ANALISIS KESESUAIAN LOKASI UNTUK BUDIDAYA RUMPUT LAUT DI KABUPATEN SUMBAWA BARAT HELMY AKBAR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS KESESUAIAN LOKASI UNTUK BUDIDAYA RUMPUT LAUT DI KABUPATEN SUMBAWA BARAT HELMY AKBAR"

Transkripsi

1 ANALISIS KESESUAIAN LOKASI UNTUK BUDIDAYA RUMPUT LAUT DI KABUPATEN SUMBAWA BARAT HELMY AKBAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Kesesuaian Lokasi untuk Budidaya Rumput Laut di Kabupaten Sumbawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2014 Helmy Akbar NIM C

3 RINGKASAN HELMY AKBAR. Analisis Kesesuaian Lokasi untuk Budidaya Rumput Laut di Kabupaten Sumbawa Barat. Dibimbing oleh MOHAMMAD MUKHLIS KAMAL, ARIO DAMAR, dan KADARWAN SOEWARDI. Pengelolaan suatu sumberdaya pesisir yang baik perlu memperhatikan aspek keberlanjutan. Selain itu, pengetahuan dan informasi sejauh mana potensi sumberdaya pesisir serta konsep pengembangannya kedepan sangat menentukan keluaran (output) yang dihasilkan. Komoditas rumput laut selama ini masih menjadi andalan sektor kelautan dan perikanan. Dalam konsep minapolitan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), rumput laut menjadi salah satu sektor basis dalam pengembangan ekonomi masyarakat pesisir. Pada skala lokal, Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat menargetkan peningkatan produksi rumput laut dengan pengalokasian lahan pesisir secara maksimal untuk pengembangan budidaya. Tentunya target ini perlu diikuti dengan riset yang menunjang sebagai justifikasi ilmiah agar konsep pengelolaan dan pengembangan dapat dipertanggungjawabkan. Sebagaimana diketahui Kabupaten Sumbawa Barat terletak di Propinsi Nusa Tenggara Barat, merupakan area yang potensial untuk budidaya rumput laut seperti Kappaphycus alvarezii. Pada saat ini, pusat budidaya rumput laut berlokasi di Teluk Kertasari dan Poto Tano. Dari hasil identifikasi ditemukan ada tiga varian rumput laut ekonomis yang diperoleh pada lokasi budidaya yaitu Kappaphycus alvarezii (var tambalang) brown yellow, K. alvarezii (var maumere + tambalang) brown red, dan Kappaphycus striatum (sacol) green. Permintaan pasar untuk komoditas K. alvarezii cenderung meningkat, dan karena itu pembukaan daerah-daerah baru untuk budidaya sangat diperlukan untuk dikembangkan. Studi fisika, kimia dan biologi kelautan diperlukan untuk menilai kesesuaian lokasi budidaya. Metode penentuan daerah kesesuaian menggunakan pembobotan nilai kriteria ekologis dengan analisis GIS (Geographical Information System). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kecamatan Poto Tano memiliki 805 ha lahan yang cocok untuk budidaya. Sedangkan, Kecamatan Taliwang dan Jereweh memiliki sekitar 70 ha dan 86 ha. Sehingga, total jumlah lahan yang cocok untuk budidaya rumput laut sekitar 961 ha. Kata kunci: analisis GIS, budidaya rumput laut, fisika-kimia perairan, Kappaphycus alvarezii, K. striatum, kesesuaian lokasi

4 SUMMARY HELMY AKBAR. Suitability Analysis for Seaweed Farming in the West Sumbawa. Supervised by MOHAMMAD MUKHLIS KAMAL, ARIO DAMAR, and KADARWAN SOEWARDI. Management of coastal resources is needed a good consideration of sustainability. The extent of knowledge and information as well as the coastal resource potential future development concept will determine the output. Seaweed commodities are still a mainstay for marine and fisheries sector. The Ministry of Maritime Affairs and Fisheries with concept of minapolitan include seaweed as one of the flagship commodities in the economic development of coastal communities. At the local scale, the Government of West Sumbawa is targeting to increase seaweed production with a maximum land allocation for marine culture development. Obviously, this target needs to be followed by supporting research as the scientific justification for management and development. West Sumbawa is included in the Province of West Nusa Tenggara, which is a potential area for seaweed farming. Currently, the center activity for seaweed farming was located in the Gulf of Kertasari and Poto Tano. Three variants are found during field survey on study location as commercial product of seaweed, i.e. Kappaphycus alvarezii (var tambalang) brown yellow, K. alvarezii (var Maumere + tambalang) brown red, and Kappaphycus striatum (var sacol) green. Market demand for commodities of K. alvarezii tends to be increase, and new areas of cultivation are required to be developed. Through a study of physics, chemistry and biology of marine aspect is needed to assess the area suitability. The method that used for suitability analysis is scoring value based on ecological criteria trough GIS (Geographical Information System) analysis. The result showed that Poto Tano has the biggest suitable for farming (805 ha). While, Taliwang and Jereweh are consist about 70 ha and 86 ha, respectively. Total suitable for seaweed farming is about 961 ha. Keywords: seaweed mariculture, Kappaphycus alvarezii, K. striatum, physicschemistry of marine, GIS analysis, land suitability.

5 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis initanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

6 ANALISIS KESESUAIAN LOKASI UNTUK BUDIDAYA RUMPUT LAUT DI KABUPATEN SUMBAWA BARAT HELMY AKBAR Tesis Sebagai syarat untuk meraih gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

7 Penguji luar komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc

8

9 PRAKATA Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian telaah kriteria ekobiologi dan lingkungan alga laut budidaya.dengan judul Analisis Kesesuaian Lokasi untuk Budidaya Rumput Laut di Kabupaten Sumbawa Barat. Penyusunan tulisan ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak, penulis mengucapkan terima kasih atas saran dan nasehat dari komisi pembimbing yaitu Bapak Dr. Ir. Mohammad Mukhlis Kamal, MSc, Bapak Dr. Ir. Ario Damar, MSi dan Bapak Prof. Dr. Ir. Kadarwan Soewardi. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Isdrajad Setyobudiandi selaku penguji luar komisi dan Dr Yon Vitner SPi MSi selaku perwakilan dari program studi. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Syamsul Hidayat, MSi (BAPPEDA- KSB), Bapak Iman Teguh, S.Pi, Singgih A. Putra, SPi, MSi, M. Arif Nasution, SPi, MSi, Ahmad M Rangkuti, SPi, MSi yang telah membantu selama penelitian. Serta Bapak Dr. Mujio Sukir dan Destilawaty SPi, MSi yang telah banyak memberikan bantuan selama penulis menempuh studi pascasarjana. Terakhir, penulis juga menyampaikan terimakasih kepada bapak dan ibu di Bima NTB, Imam dan Bang Yudi di Malang serta keluarga di Bogor (A. Solikhah, Abdullah Ismail, dan Abbas Abdurrahman) atas perhatiannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2014 Helmy Akbar

10 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... vii ix PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Kerangka Pikir dan Perumusan Masalah... 2 Pendekatan Studi... 5 Tujuan dan Manfaat Penelitian... 5 TINJAUAN PUSTAKA... 6 Biologi dan Ekologi Rumput Laut... 6 Teknik Budidaya Rumput Laut yang Berkelanjutan... 7 Kondisi Lingkungan yang Mempengaruhi Budidaya Rumput Laut... 8 Suhu... 8 Kecerahan... 8 TSS Arus Kedalaman perairan Salinitas ph Nutrien Kandungan oksigen terlarut (DO) Kebutuhan oksigen kimiawi (COD) Logam berat (cadmium (Cd), copper (Co), zinc (Zc), besi (Fe), mercury (Cu) dan timbal (Pb)) Hama dan penyakit Matrik Kesesuaian Budidaya Rumput Laut Produktivitas Rumput Laut Kandungan Karaginan Rumput Laut Aplikasi SIG dalam Penataan Ruang Pesisir untuk Budidaya Penataan Ruang dan Zonasi Kawasan Pesisir METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Teknik Pengumpulan Data Data Parameter Fisika, Kimia, dan Biologi Produksi Pengumpulan data sekunder Analisis Data Analisis Kualitas Perairan dan Identifikasi Jenis Rumput Laut Analisis Kesesuaian Lokasi Budidaya Rumput Laut KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Geografis dan Administrasi Kabupaten Sumbawa Barat... 30

11 Kondisi Demografi Kondisi Perekonomian Struktur Ekonomi Pertumbuhan Ekonomi PDRB Perkapita Potensi Perikanan Laut Perikanan Tangkap Perikanan Budidaya Laut Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil Kondisi Lokasi Berpotensi Menjadi Sentra Budidaya Rumput Laut Keragaan Budidaya Rumput Laut di Kabupaten Sumbawa Barat Jalan dan Transportasi Potensi Perikanan Budidaya Air Laut HASIL DAN PEMBAHASAN Biologi dan Ekologi Rumput Laut Reproduksi Ekologi Pemilihan Kriteria Ekologis Analisis Kualitas Air Arus Suhu Dasar perairan Kedalaman air Salinitas Kecerahan Kekeruhan ph Kandungan Oksigen Terlarut Kebutuhan Oksigen Biologis Kebutuhan Oksigen Kimiawi Nutrien Logam Berat (cadmium (Cd), copper (Co), zinc (Zc), besi (Fe), tembaga (Cu), mercury (Hg) dan timbal (Pb)) Pencemaran Analisis Kesesuaian Budidaya Rumput Laut Potensi Budidaya Rumput Laut Beberapa Teknologi dan Pengelolaan Budidaya Rumput Laut Sistem dan Metode Budidaya Potensi Produksi, Kualitas dan Strategi Pengembangan KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA... 82

12 DAFTAR TABEL 1 Persyaratan ekologis untuk lokasi budidaya rumput laut Euchema cottonii menurut Kep. Men. 02/MenKLH/I/1988 tentang Kualitas Air Laut untuk Budidaya Laut Matriks Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Rumput Laut Matriks Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Rumput Laut Matriks Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Rumput Laut Matriks Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Rumput Laut Matriks Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Rumput Laut Kandungan karaginan beberapa rumput laut jenis Euchema yang dinyatakan dalam persen Parameter fisika, kimia dan biologi yang diamati selama penelitian Data Kecamatan dan Luas Wilayah di Kabupaten Sumbawa Barat Tahun Jumlah Penduduk Kabupaten Sumbawa Barat per Kecamatan Data Aggregat Kependudukan Kabupaten Sumbawa Barat Tahun Perkembangan Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Sumbawa Barat Tahun Nama pulau-pulau kecil yang ada di KSB dan potensinya Potensi dan Pemanfaatan Rumput Laut di Kabupaten Sumbawa Barat Tahun Nilai Produksi Budidaya Rumput Laut Berdasarkan Jenis Tahun Produksi Budidaya Rumput Laut Kabupaten Sumbawa Barat Tahun Luas Areal dan Produksi Budidaya Rumput Laut di Kabupaten Sumbawa Barat Jumlah Nelayan dan Penduduk Desa/Kelurahan Pantai di Kabupaten Sumbawa Barat Tahun Potensi Areal, Pemanfaatan dan Produksi Budidaya Laut di Kabupaten Sumbawa Barat Potensi Areal Perikanan di Kabupaten Sumbawa Barat Menurut Kecamatan dan Sub Sektor Tahun 2008 (Ha) Potensi Produksi Perikanan di Kabupaten Sumbawa Barat Dirinci Menurut Kecamatan dan Sub Sektor Tahun Potensi, Pemanfaatan Areal, Jumlah RTP Budidaya Laut Kabupaten Sumbawa Barat Tahun Potensi Wilayah Budidaya Rumput Laut KSB Tahun Produksi Budidaya Rumput Laut KSB Tahun Target Produksi Budidaya Rumput Laut tahun Karaginan dari beberapa jenis alga (Chapman & Chapman 1980) Persyaratan ekologis untuk lokasi budidaya rumput laut Euchema cottonii berdasarkan Kep. Men. 02/MenKLH/I/1988 tentang Kualitas Air Laut untuk Budidaya Laut Beberapa parameter atau kriteria ekologis untuk budidaya rumput laut Paramater lingkungan yang digunakan SEAFDEC Kriteria ekologis/parameter lingkungan yang banyak digunakan untuk

13 budidaya rumput laut Matriks kesesuaian lokasi budidaya Kappaphycus alvarezii berdasarkan teknologi budidaya tancap dasar di Kabupaten Sumbawa Barat Matriks kesesuaian lokasi budidaya Kappaphycus alvarezii berdasarkan teknologi budidaya mengapung, rakit bambu, dan long line di Kabupaten Sumbawa Barat Komparasi perbandingan jenis sedimen pada stasiun pengamatan Komparasi nilai DO, BOD, COD pada stasiun pengamatan Hasil Analisis Logam Berat di Kolom Air Luasan perairan, rekomendasi teknik dan identifikasi aktivitas budidaya di perairan pesisir Kabupaten Sumbawa Barat... 75

14 DAFTAR GAMBAR 1 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian Morfologi Kappaphycus alvarezii Lokasi penelitian Metode Budidaya Long Line Jenis rumput laut dibudidayakan di Pulau Sumbawa Varian dari K. alvarezii (a) Tambalang, (b) Sacol) Grafik hasil pengukuran kecepatan arus di enam stasiun Suhu permukaan laut di enam stasiun pengamatan Grafik rataan kedalaman pada masing-masing stasiun Grafik nilai salinitas pada lokasi pengamatan Nilai kecerahan(%) pada masing-masing stasiun pengamatan Grafik nilai kekeruhan pada masing-masing stasiun pengamatan Grafik derajat keasaman pada masing-masing stasiun pengamatan Grafik nilai kandungan DO yang terukur pada stasiun pengamatan Grafik nilai BOD pada masing-masing stasiun pengamatan Grafik nilai COD pada masing-masing stasiun pengamatan Kandungan nitrat pada stasiun pengamatan Kandungan fosfat Peta kesesuaian untuk budidaya rumput laut dengan metode tanam mengapung atau long line Peta kesesuaian untuk budidaya rumput laut dengan metode tanam tancap dasar Budidaya rumput laut dengan menggunakan metode longline Budidaya rumput laut metode atau sistem dasar Jenis hama pengganggu yang ditemukan Budidaya rumput laut metode rakit Estimasi perhitungan produksi rumput laut... 80

15 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Secara ekonomi rumput laut merupakan komoditas yang perlu dikembangkan karena produk sekundernya dapat memberi manfaat yang cukup besar pada berbagai bidang industri seperti industri farmasi (salep dan obatanobatan), industri makanan (agar, alginate, dan karaginan). Realisasi produksi rumput laut pada tahun 2010 adalah sebesar 3,082 juta ton. Berdasarkan data Statistik KKP produksi budi daya rumput laut selama lima tahun yaitu sejak tahun 2005 hingga 2010 mengalami kenaikan yang signifikan. kenaikan jumlah produksi pada mencapai 0,46 juta ton atau setara dengan 50,55%. Pada sebanyak 0,36 juta ton atau setara dengan 26,28%, Pada sebesar 0,417 juta ton atau setara dengan 24,13%. Pada sebesar 0,43 juta ton atau setara dengan 20 %. Pada sebesar 0,51 juta ton atau setara denga 19,74%. Dengan demikian rata-rata kenaikan selama lima tahun mencapai 28,14%. Penurunan suatu produksi dapat disebabkan oleh lemahnya teknologi budidaya (bibit, metode budidaya, umur panen, dan penanganan pasca panen), dan regulasi pemerintah (penataan ruang dan sumberdaya). Akibat simultan yang tampak dari kelemahan-kelemahan di atas pada budidaya rumput laut antara lain menyebabkan komoditi tersebut menjadi mudah terserang penyakit, seperti ice-ice yang menyebabkan rendahnya kandungan karaginan rumput laut (Carte, 1996). Salah satu cara untuk menjamin kontinuitas penyediaan produksi dan kandungan karaginan rumput laut dalam jumlah yang dikehendaki adalah dengan pemilihan lokasi budidaya, rekomendasi luasan yang optimal dan teknologi budidaya (Rorrer et al. 1998; Peira, 2002). Produksi rumput laut Indonesia pada tahun 2001 sebesar ton basah dan tahun 2004 sebesar ton basah. Rendahnya produksi rumput laut dikarenakan pemanfaatan potensi laut belum maksimal. Areal strategis yang dapat digunakan untuk pengembangan budidaya rumput laut di seluruh Indonesia adalah ha, namun baru dimanfaatkan sekitar ha atau 20% (Ditjenkanbud, 2005 dalam Sirajuddin, 2008). Pada tahun 2010, total produksi telah mencapai 3,082 juta ton. Sebaran geografis lokasi pengembangan budidaya rumput laut masih terbatas pada jenis dan daerah tertentu misalnya jenis Gracilaria terdapat di Sulawesi Selatan, untuk jenis Eucheuma tersebar dari Pantai Barat Pulau Sumatra, Kepulauan Riau, Kepulauan Seribu, Pantai Jawa bagian Selatan, Madura, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Suryaningrum, et al. 2000). Budidaya rumput laut telah berkembang di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB), luas areal mencapai 150 Ha dengan potensi pengembangan Ha pada tahun 2010, adapun produksi rumput laut pada tahun tersebut mencapai 62, ton basah (DKPP-KSB, 2010). Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Sumbawa Barat, untuk mengetahui potensi optimal budidaya rumput laut yang dapat dicapai berdasarkan alokasi lahan yang sesuai. Misi dari DKPP-KSB yaitu menyukseskan program minapolitan rumput laut, untuk itu perlu adanya riset untuk mengetahui kapasitas

16 2 optimum pengembangan yang dapat dicapai dengan membangun sentra budidaya rumput laut. Pemilihan lokasi penelitian dapat dilakukan dengan memperhatikan berbagai faktor lingkungan (Chua 1992; Gurno 2004), terutama pengaruh kondisi fisika, kimia dan biologi lingkungan perairan terhadap kualitas rumput laut. Dalam hal ini kajian tentang penggunaan komponen utama lingkungan perlu terus dilakukan agar dapat memudahkan pemilihan lokasi yang selanjutnya dapat meningkatkan produksi dan kualitas rumput laut. Kerangka Pikir dan Perumusan masalah Keragaman potensi sumberdaya pesisir dan laut tersebut dapat dikembangkan menjadi salah satu sektor unggulan dalam menunjang pembangunan wilayah pesisir di Kabupaten Sumbawa Barat. Usaha budidaya rumput laut di Pesisir Kabupaten Sumbawa Barat merupakan suatu potensi yang dapat dikembangkan sebagai alternatif bagi para nelayan pesisir untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga nelayan. Adanya hambatan melaut ketika musim tertentu karena cuaca buruk memungkinkan pengembangan usaha budidaya ini. Permasalahan dan isu pokok yang terkait dengan pengelolaan untuk pengembangan budidaya rumput laut di pesisir Kabupaten Sumbawa Barat meliputi : 1. Belum adanya kriteria yang komprehensif didalam analisis kesesuaian untuk budidaya rumput laut, sehingga diperlukan adanya kriteria yang komprehensif. Dalam hal ini termasuk penentuan kriteria ekologis berdasarkan teknologi budidaya yang digunakan. 2. Dalam hal penataan ruang; Penetapan lokasi dan pengaturan ruang perlu diperjelas untuk membangun wilayah pesisir yang sesuai untuk peruntukan budidaya rumput laut (Kappaphycus alvarezii), sehingga kajian terkait analisis kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut perlu dilakukan. Tentunya dengan mempertimbangkan aspek biofisik dan kimia perairan yang semuanya dipadukan dalam konsep kesesuaian lahan untuk tata ruang kawasan pesisir. 3. Peranan faktor lingkungan terhadap produksi rumput laut perlu dikaji karena akan berpengaruh terhadap pencapaian biomass optimum, kandungan karaginan rumput laut yang nantinya akan berpengaruh terhadap kualitas gel strength dari Kappaphycus alvarezii. Selain itu, dalam pengembangan usaha budidaya rumput laut perlu memperhatikan teknologi budidaya yang efektif. Secara umum maka pemecahan masalah yang akan ditelusuri dalam penelitian ini adalah bagaimana pemanfaatan kawasan pesisir untuk pengembangan budidaya rumput laut (Kappaphycus alvarezii) yang memenuhi persyaratan teknis agar dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan. Untuk meminimalkan kerusakan dan tekanan ekologis perairan dalam pengembangan budidaya rumput laut, maka terlebih dahulu perlu dilakukan suatu kajian tentang Analisis Kesesuaian Lahan Untuk Budidaya Rumput Laut Di Kabupaten Sumbawa Barat" yang diangkat dalam topik tesis pada kesempatan ini. Tahapan kerangka pemikiran penelitian awal adalah identifikasi potensi dan permasalahan wilayah pesisir yang berkaitan dengan budidaya rumput laut.

17 Penilaian potensi dilakukan dengan menilai produktivitas, identifikasi jenis rumput laut yang dibudidaya dan penilaian kondisi ekosistem dan lingkungan perairan dengan melihat aspek kualitas air, biofisik, morfologi pantai. Penentuan kriteria kriteria ekologis dilakukan melalui studi pustaka. Untuk selanjutnya diformulasikan, dibuat bobot dan skornya lalu digunakan dalam analisis spasial. Sehingga, nantinya akan diperoleh zonasi untuk pengembangan budidaya rumput laut (Gambar 1). 3

18 4 Potensi dan Permasalahan Wilayah Pesisir Kabupaten Sumbawa Barat Kriteria Ekologi Studi Pustaka Kondisi ekosistem dan lingkungan perairan Survey Lapangan Identifikasi jenis rumput laut budidaya dan penilaian produktivitas Kajian penentuan parameter utama lingkungan Kriteria ekologis kesesuaian lingkungan Analisis Spasial (GIS) Pemanfaatan lokasi terkini Evaluasi pemanfaatan Pemanfaatan tahun sebelumnya Zonasi pengembangan budidaya rumput laut Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran Penelitian

19 5 Pendekatan Studi Pendekatan studi dilakukan dengan cara mengkaji literatur yang berkaitan dengan penentuan aspek ekologis (bio-fisik dan kimia perairan) yang pernah digunakan untuk kriteria kesesuaian untuk ruang hidup rumput laut (Kappaphycus alvarezii) lalu merancang dan membuat kriteria kesesuaian yang baru, serta kajian mengenai aspek produktivitas rumput laut yang dihasilkan dari proses budidaya. Pendekatan terhadap aspek produktivitas dilakukan untuk menentukan kelayakan dari hasil produksi. Jumlah produksi per tali ris rumput laut dihitung untuk menentukan produktivitas rumput laut. Tujuan dan manfaat penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji pemanfaatan wilayah pesisir Kabupaten Sumbawa Barat untuk budidaya rumput laut melalui pengalokasian kawasan yang sesuai. Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan rumusan kebijakan zonasi pengembangan kawasan berbasis budidaya rumput laut di pesisir Kabupaten Sumbawa Barat. Sekaligus sebagai bahan masukan untuk penataan ruang pesisir. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dilakukan 2 (tiga) langkah penelitian yaitu : 1. Mengkaji kriteria kesesuaian lingkungan (biofisik dan kimia perairan) sebagai bahan informasi pengembangan kawasan berbasis budidaya rumput laut. 2. Membangun kriteria kesesuaian yang baru melalui analisis untuk selanjutnya dilakukan pengelompokan kawasan budidaya rumput laut (berdasarkan teknologi budidaya) melalui analisis spasial. 3. Mengkaji produksi budidaya rumput laut yang telah dibudidaya menggunakan indikator jumlah produksi untuk mengukur produktivitas budidaya. 4. Menghitung luasan wilayah laut yang sesuai untuk budidaya rumput laut. Serta rekomendasi teknologi budidaya dan jenis rumput laut Kappaphycus yang cocok untuk ditanam.

20 6 TINJAUAN PUSTAKA Biologi dan Ekologi Rumput Laut Rumput laut merupakan nama komoditi dalam perdagangan nasional untuk jenis alga (seaweed). Rumput laut tergolong tanaman tingkat rendah, umumnya tumbuh melekat pada substrat tertentu, tidak mempunyai akar, batang maupun daun sejati tetapi hanya mempunyai batang yang disebut thallus. Rumput laut hidup di alam dengan melekatkan dirinya pada karang, lumpur, pasir, batu, dan benda keras lainnya (Rorrer, et al. 2004; Lee, et al. 1999). Pertumbuhan dan penyebaran rumput laut sangat tergantung dari faktorfaktor ekologis serta jenis substrat dasarnya. Untuk pertumbuhannya, rumput laut mengambil nutrisi dari lingkungan sekitarnya secara difusi melalui dinding thallusnya. Perkembangbiakannya dilakukan dua cara, yaitu secara kawin antara gamet jantan dan gamet betina (generatif) serta secara tidak kawin dengan melalui vegetatif, konjugatif dan persporaan (Ditjenkan Budidaya, 2005). Struktur anatomi thallus tiap jenis rumput laut berbeda-beda, misalnya pada famili yang sama antara Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum, patogen thallus yang melintang mempunyai susunan sel yang berbeda. Perbedaan ini membantu dalam pengenalan berbagai jenis rumput laut, baik dalam mengidentifikasi jenis, genus maupun famili (Aslan, 1988). Selanjutnya Kadi dan Atmaja (1988) memberikan ciri-ciri umum dari Eucheuma adalah thallus bulat silindris atau pipih, berwarna merah, merah coklat, hijau-kuning dan bercabang tidak teratur, mempunyai benjolan-benjolan atau duri, substansi thalli gelatinus dan atau kartilagenus. Menurut klasifikasi Doty (1985) dalam rumput laut jenis E. cottonii berganti nama menjadi Kappaphycus alvarezii. Penggunaan nama Kappaphycus oleh Doty (1985) digunakan untuk keluarga Euchema yang menjadi komoditas budidaya yang menghasilkan kappa karaginan. Adapun untuk jenis Euchema lain nama speciesnya tidak berubah seperti Euchema denticulatum. Adapun E. cottonii menjadi nama sinonim. Walau demikian beberapa peneliti ditemukan masih menggunakan nama E. cottonii, berikut klasifikasinya: Empire : Eukaryota Kingdom : Plantae Subkingdom : Biliphyta Phylum : Rhodophyta Subphylum : Eurhodophytina Class : Florideophyceae Subclass : Rhodymeniophycidae Order : Gigartinales Family : Areschougiaceae Tribe : Eucheumatoideae Genus : Kappaphycus Species : Kappaphycus alvarezii, Doty (1985)

21 7 Gambar 2. Morfologi Kappaphycus alvarezii Menurut beberapa peneliti seperti Dawson, 1956; Rorrer, et al. 2004, bahwa pantai yang berterumbu karang merupakan tempat hidup yang baik bagi sejumlah besar spesies rumput laut dan hanya sedikit yang dapat hidup di pantai berpasir dan berlumpur misalnya Gracilaria sp. (Jones, et al. 2003). Substrat yang paling umum untuk tempat hidup rumput laut adalah kapur (Dawes, 1981). Selanjutnya (Dawes, 1981) juga menyatakan bahwa tipe substrat yang paling baik bagi pertumbuhan rumput laut adalah campuran pasir karang dan potongan atau pecahan karang, karena perairan dengan substrat demikian biasanya dilalui oleh arus yang sesuai bagi pertumbuhan rumput laut. Teknik Budidaya Rumput Laut Yang Berkelanjutan Bibit rumput laut yang baik untuk dibudidayakan adalah : mono species, muda, bersih, dan segar. Selanjutnya pengumpulan, pengangkutan dan penyimpanan bibit harus selalu dilakukan dalam keadaan lembab serta terhindar dari panas, minyak, air tawar, dan bahan kimia lainnya. Kualitas dan kuantitas produksi budidaya rumput laut sangat ditentukan oleh bibit rumput lautnya, maka kegiatan penyediaan bibit harus direncanakan dan memperhatikan sumber perolehan (Kadi dan Atmadja, 1988). Pertumbuhan rumput laut dipengaruhi juga oleh jarak bibit yang diikat pada tali ris (lihat Gambar 6) Sulistijo (1987). Menurut Kadi dan Atmadja (1988), bahwa dengan jarak tanam 35 cm dengan menggunakan jaring apung didapat pertumbuhan harian yang paling tinggi yaitu 3,95 % per hari. Untuk metode rakit jarak tanam antar rumpun adalah 20 cm, sedangkan metode untuk tali gantung bibit jarak antar rumpun yakni 30 cm. Untuk memperoleh rumput laut yang bermutu baik, maka perlu diperhatikan umur panen. Umur panen tergantung pada kesesuaian metode budidaya (Kadi dan Atmadja 1988). Menurut Aslan (1988), pemanenan dapat dilakukan bila rumput laut telah mencapai berat tertentu, yaitu sekitar empat kali berat awal, dalam waktu pemeliharaan 1,5 4 bulan. Dengan berat awal ± 125 gram produksi rumput laut untuk jenis Eucheuma cottonii dengan metode apung dapat mencapai sekitar 500-

22 8 600 gram atau dengan tingkat pertumbuhan per hari 2 3 %. Jika dilakukan 6 kali tanam dalam setahun dapat diproduksi kurang lebih 144 ton/ha rumput laut basah atau kira-kira 11 ton/ha rumput laut kering. Kondisi Lingkungan yang Mempengaruhi Budidaya Rumput Laut Suhu Suhu lingkungan berperan penting dalam proses fotosintesa, dimana semakin tinggi intensitas matahari dan semakin optimum kondisi temperatur, maka akan semakin nyata hasil fotosintesanya (Lee, et al. 1999). Kecukupan sinar matahari sangat menentukan kecepatan rumput laut untuk memenuhi kebutuhan nutrien seperti karbon (C), nitrogen (N) dan posfor (P) untuk pertumbuhan dan pembelahan selnya. Rumput laut memiliki toleransi terhadap kisaran suhu yang spesifik karena adanya enzim, dan akan tumbuh subur pada daerah yang sesuai dengan suhu di laut yaitu pada kisaran suhu C (Luning, 1990). Menurut Lee et al. (1999), bahwa suhu yang dibutuhkan oleh beberapa rumput laut berbeda satu sama lain, tetapi secara umum suhu yang dibutuhkan oleh rumput laut untuk pertumbuhan berkisar antara C. Menurut Kadi dan Atmadja (1988), bahwa suhu dapat mempengaruhi perkembangan reproduksi beberapa jenis alga, misalnya perkembangan gamet Gigartina scicularis, akan terbentuk pada suhu antara C. Dalam pertumbuhannya, Eucheuma membutuhkan suhu sekitar C dan Gracilaria C. Menurut Hutagalung (1988), bahwa batas ambang suhu untuk pertumbuhan alga hijau, coklat dan merah adalah 34,5 C dan untuk alga biru hijau 37 C. Suhu mempunyai peran yang sangat penting bagi kehidupan dan pertumbuhan rumput laut. Suhu air dapat berpengaruh terhadap beberapa fungsi fisiologis rumput laut seperti fotosintesa, respirasi, metabolisme, pertumbuhan dan reproduksi (Dawes, 1981). Dawes (1981) menyatakan bahwa rumput laut mempunyai kisaran suhu yang spesifik karena adanya enzim pada rumput laut yang tidak dapat berfungsi pada suhu yang terlalu dingin maupun terlalu panas. Kisaran suhu yang dibutuhkan untuk pertumbuhan optimum rumput laut berbeda untuk setiap jenis. Menurut Kadi dan Atmaja (1988) suhu yang dikehendaki pada budidaya rumput laut E. Cottonii berkisar antara ºC. Sedangkan Ditjenkanbud (2005) melaporkan bahwa pada kisaran suhu ºC Eucheuma memberikan laju pertumbuhan rata-rata di atas 5 %. Menurut Rorrer, et al. (2004), bahwa suhu C dapat meningkatkan pertumbuhan sel dan jaringan rumput laut (L. saccharina) 10% / hari dan suhu C dapat tumbuh 15% /hari pada rumput laut jenis (A. coalita). Menurut Moll dan Deikman (1995), bahwa rumput laut tumbuh dengan cepat pada suhu 35 C dan pada suhu 40 C dapat mematikan. Kecerahan Kecerahan merupakan jarak yang dapat ditembus cahaya matahari ke dalam perairan. Semakin jauh jarak tembus cahaya matahari, semakin luas daerah yang memungkinkan terjadinya fotosintesa. Kecerahan ini berbanding terbalik dengan kekeruhan (Nybakken, 1988). Menurut Effendie (2000), kecerahan adalah ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk atau lebih dikenal dengan sebutan kecerahan. Nilai kecerahan dinyatakan dengan satuan meter dan hasilnya sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengamatan, kekeruhan

23 9 dan padatan tersuspensi serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran. Menurut Kadi dan Atmadja (1988) mutu dan banyaknya cahaya berpengaruh terhadap produksi dan pertumbuhan rumput laut. Menurut Archibold (1995), bahwa persaingan untuk mendapatkan cahaya dianggap sebagai faktor paling penting yang mempengaruhi penyebaran species rumput laut. Kemampuan daya tembus sinar matahari ke perairan sangat ditentukan oleh warna perairan, kandungan bahan-bahan organik maupun anorganik yang tersuspensi di perairan, kepadatan plankton, jasad renik dan detritus. Menurut Rorrer et al. (2004), bahwa alga coklat (L. sacharina) dapat tumbuh dengan intensitas cahaya (dp < 1 mm), alga hijau ( A. coalita) (dp < 3 mm) dan alga merah (A. subulata, O. secundiramea) (dp = 1,6 mm 8 mm). Selanjutnya rumput laut jenis (A. coalita) intensitas cahaya (10 80 mm) dapat tumbuh 15%/hari. Menurut Levina (1984), Jones (1993), Msuya dan Neori (2002), bahwa sinar matahari berfungsi dalam proses fotosintesa dalam sel rumput laut. Total Suspended Solid (TSS) Total Padatan Tersuspensi atau Total Suspended Solid (TSS) didefinisikan sebagai bahan-bahan tersuspensi (diameter > 1 µm) yang tertahan pada saringan miliopore dengan diameter pori 0.45 µm. TSS terdiri dari lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik. Penyebab TSS di perairan yang utama adalah kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air. Konsentrasi TSS apabila terlalu tinggi akan menghambat penetrasi cahaya ke dalam air dan mengakibatkan terganggunya proses fotosintesis. Penyebaran TSS di perairan pantai dan estuari dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik antara lain angin, curah hujan, gelombang, arus, dan pasang surut (Effendi, 2000). Sastrawijaya (2000) menyatakan bahwa konsentrasi TSS dalam perairan umumnya terdiri dari fitoplankton, zooplankton, limbah manusia, limbah hewan, lumpur, sisa tanaman dan hewan, serta limbah industri. Menurut Effendi (2000) bahan-bahan yang tersuspensi di perairan alami tidak bersifat toksik, akan tetapi jika jumlahnya berlebihan dapat meningkatkan nilai kekeruhan yang selanjutnya menghambat penetrasi cahaya matahari ke kolom air. Nilai TSS dapat dipengaruhi oleh musim. Sebagai contoh, TSS di Teluk Jakarta mengalami fluktuasi tahunan yang hampir sama. Konsentrasi TSS maksimum dicapai pada bulan Januari (musim hujan) dan bulan Agustus (musim kemarau), sedangkan konsentrasi TSS minimum ditemukan pada bulan Mei (musim peralihan hujan - kemarau) dan bulan November (musim peralihan kemarau - hujan). Konsentrasi TSS tertinggi yang pernah dicapai pada bulanbulan maksimum tahunan (Januari dan Agustus) adalah mg/l dan 42.0 mg/l, sedangkan pada bulan-bulan minimum tahunan (Mei - November) adalah 24.8 mg/l dan 19.0 mg/l (Setiapermana et al. 1980). Teknologi penginderaan jauh telah banyak diaplikasikan untuk mempelajari kualitas perairan, salah satunya adalah TSS dan kecerahan. Kualitas perairan memiliki penetrasi cahaya yang berbeda pada daerah tertentu, dapat diketahui dengan teknik multispektral (Barrett dan Curtis, 1982). Keberadaan materi-materi organik dan anorganik yang tersuspensi mempengaruhi nilai pantulan (reflektansi) dari suatu badan air. Informasi tentang nilai pantulan pada cahaya tampak dari badan air dapat digunakan untuk memberi

24 10 gambaran kondisi dan kualitas perairan. Kekeruhan yang disebabkan oleh TSS adalah salah satu faktor yang mempengaruhi sifat spektral suatu badan air. Air yang keruh mempunyai nilai reflektansi yang lebih tinggi daripada air jernih (Hasyim, 1997). Keberadaan TSS pada permukan air dapat digolongkan sesuai dengan warnanya ke dalam kelas-kelas tertentu. Menurut Robinson (1985), berdasarkan sifat optiknya perairan dibagi menjadi 2, perairan kasus I yaitu perairan yang sifat optiknya didominasi oleh fitoplankton dan perairan kasus II yaitu perairan yang sifat optiknya didominasi oleh bahan-bahan tersuspensi selain fitoplankton seperti bahan anorganik atau substansi kuning (yellow substance). Ketentuan TSS pada perairan laut untuk budidaya dimuat dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup yaitu Kep.Men.02/MenKLH/I/1988 tentang Kualitas Air Laut untuk Budidaya Laut. Pada level yang diperbolehkan nilai TSS mencapai 80 sedang nilai TSS yang diinginkan yaitu lebih kecil (<) dari 25. Ketentuan ini juga dapat digunakan untuk menilai kualitas air untuk peruntukan budidaya rumput laut. Arus Arus dan gerakan air mempunyai pengaruh yang besar terhadap aerasi, transportasi nutrien, dan pengadukan air yang besar pengaruhnya terhadap keberadaan oksigen terlarut untuk menjaga kestabilan suhu (Trono dan Fortes, 1988), Peranan lain arus adalah menghindarkan akumulasi lumpur dan epifit yang melekat pada thallus yang dapat menghalangi pertumbuhan rumput laut. Semakin kuat arusnya, pertumbuhan rumput laut akan semakin cepat karena difusi nutrien ke dalam sel tanaman semakin banyak sehingga metabolisme dipercepat (Soegiarto et al. 1979). Menurut Tiensongrusmee, (1990) dalam Radiarta, et al. (2007), bahwa arus merupakan faktor yang dapat mengontrol dan mempengaruhi pertumbuhan rumput laut. Arus berperan penting bagi penyediaan nutrien dalam perairan dan dapat mengontrol peningkatan suhu air. Menurut Sulistijo (1987), bahwa arus yang kuat, gelombang yang besar dengan disertai angin menyebabkan terjadinya kerusakan pada rumput laut seperti terputusnya thallus, robek ataupun terlepas dari substratnya dan pelepasan spora yang baru menempel pada substrat tertentu. Menurut Sulistijo (1987) bahwa salah satu syarat untuk menentukan lokasi Eucheuma adalah adanya arus dengan kecepatan 0,33 0,66 m/s. Selain itu penyerapan unsur hara akan terhambat karena belum sempat terserap, telah terbawa kembali oleh arus gelombang. Agar rumput laut dapat menempel pada substratnya, maka spora rumput laut lebih menyenangi perairan dengan arus yang tenang. Kedalaman Perairan Kedalaman perairan rata-rata yang diperlukan untuk pertumbuhan rumput laut tergantung pada jumlah intensitas cahaya matahari. Menurut Kadi dan Atmadja (1988), kedalaman yang ideal bagi pertumbuhan rumput laut di Kepulauan Seribu dengan metode dasar adalah 0,3 0,6 m pada saat surut terendah. Keadaan yang demikian dapat mencegah kekeringan bagi tanaman.

25 11 Salinitas Salinitas laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai. Masing-masing rumput laut dapat tumbuh dengan baik pada kisaran salinitas tertentu tergantung pada toleransinya dan adaptasinya terhadap lingkungan (Tromo dan Fortes, 1988). Penyebaran rumput laut juga ditentukan oleh adanya percampuran air tawar dan sungai. Pengaruh salinitas dapat dilihat dengan membandingkan komposisi species rumput laut di dekat muara sungai dengan daerah terumbu karang. Rumput laut (Gracilaria) dapat tumbuh pada kisaran salinitas yang tinggi dan tahan sampai 50 ppt. Gelidium hidup pada perairan yang memiliki kisaran salinitas antara ppt. Gelidium yang tumbuh pada perairan indonesia adalah yang menyukai salinitas tinggi yaitu 30 ppt (Aslan, 1988). ph Derajat keasaman (ph) merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan rumput laut (Luning, 1990). Menurut Kadi dan Atmaja (1988), derajat keasaman (ph) yang baik bagi pertumbuhan rumput laut jenis Eucheuma sp. berkisar antara 7 9 dengan kisaran optimum 7,3 8,2. Menurut Sulistijo (1987), ph air laut berkisar antara 7,9 8,3. Dengan meningkatnya ph akan berpengaruh terhadap kehidupan rumput laut. Kisaran toleransi ph dimana alga ditemukan adalah sebesar 6,8 9,6 (Luning, 1990). Menurut Luning (1990), bahwa perubahan ph perairan, baik ke arah alkali (ph naik) maupun ke arah asam (ph turun) akan mengganggu kehidupan rumput laut dan organisme akuatik lainnya. Nilai ph sangat penting diketahui karena banyak reaksi kimia dan biokimia yang terjadi pada tingkat ph tertentu. Perairan yang menerima limbah organik dalam jumlah yang besar berpotensi memiliki tingkat keasaman yang tinggi. Nutrien Rumput laut sebagai tanaman berklorofil memerlukan nutrien sebagai bahan baku fotosintesa. Unsur fosfor dan nitrogen diperlukan rumput laut bagi pertumbuhannya. Umumnya unsur fosfor yang dapat diserap oleh rumput laut dalam bentuk orthofosfat. Sedangkan nitrogen diserap dalam bentuk nitrat, nitrit maupun amonium (Dawes, 1981). Menurut Sulistijo (1987) bahwa kandungan nitrat yang mampu mendukung kehidupan dan pertumbuhan rumput laut adalah lebih besar dari 0,014 ppm. Selanjutnya Law (1969) dalam Syahputra, (2005) bahwa perairan dengan kandungan fosfat di atas 0,110 ppm adalah tergolong perairan dengan kriteria subur. Kandungan Oksigen Terlarut (DO) Oksigen terlarut dalam air dapat berasal dari proses difusi dari udara dan hasil dari proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tanaman air lainnya. Oksigen terlarut merupakan unsur penting yang diperlukan dalam melakukan proses respirasi dan menguraikan zat organik oleh mikroorganisme. Oksigen terlarut (dissolved oxygen) di dalam perairan merupakan zat yang utama bagi kehidupan akuatik, terutama ikan, mikroorganisme dan tumbuhan air termasuk rumput laut (Levina, 1984). Dalam proses metabolisme, pertumbuhan dan perkembang biakan rumput laut memerlukan oksigen (Rahayu, 1991).

26 12 Selanjutnya menyatakan bahwa oksigen di perairan dapat dijadikan petunjuk dalam proses dekomposisi yang dilakukan oleh bakteri. Proses dekomposisi ini memerlukan oksigen terlarut dalam jumlah yang banyak. Rendahnya kandungan oksigen disebabkan oleh pesatnya aktivitas bakteri dalam menguraikan bahan organik di perairan dapat menghambat pertumbuhan rumput laut. Oksigen terlarut (DO) pada umumnya banyak dijumpai di lapisan permukaan, oleh karena gas oksigen berasal dari udara di dekatnya melakukan pelarutan (difusi) ke dalam air laut. Fitoplankton juga membantu menambah jumlah kadar oksigen terlarut pada lapisan permukaan diwaktu siang hari. Penambahan ini disebabkan oleh terlepasnya gas oksigen sebagai hasil dari fotosintesis. Air laut mengandung sejumlah gas-gas terlarut di dalamnya. Semua gas-gas yang terdapat di atmosfir dapat dijumpai dalam air laut, walaupun dalam jumlah yang tidak sama seperti yang ada di udara. Gas oksigen terlarut sangat penting, karena gas ini sangat dibutuhkan oleh organisme air. Kelarutan oksigen di laut sangat penting artinya dalam mempengaruhi keseimbangan kimia air laut dan juga dalam kehidupan organisme. Oksigen dibutuhkan oleh hewan dan tanaman air, termasuk bakteri untuk respirasi. Adanya oksigen di laut berasal dari fotosintesis tanaman air dan fitoplankton serta adanya proses pertukaran dengan udara di atasnya. Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD) COD menggambarkan kandungan bahan organik dan anorganik di perairan. Muatan bahan organik yang ada dapat diketahui dengan menghitung konsentrasi oksigen berdasarkan reaksi dari suatu bahan oksidasi (Alaerts dan Santika, 1987). Nilai COD (Chemical Oxygen Demand) menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi secara kimia bahan organik baik yang bisa didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar degradasi secara biologi (non- biodegradable), menjadi CO 2 dan H 2 S. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang diperlukan dalam mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988). Menurut Widigdo (2002) dalam Sitorus, et al. (2005), bahwa tambak intensif menghasilkan limbah TSS sebesar 2,46 ton per musim tanam. Sedangkan menurut Boyd (2003) dalam Sitorus, et al. (2005), bahwa TSS yang berasal dari buangan tambak intensif sekitar 92% merupakan bahan organik. Tingginya konsentrasi TSS di perairan dapat meningkatkan kandungan COD. Keberadaan tambak dan limbah domestik memberikan kontribusi terhadap kelarutan COD di perairan. Sebaliknya, konsentrasi COD pada perairan yang jauh dari lokasi tambak dan pemukiman cenderung menurun, karena terjadinya proses pengenceran terhadap konsentrasi COD di dalam perairan. Perairan yang memiliki kandungan COD tinggi tidak diinginkan bagi kepentingan perikanan khususnya rumput laut. Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/liter, sedangkan pada perairan yang tercemar melebihi 200 mg/liter dan pada limbah industri dapat mencapai mg/liter (UNESCO/WHO/UNEP, 1992).

27 13 Logam Berat (cadmium (Cd), copper (Co), zinc (Zc), besi (Fe), mercury (Cu) dan timbal (Pb)) Kualitas perairan sangat ditentukan oleh adanya logam berat (Chou, et al. 2004). Logam berat (Pb, Cu, Cr, Zn dan lainnya) biasanya sangat sedikit sekali ditemukan dalam air secara alamiah yaitu kurang dari 1 mg/liter. Bila terjadi pencemaran yang disebabkan oleh buangan limbah dan bahan kimia lainnya kosentrasi logam berat (Pb) akan meningkat Contoh kasus di perairan Teluk Loreto California Mexico ditemukan rumput laut yang hidup di sekitarnya mengandung kadnium (Cd) dalam kosentrasi cukup tinggi yang bersumber dari buangan limbah industri dan peleburan timbal (Pb) (Rodriquez, et al. 2002). Demikian juga pada alga merah (P. colombina) di Gulf San Jorge Argentina sudah banyak terkontaminasi dengan logam berat (Cu, Cr, dan Zn) (Muse, at al, 1999). Berkaitan dengan contoh kasus di atas, apabila dalam rumput laut mengandung logam berat (Pb) yang cukup tinggi dapat menurunkan nilai jual bahkan dapat ditolak oleh konsumen. Menurut Palupi (1994), standar timbal dalam air yang direkomendasikan 0,10 mg/liter, dan air laut 0,03 mg/liter Selanjutnya Suwirma, et al. (1981), batas rekomendasi timbal (Pb) hasil perikanan untuk konsumsi manusia 2,0 mg/liter. Sedangkan spesifikasi mutu karaginan yang ditetapkan oleh Food Chemical Codex (1981) mengandung timbal (Pb) sebesar 0,004%. Selanjutnya standar mutu yang baik untuk rumput laut yang diekstraksi menjadi asam alginat, natrium alginat, dan propilen glikol alginat mengandung Pb < 10 mg/liter (King, 1983). Menurut World Health Organization (WHO), beberapa logam berat yang berbahaya antara lain cadmium (Cd), copper (Co), zinc (Zc), besi (Fe), mercury (Cu) dan timbal (Pb) (Handal, 1998) dalam (Kaur, 2008). Menurut Villares et al. (2002), bahwa rumput laut banyak yang terakumulasi logam berat pada berbagai musim baik pada musim panas maupun pada musim dingin. Wright dan Mason, (1999) menemukan logam berat pada alga laut (Enteromorpha, sp) dan (Pelvetia canaliculata) pada musim panas. Konsentrasi logam berat ini akan sangat berpengaruh terhadap alga laut dan organisme lainnya terutama mengganggu kelancaran metabolisme dan reproduksi. Pada berbagai penelitian konsentrasi logam berat pada alga laut ditemukan pada periode pertumbuhan (Catsiki dan Papathanassion, 1993) dalam (Wrigh dan Mason, 1999). Selanjutnya Wright dan Mason (1999), melaporkan bahwa konsentrasi logam berat pada alga laut (Ulva lactuca) terjadi pada musim panas. Menurut Muse, et al. (1999), bahwa pada alga merah (P. columbina) telah terjadi akumulasi dengan logam berat (cu, cr, dan zn) akan tetapi tidak ditemukan adanya logam berat seperti timbal (Pb). Hama dan Penyakit Penyebab kegagalan budidaya rumput laut adalah masalah hama dan penyakit sehingga menimbulkan kerusakan dan kematian tanaman. Organisme pengganggu lainnya, seperti bulu babi (Diadema setosum), bulu babi duri pendek (Tripneustes sp.), ikan-ikan herbivora antara lain beronang (Siganus sp.), ikan kerapu (Epinephellus, sp.) bintang laut (Protorester nodusus), dan penyu hijau (Chelonia mydas). Binatang-binatang laut tertentu seperti molusca dan ikan dapat berpengaruh terhadap persporaan rumput laut dan menghambat pertumbuhan

28 14 rumput laut. Cara menghindari organisme tersebut yaitu dengan pemagaran di sekeliling tanaman dengan jaring (Anggadiredja, et al. 2006). Penyakit yang sering timbul pada rumput laut, khususnya dari jenis Eucheuma sp. yang dikenal dengan nama ice-ice yang menyebabkan tanaman tampak memutih. Ini disebabkan terjadi perubahan lingkungan (arus, suhu dan kecerahan) sehingga memudahkan bakteri hidup. Kerusakan tanaman akibat iceice dapat mencapai 90%, bahkan 100% bila kondisi serangan berlangsung lama. Kondisi ini akan diperparah karena adanya serangan sekunder dari Perifiton yang merupakan mikroorganisme akuatik yang umumnya berukuran plantonik, fitoplankton, maupun zooplankton. Serangan sekunder sebagai lanjutan dari kondisi serangan ice-ice dapat pula dilakukan oleh bakteri patogen seperti Pseudomonas dan Staphylococcus (Ditjenkanbud, 2005). Matrik Kesesuaian Budidaya Rumput Laut Persyaratan ekologis untuk lokasi budidaya rumput laut secara tersirat tertuang dalam ketentuan mutu tentang Kualitas Air Laut untuk Budidaya Laut yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Parameter oseanografi sendiri meliputi kedalaman, arus, substrat dasar, keterlindungan, Suhu, Salinitas, ph, TSS. Tabel 1. Persyaratan ekologis untuk lokasi budidaya rumput laut Euchema cottonii menurut Kep. Men. 02/MenKLH/I/1988 tentang Kualitas Air Laut untuk Budidaya Laut. No. Parameter Satuan Diperbolehkan Diinginkan A. Oseanografi 1 Kedalaman m Arus m/detik Substrat Dasar - Pasir Karang 4 Keterlindungan - Terlindung Sangat terlindung B. Kualitas Air 1 Suhu C alami alami 2 Salinitas ±10% alami 3 ph mg/l TSS - 80 < 25 Adapun bobot menurut Aslan (1988) dan Ditjekanbud (2005), bahwa kecerahan, salinitas, nitrat dan fosfat memperoleh nilai bobot (12%), sedangkan arus, keterlindungan, suhu, kedalaman, gelombang, substrat dan pencemaran nilai bobotnya (8%) (Tabel 2). Matrik kesesuaian untuk lokasi budidaya rumput laut diperoleh dari beberapa literatur hasil penelitian. Besarnya bobot yang diberikan masing-masing parameter berbeda, karena pembobotan dilakukan berdasarkan besarnya kontribusi yang diberikan oleh masing-masing parameter.

29 15 Tabel 2. Matriks Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Rumput Laut Skor (S) Bobot Parameter Satuan Tidak sesuai Sesuai Sangat sesuai (%) Arus cm/s <10 atau > atau Kecerahan m <3 3-5 >5 12 Keterlindungan - terbuka agak terlindung 8 terlindung Suhu 0 C <20 atau > Kedalaman m <2 atau > Gelombang cm > <10 4 Salinitas ppt <28 atau > Nitrat mg/l <0,01 atau >1,0 0,8-1,0 0,01-0,07 12 Phosfat mg/l <0,01 atau >0,30 0,21-0,30 0,10-0,20 12 Substrat - lumpur pasir pasir 8 berlumpur Pencemaran - - sedang tidak ada 8 Jumlah 100 Sumber: Aslan (1988) Menurut Aslan (1988) dan Ditjenkanbud (2005), bahwa pemberian bobot untuk matrik kesesuaian budidaya rumput laut tergantung dari pengaruhnya terhadap pengembangan budidaya rumput laut, artinya bobot yang tinggi diberikan apabila parameter tersebut sangat diutamakan untuk keberhasilan budidaya rumput laut. Sedangkan bobot yang rendah diberikan sebagai pelengkap saja, namun semuanya saling melengkapi. Selanjutnya Bakosurtanal (2005), memberikan bobot yang tinggi pada kedalaman (35%), kecerahan (25%), sedangkan DO, salinitas, suhu dan ph memperoleh bobot yang rendah (10%) (Tabel 3). Tabel 3. Matriks Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Rumput Laut Skor (S) Parameter Satuan S1 S2 S3 N Bobot (%) Kedalaman M Oksigen mg/l >6 > <4 10 Salinitas Ppt > <24 <20 10 Suhu 0 C >31-33 >33-35 >35 10 Kecerahan % > <50 <25 25 ph - 7,5-8,5 >8,5-8,7 6,5-<7 >8,8 10 Jumlah 100 Sumber: Bakosurtanal (2005) Menurut Radiarta, et al. (2005), memberikan bobot yang tinggi pada morfologi dan kedalaman (15%), arus, substrat dasar, kecerahan, dan salinitas memperoleh bobot (10%), dan hewan herbivora, keamanan, keterjangkauan dan tenaga kerja memperoleh bobot (5%) (Tabel 4).

30 16 Tabel 4. Matriks Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Rumput Laut Skor (S) Parameter Satuan S1 S2 S3 N Bobot (%) Kecerahan m 1 4/ ,4 Kedalaman m 3/4 1 3/2 3 0,3 Arus cm/s 1/2 2/ ,2 Gelombang cm 1/4 1/3 1/2 1 0,1 Jumlah 1,0 Sumber: Mubarak, et al. (1990) dan Tiensongrusmee (1990) dalam Radiarta, et al. (2007) Selanjutnya Mubarak, et al. (1990) dan Tiensongrusmee, (1990) dalam Radiarta, et al. (2007) memberikan bobot yang tinggi pada kecerahan (0.4%), kedalaman (0.3%), dan arus (0.2%). Sedangkan gelombang diberikan bobot yang rendah (0.1%) (Tabel 5). Tabel 5. Matriks Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Rumput Laut Parameter Satuan Bobot Nilai (Value) (%) Morfologi 15 Terlindung Cukup terlindung Terbuka Kedalaman m <1&>15 Arus cm/dtk <20&>40 Substrat dasar 10 Pasir dan pecahan Pasir berlumpur Lumpur Kecerahan m 10 >3 1-3 <1 Salinitas ppt <28&>34 Pencemar 10 Tidak ada Sedang Tinggi Hewan herbivora ekor 5 Tidak ada Sedang Tinggi Keamanan 5 Aman Agak aman Tidak aman Keterjangkauan 5 Mudah Agak sulit Sulit Tenaga kerja 5 Mudah Agak sulit Sulit Jumlah 100 Sumber: Radiarta et al. (2005) Menurut Mubarak, et al. (1990) dalam Utojo, et al. (2007), bahwa pembobotan pada setiap faktor pembatas/peubah ditentukan berdasarkan pada dominannya peubah tersebut terhadap suatu peruntukan kelayakan lahan budidaya laut (ikan, rumput laut, dan tiram mutiara). Kemudian diurutkan faktor-faktor pembatas tersebut dimulai dari yang paling berpengaruh terhadap suatu peruntukan. Selanjutnya Mubarak, et al. (1990) dalam Utojo, et al. (2007) memberikan bobot yang paling tinggi pada morfologi, substrat dasar, kecerahan dan logam berat (0.1%), arus, kedalaman, dan salinitas (0.09%), hewan herbivora (0.08%), keterjangkauan (0.07%). Sedangkan tenaga kerja dan keamana bobotnya yang rendah dari parameter sebelumnya (0.06%) (Tabel 6). Untuk parameter yang lain misalnya gelombang, suhu, DO, ph, substrat dasar, biota pengganggu, keamanan, keterjangkauan, dan tenaga kerja merupakan parameter penunjang, namun saling melengkapi artinya tanpa parameter penunjang tidak mungkin suatu usaha budidaya rumput laut dapat berhasil.

31 17 Tabel 6. Matriks Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Rumput Laut Parameter Satuan Bobot Nilai (Value) (%) Morfologi 0,1 Terlindung Agak terlindung Terlindung sesaat Tidak terlindung Substrat dasar 0,1 Pasir dan Pasir Pasir Pasir pecahan karang sedikit berlumpur berlumpur sedang berlumpur banyak Kecerahan % 0, <60 Logam berat mg/l 0,1 <0,01 0,01-0,04 0,03-0,06 >0,06 Arus cm/s 0, <20&>50 Kedalaman m 0, <5&>20 Salinitas ppt 0, <25&>35 Hewan air 0,08 Tidak ada Kurang Banyak Sangat banyak Keterjangkauan 0,07 Lancar Cukup lancar Kurang lancar Tidak lancar Tenaga kerja 0,06 Banyak Cukup tersedia Kurang tersedia Tidak tersedia Keamanan 0,06 Aman Cukup Insidentil Tidak aman Pemasaran 0,06 Lancar Cukup lancar Sumber : Mubarak, et al. (1990) dalam Utojo, et al. (2007) Kurang lancar aman Tidak lancar Dari kelima matrik yang disusun oleh para peneliti tersebut di atas (Tabel 2, 3, 4, 5 dan 6) dapat diambil suatu gambaran bahwa parameter utama yang perlu diperhatikan sebelum melakukan usaha budidaya rumput laut di suatu lokasi adalah kedalaman, kecerahan, salinitas, morfologi, arus, nitrat dan fosfat. Produktivitas Rumput Laut Menurut Neori, et al. (1998), bahwa produksi rumput laut tergantung dari musim, misalnya rumput laut Ulva lactuca rata-rata produksi pada musim panas 292 gram berat basah/hari (52 gram berat kering), dan 83 gram berat basah/hari (15 gram berat kering) pada musim dingin. Menurut (Huang, et al, 1998; Rorrer, 2000), bahwa perkembangan sel dan thallus rumput laut baik secara alami maupun budidaya tidak ada perbedaan yaitu dengan diameter awal 2 8 mm setelah dipelihara hari mencapai 10 mm. Menurut Moll dan Deikman (1995), bahwa rumput laut yang dipelihara dengan ph dan salinitas yang berbeda dapat tumbuh mencapai gram/m2 dengan berat awal 2 3 gram. Selanjutnya Neori, et al. (2000) melaporkan bahwa rumput laut (Ulva lactuca) dapat tumbuh dengan cepat pada suhu rata-rata 18,1 C (musim dingin) dan 31,2 C (musim panas), salinitas 41 ppt, ph (8,5-8,9) dan DO (8, mg/l) dengan rata-rata berat 233 gram berat basah/hari atau 78 kg/tahun. Sedangkan rumput laut (Gracilaria converta) lebih rendah yaitu 14 kg/tahun. Westermeier, et al. (1993) melaporkan bahwa produksi biomass rumput laut (Gracilaria chilensis) berkisar antara 0,6 1,2 kg/musim pada musim dingin (Juli dan September), dan produksi biomass turun dari 0,6 kg/musim menjadi 0,2 kg/musim pada musim semi. Menurut Matos, et al. (2006) bahwa rumput laut

32 18 yang dipelihara pada suhu 17 C dan 21 C, ph 8.46, DO 8 10 mg/l dan salinitas 33 ppt dapat mencapai pertumbuhan maksimum 11,5 gram berat kering /hari. Kandungan Karaginan Rumput Laut Karaginan merupakan polisakarida yang berasal dari hasil ekstraksi alga. Karaginan terdiri dari iota karaginan dan cappa karaginan yang kandungannya sangat bervariasi tergantung musim, spesies, dan habitat (Percival, 1968). Menurut WHO (1999), karaginan adalah suatu polisakarida linier dengan berat molekul di atas 100 kda. Karaginan terdapat dalam dinding sel rumput laut dan merupakan bagian penyusun yang besar dari berat kering rumput laut (Hellebust dan Cragie, 1978; Levring, et al. (1969) dalam Fritsch, (1986). Karaginan rumput laut diperoleh dari hasil bobot kering rumput laut yang diekstrasi dengan metode sederhana skala rumah tangga berkisar antara 54,0 72,8% (Tabel 7). Tabel 7. Kandungan karaginan beberapa rumput laut jenis Euchema yang dinyatakan dalam persen No. Jenis Kandungan karaginan Lokasi 1. Euchema spinosum 72,8 Tanzania 2. Euchema striatum 69,0 Tanzania 3. Euchema platycladum 85,0 Tanzania 4. Euchema okamurai 58,0 Tanzania 5. Euchema spinosum 54,0 Tanzania 6. Euchema spinosum 65,7-67,5 Indonesia 7. Euchema cottonii 61,5 Indonesia Sumber: Gliksman (1983) Menurut Kadi dan Atmaja (1987), bahwa kandungan karaginan dalam rumput laut sangat ditentukan oleh jenisnya, iklim serta lokasi budidaya. Sedangkan kandungan senyawa di dalam rumput laut sangat dipengaruhi oleh musim, habitat dan umur tanaman. Selanjutnya Chen et al. (1973), kandungan karaginan sangat dipengaruhi kondisi setempat (lokasi budidaya). Menurut Papalia (1997) dalam Anonymous (2008), bahwa ketersediaan unsur hara erat kaitannya dengan pembentukan karaginan pada dinding sel rumput laut. Selanjutnya Mayunar (1989) dalam Anonymous (2008), bahwa kualitas dan kuantitas cahaya matahari dalam perairan dapat menambah pigmen fitoentrim pada rumput laut sehingga dapat meningkatkan kandungan karaginan rumput laut. Aplikasi SIG dalam Penataan Ruang Pesisir untuk Budidaya Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah suatu sistem komputer yang mempunyai kemampuan pemasukan, pengambilan, analisis data, dan tampilan data geografi yang sangat berguna bagi pengambilan keputusan (Esri, 1990; Burrough, 1986; Burrough dan McDonnel, 1998). Dengan menggunakan SIG kita dengan mudah dan cepat dapat melakukan analisis keruangan (spasial analysis) dan pemantauan terhadap perubahan lingkungan wilayah pesisir (Gunawan, 1998). Menurut Maguire (1991), bahwa teknologi SIG dikembangkan dan diintegrasi dari beberapa konsep dan teknik seperti Geografi, Statistika, Kartografi, Ilmu Komputer, Biologi, Matematika, Ekonomi dan Ilmu Geologi. Beberapa penelitian budidaya laut yang melakukan pendekatan SIG untuk analisa

33 19 daya dukung lingkungan perairan antara lain : (Ross et al. 1993; Ismail, et al. 1996; Ismail, et al. 1998; Tarunamulia et al. 2001; Radiartha, et al. 2003). Menurut Ross, et al. (1993), bahwa faktor utama yang diperlukan untuk menentukan kelayakan budidaya ikan salmon dalam KJA di laut antara lain : kedalaman, kecepatan arus, salinitas, temperatur dan oksigen terlarut. Hasil analisa SIG diperoleh luasan lokasi yang cocok untuk KJA di teluk Camas Bruaich Ruaidhe di wilayah Scotlandia sebesar 1,26 ha yang terletak di kawasan tengah bagian selatan teluk. Menurut Ismail, et al. (1996), bahwa pemilihan lokasi untuk KJA reservat didasarkan atas kriteria yang telah ditentukan baik teknis (kondisi perairan dan padang lamun) maupun non teknis (mudah tidaknya memperoleh induk, keamanan, lingkungan, tenaga kerja, dll). Hasil analisa SIG ternyata perairan Tanjung Duku Dompak Kepulauan Riau memperoleh skor yang paling tinggi (4,57). Selanjutnya Ismail, et al. (1998) menyatakan bahwa penempatan panti benih terapung ikan karang dilakukan atas dasar parameter teknis dan non teknis meliputi kualitas air, kesuburan air, ekosistem, ketersediaan induk dan kemudahan mencapai lokasi, bahan KJA, tenaga kerja, keamanan, sarana, masyarakat dan pasar. Hasil yang diperoleh bahwa perairan selatan Pulau Bintan memiliki lokasi yang lebih baik daripada perairan kepulauan Karimun Jawa dan memiliki skor paling tinggi yaitu 512,5. Hasil analisa SIG diperoleh lokasi seluas ha yang ideal untuk pengembangan budidaya laut di teluk Ekas, Tarunamulia, et al. (2001) melaporkan bahwa faktor resiko, oseanografi dan kemudahan menjadi acuan secara umum untuk mendukung usaha budidaya dalam KJA di teluk Pare-pare. Hasil perhitungan dengan menggunakan GIS, dari luas teluk ha, diperoleh 2.185,67 ha tergolong layak dan 783,45 ha tergolong layak sedang. Menurut Radiarta, et al. (2003) bahwa penentuan lokasi untuk budidaya laut berdasarkan penggabungan beberapa faktor internal (kualitas perairan) dengan SIG serta memperhatikan faktor eksternal (penduduk, jalan, dll). Penataan Ruang dan Zonasi Kawasan Pesisir Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 yang telah diperbaharui dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang disebutkan bahwa ruang didefinisikan sebagai wadah kehidupan yang meliputi ruang darat, laut dan udara termasuk di dalamnya tanah, air, udara dan benda lainnya sebagai satu kesatuan kawasan tempat manusia dengan makhluk hidup lainnya melakukan kegiatan demi memelihara kelangsungan hidupnya. Sedangkan tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang wilayah nasional, ruang wilayah Propinsi, ruang wilayah Kabupaten, dan ruang wilayah tertentu yang mencakup perkotaan dan pedesaan, yang menunjukan adanya hirarki dan keterkaitan pemanfaatan ruang. Selama ini, rencana tata ruang yang disusun dan digunakan lebih berorientasi pada wilayah daratan dan belum banyak memperhatikan wilayah pesisir dan laut seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Tata Ruang sebagaimana yang tersebut di atas, padahal perencanaan penataan ruang wilayah pesisir dan laut itu sendiri tidak dapat dipisah-pisahkan dari produk Rencana Tata ruang Wilayah Nasional, Propinsi dan Kabupaten/Kota. Seiring diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

34 20 Pemerintahan Daerah, maka terjadi perubahan paradigma pembangunan dari pendekatan sektoral ke arah pendekatan wilayah. Pembangunan dengan pendekatan sektoral yang selama ini dilakukan kurang memperhatikan segi spasial sehingga sering terjadi konflik kepentingan antara stakeholders dalam pemanfaatan ruang dan sumberdaya alam yang tersedia di wilayah tersebut. Untuk itu diharapkan dengan adanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini maka pembangunan sektoral dengan pola vertikal-sentralistik dapat bergeser dari pembangunan wilayah dengan pola koordinatif-desentralistik, upaya koodinasi pembangunan dapat dilakukan antara lain dengan berpedoman pada Rencana Tata Ruang. Untuk itu penataan ruang wilayah pesisir juga sangat diperlukan dalam optimalisasi pemanfaatan ruang. Wilayah pesisir merupakan wilayah yang dinamis tetapi juga sangat rawan. Dinamis karena wilayah ini merupakan pertemuan antara ekosistem darat dan ekosistem laut dimana mengandung berbagai sumberdaya yang cukup potensial baik hayati, non hayati maupun jasajasa lingkungan. Rawan karena wilayah pesisir berpotensi besar terhadap perubahan dan tekanan akibat interaksi manusia dengan berbagai ekosistem yang ada. Perkembangan pembangunan di suatu wilayah pesisir melalui berbagai aktivitas seperti pemukiman, pertanian, perikanan, industri, pariwisata, perhubungan dan lain-lain telah membawa kecenderungan menurunnya atau bahkan rusaknya kondisi biofisik di wilayah pesisir tersebut. Keadaan ini berdampak pada berbagai masalah lingkungan seperti erosi, sedimentasi, polusi atau pencemaran. Pemanfaatan ruang pesisir yang tidak terencana akan berakibat buruk, selain dalam penggunaan lahan itu sendiri juga pada perairan yang merupakan habitat berbagai biota laut. Berbeda dengan wilayah daratan, paradigma yang dikembangkan di wilayah pesisir bersifat lebih kompleks karena disamping tempat bermuaranya segala kegiatan, wilayah pesisir juga merupakan tempat bertemunya berbagai macam ekosistem, oleh karenanya dalam penataan ruang pesisir perlu diupayakan cara atau metode yang tidak hanya sekedar mengadopsi tata ruang daratan, tetapi perlu dikembangkan suatu rencana kelola dengan pendekatan keruangan yang bisa mengakomodir kepentingan berbagai stakeholders. Harapan ini akan lebih realistis dan dapat dipertanggungjawabkan jika kita dapat menempatkan pola pemanfaatan ruang dan arahan pengembangan berdasarkan analisis kesesuaian lahan (Dahuri, et al. 1997). Zonasi wilayah pesisir dan laut adalah pengalokasian pesisir dan laut ke dalam zona-zona yang sesuai dengan maksud dan keinginan pemanfaatan setiap zona. Rencana ini menerangkan nama zona yang terseleksi dan kondisi zona yang dapat ditetapkan peruntukannya bagi setiap kegiatan pembangunan yang didasarkan pada persyaratan-persyaratan pembangunan. Suatu zona adalah suatu kawasan yang memiliki kesamaan karakteristik fisik, biologi, ekologi dan ekonomi dan ditentukan oleh kriteria terpilih (Ditjen Bangda Depdagri, 1998). Penyusunan zonasi ini dimaksudkan untuk menciptakan keharmonisan spasial, yaitu bahwa dalam suatu pesisir dan lautan hendaknya tidak seluruhnya diperuntukan bagi kawasan pembangunan, namun juga menyediakan lahan bagi zona preservasi dan konservasi.

35 Zona preservasi adalah zona dimana tidak dibenarkan adanya suatu kegiatan yang bersifat ekstraksi kecuali untuk kegiatan penelitian. Zona konservasi adalah suatu zona yang masih dimungkinkan adanya pembangunan namun dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah berkelanjutan (Odum, 1989). Kawasan budidaya adalah kawasan yang telah ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan. Bagian dari suatu wilayah tersebut memiliki fungsi budidaya dengan telah dipertimbangkan daya dukung lingkungan (Sugandhy, 1999). 21

36 22 METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) yang mempunyai potensi sumber daya pesisir seperti: Pesisir Kecamatan Poto Tano, Taliwang, Jereweh, dan Sekongkang. Untuk wilayah yang telah memiliki usaha budidaya rumput laut yaitu seperti Poto Tano dan Taliwang (Gambar 3), penelitian dilakukan untuk mengetahui optimalisasi pemanfaatan lahan. Sedang untuk Jereweh dan Sekongkang untuk meneliti peruntukan wilayah pesisir laut yang sesuai untuk pengembangan kawasan budidaya rumput laut. Pengambilan data dilakukan di empat wilayah perairan kecamatan pesisir, dengan masing-masing dua hingga tiga titik pengambilan sampel. Direncanakan, dengan jarak ±0,5 sampai 1 km dari garis pantai ke arah laut, atau batas kedalaman yang masih memungkinkan untuk pengembangan budidaya rumput laut. Penelitian lapangan untuk pengumpulan data primer dan sekunder sudah dilakukan selama 3 (tiga) bulan yaitu pada bulan September hingga Oktober Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode survei ground check yang dirancang berdasarkan GIS (Geografic Information System). Penentuan lokasi pengamatan dilakukan dengan teknik purposive sampling. Menurut Hadi (2005), bahwa penentuan titik pengambilan sampel air muara atau air laut pada kedalaman tertentu didasarkan pada perbedaan suhu dan salinitas. Untuk daerah pantai atau pelabuhan dengan kedalaman kurang dari 5 meter, titik pengambilannya adalah pada satu meter di bawah permukaan, bagian tengah, dan 0,5 meter di atas dasar laut (Hutagalung, 1997). Selain itu, penentuan lokasi atau stasiun penelitian juga memperhatikan faktor keterlindungan dengan melihat keberadaan teluk atau pulau-pulau kecil yang berada di depan daratan besar. Faktor keterlindungan akan mempengaruhi besaran gelombang dan kecepatan arus yang sesuai untuk budidaya rumput laut. Pengambilan sampel kualitas air dilakukan pada pukul WITA. Pengamatan parameter fisika, kimia dan biologi pada penelitian meliputi DO, ph, nitrat, fosfat, COD, Logam Berat, suhu, kedalaman, kecerahan, salinitas, arus dan hama penyakit. Untuk mengetahui produksi rumput laut dan kandungan karaginan dilakukan proses wawancara dan studi literatur.

37 Gambar 3. Lokasi Penelitian 23

38 24 Teknik Pengumpulan Data Data Parameter Fisika, Kimia, dan Biologi Data primer dikumpulkan secara langsung di lapangan pada setiap stasiun. Parameter yang diamati/diukur meliputi parameter fisika, kimia dan biologi. Secara rinci parameter yang diamati/diukur disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Parameter fisika, kimia dan biologi yang diamati selama penelitian No Parameter Alat Pengukuran 1. Fisika Kecerahan Suhu Kecepatan Arus Kedalaman Secchi disk Termometer Kit current meter dan stopwatch Tali penduga dan meteran Frekwensi (Kali) Keterangan Insitu Insitu Insitu Insitu 2. Kimia Salinitas ph Fosfat Nitrat DO COD Logam berat Refraktometer ph meter Spektrofotometri Spektrofotometri DO meter Spektrofotometri Spektrofotometri Insitu Insitu Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium 3. Biologi Hama Pengganggu Frekuensi : Satu kali pengambilan Visual dan Wawancara - A. Parameter Fisika Parameter fisika yang diamati meliputi : Kecerahan (m), alat yang digunakan untuk mengukur kecerahan adalah secci disk, alat ini diturunkan sampai kedalaman tertentu kemudian diukur kecerahannya sampai dengan batas penglihatan. Suhu permukaan ( C), alat yang digunakan adalah termometer dengan dicelupkan sampai kedalaman ± 30 cm. Kecepatan arus (m/detik), alat yang digunakan adalah current meter dan stopwatch. Cara pengukurannya dengan menurunkan alat tersebut ke dalam air sampai pada kedalaman tertentu atau ± 30 cm dari permukaan air. Untuk mendapatkan nilai kecepatan arus maka dihitung sampai sejauhmana alat tersebut dibawa oleh arus. Standar yang digunakan adalah tali yang diikatkan pada current meter. Apabila current meter tersebut berpindah atau dibawa oleh arus, maka tali itu akan renggang, sehingga dengan demikian dapat ketahui bahwa current meter tersebut sudah berpindah sepanjang tali yang telah ditentukan. Misalnya panjang tali 5 meter, memerlukan waktu beberapa menit berpindah dari tempat semula. Dari uraian tersebut dapat diperjelas dengan rumus V = L/S dimana V = kecepatan arus (m/s), L = jarak tempuh (m), dan S = waktu (detik). Selanjutnya untuk kedalaman perairan (m) diukur dengan menggunakan alat meteran dan tali penduga. Secara keseluruhan pengamatan parameter fisika perairan dilakukan secara langsung di lapangan.

39 25 B. Parameter Kimia Pengambilan contoh air untuk mengukur parameter kimia dilakukan pada minggu kedua, keempat dan keenam. Contoh air diambil dengan menggunakan kemmerer water sampler, secara vertikal yaitu permukaan (± 30 cm dari atas permukaan), pertengahan (± 1.5 m atau tergantung kedalaman air) dan dasar (± 30 cm dari dasar). Beberapa parameter kimia meliputi : salinitas (ppt), alat yang digunakan adalah refraktometer dengan mengambil contoh air permukaan lalu diukur salinitasnya; ph diukur langsung ke lapangan dengan mencelupkan kertas ph indikator ke dalam air lalu dibandingkan warna yang ada di tabel; kelarutan oksigen (DO) diukur secara langsung di lapangan dengan cara titrasi (metode winkler). Sedangkan fosfat, nitrat, COD, dan logam berat, contoh air diambil langsung pada setiap stasiun pengamatan dengan menggunakan kemmerer water sampler kemudian disimpan dalam botol sampel setelah terlebih dahulu dilakukan pengawetan dengan asam sulfat (H 2 SO4) kemudian disimpan dalam box yang berisi es. Selanjutnya dianalisis di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan MSP-IPB Bogor. C. Parameter Biologi Untuk hama pengganggu, pengamatan dilakukan dengan metode visual sensus dan wawancara langsung dengan nelayan. Pengamatan secara visual yaitu pengamatan untuk mengetahui jumlah hama pengganggu baik yang menempel langsung ke thallus rumput laut maupun yang berada di dasar perairan. Metode pengamatan yang digunakan adalah metode sensus yaitu dengan melakukan pengamatan langsung pada thallus rumput laut dan snorkling di sekitar area budidaya rumput laut. Untuk mengelilingi area tersebut dengan menggunakan sampan supaya memudahkan mengamati hama yang menempel pada thallus rumput laut. Sedangkan untuk mengamati hama yang ada di dasar perairan dengan melakukan snorkling di permukaan air. Metode pengamatan sensus ini diawali dengan pemasangan garis transek dengan ukuran 50 m dengan menarik garis lurus ke depan dengan perkiraan jarak pandang pada waktu snorkling ke arah kanan 2,5 m dan ke arah kiri 2,5 m sehingga keseluruhan 5 m (English, et al, 1994). Luasan area budidaya rumput laut dalam satu stasiun pengamatan seluas m 2 (10 tali). Dalam pengamatan satu tali membutuhkan waktu 30 menit dan untuk 10 tali membutuhkan waktu 300 menit atau 5 jam/petak (stasiun) pengamatan. Selama pengamatan berlangsung, direncanakan, akan dicatat apa yang diamati meliputi bulu babi (Tripneustes) dan teripang yang menempel pada thallus rumput laut. Serta jenis ikan seperti ikan beronang (Siganus spp.), ikan kerapu (Epinephelus sp.), avertebrata air seperti bintang laut (Protoneustes nodosus), dan penyu hijau (Chelonia midas) digunakan metode snorkling yaitu pengamatan secara visual di permukaan air sambil berenang lurus ke depan sampai sejauh 50 m. Untuk membantu penglihatan di dalam air maka digunakan masker dan alat bantu pernapasan. Produksi Untuk menghitung produksi rumput laut, maka dilakukan pengambilan sampel rumput laut yang dibudidayakan oleh nelayan. Budidaya rumput laut biasanya dilakukan dengan menggunakan tali. Ada 2 (dua) jenis tali untuk budidaya rumput laut yaitu tali induk dan tali ris. Tali induk adalah tali utama

40 26 tempat tali ris diikatkan. Sedangkan tali ris adalah tali dimana rumput laut diikatkan. Lebar ke samping (tali induk atau tali untuk mengikatkan tali ris) 20 m, panjang tali ris (tali untuk mengikatkan rumput laut) 50 m, jarak antara tali ris (tali tempat rumput laut diikatkan) ± 2 m, dan jarak tanam antar rumpun ± 25 cm. Satu unit budidaya biasanya terdiri dari 10 (sepuluh) tali ris. Satu nelayan biasanya memiliki 5 10 unit budidaya dan lama pemeliharaan biasanya hari. Satu unit budidaya akan menggunakan lahan seluas 1000 m 2 atau satu unit budidaya terdiri dari 2000 rumpun / 1000 m 2 (Gambar 4). Gambar 4. Metode Budidaya Long Line Data yang diambil untuk menghitung produksi rumput laut diambil dengan cara ditimbang berat rumput laut saat awal budidaya dan pada saat panen. Pemeliharaan rumput laut dilakukan oleh nelayan (petani). Satu unit budidaya terdiri dari 10 tali ris. Jarak antara tali ris dengan tali ris yang lain ± 2 m. Jadi secara keseluruhan banyaknya ikatan rumput laut 200 rumpun/tali ris atau rumpun/1.000 m 2. Dalam satu stasiun, pengambilan sampel hanya diwakili oleh satu nelayan dan diambil 10 (sepuluh) tali ris dan dari masing-masing tali ris diambil untuk ditimbang secara keseluruhan. Untuk menghitung produksi rumput laut maka rumput laut tersebut terlebih dahulu ditimbang dalam keadaan basah sebelum dibudidayakan sebagai berat awal (B0). Berat awal (B0) adalah berat rumput laut sebelum dibudidayakan. Setelah ditimbang rumput laut tersebut diikatkan pada tali ris, dan tali ris (tali pemeliharaan) tersebut diikatkan pada tali induk. Untuk menjaga kemungkinan kematian atau rusak pada rumput laut yang telah diikatkan sebagai sampel maka dipersiapkan 1 (satu) tali ris sebagai pengganti (yang sebelumnya juga sudah ditimbang) yang ditempatkan pada lokasi yang berdekatan. Hal ini dimaksudkan supaya memudahkan dalam pengukuran berat

41 27 panen. Sebelum ditimbang, rumput laut terlebih dahulu dicuci dengan menggunakan air laut supaya bersih dari kotoran dan biota penempel lainnya. Untuk mendapatkan nilai produksi/ha maka dilakukan perhitungan sebagai berikut : Berat panen total (Bp) / tali ris dibagi dengan luas panen budidaya atau dapat digambarkan sebagai berikut: Keterangan : P = Produksi total (kg/ha) Bp = Berat panen (kg) Lp = Luas panen (ha) Pengumpulan data sekunder Data sekunder antara lain diperoleh dari hasil-hasil penelitian, literaturliteratur penunjang dan peta-peta yang berhubungan dengan lokasi penelitian. Analisa Data Analisis Kualitas Perairan dan Identifikasi Jenis Rumput Laut Analisis kualitas air dilakukan secara deskriptif terhadap hasil pengukuran yang diperoleh di lapang dengan membandingkan dengan baku mutu kualitas air yang dikeluarkan oleh KLH untuk kepentingan budidaya atau standar kriteria, batasan yang digunakan oleh para pakar yang berkecimpung dalam bidang budidaya rumput laut. Identifikasi jenis rumput laut dilakukan dengan melihat dan membandingkan sampel rumput laut yang diperoleh di lokasi dengan situs elektronik Analisis Kesesuaian Lokasi Budidaya Rumput Laut Tahap awal dari analisis kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut meliputi penyusunan matrik kesesuaian yang merupakan dasar untuk analisa keruangan. Matrik ini disusun melalui studi pustaka sehingga sapat diketahui parameter-parameter lingkungan yang menjadi syarat untuk kegiatan budidaya rumput laut. Kriteria yang digunakan dalam penyusunan matrik untuk menentukan kelayakan lokasi budidaya rumput laut mengacu pada kriteria yang telah disusun oleh KLH (1988 dan 2004), Aslan (1988) serta kriteria lain yang relevan. Secara umum terdapat empat tahapan analisis yang akan dilakukan, yaitu; (1) penyusunan peta kawasan, (2) penyusunan matrik kesesuaian, (3) pembobotan dan pengharkatan, dan (4) melakukan analisis spasial untuk kesesuaian budidaya rumput laut. A. Penyusunan peta kawasan Penggunaan kawasan mengacu pada kenyataan bagaimana kawasan tersebut digunakan. Penentuan kategori penggunaan kawasan didasarkan pada jenis penggunaan yang dominan pada kawasan tersebut. Jenis-jenis kegiatan yang memiliki kesamaan karakteristik digolongkan ke dalam satu kategori dan dapat diperhitungkan sebagai satu jenis dalam dominannya. Penyusunan peta kawasan dilakukan dengan Sistem Informasi Geografi (GIS), yaitu dengan melakukan

42 28 query terhadap data SIG dengan menggunakan prinsip-prinsip kawasan sehingga informasi spasialnya dapat diketahui : Kawasan mana saja yang tersedia bagi kegiatan budidaya rumput laut, dan kawasan mana saja yang dijadikan sebgai kawasan lindung. Hasil penyusunan peta kawasan yang sesuai dengan peruntukannya dapat saja berbeda dengan penggunaan kawasan pada saat sekarang. B. Penyusunan matrik kesesuaian Matrik kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut berdasarkan hasil studi pustaka. Matrik ini sangat penting untuk disusun, mengingat dari matrik tersebut akan dapat diketahui data dari berbagai parameter dan cara analisisnya. Kategori kesesuaian pada matrik ini menggambarkan tingkat kesesuaian lokasi untuk pengembangan budidaya rumput laut. Dalam penelitian ini, kelas kesesuaian dibagi kedalam 3 (tiga) kategori yang didefinisikan sebagai berikut : Kategori (S1) : Sangat Sesuai (highly suitable) Daerah ini tidak mempunyai pembatas yang serius untuk menerapkan perlakuan yang diberikan atau hanya mempunyai pembatas yang tidak berarti atau tidak berpengaruh secara nyata terhadap penggunaannya dan tidak akan menaikkan masukan tingkatan perlakuan yang diberikan. Kategori (S2) : Sesuai (suitable) Daerah ini mempunyai pembatas-pembatas yang agak serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang harus diterapkan. Pembatas ini akan meningkatkan masukan/tingkat perlakuan yang diperlukan. Kategori (N) : Tidak Sesuai (Not Suitable) Daerah ini mempunyai pembatas permanen sehingga mencegah segala kemungkinan perlakuan pada daerah tersebut. C. Pembobotan dan pengharkatan Pembobotan pada setiap faktor pembatas/parameter ditentukan berdasarkan pada dominannya parameter tersebut terhadap suatu peruntukan. Besarnya pembobotan ditunjukan pada suatu parameter untuk seluruh evaluasi lokasi. Nilai bobot (ßi) diperoleh dari hasil parameter utama pertumbuhan rumput laut hasil pengukuran di Kabupaten Sumbawa Barat yang dianalisa melalui kajian literatur yang berkaitan dengan parameter yang sering digunakan oleh para ahli budidaya. Untuk setiap parameter dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) kelas yaitu sangat sesuai (S1) diberi skor kelas 3 atau 30, sesuai (S2) diberi skor kelas 2 atau 20, dan tidak sesuai (N) diberi skor kelas 1 atau 10. Untuk menyimpulkan tingkat kesesuaian lokasi (stasiun) maka dilakukan penjumlahan nilai akhir seluruh parameter pada stasiun yang bersangkutan (Y = Σ Nilai Bobot dikali Skor). Untuk mendapatkan nilai selang kelas (X), maka nilai S1 ditambah S2 dibagi dua, nilai S2 ditambah N dibagi dua. Dengan demikian untuk kategori kesesuaian lokasi budidaya rumput laut berada pada kisaran sebagai berikut: Kategori Sangat Sesuai (S1), Kategori Sesuai (S2) dan Kategori Tidak sesuai (N).

43 D. Analisis Spasial Analisis spasial dilakukan untuk kesesuaian lokasi budidaya rumput laut. Basis data dibentuk dari data spasial dan data atribut, kemudian dibuat dalam bentuk layers atau coverage dimana menghasilkan peta-peta tematik dalam format digital sesuai kebutuhan/parameter masing-masing jenis kesesuaian lokasi. Setelah basis data terbentuk, analisis spasial dilakukan dengan metode tumpang susun (overlay) terhadap parameter yang berbentuk polygon. Proses overlay dilakukan dengan cara menggabungkan (union) masing-masing layers untuk tiap jenis kesesuaian lokasi. Penilaian terhadap kelas kesesuaian dilakukan dengan melihat nilai Indeks Overlay dari masing-masing jenis kesesuaian lokasi tersebut. Pengolahan data SIG dilakukan dengan menggunakan ArcView GIS Version

44 30 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Geografis dan Administrasi Kabupaten Sumbawa Barat Kabupaten Sumbawa Barat merupakan kabupaten yang baru terbentuk resmi dengan Undang-Undang No. 30 Tahun 2003 dan merupakan salah satu kabupaten di propinsi NTB yang terletak pada Bujur Timur (BT) dan Lintang Selatan (LS) dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : 1. Sebelah Utara : Kabupaten Sumbawa 2. Sebelah Timur : Kabupaten Sumbawa 3. Sebelah Selatan : Samudera Indonesia 4. Sebelah Utara : Selat Alas Kabupaten Sumbawa Barat merupakan salah satu daerah dari sembilan kabupaten/kota yang berada pada di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat terletak di ujung barat Pulau Sumbawa pada posisi 116 o 42 sampai dengan 117 o 05 Bujur Timur dan 08 o 08' sampai dengan 09 o 07 Lintang Selatan, secara geografis wilayah Kabupaten Sumbawa Barat sebelah timur dan utara berbatasan dengan Kabupaten Sumbawa. Adapun wilayah barat dan selatan masing-masing berbatasan dengan Selat Alas dan Samudera Indonesia Keadaan Topografi wilayah Kabupaten Sumbawa Barat cukup beragam, mulai dari datar, bergelombang curam sampai sangat curam dengan ketinggian berkisar antara 0 hingga mdpl, meliputi wilayah dataran seluas hektar (11,80%), bergelombang seluas hektar (8,83%), curam seluas 53,609 hektar (28,99%), dan sangat curam seluas hektar (50,35%) ketinggian untuk kota-kota kecamatan di Kabupaten Sumbawa Barat berkisar antara 10 sampai 650 mdpl. Topografi wilayah datar sebagian besar digunakan untuk kegiatan pertanian dan lokasi permukiman, sedang topografi semakin curam merupakan kawasan hutan berfungsi sebagai pelindung kawasan sekitar yang lebih rendah. Lahan produktif, terutama untuk pertanian menjadi relatif sedikit karena tingginya persentase luas tanah yang terkategori curam. Perairan laut di wilayah KSB yang utama adalah Selat Alas dengan beberapa teluk kecil diantaranya Teluk Taliwang, Teluk Balat, Teluk Maluk, Teluk Tawar. Perairan Selat Alas menghubungkan dua wilayah perairan yang mempunyai karateristik yang berbeda, yaitu Laut Flores di bagian utara dan Samudera Hindia di bagian Selatan. Selat Alas mempunyai arti penting karena peranannya dalam proses Arus Lintas Indonesia (ARLINDO), sehingga merupakan wilayah perairan dengan potensi perikanan yang cukup besar. Kabupaten Sumbawa Barat merupakan wilayah yang beriklim tropis yang dipengaruhi oleh musim penghujan dan musim kemarau. Musim penghujan berlangsung dari bulan November sampai Maret (5 bulan), sedang musim kemarau dari bulan April sampai Oktober (7 bulan). Total hari hujan tahun 2004 sebanyak 95 hari dengan rata-rata perbulan 7,92 hari, sedang total curah hujan sebesar mm atau rata-rata per bulan 179,66 mm. Disamping hujan, sumber air di Kabupaten Sumbawa Barat berupa sungai, mata air, danau dan waduk. Sebagian besar sungai mempunyai Daerah Tangkapan Sungai (DPS) yang kecil dan mengering pada musim kemarau, untuk mengatasi kekurangan air dan

45 31 ketergantungan pertanian terhadap musim penghujan telah dibangun sejumlah bendungan atas partisipasi perusahaan swasta yang beroperasi di sekitar daerah tersebut. Secara administratif, Wilayah daratan Kabupaten Sumbawa Barat dalam perkembangannya sampai dengan tahun 2008, telah dimekarkan menjadi 8 (delapan) Kecamatan, yakni Kecamatan Poto Tano dengan Luas 15,888 Ha yang terdiri dari 6 desa/desa persiapan, Kecamatan Seteluk dengan luas wilayah Ha yang terdiri dari 7 desa, Kecamatan Brang Rea dengan Luas mencapai Ha yang terdiri dari 4 desa, Kemudian Kecamatan Brang Ene dengan luas wilayah Ha yang terdiri dari 5 desa, Kecamatan Taliwang sebagai Ibu Kota Kabupaten memiliki luas wilayah Ha yang terdiri dari 6 Kelurahan dan 7 desa, selanjutnya Kecamatan Jereweh memiliki luas Ha yang terdiri dari 4 desa, Kecamatan Maluk dengan luas wilayah Ha yang terdiri dari 5 desa dan Kecamatan Sekongkang yang terletak di ujung Selatan Kab. Sumbawa Barat memiliki luas wilayah Ha terdiri dari 6 desa. Tabel 12. Data Kecamatan dan Luas Wilayah di Kabupaten Sumbawa Barat Tahun 2008 No Kecamatan Status Pemerintahan Luas Wilayah Persentase Dusun Kelurahan ( Km 2 ) (%) 1. Poto Tano ,59 2. Seteluk ,77 3. Taliwang 25/ ,33 4. Brang Ene ,62 5. Brang Rea ,47 6. Jereweh ,07 7. Maluk ,99 8. Sekongkang ,14 Luas Wilayah KSB Sumber: Dinas Kehutanan Perkebunan dan Pertanian Kabupaten Sumbawa Barat dalam Sumbawa Barat dalam Angka 2010 Kondisi Demografi Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2008, jumlah penduduk Kabupaten Sumbawa Barat tercatat jiwa. Jumlah penduduk laki laki lebih besar dibandingkan jumlah penduduk perempuan, ditunjukkan oleh rasio jenis kelamin sebesar 93,30. Penduduk Kabupaten Sumbawa Barat belum menyebar secara merata. Umumnya, penduduk banyak terkonsentrasi di Kecamatan Taliwang dengan tingkat kepadatan 98,73 orang setiap kilometer persegi. Pada tahun 2008 secara rata-rata kepadatan penduduk Kabupaten Sumbawa Barat tercatat sebesar 53,57 jiwa setiap kilometer persegi. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk usia kerja didefinisikan sebagai penduduk yang berumur 10 tahun ke atas, dan dibedakan sebagai angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Pertumbuhan penduduk tiap tahun akan berpengaruh terhadap pertumbuhan angkatan kerja. Pada tahun 2008, Kabupeten Sumbawa Barat memiliki angkatan kerja mencapai orang, dengan tingkat

46 32 partisipasi angkatan kerja penduduk sebesar 64,38%. Sektor pertanian menyerap tenaga kerja terbanyak dengan pekerja. Kondisi demografi Kabupaten Sumbawa Barat ditunjukkan oleh jumlah dan kondisi penduduk yang tinggal di wilayah ini. Penduduk Kabupaten Sumbawa Barat terdiri dari beberapa suku yaitu suku asli yaitu Suku Samawa dan pendatang diantaranya dari Suku Bugis, Bajo, Mandar, Selayar, Sasak Lombok serta Jawa. Pada tahun 2008, jumlah penduduk Kabupaten Sumbawa Barat sebanyak jiwa, dimana penduduk terbanyak berada di Kecamatan Taliwang ( jiwa), diikuti Seteluk ( jiwa), Brang Rea ( jiwa), Maluk (9.778 jiwa), Poto Tano (7.993 jiwa), Sekongkang (7.072 jiwa), Jereweh (6.926 jiwa) dan Brang Ene (4.759 jiwa). Pada Tabel 14 digambarkan data agregat jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin per kecamatan. Pada Tabel juga digambarkan bagaimana laju pertumbuhan penduduk per tahun berdasarkan hasil SUSENAS 2008 dan tahun sebelumnya. Tabel 13. Jumlah Penduduk Kabupaten Sumbawa Barat per Kecamatan No Kecamatan Rumah Tangga Laki-laki Perempuan Jumlah Sex Rasio 1 Sekongkang Jereweh Maluk Taliwang Brang Ene Brang Rea Seteluk Poto Tano Jumlah Sumber: Sumbawa Barat dalam Angka 2010 Tabel 14. Data Aggregat Kependudukan Kabupaten Sumbawa Barat Tahun 2008 No. Kecamatan Rumah Tangga Laki-laki Perempuan Jumlah Total Sex Rasio 1. Sekongkang ,92 2. Jereweh ,57 3. Maluk ,77 4. Taliwang ,66 5. Brang Ene ,89 6. Brang Rea ,00 7. Seteluk ,48 8. Poto Tano ,48 Total ,18 Sumber: Sumbawa Barat dalam Angka 2010 Komposisi penduduk Kabupaten Sumbawa Barat lebih banyak berjenis kelamin laki-laki dengan sex ratio 107,18, artinya bahwa untuk setiap 100 penduduk perempuan, maka ada 107 penduduk laki-laki. Laju pertumbuhan

47 33 penduduk Kabupaten Sumbawa Barat cukup tinggi, yaitu pada tahun 2008 sekitar 2,11% per tahun. Laju pertumbuhan ini tidak hanya karena naiknya angka kelahiran, melainkan adanya arus migrasi masuk ke wilayah ini karena dibukanya sektor pertambangan PT. NNT dan adanya aktivitas tambang rakyat. Tersedianya sarana transportasi, berupa kapal laut, pesawat udara, perbaikan infrastruktur jalan raya untuk angkutan darat telah meningkatkan arus migrasi penduduk ke Kabupaten Sumbawa Barat. Tabel 15.Perkembangan Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Sumbawa Barat Tahun Tahun Penduduk Laju Pertumbuhan Penduduk per Tahun (%) , , , , , , ,11 Sumber: Sumbawa Barat dalam Angka 2010 Terkait dengan tingkat pendidikan penduduk Kabupaten Sumbawa Barat, dapat dikatakan rata-rata penduduk tingkat pendidikan sudah cukup baik (lulus SLTP-SMU). Berdasarkan data BPS Kabupaten Sumbawa Barat, pada tahun 2009 penduduk yang berumur 15 tahun keatas sebanyak jiwa berpendidikan SLTP (15,02 %) dan jiwa berpendidikan SMU (23.94%). Jumlah penduduk Kabupaten Sumbawa Barat lulusan pendidikan tinggi (diploma dan sarjana) juga cukup banyak, yaitu atau 6,94 % dari total penduduk berusia 15 tahun keatas. Jenis mata pencaharian penduduk Kabupaten Sumbawa Barat cukup beragam, baik di sektor pertanian secara luas, jasa-jasa kemasyarakatan, rumah makan dan perhotelan, pertambangan sedangkan sektor industri pengolahan (pabrik) tidak cukup berkembang di wilayah ini. Penduduk yang bermata pencaharian dari sektor pertanian, khususnya perikanan di wilayah pesisir banyak dilakukan oleh Suku Bugis, Bajo, Selayar, dan Mandar yang berasal dari sulawesi adapun masyarakat asli dan sebagian dari Suku sasak berkerja di sektor pertanian tanaman pangan, perkebunan, budidaya perairan tawar. Masyarakat pendatang dari Jawa biasanya lebih banyak berprofesi sebagai pedagang atau bekerja di sektor pertambangan serta sektor jasa-jasa lainnya. Kondisi Perekonomian Berdasarkan data BPS Kabupaten Sumbawa Barat Tahun 2007 angka PDRB yang dihasilkan sektor-sektor perekonomian di KSB menunjukkan peningkatan. Berdasarkan angka PDRB atas dasar harga berlaku pada tahun 2007, PDRB Kabupaten Sumbawa Barat adalah sebesar Rp triliun. Dari total PDRB tersebut sekitar triliun (95,59 persen) dihasilkan oleh sektor

48 34 pertambangan dan penggalian. Sektor terbesar berikutnya adalah pertanian yang memberikan andil sekitar 1,50 persen (190,99 milyar). Sektor lainnya memiliki sharing dibawah satu persen. Dominasi sektor pertambangan dan penggalian (non migas) cukup besar bagi pembentukan nilai tambah di Kabupaten Sumbawa Barat. Struktur Ekonomi Berdasarkan struktur ekonomi, adanya dominasi sektor pertambangan dan penggalian (khususnya sub sektor penggalian non migas) cukup besar bagi pembentukan nilai tambah di Kabupaten Sumbawa Barat, pertumbuhan sektor ini berdampak besar bagi pertumbuhan ekonomi Kabupaten Sumbawa Barat secara keseluruhan. Berdasarkan harga konstan 2000, pada tahun 2007 PDRB Kabupaten Sumbawa Barat mengalami pertumbuhan sebesar 2,77%. Jika tidak termasuk subsektor pertambangan non migas, perekonomian Kabupaten Sumbawa Barat tahun 2007 mengalami pertumbuhan sekitar 6,74 persen. Sektor bangunan mengalami pertumbuhan yang paling tinggi diantara sektor lainnya (28,82 persen) diikuti sektor Listrik, Gas dan Air Bersih yang mengalami peningkatan 7,66 persen. Pertumbuhan sektor-sektor tersebut tidak terlepas dari usaha pemerintah dalam hal peningkatan sarana fisik. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan pelayanan dan memperbesar akses masyarakat terhadap pemanfaatan hasil pembangunan juga meningkatkan pertumbuhan sektor lainnya seperti pengangkutan, perdagangan, jasa keuangan Pertumbuhan Ekonomi Untuk melihat tingkat pertumbuhan ekonomi regional Kabupaten Sumbawa Barat dapat diketahui dengan memperhatikan PDRB dari tahun ke tahun, baik menurut harga berlaku maupun harga konstan. Berdasarkan data BPS tahun , pada tahun 2007 besaran PDRB menurut harga berlaku di Kabupaten Sumbawa Barat secara agregat sebesar Rp 12,725 trilyun yang menunjukkan adanya peningkatan jika dibandingkan tahun 2006 yang mencapai sebesar Rp 10,026 trilyun, sehingga terjadi kenaikan sebesar 25,34%. Pertumbuhan ekonomi sebesar 25,34% tersebut sebenarnya belum mencerminkan pertumbuhan yang riil/sebenarnya karena masih terpengaruh adanya faktor kenaikan harga. Sedangkan pertumbuhan ekonomi yang lebih mendekati dengan keadaan yang sebenarnya dapat dilihat pada pertumbuhan atas dasar harga konstan. Pertumbuhan ekonomi riil Kabupaten Sumbawa Barat yang didekati berdasarkan harga konstan pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Sumbawa Barat untuk tahun 2007 mencapai 2,77%, jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 2006 yang pertumbuhannya minus sebesar -5,13%. Kondisi ini disebabkan antara lain adanya kegairahan kembali di berbagai sektor ekonomi sebagai dampak situasi politik yang semakin kondusif dan juga inovasi pemerintah daerah membuat kebijakan pelayanan sehingga secara umum pertumbuhan semua sektor yang bergerak di perekonomian Kabupaten Sumbawa Barat mengalami pertumbuhan positif. Hal ini mengindikasikan bahwa iklim usaha dan investasi di Kabupaten Sumbawa Barat semakin dipercaya kalangan dunia usaha. Kerja keras pemerintah daerah bersama dengan segenap lapisan masyarakat telah membuahkan hasil. Berdasarkan harga konstan tahun 2000, pertumbuhan tertinggi terjadi pada sektor bangunan, yaitu sebesar 28,82%, kemudian disusul oleh sektor listrik, gas dan air bersih sebesar 7,66% dan serta sektor industri yakni mencapai sebesar

49 35 4,81%. Sektor yang mengalami pertumbuhan terkecil adalah sektor pertanian, yaitu minus -0,25%. Dengan demikian, sektor bangunan merupakan penyumbang terbesar terhadap pembentukkan nilai PDRB Kabupaten Sumbawa Barat dan dengan pertumbuhannya yang cukup tinggi menyebabkan sektor ini berperan cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi pada tahun di Kabupaten Sumbawa Barat. Rendahnya pertumbuhan sektor pertanian perlu menjadi perhatian penting dari pemerintah daerah Kabupaten Sumbawa Barat karena ketahanan pangan merupakan jaminan keberlangsungan hidup masyarakat. Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat perlu memperhatikan alokasi lahan untuk kepentingan pertanian yang juga mencakup sektor perkebunan, peternakan, perikanan. Sekaligus melakukan upaya peningkatan teknologi dan nilai tambah produk pertanian serta membuka akses pasar terhadap komoditas pertanian yang ada. PDRB Perkapita PDRB Perkapita merupakan salah satu indikator untuk melihat pendapatan per kapita suatu wilayah. Meskipun belum dapat mencerminkan tingkat pemerataan, pendapatan perkapita dapat dijadikan salah satu tolok ukur guna melihat keberhasilan pembangunan perekonomian, khususnya tingkat kemakmuran penduduk pada suatu wilayah secara makro, sehingga tidak hanya keberhasilan pembangunan dari aspek pertumbuhan perekonomian suatu wilayah saja, akan tetapi lebih jauh dapat dilihat juga tingkat besarnya PDRB/pendapatan perkapita, khususnya pendapatan perkapita menurut harga berlaku. Kenaikan harga barang dan jasa serta naiknya output berbagai barang dan jasa dari beberapa sektor ekonomi telah meningkatkan pendapatan perkapita. Pendapatan/PDRB perkapita atas dasar harga berlaku di Kabupaten Sumbawa Barat selama ini selalu menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2006 PDRB perkapita Kabupaten Sumbawa Barat mencapai sebesar Rp ,07 lebih besar dari tahun 2008 yang sebesar Rp ,62 atau naik sebesar 21,96%. Potensi Perikanan Laut Kecamatan Taliwang merupakan sentra pengembangan tanaman pangan dan perikanan budidaya air tawar sekaligus budidaya pesisir seperti rumput laut di Kabupaten Sumbawa Barat. Dilihat dari keragaman asal masyarakatnya, kawasan ini sangat heterogen karena merupakan daerah migrasi warga dari luar Sumbawa Barat, baik dari dalam maupun luar Pulau Sumbawa. Penduduk asli juga cukup banyak yang bermukim di kecamatan ini. Penduduk pendatang di Kecamatan Taliwang terdiri dari Suku Sasak (Pulau Lombok), Orang Mbojo (Kabupaten Bima-Dompu), Suku Jawa serta Suku dari Sulawesi (Bugis, Selayar, Bajo, Mandar) yang sudah lama menetap dan mencari penghidupan dari wilayah pesisir Kabupaten Sumbawa Barat terutama di sektor perikanan tangkap dan budidaya. Perikanan Tangkap Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) memiliki panjang pantai 167,8 km dengan batas kewenangan hingga 4 mil ke arah laut lepas. Sepanjang pantai tersebut dimanfaatkan masyarakat KSB sebagai lokasi penangkapan dan budidaya ikan. Enam dari delapan kecamatan di KSB memiliki wilayah yang berbatasan

50 36 langsung dengan laut. Jumlah nelayan KSB adalah 846 orang (2010). Potensi perikanan KSB Tahun 2010 menurut renstra DKPP-KSB berdasar jenis ikan yaitu potensi ikan pelagis (10.906), demersal (2.772) dengan total realisasi (3.019). Produksi beberapa jenis ikan dominan di KSB yaitu: Tembang (327,2 ton), Lemuru (389,1 ton), Teri (195,4 ton), Tongkol (193,1 ton), Selar (134,5 ton), Layang (256,3 ton). Kenaikan produksi perikanan KSB tahun sekitar 4-5% per tahun. Kondisi tersebut terutama disebabkan armada dan alat tangkap yang digunakan masih tradisional. Karena keterbatasan armada, alat tangkap, teknologi, informasi dan modal nelayan lebih banyak beroperasi di perairan Selat Alas yang relatif tenang dan dekat. Potensi perikanan tangkap di wilayah selatan Sumbawa Barat belum diketahui secara pasti. Namun diduga wilayah perairan yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia ini menyimpan potensi perikanan jauh lebih besar dibandingkan perairan Selat Alas. Daerah kecamatan Poto Tano awalnya memiliki sentra tambak udang yaitu di wilayah Tambak Sari tetapi karena adanya konflik kepemilikan lahan, unit tambak ini tidak berjalan optimal. Perikanan Budidaya Laut Perairan Selat Alas yang relatif tenang dan memiliki beberapa teluk berpotensi sebagai sentra budidaya mutiara dan rumput laut. Kondisi tersebut ditunjang kualitas air di pesisir KSB relatif masih baik secara fisik, kimia dan biologi. Berdasarkan Renstra DKPP KSB 2010, potensi budidaya rumput laut seluas 1550 ha dengan areal yang dimanfaatkan seluas 150 ha. Lokasi budidaya rumput laut terutama di Desa Kertasari, Desa Kiantar, Desa Kuang Busir, Desa Sepakek dan Desa Pototano. Tahun 2009 Desa Kertasari ditetapkan sebagai daerah pengembangan kluster rumput laut oleh Departemen Kelautan dan Perikanan dan tahun 2010 KSB ditetapkan sebagai kawasan minapolitan rumput laut. Dalam rangka meningkatkan produksi rumput laut, ditemukan potensi lahan budidaya baru di sepanjang pantai Kecamatan Sekongkang seluas kurang lebih 5000 ha. Pada tahun 2010 telah dilakukan uji coba penanaman di lokasi tersebut dan hasilnya cukup baik. Di daerah ini juga terdapat perkampungan nelayan Suku Bajo, tetapi karena orientasi masyarakatnya lebih mengarah pada penangkapan komoditas ikan khususnya ikan karang, mereka meninggalkan usaha budidaya rumput laut di daerah sekitar pesisir Poto Tano. Lahan budidaya yang mereka miliki sebagian besar telah dimanfaatkan oleh masyarakat dari Labuhan Mapin yang berasal dari wilayah sebelahnya yaitu Kabupaten Sumbawa. Untuk potensi budidaya mutiara seluas 1400 ha dengan areal yang sudah dimanfaatkan sebanyak 600 ha. Usaha budidaya mutiara berlokasi di Tanjung Bero Taliwang, Pulau Namo dan Pulau Panjang. Budidaya air payau (tambak) di KSB berlokasi di Desa Kertasari Kecamatan Taliwang (seluas 32 ha), Jereweh (56 ha), sedangkan di UPT Tambak Sari (500 ha) tidak berproduksi sejak tahun Sedangkan usaha budidaya air tawar banyak dijumpai di wilayah Kecamatan Taliwang dan Kecamatan Brang Rea dan mulai berkembang di Kecamatan Brang Ene, Seteluk, Jereweh dan Sekongkang.

51 37 Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil Pulau-pulau kecil yang ada di KSB berjumlah 14 pulau dengan beragam potensi seperti disajikan pada tabel. Potensi-potensi yang dimiliki pulau-pulau tersebut diantaranya sebagai lokasi budidaya mutiara, rumput laut, daerah konservasi dan wisata bahari. Pulau-pulau kecil adalah pulau-pulau yang berukuran kecil yang secara ekologis terpisah dari pulau induknya. Pulau-pulau kecil di Kabupaten Sumbawa Barat berjumlah 14 pulau dengan luas mencapai 828,3 ha. Pulau-pulau kecil tersebut tidak mempunyai penghuni tetap, tetapi sebagian dari pulau-pulau tersebut (6 pulau atau 42,86 %) telah dimanfaatkan oleh sebagian kecil masyarakat untuk berbagai macam kegiatan seperti: tempat budidaya mutiara, budidaya rumput laut, penangkapan ikan, tempat-tempat pengambilan sarang burung walet dan pengambilan hasil hutan kayu dan non kayu. Dalam tabel disajikan peluang-peluang usaha yang dapat dikembangkan di pulau-pulau kecil yang ada di Kabupaten Sumbawa Barat. Tabel 16. Nama pulau-pulau kecil yang ada di KSB dan potensinya No Nama Pulau Kecil Potensi P. Kalong P. Namo P. Puyung P. Sarang P. Paserang P. Belang P. Bongi P. Kenawa P. Dua P. Ular P. Sesait P. Genang P. Sarang P. Gili Terata Budidaya Mutiara Budidaya Mutiara Budidaya Mutiara Rumput Laut Wisata Bahari Suaka Perikanan Belum dimanfaatkan Wisata Bahari Belum dimanfaatkan Belum dimanfaatkan Belum dimanfaatkan Belum dimanfaatkan Belum dimanfaatkan Belum dimanfaatkan Sebagian pulau-pulau tersebut telah lama dimanfaatkan sebagai lokasi budidaya mutiara, rumput laut dan daerah suaka perikanan. Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan KSB sejak 2006 mulai mengembangkan Pulau Kenawa sebagai daerah wisata bahari yang cukup menjanjikan. Beberapa kegiatan wisata yang dapat dilakukan di pulau ini adalah memancing, snorkling, menyelam atau sekadar menikmati keindahan pantai Pulau Kenawa. Selain Pulau Kenawa beberapa lokasi di KSB juga potensial sebagai daerah wisata bahari, antara lain Pantai Maluk dengan keindahan pantai putihnya, lokasi surfing di Pantai Sekongkang, Maluk dan Jelenga. Saat ini Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan KSB sedang mengusulkan pembentukan daerah konservasi Taman Pesisir Penyu Pantai Tatar Sepang di Kecamatan Sekongkang dan kawasan konservasi Taman Pulau Kecil Gugugan Gili Balu di Kecamatan Pototano.

52 38 Kondisi Lokasi Berpotensi Menjadi Sentra Budidaya Rumput Laut Terkait pengembangan budidaya perikanan untuk sentra minapolitan, di Kabupaten Sumbawa Barat ada lima wilayah yang menjadi fokus kajian, yaitu Poto Tano, Taliwang, Jereweh, Maluk, dan Sekongkang. Wilayah pesisir Kabupaten Sumbawa Barat terbentang dari utara (perbatasan dengan Kabupaten Sumbawa) sampai selatan bagian barat pulau Sumbawa dengan garis pantai sepanjang 167,80 km. Wilayah pesisir tersebut terbagi ke dalam 5 (lima) kecamatan dan 22 (dua puluh dua) desa pesisir. Dalam wilayah desa pesisir tersebut hanya terdapat 12 (dua belas) desa yang penduduknya bermukim dan bersentuhan langsung dengan pesisir/laut sebagai nelayan. Adapun desa tersebut adalah Desa Poto Tano, Senayan, Kiantar yang masuk dalam wilayah administratif Kecamatan Poto Tano, Desa Lab.Kertasari, Batu Putih, Kelurahan Telaga Bertong, Lab.Lalar masuk Kecamatan Taliwang, Desa Beru (Kecamatan Jereweh), Desa Benete, Pasir Putih masuk Kecamatan Maluk. Desa Ai Kangkung, Tongo Sejorong masuk Kecamatan Sekongkang Dilihat dari kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir, hasil pendataan penduduk tahun 2007 menunjukkan jumlah penduduk desa-desa pesisir Kabupaten Sumbawa Barat sebanyak jiwa atau 367 RTP (Rumah Tangga Perikanan) dengan jumlah nelayan sebanyak 1006 orang. Penduduk wilayah pesisir memiliki tingkat pendidikan Sekolah Dasar hingga tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Pada desa-desa yang sudah dikatakan maju seperti masyarakat pesisir yang berdekatan dengan kota Taliwang terdapat masyarakat yang sudah melanjutkan pendidikannya ke Perguruan Tinggi. Namun pada umumnya masyarakat pesisir kondisi ekonominya masih lemah dengan kondisi perumahan dan lingkungan yang kumuh serta sarana dan prasarana pendukung lainnya masih terbatas. Dalam wilayah Kabupaten Sumbawa Barat di daerah pesisir terdapat 3 (tiga) desa sebagai desa nelayan yang penduduknya umumnya sebagai nelayan dan pembudidaya rumput laut. Desa tersebut adalah Desa Labuhan Poto Tano, Desa Labuhan Kertasari, Desa Labuhan Lalar. A. Desa Poto Tano Desa Poto Tano adalah salah satu desa dari 5 (lima) desa yang ada dalam wilayah Kecamatan Poto Tano Kabupaten Sumbawa Barat. Desa ini berada di wilayah pesisir dengan penduduk pada umumnya hidup sebagai nelayan. Penduduk Desa Poto Tano sebanyak jiwa (750 KK) dengan tingkat pendidikan tamat Sekolah Dasar (SD) sampai jenjang Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Desa Poto Tano merupakan gerbang masuk ke Pulau Sumbawa, karena dalam wilayah Desa Poto Tano terdapat pelabuhan penyeberangan umum berjarak ± 1,00 km dari pusat Kota Poto Tano. Sebagaimana ciri desa wilayah pesisir, maka Desa Poto Tano pertumbuhannya sangat lamban dengan kondisi perumahan penduduk dan lingkungannya termasuk kumuh karena belum tertata dengan baik. Desa ini memiliki potensi yang cukup besar bila dilihat dari tata letak, adanya pelabuhan penyeberangan dan tempat persinggahan/bongkar muat para nelayan terutama yang dari luar Kabupaten Sumbawa Barat. Selain itu wilayah Poto Tano memiliki potensi Perikanan dan Kelautan seperti lahan pertambakan dan budidaya laut dengan keberadaan beberapa pulau kecil, serta di daerah ini telah ditetapkan

53 39 sebagai kawasan Agroindustri. Dalam kawasan Agroindustri meliputi kawasan Balai Latihan Kerja (BLK), Kawasan Pasar Agroindustri, Kawasan perdagangan, Kawasan Perindustrian, Kawasan Pergudangan, Kawasan Perumahan, Kawasan Rumah Potong Hewan, Kawasan Pangkalan Pendaratan Ikan/TPI dan Kawasan Wisata. B. Desa Labuhan Lalar Desa Labuhan Lalar merupakan desa pusat nelayan yang pertama ada di Kabupaten Sumbawa Barat yang berada di wilayah Kecamatan Taliwang dengan jarak ± 7 km dari Ibukota Kecamatan. Desa Labuhan Lalar memiliki luas wilayah 24,60 km2 dengan penduduk sebanyak jiwa yang umumnya hidup sebagai nelayan. Dalam wilayah Labuhan Lalar terdapat muara sungai yang alirannya dari Kecamatan Jereweh, sehingga musibah bencana alam banjir bandang yang melanda Kecamatan Jereweh pada tanggal 9 dan 10 Februari 2009 berdampak pada masyarakat desa Labuhan Lalar yang menimbulkan 36 sampan nelayan hanyut dan 15 rumah rusak. Wilayah desa Labuhan Lalar memiliki potensi yang hampir sama dengan semua desa yang berada di wilayah pesisir seperti Desa Poto Tano. Potensi wilayah desa Labuhan Lalar antara lain pertambakan rakyat, potensi perikanankelautan serta Pulau-Pulau Kecil. C. Desa Labuhan Kertasari Desa Labuhan Kertasari merupakan desa pesisir kedua dalam wilayah Kecamatan Taliwang Kabupaten Sumbawa Barat dengan luas wilayah 46,30 km2. Penduduk desa Labuhan Kertasari sebanyak jiwa (641 KK) yang bermata pencaharian sebagai petani, nelayan dan pembudidaya rumput laut, sehingga desa Kertasari merupakan desa sentra rumput laut di Kabupaten Sumbawa Barat. Menurut tata ruang wilayah pesisir bahwa desa Labuhan Kertasari merupakan wilayah strategis budidaya rumput laut dengan potensi wilayah perairan yang sangat cocok untuk budidaya rumput laut, budidaya perikanan kelautan serta pertambakan. Namun tingkat pertumbuhan penduduk dan desa sangat lamban sehingga masih berada dalam kondisi perumahan dan lingkungan yang pengelolaannya perlu ditingkatkan. Dari gambaran ketiga desa pesisir di atas dapat secara umum mencerminkan kondisi dan keadaan desa, perumahan dan lingkungan umumnya desa pesisir di Kabupaten Sumbawa Barat. Desa-desa di wilayah pesisir Kabupaten Sumbawa Barat memiliki potensi yang cukup besar yang dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi daerah apabila dikelola dengan baik dan berkelanjutan. Untuk itu, pengelola dan pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil perlu dikembangkan dan ditingkatkan. Keragaan Budidaya Rumput Laut di Kabupaten Sumbawa Barat Potensi budidaya rumput laut di Kabupaten Sumbawa Barat adalah Ha dengan pemanfaatan sebesar 62,5 Ha. Produksi rumput laut di Kabupaten Sumbawa Barat tahun 2004 tercatat sebesar 945 Ton (Tabel 17). Data dari Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan KSB menunjukkan nilai produksi rumput laut berdasarkan jenis. Euchema cottonii memiliki nilai produksi 756 ton, dengan

54 40 asumsi harga per kilogram 7000 rupiah maka nilai produksi dapat mencapai 5 miliar rupiah. Adapun produksi untuk jenis E. spinosum adalah 189 ton per tahun. Produksi budidaya rumput laut di Kabupaten Sumbawa Barat bersifat fluktuatif hal ini di pengaruhi oleh musim yang mempengaruhi kondisi fisika kimia perairan. Tercatat produksi budidaya rumput laut tertinggi pada bulan April, Mei dan Juni dan mulai menurun pada bulan Juli. Produksi kembali mulai menanjak naik pada bulan Januari. Daerah Kabupaten Sumbawa Barat adalah beriklim tropis dengan dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau, temperatur maksimal 33,2 0 C dan minimum 20,5 0 C. Sedangkan curah hujan ratarata dalam setahun mm dengan rata-rata jumlah hari hujan 84 hari/tahun. Tabel 17. Potensi dan Pemanfaatan Rumput Laut di Kabupaten Sumbawa Barat Tahun 2009 No Kecamatan Potensi (Ha) Pemanfaatan (Ha) Produksi (Ton/th) Taliwang Maluk Poto Tano Jereweh Sekongkang Jumlah Sumber : Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan KSB 2009 Tabel 18. Nilai Produksi Budidaya Rumput Laut Berdasarkan Jenis Tahun 2009 No Jenis Rumput Laut Produksi (Ton) Nilai Produksi (dalam ribu rupiah) 1 2 E. cottoni E. Spinossum Jumlah Sumber : Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan KSB 2009 Tabel 19. Produksi Budidaya Rumput Laut Kabupaten Sumbawa Barat Tahun 2009 No Produksi Bulan Produksi (ton) Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Jumlah 945 Sumber : Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan KSB Berbagai usaha telah dilakukan pemerintah dalam meningkatkan pendapatan masyarakat, demikian pula pendapatan masyarakat di sektor

55 41 perikanan. Produksi perikanan pada tahun 2008 sebanyak 3.481,3 ton yang terdiri dari 3.104,5 ton dari penangkapan, dan 376,8 ton Budidaya. Tabel 20. Luas Areal dan Produksi Budidaya Rumput Laut di Kabupaten Sumbawa Barat Tahun Luas Areal Produksi Rumput Laut Basah , , , , , , , , , ,00 Sumber: Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan KSB 2009 Adanya program minapolitan menyebabkan pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat berupaya menggenjot produksi rumput laut dengan cara meluaskan areal penanaman rumput laut. Karena ada beberapa kendala teknis, aplikasi target yang dicanangkan tidak sesuai harapan. Sebaran nelayan di kabupaten Sumbawa Barat terdapat di Kecamatan Sekongkang, Kecamatan Jereweh, dan terbanyak ada di Kecamatan Taliwang dan Poto Tano. Menurut sumber dari Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan Kabupaten Sumbawa Barat areal budidaya yang potensial untuk budidaya rumput laut mencapai 167 Ha dan baru dimanfaatkan 130,3 Ha. Potensi areal perikanan untuk budidaya laut di Kabupaten Sumbawa Barat terluas terdapat di Kecamatan Taliwang (477 Ha), diikuti oleh Kecamatan Poto Tano (229 Ha) dan Jereweh (32,3 Ha). Total luasan areal yang potensial untuk budidaya laut mencapai 738,3 Ha. Tabel 21. Jumlah Nelayan dan Penduduk Desa/Kelurahan Pantai di Kabupaten Sumbawa Barat Tahun 2008 No Nama Kecamatan Desa Pesisir Jumlah Nelayan Jumlah Penduduk Luas (Km 2 ) Kepadatan Penduduk 1 Sekongkang Sekongkang ,24 Timur 2 Jereweh Desa Beru ,15 3 Maluk Pasir Putih ,28 Benete ,13 1,92 4 Taliwang Lab. Lalar ,6 111,87 Kerta Sari ,77 Batu Putih ,00 5 Brang Ene Brang Rea Seteluk Poto Tano Tambak Sari ,61 Poto Tano ,81 Kuang ,94 Buser Total Jumlah ,73 1,27 Sumber: Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan KSB 2009

56 42 Tabel 22. Potensi Areal, Pemanfaatan dan Produksi Budidaya Laut di Kabupaten Sumbawa Barat 2008 Jenis Budidaya Potensi (Ha) Pemanfaatan (Ha) Produksi (Ton) Mutiara ,15 Kerapu ,00 Lobster ,00 Rumput Laut , Teripang Kerang-Kerangan Jumlah , ,15 Sumber: Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan KSB 2009 Tabel 23. Potensi Areal Perikanan di Kabupaten Sumbawa Barat Menurut Kecamatan dan Sub Sektor Tahun 2008 (Ha) No. Kecamatan Budidaya Laut Perairan Umum Tambak Sawah Kolam 1 Sekongkang Jereweh 32, ,4 3 Maluk Taliwang Brang Ene ,9 6 Brang Rea ,4 7 Seteluk Poto Tano Jumlah 738, Sumber: Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan KSB 2009 Menurut Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan setempat, diduga potensi produksi komoditas rumput laut di Kabupaten Sumbawa Barat dapat mencapai ton. Potensi produksi beberapa komoditas selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 24. Potensi Produksi Perikanan di Kabupaten Sumbawa Barat Dirinci Menurut Kecamatan dan Sub Sektor Tahun 2008 No. Kecamatan Perikanan Laut Rumput Laut Tambak Ikan Air Tawar 1 Sekongkang ,9 2 Jereweh ,2 3 Maluk Taliwang Brang Ene Brang Rea ,2 7 Seteluk Poto Tano Jumlah Sumber: Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan KSB 2009 Jalan dan Transportasi Menurut kondisinya, persentase jalan kabupaten di wilayah Sumbawa Barat berupa aspal dan kerikil sekitar sekitar 221,05 dan 19,90. Sedangkan

57 43 menurut kualitas jalan tercatat 184,47 baik, sedang dan 56,85 rusak, 54,36 rusak berat. Jembatan sebagai sarana penunjang transportasi yang lain, pada tahun 2008 tercatat sebanyak 87 buah dengan panjang meter. Dengan rincian, no buah bentangan < 6 meter dan 87 buah bentangan > 6 meter. Kendaraan bermotor merupakan angkutan darat utama. Pada tahun 2008, jumlah kendaraan bermotor di Sumbawa Barat mencapai kendaraan. Potensi Perikanan Budidaya Laut Kegiatan perikanan budidaya laut atau marikultur mempunyai potensi besar untuk dikembangkan di Kabupaten Sumbawa Barat, meliputi komoditas rumput laut (potensi Ha, pemanfaatan 150 Ha), kerapu (potensi 125 Ha, pemanfaatan 1 Ha), lobster (potensi 125 Ha, pemanfaatan 1 Ha) dan mutiara (potensi Ha, pemanfaatan 600 Ha). Total potensi lahan budidaya air laut mencapai Ha dengan pemanfaatan seluas 752 Ha, seperti tercantum dalam tabel berikut. Tabel 25. Potensi, Pemanfaatan Areal, Jumlah RTP Budidaya Laut Kabupaten Sumbawa Barat Tahun 2009 No Jenis Kegiatan Areal Pembudidaya&RTP (orang/buah) Sentra Lokasi Potensi Pemanfaatan Desa/Dusun (Ha) (Ha) Pembudidaya RTP 1 Rumput Laut 6, Kertasari, Jelenga, Pototano 2 Kerapu Lalar, Pototano 3 Lobster Lalar, Pototano 4 Mutiara 1, Poto Tano, Taliwang, Pototano Jumlah 3, Sumber: Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan KSB 2009 Berbagai upaya untuk meningkatkan kapasitas usaha budidaya rumput laut telah dilakukan Kabupaten Sumbawa Barat, salah satu hasil yang tampak diantaranya yaitu ditetapkannya Kabupaten Sumbawa Barat sebagai daerah pengembangan klaster industri rumput laut tahun 2009 yang berkembang menjadi penetapan Kabupaten Sumbawa Barat sebagai daerah minapolitan rumput laut pada tahun Komoditi unggulan di Kabupaten Sumbawa Barat yaitu rumput laut, udang, ikan nila, kerapu dan lobster. Lebih banyak didominasi oleh aktivitas budidaya pesisir (payau) dan laut. Untuk komoditi rumput laut dari rentang waktu tahun 2005 hingga 2009 tersebar di empat wilayah kecamatan yaitu Pototano (150 Ha), Taliwang (1000 Ha), Jereweh (500 Ha), juga sedang dikembangkan areal pesisir sekongkang untuk pengembangan budidaya seluas 5000 Ha yang sudah dimulai pada tahun 2009, seperti yang tercantum dalam Tabel 26. Sejauh ini produksi budidaya rumput laut sudah mencapai ton per tahun pada 2009, dengan penyumbang terbesar yaitu kecamatan taliwang,

58 44 tepatnya di desa Labuhan Kertasari dengan produksi menyentuh angka ton. Seperti yang dipaparkan dalam Tabel 27. Selain itu pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat telah merancang upaya peningkatan produksi dengan membuat target peningkatan produksi, yang diikuti uji coba penanaman rumput laut pada daerah pesisir yang diduga potensial (Tabel 28). Sementara ini usaha budidaya rumput laut yang berhasil dilakukan dan sampai saat sekarang masih dijumpai ada di dua kecamatan yaitu Taliwang dan Poto Tano. Dari hasil uji coba dan pengukuran berbagai parameter air diperoleh bahwa daerah sepanjang Pantai Selatan Sekongkang (Kecamatan Sekongkang) juga memiliki potensi yang cukup baik untuk pengembangan rumput laut. Pada tahun 2010 ini dilakukan uji coba penanaman rumput laut seluas 32 Ha dengan jumlah bibit sebanyak 8 ton. Pantai selatan sekongkang diduga cukup memiliki potensi yang menjanjikan dengan luas areal Ha dan belum dimanfaatkan. Ini merupakan peluang ekstensifikasi areal budidaya rumput laut. Diperkirakan pengembangan ini dapat menyerap tenaga kerja (pembudidaya/rtp) orang. Budidaya rumput laut tersebut dapat dimanfaatkan oleh 5 desa yaitu Desa Maluk, Tongo, Ai Kangkung, Senutuk dan Talonang. Tabel 26. Potensi Wilayah Budidaya Rumput Laut KSB Tahun No Kecamatan Potensi (Ha) Pototano Taliwang Jereweh Sekongkang Jumlah Sumber: Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan KSB 2009 Tabel 27. Produksi Budidaya Rumput Laut KSB Tahun No Kecamatan Produksi (ton) Pototano Taliwang Jereweh Jumlah Sumber: Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan KSB 2009 Tabel 28. Target Produksi Budidaya Rumput Laut tahun No Kecamatan Produksi (ton) Pototano Taliwang Jereweh , , Jumlah , , Sumber: Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan KSB 2009

59 45 HASIL DAN PEMBAHASAN Biologi dan Ekologi Rumput Laut Secara garis besar, rumput laut digolongkan ke dalam 3 famili yaitu Rhodophyceae (alga merah), Chlorophyceae (alga hijau) dan Phaeophyceae (alga biru). Di perairan laut Indonesia diperkirakan terdapat sedikitnya 555 jenis rumput laut yang terbagi ke dalam 3 golongan tersebut di atas. Dari jumlah jenis tersebut, 55 jenis diantaranya diketahui mempunyai nilai ekonomis tinggi. Alga merah merupakan kelompok penting rumput laut di Indonesia karena memiliki jenis yang penting sebagai komoditas perikanan. Dari kelompok alga merah yang penting adalah jenis Kappaphycus, Gracilaria dan Gelidium. Hasil identifikasi jenis rumput laut Kappaphycus yang ditemukan di sentra budidaya rumput laut Kabupaten Sumbawa Barat yaitu di Kecamatan Taliwang dan Kecamatan Poto Tano, Jenis Kappaphycus alvarezii adalah yang paling banyak dibudidayakan. Ada tiga varian E. cottonii yang teridentifikasi yaitu Tembalang, Sakol dan Maumere. Penamaan lain menyebutkan tembalang dan maumere tergolong dalam jenis K. alvarezii, sedang untuk varian Sakol dinamakan Kappaphycus striatum. Menurut Zucarello et al (2006), sistematika dan taxonomi dari Kappaphycus dan Euchema (Solieriaceae) membingungkan dan rumit disebabkan oleh plastisitas morfologi, kurang memadainya sejumlah karakter untuk identifikasi spesies dan nama komersial yang layak. Dalam jurnalnya Zucarello et al (2006) perbedaan genetik yang jelas telah dapat ditemukan pada sampel jenis K. alvarezii ( cottonii ) dan K. striatum ( sacol ). Adapun K. alvarezii dari Hawaii dan beberapa sampel dari Afrika juga ditemukan perbedaan secara genetik. Warna dari ketiga varian rumput laut Euchema yang ditemukan di Kabupaten Sumbawa Barat memiliki warna kuning kecoklatan (tambalang), hijau (sacol), dan merah-kecoklatan (persilangan maumere dan tembalang-menurut penuturan petani setempat). Akan tetapi hingga saat ini yang menjadi pilihan kebanyakan petani rumput laut setempat adalah strain warna merah kecoklatan yang banyak dibudidayakan di sekitar pesisir Teluk Kecamatan Poto Tano dan strain warna hijau yang banyak dibudidayakan di Teluk Kertasari Kecamatan Taliwang. Beberapa strain warna dari Kappaphycus alvarezii (merah, hijau dan coklat) telah digunakan dalam studi yang dilakukan oleh Munoz et al (2004), berbagai jenis sampel tersebut sebelumnya dikoleksi oleh Edison Jose de Paula (University of Sao Paulo, Brazil). Gambar rumput laut yang di temukan ditampilkan pada Gambar 5. Neish (2003) merujuk pada klasifikasi Doty (1985) menggambarkan bentuk, ciri fisik (morfologis) dari K. alvarezii var. tambalang terlihat berbentuk axis silindris dengan cabang yang umumnya memanjang kearah sumber cahaya yang kerap disebut "candelabra effect" Gambar 6 (a). Warna dari varian tambalang adalah coklat hingga coklat tua. Adapun untuk jenis K. alvarezii varian sacol memiliki bentuk seperti brokoli (ditemukan di alam berwarna hijau) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6 (b). Strain dari Sacol Island ini merupakan satu dari sejumlah alga coklat yang dikultivasi dan dipropagasi secara vegetative dari stok yang hidup secara liar di alam. Morfologi dari Eucheuma seaplants

60 46 dipengaruhi oleh sejumlah variable yang dihasilkan dari perbedaan genetik dari sejumlah strain, faktor lingkungan, teknik budidaya/penanaman, dan peran dari mutasi spontan yang terjadi diantara strain yang ada serta sejumlah perbedaan karakterisik yang berkaitan dengan warna. Hampir seluruh perairan laut Indonesia bisa ditemukan beragam jenis rumput laut. Secara umum, Eucheuma sp tersebar di perairan laut Kepulauan (Kep.) Riau, Kep. Bangka, Kep. Seribu, P. Madura, Kep. Kei, Kep. Tanimbar, P. Rote, P. Sumba dan P. Flores. Khusus untuk Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum mempunyai penyebaran paling luas di seluruh perairan Indonesia karena sudah banyak dibudidayakan. Kedua jenis ini dibudidayakan oleh masyarakat atau nelayan sekitar pantai. A B C Gambar 5. Jenis rumput laut dibudidayakan di Pulau Sumbawa (A) Kappaphycus alvarezii Var. Tambalang (B) K. alvarezii Var.Tambalang + Maumere (Tanduk Rusa) (C) K. striatum Var. Sacol Rumput laut penghasil karaginan termasuk kedalam golongan alga merah (Tabel 29). Tumbuhan dari kelompok ini memiliki thallus dengan berbagai bentuk, tekstur dan warna. Bentuk thallus antara lain silindris, gepeng dan lembaran. Rumpun rumput laut ini terbentuk dari berbagai jenis percabangan, mulai yang paling sederhana yaitu bentuk fillament sampai bentuk yang kompleks. Warna thallus beragam; merah, ungu, pirang, cokelat dan hijau. Alga merah mengandung pigmen fotosintetik berupa karotin, xantofil, fikobilin terutama r-fikoeritin (penyebab warna merah) dan klorofil a dan b. Alga merah mempunyai sifat adaptasi kromatik, yaitu mempunyai kemampuan

61 47 penyesuaian proporsi pigmen dengan berbagai kualitas pencahayaan yang dapat menimbulkan berbagai warna thallus. Dalam dinding sel terdapat selulosa dan produk fotosintetik berupa karaginan, agar, furcelaran dan porpinan. Gambar 6. Varian dari K. alvarezii (a) Tambalang, (b) Sacol) (Neish, 2003) Tabel 29. Karaginan dari beberapa jenis alga (Chapman & Chapman 1980). No. Jenis Alga Karaginofit Fraksi Karaginan 1 Furcellia fastigiata Kappa 2 Agardhiella tenena Iota 3 Euchema spinosum Iota 4 Euchema cottonii Kappa, Lambda 5 Anatheca montagnei Iota 6 Hypnea musciformis Kappa 7 Hypnea nidifica Kappa 8 Hypnea setosa Kappa 9 Chondrus crispus Kappa, Lambda, Iota 10 Chondrus sp. Lambda 11 Gigartina stellata Lambda, Kappa, Iota 12 Gigartina acicularis Lambda, Kappa 13 Gigartina pistillata Lambda, Kappa 14 Iridea radula Iridophyean, Kappa 15 Phyllophora nervosa Phyllophoran Lambda 16 Gymnogongrus sp. Iota 17 Tichocrpus crinitus Lambda, Kappa Reproduksi Rumput laut (sea weed) merupakan tanaman air dari golongan alga, atau ganggang yang hidup di air laut (kadar garam ppt). Tanaman ini masuk kedalam Divisi Thallophyta, yaitu tumbuhan yang mempunyai struktur kerangka tubuh berupa batang (thallus) saja, tidak berdaun, berbatang dan berakar. Rumput laut hidup dengan menancapkan atau melekatkan dirinya pada substrat lumpur, pasir, karang, fragmen karang mati, batu, kayu dan benda keras lainnya, sehingga disebut sebagai fitobenthos (tanaman yang hidup di dasar perairan). Sebagian rumput laut hidup menempel pada tumbuhan lain secara epifitik. Reproduksi rumput laut pada dasarnya ada dua macam, yaitu secara kawin (generatif) antara gamet jantan dengan gamet betina dan secara tidak kawin dengan cara vegetatif, konjugatif dan persporaan. Perkembangbiakan secara generatif dilakukan dengan

62 48 jalan penyebaran spora dan gamet serta fragmentasi thallus. Spora dan gamet umumnya tidak memiliki alat gerak seperti cambuk atau flagella. Reproduksi seksual dilakukan dengan karpogonia dan spermatangia. Pertumbuhan bersifat uniaksial dan multiaksial. Pertumbuhan vegetatif secara fragmentasi thallus yang dapat tumbuh dan berkembang. Alat pelekat/penempel (holdfast) terdiri dari perakaran bersel tunggal dan bersel banyak. Pada perkembangan biakan secara vegetatif, maka sebagai alga yang bersel banyak (multiseluler), potongan thallusnya mempunyai kemampuan berkembang meneruskan pertumbuhan. Reproduksi melalui potongan thallus ini bisa diamati pada jenis Euchema, Gracillaria, Enteromorpha dan Polysiphonia, dan sebagainya. Perkembangbiakan secara generatif dilakukan dengan spora berupa pembentukan gametofit tetraspora yang dihasilkan dari tetrasporofit. Tipe perkembangbiakan seperti ini umumnya terdapat pada alga merah (Rhodophyceae). Ekologi Rumput laut hidup di perairan laut dari kedalaman 0 (permukaan air laut) hingga kedalaman pencapaian cahaya matahari. Faktor oseanografis seperti fisika, kimia dan dinamika perairan dan jenis substrat dasar laut sangat menentukan pertumbuhan rumput laut. Sinar matahari merupakan faktor utama yang mutlak dibutuhkan untuk kehidupan rumput laut. Pada kedalaman yang tidak terjangkau sinar matahari maka tidak memungkinkan rumput laut dapat hidup. Rumput laut yang tumbuh di perairan yang selalu berombak dan berarus kuat mempunyai sifat dan karakteristik spora yang cepat tenggelam dan mempunyai kemampuan menempel yang kuat dan cepat pada substrat. Contoh rumput laut demikian adalah Euchema serra, E. Spinosum, Gelidium spp. dan Pterocladia spp. Rumput laut yang hidup di perairan laut tenang mempunyai spora yang ringan dan kemampuan menempel yang lemah pada substrat seperti contohnya Gracillaria, Hypnea, Acanthophora dan Padina. Tabel 30. Persyaratan ekologis untuk lokasi budidaya rumput laut Euchema cottonii berdasarkan Kep. Men. 02/MenKLH/I/1988 tentang Kualitas Air Laut untuk Budidaya Laut. No. Parameter Satuan Diperbolehkan Diinginkan A. Oseanografi 1 Kedalaman m Arus m/detik Substrat Dasar - Pasir Karang 4 Keterlindungan - Terlindung Sangat terlindung B. Kualitas Air 1 Suhu 0 C alami alami 2 Salinitas ±10% alami 3 ph mg/l TSS - 80 < 25 Beberapa parameter ekologis penting yang berpengaruh terhadap fisiologi (ekofisiologis) tanaman rumput laut dan pada akhirnya bisa menentukan

63 49 keberhasilan budidaya antara lain: arus, suhu, kondisi dasar (substrat) perairan, kedalaman, salinitas, kecerahan, pencemaran, dan sebagainya (Tabel 29). Pemilihan kriteria ekologis Berdasarkan matriks perbandingan beberapa kriteria/parameter ekologis budidaya rumput laut yang pernah digunakan di Indonesia, serta beberapa rujukan dari jurnal internasional (Tabel 31) selanjutnya ditentukan kriteria atau parameter yang digunakan untuk membuat matriks yang baru. Adapun penentuan teknik budidaya ditentukan melihat kedalaman perairan. Metode tancap dasar cocok dengan perairan yang dangkal sehingga proses pemanenan lebih mudah. Adapun metode long line-dipermukaan (pemanenan dengan menggunakan sampan/perahu) cocok untuk tipe perairan yang agak dalam. Perairan yang dalam intensitas cahaya yang sampai ke dasar perairan tidak maksimal. Sehingga posisi rumput laut lebih baik jika diikat di kolom perairan bagian atas.

64 50 Tabel 31. Beberapa parameter atau kriteria ekologis untuk budidaya rumput laut Parameter Jenis A B C D E F G H I J K L M N Total Data Tersedia Kedalaman Arus Substrat Dasar Keterlindungan Warna X Bau X Kecerahan Kekeruhan Kriteria Ekologis Bio-Fisik Padatan tersuspensi total X Gelombang Suhu Morfologi pantai Chlorofila 1 1 X Lapisan Minyak X Benda terapung X E. Coliform X Patogen X Plankton 0 X Epifit 1 1 X Herbivor Penyakit 1 1

65 51 Parameter Jenis A B C D E F G H I J K L M N Total Data Tersedia Kriteria Ekologis Kimiawi Salinitas ph Nitrat/NO3-N Nitrit/NO2-N X Ammonium/NH X Sianida/CN X PO4-P Oksigen/DO COD BOD Ammonia Total (NH3-N) X Sulfida (H2S) 1 1 X Minyak Bumi X Minyak dan Lemak 1 1 X Senyawa Fenol 1 1 X Pestisida Organoklorin X Poliklorinated bifenil (PCB) X Surfaktan/Detergent X Tributil Tin 1 1 X CO X Logam berat (umum) 1 1 Raksa (Hg)

66 52 Parameter Jenis A B C D E F G H I J K L M N Total Data Tersedia Chrom Heksavalen (Cr6+) Arsen (As) Selenium (Se) X Cadmium (Cd) Tembaga (Cu) Timbal (Pb) Seng (Zn) Nikel (Ni) Perak (Ag) X Pencemaran (umum) Keterangan: A: Kep. Men. 02/MenKLH/I/1988 Biota Laut (Budidaya perikanan) B: Kep. Men. 02/MenKLH/I/1988 Biota Laut (Bahan Baku dan Proses) C: Kep. Men No. 51/MENKLH/2004 Biota Laut D: Aslan (1988), E: Bakosurtanal (2005) F: Mubarak, et al. (1990) dan Tiensongrusmee (1990) dalam Radiarta et al G: Radiarta et al. (2005) H: Mubarak, et al. (1990) dalam Utojo, et al. (2007) I: Ariyati (2007) merujuk pada Tiensongrusmee et al., 1989; Afrianto dan Liviawaty, 1993; Aslan 1998; Puja et al., 2001; Kepmen No. 51/MENKLH/2004 J: Sirajuddin (2008), K: J. Munoz et al (2004) L: Erick I. Ask & Rhodora V. Azanza (2002) M: S.K. Rodgers & Evelyn F. Cox (1999) N: SEAFDEC (South East Asian Fisheries Development Center) (1999)

67 53 Kriteria dari Kep. Men LH No. 02 tahun 1988 maupun Kep. Men LH. No. 51 tahun 2004 (yang terbaru) mensyaratkan kriteria yang lebih banyak tetapi dengan tujuan lebih umum yaitu menekankan kebutuhan standart parameter yang dapat digunakan untuk biota laut dan atau kegiatan budidaya perikanan serta penanganan bahan baku dan proses dari suatu biota laut. Sehingga beberapa peneliti dan praktisi yang meneliti tentang rumput laut dan aspek budidayanya membuat kriteria yang lebih khusus. Dengan tujuan, untuk memudahkan operasional kegiatan budidaya di lapangan. Sementara itu, menurut literatur dari SEAFDEC (South East Asian Fisheries Development Center) tahun 1999 faktor lingkungan yang dibutuhkan meliputi: Tabel 32. Parameter lingkungan yang digunakan oleh SEAFDEC 1999 Parameter Standart of Parameter Substrate sand-rocky to corally Light full sunlight Temperature C Salinity >32 ppt Nutrients nitrogen & phosphorus ph 7-9 Quality of water clean. clear & pollution-free Water current m/min Kriteria ekologis yang bersifat kimiawi yang paling banyak digunakan oleh para peneliti yaitu salinitas, ph, nitrat (NO3-N), phosphate (PO4-P) dan DO (selengkapnya pada Tabel 33). Parameter seperti Nitrit, Ammonium, Sianida (CN), BOD dan COD tidak banyak digunakan oleh para peneliti budidaya rumput laut. Begitu pula dengan parameter seperti Sulfida (H2S), Minyak Bumi, Minyak dan Lemak, Senyawa Fenol, Pestisida Organoklorin, Poliklorinated bifenil (PCB, Surfaktan/Detergent, Tributil Tin, dan CO-2 serta jenis-jenis logam berat seperti Raksa (Hg), Chrom Heksavalen (Cr6+), Arsen (As), Selenium (Se), Cadmium (Cd), Tembaga (Cu), Timbal (Pb), Seng (Zn), Nikel (Ni), Perak (Ag) tidak digunakan oleh peneliti sebagai kriteria untuk meneliti tingkat kesesuaian lahan. Biasanya kriteria yang digunakan hanya kriteria yang bersifat pokok seperti substrat, penetrasi cahaya, suhu, salinitas, nutrien (phosphate dan nitrat), ph, arus, serta parameter morfologi pantai (keterlindungan, kedalaman) dan jenis substrat. Adapun kriteria biofisik seperti kecerahan, arus, kedalaman, dan substrat dasar merupakan kriteria yang banyak dipilih untuk menilai kesesuaian lokasi untuk aktivitas budidaya rumput laut. Kriteria lain seperti keterlindungan, morfologi pantai lebih sedikit yang menggunakan, karena secara logis sudah terwakili oleh keempat kriteria tersebut. Hal ini diduga dilakukan untuk memudahkan teknis penilaian kualitas perairan dan kecocokan lokasi untuk aktivitas budidaya perairan. Dalam hal ini bukan berarti indikator yang terdapat dalam matrik tidak bisa digunakan. Kandungan logam berat yang terlalu tinggi misalnya menurut penelitian sebelumnya oleh Villares et. all. (2001) dapat diketahui dari jenis alga Ulva dan Enteromorpha. Analisis terhadap konten logam berat terhadap rumput laut jenis Ulva lactuca oleh G. Apaydin et. all. (2010) menunjukkan bahwa daerah yang terkontaminasi limbah berpotensi untuk ditemukan logam berat dalam jaringan alga. Data yang diperoleh G. Apaydin (2010) tidak menunjukkan nilai yang

68 54 signifikan dari logam berat yang dianalisis menggunakan teknik EDXRF. Paramater logam berat dalam matriks yang digunakan oleh Radiarta et. all. (2004) dimasukkan dalam indikator dari parameter pencemaran. Bukan menjadi parameter tersendiri dalam tabel matriks. Begitu pula halnya dengan matriks yang digunakan oleh Mubarak et. all. (1990). Tabel 33. Kriteria ekologis/parameter lingkungan yang banyak digunakan untuk budidaya rumput laut No. Parameter Jumlah Sumber pustaka Kecerahan Salinitas Arus Suhu Kedalaman Substrat Dasar ph Nitrat/NO3-N PO4-P Oksigen/DO Ammonia Total (NH3-N) Keterangan: Kode sumber pustaka mengikuti Tabel 35 A, C, D, E, F, G, H, I, J, K, L, N A, B, C, D, E, G, H, I, J, L, N A, D, F, G, H, I, J, L, M, N A, C, D, E, I, K,L, N A, D, E, F, G, H, J, M A, D, G, H, M, N A, B, C, E, I, N C, D, I, K, N C, D, I, K, N A, C, E, I A, C, K, N Hasil kajian terhadap literatur yang memuat kriteria ekologis untuk biota laut dan budidaya perikanan menunjukkan bahwa pembuatan matriks kesesuaian ekologis budidaya rumput laut jenis Kappaphycus alvarezii dapat dilakukan dengan penelaahan terhadap kriteria baku dari kementerian lingkungan hidup yang dimuat dalam Kepmen KLH No. 2 Tahun 1988 dan Kepmen KLH No. 51 Tahun Dalam aturan tersebut kriteria lingkungan alami yang diinginkan oleh biota laut sudah cukup mewakili untuk digunakan dalam matrik. Terdapat sedikit modifikasi (untuk membuat range) pada beberapa parameter dan penggunaan literatur lain sebagai rujukan seperti kedalaman dan gelombang. Penilaian kriteria kesesuaian menggunakan kedua parameter tersebut disesuaikan berdasarkan kondisi lingkungan yang menjadi daerah penelitian. Parameter kedalaman (depth) merupakan parameter yang menjadi pertimbangan utama dalam menentukan teknik budididaya yang akan digunakan pada Tabel 34 dan 35 berikut:

69 55 Tabel 34. Matriks kesesuaian lokasi budidaya Kappaphycus alvarezii berdasarkan teknologi budidaya tancap dasar di Kabupaten Sumbawa Barat Parameter Satuan Skor (S) Bobot Tidak sesuai Sesuai Sangat sesuai (%) Arus cm/s <10 atau atau >35 Kecerahan M <3 3-5 >5 15 Suhu 0 C <24 atau (>24) - (<28) >30 Kedalaman m <1 atau >7 1-2 atau (>6)-7 ( 2) - ( 6) 10 Salinitas ppt <28 atau (28)-(<33) >34 ph 6,5 atau >6,5-7,0 atau 7,0-8,5 8 9,0 8,5-<9,0 Nitrat mg/l <0,01 atau 0,8-1,0 0,01-0,07 6 >1,0 Phosfat mg/l <0,01 atau 0,21-0,30 0,10-0,20 6 >0,30 Ammonia (NH3-N) mg/l >0,3 0,3 <0,3 5 DO mg/l Substrat - Lumpur Pasir sedikit Coral/coral 8 lumpur campur pasir Jumlah 100 Tabel 35. Matriks kesesuaian lokasi budidaya Kappaphycus alvarezii berdasarkan teknologi budidaya mengapung, rakit bambu, dan long line di Kabupaten Sumbawa Barat Parameter Satuan Skor (S) Bobot Tidak sesuai Sesuai Sangat sesuai (%) Arus cm/detik <10 atau atau >35 Kecerahan M <3 3-5 >5 15 Suhu 0 C <24 atau (>24) - (<28) >30 Kedalaman m <6 atau > Salinitas ppt <28 atau (28)-(<33) >34 ph 6,5 atau >6,5-7,0 atau 7,0-8,5 8 9,0 8,5-<9,0 Nitrat mg/l <0,01 atau 0,8-1,0 0,01-0,07 6 >1,0 Phosfat mg/l <0,01 atau 0,21-0,30 0,10-0,20 6 >0,30 Ammonia (NH3-N) mg/l >0,3 0,3 <0,3 5 DO mg/l Substrat - Lumpur Pasir sedikit Coral/coral 8 lumpur campur pasir Jumlah 100

70 56 Analisis Kualitas Air A. Arus Kecepatan arus yang diukur pada Stasiun 1, 2, dan 3 yang terletak di di daerah pesisir Kecamatan Tano dan sekitar alas berkisar antara 0,13 hingga 0,19 m/detik, dengan satu titik yang diukur ada kecepatan arus yang rendah yaitu 0,06 m/detik. Kecepatan arus rata-rata di Stasiun 1, 2 dan 3 yaitu 0,11±0,04 m/s, 0,16-0,17 m/s dan 0,16±0,01 m/s. Rata-rata kecepatan arus Stasiun 4 tepatnya di Desa Kertasari Kecamatan Taliwang yaitu 0,10±0,001 m/s. Untuk Desa Labu Lalar (Stasiun 5) Kecamatan Taliwang kecepatan arus rata-rata 0,10±0,06 m/s. Nilai tersebut sudah masuk dalam kriteria arus optimal yang dibutuhkan untuk budidaya rumput laut. Waktu pengambilan sampel merupakan waktu surut terendah dengan kondisi arus yang tenang sehingga kecepatan arus yang terukur tidak diperoleh nilai yang maksimal. Berdasarkan kriteria Kementerian Lingkungan Hidup yang tertuang dalam Kep. Men. 02/MenKLH/I/1988 untuk budidaya laut, kisaran arus yang diukur berada pada level yang diperbolehkan (0,15-0,50 m/s). Selain itu, menurut kriteria lokasi untuk budidaya rumput laut Aslan (1988) dan Ditjekanbud (2005), kisaran arus yang diperoleh di Kecamatan Poto Tano dan sekitarnya sesuai untuk lokasi budidaya rumput laut yaitu berada pada kisaran m/s. Menurut Radiarta et al. arus yang diinginkan untuk kategori sangat sesuai cm/s, cm/s untuk kategori sesuai serta <20 dan >40 cm/s untuk kategori tidak sesuai. Pada matriks kesesuaian yang digunakan oleh Mubarak, et al. (1990) dalam Utojo, et al. (2007). Kisaran arus cm/s (sangat sesuai), cm/s (sesuai), (sesuai bersyarat) serta <20 dan >50 cm/s (kategori tidak sesuai). Pada parameter kesesuaian yang dibangun oleh Bakosurtanal (2005) arus tidak dimasukkan dalam pembobotan. Aslan (1988) memberikan bobot 8% dari skala 100% (menggunakan 11 parameter). Selanjutnya Mubarak, et al. (1990) dan Tiensongrusmee (1990) dalam Radiarta, et al. (2007) memberikan bobot 0,2 (20%) dari skala 1 (100%) dalam hal ini ada 4 (empat) parameter yang digunakan. Radiarta et al. (2005) memberikan bobot 10% (dari skala 100%) dari 11 parameter yang digunakan. Dengan skala yang sama, Mubarak, et al. (1990) dalam Utojo, et al. (2007) memberikan bobot 0,09 (9%) pada arus. Kriteria kesesuaian untuk arus ini tidak bersifat mutlak karena hal ini bisa disesuaikan dengan teknologi budidaya yang akan digunakan. Di Stasiun 6 tepatnya di Kawasan Pantai Jelenga Kecamatan Jereweh, nilai kecepatan arus rata-rata diperoleh 0,10-0,11 m/detik. Nilai yang diperoleh masuk dalam kriteria minimal arus yang ideal untuk keperluan budidaya rumput laut. Rincian nilai hasil pengukuran terhadap arus dapat dilihat pada gambar berikut.

71 57 Kec. Arus (m/s) 0,20 0,16-0,17 0,15 0,10 0,10-0,11 0,05 0, Stasiun Gambar 7. Grafik hasil pengukuran kecepatan arus di enam stasiun Aliran air (water motion) diperlukan oleh rumput laut dimana organisme tersebut memperoleh makanan (nutrient) melalui aliran air yang melewatinya. Gerakan air yang cukup akan membawa nutrient yang cukup dan sekaligus mencuci kotoran yang menempel pada thallus, membantu aerasi melalui sirkulasi air, dan mencegah adanya fluktuasi suhu air yang besar. Kondisi arus perairan menggambarkan sirkulasi air dan pada gilirannya menggambarkan pasokan dan ketersediaan oksigen bagi kehidupan dan pertumbuhan biomasa rumput laut. Indikator suatu lokasi yang memiliki arus yang baik adanya tumbuhan karang lunak dan padang lamun yang bersih dari kotoran dan miring ke satu arah. Secara umum tanaman dari keluarga alga euchema tumbuh dengan baik pada perairan yang bergerak/berarus. Pergerakan air akan membersihkan tanaman, membawa nutrient yang segara, membuang sisa hasil metabolism dan menstimulasi pertumbuhan seaweed melalui mekanisme hydraulic forces (Neish, 2003). B. Suhu Pengambilan sampel dan pengukuran suhu permukaan laut (SPL) di Kecamatan Poto Tano meliputi perairan pesisir Labu Beru, Tano, Tambak Sari, Sapekek, Sagena, Kuang Busir dan Tua Nanga. Rata-rata suhu permukaan laut di Stasiun 1 (Labu Beru dan Tano) 27,30±1,04 0 C, Stasiun 2 (Tambak Sari, Sapekek) 27, C, Stasiun 3 (Sagena, Kuang Busir dan Tua Nanga) 29,30±0,70 0 C. Ketiga stasiun tersebut terletak di Kecamatan Poto Tano. Perbedaan nilai suhu di Stasiun 3 dengan dua stasiun lain dikarenakan perbedaan waktu pengambilan yang dilakukan pada siang hingga sore hari. Adapun untuk suhu permukaan laut di Stasiun 4 (Desa Kertasari) diperoleh 28,40±0,53 0 C dan untuk suhu di Stasiun 5 (Desa Labu Lalar) nilai SPL sebesar 28,10±0,79 0 C. Kedua desa ini termasuk dalam wilayah Kecamatan Taliwang. Suhu perairan di Stasiun 6 (Desa Jelenga) Kecamatan Jereweh diperoleh 29,20-30,4 0 C. Gambaran suhu permukaan laut di ke enam stasiun penelitian dapat dilihat pada gambar berikut.

72 58 Suhu Permukaan Laut ( C) 30,50 30,00 29,50 29,00 28,50 28,00 27,50 27,00 26,50 26,00 29,20-30,4 27,30-28,00 Stasiun Gambar 8. Suhu permukaan laut di enam stasiun pengamatan Suhu perairan laut di Kecamatan Poto Tano, Taliwang, dan Jereweh menunjukkan nilai yang ideal sebagai lokasi untuk budidaya rumput laut. Suhu yang baik untuk pertumbuhan rumput laut berkisar C, yang merupakan suhu normal di perairan laut. Menurut Aslan (1988), suhu perairan yang cocok untuk budidaya rumput laut berkisar antara C dan yang terbaik pada suhu C. Suhu perairan yang tidak cocok untuk budidaya rumput laut yaitu dibawah 20 0 C atau diatas 30 0 C. Suhu perairan dipengaruhi oleh suhu udara (atmosfir), dan suhu perairan ini mempengaruhi proses fisiologis dan biokimia rumput laut serta reaksi kimia lainnya yang terjadi dalam lingkungan perairan dimana rumput laut berada. Dalam hal pembobotan, untuk parameter suhu oleh Bakosurtanal (2005) memberikan bobot 10% dengan total 6 (enam) parameter yang digunakan. Aslan (1988) memberikan bobot 8% dengan 11 parameter. Radiarta (2005) dan Mubarak, et al. (1990) dan Tiensongrusmee (1990) dalam Radiarta, et al. (2007) tidak memasukkan parameter suhu sebagai bagian dari kajiannya. Demikian juga dengan Mubarak, et al. (1990) dalam Utojo, et al. (2007). Pemberian skor untuk parameter suhu oleh Aslan (1988) adalah C untuk kategori sangat sesuai, C untuk kategori sesuai, dan <20 atau >30 0 C untuk kategori tidak sesuai. Kategori yang disusun oleh Bakosurtanal (2005) memberikan kisaran suhu C untuk kategori sangat sesuai, > C sesuai, > C bersyarat, dan >35 0 C untuk kategori tidak sesuai. Suhu dapat memberikan efek secara langsung terhadap proses fisiologi tanaman alga laut atau secara tidak langsung memberikan efek terhadap perubahan kondisi lingkungan yang mempengaruhi rumput laut. Misalnya, efek suhu terhadap pergerakan air melalui mekanisme pembentukan angin, arus, dan ombak (Neish, 2003). Proses fotosintesis dan tingkat respirasi dari alga laut keluarga Eucheuma terlihat signifikan dipengaruhi oleh suhu. Glenn & Doty (1981) dalam Neish (2003) menemukan physiological maxima untuk fotosintesis pada 25 C untuk tiga spesies dan mereka juga mengobservasi proses respirasi yang meningkat 50-60% pada suhu 15 C menuju suhu 20 C. Proses auto-oxidation meningkat tajam pada 25 C to 40 C. Dawes (1979) menemukan E. isiforme memiliki respirometric

73 59 maximum pada kisaran C. E. uncinatum and E. denticulatum pada maksimal mendekati 30 C. Untuk E. isiforme fotosintesis ditemukan maksimal dari suhu C (Mathieson and Dawes, 1974 dalam Neish, 2003). C. Dasar Perairan Jenis dasar perairan di Kecamatan Poto Tano bervariasi dari mulai pasir halus dan campuran sangat sedikit lumpur di pesisir Labu Beru dan Tano (Stasiun 1). Dasar perairan berpasir, pecahan karang dan sangat sedikit lumpur terdapat di Tambak Sari dan Sapekek (Stasiun 2). Juga, terdapat dasar perairan dengan asosiasi pasir dan pecahan karang di Sagena, Kuang Busir dan Tua Nanga (Stasiun 3). Adapun jenis dasar perairan di Desa Kertasari Kecamatan Taliwang (Stasiun 4) secara keseluruhan terdiri dari asosiasi pasir kasar dan pecahan karang, Perairan yang mempunyai dasar pecahan-pecahan karang dan pasir kasar baik untuk budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii. Kondisi dasar perairan yang demikian merupakan petunjuk adanya gerakan air yang baik. Jenis dasar perairan dapat dijadikan indikator gerakan air laut. Di Desa Labu Lalar Kecamatan Taliwang (Stasiun 5) jenis dasar perairan didominasi oleh pasir berlumpur. Masukan lumpur berasal dari muara sungai meningkatkan konsentrasi lumpur di dasar perairan. Dasar perairan yang berlumpur kurang cocok untuk budidaya rumput laut untuk jenis K. alvarezii. Dasar perairan yang terdiri dari karang yang keras menunjukkan dasar itu dipengaruhi oleh gelombang yang besar sebaliknya bila dasar perairan terdiri dari lumpur, menunjukkan adanya gerakan air yang kurang. Pemberian skor untuk parameter jenis substrat dasar berbeda-beda. Menurut Kep. Men. 02/MenKLH/I/1988 tentang Kualitas Air Laut untuk Budidaya Laut substrat jenis karang adalah yang paling diinginkan untuk budidaya diikuti oleh jenis substrat pasir. Dalam Aslan (1988), jenis substrat berlumpur terkategori tidak sesuai, pasir berlumpur sesuai, dan jenis substrat pasir terkategori sangat sesuai. Bobot yang diberikan adalah 8% dari 11 parameter yang digunakan. Lokasi pesisir laut Pantai Jelenga Kecamatan Jereweh (Stasiun 6) cocok untuk lokasi budidaya jika dilihat dari jenis dasar perairan dengan komposisi pasir berukuran besar dan pecahan karang. Komparasi perbandingan jenis sedimen pada stasiun pengamatan dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 36. Komparasi perbandingan jenis sedimen pada stasiun pengamatan Stasiun St. 1 St. 2 St. 3 St. 4 St. 5 St. 6 Jenis Substrat Pasir berlumpur Pasir halus dan campuran sangat sedikit lumpur Pasir, pecahan karang dan sangat sedikit lumpur Pasir dan pecahan karang Pasir kasar dan pecahan karang Pasir berukuran besar dan pecahan karang. Radiarta et al. (2005) memilih jenis substrat pasir dan pecahan karang untuk kategori sangat sesuai, kategori sesuai untuk pasir berlumpur dan tidak sesuai untuk jenis substrat lumpur. Bobot yang diberikan untuk substrat dasar

74 60 adalah 10% dari 11 parameter yang digunakan. Mubarak, et al.(1990) dalam Utojo, et al.(2007) memberikan bobot 10% untuk jenis substrat dasar dengan pembagian kategori sangat sesuai untuk jenis pasir dan pecahan karang, sesuai untuk jenis pasir sedikit berlumpur, sesuai bersyarat untuk jenis pasir berlumpur sedang, dan kategori tidak sesuai untuk jenis substrat dasar pasir berlumpur banyak. Bakosurtanal (2005) tidak mencantumkan jenis substrat dalam parameter kesesuaian yang digunakan. D. Kedalaman Air Kedalaman perairan merupakan salah satu indikator untuk menilai kelayakan suatu lokasi budidaya. Metode penanaman rumput laut biasanya menyesuaikan kondisi kedalaman perairan. Rata-rata kedalaman perairan di Stasiun 1, 2, dan 3 yaitu 9,67±4,04 meter, 13-13,5 meter dan 7,00±4,36 meter. Umumnya kedalaman yang terukur di wilayah Kecamatan Poto Tano ini berkisar antara 2 hingga 14 meter. Umumnya, kedalaman yang diidentifikasi aman dari hempasan gelombang berkisar antara 6 hingga 14 meter. Tipe kedalaman seperti ini lebih cocok untuk metode budidaya rawai (long-line), rakit apung atau sistem jalur. Perairan Desa Kertasari (Stasiun 4), Kecamatan Taliwang memiliki kedalaman yang lebih dangkal berkisar antara 1,5 hingga 6 meter dengan kedalaman rata-rata 3,00±2,60 meter. Umumnya kedalaman yang sesuai untuk budidaya dengan melihat kuatnya hempasan gelombang adalah pada kedalaman 1 hingga 3 meter. Desa kertasari memiliki keunggulan dalam hal keterlindungan dari gelombang dengan keberadaan pulau kecil yang terdapat di mulut teluk. Faktor keterlindungan suatu perairan dapat menurunkan kekuatan gelombang. Di Desa Labu Lalar (Stasiun 5) Kecamatan Taliwang, kedalaman yang terukur adalah 5 hingga 7 meter dengan rata rata 6,17±0,76 meter. Pada Pantai Jelenga (Stasiun 6) Kecamatan Jereweh menunjukkan karakter dasar perairan dan kontur kedalaman yang mirip dengan Desa Kertasari. Memiliki kisaran kedalaman 2 hingga 3,5 meter yang cocok untuk budidaya rumput laut dengan rata-rata kedalaman 3 meter. Variasi kedalaman perairan pada masing masing stasiun selengkapnya dapat dilihat pada gambar dibawah ini. Kedalaman (m) ,5 2-3, Stasiun Gambar 9. Grafik rataan kedalaman pada masing-masing stasiun

75 61 Sebagai perbandingan perairan pesisir selatan Kabupaten Sumbawa Barat di Kecamatan Sekongkang memiliki kedalaman yang ekstrem ketika surut yaitu hanya mencapai 30 cm, bahkan sebagian dasar perairan mudah terpapar udara dan matahari. Kondisi perairan ini tidak cocok untuk dilakukan budidaya rumput laut. Jika dilakukan modifikasi teknologi diduga yang masih memungkinkan adalah hanya untuk maintenance bibit. Kedalaman perairan yang baik untuk budidaya rumput laut Eucheuma cottonii adalah 0,3 0,6 m pada waktu surut terendah untuk (lokasi yang berarus kencang) untuk metode lepas dasar, dan 2-15 m untuk metode rakit apung, metode rawai (long-line) dan sistem jalur. Kondisi ini untuk menghindari rumput laut mengalami kekeringan dan mengoptimalkan perolehan sinar matahari. Untuk parameter kedalaman, Kep. Men. 02/MenKLH/I/1988 tentang Kualitas Air Laut untuk Budidaya Laut mensyaratkan kedalaman 5-40 m dengan kedalaman 7-15 m adalah kedalaman yang diinginkan. Aslan (1988) mengkategorikan kedalaman 2-15 m dalam skor sangat sesuai, 1-2 m dalam skor sesuai, dan kedalaman <2 atau >15 m dalam skor/kategori tidak sesuai. Bobot yang diberikan untuk parameter kedalaman 8% dengan total 11 paramater yang digunakan. Bakosurtanal (2005) mengkategorikan kedalaman 1-5 m ke dalam kelompok sangat sesuai, bobot yang diberikan pada parameter kedalaman adalah yang tertinggi yaitu 35% (dari 6 paramater yang digunakan). Selanjutnya, Mubarak, et al. (1990) dan Tiensongrusmee (1990) dalam Radiarta, et al. (2007) memberikan bobot untuk variabel/parameter kedalaman sebesar 30% (total 4 parameter) dengan rincian ¾ m untuk kategori sangat sesuai, 1 m untuk sesuai, 1,5 m untuk sesuai bersyarat dan 3 m untuk kategori tidak sesuai. Model kesesuaian ini diperuntukkan bagi metode budidaya tancap dasar. Radiarta et al. (2005) memberikan bobot untuk kedalaman 15% (total 11 parameter) dengan rincian; kedalaman 1-10 m untuk kategori sangat sesuai, m untuk sesuai dan kategori tidak sesuai untuk kedalaman <1 dan >15 m. Penggunaan kriteria ini didasarkan kepada metode budidaya sistem longline. Adapun Mubarak, et al. (1990) dalam Utojo, et al. (2007) memberikan bobot 9% untuk variable/parameter kedalaman (dari 12 paramater yang digunakan) dengan dengan rincian; kedalaman 5-10 m untuk kategori sangat sesuai, m untuk sesuai, m untuk sesuai bersyarat dan kategori tidak sesuai untuk kedalaman <5 dan >20 m. E. Salinitas Kisaran salinitas di perairan pesisir Kecamatan Poto Tano pada Stasiun 1 dan Stasiun 2 yaitu 34±0,00 ppt, dan Stasiun 3 sebesar 33,67±0,58 ppt. Umumnya salinitas berkisar antara ppt. Nilai salinitas tersebut berada dalam kisaran yang diinginkan untuk budidaya rumput laut. Untuk kadar salinitas di Desa Kertasari (Stasiun 4) berkisar antara ppt dengan rata-rata 34,67±0,58 ppt. Di daerah Labu Lalar, Kecamatan Taliwang kadar salinitas menunjukkan nilai yang sama dengan Desa Kertasari yaitu berkisar antara ppt dengan rata-rata 34,67±0,58 ppt. Tetapi, untuk Labu Lalar (Stasiun 5) nilai salinitas dapat berfluktuasi secara ekstrem pada musim hujan (pengambilan sampel dilakukan pada musim kemarau). Hal ini dikarenakan keberadaan muara sungai yang memberi kontribusi masukan air tawar sehingga salinitas dapat turun secara

76 62 drastis. Di Pantai Jelenga (Stasiun 6) kadar salinitas berkisar ppt. Nilai salinitas pada stasiun pengamatan berikut ditampilkan pada gambar berikut. Salinitas (Ppt) Stasiun Gambar 10. Grafik nilai salinitas pada lokasi pengamatan Eucheuma cottonii adalah rumput laut yang bersifat stenohaline. Spesies ini tidak tahan terhadap fluktuasi salinitas yang tinggi. Salinitas yang baik berkisar antara ppt. Untuk memperoleh perairan dengan kondisi salinitas tersebut harus dihindari lokasi yang berdekatan dengan muara sungai. Parameter salinitas menurut kriteria kesesuaian Aslan (1988) memiliki bobot 12% dari 11 parameter yang digunakan. Kisaran salinitas <28 atau >37 ppt termasuk kategori tidak sesuai, ppt untuk sesuai, dan kisaran ppt untuk kategori sangat sesuai. Bakosurtanal (2005) memberikan bobot untuk salinitas 10% dari total 6 parameter yang digunakan. Rincian kriteria tersebut yaitu ppt untuk kategori sangat sesuai, >20-28 ppt untuk sesuai, 20-<24 ppt untuk sesuai bersyarat dan <20 ppt untuk kategori tidak sesuai. Mubarak, et al. (1990) dan Tiensongrusmee (1990) dalam Radiarta, et al. (2007) tidak menggunakan parameter salinitas dalam kriteria yang dibangun. Bobot parameter salinitas oleh Radiarta et al. (2005) ditentukan sebesar 10% (dari total 11 parameter yang digunakan dengan rincian ppt untuk kategori sangat sesuai, ppt untuk kategori sesuai dan <28 dan >34 ppt untuk kategori tidak sesuai. Adapun Mubarak, et al. (1990) dalam Utojo, et al. (2007) memberikan bobot 9% untuk parameter salinitas. Dimana, kisaran salinitas ppt untuk kategori sangat sesuai, ppt untuk sesuai, ppt untuk sesuai bersyarat dan <25 dan >35 ppt untuk kategori tidak sesuai. Efek dari nutrisi dan salinitas terhadap Kappaphycus belum diketahui secara pasti meskipun hal itu dapat diasumsikan bahwa kombinasi dari keduanya memiliki tingkat kepentingan yang kritis untuk pertumbuhan tanaman alga laut. Kappaphycus terlihat tumbuh dengan baik dalam kondisi "full salinity" pada perairan laut seawater. Sejumlah lokasi budidaya rumput laut yang sukses memperlihat kisaran salinitas ppt. Dawes (1979) dalam Neish 2003 menemukan jenis E. isiforme memiliki kisaran respirometric maksimum pada ppt. Keduanya baik E. uncinatum dan E. denticulatum maksimal mendekati salinitas 30 ppt dan pengaruh daratan signifikan bagi alga laut secara positif dan negatif.

77 63 Kondisi air laut dipengaruhi oleh daratan. Perbedaan salinitas dan konten mikronutrien dari pristine open-ocean water mempengaruhi kelimpahan populasi populasi eucheuma seaplant di alam bebas. F. Kecerahan Kecerahan perairan di Kecamatan Poto Tano Stasiun 1 mencapai 8,47±3,63 m, Stasiun 2 diperoleh berkisar antara 10,44-10,80 m, dan pada Stasiun 3 nilai kecerahan sebesar 8,60±3,26 m pada titik tertentu seperti di pesisir Tua Nanga ditemukan kecerahan dapat mencapai 100% hal ini menunjukkan penetrasi cahaya matahari dapat menembus hingga ke dasar perairan dengan baik. Di Desa Kertasari (Stasiun 4) Kecamatan Taliwang kecerahan juga dapat mencapai 100% penetrasi cahaya matahari dapat menembus hingga ke dasar perairan. Rata-rata kecerahan di Stasiun 4 ini mencapai 3,90±1,91 m. Nilai kecerahan yang mencapai 100% menunjukkan kualitas yang baik untuk budidaya rumput laut. Berbeda dengan kecerahan di Perairan Labu Lalar (Stasiun 5) Kecamatan Taliwang dengan nilai rata-rata 7,46±0,55 m pada beberapa titik kecerahan ada yang rendah yaitu setelah dikonversi sebesar 79%. Nilai kecerahan Labu Lalar tergolong rendah dibanding lokasi lain karena banyaknya masukan lumpur dari sungai sehingga kadar Total Suspended Solid (TSS) tinggi yang berkontribusi meningkatkan nilai kekeruhan. Di perairan pesisir Desa Jelenga (Stasiun 6) Kecamatan Jereweh nilai kecerahan rata-rata mencapai 2-3,5 m (persentase kecerahan mencapai 100%). Nilai kecerahan dipengaruhi kedalaman, dimana, semakin dalam suatu perairan semakin sulit diperoleh nilai kecerahan 100%. Nilai Kecerahan pada masing-masing stasiun pengamatan dapat dilihat pada gambar berikut. Kecerahan (m) 14,00 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00 10,4-10,8 2,0-3,5 Stasiun Gambar 11. Nilai kecerahan(%) pada masing-masing stasiun pengamatan Cahaya matahari merupakan sumber energi dalam proses fotosintesis. Dalam proses fotosintesis terjadi pembentukan bahan organik yang diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan. Kecerahan perairan berhubungan erat dengan penetrasi cahaya matahari. Kecerahan perairan yang ideal lebih dari 1 m. Air yang keruh (mengandung lumpur) dapat menghalangi tembusnya cahaya matahari di dalam air sehingga proses fotosintesis terganggu. Disamping itu kotoran dapat menutupi permukaan thallus,dan menyebabkan thallus tersebut

78 64 membusuk dan patah. Secara keseluruhan kondisi ini akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan rumput laut. Aslan (1988) memberikan bobot 12% untuk parameter kecerahan dari total 11 parameter yang digunakan. Nilai kecerahan <3 m dikategorikan dalam kelas tidak sesuai, 3-5 m untuk sesuai dan kategori sangat sesuai untuk kedalaman >5 m. Dalam Bakosurtanal (2005), kecerahan mendapatkan bobot 25% dan dibagi dalam empat level kesesuaian yaitu >75% untuk kategori sangat sesuai, 50-75% untuk sesuai, 25-<50% untuk sesuai bersyarat dan kategori tidak sesuai dengan kecerahan <25%. Mubarak, et al. (1990) dan Tiensongrusmee (1990) dalam Radiarta, et al. (2007) memberikan bobot 40% untuk parameter kecerahan dari total empat parameter yang digunakan. Nilai kecerahan 1 m dikategori dalam kelas sangat sesuai, 4/3 m untuk sesuai, 2 m untuk sesuai bersyarat dan kategori tidak sesuai untuk kedalaman 4 meter. Radiarta et al. (2005) kecerahan diberi bobot 10% (dari total 11 parameter yang digunakan) dimana kecerahan >3 m untuk kategori sangat sesuai, 1-3 m untuk sesuai, dan kategori tidak sesuai untuk kecerahan <1 m. Adapun Mubarak, et al. (1990) dalam Utojo, et al. (2007) memberikan bobot 10% untuk kecerahan dari total 12 parameter yang digunakan. Tingkat kecerahan % masuk kelas sangat sesuai, 70-79% untuk sesuai, 60-69% untuk sesuai bersyarat dan kecerahan <60% untuk kelas tidak sesuai. Pada stasiun penelitian yang dikaji di Kabupaten Sumbawa Barat kelas kesesuaian umumnya berada dalam kelas sesuai hingga sangat sesuai. Eksposur sejumlah panjang gelombang dari Photosynthetically Active Radiation (PAR) atau gelombang cahaya tampak merupakan kebutuhan esensial bagi eucheuma seaplants dan sejumlah tanaman lainnya. Mairh (1986) dalam Neish (2003) menemukan K. striatum memiliki pertumbuhan rata-rata yang maksimum pada 12:12 L:D cycle pada 6,000 lx. Tetapi, pertumbuhan rata-rata menurun pada sekitar 10,000 lx. Dawes (1979) dalam Neish (2003) melaporkan pertumbuha rata-rata meningkat pada 18,000 mw cm-2 dari cahaya tampak untuk jenis E. denticulatum, E. isiforme and E. uncinatum. Kappphycus memiliki ritme fotosintesis harian untuk fotosintesis dan respirasi, (Glenn & Doty 1981 dalam Neish 2003). Keluarga Eucheuma bersifat opportunis dalam merespon cahaya untuk aktivitas fotosintesis, Hasil yang sama juga diperoleh pada with Kappaphycus. Aktivitas fotosintesis menunjukkan sifat diurnal pattern dengan puncak pada pagi hari. G. Kekeruhan Tingkat kekeruhan di Kecamatan Poto Tano tergolong rendah. Kisaran nilai kekeruhan yaitu 0,16-0,45 NTU. Pada Stasiun 1 diperoleh nilai rata-rata kekeruhan 0,203±0,075 NTU dan masing masing 0,30-0,45 NTU dan 0,230±0,061 NTU pada Stasiun 2 dan Stasiun 3. Nilai kekeruhan yang paling tinggi diperoleh pada titik pengambilan sampel pesisir Tambak Sari (Sub Stasiun 2) sebesar 0,45 NTU. Diduga, keberadaan tambak (walaupun sudah tidak aktif) meningkatkan nilai kekeruhan perairan. Di Desa Kertasari (Stasiun 4) Kecamatan Taliwang nilai kekeruhan rata-rata diperoleh 0,270±0,165 NTU. Sementara itu, di Desa Labu Lalar (Stasiun 5) nilai kekeruhan rata-rata diperoleh 0,193±0,021 NTU. Di Pantai Jelenga (Stasiun 6) Kecamatan Jereweh nilai kekeruhan berkisar

79 65 antara 0,15-0,25 NTU dengan rata-rata 0,15-0,25 NTU. Nilai NTU berkaitan erat dengan kandungan TSS pada badan perairan. Kekeruhan (NTU) 0,50 0,45 0,40 0,35 0,30 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 0,00 0,30-0,45 0,15-0,25 Stasiun Gambar 12. Grafik nilai kekeruhan pada masing-masing stasiun pengamatan Nilai kekeruhan suatu perairan tidakdigunakan sebagai parameter dalam membangun matriks kesesuaian. Hal ini dikarenakan parameter kecerahan sudah digunakan. Pengukuran nilai kekeruhan dilakukan sebagai upaya cross-check terhadap nilai parameter lain seperti kecerahan atau TSS. Korelasi antara nilai TSS dan kekeruhan dapat dtentukan dengan menggunakan formula tertentu. Dalam aturan Kep. Men. 02/MenKLH/I/1988 tentang Kualitas Air Laut untuk Budidaya Laut nilai TSS yang diinginkan adalah <25 mg/l dan masih diperbolehkan pada level 80 mg/l. Nilai kekeruhan yang terlalu tinggi akan menghalangi penetrasi cahaya matahari yang masuk ke dalam badan air. H. ph Rata-rata derajat keasaman (ph) di masing-masing stasiun perairan pesisir Kecamatan Poto Tano yaitu Stasiun 1 (8,15±0,02), Stasiun 2 (7,72-8,01), dan Stasiun 3 (8,18±0,19). Nilai ph ini berada dalam kisaran yang dperbolehkan untuk budidaya rumput laut. Adapun ph di perairan Desa Kertasari (Stasiun 4) Kecamatan Taliwang berkisar antara 8,10-8,28 dengan rata-rata 8,17±0,09. Di Labu Lalar (Stasiun 5), ph berkisar antara 7,96-8,3 dengan rata-rata 8,14±0,17. Di Pantai Jelenga (Stasiun 6) Kecamatan Jereweh ph yang terukur yaitu 8,25-8,26. Sebagai perbandingan, pengukuran ph yang coba dilakukan di Muara Sungai Taliwang diperoleh ph 7,9. Nilai ph yang terukur pada ke enam stasiun ditunjukkan oleh gambar dibawah ini.

80 66 8,4 ph 8,3 8,25-8,26 8,2 8,1 8 7,9 7,8 7,72-8,01 Stasiun Gambar 13. Grafik derajat keasaman pada masing-masing stasiun pengamatan Menurut Kadi dan Atmaja (1988), derajat keasaman (ph) yang baik bagi pertumbuhan rumput laut jenis Eucheuma sp. berkisar antara 7 9 dengan kisaran optimum 7,3 8,2. Menurut Sulistijo (1987), ph air laut berkisar antara 7,9 8,3. Dengan meningkatnya ph akan berpengaruh terhadap kehidupan rumput laut. Kisaran toleransi ph dimana alga ditemukan adalah sebesar 6,8 9,6 (Luning, 1990). Menurut (Luning, 1990), bahwa perubahan ph perairan, baik ke arah alkali (ph naik) maupun ke arah asam (ph turun) akan mengganggu kehidupan rumput laut dan organisme akuatik lainnya. Nilai ph sangat penting diketahui karena banyak reaksi kimia dan biokimia yang terjadi pada tingkat ph tertentu. Perairan yang menerima limbah organik dalam jumlah yang besar berpotensi memiliki tingkat keasaman yang tinggi. Mubarak, et al. (1990) dalam Utojo, et al. (2007), Radiarta et al. (2005), Mubarak, et al. (1990) dan Tiensongrusmee (1990) dalam Radiarta, et al. (2007) dan Aslan (1988) tidak memasukkan ph sebagai parameter dalam membangun matriks kesesuaian. Dalam ketentuan Kep. Men. 02/MenKLH/I/1988 tentang Kualitas Air Laut untuk Budidaya Laut menunjukkan bahwa kisaran ph yang diinginkan untuk aktivitas budidaya laut seperti rumput laut adalah 6,5-8,5 dan 6-9 untuk kisaran yang diperbolehkan. Bakosurtanal (2005) membagi kelas kesesuaian untuk ph dengan ph 7,5-8,5 untuk kategori sangat sesuai, kisaran >8,5-8,7 untuk sesuai, ph 6,5-<7 untuk sesuai bersyarat dan ph >8,8 untuk kategori tidak sesuai. Dari ke enam stasiun yang diamati kisaran salinitas rata-rata yang diamati adalah antara 7,72-8,30, jadi dapat disimpulkan bahwa dilihat dari aspek ph daerah kajian sesuai untuk aktivitas budidaya rumput laut. I. Kandungan Oksigen Terlarut (DO) Kandungan oksigen terlarut (DO) rata-rata yang diukur pada perairan pesisir Kecamatan Poto Tano untuk Stasiun 1 diperoleh 7,67±0,61 mg/l. Untuk Stasiun 2 dan Stasiun 3 kandungan DO rata-rata masing-masing sebesar 7,4-7,5 mg/l dan 7,63±0,15 mg/l. Di Desa Kertasari (Stasiun 4) Kecamatan Taliwang kandungan oksigen terlarut rata-rata diperoleh 7,43±0,23 mg/l. Perairan Labu Lalar diperoleh nilai DO dengan rata-rata 7,5±0,20 mg/l. Pengukuran DO di

81 67 Pantai Jelenga Kecamatan Jereweh diperoleh kisaran 7,2-7,4 mg/l. Sebagai pembanding, kandungan DO yang terukur di Muara Sungai Taliwang sebesar 7,6 mg/l. DO (mg/l) 8,40 8,20 8,00 7,80 7,60 7,40 7,20 7,00 6,80 7,4-7,5 7,2-7,4 Stasiun Gambar 14. Grafik nilai kandungan DO yang terukur pada stasiun pengamatan Oksigen terlarut dalam air dapat berasal dari proses difusi dari udara dan hasil dari proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tanaman air lainnya. Oksigen terlarut merupakan unsur penting yang diperlukan dalam melakukan proses respirasi dan menguraikan zat organik oleh mikroorganisme. Oksigen terlarut (dissolved oxygen) di dalam perairan merupakan zat yang utama bagi kehidupan akuatik, terutama ikan, mikroorganisme dan tumbuhan air termasuk rumput laut (Levina, 1984). Dalam proses metabolisme, pertumbuhan dan perkembang biakan rumput laut memerlukan oksigen (Rahayu, 1991). Dari enam matriks kesesuaian yang dikaji pada penelitian kali ini hanya matriks kesesuaian yang digunakan oleh Bakosurtanal (2005) yang memasukkan parameter oksigen untuk membangun matriks kesesuaian. Kelas kesesuaian dibagi menjadi empat. Dimana, kandungan oksigen >6 mg/l terkategori sangat sesuai, >5-6 mg/l untuk sesuai, 4-5 mg/l untuk sesuai bersyarat dan <4 mg/l untuk kategori tidak sesuai. Kadar yang oksigen yang terukur pada enam stasiun pengamatan diatas 7,2 mg/l sehingga sangat sesuai untuk aktivitas budidaya rumput laut. J. Kebutuhan Oksigen Biologis/Biological Oxygen Demand (BOD) Kandungan Biological Oxygen Demand (BOD) di perairan Kecamatan Poto Tano Stasiun 1 rata-rata diperoleh 1,02±0,06 mg/l. Untuk Stasiun 2 dan Stasiun 3 masing-masing diperoleh 0,85-1,00 mg/l dan 0,99±0,10 mg/l. Perairan Desa Kertasari Kecamatan Taliwang (Stasiun 4) memiliki kisaran nilai BOD 0,9-1,15 mg/l dengan rata-rata 1,03±0,13 mg/l. Desa Labu Lalar (Stasiun 5) memiliki nilai kisaran BOD 0,80-0,90 mg/l dengan rata-rata 0,85±0,05 mg/l. Kisaran nilai BOD di Pantai Jelenga (Stasiun 6) 0,75-0,80 mg/l. Sebagai perbandingan, Nilai BOD yang diambil di muara Sungai Taliwang diperoleh 0,92 mg/l.

82 68 BOD (mg/l) 1,40 1,20 0,85-1,00 1,00 0,75-0,80 0,80 0,60 0,40 0,20 0,00 Stasiun Gambar 15. Grafik nilai BOD pada masing-masing stasiun pengamatan K. Kebutuhan Oksigen Kimiawi/Chemical Oxygen Demand (COD) Kandungan COD pada Stasiun 1, Stasiun 2 dan Stasiun 3 di perairan Kecamatan Poto Tano masing-masing 8,39±2,13 mg/l, 10,32-15,58 mg/l dan 10,67±1,99 mg/l. Perairan Desa Kertasari (Stasiun 4) Kecamatan Taliwang ratarata kandungan COD sebesar 9,61±2,7mg/l dengan kisaran nilai 6,63-11,89 mg/l. Adapun di perairan Desa Labu Lalar (Stasiun 5) kandungan COD berkisar 8,21-13,47 mg/l dengan rata-rata 11,02±2,65 mg/l. Untuk Pantai Jelenga (Stasiun 6) Kecamatan Jereweh Kandungan COD rata-rata mencapai 12,95-14,59 mg/l. Sebagai pembanding, nilai COD di muara Sungai Taliwang diperoleh 7,68 mg/l. COD (mg/l) ,95-14,59 10,32-15,58 Stasiun Gambar 16. Grafik nilai COD pada masing-masing stasiun pengamatan Nilai COD menggambarkan kandungan bahan organik dan anorganik di perairan. Muatan bahan organik yang ada dapat diketahui dengan menghitung konsentrasi oksigen berdasarkan reaksi dari suatu bahan oksidasi (Alaerts dan Santika, 1987). Nilai COD (Chemical Oxygen Demand) menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi secara kimia bahan organik baik yang bisa didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar degradasi secara biologi (non-biodegradable), menjadi CO 2 dan H 2 S. Pada

83 69 prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang diperlukan dalam mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988). Untuk memudahkan melihat hubungan parameter DO, BOD dan COD berikut ditampilkan gabungan tabel dan grafik dari ketiga parameter. Tabel 37. Komparasi nilai DO, BOD, COD pada stasiun pengamatan Stasiun St. 1 St. 2 St. 3 St. 4 St. 5 St. 6 DO 7,67±0,61 7,4-7,5 7,63±0,15 7,43±0,23 7,50±0,20 7,2-7,4 BOD 1,02±0,06 0,85-1,00 0,99±0,10 1,03±0,13 0,85±0,05 0,75-0,80 COD 8,39±2,13 10,32-15,58 10,67±1,99 9,61±2,7 11,02±2,65 12,95-14,59 L. Nutrien Kandungan phosphat pada semua stasiun pengamatan menunjukkan nilai lebih kecil dari 0,005 (dibawah detection limit). Pada Stasiun 2 diperoleh nilai kandungan Phosphat sebesar 0,075 mg/l. Rumput laut sebagai tanaman berklorofil memerlukan nutrien sebagai bahan baku fotosintesa. Unsur fosfor dan nitrogen diperlukan rumput laut bagi pertumbuhannya. Umumnya unsur fosfor yang dapat diserap oleh rumput laut dalam bentuk orthofosfat. Sedangkan nitrogen diserap dalam bentuk nitrat, nitrit maupun amonium (Dawes, 1981). Adapun untuk kandungan nitrat tertinggi diperoleh pada stasiun 3 sebesar 0,27±0,19 mg/l. Sedangkan kadar nitrat terendah diperoleh pada Stasiun 2 yang berkisar antara 0,056-0,154 mg/l. Kandungan nitrat pada Stasiun 1, 4, dan 5 masing-masing diperoleh 0,163±0,046 mg/l, 0,116±0,029 mg/l, 0,212±0,055 mg/l. Adapun pada Stasiun 6 diperoleh kisaran kadar nitrat 0,099-0,115 mg/l. Menurut Sulistijo (1987) bahwa kandungan nitrat yang mampu mendukung kehidupan dan pertumbuhan rumput laut adalah lebih besar dari 0,014 ppm. Selanjutnya Law (1969) dalam Syahputra, (2005) bahwa perairan dengan kandungan fosfat di atas 0,110 ppm adalah tergolong perairan dengan kriteria subur. Matriks kesesuaian yang dibangun oleh Aslan (1988) memasukkan parameter nitrat dan phosphat. Dimana, untuk nitrat dengan kisaran <0,01 atau >1,0 mg/l masuk dalam kelas tidak sesuai, 0,8-1,0 mg/l untuk sesuai dan kelas sangat sesuai dengan kisaran kadar nitrat 0,01-0,07 mg/l. Kandungan nitrat pada enam lokasi pengamatan menunjukkan kisaran yang layak, sangat sesuai untuk aktivitas budidaya rumput laut. Parameter nitrat dan phosphat mendapatkan bobot yang tinggi yaitu masing-masing 12% dari total 11 parameter yang ada. Untuk kandungan phosphat, menurut Aslan (1988) kelas kesesuaian untuk kategori tidak sesuai memiliki kandungan <0,01 atau >0,30 mg/l, 0,21-0,30 mg/l untuk sesuai, dan kategori sangat sesuai berada pada kisaran 0,10-0,20 mg/l. Kandungan phosphat yang masuk dalam kelas sesuai hanya ditemukan pada Stasiun 2. Pada Stasiun 1, 3, 4, 5, 6 berada dibawah 0,005 mg/l (dibawah detection limit alat ukur). Diduga kandungan phospat mengalami reduksi karena waktu jeda ketika pengambilan sampel dan analisis laboratorium. Matriks kesesuaian yang digunakan oleh Mubarak et al. (1990) dalam Utojo et al. (2007), Radiarta et al. (2005), Mubarak et al. (1990) dan Tiensongrusmee (1990) dalam Radiarta, et al. (2007), Bakosurtanal (2005) dan Kep. Men. 02/MenKLH/I/1988 tentang Kualitas Air Laut untuk Budidaya Laut tidak memasukkan nitrat dan phosphat sebagai parameter yang perlu diukur.

84 70 Nitrat (mg/l) 0,500 0,400 0,300 0,200 0,100 0,056-0,154 0,099-0,115 0, Stasiun Gambar 17. Kandungan nitrat pada stasiun pengamatan Phosphat (PO4-P) (mg/l) 0,008 0,007 0,005-0,01 0,006 0,005 0,004 0,003 0,002 0, Stasiun Gambar 17. Kandungan fosfat M. Logam Berat (cadmium (Cd), copper (Co), zinc (Zc), besi (Fe), tembaga (Cu), mercury (Hg) dan timbal (Pb)) Hasil identifikasi terhadap konsentrasi logam berat di kolom air menunjukkan nilai yang hampir semua berada di bawah baku mutu yang ditentukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup yaitu berdasarkan Kepmen-LH No. 51 Tahun 2004 (Untuk Biota Laut). Hanya jenis logam berat jenis tembaga (Cu) yang berada di atas baku mutu, yaitu Stasiun 1 (0,011 mg/l), Stasiun 2 (0,009 mg/l), Stasiun 4 (0,343 mg/l), Stasiun 5 (0,011 mg/l), dan Stasiun 6 (0,01 mg/l). Baku mutu logam berat jenis tembaga dalam air laut untuk peruntukan budidaya yaitu 0,008 mg/l. Data hasil analisis logam berat di lokasi studi selengkapnya ditampilkan pada tabel 31. Kualitas perairan sangat ditentukan oleh adanya logam berat (Chou, et al. 2004). Logam berat (Pb, Cu, Cr, Zn dan lainnya) biasanya sangat sedikit sekali ditemukan dalam air secara alamiah yaitu kurang dari 1 mg/liter. Bila terjadi pencemaran yang disebabkan oleh buangan limbah dan bahan kimia lainnya kosentrasi logam berat (Pb) akan meningkat.

85 71 Contoh kasus di perairan Teluk Loreto California Mexico ditemukan rumput laut yang hidup di sekitarnya mengandung kadmium (Cd) dalam kosentrasi cukup tinggi yang bersumber dari buangan limbah industri dan peleburan timbal (Pb) (Rodriquez, et al. 2002). Apabila dalam rumput laut mengandung logam berat (Pb) yang cukup tinggi dapat menurunkan nilai jual bahkan dapat ditolak oleh konsumen. Tabel 38. Hasil Analisis Logam Berat di Kolom Air Jenis Logam Berat Sub St.1a St. 1 St. 2 St. 3 Baku Sub Sub Sub Sub Sub Sub Sub Mutu St.1b St.1c St.2a St.2b St.3a St.3b St.3c Raksa (Hg) 0,0004 0,0005 <0,0002 <0,0002 0,0003 <0,0002 <0,0002 0,0004 0,001 Cromium (Cr6+) <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 0,005 Arsenik (As) 0,0004 0,0004 <0,0002 <0,0002 <0,0002 <0,0002 <0,0002 0,0003 0,012 Cadmium (Cd) <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 0,001 Tembaga (Cu) 0,011 0,005 0,007 0,009 <0,005 0,005 0,005 0,008 0,008 Plumbum (Pb) <0,005 <0,005 <0,005 <0,005 <0,005 <0,005 <0,005 <0,005 0,05 Seng (Zn) 0,009 0,006 0,007 0,016 <0,005 0,006 0,011 0,008 0,05 Nikel (Ni) <0,005 <0,005 <0,005 <0,005 <0,005 <0,005 <0,005 <0,005 0,05 Jenis Logam Berat Sub St.4a St. 4 St. 5 St. 6 Baku Sub Sub Sub Sub Sub Sub Sub Mutu St.4b St.4c St.5a St.5b St.5c St.6a St.6b Raksa (Hg) <0,0002 0,0003 <0,0002 0,0004 <0,0002 0,0003 <0,0002 0,0003 0,001 Cromium (Cr6+) <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 0,005 Arsenik (As) <0,0002 0,0004 <0,0002 0,0003 <0,0002 <0,0002 <0,0002 0,0003 0,012 Cadmium (Cd) <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 0,001 Tembaga (Cu) 0,005 0,005 0,343 <0,005 0,005 0,011 0,008 0,01 0,008 Plumbum (Pb) <0,005 <0,005 <0,005 <0,005 <0,005 0,007 <0,005 <0,005 0,05 Seng (Zn) 0,008 <0,005 0,038 <0,005 0,006 0,009 <0,005 0,009 0,05 Nikel (Ni) <0,005 <0,005 <0,005 <0,005 <0,005 <0,005 <0,005 <0,005 0,05 Sumber: Hasil Analisis Lab. Proling MSP FPIK IPB, 2011 (angka dalam satuan mg/l) Kandungan logam berat telah digunakan oleh Mubarak, et al. (1990) dalam Utojo, et al. (2007) dalam membangun matrik kesesuaian. Kadar logam berat <0,01 mg/l masuk dalam kelas sangat sesuai, kadar 0,01-0,04 mg/l masuk dalam kelas sesuai, kadar 0,03-0,06 mg/l masuk dalam kelas sesuai bersyarat dan kadar >0,06 mg/l masuk dalam kelas tidak sesuai. Pada tujuh jenis logam berat yang dianalisis hampir semuanya masuk dalam kelas sangat sesuai. Hanya pada sub-stasiun 1, 2, dan 3 untuk tembaga, walaupun masuk dalam kisaran sangat sesuai tetapi menurut aturan baku mutu kementerian lingkungan hidup memiliki nilai di atas baku mutu. Pengaruh logam berat dalam rumput laut akan hilang ketika proses pengolahan rumput laut menjadi karaginan dilakukan sesuai prosedur yang berlaku.

86 72 N. Pencemaran Di perairan yang berdekatan dengan lokasi Pelabuhan Poto Tano ditemukan cukup banyak limbah plastik yang berasal dari penumpang kapal laut. Sehingga akan mengurangi kelayakan budidaya rumput laut sekitar kawasan ini. Hal serupa juga ditemukan di perairan Labu Lalar. Pemukiman nelayan yang cukup padat dikawasan menumbulkan buangan sampah plastik dan limbah rumah tangga yang cukup banyak. Sehingga, nilai kelayakan untuk budidaya laut menjadi berkurang. Perairan yang telah tercemar oleh limbah rumah tangga, industri, maupun limbah kapal laut harus dihindari. Semua bahan cemaran dapat menghambat pertumbuhan rumput laut. Analisis Kesesuaian Budidaya Rumput Laut Berdasarkan hasil analisis GIS diperoleh kawasan yang sesuai untuk aktivitas budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii meliputi Stasiun 1 yang terdiri dari wilayah pesisir Labu Beru dan sekitar pelabuhan Poto Tano, Stasiun 3 yang meliputi wilayah pesisir Sagena, Kuang Busir, dan Tua Nanga yang masih termasuk dalam wilayah administratif Kecamatan Poto Tano, Stasiun 4 yang meliputi wilayah Teluk Kertasari dan sekitarnya yang masuk dalam wilayah administratif Kecamatan Taliwang, dan Stasiun 6 yang meliputi wilayah Pantai Teluk Jelenga yang masuk kedalam wilayah administratif Kecamatan Jereweh. Peta lokasi kesesuaian untuk budidaya rumput laut selengkapnya dapat dilihat pada gambar. Penentuan kesesuaian lokasi sendiri menggunakan Tabel 37 dan Tabel 38 yang diperoleh dari hasil kajian perbandingan dari beberapa literatur. Matriks kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut yang telah dimodifikasi dapat dilihat pada tabel tersebut (detail hasil tabulasi GIS dilampirkan). Pembobotan pada setiap faktor pembatas/parameter ditentukan berdasarkan pada dominannya parameter tersebut terhadap suatu peruntukan. Untuk setiap parameter dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) kelas yaitu sangat sesuai (S1) diberi skor klas 3, sesuai (S2) diberi skor klas 2, dan tidak sesuai (N) diberi skor klas 1. Untuk menyimpulkan tingkat kesesuaian lokasi (stasiun) maka dilakukan penjumlahan nilai akhir seluruh parameter pada stasiun yang bersangkutan (Y = Σ Nilai Bobot x Skor). Untuk mendapatkan nilai selang kelas (X), maka nilai S1 ditambah S2 dibagi dua, nilai S2 ditambah N dibagi dua. Dengan demikian untuk kategori kesesuaian lokasi budidaya rumput laut berada pada kisaran sebagai berikut : Kategori Sangat Sesuai (S1) : Y > 250 Kategori Sesuai (S2) : Y = Kategori Tidak sesuai (N) : Y < 150 Berdasarkah hasil kajian diperoleh daerah yang sangat sesuai, sesuai dan tidak sesuai untuk budidaya rumput laut, yang selengkapnya dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

87 Gambar 19. Peta kesesuaian untuk budidaya rumput laut dengan metode tanam mengapung atau long line 73

88 74 jkkjsdnmndms Gambar 20. Peta kesesuaian untuk budidaya rumput laut dengan metode tanam tancap dasar

89 75 Potensi Budidaya Rumput Laut Berdasarkan hasil kajian kesesuaian ekologis dan analisa GIS yang dilakukan pada perairan kecamatan pesisir yang Kabupaten Sumbawa Barat diperoleh luasan perairan yang sesuai beserta rekomendasi teknologi untuk budidaya rumput laut di tampilkan pada tabel berikut ini. Tabel 39. Luasan perairan, rekomendasi teknik dan identifikasi aktivitas budidaya di perairan pesisir Kabupaten Sumbawa Barat Luas Perairan Sesuai Untuk Syarat Kecamatan Ekologis Rumput Laut Rekomendasi Aktivitas Pesisir Sangat Sesuai Sesuai Sub Total Teknologi Budidaya Budidaya Pototano 410 ha 395 ha 805 ha Metode Long Line Sudah Ada Taliwang 70 ha - 70 ha Metode Tancap Dasar Sudah Ada Jereweh - 86 ha 86 ha Metode Tancap Dasar Tidak Ada Total 468 ha 481 ha 961 ha Sumber: Hasil Analisis, 2012 Berdasarkan hasil analisis diperoleh luasan perairan yang sesuai untuk budidaya rumput laut untuk Kecamatan Poto Tano adalah 795 ha dengan rincian sebesar 400 Ha telah dimanfaatkan untuk kegiataan budidaya (existing), masih ada peluang untuk pengembangan untuk kedepannya dengan luasan mencapai 395 Ha. Untuk Desa Kertasari, Kecamatan Taliwang yang merupakan sentra pembudidaya rumput laut dengan metode tancap dasar peluang untuk pengembangan sudah tidak memungkinkan mengingat areal lahan budidaya hampir 100 persen telah dimanfaatkan dengan luasan mencapai 68 ha. Di Kecamatan Jereweh, tepatnya di Pantai Teluk Jelenga. Peluang untuk pengembangan budidaya rumput laut masih terbuka. Mengingat saat ini areal seluas 86 Ha belum termanfaatkan untuk aktivitas budidaya rumput laut. Beberapa Teknologi dan Pengelolaan Budidaya Rumput Laut Sistem dan Metode Budidaya Metode budidaya rumput laut E. cottonii yang pernah dilakukan diperairan pesisir Kabupaten Sumbawa Barat adalah Sistem atau Metode Longline dan Metode Tancap Dasar. Secara umum, terdapat beberapa sistem budidaya rumput laut di laut, yakni a) sistem mengapung dan b) sistem dasar (Effendi 2011). Pada sistem mengapung, budidaya dilakukan dan mengapung dekat permukaan air dengan bantuan pelampung, sedangkan pada sistem dasar budidaya dilakukan di dasar laut pada perairan dangkal. Sistem budidaya mengapung terdiri dari longline, rakit atau kombinasi longline dan rakit. Penerapan sistem budidaya didasarkan kepada kondisi biofisik lokasi. Sistem mengapung umumnya dilakukan pada perairan laut dengan kisaran pasang-surut yang tinggi, sebaliknya untuk sistem dasar.

90 76 A. Sistem Longline Longline adalah sistem budidaya rumput laut yang menggunakan tambang/tali yang mengapung sebagai substrat pelekat. Sistem ini terdiri dari beberapa komponen, yaitu: - Tambang utama/bantalan/biang (polyethelene, PE, Ø 8-10 mm, 25 m) - Tambang ris (PE, 5 mm, 100 m) - Tali pengikat (PE, D27) - Tambang jangkar (PE, 20 mm, 30 m) - Jangkar - Pelampung utama (40-50 l) - Pelampung antara (0,6-1,0 l). Tambang ris berfungsi sebagai tempat (substrat) penempelan rumpun rumput laut dengan bantuan tali pengikat. Sejumlah tambang ini selanjutnya diikatkan ke tambang utama yang dilengkapi jangkar dan tambangnya. Tambang ris dan tambang utama selalu mengapung di bawah dan dekat permukaan air karena dilengkapi dengan pelampung. Pelampung utama untuk tambang utama dan pelampung antara untuk tambang ris. Di Perairan pesisir Sumbawa Barat metode budidaya rumput laut Sistem Longline pernah dilakukan di perairan pesisir Poto Tano. Berikut ditampilkan pada Gambar 21. Gambar 21. Budidaya rumput laut dengan sistem atau metode longline (Dokumentasi pribadi, 2012) B. Sistem dasar Pada sistem ini rumput laut diikatkan pada tambang. Tambang dibentangkan sekitar m dari dari dasar laut dengan cara mengikatnya pada patok yang ditancapkan di dasar laut (Gambar 22). Budidaya rumput laut dengan sistem dasar seperti memelihara padi di sawah. Sistem dasar diterapkan di perairan dengan kisaran pasang surut yang sempit.

91 77 Gambar 22. Budidaya rumput laut metode atau sistem dasar. Adapun sistem budidaya lain yang masih digunakan adalah model rakit, jalur dan kombinasi. Sejauh ini metode budidaya yang dilakukan oleh masyarakat Kabupaten Sumbawa Barat masih mempertahankan model yang sudah ada karena dinilai sudah cukup efektif. Akan tetapi, masyarakat setempat masih mengeluhkan produksi yang terganggu oleh aktivitas hama pengganggu sepertu ikan baronang dan jenis bulu babi. Gambar 23. Jenis hama pengganggu yang ditemukan C. Sistem Rakit Sistem rakit untuk budidaya rumput laut seseungguhnya sama dengan sistem longline, hanya saja bahan yang digunakan berupa bambu yang dirangkai menjadi seperti rakit. Tempat pelekatan rumput laut berupa tambang (tambang ris) yang diikatkan kepada rakit bambu (Gambar 24).

92 78 Gambar 24. Budidaya rumput laut dengan menggunakan metode rakit D. Metode Jalur (Kombinasi) Metode ini merupakan kombinasi antara metode rakit dan metode long line. Kerangka metode ini terbuat dari bambu yang disusun sejajar. Panjang bambu yang digunakan adalah 5 m pada kedua ujung setiap bambu dihubungkan dengan tali ris PE diameter 0,6 mm sehingga membentuk persegi panjang. Satu unit terdiri dari 7 10 petak sehingga panjang unit berkisar m. Pada kedua ujung setiap unit diberi jangkar seberat 100 kg. Sejajar dengan tali ris, di set tali jalur, jarak antar tali jalur penanaman dimulai dengan mengikat bibit rumput laut ke tali jalur yang telah dilengkapi tali PE 0,2 cm sebagai pengikat bibit rumput laut. Setelah bibit diikatkemudian tali jalur tersebut di-set pada kerangka yang telah tersedia dengan jarak tanam yang digunakan minimal 25 cm. E. Metode Keranjang Metode kantong jaring adalah metode budidaya rumput laut dengan menggunakan kantong jaring sebagai wadah produksi. Kantong jaring tersebut digantungkan pada tambang apung (long line) atau rakit. Metode ini merupakan solusi budidaya rumput laut dalam mengatasi masalah serangan hama ikan lingkis (baronang) dan penyu. Dalam metode ini digunakan kantong jaring bermata jaring 1-1,5 inchi yang terbuat dari benang PE ukuran D Kantong memiliki diameter cm dan tinggi cm dan ditunjang oleh rangka kawat. Kantong jaring digantungkan ke tambang long line atau rakit dengan jarak cm antar kantong, dan pada kedalaman cm dari permukaan air. Persyaratan aplikasi metode ini adalah adanya arus laut yang relatif lebih kuat ( m/detik), sehingga memungkinkan sirkulasi air laut menembus kantong dan biomasa rumput laut di dalamnya. Apabila arus laut kurang kuat (< 0.25 m/detik) bisa menyebabkan rumput laut di dalam kantong mati dan membusuk. Hal ini disebabkan sirkulasi air laut tidak cukup untuk mensuplai oksigen dan nutrien ke dalam biomasa rumput laut di dalam kantong. Beberapa pengalaman penggunaan metode ini adalah sebagai berikut: a) biomasa saat awal penanaman adalah 0,5 kg; b) lama pemeliharaan hari; c) biomasa akhir setelah dipelihara hari adalah menjadi 7-10 kali lipat dari biomasa awal (bisa mencapai 5 kg/kantong). Bahan-

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi dan Ekologi Rumput Laut ,

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi dan Ekologi Rumput Laut  , 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi dan Ekologi Rumput Laut Rumput laut merupakan nama komoditi dalam perdagangan nasional untuk jenis alga dan bukan terjemahan dari seagrass atau nama lokalnya padang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia sebagai negara kepulauan dengan jumlah pulau 17.480 buah dan panjang garis pantai mencapai 95.181 km (Idris, et al. 2007) mempunyai potensi yang besar untuk

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Fisika Kimia Perairan Lokasi budidaya rumput laut diketahui memiliki dasar perairan berupa substrat pasir dengan serpihan karang mati. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya

Lebih terperinci

ANALISA RUANG EKOLOGI UNTUK PENGELOMPOKAN ZONA PENGEMBANGAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT (Eucheuma cottonii) DI TELUK WAWORADA KABUPATEN BIMA

ANALISA RUANG EKOLOGI UNTUK PENGELOMPOKAN ZONA PENGEMBANGAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT (Eucheuma cottonii) DI TELUK WAWORADA KABUPATEN BIMA ANALISA RUANG EKOLOGI UNTUK PENGELOMPOKAN ZONA PENGEMBANGAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT (Eucheuma cottonii) DI TELUK WAWORADA KABUPATEN BIMA MUHAMMAD SIRAJUDDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR B

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Penyajian grafik dilakukan berdasarkan variabel konsentrasi terhadap kedalaman dan disajikan untuk

Lebih terperinci

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Suhu Tinggi rendahnya suhu suatu badan perairan sangat mempengaruhi kehidupan plankton. Semakin tinggi suhu meningkatkan kebutuhan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan biodegradable) menjadi CO 2 dan H 2 O. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang digunakan untuk mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Seaweed dalam dunia perdagangan dikenal sebagai rumput laut, namun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Seaweed dalam dunia perdagangan dikenal sebagai rumput laut, namun BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut Seaweed dalam dunia perdagangan dikenal sebagai rumput laut, namun sebenarnya dalam dunia ilmu pengetahuan diartikan sebagai alga (ganggang) yang berasal dari bahasa

Lebih terperinci

TUGAS LINGKUNGAN BISNIS KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS BUDIDAYA RUMPUT LAUT

TUGAS LINGKUNGAN BISNIS KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS BUDIDAYA RUMPUT LAUT TUGAS LINGKUNGAN BISNIS KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS BUDIDAYA RUMPUT LAUT DISUSUN OLEH : NAMA : ANANG SETYA WIBOWO NIM : 11.01.2938 KELAS : D3 TI-02 STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2012/2013 TEKNOLOGI BUDIDAYA

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 45 hari dengan menggunakan 4 perlakuan yakni perlakuan A (Perlakuan dengan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 45 hari dengan menggunakan 4 perlakuan yakni perlakuan A (Perlakuan dengan 4.1. Laju Pertumbuhan Mutlak BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Laju pertumbuhan mutlak Alga K. alvarezii dengan pemeliharaan selama 45 hari dengan menggunakan 4 perlakuan yakni perlakuan A (Perlakuan dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kali di terjemahkan seaweed bukan sea grass yang sering di sebut dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA. kali di terjemahkan seaweed bukan sea grass yang sering di sebut dengan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Rumput laut Rumput laut atau seaweed merupakan nama dalam perdagangan nasional untuk jenis alga yang banyak di panen di laut. Rumput laut atau alga yang sering kali di terjemahkan

Lebih terperinci

MANAJEMEN KUALITAS AIR

MANAJEMEN KUALITAS AIR MANAJEMEN KUALITAS AIR Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh

TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Sungai Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh karena itu, sumber air sangat dibutuhkan untuk dapat menyediakan air yang baik dari segi kuantitas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan titik kritis pengenceran limbah dan kondisi mulai mampu beradaptasi hidup pada limbah cair tahu. Limbah

Lebih terperinci

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA BY: Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya, karena hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Budidaya laut (marinecultur) merupakan bagian dari sektor kelautan dan perikanan yang mempunyai kontribusi penting dalam memenuhi target produksi perikanan. Walaupun

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. berflagel. Selnya berbentuk bola berukuran kecil dengan diameter 4-6 µm.

2. TINJAUAN PUSTAKA. berflagel. Selnya berbentuk bola berukuran kecil dengan diameter 4-6 µm. 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Nannochloropsis sp Mikroalga adalah tumbuhan tingkat rendah yang memiliki klorofil, yang dapat digunakan untuk melakukan proses fotosintesis. Mikroalga tidak memiliki

Lebih terperinci

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA Umroh 1, Aries Dwi Siswanto 2, Ary Giri Dwi Kartika 2 1 Dosen Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian,Perikanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laut Indonesia sudah sejak lama didayagunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia terutama pemanfaatan sumberdaya hayati seperti ikan maupun sumberdaya non hayati

Lebih terperinci

3 METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Materi Uji

3 METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Materi Uji 13 3 METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitiaan telah dilaksanakan di perairan Teluk Gerupuk, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat (Gambar 2). Jangka waktu pelaksanaan penelitian terdiri

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pencemaran Organik di Muara S. Acai, S. Thomas, S. Anyaan dan Daerah Laut yang Merupakan Perairan Pesisir Pantai dan Laut, Teluk Youtefa. Bahan organik yang masuk ke perairan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii PADA KEDALAMAN PENANAMAN YANG BERBEDA

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii PADA KEDALAMAN PENANAMAN YANG BERBEDA Media Litbang Sulteng III (1) : 21 26, Mei 2010 ISSN : 1979-5971 PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii PADA KEDALAMAN PENANAMAN YANG BERBEDA Oleh : Novalina Serdiati, Irawati Mei Widiastuti

Lebih terperinci

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Sam Ratulangi. Jl. Kampus Unsrat Bahu, Manado 95115, Sulawesi Utara, Indonesia.

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Sam Ratulangi. Jl. Kampus Unsrat Bahu, Manado 95115, Sulawesi Utara, Indonesia. Aquatic Science & Management, Edisi Khusus 2, 31-35 (Oktober 2014) Pascasarjana, Universitas Sam Ratulangi http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jasm/index ISSN 2337-4403 e-issn 2337-5000 jasm-pn00066

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Pulau Biawak merupakan suatu daerah yang memiliki ciri topografi berupa daerah dataran yang luas yang sekitar perairannya di kelilingi oleh

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Danau Maninjau merupakan danau yang terdapat di Sumatera Barat, Kabupaten Agam. Secara geografis wilayah ini terletak pada ketinggian 461,5 m di atas permukaan laut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu sumberdaya hayati laut Indonesia yang cukup potensial adalah

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu sumberdaya hayati laut Indonesia yang cukup potensial adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sumberdaya hayati laut Indonesia yang cukup potensial adalah rumput laut atau yang dikenal dengan sebutan ganggang laut atau alga laut. Beberapa diantaranya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Amonia Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter amonia yang disajikan dalam bentuk grafik. Dari grafik dapat diketahui

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. internasional. Menurut Aslan (1991), ciri-ciri umum genus Eucheuma yaitu : bentuk

I. PENDAHULUAN. internasional. Menurut Aslan (1991), ciri-ciri umum genus Eucheuma yaitu : bentuk I. PENDAHULUAN Eucheuma cottonii merupakan salah satunya jenis rumput laut merah (Rhodophyceae) yang mempunyai nilai ekonomi tinggi karena mengandung karaginan yang berupa fraksi Kappa-karaginan. Rumput

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan kesejahteraan hidup rakyat melalui pembangunan di bidang industri, nampak memberikan dampak terhadap perubahan lingkungan perairan pesisir dan laut karena

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut ini berada di Teluk Cikunyinyi, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke perairan yang menyebabkan pencemaran. Limbah tersebut

Lebih terperinci

Pertumbuhan Rumput Laut

Pertumbuhan Rumput Laut BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Laju pertumbuhan Laju pertumbuhan rumput laut Kappaphycus alvarezii yang diperoleh selama penelitian terdapat pada Tabel 1 berikut : Tabel 1.PertumbuhanRumputLautSetelah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pertumbuhan Pada Tabel 2 dijelaskan bahwa pada minggu pertama nilai bobot biomasa rumput laut tertinggi terjadi pada perlakuan aliran air 10 cm/detik, dengan nilai rata-rata

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air TINJAUAN PUSTAKA Sungai Sungai merupakan suatu bentuk ekositem aquatik yang mempunyai peran penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah di sekitarnya,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Mikroalga Laut Scenedesmus sp. Hasil pengamatan pengaruh kelimpahan sel Scenedesmus sp. terhadap limbah industri dengan dua pelakuan yang berbeda yaitu menggunakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai dingin dan

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

Produksi rumput laut kotoni (Eucheuma cottonii) Bagian 2: Metode long-line

Produksi rumput laut kotoni (Eucheuma cottonii) Bagian 2: Metode long-line Standar Nasional Indonesia Produksi rumput laut kotoni (Eucheuma cottonii) Bagian 2: Metode long-line ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Sibolga yang terletak di pantai barat Pulau Sumatera, membujur sepanjang pantai dari utara ke selatan dan berada pada kawasan teluk yang bernama Teluk Tapian Nauli,

Lebih terperinci

Oleh : ONNY C

Oleh : ONNY C JENIS, KELIMPAHAN DAN PATOGENISITAS BAKTERI PADA THALLUS RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii YANG TERSERANG ICE-ICE DI PERAIRAN PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA Oleh : ONNY C14103066 SKRIPSI Sebagai

Lebih terperinci

5.1 Keadaan Umum Perairan Gugus Pulau Nain

5.1 Keadaan Umum Perairan Gugus Pulau Nain 55 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Keadaan Umum Perairan Gugus Pulau Nain 5.1.1 Kondisi perairan potensi budidaya rumput laut Rumput laut secara ekologis dapat memberikan manfaat lingkungan yakni dapat mengurangi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan kimia. Secara biologi, carrying capacity dalam lingkungan dikaitkan dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan kimia. Secara biologi, carrying capacity dalam lingkungan dikaitkan dengan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daya Dukung Penentuan carrying capacity dalam lingkungan dapat didekati secara biologi dan kimia. Secara biologi, carrying capacity dalam lingkungan dikaitkan dengan konsep ekologi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Proses adsorpsi antar partikel tersuspensi dalam kolom air terjadi karena adanya muatan listrik pada permukaan partikel tersebut. Butir lanau, lempung dan koloid asam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Air Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat di daratan, perairan lepas pantai (off shore water) dan perairan laut. Ekosistem air yang terdapat

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. berkembang pada substrat dasar yang kuat (Andi dan Sulaeman, 2007). Rumput laut

1. PENDAHULUAN. berkembang pada substrat dasar yang kuat (Andi dan Sulaeman, 2007). Rumput laut 1 1. PENDAHULUAN Rumput laut atau yang biasa disebut seaweed tidak memiliki akar, batang dan daun sejati. Sargassum talusnya berwarna coklat, berukuran besar, tumbuh dan berkembang pada substrat dasar

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 40 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Kondisi Lokasi Penelitian Kabupaten Bima sebagai bagian dari Propinsi Nusa Tenggara Barat yang terletak di ujung Timur Pulau Sumbawa secara geografis terletak

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM HBNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERHAN PADA PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Perkembangan pembangunan yang semakin pesat mengakibatkan kondisi Teluk Ambon, khususnya Teluk Ambon Dalam (TAD)

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 21 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari tanggal 31 Oktober 2011 sampai 18 Desember 2011 selama 42 hari masa pemeliharaan di Tambak Balai Layanan Usaha Produksi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif,

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Estuari Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, karena area ini merupakan area ekoton daerah pertemuan dua ekosistem berbeda (tawar dan laut)

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi komunitas plankton sampai tingkat genus di Pulau Biawak terdiri dari 18 genus plankton yang terbagi kedalam 14 genera

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Biologi Klasifikasi Morfologi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Biologi Klasifikasi Morfologi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Biologi 2.1.1. Klasifikasi Tiram merupakan jenis bivalva yang bernilai ekonomis. Tiram mempunyai bentuk, tekstur, ukuran yang berbeda-beda (Gambar 2). Keadaan tersebut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makanan Alami Ikan Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam perkembangbiakan ikan baik ikan air tawar, ikan air payau maupun ikan air laut. Fungsi utama

Lebih terperinci

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH Oleh : Helmy Hakim C64102077 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA A. Deskripsi Data 1. Kondisi saluran sekunder sungai Sawojajar Saluran sekunder sungai Sawojajar merupakan aliran sungai yang mengalir ke induk sungai Sawojajar. Letak

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Berdasarkan hasil yang diperoleh dari kepadatan 5 kijing, persentase penurunan total nitrogen air di akhir perlakuan sebesar 57%, sedangkan untuk kepadatan 10 kijing

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi plankton sampai tingkat genus pada tambak udang Cibalong disajikankan pada Tabel 1. Hasil identifikasi komunitas plankton

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai

TINJAUAN PUSTAKA. Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai TINJAUAN PUSTAKA Sungai Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai peranan penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah disekitarnya,

Lebih terperinci

V. KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT

V. KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT V. KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT 5.1 Kesesuaian Kawasan Budidaya Rumput Laut Keberhasilan suatu kegiatan budidaya rumput laut sangat ditentukan oleh faktor lahan perairan, oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air laut merupakan suatu medium yang unik. Sebagai suatu sistem, terdapat hubungan erat antara faktor biotik dan faktor abiotik, karena satu komponen dapat

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. masih merupakan tulang pungung pembangunan nasional. Salah satu fungsi lingkungan

1. PENDAHULUAN. masih merupakan tulang pungung pembangunan nasional. Salah satu fungsi lingkungan 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air sungai merupakan salah satu komponen lingkungan yang memiliki fungsi penting bagi kehidupan manusia, termasuk untuk menunjang pembangunan ekonomi yang hingga saat ini

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Sungai Batang Toru Sungai Batang Toru merupakan salah satu sungai terbesar di Tapanuli Selatan. Dari sisi hidrologi, pola aliran sungai di ekosistem Sungai Batang

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi Persepsi adalah kemampuan otak dalam menerjemahkan stimulus atau proses untuk menerjemahkan stimulus yang masuk ke dalam alat indera manusia. Proses ini yang memungkinkan

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI 2 STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

Kata kunci : pencahayaan matahari, E. cottonii, pertumbuhan

Kata kunci : pencahayaan matahari, E. cottonii, pertumbuhan LAMA PENCAHAYAAN MATAHARI TERHADAP PERTUMBUHAN RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii DENGAN METODE RAKIT APUNG Haryo Triajie, Yudhita, P, dan Mahfud Efendy Program studi Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Berikut ini adalah hasil penelitian dari perlakuan perbedaan substrat menggunakan sistem filter undergravel yang meliputi hasil pengukuran parameter kualitas air dan

Lebih terperinci

ANALISIS PARAMETER FISIKA KIMIA PERAIRAN MUARA SUNGAI SALO TELLUE UNTUK KEPENTINGAN BUDIDAYA PERIKANAN ABSTRAK

ANALISIS PARAMETER FISIKA KIMIA PERAIRAN MUARA SUNGAI SALO TELLUE UNTUK KEPENTINGAN BUDIDAYA PERIKANAN ABSTRAK ANALISIS PARAMETER FISIKA KIMIA PERAIRAN MUARA SUNGAI SALO TELLUE UNTUK KEPENTINGAN BUDIDAYA PERIKANAN Jalil 1, Jurniati 2 1 FMIPA Universitas Terbuka, Makassar 2 Fakultas Perikanan Universitas Andi Djemma,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pantai Sei Nypah adalah salah satu pantai yang berada di wilayah Desa

TINJAUAN PUSTAKA. Pantai Sei Nypah adalah salah satu pantai yang berada di wilayah Desa TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Pantai Sei Nypah adalah salah satu pantai yang berada di wilayah Desa Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai, Propinsi Sumatera Utara dan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tetapi limbah cair memiliki tingkat pencemaran lebih besar dari pada limbah

BAB I PENDAHULUAN. tetapi limbah cair memiliki tingkat pencemaran lebih besar dari pada limbah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri tahu merupakan salah satu industri yang menghasilkan limbah organik. Limbah industri tahu yang dihasilkan dapat berupa limbah padat dan cair, tetapi limbah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan 5 TINJAUAN PUSTAKA Estuari Estuari merupakan suatu komponen ekosistem pesisir yang dikenal sangat produktif dan paling mudah terganggu oleh tekanan lingkungan yang diakibatkan kegiatan manusia maupun oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki tingkat keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi sehingga disebut

BAB I PENDAHULUAN. memiliki tingkat keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi sehingga disebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumber kekayaan yang sangat melimpah yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Biologi Tetraselmis sp. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif

Lebih terperinci

KAJIAN SPASIAL FISIKA KIMIA PERAIRAN ULUJAMI KAB. PEMALANG

KAJIAN SPASIAL FISIKA KIMIA PERAIRAN ULUJAMI KAB. PEMALANG KAJIAN SPASIAL FISIKA KIMIA PERAIRAN ULUJAMI KAB. PEMALANG F1 05 1), Sigit Febrianto, Nurul Latifah 1) Muhammad Zainuri 2), Jusup Suprijanto 3) 1) Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK UNDIP

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya pertumbuhan dan aktivitas masyarakat Bali di berbagai sektor

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya pertumbuhan dan aktivitas masyarakat Bali di berbagai sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan dan aktivitas masyarakat Bali di berbagai sektor seperti pariwisata, industri, kegiatan rumah tangga (domestik) dan sebagainya akan meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I. Logam berat adalah unsur kimia yang termasuk dalam kelompok logam yang

BAB I. Logam berat adalah unsur kimia yang termasuk dalam kelompok logam yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Logam berat adalah unsur kimia yang termasuk dalam kelompok logam yang beratnya lebih dari 5g, untuk setiap cm 3 -nya. Delapan puluh jenis dari 109 unsur kimia yang

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KARTIKA NUGRAH PRAKITRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Sungai.. ' Sungai merupakan Perairan Umum yang airnya mengalir secara terus

II. TINJAUAN PUSTAKA Sungai.. ' Sungai merupakan Perairan Umum yang airnya mengalir secara terus II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sungai.. ' Sungai merupakan Perairan Umum yang airnya mengalir secara terus menerus pada arah tertentu, berasal dari air tanah, air hujan dan air permukaan yang akhirnya bermuara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terumbu adalah serangkaian struktur kapur yang keras dan padat yang berada di dalam atau dekat permukaan air. Sedangkan karang adalah salah satu organisme laut yang tidak

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN BAB IV METODOLOGI PENELITIAN Maksud dari penelitian ini adalah untuk meneliti pengaruh berkembangnya aktivitas kolam jaring apung di Waduk Cirata terhadap kualitas air Waduk Cirata. IV.1 KERANGKA PENELITIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau, dengan garis pantai sekitar 81.000 km. Wilayah lautannya meliputi 5,8 juta km2 atau

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PRIMER PERIFITON DI SUNGAI NABORSAHAN SUMATERA UTARA

PRODUKTIVITAS PRIMER PERIFITON DI SUNGAI NABORSAHAN SUMATERA UTARA PRODUKTIVITAS PRIMER PERIFITON DI SUNGAI NABORSAHAN SUMATERA UTARA SKRIPSI Oleh: BETZY VICTOR TELAUMBANUA 090302053 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. seperti kijing, kaung-kaung, kapal kapalan, kedaung dan kemudi kapal. Menurut

II. TINJAUAN PUSTAKA. seperti kijing, kaung-kaung, kapal kapalan, kedaung dan kemudi kapal. Menurut 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerang Hijau (Perna Viridis ) Kerang hijau (Perna virisis) memiliki nama yang berbeda di Indonesia seperti kijing, kaung-kaung, kapal kapalan, kedaung dan kemudi kapal. Menurut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Batik merupakan suatu seni dan cara menghias kain dengan penutup

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Batik merupakan suatu seni dan cara menghias kain dengan penutup I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Batik merupakan suatu seni dan cara menghias kain dengan penutup lilin untuk membentuk corak hiasannya, membentuk sebuah bidang pewarnaan. Batik merupakan salah satu kekayaan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perairan Laut Belawan Perairan Laut Belawan yang berada di Kecamatan Medan Belawan Provinsi Sumatera Utara banyak digunakan oleh masyarakat setempat untuk berbagai aktivitas.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan

TINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan 17 TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Danau Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponenkomponen biotik dan abiotik yang saling berintegrasi sehingga membentuk satu kesatuan. Di dalam ekosistem

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos Odum (1993) menyatakan bahwa benthos adalah organisme yang hidup pada permukaan atau di dalam substrat dasar perairan yang meliputi organisme

Lebih terperinci

Udayana, Denpasar. Alamat (Diterima Juli 2017 /Disetujui September 2017) ABSTRAK

Udayana, Denpasar. Alamat   (Diterima Juli 2017 /Disetujui September 2017) ABSTRAK Samakia: Jurnal Ilmu Perikanan Volume 8,No. 2, Oktober 2017 ISSN: 2086-3861 E-ISSN: 2503-2283 KAJIAN KUALITAS AIR DAN PENILAIAN KESESUAIAN TAMBAK DALAM UPAYA PENGEMBANGAN BUDIDAYA IKAN BANDENG (Chanos

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. adanya aliran yang cukup kuat, sehingga digolongkan ke dalam perairan mengalir

TINJAUAN PUSTAKA. adanya aliran yang cukup kuat, sehingga digolongkan ke dalam perairan mengalir TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Sungai Perairan sungai adalah suatu perairan yang di dalamnya dicirikan dengan adanya aliran yang cukup kuat, sehingga digolongkan ke dalam perairan mengalir (perairan lotik).

Lebih terperinci

Polusi. Suatu zat dapat disebut polutan apabila: 1. jumlahnya melebihi jumlah normal 2. berada pada waktu yang tidak tepat

Polusi. Suatu zat dapat disebut polutan apabila: 1. jumlahnya melebihi jumlah normal 2. berada pada waktu yang tidak tepat Polusi Polusi atau pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan, atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia

Lebih terperinci

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR Oleh: Sabam Parsaoran Situmorang C64103011 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

Amonia (N-NH3) Nitrat (N-NO2) Orthophosphat (PO4) mg/l 3 Ekosistem

Amonia (N-NH3) Nitrat (N-NO2) Orthophosphat (PO4) mg/l 3 Ekosistem Tabel Parameter Klasifikasi Basis Data SIG Untuk Pemanfaatan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Kelautan No Parameter Satuan 1 Parameter Fisika Suhu ºC Kecerahan M Kedalaman M Kecepatan Arus m/det Tekstur

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan dengan panjang garis pantai 81.000 km merupakan kawasan pesisir dan lautan yang memiliki berbagai sumberdaya hayati yang sangat besar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Perairan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Perairan 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Perairan Menurut Odum (1971), pencemaran adalah perubahan sifat fisik, kimia dan biologi yang tidak dikehendaki pada udara, tanah dan air. Sedangkan menurut Saeni

Lebih terperinci

Evaluasi Lahan Pembudidayaan Rumput Laut di Perairan Kampung Sakabu, Pulau Salawati, Kabupaten Raja Ampat

Evaluasi Lahan Pembudidayaan Rumput Laut di Perairan Kampung Sakabu, Pulau Salawati, Kabupaten Raja Ampat Evaluasi Lahan Pembudidayaan Rumput Laut di Perairan Kampung Sakabu, Pulau Salawati, Kabupaten Raja Ampat (Evaluation of Seaweed Culture Area in Waters of Kampung Sakabu, Salawati Island, Raja Ampat Regency)

Lebih terperinci

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chironomida Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat ditemukan

Lebih terperinci