BAB II LANDASAN TEORI. Seseorang tidak mungkin forgive (memaafkan) kecuali jika unforgive

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI. Seseorang tidak mungkin forgive (memaafkan) kecuali jika unforgive"

Transkripsi

1 BAB II LANDASAN TEORI II. A FORGIVENESS Seseorang tidak mungkin forgive (memaafkan) kecuali jika unforgive (tidak memaafkan) telah terjadi. Forgiveness memang baru dapat muncul setelah adanya unforgiveness, namun orang yang mengalami unforgiveness bukan berarti pasti akan mengalami forgiveness. Forgiveness merupakan satu cara untuk mengatasi unforgiveness. Oleh karena itu, peneliti terlebih dahulu menjelaskan mengenai unforgiveness sebelum membahas forgiveness. II. A. 1 Definisi Unforgiveness Unforgiveness didefinisikan sebagai "emosi dingin" yang melibatkan rasa marah, sakit hati, dan permusuhan, bersama dengan motivasi untuk meghindar atau membalas transgresor (orang yang melakukan kesalahan) (Worthington & Wade, 1999). Worthington (dalam Zechmeister, 2004) mendefinisikan unforgiveness sebagai kemarahan, permusuhan, ketakutan dan stress ruminatif yang terjadi setelah penyerangan interpersonal. Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa unforgiveness adalah emosi dingin yang merupakan gabungan dari rasa marah, rasa benci, permusuhan, sakit hati, rasa takut, dan stres, bersamaan dengan motivasi untuk menghindar atau membalas transgresor. 14

2 II. A. 2 Definisi Forgiveness McCullough, Worthington, & Rachal (dalam Hall, 2006) mendefinisikan forgiveness sebagai perubahan motivasi ketika individu mengganti respon destruktif terhadap transgresor, dengan respon yang konstruktif. Forgiveness merupakan suatu pilihan internal korban (baik sengaja maupun tidak) untuk melepaskan unforgiveness, dan jika dirasa aman, mungkin, dan bijaksana, maka rekonsiliasi dengan transgresor dapat terjadi. Forgiveness tidak sama halnya dengan resolusi konflik. Seseorang mungkin saja memecahkan konflik tetapi tidak forgive atau mungkin saja forgive padahal konflik belum dipecahkan (Worthington & Wade, 1999). Forgiveness merupakan suatu set perubahan motivasi prososial yang ada dalam diri korban sehingga keinginannya untuk membalas dendam dan menghindar berkurang, atau sikapnya menjadi lebih baik pada transgresor (Tsang, 2006). Menurut Lucia (2005), ketika seseorang forgive, ia mengganti unforgiveness dengan emosi yang lebih positif, seperti empati, simpati, dan cinta. Forgiveness dapat mengurangi permusuhan dan stres negatif yang dirasakan seseorang. McCullough et al. (dalam Zechmeister, 2004) menekankan bahwa respon forgiveness merefleksikan perubahan motivasi dasar yang melawan kecenderungan natural individu untuk membalas. Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa forgiveness adalah suatu pilihan internal untuk melepas unforgiveness, melawan 15

3 kecenderungan natural individu untuk membalas, menuntut ganti rugi, atau menghindari orang yang pernah menyakitinya dan mengganti keinginan destruktif tersebut dengan respon yang lebih konstruktif seperti simpati, empati, cinta, dan kemungkinan berekonsiliasi dengan transgresor. II. A. 3 Proses Forgiveness Unforgiveness Worthington & Wade (1999) membuat sebuah model yang menjelaskan proses forgiveness dan unforgiveness dalam hubungan interpersonal. Proses ini dibuat sebagai suatu siklus karena proses ini dapat berulang apabila transgresi terjadi kembali. Skema proses ini adalah sebagai berikut : 16

4 1. Konteks: Personal context Valence context Person x relationship context Partner is positively affected by event (path A) (path B) Persepsi 2. Transgresi korban atas 4. Reaksi transgresi emosional awal +/- 7. Perubahan pada atribusi, optimisme dan harapan + 6.b. FORGIVENESS + 6.a. UNFORGIVENESS 6. RESOLUSI DISONANSI EMOSI + 5. Respon transgresor dan persepsi korban + 4.b.1. Rumination 4.a.1. Retaliation, Avoidance 4.a.2. Pro-Relationship Behavior + 4.b. Respon pasif a. Respon aktif SKEMA II.1. Interpersonal Process of Forgiveness and Unforgiveness (Worthington & Wade, 1999) Catt: Valensi stabilitas hubungan positif di masa depan ditunjukan dengan tanda (+), (-) atau tidak ada tanda 17

5 Skema di atas dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. KONTEKS (a) Personal Context Faktor kepribadian mempengaruhi cara seseorang mempersepsikan suatu kejadian. Orang dengan emotional intelligence yang tinggi dapat membedakan situasi interpersonal dan mengendalikan perilaku mereka untuk meningkatkan interaksi sosial yang positif mereka. Pride, kecenderungan-merasa bersalah (guilt-proneness), dan kecenderungan merasa malu (shame-proneness) juga berpengaruh terhadap bagaimana orang berhadapan dengan transgresi. (b) Emotional Valence of the Relationship Terjadinya peristiwa yang dirasakan secara positif maupun negatif akan mempengaruhi persepsi terhadap kualitas suatu hubungan. Peristiwa yang negatif, seperti transgresi, membuat hubungan yang positif menjadi kurang positif, merubahnya menjadi negatif, atau membenarkan pandangan negatif korban terhadap hubungan yang sudah negatif, sedangkan peristiwa positif bertindak sebaliknya. Sekali hubungan dianggap sebagai hal yang negatif, peristiwa yang berikutnya dirasakan dan direspon dengan negatif pula. (c) Interaksi antara Personal Context dan Valence of the Relationship Seseorang mungkin berperilaku berbeda pada suatu hubungan yang berbeda pula, misalnya, seorang anak mungkin pendiam dan penurut di rumah, namun agresif di luar rumah. 18

6 2. TRANSGRESI Transgresi adalah tindakan yang salah atau secara moral menyerang atau menimbulkan rasa sakit/kerugian secara fisik maupun psikologis pada korban. Transgresi bersifat destruktif terutama ketika berulang, dipenuhi dengan emosi negatif, severe (parah), dan tidak disertai rasa bersalah atau permintaan maaf dari transgresor (orang yang melakukan transgresi). Transgresi itu bersifat objektif, artinya orang lain (selain transgresor dan korban) juga setuju bahwa transgresi telah terjadi. Dalam penelitian ini transgresi yang dimaksud adalah child abuse sehingga pelaku akan disebut sebagai abuser. 3. PERSEPSI KORBAN ATAS TRANSGRESI Persepsi memotivasi respon individu terhadap suatu kejadian. Suatu peristiwa dapat dipersepsikan berbeda oleh individu yang berbeda. Contohnya, seseorang mungkin merasakan suatu komentar negatif yang ambigu sebagai humor dan merespon dengan tertawa atau dengan tidak peduli. Hal ini dapat menghindarkan orang tersebut dari siklus unforgiveness dan memperbaiki stabilitas hubungan (lihat figur 1, path A). Seseorang juga dapat menganggap komentar tersebut sebagai penyerangan personal sehingga ia berespon secara defensif dan muncullah reaksi emosi awal. 4. REAKSI EMOSI AWAL Ketika seseorang mempersepsikan suatu kejadian sebagai transgresi, ia akan mengalami reaksi emosional negatif yang disebut sebagai unforgiveness. Respon terhadap unforgiveness ini dapat berupa penerimaan, kesabaran atau 19

7 defense psikologis yang kemudian menghindarkan orang tersebut dari siklus unforgiveness dan memperbaiki stabilitas hubungan (lihat skema II.1, path B). Akan tetapi, unforgiveness juga dapat menyebabkan motivasi pembalasan dan permusuhan yang berkepanjangan terhadap transgresor sehingga memicu mekanisme coping aktif dan pasif. 4.a. Respon interpersonal aktif Respon aktif adalah tindakan eksternal yang dapat bersifat memperbaiki atau malah merusak hubungan ketika berhadapan dengan kejadian interpersonal. Ada dua tipe respon aktif: 4.a.1. Retaliation yaitu membalas dengan berteriak atau melakukan tindakan yang menimbulkan rasa sakit yang sama pada transgresor. Avoidance yaitu berusaha menjauh atau menghindari transgresor. Pelepasan seperti itu umumnya tidak membantu dan sebaliknya dapat menyebabkan distress. 4.a.2. Constructive Relationship Behavior, yang bertujuan mengkomunikasikan rasa sakit (harm) sehingga tidak merusak hubungan antara kedua belah pihak, namun dalam merespon peristiwa yang menimbulkan reaksi emosi negatif, respon konstruktif ini hampir mungkin merupakan respon agresif. 4.b. Respon interpersonal pasif Respon pasif merupakan cara lain bagi korban merespon emosi negatif akibat transgresi. "Pasif" lebih mengarah pada hubungan interpersonal, walaupun kemungkinan coping intrapsikis dan kognitif-nya aktif (misalnya, 20

8 korban tidak membalas transgresor, tapi ia selalu mengingat-ingat penyerangan tersebut). Respon pasif juga meliputi perasaan, perilaku, atau pikiran yang tidak dikomunikasikan secara langsung kepada transgresor meliputi berdiam diri, tindakan agresi-pasif, menyalahkan diri sendiri, dan rumination (Skema II.1, box 4.b.1.). 5. RESPON TRANSGRESOR DAN PERSEPSI KORBAN Respon transgresor yaitu berupa account (respon yang ditawarkan) untuk menjelaskan, membenarkan, atau untuk mengurangi efek negatif dari transgresi. Accounts dapat berupa penolakan (refusal), pembenaran (justifications), memberi alasan (excuses), atau concessions. Refusal menyangkal peran sebagai penyebab apapun dalam kerugian interpersonal dan akibat-akibatnya, dan menolak hak orang lain menanyakan integritas dan ke-bersalah-annya. Justifications membenarkan adanya perbuatan salah namun menolak bertanggungjawab. Excuses, membenarkan adanya kesalahan dan bertanggung jawab untuk mengurangi rasa bersalah personal. Concessions yaitu mengakui kesalahan dan bertanggung jawab atas akibat transgresi dan penggantirugian. Reaksi transgresor yang positif (excuses atau concessions) seharusnya diikuti juga dengan persepsi positif korban sehingga menyebabkan disonansi emosi (skema II.1, box 6). Akan tetapi, jika respon transgresor negatif (refusal atau justifications), maka rasa sakit yang dirasakan korban akan semakin kuat dan mengarah ke rumination (skema II.1, box 4.b.1.). 21

9 6. RESOLUSI DISONANSI EMOSI Disonansi emosi memfasilitasi munculnya forgiveness setelah individu mengalami unforgiveness. Disonansi emosi terjadi ketika korban dan transgresor memperoleh kembali valensi hubungan yang positif sehingga korban mengalami emosi positif seperti simpati, empati, rasa kasihan, kerendahan hati, menyukai, humor, dan mencintai. Emosi-emosi positif ini terjadi ketika trangresor meminta maaf dengan tulus atau munculnya variabel-variabel lain yang mempengaruhi seperti komitmen agama, kecerdasan emosi, atau keinginan berkorban demi hubungan. Emosi-emosi yang bertolak belakang dengan emosi awal (unforgiveness) ini menyebabkan korban merasa ketidaknyamanan emosional sehingga korban akan berusaha menyeimbangkan emosinya. Disonansi emosi dapat diatasi dengan kembali ke unforgiveness (Skema II.1, box 6.a.) atau menuju ke forgiveness (Skema II.1, box 6.b.). Unforgiveness merupakan resolusi negatif dari disonansi emosi sedangkan forgiveness merupakan resolusi positif dari disonansi emosional. Perlu diingat, forgiveness-unforgiveness merupakan siklus atau proses yang dapat berulang. Korban mungkin forgive saat ini namun, suatu saat nanti ruminate kembali apabila korban merasakan transgresi baru. 7. PERUBAHAN PADA ATRIBUSI, OPTIMISME DAN HARAPAN Forgiveness menyebabkan unforgiveness menurun dan motivasi untuk memiliki hubungan yang baik meningkat. Rekonsiliasi dapat muncul apabila mungkin dan bijaksana dilakukan. Hal-hal lain yang dapat berubah sebagai akibat dari forgiveness dan unforgiveness meliputi atribusi, optimisme dan harapan 22

10 (Skema II.1, box 7). Pada hubungan yang positif, secara umum atribusi akan menjadi stabil dan lebih positif. Pada hubungan yang negatif, atribusi menjadi stabil dan kurang negatif. Orang yang memberi maaf menjadi lebih optimis tentang hubungan dan masa depan. Baik orang yang dimaafkan maupun orang memberi maaf dapat menjadi lebih hopeful. II. A. 4 Hal-Hal yang Mempengaruhi Forgiveness Ada banyak tokoh dari berbagai sumber yang menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi kemungkinan individu memilih forgive atau tidak, antara lain: A. Kecerdasan emosi Orang yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi dapat memprediksi dampak-dampak unforgiveness dan solusi yang lebih cepat untuk dilema interpersonal akibat disonansi emosi. Selain itu, kecerdasan emosi juga penting jika dilihat dari perspektif transgresor. Transgresor yang memiliki kecerdasan emosi tinggi memiliki kapasitas yang besar untuk mengerti dan memahami keadaan emosi korban, dengan begitu akan memicu transgresor meminta maaf, mengganti rugi, atau mendiskusikan masalah dengan korban (Worthington & Wade, 1999). B. Respon transgresor Variabel penting lain dalam forgiveness adalah ketika transgresor meminta maaf dengan tulus atau menunjukkan penyesalan yang dalam. Permintaan maaf memiliki berkorelasi positif dengan forgiveness (Lawler, 2006; Strelan, 2006; 23

11 McCullough, 2000). Penyangkalan dan penolakan tanggung jawab dari transgresor, sebaliknya, berkorelasi negatif dengan forgiveness (Worthington & Wade, 1999). C. Munculnya empati Empati adalah kemampuan untuk mengerti dan merasakan pengalaman kognitif dan afektif orang, tanpa perlu mengalami situasinya. Empati menengahi hubungan antara permintaan maaf dan forgiveness (McCullough dalam Worthington & Wade, 1999). Munculnya empati ketika transgresor meminta maaf, mendorong korban untuk memaafkan transgresor (McCullough, 2000). Empati biasanya menjadi topik dalam konseling yang didesain untuk meningkatkan forgiveness (Lawler, 2006; Strelan, 2006). Wanita lebih mudah merasakan empati daripada pria, namun tidak ada perbedaan gender terhadap forgiveness. Empati dalam hal ini lebih mengarah pada motivasi dari pada kemampuan (Toussaint, 2005). D. Kualitas hubungan sebelum transgresi Forgiveness paling mungkin terjadi pada hubungan yang dicirikan oleh kedekatan, komitmen, dan kepuasan (McCullough, 2000). Forgiveness juga berhubungan positif dengan seberapa penting hubungan tersebut bagi korban dan secure attachment style (Lawler, 2006). Dengan kata lain, forgiveness lebih mungkin terjadi pada kualitas hubungan sebelum transgresi yang positif. E. Rumination Semakin sering individu ruminate (merenung atau mengingat-ingat) tentang transgresi dan emosi yang dirasakan, semakin sulit forgiveness terjadi. 24

12 Rumination dan usaha menekan rumination tersebut dihubungkan dengan motivasi penghindaran (avoidance) dan membalas dendam (revenge). Orang yang memiliki masalah dalam mengatasi pikiran-pikiran ruminatif umumnya lebih memiliki kesulitan untuk forgive (Strelan, 2006; McCullough, 2000). F. Komitmen Agama Semua agama mengajarkan forgiveness, namun tidak menjamin semua pemeluknya akan memberikan maaf. Pemeluk agama yang commit dengan ajaran agamanya akan memiliki nilai tinggi pada forgiveness dan nilai rendah pada unforgiveness (Worthington & Wade, 1999). G. Faktor Personal Korban Sifat pencemas, sifat pemarah, neurotik, introversion, reaktivitas terhadap stress, dan kecenderungan merasa malu merupakan faktor penghambat munculnya forgiveness. Sebaliknya, Sifat pemaaf, terbuka, agreeable, dan kecenderungan merasa bersalah merupakan faktor pemicu terjadinya forgiveness (Tangney, dalam Worthington, 1998). Narsisme dihubungkan dengan penurunan empati, oleh karenanya narsisme berhubungan negatif dengan forgiveness. Orang yang berbangga diri (pride) lebih mudah merasa diserang atau terluka perasaannya sehingga lebih sulit untuk forgive Kecenderungan merasa malu (shameproneness) akan meningkatkan rasa marah, menghambat peristiwa yang menyebabkan disonansi emosi, sehingga mengakibatkan korban dan transgresornya terpisah secara emosional (dan mungkin secara fisik). Kecenderungan merasa bersalah (guilt-proneness) dapat menyebabkan disonansi emosi dan memicu terjadinya forgiveness. (Worthington & Wade, 1999). 25

13 H. Faktor Peristiwa Semakin parah dan sering transgresor melakukan transgresi, semakin tinggi keinginan korban untuk membalas dan menuntut tanggung jawab sehingga semakin kecil kemungkinan terjadinya forgiveness (Zechmeister, 2004; Worthington & Wade, 1999). Persepsi terhadap tujuan transgresor melakukan transgresi juga mempengaruhi korban untuk forgive (Worthington, 1998). Peristiwa yang menimbulkan rasa malu (shame) cenderung mengarah pada unforgiveness daripada peristiwa yang menimbulkan rasa bersalah (guilt). Rasa malu membuat transgresor enggan mengaku untuk melindungi diri, dan cenderung merasa terisolasi sehingga menghambat terjadinya forgiveness. Sebaliknya, peristiwa yang menimbulkan rasa bersalah (guilt) memicu transgresor meminta maaf, mengganti rugi, dan berusaha memperbaiki hubungan sehingga memicu terjadinya forgiveness (Worthington & Wade, 1999). II. A. 5 Manfaat Forgiveness Rasa marah kronis dan permusuhan dihubungkan dengan penurunan fungsi kekebalan tubuh, depresi, penyalahgunaan zat, status kesehatan yang buruk (Zechmeister, 2004), tingginya tekanan darah, dan masalah jantung (Enright, 2005). Worthington (dalam Lucia, 2005) juga mengatakan bahwa setiap kali seseorang merasa tidak memaafkan, ia menjadi lebih beresiko terkena masalah kesehatan. Di sisi lain, forgiveness, dapat menurunkan anxiety dan depresi, serta bermanfaat bagi kesehatan fisik (Enright, 2005; Zechmeister, 2004). Forgiveness 26

14 dapat mengurangi resiko terkena masalah jantung serta mengurangi permusuhan dan distress yang dirasakan seseorang (Lucia, 2005). Forgiveness juga bermanfaat sebagai mekanisme penyembuhan dan resiliensi terhadap trauma (Orcutt dalam Worthington, 1999). Orang yang forgive lebih mungkin mempunyai hubungan romantis dan persaudaraan yang stabil daripada orang yang unforgive (Worthington, 1998). Perasaan dendam dan sakit hati dalam suatu hubungan intim atau hubungan dekat dengan orang lain dapat mengganggu hubungan tersebut. Melepas rasa tidak senang dan usaha untuk forgive merupakan satu hal yang penting untuk mempertahankan kedekatan dan hubungan intim dengan orang lain (Corey&Corey, 2006). Memiliki fisik, emosi, dan sosial yang sehat menuntun seseorang ke arah hidup yang lebih bahagia seperti yang dikemukakan oleh Konstam (2000) bahwa selain dapat memperbaiki hubungan interpersonal, forgiveness dapat meningkatkan kesejahteraan (well-being). II. B CHILD ABUSE II. B. 1. Definisi Child Abuse Peristiwa penganiayaan anak lebih dikenal masyarakat dan para profesional dengan istilah child abuse, akan tetapi, banyak ahli perkembangan yang lebih suka menggunakan istilah child maltreatment (Manly, dalam Santrock, 1998). 27

15 Barnett dkk. (dalam Berns, 2004) mendefinisikan child abuse sebagai tindakan yang merusak atau membahayakan anak, meliputi tidak bersikap baik pada anak, kasar pada anak, menolak anak, merampas hak anak, menyalahgunakan anak, dan/atau melakukan kekerasan pada anak. Child maltreatment meliputi perilaku abuse dan neglect. Abuse mengarah pada perilaku atau tindakan yang menimbulkan kerusakan pada anak, sedangkan neglect mengarah pada tidak ada tindakan sama sekali, yaitu pengabaian yang merusak anak (Papalia, 2004). The Child Abuse Prevention and Treatment Act (CAPTA) (dalam McDonal, 2007) mendefinisikan child abuse sebagai suatu tindakan atau tidak ada tindakan sama sekali yang dapat menyebabkan kematian, kerusakan fisik atau emosi yang serius; melibatkan seorang anak; dan dilakukan oleh orang tua atau caregiver yang bertanggung jawab atas kesejahteraan anak. Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa child abuse adalah tindakan (misalnya menolak, melakukan kekerasan pada anak) atau tidak ada tindakan sama sekali (misalnya lalai dalam pemeliharaan anak) yang dilakukan oleh orang tua atau caregiver sehingga menimbulkan kerusakan (harm) baik fisik maupun emosi, bahkan dapat menyebabkan kematian pada anak. II. B. 2. Tipe-Tipe Child Abuse Menurut Papalia (2004), child abuse meliputi dua perilaku yaitu abuse dan neglect. Abuse mengarah pada tindakan yang menimbulkan kerusakan pada anak, sedangkan neglect mengarah pada tidak ada tindakan sama sekali, yaitu 28

16 pengabaian yang merusak anak. Kemudian, perilaku abuse dan neglect ini terbagi lagi menjadi : a. Physical abuse Physical abuse atau kekerasan fisik meliputi pengrusakan pada tubuh anak seperti pukulan, tendangan, membakar dan lain-lain. b. Sexual abuse Sexual abuse atau kekerasan seksual merupakan segala bentuk kegiatan seksual yang melibatkan anak. c. Neglect Neglect atau pengabaian merupakan kegagalan memenuhi kebutuhan fisik, emosi, kesehatan dan pendidikan dasar anak. d. Emotional Abuse Emotional abuse adalah semua tindakan atau tidak ada tindakan sama sekali yang dapat menyebabkan gangguan perilaku, kognitif, dan emosi anak. Emotional abuse juga meliputi penolakan, peneroran, isolasi, eksploitasi, menghina, kekerasan verbal, atau tidak menyediakan dukungan emosional, cinta dan afeksi yang konsisten pada anak. II. B. 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Child Abuse Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadi child abuse. Banyak abuser yang memiliki sejarah kekerasan dalam keluarga (Berns, 2004). Sejarah kekerasan biasa juga merupakan hasil dari pola asuh keluarga yang menerapkan hukuman sebagai dasar pendisiplinan. Orang tua kadang menghukum anak-anak 29

17 mereka untuk menghentikan perilaku yang tidak diinginkan, mengontrol perilaku anak-anak sebagaimana dulu mereka dikontrol (Santrock, 1998). Karakteristik fisik maupun psikologis tertentu pada anak dapat pula memicu terjadinya child abuse. Anak yang hiperaktif, cengeng, mental retardasi, dan anak yang sulit diatur cenderung mengalami child abuse, sedangkan keluarga yang abusive biasanya mengalami isolasi sosial dan kurangnya dukungan sosial sehingga tidak ada yang membantu saat mereka mengalami kesulitan dan membutuhkan nasehat. Selain itu, terdapat asosiasi antara hilangnya pekerjaan orang tua dan intrafamily violence, seperti partner abuse dan child abuse. Physical abuse lebih mungkin muncul dalam keluarga yang terdapat kekerasan domestik baik berupa agresi fisik maupun verbal. (Berns, 2004). Selain itu, kemiskinan, pengangguran, isolasi sosial, gaya hidup yang berubah-ubah, kurangnya pemahaman mengenai hak anak, budaya yang menerima hukuman fisik, dan keterbatasan bantuan saat keluarga dalam situasi krisis merupakan faktor lingkungan yang berkorelasi dengan abuse (Garbarino dalam Berns, 2004). Stresor yang paling sering dilaporkan berhubungan dengan perilaku abusive dalam keluarga adalah rendahnya status sosioekonomi (McLoyd dalam Berns, 2004) dan tinggal dikomunitas yang biasa melakukan kekerasan (Barry & Garbarino dalam Berns, 2004) II. B. 4 Dampak Child Abuse pada Adult Survivor 30

18 Orang dewasa yang pernah mengalami child abuse sering disebut sebagai survivor (Herman, 1997), abuse survivor (Crosson, 2002), atau adult survivor (Biere, 1992). Kata survivor sendiri berarti orang yang selamat. Survivor mengacu pada orang yang selamat atau berhasil bertahan hidup dari peristiwa abusive. Akan tetapi, walaupun telah selamat, mereka masih harus berjuang melawan after-effect setelah mereka dewasa (Crosson, 2002). Tanpa intervensi yang tepat, anak yang merasakan penderitaan akan tumbuh menjadi orang dewasa yang menderita juga. Mereka menjalani hidup mereka dengan membawa trauma dan dampak negatif jangka panjang dari pengalaman mereka (Biere, 1992). Crosson (2002) mengatakan bahwa efek residu yang dialami survivors hampir sama baik untuk neglect maupun abuse, antara lain: a. Kepercayaan (trust) Kepercayaan merupakan aspek dasar dari sosialisasi, dan perkembangan kemampuan mempercayai dimulai pada tahun pertama kehidupan. Anak kemungkinan pada awalnya tidak sadar bahwa ia tidak menerima pengasuhan yang baik dari orang tua, namun sebagai orang dewasa yang mulai menyadari bahwa orang tuanya secara emosional tidak ada, atau kalaupun ada, dirasa kurang atau tidak konsisten. Sulitnya mempercayai orang lain merupakan manifestasi dari pemahaman anak bahwa kehidupan dan semua yang hidup di dunia ini tidak dapat diprediksi. Anak juga belajar bahwa hidup yang tidak dapat diprediksi ini menyakitkan dan tidak 31

19 dapat dipercaya. Untuk menghindar dari hidup yang menyakitkan ini, anak memilih tidak mempercayai orang lain dan mengisolasi/menarik diri. b. Merasa dikhianati Sebagai seorang anak, individu mempercayai orang tua dan merasa bahwa kepercayaan ini dihargai dan dimengerti, namun menyakitkan dan membingungkan bagi anak ketika menyadari bahwa ia digunakan untuk kepentingan abuser. Anak tidak hanya tumbuh dewasa sebagai orang yang sulit mempercayai, namun juga merasa dikhianati oleh orang tua yang telah diberikannya kepercayaan. Pada orang dewasa, pengkhianatan dicerminkan dengan ketidakmampuan mempercayai orang lain, diri sendiri, dan lingkungannya. c. Rasa marah Rasa marah dan khayalan untuk membalas dendam merupakan respon normal pada anak yang mengalami child abuse (Herman, 1997). Kemarahan ini merupakan akumulasi dari perasaan dikhianati, dan ketidakberdayaan yang kemudian dapat menjadi amukan yang kuat setelah anak dewasa. Gagalnya terpenuhi kebutuhan di masa kecil merubah rasa marah dan frustrasi menjadi perilaku agresif sehingga kemarahan yang dulunya hanya ada dalam batin, diproyeksikan ke luar. Agresi juga dapat disebabkan oleh proses belajar dari cara orang tua menyelesaikan masalah. Agresi dapat ditujukan ke benda-benda, orang lain, bahkan ke diri sendiri. 32

20 d. Harga diri rendah Anak yang di-abuse mengasumsikan bahwa hukuman yang mereka terima disebabkan oleh perilaku mereka yang salah, tanpa melihat kebenarannya. Apalagi kalau orang tua secara langsung mengatakannya. Mereka sering memandang dunia dari dua sisi, sebagai hitam dan putih atau baik dan buruk. Mereka menganggap orang tua adalah sosok yang baik dan kalau orang tua itu baik, maka merekalah yang buruk dan menyebabkan segala kejadian buruk terjadi. Perasaan ini terus mengikuti anak hingga ia dewasa dan mewarnai perilaku mereka. Mereka percaya bahwa tidak seorangpun akan menemukan kebaikan dalam diri mereka karena orang tua mereka juga tidak mampu. Beberapa survivors menggunakan humor sebagai pembenaran keberadaannya dan melindungi diri mereka dari depresi akibat tidak dapat menjadi lebih baik. Orang dewasa korban sexual abuse memiliki harga diri rendah disebabkan rasa malu, rasa bersalah dan stigmatisasi atau label buruk yang diberikan orang lain. e. Ketidakseimbangan hubungan Kegagalan mempercayai dan rendahnya self-esteem ditambah dengan kemarahan yang di-repress atau diekspresikan secara agresif, menghambat kemampuan survivor untuk membentuk hubungan yang memuaskan dengan orang lain. Mereka tidak pernah belajar strategi coping dan problem solving yang baik, padahal hal tersebut penting dalam membina dan mempertahankan hubungan. Kesulitan membina hubungan juga dapat 33

21 disebabkan karena kurangnya stimulasi sosial dari orang tua, khususnya pada kasus pengabaian. Mereka juga memiliki harapan yang tidak realistis bahwa semua orang harus memenuhi apa yang dia butuhkan sehingga mereka cenderung tidak pernah puas dengan orang lain. f. Penyalahgunaan zat Obat-obatan terlarang, atau alkohol digunakan sebagai pelarian, atau sebagai pengganti interaksi sosial yang sulit mereka bina. Penggunaan zatzat ini dapat disebabkan karena modelling, tekanan teman sebaya, dan sebagainya. Berns (2004) mengemukakan bahwa kurangnya pengasuhan yang normal selama masa kanak-kanak dapat menyebabkan individu mengganti kebutuhannya akan cinta dan rasa aman yang hilang dengan obat-obatan terlarang, alkohol, makanan, objek material, seks, dan judi. g. Masalah fisik Pengasuhan yang salah juga berdampak buruk bagi fisik anak. Kekerasan fisik dapat menyebabkan kecacatan seperti patah tulang atau kerusakan atau kehilangan organ tubuh. Kekerasan seksual dapat mengakibatkan kerusakan organ reproduksi, tertular penyakit menular seksual, dan kehamilan. Anak yang mengalami pengabaian dan kekerasan emosi cenderung tumbuh dengan buruk dan mengalami masalah medis karena kekurangan nutrisi akibat tidak diberi makan atau karena gangguan makan (Berns, 2004). Selain itu, masalah fisik juga disebabkan karena penyalahgunaan obat-obatan atau alkohol, dan tidak jarang masalah fisik ini muncul sebagai usaha mencari perhatian. 34

22 h. Trauma Trauma fisik dapat berupa bekas luka atau kecacatan permanen yang dapat berimplikasi ke psikis. Trauma psikis merupakan trauma karena mengalami peristiwa yang menyakitkan hati (misalnya child abuse). Anak yang mengalami child abuse belajar mengenal situasi terjadinya peristiwa abusive, dan ekspresi wajah dan bahasa tubuh orang tua pada situasi dan ekspresi bagaimana orang tua akan memukul atau marah. Proses belajar ini kemudian digeneralisasikan ke semua orang dan situasi. Mengalami kekerasan seksual atau kekerasan fisik membuat anak takut akan sentuhan. Sentuhan sering mengingatkan mereka akan peristiwa abusive yang pernah mereka alami. Tanpa adanya sentuhan pun peristiwa tersebut dapat muncul kembali dalam mimpi bahkan setelah anak dewasa. Berikut ini adalah skema paradigma penelitian yang menggambarkan dinamika forgiveness pada orang dewasa yang pernah mengalami child abuse, dibuat sesuai dengan teori proses forgiveness unforgiveness oleh Worthington & Wade (1999) : 35

23 HUB. ORANG TUA & ANAK Child abuse (+) Persepsi anak (-) Kualitas hub. menjadi lebih negatif Kualitas hub. menjadi lebih positif Reaksi emosi awal (negatif) Pilih emosi Pilih emosi unforgiveness awal Disonansi emosi akhir forgiveness diabaikan diakui KETERANGAN: (-) pasif aktif Respon org tua (+) Reaksi emosi akhir (positif) : Terjadi peristiwa : Menimbulkan/maka : Hub. kembali seperti sebelum terjadi child abuse : Bentuk respon : Maka semakin : Reaksi emosi negatif dan positif terjadi bersamaan : Child abuse berulang SKEMA II.2 PARADIGMA PENELITIAN DINAMIKA FORGIVENESS PADA ORANG DEWASA YANG PERNAH MENGALAMI CHILD ABUSE 36

BAB I PENDAHULUAN. secara normal bahkan sejak mereka masih bayi (Papalia, 2004). Kebutuhankebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. secara normal bahkan sejak mereka masih bayi (Papalia, 2004). Kebutuhankebutuhan BAB I PENDAHULUAN I. A Latar Belakang Masalah Anak-anak memiliki kebutuhan yang harus dipuaskan agar dapat tumbuh secara normal bahkan sejak mereka masih bayi (Papalia, 2004). Kebutuhankebutuhan tersebut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Memaafkan. adalah kata yang berasal dari bahasa Arab, al afw. Kata ini dalam al-qur an

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Memaafkan. adalah kata yang berasal dari bahasa Arab, al afw. Kata ini dalam al-qur an BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Memaafkan 1. Defenisi Memaafkan Secara terminologis, kata dasar memaafkan adalah maaf dan kata maaf adalah kata yang berasal dari bahasa Arab, al afw. Kata ini dalam al-qur an

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. didambakan tersebut menjadi hukum alam dalam diri tiap manusia. Akan tetapi,

BAB I PENDAHULUAN. didambakan tersebut menjadi hukum alam dalam diri tiap manusia. Akan tetapi, 10 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya setiap manusia yang hidup memiliki tujuan dalam kehidupan mereka. Tujuan hidup manusia pada umumnya selain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya juga untuk

Lebih terperinci

PENGANIAYAAN TERHADAP ANAK DALAM KELUARGA

PENGANIAYAAN TERHADAP ANAK DALAM KELUARGA PENGANIAYAAN TERHADAP ANAK DALAM KELUARGA Oleh: Alva Nadia Makalah ini disampaikan pada Seminar Online Kharisma ke-3, dengan Tema: Kekerasan Pada Anak: Efek Psikis, Fisik, dan Tinjauan Agama Dunia Maya,

Lebih terperinci

Pedologi. Penganiayaan Anak dan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Yenny, M.Psi. Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

Pedologi. Penganiayaan Anak dan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Yenny, M.Psi. Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi Modul ke: Pedologi Penganiayaan Anak dan Kekerasan dalam Rumah Tangga Fakultas Psikologi Yenny, M.Psi. Psikolog Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Tipe-tipe Penganiayaan terhadap Anak Penganiayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anggota keluarga. Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga memerlukan

BAB I PENDAHULUAN. anggota keluarga. Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga memerlukan BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang berperan sangat besar terhadap perkembangan sosial dan perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengalaman Memaafkan. kebanyakan berfokus pada memaafkan sebagai proses dengan individu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengalaman Memaafkan. kebanyakan berfokus pada memaafkan sebagai proses dengan individu BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengalaman Memaafkan 1. Definisi Pengalaman Memaafkan Memaafkan merupakan sebuah konsep dimana terdapat pelaku dan korban yang berada dalam sebuah konflik dan sedang berusaha

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar pelitian. Berikut adalah beberapa teori yang terkait sesuai dengan penelitian ini. 2.1 Anxiety (Kecemasan)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KEKERASAN EMOSI 1. Pengertian Kekerasan Emosi Kekerasan emosi didefinisikan sebagai bentuk kekerasan yang dilakukan secara sengaja tujuan untuk mempertahankan dan menguasai individu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat pada anak-anaknya (Friedman et al., 2010). yang masih bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anaknya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat pada anak-anaknya (Friedman et al., 2010). yang masih bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anaknya. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orang Tua 1. Pengertian Orang tua adalah orang yang lebih tua atau orang yang dituakan, terdiri dari ayah dan ibu yang merupakan guru dan contoh utama untuk anakanaknya karena

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Enright (2001), mengatakan bahwa forgiveness sebagai suatu bentuk

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Enright (2001), mengatakan bahwa forgiveness sebagai suatu bentuk BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Forgiveness 1. Definisi Forgiveness Enright (2001), mengatakan bahwa forgiveness sebagai suatu bentuk kesiapan melepas hak yang dimiliki seseorang untuk meremehkan, menyalahkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa adalah golongan intelektual yang sedang menjalani pendidikan di perguruan tinggi dan diharapkan nantinya mampu bertindak sebagai pemimpin yang terampil,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan suami, ibu dan ayah, anak perempuan dan anak laki-laki, saudara perempuan

BAB I PENDAHULUAN. dan suami, ibu dan ayah, anak perempuan dan anak laki-laki, saudara perempuan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Keluarga ialah sekelompok orang yang terhubungkan oleh ikatan pernikahan, darah atau adopsi; membentuk suatu rumah tangga tunggal; saling berinteraksi dan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Perselingkuhan merupakan suatu pelanggaran kepercayaan. Hal ini terjadi

BAB II LANDASAN TEORI. Perselingkuhan merupakan suatu pelanggaran kepercayaan. Hal ini terjadi 19 BAB II LANDASAN TEORI A. Perselingkuhan Perselingkuhan merupakan suatu pelanggaran kepercayaan. Hal ini terjadi ketika salah satu ataupun kedua pasangan tidak menghormati lagi perjanjian untuk setia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah dengan memaafkan. Memaafkan adalah salah satu cara untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah dengan memaafkan. Memaafkan adalah salah satu cara untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagian besar dari individu pernah terluka dan memerlukan cara untuk mengatasi luka tersebut. Cara untuk mengatasi luka salah satunya adalah dengan memaafkan.

Lebih terperinci

ROMANTISME PADA WANITA KORBAN KEKERASAN SEKSUAL PADA MASA KANAK- KANAK

ROMANTISME PADA WANITA KORBAN KEKERASAN SEKSUAL PADA MASA KANAK- KANAK 1 ROMANTISME PADA WANITA KORBAN KEKERASAN SEKSUAL PADA MASA KANAK- KANAK SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persayaratan Dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan Oleh: PRIMA NURUL ULUM F. 100 040 011 FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I LATAR BELAKANG MASALAH BAB I LATAR BELAKANG MASALAH 1.1 Latar Belakang Masalah Pada dasarnya setiap manusia memiliki tugas perkembangannya masing-masing sesuai dengan tahap perkembangannya. Mahasiswa memiliki berbagai tugas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai makhluk sosial, remaja akan selalu mengadakan kontak denganorang lain.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai makhluk sosial, remaja akan selalu mengadakan kontak denganorang lain. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial, remaja akan selalu mengadakan kontak denganorang lain. Penyesuaian pribadi dan sosial remaja ditekankan dalam lingkup teman sebaya. Sullivan

Lebih terperinci

FORGIVENESS PADA DEWASA AWAL PUTRI YANG MENGALAMI KEKERASAN PADA MASA KANAK-KANAK

FORGIVENESS PADA DEWASA AWAL PUTRI YANG MENGALAMI KEKERASAN PADA MASA KANAK-KANAK FORGIVENESS PADA DEWASA AWAL PUTRI YANG MENGALAMI KEKERASAN PADA MASA KANAK-KANAK Nama : Yohana Yosephine NPM : 10507259 Jurusan : Psikologi Pembimbing : Diana Rohayati, S.Psi., M.Psi PENDAHULUAN Kekerasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak bisa menangani masalahnya dapat mengakibatkan stres. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. tidak bisa menangani masalahnya dapat mengakibatkan stres. Menurut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap orang memiliki permasalahan dalam hidupnya, dan mereka memiliki caranya masing-masing untuk menangani masalah tersebut. Ada orang yang bisa menangani masalahnya,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI PERILAKU KEKERASAN. tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri,

BAB II TINJAUAN TEORI PERILAKU KEKERASAN. tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, BAB II TINJAUAN TEORI PERILAKU KEKERASAN A. Pengertian Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak anak yang menjadi korban perlakuan salah. United Nations Children s

BAB I PENDAHULUAN. banyak anak yang menjadi korban perlakuan salah. United Nations Children s BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah kekerasan pada anak telah menjadi perhatian dunia, begitu banyak anak yang menjadi korban perlakuan salah. United Nations Children s Fund (UNICEF) (2012)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Weiten & Lloyd (2006) menyebutkan bahwa personal adjustment adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Weiten & Lloyd (2006) menyebutkan bahwa personal adjustment adalah BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Personal Adjustment 1. Definisi Personal Adjustment Weiten & Lloyd (2006) menyebutkan bahwa personal adjustment adalah sebuah proses psikologis yang dijalani seseorang yang mengakibatkan

Lebih terperinci

PENGANTAR. kebiasaan, visi hidup, maupun strata pendidikan. Perbedaan dan keunikan masingmasing

PENGANTAR. kebiasaan, visi hidup, maupun strata pendidikan. Perbedaan dan keunikan masingmasing PENGANTAR Konflik dalam Pernikahan Pernikahan melibatkan dua individu yang berbeda dan unik, baik dari kebiasaan, visi hidup, maupun strata pendidikan. Perbedaan dan keunikan masingmasing pasangan menuntut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau adopsi; membentuk suatu rumah tangga tunggal; saling berinteraksi dan berkomunikasi

BAB I PENDAHULUAN. atau adopsi; membentuk suatu rumah tangga tunggal; saling berinteraksi dan berkomunikasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Keluarga adalah sekelompok orang yang terhubungkan oleh ikatan pernikahan, darah atau adopsi; membentuk suatu rumah tangga tunggal; saling berinteraksi dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan

BAB II TINJAUAN TEORI. Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan BAB II TINJAUAN TEORI A. Pengertian Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tawuran terjadi dikalangan pelajar sudah menjadi suatu hal yang biasa, sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi di tangerang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mulai bergabung dengan teman seusianya, mempelajari budaya masa kanakkanak,

BAB I PENDAHULUAN. mulai bergabung dengan teman seusianya, mempelajari budaya masa kanakkanak, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Anak usia sekolah adalah anak pada usia 6-12 tahun. Pada usia ini anak mulai bergabung dengan teman seusianya, mempelajari budaya masa kanakkanak, dan mengabungkan diri

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. dan memiliki gangguan somatoform tipe konversi sejak tiga tahun yang. setalah subjek mengalami gangguan somatoform, subjek mengalami

BAB V PEMBAHASAN. dan memiliki gangguan somatoform tipe konversi sejak tiga tahun yang. setalah subjek mengalami gangguan somatoform, subjek mengalami BAB V PEMBAHASAN A. Rangkuman Hasil Penelitian Subjek merupakan seorang pria berusia 39 tahun, sudah berkeluarga dan memiliki gangguan somatoform tipe konversi sejak tiga tahun yang lalu. Masa kanak-kanak

Lebih terperinci

Implementasi PFA pada Anak dan Remaja di Satuan Pendidikan

Implementasi PFA pada Anak dan Remaja di Satuan Pendidikan Implementasi PFA pada Anak dan Remaja di Satuan Pendidikan Yogyakarta, 11 Februari 2017 Wahyu Cahyono hanyasatukata@yahoo.com Pusat Krisis Fakultas Psikologi UI Diskusi Jika kita mengalami situasi sulit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu fase dalam kehidupan manusia yang sangat penting dilalui bagi

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu fase dalam kehidupan manusia yang sangat penting dilalui bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu fase dalam kehidupan manusia yang sangat penting dilalui bagi kehidupan setiap orang ialah masa kanak-kanak. Masa kanak-kanak ialah masa yang membutuhkan

Lebih terperinci

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri)

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri) MODUL PERKULIAHAN Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri) Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 03 MK61112 Aulia Kirana,

Lebih terperinci

Suryo Dharmono Bag. Psikiatri FKUI/RSCM

Suryo Dharmono Bag. Psikiatri FKUI/RSCM Suryo Dharmono Bag. Psikiatri FKUI/RSCM Istilah kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT ) dalam tulisan ini merujuk pada segala bentuk kekerasan berbasis gender yang terjadi dalam konteks kehidupan berkeluarga.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perih, mengiris dan melukai hati disebut unforgiveness. Seseorang yang

BAB I PENDAHULUAN. perih, mengiris dan melukai hati disebut unforgiveness. Seseorang yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Membuat perubahan hidup positif adalah sebuah proses multi tahapan yang dapat menjadi kompleks dan menantang. Pengalaman emosi marah, benci, dan kesedihan yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Nilai - nilai yang ada di Indonesiapun sarat dengan nilai-nilai Islam. Perkembangan zaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan memasuki tahap epidemis dengan beberapa sub-populasi beresiko

BAB I PENDAHULUAN. dan memasuki tahap epidemis dengan beberapa sub-populasi beresiko BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah HIV di Indonesia telah berkembang dari sejumlah kasus kecil HIV dan memasuki tahap epidemis dengan beberapa sub-populasi beresiko tinggi yang memiliki angka

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Penyesuaian Diri Penyesuaian berarti adaptasi yang dapat mempertahankan eksistensinya atau bisa bertahan serta memperoleh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia. Setiap individu memiliki harapan untuk bahagia dalam kehidupan perkawinannya. Karena tujuan perkawinan

Lebih terperinci

Konsep Krisis danangsetyobudibaskoro.wordpress.com

Konsep Krisis danangsetyobudibaskoro.wordpress.com Konsep Krisis danangsetyobudibaskoro.wordpress.com Krisis merupakan suatu titik balik yang memungkinkan individu untuk tumbuh dan berkembang, atau menyebabkan dirinya merasa tidak puas, gagal, dan kehidupannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kanak-kanak, relasi dengan orangtua sangat menentukan pola attachment dan

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kanak-kanak, relasi dengan orangtua sangat menentukan pola attachment dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada masa kanak-kanak, relasi dengan orangtua sangat menentukan pola attachment dan relasi antar pribadi pada masa dewasa. Hubungan attachment berkembang melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Attention Deficit Hiperactivity Disorder (ADHD) merupakan suatu gangguan perkembangan yang mengakibatkan ketidakmampuan mengatur perilaku, khususnya untuk mengantisipasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Remaja

BAB I PENDAHULUAN. kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Remaja BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi dimana pada masa itu remaja memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, sedang mencari jati diri, emosi labil serta butuh pengarahan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pemaafan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pemaafan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pemaafan 1. Pengertian Pemaafan Pemaafan sebagai kesediaan seseorang untuk meninggalkan kemarahan, penilaian negatif, dan perilaku acuh tidak acuh terhadap orang lain yang telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lebih dalam antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. (Gilbert

BAB I PENDAHULUAN. lebih dalam antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. (Gilbert BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pacaran adalah masa persiapan menuju pernikahan. Masa saling mengenal lebih dalam antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. (Gilbert Lumoindong, Menang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pemaafan. maaf adalah kata saduran dari bahasa Arab, al afw. Kata ini dalam al-

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pemaafan. maaf adalah kata saduran dari bahasa Arab, al afw. Kata ini dalam al- 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pemaafan 1. Definisi Pemaafan Secara terminologis, kata dasar pemaafan adalah maaf dan kata maaf adalah kata saduran dari bahasa Arab, al afw. Kata ini dalam al- Qur an terulang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Praktek bullying sudah merambah ke dalam dunia pendidikan, hal ini sangat memprihatinkan bagi pendidik, orang tua dan masyarakat. Komnas Perlindungan Anak (PA)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya, hukuman hanya menjadi salah satu bagian dari metode

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya, hukuman hanya menjadi salah satu bagian dari metode 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya, hukuman hanya menjadi salah satu bagian dari metode untuk mendisiplinkan anak. Cara ini menjadi bagian penting karena terkadang menolak untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Self injury pada Remaja Putus Cinta. Muthia dkk. (2016) memaparkan beberapa istilah mengenai self injury

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Self injury pada Remaja Putus Cinta. Muthia dkk. (2016) memaparkan beberapa istilah mengenai self injury BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Self injury pada Remaja Putus Cinta 1. Definisi Self injury Muthia dkk. (2016) memaparkan beberapa istilah mengenai self injury yang seringkali digunakan seperti self mutilation

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk jangka waktu lama dan bersifat residif (hilang-timbul). Sampai saat ini

BAB I PENDAHULUAN. untuk jangka waktu lama dan bersifat residif (hilang-timbul). Sampai saat ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fisik adalah bagian dari tubuh manusia yang mudah dilihat dengan kasat mata, termasuk bagian kulit. Kulit merupakan bagian yang terluas dari tubuh dan bagian terpenting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Prevalensi penderita skizofrenia pada populasi umum berkisar 1%-1,3% (Sadock

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Prevalensi penderita skizofrenia pada populasi umum berkisar 1%-1,3% (Sadock BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penderita skizofrenia dapat ditemukan pada hampir seluruh bagian dunia. Prevalensi penderita skizofrenia pada populasi umum berkisar 1%-1,3% (Sadock dan Sadock,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2011) prestasi belajar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2011) prestasi belajar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2011) prestasi belajar merupakan penguasaan pengetahuan atas keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran lazimnya ditunjukkan

Lebih terperinci

Hubungan Remaja dengan Orangtua,Saudara kandung & Teman Sebaya

Hubungan Remaja dengan Orangtua,Saudara kandung & Teman Sebaya Hubungan Remaja dengan Orangtua,Saudara kandung & Teman Sebaya Remaja, Orang tua, dan Keluarga Remaja dan Orang tua pada masa remaja, sering terjadi ketegangan / tekanan dalam diri remaja karena ingin

Lebih terperinci

Teori Perkembangan Psikososial. Oleh : Yulia Ayriza

Teori Perkembangan Psikososial. Oleh : Yulia Ayriza Teori Perkembangan Psikososial Oleh : Yulia Ayriza Teori Perkembangan Psikososial (Menurut Erik Erikson) Erikson (1950, 1968 ) mengatakan bahwa manusia lebih berkembang dalam tahap psikososial daripada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan mengalami masa transisi peran sosial, individu dewasa awal akan menindaklanjuti hubungan dengan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1. Kekerasan 2.1.1. Pengertian Kekerasan Krug, Dahlberg, Mercy, Zwi, dan Lozano (2002) kesengajaan menggunakan kekuatan fisik atau kekuasaan, mengancam,

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Anak-anak yang mengalami kekerasan seksual memiliki gejala gangguan yang lebih

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Anak-anak yang mengalami kekerasan seksual memiliki gejala gangguan yang lebih BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Anak-anak yang mengalami kekerasan seksual memiliki gejala gangguan yang lebih banyak daripada anak yang tidak mengalaminya, tetapi mereka memiliki gejala yang lebih sedikit dibandingkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Stres senantiasa ada dalam kehidupan manusia yang terkadang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Stres senantiasa ada dalam kehidupan manusia yang terkadang menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Stres senantiasa ada dalam kehidupan manusia yang terkadang menjadi masalah kesehatan mental. Jika sudah menjadi masalah kesehatan mental, stres begitu mengganggu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkosaan merupakan peristiwa yang mengakibatkan beban masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. Perkosaan merupakan peristiwa yang mengakibatkan beban masalah yang BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah Perkosaan merupakan peristiwa yang mengakibatkan beban masalah yang berat bagi korban yang mengalaminya. Pada umumnya korban perkosaan akan mengalami trauma

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN

BAB V HASIL PENELITIAN 47 BAB V HASIL PENELITIAN A. Analisis Data 1. Uji Asumsi Uji asumsi merupakan uji data pertama yang dilakukan sebelum menggunakan teknik analisis korelasi product moment untuk menguji hipotesis. Uji asumsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Dalam kehidupan, belum ada seorang manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain (www.wikipedia.com).

Lebih terperinci

Kesehatan Mental. Mengatasi Stress / Coping Stress. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

Kesehatan Mental. Mengatasi Stress / Coping Stress. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi Modul ke: Kesehatan Mental Mengatasi Stress / Coping Stress Fakultas Psikologi Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Coping Stress Coping Proses untuk menata tuntutan

Lebih terperinci

MENGELOLA STRESS DAN MENGENDALIKAN EMOSI. dr Gunawan Setiadi Tirto Jiwo, Pusat Pemulihan dan Pelatihan Gangguan Jiwa

MENGELOLA STRESS DAN MENGENDALIKAN EMOSI. dr Gunawan Setiadi Tirto Jiwo, Pusat Pemulihan dan Pelatihan Gangguan Jiwa MENGELOLA STRESS DAN MENGENDALIKAN EMOSI dr Gunawan Setiadi Tirto Jiwo, Pusat Pemulihan dan Pelatihan Gangguan Jiwa STRESS Segala kejadian (masa lalu/ masa datang) yang menimbulkan perasaan tidak enak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa merupakan generasi penerus bangsa yang diharapkan menjadi calon-calon pemimpin bangsa maupun menjadi calon penggerak kehidupan bangsa dari sumbangsih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. luar keluarga seperti teman-teman atau sahabat. Santrock (2007) yang tinggi atas perbuatan yang mereka lakukan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. luar keluarga seperti teman-teman atau sahabat. Santrock (2007) yang tinggi atas perbuatan yang mereka lakukan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa pencarian identitas diri, sehingga hubungan yang dijalin tidak lagi hanya dengan orangtua, tapi sudah merambah ke hubungan luar keluarga seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penerimaan diri dibutuhkan oleh setiap individu untuk mencapai keharmonisan hidup, karena pada dasarnya tidak ada manusia yang diciptakan oleh Allah SWT tanpa kekurangan.

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal HARGA DIRI PADA WANITA DEWASA AWAL MENIKAH YANG BERSELINGKUH KARTIKA SARI Program Sarjana, Universitas Gunadarma Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana gambaran harga diri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada waktu dan tempat yang kadang sulit untuk diprediksikan. situasi

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada waktu dan tempat yang kadang sulit untuk diprediksikan. situasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya setiap individu pasti mengalami kesulitan karena individu tidak akan terlepas dari berbagai kesulitan dalam kehidupannya. Kesulitan dapat terjadi pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut (Nugroho. T, 2010: 94) Aquired Immune Deficiency Syndrome

BAB I PENDAHULUAN. Menurut (Nugroho. T, 2010: 94) Aquired Immune Deficiency Syndrome BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut (Nugroho. T, 2010: 94) Aquired Immune Deficiency Syndrome adalah penyakit yang merupakan kumpulan gejala akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah perilaku seksual pada remaja saat ini menjadi masalah yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih menganggap tabu untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Masa remaja berlangsung antara usia 12 sampai 21 tahun dan terbagi menjadi masa remaja

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Departemen Kesehatan (1988, dalam Effendy 1998)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Departemen Kesehatan (1988, dalam Effendy 1998) BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Dukungan Keluarga 1. Pengertian Keluarga Menurut Departemen Kesehatan (1988, dalam Effendy 1998) Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk berstruktur lanjut usia (aging structured population) karena dari tahun ke tahun, jumlah penduduk Indonesia

Lebih terperinci

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan BAB I 1.1 Latar Belakang Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tugas perkembangan pada remaja salah satunya adalah mencapai kematangan hubungan sosial dengan teman sebaya baik pria, wanita, orang tua atau masyarakat. Dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa kini banyak pola hidup yang kurang sehat di masyarakat sehingga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa kini banyak pola hidup yang kurang sehat di masyarakat sehingga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa kini banyak pola hidup yang kurang sehat di masyarakat sehingga menimbulkan beberapa macam penyakit dari mulai penyakit dengan kategori ringan sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker adalah istilah umum yang digunakan untuk satu kelompok besar penyakit

BAB I PENDAHULUAN. Kanker adalah istilah umum yang digunakan untuk satu kelompok besar penyakit BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kanker adalah istilah umum yang digunakan untuk satu kelompok besar penyakit yang dapat mempengaruhi setiap bagian dari tubuh (WHO, 2015). Menurut National

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL PSIKOLOGI PERKEMBANGAN DEWASA DAN LANSIA PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL Oleh: Dr. Rita Eka Izzaty, M.Si Yulia Ayriza, Ph.D STABILITAS DAN PERUBAHAN ANAK-DEWASA TEMPERAMEN Stabilitas

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini membahas aspek yang terkait dengan penelitian ini yaitu : 1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Spiritualitas

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini membahas aspek yang terkait dengan penelitian ini yaitu : 1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Spiritualitas BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Bab ini membahas aspek yang terkait dengan penelitian ini yaitu : 1. Karakteristik Pemenuhan Kebutuhan Spiritualitas 1.1 Definisi Spiritualitas 1.2 Karakteristik Spiritualitas 1.3

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam perkembangan hidup, individu memiliki harapan untuk dapat terus

BAB I PENDAHULUAN. Dalam perkembangan hidup, individu memiliki harapan untuk dapat terus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam perkembangan hidup, individu memiliki harapan untuk dapat terus menerus menjadi kekasih, orang kepercayaan, penasihat, orang yang berkarier dan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Psikologi merupakan ilmu yang mempelajari mengenai tingkah laku

BAB I PENDAHULUAN. Psikologi merupakan ilmu yang mempelajari mengenai tingkah laku BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Psikologi merupakan ilmu yang mempelajari mengenai tingkah laku manusia. Pengetahuan di bidang psikologi secara khas digunakan untuk melihat dan menindaklanjuti

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sebenarnya ada dibalik semua itu, yang jelas hal hal seperti itu. remaja yang sedang berkembang.

BAB 1 PENDAHULUAN. sebenarnya ada dibalik semua itu, yang jelas hal hal seperti itu. remaja yang sedang berkembang. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Belakangan ini marak terjadi kasus perkelahian antar siswa sekolah yang beredar di media sosial. Permasalahannya pun beragam, mulai dari permasalahan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan lingkungan lainnya. Dalam kehidupan rumah tangga, dibutuhkan komunikasi

BAB I PENDAHULUAN. dengan lingkungan lainnya. Dalam kehidupan rumah tangga, dibutuhkan komunikasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan lingkungan terdekat dalam sistem pranata sosial manusia. Individu akan lebih sering berinteraksi dalam keluarga dibandingkan dengan lingkungan

Lebih terperinci

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah tahap yang penting bagi hampir semua orang yang memasuki masa dewasa awal. Individu yang memasuki masa dewasa awal memfokuskan relasi interpersonal

Lebih terperinci

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB II. Tinjauan Pustaka BAB II Tinjauan Pustaka Dalam bab ini peneliti akan membahas tentang tinjauan pustaka, dimana dalam bab ini peneliti akan menjelaskan lebih dalam mengenai body image dan harga diri sesuai dengan teori-teori

Lebih terperinci

3. Emosi subyek ketika menjawab pertanyaan interview. 4. Bagaimana kebudayaan etnis Cina dalam keluarga subyek?

3. Emosi subyek ketika menjawab pertanyaan interview. 4. Bagaimana kebudayaan etnis Cina dalam keluarga subyek? Pedoman Observasi 1. Kesan umum subyek secara fisik dan penampilan 2. Relasi sosial subyek dengan teman-temannya 3. Emosi subyek ketika menjawab pertanyaan interview Pedoman Wawancara 1. Bagaimana hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Wanita merupakan individu yang memiliki keterbukaan dalam membagi permasalahan kehidupan maupun penilaian mereka mengenai sesuatu ataupun tentang orang lain.

Lebih terperinci

BAB II KONSEP DASAR. orang lain maupun lingkungan (Townsend, 1998). orang lain, dan lingkungan (Stuart dan Sundeen, 1998).

BAB II KONSEP DASAR. orang lain maupun lingkungan (Townsend, 1998). orang lain, dan lingkungan (Stuart dan Sundeen, 1998). BAB II KONSEP DASAR A. Pengertian Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi seorang anak dalam mempelajari berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar inilah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mercu Buana, Universitas memberikan banyak wadah kegiatan untuk melengkapi

BAB I PENDAHULUAN. Mercu Buana, Universitas memberikan banyak wadah kegiatan untuk melengkapi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mahasiswa adalah agen perubahan yang akan memberikan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Sebagai kaum intelektual, mahasiswa ditantang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Kekerasan dalam rumah tangga (domestic violance) menurut Anne L. Ganley

BAB II LANDASAN TEORI. Kekerasan dalam rumah tangga (domestic violance) menurut Anne L. Ganley BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) 2.1.1 Definisi KDRT Kekerasan dalam rumah tangga (domestic violance) menurut Anne L. Ganley (1995), adalah pola perilaku kekerasan atau ancaman

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. menjadi tidak teratur atau terasa lebih menyakitkan. kebutuhan untuk menjadi orang tua dan menolak gaya hidup childfree dan juga

BAB V PENUTUP. menjadi tidak teratur atau terasa lebih menyakitkan. kebutuhan untuk menjadi orang tua dan menolak gaya hidup childfree dan juga BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Dari hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya seluruh subjek mengalami stres. Reaksi stres yang muncul pada subjek penelitian antara lain berupa reaksi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. menimbulkan stress. Keinginan untuk mendapatkan penerimaan (acceptance)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. menimbulkan stress. Keinginan untuk mendapatkan penerimaan (acceptance) BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penolakan Sosial 2.1.1 Konsep Penolakan Sosial Penolakan merupakan keadaan yang sangat umum dan berpotensi untuk menimbulkan stress. Keinginan untuk mendapatkan penerimaan (acceptance)

Lebih terperinci

Banyak orangtua menganggap kekerasan pada anak adalah hal yang wajar. Mereka beranggapan kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan anak.

Banyak orangtua menganggap kekerasan pada anak adalah hal yang wajar. Mereka beranggapan kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan anak. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kekerasan anak atau child abuse adalah perlakuan orang dewasa atau anak yang lebih tua dengan menggunakan kekuasaan/otoritasnya terhadap anak yang tak berdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan kesempatan untuk pertumbuhan fisik, kognitif, dan psikososial tetapi juga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan kesempatan untuk pertumbuhan fisik, kognitif, dan psikososial tetapi juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja dalam masyarakat industri modern adalah peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Masa remaja berlangsung dari usia 10 atau 11 tahun sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang lain, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang lain, sehingga BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Kekerasan adalah semua bentuk perilaku verbal maupun non verbal yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang lain, sehingga menyebabkan efek negatif secara fisik,

Lebih terperinci

KETERAMPILAN KONSELING BAGI GURU. 6/14/2010 Anne Hafina PPB UPI Bandung

KETERAMPILAN KONSELING BAGI GURU. 6/14/2010 Anne Hafina PPB UPI Bandung KETERAMPILAN KONSELING BAGI GURU Konseling sekolah merupakan kekuatan baru dalam pendidikan, sumber kontroversi, sumber inspirasi, sumber pemahaman teoritis, dan sumber keterampilan praktis. Komponen Keterampilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mereka dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Siswa Sekolah Menengah

BAB I PENDAHULUAN. mereka dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Siswa Sekolah Menengah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada siswa Sekolah Menengah Pertama berusia 12 tahun sampai 15 tahun, mereka membutuhkan bimbingan dan arahan dari pihak keluarga dan sekolah agar mereka dapat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari hubungan

BAB 1 PENDAHULUAN. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari hubungan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari hubungan dengan orang lain yang meliputi interaksi di lingkungan sekitarnya. Sepanjang hidup, manusia akan

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN

BAB V HASIL PENELITIAN BAB V HASIL PENELITIAN A. Rangkuman Hasil Penelitian Ketiga subjek merupakan pasangan yang menikah remaja. Subjek 1 menikah pada usia 19 tahun dan 18 tahun. Subjek 2 dan 3 menikah di usia 21 tahun dan

Lebih terperinci