ANALISA RUANG EKOLOGI UNTUK PENGELOMPOKAN ZONA PENGEMBANGAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT (Eucheuma cottonii) DI TELUK WAWORADA KABUPATEN BIMA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISA RUANG EKOLOGI UNTUK PENGELOMPOKAN ZONA PENGEMBANGAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT (Eucheuma cottonii) DI TELUK WAWORADA KABUPATEN BIMA"

Transkripsi

1 ANALISA RUANG EKOLOGI UNTUK PENGELOMPOKAN ZONA PENGEMBANGAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT (Eucheuma cottonii) DI TELUK WAWORADA KABUPATEN BIMA MUHAMMAD SIRAJUDDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR B O G O R

2 ANALISA RUANG EKOLOGI UNTUK PENGELOMPOKAN ZONA PENGEMBANGAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT (Eucheuma cottonii) DI TELUK WAWORADA KABUPATEN BIMA MUHAMMAD SIRAJUDDIN Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magíster Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR B O G O R

3 PENGUJI TAMU DR. DEWAYANY SUSTRISNO, M. App.Sc

4 ABSTRACT MUHAMMAD SIRAJUDDIN. Ecological Spatial Analisys for Zona Group of Seaweedculture Development in Waworada Bay Bima Rigency under direction Bambang Widigdo and Agustinus Samosir. One of the potential area for developing mariculture in West Nusatenggara Province which has been decline recently is Waworada Bay of Bima regency. The aim of this research is to find out management measures that could revitalize the coastal area in waworada bay for sustainable seaweed culture. PCA (Principal Components Analysis), analyze were used in this research to explore the main biophysics parameters of growth seaweed culture, and explore the relationship between seaweed production and carragenan with biophysics parameters. In addition GIS analyses was applied to determine the suitable area. Analyze result were using PCA that main parameter of growth seaweedculture was salinity (20.21%), pest (20.14%), braigtness (19.94%), deepness (19.87%), and current (19.83%). Based on GIS Analyze, there are ,94 ha potential and not potential area for seaweedculture that consist of ha (0.06%) was very suitable, ,94 ha (95,79%) was suitablel and 835,04 ha (4,15%) wasnot suitable. Key words : seaweed, carragenan, spacial ecology, zonasi, PCA, GIS, waworada bay

5 Judul Tesis : Analisa Ruang Ekologi Untuk Pengelompokan Zona Pengembangan Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cottonii) di Teluk Waworada Kabupaten Bima N a m a : Muhammad Sirajuddin NRP : C Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Bambang Widigdo, M.Sc Ketua Ir. Agustinus, M. Samosir, M.Phil Anggota Diketahui Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Ujian : 01 Nopember 2008 Tanggal Lulus : 12 Januari 2009

6 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor Tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagaian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan bagi IPB 2. Dilarang menggunakan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin dari IPB.

7 RINGKASAN MUHAMMAD SIRAJUDDIN. Analisa Ruang Ekologi Untuk Pengelompokan Zona Pengembangan Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cottonii) di Teluk Waworada Kabupaten Bima. Dibimbing oleh Bambang Widigdo dan Agustinus Samosir. Salah satu wilayah yang diketahui cukup potensial dan strategis untuk pengembangan budidaya laut di Kabupaten Bima adalah teluk Waworada. Wilayah ini potensial karena kaya akan potensi sumberdaya pesisir dan lautan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pemanfaatan teluk waworada Kabupaten Bima untuk pengembangan budidaya rumput laut. PCA (Prinsipal Componen Analysis) digunakan untuk mengetahui parameter utama pertumbuhan rumput laut dan korelasi parameter biofisik dengan produksi, dan kandungan keraginan rumput laut. Sedangkan GIS (Geography Information System) untuk mengkaji kelayakan lokasi. Penelitian ini dibagi menjadi 2 (dua) yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan ini dimaksudkan untuk menentukan stasiun pengamatan sesuai dengan keseragaman karakteristik biofisik perairan Pengambilan data dilakukan di perairan teluk Waworada, dengan 10 (sepuluh) stasiun pengamatan pada penelitian pendahuluan dan 5 (lima) stasiun pengamatan pada penelitian utama dengan jarak antar stasiun ± 4 km dan jarak ± 1 km dari garis pantai ke arah laut. Sedangkan jarak titik sampling ± 0.5 km. Penelitian lapangan untuk pengumpulan data primer dilakukan selama 3 (tiga) bulan yaitu pada bulan Maret s/d bulan Mei Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode survei yang dirancang berdasarkan SIG (System Information Geografics). Penentuan lokasi pengamatan dilakukan dengan teknik acak sederhana (Simple random sampling) (Clark dan Hosking, 1986; Morain, 1999) adalah merupakan teknik yang digunakan untuk penentuan titik pengamatan dengan jarak 0.5 km. Pengamatan parameter fisika dan kimia perairan pada penelitian pendahuluan meliputi suhu, salinitas, ph, kedalaman, kecerahan dan arus dilakukan di 30 titik pengamatan. Parameter fisika, kimia dan biologi pada penelitian utama meliputi DO, ph, nitrat, fosfat, COD, Pb, suhu, kedalaman, kecerahan, salinitas, arus dan hama diukur di 15 titik pengamatan. Sedangkan rumput laut untuk ditimbang berat panen dan kandungan karaginan yang dianalisa di laboratorium diambil di 5 (lima) stasiun pada 15 titik secara acak. Hasil penelitian ini dengan menggunakan analisis komponen utama (PCA) memperlihatkan bahwa parameter utama pertumbuhan rumput laut adalah salinitas (20.21%), hama (20,14%), kecerahan (19.94%), kedalaman (19.87%), dan arus (19.83%). Hasil perhitungan dengan menggunakan GIS, dan setelah dioverlay beberapa peta tematik, luas wilayah perairan teluk Waworada berdasarkan kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut adalah ,24 ha, yang terdiri dari 12,26 ha (0.06%) digolongkan sangat sesuai, ,94 ha (95,79%) sesuai, dan 835,04 ha (4,15%) tidak sesuai. Kata kunci : rumput laut, karaginan, ruang ekologi, zonasi, PCA, GIS, teluk waworada

8 PRAKATA Rumput laut merupakan salah satu komoditas yang sangat perlu dikembangkan karena produk sekundernya dapat memberikan manfaat yang cukup besar pada berbagai bidang industri seperti industri farmasi dan industri makanan. Produksi rumput laut selama ini cenderung menurun sehingga belum mampu mencukupi kebutuhan domestik maupun ekspor. Salah satu alasan rendahnya produksi rumput laut adalah belum dimanfaatkannya semua potensi laut, lemahnya teknologi budidaya dan regulasi pemerintah. Seiring dengan munculnya persoalan-persoalan tersebut di atas, maka perlu dilakukan upaya pencarian solusi melalui ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pengkajian yang sistimatis guna menjawab setiap persoalan yang ada. Kegelisahan penulis atas isu tersebut merupakan titik awal ide penulisan tesis ini. Dalam rangka menjawab persoalan krisis sumberdaya, penulis berupaya memberikan secuil kontribusi melalui penulisan tesis ini yang mungkin akan bermanfaat bagi kemaslahatan umat manusia dan lingkungan. Dalam tesis ini membahas tentang perlunya mempelajari aspek fisika, kimia dan biologi perairan serta pengaturan ruang ekologis sehingga dapat menghasilkan produksi secara berkelanjutan. Dengan demikian perlu intervensi dari pemerintah yang memiliki kewenangan untuk membuat regulasi sehingga kerugian bisa diminimalisir. Pemikiran seperti ini sangat tepat diterapkan di dalam setiap aktivitas yang bersentuhan langsung dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Penulis sadar bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, hal ini merupakan bagian dari proses belajar yang tak berujung. Semoga ketidaksempurnaan ini akan menjadi pemicu bagi penulis dalam upaya mencari kesempurnaan tersebut. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik, saran maupun masukan yang konstruktif guna kesempurnaan tesis ini. Bogor, Oktober 2008 Penulis

9 UCAPAPAN TERIMA Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas segala berkah dan karunianya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan judul Analisa Ruang Ekologi Untuk Pengelompokan Zona Pengembangan Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cottoni) di Teluk Waworada Kabupaten Bima Dengan hati yang tulus dan penghargaan yang tinggi serta ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. H. Bambang Widigdo dan Bapak Ir. Agustinus Samosir, M.Phil selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan kritikan, masukan untuk kesempurnaan tesis ini. Bapak Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB Bogor, Team Komisi Akademik dan Bapak Prof. Dr. Ir. Rohmin Dahuri, MS dan Dosen-dosen Pasca Sarjana yang yang telah banyak memberikan pencerahan ilmu perikanan khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. Tidak lupa disampaikan terima kasih kepada Ibu Dr. Dewayany Sutrisno, M.App.Sc atas kritikan, sumbang saran untuk kesempurnaan tesis ini. Penghargaan yang mendalam penulis sampaikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Bima yang telah memberikan kesempatan dan dukungan dana bagi penulis untuk mengikuti pendidikan Program Pasca Sarjana (S2) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Ibu Ida Nurlaila, SE, MM yang banyak membantu di Pemda Bima. Gubernur NTB, Direktur Yayasan Danamandiri, dan Direktur Coremap II atas dukungan dana dalam penyelesaian Tesis ini. Teman-teman angkatan XIII SPL terima kasih juga atas kerjasama yang baik selama mengikuti pendidikan. Ungkapan terima kasih dan doa yang tak terhingga disampaikan kepada almarhum (Ayahanda H. M. Said) yang telah mendorong untuk melanjutkan studi pascasarjana di IPB, ibu, mertua serta seluruh keluarga terutama istriku tercinta Irma Suryani, SP dan anak-anakku tersayang Nadira Khairunnisa (Anis) dan Muhammad Rafi Maulana atas segala doa, pengertian dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Oktober 2008 Penyusun

10 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di desa Dodu Kecamatan Rasanae Timur Kota Bima pada tanggal, 11 Juli 1972 dari pasangan almarhum H. Muh. Said dan Hj. St. Kalisom. Penulis merupakan anak ke 3 dari 8 bersaudara. Penulis menyelesaikan sekolah dasar di SD.Inpres Dodu 1 tamat tahun SMPN 3 Bima tamat tahun 1988 dan SMAN 2 Bima tamat tahun Kemudian penulis melanjutkan studi di Fakultas Perikanan Jurusan Budidaya Perairan Universitas 45 Mataram dan tamat pada tahun Setamat perguruan tinggi penulis bekerja di PT. Nener Bina Hayati Singaraja Bali sebagai staf teknis pembenihan bandeng ( ), PT. Multi Mina Mertasari Rhee Sumbawa Besar sebagai staf teknis pembenihan bandeng ( ). Pada tahun 1999 penulis diterima sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di Kanwil Pertanian Propinsi Nusa Tenggara Barat sebagai penyuluh pertanian spesialis (PPS). Pada tahun 2000 penulis ditempatkan di Balai Informasi dan Penyuluhan Pertanin (BIPP Kab. Dompu), kemudian pada tahun yang sama penulis dipindahkan ke Balai Informasi dan Penyuluhan Pertanian (BIPP Kab. Bima) hingga tahun Dengan berubahnya status BIPP menjadi BUKPPP (Badan Urusan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Pertanian), maka penulis tetap sebagai penyuluh pertanian spesialis (PPS) hingga tahun Pada tahun 2004 penulis dipindahkan ke Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bima sebagai Kepala Seksi Perlindungan Sumberdaya Hayati dan Perikanan hingga tahun Pada tahun 2006 penulis mendapat kesempatan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Bima untuk melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa pascasarjana di IPB, penulis juga aktif sebagai Forum Mahasiswa Pascasarjana (Wacana Pesisir dan Lautan) IPB sebagai ketua II ( ) dan anggota bidang pelatihan dan pengembangan ( ). Selain itu, penulis aktif menulis di buletin Bima Akbar tentang pesisir yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bima. Mengikuti kegiatan seminar dan penyampaian makalah. Semoga segala yang pernah dilakukan penulis diridhoi oleh Allah SWT dan bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya.

11 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... iv v xiii I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan dan Sasaran Penelitian Manfaat Penelitian Kerangka Pendekatan Masalah... 4 II. TINJAUAN PUSTAKA Biologi dan Ekologi Rumput Laut Teknik Budidaya Rumput Laut Berkelanjutan Kondisi Lingkungan yang Mempengaruhi Budidaya Rumput Laut Matrik Kesesuaian Budidaya Rumput Laut Produktivitas Rumput Laut Kandungan Karaginan Rumput Laut Apikasi SIG dalam Penataan Ruang Pesisir untuk Budidaya Penataan Ruang dan Zonasi Kawasan Pesisir III. METODELOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian Pendahuluan Penelitian Utama Analisa Data IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Lokasi Penelitian Pemanfaatan Teluk Waworada Pada Saat Sekarang V. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisa Komponen Utama Pertumbuhan Rumput Laut Analisa Kesesuaian Lokasi Budidaya Rumput Laut Produktivitas dan Kandungan Karaginan Rumput Laut Strategi Pengelolaan Lingkungan Perairan Berbasis Ekologis Rekomendasi... 71

12 Halaman VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN... 83

13 DAFTAR TABEL Halaman 1. Matrik Kesesuaian Untuk Budidaya Rumput Laut Matrik Kesesuaian Untuk Budidaya Rumput Laut Matrik Kesesuaian Untuk Budidaya Rumput Laut Matrik Kesesuaian Untuk Budidaya Rumput Laut Matrik Kesesuaian Untuk Budidaya Rumput Laut Kandungan Karaginan Beberapa Rumput Laut Jenis Eucheuma yang dinyatakan dalam persen Parameter Fisika dan Kimia Perairan Teluk Waworada Kabupaten Bima Parameter Fisika, Kimia dan Biologi yang Diamati Selama Penelitian Matrik Prosentase Faktor Utama Parameter Biofisik Usaha Budidaya Rumput Laut Matrik, Bobot dan Skor Untuk Kesesuaian Lokasi Budidaya Rumput Laut Akar Ciri dan Representasi Ragam Parameter Fisika, Kimia dan Biologi Perairan Teluk Waworada pada Sumbu Utama Kontribusi Variabel Terhadap Sumbu Utama Parameter Fisika, Kimia dan Biologi Perairan Teluk Waworada Kabupaten Bima Kontribusi Faktor Utama Parameter Fisika, Kimia dan Biologi Terhadap Produksi Biomas dan Karaginan Rumput Laut Kontribusi dan Prosentase Faktor Utama Perairan Teluk Waworada Kabupaten Bima Hasil Analisa Komponen Utama (PCA) Matrik, Bobot dan Skor Untuk Kesesuaian Lokasi Budidaya Rumput Laut Jumlah Hama Pengganggu Hasil Identivikasi di Lokasi Budidaya Rumput Laut Teluk Waworada Kabupaten Bima... 61

14 Halaman 17 Produksi Rumput Laut Eucheuma cottonii Hasil Budidaya di Teluk Waworada Kabupaten Bima Rata-rata produksi rumput laut hasil pengukuran di teluk Waworada dan lokasi-lokasi lain di Kabupaten Bima Rata-rata Kandungan Air dan Kandungan Karaginan Rumput Laut Hasil Budidaya di Teluk Waworada Kabupaten Bima... 64

15 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka Pendekatan Masalah untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut di Teluk Waworada Kabupaten Bima Morfologi Rumput Laut Eucheuma cottonii Peta Lokasi Penelitian Peta Lokasi dan Stasiun Pengamatan Penelitian Pendahuluan Teluk Waworada Kabupaten Bima Peta Lokasi dan Stasiun Pengamatan Penelitian Utama Teluk Waworada Kabupaten Bima Metode Budidaya Rumput Laut Eucheuma cottonii dengan long line a. Kondisi Pasang Surut Perairan Bima Tanggal 01 Maret b. Kondisi Pasang Surut Perairan Bima Tanggal 01 April c. Kondisi Pasang Surut Perairan Bima Maret April Suhu Permukaan Air Laut Selatan Sumbawa Sebaran ph Air Laut Selatan Sumbawa Kelarutan Oksigen (DO) Air Laut Selatan Sumbawa Kosentrasi Timbal (Pb) Air Laut Selatan Sumbawa Salinitas Permukaan Air Laut Selatan Sumbawa Peta Area Pemanfaatan Budidaya Rumput Laut Distribusi Parameter Fisika, Kimia dan Biologi Perairan Teluk Waworada Pada Sumbu Utama Peta Tematik Salinitas Teluk Waworada Kabupaten Bima Peta Tematik Hama Teluk Waworada Kabupaten Bima Peta Tematik Kecerahan Teluk Waworada Kabupaten Bima... 55

16 Halaman 18. Peta Tematik Kedalaman Teluk Waworada Kabupaten Bima Peta Tematik Arus Teluk Waworada Kabupaten Bima Peta Arah Arus Teluk Waworada Kabupaten Bima Peta Kesesuaian Lokasi Budidaya Rumput Laut di Teluk Waworada Kabupaten Bima... 57

17 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Data Parameter Fisika dan Kimia Hasil Pengukuran Penelitian Pendahuluan di Perairan Teluk Waworada Kabupaten Bima Data Parameter Biofisik Perairan Teluk Wawo-rada Kabupaten Bima Hasil Pengukuran Pada Bulan Maret April Hasil Pengamatan Parameter Biologi (Hama Pengganggu) pada Usaha Budidaya Rumput Laut di Teluk Waworada Kabupaten Bima Data Produksi Rumput Laut Masing-masing Stasiun Pengamatan di Teluk Waworada Kabupaten Bima (Satuan kg/unit Data Produksi Rumput Laut Hasil Wawancara Dengan Petani Pada Musim Hujan dan Kemarau di Teluk Waworada Produktivitas Rumput Laut Hasil Pengukuran dan Wawancara Dengan Petani pada Musim yang Berbeda Data Produksi Rumput Laut Masing-masing Stasiun Pengamatan Pada Musim Kemarau di Teluk Waworada Informasi Awal Tentang Kualitas Biofisik Perairan Teluk Waworada Untuk Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cottonii). Jurnal Akuakultur Indonesia, 8 (1) : 1 10 (2009)

18 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia sebagai negara kepulauan dengan jumlah pulau buah dan panjang garis pantai mencapai km (Idris, et al. 2007) mempunyai potensi yang besar untuk pengembangan budidaya perikanan pantai. Namun pemanfaatan wilayah pesisir selama ini masih terfokus pada usaha budidaya udang terutama pada dekade antara lain karena tersedianya teknologi pembenihan, berumur pendek dan merupakan komoditi ekspor bernilai jual tinggi. Namun pada tahun 1990-an, usaha budidaya udang merosot yang antara lain disebabkan oleh merebahnya berbagai penyakit yang berhubungan dengan kerusakan lingkungan. Untuk mengantisipasi hal tersebut diperlukan diversifikasi usaha budidaya yang ramah lingkungan, salah satunya adalah budidaya rumput laut (Aderhold, et al. 1996; Neori, et al. 1996; Shpigel and Neori, 1996; Buschmann, et al. 1996; Chung dan Kang, 2004; Langdo, et al. 2004; Matos, et al. 2006; Shimoda, 2006). Secara ekonomi rumput laut merupakan komoditas yang perlu dikembangkan karena produk sekundernya dapat memberi manfaat yang cukup besar pada berbagai bidang industri seperti industri farmasi (salep dan obatanobatan), industri makanan (agar, alginate, dan karaginan) Wang dan Chiang (1994). Namun bertolak belakang dengan permintaan pasar rumput laut dunia yang semakin tinggi, ekspor rumput laut Indonesia rendah dan tahun cenderung menurun yaitu dari ton dengan nilai ekspor U$ pada tahun 1995 turun menjadi ton dengan nilai ekspor tahun 1998 (Biro Pusat Statistik, 2000). Sementara itu produksi rumput laut Indonesia pada tahun 2001 sebesar ton basah dan tahun 2004 sebesar ton basah (Ditjenkanbud, 2005). Salah satu alasan rendahnya produksi rumput laut adalah karena belum dimanfaatkan semua potensi laut. Tercatat areal strategis yang dapat digunakan untuk pengembangan budidaya rumput laut di seluruh Indonesia adalah ha, namun baru dimanfaatkan sekitar ha atau 20% (Ditjenkanbud, 2005). Demikian juga sebaran geografis lokasi pengembangan budidaya rumput laut masih terbatas pada daerah tertentu misalnya jenis Gracilaria terdapat di Sulawesi

19 2 Selatan, sedangkan untuk jenis Eucheuma tersebar dari Pantai Barat Pulau Sumatra, Kepulauan Riau, Kepulauan Seribu, Pantai Jawa bagian Selatan, Madura, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Suryaningrum, et al. 2000). Pada beberapa daerah lain pengembangan budidaya rumput laut sudah cukup instensif, namun mengalami penurunan akhir-akhir ini. Hal yang sama terjadi pada teluk Waworada Kabupaten Bima. Di kawasan tersebut telah berkembang budidaya rumput laut, dengan luas 934 ha pada tahun 2001 dan meningkat menjadi ha pada tahun Namun sayangnya peningkatan skala usaha tersebut tidak diikuti oleh peningkatan teknologi dan regulasi pemerintah sehingga produksi biomas kering turun drastis dari 8.891,68 ton pada tahun 2001 menjadi 175 ton pada tahun 2005 (Badan Pusat Statistik, 2005). Penurunan suatu produksi dapat disebabkan antara lain oleh lemahnya teknologi budidaya (bibit, metode budidaya, umur panen, dan penanganan pasca panen), dan regulasi pemerintah (penataan ruang, sumberdaya). Akibat simultan yang tampak dari kelemahan-kelemahan di atas pada budidaya rumput laut antara lain menyebabkan komoditi tersebut menjadi mudah terserang penyakit, seperti ice-ice juga menyebabkan rendahnya kandungan karaginan rumput laut (Carte, 1996). Salah satu cara untuk menjamin kontinuitas penyediaan produksi dan kandungan karaginan rumput laut dalam jumlah yang dikehendaki adalah dengan pemilihan lokasi budidaya, rekomendasi luasan yang optimal dan teknologi budidaya (Rorrer, et al. 1998; Peira, 2002). Pemilihan lokasi dapat dilakukan dengan memperhatikan berbagai faktor lingkungan (Chua, 1992; Gurno, 2004), terutama pengaruh kondisi fisika, kimia dan biologi lingkungan perairan terhadap kualitas rumput laut. Dalam hal ini kajian tentang penggunaan komponen utama lingkungan perlu terus dilakukan agar dapat memudahkan pemilihan lokasi yang selanjutnya dapat meningkatkan produksi dan kualitas rumput laut Perumusan masalah Usaha budidaya rumput laut di teluk Waworada Kabupaten Bima mengalami ekspansi yang pesat namun produksinya justru malah menurun.

20 3 Permasalahan dan isu pokok yang terkait dengan pengelolaan untuk pengembangan budidaya rumput laut di teluk Waworada meliputi : 1. Penataaan ruang; regulasi pemerintah khususnya ketetapan lokasi dan pengaturan ruang yang belum jelas, karena belum adanya aturan/aspek hukum yang pasti dan jelas dalam pemanfaatan kawasan teluk Waworada sehingga menimbulkan kerawanan sosial yang pada akhirnya berdampak kepada kinerja dan kontinuitas produksi budidaya rumput laut di teluk Waworada tersebut. Ketidaksesuaian lokasi yang dilakukan petani/nelayan diduga berdampak pada menurunnya produksi dan rendahnya kualitas rumput laut. 2. Teknologi pengelolaan budidaya khususnya aspek penyediaan bibit, metode budidaya, umur panen dan pasca panen yang tidak sesuai teknis, hal ini sangat penting karena merupakan salah satu input penting dalam kegiatan budidaya rumput laut. 3. Peranan faktor lingkungan terhadap produksi baik biomas maupun kandungan karaginan rumput laut. Secara umum maka pemecahan masalah yang akan ditelusuri dalam penelitian ini adalah bagaimana pemanfaatan dan pengembangan budidaya rumput laut yang memenuhi persyaratan teknis agar dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan. Oleh karena itu dalam rangka meminimalkan kerusakan dan tekanan ekologis perairan untuk pengembangan budidaya rumput laut di wilayah tersebut, maka perlu dilakukan suatu kajian tentang Analisa Ruang Ekologi Untuk Pengelompokan Zona Pengembangan Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cottonii) di Teluk Waworada Kabupaten Bima" Tujuan dan sasaran penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji pemanfaatan wilayah pesisir teluk Waworada Kabupaten Bima untuk budidaya rumput laut melalui pengalokasian kawasan yang sesuai. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dilakukan 2 (dua) langkah penelitian yaitu : 1. Model hubungan antara faktor lingkungan (biofisik) dengan pengembangan usaha budidaya rumput laut ditinjau dari produksi dan kandungan karaginan.

21 4 2. Pengelompokan kawasan budidaya rumput laut di teluk Waworada Kabupaten Bima berdasarkan karakteristik biofisik dengan pendekatan indek tumpang susun (model SIG) Manfaat penelitian Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan dalam perencanaan pemanfaatan kawasan untuk budidaya rumput laut khususnya di teluk Waworada Kabupaten Bima, sehingga proses aplikasinya dapat berlangsung secara optimal dan berkelanjutan Kerangka Pendekatan Masalah Berdasarkan potensi dan permasalahan teluk Waworada tersebut, maka dalam proses untuk memenuhi target produksi dan tujuan pengembangan budidaya rumput laut sangat ditentukan oleh kriteria yang digunakan dalam mengambil keputusan yang meliputi : persyaratan kondisi lingkungan perairan (aspek fisika, kimia dan biologi), persyaratan kualitas akhir (karaginan) untuk kesesuaian lokasi yang akan digunakan dalam pengembangan budidaya rumput laut. Untuk mencapai tujuan dan sasaran untuk pengembangan budidaya rumput laut maka dilakukan pendekatan diantaranya penentuan parameter utama pertumbuhan budidaya rumput laut dengan menggunakan analisa Principle Component Analysis (PCA), analisis keruangan dengan menggunakan Geografis Information System (GIS). Berdasarkan kedua pendekatan tersebut diharapkan dapat menghasilkan rumusan kebijakan zonasi pengembangan budidaya rumput laut di teluk Waworada Kabupaten Bima. Setelah berhasil menempatkan kegiatan budidaya rumput laut pada kawasan yang sesuai dengan parameter lingkungan perairan (fisika, kimia dan biologi). Hasilnya kemudian dipetakan (dibandingkan) dengan kondisi perairan teluk Waworada itu sendiri. Secara sederhana kerangka pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 1.

22 5 Potensi dan Permasalahan Wilayah Pesisir Teluk Waworada Kabupaten Bima Studi Pustaka Kondisi Lingkungan perairan Survey lapangan Produksi biomas dan Kandungan Karaginan Penentuan Parameter Utama Lingkungan Perairan (Analisis PCA) Kriteria Kesesuaian Perairan Analisis Spasial (Analisis GIS) Pemanfaatan Lokasi Saat ini Evaluasi Pemanfaatan Pemanfaatan Tahun Sebelumnya Pengelompokan Zona Budidaya Rumput Laut Gambar 1. Kerangka Pendekatan Masalah untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut di Teluk Waworada Kabupaten Bima

23 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi dan Ekologi Rumput Laut Rumput laut merupakan nama komoditi dalam perdagangan nasional untuk jenis alga dan bukan terjemahan dari seagrass atau nama lokalnya padang lamun. Rumput laut tergolong tanaman yang berderajat rendah, umumnya tumbuh melekat pada substrat tertentu, tidak mempunyai akar, batang maupun daun sejati tetapi hanya mempunyai batang yang disebut thallus. Rumput laut hidup di alam dengan melekatkan dirinya pada karang, lumpur, pasir, batu, dan benda keras lainnya (Rorrer, et al. 2004; Lee, et al. 1999). Pertumbuhan dan penyebaran rumput laut sangat tergantung dari faktorfaktor ekologis serta jenis substrat dasarnya. Untuk pertumbuhannya, rumput laut mengambil nutrisi dari lingkungan sekitarnya secara difusi melalui dinding thallusnya. Perkembangbiakannya dilakukan dua cara, yaitu secara kawin antara gamet jantan dan gamet betina (generatif) serta secara tidak kawin dengan melalui vegetatif, konjugatif dan persporaan (Ditjenkan Budidaya, 2005). Struktur anatomi thallus tiap jenis rumput laut berbeda-beda, misalnya pada famili yang sama antara Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosom, patogen thallus yang melintang mempunyai susunan sel yang berbeda. Perbedaan ini membantu dalam pengenalan berbagai jenis rumput laut, baik dalam mengidentifikasi jenis, genus maupun famili (Aslan, 1988). Selanjutnya Kadi dan Atmaja (1988) memberikan ciri-ciri umum dari Eucheuma adalah thalli bulat silindris atau pipih, berwarna merah, merah coklat, hijau-kuning dan bercabang tidak teratur, mempunyai benjolan-benjolan atau duri, substansi thalli gelatinus dan atau kartilagenus. Dawes (1981), menjelaskan sistematika rumput laut Eucheuma cottonii adalah sebagai berikut : Kelas : Florideophycidae Ordo : Gigartinales Family : Solieriaceae Genus : Eucheuma Species : E. cottonii.

24 7 Gambar : 2. Morfologi rumput laut cotoni (Eucheuma cottonii) Menurut (Dawson, 1956; Rorrer, et al. 2004), bahwa pantai yang berterumbu karang merupakan tempat hidup yang baik bagi sejumlah besar spesies rumput laut dan hanya sedikit yang dapat hidup di pantai berpasir dan berlumpur misalnya Gracilaria sp. (Jones, et al. 2003). Substrat yang paling umum untuk tempat hidup rumput laut adalah kapur (Dawes, 1981). Selanjutnya (Dawes, 1981) juga menyatakan bahwa tipe substrat yang paling baik bagi pertumbuhan rumput laut adalah campuran pasir karang dan potongan atau pecahan karang, karena perairan dengan substrat demikian biasanya dilalui oleh arus yang sesuai bagi pertumbuhan rumput laut Teknik Budidaya Rumput Laut Yang Berkelanjutan Bibit rumput laut yang baik untuk dibudidayakan adalah : mono species, muda, bersih, dan segar. Selanjutnya pengumpulan, pengangkutan dan penyimpanan bibit harus selalu dilakukan dalam keadaan lembab serta terhindar dari panas, minyak, air tawar, dan bahan kimia lainnya. Kualitas dan kuantitas produksi budidaya rumput laut sangat ditentukan oleh bibit rumput lautnya, maka

25 8 kegiatan penyediaan bibit harus direncanakan dan memperhatikan sumber perolehan (Kadi dan Atmadja, 1988). Pertumbuhan rumput laut dipengaruhi juga oleh jarak bibit yang diikat pada tali ris (lihat gambar 6) Sulistijo (1987). Menurut Kadi dan Atmadja (1988), bahwa dengan jarak tanam 35 cm dengan menggunakan jaring apung didapat pertumbuhan harian yang paling tinggi yaitu 3,95 % per hari. Selanjutnya Kadi dan Atmadja (1988) menyatakan bahwa untuk metode rakit jarak tanam antar rumpun adalah 20 cm, sedangkan metode untuk tali gantung bibit jarak antar rumpun yakni 30 cm. Untuk memperoleh rumput laut yang bermutu baik, maka perlu diperhatikan umur panen. Umur panen tergantung pada kesesuaian metode budidaya. Menurut Aslan (1988), pemanenan dapat dilakukan bila rumput laut telah mencapai berat tertentu, yaitu sekitar empat kali berat awal, dalam waktu pemeliharaan 1,5 4 bulan. Dengan berat awal ± 125 gram produksi rumput laut untuk jenis Eucheuma cottonii dengan metode apung dapat mencapai sekitar gram atau dengan tingkat pertumbuhan per hari 2 3 %. Jika dilakukan 6 kali tanam dalam setahun dapat diproduksi kurang lebih 144 ton/ha rumput laut basah atau kira-kira 11 ton/ha rumput laut kering (Aslan, 1988) Kondisi Lingkungan yang Mempengaruhi Budidaya Rumput Laut Suhu Suhu lingkungan berperan penting dalam proses fotosintesa, dimana semakin tinggi intensitas matahari dan semakin optimum kondisi temperatur, maka akan semakin nyata hasil fotosintesanya (Lee, et al. 1999). Kecukupan sinar matahari sangat menentukan kecepatan rumput laut untuk memenuhi kebutuhan nutrien seperti karbon (C), nitrogen (N) dan posfor (P) untuk pertumbuhan dan pembelahan selnya. Rumput laut memiliki toleransi terhadap kisaran suhu yang spesifik karena adanya enzim, dan akan tumbuh subur pada daerah yang sesuai dengan suhu di laut yaitu pada kisaran suhu C (Luning, 1990). Menurut Lee, et al. (1999), bahwa suhu yang dibutuhkan oleh beberapa rumput laut berbeda satu sama lain, tetapi secara umum suhu yang dibutuhkan oleh rumput laut untuk pertumbuhan berkisar antara C. Menurut Kadi dan Atmadja (1988), bahwa suhu dapat mempengaruhi perkembangan reproduksi

26 9 beberapa jenis alga, misalnya perkembangan gamet Gigartina scicularis, akan terbentuk pada suhu antara C. Dalam pertumbuhannya, Eucheuma membutuhkan suhu sekitar C dan Gracilaria C. Menurut Hutagalung (1988), bahwa batas ambang suhu untuk pertumbuhan alga hijau, coklat dan merah adalah 34,5 C dan untuk alga biru hijau 37 C. Suhu mempunyai peran yang sangat penting bagi kehidupan dan pertumbuhan rumput laut. Suhu air dapat berpengaruh terhadap beberapa fungsi fisiologis rumput laut seperti fotosintesa, respirasi, metabolisme, pertumbuhan dan reproduksi (Dawes, 1981). Menurut Kep.Men KLH/2/KLH/88 bahwa kisaran suhu yang demikian masih cukup ideal untuk pertumbuhan biota laut. Suhu yang terlalu rendah dan suhu yang terlalu tinggi sangat berpengaruh terhadap proses metabolisme. Dawes (1981) menyatakan bahwa rumput laut mempunyai kisaran suhu yang spesifik karena adanya enzim pada rumput laut yang tidak dapat berfungsi pada suhu yang terlalu dingin maupun terlalu panas. Menurut Kadi dan Atmaja (1988) suhu yang dikehendaki pada budidaya rumput laut E. Cottonii berkisar antara ºC. Sedangkan Ditjenkanbud (2005) melaporkan bahwa pada kisaran suhu ºC Eucheuma memberikan laju pertumbuhan rata-rata di atas 5 %. Menurut Rorrer, et al. (2004), bahwa suhu C dapat meningkatkan pertumbuhan sel dan jaringan rumput laut (L. Saccharina) 10% / hari dan suhu C dapat tumbuh 15% /hari pada rumput laut jenis (A. coalita). Menurut Moll dan Deikman (1995), bahwa rumput laut tumbuh dengan cepat pada suhu 35 C dan pada suhu 40 C dapat mematikan. Kecerahan Kecerahan merupakan jarak yang dapat ditembus cahaya matahari ke dalam perairan. Semakin jauh jarak tembus cahaya matahari, semakin luas daerah yang memungkinkan terjadinya fotosintesa. Kecerahan ini berbanding terbalik dengan kekeruhan (Nybakken, 1988). Menurut Effendie (2000), kecerahan adalah ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk atau lebih dikenal dengan sebutan kecerahan. Nilai kecerahan dinyatakan dengan satuan meter dan hasilnya sangat dipengaruhi oleh keadaan

27 10 cuaca, waktu pengamatan, kekeruhan dan padatan tersuspensi serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran. Mutu dan banyaknya cahaya berpengaruh terhadap produksi dan pertumbuhan rumput laut (Kadi dan Atmadja, 1988). Menurut Archibold (1995), bahwa persaingan untuk mendapatkan cahaya dianggap sebagai faktor paling penting yang mempengaruhi penyebaran species rumput laut. Kemampuan daya tembus sinar matahari ke perairan sangat ditentukan oleh warna perairan, kandungan bahan-bahan organik maupun anorganik yang tersuspensi di perairan, kepadatan plankton, jasad renik dan detritus. Menurut Rorrer et al. (2004), bahwa alga coklat (L. Sacharina) dapat tumbuh dengan intensitas cahaya (dp < 1 mm), alga hijau ( A. coalita) (dp < 3 mm) dan alga merah (A. subulata, O. secundiramea) (dp = 1,6 mm 8 mm). Selanjutnya rumput laut jenis (A. coalita) intensitas cahaya (10 80 mm) dapat tumbuh 15%/hari. Menurut Levina (1984; Jones 1993; Msuya dan Neori, 2002), bahwa sinar matahari berfungsi dalam proses fotosintesa dalam sel rumput laut. Arus Arus dan gerakan air mempunyai pengaruh yang besar terhadap aerasi, transportasi nutrien, dan pengadukan air yang besar pengaruhnya terhadap keberadaan oksigen terlarut untuk menjaga kestabilan suhu (Trono dan Fortes, 1988), Peranan lain arus adalah menghindarkan akumulasi silt dan epifit yang melekat pada thallus yang dapat menghalangi pertumbuhan rumput laut. Semakin kuat arusnya, pertumbuhan rumput laut akan semakin cepat karena difusi nutrien ke dalam sel tanaman semakin banyak sehingga metabolisme dipercepat (Soegiarto et al. 1979). Menurut Tiensongrusmee, (1990) dalam Radiarta, et al. (2007), bahwa arus merupakan faktor yang dapat mengontrol dan mempengaruhi pertumbuhan rumput laut. Arus berperan penting bagi penyediaan nutrien dalam perairan dan dapat mengontrol peningkatan suhu air. Menurut Sulistijo (1987), bahwa arus yang kuat, gelombang yang besar dengan disertai angin menyebabkan terjadinya kerusakan pada rumput laut seperti terputusnya thallus, robek ataupun terlepas dari substratnya dan pelepasan spora yang baru menempel pada substrat tertentu.

28 11 Menurut Sulistijo (1987) bahwa salah satu syarat untuk menentukan lokasi Eucheuma adalah adanya arus dengan kecepatan 0,33 0,66 m/dtk. Selain itu penyerapan unsur hara akan terhambat karena belum sempat terserap, telah terbawa kembali oleh arus gelombang. Agar rumput laut dapat menempel pada substratnya, maka spora rumput laut lebih menyenangi perairan dengan arus yang tenang. Kedalaman Perairan Kedalaman perairan rata-rata yang diperlukan untuk pertumbuhan rumput laut tergantung pada jumlah intensitas cahaya matahari. Menurut Kadi dan Atmadja (1988), kedalaman yang ideal bagi pertumbuhan rumput laut di Kepulauan Seribu dengan metode dasar adalah 0,3 0,6 m pada saat surut terendah. Keadaan yang demikian dapat mencegah kekeringan bagi tanaman. Salinitas Salinitas laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai. Masing-masing rumput laut dapat tumbuh dengan baik pada kisaran salinitas tertentu tergantung pada toleransinya dan adaptasinya terhadap lingkungan (Tromo dan Fortes, 1988). Penyebaran rumput laut juga ditentukan oleh adanya percampuran air tawar dan sungai. Pengaruh salinitas dapat dilihat dengan membandingkan komposisi species rumput laut di dekat muara sungai dengan daerah terumbu karang. Rumput laut (Gracilaria) dapat tumbuh pada kisaran salinitas yang tinggi dan tahan sampai 50 ppt. Gelidium hidup pada perairan yang memiliki kisaran salinitas antara ppt. Gelidium yang tumbuh pada perairan indonesia adalah yang menyukai salinitas tinggi yaitu 30 ppt (Aslan, 1988). ph Derajat keasaman (ph) merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan rumput laut (Luning, 1990). Menurut Kadi dan Atmaja (1988), derajat keasaman (ph) yang baik bagi pertumbuhan rumput laut jenis Eucheuma sp. berkisar antara 7 9 dengan kisaran optimum 7,3 8,2. Menurut Sulistijo (1987), ph air laut berkisar antara 7,9 8,3. Dengan meningkatnya ph akan berpengaruh terhadap kehidupan rumput laut. Kisaran toleransi ph dimana alga ditemukan adalah sebesar 6,8 9,6 (Luning, 1990).

29 12 Menurut (Luning, 1990), bahwa perubahan ph perairan, baik ke arah alkali (ph naik) maupun ke arah asam (ph turun) akan mengganggu kehidupan rumput laut dan organisme akuatik lainnya. Nilai ph sangat penting diketahui karena banyak reaksi kimia dan biokimia yang terjadi pada tingkat ph tertentu. Perairan yang menerima limbah organik dalam jumlah yang besar berpotensi memiliki tingkat keasaman yang tinggi. Nutrien Rumput laut sebagai tanaman berklorofil memerlukan nutrien sebagai bahan baku fotosintesa. Unsur fosfor dan nitrogen diperlukan rumput laut bagi pertumbuhannya. Umumnya unsur fosfor yang dapat diserap oleh rumput laut dalam bentuk orthofosfat. Sedangkan nitrogen diserap dalam bentuk nitrat, nitrit maupun amonium (Dawes, 1981). Menurut Sulistijo (1987) bahwa kandungan nitrat yang mampu mendukung kehidupan dan pertumbuhan rumput laut adalah lebih besar dari 0,014 ppm. Selanjutnya Law (1969) dalam Syahputra, (2005) bahwa perairan dengan kandungan fosfat di atas 0,110 ppm adalah tergolong perairan dengan kriteria subur. Kandungan Oksigen Terlarut (DO) Oksigen terlarut dalam air dapat berasal dari proses difusi dari udara dan hasil dari proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tanaman air lainnya. Oksigen terlarut merupakan unsur penting yang diperlukan dalam melakukan proses respirasi dan menguraikan zat organik oleh mikroorganisme. Oksigen terlarut (disolved oxygen) di dalam perairan merupakan zat yang utama bagi kehidupan akuatik, terutama ikan, mikroorganisme dan tumbuhan air termasuk rumput laut (Levina, 1984). Dalam proses metabolisme, pertumbuhan dan perkembang biakan rumput laut memerlukan oksigen (Rahayu, 1991). Selanjutnya menyatakan bahwa oksigen di perairan dapat dijadikan petunjuk dalam proses dekomposisi yang dilakukan oleh bakteri. Proses dekomposisi ini memerlukan oksigen terlarut dalam jumlah yang banyak. Rendahnya kandungan oksigen disebabkan oleh pesatnya aktivitas bakteri dalam menguraikan bahan organik di perairan dapat menghambat pertumbuhan rumput laut. Oksigen terlarut (DO) pada umumnya banyak dijumpai di lapisan permukaan, oleh karena gas oksigen berasal dari udara

30 13 di dekatnya melakukan pelarutan (difusi) ke dalam air laut. Phytoplankton juga membantu menambah jumlah kadar oksigen terlarut pada lapisan permukaan diwaktu siang hari. Penambahan ini disebabkan oleh terlepasnya gas oksigen sebagai hasil dari fotosintesis. Air laut mengandung sejumlah gas-gas terlarut di dalamnya. Semua gas-gas yang terdapat di atmosfir dapat dijumpai dalam air laut, walaupun dalam jumlah yang tidak sama seperti yang ada di udara. Gas oksigen terlarut sangat penting, karena gas ini sangat dibutuhkan oleh organisme air. Kelarutan oksigen di laut sangat penting artinya dalam mempengaruhi keseimbangan kimia air laut dan juga dalam kehidupan organisme. Oksigen dibutuhkan oleh hewan dan tanaman air, termasuk bakteri untuk respirasi. Adanya oksigen di laut berasal dari fotosintesis tanaman air dan fitoplankton serta adanya proses pertukaran dengan udara di atasnya. Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD) COD menggambarkan kandungan bahan organik dan anorganik di perairan. Muatan bahan organik yang ada dapat diketahui dengan menghitung konsentrasi oksigen berdasarkan reaksi dari suatu bahan oksidasi (Alaerts dan Santika, 1987). Nilai COD (Chemical Oxygen Demand) menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi secara kimia bahan organik baik yang bisa didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar degradasi secara biologi (non- biodegradable), menjadi CO2 dan H2S. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang diperlukan dalam mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988). Perairan yang memiliki COD tinggi tidak diinginkan bagi kepentingan perikanan khususnya rumput laut. Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/liter, sedangkan pada perairan yang tercemar melebihi 200 mg/liter dan pada limbah industri dapat mencapai mg/liter (UNISCO/WHO/UNEF, 1992). Menurut Widigdo (2002) dalam Sitorus, et al. (2005), bahwa tambak intensif menghasilkan limbah TSS sebesar 2.46 ton per musim tanam. Sedangkan menurut Boyd (2003) dalam Sitorus, et al. (2005), bahwa TSS yang berasal dari buangan tambak intensif sekitar 92% merupakan bahan organik. Hal ini juga membuktikan bahwa budidaya ikan di tambak dan limbah domestik memberikan kontribusi terhadap kelarutan COD. Sedangkan

31 14 konsentrasi COD yang jauh dari pemukiman dan lokasi tambak cenderung menurun, karena terjadinya pengenceran konsentrasi COD di dalam perairan. Timbal (Pb) Kualitas perairan sangat ditentukan oleh adanya logam berat (Chou, et al. 2004). Logam berat (Pb) biasanya sangat sedikit sekali ditemukan dalam air secara alamiah yaitu kurang dari 1 mg/liter. Bila terjadi pencemaran yang disebabkan oleh buangan limbah dan bahan kimia lainnya kosentrasi logam berat (Pb) akan meningkat Contoh kasus di perairan teluk Loreto California Mexico ditemukan rumput laut yang hidup di sekitarnya mengandung kadnium (Cd) dalam kosentrasi cukup tinggi yang bersumber dari buangan limbah industri dan peleburan timbal (Pb) (Rodriquez, et al. 2002). Demikian juga pada alga merah (P. Colombina) di Gulf San Jorge Argentina sudah banyak terkontaminasi dengan logam berat (Cu, Cr, dan Zn) (Muse, at al, 1999). Berkaitan dengan contoh kasus di atas, apabila dalam rumput laut mengandung logam berat (Pb) yang cukup tinggi dapat menurunkan nilai jual bahkan dapat ditolak oleh konsumen. Menurut Palupi (1994), standar timbal dalam air yang direkomendasikan 0,10 mg/liter, dan air laut 0,03 mg/liter Selanjutnya Suwirma, et al. (1981), batas rekomendasi timbal (Pb) hasil perikanan untuk konsumsi manusia 2,0 mg/liter. Sedangkan spesifikasi mutu karaginan yang ditetapkan oleh Food Chemical Codex (1981) mengandung timbal (Pb) sebesar 0,004%. Selanjutnya standar mutu yang baik untuk rumput laut yang diekstraksi menjadi asam alginat, natrium alginat, dan propilen glikol alginat mengandung Pb < 10 mg/liter (King, 1983). Menurut World Health Organization (WHO), beberapa logam berat yang berbahaya antara lain cadnium (Cd), copper (Co), zinc (Zc), besi (Fe), mercury (Cu) dan timbal (Pb) (Handal, 1998) dalam (Kaur, 2008). Menurut Villares et. al. (2002), bahwa rumput laut banyak yang terakomulasi dengan logam berat pada berbagai musim baik pada musim panas maupun pada musim dingin. Wright dan Mason, (1999) menemukan logam berat pada alga laut (Enteromorpha, sp) dan (Pelvetia canaliculata) pada musim panas. Konsentrasi logam berat ini akan sangat berpengaruh terhadap alga laut dan organisme lainnya terutama mengganggu kelancaran metabolisme dan reproduksi. Pada berbagai penelitian

32 15 kosentrasi logam berat pada alga laut ditemukan pada periode pertumbuhan (Catsiki dan Papathanassion, 1993) dalam (Wrigh dan Mason, 1999). Selanjutnya Wrigh dan Mason (1999), melaporkan bahwa kosentarsi logam berat pada alga laut (Ulva lactuca) terjadi pada musim panas. Menurut Muse, et al. (1999), bahwa pada alga merah (P. columbina) telah terjadi akomulasi dengan logam berat (cu, cr, dan zn) akan tetapi tidak ditemukan adanya logam berat seperti timbal (Pb). Hama dan Penyakit Penyebab kegagalan budidaya rumput laut adalah masalah hama dan penyakit sehingga menimbulkan kerusakan dan kematian tanaman. Organisme pengganggu lainnya, seperti bulu babi (Diademasetosum sp.), bulu babi duri pendek (Tripneustes sp.), ikan-ikan herbivora antara lain beronang (Siganus sp.), ikan kerapu (Epinephellus, sp.) bintang laut (Protorester nodusus), dan penyu hijau (Chelonia mydas). Binatang-binatang laut tertentu seperti molusca dan ikan dapat berpengaruh terhadap persporaan rumput laut dan menghambat pertumbuhan rumput laut. Cara menghindari organisme tersebut yaitu dengan pemagaran di sekeliling tanaman dengan jaring (Anggadiredja, et al. 2006). Penyakit yang sering timbul pada rumput laut, khususnya dari jenis Eucheuma sp. yang dikenal dengan nama ice-ice yang menyebabkan tanaman tampak memutih. Ini disebabkan terjadi perubahan lingkungan (arus, suhu dan kecerahan) sehingga memudahkan bakteri hidup. Kerusakan tanaman akibat iceice dapat mencapai 90%, bahkan 100% bila kondisi serangan berlangsung lama. Kondisi ini akan diperparah karena adanya serangan sekunder dari Peryphyton yang merupakan mikroorganisme akuatik yang umumnya berukuran plantonik, fitoplankton, maupun zooplankton. Serangan sekunder sebagai lanjutan dari kondisi serangan ice-ice dapat pula dilakukan oleh bakteri patogen seperti Pseudomonas dan Staphylococcus (Ditjenkanbud, 2005) Matrik Kesesuaian Budidaya Rumput Laut Matrik kesesuaian untuk lokasi budidaya rumput laut diperoleh dari beberapa literatur hasil penelitian. Besarnya bobot yang diberikan masing-masing parameter berbeda, karena pembobotan dilakukan berdasarkan besarnya kontribusi yang diberikan oleh masing-masing parameter. Menurut Aslan (1988)

33 16 dan Ditjenkanbud (2005), bahwa pemberian bobot untuk matrik kesesuaian budidaya rumput laut tergantung dari pengaruhnya terhadap pengembangan budidaya rumput laut, artinya bobot yang tinggi diberikan apabila parameter tersebut sangat diutamakan untuk keberhasilan budidaya rumput laut. Sedangkan bobot yang rendah diberikan sebagai pelengkap saja, namun semuanya saling melengkapi. Adapun bobot menurut Aslan (1988) dan Ditjekanbud (2005), bahwa kecerahan, salinitas, nitrat dan fosfat memperoleh nilai bobot (12%), sedangkan arus, keterlindungan, suhu, kedalaman, gelombang, substrat dan pencemaran nilai bobotnya (8%) (Tabel 1). Selanjutnya Bakosurtanal (2005), memberikan bobot yang tinggi pada kedalaman (35%), kecerahan (25%), sedangkan DO, salinitas, suhu dan ph memperoleh bobot yang rendah (10%) (Tabel 2). Sedangkan Radiarta, et al. (2005), memberikan bobot yang tinggi pada morfologi dan kedalaman (15%), arus, substrat dasar, kecerahan, dan salinitas memperoleh bobot (10%), dan hewan herbivora, keamanan, keterjangkauan dan tenaga kerja memperoleh bobot (5%) (Tabel 3). Selanjutnya Mubarak, et al. (1990) dan Tiensongrusmee, (1990) dalam Radiarta, et al. (2007) memberikan bobot yang tinggi pada kecerahan (0.4%), kedalaman (0.3%), dan arus (0.2%). Sedangkan gelombang diberikan bobot yang rendah (0.1%) (Tabel 4). Menurut Mubarak, et al. (1990) dalam Utojo, et al. (2007), bahwa pembobotan pada setiap faktor pembatas/peubah ditentukan berdasarkan pada dominannya peubah tersebut terhadap suatu peruntukan kelayakan lahan budidaya laut (ikan, rumput laut, dan tiram mutiara). Kemudian diurutkan faktor-faktor pembatas tersebut dimulai dari yang paling berpengaruh terhadap suatu peruntukan. Selanjutnya Mubarak, et al. (1990) dalam Utojo, et al. (2007) memberikan bobot yang paling tinggi pada morfologi, substrat dasar, kecerahan dan logam berat (0.1%), arus, kedalaman, dan salinitas (0.09%), hewan herbivora (0.08%), keterjangkauan (0.07%). Sedangkan tenaga kerja dan keamana bobotnya yang rendah dari parameter sebelumnya (0.06%) (Tabel 5). Dari kelima matrik yang disusun oleh para peneliti tersebut di atas (Tabel 1, 2, 3, 4 dan 5) dapat diambil suatu gambaran bahwa parameter utama yang perlu diperhatikan sebelum melakukan usaha budidaya rumput laut di suatu lokasi adalah kedalaman, kecerahan, salinitas, morfologi, arus, nitrat dan fosfat,

34 17 sedangkan parameter yang lain misalnya gelombang, suhu, DO, ph, substrat dasar, biota pengganggu, keamanan, keterjangkauan, dan tenaga kerja merupakan parameter penunjang, namun saling melengkapai artinya tanpa parameter penunjang tidak mungkin suatu usaha budidaya rumput laut dapat berhasil. Tabel 1. Matrik kesesuaian untuk lokasi budidaya rumput laut. (seaweed culture) Parameter Arus Kecerahan Keterlindungan Suhu Kedalaman Gelombang Salinitas Nitrat Phosfat Substrat Pencemaran Satuan m/dtk cm - º C m cm ppt mg/l mg/l - - Skor (S) Tidak sesuai Sesuai Sangat sesuai Bobot (%) < 10 atau > atau < > 5 12 Terbuka Agak terlindung Terlindung 8 < 20 atau > < 2 atau > > < 10 4 < 28 atau > < 0,01 atau > 1,0 0,8 1,0 0,01 0,07 12 < 0,01 atau >0, ,10 0,20 12 Lumpur pasir berlumpur pasir 8 - sedang tidak ada 8 Jumlah 100 Sumber : Aslan (1988) Tabel 2. Matrik kesesuaian untuk lokasi budidaya rumput laut. (seaweed culture) Parameter Kedalaman Oksigen (DO) Salinitas Suhu Kecerahan ph Satuan M mg/l ppt C % - Skor (S) S1 S2 S3 N > < 4 > < 24 < 20 > > > < 50 < 25 > 8,5 8,7 6,5 - < 7 > 8,8 1 5 > > 75 7,5 8,5 Bobot (%) Jumlah 100 Sumber : Bakosurtanal (2005) Tabel 3. Matrik kesesuaian untuk lokasi budidaya rumput laut. (seaweed culture) Skor (S) Parameter Satuan S1 S2 S3 N Bobot (%) Kecerahan M 1 4/ Kedalaman M ¾ 1 3/ Arus cm/s ½ 2/ Gelombang Cm ¼ 1/3 ½ Jumlah 1.0 Sumber : Mubarak, et al. (1990) dan Tiensongrusmee (1990) dalam Radiarta, et al. (2007)

35 18 Tabel 4. Matrik kesesuaian untuk lokasi budidaya rumput laut. (seaweed culture) Parameter Satuan Bobot Nilai (value) (%) Morfologi 15 Terlindung Cukup Terbuka terlindung Kedalaman M < 1 & > 15 Arus Cm/dtk < 20 & > 40 Substrat dasar 10 Pasir dan Pasir Lumpur pecahan berlumpur Kecerahan M 10 > < 1 Salinitas Ppt < 28 & > 34 Pencemar 10 Tidak ada Sedang Tinggi Hewan Ekor 5 Tidak ada Sedang Tinggi herbivora Keamanan 5 Aman Agak aman Tidak aman Keterjangkauan 5 Mudah Agak sulit Sulit Tenaga kerja 5 Mudah Agak sulit Sulit Jumlah 100 Sumber : Radiarta et al. (2005) Tabel 5. Matrik kesesuaian untuk lokasi budidaya rumput laut. (seaweed culture) Parameter Satuan Bobot Nilai (value) (%) Morfologi 0.1 Terlindung Agak terlindung Terlindung sesaat Tidak terlindung Substrat dasar 0.1 Pasir dan pecahan karang Pasir sedikit berlumpur Pasir berlumpur sedang Pasir berlumpur banyak Kecerahan % < 60 Logam berat mg/l 0.1 < < 0.06 Arus cm/s < 20&>50 Kedalaman M < 5 & > 20 Salinitas Ppt <25&>35 Hewan air Ekor 0.08 Tidak ada Kurang Banyak Sangat banyak Keterjangkauan 0.07 Lancar Cukup lancar Kurang lancar Tidak lancar Tenaga kerja 0.06 Banyak Cukup tersedia Kurang tersedia Tidak tersedia Keamanan 0.06 Aman Cukup aman Insidentil Tidak aman Pemasaran 0.06 Lancar Cukup lancar Kurang lancar Tidak lancar Jumlah 1.00 Sumber : Mubarak, et al. (1990) dalam Utojo, et al. (2007)

36 Produktivitas Rumput Laut Menurut Neori, et al. (1998), bahwa produksi rumput laut tergantung dari musim, misalnya rumput laut Ulva lactuca rata-rata produksi pada musim panas 292 gram berat basah/hari (52 gram berat kering), dan 83 gram berat basah/hari (15 gram berat kering) pada musim dingin. Menurut (Huang, et al, 1998; Rorrer, 2000), bahwa perkembangan sel dan thallus rumput laut baik secara alami maupun budidaya tidak ada perbedaan yaitu dengan diameter awal 2 8 mm setelah dipelihara hari mencapai 10 mm. Menurut Moll dan Deikman (1995), bahwa rumput laut yang dipelihara dengan ph dan salinitas yang berbeda dapat tumbuh mencapai gram / m 2 dengan berat awal 2 3 gram. Selanjutnya Neori, et al. (2000) melaporkan bahwa rumput laut (Ulva lactuca) dapat tumbuh dengan cepat pada suhu rata-rata 18,1 C (musim dingin) dan 31,2 C (musim panas), salinitas 41 ppt, ph (8,5-8,9) dan DO (8, mg/l) dengan rata-rata berat 233 gram berat basah/hari atau 78 kg/tahun. Sedangkan rumput laut (Gracilaria converta) lebih rendah yaitu 14 kg/tahun. Demikian juga Westermeier, et al. (1993) melaporkan bahwa produksi biomass rumput laut (Gracilaria chilensis) berkisar antara 0,6 1,2 kg/musim pada musim dingin (Juli dan September), dan produksi biomass turun dari 0,6 kg/musim menjadi 0,2 kg/musim pada musim semi. Menurut Matos, et al. (2006) bahwa rumput laut yang dipelihara pada suhu 17 C dan 21 C, ph 8.46, DO 8 10 mg/l dan salinitas 33 ppt dapat mencapai pertumbuhan maksimum 11,5 gram berat kering /hari Kandungan Karaginan Rumput Laut Karaginan merupakan polisakarida yang berasal dari hasil ekstraksi alga. Karaginan terdiri dari iota karaginan dan cappa karaginan yang kandungannya sangat bervariasi tergantung musim, spesies, dan habitat (Percival, 1968). Menurut WHO (1999), karaginan adalah suatu polisakarida linier dengan berat molekul di atas 100 kda. Karaginan terdapat dalam dinding sel rumput laut dan merupakan bagian penyusun yang besar dari berat kering rumput laut (Hellebust dan Cragie, 1978; Levring, et al. (1969) dalam Fritsch, (1986). Karaginan

37 20 rumput laut diperoleh dari hasil bobot kering rumput laut yang diekstrasi dengan metode sederhana skala rumah tangga berkisar antara 54,0 72,8% (Tabel 6). Tabel 6. Kandungan karaginan beberapa rumput laut jenis Eucheuma yang dinyatakan dalam persen. Kandungan No Jenis karaginan Lokasi Keterangan (%) 1 Eucheuma spinosum 72,8 Tanzania 2. Eucheuma striatum 69,0 Tanzania 3. Eucheuma platycladum 85,0 Tanzania 4. Eucheuma okamurai 58,0 Tanzania 5. Eucheuma spinosum 54,0 Tanzania 6. Eucheuma spinosum 65,7 67,5 Indonesia 7. Eucheuma cottonii 61,5 Indonesia Sumber : Gliksman (1983). Menurut Kadi dan Atmaja (1987), bahwa kandungan karaginan dalam rumput laut sangat ditentukan oleh jenisnya, iklim serta lokasi budidaya. Sedangkan kandungan senyawa di dalam rumput laut sangat dipengaruhi oleh musim, habitat dan umur tanaman. Selanjutnya Chen et al. (1973), kandungan karaginan sangat dipengaruhi kondisi setempat (lokasi budidaya). Menurut Papalia (1997) dalam Anonymous (2008), bahwa ketersediaan unsur hara erat kaitannya dengan pembentukan karaginan pada dinding sel rmput laut. Selanjutnya Mayunar (1989) dalam Anonymous (2008), bahwa kualitas dan kuantitas cahaya matahari dalam perairan dapat menambah pigmen fitoentrim pada rumput laut sehingga dapat meningkatkan kandungan karaginan rumput laut Aplikasi SIG dalam Penataan Ruang Pesisir untuk Budidaya Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah suatu sistem komputer yang mempunyai kemampuan pemasukan, pengambilan, analisis data, dan tampilan data geografi yang sangat berguna bagi pengambilan keputusan (Esri, 1990; Burrough, 1986; Burrough dan McDonnel, 1998). Dengan menggunakan SIG kita dengan mudah dan cepat dapat melakukan analisis keruangan (spasial analysis) dan pemantauan terhadap perubahan lingkungan wilayah pesisir (Gunawan,

38 ). Menurut Maguire (1991), bahwa teknologi SIG dikembangkan dan diintegrasi dari beberapa konsep dan teknik seperti Geografi, Statistika, Kartografi, Ilmu Komputer, Biologi, Matematika, Ekonomi dan Ilmu Geologi. Beberapa penelitian budidaya laut yang melakukan pendekatan SIG untuk analisa daya dukung lingkungan perairan antara lain : (Ross et al. 1993; Ismail, et al. 1996; Ismail, et al. 1998; Tarunamulia et al. 2001; Radiartha, et al. 2003). Menurut Ross, et al. (1993), bahwa faktor utama yang diperlukan untuk menentukan kelayakan budidaya ikan salmon dalam KJA di laut antara lain : kedalaman, kecepatan arus, salinitas, temperatur dan oksigen terlarut. Hasil analisa SIG diperoleh luasan lokasi yang cocok untuk KJA di teluk Camas Bruaich Ruaidhe di wilayah Scotlandia sebesar 1,26 ha yang terletak di kawasan tengah bagian selatan teluk. Menurut Ismail, et al. (1996), bahwa pemilihan lokasi untuk KJA reservat didasarkan atas kriteria yang telah ditentukan baik teknis (kondisi perairan dan padang lamun) maupun non teknis (mudah tidaknya memperoleh induk, keamanan, lingkungan, tenaga kerja, dll). Hasil analisa SIG ternyata perairan Tanjung Duku Dompak Kepulauan Riau memperoleh skor yang paling tinggi (4,57). Selanjutnya Ismail, et al. (1998) menyatakan bahwa penempatan panti benih terapung ikan karang dilakukan atas dasar parameter teknis dan non teknis meliputi kualitas air, kesuburan air, ekosistem, ketersediaan induk dan kemudahan mencapai lokasi, bahan KJA, tenaga kerja, keamanan, sarana, masyarakat dan pasar. Hasil yang diperoleh bahwa perairan selatan Pulau Bintan memiliki lokasi yang lebih baik daripada perairan kepulauan Karimun Jawa dan memiliki skor paling tinggi yaitu 512,5. Tarunamulia, et al. (2001) melaporkan bahwa faktor resiko, oceanografi dan kemudahan menjadi acuan secara umum untuk mendukung usaha budidaya dalam KJA di teluk Pare-pare. Hasil perhitungan dengan menggunakan GIS, dari luas teluk ha, diperoleh 2.185,67 ha tergolong layak dan 783,45 ha tergolong layak sedang. Menurut Radiarta, et al. (2003) bahwa penentuan lokasi untuk budidaya laut berdasarkan penggabungan beberapa faktor internal (kualitas perairan) dengan SIG serta memperhatikan faktor eksternal (penduduk, jalan, dll).

39 22 Hasil analisa SIG diperoleh lokasi seluas ha yang ideal untuk pengembangan budidaya laut di teluk Ekas Penataan Ruang dan Zonasi Kawasan Pesisir Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang disebutkan bahwa ruang didefinisikan sebagai wadah kehidupan yang meliputi ruang daratan, ruang laut dan udara termasuk di dalamnya tanah, air, udara dan benda lainnya sebagai satu kesatuan kawasan tempat manusia dengan makhluk hidup lainnya melakukan kegiatan dengan pemeliharaan kelangsungan hidupnya. Sedangkan tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang wilayah nasional, ruang wilayah Propinsi, ruang wilayah Kabupaten, dan ruang wilayah tertentu yang mencakup perkotaan dan pedesaan, yang menunjukan adanya hirarkhi dan keterkaitan pemanfaatan ruang. Rencana tata ruang yang selama ini disusun dan digunakan lebih berorientasi pada wilayah daratan dan belum banyak memperhatikan wilayah pesisir dan laut seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang tata ruang sebagaimana yang tersebut di atas, padahal perencanaan penataan ruang wilayah pesisir dan laut itu sendiri tidak dapat dipisah-pisahkan dari produk Rencana Tata ruang Wilayah Nasional, Propinsi dan Kabupaten/Kota. Seiring diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka terjadi perubahan paradigma pembangunan dari pendekatan sektoral ke arah pendekatan wilayah. Pembangunan dengan pendekatan sektoral yang selama ini dilakukan kurang memperhatikan segi spasial sehingga sering terjadi konflik kepentingan antara stakeholders dalam pemanfaatan ruang dan sumberdaya alam yang tersedia di wilayah tersebut. Untuk itu diharapkan dengan adanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini maka pembangunan sektoral dengan pola vertikal-sentralistik dapat bergeser dari pembangunan wilayah dengan pola koordinatif-desentralistik, upaya koodinasi pembangunan dapat dilakukan antara lain dengan berpedoman pada Rencana

40 23 Tata Ruang. Untuk itu penataan ruang wilayah pesisir juga sangat diperlukan dalam optimalisasi pemanfaatan ruang. Wilayah pesisir merupakan wilayah yang dinamis tetapi juga sangat rawan. Dinamis karena wilayah ini merupakan pertemuan antara ekosistem darat dan ekosistem laut dimana mengandung berbagai sumberdaya yang cukup potensial baik hayati, non hayati maupun jasa-jasa lingkungan. Rawan karena wilayah pesisir berpotensi besar terhadap perubahan dan tekanan akibat interaksi manusia dengan berbagai ekosistem yang ada. Perkembangan pembangunan di suatu wilayah pesisir melalui berbagai aktivitas seperti pemukiman, pertanian, perikanan, industri, pariwisata, perhubungan dan lain-lain telah membawa kecenderungan menurunnya atau bahkan rusaknya kondisi biofisik di wilayah pesisir tersebut. Keadaan ini berdampak pada berbagai masalah lingkungan seperti erosi, sedimentasi, polusi atau pencemaran. Pemanfaatan ruang pesisir yang tidak terencana akan berakibat buruk, selain dalam penggunaan lahan itu sendiri juga pada perairan yang merupakan habitat berbagai biota laut. Berbeda dengan wilayah daratan, paradigma yang dikembangkan di wilayah pesisir bersifat lebih kompleks karena disamping tempat bermuaranya segala kegiatan, wilayah pesisir juga merupakan tempat bertemunya berbagai macam ekosistem, oleh karenanya dalam penataan ruang pesisir perlu diupayakan cara atau metode yang tidak hanya sekedar mengadopsi tata ruang daratan, tetapi perlu dikembangkan suatu rencana kelola dengan pendekatan keruangan yang bisa mengakomodir kepentingan berbagai stakeholders. Harapan ini akan lebih realistis dan dapat dipertanggungjawabkan jika kita dapat menempatkan pola pemanfaatan ruang dan arahan pengembangan berdasarkan analisis kesesuaian lahan (Dahuri, et al. 1997).. Zonasi wilayah pesisir dan laut adalah pengalokasian pesisir dan laut ke dalam zona-zona yang sesuai dengan maksud dan keinginan pemanfaatan setiap zona. Rencana ini menerangkan nama zona yang terseleksi dan kondisi zona yang dapat ditetapkan peruntukannya bagi setiap kegiatan pembangunan yang didasarkan pada persyaratan-persyaratan pembangunan. Suatu zona adalah suatu kawasan yang memiliki kesamaan karakteristik fisik, biologi, ekologi dan ekonomi dan ditentukan oleh kriteria terpilih (Ditjen Bagda Depdagri, 1998).

41 24 Penyusunan zonasi ini dimaksudkan untuk menciptakan keharmonisan spasial, yaitu bahwa dalam suatu pesisir dan lautan hendaknya tidak seluruhnya diperuntukan bagi kawasan pembangunan, namun juga menyediakan lahan bagi zona preservasi dan konservasi. Zona preservasi adalah zona dimana tidak dibenarkan adanya suatu kegiatan yang bersifat ekstraksi kecuali untuk kegiatan penelitian. Zona konservasi adalah suatu zona yang masih dimungkinkan adanya pembangunan namun dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah berkelanjutan (Odum, 1989). Kawasan budidaya adalah kawasan yang telah ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan. Bagian dari suatu wilayah tersebut memiliki fungsi budidaya dengan telah dipertimbangkan daya dukung lingkungan (Sugandhy, 1993).

42 25 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Teluk Waworada Kabupaten Bima Nusa Tenggara Barat. Pengambilan data dilakukan di perairan teluk Waworada, dengan 10 (sepuluh) pengamatan pada penelitian pendahuluan dan 5 (lima) stasiun pengamatan pada penelitian utama dengan jarak antar stasiun ± 4 km dan jarak ± 1 km dari garis pantai ke arah laut. Sedangkan jarak titik sampling ± 0.5 km. Penelitian lapangan untuk pengumpulan data primer dilakukan selama 3 (tiga) bulan yaitu pada bulan Maret s/d bulan Mei Gambar : 3. Peta Lokasi Penelitian Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode survei yang dirancang berdasarkan SIG (System Information Geografics). Penentuan lokasi pengamatan dilakukan dengan teknik acak sederhana (Simple random sampling) (Clark dan Hosking, 1986; Morain, 1999) adalah merupakan teknik yang digunakan untuk penentuan titik pengamatan dengan jarak 0.5 km. Menurut Hadi (2005), bahwa penentuan titik pengambilan sampel air muara atau air laut pada kedalaman tertentu didasarkan pada perbedaan suhu dan salinitas. Untuk daerah pantai atau pelabuhan dengan kedalaman kurang dari 5 meter, titik

43 26 pengambilannya adalah pada satu meter di bawah permukaan, bagian tengah, dan 0,5 meter di atas dasar laut (Hutagalung, 1997). Pengambilan sampel kualitas air dilakukan pada pukul WITA. Pengamatan parameter fisika dan kimia perairan pada penelitian pendahuluan meliputi suhu, salinitas, ph, kedalaman, kecerahan dan arus dilakukan di 30 titik pengamatan. Parameter fisika, kimia dan biologi pada penelitian utama meliputi DO, ph, nitrat, fosfat, COD, Pb, suhu, kedalaman, kecerahan, salinitas, arus dan hama diukur di 15 titik pengamatan. Sedangkan rumput laut untuk ditimbang berat panen dan kandungan karaginan yang dianalisa di laboratorium diambil di 5 (lima) stasiun pada 15 titik secara acak Penelitian Pendahuluan Sebelum penelitian inti dilakukan survei pendahuluan lebih dahulu dengan melakukan survei langsung ke lapangan. Penelitian pendahuluan ini dimaksudkan untuk menentukan stasiun pengamatan sesuai dengan keseragaman karakteristik biofisik perairan yaitu keterlindungan/ketidakterlindungan dari ombak, kuat lemahnya arus, kedalaman, kecerahan dan habitat yang berbeda (berkarang, karang campur pasir dan pasir). Selain faktor internal di atas juga dilakukan pengamatan terhadap faktor eksternal yang diperkirakan akan berpengaruh terhadap kondisi lingkungan perairan seperti adanya pengaruh sungai, pertambakan dan aktivitas pemukiman dan pelabuhan perikanan.

44 27 Gambar : 4. Peta Lokasi dan Stasiun Pengamatan Penelitian Pendahuluan Hasil pengamatan pendahuluan menunjukan bahwa teluk Waworada sangat terlindung dari ombak, karena di mulut teluk Waworada terdapat lekukanlekukan garis pantai dan luas mulut teluk Waworada lebih kecil dibandingkan dengan luasan teluknya sehingga mampu mengurangi arus deras dan gelombang besar yang datang dari Samudra Hindia. Hasil pengamatan parameter fisika dan kimia di 10 (sepuluh) stasiun pengamatan (Gambar 4) yang tersebar di teluk Waworada yang meliputi kecepatan arus berkisar antara 0,15 0,35 m/dtk (standar deviasi m/dtk), suhu berkisar antara 28-32ºC (standar deviasi C), ph berkisar antara 7 9 (standar deviasi ), dan salinitas berkisar antara ppt (standar deviasi ppt). Namun kedalaman dan kecerahan di masing-masing stasiun pengamatan sedikit berbeda yaitu berkisar antara 2-24 m (standar deviasi m) dan kecerahan berkisar antara 1 7 m (standar deviasi m). Demikian juga habitat perairan seperti berkarang, berkarang campur pasir, dan berlumpur di 10 (sepuluh stasiun) atau 30 (tiga puluh) titik pengamatan yang juga hampir sama (Tabel 7).

45 28 Tabel 7. Parameter Fisika dan Kimia Perairan Teluk Waworada Kabupaten Bima Stasiun Arus (m/dtk) Suhu ( C) ph I 0.18 ± ± ± 1.00 II 0.20 ± ± 8.67 ± III 0.35 ± ± 8.67 ± IV 0.34 ± ± 8.33 ± V 0.34 ± ± 8.33 ± VI 0.18 ± ± 8.00 ± VII 0.20 ± ± 8.67 ± VIII 0.35 ± ± 8.67 ± IX 0.35 ± ± 8.33 ± X 0.35 ± ± 8.67 ± Sumber : Data Primer diolah Tahun 2007 Salinitas (ppt) ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± 0.58 Kedalaman (m) 3.33 ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± 3.61 Kecerahan (m) 1.33± ± ± ± ± ± ± ± ± ± 0.58 Dari pengamatan tersebut dapat diambil suatu gambaran bahwa teluk Waworada termasuk tipe teluk yang terlindung dari ombak dan arus yang deras, dengan parameter fisika dan kimia meliputi suhu, kecepatan arus, salinitas dan ph perairan di stasiun pengamatan yang homogen. Namun kedalaman dan kecerahan di masing-masing stasiun pengamatan heterogen. Habitat perairan yang bertipe berkarang, berkarang campur pasir, dan berlumpur di seluruh stasiun pengamatan juga masih tergolong homogen. Mengingat kondisi fisika dan kimia perairan teluk Waworada yang homogen, maka dalam penentuan stasiun pengamatan dilakukan pengamatan terhadap faktor eksternal yang sekiranya dapat mempengaruhi kondisi biofisik teluk Waworada yaitu meliputi 5 (lima) kelompok, yaitu : 1. Kelompok satu (St1) adanya pengaruh sungai yang membawa limpasan air tawar yang akan mempengaruhi kondisi fisika dan kimia perairan seperti suhu, salinitas dan ph.

46 29 2. Kelompok dua (St2) adanya tambak akan mempengaruhi kondisi perairan karena limpasan sisa air tambak yang banyak membawa partikel organik (kimia) yang dapat mempengaruhi kandungan kimia perairan. 3. Kelompok tiga (St3) adanya aktivitas manusia seperti pemukiman yang dapat menghasilkan limbah sehingga menurunkan kualitas perairan. 4. Kelompok empat (St4) adanya aktivitas manusia seperti pelabuhan yang dapat menghasilkan limbah cair seperti minyak juga dapat menurunkan kualitas perairan. 5. Kelompok lima (St5) adalah titik yang mewakili daerah dengan kegiatan yang minim ataupun tidak ada kegiatan sama sekali. Sehingga penentuan stasiun pengamatan pada penelitian ini yang hanya meliputi 5 (lima) stasiun pengamatan dan 15 (lima belas) titik sampling yang letaknya berderet di bagian utara teluk dianggap cukup mewakili keseluruhan perairan teluk Waworada Kabupaten Bima (Gambar 5). Dalam kegiatan penentuan stasiun pengamatan ini juga dibantu dengan alat GPS (Global Positioning System). Gambar : 5. Peta Lokasi dan Stasiun Pengamatan Penelitian Utama

47 Penelitian Utama Pengumpulan Data Primer Data primer dikumpulkan secara langsung di lapangan pada setiap stasiun. Parameter yang diamati/diukur meliputi parameter fisika, kimia dan biologi. Secara rinci parameter yang diamati/diukur disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Parameter fisika, kimia dan biologi yang diamati selama penelitian No Parameter 1. Fisika Kecerahan Suhu Kecepatan Arus Kedalaman 2. Kimia Salinitas ph Fosfat Nitrat DO COD Logam berat (Pb) 3. Biologi Hama Pengganggu Alat Pengukuran Secchi disk Termometer Floating roach dan stopwatch Tali penduga dan meteran Refraktometer Kertas lakmus merah Spektrofotometer Spektrofotometer Titrimetrik Spektrofotometer Spektrofotometer Frekwensi (Kali) Keterangan Insitu Insitu Insitu Insitu Insitu Insitu Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Visual dan Wawancara - Insitu Frekwensi : 3 kali/42 hari (Minggu kedua, keempat dan keenam). a. Parameter Fisika Parameter fisika yang diamati meliputi : Kecerahan (m) : alat yang digunakan untuk mengukur kecerahan adalah secci disk, alat ini diturunkan sampai kedalaman tertentu kemudian diukur kecerahannya sampai dengan batas penglihatan. Suhu permukaan ( C) : alat yang digunakan adalah termometer dengan dicelupkan sampai kedalaman ± 30 cm. Kecepatan arus (m/detik) : alat yang digunakan adalah floating roach dan stopwatch. Cara pengukurannya dengan menurunkan alat tersebut ke dalam air sampai pada kedalaman tertentu atau ± 30 cm dari permukaan air. Untuk mendapatkan nilai kecepatan arus maka dihitung sampai sejauhmana alat tersebut dibawa oleh arus. Standar yang digunakan adalah tali yang diikatkan pada floating roach. Apabila floating roach tersebut berpindah atau dibawa oleh arus, maka tali itu akan renggang, sehingga dengan demikian dapat ketahui bahwa floating roach tersebut sudah berpindah sepanjang tali yang telah ditentukan. Misalnya panjang tali 5 meter, memerlukan waktu beberapa

48 31 menit berpindah dari tempat semula. Dari uraian tersebut dapat diperjelas dengan rumus V = L/S dimana V = kecepatan arus (m/dtk), L = jarak tempuh (m), dan S = waktu (detik). Selanjutnya untuk kedalaman perairan (m) diukur dengan menggunakan alat meteran dan tali penduga. Secara keseluruhan pengamatan parameter fisika perairan dilakukan secara langsung di lapangan. b. Parameter Kimia Pengambilan contoh air untuk mengukur parameter kimia dilakukan pada minggu kedua, keempat dan keenam. Contoh air diambil dengan menggunakan kemmerer water sampler, secara vertikal yaitu permukaan (± 30 cm dari atas permukaan), pertengahan (± 1.5 m atau tergantung kedalaman air) dan dasar (± 30 cm dari dasar). Beberapa parameter kimia meliputi : salinitas (ppt), alat yang digunakan adalah refraktometer dengan mengambil contoh air permukaan lalu diukur salinitasnya; ph diukur langsung ke lapangan dengan mencelupkan kertas lakmus merah ke dalam air kemudian dibandingkan warna yang ada di tabel; kelarutan oksigen (DO) diukur secara langsung di lapangan dengan cara titrasi (metode winkler). Sedangkan fosfat, nitrat, COD, dan logam berat (Pb), contoh air diambil langsung pada setiap stasiun pengamatan dengan menggunakan kemmerer water sampler kemudian disimpan dalam botol sampel setelah terlebih dahulu dilakukan pengawetan dengan asam sulfat (H2SO4) kemudian disimpan dalam box yang berisi es. Selanjutnya dianalisis di Laboratorium Manajemen Produktivitas Lingkungan IPB Bogor. c. Parameter Biologi Hama pengganggu Pengamatan hama pengganggu dilakukan dengan metode visual sensus dan wawancara langsung dengan nelayan. Pengamatan secara visual yaitu pengamatan untuk mengetahui jumlah hama pengganggu baik yang menempel langsung ke thallus rumput laut maupun yang berada di dasar perairan. Metode pengamatan yang digunakan adalah metode sensus yaitu dengan melakukan pengamatan langsung pada thallus rumput laut dan snorkling di sekitar area budidaya rumput laut. Untuk mengelilingi area tersebut dengan menggunakan sampan supaya memudahkan mengamati hama yang menempel

49 32 pada thallus rumput laut. Sedangkan untuk mengamati hama yang ada di dasar perairan dengan melakukan snorkling di permukaan air. Metode pengamatan sensus ini diawali dengan pemasangan garis transect dengan ukuran 50 m dengan menarik garis lurus ke depan dengan perkiraan jarak pandang pada waktu snorkling ke arah kanan 2,5 m dan ke arah kiri 2,5 m sehingga keseluruhan 5 m (English, et al, 1994). Luasan area budidaya rumput laut dalam satu stasiun pengamatan seluas m 2 (10 tali). Dalam pengamatan satu tali membutuhkan waktu 30 menit dan untuk 10 tali membutuhkan waktu 300 menit atau 5 jam/petak (stasiun) pengamatan. Selama pengamatan berlangsung dicatat apa yang diamati meliputi hama mikro seperti larva bulu babi (Tripneustes) dan larva teripang yang menempel pada thallus rumput laut. Sedangkan hama makro seperti ikan beronang (Siganus spp.), ikan kerapu (Epinephelus sp.), bintang laut (Protoneustes nodosus), dan penyu hijau (Chelonia midas) digunakan metode snorkling yaitu pengamatan secara visual di permukaan air sambil berenang lurus ke depan sampai sejauh 50 m. Untuk membantu penglihatan di dalam air maka digunakan masker dan alat bantu pernapasan. Untuk lokasi (stasiun) pengamatan yang kedalamannya > 5 m, maka digunakan metode wawancara dengan nelayan sebanyak 15 orang yang berpengalaman menyelam dan menangkap ikan di sekitar stasiun pengamatan yang telah ditetapkan pada waktu penelitian berlangsung. d. Produksi Untuk menghitung produksi rumput laut, maka dilakukan pengambilan sampel rumput laut yang dibudidayakan oleh nelayan. Budidaya rumput laut biasanya dilakukan dengan menggunakan tali. Ada 2 (dua) jenis tali untuk budidaya rumput laut yaitu tali induk dan tali ris. Tali induk adalah tali utama tempat tali ris diikatkan. Sedangkan tali ris adalah tali dimana rumput laut diikatkan. Lebar ke samping (tali induk atau tali untuk mengikatkan tali ris) 20 m, panjang tali ris (tali untuk mengikatkan rumput laut) 50 m, jarak antara tali ris (tali tempat rumput laut diikatkan) ± 2 m, dan jarak tanam antar rumpun ± 25 cm. Satu unit budidaya biasanya terdiri dari 10 (sepuluh) tali ris. Satu nelayan biasanya memiliki 5 10 unit budidaya dan lama pemeliharaan biasanya 40 42

50 33 hari. Satu unit budidaya akan menggunakan lahan seluas 1000 m 2 atau satu unit budidaya terdiri dari 2000 rumpun / 1000 m 2 (Gambar 6). Data yang diambil untuk menghitung produksi rumput laut diambil dengan cara ditimbang berat rumput laut saat awal budidaya dan pada saat panen. Pemeliharaan rumput laut dilakukan oleh nelayan (petani). Satu unit budidaya terdiri dari 10 tali ris. Jarak antara tali ris dengan tali ris yang lain ± 2 m. Jadi secara keseluruhan banyaknya ikatan rumput laut 200 rumpun/tali ris atau rumpun/1.000 m 2. Dalam satu stasiun, pengambilan sampel hanya diwakili oleh satu nelayan dan diambil 10 (sepuluh) tali ris dan dari masing-masing tali ris diambil untuk ditimbang secara keseluruhan. Untuk menghitung produksi rumput laut maka rumput laut tersebut terlebih dahulu ditimbang dalam keadaan basah sebelum dibudidayakan sebagai berat awal (B0). Berat awal (B0) adalah berat rumput laut sebelum dibudidayakan. Setelah ditimbang rumput laut tersebut diikatkan pada tali ris, dan tali ris (tali pemeliharaan) tersebut diikatkan pada tali induk.

51 34 Untuk menjaga kemungkinan kematian atau rusak pada rumput laut yang telah diikatkan sebagai sampel maka dipersiapkan 1 (satu) tali ris sebagai pengganti (yang sebelumnya juga sudah ditimbang) yang ditempatkan pada lokasi yang berdekatan. Hal ini dimaksudkan supaya memudahkan dalam pengukuran berat panen (B42). Sebelum ditimbang, rumput laut terlebih dahulu dicuci dengan menggunakan air laut supaya bersih dari kotoran dan biota penempel lainnya. Untuk mendapatkan nilai produksi/ha maka dilakukan perhitungan sebagai berikut : Berat panen total (Bt) / tali ris dibagi dengan luas panen budidaya atau dapat digambarkan sebagai berikut: Keterangan : Bp P =... (1) Lp P = Produksi total (kg/ha) Bp = Berat panen ( kg) Lb = Luas panen (ha) e. Kandungan karaginan Untuk mendapatkan data kandungan karaginan rumput laut, maka diambil sampel rumput laut pada umur 42 hari setelah tanam (HST). Pengambilan sampel untuk diuji kandungan karaginannya diambil secara acak di 10 tali. Masingmasing tali diambil 10 rumpun. Setelah sampel diambil, kemudian dicuci supaya bersih dari kotoran kemudian ditimbang dengan berat berkisar antara gram berat basah/rumpun dan dijemur selama 2-3 hari sampai kering. Penjemuran dilakukan di atas para-para dan selama penjemuran terus dijaga agar sampel uji tidak rusak atau kena hujan. Sampel uji yang telah dijemur dan telah kering dilakukan analisa kadar air di Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi. Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat Institut Pertanian Bogor. Perhitungan kadar air dengan rumus sebagai berikut : KehilanganBobot KadarAir (%) = x100%... (2) BobotSampel Penentuan kandungan karaginan dilakukan untuk setiap sampel dengan menggunakan metode Ainsworth dan Blanshard (1980). Selanjutnya penentuan

52 35 kandungan karaginan dapat diukur berdasarkan rumus sebagai berikut (Syaputra, 2005) : BeratKaraginan Karaginan (%) = x100%... (3) BeratSampel Pengumpulan Data Sekunder Data sekunder antara lain diperoleh dari hasil-hasil penelitian, literaturliteratur penunjang dan peta-peta yang berhubungan dengan lokasi penelitian Analisa Data Analisis Komponen Utama Analisis variasi spasial karakteristik kualitas perairan antara stasiun pengamatan digunakan suatu pendekatan analisis statistik multivariabel yaitu Analisis Komponen Utama (Principal Components Analysis) (Lagendre dan Lengendre, 1984; Foucart, 1985; Tabachnich dan Fidell, 1996). Analisis ini dimaksudkan untuk mendapatkan komponen utama dan bobot matrik kesesuaian lokasi budidaya rumput laut. Bobot matrik kesesuaian tersebut akan diperoleh dari besarnya korelasi dari beberapa parameter biofisik yang meliputi parameter fisika (kecerahan, suhu, kecepatan arus dan kedalaman); kimia (salinitas, ph, fosfat, nitrat, DO, COD dan Pb); biologi (hama pengganggu). Analisis PCA dalam penelitian ini menggunakan perangkat lunak (software) XL Statistica 4.4 dengan tahapan sebagai berikut : 1. Menetapkan variabel 2. Menyusun struktur data asal (kualitatif) ke dalam data kuantitatif 3. Menginput data kuantitatif ke dalam software XL Statistica Menentukan jumlah faktor utama berdasarkan nilai eigen values tertinggi 5. Menyederhanakan variabel berdasarkan kontribusi tertinggi dari masingmasing variabel terhadap faktor utama yaitu ( 0,90). 6. Menyimpulkan hasil analisis komponen utama Nilai bobot matrik kesesuaian lokasi pengembangan budidaya rumput diperoleh dengan mengambil hasil analisis dari parameter yang diamati misalnya suhu, DO, ph, COD, salinitas, arus, nitrat, fosfat, Pb, kecerahan, kedalaman,

53 36 hama, produksi biomas dan karaginan rumput laut. Hasil analisis dari masingmasing parameter biofisik dengan PCA (Prinsipil Component Analisis) tersebut akan diperoleh nilai parameter utama (Faktor utama ke-i) (kolom 3 Tabel 9). Untuk mendapatkan nilai prosentase (%) (kolom 4 Tabel 9) maka nilai parameter faktor utama ke-i (kolom 3 Tabel 9) dijumlahkan dan dibagi dengan nilai total parameter ke-i (Σ Faktor utama ke-i ) dan dikalikan 100% (Tabel 9) : Tabel 9. Matrik, Prosentase Faktor Utama Parameter Biofisik Usaha Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cottonii) Teluk Waworada Kabupaten Bima. Parameter Sumber Bobot Faktor utama ke-i Prosentase (%) DO 10 *** - - ph 10 **** - - Salinitas 10 ** - - Suhu 10 **** - - Nitrat 12 * - - Fosfat 12 * - - COD 10 *** - - Pb 10 ** - - Arus 10 ** - - Kecerahan 10 ** - - Kedalaman 15 ** - - Hama 5 ** - - Jumlah - Σ Faktor utama ke-i Sumber : * Aslan (1988), ** Radiarta et al. (2005), *** KLH (1988), **** Bakosurtanal (2005). Prosentase faktor utama ke-i secara kuantitatif menggunakan pendekatan sebagai berikut : FUi β i = x100%... (4) FUi Keterangan : ßi = Faktor pembobot (%) FUi = Faktor utama ke-i Σ FUi = Jumlah total faktor utama ke-i Analisis Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Rumput Laut Tahap awal dari analisis kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut meliputi penyusunan matrik kesesuaian yang merupakan dasar untuk analisa keruangan. Matrik ini disusun melalui studi pustaka sehingga sapat diketahui

54 37 parameter-parameter yang diperlukan untuk kegiatan budidaya rumput laut. Kriteria yang digunakan dalam penyusunan matrik untuk menentukan kelayakan lokasi budidaya rumput laut mengacu pada kriteria yang telah disusun oleh Aslan (1988); KLH (1988); Bakosurtanal (2005) dan Radiartha, et al. (2005) Tabel 10. Secara umum terdapat empat tahapan analisis yang akan dilakukan, yaitu (1) penyusunan peta kawasan, (2) penyusunan matrik kesesuaian, (3) pembobotan dan pengharkatan, dan (4) melakukan analisis spasial untuk kesesuaian budidaya rumput laut. 1. Penyusunan peta kawasan Penggunaan kawasan mengacu pada kenyataan bagaimana kawasan tersebut digunakan. Penentuan kategori penggunaan kawasan didasarkan pada jenis penggunaan yang dominan pada kawasan tersebut. Jenis-jenis kegiatan yang memiliki kesamaan karakteristik digolongkan ke dalam satu kategori dan dapat diperhitungkan sebagai satu jenis dalam dominannya. Penyusunan peta kawasan dilakukan dengan Sistem Informasi Geografi (GIS), yaitu dengan melakukan query terhadap data SIG dengan menggunakan prinsip-prinsip kawasan sehingga informasi spasialnya dapat diketahui : - Kawasan mana saja yang tersedia bagi kegiatan budidaya rumput laut, dan kawasan mana saja yang dijadikan sebgai kawasan lindung. - Hasil penyusunan peta kawasan yang sesuai dengan peruntukannya dapat saja berbeda dengan penggunaan kawasan pada saat sekarang. 2. Penyusunan matrik kesesuaian Matrik kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut berdasarkan hasil studi pustaka. Matrik ini sangat penting untuk disusun, mengingat dari matrik tersebut akan dapat diketahui data dari berbagai parameter dan cara analisisnya. Kategori kesesuaian pada matrik ini menggambarkan tingkat kesesuaian lokasi untuk pengembangan budidaya rumput laut. Dalam penelitian ini, kelas kesesuaian dibagi kedalam 3 (tiga) kategori yang didefinisikan sebagai berikut : Kategori (S1) : Sangat Sesuai (highly suitable). Daerah ini tidak mempunyai pembatas yang serius untuk menerapkan perlakuan yang diberikan atau hanya mempunyai pembatas yang tidak berarti atau tidak berpengaruh secara nyata

55 38 terhadap penggunaannya dan tidak akan menaikkan masukan tingkatan perlakuan yang diberikan. Kategori (S2) : Sesuai (suitable) Daerah ini mempunyai pembatas-pembatas yang agak serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang harus diterapkan. Pembatas ini akan meningkatkan masukan/tingkat perlakuan yang diperlukan. Kategori (N) : Tidak Sesuai (Not Suitable) Daerah ini mempunyai pembatas permanen sehingga mencegah segala kemungkinan perlakuan pada daerah tersebut. Matrik kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut yang digunakan adalah sebagai berikut (Tabel 10). Tabel 10. Matrik, bobot, dan skor untuk kesesuaian lokasi budidaya rumput laut. (seaweed culture). Parameter Bobot (ßi) Kriteria S1 (30) S2 (20) S3 (10) Skor Skor Skor klas klas ßi. xi Kriteria ßi. xi Kriteria klas (xi) (xi) (xi) ßi. xi Sumber Kecerahan - > < ** Arus < 0.20 & ** Kedalaman < 1 & > ** Hama - < > ** Salinitas < 28 & > ** Nitrat < 0.01 & > 1.0 * Pb > < > ** Suhu < 26 & > **** COD > *** DO - > < **** Fosfat < 0.01 & > 0.30 * ph < 7.5 & > 0.8 **** Total S1 Σßi xi S2 Σßi xi N Sumber : * Aslan (1988), ** Radiarta et al. (2005), *** KLH (1988), **** Bakosurtanal (2005) Σßi xi 3. Pembobotan dan pengharkatan Pembobotan pada setiap faktor pembatas/parameter ditentukan berdasarkan pada dominannya parameter tersebut terhadap suatu peruntukan.

56 39 Besarnya pembobotan ditunjukan pada suatu parameter untuk seluruh evaluasi lokasi. Nilai bobot (ßi) (kolom 2 Tabel 10) diperoleh dari hasil parameter utama pertumbuhan rumput laut hasil pengukuran di teluk Waworada Kabupaten Bima yang dianalisa dengan Analisa Komponen Utama (Principal Component Analysis). Untuk setiap parameter dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) kelas yaitu sangat sesuai (S1) diberi skor klas (30), sesuai (S2) diberi skor klas 20, dan tidak sesuai (N) diberi skor klas 10. Untuk menyimpulkan tingkat kesesuaian lokasi (stasiun) maka dilakukan penjumlahan nilai akhir seluruh parameter pada stasiun yang bersangkutan (Y = Σ Nilai Bobot x Skor). Untuk mendapatkan nilai selang kelas (X), maka nilai S1 ditambah S2 dibagi dua, nilai S2 ditambah N dibagi dua. Dengan demikian untuk kategori kesesuaian lokasi budidaya rumput laut berada pada kisaran sebagai berikut : Kategori Sangat Sesuai (S1) : Y > 2500 Kategori Sesuai (S2) : Y = Kategori Tidak sesuai (N) : Y < Analisis Spasial Analisis spasial dilakukan untuk kesesuaian lokasi budidaya rumput laut. Basis data dibentuk dari data spasial dan data atribut, kemudian dibuat dalam bentuk layers atau coverage dimana menghasilkan peta-peta tematik dalam format digital sesuai kebutuhan/parameter masing-masing jenis kesesuaian lokasi. Setelah basis data terbentuk, analisis spasial dilakukan dengan metode tumpang susun (overlay) terhadap parameter yang berbentuk polygon. Proses overlay dilakukan dengan cara menggabungkan (union) masing-masing layers untuk tiap jenis kesesuaian lokasi. Penilaian terhadap kelas kesesuaian dilakukan dengan melihat nilai Indeks Overlay dari masing-masing jenis kesesuaian lokasi tersebut. Pengolahan data SIG dilakukan dengan menggunakan ArcView GIS Version 3.3.

57 40 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Kondisi Lokasi Penelitian Kabupaten Bima sebagai bagian dari Propinsi Nusa Tenggara Barat yang terletak di ujung Timur Pulau Sumbawa secara geografis terletak pada posisi 118º44-119º10 Bujur Timur dan 08º08-08º57 Lintang Selatan, memiliki wilayah pesisir seluas 2.967,40 km² dari 4.596,9 km² luas wilayah Kabupaten Bima. Sedangkan panjang garis pantai Kabupaten Bima yaitu 711,76 km, dengan batasan wilayah sebelah Utara berbatasan dengan laut Flores, sebelah Selatan berbatasan dengan laut Indonesia, sebelah Timur berbatasan dengan selat Sape dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Dompu. Menurut Sumiono, et al. (1991), bahwa teluk Waworada terletak di pantai selatan Pulau Sumbawa dan secara geografis terletak pada posisi LS dan BT. Keadaan perairannya relatif tenang sepanjang tahun karena terlindung dari pengaruh Samudra Indonesia. Berdasarkan perhitungan dari peta laut, luas perairan sampai kedalaman 60 m sekitar 201 km², dasar perairannya relatif rata, banyak mengandung lumpur atau lumpur campur pasir karena pengaruh muara-muara sungai di sekitarnya. Beberapa ekosistem sumberdaya pesisir yang ada di teluk Waworada adalah hutan mangrove, terumbu karang dan padang lamun. Luas hutan mangrove diperkirakan ± 194,5 Ha dengan luas 106,5 Ha kondisi baik dan 88 Ha kondisi rusak, dan jenis yang banyak di sekitar teluk Waworada ini adalah Sonneratia sp., dan Rhizopora sp. (Anonymous, 2003). Selanjutnya kondisi terumbu karang dan padang lamun, dengan luas terumbu karang ± 1.119,8 Ha, yaitu ± 626,8 Ha rusak parah dan ± 392 Ha rusak sedang dan 101 tidak ada keterangan. Sedangkan padang lamun di teluk Waworada seluas ± 121,9 Ha. Jenis yang dominan adalah Halophila spinulosa dan Thalassodendron ciliatum (Anonymous, 2003). Menurut Ismail, et al. (2003) bahwa luas areal padang lamun di teluk Bima 2 ha dengan species dominan Enhallus acoroides, teluk Saleh Dompu 10 ha dengan species dominan yang sama (kepadatan < 20 m 2 ), dan teluk Sepi Lombok luasnya 1,6 Ha dengan species dominan yang sama pula (kepadatan 32 m 2 ).

58 41 Batimetri Lokasi penelitian terdiri dari 2 (dua) wilayah perairan utama yaitu Laut Flores di bagian utara dan Samudra Hindia di bagian selatan. Kedua perairan tersebut dihubungkan satu sama lain oleh Selat Sape (antara Pulau Sumbawa dan Pulau Sumba). Selat Sape mempunyai kedalaman air yang menurun dari m di bagian selatan menjadi kurang dari 300 m di bagian barat laut, yaitu di lokasi ambang Pulau Gili Banta. Menurut Bakosurtanal dan Dishidros (1992), bahwa kedalaman perairan teluk Waworada berkisar antara 1 69 m. Sedangkan DEM (2008) melaporkan bahwa kedalaman wilayah pesisir teluk Waworada berkisar antara 1 8 m. Pasang Surut Pasang surut di wilayah penelitian antara 1 1,5 m (Anonymous, 2003). Pasang surut di Selat Sape mempunyai karakteristik yang unik akibat dipengaruhi oleh dua rambatan gelombang pasang surut yang berasal dari Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Kondisi pasang surut perairan Bima pada bulan Maret April, 2002 dan 2003 berkisar antara 1 16 dm (Dinas Dehidros Jakarta, 2002; 2003). Kondisi pasang surut perairan Bima pada bulan Maret April 2003 terlihat pada (Gambar 7a, 7b dan 7c) berikut : a b Pasang Surut (1 Maret 2003) Pasang Surut (1 April 2003) Tinggi Air (dm ) Series1 T i n g g i A i r (d m ) Series1 Waktu (Jam) Waktu (Jam) Gambar : 7a.b. Kondisi Pasang Surut Perairan Bima (01Maret dan 01 April 2003)

59 42 Pasang Surut (Maret - April 2003) Tinggi Air (Water high) (dm) Waktu (Bulan) Series1 Gambar : 7c. Kondisi Pasang Surut Perairan Bima pada Bulan Maret April 2003 Parameter Ekologi Manurung dan Simbolon (1997) melaporkan bahwa suhu permukaan laut selama 3 tahun di perairan Selatan Jawa Sumbawa (NTB) berkisar antara ºC pada musim barat (Desember Pebruari), ºC pada musim pancaroba I (Maret April), ºC pada musim tenggara (Mei September), dan ºC pada musim pancaroba II (Oktober Nopember). Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor dan Enesar (PKSPL dan Enesar, 2007) melaporkan bahwa suhu permukaan air laut selatan Sumbawa selama 2 tahun (Januari 2005 Desember 2006) berkisar antara C (Gambar, 8). Menurut Radiarta, et al. (2003), suhu air di teluk ekas Lombok berkisar antara ºC. Menurut Martono (2002; Halid, et al. 2002), suhu permukaan laut di selatan pulau Bali dan Lombok berkisar antara ºC pada bulan Juli September (Musim Timur), dan ºC pada bulan Desember Pebruari (Musim Barat). Menurut Kep.Men KLH/2/KLH/88 bahwa suhu berkisar 28-33ºC masih cukup layak untuk pertumbuhan biota laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor dan Enesar (2007), melaporkan bahwa ph air laut selatan Sumbawa selama 2 tahun (Januari 2005 Desember 2006) berkisar antara 6 8,3 (Gambar 9); Menurut Kep-Men.KLH/2/KLH/1988, nilai ph pada kisaran 6,5 8,5 masih cukup layak

60 43 bagi kehidupan rumput laut dan biota lainnya. DO berkisar antara 5,4 6.0 mg/l (Gambar, 10); dan Pb berkisar antara mg/l (Gambar, 11). Palupi (1994), melaporkan bahwa standar timbal (Pb) dalam air yang direkomendasikan 0,10 mg/liter, dan air laut 0,03 mg/liter. Suhu Permukaan Laut Selatan Sumbawa Suhu (derajat celsius) Jan.05 Mar.05 Mei.05 Jul.05 Sep.05 Nop.05 Jan.06 Mar.06 Mei 06 Jul.06 Sep.06 Nop.06 Bulan/Tahun ( ) Gambar : 8 Suhu Permukaan Laut Selatan Sumbawa Sumber : PKSPL dan Enesar, 2007). Sebaran ph Laut Selatan Sumbawa ph Jan.05 Mar.05 Mei.05 Jul.05 Sep.05 Nop.05 Jan.06 Mar.06 Mei.06 Jul.06 Sep.06 Nop.06 Bulan/Tahun ( ) Gambar 9. Sebaran ph Laut Selatan Sumbawa Sumber : PKSPL dan Enesar, 2007

61 44 Kelarutan Oksigen (DO) Laut Selatan Sum baw a DO (mg/l) Jan.05 Apr.05 Jul.05 Okt.05 Jan.06 Apr.06 Jul.06 Okt.06 Bulan/Tahun ( ) Gambar 10. Kelarutan Oksigen (DO) Laut Selatan Sumbawa Sumber : PKSPL dan Enesar, 2007 Kosentrasi Timbal (Pb) Laut Selatan Sumbawa Pb (mg/l) Jan.05 Apr.05 Jul.05 Okt.05 Jan.06 Apr.06 Jul.06 Okt.06 Bulan/Tahun ( ) Gambar 11. Kosentrasi Timbal (Pb) Selatan Sumbawa Sumber : PKSPL dan Enesar, 2007 Menurut Radiarta, et al. (2003), salinitas di teluk ekas Lombok berkisar ppt. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor dan Enesar (PKSPL dan Enesar, 2007), melaporkan bahwa salinitas air laut selatan Sumbawa selama 2 tahun (Januari 2005 Desember 2006) berkisar antara ppt (Gambar, 12). Menurut (Guanzon dan De Castro, 1992; De Castro dan Guanzon, 1993), bahwa rumput laut dapat mentolerir salinitas antara 25,5 34,5 ppt.

62 45 Salinitas Permukaan Air Laut Selatan Sumbawa Salinitas (ppt) Jan.05 Mar.05 Mei.05 Jul.05 Sep.05 Nop.05 Jan.06 Mar.06 Mei 06 Jul.06 Sep.06 Nop.06 Bulan/Tahun ( ) Gambar 12. Salinitas Permukaan Air Laut Selatan Sumbawa Sumber : PKSPL dan Enesar, 2007 Pergerakan arus permukaan (Maret April) dari perairan laut Flores menuju Samudra Hindia melalui Selat Lombok dan Selat Sumbawa dengan kecepatan yang berbeda-beda yaitu berkisar antara 37,4 41,4 cm/detik yang mengarah ke arah barat. Sedangkan pada musim barat (Desember Pebruari), arus bergerak dari arah barat (Selat Karimata) melalui laut Jawa dan masuk di bagian selatan Selat Makasar di bagian utara dan arus bergerak mengarah ke selatan (Atmadipoera, 1990). Di laut Flores kecepatan arus pada bulan Pebruari lebih tinggi dibandingkan pada bulan Agustus dan pola arusnya menuju ke timur dan pada bulan Agustus berbalik arah dari timur menuju ke barat di Samudra Hindia dengan kecepatan 0,9393 m/detik (Harimi, et al. 2004). Menurut Utojo, et al. (2004), bahwa kecepatan arus di teluk saleh Dompu (NTB) berkisar antara 3,2 23,8 cm/detik. Selanjutnya Ismail, et al. (1996) melaporkan bahwa di teluk sepi (Lombok) kecepatan arus 13,9 cm/detik. Sedangkan di teluk saleh (Dompu-NTB) kecepatan arus 10,9 17,9 cm/detik. Hasil pengamatan (Pra Penelitian, 2006) bahwa teluk Waworada sangat terlindung dari ombak karena di mulut teluk terdapat lekukan-lekukan dan di dalamnya terdapat pulau-pulau kecil yang sangat berpotensi menahan ombak dan pergerakan arus deras dan suhu berkisar antara 28-31ºC, kecepatan arus berkisar antara 0,12 0,32 cm/dtk dan salinitas berkisar antara ppt.

63 46 Pada umunya Propinsi Nusa Tenggara Barat beriklim tropis, dimana musim timur terjadi dari bulan Oktober Maret bertepatan dengan musim hujan dan kondisi angin tertiup dari arah timur ke arah barat yang umumnya berkekuatan kecil sampai sedang. Sedangkan musim barat terjadi pada bulan April September bertepatan dengan musim kemarau dan kondisi angin tertiup dari arah barat ke timur yang umumnya berkekuatan besar. Kondisi angin tersebut sangat berpengaruh terhadap pergerakan ombak, arus (Utojo, et al. 2004). Dengan memperhatikan gambaran umum tentang kondisi biofisik Kabupaten Bima dan wilayah perairan sekitarnya maka dapat disimpulkan bahwa teluk Waworada sangat terlindung dari ombak besar dan arus yang deras sehingga sangat besar potensinya untuk pengembangan budidaya laut khususnya rumput laut. Dari gambaran data tersebut di atas, secara teknis kondisi biofisik teluk Waworada pada musim barat maupun musim timur relatif stabil, sehingga rencana zonasi untuk pengembangan budidaya rumput laut di teluk tersebut dapat dilakukan. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan para nelayan dan kondisi ril di lapangan bahwa budidaya rumput laut di teluk Waworada Kabupaten Bima dilakukan secara terus-menerus di kedua musim baik musim hujan maupun panas (Pra Penelitian, 2006) Pemanfaatan Teluk Waworada Pada Saat Sekarang Kawasan teluk Waworada merupakan salah satu kawasan sentra produksi perikanan yang potensial di Kabupaten Bima, meliputi tambak udang, kerang mutiara dan KJA. Pada tambak TIR TRANS sebelumnya pernah diusahakan dengan komoditi utama udang windu yang perkembangannya mengalami pasang surut karena tersandung oleh berbagai masalah baik teknis, sosial dan manajemen pengelolaannya sehingga sejak tahun 2000 sampai sekarang usaha tersebut mengalami kefakuman. Untuk mengantisipasi hal tersebut di atas dan sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah daerah terhadap kesejahteraan masyarakat pesisir di kawasan teluk Waworada maka pada tahun 2001 pemerintah daerah bekerja sama dengan Dinas Perikanan Propinsi NTB memperkenalkan sekaligus demplot budidaya rumput laut dengan sistem long line. Usaha pemerintah tersebut tidak sia-sia,

64 47 bahkan berdampak pada pengembangan budidaya rumput laut yang cukup pesat (Gambar 13) Gambar 13. Peta Area Pemanfaatan Budidaya Rumput Laut Teluk Waworada Mengingat usaha budidaya rumput laut mudah dilakukan, biayanya murah dengan pangsa pasar cukup menjanjikan, maka usaha tersebut terus berlanjut bahkan usaha budidaya rumput laut dijadikan sumber pendapatan utama selain usaha penangkapan ikan. Dampak dari semua kegiatan tersebut adalah terjadinya pemanfaatannya yang melebihi daya dukung (Carryng capacity) di teluk Waworada Kabupaten Bima. Menurut perhitungan dengan menggunakan GIS, luasan usaha budidaya rumput laut ± Ha (45,16 %) meliputi ujung barat menyisir bagian utara, bagian selatan sampai ke mulut teluk Waworada yang letaknya tidak teratur, tertumpu pada beberapa tempat bahkan ditempat yang tidak sesuaipun dimanfaatkan. Untuk mengantisipasi adanya efek negatif dan menciptakan usaha budidaya rumput laut yang berkelanjutan maka perlu dilakukan zonasi.

65 48 Penyusunan zonasi ini dimaksudkan untuk menciptakan keharmonisan spasial, yaitu bahwa dalam suatu pesisir dan lautan hendaknya tidak seluruhnya diperuntukan bagi kawasan pembangunan, namun juga menyediakan lahan bagi zona preservasi dan konservasi. Berdasarkan Pola Dasar Pembangunan Daerah Kabupaten Bima Tahun , Pemerintah setempat telah menetapkan beberapa kebijakan strategis yang perlu dikembangkan, antara lain penataan ruang wilayah, peningkatan sumberdaya manusia, peningkatan sarana dan prasarana pendukung pengembangan wilayah, pengelolaan sumberdaya alam, dan lingkungan serta peningkatan peran kelembagaan. Kebijakan strategis ini diambil berdasarkan pertimbangan bahwa perlu adanya penyediaan infrastruktur yang memadai untuk mendukung pemekaran wilayah. Selanjutnya berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi NTB Tahun bahwa teluk Waworada ditetapkan sebagai tempat pengembangan perikanan baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya, area konservasi serta jalur pelayaran. Berdasarkan RTRW Propinsi NTB tersebut maka perlu adanya pengaturan pemanfaatan (Bappeda Propinsi NTB, 2006). Khusus untuk masalah pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, hal tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam Strategi Bidang Pembangunan yang meliputi Bidang Ekonomi Khususnya Sub Bidang Perikanan dan Kelautan serta Bidang Pembangunan Daerah khususnya Sub Bidang Penataan Ruang. Arahan yang diambil adalah pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan secara optimal, terpadu dan berkelanjutan demi peningkatan kesejahteraan masyarakat, pengendalian kerusakan lingkungan akibat berbagai pemanfaatan, penataan kawasan lingkungan menurut proporsinya dan penerapan teknologi yang ramah lingkungan. Berdasarkan uraian di atas maka hal penting yang merupakan kebutuhan esensial adalah adanya suatu rencana tata ruang wilayah yang baik termasuk di wilayah pesisir, kebijakan yang dilakukan harus transparan, berkeadilan dan akomodatif terhadap kepentingan berbagai lapisan masyarakat dimana memerlukan keterlibatan berbagai stakeholders dalam perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang. Untuk itu diperlukan suatu konsep perencanaan dalam

66 49 pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir bagi daerah-daerah potensial seperti di teluk Waworada Kabupaten Bima yang diawali dengan membangun kesepakatan ilmiah tentang alokasi ruang yang ada. Dalam pelaksanaan zonasi perairan teluk Waworada, dibutuhkan data baik data primer maupun data sekunder. Data primer dapat diambil secara langsung di lapangan, sedangkan data sekunder diperoleh dari hasil penelitian terdahulu. Namun karena keterbatasan data, maka digunakan data hasil penelitian terdahulu yang berlokasi di sekitar perairan teluk Waworada. Data tersebut sangat bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dalam zonasi teluk Waworada Kabupaten Bima.

67 50 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisa Komponen Utama Pertumbuhan Rumput Laut Sebelum dilakukan analisa kesesuaian lokasi untuk pengembangan budidaya rumput laut maka terlebih dahulu dilakukan Analisis Komponen Utama (PCA) untuk mendapatkan bobot matrik kesesuaian. Hasil Analisis Komponen Utama pada beberapa parameter biofisik teluk Waworada meliputi DO, ph, Salinitas, Suhu, Nitrat, Fosfat, COD, Pb, Arus, Kecerahan, Kedalaman, Hama, Produksi biomas dan Karaginan memperlihatkan bahwa korelasi antara variabel terpusat pada dua sumbu utama dengan akar ciri komponen utamanya masingmasing 8.70 dan 2.36, yang memberikan kontribusi sebesar 62 persen, dan 17 persen dengan ragam totalnya 79 persen (Gambar 14; Tabel 11). Hal ini berarti bahwa 79 persen data hasil analisis dapat dijelaskan hingga sumbu utama kedua (Tabel 12). Distribusi stasiun pengamatan terhadap sumbu utama sangat ditentukan oleh parameter kualitas perairan. Variabel hama pengganggu, COD, dan ph yang memberikan kontribusi pembentukan sumbu pertama (F1) merupakan penciri stasiun pertama (St1) yang ditandai oleh tingginya hama pengganggu, COD, dan ph. Stasiun dua (St2) dicirikan oleh tingginya Pb. Stasiun tiga (St3) dicirikan oleh tingginya fosfat. Stasiun empat (St4) dicirikan oleh tingginya DO, dan Stasiun (St5) dicirikan oleh tingginya nitrat, produksi biomas, karaginan, kedalaman, kecerahan, dan arus yang juga memberikan kontribusi pembentukan sumbu pertama (F1) (Gambar 14).

68 51 Biplot on axes 1 and 2 (79% ) I V -- axe 2 (17%) --> ph COD Suhu Nitrat Kedalama Hama Karaginan Arus Keceraha Produksi n Pb Salinitasn Fosfat DO III II IV axe 1 (62% ) --> Gambar 14. Distribusi parameter fisika, kimia dan biologi pada stasiun pengamatan sumbu 1 dan 2 Tabel 11. Akar Ciri dan Representasi Ragam Parameter Fisika, Kimia dan Biologi Perairan Teluk Waworada pada Sumbu Utama. Eigenvaluae % Total Cumulative Cumulative Sumber : Data Primer diolah Tahun 2007 Tabel 12. Kontribusi variable Terhadap Sumbu Utama Parameter Fisika, Kimia dan Biologi Perairan Teluk Waworada Kabupaten Bima Variabel Faktor Utama ke-i Faktor Kedua ke-i DO PH Salinitas Suhu Nitrat Fosfat COD Pb Arus Kecerahan Kedalaman Hama Produksi Biomas Karaginan Sumber : Data Primer diolah Tahun 2007

69 52 Dari Tabel 11 terlihat bahwa korelasi antara variabel terpusat pada dua sumbu utama. Mengingat nilai kontribusi faktor utama ke-i sebesar 62 persen (kolom 2 Tabel 12) maka faktor utama yang dijadikan bobot matrik kesesuaian lokasi budidaya rumput laut cukup faktor utama ke-i (kolom 2 Tabel 13). Tabel 13. Kontribusi Faktor Utama Parameter Fisika dan Kimia terhadap Produksi dan Karaginan Rumput Laut. Parameter Faktor Utama Salinitas Arus Kecerahan Kedalaman Hama Produksi Biomas Karaginan Sumber : Hasil Penelitian diolah Tahun 2007 Dari tampilan Tabel 13 terlihat bahwa salinitas, arus, kecerahan dan kedalaman berkorelasi positif dengan produksi dan karaginan rumput laut. Sedangkan hama berkorelasi negatif dengan produksi dan karaginan rumput laut. Hal ini berarti bahwa tingginya produksi biomas rumput laut dipengaruhi oleh tingginya salinitas, arus, kecerahan dan kedalaman perairan. Tingginya salinitas sebesar (0.96%), arus (0.94%), kecerahan (0.95%), kedalaman (0.94%) dan berkurangnya hama sebesar (-0.96%) maka dapat meningkatkan produksi sebesar (0.99%). Namun tingginya salinitas, arus, kecerahan dan kedalaman tentu ada batas optimalnya. Batasan tesebut telah ditentukan berdasarkan matrik (Kolom 3; 6; 9 Tabel 15). Selanjutnya nilai kontribusi parameter utama yang diambil untuk dijadikan bobot adalah nilai kontribusi yang nilainya sebesar (ά 0,90). Nilai kontribusi parameter utama tersebut meliputi salinitas, arus, kecerahan, kedalaman, dan hama (Tabel 14). Dari tampilan Tabel 14 di bawah ini terlihat bahwa salinitas merupakan parameter yang paling tinggi nilai bobotnya yaitu sebesar 20.21%, kemudian disusul oleh hama (20.14%), kecerahan (19.94%), kedalaman (19.87%), dan arus (19.83%). Nilai prosentase (%) faktor utama tersebut di atas (Tabel 10) dapat dijadikan bobot untuk matrik kesesuaian lokasi budidaya rumput laut (Tabel 15) :

70 53 Tabel 14. Kontribusi dan Prosentase Faktor Utama Perairan Teluk Waworada Kabupaten Bima Hasil Analisa Komponen Utama (PCA). Parameter Faktor Utama ke-i Prosentase (%) Salinitas Arus Kecerahan Kedalaman Hama Jumlah Sumber : Hasil Penelitian diolah Tahun 2007 Matrik kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut hasil penelitian ini (Tabel 15), besarnya bobot yang diberikan masing-masing parameter berbeda, karena pembobotan dilakukan berdasarkan besarnya kontribusi yang diberikan oleh masing-masing parameter meliputi salinitas (20.21%), hama (20.14%), kecerahan (19.94%), kedalaman (19.87%) dan arus (19.83%). Tabel 15. Matrik, bobot, dan skor untuk kesesuaian lokasi budidaya rumput laut. (seaweed culture) di Teluk Waworada S1 S2 S3 Parameter Bobot (ßi) Kriteria Skor klas (xi) ßi x xi Kriteria Skor klas (xi) ßi x xi Kriteria Skor klas (xi) ßi x xi Salinitas < 28 & > 34 Hama < > Kecerahan > < Kedalaman < 1 & > 15 Arus < & 0.40 Total S S N Sumber : Data Hasil Penelitian diolah Tahun Analisa Kesesuaian Lokasi Budidaya Rumput Laut Pada awalnya penelitian ini menghasilkan rumusan untuk kesesuaian lokasi untuk pengembangan budidaya rumput laut (Tabel 15). Analisis ini dimaksudkan untuk menilai kesesuaian lokasi untuk pengembangan budidaya rumput laut. Analisis didasarkan atas faktor pembatas ditinjau dari aspek biofisik. Setelah itu melalui matrik ini dapat diasumsikan bahwa perairan teluk Waworada merupakan areal yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya rumput laut.

71 54 Berdasarkan analisis spasial dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan cara tumpang susun (overlay) diperoleh hasil analisis kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut. Parameter yang digunakan dalam menganalisis kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut meliputi 4 (empat) parameter (Tabel 15) meliputi yaitu salinitas dengan bobot (20.21%), hama pengganggu (20.14%), kecerahan (19.94%), kedalaman (19.87%), dan kecepatan arus (19.83%). Hasil overlay dengan menggunakan software Arc View GIS 3,3 dari beberapa peta tematik meliputi salinitas, hama, kecerahan, kedalaman dan arus (Gambar 15; 16; 17; 18; 19), sehingga diperoleh luas wilayah perairan teluk Waworada berdasarkan kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut, yaitu dari total luas sebesar ,24 ha, maka ha (0.06%) digolongkan sangat sesuai, ,94 ha (95,79%) dikategorikan sesuai, dan ha (3,97%) dikategorikan tidak sesuai (Gambar 21). Gambar 15. Peta Tematik Salinitas Teluk Waworada Kabupaten Bima

72 55 Gambar 16. Peta Tematik Hama Pengganggu Teluk Waworada Kabupaten Bima Gambar : 17. Peta Tematik Kecerahan Teluk Waworada Kabupaten Bima

73 56 Gambar 18. Peta Tematik Kedalaman Teluk Waworada Kabupaten Bima Gambar 19. Peta Tematik Kecepatan Arus Teluk Waworada Kabupaten Bima

74 57 Gambar 20. Arah Arus Perairan Teluk Waworada Kabupaten Bima (Waktu Pasang Bulan Maret 2007). Gambar 21. Peta Kesesuaian Lahan Budidaya Rumput Laut Perairan Teluk Waworada Kabupaten Bima

ANALISA RUANG EKOLOGI UNTUK PENGELOMPOKAN ZONA PENGEMBANGAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT (Eucheuma cottonii) DI TELUK WAWORADA KABUPATEN BIMA

ANALISA RUANG EKOLOGI UNTUK PENGELOMPOKAN ZONA PENGEMBANGAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT (Eucheuma cottonii) DI TELUK WAWORADA KABUPATEN BIMA ANALISA RUANG EKOLOGI UNTUK PENGELOMPOKAN ZONA PENGEMBANGAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT (Eucheuma cottonii) DI TELUK WAWORADA KABUPATEN BIMA MUHAMMAD SIRAJUDDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR B

Lebih terperinci

ANALISA RUANG EKOLOGI UNTUK PENGELOMPOKAN ZONA PENGEMBANGAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT (Eucheuma cottonii) DI TELUK WAWORADA KABUPATEN BIMA

ANALISA RUANG EKOLOGI UNTUK PENGELOMPOKAN ZONA PENGEMBANGAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT (Eucheuma cottonii) DI TELUK WAWORADA KABUPATEN BIMA ANALISA RUANG EKOLOGI UNTUK PENGELOMPOKAN ZONA PENGEMBANGAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT (Eucheuma cottonii) DI TELUK WAWORADA KABUPATEN BIMA MUHAMMAD SIRAJUDDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR B

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia sebagai negara kepulauan dengan jumlah pulau 17.480 buah dan panjang garis pantai mencapai 95.181 km (Idris, et al. 2007) mempunyai potensi yang besar untuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi dan Ekologi Rumput Laut ,

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi dan Ekologi Rumput Laut  , 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi dan Ekologi Rumput Laut Rumput laut merupakan nama komoditi dalam perdagangan nasional untuk jenis alga dan bukan terjemahan dari seagrass atau nama lokalnya padang

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Fisika Kimia Perairan Lokasi budidaya rumput laut diketahui memiliki dasar perairan berupa substrat pasir dengan serpihan karang mati. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN LOKASI UNTUK BUDIDAYA RUMPUT LAUT DI KABUPATEN SUMBAWA BARAT HELMY AKBAR

ANALISIS KESESUAIAN LOKASI UNTUK BUDIDAYA RUMPUT LAUT DI KABUPATEN SUMBAWA BARAT HELMY AKBAR ANALISIS KESESUAIAN LOKASI UNTUK BUDIDAYA RUMPUT LAUT DI KABUPATEN SUMBAWA BARAT HELMY AKBAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 40 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Kondisi Lokasi Penelitian Kabupaten Bima sebagai bagian dari Propinsi Nusa Tenggara Barat yang terletak di ujung Timur Pulau Sumbawa secara geografis terletak

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN 25 III. METODOLOGI PENELITIAN.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Teluk Waworada Kabupaten Bima Nusa Tenggara Barat. Pengambilan data dilakukan di perairan teluk Waworada, dengan

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan biodegradable) menjadi CO 2 dan H 2 O. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang digunakan untuk mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut ini berada di Teluk Cikunyinyi, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 45 hari dengan menggunakan 4 perlakuan yakni perlakuan A (Perlakuan dengan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 45 hari dengan menggunakan 4 perlakuan yakni perlakuan A (Perlakuan dengan 4.1. Laju Pertumbuhan Mutlak BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Laju pertumbuhan mutlak Alga K. alvarezii dengan pemeliharaan selama 45 hari dengan menggunakan 4 perlakuan yakni perlakuan A (Perlakuan dengan

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Penyajian grafik dilakukan berdasarkan variabel konsentrasi terhadap kedalaman dan disajikan untuk

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii PADA KEDALAMAN PENANAMAN YANG BERBEDA

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii PADA KEDALAMAN PENANAMAN YANG BERBEDA Media Litbang Sulteng III (1) : 21 26, Mei 2010 ISSN : 1979-5971 PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii PADA KEDALAMAN PENANAMAN YANG BERBEDA Oleh : Novalina Serdiati, Irawati Mei Widiastuti

Lebih terperinci

3 METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Materi Uji

3 METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Materi Uji 13 3 METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitiaan telah dilaksanakan di perairan Teluk Gerupuk, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat (Gambar 2). Jangka waktu pelaksanaan penelitian terdiri

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP

Lebih terperinci

TUGAS LINGKUNGAN BISNIS KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS BUDIDAYA RUMPUT LAUT

TUGAS LINGKUNGAN BISNIS KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS BUDIDAYA RUMPUT LAUT TUGAS LINGKUNGAN BISNIS KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS BUDIDAYA RUMPUT LAUT DISUSUN OLEH : NAMA : ANANG SETYA WIBOWO NIM : 11.01.2938 KELAS : D3 TI-02 STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2012/2013 TEKNOLOGI BUDIDAYA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu sumberdaya hayati laut Indonesia yang cukup potensial adalah

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu sumberdaya hayati laut Indonesia yang cukup potensial adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sumberdaya hayati laut Indonesia yang cukup potensial adalah rumput laut atau yang dikenal dengan sebutan ganggang laut atau alga laut. Beberapa diantaranya

Lebih terperinci

MANAJEMEN KUALITAS AIR

MANAJEMEN KUALITAS AIR MANAJEMEN KUALITAS AIR Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kali di terjemahkan seaweed bukan sea grass yang sering di sebut dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA. kali di terjemahkan seaweed bukan sea grass yang sering di sebut dengan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Rumput laut Rumput laut atau seaweed merupakan nama dalam perdagangan nasional untuk jenis alga yang banyak di panen di laut. Rumput laut atau alga yang sering kali di terjemahkan

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI 2 STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Suhu Tinggi rendahnya suhu suatu badan perairan sangat mempengaruhi kehidupan plankton. Semakin tinggi suhu meningkatkan kebutuhan

Lebih terperinci

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA BY: Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya, karena hasil

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Pulau Biawak merupakan suatu daerah yang memiliki ciri topografi berupa daerah dataran yang luas yang sekitar perairannya di kelilingi oleh

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Amonia Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter amonia yang disajikan dalam bentuk grafik. Dari grafik dapat diketahui

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 21 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari tanggal 31 Oktober 2011 sampai 18 Desember 2011 selama 42 hari masa pemeliharaan di Tambak Balai Layanan Usaha Produksi

Lebih terperinci

Oleh : ONNY C

Oleh : ONNY C JENIS, KELIMPAHAN DAN PATOGENISITAS BAKTERI PADA THALLUS RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii YANG TERSERANG ICE-ICE DI PERAIRAN PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA Oleh : ONNY C14103066 SKRIPSI Sebagai

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

KAJIAN FAKTOR LINGKUNGAN HABITAT KERANG MUTIARA (STADIA SPAT ) DI PULAU LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT

KAJIAN FAKTOR LINGKUNGAN HABITAT KERANG MUTIARA (STADIA SPAT ) DI PULAU LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT KAJIAN FAKTOR LINGKUNGAN HABITAT KERANG MUTIARA (STADIA SPAT ) DI PULAU LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT Oleh : H. M. Eric Harramain Y C64102053 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan titik kritis pengenceran limbah dan kondisi mulai mampu beradaptasi hidup pada limbah cair tahu. Limbah

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

Pemanfaatan jenis sumberdaya hayati pesisir dan laut seperti rumput laut dan lain-lain telah lama dilakukan oleh masyarakat nelayan Kecamatan Kupang

Pemanfaatan jenis sumberdaya hayati pesisir dan laut seperti rumput laut dan lain-lain telah lama dilakukan oleh masyarakat nelayan Kecamatan Kupang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Kupang adalah salah satu kabupaten dengan ekosistem kepulauan. Wilayah ini terdiri dari 27 pulau dimana diantaranya masih terdapat 8 pulau yang belum memiliki

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Budidaya laut (marinecultur) merupakan bagian dari sektor kelautan dan perikanan yang mempunyai kontribusi penting dalam memenuhi target produksi perikanan. Walaupun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. internasional. Menurut Aslan (1991), ciri-ciri umum genus Eucheuma yaitu : bentuk

I. PENDAHULUAN. internasional. Menurut Aslan (1991), ciri-ciri umum genus Eucheuma yaitu : bentuk I. PENDAHULUAN Eucheuma cottonii merupakan salah satunya jenis rumput laut merah (Rhodophyceae) yang mempunyai nilai ekonomi tinggi karena mengandung karaginan yang berupa fraksi Kappa-karaginan. Rumput

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Seaweed dalam dunia perdagangan dikenal sebagai rumput laut, namun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Seaweed dalam dunia perdagangan dikenal sebagai rumput laut, namun BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut Seaweed dalam dunia perdagangan dikenal sebagai rumput laut, namun sebenarnya dalam dunia ilmu pengetahuan diartikan sebagai alga (ganggang) yang berasal dari bahasa

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Mikroalga Laut Scenedesmus sp. Hasil pengamatan pengaruh kelimpahan sel Scenedesmus sp. terhadap limbah industri dengan dua pelakuan yang berbeda yaitu menggunakan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan kesejahteraan hidup rakyat melalui pembangunan di bidang industri, nampak memberikan dampak terhadap perubahan lingkungan perairan pesisir dan laut karena

Lebih terperinci

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Sam Ratulangi. Jl. Kampus Unsrat Bahu, Manado 95115, Sulawesi Utara, Indonesia.

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Sam Ratulangi. Jl. Kampus Unsrat Bahu, Manado 95115, Sulawesi Utara, Indonesia. Aquatic Science & Management, Edisi Khusus 2, 31-35 (Oktober 2014) Pascasarjana, Universitas Sam Ratulangi http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jasm/index ISSN 2337-4403 e-issn 2337-5000 jasm-pn00066

Lebih terperinci

INFORMASI AWAL TENTANG KUALITAS BIOFISIK PERAIRAN TELUK WAWORADA UNTUK BUDIDAYA RUMPUT LAUT (Eucheuma cottonii)

INFORMASI AWAL TENTANG KUALITAS BIOFISIK PERAIRAN TELUK WAWORADA UNTUK BUDIDAYA RUMPUT LAUT (Eucheuma cottonii) Jurnal Akuakultur Indonesia, 8(1): 1-10 (2009) Available : http://journal.ipb.ac.id/index.php/jai http://jurnalakuakulturindonesia.ipb.ac.id 1 INFORMASI AWAL TENTANG KUALITAS BIOFISIK PERAIRAN TELUK WAWORADA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke perairan yang menyebabkan pencemaran. Limbah tersebut

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. berkembang pada substrat dasar yang kuat (Andi dan Sulaeman, 2007). Rumput laut

1. PENDAHULUAN. berkembang pada substrat dasar yang kuat (Andi dan Sulaeman, 2007). Rumput laut 1 1. PENDAHULUAN Rumput laut atau yang biasa disebut seaweed tidak memiliki akar, batang dan daun sejati. Sargassum talusnya berwarna coklat, berukuran besar, tumbuh dan berkembang pada substrat dasar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi penelitian tingkat kesesuaian lahan dilakukan di Teluk Cikunyinyi,

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi penelitian tingkat kesesuaian lahan dilakukan di Teluk Cikunyinyi, BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian tingkat kesesuaian lahan dilakukan di Teluk Cikunyinyi, Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung. Analisis parameter kimia air laut

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Danau Maninjau merupakan danau yang terdapat di Sumatera Barat, Kabupaten Agam. Secara geografis wilayah ini terletak pada ketinggian 461,5 m di atas permukaan laut

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pencemaran Organik di Muara S. Acai, S. Thomas, S. Anyaan dan Daerah Laut yang Merupakan Perairan Pesisir Pantai dan Laut, Teluk Youtefa. Bahan organik yang masuk ke perairan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air laut merupakan suatu medium yang unik. Sebagai suatu sistem, terdapat hubungan erat antara faktor biotik dan faktor abiotik, karena satu komponen dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau, dengan garis pantai sekitar 81.000 km. Wilayah lautannya meliputi 5,8 juta km2 atau

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. berflagel. Selnya berbentuk bola berukuran kecil dengan diameter 4-6 µm.

2. TINJAUAN PUSTAKA. berflagel. Selnya berbentuk bola berukuran kecil dengan diameter 4-6 µm. 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Nannochloropsis sp Mikroalga adalah tumbuhan tingkat rendah yang memiliki klorofil, yang dapat digunakan untuk melakukan proses fotosintesis. Mikroalga tidak memiliki

Lebih terperinci

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA A. Deskripsi Data 1. Kondisi saluran sekunder sungai Sawojajar Saluran sekunder sungai Sawojajar merupakan aliran sungai yang mengalir ke induk sungai Sawojajar. Letak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pencemaran logam berat merupakan salah satu masalah penting yang sering terjadi di perairan Indonesia, khususnya di perairan yang berada dekat dengan kawasan industri,

Lebih terperinci

KAJIAN SPASIAL FISIKA KIMIA PERAIRAN ULUJAMI KAB. PEMALANG

KAJIAN SPASIAL FISIKA KIMIA PERAIRAN ULUJAMI KAB. PEMALANG KAJIAN SPASIAL FISIKA KIMIA PERAIRAN ULUJAMI KAB. PEMALANG F1 05 1), Sigit Febrianto, Nurul Latifah 1) Muhammad Zainuri 2), Jusup Suprijanto 3) 1) Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK UNDIP

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Jatinangor, 22 Juli Haris Pramana. iii

KATA PENGANTAR. Jatinangor, 22 Juli Haris Pramana. iii KATA PENGANTAR Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas segala Berkat dan Rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Berikut ini adalah hasil penelitian dari perlakuan perbedaan substrat menggunakan sistem filter undergravel yang meliputi hasil pengukuran parameter kualitas air dan

Lebih terperinci

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR Oleh: Sabam Parsaoran Situmorang C64103011 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan 5 TINJAUAN PUSTAKA Estuari Estuari merupakan suatu komponen ekosistem pesisir yang dikenal sangat produktif dan paling mudah terganggu oleh tekanan lingkungan yang diakibatkan kegiatan manusia maupun oleh

Lebih terperinci

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA Umroh 1, Aries Dwi Siswanto 2, Ary Giri Dwi Kartika 2 1 Dosen Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian,Perikanan

Lebih terperinci

Journal Of Aquaculture Management and Technology Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman

Journal Of Aquaculture Management and Technology Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman STUDI KESESUAIAN LAHAN BUDIDAYA IKAN KERAPU DALAM KARAMBA JARING APUNG DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI TELUK RAYA PULAU SINGKEP, KEPULAUAN RIAU Hasnawiya *) Program Studi Budidaya Perairan,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan dengan panjang garis pantai 81.000 km merupakan kawasan pesisir dan lautan yang memiliki berbagai sumberdaya hayati yang sangat besar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi komunitas plankton sampai tingkat genus di Pulau Biawak terdiri dari 18 genus plankton yang terbagi kedalam 14 genera

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia diramaikan oleh isu perubahan iklim bumi akibat meningkatnya gas rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang memicu terjadinya perubahan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Biologi Tetraselmis sp. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif

Lebih terperinci

Pertumbuhan Rumput Laut

Pertumbuhan Rumput Laut BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Laju pertumbuhan Laju pertumbuhan rumput laut Kappaphycus alvarezii yang diperoleh selama penelitian terdapat pada Tabel 1 berikut : Tabel 1.PertumbuhanRumputLautSetelah

Lebih terperinci

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON OLEH : CAROLUS NIRAHUA NRP : 000 PROGRAM PASCASARJANA BIDANG KEAHLIAN TEKNIK MANAJEMEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki tingkat keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi sehingga disebut

BAB I PENDAHULUAN. memiliki tingkat keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi sehingga disebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumber kekayaan yang sangat melimpah yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP

STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP Wiwid Prahara Agustin 1, Agus Romadhon 2, Aries Dwi Siswanto 2 1 Mahasiswa Jurusan Ilmu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komunitas Fitoplankton Di Pantai Balongan Hasil penelitian di perairan Pantai Balongan, diperoleh data fitoplankton selama empat kali sampling yang terdiri dari kelas Bacillariophyceae,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh

TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Sungai Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh karena itu, sumber air sangat dibutuhkan untuk dapat menyediakan air yang baik dari segi kuantitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai dingin dan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pertumbuhan Chaetoceros sp. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi parameter kualitas air terkontrol (Lampiran 4). Selama kultur berlangsung suhu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

Evaluasi Lahan Pembudidayaan Rumput Laut di Perairan Kampung Sakabu, Pulau Salawati, Kabupaten Raja Ampat

Evaluasi Lahan Pembudidayaan Rumput Laut di Perairan Kampung Sakabu, Pulau Salawati, Kabupaten Raja Ampat Evaluasi Lahan Pembudidayaan Rumput Laut di Perairan Kampung Sakabu, Pulau Salawati, Kabupaten Raja Ampat (Evaluation of Seaweed Culture Area in Waters of Kampung Sakabu, Salawati Island, Raja Ampat Regency)

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

5.1 Keadaan Umum Perairan Gugus Pulau Nain

5.1 Keadaan Umum Perairan Gugus Pulau Nain 55 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Keadaan Umum Perairan Gugus Pulau Nain 5.1.1 Kondisi perairan potensi budidaya rumput laut Rumput laut secara ekologis dapat memberikan manfaat lingkungan yakni dapat mengurangi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Proses adsorpsi antar partikel tersuspensi dalam kolom air terjadi karena adanya muatan listrik pada permukaan partikel tersebut. Butir lanau, lempung dan koloid asam

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Berdasarkan hasil yang diperoleh dari kepadatan 5 kijing, persentase penurunan total nitrogen air di akhir perlakuan sebesar 57%, sedangkan untuk kepadatan 10 kijing

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus - September Tahapan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus - September Tahapan III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus - September 2014. Tahapan yang dilakukan dalam penelitian terdiri dari peninjauan lokasi penelitian pada

Lebih terperinci

KAJIAN SEBARAN SPASIAL PARAMETER FISIKA KIMIA PERAIRAN PADA MUSIM TIMUR DI PERAIRAN TELUK SEMARANG

KAJIAN SEBARAN SPASIAL PARAMETER FISIKA KIMIA PERAIRAN PADA MUSIM TIMUR DI PERAIRAN TELUK SEMARANG KAJIAN SEBARAN SPASIAL PARAMETER FISIKA KIMIA PERAIRAN PADA MUSIM TIMUR DI PERAIRAN TELUK SEMARANG F1 08 Nurul Latifah 1)*), Sigit Febrianto 1), Churun Ain 1) dan Bogi Budi Jayanto 2) 1) Program Studi

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN BAB IV METODOLOGI PENELITIAN Maksud dari penelitian ini adalah untuk meneliti pengaruh berkembangnya aktivitas kolam jaring apung di Waduk Cirata terhadap kualitas air Waduk Cirata. IV.1 KERANGKA PENELITIAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makanan Alami Ikan Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam perkembangbiakan ikan baik ikan air tawar, ikan air payau maupun ikan air laut. Fungsi utama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena

I. PENDAHULUAN. Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena harganya terjangkau dan sangat bermanfaat bagi kesehatan. Pisang adalah buah yang

Lebih terperinci

KANDUNGAN LOGAM BERAT Hg, Pb DAN Cr PADA AIR, SEDIMEN DAN KERANG HIJAU (Perna viridis L.) DI PERAIRAN KAMAL MUARA, TELUK JAKARTA DANDY APRIADI

KANDUNGAN LOGAM BERAT Hg, Pb DAN Cr PADA AIR, SEDIMEN DAN KERANG HIJAU (Perna viridis L.) DI PERAIRAN KAMAL MUARA, TELUK JAKARTA DANDY APRIADI KANDUNGAN LOGAM BERAT Hg, Pb DAN Cr PADA AIR, SEDIMEN DAN KERANG HIJAU (Perna viridis L.) DI PERAIRAN KAMAL MUARA, TELUK JAKARTA DANDY APRIADI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH Oleh : Helmy Hakim C64102077 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Tabel 3. Alat-alat Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Tabel 3. Alat-alat Penelitian BAB III METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan November 0 sampai dengan bulan Februari 0. Penelitian terdiri dari dua kegiatan yaitu kegiatan survei di lapangan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air TINJAUAN PUSTAKA Sungai Sungai merupakan suatu bentuk ekositem aquatik yang mempunyai peran penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah di sekitarnya,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan kimia. Secara biologi, carrying capacity dalam lingkungan dikaitkan dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan kimia. Secara biologi, carrying capacity dalam lingkungan dikaitkan dengan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daya Dukung Penentuan carrying capacity dalam lingkungan dapat didekati secara biologi dan kimia. Secara biologi, carrying capacity dalam lingkungan dikaitkan dengan konsep ekologi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Waduk adalah genangan air besar yang sengaja dibuat dengan membendung aliran sungai, sehingga dasar sungai tersebut yang menjadi bagian terdalam dari sebuah waduk. Waduk

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisa kesesuaian lahan perairan Abalon ini

METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisa kesesuaian lahan perairan Abalon ini III METODE PENELITIAN.. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian Lokasi dan objek penelitian analisa kesesuaian lahan perairan Abalon ini berada di Teluk Cikunyinyi, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Sibolga yang terletak di pantai barat Pulau Sumatera, membujur sepanjang pantai dari utara ke selatan dan berada pada kawasan teluk yang bernama Teluk Tapian Nauli,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pertumbuhan Pada Tabel 2 dijelaskan bahwa pada minggu pertama nilai bobot biomasa rumput laut tertinggi terjadi pada perlakuan aliran air 10 cm/detik, dengan nilai rata-rata

Lebih terperinci

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA BAB. II TINJAUAN PUSTAKA A. Keadaan Teluk Youtefa Teluk Youtefa adalah salah satu teluk di Kota Jayapura yang merupakan perairan tertutup. Tanjung Engros dan Tanjung Hamadi serta terdapat pulau Metu Debi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi umum daerah Wonorejo Kawasan mangrove di Desa Wonorejo yang tumbuh secara alami dan juga semi buatan telah diputuskan oleh pemerintah Surabaya sebagai tempat ekowisata.

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Vertikal Oksigen Terlarut Oksigen terlarut merupakan salah satu faktor pembatas bagi sumberdaya suatu perairan karena akan berpengaruh secara langsung pada kehidupan

Lebih terperinci

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chironomida Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat ditemukan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. masih merupakan tulang pungung pembangunan nasional. Salah satu fungsi lingkungan

1. PENDAHULUAN. masih merupakan tulang pungung pembangunan nasional. Salah satu fungsi lingkungan 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air sungai merupakan salah satu komponen lingkungan yang memiliki fungsi penting bagi kehidupan manusia, termasuk untuk menunjang pembangunan ekonomi yang hingga saat ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tetapi limbah cair memiliki tingkat pencemaran lebih besar dari pada limbah

BAB I PENDAHULUAN. tetapi limbah cair memiliki tingkat pencemaran lebih besar dari pada limbah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri tahu merupakan salah satu industri yang menghasilkan limbah organik. Limbah industri tahu yang dihasilkan dapat berupa limbah padat dan cair, tetapi limbah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terumbu adalah serangkaian struktur kapur yang keras dan padat yang berada di dalam atau dekat permukaan air. Sedangkan karang adalah salah satu organisme laut yang tidak

Lebih terperinci