KEBIJAKAN PENGELOLAAN RUMPON YANG BERKELANJUTAN DI BARAT DAYA PERAIRAN PELABUHANRATU BESWENI P

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEBIJAKAN PENGELOLAAN RUMPON YANG BERKELANJUTAN DI BARAT DAYA PERAIRAN PELABUHANRATU BESWENI P"

Transkripsi

1 KEBIJAKAN PENGELOLAAN RUMPON YANG BERKELANJUTAN DI BARAT DAYA PERAIRAN PELABUHANRATU BESWENI P PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul Kebijakan Pengelolaan Rumpon yang Berkelanjutan Di Barat Daya Perairan Pelabuhanratu adalah karya saya sendiri dengan arahan dan bimbingan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya manapun yang diterbitkan telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir disertasi ini Bogor, September 2009 Besweni NIM P

3 ABSTRAK BESWENI. Kebijakan Pengelolaan Rumpon Yang Berkelanjutan di Barat Daya Perairan Pelabuhanratu Jawa Barat. Dibimbing oleh MOHAMAD SYAMSUL MAARIF sebagai ketua, SUGENG BUDIHARSONO dan I WAYAN NURJAYA sebagai anggota. Pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu berperan penting dalam mendukung usaha perikanan tangkap, memberi kepastian daerah penangkapan ikan, mengurangi biaya operasional, dan meningkatkan produktivitas hasil tangkapan. Penelitian ini bertujuan : (a) mengalinisis pengelolaan rumpon berdasarkan keterpaduan dimensi pengelolaan, dan (b) merumuskan alternatif kebijakan yang mendukung keberlanjutan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu. Penelitian ini menggunakan metode Multidimensional Scaling (MDS) aplikasi RAPFISH dan Analitical Hierarchy Process (AHP). Hasil analisis menunjukkan status keberlanjutan pengelolaan rumpon di Selatan perairan Pelabuhanratu termasuk kategori cukup berdasarkan keterpaduan dimensi ekologi, ekonomi, teknologi dan sosial (Ikb- PENGRUMPON = 55,96 pada skala 1 100). Bila dilihat untuk setiap dimensi pengelolaan yang ada, maka status keberlanjutan pengelolaan rumpon termasuk kategori cukup secara ekologi, baik secara ekonomi, kurang secara teknologi, dan kategori cukup secara sosial. Atribut sensitif dari keterpaduan dimensi yang menjadi faktor kunci sehingga perlu dikelola dengan baik ada tujuh, yaitu tingkat investasi pengusahaan rumpon, zona/kawasan pengelolaan rumpon, pendapatan nelayan rumpon (terutama nelayan kecil), potensi konflik, pengaruh terhadap ikan-ikan yang dilindungi, penggunaan BBM untuk penangkapan di rumpon, dan rasio usaha perikanan tangkap yang bergantung pada rumpon. Alternatif kebijakan untuk mengelola faktor kunci guna mendukung pengelolaan rumpon yang berkelanjutan di Barat Daya perairan Pelabuhanratu diurut dari prioritas pertama ke prioritas terakhir (rasio inconsistency 0,05) adalah : (a) penetapan zona pengelolaan rumpon (RK = 0.460), (d) Perbaikan mekanisme pembiayaan pengadaan rumpon dan investasi (RK= 0.291), (c) Pengaturan jumlah nelayan dan jumlah armada penangkapan di rumpon (RK= 0.149), (d) Penyediaan BBM khusus untuk penang kapan ikan di rumpon (RK=0.100). Kata kunci : dimensi, keberlanjutan, kebijakan, rumpon,

4 ABSTRACT BESWENI. Sustainable Rumpon Management Policy at South West Pelabuhanratu, West Java Province. Under the direction of MOHAMAD SYAMSUL MAARIF, SUGENG BUDIHARSONO, and I WAYAN NURJAYA. The management of Rumpon in south west waters of Pelabuhanratu have important role in supporting bussines catch fisheries, giving certainty of fishing ground, lessening of operating cost, and improving productivity of catch. The aim at this research are: (a) to analyse rumpon bu using integrated management dimension, and ( b) to formulate the alternative policies to support the management of rumpon sustainability in south west waters of Pelabuhanratu. Multidimensional Scaling (MDS) method with application by RAPFISH and that Analitical Hierarchy Process (AHP) are applied on this research. Result of analysis show the management status of rumpon in south west waters of Pelabuhanratu, its category "enough" by dimension integrited of ecology, economic, technology and social ( Ikb-Pengrumpon = 55,96 at scale 1-100). If seen to each of management dimension, hence the management status of rumpon have categories enough in ecology, good in economics, less in technological, and enough in social. Sensitive attribute from dimension integrated becoming key factor so that require to be managed better there are seven. There are investation mount to the rumpon business, zonation of the management of rumpon, earnings of rumpon fisherman (especially the small fisherman), conflict potencial, influence to covert fish, use oil for arrest in rumpon, and ratio of fishery catch with bases on rumpon. Alternative policy to manage key factor utilize to support support the management of rumpon sustainability in south west waters of Pelabuhanratu massaged from first priority to last priority (ratio inconsistency 0,05) are : (a) determinate zona of the management rumpon (RK = 0.460), (b) improvement of the cost mechanism of levying rumpon (RK = 0.291), (c) arrange the catching ship allocation and the fisherman allocation in each catching ship in rumpon (RK =0.149), (d) to ready of special oil to arrest of fish in rumpon ( RK = 0.100). Keyword : dimension, sustainability, policy, rumpon.

5 RINGKASAN Berdasarkan statistik perikanan tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP, 2008), bahwa nelayan skala kecil mendominasi usaha perikanan tangkap di Indonesia yaitu sebesar 97,02%. Hal ini dibuktikan dari UNIT jumlah kapal perikanan yang menangkap ikan di laut, unit merupakan kapal yang berukuran < 10 GT (Gross Tonage). Nelayan skala kecil ini pada umumnya melakukan kegiatan usaha penangkapan ikan dengan berbagai keterbatasan, antara lain: modal, ilmu pengetahuan, sarana dan ruang gerak. Hal ini berdampak pada rendahnya hasil tangkapan mereka yang berimbas pada pendapatannya yang rendah. Salah satu alternatif untuk menyelesaikan keterbatasan tersebut, telah dikembangkan penangkapan ikan berbasis rumpon yang disebut rumponisasi. Kegiatan penangkapan ikan berbasis rumpon, mempunyai kelebihan dibandingkan kegiatan penangkapan ikan lainnya, yaitu meningkatkan efisiensi dan efektivitas penangkapan ikan dan memudahkan nelayan dalam mencari ikan (Monintja, 2003). Menurut Imron dan Baskoro (2006) bahwa, dengan adanya rumpon maka operasi penangkapan ikan di laut tidak lagi bersifat memburu (hunter), tapi mempunyai keuntungan rumpon yaitu: (a) mengurangi biaya operasional penangkapan terutama bahan bakar minyak (BBM) yang merupakan komponen utama biaya operasional, (b) mempersingkat hari operasi penangkapan (fishing trip), (c) mempunyai kepastian daerah operasi penangkapan (fishing ground), dan (d) meningkatkan hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan. Penggunaan rumpon atau Fish Aggregating Device (FADs) di perairan Pelabuhanratu sebagai alat bantu penangkapan ikan telah diteliti sejak tahun 1989, namun penggunaan dan pemanfaatannya oleh nelayan yang mempunyai armada penangkapan 10 GT kebawah untuk mendukung usaha perikanan tangkap sejak tahun 2005 dan sampai saat ini telah berkembang. Rumponisasi dilakukan di perairan Pelabuhanratu bertujuan agar produktifitas penangkapan ikan dapat meningkat sehingga pendapatan nelayan tersebut khususnya nelayan 1

6 skala kecil meningkat. Namun dilain pihak, keberadaan rumpon di perairan Pelabuhanratu telah menimbulkan masalah multidimensi seperti konflik antara nelayan pemanfatan rumpon dengan nelayan yang tidak memanfaatkan rumpon, lokasi pemasangan rumpon, jenis ikan dan alat tangkap yang digunakan karena kecemburuan sosial sehingga banyak rumpon yang telah dipasang menjadi hilang, rusak atau tidak bisa digunakan. Berdasarkan mufakat antar nelayan mka rumpon tersebutdi pindahkan lokasi pemasangannya jauh ke arah Barat Daya perairan Pelabuhanratu. Oleh karena itu agar rumpon yang telah dipasang dan dimanfaatkan serta pengembangannya lebih lanjut oleh nelayan yang mendaratkan hasil tangkapannya di Pelabuhan Perikanan Nasional Pelabuhanratu dapat berkelanjutan, maka perlu dikaji status keberlanjutan rumpon saat ini sebagai dasar penentuan kebijakan pengelolaan rumpon yang berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan kebijakan pengelolaan rumpon yang berkelanjutan di Barat Daya perairan Pelabuhanratu dengan menganalisis status keberlanjutan pengelolaan rumpon dari empat dimensi keberlanjutan yaitu: dimensi ekologi, ekonomi, teknologi dan sosial. Penelitian dilakukan di Barat Daya perairan Pelabuhanratu Provinsi Jawa Barat yang telah dilakukan sejak bulan September 2008 Januari Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder yang dikumpulkan melalui berbagai cara seperti observasi lapang, wawancara, diskusi dan responden serta melalui penelusuran pustaka yang ada di berbagai institusi terkait. Responden analisis MDS dilakukan terhadap kelompok nelayan yang memanfaatkan 22 unit rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu. Sedangkan responden penentuan prioritas kebijakan dipilih secara purposive (sengaja) dari pihak-pihak/stakeholders yang berinteraksi langsung yang banyak mengetahui pengelolaan rumpon selama ini. Stakeholders/actors tersebut berasal dari pemerintah, pengusaha, ilmuan dan nelayan yang memanfaatkan rumpon. Sesuai dengan tujuan penelitian, untuk melihat keberlanjutan dari pengelolaan rumpon saat ini di Selatan perairan Pelabuhanratu, dilakukan analisis keberlanjutan menggunakan RAPFISH (The Rapid Appraisal of The Status Of Fisheries) (Kavanagh, 2001) dengan metode Multidimensional Scaling (MDS). Dalam analisis MDS, sekaligus dilakukan Laverage, analisis Monte 2

7 Carlo, penentuan nilai Stress, dan nilai Koefisien Determinasi (R 2 ). Kemudian dilanjutkan dengan analisis antar atribut sensitive untuk menentukan atribut kunci sebagai dasar penentuan alternatif kebijakan. Untuk menghasilkan suatu prioritas dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan pengelolaan rumpon, dilakukan analisis menggunakan Analitical Hierarchy Process (AHP). Berdasarkan hasil analisis MDS, maka nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon di Selatan perairan Pelabuhanratu (Ikl-PENGRUMPON- Pelabuhanratu) dari pertimbangan multidimensi secara terpadu (dimensi ekologi, ekonomi, teknologi, sosial) diketahui sebesar 55,96 pada skala keberlanjutan Nilai indeks ini berada pada kisaran sehingga status keberlanjutan pengelolaan rumpon di Selatan perairan Pelabuhan termasuk kategori cukup. Berdasarkan uji terhadap koefisien diterminasi (R 2 ) ( 95%) dan Stress (0,25), maka hasil MDS layak dan menyerupai kondisi sebenarnya kegiatan pengelolaan rumpon di Pelabuhanratu. Begitu juga hasil analisis MDS terkait dengan indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon identik dengan hasil analisis Monte Carlo yang berarti nilai indeks keberlanjutan yang digunakan untuk menjelaskan kondisi pengelolaan rumpon di Pelabuhanratu dari dimensi ekologi, ekonomi, teknologi, dan lingkungan, serta keterpaduan semua dimensi tersebut layak untuk dipercaya (Kavanagh dan Pitcher, 2004) Berdasarkan analsis keberlanjutan dan keterkaitan atribut, terdapat 17 atribut sensitif dari 28 atribut pengelolaan rumpon di perairan Pelabuhanratu dan diperoleh 7 (tujuh) atributnya sebagai atribut kunci yang merupakan dasar dalam pengambilan kebijakan pengelolaan rumpon berkelanjutan di perairan Pelabuhanratu yaitu: tingkat investasi pengusahaan rumpon, zona/kawasan pengelolaan rumpon, dan pendapatan nelayan rumpon (terutama nelayan kecil), potensi konflik, pengaruh terhadap ikan-ikan yang dilindungi, penggunaan BBM untuk penangkapan di rumpon, dan rasio usaha perikanan tangkap yang bergantung pada rumpon. Berdasarkan Analitical Hierarchy Process (AHP) dan langkah-langkah penggunaan AHP (Maarif, 2004) dihasilkan alternatif kebijakan pengelolaan rumpon yang berkelanjutan di Barat Daya perairan Pelabuhanratu, Jawa Barat dengan prioritas: (1) Penetapan zona pengelolaan rumpon 3

8 (2) Perbaikan mekanisme pembiayaan pengadaan rumpon. (3) Pengaturan jumlah armada dan jumlah nelayan untuk tiap armada penangkapan di rumpon (4) Penyediaan BBM khusus untuk penangkapan ikan di rumpon 4

9 KEBIJAKAN PENGELOLAAN RUMPON YANG BERKELANJUTAN DI BARAT DAYA PERAIRAN PELABUHANRATU BESWENI P Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Progran Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

10 Judul Disertasi : Kebijakan Pengelolaan Rumpon Yang Berkelanjutan di Barat Daya Perairan Pelabuhanratu Nama : Besweni NIM : P Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Mohamad Syamsul Maarif, M.Eng Ketua Dr. Ir. Sugeng Budiharsono Anggota Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc Anggota Diketahui Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:

11 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-nya jualah disertasi ini dengan judul Kebijakan Pengelolaan Rumpon Yang Berkelanjutan Di Barat Daya Perairan Pelabuhanratu, telah dapat disusun dan diselesaikan dengan baik. Penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Mohamad syamsul Maarif, M.Eng, Dr.Ir. Sugeng Budiharsono, Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc, selaku Komisi Pembimbing yang telah memberikan motivasi, bimbingan, kekuatan dan arahan kepada penulis sampai tersusunya desertasi ini. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr.Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS, selaku ketua Program Studi PSL-IPB, atas dukungan dan kritik dan sarannya selama kuliah di Program Studi PSL-IPB, ibu Etty Riani, MS dan para dosen di lingkungan PSL-IPB atas bekal ilmu, arahan yang diberikan selama kuliah. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Joyo Winoto, Ph.D, atas motivasi dan dukungannya sejak pendidikan di Program Studi PSL-IPB sampai tersusunnya disertasi ini dengan baik. Ucapan terima kasih penulis kepada bapak Dr. Ir. Dedi H Sutisna, MS selaku Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan dan Perikanan atas dorongan dalam penyelesaian disertasi ini. Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada Ir. Parlin Tambunan beserta teman-teman semuanya di Direktorat Pelabuhan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan yang telah memberikan dorongan selama penyelesaian disertasi ini. Ucapan terimakasih penulis juga kepada Prof. Dr. Ir. Mulyono Baskoro beserta teman-teman di Teknik Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB atas dukungan dan masukan atas penyempurnaan penyusunan disertasi. Terimakasih penulis ucapkan kepada Ir. Arif Rahman Lamatta, MM Kepala Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pelabuhanratu yang telah membantu penulis dalam penyempurnaan penyusunan disertasi. Atas doa dan kasih sayang serta motivasi selama pendidikan yang diberikan oleh orang tua tercinta, teruntuk suamiku, anak-anakku yang tercinta: Erbi Setiawan, Ditta

12 Fadhilah Rahmawati atas pengertian dan kasih sayangnya kepada penulis sampai tersusunya disertasi ini dengan baik. Tak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada teman-teman PSL-IPB Kelas Eksekutif angkatan IV yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas kerjasama dan dukungannya selama ini. Akhirnya kepada semua pihak baik langsung maupun tidak langsung yang telah banyak memberikan dukungan dan bantuannya yang juga tidak dapat menulis sebutkan satu persatu. Atas segala sesuatu terukut ataupun tidak terukur yang terbaik yang telah diberikan kepada penulis, tiada kata yang dapat disampaikan melainkan ucapan terimakasih yang tulus semoga Allah akan membalas amal budi yang telah diberikan dan selalu berada di bawah lindungan-nya. Penulis mohon maaf semua pihak atas segala kesalahan sengaja atau tidak sengaja selama mengikuti pendidikan di PSL-IPB dan mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk penyempurnaan disertasi ini. Bogor, September 2009 Besweni

13 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Batusangkar tanggal 16 April 1963 sebagai anak tunggal dari pasangan Alm.Basyar dan Kamsinah. Penulis menamatkan Sekolah Menengah Atas di Batusangkar tahun 1982/1983. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor Fakultas Perikanan dan meraih Insinyur Perikanan pada tahun 1986/1987. Pada tahun 2002, penulis mendapatkan gelar Master of Sciance di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2005, penulis mengikuti pendidikan doktoral pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis sejak tahun 1989 bekerja di Dinas Perikanan DKI Jakarta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai calon pegawai negeri sipil dan diangkat menjadi pegawai negeri sipil pada tahun Saat ini penulis bekerja di Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan dan Perikanan. Penulis menikah dengan Erlan Jaelani pada tahun 1991 dan telah dikaruniai dua orang anak yaitu Erbi Setiawan (lahir di Bogor) saat ini sebagai pelajar di Sekolah Menengah Atas Negeri No.1 Bogor, dan Ditta Fadhilah Rahmawati (lahir di Bogor) saat ini sebagai murid di Sekolah Menengah Pertama Negeri Bogor.

14 DAFTAR ISI PRAKATA... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR GAMBAR... iii DAFTAR TABEL... iv DAFTAR LAMPIRAN... v I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Kerangka Pemikiran Manfaat Kebaharuan Ruang Lingkup Penelitian... 9 II. TINJAUAN PUSTAKA Pembangunan Berkelanjutan Wilayah Pesisir dan Lautan Daerah Sebaran Sumberdaya Ikan Rumpon Tingkah Laku Ikan Pelagis Yang Berasosiasi dengan... Rumpon Jenis-Jenis Ikan Yang Berasosiasi di Rumpon Potensi Perikanan Laut Analitical Hierarchy Process Penelitian Terdahulu Tentang Rumpon III. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Geografis, Demografi, dan Sosial Karakteristik Lingkungan Perairan Pelabuhanratu Kondisi Klimatologi Peraian di sekitar Lokasi Penelitian Potensi Wisata Bahari dan Daerah Konservasi Kegiatan Perikanan di Pelabuhanratu Pemasangan dan Pemanfaatan Rumpon Fasilitas Pendukung Kegiatan Perikanan di Pelabuhanratu Peran Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu IV. METODE PENELITIAN Pendekatan Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Pengumpulan Data Analisis Data ii

15 4.4.1 Analisis Keberlanjutan Penentuan Atribut dan Analisis Skorsing Dimensi Ekologi Menurut Code of Conduct Responsible Fisheries (CCRF) Penentuan Atribut dan Analisis Skorsing Dimensi Ekonomi Penentuan Atribut dan Analisis Skorsing Dimensi Teknologi Penentuan Atribut dan Analisis Skorsing Dimensi Sosial Analisis Kebijakan Pengelolaan Rumpon V. HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN Hasil Penelitian Status Keberlanjutan Pengelolaan Rumpon Setiap Dimensi Status Keberlanjutan Pengelolaan Rumpon Setiap Dimensi Pengelolaan Status Keberlanjutan Pengelolaan Rumpon Dimensi Ekologi Status Keberlanjutan Pengelolaan Rumpon Dimensi Ekonomi Status Keberlanjutan Pengelolaan Rumpon Dimensi teknologi Status Keberlanjutan Pengelolaan Rumpon Dimensi sosial Status Keberlanjutan Pengelolaan Rumpon Dengan Keterpaduan Dimensi (Multidimensi) Atribut Kunci Hasil Analisis Kebijakan Pengelolaan Rumpon Yang Berkelanjutan Pembahasan Analisis Keberlanjutan Dimensi Pengelolaan Rumpon Di Barat Daya Perairan Pelabuhanratu Analisis Keberlanjutan Multidimensi Pengelolaan Rumpon di Barat Daya Perairan Pelabuhanratu Analisis Atribut Kunci dalam Pengelolaan Rumpon Analisis Kebijakan Pengelolaan Rumpon di Barat Daya Perairan Pelabuhanratu Startegi Implementasi Pengelolaan Rumpon yang berkelanjutan di Barat Daya Perairan Pelabuhanratu, Jawa Barat iii

16 VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN iv

17 DAFTAR TABEL Tabel 3.1. Karateristik Lingkungan Perairan Pelabuhanratu Tabel 3.2. Karateristik Iklim Perairan Pelabuhanratu Tabel 3.3. Produktivitas (Kg/trip) di Perairan Pelabuhanratu Periode Tahun Tabel 3.4. Produktivitas (Kg/trip) di Perairan Pelabuhanratu Periode Tahun Tabel 3.5. Penggunaan BBM untuk beberapa Unit Penangkapan Ikan di Pelabuhanratu Tabel 3.6 Kebutuhan Logistik untuk Penangkapan Ikan di Perairan Pelabuhanratu Tabel 4.1 Atribut dan Skor dalam analisis Dimensi Ekologi dari Pengelolaan rumpon.. 63 Tabel 4.2 Atribut dan Skor dalam analisis Dimensi Ekonomi dari Pengelolaan rumpon 65 Tabel 4.3. Atribut dan Skor dalam analisis Dimensi Teknologi dari Pengelolaan rumpon Tabel 4.4. Atribut dan Skor dalam analisis Dimensi Lingkungan Sosial dari Pengelolaan rumpon Tabel 4.5. Kategori Status Keberlanjutan Pengelolaan Rumpon Tabel 4.6 Skala Banding Berpasangan dalam AHP Tabel 4.7. Kriteria uji Konsistensi dan Uji Sensitivitas AHP Tabel 5.1. Atribut yang sensitif mempengaruhi indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon di perairan pelabuhanratu di Perairan Pelabuhanratu Tabel 5.2. Hasil Uji Statistik Terhadap Koefisien Determinasi(R 2 ) dan Stress Tabel 5.3. Hasil Analisis Monte Carlo Terkait Indeks Keberlanjutan v

18 DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Illustarasi Latar belakang Penelitian... 4 Gambar 1.2 Kerangka Pemikiran Penelitian... 9 Gambar 2.1. Rumpon Tradisional Gambar 2.2 Rumpon Moderen Gambar 3.1. Batasan Wilayah Kabupaten Sukabumi Gambar 3.2. Perkembangan Jumlah Nelayan di Pelabuhanratu Gambar 3.3 Perkembangan Jumlah Produksi Perikanan Laut di Pelabuhanratu Gambar 4.1 Tahapan Penelitian Gambar 4.2. Lokasi Penelitian Gambar 4.3 Tahapan Analisis Menggunakan MDS dengan aplikasi RAPFISH Gambar 4.4 Struktur Hierarki Analisis Kebijakan Pengelolaan Rumpon Gambar 4.5 Langkah-langkah Penggunaan AHP Gambar 5.1 Hasil Analisis MDS yang Menunjukkan Nilai Ikb-PENGRUMPON Ekologi di Perairan Pelabuhanratu Gambar 5.2 Peran Masing-masing Atribut dari Dimensi Ekologi yang dinyatakan dalam Bentuk Perubahan Nilai RMS Gambar 5.3 Hasil Analisis MDS yang Menunjukkan Nilai Ikb-PENGRUMPON Ekonomi di Perairan Pelabuhanratu Gambar 5.4 Peran Masing-masing Atribut dari Dimensi Ekonomi yang dinyatakan dalam Bentuk Perubahan Nilai RMS Gambar 5.5. Hasil Analisis MDS yang Menunjukkan Nilai Ikb-PENGRUMPON Teknologi di Perairan Pelabuhanratu Gambar 5.6 Peran Masing-masing Atribut dari Dimensi Tekonologi yang dinyatakan dalam Bentuk Perubahan Nilai RMS Gambar 5.7. Hasil Analisis MDS yang Menunjukkan Nilai Ikb-PENGRUMPON Lingkungan Sosial di Perairan Pelabuhanratu Gambar 5.8. Peran Masing-masing Atribut dari Dimensi Lingkungan Sosial yang dinyatakan dalam Bentuk Perubahan Nilai RMS v

19 Gambar 5.9. Hasil Analisis MDS yang Menunjukkan Nilai Ikb-PENGRUMPON di Perairan Pelabuhanratu Gambar Kite Diagram Keberlanjutan Pengelolaan Rumpon di Perairan Pelabuhanratu Gambar Tingkat Kepentingan Faktor Existing Condition yang Berpengaruh dalam analisis Keberlanjutan Pengelolaan Rumpon di Perairan Pelabuhanratu Gambar Kebijakan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu Gambar Hasil analisis kepentingan stakeholders terkait Gambar Hasil Analisis Kepentingan Dimensi Pengelolaan Gambar Rasio Kepentingan sub-kriteria Dimensi Ekonomi Gambar Rasio Kepentingan sub-kriteria Dimensi Sosial Gambar 5.17 Rasio Kepentingan sub-kriteria Dimensi Ekologi Gambar 5.18 Rasio Kepentingan sub-kriteria Dimensi teknologi Gambar 5.19 Hasil analisis kepentingan alternatif kebijakan pengelolaan rumpon vi

20 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Kondisi Suhu Perairan Lampiran 2. Karateristik Lingkungan di Perairan Pelabuhanratu Lampiran 3. Koordinat Penempatan rumpon di Selatan Perairan Pelabuhanratu Lampiran 4. Bentuk rumpon yang dipasang di Selatan Perairan Pelauhanratu Lampiran 5. Komposisi Spesies Ikan Hasil Tangkapan rumponisasi pada Tahun Lampiran 6. Komposisi Spesies Ikan Hasil Tangkapan rumponisasi pada Tahun Lampiran 7. Komposisi Spesies Ikan Hasil Tangkapan rumponisasi pada Tahun Lampiran 8. Jumlah alat Tangkap Pancing Yang Beroperasi di Perairan Pelabuhanratu Tahun Lampiran 9. Perbandingan Ketergantungan Setiap Jenis Usaha Perikanan Terhadap Rumpon Lampiran 10. Tingkat Konsumsi Rumah Tangga Nelayan (RTN) di Pelabuhanratu Lampiran 11. Hasil Analisis Ekonomi Usaha Perikanan di Pelabuhanratu Lampiran 12 Biaya Pengusahaan Rumpon di Perairan Pelabuhanratu Lampiran 13 Penggunaan BBM untuk Setiap Trip Penangkapan Ikan di Perairan Pelabuhanratu Lampiran 14. Jenis Ikan Potensi yang Bisa Mengumpul di Sekitar Rumpon Perairan Pelabuhanratu Lampiran 15. Perkembangan Jumlah Perahu/Armada, Alat Tangkap, dan Nilai Produksi Perikanan di Pelabuhanratu Lampiran 16. Tingkat Pendidikan Nelayan yang memanfaatkan rumpon perairan Pelabuhanratu Lampiran 17. Jenis Konflik di Perairan Lampiran 18. Jenis konflik dengan penggunaan bom dan bahan berbahaya di perairan Pelabuhanratu dalam lima tahun terakhir v

21 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan statistik perikanan tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP, 2008), bahwa nelayan skala kecil mendominasi usaha perikanan tangkap di Indonesia yaitu sebesar 97,02%. Hal ini dibuktikan dari unit jumlah kapal perikanan yang menangkap ikan di laut, unit merupakan kapal yang berukuran < 10 GT (Gross Tonage). Nelayan skala kecil ini pada umumnya melakukan kegiatan usaha penangkapan ikan dengan berbagai keterbatasan, antara lain: modal, ilmu pengetahuan, sarana dan ruang gerak. Hal ini berdampak pada rendahnya hasil tangkapan mereka yang berimbas pada pendapatannya yang rendah. Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan nelayan skala kecil, salah satu alternatif untuk menyelesaikan keterbatasan tersebut adalah penangkapan ikan berbasis rumpon. Menurut Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor: 30/MEN/2004 tentang pemasangan dan pemanfaatan rumpon yang merupakan pengganti Keputusan Menteri Pertanian Nomor:51/Kpts/1997 dinyatakan bahwa rumpon merupakan alat bantu penangkapan ikan yang dirancang atau dibuat dengan struktur tertentu sehingga dapat ditempatkan secara tetap atau sementara pada perairan laut. Monintja (1993) menyatakan bahwa rumpon dipasang di perairan pada daerah penangkapan (fishing ground) tertentu, agar ikan-ikan tertarik untuk berkumpul di sekitar rumpon sehingga mudah ditangkap dengan alat penangkap ikan. Ikan-ikan kecil berkumpul di sekitar rumpon karena terdapat lumut dan plankton yang menempel pada atraktor rumpon. Ikan-ikan kecil ini mengundang ikan-ikan lebih besar pemangsanya dan demikian seterusnya hingga ikan potensial (seperti cakalang, tuna, tenggiri, dan lainnya) berada di sekitar rumpon yang dipasang di laut. Kegiatan penangkapan ikan berbasis rumpon, mempunyai kelebihan dibandingkan kegiatan penangkapan ikan lainnya, yaitu: (a) mengurangi biaya operasional penangkapan terutama bahan bakar minyak 1

22 (BBM) yang merupakan komponen utama biaya operasional, (b) mempersingkat hari operasi penangkapan (fishing trip), (c) mempunyai kepastian daerah operasi penangkapan (fishing ground), dan (d) meningkatkan hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan (Imron dan Baskoro, 2006). Hal ini juga didukung dengan hasil penelitian Naamin (1987), dengan adanya rumpon sangat dirasakan manfaatnya oleh nelayan karena dapat menghemat 50-60% bahan bakar minyak (BBM) yang merupakan komponen pembiayaan terbesar dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan. Berdasarkan penelitian Monintja, Baskoro dan Purbayanto (1989), bahwa pemanfaatan rumpon yang mengunakan alat tangkap pancing untuk penangkapan ikan Madidihang (Thunnus albacores) yang merupakan salah satu jenis ikan tuna di perairan Pelabuhanratu dinilai dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas usaha penangkapan ikan bagi nelayan. Menurut Subani (1958), kelompok ikan yang berasosiasi dengan rumpon adalah ikan pelagis kecil dan pelagis besar. Kelompok ikan pelagis kecil berupa ikan layang (Decapterus ruselli, Decapterus macrosoma, Decapterus kurroidea), siro (Sardinella sirm), lemuru (Sardinella lemuru), tembang (Sardinella fimbriata, Sardinella brachiosoma, Sardinella gibbosa), bentong (Selar crumenopthalmus), dan selar (Selaroide leptolepis). Sedangkan kelompok ikan pelagis besar yang berasosiasi di sekitar rumpon berupa cakalang (Katsuwonus pelamis), tuna madidihang (Thunnus albacores), tuna albakor (Thunnus allalunga), tuna sirip biru (Thunnus obesus), dan tongkol(euthynnus affinis dan Auxix spp.). Pada umumnya ikan pelagis kecil diperoleh dengan menggunakan rumpon laut dangkal dan ikan pelagis besar ditemukan pada rumpon perairan dalam. Oleh karena itu jenis rumpon yang digunakan sebagai tempat mengumpulkan ikan tergantung pada ikan target yang akan ditangkap. Salah satu daerah penyebaran ikan pelagis besar dari jenis cakalang dan tuna yang merukan jenis ikan nilai ekonomis penting banyak terdapat di perairan Selatan Jawa (Martosubroto dan Malik, 1989). Hal ini diketahui dari banyaknya kapal penangkap tuna dan cakalang yang bersifat ruaya jauh yang mendaratkan hasil tangkapannya di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pelabuhanratu, Provinsi Jawa Barat dengan daerah penangkapan ikan pada umumnya di perairan Samudera Hindia. Namun berdasarkan data produksi ikan yang didaratkan di 2

23 PPN tersebut setiap tahunnya berfluktuasi yang cukup besar yang disebabkan oleh ketidakpastian daerah penangkapan ikan dan waktu penangkapan ikan yang dipengaruhi oleh musim yang menimbulkan ketidakpastian produktifitas penangkapan sehingga pendapatan nelayan juga tidak pasti. Oleh karena itu, dengan adanya penangkapan ikan berbasis rumpon akan dapat mengurangi faktor ketidakpastian daerah penangkapan ikan di Selatan Perairan Pelabuhanratu sehingga dapat meminimalisir ketidakpastian pendapatan nelayan. Sejak tahun 2004, usaha penangkapan ikan berbasis rumpon telah mulai dikembangkan oleh nelayan di perairan Pelabuhanratu khususnya di perairan Teluk Pelabuhanratu. Saat itu, produktitivitas hasil tangkapan nelayan yang ikut memanfaatkan rumpon jauh lebih besar dibandingkan dengan yang tidak memanfaatkan, sehingga terjadi kecemburuan sosial yang mengakibatkan potensi konflik. Konflik yang timbul berkaitan dengan penggunaan daerah penangkapan, alat tangkap dan jenis dan jumlah ikan yang ditangkap. Selain antar nelayan, konflik juga terjadi antara nelayan rumpon dengan pengguna alur pelayaran karena lokasi rumpon juga digunakan sebagai alur pelayaran sehingga sering terjadi kerusakan rumpon. Berdasarkan hasil mufakat antar nelayan dan instansi pembina dan instansi lainnya yang terkait, pemasangan rumpon dipindahkan ke Barat Daya perairan Pelabuhanratu. Saat ini, rumpon yang terpasang di Barat Daya perairan Pelabuhanratu dengan jenis rumpon laut dalam berjumlah 22 unit dengan melibatkan 22 kelompok nelayan yang mendaratkan hasil tangkapannya di PPN Pelabuhanratu. Terkait dengan itu, agar pengelolaan rumpon yang dipasang dan dimanfaatkan dapat berkelanjutan di Barat Daya perairan Pelabuhanratu, perlu dikaji secara mendalam tentang status keberlanjutannya saat ini sebagai dasar dalam menentukan kebijakan yang akan diterapkan. Kebijakan tersebut dapat mengakomodir pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengusahaan rumpon dan melindungi semua dimensi/komponen pengelolaan rumpon (ekologi, ekonomi, teknologi, sosial) sehingga pengelolaan rumpon lebih dapat diandalkan, dapat menjamin keberlangsungan usaha perikanan tangkap di laut yang berbasis rumpon. Hal ini sangat penting karena keberlanjutan rumpon berkaitan dengan keberlanjutan usaha penangkapan ikan di perairan 3

24 Pelabuhanratu Jawa Barat, sehingga penggunaan rumpon sebagai alat bantu penangkapan ikan secara ekonomi dapat memberikan nilai manfaat bagi masyarakat luas khususnya nelayan tanpa mengurangi kelestarian lingkungan dan sumberdaya ikan di perairan. Selain itu, keberadaan rumpon secara sosial dan teknologi dapat diterima oleh nelayan dan masyarakat lainnya yang terkait dalam usaha di lokasi tersebut. Keterkaitan rumpon dengan dimensi pengelolaannya (ekologi, ekonomi, teknologi dan sosial) disajikan pada pada Gambar 1.1. Sosial Ekono mi Rumpon Ekologi Teknologi Gambar 1.1 Keterkaitan Rumpon dengan Dimensi Ekologi, Ekonomi,Teknologi dan Sosial 1.2 Perumusan Masalah Sumberdaya perikanan yang mempunyai sifat hak milik bersama (common property), dimana pemanfaatan sumberdaya tersebut dapat digunakan dalam waktu bersamaan oleh lebih dari satu individu. Oleh karena itu pada jenis usaha pemanfaatan yang akan memberikan tingkat keuntungan yang relatif baik, akan menimbulkan tekanan pemanfaatan yang kuat sehingga apabila tidak diatur dengan baik akan cenderung mengarah pada pemanfaatan berlebihan dan tidak menutup kemungkinan terjadinya ancaman atas kelangsungan usaha itu sendiri. 4

25 Keberadaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu saat ini telah meningkatkan kesejahteraan yang nyata bagi nelayan yang memanfaatkan rumpon dan mendaratkan hasil tangkapannya di Pelabuhan Perikanan Nasional (PPN) Pelabuhanratu dan usaha pendukung lainnya. Hal ini telah menimbulkan kecemburuan sosial bagi nelayan yang tidak dan belum mempunyai kesempatan untuk memanfaatkan rumpon sehingga telah menimbulkan konflik. Keberadaan rumpon akan mempercepat waktu operasi penangkapan, meningkatkan catch per unit effort sehingga meningkatkan pendapatan nelayan. Hasil penelitian Nahib (2008), pengelolaan rumpon saat ini di Barat Daya perairan Pelabuhanratu termasuk pada pengelolaan dengan peningkatan effort dan produksi cenderung meningkat yang akan mempercepat pencapaian waktu carrying capacity sehingga jangka panjang menyebabkan penururnan biomass ikan. Dengan semakin meningkatnya harga ikan yang ditangkap dirumpon maka pengekploitasian sumberdaya ikan di rumpon semakin meningkat sehingga jangka panjang dapat menurunkan stok/biomass ikan dan pendapatan nelayan juga menurun. Permasalahan yang lain dalam pemasangan rumpon secara umum adalah aturan yang di acu saat ini adalah Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : 30/MEN/2004 yang merupakan pengganti dari Keputusan Menteri Pertanian Nomor:51/Kpts/1997 tentang Pemasangan dan Pemanfaatan Rumpon yang lebih menekankan pada kewenangan pemberian izin pemasangan rumpon oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Selain itu belum ada aturan yang jelas dan konkrit lokasi pemasangan rumpon yang diizinkan. Dalam rangka keberlanjutan keberadaan rumpon di Barat Daya Pelabuhanratu yang dapat memberikan manfaat potensial secara ekonomi dan kelestarian lingkungan dan sumberdaya ikan, dan dapat diterima dan aman bagi nelayan yang melakukan aktifitas usaha penangkapan ikan yang mendaratkan hasil tangkapannya di PPN Pelabuhanratu, maka harus mempertimbangkan keterpaduan dimensi ekologi, teknologi yang akan digunakan, manfaat ekonomi yang akan diperoleh, dan dapat diterima oleh semua nelayan yang melakukan usaha penangkapan ikan baik di Teluk perairan Pelabuhanratu maupun di Barat Daya perairan Pelabuhanratu Jawa Barat. 5

26 Berdasarkan uraian tersebut di atas dan mengacu kepada latar belakang, tujuan, dan kerangka pemikiran penelitian, maka dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut: a) Keberadaan rumpon di perairan Pelabuhanratu khususnya Barat Daya perairan Pelabuhanratu yang hanya dimanfaatkan sebagin kecil dari nelayan yang ada sehingga cenderung memicu timbulnya kecemburuan sosial yang berpotensi konflik yang berdampak terhadap keberlanjutan pengelolaanrumpon. b) Keberadaan rumpon yang jumlahnya cenderung meningkat diindikasikan mengancam stok/biomass ikan di lokasi penelitian sehingga akan mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan rumpon yang akan berdampak pada usaha penangkapan ikan di Barat Daya perairan Pelabuhanratu, Jawa barat. 1.3 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah: a) Menganalisis pengelolaan rumpon dengan keterpaduan dimensi ekologi, ekonomi, teknologi, dan sosial untuk menentukan status keberlanjutannya di Barat Daya perairan Pelabuhanratu, Jawa Barat b) Merumuskan alternatif kebijakan untuk mendukung keberlanjutan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu, Jawa Barat. 1.4 Kerangka Pemikiran Dengan mengacu kepada latar belakang dan tujuan penelitian ini, maka perlu dikembangkan pemikiran penelitian sebagai gambaran terkait penelitian yang akan dilakukan sekaligus menjadi acuan penting dalam pengembangan penelitian kebijakan pengelolaan rumpon yang berkelanjutan di Barat Daya perairan Pelabuhanratu, Jawa Barat. Selain potensi konflik, mengingat Barat Daya perairan Pelabuhanratu mempunyai potensi dalam pemasangan dan pemanfaatan rumpon sebagai alat bantu penangkapan jenis ikan tuna dan cakalang, maka kemungkinan pemasangan dan pemanfaatan rumpon di Barat 6

27 Daya perairan Pelabuhanratu, Provinsi Jawa Barat tersebut akan semakin berkembang dalam kegiatan usaha penangkapan ikan. Saat ini keberadan rumpon telah memberikan manfaat positif kepada nelayan yaitu jumlah hasil tangkapan meningkat, sehingga pendapatan nelayan pemanfaatan rumpon juga meningkat. Jangka panjang, karena keberadaan rumpon mempengaruhi biomass ikan maka penambahan jumlah rumpon akan mempengaruhi ketersediaan biomass yang ada, dan pada waktu tertentu hasil tangkapan dapat menurun sehingga pendapatan nelayan juga menurun. Hal ini terjadi karena dalam kegiatan penangkapan ikan belum mengedepankan kaidah-kaidah pemanfaatan yang bertanggung jawab yang bisa disebabkan oleh ketidaktahuan, ketidakpedulian, dan ketiadaan perangkat hukum/kebijakan yang jelas dalam pengelolaan rumpon dalam pemanfaatan sumberdaya ikan di laut. Perangkat hukum/kebijakan pengelolaan rumpon merupakan hal yang sangat penting untuk maksud tersebut karena menjadi panduan bagi stakeholders terkait dalam mengelola, memanfaatkan, dan menindak pelanggar pemanfaatan. Kebijakan pengelolaan yang tegas dan jelas akan melindungi semua komponen pengelolaan baik pelaku pemanfaatan, sumberdaya ikan, habitat, maupun lingkungan sekitar sehingga terjadi keberlanjutan hingga generasi yang akan datang. Kebijakan pengelolaan tersebut harus mengedapankan prinsip-prinsip berkelanjutan dan keterpaduan. Berdasarkan prapenelitian, bahwa dimensi yang harus dipertimbangkan dan dikelola secara terpadu dalam pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu adalah dimensi ekologi, ekonomi, teknologi dan sosial. Sedangkan saat ini pengelolan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu belum mengakomodir dan memadukan dimensi tersebut antara lain berkaitan dengan kesesuaian karakteristik perairan, zonasi, daya dukung (carrying capacity) lingkungan habitat hidup ikan sasaran, dan lain-lain. Pengelolaan rumpon juga belum maksimal memperhatikan dimensi teknologi berdasarkan kaedah Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF)(FAO,1995) terutama berkaitan dengan keandalan teknologi rumpon dan selektifitas alat tangkap yang dioperasikan, serta kapasitas penangkapan yang dilakukan di rumpon. Dimensi ekonomi belum diketahui secara mendalam terutama berkaitan dengan manfaat finansial bagi nelayan atau pengusaha 7

28 perikanan serta kontribusinya dalam meningkatkan kondisi ekonomi lokasi penelitian. Begitu juga dengan dimensi sosial yang berkaitan dengan potensi konflik dan dampak penggunaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu, Jawa Barat. Pengelolaan rumpon juga belum maksimal memperhatikan keselamatan nelayan dalam penangkapan, keamanan produk yang dihasilkan, dan selektifitas terhadap ikan yang dilindungi. Terkait dengan itu, maka perlu untuk dikaji secara mendalam tentang kebijakan pengelolaan rumpon berkelanjutan yang mengakomodir dan melindungi semua komponen atau dimensi pengelolaan tersebut, sehingga pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu lebih dapat diandalkan dalam mendukung pembangunan usaha perikanan tangkap yang berkelanjutan. Kerangka pemikiran penelitian dimaksud disajikan pada Gambar Manfaat Secara praktis, manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah dapat dijadikan acuan terutama penyusunan kebijakan pengelolaan rumpon secara berkelanjutan serta dapat diacu secara langsung maupun tidak langsung untuk pembinaan pelaku usaha penangkapan ikan khususnya di barat daya perairan Pelabuhanratu (Jawa Barat) dan Pemerintah sebagai pengambil kebijakan (Departemen Kelautan dan Perikanan, Pemerintah Daerah). Secara ilmiah, penelitian ini memberikan manfaat berupa penyediaan informasi tentang pengelolaan dan pemanfaatan rumpon laut dalam yang berkelanjutan berdasarkan keterpaduan dimensi (ekologi, ekonomi, teknologi, sosial). 1.6 Kebaharuan Penelitian ini menghasilkan kebaharuan yaitu kebijakan pengelolaan rumpon yang berkelanjutan berdasarkan keterpaduan dimensi ekologi, ekonomi, teknologi dan sosial di Barat Daya perairan Pelabuhanratu, Jawa Barat. 8

29 KETERPADUAN DIMENSI Eksisting Pengeloaan Rumpon di Perairan Pelabuhanratu, Jawa Barat EKOLOGI Menyesuaikan Karakteristik perairan, zonasi PERMASALAHAN Ekologi Ekonomi Teknologi Lingkungan Sosial EKONOMI TEKNOLOGI Manfaat finansial dan kesejahteraan Mengoptimal kan Keandalan teknologi PENGELOLAAN RUMPON Kebijakan Pengelolaan Rumpon LINGKUNGAN SOSIAL Minimalisir bahaya dan konflik PENGELOLAAN RUMPON YANG BERKELANJUTAN Gambar 1.2 Kerangka Pemikiran Penelitian 1.7 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada : a) Pengelolaan rumpon yang berkelanjutan di Barat Daya perairan Pelabuhanratu, Jawa Barat (koordinat 105º BT s/d 108ºBT dan 7ºLS s/d 8ºLS) b) Alternatif kebijakan pengelolaan rumpon yang berkelanjutan berdasarkan keterpaduan multidimensi (ekologi, ekonomi, teknologi, lingkungan sosial) di Barat Daya perairan Pelabuhanratu, Jawa Barat. 9

30 II. TINJUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Berkelanjutan Wilayah Pesisir dan Lautan Jumlah penduduk miskin di Indonesia masih cukup banyak, sebagian besar terdapat di perdesaan termasuk wilayah pesisir dan pantai. Berdasarkan data statistik bahwa 60% penduduk Indonesia tinggal di daerah pesisir dan pantai Dari 60% tersebut, 80%nya merupakan masyarakat miskin dan sebagian besar memanfaatkan sumberdaya perikanan dan kelautan. Pengertian tentang kemiskinan secara umum dapat dikatakan pada sebuah kondisi yang serba kekurangan yang bisa diukur secara objektif, dirasakan secara subjektif atau dirasakan pada perbandingan dengan orang lain (Subri, 2005). Secara kuantitatif, kemiskinan ditandai dengan masih adanya kerentanan, ketidakberdayaan, keterisolasian, dan ketidak mampuan untuk mencapai aspirasi bagi sebagian masyarakat. Kondisi ini apabila tidak ditangani dengan baik, pada gilirannya akan mengakibatkan antara lain:rendahnya kualitas dan produktivitas sumberdaya manusia, rendahnya partisipasi aktif masyarakat, kemungkinan merosotnya mutu generasi yang akan datang (Yudoyono, 2004). Salah satu cara untuk mengurangi kemiskinan adalah adanya pembangunan. Pembangunan dapat dilakukan pada bidang ekonomi, manusia atau pembangunan wilayah. Untuk mencapai hasil yang optimal dalam pembangunan suatu wilayah, diperlukan pendekatan berbeda-beda mengingat wilayahnya yang luas dengan kondisi fisik, sosial dan ekonomi masyarakat yang beragam. Salah satu pendekatan pembangunan yang sering dipakai oleh ekonom adalah pendekatan pusat-pusat pertumbuhan dan pendekatan sektoral. Pendekatan yang disebut pusat-pusat pertumbuhan memprioritaskan pembangunan pada kota atau tempat-tempat strategis yang diharapkan akan menarik daerah pinggiran di sekitarnya, sedangkan pembangunan sektoral adalah pembangunan melalui pemberian prioritas pada sektor-sektor tertentu, dengan kata lain pembangunan wilayah ditekankan pada penanganan langsung pada stakeholder. Dengan cara demikian, pendekatan wilayah berorientasi pada pemerataan dan keadilan yang bertujuan untuk memperkecil bahkan menghilangkan kesenjangan ekonomi, 10

31 sosial, baik antar kelompok dalam masyarakat maupun antar daerah (Mubyarto, 2000). Pergeseran paradigma pembangunan dari pertumbuhan ekonomi ke arah pembangunan yang berwawasan lingkungan memberikan indikasi ke pemerataan dan keadilan. Pemerataan pembangunan adalah dalam upaya pengentasan kemiskinan melalui pembangunan perdesaan yang jauh tertinggal khususnya ketersediaan prasarana dibandingkan dengan perkotaan (Mubiyarto, 2000). Lebih lanjut dijelaskan bahwa pembangunan dengan cara memberdayakan masyarakat akan menjamin pembangunan berkelanjutan karena masyarakat pada gilirannya akan meningkatkan kemandirian yaitu rasa percaya diri yang besar tanpa perlu menggantungkan diri pada pihak-pihak luar, baik dengan pasokan sarana produksi maupun dalam pemasaran hasil-hasil produksinya. Keadilan yang dimaksud adalah keadilan untuk generasi sekarang dan tidak mengurangi keadilan untuk generasi yang akan datang. Namun dalam pembangunan perdesaan tersebut dipengaruhi juga oleh sikap-sikap hidup masyarakat. Sebenarnya sikap-sikap hidup dalam masyarakat bukan suatu yang statis, tetapi selalu ada kemungkinan untuk mengalami perubahan yang disebabkan oleh pengaruh lingkungan dari dalam masyarakat itu baik yang berupa keinginan individu maupun kelompok masyarakat. Keinginan berubah yang berasal dari dalam masyarakat yang muncul karena pengaruh dari luar nilai-nilai tradisional seperti program pembangunan, masuknya nilai-nilai budaya baru yang datang dari luar daerah atau dibawa oleh masyarakat pendatang, juga dapat merubah sikap hidup masyarakat setempat. Informasi yang masuk melalui media informasi seperti, media masa, elektronik (televisi, radio). Kemungkinan perubahan ini tidak semuanya menimbulkan dampak negatif tetapi juga ada yang berdampak posisitf atau membangun walaupun perubahan ini memerlukan waktu yang cukup lama karena nilai-nilai yang sudah ada memberikan tatanan yang cukup kokoh pada masyarakat tersebut. Dengan adanya agenda 21 global merupakan salah satu upaya terbesar dan terpenting yang disepakati bersama pada saat Earth Summit di Rio de Janeiro tahun 1992 untuk memperbaiki konsep pembangunan yang dulunya cenderung hanya memperhatikan peningkatan pada sisi ekonomi saja dan mengorbankan 11

32 sisi lingkungan. Konsep inilah kemudian dikenal dengan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yaitu pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara substansi pembangunan berkelanjutan mempertimbangkan penuh pada implikasinya terhadap lingkungan, antara lain:dampaknya pada masa depan, keseimbangan isu pembangunan lingkungan, ekonomi dan sosial. Pembangunan berkelanjutan pada Agenda 21, mewujudkan tiga pilar utama yaitu pilar ekonomi, lingkungan dan sosial yang di dalamnya berisikan antara lain:pengentasan kemiskinan dalam konteks pembangunan berkelanjutan, degradasi lingkungan, pengambilan keputusan dalam pembangunan berkelanjutan, pembangunan wilayah perdesaan dan pertanian yang berkelanjutan, perlindungan laut dan kelautan, alih teknologi yang ramah lingkungan, penguatan terhadap peran kelompok-kelompok utama yang berkaitan dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Pada bidang kelautan dan perikanan dalam agenda 21 dan deklarasi Summit Johannersburg tahun 2002 yang dapat di adopsi adalah melaksanakan pembangunan kelautan dan perikanan di wilayah pesisir dan lautan Indonesia. Menurut Dahuri (2000), pembangunan wilayah pesisir dan lautan diarahkan pada 4 (empat) aspek utama, yaitu: (1). Aspek teknis dan ekologis Aspek teknis dan ekologis dari setiap kegiatan pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah pesisir dan lautan harus memperhatikan keharmonisan spasial (ruang), kapasitas assimilasi (daya dukung perairan), dan pemanfaatan sumberdaya secara berkesinambungan. (2). Aspek sosial, ekonomi dan budaya Aspek ini mensyaratkan bahwa masyarakat pesisir sebagai pelaku dan sekaligus tujuan pembangunan wilayah pesisir dan lautan harus mendapatkan manfaat terbesar dari kegiatan pembangunan tersebut. (3). Aspek sosial politik Kegiatan pembangunan berkesinambungan khususnya di wilayah pesisir dan lautan hanya dapat dicapai apabila didukung oleh suasana politik yang demokratis dan transparan. 12

33 (4). Aspek hukum dan kelembagaan Pengaturan hukum dan kelembagaan dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan pada dasarnya merupakan sarana penunjang bagi kebijakan nasional. Pemanfaatan sumberdaya ikan di dunia saat ini sudah menjadi sebuah sektor industri pangan yang telah berkembang secara dinamis yang digerakan oleh pasar dan negara pantai yang sudah berusaha keras mengambil manfaat dari peluang baru yang diperoleh yaitu dengan cara menanamkan modal dalam armada penangkapan dan pabrik pengolahan moderen sebagai tanggapan terhadap permintaan internasional. Begitu juga di perairan Indonesia, dengan semakin besarnya permintaan pasar lokal dan internasional dalam rangka pemenuhan kebutuhan akan protein hewani dari ikan serta dipicu dengan peningkatan pendapatan devisa negara dari sumberdaya ikan maka upaya pemanfataan atas sumberdaya ini selalu meningkat sehingga dapat mengancam kelestarian sumberdaya perikanan dan kelautan. Berdasarkan kajian Komisi Pengkajian Stok Ikan Nasional (KOMNASJISKAN) DKP, (2001) bahwa potensi lestari sumberdaya ikan sebesar 6,4 juta ton per tahun yang meliputi 9 (sembilan) wilayah pengelolaan perikanan di Indonesia dengan menggolongkan ikan pelagis kecil, pelagis besar, ikan demersal, ikan karang, udang, crustacea, cumi-cumi, saat itu beberapa di wilayah pengelolaan perikanan tersebut dengan kelompok ikan tertentu sudah ada yang berstatus fully ekploited dan over fishing. Dilanjutkan dengan hasil kajian KOMNASJISKAN, DKP ( 2005) bahwa keadaan sumberdaya ikan semakin menghawatirkan yang ditandai dengan indikator biologis dan lingkungan sehingga peningkatan dan penambahan status stok beberapa jenis ikan pada berbagai wilayah pengelolaan perikanan dari status moderat menjadi fully eksploited dan fully exploited menjadi over exploited. Oleh karena itu penerapan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) pada pengelolaan sumberdaya perikanan dengan prinsip hati-hati harus ditingkatkan agar sumberdaya ikan berkelanjutan. 13

34 2.2 Rumpon Nelayan skala kecil yang mendominasi usaha perikanan tangkap di Indonesia pada umumnya melakukan kegiatan usaha penangkapan ikan dengan berbagai keterbatasan, antara lain: modal, ilmu pengetahuan, sarana dan ruang gerak. Hal ini berdampak pada rendahnya hasil tangkapan mereka yang berimbas pada pendapatan yang rendah. Untuk nelayan skala besar saat ini juga mengalami keterbatasan ruang gerak penangkapan yang disebabkan oleh semakin meningkatnya biaya operasional dan isu stok sumberdaya ikan ekonomis penting yang mulai menurun sehingga pendapatannya juga menurun. Salah satu alternatif untuk menyelesaikan keterbatasan tersebut telah dikembangkan penangkapan ikan berbasis rumpon. Fish Aggregating Device (FADs) atau di Indonesia dikenal dengan sebutan rumpon adalah suatu konstruksi bangunan yang dipasang di dalam air dengan tujuan untuk memikat ikan agar berasosiasi dengannya sehingga memudahkan penangkapan ikan tersebut (Monintja, 1995). Rumpon sangat berguna untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penangkapan ikan dan berfungsi sebagai tujuan daerah penangkapan yang memudahkan nelayan dalam mencari ikan. Menurut Imron dan Baskoro dalam DKP (2007), keuntungan rumpon dalam usaha penangkapan ikan di laut adalah : (a) menghemat bahan bakar untuk mencari daerah penangkapan, (b) mempersingkat hari operasi penangkapan (fishing trip), (c) mempunyai kepastian daerah operasi penangkapan, dan (d) meningkatkan hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan. Selain untuk kegiatan penangkapan ikan, rumpon juga dapat difungsikan untuk pengembangan jasa lingkungan. Potensi jasa lingkungan kelautan yang masih memerlukan sentuhan pendayagunaan secara profesional adalah kegiatan wisata menangkap ikan di sekitar rumpon seperti di Australia. Sebagai negara bahari ternyata pangsa pasar wisata itu cukup baik terutama bila rumpon berada di sekitar kepulauan sehingga dapat dilakukan bersamaan dengan kegiatan penangkapan. Hasil penelitian Merta dan Suhendarata (1991) menyatakan bahwa penangkapan ikan cakalang di sekitar rumpon lebih menarik dari kegiatan lomba konsumsi ikan cakalang. Hal ini mendukung upaya pemanfaatan sumberdaya kelautan secara berkelanjutan, dimana kegiatan pariwisata, pelayaran, dan menyaksikan nelayan menangkap ikan pada suatu fishing ground tertentu lebih mengasyikkan. Rumpon juga sangat bermanfaat untuk membantu nelayan dalam 14

35 pencarian lokasi penangkapan ikan yang tepat sekaligus mengurangi kepadapatan penangkapan di sekitar perairan pantai yang cenderung menimbulkan banyak konflik. Hal ini tentu dengan memperhatikan jalur pelayaran sehingga rumpon sebagai alat pengumpul ikan tidak terganggu (Budiono, 2006). Rumpon telah lama dikenal di Indonesia maupun negara-negara lain seperti Philipina dan negara Pasifik Barat. Semula penggunaan rumpon ditujukan untuk ikan pelagis kecil, namun dengan ditemukannya bentuk konstruksi rumpon laut dalam yang disebut payaos, maka tujuan utama lebih ditekankan untuk penangkapan ikan pelagis besar terutama tuna, cakalang dan sejenisnya. Penggunaan payaos diperkenalkan oleh Philipina pada tahun 1978 yang merupakan pembaharuan teknologi dala perkembangan konstruksi rumpon. Keberhasilan penggunaan payaous ini di Philipina, segera diikuti oleh negara-negara yang merasa memiliki Samudera Hindia dan Pasifik seperti Jepang. Di Indonesia penggunaan payaous baru diperkenalkan pada tahun Menurut Subani (1988), nelayan Sulawesi (Teluk Mandar, Mamuju, Teluk Tomini, Teluk Bone) telah mengenal rumpon laut dalam jauh sebelum perang dunia II dan menyebutnya dengan nama rompong mandar atau rompong lompo. Penggunaan rumpon telah berkembang dengan pesat terutama rumpon laut dangkal di perairan Selat Malaka dan Laut Jawa dengan alat tangkap purse seine mini. Rumpon laut dalam telah berkembang di daerah Bagian Timur seperti di Sorong, Fak-fak, Maluku Utara, Teluk Tomini Laut Sulawesi, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Laut Pasifik Barat dan Nusa Tenggara Timur serta saat ini berkembang di Samudera Hindia khususnya Barat Sumatera (DKP, 2007). Berdasarkan penempatannya, di Indonesia dikenal 3 (tiga) jenis rumpon yaitu rumpon laut dangkal, laut dalam dan dasar. Rumpon laut dangkal yaitu alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan di perairan laut dengan kedalaman sampai 200 meter dan biasanya dipergunakan untuk menangkap ikan pelagis kecil, sedangkan rumpon laut dalam yaitu alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan di perairan laut dengan kedalaman lebih besar dari 200 meter untuk penangkapan ikan tuna dan cakalang di samping pelagis kecil. Rumpon laut dasar yaitu rumpon yang 15

36 dipasang di dasar perairan dan umumnya menangkap ikan-ikan dasar dan ikanikan karang (Departemen Pertanian, 1997). Namun rumpon perairan dasar lebih banyak diarahkan sebagai upaya perbaikan habitat kehidupan ikan yang dapat membantu ikan mendapatkan rumahnya (terumbu buatan) dengan kata lain untuk konservasi ekosistem (DKP, 2007). Hasil penelitian Arifin (2008) menyarankan, bahwa perlu pengaturan kepadatan rumpon, yaitu dengan mempelajari jumlah hasil tangkap, sifat ekologi wilayah, karakterisik lingkungan perairan, dan kebutuhan ekonomis masyarakat sekitar serta teknologi rumpon dan alat tangkap yang digunakan. Dengan demikian kepadatan rumpon di suatu wilayah penting dipertimbangkan. Hasil penelitian Barus (1982) menunjukkan bahwa pada awalnya hasil tangkapan terus meningkat pada saat jumlah rumpon masih sedikit dan penambahan jumlah rumpon akan meningkatkan hasil tangkapan dan sampai suatu ketika akan mencapai suatu kondisi maksimum. Kondisi maksimum ditandai oleh penambahan rumpon tidak lagi diikuti dengan penambahan jumlah hasil tangkapan melainkan dengan penurunan yang cukup signifikan sehingga secara ekonomis akan tidak menguntungkan lagi. Penggunaan awal rumpon laut dalam di Sorong tahun 1986, ternyata hasil tangkapan total dapat meningkat sebesar 105% dari hasil tangkapan per satuan upaya, dapat meningkatkan pendapatan pemilik rumpon sebesar 367%, mengurangi pemakaian bahan bakar minyak untuk kapal sebesar 64,3% serta mengurangi pemakaian umpan hidup sebesar 50% (Naamin, 1987). Namun saat ini dengan bertambahnya penggunaan rumpon di perairan Sorong terlihat kecenderungan menurunnya hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE). Selanjutnya hasil penelitian Yusfiandayani (2004), jumlah rumpon di perairan sekitar Pasauran Selat Sunda telah melebihi kapasitas sehingga memberikan dampak secara langsung pada hasil tangkapan nelayan semakin menurun dan ukuran ikan semakin kecil, sehingga diperlukan rasionalisasi dengan penurunan jumlah rumpon. Dampak pengurangan jumlah rumpon yang akan dipasang akan berpengaruh terhadap nelayan payang Bugis, oleh karena itu diperlukan pengelolaan bersama penggunaan satu rumpon yang akan dimanfaatkan oleh beberapa nelayan Bugis sehingga pendapatan taraf hidup 16

37 nelayan dapat meningkat. Menurut Preston (1982), bahwa penempatan rumpon laut dalam harus disesuaikan dengan kondisi perairan setempat dengan memperhatikan beberapa faktor sebelum memasang rumpon di suatu perairan yaitu: a. Lokasi perairan di lewati ruaya ikan cakalang dan tuna, b. Dasar perairan yang rata, c. Kekuatan arus dan angin yang tidak terlalu besar. Lebih lanjut menurut Jusuf (1999), beberapa kondisi lingkungan perairan yang diperlukan dalam pemasangan rumpon, antara lain : a. Perairan yang akan ditempatkan rumpon merupakan daerah/habitat kelompok ikan cakalang dan tuna di lokasi tersebut. b. Perairan kaya dengan unsur hara atau nutrien c. Kekuatan arus dan angin tidak terlalu besar. d. Diutamakan merupakan lokasi pertemua arus panas dan arus dingin Teknologi penangkapan ikan tepat guna adalah untuk mendapatkan jenis alat tangkap ikan yang mempunyai keragaman yang baik ditinjau dari aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi, sehingga merupakan alat tangkap yang cocok untuk dikembangkan. Menurut Haluan dan Nuraini (1993), untuk pengembangan teknologi penangkapan ikan, ada aspek-aspek yang harus dipenuhi yaitu: a. Tidak merusak biologi dan kelestarian sumberdaya, b. Secara teknis efektif digunakan, c. Secara sosial dapat diterima oleh masyarakat nelayan, d. Secara ekonomi dapat menguntungkan, e. Memperoleh izin dari pemerintah. Teknologi tambatan rumpon biasanya diberi pelepah daun kelapa, bambu dan lainnya yang memudahkan algae tumbuh subur di permukaan. Adanya algae dan sejenisnya menarik minat ikan kecil ke rumpon, dan adanya ikan kecil menarik minat ikan besar ke rumpon. Prinsip umum komponen utama kontruksi bangunan rumpon sejak dahulu hingga sekarang tidak berubah yaitu terdiri dari rakit, pelampung (buoy), jangkar (anchor/singkers), tali jangkar (rope) dan pemikat ikan (antraktor), bendera atau tanda pemilik rumpon. Selain berdasarkan penempatannya, berdasarkan konstruksinya rumpon dikelompokkan menjadi 17

38 rumpon tradisional dan rumpon moderen. Kontruksi teknologi rumpon tradisional meliputi : a. Pelampung (buoy), terbuat dan rakit bambu. b. Tali jangkar (rope), setiap daerah memiliki perbedaan, seperti; nelayan Jawa dan Madura menggunkan bahan ijuk dan Sulawesi menggunakan rotan. c. Pemikat ikan (atractor) terbuat dari pelepah daun kelapa, lontar, bambu dan sebagainya. d. Jangkar/Pemberat (anchor) terbut dari beberapa batu yang dirangkai menjadi satu dan jangkar yang dibuat dari bahan kayu. Jenis rumpon tradisional ini telah lama digunakan oleh nelayan di daerah Jawa, Madura, Sumatera, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara. Rumpon nelayan daerah Jawa dan Madura dipasang pada perairan dangkal (continental shelf) pada kedalaman sekitar meter. Sedangkan nelayan daerah Sulawesi memasang rumpon pada kedalaman meter. Target tangkapan umumnya kelompok ikan pelagis kecil dengan menggunakan alat tangkap pukat cincin (purse seine) atau payang dari nelayan Jawa dan Madura. Sedangkan nelayan Sulawesi menggunakan alat tangkap pancing ulur (hand line) dengan target tangkapan ikan tuna atau sejenisnya. Adapun rumpon tradisional diperlihatkan pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Rumpon Tradisional (Sumber : South Pacific Commission, 1996) 18

39 Rumpon Moderen (Gambar 2.2), biasanya dipasang hingga kedalaman m dilengkapi dengan radar dan penyerap energi matahari. Bahan rumpon dari baja, alumunium dan fibreglass. Beberapa rumpon dirancang tahan terhadap gangguan cuaca, seperti penggunaan tali sintetic yang mampu bertahan dalam kondisi cuaca terburuk dan mampu bertahan hingga 5 tahun. Gambar 2.2 Rumpon Moderen (Sumber : South Pacific Commission, 1996) Perilaku hidup ikan sasaran juga harus diperhatikan dalam pemasangan rumpon. Bila rumpon diarahkan untuk menangkap ikan cakalang sebagai hasil tangkapan utama, maka rumpon harus dipasang pada perairan dengan suhu o C, mempunyai salinitas 33 per mil, penyebaran secara vertikal dari permukaan 260 m, merupakan daerah pertemuan arus, lebih disukai lokasi tersebut terjadi pertemuan antara air panas dan air dingin, secara geografis berada pada daerah lintang sedang (tidak terlalu ke lintang selatan maupun ke lintang utara), tersedia cukup bahan makanan untuk ikan cakalang yang biasanya bergerombol besar (Martosubroto dan Malik, 1989). Sebenarnya prinsip suatu penangkapan ikan dengan rumpon adalah sebagai alat untuk mengumpulkan ikan agar kawanan (schooling) ikan tersebut mudah ditangkap dengan alat tangkap yang dikehendaki karena rumpon tempat berlindung dan mencari makanan (Subani, 1986). Adanya ikan di sekitar rumpon menciptakan arena makan dan dimakan yang diawali dengan tumbuhnya 19

40 bakteri dan mikroalga saat rumpon dipasang. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Yusfiandayani (2004), bahwa mekanisme berkumpulnya ikan pelagis kecil di sekitar rumpon cenderung disebabkan oleh proses rantai makanan yang diawali dengan tahapan terbentuknya kolonisasi mikroorganisme yang menempel di sekitar bahan atraktor rumpon, berkumpulnya pemangsa mikroorganisme di sekitar rumpon, berkumpulnya ikan-ikan penyaring (ikan herbivora) serta berkumpulnya ikan-ikan predator (karnivora dan omnivora). Lebih lanjut menurut Nybakken (1992), bahwa spesies dalam komunitas tidak terisolasi, tetapi antar spesies saling terjadi interaksi dalam daerah yang sama sehingga akan terjadi proses makan dan dimakan dalam komunitas tersebut. Untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di sekitar rumpon, dapat digunakan pancing hand line, pole and line, dan mini purse seine. Pengoperasian hand line dan pole and line hampir sama dan cukup sederhana, sedangkan mini purse seine sedikit lebih rumit. Namun secara umum, pengoperasian pancing hand line, pole and line, dan mini purse seine dapat mengacu kepada Imron dan Baskoro dalam DKP (2007) adalah : (a) Persiapan, meliputi persiapan perbekalan dan umpan. (b) Pemancingan, pemancingan mengunakan hand line dilakukan di depan rumpon, yaitu pada lokasi arus datang menuju rumpon. Ikan-ikan cakalang mempunyai kecenderungan untuk berenang di depan rumpon. Pada pemancingan menggunakan pole and line, apabila kapal sudah berada di lokasi rumpon, maka boy-boy segera berusaha untuk menarik gerombolan tuna/cakalang untuk mendekat ke perahu, dan umpan langsung dilempar. Pada saat ikan telah memberikan respon terhadp umpan, maka pancing harus sudah siap dan diulurkan sehingga kail masuk antara 0 10 cm ke dalam permukaan laut. Pelemparan umpan terus dilakukan dan pada saat yang sama dilakukan penyemprotan air melalui water sprayer yang ada di lambung kapal. Pada penangkapan menggunakan mini purse seine, setelah kapal tiba di sekitar rumpon, maka alat tangkap segera diturunkan untuk melingkari gerombolan ikan. Penurunan alat tangkap dilakukan dengan memperhatikan arah angin, arus, arah gerombolan ikan dan arah datangnya sinar matahari. 20

41 Penangkapan ikan menggunakan mini purse seine dapat dilakukan pada siang hari maupun malam hari, sedangkan penangkapan pada malam hari menggunakan alat bantu yang dipasang pada rakit di sekitar rumpon (Muchtar, 1999). Untuk menjaga agar rumpon memiliki umur teknis yang tinggi, maka pemeliharaan dan perawatan terhadap rumpon harus senantiasa dilakukan. Menurut Imron dan Baskoro dalam DKP (2007), pemeliharaan dan perawatan terhadap rumpon meliputi : a. Penggantian dan perbaikan bambu setiap tiga bulan b. Penggantian pelepah daun kelapa setiap satu bulan c. Pengecekan secara rutin tali jangkar pada rumpon d. Pengawasan posisi rumpon terhadap lalu lintas pelayaran Oleh karena itu selain aspek teknologi rumpon, pengelolaan rumpon yang berkelanjutan yang sesuai dengan tujuan dan fungsinya harus memperhatikan aspek ekologi, biologi ikan, alat penangkapan ikan, sosial budaya dan ekonomi, aspek legal yang meliputi lokasi pemasangan, jumlah pemanfaatan dan izin pemasangan serta lingkungan sosial sehingga rumpon sebagai alternatif alat bantu penangkapan ikan di laut berbasis rumpon dapat berlanjut (Baskoro, 2005). 2.3 Tingkah Laku Ikan Pelagis yang Berasosiasi dengan Rumpon Peran rumpon sebagai wahana pengumpul ikan di perairan Indonesia sejak lama telah banyak dimanfaatkan oleh nelayan karena adanya kecenderungan ikan-ikan pelagis untuk bergerombol di sekitar rumpon. Subani (1972) mengemukaan, bahwa ikan-ikan lemah (seperti cakalang kecil) yang berada di sekitar rumpon berenang pada sisi sebelah atas rumpon. Kadangkadang bergerak ke kiri dan kekanan, tetapi selalu kembali ke tempat semula dan umumnya berenang menentang arus. Ikan berenang menghadang arus dan berada di depan rumpon. Ikan yang berukuran sedang biasanga ditemui di bawah gerombolan ikan ukuran kecil dengan gerakan yang sama dengan gerakan yang sama juga dengan ukuran kecil tersebut. Pada umumnya ikan yang bergerombol mempunyai ukuran yang sama (umur, panjang, berat), dan akan memudahkan dalam menangkap mangsanya (Djatikusumo), 1977). Hochachka 21

42 (1979) dalam Longhurst dan Pauly (1987) mengemukakan, tingginya aktivitas jenis tuna didukung tidak hanya oleh tingginya kompleksitas dan keragaman biokimia otot tetapi juga oleh kemampuan penyimpanan panas pada ototnya yang dapat menimbulkan penambahan metabolisme aerobik dan aerobik sehingga dapat beruaya jauh. Namun dalam perjalanan beruaya tersebut isyarat visual sangat sedikit, navigasi untuk beruaya tidak perlu terlalu akurat tetapi dapat menentukan arah secara umum sesuai dengan musim dan masa air. Namun adanya daya tarik universal ikan pada benda terapung seperti potongan kayu kecil tulang jenis sotong untuk dapat menarik ikan kecil bertahan pada kurun waktu yang lama dan jenis tunapun tidak terkecuali secara teratur berasosiasi dengan benda-benda terapung tersebut. Hal ini diperkuat 1/5 hasil tangkapan armada purse seine di perairan tropis pasifik Timur pada tahun 1970 melakukan kegiatan penangkapan ikan di sekitar benda terapung. Tingkah laku ikan pada daerah penangkapan ikan mempunyai hubungan dengan berbagai faktor lingkungan dan ekologi sehingga dapat diketahui cara yang dapat meningkatkan efisiensi serta penggunaan alat tangkap untuk meningkatkan hasil tangkapan. (Gunarso, 1985). Pergerakan horizontal pada jenis cakalang (K.pelamis) dapat mencapai pergerakan sekitar 2 mil dari rumpon dengan kecepatan renang 1,2 2,4 knot. Sedangkan ikan madidihang (T.albacores) memperlihatkan pergerakan horizontal sejauh 1 mil kemudian menghilang tetapi akhirnya ditemukan pada rumpon lain dalam satu perairan dan esok harinya ikan tersebut kembali lagi ke rumpon semula (Cayre, 1991). Hasil pengamatan vertikal menunjukkan bahwa kedalaman renang ikan cakalang menunjukkan pada malam hari cenderung berada di perairan yang lebih dalam ( m) sedangkan pada sing hari berada pada kedalaman 0-20 m. Ikan madidihang pada siang hari mencapai kedalaman antara m dengan suhu C dan pada malam hari m dengan suhu >27 C. Pada umumnya ikan madidihang berenang mendekati permukaan pada malam hari dan cenderung mulai berenang semakin dalam pada pagi hari sesudah matahari terbit. Nilai tengah kedalaman ikan madidihang yang berasosiasi dengan rumpon sekitar 5,3 meter, sedangkan di luar rumpon sekitar 85,2 meter. 22

43 Ikan tuna mata besar yang berasosiasi dengan rumpon umunya berenang ke permukaan pada pagi hari dan mulai berenang ke dalam pada tengah hari, kemudian kembali lagi mendekati permukaan sesudah matahari terbenam. Kedalam ikan tuna mata besar yang berasosiasi dengan rumpon pada siang hari antara meter, sedangkan di luar rumpon sekitar 230 meter. Selanjutnya menurut hasil penelitian Nugroho (2000) bahwa, dominasi ikan yang masih belum matang gonad (juwana) adalah fenomena umum pada perikanan dengan penggunaan alat bantu rumpon. Selain itu dominasi baby tuna dalam hasil tangkapan dengan menggunakan rumpon di perairan Teluk Tomini berkaitan dengan tingkah laku ikan yang berada pada lapisan permukaan perairan pada saat ikan tersebut muda. Hasil penelitian Yusfiandayani (2006) menyatakan bahwa rumpon akan menarik perhatian ikan karena atraktor rumpon melambai-lambai di perairan. Ikan-ikan akan bergerak mendekati rumpon karena beberapa sebab antara lain mencari makan, berkumpul berasosiasi maupun sebagai reference point bagi ikan-ikan pelagis kecil yang melakukan migrasi dan melewati perairan tersebut. Untuk perairan Selat Sunda dan Samudera Hindia, rumpon sudah dapat dipasang pada kedalaman m, dan bisa lebih jauh dan dalam tergantung ukuran rumpon dan armada nelayan yang menangkap ikan serta ikan target di sekitar rumpo tersebut. Hal ini ditunjang hasil penelitian Soedharma (1994) tentang perilaku ikan membentuk komunitas menunjukkan bahwa ikan berkumpul atau membentuk komunitas di sekitar rumpon berdasarkan kelengkapan rantai makanan yang tersedia. Ikan kelompok besar akan datang bila ada ikan kecil atau sedang yang menjadi mangsanya di lokasi, begitu juga halnya dengan ikan sedang atau kecil. Ikan-ikan tersebut akan datang dan pergi secara berkelompok dengan periode dan lama menetap tergantung jumlah makanan dan wilayah migrasi ikan tersebut. Suhu, salinitas dan arus merupakan faktor oseanografis yang secara langsung mempengaruhi migrasi dan penyebaran tuna dan cakalang di suatu perairan. Menurut Batubara (1981), bahwa kisaran suhu optimum dari jenis ikan tuna mata besar adalah C pada kedalaman meter, madidihang adalah 14-22ºC pada kedalaman meter. Selanjutnya 23

44 disampaikan bahwa jenis ikan tuna dan cakalang pada umumnya menghuni perairan dengan salinitas Menurut Budiono (2006) laju pergerakan ikan dari yang berasosiasi dengan rumpon ke arah yang tidak berasosiasi dengan rumpon (l) dapat menjadi petunjuk bagi nelayan dalam memanfaatkan sumberdaya ikan sebagai efektif di sekitar rumpon. Hal ini dapat mengurangi konflik yang disebabkan oleh proses dan teknologi produksi. Dengan mempelajari pergerakan tersebut, maka nelayan dapat membagi wilayah penangkapan di antara mereka sehingga hasil tangkap optimal bisa dinikmati bersama. Bila pengaturan penangkapan berdasarkan pola migrasi dan asosiasi tersebut dapat di atur, maka menurut hasil penelitianyusfiandayani (2006) di Pasauran, standing stock sumberdaya ikan yang berada di bawah pengaruh suatu rumpon dan bila tidak ditangkap untuk jangka waktu 1 tahun (angka perkiraan) akan berkembang menjadi sebesar 30 ton (Z). Dalam keadaan seimbang, laju susut populasi ikan di suatu rumpon, yakni (l + m) Z akan sama dengan laju rekrutmen terhadap rumpon atau pb. Dengan menggunakan nilai ton sebagai potensi biomassa yang belum ditangkap maka biomassa ikan pelagis yang tidak berasosiasi dengan rumpon menjadi 1,70 ton/km 2. Pemanfaatan sumberdaya ikan seperti ini, tentu sangat mendukung kebelanjutan pemanfaatan di kemudian dan pengelolaan rumpon sebagai pengumpul ikan sekaligus pembentuk ekosistem baru termasuk berhasil dan sangat dipertahankan. Hasil tangkapan akan mencapai optimum (154.4 ton per tahun) jika jumlah rumpon di Pasauran hanya 4 unit, dan dengan pengelolaan tersebut akan memberikan keuntungan optimum (Rp 38.2 juta per tahun). Jumlah rumpon 4 unit pada perairan Pasauran seluas km 2 ini menunjukkan bahwa setiap luasan pengaruh / area perairan sekitar 23 km 2 atau setiap jarak 5 km (3 mil laut) hanya terdapat 1 rumpon. Data ini didapat berdasarkan existing condition 45 buah rumpon yang berhasil dideteksi di perairan dan mencakup luasan pengaruh 2.6 km 2 atau rata-rata jarak antar rumpon sekitar 1.6 km (0.9 mil laut). Bila kepadatan rumpon ini diubah dai 1,6 km2 per rumpon menjadi 5 km2 per rumpon, maka pengelolaan rumpon yang menjadi ketersediaan sumberdaya ikan secara lestari dan keuntungan optimum bagi nelayan dapat selalu terjaga. 24

45 Beberapa hipotesis tentang fungsi dari benda terapung di lautyang merupakan teori pemasangan rumpon telah dikemukakan oleh peneliti yang kemudian dihimpun oleh Gooding dan Magnusson (1967) yaitu: 1. Ikan mencari tempat berlindung dari predator 2. Ikan besar memangsa ikan kecil 3. Ikan memakan algae atau dedaunan yang terdekomposisi 4. ikan mencari perlindungan di bawah benda apung 5. Ikan menggunakan benda terapung sebagai substrat meletakkan telurnya 6. Bayangan benda membuat zooplankton lebih terlihat bagi ikan 7. Benda terapung merupakan cleaning station dimana ikan pelagis melepaskan parasitnya melalui asosiasi dengan ikan lain. Dari ketujuh hipotesis tersebut baru dapat dibuktikan kebenaranya bahwa benda terapung berfungsi sebagai: 1. Perlindungan dari predator 2. Pengumpul sediaan makanan 3. Cleaning station bagi pada parasit yang menempel 2.4 Jenis-Jenis Ikan Yang Berasosiasi di Rumpon Informasi jenis ikan yang berasosiasi di sekitar rumpon penting untuk mengetahui potensi ekonomi dan keberhasilan penangkapan di sekitar rumpon. Secara umum, jenis ikan yang berasosiasi di sekitar rumpon terdiri dari kelompok ikan pelagis besar dan kelompok ikan pelagis kecil. Menurut Subani (1958), kelompok ikan pelagis besar yang berasosiasi di sekitar rumpon dapat berupa cakalang (Katsuwonus pelamis), tuna madidihang (Thunnus albacores), tuna albakor (Thunnus allalunga), tuna sirip biru (Thunnus obesus), dan tongkol(euthynnus affinis dan Auxix spp.). Sedangkan ikan pelagis kecil yang berasosiasi di sekitar rumpon dapat berupa layang (Decapterus ruselli, Decapterus macrosoma, Decapterus kurroidea), siro (Sardinella sirm), lemuru (Sardinella lemuru), tembang (Sardinella fimbriata, Sardinella brachiosoma, 25

46 Sardinella gibbosa), bentong (Selar crumenopthalmus), dan selar (Selaroide leptolepis). Beberapa hasil pengamatan tentang rumpon menunjukkan bahwa jenis hasil tangkapan utama dengan alat pancing dan payang adalah layang (Decapterus spp), pisang-pisang (Caesio spp.), bentong (Selar crumenopthalmus), tenggiri (Scomberomorus spp.), dan sunglir (Elagatis bipinnulatus). Selain kelompok ikan pelagis, hasil tangkapan rumpon, khususnya pada laut dangkal juga terdapat ikan demersal. Hasil pengamatan rumpon dengan alat tangkap bagan apung terdiri dari pepetek (Leioghnathus splendens), selar kuning (Selaroides leptolepis), teira batfish (Platax teira), kerapu lumpur (Epinephelus tauvina), unicorn leatherjacket (Alutrus monoceros) (Lintang dan Anung, 1994). Selanjutnya, jenis-jenis ikan yang berasosiasi positif dengan rumpon adalah pepetek (Leiognathus splendens), selar kuning (Selaroides leptolepis), kerapu lumpu ( Epinephhelus tauvani), teira batfish (Platax teira), dan unicorn leatherjacket (Aluterus monoceros). Lebih lanjut Arifin (2008) di Selat Lembah menyebutkan bahwa jenis ikan pelagis yang tertangkap pada ekosistem lengkap termasuk ekosistem rumpon dapat terdiri dari selar hijau (Atule mate), selar kuning (Selaroides leptolepis), kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta), layang panjang (Decapterus russelli), layang gilik (Decapterus macrosoma), tongkol (Auxis thazard), selar bentong (Selar crumenophthalmus), tetengkek (Megalaspis cordyla) dan ikan sunglir (Elagatis bipinnulatus). Ikan yang selalu ada sepanjang tahun dan selalu tertangkap dengan menggunakan payang bugis adalah ikan selar hijau (Atule mate). Ikan pelagis besar menyebar di perairan yang relatif dalam, bersalinitas tinggi, kecuali ikan tongkol yang sifatnya lebih kosmopolitan yang dapat hidup di perairan yang relatif dangkal dan bersalinitas lebih rendah (Martosubroto dan Malik, 1989). Ikan pelagis besar dari jenis cakalang dan tuna banyak terdapat di perairan lepas pantai termasuk zona ekonomi ekslusif. Sebaran ikan cakalang (K. Pelamis) terutama di perairan Indonesia Bagian Timur, perairan barat-timur Sumatera, peraiarn selatan Jawa, dan perairan selatan Pulau Timor. Daerah sebaran cakalang yang paling luas dan padat terdapat di sekitar perairan Kepala 26

47 Burung, Papua Barat, perairan utara Papua, perairan Maluku Utara, perairan Teluk Tomini, dan perairan Nusa Tenggara (Barus, 1982). Ikan madidihang (T. Albacores) banyak terdapat di perairan Indonesia Bagian Timur, perairan pantai Selatan Jawa, dan perairan Barat Sumatera. Sedangkan tuna jenis albakor (T. Allalunga) terdapat di perairan selatan Jawa, Bali, dan perairan Nusa Tenggara. Ikan tuna mata besar (T. Obesus) banyak terdapat di semua perairan Indonesia walaupun pada beberapa daerah, potensinya tidak begitu besar. Tuna sirip biru (T. Maccoyii) terdapat di perairan selatan Jawa sampai periaran selatan Pulau Timor. Tuna abu-abu (T. Tonggol), penyebarannya lebih mendekati periaran yang berkadar garam relatif rendah (laut Jawa dan laut Cina Selatan) sehingga sering dikelompokkan sebagai jenis tuna pantai (Martosubroto dan Malik, 1989). Sebaran ikan pelagis kecil umumnya ditemukan di daerah paparan dengan komunitas yang bergerombol dan menyukai daerah permukaan. Hampir semua jenis ikan pelagis kecil ditemukan di seluruh perairan Indonesia, kecuali lemuru (S. Lemuru) yang hanya terdapat di selat Bali. Musim penangkapan ikan pelagis kecil di perairan Indonesia umumnya berlangsung pada peralihan musim timur ke musim barat, yaitu sekitar bulan Agustus sampai Desember (Lintang dan Anung. 1994). Di perairan Jawa, daerah penangkapan ikan pelagis kecil pada musim timur (Juli Agustus) terpusat di sekitar perairan Pulau Bawean sampai perairan selat Makassar, sedangkan pada bulan September sampai November, penangkapan umumnya hampir merata di seluruh parairan pantai utara Jawa. Pada musim barat (Desember Pebruari), daerah penangkapan umumnya di sekitar perairan pulau Masalembo dan Matasiri untuk ikan layang, perairan Kepulauan Karimun sampai Bawean untuk ikan banyar, dan perairan sekitar Bawean untuk ikan siro (Mann dan Lazier, 1991). Daerah penangkapan pada musim barat sebenarnya bisa lebih luas, namun terkadang cuaca kurang mendukung untuk operasi penangkapan ikan menggunakan kapal-kapal kecil yang kebanyakan dimiliki nelayan. Di perairan selat Bali, pola musim ikan lemuru biasanya antara bulan Oktober sampai Maret, dan ini biasanya tidak berubah dari tahun ke tahun (Merta, 1991). Pemasangan 27

48 dan pemanfaatan rumpon di laut juga memperhatikan daerah penyebaran ikan pelagis kecil dan besar sebagai ikan target tang akan ditangkap. 2.5 Potensi Perikanan Laut Potensi perikanan laut sesungguhnya merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun asset ini belum dimanfaatkan secara maksimal. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut, dan industri bioteknologi kelautan. Menurut Dahuri (2001) potensi perikanan laut Indonesia mencapai 6,4 juta ton per tahun dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebesar 5.2 juta ton atau 80% dari MSY (Maximum Sustainable Yield). Hingga saat ini jumlah tangkapan mencapai 4,7 juta ton (DKP, 2008). Pertumbuhan penduduk dunia semakin pesat maka kebutuhan akan pangan termasuk ikan juga meningkat sehingga permintaan terhadap ikan terus meningkat. Menurut laporan Food and Agriculture Organization (FAO) (2005) bahwa sekitar 3 % sumberdaya perikanan dunia pada tingkat eksploitasi optimum, 23 % pada tingkat eksploitasi moderat, 52 % pada tingkat eksploitasi penuh, 16 % sudah pada tingkat melampaui batas optimum produksi, 5% pada tingkat penurunan produksi secara terus menerus (status deplesi) dan hanya 1% pada tingkat dalam proses pemulihan melalui program konservasi. Dengan kata lain bahwa sumberdaya perikanan yang masih dapat dimanfaatkan di bawah tingkat optimum hanya sebesar 26 %, dan sisanya 74 % sudah dimanfaatkan secara berlebihan. Secara regional, jenis ikan-ikan yang mempunyai ekonomis penting seperti bigeye tuna (Thunnus obesus), yellowfin tuna (Thunnus albacores) dan swordfish (Xiphias gladius) sudah berstatus fully exploited yang mengarah pada overexlpoited sejak tahun Hal ini diperkuat dengan hasil the 10 Th session of the Scientific Committee of Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) (FAO, 2007) yang merekomendasikan untuk menurunkan hasil tangkapan jenis ikan-ikan tersebut sampai pada hasil tangkapan sebelum tahun 2003 di Samudera Hindia dan mengkaji kembali pemasangan rumpon bagi nelayan tradisional Indonesia di Samudera Hindia. Indonesia, sekitar 65 % dari ikan-ikan potensial seperti pelagis kecil di Laut Jawa, pelagis besar di Samudera Hindia dan Sulawesi dan Pasifik, udang dan ikan-ikan dasar di Arafura sudah diekploitasi secara penuh sejak tahun 2000-an. 28

49 Kemudian usaha perikanan tangkap di Indonesia didominasi oleh usaha skala kecil dengan ruang gerak tidak jauh dari pantai telah mengakibatkan tekanan sumberdaya ikan di pesisir. Dalang rangka pembinaan nelayan, agar dapat meningkatkan produktivitas penangkapan ikan di laut maka program rumponisasi dikembangkan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan. Namun keberlanjutan rumpon perlu di kaji sehingga kebijakan pengelolaan rumpon akan memberikan manfaat secara ekonomi bagi nelayan tanpa mengurangi kelestarian lingkungannya. 2.6 Analitical Hierarchy Process Analitical Hierarchy Process (AHP) merupakan salah satu alat analisis manajemen strategik dengan pendekatan sistem. Suatu totalitas sistem seperti lingkungan, ekonomi, pemerintahan dan organisasi tidak bisa dianalisis pada bagian-bagiannya tetapi harus dipahami sebagai satu kesatuan. Dengan pendekatan AHP pengukuran dapat dilakukan dengan membangun suatu skala pengukuran dalam bentuk indek, skoring atau nilai numerik tertentu. Karena itu untuk menyelesaikan persoalan dengan AHP perlu dipahami prinsip-prinsip dekomposisi, komparatif judgement, sintesis prioritas, dan konsistensi logika. (1) Dekomposisi, merupakan langkah untuk menguraikan persoalan menjadi unsur-unsur yang tidak mungkin dipecahkan lagi. Melalui dekomposisi akan diperoleh beberapa tingkatan persoalan yang disusun secara terstruktur sebagai suatu hirarki. (2) Perbandingan Berpasangan, merupakan langkah untuk memberi penilaian tingkat kepentingan relatif dua elemen pada tingkat tertentu dengan tingkat diatasnya. Penilaian ini merupakan prinsip penting dari AHP didalam memposisikan peubah keputusan pada setiap tingkat hirarki keputusan. (3) Sintesis dan prioritas, merupakan langkah untuk menentukan nilai eigen vector pada setiap matriks pair waise comparison untuk mendapatkan nilai kegiatan yang menjadi prioritas lokal. Dengan demikian untuk memperoleh global priority harus dilakukan sintesa diantara local priority tersebut. Prosedur melakukan sintesa berbeda menurut bentuk hirarki. 29

50 Pengurutan elemen sesuai dengan kepentingan relatif dengan cara sintesa ini dikenal sebagai priority setting. (4) Konsistensi, mempunyai dua makna, pertama merupakan kumpulan objek yang sama sesuai dengan keseragaman dan relevansi. Kedua, menyangkut hubungan antar objek yang didasarkan pada kriteria yang telah ditetapkan. Jika penilaian tidak konsisten maka penilaian harus diulang untuk memperoleh penilaian yang lebih tepat. Terdapat banyak variasi bentuk hirarki, perbedaan ini menyebabkan perbedaan dalam melakukan sintesa. Komparatif judgment merupakan inti dari AHP, perbedaan orang yang memberi judgment mungkin menyebabkan perbedaan prioritas. Karena metoda ini berpijak pada konsistensi maka selanjutnya dapat dikembangkan rumusan matematis untuk menjelaskan konsistensi tersebut. Rumusan itu dapat ditransformasi dengan pendekatan matrik untuk memperoleh eigen value dalam mencari vektor prioritas. Dengan pendekatan AHP, beberapa tahapan yang harus dilakukan, yaitu: 1. Mendefenisikan masalah Identifikasi sistem, yaitu untuk mengidentifikasi permasalahan dan menentukan solusi yang diinginkan 2. Penyusunan struktur hierarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan subtujuan-subtujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkatan kriteria yang paling bawah. 3. Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan pengaruh relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang setingkat di atasnya. Perbandingan berdasarkan judgment dari pengambil keputusan, dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya 4. Menghitung matriks pendapat individu 5. Menghitung pendapat gabungan 6. Pengolahan horizontal 7. Pengolahan vertikal 8. Revisi pendapat 30

51 2.7 Penelitian Terdahulu Tentang Rumpon Penggunaan awal rumpon laut dalam di Sorong tahun 1986, ternyata hasil tangkapan total dapat meningkat sebesar 105% dari hasil tangkapan per satuan upaya, dapat meningkatkan pendapatan nelayan pemilik rumpon sebesar 367%, mengurangi pemakaian bahan bakar minyak untuk kapal sebesar 64,3% serta mengurangi pemakaian umpan hidup sebesar 50% (Naamin, 1987). Hasil penelitian Yusfiandayani et al (2006) menyatakan bahwa rumpon akan menarik perhatian ikan karena atraktor rumpon melambai-lambai di perairan. Ikan-ikan akan bergerak mendekati rumpon karena beberapa sebab antara lain mencari makan, berkumpul berasosiasi maupun sebagai reference point bagi ikan-ikan pelagis kecil yang melakukan migrasi dan melewati perairan tersebut. Hasil penelitian Yusfiandayani et al (2006) di Pasauran banten, bahwa dengan luas penelitian 115 km 2, untuk mendapatkan keuntungan yang optimal dan kelestarian sumberdaya ikan maka jarak antara satu rumpon dengan rumpon yang lain mempunyai pengaruh sebesar 23 km 2. Penelitian Soedharma (1994) tentang perilaku ikan membentuk komunitas menunjukkan bahwa ikan berkumpul atau membentuk komunitas di sekitar rumpon berdasarkan kelengkapan rantai makanana yang tersedia. Ikan kelompok besar akan datang bila ada ikan kecil atau sedang yang menjadi mangsanya di lokasi, begitu juga halnya dengan ikan sedang atau kecil. Ikanikan tersebut akan datang dan pergi secara berkelompok dengan periode dan lama menetap tergantung jumlah makanan dan wilayah migrasi ikan tersebut. Hasil penelitian Barus (1982) menunjukkan bahwa pada awalnya hasil tangkapan terus meningkat pada saat jumlah rumpon masih sedikit. Hasil tangkapan bertambah terus sampai suatu ketika akan mencapai sutau kondisi maksimum. Kondisi maksimum ditandai oleh penambahan rumpon tidak lagi diikuti dengan penambahan jumlah hasil tangkapan melainkan dengan penurunan yang cukup signifikan. Antiklimaks dari kondisi ini akan terjadi terus, jika jumlah rumpon terus ditambah pada area yang sama tanpa ada perlakuan khusus yang dapat menarik ikan dalam jumlah besar ke lokasi. Kepadatan rumpon perlu diatur sehingga hasil tangkapan setiap rumpon tetap maksimal. 31

52 Hasil penelitian Monintja, Baskoro, Purbayanto (1989) bahwa pemanfaatan FAD untuk penangkapan ikan madidihang dengan pancing ulur di perairan Pelabuhanratu, dinilai meningkatkan efisiensi dan efektifitas usaha penangkapan bagi nelayan. semua aspek atau dimensi yang berinetraksi terakomodir secara wajar. Menurut Wudianto (1990), bahwa dengan menggunakan teknik taging terhadap ikan Cakalang dan Tuna di Laut Sulawesi dan sekitarnya, diketahui bahwa keberadaan rumpon akan mempengaruhi pola migrasinya dan ikan tersebut akan lebih lama di sekitar rumpon dan kembali lagi. Hasil penelitian Zulkarnain (2002) tentang penggunaan rumpon pada bagan apung di teluk Pelabuhanratu, Jawa Barat, bahwa ikan yang tertangkap dengan alat tangkap bagan disekitar rumpon jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan dengan bagan apung tanpau rumpon. Ikan-ikan yang tertangkap merupakan ikan-ikan yang berasosiasi dengan rumpon yaitu ikan pelagis kecil. Berdasarkan hasil penelitian Susanna (2004), bahwa daun kelapa merupakan atraktor yang terbanyak menghadirkan perifiton dan ikan-ikan yang mengindikasikan adanya pemanfaatan rumpon sebagai tempat mencari ikan dan lebih lanjut ikan-ikan yang ditemukan di rumpon adalah banyak ikan yang matang gonad. Berdasarkan hasil penelitian Nahib (2007) tentang analisis dinamik pengelolaan sumberdaya perikanan tuna kecil di perairan Pelabuhanratu, bahwa keberadaan rumpon akan menyebabkan peningkatan laju pertumbuhan ikan sebesar 1,5-5,6%, peningkatan kemampuan daya tangkap sebesar 7-10%, peningkatan produksi sebesar 22%, serta penurunan kapasitas daya dukung 3-10%. Hasil penelitian Arifin (2008) dapat menjadi acuan dalam pengaturan kepadatan rumpon, yaitu dengan mempelajari jumlah hasil tangkap, sifat ekologi wilayah, karakterisik lingkungan peraiaran, dan kebutuhan ekonomis masyarakat sekitar. Lebih lanjut hasil penelitian Arifin (2008) di Selat Lembah menunjukkan bahwa jenis ikan pelagis yang tertangkap pada ekosistem lengkap termasuk ekosistem rumpon dapat terdiri dari selar hijau (Atule mate), selar kuning (Selaroides leptolepis), kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta), layang panjang (Decapterus russelli), layang gilik (Decapterus macrosoma), tongkol 32

53 (Auxis thazard), selar bentong (Selar crumenophthalmus), tetengkek (Megalaspis cordyla) dan ikan sunglir (Elagatis bipinnulatus). Ikan yang selalu ada sepanjang tahun dan selalu tertangkap dengan menggunakan payang bugis adalah ikan selar hijau (Atule mate). 33

54 III. GAMBARAN UMUM LOKASI PENElITIAN 3.1 Kondisi Geografi, Demografi, dan Sosial Pelabuhanratu merupakan daerah pesisir di Selatan Kabupaten Sukabumi dan sekaligus menjadi ibukota Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Pelabuhanratu terkenal dengan penghasil utama perikanan laut di Kabupaten Sukabumi. Wilayah Kabupaten Sukabumi di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bogor, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Cianjur, sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak sedangkan sebelah Selatan berbatasan dengan Samudra Hindia (Gambar 3.1) Gambar 3.1 Batasan Wilayah Kabupaten Sukabumi Kabupaten Sukabumi mempunyai luas sekitar 3.934,47 km 2. Topografi daerah perairan dengan kedalaman sekitar 200 m, pada jarak sekitar 300 m dari garis pantai, di luar itu kedalaman sekitar 600 m. Banyaknya sungai yang bermuara di Teluk Palabuhanratu menyebabkan potensi sedimentasi besar. Tinggi pasang surut sekitar 2,1 m dengan kecepatan arus 0.75 m/detik (PT Perencana Jaya, 2004). Kondisi ini menjadi ciri khas Pelabuhanratu dan daerah sekitarya yang mengandung potensi alam yang khas baik laut maupun darat. 34

55 Selain sumber daya alam, Pelabuhanratu dan Kabupaten Sukabumi secara umum juga merupakan daerah strategis pada sisi industri barang dan jasa. Oleh karena letaknya hanya berkisar 130 km dari Jakarta, maka banyak industri yang bermarkas di Jakarta, membangun beberapa pabriknya di Sukabumi. Bila dibandingkan dengan kabupaten lainya, maka Kabupaten Sukabumi merupakan kabupaten terluas wilayahnya di Jawa Barat. Secara administratif, wilayah Kabupaten Sukabumi terbagi menjadi 45 wilayah kecamatan, 335 wilayah desa dan 3 wilayah kelurahan. Teluk Pelabuhanratu merupakan teluk terbesar di pantai Selatan Pulau Jawa yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Secara geografis, Teluk Pelabuhan Ratu terletak pada posisi 6 57 sampai 7 07 LS dan sampai BT dengan panjang garis pantai 105 km. Perairan Teluk Pelabuhanratu merupakan tempat bermuaranya empat sungai, yakni Sungai Cimandiri, Sungai Cibareno, Sungai Cilentuk, dan Sungai Cikanteh. Kecamatan Pelabuhanratu berbatasan dengan Kecamatan Ciladang disebelah Utara, Kecamatan Ciemas disebelah Selatan, Kecamatan Cisolok disebelah Barat, Kecamatan Wanasciara disebelah Timur, dan Samudera Hindia di sebelah Barat Daya. Dasar perairan di Pelabuhanratu cukup curam dengan kedalaman antara 3 sampai 200 m. Pelabuahan Ratu juga termasuk salah satu daerah tempat pelelangan ikan di Jawa Barat. Selain di Teluk Pelabuhanratu, lokasi rumpon yang diteliti saat ini adalah di Barat Daya perairan Pelabuhanratu yang secara langsung berhubungan dengan Samudera Hindia. Berdasarkan data statistik tahun 2007, penduduk Kabupaten Sukabumi berjumlah jiwa yang terdiri dari pria sekitar jiwa dan wanita sekitar jiwa, dan Pelabuhanratu termasuk lokasi yang snagat pesat penduduknya di Kabupaten Sukabumi. Sedangkan kepadatan penduduknya mencapai 709,03 km 2. Mengacu data ini, maka kepadatan penduduk di Kabupaten Sukabumi termasuk padat di Indonesia. Sedangkan untuk penyebaran penduduk, sebagian besar pendukung Kabupaten Sukabumi bermukim di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan disebelah Selatan (kota Pelabuhanratu). 35

56 Untuk penyediaan air bersih, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Sukabumi dapat mensuplai dengan baik kebutuhan air bersih masyarakat yaitu dengan kapasitas produksi mencapai 204,00 liter/detik, sedangkan kapasitas terpasangnya mencapai 241,00 liter/detik. Selama ini, PDAM dapat mendistribusikan air bersih kepada seluruh masyarakat di lokasi dengan kaasitas ,00 m 3 /tahun. Terkait dengan ini, maka penyediaan air bersih dirasakan cukup di Pelabuhanratu dan Kabupaten Sukabumi pada umumnya termasuk untuk mendukung pengembangan industri perikanan. Pendapatan asli daerah (PAD) tahun 2001 sekitar 15,4 milyar. Mata pencaharian penduduk Sukabumi sebagian besar dalam bidang pertanian. Palabuhanratu sebagai pusat pemerintahan, diarahkan untuk mengakomodir perkembangan perdagangan, jasa, perikanan laut serta pariwisata. 3.2 Karakteristik Lingkungan Sekitar Lokasi Penelitian Karakteristik lingkungan perairan penting bagi organisme perairan untuk mendukung proses kehidupannya. Karakterikstik lingkungan perairan ini dapat diketahui dari parameter fisika, kimia, maupun biologinya. Parameter tersebut sangat menentukan bagaimana bentuk pantai, sedimen, permukaan dasar laut, dan bagaimana biota hidup didalamnya. Suhu permukaan di laut antara 22,2 _ 22,7 o C dengan salinitas air sekitar 29,34 0 / 00. Kondisi perairan jernih dengan ombak yang relatih lebih tinggi dari pada perairan lainnya. Arus di Selatan berasal dari Selatan dan Barat (Samudera Hindia) bergerak menuju Timur dan sebagian dibelokan ke Utara, dengan kecepatan mencapai 0,75 m/detik. Gelombang yang terjadi di perairan Pelabuhanratu ini termasuk golongan transisi dan memiliki panjang gelombang yang besar dalam hubungannya dengan frekuensi yang kecil. Salah satu penyebabnya adalah adanya gaya gesek yang terjadi pada dasar perairan. Hal tersebut dapat mengakibatkan proses abrasi dan sedimentasi. Di pantai ini telah terbukti bahwa terjadi dua fenomena sekaligus, yaitu proses abrasi dan proses sedimentasi karena terjadinya pemusatan energi dan penyebaran energi oleh gelombang. Fenomena abrasi dan sedimentasi ini disebabkan oleh energi yang lebih besar daripada arus dalam dan secara umum kecenderungan abrasi lebih besar dari sedimentasi. Gelombang di Samudera Hindia cukup besar bahkan sampai 36

57 ketinggian 3 meter. Parameter fisika perairan Barat Daya Pelabuhanratu yaitu sebagai berikut : total suspended solid (TSS) berkisar 13,20 13,48 mg/l, turbidity berkisar 0,15 0,42 NTU. Sedangkan kondisi kimia perairan lainnya sebagai berikut : ph 7,6, BOD 5 12,5 mg/l COD 24,60 mg/l dan amonia 0,21 mg/l. Berdasarkan hasil kajian ini, maka sifat fisika dan kimia perairan di kawasan ini masih cukup baik dan mendukung perkembangan habitat dan ekosistem di perairan Pelabuhanratu dan sekitarnya. Tabel 3.1 memperlihatkan karakterisktik detail lingkungan perairan Selatan, Barad Daya Pelabuhanratu. Tabel 3.1 Karakteristik lingkungan Lokasi Penelitian No. Parameter Nilai Parameter 1. Kecepatan arus 0,75 m/detik 2. Tinggi dan periode gelombang 141,61 cm dengan periode 5,46 detik 3. Warna < 5 unit 4. Temperatur 22,2-22,7 o C 5. Salinitas 29,34 0 / ph 7,6 BOD 5 12,65 mg/l 7. COD 24,60 mg/l 8. Amonia 0,21 mg/l 9. TSS 13,20 13,48 mg/l 10. Turbidity 0,15 0,42 NTU Sumber : Hasil analisis data lapang (2008) Bila melihat hasil analisis paremeter biologis, hampir perairan Pelabuhanratu dan ZEEI Samudera Hindia tempat pemasangan rumpon mempunyai ekosistem terumbu karang yang tidak terlalu baik. Ekosistem terumbu karang terbaik yang ada di perairan Ujung Genteng pada kedalaman 3 meter hingga 9 meter yang masing-masing memiliki persentase penutupan 62 % 37

58 - 79,4 %. Pertumbuhan karang di wilayah perairan tersebut lebih didominasi oleh coral massive dan Acropora digtata. Sedangkan di sekitar perairan Teluk Pelabuhanratu, umunya dari jenis Acropora branching dan coral branching memiliki pertumbuhan yang lebih dominan dibandingkan dengan jenis karang lainnya. Di perairan Pelabuhanratu ditemukan penyu dan ikan Napoleon (Cheilinus undulatus) yang termasuk ikan yang dilindungi. Selain itu juga ditemukan jenis-jenis ikan lain seperti ikan ekor kuning (Caesio sp), kepe-kepe (Chaetodon sp), ikan biji nangka (Upeneus sp), dan lain-lain. Di samping ikan, juga ditemukan ekosistem padang lamun. 3.3 Kondisi Klimatologi Perairan di Sekitar Lokasi Penelitian Seperti umumnya iklim wilayah kepulauan di Indonesia, Pelabuhanratu dan lokasi pemasangan rumpon mempunyai iklim yang tropis. Kondisi suhu harian di sekitar pantai Pelabuhanratu berkisar antara 21,1-31,2 C. Sedangkan kecepatan angin mencapai 13,4 knot dengan arah angin terbanyak menuju arah barat. Curah hujan cukup tinggi, yaitu mencapai mm/tahun. Keadaan curah ini ditentukan oleh fluktuasi musim hujan dan kemarau, dimana musim barat/hujan berlangsung sejak bulan Juli sampai dengan Desember dan musim timur/kemarau berlangsung antara bulan Januari sampai dengan Juni setiap tahunnya. Suhu udara maksimum di Pelabuhanratu berkisar 26,2 36,5 o C dan suhu udara minimum berkisar 16,7 23,2 o C. Kelembaban nisbi berkisar % sepanjang tahun. Karakteristik klimatologi seperti ditunjukkan pada Tabel 3.2, sangat penting dalam mendukung berbagai kegiatan pengelolaan di Pelabuhanratu seperti kegiatan usaha perikanan laut, penelitian, wisata bahari dan lainnya. Data musim, suhu, curah hujan, temperatur, dan kecepatan arus diperlukan untuk mengukur kesesuaian kawasan perairan untuk pengembangan kegiatan yang mendukung usaha perikanan, penelitian, dan pelestarian habitat sangat diperlukan sehingga terjadi keberlanjutan dalam pemanfaatan. 38

59 Tabel 3.2 Karakteristik iklim di perairan Pelabuhanratu No. Parameter Iklim Nilai Parameter 1. Suhu/temperatur harian 21,1-31,2 C 2. Kecepatan angin mencapai 13,4 knot 3. Curah hujan mm/tahun 4. Musim barat Juli Desember 5. Musim timur Januari Juni, 6. Suhu udara maksimum 26,2 36,5 o C 7. Suhu udara minimum 16,7 23,2 o C 8. Kelembaban nisbi % sepanjang tahun Sumber : Hasil analisis data lapang (2008) 3.4 Potensi Wisata Bahari dan Daerah konservasi Di kawasan Pelabuhanratu, terdapat sembilan titik lokasi untuk berselancar, yaitu di Batu Guram, Karang Sari, Samudra Beach, Cimaja, Karang Haji, Indicator, Sunset Beach, Ombak Tujuh sampai Ujung Genteng. Masing-masing pantainya mempunyai ombak dengan karakteristik sendiri. Kegiatan olahraga lainnya, yang unik dan terbilang langka ada di sini, yakni Arung Gelombang. Keberadaan olahraga air yang satu ini di Pantai Pelabuhan Ratu terbilang sangat baru, dan mungkin satu-satunya di Indonesia, bahkan di dunia. Pemerintah Daerah setempat dalam dua tahun terakhir telah mencoba melaksanakan event Arung Gelombang dengan mengundang peserta dari daerah lain, bahkan pernah juga diikuti oleh peserta dari luar negeri. Pantai Pelabuhanratu yang berupa teluk menyebabkan bentangan garis pantai yang cukup panjang menghadap laut selatan Pulau Jawa. Di beberapa bagian pantai kita bisa menemukan persawahan penduduk yang langsung berbatasan dengan laut, sebuah pemandangan yang unik dan menarik. Deburan ombak memecah di pantai menambah semarak suasana alam sekitar, ditambah rimbunnya hutan cagar alam di beberapa bagian di pinggiran pantai memberi 39

60 keteduhan dan segarnya suasana pinggiran perairan ini. Selain untuk menikmati pemandangan alam pantai, banyak pengunjung ke sini khusus untuk mencicipi makanan khas lautnya yang bahan-bahannya merupakan hasil tangkapan para nelayan di pantai tersebut. Secara keseluruhan, sajian keindahan pantai mampu menghapus segala kepenatan yang melanda perjalanan ke Pelabuhanratu. Dalam kaitan dengan konservasi, Pelabuhanratu juga terkenal sebagai tempat bertelur dan berbiaknya penyu. Sebagaimana diketahui bersama, penyu adalah salah satu jenis hewan laut yang mulai terancam punah, dan karenanya termasuk salah satu binatang yang dilindungi di dunia. Habitat alami penyu di Pelabuhanratu ini perlu idukung oleh semua pihak terutama masyarakat sekitar pantai supaya terus menjaga dan melindungi ekosistem penyu-penyu agar tidak punah di pantai Pelabuhanratu. Selain itu, bagi pemerintah setempat diharapkan agar terus memantau keadaan hewan langka ini dari tangan-tangan jahil yang mencoba menangkap untuk dikonsumsi daging dan telurnya. Rumah (kulit) penyu sering dijadikan hiasan yang mahal harganya, sehingga banyak diburu manusia. Habitat penyu berkembang di pantai Pelabuhanratu tersebut lebih didukung oleh morfologi pantai yang landai, berpasir putih, halus dan luas, meskipun pada beberapa bagian terdapat pantai bebatuan, curam, dengan karangkarang terjal. Disamping itu, kondisi pantai-pantai tersebut juga cukup alami dan tenang untuk perkembangbiakan. Penyu yang bertelur di pantai Pelabuhanratu tersebut jenis penyu hijau (Chelonia mydas) yang berusia antara tahun bertelur. Satwa laut dengan ukuran panjang cm dan berat antara kg ini tidak bisa bertelur di sembarang pantai. Musim bertelurnya antara bulan Juli sampai Oktober. Setiap kali bertelur seekor penyu hijau menghasilkan butir. Telur-telur penyu mendatangkan pemasukan juga bagi wilayah ini, sehingga hewan purba yang dilindungi ini digunakan sebagai logo Kabupaten Sukabumi. 3.5 Kegiatan Perikanan di Pelabuhanratu Perkembangan jumlah nelayan di PPN Palabuhanratu berfluktuasi. Pada tahun 1993 nelayan berjumlah orang, menurun menjadi orang pada 40

61 tahun Penurunan jumlah nelayan relatif besar terjadi tahun 2000, yaitu menjadi orang. Jumlah nelayan kembali meningkat pada tahun 2003 yaitu berjumlah orang, dan terus meningkat menjadi orang pada tahun Peningkatan jumlah nelayan ini dominan didorong oleh peningkatan jumlah perahu/armada dengan basis penangkapan ikan di sekitar rumpon. Nelayan (orang) 5,000 4,500 4,000 3,500 3,000 2,500 2,000 1,500 1, Tahun Gambar 3.2 Perkembangan jumlah nelayan di Pelabuhanratu Perahu/armada perikanan yang beroperasi di Pelabuhan Perikanan Nasional (PPN) Palabuhanratu, terdiri atas perahu motor tempel dan kapal motor. Jumlah kapal motor dan motor tempel berfluktuasi. Armada penangkapan periode didominasi jenis perahu motor tempel, yaitu sekitar 60%. Kapal purse seine yang yang beroperasi di perairan Pelabuhanratu kebanyakan berasal dari Pantai Utara Jawa. Kapal longline tahun 2003 mulai mendaratkan ikannya di PPN Palabuhanratu berjumlah 29 unit. Seiring dengan peningkatan fasilitas yang ada di PPN Palabuhanratu, pada tahun 2007 kapal longline di PPN Palabuhanratu berjumlah 45 unit. Komposisi perahu/armada berpengaruh pada daya tampung kolam pelabuhan. Pada awalnya kolam pelabuhan di PPN Pelabuhanratu tidak mampu lagi menampung seluruh jumlah kapal yang ada apabila sedang tambat. 41

62 Hal ini diperparah dengan pendangkalan kolam pelabuhan yang mengakibatkan terganggunya olah gerak kapal yang beroperasional di PPN Pelabuhanratu. Namun kondisi ini semakin diperbaiki seiring dengan peningkatan jumlah perahu/armada perikanan di Pelabuhanratu. Pada periode jumlah alat tangkap di perairan Pelabuhanratu cukup berfluktuatif. Jenis alat tangkap di PPN Palabuhanratu terdiri atas rampus, rawai, bagan, payang, pancing (tonda), purse seine, gillnet, trammel net, dan longline. Alat tangkap dominan adalah pancing, gillnet, bagan dan payang. Gillnet berjumlah 295 unit pada tahun 1993, menurun menjadi 135 unit pada tahun Bagan berjumlah 34 unit pada tahun 1993, meningkat menjadi 274 unit pada tahun Jumlah alat tangkap longline 29 unit pada tahun 1993, meningkat menjadi 45 unit pada tahun Jaring angkat meningkat tajam pada tahun 2001 yang mencapai jumlah unit. Ikan yang didaratkan di PPN Pelabuhanratu berasal dari hasil tangkapan kapal perikanan domisili (Pelabuhanratu) dan kapal perikanan pendatang yaitu diantaranya dari Cilacap, Jakarta, Binuangeun. Daerah penangkapan ikan bagi nelayan yang menggunakan base fishing port-nya PPN Pelabuhanratu adalah di antaranya di perairan Pelabuhanratu, Cisolok, Ujung Genteng, perairan sebelah Selatan pulau Jawa dan perairan sebelah Barat pulau Sumatera. Dari segi produksi, sebagian besar hasil tangkapan ikan tersebut terdiri dari kelompok ikan pelagis dan ikan demersal. Kelompok pelagis meliputi jenis tuna (Thunnus spp.), cakalang (Katsuwonus pelamis), tongkol (Euthynnus sp. dan Auxis sp.), tenggiri (Scomberomorus commersoni), kembung (Rastrelliger spp.) dan tembang (Sardinella fimbriata). Ikan demersal meliputi ikan cucut (Charcarinus sp.), layur (Trichiurus spp.), pari (Dasyatis sp.) dan pepetek (Leiognathus sp.). Produksi ikan periode juga cukup berfluktuatif seiring dengan perkembangan armada dan alat tangkap. Jumlah produksi relatif tetap yaitu berjumlah tahun 1994, dan jumlahnya tidak jauh berbeda pada tahun 2004 yaitu ton. Produksi meningkat cukup signifikan tahun 2005 berjumlah ton. Pada tahun 2006 sedikit menurun lalu kemudian meningkat pada tahun 2007 menjadi ton. 42

63 Produksi perikanan PPN Palabuhanratu tersebut merupakan 40-50% dari total produksi perikanan Kabupaten Sukabumi. Meskipun produksi perikanan di Kabupaten Sukabumi dan PPN Palabuhanratu cukup selama periode cukup berfluktuatif, tetapi nilai produksinya tidak demikian. Nilai produksi ikan di Kabupaten Sukabumi periode cenderung meningkat. Pada tahun 1994 berjumlah Rp ,00 dan pada tahun 2007 menjadi Rp ,00. Nilai produksi memang pernah menurun pada tahun 2000 (Rp ,00) dibandingkan tahun 1999 (Rp ,00). Namun kemudian meningkat terus hingga tahun Untuk PPN Pelabuhanratu, selama periode , nilai produksi ikannya cenderung meningkat yaitu dari Rp ,00 pada tahun 1994 meningkat menjadi Rp ,00 pada tahun Peningkatan nilai produksi cukup tajam terjadi pada periode , yaitu menjadi Rp ,00 pada tahun Peningkatan nilai produksi tersebut lebih disebabkan oleh harga ikan yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan dominan produksi disebabkan oleh keberadaan rumpon yang bersifat mengumpulkan ikan di lokasi seperti terlihat pada pada Gambar 3.3 8,000 7,000 Produksi Ikan (ton) 6,000 5,000 4,000 3,000 2,000 1, Tahun Gambar 3.3 Perkembangan jumlah produksi perikanan laut di Pelabuhanratu 3.6 Pemasangan dan Pemanfaatan Rumpon Perairan Pelabuhanratu merupakan perairan yang mempunyai ciri khas dibandingkan dengan perairan pantai lainnya yaitu lebih kurang 1-2 mil dari 43

64 garis pantai, perairannya sudah mempunyai kedalaman yang dalam yaitu besar dari 200 meter. Sesuai karateristik perairan ini mempunyai kesesuaian dalam usaha penangkapan ikan di laut. Sebelum tahun 2000, nelayan yang berpangkalan di PPPN Pelabuhanratu menangkap ikan di sekitar Teluk perairan Pelabuhanratu tersebut. Dengan berfluktuasinya harga BBM bahkan sampai mencapai peningkatan harga yang cukup tinggi banyak para nelayan yang tidak beroperasional ke laut karena BBM merupakan salah satu komponen biaya operasional melaut yang berkontribusi sebesar 60-70% dari biaya operasional seluruhnya. Oleh karena itu pemerintah mencanangkan program rumponisasi sebagai alternative usaha penangkapan ikan di laut. Sejalan dengan upaya pemerintah untuk peningkatan produksi perikanan laut, pengelolaan rumpon sebagai alat bantu penangkapan ikan memang sangat terandalkan. Rumpon merupakan alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dilaut, baik laut dangkal maupun laut dalam. Pemasangan tersebut dimaksudkan untuk menarik gerombolan ikan agar berkumpul di sekitar rumpon, sehingga ikan mudah untuk ditangkap. Dengan pemasangan rumpon maka kegiatan penangkapan ikan akan menjadi lebih efektif dan efisien karena tidak lagi berburu ikan (dengan mengikuti ruayanya), tetapi cukup melakukan kegiatan penangkapan ikan disekitar rumpon tersebut. Alat penangkap ikan yang dominan di lakukan di rumpon adalah jenis pancing yang diusahakan oleh nelayan kecil sampai menengah. Dari analisis ekonomi bahwa pendapatan nelayan dengan menggunakan pancing relatif lebih rendah dibandingkan dengan rawai dan payang, karena rawai, longline dan payang serta purse seine merupakan alat tangkap yang digunakan oleh nelayan skala besar (industri) di Pelabuhanratu. Namun, biaya operasional pancing justru paling rendah dibandingkan dengan jenis alat penangkap ikan lainnya di perairan Pelabuhanratu. Selain itu, alat penangkap ikan dengan pancing lebih ramah lingkungan serta hampir tidak mempengaruhi produktivitas hasil tangkapan alat penangkap lainnya. Pancing merupakan alat tangkap yang sederhana terdiri atas mata pancing berkait, tali pancing dan umpan. Mata pancing yang dipakai memiliki ukuran dan bentuk yang berbeda-beda. Penentuan ukuran mata pancing menentukan ukuran ikan sasaran. Selain mata pancing, 44

65 umpan merupakan komponen lain yang menentukan keberhasilan dari operasi penangkapan ikan dengan menggunakan pancing. Umpan terdiri dari dua macam yaitu umpan alami (natural bait) dan umpan buatan (artificial bait). Guna mendukung penangkapan ikan di sekitar rumpon, saat ini banyak berkembang penggunaan perahu motor dengan kapal motor, sedangkan perahu tanpa motor cenderung menurun. Jumlah perahu/armada perikanan selama periode tahun cukup fluktuatif namun dengan kecenderungan meningkat. Peningkatan jumlah terbanyak terjadi pada tahun 2000 sebesar unit, pada tahun berikutnya jumlah kapal/perahu terus menurun hingga berjumlah unit pada tahun Perahu tanpa motor cenderung menurun, yaitu dari 630 unit pada tahun 1994, menjadi 10 unit tahun 2003, dan tidak digunakan lagi tahun Penurunan jumlah perahu tanpa motor, diimbangi dengan keberadaan perahu motor tempel yang terus meningkat, yaitu dari 527 unit tahun 1994 menjadi 966 unit tahun Perahu motor tempel banyak beroperasi untuk menangkap ikan di perairan terdekat yang sebelumnya menjadi fishing ground untuk kapal motor sedang dan besar. Seiring dengan perkembangan pengelolaan rumpon sebagai alat bantu penangkapan, pengusaha perikanan dan nelayan telah melakukan perbaikan dan pengembangan yang cukup berarti pada armada penangkapan yang digunakannya. Sekitar 50% dari kapal motor di Sukabumi adalah kapal yang beroperasi dengan basis di PPN Palabuhanratu. Alat penangkap ikan yang digunakan pada kapal motor adalah bagan, gill net, pancing ulur, rawai, purse seine, tuna long line dan tonda. Sejak tahun 2004 alat tangkap pancing dengan alat bantu rumpon laut dalam mulai beroperasi di perairan sebelah Selatan Palabuhanratu, yang merupakan salah satu upaya nelayan untuk mencari jenis alat penangkap ikan yang nilai produktifitasnya cukup baik dan dapat memberikan jawaban selama ini atas penurunan hasil tangkapan akibat biaya operasional yang kurang proporsional kepada nilai produksi hasil tangkapan. Model rumpon laut dalam yang berkembang di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu adalah model rumpon yang telah diterapkan oleh Yayasan Anak Nelayan 45

66 Indonesia (YANI berkedudukan di PPN Palabuhanratu). Semula hanya dipasang dua unit rumpon laut dalam yang terletak di luar Teluk Palabuhanratu. Ternyata usaha pemasangan rumpon dengan alat penangkap ikan pancing cukup berhasil. Menurut YANI bahwa nilai jual ikan hasil tangkapan berkisar Rp. 8 s/d 12 juta per trip, pendapatan bersih per perahu per trip rata-rata sebesar Rp. 2,5 juta, biaya operasional per trip sebesar Rp. 2 juta. Penggunaan rumpon laut dalam telah mampu meningkatkan laju penangkapan, mengingat biaya operasional dapat dikurangi 50 60% (untuk ukuran kapal yang sama) karena waktu yang diperlukan dalam mencari gerombolan ikan relatif singkat, sehingga frekuensi operasi penangkapan lebih banyak. Melihat keberhasilan YANI dan adanya dugaan sebagian nelayan lokal bahwa pemasangan rumpon menyebabkan hasil tangkapan non rumponisasi mengalami penurunan hasil. Dugaan para nelayan lokal tersebut memicu terjadi konflik. Konflik tersebut telah menimbulkan hilang dan rusaknya rumpon dan alat tangkap baik nelayan yang memanfaatkan rumpon maupun yang tidak. Pemerintah Daerah dan Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu telah berhasil mengatasi konflik tersebut dengan cara musyawarah yakni melibatkan nelayan non rumponisasi untuk bergabung memanfaatkan rumpon. Namun biaya investasi rumpon yang cukup besar sehingga rumpon hanya dapat dilakukan dengan kerjasama dengan pemilik modal sehingga tidak semua nelayan juga yang tertampung untuk memanfaatkan rumpon, sehingga pemasangan rumpon dialihkan ke perairan Barat Daya perairan Pelabuhanratu, ZEE Samudera Hindia. Saat ini jumlah rumpon yang dipasang sebanyak 22 unit dengan ukuran kapal yang digunakan untuk alat tangkap pancing dengan alat bantu rumpon adalah kapal motor yang berukuran < 10 GT. Pada tahun 2007 jumlah kapal motor yang menggunakan Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu sebagai fishing base sebanyak 160 unit kapal dengan jumlah rumpon yang terpasang sebanyak 22 unit di kedalaman meter. Koordinat penempatan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu seperti terlihat pada Lampiran 3, dan bentuk rumpon yang digunakan di barat Daya perairan Pelabuhanratu dapat dilihat pada Lampiran 5. Sejak tahun produktivitas alat penangkap 46

67 ikan (sebelum adanya rumpon) di PPN Pelabuhanratu berfluktuasi, seperti terlihat pada Tabel 3.3. Jenis Alat Penangkap Ikan Tabel 3.3 Produktivitas (Kg/trip) Alat Penangkap Ikan Periode Tahun di Pelabuhanratu (Kg/trip) Tahun 2000 Tahun 2001 Tahun 2002 Tahun 2003 Payang Rampus Trammel net Bagan Gill net Pancing ulur Rawai Purse seine Tuna Long line Sumber; DKP (2007) Pada periode tahun tersebut di perairan Pelabuhan Tahun 2004 Pelabuhanratu belum berkembang rumponisasi. Pada tahun , alat bantu penangkap ikan rumpon telah berkembang sehingga produktivitas alat penangkap ikan di perairan Pelabuhanratu mempunyai kecenderungan seperti pada Tabel 3.4 Tabel 3.4 Produktivitas (Kg/trip) Alat Penangkap Ikan Periode Tahun di Pelabuhanratu. (Kg/trip) Jenis Alat Penangkap Ikan Tahun 2005 Tahun 2007 Payang Rampus Trammel net 28 6 Bagan Gill net Pancing ulur Rawai Purse seine Tuna Long line Tonda Sumber; DKP (2007) 47

68 System pengelolaan rumpon saat ini modal awal rumpon adalah bantuan dari pemerintah dalam operasionalnya sebagian besar dibiayai oleh pengusaha perikanan. Hasil penjualan tangkapan akan dibagi sebanyak 60% untuk pengusaha dan 40 % untuk nelayan dan kemudian dikurangi 5% untuk biaya pemeliharaan rumpon kelompok. Ikan hasil tangkapan alat tangkap pancing (rumpon) dipasarkan dalam bentuk segar dan hasil olahan pindang, mutu ikan hasil tangkapan berkualitas ikan ekspor karena ikan-ikan tuna langsung ditangani mutunya diatas kapal, kapalnya memiliki palkah berinsulasi baik dan menggunakan es yang cukup. Harga ikan jauh lebih baik biasanya harga tuna hanya Rp Rp per kg dengan hsil rumpon harga tuna berkualitas ekspor menjadi Rp Rp pe kg. Terlepas dari jumlah dan nilai produksi perikanan yang cenderung meningkat, komposisi armada perikanan perlu diatur tidak hanya sesuai dengan daya dukung pelabuhan tetapi juga sesuai dengan daya dukung sumberdaya perikanan di kawasan. Di samping itu, juga perlu diperhatikan jenis-jenis alat tangkap yang digunakan dan diharapkan yang mempunyai selektivitas tinggi dan ramah lingkungan. Hal ini disebabkan daya jangkau penangkapan ikan untuk jenis kapal tersebut relatif jauh dan secara alamiah akan terjadi pergeseran fishing ground ke arah luar Teluk Pelabuhanratu (perairan ZEEI) dengan sumberdaya perikanannya yang masih melimpah, apalagi bila pengelolaan rumpon berkembang baik dan berkelanjutan. Dalam kaitan dengan bahan bakar minyak (BBM) yang merupakan % dari komponen biaya operasional penangkapan ikan di Pelabuhanratu, keberadaan rumpon sangat membantu nelayan untuk menghemat BBM tersebut dalam melaut. Kenaikan harga BBM yang pernah terjadi pada beberapa tahun terakhir ini, menambah beban kehidupan bagi masyarakat nelayan terutama nelayan kecil, di Pelabuhanratu. Yang jelas dirasakan adalah sebagian besar penghasilan nelayan menurun. Untuk mensiasati penghematan penggunaan BBM yang merupakan komponen dominan komponen biaya operasional penangkapan ikan, maka pengusaha perikanan dan nelayan di Pelabuhanratu dapat telah mencoba mengusahakan rumpon secara tepat guna. 48

69 No. Tabel 3.5 Penggunaan BBM untuk beberapa unit penangkapan ikan di Pelabuhanratu Jenis Unit Penangkapan Biaya Operasional (Rp/trip) Rasio BBM dari Biaya (%) Biaya Total Biaya BBM 1 Pancing 1,951,667 1,266, Rawai 17,300,000 11,616, Payang 14,741,667 9,566, Purse Seine 15,363,333 9,333, Sumber : Hasil analisis data lapang (2008) Akan tetapi dalam perkembangannya, pemasangan rumpon selain menimbulkan efek positif juga menimbulkan beberapa masalah, antara lain akibat pemasangan rumpon yang tidak teratur dan lokasi yang berdekatan dapat merusak pola ruaya ikan yang berimigrasi jauh sehingga mengganggu keseimbangan dan konflik antar nelayan, kemudahan penangkapan ikan dengan menggunakan rumpon dapat menimbulkan overfishing, dan lain-lain. Terlepas dari itu, semua pengelolaan rumpon sebagai alat bantu penangkapan ikan di Pelabuhanratu telah berkembang dengan baik dan hasil nyatanya untuk membantu nelayan kecil dan menengah dalam penangkapan ikan cukup jelas dan memuaskan. Saat ini, tinggal diupayakan bagaimana pengelolaan rumpon di perairan Pelabuhanratu dapat berkelanjutan dan apakah semua dimensi pengelolaan yang ada di Pelabuhanratu mendukung keberlanjutan pengelolaan rupon di kawasan. 3.7 Fasilitas Pendukung Kegiatan Perikanan di Pelabuhanratu Fasilitas pendukung kegiatan perikanan yang berbasis di PPN Pelabuhanratu ada tiga jenis yaitu fasilitas pokok, fasilitas fungsional, dan fasilitas peninjag. Fasilitas pokok berfungsi untuk melindungi pelabuhan ini dari gangguan alam, tempat membongkar ikan hasil tangkapan dan memuat perbekalan, dan tempat tambat labuh kapal-kapal penangkap ikan Fasilitas pokok yang dimiliki oleh PPN Pelabuhanratu terdiri dari : (a) dermaga sepanjang 500 m, (b) kolam 3 Ha dengan variasi kedalaman -3 m, -2,5 m dan - 2m. (c) penahan gelombang bagian barat 294 m dan bagian utara 125 m, (d) 49

70 jaringan drainase, dan (e) rambu navigasi. Khusus untuk dermaga dibagi lagi menjadi beberapa bagian, yaitu dermaga tambat kapal-kapal 5-20 GT sepanjang 120 m, kapal GT sepanjang 90 m dan kapal GT sepanjang 100 m. Dermaga bongkar ikan sepanjang 93 m dan dermaga servicing 106 m.. Fasilitas fungsional berfungsi untuk memberikan pelayanan dan manfaat langsung yang diperlukan untuk kegiatan operasional di PPN Pelabuhanratu. Fasilitas fungsional di PPN Pelabuhanratu terdiri dari : (a) fasilitas pemasaran dan distribusi hasil perikanan berupa tempat pelelangan ikan, pasar ikan, dan gudang keranjang, (b) fasilitas perbekalan berupa tangki BBM dan dispenser dan tangki air, (c) fasilitas pemeliharaan/perbaikan berupa gedung utility, tempat perbaikan jaring, dok/galangan kapal, (d) fasilitas pengolahan berupa cold storage, dan (e) fasilitas pelayanan berupa kantor, balai pertemuan nelayan, instalasi listrik, sarana komunikasi radio SSB/all band, telepon, fax dan internet, gardu jaga WC umum. Sedangkan fasilitas penunjang merupakan fasilitas tambahan yang diperlukan untuk mendukung kegiatan pelabuhan perikanan. Fasilitas penunjang terdiri dari perumahan, wisma tamu, tempat ibadah, kantin, pertokoan, sarana kebersihan. Kegiatan jenis fasilitas yang ada diharapkan daat mendukung kegiatan penangkapan ikan oleh perahu/armada perikanan yang berbasis di PPN Pelabuhanratu. Dari semua itu, kebutuhan tiga jenis logistik seperti air bersih, es balok dan solar merupakan al yang utama yang perlu didukung oleh PPN Pelabuhanratu. Tabel 3.6 memperlihatkan perkembangan kebutuhan logistik utama di Pelabuhanratu. Penyaluran kebutuhan air bersih untuk kapal perikanan di PPN Palabuhanratu dipenuhi oleh PPN Palabuhanratu. Air yang disalurkan berasal dari Air PDAM dan dialirkan ke perahu/armada perikanan biasanya melalui slang plastik dengan ukuran penjualan dalam bentuk "Blong" (drum plastik) yang berkapasitas 250 liter dan 120 liter serta dalam bentuk jerigen plastik ( 30 liter ). 50

71 Tabel 3.6. Kebutuhan logistik untuk penangkapan ikan di Pelabuhanratu Kebutuhan logistik No Tahun Air (lt) Es (balok) Solar (lt) Jumlah Fluk Jumlah Fluk Jumlah Fluk / , ,003-1,521, /1995 1,159, % 136, % 2,698, % /1996 1,806, % 114, % 1,671, % /1997 1,330, % 123, % 1,801, % /1998 1,516, % 148, % 2,016, % /1999 1,594, % 125, % 1,568, % /2000 1,146, % 86, % 1,624, % / , % 41, % 934, % /2003 1,234, % 87, % 1,340, % /2004 1,342, % 127, % 1,675, % /2005 1,439, % 176, % 1,856, % /2006 1,830, % 201, % 2,012, % /2007 2,010, % 243, % 2,345, % Rata-rata 1,400, % 137, % 1,774, % Sumber : Hasil analisis data lapang (2008) dan berbagai sumber Sedangkan kebutuhan perbekalan es balok di PPN Palabuhanratu disuplai oleh Swasta yaitu Pabrik Es Ratu Tirto dan Pabrik Es Tirta Jaya. Jumlah pemakaian es balok sampai tahun 2000 mengalami fluktuasi tergantung jauh dekatnya fishing gound yang secara umum kecenderungannya menurun sebesar 15,45%, sedangkan mulai tahun 2002 cenderung meningkat. Kebutuhan solar ketika PPN baru dioperasionalkan disuplai oleh SPBU terdekat, tetapi sejak tahun 1998 kebutuhan solar juga disuplai oleh KUD Mina Sinar Laut yang mengelola Tangki BBM yang berada di Pelabuhan. Namun 51

72 suplai solar tersebut terkadang tidak lancar. Hal ini sering dialami oleh nelayan yang akan berangkat melakukan penangkapan ikan di sekitar rumpon. 3.8 Peran Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pelabuhanratu Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pelabuhanratu merupakan pelabuhan perikanan yang diperuntukkan untuk melayani kapal-kapal perikanan yang berukuran lebih dari 60 GT yang beroperasi di perairan Nusantara dan Zone Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI). Disamping dermaga dan kolam pelabuhan yang luas, PPN Pelabuhanratu cukup dikenal melalui sarana pemasaran dan distribusi ikannya berupa TPI dan pasar ikan, serta areal industri perikanan untuk menampung kegiatan pengepakan dan pengolahan ikan, dan lain-lain. Sedangkan jenis-jenis kegiatan yang terdapat di PPN Pelabuhanratu yang merupakan perannya di lokasi terdiri dari kegiatan operasional di laut dan kegiatan operasional di darat. Kegiatan operasional di laut di PPN Pelabuhanratu dapat mencakup : a. Kegiatan penangkapan ikan di laut (fishing ground), b. Kegiatan pendaratan di dermaga bongkar (landing), c. Kegiatan pelayanan di dermaga muat (servicing), d. Kegiatan perawatan dan perbaikan (maintenance and repairs), e. Kegiatan tambat labuh dan istirahat (berthing). Sedangkan kegiatan operasional di darat yang dilakukan di PPN Pelabuhanratu dapat berupa : a. Kegiatan pelelangan (auctioning), b. Kegiatan penyortiran dan pengepakan (sorting & packing), c. Kegiatan pengolahan (processing), d. Pengangkutan (transportation), 52

73 e. Pemasaran (marketing) Dalam upaya mendukung peningkatan perekonomian masyarakat sekitar, maka berdasarkan Undang-undang Nomor: 31 Tahun 2004 tentang perikanan, PPN Pelabuhanratu mempunyai fungsi dan peran sebagai berikut : a. Pusat pengembangan masyarakat nelayan; Sebagai sentra kegiatan masyarakat nelayan Pelabuhan Perikanan diarahkan dapat mengakomodir kegiatan nelayan baik nelayan berdomisili maupun nelayan pendatang. b. Tempat berlabuh kapal perikanan; Pelabuhan Perikanan yang dibangun sebagai tempat berlabuh (landing) dan tambat/merapat (mouring) kapal-kapal perikanan, berlabuh/merapatnya kapal perikanan tersebut dapat melakukan berbagai kegiatan misalnya untuk mendaratkan ikan (unloading), memuat perbekalan (loading), istirahat (berthing), perbaikan apung (floating repair) dan naik dock (docking). Sehingga sarana atau fasilitas pokok pelabuhan perikanan seperti dermaga bongkar, dermaga muat, dock/slipway menjadi kebutuhan utama untuk mendukung aktivitas berlabuhnya kapal perikanan tersebut. c. Tempat pendaratan ikan hasil tangkapan; Sebagai tempat pendaratan ikan hasil tangkap (unloading activities) Pelabuhan Perikanan selain memiliki fasilitas dermaga bongkar dan lantai dermaga (apron ) yang cukup memadai, untuk menjamin penanganan ikan (fish handling) yang baik dan bersih didukung pula oleh sarana/fasilitas sanitasi dan wadah pengangkat ikan. d. Tempat untuk memperlancar kegiatan-kegiatan kapal perikanan; Pelabuhan Perikanan dipersiapkan untuk mengakomodir kegiatan kapal perikanan, baik kapal perikanan tradisional maupun kapal motor besar untuk kepentingan pengurusan administrasi persiapan ke laut dan bongkar ikan, pemasaran/-pelelangan dan pengolahan ikan hasil tangkap. e. Pusat penanganan dan pengolahan mutu hasil perikanan; 53

74 Prinsip penanganan dan pengolahan produk hasil perikanan adalah bersih, cepat dan dingin (clean, quick and cold). Untuk memenuhi prinsip tersebut setiap Pelabuhan Perikanan harus melengkapi fasilitas fasilitasnya seperti fasilitas penyimpanan (cold storage) dan sarana/fasilitas sanitasi dan hygene, yang berada di kawasan Industri dalam lingkungan kerja Pelabuhan Perikanan. f. Pusat pemasaran dan distribusi ikan hasil tangkapan; Dalam menjalankan fungsi, Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu dilengkapi dengan tempat pelelangan ikan (TPI), pasar ikan (Fish Market) untuk menampung dan mendistribusikan hasil penangkapan baik yang dibawa melalui laut maupun jalan darat. g. Pusat pelaksanaan pembinaan mutu hasil perikanan; pengendalian mutu hasil perikanan dimulai pada saat penangkapan sampai kedatangan konsumen. Pelabuhan Perikanan sebagai pusat kegiatan perikanan tangkap selayaknya dilengkapai unit pengawasan mutu hasil perikanan seperti laboratorium pembinaan dan pengujian mutu hasil perikanan (LPPMHP) dan perangkat pendukungnya, agar nelayan dalam melaksanakan kegiatannya lebih terarah dan terkontrol mutu produk yang dihasilkan. h. Pusat penyuluhan dan pengumpulan data; Untuk meningkatkan produktivitas, nelayan memerlukan bimbingan melalui penyuluhan baik secara tehnis penangkapan maupun management usaha yang efektif dan efisien, sebaliknya untuk membuat langkah kebijaksanaan dalam pembinaan masyarakat nelayan dan pemanfaatan sumberdaya ikan selain data primer melalui penelitian data sekunder diperlukan untuk itu, maka untuk kebutuhan tersebut dalam kawasan Pelabuhan Perikanan merupakan tempat terdapat unit kerja yang bertugas melakukan penyuluhan dan pengumpulan data. i. Pusat pengawasan penangkapan dan pengendalian pemanfaatan sumberdaya ikan; 54

75 Pelabuhan Perikanan sebagai basis pengawasan penangkapan dan pengendalian pemanfaatan sumberdaya ikan. Kegiatan pengawasan tersebut dilakukan dengan pemeriksaan spesifikasi teknis alat tangkap dan kapal perikanan, ABK, dokumen kapal ikan dan hasil tangkapan. Sedangkan kegiatan pengawasan dilaut, Pelabuhan Perikanan dapat dilengkapi dengan pos/pangkalan bagi para petugas pengawas yang akan melakukan pengawasan dilaut. Menurut Damaredjo (1981) untuk mendukung peranan pelabuhan perikanan tersebut dalam operasionalnya diperlukan fasilitas-fasilitas yang dapat : a. Memperlancar kegiatan produksi dan pemasaran hasil tangkapan b. Menimbulkan rasa aman bagi nelayan terhadap gangguan alam dan manusia c. Mempermudah pembinaan serta menunjang pengorganisasian usaha nelayan dalam unit ekonomi Kompleksitas pemasaran produk ikan yang dihasilkan dari upaya penangkapan sumberdaya ikan di Perairan Pelabuhanratu akan membuat nilai jual yang diperoleh produsen (nelayan) dan konsumen akhir sangat jauh berbeda. Kesenjangan ini akan menimbul dampak negatif yang kurang baik bagi perkembangan perkonomian pada bidang perikanan. Agar hasil pemanfaatan sumberdaya ikan oleh nelayan ini baik maka pelabuhan perikanan harus dapat dikembangkan fungsinya dari service centre menjadi marketing centre. Keberhasilan pengembangan ini akan melahirkan suatu mata rantai pemasaran (market channel) yang teguh dan menciptakan growth centre di Pelabuhanratu dalam menghadapi dan mengantisipasi perdagangan bebas yang bakal diterapkan di Indonesia yang pada akhirnya mempengaruhi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat khususnya nelayan. 55

76 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Pendekatan Penelitian Secara konseptual, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah keberlanjutan pengelolaan rumpon di perairan. Kajian dimulai dari pengumpulan data kondisi saat ini (existing condition) pemasangan dan pemanfaatan rumpon di lokasi penelitian. Data yang terkait dengan kebutuhan penelitian, yaitu data ekologi, teknologi rumpon dan alat tangkap ikan, ekonomi, dan lingkungan sosial dikumpulkan melalui pengamatan langsung, wawancara, kuesioner, dan penulusuran pustaka. Setelah tahap pengumpulan data, dilanjutkan analisis keberlanjutan menggunakan algoritma RAPFISH (The Rapid Appraisal of The Status Of Fisheries) metode Multidimensional Scaling (MDS) dengan tujuan menentukan status keberlanjutan pengelolaan rumpon berdasarkan indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon. Hasil analisis keberlanjutan pengelolaan rumpon, selanjutnya dianalisis dengan Analysis Hierarchy Process (AHP) dan expert survey untuk mendapatkan prioritas kebijakan, dengan tahapan penelitian seperti Gambar

77 KONDISI SAAT INI PENGELOLAAN RUMPON DIMENSI PENGELOLAA Pengumpulan Data/input EKOLOGI EKONOMI SOSIAL TEKNOLOGI A n a l i s Analisis Data/proses Tingkah laku ikan Suhu perairan Arus perairan Salinitas Kedalaman Zona/Kawasan Batas Wilayah Rasio usaha, B/C ratio Pendapatan Pertumbuhan usaha Pendukung Kontribusi PAD Konsumsi rumah tangga tanggaeuanga ANALISIS KEBERLANJUTAN Ramah lingkungan Rasio hasil tangkapan terhadap TAC Investasi Keuntungan nelayan BBM akuntabilitas Pendidikan nelayan Kemudahan pelayanan Status penggunaan bahan berbahaya Konflik Keamanan nelayan membahayakan terhadap habitat Pengaruh terhadap keanekaragaman hayati Pengaruh konsumen Terhadap ikan yang dilindungi Multidimensional Scaling (MDS) Analisis AHP,exspe rt survey ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN RUMPON aplikasi RAPFISH Out put KEBIJAKAN PENGELOLAAN RUMPON YANG BERKELANJUTAN Gambar 4.1 Tahapan Penelitian 57

78 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Selatan perairan Pelabuhanratu (koordinat 105º BT s/d 108º BT dan 7ºLS s/d 8ºLS) seperti Gambar 4.2. Dipilihnya lokasi ini, karena Barat Daya perairan Palabuhanratu merupakan salah satu perairan migrasi ikan pelagis besar dan keberadaan rumpon merupakan pindahan dari perairan Teluk Pelabuhanratu karena potensi konflik yang timbul, dan diasumsikan jumlah rumpon yang dipasang terus meningkat dan hasil tangkapannya di daratkan di PPN Pelabuhanratu. Kegiatan penelitian lapang dilakukan sejak bulan September 2008 Januari Gambar 4.2 Lokasi Penelitian 4.3 Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder pengelolaan rumpon. Pengumpulan data primer dilakukan melalui berbagai cara seperti observasi lapang, wawancara, diskusi dan responden. Data sekunder dikumpulkan melalui penelusuran pustaka yang ada di berbagai institusi terkait, baik berupa laporan kegiatan maupun hasil-hasil penelitian. Data tersebut dapat dikelompokkan berdasarkan dimensi ekologi mencakup biologi, fisika dan kimia perairan, dimensi ekonomi mencakup finansial dan kondisi ekonomi nelayan, dimensi teknologi mencakup keandalan teknologi pengelolaan rumpon dan alat tangkap, dimensi sosial mencakup tingkat bahaya/keamanan dan konflik pengelolaan rumpon. Adapun jumlah sampel 58

79 nelayan yang menjadi sasaran pengambilan data terkait aspek keberlanjutan pemasangan dan pemanfaatan rumpon mengacu kepada Irianti dalam Bungin (2004) yaitu 10% dari kelompok nelayan yang memanfaatkan 22 unit rumpon yang dipasang di Barat Daya perairan Pelabuhanratu Jawa Barat. Responden penentuan prioritas kebijakan dipilih secara purposive (sengaja) dari pihakpihak/stakeholders yang berinteraksi langsung yang banyak mengetahui pengelolaan rumpon selama ini. Stakeholders tersebut berasal dari pemerintah, pengusaha perikanan, ilmuan dan nelayan yang memanfaatkan rumpon dengan jumlah masing-masing 7 (tujuh) orang. Untuk wawancara lebih lanjut expert survey terhadap ilmuan, dilakukan secara mendalam dan dipilih yang telah berpengalaman dalam seluk beluk tentang rumpon. 4.4 Analisis Data Analisis Keberlanjutan Kajian dimulai dengan analisis keberlanjutan dari kondisi saat ini pemasangan rumpon di lokasi penelitian melalui proses ordinasi menggunakan algoritma RAPFISH (The Rapid Appraisal of The Status Of Fisheries) (Kavanagh, 2001) dengan metode Multidimensional Scaling (MDS). Dengan menggunakan MDS, diperoleh posisi relatif keberlanjutan pengelolaan rumpon yang dikaji terhadap dua titik acuan yaitu titik baik (good) dan titik buruk (bad). Analisis keberlanjutan dilakukan melalui 3 (tiga) tahapan, yaitu: (1) tahap penentuan atribut atau kriteria pengelolaan rumpon berkelanjutan, mencakup dimensi ekologi, ekonomi, teknologi, sosial dan lingkungan, (2) tahap penilaian setiap atribut dalam skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan setiap dimensi, (3) tahap analisis ordinasi nilai indek keberlanjutan dengan menggunakan metode MDS. Adapun tahapan dari analisis keberlanjutan diperlihatkan pada Gambar 4.3. Dalam analisis MDS, sekaligus dilakukan Laverage, analisis Monte Carlo, penentuan nilai Stress, dan nilai Koefisien Determinasi (R 2 ). Analisis Laverage digunakan untuk mengetahui atribut yang sensitif, ataupun intervensi yang dapat dilakukan terhadap antribut yang sensitive untuk meningkatkan status keberlanjutan. 59

80 Mulai Kondisi aspek pengelolaan rumpon saat ini Penentuan atribut sebagai criteria penilaian Penilaian (skor) setiap atribut MDS (ordinansi setiap atribut) Analisis Monte Carlo Analisis sensitivitas Analisis Keberlanjutan Gambar 4.3 Tahapan Analisis Menggunakan MDS dengan Aplikasi RAPFISH (Fauzi, 2005) Analisis Monte Carlo digunakan untuk menduga pengaruh galat dalam proses analisis yang dilakukan, pada selang kepercayaan 95%. Nilai Stress dan koeefisien determinasi (R 2 ) berfungsi untuk menentukan perlu tidaknya penambahan atribut, untuk mencerminkan dimensi yang dikaji secara akurat. Menurut Kavanagh dan Pitcher (2004), model yang baik ditunjukkan dengan nilai Stress dibawah nilai 0,25, dan nilai R 2 di atas kepercayaan 95% sehingga kualitas dari analisis MDS dapat dipertanggung jawabkan Penentuan Atribut dan Analisis Skoring Dimensi Ekologi Menurut Code of Conduct Responsible Fisheries (CCRF) Analisis ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh atribut dari dimensi ekologi suatu wilayah perairan yang dijadikan sebagai lokasi pengelolaan rumpun. Atribut ekologi yang dimaksud pada penelitian ini adalah yang 60

81 berkaitan dengan aspek biologi ikan, fisika perairan dan kimia perairan. Hal ini penting agar rumpon yang dikembangkan benar-benar dapat menjadi daerah penangkapan ikan yang baru disamping tidak menyebabkan konflik pengelolaan. Terkait dengan ini, maka rumpon harus dipasang pada wilayah perairan yang tepat dan menjamin keberlanjutannya. Atribut ekologi ini didasarkan pada CCRF dan disesuaikan dengan kebutuhan di lokasi penelitian untuk mendukung pengelolaan perikanan yang bersifat kehati-hatian. Berdasarkan penelitian pendahuluan ke lokasi penelitian di peroleh atribut dari dimensi ekologi pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelebauhanratu. Adapun atribut dari dimensi ekologi yang dianalisis terkait pengelolaan rumpon ini yaitu tingkah laku ikan, suhu perairan, salinitas perairan, arus perairan, kedalaman, zona/ kawasan pengelolaan rumpon, dan batas wilayah. Secara rinci, atribut dari dimensi ekologi ini dijelaskan : a. Tingkah laku ikan. Tingkah laku ikan yang diperhatikan adalah lebih ditekankan pada tingkah laku ikan target penangkapan. jenis ikan target adalah cakalang (Katsuwonus pelamis), tuna madidihang (Thunnus albacores), tuna albakor (Thunnus allalunga), tongkol (Euthynnus affinis dan Auxix spp.). Tingkah laku ikan tersebut perlu dipelajari sehingga dukungan pemasangan rumpon terhadap pengembangan habitat dapat diketahui. b. Suhu air laut. Suhu air laut diperlukan untuk mengetahui kesesuaian suhu air lokasi rumpon dengan kebutuhan dari algae, ikan kecil, ikan sedang, dan ikan besar yang membentuk ekosistem di kawasan rumpon. Suhu perairan tersebut sebaiknya berkisar antara o C. c. Salinitas air laut. Salinitas air perlu dianalisis untuk mengetahui kesesuaian salinitas air lokasi rumpon untuk kelangsungan ekosistem di kawasan rumpon (terdiri dari algae, ikan kecil, ikan sedang, dan ikan besar). Salinitas perairan tersebut sebaiknya sekitar 33 0 / 00 d. Arus air laut. Arus air laut juga perlu diketahui untuk mengetahui kesesuaian arus dengan kebiasaan hidup ikan-ikan target penangkapan dan kesesuaian penempatan rumpon. Untuk kesesuaian ikan target, arus air sebaiknya tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil, dan diutamakan merupakan wilayah 61

82 pertemuan arus. Kekuatan arus air diperlukan juga untuk mempertimbangkan kesesuaian keberadaan rumpon di sekitar lokasi penelitian. e. Kedalaman laut dan atraktor rumpon. Kedalaman perairan menentukan jenis rumpon yang dipasang dan kedalaman atraktor rumpon karena berkaitan dengan jenis ikan target yang ditangkap. Kedalaman juga akan mempengaruhi kecerahan yang tinggi, sehingga cahaya matahari bisa tembus. f. Zona/ kawasan. Lokasi pengelolaan rumpon dapat dilakukan pada lokasi kawasan pemanfaatan atau kawasan pengelolaan bukan pada kawasan lindung dengan status kawasan perlindungan, kawasan rehabilitasi, kawasan inti atau sejenisnya yang disterilkan dari aktivitas pemanfaatan. Kemudian juga diperhatikan zona yang berkaitan dengan aktifitas lainnya seperti pelayaran, dan wisata bahari. g. Batas wilayah. Lokasi pengelolaan rumpon perlu dihindari pada wilayah laut yang menjadi perbatasan negara dengan negara lain. Lokasi pengelolaan dapat dilakukan pada wilayah laut perbatasan antar propinsi atau antar kabupaten asalkan ada kesepakatan antar pihak-pihak di kedua propinsi atau di kedua kabupaten. Hal ini penting untuk menghindari klaim pengelolaan dan konflik pemanfaatan. Sedangkan skor yang diberikan untuk setiap atribut dari dimensi teknologi terkait pengelolaan rumpon disajikan pada Tabel

83 Tabel 4.1 Atribut dan skor dalam analisis dimensi ekologi dari pengelolaan rumpon No. Atribut Skala Skor Buruk Baik Nilai 1. Tingkah laku 0 Ikan tidak ada di sekitar rumpon 0 3 ikan 1 Ikan menyebar dengan kepadatan rendah di sekitar rumpon 2 Ikan menyebar dengan kepadatan sedang di sekitar rumpon 3 Ikan menyebar dengan kepadatan tinggi di sekitar rumpon 2. Suhu perairan 0 Suhu perairan <10 o C atau > 30 o C Suhu perairan o C 2 Suhu perairan o C 3. Salinitas 0 Salinitas < 27 0 / perairan 1 Salinitas > 36 0 / 00 2 Salinitas / 00 3 Salinitas / Arus perairan 0 Arus terlalu besar Arus terlalu terlalu kecil 2 Arus tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil, tidak di wilayah pertemuan arus 3 Arus tidak terlalu besar atau dan tidak terlalu kecil, dan di wilayah pertemuan arus 5. Kedalaman 0 Kedalaman > 15 m 0 3 atraktor 1 Kedalaman m rumpon di 2 Kedalaman 7 10 m perairan 3 Kedalaman 2 6 m 6. Zona/kawasan 0 Zona/kawasan inti dan 0 2 pengelolaan rumpon 1 perlindungan yang steril Zona/kawasan konservasi dengan pemanfaatan terbatas 2 Zona/kawasan pemanfaatan 7. Batas wilayah 0 Di wilayah laut negara lain Di wilayah laut perbatasan dengan negara lain 2 Di wilayah laut perbatasan antar propinsi atau antar kabupaten 3 Di wilayah laut dalam batas administrasi wilayah sendiri Sumber : Subani (1958), Nyebakken (1988), Martosubroto dan Malik (1989), dan Jusuf (1999), disesuaikan dengan obyek analisis (rumpon) 63

84 Penentuan Atribut dan Analisis Skoring Dimensi Ekonomi Analisis ini dilakukan untuk mengetahui kesesuaian atribut dari dimensi ekonomi pengelolaan rumpon berupa manfaat finansial dari keberadaan rumpon bagi nelayan, serta kontribusinya dalam meningkatkan kondisi ekonomi masyarakat dan daerah sekitar. Analisis finansial ini dilakukan dengan membandingkan semua penerimaan yang diperoleh akibat investasi pengelolaan rumpon dengan semua pengeluaran yang harus dikeluarkan selama proses investasi dilaksanakan. Baik penerimaan maupun pengeluaran dinyatakan dalam bentuk uang agar dapat dibandingkan dan harus dihitung pada waktu yang sama. Manfaat ekonomi yang dimaksud dalam hal ini adalah keuntungan yang diperoleh oleh nelayan berdasarkan total biaya yang dikeluarkan dalam operasional rumpon dan kapal yang digunakan. Atribut analisis finansial ini difokuskan pada analisis B/C ratio, yang menyatakan perbandingan dari manfaat pengelolaan rumpon dengan biaya yang dikeluarkan untuk pengusahaan pemanfaatan. Sedangkan pengaruh terhadap kondisi ekonomi masyarakat dan daerah sekitar dapat diketahui dari atribut rasio usaha perikanan tangkap yang bergantung pada rumpon, pertumbuhan usaha perikanan tangkap yang mendukung usaha penangkapan, kontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD), pendapatan nelayan terutama nelayan skala kecil, dan kemampuan memenuhi bahan pokok konsumsi rumah tangga nelayan. Skor yang diberikan untuk setiap atribut dari dimensi ekonomi disajikan pada Tabel Penentuan Atribut dan Analisis Skoring Dimensi Teknologi Analisis ini dilakukan untuk mengetahui kesesuaian atribut dari dimensi teknologi terkait pengelolaan rumpon. Analisis ini penting untuk menyeleksi sifat keandalan teknik dan tepat guna dari pengelolaan rumpon dan alat tangkap yang dioperasikan di sekitar rumpon. Atribut yang digunakan untuk analisis dimensi teknologi dari pengelolaan rumpon ini mengacu kepada kaidah Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Skor yang digunakan untuk 64

85 memberi nilai atribut dari dimensi teknologi ini bervariasi tergantung klasifikasi dukungan atribut terhadap dimensi teknologi. Tabel 4.2 Atribut dan skor kesesuaian dalam analisis dimensi ekonomi dari pengelolaan rumpon No. Atribut Skala Skor Buruk Baik Nilai 1. Rasio (R) 0 R < 5 % 0 3 usaha perikanan 1 5 % < R < 15 % tangkap yang bergantung rumpon % < R < 25 % R > 25 % 2. Pertumbuhan 0 Tidak Ada 0 2 usaha pendukung penangkapan 1 2 Usaha penyedia kebutuhan melaut dan pemasaran sedikit Usaha penyedia kebutuhan melaut dan pemasaran banyak 3. Nilai B/C 0 Nilai B/C ratio: < ratio 1 Nilai B/C ratio: 1 2 Nilai B/C ratio: 1 < - < 1,5 3 Nilai B/C ratio: > 1,5 4. Kontribusi 0 Tidak Ada 0 2 terhadap PAD 1 Kecil 2 Diperhitungkan 5. Pendapatan 0 Pendapatan nelayan : <UMR 0 2 nelayan 1 Pendapatan nelayan : 1kali UMR rumpon (terutama nelayan skala kecil) 2 Pendapatan nelayan: > UMR 6. Konsumsi 0 Konsumsi beras : < 270 kg/tahun 0 3 Rumah Tangga 1 Konsumsi beras : Nelayan kg/tahun rumpon 2 Konsumsi beras : (terutama kg/tahun nelayan skala 3 Konsumsi beras : > 480 kg/tahun kecil), diukur dari konsumsi beras per tahun Sumber: disesuaikan dengan obyek analisis (rumpon) 65

86 Semakin tinggi dukungan atribut tersebut, maka semakin tinggi skor yang diberikan, dan bila sebaliknya maka semakin rendah skor yang diberikan. Secara spesifik, skor yang diberikan untuk setiap atribut dari dimensi teknologi pengelolaan rumpon disajikan pada Tabel Penentuan Atribut dan Analisis Skoring Dimensi Sosial Analisis ini dilakukan untuk mengetahui kesesuaian atribut dari dimensi sosial dan lingkungan pengelolaan rumpon Analisis ini penting untuk menyeleksi sifat destruktif aktivitas pengelolaan rumpon termasuk pengoperasian alat tangkap di sekitarnya terhadap sumberdaya ikan, nelayan, konsumen/masyarakat, konflik stakeholders, keanekaragaman hayati, dan ekosistem, dan lingkungan sekitar (Monintja, 2001). Atribut yang digunakan untuk analisis aspek lingkungan sosial ini mengacu kepada prinsip-prinsip pengelolaan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Skor yang digunakan untuk memberi nilai atribut dari dimensi lingkungan sosial ini bervariasi tergantung klasifikasi dukungan atribut terhadap dimensi lingkungan sosial. Semakin tinggi dukungan atau kesesuaian pengelolaan rumpon dengan kriteria prinsip pengelolaan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, maka semakin tinggi skor yang diperoleh, dan bila sebaliknya maka semakin rendah skor yang diberikan (Monintja, 2001). Secara spesifik, skor yang diberikan untuk setiap atribut dari dimensi sosial dan lingkungan ini disajikan pada Tabel

87 Tabel 4.3 Atribut dan skor kesesuaian dalam analisis dimensi teknologi dari pengelolaan rumpon No. Atribut Skala Skor Buruk Baik Nilai 1. Penerapan 0 Memenuhi 2 kriteria alat teknologi ramah lingkungan 2. Rasio hasil tangkapan terhadap TAC tangkap/operasi ramah lingkungan Memenuhi 3-5 kriteria alat tangkap/operasi ramah lingkungan 2 Memenuhi 5-7 kriteria alat tangkap/operasi ramah lingkungan 3 Memenuhi seluruh kriteria alat tangkap/operasi ramah lingkungan 0 Hasil tangkapan > 100 % dari TAC Hasil tangkapan < 80% dari TAC 2 Hasil tangkapan 80%<X<100% dari TAC 3 Hasil tangkapan 80 % dari TAC 3. Keuntungan 0 Keuntungan lebih kecil dari Rp nelayan dari per bulan penangkapan di 1 Keuntungan antara Rp Rp sekitar rumpon per bulan 2 Keuntungan antara Rp Rp per bulan 3 Keuntungan lebih besar dari Rp per bulan 4. Tingkat investasi 0 Investasi lebih besar dari Rp per unit/nelayan pengusahaan 1 Investasi antara Rp Rp rumpon per unit/nelayan 2 Investasi antara dari Rp Rp per unit/nelayan 3 Investasi lebih kecil dari Rp per unit/nelayan 5. Penggunaan 0 Penggunaan BBM lebih besar dari 15 BBM untuk penangkapan di rumpon liter per trip 1 Penggunaan BBM antara liter per trip 2 Penggunaan BBM antara 5-10 liter per trip 3 Penggunaan BBM lebih kecil dari 5 liter per trip 6. Tingkat 0 Pengelolaan rumpon memenuhi 1 dari akuntabilitas : 1) CCRF, 2) UU tentang Perikanan, 3) Peraturan daerah dan 4) hukum adat 4 kriteria di atas 1 Pengelolaan rumpon memenuhi 2 dari 4 kriteria yang ada 2 Pengelolaan rumpon memenuhi 3dari 4 kriteria Pengelolaan rumpon memenuhi semua kriteria yang ada Sumber : CCRF, Jusuf (1999), disesuaikan dengan obyek analisis (rumpon) 67

88 Tabel 4.4 Atribut dan skor kesesuaian dalam analisis dimensi sosial dari pengelolaan rumpon No. Indikator Skala Buruk Baik Nilai 1. Tingkat 0 Tidak tamat SD 0 3 pendidikan nelayan 1 Tamat SD, tetapi tidak tamat SMP 2 Tamat SMP, tetapi tidak tamat SMA 3 Tamat SMA/masuk perguruan tinggi 2. Kemudahan 0 Sulit 0 2 mendapat 1 Biasa saja pelayanan 2 Mudah kesehatan 3. Status 0 Ada bahan utama operasi 0 3 penggunaan bahan berbahaya menggunakan bahan peledak, bahan kimia, atau bahan beracun 1 Ada 2 bahan pendukung operasi menggunakan bahan peledak, bahan kimia, atau bahan beracun 2 Ada 1 bahan pendukung operasi menggunakan bahan peledak, bahan kimia, atau bahan beracun 3 Tidak ada penggunaan bahan peledak, bahan kimia, atau bahan beracun 4. Pengaruh 0 Menyebabkan kerusakan 0 3 terhadap habitat habitat pada wilayah yang luas 1 Menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang sempit 2 Menyebabkan kerusakan sebagian habitat pada wilayah yang sempit 3 Aman bagi habitat 5. Keamanan bagi 0 Bisa berakibat kematian pada 0 3 nelayan nelayan 1 Bisa berakibat cacat permanen pada nelayan 2 Hanya bersifat gangguan kesehatan yang bersifat sementara 3 Aman bagi nelayan 68

89 6. Keamanan hasil tangkapan 0 Berpeluang besar menyebabkan kematian pada konsumen 0 3 sekitar rumpon 1 Berpeluang menyebabkan bagi konsumen gangguan kesehatan pada konsumen 2 Relatif aman bagi konsumen 3 Aman bagi konsumen 7. Potensi konflik 0 Menimbulkan konflik dan tidak 0 3 stakeholders (antar nelayan) 1 terselesaikan Menimbulkan konflik, tapi terselesaikan 2 Tidak menimbulkan konflik, namun tidak menyelesaikan konflik yang sudah ada 3 Tidak menimbulkan konflik, dan menyelesaikan konflik yang sudah ada 8. Pengaruh 0 Menyebabkan kematian semua 0 3 terhadap keanekaragaman hayati 1 mahluk hidup dan merusak habitat Menyebabkan kematian beberapa spesies dan merusak habitat 2 Menyebabkan kematian beberapa spesies tetapi tidak merusak habitat 3 Aman bagi biodiversity 9. Pengaruh 0 Ikan yang dilindungi sering 0 3 terhadap ikanikan tertangkap yang 1 Ikan yang dilindungi beberapa dilindungi kali tertangkap 2 Ikan yang dilindungi pernah tertangkap 3 Ikan yang dilindungi tidak pernah tertangkap Sumber : Monintja (2001) dan Pedum Pemanfaatan Biota Laut d i KKL (2005) Metode analisis RAPFISH untuk pengembangan MDS ini terintegrasi dalam software SPSS. Posisi keberlanjutan pengelolaan rumpon divisualisasikan dalam dua dimensi (sumbu horizontal dan vertikal). Untuk memproyeksikan titik-titik tersebut pada garis mendatar dilakukan proses rotasi, dengan titik ekstrim kategori buruk yang diberi nilai skor 0% dan titik ekstrim kategori baik diberi nilai skor 100% (Tabel 4.5). Posisi status keberlanjutan pengelolaan rumpon yang dikaji akan berada diantara dua titik ekstrim tersebut. Nilai ini merupakan indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon di lokasi tersebut. 69

90 Tabel 4.5. Kategori status keberlanjutan pengelolaan rumpon Nilai Indeks Kategori 0 25 Buruk Kurang Cukup Baik Sumber : modifikasi Kruskal dalam Jhonson dan Wichern (1992) Analisis Kebijakan Pengelolaan Rumpon Untuk menghasilkan suatu prioritas dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan pengelolaan rumpon dalam pemanfaatan sumberdaya ikan yang berkelanjutan, akan dilakukan analisis menggunakan Analitical Hierarchy Process (AHP). Analitical Hierarchy Process merupakan salah satu alat analisis manajemen strategik dengan pendekatan sistem. Suatu totalitas sistem seperti lingkungan, ekonomi, pemerintahan dan organisasi tidak bisa dianalisis pada bagian-bagiannya tetapi harus dipahami sebagai satu kesatuan. Oleh karena itu AHP bertujuan untuk memecahkan masalah kualitatif yang komplek dengan memakai perhitungan kuantitatif, melalui proses pengekspresian masalah dalam kerangka berfikir yang terorganisir, sehingga memungkinkannya proses pengambilan keputusan secara efektif. Adapun prinsip dasar dari AHP adalah: (1) penyederhanakan masalah yang komplek, serta bersifat startegik dan dinamis melalui panataan rangkaian variabelnya dalam suatu hirarki, (2) secara subjektif tingkat kepentingan dari setiap variabel diberi nilai numerik yang dapat menjelaskan arti pentingnya suatu variabel dibandingkan variabel lainnya, (3) Mensintesiskan informasi yang tersedia untuk menetapkan variabel mana yang memiliki tingkat priritas paling tinggi disamping memiliki peran yang mempengaruhi hasil dalam sistem dimaksud (4) secara grafis, persoalan keputusan dikonstruksikan sebagai bentuk diagram bertingkat, tersusun. Dalam kaitan dengan analisis alternatif kebijakan pengelolaan rumpon dalam pemanfaatan sumberdaya ikan yang berkelanjutan, maka analisis menggunakan AHP ini diatur sedemikian rupa sehingga dapat mengkaji interaksi menyeluruh dari semua komponen yang terkait. Dalam menggunakan AHP, berbagai komponen yang berinteraksi/terkait dengan pengelolaan rumpon 70

91 sebagai upaya pemanfaatan sumberdaya ikan secara berkelanjutan ini akan dikelompokkan ke dalam beberapa level/herarki, misalnya level goal (tujuan), level kriteria, level pembatas (limit factor), dan level opsi alternatif kebijakan. Harapan akhir dari analisis AHP ini adalah diketahuinya prioritas dari alternatif kebijakan pengelolaan rumpon dalam pemanfaatan sumberdaya ikan yang berkelanjutan, beserta kestabilan/sensitivitas dari alternatif tersebut dalam aplikasi nyatanya di pengeloalan rumpon. Hal penting, supaya dapat dilakukan antisipasi di kemudian hari dan kebijakan yang dirumuskan akomodatif terhadap berbagai perubahan nyata di lapang. Adapun tahapan analisis alternatif kebijakan pengelolaan rumpon dalam pemanfaatan sumberdaya ikan yang berkelanjutan ini adalah : (1) Pendefinisian komponen Pada tahapan ini, semua komponen/variabel yang berkaitan dengan pengembangan kebijakan pengelolaan rumpon dalam pemanfaatan sumberdaya ikan yang berkelanjutan ditetapkan dan didefinisikan. Lingkup komponen yang didefinisikan mencakup tujuan pengelolaan rumpon, kriteria dalam pencapaian tujuan tersebut yang berupa pemenuhan kepentingan/aspirasi pelaku/stakeholders terkait, pembatas (limit factor) pemanfaatan berupa aspek/faktor ekologi, ekonomi, teknologi, sosial dan lingkungan yang terkait dengan pengelolaan rumpon, serta alternatif kebijakan pengelolan rumpon yang ditawarkan. (2) Penyusunan struktur hierarki Pada tahapan ini, semua interaksi komponen atau variabel yang telah didefinisikan disusun secara bertingkat dalam bentuk struktur hierarki AHP yang dimulai dari tingkat paling atas berupa tujuan (level 1), dilanjutkan dengan kriteria (level 2), pembatas/limit factor (level 3), dan opsi alternatif kebijakan pengelolaan rumpon dalam pemanfaatan sumberdaya ikan yang berkelanjutan pada tingkatan paling bawah hierarki (level 4). Rancangan awal struktur hierarki analisis kebijakan pengelolaan rumpon disajikan pada Gambar

92 Level 1 Fokus/Tujuan Pengelolaan Rumpon Yang Berkelanjutan Level 2 aktor Pemerintah Pengusaha Ilmuan Nelayan Level 3 dimensi Ekologi Ekonomi Teknologi Sosial Level 4 subkriteria Atribut sensitif Atribut sensitif Atribut Atribut Level 5 Opsi Kebijakan A B C D E F G H I J Gambar 4.4 Struktur Hirarki Analisis Kebijakan Pengelolaan Rumpon (3) Penetapan skala banding dan pembobotan Pada tahapan ini, skala banding satu sama lain komponen/variabel penyusun ditetapkan. Hal ini dibutuhkan untuk menganalisis kepentingan setiap kriteria pengembangan yang perlu dicapai dalam pemenuhan aspirasi pelaku/stakeholders terkait (setiap kompenen di level ke-2), menganalisis kepentingan setiap pembatas (limit factor) pengembangan yang perlu diperhatikan untuk setiap kriteria pengembangan yang perlu dicapai (setiap komponen di level ke- 3 pada setiap komponen di level ke-2), dan menganalisis kepentingan setiap alternatif kebijakan yang menjadi opsi kebijakan pengelolaan rumpon dalam pemanfaatan sumberdaya ikan yang berkelanjutan untuk setiap pembatas pengembangan pada setiap kriteria pengembangan (komponen di level ke-4 untuk setiap komponen di level ke- 3 pada setiap komponen di level ke-2). Penetapan skala banding ini dan sistem pembobotannya mengacu kepada skala banding berpasangan menurut Saaty (1993) pada Tabel

93 Tabel 4.6 Skala Banding Berpasangan dalam AHP Tingkat Kepentingan Keterangan Penjelasan 1 Kedua elemen sama pentingnya Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yang lainnya. Elemen yang satu lebih penting daripada elemen yang lain. Elemen yang satu jelas lebih penting daripada elemen yang lain. Elemen yang satu mutlak lebih penting daripada elemen yang lain. 2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan. Kebalikan Jika untuk aktifitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktifitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i. Sumber : Saaty (1993) Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama terhadap tujuan. Pengalaman dan penilaian sedikit mendukung satu elemen dibandingkan elemen lainnya. Pengalaman dan penilaian sangat kuat mendukung satu elemen dibanding elemen lainnya. Satu elemen dengan kuat didukung dan dominan terlihat dalam praktek. Bukti yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan. Nilai ini diberikan bila ada dua kompromi diantara dua pilihan. Lebar dan jumlah skala yang dibuat disesuaikan dengan kemampuan untuk membedakan dari setiap komponen yang disesuaikan dengan kondisi yang ada di lapang. Pembobotan diberikan berdasarkan taraf relatif pentingnya suatu komponen dibandingkan dengan komponen lainnya di level yang sama. Dalam pembobotan, diusahakan agar setiap komponen mempunyai skala yang sama sehingga antara komponen satu dengan komponen lainnya dapat diperbandingkan. 73

94 (4) Formulasi data Formulasi data merupakan kegiatan menginput data hasil analisis skala banding perpasangan ke dalam struktur hierarki. Pembuatan hierarki dan input data ini dilakukan menggunakan Program Expert Choice 9.5. Sedangkan data yang diinput terlebih dahulu disiapkan menggunakan program MS Excell. (5) Simulasi Simulasi dilakukan setelah data terkait diinput ke dalam program. Simulasi merupakan kegiatan menganalisis dan membandingkan data semua komponen yang ada dengan prinsip hasil banding antar dua pasangan komponen diperbandingkan dengan hasil banding antar dua pasangan komponen lainnya di level sama dan hasil perbandingan tersebut dilanjutkan ke level di atasnya hingga berakhir di level 1. Simulasi seperti ini merupakan upaya pertimbangan terhadap kepentingan semua komponen yang terkait sehingga alternatif kebijakan pengelolaan rumpon yang menjadi prioritas benar-benar merupakan alternatif kebijakan terbaik. (6) Pengujian Konsistensi dan Sensitivitas Tahapan ini bertujuan untuk menguji konsistensi dan sentivitas dari hasil simulasi yang telah dilakukan. Bila dari hasil simulasi diperoleh rasio inconsistency 0,1 atau lebih berarti data yang digunakan tidak konsistensi dan harus dilakukan pengambilan data ulang. Sedangkan untuk uji sensitivitas diharapkan hasil simulasi yang tidak terlalu sensitif. Bila hasil simulasi terlalu sensitif berarti alternatif kebijakan pengelolaan rumpon yang berkelanjutan yang dipilih sebagai prioritas terlalu labil terhadap dinamika yang berkembang terhadap pemasangan dan pemanfaatan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratun. Kriteria uji konsistensi dan uji sentivitas AHP disajikan pada Tabel

95 Tabel 4.7 Kriteria uji konsistensi dan uji sentivitas AHP Jenis Pengujian Kriteria Rasio inconsistency < 0,1 Sensitivity test Diharapkan tidak terlalu sensitive Sumber : Expert Choice 9.5 (7) Interpretasi hasil Tahapan interpretasi ini merupakan tahapan penggunaan hasil analisis AHP dalam menjelaskan dan memberikan rekomendasi prioritas alternatif kebijakan pengelolaan rumpon yang berkelanjutan dan kestabilan/sensitifitas prioritas tersebut terhadap berbagai perubahan yang terjadi secara nyata. Untuk lebih ringkasnya tahapan AHP, menurut Maarif (2004), langkah-langkah penggunaan AHP adalah sebagaimana pada Gambar 4.4. Mulai A Identifikasi sistem Penyusunan Hirarki revisi CR memenuhi Pengisian Matriks Pendapat Individu Penyusunan matrik Gabungan A Pengolahan Menghitung Prioritas selesai Gambar 4.5 Langkah-langkah Penggunaan AHP (Maarif, 2004) 75

96 V. HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN 5.1 Hasil Penelitian Berdasarkan hasil analisis existing condition pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu, Jawa Barat yang menggunakan aplikasi Rapfish dengan metode Multidimensional Scaling (MDS), diperoleh status keberlanjutan setiap dimensi (ekologi, ekonomi, teknologi, sosial) dan status keberlanjutan keterpaduan dimensi (multidimensi) pengelolaan rumpon. Untuk merekomendasikan kebijakan yang akan di lakukan untuk pengelolaan rumpon yang berkelanjutan di Barat Daya perairan Pelabuhan ratu, diperoleh hasil analisis kebijakan dengan menggunakan Analitical Hierarchy Process (AHP) Status Keberlanjutan Pengelolaan Rumpon Setiap Dimensi Status Keberlanjutan Pengelolaan Rumpon Dimensi Ekologi Terkait dengan dimensi ekologi ini, analisis MDS dengan mempertimbangkan beberapa atribut yang berpengaruh menghasilkan indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon di Pelabuhanratu yang kemudian disingkat Ikb-PENGRUMPON-Ekologi. Atribut yang dipertimbangkan dalam analisis MDS dari dimensi ekologi ini terdiri dari: (1) tingkah laku ikan di sekitar rumpon, (2) suhu perairan, (3) salinitas perairan, (4) arus perairan, (5) kedalaman atraktor rumpon di perairan, (6) zona/kawasan pengelolaan rumpon di perairan, dan (7) batas wilayah administrasi pengelolaan rumpon di perairan. Berdasarkan hasil analisis MDS, diketahui nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon dari dimensi ekologi (Ikb-PENGRUMPON-Ekologi) adalah 57,14 pada skala keberlajutan Nilai indeks ini menunjukkan bahwa dari analisis tujuh atribut yang ada, status keberlanjutan pengelolaan rumpon di perairan Pelabuhanratu termasuk kategori cukup secara ekologi. Menurut Kruskal dalam Jhonson dan Wichern (1992), kategori cukup bila nilai indeks berada pada kisaran Gambar 5.1 memperlihatkan hasil analisis MDS 75

97 yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon di Daya perairan Pelabuhanratu dari dimensi ekologi. Barat 60 UP 40 Sumbu YSetelah Rotasi BAD GOOD DOWN -60 Sumbu X Setelah Rotasi : Skala Keberlanjutan Ikb-PENGRUMPON-Ekologi Titik Referensi Tambahan Titik Referensi Utama Gambar 5.1 Hasil analisis MDS yang menunjukkan nilai Ikb-PENGRUMPON- Ekologi di Barat Daya perairan Pelabuhanratu Untuk mengetahui atribut sensitif yang memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon dari dimensi ekologi, maka dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage yang dilakukan, diketahui bahwa atribut zona/kawasan pengelolaan rumpon merupakan atribut yang paling tinggi kontribusinya yaitu dengan nilai 12,37. Sedangkan atribut lainnya yang kontribusinya cukup besar terhadap nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon dari dimensi ekologi adalah arus perairan dengan nilai 9,37, suhu perairan dengan nilai 8,38, dan salinitas perairan dengan nilai 6,49. Secara detail kontribusi setiap atribut terkait dimensi ekologi disajikan pada Gambar

98 Analisis Leverage Dimensi Ekologi Batas w ilayah 3.17 Zona/kaw asan pengelolaan rumpon Atribut Kedalaman atraktor rumpon di perairan Arus perairan Salinitas perairan Suhu perairan 8.38 Tingkah laku ikan Perubahan Root Mean Square (RMS) Ordinasi Jika Salah Satu Atribut Dihilangkan (pada Skala Keberlanjutan 0-100) Gambar 5.2 Peran masing-masing atribut dari dimensi ekologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS Status Keberlanjutan Pengelolaan Rumpon dari Dimensi Ekonomi Analisis Multidimensional Scaling (MDS) terkait status keberlanjutan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu dari dimensi ekonomi dilakukan dengan mempertimbangkan enam atribut yang relevan. Adapun keenam atribut tersebut adalah : (1) rasio usaha perikanan tangkap yang bergantung rumpon dianalisis, (2) pertumbuhan usaha pendukung penangkapan, (3) nilai B/C ratio usaha pennagkapan ikan di sekitar rumpon, (4) kontribusi terhadap PAD, (5) pendapatan nelayan rumpon (terutama nelayan skala kecil), dan (6) konsumsi rumah tangga nelayan rumpon (terutama nelayan skala kecil) diukur dari konsumsi beras per tahun. Dari analisis MDS yang dilakukan, diketahui bahwa nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon di perairan Pelabuhanratu dari dimensi ekonomi (Ikb-PENGRUMPON-Ekonomi) adalah 82,67 pada skala keberlajutan Berdasarkan nilai indeks tersebut, maka status keberlanjutan pengelolaan rumpon di perairan Pelabuhanratu termasuk kategori baik secara ekonomi karena nilainya berada pada kisaran Hal ini berarti pengelolaan rumpon di perairan Pelabuharatu dilihat dari dimensi ekonomi telah memberikan manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan dimensi ekologi. Gambar 5.3 memperlihatkan hasil analisis MDS terkait status keberlanjutan pengelolaan rumpon dari dimensi ekonomi. 77

99 60 UP 40 SumbuYSetelahRotasi BAD GOOD DOWN -60 Sumbu X Setelah Rotasi : Skala Keberlanjutan Ikb-PENGRUMPON-Ekonomi Titik Referensi Tambahan Titik Referensi Utama Gambar 5.3 Hasil analisis MDS yang menunjukkan nilai Ikb-PENGRUMPON- Ekonomi di Barat Daya perairan Pelabuhanratu Untuk mengetahui jenis-jenis atribut yang sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon dari dimensi ekonomi tersebut, maka disajikan hasil analisis leverage pada Gambar 5.4. Analisis Leverage Dimensi Ekonomi Konsumsi RTN rumpon (terutama nelayan skala kecil) 5.08 Pendapatan nelayan rumpon (terutama nelayan kecil) 8.72 Atribut Kontribusi terhadap PAD Nilai B/C ratio Pertumbuhan usaha pendukung penangkapan 5.45 Rasio usaha perikanan tangkap bergantung rumpon Perubahan Root Mean Square (RMS) Ordinasi Jika Salah Satu Atribut Dihilangkan (pada Skala Keberlanjutan 0-100) Gambar 5.4 Peran masing-masing atribut dari dimensi ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS 78

100 Berdasarkan Gambar 5.4, diketahui bahwa atribut pendapatan nelayan rumpon (terutama nelayan kecil) merupakan atribut yang paling sensitif yaitu dengan nilai 8,72, kemudian berturut-turut diikuti oleh atribut rasio usaha perikanan tangkap yang bergantung pada rumpon dengan nilai 6,96, pertumbuhan usaha pendukung penangkapan dengan nilai 5,45, dan konsumsi rumah tangga nelayan / RTN rumpon (terutama nelayan skala kecil) dengan nilai 5, Status Keberlanjutan Pengelolaan Rumpon dari Dimensi Teknologi Analisis Multidimensional Scaling (MDS) terkait status keberlanjutan pengelolaan rumpon di perairan Pelabuhanratu dari dimensi teknologi dilakukan dengan mempertimbangkan enam atribut yang relevan. Adapun keenam atribut tersebut adalah : (1) penerapan teknologi ramah lingkungan, (2) rasio hasil tangkapan terhadap TAC, (3) keuntungan nelayan dari penangkapan di sekitar rumpon, (4) tingkat investasi pengusahaan rumpon, (5) penggunaan BBM untuk penangkapan di rumpon, dan (6) Tingkat akuntabilitas (pemenuhan ketentuan hukum dan perundang-undangan berlaku (CCRF, UU No 31/2002 tentang Perikanan, Peraturan Daerah, dan hukum adat). Gambar 5.5 memperlihatkan hasil analisis MDS terkait status keberlanjutan pengelolaan rumpon dari dimensi teknologi tersebut UP SumbuYSetelahRotasi BAD GOOD DOWN -60 Sumbu X Setelah Rotasi : Skala Keberlanjutan Ikb-PENGRUMPON-Teknologi Titik Referensi Tambahan Titik Referensi Utama Gambar 5.5 Hasil analisis MDS yang menunjukkan nilai Ikb-PENGRUMPON- Teknologi di barat Daya perairan Pelabuhanratu 79

101 Berdasarkan Gambar 5.5, diketahui bahwa nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu dari dimensi teknologi (Ikb-PENGRUMPON-Teknologi) adalah 47,20 pada skala keberlajutan Untuk mengetahui jenis-jenis atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon dari dimensi ekonomi tersebut diperlukan hasil analisis leverage. Seperti pada Gambar 5.6 Analisis Leverage Dimensi Teknologi Tingkat akuntabilitas 1.29 Penggunaan BBM untuk penangkapan di rumpon 7.64 Atribut Tingkat investasi pengusahaan rumpon Keuntungan nelayan dari penangkapan di sekitar rumpon Rasio hasil tangkapan terhadap TAC 5.45 Penerapan teknologi ramah lingkungan Perubahan Root Mean Square (RMS) Ordinasi Jika Salah Satu Atribut Dihilangkan (pada Skala Keberlanjutan 0-100) Gambar 5.6 Peran masing-masing atribut dari dimensi teknologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS Hasil analisis leverage pada Gambar 5.6 memperlihatkan peran masingmasing atribut dalam memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon dari dimensi teknologi di peroleh ada 4 (empat) atribut sensitif yaitu; 1) tingkat investasi pengusahaan rumpon, 2) penggunaan BBM untuk penangkapan di rumpon, 3) penerapan teknologi ramah lingkungan, 4) rasio hasil tangkapan terhadap TAC Status Keberlanjutan Pengelolaan Rumpon dari Dimensi Sosial Dalam analisis Multidimensional Scaling (MDS) terkait status keberlanjutan pengelolaan rumpon di perairan Pelabuhanratu dari dimensi sosial ini digunakan sembilan atribut untuk pertimbangan. Adapun kesembilan atribut tersebut adalah : (1) tingkat pendidikan nelayan, (2) kemudahan mendapat pelayanan kesehatan, (3) status penggunaan bahan berbahaya, (4) Pengaruh 80

102 terhadap habitat, (5) keamanan bagi nelayan, (6) keamanan hasil tangkapan sekitar rumpon bagi konsumen, (7) potensi konflik stakeholders (antar nelayan), (8) pengaruh terhadap keanekaragaman hayati dan (9) pengaruh terhadap ikanikan yang dilindungi. Adapun hasil MDS tersebut diperlihatkan pada Gambar UP Sumbu XSetelah Rotasi BAD GOOD DOWN Sumbu X Setelah Rotasi : Skala Keberlanjutan Ikb-PENGRUMPON-Lingkungan-Sosial Titik Referensi Utama Titik Referensi Tambahan Gambar 5.7 Hasil analisis MDS yang menunjukkan nilai Ikb-PENGRUMPON- Sosial di Barat Daya perairan Pelabuhanratu Berdasarkan analisis MDS yang dilakukan, diketahui bahwa nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu dari dimensi sosial (Ikb-PENGRUMPON-Sosial) adalah 66,52 pada skala keberlajutan Bila mengacu kepada kategori indeks, maka status keberlanjutan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu termasuk kategori cukup secara dimensi sosial karena nilainya berada pada kisaran Untuk mengetahui jenis-jenis atribut yang sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon dari dimensi sosial, maka pada Gambar 5.8 disajikan hasil analisis leverage terhadap setiap atribut yang dipertimbangkan. Berdasarkan Gambar 5.8 tersebut, diketahui bahwa diperoleh 5(lima) atribut sensitif dalam pengelolaan rumpon dimensi 81

103 sosial yaitu: 1) atribut pengaruh terhadap ikan-ikan yang dilindungi, 2) atribut pengaruh terhadap ikan-ikan yang dilindungi, 3) potensi konflik stakeholders, 4) pengaruh terhadap habitat, 5) pengaruh terhadap keanekaragaman hayati. Analisis Leverage Dimensi Lingkungan Sosial Pengaruh terhadap ikan-ikan yang dilindungi 5.25 Pengaruh terhadap keanekaragaman hayati 3.12 Potensi konflik stakeholders 4.42 Keamanan hasil tangkapan bagi konsumen 0.46 Atribut Keamanan bagi nelayan Pengaruh terhadap habitat Status penggunaan bahan berbahaya 3.94 Kemudahan mendapat pelayan kesehatan Tingkat pendidikan nelayan Perubahan Root Meran Square (RMS) Ordinasi Jika Salah Satu Atribut Dihilangkan (pada Skala Keberlanjutan 0-100) Gambar 5.8 Peran masing-masing atribut dari dimensi sosial yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS Status Keberlajutan Pengelolaan Rumpon dengan Keterpaduan Dimensi Pengelolaan (Multidimensi) Gambar 5.9 memperlihatkan hasil analisis MDS detail tentang nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu dari pertimbangan terpadu dimensi ekologi, ekonomi, teknologi dan lingkungan sosial. Berdasarkan Gambar 5.9, diketahui bahwa nilai Ikl-PENGRUMPON- Pelabuhanratu sebesar 55,96 pada skala keberlanjutan Nilai indeks ini berada pada kisaran sehingga status keberlanjutan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhan termasuk kategori cukup berdasarkan keterpaduan semua dimensi pengelolaan yang ada. 82

104 60 UP 40 SumbuYSetelahRotasi BAD GOOD DOWN -60 Sumbu X Setelah Rotasi : Skala Keberlanjutan Ikb-PENGRUMPON-Pelabuhanratu Titik Referensi Utama Titik Referensi Tambahan Gambar 5.9 Hasil analisis MDS yang menunjukkan nilai Ikb-PENGRUMPONdi Barat Daya Perairan Pelabuhanratu Adapun nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi, ekonomi, teknologi dan sosial digambarkan dengan diagram layang (kite diagram, seperti Gambar Lingkungan Sosial Ekologi Ekonomi Teknologi Gambar 5.10 Kite diagram keberlanjutan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu Dari 28 atribut dimensi yang dianalisis, terdapat17 atribut sensitif yang berpengaruh atau perlu diintervensi untuk meningkatkan status keberlanjutan 83

105 pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu Jawa Barat. Atributatribut sensitif tersebut adalah seperti yang ditampilkan pada Tabel 5.1. Tabel 5.1 Atribut yang sensitif mempengaruhi indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon di perairan pelabuhanratu No Dimensi Pengelolaan Atribut Yang Sensitif 1 Ekologi Zona/kawasan pengelolaan rumpon Arus perairan Suhu perairan Salinitas perairan 2 Ekonomi Pendapatan nelayan rumpon (terutama nelayan kecil) Rasio usaha perikanan tangkap yang bergantung pada rumpon Pertumbuhan usaha pendukung penangkapan Konsumsi rumah tangga nelayan / RTN rumpon (terutama nelayan skala kecil) 3 Teknologi Tingkat investasi pengusahaan rumpon Penggunaan BBM untuk penangkapan di rumpon Penerapan teknologi ramah lingkungan Rasio hasil tangkapan terhadap TAC 4 Sosial Pengaruh terhadap ikan-ikan yang dilindungi Potensi konflik stakeholders Pengaruh terhadap habitat Status penggunaan bahan berbahaya Pengaruh terhadap keanekaragaman hayati Untuk mengetahui apakah hasil analisis MDS untuk setiap dimensi maupun untuk keterpaduan dimensi (multidimensi) layak dan menyerupai kondisi sebenarnya kegiatan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu, maka perlu dilakukan uji terhadap koefisien diterminasi (R 2 ) dan stress. Bila hasil uji statistik tidak sesuai dengan yang dipersyaratkan, maka perlu dilakuan kroscek dan penambahan atribut baru dalam analisis. Adapun hasil uji statistik terhadap koefisien diterminasi (R 2 ) dan stress di tampilkan pada Tabel

106 Tabel 5.2 Hasil uji statistik terhadap koefisien diterminasi (R 2 ) dan stress Multi Dimensi Dimensi Ekologi Hasil Uji Dimensi Ekonomi Dimensi Teknologi Dimensi Lingkungan Sosial Stress R Selanjutnya dalam analisis keberlanjuta juga dilakukan uji Monte Carlo, yaitu untuk mengkroscek hasil pengujian tingkat kepercayaan nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon baik untuk setiap dimensi maupun untuk keterpaduan dimensi dengan hasil uji Monte Carlo tersebut. Hasil analisis Monte Carlo tersebut disajikan pada tabel 5.3. Tabel 5.3 Hasil analisis Monte Carlo terkait nilai indeks keberlanjutan Nilai Indeks Keberlanjutan Dimensi Pengelolaan Analisis Analisis Keterangan MDS Monte Carlo Multidimensi Identik Dimensi Ekologi Identik Dimensi Ekonomi Identik Dimensi Teknologi Identik Dimensi Sosial Identik Atribut Kunci Untuk menentukan atribut kunci yang merupakan dasar dalam penyusunan alternatif kebijakan pengelolaan rumpon yang berkelanjutan di Barat Daya perairan Pelabuhanratu, diperlukan analisis keterkaitan dari atribut existing conditon yang berpengaruh (sensitif) dalam analisis keberlanjutan pengelolaan rumpon. Hasil analisis keterkaitan atribut berpengaruh (sensitif) tersebut dapat dilihat pada Gambar

107 Pengaruh Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji Status penggunaan bahan berbahaya Suhu perairan Penggunaan BBM Rasio UPT bergantung rumpon Konsumsi RTN rumpon Pengaruh terhadap ikan yg dilindungi Salinitas perairan Pengaruh terhadap keanekaragaman hayati potensi konflik Pendapatan nelayan rumpon Potensi konflik Penerapan teknologi ramah lingkungan Arus perairan Tingkat investasi pengusahaan rumpon Zona pengelolaan rumpon Pengaruh thd habitat Pertumbuhan usaha pendukung penangkapan Rasio hasil tangkapan Ketergantungan Gambar 5.11 Tingkat kepentingan atribut sensitif yang berpengaruh dalam analisis keberlanjutan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu Berdasarkan Gambar 5.11, terdapat empat atribut dengan ketergantungan dan pengaruh tinggi dan tiga atribut dengan pengaruh tinggi dalam pengelolaan rumpon. Atribut yang mempunyai ketergantungan dan pengaruh tinggi ada 4 atribut yaitu tingkat investasi pengusahaan rumpon, zona/kawasan pengelolaan rumpon, pendapatan nelayan rumpon (terutama nelayan kecil) dan potensi konflik. Sedangkan atribut yang mempunyai pengaruh tinggi dalam pengelolaan rumpon terdiri dari pengaruh terhadap ikan-ikan yang dilindungi, penggunaan BBM, dan rasio usaha perikanan tangkap yang bergantung pada rumpon Hasil Analisis Kebijakan Pengelolaan Rumpon Yang Berkelanjutan Berdasarkan hasil analisis kebijakan terhadap pengelolaan rumpon di Barat Daya Pelabuhanratu, diperoleh 5 (lima) level dengan rasio kepentingannya seperti tampilan pada Gambar

108 Level 1 Fokus/Tujuan Pengelolaan Rumpon Yang Berkelanjutan Level 2 Aktor Pemerintah (0.155) Pengusaha (0.247) Ilmuan (0.057) Nelayan (0.541) Level 3 Dimensi/ kriteria Ekologi (0.118) Ekonomi (0.565) Teknologi (0.055) Sosial (0.262) Zona/kawasan (0.594) Pendapatan nelayan (0.568) Tingkat investasi (0.071) Pengaruh terhadapikan-ikan yang dilindungi (0.167) Level 4 Sub kriteria Arus perairan (0.239) Suhu perairan (0.147) Salinitas Perairan (0.065) Rasio usaha perikanan perairan (0.112) Pertumbuh an UP (0.244) Konsumsi RTN (0.057) Pengguna an BBM (0.571) Teknologi RL (0.122) Rasio TAC (0.235) Potensi konflik ( 0.497) Pengaruh terhadap Habitat (0.064) Status penggunaan bahan berbahaya (0242) Pengaruh thd keanekaragaman hayati (0.037) Level 5 alternatif Penetapan zona penge lolaan rum pon (0.460) Pengatura n jumlah nelayan dan armada penang Kapan (0.149) Penyediaa n BBM khusus untuk penang kapan ikan di rumpon (0.100) Perbaikan mekanisme pembia yaan pengadaan rumpon dan investasi (0.291) Gambar 5.12 Struktur Hierarkhi dan rasio kepentingan Pengelolaan Rumpon yang Berkelanjutan di Barat Daya Perairan Pelabuhanratu, Jawa Barat. Berdasarkan Gambar 5.12, bahwa pada level 2 struktur tersebut aktor yang mempunyai berkepentingan utama adalah nelayan kemudian baru, pengusaha, pemerintah dan ilmuan, lebih dirinci terlihat pada Gambar

109 Gambar 5.13 Hasil Analisis Kepentingan Aktor Pengelolaan rumpon Pada level 3, yaitu dimensi yang mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan rumpon, diperoleh hasil kepentingan sesuai dengan Gambar Pada level 4 ini, dimensi ekonomi mempunyai kepentingan utama, setelah itu diikuti oleh dimensi sosial, ekologi dan terakhir teknologi. Gambar 5.14 Hasil Analisis Kepentingan Dimensi Pengelolaan Pada level 4, diperoleh rasio kepentingan sub-kriteria dimensi ekonomi seperti yang ditunjukkan pada Gambar

110 Rasio Kepentingan konsumsi RTN pertumbuhan UP rasio Usaha Perikanan Rasio Kepentingan pendapatan Nelayan 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 Gambar Rasio Kepentingan sub-kriteria Dimensi Ekonomi Gambar Pada dimensi sosial, rasio kepentingan sub kriterianya ditunjukkan pada Rasio kepentingan keanekaragaman habitat bahan berbahaya konflik Ikan yg dilindungi 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 Rasio kepentingan Gambar 5.16 Rasio Kepentingan sub-kriteria Dimensi Sosial. Sedangkan hasil analisis AHP, sub-kriteria ekologi dan teknologi serta rasio kepentingannya masing-masing ditampilkan pada Gambar 5.17 dan Gambar

111 Rasio Kepentingan salinitas suhu arus Rasio Kepentingan zona 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 Gambar Rasio Kepentingan sub-kriteria Dimensi Ekologi. Rasio Kepentingan rasio TAC teknologi RL pengg. BBM Rasio Kepentingan tkt investasi 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 Gambar Rasio Kepentingan sub-kriteria Dimensi Teknologi. Berdasarkan judgement semua stakeholder dan pakar pada setiap level diperoleh bobot dan prioritas alternatif kebijakan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu. Hasil analisis alternatif kebijakan disajikan pada Gambar

112 Gambar 5.19 Hasil analisis kepentingan alternatif kebijakan pengelolaan rumpon 5.2 Pembahasan Analisis Keberlanjutan Dimensi Pengelolaan Rumpon di Barat Daya Perairan Pelabuhanratu Berdasarkan hasil analisis leverage (Gambar 5.2) dimensi ekologi, bahwa dari 7 (tujuh) atribut dimensi ekologi yang dianalisis diperoleh 4 (empat) atribut sensitif yaitu: 1) atribut zona/kawasan pengelolaan rumpon merupakan atribut yang paling tinggi kontribusinya yaitu dengan nilai (12,37), 2) atribut arus perairan dengan nilai (9,37), 3) suhu perairan dengan nilai 8,38, dan 4) salinitas perairan dengan nilai 6,49. Atribut sensitif ini merupakan atribut pengungkit yang dapat memberikan kontribusi besar terhadap nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon dimensi ekologi di Barat Daya perairan Pelabuhanratu. Atribut-atribut ini perlu menjadi perhatian dan dikelola dengan baik dalam penentuan arah dan kebijakan dari dimensi ekologi sehingga atribut sensitif tersebut dapat meningkatkan keberlanjutan dimensi ekologi pengelolaan rumpon. Hal ini karena walaupun saat ini status pengelolaan rumpon sudah termasuk berkelanjutan dalam kategori cukup berkelanjutan maka diperlukan peningkatan kategori keberlanjutan dari dimensi ekologi. Munculnya atribut zona/kawasan pengelolaan sebagai atribut sensitif, karena saat ini pemasangan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu belum mempertimbangkan zona/kawasan pengelolaan rumpon secara ekologi. Hal ini 91

113 merupakan sesuatu yang penting, karena zona merupakan ruang yang berdasarkan karateristik biologis dan potensi sumberdaya yang merupakan daya dukung yang berlangsung sebagai satu kesatuan ekosistem. Zona ini merupakan suatu hasil dari analisis ruang yang menyangkut kualitas-kualitas fisik dan sesuatu pernyataan mengenai pola kesesuaian dan penggunaan sumberdaya yang ada serta dapat merupakan petunjuk menyeluruh bagi perencanaan. Dengan tidak adanya pengaturan dari zona pemanfaatan dan pemasangan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu, maka sumberdaya yang dimanfaatkan dalam jangka panjang akan terancam. Selain itu, akibat belum adanya zona/kawasan pemasangan rumpon cenderung akan menimbulkan konflik penggunaan ruang di laut tersebut yang sangat menentukan keberlanjutan rumpon. Berdasarkan data dilapangan bahwa konflik yang terjadi berkaitan dengan rumpon adalah perebutan fishing ground, pencurian/pengrusakan rumpon, jalur pelayaran dan konflik wilayah pengelolaan. Mengacu pada nilai sensitifitas atribut zona/kawasan cukup besar, oleh karena itu perlu pengaturan zona/kawasan agar pemasangan rumpon dilakukan pada zona/kawasan pemanfaatan atau pada zona/kawasan pemanfaatan terbatas yang telah disepakati oleh semua yang berkepentingan dan ditetapkan secara hukum sehingga secara sifnifikan meningkatkan status keberlanjutan rumpon secara ekologi. Atribut arus, salinitas dan suhu perairan muncul sebagai atribut sensitif muncul karena berkaitan kesesuaian penempatan rumpon dengan parameter fisika dan kimia yang merupakan daya dukung perairan dalam arti lingkungan perairan tempat kehidupan ikan yang berasosiasi dengan rumpon. Produktivitas jangka panjang suatu stok ikan berkaitan dengan daya dukung atau lingkungan perairan. Apabila daya dukung perairan terhadap ikan target rendah maka produktifitasnya juga rendah sehingga mempengaruhi keberlanjutan dari rumpon yang dipasang atau yang dimanfaatkan. Berdasarkan data diperoleh di lapangan, di lokasi pemasangan rumpon suhu perairan adalah 22,2-22,7 C, salinitas 29,34 dan arus sebesar 0,75 knot. Menurut Cayre (1991), bahwa suhu optimal dari ikan madidihang adalah C, salinitas perairan yang optimal bagi ikan tuna sebesar 33 dan arus perairan 0,75 knot (Gooding dan 92

114 Magnuson (1967). Nilai ini mencerminkan bahwa untuk daya dukung perairan cukup baik sehingga tingkah laku ikan berasosiasi dengan rumpon juga cukup mendukung, namun diperlukan lokasi yang optimal untuk mendukung kesesuaian ikan target yang akan ditangkap. Menurut Batubara (1981), bahwa kisaran suhu optimum dari jenis ikan tuna mata besar adalah C pada kedalaman meter, madidihang adalah 14-22ºC pada kedalaman meter. Selanjutnya disampaikan bahwa jenis ikan tuna dan cakalang pada umumnya menghuni perairan dengan salinitas Khusus untuk atribut arus, penempatan rumpon di laut sangat dipengaruhi oleh kekuatan arus. Jika arus perairan di laut besar maka keberadaan rumpon dapat terancam karena rumpon bisa hanyut, dan sebaliknyai jika arus terlalu rendah juga tidak mendukung produktifitas perairan. Oleh karena itu arus merupakan parameter yang harus diperhatikan untuk keberlanjutan pemasangan dan pemanfaatan rumpon di laut. Saat ini, penempatan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu mendukung keberlanjutan rumpon, hal ini dapat dibuktikan bahwa jenis ikan yang ditangkap di rumpon selalu meningkat yang didominasi ikan target yaitu ikan cakalang (K.Pelamis) dan jenis tuna (Thunnus,sp). Sesuai hasil penelitian Martosubroto dan Malik (1989) bahwa sebaran kedua jenis ikan tersebut diantaranya banyak terdapat di perairan Selatan Jawa dan hidup berasosiasi dengan rumpon (Subani,1958). Hasil tangkapan ikan di perairan Pelabuhanratu dengan adanya rumpon menjadi meningkat yaitu pada tahun 2004 (sebelum ada rumpon) poroduksi ikan tuna dan cakalang sebesar kg, sedangkan pada tahun 2005, 2006, 2007 berturut-turut (setelah ada rumpon) yaitu kg, 1.383,673 kg, kg. Peningkatan dari produksi tuna pada tahun 2005 disebabkan karena meningkatnya jumlah armada penangkapan ikan dan nelayan yang menangkap ikan dengan menggunakan alat bantu rumpon. Sesuai dengan teori Hochachka (1979) dalam Longhurst dan Pauly (1987) yang menyatakan secara universal ikan tertarik pada benda terapung dan berasosiasi dengan benda tersebut dalam hal ini rumpon sehingga membentuk scooling dan menjadikan fishing ground baru bagi nelayan (Monintja,1995). Namun berdasarkan hasil penelitian Nahib (2007), harga ikan semakin meningkat maka cenderung effort penangkapan meningkat sehingga produksi meningkat, namun 93

115 dampak jangka panjang keberadaan rumpon akan menimbulkan produksi semakin meningkat sehingga mengakibatkan penurunan stok ikan dan pada titik tertentu akan menimbulkan keuntungan sumberdaya tidak lagi diperoleh. Berdasarkan hasil analisis leverage dimensi ekonomi (Gambar 5.4), diketahui bahwa atribut pendapatan nelayan rumpon (terutama nelayan kecil) merupakan atribut yang paling sensitif yaitu dengan nilai 8,72, kemudian berturut-turut diikuti oleh atribut rasio usaha perikanan tangkap yang bergantung pada rumpon dengan nilai 6,96, pertumbuhan usaha pendukung penangkapan dengan nilai 5,45, dan konsumsi rumah tangga nelayan / RTN rumpon (terutama nelayan skala kecil) dengan nilai 5,08. Atribut pendapatan nelayan yang memanfaatkan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu dari dimensi ekonomi muncul sebagai atribut sensitif dengan nilai yang paling besar dibandingkan dengan atribut sensitif lainnya dimensi ekonomi, karena dengan adanya rumpon sebagai alat bantu penangkapan ikan jumlah hasil tangkapan meningkat sehingga pendapatan nelayan meningkat dengan kata lain memberikan manfaat yang signifikan. Begitu juga dengan munculnya atribut rasio usaha perikanan tangkap yang bergantung pada rumpon sebagai atribut sensitif disebabkan karena dengan pemanfaatan rumpon sebagai alat bantu penangkapan ikan rasio usaha penangkapan ikan yang bergantung pada rumpon semakin meningkat. Atribut sensitif lainnya pada pengelolaan rumpon yang berkelanjutan dimensi ekonomi adalah pertumbuhan usaha pendukung penangkapan karena dengan semakin berkembangnya usaha rumpon maka semakin meningkatnya usaha pendukung penangkapan ikan lainnya. Hal ini dapat dilihat bahwa, jumlah nelayan yang menangkap dengan alat bantu rumpon semakin meningkat dan jumlah armada penangkapan juga meningkat maka usaha perikanan tangkap yang berkaitan dengan rumpon juga semakin meningkat. Atribut lainnya yang muncul sebagai atribut sensitif adalah konsumsi rumah tangga nelayan, karena dengan meningkatnya pendapatan nelayan maka kebutuhan akan konsumsi rumah tangga nelayan yang dicirikan dengan konsumsi beras semakin meningkat. Agar nilai indeks keberlanjutan dapat meningkat maka diperlukan penekanan pada atribut-atribut sensitif tersebut. 94

116 Berdasarkan nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi (Gambar 5.6), maka status keberlanjutan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu termasuk kategori kurang secara teknologi karena nilainya berada pada kisaran 26 50, artinya pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu dari dimensi teknologi tidak berkelanjutan. Bila melihat Gambar 5.6 tersebut, maka atribut sensitif yang paling tinggi berurutan adalah tingkat investasi pengusahaan rumpon dengan nilai 8,12, penggunaan BBM untuk penangkapan di rumpon dengan nilai 7,64, penerapan teknologi ramah lingkungan dengan nilai 6,23, dan rasio hasil tangkapan terhadap TAC dengan nilai 5,45. Tingkat akuntabilitas tidak memberikan kontribusi besar terhadap indeks keberlanjutan dari dimensi teknologi bisa jadi karena dalam pengelolaan rumpon saat ini belum terlalu dibutuhkan. Berarti dalam pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu atribut sensitif ini tidak dikelola dengan baik Hal ini terlihat bahwa penggunaan teknologi rumpon laut dalam sebagai alat bantu penangkapan ikan tuna dan cakalang memerlukan teknologi yang lebih komplek dibandingkan dengan rumpon laut dangkal. Oleh karena itu diperlukan investasi yang besar. Munculnya atribut tingkat investasi pengusahaan rumpon sebagai atribut sensitif karena pemanfaatan rumpon dilakukan oleh nelayan skala kecil yang mempunyai modal terbatas, dan sesuai dengan CCRF (1995) bahwa, penggunaan teknologi penangkapan dan alat bantu penangkapan hendaknya investasi rendah. Saat ini pemasangan dan pembuatan rumpon berasal dari bantuan pemerintah, dan pengusaha perikanan. Nelayan skala kecil hanya sebagai pemanfaatan rumpon dan pendapatan nelayan dilakukan sistim bagi hasil dengan pemilik investasi.. Berdasarkan hasil analisis di lapangan bahwa untuk membuat satu unit rumpon laut dalam di Barat Daya perairan Pelabuhanratu diperlukan biaya di atas Rp ,- bahkan sampai dengan Rp (pada kedalaman > 400 m). Apabila nelayan tersebut akan berinvestasi untuk pembuatan teknologi rumpon laut dalam ini maka dalam lima tahun pendapatan bersihnya hanya lebih kurang Rp ,-, artinya penerimaan bersih baru dapat diterima pada tahun ke-5 yaitu dalam satu bulan hanya Rp ,-. Oleh karena itu pengelolaan rumpon dengan teknologi rumpon laut dalam sebaiknya dilakukan dengan berkelompok. Dengan demikian atribut ini perlu perhatian 95

117 dalam pengelolaan rumpon berkelanjutan. di Barat Daya perairan Pelabuhanratu agar dapat Atribut penggunaan BBM untuk penangkapan ikan menjadi atribut sensitif dimensi teknologi, karena biaya operasional penggunaan BBM untuk penangkapan ikan 50-60% dari biaya total operasional penangkapan ikan. Sesuai dengan CCRF (1995) hendaknya mengkonsumsi bahan bakar minyak rendah. Padahal saat ini, lokasi pemasangan rumpon cukup jauh dengan waktu tempuh menuju rumpon jam maka diperlukan suatu cara untuk menghemat BBM yang digunakan. Alat tangkap yang digunakan adalah pancing, dimana saat ini belum selektif karena ukuran pancing yang digunakan belum distandarkan sehingga ikan-yang ditangkap cenderung berukuran kecil (baby tuna). Saat ini, usaha perikanan tangkap yang mendaratkan hasil tangkapannya di PPN Pelabuhanratu yang ada lebih mengandalkan hasil tangkapan, dan bukan bagaimana pengelolaan rumpon diantara anggota kelompok nelayan. Atribut sensitif lainnya adalah penerapan teknologi ramah lingkungan, rasio hasil tangkapan terhadap TAC dan keuntungan nelayan dari penangkapan di sekitar rumpon disebabkan karena dengan penerapan teknologi ramah lingkungan melalui selektifitas alat tangkap maka rasio penangkapan akan tidak melebihi TAC sehingga keuntungan nelayan menangkap ikan di sekitar rumpon selalu berkelanjutan. Semua atribut sensitif harus menjadi perhatian berdasarkan dengan CCRF (1995) sehingga dapat meningkatkan status keberlanjutan pengelolaan rumpon di barat Daya perairan Pelabuhanratu. Namun demikian, selain atribut sensitif, atribut tingkat akuntabilitas tetap menjadi perhatian karena harus menggunakan prinsip kehati-hatian dengan aturan yang telah ditetapkan. Berdasarkan hasil analisis leverage dimensi sosial (Gambar 5.8), atribut pengaruh terhadap ikan-ikan yang dilindungi merupakan atribut yang paling tinggi kontribusinya terhadap status keberlanjutan pengelolaan rumpon yaitu dengan nilai 5,25. Sedangkan atribut lainnya yang kontribusinya cukup besar terhadap nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon dari dimensi sosial adalah potensi konflik stakeholders dengan nilai 4,42, pengaruh terhadap habitat dengan nilai 4,32, status penggunaan bahan berbahaya dengan nilai 3,94, dan pengaruh terhadap keanekaragaman hayati dengan nilai 3,12. Keamanan hasil 96

118 tangkapan bagi konsumen merupakan atribut yang paling rendah kontribusinya terhadap indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon di perairan Pelabuharatu. Hal ini bisa jadi karena hasil tangkapan rumpon memang tidak berbahaya sehingga tidak terlalu dipermasalahkan secara sosial. Atribut sensitif pengaruh terhadap ikan-ikan yang dilindungi muncul karena saat ini tingkat sosial dari nelayan yang memanfaatkan rumpon sebagian besar rendah maka mereka tidak mempedulikan jenis dan ukuran ikan yang diperbolehkan di tangkap. Hal ini terbukti dengan banyaknya ikan-ikan yang berukuran kecil (baby tuna) tertangkap dan tetap dijual. Hal ini sangat penting menjadi perhatian karena apabila tidak dilakukan perhatian melalui penyuluhan oleh pembina sehingga kelestarian sumberdaya ikan tetap lestari. Munculnya atribut sensitif potensi konflik stakeholders karena adanya kecemburuan sosial antara nelayan yang memanfaatkan rumpon dengan nelayan yang tidak memanfaatkan sehingga dalam operasi penangkapan cenderung menimbulkan konflik. Atribut pengaruh terhadap habitat muncul sebagai atribut sensitif karena keberadaan rumpon akan mempengaruhi habitat sumberdaya ikan apabila tidak ditempatkan tidak sesuai dapat mengakibatkan kerusakan habitat sumberdaya laut lainnya. Begitu juga untuk atribut sensitif status penggunaan bahan berbahaya dan pengaruh terhadap keanekaragaman hayati. Kedua atribut sensitif tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan nelayan yang rendah maka cenderung memperoleh hasil tangkapan dengan cara destruktif sehingga mengakibatkan terancamnya keanekaragaman hayati. Oleh karena itu atribut ini perlu dikelola dengan baik agar kelestarian sumberdaya laut dalam mendukung keberadaan rumpon dapat berkelanjutan. Agar indeks keberlanjutan dimensi sosial dapat ditingkatkan maka diperlukan perhatian terhadap atribut-atribut sensitif disampaing atribut lainnya Analisis Keberlanjutan Multi Dimensi Pengelolaan Rumpon di Barat Daya Perairan Pelabuhanratu Status keberlanjutan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu ini ditentukan melalui pertimbangan menyeluruh dengan kata lain multidimensi dari dimensi pengelolaan yang ada. Terkait dengan ini, maka dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi teknologi, dan dimensi sosial yang 97

119 sebelumnya dianalisis secara tersendiri akan digabungkan sehingga didapatkan nilai indeks keberlanjutan terpadu yang disingkat dengan Ikl-PENGRUMPON- Pelabuhanratu. Berdasarkan Gambar 5.9, bahwa nilai indeks keberlanjutan secara multidimensi (ekologi, ekonomi, teknlogi, sosial) diperoleh 55,96 yang berarti pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu termasuk berkelanjutan dengan kategori cukup. Walaupun indeks keberlanjutan multidimensi pengelolaan rumpon di Barat daya perairan Pelabuhanratu saat ini (existing condition) berkelanjutan, tetapi dimensi teknologi tidak berkelanjutan dengan kategori kurang (47,20). Berdasarkan Tabel 5.1 ada 17 atribut yang sensitif berkontribusi terhadap indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu. Untuk mendukung pengelolaan yang berkelanjutan, maka atribut yang sensitif perlu dikelola dengan baik, sehingga memberi manfaat positif bagi keberlanjutan pengelolaan rumpon di Pelabuhanratu. Hal ini penting supaya berbagai program dan kebijakan terkait dengan rumpon dapat dilakukan secara efektif dan efisien sesuai dengan kebutuhan pengelolaan di lokasi. Untuk mengetahui apakah hasil analisis MDS untuk setiap dimensi maupun untuk keterpaduan dimensi (multidimensi) layak dan menyerupai kondisi sebenarnya kegiatan pengelolaan rumpon di barat Daya perairan Pelabuhanratu, maka perlu dilakukan uji terhadap koefisien diterminasi (R 2 ) dan stress. Bila hasil uji statistik tidak sesuai dengan yang dipersyaratkan, maka perlu dilakuan kroscek dan penambahan atribut baru dalam analisis. Tabel 5.2 memperlihatkan hasil uji statistik terhadap koefisien diterminasi (R 2 ) dan stress terkait keberlanjutan pengelolaan rumpon di Pelabuhanratu. Menurut Kavanagh dan Pitcher (2004), model yang baik ditunjukkan dengan nilai R 2 di atas kepercayaan 95% (atau dalam bentuk rasio di atas 0,95) dan nilai stress dibawah nilai 0,25. Terkait dengan ini, maka hasil analisis MDS yang diperoleh dalam penelitian ini sesuai dengan yang dipersyaratkan baik untuk setiap dimensi maupun untuk keterpaduan dimensi (multidimensi). Terkait dengan ini, maka hasil analisis tersebut layak digunakan untuk menjelaskan keempat dimensi pengelolaan rumon yang dianalisis. Semakin tinggi nilai koefisien determinasi (semakin mendekati 1), maka hasil analisis semakin dipercaya. Sedangkan 98

120 semakin kecil nilai stress yang diperoleh, maka semakin baik kualitas hasil analisis yang telah dilakukan. Untuk menguji tingkat kepercayaan nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon baik untuk setiap dimensi maupun untuk keterpaduan dimensi, maka perlu dilakukan kroscek mengunakan analisis Monte Carlo. Analisis Monte Carlo merupakan analisis yang dikembangkan menggunakan teknik random number berdasarkan teori statistika untuk mendapatkan dugaan peluang suatu model matematis. Upaya untuk mendapatkan solusi tersebut dilakukan dengan perhitungan berulang-ulang. Dalam kaitan dengan pengujian nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon hasil analisis MDS ini, analisis Monte Carlo dibutuhkan untuk melihat pengaruh kesalahan pembuatan skor untuk atribut dari setiap dimensi pengelolaan yag ditawarkan. Kesalahan tersebut dapat bersumber dari kesalahan prosedur pelaksanaan penelitian, perbedaan pemahaman peneliti dalam memberi nilai untuk setiap atribut, kesalahan dalam pemasukan data atau adanya data yang hilang (missing data), stabilitas proses analisis MDS yang terganggu, nilai stress yang terlalu tinggi dan lainnya. Berdasarkan Tabel 5.3 terlihat bahwa hasil analisis MDS terkait indeks keberlanjutan pengelolaan rumpon identik atau serupa dengan hasil analisis Monte Carlo. Hasil analisis kedua metode tersebut mengindikasikan: 1) kesalahan dalam pembuatan skor setiap atribut tidak ada, 2) variasi pemberian skor akibat perbedaan opini relatif kecil, 3) proses analisis yang dilakukan secara berulang-ulang relatif stabil, dan 4) kesalahan pemasukan data dan adaya data yang hilang dapat dihindari. Terkait dengan hasil analisis tersebut, maka nilai indeks keberlanjutan yang digunakan untuk menjelaskan kondisi pengelolaan rumpon di Pelabuhanratu dari dimensi ekologi, ekonomi, teknologi, dan lingkungan, serta keterpaduan semua dimensi tersebut layak untuk dipercaya Analisis Atribut Kunci dalam Pengelolaan Rumpon Peningkatan indeks keberlanjutan secara multidimensi sebaiknya dilakukan dengan mengintervensi semua atribut sensitif dari masing-masing dimensi. Namun demikian, untuk mendapatkan artribut kunci sebagai dasar alternatif 99

121 kebijakan, dilakukan analisis keterkaitan antar atribut sensitif. Atribut kunci yang diperoleh mempunyai ketergantungan dan pengaruh tinggi atau minimal mempunyai pengaruh tinggi dalam pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu. Tingkat ketergantungan dan pengaruh tingggi tersebut dapat dilihat dari tingkat gangguan atribut yang serius terhadap pengelolaan bila tidak diperhatikan, peran atribut yang hilang atau meningkat drastis tergantung kondisi atribut, ketergantungan tinggi pelaku atau komponen pengelolaan terhadap atribut, dan lain-lain. Untuk lebih akurat dan konprehensifnya arah dan kebijakan yang diambil, maka tingkat pengaruh dan ketergantungan dari setiap atribut yang sensitif tersebut perlu dianalisis. Berdasarkan hasil analisis keterkaitan antar atribut sensitif yang dianalisis (Gambar 5.11), terdapat empat atribut dengan ketergantungan dan pengaruh tinggi dan tiga atribut dengan pengaruh tinggi dalam pengelolaan rumpon. Atribut yang mempunyai ketergantungan dan pengaruh tinggi adalah tingkat investasi pengusahaan rumpon, zona/kawasan pengelolaan rumpon, pendapatan nelayan rumpon (terutama nelayan kecil) dan potensi konflik. Sedangkan atribut yang mempunyai pengaruh tinggi adalah pengaruh terhadap ikan-ikan yang dilindungi, penggunaan BBM untuk penangkapan di rumpon, dan rasio usaha perikanan tangkap yang bergantung pada rumpon. Ketujuh atribut tersebut menjadi atribut kunci yang akan dikelola dengan baik dalam suatu skenario kebijakan pengelolaan sehingga terjadi keberlanjutan dalam pengeloalan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu, Jawa Barat. Munculnya atribut tingkat investasi pengusahaan rumpon, zona/kawasan pengelolaan rumpon, pendapatan nelayan rumpon dan potensi konflik sebagai faktor kunci yang mempunyai ketergantungan dan pengaruh tinggi disebabkan keempat atribut ini saling mempengaruhi dan saling ketergantungan. Nelayan yang memanfaatkan rumpon adalah nelayan usaha skala kecil, sedangkan investasi pemasangan rumpon cukup mahal maka saat ini modal pemasangan dan pembuatan rumpon dilakukan oleh pemilik modal dan pendapatan dilakukan dengan sistim bagi hasil sehingga pendapatan nelayan tidak optimal. Jumlah nelayan yang belum memanfaatkan rumpon jauh lebih besar dari yang telah memanfaatkan sehingga terjadi kecemburuan sosial yang 100

122 berpotensi menimbulkan konflik. Selain itu, potensi konflik juga dapat dipicu karena belum adanya penetapan zona pengelolaan rumpon. Sesuai hasil analis keterkaitan atribut sensitif, maka diperoleh atribut kunci yang merupakan kunci dalam opsi atau alternatif kebijakan yang akan di terapkan di lokasi penelitian, sehingga alternatif tersebut ditempatkan dilevel 5 pada struktur AHP. Berdasarkan atribut kunci tersebut maka diperoleh alternatif kebijakan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu yang terdiri dari: 1. Penetapan zona pengelolaan rumpon 2. Pengaturan jumlah nelayan dan armada penangkapan yang memanfaatkan rumpon 3. Penyediaan BBM khusus untuk penangkapan ikan di rumpon 4. Perbaikan mekanisme pembiayaan pengadaan rumpon Analisis Kebijakan Pengelolaan Rumpon Yang Berkelanjutan di Barat Daya Perairan Pelabuhanratu Rancangan hierarki ini merupakan hasil pengembangan hubungan atau interaksi terpadu semua komponen yang terkait dengan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu, Propinsi Jawa Barat. Hal ini penting supaya alternatif kebijakan pengelolaan rumpon yang berkelanjutan yang dipilih benarbenar merupakan alternatif terbaik yang telah mempertimbangkan berbagai aspek/komponen yang terkait baik secara horizontal maupun vertikal. Untuk mendapatkan hasil yang menyeluruh dan akurat, maka digunakan AHP atau Analitical hierarkhi Process (AHP). Model AHP digunakan untuk memilih kebijakan yang penting untuk dilaksanakan dan yang lebih aspiratif dari empat alternatif kebijakan yang telah dirumuskan sebelumnya. Kriteria yang digunakan dalam model AHP penentuan kebijakan pengelolaan rumpon adalah kriteria manajemen pelaksanaan pembangunan, khususnya terkait: aktor/stakeholders, dimensi pembangunan berkelanjutan, dan kriteria pelaksanaan untuk masingmasing prinsip pengelolaan untuk menentukan prioritas kebijakan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu. Hirarki AHP disusun dengan lima level yang memperlihatkan tahapan proses penetapan prioritas. Keberlanjutan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu, Propinsi Jawa Barat ditentukan oleh kondisi pengelolaan yang 101

123 ada saat ini, pihak yang berkepentingan (aktor), dimensi dan sub kriteria yang mempengaruhi pengelolaan rumpon, alternatif kebijakan pengelolaan yang ditawarkan serta strategi implementasi kebijakan yang akan diterapkan. Hasil kajian pendahuluan di lokasi penelitian ada 4 (empat) pihak yang berkepentingan atau disebut juga aktor yang ditempatkan pada level 2 yaitu pemerintah, pengusaha, ilmuan dan nelayan. Pada level 3 merupakan dimensi yang mempengaruhi pengelolaan rumpon saat ini, yaitu dimensi ekologi, ekonomi, teknologi, sosial. Hasil analisis MDS pada Sub-Bab sebelumnya telah dikaji status keberlanjutan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu yang kemudian menjadi perhatian penting dalam analisis hierarki menggunakan AHP ini. Berdasarkan analisis akhir dari MDS terkait tingkat kepentingan berbagai atribut yang sensitif baik dari dimensi ekologi, ekonomi, teknologi, dan sosial, diperoleh 17 (tujuh belas) atribut yang sensitif artinya yang memberikan kontribusi atau pengungkit terhadap keberlanjutan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu. Atribut sensitif ini yang kemudian digunakan untuk pencapaian dimensi yang dikelompokkan ke dalam empat dimensi sesuai dengan dimensi pengelolaan rumpon di Pelabuhanratu yang telah dianalisis sebelumnya. Atribut sensitif ini dalam struktur AHP merupakan subkriteria dimensi, sehingga di tempatkan pada level 4 pada struktur AHP pengelolaan rumpon yang berkelanjutan. Pada level 5, ditempatkan alternatif kebijakan yang akan direkomendasikan untuk pengelolaan rumpon yang berkelanjutan di Barat Daya perairan Pelabuhanratu Jawa Barat. Analisis terhadap alternatif kebijakan ini merupakan tahapan akhir dari analisis AHP terkait penentuan kebijakan terbaik/prioritas dalam pengelolaan rumpon yang berkelanjutan untuk mengakomodir pihak yang berkepentingan dengan dipengaruhi dimensi (ekologi, ekonomi, teknologi dan sosial) yang mempunyai kepentingan yang lebih dibandingkan dengan dimensi yang lain. Pengisian kuesioner matriks perbandingan berpasangan disampaikan kepada stakeholders yang prominent di wilayah kajian. Keinginan dan preferensi stakeholder merupakan aspirasi pemerintah, pengusaha, nelayan, dan ilmuan terhadap kebijakan yang diinginkannya terkait dengan pengelolaan rumpon yang berkelanjutan di Pelabuhanratu, baik untuk kepentingan saat ini 102

124 maupun di masa yang akan datang. Penentuan prioritas kebijakan dilakukan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan agar diperoleh hasil yang partisipatif dan akomodatif sehingga kebijakan yang dihasilkan dapat dilaksanakan dan didukung oleh semua stakeholder. Analisis dilakukan pada setiap level dari hirarki penentuan kebijakan dalam pengelolaan rumpon yang berkelanjutan di Barat Daya perairan Pelabuhanratu. Bobot dan prioritas yang dianalisis adalah hasil kombinasi gabungan dari pendapat dan penilaian seluruh stakeholder pada setiap matriks perbandingan berpasangan. Pada level 2 (aktor) diperoleh hasil analisis yaitu nelayan mempunyai nilai paling besar (bobot 0,542) yang berarti merupakan aktor yang mempunyai kepentingan utama dalam penentuan kebijakan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu. Hal ini menunjukkan bahwa aspirasi nelayan menjadi fokus perhatian dalam penentuan kebijakan yang akan diterapkan dalam keberlanjutan rumpon. Hal ini sesuai dengan tujuan dari keberadaan rumpon yaitu meningkatkan kesejahteraan nelayan di barat Daya perairan Pelabuhanratu. Aktor yang menjadi prioritas kedua adalah pengusaha (bobot 0,247). Pengusaha merupakan aktor penting dalam tahap implementasi kegiatan karena investasi rumpon modalnya berasal dari pengusaha, sehingga keberlanjutan rumpon perlu melibatkan pengusaha dalam tiap tahap kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi. Oleh karena itu pengusaha dan nelayan merupakan dua aktor yang bermitra dalam pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu. Selain itu, pengusaha juga memegang peranan penting dalam kegiatan pemanfaatan sumberdaya di lokasi penelitian. Pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah dan pusat merupakan aktor prioritas ketiga dalam pengelolaan rumpon karena memegang otoritas dalam pengaturan keberlanjutan rumpon mulai dari perencanaan sampai dengan evaluasi untuk menjamin kelestarian pemanfaatan sumberdaya perikanan untuk kesejahteraan masyarakat dengan didukung peran aktif ilmuwan dalam membuat kajian ilmiah. Pada level 3, hasil analisis rasio kepentingan setiap dimensi yang mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan 103

125 Pelabuhanratu diperoleh bahwa kepentingan dimensi ekonomi diperoleh pada urutan pertama dengan rasio kepentingan sebesar 0.565, kemudian diikuti diemnsi sosial sebesar 0.262, dimensi ekologi 0,118 dan dimensi tekonologi sebesar (Gambar 5.14). Hasil ini sesuai dengan urutan nilai indeks keberlanjutan dari masing-masing dimensi yaitu keberlanjutan dimensi ekonomi mempunyai nilai indeks paling besar yaitu 82,72, setelah itu diikuti oleh dimensi sosial sebesar 66,52, ekologi sebesar 57,14 dan terakhir dimensi teknologi sebesar 47,20. Hal ini merupakan indikator bahwa pada umumnya stakeholder mementingkan aspek ekonomi karena tujuan dari keberadaan rumpon adalah untuk meningkatkan kesejahteraan khususnya nelayan yang memanfaatkan rumpon dan mendukung usaha yang berkaitan dengan keberadaan rumpon dalam usaha penangkapan ikan di Barat Daya perairan Pelabuhanratu. Pada dimensi ekologi dan sub-kriteria zona/kawasan (0.5940) yang mempunyai kepentingan utama dibandingkan dngan sub-kriteria lainnya. Hal ini disebabkan karena kepentingan zona/kawasan pengelolaan rumpon berkaitan dengan kelestarian sumberdaya ikan khususnya bagi ikan target. Apabila ikan target dari keberadaan rumpon tidak lestari maka mengakibatkan ketidak berlanjutan rumpon dalam hal ini rumpon laut dalam karena daya dukung sumberdaya ikan yang menurun. Namun yang lebih penting lagi, dengan adanya zona pengelolaan rumpon maka rumpon yang dipasang dapat lebih bermanfaat dan dapat mengurangi konflik sehingga dapat diterima oleh semua yang berkepentingan pemanfaatan lokasi barat Daya perairan Pelabuhanratu Jawa Barat. Sub-kriteria penggunaan BBM (0.571) dari dimensi teknologi, merupakan paling utama dan setelah itu baru sub-kriteria rasio total awalable catch (TAC) (0.235) dalam keberlanjutan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu. Hal ini disebabkan karena bahwa penggunaan BBM yang rendah merupakan hal yang penting dalam usaha penangkapan ikan di laut tergantung pada teknologi kapal yang digunakan karena merupakan komponen biaya operasional yang terbesar. Oleh sebab itu ketersediaan dan penggunaan BBM sangat penting dalam usaha penangkapan ikan berbasis rumpon. Penggunaan BBM yang rendah dengan biaya yang terjangkau oleh nelayan 104

126 merupakan salah satu kriteria pada pengelolaan perikanan secara bertanggung jawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries). TAC merupakan hal yang penting dalam pengelolaan usaha perikanan tangkap karena penggunaan teknologi rumpon dan alat tangkap akan berkaitan dengan jumlah ikan target yang akan ditangkap, sehingga kelestarian sumberdaya ikan dapat dipertahankan dengan pengaturan penangkapan ikan yang tidak melebihi TAC. Apabila jumlah ikan yang ditangkap di Barat Daya perairan Pelabuhanratu melebihi TACnya, maka kelestarian sumberdaya ikannya dapat menurun sehingga akan mempengaruhi keberlanjutan rumpon yang dikelola. Dimensi sosial mempunyai prioritas kedua dalam kepentingan pengelolaan rumpon yang berkelanjutan disebabkan keberadaan rumpon telah memberikan manfaat yang nyata bagi nelayan maupun bagi usaha yang berkaitan dengan rumpon dan usaha pendukung perikanan tangkap lainnya. Namun jumlah nelayan yang belum dapat memanfaatkan rumpon jauh lebih besar dibandingkan dengan yang telah memanfaatkannya dan memicu potensi konflik. Untuk itu diperlukan pengaturan dimensi sosialnya sehingga dapat meminimalkan konflik. Pentingnya dimensi ekologi dalam pengelolaan rumpon adalah karena mempertahankan kelestarian sumberdaya ikan yang menjadi target penangkapan pada pengusahaan rumpon dan daya dukung perairan sehingga rumpon dapat berkelanjutan. Dimensi teknologi pada urutan kepentingan paling rendah disebabkan karena para responden masih beranggapan dengan menggunakan alat tangkap yang ada sudah cukup mendapatkan hasil tangkapan dibandingkan dengan sebelum keberadaan rumpon. Pada level 4, sub-kriteria dari setiap dimensi pengelolaan, diperoleh hasil analisis kepentingan setiap sub-kriteria tersebut. Pada dimensi ekonomi (Gambar 5.15) yang merupakan prioritas kepentingan utama, diperoleh subkriteria pendapatan nelayan (0.568) memiliki kepentingan utama dan kemudian diikuti oleh sub-kriteria pertumbuhan usaha pendukung rumpon (0.244) dan rasio usaha perikanan yang bergantung dengan keberadaan rumpon (0.122). Hal ini disebabkan karena keberadaan rumpon memang sangat penting bagi nelayan karena dapat meningkatkan pendapatannya dan meningkatkan pertumbuhan 105

127 usaha pendukung rumpon serta keberadaan rumpon akan meningkatkan ketergantungan usaha perikanan lainnya. Pada dimensi sosial, sub-kriteria potensi konflik (0.497) merupakan prioritas utama disamping sub-kriteria lainnya karena keberadaan rumpon sangat berpotensi terjadinya konflik antar nelayan karena kecemburuan sosial, seperti yang ditunjukkan pada Gambar Untuk itu perhatian dalam penanganan konflik sangat menentukan keberlanjutan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu. Pada dimensi ekologi, sub-kriteria zona/kawasan (0.5940) yang mempunyai kepentingan utama (Gambar 5.17) dibandingkan dngan sub-kriteria lainnya. Hal ini disebabkan karena kepentingan zona/kawasan pengelolaan rumpon berkaitan dengan kelestarian sumberdaya ikan khususnya bagi ikan target. Apabila ikan target dari keberadaan rumpon tidak lestari maka mengakibatkan ketidak berlanjutan rumpon dalam hal ini rumpon laut dalam karena daya dukung sumberdaya ikan yang menurun. Sub-kriteria penggunaan BBM (0.571) dari dimensi teknologi (Gambar 5.18), merupakan paling utama dan setelah itu baru sub-kriteria rasio total awalable catch (TAC) (0.235) dalam keberlanjutan pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu. Hal ini disebabkan karena bahwa penggunaan BBM yang rendah merupakan hal yang penting dalam usaha penangkapan ikan di laut tergantung pada teknologi kapal yang digunakan karena merupakan komponen biaya operasional yang terbesar. Oleh sebab itu ketersediaan dan penggunaan BBM sangat penting dalam usaha penangkapan ikan berbasis rumpon. Penggunaan BBM yang rendah dengan biaya yang terjangkau oleh nelayan merupakan salah satu kriteria pada pengelolaan perikanan secara bertanggung jawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries). TAC merupakan hal yang penting dalam pengelolaan usaha perikanan tangkap karena penggunaan teknologi rumpon dan alat tangkap akan berkaitan dengan jumlah ikan target yang akan ditangkap, sehingga kelestarian sumberdaya ikan dapat dipertahankan dengan pengaturan penangkapan ikan yang tidak melebihi TAC. Apabila jumlah ikan yang ditangkap di Barat Daya perairan Pelabuhanratu 106

128 melebihi TACnya, maka kelestarian sumberdaya ikannya dapat menurun sehingga akan mempengaruhi keberlanjutan rumpon yang dikelola. Berdasarkan Gambar 5.19, alternatif penetapan zona pengelolaan rumpon mempunyai rasio kepentingan paling tinggi yang berarti merupakan prioritas pertama dibandingkan empat alternatif kebijakan pengelolaan rumpon lainnya, yaitu sebesar 0,460 pada inconsistency terpercaya 0,05. Kepentingan alternatif kebijakan perbaikan mekanisme pembiayaan pengadaan rumpon diperoleh pada urutan kedua dengan rasio kepentingan 0,290. Sedangkan alternatif kebijakan pengaturan jumlah nelayan dan armada penangkapan yang memanfaatkan rumpon dan alternatif kebijakan penyediaan BBM khusus untuk penangkapan ikan di rumpon merupakan urutan ke tiga dan keempat dengan masing-masing rasio kepentingan sebesar 0,149 dan 0,100. Penetapan zona pengelolaan rumpon mempunyai rasio kepentingan paling tinggi dibandingkan empat opsi kebijakan lainnya. Kepentingan zona pengelolaan rumpon sebenarnya sudah terlihat pada persepsi kepentingan pada sub-kriteria dimana mempunyai kepentingan paling tinggi dibandingkan dengan sub-kriteria lainnya. Menurut Dahuri (2000) pembangunan kelautan dan perikanan yang berkelanjutan di wilayah pesisir dan lautan yang diarahkan pada aspek teknis, ekologis, sosial ekonomi dan hukum. Keterpaduan aspek ini untuk pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan yang harus memperhatikan keharmonisan spasil (ruang), daya dukung perairan dan pemanfaatan secara berkelanjutan. Pengaturan ruang laut memang sesuatu yang sudah harus diperlukan dan merupakan kebutuhan utama dalam pengelolaan perikanan dan kelautan yang berkelanjutan. Zona merupakan ruang yang penggunaannya disepakati bersama antara berbagai pemangku kepentingan dan telah ditetapkan status hukumnya. Penetapan zona khususnya di Selatan perairan Pelabuhanratu bertujuan sebagai dasar dalam rangka penataan ruang laut untuk perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan. Dengan adanya zona maka diperoleh zonasi-zonasi yang mempertimbangkan keselarasan, keserasian keseimbangan dengan daya dukung ekosistem, dimensi ruang dan waktu, dimensi teknologi dan sosial serta ekonomi dan keterpaduan pemanfaatan sumberdaya. Hal ini mengingat bahwa 107

129 di Barat Daya perairan Pelabuhanratu termasuk Teluk Pelabuhanratu yang merupakan perairan Samudera Hindia merupakan perairan yang kaya akan keanekaragaman sumberdaya laut. Perairan Barat Daya pelabuhanratu mempunyai potensi juga untuk pengembangan sumberdaya laut lainnya yaitu budidaya laut, daerah penangkapan ikan, lokasi pemijahan penyu dan ikan-ikan tertentu dan juga merupakan suatu kawasan wisata laut yang indah dan alur perairan kapal-kapal penangkap ikan yang akan mendaratkan hasil tangkapannya di PPN Pelabuhanratu. Berdasarkan hasil penelitian Nahib (2008), bahwa keberadaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu telah menyebabkan peningkatan kemampuan daya tangkap sebesar 7-10%, peningkatan produksi sebesar 22%, dan penurunan kapasitas daya dukung 3-10%. Hal ini berarti bahwa dengan keberadaan rumpon sangat memberikan tingkat keuntungan yang relatif baik bagi nelayan sehingga kecenderungan semakin banyaknya rumpon yang akan diusahan. Dalam jangka pendek memang memberikan keuntungan yang nyata bagi nelayan, apalagi ikan hasil tangkapan rumpon mempunyai harga lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak dirumpon atau penambahan jumlah rumpon semakin meningkat, sehingga ekploitasi ikan di rumpon semakin meningkat. Apabila hal ini dibiarkan terus menerus, maka jangka panjang dapat menurunkan hasil tangkapan karena kapasitas daya dukungnya dalam hal ini stok sumberdaya ikan menurun sehingga keuntungan yang diperoleh juga akan menurun. Berdasarkan penelitian bahwa dengan keberadaan rumpon Catch Per Unit Effort (CPUE) meningkat, namun stok atau biomass ikan pada suatu lokasi tersebut tetap sama sehingga ketersediaan sumberdaya ikan dapat menurun. Pengaturan zona pengelolaan rumpon merupakan hal yang sangat penting dan prioritas utama dilakukan. Hal ini disebabkan karena dengan adanya pengaturan zona, maka zonasi dari pengelolaan dapat ditentukan sehinga jumlah rumpon dan jumlah nelayan yang akan memanfaatkan rumpon dapat diatur dan dipertanggung jawabkan oleh pengguna dan pemanfatan rumpon. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya bahwa, di Barat Daya perairan Pelabuhanratu termasuk Samudera Hindia merupakan daerah migrasinya ikan-ikan ekonomis penting yaitu ikan target pada rumpon laut dalam. Oleh karena itu rumpon- 108

130 rumpon dipasang di sekitar perairan tersebut sehingga ikan target dapat berkumpul dan mudah ditangkap di sekitar rumpon yang dipasang. Dtambah lagi mengingat keberadaan rumpon tersebut termasuk perairan Samudera Hindia yang pemanfaatan ikan pelagis besar telah berstatus secara penuh, maka Samudera Hindia yang dalam pengelolaan bersama regional yang disebut Indian Ocean Tuna Commission (IOTC)( merupakan salah satu organisasi Regional Fisheries Management Orgazation (RFMO) di bawah FAO), pada sidang the 10 Th session of the Scientific Committee of Indian Ocean Tuna Commission, IOTC (FAO, 2007) merekomendasikan untuk menurunkan hasil tangkapan jenisjenis ikan tersebut sampai pada hasil tangkapan sebelum tahun 2003 di Samudera Hindia, bahkan IOTC telah memberikan warning terhadap rumponrumpon yang dipasang di Samudera Hindia. Dengan adanya penetapan zona pengelolaan rumpon, maka kapasitas rumpon dapat ditentukan di suatu zonasi yang merupakan zona dengan mempertimbangkan kesesuaian ekologi, ekonomi, sosial nelayan dan pelaku usaha penangkapan ikan di Barat Daya perairan Pelabuhanratu, sehingga daya dukung sumberdaya ikan target dapat berlanjut dalam jangka panjang. Selain itu dengan penetapan dan pengaturan zona pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu, pelaku usaha yang berkepentingan harus mentaatinya sehingga akan dapat meminimalisasikan potensik konflik antar nelayan bahkan antar pengguna kawasan laut lainnya yang merupakan ancaman yang cukup besar dalam keberlanjutan rumpon tersebut. Penetapan zona pengelolaan rumpon dapat dilakukan oleh pemerintah pusat bersama-sama dengan pemerintah daerah dan instansi lainnya yang terkait yang harus ditatati oleh pelaku usaha rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu. Untuk itu kepentingan ilmuan dalam meneliti zona pengelolaan tersebut sangatlah penting dalam mendukung keberlanjutan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu. Saat ini, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Nomor 30 tahun 2004 tentang Pemanfaatan dan Pemasangan Rumpon menimbulkan beberapa kerancuan dalam pemasangan rumpon. Pada Keputusan ini, bahwa belum diatur secara jelas penetapan zona pemasangan rumpon, hanya lebih mengatur kewenang pemasangan rumpon. Kewenangan pemberian izin pemasangan 109

131 rumpon di laut pada Keputusan tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang kewenangan Pemerintah Daerah yaitu, pemasangan rumpon di perairan >12 mil dibeikan izin oleh pemerintah pusat, di perairan 4 mil 12 mil diberikan izin oleh pemerintah provinsi dan di perairan <4 mil diberikan izin oleh pemerintah Kabupaten/Kota. Selanjutnya pada keputusan tersebut diatur bahwa pemasangan rumpon mempunyai jarak minimal 10 mil antar rumpon yang lainnya, sedangkan Kabupaten/Kota hanya mempunyai kewenangan 4 mil, dan provinsi hanya berkewenangan 6 mil. Hal ini juga menimbulkan permasalah baik bagi pelaku usaha maupun bagi pemerintah Stategi Implementasi Pengelolaan Rumpon yang berkelanjutan di Barat Daya Perairan Pelabuhanratu, Jawa Barat. Berdasarkan analisis kebijakan, penetapan zona pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu, Jawa Barat direkomendasikan sebagai prioritas pertama kebijakan pengelolaan rumpon yang berkelanjutan, maka diperlukan strategi implementasinya yaitu : 1. Pemerintah dalam hal ini pusat dan daerah sebagai regulator menyediakan kebijakan penetapan zona pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu termasuk perairan Teluk perairan Pelabuhanratu. Dengan adanya penetapan zona pengelolaan rumpon, maka dengan mengajak pelaku usaha pengelolaan rumpon (nelayan) dan pemangku kepentingan lainnya untuk menyepakati zona pengelolaan yang telah ditetapkan. Dengan demikian maka antar nelayan dan pengusaha yang akan memanfaatkan rumpon bersepakat untuk menetapkan lebih lanjut titik pengusahaan rumpon di perairan tersebut dan akan diperoleh rasio jumlah rumpon yang akan dipasang berdasarkan daya dukung dimensi pengelolaan rumpon. Dengan adanya penetapan tersebut maka setiap yang memanfaatkan rumpon merasa bertanggung jawab atas rumpon yang dipasang. Bagi pengusaha dan nelayan yang memanfaatkan rumpon, penetapan zona tersebut merupakan jaminan keamanan atas pengusahaan rumpon dan kepastian daerah penangkapan ikan, sehingga keuntungan optimal dapat diperoleh. 110

132 2. Setelah penetapan zona pengelolaan, perlu dilakukan sosialisasi oleh pemerintah kepada seluruh pemangku kepentingan pengelolaan rumpon di selatan perairan Pelabuhanratu Jawa Barat. 3. Penetapan zona pengelolaan rumpon ini secara ilmiah harus diteliti berdasar daya dukung dimensi pengelolaan rumpon. Hal ini penting karena terkait dengan jaminan kelestarian sumberdaya ikan, habitat dan plasma nutfah yang dibutuhkan bagi pengembangan IPTEKS dalam rangka pengelolaan rumpon yang berkelanjutan. Selain itu, mengingat potensi konflik yang besar dalam pemanfaatan rumpon, maka dimensi sosial juga merupakan pertimbangan penelitian dalam penetapan zona pengelolaan rumpon. 4. Pelaku usaha (nelayan, pengusaha) perikanan tangkap yang memanfaatkan rumpon mentaati aturan kebijakan penetapan zona pengelolaan rumpon. 5. Monitoring dan evaluasi terhadap pengelolaan rumpon Monitoring dilakukan oleh pemerintah untuk memastikan rumpon yang dipasang berada pada zona yang telah ditetapkan. Sedangkan evaluasi dilakukan untuk mengetahui kelestarian sumberdaya ikan yang ditangkap di Selatan perairan Pelabuhanratu. 6. Pembinaan oleh pemerintah terhadap nelayan pemanfatan rumpon di Selatan Perairan Pelabuhanratu Jawa Barat. Agar keberadaan rumpon dapat berlanjut perlu dilakukan pembinaan terhadap pengelolaan rumpon tersebut. 111

133 VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu saat ini berkelanjutan. Dari empat dimensi yang dianalisis, dimensi teknologi perlu penekanan khusus agar status keberlanjutan dapat ditingkatkan. Agar pengelolaan rumpon dapat berkelanjutan di Barat Daya perairan Pelabuhanratu, Jawa Barat, maka direkomendasikan untuk kebijakan utama yang dilakukan adalah penetapan zona pengelolaan rumpon. Untuk itu dilakukan strategi implementasinya sebagai berikut: 1. Pemerintah menetapkan zona pengelolaan rumpon. 2. Sosialisasi kebijakan penetapan zona pengelolaan rumpon 3. Penetapan zona pengelolaan rumpon ini secara ilmiah harus diteliti berdasar daya dukung dimensi pengelolaan rumpon 4. Pelaku usaha (nelayan, pengusaha) perikanan tangkap yang memanfaatkan rumpon mentaati aturan kebijakan penetapan zona pengelolaan rumpon. 5. Monitoring dan evaluasi terhadap pengelolaan rumpon 6. Pembinaan oleh pemerintah terhadap nelayan pemanfaatn rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu Jawa Barat. 6.2 Saran Berdasarkan hasil dan kesimpulan penelitian yang diperoleh, dapat disarankan: a). Diperlukan penelitian secara ilmiah tentang zona pengelolaan rumpon berdasarkan daya dukung dimensi ekologi, teknologi, ekonomi dan sosial sehingga dapat direkomendasikan penetapan zona pengelolaan rumpon dan kapasitas penangkapan ikan dengan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu. 112

134 b) Meninjau kembali Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30 tahun 2004 tentang Pemanfaatan dan Pemasangan Rumpon. 113

135 DAFTAR PUSTAKA. Arifin, T Akuntablitas dan Keberlanjutan pengelolaan Kawasan Terumbu Karang di Selat Lembah, Kota Bitung. Disertasi SPS-IPB. Bogor. Barus, H.R Perikanan Rumpon di Sulawesi Tengah. Laporan Penelitian Perikanan Laut. No. 23 Tahun Baskoro, M.S Tingkah Laku Ikan Hubungan Dengan Metode Pengoperasian Alat Tangkap Ikan. Bogor. Batubara, P suatu Studi Tentang Prospek Perikanan Tuna di Perairan Indonesia. Fakultas Perikanan. Institut pertanian Bogor (tidak dipublikasikan). Bogor. Biro Pusat Statistik Metode Indikator Kesejahteraan Masyarakat. Biro Pusat Statistik Jakarta. Bjorndal, K. A., and G. R. Zug Growth and age of sea turtles. In K. A. Bjorndal, editor. Biology and conservation of sea turtles. Smithsonian Institution Press, Washington, D.C. Bollen, K. A Structural Equations with Latent Variables. John Wiley & Sons. Inc. New York. Budiharsono, S Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. PT. Pradnya Paramita Jakarta. Budiono, A Keefektifan Pengelolaan Konflik pada Perikanan Tangkap di Perairan Selatan Jawa Timur. Disertasi PPS IPB. Bogor. Bungin, B Metode Penelitian Kuantitatif. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Cayre,P. and Marsac, F Modeling the Yellowfin Tuna (Thunnus albacores) vertical distribution using sonic tagging results and local environmental characteristics aquatic liv. Resource. No.6. P, 1-14 Clark, C. W Bioeconomic Modelling and Fisheries Management. John Wiley and Sons. Toronto Cenada. 291 p. Clark,J.R., Coastal Zone Management Hand Book. Lewis Publishers. Dahuri, R Pandangan Universitas Terhadap Misi PUSLITBANG Oseanologi LIPI ditinjau Dari Segi Pendidikan Kelautan Untuk Abad 21. Proseding Workshop Program Pelita VII PUSLITBANG Oseanologi 114

136 LIPI dalam Rangka Menyongsong Penelitian Kelautan Abad 21, Jakarta 2-4 April Jakarta. Dahuri, R Menggali Potensi Kelautan dan Perikanan Dalam Rangka Pemulihan Ekonomi Menuju Bangsa Indonesia yang Maju, Makmur dan Berkeadilan. Makalah Pada Acara Temu Akrab CIVA-FPIK, tanggal 25 Agustus Bogor. Dahuri, R The Application Of Carrying Capacity Concept For Sustainable Coastal Resources Development In Indonesia. Center For Coastal And Marine Resources Studies (Ccmrs), Bogor Agricultural University (IPB). Bogor. Dahuri, R., J. Rais, S. Putra, and M. J. Sitepu Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu (Integrated Coastal and Marine Resource Management). PT. Paradya Paramita, Jakarta. Departemen Kelautan dan Perikanan Standar Rencana Induk dan Pokok- Pokok Desain untuk Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Jakarta Departemen Kelautan dan Perikanan Kajian Sumberdaya Ikan (Tidak dipublikasikan). KOMNASJISKAN Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta Departemen Kelautan dan Perikanan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor : 30/MEN/2004 tentang Pemasangan dan Pemanfaatan rumpon. DKP RI. Jakarta. Departemen Kelautan dan Perikanan Kajian Sumberdaya Ikan (Tidak dipublikasikan). KOMNASJISKAN Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta Departemen Kelautan dan Perikanan Semiloka Optimasi Pemanfaatan Rumpon di Pansela Jawa Barat. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Jakarta. Departemen Kelautan dan Perikanan Statistik Kelautan dan Perikanan Tahun Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Departemen Kelautan dan Perikanan Undang-undang No.27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Departemen Kelautan dan Perikanan Statistik Perikanan Tangkap. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Dinas Perikanan Kabupaten Sukabumi Laporan Tahunan Dinas Perikanan Kabupaten Sukabumi Tahun

137 Djatikusumo. E W Biologis Ikan Ekonomis Penting. Akademi Usaha Perikanan. Jakarta hal. Erfiani Pendekatan Eksploratif Dalam Kalibrasi. Departemen Statistika, FMIPA IPB. Bogor. Fauzi, A. dan S. Anna Studi Valuasi Ekonomi Perencanaan Kawasan Konservasi Selat Lembah, Sulawesi Utara. Mitra Pesisir Sulawesi Utara. Manado. Food Agriculture Organization (FAO) The State of World Fisheries and Agriculture (SOFIA). FAO. Food Agriculture Organization (FAO) Indian Ocean Tuna Comission: Report of the 10 th Session of The scientific Committee. Seychelles. Food Agriculture Organization (FAO) Indian Ocean Tuna Comission: Report of the 11 th Session of The scientific Committee. Seychelles. Food Agriculture Organization (FAO) Code of Conduct for Responsible Fisheries Gooding, R.M. and Magnuson, J.J Ecological significance of a drifting Object to Pelagic Fishes. Pacific Science Vol. XXI. October Gunarso, W Tingkah Laku Ikan. Diktat Kuliah. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor (tidak dipublikasikan). Bogor. Hendriwan, M. F. dan A. Sondita, J. Haluan, dan B. Wiryawan Analisis Optimasi Pengelolaan Perikanan Tangkap dan Strategi Pengembangannya di Teluk Lampung. Buletin PSP Volume XVII No.1 April Hal Jusuf, N Analisis Kebijakan Pengembangan Perikanan Tangkap Dalam Rangka Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir Selatan Gorontalo. Disertasi telah di publikasikan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 8 hal. Jusuf, G The Indonesian Fishery Policy. Proceedings of The 3 rd JSPS International Seminar on Fisheries Science in Tropical Area. Bali Island Indonesia, August Kavanagh. P Rapid Appraisal Of Fisheries (Rapfish) project. Rapfish Software Description. University of british Columbia. Kusrin, J Matra Laut Sebagai Sektor Andalan Abad 21: Perspektif Hankam. Proseding Workshop Program Pelita VII PUSLITBANG Oseanologi LIPI dalam Rangka Menyongsong Penelitian Kelautan Abad 21, Jakarta 2-4 April Jakarta. 116

138 Liana, T. M, and M.F. Elmer, and P. C. Lenore, and G. C. Alan The Bolinao Community-Based Coastal Resource Management Project. Jurnal of Community Organizer, Haribon Foundation. Lintang, M.L. dan A. P. Anung Studi Penggunaan Atraktan pada Rumpon Laut Dangkal. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. No. 91. Balai Penelitian Perikanan Laut. Badan Penelitian dan Pengembanagn Pertanian, DEPTAN Jakarta. Hal Longhurst, A.R. and D.perly Pelagic fish of Tripical Oceans In ecology of tropical Oceans. Acad. Press Inc. San Diego. Californis. P Maarif, S Analisis Hierarki Proses. Bahan Kuliah Program Studi PSL- SPS IPB. Bogor. Manetsch, P. G. W. and Park System Analysis and Simulation with Application to Economic and Social Science. Michigan State University. Martin V. A and L. Tony, L. R The Ecology of The Deep Ocean and Its Relevance to Global Waste Management. Journal of Essay Review. Southampton Oceanography Centre\ Empress Dock\ Southampton So03 2zh. United Kingdom Mann, K. H, dan J.R.N. Lazier., Dynamics of Marine Ecosystems, Biological-Physical Interactions in the Ocean. Balckwell Scientific Publications. Boston. Martosubroto, P. dan B.A. Malik Potensi Sumberdaya Ikan Tuna dan Prospek Pengembangan Perikanannya. Makalah Lokakarya Perikanan Tuna. Jakarta. 5 6 Juni 1989, Warta Mina. Merta, I.G.S. dan T. Suhendrata Preferensi Makanan Ikan Cakalang, Katsuwonus pelamis di Peraiaran Sorong. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No Mubiyarto Pengembangan Wilayah Pembangunan Perdesaan dan Otonomi Daerah. Direktorat Kebijakan dan Teknologi untuk Pengembangan Wilayah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta. Muchtar, A Kebijakaan Pengembangan Perikanan Laut di Indonesia dalam Prosiding Seminar Tentang Oseanologi dan Ilmu Lingkungan Laut. Puslitbang Oseanografi LIPI. Jakarta. Hal : 1-7 Mulyono, S Operasi Research. Lembaga Peneliti Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Mumby, P.J, E. P. Green, A. J. Edwards, and C. D. Clark The costeffectiveness of remote sensing for tropical coastal resources assessment 117

139 and management. Journal of Environmental Management (1999) 55, Musick, J. A, and S. A. Berkeley, G. M. and Cailliet, M. Camhi, and G. Huntsman, M. and Nammack, and M. L. Warren Protection of Marine Fish Stocks at Risk of Extinction. Fisheries of Jr. Maret Mustaruddin, N dan Jamil, Sulfuad Pedoman Pemanfaatan Biota Laut yang Berkelanjutan di Kawasan Konservasi Laut. Direktorat KTNL, DKP RI. Jakarta. Monintja, D. R Pengelolaan Rumpon Laut Dalam. Diktat Kuliah. Departemen PSP IPB. Bogor. Monintja, D. R Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dalam Bidang Perikanan Tangkap. Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 156 hal. Nahib, I Analisis Ekonomi Dampak Keberadaan Rumpon Terhadap Kelestarian Sumberdaya Perikanan Tuna Kecil (Studi Kasus di Perairan Teluk Pelabuhanratu Kabupaten Sukabumi). Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor (tidak dipublikasikan). Bogor. Nikijuluw, V. P. H Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. P3R. Jakarta. Nontji, A. 1997, Pendirian Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi Kelautan (PUSPIPTEK KELAUTAN): Implementasi Pembangunan Benua Maritim Indonesia di Bidang IPTEK. Proseding Workshop Program Pelita VII PUSLITBANG Oseanologi LIPI dalam Rangka Menyongsong Penelitian Kelautan Abad 21, Jakarta 2-4 April Jakarta. Nyebakken Kualitas Perairan bagi Kehidupan Berbagai Jenis Ikan dan Biota Lainnya. Di dalam Taslim Arifin (Disertasi SPS IPB, 2008). SPS- IPB. Bogor. Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu Satitistik Perikanan Pelabuhan Perikanan Nusatara Pelabuhanratu tahun Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu Laporan Tahunan Tingkat Operasional Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu tahun Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu Rencana Induk Pengelolaan dan Pengembangan Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu,

140 Pemerintah Kabupaten Sukabumi Profil Kabupaten Sukabumi. Presto, G The Fijian Experimence in the Utilization of Fish Aggregating Devices. SouthPacific Comission. Fourteenth Regional Technical Meeting on Fisheries, Noumea, New Caledonia, 2-6 august 1982, SPC/Fisheries 14/WP.25, 2 Agust lp. Rangkuti, F Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Saaty, T. L Pengambilan Keputusan bagi Para Pemimpin. PT. Pustaka Binaman Pressindi. Jakarta. Sain, B. and R.W.Knecht Integrated Coastal and Ocean Management: Concepts and Practices. Island Press. Soedharma, D Studi hubungan nutrisi dengan perilaku ikan membentuk komunitas di perairan laut. Fakultas Perikanana IPB. Bogor. Subani, W Perikanan dengan Rumpon dan Sifat-Sifat Ikan di Sekitarnya. Berita Perikanan X, Subani. W Telaah Penggunaan Rumpon dan Payaos dalam Perikanan Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. BPPI. Jakarta. 35: Suboko, B, Program Pengendalian Penangkapan dan Pengembangan Budidaya dalam Industri Perikanan. Subri, M Ekonomi Kelautan. PT. Raja Crafindo Persada. Jakarta. Supriharyono, M.S Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Whitehead, P.J.P FAO Species Catalogue.Vol 7 Clupied Fisheries of The World. FAO Fish. Synop. 7 (25) Pty. 1 : 303. Yahya, Y Rumpon Sebagai Salah Satu Upaya Mengatasi Masalah BBM di PATAS. Yudoyono, S.B Pembangunan Pertanian dan Perdesaan sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis Ekonomi Politik Kebijakan Fiskal. Disertasi (tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana institut Pertanian Bogor. Yusfiandayani. R., Indrajaya, dan M. S. Baskoro Penerapan Model Hilborn Dan Medley (1989) Pada Rumpon Laut Dangkal Pada Perikanan 119

141 Payang Bugis Di Perairan Pasauran. Prosiding Departemen PSP-FPIK IPB. Bogor. 120

142 DAFTAR LAMPIRAN 121

143 Lampiran 1 Kondisi Suhu Perairan di lokasi Rumpon No. Pengamatan Siang Suhu Perairan ( o C) Malam Rata Sumber: Hasil analisis data lapang (2008) 122

144 Lampiran 2. Karakteristik lingkungan di perairan Samudera Hindia No. Parameter Nilai Parameter 1. Kecepatan arus 0,75 m/detik 2. Tinggi gelombang 141,61 cm dengan periode 5,46 detik 3. Warna < 5 unit 4. Temperatur 22,2-22,7 o C 5. Salinitas 29,34 0 / ph 7,6 BOD 5 12,65 mg/l 7. COD 24,60 mg/l 8. Amonia 0,21 mg/l 9. TSS 13,20 13,48 mg/l 10. Turbidity 0,15 0,42 NTU Sumber : Hasil analisis data lapang (2008) 123

145 Lampiran 3. Koordinat Penempatan Rumpon di Selatan Perairan Pelabuhanratu Nama Posisi Rumpon LS BT Nusantara , ,5 Yakin , ,-- Kel.PL Kel.Rani Kel.Setia Jaya Kel.Denok Kel.Marlin Sukabumi Sukabumi Sukabumi Sukabumi Sukabumi Sukabumi APBN APBN APBN APBN

146 APBN APBN APBN APBN APBN Sumber: Laporan PPN Pelabuhanratu (2008) 125

147 Lampiran 4. Bentuk Rumpon Yang di gunakan di perairan Pelabuhanratu 126

V. HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN 5.1 Hasil Penelitian Berdasarkan hasil analisis existing condition pengelolaan rumpon di Barat Daya perairan Pelabuhanratu, Jawa Barat yang menggunakan aplikasi Rapfish

Lebih terperinci

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE 257 11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE 11.1 Pendahuluan Perikanan tangkap merupakan salah satu aktivitas ekonomi yang sangat kompleks, sehingga tantangan untuk memelihara

Lebih terperinci

2 KERANGKA PEMIKIRAN

2 KERANGKA PEMIKIRAN 2 KERANGKA PEMIKIRAN Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah dirumuskan pada Bab Pendahuluan, maka penelitian ini dimulai dengan memperhatikan potensi stok sumber

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN 51 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teori Selama ini, pengelolaan sumberdaya perikanan cenderung berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata dengan mengeksploitasi sumberdaya perikanan secara besar-besaran

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumber daya perikanan dapat dipandang sebagai suatu komponen dari ekosistem perikanan dan memiliki peranan ganda sebagai faktor produksi yang diperlukan untuk menghasilkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Baik di dunia maupun di Indonesia, perikanan tangkap mendominasi hasil produksi perikanan walaupun telah terjadi over fishing diberbagai tempat. Kegiatan penangkapan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara umum aktivitas perikanan tangkap di Indonesia dilakukan secara open access. Kondisi ini memungkinkan nelayan dapat bebas melakukan aktivitas penangkapan tanpa batas

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan subsektor perikanan tangkap semakin penting dalam perekonomian nasional. Berdasarkan data BPS, kontribusi sektor perikanan dalam PDB kelompok pertanian tahun

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN RAPFISH DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA, IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.) DI PERAIRAN TANJUNGPANDAN ABSTRAK

ANALISIS KEBERLANJUTAN RAPFISH DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA, IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.) DI PERAIRAN TANJUNGPANDAN ABSTRAK BULETIN PSP ISSN: 251-286X Volume No. 1 Edisi Maret 12 Hal. 45-59 ANALISIS KEBERLANJUTAN RAPFISH DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA, IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.) DI PERAIRAN TANJUNGPANDAN Oleh: Asep Suryana

Lebih terperinci

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS SYARIF IWAN TARUNA ALKADRIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan sebagai salah satu sektor unggulan dalam pembangunan nasional mempunyai peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di masa mendatang, serta mempunyai

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PUNGUTAN HASIL PERIKANAN (PHP) : STUDI KASUS PERIKANAN PURSE SEINE PELAGIS KECIL DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA (PPN) PEKALONGAN

KEBIJAKAN PUNGUTAN HASIL PERIKANAN (PHP) : STUDI KASUS PERIKANAN PURSE SEINE PELAGIS KECIL DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA (PPN) PEKALONGAN KEBIJAKAN PUNGUTAN HASIL PERIKANAN (PHP) : STUDI KASUS PERIKANAN PURSE SEINE PELAGIS KECIL DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA (PPN) PEKALONGAN EDDY SOESANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) dan berdasarkan habitatnya di laut secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu

Lebih terperinci

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di beberapa negara, telah mendorong meningkatnya permintaan komoditas perikanan dari waktu ke waktu. Meningkatnya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun memiliki hak yang sama untuk mengambil atau mengeksploitasi sumberdaya didalamnya. Nelayan menangkap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia telah melakukan kegiatan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sejak jaman prasejarah. Sumberdaya perikanan terutama yang ada di laut merupakan

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Kajian tentang konsep kapasitas penangkapan ikan berikut metoda pengukurannya sudah menjadi isu penting pada upaya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. The Code of

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut dan sumberdaya alam yang dikandungnya dipahami secara luas sebagai suatu sistem yang memberikan nilai guna bagi kehidupan manusia. Sebagai sumber kehidupan, potensi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor kelautan dan perikanan merupakan salah satu pilihan yang strategis untuk dikembangkan, terutama di Kawasan Timur Indonesia (KTI) karena memiliki potensi yang sangat

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA.

ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA. ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA Oleh : YULISTYO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan tangkap merupakan suatu sistem yang terdapat dalam sektor perikanan dan kelautan yang meliputi beberapa elemen sebagai subsistem yang saling berkaitan dan mempengaruhi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 20 1.1 Latar Belakang Pembangunan kelautan dan perikanan saat ini menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional yang diharapkan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan mempertimbangkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan laut di Kabupaten Malang Jawa

I. PENDAHULUAN. dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan laut di Kabupaten Malang Jawa I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sendang Biru merupakan salah satu kawasan pesisir yang menjadi prioritas dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan laut di Kabupaten Malang Jawa Tmur. Pengembangan

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA)

PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA) Marine Fisheries ISSN 2087-4235 Vol. 3, No. 2, November 2012 Hal: 135-140 PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA) Tuna Lingline Fisheries Productivity in Benoa

Lebih terperinci

X. ANALISIS KEBIJAKAN

X. ANALISIS KEBIJAKAN X. ANALISIS KEBIJAKAN 10.1 Alternatif Kebijakan Tahapan analisis kebijakan pada sub bab ini merupakan metode pengkajian untuk menghasilkan dan mentransformasikan flow of thinking dari serangkaian analisis

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Kabupaten Buton diperkirakan memiliki luas sekitar 2.509,76 km 2, dimana 89% dari luas wilayah tersebut merupakan perairan laut. Secara geografis Kabupaten Buton terletak

Lebih terperinci

8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI

8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI 131 8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI 8.1 Pendahuluan Mewujudkan sosok perikanan tangkap yang mampu mempertahankan

Lebih terperinci

EVALUASI ASPEK SOSIAL KEGIATAN PENANGKAPAN IKAN TUNA (THUNNUS SP) OLEH NELAYAN DESA YAINUELO KABUPATEN MALUKU TENGAH

EVALUASI ASPEK SOSIAL KEGIATAN PENANGKAPAN IKAN TUNA (THUNNUS SP) OLEH NELAYAN DESA YAINUELO KABUPATEN MALUKU TENGAH EVALUASI ASPEK SOSIAL KEGIATAN PENANGKAPAN IKAN TUNA (THUNNUS SP) OLEH NELAYAN DESA YAINUELO KABUPATEN MALUKU TENGAH Erika Lukman Staf Pengajar Faperta FPIK UNIDAR-Ambon, e-mail: - ABSTRAK Ikan tuna (Thunnus

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sub-sektor perikanan tangkap merupakan bagian integral dari pembangunan kelautan dan perikanan yang bertujuan untuk : (1) meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN JARING BOBO DI OHOI SATHEAN KEPULAUAN KEI MALUKU TENGGARA. Jacomina Tahapary, Erwin Tanjaya

STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN JARING BOBO DI OHOI SATHEAN KEPULAUAN KEI MALUKU TENGGARA. Jacomina Tahapary, Erwin Tanjaya STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN JARING BOBO DI OHOI SATHEAN KEPULAUAN KEI MALUKU TENGGARA Jacomina Tahapary, Erwin Tanjaya Program Studi Teknologi Penangkapan Ikan, Politeknik Perikanan Negeri Tual. Jl.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di sub-sektor perikanan tangkap telah memberikan kontribusi yang nyata dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Hal ini ditunjukkan dengan naiknya produksi

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang bersifat terbarukan (renewable). Disamping itu sifat open access atau common property yang artinya pemanfaatan

Lebih terperinci

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN Hasil analisis LGP sebagai solusi permasalahan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan akan bahan pangan dan gizi yang lebih baik, permintaan ikan terus meningkat dari tahun ke tahun. Permintaan ikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah Ar-Ruum ayat 41, bahwa Telah nampak kerusakan didarat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi perikanan Indonesia diestimasi sekitar 6,4 juta ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2005 telah mencapai 4,408 juta ton, dan tahun 2006 tercatat

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki luas perairan wilayah yang sangat besar. Luas perairan laut indonesia diperkirakan sebesar 5,4 juta km 2 dengan garis pantai

Lebih terperinci

III. METODOLOGI KAJIAN

III. METODOLOGI KAJIAN 39 III. METODOLOGI KAJIAN 3. Kerangka Pemikiran Pengembangan ekonomi lokal merupakan usaha untuk mengoptimalkan sumberdaya lokal yang melibatkan pemerintah, dunia usaha, masyarakat lokal, dan organisasi

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan data PBB pada tahun 2008, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, serta

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

KEBERADAAN FASILITAS KEPELABUHANAN DALAM MENUNJANG AKTIVITAS PANGKALAN PENDARATAN IKAN TANJUNGSARI, KABUPATEN PEMALANG, JAWA TENGAH NOVIANTI SKRIPSI

KEBERADAAN FASILITAS KEPELABUHANAN DALAM MENUNJANG AKTIVITAS PANGKALAN PENDARATAN IKAN TANJUNGSARI, KABUPATEN PEMALANG, JAWA TENGAH NOVIANTI SKRIPSI KEBERADAAN FASILITAS KEPELABUHANAN DALAM MENUNJANG AKTIVITAS PANGKALAN PENDARATAN IKAN TANJUNGSARI, KABUPATEN PEMALANG, JAWA TENGAH NOVIANTI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan

Lebih terperinci

2 penelitian berjudul Pola Pemanfaatan Sumberdaya Udang Dogol (Metapenaeus ensis de Haan) Secara Berkelanjutan di Perairan Cilacap dan Sekitarnya ; Su

2 penelitian berjudul Pola Pemanfaatan Sumberdaya Udang Dogol (Metapenaeus ensis de Haan) Secara Berkelanjutan di Perairan Cilacap dan Sekitarnya ; Su 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km dengan jumlah

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses yang berkesinambungan (sustainable development) yang dilakukan secara berencana dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Menteri

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan

Lebih terperinci

ANALISIS RISIKO USAHA PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL DI PALABUHANRATU DEWI EKASARI

ANALISIS RISIKO USAHA PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL DI PALABUHANRATU DEWI EKASARI ANALISIS RISIKO USAHA PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL DI PALABUHANRATU DEWI EKASARI SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 ANALISIS RISIKO USAHA PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL DI PALABUHANRATU

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN 2 ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prospek pasar perikanan dunia sangat menjanjikan, hal ini terlihat dari kecenderungan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang 81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002).

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN

III METODE PENELITIAN 31 III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kawasan Minapolitan Kampung Lele Kabupaten Boyolali, tepatnya di Desa Tegalrejo, Kecamatan Sawit, Kabupaten Boyolali. Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah Ar-Ruum ayat 41, bahwa Telah nampak kerusakan didarat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan

Lebih terperinci

KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA. Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta. rinda@ut.ac.

KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA. Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta. rinda@ut.ac. KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta rinda@ut.ac.id ABSTRAK Aktivitas usaha perikanan tangkap umumnya tumbuh dikawasan

Lebih terperinci

VIII. ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHATANI TANAMAN HORTIKULTURA PADA LAHAN BERLERENG DI HULU DAS JENEBERANG

VIII. ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHATANI TANAMAN HORTIKULTURA PADA LAHAN BERLERENG DI HULU DAS JENEBERANG 133 VIII. ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHATANI TANAMAN HORTIKULTURA PADA LAHAN BERLERENG DI HULU DAS JENEBERANG 8.1. Pendahuluan Kabupaten Gowa mensuplai kebutuhan bahan material untuk pembangunan fisik, bahan

Lebih terperinci

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali didasarkan atas kelompok ikan Pelagis Kecil, Pelagis Besar, Demersal

Lebih terperinci

DINAMIKA PERIKANAN PURSE SEINE YANG BERBASIS DI PPN PEKALONGAN, JAWA TENGAH UMI CHODRIYAH

DINAMIKA PERIKANAN PURSE SEINE YANG BERBASIS DI PPN PEKALONGAN, JAWA TENGAH UMI CHODRIYAH DINAMIKA PERIKANAN PURSE SEINE YANG BERBASIS DI PPN PEKALONGAN, JAWA TENGAH UMI CHODRIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan perikanan tangkap pada hakekatnya ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat khususnya nelayan, sekaligus untuk menjaga kelestarian

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten di Pemerintah Aceh yang memiliki potensi sumberdaya ikan. Jumlah sumberdaya ikan diperkirakan sebesar 11.131 ton terdiri

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian

IV. METODE PENELITIAN. Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang analisis fungsi kelembagaan perikanan ini dilaksanakan di Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian

Lebih terperinci

5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Keadaan Umum Kota Serang Kota Serang adalah ibukota Provinsi Banten yang berjarak kurang lebih 70 km dari Jakarta. Suhu udara rata-rata di Kota Serang pada tahun 2009

Lebih terperinci

6 PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP BERBASIS KEWILAYAHAN. 6.1 Urgensi Sektor Basis Bagi Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap di Kabupaten Belitung

6 PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP BERBASIS KEWILAYAHAN. 6.1 Urgensi Sektor Basis Bagi Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap di Kabupaten Belitung 6 PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP BERBASIS KEWILAYAHAN 6.1 Urgensi Sektor Basis Bagi Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap di Kabupaten Belitung Supaya tujuh usaha perikanan tangkap yang dinyatakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kebijaksanaan Pemerintah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 26

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kebijaksanaan Pemerintah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 26 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Pembangunan Wilayah Pesisir Kebijaksanaan Pemerintah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dimana Rencana Tata Ruang Propinsi/Kota

Lebih terperinci

Penangkapan Tuna dan Cakalang... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.)

Penangkapan Tuna dan Cakalang... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.) Penangkapan Tuna dan... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.) PENANGKAPAN TUNA DAN CAKALANG DENGAN MENGGUNAKAN ALAT TANGKAP PANCING ULUR (HAND LINE) YANG BERBASIS DI PANGKALAN PENDARATAN

Lebih terperinci

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Daerah peralihan (interface area) antara ekosistem daratan dan laut. Batas ke arah darat: Ekologis: kawasan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang

Lebih terperinci

VII. PENGELOAAN SUMBERDAYA IKAN DI PERAIRAN PELABUHANRATU Analisis Stakeholder dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Di Pelabuhanratu

VII. PENGELOAAN SUMBERDAYA IKAN DI PERAIRAN PELABUHANRATU Analisis Stakeholder dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Di Pelabuhanratu VII. PENGELOAAN SUMBERDAYA IKAN DI PERAIRAN PELABUHANRATU 7.1. Analisis Stakeholder dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Di Pelabuhanratu Identifikasi stakeholder dapat dilihat pada Tabel 23. Nilai kepentingan

Lebih terperinci

Produktivitas dan Kelayakan Usaha Bagan Perahu di Pelabuhan Perikanan Nusantara Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara

Produktivitas dan Kelayakan Usaha Bagan Perahu di Pelabuhan Perikanan Nusantara Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara Produktivitas dan Kelayakan Usaha Bagan Perahu di Pelabuhan Perikanan Nusantara Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara 1,2 Frengky Amrain, 2 Abd. Hafidz Olii, 2 Alfi S.R. Baruwadi frengky_amrain@yahoo.com

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang kompleks, unik dan indah serta mempunyai fungsi biologi, ekologi dan ekonomi. Dari fungsi-fungsi tersebut,

Lebih terperinci

Governance of Dagho fishing port, Sangihe Islands Regency, Indonesia

Governance of Dagho fishing port, Sangihe Islands Regency, Indonesia Aquatic Science & Management, Vol. 1, No. 2, 188-192 (Oktober 2013) Pascasarjana, Universitas Sam Ratulangi http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jasm/index ISSN 2337-4403 e-issn 2337-5000 jasm-pn00042

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu-isu tentang pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam, seperti air, tanah, hutan dan kelautan-perikanan, merupakan topik yang semakin penting dalam kajian akademik,

Lebih terperinci

10 STATUS KEBERLANJUTAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN SERANG DAN KABUPATEN TEGAL

10 STATUS KEBERLANJUTAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN SERANG DAN KABUPATEN TEGAL 10 STATUS KEBERLANJUTAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN SERANG DAN KABUPATEN TEGAL 10.1 Pendahuluan Status keberlanjutan perikanan merupakan hal penting yang sangat diperlukan dalam penentuan berbagai kebijakan

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO

STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK BENI PRAMONO. Strategi Pengelolaan Perikanan Jaring

Lebih terperinci

9.1 Pola pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan demersal yang berkelanjutan di Kota Tegal

9.1 Pola pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan demersal yang berkelanjutan di Kota Tegal 9 PEMBAHASAN UMUM Aktivitas perikanan tangkap cenderung mengikuti aturan pengembangan umum (common development pattern), yaitu seiring dengan ditemukannya sumberdaya perikanan, pada awalnya stok sumberdaya

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR 1 PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR (Trichiurus sp.) DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROPINSI JAWA BARAT Adnan Sharif, Silfia Syakila, Widya Dharma Lubayasari Departemen Manajemen Sumberdaya

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P.

ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P. ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P. SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

Lokasi penelitian di UPPPP Muncar dan PPN Pengambengan Selat Bali (Bakosurtanal, 2010)

Lokasi penelitian di UPPPP Muncar dan PPN Pengambengan Selat Bali (Bakosurtanal, 2010) 37 3 METODOLOGI UMUM Penjelasan dalam metodologi umum, menggambarkan secara umum tentang waktu, tempat penelitian, metode yang digunakan. Secara spesifik sesuai dengan masing-masing kriteria yang akan

Lebih terperinci

PERANCANGAN PROGRAM. 6.5 Visi, Misi dan Tujuan Pembangunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung Barat

PERANCANGAN PROGRAM. 6.5 Visi, Misi dan Tujuan Pembangunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung Barat VII. PERANCANGAN PROGRAM 6.5 Visi, Misi dan Tujuan Pembangunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung Barat Mengacu pada Visi Kabupaten Lampung Barat yaitu Terwujudnya masyarakat Lampung Barat

Lebih terperinci

FISHING GEAR PERFORMANCE ON SKIPJACK TUNA IN BONE BAY DISTRICT LUWU

FISHING GEAR PERFORMANCE ON SKIPJACK TUNA IN BONE BAY DISTRICT LUWU FISHING GEAR PERFORMANCE ON SKIPJACK TUNA IN BONE BAY DISTRICT LUWU Akmaluddin 1, Najamuddin 2 dan Musbir 3 1 Universitas Muhammdiyah Makassar 2,3 Universitas Hasanuddin e-mail : akmalsaleh01@gmail.com

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam PDB (Produk Domestik Bruto) nasional Indonesia. Kontribusi sektor

I. PENDAHULUAN. dalam PDB (Produk Domestik Bruto) nasional Indonesia. Kontribusi sektor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor perikanan merupakan salah satu sektor andalan bagi Indonesia untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, baik dalam skala lokal, regional maupun negara, dimana sektor

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN KAWASAN MINAPOLITAN BUDIDAYA DI DESA SARASA KECAMATAN DAPURANG KABUPATEN MAMUJU UTARA

ANALISIS KEBERLANJUTAN KAWASAN MINAPOLITAN BUDIDAYA DI DESA SARASA KECAMATAN DAPURANG KABUPATEN MAMUJU UTARA ANALISIS KEBERLANJUTAN KAWASAN MINAPOLITAN BUDIDAYA DI DESA SARASA KECAMATAN DAPURANG KABUPATEN MAMUJU UTARA Iis Arsyad¹, Syaiful Darman dan Achmad Rizal² iis_arsyad@yahoo.co.id ¹Mahasiswa Program Studi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan industri. Salah satu sumberdaya tersebut adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lautan yang lebih luas dari daratan, tiga per empat wilayah Indonesia (5,8 juta km 2 ) berupa laut. Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan serta memiliki jumlah panjang garis

I. PENDAHULUAN. dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan serta memiliki jumlah panjang garis I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki 17.508 pulau dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan serta memiliki jumlah panjang garis pantai 91.000

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta)

Lebih terperinci

POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH

POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH Bimafika, 2010, 2, 141-147 1 POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH Achmad Zaky Masabessy * FPIK Unidar Ambon ABSTRACT Maluku Tengah marine water has fish resources,

Lebih terperinci

STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR)

STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR) STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR) ANI RAHMAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. udang, kakap, baronang, tenggiri, kerang, kepiting, cumi-cumi dan rumput laut yang tersebar

BAB I PENDAHULUAN. udang, kakap, baronang, tenggiri, kerang, kepiting, cumi-cumi dan rumput laut yang tersebar BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Aktivitas usaha perikanan tangkap umumnya tumbuh di kawasan sentra nelayan dan pelabuhan perikanan yang tersebar di wilayah pesisir Indonesia. Indonesia memiliki potensi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir merupakan daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Kawasan pesisir merupakan ekosistem yang kompleks dan mempunyai nilai sumberdaya alam yang tinggi.

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Metode Pengumpulan Data

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Metode Pengumpulan Data 3 METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei. Menurut Riduwan (2004) penelitian survei adalah penelitian yang dilakukan pada populasi besar maupun kecil, tetapi data yang dipelajari

Lebih terperinci