2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Ekor Kuning

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Ekor Kuning"

Transkripsi

1 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Ekor Kuning Ikan ekor kuning (Caesio cuning) atau redbelly yellowtail fusilier biasanya hanya dapat ditemukan di perairan tropis (31 LU - 22 LS dan 76 BT BT), perairan dengan hamparan terumbu karang merupakan habitat dari ikan ini. Distribusi ikan ekor kuning tersebar di daerah Indo-Pasifik barat dari Sri Lanka hingga Vanuatu serta selatan Jepang hingga utara Australia ( 2009). Gambar 1 Ikan ekor kuning. ( 2009) Klasifikasi ikan ekor kuning menurut Bloch (1791) adalah sebagai berikut ( 2009): Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Infraphylum : Gnathostomata Superclass : Osteichthyes Class : Actinopterygii Subclass : Actinopterygii Infraclass : Actinopteri Cohort : Clupeocephala Superorder : Acanthopterygii Order : Perciformes Suborder : Percoidei Family : Caesionidae Genus : Caesio Species : Caesio cuning

2 5 Ikan ekor kuning memiliki bentuk badan memanjang, melebar dan gepeng. Dua gigi taring pada rahang bawah dan yang halus pada langit-langit. Jari-jari keras 10 dan 15 jari-jari lemah pada sirip punggung. Tiga jari-jari keras dan 11 jari-jari lemah pada sirip dubur. Ikan ini memiliki sisik tipis dan terdapat pada garis rusuknya. Sisik-sisik kasar di bagian atas dan bawah garis rusuk serta tersusun horizontal, sisik pada kepala mulai dari mata. Menurut Allen et al. (2007), ikan ekor kuning dapat mencapai panjang hingga 50 cm. Ikan ekor kuning biasanya membentuk scooling yang besar dan dapat ditemui di kedalaman 1-60 meter. Makanan utama ikan ekor kuning merupakan zooplankton. Dari seluruh family caesionidae, spesies ini merupakan jenis yang paling toleran terhadap perairan yang keruh. 2.2 Definisi dan Klasifikasi Unit Penangkapan Muroami Definisi dan klasifikasi Menurut Subani dan Barus (1989), muroami berasal dari kata muro yang merupakan ikan jenis Carangidae dan ami yang berarti jaring. Muroami sendiri merupakan salah satu jenis alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan karang. Jika dilihat dari metode pengoperasiannya, muroami dapat digolongkan ke dalam drive-in-net atau alat tangkap dengan penggiring. Menurut Subani dan Barus (1989), drive-in-net adalah suatu usaha penangkapan yang dalam pengoperasiannya dilakukan sedemikian rupa dengan menggiring ikan target penangkapan agar masuk ke dalam jaring yang telah dipasang sebelumnya, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 2. Drive-in-net termasuk golongan alat penangkap ikan yang bersifat pasif. Arti pasif yang dimaksud bukanlah dikarenakan alat tangkap tersebut tidak bergerak atau statis, melainkan dilihat dari kerelaan ikan masuk ke dalam alat tangkap. Jika ikan secara sukarela masuk ke dalam alat tangkap, maka alat tangkap tersebut dikatakan bersifat pasif. Jika ikan tertangkap secara paksa atau ikan secara tidak sukarela masuk ke dalam alat tangkap, maka alat tangkap tersebut dapat dikatakan bersifat aktif (von Brandt 2005).

3 Alat tangkap Gambar 2 Muroami saat dioperasikan. ( 2003) Menurut Subani dan Barus (1989), satu unit alat tangkap muroami terdiri atas beberapa bagian, yaitu: 1) Bagian jaring, yang terdiri atas kaki panjang, kaki pendek dan kantong; 2) Pelampung, terdiri atas pelampung yang terdapat pada tali ris atas dan tali ris bawah. Di bagian tertentu pada tali ris atas, diikatkan pelampung-pelampung kecil yang merupakan pelampung tetap. Pelampung tetap juga dipasang pada bagian atas mulut kantong. Selain itu, di atas mulut kantong dipasang pelampung dari bola gelas dan bambu. Kedua pelampung ini hanya dipasang pada waktu operasi penangkapan berlangsung; 3) Pemberat, terbuat dari batu diletakkan pada bagian ris bawah dan pada bagian bawah mulut kantong. Selain itu, pada saat operasional alat di bagian depan kaki panjang dan kaki pendek dilengkapi dengan jangkar; 4) Penggiring atau scare line terbuat dari tali sepanjang ± 25 meter. Pada salah satu ujungnya diikatkan pelampung bambu, sedangkan pada ujung yang lainnya diikatkan alat yang menghasilkan bunyi-bunyian dari gelang-gelang besi. Pada sepanjang tali penggiring dilengkapi dengan daun-daun nyiur atau terkadang kain putih. Jumlah alat pengusir disesuaikan dengan jumlah orang yang bertugas sebagai penggiring.

4 Kapal Menurut Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, yang di maksud dengan kapal perikanan adalah adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian (eksplorasi) perikanan. Perahu atau kapal penangkapan ikan di laut dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori sebagai berikut (Direktorat Jendral Perikanan Tangkap 2002 diacu dalam Isnaini 2008): 1) Perahu tanpa motor, yaitu perahu yang tidak menggunakan tenaga mesin sebagai tenaga penggerak, tetapi menggunakan layar atau dayung untuk menggerakkan kapal. 2) Perahu motor tempel adalah perahu yang menggunakan mesin atau motor tempel sebagai tenaga penggerak yang diletakkan di bagian luar perahu, baik diletakkan di buritan maupun di sisi perahu. 3) Kapal motor, yaitu kapal yang menggunakan mesin sebagai tenaga penggerak yang diletakkan di dalam kapal. Operasi penangkapan ikan menggunakan muroami memerlukan 3-5 buah perahu. Sebuah perahu diantaranya diperuntukkan membawa kantong, dua perahu lainnya masing-masing untuk memuat sebuah sayap atau kaki jaring. Dua perahu sisanya digunakan untuk membawa atau mengantar tenaga-tenaga penggiring atau penghalau ikan (Subani dan Barus 1989) Nelayan Menurut Undang-undang nomor 45 tahun 2009 tentang perikanan, yang di maksud dengan nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Berdasarkan waktu yang dipergunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan, nelayan dapat diklasifikasikan menjadi (Direktorat Jendral Perikanan Tangkap 2002 diacu dalam Isnaini 2008): 1) Nelayan penuh, yaitu nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan. 2) Nelayan sambilan utama, yaitu nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan. Selain

5 8 nelayan sebagai pekerjaan utama, pada kategori ini nelayan tersebut juga mempuyai pekerjaan lain. 3) Nelayan sambilan tambahan, yaitu nelayan yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan, sedangkan sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan lain. Biasanya jumlah nelayan yang diperlukan dalam pengoperasian alat tangkap muroami bergantung pada ukuran alat tangkap tersebut. Pada umumnya berjumlah antara orang (Subani dan Barus 1989). 2.3 Metode Pengoperasian Muroami Menurut Subani dan Barus (1989), untuk pengoperasian muroami diperlukan sekitar 3-5 buah berahu, yaitu satu perahu bertugas membawa kantong, dua perahu untuk memuat masing-masing sayap atau kaki jaring dan perahu lainnya digunakan untuk membawa tenaga penggiring ikan ke tempat ikan berada. Tempat pengoperasian alat dilakukan diperairan karang dengan kedalaman meter dengan dasar yang tidak terlalu miring. Secara sederhana proses pengoperasian muroami memiliki tahap-tahap sebagai berikut (Subani dan Barus 1989): 1) Memperkirakan densitas kawanan ikan terlebih dahulu sebelum setting alat tangkap, dengan cara pengamatan langsung atau menyelam; 2) Mengetahui kecepatan dan arah arus untuk kelancaran operasional alat tangkap. Arus yang tidak terlalu kencang paling baik untuk pelaksanaan setting jaring; 3) Pemasangan jaring dilakukan sedemikian rupa, sehingga membentuk huruf V dan harus memperhatikan letak ujung depan kaki yang pendek berada di perairan yang lebih dangkal dimana karang berada, sedangkan ujung kaki yang panjang diletakkan di perairan yang lebih dalam; 4) Penggiringan ikan segera dilakukan setelah pemasangan kantong, yaitu dengan mengambil tempat antara ¼-⅓ dari bagian ujung kaki yang belakang.

6 9 2.4 Daerah Pengoperasian dan Ekosistem Terumbu Karang Muroami adalah alat tangkap yang di desain khusus untuk dapat beroperasi di perairan karang yang dasarnya tidak rata. Biasanya pengoperasian muroami dilakukan di perairan karang dengan kedalaman meter dan dasar perairan tidak terlalu miring (Subani dan Barus 1989). Terumbu karang diperkirakan meliputi minimal km 2 wilayah bumi kita. Di Indonesia, lebih dari 95% atau sekitar km 2 wilayah Indonesia dikelilingi oleh terumbu karang. Luas tersebut mewakili 18% dari total luas terumbu karang yang ada di dunia (Dahuri 2003). Menurut Moll dan Suharsono (1986) diacu dalam Dahuri (2003), di Kepulauan Seribu terdapat 193 jenis koral dari 56 genera yang telah teridentifikasi sampai tahun Menurut Dawes (1981) diacu dalam Supriharyono (2007), terumbu karang (coral reefs) merupakan kumpulan masyarakat (binatang) karang, yang hidup di dasar perairan dangkal berupa batuan kapur (CaCO 3 ) dan mempunyai kemampuan yang cukup kuat untuk menahan gaya gelombang laut. Binatang-binatang karang tersebut umumnya mempunyai kerangka kapur, demikian pula algae yang berasosiasi di ekosistem ini banyak diantaranya juga mengandung kapur. Ada dua tipe kelompok karang, yaitu karang hermatifik dan karang ahermatifik. Perbedaan kedua kelompok karang ini terletak pada kemampuan karang hermatifik dalam menghasilkan terumbu (reef) dan karang ahermatifik yang tidak dapat menghasilkan terumbu. Kemampuan menghasilkan terumbu ini disebabkan oleh adanya sel-sel tumbuhan yang bersimbiosis di dalam jaringan karang hermatifik, sel-sel tumbuhan ini dinamakan Zooxanthellae. Karang hermatifik hanya ditemukan di daerah tropis, sedangkan karang ahermatifik tersebar di seluruh dunia. Itulah yang menyebabkan terumbu karang hanya ditemukan di perairan tropis (Dahuri 2003). Berdasarkan hubungannya dengan daratan, terumbu karang di Indonesia diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok besar (Dahuri 2003), yaitu: 1) Terumbu tepi (fringing reef) adalah terumbu karang yang berada dekat dan sejajar dengan garis pantai. Di Indonesia luas terumbu tepi diperkirakan mencapai km 2.

7 10 2) Atol (atoll) adalah terumbu tepi yang berbentuk seperti cincin dan di tengahnya terdapat goba (danau) dengan kedalaman mencapai 45 meter. Perairan Indonesia memiliki luas atol diperkirakan mencapai km 2. 3) Terumbu penghalang (barrier reef), serupa dengan karang tepi, perbedaanya adalah pada terumbu karang penghalang jarak antara terumbu karang dengan garis pantai cukup jauh, dan umumnya dipisahkan oleh perairan yang dalam. Di Indonesia terumbu penghalang diperkirakan seluas km 2. Pertumbuhan dan distribusi suatu ekosistem terumbu karang bergantung pada beberapa parameter fisika, diantaranya kecerahan. Kebanyakan terumbu karang dapat berkembang dangan baik pada kedalaman 25 meter atau kurang, di lokasi yang intensitas cahaya mataharinya menembus perairan masih cukup untuk proses fotosintesis. Selain kecerahan, parameter lainnya yang menyokong pertumbuhan terumbu karang adalah temperatur dan salinitas, terumbu karang dapat tumbuh secara optimal pada kisaran suhu perairan rata-rata tahunan antara 25 dan 29 0 C dengan salinitas antara 30 sampai 35 ppt (Dahuri 2003). Hasil pengamatan para ahli menyebutkan bahwa kecepatan tumbuh terumbu karang berkisar antara 2 cm per tahun untuk brain corals yang massive dan sekitar 20 cm per tahun untuk karang ranting. Pada kondisi terganggunya lingkungan bisa menyebabkan kecepatan tumbuh karang menurun dan kegagalan mekanisme reproduksi, yang pada kondisi ekstrem dapat menyebabkan kematian seluruh koloni karang (Wibisono 2005). Laporan dari BPPT menyebutkan bahwa ± 61% dari luas areal terumbu karang di Indonesia saat ini dalam kondisi rusak, 15% di antaranya dalam kondisi sangat kritis. Berarti hanya sekitar 39% saja terumbu karang yang masih dalam keadaan baik (Wibisono 2005). Hal tersebut diperparah dengan tindakan nelayan yang menangkap ikan dengan menggunakan bom ikan maupun potassium. 2.5 Hasil Tangkapan Muroami Menurut Subani dan Barus (1989), hasil tangkapan utama muroami adalah berbagai jenis ikan karang, diantaranya adalah ekor kuning (Caesio cuning), pisang-pisang biru (Caesio caerulaurea), triger motor (Pterocaesio lativittata), Kakak tua nonong (Chlorurus microrhinus), samba biru (Caranx lugubris), kuwe

8 11 lilin (Carangoides gymnostethus), penjalu (Caesio coerulaureus), Pisang-pisang (Caesio chrysonortus), Sunglir (Elagatis bipinnulatus), Selar kuning (Caranx leptolepis), kuwe macan (Caranx spp). 2.6 Sumberdaya Ikan Karang Ikan karang merupakan ikan yang hidup di daerah terumbu karang sejak masa juvenil sampai dewasa (Sale 1991 diacu dalam Arami 2006). Perairan tropis dihuni oleh lebih banyak jenis ikan jika dibandingkan dengan daerah beriklim sedang, tetapi pada umumnya setiap jenis ikan jumlahnya sedikit (Romimohtarto dan Juwana 2005). Diperkirakan dari jenis ikan laut, jenis diantaranya hidup di perairan karang. Angka tersebut dapat mencerminkan secara langsung jumlah yang sangat besar dari habitat spesies yang dapat didukung oleh lingkungan terumbu karang (Suharti 2006). Menurut struktur trofik, ikan karang dapat dibedakan menjadi enam grup trofik, yaitu herbivora, omnivora, plankton feeders, pemakan crustacea dan ikan, piscivora dan pemakan lain-lain (Gladfelter and Gladfelter 1978 diacu dalam Lowe RH and McConnel 1987). Berdasarkan waktu aktivitasnya, ikan karang dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar (Suharti 2006), yaitu: 1) Diurnal, yaitu kelompok ikan yang aktif berinteraksi dan mencari makan pada siang hari. Kurang lebih 75% dari ikan yang hidup di perairan karang termasuk ikan yang bersifat diurnal. Sebagian dari ikan ini berwarna sangat menarik, contohnya adalah ikan cina-cina (Labridae), ikan betok (Pomacentridae), ikan nona manis (Serranidae), ikan kepe-kepe (Chaetodontidae), ikan enjil (Pomacanthidae), dan lain-lain. 2) Nocturnal, yaitu kelompok ikan yang aktif berinteraksi dan mencari makan pada malam hari. Sekitar 10% dari ikan karang bersifat nocturnal. Ikan yang bersifat nocturnal biasanya bersembunyi di celah-celah karang atau gua karang sepanjang siang hari dan akan muncul ke permukaan air untuk mencari makan pada malam hari. Contoh dari jenis ikan nocturnal adalah ikan beseng (Apogonidae), ikan swanggi (Holocentridae) dan lain-lain.

9 12 Berkaitan dengan migrasi atau perpindahan ikan karang, Mawardi (1998) mengelompokkan pergerakan ikan karang menjadi tiga macam, yaitu: 1) Pergerakan vertikal pada kolom air, merupakan tipikal ikan pemakan plankton (planktivorus fishes). Pergerakannya bertujuan mencari makan di kolom air dan istirahat pada terumbu karang. 2) Pergerakan antara struktur karang, biasanya ikan bergerak dari tempat istirahat ke tempat mencari makan pada bagian terumbu karang. Pada ikan tertentu waktu dan rute pergerakan ini dapat diperkirakan. 3) Pergerakan meninggalkan terumbu karang, biasanya adalah ikan yang tampak pada terumbu karang saat tidak aktif mencari makan dan pergi menjauh saat aktif mencari makan. Semua ikan dalam kelompok ini termasuk ikan yang bersifat nocturnal dan predator. Ikan karang pada umumnya hidup menetap atau relatif tidak berpindah dari habitat asalnya dan jarang berkeliaran jauh dari sumber makanan dan tempat berlindungnya. Hal tersebut dapat dikarenakan banyak ikan karang yang bersifat teritorial. Batas teritorialnya dapat didasarkan atas persediaan makanan, pola berkembang biak, banyaknya pemangsa, kebutuhan ruang atau lain sebagainya (Romimohtarto dan Juwana 2005). 2.7 Teknologi Penangkapan Ikan Berwawasan Lingkungan Teknologi penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan adalah suatu upaya terencana dalam menggunakan alat tangkap yang bertujuan untuk mengelola sumberdaya ikan secara berkesinambungan dalam meningkatkan kualitas hasil tangkapan tanpa mengganggu atau merusak kondisi habitat sumberdaya sekitar. Pengembangan teknologi penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan perlu diarahkan agar dapat menunjang pembangunan perikanan. Oleh karena itu, diperlukan adanya kriteria-kriteria teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan, serta pengawasan atas penerapan kriteria-kriteria tersebut di lapangan (Martasuganda 2002). Hal-hal penting yang harus diperhatikan agar dapat memenuhi kriteria teknologi penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan (Martasuganda 2002) antara lain adalah:

10 13 1) mengutamakan keselamatan awak kapal di atas segala-galanya, baik pada waktu operasi penangkapan ikan maupun dalam menangani hasil tangkapan; 2) melepaskan kembali hasil tangkapan yang belum layak tangkap pada habitat perairan yang dilindungi; 3) menjaga lingkungan sekitar di mana kita berada. Dalam mendukung teknologi penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan, diperlukan juga alat penangkap ikan yang ramah lingkungan. Alat tangkap ramah lingkungan merupakan jenis teknologi penangkapan ikan yang tidak merusak ekosistem dan layak untuk dikembangkan. Suatu alat tangkap dapat dikatakan ramah lingkungan apabila memenuhi sembilan kriteria, antara lain (Baskoro 2006): 1) Memiliki selektivitas yang tinggi; 2) Tidak merusak habitat ikan target penangkapan; 3) Menghasilkan ikan berkualitas tinggi; 4) Tidak membahayakan nelayan saat pengoperasian alat; 5) Hasil tangkapan aman dikonsumsi; 6) By-catch rendah; 7) Dampak ke biodiversity rendah; 8) Tidak membahayakan ikan yang dilindungi; 9) Diterima secara sosial. 2.8 Analisis Teknik Analisis teknik terhadap unit penangkapan muroami dilakukan untuk melihat hubungan faktor-faktor teknik yang mempengaruhi kelestarian alam, terutama terumbu karang dan sumber daya ikan karang, yaitu desain, konstruksi, metode penangkapan dan hasil tangkapan per upaya penangkapan (catch per unit effort) atau CPUE alat tangkap muroami. Penilaian aspek teknik dilakukan terhadap (Sparre and Venema 1999): 1) Komposisi hasil tangkapan per tahun; 2) Upaya penangkapan (effort); 3) Catch per unit effort (CPUE).

11 Analisis Biologi 1) Hubungan panjang-bobot Analisis hubungan panjang-bobot bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan dengan menggunakan parameter panjang dan bobot. Effendie (1997) menyatakan bahwa jika panjang dan bobot diplotkan dalam suatu gambar maka akan didapatkan persamaan W = al b (W = bobot, L = panjang, a dan b adalah suatu konstanta). Nilai b berfluktuasi antara 2,5 dan 4,0 tetapi kebanyakan mendekati 3,0 karena pertumbuhan mewakili peningkatan dalam tiga dimensi, sedangkan pengukuran panjang diambil dari satu dimensi. Nilai b yang merupakan konstanta adalah harga pangkat yang menunjukkan pola pertumbuhan ikan. Hubungan ini juga memungkinkan untuk membandingkan individu dalam satu populasi maupun antar populasi (Lagler et al. 1977). Nilai b = 3 menggambarkan pertumbuhan isometrik, yang akan mencirikan ikan mempunyai bentuk tubuh yang tidak berubah atau pertambahan panjang ikan seimbang dengan pertambahan bobotnya (Ricker 1975). Nilai b 3 menggambarkan pertumbuhan allometrik. Jika b < 3 menunjukkan keadaan ikan yang kurus dimana pertambahan panjang lebih cepat dari pertambahan bobotnya. Jika b > 3 menunjukkan pertumbuhan bobot lebih cepat dari pertumbuhan panjangnya (Effendie 1997). Hubungan panjang-bobot digambarkan dalam dua bentuk yaitu isometrik dan alometrik (Effendie 1997). Untuk kedua pola ini berlaku persamaan: Jika dilinearkan melalui transformasi logaritma, maka diperoleh persamaan: Untuk mendapatkan parameter a dan b, digunakan analisis regresi linier sederhana dengan Log W sebagai y dan Log L sebagai x. Untuk menguji nilai b = 3 atau b 3 dilakukan uji-t, dengan hipotesis : H 0 : b = 3, hubungan panjang dengan bobot adalah isometrik H 1 : b 3, hubungan panjang dengan bobot adalah allometrik

12 Analisis Bio-teknik Analisis bio-teknik digunakan untuk menduga stok atau potensi sumberdaya ikan, serta untuk mengetahui kondisi optimum dari tingkat upaya penangkapan. Metode yang digunakan adalah metode surplus produksi. Metode ini bertujuan untuk menentukan tingkat upaya optimum, yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan tangkapan maksimum yang lestari (maksimum suistainale yield) tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang. Hasil tangkapan maksimum lestari dilakukan dengan cara menganalisis hubungan antara upaya penangkapan (effort) dengan hasil tangkapan per upaya penangkapan (catch per unit effort) (Fauzi 2006). Perubahan stok ikan pada periode tertentu ditentukan oleh populasi pada awal periode. Jika pertumbuhan populasi ikan (x) pada periode t pada suatu daerah terbatas adalah fungsi dari jumlah awal populasi tersebut. Maka secara matematik, hubungan tersebut dapat dituliskan sebagai berikut (Fauzi 2006): atau dalam bentuk fungsi yang kontinyu ditulis sebagai: Fungsi pertumbuhan pada persamaan diatas disebut sebagai density dependent growth. Salah satu bentuk fungsi density dependent yang sederhana dan sering digunakan adalah model pertumbuhan logistik (logistic growth model). Fungsi logistik tersebut secara matematis ditulis sebagai berikut (Fauzi 2006): Keterangan: = laju pertumbuhan r = laju pertumbuhan intrinsik (intrinsic growth rate) x = stok ikan K = daya dukung lingkungan (carrying capacity) Gambar 3 memperlihatkan fungsi pertumbuhan logistik serta plot stok terhadap waktu beserta perilaku pencapaian ke arah daya dukung maksimum lingkungan. Pada kondisi keseimbangan (laju pertumbuhan sama dengan nol), tingkat populasi akan sama dengan daya dukung lingkungan. Sedangkan

13 16 pertumbuhan maksimum akan terjadi pada kondisi setengah dari daya dukung lingkungan tersebut (½ K). Tingkat ini disebut juga sebagai maximum sustainable yield (MSY). F(x) 0 ½ K K x Gambar 3 Kurva pertumbuhan logistik (Fauzi 2006) Kurva pertumbuhan ikan tersebut dibangun dengan asumsi perikanan tidak mengalami eksploitasi. Untuk mengeksploitasi ikan di suatu perairan dibutuhkan berbagai sarana yang merupakan faktor masukan. Faktor tersebut biasa disebut sebagai upaya atau effort dalam litelatur perikanan. Upaya (effort) adalah indeks dari berbagai input seperti tenaga kerja, kapal, alat tangkap dan lain sebagainya, yang diperlukan untuk suatu aktivitas penangkapan ikan. Sedangkan produksi (h) yang merupakan output dari upaya, dapat diasumsikan sebagai fungsi dari upaya (E) dan stok ikan (x). Secara matematis, hubungan fungsional tersebut ditulis sebagai berikut (Fauzi 2006): Keterangan: h = produksi q = koefisien kemampuan tangkap (catchability coefficient) x = stok ikan E = Upaya penangkapan (effort) Kegiatan penangkapan menyebabkan terjadinya pengurangan stok populasi ikan yang pada akhirnya merangsang populasi ikan untuk meningkatkan pertumbuhan, survival dan rekruitment. Pertumbuhan populasi tersebut merupakan selisih antara laju pertumbuhan biomassa dengan perolehan hasil

14 17 tangkapan. Dengan adanya aktivitas penangkapan atau produksi, persamaan (3) akan menjadi (Fauzi 2006): Pengaruh introduksi penangkapan ikan terhadap fungsi pertumbuhan biologi stok ikan dapat dilihat pada Gambar 4. Dari gambar tersebut terlihat beberapa hal yang menyangkut dampak dari aktivitas penangkapan terhadap stok. Pertama, saat tingkat upaya sebesar E 1 diberlakukan, maka akan diperoleh jumlah tangkapan sebesar h 1. Kemudian jika upaya dinaikkan sebesar E 2 (E 2 > E 1 ), hasil tangkapan akan meningkat sebesar h 2 (h 2 > h 1 ). Tetapi jika upaya terus dinaikkan, misalnya sebesar E 3 (E 3 > E 2 > E 1 ), akan terlihat bahwa untuk tingkat upaya di mana E 3 > E 2 ternyata tidak menghasilkan tangkapan yang lebih besar (h 3 < h 2 ). Dari Gambar 4 dapat disimpulkan bahwa eksploitasi tersebut tidak efisien secara ekonomi, karena tingkat produksi yang lebih sedikit harus dilakukan dengan tingkat upaya yang lebih besar. F(x) h = qxe 3 h = qxe 2 h 2 h = qxe 1 h 1 h 3 Gambar 4 Pengaruh aktivitas penangkapan terhadap stok (Fauzi 2006) x Menurut Fauzi (2006), Model Gordon-Schaefer dikembangkan berdasarkan produksi lestari di mana kurva pertumbuhan dalam kondisi keseimbangan jangka

15 18 panjang (long run equilibrium) atau. Dengan demikian, dalam kondisi keseimbangan, persamaan (5) berubah menjadi: Kemudian dengan mensubstitusikan persamaan (6) ke dalam persamaan (4) maka akan diperoleh fungsi tangkapan atau produksi lestari yang ditulis dalam bentuk persamaan: Dari Gambar 5 terlihat bahwa jika tidak ada aktivitas perikanan (effort = 0), maka produksi juga akan bernilai nol. Ketika upaya terus dinaikkan, pada titik E MSY akan diperoleh produksi yang maksimum. Produksi pada titik ini disebut sebagai titik maximum sustainable yield (MSY). Karena sifat dari kurva yieldeffort yang berbentuk kuadratik, peningkatan upaya yang terus-menerus setelah melewati titik E MSY tidak akan diiringi dengan peningkatan produksi. Produksi akan turun kembali, bahkan mencapai nol pada titik upaya maksimum (E max ). h(e) h MSY E MSY E max Gambar 5 Kurva produksi lestari-upaya (Yield-effort curve) (Fauzi 2006) Effort

16 19 Dengan membagi kedua sisi dari fungsi produksi lestari (persamaan 7) dengan effort (E), maka akan diperoleh persamaan berikut: jika nilai maka: Keterangan: U = catch per unit effort (CPUE) α = nilai intersep β = koefisien regresi E = upaya penangkapan (effort) nilai MSY diperoleh dengan menurunkan kurva yield-effort terhadap effort (E) atau : dengan mensubstitusikan persamaan (10) ke dalam persamaan (9), maka diperoleh: Stok ikan dalam keadaan keseimbangan (x MSY ) dapat dihitung dengan mensubstitusikan persamaan (10) ke dalam persamaan (6):

17 20 Menurut Fauzi (2006), model fungsi produksi lestari dari Schaefer memiliki kelemahan secara metodologi dan analisis, karena parameter r, q dan K tersembunyi dalam nilai α dan β. Oleh karena itu model Gordon-Schaefer perlu dimodifikasi dengan menggunakan teknik estimasi parameter biologi (r, q dan K) dengan menggunakan pendekatan model Algoritma Fox. Para meter biologi (r, q dan K) tersebut diperoleh dengan meregresikan persamaan berikut: dengan nilai x, y dan z dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:

KAJIAN BIO-TEKNIK PERIKANAN MUROAMI DI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU ANDIKA SEPTIAWAN

KAJIAN BIO-TEKNIK PERIKANAN MUROAMI DI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU ANDIKA SEPTIAWAN KAJIAN BIO-TEKNIK PERIKANAN MUROAMI DI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU ANDIKA SEPTIAWAN MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan 3.3 Metode Penelitian

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan 3.3 Metode Penelitian 21 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pengambilan dan pengumpulan data di lapangan dilakukan pada Bulan Maret sampai dengan April 2009. Penelitian dilakukan di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). 7 spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). Ikan kembung lelaki terdiri atas ikan-ikan jantan dan betina, dengan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian mengenai dinamika stok ikan peperek (Leiognathus spp.) dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis).

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis). 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Kuniran 2.1.1 Klasifikasi Ikan Kuniran Upeneus moluccensis, Bleeker 1855 Dalam kaitan dengan keperluan pengkajian stok sumberdaya ikan, kemampuan untuk mengidentifikasi spesies

Lebih terperinci

EKOLOGI IKAN KARANG. Sasanti R. Suharti

EKOLOGI IKAN KARANG. Sasanti R. Suharti EKOLOGI IKAN KARANG Sasanti R. Suharti PENGENALAN LINGKUNGAN LAUT Perairan tropis berada di lintang Utara 23o27 U dan lintang Selatan 23o27 S. Temperatur berkisar antara 25-30oC dengan sedikit variasi

Lebih terperinci

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti Sebuah lagu berjudul Nenek moyangku seorang pelaut membuat saya teringat akan kekayaan laut Indonesia. Tapi beberapa waktu lalu, beberapa nelayan Kepulauan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Semak Daun merupakan salah satu pulau yang berada di Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Pulau ini memiliki daratan seluas 0,5 ha yang dikelilingi

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perairan dangkal Karang Congkak, Kepulauan Seribu, Jakarta. Pengambilan contoh ikan dilakukan terbatas pada daerah

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian. 14 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di PPI Labuan, Provinsi Banten. Ikan contoh yang diperoleh dari PPI Labuan merupakan hasil tangkapan nelayan disekitar perairan Selat

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem laut dangkal yang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan terutama

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan tata nama

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan tata nama 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang 2.1.1. Klasifikasi dan tata nama Menurut www.fishbase.org (2009) taksonomi ikan tembang (Gambar 3) diklasifikasikan sebagai berikut : Filum : Chordata Subfilum :

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Cumi-Cumi Sirip Besar 4.1.1. Distribusi spasial Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun yang tertangkap

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun.

METODE PENELITIAN. Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Perairan Semak Daun, Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (KAKS) Daerah Khusus bukota Jakarta

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan pesisir Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, Kepulauan Seribu DKI Jakarta (Lampiran 2 dan Lampiran 3). Penelitian

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini menyebabkan terumbu karang memilki spesies yang amat beragam. Terumbu karang menempati areal

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan Teluk Banten Perairan Karangantu berada di sekitar Teluk Banten yang secara geografis terletak pada 5 0 49 45 LS sampai dengan 6 0 02

Lebih terperinci

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004).

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004). 24 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2011 sampai dengan bulan Oktober 2011. Lokasi penelitian berada di Selat Sunda, sedangkan pengumpulan data dilakukan

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Performa Fyke Net Modifikasi

5 PEMBAHASAN 5.1 Performa Fyke Net Modifikasi 5 PEMBAHASAN 5.1 Performa Fyke Net Modifikasi Fyke net yang didisain selama penelitian terdiri atas rangka yang terbuat dari besi, bahan jaring Polyetilene. Bobot yang berat di air dan material yang sangat

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1. 1.Kondisi umum Perairan Utara Jawa Perairan Utara Jawa dulu merupakan salah satu wilayah perikanan yang produktif dan memilki populasi penduduk yang padat. Panjang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Wilayah laut Indonesia kaya akan ikan, lagi pula sebagian besar merupakan dangkalan. Daerah dangkalan merupakan daerah yang kaya akan ikan sebab di daerah dangkalan sinar

Lebih terperinci

MAKALAH ALAT TANGKAP DRIVE IN NETS

MAKALAH ALAT TANGKAP DRIVE IN NETS MAKALAH ALAT TANGKAP DRIVE IN NETS Disusun oleh: Gigih Aji Winata 26010211140081 Yuliana Khasanah 26010215120010 Selvia Marantika 26010215120030 Amalina Kirana Putri 26010215140058 Muhammad Yasin Fadlilah

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Bubu ( Traps

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Bubu ( Traps 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Bubu (Traps) Bubu merupakan alat penangkapan ikan yang pasif (pasif gear). Alat tangkap ini memanfaatkan tingkah laku ikan yang mencari tempat persembunyian maupun

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek II. TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek Puntius Orphoides C.V adalah ikan yang termasuk anggota Familia Cyprinidae, disebut juga dengan ikan mata merah. Ikan brek mempunyai garis rusuk

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali didasarkan atas kelompok ikan Pelagis Kecil, Pelagis Besar, Demersal

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian di lapang dilaksanakan pada Bulan Mei sampai Juni 2009. Penelitian dilaksanakan di Perairan Pulau Karang Beras, Kepulauan Seribu (Lampiran

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil penelitian di perairan Kepulauan Seribu yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, diperoleh nilai-nilai parameter

Lebih terperinci

VI. ANALISIS BIOEKONOMI

VI. ANALISIS BIOEKONOMI 111 VI. ANALISIS BIOEKONOMI 6.1 Sumberdaya Perikanan Pelagis 6.1.1 Produksi dan Upaya Penangkapan Data produksi yang digunakan dalam perhitungan analisis bioekonomi adalah seluruh produksi ikan yang ditangkap

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata kedalaman

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. besar maupun sedikit. Di perairan Indo-Pasifik terdapat 3 spesies ikan Kembung

TINJAUAN PUSTAKA. besar maupun sedikit. Di perairan Indo-Pasifik terdapat 3 spesies ikan Kembung TINJAUAN PUSTAKA Ikan Kembung (Rastrelliger spp.) Ikan Kembung merupakan salah satu ikan pelagis yang sangat potensial di Indonesia dan hampir seluruh perairan Indonesia ikan ini tertangkap dalam jumlah

Lebih terperinci

PENGKAJIAN HASIL TANGKAPAN MUROAMI DI KEPULAUAN SERIBU RIBKA PUJI RASPATI SKRIPSI

PENGKAJIAN HASIL TANGKAPAN MUROAMI DI KEPULAUAN SERIBU RIBKA PUJI RASPATI SKRIPSI PENGKAJIAN HASIL TANGKAPAN MUROAMI DI KEPULAUAN SERIBU RIBKA PUJI RASPATI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 30 PERNYATAAN

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan morfologi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan morfologi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang 2.1.1. Klasifikasi dan morfologi Menurut www.fishbase.org, klasifikasi ikan tembang (Gambar 1) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. mata jaring ke arah panjang atau ke arah horizontal (mesh length) jauh lebih

TINJAUAN PUSTAKA. mata jaring ke arah panjang atau ke arah horizontal (mesh length) jauh lebih TINJAUAN PUSTAKA Alat Tangkap Jaring Insang (Gill net) Jaring insang (gill net) yang umum berlaku di Indonesia adalah salah satu jenis alat penangkapan ikan dari bahan jaring yang bentuknya empat persegi

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU i ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU DESI HARMIYATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di PPN Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat (Gambar 2). Pengambilan data primer dilakukan selama tiga bulan dari tanggal

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan 5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan Hasil tangkapan yang diperoleh selama penelitian menunjukan bahwa sumberdaya ikan di perairan Tanjung Kerawang cukup beragam baik jenis maupun ukuran ikan yang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luas terumbu karang Indonesia kurang lebih 50.000 km 2. Ekosistem tersebut berada di wilayah pesisir dan lautan di seluruh perairan Indonesia. Potensi lestari sumberdaya

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Pulau Pramuka secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu, Kotamadya Jakarta

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Semarang, Juni 2004, Kepala Balai Taman Nasional Karimunjawa. Puspa Dewi Liman

KATA PENGANTAR. Semarang, Juni 2004, Kepala Balai Taman Nasional Karimunjawa. Puspa Dewi Liman KATA PENGANTAR Sebagai salah satu kawasan konservasi, Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ) merupakan bagian dari Kepulauan Karimunjawa yang terletak di Kabupaten Jepara, Propinsi Jawa Tengah. Perubahan status

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 20 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografis, Letak Topografi dan Luas Sibolga Kota Sibolga berada pada posisi pantai Teluk Tapian Nauli menghadap kearah lautan Hindia. Bentuk kota memanjang

Lebih terperinci

Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI

Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 ISSN 2087-409X Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI Hazmi Arief*, Novia Dewi**, Jumatri Yusri**

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. Gambar 2 Peta Selat Bali dan daerah penangkapan ikan lemuru.

3 METODOLOGI. Gambar 2 Peta Selat Bali dan daerah penangkapan ikan lemuru. 3 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan selama bulan Juli 009 di Pelabuhan Perikanan Pantai Muncar - Perairan Selat Bali, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Perairan Selat Bali terletak

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer METODE PENELITIAN 108 Kerangka Pemikiran Agar pengelolaan sumber daya udang jerbung bisa dikelola secara berkelanjutan, dalam penelitian ini dilakukan beberapa langkah perhitungan untuk mengetahui: 1.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat yang tinggal di pulau pulau kecil atau pesisir di Indonesia hidupnya sangat tergantung oleh hasil laut, karena masyarakat tersebut tidak mempunyai penghasilan

Lebih terperinci

2.1. Ikan Kurau. Klasiflkasi ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) menurut. Saanin (1984) termasuk Phylum chordata, Class Actinopterygii, Genus

2.1. Ikan Kurau. Klasiflkasi ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) menurut. Saanin (1984) termasuk Phylum chordata, Class Actinopterygii, Genus 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kurau Klasiflkasi ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) menurut Saanin (1984) termasuk Phylum chordata, Class Actinopterygii, Genus eleutheronema dan Species Eleutheronema

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Partisipatif Daerah Penangkapan Ikan kurisi dapat ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang dan jaring rampus. Kapal dengan alat tangkap cantrang memiliki

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kuniran Klasifikasi dan tata nama

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kuniran Klasifikasi dan tata nama 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kuniran 2.1.1. Klasifikasi dan tata nama Menurut www.fishbase.org (2010) taksonomi ikan kuniran (Gambar 2) dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum

Lebih terperinci

Jaring Angkat

Jaring Angkat a. Jermal Jermal ialah perangkap yang terbuat dari jaring berbentuk kantong dan dipasang semi permanen, menantang atau berlawanlan dengan arus pasang surut. Beberapa jenis ikan, seperti beronang biasanya

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR 1 PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR (Trichiurus sp.) DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROPINSI JAWA BARAT Adnan Sharif, Silfia Syakila, Widya Dharma Lubayasari Departemen Manajemen Sumberdaya

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta, terletak di sebelah utara kota Jakarta, dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun Kepulauan Seribu (Gambar 2). Lokasi pengambilan contoh dilakukan di perairan yang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reefs) tersebar hampir di seluruh perairan dunia dengan kondisi paling berkembang pada kawasan perairan tropis. Meski luas permukaan bumi

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di TPI Cilincing, Jakarta Utara. Pengambilan data primer berupa pengukuran panjang dan bobot ikan contoh yang ditangkap

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. jika dibandingkan dengan panjangnya, dengan perkataan lain jumlah mesh depth

TINJAUAN PUSTAKA. jika dibandingkan dengan panjangnya, dengan perkataan lain jumlah mesh depth TINJAUAN PUSTAKA Alat Tangkap Jaring Insang (Gillnet) Gillnet adalah jaring dengan bentuk empat persegi panjang, mempunyai mata jaring yang sama ukurannya pada seluruh jaring, lebar jaring lebih pendek

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE 3 BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat dari tanggal 17 April sampai 7 Mei 013. Peta lokasi penelitian

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rajungan (Portunus pelagicus) Menurut www.zipcodezoo.com klasifikasi dari rajungan adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Malacostrata Ordo : Decapoda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sebuah sistem dinamis yang kompleks dimana keberadaannya dibatasi oleh suhu, salinitas, intensitas cahaya matahari dan kecerahan suatu perairan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dalam kelompok ikan berparuh, yang mana istilah tersebut digunakan untuk ikan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dalam kelompok ikan berparuh, yang mana istilah tersebut digunakan untuk ikan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Ikan Pedang Ikan pedang (Xiphias gladius) merupakan salah satu spesies yang masuk dalam kelompok ikan berparuh, yang mana istilah tersebut digunakan untuk ikan dengan

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

3 METODE PENELITIAN. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di perairan sekitar Pulau Semak Daun Kepulauan Seribu. Pulau Semak Daun terletak di sebelah utara Pulau Panggang dan Pulau Karya

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. Gambar 3 Peta lokasi penelitian.

3 METODOLOGI. Gambar 3 Peta lokasi penelitian. 31 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pengambilan data untuk kebutuhan penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2011 hingga Mei 2011 bertempat di Sibolga Propinsi Sumatera Utara (Gambar 3).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan 6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan Daerah penangkapan ikan kakap (Lutjanus sp.) oleh nelayan di Kabupaten Kupang tersebar diberbagai lokasi jalur penangkapan.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ikan Peperek Klasifikasi dan Morfologi Menurut Saanin (1984) klasifikasi dari ikan peperek adalah sebagai berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ikan Peperek Klasifikasi dan Morfologi Menurut Saanin (1984) klasifikasi dari ikan peperek adalah sebagai berikut: BAB II TINJAUAN PUSTAA 2.1 Ikan Peperek 2.1.1 lasifikasi dan Morfologi Menurut Saanin (1984) klasifikasi dari ikan peperek adalah sebagai berikut: Filum : Chordata elas : Pisces Subkelas : Teleostei Ordo

Lebih terperinci

3.3 Pengumpulan Data Primer

3.3 Pengumpulan Data Primer 10 pada bagian kantong, dengan panjang 200 m dan lebar 70 m. Satu trip penangkapan hanya berlangsung selama satu hari dengan penangkapan efektif sekitar 10 hingga 12 jam. Sedangkan untuk alat tangkap pancing

Lebih terperinci

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA Prosiding Seminar Antarabangsa Ke 8: Ekologi, Habitat Manusia dan Perubahan Persekitaran 2015 7 POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN

Lebih terperinci

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 9 dan MSY adalah: Keterangan : a : Perpotongan (intersept) b : Kemiringan (slope) e : Exponen Ct : Jumlah tangkapan Ft : Upaya tangkap (26) Model yang akan digunakan adalah model yang memiliki nilai korelasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang bersifat terbarukan (renewable). Disamping itu sifat open access atau common property yang artinya pemanfaatan

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi 93 6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu Unit penangkapan bagan yang dioperasikan nelayan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar berukuran panjang lebar tinggi adalah 21 2,10 1,8 m, jika dibandingkan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Perciformes

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Perciformes 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Biji Nangka 2.1.1. Klasifikasi Ikan biji nangka merupakan anggota dari famili Mullidae yang dikenal dengan nama goatfish. Menurut Cuvier (1829) in www.fishbase.org (2009)

Lebih terperinci

3. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan

3. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 18 3. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di muara arah laut dan muara arah sungai Cimaja, Citiis, Citepus dan Sukawayana yang mengalir menuju Teluk Palabuhanratu, Kabupaten

Lebih terperinci

Penangkapan Tuna dan Cakalang... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.)

Penangkapan Tuna dan Cakalang... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.) Penangkapan Tuna dan... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.) PENANGKAPAN TUNA DAN CAKALANG DENGAN MENGGUNAKAN ALAT TANGKAP PANCING ULUR (HAND LINE) YANG BERBASIS DI PANGKALAN PENDARATAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai dingin dan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 32 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Ikan Kurisi di Perairan Teluk Banten Penduduk di sekitar Teluk Banten kebanyakan memiliki profesi sebagai nelayan. Alat tangkap yang banyak digunakan oleh para nelayan

Lebih terperinci

Ex-situ observation & analysis: catch effort data survey for stock assessment -SCHAEFER AND FOX-

Ex-situ observation & analysis: catch effort data survey for stock assessment -SCHAEFER AND FOX- CpUE Ex-situ observation & analysis: catch effort data survey for stock assessment -SCHAEFER AND FOX- By. Ledhyane Ika Harlyan 0.400 0.350 0.300 0.250 0.200 0.150 0.100 0.050 0.000 Schaefer y = -0.000011x

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan 2.2. Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan 2.2. Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pengelolaan perikanan adalah proses terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Jumlah Armada Penangkapan Ikan Cirebon Tahun Tahun Jumlah Motor

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Jumlah Armada Penangkapan Ikan Cirebon Tahun Tahun Jumlah Motor BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perikanan Tangkap di Cirebon Armada penangkapan ikan di kota Cirebon terdiri dari motor tempel dan kapal motor. Jumlah armada penangkapan ikan dikota Cirebon

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 40 hari pada tanggal 16 Juni hingga 23 Juli 2013. Penelitian ini dilakukan di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan

Lebih terperinci

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5.1 Pendahuluan Pemanfaatan yang lestari adalah pemanfaatan sumberdaya perikanan pada kondisi yang berimbang, yaitu tingkat pemanfaatannya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. mengubah berbagai faktor produksi menjadi barang dan jasa. Berdasarkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. mengubah berbagai faktor produksi menjadi barang dan jasa. Berdasarkan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Produksi Menurut Rahardja (2006) dalam aktivitas produksinya, produsen mengubah berbagai faktor produksi menjadi barang dan jasa. Berdasarkan hubungannya dengan tingkat produksi,

Lebih terperinci

Sumber : Wiryawan (2009) Gambar 9 Peta Teluk Jakarta

Sumber : Wiryawan (2009) Gambar 9 Peta Teluk Jakarta 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Teluk Jakarta Secara geografis Teluk Jakarta (Gambar 9) terletak pada 5 o 55 30-6 o 07 00 Lintang Selatan dan 106 o 42 30-106 o 59 30 Bujur Timur. Batasan di sebelah

Lebih terperinci

METODE PENANGKAPAN DI INDONESIA (STANDAR NASIONAL)

METODE PENANGKAPAN DI INDONESIA (STANDAR NASIONAL) METODE PENANGKAPAN DI INDONESIA (STANDAR NASIONAL) KLASIFIKASI ALAT / METODE PENANGKAPAN DI INDONESIA (STANDAR NASIONAL) Alat penangkap yang terdiri dari dua komponen utama, yaitu; tali (line) dan mata

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 6 0'0"S 6 0'0"S 6 0'0"S 5 55'0"S 5 50'0"S 28 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada Maret 2011. Penelitian dilakukan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. daerah yang berlumpur dan pada ekosistem mangrove. Ikan gelodok hanya

TINJAUAN PUSTAKA. daerah yang berlumpur dan pada ekosistem mangrove. Ikan gelodok hanya 21 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Ikan gelodok adalah ikan yang hidup di habitat intertidal ditemukan di daerah yang berlumpur dan pada ekosistem mangrove. Ikan gelodok hanya ditemukan

Lebih terperinci

5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang

5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang 5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang Pemanfaatan sumberdaya perikanan secara lestari perlu dilakukan, guna sustainability spesies tertentu, stok yang ada harus lestari walaupun rekrutmen

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Actinopterygii : Perciformes

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Actinopterygii : Perciformes 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Umum Ikan Kurisi (Nemipterus furcosus) Ikan kurisi merupakan salah satu ikan yang termasuk kelompok ikan demersal. Ikan ini memiliki ciri-ciri tubuh yang berukuran

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Kepulauan Selayar merupakan wilayah yang memiliki ciri khas kehidupan pesisir dengan segenap potensi baharinya seperti terumbu karang tropis yang terdapat di

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 19 Dimana : Log m = logaritma dari panjang pada kematangan yang pertama Xt = logaritma nilai tengah panjang ikan 50% matang gonad x = logaritma dari pertambahan nilai tengah panjang pi = jumlah matang

Lebih terperinci

FLUKTUASI HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DENGAN ALAT TANGKAP JARING INSANG HANYUT (DRIFT GILLNET) DI PERAIRAN DUMAI, PROVINSI RIAU

FLUKTUASI HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DENGAN ALAT TANGKAP JARING INSANG HANYUT (DRIFT GILLNET) DI PERAIRAN DUMAI, PROVINSI RIAU FLUKTUASI HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DENGAN ALAT TANGKAP JARING INSANG HANYUT (DRIFT GILLNET) DI PERAIRAN DUMAI, PROVINSI RIAU Helisha Damayanti 1), Arthur Brown 2), T. Ersti Yulika Sari 3) Email : helishadamayanti@gmail.com

Lebih terperinci

MODUL TRANSPLANTASI KARANG SECARA SEDERHANA PELATIHAN EKOLOGI TERUMBU KARANG ( COREMAP FASE II KABUPATEN SELAYAR YAYASAN LANRA LINK MAKASSAR)

MODUL TRANSPLANTASI KARANG SECARA SEDERHANA PELATIHAN EKOLOGI TERUMBU KARANG ( COREMAP FASE II KABUPATEN SELAYAR YAYASAN LANRA LINK MAKASSAR) MODUL TRANSPLANTASI KARANG SECARA SEDERHANA PELATIHAN EKOLOGI TERUMBU KARANG ( COREMAP FASE II KABUPATEN SELAYAR YAYASAN LANRA LINK MAKASSAR) Benteng, Selayar 22-24 Agustus 2006 TRANSPLANTASI KARANG Terumbu

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL Oleh : Nurul Dhewani dan Suharsono Lokakarya Muatan Lokal, Seaworld, Jakarta, 30 Juni 2002 EKOSISTEM LAUT DANGKAL Hutan Bakau Padang Lamun Terumbu Karang 1 Hutan Mangrove/Bakau Kata

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) (Gambar 1) merupakan salah satu ikan pelagis kecil yang sangat potensial

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 22 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan Pulau Karya, Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Pulau Seribu Utara, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Stasiun

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI (OBJEK PENELITIAN)

BAB II DESKRIPSI (OBJEK PENELITIAN) BAB II DESKRIPSI (OBJEK PENELITIAN) 2.1 Potensi dan Usaha Perikanan di Indonesia 2.1.1 Perikanan dan Potensi Indonesia Berdasarkan UU. No 31 tahun 2004. Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan

Lebih terperinci

KELAYAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN JARING PAYANG DI PALABUHANRATU MENGGUNAKAN MODEL BIOEKONOMI GORDON- SCHAEFER

KELAYAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN JARING PAYANG DI PALABUHANRATU MENGGUNAKAN MODEL BIOEKONOMI GORDON- SCHAEFER KELAYAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN JARING PAYANG DI PALABUHANRATU MENGGUNAKAN MODEL BIOEKONOMI GORDON- SCHAEFER Oleh : Moh. Erwin Wiguna, S.Pi., MM* Yogi Bachtiar, S.Pi** RINGKASAN Penelitian ini mengkaji

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 27 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pengumpulan data dilaksanakan bulan Juli-September 2007 yaitu di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Pemilihan lokasi penelitian

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Karang 2.2 Habitat Ikan Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Karang 2.2 Habitat Ikan Karang 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Karang Ikan karang merupakan organisme laut yang sangat mencolok di ekosistem terumbu karang, sehingga sering dijumpai dengan jumlah yang besar dan mengisi daerah

Lebih terperinci

Moch. Prihatna Sobari 2, Diniah 2, dan Danang Indro Widiarso 2 PENDAHULUAN

Moch. Prihatna Sobari 2, Diniah 2, dan Danang Indro Widiarso 2 PENDAHULUAN ANALISIS MAXIMUM SUSTAINABLE YIELD DAN MAXIMUM ECONOMIC YIELD MENGGUNAKAN BIO-EKONOMIK MODEL STATIS GORDON-SCHAEFER DARI PENANGKAPAN SPINY LOBSTER DI WONOGIRI 1 (Analysis of Maximum Sustainable Yield and

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. Tabel 5 Jenis alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian

3 METODOLOGI. Tabel 5 Jenis alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian 3 METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Pembuatan kantong dan penutup kantong jaring dilaksanakan di laboratorium Alat Penangkap Ikan Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta pada bulan Juni sampai dengan Juli 2010.

Lebih terperinci