ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BOVINE HERPESVIRUS-1 PADA SAPI PERAH DAN POTONG DI INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BOVINE HERPESVIRUS-1 PADA SAPI PERAH DAN POTONG DI INDONESIA"

Transkripsi

1 ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BOVINE HERPESVIRUS-1 PADA SAPI PERAH DAN POTONG DI INDONESIA (Isolation and Identification of Bovine Herpesvirus-1 from Dairy and Beef Cattle in Indonesia) MUHARAM SAEPULLOH dan R.M.A. ADJID Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata No. 30, Bogor ABSTRACT A total number of 770 samples consist of nasal, vaginal mucous swab and semen samples from healthy cattles were tested for Bovine Herpesvirus-1 (BHV-1) using virus isolation and nested polymerase chain reaction (npcr) test. The results showed that in virus isolation test the presence of BHV-1 was detected 2.73% (21 out of 770), while the nested PCR using gd primer gave positive results 20.13% (155 out of 770). BHV-1 was detected more often by PCR methods than by virus-isolation, suggesting that PCR is more sensitive methods in detecting BHV-1 in healthy cattles. The sensitivity, specificity, and accuracy rate of npcr compared to virus isolation test was 100, and 82.59%, respectively. Furthermore, the viral identification using restriction enzyme analysis (REA) and virus neutralization (VN) methods demonstrated that a 21 local isolates were classified into BHV-1. Key Words: BHV-1, Nested PCR, REA, Virus Neutralization ABSTRAK Sebanyak 770 sampel terdiri dari usap mukosa hidung dan vagina serta semen telah diuji terhadap adanya Bovine herpesvirus (BHV-1) dengan menggunakan uji isolasi virus dan nested polymerase chain reaction (npcr). Hasil isolasi BHV-1 menunjukkan bahwa dari 770 sampel yang diuji terdeteksi positif 2,73% ( 21/770), sementara itu dengan uji npcr terdeteksi positif 20,13% (155/770). Hasil tersebut menunjukkan bahwa BHV-1 lebih sering terdeteksi oleh uji npcr dibandingkan dengan isolasi virus dan membuktikan uji npcr lebih sensitif untuk mendeteksi BHV-1 pada ternak sapi yang secara klinis sehat. Tingkat sensitivitas, spesifisitas dan akurasi uji npcr terhadap isolasi virus metode npcr berturut-turut yaitu 100, 82,10 dan 82,59%. Selanjutnya hasil identifikasi virus baik menggunakan virus neutralisasi maupun analisis enzim restriksi (REA) menunjukkan bahwa ke-21 isolat lokal termasuk ke dalam tipe BHV-1. Kata Kunci: BHV-1, Nested PCR, REA, Virus Neutralisasi PENDAHULUAN Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) merupakan penyakit yang sangat infeksius yang disebabkan oleh Bovine herpesvirus-1 (BHV-1). Virus ini dapat menimbulkan gejala klinis seperti infeksi pustular vulvovaginitis atau balanopostitis, konjungtivitis, ensefalitis dan infeksi sistemik lainnya (STRAUB, 1991). Infeksi pada sapi dewasa dapat menyebabkan penurunan produksi susu, menurunnya tingkat fertilitas, dan keguguran (MILLER, 1991). BHV-1 berdasarkan gejala klinisnya terbagi menjadi 2 subtipe, yaitu subtipe 1 yang berhubungan dengan galur yang dapat menyebabkan penyakit gangguan pernapasan (infectious bovine rhinotracheitis, IBR), Sedangkan subtipe 2 termasuk galur yang dapat menyebabkan penyakit genital seperti infectious pustular vulvovaginitis (IPV) dan infectious balanopostitis (IBP) (RADOSTITS et al., 2000). Sebagaimana umumnya alphaherpesvirus, BHV-1 menyebabkan infeksi laten (VAN OIRSCHOT et al., 1993). Infeksi semacam itu, akan berlangsung lama pada hewan yang terinfeksi. Oleh karena itu, hewan tersebut merupakan pembawa virus (carrier) dan berpotensi sebagai sumber penyebaran penyakit (ROLA et al., 2005). Selain itu, infeksi laten akan diperparah pada 376

2 saat transportasi, cuaca yang dingin, populasi ternak yang padat, pemberian obat corticosteroid, infeksi sekunder oleh mikroorganisma yang patogen atau ternak dalam keadaan tercekam, semuanya akan mengaktivasi siklus replikasi virus. Akibat reaktivitas virus ini, akan menyebabkan virus shedding. Pada saat virus shedding, kondisi ternak tetap tidak menunjukkan gejala klinis. Oleh sebab itu, pada ternak yang terinfeksi tampak sehat, walaupun sebenarnya ternak tersebut sangat berpotensi untuk menyebarkan virus ke ternak lainnya (PASTORET et al., 1982). Virus disekresikan melalui sekreta hidung dan mata, serta genital dan terdapat pula di plasenta ternak sapi yang keguguran serta pada semen (ROLA et al., 2005). Peranan infeksi laten sangat penting terutama bagi sapi pejantan bibit. Hal tersebut dikarenakan pada sapi dalam kondisi infeksi laten, sewaktu-waktu dapat mengeluarkan virus, mengkontaminasi semen dan juga dapat menyebarkan virus melalui percikan leleran ingus dari hidung. Dengan demikian, penggunaan semen yang berasal dari sapi pejantan yang terinfeksi BHV-1 untuk inseminasi buatan merupakan langkah awal penyebaran penyakit IBR ke ternak yang sehat (PHILPOTT, 1993). Untuk mengeliminasi masalah ini, maka harus menggunakan semen yang bebas BHV-1. Berdasarkan OIE (2004) untuk mendeteksi BHV-1 digunakan metode isolasi virus yang menggunakan sel lestari Madin Darby Bovine Kidney (MDBK). Sedangkan untuk deteksi DNA pada kejadian infeksi laten digunakan teknik PCR. Metode isolasi selain memerlukan waktu yang lama juga seringkali sampel biologik (usap mukosa hidung dan semen) toksik terhadap sel kultur, sehingga diperlukan pengenceran sampel sebelum dilakukan pengujian untuk menghilangkan efek toksisitas dan faktor penghambat lainnya (inhibitory factor) (XIA et al., 1995) yang akan menurunkan tingkat sensitivitas isolasi virus. Akan tetapi, pengenceran sampel dapat mengakibatkan false negatif ketika konsentrasi virus dalam sampel rendah. Lain halnya bila pendeteksian menggunakan metode PCR yang memiliki tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi, dimana perlakuan pengenceran terhadap sampel tidak akan berpengaruh terhadap hasil uji PCR. Berdasarkan laporan DEKA et al., (2005) bahwa pada sapi yang sehat dan memiliki seronegatif terhadap BHV- 1, ternyata dengan teknik PCR dapat terdeteksi positif agen virus penyebab penyakit IBR pada sampel usap mukosa dan semen. Dengan demikian, sapi pejantan bibit yang memiliki status sero-negatif pada serumnya, sapi tersebut masih bisa menyebarkan virus melalui percikan ingus dari hidung atau melalui semen. Selanjutnya, untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan antara isolat yang diperoleh dengan BHV-1 rujukan, maka diperlukan identifikasi virus terhadap isolat lapang yang telah berhasil diisolasi. Identifikasi virus dilakukan dengan menggunakan 2 metode yaitu: pertama, menggunakan analisis enzim restriksi (restriction enzyme analysis, REA) terhadap produk PCR yang telah menunjukkan spesifisitas terhadap DNA BHV-1 gd dan gc serta memiliki berat molekul yang sesuai dengan target primer. Oleh karena itu, dipilih enzim endonuklease Taq I dan Alu I berdasarkan enzim restriksi yang menyandi gd dan gc (ROLLA et al., 2005). Kedua, menggunakan uji neutralisasi virus (OIE, 2004) yang menggunakan kontrol positif antisera terhadap BHV-1 rujukan. Suatu isolat lapang dapat dikatakan termasuk ke dalam kelompok BHV-1 apabila memiliki indeks neutralisasi lebih dari 1,5. Tujuan penelitian adalah untuk mengisolasi BHV-1 pada sampel usap mukosa hidung, vagina, dan semen dari sapi FH dan potong serta mengidentifikasinya melalui analisis enzim restriksi dan virus neutralisasi. MATERI DAN METODE Koleksi dan perlakuan sampel Sebanyak 770 sampel yang terdiri dari 697 usap mukosa hidung, 12 semen beku dan 61 semen cair telah dikoleksi. Sampel usap mukosa hidung diambil menggunakan kapas bertangkai steril yang kemudian sampel dimasukkan ke dalam media transpor (media DMEM yang dilengkapi dengan 1000 IU/ml Penisilin, 1000 μg/ml Streptomisin, 250 μg/ml Fungison dan 2% feotal bovine serum). Semua sampel disimpan pada suhu 4 C sebelum sampai ke Laboratorium. Sedangkan sampel semen cair diambil dari sapi PO baik yang 377

3 menunjukkan klinis penyakit IBR maupun yang normal dengan menggunakan semen kolektor dalam keadaan hangat (40 C). Semen disimpan pada suhu dingin hingga sampai di Laboratorium di simpan di -20 C sebelum di ekstraksi. Sementara itu semen beku dikoleksi dari isntansi pengguna semen untuk tujuan Inseminasi Buatan. Semen beku dalam straw dikoleksi 5 straw per batch, kemudian disimpan dalam keadaan dingin sebelum sampai ke Laboratorium. Isolasi virus Isolasi virus berdasarkan prosedur ROLA et al. (2003). Secara ringkas: masing-masing 100 μl sampel usap mukosa hidung dan semen setelah diencerkan 10 kali dengan media DMEM, diinokulasikan sebanyak 0,5 ml pada sel Madin Darby Bovine Kidney (MDBK, ATCC, CCL- 22) monolayer umur 2 hari pada pelat mikrotiter 24 sumur. Virus diabsropsi selama 1 jam. Inokulum dibuang, kemudian ke dalam pelat mikrotiter ditambahkan 1 ml media pemelihara (100 IU/ml Penisilin, 100 μg/ml Streptomisin, Amphotericin B 50 IU/ml dan 2% Feotal Calf Serum, FCS) pada setiap sumur pelat mikrotiter. Sel MDBK diamati setiap hari terhadap adanya Cytophatic effect (CPE) hingga 6 7 hari pengamatan. Isolasi virus dilakukan hingga 3 kali lintasan (passage). Ekstraksi DNA Perlakuan ekstraksi sampel semen dan usap mukosa hidung berdasarkan metoda ROLA et al. (2003) yaitu masing-masing 200 μl semen atau usap mukosa hidung dimasukkan kedalam eppendorf 1,5 ml kemudian ditambahkan 2 μl Proteinase K (25 mg/ml) dan 25 μl 10% SDS. Campuran sampel-proteinase-k diaduk hingga homogen kemudian diinkubasikan pada suhu 37 C selama 1 jam. Ditambahkan ke dalam campuran tersebut Fenol:Kloroform:Isoamil alkohol (25 : 24 : 1) dengan perbandingan sama banyak dan dikocok hingga homogen kemudian disentrifugasi x g selama 5 menit. Fase bagian atas diambil dan dipindahkan kedalam eppendorf 1,5 ml baru, kemudian ditambahkan sebanyak 2,5 bagian alkohol 96% dan 1/10 bagian 3 M Natrium asetat ph 5,2. Setelah tabung dikocok, kemudian diinkubasikan semalaman pada suhu -20 C atau -70 C selama 60 menit. Kemudian disentrifugasi pada 12,000 x g suhu 4 C selama 15 menit. Supernatan dibuang dan DNA berupa endapan dicuci dengan 500 μl alkohol 70% (dingin), Disentrifus 12,000 x g suhu 4 C selama 15 menit. Alkohol dibuang dan endapan (DNA) dikeringkan di udara terbuka dan dilarutkan dengan dh2o sebanyak 50 μl. Bila tidak segera digunakan untuk reaksi PCR, maka DNA dapat disimpan pada suhu -20 C. Sedangkan ekstraksi DNA virus galur Colorado yang dipropagasi pada sel MDBK dikerjakan berdasarkan prosedur FRANCO et al. (2002) sebagai berikut: setelah virus IBR diinfeksikan pada sel MDBK selama 36 jam atau setelah timbul CPE %, maka supernatan disentrifugasi x g selama 20 menit untuk menghilangkan sel debris. Kemudian sentrifugasi dilanjutkan pada x g selama 2 jam pada suhu 4 C. Pellet virus kemudian diresuspensikan dengan penambahan TE (Tris 10mM, EDTA 1 mm, ph 7,4) dan diberi perlakuan dengan penambahan sodium dodecyl sulphate dan proteinase-k (konsentrasi akhir masing-masing 1% dan 100 μg/ml) selama 1 jam pada suhu 37 C. Selanjutnya virus DNA di ekstraksi dengan menggunakan fenol:kloroform:isoamyl alkohol, diendapkan dengan ethanol, dan akhirnya diresuspensikan dengan menggunakan TE ph 7,4 dan disimpan pada suhu 4 C atau -20 C sampai sampel siap digunakan untuk PCR. Primer eksternal dan internal gd BHV-1 Penggunaan primer ini berdasarkan prosedur ROLA et al. (2005) yaitu primer gd BHV-1 Eksternal: gd1 (Lokasi ) 5 - GCT GTG GGA AGC GGT ACG-3, dan gd2 (lokasi ) 5 -GTC GAC TAT GGC CTT GTG TGC-3, primer internal yaitu gdn1 (lokasi ) 5 -ACG GTC ATA TGG TAC AAG ATC GAG AGC G-3, dan gdn2 (lokasi ) 5 -CCA AAG GTG TAC CCG CGA GCC-3. Primer eksternal dan internal gen gd BHV-1 berturut turut menghasilkan fragmen 468bp dan 325bp. 378

4 Campuran reaksi PCR (PCR Mix) terdiri dari 5 μl 10x DNA polymerase buffer, 2 μl 10 mm campuran dntp, 1 μl 5 mm masingmasing primer, dan 2,5 μl thermo-stable RED Taq DNA Polymerase, dan 5 μl DNA (10 pg/μl). Campuran reaksi tersebut kemudian ditambah dengan air deionisasi (dh2o) sehingga menjadi total volume 50μl. Proses amplifikasi DNA untuk primer eksternal yaitu: masing-masing siklus terdiri dari denaturasi 95 C selama 1 menit, pelekatan (annealing) primer pada suhu 60 C selama 1 menit dan elongasi pada suhu 72 C selama 1 menit. Total siklus 35 putaran, dan diakhiri dengan elongasi terakhir pada suhu 72 C selama 10 menit. Kemudian 1 μl produk PCR pertama diambil dan diamplifikasi dengan primer internal dengan proses amplifikasi DNA sama dengan yang digunakan untuk primer eksternal kecuali suhu pelekatan dinaikkan menjadi 65ºC. Proses amplifikasi menggunakan GeneAmp PCR System 9700 (Applied Biosystem, ABI). Analisis produk PCR Produk PCR dianalisis dengan 2% agarose gel yang mengandung ethidium Bromida (EtBr). Elektroporesis dilakukan pada voltage konstan yaitu pada 100 volt dalam TBE (Tris- Borate-EDTA) buffer selama 1 jam. Hasil PCR dinyatakan positif apabila terlihat adanya produk yang spesifik dari primer yang digunakan. Identifikasi Isolat BHV-1 Analisis enzim restriksi Sebanyak 50 μl masing-masing produk PCR dimurnikan dengan menggunakan QIAquick PCR Purification kit sesuai dengan prosedur dari pembuat kit. Metode analisis enzim restriksi DNA gd dan gc berdasarkan prosedur ROLA et al. (2005) yaitu 10 μl DNA murni (0,5 μg/μl), 2 μl 10 reaksi buffer (30 mm Tris-Acetate (ph 7,9); 10 mm Mg- Acetate; 60 mm K-Acetate; 100 μg/ml BSA), 2 ul enzim restriksi Taq I dan Alu I (masingmasing 10 U/μl) (Vivantis), dan 6 μl buffer TE ditambahkan ke dalam tabung eppendorf 1,5 ml, kemudian diinkubasikan pada suhu 65 C selama 1 jam. Sepuluh μl hasil reaksi dianalisis dengan menggunakan agarose 0,9% dengan pewarnaan ethidibium bromida (EtBr). Enzim Taq I akan memotong DNA BHV-1 menjadi 2 fragmen yaitu 231bp dan 133bp. Sedangkan enzim Alu I akan memotong DNA menjadi 2 fragmen yaitu 322bp dan 124bp. Interpretasi hasil: isolat dinyatakan memiliki kesamaan (homologi) dengan BHV-1 rujukan apabila fragmen DNA asal isolat virus tersebut terpotong menjadi 2 fragmen pada posisi 231bp dan 133bp (Taq I) dan 322bp serta 124bp (Alu I). Virus Neutralisasi Terhadap sampel yang menunjukkan CPE hasil isolasi virus di atas, kemudian dilakukan identifikasi virus dengan menggunakan uji virus neutralisasi metode α (OIE 2004). Secara ringkas, isolat diencerkan kelipatan 10 ( ) dengan menggunakan media DMEM dalam tabung gelas 5 ml. Seratus µl dari masing-masing enceran virus kemudian dimasukkan ke dalam pelat mikrotiter 24 sumur. Kemudian terhadap masing-masing enceran virus dalam pelat mikrotiter ditambahkan 100 µl anti-bhv-1 rujukan yang telah diketahui titernya. Virus-antisera BHV-1 diinkubasikan pada suhu 37 C selama 1 jam di inkubator yang mengandung 5% CO 2. Ditambahkan 1 ml sel suspensi MDBK dengan konsentrasi 5 x 10 5 sel/ml, kemudian diinkubasikan pada suhu 37 C di inkubator yang mengandung 5% CO 2 selama 3-5 hari dan dihitung indek neutralisasi (Neutralization index, NI). Jika NI > 1,5 maka isolat dinyatakan termasuk ke dalam BHV-1. Sedangkan untuk kontrol virus, dilakukan titrasi virus dengan enceran virus seperti yang dilakukan di atas. Titer virus dihitung berdasarkan metode yang digunakan oleh REED dan MUENCH (1983). Perbandingan tingkat sensitivitas dan spesifisitas isolasi virus terhadap PCR Untuk mengetahui tingkat sensitivitas, spesifisitas serta akurasi kedua metode yaitu isolasi virus dilakukan uji PCR, maka dilakukan perbandingan uji dengan menggunakan tabel contigency 2 x 2 (SAMAD et al., 1994) seperti yang ditampilkan pada Tabel

5 Tabel 1. Perbandingan tingkat sensitivitas dan spesifisitas antara isolasi virus (gold standard) dengan uji npcr Positif Isolasi virus Negatif Uji npcr Positif a b a + b Negatif c d c + d Total a + c b + d a + b + c + d = N a: Jumlah sampel yang positif berdasarkan isolasi virus dan uji PCR b: Jumlah sampel yang positif berdasarkan isolasi virus tetapi negatif uji PCR c: Jumlah sampel yang negatif berdasarkan isolasi virus tetapi positif uji PCR d: Jumlah sampel yang negatif baik dengan uji PCR maupun isolasi virus a + b + c + d: Total jumlah sampel Sensitivitas uji: kapasitas uji untuk mendeteksi penyakit jika dibandingkan dengan isolasi virus [a/(a + c) x 100] Spesifisitas uji: kapasitas uji untuk mendeteksi yang tidak mengandung penyakit jika dibandingkan dengan isolasi virus (gold standard) [d/(b + d) x 100] Akurasi uji: Kesamaan hasil uji kedua metode yaitu [(a + d)/n x 100)] Sumber: SAMAD et al. (1994) Total HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan deteksi BHV-1 Telah dilakukan isolasi virus terhadap 770 sampel yang terdiri dari 697 usap mukosa hidung, 12 semen beku dan 61 semen cair. Hasil isolasi virus menunjukkan bahwa 21 sampel positif mengandung BHV-1 (2,73%) (Tabel 2). Sebagian besar yang berhasil diisolasi adalah sampel yang berasal dari usap mukosa hidung yaitu sebanyak 17 sampel, sedangkan sampel semen cair dan usap mukosa vagina berturut-turut terdeteksi 3 dan 1 sampel. Sementara itu berdasarkan hasil deteksi BHV-1 pada sampel usap mukosa hidung, vagina dan semen terdeteksi sebanyak 155 sampel dari 770 sampel yang diuji (20,13%) (Tabel 2). Hasil deteksi BHV-1 dengan PCR lebih banyak yang positif bila dibandingkan dengan isolasi virus. Hal tersebut disebabkan oleh tingkat sensitivitas uji PCR lebih tinggi bila dibandingkan dengan isolasi virus. Selain itu mengingat isolasi virus memerlukan partikel virus yang masih hidup untuk dapat tumbuh pada sel lestari MDBK, sedangkan dengan PCR hanya diperlukan DNA virus dalam sampel yang diuji. Tabel 2. Hasil isolasi agen penyakit IBR asal sapi lokal dari daerah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur Asal sampel Jenis sampel Jenis hewan Jumlah sampel Positif npcr Positif isolasi Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Usap mukosa hidung PO Usap mukosa hidung FH Semen beku FH Usap mukosa hidung FH Semen beku FH Semen cair PO Usap mukosa hidung PO Persentase (20,13%) (2,73%) 380

6 Berdasarkan titrasi (Tabel 3) terhadap isolat virus lokal menunjukkan bahwa titer virus sangat bervariasi mulai dari 3,4 sampai 5,2 TCID 50 /100µl (log10). Pada pasase ke-1 diperoleh positif sebanyak 7 sampel, kemudian dilanjutkan dengan hasil isolasi ke-2 (pasase ke-2) bertambah 6 sampel yang positif sehingga total yang positif menjadi 12 sampel, dan akhirnya pada pasase ke-3 bertambah 9 sampel yang positif, sehingga total sampel yang berhasil diisolasi menjadi 21 sampel. Perbedaan karakteristik CPE virus herpes terlihat setelah pasase ke-2 sampai ke-3, terutama setelah 4, 5, dan 6 hari pascainfeksi (Gambar 1). Hal tersebut menunjukkan bahwa virus herpes telah beradaptasi pada sel lestari MDBK dan menimbulkan efek sitopatik yang berupa benda inklusi intranukleus dimana sel tampak membulat. Tingkat sensitivitas, spesifisitas dan akurasi isolasi virus terhadap uji PCR Salah satu persyaratan yang harus dimiliki oleh suatu perangkat diagnostik adalah tingkat sensitivitas. Hal tersebut sangat diperlukan manakala perangkat uji tersebut digunakan untuk mendeteksi penyakit dengan gejala klinis yang tidak tampak atau dalam keadaan subklinis seperti halnya penyakit yang disebabkan oleh kelompok virus herpes. Tabel 4 menunjukkan bahwa tingkat sensitivitas, spesifisitas dan akurasi uji npcr dibandingkan dengan isolasi virus berturut-turut yaitu 100, 82,10 dan 82,59%. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa metode PCR memiliki tingkat sensitivitas cukup tinggi dalam mendeteksi BHV-1 sebagai agen penyebab penyakit IBR. Hal tersebut dibuktikan dengan Tabel 3. Isolasi BHV-1 pada sampel usap mukosa hidung dan semen asal sapi lokal dan titer virus setelah pasase ke-3 Kode isolat Pasase ke-1 ke-2 ke-3 Titer virus pasase ke-3 (log 10 TCID 50 /100μl) N0027/Jabar/2006 Negatif Positif Positif 4,8 N30560/Jabar/2006 Positif Positif Positif 5,2 N307185/Jabar/2007 Negatif Positif Positif 4,2 N60521T/Jabar/2007 Positif Positif Positif 4,6 N30567/Jabar/2007 Negatif Negatif Positif 4,0 V305172/Jabar/2007 Negatif Negatif Positif 3,6 N101265/Jabar/2008 Negatif Negatif Positif 3,4 N101266/Jabar/2008 Negatif Negatif Positif 4,8 N101208/Jabar/2008 Negatif Negatif Positif 3,8 N101229/Jabar/2008 Negatif Positif Positif 4,2 N304088/Jateng/2008 Positif Positif Positif 4,0 N304018/Jateng/2008 Negatif Negatif Positif 3,6 N303010/Jateng/2008 Negatif Negatif Positif 3,4 N304132/Jateng/2008 Positif Positif Positif 4,8 N308368/Jateng/2008 Positif Positif Positif 4,2 N308363/Jateng/2008 Positif Positif Positif 4,0 SF /Jatim/2007 Positif Positif Positif 3,4 SF107559/Jatim/2007 Negatif Negatif Positif 3,6 SF1022/Jatim/2008 Negatif Positif Positif 4,2 N1034/Jatim/2008 Positif Positif Positif 4,6 N1036/Jatim/2008 Negatif Negatif Positif 4,2 381

7 Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010 Gambar 1. Karakteristik CPE herpesvirus pada sel lestari MDBK selapis. A) Sel MDBK normal. CPE pada sel lestari MDBK [tanda panah] B) 4 hari pascainfeksi (h.p.i), C) 5 h.p.i, dan D) 6 h.p.i. Tabel 4. Sensitivitas, spesifisitas dan akurasi uji PCR terhadap isolasi virus Isolasi virus Total Sensitivitas (%) Spesifisitas (%) Akurasi (%) ,10 82,59 Positif Negatif Uji Positif PCR Negatif Total semua sampel yang terdeteksi positif oleh isolasi virus akan menunjukkan hasil yang positif juga dengan npcr. Sebaliknya, tidak semua sampel yang terdeteksi positif oleh npcr dapat diperoleh hasil yang sama bila diuji dengan isolasi virus. Identifikasi BHV-1 Isolat Lokal Sebanyak 21 isolat lokal yang terdiri dari 10 isolat (Jawa barat), 6 isolat (Jawa Tengah), dan 5 isolat (Jawa Timur) telah berhasil diidentifikasi dengan menggunakan uji virus neutralisasi (Tabel 5) yang dikonfirmasi dengan uji REA (Gambar 2A dan 2B). Hasil identifikasi dengan menggunakan uji virus 382 neutralisasi menunjukkan bahwa semua isolat memiliki nilai indeks neutralisasi di atas 1,5 yaitu berkisar antara 1,7 hingga 2,5. Hal tersebut membuktikan bahwa semua isolat yang diperoleh termasuk ke dalam tipe BHV-1. Hal tersebut diperkuat hasil REA dengan menggunakan enzim Taq I (Gambar 2) dan Alu I (Gambar 2B) terhadap produk PCR yang menunjukkan bahwa ke-21 isolat tersebut memiliki persamaan fragmen dengan BHV-1 galur Colorado (sebagai kontrol rujukan) yaitu terpotong menjadi 2 fragmen 231bp dan 133bp (Taq I) serta 322bp dan 124bp (Alu I). Hasil tersebut menunjukkan bahwa ke-21 isolat tersebut termasuk ke dalam tipe BHV-1. Identifikasi virus baik dengan menggunakan virus neutralisasi maupun REA belum bisa

8 membedakan sampai tingkat subtipe (BHV-1.1 dan BHV-1.2). Oleh karena itu untuk mengetahui sampai tingkat subtipe, maka diperlukan karakterisasi molekuler dengan melakukan sekuensing, analisis sekuens, dan analisis filogenetik. Analisis enzim restriksi tidak bisa membedakan bila kesamaan nukleotida antar isolat di atas 70% (ESTEVES et al., 2008). Pembahasan Bovine Herpesvirus 1 termasuk kelompok famili herpesviridae yang secara ekonomi merugikan bagi peternakan. Kerugian tersebut bukan saja karena dapat menimbulkan kematian ternak sapi, tetapi juga dapat menurunkan bobot badan, keguguran, tidak cukupnya konversi makanan, kematian pada pedet, kadang-kadang dapat menurunkan produksi susu sebagai akibat infeksi sekunder oleh bakteri penyebab bronchopneumonia (MADBOULY et al., 2008). Penyakit IBR telah terdeteksi secara serologik di beberapa daerah di Indonesia seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kupang, Bali, Sumatera Utara, Nangru Aceh, BIB Lembang, BBIB Singosari, Kalimantan Barat, dan Peternakan Tri S dengan tingkat seroprevalensi bervariasi antara 1 65% (SAROSA, 1985). Dengan terdeteksinya penyakit IBR di beberapa daerah di Indonesia, maka kewaspadaan dan pengendalian terhadap penyebaran penyakit tersebut perlu ditingkatkan. Monitoring terhadap penyakit IBR melalui pemeriksaan ternak sapi baik yang masuk ke Indonesia maupun yang dipelihara di peternakan di Indonesia perlu dilakukan secara periodik minimal 2 kali dalam setahun Tabel 5. Identifikasi BHV-1 dengan virus neutralisasi (VN) Kode isolat Titer virus-serum negatif (log 10 TCID 50 /100μl) Titer virus-serum positif (log 10 TCID 50 /100μl) Neutralisasi indeks (NI) N0027/Jabar/2006 4,8 2,5 2,3 N30560/Jabar/2006 5,2 2,7 2,5 N307185/Jabar/2007 4,2 2,3 1,9 N60521T/Jabar/2007 4,6 2,5 2,1 N30567/Jabar/2007 4,0 2,3 1,7 V305172/Jabar/2007 3,6 1,9 1,7 N101265/Jabar/2008 3,4 1,7 1,7 N101266/Jabar/2008 4,8 2,7 2,1 N101208/Jabar/2008 3,8 1,9 1,9 N101229/Jabar/2008 4,2 2,5 1,7 N304088/Jateng/2008 4,0 1,7 2,3 N304018/Jateng/2008 3,6 1,7 1,9 N303010/Jateng/2008 3,4 1,7 1,7 N304132/Jateng/2008 4,8 2,5 2,3 N308368/Jateng/2008 4,2 2,3 1,9 N308363/Jateng/2008 4,0 1,9 2,1 SF /Jatim/2007 3,4 1,7 1,7 SF107559/Jatim/2007 3,6 1,7 1,9 SF1022/Jatim/2008 4,2 2,3 1,9 N1034/Jatim/2008 4,6 2,3 2,3 N1036/Jatim/2008 4,2 1,9 2,3 383

9 Gambar 2. Identifikasi BHV-1 isolat lokal dengan metode REA Lajur K) BHV-1 rujukan (IBR Colorado) tanpa dipotong dengan Taq I dan Alu I; 1) dan 2) BHV-1 rujukan (IBR Colorado dan V-155) dipotong dengan TaqI (A) dan AluI (B); 3) sampai 12) Isolat asal Jawa Barat; 13) sampai 18) isolat asal Jawa Tengah 19) sampai 23) isolat asal Jawa Timur, M) standar molekul 100bp Keberadaan penyakit IBR di Indonesia seperti yang telah dijelaskan di atas dan diperkuat dengan hasil peneilitian ini, yaitu berdasarkan hasil isolasi virus terhadap 770 sampel yang dikoleksi, diperoleh 21 sampel positif (2,73%). Sementara itu dengan deteksi DNA BHV-1 menggunakan uji PCR diperoleh positif 155 sampel (20,13%). Sampel yang positif baik dengan isolasi virus maupun dengan uji PCR sebagian besar berasal dari ternak sapi lokal yang tidak menunjukkan adanya klinis (normal) dan tidak satupun baik sapi betina maupun jantan yang menunjukkan klinis gangguan genital (IPB atau IPV). Gejala klinis gangguan pernapasan seperti adanya leleran ingus pada hidung serta hiperlakrimasi ditemukan pada sapi PO dan FH dari Jawa Barat. Sedangkan dari sapi PO dan FH dari Jawa Tengah dan Jawa Timur tidak satupun ditemukan adanya klinis yang menunjukkan penyakit IBR. Dengan terdeteksi BHV-1 baik dengan isolasi virus maupun dengan uji PCR dari ternak sapi yang secara klinis normal, menunjukkan bahwa ternak sapi tersebut sangat berpotensi untuk menularkan penyakit ke ternak sehat lainnya. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kemungkinan pada ternak tersebut telah terjadi infeksi laten atau subklinis. Sebagaimana dilaporkan oleh YAVRU et al. (2001) bahwa BHV-1 dapat disebarkan ke ternak sehat oleh ternak yang berstatus subklinis atau infeksi laten. Virus pada ternak yang berstatus infeksi laten seringkali mengalami reaktivasi dengan adanya faktor cekaman seperti pada saat bunting, transporatsi, vaksinasi, dan perlakuan dengan kortikosteroid. Oleh karena itu, semua ternak dalam kondisi infeksi laten dikategorikan sebagai reservoar (DENNET et al., 1976) dan sangat berpotensi dalam penyebaran penyakit IBR. Selain itu, terdeteksi pula BHV-1 pada semen beku dari sampel asal Jawa Timur dengan uji PCR. Semen beku tersebut berasal dari salah satu institusi/lembaga yang sering memproduksi semen untuk didistribusikan ke peternak guna inseminasi buatan (IB). Dengan terdeteksi BHV-1 pada semen beku dan semen tersebut didistribusikan ke peternakan untuk IB, maka secara tidak langsung penyebaran penyakit IBR sudah dimulai. AFSHAR dan EAGLESOME (1990) melaporkan bahwa akibat pemakaian semen yang terkontaminasi BHV-1 384

10 untuk IB dapat berakibat fatal pada ternak sapi karena ternak tersebut menjadi seropositif terhadap BHV-1 dan ini secara epidemiologi memegang peranan penting dalam penyebaran penyakit IBR. Oleh karena itu, semen yang akan digunakan untuk IB harus berasal dari pejantan yang seronegatif atau semen tersebut tidak terdeteksi adanya BHV-1 dengan uji PCR. Kekhawatiran akan terjadinya penyebaran penyakit IBR di lokasi yang disurvei cukup beralasan, mengingat dari 21 sampel yang berhasil diisolasi mengandung virus dengan konsentrasi cukup tinggi yaitu berkisar antara 3,4 sampai 5,2 TCID 50 /100 µl (log10) (Tabel 12). Titer virus tersebut sudah cukup untuk dapat menginfeksi ternak sehat sebagaimana dilaporkan oleh VAN OIRSCHOT (1995) bahwa dosis BHV-1 yang diperlukan untuk menginfeksi ternak sapi dengan applikasi intranasal atau intra-vagina yaitu 3,2 TCID50/ml. Hasil tersebut di atas pernah pula dilaporkan DENNET et al. (1976) yang menyatakan bahwa selama eksresi virus baik secara spontan maupun melalui rangsangan alami atau perlakuan dengan rangsangan buatan (perlakuan dengan kortikosteroid), titer virus sangat bervariasi yaitu antara 1 sampai 5,6 TCID 50 (log10) per ml dari bilasan praeputium atau semen dan usap mukosa hidung. Dalam monitoring keberadaan penyakit IBR tidak terlepas dari perangkat diagnostik yang handal. Teknik PCR telah diketahui sebagai perangkat diagnostik yang memenuhi kriteria tersebut, selain cepat dan mudah juga tingkat sensitivitasnya cukup tinggi dibandingkan dengan uji konvensional lainnya. Seperti tampak pada Tabel 4, tingkat sensitivitas uji PCR terhadap isolasi virus yaitu mencapai 100% dengan tingkat akurasi kedua uji tersebut mencapai 82,59%. Tingkat sensitivitas uji PCR pernah pula dilaporkan SAEPULLOH et al. (2008) bahwa nested PCR dengan menggunakan primer gen gd BHV-1 memiliki kemampuan dalam mendeteksi DNA BHV-1 galur Colorado hingga 5 alto gram per µl. Tingkat sensitivitas uji antara isolasi virus dengan uji PCR tidak terlepas dari material yang diuji. Untuk dapat mengisolasi virus atau agar virus dapat tumbuh pada sel yang spesifik (dalam hal ini adalah sel lestari MDBK) diperlukan partikel virus yang masih hidup dengan konsentrasi yang cukup untuk dapat menginfeksi. Selain itu, dengan penyimpanan sampel yang kurang baik, atau kualitas sampel yang kurang baik, sampel bersifat toksik dapat berpengaruh terhadap hasil isolasi, menghasilkan kegagalan dalam isolasi virus. Dalam penelitian ini, isolasi virus dilakukan hanya sampai pasase ke-3 dan ini sesuai dengan prosedur standar dari OIE (2004) bahwa setelah 3 kali pasase tidak terdapat adanya CPE, maka sampel tersebut dinyatakan negatif. Sedangkan ELHASSAN et al. (2005) melaporkan isolasi BHV-1 dengan menggunakan sel MDBK menunjukkan CPE setelah 7 kali pasase. Hal tersebut dikarenakan konsentrasi virus dalam sampel sangat rendah sekali, sehingga diperlukan passase lanjutan hingga 7 kali. Oleh karena itu, hasil isolasi virus negatif setelah 3 kali pasase belum tentu bahwa sampel tersebut tidak mengandung virus, akan tetapi kemungkinan kurangnya konsentrasi virus dalam sampel tersebut, sehingga manakala dilakukan pendeteksian dengan uji PCR diperoleh hasil positif. Sebaliknya, uji PCR memiliki kemampuan mendeteksi virus dalam sampel baik yang hidup maupun yang sudah inaktif. Hal tersebut dikarenakan PCR hanya mendeteksi DNA virus yang terdapat pada sampel. Disamping itu, uji PCR dalam hal ini nested PCR menggunakan dua kali amplifikasi DNA. Pada amplifikasi pertama menggunakan primer eksternal, dan amplifikasi kedua menggunakan primer internal. Dengan menggunakan dua kali proses amplifikasi, maka sudah dapat dipastikan jumlah DNA yang berhasil di amplifikasi akan jauh lebih banyak bila dibandingkan hanya menggunakan satu kali amplifikasi seperti yang digunakan pada PCR standar. Proses amplifikasi merupakan proses pelipatgandaan DNA secara eksponensial. Untuk memastikan bahwa ke-21 isolat yang berhasil diisolasi atau dideteksi dengan PCR itu benar-benar BHV-1, maka diperlukan langkah identifikasi terhadap isolat virus lokal tersebut. Walaupun metode nested PCR untuk deteksi BHV-1 ini telah dilakukan uji spesifisitas terhadap kelompok virus herpes lainnya seperti Bovine herpesvirus tipe 4 (BHV-1) dan Pseudorabies virus (PrV), serta kelompok virus yang dapat menyebabkan gejala klinis gangguan pernapasan seperti Bovine respiratory syncitial virus (BRSV) dan Para Influenza tipe 3 (PI3) dengan hasil tidak 385

11 satupun dari virus tersebut terdeteksi positif (SAEPULLOH et al., 2008). Sementara itu, efek sitopatik (CPE) pada sel MDBK akibat infeksi BHV-1 dapat pula dikelirukan dengan virus lainnya seperti Bovine corona virus (BCV), Bovine rota virus (BRV), dan BRSV yang dapat tumbuh dan menghasilkan CPE pada sel lestari MDBK. Oleh karena identifikasi virus mutlak diperlukan untuk memastikan bahwa virus tersebut adalah BHV-1. Berdasarkan identifikasi virus menggunakan uji virus neutralisasi (VN) metode α menunjukkan bahwa semua isolat virus lokal memiliki nilai indeks neutralisasi di atas 1,5 atau berkisar antara 1,7 sampai 2,5. Berdasarkan OIE (2004) dan DEKA et al. (2005) bahwa suatu isolat virus yang diidentifikasi menggunakan virus BHV-1 dan antisera BHV-1 rujukan dengan uji virus neutralisasi metode α, jika memiliki indeks neutralisasi di atas 1,5 maka isolat virus tersebut termasuk ke dalam kelompok BHV-1. Virus neutralisasi metode α seringkali digunakan untuk identifikasi virus herpes oleh beberapa peneliti (ELHASSAN et al., 2005; MAHMOUD et al., 2009). Hasil identifikasi tersebut didukung dengan hasil identifikasi menggunakan REA yang memanfaatkan enzim Taq I dan Alu I, menunjukkan bahwa ke-21 isolat virus tersebut termasuk ke dalam tipe BHV-1. Keterbatasan identifikasi virus menggunakan metode VN dan REA adalah kedua metode tersebut tidak dapat mengklasifikasikan virus ke dalam tingkat subtipe. Oleh karena itu, untuk mengetahui sampai tingkat subtipe (BHV-1.1 atau BHV- 1.2) diperlukan uji lanjut yaitu dengan melakukan karakterisasi molekuler melalui sekuensing, analisis sekuen dan analisis filogenetik. KESIMPULAN Bovine Herpesvirus 1 telah berhasil diisolasi dari sejumlah ternak sapi lokal baik yang menunjukkan klinis maupun yang normal. Dari 770 ternak sapi yang diambil sampelnya, tidak satupun ditemukan yang menunjukkan klinis gangguan genital, hanya beberapa yang menunjukkan klinis leleran ingus dari hidung, dan hiperlakrimasi baik pada sapi PO maupun FH. Hasil deteksi BHV-1 dengan nested PCR menunjukkan bahwa jumlah yang terdeteksi lebih banyak bila dibandingkan dengan hasil isolasi virus. Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat sensitivitas uji nested PCR lebih sensitif bila dibandingkan dengan isolasi virus. Berdasarkan identifikasi BHV-1 baik dengan menggunakan virus neutralisasi maupun dengan REA terhadap virus isolat lokal menunjukkan bahwa isolat-isolat yang diperoleh termasuk ke dalam kelompok virus tipe BHV-1. DAFTAR PUSTAKA AFSHAR, A. and M.D. EAGLESOME Viruses associated with bovine semen. Vet. Bull. 60(2): DEKA, D., RAMNEEK, K. MAITI and M.S. OBERIO Detection of Bovine Herpesvirus-1 infection in breeding bull semen by virus isolation and polymerase chain reaction. Rev. Sci. Tech. Off Int. Epiz. 24(3): DENNETT, D.P., J.O. BARASA and R.H. JOHNSON Infectious bovine rhinotracheitis virus: Studies on the venereal carrier status in range cattle. Res. Vet. Sci. 20: ELHASSAN, A.M., M.A. FADOL and A.E. KARRAR Isolation of bovine herpes virus in Sudan. J. Anim. Vet. Adv. 4(11): ESTEVES, P.A Phylogenetic comparison of the carboxy-terminal region of glycoprotein C (gc) of Bovine Herpesviruses (BoHV) 1.1, 1.2 and 5 from South America (SA). Virus Res. 131: FRANCO, A.C. et al A Brazilian glikoprotein E-negative Bovine Herpesvirus type 1.2a (BHV-1.2a) mutant is attenuated for cattle and induces protection against wild-type virus challenge. Pesq Vet. Bras 22(4): MADBOULY, H.M., S.M. TAMAM and A.M. ABD-EL- GAID Isolation and identification of Bovine Herpesvirus-1 (BHV-1) from semen of foregn breeds bulls. BS Vet. Med. J. 18(2): MAHMOUD, M.A., N.A. MAHMOUD and A.M. ALLAM Investigation on infectious bovine rhinotracheitis in Egyptian cattle and buffalo. Global Vet. 3(4): MILLER, J.M., C.A. WHETSTONE and M.J. VAN DER MAATEN Abortifacient property of Bovine Herpesvirus type 1 isolates that represent three subtypes determined by restriction endonuclease analysis of viral DNA. Am. J. Vet. Res. 52(3):

12 OIE (Office International des Epizooties) Infectious bovine rhinotracheitis/infectious pustula vulvovaginitis. In: Manual of Diagnostic Test and Vaccine for terestrial Animals. Chapter PASTORET, P.P., E. THIRY, B. BROCHIER and G. DERBOVEN Bovid herpesvirus 1 infection of cattle: Pathogenesis, latency, consequences of latency. Ann. Tech. Vet. 13: PHILPOTT, M The dangers of disease transmission by artificial insemination and embryo transfer. Br. Vet. J. 149: RADOSTITS, O.M., C.C. GAY, D.C. BLOOD and K.W. HINCHLIFF Veterinary Medicine: A textbook of the disease of cattle, sheep, pigs, goats and horses, 9 th. W.B. Saunders Company Ltd. pp ROLA, J., M. LARSKA and M.P. POLAK Detection of Bovine Herpesvirus-1 from an outbreak of infectious bovine rhinotracheitis. Bull. Vet. Inst. Pulawy. 49: ROLA, J., M.P. POLAK and J.F. ZMUDZINSKI Amplification of DNA of BHV-1 isolated from semen of naturally infected bulls. Bull. Vet. Inst. Pulawy 47: SAEPULLOH, M., R.M.A. ADJID, I-W.T. WIBAWAN dan DARMINTO Pengembangan nested PCR untuk deteksi Bovine Herpesvirus-1 (BHV-1) pada sediaan usap mukosa hidung dan semen asal sapi. JITV 13(2): SAMAD, A., K.B. AWAZ and L.B. SARKATE Diagnosis of bovine traumatic reticulo peritonitis I: strength of clinical signs in predicting correct diagnosis. Appl. Anim. Res. 6: SAROSA, A Kajian Prevalensi Serologi Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis pada Sapi dan Kerbau di Beberapa Daerah di Indonesia. Tesis Master. Fakultas Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada. VAN OIRSCHOT, J.T Bovine Herpesvirus 1 in semen of bulls and the risk of transmission: a brief review. Vet. Q 17: VAN OIRSCHOT, J.T. et al A subclinical infection of bulls with Bovine Herpesvirus type 1 at an artificial insemination centre. Vet. Rec. 132: XIA, J.Q., C.V. YASON and F.S. KIBENGE Comparison of dot-blot hybridization, polymerase chain reaction, and virus isolation for detection of Bovine Herpesvirus-1 (BHV- 1) in artificially infected bovine semen. Can. J. Vet. Res. 59:

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. sapi secara maksimal masih terkendala oleh lambatnya pertumbuhan populasi sapi

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. sapi secara maksimal masih terkendala oleh lambatnya pertumbuhan populasi sapi BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Produksi daging sapi pada tahun 2012 mengalami defisit sebesar 78.329 ton (21,40%). Upaya yang telah dilakukan untuk peningkatan produksi daging sapi secara

Lebih terperinci

Pengembangan Nested PCR untuk Deteksi Bovine herpesvirus-1 (BHV-1) pada Sediaan Usap Mukosa Hidung dan Semen asal Sapi

Pengembangan Nested PCR untuk Deteksi Bovine herpesvirus-1 (BHV-1) pada Sediaan Usap Mukosa Hidung dan Semen asal Sapi JITV Vol. 13 No.2 Th. 2008 Pengembangan Nested PCR untuk Deteksi Bovine herpesvirus-1 (BHV-1) pada Sediaan Usap Mukosa Hidung dan Semen asal Sapi MUHARAM SAEPULLOH 1, R.M. ABDUL ADJID 1, I. WAYAN T. WIBAWAN

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi. Tabel 1. Sampel Darah Sapi Perah dan Sapi Pedaging yang Digunakan No. Bangsa Sapi Jenis Kelamin

MATERI DAN METODE. Materi. Tabel 1. Sampel Darah Sapi Perah dan Sapi Pedaging yang Digunakan No. Bangsa Sapi Jenis Kelamin MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan Genetika, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian deskriptif. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode B. Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah sampel DNA koleksi hasil

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian 14 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu, Bagian Mikrobiologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7 individu udang Jari yang diambil dari Segara Anakan Kabupaten Cilacap Jawa Tengah.

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian

bio.unsoed.ac.id METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian III. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian 1.1. Peralatan Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah botol sampel, beaker glass, cool box, labu

Lebih terperinci

METODE. Materi. Tabel 1. Jumlah Sampel DNA yang Digunakan dan Asal Pengambilan Sampel Darah.

METODE. Materi. Tabel 1. Jumlah Sampel DNA yang Digunakan dan Asal Pengambilan Sampel Darah. METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pemuliaan dan Genetika Molekuler, Bagian Pemuliaan dan Genetik Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian tentang Pengaruh Suhu Annealing pada Program PCR terhadap Keberhasilan Amplifikasi DNA Udang Jari (Metapenaeus elegans) Laguna Segara Anakan

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE. Betina BEST BB NB RB. Nirwana BN NN RN. Red NIFI BR NR RR

II. BAHAN DAN METODE. Betina BEST BB NB RB. Nirwana BN NN RN. Red NIFI BR NR RR II. BAHAN DAN METODE Ikan Uji Ikan uji yang digunakan adalah ikan nila hibrida hasil persilangan resiprok 3 strain BEST, Nirwana dan Red NIFI koleksi Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Sempur, Bogor.

Lebih terperinci

KARAKTERISASI MOLEKULER BOVINE HERPESVIRUS -1 GLIKOPROTEIN C (gc) ISOLAT INDONESIA

KARAKTERISASI MOLEKULER BOVINE HERPESVIRUS -1 GLIKOPROTEIN C (gc) ISOLAT INDONESIA KARAKTERISASI MOLEKULER BOVINE HERPESVIRUS -1 GLIKOPROTEIN C (gc) ISOLAT INDONESIA (Molecular Characterization of Bovine Herpesvirus-1 Glycoprotein C (gc) Indonesian Isolates) MUHARAM SAEPULLOH dan R.M.A.

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat 12 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Survei penyakit klorosis dan koleksi sampel tanaman tomat sakit dilakukan di sentra produksi tomat di daerah Cianjur, Cipanas, Lembang, dan Garut. Deteksi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan terhadap sampel yang dikoleksi selama tujuh bulan mulai September 2009 hingga Maret 2010 di Kabupaten Indramayu. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium

Lebih terperinci

METODELOGI PENELITIAN

METODELOGI PENELITIAN 17 METODELOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB, kandang hewan percobaan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian Isolasi Aktinomiset

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian Isolasi Aktinomiset BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dari bulan Februari sampai dengan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan Genetik Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Sampel yang digunakan dalam penelitian

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Sampel yang digunakan dalam penelitian 12 METODE PEELITIA Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan April 2010, bertempat di Bagian Fungsi Hayati dan Perilaku Hewan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

1 Pusat Penelitian dan Pengembangan Petemakan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian

1 Pusat Penelitian dan Pengembangan Petemakan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian Terakreditasi dengan nilai B No. 43lDIKTI/Kep/2008 Terakreditasi dengan nilai A NO. 53IAKRED-LIPI/P2MBIIl 212006 Volume 13 Nomor 2 2008 1 Pusat Penelitian dan Pengembangan Petemakan Badan Penelitian dan

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Bentuk desain penelitian yang akan digunakan adalah bentuk deskriptif molekuler potong lintang untuk mengetahui dan membandingkan kekerapan mikrodelesi

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler, Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

VISUALISASI HASIL PCR DENGAN METODE PCR LANGSUNG DAN TIDAK LANGSUNG PADA SAMPEL BAKTERI Pseudomonas fluorescens dan Ralstonia solanacearum

VISUALISASI HASIL PCR DENGAN METODE PCR LANGSUNG DAN TIDAK LANGSUNG PADA SAMPEL BAKTERI Pseudomonas fluorescens dan Ralstonia solanacearum VISUALISASI HASIL PCR DENGAN METODE PCR LANGSUNG DAN TIDAK LANGSUNG PADA SAMPEL BAKTERI Pseudomonas fluorescens dan Ralstonia solanacearum Pendahuluan Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah suatu teknik

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. amplifikasi daerah HVI mtdna sampel dengan menggunakan teknik PCR;

BAB III METODE PENELITIAN. amplifikasi daerah HVI mtdna sampel dengan menggunakan teknik PCR; BAB III METODE PENELITIAN Secara garis besar, langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: pengumpulan sampel; lisis terhadap sampel mtdna yang telah diperoleh; amplifikasi daerah HVI mtdna

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2012 sampai bulan Juli 2012, yang bertempat di Laboratorium Genetika dan Biologi Molekuler Jurusan Biologi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap BAB III METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap penyiapan templat mtdna, amplifikasi fragmen mtdna pada daerah D-loop mtdna manusia dengan teknik PCR, deteksi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN Bagan Alir Penelitian ini secara umum dapat digambarkan pada skema berikut:

BAB III METODE PENELITIAN Bagan Alir Penelitian ini secara umum dapat digambarkan pada skema berikut: BAB III METODE PENELITIAN Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: pengumpulan sampel, lisis terhadap sampel mtdna yang telah diperoleh, amplifikasi daerah HVI mtdna sampel dengan menggunakan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Sampel Pengambilan Sampel Ekstraksi DNA Primer

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Sampel Pengambilan Sampel Ekstraksi DNA Primer MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni hingga Nopember 2010. Penelitian dilakukan di Laboratorium Pemuliaan dan Genetik Molekuler, Bagian Pemuliaan dan Genetik Ternak,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian tentang Karakterisasi genetik Udang Jari (Metapenaeus elegans De Man, 1907) hasil tangkapan dari Laguna Segara Anakan berdasarkan haplotipe

Lebih terperinci

Pembuatan Media Kultur Bakteri Pemanenan sel bakteri. Isolasi DNA kromosom bakteri. Kloning DNA

Pembuatan Media Kultur Bakteri Pemanenan sel bakteri. Isolasi DNA kromosom bakteri. Kloning DNA LAMPIRAN 15 15 Lampiran 1 Tahapan penelitian Pembuatan Media Kultur Bakteri Pemanenan sel bakteri Isolasi DNA kromosom bakteri Pemotongan DNA dengan enzim restriksi Kloning DNA Isolasi DNA plasmid hasil

Lebih terperinci

PUDJI KURNIADHI Balm Penelitiun 6%eteriner, Balui Penelitian Veieriner,.l1. R.E. Martadinata 30 Bo,zor, ABSTRAK

PUDJI KURNIADHI Balm Penelitiun 6%eteriner, Balui Penelitian Veieriner,.l1. R.E. Martadinata 30 Bo,zor, ABSTRAK 7enni Teknis f ungsional A'on Penelin 2(W1 TEKNIK PASASI DAN LAMA ADSORBSI UNTUK MENINGKATKAN TITER VIRUS INFECTIOUS BOVINE RHINOTRACHEITIS (IBR) PADA BIAKAN SEL LESTARI MADIN DARBY BOVINE KIDNEY (MDBK)

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Analisis Polymerase Chain Reaction (PCR) serta analisis penciri Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP) dilaksanakan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 25 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian telah berlangsung sejak bulan Januari 2012 - Juli 2012 di Laboratorium Mikrobiologi, Lab. Optik, Lab. Genetika dan Lab. Biologi Molekuler Jurusan

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 20 BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif cross sectional molekuler. Data yang diperoleh berasal dari pemeriksaan langsung yang dilakukan peneliti sebanyak

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 29 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian meliputi Laut Sulawesi, Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, Laut Banda, Teluk Tolo, Laut Maluku dan Teluk Tomini (Gambar

Lebih terperinci

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN. Pengambilan sampel. Penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN. Pengambilan sampel. Penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel 16 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN Bab ini menggambarkan tahapan penelitian yang terdiri dari pengambilan sampel, penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel, amplifikasi D-loop mtdna dengan teknik

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi. Tabel 1. Jumah Sampel Darah Ternak Sapi Indonesia Ternak n Asal Sapi Bali 2 4

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi. Tabel 1. Jumah Sampel Darah Ternak Sapi Indonesia Ternak n Asal Sapi Bali 2 4 MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. penelitian ini

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan dengan metode

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan dengan metode 16 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan dengan metode deskriptif. Penelitian deskriptif adalah suatu metode penelitian untuk membuat deskripsi,

Lebih terperinci

PENYAKIT INFECTIOUS BOVINE RHINOTRACHEITIS PADA SAPI DI INDONESIA DAN STRATEGI PENGENDALIANNYA

PENYAKIT INFECTIOUS BOVINE RHINOTRACHEITIS PADA SAPI DI INDONESIA DAN STRATEGI PENGENDALIANNYA PENYAKIT INFECTIOUS BOVINE RHINOTRACHEITIS PADA SAPI DI INDONESIA DAN STRATEGI PENGENDALIANNYA R.M. ABDUL ADJID dan M. SAEPULLOH Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16114

Lebih terperinci

PERBANDINGAN METODE EKSTRAKSI REAL TIME PCR VIRUS INFLUENZA A ANTARA METODE GUANIDIUM,-THIOCYANATE-PHENOL- CHLOROFORM DAN METODE SPIN KOLOM

PERBANDINGAN METODE EKSTRAKSI REAL TIME PCR VIRUS INFLUENZA A ANTARA METODE GUANIDIUM,-THIOCYANATE-PHENOL- CHLOROFORM DAN METODE SPIN KOLOM PERBANDINGAN METODE EKSTRAKSI REAL TIME PCR VIRUS INFLUENZA A ANTARA METODE GUANIDIUM,-THIOCYANATE-PHENOL- CHLOROFORM DAN METODE SPIN KOLOM YUNI YUPIANA Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB dan Laboratorium Terpadu,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan, mulai Maret 2010 sampai dengan Agustus 2010 di laboratorium Terpadu Bagian Mikrobiologi Medik dan laboratorium Bakteriologi

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 19 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juni 2010 di Laboratorium Mikrobiologi, Biokimia dan Bioteknologi Hasil Perairan Departemen Teknologi Hasil

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Deteksi genom virus avian influenza pada penelitian dilakukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Deteksi genom virus avian influenza pada penelitian dilakukan 30 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. KONDISI OPTIMAL REAKSI AMPLIFIKASI Deteksi genom virus avian influenza pada penelitian dilakukan menggunakan primer NA. Primer NA dipilih karena protein neuraminidase,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang mengangkat fenomena alam sebagai salah satu masalah dalam penelitian. Penelitian ini dapat menerangkan

Lebih terperinci

Karakterisasi Molekuler Bovine Herpesvirus Type 1 Isolat Indonesia

Karakterisasi Molekuler Bovine Herpesvirus Type 1 Isolat Indonesia Karakterisasi Molekuler Bovine Herpesvirus Type 1 Isolat Indonesia MUHARAM SAEPULLOH 1, I.W.T. WIBAWAN 2, D. SAJUTHI 2 dan S. SETIYANINGSIH 2 1 Balai Besar Penelitian Veteriner, PO Box 151 Bogor e-mail:m.saepulloh@digi.net.id

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Kota Padang Sumatera Barat pada bulan Oktober Amplifikasi gen Growth

MATERI DAN METODE. Kota Padang Sumatera Barat pada bulan Oktober Amplifikasi gen Growth III. MATERI DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Pengambilan sampel darah domba dilakukan di Kecamatan Koto Tengah Kota Padang Sumatera Barat pada bulan Oktober 2012. Amplifikasi gen Growth Hormone menggunakan

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Lampiran 1. Deskripsi Pembuatan Larutan Stok dan Buffer

LAMPIRAN. Lampiran 1. Deskripsi Pembuatan Larutan Stok dan Buffer LAMPIRAN Lampiran 1. Deskripsi Pembuatan Larutan Stok dan Buffer 1. Pembuatan Larutan Stok a. CTAB 5 % Larutan dibuat dengan melarutkan : - NaCl : 2.0 gr - CTAB : 5.0 gr - Aquades : 100 ml b. Tris HCl

Lebih terperinci

METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE. Waktu dan Tempat Penelitian 18 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan April 2013 sampai dengan April 2014. Sampel diambil dari itik dan ayam dari tempat penampungan unggas, pasar unggas dan peternakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 34 HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini jenis sampel diambil berupa serum dan usap kloaka yang diperoleh dari unggas air yang belum pernah mendapat vaksinasi AI dan dipelihara bersama dengan unggas

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2009 hingga Februari 2010. Penelitian dilakukan di kandang pemeliharaan hewan coba Fakultas Kedokteran Hewan Institut

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini

BAB III METODE PENELITIAN. Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini BAB III METODE PENELITIAN Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: pengumpulan sampel; lisis terhadap sampel mtdna yang telah diperoleh; amplifikasi daerah D-loop

Lebih terperinci

III. Bahan dan Metode

III. Bahan dan Metode III. Bahan dan Metode A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan dari bulan Mei-Juli 2011 yang dilakukan di LPPT UGM Yogyakarta. B. Bahan Penelitian Sampel yang digunakan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genetika dan Molekuler Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Survei dan Pendataan

METODE PENELITIAN. Survei dan Pendataan METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan identifikasi penyebab penyakit umbi bercabang pada wortel dilakukan di Laboratorium Nematologi dan Laboratorium Virologi Departemen Proteksi Tanaman

Lebih terperinci

RINGKASAN PENDAHULUAN

RINGKASAN PENDAHULUAN Ternu Teknis Fungsional Non Peneliti 200/ PENERAPAN UJI NETRALISASI SERUM UNTUK DIAGNOSIS SEROLOGIK PENYAKIT BOVINE VIRAL DIARRHOEA (BVD) PADA SAPI PUDJI KURNIADHI Balai Penelitian Veteriner, JI.R.E.Martadinata

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode deskriptif (Nazir, 1983). B. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Lampiran 1. Pembuatan Larutan Stok dan Buffer

LAMPIRAN. Lampiran 1. Pembuatan Larutan Stok dan Buffer LAMPIRAN Lampiran 1. Pembuatan Larutan Stok dan Buffer A. LARUTAN STOK CTAB 5 % (100 ml) - Ditimbang NaCl sebanyak 2.0 gram - Ditimbang CTAB sebanyak 5.0 gram. - Dimasukkan bahan kimia ke dalam erlenmeyer

Lebih terperinci

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI ISOLASI TOTAL DNA TUMBUHAN DENGAN KIT EKSTRAKSI DNA PHYTOPURE Halaman : 1 dari 5 1. RUANG LINGKUP Metode ini digunakan untuk mengisolasi DNA dari sampel jaringan tumbuhan, dapat dari daun, akar, batang,

Lebih terperinci

BAB II. BAHAN DAN METODE

BAB II. BAHAN DAN METODE BAB II. BAHAN DAN METODE 2.1 Kultur Bakteri Pembawa Vaksin Bakteri Escherichia coli pembawa vaksin DNA (Nuryati, 2010) dikultur dengan cara menginokulasi satu koloni bakteri media LB tripton dengan penambahan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Autentikasi Bahan Baku Ikan Tuna (Thunnus sp.) dalam Rangka Peningkatan Keamanan Pangan dengan Metode Berbasis DNA dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang mengangkat fenomena alam sebagai salah satu masalah dalam penelitian, sehingga dapat menerangkan arti

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode 24 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode penelitian deskriptif. B. Objek Penelitian Empat spesies burung anggota Famili

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Materi Sapi Perah FH

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Materi Sapi Perah FH 62 MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama sembilan bulan, yaitu dari bulan Oktober 2009 sampai dengan Juni 2010. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan Metode Isolasi C. gloeosporioides dari Buah Avokad

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan Metode Isolasi C. gloeosporioides dari Buah Avokad 15 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Balai Besar Karantina Pertanian (BBKP) Tanjung Priok Wilayah Kerja Bogor, mulai bulan Oktober 2011 sampai Februari 2012. Bahan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE 9 BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2011 sampai dengan Juli 2012. Kegiatan ekstraksi DNA sampai PCR-RFLP dilakukan di laboratorium Analisis

Lebih terperinci

PENULARAN KONGENITAL PENYAKIT INFECTIOUS BOVINE RHINOTRACHEITIS (IBR) PADA SAPI DAN KERBAU DI INDONESIA

PENULARAN KONGENITAL PENYAKIT INFECTIOUS BOVINE RHINOTRACHEITIS (IBR) PADA SAPI DAN KERBAU DI INDONESIA PENULARAN KONGENITAL PENYAKIT INFECTIOUS BOVINE RHINOTRACHEITIS (IBR) PADA SAPI DAN KERBAU DI INDONESIA SUDARISMAN Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16114 (Makalah diterima

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak,

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak, pemeliharaan stamina tubuh, percepatan regenerasi sel dan menjaga sel darah merah (eritrosit) agar tidak mudah

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.1.1. Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Perikanan dan Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas

Lebih terperinci

BAB 4. METODE PENELITIAN

BAB 4. METODE PENELITIAN BAB 4. METODE PENELITIAN Penelitian penanda genetik spesifik dilakukan terhadap jenis-jenis ikan endemik sungai paparan banjir Riau yaitu dari Genus Kryptopterus dan Ompok. Penelitian ini bertujuan untuk

Lebih terperinci

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI Halaman : 1 dari 5 ISOLASI TOTAL DNA HEWAN DENGAN KIT EKSTRAKSI DNA 1. RUANG LINGKUP Metode ini digunakan untuk mengisolasi DNA dari sampel jaringan hewan, dapat dari insang, otot, darah atau jaringan

Lebih terperinci

untuk menghasilkan titer yang tinggi, maka virus ILT paling baik ditumbuhkan pada CAM dari telur embryo ayam tertunas (JORDAN, 198), misalnya untuk tu

untuk menghasilkan titer yang tinggi, maka virus ILT paling baik ditumbuhkan pada CAM dari telur embryo ayam tertunas (JORDAN, 198), misalnya untuk tu PROPAGASI VIRUS INFECTIOUS LARYNGO TRACHEITIS (ILT) PADA JARINGAN SELAPIS CHICKEN EMBRYO FIBROBLAST (CEF) MASITOH DAN HANIFAH ARIYANI Balai Penelitian Veteriner, X. RE. Martadinata 3 PO. Box 151, Bogor

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 39 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif. Penelitian membuat deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup dari penelitian ini meliputi bidang ilmu sitogenetika.

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup dari penelitian ini meliputi bidang ilmu sitogenetika. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup dari penelitian ini meliputi bidang ilmu sitogenetika. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pusat Riset Biomedik

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan termasuk dalam penelitian dasar yang. dilakukan dengan metode deskriptif (Nazir, 1998).

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan termasuk dalam penelitian dasar yang. dilakukan dengan metode deskriptif (Nazir, 1998). BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan termasuk dalam penelitian dasar yang dilakukan dengan metode deskriptif (Nazir, 1998). B. Populasi dan Sampel 1. Populasi yang

Lebih terperinci

4.1. Alat dan Bahan Penelitian a. Alat Penelitian. No. URAIAN ALAT. A. Pengambilan sampel

4.1. Alat dan Bahan Penelitian a. Alat Penelitian. No. URAIAN ALAT. A. Pengambilan sampel 7 IV. METODE PENELITIAN Ikan Lais diperoleh dari hasil penangkapan ikan oleh nelayan dari sungaisungai di Propinsi Riau yaitu S. Kampar dan S. Indragiri. Identifikasi jenis sampel dilakukan dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian murni yang dilakukan dengan metode deskriptif, yaitu suatu metode penelitian untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR...... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... INTISARI... ABSTRACT... PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang...

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara

Lebih terperinci

STRATEGI PENGENDALIAN PENYAKIT INFECTIOUS BOVINE RHINOTRACHEITIS (IBR) DI INDONESIA

STRATEGI PENGENDALIAN PENYAKIT INFECTIOUS BOVINE RHINOTRACHEITIS (IBR) DI INDONESIA STRATEGI PENGENDALIAN PENYAKIT INFECTIOUS BOVINE RHINOTRACHEITIS (IBR) DI INDONESIA PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PETERNAKAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN 2009 STRATEGI PENGENDALIAN PENYAKIT

Lebih terperinci

MATERI DAN METODA. Kandang dan Perlengkapannya Pada penelitian ini digunakan dua kandang litter sebesar 2x3 meter yang

MATERI DAN METODA. Kandang dan Perlengkapannya Pada penelitian ini digunakan dua kandang litter sebesar 2x3 meter yang 11 MATERI DAN METODA Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung dari bulan Juni 2010 sampai dengan Juni 2011. Penelitian dilakukan di kandang FKH-IPB. Pengujian sampel dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian akan diawali dengan preparasi alat dan bahan untuk sampling

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian akan diawali dengan preparasi alat dan bahan untuk sampling 16 BAB III METODOLOGI PENELITIAN Penelitian akan diawali dengan preparasi alat dan bahan untuk sampling sel folikel akar rambut. Sampel kemudian dilisis, diamplifikasi dan disekuensing dengan metode dideoksi

Lebih terperinci

Asam Asetat Glacial = 5,7 ml EDTA 0,5 M ph 8.0 = 10 ml Aquades ditambahkan hingga volume larutan 100 ml

Asam Asetat Glacial = 5,7 ml EDTA 0,5 M ph 8.0 = 10 ml Aquades ditambahkan hingga volume larutan 100 ml 36 Lampiran 1. Pembuatan Larutan Stok dan Buffer A. Pembuatan Larutan Stok Tris HCL 1 M ph 8.0 (100 ml) : Timbang Tris sebanyak 12,114 g. Masukkan Tris ke dalam Erlenmeyer dan ditambahkan 80 ml aquades.

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penyediaan Isolat dan Karakterisasi Bakteri Xanthomonas campestris

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penyediaan Isolat dan Karakterisasi Bakteri Xanthomonas campestris 12 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan mulai Nopember 2011 sampai dengan Maret 2012 di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan dan Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga Departemen

Lebih terperinci

Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria

Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria Ria Maria (G34090088), Achmad Farajallah, Maria Ulfah. 2012. Karakterisasi Single Nucleotide Polymorphism Gen CAST pada Ras Ayam Lokal. Makalah Kolokium

Lebih terperinci

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 8 BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan mulai Juli sampai dengan Agustus 2010. Pemeliharaan ayam broiler dimulai dari Day Old Chick (DOC)

Lebih terperinci

BAB 3 PERCOBAAN. Alat elektroforesis agarosa (Biorad), autoklaf, cawan Petri, GeneAid High Speed Plasmid

BAB 3 PERCOBAAN. Alat elektroforesis agarosa (Biorad), autoklaf, cawan Petri, GeneAid High Speed Plasmid BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Alat Alat elektroforesis agarosa (Biorad), autoklaf, cawan Petri, GeneAid High Speed Plasmid Mini kit, inkubator goyang (GSL), jarum Ose bundar, kit GFX (GE Healthcare), kompor listrik

Lebih terperinci

PERAN ISOFORM TAp73 DAN STATUS GEN p53 TERHADAP AKTIFITAS htert PADA KARSINOMA SEL SKUAMOSA RISBIN IPTEKDOK 2007

PERAN ISOFORM TAp73 DAN STATUS GEN p53 TERHADAP AKTIFITAS htert PADA KARSINOMA SEL SKUAMOSA RISBIN IPTEKDOK 2007 PERAN ISOFORM TAp73 DAN STATUS GEN p53 TERHADAP AKTIFITAS htert PADA KARSINOMA SEL SKUAMOSA RISBIN IPTEKDOK 2007 LATAR BELAKANG p53 wt

Lebih terperinci

Tujuan Penelitian. Manfaat Penelitian

Tujuan Penelitian. Manfaat Penelitian 2 mikroorganisme patogen pada bahan pangan dan juga memiliki kemampuan probiotik untuk kesehatan konsumen. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perlu dilakukan seleksi yaitu mencari beberapa isolat

Lebih terperinci

STATUS KEBAL TERNAK SAPI PASKA VAKSINASI INFECTIOUS BOVINE RHINOTRACHEITIS (IBR) INAKTIF DI LAPANGAN

STATUS KEBAL TERNAK SAPI PASKA VAKSINASI INFECTIOUS BOVINE RHINOTRACHEITIS (IBR) INAKTIF DI LAPANGAN STATUS KEBAL TERNAK SAPI PASKA VAKSINASI INFECTIOUS BOVINE RHINOTRACHEITIS (IBR) INAKTIF DI LAPANGAN KETUT KARUNI NYANAKUMARI NATIH, YUNI YUPIANA, NUR KHUSNI HIDAYANTO, NENI NURYANI Balai Besar Pengujian

Lebih terperinci

METODE Waktu dan Tempat Materi Sampel DNA Primer

METODE Waktu dan Tempat Materi Sampel DNA Primer METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan September 2010 sampai dengan bulan Pebruari 2011. Penelitian dilakukan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak Bagian Pemuliaan dan Genetika

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada penelitian ini terdapat lima tahapan penelitian yang dilakukan yaitu

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada penelitian ini terdapat lima tahapan penelitian yang dilakukan yaitu BAB III METODOLOGI PENELITIAN Pada penelitian ini terdapat lima tahapan penelitian yang dilakukan yaitu pengumpulan sampel berupa akar rambut, ekstraksi mtdna melalui proses lisis akar rambut, amplifikasi

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE II. BAHAN DAN METODE 2.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Agustus sampai September tahun 2011. Sampel ikan berasal dari 3 lokasi yaitu Jawa (Jawa Barat), Sumatera (Jambi),

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Uji Serum (Rapid Test) Pada Ikan Mas Yang Diberikan Pelet Berimunoglobulin-Y Anti KHV Dengan Dosis rendah Ig-Y 5% (w/w) Ikan Mas yang diberikan pelet berimunoglobulin-y anti

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September sampai Oktober 2009. Pengambilan sampel susu dilakukan di beberapa daerah di wilayah Jawa Barat yaitu

Lebih terperinci

Bab III Bahan dan Metode III.1 Bahan III. 2 Alat

Bab III Bahan dan Metode III.1 Bahan III. 2 Alat Bab III Bahan dan Metode III.1 Bahan Pada penelitian ini, sampel yang digunakan dalam penelitian, adalah cacing tanah spesies L. rubellus yang berasal dari peternakan cacing tanah lokal di Sekeloa, Bandung.

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Metode Penelitian Pengambilan Sampel Kutukebul dan Tanaman Tomat Sumber TICV

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Metode Penelitian Pengambilan Sampel Kutukebul dan Tanaman Tomat Sumber TICV BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Kegiatan survei dan pengambilan sampel kutukebul dilakukan di sentra produksi tomat di Kecamatan Cikajang (kabupaten Garut), Kecamatan Pacet (Kabupaten Cianjur), Kecamatan

Lebih terperinci

BAB 3 PERCOBAAN Mikroba C. violaceum, Bacillus cereus dan E. coli JM 109

BAB 3 PERCOBAAN Mikroba C. violaceum, Bacillus cereus dan E. coli JM 109 9 BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Alat, Bahan dan Miroba 3.1.1 Alat Bunsen, inkubator 37 o C, sentrifuga (Mikro 200R Hettich), Eppendorf 100 ul, 500 ul, 1,5 ml, tabung mikrosentrifuga (Eppendorf), neraca timbang (Mettler

Lebih terperinci

BABm METODE PENELITIAN

BABm METODE PENELITIAN BABm METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain cross-sectioned, yaitu untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan distnbusi genotipe dan subtipe VHB

Lebih terperinci

MATERI DAN METODA Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Hewan Percobaan Vaksin AI-ND Pakan Kandang dan Perlengkapannya

MATERI DAN METODA Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Hewan Percobaan Vaksin AI-ND Pakan Kandang dan Perlengkapannya 10 MATERI DAN METODA Waktu Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Terpadu FKH-IPB, Departemen Ilmu Penyakit Hewan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian

Lebih terperinci

ANALISA HASIL TRANSFORMASI DENGAN MENGGUNAKAN PCR KOLONI DAN RESTRIKSI

ANALISA HASIL TRANSFORMASI DENGAN MENGGUNAKAN PCR KOLONI DAN RESTRIKSI 1 ANALISA HASIL TRANSFORMASI DENGAN MENGGUNAKAN PCR KOLONI DAN RESTRIKSI PENDAHULUAN Polimerase Chain Reaction (PCR) PCR adalah suatu reaksi invitro untuk menggandakan jumlah molekul DNA pada target tertentu

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Pertumbuhan dan Peremajaan Isolat Pengamatan Morfologi Isolat B. thuringiensis

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Pertumbuhan dan Peremajaan Isolat Pengamatan Morfologi Isolat B. thuringiensis 13 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, IPB, dari bulan Oktober 2011 Mei 2012. Bahan Isolasi untuk memperoleh isolat B. thuringiensis

Lebih terperinci