sistem penebangan secara parsial. Intensitas cahaya, keseimbangan air dan siklus hara berhubungan dengan ukuran gap dan posisi dalam gap yang berpengaruh pada proses perkecambahan, kematian, pertumbuhan dan perkembangan serta aktifitas biologi (Coates et al, 1997). Sistem silvikultur dengan teknik gap perlu diterapkan pada pengelolaan hutan alam secara lebih luas dan mengurangi sistem tebang habis. Kasus Date creek membuktikan adanya hubungan antara kehadiran, kelimpahan dan pertumbuhan spesies dengan gap dalam berbagai ukuran. Pendekatan gap pada sistem silvikultur dilakukan dengan memperhatikan sistem penebangan secara parsial dengan menyisakan sebagian hutan, memperhatikan struktur biologi, organisme dan proses ekosistem melalui variasi ukuran gap dan pengembangan sistem silvikultur untuk memproduksi kayu secara lebih bijaksana. Menurut Coates dan Philip (1997) variasi lebar jalur bersih masih diperlukan untuk merangsang kehadiran dan pertumbuhan anakan pada tipe tegakan tertentu. Sistem TPTJ yang masih memberi peluang penggunaan beberapa variasi lebar jalur kiranya masih baik digunakan, sehingga kita dapat menemukan pola penentuan lebar jalur bersih yang lebih optimal sesuai dengan tipe hutannya. Rehabilitasi hutan bekas tebangan dengan metode line enrichment planting telah banyak diterapkan di Indonesia, seperti sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) dan Tebang Pilh Tanam Indonesia Intensif (TPTII). Sistem ini menggunakan kombinasi antara polycyclic system dengan monocyclic system dengan rangkaian (tahapan) kegiatan tertentu yang mengarah pada tercipta kondisi tapak dan iklim mikro yang optimal untuk mendukung keberhasilan pengelolaan hutan lestari dan produktif. Salah satu kelebihan metode ini (yang tidak dimiliki sistem TPTI) adalah relatih mudah melakukan kegiatan perawatan serta pengawasan, monitoring dan evaluasi, khususnya terhadap tanaman dalam jalur, baik yang dilakukan instansi terkait, LSM maupun pihak perusahaan sendiri. Pertumbuhan (riap) tanaman dalam jalur lebih cepat karena ditunjang oleh intensitas sinar dan ruang tumbuh yang lebih baik (mematahkan sinar sebagai limiting factor dalam pertumbuhan anakan di hutan tropis). Metode line enrichment planting mempunyai dua daerah konsentrasi pengelolaan yang saling berkaitan erat, yaitu pada jalur antara dan jalur bersih (jalur tanam). Pada jalur antara kualitas tapak relatif tidak mengalami perubahan yang menyolok dan berfungsi sebagai konservasi hutan dan

83 biodiversity, memberi kondisi tapak yang masih sesuai untuk mempertahankan ekosistem serta menciptakan ruang tumbuh yang optimal bagi tanaman yang berada dalam jalur bersih seperti berbagai jenis Shorea yang berifat toleran dan semi toleran. Sementara itu pada jalur bersih yang mempunyai ruang tumbuh lebih lebar dan intensitas cahaya yang lebih tinggi, kegiatan diarahkan untuk penanaman dan pengayaan (enrichment planting) jenis terpilih yang bernilai komersil tinggi dan cepat tumbuh (seperti 10 jenis unggulan yang diusulkan pakar TPTII, yaitu Shorea leprosula, s. parvifolia, s. smithiana, s. johorensis, s. macrophylla, s.ovalis, s. platyclados, s. selanica, s. javanica, Dryobalanops spp). Jalur antara tidak bergantung pada jalur bersih namun tanaman dalam jalur bersih sangat bergantung pada jalur antara yang memberikan ruang tumbuh (tapak) dan iklim mikro yang optimal, terutama intensitas cahaya dan suhu serta memberi perlindungan terhadap kondisi tanah. Serasah dan humus dari jalur antara dapat digunakan tanaman dalam jalur bersih, demikian pula suplai air, mikroba (mikorisa, rhizobium, dekomposer dll) sampai pada penyerbukan. Jalur antara ibarat induk yang melindungi dan membesarkan anaknya, jalur bersih. Sistem line enrichment planting juga mampu mengatasi salah satu permasalahan yang muncul dari sistem TPTI, yaitu kemudahan dalam perawatan dan pengawasan hasil penanaman/pengayaan yang terletak dalam jalur tanam. Metode line enrichment pada awalnya dikembangkan oleh Aubreville di Afrika Barat dan Afrika Tengah, dengan ketentuan: a. Jarak antar jalur tanam, m, arah Timur-Barat b. Lebar jalur tanam 2 m, dibuka bersih c. Dari batas kiri dan kanan jalur, masing-masing selebar 4 m, seluruh pohon yang tingginya > 4 m ditebang d. Jarak tanam dalam jalur 5-10 m e. Lebar jalur antara/jalur tegakan tinggal 10 m f. Jarak antar jalur tanam 20 m (100 bibit/ha) Metode tersebut dimodifikasi oleh Catinot dengan ketentuan: a. Lebar jalur tanam 5 m b. Jarak antar jalur tanam m c. Semua pohon pada jalur tanam yang berdiameter < 15 cm ditebang d. Pohon berdiameter > 15 cm diteres e. Jarak tanam dalam jalur 3 m Menurut Apanah (1994), jenis-jenis komersial mempunyai kemudahan dalam regenerasi dan perlakuan silkultur sehingga memberi peluang yang baik dalam menciptakan pengelolaan hutan lestari. Keuntungan sistem line enrichment adalah: a. Meningkatkan produksi kayu b. Membuka lapangan pekerjaan c. Dapat membuat tanaman yang bersifat toleran dan semi toleran, seperti dari jenis Dipterocarpaceae d. Menjamin dan menciptakan pengelolaan hutan lestari (natural forest management) e. Kualitas tanah dan kondisi vegetasi tidak berubah nyata. Ekosistem relatif masih terjaga dibanding bila menerapkan clear cutting. Kelemahan sistem ini antara lain: a. Memerlukan biaya perawatan tinggi b. Memerlukan perawatan intensif c. Mengarah pada perampingan jenis (penyusutan keanekaragaman jenis) Sistem silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Jalur (TPTJ) yang merupakan salah satu bentuk line enrichment planting, pernah diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 435/Kpts-II/1997 dan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 625/Kpts-II/1998 tentang Sistem Silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Jalur (TPTJ) dalam Pengelolaan Hutan Produksi Alam. Penerapan TPTJ lebih sesuai pada a. Log over forest dimana permudaan jenis komersial sedikit

84 b. Log over area tidak produktif c. Areal bekas perladangan berpindah c. Areal hutan dengan nilai ekonomi rendah (bushes and crub) VIII. TEBANG RUMPANG A. Pengertian dan Dasar Sistem Tebang Rumpang Sistem silvikultur tebang rumpang diperkenalkan di Indonesia pertama kali oleh APS Sagala (1991) dari Balai Teknologi Reboisasi (BTR) Banjarbaru. Sistem ini merupakan perpaduan monocyclic dan polycyclic system. Penebangan dalam rumpang dilakukan secara serentak dengan sistem tebang habis mirip dengan monocyclic system. Tegakan utuh atau kantong pelestarian yang ditinggalkan disamping rumpang yang dipergunakan untuk lokasi penebangan pada siklus berikutnya mirip dengan polycyclic system. Rumpang adalah bentuk ruang terbuka hasil dari penebangan kelompok vegetasi berbentuk melingkar dengan ukuran 1 2 kali tinggi pohon tepinya. Pemanenan tebang rumpang adalah tebangan berdasarkan kelompok pohon di dalam bentuk rumpang. Perapihan rumpang adalah kegiatan membuat rumpang setelah penebangan pohon-pohon besar dengan menebang semua vegetasi di dalamnya kecuali permudaan. Menurut Sagala (1991), tebang rumpang dimaksudkan agar unit pengelolaan mempunyai bestek yang jelas serta kuvio yang dapat dikenali. Rumpang (gap) yang dibuat dapat berfungsi sebagai iklim mikro rumpang jenis klimak, mencegah terakumulasinya bahan bakar, penataan yang jelas dan permanen berdasarkan kuvio masing-masing sehingga dapat diketahui jenis dan jumlah pohon yang akan ditebang serta menjaga ekosistem hutan. Sistem tebang rumpang pertama kali diakui secara luas tahun 2009 berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.11/Menhut-II/2009 dan Peraturan Dirjen BPK No. P.9/VI/BPHA/2009.

85 Prinsip-prinsip Tebang Rumpang adalah: 1. Sistem silvikultur tebang rumpang dilakukan pada tegakan tidak seumur (unevenaged stands) 2. Teknik pemanenan dengan tebang kelompok (rumpang) secara teratur dan tersusun dalam satu jaringan jalan sarad (yang menuju ke satu TPn) 3. Unit manajemen terkecil adalah TPn 4. Rumpang sebagai unit perlakuan silvikultur 5. Mempertahankan keanekaragaman hayati 6. Menciptakan ruang tumbuh optimal bagi permudaan Tujuan tebang rumpang adalah peningkatan produktivitas tegakan hutan tidak seumur melalui tebang dalam kelompok dan memanfaatkan ruang tumbuh dalam rumpang untuk meningkatkan riap dalam rangka memperoleh panenan yang lestari pada hutan alam produksi bekas tebangan di areal IUPHHK atau KPHP. Tebang rumpang memiliki sifat : 1. Kompromi antara ekologi dan ekonomi 2. Mudah dalam pengendalian pengawasannya Beberapa istilah yang dipergunakan dalam sistem Tebang Rumpang adalah: 1. Blok tebangan adalah lokasi tebang tahunan yang merupakan 1/35 luas areal pengelolaan (unit manajemen) setelah dikurangi kawasan lindung dan tidak efektif sepetti: non hutan, sempadan sungai, kelerengan >40%, PUP, Plasma Nutfah, Areal Sumber Daya Genetik/Tegakan Benih/Kebun Bibit. 2. Petak Permanen adalah bagian dari Blok tebangan yang dibatasi oleh batas alam (sungai trase jalan, punggung bukit) dengan luas Ha. 3. Anak petak adalah kesatuan lokasi tebangan yang ditentukan berdasarkan keberadaan jalan sarat dengan luas 2-10 Ha. 4. Rumpang adalah lokasi penebangan. Luas rumpang m2 atau selebar 1-1,5 kali tinggi pohon tepi. Dalam anak petak bisa terdapat tegakan rumpang. Jarak antar rumpang sekitar 100 meter. 5. Tegakan Rumpang adalah tegakan yang ditebang dalam rumpang 6. Tegakan Utuh (TU) adalah tegakan rumpang yang ditinggalkan untuk ditebang 35 tahun yang akan datang. Daerah ini disebut juga kantong pelestarian. 7. Pembagian luasan dalam blok: a % merupakan kawasan produksi, yang terdiri: 40-50% tegakan rumpang dan 40-50% tegakan utuh b % kawasan lindung yang tediri: 10-20% lembah/sungai dan rawang 20-30% daerah berlereng curam (>40%) 8. Pada tegakan hutan perawan (virgin forest) dijumpai semai dorman yang berumur 5-20 tahun. Tidak bisa berkembang. Bila musim kemarau panjang akan mati. Tapi bila semai ini mendapat celah/gap, maka pertumbuhan semai tinggi sekali (bagai melonjat) 9. Pada virgin forest, tingkat pancang dan tiang sangat jarang karena tertekan dan ternaung 10. Struktur tegakan dalam hutan alam mengelompok. Dalam satu kelompok bercampur antara pohon tebang dan pohon medium (diameter 20-49/59). Apabila pohon tebang diambil (ditebang), roboh dipotong dan di sarat pada medan perbukitan, maka pohon medium akan ikut rusak. Hnya sedikit yang masih baik. 11. Material dasar rumpang berupa semai dorman. 12. ACC berdasarkan luas areal, bukan berdasarkan riap tegakan. 13. Tidak menebang jenis pohon tertentu (dilindungi) 14. Yang dikelola adalah tegakan hutan, bukan kayu. Tegakan hutan meliputi vegetasi (pohon), tanah, bahan bakar dan satwa. Semua dikelola secara serentak (holistik). 15. Setiap petak permanen harus mempunyai alamat yang jelas, yang dibuat dengan batas alam (jalan, sungai dll). Dalam setiap petak mengandung beberapa rumpang.

86 16. Dalam pengelolaan hutan harus diketahui besteknya, yaitu bestek tegakan. Bestek adalah desian yang digunakan untuk pekerjaan di lapangan. Bestek berfungsi untuk menjabarkan misi manajemen dalam bentuk konkrit dan terukur, menetapkan tujuan yang akan dicapai, sebagai acuan kerja, tolak ukur keberhasilan, standar mutu produk yang dihasilkan dan menciptakan keseragaman pohon. Bestek tidak dapat dibuat pada tegakan/hutan yang heterogen (berbeda tanah, iklim mikro dan tumbuhannya) Kuvio adalah satuan teknik, yang mempunyai kesamaan tanah, iklim mikro dan tumbuhannya (TIT) dan merupakan unit pengelolaan hutan. Setiap kuvio mempunyai alamat jelas, mempunyai data dasar dan mempunyai bestek yang jelas. Semua rumpang yang ditebang pada tahun yang sama (seumur) dapat disebut satu kuvio B. Tahapan Kegiatan Tebang Rumpang Tahapan Tebang Rumpang berdasarkan Peraturan Dirjen BPK No. P.9/VI/BPHA/2009 adalah 1. Penataan Areal Kerja (PAK) 2. Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) 3. Risalah Rumpang 4. Pembuatan rumpang 5. Pembinaan rumpang 6. Pemanenan 7. Perlindungan dan Pengamanan Hutan 1. Penataan Areal Kerja (PAK) Kegiatan PAK dilakukan untuk menata areal ke dalam blok dan petak kerja tahunan berdasarkan RKUPHHK. Satu petak kerja di dalam TR adalah satu TPn dengan jaringan jalan sarad dan rumpang-rumpang yang didukungnya. Kegiatan ini dilakukan tidak lebih dari 4 tahun sebelum pemanenan. 2. Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) PWH dilakukan secara efisien, efektif, tertib, dan ramah lingkungan. Beberapa langkah yang ditembuh antara lain: a. Buat standar operating procedure (SOP b. Buat rencana lokasi base camp, TPK, TPn, pondok kerja, dan lain-lain. c. Buat rencana jaringan jalan sarad pada setiap TPn, rencana jalan utama dan jalan cabang. d. Plotting semua calon rumpang untuk tahun berjalan (Ro) dan calon rumpang untuk setengah umur daur berikutnya (Ro+½daur) pada jaringan jalan sarad. e. Siapkan daftar ukur yang diperlukan untuk mencatat hasil risalah. 3. Risalah Hutan Risalah hutan dilakukan di dalam calon-calon rumpang tahun berjalan (Ro) pada setiap jaringan sarad. Kegiatan ini dilakukan sebelum penyusunan URKTUPHHK. Beberapa kegiatan yang dilakukan adalah: a. Pembautan SOP kegiatan risalah hutan b. Pembuatan peta rencana TPn, jalan sarad dan plotting rumpang hasil kegiatan c. Pelaksanaan risalah hutan sesuai SOP 4. Pembuatan Rumpang Pembuatan rumpang dilakukan dengan memanen menggunakan sistem tebang habis pada setiap rumpang. Permudaan alam dari jenis komersial tetap dilindungi. Pekerjaan dilakukan secara efisien, efektif, tertib, dan ramah lingkungan.

87 5. Pembinaan Rumpang Kegiatan pembinaan rumpang ditujukan untuk memberikan ruang tumbuh optimal bagi individu-individu pohon terbaik serta menghilangkan individu pohon dan atau vegetasi lain yang menaungi pohon terbaik. Kegiatan ini dilakukan dengan cara: a. Memilih dan menandai anakan-anakan pohon terbaik satu tahun setelah pembuatan rumpang, jarak antar anakan 3-4 m b. Plotting setiap anakan terpilih di dalam setiap rumpang untuk pembinaan dalam periode 2 tahunan sampai permudaan bebas dari naungan. 6. Pemanenan Pemanenan dilakukan di setiap rumpang menggunakan sistem tebang habis pada daur tebang yang telah ditentukan dengan tidak membuat TPn dan jalan sarad baru. TPn, jalan sarad dan rumpang sebagai satu kesatuan yang permanen. 7. Perlindungan dan Pengamanan Hutan Perlindungan dan pengamanan dari kebakaran, perambahan, dan pencurian hasil hutan. Kegiatan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian usaha dalam pengelolaan hutan produksi. Menurut Sagala (1991) tahapan dan tata waktu Tebang Rumpang sebagai berikut: 1. Et-N. Pada waktu menyusun RKUPHHK yang meliputi seluruh jangka waktu pengusahaan hutan dilakukan penataan areal. Menentukan kawasan lindung yang telah dapat diketahui atau dihitung seperti: PUP, Plasma nutfah, Tegakan benih, Sempadan sungai (hanya sungai besar: Kapuas, Mendaun, Tabulus) kawasan konservasi (kalau ada). Penentuan daerah lereng curam (>40%) hanya perhitungan kasar, detail lokasinya ditentukan waktu kegiatan berjalan (kecuali sudah bisa dari awal). 2. Et- 5. Pembuatan trase jalan (utama dan cabang). Membuat petak permanen seluas Ha dengan menggunakan batas alam (sungai trase jalan, punggung bukit) 3. Et- 3 Pembuatan Jalan (dengan intensitas m/ha) 4. Et- 1 a. Menentukan lokasi TPn sepanjang jalan logging dengan jarak 0,5-2 km b. Membuat trase jalan sarat (bentuk tanduk rusa dengan jarak meter dari TPK atau antar jalan sarat) c. Ploting rumpang (R), dengan ketentuan: Luas R= m2, diameter 1-1,5 kali tinggi pohon tepi. Jumlah pohon dipanen 3-8 pohon. Jarak antar R lebih kurang 100 meter (celahnya merupakan TU) 5. Et + 0 Penebangan/Pembalakan. Potensi dihasilkan m3/ha semua jenis berdiameter 20 cm up (70-80% berdiameter 50 cm up) 6. Et + 1 Perapihan Rumpang. Mematikan sisa-sisa pohon dalam rumpang. Biasanya pohon ini sudah cacat. 7. Et +3. Pembebasan tajuk. Dipilih pohon kanopi atas/pca (pohon binaan). Diberi tanda cat. Dibebaskan tajuk dengan jarak 5-7 m (dijarangi) 8. Et + 5 Kegiatan sama seperti Et+3 9. Et + 8 Pembebasan tajuk dengan jarak m 10. Et + 15 Kegiatan sama dengan Et Et Penebangan Tegakan Utuh (disamping TR +36) 12. Et + 70 Penebangan rotasi 2 tegakan rumpang.

88 II I, II, III, IV dst = Petak Jalan Utama Sungai III Jalan Cabang Jalan Sarad e. f. g. I Penebangan. Semua pohon berdiameter 20 cm up dimanfaatkan. Pembersihan rumpang dilakukan pada semua vegetasi kecuali tingkat semai Pembinaan permudaan dan tegakan dalam rumpang. Siklus tebang pada areal (rumpang) yang sama selama 70 tahun. Siklus tebang pada petak yang sama selama 35 tahun, yaitu pada tegakan utuh/ kantong pelestarian disamping rumpang pertama. Kuvio C. Evaluasi Sistem Tebang Rumpang Rumpang IV Batas alam berupa jalan utama, jalan cabang dan sungai Gambar 26. Kuvio dengan bestek yang jelas Prosedur kerja sistem Tebang Rumpang pada tingkat unit manajemen: 1. Membentuk unit pengelolaan pada tingkat pusat 2. Menentukan kawasan pengelolaan yang definitif dengan tata batas menyeluruh dan berkekuatan hukum (SK Unit Manajemen) 3. Pada tingkat unit manajemen, dilakukan: a. Membuat blok kerja tahunan, sebanyak 35 blok dengan batas alam b. Dalam setiap blok kerja tahunan dibuat beberapa petak dengan mengutamakan batas alam c. Menentukan letak, jumlah dan luas rumpang yang akan dibuat dalam setiap petak kerja d. Menentukan jaringan jalan utama, jalan cabang dan jalan sarad serta ploting rencana rumpang. Sistem Tebang Rumpang di Indonesia dipromosikan oleh Ir. APS. Sagala dari Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru (BTR) sejak tahun 90-an. Sistem ini banyak mengadopsi teknik silvikultur yang diterapkan di berbagai negara, namun yang lebih penting, bahwa sistem ini merupakan replikasi gejala alam yang lebih dekat, yaitu regenerasi hutan yang berada dalam rumpang (gap) yang melingkar yang terbentuk setelah pohon besar mati dan roboh. Sistem TPTJ pada prinsipnya juga meniru gejala alam ini, namun dengan modifikasi memanjang agar mudah dalam pelaksanaan kegiatan penyiapan lahan, penanaman, perawatan, penebangan dan pengawasan hasil penanaman. Dari segi teknis silvikultur, sistem rumpang diakui sangat baik dalam merangsang regenerasi hutan. Namun sistem ini lebih sulit dikerjakan karena lokasi rumpang yang tersebar acak diantara mosaik hamparan hutan yang sangat luas. Biaya operasional dan tingkat kerawanan over cutting mungkin lebih tinggi karena lebih sulit alam aspek pengawasan. Keberhasilan sistem ini banyak ditentukan oleh kesadaran semua pihak pada karakteristik ekosistem hutan alam tropis dan prinsip kelestarian hutan. Sistem ini mungkin sangat baik diterapkan pada hutan milik, dimana rasa memiliki terhadap sumberdaya hutan sangat dominan.

89 IX. TEBANG HABIS DENGAN PERMUDAAN BUATAN A. Pengertian Sistem Tebang Habis Permudaan Buatan Sistem silvikultur Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB) adalah sistem silvikultur yang mengandalkan pada hasil penanaman karena lebih mudah pengelolaannya, lebih mudah diukur dan dihitung input yang diperlukan serta output yang akan dihasilkan. Sistem ini menyederhanakan ekosistem hutan sehingga komponen yang dikelola menjadi lebih sedikit dan kegiatan difokuskan pada pertumbuhan dan hasil tanaman. Menurut SK Dirjen Pengusahaan Hutan Produksi Nomor: 139/Kpts-VI/1999 tentang Tebang Habis dengan Permudaan Buatan, sistem THPB adalah sistem silvikultur yang meliputi cara penebangan habis dengan permudaan buatan. Pemanenan tebang habis adalah tebangan untuk membersihkan lahan secara keseluruhan tanpa memperhatikan limit diameter. Permudaan buatan adalah kegiatan penanaman hutan menggunakan bibit yang telah diberi perlakuan terlebih dahulu. Prinsip-prinsipTHPB menurut Peraturan Dirjen BPK No. P.9/VI/BPHA/2009 adalah 1. Diterapkan pada areal bekas tebangan dan non hutan yang telah ditetapkan sebagai areal THPB da lam RKUPHHK. 2. Sistem silvikultur untuk membangun tegakan seumur. 3. Teknik pemanenan dengan tebang habis. 4. Meningkatkan produktivitas lahan dengan permudaan buatan. Tujuan THPB adalah memaksimalkan produktivitas lahan dan kualitas lingkungan hidup sesuai dengan daya dukung lingkungan setempat dengan sasaran hutan alam produksi bekas tebangan di areal hutan produksi atau hutan produksi konversi THPB dapat dilakukan pada hutan tanaman murni atau campuran. Pada hutan tanaman luas maksimum tanaman perkebunan adalah 50% dan pada hutan alam 40%. Pada setiap akir kegiatan dibuat register petak, yang mencatat semua kegiatan yang dilakukan dan kejadian yang mempengaruhi tanaman, seperti pendangiran, pemupukan, prunning dan lain-lain. Register pada masing-masing petak meliputi luas tanaman, jenis tanaman, asal bibit, tahun tanam dan kegiatan pemeliharaan dan pemanenan. Organisasi pelaksana terdiri dari: a. Kepala Resor mengawasi mandor dalam luas areal Ha b. Asisten Administratur mengawasi Kepala Resor dalam luas areal Ha c. Administratur mengawasi Asisten Adm. dalam luas areal Ha. B. Tahapan Kegiatan Sistem THPB Tahapan kegiatan Tebang Habis dengan Penanaman Buatan (THPB) menurut Peraturan Dirjen BPK No. P.9/VI/BPHA/2009 adalah Penataan Areal Kerja (PAK), Risalah Hutan, Pembukaan Wilayah Hutan (PWH), Pengadaan Bibit, Penyiapan Lahan, Penanaman, Pemeliharaan, Pemanenan serta Perlindungan dan Pengamanan Hutan 1. Penataan Areal Kerja (PAK) Prinsip kegiatan ini adalah menata areal ke dalam blok dan petak kerja tahunan berdasarkan RKUPHHK, yang dilakukan tidak lebih dari 2 tahun sebelum penanaman. Kegiatan ini dilakukan dengan membagi areal kerja ke dalam blok-blok kerja tahunan dan petakpetak kerja. Sesuaikan jumlah blok dan petak kerja dengan daur tanaman pokok yang ditetapkan. Sesuaikan pula bentuk dan luas blok dan petak kerja dengan kondisi lapangan.

90 Setiap blok kerja ditandai dengan angka romawi sesuai rencana tahun penebangan, sedangkan petak kerja diberi angka secara berurutan dari petak pertama sampai petak terakhir. Buat rencana tata batas blok dan petak kerja dan buat peta rencana PAK dengan skala minimal 1 : Risalah Hutan Prinsip kegiatan ini adalah inventarisasi hutan pada blok RKT dengan intensitas 5 % untuk semua jenis pohon berdiameter > 10 cm. Langkah kerjanya antara lain membuat rancangan risalah hutan dengan metode jalur sistematis melalui penarikan contoh awal secara acak dengan intensitas 5 %. Menyiapkan daftar ukur yang diperlukan untuk mencatat hasil Risalah Hutan. Pembuatan peta rencana Risalah Hutan skala minimal 1 : Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) Kegiatan ini harus dilakukan secara efisien, efektif, tertib, dan ramah lingkungan. Beberapa pekerjaan yang harus disiapkan antara lain membuat rencana PWH berdasarkan peta blok RKT, membuat rencana trace jalan angkutan dan jalan inspeksi serta rencana lokasi base camp, TPK, Tpn, pondok kerja, dan lain-lain. 4. Pengadaan Bibit Bibit yang dibuat dari jenis ekonomis yangt berasal dari biji, atau cabutan atau stek atau kultur jaringan. Dalam hal pengadaan bibit untuk daur ke-2 dan berikutnya dapat menggunakan anakan yang berasal dari trubusan pohon-pohon yang telah ditebang. Tanaman dapat terdiri dari lebih dari satu jenis. Beberapa hal yang perlu disiapkan adalah pembuatan rencana persemaian, seperti lokasi, sumber bibit, bangunan, SDM, peralatan serta rencana kebutuhan bibit. 5. Penyiapan Lahan Penyiapan lahan dilakukan secara efisien, efektif, tertib, dan ramah lingkungan serta tanpa bakar untuk kegiatan penanaman. Areal yang masih berpotensi, pemanfaatannya masuk ke dalam target RKT. Beberapa langkah yang dilkukan adalah membuat rancangan penyiapan lahan untuk penanaman berdasarkan RKT yang disahkan, penyiapan lahan untuk tahun ke-2 dan berikutnya dengan mempertimbangkan realisasi tanaman tahun 6. Penanaman Kegiatan penanaman segera dilakukan setelah penyiapan lahan dengan menggunakan bibit jenis ekonomis. Kegiatan ini bertujuan untuk mningkatkan produktivitas lahan pada blok RKT. 7. Pemeliharaan Kegiatan pemeliharaan tanaman dilakukan untuk meningkatkan riap tanaman. Langkah-langkah yang ditempuh antara lain membuat rencana pemeliharaan seperti penyulaman, penyiangan, pendangiran, pemangkasan, dan penjarangan. 8. Pemanenan Pemanenan dilakukan secara efisien, efektif, tertib, dan ramah lingkungan dengan sistem tebang habis setelah mencapai umur daur. Beberapa langkah yang disiapkan adalah menyusun rencana pemanenan sesuai SOP yang ada. Penebangan dilaksanakan pada petak tebangan dalam blok RKT yang telah disahkan. 9. Perlindungan dan Pengamanan Hutan Kegiatan ini dilakukan untuk pengendalian hama dan penyakit, perlindungan hutan dari kebakaran hutan, perambahan hutan, dan pencurian hasil hutan serta memberikan kepastian usaha dalam pengelolaan hutan produksi.

91 Berdasarkan SK Dirjen Pengusahaan Hutan Produksi Nomor: 139/Kpts-VI/1999 tahapan THPB adalah sebagai berikut: pembuatan sesuai pedoman pembuatan bibit yang berlaku. 1. Penataan Areal Kerja (PAK) (Planting time -2) a. Penataan Areal Kerja dilakukan 2 tahun sebelum penanaman b. Areal pengelolaan dibagi menjadi blok kerja tahunan dan setiap blok dibagi menjadi petak-petak. Petak kerja tanaman kehutanan dibatasi sampai 100 Ha dan untuk petak tanaman perkebunan disesuaikan dengan jenis tanamannya. c. Kegiatan penataan areal kerja meliputi persiapan areal kerja, pembukaan alur batas blok dan petak, penataan batas hutan, pemasangan batas blok dan petak serta pengukuran dan pemetaannya. 2. Pembukaan Wilatah Hutan (PWH) (Pt-1) a. Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) dilakukan 1 tahun sebelum penanaman (Pt-1) b. PWH meliputi pembangunan jalan angkutan, sarana dan prasarana, base camp, pondok kerja dll dengan spesifikasi sesuai ketentuan. c. Pembangunan jalan angkutan direncanakan dengan mencari dan menetapkan titik ikat, titik awal dan titik akhir rute jalan yang akan dimanfaatkan untuk jalan lalu lintas pengangkutan bibit, pekerja, panenan serta pengawasan. d. Pembangunan sarana dan prasarana meliputi pembangunan kantor, perumahan karyawan serta fasilitas lainnya. 3. Pengadaan Bibit (Pt-1) a. Pengadaan bibit dilakukan 1 tahun sebelum penanaman. b. Sumber bibit berasal dari biji, cabutan anakan alam dan stek pucuk. c. Benih harus berasal dari sumber yang dapat dipertanggung jawabkan dan bersertifikat. Cara Gambar 27. Pembibitan sistem THPB di tempat terbuka 4. Penyiapan Lahan Tanaman (Pt-1) a. Penyiapan lahan tanam dilakukan 1 tahun sebelum penanaman. b. Pembersihan lahan secara manual dapat dilakukan pada kondisi areal dengan kelerengan sampai 25% dengan cara menebas, mencincang dan menumpuk serta memotong pohon-pohon berdiameter kecil, semak dan belukar. c. Pembersihan lahan secara mekanis dilakukan apabila kelerengan lapangan maksimal 15%. d. Pembersihan lahan secara kimia dapat dilakukan pada areal yang ditumbuhi alang-alang yang cukup luas dan tidak mungkin dilakukan secara mekanis. e. Pada lahan tergenang perlu dibuat saluran drainase

92 Gambar 28. Pengangkutan bibit siap tanam ke lokasi penanaman (Foto: Wahyudi) Pada prinsipnya, kegiatan pembuatan hutan tanaman pada kawasan tidak produktif, padang alang-alang dan tanah kosong dapat ditempuh dengan langkah sebagai berikut: 1. Penyiapan lahan, dilakukan secara mekanis (land clearing dan pembajakan lahan), kimia (chemist), sistem cemplongan atau kombinasi. Pembersihan lahan (land clearing) dapat dilakukan secara mekanis menggunakan tractor. Kegiatan ini bertujuan untuk membersihkan permukaan lahan dari semak, belukar, alangalang, gulma serta material lain seperti tunggak. Setelah lahan bersih dan rata dilakukan kegiatan pembajakan I (disc flow), II ((tonner) dan III (harrow). Bajak I bertujuan untuk membalik tanah. Pada padang alang-alang kegiatan ini juga bertujuan untuk memotong perakaran alang-alang yang panjang dan memunculkannya di permukaan tanah sehingga kering. 5. Penanaman (P) a. Kegiatan penanaman dilakukan pada musim hujan (Oktober- Maret) setelah kegiatan penyiapan lahan selesai b. Jarak tanam sesuai dengan petunjuk teknis pembuatan tanaman pada masing-masing jenis. 6. Pemelihraan Tanaman Pemeliharaan tanaman dilakukan sesuai petunjuk teknis kegiatan pemeliharaan tanaman pada masing-masing jenis. 7. Pemanenan a. Pemanenan tanaman hutan dilakukan pada akhir daur b. Setelah kegiatan pemanenan harus dilakukan penanaman kembali c. Terhadap tanaman perkebunan yang tidak produktif dilakukan peremajaan. Gambar 29. Pengolahan lahan secara mekanis Bajak II dilakukan setelah 1-2 minggu (tergantung cuaca) setelah akar alang-alang kering bertujuan untuk lebih menggemburkan tanah dan bajak III dilakukan untuk

93 menghaluskan dan meratakan hasil pembajakan hingga lahan siap untuk ditanami. Gambar Penyiapan lahan secara kimia menggunakan herbisida Persemaian (penyediaan bibit), termasuk pemuliaan tanaman. Penanaman Perawatan, dengan melakukan manipulasi dan perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah serta mengoptimalkan ruang tumbuh tanaman dan memperbaiki arsitek tanaman. Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan adalah: - Pendangiran, penggulmaan - Pemupukan - Pruning (pemangkasan cabang) - Libering (pembebasan) - Thinning (penjarangan) - Pengaturan drainage dan irigation - Pengendalian hama dan penyakit terpadu (Integratet diseases and pest management). Gambar 31. Hutan tanaman dibuat dengan sistem THPB (a) Tanaman sungkai Tabalong (b) Tanaman ampupu di Tanah Laut, Kalsel 5. Pemungutan hasil (harvesting). Pemungutan hasil atau pemanenan dapat dilakukan secara manual, semi mekanis atau mekanis penuh tergantung kebijakan perusahaan atau instruksi pemerintah, misalnya

94 program padat karya serta melibatkan peran serta masyarakat dalam kegiatan pengusahaan hutan. PT Perhutani di Jawa dan PT Finantara Intiga di Kalbar adalah contoh perusahaan yang masih mengedepankan peran serta masyarakat dalam kegiatan pengusahaan hutan. Penerapan sistem mekanis penuh dapat ditemukan dalam kegiatan pengusahaan hutan di negara-negara Barat. Gambar 33. Sistem mekanis penuh dalam kegiatan pemanenan hasil hutan kayu C. Evaluasi Sistem THPB Gambar 32. Pemanenan Acacia mangium umur 7 tahun secara manual (Lokasi: PT Finantara Intiga, Kalbar) Sistem THPB pada dasarnya dibuat untuk kegiatan reboisasi dan peningkatan produktifitas kawasan tidak produktif, seperti semak belukar, padang alang-alang dan kawasan kosong. Konversi hutan alam menjadi hutan tanaman dengan sistem THPB sebenarnya kurang bijaksana, meskipun sistem ini banyak diterapkan di daerah temperate dengan tujuan untuk meningkatkan produktifitas hutan. Beberapa alasan yang sering dipergunakan untuk membangun hutan tanaman adalah: 1. Permintaan kayu terus meningkat 2. Lebih mudah memanipulasi lingkungan 3. Lebih efektif dalam memasukkan bibit unggul 4. Produktifitas dan hasil finansial lebih besar 5. Pemanfaatan lahan lebih optimal

95 6. Memungkinkan mekanisasi (pembajakan lahan) dan kimianisasi (penyemprotan gulma pada penyiapan lahan tanam) 7. Biaya operasinal dapat diturunkan 8. Cepat regenerasi 9. Ukuran pohon lebih seragam 10. Perbaikan kualitas kayu 11. Sistem silvikultur lebih jelas Pada akhir tahun 80-an, pemerintah melalui Departemen Kehutanan pernah mewajibkan setiap unit manajemen pemegang izin konsesi hutan yang mempunyai industri pengolahan kayu terkait saham untuk membangun hutan tanaman industri. Dari target 6 juta ha pembangunan HTI, yang terealisasi hanya 2-3 juta ha (berdasarkan laporan). Pada tahun 2007 Dephut kembali meluncurkan program hutan tanaman dengan nama Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dengan target 9 juta ha sampai tahun 2014 dengan anggaran dana reboisasi sebesar 3 trilyun rupiah. Tantangan terbesar dalam membangun hutan tanaman khususnya di luar Jawa adalah kesuburan tanah yang relatif rendah serta adanya tumpang tindih lahan. Tantangan lainnya adalah membangun hutan tanaman untuk kelas perusahan kayu pertukangan dan plywood yang memerlukan diameter relatif besar dan jenis kayu keras, yang biasanya berdaur lama (slow growing species). Hutan tanaman berdaur pendek (fast growing species) cukup mudah dibuat dan menunjukkan keberhasilan terutama untuk penghara industri pulp-kertas di Sumatera. Pengalaman membangun hutan tanaman di era tahun 80-an dan 90-an sebaiknya didokumentasikan dan dibahas dengan para pihak, terutama pihak perusahaan dan tenaga teknisnya, untuk menjadi pelajaran dalam melangkah ke depan. Jangan mengulang kegagalan yang pernah dilakukan. Beranjak dari kegagalan di masa lalu, mari bangkit membangun keberhasilan hutan tanaman sekarang dan di masa depan. X. TEBANG HABIS DENGAN PERMUDAAN ALAM A. Pengertian dan Dasar Sistem THPA Tebang Habis dengan Permudaan Alam (THPA) adalah sistem penebangan pohon berharga yang dilakukan sekaligus dalam waktu yang singkat (1-2 tahun) apabila dalam hutan itu telah terdapat cukup banyak permudaan tingkat semai jenis berharga. Ketentuan ini di atur dalam SK Dirjen Kehutanan Nomor 35/Kpts/DD/I/1972. Menurut SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 309/Kpts-II/1999, sistem Tebang Habis dengan Permudaan Alam adalah sistem silvikultur yang meliputi cara penebangan habis dengan permudaan alam. THPA di Indonesia dikembangkan sejak tahun 70-an terinspirasi dari Sistem Tebang Habis Malaya (Malayan clear felling over natural regeneration) yang telah disesuaikan dengan kondisi hutan Indonesia. Pertimbangan dan dasar penerapan THPA adalah: 1. Komposisi, struktur dan keadaan ekologis hutan berbeda, sehingga tidak semua sistem silvikultur cocok untuk semua tipe hutan 2. Sistem THPA baru dilakukan apabila berdasarkan hasil survei sudah terdapat semai dalam jumlah cukup. Bila belum cukup, maka kegiatan penebangan harus ditangguhkan. 3. Keuntungan sistem ini adalah dapat mengeksploitasi kayu hutan dalam jumlah banyak serta didapatkan potensi tegakan hutan yang banyak mengandung jenis berharga dengan umur yang relatif sama - pada siklus berikutnya (even-aged stand).

96 B. Tahapan Kegiatan Sistem THPA Tahapan pelaksanaan kegiatan Tebang Habis dengan Permudaan Alam menurut SK Dirjen Kehutanan Nomor 35/Kpts/DD/I/1972 sebagai berikut: 1. Inventarisasi Pohon dan Permudaan Semai (Et 6 s/d 18 bulan) a. Inventarisasi pohon dan semai dimaksudkan untuk mengetahui jumlah dan volume pohon jenis komersial berdiameter 35 cm ke atas serta tingkat ketersediaan permudaan alam. Tujuannya adalah mengetahui kondisi permudaan hutan secara alam. Inventarisasi ini dilakukan pada blok dan petak yang telah ditentukan dalam rencana tahunan. b. Pohon yang diinventarisasi dibedakan antara pohon komersial, tidak komersial, pohon pengganggu dan seterusnya menurut keperluan. c. Petak ukur untuk inventarisasi pohon berukuran 20x20m yang searah dengan perbedaan topografi dan vegetasi. Inventarisasi semai dipisahkan antara semai dengan tinggi 0-30 cm dan cm dengan metode LSM d. Waktu berbunga dan berbuah jenis pohon komersial di catat. 2. Penebangan (Et) a. Penebangan pohon diusahakan meminimalkan kerusakan permudaan jenis komersial b. Jalan sarad dibuat sebelum diadakan penyaradan dan arah rebah pohon menuju jalan sarad. Pada penyaradan kayu diusakan menggunakan winch dan tidak dilakukan pada musim hujan untuk menekan kerusakan tanah. c. Pada penyaradan sistem high lead yarding, harus menempatkan spar tree yang tepat sehingga memungkinkan penyaradan log ke atas dan memakai parit dan jurang sebagai jalan kabel utama (main cable ways). Jarak penyaradan tak boleh lebih dari m. Bila log tersangkut pada pohon, tidak diperbolehkan dipaksakan ditarik. Jumlah cable ways yang keluar dari TPn tidak boleh lebih dari 12 dan dapat digunakan pohon penahan (rub trees) untuk melindungi pohon inti dan permudaan. d. Luas tempat pengumpulan kayu (TPn) disesuaikan dengan luas penebangan. - Luas penebangan 10 Ha, maka luas TPn 0,25 Ha - Luas penebangan Ha, maka luas TPn 0,35 Ha - Luas penebangan > 15 Ha, maka luas TPn 0,5 Ha. 3. Persemaian (Et+2) Pembuatan bibit dilakukan 2 tahun setelah penebangan. Bibit dapat berasal dari biji atau cabutan anakan alam dari hutan. 4. Inventarisasi Permudaan (Et+5) Inventarisasi permudaan dilakukan 5 tahun setelah penebangan yang bertujuan untuk mengetahui berhasil atau tidaknya permudaan alam dengan perbandingan dari hasil inventarisasi semai sebelum penebangan. Permudaan yang diinventarisasi dikelompok: tinggi 1,5 3 m, tinggi 3 m s/d diameter < 5 cm dan tiang berdiameter 5-10 cm. Apabila permudaan kurang cukup harus dilakukan tanaman sulaman. Inventarisasi menggunakan sistem sampling LS ¼, dengan petak ukur 5 x 5 menempel secara kontinyu sepanjang rintisan. 5. Pemeliharaan Tegakan Hutan (Et+10, 15, 20) a. Pemeliharaan tegakan hutan dilakukan pada 10 tahun, 15 tahun dan 20 tahun setelah penebangan, yang dimaksudkan untuk mendapatkan komposisi dan struktur tegakan hutan yang baik. b. Pembebasan permudaan/pohon komersial dari pengganggu untuk mendapatkan ruang tumbuh dan

97 cahaya yang baik, dengan memotong atau membunuh liana, akar serta jenis pengganggu lainnya. c. Bila permudaan/pohon mengelompok dilakukan penjarangan d. Pada tempat yang terbuka/kosong, seperti bekas TPn, jalan sarad, jalan kabel dll dan pada tempat-tempat yang tidak/kurang mengandung permudaan jenis komersial dilakukan penanaman sulaman atau enrichment planting menggunakan bibit dari persemaian. 6. Perlindungan Hutan a. Pada bekas jalan sarad dan kabel dibuat galangan dan parit melintang untuk mencegah/meminimalkan bahaya erosi b. Pemangku hutan (HPH) bekerja sama dengan instansi pemerintah harus mencegah terjadinya perladangan liar, kebakaran dan penggembalaan liar pada bekas tebangan dengan mengerjakan penjaga hutan (forest guard). c. Jumlah penjaga hutan disesuaikan dengan luas areal pengelolaaan. Luas Ha ditempatkan 1 penjaga hutan, Ha ditempatkan 2 penjaga hutan dan setiap penambahan luas Ha ditambahkan 1 penjaga hutan. C. Evaluasi Sistem THPA Sistem THPA mengandalkan pada struktur dan komposisi jenis komersial yang mengisi tegakan, sehingga bila terjadi kekurangan jenis tersebut akan terjadi kegagalan regenerasi potensi (Synnott dan R.H.Kemp, 2006). Meskipun sudah terdapat pedoman pelaksanaan sistem THPA, namun sistem ini hampir belum pernah dipraktekkan di Indonesia. Namun demikian, dalam pelaksanaan di lapangan sistem ini sebenarnya sering terjadi baik di sengaja maupun tidak. Sejak tahun 2009 sistem THPA sudah tidak diakui sebagai bagian dari sistem silvikultur di Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.11/Menhut-II/2009. Sebaliknya dalam Peraturan tersebut pemerintah hanya mengakui sistem silvikultur TPTI, TPTJ, Tebang Rumpang dan THPB.

98 XI. AGROFORESTRY A. Pengertian dan Dasar Sistem Agroforestry Konsep tumpang sari atau agroforestry yang dikemas secara ilmiah dirintis oleh Canadian International Development Centre pada tahun 1970-an. Konsep ini dilatar-belakangi oleh kondisi hutan di negara berkembang yang belum cukup dimanfaatkan secara optimal. Penelitian dan pengembangan yang dilakukan di bidang kehutanan sebagian besar hanya mengarah pada eksploitasi hutan secara selektif di hutan alam dan pengembangan hutan tanaman. Muncul ide lanjutan untuk meningkatkan dayaguna lahan yang tidak terbatas pada hasil hutan kayu semata, namun perlu ada perhatian pula terhadap masalah-masalah yang selama ini diabaikan, yaitu sistem pengelolaan dan produksi kayu bersamaan dengan pengembangan komoditi pertanian, dan atau peternakan serta merehabilitasi lahan kritis. Di sisi lain, terdapat kegiatan yang dapat mengarah kepada pengrusakan lingkungan, yang seakan-akan tidak dapat dikendalikan lagi. Kecenderungan pengrusakan lingkungan ini perlu dicegah dengan cara pengelolaan lahan yang dapat mengawetkan lingkungan fisik sekaligus dapat memenuhi kebutuhan pangan, papan, dan sandang khususnya bagi masyarakat setempat. Praktek tumpang sari sebenarnya sudah diterapkan sejak lama di Burma, Banglades, India, Indonesia dan lain-lain namun belum kemas secara ilmiah, terencana dan terintegrasi. Di Burma istilah ini dikenal sebagai Taungya. Di Pulau Jawa (Pemalang) praktek tumpang sari pertama kali dipopulerkan oleh Buurman V. Vreeden pada tahun 1883 sebagai salah satu sistem dalam pengelolaan hutan tanaman jati (Tectona grandis). Pada tahun 1907 tanaman sela kemlandingan (Leucaena leucocephala) diperkenalkan oleh J. Jaski dan pada tahun 1920 Acacia vilosa dipakai oleh W. Versluys sebagai tanaman sela untuk tanah yang kurang subur dan mendapat tekanan penggembalaan liar. Menurut International Council for Research in Agroforestry (ICRAF), agroforestry adalah sistem pengelolaan lahan dengan berasaskan kelestarian dalam rangka meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan dengan cara mengkombinasikan produksi tanamaan, baik tanaman keras maupun tanaman pertanian dan/atau hewan secara bersamaan atau berurutan pada unit lahan yanag sama, serta menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat. Menurut Satjapradja (1981), agroforestry adalah metode penggunaan lahan secara optimal dengan mengkombinasikan sistem-sistem produksi biologis yang berotasi pendek dan panjang (kombinasi produk kehutanan dan produksi pertanian) melalui cara berdasarkan azas kelestarian yang dilakukan secara bersamaan atau berurutan dalam kawasan hutan atau diluarnya, dengan bertujuan untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Nair (1989) setuju dengan pendapat Lundgren dan Raintree bahwa agroforestri adalah nama kolektif untuk sistem-sistem penggunaan lahan teknologi, dimana tanaman keras berkayu (pohon-pohonan, perdu, jenis-jenis palm, bambu, dsb) ditanam bersamaan dengan tanaman pertaian dan/atau hewan, dengan tujuan tertentu dalam suatu bentuk pengaturan spasial atau urutan temporal, dan didalamnya terdapat interaksi-interaksi ekologi dan ekonomi diantara berbagai komponen yang bersangkutan. Tujuan pengembangan agroforestry antara lain : 1. Pemanfaatan lahan secara optimal yang ditujukan untuk menghasilkan hasil hutan berupa kayu dan non kayu secara bersamaan atau berurutan. 2. Meningkatkan produktifitas lahan dan menjaga biodiversitas 3. Pembangunan hutan secara multi fungsi dengan melibatkan peran serta masyarakat secara aktif.

99 4. Meningkatkan pendapatan penduduk setempat dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia dan meningkatnya kepedulian warga masyarakat terhadap upaya peningkatan kesejahteraan keluarga miskin di lingkungannya guna mendukung proses pemantapan ketahan pangan masyarakat. Program ini juga sangat membantu petani yang hanya mempunyai lahan terbatas. 5. Terbinanya kualitas daya dukung lingkungan bagi kepentingan masyarakat luas. 6. Mendukung ketahanan pangan (food security) dan energi melalui peningkatan produksi tanaman pertanian, buah, minyak nabati (lemak) dan lain-lain 7. Menekan kerusakan hutan akibat perambahan hutan, perladangan dan lain-lain yang dilakukan masyarakat sekitar hutan 8. Meningkatkan budidaya tanaman obat alami 9. Membantu penyerapan karbon 10. Menciptakan agropolitan 11. Menambah ruang terbuka hijau 12. Sebagai tempat pemeliharaan ternak dan habitat 13. Mampu menekan pertumbuhan alang-alang (Imperata cylindrica) menggunakan tanaman sela kemlandingan dan perawaratn intensif oleh petani 14. Biaya pengelolaan menjadi lebih rendah dibanding output yang dihasilkan. Gambar 35. Gambar 34. Agroforestry: tanaman pokok tanaman semusim (jagung) (jati) dengan Sistem agroforestry: tanaman keras dapat melindungi tanaman semusim dari pengaruh angin/ badai Tanaman pertanian yang dapat dipergunakan untuk kegiatan agroforestry adalah padi gogo (varietas jatiluhur, dodokan dll), kacang-kacangan (kacang tanah, kedelai, kacang hijau, kacang

100 tunggak, kacang panjang), jagung, ubi jalar, semangka, kentang hitan/kumeli, nanas, berbagai jenis sayuran, wijen, bengkuang, sorghum, waluh kuning, tanaman obat dan rempah (pulepandak, panili, lada, kemukus, cabe jamu, gambir, emponempon: jahe, kencur, lengkuas, kunyit, temulawak, lempunyang, kapulaga, nilam, mentha, kunyit, kumis kucing), rumput pakan ternak, tanaman pangan (ganyong, garut, ilesiles, gadung), lidah buaya dan lain-lain. Beberapa jenis tanaman yang kurang dianjurkan sebagai tanaman tumpang sari karena banyak menyerap unsur hara sehingga dapat mengurangi kesuburan tanah adalah ketela pohon, pisang buah, tebu, rumput gajah, sereh wangi dan lainlain Persyaratan tanaman untuk agrofrestry: a. Tidak bersifat alelopati, tidak invasif, tidak bersifat dominan atas yang lain, dapat berasosiasi positif atau (setidaknya) tidak mengganggu b. Interaksi tidak bersifat parasitisme, setidaknya komensalisme (epipit). Beberapa tanaman sejenis atau berbeda jenis ada yang dapat melakukan konjugasi (penyatuan) akar untuk memperluas bidang perakaran. c. Secara sendiri atau bersama mampu membentuk Safety Nutrient Network, sehingga dapat mengoptimalkan penggunakan ruang perakaran (dibawah tanah). d. Kombinasi jenis tanaman yang mempunyai karakteristik ruang tumbuh masing-masing, sehingga menciptakan dimensi waktu dan tata ruang, seperti tree crops yang mengisi strata atas dan perakaran dalam dengan annual crops yang mengisi strata bawah dan perakaran dangkal. e. Mampu membentuk sinergi mutualisme dengan fungsi dan peranan masing-masing dalam ekosistem agroforestry (jawaban soal nomor 1) d. Dapat hidup bersama berdasarkan dimensi waktu dan tata ruang, sehingga dapat meningkatkan produktifitas dan penghasilan (output) serta berkelanjutan (sustainable agroforestry management). Pada dasarnya sistem agroforestry mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1. Dasar struktural yang menyangkut sistem silvikultur, silvopastur, agrisilvopastur. a. Agrisilvopastur adalah penggunaan lahan secara sadar dan dengan pertimbangan masak untuk memproduksi hasil pertanian dan kehutanan secara bersamaan atau berurutan. b. Sylvopastoral system adalah sistem pengelolaan lahan hutan yang dikombinasikan dengan peternakan. c. Agrosylvo-pastoral adalah sistem pengelolaan lahan hutan untuk memproduksi hasil pertanian dan kehutanan secara bersamaan, dan sekaligus untuk memelihara hewan ternak. d. Multipurpose forest adalah sistem pengelolaan dan penanaman hutan menggunakan berbagai jenis pohon untuk menghasilkan bermacam-macam hasil hutan kayu dan non kayu, seperti obat-obatan, getah, buah, madu, gaharu dan lain-lain serta manfaat tidak langsung seperti konservasi lingkungan, tanah dan air, ekowisata dan lain-lain. 2. Dasar fungsional yang menyangkut fungsi utama atau peranan dari sistem, terutama komponen kayu-kayuan. 3. Dasar sosial ekonomi yang menyangkut tingkat masukan dalam pengelolaan (masukan rendah, sedang dan tinggi) atau intensitas dan skala pengelolaan, atau tujuan-tujuan usaha (subsistem, komersial, intermedier) 4. Dasar ekologi yang menyangkut kondisi lingkungan dan kecocokan ekologi dan sistem.

101 2. AF vs ilmu peternakan dan perikanan (agrosilvopastural) Mutualisme antara tree crops, annual crops dan binatang ternak melalui penyediaan habitat, pakan dan pupuk organik serta meningkatkan sosek masyarakat 3. AF vs ilmu ekonomi Menciptakan variasi produksi sesuai tata waktu dan runag serta meningkatkan nilai tambah lahan serta kontinyuitas hasil yang lebih resisten terhadap resiko akibat hama dan penyakit serta fluktuasi harga komoditas tertentu. Gambar 36. Rehabilitasi lahan melalui sistem agroforestry B. Hubungan Agroforestry dengan Bidang Lain 1. Agroforestry vs ilmu pertanian + kehutanan Sistem agroforestry (AF) dapat mengoptimalkan penggunakan lahan berdasarkan dimensi waktu dan tata ruang vertikal dan horisontal sehingga dapat meningkatkan produktifitas lahan, ramah lingkungan dan meningkatkan penghasilan. Tanaman pertanian (annual crops), termasuk tanaman perkebunan, dapat mengoptimalkan penggunaan ruang tumbuh; unsur hara dan cahaya sehingga dapat meningkatkan kuantitas, kualitas dan diversitas produksi serta membantu sosek masyarakat (khususnya pada hutan tanaman). Sedangkan tanaman kehutanan (tree crops) dapat berperan sebagai pagar, melindungi dari angin, binatang ternak, estetika, suplai serasah, jasa lingkungan serta konservasi tanah dan air. 4. AF vs ilmu ekologi AF yang kaya tree crops dapat memperkecil surface run off, meningkatkan kandungan serasah, bahan organik, kesuburan tanah, kapasitas infiltrasi tanah dan siklus hidro-orologi, melindungi sifat fisik, kimia dan biologi tanah serta proses biogeokimia, konservasi tanah dan air, meningkatkan biodiversity dan kualitas lingkungan. 5. AF vs ilmu sosial (social forestry) Melalui hutan kemasyarakatan (Community forest) masyarakat dapat mengelola hutan dengan lebih leluasa dengan berbagai variasi tanaman (tree crops dan annual crops). Melalui hutan rakyat (Farm-forest) masyarakat dapat mengelola lahan miliknya menggunakan tree crops dan annual crops secara lebih berkesinambungan, berwawasan lingkungan. Keduanya dapat memperluas lapangan pekerjaan, meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat serta menyediakan jasa lingkungan yang berkualitas tinggi. Orientasi ekonomi dalam skala subsisten, semi komersial dan komersial. 6. Kontribusi Agroforestry system (AF) pada ketahanan pangan Diversitas tanaman pangan dalam AF dapat memberikan variasi hasil produksi pangan, seperti padi, jagung, ketela

102 pohon, ketela rambat, berbagai umbi-umbian, biji-bijian, sukun, sagu, kerut dan lain-lain (tidak tergantung pada satu jenis komoditi pangan saja= diversifikasi produk). Kawasan hutan yang sangat luas (120,35 juta ha) mampu memberi kontribusi pada ketahanan pangan apabila (sebagian pengelolaannya) menerapkan sistem agroforestri, yaitu melakukan percampuran tanaman kehutanan (tree crops) dengan tanaman pangan (food crops), misalnya tanaman jati dengan jagung, tanaman sengon dengan padi gogo dll. 7. Kontribusi Agroforestry system (AF) pada energi: AF dapat memberikan energi hayati yang terbarukan melalui penggunakan kayu bakar, arang, biogas sampai pada penggunaan komoditi penghasil biofuel pengganti BBM seperti jarak pagar, kelapa sawit, jagung dll. 8. Kontribusi Agroforestry (AF) pada pengurangan pemanasan global Penggunaan tanaman keras (tree crops) dapat menyerap gas rumah kaca (seperti CO2) sebagai penyebab utama pemanasan global, karena tree crops banyak melakukan fotosintesis yang menyerap CO2 dari udara (C-sink ) dan menimbun dalam biomass sebagai (C-stock). 9. Peranan Agroforestry system (AF) pada produktifitas lahan AF dapat mengoptimalkan penggunaan lahan berdasarkan dimensi waktu dan tata ruang (vertikal dan horisontal). AFS dapat memanfaatkan ruang tumbuh diatas tanah serta ruang perakaran secara lebih baik melalui kombinasi jenis tree crops dan annual crops yang sesuai. Tree crops yang mengisi strata atas dan mempunyai perakaran lebih dalam dikombinasikan dengan annual crops pada strata bawah dan areal perakaran yang dangkal. Kombinasi ini dapat menghasilkan variasi produk dan meningkatkan produktifitas lahan (hasil hutan-kayu dan hasil tanaman pertanian) serta menciptakan areal budidaya yang berkelanjutan sehingga mempertinggi produksi per satuan waktu. 10. Peranan Agroforestry (AF) pada perlindungan tanah AF yang mempunyai beberapa strata tajuk mampu melindungi tanah dari tumbukan air hujan dan sengatan sinar marahari secara langsung, sehingga struktur dan agregat (sifat fisik) tanah terjaga dan tidak mudah tererosi. Serasah yang dihasilkan cukup banyak, sehingga dapat menambah BO dan unsur hara dalam tanah. Melalui proses perombakan (desomposition) dan pelapukan oleh iklim (weathering) dapat memperbaiki sifat kimia dan biologi tanah. Tree crops mempunyai lapisan perakaran yang dalam. Semuanya dapat memperkecil surface run off, meningkatkan kapasitas infiltasi tanah dan kandungan air tanah serta memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah (biogeokimia). C. Desain Agroforestry Dasar-dasar dalam mendesain agroforestry pada prinsipnya dapat mendorong tercapainya/ peningkatan produktifitas lahan, keberlanjutan dan penyebarluasan sistem agroforestry ke berbagai tempat dan dalam kondisi yang berbeda. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah: a. Memelihara dan meningkatkan keunggulan sistem AF, meminimalisir kelemahannya dan mewujudkan kelestarian SDA-lingkungan dan kesejahteraan petani. b. Terdapat rumusan pengelolaan AF yang spesifik sesuai kondisi lahan dan masyarakat setempat c. Rumusan pengelolaan AF beragam sesuai kondisi lahan dan keadaan masyarakat, namun semuanya mempunyai kriteria berupa: Merupakan campuran tree crops dan annual crops, mempunyai lebih dari satu strata tajuk, produktifitas cukup tinggi dan dapat meningkatkan pendapatan petani, terjaganya fungsi ekosistem dan dapat diadopsi oleh petani.

103 d. Unit pengelolaan AF mulai dari skala rumah tangga sampai unit usaha yang besar (perusahaan). e. Pengembangan sistem AF melalui jaringan kerjasama dalam wadah koperasi, paguyuban, kelompok tani dll untuk menangani pengelolaan produksi, pemasaran, keuangan dan lain-lain f. Unit pengelolaan AF lebih besar dibanding unit pengelolaan monokultur (7-8 kali) atau sekitar 2 ha/kk g. Pengelolaan sistem AF mulai dari lahan milik masyarakat (misalnya pengelolaan lahan pekarangan, farm-forest) sampai pada kawasan hutan (misalnya community forest) Di masa depan agroforestry lebih banyak diarahkan pada hal-hal sebagai berikut 1. Optimalisasi penggunaan lahan dan peningkatan produktifitas lahan menggunakan heterocultural system 2. Sustainable agroforestry management 3. Peningkatan kesejahteraan petani melalui optimalisasi penggunakan lahan dan peningkatan produktifitas 4. Usaha pertanian yang ramah lingkungan menggunaan tree crops 5. Pengelolaan sumber daya alam dengan kaidah konservasi tanah dan air 6. Reduksi gas rumah kaca untuk menekan pemanasan global menggunakan tanaman keras 7. Penerapan agroforestry pada tingkat bentang alam (lanskap) 8. Pengembangan ilmu dan teknologi agroforestry sesuai kondisi lahan dan masyarakat setempat (adopsi iptek agroforestry) 9. Evaluasi produktifitas, ekonomi, keberlanjutan, sosial, distribusi, jasa lingkungan, perlindungan das, emisi gas rumah kaca dan biodiversity. 10. Perbaikan dan penyesuaian kelembagaan dan kebijakan yang berkaitan dengan agroforestry serta pemberdayaan masyarakat lokal (indigenous) Gambar 37. Sistem agroforestry mengoptimal kan penggunaan lahan. Tanaman keras dengan zona perakaran dalam serasi dengan tanaman semusim dengan perakaran dangkal. 11. Peranan Agroforestry system (AFS) pada sustainable farming system (sistem pertanian berkelanjutan): Kombinasi tanaman pertanian (annual crops) dengan tanaman keras (tree crops) dapat menciptakan sistem pertanian berkelanjutan. Kombinasi dapat berdasarkan dimensi waktu (permanent combination dan temporary combination) serta tata ruang (penyebaran vertikal dan horisontal). Tree crops dapat menyuplai serasah (bahan organik) secara kontinyu pada lahan pertanaman sehingga dapat menyediakan humus dan unsur hara. Pergiliran tanaman dilakukan dengan sistem pergantian total atau sebagian dan berseling. Pemanenan kayu pada AFS menggunakan sistem tebang pilih dan kegiatan regenerasi

104 dilakukan pada areal tersebut dengan beragam komoditas pilihan sehingga areal pertanaman senantiasan terisi (tidak pernah kosong). Setiap muncul areal yang kosong selalu ditanami dengan beragam jenis. Desain agroforestry di areal pengusahaan hutan Pemegang konsesi, terutama IUPHHK-Hutan Tanaman tanaman wajib memberdayakan masyarakat di sekitar dan di dalam kawasan hutan produksi dan atau di sekitar areal kerjanya antara lain untuk melaksanakan kegiatan tumpangsari. Kewajiban pelaksanaan tumangsari setiap tahunnya dapat mencapai 20% dari luas tanaman pokok yang direncanakan untuk ditanam (Kewajiban ini tidak berlaku bagi areal berawa dan hutan tanaman sagu). Peserta tumpangsari wajib melaksanakan kegiatan tumpangsari sesuai perjanjian yang telah disepakati bersama dengan pihak perusahaan. Peserta tumpang sari juga wajib memelihara tanaman pokok kehutanan. Pelaksanaan kegiatan tumpangsari pada dasarnya dilaksanakan oleh kelompok tani hutan yang berlaku sebagai wadah para peserta tumpangsari. Disamping sebagai peserta tumpangsari masyarakat setempat juga dapat dilibatkan sebagai tenaga kerja dalam pembangunan hutan tanaman. Perusahaan dapat berperan sebagai pendamping masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan tumpangsari, dalam hal: 1. Penyandang/ penyedia dana kegiatan. 2. Pembimbing masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan. 3. Membantu pemasaran hasil produksi tumpangsari melalui lembaga koperasi yang ada di lokasi setempat. Gambar 39. Gambar 38. Menugal. Menyemai benih padi gogo di antara tanaman pokok: sengon. Lokasi: HTI PT GM, Kalsel Tanaman padi gogo berdampingan dengan tanaman pokok, sengon. Penggilingan padi dilakukan di lapangan dengan memanfaatkan mulsa sebagai bahan organik

105 Pelaksanaan tumpangsari dilakukan dalam bentuk kontrak atau penjanjian kerja antara peserta tumpangsari dalam wadah kelompok tani hutan dengan pihak perusahaan. Pola dasar kontrak atau perjanjian kerja tumpangsari berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak, baik dalam pelaksanaan tumpangsari maupun dalam pembangunan hutan tanaman. Peserta tumpangsari disamping memperoleh manfaat hasil pertanian dalam pelaksanaan tumpangsari juga memperoleh upah sebagai tenaga kerja dalam pembangunan hutan tanaman dalam bentuk pemeliharaan/ pengaman tanaman pokok mereka. Untk kelancaran dan keberhasilan pelaksanaan tumpangsari pihak perusahaan wajib menyediakan bantuan berupa sarana produksi dalam bentuk benih/ bibit tanaman, pupuk, pestisida, peralatan pertanian dan lain-lain dalam anggaran tumpangsari. Penyaluran sarana produksi oleh pihak perusahaan dilakukan kelompok tahi hutan setelah kontrak/ perjanjian kerja ditandatangani kedua belah pihak. XII. MULTISISTEM SILVIKULTUR A. Pengertian dan Dasar Multisistem Silvikultur Kondisi sumberdaya hutan di Indonesia cenderung mengalami penurunan, baik kuantitas (deforestation) maupun kualitasnya (forest degradation), seiring dengan perubahan lingkungan pada tingkat nasional maupun global. Laju deforestasi di Indonesia sebesar 1,8 juta ha/th ( ) dan meningkat menjadi 2,84 juta ha/th ( ) (Balitbanghut 2008). Tantangan terbesar dalam mengelola hutan alam lainnya adalah rendahnya tingkat produktifitas hutan alam. Menurut Ditjen BPK (2010) produktifitas hutan alam produksi sampai tahun 2003 hanya sebesar 1,1-1,4 m3/ha/th, lalu turun menjadi 0,46 m3/ha/th pada tahun Pada tahun 2010 produktifitas hutan alam semakin menurun, yaitu 0,25 m3/ha/th (Suparna 2010). Di IUPHHK PT Gunung Meranti, rata-rata produktifitas hutan hanya 0,45 m3/ha/th (Wahyudi 2010a). Produktifitas hutan yang rendah menyebabkan biaya pembinaan hutan menjadi kurang tersedia sehingga hutan tidak terawat. Pengelola hutan (pengusaha) cenderung mengalihkan usahanya pada sektor lain yang lebih menguntungkan. Pemda cenderung mengkonversi hutan menjadi areal perkebunan atau pertambangan yang lebih produktif dan mendatangkan uang dalam waktu singkat. Kebijakan Pemerintah (Dephut) mencabut izin usaha HPH yang tidak baik kinerjanya justru meningkatkan kehancuran hutan disebabkan semakin maraknya illegal logging, illegal minning dan perambahan hutan pada kawasan yang sudah tidak bertuan tersebut. Pada saat ini kondisi kawasan hutan sudah terfragmentasi (Wahyudi 2010) dan berbentuk mosaik (Suhendang 2008) dengan produktifitas yang rendah. Mosaik kawasan hutan

106 terdiri dari hutan primer (virgin forest), hutan sekunder (loged over forest), hutan rawang (low potential forest), semak belukar, padang alang-alang dan tanah kritis. Bahkan tidak jarang ditemukan desa, perkampungan, kebun rakyat, ladang dan lain-lain di dalam kawasan hutan. Sektor kehutanan telah memasuki titik paling lesu sejak tiga dasawarsa terakhir. sistem silvikultur yang diterapkan pada suatu unit manajemen dan merupakan multi usaha dengan tujuan mempertahankan dan meningkatkan produksi kayu dan hasil hutan lainnya serta dapat mempertahankan kepastian kawasan hutan produksi. B. Pelaksanaan Multisistem Silvikultur c b b a c c a a Gambar 40. Kawasan hutan produksi terfragmentasi: (a) berhutan (b) semak belukar (c) lahan kosong. Multisistem silvikultur cocok diterapkan di sini. Upaya untuk meningkatkan produktifitas dan kelestarian hutan yang telah terfragmentasi ini dapat ditempuh melalui penerapan multi sistem silvikultur (multiple silvicultural system) yaitu penerapan beberapa sistem silvikultur dalam satu unit manajemen sesuai dengan struktur, komposisi dan kondisi penutupan lahannya agar diperoleh manfaat yang optimal. Menurut Indrawan (2008) multisistem silvikultur adalah sistem pengelolaan hutan produksi lestari yang terdiri dua atau lebih Multisistem silvikultur dapat menggunakan dua atau lebih sistem silvikultur dalam satu unit manajemen. Kombinasi sistem silvikultur dapat dilakukan menggunakan sistem TPTI, TPTJ, THPB, Tebang Rumpang, Program Reboisasi dan Penghijauan serta Agroforestry. Variasi kombinasinya antara lain: a. Sistem TPTI dan sistem TPTJ b. Sistem TPTI dan sistem THPB c. Sistem TPTJ dan sistem THPB d. Sistem TPTI, sistem TPTJ dan sistem THPB e. Sistem TPTI dan sistem Agroforestry d. Kombinasi lain 1. Sistem TPTI Sistem TPTI termasuk Polycyclic system dengan menerapkan tebang pilih individu dengan limit diameter (individual selective cutting). Secara umum sistem seperti ini tidak memberi produktifitas yang tinggi namun sangat bersahabat dengan lingkungan karena masih menyisakan sebagian besar tegakan tinggal (Mitlöhner 2009, Wahyudi 2009). Sistem seperti ini akan selalu mempertahankan pola allaged forest, sebagai indikator awal kelestarian struktur dan komposisi tegakan tinggal (Wahyudi 2010). Syarat kelayakan pengelolaan hutan mengacu pada jumlah pohon masak tebang minimal yang boleh ditebang per hektar yang harus terdapat pada areal yang dikelola agar dapat memberikan keuntungan secara finansial (Suhendang 1985).

107 Salah satu indikator pengelolaan hutan alam produksi lestari adalah terciptanya tingkat pemanenan lestari untuk setiap jenis hasil hutan kayu dan nir kayu pada setiap tipe ekosistem (SK Menhut Nomor 4795/Kpts-II/2002 tentang Kriteria dan Indikator Pengelolan Hutan Alam Produksi Lestari Lestari: Kriteria 2, indikator 2.2.). Dalam kasus di PT Gunung Meranti, rata-rata produksi sistem TPTI dari tahun 1990 sampai 2009 adalah 34,56 m3/ha dengan jumlah pohon 5,1 pohon/ha (PT GM 2008). Berdasarkan hasil pemodelan, untuk memulihkan kondisi seperti semula diperlukan waktu pada siklus ke-1 dan ke-2 masing-masing selama 29 dan 37 tahun. Gambar 41. Respon perkembangan kerapatan pohon masak tebang terhadap pemanenan jenis komersial ditebang sistem TPTI di IUPHHK PT Gunung Meranti, Kalimantan Tengah Untuk mencapai siklus yang lestari pada PT Inhutani II di Pulau Laut (Kalsel) diperlukan siklus ke-1 dan ke-2 masingmasing selama 24 dan 37 tahun (Indrawan 2003a) sedangkan pada PT Ratah Timber (Kaltim) diperlukan waktu masingmasing selama 30 dan 43 tahun (Indrawan 2003b). Berdasarkan penemuan di atas, siklus tebang sistem TPTI tergantung pada struktur dan komposisi tegakan tinggal masing-masing serta target produksi yang diinginkan sehingga tidak bisa dibuat sama untuk semua kawasan hutan produksi. Siklus tebang ke-2 selalu lebih panjang dibanding siklus sebelumnya yang mengindikasikan telah terjadi penurunan kualitas tempat tumbuh sebagai dampak dari penebangan. 2. Sistem TPTJ Sistem TPTJ menggabungan konsep tebang pilih individu pada jalur antara dan tebang habis dengan penanaman butan (THPB) pada jalur antara. Riap tahunan rata-rata (MAI) diameter dan tinggi tanaman Shorea leprosula dalam jalur tanam yang berumur 2 tahun masing-masing sebesar 1,06 cm/th dan 145 cm/th, sedangkan MAI diameter tanaman meranti yang telah berumur 11 dan 16 tahun masing-masing sebesar 1,22 cm/th dan 1,31 cm/th. Tanaman meranti mencapai daur ke-1 pada umur 32 tahun dengan potensi sebesar 136,72 m3/ha yang terdiri dari 125,14 m3/ha berdiameter 40 cm ke atas dan 11,58 m3/ha berdiameter cm. Pencapaian kubikasi tanaman pada daur ke-1 ini lebih besar dibanding kubikasi yang diperoleh dari hasil tebang penyiapan lahan sistem TPTJ sebesar 22, 41 m3/ha atau dari sistem TPTI sebesar 34,56 m3/ha, sehingga sistem ini mampu meningkatkan produktifitas hutan. Tidak semua tanaman meranti telah mencapai diameter 50 cm pada umur 32 tahun. Pencapaian tertinggi terjadi pada umur 39 tahun, namun demikian penetapan siklus tebang selama 35 tahun sudah dapat memberi keuntungan yang baik (Wahyudi 2010a). Pada daur ke-2 diperkirakan terjadi penurunan kualitas tempat tumbuh sehingga untuk mencapai tingkat produksi yang sama diperlukan daur 39 tahun. Upaya untuk memperpendek siklus tebang ke-2 dapat dilakukan dengan pemberian input unsur hara dari luar, seperti pemupukan, pemulsaan dan lainlain.

108 Riap tahunan rata-rata (MAI) diameter tegakan tinggal tingkat tiang dan pohon pada jalur antara berkisar antara 0,21 sampai 0,76 cm/th dengan tingkat pertumbuhan tertinggi berada pada pohon-pohon berdiameter 30 sampai 40 cm. Kelompok meranti dan dipterocarpa non meranti mempunyai pertumbuhan yang lebih tinggi dibanding kelompok komersial lain. Kelestarian produksi pada jalur antara sistem TPTJ dapat tercapai dengan menerapkan siklus tebang ke-1 dan ke-2 masing-masing selama 26 tahun dan 40 tahun. 3. Program Reboisasi Reboisasi adalah penanaman yang dilakukan pada kawasan hutan yang telah terdegradasi, seperti areal semak belukar dan lahan kosong. Lahan kritis dan terdegradasi di dalam kawasan hutan seluas 21,94 juta ha (Tarigan et al 2009) yang tersebar secara sporadis. Upaya untuk meningkatkan produktifitas lahan seperti ini melalui THPB. Berdasarkan hasil penelitian, penanaman tanaman jabon, sengon, sungkai dan akasia mangium pada lahan seperti ini masih mampu memberikan keuntungan yang baik. Perhitungan dilakukan pada lahan netto, artinya areal tidak efektif untuk produksi dianggap nol atau semua lahan dianggap dapat ditanami. Pada umur 5 tahun, pertumbuhan tahunan rata-rata (MAI) dan kerapatan tanaman akasia mangium, jabon, sengon dan sungkai masing-masing sebesar 6,79 m3/ha/th dan 840 pohon/ha; 15,96 m3/ha/th dan 751 pohon/ha; 24,32 m3/ha/th dan 756 pohon/ha serta 1,85 m3/ha/th dan pohon/ha (Wahyudi 2006). Gambar 42. Respon perkembangan kerapatan pohon masak tebang terhadap pemanenan jenis komersial ditebang sistem TPTJ di IUPHHK PT Gunung Meranti, Kalimantan Tengah Dengan demikian, siklus tebang ke-1 pada sistem TPTJ, khususnya di PT Gunung Meranti, sebaiknya selama 35 tahun dan jalur antara sebaiknya dijadikan jalur konservasi yang dapat digunakan untuk penelitian, konservasi sumber daya genetik dan pemanfaatan hasil hutan non kayu seperti rotan, gaharu, minyak, tengkawang, bahan obat, senyawa kimia dan bioaktif, karena peningkatan produktifitas hutan telah terjadi hanya dengan mengandalkan hasil tanaman pada jalur antara. Gambar 43. Tanaman sengon dibangun pada lahan kosong dalam kawasan hutan produksi

109 Pada umur 10 tahun, pertumbuhan tahunan rata-rata (MAI) dan kerapatan tanaman akasia mangium, jabon, sengon dan sungkai masing-masing sebesar 15,17 m3/ha/th dan 683 pohon/ha; 19,60 m3/ha/th dan 684 pohon/ha; 23,96 m3/ha/th dan 510 pohon/ha serta 6,22 m3/ha/th dan pohon/ha (Wahyudi 2006). Daur ekonomis tanaman akasia mangium adalah 8-20 tahun dan daur terbaik pada umur 13 tahun dengan keuntungan Rp. 2,35 juta/ha. Daur ekonomis tanaman jabon adalah 5-20 tahun dan terbaik pada umur 10 tahun dengan keuntungan Rp. 5,33 juta/ha. Daur ekonomis tanaman sengon adalah 5-15 tahun dan daur terbaik pada umur 10 tahun dengan keuntungan Rp. 1,07 juta/ha. Daur ekonomis tanaman sungkai adalah tahun dan daur terbaik pada umur 17 tahun dengan keuntungan Rp.5,97 juta/ha (Wahyudi 2006). 4. Sistem Agroforestry Pada areal yang ditumbuhi alang-alang serta lahan kosong dapat dikembangkan sistem agroforestry. Penelitian agroforestry menggunakan contoh tanaman sengon yang dikombinasikan dengan padi gunung. Untuk membuktikan keunggulan sistem agroforestry dilakukan penanaman sengon menggunakan tiga pola penanaman, yaitu pola monokultur konvensional, pola monokultur intensif dan pola agroforestry. Hasil penelitian menunjukkan Mean Annual Increment (MAI) tanaman sengon pada sistem agroforestry sebesar 2,88 cm/th (diameter) dan 2,9 m/th (tinggi) yang sama baiknya (tidak berbeda nyata) dengan pola monokultur intensif sebesar 3,02 cm/th (diameter) dan 3,2 m/th (tinggi), sedangkan pola konvensional (kontrol) hanya memberikan MAI sebesar 1,43 cm/th (diameter) dan 1,39 m/th (tinggi) yang lebih rendah (berbeda nyata) dibanding kedua perlakuan sebelumnya. Pada sistem agroforestry juga didapatkan hasil panen padi rata-rata sebesar 3,2 ton ha-1 pada tahun pertama dan sebesar 2,4 ton ha-1 pada tahun kedua (Wahyudi 2010b). Gambar 44. Sistem agroforestry tanaman sengon dan padi gogo Sistem agroforestry menjadi pilihan terbaik karena disamping memberi hasil pertumbuhan tanaman sengon (Paraserianthes falcataria) yang baik (tidak berbeda nyata) dengan pola monokultur intensif, sistem ini juga mampu menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih luas, meningkatkan pendapatkan masyarakat lokal, menumbuhkan rasa saling memiliki terhadap akses sumber daya alam, menciptakan persepsi positif, menjaga keamanan hutan dan mengurangi laju degradasi hutan.

110 4. Sistem TJTI Sistem silvikultur Tebang Jalur Tanam Indonesia (TJTI) di susun berdasarkan hasil-hasil penelitian yang dilakukan pada hutan alam monokultur, seperti yang terdapat di lereng Gunung Tambora, Pulau Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Hutan alam di daerah ini didominasi jenis binuang (Duabanga moluccana) yang tumbuh secara alami sesudah meletusnya Gunung Tambora tahun Secara umum, sistem TJTI dapat digunakan pada semua hutan klimak (atau hutan alam) di seluruh kawasan hutan di Indonesia. DAFTAR PUSTAKA dari perusahaan. Selanjutnya, sistem TJTI menjadi bagian dari sistem-sistem silvikultur yang berlaku untuk mengelolan hutan di Indonesia bersama-sama dengan sistem TPTI, TPTJ, Tebang Rumpang, THPB dan THPA berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.65/Menhut-II/2014 tanggal 12 September Sistem TJTI menghendaki penebangan tegakan hutan secara menyeluruh (clear cutting) pada jalur tebang selebar maksimal 140 m dan menyisakan jalur tegakan hutan sebagai jalur antara selebar maksimal 35 m. Jalur tebang selanjutnya ditanami menggunakan jenis asal, yaitu duabanga (Duabanga moluccana), sehingga areal ini disebut jalur tanam. Setelah kegiatan penjarangan pertama (misalnya 5 tahun) selesai dilakukan, maka jalur antara dilakukan penebangan secara menyeluruh (clear cutting) pula. Dengan demikian, dalam hamparan areal pengelolaan, terdapat 2 (dua) tegakan yang dicirikan berdasarkan kelas umur dengan jenis yang sama. Duabanga merupakan jenis intoleran, maka penerapan daur teknis tanaman dapat ditetapkan selama 15 tahun atau 20 tahun atau 25 tahun, sesuai dengan kajian ekonomis perusahaan. Mengingat silvikultur adalah seni dalam membudidayakan hutan, maka penerapan teknik-teknik silvikultur hendaknya lebih leluasa, fleksibel dan kreatif sesuai kondisi pasar, social ekonomi masyarakat serta berwawasan lingkungan. 5. Gambar 45. Lereng Gunung Tambora di Sumbawa merupakan hutan alam monokultur yang dikelola menggunakan sistem TJTI Sistem TJTI dirumuskan oleh Direktorat Bina Usaha Hutan Alam, Direktorat Bina Usaha Kehutanan, pada tahun 2014, bersama-sama dengan tim pakar multi sistem silvikultur, para peneliti dari Badan Litbang Kehutanan serta hasil kajian Sistem TPTR Sistem Tebang Pilih Tanam Rumpang (TPTR) dengan menggunakan tanaman unggulan setempat seperti jenis-jenis dipterocarp, terutama meranti, merupakan ide penulis yang disampaikan kepada Direktorat Jenderal PHPL melalui laporan tim pakar bulan September dan Oktober 2015 serta telah dibuka pada pertemuan Tim Pakar Multi Sistem Silvikultur di Solo

111 tanggal November Sistem ini dibuat dengan pertimbangan sebagai berikut: a. Sampai dengan tahun 2015, belum ada perusahaan (IUPHHK) yang menerapkan sistem Tebang Rumpang b. Hasil-hasil penelitian Tebang Rumpang belum dimanfaatkan dalam skala operasional. c. Hasil penelitian Tebang Rumpang yang dilakukan penulis sejak tahun 1994/1995 memberikan hasil yang memuaskan. Sampai dengan tahun 2015 (umur tanaman 20 tahun) beberapa pohon meranti merah telah mencapai diameter 60 cm ke atas (Gambar 46). Gambar 46. Tanaman meranti merah umur 20 tahun pada sistem TPTR (Wahyudi, 2015) d. Adanya keluhan terhadap pelaksanaan sistem TPTJ, yaitu tanaman dalam jalur tanam mengalami perlambatan pertumbuhan disebabkan jalur tanam (selebar 3 meter) terlalu cepat menutup kembali. Kegiatan pembebasan e. f. vertikal yang terlalu sering dilaksanakan menyebabkan teknik ini kurang efisien. Adanya keluhan terhadap pelaksanaan sistem TPTJ, yaitu pelebaran jalur tanam pada kegiatan pembebasan dengan menebang pohon-pohon besar, disamping tidak efisien, juga dapat merusakan tanaman dalam jalur tanam Adanya keluhan terhadap pelaksanaan sistem TPTJ, yaitu mayoritas tanaman dalam jalur tanam hanya menunjukkan pertumbuhan diameter dibawah 1 cm per tahun. Sistem TPTR menghendaki dilakukan tebang pilih (selective cutting) pada tahap awal kegiatan, yang dimaksudkan untuk mengurangi kerapatan tegakan hutan dan memberikan hasil hutan dengan cara yang baik dan benar. Kegiatan penanaman menggunakan jenis unggulan setempat, terutama meranti, dilakukan dalam rumpang-rumpang yang dibuat pada areal datar sampai landai tersebar di kiri dan kanan jaringan jalan yang sudah terbentuk dengan luas 0,5 ha sampai 2 ha. Rumpang dapat berbentuk lingkaran, oval, persegi atau lainnya yang menyesuaikan dengan kondisi lapangan yang datar-landai. Jarak tanam 3 m x 3 m dan dapat dilakukan penjarangan pada umur 7 tahun. Latar belakang, teknik silvikultur TPTR, serta strategi meningkatkan produktivitas hutan produksi di Indonesia dijelaskan dalam bentuk buku tersendiri.

112 DAFTAR PUSTAKA Appanah SG, Weinland, Bossel H, Krieger H Area tropical rain forests non-renewable? An enquiry through modelling. Journal of Tropical Forest Science 2(4) pp Appanah S,Weinland G Planting Quality Timber Trees in Peninsular Malaysia. Forest Research Institute Malaysia. Kepong. Malayan Forest Record No. 38. [Balitbanghut] Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Surat Keputusan Kepala Badan Litbang Kehutanan No.38/Kpts/VIIIHM.3/1993 tentang Pedoman Pembuatan dan Pengukuran Petak Ukur Permanen untuk memantau Pertumbuhan dan Riap Hutan Alam Tanah Kering Bekas Tebangan. Balitbanghut, Departemen Kehutanan, Bogor. [Balitbanghut] Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Profil Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Balitbanghut, Departemen Kehutanan, Bogor. [Balitbanghutbun] Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan Buku Panduan Kehutanan Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan, Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Jakarta. Bella LE A new competition model for individual trees. Forest Science 17: Bettinger P, Boston K, Siry JP, Grebner DL Forest Management and Planning. Academic Press Elsevier. Bosch CA Redwoods: a population model. Science Journal 172: Bossel H, Krieger H Simulation model of natural tropical forest dynamics. Ecology Modelling 59: Botkin DB, Janak JF, Wallis JR Some ecological consequences of a computer model of forest growth. Journal Ecology 60: Brown S Estimating biomass change of tropical forest a primer. FAO Forestry Paper No.134. FAO USA. Buongiorno J, Gilles JK Forest Management and Economics. Mc Millan Publishing Company, New York. Buongiorno J, Michie BR A matrix model of uneven-aged forest management. Forest Science 26(4): Buongiorno J, Peyron L, Houller F, Bruciamacchie M Growth and management mixed species uneven-aged forest in the French Jura. Forest Science 41(3). Burkhart HE Suggestion for choosing an appropriate level for modelling forest stand. In Amaro A, Reed D, Soares P, editors. Modelling Forest System. CABI Publishing. Clutter JL, Fortson JC, Pienaar LV, Brister GH, Bailey RL Timber Management: A Quantitative Approach. Wiley, N.Y. 333p. Coates KD, Philip JB A gap-based approach for development of silvicultural system to address ecosystem management objectives. Journal Forest Ecology and Management 99 (1997) [Danida dan Dephut] Danish International Development Assistance dan Departemen Kehutanan RI Zona Benih Tanaman Hutan Kalimantan Indonesia. Indonesia Forest Seed Project. Kerjasama Departemen Kehutanan RI dengan Danish International Development Assistance (Danida) Denmark, Jakarta. Davis LS, Johnson KN Forest Management, 3 rd ed. McGraw-Hill, NY.790 p [Dephut] Departemen Kehutanan Republik Indonesia Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 485/Kpts/II/1989 tentang Sistem Silvikultur Pengelolaan Hutan Alam Produksi di Indonesia. Departemen Kehutanan RI, Jakarta. [Dephut] Departemen Kehutanan Republik Indonesia Keputusan Menteri Kehutanan No. 200/Kpts-II/1994 tentang Kriteria Hutan Produksi Alam yang tidak Produktif. Departemen Kehutanan RI, Jakarta. [Dephut] Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 1997a. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 435/Kpts-II/1997 tentang Sistem Silvikultur dalam Pengelolaan Hutan Tanaman Industri. Departemen Kehutanan RI, Jakarta. [Dephut] Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 1997b. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 707/Kpts-II/1997 tentang Pembagian Kelompok Jenis Kayu Bulat sebagai Dasar Penentuan Tarif PSDH dan DR. Departemen Kehutanan RI, Jakarta. [Dephutbun] Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia. 1999a. Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.858/Kpts-II/1999 tentang Tarif Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) Hasil Hutan Kayu. Departemen Kehutanan dan Perkebunan RI, Jakarta. [Dephutbun] Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia. 1999b. Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.941/Kpts-VI/1999 tentang Pembaharuan Hak Pengusahaan Hutan PT Gunung Meranti. Departemen Kehutanan dan Perkebunan RI, Jakarta. [Dephut] Departemen Kehutanan Republik Indonesia Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.4795/Kpts-II/2002 tentang

113 Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi pada Unit Pengelolaan. Departemen Kehutanan RI, Jakarta. [Dephut] Departemen Kehutanan Republik Indonesia Peraturan Menteri Kehutanan No.P.10/Menhut-II/2007 tentang Perbenihan Tanaman Hutan. Departemen Kehutanan RI, Jakarta. [Dephut] Departemen Kehutanan Republik Indonesia Peraturan Menteri Kehutanan No.P.11/Menhut-II/2009 tentang Sistem Silvikultur dalam Areal Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu di Hutan Produksi. Departemen Kehutanan RI, Jakarta. [Deptan] Departemen Pertanian Republik Indonesia Kriteria Penetapan Hutan Lindung. Departemen Pertanian RI, Jakarta. [Ditjen Hut] Direktorat Jenderal Kehutanan Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No.35/Kpts/DD/1972 tentang Pedoman Tebang Pilih Indonesia, Tebang Habis dengan Penanaman, Tebang Habis dengan Permudaan Alam dan Pedoman-pedoman Pengawasannya. Ditjen Kehutanan, Jakarta. [Ditjen Hut] Direktorat Jenderal Kehutanan Pedoman Pembuatan Tanaman. Direktorat Jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian, Jakarta. [Ditjen PH] Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No.564/Kpts/IV-BPHH/1989 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia. Ditjen Pengusahaan Hutan, Jakarta. [Ditjen PH] Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No.151/Kpts/IV-BPHH/1993 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia (Revisi). Ditjen Pengusahaan Hutan, Jakarta. [Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor SK.226/VI-BPHA/2005 Tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (Silin). Departemen Kehutanan, Jakarta. [Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan Surat Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. 41/VIBPHA/2007 tentang Penunjukan Pemegang IUPHHK pada Hutan Alam sebagai Pelaksana Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII). Ditjen Bina Produksi Kehutanan, Jakarta. [Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2009a. Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. P.9/VI/BPHH/2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Sistem Silvikultur dalam IUPHHK Hutan Produksi. Ditjen Bina Produksi Kehutanan, Jakarta. [Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2009b. Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. P.11/VI- BPHH/2009 tentang Pedoman Teknik Silvikultur Intensif. Ditjen Bina Produksi Kehutanan, Jakarta. [Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2010a. Surat Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. SK.31/VI-BPHA/2010 tentang Penunjukan Pemegang IUPHHK pada Hutan Alam sebagai Pelaksana Silvikultur TPTJ dengan teknik Silin. Ditjen Bina Produksi Kehutanan, Jakarta. [Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2010b. Profil Sistem Silvikultur Intensif di Unit Manajemen Model: Konsep dan Implementasi. Ditjen Bina Produksi Kehutanan, Jakarta Djamin Z Perencanaan dan Analisis Proyek. Edisi Ketiga. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Elias, Manan S, Rosalina U Studi hasil penerapan pedoman Tebang Pilih Indonesia dan Tebang Pilih Tanam Indonesia di areal HPH PT Kiani Lestari dan PT Narkata Rimba, Kalimantan Timur. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. [FAO] Food and Agriculture Organization Philippines Smallholder Tree. Farming Project. FAO Forestry Paper 17 Supplement, Manila. [FAO] Food and Agriculture Organization. 1998a. Guidelines for the Management of Tropical Forest, The Production of Wood. FAO Forestry Paper 135. [FAO] Food and Agriculture Organization. 1998b. Topsoil characterization for sustainable land management. Land and Water Development Division. Soil Resources, Management and Conservation Service, FAO of UN, Rome. Farima Farina, A Principles and Methods in Landscape Ecology. Chapman and Hall, London-Weinheim-New York-TokyoMelbourne-Madras. Favrichon V Modeling the dynamics and species composition of tropical mixed species uneven-aged natural forest. Forest Science 44 (1). Favrichon V. Kim YC, Modelling the dynamics of a lowland mixed dipterocarp forest stand: application of a density-dependent matric model. In Bertault JG, Kadir, editors. Silvicultural Research in A Lowland Mixed Dipterocap Forest of East Kalimantan. The Contributions od STREK Project, CIRAD-Foret, FORDA and PT Inhutani I. CIRAD-Foret Publication: Finkeldey R An Introduction to Tropical Forest Genetic. Institute of Forest Genetics and Forest Tree Breeding, Goettingen, Germany. Fisher RF, Binkley Ecology and Management of Forest Soil. Third Edition. John Wiley & Sons, Inc., New York. Ford RFC Terminology of Forest Science Technology Practise and Product. Society of American Foresters, Washington DC. 370 p.

114 Ford A Modeling for Environment. An Introduction to System Dynamics Models of Environmental Systems. Island Press, Washington D.C, Covelo, California. Forman RTT, Gordon M Landscape Ecology. John Willey & Sons, New York.619 pp. Forss ED, Gadow KV, Saborowski J Growth Models for Unthinned Acacia mangium Plantations in South Kalimantan, Indonesia. Journal of Tropical Forest Science, 8(4): Friend AD, Schugart HH, Running SW A Physiology-Based Gap Model of Forest Dynamics. Ecology Vol.74 No.3 pp Fyllas NM, Politi PI, Galanidis A, Dimitrakopoulo PG, Arianoutsou M Simulating regeneration and vegetation dynamics in Mediterranean Coniferous Forest. Ecology Modelling Journal. 34. Gadow KV, Hui G Modelling Forest Development. Kluwer Academic Publishers. Gittinger JP Economic Analysis of Agriculture Project. The Johns Hopkins University Press. Goldsmith FB, Harrison CM, Morton AJ Description and analysis of vegetation. Di Dalam: Moore PD, Chapman SB. Editor. Methods in Plant Ecology. Oxford: Blackwell Scientific Publications. Grant WE, Pedersen EK, Marin SL Ecology and Natural Resource Management. Systems Analysis and Simulation. John Wiley & Sons, Inc. Gray C, Kadariah L, Karlina Pengantar Evaluasi Proyek. Edisi Revisi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Gregory G, Robinson Forest Resource Economic. John Willey & Sons. New York. USA. Gunawan HR, Wartomo A wood anatomical structure: A new approach to measure the trees growth. Book 3th. Competitive Award Scheme-2. Berau Forest Management Profect, European Union and Ministry of Forestry RI. Halle F, Oldeman RAA, Tomlinson PB Tropical Trees and Forest, An Architectural Analysis. Springer Verlag Berlin-Heidelberg-New York. Handadari T Ekonomi Sumber Daya Hutan. Program Pascasarjana Unlam, Banjarbaru. Hani in O Pemuliaan pohon hutan Indonesia menghadapi tantangan abad 21. Dalam Hardiyanto EB, editor. Prosiding Seminar Nasional Status Silvikultur Peluang dan Tantangan Menuju Produktifitas dan Kelestarian Sumberdaya Hutan Jangka Panjang. Wanagama I. Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta. Harrison I, Laverty M, Sterling E Alpha, Beta, and Gamma Diversity. Connexions module: m pp. Hauhs M, Knauft FJ, Lange H Algorithmic and interactive approaches to stand growth modelling. In Amaro A, Reed D, Soares P, editors. Modelling Forest System. CABI Publishing. Husch B, Beers TW, Kershaw JA Forest Mensuration. John Wiley & Sons, Inc. New Jersey. Indrawan A Perkembangan Suksesi Tegakan Hutan Alam Setelah Penebangan dalam Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (Disertasi). Bogor: Program Pascasarjana, IPB. Indrawan A. 2003a. Model sistem pengelolaan tegakan hutan alam setelah penebangan dengan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Jurnal Manajemen Hutan Tropika. Vol.IX No.2 Juli-Desember 2003 ( Indrawan A. 2003b. Verifikasi model sistem pengelolaan tegakan hutan alam setelah penebangan dengan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Jurnal Manajemen Hutan Tropika. Vol.IX No.2 Juli-Desember ( Indrawan A Keanekaragaman Genetis. Makalah disampaikan dalam rangka fasilitasi penerapan Sistem Silvikultur Intensif di areal IUPHHK. Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Departemen Kehutanan, Jakarta. Indrawan A Sejarah perkembangan sistem silvikultur di Indonesia. Di dalam: Indrawan et al. editor. Prosiding Lokakarya Nasional Penerapan Multisistem Silvikultur Pada Pengusahaan Hutan Produksi Dalam Rangka Meningkatkan Produktifitas dan Pemanfaatan Kawasan Hutan. Kerja sama Fahutan IPB dengan Ditjen Bina Produksi Kehutanan. Bogor. Jennings SB, Brown ND, Sheil S Assessing Forest Canopies and Understory Illumination: Canopy Closure, Canopy Cover and Other Measures. Forestry, Vol.72 No.1. Kemenhut, Peraturan Menteri Kehutanan RI No. P.65/MenhutII/2014 tentang Perubahan atas Permenhut No. P.11/Menhut-II/2009 tentang Sistem Silvikultur dalam Areal IUPHHK pada Hutan Produksi. Kikuchi J The growth and mycorhiza formation on naturally regeneration dipterocarps seedling in the logged over forest in Jambi, Sumatra. In Sabarnurdin MS, Suhardi, Okimori Y, editors. Ecological Approach for Productifity and Sustainability of Dipterocarps Forest. Prosiding. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada dan Kansai Environment Engineering Center (KEEC)Kyoto. Pp:38-47.

115 Kimmins JP Forest Ecology: A Foundation for Sustainable Management. Prentice-Hall. New Jersey. Kohyama T Size Structured Tree Population in Gap Dynamic Forest. The Forest Architecture Hypothesis for the Stable Coexistance of Species. Journal of Ecology Vol 81 No.1. pp Kollert W, Zuhaidi A, Weinland G Sustainable management of dipterocarps species: silviculture and economic. In Appanah S, Khoo KC, editors: Proceedings of The Fifth Round-Table Conference on Dipterocarps. Chiang Mai. November 7-10, Pp: Kozlowski TT, Pallardy SG Physiology of Woody Plants. Academic Press. Kumar S, Matthias F Molecular Genetic and Breeding of Forest Trees. Food Product Press. An Imprint of The Haworth Press, Inc. New York, London, Oxford. Labetubun MS Metode Pengaturan Hasil Hutan Tidak Seumur melalui Pendekatan Model Dinamika Sistem (Tesis). Bogor: Program Pascasarjana IPB. Lamprecht H Silviculture in the Tropics. TZ-Verlagsgesellcshaft mbh, Postfach 1164, D-6101 RoBdorf, Federal Republic of Germany. Landsberg JJ Physiological Ecology of Forest Production. Academic Press, London. Lee R Forest Hydrology. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Leuschner WA Forest Regulation, Harvest Scheduling and Planning Techniques. Wiley, New York. 281 p. Ludwig JA, Reynolds JF Statistical Ecology. John Wiley & Sons, New York. 337 pp. MacKinnon K, Hatta G, Hakimah H, Arthur M Ekologi Kalimantan. Seri Ekologi Indonesia, Buku III. Canadian International Development Agency (CIDA), Prenhallindo, Jakarta. Manan S Riap dan Masa Bera di Hutan Tanaman Industri. Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan, Dephut RI, Jakarta. McMurtrie RE, Rook DA, Kelliher FM Modelling the Yield of Pinus radiata on a Site Limited by Water and Nitrogen. Forest Ecology Management, 30: Magurran AE Ecological Diversity and Its Measurement. Chapman and Hall. London. 179pp. Mansur I Sistem silvikultur untuk pengelolaan hutan alam. Di dalam: Indrawan et al. editor. Prosiding Lokakarya Nasional Penerapan Multisistem Silvikultur Pada Pengusahaan Hutan Produksi Dalam Rangka Meningkatkan Produktifitas dan Pemanfaatan Kawasan Hutan. Kerja sama Fahutan IPB dengan Ditjen Bina Produksi Kehutanan, Bogor. Mendoza GA, Gumpal EC Growth projection of a selectively cutover forest base on residual inventory. For.Ecol.Manage. 20: Mengel DL, Roise JP A diameter-class matric model for southeastern U.S. coastal plain bottomland hardwood stand. South J.Appli. 14: Meyer HA, Recknagel AB, Stevenson DD, Barto RA Forest Management. The Ronald Press Company, New York. Mitlöhner R Natural Resources in the Tropics.: The Concepts of Forestry. Burckhardt Institute. Department Tropical Silviculture and Forest Ecology, University of Göttinggen, Germany. Moore PD, Chapman SB Methods in Plant Ecology. Oxford: Blackweel Scientific Publications. Mori T Rehabilitation of degraded forest in lowland forest Kutai, East Kalimantan-Indonesia. In Kobayasi S, Trunbul JW, Toma T, Mori T, Madjid MNNA, editors. Rehabilitation of Degraded Tropical Forest Ecosytems. CIFOR-Bogor. Pp Muller-Dombois, Ellenberg H Aims and Methods of Vegetation Ecology. John Wiley and Sons, New York. Muhammadi, Erman A, Budhi S Analisis Sistem Dinamis. UMJ Press, Jakarta. Na iem M, Raharjo P Petunjuk Teknis Pemaparan Konservasi Exsitu Shorea leprosula. ITTO PD 106/01 Rev.1 (F) Fahutan UGM, Yogyakarta. Nair PKR An Introduction to Agroforestry. Kluwer Academic Publishers. ICRAF. Dordrecht-Boston-London. (22) Nguyen N, Sist P Phenology of Some Dipterocarp. Silviculture Research in a Low Land Mixed Dipterocarp Forest of East Kalimantan. CIRAD-FORET. FORDA. Numata S, Yasuda M, Okuda T, Kachi N Canopy gap dynamics of two different forest stand in a malaysian lowland rain forest. Journal of Tropical Forest Science, 18(2) pp Nugroho B Analisis Biaya Proyek Kehutanan. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Nyland RD Silviculture. Concept and Applications. The McGrawHill Companies, Inc. New York-Toronto. Oliver CD, Larson BC Forest Stand Dynamics. McGraw Hill, Inc., New York.467p. Pamoengkas P Kajian Aspek Vegetasi dan Kualitas Tanah Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur. Studi Kasus di Areal PT Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah (Disertasi). Bogor: Program Pascasarjana IPB.

116 Pancel L Tropical Forestry Handbook. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Pasaribu HS Kebijakan Penerapan Lebih dari Satu Sistem Silvikultur pada Areal IUPHHK di Indonesia. Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. Di dalam: Indrawan et al. editor. Prosiding Lokakarya Nasional Penerapan Multisistem Silvikultur Pada Pengusahaan Hutan Produksi Dalam Rangka Meningkatkan Produktifitas dan Pemanfaatan Kawasan Hutan. Kerja sama Fahutan IPB dengan Ditjen Bina Produksi Kehutanan, Bogor: p [PP] Peraturan Pemerintah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan. Mensekneg RI, Jakarta. [PP] Peraturan Pemerintah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Mensekneg RI, Jakarta. [PP] Peraturan Pemerintah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2008 tentang Perubahan atas PP No.6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Mensekneg RI, Jakarta. Pielou EC The Interpretation of Ecological Data. John Wiley and Sons. New York. Pienaar L, Page H, Rheney JW Yield Prediction for Mechanically Site-Prepared Slash Pine Plantations. Southern Journal of Apllied Forestry, 14(3): Pollet A, Nasrullah Penggunaan Metode Statistika untuk Ilmu Hayati. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Porte A, Bartelink HH Modelling mixed forest growth: a review of models for forest management. Eco. Model. Journal. [PT BFI] PT Balikpapan Forest Industries Makalah Rapat Koordinasi Pelaksanaan Silin, Ditjen BPK, Jakarta. [PT ED] PT Erna Djuliawati Riset Pengembangan Model Silvikultur Intensif. Konsep dan Aplikasi. Makalah Rapat Koordinasi Pelaksanaan Silin, Ditjen BPK, Jakarta. [PT GM] PT Gunung Meranti. 2007a. Rencana Karya Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu PT Gunung Meranti Tahun PT Gunung Meranti Banjarmasin. [PT GM] PT Gunung Meranti. 2007b. Rencana Karya Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu PT Gunung Meranti Tahun PT Gunung Meranti Banjarmasin. [PT GM] PT Gunung Meranti. 2008a. Rencana Karya Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (RKUPHHK) PT Gunung Meranti Periode PT Gunung Meranti Banjarmasin. [PT GM] PT Gunung Meranti. 2008b. Rencana Karya Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu PT Gunung Meranti Tahun PT Gunung Meranti Banjarmasin. [PT GM] PT Gunung Meranti Rencana Karya Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu PT Gunung Meranti Tahun PT Gunung Meranti Banjarmasin. [PT ITCI] PT International Timber Corporation Indonesia Kayan Hutani Laporan Pelaksanaan TPTI Intensif. Makalah Rapat Koordinasi Pelaksanaan Silin, Ditjen BPK, Jakarta. [PT SBK] PT Sari Bumi Kusuma Pelaksanaan Silvikultur Intensif Meranti. Makalah Rapat Koordinasi Pelaksanaan Silin, Ditjen BPK, Jakarta. [PT Sarpatim] PT Sarmiento Parakantja Timber Pelaksanaan Silvikultur Intensif Meranti di PT Sarpatim. Makalah Rapat Koordinasi Pelaksanaan Silin, Ditjen BPK, Jakarta. [PT SJK] PT Suka Jaya makmur Hasil-Hasil Penelitian Pelaksanaan Silvikultur Intensif. Makalah Rapat Koordinasi Pelaksanaan Silin, Ditjen BPK, Jakarta. Purnomo H Teori Sistem Komplek, Pemodelan dan Simulasi untuk Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Radonsa PJ, Koprivica MJ, Lavadinovic VS Modelling current annual height increment of young Douglas-fir stands at different site. In Amaro A, Reed D, Soares P, editors. Modelling Forest System. CABI Publishing. Reed KL An ecological approach to modelling the growth of forest tress. Forest Science. 26: Rodriguez F, De La Rosa JA, Aunos A Modelling the diameter at breast height growht of Populus euramericana plantation timber in Spain. In Amaro A, Reed D, Soares P, editors. Modelling Forest System. CABI Publishing. Rombe YL, Rahardjo S, Soedarsono, Ambarita M Tabel Volume Pohon Berdiri untuk Provinsi Kalimantan Tengah. Direktorat Bina Program Kehutanan, Direktorat Jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian RI, Bogor. Sabogal C, Robert N Restoring Overlogged Tropical Forest. Green Earth Technical Notes. Un-published. Santoso B Kebijakan penerapan multisistem silvikultur pada hutan produksi Indonesia. Direktorat Bina Pengembangan Hutan Tanaman, Ditjen Bina Produksi Kehutanan, Departemen Kehutanan, Jakarta.

117 Santoso H, Syaffari K, Nina M Tinjauan Aspek Silvikultur dalam Penerapan Multisistem Silvikultur pada Areal Hutan Produksi. Indrawan et al. editor. Prosiding Lokakarya Nasional Penerapan Multisistem Silvikultur Pada Pengusahaan Hutan Produksi Dalam Rangka Meningkatkan Produktifitas dan Pemanfaatan Kawasan Hutan. Kerja sama Fahutan IPB dengan Ditjen Bina Produksi Kehutanan. Bogor. Sheil D, Ducey M An extreme-value approach to detect clumping and application to tropical forest gap-mosaic dynamic. Jour. of Tropical Ecology. 18: pp Shifley SR A Generalized System of Model Forecasting Central States Growth. USDA Forest Service. Pap. NC p. Sievanen R, Burk TE Construction of a stand growth model utilizing photosynthesis and respiration relationships in individual trees. Canada Journal Forestry Res. 18. Singh P, Pathak PS, Roy MM Agroforestry Sistem for Sustainable Land Use. Science Publishers, Inc. Sist P, Bertault JG Reduced impact logging experiment: Impact at harvesting intensities and logging techniques at stand gamage. Silvicultural research in a low land mixed dipterocarp forest of east Kalimantan. The contribution of STREK Project CIRAD-ForestFORDA-PT Inhutani I Jakarta. Sist P, Fimbel R, Sheil G, Robert N, Marie H Towards sustainable management of mixed dipterocarp forest of South East Asia: Moving Beyond Minimum Diameter Cutting Limits. Journal Environmental Conservation 30(4) pp Siswomartono D Ensiklopedi Konservasi Sumber Daya. Penerbit Erlangga, Jakarta. Soderquist C, Peck C, Johnston D Getting Started with the Stella Software. A Hand-On Experience. High Performance Systems, Inc, Hanover NH Soekotjo Beberapa faktor yang mempengaruhi riap Hutan Tanaman Industri. Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan, Dephut RI, Jakarta. Soekotjo, Subiakto A Petunjuk Teknis Dipterocarpa. ITTO PD 41/00 Rev.3 (F.M) Fahutan UGM, Yogyakarta. Soekotjo Teknik Silvikultur Intensif (Silin). Gadjah Mada University Press. Soemarwoto O Indonesia dalam Kancah Isu Lingkungan Global. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Soerianegara I, Indrawan A Ekologi Hutan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Solomon DS, Hosmer RA, Hayslett HT A two stage matrix model for predicting growth of forest stand in the Northeast. Canadian Journal of Forest Research. 16. Stenzel G, Walbridge TA, Pearce JK Logging and Pulpwood Production. John Willey & Sons. New York, USA. Stuckle IC, Siregar CA, Supriyanto, Kartana J Forest Health Monitoring to Monitor the Sustainability of Indonesian Tropical Rain Forest. ITTO and Seameo Biotrop. Suhendang E Studi model struktur tegakan hutan alam hujan tropika dataran rendah di Bengkunat Provinsi Daerah Tingkat I Lampung (Tesis). Bogor: Program Pascasarjana IPB. Suhendang E Pengukuran riap diameter pohon meranti (Shorea sp) pada hutan alam bekas tebangan. Makalah Diskusi: Pertumbuhan dan Hasil Tegakan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Bogor. Suhendang E Multisistem Silvikultur dalam Perspektif Ilmu Manajemen Hutan. Di dalam: Indrawan et al. editor. Prosiding Lokakarya Nasional Penerapan Multisistem Silvikultur Pada Pengusahaan Hutan Produksi Dalam Rangka Meningkatkan Produktifitas dan Pemanfaatan Kawasan Hutan. Kerja sama Fahutan IPB dengan Ditjen Bina Produksi Kehutanan. Bogor. Suparna N Makalah Rapat Koordinasi Pelaksanaan Silin, Ditjen BPK, Jakarta. Suratmo FG, Husaeni EA, Jaya NS Pengetahuan Dasar Pengendalian Kebakaran Hutan. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Sutedjo MM, Kartasapoetra AG Pengantar Ilmu Tanah. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta [UU] Undang-Undang Republik Indonesia Undang-Undang Republik Indonesia No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. [UU] Undang-Undang Republik Indonesia Undang-Undang Republik Indonesia No.5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan. [UU] Undang-Undang Republik Indonesia Undang-Undang Republik Indonesia No.6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. [UU] Undang-Undang Republik Indonesia Undang-Undang Republik Indonesia No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Meneg Sekretaris Negara RI, Jakarta. Vanclay, J.K., Growth models for tropical forest: A synthesis of models and methods. Royal Veterinary and Agricultural University.Thorvaldsensvej 57. DK-1871 Frederiksberg, Denmark.

118 Vanclay JK Modelling Forest Growth and Yield. Applications to Mixed Tropical Forest. CABI Publishing. Vanclay JK Growth modeling and yield prediction for sustainable forest management. In Shaharuddin et al. editors. Proceedings of the Malaysian-ITTO International Workshop on Growth and Yield of Managed Tropical Forest. Forestry Department Peninsular Malaysia, Government of Malaysia and ITTO, Kuala Lumpur. Volin VC, Buongiorno J Effect of alternative management regimes on forest stand structure, species composition and income: A model for the Italian Dolomites. Forest Ecology and Management 87: Voinov A Systems Sceince and Modeling for Ecological Economics. Academic Press Elsevier. Wahjono D, Anwar Prospek penerapan multisistem silvikultur pada unit pengelolaan hutan produksi. Puslitbang dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan, Bogor. Wahyudi Forest biomass an unutilized potency. Di dalam: Proceedings of seminar Environment conservation through efficiency utilization of forest biomass. JIFPRO and Faculty of Forestry Gadjah Mada University, Wahyudi Efisiensi reduced impact logging pada kegiatan eksploitasi hutan. Journal Hutan Tropis II/2008. Faperta Jurusan Kehutanan, Unpar, Palangkaraya. Wahyudi. 2009a. Selective cutting and line enrichment planting silvicultural system development on Indonesian tropical rain forest. In: GAFORN-International Summer School, Georg-August Universität Göttingen and Universität Dresden, Germany. Wahyudi. 2009b. Settled cultivation versus shifting cultivation to improve social prosperity and environmental quality surrounding forest region. In: GAFORN- International Summer School, Georg-August Universität Göttingen and Universität Dresden, Germany. Wahyudi, Meningkatkan Produktivitas Hutan melalui Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Rumpang (TPTR). Laporan Bulan September Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, Kementerian LHK RI, Jakarta. Wahyudi, Pedoman Pelaksanaan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Rumpang (TPTR). Draft. Laporan Bulan Oktober Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, Kementerian LHK RI, Jakarta. Wahyudi, Matthews P Tabel Volume Lokal di Areal PT Gunung Meranti. Proyek Pembentukan KPHP Wilayah Kalimantan Tengah. Kerja sama Departemen Kehutanan RI dengan Overseas Development Administration (ODA) Kerajaan Inggris. Wasis B Perbandingan kualitas tempat tumbuh antara daur pertama dengan daur kedua pada hutan tanaman Acacia mangium Wild. (Disertasi). Bogor: Program Pascasarjana IPB. West PW Use of diameter and basal area increment in tree growth studies. Canada Journal Forest 10: Whitmore TC Tropical Rain Forest of the Far East. Clarendon Press, Oxford. Wood GB, Wiant Jr HV Modern Methods of Estimating Tree and Log Volume. West Virginia University Publications Services. Yasman I, Natadiwirya M Dipterocarp plantation: The strategy and the approaches of PT Inhutsni I. In Tielges B, Sastrapradja SD, Rimbawanto A, editors. In-situ and Ex-situ Conservation of Commercial Tropical Trees. ITTO-UGM. Yogyakarta. Pp

119 Lampiran 1. Gambaran umum ciri-ciri sistem silvikultur No Sistem 1 Clear cut LAMPIRAN-LAMPIRAN 5 6 Uraian Tabang semua tegakan, atau se bagian dalam areal yang luas Seedtree Menciptakn areal untuk produksi benih sebelum ditebang semua Shelterwood Menunggu terbentuknya regene rasi alam sebelum penebangan Uniform Tebang habis setelah terbentuk permudaan alam Group Pembukaan kanopi dengan jalan membuat gap, muncul permudaan alam Irregular Pembukaan kanopi bertahap, permudaan alam terbentuk 7 Strip/wedge Pembukaan kanopi bentuk jalur regenerasi terjadi pada jalur 8 Seleksi Kanopi selalu melindungi areal 9 Single-tree Penebangan pohon satu persatu 10 Group Penebangan dalam kelompok kecil pohon 11 Coppice Regenerasi secara vegetatif Kriteria mikroklimat Terbuka Efek cahaya dominan Terbuka Efek cahaya dominan Perlindungan anakan alam sebelum penebangan Perlindungan anakan alam dan tebang habis Suksesi dalam gap selama tahun Regenerasi pada areal terbuka selama 50 th, masih ada pohon besar Kanopi hutan masih melin dungi regenerasi, kemudian hutan di tebang habis Penutupan kanopi dominan dibanding celah terbuka Kanopi hutan kontinyu ada Kanopi hutan kontinyu ada Pembukaan kanopi dominan dibanding yang tertutup Pembukaan kanopi (ha) > 0,5-1 ha > 0,5-1 ha > 0,5-1 ha <0,01-0,1 ha <0,01-0,1 ha pada tahap awal, lalu diperluas lagi <0,01-0,1 ha pada tahap awal, lalu diperluas lagi Tergantung luas dan pan jang strip serta tinggi pohon,< 2x tinggi pohon <0,01 ha 0,01-0,1 ha

120 Lampiran 2. Pengaruh gap pada ekosistem hutan No Karakteristi Gap Ekosistem diperlukan Hutan tanaman umur tua (>100 tahun) blm Hutan tropika basah blm Panama Hutan hardwood NZ + Hutan mendung + tropika Costa Rica Hutan Amazon, Venez Hutan Subtropis + daun lebar, India Spesies semak blm Penutupan herba + Kehadiran burung + Serangga + Penyinaran langsung (irradiance) Hutan hardwood,as blm Hutan tropis, C.Rica + Hutan mendung blm tropika Costa Rica Hutan hujan tropis Mexico blm Lingkungan abiotik Suhu udara + dan Kelembaban + Angin + Kelembaban tanah + dan Suhu tanah Nutrisi tanah Dekompisisi + Keberadaan N + dan Biomass akar + Ukuran gap Posisi dlm gap Umur gap + + blm blm + + Beberapa Istilah Lapisan Sumber bawah gap blm + Hutan (Forest) adalah suatu lapangan pertumbuhan pohonpohon alami yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta lingkungannya. Runkle,1982 Putz, 1983 Brokaw, 87 blm blm blm blm blm + blm + + blm blm blm blm blm Uhl et al, 88 + blm + + blm blm blm blm + + blm blm blm blm blm blm Runkle, blm blm blm blm blm blm blm blm Minckler,73 + blm + blm Dirzo etal,92 + dan + + dan + dan + + dan + + dan blm + + dan + dan blm + dan + dan - blm blm blm blm blm blm blm blm blm blm blm blm blm blm blm blm blm blm Collin&Pk,88 Stewart, 86 Lawton dan Putz, 1988 Barik etal,92 MooreVK,86 Noss, 1991 Harrison,87 Denslow,90 Lawton dan Putz, 1988 Barik etal,92 Bunnell,85 Barik etal,92 Collin&Pk,88 Putz, 1988 Kawasan Hutan (Forest Regions) adalah kawasan wilayah tertentu yang oleh menteri ditetapkan untuk dipertahankan sebagai hutan tetap. Kawasan hutan yang telah ditetapkan oleh menteri yang mengurusi bidang kehutanan dapat berupa areal yang berhutan, semak belukar, padang alang-alang dan lahan kosong (yang kelak dapat direboisasi). Hutan Produksi (Production Forest) adalah kawasan hutan yang diperuntukkan untuk produksi hasil hutan dalam rangka memenuhi keperluan masyarakat pada umumnya dan untuk pembangunan, industri dan ekspor pada khususnya. Hutan Produksi dibagi menjadi 3 berdasarkan kelas peruntukan lahan serta praktek pengelolaan yang dilakukan, yaitu hutan produksi tetap, hutan produksi terbatas dan hutan produksi konversi. Hutan Tanaman (Plantation Forest / Timber Estate) adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan sistem silvikultur Tebang Habis Permudaan Buatan (Clear Cutting with Artificial Regeneration) atau THPB. Sistem THPB menuntut diterapkannya sistem silvikultur intensif. Barik etal,92 Collin&Pk,88 Sanford, 90 Daur Tanaman adalah jangka waktu antara waktu penanaman sampai tanaman hutan masak untuk dipanen pada hutan tanaman atau siklus tebang yang diperlukan untuk pengusahaan hutan alam secara lestari dimana pada suatu tempat yang sama dilakukan penebangan kembali.

121 Umur Masak Tebang adalah jangka waktu perkembangan suatu tegakan yang memberikan hasil kayu tahunan terbesar, baik dari hasil penjarangan maupun tebangan akhir. Siklus Tebang adalah jangka waktu antara penebangan hutan dengan penebangan berikutnya pada suatu areal tertentu pada areal hutan yang dikelola secara lestari. Daur hutan alam ditetapkan berdasarkan siklus tebang sedangkan daur hutan tanaman ditetapkan berdasarkan umur masak tebang tanaman pokok, yang ditetapkan berdasarkan kelas perusahaan atau jenis tanaman pokok dan tujuan akhir pengelolaan (kayu serat atau perkakas). Penetapan ini didasarkan pada studi kelayakan berdasarkan pertimbangan daur ekonomi dan atau daur hasil optimal. Kelas Perusahaan adalah kesatuan pengelolaan dalam pengusahaan hutan untuk jenis tanaman pokok tertentu. Tanaman Pokok adalah jenis tanaman hutan yang memiliki luas dan nilai ekonomi dominan. Tebang Pilih Indonesia (TPI) adalah sistem silvikultur yang menerapkan teknik tebang pilih (selective cutting) dengan beberapa kriteria batas diameter tertentu dan kegiatan pembinaan hutan untuk meningkatkan kualitas tegakan tinggal. Sistem TPI diterapkan pada hutan alam produksi Indonesia sejak tahun 1973 sampai Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) adalah sistem silvikultur yang menerapkan teknik tebang pilih (selective cutting) dengan batas diameter tertentu sesuai tipe hutan produksinya serta kegiatan pembinaan hutan untuk meningkatkan kualitas tegakan tinggal. Sistem TPTI diterapkan pada hutan alam produksi Indonesia sejak tahun sejak tahun 1989 sampai sekarang. Pada sistem TPTI tahun 2009, tahapan kegiatan teknik silvikultur dilakukan dihapuskan teknik ITT. lebih sederhana, termasuk Tebang Habis dengan Permudaan Buatan atau THPB ((Clear Cutting with Artificial Regeneration) adalah sistem silvikultur yang meliputi cara penebangan habis dengan permudaan buatan. Sistem ini diterapkan pada kawasan hutan produksi yang telah mengalami kerusakan hutan, seperti hutan rawang, semak, belukar, lahan alang-alang dan tanah kosong lainnya. Tebang Habis dengan Permudaan Alam atau THPA (Clear Cutting with Natural Regeneration) adalah sistem silvikultur yang meliputi cara penebangan habis dengan permudaan alam. Sistem ini diterapkan pada areal yang mengalami pasang surut, seperti untuk mengelola hutan mangrove dengan catatan kegiatan penanaman sulit dilakukan karena terkendala oleh genangan air. Pada pengelolaan hutan mangrove, diwajibkan menyisakan pohon induk secara merata sebagai sumber benih yang akan tumbuh secara alami pada areal bekas tebangan. Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) adalah sistem silvikultur yang meliputi cara tebang pilih dengan batas diameter minimal dan diikuti permudaan buatan dalam jalur selebar 3 meter dengan interval jalur 20 meter dan jarak tanaman dalam jalur tanam adalah 5 meter. Namun terdapat variasi lainnya dalam menentukan lebar jalur tanam dan jalur antara, misalnya lebar jalur tanam 4 meter dan lebar jalur antara 25 meter, yang dibuat memanjang. Sistem ini pertama kali dipraktekan pada PT SBK dan PT ED di Kalimantan Tengah sejak tahun Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) adalah sistem silvikultur yang meliputi cara tebang pilih dengan batas diameter minimal 40 cm dan diikuti permudaan buatan dalam jalur tanam selebar 3 meter. Lebar jalur antara 25 meter. Sistem ini diluncurkan tahun 2005 sebelum akhirnya diganti menjadi sistem TPTJ teknik Silin tahun 2009.

122 TPTJ teknik Silin adalah sistem silvikultur yang meliputi cara tebang pilih dengan batas diameter minimal 40 cm dan diikuti permudaan buatan dalam jalur tanam selebar 3 meter dan lebar jalur antara adalah 17 meter, serta jarak tanaman dalam jalur tanam adalah 2,5 meter, yang dibuat memanjang. Teknik Silin pada sistem ini mengisyaratkan 3 (tiga) komponen, yaitu rekayasa lingkungan (dengan membuat jalur tanam selebar 3 meter), penggunaan bibit unggul dan pengendalian hama terpadu (integrated pest management). Tebang Jalur Tanam Indonesia (TJTI) adalah sistem silvikultur yang diterapkan pada hutan alam monokultur. Sistem ini menghendaki penebangan tegakan hutan secara menyeluruh (clear cutting) pada jalur tebang selebar maksimal 140 m dan menyisakan jalur tegakan hutan sebagai jalur antara selebar maksimal 35 m. Tegakan hutan pada jalur antara ditebang setelah dilakukan penjarangan pertama pada tanaman pada jalur tebang. Tebang Pilih Tanam Rumpang (TPTR) adalah sistem silvikultur yang meliputi cara tebang pilih dengan batas diameter minimal dan diikuti permudaan buatan dalam rumpang. Luas rumpang antara 0,5 ha sampai 2 ha berbentuk lingkaran atau persegi sesuai kondisi lapangan yang datar dan landai. Tentang Penulis Dr. Wahyudi. Lahir di Jombang, Jawa Timur pada tanggal 13 Februari Lulus program doktoral dari Institut Pertanian Bogor tahun 2011 pada bidang Silvikultur. Disamping sebagai dosen tetap pada Jurusan Kehutanan, Faperta, Universitas Palangka Raya, penulis juga mengajar pada Program Pasca Sarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan UPR dan aktif melakukan penelitian dan menulis pada berbagai buku, prosiding, jurnal nasional dan internasional. Kedekatannya pada beberapa praktisi pengusahaan hutan menyebabkan penulis banyak memperoleh pengalaman lapangan dan memiliki kesempatan yang luas untuk mengimplementasikan ilmu kehutanan. Pada tahun 2009 penulis menempuh summer school pada bidang kehutanan di Goettingen dan Dresden, kemudian pada tahun 2010 menempuh international German alumni summer school pada bidang biodiversity. Pengalaman lainnya adalah sebagai tenaga pengelolaan hutan produksi lestari pada perusahaan kehutanan, pakar silvikultur intensif pada Kementerian Kehutanan dan fasilitasi kegiatan multi sistem silvikultur pada beberapa perusahaan kehutanan seperti PT Dasa Intiga, PT Austral Byna, PT Gunung Meranti (Kalteng), PT Tunas Timber Lestari (Papua) dan lain-lain, konsultan pada kegiatan reklamasi areal bekas tambang di PT Juloi Coal, PT Multi Tambang Utama, PT Maruwai Coal, kegiatan pelepasan kawasan dan lain-lain. Penulis mempunyai isteri dan dua orang anak, masing-masing bernama dr. Hj. Widi Utami, MM; M. Isa Mahendra dan Hana Maria S.

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keterpurukan sektor kehutanan sudah berjalan hampir 14 tahun belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Masih besarnya angka laju kerusakan hutan serta bangkrutnya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indo nesia merupaka n negara yang memiliki hutan trop ika terluas di dunia setelah Brasilia di Amerika Selatan dan Zaire di Afrika sekaligus menyimpan keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

SEJARAH PERKEMBANGAN SISTEM SILVIKULTUR DI INDONESIA 1. Oleh: Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan 2

SEJARAH PERKEMBANGAN SISTEM SILVIKULTUR DI INDONESIA 1. Oleh: Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan 2 SEJARAH PERKEMBANGAN SISTEM SILVIKULTUR DI INDONESIA 1 Oleh: Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan 2 Pendahuluan Negara Indonesia yang terletak di daerah tropika mempunyai kekayaan alam yang berlimpah ruah dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Sebaran luas lahan gambut di Indonesia cukup besar, yaitu sekitar 20,6 juta hektar, yang berarti sekitar 50% luas gambut tropika atau sekitar 10,8% dari luas daratan Indonesia.

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.65/Menhut-II/2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.11/MENHUT-II/2009 TENTANG SISTEM SILVIKULTUR DALAM AREAL IZIN USAHA

Lebih terperinci

Sistem Tebang Parsial & Tebang Habis

Sistem Tebang Parsial & Tebang Habis SISTEM SILVIKULTUR Sistem Tebang Parsial & Tebang Habis Laboratorium Silvikultur &Agroforestry Jurusan Budidaya Hutan FakultasKehutanan, UGM Tebang Parsial (Seed tree dan Shelterwood method) Seedtree Shelterwood

Lebih terperinci

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT.

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT. Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH Oleh : PT. Sari Bumi Kusuma PERKEMBANGAN HPH NASIONAL *) HPH aktif : 69 % 62% 55%

Lebih terperinci

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan tropis merupakan sumber utama kayu dan gudang dari sejumlah besar keanekaragaman hayati dan karbon yang diakui secara global, meskupun demikian tingginya

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaturan hasil saat ini yang berlaku pada pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia menggunakan sistem silvikultur yang diterapkan pada IUPHHK Hutan Produksi dalam P.11/Menhut-II/2009.

Lebih terperinci

Hutan. Padang, 20 September Peneliti pada Balai Litbang Kehutanan Sumatera, Aek Nauli

Hutan. Padang, 20 September Peneliti pada Balai Litbang Kehutanan Sumatera, Aek Nauli KAJIAN SISTEM SILVIKULTUR DAN PERTUMBUHAN HUTAN BEKAS TEBANGAN PADA BERBAGAI TIPE HUTAN DI SUMATERA BAGIAN UTARA 1) Oleh : Aswandi 2) dan Rusli MS Harahap 2) ABSTRAK Dasar ilmiah berbagai sistem silvikultur

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR : 53 TAHUN 2001 T E N T A N G IJIN USAHA HUTAN TANAMAN (IHT) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

Baharinawati W.Hastanti 2

Baharinawati W.Hastanti 2 Implementasi Sistem Silvikultur TPTI : Tinjauan eberadaan Pohon Inti dan ondisi Permudaannya (Studi asus di Areal IUPHH PT. Tunas Timber Lestari, Provinsi Papua) 1 Baharinawati W.Hastanti 2 BP Manokwari

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Silvilkultur. Hasil Hutan Kayu. Pemanfaatan. Pengendalian. Areal.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Silvilkultur. Hasil Hutan Kayu. Pemanfaatan. Pengendalian. Areal. No.24, 2009 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Silvilkultur. Hasil Hutan Kayu. Pemanfaatan. Pengendalian. Areal. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor :P.11/Menhut-II/2009

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG 133 PROSIDING Workshop Nasional 2006 134 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG PERTAMA KESIMPULAN 1. Ramin dan ekosistemnya saat ini terancam kelestariannya. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NOMOR P.12/MENLHK-II/2015

Lebih terperinci

MODUL 1 SISTEM DAN TEKNIK SILVIKULTUR PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DI INDONESIA PADA DIKLAT WAS-GANIS PEMANENAN HUTAN PRODUKSI

MODUL 1 SISTEM DAN TEKNIK SILVIKULTUR PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DI INDONESIA PADA DIKLAT WAS-GANIS PEMANENAN HUTAN PRODUKSI MODUL 1 SISTEM DAN TEKNIK SILVIKULTUR PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DI INDONESIA PADA DIKLAT WAS-GANIS PEMANENAN HUTAN PRODUKSI Oleh: ELIAS DOSEN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR MEI 2009 MODUL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang PENDAHULUAN BAB A. Latar Belakang Pemerintah telah menetapkan bahwa pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjadi salah satu prioritas nasional, hal tersebut tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA)

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas Lokasi penelitian terletak di dalam areal HPH PT. Sari Bumi Kusuma Unit Seruyan (Kelompok Hutan Sungai Seruyan Hulu) yang berada pada koordinat 111 0 39 00-112

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG IZIN USAHA HUTAN TANAMAN (IUHT) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUARO JAMBI, Menimbang : a.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR 50 TAHUN 2001 T E N T A N G IZIN PEMANFAATAN HUTAN (IPH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di Indonesia. Hutan rawa gambut mempunyai karakteristik turnbuhan maupun hewan yang khas yaitu komunitas

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Iman Santosa T. (isantosa@dephut.go.id) Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan

Lebih terperinci

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM Muhdi Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan USU Medan Abstract A research was done at natural tropical

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Kelestarian Hasil BAB II TINJAUAN PUSTAKA Salah satu elemen yang paling penting dalam pengelolaan hutan adalah konsep kelestarian hasil hutan (sustained yield forestry). Definisi kelestarian

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanenan Hutan Pemanenan merupakan kegiatan mengeluarkan hasil hutan berupa kayu maupun non kayu dari dalam hutan. Menurut Suparto (1979) pemanenan hasil hutan adalah serangkaian

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2002 TENTANG DANA REBOISASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2002 TENTANG DANA REBOISASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2002 TENTANG DANA REBOISASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 dan Pasal 12 Undang-undang Nomor 20

Lebih terperinci

KETENTUAN MENGENAI PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN PT. DAYA SAKTI TIMBER CORPORATION

KETENTUAN MENGENAI PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN PT. DAYA SAKTI TIMBER CORPORATION LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 369/Kpts-IV/1985 TANGGAL : 7 Desember 1985 KETENTUAN MENGENAI PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN PT. DAYA SAKTI TIMBER CORPORATION KETENTUAN I : TUJUAN PENGUSAHAAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2001 NOMOR 79 SERI C NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 48 TAHUN 2001

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2001 NOMOR 79 SERI C NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 48 TAHUN 2001 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2001 NOMOR 79 SERI C NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 48 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN PRODUKSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi

BAB I PENDAHULUAN. Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi untuk mencukupi kebutuhan kayu perkakas dan bahan baku industri kayu. Guna menjaga hasil

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 10.1/Kpts-II/2000 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN MENTERI

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 10.1/Kpts-II/2000 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN MENTERI KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 10.1/Kpts-II/2000 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian tentang Perkembangan Tegakan Pada Hutan Alam Produksi Dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) dilaksanakan di areal

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Industri adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Industri adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Industri adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur intensif. Hal

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR 51 TAHUN 2001 TENTANG IJIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN (IPHH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

KRITERIA DAN STANDAR IJIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN PADA HUTAN PRODUKSI

KRITERIA DAN STANDAR IJIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN PADA HUTAN PRODUKSI LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 21/Kpts-II/2001 Tanggal : 31 Januari 2001 KRITERIA DAN STANDAR IJIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN PADA HUTAN PRODUKSI No KRITERIA STANDAR

Lebih terperinci

GUBERNUR PAPUA. 4. Undang-Undang.../2

GUBERNUR PAPUA. 4. Undang-Undang.../2 GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMANFAATAN KAYU LIMBAH PEMBALAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PAPUA, Menimbang : a. bahwa sebagai

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 37 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pola Sebaran Pohon Pemetaan sebaran pohon dengan luas petak 100 ha pada petak Q37 blok tebangan RKT 2011 PT. Ratah Timber ini data sebaran di kelompokkan berdasarkan sistem

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No. 5794. KEHUTANAN. Hutan. Kawasan. Tata Cara. Pencabutan (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 326). PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menutupi banyak lahan yang terletak pada 10 LU dan 10 LS dan memiliki curah

BAB I PENDAHULUAN. menutupi banyak lahan yang terletak pada 10 LU dan 10 LS dan memiliki curah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe vegetasi hutan tertua yang menutupi banyak lahan yang terletak pada 10 LU dan 10 LS dan memiliki curah hujan sekitar 2000-4000

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanenan Hutan Pemanenan hutan merupakan serangkaian kegiatan kehutanan yang mengubah pohon atau biomassa lain menjadi bentuk yang bisa dipindahkan ke lokasi lain sehingga

Lebih terperinci

PERMUDAAN ALAM dan PERMUDAAN BUATAN

PERMUDAAN ALAM dan PERMUDAAN BUATAN Laboratorium Silvikultur &Agroforestry Jurusan Budidaya Hutan FakultasKehutanan, UGM PERMUDAAN ALAM dan PERMUDAAN BUATAN SILVIKULTUR Metode Permudaan Metode permudaan merupakan suatu prosedur dimana suatu

Lebih terperinci

B. BIDANG PEMANFAATAN

B. BIDANG PEMANFAATAN 5 LAMPIRAN SURAT KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 145/Kpts-IV/88 Tanggal : 29 Februari 1988 KETENTUAN MENGENAI PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN PT. PURUK CAHU JAYA KETENTUAN I. KETENTUAN II. TUJUAN PENGUSAHAAN

Lebih terperinci

SINTESA HASIL PENELITIAN PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI KOORDINATOR: DARWO

SINTESA HASIL PENELITIAN PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI KOORDINATOR: DARWO SINTESA HASIL PENELITIAN PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI KOORDINATOR: DARWO PERMASALAHAN HUTAN ALAM TERFRAGMENTASI HUTAN PRIMER LOA (KONDISI BAIK, SEDANG) LOA RUSAK PENERAPANTEKNOLOGI PENGELOLAAN

Lebih terperinci

PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia

PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia Authors : Wahyu Catur Adinugroho*, Haruni Krisnawati*, Rinaldi Imanuddin* * Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN - 1 - PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

Menimbang : Mengingat :

Menimbang : Mengingat : Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hutan produksi di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon

BAB I PENDAHULUAN. dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Definisi atau pengertian tentang hutan menurut Dengler (1930) dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon atau tumbuhan berkayu lainya

Lebih terperinci

IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 40 IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Sejarah Pengelolaan Hutan Pengusahaan hutan atas nama PT. Sari Bumi Kusuma memperoleh izin konsesi pengusahaan hutan sejak tahun 1978 sejak dikeluarkannya Forest

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN Nomor : SK.41/VI-BPHA/2007 TENTANG

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN Nomor : SK.41/VI-BPHA/2007 TENTANG KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN Nomor : SK.41/VI-BPHA/2007 TENTANG PENUNJUKAN PEMEGANG IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN ALAM SEBAGAI MODEL PEMBANGUNAN SILVIKULTUR

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG HARI NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN (IPHH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG HARI NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN (IPHH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG HARI NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN (IPHH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BATANG HARI, Menimbang : a. bahwa dalam melaksanakan Otonomi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG Menimbang : a. bahwa dalam penjelasan pasal 11 ayat (1)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam terbesar yang dimiliki bangsa Indonesia yang dapat memberikan manfaat yang besar untuk kehidupan makluk hidup. Salah satu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Rakyat dan Pengelolaannya Hutan rakyat adalah suatu lapangan yang berada di luar kawasan hutan negara yang bertumbuhan pohon-pohonan sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan

Lebih terperinci

KONSEPSI HUTAN, PENGELOLAAN HUTAN DAN PENERAPANNYA DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI DI INDONESIA

KONSEPSI HUTAN, PENGELOLAAN HUTAN DAN PENERAPANNYA DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI DI INDONESIA Hadirin sekalian, penulis berpendapat, beberapa permasalahan besar di muka sangatlah penting untuk diperhatikan dalam pengelolaan hutan, akan tetapi pembahasan terhadap konsep-konsep dasar ilmu kehutanan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 74/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 74/Menhut-II/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 74/Menhut-II/2014 TENTANG PENERAPAN TEKNIK SILVIKULTUR DALAM USAHA PEMANFAATAN PENYERAPAN DAN/ATAU PENYIMPANAN KARBON PADA HUTAN PRODUKSI DENGAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hutan, sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelestarian lingkungan dekade ini sudah sangat terancam, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate change) yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks global emisi gas rumah kaca (GRK) cenderung meningkat setiap tahunnya. Sumber emisi GRK dunia berasal dari emisi energi (65%) dan non energi (35%). Emisi

Lebih terperinci

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM KARYA TULIS KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM OLEH : DIANA SOFIA H, SP, MP NIP 132231813 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2007 KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah,

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI U M U M Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. unsur unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air, vegetasi serta

BAB I PENDAHULUAN. unsur unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air, vegetasi serta BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air, vegetasi serta sumberdaya manusia.das

Lebih terperinci

DEFINISI DAN JENIS HUTAN

DEFINISI DAN JENIS HUTAN DEFINISI DAN JENIS HUTAN EKONOMI KEHUTANAN ESL 325 (3-0) Dr. Meti Ekayani, S.Hut, M.ScF Dr. Dodik Ridho Nurrochmat, S.Hut, M.ScF Asti Istiqomah, SP, Ms Pokok Bahasan : Jenis dan karakteristik hutan, pengurusan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

PEMERINTAH KABUPATEN POSO PEMERINTAH KABUPATEN POSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN POSO NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PEMANFAATAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI POSO, Menimbang : a. bahwa sumber

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI. Presiden Republik Indonesia,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI. Presiden Republik Indonesia, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 7 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa hutan merupakan suatu potensi kekayaan alam yang dapat diperbaharui,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2002 TENTANG DANA REBOISASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2002 TENTANG DANA REBOISASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2002 TENTANG DANA REBOISASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 dan Pasal 12 Undang-undang Nomor 20

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.65, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Koridor. Penggunaan. Pembuatan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.65, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Koridor. Penggunaan. Pembuatan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.65, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Koridor. Penggunaan. Pembuatan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.9/MENHUT-II/2010 TENTANG IZIN PEMBUATAN DAN PENGGUNAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan salah satu kelompok hutan tropis ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Zaire, yang mempunyai fungsi utama sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang berkaitan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang berkaitan dengan manusia di muka bumi. Hutan menjadi pemenuhan kebutuhan manusia dan memiliki fungsi sebagai penyangga

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.9/Menhut-II/2010 TENTANG IZIN PEMBUATAN DAN PENGGUNAAN KORIDOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN A. Dasar Manajemen Hutan working plan perhitungan dan pengaturan hasil Manajemen Hutan

1. PENDAHULUAN A. Dasar Manajemen Hutan working plan perhitungan dan pengaturan hasil Manajemen Hutan 1. PENDAHULUAN A. Dasar Manajemen Hutan Manajemen hutan merupakan suatu pengertian luas dari pengetrapan / aplikasi pengetahuan tentang kehutanan dan ilmu yang sejenis dalam mengelola hutan untuk kepentingan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA PENGELOLAAN HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hutan merupakan suatu potensi kekayaan alam

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR 18 TAHUN 2002 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN DALAM KAWASAN HUTAN (IPHHDKH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUARO

Lebih terperinci

Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah

Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah Negara Indonesia yang terdiri dari 17.058 pulau itu memiliki keanekaragaman tumbuhan, hewan jasad renik yang lebih besar daripada negara-negara tetangganya.

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ)

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ) LAMPIRAN 2. PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN NOMOR : P.9/VI-BPHA/2009 TANGGAL : 21 Agustus 2009 PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ) 1 PEDOMAN PELAKSANAAN

Lebih terperinci

HUTAN, KEHUTANAN, DAN ILMU KEHUTANAN

HUTAN, KEHUTANAN, DAN ILMU KEHUTANAN HUTAN, KEHUTANAN, DAN ILMU KEHUTANAN PENGERTIAN HUTAN DAPAT DITINJAU DARI BERBAGAI FAKTOR: Wujud biofisik lahan dan tumbuhan Fungsi ekologi Kepentingan kegiatan operasional pengelolaan atau kegiatan tertentu

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR 17 TAHUN 2002 TENTANG IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN (IUPHH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUARO JAMBI, Menimbang

Lebih terperinci

NOMOR 35 TAHUN 2002 TENTANG DANA REBOISASI

NOMOR 35 TAHUN 2002 TENTANG DANA REBOISASI PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2002 TENTANG DANA REBOISASI Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 dan Pasal 12 Undang-undang Nomor 20

Lebih terperinci

NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI

NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hutan produksi di Indonesia

Lebih terperinci

2017, No Pengolahan Air Limbah Usaha Skala Kecil Bidang Sanitasi dan Perlindungan Daerah Hulu Sumber Air Irigasi Bidang Irigasi; Mengingat : 1.

2017, No Pengolahan Air Limbah Usaha Skala Kecil Bidang Sanitasi dan Perlindungan Daerah Hulu Sumber Air Irigasi Bidang Irigasi; Mengingat : 1. No.247, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Penggunaan DAK. Pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah Usaha Skala Kecil Bidang Sanitasi dan Perlindungan Daerah Hulu Sumber Air Irigasi bidang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanenan Hutan Menurut Sessions (2007), pemanenan hutan merupakan serangkaian aktivitas penebangan pohon dan pemindahan kayu dari hutan ke tepi jalan untuk dimuat dan diangkut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. klimaks pada daerah dengan curah hujan mm per tahun, rata-rata

BAB I PENDAHULUAN. klimaks pada daerah dengan curah hujan mm per tahun, rata-rata 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis tinggi. Menurut Bermejo et al. (2004) kayu jati merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis tinggi. Menurut Bermejo et al. (2004) kayu jati merupakan salah satu 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jati merupakan jenis kayu komersil yang bermutu dan memiliki nilai ekonomis tinggi. Menurut Bermejo et al. (2004) kayu jati merupakan salah satu kayu penting yang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KEMASYARAKATAN (IUPHHKM) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

2 maka diperlukan perbaikan dalam pengaturan pembangunan Hutan Tanaman Industri; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a, dan h

2 maka diperlukan perbaikan dalam pengaturan pembangunan Hutan Tanaman Industri; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a, dan h BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.472, 2015 KEMENLHK. Hutan Taman Industri. Pembangunan. Pencabutan PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 12/MENLHK-II/2015 TENTANG

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 08.1/Kpts-II/2000 TENTANG KRITERIA DAN STANDAR PEMANFAATAN HASIL HUTAN DALAM HUTAN PRODUKSI SECARA LESTARI

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 08.1/Kpts-II/2000 TENTANG KRITERIA DAN STANDAR PEMANFAATAN HASIL HUTAN DALAM HUTAN PRODUKSI SECARA LESTARI KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 08.1/Kpts-II/2000 TENTANG KRITERIA DAN STANDAR PEMANFAATAN HASIL HUTAN DALAM HUTAN PRODUKSI SECARA LESTARI MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa berdasarkan Pasal 2

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Hutan tropis ini merupakan habitat flora dan fauna (Syarifuddin, 2011). Menurut

Lebih terperinci

LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 744/Kpts-II/1990 TANGGAL : 13 Desember 1990

LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 744/Kpts-II/1990 TANGGAL : 13 Desember 1990 LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 744/Kpts-II/1990 TANGGAL : 13 Desember 1990 KETENTUAN MENGENAI PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN PT. WAPOGA MUTIARA TIMBER KETENTUAN I : TUJUAN PENGUSAHAAN HUTAN

Lebih terperinci

Lokasi Penelitian Penetapan Lokasi Kajian Analisa Data

Lokasi Penelitian Penetapan Lokasi Kajian Analisa Data PENDAHULUAN Hutan produksi merupakan suatu kawasan hutan tetap yang ditetapkan pemerintah untuk mengemban fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Pengelolaan hutan produksi tidak semata hanya untuk mencapai

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 201/KPTS-II/1998. Tentang

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 201/KPTS-II/1998. Tentang MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 201/KPTS-II/1998 Tentang PEMBERIAN HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DENGAN SISTEM TEBANG PILIH DAN TANAM JALUR KEPADA ATAS

Lebih terperinci

Ekologi Padang Alang-alang

Ekologi Padang Alang-alang Ekologi Padang Alang-alang Bab 2 Ekologi Padang Alang-alang Alang-alang adalah jenis rumput tahunan yang menyukai cahaya matahari, dengan bagian yang mudah terbakar di atas tanah dan akar rimpang (rhizome)

Lebih terperinci

BAB 3 OBJEK PENELITIAN. IKH termuat di dalam Akte Pendirian Perseroan. Akte ini telah disahkan oleh

BAB 3 OBJEK PENELITIAN. IKH termuat di dalam Akte Pendirian Perseroan. Akte ini telah disahkan oleh BAB 3 OBJEK PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian 3.1.1 Sejarah Singkat PT. IKH didirikan pada tanggal 19 Mei 1997. Anggaran dasar PT. IKH termuat di dalam Akte Pendirian Perseroan. Akte ini telah disahkan oleh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) adalah sistem silvikultur yang digulirkan sebagai alternatif pembangunan hutan tanaman

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 167, 1999 (Penjelasan dalam Tambahan

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 6886/Kpts-II/2002 TENTANG

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 6886/Kpts-II/2002 TENTANG MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 6886/Kpts-II/2002 TENTANG PEDOMAN DAN TATA CARA PEMBERIAN IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN (IPHH) PADA HUTAN PRODUKSI MENTERI KEHUTANAN,

Lebih terperinci