PEMANENAN DAN PENGOLAHAN BUAH ROTAN JERNANG (Daemonorops draco (Willd.) Blume) DALAM UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI SERTA MUTU JERNANG LANA PUSPITASARI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMANENAN DAN PENGOLAHAN BUAH ROTAN JERNANG (Daemonorops draco (Willd.) Blume) DALAM UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI SERTA MUTU JERNANG LANA PUSPITASARI"

Transkripsi

1 PEMANENAN DAN PENGOLAHAN BUAH ROTAN JERNANG (Daemonorops draco (Willd.) Blume) DALAM UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI SERTA MUTU JERNANG LANA PUSPITASARI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

2 PEMANENAN DAN PENGOLAHAN BUAH ROTAN JERNANG (Daemonorops draco (Willd.) Blume) DALAM UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI SERTA MUTU JERNANG LANA PUSPITASARI SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

3 RINGKASAN LANA PUSPITASARI. E Pemanenan dan Pengolahan Buah Rotan Jernang (Daemonorops draco (Willd.) Blume) dalam Upaya Peningkatan Produksi serta Mutu Jernang. Dibimbing oleh JUANG RATA MATANGARAN dan RITA KARTIKA SARI Salah satu jenis Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang bernilai ekonomi tinggi adalah produk turunan dari buah rotan jernang. Jernang adalah resin yang berasal dari buah rotan jernang. Jernang memiliki manfaat antara lain sebagai bahan pewarna alami pada industri batik dan porselen, sebagai campuran obatobatan seperti obat luka, pendarahan dan diare, serta digunakan sebagai dupa dan kemenyan. Penelitian mengenai jernang masih sangat sedikit, sedangkan potensinya cukup besar dan masih dapat dikembangkan. Perbaikan teknik pemanenan dan pengolahan untuk mendapatkan mutu jernang yang maksimal masih perlu diteliti. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis potensi jernang di Kabupaten Sarolangun, Jambi, menguraikan teknik pemanenan buah yang dilakukan masyarakat serta menganalisis rendemen dan mutu jernang yang dihasilkan dari pengolahan cara masyarakat dan cara perebusan. Pusat produksi jernang di Kabupaten Sarolangun adalah di Hutan Alam (HA) Blok Bukit Bahar Tajau Pecah dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) di Desa Lamban Sigatal. Potensi jernang di kedua tempat tersebut berturut-turut sebesar 96,51 ton/th dan 130,16 ton/th, sehingga total potensi jernang di Kabupaten Sarolangun sebesar 226,66 ton/th. Teknik pemanenan buah rotan jernang yang dilakukan masyarakat adalah dengan memperhatikan ciri kemasakan buah rotan jernang yaitu berwarna merah kecokelatan. Buah yang baik dipanen adalah buah yang tua namun belum terlalu masak. Buah masak memerlukan waktu bulan. Resin akan terbentuk optimal pada saat umur buah 9 bulan. Petani memanen buah rotan jernang dengan menggunakan galah dan alat pengait, jika rotan terlalu tinggi maka petani memanjat pohon inangnya. Rendemen jernang yang dihasilkan dari cara masyarakat sebesar 7,26%, sedangkan dari cara perebusan baik 1, 2 dan 3 jam berturut-turut sebesar 3,27%, 3,24% dan 3,10%. Analisis sifat fisiko-kimia jernang dengan cara masyarakat menghasilkan kadar resin 63,30%, kadar air 3,48%, kadar kotoran 32,16%, kadar abu 1,83%, titik leleh 96,00 C dan warna merah tua, sedangkan jernang hasil perebusan 1, 2 dan 3 jam berturut-turut untuk kadar resin 81,83%, 81,21% dan 80,91%, kadar air 3,64%, 3,34% dan 3,48%, kadar kotoran 11,57%, 11,63% dan 12,03%, kadar abu 1,12%, 1,52% dan 1,59%, titik leleh 82,00 C, 83,00 C dan 83,33 C dan secara keseluruhan warna yang dihasilkan adalah merah tua. Berdasarkan SNI jernang (2010), jernang yang dihasilkan dari cara masyarakat bermutu A, sedangkan dari cara perebusan bermutu super. Kata kunci: Buah rotan jernang (Daemonorops draco (Willd.) Blume, potensi, teknik pemanenan, sifat fisiko-kimia, mutu jernang.

4 SUMMARY LANA PUSPITASARI. E Harvesting and Processing Fruit of Rattan (Daemonorops draco (Willd.) Blume) in Effort to Increase Production and Quality Dragon s blood. Under Supervision of JUANG RATA MATANGARAN dan RITA KARTIKA SARI. One kinds of Non-Timber Forest Products (NTFPs) which high economic value is a product derived from rattan jernang fruits. Dragon s blood is a resin from rattan jernang fruits. Dragon s blood have uses such as natural colloring for batik industry and porcelain industry, as a mixture of cure such as wounds medicinal, bleeding and diarrhea and used a incense and frankincense. The research about dragon s blood is rarely, meanwhile the potential is big enough and still can developed. Improved harvesting and processing techniques to obtain maximum quality of dragon s blood still need to be researched. The research was conducted to analyze the potential dragon s blood Sarolangun District, Jambi, to describes the technique of harvesting fruit of the community and to analyze yield and quality resulted from the traditional process of the community and boiling treatment. Dragon s blood production center in the District Sarolangun is harvested from natural forests Tajau Pecah Block Bahar Hill and community based forest plantation in the village of Lamban Sigatal. Potential dragon s blood at those places is tons/year and tons/year respectively, therefore the total potential of dragon s blood in the District Sarolangun is about tons/year. Harvesting technique of rattan fruits by the community is to observe the ripeness of the fruit characteristics of rattan such us the brownish red color. Good fruit which can be harvested is the old fruit but not too ripe. The fruit takes time about months to be ripe. Resin will be formed at the optimal fruit maturity of 9 months. Farmers harvest the fruit by using a hook tool and a pole, then if the rattan is too high the farmer climbs its host tree. Dragon s blood yield from the traditional process of the community is 7.26%, meanwhile the boiling treatment in each 1, 2 and 3 hours has yield as 3.27%, 3.24% and 3.10% respectively. Analysis of physico-chemical properties of the dragon s blood with the traditional process of the community results resin content is 63.30%, moisture content is 3.48%, impurity content 32.16%, ash content 1.83%, melting point C and ruby color, meanwhile the boiling treatment 1, 2 and 3 hours for results resin content 81.83%, 81.21% and 80.91%, moisture content 3.64%, 3.34% and 3.48%, impurity content 11.57%, 11.63% and 12.03%, ash content 1.12%, 1.52% and 1.59%, melting point C, C and C and overall results ruby color. Based on the SNI dragon s blood (2010), dragon s blood results from the traditional process of the community get A quality, meanwhile from the boiling treatment get super quality. Key words: Rattan jernang fruits (Daemonorops draco (Willd.) Blume), potential, harvesting techniques, physico-chemical properties, quality dragon s blood.

5 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemanenan dan Pengolahan Buah Rotan Jernang (Daemonorops Draco (Willd.) Blume) dalam Upaya Peningkatan Produksi serta Mutu Jernang adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Semua sumber data informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Maret 2011 Lana Puspitasari NIM E

6 Judul Skripsi : Pemanenan dan Pengolahan Buah Rotan Jernang (Daemonorops Draco (Willd.) Blume) dalam Upaya Peningkatan Produksi serta Mutu Jernang Nama : Lana Puspitasari NIM : E Menyetujui : Komisi Pembimbing Ketua Anggota Dr. Ir. Juang Rata Matangaran, MS Ir. Rita Kartika Sari, M.Si NIP NIP Mengetahui Ketua Departemen Manajemen Hutan Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP Tanggal Lulus:

7 KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini sebagai tugas akhir yang berjudul Pemanenan dan Pengolahan Buah Rotan Jernang (Daemonorops Draco (Willd.) Blume) dalam Upaya Peningkatan Produksi serta Mutu Jernang dengan sebaik-baiknya. Karya ilmiah ini disusun sebagai salah satu persyaratan kelulusan program mayor minor Strata Satu di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Karya ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan di Hutan Tanaman Rakyat (HTR) Desa Lamban Sigatal, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sarolangun, Jambi dan Laboratorium Kimia Kayu Hasil Hutan pada bulan Juni sampai dengan Agustus Jernang memiliki manfaat yang cukup banyak yaitu pewarna alami bagi industri porselen, batik, bahan campuran obat-obatan, pembuatan dupa dan kemenyan. Penelitian mengenai jernang masih sangat sedikit, sedangkan potensinya cukup besar dan masih dapat dikembangkan. Perbaikan teknik pemanenan dan pengolahan untuk mendapatkan mutu jernang yang maksimal masih perlu diteliti. Untuk itu, pemanenan dan pengolahan buah rotan jernang perlu diperhatikan lebih lanjut. Sejauh ini, proses menghasilkan jernang yang dilakukan masyarakat masih sederhana yaitu dengan cara penumbukan sehingga perlu dicari alternatif cara yang tepat guna yaitu melalui perebusan dalam air. Cara perebusan menghasilkan jernang bermutu super sedangkan cara masyarakat menghasilkan jernang bermutu A. Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih banyak kekurangan karena keterbatasan yang dimiliki. Semoga karya ilmiah ini memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan. Bogor, Maret 2011 Penulis

8 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 06 Januari 1989 di Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung. Penulis adalah anak kedua dari empat bersaudara, pasangan Zamzami dan Nuraini. Penulis memulai pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 1 Negeri Agung Kecamatan Talangpadang, Kabupaten Tanggamus, Lampung pada tahun 1994 dan lulus pada tahun Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke SLTP Negeri 1 Talangpadang pada tahun 2000 sampai tahun Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 1 Talangpadang pada tahun 2003 sampai tahun 2006, selanjutnya pada tahun yang sama penulis diterima sebagai Mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Pada tahun kedua di IPB penulis diterima di Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan. Selain kegiatan akademis, penulis juga aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan yakni sebagai anggota himpunan mahasiswa Lampung tahun , staf medikom FMSC (Forest Manajemen Student club) tahun dan Bendahara AFSA tahun Selama pendidikan, penulis telah melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cilacap dan Baturraden, Jawa Tengah; Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi, Jawa Barat serta Praktek Kerja Lapang (PKL) di KPH Jember, Jawa Timur. Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Kehutanan di Institut Pertanian Bogor, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Pemanenan dan Pengolahan Buah Rotan Jernang (Daemonorops Draco (Willd.) Blume) dalam Upaya Peningkatan Produksi serta Mutu Jernang dibimbing oleh Dr. Ir. Juang Rata Matangaran, MS dan Ir. Rita Kartika Sari, M.Si.

9 UCAPAN TERIMA KASIH Alhamdulillahirabbil alamin, penulis memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala curahan rahmat dan kasih sayang-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ini sebagai tugas akhir yang berjudul Pemanenan dan Pengolahan Buah Rotan Jernang (Daemonorops Draco (Willd.) Blume) dalam Upaya Peningkatan Produksi serta Mutu Jernang. Penulis menyadari bahwa karya ini tidak akan terwujud tanpa bantuan berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ayahanda Zamzami dan Ibunda Nuraini serta kakak dan adik yang telah memberikan inspirasi, dorongan moral dan material, rasa kasih sayang dan do anya. Selain itu, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada: 1. Dr. Ir. Juang Rata Matangaran, MS selaku dosen pembimbing pertama atas arahan, nasehat dan bimbingannya dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. 2. Ir. Rita Kartika Sari, M.Si selaku dosen pembimbing kedua atas ketersediaannya memberi bimbingan dan arahan dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. 3. Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc, Ir. Iwan Hilwan, MS dan Arinana, S.Hut, M.Si selaku dosen penguji atas saran yang telah diberikan. 4. Keluarga di Jambi, warga Desa Lamban Sigatal, LSM Gita Buana yang telah memberikan bantuan dalam pelaksanaan penelitian. 5. Staf Laboratorium Pemanenan dan Hasil Hutan yang telah membantu selama proses penelitian. 6. Bambang, Surya, Annisa, Devi, Yuni, Asri, Luffi, Fera, Andriani, Andre, Desi, Ida, Dira, teman-teman seperjuangan MNH angkatan 43 yang telah memberikan bantuan, semangat dan dukungannya. 7. Semua pihak yang telah membantu yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Bogor, Maret 2011 Penulis

10 i DAFTAR ISI Halaman Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... iv Daftar Lampiran... v BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Manfaat penelitian... 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Rotan Rotan penghasil jernang Ciri dan sifat morfologi rotan (Daemonorops draco (Willd.) Blume) Fisiologi perkembangan tumbuh Teknik Pemanenan Buah Rotan Jernang Pengolahan Buah Rotan Jernang Mutu Jernang Pemanfaatan Jernang Kandungan Senyawa kimia BAB III METODOLOGI PENELITIAN Langkah Kerja Penelitian Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Jenis Data Pengolahan Data BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas Wilayah Aksesibilitas Topografi dan Iklim Wilayah Penduduk BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi Jernang Tahapan Pemanenan Buah Rotan Jernang yang Dilakukan Masyarakat Pemetikan buah rotan jernang Buah rotan jernang diangin-anginkan Pengolahan Jernang Dengan Cara Masyarakat Penumbukan buah rotan jernang Pencetakan jernang Pengolahan Jernang Cara Alternatif (Perebusan) Rendemen jernang dengan cara perebusan Analisis sifat fisiko-kimia jernang... 34

11 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran ii

12 iii DAFTAR TABEL No Halaman 1 Spesifikasi persyaratan mutu jernang Spesifikasi persyaratan mutu jernang Analisis ragam Potensi jernang di Kabupaten Sarolangun Rendemen buah dengan cara masyarakat dan perebusan Analisis ragam rendemen jernang Hasil uji Duncan pengaruh perlakuan terhadap rendemen jernang Rata-rata kadar air jernang Analisis ragam kadar air jernang Analisis ragam kadar resin jernang Hasil uji Duncan pengaruh perlakuan terhadap kadar resin jernang Analisis ragam kadar kotoran jernang Hasil uji Duncan pengaruh perlakuan terhadap kadar kotoran jernang Rata-rata kadar abu jernang Analisis ragam kadar abu jernang Analisis ragam titik leleh jernang Hasil uji Duncan pengaruh perlakuan terhadap titik leleh jernang Rekapitulasi rata-rata pengujian mutu sifat fisiko-kimia jernang... 40

13 iv DAFTAR GAMBAR No Halaman 1 Penampang buah rotan jernang Diagram alir penelitian Sketsa lokasi penelitian Tahapan pemanenan buah Jernang yang dihasilkan dari cara masyarakat Tahapan pemanenan dan proses menghasilkan jernang secara tradisional (masyarakat)... 31

14 v DAFTAR LAMPIRAN No Halaman 1 Dokumen penelitian Pengukuran kadar air buah Rendemen buah dengan cara masyarakat dan perebusan Pengukuran kadar abu Pengukuran kadar air Pengukuran titik leleh dan warna Pengukuran kadar resin Pengukuran kadar kotoran Analisis ragam dan hasil uji Duncan terhadap rendemen Analisis ragam dan hasil uji Duncan terhadap kadar resin Analisis ragam dan hasil uji Duncan terhadap kadar air Analisis ragam dan hasil uji Duncan terhadap kadar kotoran Analisis ragam dan hasil uji Duncan terhadap kadar abu Analisis ragam dan hasil uji Duncan terhadap titik leleh... 54

15 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jernang merupakan salah satu Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang telah lama dikenal sebagai barang ekspor. Dunia perdagangan mengenalnya dengan sebutan dragon s blood. Sumber penghasil utama jernang adalah buah rotan jernang dari kelompok Daemonorops, dengan nama lokal jernang. Kegunaan jernang adalah untuk bahan baku pewarna dalam industri keramik, marmer, alatalat batu, kayu, kertas dan keperluan industri farmasi (Januminro 2000). Mengingat jernang sebagai salah satu kekayaan keanekaragaman hayati yang memiliki manfaat ekonomi dan ekologi, maka teknik pemanenan dan pengolahan yang tepat diperlukan untuk meningkatkan produksi jernang. Menurut Januminro (2000), pemanenan buah dilakukan sebelum buah masak karena buah yang sudah masak resin jernangnya sudah keluar mencair dan jatuh ke tanah. Menurut Winarni et al. (2005), potensi produksi jernang semakin berkurang. Penyebaran jernang pada umumnya masih terdapat di hutan alam dan hutan lindung. Semakin banyak orang mengetahui manfaat jernang yang cukup banyak, maka banyak yang memanen tanpa memperhatikan kelestariannya. Menurut Kalima (1991), jika terpaksa pemanenan buah dilakukan dengan cara rotan di tarik dengan alat pengait atau ditebang dan dipanen batangnya, sehingga teknik pemanenan buah perlu diperhatikan lebih lanjut agar produksi jernang dapat meningkat. Pada umumnya cara yang digunakan masyarakat dalam menghasilkan jernang adalah dengan cara menumbuk buah rotan dalam keranjang sampai mengeluarkan resin (Januminro 2000). Cara masyarakat tersebut menghasilkan jernang dengan kadar kotoran yang cukup besar yaitu 16% (Waluyo 2002). Berdasarkan SNI jernang (2010), kadar kotoran tersebut termasuk mutu A karena kurang dari 39%. Selain itu, menurut Suwardi et al. (2003), cara masyarakat menghasilkan rendemen sekitar 4 sampai dengan 6%. Beberapa penelitian dilakukan untuk meningkatkan rendemen dan menurunkan kadar kotoran untuk meningkatkan mutu. Menurut Suwardi et al.

16 2 (2003), cara pengolahan buah yang menggunakan alkohol atau metanol mampu menghasilkan jernang dari sumber buah yang sama akan meningkat sekitar 4 sampai dengan 5 kali cara masyarakat. Bahkan bila ekstraksi hanya dilakukan terhadap daging buah saja, rendemen yang diperoleh mencapai 31,5% dengan pelarut metanol dan 29% dengan pelarut alkohol. Meskipun cara ekstraksi jernang dengan alkohol menghasilkan rendemen yang tinggi namun investasi alat, biaya operasional yang akan dikeluarkan jauh lebih besar dan sulit diterapkan oleh masyarakat setempat, sehingga perlu dicari alternatif teknologi pengolahan yang tepat guna. Menurut Sumarna (2004), cara lain adalah cara basah yaitu dengan merendam buah dalam air selama 1 sampai dengan 2 hari pada suhu kamar (sekitar 25±3 C), selanjutnya dengan cara mengaduk-aduk buah di dalam bejana maka jernang akan mengendap di dasar bejana. Jernang tersebut dipisahkan dari air dan siap untuk dijemur hingga diperoleh jernang dalam keadaan kering. Cara basah pernah dikerjakan oleh masyarakat namun cara ini memerlukan waktu yang lama, sehingga tidak digunakan. Oleh karena itu data pengujian mutu belum ditemukan walaupun menurut masyarakat hasil yang diperoleh akan lebih banyak dibandingkan penumbukan. Menurut Coppen (1995) dalam Winarni et al. (2005), titik cair resin jernang sekitar 120 C, sehingga alternatif pengolahan yang dapat diterapkan adalah proses perebusan dalam air. Proses perebusan diduga akan mencairkan jernang yang berada di bagian daging dan kulit buah, sehingga jernang lebih mudah diekstraksi. Jernang yang berada dipermukaan air diambil dan kemudian akan mengering. Oleh karena itu dibandingkan dengan cara masyarakat, proses perebusan diharapkan dapat menurunkan kadar kotoran jernang yang dihasilkan. Penelusuran pustaka belum menemukan pengaruh cara perebusan ini terhadap rendemen dan mutu. Penelitian mengenai jernang masih sangat sedikit, sedangkan potensinya cukup besar dan masih dapat dikembangkan. Perbaikan teknik pemanenan dan pengolahan untuk mendapatkan mutu jernang yang maksimal masih perlu diteliti. Untuk itu, penelitian dilakukan dengan membandingkan cara masyarakat dan direbus dalam air.

17 3 1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: a. Menganalisis potensi rotan penghasil jernang di Kabupaten Sarolangun, Jambi. b. Menguraikan teknik pemanenan buah rotan jernang yang dilakukan masyarakat desa. c. Menganalisis rendemen dan mutu jernang yang dihasilkan dari pengolahan cara masyarakat dan cara perebusan. 1.3 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yaitu dapat menambah wawasan ilmu dan menunjang sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu kehutanan serta diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang teknik pemanenan buah rotan jernang yang benar dan pengolahan jernang yang mampu meningkatkan rendemen dan mutu jernang melalui cara tepat guna.

18 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Sesuai ketentuan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 23, disebutkan bahwa pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Dalam pedoman ini pemanfaatan HHBK adalah pemanfaatan HHBK melalui pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan menerapkan prinsip kelestarian dan tetap memperhatikan fungsi hutan. Pemanfaatan HHBK dalam pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan tetap memperhatikan fungsi hutan dan aspek kelestarian hutan. Beberapa jenis HHBK mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, antara lain: rotan, madu, kemiri, gaharu, ulat sutera, gondorukem dan lain-lain. Jenis-jenis tersebut memiliki prospek pasar baik di dalam maupun di luar negeri. 2.2 Rotan Semua jenis bahan berkayu yang dipakai sehari-hari adalah produk dari tanaman yang termasuk subdivisi Gymnospermae dan Angiospermae. Dari subdivisi gymnospermae yang banyak menghasilkan kayu berasal dari kelas Coniferales (kayu konifer/softwood), sedangkan dari sub-divisi Angiospermae terbagi menjadi dua kelas, yaitu Monocotyledoneae dan Dicotyledoneae. Dari kelas dicotyledon dihasilkan kayu daun lebar (hardwood). Adapun rotan berasal dari subdivisi Angiospermae, kelas Monocotyledoneae, ordo Arecales, family palmae (Arecaceae) (Uhl dan Dransfield 1987 dalam Rachman dan Jasni 2008). Rotan tergolong tumbuhan hutan dari anggota kelompok tumbuhan Palmae (Arecaceae) yang memanjat (liana). Indonesia sebagai negara tropis memiliki potensi sumberdaya rotan tertinggi. Sebanyak 516 jenis rotan yang sudah tercatat dan diketahui diseluruh Asia Tenggara dan sebanyak ± 306 jenis telah teridentifikasi dan menyebar di Indonesia. Rotan telah dipungut, dipakai, diolah dan diperdagangkan oleh penduduk Indonesia yang tinggal disekitar hutan untuk memenuhi permintaan rotan lokal dan internasional (Januminro 2000). Hingga

19 5 saat ini rotan dikenal hanya bentuk produk berupa batang dengan ragam jenis dan sebagian besar memiliki peruntukan sebagai bahan baku industri tikar, berbagai jenis barang kerajinan serta perlengkapan rumah tangga dan berbagai produk mebeler (furnitur). Produk komoditas rotan yang akhir-akhir ini menjadi perhatian dunia adalah produk turunan dari buah rotan jernang yang dapat menghasilkan produk berupa resin. Produk resin yang sejak masa penjajahan Belanda telah diketahui adalah resin jernang yang lebih dikenal dengan nama darah naga dan dalam perdagangan internasional dikenal sebagai dragon s blood (Arifin 2007) Rotan penghasil jernang Jernang merupakan hasil ekstraksi buah beberapa jenis rotan dari kelompok Daemonorops. Jernang adalah suatu padatan yang mengkilat, bening atau kusam, rapuh, meleleh bila dipanaskan dan mudah terbakar dengan mengeluarkan asap (Sumadiwangsa 2000 dalam Winarni et al. 2005). Diakui bahwa potensi resin jernang tergolong semakin menurun disebabkan oleh pola produksi yang tidak lestari. Masyarakat Suku Kubu di Sumatera dan Suku Dayak di Kalimantan telah lama memanfaatkan resin jernang sebagai bahan pewarna pakaian. Namun, karena tidak disertai upaya penanaman kembali, serta pemanenan yang dilakukan dengan cara memotong batang sehingga dapat mengakibatkan kelestarian produksi tidak terjamin. Saat ini, masyarakat sudah mulai kesulitan memperoleh jernang di hutan alam (Arifin 2007). Dragon s blood merupakan resin yang dihasilkan dari genus Daemonorops yang terdapat pada daging dan permukaan kulit buah rotan jernang dewasa. Berikut beberapa jenis Daemonorops penghasil jernang (Purwanto et al. 2005): a. D. acehensis Rustiami Merupakan jenis endemik di Aceh Utara. Tergolong jenis rotan berukuran kecil, batang bisa mencapai 5 m, diameter batang tanpa pelepah 10 mm, diameter batang dengan pelepah 25 mm, panjang ruas batang mencapai 50 mm. Buahnya bulat berukuran 2,2x1,8 cm 2 dan kulit buahnya menghasilkan jernang berwarna merah kecokelatan. b. D. brachystacliys Furt. Penyebaran jenis ini meliputi daerah Kelantan, Kedah, Perak, Selangor, Sumatera Utara dan Jambi. Diameter batang tanpa pelepah 4 cm, diameter

20 6 batang dengan pelepah 6 cm dan panjang batang ± 1 m. Buahnya berukuran 2,5x2 cm 2. Kulit buahnya menghasilkan jernang berwarna merah kecokelatan. c. D. didymophyllus Becc. Daerah penyebarannya meliputi Kalimantan, Sumatera, Semenanjung Malaysia dan Thailand Selatan. Buahnya hanya sedikit menghasilkan jernang. Jenis rotan ini bisa tumbuh dari pantai hingga ketinggian 1000 mdpl. Karakteristik morfologi dari jenis rotan ini adalah tumbuh merumpun, batangnya berukuran sedang berdiameter sampai 12 mm tanpa pelepah daun dan 30 mm dengan pelepah daun dengan ruas batang berukuran 10 sampai dengan 12 cm 2. Warna batangnya kusam kecokelat-cokelatan dan bagian dalam berwarna cokelat muda. Mutu batangnya tergolong rendah sehingga masyarakat menggunakannya sebagai bahan pembuatan peralatan rumah tangga seperti keranjang. Buahnya dapat dimakan digunakan sebagai obat sakit diare. d. D. draco (Willd.) Blume Daerah penyebaran jenis ini adalah Sumatera dan Kalimantan. Jenis rotan ini tumbuh merumpun di kawasan lembah dan banyak ditemukan di kawasan sekitar limpahan air Sungai. Panjang batang bisa mencapai 15 m dan panjang ruasnya 15 sampai dengan 35 cm 2. Diameter batang tanpa pelepah 8 sampai dengan 14 mm, diameter batang dengan pelepah 30 mm. Warna batang cokelat kekuningan dan mengkilat. Jenis ini penghasil jernang terbanyak dibandingkan jenis lainnya. Pada umumnya buah yang dipanen untuk menghasilkan jernang terbanyak yaitu buah yang menjelang masak. Apabila buah terlalu masak maka resin yang diperoleh sedikit dan batangnya digunakan untuk membuat peralatan rumah tangga. Mutu rotannya termasuk mutu rendah. e. D. dracuncula Ridl. Merupakan jenis endemik Siberut, Kepulauan Mentawai Sumatera Barat. Jenis ini merupakan jenis rotan yang tumbuhnya soliter, batang berukuran kecil berdiameter 30 mm dengan pelepah daun dan 20 mm tanpa pelepah daun. panjang batang hanya sekitar 2 m. Buah berukuran 2,2x0,9 cm 2 dan kulit buahnya menghasilkan jernang berwarna merah kecoklatan tua. Buahnya dapat dimakan dan rasanya agak sepat.

21 7 f. D. dransfieldii Rustiami Daerah penyebarannya meliputi daerah Sumatera Barat dan Batang Palupuh Bukit Tinggi. Jenis ini dikategorikan sebagai rotan berbatang kecil dengan panjang dapat mencapai 6 m. Diameter 25 mm dengan pelepah daun dan 15 mm tanpa pelepah daun. Buahnya berukuran 2,5x1 cm 2 dan kulit buahnya menghasilkan jernang berwarna merah kecokelatan. Buahnya dapat dimakan dan rasanya agak manis serta batangnya dapat digunakan sebagai tali. g. D. maculata J. Dransf. Jenis ini merupakan endemik di Kalimantan dan Brunei. Jenis ini tumbuh soliter dan batang bisa mencapai 5 m. Diameter 20 mm dengan pelepah daun dan 12 mm tanpa pelepah daun. Buah menghasilkan jernang berwarna merah tua dan merupakan jenis rotan penghasil jernang cukup banyak. h. D. micracantha (Griff.) Becc. Penyebarannya meliputi wilayah Semenanjung Malaysia, Serawak, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Jenis ini tumbuh memanjat, soliter dan banyak ditemukan di hutan dataran rendah dekat Sungai atau dekat kawasan tergenang pada ketinggian 0 sampai dengan 500 mdpl. Panjang batang bisa mencapai 20 m, diameter 11 sampai dengan 20 mm dengan pelepah daun dan 6 sampai dengan 11 mm tanpa pelepah daun. Buah berukuran 1,5x1,5 cm 2. Jernang yang dihasilkan memiliki mutu terbaik dengan warna merah tua yang mengkilap. Selain sebagai rotan penghasil jernang, batangnya mempunyai mutu cukup baik dan digunakan untuk bahan kerajinan rumah tangga seperti tikar, kursi dan tali. i. D. rubra Blume Daerah penyebarannya di Sumatera dan Jawa. Jenis ini tumbuh merumpun dengan ketinggian mencapai 10 m. Diameter 40 mm dengan pelepah daun dan 15 mm tanpa pelepah daun. Buahnya berukuran 2x2 cm 2. Buah menghasilkan jernang cukup banyak. j. D. siberutensis Rustiami Masyarakat Palembang menyebutnya sebagai rotan bugkus, Suku Kubu menyebutnya rotan kelemunting. Jenis ini termasuk rotan kecil dan tumbuh

22 8 merumpun dengan panjang batang bisa mencapai 5 m. Diameter 17 mm dengan pelepah daun dan 9 mm tanpa pelepah daun. Buahnya berukuran 2x1,2 cm 2 dapat dimakan dan rasanya agak manis dan sepat. Kulit buah dapat menghasilkan jernang berwarna merah kecokelatan. Batangnya tidak bisa digunakan sebagai bahan tali karena mudah putus. k. D. sekundurensis Rustiami & Zumaidar Penyebarannya di Sumatera Utara dan Aceh. Tumbuh di kawasan lereng perbukitan dan hutan-hutan terganggu pada ketinggian 800 mdpl. Jenis rotan ini dikategorikan sebagai rotan kecil dengan panjang batang mencapai 2 m. Diameter 9 mm dengan pelepah daun dan 5 mm tanpa pelepah daun. Buahnya berukuran 1,5x1 cm 2 dan menghasilkan jernang berwarna merah kecokelatan Ciri dan sifat morfologi rotan (Daemonorops draco (Willd.) Blume) a. Akar rotan Menurut Januminro (2000), akar rotan merupakan bagian tanaman yang sangat penting karena memiliki beberapa fungsi yaitu memperkuat tanaman berdiri secara keseluruhan, menyerap air dan zat-zat makanan yang tersedia dari dalam tanah dan mengangkut air dan zat makanan yang sudah terserap kebagian tubuh lainnya. Seperti halnya tanaman lain dari suku Palmae (Arecaceae), akar rotan memiliki sifat yaitu sistem perakaran serabut dan akar rotan berwarna keputih-putihan atau kekuning-kuningan. b. Batang rotan Batang rotan jenis Daemonorops draco (Willd.) Blume bisa mencapai 15 m. Jenis ini tumbuh berumpun (Kalima 1991). Pada beberapa jenis tampak adanya tonjolan dan lekukan pada sisi yang berlawanan sepanjang ruas. Tonjolan dan lekukan ini tampak lebih jelas pada buku yang berasal dari jejak daun yaitu ikatan pembuluh yang menuju ke daun (Rachman dan Jasni 2008). c. Daun Menurut Kalima (1991), pangkal tandan daun berlutut jelas, sepanjang tandan daun terdapat duri-duri panjang tersusun mengelompok, makin ke ujung dahan duri berukuran pendek. Kedudukan sirip daun berselang-seling. Panjang sirip daun mencapai 44 cm, lebar 2,5 cm dan jumlah sirip daun mencapai 50

23 9 pasang. Jarak pangkal tandan sampai sirip daun pertama 55 cm dan panjang daun sampai 3 m. d. Bunga Bunga rotan terbungkus oleh seludang. Jika seludang terbuka, maka bunga jantan siap membuahi, sedangkan bunga betina mulai masak pada hari ke-13 sampai hari ke-27 setelah seludangnya pecah. Ukuran bunga rotan relatif kecil, hanya beberapa jenis saja yang ukurannya mencapai 1 cm atau lebih. Warna bunga rotan bervariasi yaitu kecokelatan, kehijauan, atau krem. Masa berbunga sampai buah masak selama 7 sampai 13 bulan. Berdasarkan pengalaman, buah rotan akan masak berkisar bulan Agustus (Januminro 2000). e. Buah rotan jernang Buah rotan jernang terdiri atas kulit luar berupa sisik (pericarp) yang berbentuk trapesium dan tersusun secara vertikal dari toksis buah. Ukuran sisik bervariasi, tergantung pada ukuran buah masing-masing, makin besar ukuran buah maka makin besar pula ukuran sisiknya. Bentuk permukaan buah rotan jernang halus (laevis) atau kasar berbulu (glaberous), sedangkan bentuk buah rotan jernang pada umumnya bulat, lonjong, atau bulat telur. Kulit buah rotan jernang yang sudah matang berwarna cokelat, cokelat merah dan kemerahmerahan yang terdapat produk turunan buah berupa resin berwarna merah dan dalam perdagangan internasional dikenal sebagai produk darah naga atau dragon s blood. Bagian bawah kulit buah terdapat sejenis selaput tipis berwarna putih membungkus daging buah, setelah buah terdapat biji rotan (Gambar 1). Resin jernang yang berada diluar kulit Kulit buah rotan Daging buah Biji Gambar 1 Penampang buah rotan jernang (Arifin 2007). Biji buah rotan jernang memiliki permukaan rata dan halus atau kasar berlekuk dangkal. Setiap biji rotan memiliki 1 sampai dengan 3 embrio yang tertutup oleh lapisan selaput keras sebagai pelindung embrio. Jenis buah rotan

24 10 jernang dari marga Daemonorops, dibawah permukaan kulit buahnya mengandung banyak resin (Januminro 2000). f. Alat perambat (Assesory) Tanaman rotan dilengkapi sejenis alat perambat yang dikenal dengan nama sulur panjat. Sulur panjat ini tumbuh dari ruas batang dan panjangnya bervariasi antara 3 sampai 5 cm, tergantung pada jenis dan varietasnya. Sepanjang sulur dengan jarak tertentu ditumbuhi duri-duri pendek yang kuat. Fungsi sulur panjat ini, selain melapisi batang agar tumbuh kuat adalah sebagai alat perambat atau pengikat disekitar tempat tumbuh rotan (Januminro 2000) Fisiologi perkembangan tumbuh Berdasarkan pengamatan Sumarna (2009), jernang ditemukan di Taman Nasional (TN) Bukit 12 Jambi pada kondisi topografi relatif datar dan bergelombang. Jenis tanah podsolik merah kuning dengan ketinggian tempat tumbuh 150 sampai dengan 200 mdpl. Secara ekologis, parameter suhu udara 22,3 sampai 32 C dengan kelembaban nisbi 81% dan intensitas cahaya 56,3%. Potensi populasi jenis rotan jernang (Daemonorops draco (Willd.) Blume) rata-rata berjumlah 3 rumpun dengan jumlah anakan 6 batang. 2.3 Teknik Pemanenan Buah Rotan Jernang Menurut Januminro (2000), selain menghasilkan batang, rotan dari marga Daemonorops juga menghasilkan resin dari buahnya. Pemungutan buah rotan jernang dilakukan sekitar bulan Agustus dan Oktober, karena pada bulan-bulan tersebut buah rotan jernang siap untuk dipanen. Panen buah rotan jernang dilakukan 2 kali dalam setahun. Adapun tata cara pemungutan buah rotan jernang adalah sebagai berikut: 1. Buah yang dipanen adalah buah yang sudah tua tapi belum masak, karena buah yang sudah masak resin jernangnya sudah mencair dan jatuh ke tanah. 2. Buah yang dipanen dipotong tandannya dengan pisau atau dengan alat pemotong lainnya. 3. Buah dipisahkan dari tandannya dan dimasukkan ke dalam tempat yang telah disiapkan. 4. Buah rotan jernang siap ditumbuk.

25 11 Menurut Sumarna (1995), dalam proses pengumpulan buah rotan jernang hal yang penting adalah mengetahui aspek kondisi kemasakan buah optimal yaitu berwarna merah kecokelatan. Buah yang menghasilkan jernang lebih banyak adalah buah yang tua namun belum terlalu masak. Buah dikumpulkan dengan cara dipanjat melalui pohon inang di dekatnya. Buah yang rontok atau masih dalam tandan dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam keranjang, diusahakan tidak berjamur. Menurut Winarni et al. (2005), pemanenan buah yang dilakukan oleh suku Anak Dalam (Jambi) adalah dengan cara memanjat pohon yang berada di dekat jernang tumbuh. Tandan buah diambil dengan bantuan galah. Buah yang dipungut adalah buah yang sudah tua dan belum masak. Hal ini disebabkan karena buah yang sudah tua banyak mengandung jernang dibandingkan dengan buah yang masih muda. 2.4 Pengolahan Buah Rotan Jernang Menurut Kalima (1991), sampai saat ini pengolahan buah rotan jernang dilakukan secara tradisional dengan hanya menggunakan peralatan yang sangat sederhana. Cara pengolahan yang dilakukan di tingkat desa masih terbatas pada pengolahan awal yaitu mempersiapkan jernang sebelum dipasarkan. Pengolahan buah rotan jernang yang dilakukan masyarakat yaitu melalui penumbukan. Dari proses tersebut akan diperoleh serbuk jernang berwarna merah. Menurut Januminro (2000), cara menumbuk buah rotan jernang dapat mempengaruhi mutu jernang yang dihasilkan. Jika kulit buah tercampur dengan jernang maka mutu jernang yang dihasilkan akan menurun. 2.5 Mutu Jernang Menurut Winarni et al. (2005), mutu terbaik berbentuk silindris panjang 30 sampai dengan 35 cm dengan tebal 2 sampai dengan 2,5 cm dan berbentuk bulat telur. Mutu nomor dua berbentuk lempeng, sedangkan mutu nomor tiga berbentuk lembaran kertas. Mutu yang baik harus jernih dan bila ditumbuk akan diperoleh serbuk berwarna merah tembaga yang larut dalam spirtus dengan warna terang.

26 12 Bila dilarutkan dalam alkohol akan diperoleh 9% residu yang terdiri dari serat dan pasir. Mutu rendah menghasilkan 20% residu. Tabel 1 Spesifikasi persyaratan mutu jernang No Jenis uji Satuan Persyaratan Mutu super Mutu A Mutu B 1 Kadar resin (b/b) % Min. 80 Min.60 Min.25 2 Kadar air (b/b) % Maks.6 Maks.8 Maks.10 3 Kadar kotoran (b/b) % Maks.14 Maks.39 Maks.50 4 Kadar abu (b/b) % Maks.4 Maks.8 Maks.20 5 Titik leleh C Min.80 Min.80-6 Warna - Merah tua Merah muda Merah pudar Sumber : SNI jernang (2010) 2.6 Pemanfaatan Jernang Beberapa pemanfaatan jernang yang dilakukan oleh masyarakat adalah sebagai berikut (Purwanto et al. 2005): a. Bahan pewarna Jernang digunakan sebagai bahan pewarna yang memberikan warna merah kecokelatan. Misalnya pewarna industri batik, berbagai jenis kerajinan tangan seperti anyaman daun pandan, rotan dan bahan lainnya. Selain itu, jernang digunakan sebagai pewarna tubuh (ornamental body), pada umumnya digunakan sebagai pewarna merah pada bagian sekitar mata dan tato. Para pelukis menggunakan jernang sebagai bahan pewarna lukisannya yang memberikan warna merah ungu yang indah. b. Bahan ramuan obat-obatan Secara tradisional pemanfaatan jernang sebagai ramuan obat diare dan gangguan pencernaan lainnya. Di Eropa digunakan sebagai bahan baku obatobatan seperti sakit disentri dan diare serta sebagai astringen pada pasta gigi. Jernang mengandung resin-alcohol, draco-resinotannol dan sekitar 56% bahan tersebut berasosiasi dengan benzoic dan benzoic acid. Di Malaysia, jernang digunakan sebagai bahan pengobatan gangguan pencernaan sedangkan masyarakat Benua menggunakannya sebagai bahan ramuan penyakit kencing darah, sariawan dan sakit perut. Di Yunani, pada masa lalu dragon s blood digunakan sebagai bahan obat sakit mata. Pada zamannya Rumphius, serbuk jernang digunakan sebagai bahan obat penyembuh luka. Sebagai bahan membuat obat-obatan, jernang berkhasiat menghentikan pendarahan, obat luka

27 13 memar, melindungi permukaan luka bernanah menjadi busuk dan menghilangkan rasa sakit pada luka yang kronis. c. Dupa Pada masa lalu, jernang digunakan sebagai dupa karena baunya yang wangi, maka jernang digunakan sebagai pengganti kemenyan sehingga dinamakan kemenyan merah. Namun penggunaan jernang sebagai pengganti kemenyan sudah jarang dilakukan oleh masyarakat Sumatera, karena orang lebih suka menggunakan kemenyan asli yang harganya lebih murah. d. Magis Jernang dipercaya sebagai bahan penambah tenaga dalam ritual magis. Pembakaran jernang pada dupa menyebabkan meningkatnya tingkat magis pada mantra-mantra yang dibacakan, sebagai penambah minyak dan sabun mandi, dapat juga untuk mengusir setan di sekitar rumah yaitu dengan membakar jernang dan asapnya disebarkan di sekeliling rumah. e. Jernang digunakan sebagai campuran pembuatan minyak wangi. 2.7 Kandungan Senyawa Kimia Jernang dimasukkan dalam kelompok resin keras yaitu padatan yang mengkilat, bening atau kusam, rapuh, meleleh bila dipanaskan dan mudah terbakar dengan mengeluarkan asap dan bau yang khas. Jernang berwarna merah berbentuk amorf, BJ 1,18 sampai dengan 1,20, bilangan asam rendah, bilangan ester sekitar 140, larut dalam alkohol dan titik cair sekitar 120 C, larut dalam alkohol eter, minyak lemak dan minyak atsiri, sebagian larut dalam kloroform, etil asetat, petroleum spiritus, karbon disulfida dan tidak larut dalam air (Coppen 1995 dalam Winarni et al. 2005). Menurut Thorpe dan Whiteley (1944) dalam Suwardi et al. (2002), komponen utama jernang adalah resin alkohol yaitu 50 sampai dengan 60% draco resino-tanol terutama dalam bentuk benzoat dan ester benzoyl asetat, 2,5% draco alban dan 11% draco resen. Kadar mineral kurang dari 9%. Pada umumnya jernang dipalsukan dengan penambahan gondorukem yang menyebabkan bilangan asam naik dan bilangan ester turun. Bahan pigmen dari dragon s blood Indian adalah draco rubin dengan titik leleh 315 C.

28 14 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Langkah Kerja Penelitian Studi literatur merupakan input dari penelitian ini. Langkah kerja peneliti yang akan dilakukan meliputi pengambilan data potensi, teknik pemanenan buah rotan jernang dan membandingkan cara masyarakat dengan cara perebusan disajikan pada Gambar 2. Dari langkah kerja peneliti tersebut diharapkan dapat meningkatkan produksi dan mutu jernang. Data penelitian Pengolahan data potensi jernang di Kabupaten Sarolangun (lapangan/data sekunder) Pengambilan data di Dinas Kehutanan provinsi Jambi dan LSM Cara pemanenan buah rotan jernang (lapangan/data primer) Pemetikan buah setelah itu buah rotan jernang diangin-anginkan Cara masyarakat yaitu dengan menumbuk buah rotan jernang Membandingkan Cara alternatif (Cara perebusan) Penetapan rendemen dan Sifat fisiko-kimia jernang Penetapan rendemen dan sifat fisiko-kimia jernang Upaya peningkatan produksi dan mutu jernang Gambar 2 Diagram alir penelitian.

29 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Hutan Tanaman Rakyat (HTR) Desa Lamban Sigatal, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sarolangun, Jambi. Penelitian di lapangan dilaksanakan pada tanggal 10 Juni sampai dengan 6 Juli 2010 dan dilanjutkan di Laboratorium Kimia Kayu Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB pada 19 Juli sampai dengan 25 Agustus Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah galah dan pengait, keranjang, kayu penumbuk buah rotan jernang, aluminium foil, gelas piala 1000 ml, saringan kawat nyamuk berukuran 15x15 cm 2, cawan petri, timbangan, plastik, kertas saring, pipa kapiler, melting point, hotplate/penangas air, desikator, oven suhu ± 105 C, oven 1000 C (tanur), soklet, Microsoft Excel, software SPSS 12 dan kamera digital. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah rotan jernang, air, toluena, dietil eter dan etanol. 3.4 Jenis Data a. Potensi jernang Cara pengumpulan data potensi jernang dilakukan melalui studi pustaka. Data potensi jernang diperoleh dari Dinas Kehutanan Provinsi Jambi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang dapat membantu dalam pencarian informasi. Data yang diperlukan meliputi nama desa atau kecamatan, luas areal yang ditanam jernang dan jumlah panen buah per rumpun. b. Teknik pemanenan buah rotan jernang Cara yang digunakan untuk memperoleh informasi mengenai teknik pemanenan buah rotan jernang adalah melalui pengamatan langsung di lapangan yaitu mengamati teknik petani memanen buah rotan jernang dengan mengetahui ciri-ciri kemasakan buah yang siap untuk dipanen dan alat pemanenan yang digunakan. c. Ekstraksi jernang cara masyarakat dan cara alternatif (perebusan dalam air) c.1 Cara masyarakat Pengolahan jernang yang dilakukan oleh masyarakat yaitu: a) Buah rotan jernang yang terkumpul dilepas dari tandannya.

30 16 b) Sampel buah rotan jernang dibungkus dengan aluminium foil dan dibawa ke Bogor untuk ditimbang, yang digunakan untuk perhitungan kadar air. Kadar air dapat dihitung dengan cara sebagai berikut (ASTM D ): Berat basah buah - Berat kering tanur buah KA = x 100% Berat kering tanur buah c) Buah yang telah terkumpul diangin-anginkan. d) Buah rotan jernang ditumbuk agar memperoleh serbuk. e) Serbuk jernang dimasukkan ke dalam plastik. c.2 Cara perebusan Cara alternatif yang diteliti adalah dengan cara perebusan yaitu: a) Buah rotan jernang yang dibawa ke Bogor dilakukan perhitungan kadar air seperti cara masyarakat di atas. b) Menimbang buah rotan jernang sebanyak 400 g. c) Buah rotan jernang dipisahkan antara biji dengan kulit dan daging, yang digunakan dalam penelitian adalah kulit dan daging buahnya. d) Kulit dan daging buah rotan jernang tersebut dimasukkan ke dalam gelas piala dan kemudian dibatasi dengan saringan kawat nyamuk setelah itu isi dengan air sekitar dua kali dari ketinggian buah rotan jernang kemudian direbus hingga mendidih dengan waktu yang telah ditetapkan. e) Jernang akan keluar dan berada di lapisan atas rebusan. Bagian jernang dipisahkan selama proses perebusan, kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven ± 105 C. Rancangan percobaan untuk cara perebusan adalah: A. Perlakuan 1: cara masyarakat B. Perlakuan 2: direbus selama 1 jam C. Perlakuan 3: direbus selama 2 jam D. Perlakuan 4: direbus selama 3 jam Percobaan dilakukan sebanyak 3 kali ulangan dengan 4 perlakuan sehingga terdapat 12 unit percobaan. Masing-masing percobaan menggunakan buah rotan jernang sebanyak 400 g. Dari percobaan tersebut diperoleh rendemen yang akan digunakan dalam pengujian mutu. Jernang yang dibutuhkan untuk pengujian sebanyak ± 6 g per perlakuan.

31 17 d. Menghitung rendemen jernang hasil ekstraksi Perhitungan rendemen bagi kedua cara pengolahan jernang dilakukan dengan cara menimbang buah rotan jernang sebelum diekstrak dan jernang hasil ekstraksi. Besarnya rendemen dihitung dengan rumus (ASTM D ): Kadar air (%) = x 100% Berat basah BKT (Berat Kering Tanur) = 1+ KA x 100% Output Rendemen (R) = x 100% (Waluyo 2008) Input (BKT) e. Analisis sifat fisiko-kimia jernang Analisis mutu jernang mengacu pada SNI jernang (2010), parameter yang diuji adalah sifat fisiko-kimia jernang yang terdiri dari: a. Kadar resin Kadar resin ditentukan dengan cara mengekstrak jernang dengan suatu pelarut organik yang dinyatakan dengan persen berat per berat. Kadar resin dapat ditentukan dengan cara kerja sebagai berikut: a) Menimbang 1 g jernang yang telah dihaluskan di dalam timbel yang telah dibuat kemudian dimasukkan ke dalam soklet. b) Soklet diisi dengan 150 ml dietil eter yang ditampung pada labu didih 250 ml. c) Soklet dihubungkan dengan kondenser dan air pendingin untuk melakukan ekstrak jernang secara sempurna kemudian memisahkan dietil eter secara maksimal sehingga diperoleh resin. d) Resin yang diperoleh dipisahkan dengan 50 ml air pada labu pemisah. e) Mengocok labu pemisah agar resin yang masih terikat dapat terekstrak. f) Resin dipisahkan dari air suling, kemudian menguapkan dietil eter di atas penangas air/hotplate. g) Ekstrak resin dikeringkan sampai diperoleh berat labu pemisah dan resin yang tetap di dalam desikator. Kadar resin (%) = W2 W1 W x 100

32 18 Keterangan : W adalah berat serbuk jernang (g) W1 adalah berat labu pemisah (g) W2 adalah berat labu pemisah dan resin yang tersisa (g) b. Kadar air Kadar air ditentukan dengan cara kerja sebagai berikut (ASTM D ): a) Menimbang cawan petri yang telah di oven selama ± 1 jam. b) Jernang ditimbang sebanyak 1 g yang telah dihaluskan dan dimasukkan ke dalam cawan petri. c) Cawan yang berisi jernang dioven selama 3 jam pada suhu ± 110ºC. d) Menimbang cawan tersebut, kemudian mengoven kembali selama 3 jam untuk memperoleh hasil yang konstan kemudian menimbang. W1 - W2 Kadar air (%) = x 100 W2 Keterangan : W1 adalah berat jernang W2 adalah berat jernang setelah di oven c. Kadar kotoran Kadar kotoran ditentukan dengan cara melarutkan jernang dalam toluena. Bahan tak larut dalam toluena tertinggal di kertas saring. Kadar kotoran ditentukan dengan cara kerja sebagai berikut: a) Jernang yang telah dihaluskan ditimbang ± 1 g dan dimasukkan ke dalam gelas piala 400 ml, kemudian dilarutkan dengan toluena sebanyak ± 8 ml. b) Jernang diaduk hingga terlarut seluruhnya. c) Menuangkan sisa jernang yang tidak larut ke dalam kertas saring. d) Gelas piala dibilas dengan toluena hingga bersih kemudian menyaringnya. W1 - W2 Kadar kotoran (%) = W x 100 Keterangan : W adalah berat jernang (g) W1 adalah kertas saring (g) W2 adalah berat kertas saring + isi setelah dipanaskan (g)

33 19 d. Kadar abu Kadar abu ditentukan dengan mengukur zat mineral bahan organik dalam jernang yang tidak habis terbakar setelah pemanasan 800 C sampai 1000 C. Kadar abu dapat ditentukan dengan cara kerja sebagai berikut: a) Memanaskan oven tanur pada suhu kurang lebih 800 sampai 1000 C. b) Cawan petri yang disimpan dalam desikator dari hasil pengukuran kadar air, digunakan untuk pengukuran kadar abu. c) Memasukkan cawan tersebut ke dalam tanur selama ± 8 jam. d) Oven dibuka setelah ± 12 jam, kemudian mengambil cawan dan dimasukkan ke dalam desikator. e) Menimbang berat cawan berisi abu. W2 W1 Kadar abu (%) = x 100 W Keterangan : W adalah berat jernang (g) W1 adalah berat cawan (g) W2 adalah berat cawan + abu (g) e. Titik leleh Titik leleh diukur dengan menggunakan alat melting point. Jernang yang dibuat serbuk halus dilelehkan pada suhu rendah. Titik leleh dapat ditentukan dengan cara kerja sebagai berikut: a) Memasukkan serbuk jernang ke dalam pipa kapiler hingga padat dan dorong serbuk jernang hingga berada pada posisi ditengah pipa kapiler b) Melting point dipanaskan pada suhu awal 40ºC. c) Pipa kapiler yang berisi jernang diletakkan pada melting point. d) Lalu mengamati terus sampai jernang dalam pipa kapiler meleleh seluruhnya, kemudian mencatat suhu tersebut. f. Penentuan warna Warna ditentukan dengan pengamatan secara visual setelah jernang dilarutkan dengan etanol dan dituangkan ke atas kertas putih. Warna dapat ditentukan dengan cara kerja sebagai berikut: a) Menimbang ± 1 g jernang yang telah dihaluskan.

34 20 b) Jernang dilarutkan dalam etanol 20 ml di dalam gelas piala dan didiamkan beberapa saat. c) Menuangkan secara perlahan-lahan ke atas kertas putih kemudian diangin-anginkan dan diamati. Tabel 2 Spesifikasi persyaratan mutu jernang No Jenis uji Satuan Persyaratan Mutu super Mutu A Mutu B 1 Kadar resin (b/b) % Min. 80 Min.60 Min.25 2 Kadar air (b/b) % Maks.6 Maks.8 Maks.10 3 Kadar kotoran (b/b) % Maks.14 Maks.39 Maks.50 4 Kadar abu (b/b) % Maks.4 Maks.8 Maks.20 5 Titik leleh C Min.80 Min.80-6 Warna - Merah tua Merah muda Merah pudar Sumber : SNI jernang(2010) 3.5 Pengolahan Data Analisis data percobaan dilakukan berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yaitu sebagai berikut: Y ij = μ + αi + ε ij Keterangan: Y ij = Varian yang diamati (rendemen dan sifat fisiko-kimia) Μ = Nilai rata-rata umum α i = Pengaruh perlakuan dengan cara masyarakat, perebusan 1, 2 dan 3 jam terhadap rendemen dan sifat fisiko-kimia jernang. ε ij = Pengaruh galat percobaan dari ke-i (1, 2 dan 3 jam) pada ulangan ke-j (3 kali ulangan) Berdasarkan rancangan tersebut, maka disusun analisis ragam seperti pada Tabel 3. Tabel 3 Analisis ragam Sumber Keragaman DB JK KT Fhit F5% Perlakuan t-1 JKP KTP KTU/KTG Galat (r-1)(t-1) JKG KTG KTP/KTG Total (rt-1) JKT Untuk mengetahui pengaruh faktor perlakuan terhadap rendemen dan mutu jernang yang dibuat maka dilakukan analisis ragam. Nilai hitung yang diperolah dari analisis ragam tersebut dibandingkan dengan F-tabel pada selang kepercayaan 95% dengan kaidah keputusan: 1. Hipotesis pertama: apabila F-hitung < F-tabel, maka terima H 0 yaitu perlakuan antara cara masyarakat dan cara perebusan (1, 2 dan 3 jam)

35 21 tidak memberikan pengaruh nyata atau sangat tidak nyata terhadap rendemen dan sifat fisiko-kimia jernang pada selang kepercayaan 95% sehingga H 1 ditolak. 2. Hipotesis kedua: apabila F-hitung > F-tabel, maka terima H 1 yaitu perlakuan antara cara masyarakat dan cara perebusan (1, 2 dan 3 jam) memberikan pengaruh nyata atau sangat nyata pada rendemen dan sifat fisiko-kimia jernang pada selang kepercayaan 95% sehingga H 0 ditolak. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan SPSS 12. Apabila perlakuan memberikan pengaruh nyata atau sangat nyata terhadap rendemen dan sifat fisiko-kimia jernang, maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan Duncan Multiple Range Test (DMRT).

36 22 BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak dan Luas Wilayah Berdasarkan data BPS (2001), Kabupaten Sarolangun terletak di Provinsi Jambi. Secara geografis, Kabupaten Sarolangun terletak pada titik koordinat antara sampai Lintang Selatan dan antara sampai Bujur Timur dan merupakan dataran rendah dengan ketinggian antara 10 sampai dengan 1000 mdpl, dengan pembagian wilayah dan batas sebagai berikut: a) Utara : Kabupaten Batang Hari b) Selatan : Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu c) Barat : Kabupaten Merangin d) Timur : Kabupaten Batang Hari dan Musi Rawas Provinsi Sumatera Selatan Luas wilayah administratif Kabupaten Sarolangun meliputi km 2, terdiri dari dataran rendah km 2 (85%) dan dataran tinggi 926 km 2 (15%). Secara administratif Kabupaten Sarolangun terdiri dari 10 kecamatan, 6 kelurahan dan 124 desa dengan jumlah penduduk pada tahun 2008 sebanyak jiwa dengan kepadatan penduduk 32 jiwa/ km 2 dan jumlah penduduk pada tahun pada tahun 2010 sebanyak jiwa. Berdasarkan Gita Buana (2009), Desa Lamban Sigatal merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Pauh, Kabuapten Sarolangun, Provinsi Jambi. Wilayah Desa Lamban Sigatal dibagi dalam dua bagian yaitu: Dusun Lamo dan Kampung Kelapa. Wilayah Desa Lamban Sigatal berbatasan langsung dengan empat desa yaitu: a) Sebelah Utara : Desa Baru/Pamusiran Kecamatan Mandiangin b) Sebelah Selatan : Desa Seko Besar (Trans Lubuk Napal) Kecamatan Pauh c) Sebelah Barat : Desa Lubuk Napal Kecamatan Pauh d) Sebelah Timur : Desa Sepintun Kecamatan Pauh

37 23 Gambar 3 Sketsa lokasi penelitian (Anonim 2006). 4.2 Aksesibilitas Bedasarkan Bursa Transmigrasi (2010), akses menuju Desa Lamban Sigatal adalah sebagai berikut: a) Dari Ibu Kota Provinsi (Jambi) ke Ibukota Kabupaten (Sarolangun) dengan jarak 179 km 2 melalui jalan darat, ditempuh selama 4 jam dengan mobil. b) Dari Ibukota Kabupaten (Sarolangun) ke Kecamatan (Pauh) dengan jarak 25 km 2 melalui jalan darat, ditempuh selama 1 jam dengan mobil. c) Dari Kecamatan (Pauh) ke Lokasi (Lamban Sigatal) dengan jarak 38 km 2 melalui jalan darat waktu tempuh 1,5 jam dengan mobil/motor.

38 Topografi dan Iklim Wilayah Topografi wilayah antara lain datar (0 sampai dengan 3%) sebesar 436,88 ha (70,58%), berombak (3 sampai dengan 8%) sebesar 158,27 ha (25,57%), agak bergelombang (8 sampai dengan 15%) sebesar 23,81 ha (3,85%). Jenis tanah podsolik merah kuning, aluvial. Curah hujan terdiri dari bulan basah (Agustus sampai dengan Desember) dan bulan kering (Januari sampai dengan Juli) dengan suhu rata-rata berkisar 29 sampai dengan 30,39 0 C (Bursa Transmigrasi 2010). 4.4 Penduduk Desa Lamban Sigatal memiliki penduduk sebanyak 843 jiwa terdiri dari laki-laki sebanyak 435 jiwa dan perempuan sebanyak 408 jiwa. Jumlah Kepala Keluarga (KK) sebanyak 180 KK atau rata-rata setiap keluarga beranggotakan 4 sampai dengan 5 jiwa. Sebagian keluarga memiliki pekerjaan sampingan sebagai pencari jernang (Gita Buana 2009).

39 25 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Potensi Jernang Kabupaten Sarolangun memiliki sumber daya hutan yang cukup berpotensi untuk dimanfaatkan dan dikelola sehingga mewujudkan kehidupan masyarakatnya yang baik secara berkelanjutan. Tercatat di kabupaten tersebut seluas ha wilayah atau 40% dari luas total wilayah daerah merupakan kawasan hutan yang terdiri atas: hutan produksi ( ha), hutan produksi terbatas (89.357,87 ha), hutan lindung ( ha), kawasan taman nasional (8.810 ha) dan cagar alam ( ha) (Disbunhut Kab. Sarolangun 2009). Berdasarkan wawancara masyarakat desa, pada Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dalam 1 ha terdapat 500 rumpun jernang dengan jarak tanam 4 m x 5 m. Dalam satu rumpun terdapat lima batang, diperoleh batang/ha. Menurut masyarakat 60% batang betina, sehingga batang siap berbunga. Dalam satu batang menghasilkan lima sampai enam tandan buah, pada umumnya dalam satu kali panen hanya tiga tandan yang berbuah, sehingga dapat menghasilkan tandan buah. Dari 50 tandan dapat menghasilkan 1 kg jernang dan dari tandan buah dapat menghasilkan jernang sebanyak 90 kg/ha. Panen dilakukan sebanyak dua kali dalam satu tahun yaitu panen raya dan panen sela sehingga menghasilkan jernang sebanyak 180 kg/ha/th. Hasil inventarisasi Siswanto dan Wahjono (1996) di hutan Sarolangun- Bangko, dalam 1 ha ditemukan jernang sebanyak tiga rumpun. Namun, pencari jernang menyatakan bahwa dalam 1 ha hutan blok Bukit Bahar Tajau Pecah paling sedikit ditemukan tiga rumpun jernang. Berdasarkan wawancara masyarakat, dalam satu rumpun terdapat lima batang, sehingga terdapat 15 batang/ha. Menurut masyarakat 60% betina sehingga sembilan batang/ha siap berbunga. Dalam satu batang menghasilkan lima sampai enam tandan buah, pada umumnya dalam satu kali panen hanya tiga tandan yang berbuah, sehingga menghasilkan 27 tandan buah/ha. Dari 50 tandan dapat menghasilkan 1 kg jernang sehingga dari 27 tandan menghasilkan 0,54 kg/ha. Panen dilakukan dua kali dalam

40 26 satu tahun yaitu panen raya dan panen sela sehingga dapat menghasilkan 1,08 kg/ha/th. Menurut masyarakat, pencarian jernang di Kabupaten Sarolangun terdapat di dua tempat yaitu Kecamatan Air Hitam dan Pauh. Potensi jernang di Hutan Alam blok Bukit Bahar Tajau Pecah sebesar 96,51 ton/ha dan di HTR Lamban Sigatal sebesar 130,16 ton/ha. Total potensi jernang di Kabupaten Sarolangun dapat dihitung sebesar 226,66 ton/ha (Tabel 4). Jernang dijual dengan harga Rp /kg sampai dengan Rp /kg. Tabel 4 Potensi jernang di Kabupaten Sarolangun Jenis Luas Jernang Potensi No Kecamatan Lokasi hutan (ha) (kg/ha/th) (kg/th) (ton/th) 1. Air Hitam Hutan blok Bukit Hutan ,87 1, ,50 96,51 Bahar tajau pecah Alam 2. Pauh Lamban Sigatal HTR 723, ,20 130,16 Sumber: Disbunhut (2009)dan Gita Buana (2008) ,70 226,66 Berdasarkan data BPS (2010), produksi jernang semakin menurun. Produksi terakhir pada tahun 1995 tercatat sebanyak 15 ton jernang yang dihasilkan di Provinsi Jambi. Setelah tahun 1995 sampai 2010, produksi jernang tidak tercatat lagi. Produk jernang di Kabupaten Sarolangun sampai tahun 2010 juga tidak tercatat. Menurut Sumarna (2009), secara keseluruhan populasi rotan (Daemonorops draco (Willd.) Blume) di TN Bukit 12 Jambi relatif semakin menurun, selain karena tidak berlangsungnya sistem regenerasi alami secara optimal, juga lebih disebabkan oleh pola panen produksi buah yang dilakukan masyarakat terkadang dengan cara menebang batang rotan. Menurut masyarakat, mereka menghindari memotong batang rotan walaupun sulit mengambil buah. Pencari jernang menyatakan bahwa tidak ada pemeliharaan rotan di dalam hutan. Apabila dilihat dari kondisi di lapangan tergambar bahwa proses pengambilan buah rotan jernang bersifat hanya mengambil apa yang disediakan alam. 5.2 Tahapan Pemanenan Buah Rotan Jernang yang Dilakukan Masyarakat Daemonorops draco (Willd.) Blume atau yang dikenal dengan nama rotan jernang ditanam disekitar Desa Lamban Sigatal. Para pencari jernang yang berasal

41 27 dari Desa Lamban Sigatal sudah mulai kesulitan dalam mencari buah rotan jernang, karena rotan jernang yang berada disekitar desa sudah sulit diperoleh. Petani berlomba-lomba mencari buah rotan jernang ke kawasan hutan blok Bukit Bahar Tajau Pecah karena jernang dianggap bernilai jual yang tinggi. Pencarian buah rotan jernang dilakukan secara berkelompok dan mengolahnya langsung di dalam hutan. Petani hanya membawa pulang biji dan serbuk jernang yang diperoleh dari proses penumbukan. Apabila dilihat dari daur dan masa produksi, rotan jernang mulai berbuah pada umur empat tahun. Tandan buah akan keluar dari pangkal ruas bagian atas setelah itu tandan buah akan keluar terdiri dari sejumlah calon buah dalam jumlah yang dipengaruhi oleh umur pohon. Masa proses pembuahan hingga buah dalam satuan tandan akan masak memerlukan waktu antara 11 sampai 13 bulan. Secara umum antara satu sampai dua bulan sebelum buah masak, potensi resin yang terbentuk sangat optimal. Waktu panen jernang dalam satu tahun adalah dua kali yaitu pada bulan April dan September (Winarni et al. 2005). Berdasarkan hasil wawancara masyarakat, jernang tumbuh merambat ke atas apabila menemukan pohon inang sedangkan akan merambat ke kanan kiri bila tidak menemukan pohon inang. Pohon inang pada umumnya jenis gaharu, ulin, karet dan sungkai. Teknik pemanenan buah dilakukan dengan memperhatikan kondisi optimal terbentuknya resin pada kulit buah. Tahapan pemanenan buah rotan jernang dijelaskan pada Gambar 4. Ciri buah masak berwarna merah kecokelatan Petani mengambil buah dengan cara memanjat pohon dengan bantuan galah dan alat pengait Buah siap ditumbuk Buah dikumpulkan dalam keranjang dan diangin-anginkan Gambar 4 Tahapan pemanenan buah. Pemanenan buah rotan jernang yang dilakukan petani masih bersifat memanfaatkan yang disediakan oleh alam. Petani mengambil buah dengan cara memanjat pohon disebelahnya dan menggunakan galah dan alat pengait. Terdapat hukum adat di Desa Lamban Sigatal, apabila terdapat pencari jernang yang memotong batang rotan maka sangsinya adalah dikeluarkan dari desa atau

42 28 diasingkan sehingga petani menghindari memotong batang rotan walaupun kondisi tidak memungkinkan untuk mengambil buah. Berdasarkan Winarni et al. (2005), pemanenan buah rotan jernang yang dilakukan oleh Suku Kubu adalah dengan cara memanjat pohon yang berada di dekat rotan jernang dengan bantuan galah untuk dapat menjangkau tandan buah. Buah yang dipanen adalah buah yang sudah tua namun belum terlalu masak Pemetikan buah rotan jernang Pengumpulan buah didasarkan kepada masaknya buah dengan ciri kemasakan sesuai dengan warna. Buah rotan jernang yang sudah tua berwarna cokelat kemerahan. Buah yang menghasilkan banyak jernang adalah buah yang tua namun belum terlalu masak. Apabila buah yang dipetik sudah masak maka resin yang terkandung dalam buah rotan jernang telah berkurang karena resin dapat mencair dengan sendirinya dan membusuk. Buah rotan jernang dipanen dengan cara memanjat pohon terdekatnya. Masyarakat mengambil buah rotan jernang dengan menggunakan galah panjang dan alat pengait yang terbuat dari kayu untuk melilitkan tandan buah. Tandan buah rotan jernang tersebut akan tersangkut pada alat pengait. Kesulitan dalam memanen buah rotan jernang adalah apabila rotan terlalu tinggi maka masyarakat harus memanjat pohon inang dengan kondisi licin dan terhalang oleh duri rotan dan ranting pohon, terkadang buah rotan jernang yang terkait beberapa terlepas dari tandannya karena terlalu kuat menarik tandan buah rotan jernang. Buah rotan jernang dikumpulkan dalam keranjang. Cara mengatasi kesulitan dalam memanjat pohon yaitu saat memanjat pohon inang kaki disarungi dengan karung plastik yang dibuat melingkar (masyarakat Desa Lamban Sigatal menyebutnya semprat ). Petani menghindari memotong batang rotan walaupun sulit memperoleh buah rotan jernang, karena rotan sudah sulit diperoleh disekitar desa. Namun jika terpaksa, batang rotan dipotong untuk memperoleh buah rotan. Mengingat saat ini buah rotan jernang sudah sulit diperoleh, maka masyarakat desa melakukan upaya penanaman rotan di lahan milik melalui pembibitan dari biji.

43 Buah rotan jernang diangin-anginkan Masyarakat yang mengambil buah rotan jernang di hutan blok Bukit Bahar Tajau Pecah pada umumnya langsung mengerjakannya di dalam hutan. Petani membawa peralatan ke dalam hutan alam seperti ambung (keranjang), kayu penyanggah, kayu penumbuk buah dan plastik penampung jernang. Buah yang diambil dikumpulkan kemudian diangin-anginkan semalam. Namun ada pula yang hanya menunggu waktu malam atau subuh untuk menumbuknya. Buah diangin-anginkan dengan tujuan agar lebih mudah dalam memisahkan buah dari tandannya. Buah yang sudah diangin-anginkan akan lebih mudah ditumbuk dan resin tidak lengket di buah. Menurut Kalima (1991), buah rotan jernang yang dipanen disimpan dalam keranjang terlebih dahulu agar kadar air dalam buah berkurang kemudian dijemur di bawah sinar matahari selama tiga sampai empat hari atau sampai kering dan mengkerut, setelah itu baru dapat ditumbuk agar resin yang keluar lebih banyak. Penjemuran buah rotan jernang yang dilakukan oleh petani hanya sebatas dianginanginkan saja dan tidak melibatkan sinar matahari. Hal ini dikarenakan memerlukan waktu yang cukup lama dan keadaan cuaca yang tidak menentu untuk menjemur selama tiga sampai empat hari, sedangkan petani menumbuk buah rotan jernang langsung di dalam hutan. 5.3 Jernang yang Dihasilkan dari Cara masyarakat Jernang yang dihasilkan oleh masyarakat melalui cara penumbukan merupakan cara yang sederhana karena tidak memerlukan teknologi. Jernang yang dihasilkan dengan cara masyarakat memiliki tahapan sebagai berikut: Buah dalam keranjang ditumbuk Serbuk jernang Pencetakan ± 1 jam dimasukkan ke dalam plastik Serbuk jernang Campur damar mata kucing/ gondorukem kemudian panaskan Masukkan dalam plastik ± 1 jam akan mengeras Didinginkan Gambar 5 Jernang yang dihasilkan dari cara masyarakat.

44 Penumbukan buah rotan jernang Buah rotan jernang yang kering dapat dengan mudah ditumbuk. Untuk memperoleh jernang yang maksimal, penumbukan tidak dilakukan di area terbuka dan pada saat angin kencang karena serbuk jernang mudah sekali terbawa angin. Penumbukan buah rotan jernang dilakukan agar resin yang menempel pada kulit buah terlepas. Menumbuk buah tidak terlalu kuat agar biji tidak pecah. Lapisan resin pada kulit luar buah akan lepas seluruhnya akibat bertumbukan, sehingga serbuk jernang bercampur dengan kulit buah. Jernang yang mengandung kulit buah terlihat tidak bersih dan dapat menurunkan mutu jernang tersebut Pencetakan jernang Berdasarkan wawancara kepada masyarakat, jernang yang dihasilkan masyarakat terbagi menjadi dua tipe yaitu jernang murni dan jernang campuran. Jernang murni artinya jernang yang dihasilkan dari proses penumbukan, sedangkan jernang campuran artinya jernang dicampur dengan damar. Damar dipilih menjadi bahan campuran karena memiliki daya rekat yang baik. Bahan campuran yang lain pada umumnya ditambahkan secara bersama-sama dengan damar yaitu biji dan daging buah rotan jernang itu sendiri yang sudah dihaluskan. Menurut Suwardi et al. (2003), masyarakat terkadang menambahkan gondorukem di dalam jernang. Serbuk jernang hasil tumbukan mudah sekali menggumpal, sehingga dalam proses pencetakan mudah dilakukan. Serbuk jernang yang murni langsung dimasukkan dalam plastik, dalam waktu ± 1 jam serbuk jernang akan mengeras. Proses pencampuran jernang dengan damar dilakukan dengan dipanaskan di atas tungku. Damar dicampur dengan serbuk jernang yang murni sampai menyatu. Waktu yang dibutuhkan dalam proses pencampuran tidak menentu, tergantung banyaknya serbuk jernang. Namun, pada umumnya waktu yang diperlukan selama 10 sampai dengan 15 menit. Jernang yang sudah tercampur didinginkan dan dimasukkan ke dalam plastik dan dalam waktu ± 1 jam jernang akan mengeras. Menurut Waluyo (2008), serbuk jernang yang dimasukkan dalam wadah plastik dan dalam waktu ± 30 menit akan menggumpal/mengeras. Cara lain untuk mempercepat penggumpalan dengan mengukus serbuk jernang dalam plastik selama ± 5 menit.

45 31 Jernang yang sudah mengeras di dalam plastik kemudian dijual. Penjualan dilakukan secara sederhana. Petani menjual jernang ke pedagang pengumpul yang ada di desa dengan harga Rp /kg. Harga tersebut dipengaruhi oleh mutu jernang. Jernang yang murni akan memiliki harga yang lebih tinggi dibandingkan jernang campuran. Namun, kebanyakan petani menjual hasilnya kepada pedagang pengumpul di kecamatan karena belum terbukanya penjualan keluar kecamatan dan akses untuk ke Jambi cukup jauh sehingga memerlukan waktu yang cukup lama dan biaya. Gambar 6 menggambarkan tahapan teknik pemanenan buah sampai menghasilkan jernang oleh masyarakat. Pemetikan buah rotan jernang ` Buah rotan jernang yang dianginkan Penumbukan buah rotan jernang Jernang dikemas dalam plastik Pencampuran dengan damar jernang Hasil penumbukan buah rotan jernang Gambar 6 Tahapan pemanenan dan proses menghasilkan jernang secara tradisional (masyarakat). 5.4 Jernang yang Dihasilkan dari Cara Alternatif (Perebusan) Cara perebusan merupakan cara alternatif yang dapat dikerjakan oleh masyarakat. Perebusan merupakan salah satu cara yang tepat guna, dimana tidak

46 32 memerlukan teknologi yang tinggi dan masyarakat dapat mengerjakannya. Perebusan yang dilakukan bertujuan untuk mencairkan resin yang terdapat di buah rotan jernang. Menurut Suwardi et al. (2003), seluruh bagian buah menghasilkan jernang kecuali biji. Persentase resin yang dihasilkan dari bagian kulit sebesar 50,6% dan daging buah 49,4%. Cara perebusan dilakukan dengan menggunakan seluruh bagian buah kecuali biji. Cara perebusan menghasilkan resin tanpa kulit. Selama proses perebusan, jernang akan naik ke permukaan air rebusan. jernang dikumpulkan dalam cawan petri. Jernang tersebut dikeringkan kemudian dihaluskan dan digunakan dalam analisis sifat fisiko-kimia Rendemen jernang dengan cara perebusan Sebelum menghitung rendemen resin yang dihasilkan dari pengolahan buah rotan jernang maka dilakukan pengukuran kadar air buah dahulu. Dalam penelitian ini, rendemen yang dihitung berdasarkan berat buah rotan jernang dalam keadaan Berat Kering Tanur (BKT) karena kadar air buah rotan jernang berbeda-beda. BKT diperoleh dari perhitungan setelah mengetahui kadar air buah rotan jernang yang digunakan untuk penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen jernang yang diekstraksi dari buah rotan jernang dengan cara masyarakat lebih besar dibandingkan dengan cara perebusan (Tabel 5). Rendemen rata-rata cara masyarakat sebesar 7,26%, sedangkan cara perebusan 1, 2 dan 3 jam berturut-turut sebesar 3,27%, 3,24% dan 3,10%. Rendemen jernang cara masyarakat yang dilakukan dalam penelitian ini tidak berbeda jauh dengan penelitian Waluyo (2008) yang mengekstrak jernang dengan cara penumbukan yaitu 7,42%. Tabel 5 Rendemen jernang hasil ekstraksi dengan cara masyarakat dan perebusan Rendemen (%) Ulangan Masyarakat Perebusan 1 jam Perebusan 2 jam Perebusan 3 jam 1 7,95 3,94 2,86 3,14 2 7,47 2,88 3,05 3,07 3 6,36 3,00 3,82 3,09 Rata-rata 7,26 3,27 3,24 3,10 Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan ekstraksi jernang dengan cara masyarakat dan cara perebusan (1, 2 dan 3 jam) mempengaruhi secara nyata rendemen jernang yang dihasilkan. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil analisis ragam yang menunjukkan F hit (34,72) > F tabel (4,76) yang berarti

47 33 H 1 diterima yaitu perlakuan cara masyarakat dan perebusan mempengaruhi secara nyata rendemen yang dihasilkan sehingga H 0 ditolak (Tabel 6). Tabel 6 Analisis ragam rendemen jernang Sumber ragam Db KT JK F hitung F (5%) Perlakuan 3 37,04 12,35 34,72 *) 4,76 Galat 6 2,13 0,36 Total 11 39,56 Keterangan: *) = nyata pada taraf α 5% Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa cara masyarakat menghasilkan rendemen yang berbeda nyata dengan cara perebusan, namun lama waktu perebusan tidak mempengaruhi rendemennya, dimana perebusan 1, 2 dan 3 jam tidak menghasilkan rendemen yang berbeda nyata (Tabel 7). Rendemen jernang cara masyarakat lebih besar dibandingkan cara perebusan. Hal ini diduga karena jernang dari cara masyarakat mengandung kotoran yang lebih banyak. Hal ini dibuktikan dari kadar kotorannya, dimana kadar kotoran jernang yang diekstrak dengan cara masyarakat adalah 32,16%, sedangkan jernang yang dihasilkan dari cara perebusan adalah 11,57 12,03% (Tabel 13). Menurut Waluyo (2008), ekstraksi jernang cara masyarakat kemungkinan besar bagian kulit buah ikut serta, bahkan bila terlalu kuat menumbuk buah rotan jernang akan pecah sehingga jernang bercampur dengan buah rotan jernang yang hancur. Tabel 7 Hasil uji Duncan pengaruh perlakuan terhadap rendemen jernang Perlakuan Rata-rata rendemen BKT Masyarakat 7,26 b Perebusan 1 jam 3,27 a Perebusan 2 jam 3,24 a Perebusan 3 jam 3,10 a Keterangan: Huruf a dan a berarti tidak berbeda nyata, sedangkan huruf a dan b berarti berbeda nyata terhadap rendemen pada taraf α 5%. Lama perebusan 1 jam menghasilkan rendemen yang tidak berbeda nyata dengan perebusan 2 dan 3 jam. Untuk itu, bila mempertimbangkan waktu dan biaya perebusan, maka perebusan yang dipilih adalah perebusan selama 1 jam. Namun, cara perebusan ini menghasilkan rendemen jernang yang lebih rendah dari yang diharapkan. Hal ini diduga karena dalam proses perebusan resin banyak yang menempel di dinding gelas piala dan pembatas yang terbuat dari saringan kawat nyamuk sehingga resin yang diambil tidak optimal walaupun sebagian besar resin naik ke permukaan air rebusan. Untuk itu perlu dikembangkan alat perebusan yang dapat meningkatkan rendemen jernang.

48 Analisis sifat fisiko-kimia jernang 1. Kadar air Kadar air yang diperoleh pada perlakuan 1, 2 dan 3 jam berturut-turut sebesar 3,64 %, 3,34 % dan 3,48 %, sedangkan cara masyarakat menghasilkan kadar air sebesar 3,48 % (Tabel 8). Tabel 8 Rata-rata kadar air jernang Perlakuan Rata-rata Kadar air Masyarakat 3,48 Perebusan 1 jam 3,64 Perebusan 2 jam 3,34 Perebusan 3 jam 3,48 Hasil analisis ragam (Tabel 9) menunjukkan bahwa perlakuan cara masyarakat dan cara perebusan (1, 2 dan 3 jam) tidak mempengaruhi secara nyata kadar air jernang yang dihasilkan. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil analisis ragam yang menunjukkan F hit (0,27) < F tabel (4,76) yang berarti H 0 diterima yaitu perlakuan cara masyarakat dan perebusan tidak mempengaruhi secara nyata kadar air jernang sehingga H 1 ditolak. Tabel 9 Analisis ragam kadar air jernang Sumber ragam db KT JK F hitung F (5%) Perlakuan 3 0,13 0,04 0,27tn 4,76 Galat 6 0,99 0,17 Total 11 1,44 Keterangan: tn = tidak nyata pada taraf α 5% Kadar air yang dihasilkan dari cara masyarakat dan cara perebusan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Waktu perebusan 1, 2 dan 3 jam tidak menunjukkan kecenderungan makin meningkat atau menurun. Namun, secara keseluruhan kadar air yang diperoleh dari hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan kadar air jernang hasil penelitian Waluyo (2008) dengan cara masyarakat yaitu melalui penumbukan buah rotan jernang yaitu sebesar 4,4%. Berdasarkan standar SNI jernang (2010), kadar air maksimal untuk mutu super adalah 6% (Tabel 2). Kadar air kedua perlakuan termasuk mutu super. Rendahnya Kadar air menunjukkan bahan jernang tersebut dapat disimpan dalam jangka waktu lama. 2. Kadar resin Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan cara masyarakat dan cara perebusan (1, 2 dan 3 jam) mempengaruhi secara nyata kadar resin jernang

49 35 yang dihasilkan. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil analisis ragam yang menunjukkan F hit (317,409) > F tabel (4,76) yang berarti H 1 diterima yaitu perlakuan cara masyarakat dan perebusan mempengaruhi secara nyata kadar resin jernang sehingga H 0 ditolak. Tabel 10 Analisis ragam kadar resin jernang Sumber ragam db KT JK F hitung F (5%) Perlakuan 3 731,58 243,86 317,41*) 4,76 Galat 6 4,61 0,77 Total ,88 Keterangan: *) = nyata pada taraf α 5% Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa cara masyarakat menghasilkan kadar resin yang berbeda nyata dengan cara perebusan, namun lama waktu perebusan tidak mempengaruhi kadar resinnya, dimana perebusan 1, 2 dan 3 jam tidak menghasilkan kadar resin yang berbeda nyata (Tabel 11). Perebusan 1, 2 dan 3 jam berturut-turut menghasilkan kadar resin sebesar 81,83%, 81,21% dan 80,91%, sedangan cara masyarakat menghasilkan kadar resin sebesar 63,30%. Tabel 11 Hasil uji Duncan pengaruh perlakuan terhadap kadar resin jernang Perlakuan Rata-rata Kadar resin Masyarakat 63,30 b Perebusan 1 jam 81,83 a Perebusan 2 jam 81,21 a Perebusan 3 jam 80,91 a Keterangan: Huruf a dan a berarti tidak berbeda nyata, huruf a dan b berarti berbeda nyata terhadap kadar kotoran pada taraf nyata α 5%. Waktu perebusan tidak menghasilkan kadar resin yang berbeda nyata. Namun, terdapat kecenderungan perebusan 1 jam menghasilkan kadar resin terbesar sedangkan 2 dan 3 jam menghasilkan kadar resin yang semakin rendah. Hal ini diduga karena lamanya waktu perebusan menyebabkan hancunya partikel padat baik yang terlihat oleh mata maupun tidak ikut naik kepermukaan air rebusan sehingga resin yang terkandung dalam jernang akan lebih sedikit pada waktu 2 dan 3 jam. Cara masyarakat menghasilkan kadar resin yang lebih rendah dibandingkan cara perebusan. Hal ini diduga karena cara masyarakat banyak mengandung pengotor (kulit), sedangkan cara perebusan menghasilkan jernang tanpa kulit. Menurut Waluyo (2008), resin cara masyarakat merupakan hasil pencampuran dengan kulit buah. Berdasarkan standar SNI jernang (2010), kadar resin cara masyarakat termasuk mutu A dan cara perebusan baik 1, 2 dan 3 jam termasuk mutu super.

50 36 3. Kadar kotoran Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan cara masyarakat dan cara perebusan (1, 2 dan 3 jam) mempengaruhi secara nyata kadar kotoran jernang yang dihasilkan. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil analisis ragam yang menunjukkan F hit (532,54) > F tabel (4,76) yang berarti H 1 diterima yaitu perlakuan cara masyarakat dan perebusan mempengaruhi secara nyata kadar kotoran jernang sehingga H 0 ditolak. Tabel 12 Analisis ragam kadar kotoran jernang Sumber ragam Db KT JK F hitung F (5%) Perlakuan 3 938,17 312,72 532,54 *) 4,76 Galat 6 3,52 0,59 Total ,55 Keterangan : *) = nyata pada taraf α 5% Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa cara masyarakat menghasilkan kadar kotoran yang berbeda nyata dengan cara perebusan, namun lama waktu perebusan tidak mempengaruhi kadar kotorannya, dimana perebusan 1, 2 dan 3 jam tidak menghasilkan kadar kotoran yang berbeda nyata (Tabel 13). Perebusan 1, 2 dan 3 jam berturut-turut menghasilkan kadar kotoran sebesar 11,57%, 11,63% dan 12,03%, sedangan cara masyarakat menghasilkan kadar kotoran sebesar 32,16%. Berdasarkan standar SNI jernang (2010), kadar kotoran untuk cara masyarakat termasuk ke dalam mutu A, sedangkan cara perebusan baik 1, 2 dan 3 jam termasuk ke dalam mutu super. Tabel 13 Hasil uji Duncan pengaruh perlakuan terhadap kadar kotoran jernang Perlakuan Rata-rata Kadar kotoran Masyarakat 32,16 b Perebusan 1 jam 11,57 a Perebusan 2 jam 11,63 a Perebusan 3 jam 12,03 a Keterangan: Huruf a dan a berarti tidak berbeda nyata, huruf a dan b berarti berbeda nyata terhadap kadar kotoran pada taraf nyata α 5%. Tingginya kadar kotoran yang dihasilkan masyarakat diduga karena cara masyarakat terdapat campuran antara kulit dan jernang, sedangkan cara perebusan menghindari tercampurnya jernang dengan kulit buah. Jernang cara masyarakat merupakan hasil pencampuran dengan kulit buah yaitu ekstraksi yang dilakukan dengan cara menumbuk buah rotan jernang dan kemungkinan besar bagian kulit ikut serta, bahkan bila terlalu kuat menumbuk buah rotan jernang akan pecah sehingga jernang bercampur dengan buah rotan jernang yang hancur (Waluyo 2008).

51 37 Waktu perebusan tidak menghasilkan kadar kotoran yang berbeda nyata. Namun, terdapat kecenderungan perebusan 1 jam menghasilkan kadar kotoran terendah sedangkan 2 dan 3 jam menghasilkan kadar kotoran yang semakin tinggi. Hal ini diduga karena lama perebusan akan menghancurkan partikel-partikel padat yang bercampur dalam jernang baik berupa debu atau kotoran lainnya baik yang terlihat maupun tidak terlihat oleh mata. Kotoran yang tidak terlihat oleh mata dapat berasal dari buah rotan jernang, air dan alat yang digunakan. Diduga pada saat jernang naik kepermukaan air rebusan, kotoran yang hancur pun ikut naik. Cara perebusan menghasilkan kadar kotoran paling rendah pada waktu 1 jam sehingga waktu yang paling optimum dalam menghasilkan kadar kotoran jernang adalah 1 jam. 4. Kadar abu Kadar abu yang diperoleh pada perlakuan 1, 2 dan 3 jam berturut-turut sebesar 1,12%, 1,52% dan 1,59%, sedangkan hasil masyarakat sebesar 1,83% (Tabel 14). Tabel 14 Rata-rata kadar abu jernang Perlakuan Rata-rata Kadar abu Masyarakat 1,83 Perebusan 1 jam 1,12 Perebusan 2 jam 1,52 Perebusan 3 jam 1,59 Hasil analisis ragam (Tabel 15) menunjukkan bahwa perbedaan ekstraksi jernang dengan cara masyarakat dan cara perebusan (1, 2 dan 3 jam) tidak mempengaruhi secara nyata kadar abu jernang yang dihasilkan. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil analisis ragam yang menunjukkan F hit (3,08) < F tabel (4,76) yang berarti H 0 diterima yaitu perlakuan cara masyarakat dan perebusan tidak mempengaruhi secara nyata kadar abu jernang sehingga H 1 ditolak. Tabel 15 Analisis ragam kadar abu jernang Sumber ragam Db KT JK F hitung F (5%) Perlakuan 3 0,80 0,27 3,08 tn 4,76 Galat 6 0,52 0,86 Total 11 1,32 Keterangan: tn = tidak nyata pada taraf α 5% Meskipun secara statistika, kadar abu jernang yang diekstrak dengan cara masyarakat tidak berbeda nyata dengan cara perebusan, namun kadar abu jernang yang dihasilkan dengan cara masyarakat lebih tinggi. Hal ini diduga karena cara

52 38 masyarakat terdapat campuran kulit, sedangkan cara perebusan menghindari tercampurnya jernang dengan kulit buah. Menurut Waluyo (2008), Kadar abu berkorelasi positif dengan kadar kotoran, dimana semakin tinggi kadar kotoran maka semakin tinggi pula kadar abunya. Hal ini dapat dilihat dari persentase kadar abu dan kadar kotoran dari cara masyarakat yang lebih tinggi dibandingkan cara perebusan. Begitu pula dengan lama waktu perebusan, dapat terlihat bahwa perebusan 1 jam menghasilkan kadar abu yang paling rendah. Menurut Waluyo (2008), abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Penentuan kadar abu berhubungan erat dengan kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan, kemurnian serta kebersihan suatu bahan yang dihasilkan. Semakin tinggi kadar abu maka jernang tersebut kurang bersih dalam pengolahannya, yaitu masih mengandung kulit. Kadar abu masyarakat yang dikerjakan dengan cara penumbukan menghasilkan kadar abu sebesar 2,8%. Bila dibandingkan dengan hasil penelitian maka kadar abu hasil masyarakat yang diteliti lebih rendah (Tabel 15). Berdasarkan standar SNI jernang (2010), kadar abu perlakuan cara masyarakat dan cara perebusan termasuk ke dalam mutu super. 5. Titik leleh Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan cara masyarakat dan cara perebusan (1, 2 dan 3 jam) mempengaruhi secara nyata titik leleh jernang yang dihasilkan. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil analisis ragam yang menunjukkan F hit (20,06) > F tabel (4,76) yang berarti H 1 diterima yaitu perlakuan cara masyarakat dan perebusan mempengaruhi secara nyata titik leleh jernang sehingga H 1 ditolak. Tabel 16 Analisis ragam titik leleh jernang Sumber ragam Db KT JK F hitung F (5%) Perlakuan 3 396,25 132,08 20,06 *) 4,76 Galat 6 39,50 6,58 Total ,92 Keterangan: *) = nyata pada taraf α 5% Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa cara masyarakat menghasilkan titik leleh yang berbeda nyata dengan cara perebusan, namun lama waktu perebusan tidak mempengaruhi titik lelehnya, dimana perebusan 1, 2 dan 3 jam tidak menghasilkan titik leleh yang berbeda nyata (Tabel 13). Perebusan 1, 2 dan 3 jam berturut-turut menghasilkan titik leleh sebesar 11,57%, 11,63% dan 12,03%,

53 39 sedangkan jernang hasil masyarakat sebesar 96 C. Berdasarkan standar SNI jernang (2010), secara umum kedua perlakuan termasuk ke dalam mutu super. Tabel 17 Hasil uji Duncan pengaruh perlakuan terhadap titik leleh jernang Perlakuan Rata-rata titik leleh Masyarakat 96,00 b Perebusan 1 jam 82,00 a Perebusan 2 jam 83,00 a Perebusan 3 jam 83,33 a Keterangan: Huruf a dan a berarti tidak berbeda nyata, sedangkan huruf a dan b berarti berbeda nyata terhadap titik leleh pada taraf nyata α 5%. Cara masyarakat menghasilkan kadar kotoran lebih besar dibandingkan dengan cara perebusan, sehingga titik leleh yang dihasilkan juga lebih besar. Hal ini terjadi karena kulit banyak yang bercampur dengan jernang hasil cara masyarakat. Hasil penelitian Waluyo (2008), titik leleh jernang yang dihasilkan dari proses penumbukkan sebesar 105 C, sedangkan jernang yang dihasilkan dari proses pengguncangan sebesar 80 C. Apabila dilihat dari titik leleh jernang yang dihasilkan dari proses penumbukan hasil penelitian Waluyo (2008) sedikit lebih tinggi dibandingkan hasil peneliti yaitu 96 C. Selain itu, titik leleh jernang berkorelasi positif dengan kadar kotoran. 6. Penentuan warna Penentuan warna ditentukan dengan cara meletakkan serbuk jernang yang telah dilarutkan dengan etanol di atas kertas putih. Secara visual warna jernang tidak ada perbedaan antara hasil cara perebusan dan cara masyarakat, seluruhnya menunjukkan warna merah tua. Kedua perlakuan tidak mempengaruhi pembentukan warna dari jernang tersebut. Berdasarkan SNI jernang (2010), jernang yang berwarna mereah tua termasuk ke dalam mutu super, sehingga jernang dari kedua perlakuan tersebut termasuk mutu super. Merah tua adalah warna yang paling baik, sedangkan warna yang pudar menurunkan mutu jernang. Dengan demikian jernang merupakan bahan yang cocok untuk dijadikan pewarna alami, karena perbedaan perlakuan tidak menunjukkan perbedaan warna yang dihasilkan. Menurut Winarni et al. (2005), jernang dengan mutu yang baik harus jernih dan bila ditumbuk akan memperoleh bubuk berwarna merah tembaga yang larut dalam spirtus dengan warna yang terang. Menurut Risna (2006), resin dari Daemonorops draco (Willd.) Blume dikenal sebagai sumber vernis untuk

54 40 mewarnai biola, selain digunakan untuk pewarna digunakan pula untuk obat seperti obat luka dan bahan campuran cairan antiseptik (obat merah). Dibawah ini merupakan data rekapitulasi pengujian mutu jernang. Tabel 18 Rekapitulasi rata-rata pengujian mutu sifat fisiko-kimia jernang Persyaratan Perebusan No Jenis uji Mutu Mutu Mutu Masyarakat super A B 1 jam 2 jam 3 jam 1 Kadar resin (%) Min 80 Min 60 Min 25 63,30(A) 81,83 (MS) 81,21 (MS) 80,91(MS) 2 Kadar air (%) Maks 6 Maks 8 Maks 10 3,48 (MS) 3,64 (MS) 3,34 (MS) 3,48 (MS) 3 Kadar kotoran (%) Maks.14 Maks 39 Maks 50 32,16 (A) 11,57 (MS) 11,63(MS) 12,03(MS) 4 Kadar abu (%) Maks 4 Maks 8 Maks 20 1,83(MS) 1,12 (MS) 1,52 (MS) 1,59 (MS) 5 Titik leleh ( C) Min 80 Min 80-96,00 (MS) 82,00 (MS) 83,00 (MS) 83,33 (MS) 6 Warna Merah tua Merah muda Merah pudar Merah tua (MS) Merah tua (MS) Merah tua (MS) Merah tua (MS) Sumber: SNI jernang 2010 Pengujian sifat fisiko-kimia jernang bertujuan untuk mengetahui mutu jernang. Berdasarkan standar SNI jernang (2010), dari Tabel 18 dapat dilihat bahwa dari enam komponen yang diuji empat diantaranya jernang hasil masyarakat termasuk ke dalam mutu super kecuali kadar kotoran dan kadar resin termasuk mutu A. Secara keseluruhan jernang hasil cara perebusan termasuk mutu super yaitu pada kadar resin, kadar kotoran, kadar air, kadar abu, titik leleh dan warna. Apabila dilihat dari Tabel 18, terlihat bahwa waktu optimum yang dihasilkan adalah perebusan 1 jam karena kadar kotoran yang dihasilkan paling sedikit, sedangkan kadar resin dan rendemen (Tabel 5) yang dihasilkan pada waktu 1 jam paling besar dibandingkan 2 dan 3 jam. Pada umumnya dalam dunia perdagangan, karakteristik jernang yang ditekankan dalam penentuan mutu jernang adalah pada kadar kotoran dan kadar resin.

55 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan a. Potensi jernang di Kabupaten Sarolangun terdapat di dua kecamatan yaitu di Kecamatan Air Hitam dan Pauh. Potensi di Kecamatan Air Hitam (Hutan alam) sebesar 1,08 kg/ha/th dan di Desa Lamban Sigatal (HTR) sebesar 180 kg/ha/th. Total potensi jernang di Kabupaten Sarolangun sebesar 226,66 ton/tahun. b. Pemanenan buah rotan jernang dilakukan dengan menggunakan galah dan alat pengait. Buah rotan jernang yang baik dipanen adalah buah yang tua tetapi belum terlalu masak dengan ciri berwarna cokelat kemerahan. c. Rendemen jernang hasil masyarakat (7,26%) lebih besar dibandingkan cara perebusan 1, 2 dan 3 jam (3,27%, 3,24% dan 3,10%). Berdasarkan SNI jernang (2010), pengujian sifat fisiko-kimia jernang hasil cara masyarakat termasuk mutu A sedangkan cara perebusan termasuk mutu super. 6.2 Saran a. Diperlukan modifikasi alat pemanenan agar buah rotan jernang yang dipanen tidak jatuh ke tanah karena dapat mengurangi produksi jernang yang akan diperoleh. b. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk memodifikasi cara perebusan agar dapat meningkatkan rendemen.

56 DAFTAR PUSTAKA Anonim Peta Jambi. [25 Desember 2010]. Arifin W Konservasi Hutan Dataran Rendah Melalui Budidaya Rotan Jernang. Warta Gita Buana 1:2-4. [ASTM] American Society for Testing and Material Methods of test for moisture content of wood. Philadelphia: ASTM D (ASTM Part 22) [BSN] Badan Standardisasi Nasional Resin Jernang. Jakarta: Standar Nasional Indonesia 1671:2010. hlm 1-7. [BSN] Badan Standardisasi Nasional Gondorukem. Jakarta: Standar Nasional Indonesia :2001. hlm Bursa Transmigrasi Potensi Calon Lokasi Transmigrasi Lamban Sigatal, Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. il.php. [25 November 2010]. [BPS] Badan Pusat Statistik Jambi Dalam angka. Jambi: Badan Pusat Statistik. [BPS] Badan Pusat Statistik Sarolangun Dalam Angka. Kabupaten Sarolangun: Badan Pusat Statistik. [BPS] Badan Pusat Statistik Jambi Dalam Angka. Jambi: Badan Pusat Statistik. [DISBUNHUT] Laporan Tahunan Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun. Dinas Perkebunan dan Kehutanan, Jambi. Gita Buana Peta Usulan Kawasan Kelola Jernang. Sarolangun. Jambi: Lembaga Swadaya Masyarakat. 1 lembar. Gita Buana Laporan Kegiatan PRA Lamban Sigatal. Dokumen Yayasan Gita Buana. Jambi: Lembaga Swadaya Masyarakat. Januminro Rotan Indonesia: Potensi, Budidaya, Pemanenan, Pengolahan, Standar Mutu dan Prospek Pengusahaan. Yogyakarta: Kanisius. Kalima T Beberapa Jenis Daemonorops Penghasil Jernang dan Permasalahannya. Sylva Tropika 6 (1):15-18.

57 Kholik A, Sugiharto S, Fauzi DI, Suprianto A, Suprayitno D Eksplorasi Biopeptisida dan Getah Jernang. Laporan Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan. hlm Purwanto Y, Polosakan R, Susiarti S, Walujo E Ekstraktivisme Jernang (Daemonorops spp) dan Kemungkinan Pengembangannya. Laporan Teknik. Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi-LIPI. Bogor. Rachman O, Jasni ROTAN: Sumberdaya, Sifat dan Pengolahannya. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Risna RA Dragon s blood (Daemonorops draco) Tumbuhan Obat Yang Menjanjikan Dari Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Warta Kebun Raya 6(1): Siswanto BE, Wahjono D Metode Inventarisasi Rotan di Kelompok Hutan Sungai Limun/Sungai Tembesi, Kesatuan Pemangkuan Hutan Sarko- Kerinci, Jambi. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 600: Sumarna Y Kemungkinan Budidaya Rotan di bawah Tegakan Tanaman Industri. Di dalam: Seminar Hasil Penelitian HTI. Prosiding Ekspose Hasil- Hasil Litbang Hasil Hutan. Bogor: 23 Maret Bogor: Pusat penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. hlm Sumarna Y Budidaya Rotan Penghasil Resin Jernang. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Sumarna Y Ekologi dan Teknik Perkecambahan dan Pembibitan Rotan Jernang Pulut (Daemonorops draco (Willd.) Blume). Jurnal Penelitian Hasil Hutan 6 (1):31-39 Suwardi SE, Zulnely, Yusnita E Peningkatan Efisiensi dan Teknik Isolasi Jernang. Laporan Hasil Penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. hlm Waluyo TK Teknik Ekstraksi Tradisional dan Analisis Sifat-Sifat Jernang Asal Jambi (Tradisional Extraction Technique and Analysis Of Properties Of Jambi Dragon s Blood). Jurnal Penelitian Hasil Hutan 26(1): Winarni I, Waluyo TK, Hastoeti P Sekilas Tentang Jernang Sebagai Komoditi yang Layak Dikembangkan. Di dalam: Penguatan Industri Kehutanan Melalui Peningkatan Efisiensi, Mutu dan Diversifikasi Produk Hasil Hutan. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Litbang Hasil Hutan. Bogor, 14 Desember Bogor: Pusat penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. hlm

58 LAMPIRAN

59 45 Lampiran 1 Dokumen penelitian a b c d e f g h i j k Keterangan: a : Buah rotan jernang b : Galah dan alat pengait c : Keranjang buah dan alat penumbuk d : Cara perebusan e : Air rebusan dan jernang f : Pengukuran kadar resin g : Pengukuran kadar kotoran h : Pengukuran titik leleh i : Pengukuran kadar abu j : Serbuk jernang k : Pengujian Warna jernang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 14 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Langkah Kerja Penelitian Studi literatur merupakan input dari penelitian ini. Langkah kerja peneliti yang akan dilakukan meliputi pengambilan data potensi, teknik pemanenan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Sesuai ketentuan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 23, disebutkan bahwa pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan bertujuan untuk

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 25 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Potensi Jernang Kabupaten Sarolangun memiliki sumber daya hutan yang cukup berpotensi untuk dimanfaatkan dan dikelola sehingga mewujudkan kehidupan masyarakatnya yang

Lebih terperinci

Potensi dan Pemanenan Buah Rotan Jernang

Potensi dan Pemanenan Buah Rotan Jernang JURNAL SILVIKULTUR TROPIKA Vol. 03 April 2012 Vol. 03 No. 01 April 2012, Hal. 65 70 Potensi dan Pemanenan Buah Rotan Jernang 65 ISSN: 2086-8227 Potensi dan Pemanenan Buah Rotan Jernang Potential and Harvesting

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Prosedur Penelitian Persiapan Bahan Baku

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Prosedur Penelitian Persiapan Bahan Baku BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan dari bulan April sampai dengan bulan November 2011 di Laboratorium Kimia Hasil Hutan dan Laboratorium Teknologi Peningkatan Mutu

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Rotan adalah salah satu jenis tumbuhan berbiji tunggal (monokotil) yang memiliki peranan ekonomi yang sangat penting (FAO 1997). Sampai saat ini rotan telah dimanfaatkan sebagai

Lebih terperinci

TEKNIK BUDIDAYA ROTAN PENGHASIL JERNANG

TEKNIK BUDIDAYA ROTAN PENGHASIL JERNANG TEKNIK BUDIDAYA ROTAN PENGHASIL JERNANG ASPEK : SILVIKULTUR Program : Pengelolaan Hutan Tanaman Judul RPI : Pengelolaan Hutan Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan Koordinator RPI : Dr. Tati Rostiwati Judul

Lebih terperinci

HHBK, Potensi Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan KUNJUNGAN DPRD BOALEMO KE KAMPUS BADAN LITBANG KEHUTANAN BOGOR, 3 JULI 2014

HHBK, Potensi Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan KUNJUNGAN DPRD BOALEMO KE KAMPUS BADAN LITBANG KEHUTANAN BOGOR, 3 JULI 2014 BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN KEMENTRIAN KEHUTANAN HHBK, Potensi Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan KUNJUNGAN DPRD BOALEMO KE KAMPUS BADAN LITBANG KEHUTANAN BOGOR, 3 JULI 2014 OUTLINE

Lebih terperinci

Agroindustri Jernang. Mahya Ihsan

Agroindustri Jernang. Mahya Ihsan Agroindustri Jernang Mahya Ihsan Deskripsi Umum Salah satu tanaman hasil hutan bukan kayu yang dimanfaatkan oleh masyarakat yaitu getah/resin jernang. Jernang merupakan resin yang terdapat pada daging

Lebih terperinci

Kadar air % a b x 100% Keterangan : a = bobot awal contoh (gram) b = bobot akhir contoh (gram) w1 w2 w. Kadar abu

Kadar air % a b x 100% Keterangan : a = bobot awal contoh (gram) b = bobot akhir contoh (gram) w1 w2 w. Kadar abu 40 Lampiran 1. Prosedur analisis proksimat 1. Kadar air (AOAC 1995, 950.46) Cawan kosong yang bersih dikeringkan dalam oven selama 2 jam dengan suhu 105 o C dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang.

Lebih terperinci

MATERI METODE. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan November 2014-Januari Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.

MATERI METODE. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan November 2014-Januari Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau. III. MATERI METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian telah dilaksanakan pada bulan November 2014-Januari 2015. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Pasca Panen dan Laboratorium Ilmu Nutrisi

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Penelitian ini telahdilakukan dilaboratorium Teknologi Pasca Panen

MATERI DAN METODE. Penelitian ini telahdilakukan dilaboratorium Teknologi Pasca Panen III. MATERI DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini telahdilakukan dilaboratorium Teknologi Pasca Panen Fapertapet UIN Suska Riau dan Laboratorium Uji Mutu Barang Dinas Perindustrian dan Perdagangan.Penelitian

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PE ELITIA

III. METODOLOGI PE ELITIA 10 III. METODOLOGI PE ELITIA 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di areal IUPHHK PT. DRT, Riau. Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan dua tahap, yaitu tahap pertama pengambilan

Lebih terperinci

III METODOLOGI PENELITIAN

III METODOLOGI PENELITIAN III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlokasi di areal KPH Balapulang Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Pelaksanaan penelitian

Lebih terperinci

PENGARUH TEMPAT TUMBUH DAN LAMA PENYULINGAN TERHADAP RENDEMEN MINYAK ATSIRI RAMBU ATAP

PENGARUH TEMPAT TUMBUH DAN LAMA PENYULINGAN TERHADAP RENDEMEN MINYAK ATSIRI RAMBU ATAP PENGARUH TEMPAT TUMBUH DAN LAMA PENYULINGAN TERHADAP RENDEMEN MINYAK ATSIRI RAMBU ATAP (Baeckea frustescens L) DENGAN PENYULINGAN METODE PEREBUSAN The Influence of Growing Site and duration distillation

Lebih terperinci

Lampiran 1 : Deskripsi Varietas Kedelai

Lampiran 1 : Deskripsi Varietas Kedelai Lampiran 1 : Deskripsi Varietas Kedelai VARIETAS ANJASMORO KABA SINABUNG No. Galur MANSURIAV395-49-4 MSC 9524-IV-C-7 MSC 9526-IV-C-4 Asal Seleksi massa dari populasi Silang ganda 16 tetua Silang ganda

Lebih terperinci

III. MATERI DAN METODE. dilakukan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Universitas Riau.

III. MATERI DAN METODE. dilakukan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Universitas Riau. III. MATERI DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai bulan Agustus 2014 bertempat di Labolaturium Teknologi Pascapanen (TPP) dan analisis Kimia dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik III. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik Negeri Lampung dan Laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

METODE. Materi. Rancangan

METODE. Materi. Rancangan METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2008, bertempat di laboratorium Pengolahan Pangan Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

Penetapan Kadar Sari

Penetapan Kadar Sari I. Tujuan Percobaan 1. Mengetahui cara penetapan kadar sari larut air dari simplisia. 2. Mengetahui cara penetapan kadar sari larut etanol dari simplisia. II. Prinsip Percobaan Penentuan kadar sari berdasarkan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE PENELITIAN

MATERI DAN METODE PENELITIAN III. MATERI DAN METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Juni 2014 di Laboratorium Teknologi Pasca Panen, Laboratorium Nutrisi dan Kimia serta Laboratorium Patologi,

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL JERAMI (STRAW) TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL RINO FARDIANTO

PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL JERAMI (STRAW) TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL RINO FARDIANTO PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL JERAMI (STRAW) TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL RINO FARDIANTO DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Manggis dengan nama latin Garcinia mangostana L. merupakan tanaman buah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Manggis dengan nama latin Garcinia mangostana L. merupakan tanaman buah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Manggis dan Syarat Tumbuh Manggis dengan nama latin Garcinia mangostana L. merupakan tanaman buah berupa pohon yang banyak tumbuh secara alami pada hutan tropis di kawasan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Buah Naga

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Buah Naga II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Buah Naga Buah naga ( Dragon Fruit) merupakan salah satu tanaman hortikultura yang baru dibudidayakan di Indonesia dengan warna buah merah yang menyala dan bersisik hijau

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Metode Pembuatan Petak Percobaan Penimbangan Dolomit Penanaman

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Metode Pembuatan Petak Percobaan Penimbangan Dolomit Penanaman MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan mulai akhir bulan Desember 2011-Mei 2012. Penanaman hijauan bertempat di kebun MT. Farm, Desa Tegal Waru. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI A. Alat dan Bahan A.1Alat yang digunakan : - Timbangan - Blender - Panci perebus - Baskom - Gelas takar plastik - Pengaduk -

BAB III METODOLOGI A. Alat dan Bahan A.1Alat yang digunakan : - Timbangan - Blender - Panci perebus - Baskom - Gelas takar plastik - Pengaduk - digilib.uns.ac.id BAB III METODOLOGI A. Alat dan Bahan A.1Alat yang digunakan : - Timbangan - Blender - Panci perebus - Baskom - Gelas takar plastik - Pengaduk - Kompor gas - Sendok - Cetakan plastik A.2Bahan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Februari 2017 dan

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Februari 2017 dan IV. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Tempat Percobaan Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Februari 2017 dan penelitian utama dilaksanakan bulan Maret Juni 2017 di Laboratorium Teknologi

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN BERBAGAI JENIS STIMULANSIA TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS

PENGARUH PEMBERIAN BERBAGAI JENIS STIMULANSIA TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS PENGARUH PEMBERIAN BERBAGAI JENIS STIMULANSIA TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS (Pinus merkusii Jung et de Vriese) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT NURKHAIRANI DEPARTEMEN HASIL

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Saninten (Castanopsis argentea Blume A.DC) Sifat Botani Pohon saninten memiliki tinggi hingga 35 40 m, kulit batang pohon berwarna hitam, kasar dan pecah-pecah dengan permukaan

Lebih terperinci

SNI Standar Nasional Indonesia. Lada hitam. Badan Standardisasi Nasional ICS

SNI Standar Nasional Indonesia. Lada hitam. Badan Standardisasi Nasional ICS SNI 01-0005-1995 Standar Nasional Indonesia Lada hitam ICS Badan Standardisasi Nasional i SNI 01 0005-1995 Daftar Isi 1. Ruang lingkup... 2 2. Acuan Normatif... 2 3. Istilah dan definisi... 2 4. Klasifikasi/penggolongan...

Lebih terperinci

Mulai. Dihaluskan bahan. Ditimbang bahan (I kg) Pemanasan alat sesuai dengan suhu yang ditentukan. Dioperasikan alat. Dimasukkan bahan dan dipress

Mulai. Dihaluskan bahan. Ditimbang bahan (I kg) Pemanasan alat sesuai dengan suhu yang ditentukan. Dioperasikan alat. Dimasukkan bahan dan dipress Lampiran 1. Flowchart pelaksanaan penelitian Mulai Dihaluskan bahan Ditimbang bahan (I kg) Pemanasan alat sesuai dengan suhu yang ditentukan Dioperasikan alat Dimasukkan bahan dan dipress Ditampung minyak

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. ALAT DAN BAHAN Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah jarak pagar varietas Lampung IP3 yang diperoleh dari kebun induk jarak pagar BALITRI Pakuwon, Sukabumi.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian

III. METODE PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2015 sampai bulan Januari 2016 di kebun salak Tapansari, Candibinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta. Luas

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan mulai dari Juni 2013 sampai dengan Agustus 2013.

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan mulai dari Juni 2013 sampai dengan Agustus 2013. 26 III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai dari Juni 2013 sampai dengan Agustus 2013. Sampel daun nenas diperoleh dari PT. Great Giant Pineapple,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai Desember 2012. Cangkang kijing lokal dibawa ke Laboratorium, kemudian analisis kadar air, protein,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PIKIRAN. Asam gelugur (Garcinia atroviridis Griff) berasal dari kawasan Asia yaitu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PIKIRAN. Asam gelugur (Garcinia atroviridis Griff) berasal dari kawasan Asia yaitu BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PIKIRAN 2.1. Tinjauan Pustaka Asam gelugur (Garcinia atroviridis Griff) berasal dari kawasan Asia yaitu semenanjung Malaysia, Thailand, Myanmar dan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Pakan dan Ilmu Tanah sebagai tempat pembuatan silase dan analisis fraksi serat di

MATERI DAN METODE. Pakan dan Ilmu Tanah sebagai tempat pembuatan silase dan analisis fraksi serat di III. MATERI DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan di Laboratorium Agrostologi, Industri Pakan dan Ilmu Tanah sebagai tempat pembuatan silase dan analisis fraksi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian kali ini terdiri dari bahan utama yaitu biji kesambi yang diperoleh dari bantuan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Mei 2013 di

MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Mei 2013 di III. MATERI DAN METODE 1.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Mei 2013 di Laboratorium Teknologi Pasca Panen, Laboratorium Nutrisi dan Kimia serta Laboratorium Patologi,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. pada masa yang akan datang akan mampu memberikan peran yang nyata dalam

TINJAUAN PUSTAKA. pada masa yang akan datang akan mampu memberikan peran yang nyata dalam TINJAUAN PUSTAKA Upaya pengembangan produksi minyak atsiri memang masih harus dipicu sebab komoditas ini memiliki peluang yang cukup potensial, tidak hanya di pasar luar negeri tetapi juga pasar dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Bagian buah dan biji jarak pagar.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Bagian buah dan biji jarak pagar. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Spesifikasi Biji Jarak Pagar Tanaman jarak (Jatropha curcas L.) dikenal sebagai jarak pagar. Menurut Hambali et al. (2007), tanaman jarak pagar dapat hidup dan berkembang dari dataran

Lebih terperinci

PENGARUH BERBAGAI PENUTUPAN TUMBUHAN BAWAH DAN ARAH SADAP TERHADAP PRODUKTIVITAS GETAH PINUS (Pinus merkusii) EVA DANIAWATI

PENGARUH BERBAGAI PENUTUPAN TUMBUHAN BAWAH DAN ARAH SADAP TERHADAP PRODUKTIVITAS GETAH PINUS (Pinus merkusii) EVA DANIAWATI PENGARUH BERBAGAI PENUTUPAN TUMBUHAN BAWAH DAN ARAH SADAP TERHADAP PRODUKTIVITAS GETAH PINUS (Pinus merkusii) EVA DANIAWATI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

Industri Kreatif berbasis Rotan

Industri Kreatif berbasis Rotan Industri Kreatif berbasis Rotan Nur Hidayat Pendahuluan Rotan sebagai tumbuhan liana hutan dikelompokan ke dalam jenis Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) cukup potensial. Sekitar 530 jenis rotan dunia, 316

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. keputih-putihan atau kekuning-kuningan serta kehitam-hitaman. Batang tanaman

TINJAUAN PUSTAKA. keputih-putihan atau kekuning-kuningan serta kehitam-hitaman. Batang tanaman TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Rotan Akar tanaman rotan mempunyai sistem perakaran serabut, berwarna keputih-putihan atau kekuning-kuningan serta kehitam-hitaman. Batang tanaman rotan berbentuk memanjang dan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Daging Domba Daging domba yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging domba bagian otot Longissimus thoracis et lumborum.

MATERI DAN METODE. Daging Domba Daging domba yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging domba bagian otot Longissimus thoracis et lumborum. MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-November 2011. Pemeliharaan ternak prapemotongan dilakukan di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Buah mangga yang digunakan untuk bahan penelitian langsung diambil dari salah satu sentra produksi mangga, yaitu di daerah Indramayu, Kecamatan Jatibarang.

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di net house Gunung Batu, Bogor. Analisis tanah dilaksanakan di Laboratorium Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan 20 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung dan Laboratorium Politeknik

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji karet, dan bahan pembantu berupa metanol, HCl dan NaOH teknis. Selain bahan-bahan di atas,

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Rendemen Cookies Ubi Jalar Ungu. 1. Penentuan Nilai Rendemen (Muchtadi dan Sugiyono, 1992) :

Lampiran 1. Prosedur Analisis Rendemen Cookies Ubi Jalar Ungu. 1. Penentuan Nilai Rendemen (Muchtadi dan Sugiyono, 1992) : Lampiran 1. Prosedur Analisis Rendemen Cookies Ubi Jalar Ungu 1. Penentuan Nilai Rendemen (Muchtadi dan Sugiyono, 1992) : Rendemen merupakan persentase perbandingan antara berat produk yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Maret - April 2015 bertempat di

MATERI DAN METODE. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Maret - April 2015 bertempat di III. MATERI DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Maret - April 2015 bertempat di Laboratorium Teknologi Pascapanen dan Laboratorium Ilmu Nutrisi dan

Lebih terperinci

K O P A L SNI

K O P A L SNI K O P A L SNI 01-5009.10-2001 1. Ruang lingkup Standar ini menetapkan istilah dan definisi, klasifikasi mutu, syarat mutu, cara uji, pengemasan dan penandaan Kopal, sebagai pedoman pengujian Kopal yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit 3 TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit Kelapa sawit adalah tanaman perkebunan berupa pohon batang lurus dari famili Palmae yang berasal dari Afrika. Kelapa sawit pertama kali diintroduksi ke Indonesia

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Lampiran 1. Prosedur Analisis Serat Kasar dengan Metode Analisis. 1. Menyiapkan kertas saring kering oven dengan diameter 4,5 cm, dicatat

LAMPIRAN. Lampiran 1. Prosedur Analisis Serat Kasar dengan Metode Analisis. 1. Menyiapkan kertas saring kering oven dengan diameter 4,5 cm, dicatat LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisis Serat Kasar dengan Metode Analisis Proksimat 1. Menyiapkan kertas saring kering oven dengan diameter 4,5 cm, dicatat sebagai A gram. 2. Menyiapkan cawan porselen

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA

PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 15 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca dan laboratorium silvikultur Institut Pertanian Bogor serta laboratorium Balai Penelitian Teknologi

Lebih terperinci

METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan a. Bahan Baku b. Bahan kimia 2. Alat B. METODE PENELITIAN 1. Pembuatan Biodiesel

METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan a. Bahan Baku b. Bahan kimia 2. Alat B. METODE PENELITIAN 1. Pembuatan Biodiesel METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan a. Bahan Baku Bahan baku yang digunakan untuk penelitian ini adalah gliserol kasar (crude glycerol) yang merupakan hasil samping dari pembuatan biodiesel. Adsorben

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyamplung Nyamplung memiliki sebaran yang luas di dunia, dari Afrika, India, Asia Tenggara, Australia Utara, dan lain-lain. Karakteristik pohon nyamplung bertajuk rimbun-menghijau

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 19 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian Limbah Pemanenan Kayu, Faktor Eksploitasi dan Karbon Tersimpan pada Limbah Pemanenan Kayu ini dilaksanakan di IUPHHK PT. Indexim

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Agustus hingga bulan Desember 2013 di Laboratorium Bioteknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 10 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan alam tropika di areal IUPHHK-HA PT Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat. Pelaksanaan penelitian dilakukan selama

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Deskripsi Tanaman Sukun (Artocarpus communis Frost) Dalam sistematika tumbuh-tumbuhan tanaman sukun dapat

TINJAUAN PUSTAKA. Deskripsi Tanaman Sukun (Artocarpus communis Frost) Dalam sistematika tumbuh-tumbuhan tanaman sukun dapat TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Tanaman Sukun (Artocarpus communis Frost) Dalam sistematika tumbuh-tumbuhan tanaman sukun dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Dephut, 1998): Kingdom : Plantae Divisio : Spematophyta

Lebih terperinci

TATA LAKSANA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu. Penelitian ini dilakukan di daerah Minggir, Sleman, Yogyakarta dan di

TATA LAKSANA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu. Penelitian ini dilakukan di daerah Minggir, Sleman, Yogyakarta dan di III. TATA LAKSANA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di daerah Minggir, Sleman, Yogyakarta dan di laboratorium fakultas pertanian UMY. Pengamatan pertumbuhan tanaman bawang merah dan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan tempat 3.2 Alat dan bahan 3.3 Pengumpulan Data

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan tempat 3.2 Alat dan bahan 3.3 Pengumpulan Data III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2008 di petak 37 f RPH Maribaya, BKPH Parungpanjang, KPH Bogor. Dan selanjutnya pengujian sampel dilakukan di Laboratorium Kimia

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE di Laboratorium Teknologi Pasca Panen, Ilmu Nutrisi dan Kimia Fakultas

MATERI DAN METODE di Laboratorium Teknologi Pasca Panen, Ilmu Nutrisi dan Kimia Fakultas III. MATERI DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini sudah dilaksanakan pada bulan Oktober sampai November 2014 di Laboratorium Teknologi Pasca Panen, Ilmu Nutrisi dan Kimia Fakultas Pertanian dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. ayam broiler berumur hari dengan bobot badan 1,0-1,3 kg. berasal dari pedagang sayur pasar Cileunyi.

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. ayam broiler berumur hari dengan bobot badan 1,0-1,3 kg. berasal dari pedagang sayur pasar Cileunyi. 1 III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1. Bahan dan Peralatan Penelitian 3.1.1. Bahan Penelitian 1. Karkas ayam broiler yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari ayam broiler berumur 23-28 hari dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Nabati Minyak nabati adalah senyawa minyak yang terbuat dari tumbuhan yang diperoleh melaui proses ekstraksi dan pengepressan mekanik. digunakan dalam makanan dan untuk

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3. 1. Waktu, Lokasi Pengambilan Tanah Gambut dan Tempat Penelitian Bahan gambut berasal dari Kabupaten Dumai, Bengkalis, Indragiri Hilir, Siak, dan Kampar, Provinsi Riau dari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN PENGOLAHAN NILAM 1

PENDAHULUAN PENGOLAHAN NILAM 1 PENDAHULUAN Minyak nilam berasal dari tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth) merupakan salah satu komoditi non migas yang belum dikenal secara meluas di Indonesia, tapi cukup popular di pasaran Internasional.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif yang didukung dengan studi pustaka.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif yang didukung dengan studi pustaka. BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif yang didukung dengan studi pustaka. B. Tempat dan waktu penelitian 1. Tempat penelitian Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) berasal dari Afrika dan termasuk famili Aracaceae (dahulu: Palmaceae). Tanaman kelapa sawit adalah tanaman monokotil

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kelapa Sawit 2.1.1 Sejarah Perkelapa Sawitan Mengenai daerah asal kelapa sawit terdapat beberapa pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa kalapa sawit berasal dari

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur analisis sifat fisikokimia minyak dan biodiesel. 1. Kadar Air (Metode Oven, SNI )

Lampiran 1. Prosedur analisis sifat fisikokimia minyak dan biodiesel. 1. Kadar Air (Metode Oven, SNI ) LAMPIRAN 39 Lampiran 1. Prosedur analisis sifat fisikokimia minyak dan biodiesel 1. Kadar Air (Metode Oven, SNI 01-3555-1998) Cawan aluminium dipanaskan di dalam oven pada suhu 105 o C selama 1 jam, kemudian

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. super merah dilaksanakan pada bulan Februari - Maret 2017, pengujian overrun,

BAB III MATERI DAN METODE. super merah dilaksanakan pada bulan Februari - Maret 2017, pengujian overrun, 15 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian pembuatan es krim dengan penambahan ekstrak kulit buah naga super merah dilaksanakan pada bulan Februari - Maret 2017, pengujian overrun, resistensi pelelehan, total

Lebih terperinci

SNI Standar Nasional Indonesia. Inti kelapa sawit. Badan Standardisasi Nasional ICS

SNI Standar Nasional Indonesia. Inti kelapa sawit. Badan Standardisasi Nasional ICS Standar Nasional Indonesia Inti kelapa sawit ICS 67.080.10 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i 1 Ruang lingkup... 1 2 Definisi... 1 3 Istilah... 1 4 Penggolongan... 1 5 Syarat mutu...1

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. TEMPAT DAN WAKTU Proses penggorengan keripik durian dengan mesin penggorengan vakum dilakukan di UKM Mekar Sari di Dusun Boleleu No. 18 Desa Sido Makmur Kecamatan Sipora Utara

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan 17 III. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Universitas Lampung dan Laboratorium

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2011 sampai bulan Mei 2011 bertempat

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2011 sampai bulan Mei 2011 bertempat 20 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2011 sampai bulan Mei 2011 bertempat di Laboratorium Rekayasa Bioproses dan Pasca Panen, Jurusan Teknik

Lebih terperinci

1 kg beras dicuci 3 kali dimasak dengan 2 liter air selama 25 menit

1 kg beras dicuci 3 kali dimasak dengan 2 liter air selama 25 menit Lampiran 1 DIAGRAM ALIR A. Pembuatan Kerupuk Puli 1 kg beras dicuci 3 kali dimasak dengan 2 liter air selama 25 menit Nasi dicampur bumbu (50 g bawang putih + 40 g garam + 20 g gula + 20 g merica + NaHCO

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Rancangan Percobaan dan Analisis Data

BAB III METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Rancangan Percobaan dan Analisis Data 12 BAB III METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Laboratorium Biokomposit dan Laboratorium Teknologi Peningkatan Mutu Kayu Departemen

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimen. Metode penelitian eksperimen merupakan metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Sifat-sifat Dasar dan Laboratorium Terpadu, Bagian Teknologi Peningkatan Mutu Kayu, Departemen Hasil

Lebih terperinci

III. MATERI DAN METODE. Pelaksanaan pembuatan silase dilakukan di Desa Tuah Karya Ujung Kecamatan

III. MATERI DAN METODE. Pelaksanaan pembuatan silase dilakukan di Desa Tuah Karya Ujung Kecamatan III. MATERI DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Februari 2015. Pelaksanaan pembuatan silase dilakukan di Desa Tuah Karya Ujung Kecamatan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Waktu penelitian dilaksanakan selama tiga bulan yaitu mulai dari bulan Maret hingga Mei 2011, bertempat di Laboratorium Pilot Plant PAU dan Laboratorium Teknik

Lebih terperinci

Curah Hujan (mm) Intensitas Penyinaran (cal/cm 2 )

Curah Hujan (mm) Intensitas Penyinaran (cal/cm 2 ) Bulan Lampiran 1. Data Iklim Wilayah Dramaga pada Bulan Februari hingga Mei 2011 Suhu Rata-rata ( o C) Curah Hujan (mm) Intensitas Penyinaran (cal/cm 2 ) Penguapan (mm) Kelembaban Udara (%) Februari 25.6

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan selama lima bulan dari bulan Mei hingga September 2011, bertempat di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Bengkel Teknologi Peningkatan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Tabel 1 Jenis-jenis pohon sebagai bahan penelitian. Asal Tempat Tumbuh. Nama Daerah Setempat

III. METODOLOGI. Tabel 1 Jenis-jenis pohon sebagai bahan penelitian. Asal Tempat Tumbuh. Nama Daerah Setempat III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini berlangsung dari bulan Pebruari hingga Juni 2009. Identifikasi herbarium dilakukan di Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam Bogor, sementara pengamatan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan selama bulan Mei hingga Agustus 2015 dan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan selama bulan Mei hingga Agustus 2015 dan III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan selama bulan Mei hingga Agustus 2015 dan dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian dan Laboratorium Kimia,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Bahan utama yang digunakan dalam penelitian adalah daging paha Ayam

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Bahan utama yang digunakan dalam penelitian adalah daging paha Ayam III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Bahan dan Peralatan Penelitian 3.1.1 Bahan Penelitian Bahan utama yang digunakan dalam penelitian adalah daging paha Ayam Sentul jantan berjumlah 18 ekor dan berumur

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. UIN Suska Riau yang terletak di Jl. HR. Soebrantas KM. 15 Panam, Pekanbaru,

III. BAHAN DAN METODE. UIN Suska Riau yang terletak di Jl. HR. Soebrantas KM. 15 Panam, Pekanbaru, III. BAHAN DAN METODE 3.1.Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di CV. Ravi Nursery, di Jl. Kubang Raya Kab. Kampar, dan di Laboratorium Patologi, Entomologi, dan Mikrobiologi (PEM) UIN Suska Riau

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisa Karakteristik Bumbu Pasta Ayam Goreng 1. Kadar Air (AOAC, 1995) Air yang dikeluarkan dari sampel dengan cara distilasi

Lampiran 1. Prosedur Analisa Karakteristik Bumbu Pasta Ayam Goreng 1. Kadar Air (AOAC, 1995) Air yang dikeluarkan dari sampel dengan cara distilasi Lampiran 1. Prosedur Analisa Karakteristik Bumbu Pasta Ayam Goreng 1. Kadar Air (AOAC, 1995) Air yang dikeluarkan dari sampel dengan cara distilasi azeotropik kontinyu dengan menggunakan pelarut non polar.

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK SIFAT ANATOMI DAN FISIS SMALL DIAMETER LOG SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) DAN GMELINA (Gmelina arborea Roxb.

KARAKTERISTIK SIFAT ANATOMI DAN FISIS SMALL DIAMETER LOG SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) DAN GMELINA (Gmelina arborea Roxb. KARAKTERISTIK SIFAT ANATOMI DAN FISIS SMALL DIAMETER LOG SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) DAN GMELINA (Gmelina arborea Roxb.) FARIKA DIAN NURALEXA DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

DAFTAR LAMPIRAN. No. Judul Halaman. 1. Pelaksanaan dan Hasil Percobaan Pendahuluan a. Ekstraksi pati ganyong... 66

DAFTAR LAMPIRAN. No. Judul Halaman. 1. Pelaksanaan dan Hasil Percobaan Pendahuluan a. Ekstraksi pati ganyong... 66 DAFTAR LAMPIRAN No. Judul Halaman 1. Pelaksanaan dan Hasil Percobaan Pendahuluan... 66 a. Ekstraksi pati ganyong... 66 b. Penentuan kisaran konsentrasi sorbitol untuk membuat edible film 68 c. Penentuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Taksonomi Dan Morfologi Tanaman Durian. Kingdom : Plantae ( tumbuh tumbuhan ) Divisi : Spermatophyta ( tumbuhan berbiji )

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Taksonomi Dan Morfologi Tanaman Durian. Kingdom : Plantae ( tumbuh tumbuhan ) Divisi : Spermatophyta ( tumbuhan berbiji ) BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Durian 1. Taksonomi Dan Morfologi Tanaman Durian Menurut Rahmat Rukmana ( 1996 ) klasifikasi tanaman durian adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae ( tumbuh tumbuhan ) Divisi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode eksperimen kuantitatif. Penelitian eksperimen adalah penelitian yang dilakukan untuk mengetahui akibat

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dantempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di UKM Mekar Sari di Dusun Boleleu No. 18 Desa Sidomakmur Kecamatan Sipora Utara Kabupaten Kepulauan Mentawai. Sementara

Lebih terperinci

I. BAHAN DAN METODE. dan Peternakan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau Pekanbaru,

I. BAHAN DAN METODE. dan Peternakan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau Pekanbaru, I. BAHAN DAN METODE 1.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan di lahan percobaan Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau Pekanbaru, pada bulan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN III. BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah umbi talas segar yang dibeli di Bogor (Pasar Gunung Batu, Jalan Perumahan Taman Yasmin, Pasar

Lebih terperinci

Oleh/By : Totok K. Waluyo ABSTRAK. Jernang adalah resin yang merupakan hasil sekresi buah rotan jernang

Oleh/By : Totok K. Waluyo ABSTRAK. Jernang adalah resin yang merupakan hasil sekresi buah rotan jernang TEKNIK EKSTRAKSI TRADISIONAL DAN ANALISIS SIFAT-SIFAT JERNANG ASAL JAMBI (Traditional Extraction Technique and Analysis on Properties of Jambi Dragon s Blood ) Oleh/By : Totok K. Waluyo ABSTRAK Jernang

Lebih terperinci