BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Self injury pada Remaja Putus Cinta. Muthia dkk. (2016) memaparkan beberapa istilah mengenai self injury

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Self injury pada Remaja Putus Cinta 1. Definisi Self injury Muthia dkk. (2016) memaparkan beberapa istilah mengenai self injury yang seringkali digunakan seperti self mutilation atau mutilasi diri (Suyemoto, 2011), nonsuicidal self injurious behaviors atau NSSI melukai diri tanpa niatan untuk bunuh diri (Hall dkk., 2011), dan self cutting behavior atau perilaku menyayat diri (Yip dalam Pretorius, 2011). Shabrina (2011) mengatakan self injury merupakan perilaku melukai dirinya sendiri yang dilakukan dengan sengaja seperti menyayat bagian kulit dengan pisau atau silet, memukul diri sendiri, membakar bagian tubuh tertentu, menarik rambut dengan keras, bahkan memotong bagian tubuh tertentu tanpa ada maksud untuk bunuh diri. Kemudian, The International Society for Study (dalam Whitlock dkk, 2009) mengatakan self injury adalah perilaku melukai diri sendiri dengan disengaja yang mengakibatkan kerusakan langsung pada tubuh, untuk tujuan bukan sanksi sosial dan tanpa maksud bunuh diri. Sementara itu, menurut Alderman dan Connors (dalam Fiona, 2005) self injury merupakan suatu metode yang digunakan untuk mempertahankan hidup dan merupakan suatu metode coping terhadap keadaan emosional yang sulit seperti kecemasan, stress dan perasaan negatif lainnya. Definisi lain dikemukakan Walsh (2006) yang menyatakan bahwa self injury adalah perilaku yang disengaja untuk menyakiti diri sendiri guna mengurangi

2 penderitaan psikologis. Walsh (2006) mengatakan self injury sering dipilih sebagai cara yang efektif untuk menanggulangi masalah yang sedang dihadapi, meskipun harus menyakiti diri sendiri. Berdasarkan pendapat ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa self injury merupakan perilaku melukai dirinya sendiri yang dilakukan dengan sengaja seperti menyayat bagian kulit dengan pisau atau silet, memukul diri sendiri, membakar bagian tubuh tertentu, menarik rambut dengan keras, bahkan memotong bagian tubuh tertentu tanpa ada maksud untuk bunuh diri. 2. Tipe Self injury Caperton (2004) membedakan perilaku self injury menjadi tiga jenis, yaitu: a. Major self mutilation Major self mutilation yaitu tindakan yang secara significant menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki seperti semula pada organ-organ besar tubuh misalnya saja memotong tungkai atau mencungkil mata. Jenis self injury ini biasanya dilakukan oleh individu yang menderita psikosis. b. Stereotypic self injury Stereotypic self injury merupakan bentuk self injury yang lebih ringan namun sifatnya lebih berulang. Self injury tipe ini biasanya meliputi perilaku berulang seperti membenturkan kepala pada lantai. Individu yang melakukannya biasanya memiliki kelainan saraf seperti autisme atau sindroma Tourette.

3 c. Moderate/Superficial Selfmutilation Tip self injury yang ketiga ini merupakan tipe self injury yang paling banyak dilakukan. Moderate/superficial self mutilation sendiri masih memiliki tiga buah subtipe yaitu episodik, repetitif, dan kompulsif. Tipe kompulsif secara mendasar memiliki kesamaan dengan gangguan psikologis seperti gangguan obsesif-kompulsif. Tipe ini biasanya lebih kurang disadari oleh pelakunya dan biasanya bukan dilakukan untuk mencapai pelepasan namun lebih sebagai kompulsi. Greudanus dkk. (dalam Ramos, 2012) bentuk-bentuk self injury diantaranya: (a) Mengkonsumsi obat-obatan, (b) Meracuni diri sendiri, (c) Mengiris kulitnya sendiri, (d) Berbagai bentuk mutilasi diri (Membakar bagian tubuhnya sendiri; Mencakar bagian tubuhnya sendiri; Mencubit bagian tubuhnya sendiri; Menyilet bagian tubuhnya; Memukuli bagian tubuhnya sendiri), (e) menembak bagian tubuhnya, (f) Menggantung diri sendiri, (g) Terjun bebas dari tempat tinggi, dan (h) terjun ke dalam sumur. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat 3 bentuk self injury, yaitu: (1) self injury yang menyebabkan keparahan yang tidak bisa diperbaiki, (2) self injury yang dilakukan secara berulang-ulang, dan (3) self injury yang dilakukan tanda kesadaran. 3. Faktor-faktor Penyebab Self injury Martinson (1999) menyebutkan faktor penyebab dilakukannya self injury antara lain:

4 a. Faktor Keluarga Pelaku self injury dalam perspektif ini disebabkan karena kurangnya peran model pada masa kecil dalam mengekspresikan emosi serta kurangnya komunikasi antar anggota keluarga. b. Faktor Pengaruh Biokimia Pelaku self injury memiliki masalah yang spesifik dalam sistem serotogenik otak yang menyebabkan meningkatnya impulsivitas dan agresivitas. c. Faktor Psikologis Pelaku self injury merasakan adanya kekuatan emosi yang tidak nyaman dan tidak mampu untuk mengatasinya. d. Faktor kepribadian Tipe kepribadian introvert memiliki kecenderungan self injury lebih besar dibandingkan tipe kepribadian ekstrovert saat sedang menghadapi masalah. Pola perilaku self injury sangat bergantung pada mood seseorang. Selain itu adanya harga diri yang rendah, pola pemikiran yang kaku dan sulitnya mengkomunikasikan perasaan menjadi faktor penunjang bagi seseorang untuk melakukan self injury. Linehan (1993) mengatakan bahwa faktor penyebab self injury adalah faktor keluarga dan lingkungan pergaulan yang tidak sehat dimana pelaku tinggal, diantaranya: (a) Tumbuh didalam keluarga yang kacaubalau, (b) Kurang kasih sayang ataupun kurang perhatian, (c) Pernah mengalami kekerasan dalam keluarga, (d) Adanya komunikasi yang kurang baik di dalam

5 keluarga, (e) Mengekspresikan pengalaman pribadi tidak ditanggapi dengan baik dan sering dihukum atau diremehkan, dan (f) Mengekspresikan perasaan yang menyakitkan ditanggapi dengan acuh tak acuh. Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan seseorang melakukan self injury adalah dari dalam diri pelaku sendiri yang disebabkan oleh stresss, rasa malu, tertekan, kerusakan biologis dalam otak. Selain itu faktor lingkungan juga berperan saat individu melakukan self injury, lingkungan yang tidak baik, serta kurangnya dukungan saat individu mengalami masalah akan menyebabkan terjadinya perilaku self injury. 4. Karakteristik Individu yang Melakukan Self injury Menurut Eliana (dalam Estepan, dkk., 2014) para pelaku self injury memiliki karakteristik sebagai berikut: a. Berdasarkan kepribadian pelaku: 1) Kesulitan mengendalikan impuls di berbagai area, yang terlihat dalam masalah gangguan makan atau adiksi terhadap zat adiktif. 2) Para pelaku self injury cenderung memiliki self esteem yang rendah dan kebutuhan atau dorongan yang kuat untuk mendapatkan cinta dan penerimaan orang lain. 3) Pola pemikiran yang kaku, cara berpikir yang harus mencapai suatu tujuan atau tidak sama sekali.

6 b. Berdasarkan lingkungan keluarga pelaku: 1) Masa kecil penuh trauma atau kurangnya sosok salah satu atau kedua orangtua, menimbulkan kesulitan-kesulitan menginternalisasikan perhatian positif. 2) Ketidakmampuan atau ketidakmauan untuk mengurus diri sendiri dengan baik. c. Berdasarkan lingkungan sosial pelaku: 1) Kurangnya kemampuan untuk membentuk dan menjaga hubungan yang stabil. 2) Takut akan perubahan, baik perubahan dalam kegiatan sehari-hari maupun pengalaman baru dalam bentuk apapun (orang-orang, tempat peristiwa), dapat juga perubahan perilaku mereka, atau perubahan yang mungkin diperlukan untuk pulih. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik individu yang melakukan self injury adalah individu memiliki self esteem yang rendah, memiliki pola pemikiran yang kaku, takut akan perubahan, serta kurang dalam membentuk atau menjaga hubungan yang stabil. 5. Tahap Putus Cinta Peristiwa putus cinta merupakan peristiwa yang khas (idiosyncratic) pada orang yang mengalami. Duck (dalam Duck dkk, 2006) mengajukan sebuah tahap-tahap umum yang terjadi dalam pemutusan hubungan intim, diantaranya:

7 a. Personal Phase Personal phase merupakan tahap pertama yaitu salah satu pihak merasa tidak puas, frustasi dan marah sehingga terjadinya pemutusan hubungan. b. Dyadic Phase Dyadic phase yaitu pihak yang tidak bahagia mengungkapkan ketidakpuasannya. Tahap ini berisi periode negosiasi, konfrontasi serta usaha mengakomodasi keluhan salah satu pihak, sehingga sering disertai perasaan shock, marah, terluka, dan terkadang ada perasaan lega. c. Social Phase Pada tahap social phase, yakni kedua belah pihak mulai mengungkapkan cerita versi masing-masing mengenai kesulitan dalam hubungan kepada teman dan keluarga, untuk mencari dukungan dan untuk dimengerti. d. Grave-Dressing Phase Grave-dressing phase merupakan tahap terakhir dan terjadi setelah hubungan diakhiri. Dalam tahap ini, seseorang mulai berusaha mengatasi rasa kehilangan dengan merevisi memori, atau membuat cerita yang dapat diterima (account making). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tahap putus cinta dimulai dari personal phase, kemudian dyadic phase, selanjutnya sosial phace dan yang terakhir grave-dressing phase.

8 6. Definisi Remaja Santrok (2007) mendefinisikan masa remaja adalah periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosioemosional, sedangkan WHO (dalam Sarwono, 2013) mendefinisikan remaja secara konseptual, dibagi menjadi tiga kriteria yaitu biologis, psikologis dan social ekonomi, dengan batasan usia antara tahun, yang secara lengkap definisi tersebut berbunyi sebagai berikut: a. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual. b. Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa. c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relative lebih mandiri. Monks (2006) sendiri memberikan batasan usia masa remaja adalah masa diantara tahun dengan perincian tahun masa remaja awal, tahun masa remaja pertengahan, dan tahun masa remaja akhir. Selanjutnya Mappiare (dalam Ali dkk., 2015) mengatakan masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai 21 tahun bagi wanita dan tahun bagi pria. Sedangkan Hurlock (1999) yang membagi masa remaja menjadi dua bagian, yaitu masa remaja awal tahun, sedangkan masa remaja akhir tahun.

9 Berdasarkan pendapat ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa remaja merupakan periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosioemosional yang berusia tahun. 7. Dinamika Self injury pada Remaja Putus Cinta Santrok (2007) mendefinisikan masa remaja adalah periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosioemosional. Salah satu tugas perkembangan remaja yang dikemukakan oleh Garrison (dalam Mighwar, 2006) adalah menjalin hubungan baru dengan teman-teman sebaya yang berlainan jenis (pacaran). Menjalin hubungan dengan lawan jenis atau pacaran merupakan phenomena yang wajar dan sudah dianggap hal biasa dilakukan oleh kalangan remaja. Pacaran atau menjalin hubungan romantis menurut Santrock (2007) sudah terbentuk pada tahun 1920-an, dimana saat itu fungsi utama pacaran adalah untuk memilih dan mendapatkan seorang pasangan, tetapi saat ini gaya pacaran yang dilakukan remaja sudah bergeser jauh dari fungsi awalnya. Gaya pacaran remaja saat ini tidak hanya sebagai bentuk perkenalan, tetapi remaja saat ini sudah merasa memiliki pasangan seutuhnya, yang akhirnya akan berakibat tidak baik saat remaja tersebut putus cinta. Hal tersebut sejalan dengan yang dikemukakan oleh Santrock (2002) yang mengatakan, saat ini remaja lebih banyak meluangkan waktu untuk berkencan atau berpikir tentang berkencan, yang melampaui fungsi asli berkencan

10 sebagai suatu bentuk rekreasi, sumber dan prestasi, serta suatu setting untuk belajar tentang relasi yang akrab. Selanjutnya (Miller ddk., 2007) mengatakan relationship merupakan suatu proses yang penuh dengan perubahan, seperti perubahan mood hingga kondisi kesehatan. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam menjalin hubungan tentu bisa saja sampai pada berakhirnya hubungan tersebut. Sejalan dengan hal tersebut, Duck dkk. (2006) mengatakan bahwa pemutusan suatu hubungan (relationship dissolution) merupakan hal yang normal terjadi dalam dinamika hubungan intim. Duck (dalam Duck dkk., 2006) mengatakan terdapat tahap-tahap umum yang terjadi dalam pemutusan hubungan intim, yaitu personal phase, dyadic phase, sosial phace dan grave-dressing phase. Personal phase merupakan tahap pertama yaitu salah satu pihak merasa tidak puas, frustasi dan marah sehingga terjadinya pemutusan hubungan. Selanjutnya dyadic phase yaitu pihak yang tidak bahagia mengungkapkan ketidakpuasannya. Tahap ini berisi periode negosiasi, konfrontasi serta usaha mengakomodasi keluhan salah satu pihak, sehingga sering disertai perasaan shock, marah, terluka, dan terkadang ada perasaan lega. Pada tahap ini pihak yang diputuskan akan berusaha mempertahankan hubungan dengan berbagai cara salah satunya dengan melakukan self injury sebagai bentuk konfrontasi dan untuk mengungkapkan perasaannya. Sedangkan pihak yang memutuskan, bisa terpengaruh dengan apa yang

11 dilakukan oleh pasangan sehingga mereka tidak jadi mengakhiri hubungan, ataupun sebaliknya. Selanjutnya tahap social phase, yaitu kedua belah pihak mulai mengungkapkan cerita versi masing-masing mengenai kesulitan dalam hubungan kepada teman dan keluarga, untuk mencari dukungan dan untuk dimengerti. Pengungkapan perasaan tersebut merupakan salah satu cara mereka dalam menyalurkan stres yang dihadapi. Saam, dkk.(2012) mengatakan dalam mengatasi stres secara positif bisa dilakukan dengan melakukan relaksasi, melakukan olah raga, memancing, membicarakan masalah yang dihadapi dengan orang lain atau dengan ahli, melakukan yoga dan melakukan dzikir. Selanjutnya Kirchner (dalam Santrok, 2007) mengatakan salah satu cara yang dilakukan dalam megungkapkan stres secara negatif adalah dengan melukai diri sendiri, percobaan bunuh diri bahkan bunuh diri. Tahap terakhir adalah Grave-dressing phase merupakan tahap terakhir dan terjadi setelah hubungan diakhiri. Dalam tahap ini, seseorang mulai berusaha mengatasi rasa kehilangan dengan merevisi memori, atau membuat cerita yang dapat diterima (account making). Menurut Eliana (dalam Walsh, 2006) para pelaku self injury memiliki karakteristik seperti: (a) Kesulitan mengendalikan impuls di berbagai area, yang terlihat dalam masalah gangguan makan atau adiksi terhadap zat adiktif, (b) memiliki self esteem yang rendah dan kebutuhan atau dorongan yang kuat untuk mendapatkan cinta dan penerimaan orang lain, (c) memiliki pola

12 pemikiran yang kaku, (d) Masa kecil penuh trauma atau kurangnya sosok salah satu atau kedua orangtua, (e) ketidakmampuan atau ketidakmauan untuk mengurus diri sendiri dengan baik, (f) kurangnya kemampuan untuk membentuk dan menjaga hubungan yang stabil, serta (g) takut akan perubahan. Martinson (1999) menyebutkan faktor penyebab dilakukannya self injury antara lain: (a) Faktor Keluarga, dimana pelaku self injury dalam perspektif ini disebabkan karena kurangnya peran model pada masa kecil dalam mengekspresikan emosi serta kurangnya komunikasi antar anggota keluarga, (b) Faktor Pengaruh Biokimia, dimana pelaku self injury memiliki masalah yang spesifik dalam sistem serotogenik otak yang menyebabkan meningkatnya impulsivitas dan agresivitas, (c) Faktor Psikologis, dimana pelaku self injury merasakan adanya kekuatan emosi yang tidak nyaman dan tidak mampu untuk mengatasinya, dan (d) Faktor kepribadian, dimana tipe kepribadian introvert memiliki kecenderungan self injury lebih besar dibandingkan tipe kepribadian ekstrovert saat sedang menghadapi masalah. Pola perilaku self injury sangat bergantung pada mood seseorang. Selain itu adanya harga diri yang rendah, pola pemikiran yang kaku dan sulitnya mengkomunikasikan perasaan menjadi faktor penunjang bagi seseorang untuk melakukan self injury. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa self injury merupakan suatu strategi yang dilakukan oleh remaja yang putus cinta untuk menyalurkan emosi atau stresss yang dialami saat putus cinta. Self injury yang

13 dilakukan remaja bisa terjadi karena kurangnya dukungan dari lingkungan saat remaja putus cinta, serta remaja yang merasakan kecemasan, rasa tertekan dan panik, kemarahan, depresi, malu, rasa bersalah, dan kebencian akibat dari putus. B. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan penjelasan teoritis yang telah dikemukakan mengenai self injury pada remaja, maka peneliti mengajukan pertayaan penelitan Bagaimana dinamika self injury pada remaja putus cinta?