II. TINJAUAN PUSTAKA
|
|
- Sucianty Kusumo
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Limbah Industri Gula Industri gula menghasilkan sejumlah limbah baik berupa limbah padat, cair maupun gas. Limbah industri gula mengandung bahan organik yang berpotensi mencemari lingkungan bila tidak tertangani dengan baik. Menurut Widiantoko (2010) limbah padat yang dihasilkan berupa ampas tebu (baggase), blotong, dan abu ketel. Ampas tebu merupakan residu dari penggilingan tebu yang mengandung serat dan selulosa (Kuo dan Lee 2009) sedangkan abu ketel merupakan hasil pembakaran ampas tebu sebagai bahan bakar boiler pada suhu C (Batubara 2009). Blotong (filter cake) merupakan residu dari proses pemurnian nira berupa endapan semi basah. Komposisi blotong menurut Anonim (2009) adalah dari sabut, wax dan lemak kasar, protein kasar, gula, total abu, SiO 2, CaO, P 2 O 5 dan MgO. Perbedaan komposisi bahan tergantung dari pola produksi dan tebu yang digunakan. Berdasarkan uji Laboratorium Pengujian Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB unsur yang terkandung dalam blotong dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi blotong Parameter Blotong Bahan Organik 15,59 % Nitrogen 0,32 % Karbon 8,39% Fosfor 0,49 % C/N ratio 26,22 Kalium (K 2 O) 0,19 % Kalsium 1,81% Besi 0,43% Alumunium 0,52 % Mangan 0,04 % Magnesium 0,084 % Sumber : Laboratorium Pengujian Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB, 2011 Limbah cair industri gula berasal dari kegiatan produksi dan kegiatan non produksi. Limbah cair sangat berbahaya bagi lingkungan terutama badan air sebagai tempat pengeluaran akhir. Menurut Anonim (2010) limbah cair memberikan pengaruh negatif terhadap kualitas dan kuantitas badan air. Limbah cair yang berasal dari bekas ketel memiliki suhu yang tinggi bila air tersebut langsung dibuang akan menyebabkan kematian biota air. Bahan organik yang terkandung dalam limbah cair akan mengalami dekomposisi yang dapat menurunkan kadar oksigen terlarut dalam air. Selain itu, timbulnya bau, perubahan warna dan kekeruhan air dapat mengurangi nilai estetika lingkungan. Oleh karena itu, perlu adanya pengolahan khusus terhadap limbah cair dari unit Instalasi Penangan Air Limbah (IPAL) industri gula. 4
2 Pada umumnya, industri di Indonesia menggunakan sistem penangan limbah cair secara biologis untuk mengurangi beban pencemar limbah cair. Pengolahan limbah cair secara biologis bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan kandungan organik yang terdapat di dalam limbah dengan bantuan mikroorganisme. Adapun tipe proses pengolahan biologis secara aerob yang sering digunakan antara lain Activated Slude Process (proses lumpur aktif), Stabilization Ponds (kolam stabilitas), Trickling Filter, dan Rotating Biological Contactors (RBCs) (Djajadiningrat, 1992). Sebagian besar industri gula yang beroperasi di Indonesia menerapkan sistem penangan limbah cair Activated Sludge Process. Sama seperti proes utama pembuatan gula kristal, proses penangan limbah cair pun menghasilkan limbah lainnya yakni sludge. Menurut Suprayitno (2001) sludge merupakan kumpulan mikroorganisme yang bekerja mengurai bahan organik dalam sistem pengolahan limbah cair. Selama proses berlangsung, jumlah sludge akan terus meningkat sebagai hasil dari pertumbuhan mikroorganisme pengurai. Sebagian besar komponen sludge terdiri dari mikroorganisme sehingga dapat diperkirakan bahwa komposisi dasar sludge adalah sel mikroba. Metcalf dan Eddy (1991) menyatakan bahwa komposisi dasar sel yatitu 90% material organik dan 10% material anorganik. Fraksi organik menunjukan bahwa terdapat 53% kandungan C dan memiliki kandungan ratio C/N empiris yaitu 4,3%. Fraksi anorganik terdiri dari 50% P 2 O 5, 15% SO 3, 11%Na 2 O, 9% CaO, 8 % MgO, 6 % K 2 O dan 1% Fe2O5. Namun, tidak semua sludge mengandung komponen dasar yang sama. Menurut Arifudin (2001) karakteristik sludge industri berbeda-beda tergantung dari jens industri, tambahan bahan kimia, dan sistem dewatering dari sludge. Karakteristik sludge industri gula berdasarkan uji Laboratorium Pengujian Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi sludge industri gula Parameter Blotong Bahan Organik % Nitrogen 3.79 % Karbon 23.18% Fosfor 1.86 % C/N ratio 6.12 Kalium (K2O) 1.74 % Kalsium 1.83% Besi 1.41% Alumunium 1.02 % Mangan % Magnesium % Sumber : Laboratorium Pengujian Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB, Teknologi Pengomposan Ada beberapa sistem penangan limbah padat yang telah dikenal antara lain pembakaran (inceneration), pembuangan (landfilling), dan penggunaan kembali (recycling). Sistem pembakaran limbah padat menghasilkan sejumlah energi yang dapat dimanfaatkan untuk proses lainnya. Pembakaran dapat mengurangi volume limbah padat dengan cepat namun massa jenis yang dihasilkan tidak berubah. Selain itu, proses pembakaran limbah padat menghasilkan komponen organik dan 5
3 anorganik tertentu yang dapat membahayakan kesehatan manusia bila terakumulasi dalam udara. Sebagai contoh, emisi senyawa organik yang berbahaya yaitu dioxin sedangkan bahan anorganik berbahaya yaitu Cadmium dan campuran mercury. Pembakaran pada suhu ºC dapat menghilangkan senyawa dioxin namun hal ini membutuhkan supplai energi yang besar sehingga biaya operasional sistem ini menjadi tinggi. Landfilling merupakan salah satu cara penanganan limbah padat dengan cara mengumpulkan limbah padat pada suatu areal lahan tertentu. Sistem ini membutuhkan lahan yang luas untuk menampung limbah padat yang dihasilkan selama proses produksi berlangsung. Namun, ketersediaan lahan yang terbatas saat ini mengakibatkan pengelolaan sistem landfilling sangat mahal. Selain itu, penimbunan limbah tersebut dapat mengakibatkan timbulnya emisi gas yang berpeluang menimbulkan bahaya bagi manusia. Sistem recycling merupakan sistem pendayagunaan limbah menjadi suatu produk lain yang memiliki nilai tambah dan manfaat tersendiri. Sistem recycling merupakan sistem yang paling efektif untuk mengatasi penimbunan limbah padat. Selama proses recycling berlangsung, limbah padat mengalami perubahan bentuk menjadi benda dengan fungsi yang berbeda. Pengomposan merupakan bagian dari kegiatan recycling karena proses ini mendayagunakan limbah padat organik melalui fermentasi. Proses pengomposan dapat mencegah terjadinya penimbunan limbah padat. Pengomposan berperan penting dalam bidang pertanian yang berkelanjutan melalui pertanian organik, pengurangan komponen kimia dalam pertanian dan kegiatan pertanian yang disesuaikan dengan standar operasi EPA. Menurut Suprihatin et al (2008), sistem pengomposan memiliki beberapa keuntungan antara lain bisnis pengomposan yang ekstensif dapat menyerap tenaga kerja. Keuntungan pengomposan sampah yang lebih bersifat lokal adalah penurunan jumlah sampah yang harns diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sehingga timbunan sampah dapat mencemari saluran air atau air tanah, serta menjadi sarang penyakit. Jumlah kebutuhan lahan untuk pembuangan sampah juga akan berkurang jika lebih banyak sampah yang dikomposkan. Kualitas udara akan meningkat karena timbunan sampah yangmengandungbahan organic basah akanberkurangdan tidak lagi menumpuk. Secara umum perbandingan keuntungan pengomposan terhadap landfill dapat dilihat pada Gambar 1. CH 4, CO 2, dan bau Sampah Landfill sites/open Dumping (anaerobik) CO 2 H 2 O (leachate) Pengomposan (aerobik) Kompos H 2 O Perbakian struktur tanah Pengaruh positif terhadap lingkungan dan sosial Gambar 1. Keuntungan sistem pengomposan relatif terhadap landfilling 6
4 Pengomposan merupakan suatu proses biokimiawi yang mendekomposisi bahan organik menjadi zat-zat humus oleh berbagai macam mikroorganisme pengurai pada kondisi terkontrol. Biokonversi dilakukan oleh mikroorganisme heterotrofik yang berbeda-beda seperti bakteri, kapang, protozoa, dan actinomycetes (Gaur, 1983). Hasil akhir proses pengomposan berupa bahan yang bagus untuk digunakan tanah sebagai pemulih unsur hara (Indriani 1999). Proses pengomposan yang sempurna akan menghasilkan produk pupuk yang tidak berbau dan tidak bersifat patogen baik dalam aplikasi maupun penyimpanannya. Hal ini disebabkan selama proses biokonversi berlangsung, suhu bahan akan mencapai suhu pasteurization dari C sehingga bakteri patogen dari sludge akan mati (Metcalf dan Eddy 1991) dan proses aerasi yang baik akan menekan kondisi anaerobik yang dapat menimbulkan bau busuk (Haug 1890). Pengomposan secara aerobik tidak menimbulkan bau busuk dan memiliki waktu pengomposan yang relatif singkat sehingga proses ini cocok untuk diaplikasikan pada pengomposan limbah industri gula. Pada dasarnya proses pengomposan mengubah bahan-bahan organik pada limbah menjadi bahan yang memiliki unsur-unsur yang serupa dengan unsur hara tanah sehingga dapat memperkaya nutrien tanah bagi tanaman. Co-composting merupakan proses pengomposan bahan organik dari hasil samping penanganan limbah cair secara biologis berupa lumpur yang mengandung sisa biomassa. Prinsip co-composting tidak jauh berbeda dengan proses pengomposan pada umumya. Faktor utama yang dapat digunakan sebagai indikator pengomposan adalah ratio C/N. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Indriani (1999) bahwa prinsip pengomposan adalah menurunkan ratio C/N bahan organik hingga sama dengan ratio C/N tanah (kurang dari 20). Ada proses perubahan yang terjadi selama pengomposan yaitu perubahan karbohidrat, selulosa, hemiselulosa, lemak dan lilin menjadi CO 2 dan air, serta perubahan protein menjadi amonia, CO 2 dan air. Hal ini dapat menurunkan kadar karbohidrat dan meningkatkan senyawa N yang larut dalam bentuk amonia, sehingga ratio C/N menurun mendekati ratio C/N tanah. Hal yang sama dikemukakan oleh Dalzell et al (1987), selama proses pengomposan berlangsung, mikroorganisme menggunakan oksigen untuk mengurai bahan organik. Proses penguraian tersebut menghasilkan sejumlah energi yang digunakan mikroorganisme untuk pergerakan dan pertumbuhan mikroorganisme baru. Adapun faktor yang mempengaruhi proses pengomposan antara lain ratio C/N, ukuran partikel, aerasi, kelembaban, suhu, dan ph. 1. Ratio C/N Unsur karbon dan nitrogen merupakan sumber energi untuk pertumbuhan mikroorganisme. Ratio C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara sebagai perbandingan yang paling ideal. Mikroorganisme menggunakan sumber karbon untuk memenuhi kebutuhan energi dan sumber nitrogen untuk mensintesis protein. Ratio C/N yang terlalu rendah ataupun terlalu tinggi akan menghambat proses dekomposisi. Hal yang sama dikemukakan oleh Isroi (2008) bahwa rasio C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30: 1 hingga 40:1. Mikroorganisme akan memecah senyawa C sebagai sumber energi dan menggunakan N untuk sintesis protein. Pada rasio C/N di antara mikroba mendapatkan cukup C untuk energi dan N untuk sintesis protein. 2. Ukuran partikel Aktivitas mikroba pengurai berada di permukaan area bahan dan udara. Ukuran partikel yang lebih kecil memiliki permukaan yang lebih luas sehingga akan meningkatkan kontak antara mikroba dengan bahan. Hal ini dapat mempercepat proses dekomposisi bahan organik. 3. Aerasi dan kelembaban Proses pengomposan secara aerobik membutuhkan oksigen yang cukup untuk aktivitas mikroorganisme pengurai. Aerasi secara alami akan terjadi saat terjadi peningkatan suhu yang 7
5 menyebabkan udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam tumpukan kompos. Proses aerasi dapat dibantu dengan pembalikan atau mengalirkan udara ke dalam tumpukan kompos. Bila aerasi terhambat akan menimbulkan proses anaerob yang ditandai dengan bau busuk. Porositas dan kelembaban sangat mempengaruhi suplai oksigen. Mikroorganisme mendekomposisi bahan organik bila bahan tersebut larut dalam air. Kelembaban optimum untuk metabolisme mikroba berkisar antara 40-60%. Bila kelembaban kurang dari 40%, aktivitas mikroba menurun sedangkan bila kelembaban diatas 60%, volume udara berkurang sehingga aktivitas menurun dan timbul fermentasi anaerobik. Menurut Yamada dan Kawase (2005), laju optimum pengomposan sludge dengan serbuk gergaji yaitu 2,0 L/min/kg (berdasarkan total massa bahan baku awal dalam basis kering). Bila melibihi laju aerasi tersebut bahan baku akan menjadi dingin dan kering sehingga efisiensi pengomposan rendah sedangkan bila laju aerasi lebih rendah maka akan terbentuk kondisi anaerobik sehingga tidak diperoleh kualitas kompos yang baik. 4. Suhu Peningkatan suhu terjadi akibat aktivitas metabolisme yang dilakukan oleh mikroorganisme pengurai. Ada hubungan langsung antara peningkatan suhu dengan konsumsi oksigen. Semakin tinggi suhu maka konsumsi oksigen pun akan meningkat dan proses dekomposisi akan lebih cepat terjadi. Suhu C merupakan suhu optimum selama proses pengomposan berlangsung. Suhu diatas 60 C akan membunuh sebagian mikroba, patogen, dan benih gulma namun hanya mikroba termofilik saja yang masih bertahan hidup. 5. Nilai ph Nilai ph optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6,5-7,5. Pengomposan dapat menyebabkan perubahan bahan organik sehingga terjadi perubahan ph. Bahan organik yang terurai menghasilkan asam akan menurunkan ph sedangkan yang menghasilkan ammonia akan meningkatkan ph pada fase awal. Namun, kompos yang sudah matang memiliki ph yang mendekati netral. Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk pengomposan limbah pertanian yaitu passive composting, windrow, aerated pile, dan in-vessel composting. Setiap metode tersebut dapat merubah kondisi proses pengomposan dengan memanipulasi aerasi, suhu, pembalikan bahan, dan kebutuhan investasi baik dari segi waktu, peralatan maupun lahan yang akan digunakan (Koehler- Munro 2001). Berikut ini metode pengomposan yang telah banyak dilakukan untuk menangani limbah pertanian yang dikemukakan oleh Koehler-Munro (2001): a. Passive composting merupakan metode pengomposan dengan menimbun bahan baku kompos dan memiliki pemeliharaan yang sederhana. Metode ini sesuai dengan bahan bahan organik yang memiliki porositas tinggi sehingga difusi oksigen dapat berlangsung secara pasif. Proses pengomposan memerlukan waktu yang relative lebih lama karena proses dekomposisi berjalan lambat. b. Sistem windrow dapat dilakukan baik secara tradisional maupun modern. Secara tradisional, metode ini hampir serupa dengan passive composting. Sistem windrow secara modern menggunakan bantuan mesin untuk mencampur dan membalik bahan untuk meningkatkan porositas dan melepaskan panas, uap air dan gas yang terkandung bahan selam pengomposan. c. Sistem aerated pile merupakan metode pengomposan dengan bantuan aerasi buatan. Aerasi tersebut dapat dapat dilakukan secara pasif maupun aktif. Aerasi secara pasif mengurangi proses pembalikan dengan menggunakan pipa berlubang yang diletakan pada bagian dasar tumpukan kompos ataupun reaktor pengomposan. Aerasi secara aktif menggunakan aerator sebagai sumber 8
6 aerasi yang dialirkan ke dalam pipa. Walaupun secara teoritis pembalikan tidak perlu dilakukan dalam metode ini namun pembalikan tersebut tetap dilakukan sekali untuk sirkulasi udara optimum, menyebarkan kadar air bahan, dan mengoptimalkan dekomposisi bahan segar oleh mikroorganisme. Aerasi yang diberikan secara aktif membutuhkan waktu pengomposan yang lebih singkat dibandingakan dengan aerasi secara pasif. d. In-vessel composting merupakan metode pengomposan yang memiliki periode pengomposan singkat dan membutuhkan sedikit lahan. Namun, cenderung membutuhkan biaya tinggi dan pengontrolan proses yang lebih ketat. Proses pengomposan berlangsung pada sebuah reactor atau wadah dengan pemberian aerasi dan pembalikan (pengadukan) otomatis menggunakan mesin Proses Pengomposan Proses pengomposan merupakan proses dekomposisi bahan organik dalam lingkungan yang terkendali. Pada dasarnya, semua bahan organik yang mengandung unsur karbon dan nitrogen dapat dikomposkan. Proses pengomposan secara alami relatif membutuhkan waktu yang lama seperti yang dikemukakan oleh Indriani (1999) bahwa proses pembuatan kompos memerlukan waktu hingga mencapai 2 3 bulan bahkan ada yang mencapai 6 12 bulan. Lama proses pengomposan tergantung dari ratio C/N yang dimiliki oleh bahan. Ratio C/N yang jauh melebihi 30 memiliki waktu pengomposan yang relatif lama untuk menurunkan ratio C/N bahan tersebut. Selain itu, bahan baku kompos memerlukan ratio C/N yang ideal sehingga dapat mengoptimalkan penguraian bahan organik. Bahan yang ideal untuk dikomposkan memiliki nisbah C/N sekitar 30, sedangkan kompos yang dihasilkan memiliki nisbah C/N kurang dari 20. Bahan organik yang memiliki nisbah C/N jauh lebih tinggi di atas 30 akan terdekomposisi dalam waktu yang lama. Selain itu, keadaan ini dapat menyebabkan mikroorganisme yang terlibat dalam proses pengomposan kekurangan nitrogen (N). Sebaliknya jika nisbah tersebut terlalu rendah akan terjadi kehilangan nitrogen dalam bentuk amonia, karena menguap (teroksidasi) selama proses perombakan berlangsung. Selain ratio C/N, kondisi proses pengomposan seperti kelembaban, ketersediaan oksigen, ukuran partikel, bulk density, ph dan suhu juga harus diperhatikan untuk menghindari kegagalan dalam membuat kompos. Kondisi proses yang ideal menurut Rynk (1992) dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 3. Kondisi proses yang ideal untuk pengomposan Kondisi Kondisi Yang dapat diterima Kondisi Ideal Ratio C/N Kelembaban % % Konsentrasi oksigen > 5% > 10% Ukuran Partikel 1 inchi Bervariasi Bulk density 1000 lbs/cu yd 1000 lbs/cu yd ph 5,5 9,0 6,5 8,0 Suhu o C o C Proses dekomposisi dapat berlangsung secara aerobik maupun anaerobik. Proses dekomposisi aerobik berlangsung dengan adanya oksigen sedangkan proses dekomposisi anaerobik berlangsung tanpa adanya oksigen. Produk samping yang dihasilkan selama proses aerobik berlangsung antara lain 9
7 CO 2 dan air sedangkan dalam proses anaerobik produk samping yang terbentuk yaitu CH 4, alkohol, CO 2 dan asam-asam organik (Indriani 1999). Pada proses pengomposan ini, dekomposisi secara anaerobik tidak diinginkan karena dapat menghasilkan bau yang tidak sedap dan mempengaruhi kualitas kompos yang terbentuk. Bau tidak sedap tersebut berasal dari terbentuknya H 2 S dan sulfur organik (Haug 1980). Proses dekomposisi bahan organik menurut Setyorini (2006) terjadi secara biofisiko kimia melibatkan kegiatan biologis mikroba dan mesofauna. Secara umum, proses dekomposisi biokimiawi secara aerobik dan anaerobik dapat dilihat pada reaksi sebagai berikut. Secara aerobik : Bahan organik + O 2 Secara anaerobik : Bahan organik Mikroba aerob N, P, K Mikroba anaerob N, P, K H 2 O + CO 2 + hara +humus + enersi CH 4 + hara +humus Secara lebih rinci, proses dekomposisi tiap unsur organik yang terjadi selama pengomposan seperti reaksi di bawah ini. Dekomposisi bahan spesifik pada pengomposan aerobik (Gaur 1983): (CH 2 O) x + xo 2 xco 2 + xh 2 O + Energi Gula, selulosa, hemiselulosa N-organik NH 4 + Protein dan senyawa N-organik NO 2-2- S-organik SO 4 + Energi P-organik H 3 PO 4 Ca(H 2 PO 4 ) 2 Fosfor organik, fitin, lesitin NO Energi Pada proses dekomposisi menurut Sutanto (2002) terjadi dalam tiga tahapan yang dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 4. Tahapan kematangan kompos Tahapan Pematangan Bahan Produk Dekomposisi dan sanitasi Dekomposisi intensif Kompos segar Konversi Pematangan utama Kompos segar Sintetik Pasca pematangan Kompos matang Mikroba mendekomposisi secara intensif, selama proses ini berlangsung terjadi reaksi eksotermik sehingga timbul panas akibat pelepasan energi. Panas dapat membunuh sebagian bakteri patogen yang terdapat dalam bahan. Aktivitas mikroorganisme tersebut juga mengkonversi bahan organik secara biokimiawi menghasilkan produk berupa unsur hara (humus). Secara rinci, Isroi (2008) menjelaskan bahwa proses pengomposan sederhana terbagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Pada awal proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat. Hal yang sama terjadi pada perubahan ph kompos yang semakin meningkat. Suhu akan meningkat hingga di atas o C. Suhu akan tetap tinggi selama waktu tertentu dan mikroba yang aktif pada kondisi ini adalah mikroba termofilik, yaitu mikroba yang aktif 10
8 pada suhu tinggi. Setelah sebagian besar bahan organik terurai, suhu akan mengalami penurunan secara bertahap. Pada saat ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus. Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 30 40% dari volume/bobot awal bahan (Isroi 2008) Karakteristik Kompos Kompos merupakan hasil dari proses pengomposan bahan organik. Menurut Murbandono (2000), kompos ibarat multi-vitamin untuk tanah pertanian dengan meningkatkan kandungan bahan organik pada tanah sehingga dapat memperbaiki kualitas tanah. Bila dibandingkan dngan pupuk kimia, unsur makroyanglebih tinggi daripada kompos. Menurut (Indrasti et al. 2005) walaupun pupuk kimia memiliki kandungan unsur yang lebih tinggi dan mudah dalam pengaplikasiannya, pupuk kimia memiliki efek samping yang merugikan. Pupuk kimia dapat mengurangi tingkat kesuburan tanah dan residu bahan kimia dapat membahayakan kesehatan manusia. Menurut Anonim (2010), fungsi pupuk organik belum bisa tergantikan oleh pupuk kimia. Fungsi tersebut antara lain: a. pupuk organik mampu menyediakan unsur hara makro dan mikro meskipun dalam jumlah kecil, b. memperbaiki granulasi tanah berpasir dan tanah padat sehigga dapat meningkatkan kualitas aerasi, memperbaiki drainase tanah, dan meningkatkan kemampuan tanah dalam menyimpan air c. mengandung asam humat (humus) yang mampu meningkatkan kapasitas tukar kation tanah d. meningkatkan aktivitas mikroorganisme tanah e. meningkatkan ph tanah pada tanah yang cenderung asam f. tidak menyebabkan polusi tanah dan air Menurut Anonim (2010), kompos sebagai pupuk organik memiliki kekurangan yaitu kandungan unsur hara dari bahan mineral yang rendah bila dibandingkan dengan pupuk anorganik. Menurut Lahuddin (2007), unsur hara esenial yang dibutuhkan tanaman terdiri dari unsur hara makro (N, P, K, Ca, Mg, dan S) dan unsur mikro (Zn, Cu, Mn, Mo, B, Fe, dan Cl). Kelebihan unsur yang tersedia ini dapat meracuni tanaman. Kompos merupakan bahan yang terdiri dari material organik yang telah terdekomposisi menjadi unsur-unsur pembentuknya. Unsur ini merupakan zat-zat hara yang dapat memulihkan kesuburan tanah. Pernyataan ini ditegaskan oleh pernyataan Chaniago (1987) bahwa penambahan bahan organik dalam tanah dapat memperbaiki sifat kimia, fisik dan biologi tanah. Penggunaan kompos dapat memperbaiki sifat kimia tanah karena kompos merupakan sumber unsur hara makro dan mikro mineral meskipun dalam jumlah yang kecil seperti nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, magnesium, seng, cuprum, boron, dan silikon. Selain itu, berdasarkan sifat fisik, kompos dapat menggemburkan struktur tanah yang padat seingga mempermudah proses pengolahan tanah dan memperlancar difusi oksigen. Sifat biologi tanah meningkat karena adanya mikroorganisme bermanfaat yang dapat menyuplai kebutuhan karbon dan nitrogen serta hormon pertumbuhan tanaman (Setyorini, 2003). Kompos merupakan nutrien tanah pertanian yang dapat memperbaiki struktur tanah dengan meningkatkan unsur hara tanah. Penambahan kompos dapat juga meningkatkan aktivitas mikroba tanah yang memiliki peran penting sebagai penghasil senyawa perangsang pertumbuhan tanaman. Kompos akan meningkatkan kesuburan tanah dan merangsang perakaran yang sehat sehingga tanaman dapat menyerap nutrien tanah dengan baik. Tanaman yang menggunakan pupuk kompos cenderung lebih baik kualitasnya karena unsur hara yang tersedia berasal dari bahan alami. Selain itu, peranan lain dari kompos menurut Chaniago (1987) adalah penambahan material organik yang terkandung dalam kompos dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Sifat fisik tanah yang semula padat dapat menjadi gembur sehingga pengolahan lahan menjadi lebih mudah. 11
9 Penyebab tanah yang menjadi gembur yaitu adanya senyawa polisakarida yang dihasilkan oleh mikroorganisme pengurai serta miselium dan hifa yang berfungsi sebagai perekat partikel tanah. Struktur tanah yang baik akan memperlancar difusi oksigen dan memperbaiki kondisi fisiologis akar. Kadar bahn organk yang tinggi memberikan warna tanah yang lebih gelap (warna humus cokelat kehitaman) sehingga penyerapan energi sinar matahari lebih banyak. Institut Pertanian Bogor melaporkan bahwa ukuran kompos sebanyak 5 ton/ha dapat meningkatkan kandungan air tanah pada tanah yang subur (CPIS 1991). Sifat kimia tanah yang diperbaiki yaitu sumber makro dan mikro mineral yang lengkap walaupun dalam jumlah yang relatif kecil. Penggunaan kompos dalam jangka panjang dapat memperbaiki ph pada tanah yang masam. Pada tanah yang memiliki unsur fosfat rendah, kompos dapat menyediakan fosfat organik yang diperlukan oleh tanah. Selain itu, kompos mengandung misel humus yang mempunyai kapasitas tukar kation (KTK) yang lebih besar daripada misel lempung (3 10 kali) sehingga penyediaan unsur makro dan mikromineral lebih lama. Peranan bahan organik pada tanah yaitu bereaksi dengan ion logam untuk membentuk senyawa kompeks sehingga ion logam yang dapat meracuni tanaman seperti Al, Fe, dan Mn dapat diperkecil dengan khelat bahan organik. Perbaikan sifat biologi tanah meliputi keberadaan mikroorganisme yang berperan secara tidak langsung dalam aktivitas pertumbuhan tanaman. Kompos mengandung fungi, bakteri, alga dan actynomycetes yang dapat memaacu berkembangnya mikroorganisme tanah. Aktivitas berbagai mikroorganisme tanah dapat menghasilkan hormon pertumbuhan seperti auksin, giberelin, dan sitokinin yang memacu prtumbuhan dan perkembangan akar tanaman. Pernyataan tersebut ditegaskan kembali oleh Garcia et al (1994) dengan bahan organik pada kompos dapat memberikan efek positif pada aktivitas berbagai enzim hidrolase oleh peningkatan biomassa mikroba. Bahan organik dan unsur hara menjadi kandungan utama kompos. Kandungan unsur hara pada setiap kompos dapat berbeda beda tergantung dari bahan yang dikomposkan dan cara pengomposan (Tim Redaksi Trubus 1999). Komponen unsur hara kompos dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 5. Komponen bahan yang terdapat dalam kompos Komponen Kadar (%) Kadar Air 41 Bahan Kering 59 Karbon (C) 8,2 Nitrogen (N) 0,09 Fosfor (P 2 O 5 ) 0,36 Kalium (K 2 O) 0,81 Ratio C/N 23 Sumber : Mochtar di dalam Tim Redaksi Trubus (1999) Harada et al (1993) menyatakan bahwa tingkat kematangan kompos sangat berpengaruh terhadap mutu kompos. Kompos yang matang memiliki kandungan bahan organik yang mudah terdekomposisi, ratio C/N yang rendah, tidak menyebarkan bau yang tidak sedap, kadar air yang memadai dan tidak mengandung unsur - unsur yang merugikan tanaman seperti phytotoxic, benih gulma, dan patogen lainnya. 12
10 Kematangan kompos dapat diuji melalui parameter ratio C/N, stabilitas terhadap pemanasan, reduksi bahan organik dan humidifikasi (Setyorini 2006). Selain itu, indikator kematangan kompos juga dapat dilihat dari penampakan fisik, ph, KTK, dan laju respirasi seperti yang dikemukakan para peneliti terdahulu. Indikator tersebut dapat terlihat pada Tabel 6. Kualitas kompos yang akan dipasarkan harus memenuhi standar kualitas kompos meurut SNI yang tertera pada Tabel 7. Tabel 6. Indikator kematangan kompos Parameter Indikator Pustaka Suhu Stabil Stickelberger, 1975 ph Alkali Jaun et al 1959 Ratio C/N < 20 Juste 1980 Laju respirasi < 10 mg g - kompos Morel et al 1979 Warna Cokelat tua Sugahara et al 1982 Bau Earthy Chanyasak et al 1982 KTK > 60 me 100 g - abu Harada et al 1971 Sumber : Yang 1998 Tabel 7. Standar mutu kompos No. Parameter Satuan Minimum Maksimum 1 Kadar air % Temperatur o C Suhu air tanah 3 Warna Kehitaman 4 Bau Berbau tanah 5 Ukuran Partikel Mm 0, Kemampuan ikat air % 58-7 ph 6,80 7,49 8 Bahan Asing % * 1,5 9 Bahan organic % Nitrogen % 0,40-11 Karbon % 9, Fosfor (P 2 O 5 ) % 0,10-13 C/N ratio Kalium (K 2 O) % 0,20 * 15 Kalsium % * 25,50 16 Magnesium % * 0,60 17 Besi % * 2,00 18 Alumunium % * 2,20 19 Mangan % * 0,10 13
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi awal blotong dan sludge pada penelitian pendahuluan menghasilkan komponen yang dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Karakteristik blotong dan sludge yang digunakan
Lebih terperinciII. TI JAUA PUSTAKA NH 2. Gambar 1. Reaksi kimia selama pengomposan
II. TI JAUA PUSTAKA A. Pengomposan Pengomposan merupakan penguraian bahan organik secara biologis dengan hasil akhir berupa produk yang cukup stabil dalam bentuk padatan komplek (Haug 1980). Proses pengomposan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. KARAKTERISTIK BAHAN BAKU
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. KARAKTERISTIK BAHAN BAKU 2.1.1 Karakteristik Bagas Ampas tebu atau disebut dengan bagas (Gambar 1) merupakan hasil samping dari proses ekstraksi (pemerahan) tebu di stasiun pengilingan.
Lebih terperinciHASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis
IV. HASIL DA PEMBAHASA A. Penelitian Pendahuluan 1. Analisis Karakteristik Bahan Baku Kompos Nilai C/N bahan organik merupakan faktor yang penting dalam pengomposan. Aktivitas mikroorganisme dipertinggi
Lebih terperinciPEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG )
PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG ) Antonius Hermawan Permana dan Rizki Satria Hirasmawan Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik,
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA II.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Lumpur Water Treatment Plant Limbah pada dasarnya adalah suatu bahan yang terbuang dari aktifitas manusia maupun proses alam yang tidak atau belum mempunyai nilai ekonomis.
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisa Kandungan Limbah Lumpur (Sludge) Tahap awal penelitian adalah melakukan analisi kandungan lumpur. Berdasarkan hasil analisa oleh Laboratorium Pengujian, Departemen
Lebih terperinciPENDAHULUAN. padat (feses) dan limbah cair (urine). Feses sebagian besar terdiri atas bahan organik
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan sapi perah selain menghasilkan air susu juga menghasilkan limbah. Limbah tersebut sebagian besar terdiri atas limbah ternak berupa limbah padat (feses) dan limbah
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Kandungan Unsur Hara Makro pada Serasah Daun Bambu. Unsur Hara Makro C N-total P 2 O 5 K 2 O Organik
digilib.uns.ac.id BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Unsur Hara Makro Serasah Daun Bambu Analisis unsur hara makro pada kedua sampel menunjukkan bahwa rasio C/N pada serasah daun bambu cukup tinggi yaitu mencapai
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Bedding kuda didapat dan dibawa langsung dari peternakan kuda Nusantara Polo Club Cibinong lalu dilakukan pembuatan kompos di Labolatorium Pengelolaan Limbah
Lebih terperinciBAB II. TINJAUAN PUSTAKA
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bahan Organik Tanah Bahan organik tanah merupakan bagian dari fraksi organik yang telah mengalami degradasi dan dekomposisi, baik sebagian atau keseluruhan menjadi satu dengan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penelitian pembuatan pupuk organik cair ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Limbah Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Secara
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilaksanakan di Green House Jurusan Biologi Fakultas
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Green House Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Negeri Gorontalo selama 3.minggu dan tahap analisis
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kondisi tanah pada lahan pertanian saat sekarang ini untuk mencukupi kebutuhan akan haranya sudah banyak tergantung dengan bahan-bahan kimia, mulai dari pupuk hingga
Lebih terperinciI PENDAHULUAN. Hal tersebut menjadi masalah yang perlu diupayakan melalui. terurai menjadi bahan anorganik yang siap diserap oleh tanaman.
1 I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Salah satu limbah peternakan ayam broiler yaitu litter bekas pakai pada masa pemeliharaan yang berupa bahan alas kandang yang sudah tercampur feses dan urine (litter broiler).
Lebih terperinciPengaruh Variasi Bobot Bulking Agent Terhadap Waktu Pengomposan Sampah Organik Rumah Makan
Jurnal Sains dan Teknologi Lingkungan Volume 2, Nomor 1, Januari 2010, Halaman 43 54 ISSN: 2085 1227 Pengaruh Variasi Bobot Bulking Agent Terhadap Waktu Pengomposan Sampah Organik Rumah Makan Teknik Lingkungan,
Lebih terperinciII KAJIAN KEPUSTAKAAN. tersebut serta tidak memiliki atau sedikit sekali nilai ekonominya (Sudiarto,
8 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Limbah Ternak 2.1.1. Deksripsi Limbah Ternak Limbah didefinisikan sebagai bahan buangan yang dihasilkan dari suatu proses atau kegiatan manusia dan tidak digunakan lagi pada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari pertanian organik itu sendiri diantaranya untuk menghasilkan produk
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian organik merupakan suatu kegiatan budidaya pertanian yang menggunakan bahan-bahan alami serta meminimalisir penggunaan bahan kimia sintetis yang dapat merusak
Lebih terperinciPengemasan dan Pemasaran Pupuk Organik Cair
Pengemasan dan Pemasaran Pupuk Organik Cair Pupuk Organik Unsur hara merupakan salah satu faktor yang menunjang pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Penggunaan pupuk sebagai salah satu usaha untuk meningkatkan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber
5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mikroorganisme Lokal (MOL) Mikroorganisme lokal (MOL) adalah mikroorganisme yang dimanfaatkan sebagai starter dalam pembuatan pupuk organik padat maupun pupuk cair. Bahan utama
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pemberian bahan organik dapat meningkatkan pertumbuhan dan aktifitas. banyak populasi jasad mikro (fungi) dalam tanah (Lubis, 2008).
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemberian bahan organik dapat meningkatkan pertumbuhan dan aktifitas mikroorganisme. Bahan organik merupakan sumber energi dan bahan makanan bagi mikroorganisme yang hidup
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. digunakan untuk meningkatkan aktivitas proses komposting. Bioaktivator
7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bioaktivator Menurut Wahyono (2010), bioaktivator adalah bahan aktif biologi yang digunakan untuk meningkatkan aktivitas proses komposting. Bioaktivator bukanlah pupuk, melainkan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA
6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pupuk Organik Menurut Permentan No.2/Pert/Hk.060/2/2006, tentang pupuk organik dan pembenah tanah, dikemukakan bahwa pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Tebu ( Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman penting sebagai penghasil
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Tebu Tebu ( Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman penting sebagai penghasil gula dan lebih dari setengah produksi gula berasal dari tanaman tebu (Sartono, 1995).
Lebih terperinciPEMBUATAN KOMPOS DARI AMPAS TAHU DENGAN ACTIVATOR STARDEC
1 PEMBUATAN KOMPOS DARI AMPAS TAHU DENGAN ACTIVATOR STARDEC Farida Ali, Muhammad Edwar, Aga Karisma Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya Indonesia ABSTRAK Ampas tahu selama ini tidak
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. yang baik yaitu : sebagai tempat unsur hara, harus dapat memegang air yang
TINJAUAN PUSTAKA Kompos Kulit Buah Kakao Ada empat fungsi media tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman yang baik yaitu : sebagai tempat unsur hara, harus dapat memegang air yang tersedia bagi tanaman,
Lebih terperinciSKRIPSI. Disusun Oleh: Angga Wisnu H Endy Wisaksono P Dosen Pembimbing :
SKRIPSI Pengaruh Mikroorganisme Azotobacter chrococcum dan Bacillus megaterium Terhadap Pembuatan Kompos Limbah Padat Digester Biogas dari Enceng Gondok (Eichornia Crassipes) Disusun Oleh: Angga Wisnu
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. legend of soil yang disusun oleh FAO, ultisol mencakup sebagian tanah Laterik
TINJAUAN PUSTAKA Ultisol Ultisol adalah tanah mineral yang berada pada daerah temprate sampai tropika, mempunyai horison argilik atau kandik dengan lapisan liat tebal. Dalam legend of soil yang disusun
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Tanah Tanah adalah kumpulan benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air dan udara,
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK LIMBAH CAIR Limbah cair tepung agar-agar yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah cair pada pabrik pengolahan rumput laut menjadi tepung agaragar di PT.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada saat sekarang ini lahan pertanian semakin berkurang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat sekarang ini lahan pertanian semakin berkurang kesuburannya, hal tersebut dikarenakan penggunaan lahan dan pemakaian pupuk kimia yang terus menerus tanpa
Lebih terperinciV. HASIL DAN PEMBAHASAN
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Umum Saat Ini Faktor Fisik Lingkungan Tanah, Air, dan Vegetasi di Kabupaten Kutai Kartanegara Kondisi umum saat ini pada kawasan pasca tambang batubara adalah terjadi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. pupuk tersebut, maka pencarian pupuk alternatif lain seperti penggunaan pupuk
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Dalam beberapa tahun terakhir ini, sistem berkelanjutan yang berwawasan lingkungan sedang digalakkan dalam sistem pertanian di Indonesia. Dengan semakin mahalnya
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan komoditas hortikultura
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan komoditas hortikultura berjenis umbi lapis yang memiliki banyak manfaat dan bernilai ekonomis tinggi serta
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN A.
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu primadona tanaman perkebunan yang memiliki prospek pengembangan cukup cerah, Indonesia memiliki luas areal
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Tahap 1. Pengomposan Awal. Pengomposan awal diamati setiap tiga hari sekali selama dua minggu.
Suhu o C IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tahap 1. Pengomposan Awal Pengomposan awal bertujuan untuk melayukan tongkol jagung, ampas tebu dan sabut kelapa. Selain itu pengomposan awal bertujuan agar larva kumbang
Lebih terperinciKompos Cacing Tanah (CASTING)
Kompos Cacing Tanah (CASTING) Oleh : Warsana, SP.M.Si Ada kecenderungan, selama ini petani hanya bergantung pada pupuk anorganik atau pupuk kimia untuk mendukung usahataninya. Ketergantungan ini disebabkan
Lebih terperinciBAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Sifat Fisik Tanah Sifat fisik tanah yang di analisis adalah tekstur tanah, bulk density, porositas, air tersedia, serta permeabilitas. Berikut adalah nilai masing-masing
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Buah melon (Cucumis melo L.) adalah tanaman buah yang mempunyai nilai
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Buah melon (Cucumis melo L.) adalah tanaman buah yang mempunyai nilai komersial tinggi di Indonesia. Hal ini karena buah melon memiliki kandungan vitamin A dan C
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu komoditi tanaman
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu komoditi tanaman pangan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dan menguntungkan untuk diusahakan karena
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa media tanam yang digunakan berpengaruh terhadap berat spesifik daun (Lampiran 2) dan
Lebih terperinciElysa Dwi Oktaviana Dosen Pembimbing : Dr. Ir. Sri Rachmania Juliastuti, M. Eng. Ir. Nuniek Hendrianie, MT L/O/G/O
PERAN MIKROORGANISME AZOTOBACTER CHROOCOCCUM, PSEUDOMONAS FLUORESCENS, DAN ASPERGILLUS NIGER PADA PEMBUATAN KOMPOS LIMBAH SLUDGE INDUSTRI PENGOLAHAN SUSU Hita Hamastuti 2308 100 023 Elysa Dwi Oktaviana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pupuk Bokasi adalah pupuk kompos yang diberi aktivator. Aktivator yang digunakan adalah Effective Microorganism 4. EM 4 yang dikembangkan Indonesia pada umumnya
Lebih terperinciPEMBUATAN PUPUK ORGANIK
PELATIHAN TEKNIS BUDIDAYA KEDELAI BAGI PENYULUH PERTANIAN DAN BABINSA PEMBUATAN PUPUK ORGANIK BADAN PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN SDM PERTANIAN PUSAT PELATIHAN PERTANIAN 2015 Sesi : PEMBUATAN PUPUK ORGANIK
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Teknologi revolusi hijau di Indonesia digulirkan sejak tahun 1960 dan
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Teknologi revolusi hijau di Indonesia digulirkan sejak tahun 1960 dan menunjukkan dampak positif terhadap kenaikan produksi padi nasional. Produksi padi nasional yang
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Kopi Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi merupakan tanaman dengan perakaran tunggang yang mulai berproduksi sekitar berumur 2 tahun
Lebih terperinciKAJIAN KEPUSTAKAAN. apabila diterapkan akan meningkatkan kesuburan tanah, hasil panen yang baik,
II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Pengomposan Pengomposan adalah dekomposisi biologis yang dikontrol agar bahan organik menjadi stabil. Proses pengomposan sama seperti dekomposisi alami kecuali ditingkatkan dan
Lebih terperinciBAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
13 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian 5.1.1 Sifat Kimia Tanah Data sekunder hasil analisis kimia tanah yang diamati yaitu ph tanah, C-Org, N Total, P Bray, kation basa (Ca, Mg, K, Na), kapasitas
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab
10 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Organik Cair Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab pencemaran berupa zat atau bahan yang dianggap tidak memiliki manfaat bagi masyarakat.
Lebih terperinciPEMANFAATAN LIMBAH LUMPUR (SLUDGE) WASTEWATER TREATMENT PLANT PT.X SEBAGAI BAHAN BAKU KOMPOS
31 JTM Vol. 05, No. 1, Juni 2016 PEMANFAATAN LIMBAH LUMPUR (SLUDGE) WASTEWATER TREATMENT PLANT PT.X SEBAGAI BAHAN BAKU KOMPOS Dicky Cahyadhi Progam Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Mercu
Lebih terperinciKAJIAN KEPUSTAKAAN. diduga tidak memiliki atau sedikit sekali nilai ekonominya (Merkel, 1981). Limbah
II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Limbah 2.1.1 Limbah Ternak Limbah adalah bahan buangan yang dihasilkan dari suatu aktivitas atau proses produksi yang sudah tidak digunakan lagi pada kegiatan/proses tersebut
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kubis adalah kalori (25,0 kal), protein (2,4 g), karbohidrat (4,9 g), kalsium (22,0
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kubis (Brassica oleracea L.) merupakan jenis sayuran yang sebagian besar daunnya bewarna hijau pucat dengan bentuk bulat serta lonjong. Sayuran ini mengandung vitamin
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Cabai (Capsicum annuum L.) merupakan komoditas sayuran yang mempunyai
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Cabai (Capsicum annuum L.) merupakan komoditas sayuran yang mempunyai prospek cerah untuk dapat dikembangkan. Cabai dimanfaatkan oleh masyarakat dalam kehidupan
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Kompos. sampah dapur, sampah kota dan lain-lain dan pada umumnya mempunyai hasil
TINJAUAN PUSTAKA Kompos Kompos adalah zat akhir suatu proses fermentasi tumpukan sampah/serasah tanaman dan adakalanya pula termasuk bangkai binatang. Sesuai dengan humifikasi fermentasi suatu pemupukan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. peternakan tidak akan jadi masalah jika jumlah yang dihasilkan sedikit. Bahaya
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biogas Biogas menjadi salah satu alternatif dalam pengolahan limbah, khususnya pada bidang peternakan yang setiap hari menyumbangkan limbah. Limbah peternakan tidak akan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Jagung manis (Zea mays saccharata) merupakan salah satu komoditas pertanian
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Jagung manis (Zea mays saccharata) merupakan salah satu komoditas pertanian yang cukup banyak digemari, karena memiliki kandungan gula yang relatif tinggi
Lebih terperinciPEMBUATAN KOMPOS SECARA AEROB DENGAN BULKING AGENT SEKAM PADI
21 PEMBUATAN KOMPOS SECARA AEROB DENGAN BULKING AGENT SEKAM PADI Christina Maria Dewi 1), Dewi Mustika Mirasari 1), Antaresti 2), Wenny Irawati 2) Email : Resti@mail.wima.ac.id ABSTRAK Pengomposan merupakan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. menyebabkan kerusakan dan kerugian bagi masyarakat di sekitar
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Tragedi lumpur Lapindo Brantas terjadi pada tanggal 29 Mei 2006 yang telah menyebabkan kerusakan dan kerugian bagi masyarakat di sekitar Desa Renokenongo (Wikipedia,
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Tanaman bawang merah berakar serabut dengan sistem perakaran dangkal
TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Bawang Merah Tanaman bawang merah berakar serabut dengan sistem perakaran dangkal dan bercabang terpencar, pada kedalaman antara 15-20 cm di dalam tanah. Jumlah perakaran
Lebih terperinciLampiran 1. Nama unsur hara dan konsentrasinya di dalam jaringan tumbuhan (Hamim 2007)
Lampiran 1. Nama unsur hara dan konsentrasinya di dalam jaringan tumbuhan (Hamim 2007) Unsur Hara Lambang Bentuk tersedia Diperoleh dari udara dan air Hidrogen H H 2 O 5 Karbon C CO 2 45 Oksigen O O 2
Lebih terperinciIII. METODOLOGI PENELITIAN
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Bahan dan Alat Penelitian Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini yaitu blotong dan sludge industri gula yang berasal dari limbah padat Pabrik Gula PT. Rajawali
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. A. Mineralisasi N dari Bahan Organik yang Dikomposkan
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mineralisasi N dari Bahan Organik yang Dikomposkan Bahan organik adalah bagian dari tanah yang merupakan suatu sistem kompleks dan dinamis, yang bersumber dari bahan-bahan yang
Lebih terperinci4. HASIL DAN PEMBAHASAN
25 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Bahan Baku Karekteristik bahan baku merupakan salah satu informasi yang sangat diperlukan pada awal suatu proses pengolahan, termasuk pembuatan pupuk. Bahan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sampah Sampah merupakan zat- zat atau benda-benda yang sudah tidak terpakai lagi, baik berupa bahan buangan yang berasal dari rumah tangga maupun dari pabrik sebagai sisa industri
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara agraris, sebagian besar mata
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris, sebagian besar mata pencaharian warga berada di bidang pertanian. Melihat kenyataan tersebut, kebutuhan akan pupuk untuk meningkatkan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pengamatan Perubahan Fisik. mengetahui bagaimana proses dekomposisi berjalan. Temperatur juga sangat
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengamatan Perubahan Fisik 1. Suhu Kompos Temperatur merupakan penentu dalam aktivitas dekomposisi. Pengamatan dapat digunakan sebagai tolak ukur kinerja dekomposisi, disamping
Lebih terperinciPENGARUH PENAMBAHAN KOTORAN AYAM DAN MIKROORGANISME M-16 PADA PROSES PENGOMPOSAN SAMPAH KOTA SECARA AEROBIK
Program Studi MMT-ITS, Surabaya 4 Pebruari 26 PENGARUH PENAMBAHAN KOTORAN AYAM DAN MIKROORGANISME M-16 PADA PROSES PENGOMPOSAN SAMPAH KOTA SECARA AEROBIK Riskha Septianingrum dan Ipung Fitri Purwanti purwanti@enviro.its.ac.id
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
23 HASIL DAN PEMBAHASAN KarakteristikBahan Kompos Karakteristik kompos yang dihasilkan tergantung kepada jenis dan komposisi bahan organik yang dikomposkan, proses pengomposan dan tingkat kematangan kompos.bahan
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
13 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Tanah Awal Seperti umumnya tanah-tanah bertekstur pasir, lahan bekas tambang pasir besi memiliki tingkat kesuburan yang rendah. Hasil analisis kimia pada tahap
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN
BAB III METODOLOGI PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian eksperimen melalui beberapa variasi. Untuk lebih jelasnya berikut adalah gambar diagram alir penelitian. Gambar 3.1.
Lebih terperinciBAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dilakukan mulai. Bahan dan Alat Penelitian
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Biologi Tanah Fakultas Pertanian, Medan. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Maret sampai Mei 2008. Bahan dan Alat
Lebih terperinciBAB II. TINJAUAN PUSTAKA
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sampah Organik Sampah merupakan sesuatu yang dianggap tidak berharga oleh masyarakat. Menurut Hadiwiyoto (1983), sampah adalah sisa-sisa bahan yang mengalami perlakuan-perlakuan,
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pengujian fisik
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengujian fisik 1. Temperature /Suhu Suhu adalah salah satu indikator keberhasilan dalam pembuatan kompos karena berhubungan dengan jenis mikroorganisme yang terlibat. Pengamatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. biasanya disertai dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Secara umum perkembangan jumlah penduduk yang semakin besar biasanya disertai dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat. Perkembangan tersebut membawa
Lebih terperinci4. Jenis pupuk. Out line. 1. Definisi pupuk 2. Nutrien pada tanaman dan implikasinya 3. Proses penyerapan unsur hara pada tanaman
PUPUK Out line 1. Definisi pupuk 2. Nutrien pada tanaman dan implikasinya 3. Proses penyerapan unsur hara pada tanaman 4. Jenis pupuk 5. Proses pembuatan pupuk 6. Efek penggunaan pupuk dan lingkungan Definisi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Air Limbah Limbah deidefinisikan sebagai sisa atau buangan dari suatu usaha atau kegiatan manusia. Limbah adalah bahan buangan yang tidak terpakai yang berdampak negatif jika
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kacang hijau merupakan salah satu tanaman pangan yang banyak dibudidayakan
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kacang hijau merupakan salah satu tanaman pangan yang banyak dibudidayakan oleh para petani di Indonesia. Kacang hijau dapat dikonsumsi dalam berbagai macam
Lebih terperinciBAB II 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB II 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sampah Sampah sering menimbulkan banyak masalah, terutama masalah lingkungan yang akhirnya menimbulkan masalah pada kesehatan manusia. Berdasarkan definisinya, sampah adalah
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Batik merupakan suatu seni dan cara menghias kain dengan penutup
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Batik merupakan suatu seni dan cara menghias kain dengan penutup lilin untuk membentuk corak hiasannya, membentuk sebuah bidang pewarnaan. Batik merupakan salah satu kekayaan
Lebih terperinciBab II Tinjauan Pustaka
Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Sampah Sampah merupakan barang atau benda yang dibuang karena tidak terpakai lagi. Pada kenyataannya, sampah menjadi masalah yang selalu timbul baik di kota besar maupun di
Lebih terperinciMATERI DAN METODE. Materi
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan selama dua bulan pada bulan Maret 2011 sampai dengan April 2011 di Laboratorium Pengelolaan Limbah Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanaman sawi merupakan jenis sayuran yang sering dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Menurut Hamli (2015) salah satu jenis tanaman sayuran yang mudah dibudidayakan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik, populasi ternak
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Populasi Kerbau dan Sapi di Indonesia Menurut Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik, populasi ternak kerbau tersebar merata di seluruh pulau di Indonesia dengan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pupuk Pupuk didefinisikan sebagai material yang ditambahkan ke tanah dengan tujuan untuk melengkapi ketersediaan unsur hara. Bahan pupuk yang paling awal digunakan adalah kotoran
Lebih terperinciPENGOMPOSAN BLOTONG, BAGAS DAN ABU KETEL DARI INDUSTRI GULA DENGAN PERLAKUAN AERASI AKTIF DAN PERBEDAAN NILAI C/N AWAL
PENGOMPOSAN BLOTONG, BAGAS DAN ABU KETEL DARI INDUSTRI GULA DENGAN PERLAKUAN AERASI AKTIF DAN PERBEDAAN NILAI C/N AWAL SKRIPSI ALDO BIMANTORO F380079 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Lebih terperinciPROSES CO-COMPOSTING ABU KETEL DENGAN BAGAS MENGGUNAKAN KOTORAN SAPI DENGAN PERLAKUAN LAJU AERASI DAN NILAI C/N AWAL SKRIPSI
PROSES CO-COMPOSTING ABU KETEL DENGAN BAGAS MENGGUNAKAN KOTORAN SAPI DENGAN PERLAKUAN LAJU AERASI DAN NILAI C/N AWAL SKRIPSI IRVAN NOVA SAGITA F34080108 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
14 III. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Sifat Kimia dan Fisik Latosol Darmaga Sifat kimia dan fisik Latosol Darmaga yang digunakan dalam percobaan ini disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Sifat Kimia
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Pupuk adalah bahan yang ditambahkan ke dalam tanah untuk menyediakan
7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pupuk Organik Cair Pupuk adalah bahan yang ditambahkan ke dalam tanah untuk menyediakan sebagian unsur esensial bagi pertumbuhan tanaman. Peran pupuk sangat dibutuhkan oleh tanaman
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Sekilas Tentang Tanah Andisol. lapisan organik dengan sifat-sifat tanah andik, mana saja yang lebih
TINJAUAN PUSTAKA Sekilas Tentang Tanah Andisol Andisol merupakan tanah yang mempunyai sifat tanah andik pada 60% atau lebih dari ketebalannya, sebagaimana menurut Soil Survey Staff (2010) : 1. Didalam
Lebih terperinciPemanfaatan Lindi sebagai Bahan EM4 dalam Proses Pengomposan
TEMU ILMIAH IPLBI 26 Pemanfaatan Lindi sebagai Bahan EM4 dalam Proses Pengomposan Evelin Novitasari (), Edelbertha Dalores Da Cunha (2), Candra Dwiratna Wulandari (3) () Program Kreativitas Mahasiswa,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar mata pencarian
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar mata pencarian penduduk adalah petani. Keberlangsungan pada sektor pertanian dipengaruhi oleh sektor-sektor
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Tanaman jagung merupakan salah satu komoditas strategis yang bernilai
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanaman jagung merupakan salah satu komoditas strategis yang bernilai ekonomis, serta harus terus dikembangkan karena kedudukannya sebagai sumber utama karbohidrat
Lebih terperinciBAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
19 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Potensi lahan kering di Bali masih cukup luas. Usahatani lahan kering sering kali mendapat berbagai kendala terutama
Lebih terperinciBAB PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI TEPUNG BERAS
BAB PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI TEPUNG BERAS 13.1. Pendahuluan Tepung beras merupakan bahan baku makanan yang sangat luas sekali penggunaannya. Tepung beras dipakai sebagai bahan pembuat roti, mie dan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan titik kritis pengenceran limbah dan kondisi mulai mampu beradaptasi hidup pada limbah cair tahu. Limbah
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu sebagai Energi Terbarukan. Limbah Cair Industri Tahu COD. Digester Anaerobik
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Kerangka Teori Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu sebagai Energi Terbarukan Limbah Cair Industri Tahu Bahan Organik C/N COD BOD Digester Anaerobik
Lebih terperinciKarakteristik Limbah Padat
Karakteristik Limbah Padat Nur Hidayat http://lsihub.lecture.ub.ac.id Tek. dan Pengelolaan Limbah Karakteristik Limbah Padat Sifat fisik limbah Sifat kimia limbah Sifat biologi limbah 1 Sifat-sifat Fisik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pupuk merupakan suatu bahan yang mengandung satu atau lebih unsur hara bagi tanaman. Bahan tersebut dapat berasal
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pupuk merupakan suatu bahan yang mengandung satu atau lebih unsur hara bagi tanaman. Bahan tersebut dapat berasal dari organik maupun anorganik yang diperoleh secara
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Manajemen Limbah
5 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Manajemen Limbah Limbah terdiri dari tiga bentuk yaitu cair, padat, dan gas. Ketiga bentuk ini mempunyai hubungan putaran tertutup dalam konversinya. Limbah cair dan gas yang dihasilkan
Lebih terperincirv. HASIL DAN PEMBAHASAN
17 rv. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Tinggi Tanaman (cm) Hasil sidik ragam parameter tinggi tanaman (Lampiran 6 ) menunjukkan bahwa penggunaan pupuk kascing dengan berbagai sumber berbeda nyata terhadap tinggi
Lebih terperinci