BAB IX PENUTUP IX.1. Kesimpulan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IX PENUTUP IX.1. Kesimpulan"

Transkripsi

1 BAB IX PENUTUP IX.1. Kesimpulan Studi ini mengkaji dinamika terbentuknya pemerintahan divided atau unified yang dikaitkan dengan pembuatan kebijakan APBD pada satu periode pemerintahan. Argumen yang dikembangkan adalah bahwa terbentuknya pemerintahan divided atau unified tidak berlangsung secara permanen, sebagaimana terjadi pada pemerintahan Amerika Serikat, melainkan dinamis dan bersifat situasional. Transaksi fee merupakan determinan faktor yang menyebabkan dinamika terbentuknya pemerintahan divided atau unified. Studi-studi sebelumnya melihat terbentuknya pemerintahan divided atau unified menggunakan definisi arithmetical. Mengacu pada definisi ini, terbentuknya pemerintahan divided atau unified didasarkan penguasaan atau kontrol partai terhadap kedua cabang pemerintahan. Definisi ini memiliki implikasi bahwa perilaku pemilih dalam Pemilu menjadi faktor utama yang sangat menentukan terbentuknya pemerintahan divided atau unified. Dengan demikian, jika yang terbentuk adalah pemerintahan divided atau unified, maka bentuk pemerintahan itu akan berlangsung pada satu periode pemerintahan. Itu berarti terbentuknya pemerintahan divided atau unified berlangsung secara permanen. Selain itu, pemerintahan divided atau unified pun pada akhirnya dianggap sebagai faktor yang mempengaruhi setiap pembuatan kebijakan publik. Beberapa studi pun kemudian dilakukan di luar sistem pemerintahan presidensial Amerika Serikat untuk menunjukkan bahwa terbentuknya pemerintahan divided atau unified berbeda. Studi yang menggunakan definisi interpretasi perilaku memperlihatkan bahwa terbentuknya pemerintahan divided atau unified bukan karena kontrol partai terhadap kedua cabang pemerintahan, melainkan oleh situasi tertentu. Pada sistem pemerintahan semi presidensial, sebagaimana terjadi di Polandia, terbentuknya pemerintahan divided atau unified disebabkan oleh bentuk dukungan yang diberikan legislatif terhadap usul kebijakan yang disampaikan oleh presiden dan perdana menteri. Sementara itu, pada sistem

2 168 parlementer, sebagaimana terjadi Jerman, terbentuknya pemerintahan divided atau unified disebabkan oleh konflik antara Bundesrat dan Bundestag. Pemerintahan divided dipicu oleh oposisi mayoritas yang menguasai Bundesrat. Posisi mayoritas ini kemudian digunakan untuk mem-veto legislasi federal. Itu berarti veto Bundesrat menjadi penyebab terbentuknya pemerintahan divided atau unified. Fenomena terbentuknya pemerintahan divided atau unified sebagaimana terjadi pada sistem semi presidensial dan parlementer, terjadi pula pada sistem presidensial dengan pola multipartai sebagaimana di Indonesia, khususnya di pemerintahan daerah. Terbentuknya pemerintahan divided atau unified di daerah bukan disebabkan oleh kontrol partai terhadap kedua cabang pemerintahan, melainkan oleh faktor tertentu, yaitu faktor transaksi fee. Dengan mengangkat kasus pembuatan kebijakan APBD pada satu periode pemerintahan, faktor ini dapat digunakan untuk menelusuri terjadinya dinamika terbentuknya pemerintahan divided atau unified. Determinan faktor transaksi fee pada terbentuknya pemerintahan divided atau unified di setiap pembahasan RAPBD tidak terlepas dari perubahan kebijakan. Pasca kebijakan desentraliasi terjadi perubahan konstelasi politik, khususnya di daerah. DPRD sebagai lembaga legislasi, memiliki kekuasaan yang lebih besar daripada masa sebelumnya. Bertambahnya kekuasaan partai ini tentunya mempertinggi posisi tawar mereka. Koalisi lintas partai atau fraksi menjadi keniscayaan, sebab kursi DPRD dikuasai dan dibagi oleh banyak partai. Tidak ada satu partai yang menguasai mayoritas kursi DPRD. Perubahan berikutnya tentang pemerintahan daerah adalah diterapkannya pemilihan kepala daerah secara langsung sejak tahun Perubahan sistem ini menjadikan bahwa kepala dan wakil kepala daerah yang terpilih pada umumnya tidak didukung oleh partai yang menguasai mayoritas kursi di DPRD. Sebaliknya, mayoritas kursi di DPRD tidak pula dikuasai oleh satu partai. Dengan demikian, menggunakan definisi arithmetical, pemerintahan yang terbentuk pasca kebijakan desentraliasi dan perubahan sistem pemilihan kepala daerah, adalah pemerintahan divided. Fenomena yang sama terjadi

3 169 di pemerintahan kota Pematangsiantar periode Pada periode pemerintahan ini, pemerintahan yang terbentuk adalah pemerintahan divided. Walikota dan wakil walikota yang terpilih hanya di dukung oleh 5 kursi atau 16,67% dari 30 kursi DPRD. DPRD yang dibentuk pada tahun 2004 menunjukkan bahwa 30 kursi DPRD terdistribusi hampir merata di 11 partai politik. PDIP menguasai 6 kursi, PD 5 kursi, Partai Golkar, PDS, dan PAN masing-masing 3 kursi, PKPI, PPIB, PP, PKS masingmasing 2 kursi, dan Partai Patriot, PBSD masing-masing menguasai 1 kursi. Situasi ini membuat partai-partai melakukan koalisi kedalam fraksi. Sayangnya, dalam proses pembentukan fraksi-fraksi ini, pragmatisme partai lebih menonjol daripada ideologi partai. Hal ini dapat dilihat di fraksi PDIP Kebangsaan yang merupakan gabungan PDIP, Partai Golkar, PDS, PAN, dan PPP yang berjumlah 17 kursi. Selain itu, fraksi PDIP Kebangsaan juga melakukan koalisi dengan fraksi Barisan Nasional yang beranggotakan 5 kursi. Dengan demikian, kedua fraksi ini telah menguasai mayoritas kursi DPRD. Ini pulalah yang dijadikan sebagai alat bargaining antara DPRD dengan pemerintah kota. DPRD periode ini juga menunjukkan bahwa dari 30 orang anggota yang ada, relatif hanya 5 anggota yang menonjol dalam mengendalikan badan ini. Kelima anggota dimaksud adalah mereka yang terpilih untuk kedua kalinya. Kelimanya berasal dari PDIP 3 orang, Partai Golkar 1 orang dan PKPI 1 orang. Dari kelima anggota dewan itu, 3 anggota dewan merupakan aktor kebijakan yang sangat dominan dalam mempengaruhi setiap keputusan DPRD. Ketiga orang ini sering disebut sebagai 3M. Ketiga orang ini sangat berperan dalam mendudukkan anggota yang ada dalam fraksinya di posisi-posisi strategis, seperti ketua dewan, ketua fraksi, ketua komisi, dan panitia anggaran. Pengalaman tentunya menjadikan mengapa ketiga anggota dewan ini mendominasi DPRD. Dengan posisi dan kekuasaannya yang besar itu, 3M merupakan elit aktor legislatif. Disisi lain, walikota dan wakil walikota yang terpilih dalam Pilkada langsung, sebagaimana disebut sebelumnya, hanya didukung oleh 5 kursi atau 16,67 % dari 30 kursi DPRD yang berasal dari PD. Jika pun kemudian didukung oleh anggota dewan yang tergabung dalam fraksi Demokrat, yakni PD 5 kursi, PKS 2

4 170 kursi dan Partai Patriot 1 kursi, dukungan hanya sekitar 8 kursi atau 26,67 %. Bahkan ketika pada tahun 2005 walikota memimpin DPC PD dan wakil walikota memimpin DPD PAN kota Pematangsiantar, jumlah dukungan hanya sekitar 11kursi atau 36,67 %. Jumlah ini tentunya masih sulit untuk meloloskan RAPBD yang diusulkan setiap tahunnya. Dengan kata lain, untuk mendapatkan dukungan mayoritas DPRD dibutuhkan cara-cara yang lain. Paling tidak dua cara yang dilakukan oleh walikota dalam menambah dukungan, yaitu dengan menjalin hubungan yang baik dengan ketua DPRD dan menjalin atau mempengaruhi anggota DPRD secara individual di luar 3M agar mendukungnya. Sayangnya, ketua DPRD bukanlah orang yang dapat mengambil keputusan secara mutlak. Setiap keputusan yang akan ditetapkan ketua DPRD harus meminta pendapat dan pertimbangan 3M. Situasi yang demikian ini membuat walikota tidak nyaman, karena ketua DPRD dianggap tidak dapat mengambil keputusan dan terlalu tunduk kepada 3M. Akhinya, walikota pun terpaksa untuk membangun hubungan dengan 3M melalui sekretaris daerah. Hubungan yang dibina oleh walikota dengan anggota DPRD secara individual ini setidaknya menghasilkan dukungan sebanyak 14 orang atau 46,67%. Perilaku anggota dewan yang secara individual mendukung walikota dilakukan bukanlah didasarkan karena substansi yang dibahas, misalnya karena hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan publik, melainkan oleh karena terpenuhinya berbagai kepentingan mereka. Dukungan seperti ini sangat rapuh. Bergesernya dukungan anggota dewan pada Rapat Paripurna yang membahas usul penonaktifan walikota dan wakil walikota tanggal 5 September 2008, membuktikan hal tersebut. Situasi pemerintahan divided di awal terbentuknya pemerintahan periode ini, tentunya berimplikasi pada pembuatan kebijakan APBD. Pertanyaan mendasarnya adalah apakah pemerintahan divided yang terbentuk di awal terpilihnya walikota dan wakil walikota tahun 2005 akan tetap divided pada satu periode pemerintahan? Dengan menggunakan definisi interpretasi perilaku, ternyata dalam proses pembuatan kebijakan APBD pada satu periode pemerintahan dapat terbentuk pemerintahan divided atau unified. Dengan kata lain ada dinamika

5 171 terbentuknya pemerintahan divided atau unified, terutama di satu periode pemerintahan. Dengan menggunakan definisi interpretasi perilaku sesungguhnya terbentuknya pemerintahan divided atau unified itu dapat ditelusuri pada setiap fase pembahasan RAPBD. Dengan demikian, pada satu rentang proses pembuatan kebijakan APBD dapat dilihat dinamika terbentuknya pemerintahan divided atau unified. Sayangnya, dalam satu rentang proses pembahasan RAPBD yang terjadi adanya kesamaan pemerintahan yang terbentuk sejak fase awal hingga fase akhir. Jika di fase awal yang terbentuk adalah pemerintahan unified, maka hingga fase akhir yang terbentuk adalah pemerintahan unified. Demikian sebaliknya, jika di fase awal yang terbentuk pemerintahan divided, maka di fase akhir juga demikian. Situasi itu menunjukkan bahwa ada determinan faktor yang menjadi penyebabnya. Determinan faktor itu, sebagaimana disinggung di awal, adalah faktor transaksi fee. Ketika dalam pembahasan RAPBD satu tahun tertentu terjadi kesepakatan fee antara elit aktor legislatif dan walikota, maka pemerintahan yang terbentuk adalah pemerintahan unified. Sebaliknya, ketika dalam pembahasan RAPBD satu tahun tertentu transaksi fee antara elit aktor legislatif dan walikota gagal, maka pemerintahan yang terbentuk adalah pemerintahan divided. Pada RAPBD tahun 2006, 2007 dan 2008, di setiap fase pembahasan terbentuk pemerintahan unified. Meskipun ada persoalan di substansi RAPBD (policy content), itu tidak menjadi pertimbangan anggota DPRD. Koreksi tajam yang disampaikan beberapa anggota dewan pun pada akhirnya bermuara pada persetujuan. Beberapa persoalan itu seperti usulan atau penyampaian RAPBD pemerintah kota yang disampaikan pada bulan Maret dan April pada tahun anggaran berjalan, yang seharusnya bulan Nopember tahun sebelumnya. Demikian pula halnya dengan substansi RAPBD (policy content). Pada tahun anggaran 2006 misalnya, bahwa yang menjadi prioritas adalah sektor kesehatan, tetapi porsi anggaran untuk sektor ini hanya sekitar 10,47 %. Kemudian untuk tahun anggaran 2007 ada perbedaan yang sangat mencolok antara anggaran bagian sosial di sektetariat daerah yang berjumlah Rp 11 Milyar dengan anggaran dinas sosial yang hanya sebesar Rp 400 juta. Hal ini tidak dipersoalkan oleh DPRD, karena anggaran

6 172 bantuan sosial yang ada di bagian sosial itu telah disepakati merupakan bagian dari kesepakatan-kesepakatan yang dilakukan sebelumnya. Artinya, sejumlah dana di bagian sosial itu, selain diperuntukkan bagi organisasi masyarakat, juga diperuntukkan bagi kepentingan walikota dan anggota DPRD secara individual. Anggota DPRD mendapatkan dana dari bagian sosial itu melalui pengajuan berbagai proposal. Bahkan anggota DPRD seperti 3M, dapat memperoleh dana dari bantuan soaial untuk APBD induk dan APBD Perubahan. Sikap yang agak berbeda ditunjukkan pada pembahasan RAPBD TA 2008, meskipun hasil akhirnya sama. DPRD menunda waktu persetujuan, bukan karena adanya masalah terkait substansi RAPBD. Secara substansial, RAPBD TA 2008 ini pun sebenarnya bermasalah dari sisi pagu anggaran. Misalnya belanja rumah tangga walikota dan wakil walikota sebesar Rp ,- dan biaya di bagian sosial untuk bingkisan hari besar keagamaan sebesar Rp 4 milyar. DPRD menunda persetujuan RAPBD 2008 karena walikota tidak memenuhi kepentingan DPRD, khususnya ketua DPRD dan 3M. Persetujuan yang diberikan DPRD terhadap RAPBD, meskipun beberapa substansinya bermasalah, karena memang sebelumnya sudah ada kesepakatan fee antara walikota dan elit aktor legislatif. Kesepakatan itu bahkan sudah dilakukan pada saat pembahasan PPAS antara TAPD dengan Panggar DPRD. Apalagi di Panggar DPRD ini 3M juga menjadi anggotanya. Melalui kewenangan yang mereka miliki, 3M sangat berperan dalam menentukan dan melakukan kesepakatankesepakatan dengan TAPD. Ketiganya juga dapat melakukan berbagai tekanan kepada walikota manakala besaran fee tidak dipenuhi. Bahkan, sebagaimana terjadi pada penggungkapan kasus APBD TA 2007, uang muka fee itu sudah disampaikan sebelum pembahasan RAPBD TA Berbeda dengan ketiga tahun anggaran tersebut, pada RAPBD TA 2009, sejak fase awal pembahasan RAPBD sudah terbentuk pemerintahan divided yang kemudian berimplikasi di fase akhir. Penyebabnya adalah kesepakatan fee yang tidak berjalan. Besaran fee yang dimintakan oleh DPRD terlalu besar, sehingga walikota tidak mampu untuk memenuhinya. Akibatnya, 3M tidak memberikan dukungan agar RAPBD TA 2009 segera dibahas. Argumen mereka karena walikota

7 173 belum menyampaiakan laporan hasil audit BPK. Meskipun permintaan hasil audit BPK itu dianggap sebagai alasan saja, pada kenyataannya, hingga batas akhir penetapan, RAPBD TA 2009 tidak dibahas DPRD. Akibatnya, walikota mengeluarkan Peraturan Walikota tentang APBD TA Keluarnya Peraturan Walikota ini menandakan bahwa pada pembuatan kebijakan APBD TA 2009 yang terbentuk adalah pemerintahan divided. Fakta-fakta di atas, selain memperkuat bukti bahwa determinan faktor penyebab terbentuknya pemerintahan divided atau unified adalah transaksi fee, menunjukkan pula bahwa faktor substansi RAPBD (policy content) bukan merupakan penyebab utamanya. Demikian halnya dengan disiplin partai dan perbedaan etnik atau agama. Disiplin partai tidak berjalan secara maksimal. Terjadinya pergeseran dukungan anggota DPRD terhadap walikota dan terpecahnya dukungan anggota dewan dari partai yang sama, memperkuat argumen ini. Sampai awal tahun 2008, dukungan anggota dewan kepada walikota berjumlah 14 orang, tetapi berubah menjadi hanya 10 orang sejak Rapat Paripurna tanggal 5 September Sementara itu, faktor etnik atau agama tidak dijadikan anggota DPRD, khususnya 3M dalam mendukung atau menolak RAPBD. Secara etnik ketiganya berasal dari dua sub etnik, Maruli dan Mangatas berasal dari etnik Batak Tapanuli Utara dan beragama Kristen, sedangkan Mukhtar berasal dari etnik Batak Karo dan beragama Islam. Hal ini pun tidak dapat dikatakan sebagai Blok Batak sebagaimana Blok Simalungun yang terjadi di DPRD-GR kabupaten Simalungun tahun Meskipun etnik Batak Tapanuli Utara mendominasi DPRD dan walikota juga berasal dari etnik yang sama, kesamaan etnik ini tidak dijadikan basis dalam setiap pembahasan RAPBD. Dengan demikian, berbagai peristiwa di atas menegaskan bahwa dalam satu periode pemerintahan dapat terbentuk pemerintahan divided atau unified secara bergantian. Pada kasus pembuatan kebijakan APBD selama satu periode pemerintahan , dinamika pemerintahan yang terbentuk adalah pemerintahan unified -pemerintahan unified - pemerintahan unified - pemerintahan divided. Kemudian, apabila kita ingin melihat dinamikanya dengan menyertakan pemerintahan divided yang terbentuk di awal pemerintahan tahun 2005, maka

8 174 dinamika pemerintahan itu adalah pemerintahan divided - pemerintahan unified - pemerintahan unified - pemerintahan unified - pemerintahan divided. Kemudian, perbedaan lain studi ini terkait hubungan antara terbentuknya pemerintahan divided atau unified dengan pembuatan kebijakan APBD adalah bahwa studi-studi terdahulu menyatakan pemerintahan divided atau unified tidak memiliki perbedaan signifikan dalam proses pembuatan dan produk kebijakan. Studi dari perspektif interpretasi perilaku ini menemukan bahwa pernyataan itu tidak selamanya benar. Pada kasus tertentu, situasi pemerintahan divided atau unified memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pembuatan ataupun produk kebijakan. Pada situasi pemerintahan divided, pembuatan kebijakan menjadi terganggu, yang pada akhirnya mempengaruhi produk kebijakan. Tidak satupun produk kebijakan yang dihasilkan ketika terbentuk pemerintahan divided. Hal ini terjadi, karena situasi pemerintahan divided pada pembuatan kebijakan APBD TA 2009 diikuti oleh konflik yang berkepanjangan antara walikota dan DPRD. Praktis sejak terbentuknya pemerintahan divided tahun 2009 hingga tahun 2010, tidak satupun produk kebijakan yang dihasilkan oleh walikota dan DPRD. Berbeda dengan situasi pemerintahan divided, pada situasi pemerintahan unified, berbagai produk kebijakan di luar APBD dapat ditetapkan oleh walikota dan DPRD selama periode tersebut. Pasca pembuatan kebijakan APBD TA , setidaknya terdapat 45 kebijakan berupa peraturan daerah yang dihasilkan. Hanya saja hampir seluruh peraturan daerah yang dihasilkan itu lebih mengarah kepada kepentingan birokrasi dan politisi. Namun demikian, patut pula dipahami bahwa oleh karena terbentuknya pemerintahan unified disebabkan faktor transaksi fee, maka dari sisi akuntabilitas, situasi pemerintahan ini menjadi kurang baik. Studi ini juga menemukan pula bahwa Walikota, ketua DPRD dan 3M merupakan aktor kebijakan dalam menjalankan peran sebagai veto players. Hanya saja, veto players yang paling dominan adalah 3M. Mereka ini merupakan elit aktor legislatif. Walikota dan ketua DPRD tidak dapat membuat kesepakatan tanpa mendapatkan pertimbangan dari 3M. Berapa besaran fee, apakah RAPBD dibahas atau tidak, dan bagaimana hasil akhir dari setiap RAPBD yang sedang dibahas, sangat ditentukan elit aktor legislatif ini. Peran ketiganya dalam mendisain dan

9 175 menentukan anggota dewan untuk duduk menjadi pimpinan, ketua-ketua komisi, dan di kepanitiaan, memberikan peluang bagi 3M dalam menguasai arena DPRD. Kekuatan mereka ini digunakan untuk mempertinggi posisi tawar dengan walikota. Terjadinya transaksi fee menunjukkan bahwa berbagai kepentingan menjadi sangat dominan dalam setiap pembahasan RAPBD. Kepentingan individual anggota DPRD merupakan hal yang utama mengapa perubahan sikap anggota DPRD, terutama elit aktor legislatif. Pada akhirnya, dominannya peran elit aktor legislatif ini dalam proses pembuatan kebijakan APBD yang berakibat pada terbentuknya pemerintahan divided atau unified, membuktikan pula bahwa dimensi informal institutional lebih berperan daripada formal institutional. Fakta di atas sekaligus menunjukkan bahwa kebijakan publik identik dengan persepsi elit politik sejalan dengan apa yang ditekankan dalam teori elit. Terjadinya kesepakatan atau tidak adanya kesepakatan, dibangun diantara para elit aktor kebijakan sesuai dengan preferensi dan kepentingan mereka. Konflik yang terjadi diantara para elit bukanlah karena masing-masing elit memperjuangkan kepentingan publik. Publik yang menjadi kelompok sasaran sama sekali tidak memiliki akses dalam mempengaruhi keputusan-keputusan para elit aktor kebijakan. Temuan ini juga sekaligus sejalan dengan apa yang menjadi inti teori veto players, bahwa setiap pembuatan kebijakan merupakan hasil dari konstelasi veto players, yakni aktor individu dan kolektif, apakah mereka setuju atau tidak. Manakala kepentingan veto players terpenuhi mereka akan memberikan persetujuan, dan sebaliknya yang terjadi apabila kepentingan ditolak walikota. Itu berarti, sesungguhnya pembuatan kebijakan APBD merupakan hasil dari relasi, kompromi, diskusi, dan bargaining elit aktor kebijakan atau veto players yang terlibat di dalamnya. Berdasarkan uraian di atas, maka tesis pada studi ini adalah, dinamika terbentuknya pemerintahan divided atau unified dalam proses pembuatan kebijakan APBD pada satu periode pemerintahan disebabkan oleh faktor transaksi fee. IX.2. Kontribusi Akademik, Implikasi Teoritis dan Praktis Menawarkan sesuatu yang baru (invention), merupakan kontribusi akademik yang bersifat umum dari satu penelitian, apalagi penelitian disertasi. Pada level

10 176 tertentu penelitian ini tidak menawarkan sesuatu yang baru. Dikatakan demikian, karena terbentuknya pemerintahan divided atau unified yang dinamis dan bersifat situasional itu sebelumnya sudah diteliti, misalnya seperti dilakukan di Polandia yang menggunakan sistem presidensial. Terbentuknya pemerintahan divided atau unified sangat tergantung pada kemampuan presiden dan perdana menteri untuk melakukan perkawinan (cohabitation) demi mendapat dukungan dari mayoritas anggota legislatif. Selain itu, adanya pemisahan kekuasaan antara presiden dan perdana menteri juga memberikan kontribusi bagi terbentuknya kedua bentuk pemerintahan itu. Sementara pada sistem politik parlementer, penelitian telah dilakukan di Jerman, yang menunjukkan bahwa terbentuknya pemerintahan divided ketika Bundesrat menggunakan hak veto terhadap legislasi federal. Kontribusi utama penelitian ini yang membedakan dengan penelitian sebelumnya adalah bahwa penelitian tentang terbentuknya pemerintahan divided atau unified dengan mengelaborasi definisi interpretasi perilaku yang dikaitkan dengan pembuatan kebijakan APBD belum pernah dilakukan. Studi-studi terdahulu menggunakan definisi arithmetical yang menekankan bahwa terbentuknya pemerintahan divided atau unified lebih disebabkan oleh faktor institusional, seperti sistem pemerintahan, sistem kepartaian, sistem pemilihan, dan adanya kebebasan pemilih saat Pemilu. Perilaku politik pemilih pada saat pemilihan presiden dan anggota legislatif dianggap sebagai penentu terbentuknya kedua pemerintahan divided atau unified. Bertitik tolak dari pemikiran ini, studi terdahulu menempatkan pemerintahan divided atau unified sebagai faktor yang mempengaruhi atau faktor penjelas terhadap proses pembuatan kebijakan. Selain itu, terbentuknya pemerintahan divided atau unified dianggap sebagai sesuatu yang permanen. Studi yang mengelaborasi definisi interpretasi perilaku ini menemukan bahwa pada proses pembuatan kebijakan APBD ternyata dapat terbentuk pemerintahan divided atau unified dalam satu periode pemerintahan. Terbentuknya pemerintahan divided atau unified ini disebabkan oleh transaksi fee. Studi ini menemukan bahwa transaksi fee merupakan determinan faktor yang menyebabkan terbentuknya pemerintahan divided atau unified. Dengan demikian, maka temuan studi ini menunjukkan bahwa pembuatan kebijakan APBD dapat digunakan sebagai

11 177 faktor penjelas bagi terbentuknya pemerintahan divided atau unified. Temuan ini sekaligus pula mengungkapkan bahwa terbentuknya pemerintahan divided atau unified tidak bersifat permanen, melainkan dinamis dan bersifat situasional. Hal inilah yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya dan sekaligus merupakan kebaruan dalam penelitian ini (invention). Penelitian ini juga sekaligus mengembangkan definisi interpretasi perilaku. Berdasarkan uraian di atas, maka implikasi teoritis penelitian ini adalah pada pengembangan studi Kebijakan Publik, khususnya proses pembuatan kebijakan publik yang dikaitkan dengan terbentuknya pemerintahan divided atau unified. Proses pembuatan kebijakan publik tidak hanya melihat proses pentahapan seperti pembahasan rancangan kebijakan dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di balik pembahasan itu, melainkan juga dapat dikaitkan dengan dimensi lain, yaitu terbentuknya pemerintahan divided atau unified. Proses pembuatan kebijakan dapat menjelaskan terbentuknya pemerintahan divided atau unified. Melalui penggunaan definisi interpretasi perilaku, isu-isu kebijakan atau masalah-masalah kebijakan yang akan atau sedang dibahas dapat menentukan apakah yang akan terbentuk pemerintahan divided atau unified. Jika isu atau masalah kebijakan yang dibahas terkait dengan kepentingan elit aktor legislatif, cenderung yang terbentuk pemerintahan unified. Jika yang terjadi adalah sebaliknya, maka cenderung yang terbentuk pemerintahan divided. Selain itu, oleh karena pembuatan kebijakan APBD menyangkut dimensi teknokratis dan politis, maka penelitian ini juga memberikan kontribusi bagi pengembangan studi Administrasi Publik dan Politik. 1 Pada bidang politik temuan penelitian ini juga ingin menyatakan bahwa terbentuknya pemerintahan divided atau unified tidak semata hanya dilihat dari dimensi perilaku pemilih pada saat Pemilu saja, melainkan juga dari dimensi yang terjadi ketika satu kebijakan dibahas di legislatif. Itu juga berarti bahwa rumusan pemerintahan divided atau unified harus diperluas dan dikaji dari perspektif yang berbeda. 1 Dimensi teknokratik terkait dengan proses agenda setting dan formulasi RAPBD yang dilakukan para birokrat dan walikota, sedangkan dimensi politis adalah pembahasan RAPBD yang dilakukan DPRD bersama pemerintah kota.

12 178 Sementara itu, implikasi praktis penelitian ini adalah bahwa para kepala daerah ketika terpilih tidak didukung oleh mayoritas kursi legislatif, sesungguhnya tidak perlu merasa khawatir bahwa pemerintahan yang terbentuk selama satu periode adalah pemerintahan divided. Bentuk pemerintahan ini dapat terbentuk silih berganti pada saat pembahasan RAPBD. Terpenting daripada itu adalah bahwa kepala daerah harus lebih mengutamakan kepentingan publik dalam penyusunan RAPBD daripada memikirkan pemerintahan yang terbentuk. Ketika RAPBD disusun dengan prinsip transparansi dan lebih memihak kepada kepentingan publik, akan memberikan peluang bagi legislatif memberikan dukungan. IX.3. Kelemahan Penelitian Kelemahan penelitian ini adalah bahwa penelitian dilakukan hanya pada satu kasus, sehingga tidak mampu untuk merumuskan generalisasi. Artinya, apa yang terjadi di kota Pematangsiantar belum tentu sama dengan yang terjadi di pemerintahan kabupaten dan kota lainnya. Meskipun demikian, fenomena yang terjadi di objek penelitian terjadi pula di pemerintahan kabupaten dan kota lainnya. Kelemahan berikutnya adalah bahwa dinamika terbentuknya pemerintahan divided atau unified pada satu rentang pembahasan RAPBD tidak terjadi. Idealnya dinamika itu dapat terlihat di setiap fase pembahasan RAPBD. Dengan demikian, yang dapat diungkapkan dalam studi ini adalah dinamika terbentuknya pemerintahan divided atau unified di awal terpilihnya walikota dan wakil walikota tahun 2005 dan pada pembahasan RAPBD pada satu periode pemerintahan. IX.4. Rekomendasi Penelitian Lebih Lanjut Penelitian studi kasus pada umumnya cenderung melihat satu kasus dengan cara yang unik. Hal yang sama terjadi pada penelitian ini. Akan tetapi, peneliti berusaha untuk melakukan perbandingannya dengan mengambil contoh kasus lain yang mirip untuk memperkaya analisis. Cara tersebut dilakukan dengan menggunakan triangulasi. Hanya saja, yang terbaik adalah jika perbandingan itu dilakukan secara tegas pada sistem politik atau daerah berbeda dengan karakteristik yang mirip. Dengan melakukan perbandingan tentunya tesis-tesis yang diajukan akan dapat dikaji secara strategis.

13 179 Mewujudkan maksud tersebut, maka untuk selanjutnya peneliti dapat melakukan penelitian di beberapa daerah kabupaten/kota yang mengalami kasus yang sama. Fokus penelitian dititikberatkan pada penelusuruan terbentuknya pemerintahan divided atau unified di setiap fase pembahasan RAPBD. Selain itu, penelitian dapat dilakukan untuk beberapa kebijakan, baik rutin maupun non-rutin, yang sudah ditetapkan pada satu periode pemerintahan. Terakhir, penelitian juga dapat ditarik ke level nasional, yaitu melihat dinamika terbentuknya pemerintahan divided atau unified dengan mengambil dua atau lebih isu-isu kebijakan yang telah dibahas antara pemerintah dan DPR. Faktor-faktor yang menyebabkan perilaku yang berbeda untuk berbagai isu kebijakan yang dibahas dan bagaimana transaksi fee dan perilaku elit legislatif berlangsung yang menjadi inti tesis ini, akan dapat diuji secara lebih ketat.

BAB I. PENDAHULUAN. kepala eksekutif dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga kepala eksekutif tidak

BAB I. PENDAHULUAN. kepala eksekutif dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga kepala eksekutif tidak BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara kesatuan yang menganut Sistem Pemerintahan Presidensiil. Dalam sistem ini dijelaskan bahwa kepala eksekutif

Lebih terperinci

PROFIL DPRD KABUPATEN SUMENEP PERIODE Disusun oleh: Bagian Humas & Publikasi Sekretariat DPRD Sumenep

PROFIL DPRD KABUPATEN SUMENEP PERIODE Disusun oleh: Bagian Humas & Publikasi Sekretariat DPRD Sumenep PROFIL DPRD KABUPATEN SUMENEP PERIODE 2009-2014 Disusun oleh: Bagian Humas & Publikasi Sekretariat DPRD Sumenep 1 SEKILAS DPRD KABUPATEN SUMENEP DPRD Kabupaten Sumenep merupakan lembaga perwakilan rakyat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Untuk penulisan selanjutnya peneliti menggunakan istilah pemerintahan divided atau unified untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1 Untuk penulisan selanjutnya peneliti menggunakan istilah pemerintahan divided atau unified untuk BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Tema penelitian ini tentang dinamika terbentuknya pemerintahan divided atau unified (divided or unified government) 1 di kota Pematangsiantar. Kasus kebijakan

Lebih terperinci

Pemilu Serentak 2019 dan Penguatan Demokrasi Presidensial di Indonesia. Oleh Syamsuddin Haris

Pemilu Serentak 2019 dan Penguatan Demokrasi Presidensial di Indonesia. Oleh Syamsuddin Haris Pemilu Serentak 2019 dan Penguatan Demokrasi Presidensial di Indonesia Oleh Syamsuddin Haris Apa Masalah Pemilu-pemilu Kita? (1) Pemilu-pemilu (dan Pilkada) semakin bebas, demokratis, dan bahkan langsung,

Lebih terperinci

ADVOKASI UNTUK PEMBAHASAN RUU PEMILU

ADVOKASI UNTUK PEMBAHASAN RUU PEMILU ADVOKASI UNTUK PEMBAHASAN RUU PEMILU 1. Sistem Pemilu Rumusan naskah RUU: Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional dengan daftar calon

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Partai politik merupakan elemen penting yang bisa memfasilitasi berlangsungnya sistem demokrasi dalam sebuah negara, bagi negara yang menganut sistem multipartai seperti

Lebih terperinci

PEMILU NASIONAL DAN PEMILU DAERAH

PEMILU NASIONAL DAN PEMILU DAERAH Policy Brief [04] Kodifikasi Undang-undang Pemilu Oleh Sekretariat Bersama Kodifikasi Undang-undang Pemilu MASALAH Sukses-tidaknya pemilu bisa dilihat dari sisi proses dan hasil. Proses pemilu dapat dikatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Adanya korupsi di berbagai bidang menjadikan cita-cita demokrasi

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Adanya korupsi di berbagai bidang menjadikan cita-cita demokrasi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi masih menjadi masalah mendasar di dalam berjalannya demokrasi di Indonesia. Adanya korupsi di berbagai bidang menjadikan cita-cita demokrasi menjadi terhambat.

Lebih terperinci

NOMOR TAHUN 2015 TENTANG ACARA MASA PERSIDANGAN III TAHUN ANGGARAN 2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

NOMOR TAHUN 2015 TENTANG ACARA MASA PERSIDANGAN III TAHUN ANGGARAN 2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR RANCANGAN KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR TAHUN 2015 TENTANG ACARA MASA PERSIDANGAN III DEWAN PERWAKILAN

Lebih terperinci

BAB VI SIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN. Pada bagian akhir penelitian ini disajikan simpulan dari keseluruhan

BAB VI SIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN. Pada bagian akhir penelitian ini disajikan simpulan dari keseluruhan BAB VI SIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN Pada bagian akhir penelitian ini disajikan simpulan dari keseluruhan proses penelitian yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya sebagai jawaban atas pertanyaan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran Umum Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Metro

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran Umum Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Metro IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4. 1 Gambaran Umum Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Metro Anggota DPRD memiliki hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Anggota DPRD Kota

Lebih terperinci

KEWAJIBAN PELAPORAN DANA KAMPANYE PESERTA PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF 2014

KEWAJIBAN PELAPORAN DANA KAMPANYE PESERTA PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF 2014 KEWAJIBAN PELAPORAN DANA KAMPANYE PESERTA PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF 2014 http://kesbangpol.kemendagri.go.id I. PENDAHULUAN Dana kampanye adalah sejumlah biaya berupa uang, barang, dan jasa yang digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. politiknya bekerja secara efektif. Prabowo Effect atau ketokohan mantan

BAB I PENDAHULUAN. politiknya bekerja secara efektif. Prabowo Effect atau ketokohan mantan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang memperoleh sekitar 11, 98 persen suara dalam Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif 9 april 2014 tidak mampu mengajukan

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN. Dalam bab ini disarikan kesimpulan penelitian Analisis Wacana Kritis

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN. Dalam bab ini disarikan kesimpulan penelitian Analisis Wacana Kritis BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Dalam bab ini disarikan kesimpulan penelitian Analisis Wacana Kritis Iklan Kampanye Partai Politik Pemilu 2009. Secara tekstual, penggunaan kosakata, gaya bahasa,

Lebih terperinci

Perempuan dan Pembangunan Berkelanjutan

Perempuan dan Pembangunan Berkelanjutan SEMINAR KOALISI PEREMPUAN INDONESIA (KPI) Perempuan dan Pembangunan Berkelanjutan 20 Januari 2016 Hotel Ambhara 1 INDONESIA SAAT INI Jumlah Penduduk Indonesia per 201 mencapai 253,60 juta jiwa, dimana

Lebih terperinci

BAB VIII PENUTUP 7.1 Kesimpulan

BAB VIII PENUTUP 7.1 Kesimpulan BAB VIII PENUTUP 7.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, interpretasi dan analisis data yang diidentifikasi dilapangan maka dapat disimpulkan. 1. Perilaku oportunisme perumus kebijakan anggaran Provinsi

Lebih terperinci

DUIT UNTUK NASDEM DAN PAN DIPENDING SPJ AKAN DIEVALUASI BPK

DUIT UNTUK NASDEM DAN PAN DIPENDING SPJ AKAN DIEVALUASI BPK DUIT UNTUK NASDEM DAN PAN DIPENDING SPJ AKAN DIEVALUASI BPK Pemkot Magelang memberikan bantuan keuangan kepada sembilan partai politik tahun 2016, senilai total Rp560.702.300. Namun yang dapat dicairkan

Lebih terperinci

LAPORAN SINGKAT KOMISI II DPR RI

LAPORAN SINGKAT KOMISI II DPR RI TERBATAS (Untuk Kalangan Sendiri) LAPORAN SINGKAT KOMISI II DPR RI (Bidang Pemerintahan Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kepemiluan, Pertanahan dan Reforma Agraria)

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law Modul ke: 07 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law Fakultas PSIKOLOGI Program Studi PSIKOLOGI Rizky Dwi Pradana, M.Si Sub Bahasan 1. Pengertian dan Definisi Konstitusi 2. Hakikat dan Fungsi

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. (Kompas, Republika, dan Rakyat Merdeka) yang diamati dalam penelitian

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. (Kompas, Republika, dan Rakyat Merdeka) yang diamati dalam penelitian BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Pertarungan wacana politik Kasus Bank Century di media massa (Kompas, Republika, dan Rakyat Merdeka) yang diamati dalam penelitian menunjukkan berbagai temuan penelitian yang

Lebih terperinci

DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL YANG EFEKTIF

DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL YANG EFEKTIF DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL YANG EFEKTIF Susilo Imam Santosa I Ketut Suardita Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstract Constitutionally Indonesia adopted a presidential

Lebih terperinci

PENINGKATAN NILAI PARTISIPASI PEMILIH

PENINGKATAN NILAI PARTISIPASI PEMILIH Policy Brief [05] Kodifikasi Undang-undang Pemilu Oleh Sekretariat Bersama Kodifikasi Undang-undang Pemilu MASALAH Demokrasi bukanlah bentuk pemerintahan yang terbaik, namun demokrasi adalah bentuk pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota 1 periode 2014-

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota 1 periode 2014- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemilihan umum (pemilu) untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. maka penulis dapat memberikan kesimpulan sebagai berikut: dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pun sejajar dan bersifat

BAB III PENUTUP. maka penulis dapat memberikan kesimpulan sebagai berikut: dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pun sejajar dan bersifat 93 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat memberikan kesimpulan sebagai berikut: 1. Hubungan antara Pemerintah Daerah dan Dewan

Lebih terperinci

FUNGSI LEGISLASI DPR PASCA AMANDEMEN UUD Sunarto 1

FUNGSI LEGISLASI DPR PASCA AMANDEMEN UUD Sunarto 1 FUNGSI LEGISLASI DPR PASCA AMANDEMEN UUD 1945 Sunarto 1 sunarto@mail.unnes.ac.id Abstrak: Salah satu fungsi yang harus dijalankan oleh DPR adalah fungsi legislasi, di samping fungsi lainnya yaitu fungsi

Lebih terperinci

2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P

2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P No.29, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEGISLATIF. MPR. DPR. DPD. DPRD. Kedudukan. Perubahan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6187) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi dan Reformasi Hukum

Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi dan Reformasi Hukum 2014 Jakarta, 4 Februari Kepada Yth. 1. DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono Presiden Republik Indonesia 2. Amir Syamsudin Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Di Jakarta 1. Pemerintah-dalam hal ini diwakili

Lebih terperinci

LAPORAN SINGKAT RAPAT KERJA KOMISI II DPR RI

LAPORAN SINGKAT RAPAT KERJA KOMISI II DPR RI TERBATAS (Untuk Kalangan Sendiri) LAPORAN SINGKAT RAPAT KERJA KOMISI II DPR RI (Bidang Pemerintahan Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kepemiluan, Pertanahan dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (suplementer) dan saling terkait antar dokumen kebijakan. (APBD) merupakan dokumen yang saling berkaitan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (suplementer) dan saling terkait antar dokumen kebijakan. (APBD) merupakan dokumen yang saling berkaitan. 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kerangka Pemikiran 2.1.1 Sinkronisasi Sinkronisasi adalah penyelarasan dan penyelerasian antara dokumen kebijakan yang satu dengan dokumen kebijakan yang lain. Tujuan dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paradigma Good Governance, dimana keterlibatan pihak-pihak selain pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. paradigma Good Governance, dimana keterlibatan pihak-pihak selain pemerintah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Akuntabilitas (accountability) merupakan salah satu prinsip atau asas dari paradigma Good Governance, dimana keterlibatan pihak-pihak selain

Lebih terperinci

USULAN ASOSIASI ILMU POLITIK INDONESIA (AIPI) TERHADAP RUU PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN 1

USULAN ASOSIASI ILMU POLITIK INDONESIA (AIPI) TERHADAP RUU PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN 1 USULAN ASOSIASI ILMU POLITIK INDONESIA (AIPI) TERHADAP RUU PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN 1 USULAN UMUM: MEMPERKUAT SISTEM PRESIDENSIAL 1. Pilihan politik untuk kembali pada sistem pemerintahan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH I. UMUM Sejalan dengan perkembangan kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan otonomi daerah yang digulirkan dalam era reformasi dengan. dikeluarkannya ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 adalah tentang

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan otonomi daerah yang digulirkan dalam era reformasi dengan. dikeluarkannya ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 adalah tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kebijakan otonomi daerah yang digulirkan dalam era reformasi dengan dikeluarkannya ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 adalah tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah.

Lebih terperinci

Lampiran 2. Hasil wawancara tentang interaksi eksekutif-legislatif dalam perumusan peraturan daerah APBD

Lampiran 2. Hasil wawancara tentang interaksi eksekutif-legislatif dalam perumusan peraturan daerah APBD Lampiran 2. Hasil wawancara tentang interaksi eksekutif-legislatif dalam perumusan peraturan daerah APBD No Informan Hasil Interview Perundang-undangan Sekretariat Daerah Kota Bandar SKPD mengajukan draf

Lebih terperinci

Kajian Pelaporan Awal Dana Kampanye Partai Politik Pemilu 2014: KPU Perlu Tegas Atas Buruk Laporan Dana Kampanye Partai Politik

Kajian Pelaporan Awal Dana Kampanye Partai Politik Pemilu 2014: KPU Perlu Tegas Atas Buruk Laporan Dana Kampanye Partai Politik Koalisi Pemantauan Dana Kampanye Transparansi Internasional Indonesia dan Indonesia Corruption Watch Kajian Pelaporan Awal Dana Kampanye Partai Politik Pemilu 2014: KPU Perlu Tegas Atas Buruk Laporan Dana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimana adanya pemberian kebebasan seluas-luasnya. untuk berpendapat dan membuat kelompok. Pesatnya

BAB I PENDAHULUAN. dimana adanya pemberian kebebasan seluas-luasnya. untuk berpendapat dan membuat kelompok. Pesatnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dewasa ini perkembangan politik di Indonesia mengalami kemajuan yang cukup pesat, diawali dengan politik pada era orde baru yang bersifat sentralistik dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta aspirasi masyarakat. Pemilihan umum (pemilu) sebagai pilar demokrasi di

BAB I PENDAHULUAN. serta aspirasi masyarakat. Pemilihan umum (pemilu) sebagai pilar demokrasi di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di banyak negara demokrasi pemilihan umum dianggap lambang, sekaligus tolak ukur dari demokrasi itu. Hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan

Lebih terperinci

BUPATI MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG BANTUAN KEUANGAN KEPADA PARTAI POLITIK DI KABUPATEN MAGELANG

BUPATI MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG BANTUAN KEUANGAN KEPADA PARTAI POLITIK DI KABUPATEN MAGELANG BUPATI MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG BANTUAN KEUANGAN KEPADA PARTAI POLITIK DI KABUPATEN MAGELANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAGELANG, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi persyaratan (Sumarno, 2005:131). pelaksanaan pemilihan kepala daerah ( pilkada ).

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi persyaratan (Sumarno, 2005:131). pelaksanaan pemilihan kepala daerah ( pilkada ). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pilkada merupakan pesta demokrasi rakyat dalam memilih kepala daerah beserta wakilnya yang berasal dari usulan partai politik tertentu, gabungan partai politik

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA MEMPERSIAPKAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB VII PENUTUP. sosio-kultural dan struktural. Pemikiran dan aksi politik tersebut

BAB VII PENUTUP. sosio-kultural dan struktural. Pemikiran dan aksi politik tersebut 438 BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan. Penelitian tentang etika politik legislator muslim era demokrasi lokal ini menitikberatkan pada pemikiran dan aksi yang dijalankan legislator dalam arena sosio-kultural

Lebih terperinci

2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rak

2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rak TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI LEGISLATIF. MPR. DPR. DPD. DPRD. Kedudukan. Perubahan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 383) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

L E M B A R AN D A E R A H KABUPATEN BALANGAN NOMOR 12 TAHUN 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 12 TAHUN 2007 T E N T A N G

L E M B A R AN D A E R A H KABUPATEN BALANGAN NOMOR 12 TAHUN 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 12 TAHUN 2007 T E N T A N G 1 L E M B A R AN D A E R A H KABUPATEN BALANGAN NOMOR 12 TAHUN 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 12 TAHUN 2007 T E N T A N G BANTUAN KEUANGAN KEPADA PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR ISI... 1 BAB I PENDAHULUAN... 2 BAB II RENCANA PERUBAHAN PENDAPATAN DAERAH TAHUN ANGGARAN

DAFTAR ISI DAFTAR ISI... 1 BAB I PENDAHULUAN... 2 BAB II RENCANA PERUBAHAN PENDAPATAN DAERAH TAHUN ANGGARAN DAFTAR ISI DAFTAR ISI... 1 BAB I PENDAHULUAN... 2 1.1 Latar Belakang... 2 1.2 Tujuan Penyusunan... 3 1.3 Dasar Hukum... 3 BAB II RENCANA PERUBAHAN PENDAPATAN DAERAH TAHUN ANGGARAN 2015... 6 BAB III PRIORITAS

Lebih terperinci

2016, No (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) sebagaimana telah

2016, No (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) sebagaimana telah BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1361, 2016 DPR. Prolegnas. Penyusunan. Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PROGRAM

Lebih terperinci

BAB III PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA DAN PROSES PEMBENTUKAN PERATURAN DI KABUPATEN SUMBAWA

BAB III PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA DAN PROSES PEMBENTUKAN PERATURAN DI KABUPATEN SUMBAWA BAB III PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA DAN PROSES PEMBENTUKAN PERATURAN DI KABUPATEN SUMBAWA A. PEMERINTAHAN KABUPATEN SUMBAWA Kabupaten Sumbawa terletak di Propinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 41B/DPR RI/I/ TENTANG

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 41B/DPR RI/I/ TENTANG DEWAN PERWAKILAN RAKYAT KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT NOMOR : 41B/ RI/I/2009-2010 TENTANG PROGRAM LEGISLASI NASIONAL RANCANGAN UNDANG-UNDANG PRIORITAS TAHUN 2010 DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pemerintah pusat telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun

I. PENDAHULUAN. pemerintah pusat telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah sebagai bagian dari adanya reformasi atas kehidupan bangsa termasuk reformasi pengelolaan pemerintahan di daerah, oleh pemerintah pusat telah diatur

Lebih terperinci

Pemilu 2009, Menjanjikan tetapi Mencemaskan

Pemilu 2009, Menjanjikan tetapi Mencemaskan Pemilu 2009, Menjanjikan tetapi Mencemaskan RZF / Kompas Images Selasa, 6 Januari 2009 03:00 WIB J KRISTIADI Pemilu 2009 sejak semula dirancang untuk mencapai beberapa tujuan sekaligus. Pertama, menciptakan

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN. Faktor-faktor kemenangan..., Nilam Nirmala Anggraini, FISIP UI, Universitas 2010 Indonesia

BAB 5 KESIMPULAN. Faktor-faktor kemenangan..., Nilam Nirmala Anggraini, FISIP UI, Universitas 2010 Indonesia 101 BAB 5 KESIMPULAN Bab ini merupakan kesimpulan dari bab-bab sebelumnya. Fokus utama dari bab ini adalah menjawab pertanyaan penelitian. Bab ini berisi jawaban yang dapat ditarik dari pembahasan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, secara otomatis merubah sistem politik di Indonesia. Hal ini dikarenakan

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, secara otomatis merubah sistem politik di Indonesia. Hal ini dikarenakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahirnya Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, secara otomatis merubah sistem politik di Indonesia. Hal ini dikarenakan salah satu materi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada era otonomi sekarang ini terjadi pergeseran wewenang dan tanggung

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada era otonomi sekarang ini terjadi pergeseran wewenang dan tanggung BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada era otonomi sekarang ini terjadi pergeseran wewenang dan tanggung jawab dalam pengalokasian sumber daya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Pemerintah

Lebih terperinci

KONSEPSI REVISI PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 5 TAHUN 2009 TTG BANTUAN KEUANGAN KEPADA PARTAI POLITIK

KONSEPSI REVISI PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 5 TAHUN 2009 TTG BANTUAN KEUANGAN KEPADA PARTAI POLITIK KONSEPSI REVISI PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 5 TAHUN 2009 TTG BANTUAN KEUANGAN KEPADA PARTAI POLITIK OLEH DRS. SYAMSUDDIN, M.Si DIREKTORAT POLITIK DALAM NEGERI DITJEN POLITIK DAN PEMERINTAHAN UMUM 1 UU NO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anggaran publik merupakan dokumen politik yang menunjukkan komitmen eksekutif dalam upaya penggalian resourses yang relatif terbatas untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2014 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2014 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2014 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG BANTUAN

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman Daftar isi... i Daftar Tabel... iv Daftar Gambar... v

DAFTAR ISI. Halaman Daftar isi... i Daftar Tabel... iv Daftar Gambar... v i DAFTAR ISI Daftar isi... i Daftar Tabel....... iv Daftar Gambar... v I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1 B. Rumusan Masalah... 12 C. Tujuan Penelitian... 12 D. Kegunaan Penelitian... 12 II.

Lebih terperinci

ABSTRAK (RINGKASAN PENELITIAN)

ABSTRAK (RINGKASAN PENELITIAN) ABSTRAK (RINGKASAN PENELITIAN) Pemilihan umum merupakan salah satu wadah yang bertujuan untuk memberikan kesempatan pada masyarakat untuk menentukan siapa yang akan mewakili mereka dalam lembaga legislatif

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi salah satu ujung tombak dalam mewujudkan demokrasi. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. menjadi salah satu ujung tombak dalam mewujudkan demokrasi. Hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai sebuah negara hukum, hubungan fundamental antara pemerintah dan rakyatnya adalah sesuatu yang penting untuk diperhatikan. Hubungan tersebut terselenggarakan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. keterlibatan masyarakat dalam berpartisipasi aktif untuk menentukan jalannya

BAB I PENGANTAR. keterlibatan masyarakat dalam berpartisipasi aktif untuk menentukan jalannya 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Situasi perkembangan politik yang berkembang di Indonesia dewasa ini telah membawa perubahan sistem yang mengakomodasi semakin luasnya keterlibatan masyarakat dalam

Lebih terperinci

Kinerja rendah, DPRA harus berbenah!

Kinerja rendah, DPRA harus berbenah! Kinerja rendah, DPRA harus berbenah! (Pandangan Komponen Masyarakat Sipil Untuk Parlemen yang lebih baik terhadap Kinerja DPRA) DPRA merupakan lembaga legislatif di Aceh. Berdasarkan UU No. 11 tahun 2011

Lebih terperinci

Sistem Multipartai di Era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono

Sistem Multipartai di Era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono Sistem Multipartai di Era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono 2004-2009 SISKA YUSPITASARI Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan, Jl. Dr. Sofyan

Lebih terperinci

Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Women can be very effective in navigating political processes. But there is always a fear that they can become pawns and symbols, especially if quotas are used. (Sawer,

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Pengertian Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD)

BAB II DASAR TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Pengertian Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) 7 BAB II DASAR TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1. Teori 2.1.1. Pengertian Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi (DPRD) adalah sebuah Lembaga Perwakilan Rakyat di daerah

Lebih terperinci

Oleh Dra. Hj. Siti Masrifah, MA (Ketua Umum DPP Perempuan Bangsa) Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKB 1

Oleh Dra. Hj. Siti Masrifah, MA (Ketua Umum DPP Perempuan Bangsa) Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKB 1 Disampaikan pada Seminar Menghadirkan Kepentingan Perempuan: Peta Jalan Representasi Politik Perempuan Pasca 2014 Hotel Haris, 10 Maret 2016 Oleh Dra. Hj. Siti Masrifah, MA (Ketua Umum DPP Perempuan Bangsa)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Otonomi Daerah bukanlah merupakan suatu kebijakan yang baru dalam

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Otonomi Daerah bukanlah merupakan suatu kebijakan yang baru dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi Daerah bukanlah merupakan suatu kebijakan yang baru dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia karena sejak berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia mulai dilaksanakan sejak berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Namun

Lebih terperinci

PENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPRD DALAM PEMBUATAN RAPERDA INISIATIF. Edy Purwoyuwono Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda

PENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPRD DALAM PEMBUATAN RAPERDA INISIATIF. Edy Purwoyuwono Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda YURISKA, VOL. 2, NO. 1, AGUSTUS 2010 72 PENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPRD DALAM PEMBUATAN RAPERDA INISIATIF Edy Purwoyuwono Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda ABSTRAK Hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merumuskan dan menyalurkan kepentingan masyarakat.partai politik juga

BAB I PENDAHULUAN. merumuskan dan menyalurkan kepentingan masyarakat.partai politik juga 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehadiran partai politik dalam sistem pemerintahan yang demokratis adalah suatu hal yang penting. Sebagai organisasi yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keuangan tahunan pemerintah daerah yang memuat program program yang

BAB I PENDAHULUAN. keuangan tahunan pemerintah daerah yang memuat program program yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang memuat program program yang direncanakan pemerintah untuk

Lebih terperinci

Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Asahan Kata Kunci : Pengawasan DPRD, Pemerintah Daerah, Harmonisasi Hubungan Kepala Daerah dan DPRD

Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Asahan Kata Kunci : Pengawasan DPRD, Pemerintah Daerah, Harmonisasi Hubungan Kepala Daerah dan DPRD Kolaborasi Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Kepala Daerah Kota Tanjungbalai di Tinjau Dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Lebih terperinci

LAPORAN SINGKAT KOMISI II DPR RI

LAPORAN SINGKAT KOMISI II DPR RI TERBATAS (Untuk Kalangan Sendiri) LAPORAN SINGKAT KOMISI II (Bidang Pemerintahan Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kepemiluan, Pertanahan dan Reforma Agraria) ------------------------------------------------------------------------------------------------------

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN DEMAK KEPUTUSAN BADAN MUSYAWARAH DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN DEMAK

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN DEMAK KEPUTUSAN BADAN MUSYAWARAH DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN DEMAK DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KEPUTUSAN BADAN MUSYAWARAH DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH NOMOR : 04/BAMUS. DPRD/ TENTANG JADWAL KEGIATAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TAHUN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan, kedaulatan berada pada tangan rakyat. Demokrasi yang kuat,

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan, kedaulatan berada pada tangan rakyat. Demokrasi yang kuat, BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem demokrasi. Di negara yang menganut sistem demokrasi rakyat merupakan pemegang kekuasaan, kedaulatan berada

Lebih terperinci

publik pada sektor beras karena tidak memiliki sumber-sumber kekuatan yang cukup memadai untuk melawan kekuatan oligarki politik lama.

publik pada sektor beras karena tidak memiliki sumber-sumber kekuatan yang cukup memadai untuk melawan kekuatan oligarki politik lama. BAB VI. KESIMPULAN Perubahan-perubahan kebijakan sektor beras ditentukan oleh interaksi politik antara oligarki politik peninggalan rezim Orde Baru dengan oligarki politik reformis pendatang baru. Tarik

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1124 DEWAN PERWAKILAN RAKYAT. Program Legislasi Nasional. Penyusunan. Tata Cara. PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG TATA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dibagi-baginya penyelenggaraan kekuasaan tersebut, agar kekuasaan tidak

I. PENDAHULUAN. dibagi-baginya penyelenggaraan kekuasaan tersebut, agar kekuasaan tidak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konteks pemerintahan yang demokratis kekuasaan tidak berada dan dijalankan oleh satu badan tapi dilaksanakan oleh beberapa badan atau lembaga. Tujuan dari dibagi-baginya

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari temuan dan pembahasan hasil penelitian, maka disimpulkan beberapa hal sebagai berikut. 1. Interaksi dan kontribusi koalisi Partai PAN dan Golkar dengan Walikota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% Daerah Kota Kendari tahun anggaran

BAB I PENDAHULUAN. Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% Daerah Kota Kendari tahun anggaran BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% perempuan dan kaitannya dalam penyusunan anggaran responsif gender. Yang menjadi fokus dalam penelitian

Lebih terperinci

PROVINSI BANTEN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN SERANG PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG

PROVINSI BANTEN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN SERANG PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PROVINSI BANTEN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN SERANG PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN

Lebih terperinci

Pemilu 2009: Kemenangan Telak Blok Partai Nasionalis Ringkasan

Pemilu 2009: Kemenangan Telak Blok Partai Nasionalis Ringkasan x 2.2.2. Pemilu 2009: Kemenangan Telak Blok Partai Nasionalis... 224 3. Ringkasan... 226 BAB IV. ELECTORAL VOLATILITY NASIONAL DAN LOKAL: SEBUAH PERBANDINGAN... 228 A. Membandingkan Electoral Volatility

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Pemerintah Daerah Dan Fungsi Pemerintah Daerah 1. Pengertian Pemerintah Daerah Menurut Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18 ayat (5), pengertian pemerintahan daerah adalah sebagai

Lebih terperinci

Kata Kunci : Pengawasan DPRD, dan Harmonisasi Hubungan Kepala Daerah serta DPRD.

Kata Kunci : Pengawasan DPRD, dan Harmonisasi Hubungan Kepala Daerah serta DPRD. Kolaborasi Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Kepala Daerah Kota Tanjungbalai di Tinjau Dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah 1. RAHMAT, S.H.,M.H 2. JUNINDRA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jumlah suara yang sebanyak-banyaknya, memikat hati kalangan pemilih maupun

BAB I PENDAHULUAN. jumlah suara yang sebanyak-banyaknya, memikat hati kalangan pemilih maupun BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Pemilu merupakan salah satu arena ekspresi demokrasi yang dapat berfungsi sebagai medium untuk meraih kekuasaan politik. Karenanya, berbagai partai politik

Lebih terperinci

TERBATAS (Untuk Kalangan Sendiri)

TERBATAS (Untuk Kalangan Sendiri) TERBATAS (Untuk Kalangan Sendiri) LAPORAN SINGKAT RAPAT KERJA KOMISI II DPR RI (Bidang Pemerintahan Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kepemiluan, Pertanahan dan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS YURIDIS 12 TAHUN 2008 TERKAIT KEWENANGAN DPRD DALAM PEMBAHASAN PERDA

BAB IV ANALISIS YURIDIS 12 TAHUN 2008 TERKAIT KEWENANGAN DPRD DALAM PEMBAHASAN PERDA BAB IV ANALISIS YURIDIS 12 TAHUN 2008 TERKAIT KEWENANGAN DPRD DALAM PEMBAHASAN PERDA A. Kewenangan DPRD dalam Pembahasan PERDA UU No. 12 tahun 2008 Pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MENINGKATKAN KINERJA ANGGOTA DPR-RI. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MENINGKATKAN KINERJA ANGGOTA DPR-RI. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MENINGKATKAN KINERJA ANGGOTA DPR-RI Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI Disampaikan pada Acara Rapat Kerja Fraksi Partai Demokrat DPR-RI Jakarta, 26 November 2010

Lebih terperinci

Pemekaran Wilayah. Tabel Pemekaran Daerah Tahun

Pemekaran Wilayah. Tabel Pemekaran Daerah Tahun Pemekaran Wilayah Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten/kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pemilihan Umum (Pemilu) adalah salah satu cara dalam sistem

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pemilihan Umum (Pemilu) adalah salah satu cara dalam sistem 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan Umum (Pemilu) adalah salah satu cara dalam sistem demokrasi untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan menduduki lembaga perwakilan rakyat, serta salah

Lebih terperinci

BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG MEKANISME TAHUNAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN KABUPATEN MALANG BUPATI MALANG,

BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG MEKANISME TAHUNAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN KABUPATEN MALANG BUPATI MALANG, 1 BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG MEKANISME TAHUNAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN KABUPATEN MALANG BUPATI MALANG, Menimbang : a. bahwa untuk lebih menjamin ketepatan dan

Lebih terperinci

LAPORAN SINGKAT KOMISI II DPR RI

LAPORAN SINGKAT KOMISI II DPR RI TERBATAS (Untuk Kalangan Sendiri) LAPORAN SINGKAT KOMISI II DPR RI (Bidang Pemerintahan Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kepemiluan, Pertanahan dan Reforma Agraria)

Lebih terperinci

Publik Cemas dengan Pemerintahan yang Terbelah

Publik Cemas dengan Pemerintahan yang Terbelah Publik Cemas dengan Pemerintahan yang Terbelah LSI DENNY JA Oktober 2014 Mayoritas Publik Cemas dengan Pemerintahan yang Terbelah Kalah lagi dalam pemilihan pimpinan MPR, Koalisi Jokowi-JK (Koalisi Indonesia

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN KUDUS

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN KUDUS DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN KUDUS

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 106 Tahun 2008 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PEMBENTUKAN DAN PENYELENGGARAAN FORUM DELEGASI MUSRENBANG KABUPATEN SUMEDANG

PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 106 Tahun 2008 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PEMBENTUKAN DAN PENYELENGGARAAN FORUM DELEGASI MUSRENBANG KABUPATEN SUMEDANG PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 106 Tahun 2008 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PEMBENTUKAN DAN PENYELENGGARAAN FORUM DELEGASI MUSRENBANG KABUPATEN SUMEDANG BUPATI SUMEDANG Menimbang : a. bahwa pembangunan Daerah

Lebih terperinci

PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA SEMARANG

PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA SEMARANG PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA SEMARANG DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA SEMARANG Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 10 TAHUN 2008 PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG

BERITA DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 10 TAHUN 2008 PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG BERITA DAERAH KABUPATEN SUMEDANG PERATURAN BUPATI SUMEDANG TENTANG PETUNJUK TEKNIS PEMBENTUKAN DAN PENYELENGGARAAN FORUM DELEGASI MUSRENBANG KABUPATEN SUMEDANG SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN SUMEDANG 2008

Lebih terperinci

BAB III PERAN BADAN ANGGARAN DPRD KOTA SURABAYA DALAM MELAKSANAKAN BUDGETING MENURUT UU NO 27 / 2009 TENTANG SUSUNAN KEDUDUKAN. MPR,DPR, DPD, dan DPRD

BAB III PERAN BADAN ANGGARAN DPRD KOTA SURABAYA DALAM MELAKSANAKAN BUDGETING MENURUT UU NO 27 / 2009 TENTANG SUSUNAN KEDUDUKAN. MPR,DPR, DPD, dan DPRD 35 BAB III PERAN BADAN ANGGARAN DPRD KOTA SURABAYA DALAM MELAKSANAKAN BUDGETING MENURUT UU NO 27 / 2009 TENTANG SUSUNAN KEDUDUKAN MPR,DPR, DPD, dan DPRD A. Gambaran Umum tentang Lembaga DPRD Kota Surabaya

Lebih terperinci

Pembaruan Parpol Lewat UU

Pembaruan Parpol Lewat UU Pembaruan Parpol Lewat UU Persepsi berbagai unsur masyarakat terhadap partai politik adalah lebih banyak tampil sebagai sumber masalah daripada solusi atas permasalahan bangsa. Salah satu permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan di masing-masing unit kerja pada organisasi/lembaga. Penganggaran

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan di masing-masing unit kerja pada organisasi/lembaga. Penganggaran 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyusunan anggaran merupakan hasil dari sebuah proses perencanaan yang bertahap dari penetapan kebijakan pemerintah yang diturunkan hingga teknis kegiatan di masing-masing

Lebih terperinci