BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja akhir merupakan rangkaian terakhir dalam rentang perkembangan remaja yang berkisar antara usia tahun (Steinberg, 1993). Masa remaja dikatakan sebagai peralihan masa perkembangan yang melibatkan perubahan besar dalam aspek fisik, kognitif, dan psikososial. Secara fisik, remaja mengalami tandatanda kematangan seksual yang dilihat dari munculnya karakteristik seks primer dan sekunder (Papalia, Olds dan Feldman, 2009). Perubahan fisik yang dramatis ini memiliki efek psikologis yang membuat remaja lebih peduli dengan penampilan mereka dibandingkan dengan aspek lain dalam diri. Rosenblum dan Lewis (1999) dalam Papalia (2009) menjelaskan bahwa remaja perempuan cenderung lebih tidak bahagia dengan penampilan mereka sehingga diantaranya mengalami gangguan makan seperti bulimia atau anoreksia untuk mencapai cermin diri yang ideal. Selain perubahan fisik, fungsi kognitif remaja juga mengalami perkembangan yang pesat. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan dramatis struktur otak yang berkaitan dengan emosi, penilaian, organisasi perilaku, dan kontrol diri. Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Baird, Gruber, et al (1999), diketahui bahwa remaja awal usia tahun cenderung menggunakan amigdala (bagian otak dalam lobus temporal) yang berperan besar dalam reaksi emosional dan instingtual, sedangkan remaja akhir di awal usia 20 tahunan cenderung menggunakan 1

2 2 lobus frontalis yang memungkinkan penilaian lebih akurat dan beralasan. Perkembangan otak yang belum matang pada usia remaja awal dapat membuat perasaan atau afeksi mengalahkan akal sehat. Hal ini seringkali menyebabkan remaja membuat pilihan yang tidak bijaksana seperti penyalahgunaan alkohol, narkoba, atau perilaku seksual berisiko. Aspek lain yang juga mengalami perkembangan dalam fase remaja ini ialah aspek psikososial. Erikson (1968) mengemukakan bahwa masa remaja adalah masa menghadapi krisis dari fase pencarian identitas vs kebingungan identitas. Erikson (1968) dalam Kroger (1993) melihat indikasi bahaya yang mungkin muncul dalam fase ini. Apabila tahap pencarian identitas ini tidak terpenuhi, maka hal tersebut menghambat tercapainya kedewasaan secara psikologis. Hal tersebut seringkali membuat remaja mundur ke sifat kekanak-kanakan untuk menghindari penyelesaian konflik dan melakukan segala sesuatu dengan impulsif (Erikson, 1982). Penjabaran mengenai perkembangan aspek fisik, kognitif, dan psikososial di atas sekaligus mengungkap berbagai resiko yang dapat muncul selama periode perkembangan remaja berlangsung. Dapat diartikan, remaja pada fase perkembangan ini menunjukkan kerentanan di berbagai aspek kehidupannya. Namun, bukan berarti kerentanan tersebut tidak dapat dikendalikan. Jalaludin (2007) mengemukakan bahwa beberapa penelitian terdahulu telah mencoba mengaitkan aspek religiusitas dengan proses pembentukan sikap dan perilaku. Penelitian tersebut membuktikan bahwa religiusitas yang dimiliki oleh seorang individu berpengaruh dalam penentuan sikap dan perilaku individu. Hal ini disebabkan oleh proses

3 3 internalisasi dari nilai-nilai agama yang diyakini individu dan menjadi pedoman dalam menentukan sikap dan perilaku. Secara garis besar, religiusitas dan agama ialah dua konsep yang berbeda, namun berkaitan. English dan English (1958) mendefinisikan agama sebagai sistem perilaku, kebiasaan, ritual, upacara yang berisi rangkaian nilai-nilai dan diyakini oleh masingmasing individu atau kelompok dalam membangun hubungan dengan Tuhan. Sedangkan, James (1958) dalam Paloutzian dan Park (2005) mendefinisikan religiusitas sebagai perasaan, tindakan, dan refleksi akan pengalaman individual dalam usaha menghayati hubungan dengan sesuatu yang diyakininya. Jadi, dapat dikatakan bahwa agama mengarah pada suatu sistem yang bersifat institusional, sedangkan religiusitas lebih mengarah pada keyakinan dan kepercayaan seorang individu kepada Tuhan yang bersifat internal. Jalaludin (2002) mengungkapkan bahwa setiap individu memiliki dorongan untuk dicintai, tunduk dan mendekatkan diri pada suatu kekuatan yang ada di luar dirinya sejak dilahirkan. Para peneliti lainnya juga memiliki spekulasi yang merujuk pada anggapan bahwa manusia adalah makhluk homo religious, yakni bahwa setiap manusia memiliki satu atau lebih insting religius yang dirancang untuk menghasilkan keyakinan dalam mencapai berbagai tujuan. Berdasarkan pernyataan tersebut baik secara eksplisit maupun implisit observasi sebagai langkah untuk mengambil pola universal dari waktu dan budaya yang berbeda, menghasilkan bukti bahwa God module atau konsep mengenai Tuhan telah ada di dalam otak manusia. Insting religius ini memberikan ketahanan

4 4 bagi individu untuk menghadapi ketakutan akan kematian, mengurangi berbagai bentuk kecemasan dan konflik dari solidaritas sosial (Paloutzian dan Park, 2005). Terkait dengan hal tersebut, masa remaja merupakan tahap yang penting dalam perkembangan religiusitas (Crapps, 1994). Hal ini juga dinyatakan oleh Hall (dalam Nelson, 2009) yang mengakui bahwa masa kanak-kanak hingga remaja merupakan periode penting dalam perkembangan religiusitas seorang individu karena masa ini dilihat sebagai prediksi akan kehidupan masa dewasa yang akan datang. Goldman (1964) menguraikan kemampuan yang berkembang dalam membentuk konsep-konsep religius. Pada usia 6-11 tahun, cara berpikir anak terbatas pada situasi, perbuatan dan data konkret. Tetapi setelah usia 11 atau 12 tahun, cara berpikir logis dalam lambang dan gagasan abstrak mulai nampak dan berfungsi, meskipun penggunaannya yang efektif baru berkembang pada usia tahun. Sejalan dengan itu, Loomba (1944) dalam Crapps (1994) meyakini bahwa perkembangan kognitif yang bertahap tersebut turut memungkinkan terjadinya perpindahan atau transisi dari agama lahiriah ke agama batiniah. Meskipun konsep mengenai Tuhan telah ada dalam otak manusia, namun transisi konsep religius tidak berlangsung dengan sendirinya (Jalaludin, 2010). Kehidupan religius anak memiliki karakteristik yang unik dan inilah peran keluarga untuk mengembangkannya (Pendleton, Benore, Jonas, Norwood, dan Herrmann, 2004). Meskipun pendidikan agama di sekolah ataupun pergaulan dengan teman sebaya juga merupakan faktor penting dalam proses transisi religiusitas anak, namun parental religiousity

5 5 terhadap anak memiliki efek terkuat dalam kehidupan religius anak (Regnerus dalam Nelson, 2009). Beberapa penelitian yang dilakukan menyatakan bahwa persepsi anak mengenai kehidupan religius orangtua mereka memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan kehidupan religius anak (Bao, Whitbeck, Hoyt, dan Conger, 1999; Okagaki dan Bevis, 1999). Berkaitan dengan pernyataan tersebut, Kirkpatrick (1999) dan Kirkpatrick (2005) turut meyakini bahwa bentuk spesifik dari keyakinan religius muncul melalui proses pengelolaan informasi yang diterima individu dari hubungan interpersonal kelekatan (attachment) keluarga, persahabatan, koalisi, dan lain sebagainya yang ditunjukkan melalui keyakinan spesifik dan menjadi pedoman individu dalam berperilaku. Granqvist (2003) juga menyatakan bahwa beberapa aspek dalam perkembangan religiusitas individu di masa remaja dan dewasa dapat diprediksi melalui pola kelekatan yang diterima individu pada masa kanak-kanak. Bowlby (1988) dalam Santrock (2002) menyatakan bahwa konsep kelekatan mengacu pada suatu relasi antara dua orang, yakni bayi dan orangtua (infant-parent) yang memiliki perasaan yang kuat satu sama lain dan melakukan banyak hal bersama untuk melanjutkan relasi tersebut. Erikson (1968) menyebutkan bahwa tahun pertama kehidupan merupakan tahap kunci dalam pembentukan kelekatan karena pada tahap tersebut, anak mulai membentuk kepercayaan atau ketidakpercayaan. Rasa percaya memerlukan suatu perasaan akan adanya kenyamanan fisik dan sejumlah kecil rasa khawatir serta pemahaman akan masa depan.

6 6 Relasi yang menanamkan kepercayaan tersebut kemudian menimbulkan rasa aman pada diri anak. Lebih lanjut, Bowlby (1988) dalam Holmes (1993) menyatakan bahwa kelekatan dan ketergantungan anak terhadap orangtua sebagai figur lekat akan terus aktif sepanjang rentang kehidupan anak. Pada masa kanak-kanak, kelekatan anak dan figur lekat dapat dilihat dari perilaku anak dalam situasi terpisah dari figur lekatnya. Situasi terpisah dianggap sebagai ancaman bagi anak sehingga anak menangis, memberontak, dan mencari figur lekat. Semakin anak menunjukkan protes terhadap situasi terpisah dengan figur lekat, maka semakin anak tersebut merasa aman dengan figur lekat dan mencari kedekatan dengan figur lekat tersebut (Ainsworth, 1982). Pola kelekatan yang terjalin di masa kanak-kanak itu berkembang hingga masa remaja. Bowlby (1988) dalam Holmes (1993) menyatakan bahwa pada masa remaja, kelekatan yang terjalin dalam relasinya dengan orangtua akan mengaktifkan kembali ingatan remaja pada pola kelekatan yang terjalin selama masa kanak-kanak, khususnya ketika remaja dihadapkan pada kesakitan, kelelahan, dan situasi yang mengancam. Meskipun pada masa remaja, figur lekat remaja dapat berpindah ke figur lekat yang lain seperti teman sebaya, namun kelekatan yang dimiliki remaja dengan orangtua di tahun-tahun pertama kehidupannya membuat remaja tetap mencari orangtua sebagai figur lekat pertama yang dibutuhkan. Hal ini turut diperkuat dengan pernyataan Freud (1926) dalam Holmes (1993) yang menerangkan bahwa pada situasi sulit

7 7 yang mengancam, remaja akan mencari kehadiran orangtua khususnya ibu karena remaja tersebut telah memiliki pengalaman kepuasan yang diperolehnya di masa bayi hingga kanak-kanak seperti pemenuhan kebutuhan tanpa penundaan, perlindungan dari bahaya, dan pemberian pertolongan saat dibutuhkan. Hal ini membuatnya merasa aman berada dekat dengan figur lekatnya. Prinsip pokok dari pola kelekatan yang aman (secure) direfleksikan dalam perilaku secure-base antara anak dan orangtua (Bowlby, 1973, 1982; Bretherton, 1985; Main, Kaplan, dan Cassidy, 1985). Bowlby (1982) menyatakan bahwa perilaku securebase sekaligus mengindikasikan level keamanan (security) yang dimiliki individu dari proses kelekatan di sepanjang rentang perkembangannya. Esensi dari prinsip dasar secure-base ialah peningkatan kemampuan eksplorasi dan pemenuhan rasa ingin tahu anak tanpa rasa khawatir karena figur lekat dianggap dapat diakses, melindungi dan menolong saat dibutuhkan. Ketika bahaya datang mengancam, anak dapat mencari figur lekat dan ketika ancaman telah terlewati, figur lekat tetap memberinya kesempatan untuk kembali mengeksplorasi dunianya dan anak yakin bahwa figur lekat tetap dapat diakses apabila ancaman datang kembali (Ainsworth, 1982). Secara spesifik, perilaku secure-base dapat dilihat melalui munculnya perilaku secure-base use dan secure-base support. Secure-base use adalah perilaku anak yang menunjukkan rasa aman terhadap figur lekat karena menganggap figur lekat dapat diakses saat dibutuhkan, sedangkan secure-base support adalah perilaku orangtua yang menunjukkan pemberian rasa aman terhadap anak

8 8 dengan menjadi figur yang dapat diakses ketika dibutuhkan. (Ainsworth, 1982). Sama halnya dengan kelekatan yang mengalami transisi dari masa kanak-kanak ke masa remaja, perilaku securebase juga mengalami transisi. Allen dan Land (1999) menganggap bahwa masa remaja merupakan periode transisi utama dalam perkembangan proses kelekatan yang terlihat melalui perilaku secure-base use remaja dan secure-base support orangtua. Selama periode ini berlangsung, remaja mulai menginginkan kapasitas otonomi yang lebih dari figur lekatnya (orangtua). Dykas (2003) menyatakan bahwa para ahli yang meneliti tentang kelekatan menemukan bahwa struktur kelekatan mulai berubah sejalan dengan berubah bentuknya securebase pada masa remaja. Perubahan tersebut terjadi sebagai bentuk representasi dari perilaku secure-base yang terjadi pada masa kanak-kanak. Ziv, Feeney, dan Cassidy (2001) dalam Dykas (2003) turut menemukan perubahan struktur kelekatan di masa remaja dan mengembangkan beberapa komponen yang muncul dalam perilaku secure-base use remaja dan secure-base support orangtua, yakni mencakup penghargaan relasi, diskusi yang terbuka tentang masa depan remaja, rasa aman secara menyeluruh, dukungan terhadap otonomi remaja, dan kepekaan terhadap pemberian perhatian kepada remaja. Remaja yang merasa aman memiliki keyakinan bahwa figur lekat merupakan figur yang mudah diakses, tersedia, dan responsif ketika dibutuhkan. Hal tersebut kemudian dikaitkan dengan kondisi religius seorang individu yang dapat diprediksi melalui rasa aman yang

9 9 muncul dari relasi seorang individu dengan orangtua. Kirkpatrick (1992) menyatakan bahwa konsep Tuhan yang diyakini dalam setiap agama dianggap sebagai figur lekat yang responsif. Figur tersebut dianggap dapat memenuhi kebutuhannya, memberikan rasa aman dan dapat dipercaya sehingga individu berdoa kepada figur tersebut. Individu yang religius terus mengarahkan diri kepada Tuhan dalam bentuk doa karena figur ini dianggap dapat menolong di saat krisis kehidupan. Sejalan dengan itu, figur orangtua yang mencintai dan melindungi ternyata memberikan kontribusi akan terbentuknya figur Tuhan yang mencintai dan dapat dipercaya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Granqvist dan Hagekull (2000), motivasi dalam mengembangkan insting religius dalam masa remaja memiliki hubungan positif dengan pola kelekatan yang secure dan hubungan negatif dengan pola kelekatan yang insecure. Lebih lanjut, Kirkpatrick dan Shaven (1990) menemukan bahwa rasa aman yang diberikan oleh orangtua yang religius akan menghasilkan anak yang lebih religius dibandingkan dengan anak yang mendapatkan rasa aman dari orangtua yang tidak religius. Pentingnya rasa aman yang diberikan orangtua untuk mengembangkan religiusitas anak ini menjadi potensi masalah ketika kedua orangtua menjalani pernikahan beda agama. Handrianto (dalam Djajasinga, 2004) mengartikan pernikahan beda agama sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita yang masing-masing berbeda agamanya namun tetap mempertahankan perbedaan itu sebagai suami dan istri. Bossard dan Boll (1957) menyebutkan bahwa anak dalam keluarga beda

10 10 agama memiliki potensi masalah, yakni ketika lahir, penentuan agama anak kerap kali diperebutkan oleh keluarga besar. Beranjak usia, anak yang telah menjadi remaja dapat mengalami kebingungan dalam menentukan agamanya. Apabila kedua orangtua adalah figur yang sama baik di mata anak, maka anak akan cenderung menarik diri dari hal-hal yang bersifat keagamaan karena merasa takut menyakiti hati salah satu orangtuanya (Viemilawati, 2002). Pernyataan tersebut diperkuat dengan hasil wawancara awal peneliti dengan tiga orang narasumber remaja akhir yang merupakan anak dari orangtua yang menjalani pernikahan beda agama, dua di antaranya memiliki orangtua dengan agama Islam-Kristen, dan satu di antaranya ialah anak dari orangtua yang beragama Islam-Katolik. Wawancara tersebut menunjukkan hasil bahwa remaja cenderung mengalihkan topik yang berkenaan dengan hal keagamaan jika sedang diperhadapkan dengan kedua orangtua. Remaja berpikir bahwa hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan tidak perlu diperbincangkan sebagai bentuk toleransi terhadap orangtua yang berlainan keyakinan, sehingga mereka lebih nyaman mendiskusikan hal di luar keagamaan, seperti pendidikan, pergaulan, dan masa depan. Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti, remaja dan orangtua juga jarang sekali menunjukkan simbol-simbol keagamaan dalam melakukan kegiatan bersama. Dapat dilihat, hasil dari penelitian terhadap keluarga beda agama menunjukkan data yang berbanding terbalik dengan penelitian mengenai prinsip perilaku secure-base dan kaitannya dengan perkembangan religiusitas anak di masa yang akan datang.

11 11 Jika dilihat, perilaku secure-base yang di dalamnya mengandung unsur cinta kasih, rasa aman dan nyaman dari kedua orangtua terbukti dapat memotivasi anak dalam mengembangkan insting religiusnya di masa remaja. Sedangkan dalam keluarga beda agama, kebaikan orangtua yang seimbang di mata anak justru membuat anak merasa takut dan cenderung menarik diri untuk mengembangkan insting religiusnya. Fenomena tersebut membuat peneliti bertanya: Apakah dalam pernikahan beda agama, perilaku secure-base use remaja dan perilaku secure-base support orangtua memiliki hubungan dengan religiusitas remaja akhir? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka peneliti melakukan penelitian terhadap keluarga beda agama, yakni keluarga yang orangtuanya menganut agama Islam dan Kristiani. Pemilihan sampel ini didasarkan pada data empiris yang menunjukkan bahwa dari sekian banyak kasus pernikahan beda agama yang dilangsungkan, persentase tertinggi pasangan yang melaksanakan pernikahan beda agama ialah pasangan yang beragama Islam dan Kristiani (Aini, 2003). Melalui paparan latar belakang di atas, maka dengan penelitian ini peneliti akan mengukur perilaku secure-base use remaja dan secure-base support orangtua serta melihat hubungannya dengan religiusitas remaja akhir dari pernikahan beda agama (Islam-Kristiani).

12 12 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pada pernikahan beda agama (Islam-Kristiani), apakah perilaku secure-base use remaja memiliki hubungan positif dengan religiusitas remaja? 2. Pada pernikahan beda agama (Islam-Kristiani), apakah perilaku secure-base support orangtua memiliki hubungan positif dengan religiusitas remaja? C. Tujuan Penelitian Menyadari fungsi fundamental religiusitas pada kehidupan remaja, yakni sebagai penentu sikap dan perilaku di kehidupan personal maupun bermasyarakat, serta melihat adanya keterkaitan antara perilaku secure-base anak-orangtua dengan religiusitas anak di masa remaja akhir, maka penelitian ini dilakukan untuk melihat perilaku secure-base use remaja dan secure-base support orangtua dalam keluarga beda agama (Islam-Kristiani) dan hubungannya dengan religiusitas anak di masa remaja akhir. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a) Hasil penelitian ini akan memperkaya ilmu pengetahuan Psikologi, khususnya kajian Psikologi Perkembangan terkait dengan perilaku secure-base use remaja dan secure-

13 13 base support orangtua serta kaitannya dengan religiusitas remaja akhir dari pernikahan Islam-Kristiani. b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambahkan kajian dalam Psikologi Agama tentang religiusitas remaja akhir yang dibesarkan dari pernikahan Islam-Kristiani. 2. Manfaat Praktis a) Bagi Peneliti Penelitian ini diharapkan dapat menjadi inspirasi atau referensi bagi para peneliti selanjutnya yang ingin mengembangkan penelitian terkait dengan perilaku securebase use remaja dan secure-base support orangtua serta religiusitas remaja dari pernikahan Islam-Kristiani. b) Bagi Remaja Akhir Penelitian ini diharapkan dapat memberi pemahaman bagi remaja akhir mengenai pentingnya menjaga relasi yang lekat dengan orangtua dan juga memberikan pengetahuan bahwa religiusitas memiliki peran yang penting dalam menjaga sikap dan perilaku dalam kehidupan personal maupun kehidupan bermasyarakat. c) Bagi Orangtua 1. Penelitian ini diharapkan dapat memberi pengetahuan dan pemahaman bagi orangtua akan pentingnya membina kerjasama dalam mengajarkan dan membimbing remaja yang menganut agama sama dengan orangtua sehingga remaja dapat menjadikan figur orangtua sebagai panutan dalam menjalankan ritual atau praktek keagamaan.

14 14 2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi orangtua agar lebih mempertahankan dan memelihara relasi yang lekat dengan remaja sehingga remaja merasa aman dan nyaman berada di dekat kedua orangtua.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada setiap penelitian, selalu diperlukan kerangka teori yang digunakan untuk mendukung pernyataan dan menjadi dasar dilakukannya sebuah penelitian. Teori ialah serangkaian asumsi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Wanita merupakan individu yang memiliki keterbukaan dalam membagi permasalahan kehidupan maupun penilaian mereka mengenai sesuatu ataupun tentang orang lain.

Lebih terperinci

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah tahap yang penting bagi hampir semua orang yang memasuki masa dewasa awal. Individu yang memasuki masa dewasa awal memfokuskan relasi interpersonal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Sosial. Manusia adalah makhluk sosial.di dalam kehidupan sehari-hari manusia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Sosial. Manusia adalah makhluk sosial.di dalam kehidupan sehari-hari manusia 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyesuaian Sosial 1. Pengertian Penyesuaian Sosial Manusia adalah makhluk sosial.di dalam kehidupan sehari-hari manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Perkembangan sosial masa dewasa awal (young adulthood) adalah puncak dari perkembangan sosial masa dewasa. Masa dewasa awal adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Dalam kehidupan, belum ada seorang manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain (www.wikipedia.com).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Komisi Remaja adalah badan pelayanan bagi jemaat remaja berusia tahun. Komisi

BAB I PENDAHULUAN. Komisi Remaja adalah badan pelayanan bagi jemaat remaja berusia tahun. Komisi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu gereja yang sudah berdiri sejak tahun 1950 di Indonesia adalah Gereja Kristen Indonesia atau yang biasa disebut GKI. GKI adalah sekelompok gereja

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. lain. Sejak lahir, manusia sudah bergantung pada orang lain, terutama orangtua

BAB 1 PENDAHULUAN. lain. Sejak lahir, manusia sudah bergantung pada orang lain, terutama orangtua BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial, artinya manusia memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dan membentuk hubungan sosial dengan orang lain, karena pada dasarnya manusia tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa 15 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Di usia remaja antara 10-13 tahun hingga 18-22 tahun (Santrock, 1998), secara

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Dewasa Awal dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Masa Dewasa

Lebih terperinci

Seorang wanita yang telah berkeluarga dan memiliki anak, secara otomatis. memegang tanggung j awab membantu anak dalam mengembangkan semua

Seorang wanita yang telah berkeluarga dan memiliki anak, secara otomatis. memegang tanggung j awab membantu anak dalam mengembangkan semua BABI PENDAHULUAN BABI PENDAHULUAN 1.1. La tar Belakang Seorang wanita yang telah berkeluarga dan memiliki anak, secara otomatis memegang tanggung j awab membantu anak dalam mengembangkan semua potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara bertahap yaitu adanya suatu proses kelahiran, masa anak-anak, remaja,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara bertahap yaitu adanya suatu proses kelahiran, masa anak-anak, remaja, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan kehidupan seorang manusia berjalan secara bertahap yaitu adanya suatu proses kelahiran, masa anak-anak, remaja, dewasa, dan lanjut

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat MODUL PERKULIAHAN Perkembangan Sepanjang Hayat Adolescence: Perkembangan Psikososial Fakultas Program Studi TatapMuka Kode MK DisusunOleh Psikologi Psikologi 03 61095 Abstract Kompetensi Masa remaja merupakan

Lebih terperinci

2015 HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI PARENTAL ATTACHMENT DAN RELIGIUSITAS DENGAN KESIAPAN MENIKAH PADA MAHASISWA MUSLIM PSIKOLOGI UPI

2015 HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI PARENTAL ATTACHMENT DAN RELIGIUSITAS DENGAN KESIAPAN MENIKAH PADA MAHASISWA MUSLIM PSIKOLOGI UPI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagian besar mahasiswa strata satu adalah individu yang memasuki masa dewasa awal. Santrock (2002) mengatakan bahwa masa dewasa awal adalah masa untuk bekerja

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Remaja dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Memahami Masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kanak-kanak, relasi dengan orangtua sangat menentukan pola attachment dan

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kanak-kanak, relasi dengan orangtua sangat menentukan pola attachment dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada masa kanak-kanak, relasi dengan orangtua sangat menentukan pola attachment dan relasi antar pribadi pada masa dewasa. Hubungan attachment berkembang melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. asuhan, sebagai figur identifikasi, agen sosialisasi, menyediakan pengalaman dan

BAB I PENDAHULUAN. asuhan, sebagai figur identifikasi, agen sosialisasi, menyediakan pengalaman dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Orang tua berperan sebagai figur pemberi kasih sayang dan melakukan asuhan, sebagai figur identifikasi, agen sosialisasi, menyediakan pengalaman dan berperan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar pelitian. Berikut adalah beberapa teori yang terkait sesuai dengan penelitian ini. 2.1 Anxiety (Kecemasan)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang tua dengan anak. Orang tua merupakan makhluk sosial pertama yang

BAB I PENDAHULUAN. orang tua dengan anak. Orang tua merupakan makhluk sosial pertama yang BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Attachment pada manusia pertama kali terbentuk dari hubungan antara orang tua dengan anak. Orang tua merupakan makhluk sosial pertama yang berinteraksi dengan bayinya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah salah satu tahap penting dalam siklus kehidupan individu di samping siklus kehidupan lainnya seperti kelahiran, perceraian, atau kematian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya

BAB I PENDAHULUAN. akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap manusia dilahirkan dalam kondisi yang tidak berdaya. Individu akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya dan ketergantungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Saat seseorang memasuki usia dewasa awal, ia mengalami perubahan dalam hidupnya. Pada usia ini merupakan transisi terpenting dalam hidup manusia, dimana remaja mulai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. latin adolensence, diungkapkan oleh Santrock (2003) bahwa adolansence

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. latin adolensence, diungkapkan oleh Santrock (2003) bahwa adolansence BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perkembangan dari masa kanak-kanak menuju dewasa ditandai dengan adanya masa transisi yang dikenal dengan masa remaja. Remaja berasal dari kata latin adolensence,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena perilaku seks pranikah di kalangan remaja di Indonesia semakin

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena perilaku seks pranikah di kalangan remaja di Indonesia semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Fenomena perilaku seks pranikah di kalangan remaja di Indonesia semakin meningkat prevalensinya dari tahun ke tahun. Hasil survei yang dilakukan oleh Biro

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Attachment merupakan istilah yang diperkenalkan pertama kali oleh seorang psikolog dari Inggris John Bowlby pada tahun 1958 mengenai gambaran ikatan antara

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang

BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Masa remaja, menurut Stanley Hall, seorang bapak pelopor psikologi perkembangan remaja, dianggap sebagai masa topan-badai dan stres (storm and stress), karena mereka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah perilaku seksual pada remaja saat ini menjadi masalah yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih menganggap tabu untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan menjadi prioritas dalam hidup jika seseorang sudah berada di usia yang cukup matang dan mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bila arah pembangunan mulai memusatkan perhatian terhadap upaya peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. bila arah pembangunan mulai memusatkan perhatian terhadap upaya peningkatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di usia republik yang sudah melebihi setengah abad ini, sudah sepatutnya bila arah pembangunan mulai memusatkan perhatian terhadap upaya peningkatan kualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri tanpa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri tanpa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri tanpa berinteraksi dengan individu lain. Interaksi antar individu terjadi sejak awal kehidupan seseorang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. afeksional pada seseorang yang ditujukan pada figur lekat dan ikatan ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. afeksional pada seseorang yang ditujukan pada figur lekat dan ikatan ini 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ainsworth (dalam Helmi, 2004) mengartikan kelekatan sebagai ikatan afeksional pada seseorang yang ditujukan pada figur lekat dan ikatan ini berlangsung lama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan, individu akan mengalami fase-fase perkembangan selama masa hidupnya. Fase tersebut dimulai dari awal kelahiran hingga fase dewasa akhir yang

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG Rheza Yustar Afif Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soeadarto, SH, Kampus Undip Tembalang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya senantiasa membutuhkan orang lain.kehadiran orang lain bukan hanya untuk

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya senantiasa membutuhkan orang lain.kehadiran orang lain bukan hanya untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang dalam menjalankan kehidupannya senantiasa membutuhkan orang lain.kehadiran orang lain bukan hanya untuk

Lebih terperinci

2016 HUBUNGAN ATTACHMENT ANAK TERHADAP ORANGTUA DAN PEER PRESSURE DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA DI SMAN 1 SUKATANI PURWAKARTA

2016 HUBUNGAN ATTACHMENT ANAK TERHADAP ORANGTUA DAN PEER PRESSURE DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA DI SMAN 1 SUKATANI PURWAKARTA BAB I PENDAHULUAN Bab pendahuluan dari skripsi ini akan membahas beberapa hal terkait penelitian, termasuk latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat/signifikansi penelitian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pacaran merupakan sebuah konsep "membina" hubungan dengan orang lain dengan saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan luar. Perubahan-perubahan tersebut menjadi tantangan besar bagi

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan luar. Perubahan-perubahan tersebut menjadi tantangan besar bagi BAB I PENDAHULUAN Masa remaja merupakan masa peralihan atau masa transisi dari masa anakanak ke masa dewasa yang disertai dengan perubahan (Gunarsa, 2003). Remaja akan mengalami berbagai perubahan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial setiap manusia mempunyai dorongan untuk berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai dorongan untuk bersosialisasi.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pengaruhi oleh kematangan emosi baik dari suami maupun istri. dengan tanggungjawab dan pemenuhan peran masing-masing pihak yang

BAB 1 PENDAHULUAN. pengaruhi oleh kematangan emosi baik dari suami maupun istri. dengan tanggungjawab dan pemenuhan peran masing-masing pihak yang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pernikahan bagi manusia merupakan hal yang penting, karena dengan menikah seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara biologis, psikologis maupun secara

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Arikunto, S. (2002). Prosedur penelitian: Suatu pendekatan praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

DAFTAR PUSTAKA. Arikunto, S. (2002). Prosedur penelitian: Suatu pendekatan praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta. DAFTAR PUSTAKA Ainsworth, M. (1969) Object relations, dependency and attachment: A theoretical review of the infant mother relationship, Child Development, 40: 969 1025. Ainsworth, M. (1982). Attachment:

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG

BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG Kesepian merupakan salah satu masalah psikologis yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia. Setiap manusia pernah menghadapi situasi yang dapat menyebabkan kesepian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari hubungannya dengan orang lain. Keberadaan orang lain dibutuhkan manusia untuk melakukan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Coakley (dalam Lerner dkk, 1998) kadang menimbulkan terjadinya benturan antara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Coakley (dalam Lerner dkk, 1998) kadang menimbulkan terjadinya benturan antara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa terjadinya banyak perubahan. Remaja haus akan kebebasan dalam memutuskan dan menentukan pilihan hidupnya secara mandiri. Erikson (dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada masa transisi yang terjadi di kalangan masyarakat, secara khusus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada masa transisi yang terjadi di kalangan masyarakat, secara khusus 16 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada masa transisi yang terjadi di kalangan masyarakat, secara khusus remaja seakan-akan merasa terjepit antara norma-norma yang baru dimana secara sosiologis, remaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Setiap orang tentu ingin hidup dengan pasangannya selama mungkin, bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu hubungan. Ketika

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Remaja

TINJAUAN PUSTAKA Remaja TINJAUAN PUSTAKA Remaja Remaja berasal dari bahasa latin yaitu adolescent yang mempunyai arti tumbuh menjadi dewasa. Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diasuh oleh orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya hingga

BAB I PENDAHULUAN. diasuh oleh orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya hingga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap manusia dilahirkan dalam kondisi yang tidak berdaya, ia akan diasuh oleh orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya hingga waktu tertentu.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menjaga hubungan romantis dengan pasangan romantis (romantic partner) seperti

BAB I PENDAHULUAN. Menjaga hubungan romantis dengan pasangan romantis (romantic partner) seperti 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menjaga hubungan romantis dengan pasangan romantis (romantic partner) seperti saat masih menjadi teman dekat atau pacar sangat penting dilakukan agar pernikahan bertahan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. kali oleh seorang psikiater asal Inggris bernama John Bowlby pada tahun 1969.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. kali oleh seorang psikiater asal Inggris bernama John Bowlby pada tahun 1969. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Attachment Attachment atau kelekatan merupakan teori yang diungkapkan pertama kali oleh seorang psikiater asal Inggris bernama John Bowlby pada tahun 1969. Ketika seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Kelekatan Orangtua Tunggal Dengan Konsep Diri Remaja Di Kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Kelekatan Orangtua Tunggal Dengan Konsep Diri Remaja Di Kota Bandung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Idealnya, di dalam sebuah keluarga yang lengkap haruslah ada ayah, ibu dan juga anak. Namun, pada kenyataannya, saat ini banyak sekali orang tua yang menjadi orangtua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ibu memiliki lebih banyak peranan dan kesempatan dalam. mengembangkan anak-anaknya, karena lebih banyak waktu yang digunakan

BAB I PENDAHULUAN. Ibu memiliki lebih banyak peranan dan kesempatan dalam. mengembangkan anak-anaknya, karena lebih banyak waktu yang digunakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ibu memiliki lebih banyak peranan dan kesempatan dalam mengembangkan anak-anaknya, karena lebih banyak waktu yang digunakan bersama anak-anaknya dari pada ayah.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari hubungan

BAB 1 PENDAHULUAN. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari hubungan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari hubungan dengan orang lain yang meliputi interaksi di lingkungan sekitarnya. Sepanjang hidup, manusia akan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Body Image 1. Pengertian Body image adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi

Lebih terperinci

Henni Anggraini Universitas Kanjuruhan Malang

Henni Anggraini Universitas Kanjuruhan Malang HUBUNGAN KELEKATAN DAN KECERDASAN EMOSI PADA ANAK USIA DINI Henni Anggraini Universitas Kanjuruhan Malang ABSTRAK. Kelekatan (Attachment) merupakan hubungan emosional antara seorang anak dengan pengasuhnya

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Berikut ini akan dijelaskan mengenai definisi, tahapan, dan faktor-faktor yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Berikut ini akan dijelaskan mengenai definisi, tahapan, dan faktor-faktor yang BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Regulasi Diri Berikut ini akan dijelaskan mengenai definisi, tahapan, dan faktor-faktor yang mempengaruhi regulasi diri. 2.1.1. Definisi Regulasi Diri Regulasi diri adalah proses

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan 6 BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Pernikahan 2.1.1. Pengertian Pernikahan Pernikahan merupakan suatu istilah yang tiap hari didengar atau dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan adalah nikah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hubungan romantis. Hubungan romantis (romantic relationship) yang juga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hubungan romantis. Hubungan romantis (romantic relationship) yang juga digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kecemburuan merupakan hal yang wajar terjadi dalam sebuah hubungan antarindividu. Afeksi yang terlibat dalam hubungan tersebut membuat individu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. seperti ayah, ibu, dan anak. Keluarga juga merupakan lingkungan yang

PENDAHULUAN. seperti ayah, ibu, dan anak. Keluarga juga merupakan lingkungan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keluarga terdiri dari beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah seperti ayah, ibu, dan anak. Keluarga juga merupakan lingkungan yang menyenangkan dan nyaman

Lebih terperinci

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB II. Tinjauan Pustaka BAB II Tinjauan Pustaka Dalam bab ini peneliti akan membahas tentang tinjauan pustaka, dimana dalam bab ini peneliti akan menjelaskan lebih dalam mengenai body image dan harga diri sesuai dengan teori-teori

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan generasi penerus bangsa yang diharapkan akan membawa Indonesia menjadi lebih maju. Namun sayangnya, akhir-akhir ini justru banyak pemberitaan mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial yang artinya manusia membutuhkan orang lain dalam

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial yang artinya manusia membutuhkan orang lain dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang artinya manusia membutuhkan orang lain dalam hidupnya. Adanya interaksi sosial antara manusia yang satu dengan yang lainnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan remaja sering menimbulkan berbagai tantangan bagi para orang dewasa. Banyak hal yang timbul pada masa remaja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang. Pernikahan juga

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang. Pernikahan juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pernikahan merupakan ikatan yang terbentuk antara pria dan wanita yang di dalamnya terdapat unsur keintiman, pertemanan, persahabatan, kasih sayang, pemenuhan hasrat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Cinta dan seksual merupakan salah satu permasalahan yang terpenting yang dialami oleh remaja saat ini. Perasaan bersalah, depresi, marah pada gadis yang mengalami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertama (SMP) atau sederajat. Jenjang pendidikan ini dimulai dari kelas X sampai kelas XII

BAB I PENDAHULUAN. Pertama (SMP) atau sederajat. Jenjang pendidikan ini dimulai dari kelas X sampai kelas XII BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sekolah Menengah Atas (SMA) adalah jenjang pendidikan menengah pada pendidikan formal di Indonesia yang dilaksanakan setelah lulus dari Sekolah Menengah Pertama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia yang paling unik, penuh dinamika, sekaligus penuh tantangan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia yang paling unik, penuh dinamika, sekaligus penuh tantangan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan salah satu tahap perkembangan sepanjang rentang kehidupan manusia yang paling unik, penuh dinamika, sekaligus penuh tantangan dan harapan.

Lebih terperinci

PSIKOLOGI SEPANJANG HAYAT

PSIKOLOGI SEPANJANG HAYAT Modul ke: PSIKOLOGI SEPANJANG HAYAT Perkembangan Remaja Fakultas Psikologi Tenny Septiani Rachman, M. Psi, Psi Program Studi Psikologi http://www.mercubuana.ac.id Preface Masa remaja sering disebut sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terbentang dari masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga masa

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terbentang dari masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sepanjang rentang kehidupannya individu mempunyai serangkaian tugas perkembangan yang harus dijalani untuk tiap masanya. Tugas perkembangan tersebut terbentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. interaksi dengan lingkungan sosial yang lebih luas di masyarakat dan

BAB I PENDAHULUAN. interaksi dengan lingkungan sosial yang lebih luas di masyarakat dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia akan bersosialisasi dengan lingkungannya, keluarga, sekolah, tempat les, komunitas, dan lainlain. Manusia pada hakikatnya

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA SECURE ATTACHMENT DENGAN KOMPETENSI INTERPERSONAL PADA REMAJADI SMAN 2 PADANG. Winda Sari Isna Asyri Syahrina

HUBUNGAN ANTARA SECURE ATTACHMENT DENGAN KOMPETENSI INTERPERSONAL PADA REMAJADI SMAN 2 PADANG. Winda Sari Isna Asyri Syahrina HUBUNGAN ANTARA SECURE ATTACHMENT DENGAN KOMPETENSI INTERPERSONAL PADA REMAJADI SMAN 2 PADANG Winda Sari Isna Asyri Syahrina Fakultas Psikologi Universitas Putra Indonesia ABSTRAK Tujuan penelitian ini

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia. Setiap individu memiliki harapan untuk bahagia dalam kehidupan perkawinannya. Karena tujuan perkawinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Layanan bimbingan pada dasarnya upaya peserta didik termasuk remaja untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi termasuk masalah penerimaan diri. Bimbingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyesuaian diri di lingkungan sosialnya. Seorang individu akan selalu berusaha

BAB I PENDAHULUAN. penyesuaian diri di lingkungan sosialnya. Seorang individu akan selalu berusaha 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial yang selalu hidup berdampingan dengan orang lain tentunya sering dihadapkan pada berbagai permasalahan yang melibatkan dirinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu tugas utama anak usia dini adalah mengembangkan kemandirian, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu tugas utama anak usia dini adalah mengembangkan kemandirian, yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu tugas utama anak usia dini adalah mengembangkan kemandirian, yaitu mereka menantang dirinya untuk menjadi lebih independen dalam melakukan aktivitas sehari-hari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara berpikir remaja mengarah pada tercapainya integrasi dalam hubungan sosial (Piaget dalam Hurlock, 1980).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tahap perkembangan psikososial Erikson, intimacy versus isolation, merupakan isu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tahap perkembangan psikososial Erikson, intimacy versus isolation, merupakan isu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tahap perkembangan psikososial Erikson, intimacy versus isolation, merupakan isu utama bagi individu yang ada pada masa perkembangan dewasa awal. Menurut Erikson,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kelekatan. melekat pada diri individu meskipun figur lekatnya itu tidak tampak secara fisik.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kelekatan. melekat pada diri individu meskipun figur lekatnya itu tidak tampak secara fisik. 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kelekatan 1. Defenisi Kelekatan (attachment) Menurut Bashori (2006) kelekatan adalah ikatan kasih sayang antara anak dengan pengasuhnya. Ikatan ini bersifat afeksional, maka

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan 13 BAB II LANDASAN TEORI A. Kepuasan Pernikahan 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan Pernikahan merupakan suatu istilah yang hampir tiap hari didengar atau dibaca dalam media massa. Namun kalau ditanyakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan Pemilihan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being menurut Diener (2005). Teori yang dipilih akan digunakan untuk meneliti gambaran

Lebih terperinci

TAHAP PERKEMBANGAN ANAK USIA 12-17 TAHUN

TAHAP PERKEMBANGAN ANAK USIA 12-17 TAHUN TAHAP PERKEMBANGAN ANAK USIA 12-17 TAHUN LATAR BELAKANG Lerner dan Hultsch (1983) menyatakan bahwa istilah perkembangan sering diperdebatkan dalam sains. Walaupun demikian, terdapat konsensus bahwa yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Keintiman berasal dari bahasa latin intimus yang artinya terdalam. Erikson

BAB II LANDASAN TEORI. Keintiman berasal dari bahasa latin intimus yang artinya terdalam. Erikson BAB II LANDASAN TEORI A. Keintiman 1. Pengertian Keintiman Keintiman berasal dari bahasa latin intimus yang artinya terdalam. Erikson (dalam Kroger, 2001) mendefinisikan keintiman mengacu pada perasaan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak 7 TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Keluarga merupakan tempat pertama dan utama dimana seorang anak dididik dan dibesarkan. Berdasarkan Undang-undang nomor 52 tahun 2009, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, dan lain-lain. Setiap tugas dipelajari secara optimal pada waktu-waktu tertentu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kecerdasan Emosional pada Remaja Akhir. 1. Pengertian Kecerdasan Emosional Pada remaja Akhir

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kecerdasan Emosional pada Remaja Akhir. 1. Pengertian Kecerdasan Emosional Pada remaja Akhir BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecerdasan Emosional pada Remaja Akhir 1. Pengertian Kecerdasan Emosional Pada remaja Akhir Menurut Goleman (2000) kecerdasan emosional adalah kemampuan yang dimiliki seseorang

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola asuh merupakan interaksi yang diberikan oleh orang tua dalam berinteraksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang masih lengkap keduanya sedangkan keluarga tidak utuh atau yang sering

BAB I PENDAHULUAN. yang masih lengkap keduanya sedangkan keluarga tidak utuh atau yang sering BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masa sekarang, kehidupan dalam keluarga sangat penuh dengan variasi. Ada keluarga yang disebut dengan keluarga besar yang terdiri atas ayah, ibu, anak dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terbatas berinteraksi dengan orang-orang seusia dengannya, tetapi lebih tua,

BAB 1 PENDAHULUAN. terbatas berinteraksi dengan orang-orang seusia dengannya, tetapi lebih tua, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang senantiasa memerlukan interaksi dengan orang lain. Saat berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. diharapkan oleh kelompok sosial, serta merupakan masa pencarian identitas untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. diharapkan oleh kelompok sosial, serta merupakan masa pencarian identitas untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa yang penuh konflik, karena masa ini adalah periode perubahan dimana terjadi perubahan tubuh, pola perilaku dan peran yang diharapkan oleh

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap

BAB II LANDASAN TEORI. rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap BAB II LANDASAN TEORI II. A. Harga Diri II. A. 1. Definisi harga diri Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri secara rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kualitas Perkawinan 1. Pengertian Kualitas Perkawinan Menurut Gullota (Aqmalia, 2009) kepuasan pernikahan merupakan perasaan pasangan terhadap pasangannya mengenai hubungan pernikahannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Masa remaja (adolescence), merupakan masa yang berada pada tahap perkembangan psikologis yang potensial sekaligus rentan karena masalah dapat terjadi setiap hari. Remaja yang mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap pasangan. Saling setia dan tidak terpisahkan merupakan salah satu syarat agar tercipta keluarga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Perubahan pada masa remaja mencakup perubahan fisik, kognitif, dan sosial. Perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Remaja kota besar khususnya Jakarta semakin berani melakukan hubungan

BAB I PENDAHULUAN. Remaja kota besar khususnya Jakarta semakin berani melakukan hubungan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja kota besar khususnya Jakarta semakin berani melakukan hubungan seksual pranikah. Hal ini terbukti berdasarkan hasil survey yang dilakukan Bali Post

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Individu adalah makhluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk menjalin hubungan dengan individu lain sepanjang kehidupannya. Individu tidak pernah dapat hidup

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bagi remaja itu sendiri maupun bagi orang-orang yang berada di sekitarnya.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bagi remaja itu sendiri maupun bagi orang-orang yang berada di sekitarnya. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang menarik untuk dikaji, karena pada masa remaja terjadi banyak perubahan yang dapat mempengaruhi kehidupan, baik bagi remaja itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini, banyak perubahan-perubahan yang terjadi di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini, banyak perubahan-perubahan yang terjadi di dunia, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di masa sekarang ini, banyak perubahan-perubahan yang terjadi di dunia, terutama dalam gaya hidup masyarakat. Indonesia pun tidak luput dari perubahanperubahan

Lebih terperinci