2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Perikanan Ikan Hias Laut di Indonesia

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Perikanan Ikan Hias Laut di Indonesia"

Transkripsi

1 9 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Perikanan Ikan Hias Laut di Indonesia Indonesia merupakan pusat keragaman hayati laut dunia yang kaya akan spesies ikan karang. Menurut Allen dan Adrim (2003), di Indonesia terdapat 2057 spesies ikan karang yang terbagi kedalam 113 famili. Sembilan famili utama ikan karang di Indonesia adalah Gobiidae (272 spesies), Labridae (178), Apogonidae (114), Bleniidae (107), Serranidae (102), Muraenidae (61), Syngnathidae (61), Chaetodontidae (59), dan Lutjanidae (43). Perdagangan ikan hias laut di Indonesia dimulai sejak awal era 70an atau mungkin lebih awal. Saat ini Indonesia merupakan negara pengekspor utama ikan hias laut. Nilai ekspor pada tahun 1993 sebesar US$ 5,5 juta dengan negara tujuan utama Amerika dan Eropa (Wood 2001a). Indonesia merupakan eksportir terbesar di dunia untuk sumberdaya laut dalam memenuhi kebutuhan industri akuarium dan telah sangat bergantung pada kegiatan pengambilan langsung di alam. Karena posisinya di khatulistiwa, Indonesia berada pada posisi yang strategis dalam mensuplai spesies-spesies laut bagi Eropa, Amerika Utara dan Asia dalam 25 tahun terakhir (Reksodihardjo dan Lilley 2007). Perdagangan biota laut untuk akuarium telah memanfaatkan kondisi Indonesia yang strategis di dunia. Akan tetapi patut disayangkan bahwa terlalu banyak pihak yang terlibat di dalam industri ini yang berasumsi bahwa suplai dari alam tidak terbatas. Industri ini telah menarik ribuan nelayan pesisir untuk memiliki penghasilan tambahan dengan menjadi nelayan kolektor sumberdaya laut untuk kebutuhan industri akuarium. Sebagian besar dari nelayan tersebut tidak mengenyam pendidikan dan tidak memiliki pekerjaan, para nelayan dipaksa bertahan dengan harga jual yang rendah, kondisi kerja yang buruk, kelumpuhan dan kematian akibat kegiatan penangkapan, untuk memenuhi kepuasan pasar yang terus berkembang (Reksodihardjo dan Lilley 2007). Walaupun Indonesia merupakan eksportir terbesar, akan tetapi data perdagangan ikan hias laut Indonesia sampai saat ini sangat terbatas. Sangat

2 10 sedikit catatan perdagangan yang ada sebelum kurun waktu tahun 2000, selain itu Kementrian Kelautan dan Perikanan tidak pernah mensyaratkan para pengusaha/pedagang untuk memasukkan data perdagangan ikan hias laut mereka (Lilley 2008). Ekspor ikan hias laut dari Indonesia menunjukkan peningkatan setiap tahun (Dufour 1997). Terdapat sebanyak 280 jenis ikan karang yang dimanfaatkan sebagai ikan hias (Anonim 2001). Berdasarkan basis data yang dipublikasikan oleh Global Marine Aquarium Database ( sejak tahun tercatat sebanyak 464 spesies ikan hias laut yang di ekspor dari Indonesia, dengan jumlah total lebih dari 900 ribu ekor. Salah satu jenis ikan hias laut di Indonesia yang merupakan primadona di pasar akuarium dunia adalah Ikan Banggai Cardinalfish. Ikan Banggai Cardinalfish atau di kalangan nelayan dan eksportir ikan hias dikenal dengan nama Ikan Capungan Ambon atau Capungan Banggai termasuk ke dalam jenis ikan laut dari suku Apogonidae (Wijaya 2010). Banggai Cardinalfish menjadi pepuler di kalangan penggemar akuarium karena tampilannya yang menarik, daya tahan yang baik di dalam akuarium, dan siap dibesarkan di penangkaran (Helfman 2007). Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Roberts dan Hawkins (1999), seiring dengan meningkatnya permintaan terhadap jenis ikan ini sejak awal 1990 tetapi dengan rentang geografis yang terbatas, fekunditas rendah, dan penangkapan yang intensif menghasilkan dugaan yang mengkhawatirkan terhadap keberadaan ikan ini di alam. Mereka menyatakan kemungkinan ikan jenis ini akan punah dari alam, dan Allen (2000) mengusulkan untuk memasukan ikan ini ke dalam IUCN Red List. Wijaya (2010) melakukan kajian terhadap kegiatan pemanfaatan Ikan Banggai Cardinalfish dan menemukan bahwa tingkat pemanfaatan jenis ikan ini berdasarkan data yang didapatkan dari Bone Baru, Mbato mbato, Tolokibit dan Pulau Bandang (Pulau Banggai, Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah) masih berada di bawah angka potensi tangkap lestarinya. Ikan ini ditangkap dengan metode yang masih tergolong ramah lingkungan, akan tetapi cara pengoperasian masih berpotensi mengakibatkan kerusakan terumbu karang

3 11 meskipun dalam skala yang relatif kecil. Sedangkan tata niaga ikan Banggai Cardinal dari nelayan hingga eksportir rantainya masih terlalu panjang sehingga peluang kematian relatif tinggi dan harga di tingkat nelayan menjadi rendah. Banggai Cardinalfish adalah salah satu ikan laut tropis yang mudah untuk dikembangbiakan dalam penangkaran dan ikan hasil pengembangbiakan tersedia secara luas. Banggai Cardinalfish hasil penangkaran dijual dengan harga US$ 12,50-15,00, sedangkan ikan yang ditangkap langsung dari alam dijual pada kisaran harga US$ 6-8 (Helfman 2007). 2.2 Kegiatan Penangkapan Ikan Hias Laut Ikan hias laut dapat ditangkap dengan menyelam bebas (snorkelling), tetapi lebih umum menggunakan alat SCUBA dan kompresor hookah. Jika nelayan secara kebetulan menangkap ikan hias di alat perangkap mereka, mereka akan menjualnya kepada pengumpul ikan hias karena harganya yang lebih tinggi dibandingkan sebagai ikan konsumsi. Nelayan kolektor ikan hias dapat merupakan nelayan paruh waktu maupun sebagai nelayan ikan hias penuh, bekerja sendiri atau bekerja untuk pengumpul atau eksportir (Wood 2001b). Tekanan pasar telah mengarahkan kegiatan penangkapan ikan hias laut. Importir sering meminta jenis-jenis tertentu seperti ikan anemon dan cleaner wrasse (Labroides sp.) yang permintaan pasarnya selalu ada. Ikan-ikan tersebut menjadi target yang selalu ditangkap karena adanya garansi semu dari eksportir bahwa ikan pasti terjual. Di sisi lain jika terdapat jenis ikan dengan daya jual rendah, eksportir selalu meminta nelayan untuk tidak mengirimkan suplai (Wood 2001b). Saat menangkap ikan, nelayan biasanya memburu individu ikan ataupun suatu gerombolan ikan (Helfman 2007). Menurut Wood (2001b), saat ini jaring merupakan alat utama bagi nelayan penangkap ikan hias dengan dibantu sebuah tongkat yang berfungsi untuk memancing ikan keluar dari persembunyiannya lalu menggiring nya ke dalam jaring. Hand net (serok) dan barrier net adalah yang paling umum digunakan dan biasanya terbuat dari jaring mono-filamen dengan ukuran mata jaring berkisar dari 3-28mm, sedangkan diameter serok yang digunakan berkisar antara cm (Gambar 2).

4 12 Rata-rata nelayan yang melakukan penangkapann menggunakan jaring dapat menangkap sekitar ekor ikan per hari, berdasarkan observasi di Cook Island sebanyak ekor, Australia sebanyak ekor, dan Sri Lanka sebanyak ekor (Wood 2001b). Akan tetapi tidak adanya data CPUE dari sekitar lebih dari 50 negara produsen ikan hias laut, membuat kebijakan pengelolaan sektor perikanan ini menjadi sulit (Helfman 2007). Gambar 2 Illustrasi (sumber: proses penangkapan ikan hias laut dan alat yang digunakan Penggunaan sianida untuk menangkap ikan hias laut masih dilakukan di beberapa tempat meskipun merupakan kegiatan yang ilegal. Alternatif penggunaan bahan kimia lain yang ditawarkan adalah minyak cengkeh, akan tetapi penggunaannya relatif lebih mahal dibandingkan dengan menangkap menggunakan jaring (Wood 2001b). Rata-rata tingkat kematian ikan hias yang ditangkap dengan menggunakann sianida mencapai 80%. Di dalam akuarium, seekor ikan dapat mati secara tiba-tiba saat diberi makan karena adanya kerusakan liver akibat racun sianida. Masalah lain yaitu adanya masalah sudden death syndrome (SDS), yaitu kematian ikan secara tiba-tibaa di dalam akuarium karena mengalami stress (Helfman 2007). Menurut Sadovy (2002), kegiatan perdagangann ikan hias laut mengalami masalah dengan mortalitas ikan hasil tangkapan yang biasanya dikelompokan kedalam tiga jenis yaitu: kematian tiba-tibaa (instaneous), kematian akibat bycatch atau tidak sengaja (incidental), dan kematian tertunda (delayed).

5 13 Ikan target yang mati selama proses penangkapan diakibatkan oleh penanganan yang buruk maupun praktek penangkapan yang merusak, sehingga menyebabkan hilangnya potensi keuntungan bagi nelayan. Keadaan ini merupakan bentuk pemborosan dimana ikan yang mati akan digantikan oleh dengan ikan yang baru pada kegiatan penangkapan berikutnya, sehingga meningkatkan tekanan terhadap sumberdaya. Kematian akibat bycatch atau incidental terjadi pada ikan non target dan terjadi pada semua kegiatan perikanan tangkap pada tingkatan tertentu. Karena kegiatan perikanan ikan hias laut cenderung menangkap ikan secara individual (satu per satu), bycatch relatif sangat kecil, terutama jika tidak menggunakan praktek penangkapan yang merusak. Kematian tertunda terjadi pada tahap penanganan setelah ikan ditangkap, biasanya pada tahapan penyimpanan dan transportasi. Kematian ini diakibatkan karena ikan mengalami stress sejak proses ikan ditangkap hingga tahap pengiriman, kelaparan, dan kualitas air yang buruk (Helfman 2007). Menurut Rubec et al. (2001), perdagangan ikan karang hias yang ditangkap menggunakan jaring dimungkinkan secara ekonomi. Hal ini dapat dicapai jika mortalitas ikan dapat ditekan secara signifikan pada setiap tahapan pengiriman, sejak dari nelayan hingga penjual akhir (retailer) serta sekaligus menerapkan pola yang hemat biaya. Penangkapan ikan menggunakan jaring akan dapat meminimalisasi stress pada ikan yang berhubungan dengan proses penanganan dan pengiriman. 2.3 Dampak Kegiatan Industri Akuarium Terumbu karang sangat luas, sebagian besar populasi berada dalam jumlah besar, dan hanya sebagian kecil individu yang dikoleksi untuk industri akuarium. Meskipun begitu, beberapa spesies ikan yang secara alami memiliki kelimpahan yang rendah mungkin memiliki tingkat predasi yang rendah dan tingkat regenerasi yang rendah, sehingga rentan terhadap penangkapan berlebih. Sebagai contoh Ikan Lepu Ayam (Pterois sp.) tidak pernah ditemukan dalam jumlah banyak, terlindung dari predator, tetapi merupakan target utama penangkapan untuk ikan hias. Ikan anemon dan cleaner wrasse terancam karena sangat populer. Ikan anemon juga semakin tertekan karena hidup berasosiasi dengan hewan anemon

6 14 yang juga merupakan target koleksi untuk akuarium. Lambatnya proses reproduksi pada kedua ikan ini semakin menekan keberadaannya di alam (Helfman 2007). Masalah lain yang dihadapi adalah intensitas penangkapan yang terjadi di semua kelompok usia ikan. Juvenil adalah kelompok usia ikan yang sering menjadi target industri akuarium. Chan dan Sadovy (1998) mengestimasi bahwa sekitar 56% dari hewan hias yang dijual di Hong Kong adalah juvenil, dimana hal ini akan mempercepat laju penurunan populasi dan ketidakseimbangan ekosistem. Edwards dan Shepherd (1992) menggunakan metode sensus visual untuk mengestimasi kepadatan populasi dan potensi lestari untuk spesies akuarium di Maldives. Mereka menyimpulkan bahwa 12 spesies dieksploitasi melebihi tingkat lestarinya, dan 12 lainnya akan mengalami overeksploitasi jika ekspor ditingkatkan menjadi tiga kali lipat dibanding tahun 1989 yaitu sebesar ekor ikan setiap tahunnya. Tissot dan Hallacher (2003) menemukan bahwa tujuh dari sepuluh ikan target mengalami penurunan kelimpahan yang signifikan di lokasi penangkapan yang berkisar antara 38% hingga 75%, sedangkan 2 dari 9 spesies yang memiliki kesamaan ekologi tetapi bukan merupakan ikan target menunjukan adanya penurunan jumlah di lokasi penangkapan di pesisir Kona, Hawaii. Lebih jauh, meskipun terjadi penurunan sebesar 32% dari ikan herbivora, tidak ditemukan perbedaan kepadatan makro alga antara daerah penangkapan dan daerah kontrol. Melalui wawancara dengan nelayan lokal, Kolm dan Berglund (2003) menemukan dampak negatif yang signifikan akibat tekanan penangkapan ikan terhadap kepadatan Ikan Banggai Cardinalfish. Keadaan ini mengkhawatirkan karena sifat ikan Banggai Cardinalfish yang memiliki pola sebaran yang terbatas. Hal ini membuktikan bahwa meskipun metode penangkapan yang digunakan merupakan metode yang tidak merusak, kegiatan perdagangan ikan untuk akuarium telah mengakibatkan dampak parah terhadap populasi di alam. Terminologi metode penangkapan yang tidak merusak mungkin mengakibatkan persepsi yang keliru dalam kaitannya dengan konservasi sumberdaya ikan karang. Perdagangan ikan hias laut jika dilakukan secara lestari, bebas dari metode yang merusak, dan tidak metargetkan spesies ikan konsumsi dapat memberikan

7 15 keuntungan bagi negara-negara di daerah tropis khususnya bagi desa-desa kecil dan terpencil. Kegiatan ini dapat memberikan lapangan pekerjaan, mempromosikan kegiatan konservasi, dan mengurangi tekanan terhadap sumberdaya ikan dan sumberdaya laut lainnya (Helfman 2007). Dari sudut pandang sosial-ekonomi, Dufour (1997) mengkalkulasi bahwa setiap ikan yang diekspor dalam perdagangan akuarium telah menciptakan lapangan kerja, menghasilkan pendapatan tahunan sebesar US$ Dengan mengekstrapolasi nilai tersebut terhadap juta ekor ikan yang diekspor setiap tahunnya, perdagangan dapat mencapai nilai US$30-60 juta bagi ekonomi lokal, menyerap tenaga kerja sebanyak orang. 2.4 Pengelolaan Ikan Hias Laut Melalui Pembatasan Jumlah Tangkapan Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Gasparini et al. (2005), ada 8 pendekatan yang dapat dilakukan bagi pengelolaan kegiatan perikanan hias, yaitu: (1) pembatasan jenis yang diperdagangkan; (2) memprioritaskan kajian terhadap spesies-spesies yang utama dimanfaatkan; (3) membangun sistem kuota berbasis spesies; (4) pembatasan ukuran; (5) mempromosikan metode panangkapan dan perlakuan penanganan yang baik; (6) melindungi jenis-jenis langka maupun spesies kunci; (7) sistem pencatatan dan pelaporan yang baik oleh penjual; dan (8) membuat panduan lapangan yang berupa foto atau gambar dari spesies-spesies yang dimanfaatkan, untuk membantu pihak-pihak yang melakukan monitoring aktivitas pemanfaatan dan perdagangan. Di Republik Maladewa, berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Edwards (1988) dalam Wood (2001b) kuota total sebanyak ekor ikan ditetapkan pada tahun 1988 dan Kuota berbasis spesies pun ditetapkan pada beberapa spesies yang rentan terhadap eksploitasi berlebih atau tingkat pemanfaatannya mendekati MSY. Lebih jauh, Saleem dan Islam (2009) menyatakan bahwa Republik Maladewa menerapkan suatu sistem ketegorisasi dalam menetapkan kuotanya. Kategori A terdiri dari 17 spesies yang dilarang untuk ekspor. Kategori A diantaranya terdiri dari spesies yang memiliki daya tahan rendah di akuarium, seperti Chaetodon meyeri, C. trifasciatus, dan C. triangulum. Kategori B terdiri

8 16 dari 66 spesies yang memiliki kuota tangkap. Kategori C terdiri dari 71 spesies yang dapat diekspor secara bebas hingga mencapai jumlah total ekor. Studi pendugaan stok alami ikan hias laut, harus menjadi pertimbangan utama jika pengambilan terhadap ikan ini terus meningkat secara signifikan. Disamping itu, untuk mencegah kemungkinan terjadinya penangkapan berlebih juga diperlukan pendekatan kehati-hatian (precautionary approach) untuk menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (kuota) terhadap ikan dengan nilai jual tinggi tetapi kelimpahannya rendah (Dufour, 1997). Kuota harus ditetapakan berdasarkan spesies (seperti penetapan 100, 1.000, atau ekor ikan). Kuota tersebut harus ditetapkan setelah verfikasi stok alami yang ada terhadap suatu spesies dan juga mempertimbangkan ancaman atau dampak yang ada jika spesies ikan tersebut diambil (Dufour, 1997). Pengelolaan stok ikan dapat diduga dari populasi yang telah diambil, yaitu jumlah total ikan yang ditangkap. Namun demikian, terkadang kelimpahan ikan sangat kontradiktif terhadap pendugaan stok melalui jumlah ikan yang telah diambil. Salah satu prinsip utama dalam pendugaan fluktuasi stok ikan hias laut adalah jumlah larva yang berada di karang, karena hal tersebut sangat mewakili jumlah produksi ikan yang sebenarnya. Dalam perdagangan ikan hias laut pendugaan stok dilakukan berdasarkan jumlah spesimen dan bukan biomassa, sehingga tingkat kolonisasi merupakan teori yang digunakan untuk penentuan batas pengambilan maksimum (Dufour, 1997). Namun demikian, untuk beberapa spesies jumlah kolonisasi larva yang terdapat di suatu pulau dalam satu tahun tergantung kepada bagaimana larva tersebut dapat bertahan dengan baik di lautan, sehingga tidak bisa digunakan untuk memprediksi figur pulau lain berdasarkan suatu pulau. Untuk skala waktu dan ruang yang kecil, tingkat kolonisasi lebih mudah diprediksi berdasarkan spesies (Dufour, 1997). Pengelolaan perikanan umumnya dilakukan berdasarkan biomassa optimal dan tidak berdasarkan jumlah spesimen hasil tangkapan, sehingga besar kemungkinan jumlah anak ikan yang tertangkap sangat banyak dan 90% akan hilang sebelum dewasa. Pengelolaan seperti ini hanya melindungi jumlah stok ikan dewasa (Dufour, 1997).

9 17 Model perikanan tradisional belum berhasil mengatasi beberapa faktor kesalahan dalam pengelolaan. Para peneliti perikanan kembali menduga bahwa metode konvensional terutama dalam aplikasi untuk spesies dengan pertumbuhan cepat di daerah tropis tidak dapat dirancang dengan dana terbatas untuk melakukan pendugaan secara reguler terhadap populasi ikan target (Hodgson dan Ochavillo 2006). Batasan-batasan dari asumsi yang ada pada teori model perikanan dan kurangnya data perdagangan hewan hias, kelimpahan ikan taget yang rendah dan variasi kelas ukuran menjadi suatu peluang untuk mengembangkan model perikanan. Edwards dan Shepherd (1998) mengusulkan pendekatan untuk pemanfataan ikan secara lestari dalam perdagangan akuarium. Mereka melakukan penghitungan kuota berdasarkan densitas (kelimpahan) ikan yang dihasilkan berdasarkan survei potensi dan populasi ikan karang serta estimasi skala total area kawasan terumbu karang. Berdasarkan fakta bahwa terumbu karang bukan merupakan habitat karang saja, maka kawasan terumbu karang diberikan nilai 0,5 untuk variabilitasnya. Selanjutnya berdasarkan formulasi dari Gulland (1971) yang menyatakan bahwa MSY adalah bagian dari biomassa yang tidak tereksploitasi, MSY diasumsikan tercapai dalam batas 66%. Faktor mortalitas alami dengan menggunakan panjang ikan infinity (L ) dan suhu perairan juga menjadi parameter untuk perhitungan kuota. Sehingga diperoleh persamaan Q = M (0,5 x D) (0,5) (0,66) dimana Q adalah kuota, M adalah mortalitas alami dan D adalah densitas ikan. Menurut Satriya (2009), pada eksploitasi dengan prinsip kehati-hatian (precautionary principle), maka studi tentang jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) mutlak dilakukan pada setiap penelitian pendugaan status suatu perikanan. JTB sendiri berarti besarnya atau banyaknya sumber daya ikan (SDI) yang boleh ditangkap dengan memperhatikan keamanan kelestariannya di wilayah perikanan Republik Indonesia (Kepmentan No.995 /Kpts/IK.210/9/99). Estimasi JTB adalah sebesar 80% dari nilai maximum sustainable yield (MSY). Selanjutnya menurut Wiadnya et al. (2006), tujuan kebijakan dan pengelolaan perikanan Indonesia mempertimbangkan prinsip kehari-hatian dengan menetapkan tangkapan sebesar 80% dari MSY. Hal ini tertuang dalam Kepmen

10 18 KP No Kep. 18/Men/2002 tentang rencana strategis pembangunan kelautan den perikanan Pendekatan Lain Dalam Pengelolaan Perikanan Ikan Hias Laut Rencana pengelolaan dan regulasi jarang ditemui pada perdagangan untuk akuarium dibandingkan untuk perikanan karang secara umum (Wood 2001a). Saat terdapat regulasi yang komprehensif, kepatuhan dan pengawasan cenderung mengalami masalah, Di Hawaii, hanya 13% dari kolektor yang memiliki ijin yang memenuhi kewajiban untuk memberikan laporan, meskipun tidak ada langkah untuk mengkaji keakuratan data yang dilaporkan (Moffie 2002). Wood (2001b) mengeneralisasi bahwa perikanan ikan hias perlu dikelola untuk: (1) memastikan keberlanjutannya dan terintegrasi dengan pemanfaatan sumberdaya lainnya (jenis perikanan lain dan ekowisata); (2) meminimalkan kematian saat penangkapan dan pasca penangkapan, termasuk tidak menangkap jenis ikan yang sulit dipelihara di akuarium; dan (3) menyentuh isu sosialekonomi untuk perdagangan yang adil dan seimbang. Pendekatan lain yang dapat dilakukan adalah dengan metapkan daerah perlindungan atau zona larang ambil (no take zone). Menurut Friedlander (2001), daerah perlindungan menawarkan alternatif suatu pendekatan pengelolaan perikanan yang umumnya bergantung pada pembatasan ukuran tangkap, pembatasan jumlah tangkapan, pengaturan alat tangkap dan upaya. Dengan daya jelajah yang terbatas dan tingginya asosiasi antara ikan hias laut dengan habitatnya menyebabkan daerah perlindungan merupakan strategi yang sangat efektif dalam mengelola sumberdaya. Hasil kajian dari Hawaii menunjukan bahwa daerah perlindungan dengan habitat yang beragam dan kompleks dapat memberikan dampak positif terhadap stok ikan. Membangun daerah perlindungan yang membatasi kegiatan pemanfaatan akan memberikan keuntungan pada spesies-spesies ikan hias. Hasil kajian dari Tissot dan Hallacher (2003) yang menunjukan bahwa pemanfaatan ikan hias laut yang mengakibatkan penurunan stok telah mendorong pembentukan sembilan lokasi perlindungan untuk mengembalikan sumberdaya ikan di pesisir barat

11 19 Hawaii, menempatkan 30% dari wilayah pesisir tertutup bagi pemanfaatan untuk ikan hias laut. Pendekatan lain yang saat ini juga sedang gencar dilakukan adalah melalui sertifikasi. Dalam beberapa tahun terakhir, organisasi perdagangan dan LSM telah bekerjasama untuk memastikan bahwa biota hias yang ditangkap, ditransportasikan, dan dijual telah melalui suatu proses yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. American Wildlife Dealer Association (AWDA) telah menetapkan suatu kode etik dan standar praktis bagi konsumen produk-produk ikan hias yang dinamakan the Responsible Marine Aquarist yang bertujuan untuk mendorong para konsumen dapat memilih jenis ikan yang paling sesuai dengan kondisi akuarium yang mereka miliki (Helfman 2007). Lecchini et al. (2006) menawarkan sebuah model pemanfaatan ikan hias melalui perspektif yang berbeda, yaitu dengan menangkap ikan pada fase larva yang kemudian diasuh dan dibesarkan hingga mencapai ukuran jual. Pendeketan ini memiliki beberapa keuntungan yaitu: (i) larva ditangkap dengan menggunakan alat tangkap yang bersifat pasif (crest net) sehingga tidak merusak lingkungan dan mengurangi stres pada larva; (ii) ikan yang dibesarkan sejak fase larva nantinya akan terbiasa hidup dalam akuarium sehingga memiliki tingkat ketahanan hidup (survival rate) yang tinggi saat ikan dipelihara oleh konsumen. 2.6 Analisis Finansial Analisis finansial adalah suatu analisis yang memiliki tujuan diantaranya untuk: (i) mengetahui tingkat keuntungan yang dapat dicapai melalui investasi suatu proyek atau usaha, dan (ii) mengadakan penilaian terhadap peluang investasi yang ada sehingga kita dapat memilih alternatif yang paling menguntungkan (Gray et al. 2005). Analisis finansial terdiri dari dua kelompok analisis, yaitu analisis kelayakan usaha dan kriteria investasi. Analisis kelayakan usaha yang umum digunakan adalah analisis pendapatan usaha, analisis rasio pendapatan atas biaya (R/C), analisis titik impas (break even point) dan analisis rentabilitas (return on investment) (Kadariyah et al. 1999). Sedangkan analisis kriteria investasi yang

12 20 umum digunakan adalah analisis net present value (NPV), internal rate of return (IRR), dan net benefit-cost ratio (Net B/C) (Gray et al. 2005). 2.7 Analisis SWOT Analisis SWOT merupakan identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan berbagai strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Proses pengambilan keputusan strategi selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan perusahaan (Rangkuti 2004). Analisis SWOT mempertimbangkan faktor internal (internal factor evaluation/ife) yaitu strengths dan weaknesses serta faktor eksternal (external factor evaluation/efe) yaitu opportunities dan threats yang dihadapi dunia usaha, sehingga dari analisis tersebut dapat diambil suatu keputusan strategi pengembangan (Marimin 2004). Analisis SWOT didahului dengan identifikasi posisi usaha melalui IFE dan EFE, selanjutnya tahapan analisis matriks SWOT. Proses yang harus dilakukan dalam pembuatan analisis SWOT agar keputusan yang diperoleh lebih tepat melalui berbagai tahapan sebagai berikut: 1) Tahap pengambilan data yaitu evaluasi faktor internal dan eksternal 2) Tahap analisis yaitu pembuatan matriks internal eksternal dan matriks SWOT 3) Tahap pengambilan keputusan. Analisis SWOT dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu dari 2 model matriks, yaitu matriks SWOT atau matriks TOWS. Model matriks mendahulukan faktor-faktor eksternal (ancaman dan peluang), kemudian melihat kapabilitas internal (kekuatan dan kelemahan). Matriks TOWS menghasilkan 4 strategi (Rangkuti 2004), yaitu: 1) Strategi S-O, memanfaatkan kekuatan untuk merebut peluang. 2) Strategi W-O, memanfaatkan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada. 3) Strategi S-T, memanfaatkan kekuatan untuk menghindari atau memperkecil dampak dari ancaman eksternal.

13 21 4) Strategi W-T, didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha memperkecil kelemahan, serta menghindari ancaman.

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan sumberdaya perikanan sebagai sumber mata pencaharian utama yang semakin tinggi mempengaruhi model pengelolaan perikanan yang sudah harus mempertimbangkan prediksi

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian 3.2 Tahapan Pelaksanaan Penelitian

3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian 3.2 Tahapan Pelaksanaan Penelitian 23 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Weh (Provinsi Aceh) dengan fokus utama pelaksanaan penelitian dilakukan di Desa Beurawang yang merupakan pusat kegiatan

Lebih terperinci

STRATEGI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN HIAS LAUT BERKELANJUTAN DI PULAU WEH, ACEH

STRATEGI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN HIAS LAUT BERKELANJUTAN DI PULAU WEH, ACEH STRATEGI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN HIAS LAUT BERKELANJUTANN DI PULAU WEH, ACEH YUDI HERDIANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini menyebabkan terumbu karang memilki spesies yang amat beragam. Terumbu karang menempati areal

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. # Lokasi Penelitian

3 METODE PENELITIAN. # Lokasi Penelitian 35 3 METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Timur, khususnya di PPP Labuhan. Penelitian ini difokuskan pada PPP Labuhan karena pelabuhan perikanan tersebut

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai keanekaragaman biologi yang tinggi dan berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung bagi berbagai

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sebuah sistem dinamis yang kompleks dimana keberadaannya dibatasi oleh suhu, salinitas, intensitas cahaya matahari dan kecerahan suatu perairan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang merupakan pusat dari segitiga terumbu karang (coral triangle), memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (megabiodiversity). Terumbu karang memiliki

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Visi pembangunan kelautan dan perikanan Indonesia adalah bahwa wilayah pesisir dan laut beserta segenap sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia terletak pada wilayah segitiga terumbu karang (coral reef triangle) dunia. Posisi tersebut menempatkan Indonesia sebagai salah satu

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

III. PELAKSANAAN TUGAS AKHIR

III. PELAKSANAAN TUGAS AKHIR 26 III. PELAKSANAAN TUGAS AKHIR A. Lokasi, Waktu dan Pembiayaan 1. Lokasi Kajian Kajian tugas akhir ini dengan studi kasus pada kelompok Bunga Air Aqua Plantindo yang berlokasi di Ciawi Kabupaten Bogor.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di sub-sektor perikanan tangkap telah memberikan kontribusi yang nyata dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Hal ini ditunjukkan dengan naiknya produksi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian berlokasi di Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan yang berada di kawasan Taman Wisata Perairan Gili Matra, Desa Gili Indah,

Lebih terperinci

Gambar 3. Kerangka pemikiran kajian

Gambar 3. Kerangka pemikiran kajian III. METODE KAJIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Kajian Usaha pengolahan pindang ikan dipengaruhi 2 (dua) faktor penting yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi aspek produksi, manajerial,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap

Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap Kabupaten Cilacap sebagai kabupaten terluas di Provinsi Jawa Tengah serta memiliki wilayah geografis berupa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laut Indonesia sudah sejak lama didayagunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia terutama pemanfaatan sumberdaya hayati seperti ikan maupun sumberdaya non hayati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Industri (HTI) sebagai solusi untuk memenuhi suplai bahan baku kayu. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. Industri (HTI) sebagai solusi untuk memenuhi suplai bahan baku kayu. Menurut BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Penurunan produktivitas hutan alam telah mengakibatkan berkurangnya suplai hasil hutan kayu yang dapat dimanfaatkan dalam bidang industri kehutanan. Hal ini mendorong

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian pengembangan perikanan pelagis di Kabupaten Bangka Selatan dilakukan selama 6 bulan dari Bulan Oktober 2009 hingga Maret 2010. Pengambilan data dilakukan

Lebih terperinci

Akronim dan Glosari. Jadual Aktifitas: Alat yang dibuat untuk mengatur aktifitas kolektor dan koordinator dalam jadual/tabel waktu sederhana.

Akronim dan Glosari. Jadual Aktifitas: Alat yang dibuat untuk mengatur aktifitas kolektor dan koordinator dalam jadual/tabel waktu sederhana. Akronim dan Glosari Akronim BEP: CAMP: CCIF: CITES: MAC: MAMTI: MAQTRAC: M&E: MFI: MPA: NGO: SWOT: TAC: Break Even Point Collection Area Management Plan Conservation and Community Investment Forum Convention

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di beberapa negara, telah mendorong meningkatnya permintaan komoditas perikanan dari waktu ke waktu. Meningkatnya

Lebih terperinci

III. METODE KAJIAN A. Lokasi dan Waktu B. Metode Kerja 1. Pengumpulan data

III. METODE KAJIAN A. Lokasi dan Waktu B. Metode Kerja 1. Pengumpulan data 15 III. METODE KAJIAN A. Lokasi dan Waktu Pengambilan data dilakukan di PT. Mitra Bangun Cemerlang yang terletak di JL. Raya Kukun Cadas km 1,7 Kampung Pangondokan, Kelurahan Kutabaru, Kecamatan Pasar

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang yang merupakan salah satu ekosistem wilayah pesisir mempunyai peranan yang sangat penting baik dari aspek ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis

Lebih terperinci

Investasi cerdas untuk perlindungan keanekaragaman hayati laut dan membangun perikanan Indonesia. Wawan Ridwan

Investasi cerdas untuk perlindungan keanekaragaman hayati laut dan membangun perikanan Indonesia. Wawan Ridwan Investasi cerdas untuk perlindungan keanekaragaman hayati laut dan membangun perikanan Indonesia Wawan Ridwan Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, 9 10 Mei 2017 (c) Nara

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Semak Daun merupakan salah satu pulau yang berada di Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Pulau ini memiliki daratan seluas 0,5 ha yang dikelilingi

Lebih terperinci

Tujuan Pengelolaan Perikanan. Suadi Lab. Sosial Ekonomi Perikanan Jurusan Perikanan UGM

Tujuan Pengelolaan Perikanan. Suadi Lab. Sosial Ekonomi Perikanan Jurusan Perikanan UGM Tujuan Pengelolaan Perikanan Suadi Lab. Sosial Ekonomi Perikanan Jurusan Perikanan UGM suadi@ugm.ac.id Tujuan Pengelolaan tenggelamkan setiap kapal lain kecuali milik saya (sink every other boat but mine)

Lebih terperinci

Industri dan Rantai Perdagangan

Industri dan Rantai Perdagangan Sesi Kedua Industri dan Rantai Perdagangan Handout BAGAIMANA INDONESIA DIBANDINGKAN DENGAN NEGARA-NEGARA LAIN DALAM HAL MUTU, VARIASI, DAN KUALITAS EKSPOR IKAN HIAS LAUT? Negara-negara berikut men-supply

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka Studi kelayakan yang juga sering disebut dengan feasibility study merupakan bahan pertimbangan dalam mengambil suatu keputusan, apakah menerima atau menolak

Lebih terperinci

: Arief Budiman Npm : Fakultas : Ekonomi Jurusan : Manajemen Dosen Pemb : Sri Kurniasih Agustin, SE., MM

: Arief Budiman Npm : Fakultas : Ekonomi Jurusan : Manajemen Dosen Pemb : Sri Kurniasih Agustin, SE., MM ANALISIS ANALISIS STRATEGI DAYA SAING IKAN HIAS INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL STRATEGI DAYA SAING IKAN HIAS INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL Nama : Arief Budiman Npm : 1910703 Fakultas : Ekonomi Jurusan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Simping adalah kelompok moluska laut (bivalvia) yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Pemanfaatan tersebut di antaranya sebagai sumber makanan, maupun bahan baku

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Pulau Biawak dan Sekitarnya

5 PEMBAHASAN 5.1 Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Pulau Biawak dan Sekitarnya 5 PEMBAHASAN 5.1 Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Pulau Biawak dan Sekitarnya Terumbu karang merupakan ekosistem yang paling produktif dan mempunyai keankearagaman hayati yang tinggi dibandingkan ekosistem

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung biota laut, termasuk bagi beragam jenis ikan karang yang berasosiasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai sebuah negara yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas lautan, Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan yang potensial untuk dikembangkan sebagai salah

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat yang tinggal di pulau pulau kecil atau pesisir di Indonesia hidupnya sangat tergantung oleh hasil laut, karena masyarakat tersebut tidak mempunyai penghasilan

Lebih terperinci

V. ANALISA MANFAAT DAN BIAYA BUDIDAYA IKAN HIAS AIR TAWAR

V. ANALISA MANFAAT DAN BIAYA BUDIDAYA IKAN HIAS AIR TAWAR V. ANALISA MANFAAT DAN BIAYA BUDIDAYA IKAN HIAS AIR TAWAR Analisa Biaya Manfaat Ikan Hias Air Tawar Layak tidaknya usaha dapat diukur melalui beberapa parameter pengukuran seperti Net Present Value (NPV),

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Natuna memiliki potensi sumberdaya perairan yang cukup tinggi karena memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan-ikan

Lebih terperinci

Pemanfaatan dan Pengelolaan Ikan Hias di Indonesia from Yayasan TERANGI

Pemanfaatan dan Pengelolaan Ikan Hias di Indonesia from Yayasan TERANGI Pemanfaatan dan Pengelolaan Ikan Hias di Indonesia from Yayasan TERANGI Perdagangan Ikan Hias secara global semakin berkembang dari waktu ke waktu.indonesia sebagai salah satu eksportir ikan hias memiliki

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Perikanan tangkap merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang sangat penting di Kabupaten Nias dan kontribusinya cukup besar bagi produksi perikanan dan kelautan secara

Lebih terperinci

III. METODE KAJIAN 3.1 Lokasi dan Waktu 3.2 Pengumpulan Data

III. METODE KAJIAN 3.1 Lokasi dan Waktu 3.2 Pengumpulan Data III. METODE KAJIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di lokasi unit usaha pembenihan ikan nila Kelompok Tani Gemah Parahiyangan yang terletak di Kecamatan Cilebar, Kabupaten Karawang, Jawa

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Sibolga terletak di kawasan pantai Barat Sumatera Utara, yaitu di Teluk Tapian Nauli. Secara geografis, Kota Sibolga terletak di antara 01 0 42 01 0 46 LU dan

Lebih terperinci

vi panduan penyusunan rencana pengelolaan kawasan konservasi laut daerah DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Tahapan Umum Penetapan KKLD 9 Gambar 2. Usulan Kelembagaan KKLD di Tingkat Kabupaten/Kota 33 DAFTAR LAMPIRAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang 81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002).

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN. Pengambilan data di lapangan dilakukan pada bulan April Mei 2011.

IV. METODOLOGI PENELITIAN. Pengambilan data di lapangan dilakukan pada bulan April Mei 2011. 24 IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data di lapangan dilakukan pada bulan April Mei 2011. Kegiatan penelitian meliputi tahap studi pustaka, pembuatan proposal, pengumpulan

Lebih terperinci

III. METODE KAJIAN. B. Pengolahan dan Analisis Data

III. METODE KAJIAN. B. Pengolahan dan Analisis Data 19 III. METODE KAJIAN Kajian ini dilakukan di unit usaha Pia Apple Pie, Bogor dengan waktu selama 3 bulan, yaitu dari bulan Agustus hingga bulan November 2007. A. Pengumpulan Data Metode pengumpulan data

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yaitu berbagai jenis ikan untuk memenuhi permintaan sebagai sumber

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi Strategi adalah istilah yang sering kita dengar untuk berbagai konteks pembicaraan, yang sering diartikan sebagai cara untuk mencapai keinginan tertentu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Data pokok kelautan dan perikanan 2010 1 menggolongkan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang banyak.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kekayaan hayati tersebut bukan hanya

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kekayaan hayati tersebut bukan hanya I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, wilayah daratan Indonesia ( 1,9 juta km 2 ) tersebar pada sekitar 17.500 pulau yang disatukan oleh laut yang sangat luas sekitar

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor kelautan dan perikanan merupakan salah satu pilihan yang strategis untuk dikembangkan, terutama di Kawasan Timur Indonesia (KTI) karena memiliki potensi yang sangat

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI

OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... Halaman xii DAFTAR GAMBAR... DAFTAR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi lestari perikanan laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) dengan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu konservasi sumberdaya hayati menjadi salah satu bagian yang dibahas dalam Agenda 21 pada KTT Bumi yang diselenggarakan di Brazil tahun 1992. Indonesia menindaklanjutinya

Lebih terperinci

CARA PENANGKAPAN IKAN HIAS YA NG RA MA H LINGKUNGA N

CARA PENANGKAPAN IKAN HIAS YA NG RA MA H LINGKUNGA N CARA PENANGKAPAN IKAN HIAS YA NG RA MA H LINGKUNGA N Pendahuluan Ekosistem terumbu karang merupakan gantungan hidup bagi masyarakat Kelurahan Pulau Panggang, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.29/MEN/2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.29/MEN/2012 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.29/MEN/2012 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN PERIKANAN DI BIDANG PENANGKAPAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

BAB VI ARAHAN DAN STRATEGI

BAB VI ARAHAN DAN STRATEGI BAB VI ARAHAN DAN STRATEGI 6.1. Arahan Pengembangan Perikanan Tangkap Faktor-faktor penentu eksternal dan internal untuk pengembangan perikanan tangkap di wilayah pesisir Banyuasin dalam analisa SWOT untuk

Lebih terperinci

PENGENDALIAN SUMBERDAYA IKAN PERIKANAN PERAIRAN UMUM PENANGKAPAN DAN PENGUMPULAN GLASS ELL (SIDAT) DI MUARA SUNGAI CIMANDIRI

PENGENDALIAN SUMBERDAYA IKAN PERIKANAN PERAIRAN UMUM PENANGKAPAN DAN PENGUMPULAN GLASS ELL (SIDAT) DI MUARA SUNGAI CIMANDIRI PENGENDALIAN SUMBERDAYA IKAN PERIKANAN PERAIRAN UMUM PENANGKAPAN DAN PENGUMPULAN GLASS ELL (SIDAT) DI MUARA SUNGAI CIMANDIRI Oleh : Tedi Koswara, SP., MM. I. PENDAHULUAN Dalam Peraturan Bupati Nomor 71

Lebih terperinci

Pemasangan Tag Satelit pada Manta di Nusa Penida (Manta Tagging)

Pemasangan Tag Satelit pada Manta di Nusa Penida (Manta Tagging) Pemasangan Tag Satelit pada Manta di Nusa Penida (Manta Tagging) PENDAHULUAN Pada bulan Februari 2014, KEPMEN- KP No. 4/2014 tentang penetapan status perlindungan ikan pari manta ditandatangai oleh Menteri,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sumberdaya terbarukan yang memiliki fungsi ekologis, sosial-ekonomis, dan budaya yang sangat penting terutama bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari daratan dan lautan seluas ± 5,8 juta Km 2 dan sekitar 70 %

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari daratan dan lautan seluas ± 5,8 juta Km 2 dan sekitar 70 % PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari daratan dan lautan seluas ± 5,8 juta Km 2 dan sekitar 70 % wilayahnya merupakan perairan laut dengan garis pantai sepanjang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pariwisata, seperti melaksanakan pembinaan kepariwisataan dalam bentuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. pariwisata, seperti melaksanakan pembinaan kepariwisataan dalam bentuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengelolaan Pariwisata Pengelolaan merupakan suatu proses yang membantu merumuskan kebijakankebijakan dan pencapaian tujuan. Peran pemerintah dalam pengelolaan pariwisata, seperti

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepulauan Wakatobi merupakan salah satu ekosistem pulau-pulau kecil di Indonesia, yang terdiri atas 48 pulau, 3 gosong, dan 5 atol. Terletak antara 5 o 12 Lintang Selatan

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BAB III ISU-ISU STRATEGIS 3.1 Isu Strategis Dalam penyusunan renstra Dinas Bina Marga dan Pengairan Kota Bogor tentunya tidak terlepas dari adanya isu strategis pembangunan Kota Bogor, yaitu : a. Pengembangan

Lebih terperinci

5 PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN PANCING DENGAN RUMPON DI PERAIRAN PUGER, JAWA TIMUR

5 PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN PANCING DENGAN RUMPON DI PERAIRAN PUGER, JAWA TIMUR 45 Komposisi hasil tangkapan yang diperoleh armada pancing di perairan Puger adalah jenis yellowfin tuna. Seluruh hasil tangkapan tuna yang didaratkan tidak memenuhi kriteria untuk produk ekspor dengan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan menggunakan jenis data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dari sumber data secara langsung.

Lebih terperinci

EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN DOSEN PEMULA

EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN DOSEN PEMULA Kode/Rumpun Ilmu: 181/Sosial Ekonomi Pertanian EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN DOSEN PEMULA KAJIAN KELAYAKAN FINANSIAL USAHATANI KOPI ARABIKA DAN PROSPEK PENGEMBANGANNYA DI KETINGGIAN SEDANG Oleh: ATI KUSMIATI,

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF AGUS RUSLI.

RINGKASAN EKSEKUTIF AGUS RUSLI. RINGKASAN EKSEKUTIF AGUS RUSLI. 2008. Strategi Implementasi Percepatan Pembangunan HTI : Dukungan Terhadap Pasokan Kayu Industri dan Daya Saing Komoditi Pulp. Di bawah bimbingan AGUS MAULANA dan NUNUNG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1 Sapi 0,334 0, Kerbau 0,014 0, Kambing 0,025 0, ,9 4 Babi 0,188 0, Ayam ras 3,050 3, ,7 7

I. PENDAHULUAN. 1 Sapi 0,334 0, Kerbau 0,014 0, Kambing 0,025 0, ,9 4 Babi 0,188 0, Ayam ras 3,050 3, ,7 7 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu aktivitas ekonomi dalam agribisnis adalah bisnis peternakan. Agribisnis bidang ini utamanya dilatarbelakangi oleh fakta bahwa kebutuhan masyarakat akan produk-produk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Terumbu karang merupakan komponen ekosistem utama pesisir dan laut

BAB I PENDAHULUAN. Terumbu karang merupakan komponen ekosistem utama pesisir dan laut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan komponen ekosistem utama pesisir dan laut yang mempunyai peran penting dalam mempertahankan fungsi pesisir dan laut. Terumbu karang berperan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km dengan jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Populasi penduduk dunia pertengahan 2012 mencapai 7,058 milyar dan diprediksi akan meningkat menjadi 8,082 milyar pada tahun 2025 (Population Reference Bureau, 2012).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

Jenis data Indikator Pengamatan Unit Sumber Kegunaan

Jenis data Indikator Pengamatan Unit Sumber Kegunaan 31 BAB III METODOLOGI 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di lanskap wisata TNB, Sulawesi Utara tepatnya di Pulau Bunaken, yang terletak di utara Pulau Sulawesi, Indonesia. Pulau

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan adalah melalui pengembangan kegiatan wisata bahari. Berbicara wisata bahari, berarti kita berbicara tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ikan) yang cukup tinggi, namun jika dibandingkan dengan wilayah

BAB I PENDAHULUAN. ikan) yang cukup tinggi, namun jika dibandingkan dengan wilayah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai salah satu Kabupaten yang paling banyak memproduksi Ikan, komoditi perikanan di Kabupaten Kupang merupakan salah satu pendukung laju perekonomian masyarakat,

Lebih terperinci

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM Indonesia diposisi silang samudera dan benua 92 pulau terluar overfishing PENCEMARAN KEMISKINAN Ancaman kerusakan sumberdaya 12 bioekoregion 11 WPP PETA TINGKAT EKSPLORASI

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Metode Penelitian 4.3 Metode Pengambilan Sampel

IV. METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Metode Penelitian 4.3 Metode Pengambilan Sampel 14 IV. METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Maret-April 2009. Tempat penelitian berlokasi di Kota Sabang, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 4.2 Metode Penelitian

Lebih terperinci

Industri dan Rantai Perdagangan

Industri dan Rantai Perdagangan Sesi Pertama Industri dan Rantai Perdagangan Handout PENGENALAN TERHADAP PERMINTAAN PASAR SERTA RANTAI PERDAGANGAN SIAPAKAH PASAR IKAN HIAS DAN MENGAPA MEREKA MEMBELI IKAN HIAS? Mulailah dengan menunjukkan

Lebih terperinci

111. METODE KAJIAN Kerangka Pemikiran

111. METODE KAJIAN Kerangka Pemikiran 111. METODE KAJAN 3.1. Kerangka Pemikiran Pembangunan hutan tanaman industri yang terintegrasi dengan industri merupakan konsep pembangunan untuk mewujudkan pengelolaan hutan produksi yang lestari, baik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 17 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2. 1. Tinjauan Pustaka Istilah kopi spesial atau kopi spesialti pertama kali dikemukakan oleh Ema Knutsen pada tahun 1974 dalam Tea and

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 0 I. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

KAJIAN POTENSI SUMBER DAYA ALAM BERBASIS EKSPORT

KAJIAN POTENSI SUMBER DAYA ALAM BERBASIS EKSPORT KAJIAN POTENSI SUMBER DAYA ALAM BERBASIS EKSPORT I. Perumusan Masalah Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang optimal membutuhkan sebuah pemahaman yang luas dimana pengelolaan SDA harus memperhatikan aspek

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35/PERMEN-KP/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA 73 VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA Pengelolaan ekosistem wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Kecamatan Kayoa saat ini baru merupakan isu-isu pengelolaan oleh pemerintah daerah, baik

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang kompleks, unik dan indah serta mempunyai fungsi biologi, ekologi dan ekonomi. Dari fungsi-fungsi tersebut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dengan semakin meningkatnya penggunaan energi sejalan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Dengan semakin meningkatnya penggunaan energi sejalan dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Dengan semakin meningkatnya penggunaan energi sejalan dengan berkembangnya perekonomian dan industri, maka disadari pula pentingnya penghematan energi

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Studi Kelayakan Bisnis Studi kelayakan bisnis merupakan penelitian terhadap rencana bisnis yang tidak hanya menganalisis layak atau tidak

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Variabel. Konsep dasar dan definisi operasional variabel adalah pengertian yang

III. METODE PENELITIAN. A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Variabel. Konsep dasar dan definisi operasional variabel adalah pengertian yang 53 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Variabel Konsep dasar dan definisi operasional variabel adalah pengertian yang diberikan kepada variabel sebagai petunjuk dalam memperoleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. budidaya perikanan, hasil tangkapan, hingga hasil tambaknya (Anonim, 2012).

I. PENDAHULUAN. budidaya perikanan, hasil tangkapan, hingga hasil tambaknya (Anonim, 2012). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Provinsi Lampung merupakan salah satu daerah potensial penghasil perikanan dan telah menyokong produksi perikanan nasional sebanyak 40 persen, mulai dari budidaya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang merupakan organisme yang hidup di dasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur (CaCO 3 ). Terumbu karang terdiri atas binatang karang (coral) sebagai

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH, Menimbang : a. bahwa ekosistem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Potensi Keuntungan Bersih per Tahun per km 2 dari Terumbu Karang dalam Kondisi Baik di Asia Tenggara Penggunaan Sumberdaya

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Potensi Keuntungan Bersih per Tahun per km 2 dari Terumbu Karang dalam Kondisi Baik di Asia Tenggara Penggunaan Sumberdaya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Terumbu karang adalah bangunan ribuan hewan yang menjadi tempat hidup berbagai ikan dan makhluk laut lainnya. Terumbu karang yang sehat dengan luas 1 km 2 dapat menghasilkan

Lebih terperinci