PERBANYAKAN DAN INDUKSI UMBI LAPIS MIKRO BAWANG MERAH SECARA IN VITRO DINY DINARTI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERBANYAKAN DAN INDUKSI UMBI LAPIS MIKRO BAWANG MERAH SECARA IN VITRO DINY DINARTI"

Transkripsi

1 PERBANYAKAN DAN INDUKSI UMBI LAPIS MIKRO BAWANG MERAH SECARA IN VITRO DINY DINARTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2

3 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa segala pernyataan dalam disertasi yang berjudul: PERBANYAKAN DAN INDUKSI UMBI LAPIS MIKRO BAWANG MERAH SECARA IN VITRO adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing, bukan hasil jiplakan atau tiruan serta belum pernah diajukan dalam bentuk apapun untuk memperoleh gelar program sejenis di perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Januari 2012 Diny Dinarti NIM A

4

5 ABSTRACT DINY DINARTI. In Vitro Propagation and Micro Bulb Induction of Shallot. Under direction of BAMBANG SAPTA PURWOKO as chairman, AGUS PURWITO and ANAS DINURROHMAN SUSILA as members of the advisory committee. Shallot growers use harvested bulbs as propagules for the next planting. The use of the bulbs may cause degenerative diseases. Therefore, propagation system of shallot must be sought. A series of experiments were conducted in the Department of Agronomy and Horticulture IPB and the University of Queensland from May 2007 to July The first objective in this experiment was to determine the effect of explant storage duration on in vitro shoot multiplication of shallot. The experimental results showed storage length affected the growth of culture. Twomonth stored bulbs gave the best results on the number of micro shoots, number of leaves and roots and less vitrification. Four-week-old shoots were the best used for micro-propagules in shallot micro bulb induction. The objective of the second experiment was to determine the effect of temperature on the formation of shallot micro bulbs. It was shown that room temperature influenced the number of micro bulb, bulb base diameter, the widest diameter, ratio of the widest diameter and the base diameter of shallot micro bulb (Dt / Dp), root length, shoot length, number of leaves, number of senescing leaf. Temperature of 30/27 C was better than 20/17 o C in accelerating the process of micro-bulb formation and increased the size of shallot micro bulbs. The objective of the third experiment was to determine the effect of sucrose and paclobutrazol on micro bulb induction. No interaction between sucrose and paclobutrazol was shown. Sucrose affected plant height, number of senescing leaf, root number, root length, the weight of plantlets and micro bulb widest diameter. Sucrose concentration of 90 g L -1 was the best in inducing shallot micro bulbs. Paclobutrazol significantly affected plant height, number of senescing leaf, number and length of roots. Paclobutrazol at level 10 mg L -1 inhibited plant height, leaf number and root length. Paclobutrazol mg L -1 shortened root length. Paclobutrazol at concentration of 1 and 10 mg L -1 produced an abnormal form of micro bulb. The objective of the fourth experiment was to determine the success of shallot shoot and micro bulb acclimatization. At this stage of acclimatization, micro bulbs could be successfully grown for 3 weeks after acclimatization. Micro bulb was better in acclimatization than rooted plantlet. Plants may be transplanted to the field at 2 weeks after acclimatization. It is concluded that bulb stored for two months was the best for shoot multiplication. Media MS+vit B5 and 90 g L -1 sucrose at 30 o C was the best for bulb induction. Paclobutrazol should not be used for bulb induction. Bulb was better acclimatized than planlet. The media for acclimatization was green leaf compost and husk charcoal. Key words: Shallot (Allium ascalonicum L.), micro bulb, explant age, room temperature, sucrose, paclobutrazol.

6

7 RINGKASAN DINY DINARTI. Perbanyakan dan Induksi Umbi Lapis Mikro Bawang Merah secara In Vitro. Dibimbing oleh BAMBANG SAPTA PURWOKO sebagai ketua, AGUS PURWITO dan ANAS DINURROHMAN SUSILA sebagai anggota komisi pembimbing. Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran penting di Indonesia. Masalah yang dihadapi petani bawang merah pada umumnya adalah ketersediaan bibit yang berkualitas. Petani pada umumya menggunakan bibit dari hasil pertanaman sebelumnya. Hal ini dapat mengakibatkan penyakit degeneratif yang akan menurunkan pertumbuhan dan produksi bawang merah di lapangan. Tujuan umum dari penelitian ini adalah mendapatkan metoda perbanyakan bibit bawang merah yang mendukung penyediaan bibit berkualitas dari laboratorium sampai lapangan. Salah satu faktor yang memengaruhi morfogenesis kultur adalah umur eksplan. Umbi lapis bawang merah untuk bibit mengalami penyimpanan pada suhu tinggi (30-45 o C) selama 2-4 bulan. Tunas in vitro yang sesuai akan dijadikan sebagai propagul untuk diinduksi menjadi umbi lapis mikro. Induksi umbi lapis mikro pada famili Alliaceae dipengaruhi suhu, sukrosa, giberelin, dan cahaya. Tujuan pertama dalam percobaan ini adalah untuk mengetahui pengaruh umur eksplan dalam perbanyakan tunas in vitro bawang merah. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang disusun dalam faktor tunggal yaitu umur simpan. Umur simpan umbi lapis terdiri atas empat taraf yaitu 1, 2, 3 dan 4 bulan simpan. Eksplan yang ditanam dalam media perbanyakan adalah setengah bagian umbi lapis yang mengandung cakram umbi (basal plate) yang terdiri atas dua lapisan terdalam umbi lapis. Setiap perlakuan diulang sebanyak 16 kali, sehingga terdapat 64 satuan percobaan. Setiap unit percobaan terdiri atas satu botol kultur yang ditanam satu eksplan. Hasil percobaan menunjukkan umur simpan berpengaruh terhadap pertumbuhan kultur. Umur simpan umbi lapis dua bulan memberikan hasil terbaik terhadap peubah jumlah tunas mikro (3.6), jumlah daun, dan akar dan sedikit terdapat vitrifikasi. Tunas mikro yang berumur empat minggu di media perbanyakan terbaik dipergunakan untuk propagul dalam pengumbian mikro bawang merah. Percobaan kedua dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh suhu ruang kultur terhadap pembentukan umbi lapis mikro bawang merah. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang disusun dalam faktor tunggal yaitu suhu ruang kultur. Suhu ruang kultur terdiri atas dua taraf yaitu 20/17 dan 30/27 o C. Eksplan yang dipergunakan dan ditanam pada media pengumbian yaitu tunas mikro. Setiap perlakuan diulang sebanyak 39 kali sehingga terdapat 78 satuan percobaan. Setiap unit percobaan terdiri atas satu botol kultur yang ditanam satu eksplan. Hasil percobaan menunjukkan suhu ruang kultur berpengaruh terhadap jumlah umbi lapis mikro, diameter pangkal umbi lapis mikro, rasio Diameter terlebar (Dt) umbi lapis mikro dengan Diameter pangkal (Dp) umbi lapis mikro (Dt/Dp), panjang akar, panjang tunas, jumlah daun, jumlah daun senesen. Suhu 30/27 o C nyata mempercepat proses pembentukan umbi lapis mikro dan meningkatkan ukuran umbi lapis mikro bawang merah. Kriteria umbi lapis mikro pada bawang adalah yang mencapai

8 rasio Diameter terlebar (Dt) umbi lapis mikro dengan Diameter pangkal (Dp) umbi lapis mikro (Dt/Dp) > 2. Percobaan tiga bertujuan untuk mengetahui pengaruh sukrosa dan paclobutrazol terhadap pembentukan umbi lapis mikro bawang merah. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang disusun secara faktorial dua faktor, yaitu sukrosa dan paclobutrazol. Sukrosa terdiri atas lima taraf yaitu 30, 60, 90, 120 dan 150 g L -1 dan paclobutrazol terdiri atas empat taraf yaitu 0, 0.1, 1 dan 10 mg L -1. Setiap kombinasi perlakuan diulang sebanyak 10 kali sehingga terdapat 200 satuan percobaan. Setiap unit percobaan terdiri atas satu botol kultur yang ditanam satu tunas mikro. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat interaksi antara sukrosa dan paclobutrazol, dan perlakuan hanya berpengaruh secara tunggal. Sukrosa berpengaruh terhadap tinggi tanaman, jumlah daun senesen, jumlah akar, panjang akar, bobot planlet dan diameter umbi lapis mikro terlebar. Konsentrasi sukrosa 90 g L -1 terbaik dalam menginduksi umbi lapis mikro bawang merah. Pemberian paclobutrazol berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun senesen, jumlah dan panjang akar. Pemberian paclobutrazol pada taraf 10 mg L -1 menghambat tinggi tanaman, jumlah daun senesen dan panjang akar. Pemberian paclobutrazol mg L -1 menurunkan panjang akar. Pemberian paclobutrazol pada konsentrasi 1 dan 10 mg L -1 menghasilkan bentuk umbi lapis mikro bawang merah yang abnormal. Disarankan dalam pengumbian mikro bawang merah paclobutrazol tidak digunakan. Percobaan empat bertujuan untuk mengetahui keberhasilan hidup dan pertumbuhan planlet tunas mikro dan umbi lapis mikro bawang merah pada tahap aklimatisasi. Planlet tunas mikro dan umbi lapis mikro bawang merah yang diperoleh sebelum ditanam dibersihkan dari agar-agar yang menempel dan direndam dalam larutan fungisida (Dithane M-45 dan Agrimicin masing-masing 2 g L -1 ) selama 1 menit dan ditiriskan. Planlet tunas mikro ditanam pada media kompos daun hijau, cocopeat dan arang (1:1:1), planlet disungkup dengan botol kultur steril dan diletakkan pada tempat dengan naungan 60%. Umbi lapis mikro ditanam di media tanam dengan komposisi kompos daun hijau dan arang sekam dengan perbandingan 1:1 tanpa disungkup dan diletakkan di rumah plastik dengan naungan 40%. Hasil penelitian menunjukkan umbi lapis mikro lebih mampu beradaptasi dibanding planlet tunas mikro selama 3 minggu aklimatisasi. Umbi lapis mikro selama 3 minggu setelah aklimatisasi memperlihatkan pertambahan daun, tunas dan tinggi tanaman. Bibit dapat dipindahtanam ke tahap pembibitan selanjutnya pada umur 2 MSA. Dari rangkaian penelitian ini dapat disimpulkan umbi lapis bawang merah yang disimpan selama dua bulan terbaik untuk multiplikasi tunas. Media MS+ vitamin B5+ 90 g L -1 sukrosa pada 30 o C terbaik menginduksi umbi lapis mikro. Paclobutrazol seyogyanya tidak digunakan dalam menginduksi umbi lapis mikro. Umbi lapis mikro lebih baik dalam aklimatisasi dibanding planlet. Media aklimatisasi yang sebaiknya dipakai adalah kompos daun hijau dengan arang sekam perbandingan 1:1. Kata Kunci : Bawang merah (Allium ascalonicum L.), umbi lapis mikro, umur eksplan, suhu ruang kultur, sukrosa, paclobutrazol.

9 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip, sebagian atau seluruhnya dari karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

10

11 PERBANYAKAN DAN INDUKSI UMBI LAPIS MIKRO BAWANG MERAH SECARA IN VITRO DINY DINARTI Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Agronomi, Departemen Agronomi dan Hortikultura SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

12 Ujian Tertutup Penguji Luar Komisi: 1. Prof. Dr. Ir. Sudarsono, MSc. Staf Pengajar, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Faperta, IPB 2. Dr. Ir. Darda Efendi, MS. Staf Pengajar, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Faperta, IPB Ujian Terbuka Penguji Luar Komisi: 1. Prof (Riset). Dr. Ir. Ika Mariska, MSc. Ahli Peneliti Utama, Balai Besar Pengembangan dan Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian, Kementerian Pertanian 2. Prof (Emeritus). Dr. Ir. Gustaf Adolf Wattimena, MSc. Staf Pengajar, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Faperta, IPB

13 Judul Disertasi : Perbanyakan dan Induksi Umbi Lapis Mikro Bawang Merah secara In Vitro Nama : Diny Dinarti NIM : A Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Bambang Sapta Purwoko, MSc. Ketua Dr. Ir. Agus Purwito, MSc. Anggota Dr. Ir. Anas D. Susila, MS. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr. Tanggal Ujian: 12 Januari 2012 Tanggal Lulus: 30 Januari 2012

14

15 PRAKATA Bismillahirrahmanirrahiim. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan petunjuk-nya sehingga penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan. Salawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabatnya dan orang-orang beriman. Disertasi dengan judul Perbanyakan dan Induksi Umbi Lapis Mikro Bawang Merah secara In Vitro disusun dalam beberapa percobaan yang dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Faperta, IPB dan Tissue Culture Laboratory, School of Land, Agriculture, and Food Science, University of Queensland. Paper tentang Pengaruh Umur Eksplan dalam Perbanyakan Tunas Mikro dan Suhu Ruang Kultur terhadap Pembentukan Umbi Mikro Bawang Merah secara In Vitro yang merupakan bagian dari disertasi dipublikasikan di Jurnal Agronomi Indonesia volume XXXIX(2): pada bulan Agustus Judul artikel yang sama juga telah dipresentasikan di Seminar Nasional Perhimpunan Hortikultura Indonesia 2011 pada November 2011 di Balai Tanaman Sayuran Lembang, Jawa Barat Disertasi ini dapat diselesaikan atas bantuan berbagai pihak. Penghargaan dan ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. H. Bambang S. Purwoko, MSc. sebagai ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. Agus Purwito, MSc., dan Dr. Ir. Anas D. Susila, MS., sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, masukan, motivasi dan dorongan selama penelitian dan penulisan disertasi. Berbagai pihak telah banyak membantu sehingga penelitian dan penulisan disertasi dapat diselesaikan. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada: 1. Kementerian Pendidikan Nasional cq. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas beasiswa BPPS yang penulis terima pada tahun , dan beasiswa sandwich-like pada tahun Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Fakultas Pertanian dan Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura atas pemberian izin untuk melanjutkan studi program Doktor

16 3. Staf Pengajar Departemen Agronomi atas, bantuan, kerjasama, dukungan dan pengertiannya dalam tugas penulis sebagai staf pengajar dan selama penyelesaian studi. 4. Dr. Ketty Suketi, Dr. Ani Kurniawati, atas persahabatan yang begitu manis selama penulis menyelesaikan studi, Dr Winarso, Dr Sugiyanta atas bantuan bibit bawang merah untuk keperluan penelitian, Dr. Dewi Sukma, Dr Armini, Dr Nurul, Dr Sandra, Ir Megayani MS, Dr Trikosoemaningtyas, Prof Dr Munif Ghulamahdi, juga rekan-rekan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas dukungan dan pengertiannya selama penulis menyelesaikan studi 5. Prof. Richard R. William PhD atas izin melakukan penelitian di Tissue Culture Laboratory, School of Land, Agriculture, and Food Science, University of Queensland, dan J. J Ross, PhD. dari University of Tasmania atas bantuannya untuk analisis giberelin 6. Prof. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, MS. dan Prof. Dr. Ir. Nurhayati A. Mattjik, MS. sebagai penguji Luar Komisi, yang telah bersedia menjadi penguji pada Ujian prakualifikasi Program Doktor di IPB 7. Andi M. Septiari, SP., Royno, SP., Monica Fardani, SP., Parsini, SP., Dwi Pangesti, SP., Ika Okhtora Angelina SP., Ray Tiran, SP., Iis Rahmawati SP., Purnawati SP., Nur Indah SP., Masʼul Hadi SP., Yayu Alitalia, SP., Nita SP., Paramita SP., Rara Puspita, Meyga Semarayani dan Ita atas semua bantuan dan kerjasamanya 8. Prof. Dr. Ir. Sudarsono, MSc., Dr. Ir. Darda Efendi, MS. sebagai penguji Luar Komisi dan Dr. Ir. Eny Widayati, MS., sebagai wakil Program Studi yang telah menguji penulis pada Ujian Tertutup Program Doktor di IPB 9. Prof (Riset). Dr. Ir. Ika Mariska, MSc., dan Prof (Emeritus). Dr. Ir. Gustaf Adolf Wattimena, MSc., yang telah bersedia menguji penulis pada Ujian Terbuka Program Doktor di IPB 10. Teman-teman yang melaksanakan penelitian di Laboratorium Bioteknologi atas saran dan dukungannya selama penelitian berlangsung 11. Ayahanda Isak Wantamadsari (alm.) dan ibunda Nani Sulaeman tercinta, atas semua kasih sayang, didikan dan doa yang tidak putus. Adik-adikku

17 (Riky, Budi, Dikdik, Lala) atas kasih sayang, pengertian, dukungan, dan doanya. Keluarga besar Wantamadsari dan Sulaeman yang tidak dapat penulis sebutkan satu demi satu atas dukungan dan doanya 12. Anak-anakku yang membanggakan : Ananda Fitriyanti Nurhandini, M Iqbal Fazlurrahman, M. Naufal Rayhan, M. Arya Ghifari atas semua dukungan, kasih sayang, kesabaran, pengertian, dan doa yang mengalir sepanjang waktu 13. Berbagai fihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian studi penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam disertasi ini Semoga kebaikan dari berbagai fihak akan menjadi amal baik dan Allah SWT membalas semua kebaikan dengan sebaik-baik balasannya. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Amin. Bogor, Januari 2012 Diny Dinarti

18

19 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 8 April 1966 sebagai anak pertama dari pasangan Isak Wantamadsari (alm.) dan Nani Sulaeman. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Budi Daya Pertanian, Fakultas Pertanian IPB, lulus pada tahun Pada tahun 1999 penulis menyelesaikan program Magister Sains di Program Studi Agronomi, Program Pascasarjana IPB. Pada tahun 2003 penulis berkesempatan melanjutkan studi ke program Doktor pada program studi dan perguruan tinggi yang sama. Selama melaksanakan studi penulis mendapatkan beasiswa BPPS dari Departemen Pendidikan Nasional pada tahun ( ), beasiswa sandwich-like pada tahun 2008 ke University of Queensland selama 3.5 bulan dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional. Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB sejak tahun 1992 sampai sekarang. Sesuai dengan pengembangan staf dan bidang ilmu di Departemen, penulis menjadi anggota Bagian Bioteknologi Tanaman. Karya ilmiah yang merupakan bagian dari disertasi berjudul Pengaruh Umur Eksplan dalam Perbanyakan tunas mikro dan Suhu Ruang Kultur dalam Pembentukan Umbi Mikro bawang Merah secara In Vitro telah diterbitkan di Jurnal Agronomi Indonesia pada volume XXXIX( 2): pada bulan Agustus 2011 dan artikel dengan judul yang sama telah disajikan di Seminar Nasional PERHORTI di Bandung pada bulan November 2011.

20

21 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL.. xix DAFTAR GAMBAR.. xxi DAFTAR LAMPIRAN... xxiii PENDAHULUAN.. 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 4 TINJAUAN PUSTAKA. 7 Botani dan Manfaat Bawang. 7 Ekologi Bawang Merah... 9 Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman Bawang Biokimia Pengumbian Tanaman Bawang Kultur Jaringan Famili Alliaceae Aklimatisasi PENGARUH UMUR SIMPAN UMBI TERHADAP 21 PERBANYAKAN TUNAS MIKRO BAWANG MERAH.. Abstrak. 21 Abstract. 21 Pendahuluan.. 22 Bahan dan Metode. 23 Hasil dan Pembahasan.. 25 Kesimpulan 32 Saran.. 32 PENGARUH SUHU RUANG KULTUR TERHADAP 33 PEMBENTUKAN UMBI LAPIS MIKRO BAWANG MERAH Abstrak. 33 Abstract 34 Pendahuluan. 34 Bahan dan Metode 35 Hasil dan Pembahasan. 36

22 Kesimpulan.. 41 Saran 42 PERAN SUKROSA DAN PACLOBUTRAZOL DALAM 43 PEMBENTUKAN UMBI LAPIS MIKRO BAWANG MERAH. Abstrak.. 43 Abstract. 44 Pendahuluan.. 45 Bahan dan Metode. 46 Hasil dan Pembahasan.. 47 Kesimpulan 56 Saran.. 57 AKLIMATISASI PLANLET DAN UMBI LAPIS MIKRO BAWANG 59 MERAH. Abstrak Abstract 60 Pendahuluan.. 60 Bahan dan Metode. 62 Hasil dan Pembahasan.. 63 Kesimpulan 70 Saran. 70 PEMBAHASAN UMUM.. 71 KESIMPULAN DAN SARAN.. 83 Kesimpulan.. 83 Saran 83 DAFTAR PUSTAKA 85

23 DAFTAR TABEL No Judul Halaman 1 Rataan Jumlah tunas bawang merah in vitro pada empat umur simpan umbi lapis 25 2 Jumlah daun bawang merah in vitro pada empat umur simpan umbi lapis... 3 Jumlah daun hijau bawang merah in vitro pada empat umur simpan umbi lapis Nilai koefisien korelasi antar peubah pada 4 MST 31 5 Nilai koefisien korelasi antar peubah pada 5 MST 31 6 Nilai koefisien korelasi antar peubah pada 6 MST 31 7 Jumlah daun bawang merah in vitro pada dua taraf suhu ruang kultur 8 Jumlah daun senesen bawang merah in vitro pada dua taraf suhu ruang kultur. 9 Jumlah umbi lapis mikro bawang merah pada dua kondisi suhu ruang kultur.. 10 Panjang daun, panjang akar, bobot planlet, diameter tengah umbi lapis, diameter pangkal umbi lapis, bawang merah in vitro pada dua taraf suhu ruang kultur Jumlah akar umbi lapis mikro bawang merah pada dua kondisi suhu ruang kultur 12 Rata-rata nilai peubah bagian tajuk dan umbi lapis mikro bawang merah pada lima taraf sukrosa pada 8 MST Rata-rata nilai peubah bagian tajuk dan umbi lapis mikro bawang merah pada empat taraf paclobutrazol pada 8 MST Koefisien korelasi antar peubah pada 8 MST Perhitungan hipotetis jumlah bibit bawang merah asal umbi lapis mikro yang dihasilkan setiap generasi... 81

24

25 DAFTAR GAMBAR No Judul Halaman 1 Kerangka berfikir, alur dan luaran penelitian. 5 2 Bentuk dan susunan umbi lapis bawang merah (Wibowo 1999)... 3 Skema induksi umbi lapis bawang (diterjemahkan dari Brewster 2002) Persentase tunas vitrous pada empat perlakuan umur simpan umbi lapis dari 4 sampai 6 MST. 5 Jumlah akar tunas mikro bawang merah pada empat umur simpan umbi lapis... 6 Rregresi jumlah tunas (atas), jumlah daun (tengah) dan jumlah daun senesen (bawah) dari tunas mikro bawang merah pada empat umur simpan umbi pada 6 MST... 7 Jumlah tunas bawang merah in vitro pada dua taraf suhu ruang kultur Umbi lapis mikro bawang merah yang normal Abnormalitas umbi lapis mikro bawang merah yang dihasilkan pada perlakuan dengan paclobutrazol Umbi lapis mikro bawang Merah yang dihasilkan secara in vitro dipotong horizontal (kiri) dan umbi lapis mikro yang dibelah melintang (kanan) memperlihatkan lapisan-lapisan yang terbentuk (kanan) Umbi lapis mikro bawang merah pada beberapa konsentrasi sukrosa. 12 Grafik regresi diameter terlebar umbi lapis mikro pada perlakuan paclobutrazol pada 8 MST 13 Planlet tunas mikro bawang merah yang memperlihatkan penggembungan dan berwarna merah di bagian pangkal tunas (kiri) ; kondisi planlet satu minggu diaklimatisasi (kanan)

26 14 Persentase hidup planlet pada percobaan aklimatisasi pertama Kondisi umbi lapis mikro bawang merah sebelum diaklimatisasi (kiri) dan setelah ditanam di media saat aklimatisasi (kanan) Persentase tumbuh umbi lapis mikro bawang merah pada dua minggu aklimatisasi (percobaan aklimatisasi kedua) Pertumbuhan umbi lapis mikro pada dua minggu aklimatisasi (percobaan aklimatisasi kedua) Jumlah daun total, daun hijau, tunas dan pangkal tunas yang berwarna merah yang terbentuk umbi lapis (kiri) ; tinggi tanaman (kanan) planlet umbi lapis mikro bawang merah selama tiga minggu masa aklimatisasi (MSA).. 19 Umbi lapis mikro bawang merah yang berhasil diaklimatisasi pada tahap aklimatisasi (kiri) dan pasca aklimatisasi (tengah) serta umbi lapis mini (kanan) Tahapan penyediaan umbi lapis bibit bawang merah dari laboratorium sampai lapangan 21 Skema pembibitan umbi lapis bawang merah asal in vitro di rumah kaca

27 DAFTAR LAMPIRAN No. Judul Halaman 1. Produksi, luas panen dan produktivitas bawang merah di Indonesia dari tahun 2000 sampai Produksi, luas panen dan produktivitas bawang merah di Indonesia darit ahun 2009 sampai

28 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Bawang-bawangan merupakan salah satu keluarga sayuran penting dunia. Diantara berbagai species Allium yang banyak dikonsumsi di Indonesia adalah bawang merah (Allium cepa grup agregatum atau Allium ascalonicum) bawang merah. Produksi dan produktivitas bawang merah nasional dari tahun 2000 sampai 2010 berfluktuasi. Luas panen yang tercatat pada tahun 2008 seluas ha (Direktorat Jendral Hortikultura 2009) dan meningkat pada tahun 2010 menjadi ha (Badan Pusat Statistik 2011). Produksi dan produktivitas bawang merah pada tahun 2010 mencapai ton dan 9.57 ton ha -1 (Badan Pusat Statistik 2011). Permasalahan utama yang dihadapi petani bawang merah adalah ketersediaan bibit berkualitas. Bawang merah umumnya diperbanyak secara vegetatif menggunakan umbi lapis. Kebutuhan umbi lapis bibit mencapai 1000 kg ha -1 lahan (Wibowo 1999), suatu jumlah yang sangat besar lebih dari 10 % nilai produktivitasnya. Sampai saat ini petani mengantisipasi kebutuhan bibit dengan memisahkan sebagian dari umbi lapis produksi. Pemakaian bibit secara vegetatif secara terus menerus tanpa melalui seleksi di tingkat penangkar bibit dapat menyebabkan penyakit degeneratif. Pertumbuhan, produksi dan kualitas umbi lapis bawang merah yang dihasilkan musim berikutnya akan mengalami penurunan. Penurunan produktivitas bawang merah merah salah satunya disebabkan adanya patogen. Di Selandia Baru diketahui adanya penurunan kualitas umbi lapis bibit bawang merah sumber perbanyakan yang disebabkan adanya infeksi virus (Fletcher, Fletcher & Lewthwaite 1998; AVRDC 2006). Virus yang menyerang tanaman bawang merah adalah shallot latent virus (SLV) dan onion yellow dwarf virus (OYDV) (Brewster 2002; Fletcher et al. 1998). Serangan virus menyebabkan penurunan hasil sampai 60 % (Brewster 2002). Penggunaan umbi lapis bibit bebas virus dapat meningkatkan hasil lebih dari 60 % pada beberapa kultivar (Ikeda dan Imamoto 1991 dalam Fletcher et al. 1998). Penyediaan bibit

29 2 sehat bebas virus dapat dilakukan dengan kultur meristem pada bawang putih (Roksana et al. 2002; Haque, et al. 2003). Teknik in vitro sudah dikenal luas dalam kemampuannya menyediakan sejumlah besar bibit tanaman dalam waktu yang relatif cepat, bebas patogen (cendawan, bakteri atau virus) bersifat klonal dan tersedia sepanjang waktu. Teknologi ini sudah diterapkan di Indonesia oleh beberapa perusahaan swasta dalam perbanyakan bibit diantaranya tanaman hias, anggrek, pisang dan kentang (Gunawan 1992) tetapi belum diterapkan pada bawang merah. Melihat masalah yang dihadapi pertanaman bawang merah di Indonesia seperti menurunnya produktivitas dari tahun ke tahun, keterbatasan bibit berkualitas, belum tersedianya teknologi penyediaan bibit berkualitas dan jumlah bibit yang diperlukan per hektar yang banyak, maka metoda penyediaan bibit bawang merah dengan kultur jaringan dan penanganan bibit di lapangan sangat diperlukan untuk mendukung penyediaan bibit yang sehat dan kontinyu. Perbanyakan bawang merah secara in vitro dapat menggunakan eksplan tunas bunga (Cohat 1994), umbi lapis (Mohamed-Yasseen et al. 1994; Hidayat 1997) atau embrio zigotik (Zheng et al 1998 dalam Zheng et al. 2005). Perbanyakan bawang merah cv. Red California (Mohamed-Yasseen et al. 1994) dan cv Sumenep (Hidayat 1997) menggunakan eksplan bagian tunas terdalam dengan mengikutsertakan basal plate (cakram umbi). Jumlah tunas tertinggi diperoleh pada media dengan 0.15 μm TDZ. Septiari dan Dinarti (2003) berhasil mendapatkan kombinasi zat pengatur tumbuh yaitu 2ip 6 ppm dan NAA 0.5 ppm untuk menginduksi tunas bawang merah sebanyak 16.7 tunas dari eksplan tunas dengan setengah cakram umbi yang berukuran 1 mm. Menurut Kamstaityte dan Stanys (2004) masalah utama yang membatasi efisiensi perbanyakan in vitro bawang adalah pembentukan bulblet, dormansi planlet, vitrifikasi jaringan dan penurunan kemampuan regenerasi. Pernyataan ini mendukung hasil penelitian yang telah dilakukan Septiari dan Dinarti (2003); Handayani et al. (2005) yang menyatakan, tunas in vitro bawang merah yang dihasilkan ditemukan tunas tunas yang vitrous. Hal tersebut mengakibatkan tingkat kematian yang tinggi saat aklimatisasi. Vitrifikasi jaringan tunas bawang merah dapat dikurangi dengan menambahkan kalsium pantotenat 10 ppm pada

30 3 media MS dan ternyata dapat meningkatkan ketegaran dan kadar serat tunas (Parsini 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Mohamed-Yasseen et al. (1994) serta Hidayat (1997) menggunakan umbi lapis yang divernalisasi selama 3 bulan. Petani bawang merah di Indonesia menyiapkan bibit dengan cara menyimpan umbi lapis yang sudah dipanen di para-para dengan suhu ruangan sekitar o C (Petani Indonesia 2009). Penyimpanan umbi lapis bibit tersebut diduga akan memberikan persentase tumbuh yang tinggi dan serangan patogen (virus, cendawan, bakteri) yang sangat sedikit. Perbanyakan bawang merah in vitro juga dapat dilakukan melalui induksi umbi lapis mikro atau bulblet. Induksi bulblet bawang merah menurut Mohamed- Yasseen et al. (1994) tidak sebaik pada bawang putih. Bulblet bawang merah diinduksi pada media MS dengan penambahan arang aktif 5 g L-1 dan sukrosa 120 g L -1 dengan lama penyinaran 18 jam (Mohamed-Yasseen et al. 1994; Fletcher et al. 1998); 150 g L -1 sukrosa pada cv Sumenep (Hidayat 1997); g L -1 sukrosa dengan penyinaran fluoresen dan incandescent selama 16 jam dan ancymidol 10 μm (Le Guen-Le Saos et al. (2002). Mohamed-Yasseen et al. (1994) serta Patena et al. (1997) berhasil menumbuhkan bulblet bawang merah yang terbentuk secara in vitro dengan baik di lapangan. Planlet yang dihasilkan baik berupa tunas maupun bulblet memerlukan lingkungan yang menunjang pertumbuhan dan perkembangan pada tahap aklimatisasi dan di lapangan. Planlet berupa tunas sangat rentan terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim seperti suhu yang tinggi, kelembaban yang rendah dan intensitas cahaya yang tinggi. Menurut Gunawan (1992) tunas in vitro mempunyai kelemahan diantaranya lapisan lignin belum terbentuk sempurna, stomata yang membuka, kutikula tipis dan sistem perakaran yang belum sempurna. Kelemahan planlet ini akan mempengaruhi keberhasilan tumbuh selama aklimatisasi dan di lapangan. Menurut Hazarika (2003), persentase tumbuh planlet yang tinggi selama aklimatisasi dapat diupayakan dengan pemberian sukrosa hingga 3 % pada media, peningkatan intensitas cahaya sebelum planlet diaklimatisasi, pemberian retardan pada tahap pengakaran dan

31 4 pada masa aklimatisasi, pengurangan kelembaban ruangan kultur dan pemakaian antitranspirants. Media tumbuh untuk aklimatisasi planlet memerlukan beberapa persyaratan : ringan, porous, dapat mempertahankan kelembaban, tidak mengandung patogen (steril) yang akan mendukung persentase keberhasilan tumbuh yang tinggi. Keberhasilan tumbuh planlet bawang putih saat aklimatisasi dan di lapangan mencapai 100 % dilaporkan oleh Matsubara dan Chen (1989) dengan menggunakan media tumbuh rockwool, vermikulit dan tanah dengan suhu ruangan 20 o C. Beberapa jenis media tumbuh yang tersedia di pasaran adalah arang sekam, cocopeat, kompos bambu, rockwool, greenleaf, cascing dan vermikulit. Untuk memecahkan permasalahan ketersediaan bibit bawang merah maka dilakukan serangkaian penelitian secara in vitro dengan kerangka berfikir dan alur penelitian seperti tercantum pada Gambar 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mendapatkan metoda perbanyakan bibit bawang merah yang mendukung penyediaan bibit berkualitas dari laboratorium sampai lapangan. Tujuan khusus penelitian meliputi : 1. mendapatkan umur simpan umbi lapis terbaik sebagai sumber eksplan dalam perbanyakan tunas in vitro 2. mendapatkan suhu dan konsentrasi terbaik sukrosa dan retardan untuk pembentukan umbi lapis mikro bawang merah 3. mendapatkan metode aklimatisasi untuk umbi lapis mikro bawang merah. Untuk mencapai tujuan umum penelitian maka dilakukan beberapa penelitian sebagai berikut : 1. Pengaruh Umur Simpan Umbi terhadap Perbanyakan Tunas Mikro Bawang Merah 2. Pengaruh Suhu Ruang Kultur terhadap Pembentukan Umbi Lapis Mikro Bawang Merah. 3. Peran Sukrosa dan Paclobutrazol dalam Pembentukan Umbi Lapis Mikro Bawang Merah

32 5 4. Aklimatisasi Planlet dan Umbi Lapis Mikro Bawang Merah. Masalah: Penyediaan bibit bawang merah yang sehat/berkualitas Tunas Mikro Umur Simpan Umbi Suhu ruang kultur Sukrosa dan Paclobutrazol Cahaya dan Suhu Metode induksi umbi lapis mikro bawang merah secara in vitro: Suhu ruang, konsentrasi sukrosa, dan paclobutrazol terbaik Umbi Lapis Mikro Bawang Merah Aklimatisasi Metode Perbanyakan Bibit Bawang Merah Gambar 1. Kerangka berfikir, alur dan luaran penelitian

33 6

34 7 TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Manfaat Bawang Bawang merah merupakan jenis sayuran penting di Indonesia yang dimanfaatkan umbi lapisnya (bulb) dan dikenal dengan nama yang berbeda di setiap daerah. Beberapa peneliti menyebut nama latin dari bawang merah Allium cepa L. var aggregatum (Brewster 2002; Permadi & van der Meer 1997; Nonnecke 1989) atau Allium cepa L. var. ascalonicum (Rubatzky dan Yamaguchi, 1999) dengan jumlah kromosom 2n = 16 (Permadi & van der Meer 1997; Rubatzky & Yamaguchi 1999). Taksonomi bawang merah menurut Brewster (2002); Permadi dan van der Meer (1997) sebagai berikut : Kelas Monokotil, Ordo Asparagales, Famili Alliaceae, Genus : Allium, Species Allium cepa L. var. aggregatum; Allium cepa L. var. ascalonicum. Bawang-bawangan diduga berasal dari daerah Turki Timur sampai pegunungan Asia Tengah dengan pusat keragaman genetik di pegunungan Iran, Afganistan, Pakistan dan Tajikistan (Brewster, 2002; Permadi dan van der Meer, 1997). Bawang merah sudah dikenal pada abad 12 di Perancis (Permadi & van der Meer 1997; Rubatzky & Yamaguchi 1999). Dari daratan Eropa bawang merah tersebar ke seluruh dunia. Bawang merah lebih dikenal di daerah tropis terutama daerah yang berada pada lintang 10 o N sampai 10 o S (Permadi dan van der Meer, 1997) dan merupakan sayuran bernilai ekonomi tinggi. Bawang merah menurut Brewster (2002) merupakan sub grup dari Allium cepa (common onion) yang berdasarkan seleksi secara alami dari varian-varian yang ada dan secara morfologi memperlihatkan perbedaan dari kelompok utamanya. Common onion merupakan sayuran penting secara ekonomi dimana ukuran bulb besar, bulb tunggal, dan dibiakkan dengan biji dan umum digunakan untuk salad dan asinan. Keragaman genetik pada grup common onion cukup tinggi serta mempunyai daya adaptasi tinggi terhadap panjang hari dan suhu. Keragaman yang lain yang ditemukan adalah daya simpan umbi lapis (bulb), kandungan bahan kering, aroma, dan warna kulit. Bulb grup aggregatum berukuran lebih kecil dari common onion, mudah membelah diri membentuk umbi lapis lateral sehingga membentuk kelompok bulb. Grup aggregatum terbagi atas dua sub-grup yaitu multiplier onion dan shallot. Multiplier onion terdiri atas 3-20

35 8 bulb yang bentuknya lebar dan memanjang. Shallot atau bawang merah membentuk kelompok bulb yang dangkal, bulb terpisah, dan dibiakkan secara vegetatif. Menurut Nonnecke (1989) bawang merah berbeda dengan bawang bombay dalam pembentukan umbi lapis dan aromanya lebih enak dibanding jenis bawang lainnya. Bawang merah termasuk tanaman herba bianual (di Indonesia merupakan herba semusim) dengan tinggi sekitar 50 cm, berakar serabut yang keluar dari bagian cakram. Cakram umbi lapis tersebut merupakan batang yang memendek dan memampat (rudimenter). Bentuk daun bawang merah bulat kecil, memanjang seperti pipa. Pada awal pertumbuhan rongga pada daun tersebut belum terbentuk, ujung daun meruncing dan pangkalnya melebar dengan warna daun hijau. Pembentukan bulb baru berawal dari pembengkakan bagian pangkal daun di atas batang sejati dan terdapat mata tunas (lateral). Tunas lateral akan membentuk cakram baru dan dapat membentuk umbi lapis baru (Permadi & van der Meer 1997; Rahayu & Berlian 1998). Setiap rumpun terdiri atas 3-18 tunas (Permadi & van der Meer 1997; Rubatzky & Yamaguchi 1999). Bagian terluar umbi lapis tertutup oleh lapisan epidermis yang berfungsi sebagai pelindung dengan warna berbeda tergantung varietas (ungu, coklat kemerahan, putih, merah jambu). Bentuk dan ukuran umbi lapis bervariasi: bulat, lonjong, oval dengan diameter 3 sampai 5 cm. Menurut Rubatzky dan Yamaguchi (1999) keragaman tanaman bawang merah cukup tinggi. Beberapa varietas dapat berbunga, menghasilkan biji dan beberapa varietas jarang berbunga. Permadi dan van der Meer (1997) menyatakan bahwa bunga bawang merah keluar dari tunas utama dan merupakan infloresen dengan diameter 2-8 cm dan sebelum mekar dilindungi oleh kelopak bunga yang tipis. Setiap infloresen mengandung kuntum bunga hermaprodit berwarna putih kehijauan. Setiap kuntum bunga hermaprodit terdiri atas 5-6 benang sari dan sebuah putik. Kedudukan putik ada di bawah stamen. Tingkat kematangan polen yang berbeda menyebabkan penyerbukan silang (dengan bantuan lebah atau serangga) atau sendiri. Persentase penyerbukan sendiri sekitar %. Bakal buah yang terbentuk berukuran diameter 4-6 mm dan terbagi atas

36 9 3 ruangan dan setiap ruangan berisi 2 bakal biji. Bji yang sudah matang berwarna hitam. Di Indonesia dikenal 27 genotipe bawang merah unggul lokal. Belum semua genotipe tersebut dilepas Kementerian Pertanian. Kultivar unggul yang sudah dilepas diantaranya adalah Maja Cipanas, Bima Brebes, Medan dan Keling. Keunggulan setiap varietas bawang merah dinilai berdasarkan produktivitas, mutu umbi lapis, ketahanan terhadap penyakit, ketahanan terhadap curah hujan dan umur panen (Wibowo 1999). Bulb dapat dimakan mentah sebagai acar bumbu sate juga dimanfaatkan untuk asinan, digoreng atau bumbu masak. Masyarakat memanfaatkan bawang merah sebagai obat tradisional untuk menurunkan demam, mengobati luka dan menurunkan kadar gula darah. Menurut Permadi dan van der Meer (1997) setiap 100 g umbi lapis bawang merah yang dimakan terkandung 88 g air, 1.5 g protein, 0.3 g lemak, 9 g karbohidrat, 0.7 g serat, 0.6 g abu, 40 mg P, 0.8 mg Fe, 36 mg Ca,5 IU vit A, 0.03 mg vit B1, 2 mg vit C dengan nilai energi 160 kj/100 g. Ekologi Bawang Merah Bawang merah di daerah tropis memerlukan suhu harian rata-rata o C dan panjang hari minimal 11 jam. Tanaman ini dapat tumbuh di berbagai jenis tanah dengan ph antara dengan drainase yang baik. Daerah pengusahaan penanaman bawang merah umumnya berada di dataran rendah kurang dari 450 m di atas permukaan laut (dpl) (Permadi & van der Meer 1997). Curah hujan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan serangan cendawan dan berkembangnya penyakit busuk umbi. Perbanyakan bawang merah menggunakan umbi lapis. Perbanyakan dengan biji di Indonesia tidak dilakukan. Bobot umbi lapis yang ditanam antara 3 sampai 5 g. Umbi lapis bibit sebelum ditanam disimpan selama 2-4 bulan setelah dipanen. Hal ini dilakukan untuk mematahkan dormansi (Permadi & van der Meer 1997; Rubatzky & Yamaguchi 1999; Rahayu & Berlian 1998). Penyimpanan umbi lapis oleh petani bawang merah dilakukan dengan cara meletakkan umbi lapis di para-para ruangan dengan suhu o C. Menurut petani perlakuan ini

37 10 dapat mengurangi serangan penyakit saat umbi lapis ditanam dan mempercepat umbi lapis tumbuh. Umbi lapis ditanam di bedengan dengan lebar bedengan m dan ketinggian bedengan sekitar 0.6 m dan jarak antar bedengan 0.5 m. Jarak tanam umbi lapis bervariasi dengan panjang cm dan lebar cm. Umbi lapis ditanam dengan ujung umbi 1 cm tidak tertutup tanah dan terlihat untuk memudahkan tunas muncul ke permukaan tanah (Permadi & vander Meer 1997). Petani bawang di Brebes umumnya menanam umbi lapis dengan memotong 1/3 bagian ujung umbi lapis yang bertujuan untuk mempercepat tunas tumbuh. Menurut Putrasamedja (1995) tidak terdapat perbedaan pertumbuhan antara penggunaan umbi lapis bibit yang dipotong sebagian dengan umbi lapis utuh. Panen dilakukan setelah seluruh daun terlihat patah pada bagian pangkal tunas atau permukaan tanah. Kondisi ini memperlihatkan umbi lapis siap dipanen. Umur panen setiap varietas berbeda bergantung ketinggian tempat penanaman. Di dataran rendah panen dilakukan pada umur hari dan di dataran tinggi hari. Panen dilakukan secara manual dengan mencabut tanaman dan meletakkannya di atas bedengan dan setelah itu disatukan dalam ikatan dengan bobot rata-rata 2 kg. Selanjutnya ikatan umbi lapis bawang merah dijemur dengan bantuan sinar matahari selama 5-14 hari (Wibowo 1999) Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman Bawang Target produksi sayuran bawang adalah panen dengan produksi tinggi dan berkualitas. Menurut Brewster (2002) hal ini ditentukan oleh : 1. Jumlah cahaya yang diabsorpsi oleh daun selama tahap penimbunan bahan kering berlangsung 2. Efisiensi absorpsi cahaya yang dikonversi pada proses fotosintesis menjadi sukrosa. 3. Proporsi hasil fotosintesis yang dialokasikan ke bagian yang dipanen. Jumlah cahaya yang diabsorpsi tergantung pada kuantitas radiasi cahaya, persentase cahaya yang diserap dan lama pertumbuhan. Pola pertumbuhan dan perkembangan tanaman bawang menurut Rubatzky & Yamaguchi (1999) dimulai dari fase pertumbuhan bibit. Pada tahap ini akan tumbuh daun dan akar baru dan bersamaan dengan pertumbuhan tersebut terjadi

38 11 pemanjangan daun serta pelebaran bagian batang yang memampat. Pada awalnya daun yang muncul akan memanjang dan selanjutnya pada bagian pangkal daun terjadi pelebaran. Pertumbuhan daun dan akar selanjutnya akan memperlihatkan laju yang sama. Pada saat pembentukan umbi, pertumbuhan daun berubah menjadi lebih pendek dan kecil serta bentuknya akan lebih kompak. Permadi & van der Meer (1997) menyatakan setiap bulb terdiri atas 1 5 tunas yang masing-masing dilapisi oleh scale (lapisan daun) membentuk cincin yang konsentrik yang terpisah di dalam bulb (Gambar 2). Tunas kemudian tumbuh membentuk rumpun terdiri atas 1-5 tanaman. Tunas lateral akan tumbuh dan kembali menambah jumlah tunas rumpun menjadi sekitar 18 tanaman. Akar adventif tumbuh dari bagian pangkal tunas. Daun akan tumbuh dari setiap tunas. Daun tertua akan membentuk lapisan yang melindungi daun yang lebih muda. Bagian daun yang berada di atas permukaan tanah akan mati dan lapisan daun pada bagian pangkal akan membentuk batang semu. Umbi lapis utama Umbi lapis samping Keterangan: A. Umbi lapis utama B. Umbi lapis utama dan samping C. Umbi lapis yang dipotong horizontal Gambar 2. Bentuk dan susunan umbi lapis bawang merah (Wibowo 1999) Pengumbian adalah suatu inisiasi morfologi daun yang dipengaruhi oleh panjang hari, walaupun demikian suhu juga berpengaruh (Rubatzky dan Yamaguchi 1999). Menurut Srivastava (2002) pengumbian kentang juga dipengaruhi oleh kandungan hara pada tanaman dan zat pengatur tumbuh

39 12 giberelin. Rubatzky dan Yamaguchi (1999) menjelaskan bahwa lama penyinaran yang berlangsung secara kumulatif akan terlihat pengaruhnya terhadap pengumbian. Pencahayaan yang kuat sebagai stimulus tidak selalu menyebabkan terjadi pengumbian. Ketika suatu kultivar mencapai titik kritis panjang hari sebelum pertumbuhan vegetatif maksimal tercapai akan menghasilkan ukuran bulb yang kecil. Kultivar bawang dengan tipe hari panjang (long-day) untuk membentuk bulb tidak akan membentuk bulb selama periode hari pendek (shortday). Allium cepa L. diidentifikasi ada yang termasuk tanaman short-day (11-13 jam), intermediate (13-14 jam) dan long-day (lebih dari 14 jam). Menurut Pathak et al. (1994) bawang merah termasuk tanaman short-intermediate day dengan jam penyinaran sedangkan Permadi dan van der Meer (1997) mengelompokkan tanaman bawang merah ke dalam tipe long-day. Pengumbian disebabkan mobilisasi fotosintat dari daun ke pangkal daun (Permadi & van der Meer 1997) menghasilkan pembesaran yang membentuk struktur penyimpanan yang disebut bulb (Rubatzky & Yamaguchi 1999). Pengumbian pada bawang merah dimulai dari lapisan daun terluar, dan sebagai akibat pembentukan bulb maka pertumbuhan daun pada lapisan terdalam hanya membentuk daun yang kompak tanpa rongga (Permadi & van der Meer 1997). Panjang hari dan suhu berpengaruh terhadap pembentukan bulb bawang (Brewster, 2002; Rubatzky & Yamaguchi 1999). Brewster (2002) menyajikan suatu skema faktor panjang hari dan suhu terhadap pertumbuhan bulb bawang (Gambar 3). Pada 15 jam penyinaran pada suhu 21 o C pembentukan umbi lapis berlangsung cepat dan tidak terjadi inisiasi bunga dan inisiasi tunas lateral akan tertekan. Pada suhu 10 o C ketika terjadi inisiasi bunga maka bunga dapat dengan cepat mekar. Menurut (Rubatzky & Yamaguchi, 1999) suhu berinteraksi dalam proses pengumbian. Pengumbian dan pematangannya terjadi lebih awal dan cepat pada kondisi suhu tinggi dan long-day. Di daerah tropis suhu lebih penting dibanding panjang hari untuk pengumbian. Suhu lebih dari 40 o C akan menghambat pengumbian. Pertumbuhan umbi lapis juga dipengaruhi kultivar, kandungan nutrisi, kelembaban, kompetisi tanaman, aplikasi herbisida dan intensitas serta kualitas

40 13 cahaya. Pada kondisi yang induktif intensitas cahaya yang tinggi meningkatkan pengumbian. Gambar 3. Skema induksi umbi lapis bawang (diterjemahkan dari Brewster 2002)

41 14 Cahaya infra merah merangsang inisiasi bulb bawang di lapangan (Brewster 2002; Rubatzky dan Yamaguchi 1999) dan in vitro (Le Guen-LeSaos et al. 2002). Sobeih (1989) dalam Le Guen-LeSaos et al. (2002) melaporkan rasio yang rendah antara cahaya merah dengan merah jauh akan mengakibatkan peningkatan akumulasi asimilat di daun. Akibatnya akumulasi asimilat tersebut dalam bentuk glukosa dan fruktosa dan oligosakarida pada tanaman bawang akan mudah terbentuk. Selanjutnya Le Guen-Le Saos et al. (2002) menjelaskan induksi bulblet yang dipengaruhi oleh adanya pemberian cahaya merah jauh pada kultur bawang merah mungkin disebabkan aktivitas dari fitokrom yang menurunkan efektivitas giberelin dan adanya reorientasi mikrotubul, sehingga terjadi ekspansi sel secara radial dari sel dan menyebabkan pemendekan pada bagian pangkal daun. Biokimia Pengumbian Tanaman Bawang Ketika tanaman bawang berubah terinduksi membentuk umbi lapis terjadi kondisi perubahan konsentrasi sukrosa pada bagian pseudostem dalam 5-10 hari. Pengurangan konsentrasi sukrosa terjadi di bagian daun. Pada saat yang sama penurunan yang cepat terukur pada level asam terlarut, enzim invertase, dan enzim yang mengkatalisis konversi gula menjadi glukosa dan fruktosa. Perubahan ini terjadi sebelum umbi lapis terlihat. Penggembungan bagian pangkal daun dipengaruhi hidrolisis fruktan (fruktosa rantai panjang) menjadi fruktosa dan glukosa. Hal ini meningkatkan secara osmotik solut aktif di bagian luar sel, yang berkaitan dengan air dan ekspansi pertumbuhan sel (Brewster 2002). Pemberian sukrosa untuk menginduksi umbi mikro pada tanaman kentang berkisar antara 4 sampai 9 % (Wattimena & Purwito 1989). Pada kultur bawang merah, konsentrasi sukrosa untuk menginduksi bulblet bervariasi nilainya dari g L -1 (Le Guen- Le Saos et al. 2002), 120 g L -1 (Mohamed-Yasseen et al. 1994; Fletcher et al. 1998) ) dan 150 g L -1 (Hidayat 1997). Hormon auksin, sitokinin dan etilen berperan dalam pengumbian (Brewster 2002). Pada penelitian pengumbian in vitro kentang diketahui adanya peran sitokinin zeatin riboside yang konsentrasinya semakin meningkat dengan terbentuknya umbi (Mauk & Langille 1978). Hasil penelitian Muhamed-Yasseen

42 15 et al. (1994); Fletcher et al. (1998); Hidayat (1997); Le Guen-Le Saos et al. (2002) menunjukkan pengumbian bawang merah dapat diinduksi tanpa penambahan sitokinin. Hal ini mungkin disebabkan tipe pertumbuhan umbi lapis dibandingkan dengan kentang yang merupakan umbi batang tidak sama. Pemberian anti giberelin di lapangan pada pertanaman bawang ternyata dapat menginduksi pengumbian (Brewster 2002). Penelitian Le Guen-Le Saos et al. (2002) menunjukkan bahwa penambahan anti giberelin atau retardan ancymidol meningkatkan terbentuknya bulblet pada kultur bawang merah. Retardan termasuk kelompok zat penghambat tumbuh yang bekerja menghambat pemanjangan batang dengan menghambat sintesis giberelin (Srivastava 2002). Retardan dibagi atas tiga kelompok berdasarkan enzim yang mengkatalisis dari tiga tahap sintesis giberelin. Pertama kelompok senyawa Onium (seperti : chlormequat chloride atau CCC, mepiquat dan AMO-1618). CCC dan AMO-1618 secara spesifik menghambat aktivitas copalyl diphosphat synthase. Kelompok kedua yaitu senyawa heterosiklik yang mengandung nitrogen seperti ancymidol, paclobutrazol, uniconazol. Senyawa tersebut menghambat oksidasi ent-kaurene menjadi ent-kaurenoic acid oleh P450 monooxygenase. Kelompok ketiga meliputi acylcyclohexanediones (BX-112) yang menghambat 2- oxoglutarat-dependent dioxygenase pada tahap ke tiga biosintesis giberelin (Srivastava 2002). Pemberian CCC, SADH dan ABA pada kultur bawang putih memperlihatkan pengaruh terhadap bulblet yang terbentuk (Kim et al. 2003). Pemberian retardan CCC lebih baik dalam menginduksi jumlah bulblet per eksplan dibandingkan pemberian SADH dengan konsentrasi terbaik CCC 100 mg L -1 dan SADH 50 mg L -1. Pemberian ABA pada konsentrasi rendah yaitu 0.1 mg L -1 efektif dalam pembentukan bulblet bawang putih. Asam jasmonat pada konsentrasi 10 M menginduksi jumlah bulblet per eksplan jauh lebih tinggi dibandingkan ketiga senyawa tadi. ` Kultur Jaringan Famili Alliaceae Penelitian kultur jaringan pada Alliaceae bertujuan: 1. mendapatkan metode perbanyakan yang efisien untuk mendapatkan bibit yang sehat dan

43 16 berkualitas baik. 2. mendapatkan varian-varian baru antara lain tahan terhadap serangan hama atau penyakit tertentu. Species yang paling banyak diteliti adalah Allium cepa L. (bawang bombay) dan Allium sativum L. (bawang putih). Penelitian Hussey (1979) dalam George dan Sherrington (1994) pada bawang bombay menggunakan eksplan umbi lapis dengan basal plate dan berhasil mendapatkan tunas mikro pada media MS dengan penambahan 1 4 mg L -1 BAP dan 0.5 mg L -1 NAA. Yoo et al. (1990) berhasil menumbuhkan umbi lapis dengan basal plate pada media MS dengan kinetin sampai 100 M, begitu pula Kamstaityte dan Stanys (2004) menumbuhkan tiga cv. bawang bombay pada media MS dengan kinetin 10.6 M. Matsubara dan Chen (1989) berhasil menginduksi tunas mikro dari tunas adventif bawang putih pada media MS dengan penambahan BAP dan NAA masing-masing dengan konsentrasi 0.01 mg L -1. Bulblet diperoleh setelah tunas dipindah pada media yang sama atau media dengan NAA 0.1 mg L -1 dan BA 0.01 mg L -1. Bulblet yang terbentuk berhasil diaklimatisasi pada media tumbuh vermikulit, rockwool dan tanah. Mohamed-Yasseen et al. (1994) juga berhasil menginduksi tunas dan bulblet dengan memotong bagian tunas adventif dengan menyertakan basal plate. Media terbaik untuk induksi pertunasan adalah MS dengan BAP 8 M dan NAA 0.1 M. Bulblet terbentuk pada media MS dengan sukrosa 120 g L -1 dan arang aktif 5 g L -1. Selanjutnya Roksana et al. (2002) berhasil menginduksi bulblet setelah 4 kali sub kultur (84 hari) pada media terbaik MS dengan 2ip dan NAA masing-masing pada konsentrasi 0.5 mg L -1. Penelitian Haque et al. (2003) yang mengkulturkan meristem akar dan tunas adventif bawang putih berhasil membentuk tunas dan bulblet. Tunas tunggal terbentuk pada media MS tanpa ZPT atau dengan NAA dan BA. Bulblet terbentuk dengan bobot dan diameter tertinggi pada media MS dengan sukrosa 12%. Kim et al. (2003) mendapatkan hasil bahwa intensitas cahaya dan suhu berpengaruh terhadap proliferasi tunas dan pembentukan bulblet. Proliferasi tunas terbaik terjadi pada intensitas cahaya 50 mol m -2 s -1 pada suhu 25 o C. Selain itu hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan bulblet bawang putih dipengaruhi konsentrasi sukrosa, asam jasmonat, dan retardan dengan konsentrasi terbaik berturut-turut 9 % sukrosa, 10 M asam jasmonat dan 100 mg L -1 CCC.

44 17 Penelitian kultur in vitro pada tanaman bawang merah A. cepa var. aggregatum baik perbanyakan tunas dan induksi bulblet telah dilakukan Mohamed-Yasseen et al. (1994); Cohat (1994); Hidayat (1997); Fletcher et al. (1998); Le Guen-Le Saos et a.l (2002); dan Zheng et al (1999 dan 2005). Mohamed-Yasseen et al. (1994) berhasil menginduksi dan menggandakan tunas pada kultur bawang merah cv. Red California. Eksplan yang digunakan tunas dari lapisan terdalam yang berukuran tinggi 8 sampai 12 mm. Sebelumnya umbi lapis divernalisasi pada suhu 4 o C selama 3 bulan. Eksplan dipotong dengan menyertakan basal plate dan ditanam pada media MS. Multiplikasi tunas tertinggi diperoleh pada media dengan penambahan thidiazuron 0.15 M dan 0.1 M NAA. Induksi bulblet diperoleh pada media MS dengan penambahan sukrosa 120 g L -1 dan arang aktif 5 g L -1 tanpa zat pengatur tumbuh dengan lama penyinaran 18 jam. Perbanyakan tunas dan bulblet bawang merah in vitro cv Sumenep berhasil dilakukan Hidayat (1997). Eksplan disiapkan seperti metoda yang dilakukan Mohamed-Yasseen et al. (1994). Hasil penelitiannya menunjukkan jenis sitokinin TDZ yang dikombinasikan dengan picloram terbaik menginduksi tunas. Media perbanyakan tunas terbaik diperoleh pada konsentrasi 1 mg L -1 TDZ dengan 0.1 mg L -1 picloram. Bulblet diperoleh setelah tunas ditanam pada media BDS dengan sukrosa 150 g L -1 tanpa zat pengatur tumbuh. Tunas in vitro bawang merah berhasil diinduksi pada media MS dengan penambahan 2ip 6 mg L -1 dan NAA 0.5 mg L -1 (Septiari & Dinarti 2003). Pemberian BAP (Royno 2003) dan kinetin (Handayani et al. 2005) tidak menghasilkan tunas lebih banyak dibanding penambahan 2ip. Tunas yang diperoleh berukuran kecil, tidak tegar dan banyak yang vitrous. Hal ini diduga disebabkan tunas terlalu lama (8 minggu) dalam media dengan sitokinin tinggi. Tunas mikro bawang merah yang vitrous dapat dikurangi dengan penambahan calcium panthotenate ke dalam media perbanyakan sehingga ketegaran dan kadar serat tunas meningkat (Parsini 2005). Tunas mikro bawang merah dapat berakar dengan baik pada media MS ½ konsentrasi atau dengan penambahan IBA 1 mg L -1 (Nur 2005). Penelitian Le Guen-LeSaos et al. (2002) menunjukkan bahwa pembentukan bulblet dipengaruhi konsentrasi sukrosa, keberadaan GA 3 dan

45 18 kualitas cahaya. Bulblet terbentuk dengan baik pada media dengan g L -1 sukrossa. Pemberian zat penghambat tumbuh (retardan) pada konsentrasi 10 M meningkatkan pembentukan dan bobot basah bulblet. Kualitas cahaya meningkatkan persentase terbentuknya bulblet, ukuran, persentase dan bobot bulblet pada kultur yang mendapatkan penyinaran cahaya fluoresen dan incandescent dibandingkan hanya cahaya fluoresen. Tunas mikro bawang merah yang ditanam pada media dengan sukrosa 90 g L -1 (Fardani 2005) tidak mampu membentuk umbi lapis mikro. Tidak terbentuknya umbi lapis mikro kemungkinan karena pada media ditambahkan sitokinin dan pengumbian dilakukan pada kondisi tanpa cahaya. Pemberian SADH sampai konsentrasi 90 mg L -1 (Rahmawati 2007) dan CCC sampai konsentrasi 100 mg L -1 (Purnawati 2008) dengan sukrosa 120 g L -1 tidak menginduksi umbi lapis mikro bawang merah. Umbi lapis mikro bawang merah terbentuk pada media tanpa SADH dengan sukrosa 120 g L -1 (Rahmawati 2007; Purnawati 2008). Aklimatisasi Aklimatisasi adalah proses suatu organisme untuk beradaptasi terhadap kondisi lingkungan yang berbeda dari tempat sebelumnya. Tanaman in vitro bersifat heterotrof hidup pada kondisi kelembaban tinggi, cahaya dengan intensitas rendah dan suhu rendah. Pada saat diaklimatisasi planlet akan diadaptasikan sehingga secara perlahan tanaman akan bersifat autotrof. Pengaturan lingkungan mikro terutama suhu, kelembaban, dan intensitas cahaya pada saat aklimatisasi mutlak diperhatikan untuk keberhasilan aklimatisasi. Pengaturan kelembaban pada saat aklimatisasi akan membantu proses adaptasi selama di pembibitan. Menurut Hazarika (2003) untuk mendukung proses aklimatisasi dapat didekati dengan upaya peningkatan intensitas cahaya sebelum planlet dikeluarkan dari botol, pemberian gula pada media tumbuh tidak kurang dari 3%, pemberian retardan pada planlet dan pemberian antitranspiran. Ketika planlet in vitro dikeluarkan dari botol kultur, tanaman membutuhkan media baru yang mendukung pertumbuhannya. Media tumbuh tersebut memerlukan persyaratan khusus mengingat akar planlet yang terbentuk

46 19 sangat rapuh dan memerlukan penyokong yang baik sehingga planlet tidak stres dan persentase pertumbuhan tinggi. Media tumbuh yang baik mempunyai struktur yang gembur atau porous dan terjaga aerasi dan drainasenya, ringan, tidak mengandung patogen, mampu menyerap air dengan baik sekaligus mempertahankan kelembaban media dengan ph netral. Menurut Argo (1997) untuk pertumbuhan akar dan tunas yang baik, media perakaran harus menunjang 4 fungsi yaitu 1) untuk menyediakan air, 2) untuk menyuplai hara, 3) mendukung pertukaran gas ke dan dari akar, dan 4) untuk menyokong tubuh tanaman. Aklimatisasi planlet bawang putih berhasil dilakukan dengan persentase hidup 85% baik itu pada media tanah, vermikulit dan rockwool (Philips & Luteyn 1989). Planlet bawang merah yang dihasilkan Nur (2005) tidak berhasil diaklimatisasi pada media kompos, arang sekam, cocopeat dan kombinasinya. Media tumbuh yang tersedia di pasar dan dapat dipergunakan pada aklimatisasi planlet (tunas dan bulblet) bawang merah adalah kompos, cascing, arang sekam, serbuk sabut kelapa (coco peat), rockwool, green leaf. Pertumbuhan dan perkembangan planlet selama periode aklimatisasi selain membutuhkan media tumbuh yang sesuai juga memerlukan hara yang mencukupi. Hara tersebut diperlukan untuk menjalankan proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Adaptasi juga dilakukan terhadap faktor hara karena planlet akan menjadi autotrof sehingga tanaman akan melakukan proses penyerapan unsur hara dan berfotosintesis penuh. Unsur hara yang diberikan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan yang optimum pada fase bibit berbeda untuk setiap tanaman. Hara yang sebaiknya diberikan pada pembibitan bawang bombay adalah pupuk NPK dengan komposisi 20N-8.6P-16.6K. Penanaman planlet pada masa aklimatisasi dapat dilakukan dengan sistem plug tray. Sistem ini memudahkan penanganan pertumbuhan dan perkembangan bibit untuk produksi masal sehingga efisien. Ukuran plug tray bervariasi berkaitan dengan kepadatan bibit yang ditanam serta volume setiap container. Menurut NeSmith dan Duval (1997) ukuran plug tray berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan bibit. Hasil penelitian Kemery dan Dana (2001) menunjukkan ukuran sel plug tray yang besar akan menghasilkan bobot kering tajuk yang tinggi. Perlu dipertimbangkan waktu yang dibutuhkan selama fase

47 20 pembibitan dalam plug tray untuk meningkatkan efisiensi selama pembibitan. Menurut penelitian Mondal et al. (1986) kepadatan bibit menurunkan ukuran umbi lapis bawang bombay. Hasil penelitian Chen et al. (2002) menunjukkan bentuk container yang besar pada plug tray meningkatakan pertumbuhan dan perkembangan bibit kubis Cina.

48 PENGARUH UMUR SIMPAN UMBI TERHADAP PERBANYAKAN TUNAS MIKRO BAWANG MERAH (EFFECT OF BULB STORAGED DURATION ON SHALLOT MICRO SHOOT PROPAGATION) Abstrak Umbi lapis bibit bawang merah disimpan di ruangan pada suhu tinggi (30-45 o C) selama dua sampai empat bulan. Tujuan petani melakukan proses tersebut untuk mematahkan dormansi sehingga umbi lapis bibit akan segera bertunas saat ditanam di lapangan. Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh umur simpan umbi lapis terhadap pembentukan tunas mikro bawang merah dan mendapatkan umur simpan umbi lapis terbaik sebagai sumber eksplan dalam media perbanyakan tunas. Percobaan menggunakan Rancangan Acak lengkap yang disusun dalam faktor tunggal yaitu umur simpan umbi lapis. Terdapat empat taraf umur simpan yaitu 1, 2, 3 dan 4 bulan. Setiap perlakuan terdiri atas 16 ulangan dan setiap unit percobaan terdiri atas satu botol kultur yang ditanam satu eksplan. Eksplan berupa ½ bagian umbi lapis yang dipotong melintang basal plate dengan menyertakan dua lapisan terdalam umbi lapis. Hasil percobaan menunjukkan umur simpan umbi lapis bawang merah dua bulan memberikan hasil terbaik pada peubah jumlah tunas mikro, jumlah daun, dan akar serta sedikit terdapat vitrifikasi. Tunas mikro yang berumur empat minggu di media perbanyakan terbaik dipergunakan untuk propagul dalam pengumbian mikro bawang merah. Kata kunci : Bawang merah (Allium ascalonicum L.), 2ip (N6-(Delta2- isopentenyl)-adenine), umur eksplan, multiplikasi tunas, Gamborg/B5 vitamin. Abstract Shallot bulb need storage at high temperature (30-45 o C) for two to four months before planting. Storage the bulb is intended to break the bulb dormancy. The bulb will be easier to grow when it is planted. The objective of this

49 22 experiment was to evaluate the effect of shallot bulb storage duration (1, 2, 3 and 4 months) on micro shoot production and to determine the best bulb storage duration as source of explants for propagation. Experiment was designed set in a Completely Randomized Design. Bulb storage was arranged as treatment factor. There were four levels of bulb storage i.e : 1, 2, 3 and 4 months. Each treatment was repeated 16 times and each experimental unit consisted of one planted explant. Explant was one half of basal plate cut vertically with two inner scales. The result showed that bulb duration storage significantly influenced culture growth. Bulb with 2 months storage gave the best performance on number of micro shoot, number of leaves and roots and less vitrification. Four-week old micro shoots was the best for propagules of shallot micro bulb induction. Key words: Allium ascalonicum L., 2ip (N6-(Delta2-isopentenyl)-adenine), explant age, shoot multiplication, Gamborg/ B5 vitamin. Pendahuluan Bawang merah merupakan salah satu sayuran penting di Indonesia yang dimanfaatkan sebagai rempah dalam berbagai jenis masakan dan obat tradisional. Permintaan bawang merah setiap tahunnya cenderung meningkat dan pada saat musim hujan produksi nasional mengalami penurunan sehingga impor dilakukan. Impor bawang merah setiap tahun meningkat dan menempati tempat tertinggi diantara sayuran yang diproduksi di Indonesia. Impor dilakukan untuk konsumsi dan diduga sebagian dipergunakan untuk bibit. Pada tahun 2006 umbi lapis bawang merah impor mencapai ton dan pada tahun 2010 mencapai ton (Direktorat Jendral Hortikultura 2011). Perbanyakan bawang merah sampai saat ini umumnya dilakukan secara vegetatif menggunakan umbi lapis. Umbi lapis bawang merah untuk bibit disimpan di ruangan bersuhu tinggi (38-45 o C) selama bulan. Beberapa petani menyimpan umbi lapis hasil panen sampai 4 bulan yang bertujuan untuk mematahkan dormansi (Petani Indonesia 2009). Umbi lapis disimpan sebagai bibit untuk musim tanam berikutnya. Umbi lapis bibit bawang merah yang dibutuhkan untuk setiap hektar sekitar satu ton. Luas areal pertanaman bawang merah di

50 23 Indonesia yang mencapai ha memerlukan umbi lapis bibit yang sangat banyak. Salah satu masalah yang dihadapi dalam budidaya bawang merah adalah kualitas bibit. Penggunaan bibit yang berasal dari produksi hasil pertanaman sebelumnya akan menyebabkan penyakit degeneratif. Bibit yang tidak berkualitas akan memengaruhi pertumbuhan di lapangan, produksi dan produktivitas. Penyediaan bibit bawang merah dapat dibantu melalui kultur jaringan. Perbanyakan melalui kultur in vitro sudah berhasil dikembangkan pada banyak tanaman. Penyediaan bibit melalui kultur jaringan memiliki keunggulan diantaranya bebas penyakit (terutama virus) dan tidak bergantung musim. Eksplan untuk perbanyakan bawang merah in vitro dapat berasal dari biji, bagian bunga dan bagian cakram umbi. Pertumbuhan dan perkembangbiakan dalam kultur in vitro dipengaruhi berbagai faktor antara lain umur eksplan (Hunter & Burritt 2002; Ozyigit et al. 2007; Dhavala et al. 2009; Youssef et al. 2011). Umbi lapis bawang Bombay yang disimpan pada suhu 5 o C mempercepat tumbuhnya tunas (Khokhar 2009). Umur simpan yang baik untuk eksplan bawang merah perlu diketahui untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangbiakan tunas dalam media perbanyakan in vitro. Jumlah tunas yang optimal pada umur eksplan tertentu akan sangat berpengaruh dalam penyediaan jumlah propagul tunas untuk pengumbian mikro. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh umur simpan umbi lapis bibit bawang merah terhadap pertumbuhan dan perkembangbiakan tunas mikro pada media perbanyakan sebagai propagul untuk pengumbian mikro Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Percobaan ini dilaksanakan di laboratorium Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB pada bulan Mei Oktober Bahan Tanaman Umbi lapis bibit bawang merah kultivar Bima Curut yang sudah disimpan selama 1, 2, 3 dan 4 bulan diperoleh dari petani bawang merah yang mengusahakan bibit di Brebes.

51 24 Metode Percobaan tentang pengaruh umur simpan umbi lapis terhadap pertumbuhan tunas mikro bawang merah menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang disusun dalam faktor tunggal yaitu umur simpan umbi lapis. Perlakuan terdiri atas empat taraf umur simpan : 1, 2, 3 dan 4 bulan simpan. Terdapat empat perlakuan yang diulang 16 kali sehingga terdapat 64 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan terdiri atas satu botol kultur yang berisi satu eksplan. Pengamatan dilakukan setiap minggu selama enam minggu. Data yang diperoleh selanjutnya diolah dengan bantuan SAS 6, anova dan uji lanjut dengan DMRT pada tingkat kepercayaan 95% apabila terdapat pengaruh perlakuan. Analisis regresi dilakukan untuk menduga konsentrasi optimum dari perlakuan. Korelasi antar peubah dianalisis untuk mengetahui keterkaitannya. Umbi lapis dicuci bersih dan dibiarkan di bawah kucuran air mengalir selama 30 menit, pengerjaan sterilisasi selanjutnya dilakukan di Laminar Air Flow cabinet (LAF) dengan merendam umbi lapis utuh dalam larutan pemutih komersial yang mengandung 5% sodium hipokhlorida dengan konsentrasi 1% NaOCl selama 15 menit. Umbi lapis bagian atas dipotong sehingga tersisa ¾ bagian umbi. Potongan umbi lapis tersebut selanjutnya direndam dalam larutan NaOCl 0.5% dan 0.25% berturut turut selama 15 dan 25 menit. Lapisan terluar umbi lapis yang kontak dengan sterilan dikupas dan dipotong pada setiap langkah perendaman. Eksplan dibelah dua secara melintang tepat di bagian tengah dan dibilas air suling steril tiga kali, selanjutnya ditanam pada media Murashige dan Skoog (MS) (1962) tanpa zat pengatur tumbuh. Eksplan yang tidak terkontaminasi dipindah tanam ke media perbanyakan (MS + vitamin B5 (myo inositol 100 mg L -1, thiamin 1 mg L -1, piridoxin 10 mg L -1, asam nicotinat 1 mg L -1 ) + 4 mg L -1 2 ip mg L -1 NAA). Kultur yang steril diamati selama 6 minggu. Kultur diletakkan di rak dengan dengan intensitas cahaya 2000 lux selama 24 jam dan suhu ruang 22 o C. Peubah yang diamati meliputi : jumlah tunas, jumlah daun total, jumlah daun hijau, jumlah akar, dan persentase tunas vitrous.

52 25 Hasil dan Pembahasan Perlakuan umur simpan umbi lapis berpengaruh terhadap peubah jumlah tunas, jumlah daun, jumlah daun hijau (1-6 MST), dan jumlah akar (2-6 MST). Seluruh eksplan setelah 4 hari diinisiasi dalam media prekondisi in vitro menunjukkan pertumbuhan dengan memanjangnya bagian daun dan tunas berwarna hijau. Tunas yang steril dan ditanam di media perbanyakan setelah 7 hari memperlihatkan pemanjangan daun. Pertumbuhan daun tersebut terjadi pada semua tunas yang berasal dari umbi lapis yang disimpan satu sampai empat bulan. Jumlah daun meningkat setiap minggu pada semua perlakuan. Beberapa eksplan umbi lapis yang diinisiasi pada media perbanyakan pada minggu pertama sudah melakukan multiplikasi tunas mikro. Multiplikasi tunas mikro lebih cepat terjadi pada perlakuan umur simpan umbi lapis 2, 3 dan 4 bulan dibanding umbi lapis yang disimpan satu bulan (Tabel 1). Tumbuhnya tunas yang lebih cepat pada perlakuan umur simpan tersebut diduga disebabkan selama periode simpan telah terjadi metabolisme yang mengaktifkan proses pembelahan sel. Pada minggu 3-5 perlakuan umur simpan umbi lapis 2 dan 4 bulan nyata menghasilkan jumlah tunas lebih banyak dibanding perlakuan umur simpan umbi lapis 1 dan 3 bulan. Tabel 1. Rataan jumlah tunas bawang merah in vitro pada empat umur simpan umbi lapis Umur Simpan (bulan) Minggu Setelah Tanam (MST) tunas c 1.0 c 1.4 b 1.4 b 1.6 b 1.8 b a 1.9 a 3.0 a 3.7 a 3.5 a 3.6 a b 1.5 b 1.8 b 2.0 b 2.1 b 2.3 b bc 1.6 ab 2.5 a 3.9 a 3.8 a 3.8 a Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menun jukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf α= 5%

53 26 Tingginya persentase kultur yang mengalami multiplikasi dan jumlah tunas yang banyak merupakan hasil yang diharapkan dalam perbanyakan tunas mikro. Pada bawang merah, tunas mikro merupakan propagul utama untuk selanjutnya diinduksi umbi lapisnya pada media pengumbian. Peningkatan jumlah tunas mikro bawang merah dapat ditingkatkan dengan cara melakukan subkultur pada minggu ke 3-4 dan dilakukan pemisahan tunas pada media perbanyakan. Tunas tidak perlu dibiarkan terlalu lama sampai enam MST karena data pada Tabel 1 menunjukkan setelah minggu keempat jumlah tunas tidak bertambah. Pada penelitian jumlah tunas yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan hasil penelitian Septiari dan Dinarti (2003). Periode kultur yang lebih pendek hanya 6 MST dibanding penelitian sebelumnya yang mencapai 10 MST dan perbedaan genotipe diduga menjadi penyebab berbedanya tunas yang dihasilkan. Umur eksplan berpengaruh terhadap regenerasi tunas mikro selada (Hunter & Burritt 2002), tunas mikro kapas (Ozyigit et al. 2007), tunas mikro Solanum trilobatum L (Dhavala et al. 2009), tunas mikro pisang Cavendish (Youssef et al. 2010). Pengaruh umur eksplan terhadap regenerasi tunas mikro tersebut juga tergantung genotipe yang digunakan (Youssef et al. 2010; Mohebodini et al. 2011). Hasil peneltian ini memberikan informasi lain, beberapa tunas yang terbentuk pada perlakuan 1, 3 dan 4 bulan simpan mengalami vitrous (tunas menjadi hijau bening) sejak 4 MST dan persentase tunas vitrous meningkat sampai minggu terakhir percobaan (Gambar 4). Tunas mikro yang vitrous menunjukkan kualitas tunas yang kurang baik untuk digunakan sebagai propagul in vitro. Kondisi vitrous dapat disebabkan kandungan sitokinin endogen yang cukup tinggi seperti yang terjadi pada tunas mikro anyelir. Ini menyebabkan tunas sulit berkembang serta tidak mampu berakar (Leshem et al. 1988). Terjadinya tunas vitrous yang berasal dari umbi lapis yang disimpan 3 dan 4 bulan disebabkan tunas adventif sudah terbentuk dan diduga kandungan sitokinin endogen lebih tinggi. Umur simpan umbi lapis 2 bulan menunjukkan jumlah daun nyata lebih banyak dibanding umur simpan 1, 3 dan 4 bulan pada 2 dan 3 MST. Jumlah daun

54 27 yang berasal dari umur simpan umbi lapis 4 bulan tidak berbeda nyata dengan umur simpan 2 bulan pada 4-6 MST (Tabel 2). Persen vitrous (%) Umur simpan umbi lapis (bulan) 4 MST 5 MST 6 MST Gambar 4. Persentase tunas vitrous pada empat perlakuan umur simpan umbi lapis dari 4 sampai 6 MST Tabel 2. Jumlah daun bawang merah in vitro pada empat umur simpan umbi lapis Umur simpan (bulan) Minggu Setelah Tanam (MST) helai daun c 2.9 b 3.8 c 5.3 b 5.8 b 7.3 b a 6.1 a 9.4 a 12.5 a 13.4 a 14.3 a ab 4.1 b 5.2 c 7.3 b 7.4 b 8.6 b bc 3.8 b 7.3 b 13 a 12.6 a 12.6 a Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menun jukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf α= 5% Tunas dalam kondisi baik yang ditunjukkan dengan daun yang berwarna hijau akan mendukung pembentukan umbi lapis mikro bawang merah. Daun akan mengalami perubahan warna dari hijau menjadi menjadi kecoklatan karena kehilangan klorofil (senesen). Jumlah daun yang berwarna hijau mengalami penurunan mulai 5 MST pada seluruh perlakuan umur simpan umbi lapis. Hilangnya warna hijau pada daun merupakan transisi kloroplas menjadi

55 28 gerontoplas yang berasosiasi dengan hancurnya pigmen fotosintesis dan remobilisasi protein (Matile 2001). Laju penurunan jumlah daun berwarna hijau tertinggi terjadi pada perlakuan umur simpan umbi 4 bulan (Tabel 3). Tunas in vitro bawang Bombay berhasil membentuk umbi lapis apabila menggunakan tunas dengan jumlah daun lebih dari 3 helai (Kahane et al.1992). Di lapangan pembentukan umbi lapis terjadi setelah terbentuknya 6 helai daun (Brewster et al. 1977). Proses pembentukan umbi lapis bawang merah terjadi setelah proses pembelahan sel berlangsung maksimal dengan terbentuknya sejumlah daun. Sel-sel pada bagian pangkal tunas selanjutnya akan mengalami proses pemanjangan dan pembesaran selama pengisian oleh karbohidrat (Brewster 2002). Tunas dengan daun yang cepat senesen menunjukkan selnya mengalami degenerasi dan kondisi ini diduga akan berpengaruh dalam proses pengisian sel oleh karbohidrat pada saat pengumbian mikro. Umur simpan umbi lapis 2 bulan memperlihatkan kecepatan pertumbuhan daun dan tunas yang sama dengan kultur yang berasal dari umur simpan 4 bulan tetapi kecepatan daun pada tunas yang berasal dari umur simpan umbi lapis 2 bulan menjadi senesen lebih lambat. Propagul tunas mikro bawang merah yang baik untuk pengumbian mikro mempunyai daun cukup banyak (lebih dari tiga), tidak vitrous dan tidak cepat senesen sebelum dipindah tanam ke media pengumbian (MS + vitamin B g L -1 sukrosa). Tabel 3. Jumlah daun hijau bawang merah in vitro pada empat umur simpan umbi lapis Umur Simpan (bulan) Minggu Setelah Tanam (MST) helai daun hijau b 2.8 b 3.1 c 3.3 b 3.2 b 2.8 a a 5.4 a 7.2 a 7.7 a 6.1 ab 4.4 a a 3.6 b 3.9 bc 4.6 b 3.9 b 3.9 a a 3.8 b 5.8 ab 9.2 a 7.0 a 3.3 a Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menun jukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada α = 5%

56 29 Pemberian NAA pada media perbanyakan mengakibatkan keseimbangan hormon endogen tunas mikro bawang merah berubah sehingga pada 1 MST akar mulai terbentuk di bagian pangkal tunas pada perlakuan 2 dan 3 bulan umur simpan umbi lapis. Jumlah akar terus mengalami peningkatan sampai 6 MST. Perlakuan umur simpan umbi lapis 2 bulan menghasilkan jumlah akar nyata lebih banyak dibanding dengan perlakuan umur simpan umbi lapis 1, 3 dan 4 bulan (Gambar 5) jumlah akar bulan 2 bulan 3 bulan 4 bulan Minggu setelah tanam Gambar 5. Jumlah akar tunas mikro bawang merah pada empat umur simpan umbi lapis Berdasarkan analisis regresi peubah jumlah tunas, jumlah daun hijau, jumlah daun senesen, dan jumlah akar mempunyai nilai R 2 yang sangat kecil sehingga tidak dapat diambil kesimpulan untuk menentukan nilai optimum untuk perlakuan terbaik. Pola pertumbuhan jumlah tunas, jumlah daun, dan jumlah daun senesen pada empat sampai enam MST secara kuadratik meningkat sampai umur simpan empat bulan (Gambar 6). Walaupun berdasarkan perhitungan secara regresi menunjukkan jumlah tunas dan jumlah daun terbanyak dari 4-6 MST diperoleh pada perlakuan umur simpan umbi laps 4 bulan, tetapi jumlah daun senesen dan persentase tunas yang vitrous juga meningkat pada perlakuan tersebut (Gambar 4). Berdasarkan kriteria, tunas mikro bawang merah yang sesuai untuk propagul pengumbian mikro adalah

57 30 tunas dengan helai daun minimal 3, tidak banyak daun senesen dan tidak vitrous. Tunas dengan kriteria tersebut diperoleh dari eksplan dengan umur simpan 2 bulan. jumlah tunas y = x x R² = Umur simpan umbi lapis (bulan) jumlah daun (helai) y = x x R² = Umur simpan umbi lapis (bulan) jumlah daun senesesn (helai) y = x x R² = Umur simpan umbi lapis (bulan) Gambar 6. Regresi jumlah tunas (atas), jumlah daun (tengah) dan jumlah daun senesen (bawah) dari tunas mikro bawang merah pada empat umur simpan umbi lapis pada 6 MST.

58 31 Hasil analisis korelasi antar peubah, terdapat hubungan antar peubah yang sangat nyata antara jumlah tunas, jumlah daun hijau, jumlah daun senesen dan jumlah akar dari 4-6 MST. Nilai koefisien korelasi jumlah tunas tertinggi pada 4 MST dan nilainya semakin menurun pada 5-6 MST terhadap jumlah daun hijau, semakin meningkat nilai koefisien korelasinya terhadap jumlah daun senesen dari 4-6 MST (Tabel 4, 5 dan 6). Nilai koefisien korelasi jumlah daun hijau dan jumlah daun senesen juga meningkat dari minggu 4-6 MST. Korelasi tersebut menunjukkan peningkatan daun hijau akan diikuti dengan peningkatan daun senesen. Tabel 4. Nilai koefisien korelasi antar peubah pada 4 MST Jumlah tunas Jumlah daun hijau Jumlah daun senesen Jumlah akar Jumlah tunas ** ** Jumlah daun hijau ** ** ** Jumlah daun ** ** ** senesen Jumlah akar ** ** Table 5. Nilai koefisien korelasi antar peubah pada 5 MST Jumlah tunas Jumlah daun hijau Jumlah daun senesen Jumlah akar Jumlah tunas ** ** ** Jumlah daun hijau ** ** ** Jumlah daun ** ** ** senesen Jumlah Akar ** ** ** Tabel 6. Nilai koefisien korelasi antar peubah pada 6 MST Jumlah tunas Jumlah daun hijau Jumlah daun tua Jumlah akar Jumlah tunas ** ** ** Jumlah daun hijau ** ** ** Jumlah daun ** ** ** senesen Jumlah akar ** ** **

59 32 Nilai koefisien korelasi antar peubah tersebut sangat mendukung dalam pengambilan keputusan menentukan umur tunas berdasarkan kondisi tunas untuk propagul pengumbian mikro bawang merah. Nilai koefisien korelasi jumlah tunas yang menurun pada 5-6 MST, tetapi nilai koefisien korelasi jumlah daun senesen meningkat, menunjukkan semakin lama tunas dalam kultur maka jumlah daun sensesen akan meningkat. Kondisi ini tidak diharapkan untuk kriteria tunas yang akan diumbikan. Sebaiknya tunas mikro yang akan digunakan sebagai propagul dalam pengumbian mikro bawang merah adalah tunas yang berumur 4 MST. Kesimpulan Umur eksplan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tunas mikro bawang merah. Umbi lapis yang disimpan selama 2 bulan merupakan sumber eksplan terbaik pada media perbanyakan (MS + vitamin B5 + 4 mg L ip mg L -1 NAA). Jumlah tunas in vitro yang dihasilkan umur simpan umbi lapis 2 dan 4 menghasilkan jumlah tunas mikro yang lebih banyak dibanding umur simpan 1 dan 3 bulan. Tunas mikro yang berasal dari umur simpan 2 bulan mempunyai jumlah daun hijau dan jumlah akar terbanyak. Terdapat korelasi sangat nyata antara jumlah tunas, jumlah daun hijau, jumlah daun senesen dan jumlah akar pada 4-6 MST. Saran Tunas sebaiknya disubkultur pada minggu ketiga dengan memisahkan setiap tunas dan ditanam pada media perbanyakan dengan tujuan memperbanyak tunas. Tunas yang berumur 4 MST, tidak vitrous dengan jumlah daun lebih dari tiga helai disarankan digunakan sebagai propagul untuk pengumbian.

60 33

61 PENGARUH SUHU RUANG KULTUR TERHADAP PEMBENTUKAN UMBI LAPIS MIKRO BAWANG MERAH (EFFECT OF ROOM TEMPERATURE ON SHALLOT MICROBULB INDUCTION) Abstrak Bawang merah merupakan sayuran anggota famili Alliaceae yang sudah beradaptasi di daerah tropis, sehingga pembentukan umbi lapis terjadi pada kondisi suhu yang relatif tinggi (30-45 o C). Morfogenesis dalam kultur in vitro dipengaruhi oleh suhu ruang kultur. Tujuan percobaan ini adalah untuk mengetahui pengaruh suhu dalam pembentukan umbi lapis mikro bawang merah. Percobaan disusun dalam rancangan lingkungan acak lengkap dengan faktor perlakuan tunggal suhu ruang yang terdiri atas dua taraf yaitu 20/17 dan 30/27 o C. Setiap taraf perlakuan diulang 39 kali dan setiap unit percobaan terdiri atas satu botol kultur. Eksplan awal berupa setengah bagian cakram umbi yang ditanam pada media multiplikasi tunas (MS+vit B5+4 mg L -1 2ip+0.5 mg L -1 NAA). Tunas mikro yang diperoleh pada media multiplikasi dan berumur 4 MST selanjutnya dipisahkan setiap tunas. Tunas mikro bawang merah yang ditanam ke media pengumbian harus mempunyai daun minimal berjumlah 4 helai dan tidak vitrous. Ke dalam satu botol kultur media pengumbian (MS+vit B5+sukrosa 150 g L -1 ) ditanam satu tunas mikro. Kultur diletakkan di kamar tumbuh (growth chamber) sesuai perlakuan suhu ruang. Hasil pengamatan menunjukkan suhu ruang berpengaruh terhadap jumlah umbi lapis mikro, diameter pangkal (Dp) umbi lapis mikro, rasio diameter terlebar dengan diameter pangkal (Dt/Dp) umbi lapis mikro, panjang akar, panjang tunas, jumlah daun, jumlah daun senesen. Suhu 30/27 o C nyata mempercepat proses pembentukan umbi lapis mikro dan meningkatkan ukuran umbi lapis mikro bawang merah. Kata kunci: Bawang merah (Allium ascalonicum L.) ), umbi lapis mikro, Vit B5, 2ip, suhu ruang kultur.

62 34 Abstract Shallot is a member of Alliaceae adapted in tropical region. Bulb induction occurs at high temperature (30-45 o C). In vitro morphogenesis is influenced by room culture temperature. The objective of this experiment was to determine the influence of room temperature on shallot micro bulb induction. Experiment was arranged in a Completely Randomized Design with one factor i.e room temperature. Room temperature was set at two levels : 20/17 and 30/27 o C. Each level of treatment was repeated 39 times and each experimental unit consisted of one tube. Explant was one half of bulb with basal plate and planted on propagation medium (MS + Gamborg vitamin + 4 mg L -1 2ip mg L -1 NAA). Shallot micro shoot induced in propagation medium was separated in single shoot. Micro shoot with minimum 4 leaves and was not vitrous was planted in bulb induction medium (MS + Gamborg B5 vitamin g L -1 sucrose). The culture was planted in growth chamber with different temperature (day/night) 20/17 and 30/27 o C according to treatment. Lower temperature gave good result for number of leaves, plant height, root number and root length. Shallot micro bulb induction was influenced by temperature. Micro bulb appeared after 3 weeks in micro bulb induction medium. Temperature 30/27 o C gave the best result on number of micro bulb, base and widest diameter of bulb and ratio of bulb widest and bulb base diameter. Key words: Shallot (Allium ascalonicum L.), microbulb, B5 vitamin, 2ip, room temperature. Pendahuluan Bawang merah merupakan sayuran berumbi yang sudah beradaptasi pada kondisi tropis. Pertumbuhan dan perkembangan bagian tajuk dan umbi lapis terjadi pada suhu lingkungan yang relatif tinggi (30-45 o C). Untuk mendapatkan umbi lapis yang diinginkan tanaman bawang di lapangan memerlukan minimal enam helai daun untuk dapat menangkap energi dari sinar matahari (Brewster et al. 1977).

63 35 Proses pengumbian bawang merah untuk mendapatkan umbi lapis mikro dipengaruhi lingkungan kultur, salah satunya suhu. Pembentukan umbi mikro bawang putih (Kim et al. 2003) dan corm mikro Watsonia vanderspuyiae terjadi pada suhu 20 o C (Ascough et al. 2006); persentase pertunasan pada tebu lebih tinggi terjadi pada suhu 25 o C dibanding suhu yang lebih rendah (Jain et al. 2007). Pada Crinum macowanii, bulblet terbentuk pada suhu o C (Slabbert et al. 1993). Sejauh ini suhu ruang kultur yang tepat untuk mendukung pembentukan umbi lapis mikro bawang merah belum diketahui. Suhu yang cukup tinggi akan berpengaruh terhadap proses enzimatik (Fereira et al. 2006; Cheng et al. 2005; Jain et al. 2007). Suhu tinggi dapat meningkatkan biosintesis asam amino, thiamin, struktur sitoskeleton yang terdeteksi dengan menumpuknya protein tertentu yang berkaitan dengan fotosintesis dan metabolisme karbon (Fereira et al. 2006), meningkatkan akumulasi pati dan amilase pada padi (Cheng et al. 2005). Suhu merupakan faktor alami yang mengatur pertumbuhan dan morfogenesis. Faktor suhu merupakan faktor utama yang menginduksi organ penyimpanan dibanding faktor lainnya (Ascough et al. 2008). Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan mendapatkan suhu ruang kultur yang mendukung pembentukan umbi lapis mikro bawang merah. Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Percobaan pembentukan umbi lapis mikro bawang merah dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan, School of Land, Agriculture, and Food Science, University of Queensland pada bulan November Februari Bahan Tanaman Umbi lapis bawang merah diperoleh dari pedagang asal Vietnam yang mengimpor umbi lapis tersebut dari negaranya dan merupakan umbi konsumsi bukan untuk keperluan bibit. Metode sterilisasi dan cara inisiasi dan media multiplikasi dilakukan seperti langkah pada percobaan pertama.

64 36 Metode Penelitian Percobaan disusun dalam Rancangan Acak Lengkap dengan faktor tunggal suhu ruang kultur yang terdiri atas dua taraf yaitu suhu (siang/malam) 20/17 o C dan 30/27 o C. Setiap perlakuan diulang 39 kali sehingga terdapat 78 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan terdiri atas satu botol kultur. Setiap botol kultur ditanam satu tunas mikro bawang merah. Pengamatan dilakukan setiap minggu selama lima minggu. Data yang diperoleh diolah dengan bantuan Minitab 14 dan dilakukan uji t student pada tingkat kepercayaan 95% untuk mengetahui perbedaan dari dua kondisi suhu ruang kultur terhadap peubah yang diamati. Tunas mikro dari hasil perbanyakan yang sudah berumur 3-4 minggu dengan jumlah daun minimal 4 helai, tidak vitrous, dan tanpa akar ditanam pada media pengumbian (MS + vitamin B5 + gula 150 g L -l ). Setiap botol media ditanam satu tunas mikro. Kultur selanjutnya diletakkan di dua kamar tumbuh (growth chamber) yang masing-masing dengan pengaturan suhu (siang/malam) 20/17 o C dan 30/27 o C, intensitas cahaya 2000 lux dengan lama penyinaran 12 jam. Pengamatan dilakukan setiap minggu selama lima minggu. Peubah yang diamati yaitu jumlah tunas, jumlah daun total, jumlah daun senesen (diamati setiap minggu): jumlah umbi, panjang akar, panjang daun, bobot planlet, diameter (pangkal (Dp), tengah terlebar (Dt), diukur dengan jangka sorong) umbi lapis mikro (diamati pada minggu ke 6 dengan mengeluarkan planlet dari botol kultur). Analisis GA dilakukan pada seluruh umbi lapis mikro bawang merah setelah dipanen pada 6 MST. Umbi lapis mikro dikeringkan dengan freeze dryer pada suhu rendah (-4 o C) selama 24 jam dan selanjutnya dikemas dalam botol plastik dan dikirim untuk dianalisis GAnya ke JJ Ross PhD di University of Tasmania. Analisis giberelin menggunakan metoda Ross (1998). Hasil dan Pembahasan Sebanyak 91% tunas yang berasal dari media perbanyakan dan dipindahtanam ke media pengumbian mampu menggandakan diri pada perlakuan suhu 20/17 o C dan 83% pada suhu 30/27 o C. Secara statistik jumlah tunas yang

65 37 terbentuk pada perlakuan suhu 20/17 adalah 1.8 dan 30/27 o C adalah 1.7 tidak berbeda nyata. Sedikitnya jumlah tunas yang terbentuk karena tidak ditambahkannya sitokinin ke dalam media pengumbian (MS + vitamin B g L -1 sukrosa) mikro bawang merah. Jumlah daun total setiap minggu pada kedua perlakuan suhu ruang kultur nyata semakin meningkat dan jumlah daun terbanyak diperoleh pada perlakuan suhu ruang kultur 20/17 o C (Tabel 7). Peningkatan jumlah daun pada suhu yang lebih rendah diduga karena terjadi peningkatan aktivitas hormonal salah satunya IAA, seperti yang dilaporkan pada tebu (Jain et al. 2007). Tabel 7. Jumlah daun bawang merah in vitro pada dua taraf suhu ruang kultur Suhu ( o C) Minggu Setelah Tanam (MST) helai 20/ a 3.3 a 3.8 a 4.4 a 4.8 a 30/ a 2.6 a 3.7 a 3.7 b 3.9 b Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji t pada α = 5%. Daun yang terbentuk di bagian terluar pada minggu kedua dalam media pengumbian mengalami senesen dengan memudarnya warna hijau pada daun. Jumlah daun senesen pada kedua perlakuan suhu tersebut terus meningkat sampai minggu ke lima. Tabel 8. Jumlah daun senesen bawang merah in vitro pada dua taraf suhu ruang kultur Suhu ( o C) Minggu Setelah Tanam (MST) helai 20/ b 1.4 b 1.8 b 2.2 b 2.6 b 30/ a 3.0 a 3.2 a 3.3 a 3.6 a Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji t pada α = 5%.

66 38 Suhu ruang 30/27 o C nyata mempercepat proses senesen (Tabel 8). Tidak ditambahkannya auksin ke dalam media pengumbian dan proses respirasi yang cukup tinggi pada suhu 30/27 o C diduga mengakibatkan senesen cepat terjadi. Peningkatan suhu menjadi 25 o C menurunkan konsentrasi auksin pada tebu (Jain et al. 2007). Hasil penelitian pada multiplikasi tunas in vitro jarak pagar menunjukkan tingkat kelayuan daun sangat tinggi diduga salah satunya karena kandungan auksin yang rendah (Lizawati et al. 2009). Daun terluar yang terbentuk pada tunas in vitro bawang merah setelah mengalami senesen akan mengering dan berwarna merah coklat. Jumlah tunas yang diperoleh pada perlakuan suhu 20/17 dan 30/27 o C tidak berbeda nyata (Gambar 7). Rata-rata hanya terbentuk satu tunas atau hampir tidak terjadi multiplikasi tunas pada media pengumbian mikro. Tunas yang ditanam di media pengumbian akan mengalami perkembangan dengan berubahnya ukuran dan warna hijau berubah menjadi kemerahan di bagian pangkal. Perubahan warna tersebut dapat diamati mulai minggu pertama tunas mikro ditanam di media pengumbian dan warna merah akan semakin pekat. Perubahan warna pada lapisan terluar umbi lapis ini karena tingginya kandungan anthosianin (1.935 µmol/100g) dan karoten (7.846 µmol/100g) dibanding klorofil total (0.342 µmol/100g). Suhu ruang kultur 30/27 o C mempercepat warna merah muncul di bagian pangkal tunas. jumlah tunas MST 2 MST 3 MST 4 MST 5 MST Minggu setelah tanam 20 ⁰C 30 ⁰C Gambar 7. Jumlah tunas bawang merah in vitro pada dua taraf suhu ruang kultur

67 39 Pangkal tunas mikro bawang pada minggu ketiga di media pengumbian semakin membesar dan membentuk umb lapis. Tunas yang membentuk umbi lapis mikro dipengaruhi suhu ruang kultur. Perlakuan suhu ruang 30/27 o C pada 1-4 MSP nyata menghasilkan umbi lapis per kultur lebih banyak dan lebih cepat dibanding perlakuan suhu 20/17 o C (Tabel 9). Hasil ini menunjukkan umbi lapis mikro bawang dapat dipanen sebelum 6 MST. Tunas dapat dibedakan dari umbi lapis dan ditunjukkan dengan daun menjadi senesen sampai leher umbi lapis, lapisan daun terluar menjadi coklat dan sebagian ada yang mengering. Proses pembentukan umbi lapis mikro bawang merah terjadi seperti di lapangan yang dijelaskan Brewster (2002). Umbi lapis mikro yang dipanen setelah 6 minggu di media pengumbian memperlihatkan seluruh bagian daun senesen dan terkulai di leher umbi. Kondisi seperti ini menunjukkan umbi lapis mikro siap untuk dipanen. Tabel 9. Jumlah umbi lapis mikro bawang merah pada dua kondisi suhu ruang kultur Suhu ( o C) Minggu Setelah Tanam (MST) / b 0.6 b 0.6 b 0.7 b 0.9 b 30/ a 1.2 a 1.2 a 1.2 a 1.3 a Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji t pada α = 5%. Suhu ruang kultur 30/27 o C menurunkan diameter pangkal tetapi rasio diameter terlebar (Dt) dengan pangkal (Dp) umbi lapis (Dt/Dp) nyata lebih besar, walaupun tidak meningkatkan bobot planlet (Tabel 10). Bobot planlet tidak berbeda nyata antara suhu 20/17 dan30/27 o C meskipun perbedaan nilai cukup tinggi yang disebabkan nilai koefisien keragaman cukup tinggi. Kriteria umbi lapis mikro pada pengumbian bawang adalah dengan menghitung rasio Dt/Dp. Nilai Dt/DP > 2 menunjukkan pembentukan umbi lapis mikro berhasil. Hasil percobaan ini pada suhu ruang 30/27 o C rasio Dt/Dp mencapai 4.3. Artinya ukuran umbi lapis mikro sangat besar dengan bentuk yang hampir bulat.

68 40 Peningkatan nilai Dt/Dp yang sangat tinggi diduga pada suhu 30/27 o C kemungkinan disebabkan oleh peningkatan akumulasi karbohidrat ke bagian umbi. Kemungkinan lain adalah aktivitas enzimatik yang meningkatkan proses translokasi sukrosa ke organ penyimpanan. Bobot planlet tidak menunjukkan bobot umbi lapis mikro, karena seluruh bagian tajuk dan akar juga ditimbang. Tingginya bobot planlet pada perlakuan suhu 20/17 o C karena ditunjang oleh panjang daun dan akar yang lebih tinggi dibanding suhu 30/27 o C. Suhu 20/17 o C meningkatkan pertumbuhan bagian daun dan akar bawang merah. Tabel 10. Panjang daun, panjang akar, bobot planlet, diameter tengah umbi lapis, diameter pangkal umbi lapis, bawang merah in vitro pada dua taraf suhu ruang kultur Suhu ruang Kultur ( o C) Panjang Daun Panjang Akar...cm Bobot planlet (g) Diameter Terlebar (Dt) Diameter Pangkal (Dp)..mm Dt/Dp 20/ a 2.1 a 0.33 a 4.1 a 1.5 a 2.6 b 30/ b 0.5 b 0.14 a 4.3 a 1.1 b 4.3 a Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji t pada α = 5%. Hasil penelitian yang sama diperoleh pada induksi umbi lapis mikro Allium chinense (Zhen et al. 2008) dan Crinum macowanii, bulblet terbentuk pada suhu o C (Slabbert et al. 1993); Nerine bowdenii pada suhu 27 o C (Jacobs et al. 1992), Umumnya umbi lapis mikro yang berhasil diinduksi dan berasal dari sub tropis (Ascough et al. 2008) seperti bawang putih (Kim et al. 2003) lebih baik terbentuk pada suhu 20 o C. Tingginya suhu ruang kultur pada pembentukan umbi lapis mikro bawang merah menunjukkan tanaman ini mampu beradaptasi pada suhu daerah tropis yang cukup tinggi dibanding daerah asalnya. Kemungkinan lain suhu yang lebih tinggi meningkatkan aktivitas enzimatik yang berkaitan dengan metabolisme karbon (Fereira et al. 2006), akumulasi pati dan peningkatan gula tereduksi seperti pada tanaman padi dan tebu (Cheng et al. 2005; Jain et al. 2007).

69 41 Tabel 11. Jumlah akar umbi lapis mikro bawang merah pada dua kondisi suhu ruang kultur Suhu ( o C) Minggu Setelah Tanam (MST) akar 20/ a 3.5 a 4.2 a 4.7 a 5.0 a 30/ b 1.4 b 1.5 b 1.5 b 1.6 b Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji t pada α = 5%. Akar terbentuk pada bagian pangkal tunas atau umbi lapis. Akar lebih banyak terbentuk pada suhu yang lebih rendah. Suhu ruang kultur 20/17 o C nyata meningkatkan panjang akar dan panjang daun (Tabel 7) dan jumlah akar (Tabel 11). Hasil yang sama diperoleh pada pertumbuhan daun serta akar kultur A. chinense (Zhen et al. 2008). Peningkatan nilai rata-rata peubah tersebut diduga pada suhu ruang kultur 20/17 o C tanaman meningkatkan aktivitas pembelahan sel dan giberellin endogen serta peningkatan aktivitas auksin (Jain et al. 2007). Bobot planlet yang lebih tinggi pada suhu 20/17 o C dibanding suhu 30/27 o C tidak menunjukkan bobot umbi lapis mikro bawang merah pada suhu 20/17 o C lebih tinggi. Berdasarkan ukuran Dt/Dp, nilai tertinggi nyata diperoleh pada suhu 30/27 o C. Hasil analisis GA 3 dan GA 20 pada umbi lapis mikro yang dihasilkan pada perlakuan 20/17 dan 30/27 o C serta tunas mikro dari media perbanyakan menunjukkan konsentrasi kedua GA tersebut sangat kecil dan tidak terukur (komunikasi dengan JJ Ross). Menurut perkiraan Ross kemungkinan bobot sampel yang dikirimkan tidak mencukupi atau karena pengaruh suhu yang cukup tinggi yang menghambat sintesis giberelin. Kesimpulan Pembentukan umbi lapis mikro bawang merah dipengaruhi suhu ruang kultur. Suhu 30/27 o C menginduksi umbi lapis mikro bawang merah lebih cepat (1-4 MST) dengan jumlah dan ukuran rasio diameter terlebar (Dt) dengan

70 42 diameter pangkal (Dp) (Dt/Dp) umbi lapis mikro lebih besar dibanding umbi lapis mikro yang terbentuk pada suhu 20/17 o C. Suhu ruang 20/17 o C meningkatkan jumlah tunas, panjang akar, panjang daun, jumlah akar, dan diameter pangkal umbi lapis mikro. Saran Umbi lapis mikro bawang merah perlu dianalisis destruktif setiap minggu untuk dapat menentukan umur panen sesuai kriteria rasio Dt/Dp>2 sehingga tidak perlu menunggu dipanen sampai 6 MSP.

71 PERAN SUKROSA DAN PACLOBUTRAZOL DALAM PEMBENTUKAN UMBI LAPIS MIKRO BAWANG MERAH (EFFECT OF SUCROSE AND PACLOBURAZOL ON SHALLOT MICRO BULB INDUCTION) Abstrak Umbi lapis mikro merupakan salah satu propagul yang dapat dikembangkan dari tanaman yang mempunyai organ penyimpanan. Pembentukan umbi lapis mikro dipengaruhi diantaranya oleh faktor sukrosa dan retardan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh sukrosa dan paclobutrazol dalam pembentukan umbi lapis mikro bawang merah. Percobaan disusun dalam Rancangan Acak Lengkap faktorial dua faktor yaitu sukrosa dan paclobutrazol. Perlakuan sukrosa terdiri atas lima taraf yaitu 30, 60, 90, 120 dan 150 g L -1 dan paclobutrazol terdiri dari empat taraf yaitu 0, 0.1, 1 dan 10 mg L -1. Terdapat 20 kombinasi perlakuan dan setiap kombinasi perlakuan diulang 10 kali. Setiap unit percobaan terdiri atas satu botol kultur, sehingga seluruhnya terdapat 200 satuan percobaan. Tunas in vitro bawang merah hasil perbanyakan digunakan sebagai propagul untuk pengumbian mikro. Hasil percobaan menunjukkan tidak terdapat interaksi antara sukrosa dan paclobutrazol, dan perlakuan hanya berpengaruh secara tunggal. Sukrosa berpengaruh terhadap tinggi tanaman, jumlah daun senesen, jumlah akar, panjang akar, bobot planlet dan diameter umbi terlebar. Konsentrasi sukrosa 90 g L -1 terbaik dalam menginduksi umbi lapis mikro bawang merah. Pemberian paclobutrazol berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun senesen, jumlah dan panjang akar. Pemberian paclobutrazol pada taraf 10 mg L -1 menghambat tinggi tanaman, jumlah daun senesen dan panjang akar. Pemberian paclobutrazol mg L -1 menurunkan panjang akar. Pemberian paclobutrazol pada konsentrasi 1 dan 10 mg L -1 menghasilkan bentuk umbi lapis mikro yang abnormal. Analisis regresi dengan respon linier positif nyata tetapi dengan R 2 yang sangat kecil pada peubah diameter terlebar yang menunjukkan terjadi peningkatan diameter terlebar umbi lapis mikro bawang merah dengan meningkatnya konsentrasi paclobutrazol.

72 44 Korelasi terjadi antara peubah bobot planlet dengan peubah tinggi tanaman, jumlah daun hijau, jumlah daun senesen, jumlah akar, panjang akar, diameter terlebar (Dt) umbi lapis mikro dan diameter pangkal (Dp) umbi lapis mikro. Tidak terdapat korelasi antara peubah Dt/Dp dengan seluruh peubah lainnya. Kata kunci: sukrosa, paclobutrazol, umbi lapis mikro, bawang merah (Allium ascalonicum L.), variasi somaklonal. Abstract Micro tuber is one form of propagules developed by plants capable of forming storage organ. Micro bulb formation is influenced by factors such as sucrose and retardants. The objective of this study was to determine the effect of sucrose and paclobutrazol in micro bulb formation of shallot. The experiment was arranged in Completely Randomized Design, with two factors namely sucrose and paclobutrazol. The treatment consisted of five sucrose levels : 30, 60, 90, 120 and 150 g L -1 and four levels of paclobutrazol : 0, 0.1, 1 and 10 mg L -1. There were 20 combinations of treatments and each treatment combination was repeated 10 times. Each experimental unit consisted of a single culture bottle, so there were 200 experimental units. Micro shoots of shallot were used as propagules for micro bulb induction. The results showed that there was no interaction between sucrose and paclobutrazol, and only single factor was significant. Sucrose inhibited plant height, number of senescing leaf, root number, root length, the weight of plantlets and tuber widest diameter. Sucrose concentration of 90 g L -1 induced the best in micro bulbs of shallot. Treatment of paclobutrazol significantly decreased plant height, number of senescing leaf, and root length. Paclobutrazol at level 10 mg L -1 inhibited plant height, number of leaf and root length. Paclobutrazol at mg L -1 shortened root length. Paclobutrazol at a concentration of 1 and 10 mg L -1 produced abnormal form of micro bulbs. Regression analysis showed linier response (R 2 =0.081) on widest diameter. Widest diameter of micro bulb increased with paclobutrazol concentration. No correlation between ratio of widest diameter (Dt) and base diameter (Dp) of micro bulb with other parameters. Key words: sucrose, paclobutrazol, microbulb, shallot (Allium ascalonicum L.), somaclonal variation

73 45 Pendahuluan Bawang merah (Allium cepa grup agregatum atau Allium ascalonicum) merupakan salah satu species Allium yang terkenal di Indonesia dan merupakan salah satu komoditi unggulan yang terus ditingkatkan produksinya. Bawang merah pada periode merupakan sayuran yang diproduksi ketiga tertinggi di Indonesia setelah kubis dan kentang. Produktivitas bawang merah mengalami penurunan dari ton ha -1 pada tahun 2001 menjadi 8.74 ton ha -1 pada tahun 2007 (Direktorat Jendral Hortikultura 2011). Penurunan produktivitas bawang merah disebabkan salah satunya karena penggunaan bibit yang tidak berkualitas. Penggunaan bibit yang berasal dari hasil pertanaman sebelumnya, akumulasi patogen pada tanaman dan tidak adanya sistem penangkaran bibit dapat menimbulkan penyakit degeneratif yang akan memengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman bawang merah di lapangan. Kultur in vitro sudah dikenal luas dalam kemampuannya menyediakan sejumlah besar bibit tanaman dalam waktu yang relatif cepat, bebas dari patogen (cendawan, bakteri atau virus), bersifat klonal dan tersedia sepanjang waktu tanpa dipengaruhi musim. Perbanyakan bawang merah secara in vitro dapat menggunakan eksplan tunas bunga (Cohat 1994), umbi lapis (Mohamed-Yasseen et al. 1994; Le Guen-Le Saos et al. 2003) atau embrio zigotik (Zheng et al dalam Zheng et al. 2005) yang menghasilkan tunas mikro. Perbanyakan bawang merah in vitro juga dapat dilakukan melalui induksi umbi lapis mikro atau bulblet. Induksi umbi lapis mikro bawang merah menurut Mohamed-Yasseen et al. (1994) tidak sebaik pada bawang putih. Umbi lapis mikro bawang merah diinduksi pada media MS dengan penambahan arang aktif 5 g L -1 dan sukrosa 120 g L -1 dengan lama penyinaran 18 jam (Mohamed-Yasseen et al. 1994); Hidayat (1997) menginduksi umbi lapis mikro bawang merah cv Sumenep pada media BDS dengan sukrosa 150 g L -1. Fletcher et al. (1998) juga berhasil menginduksi umbi lapis mikro pada media yang sama dengan Mohamed- Yasseen et al. (1994). Lebih lanjut Le Guen-Le Saos et al. (2002) berhasil menginduksi umbi lapis mikro bawang merah dengan perlakuan kualitas cahaya, sukrosa dan retardan. Tunas bawang merah var. Mikor ditanam pada media dengan sukrosa 30 sampai 50 g L -1 yang diberi penyinaran cahaya putih dan

74 46 incandescent selama 16 jam berhasil membentuk umbi lapis mikro. Pemberian sukrosa pada kultur in vitro umum diberikan untuk menginduksi umbi mikro seperti pada tanaman kentang (Wattimena & Purwito 1989), tulip (Rice et a.l. 1983), A. cepa (Kahane et al. 1992), bawang (Haque et al. 2003; Pelkonen 2005). Umumnya pemberian sukrosa dengan konsentrasi tinggi lebih dari 60 g L -1 akan meningkatkan pembentukan umbi mikro. Sukrosa akan ditranslokasikan ke organ penyimpanan di bagian basal dan terjadi penggembungan sehingga terbentuk umbi mikro ((Rice et a.l. 1983; Kahane et al. 1992). Sukrosa merupakan sumber karbohidrat dan energi (Wattimena & Purwito 1989). Proses pengumbian mikro salah satunya ditentukan oleh keberadaan giberelin. Pada tanaman kentang, umbi mikro tidak akan terbentuk apabila pada media terdapat giberelin eksogen. Pemberian retardan menghambat aktivitas giberelin endogen dan umbi mikro terbentuk pada suhu di bawah 20 o C (Menzel 1983). Pada pemberian retardan (ancymidol, paclobutrazol dan flurprimidol) 10 μm hanya ancymidol yang meningkatkan persentase umbi lapis mikro yang terbentuk (Le Guen-Le Saos 2002). Pemberian ancymidol 10 μm meningkatkan akumulasi sukrosa di bagian akar dan bagian bawah umbi lapis mikro bawang merah var. Mikor yang dideteksi dengan distribusi radioaktif [ 14 C] sukrosa. Penelitian ini bertujuan adalah untuk mengetahui pengaruh sukrosa dan paclobutrazol serta mendapatkan media terbaik dalam pembentukan umbi lapis mikro bawang merah. Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB pada bulan Juni 2009 Desember Bahan Tanaman Bawang merah yang digunakan berasal dari petani penyedia bibit di Brebes. Kultivar yang ditanam adalah Bima Juna.

75 47 Metode Penelitian Percobaan disusun dalam Rancangan Acak Lengkap faktorial dua faktor. Faktor perlakuan yang pertama yaitu paclobutrazol terdiri atas empat taraf yaitu 0, 0.1, 1 dan 10 mg L -1 serta faktor kedua sukrosa yang terdiri atas lima taraf yaitu 30, 60, 90, 120 dan 150 g L -1. Setiap perlakuan diulang 10 kali sehingga terdapat 200 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan terdiri atas satu botol kultur. Setiap botol kultur ditanam satu tunas mikro bawang merah. Data yang diperoleh diolah dengan bantuan SAS 6 dan dilakukan uji DMRT pada tingkat kepercayaan 95% (α=5%) untuk mengetahui perbedaan dari perlakuan terhadap peubah yang diamati. Analisis regresi dilakukan untuk menduga respon perlakuan dan konsentrasi optimal dari setiap perlakuan. Analisis korelasi dilakukan untuk mengetahui keterkaitan antar peubah. Eksplan awal berupa setengah bagian cakram umbi yang ditanam pada media perbanyakan (MS+vit B5+4 mg L -1 2ip+0.5 mg L -1 NAA). Propagul untuk pengumbian adalah tunas mikro yang diperoleh dari media perbanyakan yang sudah berumur 3-4 minggu. Tunas mikro dengan daun minimal berjumlah empat helai, tidak vitrous dan tanpa akar ditanam pada media perlakuan. Kultur selanjutnya diletakkan di ruang kultur pada rak kultur dengan pengaturan suhu 30 o C (suhu terbaik dari hasil percobaan kedua), intensitas cahaya 2000 lux dengan lama penyinaran 24 jam. Pengamatan dilakukan setiap minggu selama delapan minggu terhadap peubah : jumlah tunas, jumlah daun, jumlah daun kuning, jumlah akar, dan bobot planlet, panjang tunas, panjang akar, diameter terlebar (Dt) umbi lapis mikro, diameter pangkal (Dp) umbi lapis mikro, Dt/Dp pada minggu terakhir pengamatan. Hasil dan Pembahasan Perlakuan sukrosa dan paclobutrazol berpengaruh secara tunggal, tidak terdapat interaksi antara kedua faktor. Sukrosa berpengaruh terhadap tinggi tanaman, jumlah daun senesen, jumlah akar, panjang akar, bobot planlet dan diameter terlebar umbi lapis mikro (Tabel 12).

76 48 Konsentrasi gula 150 g L -1 menghambat pemanjangan sel bagian tajuk dan akar. Jumlah akar terendah diperoleh pada media dengan gula 30 dan 150 g L -1. Hasil penelitian ini berbeda dari hasil penelitian Le Guen-Le Saos et al. (2002), konsentrasi sukrosa tinggi (70 g L -1 ) menghambat pertumbuhan akar dan tunas. Konsentrasi sukrosa yang tinggi ( g L -1 ) menghambat proses senesen daun. Hal ini diduga karena sukrosa merupakan sumber energi bagi tunas in vitro seperti yang dijelaskan Wattimena dan Purwito (1989) sehingga daun hijau bertahan tetap hijau dalam waktu lebih lama. Bobot planlet terendah diperoleh pada perlakuan sukrosa 30 g L -1 dan tertinggi pada 60 g L -1. Bobot planlet yang tinggi pada perlakuan sukrosa 60 g L -1 karena jumlah daun, tinggi tunas, jumlah akar dan panjang akar pada perlakuan tersebut juga tinggi. Perlakuan sukrosa 60 g L -1 sangat menunjang pertumbuhan kultur. Tabel 12. Rata-rata nilai peubah bagian tajuk dan umbi lapis mikro bawang merah pada lima taraf sukrosa pada 8 MST Peubah Sukrosa (g L -1 ) Bobot planlet (g) 0.7 c 2.4 a 1.9 ab 1.7 ab 1.3 b Diameter terlebar (Dt) (mm) 0.6 b 0.6 b 0.8 a 0.7 ab 0.6 b Diameter pangkal 0.4 a 0.3 a 0.4 a 0.4 a 0.3 a (Dp) (mm) Dt/Dp 1.5 a 2.0 a 2.0 a 1.8 a 2.0 a Jumlah daun hijau 3.0 a 3.6 a 4.6 a 3.9 a 3.9 a (helai) Jumlah daun senesen 5.8 a 5.1 ab 4.4 abc 3.4 bc 2.6 c (helai) Tinggi tanaman (cm) 7.7 ab 10.9 a 10.1 a 7.1 ab 4.3 b Panjang akar (cm) 6.8 a 8.1a 6.4 a 3.6 b 2.3 b Jumlah akar 5.2 b 17.6 a 18.4 a 13.6 a 11.8 ab Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf α = 5%

77 49 Pemberian sukrosa 90 g L -1 menghasilkan ukuran diameter terlebar umbi lapis mikro tertinggi. Pemberian sukrosa pada semua konsentrasi tidak meningkatkan ukuran diameter pangkal umbi lapis. Nilai Dt/Dp > 2 merupakan kriteria umbi lapis mikro bawang menurut Mondal et al. (1986). Peningkatan sukrosa meningkatkan ukuran umbi lapis mikro bawang merah. Persentase kultur dengan umbi lapis mikro bawang merah yang mencapai nilai Dt/Dp > 2 pada pemberian sukrosa 30 dan 60 g L -1 hanya mencapai 30%, pada konsentrasi sukrosa 90 dan 120 g L -1 meningkat menjadi 50% dan tertinggi pada sukrosa 150 g L -1 mencapai 60%. Tidak semua kultur pada perlakuan yang sama menghasilkan nilai DT/Dp > 2 diduga disebabkan jumlah daun tunas mikro yang tidak seragam sehingga memengaruhi jumlah lapisan yang menggembung pada saat penimbunan karbohidrat. Pada pembentukan umbi lapis bawang merah di lapangan, menurut Brewster et al. (1977) terjadi setelah terbentuknya sejumlah daun minimal 6 helai dengan panjang hari dan suhu yang sesuai. Pada bawang, umbi lapis mikro dengan kriteria Dt/Dp>2 akan terbentuk apabila tunas mempunyai jumlah daun lebih dari 3 helai (Kahane et al. 1997). Le Guen-Le Saos et al. (2002); Haque et al. (2003); Pelkonen (2005) melaporkan pemberian sukrosa meningkatkan pembentukan dan ukuran umbi lapis mikro bawang. Sukrosa pada kultur in vitro diperlukan sebagai sumber energi dan karbon (Wattimena & Purwito 1989). Beberapa argumen diajukan tentang peningkatan sukrosa dapat meningkatkan pertumbuhan dan pembentukan umbi lapis mikro. Ada dua hipotesis utama, 1) peningkatan karbohidrat menghasilkan penimbunan sejumlah energi yang digunakan untuk induksi dan pertumbuhan; dan 2) peningkatan karbohidrat meningkatkan tekanan osmotik media, yang menciptakan kondisi stres lingkungan, yang merangsang terinduksinya organ penyimpanan sebagai salah satu respon penghindaran terhadap kondisi yang tidak mendukung (Ascough et al. 2008). Pemberian manitol sebagai senyawa yang dapat meningkatkan tekanan osmotik media dan menggantikan sukrosa ternyata menghambat pembentukan umbi lapis (Le Guen-Le Saos et al. 2002). Diduga translokasi dan penimbunan karbohidrat pada umbi lapis mikro bawang merah lebih penting dibanding tekanan osmotik media.

78 50 Pemberian paclobutrazol berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun senesen, jumlah dan panjang akar (Tabel 13). Pemberian paclobutrazol pada taraf 10 mg L -1 menghambat tinggi tanaman, jumlah daun senesen dan panjang akar. Pemberian paclobutrazol mg L -1 menurunkan panjang akar. Hasil yang sama diperoleh pada kultur Watsonia (Ascough et al. 2008), yang menyebabkan pertumbuhan tajuk dan akar terhambat dan terbentuk roset. Roset adalah pemendekan ruas karena terhambatnya pemanjangan sel. Pemberian retardan menghambat aktivitas giberelin sehingga perpanjangan sel terhambat tetapi tidak menghambat pembelahan sel (Arteca 1996; Cathey 1975). Pemberian paclobutrazol pada konsentrasi tinggi mempertahankan warna hijau pada daun in vitro. Hal ini disebabkan sel-sel daun mengecil, terakumulasi dan padat sehingga warna hijau lebih bertahan lama. Tabel 13. Rata-rata nilai peubah bagian tajuk dan umbi lapis mikro bawang merah pada empat taraf paclobutrazol pada 8 MST Peubah Paclobutrazol (mg L -1 ) Bobot planlet (g) 0.9 c 1.9 ab 2.3 a 1.3 bc Diameter terlebar 0.6 a 0.6 a 0.6 a 0.8 b (Dt) (mm) Diameter pangkal 0.4 a 0.4 a 0.3 a 0.4 a (Dp) (mm) Dt/Dp 1.5 a 1.5 a 2.0 a 2.0 a Jumlah daun 4.3 ab 4.6 ab 5.1 a 3.1 b senesen (helai) Tinggi tanaman 8.5 b 12.7 a 8.5 b 2.3 c (cm) Panjang akar 5.7 b 8.4 a 5.5 a 2.1 c (cm) Jumlah akar 7.6 b 14.8 ab 21.2 a 9.6 b Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf α = 5%. Bobot planlet terendah diperoleh pada media pengumbian tanpa paclobutrazol tetapi tidak berbeda nyata dengan bobot umbi lapis mikro pada perlakuan paclobutrazol 10 mg L -1. Diameter pangkal umbi lapis tidak

79 51 dipengaruhi oleh pemberian paclobutazol. Diameter terlebar umbi lapis mikro bawang merah dicapai oleh perlakuan paclobutrazol 10 mg L -1. Pemberian retardan meningkatkan translokasi sukrosa ke organ penyimpanan (Le Guen-Le Saos et al. 2002). Nilai rasio Dt/Dp umbi lapis mikro yang diperoleh pada perlakuan dengan pemberian paclobutrazol dengan kriteria 2 diperoleh pada konsentrasi paclobutrazol 1 dan 10 mg L -1. Pemberian anti giberelin CCC dan ancymidol pada kultur kentang (Watimena & Purwito 1989), Ancymidol pada bawang merah (Le Guen-Le Saos et al. 2002) dan CCC dan SADH pada bawang putih (Kim et al. 2003) mengakibatkan penghambatan biosintesis giberelin dan merangsang proliferasi umbi lapis atau bulb mikro. Hal ini dimungkinkan karena mode of action paclobutrazol atau retardan lainnya adalah mengubah arah dan mengubah distribusi energi yang tersedia dari tunas dan akar ke jalur morfogenik lainnya seperti pembentukan umbi lapis mikro (Ascough et al. 2008). Berdasarkan pengamatan visual bentuk umbi lapis mikro bawang merah yang normal akan mengerucut di ujung umbi seperti umbi yang dihasilkan di lapangan (Gambar 8). Pada pemberian paclobutrazol 10 mg L -1, umbi lapis mikro yang diperoleh menjadi tidak normal seperti roset (Gambar 9). Bagian ujung umbi tidak menguncup seperti umbi lapis mikro yang normal walaupun kriteria umbi lapis mikro tercapai pada perlakuan paclobutrazol tersebut. Terhambatnya pertumbuhan dan bentuk umbi yang abnormal diduga karena konsentrasi paclobutrazol yang terlalu Gambar 8. Umbi lapis mikro bawang merah yang normal

80 52 tinggi dan paclobutrazol yang diberikan menghambat biosintesis giberelin. Penghambatan biosintesis giberelin oleh retardan dapat terjadi pada beberapa lintasan bergantung senyawa penghambat yang digunakan (Hazarika 2003). Paclobutrazol merupakan retardan kuat dan senyawa tersebut menghambat oksidasi ent-kaurene menjadi ent-kaurenoic acid oleh P450 monooxygenase (Srivastava 2002). Ketidakadaaan giberelin akan memengaruhi orientasi mikrotubul dalam proses pengumbian (Kato et al dalam Le Guen-Le Saos et al. 2002). Disarankan untuk tidak menambahkan paclobutrazol ke media pengumbian Paclobutrazol 10 mg L -1, Paclobutrazol 10 mg L -1, sukrosa 60 g L -1 sukrosa 90 g L -1 Paclobutrazol 10 mg L -1, sukrosa 150 g L -1 Paclobutrazol 10 mg L -1, sukrosa 120 g L -1 Paclobutrazol 1 mg L -1, sukrosa 120 g L -1 Paclobutrazol 1 mg L -1, sukrosa 60 g L -1 Gambar 9. Abnormalitas umbi lapis mikro bawang merah yang dihasilkan pada perlakuan dengan paclobutrazol

81 53 mikro bawang merah dan perlu dievaluasi pengaruh residu paclobutrazol terhadap pertumbuhan umbi lapis mikro selanjutnya di lapangan. Pada percobaan dengan paclobutrazol dihasilkan kultur dengan umbi lapis mikro yang berwarna putih. Pada awal pertumbuhan tunas tidak terjadi perubahan pada warna daun dan tunas tetap hijau. Hasil ini memperlihatkan terjadi epigenetic atau mungkin keragaman somaklonal dapat diperoleh pada perlakuan dengan paclobutrazol. Epigenetic terjadi karena berubahnya kultur secara morfologi akibat pengaruh lingkungan kultur. Perubahan morfologi karena epigenetic hanya bersifat sementara dan akan kembali normal setelah tanaman tumbuh dan berkembang di tempat yang sesuai. Keragaman somaklonal terjadi karena induksi mutasi pada sel-sel somatik akibat zat pengatur tumbuh pada konsentrasi tinggi pada kultur in vitro. Umbi lapis mikro tersebut perlu dikarakterisasi lebih lanjut. SC SK SH SH SP Gambar 10. Umbi lapis mikro bawang merah yang dihasilkan secara in vitro dipotong horizontal (kiri) dan umbi lapis mikro yang dibelah melintang (kanan) memperlihatkan lapisan-lapisan yang terbentuk (kanan) (SK: kulit pelindung terluar; SH: lapisan tipis yang menggembung dan berdaging; SC: lapisan yang membengkak; SP: tunas adventif) Umbi lapis mikro bawang merah yang diperoleh memperlihatkan lapisanlapisan yang terbentuk seperti umumnya pada umbi lapis bawang yang dibudidayakan di lapangan (Gambar 10). Lapisan terdiri atas lapisan terluar yang kering (outer protector skin), helai daun yang menggembung berdaging (fleshy swollen sheath), lapisan yang membengkak (swollen bulb scale), daun kecambah

82 54 (sprout leaves) dan basal plate (De`Mason 1990; Rabinowitch & Kamenetsky 2002). Berdasarkan kultur yang membentuk umbi lapis mikro perlakuan sukrosa 150 g L -1 menghasilkan jumlah terbanyak, tetapi tidak berbeda jauh dibanding perlakuan sukrosa 90 g L -1. Bentuk umbi lapis mikro dan kondisi planlet pada sukrosa 90 g L -1 (Gambar 11) jauh lebih baik dibanding perlakuan lainnya. Selain itu diameter terlebar umbi lapis mikro dihasilkan oleh perlakuan sukrosa 90 g L -1. Mempertimbangkan efisiensi dan perhitungan secara ekonomis, disarankan pengumbian mikro bawang merah menggunakan sukrosa 90 g L -1 dengan kondisi lingkungan kultur yang diterapkan dalam percobaan ini. Sukrosa 60 g L -1 Sukrosa 90 g L -1 Sukrosa 120 g L -1 Sukrosa 150 g L -1 Gambar 11. Umbi lapis mikro bawang merah pada beberapa konsentrasi sukrosa. Berdasarkan perhitungan dengan analisis regresi perlakuan paclobutrazol responnya hanya nyata terhadap peubah diameter terlebar umbi lapis mikro dan tidak nyata pada diameter pangkal (Dp) dan nilai Dt/Dp. Analisis regresi nyata

83 Diameter Terpanjang (mm) 55 linear positif (Y= x) pada peubah diameter terlebar umbi lapis mikro pada perlakuan paclobutrazol dengan nilai R 2 = (Gambar 12). Nilai R 2 yang sangat kecil menunjukkan data yang diperoleh keragamannya sangat besar. Persaman garis tersebut menunjukkan diameter terlebar umbi lapis mikro akan meningkat dengan meningkatnya konsentrasi paclobutrazol. Hasil tersebut menunjukkan paclobutrazol berperan dalam pembesaran umbi lapis mikro, diduga terjadi peningkatan akumulasi karbohidrat. Namun pengamatan secara visual menunjukkan pemberian paclobutrazol yang semakin meningkat menghasilkan bentuk umbi lapis mikro bawang merah yang abnormal (Gambar 9). Berdasarkan analisis regresi tersebut tidak dapat ditarik kesimpulan konsentrasi optimum perlakuan paclobutrazol terhadap peubah umbi lapis mikro bawang merah. 2.0 S R-Sq 8.1% R-Sq(adj) 7.5% Paclobutrazol (mg/l) 8 10 Gambar 12. Grafik regresi diameter terlebar umbi lapis mikro pada perlakuan paclobutrazol pada 8 MST Hasil analisis korelasi menunjukkan terdapat korelasi nyata antara bobot planlet dengan peubah tinggi tanaman, jumlah daun, hijau, jumlah daun senesen, jumlah akar, panjang akar terpanjang, diameter terlebar (Dt) umbi lapis mikro dan diameter pangkal (Dp) umbi lapis mmikro. Tidak terdapat korelasi antara rasio Dt/Dp dengan seluruh peubah yang diamati (Tabel 14). Hasil ini menunjukkan

84 56 pembentukan umbi lapis mikro bawang merah tidak dipengaruhi jumlah daun, jumlah daun senesen, diameter (terlebar dan pangkal) umbi lapis mikro. Data tersebut berbeda dengan umbi lapis bawang yang diperoleh di lapangan yang pembentukannya berkaitan dengan jumlah daun (Brewster et al. 1977). Tabel 14. Koefisien korelasi antar peubah pada 8 MST TT0 JDH JDC JA PAT BP DT DP DT/DP TT ** 0.47** 0.46** 0.78** 0.48** 0.08tn 0.14tn -0.16tn <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 < JDH 0.44** ** 0.72** 0.48** 0.73** 0.11tn 0.22** -0.18tn <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 < JDC 0.47** 0.37** ** 0.60** 0.40** 0.09tn 0.16tn -0.15tn <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 < JA 0.46** 0.72** 0.39** ** 0.91** 0.14tn 0.19** -0.13n <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 < PAT 0.78** 0.48** 0.60** 0.52** ** 0.08tn 0.11tn -0.08tn <.0001 <.0001 <.0001 < BP 0.48** 0.73** 0.40** 0.91** 0.50** ** 0.29** -0.18tn <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 < DT 0.08tn 0.11 tn 0.09 tn 0.14 tn 0.08 tn 0.21* ** 0.20n < DP 0.14tn 0.22** 0.16tn 0.19* 0.11tn 0.29** 0.74** tn <.0001 <.0001 DT/DP <.0001 Keterangan: TT=tinggi tanaman, JDH=jumlah daun hijau, JDC=jumlah daun coklat (senesen), PAT=panjang akar terpanjang, JA=jumlah akar, BP=bobot planlet, DT=diameter terlebar, DP=diameter pangkal, Dt/Dp=rasio diameter terlebar/diameter pangkal. Kesimpulan Metoda pembentukan umbi lapis mikro bawang merah diperoleh dengan menanam tunas mikro pada media pengumbian dengan konsentrasi sukrosa 90 g L -1 pada suhu ruang kultur 30 o C, terbaik dalam meningkatkan diameter pangkal(dp) umbi lapis mikro dan rasio diameter terlebar (Dt) dan pangkal (Dp)

85 57 umbi lapis mikro, persentase kultur yang menghasilkan umbi lapis mikro dengan Dt/Dp > 2 mencapai 50%. Peningkatan konsentrasi paclobutrazol dari 0.1 sampai 10 mg L -1 nyata menghambat pertumbuhan tunas dan akar. Diameter terlebar umbi lapis mikro akan terus meningkat dengan meningkatnya konsentrasi paclobutrazol (Y= x; R 2 =0.081). Pemberian paclobutrazol 10 mg L -1 menghasilkan penampilan beberapa umbi lapis mikro yang abnormal. Umbi lapis mikro bawang merah yang dihasilkan mempunyai anatomi yang sama dengan umbi lapis bawang merah yang dibudidayakan di lapangan. Terdapat korelasi antara bobot planlet terhadap seluruh peubah pengamatan. Tidak terdapat korelasi antara rasio Dt/Dp dengan seluruh peubah yang diamati. Saran Pengumbian mikro bawang merah sebaiknya tidak menggunakan media yang mengandung paclobutrazol. Perlu penelitian untuk melihat pengaruh residu paclobutrazol pada umbi lapis mikro bawang merah terhadap pertumbuhan di lapangan.

86 AKLIMATISASI PLANLET DAN UMBI LAPIS MIKRO BAWANG MERAH (ACCLIMATIZATION OF SHALLOT PLANLET AND MICRO BULB) Abstrak Tahap aklimatisasi merupakan tahap yang kritis untuk mengadaptasikan planlet dan umbi lapis mikro bawang merah ke kondisi autotrof. Tujuan aklimatisasi adalah untuk mengkondisikan planlet dan umbi lapis mikro bawang merah sebelum ditanam ke lapangan. Aklimatisasi dilakukan tiga kali: 1) menggunakan planlet yang diperoleh dari percobaan sukrosa dan paclobutrazol yang ditumbuhkan pada suhu ruang 20 o C. Terdapat 20 kombinasi perlakuan dan masing-masing terdiri atas 10 planlet; 2) dan 3) menggunakan umbi lapis mikro yang dihasilkan dari media pengumbian yang diinkubasi pada ruang kultur 30 o C, masing-masing berjumlah 150 dan 27 umbi lapis mikro bawang merah. Pada aklimatisasi yang pertama planlet ditanam di media arang sekam, kompos dan cocopeat (1:1:1), sedangkan umbi lapis mikro ditanam pada media kompos daun hijau dan arang sekam (1:1). Pada percobaan aklimatisasi pertama keberhasilan hidup planlet yang berupa tunas mikro berakar dari percobaan sukrosa dan paclobutrazol selama tiga minggu sangat rendah. Hanya 1% planlet mampu bertahan hidup sampai minggu ke 3 setelah aklimatisasi. Pada aklimatisasi kedua dan ketiga (menggunakan umbi lapis mikro) terjadi peningkatan keberhasilan tumbuh saat aklimatisasi selama 3 minggu. Persentase tumbuh pada aklimatisasi tahap dua mencapai 30% pada 2 minggu setelah aklimatisasi (MSA). Keberhasilan hidup umbi lapis mikro pada tahap aklimatisasi tiga mencapai 93% pada 2 MSA dan menurun menjadi 56% pada 3 MSA dan terjadi peningkatan jumlah daun total, daun hijau, tunas, umbi dan tinggi tanaman selama 3 MSA. Kata kunci: Bawang merah (Allium ascalonicum L.), umbi lapis mikro, autotrof, aklimatisasi.

87 60 Abstract Acclimatization is critical step to adapt shallot planlets and micro bulb to the autotrophic conditions. The success of acclimatization is determined by hardening and environmental conditions of planlets and micro bulb of shallot before planting into the field. Acclimatization were conducted three times : 1) using plantlets obtained from sucrose and paclobutrazol experiment grown at 20 o C room temperature. There were 20 combinations of treatment and each consisted of 10 plantlets; 2) and 3) using micro bulb produced from micro bulb induction medium. Micro bulbs were incubated at 30 o C, each consisted of 150 and 27 shallot micro bulbs. In the first acclimatization plantlets grown on media husk charcoal, compost and cocopeat (1:1:1), whereas micro bulb were planted in compost green leaves and husk charcoal (1:1). The results of the first experiment showed no plantlets survived after three weeks of acclimatization. In the second and third acclimatization, micro bulb were successfully grown during acclimatization for 3 weeks. Growth percentage in the acclimatization two reached 30% at 2 weeks after planting (WAP). While at acclimatization three, living plantlets reached 93% at 2 WAP and 56% at 3 WAP and increased in the total number of leaves, green leaves, bulbs and plant height at 3 WAP. Keywords: Shallot (Allium ascalonicum), micro bulb, autotroph, acclimatization Pendahuluan Tahapan kultur in vitro berakhir setelah propagul membentuk planlet atau tanaman lengkap yang mempunyai bagian tunas dan akar. Pada kultur bawang merah planlet yang dihasilkan dapat berupa tunas mikro berakar, umbi lapis mikro, atau embrio somatik. Planlet yang dihasilkan secara in vitro masih bersifat heterotrof sehingga memerlukan adaptasi terhadap lingkungan selanjutnya yang bersifat in vivo menjadi ototrof. Proses adaptasi ini disebut aklimatisasi (Gunawan 1992). Planlet yang dihasilkan baik berupa tunas maupun umbi lapis mikro memerlukan lingkungan yang menunjang pertumbuhan dan perkembangan pada

88 61 tahap aklimatisasi dan di lapangan. Tahap aklimatisasi merupakan tahap yang kritis untuk mengadaptasikan planlet ke kondisi ototrof. Planlet berupa tunas sangat rentan terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim seperti suhu yang tinggi, kelembaban yang rendah dan intensitas cahaya yang tinggi. Selama planlet berada dalam kondisi heterotrof sangat terjaga (intensitas cahaya rendah, kondisi aseptik, media dengan sukrosa dan unsur hara lengkap yang diperlukan serta kelembaban yang tinggi) sehingga planlet berada pada stres yang minimal dan kondisi optimum untuk multiplikasi. Beberapa sifat yang tidak menguntungkan dari planlet in vitro diantaranya : daun in vitro sering kali tipis, lunak dan fotosintesis belum aktif (Pierik 1987), lapisan lignin tidak terbentuk sempurna, stomata yang membuka, kutikula tipis dan sistem perakaran yang belum sempurna (Gunawan 1992). Akar yang berasal dari tanaman in vitro kelihatan mudah terserang cendawan dan belum berfungsi sebagaimana tanaman in vivo. Akar menjadi cepat mati dan mungkin digantikan oleh akar baru yang dibentuk selama aklimatisasi (Pierik 1987). Kelemahan planlet ini akan mempengaruhi keberhasilan tumbuh selama aklimatisasi dan di lapangan. Menurut Hazarika (2003), untuk mendapatkan persentase tumbuh planlet yang tinggi selama aklimatisasi dapat diupayakan dengan pemberian sukrosa hingga 3 % pada media, peningkatan intensitas cahaya sebelum planlet diaklimatisasi, pemberian retardan pada tahap pengakaran dan pada masa aklimatisasi, pengurangan kelembaban ruangan kultur dan pemakaian antitranspirants. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan saat aklimatisasi : cahaya, kelembaban, suhu dan media tumbuh. Media tumbuh yang dipergunakan untuk planlet yang berasal dari kondisi in vitro memerlukan beberapa persyaratan : ringan, porous, dapat mempertahankan kelembaban, tidak mengandung patogen (steril) yang akan mendukung persentase keberhasilan tumbuh yang tinggi. Selain faktor tersebut juga perlu dipertimbangkan ketersediaan dan harga sehingga mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Keberhasilan tumbuh planlet bawang putih pada tahap aklimatisasi dan di lapangan yang mencapai 100 % dilaporkan oleh Matsubara dan Chen (1989) dengan menggunakan media tumbuh rockwool, vermikulit dan tanah dengan suhu ruangan 20 o C. Beberapa jenis media tumbuh

89 62 yang tersedia di pasaran adalah arang sekam, cocopeat, kompos bambu, rockwool, greenleaf, cascing dan vermikulit. Mohamed-Yasseen et al. (1994) serta Patena et al. (1997) berhasil menumbuhkan umbi lapis mikro bawang merah yang terbentuk secara in vitro dengan baik di lapangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan tumbuh planlet berupa tunas mikro yang dihasilkan dari percobaan sebelumnya (aklimatisasi pertama) dan umbi lapis mikro bawang merah yang dihasilkan dari media pengumbian (aklimatisasi kedua dan ketiga) pada tahap aklimatisasi. Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Percobaan aklimatisasi dilakukan secara bertahap tergantung saat planlet diperoleh. Aklimatisasi yang pertama dilakukan pada bulan Januari 2009, aklimatisasi kedua pada Mei 2011 dan Juli Percobaan aklimatisasi dilaksanakan di rumah plastik di depan Laboratorium Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB. Bahan dan Alat Percobaan aklimatisasi dilakukan tiga kali Pada tahap pertama digunakan planlet tunas mikro bawang merah. Pada tahap aklimatisasi kedua dan ketiga digunakan bahan tanaman umbi lapis mikro bawang merah. Percobaan aklimatisasi pertama dilakukan pada planlet tunas mikro bawang merah cv. Bima Juna hasil percobaan sukrosa dan paclobutrazol pada ruang simpan kultur 20 o C. Pada percobaan aklimatisasi yang pertama 200 planlet berasal dari 20 kombinasi perlakuan sukrosa dan paclobutrazol masing-masing terdiri atas 10 planlet. Planlet ditanam pada media arang sekam, kompos dan cocopeat dengan perbandingan (1 :1 :1). Pada aklimatisasi kedua dan ketiga digunakan umbi lapis mikro bawang merah yang diperoleh dari media pengumbian yang diinkubasi pada suhu 30 o C. Pada aklimatisasi kedua ditanam 150 planlet umbi lapis mikro bawang merah dan aklimatisasi ketiga ditanam 27 planlet umbi lapis mikro bawang merah. Media tumbuh pada aklimatisasi kedua dan ketiga menggunakan arang sekam dan kompos daun hiijau dengan perbandingan (1:1).

90 63 Pelaksanaan Pada aklimatisasi planlet bawang merah berupa tunas mikro, planlet dikeluarkan dari botol kultur dan dibersihkan dari agar-agar yang menempel. Planlet selanjutnya direndam dalam larutan fungisida Dithane M-45 dan Agrimisin 1 g L -1 selama 5 menit kemudian planlet ditiriskan di atas tisu. Aklimatisasi pertama dilakukan dengan menanam planlet pada media dengan komposisi arang sekam, cocopeat, dan kompos (1:1:1) berdasarkan volume. Media disiram dengan larutan ½ MS dan selanjutnya planlet ditanam pada media tumbuh yang disiapkan. Planlet kemudian disungkup dengan botol kultur steril dan diletakkan di tempat aklimatisasi berupa rak dengan naungan 60%. Pemeliharaan penyiraman dilakukan apabila media tumbuh terlihat kering dan pembuangan planlet yang terkena cendawan. Pada aklimatisasi tahap pertama ini unsur hara yang diberikan adalah larutan media ½ MS setiap satu minggu sekali. Aklimatisasi umbi lapis mikro dilakukan dengan membersihkan planlet dari agar-agar yang menempel, dan merendamnya dalam larutan fungisida Dithane M-45 dan Agrimisin 1 g L -1 selama lima menit dan meniriskan planlet di atas kertas tisu. Selanjutnya umbi lapis mikro ditanam pada media arang sekam dan kompos daun hijau (1:1) yang disiapkan pada tray. Media sebelumnya sudah disiram dengan larutan ½ MS. Umbi lapis mikro ditanam pada media dengan membenamkan 1/2 bagian umbi. Umbi lapis mikro bawang merah tidak disungkup dan tray diletakkan di rak dengan paranet 40% naungan. Umbi lapis mikro disiram dengan pupuk daun 2 g L -1 satu minggu sekali sebanyak 50 ml. Tanaman diamati selama 3 minggu terhadap peubah jumlah daun, tinggi tanaman dan persentase planlet hidup. Hasil dan Pembahasan Planlet bawang merah berupa tunas mikro berakar yang ditanam dari hasil percobaan sukrosa dan paclobutrazol yang berasal dari suhu ruang kultur 20 o C, tidak menunjukkan terbentuknya umbi lapis mikro berdasarkan kriteria Dt/Dp>2. Beberapa planlet menunjukkan ada penggembungan di bagian pangkal dan sedikit berwarna merah. Semua planlet merupakan tanaman sempurna karena ada bagian tajuk berupa helaian daun dan berakar. Kondisi planlet tidak vitrous dan terlihat

91 64 segar untuk diaklimatisasi (Gambar 13). Pada minggu pertama setelah diaklimatisasi terlihat persentase planlet hidup kurang dari 40% dan pada minggu ketiga hampir tidak ada planlet yang bertahan hidup (Gambar 14). Walaupun kondisi planlet dengan bagian tajuk dan perakaran berkembang dengan baik dan sudah mengalami hardening dengan pemberian sukrosa diatas 30 g L -1 dan paclobutrazol seperti yang disarankan Hazarika (2003) tetapi masih tidak berhasil meningkatkan keberhasilan tumbuh planlet selama aklimatisasi. Gambar 13. Planlet tunas mikro bawang merah yang memperlihatkan penggembungan dan berwarna merah di bagian pangkal tunas (kiri) ; kondisi planlet satu minggu diaklimatisasi (kanan) pada percobaan aklimatisasi pertama Persen tumbuh (%) Minggu Setelah Tanam Gambar 14. Persentase hidup planlet pada percobaan aklimatisasi pertama.

92 65 Jumlah akar yang banyak yang menunjukkan aktivitas auksin yang cukup tinggi tetapi pada aklimatisasi ini tidak membuat tanaman cepat beradaptasi dan meningkatkan keberhasilan tumbuh. Kematian planlet pada umumnya karena diserang cendawan, kemungkinan disebabkan media tumbuh terlalu basah, dan naungan terlalu berat sehingga kelembaban di lingkungan sekitar tempat aklimatisasi terlalu tinggi. Kondisi ini mengakibatkan cendawan berkembang dengan cepat, walaupun media tumbuh sebelumnya dipasturisasi dan planlet direndam dalam larutan fungisida. Komposisi media tumbuh yang kurang baik juga dapat menjadi penyebab ketidakberhasilan aklimatisasi planlet bawang merah. Cocopeat dan kompos merupakan media dengan karakterisasi daya pegang air kuat dan evaporasi rendah (Soepardi 1983). Penyiraman yang berlebihan menyebabkan media terlalu basah dan perakaran planlet tidak tahan dengan kelembaban terlalu tinggi. Bawang merah merupakan tanaman yang tidak tahan terhadap kelembaban tinggi (Rubatzky dan Yamaguchi 1999 ; Brewster 2002). Selain faktor lingkungan di sekitar tempat aklimatisasi yang kurang mendukung, jumlah tunas dan helai daun yang cukup banyak pada setiap planlet menyebabkan tanaman mengalami transpirasi yang cukup tinggi. Apabila laju transpirasi lebih besar dibanding laju absorpsi air pada suatu periode tertentu maka tumbuhan akan mengalami kematian. Transpirasi dapat berlangsung dari setiap bagian tumbuhan yang berhubungan dengan atmosfer (Tjondronegoro et al. 1999). Pada aklimatisasi kedua dan ketiga yang dilakukan pada umbi lapis mikro bawang merah, dilakukan perubahan komposisi media tumbuh. Media tumbuh aklimatisasi hanya terdiri atas kompos daun hijau dan arang sekam (tidak ditambahkan cocopeat). Perubahan media tumbuh ini bertujuan untuk mengurangi daya pegang air media sehingga dapat mengurangi kelembaban media. Umbi lapis mikro yang ditanam pada aklimatisasi kedua dan ketiga memperlihatkan morfologi dengan sedikit helai daun, bagian terluar umbi dilapisi daun tipis yang kering dan jumlah akar yang sedikit (Gambar 15). Pada minggu ke pertama setelah aklimatisasi persentase tumbuh umbi lapis mikro masih tinggi, tetapi pada minggu kedua aklimatisasi terjadi penurunan

93 66 persentase hidup planlet (Gambar 16). Tingginya persentase kematian planlet pada minggu kedua disebabkan curah hujan yang sangat tinggi pada saat aklimatisasi berlangsung yang merusak atap rumah plastik dan menggenangi tray tempat planlet tumbuh sehingga menyebabkan umbi membusuk dan mati. Gambar 15. Kondisi umbi lapis mikro bawang merah sebelum diaklimatisasi (kiri) dan setelah ditanam di media saat aklimatisasi (kanan) %se planlet hidup MSA 2 MSA Minggu Setelah Aklimatisasi Gambar 16. Persentase tumbuh umbi lapis mikro bawang merah pada dua minggu aklimatisasi (percobaan aklimatisasi kedua) Pada dua minggu aklimatisasi umbi lapis mikro bawang merah memperlihatkan daya adaptasi yang baik, terlihat peningkatan jumlah daun, daun hijau, tunas dan tinggi tunas (Gambar 17). Pertumbuhan ketiga peubah tersebut

94 67 menunjukkan umbi lapis mikro bawang merah berhasil beradaptasi pada kondisi aklimatisasi yang dilakukan. Hal tersebut diduga karena umbi lapis mikro dihasilkan seperti kondisi hardening yang disarankan Hazarika (2003) pada sukrosa tinggi (150 g L -1 ), suhu ruang kultur yang tinggi 30 o C, dan lama penyinaran 24 jam mendukung keberhasilan aklimatisasi. Morfologi umbi lapis mikro bawang merah dengan lapisan terluar sebagai pelindung juga mengurangi transpirasi planlet sehingga kematian planlet pada dua minggu dapat dikurangi. Aklimatisasi menggunakan umbi/rhizome/bulb mikro menyebabkan keberhasilan tumbuh planlet lebih besar (Ascough et al.2008) helai/buah jumlah daun jumlah daun hijau jumlah tunas jumlah umbi Minggu Setelah Aklimatisasi 1MSA 2MSA tinggi tunas (cm) Minggu Setelah Aklimatisasi Gambar 17. Pertumbuhan umbi lapis mikro pada dua minggu aklimatisasi (percobaan aklimatisasi kedua) Planlet umbi lapis mikro yang diaklimatisasi pada tahap ketiga berjumlah 27 dan mampu bertahan hidup berturut turut 100% (1 MST), 93% (2 MST) dan 56% pada tiga minggu setelah aklimatisasi. Hasil aklimatisasi kedua dan ketiga yang menggunakan umbi lapis mikro jauh lebih tinggi dibandingkan keberhasilan aklimatisasi menggunakan planlet tunas mikro. Penurunan jumlah planlet hidup yang cukup tinggi pada minggu ketiga aklimatisasi diduga planlet tidak tahan dengan kondisi media yang terlalu basah dan intensitas cahaya yang kurang. Bawang merah merupakan tanaman sayuran yang menyukai cahaya dan tidak suka dinaungi (Rubatzky & Yamaguchi 1999), sehingga perlu pengaturan intensitas cahaya pada saat aklimatisasi. Perubahan komposisi media dengan menghilangkan cocopeat untuk media aklimatisasi kedua dan ketiga, diduga juga

95 68 menyebabkan berkurangnya kelembaban media, sehingga akar tidak mudah membusuk, dan daya hidup planlet umbi lapis mikro pada aklimatisasi kedua dan ketiga lebih tinggi helai/umbi MSA 2MSA tinggi tanaman (cm) Minggu Setelah Aklimatisasi Minggu Setelah Aklimatisasi Gambar 18. Jumlah daun total, daun hijau, tunas dan pangkal tunas yang berwarna merah yang terbentuk umbi lapis (kiri) ; tinggi tanaman (kanan) planlet umbi lapis mikro bawang merah selama tiga minggu masa aklimatisasi (MSA). Planlet menunjukkan pertumbuhan dengan pembentukan daun baru dan pertambahan tinggi (Gambar 18). Pertumbuhan tinggi yang cukup pesat terjadi pada minggu kedua sampai ketiga aklimatisasi menunjukkan planlet umbi lapis mikro bawang merah mampu beradaptasi dengan baik. Warna pangkal tunas semakin merah dan menunjukkan pembesaran ukuran pangkal tunas. Kemampuan umbi lapis mikro bawang merah beradaptasi dengan baik sampai minggu ketiga menunjukkan aklimatisasi sebaiknya hanya dua minggu dan selanjutnya dipindah ke lapangan. Pemberian unsur hara berupa NPK sebanyak 2 g L -1 setiap minggu sekali diduga memberi tambahan unsur hara yang diperlukan untuk pertumbuhan bibit bawang merah. Hal ini dapat terlihat dari bertambahnya jumlah daun, tinggi tanaman dan jumlah tunas bibit. Pertumbuhan bibit yang terlihat pesat pada minggu kedua setelah aklimatisasi menunjukkan bibit harus segera dipindah

96 69 tanam ke media baru dan wadah yang lebih besar, intensitas cahaya ditingkatkan dan pemberian pupuk lanjutan. Gambar 19. Umbi lapis mikro bawang merah yang berhasil diaklimatisasi pada tahap aklimatisasi (kiri) dan pasca aklimatisasi (tengah) serta umbi lapis mini (kanan). Umbi lapis mikro bawang merah selama 3 minggu diaklimatisasi tidak menunjukkan pembesaran bagian umbi ataupun langsung membentuk umbi baru. Yang terjadi adalah terbentuknya tunas baru dan perkembangan warna merah di bagian pangkal tunas. Artinya pada tahap aklimatisasi seperti penanaman umbi bibit di lapangan akan terbentuk sejumlah tunas dan daun yang selanjutnya akan mengalami perkembangan dengan menggembungnya bagian pangkal tunas karena terjadi translokasi sejumlah karbohidrat. Kondisi pertumbuhan seperti ini menunjukkan bibit memerlukan perubahan kondisi lingkungan yang optimal untuk mendukung pertumbuhan sehingga terbentuk sejumlah tunas dan umbi lapis mini yang maksimal. Beberapa bibit berhasil dipindah tanam ke media pembesaran di polibag dengan media tumbuh tanah, kompos daun hijau dan arang sekam dan berhasil tumbuh membentuk umbi mini (Gambar 19). Pertumbuhan tunas dan umbi lapis mini masih belum optimal untuk menghasilkan jumlah umbi lapis mini yang banyak atau mendekati jumlah umbi yang ditanam sesuai standar budi daya. Keberhasilan tumbuh umbi lapis mikro bawang merah ini perlu dilanjutkan dengan penelitian tentang pemupukan dan intensitas cahaya yang diperlukan untuk pertumbuhan selanjutnya sampai menghasilkan umbi lapis mini.

97 70 Kesimpulan Keberhasilan hidup pada planlet tunas mikro bawang merah pada aklimatisasi pertama sangat rendah, hampir tidak ada planlet yang berhasil hidup pada 3 MSA. Pada aklimatisasi kedua menggunakan umbi lapis mikro bawang merah terjadi peningkatan kemampuan hidup 30% selama dua minggu dan pada aklimatisasi ketiga umbi lapis mikro berhasil hidup 93% pada 2 MSA dan tetap hidup sebesar 56% serta tumbuh sampai tiga minggu. Tanaman menunjukkan peningkatan jumlah daun total, daun hijau, tunas dan tinggi tanaman. Media tumbuh pada tahap dua dan tiga aklimatisasi menggunakan arang sekam dan kompos daun hijau (1:1) dengan naungan 40% dan tidak dilakukan penyungkupan secara individu menunjukkan keberhasilan hidup umbi lapis mikro lebih tinggi dibandingkan planlet tunas mikro yang ditanam pada media kompos daun hijau, arang sekam dan cocopeat. Saran Aklimatisasi umbi lapis mikro bawang merah sebaiknya dilakukan hanya dua minggu dan selanjutnya dipindah ke lapangan. Penelitian lebih lanjut tentang pemupukan perlu dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang pertumbuhan dan umbi lapis mini yang dihasilkan.

98 PEMBAHASAN UMUM Produksi dan produktivitas bawang merah semakin menurun. Penangkar bibit yang diharapkan belum dapat mengatasi ketersediaan bibit yang sehat dan petani belum sepenuhnya menggunakan bibit yang berkualitas. Bawang merah umumnya diperbanyak secara vegetatif, sehingga memerlukan penanganan penyediaan bibit yang sehat untuk mendapatkan pertumbuhan dan produksi yang optimal. Kultur jaringan merupakan salah satu alternatif yang difasilitasi oleh Kementrian Pertanian dalam penyediaan bibit hortikultura yang berkualitas (Direktorat Jendral Hortikultura 2009). Hasil utama rangkaian penelitian ini adalah diperolehnya metode untuk menghasilkan umbi lapis mikro bawang merah (Gambar 20). Dari penggunaan metode ini akan diperoleh umbi lapis mikro yang merupakan sumber bibit sehat. Planlet yang berasal dari kultur in vitro bebas dari bakteri dan cendawan. Bibit sehat bebas penyakit akan menunjang pertumbuhan dan produksi umbi yang tinggi di lapangan. Pengembangan dan aplikasi hasil penelitian ini akan dapat mengatasi salah satu permasalahan dalam penyediaan bibit bawang merah sehat dan kontinyu. Teknologi perbanyakan ini mempunyai potensi yang sangat penting dalam penyediaan bibit bawang merah, mengingat sistem penangkar bibit untuk bawang merah belum tersedia dan tertata baik. Industri penyedia bibit merupakan bagian penting yang berkaitan erat dalam sistem budi daya tanaman hortikultura. Hasil umbi lapis mikro memerlukan penanganan khusus sehingga akan mengembangkan peran penangkar bibit yang sehat. Perbanyakan secara vegetatif memerlukan sumber bibit sehat yang terkendali seperti keberhasilan dan pentingnya penyediaan bibit kentang (Direktorat Jendral Hortikultura 2009). Salah satu hasil penelitian ini adalah diperolehnya metoda perbanyakan tunas mikro bawang merah. Pembentukan tunas mikro bawang merah secara in vitro merupakan bagian penting dalam perbanyakan dan penyediaan bibit bawang merah yang sehat. Tunas in vitro dengan multiplikasi dan kecepatan tumbuh tinggi diperoleh pada media perbanyakan tunas (MS + vit B5 + 4 mg L -1 2ip mg L -1 NAA) (Septiari & Dinarti 2003) dengan menggunakan eksplan umbi lapis

99 72 Tunas mikro MS+vit B5+4 ppm 2ip+0.5 ppm NAA Media Pengumbian : MS+ vit B5 + sukrosa 90 g L -1 tanpa paclobutrazol Ruang Kultur : Suhu 30/27 o C, Lama penyinaran : jam Metoda Pembentukan Umbi lapis mikro bawang merah Umbi Lapis Mikro Bawang Merah Aklimatisasi umbi mikro bawang merah Metode Perbanyakan Bibit Bawang Merah asal In Vitro Gambar 20. Tahapan penyediaan umbi lapis bibit bawang merah dari laboratorium sampai lapangan yang sudah diperoleh pada media perbanyakan tunas (MS + vit B5 + 4 mg L -1 2ip mg L -1) disimpan pada suhu tinggi (30-45 o C) selama dua bulan. Kultur untuk tujuan multiplikasi tunas sebaiknya diinkubasi dalam ruangan bersuhu 20 o C. Analisis regresi untuk mendapatkan umur simpan umbi lapis yang optimum tidak dapat diduga, disebabkan ketidaksesuaian dengan kriteria propagul untuk diumbikan dan nilai R 2 yang sangat kecil. Terdapat korelasi yang sangat nyata antara jumlah tunas, jumlah daun hijau, jumlah daun senesen dan jumlah akar. Informasi ini memberikan hasil yang sama dengan yang dipilih petani, bahwa umur simpan umbi dua bulan memberikan hasil pertumbuhan tunas terbaik. Eksplan yang mengalami penyimpanan selama dua bulan memiliki respon dalam kultur in vitro pertumbuhan tunas lebih cepat, jumlah tunas lebih banyak, jumlah daun hijau lebih banyak serta daun tidak cepat layu atau senesen. Pertumbuhan tunas yang lebih baik ini diduga disebabkan jaringan lebih meristematik, konsentrasi sitokinin, auksin dan senyawa pendukung lainnya

100 73 berada pada kondisi optimum. Penambahan zat pengatur tumbuh eksogen mengatur keseimbangan hormonal eksplan sehingga responnya sesuai dengan tujuan yaitu perbanyakan tunas mikro. Tunas mikro yang dihasilkan jumlahnya belum optimal, sehingga dapat ditingkatkan dengan melakukan subkultur setiap 3-4 minggu dengan memisahkan tunas yang terbentuk. Disarankan untuk melakukan perbanyakan tunas bawang merah in vitro melalui embriogenesis somatik sehingga akan diperoleh tunas yang lebih banyak. Percobaan embriogenesis somatik pada bawang sudah dilaporkan Tiran dan Dinarti (2007) dan masih memerlukan evaluasi lebih lanjut. Tunas mikro yang berdaun lebih dari tiga, tidak banyak daun senesen dan tidak vitrous serta berumur 4 minggu di media perbanyakan merupakan propagul terbaik untuk diumbikan. Proses pembentukan umbi bawang merah terjadi setelah proses pembelahan sel berlangsung maksimal dengan terbentuknya sejumlah daun. Sel-sel pada bagian pangkal tunas selanjutnya akan mengalami proses pemanjangan dan pembesaran selama pengisian oleh karbohidrat (Brewster 2002). Hasil penelitian ini melengkapi informasi penelitian yang sudah ada karena ini merupakan informasi pertama tentang umur eksplan untuk kultur bawang merah. Faktor lingkungan kultur dapat memengaruhi morfogenesis eksplan. Suhu merupakan faktor alami yang berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Faktor suhu merupakan faktor utama yang menginduksi organ penyimpanan. Informasi yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah suhu ruang kultur 30/27 o C meningkatkan jumlah tunas yang berumbi, mempercepat terbentuknya umbi dan meningkatkan rasio diameter terlebar dan pangkal umbi mikro. Walaupun peningkatan suhu tidak meningkatkan peubah pertumbuhan lainnya seperti jumlah daun, jumlah tunas, jumlah akar, panjang daun dan akar, tetapi suhu 30/27 o C nyata meningkatkan ukuran umbi lapis mikro bawang merah lebih besar dua kali lipat dibanding umbi yang terbentuk pada suhu 20/17 o C. Bawang merah tidak seperti kerabatnya yang lain, sudah beradaptasi di daerah tropis dengan suhu lingkungan yang cukup tinggi. Pengumbian pada bawang merah berlangsung pada suhu relatif tinggi (Brewster 2002). Suhu yang

101 74 lebih tinggi meningkatkan akumulasi pati dan peningkatan gula tereduksi seperti pada tanaman padi dan tebu (Cheng et al. 2005; Jain et al. 2007). Pertumbuhan vegetatif (jumlah daun, jumlah akar, panjang akar dan daun) pada pengumbian mikro bawang merah lebih baik terjadi pada suhu 20/17 o C, hal ini dapat dijelaskan dengan hasil percobaan Jain et al. (2007), pada tebu yang ditanam pada suhu 25 o C mengalami penurunan konsentrasi IAA dan pada suhu yang lebih rendah terjadi peningkatan konsentrasi IAA. IAA merupakan auksin alami yang berperan dalam pembelahan sel. Pada konsentrasi tinggi akan merangsang pembentukan akar, dan bersama-sama sitokinin pada rasio tinggi akan mengatur pembelahan sel membentuk tunas/daun. Pada penelitian ini sukrosa memengaruhi pertumbuhan kultur. Konsentrasi sukrosa yang tinggi menghambat tinggi tajuk dan panjang akar. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Kahane et al. (1992), Le Guen-Le Saos et al. (2002), dan Ascough et al. (2008). Perbedaannya pada konsentrasi sukrosa. Kahane et al. (1992) menyatakan konsentrasi g L -1 pada Allium cepa; Le Guen-Le Saos et al. (2002) dan Ascough et al. (2008) pada konsentrasi 70 g L -1 masing-masing pada A. cepa grup aggregatum var Mikor dan Watsonia sp. Hasil lain yang terungkap bahwa pemberian sukrosa tinggi menghambat proses senesen daun. Hal ini diduga karena sukrosa merupakan sumber energi bagi tunas in vitro seperti yang dijelaskan Wattimena dan Purwito (1989) sehingga daun hijau bertahan lebih lama. Pengaruh peningkatan sukrosa terhadap pembentukan umbi mikro dapat dijelaskan berdasarkan hipotesis berikut : 1) peningkatan karbohidrat menghasilkan penimbunan sejumlah energi yang dapat dipergunakan untuk induksi umbi mikro dan pertumbuhan; dan 2) peningkatan karbohidrat meningkatkan tekanan osmotik media, yang menciptakan kondisi stres lingkungan, yang merangsang terinduksinya organ penyimpanan sebagai salah satu respon penghindaran terhadap kondisi yang tidak mendukung (Ascough et al. 2008). Pemberian manitol sebagai senyawa yang dapat meningkatkan tekanan osmotik media dan menggantikan sukrosa ternyata menghambat pembentukan umbi (Le Guen-Le Saos et al. 2002). Diduga translokasi dan penimbunan

102 75 karbohidrat pada umbi mikro lapis bawang merah lebih penting dibanding tekanan osmotik media. Pengembangan genotipe baru bawang merah di Indonesia terkendala oleh sulitnya pembungaan. Tidak semua kultivar bawang merah mampu berbunga. Kondisi suhu yang tinggi di daerah tropis dapat menghambat proses pembungaan dan penyerbukan. Salah satu hasil penelitian ini adalah terbentuknya umbi abnormal dalam bentuk dan warna. Kemungkinan pemberian paclobutrazol pada konsentrasi 10 mg L -1 menginduksi keragaman somaklonal. Umbi lapis mikro tersebut perlu dievaluasi lebih lanjut. Adanya fenomena tersebut sangat menguntungkan untuk pengembangan genotipe baru bawang merah melalui kultur in vitro, selain hasil persilangan atau mutasi dengan iradiasi sinar gamma, mengingat masalah pembungaan pada bawang merah. Paclobutrazol tidak sesuai untuk pengumbian mikro bawang merah. Berdasarkan analisis regresi perlakuan sukrosa responnya tidak nyata terhadap peubah diameter (terlebar (Dt) dan pangkal (Dp)) serta rasio Dt/Dp umbi lapis mikro dan paclobutrazol responnya nyata linier positif terhadap diameter terlebar umbi lapis mikro. Nilai R 2 yang sangat kecil tidak dapat dijadikan acuan untuk menduga konsentrasi terbaik dalam pengumbian mikro bawang merah. Bila mempertimbangkan kondisi planlet, kenormalan umbi lapis mikro, diameter terlebar, persentase kultur yang membentuk umbi lapis mikro dan efisiensi pemakaian sukrosa maka media terbaik untuk pengumbian mikro bawang merah adalah MS+vit B5+sukrosa 90 g L -1 tanpa paclobutrazol. Aklimatisasi menggunakan umbi lapis mikro lebih mudah dilakukan dengan tingkat keberhasilan tumbuh yang lebih baik. Umbi mikro diduga lebih tahan terhadap transpirasi disebabkan morfologi umbi mikro dengan pelindung tipis pada lapisan terluar, menjadikan planlet umbi lapis mikro lebih bertahan terhadap kondisi suhu dan kelembaban rendah (Ascough et al. 2008). Sebagai organ penyimpanan, umbi lapis mikro kaya akan karbohidrat, sehingga planlet akan menyediakan energi dan memanfaatkannya untuk membentuk daun dan tunas baru. Kondisi ini membuat daya adaptasi umbi lapis mikro bawang merah saat aklimatisasi tinggi selama dua minggu pertama. Umbi lapis mikro yang dihasilkan mempunyai ukuran diameter terlebar beragam yang mengakibatkan

103 76 secara visual ukurannya beragam, begitu pula dengan bobot umbi. Kemungkinan terjadi perbedaan pertumbuhan dengan ukuran umbi yang berbeda saat diaklimatisasi. Kriteria bobot umbi bibit bawang merah g umbi -1 (Wibowo 1999). Disarankan untuk meneliti pengaruh ukuran umbi lapis mikro bawang merah saat diaklimatisasi dan pengaruhnya di lapangan terhadap pertumbuhan dan produksi umbi mini. Ukuran umbi bibit berpengaruh terhadap produksi (Brewster 2002). Keberhasilan tumbuh umbi lapis mikro bawang merah yang baru mencapai 56% pada tiga minggu setelah aklimatisasi kemungkinan karena tidak sesuainya media tumbuh. Hasil penelitian Matsubara dan Chen (1989) dan Patena et al. (1997) menunjukkan umbi lapis mikro bawang putih dan bawang merah berhasil diaklimatisasi dengan menggunakan media rockwool. Penggunaan rockwool untuk aklimatisasi umbi lapis mikro bawang merah perlu diteliti lebih lanjut. Bawang merah tidak tahan terhadap genangan dan kelembaban udara tinggi juga termasuk sayuran yang senang cahaya dan tidak tahan naungan (Brewster 2002; Rubatzky & Yamaguchi 1999). Kemungkinan pada saat diaklimatisasi penyiraman tidak boleh terlalu sering dan tingkat naungan diturunkan menjadi 25-40%. Keberhasilan aklimatisasi perlu dilanjutkan dengan meneliti pemberian pupuk untuk mendapatkan pertumbuhan yang optimal dalam memproduksi umbi mini. Umbi lapis mikro yang diaklimatisasi dari hasil percobaan ini tidak mengalami dormansi. Dormansi yaitu berhentinya proses pertumbuhan atau aktivitas metabolisme yang terjadi karena kondisi yang tidak optimum. Pada Allium, dormansi terjadi secara bertahap dimulai dengan senesennya daun sampai sebelum tumbuhnya akar dan tunas (Phillips 2010). Dormansi akan bertahan lama apabila seluruh daun menjadi mengering secara alami dan kondisi lingkungan tidak mendukung. Dormansi pada bawang terjadi karena translokasi zat penghambat pada proses senesen dari daun yang berwarna hijau menjadi kuning atau coklat (Rubatzky & Yamaguchi 1999). Dikenal dua jenis dormansi pada Allium yaitu summer dormancy dan winter dormancy. Pada summer dormancy umbi lapis akan berhenti pertumbuhannya selama musim panas dan pada winter

104 77 dormancy umbi lapis akan berhenti petumbuhannya pada musim dingin sebagai mekanisme untuk mempertahankan hidupnya pada suhu rendah. Dormansi pada umbi lapis bawang merah di Indonesia diduga termasuk summer dormancy karena umbi akan mengalami dormansi pada suhu tinggi dan biasanya pada dormansi jenis ini dipengaruhi oleh suhu dan panjang hari (Phillips 2010). Umbi bawang merah akan segera bertunas di lapangan apabila lingkungan mendukung yaitu kelembaban udara meningkat, suhu hangat dan ketersediaan air yang cukup. Pada Allium cepa suhu hangat meningkatkan aktivitas perkecambahan dan pertumbuhan tunas sehingga mempercepat pematahan dormansi (Pak et al. 1995). Petani di Indonesia biasanya memotong 1/3-1/4 bagian atas umbi untuk mempercepat pertumbuhan tunas. Pemotongan bagian umbi lapis hampir mendekati cakram umbi merupakan salah satu upaya memecahkan dormansi dan mempercepat tumbuhnya tunas. Hal ini didasarkan pada dugaan inhibitor berada di lapisan luar umbi lapis. Pemotongan bagian terluar akan menghilangkan inhibitor (Arifin et al. 1999). Pada Allium wakegi dormansi disebabkan oleh asam absisat (ABA). Konsentrasi ABA meningkat saat daun senesen seiring lamanya umbi lapis mengalami dormansi (Yamazaki et al. 1999). Pematahan dormansi pada umbi bawang putih adalah dengan merendam umbi dengan larutan GA 3 yang juga dapat mempercepat tumbuhnya tunas (Rahman et al. 2006). Tidak terjadinya dormansi pada umbi lapis mikro bawang merah sangat menguntungkan untuk penyediaan bibit sehat yang berasal dari in vitro. Umbi lapis mikro bawang merah akan segera bertunas saat kondisi lingkungan mendukung pertumbuhan. Langkah pembibitan dan penyediaan bibit bawang merah asal in vitro akan lebih cepat karena tidak memerlukan tahap pematahan dormansi dengan penyimpanan umbi pada suhu tinggi selama 2-4 bulan seperti yang dilakukan petani bawang sehingga kontinyuitas ketersediaan bibit terjamin. Umbi lapis mikro bawang merah setelah ditanam pada tahap aklimatisasi akan menghasilkan tunas sebelum tunas tersebut menjalani periode penimbunan karbohidrat dan membentuk umbi kembali. Tunas tersebut akan tumbuh dan berkembang dan dengan pemberian unsur hara serta faktor lingkungan yang mendukung akan terbentuk umbi. Petumbuhan tunas bibit bawang merah setelah

105 78 aklimatisasi memperlihatkan terbentuknya umbi yang berukuran kecil dengan diameter sekitar 1 cm dan bobot sekitar satu gram. Kemungkinan pola yang sama terjadi seperti pada pembibitan kentang dengan planlet yang berasal dari tunas mikro yang akan menghasilkan umbi mini. Penyediaan bibit bawang merah yang berasal dari biji (True Shallot Seed/TSS) juga tidak langsung disebar ke petani. Biji akan ditanam dengan kerapatan yang tinggi 1000 TSS/m 2 setara dengan 4 g benih. Pada akhirnya akan diperoleh umbi lapis mini dengan bobot sekitar g umbi -1 yang siap disebarkan ke petani. Metoda seperti ini kemungkinan akan berlaku pada pembibitan umbi lapis mikro bawang merah. Perlu kajian untuk mengetahui kerapatan bibit yang berasal dari umbi lapis mikro dan pemupukan untuk mendapatkan ukuran bibit siap sebar. Metode perbanyakan bawang merah dengan umbi lapis mikro diharapkan akan membantu penyesediaan bibit sehat bagi petani. Keuntungan yang diperoleh : 1) umbi dalam kondisi sehat bebas bakteri dan cendawan, sehingga pada generasi awal akan terhindar dari penyakit degeneratif. 2) Berkembangnya laboratorium kultur jaringan dalam penyediaan umbi lapis mikro bawang merah. 3) Berkembangnya industri pembibitan bawang merah baik dalam bentuk transplant maupun umbi mini. Umbi lapis mikro bawang merah yang bebas bakteri dan cendawan merupakan sumber propagul untuk melakukan seleksi ketahanan terhadap stres abiotik maupun biotik secara in vitro maupun in vivo. Umbi lapis mikro bawang merah yang dihasilkan dari hasil penelitian ini berasal dari tunas mikro. Tunas mikro bawang merah yang dapat diinduksi dari setengah bagian cakram umbi menghasilkan 3.6 tunas selama 3 minggu. Artinya dari satu eksplan cakram akan diperoleh 3.6 umbi lapis mikro. Untuk menghasilkan tunas yang lebih banyak dapat dilakukan dengan subkultur setiap 3 atau 4 minggu. Efisiensi pembentukan umbi lapis mikro bawang merah disarankan dilakukan dengan menanam sekumpulan tunas mikro tanpa memisahkan setiap tunas pada media pengumbian. Cara seperti ini akan mengurangi biaya produksi karena dalam satu botol kultur ditanam beberapa tunas. Pembentukan umbi lapis mikro bawang merah pada suhu ruang kultur 30

106 79 o C secara ekonomis menguntungkan karena akan mengurangi pemakaian AC dan listrik. Waktu yang diperlukan untuk menghasilkan umbi lapis mikro bawang merah dalam satu siklus penanaman di laboratorium adalah minggu atau hari. Panen umbi lapis bibit di lapangan berkisar hari tergantung kondisi cuaca dilapangan. Artinya waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi umbi lapis mikro bawang merah sebagai propagul bibit yang sehat lebih pendek atau sama dibandingkan penyediaan umbi lapis bibit di lapangan dan tidak dipengaruhi lingkungan. Implikasi selanjutnya adalah pengembangan laboratorium kultur jaringan untuk menyediakan propagul awal untuk kebutuhan di pembibitan. Kebutuhan umbi bibit di lapangan dengan jarak tanam 15 cm x 15 cm adalah umbi lapis ha -1. Bobot setiap umbi lapis bibit yang sesuai rata-rata 2.5 gram, maka kebutuhan umbi bibit bawang merah mencapai 1000 kg ha -1. Secara hipotetis untuk menghasilkan umbi lapis mikro sebanyak umbi dengan kecepatan multiplikasi tunas dari setengah cakram umbi (eksplan) mencapai 3.6 selama 4 minggu dan setiap tunas akan menjadi satu umbi lapis mikro, maka jumlah eksplan yang diperlukan sebanyak eksplan dan ini berasal dari umbi bawang merah utuh. Jumlah ini secara hipotetis sangat signifikan dalam penghematan umbi sebagai bahan tanam karena mengurangi jumlah umbi bibit sebanyak 87.5% dari kebutuhan umbi bibit di lapangan. Bobot satu umbi lapis mikro yang hanya sekitar 400 mg dan jumlah per hektar bibit, maka secara bobot hanya 160 kg, dibandingkan dengan umbi bibit di lapangan yang dalam jumlah sama mencapai 1000 kg. Hal ini akan memudahkan penanganan bibit dari segi transportasi dan di lapangan. Waktu yang diperlukan untuk menghasilkan umbi lapis mikro dengan metode hasil penelitian ini dalam satu siklus adalah 12 minggu dan tanpa dipengaruhi faktor cuaca, lebih cepat dibandingkan produksi bibit di lapangan yang mencapai minggu yang bergantung kondisi cuaca. Umbi lapis mikro yang dihasilkan juga dapat langsung ditanam di pembibitan karena tidak mengalami dormansi, berbeda dengan umbi bibit dari lapangan yang memerlukan

107 80 periode simpan 2 bulan. Aplikasi metode ini menghemat waktu dan ketersediaan bibit terjamin. Pengembangan umbi lapis mikro sebagai sumber bibit bawang merah yang sehat tentu memerlukan laboratorium yang cukup luas dengan sumber daya manusia yang banyak dan terampil. Diperkirakan luasan laboratorium untuk dapat menghasilkan umbi lapis mikro setiap bulan mencapai 750 m 2. Apabila pembibitan tersebut akan menyuplai ribuan hektar lahan, akan diperlukan sejumlah laboratorium pendukung di beberapa sentra produksi bawang merah. Apabila umbi lapis mikro ini tidak langsung disebar ke petani tetapi melalui sistem penangkar bibit dan baru disebar pada generasi 3, maka akan berkembang industri penangkaran bibit bawang merah. Industri penangkaran pembibitan bawang merah dengan bahan tanaman berasal dari in vitro dapat didekati dengan dua cara yaitu dengan pembentukan umbi lapis mini dan tunas transplant (Gambar 21). Umbi lapis mikro bawang merah Umbi lapis mini G0 Tunas transplant GH0 G1 GH1 G2 GH2 G3 Petani Umbi lapis GH3 Gambar 21. Skema pembibitan umbi bawang merah asal in vitro di rumah kaca. Keterangan: Gambar rumah kaca di PT Saung Mirwan. G0-G3=umbi lapis mini generasi ke 0,1, 2, dan 3. GH0-GH3=generasi tunas transplant 1-3

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Manfaat Bawang

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Manfaat Bawang 7 TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Manfaat Bawang Bawang merah merupakan jenis sayuran penting di Indonesia yang dimanfaatkan umbi lapisnya (bulb) dan dikenal dengan nama yang berbeda di setiap daerah. Beberapa

Lebih terperinci

AKLIMATISASI PLANLET DAN UMBI LAPIS MIKRO BAWANG MERAH (ACCLIMATIZATION OF SHALLOT PLANLET AND MICRO BULB) Abstrak

AKLIMATISASI PLANLET DAN UMBI LAPIS MIKRO BAWANG MERAH (ACCLIMATIZATION OF SHALLOT PLANLET AND MICRO BULB) Abstrak AKLIMATISASI PLANLET DAN UMBI LAPIS MIKRO BAWANG MERAH (ACCLIMATIZATION OF SHALLOT PLANLET AND MICRO BULB) Abstrak Tahap aklimatisasi merupakan tahap yang kritis untuk mengadaptasikan planlet dan umbi

Lebih terperinci

PERAN SUKROSA DAN PACLOBUTRAZOL DALAM PEMBENTUKAN UMBI LAPIS MIKRO BAWANG MERAH (EFFECT OF SUCROSE AND PACLOBURAZOL ON SHALLOT MICRO BULB INDUCTION)

PERAN SUKROSA DAN PACLOBUTRAZOL DALAM PEMBENTUKAN UMBI LAPIS MIKRO BAWANG MERAH (EFFECT OF SUCROSE AND PACLOBURAZOL ON SHALLOT MICRO BULB INDUCTION) PERAN SUKROSA DAN PACLOBUTRAZOL DALAM PEMBENTUKAN UMBI LAPIS MIKRO BAWANG MERAH (EFFECT OF SUCROSE AND PACLOBURAZOL ON SHALLOT MICRO BULB INDUCTION) Abstrak Umbi lapis mikro merupakan salah satu propagul

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU RUANG KULTUR TERHADAP PEMBENTUKAN UMBI LAPIS MIKRO BAWANG MERAH (EFFECT OF ROOM TEMPERATURE ON SHALLOT MICROBULB INDUCTION) Abstrak

PENGARUH SUHU RUANG KULTUR TERHADAP PEMBENTUKAN UMBI LAPIS MIKRO BAWANG MERAH (EFFECT OF ROOM TEMPERATURE ON SHALLOT MICROBULB INDUCTION) Abstrak PENGARUH SUHU RUANG KULTUR TERHADAP PEMBENTUKAN UMBI LAPIS MIKRO BAWANG MERAH (EFFECT OF ROOM TEMPERATURE ON SHALLOT MICROBULB INDUCTION) Abstrak Bawang merah merupakan sayuran anggota famili Alliaceae

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Species: Allium ascalonicum L. (Rahayu dan Berlian, 1999). Bawang merah memiliki batang sejati atau disebut discus yang bentuknya

TINJAUAN PUSTAKA. Species: Allium ascalonicum L. (Rahayu dan Berlian, 1999). Bawang merah memiliki batang sejati atau disebut discus yang bentuknya Botani Tanaman TINJAUAN PUSTAKA Bawang merah diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom: Plantae, Divisio: Spermatophyta, Subdivisio: Angiospermae, Kelas: Monocotyledonae, Ordo: Liliales/ Liliflorae, Famili:

Lebih terperinci

ORGANOGENESIS TANAMAN BAWANG MERAH (ALLIUM ASCALONICUM L.) LOKAL PALU SECARA IN VITRO PADA MEDIUM MS DENGAN PENAMBAHAN IAA DAN BAP ABSTRACT

ORGANOGENESIS TANAMAN BAWANG MERAH (ALLIUM ASCALONICUM L.) LOKAL PALU SECARA IN VITRO PADA MEDIUM MS DENGAN PENAMBAHAN IAA DAN BAP ABSTRACT ` ORGANOGENESIS TANAMAN BAWANG MERAH (ALLIUM ASCALONICUM L.) LOKAL PALU SECARA IN VITRO PADA MEDIUM MS DENGAN PENAMBAHAN IAA DAN BAP Anna Rufaida 1, Waeniaty 2, Muslimin 2, I Nengah Suwastika 1* 1 Lab.Bioteknologi,

Lebih terperinci

IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Air leri merupakan bahan organik dengan kandungan fosfor, magnesium

IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Air leri merupakan bahan organik dengan kandungan fosfor, magnesium IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Air leri merupakan bahan organik dengan kandungan fosfor, magnesium dan vitamin B1 yang efektif bila dimanfaatkan sebagai bahan tambahan pada proses perbanyakan tanaman

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. Sistem perakaran tanaman bawang merah adalah akar serabut dengan

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. Sistem perakaran tanaman bawang merah adalah akar serabut dengan TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Menurut Rukmana (2005), klasifikasi tanaman bawang merah adalah sebagai berikut: Divisio Subdivisio Kelas Ordo Famili Genus : Spermatophyta : Angiospermae : Monocotyledonae

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Secara umumm planlet anggrek Dendrobium lasianthera tumbuh dengan baik dalam green house, walaupun terdapat planlet yang terserang hama kutu putih Pseudococcus spp pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Morfologi Bawang Merah ( Allium ascalonicum L.)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Morfologi Bawang Merah ( Allium ascalonicum L.) 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Morfologi Bawang Merah ( Allium ascalonicum L.) Menurut Rahayu dan Berlian ( 2003 ) tanaman bawang merah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Tabel 1. Botani Bawang Merah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini dilakukan dalam dua tahapan pelaksanaan, yaitu tahap kultur in vitro dan aklimatisasi. Tahap kultur in vitro dilakukan di dalam Laboratorium Kultur Jaringan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mudah diperbanyak dan jangka waktu berbuah lebih panjang. Sedangkan

BAB I PENDAHULUAN. mudah diperbanyak dan jangka waktu berbuah lebih panjang. Sedangkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Perbanyakan tanaman dapat dilakukan dengan cara generatif dan vegetatif. Perbanyakan tanaman secara generatif biasanya dilakukan melalui biji dan mengalami penyerbukan

Lebih terperinci

INDUKSI TUNAS PISANG ROTAN [Musa sp. ( AA Group.)] DARI EKSPLAN BONGGOL ANAKAN DAN MERISTEM BUNGA SECARA IN VITRO

INDUKSI TUNAS PISANG ROTAN [Musa sp. ( AA Group.)] DARI EKSPLAN BONGGOL ANAKAN DAN MERISTEM BUNGA SECARA IN VITRO SKRIPSI INDUKSI TUNAS PISANG ROTAN [Musa sp. ( AA Group.)] DARI EKSPLAN BONGGOL ANAKAN DAN MERISTEM BUNGA SECARA IN VITRO Oleh: Erni Noviana 11082200690 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN DAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan, termasuk klasifikasi sebagai berikut; divisio : spermatophyta;

TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan, termasuk klasifikasi sebagai berikut; divisio : spermatophyta; 4 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Kedudukan tanaman bawang merah dalam tata nama atau sistematika tumbuhan, termasuk klasifikasi sebagai berikut; divisio : spermatophyta; subdivisio : angiospermae; kelas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ordo : Liliales ; Famili : Liliaceae ; Genus : Allium dan Spesies : Allium

TINJAUAN PUSTAKA. Ordo : Liliales ; Famili : Liliaceae ; Genus : Allium dan Spesies : Allium 14 TINJAUAN PUSTAKA Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) Dalam dunia tumbuhan, tanaman bawang merah diklasifikasikan dalam Divisi : Spermatophyta ; Sub Divisi : Angiospermae ; Class : Monocotylodenae ;

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pisang adalah tanaman herba yang berasal dari kawasan Asia Tenggara

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pisang adalah tanaman herba yang berasal dari kawasan Asia Tenggara 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Pisang Pisang adalah tanaman herba yang berasal dari kawasan Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Sudah lama buah pisang menjadi komoditas buah tropis yang sangat populer

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dracaena adalah tanaman yang tumbuh tegak dengan bentuk batang bulat dan

TINJAUAN PUSTAKA. Dracaena adalah tanaman yang tumbuh tegak dengan bentuk batang bulat dan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi dan Taksonomi Tanaman Dracaena Dracaena adalah tanaman yang tumbuh tegak dengan bentuk batang bulat dan beruas-ruas. Daun dracaena berbentuk tunggal, tidak bertangkai,

Lebih terperinci

`PENGARUH IAA DAN BAP TERHADAP INDUKSI TUNAS MIKRO DARI EKSPLAN BONGGOL PISANG KEPOK ( Musa paradisiaca L) SKRIPSI OLEH :

`PENGARUH IAA DAN BAP TERHADAP INDUKSI TUNAS MIKRO DARI EKSPLAN BONGGOL PISANG KEPOK ( Musa paradisiaca L) SKRIPSI OLEH : `PENGARUH IAA DAN BAP TERHADAP INDUKSI TUNAS MIKRO DARI EKSPLAN BONGGOL PISANG KEPOK ( Musa paradisiaca L) SKRIPSI OLEH : MUHAMMAD SAJALI SADAT 120301016 PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

Lebih terperinci

KULTUR MERISTEM PUCUK STROBERI (Fragaria chiloensis dan F. Vesca) DENGAN PEMBERIAN BEBERAPA ZAT PENGATUR TUMBUH SKRIPSI OLEH:

KULTUR MERISTEM PUCUK STROBERI (Fragaria chiloensis dan F. Vesca) DENGAN PEMBERIAN BEBERAPA ZAT PENGATUR TUMBUH SKRIPSI OLEH: KULTUR MERISTEM PUCUK STROBERI (Fragaria chiloensis dan F. Vesca) DENGAN PEMBERIAN BEBERAPA ZAT PENGATUR TUMBUH SKRIPSI OLEH: LYDIA R SIRINGORINGO 060307026 BDP- PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI PEMULIAAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan komoditas sayuran unggulan yang memiliki banyak manfaat dan bernilai ekonomi tinggi, serta mempunyai prospek pasar yang baik.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Tinjauan Pustaka Bawang merah telah dikenal dan digunakan orang sejak beberapa ribu tahun yang lalu. Dalam peninggalan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 26 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan 3, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB selama sembilan minggu sejak Februari hingga

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Tinjauan Pustaka Tanaman bawang merah diduga berasal dari daerah Asia Tengah, yaitu sekitar India, Pakistan sampai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Bawang Merah. rumpun, tingginya dapat mencapai cm, Bawang Merah memiliki jenis akar

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Bawang Merah. rumpun, tingginya dapat mencapai cm, Bawang Merah memiliki jenis akar II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bawang Merah Bawang Merah merupakan tanaman yang berumur pendek, berbentuk rumpun, tingginya dapat mencapai 15-40 cm, Bawang Merah memiliki jenis akar serabut, batang Bawang Merah

Lebih terperinci

3 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat

3 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat 15 Tabel 8 Daftar komposisi media pada kultur mangga Komponen A B C D E Unsur makro ½ MS B5 B5 B5 ½B5 Unsur mikro MS MS MS MS MS Fe-EDTA ½MS MS MS MS MS Vitamin dan asam amino MS MS MS MS MS Asam askorbat

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 22 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari 2010 sampai dengan Pebruari 2011. Tempat pelaksanaan kultur jaringan tanaman adalah di Laboratorium Kultur Jaringan

Lebih terperinci

Kultur Jaringan Menjadi Teknologi yang Potensial untuk Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jambu Mete Di Masa Mendatang

Kultur Jaringan Menjadi Teknologi yang Potensial untuk Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jambu Mete Di Masa Mendatang AgroinovasI Kultur Jaringan Menjadi Teknologi yang Potensial untuk Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jambu Mete Di Masa Mendatang Tanaman jambu mete (Anacardium occidentale. L.) merupakan salah satu tanaman

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. eksplan hidup, persentase eksplan browning, persentase eksplan kontaminasi,

HASIL DAN PEMBAHASAN. eksplan hidup, persentase eksplan browning, persentase eksplan kontaminasi, IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan terhadap proses induksi akar pada eksplan dilakukan selama 12 minggu. Pengamatan dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan dan pengaruh pada setiap perlakuan yang diberikan.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. diklasifikasikan sebagai berikut. Divisi: Spermatophyta; Subdivisi:

TINJAUAN PUSTAKA. diklasifikasikan sebagai berikut. Divisi: Spermatophyta; Subdivisi: TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Dalam sistematika tumbuhan, kedudukan tanaman bawang merah diklasifikasikan sebagai berikut. Divisi: Spermatophyta; Subdivisi: Angiospermae; Kelas: Monocotyledoneae; Ordo:

Lebih terperinci

PENGGUNAAN IAA DAN BAP UNTUK MENSTIMULASI ORGANOGENESIS TANAMAN Anthurium andreanum DALAM KULTUR IN VITRO

PENGGUNAAN IAA DAN BAP UNTUK MENSTIMULASI ORGANOGENESIS TANAMAN Anthurium andreanum DALAM KULTUR IN VITRO PENGGUNAAN IAA DAN BAP UNTUK MENSTIMULASI ORGANOGENESIS TANAMAN Anthurium andreanum DALAM KULTUR IN VITRO Oleh : SITI SYARA A34301027 PROGRAM STUDI HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian 15 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan Margahayu Lembang Balai Penelitian Tanaman Sayuran 1250 m dpl mulai Juni 2011 sampai dengan Agustus 2012. Lembang terletak

Lebih terperinci

PERBANYAKAN TUNAS Boesenbergia flava DENGAN PEMBERIAN BAP DAN NAA SECARA IN VITRO SKRIPSI. Oleh :

PERBANYAKAN TUNAS Boesenbergia flava DENGAN PEMBERIAN BAP DAN NAA SECARA IN VITRO SKRIPSI. Oleh : PERBANYAKAN TUNAS Boesenbergia flava DENGAN PEMBERIAN BAP DAN NAA SECARA IN VITRO SKRIPSI Oleh : LYLI HERAWATI SIREGAR 070307006 BDP PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

Subdivisio : Angiospemae. : Monocotyledoneae. Spesies : Allium ascalonicum L.

Subdivisio : Angiospemae. : Monocotyledoneae. Spesies : Allium ascalonicum L. B. Pembahasan Pencandraan adalah teknik penggambaran sifat-sifat tanaman dalam tulisan verbal yang dapat dilengkapi dengan gambar, data penyebaran, habitat, asal-usul, dan manfaat dari golongan tanaman

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian 14 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2009 sampai dengan bulan Juni 2011 di Laboratorium Kultur Jaringan Kelompok Peneliti Biologi Sel dan Jaringan, Balai

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanaman, Jurusan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanaman, Jurusan 22 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanaman, Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung, Bandar Lampung. Penelitian

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN BAP (Benzil Amino Purin) DAN NAA (Naftalen Asam Asetat) TERHADAP MORFOGENESIS DARI KALUS SANSEVIERIA (Sansevieria cylindrica)

PENGARUH PEMBERIAN BAP (Benzil Amino Purin) DAN NAA (Naftalen Asam Asetat) TERHADAP MORFOGENESIS DARI KALUS SANSEVIERIA (Sansevieria cylindrica) PENGARUH PEMBERIAN BAP (Benzil Amino Purin) DAN NAA (Naftalen Asam Asetat) TERHADAP MORFOGENESIS DARI KALUS SANSEVIERIA (Sansevieria cylindrica) SKRIPSI OLEH : SRI WILDANI BATUBARA 050307041/PEMULIAAN

Lebih terperinci

No. 02 Hasil Penelitian Tahun Anggaran 2010

No. 02 Hasil Penelitian Tahun Anggaran 2010 No. 02 Hasil Penelitian Tahun Anggaran 2010 Perakitan Varietas dan Teknologi Perbanyakan Benih secara Massal (dari 10 menjadi 1000 kali) serta Peningkatan Produktivitas Bawang merah (Umbi dan TSS) (12

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman hias khususnya bunga merupakan salah satu komoditas hortikultura

I. PENDAHULUAN. Tanaman hias khususnya bunga merupakan salah satu komoditas hortikultura I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanaman hias khususnya bunga merupakan salah satu komoditas hortikultura yang cukup diperhitungkan. Selain memiliki fungsi estetika, bunga juga mendatangkan

Lebih terperinci

UJI KETAHANAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) HASIL RADIASI SINAR GAMMA (M 2 ) PADA CEKAMAN ALUMINIUM SECARA IN VITRO SKRIPSI OLEH:

UJI KETAHANAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) HASIL RADIASI SINAR GAMMA (M 2 ) PADA CEKAMAN ALUMINIUM SECARA IN VITRO SKRIPSI OLEH: UJI KETAHANAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) HASIL RADIASI SINAR GAMMA (M 2 ) PADA CEKAMAN ALUMINIUM SECARA IN VITRO SKRIPSI OLEH: Dinda Marizka 060307029/BDP-Pemuliaan Tanaman PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN BAP DAN NAA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN TUNAS MIKRO KANTONG SEMAR (Nepenthes mirabilis) SECARA IN VITRO

PENGARUH PEMBERIAN BAP DAN NAA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN TUNAS MIKRO KANTONG SEMAR (Nepenthes mirabilis) SECARA IN VITRO PENGARUH PEMBERIAN BAP DAN NAA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN TUNAS MIKRO KANTONG SEMAR (Nepenthes mirabilis) SECARA IN VITRO Oleh: YAYU ALITALIA A34304025 PROGRAM STUDI HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. m yang mempunyai batang di bawah tanah atau rhizom. Bonggol (Corm) mempunyai

TINJAUAN PUSTAKA. m yang mempunyai batang di bawah tanah atau rhizom. Bonggol (Corm) mempunyai II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Botani Pisang Barangan Pisang merupakan tanaman monokotil dan herba perennial dengan tinggi 2-9 m yang mempunyai batang di bawah tanah atau rhizom. Bonggol (Corm) mempunyai pucuk

Lebih terperinci

PEMATAHAN DORMANSI UMBI BAWANG MERAH (Allium cepa L. Kelompok Aggregatum) DENGAN PERENDAMAN DALAM ETHEPON

PEMATAHAN DORMANSI UMBI BAWANG MERAH (Allium cepa L. Kelompok Aggregatum) DENGAN PERENDAMAN DALAM ETHEPON PEMATAHAN DORMANSI UMBI BAWANG MERAH (Allium cepa L. Kelompok Aggregatum) DENGAN PERENDAMAN DALAM ETHEPON BULBS DORMANCY BREAKING OF SHALLOT (Allium cepa L. Aggregatum group) WITH ETHEPON SUBMERSION Turna

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Morfologi dan Syarat Tumbuh Tanaman Kedelai. Kedelai merupakan tanaman asli subtropis dengan sistem perakaran terdiri dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Morfologi dan Syarat Tumbuh Tanaman Kedelai. Kedelai merupakan tanaman asli subtropis dengan sistem perakaran terdiri dari 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi dan Syarat Tumbuh Tanaman Kedelai Kedelai merupakan tanaman asli subtropis dengan sistem perakaran terdiri dari sebuah akar tunggang yang terbentuk dari calon akar,

Lebih terperinci

Pengaruh Retardan dan Aspirin dalam Menginduksi Pembentukan Umbi Mikro Kentang (Solanum tuberosum) Secara In Vitro

Pengaruh Retardan dan Aspirin dalam Menginduksi Pembentukan Umbi Mikro Kentang (Solanum tuberosum) Secara In Vitro Pengaruh Retardan dan Aspirin dalam Menginduksi Pembentukan Umbi Mikro Kentang (Solanum tuberosum) Secara In Vitro Endah Wahyurini, SP MSi Jurusan Agronomi, Fakultas Pertanian Universitas Pembangunan Nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan di Indonesia merupakan sumber plasma nutfah yang sangat potensial

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan di Indonesia merupakan sumber plasma nutfah yang sangat potensial 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Indonesia dikenal sebagai negara dengan tingkat keanekaragaman sumber daya hayati yang tinggi, khususnya tumbuhan. Keanekaragaman genetik tumbuhan di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karo) sejak sebelum perang dunia kedua yang disebut eigenheimer, kentang ini

BAB I PENDAHULUAN. Karo) sejak sebelum perang dunia kedua yang disebut eigenheimer, kentang ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan salah satu komoditi hortikultura penting di Indonesia yang diusahakan secara komersial terutama di daerah dataran tinggi. Kentang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Manggis dengan nama latin Garcinia mangostana L. merupakan tanaman buah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Manggis dengan nama latin Garcinia mangostana L. merupakan tanaman buah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Manggis dan Syarat Tumbuh Manggis dengan nama latin Garcinia mangostana L. merupakan tanaman buah berupa pohon yang banyak tumbuh secara alami pada hutan tropis di kawasan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) divisi spermatophyta, subdivisi angiospermae, kelas monocotyledonae,

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) divisi spermatophyta, subdivisi angiospermae, kelas monocotyledonae, TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) Tanaman bawang merah diklasifikasikan sebagai berikut, divisi spermatophyta, subdivisi angiospermae, kelas monocotyledonae, ordo liliales,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Pertumbuhan dan perkembangan stek pada awal penanaman sangat dipengaruhi oleh faktor luar seperti air, suhu, kelembaban dan tingkat pencahayaan di area penanaman stek.

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca, Fakultas Pertanian, Universitas

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca, Fakultas Pertanian, Universitas 23 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung, Kampus Gedung Meneng, Bandar Lampung pada bulan Desember 2013

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan krisan dalam sistematika tumbuhan (Holmes,1983)

TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan krisan dalam sistematika tumbuhan (Holmes,1983) TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Kedudukan krisan dalam sistematika tumbuhan (Holmes,1983) diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Plantae Subkingdom : Spermatophyta Superdivisio : Angiospermae Divisio

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bunga Gladiol (Gladiolus hybridus L) merupakan bunga potong yang menarik

I. PENDAHULUAN. Bunga Gladiol (Gladiolus hybridus L) merupakan bunga potong yang menarik I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bunga Gladiol (Gladiolus hybridus L) merupakan bunga potong yang menarik dan cukup popular. Bunga gladiol memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi dan menduduki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu merupakan tanaman perdu yang berasal dari Benua Amerika, tepatnya

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu merupakan tanaman perdu yang berasal dari Benua Amerika, tepatnya 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ubi kayu merupakan tanaman perdu yang berasal dari Benua Amerika, tepatnya Brasil (Lingga dkk., 1986 ; Purwono dan Purnamawati, 2007). Ubi kayu yang juga dikenal sebagai

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Tinggi Tanaman. antara pengaruh pemangkasan dan pemberian ZPT paklobutrazol. Pada perlakuan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Tinggi Tanaman. antara pengaruh pemangkasan dan pemberian ZPT paklobutrazol. Pada perlakuan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Tinggi Tanaman Dari (tabel 1) rerata tinggi tanaman menunjukkan tidak ada interaksi antara pengaruh pemangkasan dan pemberian ZPT paklobutrazol. Pada perlakuan pemangkasan menunjukan

Lebih terperinci

PENGARUH KONSENTRASI IAA, IBA, BAP, DAN AIR KELAPA TERHADAP PEMBENTUKAN AKAR POINSETTIA (Euphorbia pulcherrima Wild Et Klotzch) IN VITRO

PENGARUH KONSENTRASI IAA, IBA, BAP, DAN AIR KELAPA TERHADAP PEMBENTUKAN AKAR POINSETTIA (Euphorbia pulcherrima Wild Et Klotzch) IN VITRO PENGARUH KONSENTRASI IAA, IBA, BAP, DAN AIR KELAPA TERHADAP PEMBENTUKAN AKAR POINSETTIA (Euphorbia pulcherrima Wild Et Klotzch) IN VITRO Oleh : Pratiwi Amie Pisesha (A34303025) DEPARTEMEN AGRONOMI DAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Bawang merah (Allium ascalonicum Linn) merupakan tanaman

II. TINJAUAN PUSTAKA. Bawang merah (Allium ascalonicum Linn) merupakan tanaman 26 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Botani Tanaman Bawang merah (Allium ascalonicum Linn) merupakan tanaman sayuranyang diklasifikasikan dalam kelas Monocotyledonae, ordo Aspergales, familyalliaceae dan genus

Lebih terperinci

KULTUR KOTILEDON JERUK KEPROK (Citrus nobilis Lour.) PADA MEDIA MS YANG DIPERKAYA DENGAN KINETIN

KULTUR KOTILEDON JERUK KEPROK (Citrus nobilis Lour.) PADA MEDIA MS YANG DIPERKAYA DENGAN KINETIN KULTUR KOTILEDON JERUK KEPROK (Citrus nobilis Lour.) PADA MEDIA MS YANG DIPERKAYA DENGAN KINETIN SKRIPSI YESVITA RITONGA 060805034 DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Pisang

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Pisang TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Pisang Pisang termasuk ke dalam famili Musaceae. Famili Musaceae terdiri dari dua genera, yaitu genus Musa dan Ensete. Genus Musa terbagi atas empat kelompok, yaitu Australimusa,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai Cabai merah (Capsicum annuum L.) termasuk kedalam famili Solanaceae. Terdapat sekitar 20-30 spesies yang termasuk kedalam genus Capsicum, termasuk diantaranya

Lebih terperinci

BAHA DA METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHA DA METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHA DA METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dimulai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Bawang Merah. yang merupakan kumpulan dari pelepah yang satu dengan yang lain. Bawang

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Bawang Merah. yang merupakan kumpulan dari pelepah yang satu dengan yang lain. Bawang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bawang Merah Bawang merah termasuk dalam faimili Liliaceae yang termasuk tanaman herba, tanaman semusim yang tidak berbatang, hanya mempunyai batang semu yang merupakan kumpulan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kentang

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kentang 4 TINJAUAN PUSTAKA Botani Kentang Tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) dikenal sebagai The King of Vegetable dan produksinya menempati urutan keempat dunia setelah beras, gandum dan jagung (The International

Lebih terperinci

Gambar 3. Tanaman tanpa GA 3 (a), Tanaman dengan perlakuan 200 ppm GA 3 (b)

Gambar 3. Tanaman tanpa GA 3 (a), Tanaman dengan perlakuan 200 ppm GA 3 (b) 45 Pembahasan Penggunaan benih yang bermutu baik merupakan faktor yang sangat penting untuk meningkatkan produksi tanaman bawang merah. Rendahnya produksi tanaman bawang merah khususnya di daerah sentra

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani, Penyebaran dan Manfaat Tanaman Jarak Pagar ( Jatropha curcas L.) Kultur Jaringan Tanaman

TINJAUAN PUSTAKA Botani, Penyebaran dan Manfaat Tanaman Jarak Pagar ( Jatropha curcas L.) Kultur Jaringan Tanaman 18 TINJAUAN PUSTAKA Botani, Penyebaran dan Manfaat Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Klasifikasi botani jarak pagar menurut Hambali et al. (2006) yaitu : Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae

Lebih terperinci

RESPON KETAHANAN BEBERAPA VARIETAS PADI (Oryza sativa L.) TERHADAP KONSENTRASI GARAM NaCl SECARA IN VITRO

RESPON KETAHANAN BEBERAPA VARIETAS PADI (Oryza sativa L.) TERHADAP KONSENTRASI GARAM NaCl SECARA IN VITRO RESPON KETAHANAN BEBERAPA VARIETAS PADI (Oryza sativa L.) TERHADAP KONSENTRASI GARAM NaCl SECARA IN VITRO S K R I P S I OLEH : JUMARIHOT ST OPS 040307037 BDP-PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN

Lebih terperinci

Pengaruh BAP ( 6-Benzylaminopurine ) dan Pupuk Nitrogen terhadap Pertumbuhan dan Produksi Bawang Merah (Allium ascalonicum L.)

Pengaruh BAP ( 6-Benzylaminopurine ) dan Pupuk Nitrogen terhadap Pertumbuhan dan Produksi Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) Pengaruh ( 6-Benzylaminopurine ) dan Pupuk Nitrogen terhadap Pertumbuhan dan Produksi Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) The Effects of (6-Benzylaminopurine) and Nitrogen Fertilizer to Growth and Production

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pisang merupakan salah satu jenis tanaman asal Asia Tenggara yang kini sudah tersebar luas ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Tanaman pisang memiliki ciri spesifik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Widdy Hardiyanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian  Widdy Hardiyanti, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia yang merupakan negara agraris memiliki masyarakat yang banyak bekerja di bidang pertanian. Tanaman holtikultura merupakan salah satu tanaman yang

Lebih terperinci

SKRIPSI OLEH : ANI MEGAWATI SIMBOLON** BDP-AGRONOMI

SKRIPSI OLEH : ANI MEGAWATI SIMBOLON** BDP-AGRONOMI PENGARUH ZAT PENGATUR TUMBUH AKAR DAN MEDIA TANAM TERHADAP KEBERHASILAN DAN PERTUMBUHAN SETEK KAMBOJA JEPANG (Adenium obesum) SKRIPSI OLEH : ANI MEGAWATI SIMBOLON** 040301035 BDP-AGRONOMI PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hidroponik adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan tentang cara

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hidroponik adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan tentang cara II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Hidroponik Hidroponik adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan tentang cara bercocok tanam tanpa menggunakan tanah sebagai media tanam (soilless culture). Media tanam

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Eksplorasi Eksplan Terubuk

HASIL DAN PEMBAHASAN Eksplorasi Eksplan Terubuk 22 HASIL DAN PEMBAHASAN Eksplorasi Eksplan Terubuk Bahan tanam awal (eksplan) merupakan salah satu faktor penting dalam keberhasilan perbanyakan tanaman secara in vitro. Eksplan yang baik untuk digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anggrek yang mendominasi pasar adalah anggrek impor, yaitu Dendrobium dan

BAB I PENDAHULUAN. anggrek yang mendominasi pasar adalah anggrek impor, yaitu Dendrobium dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anggrek merupakan jenis tanaman hias yang digemari konsumen. Jenis anggrek yang mendominasi pasar adalah anggrek impor, yaitu Dendrobium dan Phalaenopsis dari Negara

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) VARIETAS TUK-TUK TERHADAP JARAK TANAM DAN DOSIS PUPUK KCl

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) VARIETAS TUK-TUK TERHADAP JARAK TANAM DAN DOSIS PUPUK KCl PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) VARIETAS TUK-TUK TERHADAP JARAK TANAM DAN DOSIS PUPUK KCl SKRIPSI OLEH: DEWI MARSELA/ 070301040 BDP-AGRONOMI DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN

Lebih terperinci

PENGARUH SUKROSA DAN 2-ISOPENTENILADENINA TERHADAP PEMBENTUKAN DAN PERTUMBUHAN UMBI MIKRO KENTANG (Solanum tuberosum L.)

PENGARUH SUKROSA DAN 2-ISOPENTENILADENINA TERHADAP PEMBENTUKAN DAN PERTUMBUHAN UMBI MIKRO KENTANG (Solanum tuberosum L.) PENGARUH SUKROSA DAN 2-ISOPENTENILADENINA TERHADAP PEMBENTUKAN DAN PERTUMBUHAN UMBI MIKRO KENTANG (Solanum tuberosum L.) SKRIPSI OLEH: ASMA UL HUSNA 090301188/PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

Lebih terperinci

PENINGKATAN MUTU DAN HASIL TANAMAN TOMAT (Lycopersicum esculentum Mill.) DENGAN PEMBERIAN HORMON GA3. Oleh :

PENINGKATAN MUTU DAN HASIL TANAMAN TOMAT (Lycopersicum esculentum Mill.) DENGAN PEMBERIAN HORMON GA3. Oleh : PENINGKATAN MUTU DAN HASIL TANAMAN TOMAT (Lycopersicum esculentum Mill.) DENGAN PEMBERIAN HORMON GA3 SKRIPSI Oleh : RUTH ERNAWATY SIMANUNGKALIT 060301034 BDP AGRONOMI PROGRAM STUDI AGRONOMI DEPARTEMEN

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian Tanaman salak yang digunakan pada penelitian ini adalah salak pondoh yang ditanam di Desa Tapansari Kecamatan Pakem Kabupaten Sleman Yogyakarta.

Lebih terperinci

AKLIMATISASI PLANLET TEBU PS 864 PASCA ENKAPSULASI ABSTRAK

AKLIMATISASI PLANLET TEBU PS 864 PASCA ENKAPSULASI ABSTRAK AKLIMATISASI PLANLET TEBU PS 864 PASCA ENKAPSULASI Martua Ferry Siburian 1, Fitri Damayanti 2 1,2 Universitas Indraprasta PGRI, Jakarta email korespondensi: ferrysiburian79@gmail.com ABSTRAK Keberhasilan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dalam kelas Liliopsida yang merupakan salah satu tumbuhan berbunga lidah dari

TINJAUAN PUSTAKA. dalam kelas Liliopsida yang merupakan salah satu tumbuhan berbunga lidah dari TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Menurut Jones dan Luchsinger (1979), tumbuhan anggrek termasuk ke dalam kelas Liliopsida yang merupakan salah satu tumbuhan berbunga lidah dari sekian banyak tumbuhan berbunga

Lebih terperinci

Tugas Akhir - SB091358

Tugas Akhir - SB091358 Tugas Akhir - SB091358 EFEKTIVITAS META-TOPOLIN DAN NAA TERHADAP PERTUMBUHAN IN VITRO STROBERI (Fragaria ananassa var. DORIT) PADA MEDIA MS PADAT DAN KETAHANANNYA DI MEDIA AKLIMATISASI Oleh Silvina Resti

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. muda. Tanaman ini merupakan herba semusim dengan tinggi cm. Batang

TINJAUAN PUSTAKA. muda. Tanaman ini merupakan herba semusim dengan tinggi cm. Batang Tanaman bawang sabrang TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi bawang sabrang menurut Gerald (2006) adalah sebagai berikut: Kingdom Divisio Subdivisio Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Plantae : Magnoliophyta : Spermatophyta

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Turi adalah tanaman leguminosa yang umumnya dimanfaatkan sebagai makanan ternak (pakan ternak). Tanaman leguminosa memiliki kandungan protein yang tinggi, begitu juga

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai 3 TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai Cabai (Capsicum annuum L.) termasuk dalam genus Capsicum yang spesiesnya telah dibudidayakan, keempat spesies lainnya yaitu Capsicum baccatum, Capsicum pubescens,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nanas merupakan tanaman buah berupa semak yang memiliki nama ilmiah Ananas comosus. Nanas berasal dari Brasilia (Amerika Selatan) yang telah didomestikasi sebelum masa

Lebih terperinci

Perbanyakan Tunas Mikro Pisang Rajabulu (Musa AAB Group) dengan Eksplan Anakan dan Jantung

Perbanyakan Tunas Mikro Pisang Rajabulu (Musa AAB Group) dengan Eksplan Anakan dan Jantung Perbanyakan Tunas Mikro Pisang Rajabulu (Musa AAB Group) dengan Eksplan Anakan dan Jantung Micropropagation of Banana cv. Rajabulu (Musa AAB Group) by using Sucker and Inflorescense as Explants Andri Ernawati

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada awalnya kedelai dikenal dengan beberapa nama botani yaitu Glycine soja

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada awalnya kedelai dikenal dengan beberapa nama botani yaitu Glycine soja 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani dan Morfologi Kedelai Pada awalnya kedelai dikenal dengan beberapa nama botani yaitu Glycine soja atau Soja max, tetapi pada tahun 1984 telah disepakati nama botani yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nanas atau Pineapple bukan tanaman asli Indonesia Penyebaran nanas di Indonesia pada mulanya hanya sebagai tanaman pengisi di lahan pekarangan, lambat laun meluas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Anggrek termasuk dalam famili Orchidaceae. Orchidaceae merupakan famili

II. TINJAUAN PUSTAKA. Anggrek termasuk dalam famili Orchidaceae. Orchidaceae merupakan famili 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Botani Tanaman Anggrek Anggrek termasuk dalam famili Orchidaceae. Orchidaceae merupakan famili tanaman terbesar yang terdiri dari 900 Genus dan 25.000 spesies (La Croix, 2008).

Lebih terperinci

INDUKSI KERAGAMAN GENETIK TANAMAN ANTHURIUM WAVE OF LOVE (Anthurium plowmanii Croat.) DENGAN RADIASI SINAR GAMMA DARI 60 Co SECARA IN VITRO

INDUKSI KERAGAMAN GENETIK TANAMAN ANTHURIUM WAVE OF LOVE (Anthurium plowmanii Croat.) DENGAN RADIASI SINAR GAMMA DARI 60 Co SECARA IN VITRO INDUKSI KERAGAMAN GENETIK TANAMAN ANTHURIUM WAVE OF LOVE (Anthurium plowmanii Croat.) DENGAN RADIASI SINAR GAMMA DARI 60 Co SECARA IN VITRO SRI IMRIANI PULUNGAN A24051240 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan memiliki batang berbentuk segi empat. Batang dan daunnya berwarna hijau

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan memiliki batang berbentuk segi empat. Batang dan daunnya berwarna hijau II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Botani Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L) Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan tanaman umbi-umbian dan tergolong tanaman berumur pendek. Tumbuhnya bersifat menyemak dan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) DENGAN PEMBERIAN VERMIKOMPOS DAN URIN DOMBA

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) DENGAN PEMBERIAN VERMIKOMPOS DAN URIN DOMBA PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) DENGAN PEMBERIAN VERMIKOMPOS DAN URIN DOMBA SKRIPSI Oleh: MARIANA PUTRI 080301015 / BDP-AGRONOMI PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman bawang merah berakar serabut dengan sistem perakaran dangkal

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman bawang merah berakar serabut dengan sistem perakaran dangkal TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Bawang Merah Tanaman bawang merah berakar serabut dengan sistem perakaran dangkal dan bercabang terpencar, pada kedalaman antara 15-20 cm di dalam tanah. Jumlah perakaran

Lebih terperinci

PENGARUH KONSENTRASI BAP TERHADAP MULTIPLIKASI TUNAS DAN GIBERELIN TERHADAP KUALITAS TUNAS PISANG FHIA-17 IN VITRO. Oleh : DONNY ANDRIANA A

PENGARUH KONSENTRASI BAP TERHADAP MULTIPLIKASI TUNAS DAN GIBERELIN TERHADAP KUALITAS TUNAS PISANG FHIA-17 IN VITRO. Oleh : DONNY ANDRIANA A PENGARUH KONSENTRASI BAP TERHADAP MULTIPLIKASI TUNAS DAN GIBERELIN TERHADAP KUALITAS TUNAS PISANG FHIA-17 IN VITRO Oleh : DONNY ANDRIANA A34301064 PROGRAM STUDI HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) DENGAN PEMBELAHAN UMBI BIBIT PADA BEBERAPA JARAK TANAM

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) DENGAN PEMBELAHAN UMBI BIBIT PADA BEBERAPA JARAK TANAM PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) DENGAN PEMBELAHAN UMBI BIBIT PADA BEBERAPA JARAK TANAM Growth and Yield of Shallot by Cutting Bulbs in Some Plant Spacing Wenny Deviana*, Meiriani,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) memiliki peran strategis dalam pangan

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) memiliki peran strategis dalam pangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) memiliki peran strategis dalam pangan nasional sebagai sumber protein dan minyak nabati, dalam setiap 100 g kacang tanah mentah mengandung

Lebih terperinci

PENGHAMBATAN DEGRADASI SUKROSA DALAM NIRA TEBU MENGGUNAKAN GELEMBUNG GAS NITROGEN DALAM REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI TEUKU IKHSAN AZMI

PENGHAMBATAN DEGRADASI SUKROSA DALAM NIRA TEBU MENGGUNAKAN GELEMBUNG GAS NITROGEN DALAM REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI TEUKU IKHSAN AZMI PENGHAMBATAN DEGRADASI SUKROSA DALAM NIRA TEBU MENGGUNAKAN GELEMBUNG GAS NITROGEN DALAM REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI TEUKU IKHSAN AZMI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PENGARUH BERBAGAI MACAM BOBOT UMBI BIBIT BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) YANG BERASAL DARI GENERASI KE SATU TERHADAP PRODUKSI

PENGARUH BERBAGAI MACAM BOBOT UMBI BIBIT BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) YANG BERASAL DARI GENERASI KE SATU TERHADAP PRODUKSI PENGARUH BERBAGAI MACAM BOBOT UMBI BIBIT BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) YANG BERASAL DARI GENERASI KE SATU TERHADAP PRODUKSI Effects of Various Weight of Shallot Bulb Derived from First Generation

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) termasuk famili Graminae

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) termasuk famili Graminae 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Sorgum Tanaman sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) termasuk famili Graminae (Poaceae). Tanaman ini telah lama dibudidayakan namun masih dalam areal yang terbatas. Menurut

Lebih terperinci

GAHARU. Dr. Joko Prayitno MSc. Balai Teknologi Lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

GAHARU. Dr. Joko Prayitno MSc. Balai Teknologi Lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Kuliah 11 KULTUR JARINGAN GAHARU Dr. Joko Prayitno MSc. Balai Teknologi Lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi KULTUR JARINGAN Apa yang dimaksud dengan kultur jaringan? Teknik menumbuhkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Subdivisio Angiospermae, Klas Monocotyledoneae, Ordo Liliaceae Family:

TINJAUAN PUSTAKA. Subdivisio Angiospermae, Klas Monocotyledoneae, Ordo Liliaceae Family: 4 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Klasifikasi tanaman bawang merah dapat diklasifikasikan sebagai berikut Subdivisio Angiospermae, Klas Monocotyledoneae, Ordo Liliaceae Family: Liliales, Genus Allium,SpeciesAllium

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pisang Barangan (Musa acuminata L.) Pisang adalah nama umum yang diberikan pada tumbuhan terna raksasa berdaun besar memanjang dari suku Musaceae. Beberapa jenisnya seperti

Lebih terperinci