: Republik Indonesia : Tentara Nasional Indonesia : Tempat Pemungutan Suara

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download ": Republik Indonesia : Tentara Nasional Indonesia : Tempat Pemungutan Suara"

Transkripsi

1 DAFTAR SINGKATAN ABRI Babar Babel Barnas Basel Bateng Beltim BPP BPS Dapil DPC DPD DPR DPRD DPT Gerindera Golkar Hanura INES KPU LSI Orba PAN PBR PD PDI PDIP PDK : Angkatan Bersenjata Republik Indonesia : Bangka Barat : Bangka Belitung : Partai Barisan Nasional : Bangka Selatan : Bangka Tengah : Belitung Timur : Bilangan Pembagi Pemilih : Badan Pusat Statistik : Daerah Pemilihan : Dewan Pimpinan Cabang : Dewan Perwakilan Daerah : Dewan Perwakilan Rakyat : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah : Daftar Pemilih Tetap : Partai Gerakan Indonesia Raya : Partai Golongan Karya : Partai Hati Nurani Rakyat : Indonesia Network Election Survei : Komisi Pemilihan Umum : Lingkaran Survei Indonesia : Orde Baru : Partai Amanat Nasional : Partai Bintang Reformasi : Partai Demokrat : Partai Demokrasi Indonesia : Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan : Partai Demokrasi Kebangsaan xi

2 PDP PDS Pemda Pileg Pilgub Pilkada PIS PKB PKDI PKNU PKP PKPB PKPI PKS PMB PNBK PNI Marhaenisme PNS PNUI POLRI PPD PPDI PPDI PPI PPIB PPP PPPI PPRN PSI PT Republikan : Partai Demokrasi Pembaruan : Partai Damai Sejahtera : Pemerintah Daerah : Pemilu Legislatif : Pemilihan Gubernur : Pemilihan Kepala Daerah : Partai Indonesia Sejahtera : Partai Kebangkitan Bangsa : Partai Kasih Demokrasi Indonesia : Partai Kebangkitan Ulama Indonesia : Partai Karya Perjuangan : Partai Karya Peduli Bangsa : Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia : Partai Keadilan Sejahtera : Partai Matahari Bangsa : Partai Nasional Banteng Kedaulatan : Partai Nasional IndonesiaMarhaenisme : Pegawai Negeri Sipil : Partai Nasional Ulama Indonesia : Kepolisian Republik Indonesia : Partai Persatuan Daerah : Partai Penegak Demokrasi Indonesia : Partai Penegak Demokrasi Indonesia : Partai Pemuda Indonesia : Partai Perhimpunan Indonesia Baru : Partai Persatuan Pembangunan : Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia : Partai Peduli Rakyat Nasional : Partai Serikat Indonesia : Parliementery Threshold : Partai Republik Nusantara xii

3 RI TNI TPS : Republik Indonesia : Tentara Nasional Indonesia : Tempat Pemungutan Suara xiii

4 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.1 Tabel 1.2 Sebaran Perolehan Suara Politisi untuk DPR di Babel pada Pileg Sebaran Perolehan Suara Politisi untuk DPR Di Babel pada Pileg Tabel 1.3 Komposisi Etnis Penduduk Babel... 5 Tabel 1.4 Sebaran Responden Tabel 1.5 Penentuan Jumlah Segmen TPS...50 Tabel 1.6 Kerangka Analisis Perilaku Memilih Tabel 2.1 Perolehan Suara Partai Politik dan Politisi untuk DPR Hasil Pileg 2009 di Bangka Tabel 3.1 Tabel 3.2 Tabel 3.3 Tabel 3.4 Rekapitulasi Penanganan Pelanggaran Pidana Pemilu Provinsi Kepulauan Babel di Kabupaten Bangka Koefisiensi Koentingensi Pertimbangan Agama dan Mewakili Agama Koefisiensi Koentingensi Pertimbangan Etnis dan Mewakili Etnis Koefisiensi Koentingensi Pertimbangan Kedaerahan dan Mewakili Kedaerahan Tabel 4.1 Jumlah Perolehan Suara Partai Politik Hasil Pileg 2009 Untuk DPR RI di Babel Tabel 4.2 Tabel 4.3 Jumlah Perolehan Suara Partai Politik yang Mendapatkan Kursi di DPR dan Perolehan Suara Caleg DPR RI Dapil Babel hasil Pileg Jumlah Perolehan Suara Caleg DPD RI Dapil Babel Hasil Pileg xiv

5 DAFTAR GRAFIK Halaman Grafik 1.1 Jumlah Responden di Kecamatan Grafik 1.2 Karakteristik Tempat Tinggal Responden Grafik 1.3 Kelompok Usia Responden...56 Grafik 1.4 Komposisi Jenis Kelamin Responden Grafik 1.5 Latarbelakang Pendidikan Responden Grafik 1.6 Jenis Pekerjaan Responden Grafik 1.7 Latarbelakang Agama Responden Grafik 1.8 Karakteristik Pendapatan Responden Grafik 2.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama/Kepercayaan Menurut Kecamatan di Kabupaten Bangka Tahun Grafik 2.2 Grafik 2.3 Grafik 2.4 Pengakuan Responden sebagai Bagian dari Masyarakat Tionghoa Tingkat Perasaan sebagai Bagian dari Masyarakat Tionghoa Intensitas Masyarakat Tionghoa dalam Menjalankan Tradisi Leluhur di Bangka Grafik 2.5 Intensitas Penggunaan Dialek Tionghoa Grafik 2.6 Modal Kepercayaan Etnis Tionghoa kepada Etnis Lainnya Grafik 2.7 Sebaran Perolehan Suara Terbanyak 10 Partai Politik di 8 Kecamatan untuk DPR pada Pileg 2009 di Kabupaten Bangka Grafik 2.8 Sebaran Perolehan Suara Terbanyak Politisi di Kabupaten Bangka untuk DPR RI Grafik 3.1 Alasan Memilih di Pileg Grafik 3.2 Pemilih Tionghoa yang Mengenal Politisi Grafik 3.3 Mengetahui Agama Politisi Grafik 3.4 Mengetahui Etnis Politisi Grafik 3.5 Mengetahui Daerah Politisi Grafik 3.6 Partai Politik Pilihan Pemilih Tionghoa di Bangka xv

6 Grafik 3.7 Alasan Memilih Partai Politik Grafik 3.8 Konsistensi Dukungan terhadap Partai Politik Grafik 3.9 Dukungan Pemilih terhadap Politisi Grafik 3.10 Alasan Memilih Politisi Grafik 3.11 Pengaruh Partai Politik terhadap Pilihan Politik Grafik 3.12 Identifikasi Diri terhadap Partai Politik Grafik 3.13 Loyalitas terhadap Partai Politik Grafik 3.14 Bantuan Tim Sukses Peserta Pemilu Grafik 3.15 Bantuan Timses Bukan Jaminan Grafik 3.16 Pengaruh Bantuan Sosial terhadap Pilihan Politik Grafik 3.17 Latarbelakang Agama sebagai Pertimbangan Pilihan Politik Grafik 3.18 Peran Penting Agama dalam Menentukan Pilihan Politik Grafik 3.19 Latarbelakang Etnis sebagai Pertimbangan Pilihan Politik Grafik 3.20 Peran Etnis sebagai Pertimbangan Pilihan Politik Grafik 3.21 Latarbelakang Daerah sebagai Pertimbangan pilihan Politik Grafik 3.22 Peran Kedaerahan sebagai Pertimbangan Pilihan Politik Grafik 4.1 Grafik 4.2 Afiliasi Agama dan Partai Politik Pilihan Pemilih Tionghoa Afiliasi Agama dan Politisi Pilihan Grafik 4.3 Sebaran Usia dalam Mempertimbangkan Etnis Grafik 4.4 Identitas dalam Sentimen Etnis xvi

7 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemilu Legislatif (Pileg) 2009 memberi kesempatan terbaik untuk menelusuri lebih mendalam keterkaitan antara agama, etnis, dan kedaerahan dengan pilihan politik bagi pemilih di Daerah Pemilihan (Dapil) Bangka Belitung (Babel). Hal ini dikarenakan Pileg 2009, sistem penentuan perolehan kursi seorang politisi berdasarkan suara terbanyak. Terpilihnya beberapa politisi yang berasal dari kalangan etnis Tionghoa untuk menduduki jabatan politik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara mengejutkan pada Pileg 2009 di Babel memberikan catatan khusus bagi perjalanan politik kaum minoritas di Indonesia. Meningkatnya keterlibatan partisipasi politik secara langsung dari kalangan etnis Tionghoa sekaligus dapat dipahami sebagai matinya diskriminasi bagi kelompok minoritas di berbagai arena politik. Boleh jadi, fenomena ini merupakan keberhasilan dari proyek perubahan sistem politik di Indonesia yang menjamin peluang bagi seluruh anak bangsa untuk berpartisipasi langsung di bidang politik. Jika dilihat dari pemilu ke pemilu, nampak terjadi pergeseran dukungan politik bagi partai politik dan politisi yang bekompetisi di Dapil Babel. Tabel 1.1 memperlihatkan komposisi perolehan suara dan kursi hasil Pileg

8 Tabel 1.1 Sebaran Perolehan Suara Politisi untuk DPR di Babel pada Pileg 2009 No Nama Partai Perolehan Suara Partai Perolehan Suara Kandidat Perolehan Kursi 1 PDI P * Tjen (53.129) 1 2 GOLKAR * Ahok ( ) 1 3 PD Paiman (12.731) 1 4 PKS PPP PBB PAN GERINDERA HANURA Partai Lainnya Jumlah Jumlah: Sumber: Komisi Pemilihan Umum (KPU), Pemilu 2009 Dalam Angka Keterangan: * Politisi yang berasal dari Kalangan Etnis Tionghoa Tabel 1.1 menunjukkan total jumlah perolahan suara sah sejumlah suara. Ke tiga partai peserta Pileg 2009 yang berhasil meraup perolehan suara tertinggi diraih oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrat (PD). Perolehan suara ketiga partai tadi jika digabungkan berjumlah atau lebih dari 50 persen dari total jumlah suara sah. Artinya, sejumlah 50 persen pemilih di Dapil Babel mempercayakan aspirasi politiknya kepada ke tiga partai ini. Dari tiga kouta kursi yang diperebutkan di Dapil Babel untuk DPR misalnya, dua kursi diperoleh oleh politisi asal etnis Tionghoa, yakni Rudianto Tjen (Tjen) politisi PDIP yang berdomisili di Pulau Bangka dan Basuki Tjahya Purnama (Ahok) politisi Golkar yang berdomisili di Pulau Belitung. Sementara sisa satu kursi lainnya diperoleh oleh politisi asal Partai Demokrat, yakni Paiman, yang 2

9 merupakan satu-satunya politisi dari kalangan etnis Melayu yang berdomisili di Pulau Bangka. Di Pileg 2009, sebaran perolehan suara peserta pemilu di Babel boleh dikatakan dominan dikuasai oleh politisi dari kalangan Tionghoa. Mencermati hasil Pileg 2004 yang lalu, perolehan suara politisi Tionghoa tidak begitu signifikan. Namun, hasil Pileg 2009 menunjukkan perubahan dukungan yang luar biasa drastis di kalangan pemilih di Babel jika dibandingkan dengan perolehan suara politisi Tionghoa di Pileg Tabel 1.2 Sebaran Perolehan Suara Partai Politik Pada Pileg 2004 untuk DPR RI No Nama Partai Perolehan Suara Partai Perolehan Suara Kandidat Perolehan Kursi 1 PDI P * Tjen (18.604) 1 2 GOLKAR Azhar Romli (24.284) 1 3 PBB Yusron Ihza (63.137) 1 4 PPP PKS PAN PD PKB PBR Partai Lainnya Jumlah Jumlah: Sumber: pemilu.plasa.com yang dikutip dalam Sungai Kecil Buayanya Banyak: Memetakan Problema Politik Ekonomi Propinsi Baru (Propinsi Kepulauan Bangka Belitung) dari Laporan Penelitian Integratif S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM. Keterangan: * Politisi dari kalangan etnis Tionghoa Hasil akhir perolehan suara di Pileg 2004 mengantarkan politisi dari kalangan etnis Melayu untuk memperoleh dua kursi, yakni Azhar Ramli (Azhar) 3

10 dari Golkar, dan Yusron Ihza Mahendera (Yusron) dari Partai Bulan Bintang (PBB). Sementara satu kursi sisanya diperoleh oleh politisi asal etnis Tionghoa, yakni Tjen. Jika dilihat komposisi perolehan suara masing-masing politisi, suara terbanyak pertama diperoleh oleh Yusron sejumlah suara. Kemudian disusul oleh Azhar sebanyak suara. Dan, di urutan ke tiga, diperoleh oleh Tjen sebanyak suara. Hasil Pileg 2004 menegaskan masih kuatnya dominasi politisi Melayu dalam percaturan politik di Babel. Namun, lain dulu lain sekarang. Pileg 2009 agaknya menjadi arena politik yang kurang menguntungkan bagi politisi Melayu. Jika dicermati, hasil Pileg 2009 di Babel mengindikasikan bahwa pesona politisi Melayu yang selama ini mendominasi perpolitikan mulai memudar. Menurunnya perolehan suara yang didapatkan Yusron di Pileg 2009 sehingga membuatnya kehilangan jabatan politik 1 menunjukkan gejala kehilangan dukungan pemilih bagi politisi Melayu. Di Pileg 2009, Yusron hanya bisa mendulang suara sejumlah suara. Tak hanya itu, tidak bertambahnya secara signifikan perolehan suara Azhar dalam persaingannya dengan Ahok di Pileg 2009 semakin menegaskan 1 Untuk menjelaskan kegagalan Yusron dalam mempertahankan jabatan politiknya di DPR tidak cukup dilihat perolehan suaranya yang menurun. Seperti yang kita ketahui, dalam UU No. 10/2008 yang mengatur tentang pemilu ada pemberlakuan Parliementary Thresold (PT) sebesar 2,5 persen. Undangundang ini menyebutkan bahwa bagi partai politik peserta pemilu yang perolehan suaranya tidak mencapati angka 2,5 secara nasional maka partai tersebut tidak mendapatkan kursi di DPR. Di Pileg 2009, partai PBB yang menjadi kendaraan politik Yusron secara nasional perolehan suaranya tidak mencapai ambang batas PT. Meskipun demikian, dengan melihat perolehan suara Yusron yang didapatkannya di Pileg 2009 cukup menunjukkan dukungan pemilih terhadap politisi Melayu merosot tajam. 4

11 kenyataan bahwa politisi Melayu mulai kehilang kendali untuk mendominasi perpolitikan di Babel. Padahal, kedua politisi ini berstatus incumbent. Bandingkan dengan perolehan Tjen yang juga selaku incumbent di Pileg Tjen, di Pileg 2009 mampu mendongkrak perolehan suaranya hingga suara. Seperti yang diketahui, di Pileg 2004 Tjen hanya mendapatkan dukungan sebanyak suara. Tabel 1.3 Komposisi Etnis Penduduk Babel Etnis Jumlah Persen (%) Melayu Tionghoa Jawa Lainnya Bugis Madura Sunda Minangkabau Betawi Banten Banjar Total Sumber: Leo Suryadinata, Evi Nurvidya Arifin, Aris Ananta, Indonesia s Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape, Singapore, ISEAS, 2003, yang dikutip dari Buletin Bulanan Lingkaran Survei Indonesia Edisi 9 Januari Lihat juga dalam bukunya Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa Kasus Indonesia, Jakarta, LP3ES, 2002, hal Kemenangan politisi Tionghoa merupakan fenomena yang cukup menarik mengingat pemilih di Babel mayoritas dari kalangan etnis Melayu yang berjumlah 71,89%. Tabel 1.3 menunjukkan komposisi etnis Tionghoa hanya berjumlah 11,54 persen dari jumlah total penduduk. Dengan mengandalkan pemilih dari kalangan Tionghoa tanpa mendapatkan dukungan dari kalangan 5

12 etnis Melayu tentu sulit bagi politisi Tionghoa untuk memenangkan kompetisi politik di Babel. Lantas, benarkah pemilih Melayu memberikan dukungannya kepada politisi Tionghoa? Penelitian yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) di bulan Januari-Februari 2007 menjelang Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) Gubernur Babel 2007 dapat dijadikan acuan awal untuk melihat dinamika politik yang berbasis etnisitas di Babel. Meski arena politik yang diamati berbeda, hasil penelitian LSI menyimpulkan bahwa faktor etnisitas tidak begitu terlalu berpengaruh bagi orientasi politik pemilih di Babel (LSI, Edisi 06, Januari 2008). Temuan LSI menunjukkan besarnya pemilih di kalangan etnis Melayu yang bersedia untuk memilih politisi yang berlatar belakang etnis Tionghoa pada Pilkada Babel Temuan ini linier dengan hasil akhir Pilkada tersebut yang menempatkan Ahok dan pasangannya pada urutan kedua setelah pasangan Eko Maulana Ali. Perolehan suara Ahok dan pasangannya jauh melampaui perolehan suara yang didapatkan oleh pasangan Hudarni Rani selaku calon incumbent. Tidak terkonsentrasinya suara etnis Melayu untuk mendukung politisi Melayu menjadi potret positif bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Dengan mengabaikan, dan tidak mempersoalkan latar belakang etnisitas di kelompok pemilih Melayu, tentu saja menjadi pentunjuk awal matinya politik etnis di Babel. 6

13 Benarkah politik berbasis sentimen etnis di Babel telah usai? Bagaimana dengan dukungan di kalangan pemilih Tionghoa, apakah pemilih Tionghoa hanya akan mendukung politisi dari kalangan Tionghoa saja? Atau, seperti halnya pemilih Melayu, pemilih Tionghoa juga tidak mempertimbangkan latarbelakang etnisitas yang melekat pada politisi ketika menentukan pilihan politiknya? Menggeneralisasikan kecenderungan semua pemilih Tionghoa untuk memilih politisi dari kalangan Tionghoa secara sembarangan tentu hal yang sulit mengingat struktur sosial di kalangan pemilih Tionghoa begitu beragam. Sebagaimana diketahui, secara umum, etnis Tionghoa di Indonesia terbagi ke dalam dua kelompok masyarakat, yakni totok dan peranakan (Suryadinata, 1992; Darwis, 2010). Sebutan totok biasanya melekat pada Tionghoa yang secara adat istiadat, bahasa, budaya, beroretansi langsung dengan Tiongkok yang merupakan tanah kelahirannya (Darwis, 2010). Sementara untuk sebutan peranakan melekat pada masyarakat Tionghoa yang secara adat istiadat, bahasa, budaya, sudah melebur dengan masyarakat lokal di tempat dimana mereka dilahirkan (Darwis, 2010). Sebagai konsekuensi dari munculnya kedua kelompok sosial dalam masyarakat etnis Tionghoa tadi, tentu saja dalam tubuh etnis Tionghoa terdapat heterogenitas yang kuat pula (Dawis, 2010). Meskipun sulit mengelompokkannya secara khusus, menurut Darwis heterogenitas di kalangan 7

14 Tionghoa dapat ditelurusi dari berbagai faktor sosial dan budaya, seperti pengaruh keluarga, agama dan daerah asal (Darwis, 2010). Adanya heterogenits dalam tubuh pemilih Tionghoa mengandaikan pemilih Tionghoa yang relatif memiliki berbagai macam alasan politis untuk menentukan pilihan politiknya. Selain itu, adanya persaingan politik yang terjadi diantara sesama politisi Tionghoa juga menyediakan banyak pilihan bagi pemilih Tionghoa ketika menentukan politisi yang akan dipilih. Di arena politik di level DPR saja, politisi Tionghoa seperti Tjen, Ahok, Anton Gozelle (Anton) dan Pricillia harus bersaing ketat untuk mendapatkan dukungan dari pemilih Tionghoa. Hal yang tidak kalah menarik adalah menelusuri motif perilaku memilih di kalangan pemilih Tionghoa dalam kaitannya dengan kepentingan pemilih itu sendiri. Sebagaimana diketahui, bahwa dalam tubuh etnis Tionghoa sendiri terdapat heterogenitas. Artinya, pluralitas orientasi perilaku memilih di kalangan pemilih Tionghoa boleh jadi menjadi hal yang tidak terhindarkan. Oleh karenanya, dalam kajian ini, peneliti akan berusaha untuk mengetahui secara spesifik melalui pengamatan empiris tentang tarik menarik kepentingan politik di kalangan pemilih Tionghoa pada Pileg Penelitian ini juga sekaligus bermaksud untuk mempelajari bagaimana pola perilaku memilih di kalangan pemilih Tionghoa. 8

15 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, dapat disimpulkan rumusan masalah sebagai berikut: Sejauhmana basis sosiologis yaitu agama, etnisitas, dan kedaerahan memiliki pengaruh terhadap perilaku memilih masyarakat Tionghoa di Kabupaten Bangka pada Pileg 2009? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Selama ini perkembangan perilaku memilih di kalangan pemilih Tionghoa hanya diukur secara kualitatif, yakni berdasarkan perkiraan yang subyektif tanpa tolak ukur yang jelas. Sudah saatnya pembacaan dinamika perilaku memilih di kalangan pemilih Tionghoa diukur secara kuantitatif untuk menghasilkan gambaran yang akurat. Apa yang dihasilkan dari penelitian ini mempunyai berbagai manfaat. Pertama, secara akademis dapat memberikan sumbangsih data penting bagi studi perilaku memilih, khusunya di kalangan pemilih Tionghoa berdasarkan atas datadata yang jelas, dengan tolak ukur yang jelas pula. Data-data yang diperoleh dari penelitian ini dapat membantu pihak-pihak yang memiliki ketertarikan untuk mempelajari dinamika perilaku memilih di kalangan pemilih Tionghoa seperti para mahasiswa, peneliti, aktivis sosial, partai politik, dan wartawan. 9

16 Manfaat ke dua bagi perencanaan pembangunan politik di Babel secara umum. Data-data yang dihasilkan dalam penelitian ini mampu menunjukkan aspek dan indikator mana saja yang kurang mendukung bagi perkembangan demokratisasi di Babel, sehingga bisa diketahui hal-hal apa saja yang perlu dilakukan oleh semua elemen bangsa dalam meningkatkan kualitas perkembangan demokrasi di arena lokal. Manfaat ke tiga adalah bagi pemangku kepentingan seperti partai politik, politisi, dan elit-elit politik lokal di Babel. Melalui hasil penelitian ini diperoleh data-data yang berguna bagi pemangku kepentingan untuk mengevaluasi diri ketika melaksanakan demokrasi, dan melakukan perbaikan-perbaikan untuk meningkatkan kualitas demokrasi di Babel. Dari ke tiga manfaat yang disebutkan, hasil penelitian ini secara umum untuk membantu semua pihak memonitor perkembangan demokrasi di Babel. D. Review Literatur Pembahasan studi perilaku memilih di Indonesia belakangan ini telah banyak dikembangkan dan dilakukan oleh peneliti. Hingga sekarang, paling tidak terdapat enam studi penting tentang perilaku memilih di Indonesia. Pertama, studi perilaku memilih yang dilakukan oleh Gaffar (1992). Studi Gaffar (1992) ini berupaya untuk menjelaskan perilaku memilih di kalangan pemilih Jawa yang objek penelitiannya di tiga desa dalam satu kabupaten pada Pemilu Orde Baru 10

17 (Orba). Dengan metode survei, studi yang dilakukan oleh Gaffar (1992) menunjukkan pola hubungan yang kuat antara orientasi agama pemilih dengan partai yang dipilih. Pemilih dengan berlatar belakang santri mempunyai kecenderungan untuk memilih partai politik berasaskan islam, seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sementara pemilih dengan latar belakang abangan cenderung pula memilih partai sekuler, yakni PDI. Dan pemilih yang termasuk kelompok priyayi dipastikan akan memilih partai pemerintah, dalam hal ini Golkar. Studi tersebut juga menemukan pola patron-client dimasyarakat dalam menentukan pilihan politiknya. Keputusan seseorang untuk medukung partai politik sangat dipengaruhi oleh interaksi individu dengan pemimpin yang dihormati oleh seseorang. Temuan lainnya, ketika pemimpin informal memiliki pengaruh yang kuat dan mampu menghadapi pemimpin formal yang mendukung partai pemerintah, maka bisa dipastikan partai oposisi akan menjadi pemenang pada pemilu tersebut. Begitu juga sebaliknya, semakin lemah pengaruh tokoh informal terhadap tokoh formal maka sudah bisa dipastikan pula kemenangan untuk partai pemerintah (Gaffar, 2007). Selanjutnya, studi yang dilakukan oleh Mallarangeng (1997) berupaya untuk mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan politik seseorang terhadap partai politik di masa Pemilu Orde Baru (Orba) pada tahun 1977, 1982, 1987, dan Studi ini menjelaskan hubungan yang kuat antara latar belakang 11

18 agama dengan pilihan politik masyarakat ketika itu. Pemilih yang beragama Islam cenderung memilih partai Islam. Begitu juga dengan orientasi agama, yang mana pemilih santri cenderung memilih partai Islam, sementara pemilih yang beragama non-islam cenderung memilih partai nasionalis (Mallarangeng, 1997). Temuan lainnya dalam studi tersebut berhasil menangkap adanya hubungan antara aktivitas dan program kerja pemerintah dengan dukungan terhadap partai pemerintah. Semakin banyak agenda dan program kerja pemerintah di daerah tertentu maka semakin besar kesempatan partai pemerintah untuk memenangkan pemilu di daerah tersebut (Mallarangeng, 1997). Ke dua studi tadi menggunakan metode yang berbeda. Studi yang dilakukan oleh Mallarangeng menggunakan data agregat yang hanya mengandalkan keakuratan dan ketersediaan data yang ada. Sedangkan studi yang dilakukan oleh Gaffar menggunakan data survei yang terbatas. Meskipun demikian, periode ke dua studi tadi sama-sama dilakukan pada era Orba. Paska kejatuhan rezim Orba, peminat studi perilaku memilih di Indonesia semakin berkembang. Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Liddle & Mujani (2000), King (2003), Ananta (et.al, 2004), dan Liddle & Mujani (2007) semakin memperkaya khasana kajian perilaku memilih. Studi ekstentif mengenai perilaku memilih yang dilakukan oleh Liddle & Mujani (2002, 2007) dengan menggunakan metode survei melalui serangkaian pertanyaan yang diturunkan dari variabel-variabel penelitian untuk menanyakan langsung kepada pemilih 12

19 alasan memilih partai. Studi ini kemudian menguji semua variabel yang bisa menjelaskan perilaku memilih seseorang. Temuan studi ini menunjukkan memang ada keterkaitan antara orientasi agama seseorang dengan partai yang dipilih. Namun pengaruh orientasi agama tidaklah kuat, tidak sebesar yang dinyatakan dalam tesis Gaffar. Temuan lainnya menunjukkan adanya hubungan kuat antara identifikasi partai dengan partai pilihan. Seseorang pemilih yang mengidentifikasikan dirinya terhadap partai tertentu cenderung akan memilih partai tersebut. Studi ini juga menunjukkan faktor kepemimpinan merupakan variabel yang penting untuk menjelaskan pilihan partai pemilih. Tak hanya itu, studi ini sekaligus menguji varibel evaluasi ekonomi yang hasilnya sampai pada kesimpulan bahwa aspek evaluasi terhadap kondisi ekonomi belum menjadi variabel penting dalam menentukan pilihan politik seseorang terhadap pilihan partai politik. Studi berikutnya, dilakukan oleh King (2003) dengan menggunakan data agregat seperti studi yang dilakukan Mallarangeng. Dengan menggunakan variabel orientasi agama, King menemukan hubungan yang kuat antara latar belakang agama seseorang terhadap pilihan partai politik yang juga berlandaskan agama yang sama dengan pemilih. Bahkan, King menyimpulkan bahwa pengaruh politik aliran yang ada di Indonesia masih relatif berlaku untuk menjelaskan perilaku memilih di masyarakat indonesia kekinian. 13

20 Variabel lain yang digunakan oleh King adalah varibel aktivitas atau kehadiran pemerintah untuk melihat variabel penentu bagi seseorang pemilih dalam menentukan pilihan partai politik. Hasil studi King menyimpulkan bahwa ada keterkaitan antara kehadiran pemerintah dalam menentukan pilihan politik masyarakat walaupun tidak begitu kuat pengaruhnya. Studi perilaku memilih lainnya dilakukan oleh Ananta (et, al, 2004) yang juga menggunakan data agregat. Temuan studi ini menunjukkan adanya pengaruh yang kuat antar latar belakang agama terhadap perilaku memilih seseorang untuk memilih partai politik. Studi Ananta juga melihat variabel etnisitas (kesukuan) untuk menjelaskan perilaku memilih masyarakat Indonesia, yang menunjukkan hubungan positif yang kuat pada etnis Jawa yang memiliki kecenderungan untuk memilih Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan PDIP. Sedangkan di kalangan pemilih etnis Jawa memperlihatkan hubungan yang negatif atas pilihan politiknya kepada PPP dan Golkar. Selain ke enam studi yang telah diuraikan, masih banyak penelitian terkait dengan bahasan perilaku memilih yang tersebar dalam bentuk skripsi, tesis, maupun disertasi. Pada kesempatan ini, peneliti sengaja tidak menampilkan hasil penelitian lainnya mengingat bagi peneliti ke enam studi yang disampaikan tadi cukup mewakili untuk menjelaskan perilaku memilih di Indonesia. Namun demikian, hasil penelitian lainnya yang memiliki hubungan langsung dengan obyek penelitian ini memungkinkan ditampilkan. Ini dilakukan untuk 14

21 menjelaskan posisi penelitian ini sebagai pembeda atau studi lanjutan dari penelitian-penelitian sebelumnya yang terkait langsung dengan objek penelitian yang sama. Kajian yang sejauh ini terkait langsung dengan perilaku politik etnis Tionghoa di Babel bermula dari penelitian yang dilakukan oleh Ibrahim. Penelitian dalam bentuk disertasi yang dilakukan oleh Ibrahim terfokus pada keterkaitan bisnis, kekuasaan dan identitas yang bersinergi membentuk pola perilaku politik etnis Tionghoa di Babel paska Orba (Ibrahim, 2013). Menurut Ibrahim (2013), pola perilaku politik etnis Tionghoa di Babel membentuk bangunan piramida: bisnis-kekuasaan-identitas yang saling menopang. Hasil penelitian Ibrahim (2013) memberikan beberapa petunjuk terkait dengan perilaku politik etnis Tionghoa di Babel berikut ini: pertama, elit politik Tionghoa menggunakan dua jalur utama untuk kepentingan bisnis dengan memanfaatkan modal identitas dan finansial, yakni jalur formal sebagai anggota partai politik dan ikut berkompetisi langsung di berbagai arena politik dan jalur informal menanamkan pengaruh di berbagai akses kekuasan. Ke dua, terjalinnya kerjasama antara bisnis, kekuasaan dan identitas yang membentuk pola piramida, yang mana masing-masing saling menopang dengan berbagai variannya. Ke tiga, sebagai konsekuensi dari semuanya, identitas tidak saja dikonstruksi tetapi juga diinstrumentasi untuk mencapai tujuan kekuasaan. 15

22 Dengan memanfaatkan peluang-peluang politik elektoral yang dimungkinkan oleh sistem politik di Indonesia, politisi etnis Tionghoa secara sadar memanfaatkan kesempatan tersebut untuk berpartisipasi politik secara langsung (Ibrahim, 2013). Keterlibatan langsung politisi Tionghoa di dunia politik praktis tidak bisa dilepaskan sebagai alat untuk melindungi kepentingan bisnisnya (Ibrahim, 2013). Selain itu, keterlibatan secara langsung politisi Tionghoa di dunia politik praktis sejalan dengan mengandalkan identitas sebagai lumbung suara bagi politisi Tionghoa (Ibrahim, 2013). Meski penelitian Ibrahim berhasil menemukan pola perilaku politisi Tionghoa di Babel paska Orba seperti yang disebutkan, Ibrahim belum menyinggung bentuk respon masyarakat Tionghoa terhadap kehadiran politisi dari kalangan Tionghoa. Ibrahim telah berupaya untuk menampilkan sejumlah data agregat yang memiliki keterkaitan antara basis pemilih Tionghoa dengan perolehan suara politisi Tionghoa di Babel. Akan tetapi, data yang telah disajikan belum mampu menjelaskan seberapa besar pengaruhnya antara etnisitas dengan dukungan politik yang berbasis etnis. Memang ada upaya pemanfaatan isu-isu identitas yang dilakukan oleh elit politik Tionghoa di Babel. Jika isu identitas dimainkan, pertanyaannya, seberapa penting isu identitas memberikan kontribusi kepada pemilih Tionghoa dalam menentukan pilihan politiknya? Jangan-jangan pemilih Tionghoa memberikan dukungan politik kepada politisi asal Tionghoa hanya karena kebetulan politisi tersebut memiliki banyak uang, bukan karena 16

23 faktor identitas. Atau, barangkali saja politisi yang didukung oleh pemilih Tionghoa memang dicalonkan oleh partai politik yang selama ini telah didukung. Berikutnya, kajian yang masih terkait dengan keberadaan etnis Tionghoa sebagai suatu entitas, dilakukan oleh Idi mengenai proses asimiliasi Tionghoa- Melayu Bangka. Idi menyimpulkan bahwa proses asimilisasi di bidang sosial dan budaya antara etnis Tionghoa-Melayu dapat dikatakan berhasil dengan sangat baik (Idi, 2009). Meskipun tidak memiliki hubungan dengan fenomena perilaku memilih, penelitian yang dilakukan Idi juga menyinggung keterlibatan partisipasi politik etnis Tionghoa secara terbatas dalam struktur partai politik di Bangka (Idi, 2009). Lebih jauh, studi Idi (2009) menunjukkan kuatnya pengaruh struktural dan kultural masyarakat lokal (Melayu) di Bangka sebagai salah satu faktor pendorong terhadap proses asimilasi yang berjalan lancar. Melalui tiga ciri utama seperti; berlangsung secara natural atau tanpa rekayasa, berlangsung relatif sempurna, terjadi pada beberapa tingkatan (kultural, struktural, perkawinan, identifikasi/rasa kebangsaan) serta pada tingkatan asimilasi nir-prasangka dan nir-diskriminasi dalam proses asimilasi orang Tionghoa dan orang Melayu menegaskan dukungan insklusivitas masyarakat Melayu sebagai kelompok masyarakat dominan di Bangka (Idi, 2009). Berikutnya, meskipun tidak memiliki hubungan langsung dengan perilaku memilih di kalangan etnis Tionghoa, salah satu penelitian tentang perilaku 17

24 memilih di Babel dilakukan oleh Bangsawan di Kabupaten Belitung Timur (Beltim). Penelitian ini mengkaji fenomena terpilihnya Ahok sebagai bupati Beltim di Pilkada Penelitian ini menyimpulkan bahwa identitas keetnisan dan identitas kepartaian bagi pemilih di Beltim sudah tidak menemukan relevansinya lagi (Bangsawan, 2007). Dengan kesimpulan tersebut, Bangsawan tidak menjelaskan secara spesifik bahwa identitas keetnisan dan identitas kepartaian bagi pemilih di Beltim yang tidak menemukan relevansinya tadi apakah terjadi di pemilih Melayu atau pemilih Tionghoa. Namun, melihat data yang ada, Bangsawan hendak mengatakan bahwa identitas etnisitas dan identitas kepartaian tidak memiliki hubungan yang kuat bagi perilaku memilih di kalangan pemilih Melayu sebagai pemilih dominan di Beltim ketika mendukung Ahok. Inilah yang hendak dijelaskan oleh Bangsawan dalam melihat fenomena terpilihnya Ahok sebagai bupati pertama dari kalangan etnis Tionghoa di Indonesia. Hasil penelitian lainnya yang juga perlu disampaikan adalah temuan LSI (2007) yang melihat sentimen etnisitas menjelang Pemilihan Gubernur (Pilgub) Di tahun Temuan hasil survei yang dilakukan oleh LSI menyimpulkan bahwa sentimen etnisitas di level pemilih sangatlah kecil, terutama dari kalangan pemilih Melayu. Menurut hasil penelitian ini, Ahok mendapat dukungan kuat dari pemilih yang berlatar belakang etnis Tionghoa. Tak hanya itu, Ahok dan pasangannya juga mendapatkan dukungan cukup besar dari etnis Melayu. 18

25 Catatan penting dari temuan LSI (2007) ini adalah pemilih di Babel yang mayoritas Melayu bisa menerima kehadiran politisi dari etnis Tionghoa. Apakah hal sama juga terjadi di kalangan pemilih etnis Tionghoa yang juga bisa menerima kehadiran politisi dari etnis Melayu tidak dijelaskan secara rinci. Berdasarkan kajian pustaka, penelitian ini hadir untuk mengisi kekosongan studi perilaku memilih di kalangan pemilih Tionghoa. Tak hanya itu, jika hasil penelitian ini nantinya menemukan indikator etnisitas, agama dan daerah menjadi faktor penting dalam menjelaskan fenomena perilaku memilih pemilih di kalangan Tionghoa, maka penelitian ini juga diharapkan sebagai acuan awal sebuah refleksi pergulatan identitas politik yang sebenarnya masih belum tuntas di Bumi Serumpun Sebalai. E. Kerangka Teoritik: Tiga Model Pendekatan Perilaku Memilih Secara umum ada tiga model pendekatan yang dibayangkan dan didukung oleh pengkaji studi perilaku memilih seseorang, yakni model pendekatan sosiologis, psikologis, dan pilihan rasional. Dengan mengandalkan ke tiga model pendekatan kerangka teoritis, saya membayangkan bahasan dalam penelitian ini bisa menjelaskan perilaku memilih di kalangan pemilih Tionghoa di Bangka pada Pileg 2009 secara tuntas. 19

26 E.1. Model 1: Pendekatan Sosiologis Pendekatan sosiologis awalnya berkembang di Eropa. David Denver menyebut model ini sebagai social determinism approach (Asfar, 2006). Meskipun pada awalnya berasal dari Eropa, pendekatan sosiologis juga dikembangkan oleh para ilmuwan sosial yang memiliki latar belakang pendidikan Eropa. Oleh karenanya, Flanagan menyebutnya sebagai model sosiologi politik Eropa (Asfar, 2006). Pendekatan ini pada dasarnya menjelaskan bahwa karakter sosial dan pengelompokan-pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku memilih seseorang (Asfar, 2006). Dalam konteks ini, perilaku memilih seseorang dalam menentukan pilihan politiknya dapat dijelaskan berdasarkan faktor-faktor berbasis kedekatan sosiologis, seperti kesamaan identitas agama, etnis, suku, status sosial, pekerjaan, jenis kelamin, dan kedaerahan atau geografis. Menurut Dan Nimo, pemberian suara yang dipengaruhi oleh karakteristik dan pengelompokan sosial merupakan sebuah respon dari unsur kognitif, afektif, dan konatif dari pengalaman kelompok tertentu (Nursal, 2004). Terkait dengan pengelompokan sosial dalam perilaku memilih seperti yang disebutkan, Gerald Pomper merincinya ke dalam dua variabel, yakni variabel predisposisi sosial-ekonomi keluarga pemilih dan predisposisi sosial-ekonomi pemilih (Asfar, 2006). Menurut Pomper, preferensi- 20

27 preferensi politik keluarga seperti preferensi politik ayah atau preferensi politik ibu akan berpengaruh pada preferensi politik anaknya. Kedua variabel ini, menurut Pomper mempunyai hubungan yang sangat signifikan dengan perilaku memilih seseorang, baik karena berupa persamaan agama yang dianut, persamaan wilayah tempat tinggal, persamaan kelas sosial, serta persamaan karakteristik demografis lainnya (Asfar, 2006). Dari pemaparan yang telah diuraikan, penelitian ini memberi perhatian khusus pada tiga aspek sosiologis, yakni agama, etnisitas, dan kedaerahan. Ketiga aspek ini dipercaya sebagai faktor penting dalam mempengaruhi keputusan memilih seseorang terhadap partai politik atau politisi di kalangan pemilih Tionghoa. a. Agama Perilaku memilih seseorang dalam menentukan pilihan politiknya terhadap partai politik atau politisi sangat dipengaruhi oleh latar belakang agama. Seseorang akan menentukan pilihan politiknya karena berdasarkan agama merupakan pertimbangan tersendiri bagi pemilih. Terkait hubungan antara agama dengan perilaku memilih, penelitian yamg dilakukan oleh Lipset (1981) di Amerika Serikat menemukan bahwa penganut agama Khatolik dan Yahudi, kulit hitam dan Hispanik merupakan pendukung setia Partai Demokrat. 21

28 Sementara kaum Protestan Anglo Saxon memberikan dukungan pada partai Republik (Lipset, 1981). Bahkan di Pemilu presiden tahun 1984, Lipset menunjukkan bahwa 68 persen orang Yahudi di Amerika Serikat memilih Partai Demokrat dibanding dengan 39 persen suara dari pemilih Protestan (Lipset, 1981). Untuk konteks Indonesia, studi yang dilakukan oleh Gaffar (1992) menemukan pola hubungan yang kuat antara orientasi agama pemilih dengan partai yang dipilih. Pemilih dengan latar belakang santri cenderung untuk memilih partai politik berasaskan islam, seperti PPP. Sementara pemilih dengan latar belakang abangan cenderung pula memilih partai sekuler, yakni PDI. Dan pemilih yang termasuk kelompok priyayi dipastikan akan memilih partai pemerintah, dalam hal ini Golkar. Selaras dengan Gaffar, penelitian yang dilakukan oleh Mallarangeng (1997) juga menemukan hubungan yang kuat antara latar belakang agama dengan pilihan politik masyarakat. Pemilih yang beragama islam cenderung memilih partai islam. Begitu juga dengan orientasi agama yang mana pemilih santri cenderung memilih partai islam. Sementara pemilih yang beragama non-islam cenderung memilih partai nasionalis. 22

29 b. Etnis Latar belakang asal usul etnisitas yang melekat pada pemilih juga akan sangat mempengaruhi perilaku memilih seseorang terhadap partai politik atau politisi. Studi Ananta (et, al, 2004) menemukan faktor etnisitas (kesukuan) sebagai penjelas dalam melihat fenomena perilaku memilih masyarakat Indonesia yang menunjukkan hubungan positif yang kuat pada etnis Jawa cenderung memilih partai PKB dan PDIP. Sementara PPP dan Golkar menujukkan hubungan negatif dengan suku Jawa. Oleh karenanya, latar belakang suku masih menjadi faktor yang menentukan pilihan politiknya bagi seseorang tidak bisa diabaikan. Bahkan, studi yang dilakukan oleh Cohen menyimpulkan bahwa politik etnis merupakan sebuah upaya untuk mencapai tujuan dari etnis tertentu dengan mengandalkan ikatan primordial seperti persamaan agama, budaya, asal-usul, yang memiliki jalinan emosional yang dijadikan sebagai orintasi perilaku politiknya (Sarumpaet, 2009). c. Kedaerahan Seperti halnya aspek agama dan etnisistas, faktor geografis juga memiliki hubungan yang erat dengan perilaku memilih seseorang. Penelitian yang dilakukan oleh Petterson dan Rose di 23

30 Norwegia membuktikan bahwa ikatan kedaerahan, kota-desa, merupakan faktor yang cukup signifikan dalam menjelaskan aktivitas dan pilihan politik seseorang (Asfar, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Potoski juga menunjukkan fenomena para kandidat atau politisi pada umumnya lebih diterima dan dipilih oleh pemilih yang berasal dari daerah yang sama (Asfar, 2006):. Terkait dengan model pemilih ini, sebuah studi klasik yang diterbitkan pada tahun 1949 dalam Southern Politics, Key menyebutnya perilaku semacam ini sebagai localism, atau perilaku memilih friends and neighbors (Asfar, 2006). Untuk konteks di Babel, memberikan catatan yang menarik. Pada Pileg 1999, perolehan suara PBB cukup signifikan dengan meraup sebesar 30,3 persen di Kabupaten Belitung. Padahal, di Kabupaten/Kota lainnya perolehan suara PBB tidak begitu besar. Begitu juga denga Partai PILAR partai yang tidak pernah populer di tingkat nasional mendapatkan perolehan suara sejumlah 5 persen di Babel. Terkait dengan dua fenomena ini, penelitian integratif yang dilakukan oleh tim S2 Politik Lokal dan Otonomi Derah (PLOD) UGM di tahun 2004 menyimpulkan bahwa perolehan suara yang cukup signifikan oleh partai PBB dan PILAR di Babel tidak bisa 24

31 dilepaskan dari eksistensi salah satu tokoh lokal yang menjadi pengurus pusat di kedua partai tersebut (Laporan Penelitian Integratif PLOD, 2004). Apa yang disampaikan, secara sederahana dapat disimpulkan bahwa faktor sosiologis yang berdasarkan pada latarbelakang agama, etnis, daerah singkatnya diyakini akan menentukan pilihan politik seseorang. Oleh karenanya, pendekatan sosiologis ini dapat dimanfaatkan untuk menjelaskan kecenderungan perilaku memilih di kalangan pemilih Tionghoa pada Pileg 2009 di Bangka. Meski demikian, pendekatan sosiologis memiliki kelemahan utama karena terlalu menyederhanakan faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang dalam pilihan politiknya berdasarkan pengelompokan sosial yang ada di masyarakat. Selain itu, kelemahan lainnya menurut Niemi dan Weisberg (1984) adalah sulitnya mengukur secara tepat indikator sosiologis secara metodologis (Asfar, 2006). Ketidakmampuan pendekatan ini menjelaskan alasan-alasan kelompok tertentu untuk mendukung atau tidak mendukung partai politik juga menambah deretan panjang kelemahan pendekatan sosiologis dalam menjelaskan perilaku memilih seseorang (Asfar, 2006). Namun, terlepas dari kelemahan-kelemahan, sebagai studi awal terkait perilaku memilih masyarakat etnis Tionghoa di Bangka, pendekatan 25

32 sosiologis ini cukup bisa diandalkan untuk digunakan dalam menjelaskan perilaku memilih di kalangan pemilih Tionghoa pada Pileg 2009 di Bangka. Pemilih Tionghoa yang memiliki corak diaspora dengan keseragaman pada faktor sejarah dan asal usul leluhur mengandaikan bekerjanya politik primordial. Bekerjanya politik primordial di kalangan pemilih Tionghoa boleh jadi lebih dominan dalam menentukan orientasi pilihan politiknya. E.2. Model 2: Pendekatan Psikologis Pendekatan yang dipelopori oleh Agust Campbell ini menekankan pada tiga aspek psikologis sebagai fokus kajian utama, yakni ikatan emosional terhadap partai atau politisi, orientasi terhadap isu dan orientasi terhadap kandidat (Asfar, 2006). Salah satu variabel penting dari model psikologis ini adalah indentifikasi seseorang terhadap partai (partisanship/party ID). Identifikasi partai adalah perasaan keterlibatan dan memiliki yang ada dalam diri seseorang terhadap sebuat partai (Asfar, 2006). Kedekatan ini umumnya terbangun melalui proses yang panjang. Sosialisasi politik di lingkungan keluarga, di tempat kerja, dan di lingkungan masyarakat akan membantu proses pembentukan identitas kepartaian. Mengikuti cara berpikir pendekatan ini, perhatian langsung tertuju pada dua aspek, yakni aspek identifikasi partai dan aspek orientasi kandidat. Kedua aspek yang digunakan ini dianggap penting untuk menjadi 26

33 acuan mengingat identifikasi kepartaian di pemilih Tionghoa masih menjadi pertanyaan. Kondisi ini boleh jadi disebabkan karena trauma politik yang dialami oleh masyarakat Tionghoa yang diasingkan sejauh mungkin dari kehidupan aktifitas politik oleh negara di era Soekarno dan era Soeharto. Adanya pengasingan politik yang dilakukan negara demikian tentunya secara tidak langsung selain menjauhkan aktifitas politik di kalangan pemilih Tionghoa juga menyebabkan pemilih Tionghoa takut mengidentifikasi dirinya dengan partai politik tertentu. Tak mengherankan jika trauma masa lalu masih melekat dalam ingatan masyarakat Tionghoa hingga sekarang. Tentu saja, konsekuensinya mengakibatkan masyarakat Tionghoa berupaya semaksimal mungkin untuk tidak teridentifikasi dengan partai politik yang ada. Bahkan, tidak menutup kemungkinan pula masyarakat Tionghoa cenderung kurang tertarik untuk membicarakan persoalan politik. Berpijak dari asumsi ini, mengandaikan terbangunnya proses yang panjang dalam aktifitas sosialisasi politik di lingkungan keluarga, di tempat kerja, dan di lingkungan masyarakat Tionghoa yang menjadi syarat utama dalam membantu proses pembentukan identitas kepartaian di kalangan pemilih Tionghoa bisa dipastikan tidak maksimal. Bahkan, menurut Sofyan Wanandi meskipun sejak reformasi ada kebebasan politik bagi etnis Tionghoa yang begitu luas, sesungguhnya belum dimanfaatkan 27

34 secara maksimal oleh kalangan etnis Tionghoa, karena pengalaman tekanan yang dialami oleh etnis Tionghoa dalam jangka waktu yang cukup lama menjadikan sebagian masyarakat Tionghoa takut-takut untuk terjun dalam dunia politik (Kompas, 31 Januari 2011). Hal lainnya muncul kecenderungan fenomena loncat partai yang dilakukan oleh kalangan politisi di Indonesia semakin mengaburkan hubungan segitiga yang erat antara partai politik-kadernya-pemilih. Untuk konteks di Babel, pencalonan Ahok melalui partai golkar misalnya merupakan indikasi dari fenomena loncat partai. Pada Pileg 2004, Ahok bukan kader partai Golkar. Ketika itu, Ahok masih menjadi ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB) di Beltim sejak tahun Bahkan, pencalonannya sebagai Bupati pada Pilkada di Beltim tahun 2005 juga bukan melalui partai Golkar tapi diusung oleh gabungan PPIB dan Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK), yang pada Pileg 2004 hanya memperoleh sejumlah 9,1 persen suara sah. Tidak adanya loyalitas antara pemilih dan partai semakin sulit mendeteksi identifikasi seseorang terhadap partai politik. Boleh jadi pemilih Tionghoa di Pileg 2009 memilih politisi karena memang berorientasi pada kandidat yang diusung oleh partai politik. Artinya, aspek figuritas politisi memang memiliki peran penting. 28

35 E.3. Model 3: Pendekatan Pilihan Rasional Pendekatan lainnya adalah pilihan rasional. Secara teoritis pendekatan ini mengandaikan seseorang ketika menentukan pilihan politiknya mempunyai kemampuan untuk menilai isu-isu politik yang dijanjikan oleh partai atau politisi terkait dengan keuntungan atau kerugian yang akan didapat secara langsung maupun tidak langsung. Tak hanya itu, pemilih juga diyakini mampu menilai partai politik atau politisi atas kemampuannya untuk memberikan keuntungan atau meminimalisir kerugian bagi pemilih. Penilaian rasional terhadap isu politik atau politisi bisa berdasarkan jabatan, informasi, populeritas, dan lain sebagainya. Dengan demikian, pendekatan rasional berupaya untuk menjelaskan perilaku memilih seseorang berdasarkan pertimbangan rasional dengan pertimbangan keuntungan dan mengurangi resiko paling kecil dari pilihan politik yang ditentukan oleh pemilih terhadap partai atau politisi (Asfar, 2006). Jika dicermati, pendekatan model ini memang sangat mengandalkan keputusan pribadi seseorang tanpa ada pengaruh apapun terhadap lingkungan disekitarnya. Munculnya fenomena pemilih karakter seperti ini menurut Downs dapat dikelompokkan sebagai pemilih yang hanya mementingkan kepentingannya sendiri untuk mendapatkan kesejahteraan materinya (Roth, 2008). Pemilih rasional cenderung mengabaikan aspek 29

36 politis dan ideologis ketika memberikan dukungan kepada partai politik atau politisi. Pertimbangan utamanya adalah keuntungan apa yang didapatkan oleh pemilih jika mendukung partai politik atau politisi dalam setiap momen pemilu. Namun, persoalan utama terkait dengan keberadaan pemilih rasional adalah mengasumsikan individu sebagai entitas atomistik dan independen yang mengabaikan kenyataan bahwa individu adalah makhluk sosial yang berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungan eksternalnya. Studi-studi mengenai neighborhood effect dan network analysis misalnya menemukan bahwa preferensi individual sangat mungkin dipengaruhi oleh lingkungan eksternal (Kompas, 15 April 2009). Selain itu, munculnya perilaku memilih seseorang apa yang disebut oleh Melweit dkk, sebagai model costumer model of party choice (Asfar, 2006). Menurut Melweit dkk, model ini menegaskan bahwa perilaku memilih merupakan pengambilan keputusan yang bersifat instan yang disesuaikan dengan situasi politik tertentu yang tentunya tidak bisa dilepaskan dari pengaruh karakteristik sosiologis dan identifikasi kepartaian dalam diri seseorang menjadi kelemahan lainnya melalui pendekatan pilihan rasional (Asfar, 2006). Ketertarikan pemilih pada isu-isu tertentu dan figur kandidat yang ditawarkan oleh partai politik bersifat situsional dan tidak selalu permanen 30

37 dan bisa berubah-ubah, dan tidak terlepas dari peristiwa sosial, ekonomi dan politik yang berlangsung menjelang pemilu (Asfar, 2006). Selain itu, semua peserta pemilu, baik di tingkat partai politik maupun politisi, menawarkan isu-isu politik strategis yang sama. Tidak ada yang membedakan ideologi secara tegas dan nyata antara partai yang satu dengan partai yang lainnya. Begitu juga dengan politisi. Dengan memperhatikan argumen dari ke tiga pendekatan secara teoritis, model sosiologis lebih difokuskan untuk memahami dan menjelaskan perilaku memilih di kalangan pemilih Tionghoa pada Pileg 2009 di Bangka. Pemilih Tionghoa diasumsikan dan diyakini lebih mempertimbangkan latar belakang agama, etnis, dan kedaerahan dibandingkan dengan pengaruh partai politik maupun memberian bantuan oleh peserta pemilu dalam menentukan pilihan politiknya. F. Defini Konseptual Berdasarkan kerangka teori diatas, untuk menghindari kesalahan persepsi terkait dengan tema penelitian ini, maka perlu dikemukakan beberapa definisi konseptual berikut: 1. Perilaku memilih adalah sikap atau tindakan pemilih dalam memilih politisi/partai politik sebagai ekspresi dukungan politik pemilih terhadap politisi/partai politik di DPR RI pada Pileg

38 2. Pemilu adalah sebuah proses untuk menyeleksi masyarakat (politisi) dalam menduduki jabatan-jabatan politik melalui mekanisme yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat adalah pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyatsebagaimana disebutkan Undang- Undang Nomor 10 Tahun Seorang keturunan Tionghoa disebut Tionghoa jika ia bertindak sebagai anggota dari, dan mengidentifikasikan dirinya dengan masyarakat Tionghoa (Tan, 1981) dalam menjalankan tradisi leluhurnya seperti Imlek, Cap Go Meh, Ceng Beng, dan Pek Chun. G. Definisi Operasional Untuk menghindari perbedaan dan multi tafsir persepsi serta perspektif, secara operasional varabel-variabel dalam penelitian ini meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. Variabel tergantung (dependent variable) Variabel tergantung dalam studi ini adalah perilaku memilih atau voting dalam memilih partai politik atau politisi di Pileg

39 untuk DPR RI. Agar lebih sederhana, aktifitas perilaku memilih yang dimaksud terdiri dari beberapa hal: 1.1. Alasan pemilih mendukung partai politik 1.2. Alasan pemilih mendukung politisi pilihannya 2. Variabel bebas (independent variable) Variabel bebas dalam studi ini terdiri dari tiga aspek yang merupakan turunan dari unsur sosiologis. Agar lebih sederhana, berikut ini diuraikan masing-masing komponen yang terdapat dalam dimensi-dimensi sosiologis sebagai berikut: 2.1. Aspek Agama: Mempertimbangkan agama dalam menentukan pilihan politik Pengaruh agama dalam menentukan pilihan politik 2.2. Aspek Etnisitas Mempertimbangkan etnisitas dalam menentukan pilihan politik Pengaruh etnisitas dalam menentukan pilihan politik 33

40 2.3. Aspek Kedaerahan Mempertimbangkan kedaerahan dalam menentukan pilihan politik Pengaruh kedaerahan dalam menentukan pilihan politik 3. Lain-lainnya: Sementara untuk informasi lainnya yang dibutuhkan, tetapi tidak berhubungan langsung dengan variabel dependen dan variabel independen yang di uji, namun penting untuk diketahui terkait dinamika perilaku memilih pemilih Tionghoa yakni dimensi psikologis dan dimensi pilihan rasional. Tak hanya itu, mengetahui karakteristik responden, baik secara demografis, kesalehan responden sebagai masyarakat Tionghoa dan partisipasi politik di partai maupun ikut berpartisipasi dalam Pileg 2009 dengan mendatangai TPS, berikut ini: 3.1. Dimensi Psikologis: Identitas partai di kalangan pemilih terhadap partai politik peserta Pileg Kedekatan pemilih dengan partai politik peserta Pileg

41 Memilih partai politik yang sama di Pileg 2004 dengan Pileg Memilih anggota DPR RI karena didukung partai politik yang memang dipilih oleh pemilih Tetap memilih politisi yang dipilih di Pileg 2009 meskipun tidak didukung oleh partai politik yang memang didukung Pengaruh partai politik dalam menentukan pilihan politik di kalangan pemilih 3.2. Dimensi Pilihan Rasional: Bantuan yang diberikan oleh partai politik atau politisi secara langsung kepada calon pemilih di Pileg Pengaruh bantuan ekonomis dalam menentukan pilihan politik dikalangan pemilih Informasi Demografi Responden: Alamat Tempat tinggal responden Usia responden Jenis kelamin responden Pendidikan responden Pekerjaan responden Agama responden Pendapatan responden 35

42 3.4. Informasi identitas ke-tionghoaan Responden: Merasakan bagian dari masyarakat Tionghoa Perasaan sebagai bagian dari masyarakat Tionghoa Latar belakang asal-usul suku Intensitas menjalankan atau merayakan Imlek Intensitas menjalankan atau merayakan Cap Go Meh Intensitas menjalankan atau merayakan Cieng Beng Intensitas menjalankan atau merayakan Pek Cun Intensitas menggunakan dialek atau bahasa Tionghoa dalam keseharian ketika berada di dalam rumah maupun di luar rumah 3.5. Informasi terkait dengan modal sosial di masyarakat Tionghoa: Orang lain dapat dipercaya Perbedaan agama tidak saling merugikan Perbedaan etnis tidak saling merugikan 3.6. Informasi terkait partisipasi politik: Sebagai anggota partai politik 36

43 Ikut memilih di Pileg 2009 dengan mendatangi TPS Alasan pemilih untuk ikut memilih dan mendatangi TPS pada Pileg Memberikan dukungan dengan mencoblos atau mencontreng partai politik Memberikan dukungan dengan mencoblos atau mencontreng politisi H. Metode Penelitian 1.1. Jenis Penelitian Karena penelitian ini studi perilaku memilih, maka metode yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif. Menurut Haririson (2007) riset politik kuantitatif digunakan dalam pengukuran analisis perilaku dan sikap. Menggunakan metode kuantitatif dengan survei yang memiliki pertanyaan tersetruktur, sistematis, dan semi terbuka yang sama kepada seluruh responden. Untuk setiap jawaban responden dicatat, diolah, dan dianalisis Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini pada prinsipnya berdasarkan data primer. Namun, disamping penggunaan data primer, untuk semakin mempertajam analisis penelitian maka sumber data 37

44 lainnya yang sifatnya berupa data sekunder juga digunakan selama tema dan subtansinya memiliki relevansi dalam kajian penelitian. Untuk mempermudah, akan diuraikan masing-masing teknik pengumpulan data yang disebutkan tadi Data primer Data primer merupakan data-data lapangan yang didapatkan dari responden melalui lembar koesioner. Peneliti menanyakan sejumlah pertanyaan kepada responden terkait dengan informasiinformasi yang diperlukan. Pengisian kusioner yang berisi pertanyaan tentang hal-hal yang mendasari perilaku memilih pemilih Tionghoa yang diisi oleh peneliti berdasarkan jawaban responden (terlampir). Jawaban responden yang tertera dalam koesioner inilah yang menjadi basis data untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan oleh peneliti Data Sekunder Data sekunder dalam penelitian ini dikumpulkan dari berbagai macam informasi yang bersifat kajian pustaka (library research). Adapun kajian pustaka yang digunakan berkaitan dengan tema penelitian yang hendak diteliti, baik berupa buku, koran, serta datadata dari dokumen-dokumen resmi seperti data statistik yang dipublikasikan oleh pemerintah daerah, baik di tingkat 38

45 Propinsi/Kabupaten/Kota. Sementara data dari dokumen-dokumen resmi lainnya adalah data rekapitualisasi hasil Pileg 2009 yang dipublikasikan oleh KPU Provinsi/Kabupaten/Kota. Selain itu, pernyataan-pernyataan tokoh-tokoh lokal maupun nasional di media-media lokal dan nasional baik dalam bentuk koran harian yang berbentuk cetak atau elektronik (koran online dan sejenisnya) yang berkaitan langsung dengan tema penelitian tetap dipertimbangkan untuk digunakan sebagai data penunjang Penentuan Lokasi Penelitian Seperti yang telah disitir dibagian sebelumnya, fokus kajian penelitian ini adalah perilaku memilih di kalangan pemilih Tionghoa pada Pileg 2009 di Bangka. Oleh karenanya, yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah pemilih Tionghoa yang berdomisli di Bangka Argumen Pemilihan Lokasi Penelitian Untuk menghindari kesalahan metode dalam memilih dan menentukan responden sebagai sampel, maka penelitian ini menggunakan metode purposive sampling. Menurut Eriyanto (2007), metode purposive sampling bisa digunakan dalam keadaan dimana populasi sangat menyebar dan peneliti tidak mempunyai informasi awal tentang populasi, dan juga 39

46 ketika teknik penarikan sampel acak (random sampling) tidak bisa digunakan. Jika dikaitkan dengan konteks penelitian ini juga menunjukkan gejala yang sama. Berdasarkan pengamatan di lapangan sebelum penelitian ini dilakukan, peneliti mencatat sebaran masyarakat Tionghoa yang tidak seragam di beberapa kecamatan-kecamatan di Kabupaten Bangka. Dengan perpaduan hasil pengamatan peneliti di lapangan dan juga informasi dari Pemerintah Daerah (Pemda) melaui Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bangka maka peneliti mulai mendapatkan gambaran terkait dengan sebaran masyarakat Tionghoa di Bangka. Setelah mendapatkan informasi, dan berbagai pertimbangan akademik, peneliti memutuskan untuk memilih Kabupaten Bangka sebagai lokasi penelitian. Di pilihnya Kabupaten Bangka sebagai lokasi penelitian karena mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, Kabupaten Bangka merupakan kabupaten yang paling banyak memiliki sebaran pemilih Tionghoanya jika dibandingkan dengan 6 Kabupaten/Kota lainnya yang ada di Babel. Tak hanya itu, Kabupaten Bangka juga menyumbang 40

47 jumlah pemilih yang paling besar dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lainnya di Babel. Ke dua, seperti yang telah diuraikan di bagian awal, dan, akan diuraikan lebih mendalam di bagian-bagian berikutnya nanti, pemilih di Kabupaten Bangka terutama di daerah-daerah distribusi pemilih Tionghoanya dominan menunjukkan fenomena perolehan suara Tjen begitu signifikan. Seperti yang telah diketahui, Tjen merupakan politisi dari kalangan Tionghoa yang mencoba peruntungan karirnya di bidang politik di Pileg 2009 untuk menduduki jabatan politik. Ke tiga, interaksi keseharian antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat Melayu di Kabupaten Bangka cukup membaur dengan baik. Meskipun di beberapa Kabupaten/Kota lainnya juga menunjukkan fenomena yang sama, masyarakat Tionghoa di Kabupaten Bangka lebih akomodatif dalam bekerja sama terkait dengan pelaksanaan proyek penelitian ini. Ini dapat dibuktikan dengan berhasilnya penelitian-penelitian sebelumnya terkait dengan kajian tentang masyarakat Tionghoa yang dilakukan oleh Idi di tahun Adanya pengalaman best practice ini tentu juga menjadi pertimbangan 41

48 peneliti untuk memilih Kabupaten Bangka sebagai lokasi penelitian. Terakhir, dipilihnya Kabupaten Bangka sebagai lokasi penelitian karena peneliti begitu mengenal daerah ini. Oleh karenanya, meski dua alasan yang disebutkan paling akhir tadi tidak berhubungan langsung dengan subtansi apa yang hendak dicapai dari penelitian akan tetapi cukup membantu dan sangat menentukan bagi keberhasilan proyek penelitian ini Memilih Kecamatan sebagai Lokasi Penelitian Dengan mempertimbangkan berbagai alasan tadi, selanjutnya peneliti secara spesifik mulai memilih lokasi-lokasi penelitian di tingkatan kecamatan. Masing-masing wilayah kecamatan dipilih, yang mana sebaran pemilih dari kalangan etnis Tionghoa cukup signifikan. Setelah dilakukan pemilihan kecamatan dengan metode purposive sampling, dari 8 kecamatan yang ada di Kabupaten Bangka maka dipilih sebanyak 5 kecamatan, yakni Kecamatan Sungailiat, Kecamatan Pemali, Kecamatan Merawang, Kecamatan Riau Silip dan Kecamatan Belinyu. 42

49 Memilih Desa/Kelurahan sebagai Lokasi Penelitian Setelah kecamatan dipilih dan ditentukan, maka tahapan selanjutnya adalah menentukan desa/kelurahan yang dijadikan lokasi penelitian. Seperti yang telah disinggung di bagian sebelumnya, sebaran pemilih Tionghoa menyebar tidak merata ditiap-tiap desa/kelurahan di masing-masing kecamatan yang telah dipilih. Jika sebuah desa/kelurahan di kecamatan tertentu komposisi jumlah penduduk Tionghoa cukup siginifikan maka desa/kelurahan tadi berpeluang untuk dipilih sebagai lokasi penelitian. Oleh karenanya, ketika menentukan desa/kelurahan yang dijadikan sebagai lokasi penelitian terdiri dari beberapa langkah. Pertama, peneliti menentukan dulu desa/kelurahan yang memiliki sebaran pemilih Tionghoanya cukup dominan. Ke dua, setelah desa/kelurahan telah ditentukan, peneliti melakukan tahapan yang lebih spesifik, yakni memilah-milah RW/Dusun yang akan dijadikan tempat penelitian. Selanjutnya, peneliti menentukan RW/Dusun yang dipilih untuk dijadikan tempat penelitian. Dengan berpadukan pendekatan purposive sampling, maka dipilih beberapa desa/kelurahan yang sebaran masyarakat 43

50 Tionghoanya begitu dominan untuk dijadikan lokasi penelitian. Adapun desa/kelurahan yang dipilih tersebut sebagai berikut: a. Di Kecamatan Sungailiat, desa/kelurahan yang dipilih terdiri dari Kelurahan Kuday, Desa Rebo, Kelurahan Sungailiat, Kelurahan Sinar Baru dan Desa Kenanga b. Di Kecamatan Pemali, desa/kelurahan yang dipilih adalah Desa Air Duren, Kelurahan Air Ruai, Desa Karya Makmur dan Desa Pemali c. Di Kecamatan Merawang, desa/kelurahan yang dipilih adalah Desa Merawang, Desa Batu Rusa, Desa Dwi Makmur, Desa Jurung dan Desa Riding Panjang d. Di Kecamatan Riau Silip, desa/kelurahan yang dipilih yakni Desa Cit, Desa Deniang, Desa Mapur dan Desa Riau e. Di Kecamatan Belinyu, desa/kelurahan yang dipilih adalah Desa Bintet, Desa Gunung Muda, Desa Gunung Pelawan, Kelurahan Kuto Panji, dan Desa Lumut. 44

51 1.4. Populasi dan Unit Sampel Sasaran Karena penelitian ini didesain untuk menjelaskan perilaku memilih di kalangan pemilih Tionghoa pada Pileg 2009 di Bangka maka populasi sasarannya adalah semua pemilih Tionghoa yang berada di wilayah Kabupaten Bangka yang sudah memilih dan terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Oleh karenanya, unit sampel pada penelitian ini adalah pemilih dari kalangan Tionghoa yang telah memilih dan terdaftar dalam DPT, yang dikeluarkan secara resmi oleh KPU Bangka pada Pileg Kerangka Sampel Setelah menentukan populasi sasaran, selanjutnya peneliti membuat kerangka sampel yang lebih operasional. Penyusunan kerangka sampel ini mengandalkan informasi dan data melalui DPT yang dikeluarkan secara resmi oleh KPU Kabupaten Bangka. Karena data dari KPU Kabupaten Bangka tidak memisahkan pemilih Tionghoa dan pemilih Melayu, serta pemilih dari kalangan etnis lainnya, maka peneliti melakukan penyusunan ulang daftar DPT tadi untuk dipilah sesuai kebutuhan penelitian. Dalam tahapan ini peneliti melakukan beberapa hal. Pertama, peneliti memilih namanama pemilih Tionghoa. Dalam DPT di tiap-tiap TPS tidak semuanya adalah pemilih Tionghoa. Oleh karenanya, agar pemilihan responden 45

52 tepat sasaran maka nama-nama pemilih yang bukan Tionghoa langsung dihapus. Untuk beberapa TPS misalnya, pemilih dalam proses memilih nama-nama tersebut tidak mengalami kesulitan karena memang didominasi oleh pemilih Tionghoa. Meskipun ada namanama pemilih bukan Tionghoa di beberapa TPS tadi jumlahnya tidak terlalu banyak dan bisa ditemukan dengan mudah. Kedua, peneliti melakukan pemisahan antara pemilih laki-laki dan pemilih perempuan. Ini dilakukan agar pemilih laki-laki dan pemilih perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk dijadikan responden sesuai dengan kebutuhan penelitian ini Jumlah Sampel Menurut Eriyanto (2007), jika penarikan sampel dilakukan secara acak (random) dan tidak bias dalam penentuan sampel, jumlah populasi tidak berpengaruh. Jumlah populasi dan sampel juga tidaklah berbanding lurus (Eriyanto, 2007). Bahkan menurut Eriyanto, besaran jumlah sampel tergantung pada tiga hal, yakni keragaman (variasi) dari populasi, batas kesalahan sampel yang dikehendaki (sampling eror), dan interval kepercayaan (Eriyanto, 2007). Terkait dengan jumlah pemilih dari kalangan etnis Tionghoa di Babel secara khusus belum tersedia, maka peneliti lebih dahulu memastikan berapa jumlah TPS di masing-masing desa/kelurahan 46

53 yang sebaran pemilih Tionghoanya dominan. Setelah mengetahui jumlahnya, maka selanjutnya peneliti menentukan jumlah responden yang akan diwawancarai di masing-masing TPS yang telah dipilih. Ketika akan menentukan jumlah sampel yang dipilih untuk diwawancarai, peneliti mempertimbangkan ukuran tipikal dalam survei-survei ilmiah disatu pihak, serta keterbatasan dana dan waktu dipihak lain. Oleh karenanya, peneliti menggunakan sistem kouta untuk tiap-tiap TPS yang telah dipilih. Masing-masing dari TPS ditentukan sebanyak 4 pemilih (sampel) dengan komposisi 2 pemilih laki-laki dan 2 pemilih perempuan. Selaras dengan berbagai langkah dan pertimbangan tadi, maka dalam penelitian ini, peneliti mengambil sampel secara keseluruhan sebanyak 136 responden laki-laki dan perempuan yang tersebar di 5 kecamatan. Jumlah sampel di masing-masing kecamatan disesuaikan dengan jumlah sebaran pemilih Tionghoa di daerah tersebut. Untuk melihat jumlah sebaran responden dapat dilihat pada tabel 1.4 di bawah. 47

54 Tabel 1.4 Sebaran Responden No Kecamatan Sebaran Pemilih Tionghoa berdasarkan Desa/Kelurahan Jumlah Keseluruhan TPS Jumlah TPS dominan Pemilih Tionghoa TPS terpilih Jumlah Responden 1 Sungailiat Kelurahan Kuday Desa Rebo Kelurahan Sungailiat Kelurahan Sinar Baru Desa Kenanga Pemali Desa Air Duren Air Ruai Karya Makmur Pemali Merawang Desa Merawang Desa Batu Rusa Desa Dwi Makmur Desa Jurung Desa Riding Panjang Riau Silip Desa Cit Desa Deniang Desa Mapur Riau Belinyu Desa Bintet Desa Gunung Muda Desa Gunung Pelawan Desa Kuto Panji Desa Lumut Jumlah Total Untuk mengetahui secara lebih rinci bagaimana jumlah responden diatas ditentukan dapat dilihat di bagian selanjutnya Teknik Pengambilan Sampel Setelah lokasi penelitian dipilih dan ditentukan, mulai dari level kecamatan hingga desa/kelurahan yang dilakukan secara purposive sampling, serta jumlah sampel juga sudah ditentukan maka selanjutnya peneliti memilih responden sebagai sampel untuk diwawancarai. Untuk menentukan responden 48

55 yang diwawancarai, peneliti terlebih dahulu memilih TPS-TPS, baru kemudian memilih responden yang terdaftar di TPS-TPS terpilih tadi. Adapun secara rinci teknik penentuan sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Memilih TPS Secara Acak Setelah desa/kelurahan ditentukan maka tahapan selanjutnya adalah menentukan TPS yang dijadikan segmen pengambilan sampel. Dalam tahapan penentuan TPS, peneliti menggunakan lembar angkaangka acak sistematis yang telah disusun. Namun, sebelum melakukan proses pengacakan tadi, peneliti melakukan pemilihan TPS yang menjadi kandidat untuk dipilih dengan teknik purposive sampling. Setelah peneliti membuat daftar TPS yang akan dipilih, baru kemudian peneliti melakukan penyusunan ulang daftar urut TPS sebelum memasuki tahap pengacakan. Tahap pengacakan TPS dilakukan karena dari semua TPS yang peneliti susun daftarnya tidak semuanya dijadikan objek pengambilan sampel responden. Proses ini dilakukan disetiap semua desa/kelurahan hingga peneliti mendapatkan jumlah TPS dan responden yang diinginkan. 49

56 Tabel 1.5 Penentuan Jumlah Segmen TPS Jumlah TPS Pemilih Tionghoa Dominan di Desa/Kelurahan Jumlah Segmen TPS untuk Sampel Di Desa/Kelurahan Yang perlu perlu diperhatikan, ukuran segmen TPS yang diambil berdasarkan format yang telah peneliti susun seperti telihat dalam tabel 1.5. Meski tidak ada aturan baku terkait dengan penentuan segmen TPS, dalam penelitian ini, peneliti merumuskan sendiri aturan dalam menentukan jumlah segmen TPS yang dipilih. Untuk desa/kelurahan yang memiliki jumlah TPS dominan pemilih Tionghoanya terdiri dari 1-3 TPS maka yang diambil sebagai sampel sejumlah 1 TPS. Berikutnya, desa/kelurahan yang TPS dominan pemilih Tionghoanya sebanyak 4-6 TPS maka yang diambil sebagai sampel sebanyak 2 TPS. Selanjutnya, untuk desa/kelurahan yang TPS dominan pemilih Tionghoanya terdiri dari 7-9 TPS maka diambil sebanyak 3 TPS sebagai sampel. Dan, bagi desa/kelurahan yang TPS dominan pemilih Tionghoa sebanyak maka yang diambil sebagai sampel sebanyak 4 TPS. 50

57 Setelah melakukan semua tahapan dan proses tadi, peneliti menentukan jumlah TPS yang dijadikan basis pengambilan sampel seperti yang nampak dalam tabel Memilih Responden Secara Acak Setelah TPS-TPS terpilih ditentukan, tahapan berikutnya adalah memilih responden yang terdaftar dalam DPT untuk diwawancarai. Pemilihan individu sebagai responden dilakukan secara acak kepada seluruh pemilih Tionghoa yang terdaftar didokumen resmi KPU, yakni terdaftar di DPT pada Pileg Proses pemilihan responden dalam penelitian ini menggunakan lembar angka acak yang sudah disiapkan oleh peneliti. Sebelum memulai proses pengacakan responden, peneliti terlebih dahulu memisahkan pemilih perempuan dan pemilih laki-laki yang terdaftar dalam DPT dimasing-masing TPS- TPS. Selanjutnya, penentuan responden terpilih menggunakan lembar angka acak sistematis (terlampir) yang disusun berdasarkan kaidah penelitian. Lembar angka acak adalah suatu daftar angka-angka acak yang pada umumnya terdapat di buku-buku statistik, website statistik dan sofware komputer, seperti aplikasi program Microsoft Exel. Yang perlu diperhatikan adalah deretan angka-angka acak yang harus diambil. Jika populasi di TPS tertentu berjumlah 400, berarti 51

58 harus ada deretan angka-angka acak sampai 400. Ini dilakukan agar semua anggota populasi tadi mendapatkan kesempatan yang sama untuk terpilih sebagai sampel. Berikutnya, terkait dengan prosedur penggunaan angka-angka acak adalah sebagai berikut. Pertama, peneliti akan menentukan lebih dahulu jumlah sampel yang diinginkan di tiap-tiap TPS. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil sampel sebanyak 4 responden di masing-masing TPS. Nama-nama pemilih yang terdaftar di TPS-TPS sudah peneliti susun kembali dengan pengelompokan pemilih berjenis kelamin laki-laki dan pemilih berjenis kelamin perempuan dibedakan. Meski demikian, masing-masing pemilih laki-laki dan pemilih perempuan mempunyai peluang yang sama, yakni sebanyak 2 pemilih laki-laki dan 2 pemilih perempuan untuk dijadikan sampel di tiap-tiap TPS yang terpilih. Ke dua, cara membaca daftar angka-angka acak dimulai dari baris di kolom paling kiri dilanjutkan ke kanan terus hingga angka di pojok paling kanan. Jika pada kolom pertama ini angka-angka acak yang keluar sesuai dengan angka batas 400 (menyesuaikan angka diatas) maka 2 angka pertama yang keluar tadi akan dijadikan sampel. Ini juga berlaku untuk lembar angka acak pemilih laki-laki dan pemilih perempuan. Akan tetapi, jika pada kolom baris pertama angka yang 52

59 keluar melebihi angka 400 maka pencarian angka dilanjutkan pada kolom berikutnya sesuai prosedur yang sama dengan kolom baris pertama tadi. Begitu seterusnya, hingga didapat 2 nama terpilih untuk pemilih laki-laki dan 2 nama terpilih untuk pemilih perempuan. Kemudian, setelah responden terpilih didapatkan, peneliti mendatangi responden untuk proses wawancara langsung tatap muka dengan dibantu lembar koesioner. Jika responden yang terpilih tadi tidak bisa diwawancarai dengan berbagai alasan teknis, maka peneliti mengganti responden tersebut dengan responden lainnya setelah melewati prosedur yang ketat dan sama, sampai peneliti mendapatkan jumlah responden yang diinginkan Diskripsi Responden Sebelum menganalisis perilaku memilih etnis Tionghoa secara spesifik, ada baiknya disampaikan diskripsi karakteristik responden yang berhasil diwawancarai. Secara tidak langsung, karakterisitik responden juga memiliki kontribusi dalam membentuk opininya. Agar analisis penelitian ini tidak kehilangan arah Sebaran Kecamatan Jumlah responden yang disebarkan untuk wilayah di masingmasing kecamatan sangat seperti yang terlihat dalam grafik 1.1. Di Kecamatan Sungailiat berjumlah 44 responden atau 32 persen dari 53

60 total 138 responden. Berikutnya, di Kecamatan Pemali berjumlah 16 responden atau 12 persen. Sementara di Kecamatan Merawang sebanyak 20 responden atau 15 persen. Sedangkan di Kecamatan Riau Silip berjumlah 20 responden atau 15 persen. Dan, di Kecamatan Belinyu berjumlah 36 responden atau 26 persen. Grafik 1.1. Jumlah Responden di Kecamatan Sumber: Dioleh dari data primer N=136 Perbedaan jumlah responden dikarenakan sebaran masyarakat Tionghoa yang cukup bervariasi. Hasil pengamatan berdasarkan data statistik yang tersedia dengan melihat sebaran pemilih Tionghoa berdasarkan jumlah TPS pemilih Tionghoa memang paling banyak tersebar di Kecamatan Sungailiat. Kemudian, diikuti oleh sebaran pemilih Tionghoa terbanyak kedua di Kecamatan Belinyu. Sementara di Kecamatan Merawang dan Kecamatan Riau Silip proporsi sebaran 54

61 Pemilih Tionghoa nyaris seimbang. Dan, sebaran Pemilih Tionghoa paling sedikit berada di Kecamatan Pemali Desa dan Kota Jika dilihat berdasarkan karakteristik domisili pemilih Tionghoa yang dikategorikan dalam kelompok Desa atau Kelurahan, maka responden yang tersebar mayoritas di desa, yakni sebanyak 88 responden atau 64,7 persen dari total responden. Dan, pemilih Tionghoa yang berdomisili di kategori Kelurahan sebanyak 48 responden atau 35,3 responden. Grafik 1.2 Karaktersitik Tempat Tinggal Responden Sumber: Dioleh dari data primer N= Usia Responden yang terpilih dalam penelitian ini terdiri dari berbagai pengelompokkan usia. Bila dilihat dari sisi usia, responden dikelompokkan dalam beberapa kategori usia, yakni a) 17 tahun/sudah 55

62 memilih-19 tahun; b) 20 tahun-29 tahun; c) 30 tahun-39 tahun; d) 40 tahun-49 tahun; e) 50 tahun-59 tahun; dan f) 60 tahun-keatas. Untuk mempermudah melihat pengelompokkan usia responden dapat dilihat dalam grafik 1.3. Grafik 1.3. Kelompok Usia Responden Sumber: Dioleh dari data primer N=136 Seperti yang terlihat digrafik 1.3 diatas, sebaran responden paling besar terdistribusi dalam kelompok usia 30 tahun-39 tahun sebanyak 33.1 persen. Selanjutnya, diurutan ke dua kelompok usia 20 tahun-29 tahun berjumlah 27,2 responden. Di urutan ke tiga terbanyak pada kelompok usia 50 tahun-59 tahun sejumlah 18 persen responden. Di urutan berikutnya disusul oleh kelompok usia 40 tahun-49 tahun sebanyak 18 persen responden. Selanjutnya bagi kelompok usia 6o 56

63 tahun keatas jumlah responden terdiri dari 5,9 persen. 2 Dan, diurutan paling akhir berada untuk kelompok usia 17 tahun/sudah memilih yang hanya berjumlah 1,5 persen dari total responden yang diwawancari Jenis Kelamin Jika dilihat dari jenis kelamin, responden dalam penelitian ini terdiri dari jenis kelamin laki-laki dan perempuan dengan persentase yang seimbang, yaitu laki-laki berjumlah 50 persen dan perempuan atau 50 persen. 2 Terkait dengan kelompok usia 60 tahun keatas, ketika peneliti hendak melakukan wawancara dengan responden terpilih berdasarkan angka dan nomer urut yang sudah disusun mengalami kesulitan. Selain karena pertimbangan faktor usia, peneliti juga merasakan ada semacam kekhawatiran bagi anakanaknya yang mana orang tua mereka terpilih sebagai responden untuk diwawancarai. Jadi, dengan berbagai pertimbangan dan alasan peneliti tidak berhasil mewawancari responden yang sudah cukup renta ini (tidak mampu berkomunikasi dengan baik dan mendapatkan respon negatif dari pihak keluarga) peneliti harus menggantikan dengan responden lainnya. Melalui proses yang sama, peneliti melanjutkan angka dan nomer urut terpilih yang sudah disusun berikutnya sebagai pengganti responden yang tidak berhasil diwawancarai dengan tempat dan jenis kelamin yang sama. Adapun jumlah 8 responden tersebut yang berhasil diwawancarai merupakan sebuah keberuntungan dan usaha keras bagi peneliti untuk meyakinkan keluarga responden ketika mengalami berbagai macam hambatan dalam menggali informasi yang diinginkan dikelompok usia ini. 3 Untuk kelompok usia 17 tahun/sudah memilih-19 tahun yang hanya berjumlah 2 responden dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, jarak antara Pileg 2009 dengan penelitian ini dilakukan berkisar 2 tahun. Artinya, ketika responden terpilih di tahun 2009 berusia 17 tahun atau sudah memilih tentu saat penelitian ini dilakukan responden tadi sudah bertambah dua tahun usianya. Kalau responden yang terpilih untuk diwawacarai ketika tahun 2009 berusia 17 tahun tentu tidak akan masalah karena penelitian ini dilakukan usia responden tadi baru berusia 19 tahun, yang dalam penelitian ini masih dalam satu kelompok yang sama. Tetapi menjadi berbeda jika pada Pileg 2009 responden yang terpilih ketika itu berusia 18 tahun-19 tahun. Ketika penelitian ini dilakukan, responden terpilih yang berusia 18 tahun -19 tahun tadi tentu usianya sudah bertambah dua tahun, yakni menjadi 20 tahun -21 tahun. Pertambahan usia ini berpegaruh terhadap persentase kelompok usia pemilih pemula (ketika itu) yang peneliti kategorikan dalam kelompok 17 tahun/sudah memilih. Tentu akibatnya adalah lonjakan bagi kelompok usia 20 tahun-29 tahun. 57

64 Grafik 1.4 Komposisi Jenis Kelamin Responden Pendidikan Sumber: Dioleh dari data primer N=136 Selanjutnya, latar belakang pendidikan terakhir responden dalam penelitian ini sebagian besar adalah SLTA/Sederajat sejumlah 51,4 persen. Berikutnya terbanyak kedua disusul oleh lulusan SLTP/Sederajat sebanyak 21,3 persen, SD/Sederajat berjumlah 15,4 persen, Tidak tamat SD sejumlah 6,6 persen. Sementara untuk lulusan D3/Sederajat sejumlah 0,7 persen, dan S1/Sederajat juga sebanyak 0,7 persen. 4 Dan, yang mengaku berlatar belakang pendidikan S2/Sederajat dan S3/Sedejat tidak seorangpun. 4 Sedikitnya jumlah responden yang lulus dari perguruan tinggi baik untuk D3/Sederajat maupun S1/Sederajat di kalangan masyarakat Tionghoa dalam penelitian ini memberikan beberapa catatan. Pertama, responden yang terpilih dari kalangan lulusan perguruan tinggi bukan dikarenakan kesadaran pendidikan masyarakat Tionghoa rendah. Menurut beberapa responden ketika diwawancarai diluar item-item pertanyaan dalam kusioner memberikan informasi bahwa anak-anak/saudara mereka yang lulus dari perguruan tinggi lebih memilih hidup di daerah lain. Beberapa informasi yang tertangkap, menurut pengakuan beberapa responden menyebutkan bahwa anak/saudara mereka mengembangkan bisnis atau bekerja di Jakarta, Kalimantan, Surabaya, Medan, dan daerah lainnya. Sementara yang berpendidikan paling tinggi SLTA/Sederajat lebih memilih untuk berkarir di Pulau Bangka. Kedua, selain memilih karir di Indonesia, beberapa responden juga memberikan informasi bahwa ada sejumlah 58

65 Grafik 1.5 Latarbelakang Pendidikan Responden Sumber: Dioleh dari data primer N= Pekerjaan Jika dilihat dari sebaran latar belakang pekerjaan, responden yang mangaku sebagai pengusaha/wiraswasta menempati komposisi paling banyak, yakni berjumlah 30,9 persen. Diurutan ke dua, responden yang mengaku bekerja didalam rumah tangga biasa berjumlah 28,7 persen. Berikutnya diikuti oleh responden yang mengaku sebagai petani/penambang/buruh harian sebanyak atau 26,5 persen. Selanjutnya, disusul oleh responden yang mengaku bekerja sebagai pegawai swasta berjumlah 8,8 persen. Sementara yang mengaku tidak bekerja sebanyak 4,4 persen. Berikutnya, responden yang mengaku sebagai pelajar/mahasiswa hanya 0,7 persen. Terakhir, kenalan, saudara, anak dan famili responden yang memilih berkarir di luar negeri, seperti di Taiwan, Singapura, bahkan ada juga yang di Amerika. 59

66 yang mengaku sebagai pensiunan tidak seorangpun dari 136 total responden yang diwawancarai. Grafik 1.6 Jenis Pekerjaan Responden Sumber: Dioleh dari data primer N= Agama Apa bila dilihat dari komposisi agama yang dianut, responden yang mengaku menganut agama Budha paling banyak jumlahnya, yakni 50,3 persen. Di urutan terbanyak ke dua penganut agama Konghucu dengan jumlah 41,4 persen. Selanjutnya, ditempati oleh penganut agama Protestan berjumlah 3,5 persen. Terakhir, sebanyak 4,8 persen menganut agama Katolik. Untuk penganut agama Islam dan 60

67 Aliran Kepercayaan tidak ada seorang respondenpun yang mengakuinya. 5 Grafik 1.7 Latarbelakang Agama Responden Sumber: Dioleh dari data primer N=136 5 Terkait dengan tidak adanya responden yang mengaku sebagai agama Islam bukan berarti tidak ada masyarakat etnis Tionghoa di Bangka yang menganut agama Islam. Beberapa responden menyebutkan bahwa anaknya ada yang menikah dengan masyarakat dari etnis Melayu, kemudian masuk Islam. Selain melalui ikatan pernikahan, ada juga yang masuk islam karena panggilan jiwa. Beberapa responden memberikan informasi menyebutkan bahwa anaknya yang menikah dengan etnis Melayu yang menganut agama Islam tidak lagi tinggal satu rumah dengan mereka. Bahkan terpisah oleh kampung atau desa/kelurahan yang penduduknya mayoritas etnis Melayu. Karena penelitian ini dilakukan di desa/kelurahan/dusun yang penduduknya masyarakat Tionghoa dominan atau yang dikenal dengan Kampung Pacinan tentu peluang untuk menemukan masyarakat etnis Tionghoa yang beragama Islam sudah bisa dipastikan nyaris tidak ada. Ini terbukti ketika peneliti melakukan penelitian, ada beberapa responden yang terpilih memang menganut agama Islam tetapi ketika hendak diwawancarai responden terpilih tersebut sudah berpindah ke Kabupaten lainnya. Mendapatkan kenyataan seperti ini, peneliti langsung menggantikan responden terpilih tadi dengan responden lainnya yang memang sudah disiapkan oleh peneliti berdasarkan angka dan nomer urut acak dengan prosedur yang ketat. 61

68 Pendapatan Sebagian besar pendapatan reponden yang mengaku rata-rata setiap bulan bulan kurang dari Rp sebanyak 0,7 persen. Selanjutnya, responden yang mengaku pendapatannya rata-rata per bulan Rp Rp berjumlah 7,4 persen. Sementara yang mengaku pendapatan rata-rata perbulan Rp Rp sebanyak 38,2 persen. Dan yang mengaku pendapatan ratarata perbulan dikisaran Rp Rp berjumlah 37,5 persen. Dan, yang mengaku pendapatan rata-rata perbulan Rp Rp sebanyak 10,3 persen. Terakhir, yang mengaku pendapatan rata-rata pe bulan Rp s.d ke atas sejumlah 1,5 persen. Grafik 1.8 Karakteristik Pendapatan Responden Sumber: Dioleh dari data primer N=136 62

I. PENDAHULUAN. wilayah dan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan

I. PENDAHULUAN. wilayah dan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Demokrasi mengamanatkan adanya persamaan akses dan peran serta penuh bagi laki-laki, maupun perempuan atas dasar perinsip persamaan derajat, dalam semua wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimana adanya pemberian kebebasan seluas-luasnya. untuk berpendapat dan membuat kelompok. Pesatnya

BAB I PENDAHULUAN. dimana adanya pemberian kebebasan seluas-luasnya. untuk berpendapat dan membuat kelompok. Pesatnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dewasa ini perkembangan politik di Indonesia mengalami kemajuan yang cukup pesat, diawali dengan politik pada era orde baru yang bersifat sentralistik dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemilihan Umum Kepala Daerah menjadi Cossensus politik Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Pemilihan Umum Kepala Daerah menjadi Cossensus politik Nasional yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilihan Umum Kepala Daerah menjadi Cossensus politik Nasional yang merupakan salah satu instrument penting penyelenggaraan pemerintah setelah digulirkan otonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam Negara demokrasi, pemilu merupakan sarana untuk melakukan pergantian

I. PENDAHULUAN. Dalam Negara demokrasi, pemilu merupakan sarana untuk melakukan pergantian I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Negara demokrasi, pemilu merupakan sarana untuk melakukan pergantian pemimpin pada tingkatan daerah sebagai syarat meneruskan estafet pemerintahan. Pemilu

Lebih terperinci

SEJARAH PEMILU DI INDONESIA. Muchamad Ali Safa at

SEJARAH PEMILU DI INDONESIA. Muchamad Ali Safa at SEJARAH PEMILU DI INDONESIA Muchamad Ali Safa at Awal Kemerdekaan Anggota KNIP 200 orang berdasarkan PP Nomor 2 Tahun 1946 tentang Pembaharuan KNIP (100 orang wakil daerah, 60 orang wakil organisasi politik,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Partai politik merupakan elemen penting yang bisa memfasilitasi berlangsungnya sistem demokrasi dalam sebuah negara, bagi negara yang menganut sistem multipartai seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan, kedaulatan berada pada tangan rakyat. Demokrasi yang kuat,

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan, kedaulatan berada pada tangan rakyat. Demokrasi yang kuat, BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem demokrasi. Di negara yang menganut sistem demokrasi rakyat merupakan pemegang kekuasaan, kedaulatan berada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. politiknya bekerja secara efektif. Prabowo Effect atau ketokohan mantan

BAB I PENDAHULUAN. politiknya bekerja secara efektif. Prabowo Effect atau ketokohan mantan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang memperoleh sekitar 11, 98 persen suara dalam Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif 9 april 2014 tidak mampu mengajukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pola perilaku yang berkenaan dengan proses internal individu atau kelompok

I. PENDAHULUAN. pola perilaku yang berkenaan dengan proses internal individu atau kelompok 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengkajian Perilaku pemilih di Indonesia secara spesifik memberi perhatian mendalam tentang pemungutan suara, khususnya mengenai dukungan dan pola perilaku yang berkenaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memperoleh dan menambah dukungan suara bagi para kandidat kepala daerah. Partai politik

I. PENDAHULUAN. memperoleh dan menambah dukungan suara bagi para kandidat kepala daerah. Partai politik I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Etnis sering kali dijadikan isu atau komoditi utama untuk mencapai suatu tujuan dalam masyarakat. Dalam konteks Pilkada, etnis dimobilisasi dan dimanipulasi sedemikian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Reformasi politik yang sudah berlangsung sejak berakhirnya pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto pada bulan Mei 1998, telah melahirkan perubahan besar

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP 1. Kesimpulan

BAB VI PENUTUP 1. Kesimpulan BAB VI PENUTUP Setelah menjelaskan berbagai hal pada bab 3, 4, dan 5, pada bab akhir ini saya akan menutup tulisan ini dengan merangkum jawaban atas beberapa pertanyaan penelitian. Untuk tujuan itu, saya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sangat penting dalam kehidupan bernegara. Pemilihan umum, rakyat berperan

I. PENDAHULUAN. sangat penting dalam kehidupan bernegara. Pemilihan umum, rakyat berperan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilihan umum adalah suatu proses dari sistem demokrasi, hal ini juga sangat penting dalam kehidupan bernegara. Pemilihan umum, rakyat berperan penuh untuk memilih

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat untuk memilih secara langsung, baik pemilihan kepala negara,

I. PENDAHULUAN. masyarakat untuk memilih secara langsung, baik pemilihan kepala negara, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang menganut konsep demokrasi yang ditandai dengan adanya pemilihan umum (pemilu) yang melibatkan masyarakat untuk memilih secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pemilihan Umum (Pemilu) adalah salah satu cara dalam sistem

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pemilihan Umum (Pemilu) adalah salah satu cara dalam sistem 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan Umum (Pemilu) adalah salah satu cara dalam sistem demokrasi untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan menduduki lembaga perwakilan rakyat, serta salah

Lebih terperinci

BAB II. Deskripsi Lokasi Penelitian

BAB II. Deskripsi Lokasi Penelitian BAB II Deskripsi Lokasi Penelitian 2. Deskripsi Kelurahan Polonia Kelurahan Polonia merupakan salah satu dari kelurahan yang terdapat di Kecamatan Medan Polonia yang memilki luas 1,57km 2 dan terdiri dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Winarno, 2008: vii). Meskipun demikian, pada kenyataannya krisis tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. Winarno, 2008: vii). Meskipun demikian, pada kenyataannya krisis tidak hanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Orde Baru telah mengalami keruntuhan seiring jatuhnya Soeharto sebagai presiden yang telah memimpin Indonesia selama 32 tahun, setelah sebelumnya krisis ekonomi menghancurkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah (pemilukada) diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang

BAB I PENDAHULUAN. daerah (pemilukada) diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemilihan kepala daerah (pemilukada) adalah rangkaian panjang dari proses penentuan kepala daerah yang bakal menjadi pemimpin suatu daerah untuk lima tahun (satu periode).

Lebih terperinci

Pencalonan DPR RI sebagian besar memenuhi aturan zipper system 1:3, namun fenomena yang muncul adalah pencalonan pada angka 3 dan 6.

Pencalonan DPR RI sebagian besar memenuhi aturan zipper system 1:3, namun fenomena yang muncul adalah pencalonan pada angka 3 dan 6. Parpol 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10.11,. PD 15 17 53 23 21 40 14 16 14 7 PG 12 17 51 12 13 42 11 12 13 9 PDIP 2 21 56 11 26 38 18 21 15 13 PAN 10 17 45 19 16 26 10 10 10 11 PKS 2 8 64 7 26 41 18 23 17 9 PKB 10

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Era reformasi telah menghasilkan sejumlah perubahan yang signifikan dalam

I. PENDAHULUAN. Era reformasi telah menghasilkan sejumlah perubahan yang signifikan dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Era reformasi telah menghasilkan sejumlah perubahan yang signifikan dalam masyarakat politik. Masyarakat yang semakin waktu mengalami peningkatan kualitas tentu

Lebih terperinci

BAB IX PENUTUP IX.1. Kesimpulan

BAB IX PENUTUP IX.1. Kesimpulan BAB IX PENUTUP IX.1. Kesimpulan Studi ini mengkaji dinamika terbentuknya pemerintahan divided atau unified yang dikaitkan dengan pembuatan kebijakan APBD pada satu periode pemerintahan. Argumen yang dikembangkan

Lebih terperinci

HASIL PEROLEHAN SUARA PESERTA PEMILU TAHUN 2009 PARTAI POLITIK (DPR RI)

HASIL PEROLEHAN SUARA PESERTA PEMILU TAHUN 2009 PARTAI POLITIK (DPR RI) HASIL PEROLEHAN SUARA PESERTA PEMILU TAHUN 2009 PARTAI POLITIK (DPR RI) Provinsi: Banten Hari/Tanggal: 30 April 2009 Dapil : I (Satu) Pukul: 15.15-15.40 WIB Perbaikan Hari/Tanggal: 01 Mei 2009 Pukul: 21.10-22.50

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman Daftar isi... i Daftar Tabel... iv Daftar Gambar... v

DAFTAR ISI. Halaman Daftar isi... i Daftar Tabel... iv Daftar Gambar... v i DAFTAR ISI Daftar isi... i Daftar Tabel....... iv Daftar Gambar... v I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1 B. Rumusan Masalah... 12 C. Tujuan Penelitian... 12 D. Kegunaan Penelitian... 12 II.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara demokrasi akan selalu ditandai dengan adanya partai politik

BAB I PENDAHULUAN. Negara demokrasi akan selalu ditandai dengan adanya partai politik 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara demokrasi akan selalu ditandai dengan adanya partai politik sebagai barometer dari sebuah demokrasi yang berjalan di negara tersebut. Di dalam suasana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. demokrasi pada negara yang menganut paham demokrasi seperti Indonesia.

I. PENDAHULUAN. demokrasi pada negara yang menganut paham demokrasi seperti Indonesia. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilihan umum (pemilu) menjadi bagian terpenting dalam penyelenggaraan demokrasi pada negara yang menganut paham demokrasi seperti Indonesia. Pemilu sering diartikan

Lebih terperinci

Head to Head Jokowi-JK Versus Prabowo Hatta Dan Kampanye Negatif. Mei 2014

Head to Head Jokowi-JK Versus Prabowo Hatta Dan Kampanye Negatif. Mei 2014 Head to Head Jokowi-JK Versus Prabowo Hatta Dan Kampanye Negatif Mei 2014 Head to Head Jokowi-JK Vs Prabowo-Hatta dan Kampanye Negatif Geliat partai politik dan capres menggalang koalisi telah usai. Aneka

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. keterlibatan masyarakat dalam berpartisipasi aktif untuk menentukan jalannya

BAB I PENGANTAR. keterlibatan masyarakat dalam berpartisipasi aktif untuk menentukan jalannya 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Situasi perkembangan politik yang berkembang di Indonesia dewasa ini telah membawa perubahan sistem yang mengakomodasi semakin luasnya keterlibatan masyarakat dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang digunakan dalam suatu negara. Indonesia adalah salah satu

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang digunakan dalam suatu negara. Indonesia adalah salah satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Demokrasi merupakan suatu proses dalam pembentukan dan pelaksanaan pemerintahan yang digunakan dalam suatu negara. Indonesia adalah salah satu negara yang menjalankan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak reformasi, masyarakat berubah menjadi relatif demokratis. Mereka

BAB I PENDAHULUAN. Sejak reformasi, masyarakat berubah menjadi relatif demokratis. Mereka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak reformasi, masyarakat berubah menjadi relatif demokratis. Mereka tampak lebih independen, egaliter, terbuka, dan lebih cerdas dalam menanggapi berbagai informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melaluinya masyarakat dapat menyalurkan, menitipkan mandat dan harapan.

BAB I PENDAHULUAN. melaluinya masyarakat dapat menyalurkan, menitipkan mandat dan harapan. BAB I PENDAHULUAN I. 1.Latar Belakang Masalah Partai politik merupakan tulang punggung dalam demokrasi karena hanya melaluinya masyarakat dapat menyalurkan, menitipkan mandat dan harapan. Kenyataan ini

Lebih terperinci

KOMISI PEMILIHAN UMUM KOTA PONTIANAK

KOMISI PEMILIHAN UMUM KOTA PONTIANAK - 1 - KOMISI PEMILIHAN UMUM KOTA PONTIANAK KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM KOTA PONTIANAK NOMOR : 07/Kpts/KPU-Kota-019.435761/2013 TENTANG JUMLAH KURSI DAN JUMLAH SUARA SAH PALING RENDAH UNTUK PASANGAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk menyatakan pendapat

I. PENDAHULUAN. memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk menyatakan pendapat 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya masyarakat memegang peran utama dalam praktik pemilihan umum sebagai perwujudan sistem demokrasi. Demokrasi memberikan kebebasan kepada masyarakat

Lebih terperinci

PEROLEHAN SISA KURSI SISA SUARA 1 PARTAI HATI NURANI RAKYAT III PARTAI KARYA PEDULI BANGSA

PEROLEHAN SISA KURSI SISA SUARA 1 PARTAI HATI NURANI RAKYAT III PARTAI KARYA PEDULI BANGSA MODEL EB 1 DPRD KAB/KOTA PENGHITUNGAN SUARA DAN PENETAPAN PARTAI POLITIK PESERTA PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN/KOTA DALAM PEMILIHAN UMUM TAHUN 2009 PROVINSI : SULAWESI

Lebih terperinci

ISU AGAMA KALAHKAN AHOK?

ISU AGAMA KALAHKAN AHOK? LAPORAN SURVEI DKI JAKARTA ISU AGAMA KALAHKAN AHOK? Lingkaran Survei Indonesia, Oktober 2016 1 ISU Agama Kalahkan Ahok? Akankah isu agama yang akhirnya menumbangkan Ahok? Merosotnya dukungan Ahok sejalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. relatif independen dan juga disertai dengan kebebasan pers. Keadaan ini

BAB I PENDAHULUAN. relatif independen dan juga disertai dengan kebebasan pers. Keadaan ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehidupan berpolitik di Indonesia banyak mengalami perubahan terutama setelah era reformasi tahun 1998. Setelah era reformasi kehidupan berpolitik di Indonesia kental

Lebih terperinci

HASIL PEROLEHAN SUARA PESERTA PEMILU TAHUN 2009 PARTAI POLITIK (DPR RI)

HASIL PEROLEHAN SUARA PESERTA PEMILU TAHUN 2009 PARTAI POLITIK (DPR RI) HASIL PEROLEHAN SUARA PESERTA PEMILU TAHUN 2009 PARTAI POLITIK (DPR RI) Provinsi: Riau Hari/Tanggal: 03 Mei 2009 Dapil : I (Satu) Pukul: 09.15-09.50 WIB No Nama Partai Perolehan Suara Keterangan 1 Partai

Lebih terperinci

KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN KARANGANYAR KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN KARANGANYAR. NOMOR : 13 /Kpts-K/KPU-Kab-012.

KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN KARANGANYAR KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN KARANGANYAR. NOMOR : 13 /Kpts-K/KPU-Kab-012. KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN KARANGANYAR KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR : 13 /Kpts-K/KPU-Kab-012.329506/2013 T E N T A N G PENETAPAN JUMLAH KURSI ATAU SUARA SAH PARTAI POLITIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekelompok orang yang akan turut serta secara aktif baik dalam kehidupan politik dengan

BAB I PENDAHULUAN. sekelompok orang yang akan turut serta secara aktif baik dalam kehidupan politik dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Permasalahan Partisipasi merupakan aspek yang penting dari demokrasi, partisipasi politik yang meluas merupakan ciri khas dari modernisasi politik. Partisipasi politik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara langsung sejak sistem otonomi daerah diterapkan. Perubahan mekanisme

BAB I PENDAHULUAN. secara langsung sejak sistem otonomi daerah diterapkan. Perubahan mekanisme BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demokrasi sebagai pilar penting dalam sistem politik sebuah Negara, termasuk Indonesia yang sudah diterapkan dalam pemilihan secara langsung seperti legislatif, Presiden

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Partai politik merupakan fenomena modern bagi negara-negara di dunia.

BAB I PENDAHULUAN. Partai politik merupakan fenomena modern bagi negara-negara di dunia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Partai politik merupakan fenomena modern bagi negara-negara di dunia. Istilah tersebut baru muncul pada abad 19 Masehi, seiring dengan berkembangnya lembaga-lembaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada Juni 2005, rakyat Indonesia melakukan sebuah proses politik yang

BAB I PENDAHULUAN. Pada Juni 2005, rakyat Indonesia melakukan sebuah proses politik yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada Juni 2005, rakyat Indonesia melakukan sebuah proses politik yang baru pertama kali dilakukan di dalam perpolitikan di Indonesia, proses politik itu adalah Pemilihan

Lebih terperinci

Pemilu 2009: Kemenangan Telak Blok Partai Nasionalis Ringkasan

Pemilu 2009: Kemenangan Telak Blok Partai Nasionalis Ringkasan x 2.2.2. Pemilu 2009: Kemenangan Telak Blok Partai Nasionalis... 224 3. Ringkasan... 226 BAB IV. ELECTORAL VOLATILITY NASIONAL DAN LOKAL: SEBUAH PERBANDINGAN... 228 A. Membandingkan Electoral Volatility

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Selanjutnya pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Kota Jambi merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Selanjutnya pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Kota Jambi merupakan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD tahun 2014 di Kota Jambi telah terlaksana dengan hasil Partai Demokrat keluar sebagai partai yang memperoleh suara dan kursi paling

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. aspirasi dan memilih pemimpin dengan diadakannya pemilihan umum.

I. PENDAHULUAN. aspirasi dan memilih pemimpin dengan diadakannya pemilihan umum. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan suatu negara yang menganut paham demokrasi, dan sebagai salah satu syaratnya adalah adanya sarana untuk menyalurkan aspirasi dan memilih pemimpin

Lebih terperinci

DAFTAR TABEL. Pileg 2014, Diolah dari Hasil Wawancara dengan Berbagai Narasumber, Hasil Rekapitulasi

DAFTAR TABEL. Pileg 2014, Diolah dari Hasil Wawancara dengan Berbagai Narasumber, Hasil Rekapitulasi DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN JUDUL... ii HALAMAN PERSETUJUAN...iii HALAMAN PENGESAHAN...iv SURAT PERNYATAAN... v HALAMAN PERSEMBAHAN...vi MOTTO... vii UCAPAN TERIMAKASIH... viii DAFTAR ISI...xi

Lebih terperinci

HASIL PEROLEHAN SUARA PESERTA PEMILU TAHUN 2009 PARTAI POLITIK (DPR RI)

HASIL PEROLEHAN SUARA PESERTA PEMILU TAHUN 2009 PARTAI POLITIK (DPR RI) HASIL PEROLEHAN SUARA PESERTA PEMILU TAHUN 2009 PARTAI POLITIK (DPR RI) Provinsi: Sumatera Utara Hari/Tanggal: 02 Mei 2009 Dapil : I (Satu) Pukul: 11.20-11.55 WIB Disahkan Hari/Tanggal: 03 Mei 2009 Pukul:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di kebanyakan negara demokrasi, pemilihan umum dianggap lambang sekaligus tolok ukur, dari demokrasi itu (Budiardjo, 2009:461). Pemilihan umum dilakukan sebagai

Lebih terperinci

PASKA MUNASLUB: Golkar Perlu Branding Baru? LSI DENNY JA Analis Survei Nasional, Mei 2016

PASKA MUNASLUB: Golkar Perlu Branding Baru? LSI DENNY JA Analis Survei Nasional, Mei 2016 PASKA MUNASLUB: Golkar Perlu Branding Baru? LSI DENNY JA Analis Survei Nasional, Mei 2016 Paska Munaslub : Golkar Perlu Branding Baru? Paska Munaslub dengan terpilihnya Setya Novanto (Ketum) dan Aburizal

Lebih terperinci

BAB II KONFIGURASI POLITIK DI KABUPATEN PATI

BAB II KONFIGURASI POLITIK DI KABUPATEN PATI BAB II KONFIGURASI POLITIK DI KABUPATEN PATI p Gambar 2.1 Peta Politik Kabupaten Pati berdasarkan Dapil Pada Pemilu 2014 Keterangan : = Dapil 1 dimenangi oleh PDIP dan Demokrat = Dapil 2 dimenangi oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Presiden dan kepala daerah Pilihan Rakyat. Pilihan ini diambil sebagai. menunjukkan eksistensi sebagai individu yang merdeka.

BAB I PENDAHULUAN. Presiden dan kepala daerah Pilihan Rakyat. Pilihan ini diambil sebagai. menunjukkan eksistensi sebagai individu yang merdeka. 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Reformasi 1998 menghadirkan perubahan proses demokrasi di Indonesia. Pemilihan Presiden/ Wakil Presiden hingga Kepala Daerah dilaksanakan secara langsung,

Lebih terperinci

KOMISI PEMILIHAN UMUM

KOMISI PEMILIHAN UMUM KOMISI PEMILIHAN UMUM KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR : 33/Kpts/KPU-Kab-019.964931/2013 TENTANG JUMLAH KURSI DAN JUMLAH SUARA SAH PALING RENDAH UNTUK PASANGAN CALON YANG DIAJUKAN PARTAI POLITIK ATAU

Lebih terperinci

2015 MODEL REKRUTMEN PARTAI POLITIK PESERTA PEMILU 2014 (STUDI KASUS DEWAN PIMPINAN DAERAH PARTAI NASDEM KOTA BANDUNG)

2015 MODEL REKRUTMEN PARTAI POLITIK PESERTA PEMILU 2014 (STUDI KASUS DEWAN PIMPINAN DAERAH PARTAI NASDEM KOTA BANDUNG) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang mengalami perkembangan demokrasi yang sangat pesat. Hal tersebut ditandai dengan berbagai macam ekspresi yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemilihan Umum (Pemilu) di Negara Indonesia merupakan sarana pelaksanaan

I. PENDAHULUAN. Pemilihan Umum (Pemilu) di Negara Indonesia merupakan sarana pelaksanaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilihan Umum (Pemilu) di Negara Indonesia merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, hal tersebut sebagaimana dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun

Lebih terperinci

Evaluasi Pemilih atas Kinerja Dua Tahun Partai Politik. Survei Nasional Maret 2006 Lembaga Survei Indonesia (LSI)

Evaluasi Pemilih atas Kinerja Dua Tahun Partai Politik. Survei Nasional Maret 2006 Lembaga Survei Indonesia (LSI) Evaluasi Pemilih atas Kinerja Dua Tahun Partai Politik Survei Nasional Maret 2006 Lembaga Survei Indonesia (LSI) www.lsi.or.id Ihtisar Sudah hampir dua tahun masyarakat Indonesia memilih partai politik

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. (Kompas, Republika, dan Rakyat Merdeka) yang diamati dalam penelitian

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. (Kompas, Republika, dan Rakyat Merdeka) yang diamati dalam penelitian BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Pertarungan wacana politik Kasus Bank Century di media massa (Kompas, Republika, dan Rakyat Merdeka) yang diamati dalam penelitian menunjukkan berbagai temuan penelitian yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta aspirasi masyarakat. Pemilihan umum (pemilu) sebagai pilar demokrasi di

BAB I PENDAHULUAN. serta aspirasi masyarakat. Pemilihan umum (pemilu) sebagai pilar demokrasi di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di banyak negara demokrasi pemilihan umum dianggap lambang, sekaligus tolak ukur dari demokrasi itu. Hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bentuk kepedulian sebuah Negara terhadap rakyatnya. Di Indonesia sendiri,

BAB I PENDAHULUAN. bentuk kepedulian sebuah Negara terhadap rakyatnya. Di Indonesia sendiri, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesejahteraan sosial adalah impian bagi setiap Negara dibelahan dunia termasuk di Indonesia. Upaya untuk mencapai mimpi tersebut adalah bentuk kepedulian sebuah Negara

Lebih terperinci

KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN MANDAILING NATAL

KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN MANDAILING NATAL KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN MANDAILING NATAL KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN MANDAILING NATAL NOMOR : /Kpts/KPU-Kab-002.43 4826 / 2010 TENTANG PENETAPAN PASANGAN CALON BUPATI DAN WAKIL BUPATI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. langsung oleh rakyat. Pemilihan umum adalah proses. partisipasi masyarakat sebanyak-banyaknya dan dilaksanakan

BAB I PENDAHULUAN. langsung oleh rakyat. Pemilihan umum adalah proses. partisipasi masyarakat sebanyak-banyaknya dan dilaksanakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pasca reformasi bangsa kita sudah berhasil melaksanakan pemilihan umum presiden yang di pilih langsung oleh rakyat. Pemilihan umum adalah proses pengambilan hak suara

Lebih terperinci

SEKILAS PEMILU PARTAI POLITIK PESERTA PEMILU

SEKILAS PEMILU PARTAI POLITIK PESERTA PEMILU SEKILAS PEMILU 2004 Pemilihan umum (Pemilu) adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jumlah suara yang sebanyak-banyaknya, memikat hati kalangan pemilih maupun

BAB I PENDAHULUAN. jumlah suara yang sebanyak-banyaknya, memikat hati kalangan pemilih maupun BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Pemilu merupakan salah satu arena ekspresi demokrasi yang dapat berfungsi sebagai medium untuk meraih kekuasaan politik. Karenanya, berbagai partai politik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. basis agama Islam di Indonesia Perolehan suara PKS pada pemilu tahun 2004

I. PENDAHULUAN. basis agama Islam di Indonesia Perolehan suara PKS pada pemilu tahun 2004 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merupakan salah satu partai politik dengan basis agama Islam di Indonesia Perolehan suara PKS pada pemilu tahun 2004 mengalami

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM. Bergesernya paradigma penyelenggaraan pemerintahan dari government ke

GAMBARAN UMUM. Bergesernya paradigma penyelenggaraan pemerintahan dari government ke IV. GAMBARAN UMUM A. Jurusan Ilmu Pemerintahan Bergesernya paradigma penyelenggaraan pemerintahan dari government ke governance pada dekade 90-an memberi andil dalam perubahan domain Ilmu Pemerintahan.

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat Kabupaten Way Kanan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat Kabupaten Way Kanan 56 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Identitas Responden Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat Kabupaten Way Kanan yang berjumlah 100 responden. Identitas responden selanjutnya didistribusikan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 172 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dipaparkan dalam bab ini merujuk pada jawaban atas permasalahan penelitian yang telah dikaji oleh penulis di dalam skripsi yang berjudul Peta

Lebih terperinci

SURVEI NASIONAL PEMILIH MUDA: EVALUASI PEMERINTAHAN, CITRA DAN PILIHAN PARPOL DI KALANGAN PEMILIH MUDA JELANG PEMILU 2014

SURVEI NASIONAL PEMILIH MUDA: EVALUASI PEMERINTAHAN, CITRA DAN PILIHAN PARPOL DI KALANGAN PEMILIH MUDA JELANG PEMILU 2014 SURVEI NASIONAL PEMILIH MUDA: EVALUASI PEMERINTAHAN, CITRA DAN PILIHAN PARPOL DI KALANGAN PEMILIH MUDA JELANG PEMILU 2014 Data Survei Nasional 15 25 Maret 2013 Prepared by: INDO BAROMETER Jl. Cikatomas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum Pengertian Budaya Politik adalah pola perilaku suatu masyarakat dalam kehidupan bernegara, penyelenggaraan administrasi negara, politik pemerintahan, hukum,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bali dikenal sebagai daerah dengan ragam budaya masyarakatnya yang

BAB I PENDAHULUAN. Bali dikenal sebagai daerah dengan ragam budaya masyarakatnya yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali dikenal sebagai daerah dengan ragam budaya masyarakatnya yang unik. Bali dipandang sebagai daerah yang multikultur dan multibudaya. Kota dari provinsi Bali adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berjumlah 101 daerah, yang terdiri dari 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten. Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua Barat.

BAB I PENDAHULUAN. berjumlah 101 daerah, yang terdiri dari 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten. Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua Barat. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Konteks Penelitian Tanggal 15 Februari 2017 merupakan pesta demokrasi bagi sebagian masyarakat di Indonesia yang melaksanakan pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Setelah memasuki masa reformasi, partai politik telah menjadi instrumen

I. PENDAHULUAN. Setelah memasuki masa reformasi, partai politik telah menjadi instrumen I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setelah memasuki masa reformasi, partai politik telah menjadi instrumen penting dalam kehidupan demokrasi di Indonesia. Partai politik diberikan posisi penting

Lebih terperinci

Analisis Perolehan Suara dalam Pemilu 2014: OLIGARKI POLITIK DIBALIK KETERPILIHAN CALEG PEREMPUAN

Analisis Perolehan Suara dalam Pemilu 2014: OLIGARKI POLITIK DIBALIK KETERPILIHAN CALEG PEREMPUAN Pusat Kajian Politik Departemen Ilmu Politik - FISIP Universitas Indonesia (PUSKAPOL FISIP UI) Analisis Perolehan Suara dalam Pemilu 2014: OLIGARKI POLITIK DIBALIK KETERPILIHAN CALEG PEREMPUAN Komisi Pemilihan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dilakukan dengan keikutsertaan partai politik dalam pemilihan umum yang

I. PENDAHULUAN. dilakukan dengan keikutsertaan partai politik dalam pemilihan umum yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Partai politik merupakan pilar demokrasi dalam suatu negara seperti di Indonesia. Kehadiran partai politik telah mengubah sirkulasi elit yang sebelumnya tertutup bagi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Runtuhnya rezim Orde Baru memberikan ruang yang lebih luas bagi elit politik

I. PENDAHULUAN. Runtuhnya rezim Orde Baru memberikan ruang yang lebih luas bagi elit politik I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Runtuhnya rezim Orde Baru memberikan ruang yang lebih luas bagi elit politik lokal untuk menjalankan peran di tengah masyarakat yang selama diperankan pemerintah, elit

Lebih terperinci

PEMILIH MENGAMBANG DAN PROSPEK PERUBAHAN KEKUATAN PARTAI POLITIK

PEMILIH MENGAMBANG DAN PROSPEK PERUBAHAN KEKUATAN PARTAI POLITIK PEMILIH MENGAMBANG DAN PROSPEK PERUBAHAN KEKUATAN PARTAI POLITIK 15-25 MEI 2011 Jl. Lembang Terusan D-57, Menteng, Jakarta Pusat 10310 Telp. (021) 391 9582, Fax (021) 391 9528 Website: www.lsi.or.id, Email:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan DPRD sebagai penyalur aspirasi politik rakyat serta anggota DPD. sebagai penyalur aspirasi keanekaragaman daerah sebagaimana

BAB I PENDAHULUAN. dan DPRD sebagai penyalur aspirasi politik rakyat serta anggota DPD. sebagai penyalur aspirasi keanekaragaman daerah sebagaimana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakekatnya Pemilu legislatif adalah untuk memilih anggota DPR dan DPRD sebagai penyalur aspirasi politik rakyat serta anggota DPD sebagai penyalur aspirasi keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Adanya korupsi di berbagai bidang menjadikan cita-cita demokrasi

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Adanya korupsi di berbagai bidang menjadikan cita-cita demokrasi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi masih menjadi masalah mendasar di dalam berjalannya demokrasi di Indonesia. Adanya korupsi di berbagai bidang menjadikan cita-cita demokrasi menjadi terhambat.

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM KOTA PANGKALPINANG. NOMOR : 10/Kpts/KPU-Kota /2013 TENTANG

KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM KOTA PANGKALPINANG. NOMOR : 10/Kpts/KPU-Kota /2013 TENTANG KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM KOTA PANGKALPINANG NOMOR : 10/Kpts/KPU-Kota-009.436512/2013 TENTANG PENETAPAN SYARAT MINIMAL JUMLAH KURSI ATAU SUARA SAH PARTAI POLITIK ATAU GABUNGAN PARTAI POLITIK DALAM

Lebih terperinci

BAB II PEMILU DI INDONESIA

BAB II PEMILU DI INDONESIA KOMISI UMU M PEM I LI HAN BAB II PEMILU DI INDONESIA Bab ini menjelaskan tentang: A. Pemilu 1955 (Masa Parlementer) B. Pemilu 1971 1997 (Masa Orde Baru) C. Pemilu 1999 2009 (Masa Reformasi) Waktu : 1 Jam

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 7/PHPU.D-X/2012 Tentang Permohonan Pembatalan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2012 I. PIHAK-PIHAK - PARA PEMOHON 1.

Lebih terperinci

Publik Menilai SBY Sebagai Aktor Utama Kemunduran Demokrasi Jika Pilkada oleh DPRD

Publik Menilai SBY Sebagai Aktor Utama Kemunduran Demokrasi Jika Pilkada oleh DPRD Publik Menilai SBY Sebagai Aktor Utama Kemunduran Demokrasi Jika Pilkada oleh DPRD September 2014 Publik Menilai SBY Sebagai Aktor Utama Kemunduran Demokrasi Jika Pilkada Oleh DPRD Bandul RUU Pilkada kini

Lebih terperinci

LAPORAN SINGKAT KOMISI II DPR RI

LAPORAN SINGKAT KOMISI II DPR RI TERBATAS (Untuk Kalangan Sendiri) LAPORAN SINGKAT KOMISI II DPR RI (Bidang Pemerintahan Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kepemiluan, Pertanahan dan Reforma Agraria)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemilihan umum (Pemilu) merupakan sarana pesta demokrasi dalam suatu

I. PENDAHULUAN. Pemilihan umum (Pemilu) merupakan sarana pesta demokrasi dalam suatu 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilihan umum (Pemilu) merupakan sarana pesta demokrasi dalam suatu negara yang menganut paham demokrasi. Pemilu menjadi sarana pembelajaran dalam mempraktikkan

Lebih terperinci

Kajian Pelaporan Awal Dana Kampanye Partai Politik Pemilu 2014: KPU Perlu Tegas Atas Buruk Laporan Dana Kampanye Partai Politik

Kajian Pelaporan Awal Dana Kampanye Partai Politik Pemilu 2014: KPU Perlu Tegas Atas Buruk Laporan Dana Kampanye Partai Politik Koalisi Pemantauan Dana Kampanye Transparansi Internasional Indonesia dan Indonesia Corruption Watch Kajian Pelaporan Awal Dana Kampanye Partai Politik Pemilu 2014: KPU Perlu Tegas Atas Buruk Laporan Dana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara tersebut (http://www.wikipedia.org). Dalam prakteknya secara teknis yang

BAB I PENDAHULUAN. negara tersebut (http://www.wikipedia.org). Dalam prakteknya secara teknis yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara demokrasi, dimana rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pada suatu negara tersebut. Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem

Lebih terperinci

REKAPITULASI HASIL VERIFIKASI FAKTUAL PARTAI POLITIK TINGKAT PROVINSI PROVINSI...

REKAPITULASI HASIL VERIFIKASI FAKTUAL PARTAI POLITIK TINGKAT PROVINSI PROVINSI... Lampiran 2 Model F6-Parpol REKAPITULASI HASIL VERIFIKASI FAKTUAL PARTAI POLITIK TINGKAT PROVINSI 1 PARTAI AMANAT NASIONAL (PAN) 2 PARTAI BULAN BINTANG (PBB) TAHAP I TAHAP II TAHAP I TAHAP II TAHAP I TAHAP

Lebih terperinci

Pola Surat Suara Tidak Sah dalam Pemilu Presiden 2014 di Daerah Istimewa Yogyakarta

Pola Surat Suara Tidak Sah dalam Pemilu Presiden 2014 di Daerah Istimewa Yogyakarta Pola Surat Suara Tidak Sah dalam Pemilu Presiden 2014 di Daerah Istimewa Yogyakarta Laporan Akhir Penelitian Pola Surat Suara Tidak Sah dalam Pemilu Presiden 2014 di Daerah Istimewa Yogyakarta kerjasama

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN BAB V SIMPULAN DAN SARAN Pada bab V, penulis memaparkan simpulan dan saran dari hasil penelitian yang telah penulis lakukan. Simpulan yang dibuat oleh penulis merupakan penafsiran terhadap analisis hasil

Lebih terperinci

KEWAJIBAN PELAPORAN DANA KAMPANYE PESERTA PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF 2014

KEWAJIBAN PELAPORAN DANA KAMPANYE PESERTA PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF 2014 KEWAJIBAN PELAPORAN DANA KAMPANYE PESERTA PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF 2014 http://kesbangpol.kemendagri.go.id I. PENDAHULUAN Dana kampanye adalah sejumlah biaya berupa uang, barang, dan jasa yang digunakan

Lebih terperinci

TAHAPAN PILPRES 2014 DALAM MEWUJUDKAN BUDAYA DEMOKRASI

TAHAPAN PILPRES 2014 DALAM MEWUJUDKAN BUDAYA DEMOKRASI TAHAPAN PILPRES 2014 DALAM MEWUJUDKAN BUDAYA DEMOKRASI ENI MISDAYANI, S.Ag, MM KPU KABUPATEN KUDUS 26 MEI 2014 DASAR HUKUM Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 13/PHPU.D-X/2012 Tentang Permohonan Pembatalan Penetapan Hasil Penghitungan Suara Pemilukada Kabupaten Kolaka Utara Terhadap Keputusan Komisi Pemilihan Umum

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. daerah tidak lagi terbatas pada kewenangan yang bersifat administratif tapi telah

BAB 1 PENDAHULUAN. daerah tidak lagi terbatas pada kewenangan yang bersifat administratif tapi telah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan sistem pemilihan juga telah membawa perubahan hubungan tata Pemerintahan antar pusat dan daerah. Pendelegasian kekuasaan dari pusat ke daerah tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Reformasi memberikan perubahan mendasar dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia. Perubahan tersebut dapat dilihat pada hasil amandemen ketiga Undang-

Lebih terperinci

Kekuatan Elektoral Partai-Partai Islam Menjelang Pemilu 2009

Kekuatan Elektoral Partai-Partai Islam Menjelang Pemilu 2009 Kekuatan Elektoral Partai-Partai Islam Menjelang Pemilu 2009 September 2008 Jl. Lembang Terusan No. D 57, Menteng Jakarta Pusat Telp. (021) 3919582, Fax (021) 3919528 Website: www.lsi.or.id, Email: info@lsi.or.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Salah satu 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Partai politik merupakan sarana ataupun wadah bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya dalam kekuasaan atau pemerintahan di suatu negara. Di dalam bukunya Miriam

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Responden penelitian ini adalah masyarakat adat Lampung Abung Siwo Mego

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Responden penelitian ini adalah masyarakat adat Lampung Abung Siwo Mego V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Identitas Responden Responden penelitian ini adalah masyarakat adat Lampung Abung Siwo Mego Buay Subing di Desa Labuhan Ratu Kecamatan Labuhan Ratu Kabupaten Lampung Timur yang

Lebih terperinci

PEMERINTAHAN GOVERNMENT

PEMERINTAHAN GOVERNMENT Pusat Pemerintahan Kecamatan, Jumlah Desa, Kelurahan dan UPT : 2.1. dalam Kabupaten Musi Banyuasin Central of District Government, Number of Villages, Wards and UPTs in Musi Banyuasin Regency Kecamatan/

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memilih sebuah partai politik karena dianggap sebagai representasi dari agama

I. PENDAHULUAN. memilih sebuah partai politik karena dianggap sebagai representasi dari agama I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Isu-isu dan kebijakan politik sangat menentukan perilaku pemilih, tapi terdapat pula sejumlah faktor penting lainnya. Sekelompok orang bisa saja memilih sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kehadiran perempuan dalam kontestasi politik di Indonesia, baik itu

BAB I PENDAHULUAN. Kehadiran perempuan dalam kontestasi politik di Indonesia, baik itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehadiran perempuan dalam kontestasi politik di Indonesia, baik itu pemilihan umum (pemilu) ataupun pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) di daerah-daerah semakin

Lebih terperinci

Efek Jokowi: Peringatan Penting dari Survei Eksperimental

Efek Jokowi: Peringatan Penting dari Survei Eksperimental Efek Jokowi: Peringatan Penting dari Survei Eksperimental (Adinda Tenriangke Muchtar, Arfianto Purbolaksono The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research) http://www.shnews.co/detile-28182-gelombang-efek-jokowi.html

Lebih terperinci

BAB III TEORI SOSIAL CLIFFORD GEERTZ DAN SEJARAH PERKEMBANGAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA

BAB III TEORI SOSIAL CLIFFORD GEERTZ DAN SEJARAH PERKEMBANGAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA BAB III TEORI SOSIAL CLIFFORD GEERTZ DAN SEJARAH PERKEMBANGAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA 3.1 Teori Sosial Clifford Geertz Geertz adalah seorang Guru Besar di Universitas Chicago Amerika Serikat, ia melakukan

Lebih terperinci