Analisis Formulasi Kebijakan Kenaikan Tarif Pajak Penghasilan Pasal 22 atas Impor

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Analisis Formulasi Kebijakan Kenaikan Tarif Pajak Penghasilan Pasal 22 atas Impor"

Transkripsi

1 Analisis Formulasi Kebijakan Kenaikan Tarif Pajak Penghasilan Pasal 22 atas Impor Tiopi R. Togi 1 dan Iman Santoso 2 1. Departemen Ilmu Admimistrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia 2. Departemen Ilmu Admimistrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Tiopi.Roihut@gmail.com, Imansa1969@yahoo.com ABSTRAK Perdagangan internasional semakin berkembang membuat perjanjian perdagangan bebas antar negara semakin banyak. Perjanjian perdagangan bebas berdampak pada peningkatan nilai impor Indonesia, aktivitas impor merupakan salah satu objek pajak di Indonesia. Pemerintah melakukan kenaikan tarif Pajak Penghasilan atas aktivitas impor. Penelitian ini mengangkat permasalahan dasar pertimbangan pemerintah dalam membuat kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor dan proses formulasinya. Konsep-konsep yang digunakan antara lain konsep kebijakan publik, formulasi kebijakan publik, kebijakan fiskal, kebijakan pajak, impor, perdagangan internasional, tarif, dan fungsi pajak. Pendekatan penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fungsi reguleren pajak menjadi dasar pertimbangan utama pemerintah dalam merumuskan kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor. Proses formulasi kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor sesuai dan memenuhi tahap-tahap kebijakan publik. Kata kunci : Impor, Formulasi Kebijakan, Pajak Penghasilan atas Impor, Kenaikan Tarif. ABSTRACT Growth of international trade makes free trade treaty is also increasing. The free trade treaty effect the increase of Indonesian import rate, which is one of the object of taxation in Indonesia. Government increased the rate of income tax article 22. This research raised the issue of basic considerations of the government in making policy of increase in income tax rate article 22 imports and the process of the formulation. Concepts used are public policy, formulation of public policy, import, international trade, rate, fiscal policy, taxation policy, and tax function. Qualitative research approach with the types of descriptive research. Research showed that regulerend function of tax became the major consideration in formulating income tax art 22 rates increase policies. The process of policy formulations fullfill stages of public policy. Key words : Import, Policy Formulations, Income Tax on Import, Rate Increased. Pendahuluan Perjanjian perdagangan banyak dilakukan oleh negara-negara di dunia. Perjanjian perdagangan bebas merupakan aktivitas perdagangan internasional yang memungkinkan dua

2 negara atau lebih melakukan transaksi jual-beli dengan cara yang lebih mudah dan murah, dengan adanya perjanjian perdagangan internasional maka negara-negara yang terikat dalam perjanjian tersebut terikat dalam sebuah perjanjian yang membuat negara-negara tersebut dapat melakukan perdagangan dengan lebih mudah ke sesama negara pemilik perjanjian perdagangan bebas. Pemberlakuan perjanjian perdagangan bebas tentunya memiliki dampak bagi kegiatan perdagangan Indonesia yang kemudian akan berdampak langsung kepada perekonomian nasional. Perjanjian perdagangan bebas yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dapat berdampak positif maupun negatif bagi perekonomian Indonesia, hal tersebut bergantung dari respon dan langkah yang akan diambil oleh Pemerintah Indonesia terkait pemberlakuan perjanjian perdagangan bebas. Berdasarkan Kementerian Perdagangan Indonesia (74-82), ada beberapa peluang dan tantangan yang akan dihadapi oleh Indonesia terkait diberlakukannya perjanjian perdagangan bebas. Peluang-peluang yang akan dimiliki oleh Indonesia seperti terciptanya integrasi ekonomi, menjadi pasar potensial di dunia, dapat meningkatkan ekspor produk-produk dalam negeri, menjadikan Indonesiasebagai negara tujuan investor, meningkatkan daya saing, sektor jasa dan aliran modal yang akan semakin meningkat. Selain mendapatkan peluang, Indonesia juga harus bersiap menghadapi tantangan yang akan dihadapi saat diberlakukannya perjanjian perdagangan bebas dengan negara lain. Tantangan-tantangan yang akan dihadapi Indonesia seperti meningkatnya nilai ekpor dan impor, laju inflasi Indonesia yang masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, dampak negatif yang disebabkan oleh arus modal yang lebih bebas, kesamaan produk ekspor dengan negara lain, daya saing SDM, tingkat perkembangan ekonomi, kepentingan nasional, dan kedaulatan negara. Pemberlakuan perjanjian perdagangan bebas sebagaimana sudah diuraikan di atas membuat arus barang antar negara menjadi mudah yang tentunya akan berdampak secara langsung terhadap aktivitas perdagangan Indonesia. Apabila produk-produk dalam negeri dapat bersaing dengan produk-produk luar maka produk-produk yang berasal dari Indonesia akan merajai pasar-pasar di berbagai negara dan tentunya hal tersebut akan berdampak positif bagi kondisi neraca perdagangan Indonesia dan perekonomian Indonesia, sebaliknya jika produkproduk dalam negeri masih belum dapat bersaing dengan produk dari negara lain maka perjanjian perdagangan bebas akan menjadi sebuah tantangan yang besar bagi sektor perekonomian maupun sektor industri di Indonesia. Apabila produk dalam negeri belum dapat bersaing dengan produk

3 luar, maka produk-produk Indonesia tidak dapat menguasai pasar mancanegara bahkan produkproduk luar akan semakin membanjiri Indonesia. Indonesia membutuhkan banyak sumber daya di berbagai sektor untuk memenuhi kebutuhan nasional. Sumber daya yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nasional di Indonesia saat ini masih belum dapat dipenuhi seluruhnya oleh produk dalam negeri. Guna mengatasi hal tersebut baik pemerintah Indonesia, pelaku industri maupun para konsumen di Indonesia melakukan aktivitas impor. Tingginya permintaan domestik terhadap produk luar negeri semakin meningkat, hal tersebut sesuai dengan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS). Berdasarkan data nilai impor Indonesia yang dicatat oleh BPS, nilai impor Indonesia cenderung mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Tercatat pada tahun 2009 nilai impor Indonesia mencapai angka US$ , nilai tersebut kembali mengalami peningkatan di tahun berikutnya. Berturut-turut nilai impor Indonesia mengalami peningkat dari tahun 2010 sampai Penurunan nilai impor tersebut tidak kembali terulang di tahun selanjutnya. Nilai impor Indonesia pada tahun 2010 tercatat sebesar US$ , angka ini meningkat cukup tinggi jika dibandingkan dengan nilai impor Indonesia pada tahun Nilai impor Indonesia kembali mengalami peningkatan sepanjang tahun 2011, BPS mencatat impor Indonesia menyentuh angka US$ Naiknya nilai impor Indonesia tidak berhenti pada tahun 2011, di tahun 2012 nilai impor Indonesia kembali mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Impor yang tercatat pada tahun 2012 sebesar US$ Tahun 2013 nilai impor Indonesia mengalami sedikit penurunan jika dibanding tahun 2012, tercatat nilai impor Indonesia pada tahun 2013 adalah sebesar US$ Aktivitas impor merupakan kegiatan yang dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 22 Undang- Undang Pajak Panghasilan. Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain, sebagaimana diatur dalam PMK No. 154/PMK.03/2010. Berdasarkan peraturan yang terdapat dalam PMK No. 154/PMK.03/2010 sebagaimana telah diubah dengan PMK No. 224/PMK.011/2012 terdapat delapan jenis kegiatan yang dikenakan dan dipungut PPh pasal 22 oleh pemerintah. Kegiatan-kegiatan yang dikenakan PPh 22 tersebut adalah PPh pasal 22 impor, PPh pasal 22 Bendahara Pemerintah, PPh pasal 22 BUMN, PPh pasal 22 industri tertentu, PPh pasal 22 Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), PPh pasal 22 Bahan Bakar Minyak (BBM), PPh pasal 22 pedangang pengumpul, dan PPh pasal 22 barang mewah. Peraturan Menteri

4 Keuangan No. 154/PMK.03/2010 sebagaimana telah diubah dengan PMK No. 224/PMK.011/2012 menjelaskan bahwa kegiatan impor barang merupakan kegiatan yang dikenakan PPh Pasal 22, atau lebih sering dikenal dengan PPh pasal 22 impor. Besarnya jumlah Pajak Penghasilan terutang importir ditentukan oleh besarnya nilai impor yang mereka lakukan serta kepemilikian Angka Pengenal Importir (API), jika memiliki API, maka Pajak Penghasilan yang harus importir bayar sebesar 2,5% dari nilai impor. Apabila belum memiliki API maka importir harus membayar Pajak Penghasilan pasal 22 impor sebesar 7,5% dari nilai impor yang mereka lakukan. Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 175/PMK.011/2013 tentang perubahan ketiga atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 tentang pemungutan Pajak Penghasilan pasal 22 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain. Peraturan pemerintah ini mengatur mengenai Pajak Penghasilan pasal 22 impor, PMK Nomor 175/PMK.011/2013 mengatur adanya perubahan tarif yang dikenakan pada barang impor. Besarnya pungutan Pajak Penghasilan pasal 22 atas barang-barang tertentu sebagaimana tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari PMK Nomor 175/PMK.011/2013 dikenakan sebesar 7,5% dari nilai impor baik importir yang memiliki API maupun importir yang tidak memiliki API. Selain barang-barang tertentu sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Menteri Keuangan tersebut berlaku normal atau tidak ada perubahan. Perubahan tarif impor sebagaimana diatur pada Peraturan Menteri Keuangan No 175/PMK.011/2013 menjadi menarik untuk dibahas dan diteliti. Keputusan pemerintah menaikan tarif impor untuk beberapa barang yang tercantum pada lampiran PMK No 175/PMK.011/2013 tentunya berdasarkan beberapa alasan yang melatarbelakangi adanya kebijakan tersebut. Latar belakang Pemerintah Indonesia mengesahkan Peraturan Menteri Keuangan terkait kenaikan tarif PPh Pasal 22 impor merupakan topik yang menarik untuk dibahas dan diteliti. Tinjauan Teoritis Dalam penelitian ini, terdapat beberapa konsep yang membentuk kerangka berpikir yaitu konsep kebijakan publik, formulasi kebijakan publik, kebijakan fiskal, kebijakan pajak, fungsi pajak. Berkaitan dengan kebijakan publik, Edward III dan Sharkansy dalam Widodo (15) menyatakan bahwa kebijakan publik adalah apa yang pemerintah lakukan dan tidak lakukan,

5 kebijakan publik adalah tujuan dari program pemerintah. Dalam membuat sebuah kebijakan publik, pemerintah harus melalui proses-proses sebuah kebijakan publik. Proses kebijakan publik dimulai dari formulasi kebijakan publik. Theodolou dan Kofinis ( ) menyatakan bahwa formulasi kebijakan merupakan pengembangan perbaikan-perbaikan yang berhubungan dengan masalah tertentu atau isu tertentu di dalam agenda institusional. Formulasi kebijakan dilaksanakan sebelum undang-undang diundangkan dan secara teoritis berakhir setelah kebijakan diimplementasikan. Formulasi kebijakan public memiliki tahap-tahap yang harus dilalui, Patton dan Savicky dalam Nugroho ( ) menyatakan bahwa tahap-tahap proses formulasi ada 6 yaitu mendefinisikan dan mendetailkan masalah, menciptakan kriteria evaluasi, mengidentifikasi alternatif, mengevaluasi alternatif, menyajikan alternatif kebijakan, dan memonitor kebijakan. Keenam tahap tersebut penting dalam penelitian ini karena merupakan konsep yang digunakan dalam analisis penelitian ini. Kebijakan publik merupakan payung besar dari kebijakan-kebijakan yang lain salah satunya adalah kebijakan fiskal dan kebijakan pajak. Kebijakan fiskal menurut Mansury (1-2) adalah sebuah kebijakan untuk mempengaruhi produksi masyarakat, kesempatan kerja, dan inflasi dengan mempergunakan instrumen pemungutan pajak dan pengeluaran belanja negara. Kebijakan fiskal berkorelasi secara langsung dengan kebijakan pajak, Mansury (6) menyatakan bahwa Kebijakan pajak adalah bagian dari kebijakan fiskal, karena instrumen kebijakan fiskal adalah pajak (tax policy) dan pengeluaran (expenditure policy). Pajak dipungut dengan tujuan utama untuk mengumpulkan sumber daya dari masyarakat guna dapat membiayai barang-barang yang diperlukan seluruh masyarakat dan jasa-jasa pemerintah yang sangat diperlukan seluruh masyarakat. Kebijakan pajak yang diambil oleh pemerintah seringkali mempertimbangkan fungsi-fungsi pajak yang ada. Fungsi pajak secara umum menurut Nurmantu (1-2) ada 2 yaitu fungsi budgeter dan regulerend, namun Sommerfeld, Anderson, dan Brock sebagaimana dikutip oleh Rosdiana dan Irianto (45) menyebutkan bahwa ada lima fungsi pajak yaitu raising revenues, economic price stability, economic growth and full employment, economic development, and wealth redistribution. Konsep-konsep tersebut yang membentuk kerangka pemikiran sehingga alur pada penelitian ini dimulai dengan mengidentifikasi dasar pertimbangan pemerintah dalam membuat kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor dan proses formulasi kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor.

6 Metode Penelitian Pendekatan penelitian ini tergolong pendekatan kualitatif yang menurut Creswell (21) merupakan penelitian dimana sering terbentuk sebuah klaim-klaim atas pengetahuan yang utamanya didasarkan pada perspektif konstruktivis (misal, beberapa makna dari pengalaman individu yang dibangun secara makna sosial dan historis, dengan tujuan untuk mengembangkan suatu teori atau pola) atau advokasi/perspektif partisipatif (misal, politik, berorientasi-masalah, kolaboratif, atau berorientasi-perubahan) atau keduanya. Berdasarkan pada tujuannya, penelitian ini bersifat deskriptif dengan manfaat yang bersifat murni tanpa ada sponsor dari pihak manapun. Penelitian ini dilakukan sejak Januari hingga Juni Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan melalui wawancara mendalam yang terdiri dari Badan Kebijakan Fiskal, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Direktorat Jenderal Pajak, Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia, serta Akademisi. Teknik pengolahan data dan analisis dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis data kualitatif, dimana peneliti menggolongkan dan mempersiapkan data-data yang ingin dianalisis dan yang tidak, kemudian data yang sesuai dengan masalah penelitian kemudian disajikan dalam bentuk kutipan-kutipan langsung atau penjelasan hasil wawancara dengan informan penelitian. Hasil Penelitian dan Pembahasan Hasil penelitian ini dimulai dari dasar pertimbangan yang diambil oleh pemerintah berdasarkan fungsi pajak yang ada. Penelitian ini akan menjelaskan fungsi pajak manakah yang menjadi prioritas bagi pemerintah dengan adanya kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor. Penelitian ini juga akan menjelaskan bagaimana proses formulasi kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor yang dilakukan oleh pemerintah. Dasar Pertimbangan Pemberlakuan Kebijakan Kenaikan Tarif PPh 22 Impor Terdapat beberapa hal penting yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui dasar pertimbangan yang lebih diutamakan oleh pemerintah dalam pengesahan kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor. a. Dasar penyebab kebijakan kenaikan PPh 22 Impor. Berdasarkan pernyataan yang dikemukakan oleh Sidik selaku Kepala Sub Bidang Evaluasi Kebijakan Kepabeanan, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, dapat

7 diketahui bahwa yang menjadi dasar penyebab dari kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor adalah defisit nya neraca perdagangan Indonesia pada awal tahun 2013 yang sudah terlihat pada akhir tahun 2012 dan jika dibiarkan maka dapat membahayakan perekonomian Indonesia. Dasar penyebab atau permasalahan yang terjadi di Indonesia sehingga pemerintah mengeluarkan kebijakan kenaikan PPh 22 impor tersebut adalah kondisi trial balance Indonesia yang defisit pada tahun 2013, hal tersebut dinilai berbahaya oleh pemerintah karena belum pernah terjadi sejak tahun 2003 dan jika dibiarkan akan berbahaya bagi perekonomian Indonesia. b. Tujuan pemerintah dalam mengesahkan kebijakan kenaikan PPh 22 impor Sidik selaku Kepala Sub Bidang Evaluasi Kebijakan Kepabeanan, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, menjelaskan bahwa tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah lewat kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor adalah untuk mengurangi jumlah konsumsi masyarakat akan produk-produk impor yang sebenarnya tidak terlalu penting jika tidak diimpor oleh Indonesia. Pernyataan tersebut secara tersirat menyatakan bahwa kenaikan tarif PPh 22 impor dipakai oleh pemerintah untuk mengurangi konsumsi barang-barang impor sehingga jumlah barang impor akan berkurang dan nilai impor Indonesia juga ikut mengalami penurunan. Tujuan ini sesuai dengan dasar penyebab pemerintah Indonesia mengesahkan kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor yaitu kondisi neraca perdagangan Indonesia yang defisit. Kenaikan tarif PPh 22 impor ini diciptakan agar dapat menekan nilai impor dengan cara mengurangi konsumsi barang-barang impor sehingga jumlah barang impor di Indonesia dapat berkurang sehingga nilai impor Indonesia tidak semakin mengalami kenaikan. c. Dasar Pertimbangan yang Tercantum Dalam PMK No. 175/PMK.011/2013 Pertimbangan yang dilakukan oleh pemerintah dalam kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor dapat kita lihat langsung dalam PMK No. 175/PMK.011/2013. Dalam PMK tersebut dicantumkan pertimbangan yang dilakukan oleh pemerintah yang terdapat dalam bagian pembuka PMK No. 175/PMK.011/2013. Bagian pembuka pada poin b dalam PMK No. 175/PMK.011/2013 tersebut menjelaskan apa yang menjadi pertimbangan dari pemerintah Indonesia dalam kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor. Kondisi perekonomian Indonesia khususnya bagian impor menjadi pertimbangan khusus pemerintah Indonesia dalam menetapkan kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor.

8 Berdasarkan ketiga acuan yang telah dipaparkan di atas, dapat terlihat secara jelas bahwa fungsi pajak yang lebih dominan dan menjadi dasar pertimbangan utama dalam penentuan kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor adalah fungsi regulerend pajak. Mansury mengatakan bahwa fungsi reguleren pajak berfungsi sebagai upaya pemerintah untuk turut mengatur, Mansury menambahkan bahwa fungsi reguleren sering digunakan oleh pemerintah untuk mengatur kebiasaan dan perilaku masyarakatnya yang dinilai kurang baik. Kebijakan kenaikan PPh 22 impor merupakan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah untuk mengatur perilaku masyarakat Indonesia yang cenderung lebih memilih menggunakan barang impor dibandingkan dengan barang lokal. Akibat kebiasaan tersebut nilai impor Indonesia mengalami kenaikan yang signifikan sehingga neraca perdagangan Indonesia menjadi defisit. Kondisi tersebut dapat merugikan Indonesia karena dapat mempengaruhi perekonomian Indonesia. Upaya pemerintah dalam merubah perilaku masyarakat sehingga berpaling dari produk impor ke produk lokal dengan cara menaikan tarif PPh 22 impor sehingga harga produk impor naik. Kenaikan tarif PPh 22 impor memang secara otomatis dapat menaikan penerimaan Negara dari PPh 22 impor, namun kenaikan tarif PPh 22 impor ini bukan merupakan tujuan utama dibentuknya kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor karena jumlah barang impor yang dikenakan kenaikan tarif PPh 22 impor hanya sebanyak 502 barang atau hanya sekitar 7% dari total produk impor yang masuk ke Indonesia. Berdasarkan jumlah tersebut maka nilai penerimaan Negara yang berasal dari kenaikan tarif PPh 22 impor tidak akan terlalu besar dan signifikan kepada penerimaan Negara. Suwardi, selaku Kepala Subbidang Evaluasi Kebijakan Pajak dan PNBP, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan menyatakan bahwa kenaikan tarif PPh 22 impor diperkirakan hanya akan menyumbang ke penerimaan Negara sebesar 7 Trilyun. Jika dilihat dari jumlah penerimaan yang akan diterima pemerintah maka fungsi budgeter tidaklah terlalu dominan didalam kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor. Kenaikan tarif PPh 22 impor juga berdampak terhadap penyediaan lapangan pekerjaan jika dilihat dari fungsi pajak sebagai fungsi pajak sebagai instrument penyedia lapangan pekerjaan, namun fungsi pajak tersebut hanyalah sebagai dampak lain yang dihasilkan oleh fungsi regulerend pajak dalam kebijakan kenaikan PPh 22 impor. Fungsi pajak sebagai instrumen pembangunan ekonomi berkorelasi secara langsung dengan fungsi reguleren, karena kedua baik fungsi reguleren pajak maupun fungsi instrumen pembangunan ekonomi mengatur dan memberikan dampak yang sama terhadap perilaku ekonomi masyarakat. Fungsi pajak sebagai instrumen pembangunan ekonomi

9 mungkin dapat dikatakan sebagai fungsi reguleren pemerintah di dalam aktivitas perekonomian Negara sehingga kedua fungsi tersebut memiliki korelasi satu dengan yang lain. Proses Formulasi Kebijakan Kenaikan Tarif Pajak Penghasilan Pasal 22 Impor Formulasi kebijakan memiliki beberapa tahap yang harus dilewati agar pada akhirnya formulasi kebijakan dapat menghasilkan output yang sesuai dengan permasalahan yang dihadapi dan dapat menyelesaikan permasalahan tersebut. Tahapan-tahapan yang disampaikan oleh Patton and Savicky merupakan tahapan-tahapan formulasi kebijakan publik yang baik dan benar, namun seringkali apa yang telah dirumuskan oleh para ahli kebijakan publik tidak selalu diimplementasikan dengan baik dan benar dalam dunia nyata. Pemerintah sering kali mengabaikan teori-teori formulasi kebijakan dan melakukan proses formulasi kebijakan tidak sesuai dengan teori-teori yang ada. Berikut ini adalah proses formulasi kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor jika dikaji berdasarkan tahapan proses formulasi kebijakan publik. a. Mendefinisikan, Verifikasi, dan Mendetailkan Permasalahan Kebijakan Tahap pertama dalam proses formulasi kebijakan adalah mendefinisikan dan mendetailkan permasalahan apa yang terjadi di masyarakat. Masalah yang ada dalam masyarakat menjadi hal yang harus diidentifikasikan dan diberikan penyelesaian. Setiap departemen yang terkait dalam proses penentuan masalah harus dilakukan dengan identifikasi secara tepat. Dalam penyelesaian masalah tersebut harus memperhitungkan kondisi yang ada dan berbagai sarana yang akan menciptakan rumusan yang mudah untuk dilaksanakan serta tercapainya tujuan yang diharapkan. Tahap mendefinisikan dan mendetailkan permasalahan merupakan tahap yang penting dalam sebuah kebijakan, karena dengan mengetahui permasalahan yang terjadi secara jelas dan detail pembuat kebijakan dapat menentukan kebijakan yang tepat sesuai dengan permasalahan yang ada. Kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor yang tercantum dalam PMK 175/PMK.011/2013 ini terbentuk atas permintaan dari Wakil Menteri Keuangan kepada pihak BKF untuk melakukan kajian terkait kondisi neraca perdagangan Indonesia. Kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor dikarenakan kondisi perdagangan Indonesia yang pada tahun 2012 dan 2013 mengalami defisit akibat tingginya nilai impor Indonesia. Defisitnya neraca perdagangan Indonesia sebagai permasalahan yang melatarbelakangi dibentuknya kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor.

10 b. Membuat Kriteria Evaluasi Setelah mendefinisikan, verifikasi, dan mendetailkan permasalahan kebijakan, maka tahap selanjutnya yang harus dilakukan oleh pembuat kebijakan adalah menentukan kriteria evaluasi. Menurut Patton dan Savicki kriteria evaluasi penting untuk dibuat selama proses formulasi, agar pemerintah memahami apa yang menjadi tujuan kebijakan dan apakah kebijakan tersebut telah sesuai dengan tujuan kebijakan yang hendak dicapai. Kriteria-kriteria evaluasi yang ditentukan oleh pemerintah bisa bermacam-macam bentuknya, jika mengacu pada criteria evaluasi yang dikemukakan oleh Patton dan Savicki maka terdapat 8 kriteria yang umumnya dipakai oleh policy maker agar pemerintah memahami apa yang menjadi tujuan kebijakan dan apakah kebijakan tersebut telah sesuai dengan tujuan kebijakan yang hendak dicapai. Kriteria-kriteria evaluasi tersebut adalah free market model, costs, benefits, standing, eksternality, elastisitas, marginal analysis, and equity. Dalam menentukan kebijakan yang ingin dibentuk, pemerintah selaku policy maker tidak menggunakan seluruh Kriteria evaluasi sebagaimana dijelaskan oleh Patton dan Savicky. Dalam proses pembuatan kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor, pemerintah menggunakan kriteria manfaat dan eksternalitas sebagai kriteria evaluasi kebijakan. Kriteria Manfaat merupakan kriteria yang berkenaan dengan peluang untuk tercapainya tujuan kebijakan. Kriteria keuntungan dapat diartikan juga bahwa dengan adanya kebijakan ini maka masyarakat luas akan mendapatkan manfaat. Manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat bukan hanya perbaikan neraca perdagangan Indonesia tetapi juga perubahan perilaku masyarakat Indonesia yang lebih memilih produk impor dibanding dengan produk lokal, dengan adanya kebijakan kenaikan PPh 22 impor diharapkan masyarakat lebih memilih produk lokal sehingga industry-industri dalam negeri dapat berkembang. Perubahan perilaku para konsumen di Indonesia dan dampak yang dirasakan oleh industri lokal merupakan kriteria keuntungan yang ditentukan oleh pemerintah sebagai salah satu kriteria evaluasi. Kriteria berkutnya yang ditentukan oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan adalah eksternalitas. Sebuah kebijakan publik sering kali memberikan dampak pada sektor lainnya yang bukan menjadi perhatian utama dalam sebuah kebijakan, namun jika sebuah kebijakan dapat memberikan dampak yang positif kepada sektor lainnya maka kebijakan tersebut dapat dinyatakan sebagai kebijakan yang baik. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan menentukan faktor eksternalitas sebagai salah satu kriteria evaluasi dalam kebijakan kenaikan PPh 22

11 impor. Kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor merupakan kebijakan yang dibuat untuk dapat menekan nilai impor sehingga tidak membebani neraca perdagangan Indonesia, dampak lain yang dapat ditimbulkan oleh karena kenaikan tarif PPh 22 impor ini adalah penyediaan lapangan kerja bagi tenaga kerja Indonesia. c. Mengidentifikasi Alternatif Tahapan selanjutnya dalam proses formulasi kebijakan publik adalah mengidentifikasi alternatif-alternatif kebijakan yang tepat. Sebelum mengidentifikasi alternatif-alternatif kebijakan yang dapat diambil, pembuat kebijakan harus mendetailkan kebijakan-kebijakan apa saja yang mungkin dapat diambil untuk dapat menyelesaikan permasalahan. Ada 3 alternatif kebijakan yang dapat didigunakan untuk dapat menghambat masuknya barang impor ke Indonesia yaitu dengan Bea Masuk, PPN Impor, dan PPh Impor. Guna memperoleh pilihan kebijakan yang tepat maka pemerintah mengidentifikasi ketiga alternatif tersebut menggunakan kriteria yang dikemukakan oleh Walker. Kriteria-kriteria tersebut adalah biaya, keberlanjutan, resiko, penyampaian, dan kecocokan. Ketiga alternatif kebijakan tersebut diidentifikasi satu persatu menggunakan kriteria yang dikemukakan oleh Walker tersebut dan kemudian dipilihlah satu kebijakan yang paling baik untuk dilaksanakan dan diimplementasikan. - Biaya Kriteria ini merupakan kriteria yang berkaitan dengan efektifitas biaya. Semakin kecil biaya yang dibutuhkan bagi pemerintah untuk menjalankan sebuah kebijakan baru maka semakin baik kebijakan tersebut. Seringkali pemerintah memilih alternatif kebijakan dengan biaya paling murah karena dianggap dengan biaya murah maka beban pemerintah tidak bertambah dengan adanya kebijakan baru. Bila ketiga alternatif kebijakan dinilai menggunakan kriteria biaya maka hanya kebijakan menaikan tarif Bea Masuk yang membutuhkan biaya ekstra dibanding dengan kenaikan tarif PPN Impor dan PPh Impor. Kenaikan tarif bea masuk Indonesia dianggap membutuhkan biaya yang lebih karena dengan naiknya tarif bea masuk Indonesia maka akan semakin banyak yang menggunakan tarif preferensi dibandingkan dengan tarif bea masuk umum yang dikenakan kepada seluruh Negara. Tarif preferensi adalah tarif khusus yang telah ditentukan sebelumnya karena adanya perjanjian antar dua Negara. Kenaikan tarif bea masuk Indonesia secara umum dapat

12 mengakibatkan importir berusaha menggunakan tarif preferensi dibanding dengan tarif umum. Upaya importir untuk menggunakan tarif preferensi inilah yang harus menjadi focus utama pemerintah karena banyak importir yang berusaha menggunakan tarif preferensi sebuah Negara padahal produk tersebut bukan berasal dari Negara tersebut. Kasus tersebut banyak ditemukan di perdagangan internasional, pedagang melakukan penipuan terkait asal dari barang tersebut sehingga mendapatkan tarif preferensi, sebagai contoh barang x adalah barang yang berasal dari Negara Jerman yang tidak memiliki tarif preferensi dengan Indonesia tetapi pedagang barang x melakukan pemalsuan identitas yang disebut sebagai surat keterangan asal sehingga menyatakan barang tersebut berasal dari Negara Tiongkok yang memiliki tarif preferensi dengan Indonesia. Usaha-usaha penghindaran tarif tersebutlah yang menjadi perhatian khusus dari pemerintah Indonesia dalam hal ini DJBC selaku pihak yang berwenang. Diperlukan kelembagaan yang kuat dari DJBC untuk dapat bertindak sebagai gerbang masuknya barang-barang impor agar membayar tarif sesuai dengan ketentuan. Kelembagaan yang kuat untuk dapat mengetahui dan menindak pelanggaran-pelanggaran terkait dengan pemalsuan surat keterangan asal dan penggunaan tarif membutuhkan proses dan dana yang besar karena untuk melakukan verifikasi dan investigasi tentang surat keterangan asal tersebut hanya dapat dilaksanakan di Negara tersebut. Proses verifikasi dan investigasi tersebut tentunya membutuhkan anggaran dana yang tidak sedikit. - Keberlanjutan. Kriteria ini berkaitan dengan probabilita jalannya kebijakan secara berkelanjutan. Kriteria ini membahas kemungkinan sebuah kebijakan dapat tetap dijalankan secara berkelanjutan di masa yang akan dating. Berdasarkan kriteria ini maka kebijakan kenaikan bea masuk merupakan kebijakan yang paling tepat untuk dilaksanakan oleh pemerintah karena seiring dengan kenaikan tarif bea masuk dibutuhkan penguatan kelembagaan di DJBC sebagai gerbang masuk produk-produk luar negeri. Kebijakan kenaikan tarif bea masuk harus diiringi dengan penguatan kelembagaan di DJBC jika ingin kebijakan tersebut berjalan maksimal. Kenaikan tarif bea masuk juga dapat berfungsi sebagai stimulus bagi Negara lain untuk melakukan perjanjian perdagangan dengan Indonesia. Kenaikan tarif bea masuk membuat Negara-negara lain lebih memilih melakukan perjanjian perdagangan dengan Indonesia agar produk-produk mereka bisa memasuki wilayah Indonesia dengan tarif yang

13 relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan tarif umum yang akan dikenakan kenaikan oleh pemerintah Indonesia. Semakin banyaknya perjanjian-perjanjian perdagangan ini membuat DJBC selaku pihak yang berwenang harus bekerja ekstra, sehingga dibutuhkan kelembagaan yang kuat di dalam tubuh DJBC. Sementara itu kebijakan kenaikan tarif PPh impor dinilai bukanlah kebijakan yang dibuat untuk jangka waktu yang panjang. Kebijakan kenaikan PPh 22 impor terjadi akibat neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit sehingga dapat dikatakan bahwa kebijakan kenaikan tarif PPh 22 ini hanyalah sebuah respon dari pemerintah agar kondisi tersebut dapat terselesaikan. Kebijakan kenaikan PPh 22 impor merupakan short term policy dimana kebijakan tersebut dapat diubah kembali apabila neraca perdagangan Indonesia sudah kembali stabil dan perilaku kosumen sudah beralih kepada produk lokal dari produk impor. - Resiko Kriteria ini merupakan kriteria yang berkaitan dengan kemungkinan gagal atau tidak dapat dijalankannya sebuah kebijakan. Kebijakan kenaikan tarif PPN impor merupakan kebijakan yang dinilai memiliki tingkat kemungkinan gagal atau tidak dapat dijalankan yang paling tinggi jika dibandingkan dengan kebijakan kenaikan PPh impor dan bea masuk, karena kenaikan PPN impor harus disertai dengan kenaikan PPN dalam negeri. Kenaikan tarif PPN dalam negeri memang bukanlah hal yang mustahil untuk dilakukan oleh pemerintah Indonesia namun kebijakan tersebut tentunya akan mendapat protes keras dari berbagai pihak karena kenaikan tarif PPN akan mempengaruhi perekonomian dan memberikan beban pajak yang lebih tinggi kepada seluruh rakyat Indonesia. Berdasarkan hal itu maka kenaikan PPN impr sulit untuk dapat diimplementasikan. Sementara itu kebijakan kenaikan tarif bea masuk juga memiliki kemungkinan gagal yang tinggi karena seiring dengan naiknya tarif bea masuk maka penguatan kelembagaan di DJBC harus segera dilaksanakan dan untuk melakukan penguatan kelembagaan tersebut bukanlah hal yang mudah, dibutuhkan proses yang panjang dan anggaran yang besar untuk dapat menciptakan sebuah kelembagaan yang kuat namun hal tersebut dapat dilakukan jika pemerintah memang bersungguh-sungguh dalam melakukan penguatan kelembagaan di DJBC. Kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor merupakan kebijakan yang memiliki resiko gagal yang paling rendah diantara kebijakan-kebijakan sebelumnya. Penyebab kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor mengalami kegagalan atau tidak berfungsi dengan baik adalah

14 kepemilikan surat keterangan bebas (SKB) atas PPh impor. Banyaknya pengusaha yang memiliki SKB dapat menjadi penyebab gagalnya kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor untuk menekan nilai impor Indonesia karena dengan kepemilikan SKB, seorang pengusaha dapat melakukan impor tanpa harus dikenakan PPh 22 impor. Kemungkinan gagalnya PPh 22 impor yang diakibatkan oleh SKB tersebut dapat diatasi dengan seleksi yang ketat oleh DJP dalam menyetujui permohonan pengajuan SKB - Penularan/Penyampaian Kriteria ini merupakan kriteria yang berkaitan dengan kemudahan sebuah kebijakan untuk dipahami dan disosialisasikan kepada masayarakat luas. Kebijakan kenaikan tarif dalam jenis pajak apapun pada umumnya mudah untuk dipahami dan disosialisakan kepada masyarakat. Kebijakan kenaikan tarif hanya mengatur mengenai penyesuaian tarif atau perubahan tarif, selain perubahan tarif tidak ada hal lainnya yang mengalami perubahan. Berdasarkan kriteria ini kenaikan tarif bea masuk, PPN impor, dan PPh impor tidak mengalami permasalahan yang besar karena perubahan yang terjadi mudah untuk dipahami oleh masyarakat sehingga proses sosialiasinya pun akan mudah dilaksanakan. - Kecocokan Kriteria ini merupakan kriteria yang terkait dengan kecocokan kebijakan untuk mengatasi permasalahan yang sedang dialami. Permasalahan yang ingin diselesaikan dengan adanya kebijakan baru ini adalah defisitnya neraca perdagangan Indonesia yang disebabkan oleh tingginya nilai impor Indonesia, sehingga dibutuhkan kebijakan yang dapat dengan segera menekan nilai impor sehingga neraca perdagangan Indonesia tidak mengalami defisit. Berdasarkan permasalahan yang ada tersebut, ketiga alternatif kebijakan yaitu kebijakan kenaikan tarif bea masuk, PPN impor, dan PPh impor dapat menekan nilai impor dan menghambat produk luar negeri masuk ke Indonesia. Kebijakan kenaikan PPh 22 impor dinilai lebih cocok untuk mengatasi permasalahan neraca perdagangan Indonesia, karena kebijakan PPh 22 impor dalam waktu yang singkat dapat diimplementasikan oleh pemerintah. Kebijakan kenaikan PPh 22 impor dinilai cocok karena waktu yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut terbilang singkat dan dampak akibat adanya kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor dapat dirasakan dengan waktu yang singkat.

15 d. Mengevaluasi Alternatif Tahapan selanjutnya dalam proses formulasi kebijakan adalah mengevaluasi alternatif-alternatif kebijakan yang telah diidentifikasi pada tahap sebelumnya. Tahap evaluasi alternatif kebijakan ini menjadi tahap yang penting karena dalam tahap ini pemerintah mulai menimbang kebijakan mana yang paling tepat untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang sedang dialami. Pemerintah mengevaluasi kebijakan-kebijakan yang ada menggunakan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya yaitu kriteria yang digunakan dalam tahap identifikasi alternatif. Ketiga alternatif kebijakan yang diidentifikasi sebelumnya dievaluasi agar kebijakan yang diambil merupakan kebijakan yang paling tepat dan sesuai untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Berikut ini adalah hasil evaluasi ketiga alternatif kebijakan. - Kebijakan Kenaikan Tarif PPh 22 Impor Kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor merupakan kebijakan yang mengatur kembali besarnya tarif PPh 22 impor. Berdasarkan hasil identifikasi alternatif kebijakan yang telah dikemukakan sebelumnya, kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor merupakan kebijakan yang tepat untuk dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia. Kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor dinilai tepat karena jika dilihat dari kriteria biaya, maka kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor merupakan kebijakan yang mudah untuk dilaksanakan karena tidak membutuhkan dana atau biaya yang besar dalam proses pengimplementasian nya. Berdasarkan kriteria yang selanjutnya yaitu kriteria keberlanjutan, kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor bukanlah kebijakan yang dibuat untuk jangka waktu panjang atau long term policy melainkan short term policy. Meskipun kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor bukanlah kebijakan yang dibentuk untuk jangka waktu yang panjang dan berkelanjutan tetapi jika pemerintah tetap menggunakan kebijakan ini sebagai salah satu alat untuk menghambat masuknya produk luar ke Indonesia bukanlah hal yang mustahil untuk dilakukan. Sehingga jika melihat dari probabilita jalannya kebijakan secara berkelanjutan maka kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor, maka kebijakan ini bisa dijalankan secara berkelanjutan meskipun pada awalnya kebijakan kenaikan PPh 22 impor merupakan short term policy. Bila dievaluasi dari kriteria resiko kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor memiliki peluang untuk gagal yang paling kecil jika dibandingkan dengan alternatif kebijakan yang lain. Kemungkinan gagal nya kebijakan

16 kenaikan PPh 22 impor dapat terjadi akibat SKB, banyaknya pengusaha yang memiliki SKB dapat membuat kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor tidak berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor merupakan kebijakan yang mudah dipahami oleh masyarakat banyak karena merupakan kebijakan yang menyesuaikan tarif saat ini menjadi tarif baru, karena itu kebijakan kenaikan PPh 22 impor menjadi mudah untuk disosialisasikan karena pada dasarnya kebijakan ini mudah untuk dimengerti oleh masyarakat banyak. Kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor juga dinilai sebagai kebijakan yang paling memiliki kriteria kecocokan karena paling cocok untuk dapat mengatasi permasalahan neraca perdagangan Indonesia. Permasalahan defisitnya neraca perdangangan Indonesia membutuhkan sebuah kebijakan yang murah, mudah, dan dapat dilaksanakan dengan cepat agar neraca perdagangan Indonesia dapat kembali normal. Berdasarkan kriteria kecocokan, kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor merupakan kebijakan yang paling tepat untuk mengatasi masalah dibanding alternatif kebijakan yang lain. - Kebijakan Kenaikan Tarif PPN Impor Kebijakan kenaikan tarif PPN impor merupakan kebijakan yang menguntungkan bagi pemerintah Indonesia. Kebijakan kenaikan tarif PPN tidak berbeda jauh dengan kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor, namun kebijakan kenaikan PPN impor ini dinilai tidak dapat atau sulit untuk dapat dilaksanakan karena apabila pemerintah menaikan tarif PPN impor maka tarif PPN dalam negeri pun akan mengalami kenaikan karena PPN menggunakan tarif flat. Kenaikan tarif PPN dalam negeri ini dinilai sulit untuk dapat terealisasikan karena akan mendapatkan penolakan dari masyarakat luas, sehingga kebijakan kenaikan tarif PPN impor ini tidak dapat memenuhi kriteria resiko. Tingkat kegagalan yang tinggi apabila dijalankan membuat kebijakan kenaikan tarif PPN impor bukanlah alternatif kebijakan yang tepat untuk permasalahan negatif nya neraca perdagangan Indonesia. - Kebijakan Kenaikan Tarif Bea Masuk Kebijakan kenaikan tarif bea masuk merupakan kebijakan yang perlu dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia pada masa yang akan datang. Kebijakan kenaikan tarif bea masuk memenuhi kriteria keberlanjutan, resiko, penularan, dan kecocokan berdasarkan identifikasi alternatif kebijakan yang telah dikemukakan sebelumnya. Kebijakan kenaikan tarif bea masuk

17 hanya tidak memenuhi kriteria biaya dalam kriteria yang telah ditentukan. Kebijakan kenaikan tarif bea masuk membutuhkan biaya dan anggaran yang besar karena seiring dengan kenaikan tarif bea masuk maka diperlukan pula penguatan kelembagaan dalam tubuh DJBC. Dana dan anggaran yang besar dibutuhkan untuk dapat menyokong kerja dan tanggung jawab yang diemban oleh DJBC sebagai penjaga gerbang masuknya barang-barang impor ke Indonesia. e. Menyajikan Alternatif Kebijakan Setelah melihat dan menimbang alternatif-alternatif kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah untuk dapat menyelesaikan permasalahan neraca perdagangan Indonesia, maka pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus menentukan kebijakan mana yang akhirnya dipilih untuk dapat menyelesaikan permasalahan neraca perdagangan Indonesia. Kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor menjadi kebijakan yang dipilih oleh pemerintah sebagai upaya pemerintah menstabilkan kembali neraca perdagangan Indonesia. Kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor merupakan kebijakan yang mengatur mengenai adanya perubahan tarif PPh 22 impor bagi para pemilik API. Penyesuaian tarif yang ditentukan oleh pemerintah adalah perubahan besarnya tarif PPh 22 impor yang dikenakan atas para pemilik API yang melakukan impor barang-barang sebagaimana tercantum dalam lampiran PMK No. 175 tahun Kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor ini secara lebih jelas dan lengkap diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 175/PMK.011/2013 tentang perubahan ketiga atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 tentang pemungutan Pajak Penghasilan pasal 22 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain. Simpulan Berdasarkan penelitian yang telah peneliti lakukan, maka terdapat dua simpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini. Pertama, Pemerintah menggunakan fungsi reguleren pajak sebagai dasar pertimbangan utama dalam merumuskan kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor. Fungsi regulerend pajak menjadi dasar pertimbangan utama pemerintah dalam perumusan kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor dibandingkan dengan fungsi pajak yang lainnya seperti fungsi budgeter. Fungsi reguleren dijadikan sebagai dasar pertimbangan utama karena tujuan

18 pemerintah dalam perumusan kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor adalah untuk menekan nilai impor sehingga tidak membebankan neraca perdagangan Indonesia dengan cara mengatur perilaku konsumsi warga Negara Indonesia. Kedua, Proses formulasi kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor memenuhi tahap-tahap kebijakan publik sebagaimana teori yang menjadi landasan pemikiran dalam penelitian ini. Pemerintah dalam hal ini diwakili oleh BKF telah melakukan tahapan-tahapan formulasi, meskipun telah memenuhi tahapan-tahapan tersebut proses formulasi kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor ini. Saran Saran yang dapat peneliti berikan terkait kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor antara lain: 1. Dalam proses kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor, sebaiknya BKF sebagai aktor utama dalam formulasi kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor ini melibatkan semua pihak yang terkait secara aktif, seperti pihak Kementerian Perdagangan, dan Asosiasi Importir sehingga mendapatkan pertimbangan serta masukan yang tentunya akan menambah pemikiran dalam formulasi kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor. 2. Kebijakan kenaikan tarif PPh 22 impor merupakan kebijakan yang bersifat short term. Pemerintah harus dengan segera memulai kebijakan jangka panjang yang dapat menekan nilai impor Indonesia agar tidak membebani neraca perdagangan Indonesia. Kebijakan yang dapat dilakukan oleh Indonesia adalah dengan menaikan tarif bea masuk yang seiring dengan penguatan kelembagaan di dalam tubuh DJBC. Penguatan kelembagaan tersebut sangat dibutuhkan oleh Indonesia mengingat perdagangan bebas yang semakin berkembang di masa yang akan datang. Referensi Abdul Wahab Solichin. Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Penyusunan Model-model implementasi Kebijakan Publik. Jakarta: Bumi Aksara, 2012 Arifin, Sjamsul, Rizal A. Djaafara, dan Aida S. Budiman. Masyarakat Ekonomi Asean 2015 Memperkuat Sinergi ASEAN di Tengah Kompetisi Global. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, Brotodihardjo, Santoso. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung: Refika Aditama, Creswel, John W. Research Design: Qualitative & Quantitative Approaches, London: SAGE Publikations, 1994 Dunn, William N. Pengantar Analisis Kebijakan Publik Edisi Kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2003

19 Dwidjowijoto, Riant N. Kebijakan Publik Untuk Negara-Negara Berkembang. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo Dwijowijoto, Riant Nugroho. Kebijakan Publik: Formulasi Implementasi dan Evaluasi. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2002 Fermana Surya. Kebijakan Publik: Sebuah Tinjauan Filosofis, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009 Halwani, Hendra. Ekonomi Internasional & Globalisasi Ekonomi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002 Islamy, M. Irfan. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan Negara. Jakarta: Bumi Aksara, 2007 Jhingan, M. L. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1994 Jones, Charles O. Pengantar Kebijakan Publik, Jakarta:CV. Rajawali, 1991 Lauddin Marsumi. Hukum dan Kebijakan Perpajakan di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2006 Luhulima, et.al. Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas ASEAN Jakarta: Pustaka Pelajar, Mansury. Kebijakan Perpajakan. Jakarta: Yayasan Pengembangan dan Penyebaran Pengetahuan Perpajakan, 2000 Mardiasmo. Perpajakan (Edisi Revisi). Yogyakarta: Andi, 2004 Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif edisi Revisi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya Nawawi, Ismail. Publik Policy Analisis, Strategi Advokasi Teori dan Praktek. Surabaya: CV. Putra Media Nusantara, 2009 Neuman, W. Lawrance. Sosial Research Methods: Qualitatives and Quantitative Approaches (6th Edition). New York: Pearson education Inc, Nugroho, Riant. Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2004 Palumbo, Dennis J. Publik Policy in America, Government ini Action. Florida : Harcout Brace and Company Purwito Ali. Kepabeanan dan Cukai:Teori dan Aplikasi, Jakarta: Kajian hukum Fiskal FH UI, 2006 Rahayu, Ani Sri. Pengantar Kebijakan Fiskal, Jakarta: Bumi Aksara, 2010 Rosdiana, Haula dan Irianto, Edi Slamet. Pengantar Ilmu Pajak. Jakarta: Rajawali Pers, Rosdiana, Haula dan Tarigan, Rasin. Perpajakan: Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005 Sudirman, I Wayan. Kebijakan Fiskal dan Moneter: Teori dan Empirikal, Jakarta: Kencana, Suharto. Analisis Kebijakan Publik, Ed Revisi Bandung: Alfabeta Theodolou, Stella Z., dan Kofinis, Chris. The Art Of The Game, Understanding American Publik Policy Making. Thomson Learning Inc., Asia, 2004 Vaughan, Roger J. Guidelines For Developing A State Tax Policy, Dalam Michael Barker. State Taxation Policy. Durham, N.C.: Duke Press Policy Studios, 1983 Widodo, Joko. Analisis Kebijakan Publik. Sidoardjo: Bayumedia, 2006.

20

DAFTAR PUSTAKA. Creswell, John W, Research Design: Qualitative and Quantitative Approach. California: Sage Publication. 1994

DAFTAR PUSTAKA. Creswell, John W, Research Design: Qualitative and Quantitative Approach. California: Sage Publication. 1994 DAFTAR PUSTAKA Buku: Creswell, John W, Research Design: Qualitative and Quantitative Approach. California: Sage Publication. 1994 Dwidjowijoto, Riant N. Kebijakan Publik untuk Negara-Negara Berkembang.

Lebih terperinci

BAB III PAKAIAN BEKAS MENURUT UU NO. 42 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai

BAB III PAKAIAN BEKAS MENURUT UU NO. 42 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai BAB III PAKAIAN BEKAS MENURUT UU NO. 42 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI 3.1. Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Sistem Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan

Lebih terperinci

: Penyerahan air, air minum dalam kemasan, PPN

: Penyerahan air, air minum dalam kemasan, PPN IMPLEMANTASI PEMUNGUTAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PEMAKAIAN SENDIRI DAN PEMBERIAN CUMA-CUMA ATAS AIR MINUM DALAM KEMASAN (STUDI KASUS PADA PERUM JASA TIRTA II) Andi Yudistira Pranata, Titi M. Putranti

Lebih terperinci

DAFTAR REFERENSI. Nurmantu, Safri, Pengantar Perpajakan, edisi 2, Granit, Jakarta, 2003.

DAFTAR REFERENSI. Nurmantu, Safri, Pengantar Perpajakan, edisi 2, Granit, Jakarta, 2003. DAFTAR REFERENSI BUKU Nurmantu, Safri, Pengantar Perpajakan, edisi 2, Granit, Jakarta, 2003. Sukardji, Untung, Pajak Pertambahan Nilai, PT RajaGrafindo Persada, edisi revisi 2006, Jakarta. Brotodihardjo,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pungutan cukai merupakan salah satu komponen penerimaan negara yang memiliki ciri khusus dan berbeda dengan pungutan pajak lainnya. Ciri khusus yang dimaksud

Lebih terperinci

Sebagai salah satu negara yang berkembang, Indonesia pasti sedang gencargencarnya. melaksanakan pembangunan nasional guna mewujudkan masyarakat yang

Sebagai salah satu negara yang berkembang, Indonesia pasti sedang gencargencarnya. melaksanakan pembangunan nasional guna mewujudkan masyarakat yang ANALISIS PENERIMAAN PAJAK PADA KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK WAJIB PAJAK BESAR SETELAH PEMBERLAKUAN KENAIKAN PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK Novita Erawati Farnika Universitas Negeri Surabaya e-mail:

Lebih terperinci

STAN KEBIJAKAN FISKAL PENGANTAR PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA. oleh: Rachmat Efendi

STAN KEBIJAKAN FISKAL PENGANTAR PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA. oleh: Rachmat Efendi PENGANTAR PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA KEBIJAKAN FISKAL oleh: Rachmat Efendi Sekolah Tinggi Akuntansi Negara Prodip III Kepabeanan Dan Cukai Tahun 2015 TUJUAN PEMBELAJARAN Memahami Kebijakan Fiskal yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayah Asia Tenggara dengan jumlah penduduk mencapai lebih dari 250 juta

BAB I PENDAHULUAN. wilayah Asia Tenggara dengan jumlah penduduk mencapai lebih dari 250 juta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang berada di wilayah Asia Tenggara dengan jumlah penduduk mencapai lebih dari 250 juta jiwa 1. Sedangkan usia produktif

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Admosudirdjo, S Prajudi. Administrasi dan Manajemen Umum. Jakarta: Ghalia Indonesia

DAFTAR PUSTAKA. Admosudirdjo, S Prajudi. Administrasi dan Manajemen Umum. Jakarta: Ghalia Indonesia DAFTAR PUSTAKA Buku: Admosudirdjo, S Prajudi. Administrasi dan Manajemen Umum. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1986. Babbie, Earl. The Practical of Social Research, 8 th ed., California:Wadsworth. 1995. Bailey,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Krisis keuangan global memberi dampak sangat serius bagi perekonomian Indonesia. Imbas dari krisis keuangan tersebut membuat pemerintah harus secepat mungkin

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyokong penyelenggaraan pembangunan suatu bangsa. Dalam Anggaran

I. PENDAHULUAN. menyokong penyelenggaraan pembangunan suatu bangsa. Dalam Anggaran I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Negara yang cukup berpotensi untuk menyokong penyelenggaraan pembangunan suatu bangsa. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, dan sistematika penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, dan sistematika penelitian. BAB I PENDAHULUAN Bab ini menjabarkan mengenai latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, dan sistematika penelitian. 1.1 Latar Belakang Indonesia pada tahun 2015

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang akan melaju secara lebih mandiri

I. PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang akan melaju secara lebih mandiri 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di negara-negara berkembang akan melaju secara lebih mandiri apabila pembangunan itu sebagian besar dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan dalam negeri,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah Tidak banyak yang memahami fungsi dan tujuan keberadaan Bank Indonesia dalam perekonomian nasional. Bank Indonesia seringkali dilihat sebagai bank umum yang bertugas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah juga terus memperhatikan kondisi ekonomi Indonesia dan kondisi

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah juga terus memperhatikan kondisi ekonomi Indonesia dan kondisi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keberhasilan Direktorat Jenderal Pajak dalam memberikan kontribusi yang signifikan bagi penerimaan Negara.Yaitu dengan melalui salah satu alat ukur yang bernama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban setiap warga negaranya. Di samping memiliki berbagai macam hak, setiap warga negara Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan Judul ,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan Judul , BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan Judul Pembangunan nasional merupakan salah satu faktor terpenting dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara menuju terwujudnya masyarakat Indonesia

Lebih terperinci

ANALISIS PERANAN PAJAK DAERAH DALAM RANGKA PENINGKATAN PENDAPATAN DAERAH KOTA PROBOLINGGO

ANALISIS PERANAN PAJAK DAERAH DALAM RANGKA PENINGKATAN PENDAPATAN DAERAH KOTA PROBOLINGGO ANALISIS PERANAN PAJAK DAERAH DALAM RANGKA PENINGKATAN PENDAPATAN DAERAH KOTA PROBOLINGGO Yanuar Fajar Nugroho Topowijono Tri Henri Sasetiadi Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang 115030400111078@mail.ub.ac.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional di beberapa bidang, Pemerintah Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional di beberapa bidang, Pemerintah Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam rangka menjalankan roda pemerintahan dan untuk melaksanakan pembangunan nasional di beberapa bidang, Pemerintah Indonesia membutuhkan dana yang tidak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi pada dasarnya untuk memenuhi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat (social welfare) tidak bisa sepenuhnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian negara dalam menyediakan infrastruktur ekonomi, perbaikan

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian negara dalam menyediakan infrastruktur ekonomi, perbaikan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Serangkaian usaha pemerintah Indonesia untuk mengembangkan perekonomian negara dalam menyediakan infrastruktur ekonomi, perbaikan lingkungan ekonomi, perbaikan kualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan disegala bidang harus terus dilakukan oleh pemerintah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Untuk melaksanakan pembangunan, pemerintah tidak bisa

Lebih terperinci

EXCISE, CUSTOMS DUTIES & EARMARKED TAX

EXCISE, CUSTOMS DUTIES & EARMARKED TAX EXCISE, CUSTOMS DUTIES & EARMARKED TAX Cukai: pajak yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu Fungsi Regulerend: externalitas negatif dari produksi dan konsumsi suatu barang Contoh: cukai atas rokok

Lebih terperinci

EVALUASI KEBIJAKAN PROGRAM PENGEMBANGAN KECAMATAN SINGKIL KOTA MANADO. Oleh FERA HANDAYANI

EVALUASI KEBIJAKAN PROGRAM PENGEMBANGAN KECAMATAN SINGKIL KOTA MANADO. Oleh FERA HANDAYANI EVALUASI KEBIJAKAN PROGRAM PENGEMBANGAN KECAMATAN SINGKIL KOTA MANADO Oleh FERA HANDAYANI Abstrak Dalam pengelolaan Program Pengembangan Kecamatan (PPK), masyarakat mendapatkan kewenangan untuk mengelola

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KAWASAN TANPA ROKOK

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KAWASAN TANPA ROKOK IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KAWASAN TANPA ROKOK (Studi tentang Implementasi Peraturan Desa Nomor 01 tahun 2009 tentang Kawasan Bebas Asap Rokok di Desa Bone-bone, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan) Oleh:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembukaan Undang-Undang Dasar Pembangunan Nasional difasilitasi oleh

BAB I PENDAHULUAN. pembukaan Undang-Undang Dasar Pembangunan Nasional difasilitasi oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pajak merupakan penerimaan negara terbesar yang dipergunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan salah satunya untuk pembangunan nasional. Perubahan yang semakin

Lebih terperinci

S U T A R T O NIM : Program Studi Teknik dan Manajemen industri

S U T A R T O NIM : Program Studi Teknik dan Manajemen industri PENGEMBANGAN MODEL KEBIJAKAN SEKTOR INDUSTRI KOMPONEN ELEKTRONIKA (KBLI 321) DENGAN PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM TESIS Karya Tulis sebagai salah satu syarat Untuk memperoleh gelar Magister dari Institut

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 92 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisa yang telah di bahas dalam bab V sebelumnya, maka dapat di ambil kesimpulan sebagai berikut: Kondisi tingkat penyalahgunaan narkotika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam perkembangannya, selama lebih dari beberapa dasawarsa terakhir penerimaan dari sektor perpajakan mengalami perubahan yang selalu meningkat. Hingga saat

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 85 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

Silabus MATA KULIAH KEBIJAKAN PEMERINTAH Program Studi Ilmu Pemerintahan Fisipol Universitas Warmadewa Dosen Pengampu: I Wayan Gede Suacana

Silabus MATA KULIAH KEBIJAKAN PEMERINTAH Program Studi Ilmu Pemerintahan Fisipol Universitas Warmadewa Dosen Pengampu: I Wayan Gede Suacana Silabus MATA KULIAH KEBIJAKAN PEMERINTAH Program Studi Ilmu an Fisipol Universitas Warmadewa Dosen Pengampu: I Wayan Gede Suacana Deskripsi: Mata kuliah ini bertujuan untuk mengajak mahasiswa memahami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang wajib dimiliki dalam mewujudkan persaingan pasar bebas baik dalam kegiatan maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan tersebut muncul dari faktor internal maupun faktor eksternal. Namun saat ini, permasalahan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI 9 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka Terdapat beberapa penelitian terdahulu untuk disandingkan. Pertama, penelitian Juniev Udiarti dalam skripsi pada tahun 2004 yang berjudul

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.279, 2015 KEPABEANAN. Perdagangan. Ekspor. Impor. Kawasan Berikat. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5768). PERATURAN

Lebih terperinci

Penyesuaian Penghasilan Tidak Kena Pajak Sebagai Instrument Fiskal Stimulus Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2015

Penyesuaian Penghasilan Tidak Kena Pajak Sebagai Instrument Fiskal Stimulus Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2015 Penyesuaian Penghasilan Tidak Kena Pajak Sebagai Instrument Fiskal Stimulus Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2015 Bidang Kebijakan Pajak dan PNBP II, Pusat Kebijakan Pendapatan Negara I. Pendahuluan Pemerintah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Semakin berkembangnya zaman, semakin meningkat pula frekuensi kegiatan bisnis yang terjadi di berbagai negara. Perlu diragukan jika ada seseorang yang berpendapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berjumlah Rp ,00 (Laporan Keuangan Pemerintah Pusat

BAB I PENDAHULUAN. berjumlah Rp ,00 (Laporan Keuangan Pemerintah Pusat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pajak Penghasilan merupakan pajak pemerintah pusat yang dipungut oleh negara berdasarkan sistem self assessment. Pajak Penghasilan berkontribusi sebesar 47,01% dari

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan mengenai persepsi PNS atas pemungutan PPh Pasal 21 sesuai teori The Four Maxim Taxation, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil tax review terhadap PT. G, peneliti dapat menarik kesimpulan sebagai berikut: 1. PT. G sebagai wajib pajak badan telah melakukan kewajiban perpajakannya

Lebih terperinci

Karakteristik. Tujuan : Kesederhanaan dan Kemudahan pengenaan pajak agar tepat waktu

Karakteristik. Tujuan : Kesederhanaan dan Kemudahan pengenaan pajak agar tepat waktu Karakteristik Tujuan : Kesederhanaan dan Kemudahan pengenaan pajak agar tepat waktu Pemungut : pihak-pihak tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan Dipungut atas kegiatan Perdagangan Barang, bukan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 85 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 85 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 85 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Fungsi pemerintah dalam suatu negara adalah : 1) fungsi stabilisasi, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Fungsi pemerintah dalam suatu negara adalah : 1) fungsi stabilisasi, yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Fungsi pemerintah dalam suatu negara adalah : 1) fungsi stabilisasi, yaitu fungsi pemerintah dalam menciptakan kestabilan ekonomi, sosial politik, hukum, pertahanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah tipe negara yang berbentuk welfare state modern (negara

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah tipe negara yang berbentuk welfare state modern (negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konstitusi Indonesia, UUD 1945, telah mengatur bahwa negara Indonesia adalah tipe negara yang berbentuk welfare state modern (negara kesejahteraan modern) yang mewajibkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, sosial politik, hukum, pertahanan dan keamanan; b. Fungsi alokasi, yaitu fungsi pemerintah sebagai penyedia barang publik,

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, sosial politik, hukum, pertahanan dan keamanan; b. Fungsi alokasi, yaitu fungsi pemerintah sebagai penyedia barang publik, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pemerintah kita melaksanakan beberapa fungsi yang sangat penting dalam menjalankan roda pemerintahannya di negara kita Republik Indonesia. Fungsifungsi

Lebih terperinci

Implikasi Ketentuan Penomoran Faktur Pajak Dalam Pelaksanaan Kewajiban Administrasi PPN Oleh PKP

Implikasi Ketentuan Penomoran Faktur Pajak Dalam Pelaksanaan Kewajiban Administrasi PPN Oleh PKP Implikasi Ketentuan Penomoran Faktur Pajak Dalam Pelaksanaan Kewajiban Administrasi PPN Oleh PKP Rahmanda Prawesta 1 dan Titi Muswati Putranti 2 1. Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan

Lebih terperinci

Anderson, James E, 2003, Public Policy Making: An Introduction Fifth Edition,

Anderson, James E, 2003, Public Policy Making: An Introduction Fifth Edition, DAFTAR PUSTAKA Anderson, James E, 2003, Public Policy Making: An Introduction Fifth Edition, Boston: Houghton Mifflin Company Arikunto, Suharsimi,1996. "Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan & Praktek".

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan meningkatnya laju pembangunan yang sedang. dilaksanakan pemerintah Indonesia dewasa ini, perkembangan teknologi,

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan meningkatnya laju pembangunan yang sedang. dilaksanakan pemerintah Indonesia dewasa ini, perkembangan teknologi, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan meningkatnya laju pembangunan yang sedang dilaksanakan pemerintah Indonesia dewasa ini, perkembangan teknologi, informasi, dan transportasi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan. Penanaman modal dapat dijadikan sebagai

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 80/PMK.03/2010 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 80/PMK.03/2010 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 80/PMK.03/2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 184/PMK.03/2007 TENTANG PENENTUAN TANGGAL JATUH TEMPO

Lebih terperinci

Analisis Kebijakan Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Oleh Bank BUMN

Analisis Kebijakan Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Oleh Bank BUMN Analisis Kebijakan Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Oleh Bank BUMN Egie Bea Sekar Arum 1, Adang Hendrawan 2 1 Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politi, Universitas Indonesia

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Barata Atep Adya, Menghitung Obyek dan Tata Cara Pengajuan Keberatan Pajak, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2003.

DAFTAR PUSTAKA. Barata Atep Adya, Menghitung Obyek dan Tata Cara Pengajuan Keberatan Pajak, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2003. DAFTAR PUSTAKA Asmara, Galang, Peradilan Pajak dan Lembaga Penyanderaan (Gijzeling) Dalam Hukum Pajak di Indonesia, Yogyakarta : Lask bang Presindo, 2006. Barata Atep Adya, Menghitung Obyek dan Tata Cara

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Abdul Hakim Reformasi Penglolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UGM.

DAFTAR PUSTAKA. Abdul Hakim Reformasi Penglolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UGM. DAFTAR PUSTAKA Abdul Hakim. 2006. Reformasi Penglolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UGM. Arikunto, Suharsimi, 2012, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek.

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N. dan dilakukan secara bersama-sama oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia.

BAB I P E N D A H U L U A N. dan dilakukan secara bersama-sama oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia. BAB I 1 P E N D A H U L U A N 1.1. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional pada dasarnya diselenggarakan untuk masyarakat dan dilakukan secara bersama-sama oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk menciptakan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dengan. mengurangi ketergantungan pada sumber dana luar negeri.

BAB I PENDAHULUAN. untuk menciptakan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dengan. mengurangi ketergantungan pada sumber dana luar negeri. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pajak merupakan sumber penerimaan yang sangat penting artinya bagi perekonomian suatu Negara. Demikian juga dengan Indonesia sebagai negara yang sedang membangun,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. menyediakan sarana dan prasarana,baik fisik maupun non fisik. Namun dalam

PENDAHULUAN. menyediakan sarana dan prasarana,baik fisik maupun non fisik. Namun dalam PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia mempunyai cita cita yang luhur sebagaimana tertuang dalam Pembukuan UUD Tahun 1945 adalah untuk memajukan kesejahteraan umum menuju masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH. Lab. Politik dan Tata Pemerintahan, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya

PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH. Lab. Politik dan Tata Pemerintahan, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DR. TJAHJANULIN DOMAI, MS Lab. Politik dan Tata Pemerintahan, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya 1. Pendahuluan - Pengantar - Tujuan - Definisi 2. Ketentuan Pengelolaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tim Batubara Nasional

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tim Batubara Nasional BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tim Batubara Nasional Kelompok Kajian Kebijakan Mineral dan Batubara, Pusat Litbang Teknologi Mineral dan Batubara,

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN TRIWULAN PEREKONOMIAN INDONESIA Keberlanjutan ditengah gejolak. Juni 2010

PERKEMBANGAN TRIWULAN PEREKONOMIAN INDONESIA Keberlanjutan ditengah gejolak. Juni 2010 PERKEMBANGAN TRIWULAN PEREKONOMIAN INDONESIA Keberlanjutan ditengah gejolak Juni 2010 viii Ringkasan Eksekutif: Keberlanjutan di tengah gejolak Indonesia terus memantapkan kinerja ekonominya yang kuat,

Lebih terperinci

KEBIJAKAN FISKAL PAJAK DITANGGUNG PEMERINTAH. Abstrak

KEBIJAKAN FISKAL PAJAK DITANGGUNG PEMERINTAH. Abstrak KEBIJAKAN FISKAL PAJAK DITANGGUNG PEMERINTAH Abstrak Pajak merupakan sumber pendapatan Negara yang digunakan untuk membiayai penyelenggaran pemerintah. Namun dalam APBN terdapat istilah Pajak Ditanggung

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Dalam penelitian ilmiah, metodologi penelitian merupakan tata cara untuk memahami objek yang dibahas dimana metode penelitian didefinisikan sebagai cara ilmiah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negeri berasal dari penjualan migas dan nonmigas serta pajak. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

BAB I PENDAHULUAN. negeri berasal dari penjualan migas dan nonmigas serta pajak. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan negara Indonesia yang tertuang dalam pembukaan Undang- Undang Dasar 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Kabupaten Penajam Paser Utara merupakan daerah pemekaran yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Penajam Paser Utara

Lebih terperinci

Pertemuan 4 PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 & PAJAK PENGHASILAN PASAL 24

Pertemuan 4 PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 & PAJAK PENGHASILAN PASAL 24 Pertemuan 4 PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 & PAJAK PENGHASILAN PASAL 24 Pertemuan 4 32 P4.1 Teori Pajak Penghasilan 22 & 24 A. Pengertian PPh Pasal 22 Pajak yang dipungut atas penyerahan barang / jasa, impor

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Salah satu sumber utama penghasilan negara adalah pajak. Pajak mempunyai kontribusi yang cukup tinggi dalam penerimaan Negara. Pada beberapa tahun terakhir

Lebih terperinci

No. SOP: 16/TMPB/2016. Revisi Ke - Tanggal Penetapan 7 Desember Tanggal Revisi: -

No. SOP: 16/TMPB/2016. Revisi Ke - Tanggal Penetapan 7 Desember Tanggal Revisi: - No. SOP: 16/TMPB/2016 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI KANTOR PENGAWASAN DAN PELAYANAN BEA DAN CUKAI TIPE MADYA PABEAN B Standar Operasional Prosedur Bea Masuk,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Proses

BAB I PENDAHULUAN. dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Proses BAB I PENDAHULUAN a. Latar Belakang Masalah Setiap negara akan selalu berusaha untuk meningkatkan pembangunan negaranya, khususnya pembangunan di bidang ekonomi dengan tujuan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi dunia saat ini adalah sangat lambat. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Salah satunya adalah terjadinya krisis di Amerika.

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan kepada CV X, berikut adalah beberapa hal yang dapat disimpulkan dari hasil penelitian: 1. CV X telah melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perdagangan internasional merupakan kunci utama bagi pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Perdagangan internasional merupakan kunci utama bagi pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perdagangan internasional merupakan kunci utama bagi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Perdagangan internasional dapat meningkatkan standar kehidupan di

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang terbesar di dunia. Hal ini tentunya membuat Indonesia tidak lepas dari apa yang namanya permasalahan perekonomian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebebasan berpikir atau membuat konsep-konsep serta kebebasan. makna demokrasi yang didalamnya ada unsur-unsur keikutsertaan rakyat

BAB I PENDAHULUAN. kebebasan berpikir atau membuat konsep-konsep serta kebebasan. makna demokrasi yang didalamnya ada unsur-unsur keikutsertaan rakyat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di Negara Indonesia Manusia dalam kehidupan bermasyarakat dikatakan bebas dan terkait. Beberapa prinsip kebebasan manusia, antara lain kebebasan untuk menetapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu peran penting Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN)

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu peran penting Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Salah satu peran penting Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) adalah untuk pembangunan nasional. Pembangunan nasional yang dimaksud adalah penciptaan akselerasi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Pajak 2.1.1 Pengertian Pajak Definisi pajak berdasarkan pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah : Pajak

Lebih terperinci

2017, No Harmonized System 2017 dan ASEAN Harmonised Tariff Nomenclature 2017, perlu melakukan penyesuaian terhadap komitmen Indonesia berdasar

2017, No Harmonized System 2017 dan ASEAN Harmonised Tariff Nomenclature 2017, perlu melakukan penyesuaian terhadap komitmen Indonesia berdasar No.347, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Tarif Bea Masuk. Persetujuan antara Republik Indonesia dan Jepang mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1. Ekspor, Impor, dan Neraca Perdagangan Komoditas Pertanian Menurut Sub Sektor, 2014 Ekspor Impor Neraca

I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1. Ekspor, Impor, dan Neraca Perdagangan Komoditas Pertanian Menurut Sub Sektor, 2014 Ekspor Impor Neraca I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah dan beraneka ragam. Hal ini tampak pada sektor pertanian yang meliputi komoditas tanaman pangan, hortikultura, perkebunan,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Pengertian Tarif Pajak (Tax Rate) Definisi tarif pajak menurut Siti Resmi (2011:119) sebagai berikut : Tarif Pajak merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea 4.

BAB I PENDAHULUAN. yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea 4. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia saat ini sedang mengalami permasalahan di berbagai sektor, salah satunya adalah sektor ekonomi. Inflasi yang cenderung mengalami peningkatan, naiknya harga

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan masyarakat dan perkembangan zaman, di antaranya dengan. mengembangkan e-government sebagai trend global birokrasi.

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan masyarakat dan perkembangan zaman, di antaranya dengan. mengembangkan e-government sebagai trend global birokrasi. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hakikatnya kehidupan tidak pernah lepas dari sebuah tuntutan akan perkembangan. Hal ini dibuktikan dengan perubahan dari zaman ke zaman. Sudah selayaknya dibutuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan dana untuk pembiayaan pembangunan guna mencapai tujuan yang

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan dana untuk pembiayaan pembangunan guna mencapai tujuan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri Keberhasilan suatu bangsa dalam pembangunan nasional sangat ditentukan oleh kemampuan bangsa untuk dapat memajukan kesejahteraan masyarakat,

Lebih terperinci

LAPORAN SINGKAT KOMISI XI DPR RI

LAPORAN SINGKAT KOMISI XI DPR RI LAPORAN SINGKAT KOMISI XI DPR RI (BERMITRA DENGAN KEMENTERIAN KEUANGAN, KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/BAPPENAS, BANK INDONESIA, PERBANKAN DAN LEMBAGA KEUANGAN BUKAN BANK (LKBB), BADAN PENGAWASAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2. untuk mencapai tingkat kestabilan harga secara mantap. 3. untuk mengatasi masalah pengangguran.

BAB I PENDAHULUAN. 2. untuk mencapai tingkat kestabilan harga secara mantap. 3. untuk mengatasi masalah pengangguran. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan jangka panjang yang dilaksanakan di Indonesia bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur dengan mengacu pada Trilogi Pembangunan (Rochmat Soemitro,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Ekonomi ASEAN akan segera diberlakukan pada tahun 2015.

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Ekonomi ASEAN akan segera diberlakukan pada tahun 2015. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ASEAN Ecomonic Community (AEC) atau yang lebih dikenal dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN akan segera diberlakukan pada tahun 2015. AEC merupakan realisasi dari tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sistem ekonomi dari perekonomian tertutup menjadi perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sistem ekonomi dari perekonomian tertutup menjadi perekonomian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Fenomensa globalisasi dalam bidang ekonomi mendorong perkembangan ekonomi yang semakin dinamis antar negara. Dengan adanya globalisasi, terjadi perubahan sistem ekonomi

Lebih terperinci

B a b I P e n d a h u l u a n 1 BAB I PENDAHULUAN. Pajak memegang peranan penting dalam perekonomian negara kita. Hal ini dikarenakan

B a b I P e n d a h u l u a n 1 BAB I PENDAHULUAN. Pajak memegang peranan penting dalam perekonomian negara kita. Hal ini dikarenakan B a b I P e n d a h u l u a n 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pajak memegang peranan penting dalam perekonomian negara kita. Hal ini dikarenakan pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara

Lebih terperinci

1. Tinjauan Umum

1. Tinjauan Umum 1. Tinjauan Umum Perekonomian Indonesia dalam triwulan III-2005 menunjukkan kinerja yang tidak sebaik perkiraan semula, dengan pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan lebih rendah sementara tekanan terhadap

Lebih terperinci

Menerjang Arus Globalisasi ACFTA dan Masa Depan Ekonomi Politik Indonesia

Menerjang Arus Globalisasi ACFTA dan Masa Depan Ekonomi Politik Indonesia Menerjang Arus Globalisasi ACFTA dan Masa Depan Ekonomi Politik Indonesia Tahun 2001, pada pertemuan antara China dan ASEAN di Bandar Sri Begawan, Brunei Darussalam, Cina menawarkan sebuah proposal ASEAN-China

Lebih terperinci

Analisis Kebijakan Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Terhadap Distributor Obat Di Dalam Negeri Anggita Nareswari dan Tunas Hariyulianto

Analisis Kebijakan Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Terhadap Distributor Obat Di Dalam Negeri Anggita Nareswari dan Tunas Hariyulianto Analisis Kebijakan Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Terhadap Distributor Obat Di Dalam Negeri Anggita Nareswari dan Tunas Hariyulianto e-mail : Tata_gita@yahoo.com Program Ekstensi Ilmu Administrasi

Lebih terperinci

Executive Summary Model Proyeksi Penerimaan Perpajakan

Executive Summary Model Proyeksi Penerimaan Perpajakan Executive Summary Model Proyeksi Penerimaan Perpajakan Penerimaan perpajakan merupakan sumber pendapatan yang utama dalam APBN. Selama lima tahun terakhir, penerimaan perpajakan rata-rata sekitar 70 persen

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat kita bahas melalui topik tersebut. Pada kesempatan ini, penulis ingin

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat kita bahas melalui topik tersebut. Pada kesempatan ini, penulis ingin BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbicara mengenai kegiatan ekspor impor di Indonesia, banyak hal yang dapat kita bahas melalui topik tersebut. Pada kesempatan ini, penulis ingin membahas secara lengkap

Lebih terperinci

PP 34/1996, BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PP 34/1996, BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN PP 34/1996, BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN *34762 Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 34 TAHUN 1996 (34/1996) Tanggal: 4 JUNI

Lebih terperinci

Meningkatkan Tax Ratio Indonesia

Meningkatkan Tax Ratio Indonesia Meningkatkan Tax Ratio Indonesia A. Pendahuluan Penerimaan perpajakan merupakan salah satu pilar penerimaan dalam APBN, hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber-sumber pendapatan negara yang digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber-sumber pendapatan negara yang digunakan untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai suatu negara yang senantiasa menjalankan rumah tangganya, Indonesia memiliki sumber-sumber pendapatan negara yang digunakan untuk membiayai pengeluaran negara.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan internasional. Perdagangan internasional merupakan faktor yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan internasional. Perdagangan internasional merupakan faktor yang sangat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian yang terjadi saat ini mengacu pada perekonomian terbuka, dimana dalam kondisi ini setiap negara melakukan perdagangan antar negara atau perdagangan internasional.

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 175/PMK.011/2013 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 175/PMK.011/2013 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 175/PMK.011/2013 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 154/PMK.03/2010 TENTANG PEMUNGUTAN

Lebih terperinci

PAJAK PENGHASILAN PASAL 22

PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 1 PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 A. Pengertian PPh Pasal 22 Pajak yang dipungut atas penyerahan barang / jasa, impor dan bidang usaha lain. B. Pemungut PPh Pasal 22 1. Dirjen Anggaran, Bendaharawan Pemerintah

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP 4.1 Ringkasan

BAB IV PENUTUP 4.1 Ringkasan BAB IV PENUTUP 4.1 Ringkasan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 merupakan pajak yang dipungut oleh bendaharawan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, instansi atau lembaga pemerintah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa berdasarkan Pasal 20 dan Pasal 23 Undang-undang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Bhayangkara Jaya

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Bhayangkara Jaya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Membahas mengenai kegiatan impor di Indonesia, erat kaitannya dengan masalah yang terjadi beberapa tahun belakangan ini. Banyaknya perusahaan di Indonesia yang saat

Lebih terperinci

PENYESUAIAN TARIF PEMUNGUTAN PPh IMPOR, SEBAGAI SALAH SATU ALAT KEBIJAKAN FISKAL DALAM RANGKA MEREDAM DEFISIT NERACA PERDAGANGAN

PENYESUAIAN TARIF PEMUNGUTAN PPh IMPOR, SEBAGAI SALAH SATU ALAT KEBIJAKAN FISKAL DALAM RANGKA MEREDAM DEFISIT NERACA PERDAGANGAN 1 Pusat Kebijakan Pendapatan Negara. Badan Kebijakan Fiskal PENYESUAIAN TARIF PEMUNGUTAN PPh IMPOR, SEBAGAI SALAH SATU ALAT KEBIJAKAN FISKAL DALAM RANGKA MEREDAM DEFISIT NERACA PERDAGANGAN I. PENDAHULUAN

Lebih terperinci