EFEKTIVITAS EKSTRAK STEROID TERIPANG UNTUK MEMANIPULASI KELAMIN UDANG GALAH APRI ARISANDI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EFEKTIVITAS EKSTRAK STEROID TERIPANG UNTUK MEMANIPULASI KELAMIN UDANG GALAH APRI ARISANDI"

Transkripsi

1 EFEKTIVITAS EKSTRAK STEROID TERIPANG UNTUK MEMANIPULASI KELAMIN UDANG GALAH APRI ARISANDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

2 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis efektivitas ekstrak steroid teripang untuk memanipulasi kelamin udang galah adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Februari 2007 Apri Arisandi C

3 3 ABSTRAK APRI ARISANDI. Efektivitas Ekstrak Steroid Teripang Untuk Memanipulasi Kelamin Udang Galah. Dibimbing oleh ODANG CARMAN dan ETTY RIANI Ekstrak teripang terbukti mengandung steroid. Rendemen terbesar diperoleh dari 1 kg jeroan basah sebesar 21,28 gr ekstrak kasar, yang mengandung steroid 6,124 mg/kg, merupakan jenis testosteron. Testosteron dapat dimanfaatkan dalam sex reversal udang galah (Macrobrachium rosenbergii de Man). Hormon yang umum dipakai untuk sex reversal jantan adalah 17a-metiltestosteron, merupakan hormon sintetis yang dapat mengganggu kesehatan manusia. Bioessai yang dilakukan pada ayam, diketahui bahwa hormon sintetis memberikan efek samping toksik pada hati, limpa dan bursa fabricius. Berpedoman pada hal tersebut, maka salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan sumber hormon testosteron alami, seperti dari teripang. Perlakuan pemberian testosteron pada calon induk udang dilakukan melalui penyuntikan pada saat matang gonad dan dipping saat fase juvenil-satu. Masing masing metode dilakukan dalam lima level perlakuan dan tiga ulangan. Hasil penyuntikan dengan dosis ekstrak steroid teripang 10 mg/kg, terbukti dapat menghasilkan populasi jantan tertinggi (63,33%) dan merupakan perlakuan terbaik. Metode dipping dengan dosis ekstrak steroid teripang 1mg/l, 2mg/l, 3mg/l, dan 17a-metiltestosteron 2mg/l dapat menghasilkan populasi jantan lebih tinggi dari kontrol negatif (tanpa hormon), yaitu 44,15%, 49,65%, 49,72% dan 50,45%. Pengamatan efek pemberian hormon steroid juga dilakukan terhadap beberapa aspek reproduksi dan pertumbuhan udang galah, seperti fekunditas, derajat pengeraman, hatching rate, survival rate, ukuran telur, pertumbuhan larva, kandungan testosteron dalam hemolymph, dan jumlah udang cacat.

4 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya. 4

5 5 EFEKTIVITAS EKSTRAK STEROID TERIPANG UNTUK MEMANIPULASI KELAMIN UDANG GALAH APRI ARISANDI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

6 6 Judul Tesis : Efektivitas ekstrak steroid teripang untuk memanipulasi kelamin udang galah Nama : Apri Arisandi NIM : C Disetujui Komisi pembimbing Dr. Ir. Odang Carman, M.Sc Ketua Dr.Ir. Etty Riani, MS Anggota Ketua Program Studi Ilmu Perairan Diketahui Dekan Sekolah Pasca Sarjana Prof.Dr. Ir.Enang Harris, MS Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro,MS Tanggal Ujian: 4 Mei 2007 Tanggal Lulus:

7 7 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2006 ini ialah manipulasi kelamin (sex reversal), dengan judul Efektivitas ekstrak steroid teripang untuk memanipulasi kelamin udang galah. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Odang Carman dan Ibu Dr Etty Riani selaku pembimbing, serta Dr Dinar Tri Soelistyowati yang telah banyak memberi saran. Tidak lupa, terima kasih penulis ucapkan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional atas pemberian Beasiswa Pendidikan Pasca Sarjana (BPPS) dan Program Hibah Pasca Sarjana, sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Ir Maskur dari Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dasu Rohmana, S.Pi beserta staf Sub Unit Pengembangan dan Pembenihan Udang Galah (SUPPUG) Pelabuhan Ratu, yang telah banyak membantu selama pelaksanaan penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, adik, dan istri, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Februari 2007 Apri Arisandi

8 8 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ponorogo pada tanggal 12 April 1976 dari pasangan Hadi Suyono dan Ismiati. Penulis merupakan putra pertama dari dua bersaudara. Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Ponorogo dan pada tahun yang sama lulus ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN) di Universitas Brawijaya Malang, pada jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, program studi Budidaya Perairan serta menamatkannya pada tahun Kesempatan untuk melanjutkan ke program Magister Sains pada program studi Ilmu Perairan tahun 2005, merupakan beasiswa dari Departemen Pendidikan Nasional. Penulis bekerja sebagai staf teknis di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Umbulan, Jawa Timur sejak tahun 2000 sampai tahun 2002, dan mulai tahun 2003 diterima sebagai staf Departemen Pendidikan Nasional serta ditempatkan di Universitas Trunojoyo Madura.

9 9 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL...iv DAFTAR GAMBAR...v DAFTAR LAMPIRAN...vi 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Hipotesis TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Biologi Udang Galah Morfologi dan Pemanfaatan Teripang Manipulasi Kelamin METODOLOGI Penelitian I Penelitian II HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian I Penelitian II KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran...45 DAFTAR PUSTAKA...46 LAMPIRAN...51

10 10 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Perbedaan morfologi udang galah jantan dan betina Siklus hidup udang galah Alat kelamin udang galah dilihat dari sisi lateral (i) dan abdominal (ii) Teripang pasir (Holothuria scabra Jaeger) di alam dan teripang pasir beku yang akan diekstrak Organ tubuh teripang Rumus bangun inti steroid (cyclopentanohydrophenonthrene) (a) dan testosteron (b) Waktu mulai diferensiasi kelamin beberapa spesies ikan teleostei Sensitivitas tahapan diferensiasi kelamin terhadap hormon steroid pada teleostei Calon induk udang galah matang gonad Grafik persentase udang galah jantan Grafik rataan fekunditas induk udang galah Grafik rataan derajat pengeraman telur udang galah Grafik rataan derajat penetasan telur udang galah Grafik rataan jumlah larva hidup Grafik konsentrasi testosteron dalam hemolymph induk Variasi ukuran juvenil (a) dan cacat bawaan (b) akibat hormon Grafik persentase udang galah jantan Grafik rataan jumlah juvenil hidup selama 60 hari...41

11 11 DAFTAR TABEL Halaman 1. Tahap awal (a) dan akhir (b) tingkat kematangan gonad (TKG) udang galah Parameter yang diamati dan metode yang digunakan untuk mengukur variabel penelitian I Parameter yang diamati dan metode yang digunakan untuk mengukur variabel penelitian II Persentase udang galah berkelamin jantan Fekunditas induk udang galah Derajat pengeraman telur udang galah Telur udang galah yang terbuahi dan tidak terbuahi Derajat penetasan telur udang galah Telur udang galah terbuahi tetapi gagal menetas Ukuran telur udang galah Peningkatan ukuran telur selama masa pengeraman Ukuran telur siap tetas Rata rata pertumbuhan harian (ADG) larva dan juvenil udang galah Konsentrasi hormon testosteron dalam hemolymph Kualitas air pemeliharaan larva dan juvenil udang galah Persentase udang galah berkelamin jantan Derajat hidup udang galah Jumlah juvenil yang hidup per sepuluh hari selama 60 hari Derajat hidup udang galah selama 60 hari Pertambahan panjang dan berat juvenil udang galah Rata rata pertumbuhan harian (ADG) juvenil udang galah Kualitas air media pemeliharaan juvenil...43

12 12 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Variasi jumlah pakan per ekor larva per hari dan komposisi pakan buatan untuk juvenil udang galah Tahapan pengambilan dan pengukuran konsentrasi hormon testosteron dalam hemolymph induk udang galah Tahapan ekstraksi hormon steroid teripang Tahapan penyuntikan hormon testosteron pada induk udang galah Appendix masculinus yang terdapat pada kaki renang ke-2 Macrobrachium rosenbergii jantan Tahapan perendaman juvenil menggunakan hormon testosteron Analisis statistik udang galah berkelamin jantan Analisis statistik fekunditas induk udang Analisis statistik derajat pengeraman telur udang galah Analisis statistik derajat penetasan telur udang galah Persentase derajat hidup larva udang galah Analisis statistik derajat hidup larva udang galah Ukuran panjang dan berat larva udang galah Analisis statistik udang galah berkelamin jantan Analisis statistik derajat hidup udang galah...68

13 13 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budidaya monoseks merupakan salah satu cara untuk memaksimalkan produksi perikanan, selain kualitas benih, optimasi lingkungan budidaya dan manajemen pakan yang tepat. Budidaya monoseks untuk ikan dan udang konsumsi, dilakukan berdasarkan pada kecepatan tumbuh dan ukuran maksimal yang dapat dicapai oleh komoditas perikanan tersebut (Balamurugan et al., 2004). Organisme monoseks dapat dihasilkan melalui metode manipulasi kelamin (sex reversal), dengan pendekatan hormonal sebelum diferensiasi kelamin. Hormon steroid yang diberikan, menyebabkan zigot dengan genotipe XX akan berkembang menjadi karakter jantan secara fenotipe, atau sebaliknya zigot dengan genotipe XY akan berkembang menjadi karakter betina secara fenotipe (Wichins and Lee, 2002). Hormon yang umum dipakai untuk sex reversal jantan adalah metiltestosteron (Antiporda, 1986). Metiltestosteron adalah hormon sintetis, yang dapat menyebabkan kerusakan hati hewan yang diberi perlakuan, serta hampir identik dengan hormon yang terdapat pada manusia. Akibatnya jika diberikan pada udang dan ikan konsumsi dengan manajemen salah, dapat mengganggu kesehatan manusia yang mengkonsumsinya. Hasil bioessai pada ayam, menunjukkan bahwa hormon sintetis memberikan efek samping toksik pada hati, limpa dan bursa fabricius (Riani et al., 2005). Berpedoman pada hal tersebut, sex reversal merupakan salah satu cara untuk meningkatkan produksi. Namun di lain pihak dapat berakibat buruk baik pada biota itu sendiri maupun manusia yang mengkonsumsinya. Oleh karena itu perlu dicari sumber steroid yang bersifat alami dan aman untuk sex reversal. Hasil uji Lieberman-Burchard dan hasil bioessai menggunakan anak ayam menunjukkan bahwa ekstrak teripang terbukti positif mengandung senyawa steroid. Rendemen terbesar diperoleh dari 1 kg jeroan basah sebesar 21,28 gr ekstrak kasar, yang mengandung steroid 6,124 mg/kg. Hasil analisis GC-MS dan NMR menunjukkan bahwa berat molekul steroid ekstrak teripang adalah 288,42 merupakan jenis testosteron. Memiliki proporsi daging dan jeroan 2,6 : 1, sehingga ekstrak testosteron diperoleh dari jeroan yang merupakan limbah pengolahan teripang (Riani et al., 2005). Untuk mengetahui tingkat keberhasilan sex reversal apabila menggunakan ekstrak steroid (testosteron) teripang, selanjutnya dicobakan pada komoditi perikanan yang banyak

14 14 diminati dan bernilai ekonomis tinggi yaitu udang galah (Macrobrachium rosenbergii de Man). Salah satu perbedaan morfologi udang galah adalah pada umur yang sama ukuran tubuh udang jantan lebih besar daripada ukuran tubuh betina. Maka akan lebih menguntungkan jika dilakukan budidaya udang galah jantan semua, sehingga biomass yang dihasilkan lebih besar dibandingkan budidaya udang galah betina saja atau campuran jantan dan betina (Balamurugan et al., 2004). 1.2 Perumusan Masalah Secara alami produksi benih udang galah sebagian besar merupakan individu betina, dengan perbandingan 1 jantan : 3 6 betina. Pada umur sama, ukuran tubuh betina lebih kecil dari individu jantan (Murni, 2004). Hal tersebut menyebabkan biomass yang dihasilkan lebih kecil, sehingga apabila dibudidayakan maka produksi tidak maksimal. Jika lingkungan budidaya sudah memenuhi syarat hidup dan pakan yang diberikan sudah mencukupi energi untuk pertumbuhan, maka budidaya monoseks jantan merupakan cara untuk memaksimalkan produksi. Steroid yang strukturnya sama dengan testosteron, telah berhasil diekstrak dari organ dalam tubuh (jeroan) teripang. Untuk lebih mengetahui efektivitasnya dalam sex reversal, perlu dicobakan pada komoditi perikanan yang banyak diminati, bernilai ekonomis tinggi dan mempunyai rasio populasi jantan dengan betina yang significant yaitu udang galah. Efektivitas sex reversal ditentukan oleh dosis, waktu dan metode pemberian hormon. Untuk itu dilakukan penelitian dalam rangka menentukan dosis, waktu dan metode pemberian hormon testosteron yang tepat dari ekstrak jeroan teripang pada udang galah, serta mendeteksi konsentrasi testosteron dalam hemolymph, dan melihat efek efek negatif yang mungkin ditimbulkan setelah pemberian hormon. 1.3 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi sejauh mana hormon testosteron dari ekstrak jeroan teripang dapat meningkatkan jumlah udang galah jantan. 1.4 Perumusan Hipotesis Apabila pemberian hormon testosteron dari ekstrak jeroan teripang secara efektif dapat mempengaruhi zigot dan larva berkembang menjadi jantan, maka jumlah udang galah jantan akan lebih banyak dibanding udang galah betina.

15 15 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Biologi Udang Galah Klasifikasi udang galah (Macrobrachium rosenbergii de Man) menurut Barnes (1987) adalah sebagai berikut; filum Arthropoda, kelas Crustacea, ordo Decapoda, famili Palaemonidae, genus Macrobrachium, species Macrobrachium rosenbergii de Man. Ciri khusus udang galah yang berbeda dengan jenis udang lain adalah bentuk rostrum panjang dan melengkung. Rostrum bagian atas terdapat gerigi bagian bawah terdapat 8 14 gerigi. Bagian dada terdapat lima pasang kaki jalan (periopoda), bagian badan (abdomen) terdiri lima ruas masing masing dilengkapi kaki renang (pleiopoda). Perbedaan morfologi udang galah jantan dengan betina, terlihat dari bentuk badan, bentuk dan ukuran kaki jalan kedua (Gambar 1), serta letak alat kelamin (Wichins and Lee, 2002). Jantan Betina Gambar 1. Perbedaan morfologi udang galah jantan dan betina. Siklus hidup udang galah secara alami memerlukan lingkungan tawar dan air payau, tumbuh dan dewasa di perairan tawar sungai atau rawa yang berhubungan langsung dengan laut. Pada Gambar 2 terlihat bahwa udang galah muda (juvenile) beruaya ke air tawar, selanjutnya menjadi dewasa dan matang gonad memijah di sungai atau danau. Induk betina yang telah memijah dan mengerami telur, selanjutnya kembali beruaya ke muara sungai untuk melepas telurnya. Larva baru menetas segera mencari lingkungan hidup yang sesuai, yaitu air payau, untuk tumbuh menjadi pasca larva (juvenile) setelah melewati perkembangan larva stadium I sampai XI. Setiap tahap perkembangan terjadi pergantian kulit yang diikuti perubahan struktur morfologis. Juvenile selanjutnya beruaya kembali ke air tawar (D Abramo et al., 2001).

16 16 Gambar 2. Siklus hidup udang galah (Murni, 2004). Jenis kelamin jantan dan betina udang galah terpisah secara nyata pada individu yang berbeda (diocious). Alat kelamin jantan (petasma) berfungsi untuk menyalurkan sperma ke alat kelamin betina (thelicum) yang berfungsi untuk menampung sperma sebelum terjadi pembuahan. Telur yang keluar dari saluran telur (oviduct) selanjutnya dibuahi oleh sperma yang telah tersimpan. Pembuahan terjadi di luar tubuh (external). Telur yang telah dibuahi selanjutnya dierami induk betina sampai menetas (Wichins and Lee, 2002). Fekunditas udang galah tergantung ukuran, umur dan ketersediaan makanan. Semakin besar induk maka fekunditas semakin besar, dan jumlah telur berbanding konstan dengan bobot tubuh. Induk berbobot 50 g mampu menghasilkan telur antara butir (Graziani et al., 2003), atau yang mempunyai panjang cm mampu menghasilkan telur butir (Murni, 2004). Gambar 3 menunjukkan perbedaan bentuk dan letak alat kelamin udang galah jantan dengan betina, apabila dilihat dari sisi lateral dan abdominal. Dari sisi lateral (i), alat kelamin jantan terlihat lebih menonjol dari alat kelamin betina. Dari sisi abdominal (ii), terlihat alat kelamin jantan berbentuk bulat kecil agak memanjang dan terletak di antara kaki jalan ke-4 dan ke-5. Alat kelamin betina berbentuk bulatan besar dan terletak di antara kaki jalan ke-3.

17 17 (i) (A) (ii) (i) (ii) (B) Gambar 3. Alat kelamin udang galah dilihat dari sisi lateral (i) dan abdominal (ii). A: Petasma pada udang jantan terletak antara kaki jalan ke 4 dan 5, B: Thelicum pada udang betina terletak antara kaki jalan ke 3 (Susilowati, 1996). Kematangan gonad betina dicapai pada bobot tubuh 20 g, tetapi fekunditas terbaik untuk pembenihan dicapai pada bobot tubuh 40 g (Mossolin and Bueno, 2002; Graziani et al., 2003) dan panjang tubuh 18,1 22,9 cm (Wichins and Lee, 2002). Berdasar hasil penelitian, pada panjang tubuh 15,5 cm telah dapat melakukan pemijahan (Murni, 2004). Kriteria tingkat kematangan gonad (TKG) udang galah disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Tahap awal (a) dan akhir (b) tingkat kematangan gonad (TKG) udang galah (Murni, 2004) No TKG Keterangan 1 Garis ovari kelihatan berwarna hijau kehitaman, selanjutnya volume bertambah besar. Pada akhir stadia pertama garis ini sudah jelas dan terlihat memanjang pada bagian dorsal dari cephalothorax Ia b IIa b IIIa b IVa b Warna dan bentuk ovari semakin tebal dan jelas. Pada akhir stadia kedua warna ovari tampak kuning dan bentuknya semakin melebar ke arah belakang rostrum. Warna ovari kuning tua dan volumenya berkembang ke arah samping cephalothorax. Di akhir stadia ke- 3 warna ovari dan organ eksternalnya (telikurri) menjadi merah oranye, spermatofor semakin berkembang dan siap memijah Pada stadium ke-4 ini sudah terjadi ovulasi. Warna dan bentuk gonad mengalami perubahan yaitu warna semakin pucat dan volumenya semakin mengecil yang ditandai adanya garis putusputus dan tanda tersebut akan hilang dalam waktu dua hari

18 18 Pada kondisi budidaya, udang galah mengkonsumsi baik jasad hewan maupun tumbuhan seperti, cacing, moluska, krustase, daging dan organ dalam ikan, binatang lain, biji bijian, beras, gandum, daging kelapa, buah buahan, dan pelet. Untuk mendeteksi pakan, udang galah dilengkapi dengan sepasang kaki jalan 1 dan 2. Pakan dideteksi dari rambut sensor pada kedua pasang kaki jalannya (Wichins and Lee, 2002). 2.2 Morfologi dan Pemanfaatan Teripang Morfologi teripang pasir (Holothuria scabra, Jaeger) menurut Skewes et al.(2004) adalah bulat panjang (elongated cylindrical) sepanjang sumbu oral aboral. Mulut dan anus terletak di ujung poros berlawanan, yaitu mulut di anterior dan anus di posterior. Di sekitar mulut teripang terdapat tentakel yang dapat dijulurkan dan ditarik dengan cepat. Tentakel merupakan modifikasi kaki tabung yang berfungsi untuk menangkap pakan. Warna teripang berbeda beda, yaitu putih, hitam, coklat kehijauan, kuning, abu abu, jingga, ungu, bahkan ada yang berpola garis. Teripang pasir mempunyai dorsal berwarna abu abu kehitaman dengan bintik putih atau kuning (Purwati, 2005), seperti yang terlihat pada Gambar 4. (a) (b) Gambar 4. Teripang pasir (Holothuria scabra, Jaeger) di alam (a)(skewes et al., 2004), dan teripang pasir beku yang akan diekstrak (b) Permukaan tubuh teripang tidak bersilia dan diselimuti lapisan kapur, yang ketebalannya dipengaruhi umur. Dari mulut membujur ke anus terdapat lima deret kaki tabung (ambulaceral), tiga deret kaki tabung berpenghisap (trivium) terdapat di perut berperan dalam pergerakan dan perlekatan. Dua deret kaki tabung terdapat di punggung (bivium) sebagai alat respirasi. Di bawah lapisan kulit terdapat satu lapis otot melingkar dan lima lapis otot memanjang. Di bawah lapisan otot terdapat rongga tubuh yang berisi organ tubuh seperti gonad dan usus (Barnes, 1987 dan Conand, 1990), seperti yang terlihat pada Gambar 5.

19 19 Gambar 5. Organ tubuh teripang (Conand, 1990) Menurut James et al. (1994) teripang pasir mempunyai panjang maksimal 40 cm dan bobot saat kondisi hidup adalah 500 g, serta matang gonad saat usia 18 bulan. Ukuran saat matang gonad pertama diperkirakan 20 cm, dan usia teripang bisa mencapai 10 tahun. Zat gizi yang terkandung dalam teripang antara lain protein 6,16%, lemak 0,54%, karbohidrat 6,41% dan kalsium 0,01% (kondisi segar, kadar air 86,73%), teripang kering mempunyai kadar protein tinggi yaitu 82% dengan kandungan asam amino yang lengkap, dan asam lemak jenuh yang penting untuk kesehatan jantung. Selain itu teripang juga mengandung phosphor, besi dan yodium, natrium, kalium, vitamin A dan B, thiamin, riboflavin dan niacin (Wibowo dkk., 1997). Menurut Wibowo dkk. (1997), teripang mengandung bahan bioaktif (antioksidan) yang berfungsi mengurangi kerusakan sel jaringan tubuh. Hasil penelitian Kaswandi dkk. (2000) menunjukkan bahwa ekstraksi komponen antibakteri dari teripang (Holothuria vacabunda) cukup efektif menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli, Vibrio damsela, Vibrio harveyi, Vibrio parahaemolyticus dan Vibrio charcariae. Ekstrak teripang juga menunjukkan aktivitas antiprotozoa dan menghambat pertumbuhan sel tumor. Pemanfaatan dan penelitian tentang teripang telah dimulai sejak lama. Etnis Cina

20 20 tercatat mengenal teripang sebagai makanan berkhasiat medis sejak dinasti Ming. Tubuh dan kulit teripang Stichopus japonicus banyak mengandung asam mukopolisakarida yang bermanfaat untuk penyembuhan penyakit ginjal, anemia, diabetes, paru-paru basah, anti tumor, anti inflamasi, pencegahan penuaan jaringan tubuh dan mencegah arteriosclerosis, sedangkan ekstrak murninya menghasilkan holotoksin yang efeknya sama dengan antimisin dosis 6,25-25,00 µg/ml (Wibowo dkk., 1997). Sampai saat ini, penelitian teripang yang sudah dilakukan masih terbatas pada teknik budidaya, daerah penyebaran dan ekologi, teknologi pengolahan (Purwati, 2005), aktivitas antibakteri Cucumaria frondosa (Kaswandi dkk., 2000), aktivitas antijamur Holothuria tubolosa (Lian et al., 2000), efek ekstrak ethanol Stichopus variegatus Semper (Jamiah et al., 2000), efek ekstrak methanol Holothuria atra dan Stichopus variegatus (Ping et al., 2000), aktivitas serum amyloid A Holothuria glaberrina, struktur glikosida Stichopus mollis, dan isolasi fucan sulphate Stichopus japonicus sebagai penghambat osteoclastogenesis (Tan et al., 2000). Di lain pihak penelitian mengenai pemanfaatan bahan aktif teripang pasir yang diyakini merupakan aprodisiaka (steroid) alami belum pernah dilakukan, karena baru sebatas pengalaman masyarakat pesisir (indigenous knowledge). 2.3 Manipulasi Kelamin Jenis kelamin berpengaruh penting dalam budidaya perikanan karena, antara jantan dan betina terdapat perbedaan laju pertumbuhan, pola tingkah laku dan ukuran maksimum yang bisa dicapai. Jenis kelamin ditentukan bersama oleh faktor genetis dan lingkungan, yang bekerja secara sinergis menentukan ekspresi fenotipe suatu karakter (Purdom, 1993). Peran faktor lingkungan menentukan ekspresi fenotipe jenis kelamin ikan dan udang, memungkinkan perubahan kelamin dilakukan tanpa mengubah genetisnya yaitu melalui pendekatan hormonal. Perubahan genetis dilakukan melalui persilangan antar spesies atau genus. Pendekatan hormonal dilakukan dengan cara pemberian steroid androgen maupun estrogen, sebelum diferensiasi kelamin (Purdom, 1993; Pandian and Koteeswaran, 2000). Hormon adalah bahan kimia organik, merupakan senyawa aktif biologis yang dihasilkan oleh bagian kelenjar, jaringan atau organ tertentu dari hewan dan manusia, bekerja pada konsentrasi kecil dan mempunyai cara kerja yang spesifik. Hormon mempunyai peranan yang sangat penting dalam pengaturan fisiologi, dan umumnya hormon bekerja sebagai aktivator spesifik atau inhibitor dari enzim (Murray et al., 2003). Hormon steroid meliputi hormon adrenal kortikal, androgen dan estrogen, yang dapat

21 21 larut dalam lemak. Klasifikasi hormon steroid berdasarkan respons fisiologis adalah sebagai berikut (Murray et al., 2003) : 1. Glucocorticoids, seperti cortical (C21) yang mengatur metabolisme protein, lemak dan karbohidrat, dan mempengaruhi fungsi-fungsi penting seperti reaksi inflammatory dan meredakan stress. 2. Aldosterone dan mineralcorticoids lainnya, mengatur pembuangan garam dan air melalui ginjal. 3. Androgen dan estrogen yang mengatur perkembangan dan fungsi seksual. Testosteron, komponen C19 merupakan hormon androgen (seks jantan). Hormon steroid merupakan turunan kolesterol, dengan rumus bangun berupa cincin siklopentana cyclopentanoperhydrophenanthrene (Turner and Bagnara, 1988) (Gambar 6). (a) (b) Gambar 6. Rumus bangun inti steroid (cyclopentanohydrophenanthrene) (a) dan testosterone (b) (Turner and Bagnara, 1988) Penggunaan hormon steroid dalam kegiatan reproduksi adalah untuk proses diferensiasi kelamin, pembentukan gamet, ovulasi, spermiasi, pemijahan, ciri kelamin sekunder, perubahan morfologis atau fisiologis saat musim pemijahan dan produksi feromon (Yamazaki, 1983; Matty, 1985). Pemberian hormon untuk sex reversal bertujuan mempengaruhi keseimbangan hormon dalam darah yang saat diferensiasi kelamin sangat menentukan individu tertentu akan menjadi betina atau jantan dengan cara memasukkan dari luar tubuh (Sumantadinata dan Carman, 1995; Rougeot et al., 2002) Diferensiasi kelamin meliputi seluruh aktivitas terkait dengan keberadaan gonad, seperti perpindahan awal sel nutfah, munculnya bagian tepi gonad dan diferensiasi gonad menjadi ovari atau testis. Diferensiasi kelamin dapat melalui dua jalan berbeda, pertama gonad langsung berdiferensiasi menjadi ovari atau testis, yang kedua gonad berdiferensiasi menjadi ovari kemudian menjadi testis. Ragam diferensiasi sangat ditentukan kondisi periode labil tiap spesies karena efektivitas kerja hormon steroid (Rougeot et al., 2002).

22 22 Diferensiasi kelamin beberapa spesies ikan dapat dimulai saat embrio, setelah penetasan (larva), juvenil, bahkan dewasa. Gambar 7 menunjukkan beberapa spesies ikan teleostei mulai berdiferensiasi saat tahap embriogenesis yaitu, Poecilia reticulata dan Onchorhynchus kisutch, tetapi ada juga yang mulai berdiferensiasi saat juvenile yaitu, Dicentrarchus labrax, Mugil cephalus dan Anguilla anguilla. Pemberian hormon steroid untuk mengubah jenis kelamin dilakukan sebelum kelamin ikan berdiferensiasi, sehingga dapat mengarahkan pembentukan kelamin ikan seperti yang dikehendaki secara optimal. Gambar 7. Waktu mulai diferensiasi kelamin beberapa spesies ikan teleostei (Pifferrer, 2001) Pada udang galah, jaringan gonad yang belum berdiferensiasi masih labil untuk jangka pendek, tetapi perkembangan akan terus meningkat sejalan bertambahnya umur. Determinasi gen jantan udang galah tidak berfungsi baik selama periode larva ke pascalarva, tetapi muncul kemudian saat awal perkembangan juvenil (Mantel and Dudgeon, 2005). Interval waktu perkembangan gonad sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pemberian hormon, terutama saat gonad dalam keadaan labil. Hal tersebut terkait erat dengan fungsi hormon steroid sebagai perangsang diferensiasi kelamin (Antiporda, 1986). Perubahan fungsi kelamin udang galah dengan morfologi kelamin sekunder mendekati lengkap terjadi saat panjang karapas 15 mm 17 mm (Mantel and Dudgeon,

23 ). Menurut Piferrer (2001), sensitivitas hormon steroid eksogenus terhadap diferensiasi kelamin tergantung pada fase perkembangan gonad. Saat gonad belum terbentuk, sensitivitas belum kelihatan, begitu terbentuk gonad maka sensitivitas hormon mulai ada selanjutnya terus meningkat hingga mencapai puncak pada fase diferensiasi kelamin secara fisiologis (Gambar 8). Gambar 8. Sensitivitas tahapan diferensiasi kelamin terhadap hormon steroid pada teleostei (Pifferrer, 2001) Gambar 8 menunjukkan grafik sensitivitas gonad terhadap pemberian hormon steroid, dimana sensitivitas tertinggi terjadi saat sebelum diferensiasi kelamin secara fisiologis dan secara histologis. Berdasar hal tersebut, maka perlakuan hormon akan memberikan efek pengubahan kelamin tertinggi jika diberikan tepat sebelum tahap diferensiasi kelamin secara fisiologis. Penggunaan hormon steroid pada udang dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti lewat mulut (oral), penyuntikan (injection) dan perendaman (dipping). Dosis hormon yang diberikan tidak boleh berlebihan karena dapat menimbulkan tekanan pada pembentukan gonad, efek paradoksial, pertumbuhan rendah dan kematian tinggi (Wichins and Lee, 2002). Penggunaan hormon dengan waktu lebih singkat ternyata lebih efektif, diduga ada hubungan terbalik antara dosis dan lama waktu perlakuan, sehingga perlakuan hormon dosis tinggi membutuhkan waktu lebih singkat. Terjadinya ikan intersex umumnya akibat pemberian hormon steroid dosis rendah (suboptimum) (Yamazaki, 1983).

24 24 3 METODOLOGI Penelitian dilakukan di Sub Unit Pembenihan Udang Galah (SUPUG) Pelabuhan Ratu, Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi, dari bulan Juli 2006 sampai bulan Januari Penelitian terbagi dalam dua bagian yang berbeda, yaitu mengamati efektivitas hormon testosteron yang diberikan pada calon induk udang galah untuk mengubah kelamin menjadi jantan saat fase embrio (penelitian I) dan mengamati efektivitas hormon testosteron yang diberikan pada juvenil udang galah untuk mengubah kelamin menjadi jantan sebelum terjadi diferensiasi (penelitian II). 3.1 Penelitian I a. Metode Penelitian Metode dan Disain Penelitian Perlakuan pemberian testosteron pada calon induk udang dilakukan melalui penyuntikan pada saat matang gonad (Gambar 9). Perlakuan yang dicobakan adalah sebagai berikut: A. Penyuntikan testosteron teripang dengan dosis 0 (kontrol negatif). B. Penyuntikan testosteron teripang dengan dosis 5 mg/kg induk. C. Penyuntikan testosteron teripang dengan dosis 10 mg/kg induk. D. Penyuntikan testosteron teripang dengan dosis 15 mg/kg induk. E. Penyuntikan 17a-metiltestosteron dengan dosis 15 mg/kg induk (kontrol positif). Gambar 9. Calon induk udang galah matang gonad

25 25 Calon induk udang galah yang digunakan berukuran panjang kurang lebih 12-14cm dengan bobot tubuh kurang lebih 20 35g, yang sebelumnya telah diadaptasikan. Setiap calon induk matang gonad disuntik hormon testosteron sesuai perlakuan, dan selanjutnya dimasukkan ke bak pengamatan secara acak. Salinitas dalam bak pengamatan dibuat 5g/kg, setelah telur menetas salinitas ditingkatkan menjadi 10g/kg. Pakan yang diberikan pada induk berupa daging cumi cumi dengan dosis ad libitum. Pakan larva umur 3 12 hari berupa naupli artemia, setelah 12 hari dilanjutkan dengan pakan buatan. Variasi jumlah pakan per ekor larva per hari dan komposisi pakan buatan untuk juvenil udang galah dapat dilihat pada Lampiran 1. Satuan Penelitian Jumlah calon induk udang galah yang digunakan dalam penelitian sebanyak 35 ekor betina dan 35 ekor jantan. Setiap bak pengamatan digunakan untuk memelihara 1 ekor induk betina. Pengamatan perkembangan gonad, penetasan dan pemeliharaan larva menggunakan bak fiber kapasitas 2 ton sebanyak 20 unit. Untuk pengamatan menggunakan 15 bak, dan 5 bak digunakan untuk sediaan stok pengambilan sampel. Pemeliharaan juvenil, di bak beton yang disekat menjadi 15 petak, panjang 1,5 meter, lebar 1,0 meter dan kedalaman 1,5 meter. Padat tebar juvenil adalah 200 ekor setiap petak. Disain Waktu Evaluasi Calon induk dipelihara dalam bak pengamatan selama 20 hari atau sampai larva dilepaskan ke air. Evaluasi tingkat kematangan gonad (TKG) dilakukan setiap hari, dengan cara mengamati perubahan fase gonad yang terlihat dari morfologinya, yakni volume dan warnanya dalam gonad. Setelah larva dilepaskan ke air, induk dan larva segera diambil, endapan di dasar bak disifon, selanjutnya bak dibersihkan. Setelah dikeringkan sekitar 1 jam, bak kembali diisi air, jumlah larva dihitung dan dikembalikan ke dalam bak. Induk diambil hemolymphnya, jumlah telur yang tidak dibuahi dan gagal menetas, serta larva yang mati dihitung. Jumlah telur yang menetas dihitung 24 jam setelah proses pelepasan ke air, selanjutnya perhitungan jumlah dan ukuran larva hidup dilakukan setiap 10 hari selama 60 hari masa pemeliharaan. Masa pemeliharaan juvenil selama kurang lebih 60 hari. Selama penelitian dilakukan pengukuran suhu, oksigen terlarut dan ph setiap hari sebelum pemberian pakan pada pagi hari jam wib dan sore hari jam wib.

26 26 Parameter Penelitian Parameter Utama - nisbah kelamin jantan (jumlah kelamin jantan dan betina) A J (%) = x 100% T keterangan : J : persentase jenis kelamin jantan (%) A : jumlah udang berkelamin jantan T : jumlah sample udang yang diamati - fekunditas (bobot calon induk dan jumlah telur) Fekunditas (butir/g induk) = S telur yang diovulasikan (butir) / bobot induk (g) S telur (butir) = Bp ( Ps xgc) x Yt keterangan : Bp = volume air wadah pemijahan Ps = frekuensi pengambilan contoh Gc = volume air sample pada gelas ukur Yt = jumlah telur rata-rata sampel - derajat pengeraman (jumlah telur yang dierami) Derajat pengeraman (%) = Total telur dibuahi Total telur diovulasikan x 100% - hatching rate (jumlah telur yang menetas) Hatching rate (%) = Total telur menetas Total telur diovulasikan x 100% - survival rate (jumlah larva dan juvenil yang hidup selama penelitian) Survival rate (%) = Total udang hidup Total telur menetas x 100% Parameter Penunjang - ukuran telur Diameter telur diukur menggunakan mikrometer, berat diukur dengan neraca analitik. - pertumbuhan larva dan juvenil (panjang dan berat tubuh) Untuk mengetahui pertumbuhan udang galah, dilakukan dengan mengukur pertambahan panjang dan berat tubuh.

27 27 Selanjutnya dihitung rata rata pertumbuhan hariannya/average daily gain (ADG) menggunakan rumus; wt ADG = t 1 x 100% wo keterangan: ADG = rata rata pertumbuhan harian wo = bobot tubuh awal (mg) wt = bobot tubuh akhir (mg) t = waktu pemeliharaan (hari) - konsentrasi testosteron dalam hemolymph induk pasca pelepasan larva Analisis konsentrasi testosteron dalam hemolymph saat induk matang gonad, masa inkubasi dan setelah pelepasan larva. Tahap pengambilan hemolymph dan pengukuran konsentrasi testosteron dalam hemolymph, dapat dilihat pada Lampiran 2. - efek negatif akibat pemberian hormon (jumlah dan jenis kelainan morfologi juvenil) C (%) = T A x 100% keterangan : C : persentase udang cacat (%) A : jumlah udang cacat T : jumlah sample udang yang diamati - kualitas air (DO, ph dan suhu) Kualitas air diamati pada jam dan (WIB)yang meliputi; - dissolved oxygen (DO), - ph - Suhu b. Teknik Pengumpulan Data Bahan Hormon Steroid Hormon testosteron alami diperoleh dari ekstrak organ dalam (jeroan) teripang pasir (Holothuria scabra Jaeger), sedangkan hormon sintetis yang digunakan sebagai kontrol adalah 17a-metiltestosteron. Teripang pasir didatangkan dari Jakarta dan Lampung. Tahapan ekstraksi hormon steroid teripang disajikan pada Lampiran 3.

28 28 Udang Uji Udang galah yang digunakan merupakan calon induk hasil budidaya di Sukabumi. Larva dan juvenil yang diamati merupakan hasil penetasan telur induk selama penelitian. Pakan Calon induk udang galah diberi pakan segar daging cumi, dengan dosis ad libitum. Pakan yang diberikan pada larva umur 3 12 hari berupa naupli artemia, setelah 12 hari diberi pakan buatan. Frekuensi pakan larva 3 kali sehari, jam wib, wib dan wib. Frekuensi pemberian pakan juvenil 2 kali sehari, jam dan wib. Air Media Pemeliharaan Calon induk udang galah dipelihara dalam air tawar bersalinitas 0. Pada bak pengamatan digunakan media pemeliharaan air payau bersalinitas 5 g/kg. Setelah telur menetas menjadi larva sampai akhir penelitian, salinitasnya dinaikkan menjadi 10 g/kg. Wadah Pemeliharaan Wadah pemeliharaan calon induk udang galah sebelum perlakuan berupa bak beton berkapasitas 10 ton berukuran 2,5 m x 4,0 m dan tinggi 1,0 m. Wadah penetasan telur dan pemeliharaan larva (bak pengamatan) berupa bak fiber berkapasitas 2 ton diameter 2,0 m. Wadah pemeliharaan juvenil adalah bak beton yang disekat menjadi 15 petak, panjang 1,5 meter, lebar 1,0 meter dan kedalaman 1,5 meter. Metode Pengukuran Pada penelitian ini jumlah udang jantan dihitung berdasarkan karakter kelamin sekunder, yaitu adanya appendix masculinus yang terdapat pada kaki renang ke-2 (Lampiran 4). Variabel penelitian yang lain diukur menggunakan metode tertentu. Untuk lebih jelasnya variabel penelitian dan metode pengukurannya dapat dilihat pada Tabel 2. Prosedur Pelaksanaan - persiapan bak pemeliharaan Persiapan bak meliputi bak pemeliharaan calon induk (bak adaptasi), bak penetasan dan bak pemeliharaan larva (bak pengamatan), serta corong penetasan artemia. Bak dicuci agar bebas kotoran dan bakteri yang merugikan, menggunakan kaporit (CaOCl) 10 ppm. Dibilas dengan air bersih, setelah itu dibiarkan selama 1 jam baru digunakan.

29 29 - persiapan air media pemeliharaan Pada kegiatan penetasan dipersiapkan air payau dengan salinitas 5 g/kg, sedangkan saat pemeliharaan larva dan juvenil dipersiapkan air payau dengan salinitas 10 g/kg. - seleksi calon induk Seleksi calon induk udang galah dilakukan secara morfologis, berdasarkan ciri ciri morfologisnya seperti ukuran panjang dan berat, kelengkapan organ, kulit luar dan umur. Tabel 2. Parameter yang diamati dan metode yang digunakan untuk mengukur variabel penelitian I No Variabel penelitian Metode pengukuran 1 Jumlah udang jantan dan betina Pengamatan jenis kelamin juvenil secara morfologis. Jumlah sampel 30 ekor 2 Fekunditas : - Bobot induk udang galah - Jumlah telur Diukur menggunakan timbangan meja dengan ketelitian 0,1 mg Mengambil larva dan telur menggunakan saringan, selanjutnya hasil dijumlahkan. 3 Derajat pengeraman Mengambil telur yang tidak menetas dari dasar bak menggunakan slang sifon. 4 Hatching rate Mengambil larva baru menetas menggunakan saringan halus. 5 Survival rate Mengambil larva mulai 48 jam setelah penetasan sampai akhir penelitian. 6 Ukuran telur Diukur menggunakan mikroskop yang dilengkapi mikrometer dan neraca analitik 7 Pertumbuhan Diukur menggunakan mikroskop yang dilengkapi mikrometer, mistar dan neraca analitik 8 Konsentrasi testosteron dalam Diukur menggunakan testosteron kit hemolymph induk 9 Efek negatif pemberian hormon : - jumlah juvenil cacat - jenis kelainan morfologi Diamati menggunakan kaca pembesar Diukur menggunakan; DO meter ph meter thermometer 10 Kualitas air : - oksigen terlarut (DO) - ph - suhu - pelaksanaan penelitian dan pengumpulan data Calon induk udang galah diadaptasikan dan dipelihara dalam bak secara massal. Induk yang telah matang gonad, disuntik dengan hormon sesuai dengan perlakuan. Tahapan penyuntikan induk dapat dilihat pada Lampiran 5. Selanjutnya induk yang telah

30 30 disuntik, dimasukkan bak pengamatan dengan kepadatan 1 ekor/bak. Induk yang telah melepaskan larva diambil sampel hemolymphnya, dan dipindah ke bak adaptasi. Telur dalam bak pengamatan dihitung jumlah total dan jumlah yang dierami, serta dilakukan pengukuran diameter dan beratnya, serta penetasan siste artemia. Setelah proses penetasan telur selesai, dilakukan perhitungan hatching rate dan survival rate, serta pengamatan pertumbuhan. Pengamatan jenis kelamin dimulai saat udang galah berumur 120 hari. Pada akhir penelitian, dilakukan pengamatan kelainan morfologis akibat perlakuan hormon. c. Analisis Data Untuk mengetahui apakah perlakuan hormon memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah udang galah jantan, maka dilakukan analisis statistik. Untuk mengetahui apakah perlakuan hormon juga berpengaruh nyata pada aspek reproduksi, maka dilakukan analisis statistik mengenai fekunditas, derajat pengeraman, hatching rate, dan survival rate. Ukuran telur, pertumbuhan larva, kandungan testosteron hemolymph, jumlah udang cacat, kualitas air dianalisis secara deskriptif dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar. 3.2 Penelitian II a. Metode Penelitian Metode dan Disain Penelitian Perlakuan hormon pada juvenil udang galah dengan metode perendaman (dipping), selama 24 jam. Perlakuan perendaman yang diujikan adalah sebagai berikut: A. Juvenil direndam dalam air tanpa diberi hormon steroid (kontrol negatif). B. Juvenil direndam dalam air yang telah diberi larutan ekstrak steroid teripang dengan konsentrasi 1 mg/l selama 24 jam. C. Juvenil direndam dalam air yang telah diberi larutan ekstrak steroid teripang dengan konsentrasi 2 mg/l selama 24 jam. D. Juvenil direndam dalam air yang telah diberi larutan ekstrak steroid teripang dengan konsentrasi 3 mg/l selama 24 jam. E. Juvenil direndam dalam air yang telah diberi larutan hormon 17a-metiltestosteron dengan konsentrasi 2 mg/l selama 24 jam (kontrol positif).

31 31 Satuan Penelitian Penelitian menggunakan bak pengamatan bervolume 15 l sebanyak 15 unit. Jumlah juvenil udang galah yang digunakan dalam penelitian sebanyak 900 ekor. Setiap bak digunakan untuk memelihara 60 ekor juvenil. Disain Waktu Evaluasi Juvenil udang galah dipelihara selama 60 hari atau sampai ciri kelamin sekundernya terlihat jelas. Evaluasi survival rate dilakukan setiap 10 hari sampai akhir penelitian. Penyifonan dasar bak dilakukan setiap hari pada pagi hari sebelum pemberian pakan. Pengukuran suhu, oksigen terlarut dan ph dilakukan setiap hari sebelum pemberian pakan pada pagi hari jam wib dan sore hari jam wib. Parameter Penelitian Parameter Utama - nisbah kelamin jantan (jumlah kelamin jantan dan betina) J (%) = T A x 100% keterangan : J : persentase jenis kelamin jantan (%) A : jumlah udang berkelamin jantan T : jumlah sample udang yang diamati - survival rate (jumlah udang yang hidup selama penelitian) Survival rate (%) = Total udang hidup Total udang hidup + total udang mati x 100% Parameter Penunjang - pertumbuhan juvenil (panjang dan berat tubuh) Untuk mengetahui pertumbuhan udang galah, dilakukan dengan mengukur pertambahan panjang dan berat tubuh. Selanjutnya dihitung rata rata pertumbuhan hariannya/average daily gain (ADG) menggunakan rumus; ADG = t wt 1 x 100% wo keterangan: ADG = rata rata pertumbuhan harian wo = bobot tubuh awal (mg) wt = bobot tubuh akhir (mg) t = waktu pemeliharaan (hari)

32 32 - efek negatif akibat pemberian hormon (jumlah dan jenis kelainan morfologi) C (%) = A x 100% T keterangan : C : persentase udang cacat (%) A : jumlah udang cacat T : jumlah sample udang yang diamati - kualitas air (DO, ph dan suhu) Kualitas air yang diamati meliputi; - Dissolved Oxygen (DO), frekuensi 2 kali/hari jam dan (WIB) - ph, frekuensi pengamatan 2 kali/hari jam dan (WIB) - Suhu, frekuensi pengamatan 2 kali/hari jam dan (WIB) b. Teknik Pengumpulan Data Bahan Hormon Steroid Hormon testosteron alami diperoleh dari ekstrak organ dalam (jeroan) teripang pasir, sedangkan hormon sintetis yang digunakan adalah 17a-metiltestosteron. Udang Uji Udang galah (Macrobrachium rosenbergii, de Man) yang digunakan merupakan juvenil hasil budidaya di Sukabumi berukuran panjang kurang lebih 12 mm. Pakan Pakan yang diberikan pada udang berupa pakan buatan, frekuensi pemberian pakan 2 kali sehari yaitu pada jam wib dan wib. Air Media Pemeliharaan Air media dalam bak adaptasi dan bak pengamatan bersalinitas 10 g/kg. Wadah Pemeliharaan Wadah pemeliharaan udang galah sebelum perlakuan (bak adaptasi), berupa bak fiber berkapasitas 1 ton diameter 2 m. Wadah pemeliharaan udang setelah perlakuan hormon, berupa bak plastik bervolume 15 l.

33 33 Metode Pengukuran Pada penelitian ini ada beberapa variabel yang diukur menggunakan metode tertentu. Untuk lebih jelasnya variabel penelitian dan metode pengukurannya dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Parameter yang diamati dan metode yang digunakan untuk mengukur variabel penelitian II No Variabel Penelitian Metode Pengukuran 1 Jumlah udang jantan dan betina Pengamatan jenis kelamin juvenil secara morfologis. Jumlah sampel 30 ekor. 2 Survival rate Menghitung udang yang mati, dimulai setelah perlakuan sampai akhir penelitian. 3 Pertumbuhan Diukur mengunakan mistar dan neraca analitik 4 Efek negatif pemberian hormon : - jumlah udang cacat - macam kelainan morfologi Diamati menggunakan kaca pembesar. 5 Kualitas air : - oksigen terlarut (DO) - ph - suhu DO meter ph meter thermometer Prosedur Pelaksanaan - persiapan wadah pemeliharaan Persiapan wadah meliputi bak adaptasi, bak pengamatan dan bak penetasan artemia. Bak dicuci agar bebas dari kotoran dan bakteri yang merugikan, menggunakan kaporit (CaOCl) 10 ppm. Dibilas dengan air bersih, dan dibiarkan hingga 24 jam baru digunakan. - persiapan air media pemeliharaan Mempersiapkan air media pemeliharaan dalam bak adaptasi dan bak pengamatan bersalinitas 10 g/kg. - seleksi juvenil Seleksi juvenil udang galah dilakukan secara morfologis, berdasarkan ciri ciri morfologisnya seperti ukuran panjang, kelengkapan organ, warna tubuh dan umur. - pelaksanaan penelitian dan pengumpulan data Juvenil udang galah dipelihara dalam bak adaptasi secara massal, selanjutnya diberi perlakuan perendaman hormon testosteron sesuai perlakuan yang telah ditentukan. Tahapan perendaman juvenil menggunakan hormon disajikan pada Lampiran 6.

34 34 Kepadatan juvenil dalam bak pengamatan adalah 60 ekor per 15 liter. Selanjutnya juvenil diberi pakan sesuai dengan jenis dan dosis yang telah ditentukan. Jumlah udang dalam bak pengamatan selanjutnya dihitung setiap hari, dan setiap 10 hari diukur panjang dan berat tubuhnya. Selanjutnya dilakukan perhitungan survival rate. Udang dibesarkan selama 60 hari atau sampai dapat dibedakan jenis kelamin serta diamati efek negatif akibat perlakuan hormonnya. Efek negatif yang mungkin timbul didasarkan pada kelainan morfologis udang atau cacat organ. Jenis kelamin berdasarkan pada ciri kelamin sekunder, yaitu keberadaan appendix masculinus pada kaki renang kedua. c. Analisis Data Untuk mengetahui apakah perlakuan hormon memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah udang galah jantan, maka dilakukan analisis statistik. Untuk mengetahui apakah perlakuan hormon juga berpengaruh nyata pada kehidupan udang, maka dilakukan analisis statistik mengenai survival rate. Data mengenai pertumbuhan, jumlah udang cacat, kualitas air dianalisis secara deskriptif dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar.

35 35 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian I a. Nisbah Kelamin Jantan Berdasarkan hasil identifikasi keberadaan appendix masculinus yang merupakan ciri kelamin sekunder pada individu jantan, memperlihatkan bahwa persentase jenis kelamin jantan secara umum lebih tinggi dibanding kontrol (Tabel 4). Tabel 4. Persentase udang galah berkelamin jantan Ulangan Rataan Perlakuan (%) A 30,00 36,67 40,00 35,56 B 33,33 53,33 40,00 42,22 C 73,33 56,67 60,00 63,33 D 56,67 46,67 43,33 48,89 E 43,33 46,67 56,67 48,89 Keterangan : A : Tanpa hormon steroid (kontrol negatif) B : Ekstrak steroid teripang 5 mg/1 kg induk C : Ekstrak steroid teripang 10 mg/1 kg induk D : Ekstrak steroid teripang 15 mg/1 kg induk E : Hormon 17 a Metiltestosteron 15 mg/1 kg induk (kontrol positif) Hasil analisis data pada Tabel 4 dengan taraf kepercayaan 95%, menunjukkan bahwa perlakuan memberi perbedaan yang nyata terhadap persentase udang galah jantan (Lampiran 7a). Selanjutnya, untuk perlakuan-perlakuan yang memberikan perbedaan nyata dilanjutkan dengan analisis beda nyata terkecil (BNT). Hasil analisis BNT menunjukkan bahwa perlakuan C berbeda nyata dengan perlakuan D, B dan A (Lampiran 7b). Hasil analisis tersebut membuktikan bahwa ekstrak steroid teripang memberikan respons positif terhadap peningkatan persentase udang galah jantan. Persentase udang jantan hasil pemberian ekstrak steroid teripang 10 mg/kg induk (perlakuan C) adalah 63,33%. Hasil ini lebih tinggi dibanding pemberian 17a-metiltestosteron 15 mg/kg induk (perlakuan E), yaitu 48,89%. Diduga penyuntikan ekstrak steroid teripang 10 mg/kg induk merupakan dosis yang optimal dibanding perlakuan yang lain, sehingga dapat memberikan efek penjantanan yang maksimal dibanding perlakuan yang lain. Menurut Nakamura et al. (1998) pemberian hormon steroid dengan dosis yang rendah tidak akan mampu untuk membentuk populasi

36 36 jantan secara maksimal, dan dapat menyebabkan terbentuknya individu interseks. Sebaliknya dosis yang terlalu tinggi akan menyebabkan efek kebalikan dari populasi yang diharapkan, dan terbentuknya individu steril. Untuk lebih jelasnya, peningkatan persentase udang jantan pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar Persentase jantan (%) A B C D E Perlakuan Gambar 10. Grafik persentase udang galah jantan Gambar 10 menunjukkan bahwa pemberian ekstrak steroid teripang ataupun hormon 17a-metiltestosteron, menggunakan metode injeksi dapat meningkatkan persentase jantan pada udang uji, walaupun hasilnya belum mencapai 100% jantan. Steroid teripang dan 17a-metiltestosteron merupakan hormon androgenik, sehingga bertambahnya level testosteron dalam tubuh udang galah dapat mengarahkan terbentuknya kelamin jantan. Mekanisme kerja hormon melalui dua cara yaitu masuk ke dalam telur melalui aliran darah dan difusi saat proses vitelogenesis. Matty (1985) menyatakan bahwa kerja hormon tidak harus melalui pembuluh darah, tetapi dapat beraksi dengan cara difusi melalui membran sel di sekitar tempat hormon beredar menuju ke organ target dan berinteraksi langsung dengan reseptor pada juctaposed cell. Penyuntikan hormon menyebabkan konsentrasi testosteron dalam tubuh induk tinggi, sehingga berpengaruh terhadap proses steroidogenesis selama vitelogenesis. Sintesis testosteron yang cukup tinggi oleh enzim 17ß-hydroxysteroid-dehydrogenase (17ß-HSD) dalam lapisan teka pada folikel telur, selanjutnya masuk dalam lapisan granulose. Walaupun dalam lapisan granulose testosteron diubah menjadi estradiol-17ß oleh enzim aromatase (Arukwe and Goksøyr, 2003), diduga sebagian testosteron tidak tersintesis karena konsentrasinya sangat tinggi serta produksi enzim aromatase terbatas (Tchoudakova and Callard, 1998). Selain itu, fungsi utama estradiol-17ß adalah memacu hipotalamus untuk memproduksi GnrH, selanjutnya GnrH yang dihasilkan bekerja untuk merangsang hipofisa

37 37 dalam memproduksi gonadotropin. Gonadotropin berperan dalam proses biosintesis estradiol-17ß pada lapisan granulose. Apabila gonadotropin telah cukup untuk mematangkan gonad, maka estradiol-17ß memacu hipotalamus untuk memproduksi gonadotropin releasing inhibitor faktor (GnRIF) (Quackenbush, 1991). Oleh karena itu, kebutuhan produksi estradiol-17ß semakin kecil setelah matang gonad, sehingga tidak semua testosteron disintesis oleh 17ß-HSD. Testosteron yang tidak disintesis selanjutnya masuk ke dalam telur, dan tertimbun dalam kuning telur bersama komponen yang lain (lipovitelin dan phosvitin). Penimbunan testosteron dalam telur, direspons oleh kelenjar androgenik udang yang terbentuk setelah telur terbuahi dan menetas menjadi larva dengan mengarahkan perkembangan kelamin menjadi jantan secara fenotipe (Ferezou et al., 1978 in Laufer and Landau, 1991). Hal tersebut menyebabkan peningkatan jumlah jantan fenotipe pada udang galah yang saat fase telur diberi perlakuan ekstrak steroid teripang dan hormon 17ametiltestosteron. Selanjutnya untuk membuktikan apakah perlakuan E memberikan pengaruh berbeda nyata dari kontrol, maka dilakukan uji t dengan taraf kepercayaan 95%. Hasil uji t membuktikan bahwa 17a-metiltestosteron tidak berbeda nyata dibanding kontrol negatif, terhadap peningkatan jumlah jantan fenotipe (Lampiran 7c). b. Fekunditas Fekunditas udang galah pada perlakuan A sampai E menunjukkan perbedaan kisaran dari 419 butir hingga 785 butir, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5. Perlakuan Tabel 5. Fekunditas induk udang galah Ulangan A B C D E Rataan (butir / g) Rataan fekunditas induk menunjukkan kisaran tidak terlalu besar yaitu 503 sampai 686 butir telur. Hasil analisis sidik ragam perlakuan A, B, C dan D menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (Lampiran 8a). Hal ini membuktikan bahwa ekstrak teripang tidak mempengaruhi kerja hormon ekditsteroid yang mengatur mekanisme

38 38 molting dan perkembangan embrio pada golongan krustase. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Raman (1967) dan Primavera (1979) bahwa, peningkatan konsentrasi hormon steroid dalam hemolymph udang sampai level tertentu, berkorelasi dengan kecepatan matang gonad, waktu ovulasi dan jumlah telur. Gambar 11 menunjukkan bahwa pemberian ekstrak steroid teripang menghasilkan fekunditas dari 503 butir (perlakuan E) sampai 686 butir (perlakuan D). Rerata Fekunditas (butir/g induk) A B C D E Perlakuan Gambar 11. Grafik rataan fekunditas induk udang galah Rendahnya fekunditas udang pada pemberian 17a-metiltestosteron 15 ppm, diduga disebabkan oleh efek pembentukan antibodi tubuh akibat masuknya hormon sintetis. Tubuh merespons hormon sintetis sebagai racun yang harus dinetralisir, akibatnya proses vitelogenesis terganggu dan berpengaruh terhadap telur yang terbentuk. Hasil penelitian Arukwe and Goksøyr (2003) membuktikan bahwa pemberian hormon sintetis pada zebra fish (Danio rerio), fathead minnow (Pimephales promelas) dan medaka (Oryzias latipes), mempengaruhi proses pembentukan telur. Saat proses vitelogenesis, kuning telur tetap terbentuk tetapi zona radiata protein tidak berkembang, akibatnya telur tumbuh tidak sempurna dan diserap kembali oleh tubuh. Pemberian ekstrak steroid teripang yang bersifat alami, terbukti tidak mengganggu proses vitelogenesis dan perkembangan telur udang galah, sehingga jumlah telur yang diovulasikan tetap tinggi. Selanjutnya untuk mengetahui apakah perlakuan E (kontrol positif) memberi pengaruh berbeda nyata dibanding perlakuan A (kontrol negatif), maka dilakukan uji t (Lampiran 8b). Hasil analisis uji t menunjukkan bahwa perlakuan E dan A berbeda nyata, sehingga terbukti bahwa 17a-metiltestosteron menyebabkan rendahnya fekunditas pada induk udang galah.

39 39 c. Derajat Pengeraman Persentase jumlah telur udang galah yang dierami pada perlakuan A sampai E menunjukkan kisaran dari 95,90% (perlakuan E) hingga 99,78% (perlakuan B) (Tabel 6). Tabel 6. Derajat pengeraman telur udang galah Perlakuan Ulangan Rataan (%) A 99,26 99,52 98,88 99,22 B 98,39 99,78 98,93 99,00 C 99,73 98,67 99,04 99,15 D 98,84 99,17 98,93 98,98 E 95,90 97,69 96,46 96,68 Hasil analisis sidik ragam perlakuan A, B, C dan D menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata pada derajat pengeraman telur udang galah (Lampiran 9a), walaupun pada masing masing perlakuan relatif tinggi seperti yang ditampilkan pada Gambar 12. Derajat Pengeraman (%) 99, , , , , , ,15 98,98 96,68 A B C D E Perlakuan Gambar 12. Grafik rataan derajat pengeraman telur udang galah Selanjutnya untuk mengetahui apakah perlakuan E (kontrol positif) memberikan pengaruh berbeda nyata dibanding perlakuan A (kontrol negatif), maka dilakukan uji t (Lampiran 9b). Hasil analisis uji t menunjukkan bahwa perlakuan E memberikan pengaruh nyata terhadap rendahnya jumlah telur yang dierami dibanding perlakuan A. Pemberian hormon 17a-metiltestosteron menyebabkan jumlah telur yang tidak terbuahi lebih tinggi dibanding pemberian ekstrak steroid teripang, walaupun kisarannya masih di atas 90%. Diduga telur telah mengalami penurunan kualitas saat masih dalam gonad induk. Telur yang tidak terbuahi langsung rontok setelah proses pembuahan, sehingga hanya telur telur yang terbuahi saja yang melekat di kaki renang induk (dierami) sampai proses penetasan.

40 40 Tabel 7 menunjukkan perbedaan morfologi telur yang terbuahi dan tidak terbuahi. Telur yang terbuahi mempunyai bulatan lebih sempurna dan korion yang masih utuh serta tidak mengkerut, sedangkan telur yang tidak terbuahi bulatannya sudah tidak sempurna karena mengalami pengkerutan dengan korion telah mengalami kerusakan. Warna kemerahan menunjukkan bahwa sel telur telah mati. Gambar Tabel 7. Telur udang galah yang terbuahi dan tidak terbuahi Keterangan Telur udang galah yang terbuahi. Ukuran Telur: Sumbu panjang (mm) : 0,53 (0,46 0,59) Sumbu pendek (mm) : 0,48 (0,42 0,58) Berat (mg) : 0,30 Warna : kuning muda Telur udang galah yang tidak terbuahi. Ukuran Telur: Sumbu panjang (mm) : 0,49 (0,46 0,56) Sumbu pendek (mm) : 0,45 (0,42 0,50) Berat (mg) : 0,28 Warna : kuning kemerahan Relatif tingginya telur yang tidak dierami pada pemberian hormon 17a-metiltestosteron dibanding kontrol dan pemberian ekstrak steroid teripang, diduga terkait dengan terjadinya hypercalcemia yaitu kelebihan kalsium dalam hemolymph. Sukendi (2003) menyatakan bahwa injeksi hormon sintetis menyebabkan terjadinya pengikatan kalsium dari komponen vitelogenin terfosforilasi sehingga konsentrasi dalam darah dan hati meningkat. Kalsium dalam hemolymph selanjutnya masuk ke dalam telur bersama vitelogenin, selanjutnya disintesis dalam endoplasmic reticulum menjadi phosphatidylserine yang kemudian mengasosiasi protein kinase terkait dengan pembentukan cangkang telur (Dygas, 2003). Semakin tinggi kalsium menyebabkan lapisan telur lebih tebal dan keras, sehingga elastisitasnya berkurang, akibatnya spermatozoa kesulitan melewati mikrofil. Pada akhirnya, telur akan mati karena tidak ada sperma yang membuahi. d. Derajat Penetasan (hatching rate) Derajat penetasan telur udang galah pada masing masing perlakuan menunjukkan kisaran 79,92% (pemberian 17a-metiltestosteron 15 ppm) sampai 98,34% (kontrol negatif). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 8 dan Gambar 13.

41 41 Tabel 8. Derajat penetasan telur udang galah Perlakuan Ulangan Rataan (%) A 98,37 98,12 98, B 97,72 99,32 97, C 99,02 97,61 97, D 97,69 99,16 97, E 78,65 77,43 83, Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan A, B, C dan D tidak memberikan pengaruh yang nyata pada derajat penetasan (Lampiran 10a). Selanjutnya, untuk mengetahui apakah perlakuan E (kontrol positif) memberikan pengaruh yang nyata dibanding perlakuan A (kontrol negatif), maka dilakukan uji t (Lampiran 10b). Hasil analisis uji t membuktikan bahwa, 17a-metiltestosteron memberikan pengaruh yang nyata terhadap rendahnya jumlah telur menetas dibanding ekstrak steroid teripang. Derajat penetasan (%) ,34 98,14 97,96 98,28 79,92 0 A B C D E Perlakuan Gambar 13. Grafik rataan derajat penetasan telur udang galah Pada Gambar 13 terlihat bahwa hormon 17a-metiltestosteron menyebabkan telur terbuahi yang tidak menetas jumlahnya lebih besar, dibanding dengan kontrol negatif dan pemberian ekstrak steroid teripang. Diduga 17a-metiltestosteron memberikan efek toksik yang menyebabkan telur gagal menetas, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 9. Tabel 9. Telur udang galah terbuahi tetapi gagal menetas Gambar Keterangan

42 42 Telur udang galah terbuahi tetapi gagal menetas Ukuran Telur: Sumbu panjang (mm) : 0,65 (0,61 0,68) Sumbu pendek (mm) : 0,52 (0,50 0,58) Berat (mg) : 0,42 Warna : kuning kemerahan Hormon 17a-metiltestosteron menyebabkan terganggunya proses vitelogenesis dan perkembangan embrio udang galah, diduga hal ini terkait dengan kerasnya cangkang telur sehingga sulit pecah saat proses penetasan. Pada Tabel 9 terlihat bahwa embrio telah terbentuk sempurna, organ mata dan bagian kepala jelas terlihat, dapat dikatakan bahwa telur siap menetas. Terganggunya proses vitelogenesis akibat pemberian hormon sintetis, menyebabkan aktivitas metabolisme dalam telur meningkat pesat sesuai dengan level perkembangan embrio (Arukwe and Goksøyr, 2003), dan sifat anabolik (memacu pembentukan otot) yang telah ditingkatkan 5 sampai 10 kali (Fulierton, 1980) memberi efek penyerapan energi yang cukup tinggi. Hal tersebut mengurangi alokasi energi untuk kebutuhan yang lain menjadi berkurang, sehingga menyebabkan kematian embrio atau menyebabkan embrio lemah sehingga tidak cukup kuat untuk memecahkan cangkang telur. e. Derajat Hidup (survival rate) Persentase jumlah larva udang galah yang hidup mulai 24 jam setelah menetas sampai hari ke-62 terus mengalami penurunan, seiring dengan pertambahan besar ukuran dan munculnya sifat kanibal. Sampai hari ke-62 pasca tetas, kisaran derajat hidup cukup besar yaitu 12,36% (perlakuan A) hingga 41,77% (perlakuan B) (Lampiran 11). Pada Gambar 14 terlihat bahwa jumlah larva yang hidup pada masing masing perlakuan per sepuluh hari perhitungan sampel, mulai hari pertama menetas sampai hari ke-62 menunjukkan penurunan yang nyata.

43 Rerata jumlah larva (ekor) Waktu (hari) A B C D E Gambar 14. Grafik rataan jumlah larva hidup pada penelitian I Kematian larva yang tinggi terjadi pada hari ke-22 sampai hari ke-32, diduga terkait erat dengan masa persiapan larva untuk bermetamorfosis menjadi juvenil. Seperti yang dinyatakan Racotta et al. (2003), bahwa pada saat fase perubahan menjadi juvenil, kondisi udang lemah, mudah stress dan sangat rentan terhadap perubahan lingkungan yang mendadak, akibat perubahan alokasi energi yang disebabkan oleh perubahan beberapa fungsi enzim yang berperan dalam metabolisme. Perubahan fungsi enzim dilakukan untuk menyesuaikan dengan organ organ baru yang berkembang setelah menjadi udang muda (juvenil). Pada fase tersebut rentan terjadi kanibalisme, dimana larva yang sedang dalam proses perubahan menjadi juvenil kondisinya lemah sehingga mudah menjadi mangsa larva yang belum mengalami proses menjadi juvenil. Hal tersebut didukung dengan fakta, bahwa mulai hari ke-15 setelah menetas sampai hari ke-30 atau menjelang fase perubahan menjadi juvenil, nafsu makan larva sangat tinggi sehingga frekuensi pemberian pakan ditingkatkan 5 6 kali per hari. Hasil analisis sidik ragam perlakuan A, B, C dan D menunjukkan bahwa, tidak terdapat perbedaan nyata pada derajat hidup larva udang galah (Lampiran 12a). Untuk mengetahui apakah perlakuan E (kontrol positif) memberikan pengaruh nyata dibanding perlakuan A (kontrol negatif), maka dilakukan uji t yang menunjukkan bahwa perlakuan E berpengaruh nyata terhadap tingginya jumlah larva hidup dibanding perlakuan A (Lampiran 12b). Diduga sifat anabolik yang telah ditingkatkan 5 sampai 10 kali pada hormon 17ametiltestosteron (Fulierton, 1980), memacu proses molting saat fase perubahan menjadi juvenil lebih cepat. Proses pertambahan ukuran tubuh dan pengerasan karapas yang lebih cepat, menyebabkan udang terhindar dari kanibalisme. f. Ukuran Telur

44 44 Rataan diameter dan berat telur sehari setelah pemijahan pada setiap perlakuan mempunyai kisaran berbeda, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 10. Dosis hormon steroid memberi pengaruh berbeda terhadap ukuran telur udang galah (Lynn et al., 1991), semakin tinggi dosis steroid diberikan maka ukuran telur semakin besar. Diduga, konsentrasi steroid yang cukup tinggi dalam hemolymph meningkatkan proses sintesis vitelogenin, sehingga bahan pembentuk kuning telur semakin banyak masuk ke dalam telur. Akibat peningkatan tersebut, volume telur menjadi lebih padat dan besar apabila dibandingkan telur udang tanpa perlakuan hormon. Huberman (2000) menyatakan bahwa, semakin banyak komponen utama nutrisi (lipoprotein vitellin) yang membentuk vitellogenin, dapat meningkatkan ukuran telur udang. Tabel 10. Ukuran telur udang galah Perlakuan Ukuran telur A Sumbu panjang (mm) : 0,52 (0,49 0,58) Sumbu pendek (mm) : 0,46 (0,42 0,58) Berat (mg) : 0,29 B Sumbu panjang (mm) : 0,54 (0,46 0,59) Sumbu pendek (mm) : 0,48 (0,47 0,50) Berat (mg) : 0,30 C Sumbu panjang (mm) : 0,53 (0,52 0,54) Sumbu pendek (mm) : 0,48 (0,47 0,50) Berat (mg) : 0,30 D Sumbu panjang (mm) : 0,55 (0,51 0,58) Sumbu pendek (mm) : 0,46 (0,45 0,48) Berat (mg) : 0,31 E Sumbu panjang (mm) : 0,55 (0,46 0,59) Sumbu pendek (mm) : 0,47 (0,45 0,50) Berat (mg) : 0,31 Volume kuning telur yang lebih besar, memberikan cadangan makanan bagi larva lebih banyak, larva ukuran lebih besar dan mempunyai daya tahan terhadap lingkungan cukup tinggi, sehingga derajat hidup larva lebih tinggi (Lynn et al., 1991). Hasil pengamatan ukuran telur 1, 10 dan 18 hari setelah pemijahan menunjukkan terjadinya peningkatan, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Peningkatan ukuran telur selama masa pengeraman Waktu (hari) Ukuran Sumbu panjang (mm) 0,53 0,65 0,69

45 45 Sumbu pendek (mm) 0,48 0,53 0,55 Berat (mg) 0,30 0,37 0,49 Selama masa pengeraman, telur mengalami proses hidrasi dan pertambahan kelipatan jumlah sel yang menyebabkan ukurannya terus bertambah. Setelah dierami selama 19 sampai 21 hari, telur mencapai ukuran maksimal dan siap menetas. Telur udang galah yang telah mencapai ukuran maksimal dan siap menetas dapat dilihat pada Tabel 12. Pada Tabel 12 terlihat bahwa telur udang galah yang telah dierami selama 18 hari menunjukkan tanda-tanda siap menetas. Embrio telah mempunyai organ tubuh relatif lengkap, sehingga cukup kuat memecahkan korion untuk tumbuh dan berkembang sebagai larva. GAMBAR Tabel 12. Ukuran telur siap tetas KETERANGAN Telur udang galah siap menetas Ukuran Telur: Sumbu panjang (mm) : 0,69 (0,65 0,71) Sumbu pendek (mm) : 0,55 (0,52 0,56) Berat (mg) : 0,49 Warna : coklat tua Waktu inkubasi (hari) : g. Pertumbuhan Larva dan Juvenil Pada penelitian ini juga dilakukan pengamatan pertambahan ukuran setiap fase perkembangan larva sampai menjadi juvenil. Hasil pengukuran panjang dan berat larva dapat dilihat pada Lampiran 13. Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan udang galah, maka dilakukan perhitungan rata rata pertumbuhan hariannya (ADG). Hasil perhitungan ADG larva dan juvenil udang galah dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Rata rata pertumbuhan harian (ADG) larva dan juvenil udang galah Perlakuan Bobot tubuh (mg) ADG (%) A larva 1 :5,80 juvenil 1 :55,85 tokolan :779,49 B larva 1 :5,80 juvenil 1 :56,92 tokolan :723,74 larva 1 juvenil 1(hari ke 60) : 103,66 juvenil 1 tokolan (hari ke 120) : 104,36 larva 1 juvenil 1(hari ke 60) : 103,69 juvenil 1 tokolan (hari ke 120) : 104,19

46 46 C larva 1 :5,80 juvenil 1 :56,06 tokolan :798,48 D larva 1 :5,80 juvenil 1 :57,14 tokolan :619,26 E larva 1 :5,98 juvenil 1 :55,42 tokolan :662,72 larva 1 juvenil 1(hari ke 60) : 103,66 juvenil 1 tokolan (hari ke 120) : 104,40 larva 1 juvenil 1(hari ke 60) : 103,70 juvenil 1 tokolan (hari ke 120) : 103,88 larva 1 juvenil 1(hari ke 60) : 103,58 juvenil 1 tokolan (hari ke 120) : 104,07 Tabel 13 menunjukkan bahwa hormon tidak berpengaruh terhadap ADG larva dan juvenil udang galah, terlihat dari hasil perhitungan masing masing perlakuan selisih nilainya tidak terlalu besar. Hal lain yang ditunjukkan Tabel 13, bahwa pertumbuhan juvenil 1 menjadi tokolan ternyata lebih cepat dari pertumbuhan larva 1 menjadi juvenil 1. Hal tersebut karena testosteron yang masuk dalam jaringan otot udang disintesis menjadi 5a-dihidrotestosteron. Proses ini berjalan lambat, sehingga berpengaruh terhadap makin lambatnya sintesis protein dalam jaringan otot oleh androgen, selanjutnya mempengaruhi kerja hormon ekditsteroid udang (Fulierton, 1980). Akibatnya, metamorfosis larva yang diberi hormon steroid menjadi lebih lambat dibanding metamorfosis larva yang tidak diberi hormon steroid. Terbukti pada saat penelitian dilaksanakan, kecepatan metamorfosis larva kontrol negatif (tanpa hormon) sama dengan kecepatan metamorfosis larva SUPPUG, yaitu pada hari ke 40 setelah penetasan 90% larva telah menjadi juvenil. Berbeda dengan larva yang diberi perlakuan hormon, pada hari ke 62 setelah penetasan 15% udang masih pada fase larva stadium 11. h. Konsentrasi Testosteron dalam Hemolymph Induk Konsentrasi hormon testosteron dalam hemolymph induk diukur mulai saat matang gonad sampai setelah pelepasan larva. Penyuntikan saat matang gonad meningkatkan konsentrasi hormon testosteron dalam hemolymph, selanjutnya menurun setelah larva dilepaskan ke air (Tabel 14). Tabel 14. Konsentrasi hormon testosteron dalam hemolymph induk Perlakuan Matang Gonad Pasca Injeksi Pasca ovulasi Pasca inkubasi A 63,178 34,874 12,536 8,258 B 28, ,737 20,692 19,589 C 58, , ,457 8,906 D 84, ,659 25,166 10,183 E 37, , ,166 12,214

47 47 Tabel 14 menunjukkan bahwa penyuntikan hormon steroid mempengaruhi konsentrasi testosteron dalam hemolymph induk udang galah. Konsentrasi testosteron meningkat pesat 24 jam pasca penyuntikan, karena mendapat masukan larutan steroid melalui suntikan sesuai dengan perlakuan. Selanjutnya mengalami penurunan secara bertahap selama masa inkubasi hingga tahap penetasan telur, karena diabsorbsi oleh telur saat proses vitelogenesis bersama komponen vitelogenin yang lain (Aida et al., 1994). Berbeda dengan induk kontrol yang tidak disuntik hormon steroid, konsentrasi testosteron dalam hemolymph terus mengalami penurunan dimulai sebelum ovulasi sampai tahap penetasan. Hal tersebut diduga induk tidak mendapat masukan hormon steroid dari luar, sedangkan hormon testosteron yang terdapat di dalam tubuh induk terus diabsorbsi untuk proses vitelogenesis (Aida et al., 1994). Menurut Quackenbush (1991), selama proses pematangan telur konsentrasi hormon steroid dalam hemolymph terus meningkat, selanjutnya mengalami penurunan saat matang telur dan ovulasi karena diabsorbsi untuk proses vitelogenesis dan persiapan pengeluaran telur. Oleh karena itu konsentrasi testosteron dalam hemolymph induk yang tidak disuntik hormon cenderung lebih rendah dibanding perlakuan yang lain, seperti yang terlihat pada Gambar 15. Konsentrasi Testosteron (ng/dl) Matang Gonad Pasca Suntik Pasca ovulasi Pasca inkubasi A B C D E Waktu Sampling Gambar 15. Grafik konsentrasi testosteron dalam hemolymph Pada Gambar 15 terlihat bahwa lonjakan konsentrasi testosteron yang cukup tinggi terjadi pada perlakuan C, sebaliknya pada perlakuan kontrol tidak terjadi lonjakan malah terus menurun. Hal tersebut membuktikan bahwa pemberian hormon steroid berpengaruh nyata terhadap konsentrasi testosteron dalam hemolymph, dan terkait erat dengan peningkatan jumlah udang galah berkelamin jantan, dimana perlakuan C mempunyai jumlah persentase udang galah berkelamin jantan tertinggi. Seperti pernyataan Laufer and Landau (1991) bahwa, hormon hormon androgenik dapat juga menimbulkan respons

48 48 vitelogenik pada udang, walaupun hanya diberikan pada dosis farmakologis, sehingga dapat mengarahkan individu yang terbentuk menjadi jantan. i. Efek Negatif Akibat Pemberian Hormon Hasil pengamatan morfologi juvenil pada masing masing perlakuan, ditemukan cacat bawaan akibat perlakua n hormon. Berdasarkan 90 sampel yang diambil dari masingmasing perlakuan, ditemukan 1 ekor (1,1%) pada perlakuan D dan 3 ekor (3,3%) pada perlakuan E yang mengalami cacat bawaan. Kisaran ukuran juvenil yang diamati juga cukup besar. Pada hari ke-62 setelah menetas, terutama pada perlakuan E (penyuntikan 17a-Metiltestosteron 15 ppm) masih terdapat larva stadium 11 yang berukuran 1,2 cm, sedangkan juvenil terbesar sudah berukuran 3 cm. Kelainan organ dan terhambatnya pertumbuhan udang galah tersebut di atas, diduga merupakan efek negatif akibat pemberian hormon seperti yang ditunjukkan pada Gambar 16. tonjolan daging (a) (b) Gambar 16. Variasi ukuran juvenil (a) dan cacat bawaan (b) akibat hormon Kelainan yang ditunjukkan pada Gambar 16, diduga merupakan bukti terjadinya perubahan proses biokimia dalam tubuh yang dapat memberikan efek sementara atau permanen pada organ tubuh. Menurut Huberman (2000) hal tersebut sebagai hasil penolakan yang dilakukan antibodi udang terhadap zat asing yang dianggap mengganggu proses kimia dalam tubuh. Ditambahkan oleh Connell and Miller (2006) bahwa bahan sintetis yang masuk ke dalam tubuh selanjutnya terbawa aliran hemolymph dan terakumulasi di hati atau hepatopankreas. Akumulasi bahan sintetis tersebut dapat mengakibatkan perubahan sistem kerja enzim di dalam hati atau hepatopankreas. Akibatnya, aktivitas beberapa enzim seperti aspartat amino transferase yang berfungsi mensintesis protein menjadi asam amino mengalami penurunan, sehingga mengganggu proses sintesis protein yang berperan penting pada pertumbuhan hewan air.

49 49 Menurut Fulierton (1980) cacat bawaan yang terjadi diduga merupakan salah satu efek toksik yang diakibatkan oleh dosis hormon yang terlalu tinggi, maupun akibat masuknya hormon sintetis ke dalam tubuh udang galah. Hormon 17a-metiltestosteron merupakan hormon sintetis yang gugus hidroksil pada testosteronnya telah diubah menjadi ester yang sesuai untuk memperpanjang aktivitas dan mencegah oksidasi. Perubahan tersebut bertujuan agar hormon yang masuk ke dalam tubuh tidak segera mengalami inaktivasi oleh enzim-enzim pencernaan, sehingga pengaruhnya menjadi lebih lama. Pada udang yang mengalami cacat bawaan terlihat daging tumbuh lebih besar dari karapas, sehingga menekan keluar melalui sela sela ruas tubuh akibatnya bagian ekor udang menjadi bengkok permanen. Menurut Lu (1995) hormon yang masuk ke dalam tubuh memicu perubahan genetik tertentu dalam sel, karena setelah berinteraksi dengan makromolekul genetik (DNA) maka akan terbentuk carcinogen adduct (bagian DNA yang abnormal karena karsinogen). Hal tersebut menyebabkan perubahan kimiawi lain pada DNA, sehingga menyebabkan pembentukan neoplasma atau mengubah neoplasma menjadi kanker (neoplasia) (Lu, 1995). Selain itu bahan sintetis yang masuk ke dalam tubuh juga dapat memberi efek biphasik terhadap sistem antibodi, yaitu pada awalnya dapat merangsang pembentukan antibodi, tetapi efek selanjutnya adalah menghambat reaksi imun. Pemberian bahan sintetis dalam waktu lama walaupun dalam dosis rendah, dapat merusak kemampuan sel imun untuk memperbanyak diri (proliferasi) (Connell and Miller, 2006). j. Kualitas Air Selama penelitian, saat fase larva dipelihara dalam ruang tertutup selanjutnya pada fase juvenil dipelihara di kolam pendederan yang berada di luar ruang. Hasil pengukuran yang terdapat pada Tabel 15 menunjukkan bahwa kualitas air masih pada kisaran optimal bagi kehidupan udang galah. Tabel 15. Kualitas air pemeliharaan larva dan juvenil udang galah Perlakuan Parameter kualitas air Suhu ( 0 C) ph DO (ppm) A ,6 7,9 6,0 8,0 B ,6 7,9 4,5 8,1 C ,6 7,9 5,6 8,4 D ,6 7,9 4,6 8,1 E ,6 7,9 6,4 8,0 Keterangan Pemeliharaan dalam ruang tertutup A ,6 8,2 4,5 5,5 Pemeliharaan di

50 50 B ,8 7,2 4,5 6,0 kolam C ,9 8,0 4,4 6,0 D ,8 7,9 4,5 6,0 E ,0 8,1 4,5 6,4 Pada penelitian ini, kualitas air selalu dikontrol dengan melakukan pengukuran dan segera melakukan tindakan yang diperlukan apabila menunjukkan indikasi penurunan yang dapat mengganggu pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang galah. Apabila fluktuasi suhu ekstrim, misal menjelang pagi jam wib sampai wib suhu mencapai 26 0 C, sedangkan pada jam wib sampai wib suhu lebih dari 31 0 C. Untuk menjaga suhu tetap stabil maka dipasang pemanas tambahan saat malam hingga menjelang pagi, sedangkan siang sampai sore semua pintu dan jendela ruangan dibuka agar suhu ruang tidak terlalu panas. Menurut Setyobudiarso (2004) kisaran suhu yang baik bagi penetasan telur dan pertumbuhan udang galah adalah 25 0 C sampai 32 0 C. Tindakan cepat dilakukan untuk mencegah terjadinya fluktuasi suhu, karena dapat mempengaruhi daya tetas telur, pertumbuhan dan kehidupan udang galah, mempengaruhi ph dan oksigen terlarut. Menurut Law et al. (2002) ph optimal bagi penetasan telur dan pertumbuhan udang galah adalah 7,0 sampai 8,5. Menurut Setyohadi dkk. (2001) konsentrasi oksigen terlarut yang baik bagi udang galah antara 4 mg/l sampai 9 mg/l. Parameter suhu, ph dan oksigen terlarut yang teramati pada penelitian ini telah sesuai dengan kisaran hidup yang dibutuhkan udang galah, sehingga hanya perlakuan yang mempengaruhi hasil penelitian. 4.2 Penelitian II a. Nisbah Kelamin Jantan Persentase jumlah udang galah berkelamin jantan pada perlakuan A (kontrol) lebih kecil dibanding semua perlakuan, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 16. Keterangan : Tabel 16. Persentase udang galah berkelamin jantan Perlakuan Ulangan Rataan (%) A 25,00 25,00 13,04 21,01 B 60,00 39,13 33,33 44,15 C 40,00 33,33 75,61 49,65 D 54,17 50,00 45,00 49,72 E 32,56 55,32 63,46 50,45

51 51 A : Kontrol negatif (tanpa hormon) B : Ekstrak steroid teripang 1 mg/l C : Ekstrak steroid teripang 2 mg/l D : Ekstrak steroid teripang 3 mg/l E : Hormon 17a-metiltestosteron 2 mg/1 (kontrol positif) Pada Tabel 16 terlihat bahwa persentase rataan udang galah jantan terendah adalah perlakuan A (tanpa hormon) yaitu 21,01%, sedangkan rataan udang galah jantan tertinggi adalah perlakuan E (hormon 17a-metiltestosteron 15 ppm) yaitu 50,45%. Hasil analisis dengan taraf kepercayaan 95%, terbukti bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang nyata terhadap nisbah kelamin (Lampiran 14a). Hasil analisis BNT menunjukkan bahwa perlakuan B, C dan D tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan A (Lampiran 14b). Hal tersebut membuktikan bahwa bertambahnya konsentrasi steroid teripang dan 17a-metiltestosteron terlarut yang masuk ke dalam tubuh udang galah, dapat mengarahkan terbentuknya kelamin jantan. Persentase jantan (%) A B C D E Perlakuan Gambar 17. Grafik persentase udang galah jantan Pada Gambar 17 terlihat bahwa pemberian ekstrak steroid teripang ataupun hormon 17a-metiltestosteron, menggunakan metode dipping dapat meningkatkan persentase jantan pada udang uji. Mekanisme kerja hormon pada metode dipping secara difusi melalui kulit, insang dan organ pencernaan. Menurut Connell and Miller (2006) absorbsi komponen komponen terlarut dalam air yang melalui insang biasanya cukup besar. Absorbsi yang melalui saluran pencernaan hanya sedikit, walaupun komponen terlarut dalam air yang masuk melalui saluran pencernaan biasanya cukup besar, sedangkan yang masuk melalui kulit jumlah dan absorbsinya relatif kecil. Insang udang umumnya terdiri dari cabang cabang lamina (dendro-branchia). Filamen insang dilapisi kutikula tipis dan di bawahnya dilapisi sitoplasma yang membagi

52 52 sel insang. Komponen terlarut yang kontak dengan sel insang masuk melewati mukosa, selanjutnya masuk dalam tubuh dan didistribusikan ke jaringan target (Darmono, 2001). Tubuh udang tertutup oleh kutikula keras dari bahan kitin (Wichins and Lee, 2002), sehingga penetrasi hormon melalui kulit hanya sedikit. Sebaliknya saat udang molting absorbsi relatif besar, karena setelah kutikula lepas selanjutnya tubuh udang membesar disertai absorbsi air sampai akhirnya terbentuk lapisan kutikula baru yang keras (Chang, 1991). Namun saat perlakuan dipping tidak ada juvenil yang molting, sehingga absorbsi hormon yang melalui kulit relatif kecil. Testosteron merupakan steroid yang mudah mengalami metabolisme secara cepat setelah absorbsi atau inaktivasi secara cepat dalam saluran cerna sebelum absorbsi (Fulierton, 1980). Hal tersebut menyebabkan hormon yang masuk melalui saluran cerna sebagian terakumulasi dalam hepatopankreas dan selanjutnya mengalami metabolisme, sebagian diabsorbsi melalui lumen usus untuk dibawa menuju ke organ target. Pada Penelitian II yang dianalisis menggunakan uji t adalah perlakuan A dan E, dan terbukti bahwa perlakuan E memberikan pengaruh berbeda nyata dibanding perlakuan A (kontrol) (Lampiran 14c). Antiporda (1986) menyatakan bahwa steroid alami lebih efektif pengaruhnya terhadap organ target dibanding steroid sintetis, apabila diberikan melalui suntikan. Hasil perlakuan pada masing-masing penelitian menunjukkan bahwa persentase udang jantan tertinggi pada penelitian II hanya 50,45% sedangkan pada penelitian I adalah 63,33%. Hasil tersebut membuktikan bahwa efektivitas metode dipping lebih rendah dibanding metode injeksi. b. Derajat Hidup Rataan persentase juvenil udang galah yang hidup pada masing masing perlakuan selama penelitian kurang lebih 70%, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Persentase juvenil yang hidup per sepuluh hari selama 60 hari Perlakuan Waktu pengambilan sampel (hari) ke- 10 (%) 20 (%) 30 (%) 40 (%) 50 (%) 60 (%) A 89,44 80,56 75,56 71,67 71,11 70,00 B 89,44 80,00 76,67 73,89 72,78 72,22 C 90,56 82,78 81,67 81,11 80,00 78,89 D 91,11 82,78 79,44 76,11 74,44 73,33 E 92,78 87,22 83,89 81,67 81,11 78,89

53 53 Pada Tabel 18 dapat dilihat bahwa kisaran persentase kehidupan juvenil udang galah pada hari ke-60 adalah 65% (perlakuan B) sampai 86,67% (perlakuan E). Tabel 18. Derajat hidup udang galah selama 60 hari Perlakuan Ulangan Rerata (%) A 66,67 66,67 76,67 70,00 B 75,00 76,67 65,00 72,22 C 81,67 85,00 68,33 78,33 D 80,00 73,33 66,67 73,33 E 71,67 78,33 86,67 78,89 Hasil sidik ragam membuktikan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap kelangsungan hidup juvenil (Lampiran 15a). Untuk mengetahui apakah kontrol positif (perlakuan E) berpengaruh nyata dibanding kontrol negatif (perlakuan A), maka dilakukan uji t (Lampiran 15b). Hasil uji t membuktikan, perlakuan E dan A tidak berbeda nyata. Persentase juvenil yang hidup sampai akhir penelitian dapat dilihat pada Gambar 18. Rataan jumlah juvenil (%) Waktu (Hari) A B C D E Gambar 18. Grafik rataan persentase juvenil hidup selama 60 hari Gambar 18 menunjukkan kematian juvenil banyak terjadi pada hari ke-1 sampai hari ke-10. Menurut Connell and Miller (2006) masuknya zat kimia terlarut seperti bahan sintetis dan logam berat dapat menyebabkan terjadinya penurunan jumlah mitokondria. Semakin tinggi zat kimia terlarut dalam air, jumlah mitokondria dalam sel semakin menurun dan krista dalam mitokondria semakin menghilang. Padahal mitokondria merupakan bagian sel yang mempunyai aktivitas metabolisme tinggi dan berperan dalam mengatur transportasi ion Na +, K + serta metabolisme protein. Akibatnya ketika zat kimia masuk melalui insang, menyebabkan jaringan mengalami nekrosis pada bagian distal lamela insang. Sejumlah besar hemosit mengumpul dalam lamela, sehingga membendung

54 54 saluran hemolymph. Akibatnya terjadi penurunan konsumsi oksigen dan udang sulit bernafas karena absorbsi oksigen dalam jaringan insang menjadi lebih kecil. Apabila hal tersebut berlangsung lama dapat menyebabkan udang stress dan mati. Hari ke-11 setelah perlakuan sampai hari ke-60, jumlah juvenil yang mati cenderung menurun. Hal tersebut karena air media pemeliharaan yang mengandung hormon dan pelarutnya telah diganti dengan air baru, sehingga udang menjadi sehat kembali. Kematian yang terjadi setelah perlakuan, sebagian besar disebabkan oleh kanibalisme. c. Pertumbuhan Juvenil Pertambahan ukuran juvenil, baik pertambahan panjang maupun bobot tubuh per sepuluh hari pengambilan sampel pada masing masing perlakuan relatif sama (Tabel 19). Tabel 19. Pertambahan panjang dan berat juvenil udang galah Perlakuan Waktu sampling (hari) Panjang tubuh () A 11,67 15,17 17,17 25,50 26,93 33,30 34,37 B 12,50 16,00 18,00 26,10 27,63 33,73 34,73 C 12,00 15,23 18,27 26,43 27,33 31,60 33,40 D 12,00 15,23 17,33 26,13 27,17 33,80 34,97 E 11,50 15,20 18,30 23,17 26,20 33,20 35,03 Bobot tubuh (mg) A 44,21 83,89 150,49 241,91 278,58 376,38 622,38 B 54,96 88,50 157,81 281,73 306,93 380,94 615,88 C 46,43 86,11 169,80 293,81 303,83 367,59 610,08 D 47,81 83,63 161,28 294,59 306,93 381,98 628,06 E 43,57 91,35 165,45 269,72 304,75 368,87 626,60 Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan udang galah, selanjutnya dihitung rata rata pertumbuhan hariannya (ADG), hasil perhitungan ditunjukkan pada Tabel 20. Tabel 20. Rata rata pertumbuhan harian (ADG) juvenil udang galah Perlakuan Bobot tubuh (mg) ADG (%) A juvenil 1 : 44,21 tokolan : 622,38 juvenil 1 (hari ke 45) tokolan (hari ke 105): 104,38 B juvenil 1 : 54,96 tokolan : 615,88 juvenil 1(hari ke 45) tokolan (hari ke 105): 103,95 C juvenil 1 : 46,43 tokolan : 610,08 juvenil 1(hari ke 45) tokolan (hari ke 105): 104,25 D juvenil 1 : 47,81 juvenil 1(hari ke 45) tokolan (hari ke 105):

55 55 tokolan : 628,06 104,25 E juvenil 1 : 43,57 tokolan : 626,60 juvenil 1(hari ke 45) tokolan (hari ke 105): 104,42 Pada Tabel 20 terlihat bahwa hasil perhitungan ADG pada masing masing perlakuan menunjukkan kisaran yang tidak jauh berbeda, sehingga dapat dikatakan bahwa hormon steroid yang diberikan tidak mengganggu pertumbuhan. Seperti yang dinyatakan oleh Fulierton (1980) bahwa selain mempunyai sifat androgenik, testosteron ternyata mempunyai sifat anabolik, yaitu dapat memacu pertumbuhan otot. Hal tersebut diduga mempengaruhi juvenil udang galah pada perlakuan E menjadi tumbuh relatif lebih cepat. d. Efek Negatif Akibat Pemberian Hormon Pemberian hormon steroid dan pelarutnya ternyata berpengaruh terhadap tingginya mortalitas juvenil. Ditunjukkan dengan tingkat kematian yang mencapai 10% dari populasi 1 hari setelah perlakuan, selanjutnya kematian terus menurun hingga mencapai 1%. Kematian juvenil saat diberi perlakuan diduga disebabkan keberadaan hormon dan pelarutnya di air, dan selanjutnya masuk ke dalam tubuh melalui insang. Menurut Connell and Miller (2006) toleransi avertebrata air terhadap senyawa organik sintetik terlarut sangat rendah. Pada konsentrasi tertentu senyawa organik sintetik dapat menyebabkan terganggunya metabolisme dalam tubuh dan mengakibatkan kematian. Jumlah juvenil cacat akibat perlakuan hanya ditemukan 1 ekor pada perlakuan E. Juvenil yang cacat memiliki tubuh yang bengkok baik saat berenang maupun berjalan. Kelainan morfologis yang terjadi diduga merupakan efek dari hormon sintetis seperti yang terjadi pada penelitian I. Hal tersebut diduga karena informasi yang disandi dalam molekul DNA dan diekspresikan lewat transkripsi serta translasi, pada urutan basanya mengalami kerusakan. Kerusakan pada urutan basa tersebut akan mengubah susunan asam amino pada protein yang disintesis (Murphy et al., 2001). Perubahan tersebut selanjutnya mengubah sel normal menjadi sel kanker (Lu, 1995). Juvenil hasil perendaman menggunakan 17a-metiltestosteron ukuran tubuhnya dalam satu populasi relatif tidak seragam. Begitu juga ukuran juvenil terbesar sampai terkecil kisarannya cukup besar yaitu 1,3 cm sampai 3,7 cm, apabila dikelompokkan berdasarkan kesamaan panjang tubuh bisa 3 sampai 5 kelompok. Hal tersebut merupakan efek anabolik dari hormon sintetis yang telah ditingkatkan beberapa kali lipat, sehingga efektivitasnya di

56 56 dalam tubuh udang menjadi lebih lama (Fulierton, 1980). Konsentrasi hormon sintetis terlarut yang masuk ke dalam tubuh udang berbeda-beda, akibatnya udang yang mengabsorbsi hormon dengan konsentrasi yang tinggi menjadi tumbuh jauh lebih cepat dari udang-udang yang lain. e. Kualitas Air Selama penelitian, bak bak pemeliharaan juvenil diletakkan dalam bak beton kosong yang terdapat di dalam hatchery agar suhu air tetap hangat dan stabil. Hasil pengukuran kualitas air masih berada pada kisaran optimal bagi kehidupan udang galah, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Kualitas air media pemeliharaan juvenil Perlakuan Parameter kualitas air Suhu ( 0 C) Ph DO (ppm) A ,0 8,2 4,2 5,0 B ,0 7,5 4,0 4,5 C ,9 7,5 4,0 5,0 D ,0 8,0 4,5 5,0 E ,0 8,1 4,5 6,0 Pada Tabel 21 terlihat bahwa parameter suhu, ph dan oksigen terlarut selama penelitian telah sesuai dengan kisaran hidup yang dibutuhkan udang galah, sehingga diharapkan hanya perlakuan yang mempengaruhi hasil penelitian ini.

57 57 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian mengenai efektivitas ekstrak steroid teripang untuk memanipulasi kelamin udang galah adalah, bahwa pemberian hormon testosteron dari ekstrak jeroan teripang melalui metode injeksi dan dipping, secara efektif dapat mempengaruhi zigot dan larva berkembang menjadi jantan. Metode injeksi dengan dosis ekstrak testosteron teripang 10 mg/kg, dapat menghasilkan persentase jantan tertinggi yaitu 63,33% dan merupakan perlakuan terbaik. Metode dipping dengan dosis ekstrak testosteron teripang 1, 2 dan 3 mg/l, dapat menghasilkan persentase jantan yang sama dengan pemberian hormon 17a-metiltestosteron dengan dosis 2 mg/l dan lebih tinggi dari persentase jantan pada udang galah yang tidak diberi hormon. 5.2 Saran Penggunaan testosteron alami teripang dengan metode injeksi diharapkan dapat menggantikan hormon 17a-metiltestosteron dalam maskulinisasi udang galah. Dalam penelitian ini ditemukan kelainan morfologis pada udang yang diduga akibat pengaruh hormon 17a-metiltestosteron, sehingga dapat dikaji lebih lanjut dengan penelitian yang lebih spesifik mengenai efek-efek toksik akibat pemberian hormon sintetis.

58 58 DAFTAR PUSTAKA Aida, K., Okumura, T., and Wilder, M.N Reproductive Mechanisms in Crustacea. Kanagawa International Fisheries Training Center. JICA. Japan. 45 pp. Antiporda, J.L Preliminary Studies on The Effects of Methyltestosterone on Macrobrachium rosenbergii Juveniles. Research conducted under the FAO / NACA Thailand. WP/ 86/46.html [3 April 2006] Arukwe, A., and Goksøyr, A Eggshell and Egg Yolk Proteins in Fish: Hepatic protein for the next generation: oogenetic, population, and evolutionary implications of endocrine disruption. Comparative hepatology. Biomed central. Pp Balamurugan, P., Mariappan, P., and Balasundaram, C Impacts of Mono-Sex Macrobrachium Culture in The Future Of Seed Availability in India. Aquaculture Asia. Vol.IX No. 2. Pp Barnes, R.D Invertebrate Zoology. Saunders College Publishing. Orlando. USA. 893 pp. Chang, E.S Crustacean Molting Hormones: Cellular effects, role in reproduction, and regulation by molt inhibiting hormone. Frontiers of shrimp research. Edited by: DeLoach, P. F, Dougherty, W.J, Davidson, M.A. Elsevier. USA. Pp Conand, C The Fishery Resources of Pacific Island Countries. Part 2. Holothurians. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Roma. Italy. 143 pp.

59 59 Connell, D.W and Miller, G.J Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Penerjemah: Koestoer,Y. Judul asli: Chemistry and Ecotoxicology of Pollution. Tahun Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. 520 hal. Darmono Lingkungan Hidup dan Pencemaran. Hubungan dengan toksikologi senyawa logam. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. 179 hal. D Abramo, L.R., Brunson, W., and Daniels, W.H Freshwater Prawns Biology and Life History. Extension Service of Mississippi State University. com/ pubs/ is 1525.html [ 3 April 2006]. Dygas, A., Baranska, J., Santella, L Phosphatidylserine Ca 2+ -dependent on Starfish Oocyte. Acta Biochimica Polonica. Vol.50. No.2. Fulierton, D.S Steroid dan Senyawa Terapetik Sejenis. Buku teks Wilson dan Gisvold. Kimia farmasi dan medicinal organik. Editor: Doerge, R.F. edisi VIII, bagian II. J.B. Lippincott Company. Philadelphia Toronto. USA. Hal Graziani, C., Moreno, C., Villaroel, E., Orta, T., Lodeiros, C., and Donato, M. D Hybridization Between The Freshwater Prawns Macrobrachium rosenbergii (De Man) and M. carcinus (L). Aquaculture 217 : Huberman, A Shrimp Endocrinology. A review. Aquaculture. 191 : James, D.B., A.D. Gandhi, N. Palaniswamy and J.X. Rodrigo Hatchery Techniques and Culture of Sea Cucumber Holothuria scabra. CMFRI Special Publication. No. 57. India. 41 pp. Jamiah, J., Fiona J., Hawa I., Syed Z. I. and B.H. Ridzwan The Effect of Ethanol Extract From Stichopus variegatus Semper on The Activity of Adenosine Deaminase and The Level Of Serotonin in Rats Induced Pleurisy. Soc. Pharmac. Physiol. 8th-9th, USM, Kota Bharu. Jiaxin, C Brief Introduction to Mariculture of Five Selected Species in China in : Regional Seafarming Development and Demonstration Project. Bangkok. Thailand. pp Kaswandi, M.A., H.H. Lian, S. Nurzakiah, B.H. Ridzwan, S. Ujang, M.W. Samsudin, S. Jasnizat and A.M. Ali Crystal Saponin from Three Sea Cucumber Genus and Their Potential as Antibacterial Agents. 9 th Scientific Conference Electron Microscopic Society Nov. 2000, Kota Bharu, Kelantan Kustiariyah, Isolasi dan Uji Aktivitas Biologis Senyawa Steroid dari Teripang sebagai Aprosidiaka Alami. Thesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Laufer, H. and Landau, M Endocrine Control of Reproduction in Shrimp and Other Crustacea. Frontiers of shrimp research. Edited by: DeLoach, P. F, Dougherty, W.J, Davidson, M.A. Elsevier. USA. Pp

60 60 Law, A.T., Wong, Y.H., and Munafi, A.B.A Effect of Hydrogen Ion on Macrobrachium rosenbergii (de Man) Egg Hatchability in Brackish Water. Aquaculture 214 : Lian, H.H., S.N. Weng, M.S.M. Yassin, M.A. Kaswandi and B.H. Ridzwan Antifungal Activities of Lipid Extract from Sea Cucumber Holothuria tubolosa Against Saccromyces Cerevisiae. 7th Asia Pacific Electron Microscopy Conf June, Singapore. p Lu, F.C Toksikologi Dasar. Asas, organ sasaran dan penilaian resiko. Edisi II. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. 428 hal. Lynn, J.W., Pillai, M.C., Glas, P.S., and Green, J.D Comparative Morphology and Physiology of Egg Activation in Selected Penaeoidea. Frontiers of shrimp research. Edited by: DeLoach, P. F, Dougherty,W.J, Davidson, M.A. Elsevier. USA. Pp Mantel, K.S. and Dudgeon, D Reproduction and Sexual Dimorphism of The Palaemonid Shrimp Macrobrachium hainanense in Hongkong Streams. Journal of Crustacean Biology: Vol.25, No.3, pp Matty, A. J Fish Endocrinology. Timber Press. Portland. USA. 265 pp. Mossolin, E.C. and Bueno, S.L.S Reproductive Biology of Macrobrachium olfersi (decapoda palaemonidae) in Sao Sebastio, Brazil. Journal of crustacean biology: Vol.22, No.2, pp Matty, A.J Fish Endocrinology. Croom helm.timber press. Oregon. USA. 264 pp. Murphy, E.C., Zhurkin, V.B., Louis, J.M., Cornilescu, G. and Clore, G.M Structural Basis for SRY-dependent 46-X, Y Sex Reversal: Modulation of DNA Bending by a Naturally Occurring Point Mutation. J.Mol.Biol. 312, Murray, R.K., Granner, D.K., Mayes, P.A., and Rodwel, V.W Biokimia Harper. Edisi 25. Penerjemah : Hartono, A. Judul Asli : Harper s Biochemistry. 25/E. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 883 hal. Murni, I Kajian Tingkat Kematangan Gonad Udang Galah (Macrobachium rosenbergii de Man) Di Muara Sungai Kapuas Pontianak Kalimantan Barat. Thesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. 50 hal. Nagy, A., Bersenyi, M., Csanyi, V Sex Reversal in Carp (Cyprinus carpio) by Oral Administration of Methyltestosterone. Canadian Journal Of Fisheries And Aquatic Science 38: Nakamura, M., Kabayashi, T., Chang, X.T., and Nagahama, Y Gonadal Sex Differentiation in Teleost Fish. The Journal of Experimental Zoology. 281: Pandian, T.J. and Koteeswaran, R Lability of Sex Differentiation in Fish. School of biological sciences. Maduraj kamaraj university. India.

61 61 Piferrer, F Endocrine Sex Control Strategie For Feminization of Teleosts Fish. Aquaculture. 197 : Ping, L.S., I. Noor, H.H. Lian, M.A. Kaswandi, S. Nurzakiah and B.H. Ridzwan The Effects of Methanol Extracts from Sea Cucumber Holothuria atra and Stichopus variegatus on Wound Healing in Guinea Pigs. 9 th Scientific Conference Electron Microscopic Society Nov. 2000, Kelantan Primavera, J.H Induce Maturation on Spawning in Live Month Old Penaeus Monodon Fabricius by Eye Stalk Ablation. Aquaculture. Thailand. 13: Purdom, C.E Genetic and Fish Breeding. Chapman and Hall. New York. USA. 277 pp. Purwati, P Teripang Indonesia: Komposisi Jenis Dan Sejarah Perikanan. Oseana, Volume XXX, Nomor 2, LIPI. Oseanologi. Jakarta. Hal Quackenbush, L. S Regulation of Vitellogenesis in Penaeid Shrimp. Frontiers of shrimp research. Edited by: DeLoach, P. F, Dougherty, W.J, Davidson, M.A. Elsevier. USA. Pp Racotta, I.S., Palacios, E., and Ibarra, A.M Shrimp Larval Quality in Relation to Broodstock Condition. Aquaculture. 227 : Raman, K Observation on The Fishery and Biology on The Giant Freshwater Prawn. Symposium of crustacean. Part I. Macrobrachium Biology Association. India. Riani, E., Syamsu, K., Kaseno, Nurjanah, S., Kurnia Pemanfaatan Steroid Teripang Sebagai Aprosidiaka Alami. Laporan Hibah Penelitian Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Rougeot, C., Jacobs, B., Kestemont, P., and Melard, C Sex Control and Sex Determinism Study in Eurasian Perch Perca fluviatilis, by Use of Hormonally Sex- Reversed Male Breeders. Aquaculture 211: Setyobudiarso, H Penentuan Suhu Inkubasi dan Umur Telur Macrobrachium rosenbergii de Man yang Dapat Menghasilkan Daya Tetas Tinggi dan Waktu Inkubasi Pendek. Master theses from #Publisher# / Setyohadi, D., Wiadnya, G.D.R., dan Soemarno Pengaruh Aerasi dan Resirkulasi Bio Filter Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Udang Galah, Macrobrachium rosenbergii (de Man). Biosain, vol.1, No. 1, April Hal Skewes, T, Haywood, M, Pitcher, R, Willan, R Holothurians. National Oceans Office. Hobart. Australia. Pp Sukendi Vitelogenesis dan Manipulasi Fertilisasi pada Ikan. Universitas Riau. Pekanbaru. 110 hal.

62 62 Sumantadinata, K. dan Carman, O Teknologi Ginogenesis dan Seks Reversal dalam Pemuliaan Ikan. Buletin Ilmiah Gukuryoku, Volume I, Hal Supriyadi, Efektivitas Pemberian Hormon 17a Metiltestosteron dan HCG yang Dienkapsulasi di Dalam Emulsi Terhadap Perkembangan Gonad Ikan Baung (Hemibagrus nemurus Blkr.). Thesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Susilowati, T Pengaruh Ekstraks Hipothalamus Sapi terhadap Induksi Ovulasi Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii de Man). Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Tan, C.L., B.H. Ridzwan and S.Z. Idid Antinociceptive Effect of Water Extracts and Coelomic Fluid from Several Species of Sea Cucumbers in Mice. 15th Scien. Meeting of Malay. Soc. Pharmac. Physiol. 8th-9th, USM, Kota Bharu. Tchoudakova, A., and Callard, G.V Identification of Multiple CYP19 Genes Encoding Different Cytochrome P450 Aromatase Isozymes in Brain and Ovary. Endocrinology Vol. 139, No. 4: Turner, C.D. and Bagnara, J.T Endokrinologi Umum. Penerjemah : Harsojo. Judul Asli: General Endocrinology Airlangga University Press. Yogyakarta. 746 hal. Tuwo, A Struktur dan Dinamika Organ Reproduksi Holothuria forskali (Echinodermata : Aspidochirota). Oseana, Volume XX, Nomor 2, LIPI. Oseanologi. Jakarta. Hal Wibowo, S., Yunizal, E. Setiabudi, M.D. Erlina dan Tazwir Teknologi Penanganan dan Pengolahan Teripang (Holothuridea). IPPL Slipi. Jakarta. Wichins,J.F. and Lee, D.O.C Crustacean Farming (Raching and Culture). Iowa State University Press. Blackwell Science Company. USA. 446 pp. Yamazaki, F Sex Control and Manipulation in Fish. Aquaculture 33:

63 63 LAMPIRAN Lampiran 1. Variasi jumlah pakan per ekor larva per hari dan komposisi pakan buatan untuk juvenil udang galah 1a. Variasi jumlah pakan per ekor larva per hari Hari ke- Naupli Artemia (ekor) Pakan Buatan (mikrogram berat kering) > ad libitum Sumber: SUPUG Pelabuhan Ratu, Sukabumi 1b. Komposisi dan proksimat bahan pakan untuk larva udang galah Bahan pakan Komposisi Tepung terigu (gram) 50 Susu non fat (gram) 100 Telur ayam (gram) 320 Daging cumi-cumi (gram) 650 Vitamin B kompleks (calcydol) (ml) 200 Vitamin A D pleks (ml) 2 Analisis Bahan kering (%) Protein 44,2 Lemak 15,1

64 64 Karbohidrat 22,3 Serat kasar 0,61 Abu 6,81 Air 7,43 Phosphor 2,08 Kalsium (Ca) 1,47 Sumber: SUPUG Pelabuhan Ratu, Sukabumi Lampiran 2. Tahap pengambilan dan pengukuran konsentrasi hormon testosteron dalam hemolymph induk udang galah 1. Induk udang yang akan diambil hemolymph-nya diletakkan di atas kain basah dan diusahakan tubuhnya tetap basah. 2. Induk udang yang berada dalam kondisi diam, hemolymph-nya diambil pada bagian ruas tubuh yang merupakan batas antara kaki jalan dengan kaki renang. Hemolymph yang diambil sebanyak 1 ml dengan menggunakan spuit 1 ml yang sudah diberi anti koagulan (larutan citrate phosphate dextrose, produksi sigma, USA). Selanjutnya dimasukkan ke dalam mikrotube bervolume 1,5 ml dan disimpan dalam cool box. 3. Sampel hemolymph yang ditampung dalam mikrotube disentrifugasi pada kecepatan 3000 rpm selama 5 menit. 4. Supernatan plasma hemolymph diambil dan dimasukkan ke dalam mikrotube baru, selanjutnya dilakukan pengukuran dengan radio iunoassay (RIA). Bila pengukuran supernatan plasma tidak dilakukan secara langsung, sampel disimpan dalam freezer pada suhu minus 20 0 C (Supriyadi, 2005).

65 65 Lampiran 3. Tahapan ekstraksi, saponifikasi dan identifikasi steroid a. Ekstraksi (Tuctone and Kasparov, 1970 dalam Kustiariyah, 2006) Bahan (Jeroan teripang 200 g) + Aseton 450 g Maserasi (Suhu 4 0 C, Waktu 24 jam) Sentrifuge rpm (Waktu 15 menit, Suhu 4 0 C) Evaporasi 1 (Suhu 40 0 C / Vacuum evaporation) Evaporasi 2 (Suhu 40 0 C, Water bath, sampai kering) Ekstrak kasar + Alkohol 70% Perendaman Larva Udang Galah Penyuntikan Induk Udang Galah

66 66 SAPONIFIKASI + Minyak jagung Lampiran 3 (lanjutan). Tahapan ekstraksi, saponifikasi dan identifikasi steroid b. Saponifikasi (Tuctone and Kasparov, 1970 dalam Kustiariyah, 2006) EKSTRAK KASAR Refluk (Hotplate) (5, Waktu 1 jam) + KOH 50 ml (1M) Didinginkan Dimasukkan dalam Tabung Pemisah (Volume 500 ml) + Dietil Eter 100 ml Dikocok selama 1 menit Diulang 3X Dibuka tutupnya, Didiamkan 5 menit Pemisahan Larutan Lapisan Bawah Lapisan Atas

67 67 Dibuang Setelah 3X Disimpan Larutan Diproses Lanjut Lampiran 3 (lanjutan). Tahapan ekstraksi, saponifikasi dan identifikasi steroid c. Identifikasi (Tuctone and Kasparov, 1970 dalam Kustiariyah, 2006) Larutan Dimasukkan dalam Tabung Pemisah (Volume 500 ml) + Air 40 ml Dikocok selama 1 menit Dibuka tutupnya, Didiamkan 5 menit Diulang 2X Pemisahan Larutan Lapisan Atas Lapisan Bawah + KOH 40 ml (0,5 M) Dikocok selama 1 menit Dibuang

68 68 Dibuka tutupnya, Didiamkan 5 menit Pemisahan Larutan Lapisan Atas Lapisan Bawah Titrasi dengan indicator pp Dievaporasi Lampiran (Sampai tidak berwarna pink) Suhu 40 0 C 4. Tahapan penyuntikan hormon testosteron pada induk udang galah Ekstrak Steroid 1. Menyiapkan larutan hormon dan larutan kontrol (minyak jagung 1ml/kg induk), sesuai dengan dosis pada perlakuan yaitu: 5, 10, 15 mg/kg induk, yang dilarutkan dalam minyak jagung 1ml. 2. Induk udang yang akan disuntik hormon adalah yang matang gonad atau sudah terdapat telur di dalam gonadnya. Induk dalam bak adaptasi diambil secara perlahan untuk mengurangi stress, dan ditimbang untuk menentukan volume hormon yang disuntikkan. 3. Induk udang diletakkan di atas kain basah dan diusahakan tubuhnya tetap basah, selanjutnya larutan hormon dan larutan kontrol disuntikkan pada bagian ruas tubuh yang merupakan batas antara kaki jalan dengan kaki renang. Untuk mencegah infeksi pada bagian yang disuntik, sebelum dan sesudah penyuntikan diusap dengan kapas beralkohol 70%. 4. Setelah disuntik, induk dimasukkan dalam bak pengamatan secara acak. Aerasi diperbesar dan diberi pakan, serta terus diamati untuk mengetahui apakah induk mengalami stress. Apabila induk mengalami kematian, maka diganti dengan induk baru dari bak pengamatan stok sesuai dengan perlakuan yang diberikan. Selanjutnya dipelihara hingga proses pelepasan larva ke air.

69 69 Lampiran 5. Appendix masculinus yang terdapat pada kaki renang ke-2 Macrobrachium rosenbergii jantan (Antiporda, 1986).

70 70 Lampiran 6. Tahapan perendaman juvenil menggunakan hormon testosteron 1. Membuat larutan berhormon. Hormon testosteron teripang, masing-masing 15, 30 dan 45 mg dilarutkan dalam 2,5 ml alkohol 70 % lalu larutkan ke dalam air 15 liter. Begitu juga pada pembuatan larutan hormon 17a-metiltestosteron (kontrol positif). 2. Juvenil yang telah diseleksi, selanjutnya diberok sedikitnya 2 jam. Setelah 2 jam, juvenil dimasukkan ke dalam wadah yang telah berisi larutan berhormon, dengan kepadatan 60 ekor per 15 liter. 3. Wadah yang telah diisi larutan berhormon dan juvenil, kemudian diaerasi dan didiamkan selama 24 jam. 4. Setelah 24 jam, air dalam wadah diganti dengan air baru, aerasi diperbesar untuk segera menghilangkan pengaruh hormon dalam air dan memulihkan kondisi juvenil. 5. Setelah kondisi juvenil pulih, yang ditandai gerakan aktif maka aerasi diperkecil dan diberikan pakan naupli artemia sesuai dosis yang telah ditentukan. Perawatan juvenil berlangsung selama 30 hari atau sampai udang galah dapat dibedakan jenis kelaminnya.

71 71 Lampiran 7. Analisis statistik udang galah berkelamin jantan Lampiran 7a. Analisis sidik ragam udang galah berkelamin jantan Sebaran data pada Tabel 4 yang besar perlu ditransformasikan dengan Log x, agar diperoleh sebaran data normal sebagai berikut: Perlakuan Ulangan Jumlah Rerata A B C D E FK = JK TOT = 0.15 JK PRLK= 0.10 JK ACAK= 0.04 Sidik ragam Keragaman db Jk Kt fhit f5% Perlk acak total 11 Lampiran 7b. Analisis beda nyata terkecil udang galah berkelamin jantan SD = T 5% = 0.08 C D B A NOTASI C a

72 72 D b B b A c Lampiran 7c. Analisis uji t udang galah berkelamin jantan A Total 4,644 5,059 Rataan 1,548 1,686 FK 7,187 8,532 JK A= 0,008 E JK E= 0,007 T HIT= 2,76 T 5%(4) Lampiran 8. Analisis statistik fekunditas induk udang Lampiran 8a. Analisis sidik ragam fekunditas induk udang galah Sebaran data pada Tabel 5 yang besar perlu ditransformasikan dengan Log x, agar diperoleh sebaran data normal sebagai berikut: Ulangan Jumlah Rerata Perlakuan A B C D E FK = JK TOT = JK PERLK= JK ACAK= 0.07 Sidik ragam keragaman db Jk Kt fhit f5% Perlk acak total 11 Lampiran 8b. Analisis uji t fekunditas induk udang galah E Total Rataan FK JK A= A

73 73 JK E= T HIT= 3.01 T 5%(4) Lampiran 9. Analisis statistik derajat pengeraman telur udang galah Lampiran 9a. Analisis sidik ragam derajat pengeraman telur udang galah Sebaran data pada Tabel 6 yang besar perlu ditransformasikan dengan Log x, agar diperoleh sebaran data normal sebagai berikut: Perlakuan Ulangan Jumlah Rerata A B C D E FK = JK TOT = JK PRLK= JK ACAK= Sidik ragam keragaman db Jk Kt Fhit f5% Perlk acak total 11 Lampiran 9b. Analisis uji t derajat pengeraman telur udang galah E Total Rataan FK = JK A= A

74 74 JK E= T HIT= T 5%(4) Lampiran 10. Analisis statistik derajat penetasan telur udang galah Lampiran 10a. Analisis sidik ragam derajat penetasan telur udang galah Sebaran data pada Tabel 8 yang besar perlu ditransformasikan dengan Log x, agar diperoleh sebaran data normal sebagai berikut: Ulangan Jumlah Rerata Perlakuan (%) (%) A B C D E FK = JK TOT = JK PRLK= JK ACAK= Sidik ragam Keragaman db jk kt fhit f5% Perlk acak total 11 Lampiran 10b. Analisis uji t derajat penetasan telur udang galah E Total Rataan FK JK A= A

75 JK E= T HIT= T 5%(4)

76 Lampiran 11. Persentase derajat hidup larva udang galah Perlakuan Saat menetas (ekor) Jumlah (ekor) A Total Rerata B Total Rerata C Total Rerata D Total Rerata E Total Rerata Hari ke-2 Hari ke-12 Hari ke-22 Hari ke-32 Hari ke-42 Hari ke-52 Hari ke-62 SR (%) Jumlah (ekor) SR (%) Jumlah (ekor) SR (%) Jumlah (ekor) SR (%) 99, , , , , , ,36 99, , , , , , ,28 99, , , , , , ,73 299, , , , , , ,37 99, , , , , , ,45 99, , , , , , ,01 99, , , , , , ,95 99, , , , , , ,77 298, , , , , , ,73 99, , , , , , ,58 99, , , , , , ,59 99, , , , , , ,20 98, , , , , , ,25 298, , , , , , ,04 99, , , , , , ,68 97, , , , , , ,78 98, , , , , , ,70 99, , , , , , ,57 295, , , , , , ,05 98, , , , , , ,68 95, , , , , , ,18 89, , , , , , ,41 94, , , , , , ,05 279, , , , , , ,64 93, , , , , , ,88 Jumlah (ekor) SR (%) Jumlah (ekor) SR (%) Jumlah (ekor) SR (%)

77 Lampiran 12. Analisis statistik derajat hidup larva udang galah Lampiran 12a. Analisis sidik ragam derajat hidup larva udang galah Ulangan Jumlah Rerata Perlakuan (%) (%) A B C D E Sebaran data pada Tabel derajat hidup di atas yang besar perlu ditransformasikan dengan Log x, agar diperoleh sebaran data normal sebagai berikut: Perlakuan Ulangan Jumlah Rerata A B C D E FK = JK TOT = 0.35 JK PRLK= 0.16 JK ACAK= 0.19 Sidik ragam keragaman Db Jk Kt fhit f5% Perlk Acak Total 11 Lampiran 12b. Analisis uji t derajat hidup larva udang galah E Total Rataan FK = JK A= 0.01 JK E= 0.02 T HIT= 3.60 T 5%(4) A

78 78 Lampiran 13. Ukuran panjang dan berat larva udang galah GAMBAR KETERANGAN Larva stadium I Panjang badan : 1,53 Berat : 5,80 mg Warna : bening kecoklatan Waktu perkembangan: hari ke 1 ke 5 Larva stadium II Panjang badan : 2,60 Berat : 9.85 mg Warna : bening kecoklatan Waktu perkembangan: hari ke 2 ke 8 Larva stadium III Panjang badan : 3,93 Berat : 14,49 mg Warna : bening kecoklatan Waktu perkembangan: hari ke 5 ke 13 Larva stadium IV Panjang badan : 4,68 Berat : 18,11 mg Warna : bening kecoklatan Waktu perkembangan: hari ke 10 ke 16 Larva stadium V Panjang badan : 4,78 Berat : 18,49 mg Warna : bening kecoklatan Waktu perkembangan: hari ke 11 ke 19 Larva stadium VI Panjang badan : 6,38 Berat : 24,68 mg Warna : bening kecoklatan Waktu perkembangan: hari ke 13 ke 24 Larva stadium VII Panjang badan : 6,90 Berat : 25,44 mg Warna : bening kecoklatan Waktu perkembangan: hari ke 16 ke 28 Larva stadium VIII Panjang badan : 7,78 Berat : 28,69 mg Warna : coklat kemerahan Waktu perkembangan: hari ke 19 ke 32 Larva stadium IX Panjang badan : 10,10 Berat : 39,08 mg Warna : coklat kemerahan Waktu perkembangan: hari ke 23 ke 34

79 79 Lampiran 13 (lanjutan). Ukuran panjang dan berat larva udang galah GAMBAR KETERANGAN Larva stadium X Panjang badan : 11,99 Berat : 46,39 mg Warna : coklat kehitaman Waktu perkembangan: hari ke 26 ke 40 Larva stadium XI Panjang badan : 12,79 Berat : 47,42 mg Warna : coklat kehitaman Waktu perkembangan: hari ke 28 ke 57 Juvenil: Panjang badan : 12,89 Berat : 56,67 mg Warna : coklat kehitaman Waktu perkembangan: hari ke 29 ke 62

Gambar 1. Perbedaan morfologi udang galah jantan dan betina.

Gambar 1. Perbedaan morfologi udang galah jantan dan betina. 15 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Biologi Udang Galah Klasifikasi udang galah (Macrobrachium rosenbergii de Man) menurut Barnes (1987) adalah sebagai berikut; filum Arthropoda, kelas Crustacea,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perkawinan. Proses perkawinan biasanya terjadi pada malam hari atau menjelang

II. TINJAUAN PUSTAKA. perkawinan. Proses perkawinan biasanya terjadi pada malam hari atau menjelang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sifat Seksualitas Lobster Air Tawar Pada umumnya lobster air tawar matang gonad pada umur 6 sampai 7 bulan. Setelah mencapai umur tersebut, induk jantan dan betina akan melakukan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Derajat Kelangsungan Hidup (SR) Perlakuan Perendaman (%)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Derajat Kelangsungan Hidup (SR) Perlakuan Perendaman (%) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Hasil yang diperoleh pada penelitian ini meliputi persentase jenis kelamin jantan rata-rata, derajat kelangsungan hidup (SR) rata-rata setelah perlakuan perendaman dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Budidaya monoseks sudah umum dilakukan pada budidaya ikan. (Beardmore et al, 2001; Devlin and Nagahama, 2002; Gomelsky, 2003), dan

I. PENDAHULUAN. Budidaya monoseks sudah umum dilakukan pada budidaya ikan. (Beardmore et al, 2001; Devlin and Nagahama, 2002; Gomelsky, 2003), dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Budidaya monoseks sudah umum dilakukan pada budidaya ikan (Beardmore et al, 2001; Devlin and Nagahama, 2002; Gomelsky, 2003), dan upaya tersebut sudah umum dilakukan dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan nila merah Oreochromis sp.

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan nila merah Oreochromis sp. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik ikan nila merah Oreochromis sp. Ikan nila merupakan ikan yang berasal dari Sungai Nil (Mesir) dan danaudanau yang berhubungan dengan aliran sungai itu. Ikan nila

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Komoditas ikan-ikan air tawar sejak beberapa waktu lalu sedang naik daun

I. PENDAHULUAN. Komoditas ikan-ikan air tawar sejak beberapa waktu lalu sedang naik daun 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komoditas ikan-ikan air tawar sejak beberapa waktu lalu sedang naik daun karena memiliki daya tarik yang sangat kuat, salah satu jenisnya adalah lobster air tawar (Cherax

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksananakan pada bulan Juli September 2013 di

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksananakan pada bulan Juli September 2013 di 25 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksananakan pada bulan Juli September 2013 di laboratorium penelitian Biologi Akuatik Gedung MIPA Terpadu Fakultas Matematika

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Rasio Kelamin Ikan Nilem Penentuan jenis kelamin ikan dapat diperoleh berdasarkan karakter seksual primer dan sekunder. Pemeriksaan gonad ikan dilakukan dengan mengamati

Lebih terperinci

Jurnal KELAUTAN, Volume 3, No.1 April 2010 ISSN :

Jurnal KELAUTAN, Volume 3, No.1 April 2010 ISSN : UJI AKTIVITAS EKSTRAK TERIPANG PASIR YANG TELAH DIFORMULASIKAN TERHADAP KEMAMPUAN SEX REVERSAL DAN KELANGSUNGAN HIDUP UDANG GALAH (Macrobrachium rosembergii) Haryo Triajie Dosen Jurusan Ilmu Kelautan Universitas

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. 3.1 Waktu dan tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2009 di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Jambi.

BAHAN DAN METODE. 3.1 Waktu dan tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2009 di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Jambi. III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2009 di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Jambi. 3.2 Alat dan bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

METODE PENELITIAN. Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitan ini dilaksanakan pada bulan November 2014 sampai bulan Januari 2015 bertempat di Desa Toto Katon, Kecamatan Punggur, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi

Lebih terperinci

Produksi benih ikan patin jambal (Pangasius djambal) kelas benih sebar

Produksi benih ikan patin jambal (Pangasius djambal) kelas benih sebar Standar Nasional Indonesia Produksi benih ikan patin jambal (Pangasius djambal) kelas benih sebar ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup... 1

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Persentase Ikan Jantan Salah satu faktor yang dapat digunakan dalam mengukur keberhasilan proses maskulinisasi ikan nila yaitu persentase ikan jantan. Persentase jantan

Lebih terperinci

PENGARUH UMUR LARVA IKAN NILA (OREOCHROMIS NILOTICUS) TERHADAP TINGKAT KEBERHASILAN PEMBENTUKAN SEL KELAMIN JANTAN RINDHIRA HUMAIRANI Z¹, ERLITA¹

PENGARUH UMUR LARVA IKAN NILA (OREOCHROMIS NILOTICUS) TERHADAP TINGKAT KEBERHASILAN PEMBENTUKAN SEL KELAMIN JANTAN RINDHIRA HUMAIRANI Z¹, ERLITA¹ PENGARUH UMUR LARVA IKAN NILA (OREOCHROMIS NILOTICUS) TERHADAP TINGKAT KEBERHASILAN PEMBENTUKAN SEL KELAMIN JANTAN RINDHIRA HUMAIRANI Z¹, ERLITA¹ ¹Dosen Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Pertanian

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fisiologi Hewan Air Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, pada bulan Maret 2013 sampai dengan April 2013.

Lebih terperinci

TOKSISITAS HORMON 17 α METILTESTOSTERON TERHADAP ASPEK REPRODUKSI UDANG GALAH Apri Arisandi 1

TOKSISITAS HORMON 17 α METILTESTOSTERON TERHADAP ASPEK REPRODUKSI UDANG GALAH Apri Arisandi 1 TOKSISITAS HORMON 17 α METILTESTOSTERON TERHADAP ASPEK REPRODUKSI UDANG GALAH Apri Arisandi 1 1 Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura Abstrak: Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii)

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Derajat Penetasan Telur Hasil perhitungan derajat penetasan telur berkisar antara 68,67-98,57% (Gambar 1 dan Lampiran 2). Gambar 1 Derajat penetasan telur ikan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN UDANG GALAH GI MACRO II

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN UDANG GALAH GI MACRO II KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN UDANG GALAH GI MACRO II DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ikan nila

TINJAUAN PUSTAKA Ikan nila 6 TINJAUAN PUSTAKA Ikan nila Ikan nila (Oreochromis niloticus) termasuk dalam family Chiclidae. Ciri yang spesifik pada ikan nila adalah adanya garis vertikal berwarna gelap di tubuh berjumlah 6-9 buah

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 12 3 METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Maret sampai dengan bulan November 2012 di Instalasi Penelitian Plasma Nutfah Perikanan Air Tawar, Cijeruk, Bogor. Analisis hormon testosteron

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Fekunditas Pemijahan

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Fekunditas Pemijahan HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Berdasarkan tingkat keberhasilan ikan lele Sangkuriang memijah, maka dalam penelitian ini dibagi dalam tiga kelompok yaitu kelompok perlakuan yang tidak menyebabkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang sudah dikenal luas dan termasuk komoditas ekspor. Kelebihan ikan guppy

I. PENDAHULUAN. yang sudah dikenal luas dan termasuk komoditas ekspor. Kelebihan ikan guppy I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan guppy (Poecillia reticulata) merupakan salah satu jenis ikan hias air tawar yang sudah dikenal luas dan termasuk komoditas ekspor. Kelebihan ikan guppy diantaranya

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Percobaan 1. Pengaruh pemberian bahan aromatase inhibitor pada tiga genotipe ikan nila sampai tahap pendederan.

BAHAN DAN METODE. Percobaan 1. Pengaruh pemberian bahan aromatase inhibitor pada tiga genotipe ikan nila sampai tahap pendederan. 12 BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Pemuliaan dan Genetika dan kolam percobaan pada Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Jl. Raya 2 Sukamandi,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemeliharaan Induk Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk terlebih dahulu di kolam pemeliharaan induk yang ada di BBII. Induk dipelihara

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Jenis Kelamin Belut Belut sawah merupakan hermaprodit protogini, berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa pada ukuran panjang kurang dari 40 cm belut berada pada

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Indeks Gonad Somatik (IGS) Hasil pengamatan nilai IGS secara keseluruhan berkisar antara,89-3,5% (Gambar 1). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa bioflok

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN AROMATASE INHIBITOR DAN MADU TERHADAP NISBAH KELAMIN IKAN GAPI ( Poecilia reticulata Peters ) Oleh: Budi Utomo C

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN AROMATASE INHIBITOR DAN MADU TERHADAP NISBAH KELAMIN IKAN GAPI ( Poecilia reticulata Peters ) Oleh: Budi Utomo C EFEKTIVITAS PENGGUNAAN AROMATASE INHIBITOR DAN MADU TERHADAP NISBAH KELAMIN IKAN GAPI ( Poecilia reticulata Peters ) Oleh: Budi Utomo C14101048 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR FAKULTAS

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias, Depok Jawa Barat.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias, Depok Jawa Barat. III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Mei 2013, di Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias, Depok Jawa Barat. B. Alat dan Bahan (1)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sex Reversal dan Diferensiasi Kelamin

TINJAUAN PUSTAKA Sex Reversal dan Diferensiasi Kelamin 4 TINJAUAN PUSTAKA Sex Reversal dan Diferensiasi Kelamin Teknik pengarahan diferensiasi kelamin untuk mengubah jenis kelamin secara buatan dari jenis kelamin jantan secara genetik menjadi jenis kelamin

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. : Nilai pengamatan perlakuan ke-i, ulangan ke-j : Rata-rata umum : Pengaruh perlakuan ke-i. τ i

METODE PENELITIAN. : Nilai pengamatan perlakuan ke-i, ulangan ke-j : Rata-rata umum : Pengaruh perlakuan ke-i. τ i 13 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Lab. KESDA provinsi DKI Jakarta (analisis kandungan senyawa aktif, Pimpinella alpina), Lab. Percobaan Babakan FPIK (pemeliharaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ikan guppy adalah salah satu sumber devisa bagi Indonesia. Berdasarkan data

I. PENDAHULUAN. Ikan guppy adalah salah satu sumber devisa bagi Indonesia. Berdasarkan data I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan guppy adalah salah satu sumber devisa bagi Indonesia. Berdasarkan data profil pembudidaya di tingkat internasional, Indonesia baru dapat memenuhi pangsa pasar ikan

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi Benih Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas benih sebar

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi Benih Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas benih sebar SNI : 02-6730.3-2002 Standar Nasional Indonesia Produksi Benih Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas benih sebar Prakata Standar produksi benih kodok lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas benih sebar

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dari April 2010 sampai Januari 2011, di Laboratorium Pembenihan Ikan Ciparanje dan Laboratorium Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster ORDO DECAPODA Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster Kelompok Macrura Bangsa Udang dan Lobster Bentuk tubuh memanjang Terdiri kepala-dada (cephalothorax) dan abdomen (yang disebut ekor) Kaki beruas

Lebih terperinci

Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia, 1(1) :14-22 (2013) ISSN :

Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia, 1(1) :14-22 (2013) ISSN : Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia, 1(1) :14-22 (2013) ISSN : 2303-2960 MASKULINISASI IKAN GAPI (Poecilia reticulata) MELALUI PERENDAMAN INDUK BUNTING DALAM LARUTAN MADU DENGAN LAMA PERENDAMAN BERBEDA Masculinitation

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 15 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ini dilakukan pada 8 induk ikan Sumatra yang mendapat perlakuan. Hasil penelitian ini menunjukan Spawnprime A dapat mempengaruhi proses pematangan akhir

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ikan baung (Mystus nemurus) adalah ikan air tawar yang terdapat di

I. PENDAHULUAN. Ikan baung (Mystus nemurus) adalah ikan air tawar yang terdapat di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan baung (Mystus nemurus) adalah ikan air tawar yang terdapat di beberapa sungai di Indonesia. Usaha budidaya ikan baung, khususnya pembesaran dalam keramba telah berkembang

Lebih terperinci

genus Barbodes, sedangkan ikan lalawak sungai dan kolam termasuk ke dalam species Barbodes ballaroides. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol berbeda

genus Barbodes, sedangkan ikan lalawak sungai dan kolam termasuk ke dalam species Barbodes ballaroides. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol berbeda 116 PEMBAHASAN UMUM Domestikasi adalah merupakan suatu upaya menjinakan hewan (ikan) yang biasa hidup liar menjadi jinak sehingga dapat bermanfaat bagi manusia. Domestikasi ikan perairan umum merupakan

Lebih terperinci

PENGARUH TEPUNG IKAN LOKAL DALAM PAKAN INDUK TERHADAP PEMATANGAN GONAD DAN KUALITAS TELUR IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus Blkr.

PENGARUH TEPUNG IKAN LOKAL DALAM PAKAN INDUK TERHADAP PEMATANGAN GONAD DAN KUALITAS TELUR IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus Blkr. PENGARUH TEPUNG IKAN LOKAL DALAM PAKAN INDUK TERHADAP PEMATANGAN GONAD DAN KUALITAS TELUR IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus Blkr.) Ediwarman SEKOLAH PASACASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

II. METODOLOGI. a) b) Gambar 1 a) Ikan nilem hijau ; b) ikan nilem were.

II. METODOLOGI. a) b) Gambar 1 a) Ikan nilem hijau ; b) ikan nilem were. II. METODOLOGI 2.1 Materi Uji Sumber genetik yang digunakan adalah ikan nilem hijau dan ikan nilem were. Induk ikan nilem hijau diperoleh dari wilayah Bogor (Jawa Barat) berjumlah 11 ekor dengan bobot

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 8 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2008 sampai dengan bulan Juli 2009 di Kolam Percobaan Babakan, Laboratorium Pengembangbiakkan dan Genetika Ikan

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi Induk Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Sinyonya kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi Induk Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Sinyonya kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 01-6135 - 1999 Standar Nasional Indonesia Produksi Induk Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Sinyonya kelas induk pokok (Parent Stock) Daftar Isi Halaman Pendahuluan 1 Ruang lingkup... 1 2

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Pengambilan data penelitian telah dilaksanakan pada bulan Desember 2012 sampai bulan Januari 2013 bertempat di Hatcery Kolam Percobaan Ciparanje

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Perlakuan penyuntikan hormon PMSG menyebabkan 100% ikan patin menjadi bunting, sedangkan ikan patin kontrol tanpa penyuntikan PMSG tidak ada yang bunting (Tabel 2).

Lebih terperinci

LINGKUNGAN BISNIS PELUANG BISNIS BUDIDAYA IKAN MAS : IMADUDIN ATHIF N.I.M :

LINGKUNGAN BISNIS PELUANG BISNIS BUDIDAYA IKAN MAS : IMADUDIN ATHIF N.I.M : LINGKUNGAN BISNIS PELUANG BISNIS BUDIDAYA IKAN MAS NAMA KELAS : IMADUDIN ATHIF : S1-SI-02 N.I.M : 11.12.5452 KELOMPOK : G STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2011 KATA PENGANTAR Puji syukur kita panjatkan kehadirat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ikan merupakan alternatif pilihan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan

I. PENDAHULUAN. Ikan merupakan alternatif pilihan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan merupakan alternatif pilihan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan protein. Salah satu komoditas yang menjadi primadona saat ini adalah ikan lele (Clarias sp.). Ikan

Lebih terperinci

Penanganan induk udang windu, Penaeus monodon (Fabricius, 1798) di penampungan

Penanganan induk udang windu, Penaeus monodon (Fabricius, 1798) di penampungan Standar Nasional Indonesia Penanganan induk udang windu, Penaeus monodon (Fabricius, 1798) di penampungan ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup...

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/KEPMEN-KP/2016 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/KEPMEN-KP/2016 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/KEPMEN-KP/2016 TENTANG PELEPASAN IKAN KELABAU (OSTEOCHILUS MELANOPLEURUS) HASIL DOMESTIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi Induk Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Majalaya kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi Induk Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Majalaya kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 01 6131 1999 Standar Nasional Indonesia Produksi Induk Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Majalaya kelas induk pokok (Parent Stock) Daftar Isi Pendahuluan Halaman 1 Ruang lingkup...1 2 Acuan...1

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Bernhard Grzimek (1973) dalam Yovita H.I dan Mahmud Amin

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Bernhard Grzimek (1973) dalam Yovita H.I dan Mahmud Amin TINJAUAN PUSTAKA Ikan Black Ghost (Apteronotus albifrons) Menurut Bernhard Grzimek (1973) dalam Yovita H.I dan Mahmud Amin dalam Rahman (2012), sistematika ikan black ghost adalah sebagai berikut : Kingdom

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS DAN EFEK TOKSIK EKSTRAK STEROID TERIPANG DAN 17α METILTESTOSTERON PADA MANIPULASI KELAMIN UDANG GALAH

EFEKTIVITAS DAN EFEK TOKSIK EKSTRAK STEROID TERIPANG DAN 17α METILTESTOSTERON PADA MANIPULASI KELAMIN UDANG GALAH EFEKTIVITAS DAN EFEK TOKSIK EKSTRAK STEROID TERIPANG DAN 17α METILTESTOSTERON PADA MANIPULASI KELAMIN UDANG GALAH Apri Arisandi Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo JL. Raya Telang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hepatosomatic Index Hepatosomatic Indeks (HSI) merupakan suatu metoda yang dilakukan untuk mengetahui perubahan yang terjadi dalam hati secara kuantitatif. Hati merupakan

Lebih terperinci

MODUL: PEMELIHARAAN INDUK

MODUL: PEMELIHARAAN INDUK BDI L/3/3.1 BIDANG BUDIDAYA IKAN PROGRAM KEAHLIAN BUDIDAYA IKAN AIR LAUT PENGELOLAAN INDUK KERAPU: KERAPU BEBEK MODUL: PEMELIHARAAN INDUK DIREKTORAT PENDIDIKAN MENENGAH KEJURUAN DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. salah satu daya pikat dari ikan lele. Bagi pembudidaya, ikan lele merupakan ikan

I. PENDAHULUAN. salah satu daya pikat dari ikan lele. Bagi pembudidaya, ikan lele merupakan ikan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu komoditi ikan yang menjadi primadona di Indonesia saat ini adalah ikan lele (Clarias sp). Rasa yang gurih dan harga yang terjangkau merupakan salah satu daya

Lebih terperinci

Budidaya Nila Merah. Written by admin Tuesday, 08 March 2011 10:22

Budidaya Nila Merah. Written by admin Tuesday, 08 March 2011 10:22 Dikenal sebagai nila merah taiwan atau hibrid antara 0. homorum dengan 0. mossombicus yang diberi nama ikan nila merah florida. Ada yang menduga bahwa nila merah merupakan mutan dari ikan mujair. Ikan

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi induk ikan patin siam (Pangasius hyphthalmus) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi induk ikan patin siam (Pangasius hyphthalmus) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 01-6483.3-2000 Standar Nasional Indonesia Produksi induk ikan patin siam (Pangasius hyphthalmus) kelas induk pokok (Parent Stock) DAFTAR ISI Halaman Pendahuluan 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan... 1

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS MADU TERHADAP PENGARAHAN KELAMIN IKAN GAPI (Poecilia reticulata Peters)

EFEKTIVITAS MADU TERHADAP PENGARAHAN KELAMIN IKAN GAPI (Poecilia reticulata Peters) Jurnal Akuakultur Indonesia, 6(2): 155 160 (2007) Available : http://journal.ipb.ac.id/index.php/jai http://jurnalakuakulturindonesia.ipb.ac.id 155 EFEKTIVITAS MADU TERHADAP PENGARAHAN KELAMIN IKAN GAPI

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE II. BAHAN DAN METODE 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari hingga Juni 2012. Penelitian dilaksanakan di Ruang Penelitian, Hanggar 2, Balai Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat Kelangsungan Hidup BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup merupakan suatu nilai perbandingan antara jumlah organisme yang hidup di akhir pemeliharaan dengan jumlah organisme

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan agroindustri dalam era globalisasi ditekankan pada berbagai komoditas yang mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif. Sektor kelautan dan perikanan sebagai

Lebih terperinci

Deskripsi. METODA PRODUKSI MASSAL BENIH IKAN HIAS MANDARIN (Synchiropus splendidus)

Deskripsi. METODA PRODUKSI MASSAL BENIH IKAN HIAS MANDARIN (Synchiropus splendidus) 1 Deskripsi METODA PRODUKSI MASSAL BENIH IKAN HIAS MANDARIN (Synchiropus splendidus) Bidang Teknik Invensi Invensi ini berhubungan dengan produksi massal benih ikan hias mandarin (Synchiropus splendidus),

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga PENDAHULUAN Latar Belakang Udang windu merupakan salah satu komoditas ekspor non migas dalam sektor perikanan. Kegiatan produksi calon induk udang windu merupakan rangkaian proses domestifikasi dan pemuliaan

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE 2. 1 Rancangan penelitian 2.2 Persiapan wadah 2.3 Penyediaan larva ikan patin

II. BAHAN DAN METODE 2. 1 Rancangan penelitian 2.2 Persiapan wadah 2.3 Penyediaan larva ikan patin II. BAHAN DAN METODE 2. 1 Rancangan penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan 4 perlakuan dan 5 kali ulangan. Rancangan perlakuan yang diberikan pada larva ikan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tabel 1. Subset penelitian faktorial induksi rematurasi ikan patin

BAHAN DAN METODE. Tabel 1. Subset penelitian faktorial induksi rematurasi ikan patin II. BAHAN DAN METODE 2.1 Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari subset penelitian faktorial untuk mendapatkan dosis PMSG dengan penambahan vitamin mix 200 mg/kg pakan yang dapat menginduksi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Lele Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Filum: Chordata Kelas : Pisces Ordo : Ostariophysi Famili : Clariidae Genus : Clarias Spesies :

Lebih terperinci

EFEKTIFITAS EKSTRAK TERIPANG PASIR YANG TELAH DIFORMULASIKAN TERHADAP MASKULINISASI UDANG GALAH HARYO TRIAJIE

EFEKTIFITAS EKSTRAK TERIPANG PASIR YANG TELAH DIFORMULASIKAN TERHADAP MASKULINISASI UDANG GALAH HARYO TRIAJIE EFEKTIFITAS EKSTRAK TERIPANG PASIR YANG TELAH DIFORMULASIKAN TERHADAP MASKULINISASI UDANG GALAH HARYO TRIAJIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Clownfish Klasifikasi Clownfish menurut Burges (1990) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Perciformes

Lebih terperinci

KHAIRUL MUKMIN LUBIS IK 13

KHAIRUL MUKMIN LUBIS IK 13 PEMBENIHAN : SEGALA KEGIATAN YANG DILAKUKAN DALAM PEMATANGAN GONAD, PEMIJAHAN BUATAN DAN PEMBESARAN LARVA HASIL PENETASAN SEHINGGA MENGHASILAKAN BENIH YANG SIAP DITEBAR DI KOLAM, KERAMBA ATAU DI RESTOCKING

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian. Alat dan Bahan

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian. Alat dan Bahan 33 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Pemeliharaan ikan dilakukan di Laboratorium Sistem dan Teknologi Budidaya, IPB. Histologi gonad dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan (LKI), uji glukosa

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE. 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PT. Peta Akuarium, Bandung pada bulan April hingga Mei 2013.

BAB III BAHAN DAN METODE. 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PT. Peta Akuarium, Bandung pada bulan April hingga Mei 2013. BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PT. Peta Akuarium, Bandung pada bulan April hingga Mei 2013. 3.2 Alat dan Bahan Penelitian 3.2.1 Alat-alat Penelitian

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik lokal di Indonesia merupakan plasma nutfah yang perlu dilestarikan dan

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik lokal di Indonesia merupakan plasma nutfah yang perlu dilestarikan dan PENGANTAR Latar Belakang Itik lokal di Indonesia merupakan plasma nutfah yang perlu dilestarikan dan ditingkatkan produktivitasnya untuk meningkatkan pendapatan peternak. Produktivitas itik lokal sangat

Lebih terperinci

Panduan Singkat Teknik Pembenihan Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) Disusun oleh: ADE SUNARMA

Panduan Singkat Teknik Pembenihan Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) Disusun oleh: ADE SUNARMA Panduan Singkat Teknik Pembenihan Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) Disusun oleh: ADE SUNARMA BBPBAT Sukabumi 2007 Daftar Isi 1. Penduluan... 1 2. Persyaratan Teknis... 2 2.1. Sumber Air... 2 2.2. Lokasi...

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

Hormon Jantanisasi Ikan Untuk Sex Reversal Ikan Jantan dan Pelet Stimulan Pakan Ikan (SPI) Untuk Pembesaran Ikan

Hormon Jantanisasi Ikan Untuk Sex Reversal Ikan Jantan dan Pelet Stimulan Pakan Ikan (SPI) Untuk Pembesaran Ikan ATOM Media Informasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir S Hormon Jantanisasi Ikan Untuk Sex Reversal Ikan Jantan dan Pelet Stimulan Pakan Ikan (SPI) Untuk Pembesaran Ikan Produk yang dihasilkan oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu usaha yang mutlak dibutuhkan untuk mengembangkan budi daya ikan adalah penyediaan benih yang bermutu dalam jumlah yang memadai dan waktu yang tepat. Selama ini

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Kandungan biokimia madu dan respons ikan terhadap perendaman madu, chrysin dan kalium

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Kandungan biokimia madu dan respons ikan terhadap perendaman madu, chrysin dan kalium 17 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kandungan biokimia madu dan respons ikan terhadap perendaman madu, chrysin dan kalium Hasil analisis kandungan madu menunjukkan bahwa kadar flavonoid dan kalium tertinggi

Lebih terperinci

BUDIDAYA IKAN NILA MUHAMMAD ARIEF

BUDIDAYA IKAN NILA MUHAMMAD ARIEF BUDIDAYA IKAN NILA MUHAMMAD ARIEF BUDIDAYA IKAN NILA POTENSI : - daya adaptasi tinggi (tawar-payau-laut) - tahan terhadap perubahan lingkungan - bersifat omnivora - mampu mencerna pakan secara efisien

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN Nomor: KEP. 42/MEN/2001 TENTANG PELEPASAN VARIETAS UDANG GALAH SEBAGAI VARIETAS UNGGUL

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN Nomor: KEP. 42/MEN/2001 TENTANG PELEPASAN VARIETAS UDANG GALAH SEBAGAI VARIETAS UNGGUL KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN Nomor: KEP. 42/MEN/2001 TENTANG PELEPASAN VARIETAS UDANG GALAH SEBAGAI VARIETAS UNGGUL MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka dalam rangka

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PPI Muara Angke, Jakarta Utara dari bulan Januaribulan Maret 2010. Analisis aspek reproduksi dilakukan di Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Kelautan untuk membuat ekstrak daun sirih, Laboratorium Fisiologi Hewan Air (FHA) untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan nilem (Osteochilus hasselti) termasuk kedalam salah satu komoditas budidaya yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Hal tersebut dikarenakan bahwa ikan nilem

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PEMIJAHAN, PENETASAN TELUR DAN PERAWATAN LARVA Pemijahan merupakan proses perkawinan antara induk jantan dengan induk betina. Pembuahan ikan dilakukan di luar tubuh. Masing-masing

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 23 Februari sampai 11 Maret 2013, di Laboratorium Akuakultur dan untuk pengamatan selama endogenous

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Majalaya kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Majalaya kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 01-6130 - 1999 Standar Nasional Indonesia Induk Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Majalaya kelas induk pokok (Parent Stock) Daftar Isi Halaman Pendahuluan 1 Ruang lingkup...1 2 Acuan...1

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Berdasarkan Tabel 2, terlihat bahwa pertumbuhan induk ikan lele tanpa perlakuan Spirulina sp. lebih rendah dibanding induk ikan yang diberi perlakuan Spirulina sp. 2%

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Sejarah Perusahaan 5.2. Struktur Organisasi

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Sejarah Perusahaan 5.2. Struktur Organisasi V. GAMBARAN UMUM 5.1. Sejarah Perusahaan Ben s Fish Farm mulai berdiri pada awal tahun 1996. Ben s Fish Farm merupakan suatu usaha pembenihan larva ikan yang bergerak dalam budidaya ikan konsumsi, terutama

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar belakang

PENDAHULUAN Latar belakang 16 PENDAHULUAN Latar belakang Ikan nila merupakan salah satu komoditas unggulan perikanan yang memiliki potensi cukup baik untuk dikembangkan. Beberapa kelebihan yang dimiliki ikan ini adalah mudah dipelihara,

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 01-6485.1-2000 Standar Nasional Indonesia Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock) Prakata Standar induk ikan gurami kelas induk pokok diterbitkan oleh Badan Standardisasi

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi benih ikan patin siam (Pangasius hyphthalmus) kelas benih sebar

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi benih ikan patin siam (Pangasius hyphthalmus) kelas benih sebar SNI : 01-6483.4-2000 Standar Nasional Indonesia Produksi benih ikan patin siam (Pangasius hyphthalmus) kelas benih sebar DAFTAR ISI Halaman Pendahuluan 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan... 1 3 Definisi... 1

Lebih terperinci

Pembesaran udang galah Macrobrachium rosenbergii kini mengadopsi

Pembesaran udang galah Macrobrachium rosenbergii kini mengadopsi 1 Udang Galah Genjot Produksi Udang Galah Pembesaran udang galah Macrobrachium rosenbergii kini mengadopsi gaya rumah susun. Setiap 1 m² dapat diberi 30 bibit berukuran 1 cm. Hebatnya kelulusan hidup meningkat

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan lele dumbo (Clarias gariepinus x C.fuscus) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan lele dumbo (Clarias gariepinus x C.fuscus) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 01-6484.1-2000 Standar Nasional Indonesia Induk ikan lele dumbo (Clarias gariepinus x C.fuscus) kelas induk pokok (Parent Stock) Daftar Isi Halaman Prakata... 1 Pendahuluan... 1 1 Ruang lingkup...

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. larva. Kolam pemijahan yang digunakan yaitu terbuat dari tembok sehingga

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. larva. Kolam pemijahan yang digunakan yaitu terbuat dari tembok sehingga BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Persiapan Kolam Pemijahan Kolam pemijahan dibuat terpisah dengan kolam penetasan dan perawatan larva. Kolam pemijahan yang digunakan yaitu terbuat dari tembok sehingga mudah

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi induk ikan lele dumbo (Clarias gariepinus x C.fuscus) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi induk ikan lele dumbo (Clarias gariepinus x C.fuscus) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 01-6484.3-2000 Standar Nasional Indonesia Produksi induk ikan lele dumbo (Clarias gariepinus x C.fuscus) kelas induk pokok (Parent Stock) Prakata Standar produksi induk ikan lele dumbo kelas induk

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2011 sampai September 2011 bertempat

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2011 sampai September 2011 bertempat III. METODE PENELITIAN A. Waktu Dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2011 sampai September 2011 bertempat di Balai Benih Ikan Sentral (BBIS) Probolinggo, Lampung Timur dan analisis sampel

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PT. Peta Akuarium, Jl. Peta No. 83, Bandung, Jawa Barat 40232, selama 20 hari pada bulan Maret April 2013. 3.2 Alat dan

Lebih terperinci

statistik menggunakan T-test (α=5%), baik pada perlakuan taurin dan tanpa diberi Hubungan kematangan gonad jantan tanpa perlakuan berdasarkan indeks

statistik menggunakan T-test (α=5%), baik pada perlakuan taurin dan tanpa diberi Hubungan kematangan gonad jantan tanpa perlakuan berdasarkan indeks Persentase Rasio gonad perberat Tubuh Cobia 32 Pembahasan Berdasarkan hasil pengukuran rasio gonad dan berat tubuh cobia yang dianalisis statistik menggunakan T-test (α=5%), baik pada perlakuan taurin

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan di Laboratorium Akuakultur Gedung IV Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran pada bulan April hingga

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN BAKTERI PROBIOTIK

PENGARUH PEMBERIAN BAKTERI PROBIOTIK PENGARUH PEMBERIAN BAKTERI PROBIOTIK Vibrio SKT-b MELALUI Artemia DENGAN DOSIS YANG BERBEDA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP PASCA LARVA UDANG WINDU Penaeus monodon ASRI SUTANTI SKRIPSI PROGRAM

Lebih terperinci