PRODUKSI DAN KARAKTERISASI BAKTERIOSIN ASAL Lactobacillus plantarum 1A5 SERTA AKTIVITAS ANTIMIKROBANYA TERHADAP BAKTERI PATOGEN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PRODUKSI DAN KARAKTERISASI BAKTERIOSIN ASAL Lactobacillus plantarum 1A5 SERTA AKTIVITAS ANTIMIKROBANYA TERHADAP BAKTERI PATOGEN"

Transkripsi

1 PRODUKSI DAN KARAKTERISASI BAKTERIOSIN ASAL Lactobacillus plantarum 1A5 SERTA AKTIVITAS ANTIMIKROBANYA TERHADAP BAKTERI PATOGEN SKRIPSI THEO MAHISETA SYAHNIAR DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

2 RINGKASAN THEO MAHISETA SYAHNIAR. D Produksi dan Karakterisasi Bakteriosin Asal Lactobacillus plantarum 1A5 serta Aktivitas Antimikrobanya terhadap Bakteri Patogen. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Irma Isnafia Arief, S.Pt., MSi. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA. Daging merupakan salah satu penyumbang protein hewani bagi penduduk Indonesia namun bersifat perishable atau mudah rusak khususnya oleh aktivitas mikroorganisme pembusuk. Alternatif dalam mengatasi masalah tersebut adalah dengan pengolahan dan pengawetan atau preservasi. Metode preservasi yang telah banyak diaplikasikan adalah penambahan bahan pengawet pada makanan, baik bahan pengawet sintetis maupun yang alami. Pemilihan bahan pengawet alami, terutama bakteriosin yang sangat dianjurkan pemakaiannya. Salah satu isolat lokal asal daging, yaitu Lactobacillus plantarum 1A5 telah mampu menunjukkan aktivitas antimikrobanya secara invitro terhadap ketiga bakteri indikator yang merupakan bakteri patogen. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari produksi substrat antimikroba bakteriosin yang dihasilkan pada media berbeda, karakterisasinya melalui sensitivitas terhadap enzim katalase dan enzim proteolitik dan penghambatannya terhadap bakteri patogen, antara lain Staphylococcus aureus ATCC 25923, Salmonella typhimurium ATCC dan enteropathogenic Escherichia coli K11 (EPEC K11) serta konsentrasi penghambatan minimumnya. Bakteriosin Lactobacillus plantarum 1A5 diproduksi melalui media dengan tiga inducer yang berbeda (NaCl 1%, kombinasi NaCl 1% dan YE 3% dan tripton 1%) dan dikondisikan pada ph 5 dan ph 6. Pengujian produksi dan karakterisasi bakteriosin dilakukan melalui uji antagonistik dengan metode difusi sumur agar terhadap ketiga bakteri indikator yang merupakan bakteri patogen. Tiga hasil uji antagonistik terbaik dari produksi bakteriosin tersebut dilanjutkan dengan purifikasi bakteriosin melalui presipitasi protein dengan amonium sulfat. Hasil terbaik dari purifikasi tersebut dikarakterisasi melalui uji sensitivitas terhadap enzim katalase dan enzim proteolitik serta terakhir dilakukan penentuan persentase MIC dan MBC dengan metode kontak terhadap Staphylococcus aureus ATCC Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas penghambatan bakteriosin Lactobacillus plantarum 1A5 yang diproduksi pada keenam media (supernatan antimikroba yang dihasilkan dari media pertumbuhan dengan inducer NaCl 1%, kombinasi inducer NaCl 1% dan YE 3% serta inducer tripton 1% yang masingmasing dikondisikan pada ph 5 dan ph 6) tidak berbeda sehingga purifikasi bakteriosin dilakukan pada media dengan masing-masing inducer (NaCl 1%, kombinasi NaCl 1% dan YE 3% dan tripton 1%) yang dikondisikan pada ph 6 untuk menghilangkan pengaruh antimikroba dari asam organik. Purifikasi parsial bakteriosin yang menunjukkan aktivitas penghambatan terbesar pada uji antagonistik adalah bakteriosin yang dihasilkan dari media dengan inducer tripton 1%. Bakteriosin kasar 1A5 dikarakterisasi melalui uji sensitivitas terhadap enzim katalase dan enzim proteolitik. Hasil karakterisasi tersebut mengindikasikan bahwa

3 komponen aktif yang bekerja sebagai antimikroba adalah bakteriosin yang merupakan komponen protein dan bukan hidrogen peroksida. Aktivitas penghambatan bakteriosin kasar Lactobacillus plantarum 1A5 yang dihasilkan dari media produksi dengan inducer tripton 1% pada kondisi ph 6 juga dilihat dari penentuan nilai konsentrasi penghambatan minimumnya baik berupa MIC maupun MBC terhadap Staphylococcus aureus ATCC Nilai MIC bakteriosin kasar 1A5 terhadap Staphylococcus aureus ATCC menunjukkan bahwa konsentrasi minimum bakteriosin kasar 1A5 yang dibutuhkan sebesar 70% sedangkan pada nilai MBC-nya dibutuhkan konsentrasi bakteriosin kasar 1A5 sebesar 80%. Kata-kata kunci: Lactobacillus plantarum, bakteriosin, uji antagonistik, MIC dan MBC ii

4 ABSTRACT Production and Characterization of Bacteriocin from Lactobacillus plantarum 1A5 and It s Antimicrobe Activity to Patogenic Bacteria Syahniar, T.M., I.I. Arief and R.R.A. Maheswari The aims of this research were to study antimicrobial activity of bacteriocin produced by lactic acid bacteria Lactobacillus plantarum 1A5 in six different media (media with NaCl 1%, combination of NaCl 1% and YE 3%, and trypton 1% inducers that were conditioned on ph 5 dan ph 6, respectively). Characteristic of bacteriocin 1A5 determined by catalase and proteolytic enzymes with antagonistic assay against pathogenic bacterias (Staphylococcus aureus ATCC 25923, Salmonella typhimurium ATCC and enteropathogenic Escherichia coli K11) and determination of Minimum Inhibitory Concentration (MIC) and Minimum Bactericide Concentration (MBC) s value against Staphylococcus aureus ATCC The result showed that the inhibitory activity was produced significantly by crude bacteriocin 1A5 from media with trypton 1% inducer and was conditioned at ph 6. Characterization of active compound from crude bacteriocin 1A5 could be classified as bacteriocin neither antimicrobial compounds such as hydrogen peroxide because it was stable to catalase treatment. The other characteristic of its bacteriocin was nature proteinaeous that showed loss it s activity after trypsin treatment against Staphylococcus aureus ATCC and enteropathogenic Escherichia coli K11, neither Salmonella typhimurium ATCC Inhibition activity of crude bacteriocin 1A5 could explained with MIC and MBC s value, especially against Staphylococcus aureus ATCC MIC s and MBC s value needed respectively 70% dan 80% concentration of crude bacteriocin. Keywords: Lactobacillus plantarum, bacteriocin, antagonistic assay, MIC and MBC

5 PRODUKSI DAN KARAKTERISASI BAKTERIOSIN ASAL Lactobacillus plantarum 1A5 SERTA AKTIVITAS ANTIMIKROBANYA TERHADAP BAKTERI PATOGEN THEO MAHISETA SYAHNIAR D Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

6 PRODUKSI DAN KARAKTERISASI BAKTERIOSIN ASAL Lactobacillus plantarum 1A5 SERTA AKTIVITAS ANTIMIKROBANYA TERHADAP BAKTERI PATOGEN Oleh: THEO MAHISETA SYAHNIAR D Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 22 Oktober 2009 Pembimbing Utama Pembimbing Anggota Irma Isnafia Arief, S.Pt. MSi. Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA. Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor Ketua Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc.Agr. Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.

7 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 17 Juni 1987 di Probolinggo. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Sudarsono dan Emi Sumartini, S.Sos. Riwayat pendidikan penulis dimulai dari Sekolah Dasar Negeri Sukabumi 2 Probolinggo ( ), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Probolinggo ( ) dan dilanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Probolinggo ( ). Penulis kemudian melanjutkan pendidikan dan diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Ujian Seleksi Masuk IPB) pada tahun Penerapan Sistem Mayor Minor yang dilakukan oleh IPB membawa penulis pada Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Selama masa pendidikan, penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Peternakan periode serta dalam kepanitian kegiatan-kegiatan kampus lainnya. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum pada mata kuliah Dasar-Dasar Teknologi Hasil Ternak tahun ajaran dan pada mata kuliah Metodologi Penelitian dan Rancangan Percobaan tahun ajaran Penulis melakukan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul Produksi dan Karakterisasi Bakteriosin Asal Lactobacillus plantarum 1A5 serta Aktivitas Antimikrobanya terhadap Bakteri Patogen guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

8 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan nikmat dan rahmat-nya hingga akhirnya penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat serta salam semoga selalu dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW dan untuk keselamatan seluruh umat Islam. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah memberi dukungan, baik secara moril maupun materil hingga skripsi yang berjudul Produksi dan Karakterisasi Bakteriosin Asal Lactobacillus plantarum 1A5 serta Aktivitas Antimikrobanya terhadap Bakteri Patogen ini dapat diselesaikan guna memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Substansi skripsi ini terkait tentang pengkajian lebih dalam mengenai substrat antimikroba yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat Lactobacilllus plantarum 1A5 berupa bakteriosin kasar. Bakteriosin kasar 1A5 mampu menunjukkan aktivitas antimikrobanya terhadap ketiga bakteri patogen setelah melalui proses optimasi produksi dan proses purifikasi parsial bakteriosin. Komponen aktif yang bekerja sebagai antimikroba pada bakteriosin kasar 1A5 merupakan komponen protein. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, penulis telah berusaha semaksimal mungkin agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak, khususnya dalam peningkatan keamanan pangan di Indonesia melalui biopreservatif alami. Saran dan kritik yang membangun sangat bermanfaat bagi penulis. Bogor, Nopember 2009 Penulis

9 DAFTAR ISI RINGKASAN... ABSTRACT... LEMBAR PERNYATAAN... LEMBAR PENGESAHAN... RIWAYAT HIDUP... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 2 TINJAUAN PUSTAKA... 3 Mikrobiologi Daging... 3 Bakteri Asam Laktat... 4 Lactobacillus... 6 Lactobacillus plantarum 1A Antimikroba... 7 Asam Organik... 8 Hidrogen Peroksida... 9 Bakteriosin... 9 Mekanisme Penghambatan Senyawa Antimikroba Enzim Proteolitik Bakteri Patogen Staphylococcus aureus Salmonella typhimurium Escherichia coli METODE Lokasi dan Waktu Materi Rancangan Prosedur Strain Bakteri dan Media Pertumbuhan Produksi Bakteriosin pada Media yang Berbeda Pengukuran ph Pengukuran Total Asam Tertitrasi Persiapan Uji Antagonistik i iii iv v vi vii viii x xi xii

10 Uji Antagonistik Bakteriosin terhadap Bakteri Indikator Purifikasi Parsial Bakterosin Uji Sensitivitas Bakteriosin Kasar 1A5 terhadap Enzim Katalase Uji Sensitivitas Bakteriosin Kasar 1A5 terhadap Enzim Proteolitik Penentuan Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dan Minimum Bactericide Concentration (MBC) Bakteriosin Kasar 1A5 dengan Metode Kontak HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Penelitian Utama Produksi Bakteriosin dari Media yang Berbeda Purifikasi Parsial Bakteriosin Sensitivitas Bakteriosin Kasar 1A5 terhadap Enzim Katalase Sensitivitas Bakteriosin Kasar 1A5 terhadap Enzim Proteolitik Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dan Minimum Bactericide Concentration (MBC) Bakteriosin Kasar 1A5 47 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran UCAPAN TERIMA KASIH DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN ix

11 Nomor DAFTAR TABEL Halaman 1. Batas Maksimum Cemaran Mikroba pada Daging (CFU/g) Berdasarkan SNI No Kelas-Kelas Bakteriosin Spesifitas Pemotongan Berbagai Enzim Proteolitik Penggunaan Padatan Amonium Sulfat (% Penjenuhan) Kombinasi Bakteriosin Kasar 1A5 dengan Pengencer NB untuk Penentuan MIC dan MBC Kondisi ph Supernatan Antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 pada Media MRS Broth dengan Inducer yang Berbeda Persentase Zona Hambat Supernatan Antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 pada Media Produksi yang Berbeda terhadap Bakteri Indikator Diameter Zona Hambat Ekstrak Bakteriosin Kasar 1A5 terhadap Bakteri Indikator Diameter Zona Hambat Bakteriosin Kasar 1A5 dengan Perlakuan Enzim Proteolitik terhadap Bakteri Indikator... 44

12 Nomor DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Lactobacillus plantarum 1A Staphylococcus aureus Salmonella typhimurium Escherichia coli Morfologi Lactobacillus plantarum 1A Morfologi Bakteri-Bakteri Indikator (A) Staphylocoocus aureus ATCC 25923; (B) Salmonella typhimurium ATCC 14028; (C) enteropathogenic Escherichia coli K Nilai Total Asam Tertitrasi (TAT) pada Berbagai Kondisi ph Supernatan Antimikroba Lactobacillus plantarum 1A Diameter Zona Hambat Supernatan Antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 dari Media Produksi yang Berbeda terhadap (A). Staphylococcus aureus ATCC 25923; (B). Salmonella typhimurium ATCC dan (C). Enteropathogenic Escherichia coli K11 (EPEC K11) Diameter Zona Hambat Ekstrak Bakteriosin Kasar 1A5 terhadap Bakteri Indikator Zona Hambat Ekstrak Bakteriosin Kasar 1A5 (dengan inducer tripton 1%) terhadap Staphylococcus aureus ATCC Diameter Zona Hambat Bakteriosin Kasar 1A5 tanpa dan dengan Penambahan Enzim Katalase terhadap Bakteri Indikator Zona Hambat Bakteriosin Kasar 1A5 dengan Perlakuan Enzim Katalase terhadap Staphylococcus aureus ATCC Zona Hambat Bakteriosin Kasar 1A5 dengan Perlakuan Enzim Proteolitik terhadap Staphylococcus aureus ATCC Penentuan Nilai Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dan Minimum Bactericide Concentration (MBC) Bakteriosin Kasar 1A5 terhadap Staphylococcus aureus ATCC

13 Nomor DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Analisis Ragam Persentase Zona Hambat Supernatan Antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 pada Media Produksi yang Berbeda terhadap Staphylococcus aureus ATCC Uji Kruskal-Wallis Persentase Zona Hambat Supernatan Antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 pada Media Produksi yang Berbeda terhadap Salmonella typhimurium ATCC Analisis Ragam Persentase Zona Hambat Supernatan Antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 pada Media Produksi yang Berbeda terhadap enteropathogenic Escherichia coli K11 (EPEC K11) Analisis Ragam Diameter Zona Hambat Ekstrak Bakteriosin Kasar 1A5 terhadap Staphylococcus aureus ATCC Uji Kruskal-Wallis Diameter Zona Hambat Ekstrak Bakteriosin Kasar 1A5 terhadap Salmonella typhimurium ATCC Uji Kruskal-Wallis Diameter Zona Hambat Ekstrak Bakteriosin Kasar 1A5 terhadap enteropathogenic Escherichia coli K11 (EPEC K11) Uji Kruskal-Wallis Diameter Zona Hambat Bakteriosin Kasar 1A5 dengan Perlakuan Enzim Proteolitik terhadap Staphylococcus aureus ATCC Analisis Ragam Diameter Zona Hambat Bakteriosin Kasar 1A5 dengan Perlakuan Enzim Proteolitik terhadap Salmonella typhimurium ATCC Uji Kruskal-Wallis Diameter Zona Hambat Bakteriosin Kasar 1A5 dengan Perlakuan Enzim Proteolitik terhadap enteropathogenic Escherichia coli K11 (EPEC K11) Gambar Kombinasi Bakteriosin Kasar 1A5 dengan Pengencer NB untuk Penentuan MIC dan MBC Gambar Presipitasi Supernatan Antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 dengan Amonium Sulfat Gambar Alat Sentrifuse (10000 rpm)... 61

14 PENDAHULUAN Latar Belakang Bahan pangan asal ternak khususnya daging merupakan salah satu penyumbang protein hewani bagi penduduk Indonesia. Mutu dan keamanan pangan asal ternak tersebut perlu diperhatikan karena sifat daging yang perishable atau mudah rusak dan sangat dipengaruhi oleh keberadaan mikroorganisme. Mikroorganisme patogen yang terdapat secara alami di dalam daging, misalnya Escherichia coli, Salmonella sp., dan Listeria sp. beresiko menimbulkan penyakit bahkan kematian. Alternatif dalam mengatasi masalah tersebut adalah dengan pengolahan dan pengawetan atau preservasi. Metode preservasi yang telah banyak diaplikasikan adalah penambahan bahan pengawet pada makanan, baik bahan pengawet sintetis maupun yang alami. Penggunaan pengawet sintetis atau antibiotik dapat menyebabkan adanya kemungkinan toksisitas akibat residu yang masih aktif dalam daging, bahaya mikroorganisme yang resisten dan dapat menimbulkan infeksi pada konsumen. Penggunaan beberapa pengawet kimia yang dapat diserap oleh bahan organik mengakibatkan berkurangnya efektivitas bahan pengawet alami berupa antimikroba yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat yang secara alami terdapat di dalam daging. Oleh karena itu, bahan pengawet alami lebih berpotensi untuk diaplikasikan sebagai pengganti pengawet sintetis khususnya pada daging karena tidak mengandung toksin, dapat didegradasi oleh enzim-enzim pencernaan dan lebih aman dikonsumsi. Bahan pengawet alami berupa supernatan antimikroba yang dihasilkan oleh isolat-isolat bakteri asam laktat (Lactobacillus spp. 2B1, 1A1, 2B3, 2D1, 1D2, 2A2, 1D1, 1C3, 1B1, 1A5, 1A32 dan 1C6) asal daging telah menunjukkan aktivitas antimikrobanya terhadap ketiga bakteri uji yang merupakan bakteri patogen, antara lain Staphylococcus aureus, Escherichia coli dan Salmonella typhimurium. Aktivitas antimikroba tersebut menurut hasil penelitian Permanasari (2008) menunjukkan dominasi aktivitas dari asam organik dan Lactobacillus plantarum 1A5 menunjukkan aktivitas penghambatan paling baik yang dibuktikan dengan pembentukan rataan diameter zona hambat terbesar. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai aktivitas antimikroba dengan spesifikasi bakteriosin, khususnya pada Lactobacillus plantarum 1A5. Penelitian tersebut dimaksudkan untuk

15 mempelajari optimasi produksi dan karakterisasi bakteriosin bakteri asam laktat Lactobacillus plantarum 1A5 serta aktivitas antimikrobanya terhadap bakteri patogen. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari produktivitas antimikroba bakteriosin asal Lactobacillus plantarum 1A5 pada media produksi yang berbeda dan karakterisasi bakteriosin 1A5 melalui sensitivitasnya terhadap enzim katalase dan enzim proteolitik serta penghambatannya terhadap bakteri patogen, yaitu Staphylococcus aureus ATCC 25923, Salmonella typhimurium ATCC dan enteropathogenic Escherichia coli K11 (EPEC K11). Penelitian ini juga bertujuan untuk mempelajari aktivitas antimikroba bakteriosin 1A5 melalui penentuan Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dan Minimum Bactericide Concentration (MBC), khususnya terhadap Staphylococcus aureus ATCC

16 TINJAUAN PUSTAKA Mikrobiologi Daging Mikrobiologi adalah suatu cabang ilmu tentang mikroorganisme. Mikroorganisme berukuran sangat kecil, biasanya bersel tunggal, secara individual tidak dapat dilihat dengan mata telanjang tetapi hanya dapat dilihat dengan mikroskop. Mikroorganisme tersebar luas di alam dan dijumpai pula pada pangan. Jumlah dan jenis mikroorganisme yang terdapat dalam bahan pangan dapat menentukan mutu mikrobiologi dari suatu produk pangan tersebut. Hal ini akan menentukan ketahanan simpan dari produk tersebut ditinjau dari kerusakan oleh mikroorganisme. Populasi mikroorganisme yang berada pada suatu bahan pangan umumnya bersifat sangat spesifik dan tergantung pada jenis bahan pangan dan kondisi tertentu dari penyimpanannya (Buckle et al., 1987). Daging sangat memenuhi persyaratan untuk perkembangan mikroorganisme, terutama mikroorganisme pada perusak atau pembusuk. Hal ini disebabkan oleh mikroorganisme yang mempunyai kadar air tinggi antara 68%-75%, kaya akan zat yang mengandung nitrogen dengan kompleksitas yang berbeda, mengandung sejumlah karbohidrat yang dapat difermentasikan, kaya akan mineral dan kelengkapan faktor untuk pertumbuhan mikroorganisme serta mempunyai ph yang menguntungkan bagi sejumlah mikroorganisme sekitar 5,3-6,5 (Soeparno, 1994). Kebanyakan bakteri tumbuh di permukaan daging, namun tidak tertutup kemungkinan ditemukan bakteri dalam daging. Bakteri yang dapat mencapai jaringan dalam karkas dengan berbagai cara, diantaranya melalui mekanisme berikut: (1) jaringan ternak sehat dapat mengandung sebuah populasi kecil bakteri namun dinamis bila bakteri secara terus-menerus memperoleh akses ke dalam jaringan ternak hidup dengan penetrasi membran mukosa saluran respirasi dan pencernaan untuk mengganti yang telah dibasmi oleh mekanisme ketahanan tubuh ternak; (2) bakteri dari usus dapat menyerang jaringan karkas, baik selama pemotongan (agonal invasion) maupun setelah pemotongan (post mortem invasion); (3) bakteri dapat terbawa ke jaringan oleh luka sebelum pemotongan; (4) bakteri yang mengkontaminasi permukaan karkas dapat mempenetrasi ke lapisan jaringan otot yang lebih dalam. Tipe bakteri yang umum dijumpai pada daging adalah strain dari

17 Pseudomonas, Moraxella, Acinetobacter, Lactobacillus, Brochotrix thermopacta dan beberapa genera dari famili Enterobacteriaceae (Gill, 1982). Kualitas mikrobiologis daging dapat dilihat dari kandungan mikroorganisme dalam daging, terutama mikroorganisme patogen. Soeparno (1994) menjelaskan batas jumlah mikroba selama pelayuan tidak melebihi 10 5 cfu/cm 2 dan jenis bakteri patogen yang tidak boleh terdapat di dalam daftar cemaran daging antara lain Clostridium sp., Salmonella sp., Campylobacter sp. dan Listeria sp. Standar cemaran mikroba sebagai penentu kualitas daging sapi segar ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional dengan batas maksimum cemaran dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Batas Maksimum Cemaran Mikroba pada Daging (CFU/g) Berdasarkan SNI No No Keterangan Jenis Cemaran Mikroba Angka Lempeng Total Bakteri (ALTB) Escherichia coli Staphylococcus aureus Clostridium sp. Salmonella sp. Coliform Enterococci Campylobacter sp. Listeria sp. : (*) dalam satuan MPN/gram (**) dalam satuan kualitatif Batas Maksimum Cemaran Mikroba Daging Segar/Beku Daging tanpa Tulang 1 x x x x x x Negatif Negatif 1 x x x x Bakteri Asam Laktat Bakteri asam laktat sering ditemukan secara alamiah dalam bahan pangan. Bakteri ini secara luas terdistribusi pada susu, daging segar, sayuran serta produkproduknya. Penggunaan bakteri asam laktat sebagai kultur starter dalam produksi daging fermentasi, produk-produk susu serta sayuran dan buah-buahan adalah salah satu metode pemrosesan pangan tertua yang digunakan untuk menstabilkan produkproduk pangan tersebut hingga diperoleh cita rasa yang spesifik (Smid dan Gorris, 2007). 4

18 Bakteri asam laktat juga disebut sebagai biopreservatif karena berkontribusi dalam menghambat pertumbuhan bakteri lain khususnya patogen dan mampu membawa dampak positif bagi kesehatan manusia (Smid dan Gorris, 2007). Efek preservatif yang ditimbulkan oleh bakteri asam laktat pada pangan fermentasi disebabkan oleh kondisi asam yang terbentuk selama pemrosesan dan selanjutnya selama penyimpanan. Efek asam tersebut diakibatkan adanya konversi karbohidrat menjadi asam organik (asam laktat dan asam asetat) dan menurukan ph produk selama fermentasi. Hal tersebut merupakan karakteristik penting guna memperpanjang masa simpan dan keamanan produk (Vuyst dan Vandamme, 1994). Bakteri asam laktat mempunyai karakteristik morfologi, fisiologi dan metabolit tertentu. Deskripsi secara umum dari bakteri ini adalah termasuk dalam bakteri Gram positif, tidak berspora, berbentuk bulat maupun batang, dan menghasilkan asam laktat sebagai mayoritas produk akhir selama memfermentasi karbohidrat (Axelsson, 2004). Bakteri asam laktat terbagi menjadi 8 genus antara lain Lactobacillus, Streptococcus, Lactococcus, Pediococcus, Enterococcus, Leuconostoc, Bifidobacterium, dan Corinebacterium. Berdasarkan tipe fermentasinya, bakteri asam laktat terbagi menjadi homofermentatif dan heterofermentatif. Kelompok homofermentatif menghasilkan asam laktat sebagai produk utama dari fermentasi gula sedangkan kelompok heterofermentatif menghasilkan asam laktat dan senyawa lain yaitu CO 2, etanol, asetaldehid, diasetil serta senyawa lainnya (Fardiaz, 1992). Bakteri asam laktat memproduksi berbagai komponen bermassa molekul rendah termasuk asam, alkohol, karbon dioksida, diasetil, hidrogen peroksida dan metabolit lainnya. Banyak metabolit mempunyai spektrum aktivitas yang luas melawan spesies lain dan produksi tersebut dipengaruhi secara luas oleh matriks makanan itu sendiri (Helander et al., 1997). Satu atribut penting dari bakteri asam laktat adalah kemampuannya memproduksi komponen antimikroba, khususnya bakteriosin yang potensial menjadi biopreservatif menggantikan pengawet kimiawi pada bahan makanan guna memperpanjang umur simpan produk. Kemampuan bakteriosin dalam melakukan aktivitasnya sebagai biopresevatif dicapai oleh efek penghambatannya terhadap mikroorganisme patogen yang berbahaya (Savadogo et al., 2006). 5

19 Lactobacillus Lactobacillus dicirikan dengan bentuk batang, biasanya panjang tetapi terkadang berbentuk bulat, umumnya dalam rantai-rantai pendek dan biasanya berukuran 0,5-1,2 µm x 1,0-10,0 µm. Lactobacillus merupakan bakteri Gram positif, tidak menghasilkan spora, biasanya tidak bergerak, anaerob fakultatif, katalase negatif, koloninya dalam media agar berukuran 2-5 mm, konfeks, opak, sedikit transparan dan tidak berpigmen. Hampir setengah dari metabolit akhir bahkan yang menjadi metabolit utamanya adalah laktat. Genus ini tumbuh baik pada suhu 30 o C- 40 o C dan tersebar luas di lingkungan terutama dalam produk-produk pangan asal hewan dan sayuran. Bakteri ini menetap dalam saluran pencernaan unggas dan mamalia (Holt et al., 1994). Lactobacillus plantarum 1A5 Lactobacillus plantarum termasuk bakteri dalam filum Firmicutes, kelas Bacilli, ordo Lactobacillales, family Lactobacillaceae dan genus Lactobacillus. Lactobacillus plantarum mempunyai kemampuan untuk menghambat mikroorganisme patogen pada bahan pangan dengan daerah penghambatan terbesar dibandingkan dengan bakteri asam laktat lainnya (Jenie dan Rini, 1995). Lactobacillus plantarum 1A5 merupakan isolat bakteri asam laktat kelima dari daging sapi yang berasal dari Pasar Anyar Bogor dengan umur 9 jam postmortem pada suhu ruang (Arief, 2005). Isolat bakteri Lactobacillus plantarum 1A5 merupakan bakteri yang mampu bertahan hidup melalui uji invitro pada ph lambung (ph 2), ph usus (ph 7,2) dan garam empedu (0,3 %) (Wijayanto, 2009). Substrat antimikroba yang dihasilkan oleh Lactobacillus plantarum 1A5 dengan didominasi oleh asam organik mempunyai aktivitas penghambatan paling besar terhadap ketiga bakteri uji (Staphylococcus aureus ATCC 25923, Escherichia coli ATCC dan Salmonella typhimurium ATCC 14028). Aktivitas penghambatan tersebut ditunjukkan dengan diameter zona hambat terhadap Staphylococcus aureus ATCC dengan rataan 8,99 mm; terhadap Escherichia coli ATCC dengan rataan 7,87 mm dan terhadap Salmonella typhimurium ATCC dengan rataan 11,76 mm. Selain itu, nilai konsentrasi penghambatan minimumnya terhadap ketiga bakteri uji yaitu 90% (Permanasari, 2008). Lactobacillus plantarum 1A5 secara mikroskopis dapat dilihat pada Gambar 1. 6

20 Gambar 1. Lactobacillus plantarum 1A5 Sumber: Permanasari (2008) Antimikroba Senyawa antimikroba adalah senyawa kimiawi atau biologis yang dapat menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba. Komponen antimikroba terdapat dalam bahan pangan melalui salah satu dari berbagai cara, yaitu terdapat secara alamiah di dalam bahan pangan, ditambahkan secara sengaja ke dalam makanan dan terbentuk selama pengolahan atau oleh jasad renik yang tumbuh selama fermentasi pangan (Fardiaz, 1992). Suatu preservatif untuk memperpanjang masa simpan produk pangan, terutama daging, harus memenuhi kriteria antara lain tidak mengubah flavor, bau dan tekstur bahan pangan; aman bagi konsumen dan efektif sebagai preservatif atau aman untuk dikonsumsi selama masa simpan tertentu; preservatif harus mudah dikenali dan kadarnya dapat dipastikan secara pasti serta harus memenuhi kebutuhan yang diizinkan; kualitas bahan pangan tidak merugikan konsumen; ekonomis (Soeparno, 1994); dan tidak menyebabkan timbulnya galur resisten dan diutamakan bersifat membunuh daripada hanya menghambat pertumbuhan mikroba (Frazier dan Westhoff, 1988). Senyawa antimikroba dapat bersifat bakterisidal (membunuh bakteri), bakteristatik (menghambat pertumbuhan mikroba), fungisidal (membunuh kapang), fungistatik (menghambat pertumbuhan kapang) dan germisidal (menghambat germinasi spora bakteri). Kemampuan suatu zat antimikroba dalam menghambat pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain konsentrasi zat pengawet, waktu penyimpanan, suhu lingkungan, sifat-sifat mikroba (jenis, konsentrasi, umur dan keadaan mikroba), sifat-sifat fisik dan kimia makanan, termasuk kadar air, ph, jenis dan jumlah senyawa di dalamnya (Fardiaz, 1992). 7

21 Senyawa antimikroba adalah senyawa biologis dan atau kimiawi yang dapat menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba. Bakteri asam laktat mampu berperan sebagai senyawa antimikroba, baik melalui penggunaannya secara langsung di dalam makanan pada proses fermentasi maupun melalui metabolit-metabolit yang dihasilkannya untuk memperpanjang masa simpan, meningkatkan kualitas produk serta menghambat pertumbuhan mikroorganisme patogen dan pembusuk (Holzapfel, 1998). Metabolit-metabolit bakteri asam laktat yang berfungsi sebagai senyawa antimikroba antara lain asam organik (asam laktat dan asam asetat), bakteriosin, hidrogen peroksida, diasetil, CO 2 dan semua metabolit yang mempunyai aktivitas antimikroba (Vuyst dan Vandamme, 1994; Ouwehand dan Vesterlund, 2004). Asam Organik Asam organik merupakan substansi alami dari berbagai jenis makanan. Aksi antimikroba dari asam organik berdasarkan pada kemampuannya untuk menurunkan ph dalam pangan yang berfase air. Asam organik dalam pangan dapat berfungsi sebagai asidulan atau pengawet, sementara garamnya atau ester dapat menjadi antimikroba yang efektif pada ph mendekati netral. Asam laktat adalah produk utama pada pangan hasil fermentasi. Asam asetat, propionat, malat dan asam-asam lainnya dengan konsentrasi yang beragam juga dihasilkan tergantung jenis produk dan mikroorganisme yang digunakan (Samelis dan Sofos, 2003). Penghambatan pertumbuhan pada mikroba yang disebabkan oleh asam organik diakibatkan adanya pelepasan proton ke dalam sitoplasma sehingga ph dalam membran sel menjadi sangat asam secara mendadak. Akan tetapi hipotesis tersebut dibantah oleh peneliti lain yang menyatakan bahwa penyebab dari penghambatan pertumbuhan oleh asam organik bukanlah karena adanya translasi proton tetapi karena adanya akumulasi anion. Anion menyebabkan berkurangnya kecepatan dari sintesis makromolekul dan mempengaruhi transportasi antar membran sel. Bakteri asam laktat dan juga bakteri lain meniadakan efek dari akumulasi anion dengan cara mengurangi ph pada sitoplasma (Ouwehand dan Vesterlund, 2004). Perubahan permeabilitas membran akan menghasilkan efek ganda, yaitu mengganggu transportasi nutrisi ke dalam sel dan menyebabkan metabolit internal keluar dari sel. 8

22 Hidrogen Peroksida Bakteri asam laktat memproduksi hidrogen peroksida di bawah kondisi pertumbuhan aerob, dan karena berkurangnya katalase selular, pseudokatalase atau peroksidase. Bakteri asam laktat mengekskresikan H 2 O 2 tersebut sebagai alat pelindung diri yang mampu bersifat bakteriostatik maupun bakterisidal. Hidrogen peroksida merupakan salah satu agen pengoksidasi yang kuat dan dapat dijadikan sebagai zat antimikroba melawan bakteri, fungi dan bahkan virus (Ray, 2004). Kemampuan bakterisidal dari H 2 O 2 beragam tergantung ph, konsentrasi, suhu, waktu dan tipe serta jumlah mikoorganisme. Pada kondisi tertentu, spora bakteri ditemukan paling resisten terhadap H 2 O 2, diikuti dengan bakteri Gram positif. Bakteri yang paling sensitif terhadap H 2 O 2 adalah bakteri Gram negatif, terutama koliform (Ouwehand dan Vesterlund, 2004). Hidrogen peroksida (H 2 O 2 ) merupakan oksidator, bleaching agent dan anti bakteri. Hidrogen peroksida murni tidak berwarna, berbentuk cairan seperti sirup dan memiliki bau yang menusuk. Kemampuan H 2 O 2 untuk mengoksidasi menyebabkan perubahan tetap pada sistem enzim sel mikroba sehingga digunakan sebagai antimikroba. Selain itu, senyawa ini juga dapat terdekomposisi menjadi air dan oksigen. Perubahan kondisi lingkungan seperti ph dan suhu mempengaruhi kecepatan dekomposisi H 2 O 2. Peningkatan suhu dapat meningkatkan keefisienan dalam menghancurkan bakteri dan kecepatan terdekomposisinya juga semakin cepat (Branen, 1993). Bakteriosin Bakteriosin yang diproduksi oleh bakteri asam laktat dapat didefinisikan sebagai protein aktif atau kompleks protein yang menunjukkan aksi bakterisidal melawan bakteri Gram positif dan terutama spesies yang berkerabat dekat dengan spesies penghasil (Vuyst dan Vandamme, 1994; Jack et al., 1995; Ray, 2004; Parada et al., 2007). Bakteriosin dikarakterisasi sebagai suatu senyawa yang bersifat letal terhadap intraspesies telah diperjelas oleh Jack et al. (1995) meliputi beberapa kriteria umum, antara lain mempunyai spektrum aktivitas yang relatif sempit terpusat pada spesies yang filogenik; senyawa aktifnya berupa fraksi protein berukuran asam amino yang disintesis di ribosom; bersifat bakterisidal dan tahan panas; memiliki reseptor spesifik pada sel sasaran; dan gen determinan terdapat pada 9

23 plasmid yang berperan dalam sintesis dan tidak membunuh strain penghasil. Vuyst dan Vandamme (1994) menuliskan bahwa bakteriosin bersifat irreversible, aktif pada konsentrasi rendah, mudah dicerna, berpengaruh positif terhadap kesehatan dan biasanya digunakan sebagai biopreservatif makanan. Bakteriosin hanya menghambat spesies lain yang biasanya berkerabat dekat dengan spesies penghasil atau mikroorganisme Gram positif lainnya. Beberapa hasil telah dideskripsikan berpengaruh sinergis antara berbagai antimikroba, kemudian secara potensial aplikasinya diperluas. Pengetahuan baru untuk pengendalian bakteri Gram negatif secara efektif menggunakan agen antibakteri potensial harus direalisasikan dengan mekanisme penelitian yang dapat melewati hambatan permeabilitas dari membran luar (Helander et al., 1997). Bakteriosin-bakteriosin asal bakteri asam laktat dikarakterisasi sebagai peptida yang berasal dari ribosom. Bakteriosin berakumulasi di dalam media kultur selama fase pertumbuhan eksponensial hingga fase pertumbuhan stasioner (Vuyst dan Vandamme, 1994). Bakteriosin mencapai produksi tertinggi dengan aktivitas penghambatan terbesar pada pertengahan fase pertumbuhan eksponensial hingga awal fase stasioner dan aktivitasnya akan berkurang bahkan tidak terdeteksi lagi selama fase pertumbuhan stasioner (Venema et al., 1997; Nowroozi et al., 2004; Abo-Amer, 2007; Rashid et al., 2009). Produksi bakteriosin dipengaruhi oleh tipe dan level karbon, sumber nitrogen dan fosfat, surfaktan kation dan penghambat (Savadogo et al., 2006). Bakteriosin secara biologis disintesis sebagai prepeptida inaktif yang membawa sebuah N-terminal pada peptida utama untuk ditranslasikan menjadi C- terminal propeptida (Hoover dan Chen, 2005). Setelah proses translasi, peptida utama yang membawa molekul propeptida ditranportasikan dari dalam sitoplasma ke lingkungan luar melalui membran yang mempunyai ikatan pembawa ABC. Ikatan pembawa ABC tersebut beraksi sebagai endopeptidase yang memotong peptida utama sehingga bagian propeptidanya dapat dikeluarkan ke lingkungan sedangkan peptida utama tetap berada di dalam sitoplasma untuk berperan kembali dalam sintesis bakteriosin selanjutnya. Propeptida tersebut merupakan molekul-molekul bakteriosin yang terbentuk (Ray, 2004). 10

24 Bakteriosin yang diproduksi oleh bakteri asam laktat dapat dibagi menjadi 3 kelas utama antara lain kelas I adalah lantibiotik, kelas II adalah peptida berukuran kecil dan tahan panas, dan kelas III adalah protein berukuran besar dan tidak tahan panas. Kelas IV dari bakteriosin dengan struktur yang komplek juga telah diusulkan tetapi belum diterima secara luas (Ouwehand dan Vesterlund, 2004). Keberadaan kelas keempat tersebut terutama didukung oleh observasi bahwa beberapa aktivitas bakteriosin dihasilkan di dalam supernatan bebas sel, contohnya aktivitas Lb. plantarum LPCO 10 dihilangkan tidak hanya oleh perlakuan enzim proteolitik tetapi juga oleh enzim glikolitik dan lipolitik (Jimenez-Diaz, 1993). Kelas I dan II adalah kelas-kelas utama dari bakteriosin mempunyai potensi untuk digunakan di dalam aplikasi komersial. Kelas-kelas bakteriosin dapat dilihat pada Tabel 2. Kelas I Tabel 2. Kelas-Kelas Bakteriosin Kelas Subkelas Deskripsi (lantibiotik) Kelas II Kelas III Kelas IV A(1) A(2) B IIa IIb IIc berbentuk linier, kationik, membran aktif, sedikit yang bermuatan + atau berbentuk linier, kationik, membran aktif, banyak yang bermuatan berbentuk globular, berukuran kecil*, penghambatan dengan enzim spesifik, bermuatan atau sama sekali tidak bermuatan*, tidak diproduksi oleh bakteri asam laktat berukuran kecil (< 10 kda), tahan panas (suhu sedang 100 o C hingga suhu tinggi 121 o C), peptida-peptida membrane aktif yang tidak mengandung lantionin peptida-peptida yang aktif menghambat Listeria bakteriosin yang mengandung dua peptida bakteriosin yang mengandung peptida lain berukuran besar (> 30 kda), protein tidak tahan panas bakteriosin komplek: protein dengan lipid dan atau karbohidrat Sumber: Ouwehand dan Vesterlund (2004) *Hoover dan Chen (2005) 11

25 Mekanisme Penghambatan Senyawa Antimikroba Mekanisme penghambatan pertumbuhan mikroba oleh senyawa antimikroba yaitu dengan cara merusak dinding sel sehingga lisis maupun mengubah atau menghambat pembentukan dinding sel pada sel yang sedang tumbuh, mengubah permeabilitas membran sitoplasma yang menyebabkan kebocoran nutrien di dalam sel, denaturasi protein sel dan perusakan sistem metabolisme dalam sel dengan cara menghambat kerja enzim intraseluler (Pelczar dan Rheid, 1986). Beberapa cara antimikroba dalam aksinya melawan mikroorganisme yaitu memberikan efek bakteriostatik, bakterisidal ataupun bakterilisis. Sifat bakteriostatik akan menghambat pertumbuhan dan replikasi mikroorganisme, namun tidak menyebabkan kematian. Sifat bakterisidal berhubungan dengan kemampuan senyawa untuk menyebabkan kematian mikroorganisme, sedangkan sifat bakterilisis akan menyebabkan lisis sel mikroorganisme (Gonzales et al., 1996). Bakteriosin bakteri asam laktat bersifat bakterisidal terhadap sel sensitif dan dapat mengalami kematian dengan sangat cepat pada konsentrasi rendah. Beberapa bakteriosin mempunyai sifat bakterisidal melawan beberapa strain dan spesies yang berelasi dekat tetapi beberapa dapat efektif melawan banyak strain dalam spesies dan genera yang berbeda. Namun, sel penghasil bakteriosin akan mengalami ketahanan terhadap bakteriosin yang dihasilkannya sendiri, disebabkan memperoleh ketahanan protein yang spesifik. Bakteriosin ini pada umumnya sangat efektif melawan sel dari bakteri Gram positif yang lain (Ray, 2004). Normalnya, strain bakteri Gram positif sensitif terhadap bakteriosin dengan spektrum yang sangat bervariasi, sedangkan strain bakteri Gram negatif resisten terhadap bakteriosin. Namun, bakteri Gram negatif tersebut dapat menjadi sensitif mengikuti perusakan struktur lipopolisakarida pada permukaan sel secara fisik dan tekanan kimia. Bakteriosin asal bakteri asam laktat tidak efisien dalam menghambat bakteri Gram negatif karena membran terluarnya bersifat hidrofilik dan dapat menghalangi aksi bakteriosin (Ray, 2004). Bakteri Gram negatif memiliki sistem seleksi terhadap zat-zat asing yaitu pada lapisan lipopolisakarida (Branen, 1993). Penentuan aktivitas antimikroba adalah terjadinya interaksi awal antara molekul-molekul kationik dari bakteriosin dengan polimer-polimer anionik di permukaan sel, salah satunya adalah asam teikoat. Asam teikoat tersebut merupakan 12

26 reseptor bakteriosin yang hanya dihasilkan oleh bakteri Gram positif. Selanjutnya, aksi bakterisidal dari bakteriosin melawan sel yang sensitif akan dihasilkan melalui destabilisasi fungsi dari membran sitoplasmik, berupa peningkatan permeabilitas membran sehingga mengganggu keseimbangan barier dan dapat mengakibatkan kematian sel (Jack et al., 1995). Mekanisme-mekanisme aksi lainnya dari bakteriosin antara lain perubahan aktivitas enzim, penghambatan germinasi spora dan inaktivasi pembawa anionik langsung membentuk pori-pori selektif dan non selektif (Ray, 2004). Enzim Proteolitik Enzim proteolitik atau yang sering disebut dengan protease merupakan berbagai jenis enzim yang mencerna protein menjadi unit-unit yang lebih kecil dimana enzim secara umum bertugas sebagai katalisator dengan cara menurunkan energi aktivasi di dalam sel, bersifat khas (Murray, 2006) dan sebagai katalis pada pemecahan molekul protein dengan cara hidrolisis (Poedjiadi, 1994). Oleh karena yang dipecah adalah ikatan pada rantai peptida, maka enzim tersebut dinamakan peptidase. Enzim-enzim ini meliputi protease-protease pankreas, khimotripsin dan tripsin, bromelin, papain, fungal proteases dan Serratia peptidase (Murray, 2006). Tripsin (EC ) merupakan famili dari protease serin yang memecah protein pada gugus karboksil dari asam amino lisin dan arginin, kecuali protein tersebut diikuti oleh prolin. Tripsin dihasilkan oleh pankreas dalam bentuk tripsinogen yang tidak aktif. Tripsinogen tersebut kemudian disekresikan ke usus halus, tempat enzim enterokinase mengaktifkannya menjadi tripsin (Poedjiadi, 1994) atau secara autokatalitik pada ph 8 (Suhartono, 1992). Pepsin (EC ) adalah suatu enzim yang berguna untuk memecah molekul protein menjadi molekul yang lebih kecil yaitu pepton dan proteosa. Enzim ini dihasilkan oleh sel-sel utama lambung dalam bentuk pepsinogen, yaitu calon enzim yang belum aktif. Pepsinogen ini kemudian diubah menjadi pepsin yang aktif dengan adanya HCl (Poedjiadi, 1994). Enzim pepsin menghidrolisis ikatan peptida protein pada sisi karboksil tirosin, fenilalanin, triptofan, leusin, glutamat dan glutamin (Suhartono, 1992). Spesifitas pemotongan berbagai enzim proteolitik dapat dilihat pada Tabel 3. 13

27 14 Tabel 3. Spesifitas Pemotongan Berbagai Enzim Proteolitik Enzim Proenzim Pengaktif Letak Pemotongan Karboksil protease Autopengaktifan, R R Pepsin A Pepsinogen A pepsin CO NHCHCO NHCHCO R = Tyr, Phe, Leu Serin protease Enteropeptida, R R Tripsin Tripsinogen tripsin CO NHCHCO NHCHCO R = Arg, Lys Khimotripsin Khimotripsinogen Tripsin R R CO NHCHCO NHCHCO R = Tyr, Trp, Phe, Met, Leu Elastase Proelastase Tripsin R R CO NHCHCO NHCHCO R = Ala, Gly, Ser Zn-Peptidase Karboksipeptidase A Prokarboksipeptidase Tripsin R A CO NHCHCO 2 R = Val, Leu, Ile, Ala Karboksipeptidase B Prokarboksipeptidase Tripsin R B CO NHCHCO 2 R = Arg, Lys Sumber: Sani (2008)

28 Sensitivitas substansi antibakteri yang diproduksi oleh bakteri asam laktat terhadap -khimotripsin, tripsin, pronase E, fisin, pepsin, papain dan lipase ditentukan dalam penanganan dan kondisi perbanyakan. Semua komponen secara keseluruhan maupun sebagian diinaktivasi oleh beberapa enzim proteolitik. Hal ini mengindikasikan bahwa komponen tersebut adalah protein alami. Komponen penghambat diproduksi oleh strain-strain yang ada dengan sensitivitas yang berbeda. Seluruh komponen penghambat tersebut secara lengkap diinaktivasi oleh - khimotripsin, pronase E dan fisin. Nisin dibedakan dengan bakteriosin lactococcal lainnya dengan fakta bahwa -khimotripsin adalah enzim proteolitik satu-satunya yang menyebabkan nisin menjadi sensitif. Namun demikian, nisin juga dapat diinaktifasi oleh enzim lainnya, misalnya pronase E dan fisin (Bromberg et al., 2004). Bakteri Patogen Bakteri yang tumbuh dalam bahan pangan terbagi menjadi bakteri pembusuk yang dapat menyebabkan kerusakan makanan dan bakteri patogen penyebab penyakit pada manusia. Jumlah bakteri pembusuk umumnya lebih dominan dibandingkan dengan bakteri patogen. Bakteri patogen merupakan mikroorganisme indikator keamanan pangan. Bakteri patogen dibedakan atas penyebab intoksikasi dan infeksi. Intoksikasi yaitu keracunan yang disebabkan oleh toksin yang dihasilkan bakteri patogen yang berkembang di dalam bahan makanan, sedangkan infeksi yaitu bakteri yang menghasilkan racun di dalam saluran pencernaan. Beberapa mikroba yang diamati sebagai bakteri pembusuk dan patogen pada produk fermentasi adalah dari famili Enterobacteriaceae, di dalamnya termasuk famili Enterobacter, Erwinia, Citrobacter, Klebsiella, Proteus, Salmonella, Serattia, Shigella dan Yersinia (Fardiaz, 1992). Bakteri secara umum dibedakan menjadi dua bagian berdasarkan sifat pewarnaan Gram yaitu Gram positif dan Gram negatif. Bakteri Gram positif adalah bakteri yang memberi respon berwarna biru keunguan jika dilakukan uji pewarnaan Gram, sedangkan Gram negatif memberi respon warna merah (Tortora et al., 2006). Kelompok bakteri patogen yang bersifat Gram positif diantaranya Staphylococcus aureus, Listeria monocytogenes dan Clostridium perfringens, sedangkan bakteri 15

29 patogen yang bersifat Gram negatif diantaranya Escherichia coli enteropatogenik dan Salmonella typhimurium. Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus temasuk famili Micrococcaceae, merupakan bakteri Gram positif, berbentuk kokus yang terdapat dalam bentuk tunggal, berpasangan tetrad atau berkelompok, seperti buah anggur dengan diameter berkisar 0,5-1,5 µm, anaerob fakultatif, tidak bergerak, tidak berspora dan biasanya termasuk katalase positif (Holt et al., 1994). Kebanyakan galur Staphylococcus aureus bersifat patogen dan memproduksi enterotoksin yang tahan panas. Beberapa galur, terutama yang bersifat patogen, memproduksi koagulase, bersifat proteolitik, lipolitik dan - hemolitik. Bakteri ini sering terdapat pada pori-pori dan permukaan kulit, kelenjar keringat dan saluran usus serta dapat menyebabkan intoksikasi dan infeksi bisul, pneumonia, mastitis pada hewan (Fardiaz, 1992). Suhu optimum pertumbuhan Staphylococcus aureus adalah o C, suhu minimum 6,7 o C dan suhu maksimum 45,5 o C. Bakteri dapat tumbuh pada ph 4,0-9,8 dengan ph optimum sekitar 7,0-7,8. Pertumbuhan pada ph mendekati 9,8 hanya mungkin apabila substratnya mempunyai komponen yang baik untuk pertumbuhannya (Supardi dan Sukamto, 1999). Staphylococcus aureus secara mikroskopis dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Staphylococcus aureus Sumber: Gillen (2009) Salmonella typhimurium Salmonella merupakan bakteri Gram negatif, tidak membentuk spora, berbentuk batang, dapat memfermentasi glukosa dan biasanya disertai dengan pembentukan gas tetapi tidak memfermentasi laktosa maupun sukrosa (Frazier dan 16

30 Westhoff, 1988). Salmonella berbentuk batang lurus, berukuran 0,7-1,5 µm x 2-5 µm, termasuk bakteri anaerob fakultatif dan biasanya dapat bergerak menggunakan flagela peritrikus (Holt et al., 1994). Salmonella sp. dapat tumbuh pada kisaran suhu antara 5 o C hingga o C dengan suhu optimum o C. Salmonella sp. tumbuh pada tingkat keasaman antara 4,5-5,4 dengan ph optimumnya sekitar 7 dan a w minimum 0,94. Nilai ph minimum bervariasi tergantung pada suhu inkubasi, komposisi media, a w dan jumlah sel. Pada ph kurang dari 4,0 dan lebih dari 9,0 Salmonella akan mati secara perlahan (Adam dan Moss, 2007). Makanan yang sering terkontaminasi oleh Salmonella typhimurium adalah telur, susu, ikan, daging ayam, daging sapi serta hasil olahannya. Buckle et al. (1987) menyatakan bahwa Salmonella dapat bergerak dengan metabolisme bersifat fakultatif anaerob. Selain itu, bakteri ini merupakan bakteri patogen berbahaya, selain dapat menyebabkan gejala gastrointestinal (gangguan perut), juga dapat menyebabkan demam tifus (Salmonella typhimurium) dan paratifus (Salmonella paratyphi) (Fardiaz, 1992). Salmonella typhimurium secara mikroskopis dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Salmonella typhimurium Sumber: Fox (2000) Escherichia coli Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif yang berbentuk batang dengan ukuran 1,1-1,5 µm x 2,0-6,0 µm, soliter maupun berkoloni, anaerobik fakultatif dan katalase positif (Holt et al., 1994). Escherichia coli termasuk dalam grup Enterobacteriaceae dan digunakan sebagai mikroba indikator terhadap kontaminasi feses pada air dan susu, bersifat motil dengan flagela peritrikus (Buckle et al., 1987). Escherichia coli dapat tumbuh optimum pada ph 7-7,5 dengan ph 17

31 minimum 4 dan ph maksimum 8,5. Bakteri ini sensitif terhadap panas dan pada makanan yang mengalami pemanasan. Suhu optimum untuk pertumbuhannya adalah 37 o C dengan kisaran suhu o C (Frazier dan Westhoff, 1988). Flora normal (Escherichia coli) ini terdapat di dalam saluran pencernaan hewan dan manusia sehingga mudah mencemari air. Kontaminasi bakteri ini pada makanan biasanya berasal dari kontaminasi air yang digunakan. Dosis yang dapat menimbulkan gejala infeksi Escherichia coli pada makanan berkisar antara sel. Bahan makanan yang sering terkontaminasi oleh Escherichia coli antara lain daging sapi, daging ayam, daging babi, ikan dan makanan hasil laut lainnya, telur dan produk olahannya, sayuran, buah-buahan, sari buah serta susu (Supardi dan Sukamto, 1999). Escherichia coli secara mikroskopis dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4. Escherichia coli Sumber: Beavers (2005) Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC) merupakan salah satu dari keempat kelompok bakteri patogenik indikator kontaminasi fekal dan penyebab diare, selain ETEC (Enterotoxigenic Escherichia coli), EIEC (Enteroinvasif Escherichia coli) dan VTEC (Escherichia coli penghasil verotoksin). Bakteri ini secara normal terdapat pada saluran usus anak-anak dan orang dewasa sehat dengan jumlah yang mencapai 10 9 CFU/g. Penyakit yang disebabkan oleh grup EPEC adalah diare berair yang disertai dengan muntah dan demam. EPEC umumnya dikaitkan dengan bayi dan anak-anak di bawah usia 3 tahun (Hartoko, 2009). Enteropathogenic Escherichia coli melekatkan diri pada sel mukosa usus kecil dan membentuk filamentus aktin pedestal sehingga menyebabkan diare cair (watery diarrehoae) yang bisa sembuh dengan sendirinya atau berlanjut menjadi kronis (Arifin, 2009). 18

32 METODE Lokasi dan Waktu Kegiatan penelitian ini dilakukan di Laboratorium Ruminansia Besar dan Laboratorium Mikrobiologi Bagian THT Perah, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor yang terletak di Kampus IPB Dramaga, Bogor. Kegiatan penelitian dilaksanakan selama 8 bulan dari bulan Januari hingga bulan Agustus Materi Bahan-bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini antara lain isolat bakteri asam laktat dari daging sapi yaitu Lactobacillus plantarum 1A5 (koleksi Arief, 2005), bakteri indikator (Staphylococcus aureus ATCC 25923, Salmonella typhimurium ATCC dan enteropathogenic Escherichia coli K11 (EPEC K11 merupakan isolat koleksi Fakultas Kedokteran Hewan IPB yang diisolasi dari feses bayi yang mengalami diare)), media De Man Rogosa and Sharpe Agar (MRSA), De Man Rogosa and Sharpe Broth (MRSB), Nutrient Agar (NA), Buffer Water Pepton (BPW), Mueller Hinton Agar (MHA), Yeast Extract (YE) 3%, NaCl 1%, tripton 1%, NaOH 0,1 N, amonium sulfat, larutan Mc. Farland no. 0,5 serta aquades. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain tabung reaksi, jarum Öse, cawan Petri, gelas ukur, pipet volumetrik, mikro pipet, pipet Pasteur, pemanas Bunsen, kertas saring, alat sentrifuse, membran filter Millipore (0,20 µm), alumunium foil, kapas, tip, ependorf, ph meter, jangka sorong, inkubator, oven, refrigerator, otoklaf, vortex dan buret. Rancangan Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan perlakuan media dan 3 ulangan untuk produksi bakterosin pada media yang berbeda, purifikasi parsial bakteriosin dan uji sensitivitas bakteriosin terhadap enzim proteolitik. Model statistika yang digunakan sebagai berikut: Y ijk = + i + ij

33 keterangan: Y ijk = nilai respon ke-k dari kombinasi perlakuan pada taraf ke-i dan ke-j i ij = nilai tengah populasi = pengaruh perlakuan ke-i dari 6 taraf perlakuan media pertumbuhan untuk produksi bakteriosin, 3 taraf perlakuan media pertumbuhan untuk purifikasi parsial bakteriosin dan 3 taraf perlakuan enzim proteolitik untuk uji sensitivitas bakteriosin kasar 1A5 = pengaruh galat dari nilai respon ke-j dari perlakuan pada taraf ke-i. Peubah yang diamati untuk rancangan acak lengkap adalah diameter zona hambat hasil uji antagonistik dari supernatan antimikroba hasil produksi bakterosin dengan perlakuan media yang berbeda, ekstrak bakteriosin kasar 1A5 hasil purifikasi parsial bakteriosin dengan perlakuan media yang berbeda dan dari bakteriosin kasar 1A5 dengan perlakuan enzim proteolitik terhadap masing-masing bakteri indikator (Staphylococcus aureus ATCC 25923, Salmonella typhimurium ATCC dan enteropathogenic Escherichia coli K11 (EPEC K11)). Data yang didapat dianalisis dengan analisis ragam dan apabila hasil yang diperoleh adalah nyata akan dilanjutkan dengan Uji Tukey (Gaspersz, 1991). Rancangan percobaan lainnya yang digunakan adalah secara deskriptif baik untuk produksi bakteriosin pada media yang berbeda, purifikasi parsial bakteriosin, uji sensitivitas bakteriosin terhadap enzim katalase dan enzim proteolitik serta penentuan nilai MIC dan MBC bakteriosin kasar 1A5. Pengolahan data secara deskriptif ini perlu dilakukan guna memperjelas pembahasan terhadap hasil yang telah diperoleh. Prosedur Strain Bakteri dan Media Pertumbuhan Bakteri asam laktat Lactobacillus plantarum 1A5 yang digunakan dalam penelitian ini merupakan isolat BAL asal daging sedangkan bakteri indikatornya adalah Staphylococcus aureus ATCC 25923, Salmonella typhimurium ATCC dan enteropathogenic Escherichia coli K11 (EPEC K11). Kultur bakteri asam laktat (BAL) yang telah dipropagasi dalam media MRS broth pada suhu inkubasi 37 o C selama 24 jam, dibiakkan kembali ke dalam tiga media, yaitu MRS broth yang ditambahkan dengan NaCl 1%, MRS broth yang ditambahkan dengan NaCl 1% dan 20

34 YE 3% serta MRS broth yang ditambahkan dengan tripton 1%, agar didapatkan kultur kerja dengan masa inkubasi 20 jam pada suhu 37 o C. Ketiga bakteri indikator lainnya dibiakkan pada media Nutrient Agar (NA) selama 24 jam pada suhu 37 o C agar diperoleh kultur kerja bakteri indikator. Produksi Bakteriosin pada Media yang Berbeda Lactobacillus plantarum 1A5 ditumbuhkan pada tiga media yang berbeda yaitu yaitu MRS broth yang ditambahkan dengan NaCl 1%, MRS broth yang ditambahkan dengan NaCl 1% dan YE 3% serta MRS broth yang ditambahkan dengan tripton 1% (Ogunbawo et al., 2003) selama 20 jam pada suhu 37 o C. Selanjutnya, diekstraksi menggunakan sentrifugasi dengan kecepatan rpm selama 20 menit pada suhu 4 o C (Savadogo et al., 2004). Supernatan bebas sel yang didapat, dipisahkan dari endapan kemudian diukur nilai ph dan TAT-nya. Supernatan bebas sel yang diperoleh dikondisikan pada ph 5,0 dan 6,0 menggunakan NaOH 0,1 N untuk menghilangkan pengaruh antimikrobial dari asam organik (Savadogo et al., 2004). Setelah itu, seluruh supernatan bebas sel disterilisasi melalui filtrasi menggunakan filter Millipore 0,20 m. Selanjutnya, uji antagonistik dilakukan melalui konfrontasi supernatan antimikroba dengan ketiga bakteri indikator menggunakan metode sumur difusi agar. Hasil dari uji antagonistik yang dilakukan adalah berupa zona bening di sekitar lubang sumur yang kemudian nilai diameter zona hambatnya dipersentasekan dengan rumus (Rashid et al., 2009): Pengukuran ph. Sebelum persiapan uji antagonistik, karakterisasi supernatan antimikroba dilakukan pengukuran nilai ph supernatan menggunakan ph meter yang terlebih dahulu dikalibrasi dengan buffer untuk ph 7 dan ph 4. Kalibrasi dilakukan setiap akan melakukan pengukuran. Pengukuran dilakukan dengan mencelupkan elektroda ke dalam supernatan bebas sel setelah terlebih dahulu elektroda dibersihkan dengan aquades. Skala nilai ph dibaca pada saat muncul kata ready atau angka penunjuk telah berada posisi tetap. Pengukuran Total Asam Tertitrasi. Supernatan dipipet sebanyak 10 ml ke dalam labu erlenmeyer kemudian ditambahkan 3 tetes larutan indiktor phenolphtalein 21

35 (pp 1%). Supernatan bebas sel kemudian dititrasi dengan larutan NaOH 0,1 N hingga terbentuk warna merah muda (Nielsen, 2003). Perhitungan persentase asam laktat sebagai berikut: Total asam tertitrasi (%) = keterangan: a = bobot/volume sampel, dinyatakan dalam ml b = volume larutan NaOH, dinyatakan dalam ml c = normalitas larutan NaOH, dinyatakan dalam N eq.wt = konstanta asam laktat (90,08) Persiapan Uji Antagonistik Bakteri indikator yang telah ditumbuhkan dalam media NA selama 24 jam pada suhu 37 o C distandarisasi terlebih dahulu. Standarisasi dilakukan dengan cara menyetarakan kekeruhannya (turbiditas) sesuai standar Mc Farland no. 0,5 untuk menghasilkan populasi bakteri setara 1,5 x 10 8 cfu/ml (P0). Konfrontasi pada tahap produksi bakteriosin pada media yang berbeda dilakukan antara supernatan antimikroba dan bakteri indikator dengan populasi 1,5 x 10 6 cfu/ml (setara dengan 0,1 dari P0) yang diperoleh dengan mengencerkannya sebanyak 100 kali ke dalam BPW steril. Sedangkan konfrontasi pada tahapan-tahapan selanjutnya (purifikasi parsial bakteriosin, uji sensitivitas bakteriosin kasar 1A5 terhadap enzim katalase dan enzim proteolitik) konfrontasi dilakukan antara substrat bakteriosin kasar 1A5 dan bakteri indikator dengan populasi 1,5 x 10 8 cfu/ml (P0) guna meratakan populasi bakteri indikator di media Mueller Hilton Agar (MHA) dan mempermudah pengukuran diameter zona hambat yang terbentuk. Suspensi bakteri indikator diambil dengan menggunakan pipet steril sebanyak 1 ml kemudian dituangkan ke dalam cawan petri steril dan ditambahkan media MHA steril bersuhu 50 o C sebanyak 20 ml. Setelah itu, cawan petri diputar-putar membentuk angka delapan di atas bidang datar agar media MHA dan suspensi bakteri indikator menjadi homogen kemudian media konfrontasi didiamkan hingga mengeras. Setelah mengeras, dibuat sumur berdiamater 5 mm dengan menggunakan ujung pipet pasteur steril sebanyak 6 buah di setiap cawan dan dibuat duplo dengan tiga ulangan untuk masing-masing supernatan antimikroba. 22

36 Uji Antagonistik Bakteriosin terhadap Bakteri Indikator Supernatan antimikroba sebanyak 50 l dimasukkan ke dalam masing-masing lubang sumur menggunakan mikropipet. Selanjutnya, cawan dilapisi dengan kertas saring terlebih dahulu sebelum ditutup. Seluruh cawan yang berisi bakteri indikator (Staphylococcus aureus ATCC 25923, Salmonella typhimurium ATCC dan enteropathogenic Escherichia coli K11 (EPEC K11)) dan supernatan antimikroba BAL Lactobacillus plantarum 1A5 diinkubasi selama 2 jam pada suhu ± 10 o C yang kemudian dilanjutkan untuk diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 o C (Savadogo et al., 2004). Zona hambat yang terbentuk di sekitar sumur pada seluruh cawan diamati dan diukur diameternya dengan menggunakan jangka sorong. Diameter dari masingmasing zona hambat diukur sebanyak tiga kali di daerah yang berbeda yang kemudian hasilnya dirata-ratakan. Setiap pengujian diulang sebanyak tiga kali dan pada setiap ulangan dilakukan secara duplo. Zona hambat yang positif ditunjukkan dengan warna bening maupun warna semu dan akan negatif apabila tidak terdapat warna bening maupun warna semu disekitar sumur. Zona bening maupun warna semu tersebut menunjukkan bahwa bakteriosin berperan dalam membunuh maupun menghambat aktivitas bakteri indikator. Purifikasi Parsial Bakteriosin Purifikasi parsial bakteriosin dilakukan pada supernatan antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 yang dihasilkan dari ketiga media produksi bakteriosin (supernatan antimikroba yang dihasilkan dari media pertumbuhan dengan inducer NaCl 1%, kombinasi inducer NaCl 1% dan YE 3% serta inducer tripton 1% ) dengan kondisi ph 6. Serbuk amonium sulfat ditambahkan sebanyak 40% ke dalam supernatan antimikroba yang telah disaring steril untuk manghasilkan endapan protein, kemudian dihomogenkan secara perlahan dan didiamkan pada suhu refrigerator selama semalam (Savadogo et al., 2004; Todorov et al., 2004; Nowroozi et al., 2004; dan Abo-Amer, 2007). Endapan protein yang terbentuk dibuat ekstrak bakteriosin kasar dengan cara memisahkan filtrat dengan sebagian besar supernatannya kemudian menghomogenkan filtrat tersebut dengan supernatan yang masih tersisa sehingga dihasilkan ekstrak bakteriosin kasar sebanyak ± 20% dari 23

37 volume awal (Venema et al., 1997). Penghitungan padatan amonium sulfat didasarkan pada Tabel 4. Tabel 4. Penggunaan Padatan Amonium Sulfat (% Penjenuhan) Awal % Konsentrasi Akhir dari Padatan Amonium Sulfat (gram) 0 10,6 13,4 16,4 19,4 22,6 25,8 29,1 32,6 36,1 39,8 43,6 47,6 51,6 55,9 60,3 65,0 69,7 5 7,9 10,8 13,7 16,6 19,7 22,9 26,2 29,6 33,1 36,8 40,5 44,4 48,4 52,6 57,0 61,5 66,2 10 5,3 8,1 10,9 13,9 16,9 20,0 23,3 26,6 30,1 33,7 37,4 41,2 45,2 49,3 53,6 58,1 62,7 15 2,6 5,4 8,2 11,2 14,1 17,2 20,4 23,7 27,1 30,6 34,3 38,1 42,0 46,0 50,3 54,7 59, ,7 5,5 8,3 11,3 14,3 17,5 20,7 24,1 27,6 31,2 34,9 38,7 42,7 46,9 51,2 55, ,7 5,6 8,4 11,5 14,6 17,9 21,1 24,5 28,0 31,7 35,5 39,5 43,6 47,8 52, ,8 5,6 8,6 11,7 14,8 18,1 21,4 24,9 28,5 32,3 36,2 40,2 44,5 48, ,9 5,7 8,7 11,8 15,1 18,4 21,8 25,8 29,6 32,9 36,9 41,0 45, ,9 5,8 8,9 12,0 15,3 18,7 22,2 26,3 29,6 33,5 37,6 41, ,0 5,9 9,0 12,3 15,6 19,0 22,6 26,3 30,2 34,2 38, ,0 6,0 9,2 12,5 15,9 19,4 23,5 26,8 30,8 34, ,1 6,1 9,3 12,7 16,1 20,1 23,5 27,3 31, ,1 6,2 9,5 12,9 16,8 20,1 23,9 27, ,2 6,3 9,7 13,2 16,8 20,5 24, ,2 6,5 9,9 13,4 17,1 20, ,3 6,6 10,1 13,7 17, ,4 6,7 10,3 13, ,4 6,8 10, ,4 7, , Sumber: Simpson (2006) Ekstrak bakteriosin kasar tersebut diuji aktivitasnya melalui uji antagonistik terhadap ketiga bakteri indikator. Diameter zona hambat hasil uji antagonistik antara ekstrak bakteriosin kasar dengan bakteri indikator diharapkan mempunyai nilai lebih besar daripada diameter zona hambat hasil uji antagonistik pada tahap produksi bakteriosin pada media yang berbeda. Uji Sensitivitas Bakteriosin Kasar 1A5 terhadap Enzim Katalase Uji lanjut dari purifikasi parsial bakteriosin adalah karakterisasi bakteriosin kasar 1A5 yang berupa uji sensitivitas bakteriosin terhadap enzim katalase. Enzim katalase (2,0 U/mg) distabilkan di dalam buffer 10 mm potasium fosfat (ph 7,0). Sampel bakteriosin kasar 1A5 sebanyak 1 ml diinkubasi dengan 1 mg/ml enzim katalase pada suhu 25 o C (Savadogo et al., 2004). Hasil karakterisasi bakteriosin tersebut dilihat setelah diuji antagonistik kembali dengan bakteri indikator, antara 24

38 lain Staphylococcus aureus ATCC dan Salmonella typhimurium ATCC Hasil positif dari zona hambat mengindikasikan bahwa komponen aktif dari bakteriosin kasar 1A5 adalah bakteriosin dan bukan hidrogen peroksida. Namun demikian, hasil negatif kontrol enzim katalase yang masih membentuk zona hambat dapat diartikan bahwa komponen aktif yang bekerja dari bakteriosin kasar 1A5 dengan perlakuan enzim katalase terhadap bakteri indikator kemungkinan tidak hanya disebabkan oleh komponen bakteriosin yang terkandung di dalamnya tetapi juga dapat berasal dari residu katalase. Uji Sensitivitas Bakteriosin Kasar 1A5 terhadap Enzim Proteolitik Karakterisasi bakteriosin kasar juga dilakukan melalui uji sensitivitas bakteriosin terhadap enzim proteolitik. Enzim proteolitik yang digunakan yaitu pepsin (3,2 U/ml) dalam 0,2 M buffer sitrat (ph 3,0) dan tripsin (15000 U/mg) dalam 0,05 M buffer Tris Hidroklorida (ph 8,0). Sampel bakteriosin kasar 1A5 sebanyak 1 ml dihomogenkan dengan 1 mg/ml dari masing-masing enzim proteolitik (Torkar dan Matijasic, 2003). Setelah homogen, perlakuan enzim tripsin diinkubasi pada suhu 25 o C sedangkan perlakuan enzim pepsin diinkubasi selama 60 menit pada suhu 37 o C, (Savadogo et al., 2004). Hasil karakterisasi bakteriosin kasar 1A5 tersebut dapat dilihat setelah diuji antagonistik kembali dengan ketiga bakteri indikator. Hasil negatif dari zona hambat menunjukkan bahwa bakteriosin kasar 1A5 merupakan senyawa protein. Penentuan Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dan Minimum Bactericide Concentration (MBC) Bakteriosin Kasar 1A5 dengan Metode Kontak Minimum Inhibitory Concentration (MIC) adalah konsentrasi terendah senyawa antimikroba yang dapat menghambat bakteri indikator pada kondisi yang telah ditentukan (Kubo, 1993) sedangkan Minimum Bactericide Concentration (MBC) adalah konsentrasi terendah senyawa antimikroba yang dapat membunuh sebanyak 99,9% atau 10 3 cfu/ml populasi bakteri indikator (Vigil et al., 2005). Tahapan penentuan MIC dan MBC dengan metode kontak meliputi: 1. Persiapan Bakteriosin Kasar 1A5 Ekstrak bakteriosin kasar 1A5 diperoleh dari media produksi dengan inducer tripton 1% yang dikondisikan pada ph 6. Ekstrak bakteriosin kasar 1A5 tersebut diencerkan 1:1 (v/v) dengan buffer potasium fosfat steril (KH 2 PO 4 ) 25

39 yang juga telah dikondisikan pada ph 6 kemudian dihomogenkan (Rashid et al., 2009). Setelah homogen, bakteriosin kasar 1A5 disimpan terlebih dahulu pada suhu refrigerator selama ± 5 jam agar lebih stabil bercampur dengan buffer untuk digunakan dalam metode kontak. 2. Persiapan Kombinasi Perlakuan antara Konsentrasi Bakteriosin Kasar 1A5, Larutan Pengencer dan Bakteri Indikator Staphylococcus aureus ATCC Kombinasi perlakuan antara bakteriosin kasar 1A5, larutan pengencer nutrient broth (NB) dan bakteri indikator Staphylococcus aureus ATCC disiapkan dalam konsentrasi tertentu. Bakteri indikator Staphylococcus aureus ATCC dengan jumlah ± 10 7 cfu/ml diinokulasikan sebanyak 0,5 ml ke dalam masing-masing kombinasi perlakuan yang telah disiapkan kemudian dihomogenkan. Masing-masing kombinasi perlakuan berjumlah 5 ml untuk 100% campurannya. Kombinasi perlakuan tersebut dapat dilihat seperti pada Tabel 5. Tabel 5. Kombinasi Bakteriosin Kasar 1A5 dengan Pengencer NB untuk Penentuan MIC dan MBC Konsentrasi Ekstrak Bakteriosin (% v/v) Jumlah Ekstrak Bakteriosin (ml) Jumlah Pengencer NB (ml) Jumlah Bakteri Indikator (ml) 0 0 4,5 0,5 10 0,5 4,0 0,5 20 1,0 3,5 0,5 30 1,5 3,0 0,5 40 2,0 2,5 0,5 50 2,5 2,0 0,5 60 3,0 1,5 0,5 70 3,5 1,0 0,5 80 4,0 0,5 0,5 90 4,5 0 0,5 26

40 3. Penetuan MIC dan MBC Bakteriosin Kasar Lactobacillus plantarum 1A5 Melawan Bakteri Indikator Staphylococcus aureus ATCC Semua kombinasi perlakuan diinkubasi pada suhu 37 o C selama 24 jam. Evaluasi dilakukan dari setiap kombinasi perlakuan pada media nutrient agar (NA). Setiap kombinasi perlakuan dilakukan pengenceran hingga beberapa seri tertentu yang kemudian dipupukkan dengan metode tuang dan diinkubasi kembali pada suhu 37 o C selama 24 jam. Perhitungan nilai MIC dan MBC dilakukan menurut BAM (2001) yaitu aerobic plate count (APC) dengan melihat bakteri indikator Staphylococcus aureus ATCC yang tumbuh pada masing-masing kombinasi perlakuan. Formula penentuan jumlah koloni pada setiap perlakuan dengan jumlah koloni antara cfu/ml adalah: Keterangan: N = nilai koloni per ml atau per gram dari masing-masing kombinasi perlakuan ΣC = jumlah seluruh koloni pada seluruh cawan yang dihitung n1 = jumlah cawan pada pengenceran pertama yang dihitung n2 = jumlah cawan pada pengenceran kedua yang dihitung d = nilai pengencer dari pengenceran pertama yang dihitung Nilai koloni per ml dari masing-masing kombinasi perlakuan yang didapatkan diubah ke dalam bentuk log cfu/ml sehingga dapat ditentukan nilai MIC dan MBC bakteriosin kasar 1A5 melawan Staphylococcus aureus ATCC Nilai MIC ditunjukkan oleh kombinasi perlakuan dengan konsentrasi bakteriosin kasar terkecil yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri indikator sedangkan nilai MBC ditunjukkan oleh kombinasi dengan konsentrasi bakteriosin kasar terkecil yang tidak dapat ditumbuhi lagi oleh bakteri indikator atau dapat mereduksi 3 log populasi bakteri indikator dari populasi awal. 27

41 HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan yang telah dilakukan adalah persiapan dan pemurnian kembali kultur bakteri asam laktat (BAL) Lactobacillus plantarum 1A5 (telah diidentifikasi menggunakan API 50 CHL test strip) (Arief, unpublished) yang merupakan isolat asal daging sapi dan persiapan ketiga bakteri indikator, yaitu Staphylococcus aureus ATCC 25923, Salmonella typhimurium ATCC dan enteropathogenic Escherichia coli K11 (EPEC K11). Persiapan bakteri asam laktat dan ketiga bakteri indikator tersebut dimaksudkan untuk mengetahui morfologis dan kemurniannya melalui pewarnaan Gram dan uji katalase. Karakteristik morfologis isolat bakteri asam laktat Lactobacillus plantarum 1A5 yang telah didapat adalah berbentuk batang dengan susunan tunggal maupun rantai pendek dan tergolong bakteri Gram positif. Uji katalase pada isolat ini bernilai negatif yang berarti isolat Lactobacillus plantarum 1A5 tidak membebaskan molekul oksigen setelah direaksikan dengan hidrogen peroksida (Rahman et al., 1992). Karakteristik morfologis yang dihasilkan tersebut menunjukkan bahwa kultur homogen dan tidak tercemar, seperti yang diperoleh pada penelitian sebelumnya (Hidayati, 2006 dan Permanasari, 2008). Kelompok Lactobacillus plantarum menurut Fardiaz (1992) adalah mempunyai bentuk batang yang panjang, katalase negatif, bersifat anaerob fakultatif dan tergolong bakteri Gram positif. Morfologi Lactobacillus plantarum 1A5 secara mikroskopis dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5. Morfologi Lactobacillus plantarum 1A5

42 Karakteristik morfologis ketiga bakteri indikator yang digunakan, antara lain Salmonella typhimurium ATCC dan enteropathogenic Escherichia coli K11 yang berbentuk batang, soliter maupun koloni dan tergolong bakteri Gram negatif sedangkan Staphylococcus aureus ATCC mempunyai bentuk bulat atau kokus tergolong bakteri Gram positif. Ketiga bakteri indikator tersebut bernilai positif untuk uji katalasenya. Pemilihan ketiga bakteri indikator ini mengacu pada ketentuan SNI yang menyatakan bahwa kedua bakteri (Staphylocoocus aureus ATCC dan Salmonella typhimurium ATCC 14028) perlu mendapat perhatian khusus sebagai cemaran mikroba pada daging dan spesies Escherichia coli merupakan penghuni normal dalam saluran pencernaan manusia dan hewan sehingga digunakan secara luas sebagai indikator pencemaran (Pelczar dan Chan, 2007). Morfologi ketiga bakteri indikator secara mikroskopis tersebut dapat dilihat pada Gambar 6. (A) (B) (C) Gambar 6. Morfologi Bakteri-Bakteri Indikator: (A) Staphylocoocus aureus ATCC 25923; (B) Salmonella typhimurium ATCC 14028; (C) enteropathogenic Escherichia coli K11 29

43 Penelitian Utama Penelitian utama meliputi identifikasi supernatan antimikroba dengan spesifikasi bakteriosin asal Lactobacillus plantarum 1A5. Identifikasi bakteriosin di dalam supernatan antimikroba ditentukan berdasarkan hasil uji antagonistiknya dengan ketiga bakteri indikator. Supernatan antimikroba yang diduga mengandung bakteriosin tersebut didapatkan melalui lima tahapan yang berurutan, antara lain dengan melakukan produksi bakteriosin pada media yang berbeda, purifikasi parsial bakteriosin, uji sensitivitas bakteriosin kasar 1A5 terhadap enzim katalase dan enzim proteolitik serta konsentrasi penghambatan minimum berupa Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dan Minimum Bactericide Concentration (MBC) dengan metode uji kontak. Produksi Bakteriosin dari Media yang Berbeda Produksi bakteriosin dilakukan dengan menggunakan tiga inducer yang berbeda pada media pertumbuhan Lactobacillus plantarum 1A5, yaitu NaCl 1%, kombinasi NaCl 1% dengan yeast extract (YE) 3% dan tripton 1%. Ketiga inducer tersebut digunakan merunut hasil yang didapatkan oleh Ogunbawo et al. (2003) yang menyatakan bahwa nilai terbesar dari bakteriosin yang disintesis, yaitu 6400 AU/ml, didapatkan ketika media pertumbuhan kultur, berupa MRS broth, ditambahkan suplemen atau inducer berupa yeast extract (3%) atau NaCl (1%), sedangkan penambahan tripton (1%) dapat menghasilkan bakteriosin sebesar 3200 AU/ml. Supernatan antimikroba yang telah dihasilkan dari media produksi dengan masing-masing inducer berada pada kondisi asam. Kondisi asam tersebut disebabkan oleh adanya asam-asam organik yang terbentuk sebagai metabolit primer dari bakteri asam laktat. Branen (1993) menyatakan bahwa asam organik merupakan salah satu supernatan antimikroba yang dihasilkan dari bakteri asam laktat, terutama asam laktat. Asam organik tersebut mempunyai spektrum penghambatan yang luas terhadap mikroorganisme yaitu dengan cara menyerang dinding sel, membran sel, metabolisme enzim, sistem sintesis protein maupun secara genetik (Smid dan Gorris, 2007). Asam-asam organik yang terdapat di dalam supernatan antimikroba tersebut dapat menutupi aktivitas bakteriosin yang terbentuk dalam menghambat bakteri indikator pada uji antagonistik. Oleh karena itu, perlu dilakukan penambahan buffer 30

44 (NaOH 0,1 N) hingga supernatan antimikroba mencapai kondisi pada ph 5 dan ph 6. Hal tersebut bertujuan untuk mengurangi pengaruh asam organik dalam supernatan antimikroba dan diharapkan dapat mengoptimalkan aktivitas bakteriosin yang terbentuk. Bakteriosin yang terkandung di dalam supernatan bebas sel dari Streptococcus bovis J yang diisolasi dari susu fermentasi tradisional Dahi menunjukkan aktivitas antimikrobial secara penuh (100%) pada ph antara 4,0-8,0 sedangkan aktivitas antimikroba sebesar 90% terjadi pada ph 2,0-3,0 dan ph 9,0-10,0 serta tidak menunjukkan aktivitasnya pada kondisi ph 12,0-13,0 (Rashid et al., 2009). Selain itu, Nowroozi et al. (2004) menuliskan hasil yang serupa bahwa produksi maksimum dari bakteriosin didapatkan pada kondisi ph 6,5 dari rentang ph 2 hingga ph 10 dan bakteriosin kehilangan aktivitasnya pada ph 12. Kondisi ph dari supernatan antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 pada media MRS broth dengan inducer yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Kondisi ph Supernatan Antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 pada Media MRS Broth dengan Inducer yang Berbeda Inducer ph initial ph Setelah Penetralan NaCl 1% 3,63 3,55 Tripton 1% 4,04 4,05 YE 3% + NaCl 1% 3,80 3,80 5,00 ± 0,02 6,00 ± 0,08 5,00 ± 0,02 6,00 ± 0,08 5,00 ± 0,02 6,00 ± 0,08 Kondisi ph initial maupun setelah penetralan pada supernatan antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 berbanding terbalik dengan nilai total asam tertitrasinya. Semakin rendah nilai ph supernatan antimikroba menunjukkan semakin tinggi nilai total asam tertitrasinya dan demikian pula sebaliknya semakin tinggi nilai ph supernatan antimikroba menunjukkan semakin rendah nilai total asam tertitrasinya. Nilai total asam tertitrasi merupakan persentase besarnya total asam yang terbentuk di dalam suatu supernatan atau komponen yang dapat dititrasi atau dinetralisir oleh basa kuat, misalnya NaOH 0,1 N, dengan bantuan indikator fenolptalein (pp) 1%. Hubungan kondisi ph pada berbagai media produksi 31

45 Nilai TAT (%) bakteriosin dengan nilai total asam tertitrasi dari supernatan antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 dapat dilihat pada Gambar 7. 0,60.6 0,50.5 0,40.4 0,30.3 0,20.2 0,10.1 0,0.0 0,54 0,54 0,36 0,36 0,36 0,36 0,18 0,18 0,09 0,09 0,09 3,63 ph 4,04 initial 3,80 ph 5 3,55 ph 4,05 initial 3,80 ph 6 ph initial ph initial Kondisi ph Supernatan Bebas Sel NaCl 1% Tripton 1% YE 3% + NaCl 1% 0,18 Gambar 7. Nilai Total Asam Tertitrasi (TAT) pada Berbagai Kondisi ph Supernatan Antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 Kualitas nilai total asam tertitrasi dapat memprediksikan pengaruh asam lebih baik daripada ph (Nielsen, 1998) karena pada pengukuran ph, nilai yang terukur adalah konsentrasi ion H + yang menunjukkan jumlah asam terdisosiasi, sedangkan total asam tertitrasi adalah hasil pengukuran nilai asam terdisosiasi dan asam tidak terdisosiasi (Frazier dan Westhoff, 1988). Pengaruh penghambatan dari asam organik pada supernatan antimikroba terutama berhubungan dengan jumlah asam yang tidak terdisosiasi (Rini, 1995). Nilai total asam tertitrasi pada supernatan antimikroba dengan ph initial yang dihasilkan dari media produksi dengan inducer NaCl 1% dan tripton 1% menunjukkan nilai yang sama yaitu 0,36% asam laktat meskipun masing-masing nilai ph keduanya berbeda. Hal tersebut disebabkan oleh kandungan asam tidak terdisosiasi dari supernatan antimikroba dengan inducer tripton 1% kemungkinan lebih banyak daripada yang dihasilkan oleh inducer NaCl 1%. Semakin banyak asam tidak terdisosiasi di dalam supernatan antimikroba menunjukkan bahwa asam yang bekerja di dalamnya adalah asam lemah. Asam lemah adalah asam yang tidak terionisasi (terdisosiasi) sempurna ketika dilarutkan di dalam air dan sebagian besar asam organik termasuk ke dalam asam lemah (Clark, 2007). Asam lemah memiliki aktivitas antimikroba yang lebih besar pada ph rendah dibandingkan dengan ph netral. Molekul asam tidak terdisosiasi merupakan bentuk toksik dari asam lemah meskipun asam yang terdisosiasi juga memiliki kemampuan 32

46 untuk menghambat pertumbuhan mikroba. Hal ini disebabkan oleh bentuk tidak terdisosiasi dari asam organik berdifusi secara silang menembus membran sel karena sifatnya yang larut lemak (Ouwehand dan Vesterlund, 2004; Samelis dan Sofos, 2003) dan mengganggu permeabilitas membran. Setelah berada di dalam sitoplasma, asam akan terdisosiasi sehingga menghasilkan proton. Proton yang berlebihan menyebabkan keseimbangan proton dalam sitoplasma terganggu. Gangguan yang terjadi berakibat pada berkurangnya energi sel untuk pertumbuhan karena energi yang ada digunakan untuk menyeimbangkan proton. Hal tersebut juga mengakibatkan transpor asam amino dan gula terganggu (Russel, 2005). Banyak peneliti menyatakan bahwa terjadinya penghambatan pertumbuhan pada mikroba disebabkan oleh asam organik akibat adanya pelepasan proton ke dalam sitoplasma sehingga ph dalam membran sel menjadi sangat asam secara mendadak (Ouwehand dan Vesterlund, 2004; Samelis dan Sofos, 2003). Namun demikian, hipotesis tersebut dibantah oleh peneliti lain yang menyatakan bahwa penghambatan pertumbuhan oleh asam organik bukan karena translokasi proton tetapi karena adanya akumulasi anion. Anion menyebabkan berkurangnya kecepatan sintesis makromolekul dan mempengaruhi tranportasi membran sel. Bakteri asam laktat dan juga bakteri lain meniadakan pengaruh dari akumulasi anion dengan cara mengurangi ph pada sitoplasma (Ouwehand dan Vesterlund, 2004). Hasil uji antagonistik supernatan antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 dari masing-masing media produksi bakteriosin terhadap masing-masing bakteri indikator ditunjukkan dengan adanya diameter zona hambat. Diameter zona hambat yang terbentuk dapat berupa diameter zona bening di sekeliling sumur yang menunjukkan sifat bakterisidal (membunuh bakteri) maupun diameter zona semu yang menunjukkan sifat bakteriostatik (menghambat pertumbuhan mikroba). Bakteriosin merupakan protein atau peptida pada bakteri yang menunjukkan aksi bakterisidal ataupun bakteriostatik terhadap spesies yang umumnya berfilogeni dekat namun terdapat pula beberapa jenis bakteriosin dapat menunjukkan spektrum yang lebih luas (Jimenez-diaz, 1993). Rataan diameter zona hambat supernatan antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 dari masing-masing media dengan ph initial dan ph sesudah penetralan dapat dilihat pada Gambar 8. Supernatan antimikroba Lactobacillus 33

47 Diameter Zona Hambat (mm) Diameter Zona Hambat (mm) Diameter Zona Hambat (mm) plantarum 1A5 pada media dengan ph initial cenderung mempunyai aktivitas penghambatan yang lebih besar terhadap ketiga bakteri indikator bila dibandingkan dengan aktivitas penghambatan dari supernatan antimikroba yang telah dikondisikan pada ph 5 dan ph (A) 10 (B) N5 T5 Y5 N6 T6 Y6 N5 T5 Y5 N6 T6 Y6 Media Optimasi Media Optimasi (C) N5 T5 Y5 N6 T6 Y6 Media Optimasi Keterangan: N5 = NaCl 1% ph 5; T5 = tripton 1% ph 5; Y5 = YE 3% + NaCl 1% ph 5 N6 = NaCl 1% ph 6; T6 = tripton 1% ph 6; Y6 = YE 3% + NaCl 1% ph 6 = diameter zona hambat supernatan antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 dengan nilai ph initial = diameter zona hambat supernatan antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 dengan nilai ph yang telah dikondisikan pada ph 5 dan ph 6 diameter lubang sumur (± 5 mm) termasuk ke dalam diameter zona hambat Gambar 8. Diameter Zona Hambat Supernatan Antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 dari Media Produksi yang Berbeda terhadap (A). Staphylococcus aureus ATCC 25923; (B). Salmonella typhimurium ATCC dan (C). Enteropathogenic Escherichia coli K11 (EPEC K11) Aktivitas penghambatan yang paling besar hingga paling kecil pada media produksi dengan ph initial secara berurutan dimulai dari supernatan antimikroba yang dihasilkan dari media dengan inducer NaCl 1% dilanjutkan dengan kombinasi YE 3% dan NaCl 1% dan terakhir dengan tripton 1%. Semakin rendah nilai ph 34

48 initial yang dihasilkan menunjukkan semakin besar aktivitas penghambatan supernatan antimikrobanya dan begitu pula sebaliknya. Besarnya aktivitas penghambatan diperoleh dari semakin banyaknya konsentrasi asam organik yang terbentuk dengan ditunjukkan oleh semakin rendahnya ph initial dan juga semakin tingginya nilai total asam tertitrasinya. Nilai ph initial supernatan antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 yang dihasilkan dari media produksi dengan inducer NaCl 1% maupun kombinasi YE 3% dan NaCl 1% lebih rendah daripada nilai ph supernatan antimikroba dari media produksi dengan inducer tripton 1%. Hal tersebut terjadi diduga karena pemanfaatan kedua inducer lebih diarahkan sebagai nutrisi tambahan untuk perkembangbiakan sel. Peningkatan jumlah sel diasumsikan berkorelasi positif dengan pembentukan asam organik sebagai supernatan antimikroba. Semakin banyak jumlah sel yang terbentuk mengakibatkan semakin banyak pula asam organik yang diproduksi sehingga supernatan yang dihasilkan juga mempunyai tingkat keasaman yang lebih tinggi dan dapat mengganggu pembentukan bakteriosin. Risyahadi (2009) menuliskan hal yang sama bahwa jumlah biomassa bakteri asam laktat yang terlalu banyak akan menghasilkan akumulasi jumlah asam laktat yang berlebihan dan akan menurunkan nilai ph. Penurunan ph dapat mengganggu mikroba dalam biosintesis bakteriosin. Berbeda dengan kedua supernatan antimikroba yang mempunyai nilai ph initial yang lebih rendah, media produksi dengan inducer tripton 1% mempunyai nilai ph initial yang paling tinggi, yaitu 4,04-4,05. Tingginya nilai ph tersebut mungkin disebabkan oleh kandungan nitrogen di dalam tripton yang lebih dimanfaatkan oleh Lactobacillus plantarum 1A5 untuk pembentukan senyawa antimikroba, terutama bakteriosin, daripada untuk perkembangbiakan sel, sehingga asam organik yang dihasilkan juga lebih rendah. Tripton merupakan salah satu sumber nitrogen yang dapat menghasilkan aktivitas bakteriosin ST194BZ sebesar AU/ml dan berdasarkan beberapa hasil yang diperoleh juga disimpulkan bahwa tingginya aktivitas bakteriosin berasal dari penambahan tripton ke dalam media pertumbuhan dan bukan dari penambahan yeast extract maupun meat extract. Bakteriosin ST194BZ adalah bakteriosin yang dihasilkan oleh Lactobacillus plantarum ST194BZ hasil isolasi dari Boza (Todorov 35

49 et al., 2005). Produksi bakteriosin dipengaruhi oleh tipe dan level karbon, sumber nitrogen dan fosfat, surfaktan kation dan penghambat. Bakteriosin dapat diproduksi dari media dengan sumber karbohidrat yang berbeda (Savadogo et al., 2006). Aktivitas penghambatan supernatan antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 yang dihasilkan dari keenam media produksi terhadap ketiga bakteri indikator juga ditunjukkan dengan persentase diameter zona hambatnya yang dapat dilihat pada Tabel 7. Persentase zona hambat tersebut diperoleh dari persentase hasil perbandingan antara diameter zona hambat dari masing-masing media produksi terhadap diameter zona hambat dari masing-masing media kontrol (Rashid et al., 2009). Media kontrol merupakan media produksi dengan nilai ph initial yang dikondisikan pada ph 5 atau ph 6. Tabel 7. Persentase Zona Hambat Supernatan Antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 pada Media Produksi yang Berbeda terhadap Bakteri Indikator Media Produksi S. aureus ATCC S. typhimurium ATCC EPEC K (%) NaCl 1% ph 5 76,00 ± 28,70 67,61 ± 7,43 86,97 ± 12,76 ph 6 64,83 ± 11,99 70,74 ± 2,89 85,50 ± 19,40 Tripton 1% ph 5 82,00 ± 17,80 101,89 ± 0,836 99,20 ± 3,07 ph 6 73,67 ± 15,76 104,54 ± 0, ,8 ± 21,90 NaCl 1% + YE 3% ph 5 78,20 ± 19,40 79,25 ± 10,30 82,60 ± 18,40 ph 6 64,46 ± 8,43 88,60 ± 20,00 102,03 ± 7,95 Keterangan: Masing-masing kolom yang sama menunjukkan tidak nyata (p-value > 0,05) Diameter lubang sumur ± 5 mm (termasuk ke dalam zona hambat) Analisis ragam dengan rancangan acak lengkap dilakukan per bakteri indikator Hasil analisis ragam pada persentase zona hambat supernatan antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 bakteri indikator Staphylococcus aureus ATCC dan EPEC K11 serta hasil uji Kruskal-Wallis terhadap Salmonella typhimurium ATCC menunjukkan hasil yang tidak berbeda. Hal ini berarti bahwa supernatan antimikroba yang dihasilkan oleh Lactobacillus plantarum 1A5 pada 36

50 keenam media produksi yang berbeda mempunyai aktivitas penghambatan yang tidak berbeda terhadap ketiga bakteri indikator. Aktivitas penghambatan supernatan antimikroba pada media produksi yang cenderung lebih rendah dari media kontrol serta tidak berbedanya persentase penghambatan supernatan antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 yang dihasilkan dari masing-masing media produksi terhadap ketiga bakteri indikator diakibatkan oleh berkurangnya konsentrasi asam organik, terutama jenis asam tidak terdisosiasi, dan juga terlalu rendahnya konsentrasi bakteriosin yang terbentuk untuk melawan bakteri indikator. Hal ini juga didukung oleh Todorov et al. (2004) yang menyatakan bahwa rendahnya aktivitas penghambatan pada media perlakuan dapat disebabkan oleh berkurangnya aktivitas antimikroba dari bakteriosin akibat sensitifnya peranan asam organik. Oleh karena itu, perlu dilakukan tahap lanjutan berupa purifikasi parsial bakteriosin. Purifikasi Parsial Bakteriosin Tahapan purifikasi parsial bakteriosin ini menggunakan supernatan antimikroba yang berasal dari media produksi dengan masing-masing inducer yang dikondisikan pada ph 6. Hal ini dimaksudkan agar dapat memaksimumkan aktivitas antimikroba dari bakteriosin yang terbentuk dan juga diharapkan dapat mengurangi bahkan menghilangkan aktivitas antimikroba dari asam organik. Hasil yang didapatkan pada tahapan purifikasi parsial bakteriosin ini untuk selanjutnya disebut dengan ekstrak bakteriosin kasar 1A5. Ekstrak bakteriosin kasar 1A5 menunjukkan jenis protein yang hidrofobik karena posisi endapan protein yang terpresipitasi berada melayang di bagian atas supernatan antimikroba. Hal ini juga didukung oleh Abo-Amer (2007) yang menyatakan bahwa Lactobacillus plantarum AA135 menghasilkan bakteriosin yang disebut dengan plantarisin AA135 dan mempunyai karakteristik protein yang hidrofobik. Selain itu, kebanyakan bakteriosin yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat adalah berbentuk kecil, tahan panas, termasuk peptida-peptida kationik dan mempunyai sifat hidrofobik (Jack et al., 1995; Savadogo et al., 2006). Bagian hidrofobik di dalam molekul bakteriosin merupakan hal yang diperlukan untuk aktivitasnya dalam menghambat bakteri sensitif karena inaktivasi mikroorganisme oleh bakteriosin tergantung pada interaksi hidrofobik antara sel-sel 37

51 bakteri dengan molekul-molekul bakteriosin (Parada et al., 2007). Aktivitas penghambatan ekstrak bakteriosin kasar 1A5 dari ketiga media produksi terhadap masing-masing bakteri indikator ditunjukkan dengan rataan diameter zona hambat yang dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Diameter Zona Hambat Ekstrak Bakteriosin Kasar 1A5 terhadap Bakteri Indikator S. aureus S. typhimurium Media Produksi EPEC K11 ATCC ATCC (mm) NaCl 1% (ph 6) 25,12 ± 0,72 7,19 ± 0,24 6,05 ± 0,91 Tripton 1% (ph 6) 27,10 ± 1,36 7, 99 ± 0,33 6,03 ± 0,90 NaCl 1% + YE 3% (ph 6) 22,06 ± 4,94 6,85 ± 0,51 6,55 ± 2,44 Keterangan: Masing-masing kolom yang sama menunjukkan tidak nyata (p-value > 0,05) Diameter lubang sumur ± 5 mm (termasuk ke dalam zona hambat) Analisis ragam dengan rancangan acak lengkap dilakukan per bakteri indikator Hasil analisis ragam diameter zona haat, ketiga perlakuan ekstrak bakteriosin kasar 1A5 tidak berbeda terhadap bakteri indikator Staphylococcus aureus ATCC Hasil tidak berbeda tersebut juga ditunjukkan pada hasil uji Kruskal-Wallis terhadap bakteri indikator Salmonella typhimurium ATCC dan EPEC K11. Namun demikian, jika diartikan secara deskriptif, ekstrak bakteriosin kasar 1A5 yang dihasilkan dari media produksi dengan inducer tripton 1% menghasilkan diameter zona hambat terbesar, yaitu pada uji antagonistik melawan Staphylococcus aureus ATCC dihasilkan diameter zona hambat sebesar (27,10 ± 1,36) mm dan pada uji antagonistik melawan Salmonella typhimurium ATCC dihasilkan diameter zona hambat sebesar (7,99 ± 0,33) mm. Kedua diameter zona hambat terbesar tersebut sudah cukup dapat mewakili bahwa ekstrak bakteriosin kasar 1A5 dari media produksi dengan inducer tripton 1% mempunyai aktivitas penghambatan terbaik melawan bakteri Gram positif maupun bakteri Gram negatif meskipun tidak menunjukkan aktivitas penghambatan terbaiknya melawan EPEC K11. 38

52 Diameter Zona Hambat (mm) S. aureus S. aureus ATCC ATCC S. S. typhimurium typhimurium ATCC EPEC K11 Bakteri Indikator NaCl 1% ph 6 Tripton 1% ph 6 YE 3% dan NaCl 1% ph 6 Gambar 9. Diameter Zona Hambat Ekstrak Bakteriosin Kasar Lactobacillus plantarum 1A5 terhadap Bakteri Indikator Diameter zona hambat untuk ketiga media produksi terhadap bakteri indikator Gram positif (Staphylococcus aureus ATCC 25923) adalah paling besar seperti pada Gambar 9. Hasil tersebut sesuai dengan pernyataan yang menyatakan bahwa bakteriosin asal bakteri asam laktat kebanyakan hanya dapat menghambat spesies yang kekerabatannya dekat atau mikroorganisme Gram positif lainnya (Vuyst dan Vandamme, 1994; Jack et al., 1995; Helander et al., 1997; Holo et al., 2001; Ouwehand dan Vesterlund, 2004; Parada et al., 2007). Sejauh ini tidak cukup bukti bahwa bakteriosin yang diproduksi oleh bakteri Gram positif dapat menghambat bakteri Gram negatif tanpa penambahan komponen aktif membran yang lain (Ouwehand dan Vesterlund, 2004), misalnya EDTA (Helander et al., 1997). Aktivitas antimikroba ekstrak bakteriosin kasar 1A5 (dengan inducer tripton 1%) terhadap Staphylococcus aureus ATCC dapat dilihat pada Gambar

53 Gambar 10. Zona Hambat Ekstrak Bakteriosin Kasar 1A5 (dengan inducer tripton 1%) terhadap Staphylococcus aureus ATCC Ekstrak bakteriosin kasar 1A5 asal Lactobacillus plantarum 1A5 yang juga merupakan bakteri Gram positif mampu melewati dinding sel dan melakukan aktivitas antimikrobanya terhadap bakteri Gram positif lain karena merupakan peptida-peptida kationik. Jack et al. (1995) menyatakan bahwa salah satu penentuan aktivitas antimikroba adalah terjadinya interaksi awal antara molekul-molekul kationik dari bakteriosin dengan polimer-polimer anionik di permukaan sel, yang salah satunya adalah asam teikoat. Asam teikoat tersebut merupakan reseptor bakteriosin yang hanya dihasilkan oleh bakteri Gram positif. Levinson (2004) menyebutkan bahwa bakteri Gram positif mengandung lapisan tebal peptidoglikan (15-80 nm) serta asam teikoat. Proses kontak langsung antara molekul bakteriosin dengan membran sel mampu mengganggu potensial membran berupa ketidakstabilan membran sitoplasma. Ketidakstabilan tersebut mengakibatkan pembentukan lubang atau pori pada membran sel melalui gangguan terhadap gaya gerak proton. Lubang yang terbentuk pada membran sel menyebabkan terjadinya perubahan gradien potensial membran dan pelepasan molekul intraseluler ataupun masuknya substansi ekstraseluler sehingga pertumbuhan sel menjadi terhambat dan menghasilkan proses kematian pada sel yang sensitif terhadap bakteriosin (Gonzales et al., 1996). Berbeda dengan bakteri Gram positif, bakteri Gram negatif menunjukkan sifat resistensinya terhadap kebanyakan bakteriosin asal bakteri Gram positif (Herlander et al., 1997) karena selain mengandung lapisan tipis peptidoglikan (± 8 nm) juga mempunyai lapisan terluar yang kompleks yaitu mengandung 40

54 Diameter Zona Hambat (mm) lipopolisakarida, lipoprotein dan fosfolipid (Levinson, 2004). Sifat resistensi tersebut merupakan bentuk perlindungan dari membran luar selnya dengan mengembangkan fungsi hambat yang efisien melawan cairan hidrofobik dan makromolekul dari bakteriosin (Herlander et al., 1997). Bakteriosin asal bakteri asam laktat tidak efisien dalam menghambat bakteri Gram negatif karena membran terluarnya bersifat hidrofilik dan dapat menghalangi aksi bakteriosin (Ray, 2004). Sensitivitas Bakteriosin Kasar 1A5 terhadap Enzim Katalase Karakterisasi bakteriosin kasar 1A5 yang dilakukan adalah uji sensitivitas terhadap enzim katalase. Pengujian tersebut dilakukan bertujuan untuk memastikan bahwa komponen aktif yang menghambat bakteri indikator pada tahap sebelumnya adalah komponen bakteriosin yang terkandung di dalam ekstrak bakteriosin kasar 1A5 dan bukan oleh komponen antimikroba lainnya, terutama hidrogen peroksida (H 2 O 2 ). Bakteri asam laktat memproduksi hidrogen peroksida di bawah kondisi pertumbuhan yang aerob dan karena berkurangnya produksi katalase selular, pseudokatalase atau peroksidase. Bakteri asam laktat mengekskresikan H 2 O 2 tersebut sebagai alat pelindung diri yang mampu bersifat bakteriostatik maupun bakterisidal. Hidrogen peroksida merupakan salah satu agen pengoksidasi yang kuat dan dijadikan sebagai zat antimikroba melawan bakteri, fungi dan bahkan virus (Ray, 2004) ,10 13,30 8,00 7,18 S. aureus S. aureus ATCC ATCC S. typhimurium S. typhimurium ATCC ATCC Bakteri Indikator tanpa enzim katalase dengan enzim katalase Gambar 11. Diameter Zona Hambat Bakteriosin Kasar 1A5 tanpa dan dengan Penambahan Enzim Katalase terhadap Bakteri Indikator 41

55 Uji sensitivitas bakteriosin kasar 1A5 terhadap enzim katalase menunjukkan tingkat kesensitifan yang rendah. Hal tersebut dibuktikan dengan masih terbentuknya diameter zona hambat pada uji antagonistik melawan ketiga bakteri indikator melalui aktivitas penghambatan bakteriosin kasar 1A5. Besarnya masing-masing diameter zona hambat bakteriosin kasar 1A5 dengan dan tanpa penambahan enzim katalase dapat dilihat pada Gambar 11. Diameter zona hambat bakteriosin kasar 1A5 yang dengan penambahan enzim katalase terlihat lebih kecil dibandingkan dengan yang tanpa penambahan enzim katalase pada uji antagonistik, baik melawan bakteri Gram positif maupun Gram negatif. Hal tersebut menunjukkan bahwa aktivitas penghambatan dari bakteriosin kasar 1A5 berkurang sebesar 50,92% untuk Staphylococcus aureus ATCC dan 10,25% untuk Salmonella typhimurium ATCC Dengan demikian, terdapat indikasi bahwa aktivitas penghambatan tersebut dibentuk oleh komponen aktif yang diduga sebagai bakteriosin bukan oleh hidrogen peroksida. Hasil di atas serupa dengan hasil yang ditunjukkan oleh Rashid et al. (2009) yaitu bakteriosin yang diproduksi oleh strain J hanya menghasilkan aktivitas penghambatan sebesar 89% ketika substrat bebas selnya ditambah dengan enzim katalase. Indikasi kurang berperannya hidrogen peroksida dalam aktivitas penghambatan juga disampaikan oleh peneliti-peneliti lain bahwa tidak terdapat perubahan aktivitas dari supernatan antimikroba yang mengandung bakteriosin pada uji antagonistik melawan bakteri indikator setelah ditambah dengan enzim katalase (Garriga et al., 1993; Savadogo et al., 2004; Todorov et al., 2004; Todorov et al., 2005; Abo-Amer, 2007). Enzim katalase merupakan suatu hemoprotein yang mengandung 4 gugus heme. Selain mempunyai aktivitas peroksidase, enzim katalase digunakan sebagai penghancur H 2 O 2 yang terbentuk oleh kerja enzim oksidase (Mayes, 1997). Enzim katalase dapat dianggap sebagai peroksidase khusus yang mampu mengkatalisis reaksi dekomposisi hidrogen peroksida menjadi oksigen dan air. Enzim katalase mengoksidasi satu molekul hidrogen peroksida menjadi oksigen dan secara simultan mereduksi molekul hidrogen peroksida yang lain menjadi air (Muchtadi et al., 1992). Persamaan reaksi enzim katalase terhadap H 2 O 2 sebagai berikut: 42

56 Hasil negatif dari uji antagonistik kontrol enzim katalase terhadap bakteri indikator menghasilkan zona hambat. Hal tersebut berarti bahwa kemungkinan enzim katalase juga mempunyai aktivitas penghambatan terhadap bakteri indikator. Hal tersebut berarti bahwa komponen aktif yang menunjukkan aktivitas antimikroba pada uji antagonistik dari bakteriosin kasar 1A5 dengan perlakuan enzim katalase kemungkinan tidak hanya komponen bakteriosin melainkan juga residu katalase yang masih terdapat di dalamnya dan keduanya menunjukkan sifat sinergis. Sifat sinergis keduanya ditunjukkan dengan diameter zona hambat yang dihasilkan oleh uji antagonistik dari kontrol terlihat lebih kecil daripada perlakuan enzim katalase, seperti terlihat pada Gambar 12. Oleh karena itu, seharusnya aktivitas penghambatan dari residu katalase perlu dihilangkan terlebih dahulu sebelum digunakan untuk uji antagonistik, yaitu melalui penetralan oleh enzim reduktase. Kontrol Enzim Katalase Gambar 12. Bakteriosin Kasar 1A5 dengan Penambahan Enzim Katalase Zona Hambat Bakteriosin Kasar 1A5 dengan Perlakuan Enzim Katalase terhadap Staphylococcus aureus ATCC Sensitivitas Bakteriosin Kasar 1A5 terhadap Enzim Proteolitik Karakterisasi bakteriosin kasar 1A5 juga dilakukan melalui uji sensitivitas terhadap enzim proteolitik. Pengujian tersebut dimaksudkan untuk mengindikasikan bahwa komponen utama yang aktif secara keseluruhan maupun sebagian pada bakteriosin kasar 1A5 merupakan komponen protein setelah diinaktivasi oleh beberapa enzim proteolitik (Bromberg et al., 2004). Enzim proteolitik atau yang sering disebut dengan protease merupakan berbagai jenis enzim yang mencerna protein menjadi unit-unit yang lebih kecil dimana enzim secara umum bertugas 43

57 sebagai katalisator dengan cara menurunkan energi aktivasi di dalam sel dan bersifat khas (Murray, 2006). Enzim proteolitik yang digunakan antara lain enzim pepsin dan enzim tripsin. Penggunaan kedua enzim tersebut merujuk kepada sistem pencernaan manusia secara kodrati bahwa enzim pepsin terdapat di dalam lambung dan enzim tripsin terdapat di dalam pankreas. Enzim pepsin dikeluarkan oleh sel-sel peptik pada lapisan mukosa lambung sedangkan enzim tripsin merupakan enzim utama yang terdapat di dalam pankreas (Piliang dan Anwar, 1992). Keduanya bekerja memecah protein ke dalam bentuk yang dapat dimanfaatkan oleh tubuh. Peran utama protease ekstraseluler di alam adalah menghidrolisis substrat polimer (polipeptida) berukuran besar menjadi molekul kecil sehingga dapat diserap oleh sel (Suhartono, 1992). Uji sensitivitas bakteriosin kasar 1A5 terhadap enzim proteolitik menunjukkan tingkat kesensitifan yang berbeda antara enzim pepsin dan enzim tripsin pada masing-masing bakteri indikator. Hasil uji Kruskal-Wallis diameter zona hambat bakteriosin kasar 1A5 dengan perlakuan enzim proteolitik terhadap Staphylococcus aureus ATCC dan enterpathogenic Escherichia coli K11 (EPEC K11) menunjukkan hasil yang berbeda, sedangkan hasil analisis ragamnya terhadap Salmonella typhimurium ATCC menunjukkan hasil yang tidak berbeda. Hal tersebut ditunjukkan oleh rataan diameter zona hambat pada uji antagonistik terhadap masing-masing bakteri indikator dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Diameter Zona Hambat Bakteriosin Kasar 1A5 dengan Perlakuan Enzim Proteolitik terhadap Bakteri Indikator S. aureus S. typhimurium Perlakuan EPEC K11 ATCC ATCC (mm) Enzim Pepsin 12,57 a ± 1,37 9,10 ± 1,39 12,57 a ± 0,81 Enzim Tripsin 0,00 b ± 0,00 6, 99 ± 0,65 0,00 b ± 0,00 Tanpa Enzim 27,10 c ± 1,36 8,00 ± 0,33 6,03 c ± 0,90 Keterangan: Kolom S. typhimurium ATCC menunjukkan tidak nyata (p-value > 0,05) Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan nyata (p-value 0,05) Analisis ragam dengan rancangan acak lengkap dilakukan per bakteri indikator Rataan diameter zona hambat yang dihasilkan oleh bakteriosin kasar 1A5 terhadap Staphylococcus aureus ATCC dengan perlakuan enzim pepsin 44

58 sebesar (12,57 ± 1,37) mm berbeda dengan perlakuan enzim tripsin yang tidak menghasilkan zona hambat. Hasil kedua perlakuan enzim tersebut juga berbeda dengan hasil perlakuan yang tanpa enzim yaitu sebesar (27,10 ± 1,36) mm. Hal tersebut dapat mengindikasikan bahwa komponen aktif di dalam bakteriosin kasar 1A5 kemunginan adalah komponen protein karena aktivitasnya diinaktifkan secara sempurna oleh enzim tripsin dan diinaktifkan lebih dari setengah aktivitasnya (53,62%) oleh enzim pepsin. Hasil penelitian Garriga et al. (1993) yang menyebutkan bahwa hanya enzim tripsin dari empat enzim yang digunakan (antara lain enzim tripsin, pepsin, proteinase K dan nagarse) yang mampu menghilangkan aktivitas penghambatan dari bakteriosin terhadap bakteri indikator. Enzim tripsin diproduksi oleh pankreas dalam bentuk tripsinogen dan diubah menjadi tripsin oleh enterokinase atau secara autokatalitik pada ph 8. Enzim tripsin bekerja menghidrolisis ikatan peptida protein pada sisi karboksil lisin dan arginin (Suhartono, 1992). Poedjiadi (1994) juga menyatakan bahwa enzim tripsin merupakan famili dari protease serin karena mempunyai residu serin pada sisi aktifnya (Suhartono, 1992) yang memecah protein pada gugus karboksil dari asam amino lisin dan arginin, kecuali protein tersebut diikuti oleh prolin. Enzim pepsin hanya dapat menginaktifkan sebagian aktivitas bakteriosin kasar 1A5 diduga karena pengaruh ph 6 dari bakteriosin itu sendiri yang dapat menginaktifkan kerja enzim pepsin. Enzim pepsin menjadi inaktif karena terjadinya peningkatan ph ketika dilakukan pencampuran dengan bakteriosin kasar 1A5 meskipun sebelumnya enzim pepsin telah diaktifkan oleh buffer pengaktif enzim yang mempunyai ph rendah sesuai dengan ph lambung, yaitu ph 3. Oleh karena itu, seharusnya bakteriosin kasar 1A5 tidak dikondisikan pada ph 6 terlebih dahulu atau masih berada pada kondisi ph basal ketika perlakuan enzim pepsin. Hal tersebut dimaksudkan agar tidak mengganggu aktivitas enzim pepsin untuk menghidrolisis komponen protein di dalam bakteriosin kasar 1A5. Setelah itu, perlu dilakukan pengkondisian bakteriosin kasar 1A5 dengan perlakuan enzim pepsin pada ph netral sebelum dilakukan uji antagonistik terhadap bakteri indikator guna menghindari pengaruh komponen asam dari campuran keduanya. Aktivitas hambat bakteriosin kasar 1A5 dengan perlakuan enzim proteolitik terhadap bakteri indikator dapat dilihat pada Gambar

59 Keterangan: T = enzim tripsin; P = enzim pepsin Gambar 13. Zona Hambat Bakteriosin Kasar 1A5 dengan Perlakuan Enzim Proteolitik terhadap Staphylococcus aureus ATCC Enzim pepsin merupakan famili dari protease asam, yaitu enzim yang keaktifannya disebabkan oleh adanya 2 gugus karboksil pada sisi aktifnya (Suhartono, 1992). Enzim pepsin dihasilkan oleh sel-sel utama lambung dalam bentuk pepsinogen, yaitu calon enzim yang belum aktif. Pepsinogen tersebut kemudian diaktifkan menjadi pepsin dengan adanya HCl (Poedjiadi, 1994) yang disekresi dari mukosa lambung (Piliang dan Anwar, 1992). Enzim pepsin menghidrolisis ikatan peptida protein pada sisi karboksil tirosin, fenilalanin, triptofan, leusin, glutamat dan glutamin (Suhartono, 1992). Rataan diameter zona hambat bakteriosin kasar 1A5 dengan perlakuan enzim terhadap Staphylococcus aureus ATCC serupa dengan terhadap EPEC K11. Rataan diameter zona hambat perlakuan enzim pepsin sebesar (12,57 ± 0,81) mm berbeda dengan perlakuan enzim tripsin yang tidak menghasilkan zona hambat. Hasil kedua perlakuan enzim tersebut juga berbeda dengan hasil perlakuan tanpa enzim yaitu sebesar (6,03 ± 0,90) mm. Hasil analisis ragam dari diameter zona hambat dengan perlakuan enzim terhadap Salmonella typhimurium ATCC menunjukkan bahwa rataan diameter zona hambat perlakuan enzim pepsin sebesar (9,10 ± 1,39) mm tidak berbeda dengan perlakuan enzim tripsin sebesar (6,99 ± 0,65) mm dan tidak berbeda pula dengan perlakuan tanpa enzim sebesar (8,00 ± 0,33) mm. Rataan diameter zona hambat dengan perlakuan enzim pepsin pada bakteri indikator Gram negatif (Salmonella typhimurium ATCC dan EPEC K11) lebih besar daripada yang tanpa enzim. Hal tersebut selain disebabkan oleh kemungkinan masih terdapatnya pengaruh komponen asam yang terdapat di dalam buffer pengaktif 46

60 enzim yang mempunyai ph rendah, juga didukung oleh spektrum penghambatan bakteriosin kasar 1A5 yang relatif sempit terhadap bakteri Gram negatif seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Berbeda dengan kedua bakteri indikator lainnya, ternyata Salmonella typhimurium ATCC juga berhasil dihambat oleh bakteriosin kasar 1A5 setelah diberi perlakuan enzim tripsin. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh masih terdapatnya sisi aktif yang mampu menghambat Salmonella typhimurium ATCC meskipun ikatan peptida protein dari bakteriosin kasar 1A5 telah berhasil dihidrolisis oleh enzim tripsin. Sisi aktif yang masih berperan tersebut menyerang bagian sensitif tertentu pada Salmonella typhimurium ATCC yang diduga tidak dimiliki oleh Staphylococcus aureus ATCC dan enterpathogenic Escherichia coli K11 (EPEC K11). Hasil uji sensitivitas bakteriosin kasar 1A5 terhadap enzim proteolitik secara keseluruhan berbeda dengan hasil peneliti yang lain. Aktivitas antimikroba dari bakteriosin yang dihasilkan oleh strain bakteri asam laktat asal susu fermentasi Burkina Faso (Savadogo et al., 2004), isolat Lactobacillus plantarum ST13BR asal bir Barley (Todorov et al., 2004), isolat Lactobacillus plantarum asal yogurt hasil industri rumah tangga di Mesir (Abo-Amer, 2007) dan isolat Streptococcus bovis J asal susu fermentasi tradisional Dahi (Rashid et al., 2009) diinaktifkan secara sempurna oleh semua enzim proteolitik yang digunakan, antara lain enzim pepsin, tripsin, α-khimotripsin dan papain. Oleh karena itu, bakteriosin-bakteriosin tersebut diindikasikan sebagai komponen protein dan merupakan karakterisitik bakteriosin secara umum (Savadogo et al., 2004). Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dan Minimum Bactericide Concentration (MBC) Bakteriosin Kasar 1A5 Penentuan nilai MIC dan MBC bakteriosin kasar 1A5 dengan metode kontak merupakan tahap terakhir yang dilakukan untuk menentukan besarnya aktivitas bakteriosin kasar 1A5 terhadap bakteri indikator, khususnya Staphylococcus aureus ATCC Bakteri indikator yang digunakan pada tahap ini hanya Staphylococcus aureus ATCC karena melihat spektrum penghambatan ekstrak bakteriosin kasar 1A5 yang relatif sempit pada tahap purifikasi parsial bakteriosin, yaitu mempunyai aktivitas penghambatan yang kuat terhadap bakteri Gram positif 47

61 Jumlah Koloni yang Tumbuh (log cfu/ml) dan lemah terhadap bakteri Gram negatif. Hasil antagonistik bakteriosin kasar 1A5 terhadap Staphylococcus aureus ATCC melalui metode kontak tersebut ditunjukkan dengan nilai MIC dan MBC yang dapat dilihat pada Gambar 14. MIC 7 6,25 0,2 5,97 0,3 5,99 0,1 5,62 0,5 5,50 0,6 5,47 0,6 6 MBC 5,35 0,1 4,93 0, ,46 0, ,38 0, Gambar 14. Penentuan Nilai Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dan Minimum Bactericide Concentration (MBC) Bakteriosin Kasar 1A5 terhadap Staphylococcus aureus ATCC Konsentrasi minimum penghambatan atau nilai MIC terhadap Staphylococcus aureus ATCC ditunjukkan oleh 70% konsentrasi bakteriosin kasar 1A5. Konsentrasi bakteriosin kasar 1A5 sebesar 70% tersebut dapat menghambat pertumbuhan bakteri indikator hingga mencapai (4,93 ± 0,9) log cfu/ml selama jam masa inkubasi. Kubo (1993) menyatakan bahwa Minimum Inhibitory Concentration (MIC) ditentukan dari konsentrasi terendah senyawa antimikroba yang dapat menghambat bakteri indikator pada kondisi yang telah ditentukan. Nilai Minimum Bactericide Concentration (MBC) menurut Vigil et al. (2005) adalah konsentrasi terendah senyawa antimikroba yang dapat membunuh sebanyak 10 3 cfu/ml populasi bakteri indikator. Nilai MBC bakteriosin kasar 1A5 ditunjukkan oleh konsentrasi sebesar 80% yang dapat membunuh 3 log cfu/ml Staphylococcus aureus ATCC hingga mencapai (3,46 ± 0,6) log cfu/ml selama jam masa inkubasi. Persentase Bakteriosin Kasar 1A5 (%) 48

62 Penurunan jumlah koloni untuk masing-masing kombinasi perlakuan pada metode kontak mengacu pada kontrol sebesar (6,25 ± 0,2) log cfu/ml yang merupakan jumlah koloni pada kombinasi perlakuan dengan 10% konsentrasi bakteriosin kasar 1A5. Penentuan kontrol tersebut disebabkan oleh paling tingginya jumlah koloni yang tumbuh dibandingkan dengan jumlah koloni pada kombinasi perlakuan yang lain, bahkan pada kombinasi perlakuan dengan 0% konsentrasi bakteriosin kasar 1A5. Tingginya jumlah koloni pada kombinasi perlakuan dengan 10% konsentrasi bakteriosin kasar 1A5 disebabkan oleh bakteri indikator yang masih dapat memanfaatkan nutrisi yang masih terdapat pada sisa media pertumbuhan yang di dalam substrat bakteriosin kasar 1A5 selain nutrient broth (NB) yang berlaku sebagai media metode kontak sendiri. 49

63 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Produksi bakteriosin kasar asal Lactobacillus plantarum 1A5 yang mempunyai aktivitas antimikroba paling optimal terhadap ketiga bakteri indikator (Staphylococcus aureus ATCC 25923, Salmonella typhimurium ATCC dan enteropathogenic Escherichia coli K11 (EPEC K11)) dihasilkan oleh media dengan inducer tripton 1% yang dikondisikan pada ph 6. Karakterisasi bakteriosin kasar 1A5 menunjukkan bahwa komponen aktif yang bekerja menghambat ketiga bakteri indikator adalah komponen antimikroba berupa bakteriosin yang merupakan komponen protein. Nilai Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dan Minimum Bactericide Concentration (MBC) terhadap Staphylococcus aureus ATCC masing-masing adalah 70% dan 80% bakteriosin kasar 1A5. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan optimasi produksi bakteriosin yang dipengaruhi oleh faktor nutrisi, ph maupun suhu. Perlu dilakukan penelitian untuk menemukan pengganti media pertumbuhan bakteri asam laktat yang lebih murah dan lebih mudah didapat guna mengoptimalkan produksi bakteriosin, serta perlu dilakukan karakterisasi bakteriosin lebih lanjut menggunakan enzim proteolitik yang lain (misalnya α-khimotripsin dan papain) dan enzim-enzim lain selain enzim proteolitik (misalnya lipase dan amilase). Perlu juga diperlukan metode lain (misalnya HPLC atau kromatografi) untuk purifikasi bakteriosin.

64 UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta para keluarga, sahabat serta para pengikutnya hingga akhir zaman. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Irma Isnafia Arief, S.Pt., M.Si (selaku pembimbing skripsi yang juga sebagai pembimbing akademik) dan Ibu Dr. Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA yang telah membimbing, mengarahkan, meluangkan waktu serta memberi semangat kepada penulis, mulai saat penyusunan proposal, selama penelitian berjalan dan penulisan skripsi hingga ujian akhir sarjana. Penulis kembali mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA selaku dosen penguji seminar, serta terima kasih kepada Bapak Ahmad Yani, STP., MSi. dan Bapak Prof. Dr. Ir. Komang G. Wiryawan selaku dosen penguji sidang atas masukan-masukannya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ayah tersayang Sudarsono dan Ibu tercinta Emi Sumartini yang senantiasa memberikan kasih sayang, semangat, dukungan penuh secara materil dan selalu mendoakan yang terbaik untuk keberhasilan penulis. Terima kasih kepada Vighar Choirul Iqbal yang selalu menguatkan, serta keluarga besar di Probolinggo atas segala dukungan dan doa yang selalu mengalir dari pertama masuk hingga penyelesaian studi di IPB. Terima kasih kepada Aditya Prasetya atas doa, dukungan dan semangatnya selama ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada keluarga besar LaRuBa (Edit L. A., S.Pt., Dudi F., Siti K., Triani W., Ratih P., Umar W. dan M. Tito G.) serta mbak Ari PAU atas bantuannya selama penelitian, teman senasib dan seperjuangan Lamria Magdalena, keluarga besar tim penelitian (Ruben P., Astiani T. W., Fitri N., Lianti M., Puspita C. W., Anisa T. W., Retno P. K. D. dan Tantri S.), seluruh warga IPTP 42, sahabat yang selalu ada (Nedia S., Reriel A. S., Restu M. dan Vivin K. W.) dan teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu per satu, atas segala dukungan, keceriaan, kebersamaan, perhatian, nasehat, kritik dan saran yang selalu diberikan. Terakhir Penulis ucapakan terima kasih kepada civitas akademika Fakultas Peternakan IPB. Semoga skripsi ini berguna bagi masa depan. Bogor, Nopember 2009 Penulis

65 DAFTAR PUSTAKA Abo-Amer, A. E Characterization of a bacteriocin-like inhibitory substance produced by Lactobacillus plantarum isolated from Egyptian home-made yogurt. Sci. Asia. 33: Adam, M. R. and M. O. Moss Food Microbiology. [01 September 2009]. Arief, I. I Karakteristik dan nilai gizi protein daging sapi dark firm dry (DFD) hasil fermentasi Lactobacillus plantarum yang diisolasi dari daging sapi. Laporan Akhir Kegiatan Penelitian Perguruan Tinggi Hibah Bersaing XIII/I. Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Arifin, M Escherichia coli di air minum kita. [01 September 2009]. Axelsson, L Lactic acid bacteria: classification and physiology. In: Salminen, S., A. V. Wright and A. Ouwehand (editors). Lactic Acid Bacteria Microbiological and Functional Aspects. 3 rd Edition, Revisied and Expanded. Marcel Dekker, Inc., New York. Bacteriological Analytical Manual Aerobic plate count. [25 Juli 2009]. Badan Standardisasi Nasional Standar Nasional Indonesia Batas Maksimum Cemaran Mikroba pada daging (CFU/g). Badan Standarisasi Nasional, Jakarta. Beavers, G. H Microbiology. [29 Juli 2009]. Bomberg, R., I. Moreno, C. L. Zaganini; R. R. Delboni and J. De Oliveira Isolations of bacteriocin-producing lactic acid bactreria from meat and meat products and its spectrum of inhibitory activity. Brazili. J. Microbiol. 35: Branen, A. L Introduction to use of antimicrobials. In: Davidson, P.M. and A. L. Branen (editors). Antimicrobials in Food. 2 nd Edition, Revisid and Expanded. Marcell Dekker, New York. Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet and M. Wooton Ilmu Pangan. Terjemahan H. Purnomo dan Adiono. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Clark, J Asam kuat dan asam lemah. [26 Oktober 2009]. El-Naggar, M. Y. M Comparative study of probiotik culture to control the growth of Escherichia coli O157:H7 and Salmonella typhimurium. J. Biotechnol. 3 (2): Fardiaz, S Mikrobiologi Pangan I. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

66 Fox, A Enterobacteriaceae, vibrio, campylobacter and helicobacter. [29 Juli 2009]. Frazier, W. C. and O. C. Westhoff Food Microbiology. 4 th Edition. McGraw- Hill Book Co., Singapore. Garriga, M., M. Hugas, T. Aymerich and J. M. Monfort Bacteriocinogenic activity of lactobacilli from fermented sausages. J. Appl. Bacteriol. 75: Gaspersz,V Teknik Analisis dalam Penelitian Percobaan. Tarsito, Bandung. Gill, C. O Microbial interaction with meat. In: Brown, M. H. (editor). Meat Microbiology. Applied Science Publishers, Ltd., London. Gillen, A. L The genesis of methicillin-resistant Staphylococcus aureus. [29 Juli 2009] Gonzales, B. E., E. Glaasker, E. R. S. Kunji, A. J. M. Driessen, J. E. Suarez and W. N. K. Onings Bactericidal mode of action of Plantaricin S. Appl. Environ. Microbiol. 62: Hartoko Analisis bahaya pada pangan. [01 September 2009]. Helander, I. M., A. von Wright and T. M. Mattila-Sandholm Potential of lactic acid bacteria and novel antimicrobial against Gram negative bacteria. Trends in Food Sci. and Technol. Vol. 8. Hidayati, N Isolasi, identifikasi dan karakterisasi L. plantarum asal daging sapi dan aplikasinya pada kondisi pembuatan sosis fermentasi. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Holo, H., Z. Jeknic, M. Daeschel, S. Stevanovic and I. F. Nes Plantaricin W from Lactobacillus plantarum belongs to a new family of two peptide lantibiotics. Microbiol. 147: Holt, J. G., N. R. Krieg, P. H. T. Sneath, J. T. Staley and S. T. Williams Bergey s Manual of Determinative Bacteriology. 9 th Edition. Lippincott Williams and Wilkins, Philadelphia. Holzapfel, W. H The Gram-positive bacteria associated with meat and meat Production. In: Davis, A. and R. Board (editors). The Microbiology of Meat and poultry. Blackie Academic and Profesional, London. Hoover, D. G. and H. Chen Bacteriocins with potential for use in food. In: Davidson, P.M., J. N. Sofos and A. L. Branen (editors). Antimicrobials in Food. 3 rd Edition. Taylor and Francis Group, New York. Hugas, M. and J. M. Monfort Bacterial starter cultures for meat fermentation. Food Chem. (59) 4:

67 Jack, R. W., J. R. Tagg and B. Ray Bacteriocin of Gram positive bacteria. Microbiol. Rev. 59: Jenie, S.L., dan S. E. Rini Aktivitas antimikroba dari beberapa spesies Lactobacillus terhadap mikroba patogen dan perusak makanan. Bul. Teknol. Industri Pangan. 7(2) : Jimenez-Diaz, R Plantaricin S and two new bacteriocins produced by Lactobacillus plantarum LPC010 isolated from a green olive fermentation. Appl. Environ. Microbiol. 59: Kubo, I. H., H. Muroi and M. Himejima Antimicrobial activity against Streptococcus mutan of tea flavor component. J. Agric. Food Chem. 42: Levinson, W Medical Microbiology and Immunology. Examination and Broad Review. 8 th Edition. Lange Medical Books/McGraw-Hill, New York. Mayes, P. A Oksidasi biologi. Dalam: Murray, R. K., D. K. Granner, P. A. Mayes and V. W. Rodwell. Biokimia Harper (editor). Edisi 24. Terjemahan A. Hartono. Penerbit Buku Kedokteran ECG, Jakarta. McKane, L. and J. Kandel Microbiology: Essential and Application. McGraw- Hill Book Company, New York. Muchtadi, D., N. S. Palupi dan M. Astawan Enzim dalam Industri Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Murray, M. T What are proteolytic enzymes? Proteolytic enzymes in cancer therapy. pdf [14 Agustus 2008]. Nielsen, S. S Food Analysis. 2 nd Edition. Aspen Publisher Inc., Gaithersburg, Maaryland. Nielsen, S.S Food Analysis Laboratory Manual. Plenum Publisher, New York. Nowroozi, J., M. Mirzaii and M. Norouzi Study of Lactobacillus as probiotic bacteria. Iran. J. Publ. Health. 33 (2): 1-7. Ogunbawo, S. T., A. I. Sanni and A. A. Onilude Influence of cultural conditions on the production of bacteriocins by Lactobacillus brevis OG1. Afric. J. Biotechnol. 2 (7): Ouwehand, A. C. and S. Vesterlund Antimicrobial components from lactic acid bacteria. In: Salminen, S., A. V. Wright and A. Ouwehand (editors). Lactic Acid Bacteria Microbiological and Functional Aspects. 3 rd Edition, Revisied and Expanded. Marcel Dekker, Inc., New York. Parada, J. L., C. R. Caron, A. B. P. Medeiros and C. R. Soccol Bacteriocin from lactic acid bacteria: purification, properties and use as biopreservatives. Bracilli. Arch. J. Biol. Technol. 50 (3):

68 Pelczar, M. J. and R. D. Rheid Microbiology. McGraw-Hill Book Co., New York. Pelczar, M. J. dan E. C. S. Chan Dasar-Dasar Mikrobiologi. Terjemahan R. S. Hadioetomo, T. Imas, S. D. Tjitrosomo dan S. L. Angka. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Permanasari, R Karakteristik substrat antimikroba bakteri asam laktat hasil isolasi dari daging sapi dan aktivitas antagonistiknya terhadap bakteri patogen. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Piliang, W. G. dan H. M. Anwar Biokimia dan Fisiologi Gizi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Poedjiadi, A Dasar-Dasar Biokimia. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Rahman, A., S. Fardiaz, W. P. Rahayu, Suliantari dan C.C. Nurwitri Teknologi Fermentasi Susu. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rashid, Md. Hu., K. Togo, M. Ueda and T. Miyamoto Characterization of bacteriocin produced by Streptococcus bovis J isolated from traditional fermented milk Dahi. Anim. Sci. J. 80: Ray, B Fundamental Food Microbiology. 3 rd Edition. CRC Press, New York. Rini, E.S Aktivitas antimikroba dari Lactobacillus terhadap bakteri patogen dan perusak ikan Rucah. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Risyahadi, S. T Optimasi formula media pertumbuhan isolat bakteri SCG 1223 penghasil bakteriosin berbasis ekstrak taoge. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Russell, A.D Mechanisms of action, resistance and stress adaption. In: Davidson, P.M., J. N. Sofos and A. L. Branen (editors). Antimicrobials in Food. 3 rd Edition. Taylor and Francis Group, New York. Samelis, J. and J. N. Sofos Organic acids. In: Roller, S. (editor). Natural Antimicrobial for the Minimal Processing of Foods. Woodhead Publishing, Ltd., London. Sani, H. A Biokomia klinikal gangguan metabolisme protein dan asid amino. gguan_metabolisme_protein_dan_asid_amino.pdf [26 Juli 2008]. Savadogo, A., A. T. Q. Cheik, H. N. B. Imael and S. A. Traore Antimicrobial activities of lactic acid bacteria strain isolated from Burkina Faso fermented milk. Pakistan J. Nutr. 3 (3): Savadogo, A., A. T. Q. Cheik, H. N. B. Imael and S. A. Traore Bacteriocins and lactic acid bacteria a minireview. Afric. J. Biotechnol. 5 (9):

69 Simpson, R. J Fractional Precipitation of Proteins by Ammonium Sulfate. true [16 Juni 2009]. Smid, E. J. and L. G. M. Gorris Natural antimicrobials for food preservation. In: Rahman, M. S. (editor). Handbook of Food Preservation. 2 nd Edition. CRC Press, New York. Soeparno Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Suhartono, M. T Protease. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Supardi, I. dan Sukamto Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan. Alumni, Bandung. Todorov, S. D., C. A. van Reenen and L. M. T. Dicks Optimization of bacteriocin production by Lactobacillus plantarum ST13BR, a strain isolated from barley beer. J. Gen. Appl. Microbiol. 50: Todorov, S. D. and L. M. T. Dicks Effect of growth medium on bacteriocin production by Lactobacillus plantarum ST194BZ, a strain isolated from boza. Food Technol. Biotechnol. 43 (2): Torkar, K. G. and B. B. Matijasic Partial characterization of bacteriocins produced by Bacillus cereus isolates from milk and milk products. Food Technol. Biotechnol. 41 (2): Venema, K., M. L. Chikindas, J. F. M. L. Seegers, A. J. Haandrikman, K. J. Leenhouts, G. Venema and J. Kok Rapid and efficient purification method for small, hydrophobic, cationic bacteriocins: purification of lactococcin B and pediocin PA-1. Appl. Environ. Microbiol. 63 (1): Vigil, A.M. L., E. Palou, M. E. Parish and P. M. Davidson Methods for activity assay and evaluation of results. In: Davidson, P.M., J. N. Sofos and A. L. Branen (editors). Antimicrobials in Food. 3 rd Edition. Taylor and Francis Group, New York. Vuyst, L. D. and E. J. Vandamme Lactic acid bacteria and bacteriocins: their practical importance. In: Vuyst, L. D. and E. J. Vandamme (editors). Bacteriocins of Lactic Acid Bacteria. Microbiology, Genetic and Application. Blakie Academic and Profesional, London. Wijayanto, U Analisis in vitro toleransi bakteri asam laktat terhadap ph lambung dan garam empedu sebagai kandidat probiotik. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 56

70 LAMPIRAN

71 Lampiran 1. Analisis Ragam Persentase Zona Hambat Supernatan Antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 pada Media Produksi yang Berbeda terhadap Staphylococcus aureus ATCC Sumber Keragaman Derajat Jumlah Kuadrat F P Bebas Kuadrat Tengah Media Produksi 5 771,9 154,4 0,47 0,794 Galat ,0 330,5 Total ,9 Lampiran 2. Uji Kruskal-Wallis Persentase Zona Hambat Supernatan Antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 pada Media Produksi yang Berbeda terhadap Salmonella typhimurium ATCC Perlakuan N Nilai Tengah Ranking Z NaCl 1% ph ,69 4,7-1,72 Tripton 1% ph ,11 13,0 1,24 YE 3% + NaCl 1% ph ,91 7,7-0,65 NaCl 1% ph ,54 5,0-1,60 Tripton 1% ph ,73 16,0 2,31 YE 3% + NaCl 1% ph ,03 10,7 0,41 Total 18 9,5 H = 10,82 Db = 5 P = 0,055 Lampiran 3. Analisis Ragam Persentase Zona Hambat Supernatan Antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 pada Media Produksi yang Berbeda terhadap enteropathogenic Escherichia coli K11 (EPEC K11) Sumber Keragaman Derajat Jumlah Kuadrat F P Bebas Kuadrat Tengah Media Produksi ,0 249,4 1,05 0,435 Galat ,3 238,4 Total ,3 58

72 Lampiran 4. Analisis Ragam Diameter Zona Hambat Ekstrak Bakteriosin Kasar 1A5 terhadap Staphylococcus aureus ATCC Sumber Keragaman Derajat Jumlah Kuadrat F P Bebas Kuadrat Tengah Lama Simpan 2 38,732 19,366 2,17 0,195 Galat 6 53,480 8,913 Total 8 92,213 Lampiran 5. Uji Kruskal-Wallis Diameter Zona Hambat Ekstrak Bakteriosin Kasar 1A5 terhadap Salmonella typhimurium ATCC Perlakuan N Nilai Tengah Ranking Z NaCl 1% ph 6 3 7,200 4,2-0,65 Tripton 1% ph 6 3 8,120 8,0 2,32 YE 3% + NaCl 1% ph 6 3 6,680 2,8-1,68 Total 9 5,0 H = 5,80 Db = 2 P = 0,055 Lampiran 6. Uji Kruskal-Wallis Diameter Zona Hambat Ekstrak Bakteriosin Kasar 1A5 terhadap enteropathogenic Escherichia coli K11 (EPEC K11) Perlakuan N Nilai Tengah Ranking Z NaCl 1% ph 6 3 6,550 4,5-0,39 Tripton 1% ph 6 3 6,380 4,5-0,39 YE 3% + NaCl 1% ph 6 3 6,580 6,0 0,77 Total 9 5,0 H = 0,61 Db = 2 P = 0,739 Lampiran 7. Uji Kruskal-Wallis Diameter Zona Hambat Bakteriosin Kasar 1A5 dengan Perlakuan Enzim Proteolitik terhadap Staphylococcus aureus ATCC Perlakuan N Nilai Tengah Ranking Z Enzim Pepsin 3 12,03 5,0 0,00 Enzim Tripsin 3 0,00 2,0-2,32 Tanpa Enzim 3 27,15 8,0 2,32 Total 9 5,0 H = 7,45 Db = 2 P = 0,024 59

73 Uji lanjut multiple range [Ri-Rj] [Ri-Rj] Z[K(N+1)/6] 0.5 R1-R2 12,57 > 4,1* R1-R3 14,53 > 4,1* R2-R3 27,10 > 4,1* Lampiran 8. Analisis Ragam Diameter Zona Hambat Bakteriosin Kasar 1A5 dengan Perlakuan Enzim Proteolitik terhadap Salmonella typhimurium ATCC Sumber Keragaman Derajat Jumlah Kuadrat F P Bebas Kuadrat Tengah Enzim 2 0, , ,72 0,059 Galat 6 0, , Total 8 0, Keterangan: data yang digunakan adalah data yang telah ditransformasi logaritma karena data asli yang didapat tidak memenuhi Uji Asumsi Analisis Keragaman Lampiran 9. Uji Kruskal-Wallis Diameter Zona Hambat Bakteriosin Kasar 1A5 dengan Perlakuan Enzim Proteolitik terhadap enteropathogenic Escherichia coli K11 (EPEC K11) Perlakuan N Nilai Tengah Ranking Z Enzim Pepsin 3 12,40 8,0 2,32 Enzim Tripsin 3 0,00 2,0-2,32 Tanpa Enzim 3 6,38 5,0 0,00 Total 9 5,0 H = 7,45 Db = 2 P = 0,024 Uji lanjut multiple range [Ri-Rj] [Ri-Rj] Z[K(N+1)/6] 0.5 R1-R2 12,57 > 4,1* R1-R3 6,54 > 4,1* R2-R3 6,03 > 4,1* 60

74 Lampiran 10. Gambar Kombinasi Bakteriosin Kasar 1A5 dengan Pengencer NB untuk Penentuan MIC dan MBC Lampiran 11. Gambar Presipitasi Supernatan Antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 dengan Amonium Sulfat Amonium sulfat Presipitat Supernatan Antimikroba Lampiran 12. Gambar Alat Sentrifuse (10000 rpm) 61

PRODUKSI DAN KARAKTERISASI BAKTERIOSIN ASAL Lactobacillus plantarum 1A5 SERTA AKTIVITAS ANTIMIKROBANYA TERHADAP BAKTERI PATOGEN

PRODUKSI DAN KARAKTERISASI BAKTERIOSIN ASAL Lactobacillus plantarum 1A5 SERTA AKTIVITAS ANTIMIKROBANYA TERHADAP BAKTERI PATOGEN PRODUKSI DAN KARAKTERISASI BAKTERIOSIN ASAL Lactobacillus plantarum 1A5 SERTA AKTIVITAS ANTIMIKROBANYA TERHADAP BAKTERI PATOGEN SKRIPSI THEO MAHISETA SYAHNIAR DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Bakteri Asam Laktat

TINJAUAN PUSTAKA Bakteri Asam Laktat TINJAUAN PUSTAKA Bakteri Asam Laktat Sifat yang terpenting dari bakteri asam laktat adalah memiliki kemampuan untuk memfermentasi gula menjadi asam laktat. Berdasarkan tipe fermentasi, bakteri asam laktat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Bakteri Asam Laktat

TINJAUAN PUSTAKA Bakteri Asam Laktat TINJAUAN PUSTAKA Bakteri Asam Laktat Kelompok yang telah diketahui sebagai bakteri asam laktat saat ini adalah termasuk kedalam genus Lactococcus, Streptococcus (hanya satu spesies saja), Enterococcus,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. (a) (b) (c) (d) Gambar 1. Lactobacillus plantarum 1A5 (a), 1B1 (b), 2B2 (c), dan 2C12 (d) Sumber : Firmansyah (2009)

TINJAUAN PUSTAKA. (a) (b) (c) (d) Gambar 1. Lactobacillus plantarum 1A5 (a), 1B1 (b), 2B2 (c), dan 2C12 (d) Sumber : Firmansyah (2009) TINJAUAN PUSTAKA Lactobacillus plantarum Bakteri L. plantarum termasuk bakteri dalam filum Firmicutes, Ordo Lactobacillales, famili Lactobacillaceae, dan genus Lactobacillus. Lactobacillus dicirikan dengan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Morfologi Sel dan Pewarnaan Gram

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Morfologi Sel dan Pewarnaan Gram HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Morfologi Sel dan Pewarnaan Karakteristik morfologi L. plantarum yang telah didapat adalah positif, berbentuk batang tunggal dan koloni berantai pendek. Karakteristik

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan Kemurnian Isolat Bakteri Asam Laktat dan Bakteri Patogen Indikator Morfologi Sel

HASIL DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan Kemurnian Isolat Bakteri Asam Laktat dan Bakteri Patogen Indikator Morfologi Sel HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil yang diperoleh pada penelitian ini diawali dengan pemeriksaan karakteristik morfologi dan kemurnian isolat bakteri yang digunakan. Isolat bakteri yang digunakan adalah BAL indigenous

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Bakteriosin

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Bakteriosin HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Bakteriosin Isolat bakteri asam laktat (BAL) yang digunakan adalah Lactobacillus fermentum 2B2 yang berasal dari daging sapi. Bakteri L. fermentum 2B2 ini berdasarkan penelitian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi Isolat L. plantarum dan Bakteri Indikator

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi Isolat L. plantarum dan Bakteri Indikator HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi Isolat L. plantarum dan Bakteri Indikator Karakterisasi isolat L. plantarum dan bakteri indikator dilakukan untuk mengetahui karakteristik baik sifat maupun morfologi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Bakteri Asam Laktat

TINJAUAN PUSTAKA Bakteri Asam Laktat TINJAUAN PUSTAKA Bakteri Asam Laktat Penggunaan bakteri asam laktat sebagai kultur starter dalam produksi daging fermentasi, produk-produk susu serta sayuran dan buah-buahan adalah salah satu metode pemrosesan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Kemurnian Bakteri L. plantarum dan Patogen

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Kemurnian Bakteri L. plantarum dan Patogen HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Kemurnian Bakteri L. plantarum dan Patogen Penelitian diawali dengan tahap persiapan dan pemurnian kembali dari keempat kultur bakteri asam laktat (BAL) yaitu Lactobacillus

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Bakteriosin HASIL DAN PEMBAHASAN Bakteriosin merupakan senyawa protein yang berasal dari Lactobacillus plantarum 2C12. Senyawa protein dari bakteriosin telah diukur konsentrasi dengan menggunakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Bakteri Asam Laktat (BAL) Lactobacillus plantarum 1A5, 1B1, 2B2 dan 2C12

TINJAUAN PUSTAKA Bakteri Asam Laktat (BAL) Lactobacillus plantarum 1A5, 1B1, 2B2 dan 2C12 TINJAUAN PUSTAKA Bakteri Asam Laktat (BAL) Buckle et al. (1987) menyatakan bakteri asam laktat merupakan kelompok bakteri yang menghasilkan sejumlah besar asam laktat sebagai hasil akhir dari metabolisme

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id I. PENDAHULUAN

bio.unsoed.ac.id I. PENDAHULUAN I. PENDAHULUAN Yoghurt merupakan minuman yang dibuat dari susu sapi dengan cara fermentasi oleh mikroorganisme. Yoghurt telah dikenal selama ribuan tahun dan menarik banyak perhatian dalam beberapa tahun

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Jumlah Bakteri Asam Laktat pada Media Susu Skim.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Jumlah Bakteri Asam Laktat pada Media Susu Skim. HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan Penelitian Persiapan penelitian meliputi pembiakan kultur pada media susu skim. Pembiakan kultur starter pada susu skim dilakukan untuk meningkatkan populasi kultur yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan cepat mengalami penurunan mutu (perishable food). Ikan termasuk komoditi

I. PENDAHULUAN. dan cepat mengalami penurunan mutu (perishable food). Ikan termasuk komoditi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahan pangan mentah merupakan komoditas yang mudah rusak sejak dipanen. Bahan pangan mentah, baik tanaman maupun hewan akan mengalami kerusakan melalui serangkaian reaksi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Bakteri Asam laktat (BAL) yaitu kelompok bakteri gram positif, katalase

II. TINJAUAN PUSTAKA. Bakteri Asam laktat (BAL) yaitu kelompok bakteri gram positif, katalase 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bakteri Asam Laktat Bakteri Asam laktat (BAL) yaitu kelompok bakteri gram positif, katalase negatif yang dapat memproduksi asam laktat dengan cara memfermentasi karbohidrat, selnya

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN.. HALAMAN PENGESAHAN.. RIWAYAT HIDUP.. i ABSTRAK... ii ABSTRACT.. iii UCAPAN TERIMAKASIH. iv DAFTAR ISI....... vi DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR TABEL

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. populasi mikrobia dengan berbagai ukuran dan kompleksitas. Bakteri

I. PENDAHULUAN. populasi mikrobia dengan berbagai ukuran dan kompleksitas. Bakteri I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam saluran pencernaan unggas khususnya sekum dan tembolok, terdapat populasi mikrobia dengan berbagai ukuran dan kompleksitas. Bakteri tersebut umumnya bersifat fermentatif.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yaitu berkisar jam pada suhu ruang 27 C. Salah satu alternatif untuk

I. PENDAHULUAN. yaitu berkisar jam pada suhu ruang 27 C. Salah satu alternatif untuk I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mie basah merupakan produk pangan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mie (Badan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tomat dapat dijadikan sebagai bahan dasar kosmetik atau obat-obatan. Selain

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tomat dapat dijadikan sebagai bahan dasar kosmetik atau obat-obatan. Selain 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Tomat Tanaman tomat merupakan komoditas yang multiguna. Tidak hanya berfungsi sebagai sayuran dan buah saja, tomat juga sering dijadikan pelengkap bumbu, minuman

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mikroorganisme tersebar luas di alam seperti di udara, air, tanah, dalam saluran pencernaan hewan, pada permukaan tubuh dan dapat dijumpai pula pada pangan. Mikroorganisme

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis zat antibakteri isolat NS(9) dari bekasam ikan nila (Oreochromis niloticus) terdiri dari tiga tahap penelitian. Tahap pertama adalah karakterisasi isolat NS(9) yang bertujuan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kubis putih (Brassica oleracea) merupakan salah satu komoditi pertanian yang banyak dibudidayakan di Indonesia, dapat dipasarkan tanpa terpengaruh musim. Di Jawa Tengah,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kubis merupakan salah satu jenis sayuran yang termasuk dalam famili Brassicaceae, tumbuh di daerah yang berhawa sejuk, yaitu pada ketinggian 800-2000 m di atas permukaan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Bakteri Asam Laktat

TINJAUAN PUSTAKA Bakteri Asam Laktat TINJAUAN PUSTAKA Bakteri Asam Laktat Bakteri Asam Laktat (BAL) erat kaitannya dengan proses fermentasi pangan, dan saat ini telah berkembang dalam industri pangan fermentasi. BAL sering ditemukan secara

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Penapisan antibakteri perlu dilakukan untuk mengetahui potensi senyawa antibakteri dari bakteri asam laktat dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji. Daya hambat suatu senyawa antibakteri

Lebih terperinci

Y ij = µ + B i + ε ij

Y ij = µ + B i + ε ij METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dari bulan September 2008 sampai bulan September 2009. Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Bagian Teknologi Hasil Ternak Perah dan Laboratorium

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. makanan yang tidak tercerna. Alat pencernaan itik termasuk ke dalam kelompok

II. TINJAUAN PUSTAKA. makanan yang tidak tercerna. Alat pencernaan itik termasuk ke dalam kelompok II. TINJAUAN PUSTAKA A. Usus Itik Semua saluran pencernaan hewan dapat disebut sebagai tabung dari mulut sampai anus, yang memiliki fungsi untuk mencerna, mengabsorbsi, dan mengeluarkan sisa makanan yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Produk yang dihasilkan oleh itik yang bernilai ekonomis antara lain: telur, daging,

I. PENDAHULUAN. Produk yang dihasilkan oleh itik yang bernilai ekonomis antara lain: telur, daging, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Itik merupakan salah satu unggas penting yang diternakkan di Indonesia. Ternak ini memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi dengan produk yang dihasilkannya. Produk yang

Lebih terperinci

BAB 7. MIKROBIOLOGI HASIL PERIKANAN. 7.1 Jenis-jenis Mikroba Pada Produk Perikanan

BAB 7. MIKROBIOLOGI HASIL PERIKANAN. 7.1 Jenis-jenis Mikroba Pada Produk Perikanan BAB 7. MIKROBIOLOGI HASIL PERIKANAN 7.1 Jenis-jenis Mikroba Pada Produk Perikanan Jumlah dan jenis populasi mikroorganisme yang terdapat pada berbagai produk perikanan sangat spesifik. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Konfirmasi Kultur Starter BAL Indigenous Dadiah dan Bakteri Patogen Indikator

HASIL DAN PEMBAHASAN Konfirmasi Kultur Starter BAL Indigenous Dadiah dan Bakteri Patogen Indikator HASIL DAN PEMBAHASAN Konfirmasi Kultur Starter BAL Indigenous Dadiah dan Bakteri Patogen Indikator Pemeriksaan terhadap kultur starter sebelum diolah menjadi suatu produk sangatlah penting. Hal ini bertujuan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Bakteri Asam Laktat

TINJAUAN PUSTAKA Bakteri Asam Laktat TINJAUAN PUSTAKA Bakteri Asam Laktat Bakteri asam laktat secara umum termasuk dalam bakteri Gram positif, tidak berspora, berbentuk bulat maupun batang, dan menghasilkan asam laktat sebagai mayoritas produk

Lebih terperinci

PRODUKSI BAKTERIOSIN KASAR Lactobacillus plantarum ANTIMIKROBANYA TERHADAP BAKTERI PATOGEN SKRIPSI ANIS USFAH PRASTU JATI

PRODUKSI BAKTERIOSIN KASAR Lactobacillus plantarum ANTIMIKROBANYA TERHADAP BAKTERI PATOGEN SKRIPSI ANIS USFAH PRASTU JATI PRODUKSI BAKTERIOSIN KASAR Lactobacillus plantarum 2C12, 1A5, 1B1 DAN 2B2 ASAL DAGING SAPI SERTA AKTIVITAS ANTIMIKROBANYA TERHADAP BAKTERI PATOGEN SKRIPSI ANIS USFAH PRASTU JATI DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MIKROBIOLOGIS BAKSO SAPI YANG DIAWETKAN DENGAN ANTIMIKROBA DARI Lactobacillusplantarum 1A5 SELAMA PENYIMPANAN SUHU DINGIN

KARAKTERISTIK MIKROBIOLOGIS BAKSO SAPI YANG DIAWETKAN DENGAN ANTIMIKROBA DARI Lactobacillusplantarum 1A5 SELAMA PENYIMPANAN SUHU DINGIN KARAKTERISTIK MIKROBIOLOGIS BAKSO SAPI YANG DIAWETKAN DENGAN ANTIMIKROBA DARI Lactobacillusplantarum 1A5 SELAMA PENYIMPANAN SUHU DINGIN SKRIPSI PUSPITA CAHYA WULANDARI DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kubis putih merupakan bahan pangan yang banyak ditemukan di Indonesia dan sudah tidak asing bagi masyarakat. Kubis putih dapat hidup pada dataran tinggi salah satunya

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN Fermentasi Acar Kubis Putih

4. PEMBAHASAN Fermentasi Acar Kubis Putih 4. PEMBAHASAN 4.1. Fermentasi Acar Kubis Putih Fermentasi merupakan salah satu metode untuk memperpanjang umur simpan suatu bahan pangan. Ketika fermentasi berlangsung, kandungan gula sangat dibutuhkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lactobacillus merupakan salah satu mikroorganisme yang aman jika ditambahkan dalam bahan pangan karena sifatnya tidak tosik dan tidak menghasilkan toksik. Bahkan, Lactobacillus

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sosis

TINJAUAN PUSTAKA. Sosis TINJAUAN PUSTAKA Sosis Berdasarkan SNI 01-3820-1995, sosis daging adalah produk makanan yang diperoleh dari campuran daging halus (mengandung daging tidak kurang dari 75%) dengan tepung atau pati dan dengan

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN Fermentasi Acar Kubis Putih (Brassica oleracea)

4. PEMBAHASAN Fermentasi Acar Kubis Putih (Brassica oleracea) 4. PEMBAHASAN 4.1. Fermentasi Acar Kubis Putih (Brassica oleracea) Kubis putih termasuk ke dalam kategori bahan pangan yang mudah rusak. Kandungan air dalam kubis putih cukup tinggi yaitu mencapai 92%

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan Bakteri Asam dan Bakteri Patogen Pemeriksaan terhadap kultur bakteri meliputi Bakteri Asam Laktat (BAL) dan bakteri patogen dilakukan diawal penelitian untuk memastikan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Bakteri Asam Laktat (BAL)

TINJAUAN PUSTAKA Bakteri Asam Laktat (BAL) TINJAUAN PUSTAKA Bakteri Asam Laktat (BAL) Bakteri asam laktat menghasilkan sejumlah besar asam laktat sebagai hasil akhir dari metabolisme gula (karbohidrat). Dua kelompok kecil mikroorganisme dikenal

Lebih terperinci

3. HASIL PENELITIAN Acar Kubis Putih (Brassica oleracea)

3. HASIL PENELITIAN Acar Kubis Putih (Brassica oleracea) 3. HASIL PENELITIAN 3.1. Acar Kubis Putih (Brassica oleracea) Bahan utama yang digunakan sebagai substrat untuk proses fermentasi acar ini adalah kubis putih yang berasal dari daerah Getasan, Kopeng (Gambar

Lebih terperinci

Nilai gizi atau dikenal juga dengan Nutrition Facts menurut BPOM (2009) merupakan informasi yang menyebutkan jumlah zat-zat gizi yang terkandung

Nilai gizi atau dikenal juga dengan Nutrition Facts menurut BPOM (2009) merupakan informasi yang menyebutkan jumlah zat-zat gizi yang terkandung BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Peking Itik Peking merupakan itik tipe pedaging yang termasuk dalam kategori unggas air yang cocok untuk dikembangbiakkan di Indonesia. Sistem pemeliharaan itik Peking

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Syarat mutu susu segar menurut SNI tentang Susu Segar

TINJAUAN PUSTAKA. Syarat mutu susu segar menurut SNI tentang Susu Segar 4 TINJAUAN PUSTAKA Definisi Susu Susu murni adalah cairan yang berasal dari ambing sapi sehat dan bersih, yang diperoleh dengan cara pemerahan yang benar, yang kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 1.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Total Bakteri Daging Sapi

HASIL DAN PEMBAHASAN. 1.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Total Bakteri Daging Sapi IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Total Bakteri Daging Sapi Hasil penelitian pengaruh berbagai konsentrasi sari kulit buah naga merah sebagai perendam daging sapi terhadap total bakteri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tempoyak durian yang menjadi makanan khas daerah Lampung, merupakan aset daerah yang ternyata memiliki keunikan.

I. PENDAHULUAN. Tempoyak durian yang menjadi makanan khas daerah Lampung, merupakan aset daerah yang ternyata memiliki keunikan. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tempoyak durian yang menjadi makanan khas daerah Lampung, merupakan aset daerah yang ternyata memiliki keunikan. Pembuatan tempoyak durian hanya dengan menambahkan garam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jambi) ataupun yang berasal dari daging seperti sosis dan urutan/bebontot

I. PENDAHULUAN. Jambi) ataupun yang berasal dari daging seperti sosis dan urutan/bebontot I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat Indonesia telah banyak mengenal produk pangan fermentasi antara lain yang berasal dari susu seperti yogurt, keju, es krim dan dadih (produk olahan susu fermentasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. beberapa manfaat salah satunya adalah sebagai probiotik. Hal ini

PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. beberapa manfaat salah satunya adalah sebagai probiotik. Hal ini PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Bakteri asam laktat (BAL) merupakan bakteri yang memiliki beberapa manfaat salah satunya adalah sebagai probiotik. Hal ini dikarenakan asam - asam organik yang dihasilkan

Lebih terperinci

molekul kasein yang bermuatan berbeda. Kondisi ph yang asam menyebabkan kalsium dari kasein akan memisahkan diri sehingga terjadi muatan ion dalam sus

molekul kasein yang bermuatan berbeda. Kondisi ph yang asam menyebabkan kalsium dari kasein akan memisahkan diri sehingga terjadi muatan ion dalam sus Populasi Kultur Starter HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Perhitungan populasi dilakukan untuk mendapatkan kultur starter yang terbaik dari segi jumlah maupun kualitasnya. Pada tahap pendahulan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan jaman, dunia pengobatan saat ini semakin

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan jaman, dunia pengobatan saat ini semakin I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan jaman, dunia pengobatan saat ini semakin berkembang dengan pesat, terutama perkembangan antibiotik yang dihasilkan oleh mikrobia. Penisilin

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Calf starter merupakan susu pengganti (milk replacer) yang diberikan ke

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Calf starter merupakan susu pengganti (milk replacer) yang diberikan ke 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Calf Starter Calf starter merupakan susu pengganti (milk replacer) yang diberikan ke pedet untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya (Winarti et al., 2011). Kebutuhan pedet dari

Lebih terperinci

tumbuhan (nabati). Ayam broiler merupakan salah satu produk pangan sumber

tumbuhan (nabati). Ayam broiler merupakan salah satu produk pangan sumber I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan berkembangnya zaman, peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan gaya hidup sehat, kebutuhan produk pangan sumber protein terus meningkat. Produk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 39 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Rata-Rata Jumlah Bakteri yang Terdapat pada Feses Sapi Potong Sebelum (inlet) dan Sesudah (outlet) Proses Pembentukan Biogas dalam Reaktor Tipe Fixed-Dome Hasil perhitungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daging Sapi Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan

Lebih terperinci

AKTIVITAS SUBSTRAT ANTIMIKROBA BAKTERI ASAM LAKTAT YANG DIISOLASI DARI DAGING SAPI TERHADAP BAKTERI PATOGEN DAN KONSENTRASI MINIMUM PENGHAMBATANNYA

AKTIVITAS SUBSTRAT ANTIMIKROBA BAKTERI ASAM LAKTAT YANG DIISOLASI DARI DAGING SAPI TERHADAP BAKTERI PATOGEN DAN KONSENTRASI MINIMUM PENGHAMBATANNYA AKTIVITAS SUBSTRAT ANTIMIKROBA BAKTERI ASAM LAKTAT YANG DIISOLASI DARI DAGING SAPI TERHADAP BAKTERI PATOGEN DAN KONSENTRASI MINIMUM PENGHAMBATANNYA SKRIPSI TRIANI WIDIASIH PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Daging Sapi Daging Ayam

TINJAUAN PUSTAKA Daging Sapi Daging Ayam 4 TINJAUAN PUSTAKA Daging Sapi Daging adalah semua jaringan hewan, baik yang berupa daging dari karkas, organ, dan semua produk hasil pengolahan jaringan yang dapat dimakan dan tidak menimbulkan gangguan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Infeksi merupakan masalah yang paling banyak dijumpai pada kehidupan sehari-hari. Kasus infeksi disebabkan oleh bakteri atau mikroorganisme patogen yang masuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mineral. Susu adalah suatu cairan yang merupakan hasil pemerahan dari sapi atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mineral. Susu adalah suatu cairan yang merupakan hasil pemerahan dari sapi atau 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Susu Susu merupakan bahan pangan yang baik bagi manusia karena mengandung zat gizi yang tinggi, yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Susu adalah suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat memberikan manfaat bagi kesehatan. Salah satu pangan fungsional yang

BAB I PENDAHULUAN. dapat memberikan manfaat bagi kesehatan. Salah satu pangan fungsional yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan pengetahuan tentang pangan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan telah meningkatkan minat masyarakat terhadap pangan fungsional. Pangan fungsional

Lebih terperinci

SUTOYO. Penapisan Bakteri Asam Laktat (BAL) Asal Berbagai Sumber Bahan. IDWAN SUDIRMAN sebagai ketua, SRI BUDIARTI POERWANTO dm

SUTOYO. Penapisan Bakteri Asam Laktat (BAL) Asal Berbagai Sumber Bahan. IDWAN SUDIRMAN sebagai ketua, SRI BUDIARTI POERWANTO dm SUTOYO. Penapisan Bakteri Asam Laktat (BAL) Asal Berbagai Sumber Bahan Hewani dan Nabati dalam Menghasilkan Bakteriosin ( Di bawah bimbiigan LISDAR IDWAN SUDIRMAN sebagai ketua, SRI BUDIARTI POERWANTO

Lebih terperinci

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN BAB VI PEMBAHASAN Kefir adalah susu yang difermentasi dengan Kefir Grains yang terdiri dari berbagai jenis bakteri asam laktat dan ragi. Kefir, sejenis susu fermentasi yang terbuat dari bakteri hidup.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan fungsional adalah pangan olahan yang mengandung satu atau lebih komponen fungsional yang berdasarkan kajian ilmiah mempunyai fungsi fisiologis tertentu, terbukti

Lebih terperinci

Nova Nurfauziawati VI. PEMBAHASAN

Nova Nurfauziawati VI. PEMBAHASAN VI. PEMBAHASAN Praktikum yang dilaksanakan pada 23 Mei 2011 mengenai pengujian mikroorganisme termodurik pada produk pemanasan. Praktikum ini dilakukan agar praktikan dapat membuat perhitungan SPC dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

I. PENDAHULUAN. (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat I. PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang Penelitian, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. laut maupun ikan air tawar. Menurut Arias dalam Fernandes (2009) ikan

I. PENDAHULUAN. laut maupun ikan air tawar. Menurut Arias dalam Fernandes (2009) ikan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan merupakan bahan pangan hewani bernilai ekonomis tinggi dan banyak dikonsumsi masyarakat karena kandungan gizinya yang tinggi, baik ikan air laut maupun ikan air

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. negatif dan oksidase positif, dengan asam laktat sebagai produk utama

II. TINJAUAN PUSTAKA. negatif dan oksidase positif, dengan asam laktat sebagai produk utama 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. BAKTERI ASAM LAKTAT Bakteri asam laktat (BAL) adalah bakteri gram positif berbentuk batang, tidak membentuk spora, bersifat anaerob, pada umumnya tidak motil, katalase negatif

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bahan-bahan lain seperti garam, bawang merah, bawang putih. Sambal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bahan-bahan lain seperti garam, bawang merah, bawang putih. Sambal BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sambal Cabai 1. Sambal Sambal salah satu bahan yang terbuat dari cabai dan ditambah bahan-bahan lain seperti garam, bawang merah, bawang putih. Sambal memiliki cita rasa yang

Lebih terperinci

PRODUKSI DAN KARAKTERISASI BAKTERIOSIN ASAL Lactobacillus fermentum 2B2 SERTA AKTIVITAS ANTIMIKROBANYA TERHADAP BAKTERI PATOGEN

PRODUKSI DAN KARAKTERISASI BAKTERIOSIN ASAL Lactobacillus fermentum 2B2 SERTA AKTIVITAS ANTIMIKROBANYA TERHADAP BAKTERI PATOGEN PRODUKSI DAN KARAKTERISASI BAKTERIOSIN ASAL Lactobacillus fermentum 2B2 SERTA AKTIVITAS ANTIMIKROBANYA TERHADAP BAKTERI PATOGEN SKRIPSI LAMRIA MAGDALENA DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN

Lebih terperinci

KARAKTERISASI PLANTARICIN ASAL EMPAT GALUR SENSITIVITASNYA TERHADAP ENZIM TRIPSIN SKRIPSI GILANG AYUNINGTYAS

KARAKTERISASI PLANTARICIN ASAL EMPAT GALUR SENSITIVITASNYA TERHADAP ENZIM TRIPSIN SKRIPSI GILANG AYUNINGTYAS KARAKTERISASI PLANTARICIN ASAL EMPAT GALUR Lactobacillus plantarum BERDASARKAN SENSITIVITASNYA TERHADAP ENZIM TRIPSIN SKRIPSI GILANG AYUNINGTYAS DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dicampurkan dengan bahan-bahan lain seperti gula, garam, dan bumbu,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dicampurkan dengan bahan-bahan lain seperti gula, garam, dan bumbu, BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecap Kedelai 1. Definisi Kecap Kedelai Kecap merupakan ekstrak dari hasil fermentasi kedelai yang dicampurkan dengan bahan-bahan lain seperti gula, garam, dan bumbu, dengan

Lebih terperinci

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN Rataan hasil penelitian pengaruh pemberian bakteri asam laktat dalam air minum terhadap konsumsi air minum dan ransum dan rataan pengaruh pemberian bakteri asam laktat dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Mikrobiologi Daging

TINJAUAN PUSTAKA Mikrobiologi Daging TINJAUAN PUSTAKA Mikrobiologi Daging Buckle et al. (1987) menyatakan bahwa mutu mikrobiologi suatu produk makanan ditentukan oleh jumlah dan jenis mikroorganisme yang terdapat dalam bahan pangan. Hal ini

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 26 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakterisasi Isolat Karakterisasi isolat BP (8) untuk verifikasi meliputi pewarnaan Gram, pewarnaan spora, uji motilitas, uji katalase, uji oksidase, uji fermentasi glukosa,

Lebih terperinci

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri PENANGANAN Jenis Kerusakan Bahan Pangan Kerusakan mikrobiologis Kerusakan mekanis Kerusakan fisik Kerusakan biologis Kerusakan kimia Kerusakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Secara alami hewan ternak, khususnya itik memiliki kekebalan alami. yang berfungsi menjaga kesehatan tubuhnya. Kekebalan alami ini

I. PENDAHULUAN. Secara alami hewan ternak, khususnya itik memiliki kekebalan alami. yang berfungsi menjaga kesehatan tubuhnya. Kekebalan alami ini 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara alami hewan ternak, khususnya itik memiliki kekebalan alami yang berfungsi menjaga kesehatan tubuhnya. Kekebalan alami ini terbentuk antara lain disebabkan oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bakteri Asam Laktat (BAL) merupakan bakteri yang sering digunakan di

I. PENDAHULUAN. Bakteri Asam Laktat (BAL) merupakan bakteri yang sering digunakan di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bakteri Asam Laktat (BAL) merupakan bakteri yang sering digunakan di dalam industri pangan dalam menghasilkan pangan fungsional. Fungsi ini dikarenakan kemampuan BAL yang

Lebih terperinci

AKTIVITAS ANTIMIKROBA PADA PUTIH TELUR DARI BEBERAPA JENIS UNGGAS TERHADAP BAKTERI GRAM POSITIF DAN GRAM NEGATIF SKRIPSI CHAIRUL

AKTIVITAS ANTIMIKROBA PADA PUTIH TELUR DARI BEBERAPA JENIS UNGGAS TERHADAP BAKTERI GRAM POSITIF DAN GRAM NEGATIF SKRIPSI CHAIRUL AKTIVITAS ANTIMIKROBA PADA PUTIH TELUR DARI BEBERAPA JENIS UNGGAS TERHADAP BAKTERI GRAM POSITIF DAN GRAM NEGATIF SKRIPSI CHAIRUL PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MIKROBIOLOGIS DENDENG SAPI GILING DAN IRIS YANG DIFERMENTASI DENGAN Lactobacillus plantarum 1B1

KARAKTERISTIK MIKROBIOLOGIS DENDENG SAPI GILING DAN IRIS YANG DIFERMENTASI DENGAN Lactobacillus plantarum 1B1 KARAKTERISTIK MIKROBIOLOGIS DENDENG SAPI GILING DAN IRIS YANG DIFERMENTASI DENGAN Lactobacillus plantarum 1B1 SKRIPSI DWI YOGO WARDOYO PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. panjang serta bersifat anaerob fakultatif dan katalase negatif (Prescott et al.,

I. PENDAHULUAN. panjang serta bersifat anaerob fakultatif dan katalase negatif (Prescott et al., 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lactobacillus merupakan genus terbesar dalam kelompok bakteri asam laktat (BAL) dengan hampir 80 spesies berbeda. Bakteri ini berbentuk batang panjang serta bersifat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Toleransi Isolat Bakteri Asam Laktat asal Daging pada ph Lambung dan ph Usus

HASIL DAN PEMBAHASAN Toleransi Isolat Bakteri Asam Laktat asal Daging pada ph Lambung dan ph Usus HASIL DAN PEMBAHASAN Toleransi Isolat Bakteri Asam Laktat asal Daging pada ph Lambung dan ph Usus Menurut Havenaar et al. (1992), dalam pengembangan galur probiotik baru, perlu dilakukan seleksi secara

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fermentasi Pliek u Selama lebih kurang sepuluh ribu tahun manusia telah mengkonsumsi makanan fermentasi. Sepanjang sejarah, fermentasi merupakan salah satu teknik untuk memproduksi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Data yang diperoleh dari Dinas Kelautan, Perikanan Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Gorontalo memiliki 10 Tempat Pemotongan Hewan yang lokasinya

Lebih terperinci

3. HASIL PENELITIAN Fermentasi Asinan Rebung

3. HASIL PENELITIAN Fermentasi Asinan Rebung 3. HASIL PENELITIAN 3.1. Fermentasi Asinan Rebung Rebung yang digunakan untuk asinan rebung ialah rebung jenis rebung kuning bambu betung (Dendrocalamus asper) dengan kualitas yang baik (Gambar 5a). Fermentasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Glukosa adalah monosakarida yang berperan sebagai sumber karbon pada media pertumbuhan mikrobia, yang juga merupakan salah satu produk pertanian yang murah dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang aman dan beberapa spesies digunakan sebagai terapi dalam proses

BAB I PENDAHULUAN. yang aman dan beberapa spesies digunakan sebagai terapi dalam proses 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan bakteri asam laktat di dunia pangan dan kesehatan sudah banyak diaplikasikan. Dalam pengolahan pangan, bakteri ini telah lama dikenal dan digunakan, yaitu

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. nutrisi untuk pertumbuhan, perkembangan bayi dan memberikan perlindungan dari

I. TINJAUAN PUSTAKA. nutrisi untuk pertumbuhan, perkembangan bayi dan memberikan perlindungan dari I. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Air Susu Ibu (ASI) Air susu ibu atau ASI merupakan makanan yang ideal bagi pertumbuhan bayi, didalamnya terkandung beberapa komponen gizi yang berfungsi sebagai sumber nutrisi

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN BAB 5 HASIL PENELITIAN 5.1 Hasil Uji Identifikasi Fitokimia Hasil uji identifikasi fitokimia yang tersaji pada tabel 5.1 membuktikan bahwa dalam ekstrak maserasi n-heksan dan etil asetat lidah buaya campur

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Bakteri asam laktat yang digunakan merupakan hasil isolasi dari susu sapi segar dan produk olahannya. Bakteri asam laktat indigenous susu sapi segar dan produk olahannya ini berpotensi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi, karena memiliki protein yang

I. PENDAHULUAN. penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi, karena memiliki protein yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Daging ayam merupakan salah satu bahan pangan yang memegang peranan cukup penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi, karena memiliki protein yang berkualitas tinggi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tempe merupakan produk pangan tradisional Indonesia berbahan dasar kacang

I. PENDAHULUAN. Tempe merupakan produk pangan tradisional Indonesia berbahan dasar kacang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Tempe merupakan produk pangan tradisional Indonesia berbahan dasar kacang kedelai (Glycine max) yang diolah melalui proses fermentasi oleh kapang. Secara umum,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kepentingan Higiene dan Sanitasi

TINJAUAN PUSTAKA Kepentingan Higiene dan Sanitasi 4 TINJAUAN PUSTAKA Kepentingan Higiene dan Sanitasi Higiene berasal dari bahasa Yunani yang artinya sehat atau baik untuk kesehatan. Tujuan higiene adalah untuk menjamin agar daging tetap aman dan layak

Lebih terperinci

ASPEK MIKROBIOLOGIS PENGEMASAN MAKANAN

ASPEK MIKROBIOLOGIS PENGEMASAN MAKANAN ASPEK MIKROBIOLOGIS PENGEMASAN MAKANAN Anna Rakhmawati,M.Si Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Email:anna_rakhmawati@uny.ac.id Bahan makanan merupakan salah satu kebutuhan primer manusia yang penting

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. AKTIVITAS KUALITATIF ENZIM KITINOLITIK (INDEKS KITINOLITIK)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. AKTIVITAS KUALITATIF ENZIM KITINOLITIK (INDEKS KITINOLITIK) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. AKTIVITAS KUALITATIF ENZIM KITINOLITIK (INDEKS KITINOLITIK) Peremajaan dan purifikasi terhadap kedelapan kultur koleksi isolat bakteri dilakukan terlebih dahulu sebelum pengujian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Uji Ketahanan Lactobacillus plantarum Terhadap Asam

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Uji Ketahanan Lactobacillus plantarum Terhadap Asam 36 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Uji Ketahanan Lactobacillus plantarum Terhadap Asam Bakteri asam laktat yang digunakan sebagai kultur probiotik umumnya diberikan melalui sistem pangan. Untuk itu bakteri

Lebih terperinci

Dr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc.

Dr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc. BIO210 Mikrobiologi Dr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc. Kuliah 6. NUTRISI DAN MEDIA Kebutuhan dan syarat untuk pertumbuhan, ada 2 macam: fisik suhu, ph, dan tekanan osmosis. kimia

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan Terhadap Total Bakteri Salami Daging Kelinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan Terhadap Total Bakteri Salami Daging Kelinci IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Perlakuan Terhadap Total Bakteri Salami Daging Kelinci Hasil penelitian penggunaan starter yogurt terhadap total bakteri Salami daging kelinci disajikan pada Tabel

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dikenal dengan nama sapi Grati. Bentuk dan sifat sapi PFH sebagian besar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dikenal dengan nama sapi Grati. Bentuk dan sifat sapi PFH sebagian besar 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein Sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH) merupakan sapi hasil persilangan antara bangsa-bangsa sapi asli Indonesia (Jawa dan Madura)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian

I. PENDAHULUAN. Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

MIKROORGANISME DALAM PENGEMAS ASEPTIK PENGENDALIAN MUTU MIKROORGANISME PANGAN KULIAH MIKROBIOLOGI PANGAN PERTEMUAN KE-12

MIKROORGANISME DALAM PENGEMAS ASEPTIK PENGENDALIAN MUTU MIKROORGANISME PANGAN KULIAH MIKROBIOLOGI PANGAN PERTEMUAN KE-12 MIKROORGANISME DALAM PENGEMAS ASEPTIK PENGENDALIAN MUTU MIKROORGANISME PANGAN KULIAH MIKROBIOLOGI PANGAN PERTEMUAN KE-12 MIKROORGANISME MAKANAN DAN KEMASAN Bahan pangan mempunyai mikroflora spesifik yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ditumbuhkan dalam substrat. Starter merupakan populasi mikroba dalam jumlah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ditumbuhkan dalam substrat. Starter merupakan populasi mikroba dalam jumlah 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fermentasi Fermentasi merupakan suatu proses perubahan kimia pada suatu substrat organik melalui aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme (Suprihatin, 2010). Proses

Lebih terperinci