BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Allport dalam Bordens & Horowitz (2009) menjelaskan sikap sebagai

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Allport dalam Bordens & Horowitz (2009) menjelaskan sikap sebagai"

Transkripsi

1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sikap Allport dalam Bordens & Horowitz (2009) menjelaskan sikap sebagai kesiapan kondisi mental dan saraf yang merupakan hasil pengalamanpengalaman personal dan turut memengaruhi dinamika respon individu terhadap berbagai objek dan situasi yang dihadapi. Definisi tersebut mengandung tiga unsur penting yaitu 1. Sebagai kesiapan kondisi mental, sikap bersifat pribadi dan hanya dapat diketahui oleh individu yang memiliki sikap tersebut. 2. Pembentukan sikap melalui proses pembelajaran atas pengalaman dan pengaruh-pengaruh lingkungan, seperti orangtua, teman maupun agen sosialisasi lainnya. 3. Sikap memengaruhi dinamika respon individu terhadap berbagai objek dan situasi yang dihadapi, mengisyaratkan sikap mendorong individu untuk berperilaku positif maupun negatif terhadap objek dan situasi. Tidak hanya memengaruhi dinamika respon individu, McGuire, Ostrom, Zanna & Rempel menjelaskan sikap sebagai representasi kognitif yang mencakup evaluasi individu terhadap objek-objek baik diri sendiri, individu lain, pemikiran, perilaku, peristiwa, atau gagasan (Smith & Mackie, 2000). Dalam Haddock & Maio (2010), Eagly & Chaiken mengemukakan sikap sebagai kecenderungan psikologis yang diekspresikan melalui evaluasi terhadap entitas tertentu berupa tingkat suka hingga tidak suka. Sebagai entitas tunggal, sikap memiliki tiga komponen yang dikenal dengan konsep ABC (Oskamp & Schultz, 2005; Haddock & Maio, 2010) yaitu

2 1. Affective (afeksi), menjelaskan perasaan atau emosi individu terhadap objek sikap. 2. Behavioral (perilaku), menjelaskan kecenderungan tindakan individu terhadap objek sikap yang berasal dari pengalaman sebelumnya. 3. Cognitive (kognisi), mencakup keyakinan, pemikiran, ide, dan atribusi individu yang berkaitan dengan objek sikap. Simpulan yang ditarik Haddock & Maio (2005), komponen afeksi dan kognisi memegang peranan paling penting dalam pembentukan sikap. Berbeda dengan komponen afeksi dan kognisi, perilaku sebagai komponen sikap yang dapat diamati seringkali menjadi perdebatan para ahli terkait konsistensinya dengan sikap individu. Dalam Oskamp & Schultz (2005) tercatat perdebatan mengenai konsistensi antara sikap dan perilaku individu telah berlangsung sejak tahun Perdebatan mengenai konsistensi antara sikap dan perilaku individu akan dibahas pada sub-sub bab Keterkaitan Sikap dan Perilaku Isu-isu mengenai keterkaitan sikap dan perilaku pada umumnya dapat dicermati dalam dua hal (Holland, Verplanken, & Knippenberg; 2002). Pertama, konsistensi sikap dan perilaku individu. Kedua, rangkaian perilaku individu terhadap suatu objek yang membentuk sikap individu tersebut. De Fleur & Westie dalam Oskamp & Schultz (2005) menjelaskan keterkaitan kedua isu tersebut melalui proses laten. Sikap menjadi variabel pengantara (intervening variable) dalam proses laten, yang menjelaskan hubungan antara stimulus peristiwa atau fenomena sosial dengan respon perilaku tertentu. Proses kognisi, afeksi, dan perilaku yang membentuk sikap membantu memahami respon individu terhadap fenomena sosial baik respon kognisi, afeksi, maupun perilaku.

3 Gambar 2.1 Proses Laten Sumber: Oskamp, S., & Schultz, P. W. (2005). Attitudes and opinions (3 rd ed.). USA: Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Proses laten memberikan pemahaman bahwa pada dasarnya perilaku dapat membentuk sikap dan sikap dapat memengaruhi perilaku. Holland, Verplanken, & Knippenberg (2002) memperkaya konsep proses laten melalui penelitiannya. Hasil penelitian Holland, Verplanken, & Knippenberg menunjukkan kekuatan sikap individu memengaruhi interaksi antara sikap dengan perilaku. Sikap yang kuat memrediksi perilaku dan berkesesuaian dengan perilaku. Sebaliknya, sikap yang lemah ditandai oleh sifatnya yang mudah berubah dan dibentuk kembali melalui kecenderungan perilaku individu. Penelitian Holland, Verplanken, & Knippenberg mengindikasikan sikap tidak selalu berkesesuaian dengan perilaku. Pada tahun 1934, La Piere telah membuktikan sikap tidak selalu berkesesuaian dengan perilaku individu (Sarwono dkk., 2009). La Piere melakukan penelitian mengenai sikap pengelola restoran dan hotel di Amerika Serikat terhadap pasangan suku China. Penelitian La Piere menunjukkan dari 128 tempat, 92% restoran dan 91% hotel menyatakan sikap tidak akan melayani tamu bersuku China. Bertolak belakang dengan hasil

4 pengukuran sikap, pasangan bersuku China yang mendatangi 184 hotel dan 66 hotel hanya mengalami satu kali penolakan. Literatur dan kajian ilmiah menunjukkan sikap dapat memrediksi perilaku, tetapi juga tidak selalu berkesesuaian dengan perilaku. Terkait dengan kemungkinan sikap yang tidak berkesesuaian dengan perilaku individu, Campbell dalam Oskamp & Schultz (2005) turut menekankan pentingnya faktor situational thresholds. Situational thresholds dimaknakan sebagai tingkat kemungkinan terjadinya pernyataan-pernyataan dalam instrumen pengukuran sikap. Sikap yang tidak konsisten dengan perilaku individu karena perbedaan dalam situational thresholds, oleh Campbell disebut sebagai pseudo inconsistency (Oskamp & Schultz, 2005). Guna mendapatkan pemahaman yang komprehensif mengenai keterkaitan sikap dan perilaku, Fishbein & Ajzen dalam Oskamp & Schultz (2005) memperkenalkan Teori Perilaku Beralasan (Theory of Reasoned Action) yang telah digunakan secara luas. Berdasarkan Teori Perilaku Beralasan, niat individu menjadi penentu utama dalam berperilaku. Niat individu ditentukan oleh faktor sikap dan faktor normatif, yang diuraikan menjadi empat poin yaitu 1. Keyakinan individu mengenai konsekuensi dari perilaku. 2. Evaluasi individu terhadap konsekuensi dari perilaku. 3. Keyakinan normatif individu berkaitan dengan harapan individu lain. 4. Motivasi individu untuk mengikuti harapan individu lain. Informasi tambahan dalam Changing Minds (2011), individu cenderung menyelaraskan perilaku dengan sikap yang dimiliki apabila sikap dan perilaku dibatasi pada keadaan spesifik, didasarkan pada pengalaman pribadi, serta tergolong sikap dan keyakinan yang kuat.

5 2.2 Praktik Khitan Perempuan Praktik khitan perempuan telah dilakukan pada masa Firaun (Goldstein, Meston, Davis, & Traish; 2006). Walaupun banyak dilakukan di negara Islam, kemunculan praktik khitan perempuan diketahui tidak secara khusus memiliki kaitan dengan agama karena dilakukan berabad-abad sebelum datangnya masa Islam. Pada waktu-waktu kemudian ketika praktik khitan perempuan seringkali disandingkan dengan agama terutama agama Samawi yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam, lebih dikarenakan agama berperan sebagai media penyebaran pelaksanaan praktik khitan perempuan. Pada tahun 1991, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengintroduksi penggunaan istilah female genital mutilation (FGM) atau mutilasi genitalia perempuan (MGP) sebagai pengganti istilah praktik khitan perempuan (Amriel, 2010). Secara implisit, penggunaan kata mutilasi mengandung penekanan bahwa praktik khitan perempuan merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan. Publikasi WHO pada tahun 2010 menyebutkan FGM mencakup segala bentuk prosedur yang menyertakan pembuangan sebagian maupun seluruh bagian luar alat kelamin perempuan dan/atau pencederaan atas organ genital perempuan untuk alasan budaya maupun alasan-alasan non-medis lainnya. Prosedur praktik khitan perempuan biasanya dilakukan pada anak bayi hingga anak berusia 15 tahun dan kadang-kadang pada wanita dewasa (WHO, 2010). Hingga tahun 2010, WHO melaporkan sekitar juta perempuan yang tersebar di seluruh dunia, hidup dengan menanggung konsekuensi dari pelaksanaan praktik khitan perempuan.

6 2.2.1 Klasifikasi Praktik Khitan Perempuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2008 membagi prosedur praktik khitan perempuan ke dalam empat klasifikasi: 1. Tipe I Clitoridectomy. Pembuangan sebagian maupun keseluruhan klitoris dan/atau tudung klitoris. Terdapat dua variasi Tipe I. Tipe Ia, pembuangan dilakukan sebatas pada tudung klitoris. Tipe Ib mencakup pembuangan tudung klitoris beserta klitoris. Gambar 2.2 Alat Kelamin Perempuan non-fgm Sumber:

7 Gambar 2.3 Tipe I Clitoridectomy Sumber: 2. Tipe II Excision. Pembuangan sebagian maupun keseluruhan klitoris dan labia minora, baik dengan maupun tanpa pengirisan labia majora. Tipe II memiliki tiga variasi. Variasi pertama, Tipe IIa, pembuangan dilakukan sebatas pada labia minora. Variasi kedua, Tipe IIb mencakup pembuangan sebagian maupun keseluruhan klitoris dan labia minora. Variasi ketiga, Tipe IIc mencakup pembuangan sebagian maupun keseluruhan klitoris, labia minora, dan labia majora.

8 Gambar 2.4 Tipe II Excision Sumber: middle-east-info.org/league/somalia/fgmpictures.htm 3. Tipe III Infibulation. Prosedur penyempitan lubang vagina dengan memotong labia minora dan/atau labia majora, baik dengan maupun tanpa pengirisan klitoris. Tipe IIIa membuang labia minora dan Tipe IIIb membuang labia majora. Tipe III merupakan prosedur terekstrim dalam praktik khitan perempuan. Pemerintah Kenya (2011) melaporkan Tipe III turut andil sebesar 15% dari semua prosedur praktik khitan perempuan di Afrika.

9 Gambar 2.5 Tipe III Infibulation Sumber: middle-east-info.org/league/somalia/fgmpictures.htm 4. Tipe IV Unclassified. Semua prosedur praktik khitan perempuan selain Tipe I, II, dan III, mencakup penusukan, penggoresan, pengirisan, dan pembakaran jaringan kelamin yang membahayakan alat kelamin perempuan dengan tujuan nonmedis Etiologi Praktik Khitan Perempuan Pada tahun 2010, UNICEF menguraikan lima alasan utama di balik pelaksanaan praktik khitan perempuan. Alasan pertama, pertimbangan seksual. Praktik khitan perempuan berfungsi mengendalikan maupun mengurangi hasrat seksual perempuan. Seperti yang dijelaskan Rahman, Poerwandari, & Marlita (2010), dalam budaya patriarki, praktik khitan perempuan dilakukan dengan

10 keyakinan agar perempuan tidak genit dan hiperseks. Alasan kedua, pertimbangan sosial. Praktik khitan perempuan merupakan inisiasi kedewasaan seorang perempuan dan bentuk integrasi sosial dengan tujuan pemeliharaan kohesi sosial dalam masyarakat. Alasan ketiga, pertimbangan kebersihan dan estetika. Praktik khitan perempuan dilakukan karena alat kelamin perempuan diyakini sebagai bagian yang kotor dan tidak sedap dipandang. Alasan keempat, pertimbangan kesehatan. Praktik khitan perempuan diyakini dapat meningkatkan kesuburan dan kelangsungan hidup anak. Alasan kelima, pertimbangan agama. Praktik khitan perempuan dipandang sebagai indikasi yang menunjukkan ketaatan pada agama. United Nations Population Fund (2011) menambahkan bahwa faktor sosial ekonomi turut mendasari pelaksanaan praktik khitan perempuan yaitu sebagai prasyarat perempuan untuk menikah. Perempuan yang tidak disunat dianggap kotor dan membahayakan kesehatan laki-laki yang akan menjadi suaminya. Selain itu, praktik khitan perempuan juga merupakan sumber pendapatan utama dari pelaku praktik tersebut. Ditinjau dari sudut pandang Psikoanalisa, Lax melihat adanya indikasi motif rasa takut yang tidak disadari pada kaum laki-laki terhadap seksualitas perempuan, yang mendorong munculnya kebutuhan untuk menekan tingkat seksualitas perempuan dengan praktik khitan perempuan (Whitehorn, Ayonrinde, & Maingay; 2002) Dampak Praktik Khitan Perempuan Pelaksanaan praktik khitan perempuan memunculkan dampak fisik maupun psikis. Berdasarkan laporan WHO (2010), komplikasi langsung terhadap fisik berupa rasa sakit yang parah, pendarahan, tetanus, infeksi bakteri,

11 guncangan, pengeluaran urin yang tidak lancar, dan luka yang terbuka pada alat kelamin perempuan. Demam, infeksi saluran kemih, dan septicaemia juga berpotensi muncul setelah seorang perempuan menjalani praktik khitan perempuan (UNFPA, 2011). Pada kenyataannya, komplikasi yang muncul tidak hanya jangka pendek, tetapi terdapat konsekuensi jangka panjang, di antaranya potensi munculnya kista, ketidaksuburan, peningkatan resiko komplikasi dan kematian bayi yang baru dilahirkan, serta resiko peningkatan frekuensi penjahitan alat kelamin bagi perempuan yang menjalani prosedur praktik khitan perempuan Tipe III (WHO, 2011). Konsekuensi jangka panjang ini sekaligus mengisyaratkan kekeliruan pertimbangan kesehatan yang mendasari pelaksanaan praktik khitan perempuan. Menurut UNICEF (2010), konsekuensi lainnya yang perlu diperhatikan termasuk konsekuensi karena tidak sterilnya sarana dan prasarana yang digunakan selama proses pelaksanaan praktik khitan perempuan yaitu munculnya bisul bernanah, hubungan seksual yang menyakitkan, peningkatan kerentanan terhadap HIV/AIDS, hepatitis, serta menstruasi yang diikuti rasa nyeri berlebihan. Fokus yang dipusatkan pada komplikasi fisik ditambah dengan minimnya kajian mengenai dampak psikologis praktik khitan perempuan, seringkali menyebabkan pengaruh-pengaruh terhadap psikis perempuan yang menjalani praktik khitan perempuan terabaikan. Lax dalam Whitehorn, Ayonrinde, & Maingay (2002) menjelaskan konsekuensi psikis yang diakibatkan praktik khitan perempuan yaitu hilangnya rasa percaya terhadap orang lain, menurunnya kesejahteraan secara jasmani, guncangan pasca trauma, dan depresi. Elchalal dkk. pada tahun 1997 turut memaparkan potensi munculnya gangguan seperti Gangguan Stress Pasca Trauma (Post-Traumatic Stress Disorder), kecemasan dan depresi, hingga masalah psikoseksual. Pada akhirnya, perempuan yang menjalani praktik khitan perempuan pun rentan menderita gangguan fobia. Rasa

12 takut yang tidak dapat diekspresikan membangkitkan kembali pengalaman traumatis terhadap praktik khitan perempuan (Kontoyannis & Katsetos; 2010). Temuan berbeda dijelaskan Black & Debelle (1995) yaitu pada komunitas yang menerima praktik khitan perempuan, konsekuensi psikis yang diterima lebih minim pada perempuan yang menjalani praktik khitan perempuan. Status direndahkan pada perempuan yang tidak menjalani praktik khitan perempuan justru dipandang lebih negatif dibanding trauma yang diakibatkan praktik khitan perempuan (Whitehorn, Ayonrinde, & Maingay; 2002) Praktik Khitan Perempuan di Indonesia Penelitian Population Council pada tahun 2003 terhadap masyarakat Padang, Padang Pariaman, Serang, Sumenep, Kutai Kertanegara, Gorontalo, Makassar, dan Bone menunjukkan praktik khitan perempuan dilakukan oleh dukun bayi, juru sunat, hingga petugas kesehatan. Hasil penelitian Population Council menunjukkan 28% prosedur praktik khitan perempuan hanya bersifat simbolik, sedangkan 71% prosedur praktik khitan perempuan bersifat membahayakan, mencakup 49% pengirisan dan 22% pemotongan jaringan kelamin perempuan. Dari penelitian yang dilakukan Population Council tersebut diketahui bahwa praktik khitan perempuan dilakukan tanpa persetujuan perempuan yang bersangkutan dan tanpa manfaat kesehatan maupun dalil agama yang jelas. Tidak ditemukan komplikasi langsung pada fisik maupun psikis responden perempuan yang menjalani praktik khitan perempuan. Meskipun demikian, hasil observasi langsung terhadap praktik khitan perempuan di Indonesia memperlihatkan adanya rasa sakit berlebihan pada ¾ dari keseluruhan kasus yang diamati selama proses pemotongan berlangsung.

13 Penelitian terbaru mengenai praktik khitan perempuan di Indonesia oleh Uddin dkk. (2010) menunjukkan 91,2 % anak perempuan dikhitan pada umur kurang dari 1 tahun. Dibandingkan dengan penelitian Budiharsana pada tahun 2003, Uddin dkk. melihat jumlah anak perempuan yang dikhitan pada umur kurang dari 1 tahun mengalami peningkatan hingga dua kali lipat pada tahun Berkaitan dengan tipe praktik khitan perempuan yang berlangsung di Indonesia, penelitian Uddin dkk. (2010) menunjukkan 44% praktik khitan perempuan melibatkan pemotongan genital. Persentase praktik khitan perempuan yang melibatkan pemotongan genital pada tahun 2010 menurun dibandingkan pada tahun 2003 yang menunjukkan angka 65%. Ditinjau dari dampak praktik khitan perempuan, Uddin dkk. (2010) melaporkan sebesar 45,5% dari total responden mengalami pendarahan, 45,5% lainnya mengalami trauma psikis, dan 9% mengalami infeksi. Dampak praktik khitan perempuan bukanlah tidak mungkin terjadi. Pasalnya, Yayasan LKiS Pusat Kajian dan Transformasi Sosial (2011) turut menyatakan bahwa praktik khitan perempuan tidak dikenal dalam dunia medis. Meskipun tidak dikenal dalam dunia medis, tempat yang memberikan pelayanan praktik khitan perempuan terbanyak adalah rumah sakit yaitu sebesar 65% (Uddin dkk., 2010). 2.3 Sikap terhadap Praktik Khitan Perempuan Di Indonesia, penelitian mengenai sikap terhadap praktik khitan perempuan tergolong sangat minim. Penelitian yang dilakukan sebagian besar berkenaan dengan prosedur praktik khitan perempuan. Berbeda dengan di Indonesia, penelitian mengenai sikap terhadap praktik khitan perempuan banyak dilakukan di negara-negara Afrika. Penelitian Freymeyer & Johnson (2007) menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara status khitan perempuan

14 perempuan di Nigeria dengan sikap terhadap praktik khitan perempuan. Masyarakat turut memengaruhi sikap terhadap praktik khitan perempuan. Perempuan yang tidak dikhitan dan merupakan anggota dari kelompok masyarakat yang tidak menerapkan praktik khitan perempuan cenderung menolak pelaksanaan praktik khitan perempuan. Sebaliknya, perempuan yang dikhitan dan merupakan anggota dari kelompok masyarakat yang memandang praktik khitan perempuan sebagai bentuk konvensi sosial akan menerima pelaksanaan praktik khitan perempuan. Hayford & Trinitapoli (2011) melalui penelitiannya di Burkina Faso turut mendukung pentingnya pengaruh identitas kolektif dibandingkan identitas individual, dalam menyikapi pelaksanaan praktik khitan perempuan. Berkaitan dengan identitas kolektif, keputusan pelaksanaan praktik khitan perempuan mengandung makna simbolik yaitu menunjukkan kedewasaan dan keanggotaan dalam kelompok masyarakat. Secara spesifik, makna simbolik telah bercampur dengan identitas keagamaan khususnya agama Islam. Di antara agama yang dianalisa, agama Islam memiliki doktrin formal yang kuat untuk mendukung pelaksanaan praktik khitan perempuan. Perempuan beragama Islam yang menjadi sampel penelitian paling banyak menginformasikan perlunya praktik khitan perempuan dalam agama mereka. Penelitian berbeda dilakukan oleh Githiora (2010) terhadap imigran perempuan Afrika yang menetap di Amerika. Amerika telah menetapkan hukum pelarangan terhadap praktik khitan perempuan. Bagi imigran perempuan Afrika, praktik khitan perempuan merupakan praktik kebudayaan yang dilakukan turun temurun oleh anggota kelompok. Kondisi yang bertolak belakang tersebut menimbulkan persinggungan antara hukum Amerika dan budaya induk imigran perempuan Afrika. Identitas kolektif yang kuat mendorong imigran perempuan

15 Afrika cenderung membawa anak perempuan mereka kembali ke Afrika guna melaksanakan praktik khitan perempuan. 2.4 Pandangan Islam tentang Perempuan Guna mendapatkan pemahaman yang lebih baik dalam mengulas pandangan Islam tentang perempuan, terlebih dahulu peneliti membahas dua istilah yaitu seks dan jender. Seks merupakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan berdasar pada karakteristik biologis, sedangkan jender melihat perbedaan antara laki-laki dan perempuan dari perspektif pengalaman psikis yang berlangsung (Lahey, 2007). Sebagai contoh, berbeda dengan laki-laki, perempuan memiliki rahim sehingga mengemban tugas mulia untuk melahirkan, sebuah perbedaan yang ditinjau dari perspektif seks. Beralih ke perspektif jender, perbedaan dilihat dari peran jender yang dilakoni individu. Misal, seorang ayah mencari nafkah di luar rumah memiliki peran jender sebagai laki-laki, tetapi ketika di rumah, ayah membantu istri menjaga anak sehingga peran jender ayah berubah menjadi perempuan, meskipun secara biologis, ayah tetap seorang laki-laki. Dalam memahami perempuan dari sudut pandang agama Islam, pemahaman yang tepat dapat diperoleh dengan mengkritisi makna relasi seksual dan relasi jender dalam ayat-ayat Al-Qur an. Berdasarkan kajian Umar (2010), istilah dalam ayat-ayat Al-Qur an yang merepresentasikan perbedaan secara biologis seringkali dipahami sebagai hal yang sama dengan istilah yang menunjuk perbedaan konsep jender. Alhasil, terbentuk kondisi yang lebih menonjolkan kaum laki-laki dibandingkan kaum perempuan, yang sebenarnya telah bercampur dengan produk budaya masyarakat. Dicermati dengan seksama, Al-Qur an memperlihatkan kesetaraan derajat dan martabat antara laki-laki dan

16 perempuan. Walaupun setara, terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan baik secara seksual maupun jender. Janganlah kamu iri hati terhadap keistimewaan yang dianugerahkan Allah terhadap sebahagian kamu atas sebahagian yang lain. Laki-laki mempunyai hak atas apa yang diusahakannya dan perempuan juga mempunyai hak atas apa yang diusahakannya. (Q. s. al-nisa/4: 32) Maka Tuhan mereka mengabulkan permintaan mereka dengan berfirman: Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupun perempuan,. (Q. s. al- Imran/3: 195) Dengan tetap memperhatikan kesetaraan, laki-laki merupakan pemimpin bagi perempuan. Seolah tersirat laki-laki lebih tinggi derajatnya dibanding perempuan, tetapi makna yang terkandung sebenarnya, laki-laki menjadi pemimpin karena berkewajiban melindungi dan menafkahi perempuan. Laki-laki adalah pelindung bagi perempuan, oleh karena Allah telah memberikan kelebihan di antara mereka di atas sebagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (Q. s. al- Nisa/4: 34) Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma ruf. Dan laki-laki mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q. s. al-baqarah/2: 228)

17 2.5 Pandangan Islam tentang Praktik Khitan Perempuan Praktik khitan perempuan di dalam agama Islam memiliki istilah tersendiri yaitu khifadh. Menariknya, pemaknaan khifadh sangat berbeda dengan khitan. Khitan identik dengan makna pemotongan, sedangkan dalam Muhammad (2010), khifadh, secara literal berarti mengurangi (to reduce), menyederhanakan (minimize), mengambil sedikit (akhdz al yasir/take easy), dan pelan (lower). Penggunaan istilah khifadh mencerminkan kehendak agama Islam untuk mengubah penekanan praktik khitan perempuan ke dalam bentuk yang lebih ringan yaitu hanya menggoreskan atau menorehkan. Perbedaan dalam memahami khifadh kemudian muncul karena tidak adanya ketegasan baik dalam Al-Qur an maupun Hadits mengenai kewajiban pelaksanaan khifadh. Umar (2001) menjelaskan bahwa sebagian ulama mengatakan khifadh bersifat wajib, tetapi sebagian lagi mengatakan khifadh adalah sunnah, bahkan mubah sehingga tidak mencapai kesepakatan dalam pelaksanaan khifadh. Dalam Al-Qur an, tidak ada ayat yang secara khusus menyinggung khifadh. Penelusuran lebih jauh, terdapat hadits berkenaan dengan khifadh yaitu 1. Sabda Nabi yang diriwayatkan Abu Hurairah. Lima perkara yang merupakan fitrah manusia: 1. Khitan, 2. Istihdad (mencukur bulu pada sekitar kemaluan), 3. Mencukur bulu ketiak, 4. Menggunting kuku, dan 5. Memendekkan kumis. 2. Sabda Nabi yang diriwayatkan Ibnu Abidin dalam al Durr al Mukhtar. Ketahuilah bahwa khitan adalah sunnah bagi laki-laki dan perempuan.

18 3. Ummu Atiyyah Dari al-dahhak diceritakan bahwa di kota Madinah terdapat seorang perempuan tukang khitan yang bernama Ummu Atiyyah, lalu Rasulullah SAW memperingatkannya dengan bersabda: Wahai Ummu Atiyyah, khitanilah, tapi jangan berlebihan (ketika memotong), karena sesungguhnya hal itu lebih mencerahkan wajah dan lebih disukai oleh suami. 4. Sabda Nabi yang diriwayatkan Zaid ibn Abi Habib Sesungguhnya Abu Hasan ibn Abi al-hasan menanyakan tentang khitan kepada Rasulullah, lalu Nabi menjawab: untuk laki-laki merupakan ajaran (sunnah) dan bagi perempuan merupakan anjuran mulia. Dalam Muhammad (2010), Dr. Wahbah al Zuhaili, seorang faqih kontemporer terkemuka dari Siria, meringkas tiga pendapat mengenai khifadh. Pertama, menurut pandangan mayoritas mazhab Hanafi dan Maliki, khitan bagi laki-laki, yakni memotong kulit yang menutupi ujung penis adalah sunnah muakkadah (sangat dianjurkan) dan khifadh adalah makrumah (suatu kehormatan) yakni menggores sedikit kulit bagian atas pada vagina perempuan dan disunatkan tidak berlebihan, agar tetap merasakan kenikmatan hubungan seksualnya. Kedua, mazhab Syafi I berpendapat khitan wajib baik bagi laki-laki maupun perempuan. Ketiga, Imam Ahmad berpendapat khitan adalah wajib bagi laki-laki dan suatu kehormatan bagi perempuan.

19 2.6 Kerangka Berfikir Kontroversi lemahnya penegakan HAM di Indonesia. Perhatian khusus untuk kekerasan terhadap perempuan dengan pembentukan Komnas Perempuan pada tahun Bentuk kekerasan terhadap perempuan dibagi dalam tiga ranah, yaitu personal, publik, dan negara. Penggunaan istilah female genital mutilation mengindikasikan praktik klitoridektomi dipandang sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan (WHO, 2010). Praktikk klitoridektomi di Indonesia seringkali disandingkan dengann agama terutama agama Islam, tetapi dilakukan tanpa pengetahuan mengenai dalil agama. Berkenaan dengan sikap terhadap praktik klitoridektomi, perlu adanya deskripsi mendalamm mengenai sikap tokoh agama Islam sebagai figur yang dipandang lebih ahli dalam dalil agama Islam dan memiliki kekuatan dalam memengaruhi pola pikir masyarakat.

BAB 1 PENDAHULUAN. Isu lemahnya penegakan hak asasi manusia (HAM) telah menjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. Isu lemahnya penegakan hak asasi manusia (HAM) telah menjadi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu lemahnya penegakan hak asasi manusia (HAM) telah menjadi polemik tersendiri yang mewarnai perjalanan Bangsa Indonesia. Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas

Lebih terperinci

BAB 2 TUNJAUAN PUSTAKA. Konsep tentang sikap telah berkembang dan melahirkan berbagai

BAB 2 TUNJAUAN PUSTAKA. Konsep tentang sikap telah berkembang dan melahirkan berbagai BAB 2 TUNJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Sikap 2.1.1 Pengertian Sikap Konsep tentang sikap telah berkembang dan melahirkan berbagai macam pengertian diantara ahli psikologi (Widiyanta, 2002). Sikap, menurut

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pelaksanaan tersebut lumrah dilakukan terhadap kaum laki-laki saja.

BAB 1 PENDAHULUAN. pelaksanaan tersebut lumrah dilakukan terhadap kaum laki-laki saja. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ketika mendengar kata sunat atau khitan, terbesit di pikiran bahwa pelaksanaan tersebut lumrah dilakukan terhadap kaum laki-laki saja. Faktanya, praktik khitan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. peneliti terkait dengan penelitian yang dilakukan, yang nantinya dapat menjadi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. peneliti terkait dengan penelitian yang dilakukan, yang nantinya dapat menjadi 12 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini, akan dibahas mengenai tinjauan pustaka yang digunakan peneliti terkait dengan penelitian yang dilakukan, yang nantinya dapat menjadi landasan teoritis dalam mendukung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Praktek sirkumsisi pada perempuan sudah menjadi tradisi disekelompok

BAB I PENDAHULUAN. Praktek sirkumsisi pada perempuan sudah menjadi tradisi disekelompok BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praktek sirkumsisi pada perempuan sudah menjadi tradisi disekelompok masyarakat tertentu. Tujuan utamanya untuk mengontol dorongan seksual pada perempuan. Ada anggapan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pelosok dunia. World Health Organization (2000), mendefinisikan kekerasan

BAB 1 PENDAHULUAN. pelosok dunia. World Health Organization (2000), mendefinisikan kekerasan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perilaku kekerasan terhadap perempuan marak ditemui di berbagai pelosok dunia. World Health Organization (2000), mendefinisikan kekerasan sebagai penggunaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pertanyaan di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Banyaknya kontroversi

BAB 1 PENDAHULUAN. pertanyaan di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Banyaknya kontroversi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sunat pada perempuan sampai saat ini menjadi sebuah perdebatan dan pertanyaan di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Banyaknya kontroversi terhadap sunat perempuan,

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Adanza, E. G. (2006). Research methods: Principles and applications. Manila: REX Book Store, Inc.

DAFTAR PUSTAKA. Adanza, E. G. (2006). Research methods: Principles and applications. Manila: REX Book Store, Inc. DAFTAR PUSTAKA Adanza, E. G. (2006). Research methods: Principles and applications. Manila: REX Book Store, Inc. Agung. (2010). Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan Komestika Majelis Ulama Indonesia.

Lebih terperinci

SUNAT PEREMPUAN DALAM HUKUM INDONESIA DIAN KARTIKASARI KOALISI PEREMPUAN INDONESIA

SUNAT PEREMPUAN DALAM HUKUM INDONESIA DIAN KARTIKASARI KOALISI PEREMPUAN INDONESIA SUNAT PEREMPUAN DALAM HUKUM INDONESIA DIAN KARTIKASARI KOALISI PEREMPUAN INDONESIA KONTEKS KEBIJAKAN TENTANG SUNAT PEREMPUAN Penelitian tentang sunat perempuan & Seminar Hasil Penelitian PBB & Gerakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sunat Perempuan 1. Pengertian Sunat Perempuan Banyak konsep yang digunakan untuk menjelaskan tentang sunat perempuan. Dalam Islam khitan atau sunat berasal dari bahasa arab Al-khitan

Lebih terperinci

Lampiran 1 TEASoC LAMPIRAN

Lampiran 1 TEASoC LAMPIRAN Lampiran 1 TEASoC LAMPIRAN Lampiran 2 Pedoman Wawancara 1. Ketika mendengar kata perempuan, apa yang terbesit dalam pikiran Anda? 2. Bagaimana perasaan Anda keti ka melihat seorang anak perempuan di, baik

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN. Pelaksanaan praktik khitan perempuan sering kali disandingkan dengan

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN. Pelaksanaan praktik khitan perempuan sering kali disandingkan dengan BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 5.1 Simpulan Pelaksanaan praktik khitan perempuan sering kali disandingkan dengan budaya dan agama tertentu, khususnya agama Islam. Tanpa bukti-bukti empiris, bukanlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berperilaku sehat, salah satunya adalah perilaku perineal hygiene. Perilaku

BAB I PENDAHULUAN. berperilaku sehat, salah satunya adalah perilaku perineal hygiene. Perilaku 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan reproduksi merupakan unsur dasar yang penting dalam kesehatan umum, baik pada laki-laki maupun perempuan. Menurut Efendi dan Makhfudli (2009), kesehatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Defenisi Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca

Lebih terperinci

Khitan. 1. Sejarah Khitan

Khitan. 1. Sejarah Khitan MAJLIS TAFSIR AL-QUR AN (MTA) PUSAT http://www.mta-online.com e-mail : humas_mta@yahoo.com Fax : 0271 661556 Jl. Serayu no. 12, Semanggi 06/15, Pasarkliwon, Solo, Kode Pos 57117, Telp. 0271 643288 Ahad,

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI KUA KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK

BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI KUA KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI KUA KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK A. Analisis Terhadap Prosedur Pernikahan Wanita Hamil di Luar Nikah di Kantor Urusan Agama

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Sunat Perempuan. Penyelenggaraan. Pengawasan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Sunat Perempuan. Penyelenggaraan. Pengawasan. No.672, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Sunat Perempuan. Penyelenggaraan. Pengawasan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1636/MENKES/PER/XI/2010 TENTANG SUNAT

Lebih terperinci

BAB IV PARADIGMA SEKUFU DI DALAM KELUARGA MAS MENURUT ANALISIS HUKUM ISLAM

BAB IV PARADIGMA SEKUFU DI DALAM KELUARGA MAS MENURUT ANALISIS HUKUM ISLAM BAB IV PARADIGMA SEKUFU DI DALAM KELUARGA MAS MENURUT ANALISIS HUKUM ISLAM A. Hal-Hal Yang Melatarbelakangi Paradigma Sekufu di dalam Keluarga Mas Kata kufu atau kafa ah dalam perkawinan mengandung arti

Lebih terperinci

ANALISIS SIKAP LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN TERHADAP PRAKTIK KHITAN PEREMPUAN (SEBUAH STUDI DESKRIPTIF)

ANALISIS SIKAP LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN TERHADAP PRAKTIK KHITAN PEREMPUAN (SEBUAH STUDI DESKRIPTIF) ANALISIS SIKAP LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN TERHADAP PRAKTIK KHITAN PEREMPUAN (SEBUAH STUDI DESKRIPTIF) AFRIGTHEA RAGIELTRINANDA 1200989664 ABSTRAK Ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan serta kekerasan perempuan

Lebih terperinci

TAHAP PERKEMBANGAN ANAK USIA 12-17 TAHUN

TAHAP PERKEMBANGAN ANAK USIA 12-17 TAHUN TAHAP PERKEMBANGAN ANAK USIA 12-17 TAHUN LATAR BELAKANG Lerner dan Hultsch (1983) menyatakan bahwa istilah perkembangan sering diperdebatkan dalam sains. Walaupun demikian, terdapat konsensus bahwa yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang jangka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang jangka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang jangka waktunya berbeda bagi setiap orang, tergantung faktor sosial dan budaya. Dengan terbentuknya

Lebih terperinci

SIARAN PERS Pernyataan Sikap Koalisi Masyarakat Sipil Untuk SDGs Pentingnya Indikator Sunat Perempuan dalam Goal 5 SDGs bagi Indonesia

SIARAN PERS Pernyataan Sikap Koalisi Masyarakat Sipil Untuk SDGs Pentingnya Indikator Sunat Perempuan dalam Goal 5 SDGs bagi Indonesia SIARAN PERS Pernyataan Sikap Koalisi Masyarakat Sipil Untuk SDGs Pentingnya Indikator Sunat Perempuan dalam Goal 5 SDGs bagi Indonesia Jakarta, 4 Agustus 2016 Koalisi Masyarakat Sipil untuk Sustainable

Lebih terperinci

BAB IV PEMERIKSAAN KESEHATAN PRANIKAH (PREMARITAL CHECK UP) DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV PEMERIKSAAN KESEHATAN PRANIKAH (PREMARITAL CHECK UP) DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM BAB IV PEMERIKSAAN KESEHATAN PRANIKAH (PREMARITAL CHECK UP) DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A. Pemeriksaan Kesehatan Pranikah (Premarital Check Up) sebagai Upaya Pemeliharan Keturunan (Hifz} al-nasl) Dalam

Lebih terperinci

Pemotongan Kelamin Perempuan/ Sunat Perempuan. Beberapa tipe pemotongan kelamin perempuan/sunat perempuan

Pemotongan Kelamin Perempuan/ Sunat Perempuan. Beberapa tipe pemotongan kelamin perempuan/sunat perempuan BAB XXX Pemotongan Kelamin Perempuan/ Sunat Perempuan Beberapa tipe pemotongan kelamin perempuan/sunat perempuan Masalah kesehatan akibat pemotongan kelamin perempuan Apa yang harus dilakukan untuk mengatasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pandangan tersebut didasarkan pada Pasal 28 UUD 1945, beserta

BAB I PENDAHULUAN. Pandangan tersebut didasarkan pada Pasal 28 UUD 1945, beserta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dan segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945. Pandangan tersebut didasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan negara berkembang, dimana saat ini Indonesia mengerahkan segala

BAB I PENDAHULUAN. merupakan negara berkembang, dimana saat ini Indonesia mengerahkan segala BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Zaman modern seperti saat ini terjadi persaingan dari berbagai negara maju baik dalam ilmu pendidikan, kesehatan, teknologi, agama dan lain sebagainya. Begitupun dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN TEORITIS BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Remaja 2.1.1 Definisi Remaja Masa remaja adalah periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan biologis, kognitif, dan

Lebih terperinci

BAB 2 SEJARAH KHITAN PEREMPUAN. dari stigma tentang perempuan dalam budaya patriarki. Namun dalam budaya

BAB 2 SEJARAH KHITAN PEREMPUAN. dari stigma tentang perempuan dalam budaya patriarki. Namun dalam budaya BAB 2 SEJARAH KHITAN PEREMPUAN 2.1 Tradisi Afrika Kuno Terbentuknya tradisi khitan perempuan sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari stigma tentang perempuan dalam budaya patriarki. Namun dalam budaya

Lebih terperinci

Sikap adalah sekelompok keyakinan dan perasaan yang melekat tentang. objek tertentu dan kecenderungan untuk bertindak terhadap objek tersebut

Sikap adalah sekelompok keyakinan dan perasaan yang melekat tentang. objek tertentu dan kecenderungan untuk bertindak terhadap objek tersebut 1. Pengertian Sikap Sikap adalah sekelompok keyakinan dan perasaan yang melekat tentang objek tertentu dan kecenderungan untuk bertindak terhadap objek tersebut dengan cara tertentu (Calhoun & Acocella,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Maha Kuasa, langkah menuju kedewasaan, tanda kekalahan atau perbudakan,

BAB 1 PENDAHULUAN. Maha Kuasa, langkah menuju kedewasaan, tanda kekalahan atau perbudakan, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sirkumsisi atau pembuangan kalup penis telah dilakukan sejak zaman prasejarah, dilihat dari gambar-gambar di gua yang berasal dari zaman batu dan makam mesir purba.

Lebih terperinci

untuk mengikuti ajaran Ibrahim dan agar beliau dan umat Islam

untuk mengikuti ajaran Ibrahim dan agar beliau dan umat Islam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Khitan adalah proses pemotongan kulit yang menutupi kemaluan, untuk mengurangi kotoran-kotoran yang mengedap didalamnya, mempermudah proses buang air kecil dan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENDAPAT MAZHAB H{ANAFI DAN MAZHAB SYAFI I TENTANG STATUS HUKUM ISTRI PASCA MULA> ANAH

BAB IV ANALISIS PENDAPAT MAZHAB H{ANAFI DAN MAZHAB SYAFI I TENTANG STATUS HUKUM ISTRI PASCA MULA> ANAH BAB IV ANALISIS PENDAPAT MAZHAB H{ANAFI DAN MAZHAB SYAFI I TENTANG STATUS HUKUM ISTRI PASCA MULA> ANAH A. Persamaan Pendapat Mazhab H{anafi Dan Mazhab Syafi i Dalam Hal Status Hukum Istri Pasca Mula> anah

Lebih terperinci

Kalender Doa Proyek Hana SEPTEMBER 2012

Kalender Doa Proyek Hana SEPTEMBER 2012 Kalender Doa Proyek Hana SEPTEMBER 2012 DOAKAN PARA IBU Bagi para ibu yang tinggal di lokasi yang kurang aman, dalam kemiskinan atau tanpa pertolongan dari pasangan yang penuh kasih, tanggungjawab terasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi perseorangan maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Remaja atau adolescence (Inggris), berasal dari bahasa latin adolescere

BAB I PENDAHULUAN. Remaja atau adolescence (Inggris), berasal dari bahasa latin adolescere 1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian. A. Latar Belakang Remaja atau adolescence (Inggris), berasal dari bahasa latin adolescere

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Anak-anak yang mengalami kekerasan seksual memiliki gejala gangguan yang lebih

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Anak-anak yang mengalami kekerasan seksual memiliki gejala gangguan yang lebih BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Anak-anak yang mengalami kekerasan seksual memiliki gejala gangguan yang lebih banyak daripada anak yang tidak mengalaminya, tetapi mereka memiliki gejala yang lebih sedikit dibandingkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rasulullah SAW juga telah memerintahkan agar orang-orang segera

BAB I PENDAHULUAN. Rasulullah SAW juga telah memerintahkan agar orang-orang segera 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan pada kenyataannya merupakan sudut penting bagi kebutuhan manusia. Bahkan perkawinan adalah hukum

Lebih terperinci

FEBRUARI Berdoa untuk Mengakhiri Pernikahan Anak-anak

FEBRUARI Berdoa untuk Mengakhiri Pernikahan Anak-anak FEBRUARI 2016 Berdoa untuk Mengakhiri Pernikahan Anak-anak Setiap hari sekitar 41.000 anak perempuan di seluruh dunia yang berusia di bawah 18 tahun menikah - itu berarti setahun ada 15 juta anak perempuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jawab dalam kehidupan berumah tangga bagi suami istri (Astuty, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. jawab dalam kehidupan berumah tangga bagi suami istri (Astuty, 2011). 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Dalam proses perkembangannya, manusia untuk meneruskan jenisnya membutuhkan pasangan hidup yang dapat memberikan keturunan sesuai dengan apa yang diinginkannya. Pernikahan

Lebih terperinci

Munakahat ZULKIFLI, MA

Munakahat ZULKIFLI, MA Munakahat ZULKIFLI, MA Perkawinan atau Pernikahan Menikah adalah salah satu perintah dalam agama. Salah satunya dijelaskan dalam surat An Nuur ayat 32 : Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia, selain dapat memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia, selain dapat memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pola hidup modern sekarang ini menimbulkan dampak yang besar dalam kehidupan manusia, selain dapat memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia dalam menjalankan aktifitasnya,

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HAK NAFKAH PEREMPUAN DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DALAM PERSPEKTIF FEMINISME

BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HAK NAFKAH PEREMPUAN DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DALAM PERSPEKTIF FEMINISME 51 BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HAK NAFKAH PEREMPUAN DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DALAM PERSPEKTIF FEMINISME A. Analisis Terhadap Perlindungan Hak Nafkah Perempuan dalam Kompilasi Hukum Islam Hak perkawinan

Lebih terperinci

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Kekerasan dalam rumah tangga telah menjadi wacana tersendiri dalam keseharian. Perempuan dan juga anak sebagai korban utama dalam kekerasan dalam rumah tangga, mutlak memerlukan

Lebih terperinci

Barangsiapa yang dikaruniai seorang anak, lalu ia menyukai hendak membaktikannya (mengaqiqahinya), maka hendaklah ia melakukannya.

Barangsiapa yang dikaruniai seorang anak, lalu ia menyukai hendak membaktikannya (mengaqiqahinya), maka hendaklah ia melakukannya. Aqiqah Kelahiran seorang anak bagi sebuah keluarga akan menambah kebahagiaan dan kerukunan rumah tangga. Mengikut sunnah Rasulullah SAW mengadakan aqiqah dan memberikan dagingnya sebagai sedekah kepada

Lebih terperinci

HUKUM DAN HIKMAH KHITAN WANITA MENURUT HUKUM ISLAM H.AKMAL ABDUL MUNIR LC.MA

HUKUM DAN HIKMAH KHITAN WANITA MENURUT HUKUM ISLAM H.AKMAL ABDUL MUNIR LC.MA HUKUM DAN HIKMAH KHITAN WANITA MENURUT HUKUM ISLAM H.AKMAL ABDUL MUNIR LC.MA I. PENDAHULUAN Permasalahan khitan wanita saat ini menjadi perdebatan di kalangan medis dan masyarakat. Ada yang pro dan ada

Lebih terperinci

Fitrah itu ada lima : khitan, mencukur bulu di sekitar kemaluan, memotong kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak. ( HR.Bukhari dan Muslim)

Fitrah itu ada lima : khitan, mencukur bulu di sekitar kemaluan, memotong kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak. ( HR.Bukhari dan Muslim) Abu Deedat Nabi Ibrahim atau Abraham dalam agama Kristen dikenal sebagai bapak orang yang beriman. Sedangkan di dalam agama Islam, Ibrahim dikenal sebagai bapak para nabi. Juga Ibrahim merupakan nenek

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Persepsi berasal dari bahasa lathin, persipere: menerima, perceptio:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Persepsi berasal dari bahasa lathin, persipere: menerima, perceptio: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi 2.1.1 Definisi Persepsi berasal dari bahasa lathin, persipere: menerima, perceptio: pengumpulan, penerimaan, pandangan, dan pengertian. Persepsi adalah kesadaran intuitif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Remaja

BAB I PENDAHULUAN. kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Remaja BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi dimana pada masa itu remaja memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, sedang mencari jati diri, emosi labil serta butuh pengarahan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebenarnya bukan hal yang baru

BAB I PENDAHULUAN. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebenarnya bukan hal yang baru BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebenarnya bukan hal yang baru di Indonesia, namun selama ini selalu dirahasiakan atau ditutup-tutupi oleh keluarga maupun

Lebih terperinci

Hadits Tentang Wanita Lemah Akal dan Lemah Iman

Hadits Tentang Wanita Lemah Akal dan Lemah Iman Hadits Tentang Wanita Lemah Akal dan Lemah Iman )) : 1 P a g e (( )) : : )) : : ((, (( Dari Abdullah bin Umar dari Rasulullah, sesungguhnya beliau bersabda, Wahai para wanita, bersedekahlah kalian dan

Lebih terperinci

KAMPANYE PENGHENTIAN KLITORIDEKTOMI DAN PERAN STRATEGIS HIMPSI

KAMPANYE PENGHENTIAN KLITORIDEKTOMI DAN PERAN STRATEGIS HIMPSI KAMPANYE PENGHENTIAN KLITORIDEKTOMI DAN PERAN STRATEGIS HIMPSI Reza Indragiri Amriel Jurusan Psikologi, Fakultas Psikologi, Bina Nusantara University Jln. Kemanggisan Ilir III No 45, Kemanggisan, Palmerah,

Lebih terperinci

MATA KULIAH. Kesehatan Reproduksi WAKTU DOSEN TOPIK. Kesehatan Reproduksi dalam Perspektif Gender. IRMA NURIANTI, SKM. M.Kes

MATA KULIAH. Kesehatan Reproduksi WAKTU DOSEN TOPIK. Kesehatan Reproduksi dalam Perspektif Gender. IRMA NURIANTI, SKM. M.Kes MATA KULIAH WAKTU DOSEN IRMA NURIANTI, SKM. M.Kes TOPIK dalam Perspektif Gender dalam Perspektif Gender 1 SUB TOPIK Diskriminasi Gender Setelah perkuliahan ini mahasiswa dapat menjelaskan tentang: 1. Diskriminasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Selama beberapa tahun terakhir Bangsa Indonesia banyak menghadapi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Selama beberapa tahun terakhir Bangsa Indonesia banyak menghadapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Selama beberapa tahun terakhir Bangsa Indonesia banyak menghadapi masalah kekerasan, baik yang bersifat masal maupun yang dilakukan secara individual. Kondisi

Lebih terperinci

Warisan Wanita Digugat!

Warisan Wanita Digugat! Warisan Wanita Digugat! Allah mensyari atkan bagimu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, yaitu: bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan ( An Nisa :11) WARISAN WANITA DIGUGAT.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. World Health Organization (WHO) mendefinisikan kesehatan adalah suatu

BAB I PENDAHULUAN. World Health Organization (WHO) mendefinisikan kesehatan adalah suatu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah World Health Organization (WHO) mendefinisikan kesehatan adalah suatu kondisi sejahtera jasmani, rohani, dan sosial-ekonomi, bukan hanya bebas dari penyakit

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. 1. Kesimpulan

BAB VI PENUTUP. 1. Kesimpulan BAB VI PENUTUP 1. Kesimpulan Kedudukan perempuan dalam pandangan ajaran Islam tidak sebagaimana diduga atau dipraktekkan sementara masyarakat. Ajaran Islam pada hakikatnya memberikan perhatian yang sangat

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional ( 2005:588), konsep didefenisikan sebagai

Lebih terperinci

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008 1 KEBERMAKNAAN HIDUP PADA ODHA (ORANG DENGAN HIV/AIDS) WANITA (STUDI KUALITATIF MENGENAI PENCAPAIAN MAKNA HIDUP PADA WANITA PASCA VONIS TERINFEKSI HIV/AIDS) Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan

Lebih terperinci

- Sebelum melakukan penetrasi yang dalam, yang harus diutamakan adalah kenyamanan dan kebebasan ibu hamil.

- Sebelum melakukan penetrasi yang dalam, yang harus diutamakan adalah kenyamanan dan kebebasan ibu hamil. SEKS SELAMA KEHAMILAN Selain perubahan fisik, wanita yang sedang hamil biasanya memiliki perubahan kebutuhan akan perhatian dan keintiman dalam hubungan dengan pasangannya. Dari sisi emosianal, wanita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan fisik, perilaku, kognitif, biologis serta emosi (Efendi &

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan fisik, perilaku, kognitif, biologis serta emosi (Efendi & A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Remaja mengalami perkembangan yang terus berlangsung meliputi perkembangan fisik, perilaku, kognitif, biologis serta emosi (Efendi & Makhfudly, 2009). Perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian setiap orang. Ketika menikah, tentunya orang berkeinginan untuk mempunyai sebuah keluarga yang

Lebih terperinci

4.5 Rangkuman Hasil Tabel 4.2 Perbandingan Tema Pengalaman Suami Istri pertama Istri kedua 1. Keadilan Sebelum dipoligami 1. Perasaan diabaikan

4.5 Rangkuman Hasil Tabel 4.2 Perbandingan Tema Pengalaman Suami Istri pertama Istri kedua 1. Keadilan Sebelum dipoligami 1. Perasaan diabaikan 94 4.5 Rangkuman Hasil Tabel 4.2 Perbandingan Tema Pengalaman Suami Istri pertama Istri kedua 1. Keadilan Sebelum dipoligami 1. Perasaan diabaikan Waktu 1. Curiga Nafkah 2. Sedih dan stress Perhatian pada

Lebih terperinci

RISALAH AQIQAH. Hukum Melaksanakan Aqiqah

RISALAH AQIQAH. Hukum Melaksanakan Aqiqah RISALAH AQIQAH Hukum Melaksanakan Aqiqah Aqiqah dalam istilah agama adalah sembelihan untuk anak yang baru lahir sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT dengan niat dan syarat syarat tertentu. Oleh

Lebih terperinci

KESEHATAN REPRODUKSI KELUARGA BERKUALITAS MENURUT AGAMA ISLAM

KESEHATAN REPRODUKSI KELUARGA BERKUALITAS MENURUT AGAMA ISLAM KESEHATAN REPRODUKSI KELUARGA BERKUALITAS MENURUT AGAMA ISLAM Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya. Dan kewajiban ayah memberi

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 98 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian yang penulis paparkan dapat disimpulkan: 1. Konsep batasan usia perkawinan menurut Fiqh dan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. a. Konsep batasan usia perkawinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi yang terus berkembang

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi yang terus berkembang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi yang terus berkembang selalu membawa pengaruh positif dan negatif. Dampak perkembangan yang bersifat positif selalu dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. & Wartonah, 2006). Pengertian lain personal hygiene menurut Departemen

BAB I PENDAHULUAN. & Wartonah, 2006). Pengertian lain personal hygiene menurut Departemen BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Personal hygiene atau kebersihan diri berasal dari bahasa Yunani yakni suatu tindakan dalam menjaga kebersihan dan kesehatan individu dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan

Lebih terperinci

PSIKOLOGI UNIVERSITAS BINA NUSANTARA

PSIKOLOGI UNIVERSITAS BINA NUSANTARA KUESIONER PENELITIAN PSIKOLOGI UNIVERSITAS BINA NUSANTARA PENGANTAR Selamat Pagi/Siang/Sore Saya mahasiswi Jurusan Psikologi Universitas Bina Nusantara yang sedang mengadakan penelitian sebagai syarat

Lebih terperinci

Kalender Doa Proyek Hana Agustus 2014 Berdoa Bagi Korban Sunat Pada Bayi Wanita Atau Fistula

Kalender Doa Proyek Hana Agustus 2014 Berdoa Bagi Korban Sunat Pada Bayi Wanita Atau Fistula Kalender Doa Proyek Hana Agustus 2014 Berdoa Bagi Korban Sunat Pada Bayi Wanita Atau Fistula Tak terhitung banyaknya orang tak berdosa yang dihancurkan oleh budaya sunat pada bayi perempuan dan kerusakan

Lebih terperinci

STUDI TENTANG KESETARAAN GENDER

STUDI TENTANG KESETARAAN GENDER STUDI TENTANG KESETARAAN GENDER Oleh: Dr. Marzuki PKnH FIS -UNY Pendahuluan 1 Isu-isu tentang perempuan masih aktual dan menarik Jumlah perempuan sekarang lebih besar dibanding laki-laki Perempuan belum

Lebih terperinci

Menyoal Poligami dan Kendalanya Jumat, 26 Nopember 04

Menyoal Poligami dan Kendalanya Jumat, 26 Nopember 04 Artikel Buletin An-Nur : Menyoal Poligami dan Kendalanya Jumat, 26 Nopember 04 Hukum Poligami Para ulama telah sepakat bahwa poligami diperbolehkan di dalam Islam hingga empat istri. Hal ini berlandaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra.

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra memuat perilaku manusia melalui karakter tokoh-tokoh cerita. Hadirnya tokoh dalam suatu karya dapat menghidupkan cerita dalam karya sastra. Keberadaan

Lebih terperinci

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A. Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Terhadap Putusan Waris Beda Agama Kewarisan beda agama

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 109 5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran harapan dan konsep Tuhan pada anak yang mengalami kanker, serta bagaimana mereka mengaplikasikan

Lebih terperinci

Cara Pandang HAM dan Islam terhadap Bagian Perempuan Dalam Hukum Waris Islam

Cara Pandang HAM dan Islam terhadap Bagian Perempuan Dalam Hukum Waris Islam Cara Pandang HAM dan Islam terhadap Bagian Perempuan Dalam Hukum Waris Islam Muhammad Ilyas Program Studi Pendidikan Islam, Fakultas Pascasarjana, Universitas Ibnu Khaldun ABSTRAK Tulisan ini mengkaji

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan diantaranya adalah tindak kekerasan dan pelecehan seksual yang mengarah

BAB I PENDAHULUAN. dan diantaranya adalah tindak kekerasan dan pelecehan seksual yang mengarah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dewasa ini banyak terjadi tindak kekerasan yang terjadi di berbagai tempat di lingkungan sekitar kita. Tindak kekerasan yang terjadi berbagai macam dan diantaranya

Lebih terperinci

HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN TINGKAT KECEMASAN ANAK USIA TAHUN YANG AKAN MENJALANI KHITAN MASSAL DI PENDAPA AGUNG TAMANSISWA YOGYAKARTA

HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN TINGKAT KECEMASAN ANAK USIA TAHUN YANG AKAN MENJALANI KHITAN MASSAL DI PENDAPA AGUNG TAMANSISWA YOGYAKARTA HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN TINGKAT KECEMASAN ANAK USIA 10-13 TAHUN YANG AKAN MENJALANI KHITAN MASSAL DI PENDAPA AGUNG TAMANSISWA YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI Disusun Oleh : Meika Nur Sudiyanto 0502R00295

Lebih terperinci

SEX EDUCATION. Editor : Nurul Misbah, SKM

SEX EDUCATION. Editor : Nurul Misbah, SKM SEX EDUCATION Editor : Nurul Misbah, SKM ISU-ISU SEKSUALITAS : Pembicaraan mengenai seksualitas seringkali dianggap sebagai hal yang tabu tidak pantas dibicarakan dalam komunitas umum bersifat pribadi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Tindak kekerasan merupakan pelanggaran hak azasi manusia dan kejahatan

BAB 1 PENDAHULUAN. Tindak kekerasan merupakan pelanggaran hak azasi manusia dan kejahatan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindak kekerasan merupakan pelanggaran hak azasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta merupakan bentuk diskriminasi. Tindak kekerasan (violence)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. muda). Diantaranya adalah keguguran,persalinan premature, BBLR, kelainan

BAB I PENDAHULUAN. muda). Diantaranya adalah keguguran,persalinan premature, BBLR, kelainan I.I Latar belakang BAB I PENDAHULUAN Pernikahan dini adalah pernikahan pada remaja dibawah usia 20 tahun yang seharusnya belum siap untuk melaksanakan pernikahan. Masa remaja juga merupakan masa yang rentan

Lebih terperinci

Kalender Doa Proyek Hanna Mei 2013 Berdoa Untuk Pengantin Anak

Kalender Doa Proyek Hanna Mei 2013 Berdoa Untuk Pengantin Anak Kalender Doa Proyek Hanna Mei 2013 Berdoa Untuk Pengantin Anak Para gadis kecil dipaksa menikah dan anak-anak gadis memiliki bayi bukan hal yang ingin kita percaya benar-benar terjadi pada tahun 2013.

Lebih terperinci

BAB IV. A. Analisis tentang Ketentuan Aborsi dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

BAB IV. A. Analisis tentang Ketentuan Aborsi dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan 58 BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP ABORSI DALAM UNDANG- UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN DAN RELASINYA DALAM MEMBINA KEUTUHAN RUMAH TANGGA A. Analisis tentang Ketentuan Aborsi dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Nilai - nilai yang ada di Indonesiapun sarat dengan nilai-nilai Islam. Perkembangan zaman

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Aisah, 2010).

BAB 1 PENDAHULUAN. bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Aisah, 2010). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang No 1 tahun 1974 yang mengatur tentang perkawinan menjelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Tenaga kerja (man power) adalah penduduk yang sudah atau sedang

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Tenaga kerja (man power) adalah penduduk yang sudah atau sedang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tenaga kerja mempunyai peran yang sangat penting dalam pembangunan nasional. Tenaga kerja (man power) adalah penduduk yang sudah atau sedang bekerja, yang sedang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. laku serta keadaan hidup pada umumnya (Daradjat, 1989). Pendapat tersebut

BAB I PENDAHULUAN. laku serta keadaan hidup pada umumnya (Daradjat, 1989). Pendapat tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat Indonesia adalah masyarakat religius yang berpegang pada nilai-nilai yang ada dalam ajaran agamanya dalam sikap atau tingkah laku serta keadaan hidup

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN RIFFAT HASSAN DAN MANSOUR FAKIH TENTANG KESETARAAN JENDER DALAM ISLAM: SEBUAH PERBANDINGAN

BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN RIFFAT HASSAN DAN MANSOUR FAKIH TENTANG KESETARAAN JENDER DALAM ISLAM: SEBUAH PERBANDINGAN BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN RIFFAT HASSAN DAN MANSOUR FAKIH TENTANG KESETARAAN JENDER DALAM ISLAM: SEBUAH PERBANDINGAN A. Persamaan antara Pemikiran Riffat Hassan dan Mansour Fakih tentang Kesetaraan Jender

Lebih terperinci

Mengenal Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah

Mengenal Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah Mengenal Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah Khutbah Pertama:???????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????.??????????????????????????????????????????????

Lebih terperinci

MENGHAYATI PERAN ISTRI

MENGHAYATI PERAN ISTRI MENGHAYATI PERAN ISTRI Perhiasan yang paling indah Bagi seorang abdi Allah Itulah ia wanita shalehah Ia menghiasi dunia.. --------------------------------------------------------------------- Ada yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau adopsi; membentuk suatu rumah tangga tunggal; saling berinteraksi dan berkomunikasi

BAB I PENDAHULUAN. atau adopsi; membentuk suatu rumah tangga tunggal; saling berinteraksi dan berkomunikasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Keluarga adalah sekelompok orang yang terhubungkan oleh ikatan pernikahan, darah atau adopsi; membentuk suatu rumah tangga tunggal; saling berinteraksi dan

Lebih terperinci

HUKUM ISLAM DALAM TATA KELOLA HAID DAN PROBLEMATIKANYA. Mursyidah Thahir

HUKUM ISLAM DALAM TATA KELOLA HAID DAN PROBLEMATIKANYA. Mursyidah Thahir HUKUM ISLAM DALAM TATA KELOLA HAID DAN PROBLEMATIKANYA Mursyidah Thahir 1 1 Haid Dalam Al-Qur`an Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah

Lebih terperinci

PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari

PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Oleh: Chandra Dewi Puspitasari Pendahuluan Kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat

Lebih terperinci

Kalender Doa. Oktober Berdoa Bagi Wanita Yang Menderita Karena Aborsi

Kalender Doa. Oktober Berdoa Bagi Wanita Yang Menderita Karena Aborsi Kalender Doa Oktober 2017 Berdoa Bagi Wanita Yang Menderita Karena Aborsi Dengan adanya 56 juta aborsi di seluruh dunia, maka tak terbilang jumlah wanita yang menghadapi penderitaan, rasa bersalah, kemarahan

Lebih terperinci

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA PENYANDANG KANKER PAYUDARA

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA PENYANDANG KANKER PAYUDARA KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA PENYANDANG KANKER PAYUDARA SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi Diajukan oleh : Yustina Permanawati F 100 050 056 FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelahiran (Kemenkes RI, 2014). Lansia dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. kelahiran (Kemenkes RI, 2014). Lansia dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan taraf hidup dan Umur Harapan Hidup (UHH) atau Angka Harapan Hidup (AHH) merupakan indikator dari keberhasilan pembangunan. Akan tetapi peningkatan UHH tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Istilah ini menyangkut hal-hal pribadi dan dipengaruhi oleh banyak aspek kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Istilah ini menyangkut hal-hal pribadi dan dipengaruhi oleh banyak aspek kehidupan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seksualitas merupakan salah satu topik yang bersifat sensitif dan kompleks. Istilah ini menyangkut hal-hal pribadi dan dipengaruhi oleh banyak aspek kehidupan individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan. Pada permulaan hidup perubahan itu kearah pertumbuhan dan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan. Pada permulaan hidup perubahan itu kearah pertumbuhan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehidupan manusia, mulai dalam kandungan sampai mati, tampaklah manusia itu akan mengalami suatu proses yang sama, yaitu semuanya adalah selalu dalam perubahan. Pada

Lebih terperinci

BAB IV TAFSIR QUR AN SURAT AL-NISÂ AYAT 34 PERSPEKTIF ASGHAR ALI ENGINEER. A. Konsep Kesetaraan Gender Perspektif Asghar Ali Engineer

BAB IV TAFSIR QUR AN SURAT AL-NISÂ AYAT 34 PERSPEKTIF ASGHAR ALI ENGINEER. A. Konsep Kesetaraan Gender Perspektif Asghar Ali Engineer BAB IV TAFSIR QUR AN SURAT AL-NISÂ AYAT 34 PERSPEKTIF ASGHAR ALI ENGINEER A. Konsep Kesetaraan Gender Perspektif Asghar Ali Engineer Dalam sebuah rentetan sejarah, telah terjadi dominasi laki-laki dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di dunia. Masalah kemiskinan telah menyebabkan masalah lain muncul, salah

BAB I PENDAHULUAN. di dunia. Masalah kemiskinan telah menyebabkan masalah lain muncul, salah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan masalah yang banyak dialami oleh negara-negara di dunia. Masalah kemiskinan telah menyebabkan masalah lain muncul, salah satunya adalah masalah

Lebih terperinci