ANALISIS KESEDIAAN MEMBAYAR (WILLINGNESS TO PAY) BERAS ANALOG DI SERAMBI BOTANI, BOTANI SQUARE, BOGOR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS KESEDIAAN MEMBAYAR (WILLINGNESS TO PAY) BERAS ANALOG DI SERAMBI BOTANI, BOTANI SQUARE, BOGOR"

Transkripsi

1 ANALISIS KESEDIAAN MEMBAYAR (WILLINGNESS TO PAY) BERAS ANALOG DI SERAMBI BOTANI, BOTANI SQUARE, BOGOR SKRIPSI AKLIMA DHISKA SUWANDA H DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 RINGKASAN AKLIMA DHISKA SUWANDA. Analisis Kesediaan Membayar (Willingness to Pay) Beras Analog di Serambi Botani, Botani Square, Bogor. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan BURHANUDDIN). Saat ini, konsumsi pangan pokok masyarakat Indonesia masih didominasi oleh beras. Ketergantungan masyarakat Indonesia yang sangat tinggi terhadap beras akan menjadi masalah jika ketersediaan beras sudah tidak dapat terpenuhi. Beras menjadi kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi setiap hari, bahkan di Indonesia berkembang budaya Belum makan kalau tidak makan nasi (beras). Beras telah dianggap sebagai pangan superior, padahal banyak ragam pangan lokal lainnya yang berpotensi dikembangkan sebagai alternatif pangan pokok. Untuk itu, perlu dikembangkan suatu pangan alternatif seperti beras analog yang terbuat dari campuran tepung berbahan baku lokal dan sengaja didesain menyerupai bentuk beras sehingga tidak mengubah kebiasaan masyarakat Indonesia yang mengonsumsi beras konvensional (biasa). Dengan mengembangkan kearifan pangan lokal, beras analog dibuat se-convenience mungkin sehingga memiliki tangible benefit dan intangible benefit. Dari segi kadungan gizi, selain sama-sama merupakan sumber karbohidrat, beras analog ini terbukti lebih sehat karena memiliki Indeks Glikemik yang lebih rendah dibandingkan beras konvensional. Beras analog diproduksi oleh F-Technopark IPB dan dipasarkan di Serambi Botani pada November Sebagai produk baru yang belum dikenal masyarakat luas, Serambi Botani belum mengetahui apakah masyarakat bersedia membayar beras analog dengan harga yang akan ditawarkan yaitu Rp ,00 per 800 gram. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis hubungan antara karakteristik responden dengan kesediaan membayar (Willingness to Pay) beras analog di Serambi Botani, (2) mengestimasi nilai kesediaan membayar (Willingness to Pay) beras analog di Serambi Botani, dan (2) menganalisis faktor apa saja yang mempengaruhi nilai kesediaan membayar (Willingness to Pay) beras analog tersebut. Penelitian ini dilakukan di Serambi Botani, Botani Square, Bogor pada bulan Juli 2012 sebelum launching beras analog diadakan. Responden penelitian ini adalah 100 orang pengunjung Serambi Botani yang bersedia dijadikan responden dan telah melewati tahap screening yaitu berusia lebih dari 16 tahun dan peduli akan diversifikasi pangan. Metode penentuan sampel yang digunakan adalah non-probability sampling dengan teknik pengambilan data convenience sampling. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Uji Chi- Square digunakan untuk melihat hubungan antara karakteristik responden dengan kesediaan membayar. Analisis CVM digunakan untuk mengestimasi nilai WTP beras analog, sedangkan untuk menganalisis faktor yang mempengaruhi nilai tersebut digunakan analisis regresi berganda. Serambi Botani adalah gerai milik Institut Pertanian Bogor yang salah satunya berlokasi di mall Botani Square dan memiliki konsep sebagai outlet produk-produk IPB yang memenuhi standard healthy life style. Produk yang

3 dipasarkan di Serambi Botani menggunakan produk-produk IPB, seperti beras analog yang diproduksi F-Technopark IPB. Dari 100 responden, sebanyak 72 responden (72%) bersedia membayar beras analog dengan harga lebih dari sama dengan Rp ,00 per 800 gram. Hal ini mengindikasikan bahwa beras analog dapat diterima masyarakat dan memiliki peluang pasar yang baik. Berdasarkan hasil uji Chi-Square menyatakan bahwa karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan dan pendapatan berhubungan signifikan dengan kesediaan membayar beras analog. Nilai (harga) yang bersedia dibayar responden untuk beras analog per 800 gram beragam, yaitu dimulai dari nilai terendah Rp ,00 hingga nilai tertinggi Rp ,00. Hasil nilai rataan WTP responden untuk beras analog adalah Rp ,00 per 800 gram. Nilai ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga yang ingin ditawarkan oleh pihak Serambi Botani, yaitu Rp ,00 per 800 gram. Berdasarkan hasil plot kurva WTP menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat WTP, semakin rendah kesediaan responden untuk membayar beras analog. Hasil plot kurva WTP beras analog tersebut berkumpul pada titik yang menunjukkan tingkat kesediaan responden untuk membayar akan semakin berkurang seiring peningkatan nilai WTP. Nilai TWTP responden adalah Rp ,00. Berdasarkan hasil analisis regresi berganda yang dilakukan, faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTP adalah lama pendidikan, pekerjaan, pendapatan per bulan, tingkat kepedulian terhadap diversifikasi pangan, dan pengetahuan terhadap beras analog. iii

4 ANALISIS KESEDIAAN MEMBAYAR (WILLINGNESS TO PAY) BERAS ANALOG DI SERAMBI BOTANI, BOTANI SQUARE, BOGOR AKLIMA DHISKA SUWANDA H Skirpsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

5 Judul Skripsi : Analisis Kesediaan Membayar (Willingness to Pay) Beras Analog di Serambi Botani, Botani Square, Bogor Nama : Aklima Dhiska Suwanda NIM : H Menyetujui, Dosen Pembimbing Ir. Burhanuddin, MM NIP Mengetahui, Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP Tanggal Lulus :

6 PERNYATAAN Dengan ini menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul Analisis Kesediaan Membayar (Willingness to Pay) Beras Analog di Serambi Botani, Botani Square, Bogor adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Desember 2012 Aklima Dhiska Suwanda H

7 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ujungbatu, Riau pada tanggal 28 November Penulis adalah anak kelima dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Sudirwan dan Ibu Harminafida. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 1 Ujungbatu pada tahun 2002 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2005 di SMP Negeri 1 Ujungbatu. Kemudian penulis menyelesaikan pendidikan lanjutan menengah ke atas di SMA Negeri 1 Ujungbatu pada tahun Penulis diterima di Program Sarjana Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) pada tahun Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif pada berbagai organisasi. Penulis pernah menjabat sebagai staff Departemen Kesekretariatan dan Humas pada IPMM-Bogor periode tahun , staff Money Hunting Department (MHD) pada Himpunan Mahasiswa Peminat Agribisnis (HIPMA) periode tahun , dan Bendahara MHD HIPMA periode tahun

8 KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah SWT atas segala berkat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Kesediaan Membayar (Willingness to Pay) Beras Analog di Serambi Botani, Botani Square, Bogor dengan baik. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara karakteristik responden dengan kesediaan membayar (Willingness to Pay) beras analog di Serambi Botani, mengestimasi besarnya nilai kesediaan membayar (Willingness to Pay) beras analog di Serambi Botani, serta menganalisis faktor yang mempengaruhi nilai kesediaan membayar (Willingness to Pay) beras analog di Serambi Botani. Penulis berharap agar penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, Desember 2012 Aklima Dhiska Suwanda

9 UCAPAN TERIMA KASIH Penulisan skripsi ini juga tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada: 1. Ir. Burhanuddin, MM sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan bimbingan, saran, dan pengarahan selama proses penyusunan skripsi ini, dan juga terima kasih kepada Drs. Iman Firmansyah, MSi yang juga telah memberikan bimbingan sebelumnya. 2. Dr. Amzul Rifin, SP, MA selaku dosen penguji utama pada ujian sidang penulis yang telah memberikan kritik dan saran yang sangat bermanfaat untuk kesempurnaan skripsi ini. 3. Ir. Narni Farmayanti, MSc selaku dosen penguji komisi pendidikan pada ujian sidang penulis yang telah memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini. 4. Rahmat Yanuar, SP, MSi selaku dosen pembimbing akademik penulis dan seluruh dosen dan staf Departemen Agribisnis, FEM IPB. 5. Orangtua, Sudirwan dan Harminafida, sebagai motivator terbesar bagi penulis. Terima kasih banyak atas segala kasih sayang, perhatian, semangat, doa, dan segala bentuk moral maupun material yang terus mengalir. Semoga ini bisa menjadi persembahan yang terbaik. 6. Kakak-kakakku tercinta, Pradiani Suwanda, Dwi Donalia Suwanda, Tri Delone Suwanda, dan Fora Dilla Suwanda yang selalu memberikan doa, dukungan, kasih sayang, hiburan, dan semangat selama ini. 7. Dwiko Gunawan selaku General Manger Serambi Botani beserta seluruh karyawan yang telah bersedia memberikan informasi dan membantu dalam segala hal yang berkaitan dengan penelitian penulis. 8. Dr. Slamet Budijanto selaku pihak dari F-Technopark IPB yang telah bersedia memberikan informasi yang berkaitan dengan produksi beras analog. 9. Bebby Noviola atas kesediaannya menjadi pembahas dalam seminar hasil skripsi yang telah memberikan masukan dan koreksi untuk perbaikan skripsi ini.

10 10. Sahabat-sahabat tercinta Afrisya Meizi, Layra Nichi Sari, dan Fithria Rahmadhani, terimakasih atas persahabatan, canda tawa, dan kesetiaan yang diberikan selama empat tahun di IPB. 11. Sepupu tersayang Mutia Fermanda dan Yolla Rahmi yang selalu memberikan motivasi, meluangkan waktu untuk penulis, dan selalu ada saat dibutuhkan. 12. Keluarga Putri Bunda, Ferina, Resti, Arini, Ashlama, Livia, Uni, Dea, dan Fira yang selalu memberikan semangat dan menjadi keluarga di rumah ini. 13. Teman-teman Agriminang Nezi, Jauhar, Anisa, Gebry, Diki, dan Ervan. Teman-teman Agribelle Risty, Anggarini, Steffi, Emil, Dian, dan Firas. Asma, Syifa, Vonika, dan teman-teman Agribisnis angkatan 45 lainnya atas kebersamaan dan perjuangannya yang telah kita lalui. 14. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas bantuannya. Segala ucapan terimakasih tentunya belum cukup, semoga Allah SWT senantiasa membalas kebaikan semua, Amin. Bogor, Desember 2012 Aklima Dhiska Suwanda x

11 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR GAMBAR... xiv DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian... 9 II. TINJAUAN PUSTAKA Kesediaan Membayar (Willingness to Pay) Faktor-Faktor Kesediaan Membayar III. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Konsep Willingness To Pay Pendekatan CVM Kerangka Pemikiran Operasional IV. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Metode Penentuan Sampel Desain Penelitian Data dan Instrumentasi Metode Pengumpulan Data Metode Pengolahan Data Uji Chi-Square Analisis Willingness to Pay Beras Analog Analisis Regresi Berganda V. GAMBARAN UMUM Beras Analog Bahan Baku dan Kandungan Gizi Teknologi Pembuatan Serambi Botani Visi dan Misi Serambi Botani Bauran Pemasaran Serambi Botani Segmenting, Targetting, and Positioning Karakteristik Responden Sebaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Sebaran Responden Berdasarkan Usia Sebaran Responden Berdasarkan Status Pernikahan xv xi

12 Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Sebaran Responden Berdasarkan Pekerjaan Sebaran Responden Berdasarkan Pendapatan VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Hubungan antara Karakteristik Responden dengan Kesediaan Membayar Beras Analog Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Kesediaan Membayar Hubungan antara Usia dengan Kesediaan Membayar Hubungan antara Status Pernikahan dengan Kesediaan Membayar Hubungan antara Jumlah Anggota Keluarga dengan Kesediaan Membayar Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Kesediaan Membayar Hubungan antara Pekerjaan dengan Kesediaan Membayar Hubungan antara Pendapatan dengan Kesediaan Membayar Analisis Willingness To Pay Beras Analog Pasar Hipotesis Nilai Lelang (Bids) Nilai Rataan WTP Kurva Lelang (Bid Curve) Agregat Data (Total WTP) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai WTP Responden terhadap Beras Analog VII. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xii

13 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Konsumsi Rata-rata per Kapita Setahun Beberapa Bahan Makanan Penting di Indonesia ( ) Tingkat Konsumsi Beras Beberapa Negara di Dunia (2010) Informasi Perbandingan Nilai Gizi Beras Analog dengan Beras Biasa Hasil Uji Chi-Square Karakteristik Responden dengan Kesediaan Membayar Hasil Analisis Regresi Berganda Nilai WTP Responden Beras Analog xiii

14 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Ide Pengembangan Alur Konsumsi Pangan Kurva Opportunity Cost, Consumers Surplus dan Producers Surplus Analisis Kesediaan Membayar Beras Analog Sebaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Sebaran Responden Berdasarkan Usia Sebaran Responden berdasarkan Status Pernikahan Sebaran Responden berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Sebaran Responden Berdasarkan Pekerjaan Sebaran Responden Berdasarkan Pendapatan Persentase Kesediaan Responden Membayar Beras Analog Dugaan Kurva WTP Responden Beras Analog xiv

15 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Hasil Uji Chi-Square Distribusi Nilai (Harga) WTP Beras Analog Hasil Analisis Regresi Berganda Hasil Uji Asumsi Proses Pembuatan Beras Analog Dokumentasi Kegiatan Penelitian xv

16 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Pangan merupakan kebutuhan mendasar karena berpengaruh terhadap kelangsungan hidup manusia. Kebutuhan akan pangan harus terpenuhi baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Menurut teori Maslow, pangan termasuk psychological needs dimana manusia tidak akan beranjak ke kebutuhan lebih tinggi selama kebutuhan fisiologisnya belum terpenuhi. Saat ini, konsumsi pangan pokok masyarakat Indonesia masih didominasi oleh beras. Bahkan berbagai macam suku, budaya, ras, dan agama di Indonesia saat ini telah mengubah pola konsumsi pokok mereka dengan beras. Beberapa daerah seperti Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara, Papua, dan Maluku yang dulunya mengonsumsi jagung atau sagu, saat ini telah mengganti pangannya dengan beras. Konsumsi rata-rata per kapita setahun beberapa bahan makanan penting masyarakat Indonesia dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Konsumsi Rata-rata per Kapita Setahun Beberapa Bahan Makanan Penting di Indonesia ( ) Jenis Makanan 2007 (kg) 2008 (kg) 2009 (kg) 2010 (kg) 2011 (kg) Beras 90,468 93,440 91,302 90,155 89,477 Beras ketan 0,261 0,261 0,209 0,209 0,261 Tepung beras 0,469 0,365 0,313 0,365 0,365 Tepung terigu 1,877 1,408 1,251 1,304 1,460 Jagung basah berkulit 2,399 1,251 0,626 0,939 0,626 Jagung pipilan 3,129 2,294 1,825 1,564 1,119 Ketela pohon 6,987 7,665 5,527 5,058 5,788 Ketela rambat 2,399 2,659 2,242 2,294 2,868 Gaplek 0,261 0,261 0,052 0,052 0,104 Kacang kedelai 0,104 0,052 0,052 0,052 0,052 Tahu 8,499 7,144 7,039 6,987 7,404 Tempe 7,978 7,248 7,039 6,935 7,300 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011 (diolah) Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa konsumsi rata-rata per kapita setahun pangan masyarakat Indonesia didominasi oleh beras dibandingkan dengan bahan pangan lainnya. Beras telah menjadi kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi setiap hari, bahkan di Indonesia berkembang budaya Belum makan kalau tidak makan

17 nasi (beras). Budaya ini yang akhirnya menjadikan Indonesia sebagai konsumen beras tertinggi di dunia (Tabel 2). Tabel 2. Tingkat Konsumsi Beras Beberapa Negara di Dunia (2010) Negara Konsumsi beras (kg/kapita) Indonesia 139 Malaysia 80 Brunei Darussalam 80 Thailand 70 Jepang 60 Rata-Rata Dunia 60 Sumber : Kementrian Pertanian, 2010 Tabel 2 membandingkan tingkat konsumsi beras Indonesia dengan beberapa negara pada tahun Dapat dilihat bahwa angka konsumsi beras Indonesia yaitu 139 kilogram per kapita jauh melampaui angka konsumsi beras rata-rata dunia yang hanya 60 kilogram per kapita. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia mengonsumsi beras lebih dari dua kali lipat rata-rata konsumsi dunia. Hingga saat ini diperkirakan konsumsi beras penduduk Indonesia sudah melebihi 140 kilogram per kapita per tahun. Jika konsumsi beras sebanyak 140 kilogram per kapita per tahun ini dikalikan dengan jumlah penduduk Indonesia sebesar 241 juta (BPS 2011), maka didapat angka kebutuhan beras nasional sebesar 33,74 juta ton per tahun. Ketergantungan masyarakat Indonesia yang sangat tinggi terhadap beras akan menjadi masalah jika ketersediaan beras sudah tidak dapat tercukupi. Saragih (2012) menyatakan bahwa jika masyarakat bisa mengurangi konsumsi beras hingga 30 persen, maka konsumsi beras nasional bisa berkurang menjadi 100 kg per kapita per tahun dan untuk jangka waktu 20 tahun mendatang, konsumsi beras dapat ditekan menjadi 60 kg per kapita per tahun 1. Dari segi produksi beras, Indonesia menduduki urutan ketiga setelah China dan India. Pada periode Januari-April 2011, realisasi produksi beras nasional adalah sebanyak ton dan mengalami peningkatan 3,1 persen di periode 1 Pengurangan Konsumsi Beras Per Kapita Dorong Swasembada [diakses tanggal 25 Juni 2012] 2

18 tahun berikutnya yaitu sebanyak ton. Namun ternyata tingkat produksi tersebut masih belum bisa mencukupi kebutuhan beras nasional (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian 2012). Produksi beras dalam negeri yang tidak bisa mengimbangi tingginya tingkat konsumsi beras di tengah masyarakat semakin menguatkan ketergantungan kita pada beras impor. Untuk mencukupi kebutuhan masyarakat akan beras, Indonesia mengimpor 17,6 persen beras dunia dan merupakan importir beras ketiga di dunia setelah Filipina dan Nigeria (IRRI 2011). Hingga Juli 2011, Indonesia telah mengimpor 1,57 juta ton atau senilai Rp 7,04 triliun 2. Hal tersebut bisa menjadi salah satu faktor yang akan mengganggu ketahanan pangan nasional. Undang-undang Pangan No. 7/1996 menjelaskan bahwa pengertian ketahanan pangan adalah terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2002 tentang ketahanan pangan disebutkan bahwa masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan seluas-luasnya dalam mewujudkan ketahanan pangan melalui pelaksanaan produksi, perdagangan dan distribusi; penyelenggaraan cadangan pangan masyarakat; serta pencegahan dan penanggulangan masalah pangan. Salah satu cara yang dilakukan pemerintah untuk mencukupi kebutuhan pangan nasional adalah memanfaatkan pasar gandum dunia sebagai alternatif cadangan pangan karena gandum juga salah satu sumber karbohidrat yang banyak diminati masyarakat. Masyarakat dibuat terbiasa dengan produk seperti mie instan, roti, sereal, dan lainnya. Indonesia tercatat sebagai negara pengimpor gandum terbesar kedua di dunia setelah Mesir. Berdasarkan laporan United State Department of Agriculture (USDA), pada Mei 2012, impor gandum Indonesia diprediksi mencapai 7,1 juta ton, dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya 6,7 juta ton 3. Peningkatan konsumsi gandum tersebut dapat dianggap 2 Mengurangi Konsumsi Beras [diakses tanggal 25 Juni 2012] 3 RI Pengimpor Gandum Terbesar Kedua di Dunia [diakses tanggal 25 Juni 2012] 3

19 sebagai ancaman karena gandum merupakan komoditas impor yang dapat menguras devisa dan hal tersebut sangat tidak dianjurkan dalam penyebaran pola diversifikasi pangan. Indonesia merupakan negara agraris dengan kekayaan alam yang sangat melimpah. Banyak ragam pangan lokal yang berpotensi sebagai sumber pangan alternatif dan perlu dikembangkan. Dahulunya, makanan pokok bangsa ini tidak hanya beras, namun juga singkong, jagung, tiwul, sagu, sorgum, dan sebagainya. Namun saat ini nasi seolah menjadi penanda status sosial dan merupakan pangan superior. Sebuah keluarga dikatakan cukup mapan jika bisa menyajikan nasi sebagai makanan pokok sehari-hari. Singkong, jagung, ataupun sagu yang samasama memiliki kandungan karbohidrat dianggap sebagai pangan inferior dan menjadi alternatif pangan saat kehabisan uang membeli beras. Oleh karena itu, diperlukan suatu pangan alternatif yang sehat, aman, memiliki sifat fisik dan fungsional menyerupai beras konvensional dan berbahan baku lokal, seperti beras analog. Beras analog atau artificial rice atau disebut juga designed rice dikembangkan oleh F-Technopark Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor sebagai pangan alternatif yang sesuai untuk menggantikan beras. Beras analog ini terbuat dari campuran tepung bahan baku lokal dan sengaja didesain menyerupai bentuk beras sehingga tidak mengubah kebiasaan masyarakat Indonesia yang mengonsumsi beras konvensional. Dengan mengembangkan kearifan pangan lokal, beras analog dibuat se-convenience mungkin sehingga memiliki tangible benefit dan intangible benefit. Dari segi kadungan gizi, selain sama-sama merupakan sumber karbohidrat, beras analog ini terbukti lebih sehat karena memiliki Indeks Glikemik yang lebih rendah dibandingkan beras konvensional. Serambi Botani adalah gerai milik Institut Pertanian Bogor yang salah satunya berlokasi di mall Botani Square dan memiliki konsep sebagai gerai produk IPB yang memenuhi standard healthy life style. Serambi Botani merupakan tempat berbagai hasil penelitian maupun inovasi civitas akademika IPB dipasarkan dan dipromosikan serta dikomersialisasikan pada masyarakat umum sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh semua pihak. Semua produk yang dipasarkan di Serambi Botani menggunakan produk-produk IPB sebagai 4

20 bahan baku utama, seperti beras analog yang diproduksi F-Technopark Fateta IPB. Adanya kecenderungan bahwa pengunjung Serambi Botani merupakan konsumen yang sadar akan kesehatan dan lingkungan, menjadikan peluang besar bagi pengunjung Serambi Botani untuk mengonsumsi beras analog Perumusan Masalah Diversifikasi pangan merupakan basis terciptanya ketahanan pangan Indonesia. Pentingnya diversifikasi pangan telah dicanangkan pemerintah sejak akhir tahun 1960-an, namun dinilai belum berjalan secara efisien karena pola konsumsi masyarakat Indonesia yang semakin meningkat terhadap beras. Berdasarkan Badan Ketahanan Pangan (2012), pola konsumsi pangan pokok di Indonesia pada tahun 1954 masih beragam yaitu beras (54%), ubi kayu (22%), jagung (19%), lain-lain (5%). Lalu pada tahun 1987, beras (80%), ubi kayu (10%), dan jagung (7%), lain-lain (3%). Pada tahun 1999, konsumsi beras terus meningkat sedangkan pangan lain semakin menurun, beras (86%), ubi kayu (5%), jagung (2%), lain-lain (7%). Selanjutnya pada tahun 2010 pangsa pangan selain beras dan terigu dalam pola konsumsi pangan pokok nyaris hilang. Tidak mudah untuk menggantikan nasi dengan jenis pangan lainnya. Masyarakat sudah terbiasa mengonsumsi beras dan pangan lain seperti umbiumbian, jagung dan sagu hanya dikonsumsi sebagai makanan selingan bahkan dianggap sebagai pangan inferior yang dikonsumsi saat kehabisan uang membeli beras. Selain itu, belum ada produk yang dinilai bisa menggantikan beras baik dari segi fisik maupun fungsionalnya. Masyarakat terbiasa dengan pangan beras ini karena memiliki kelebihan diantara pangan lainnya, yaitu mudah dimasak. Saat ini masyarakat semakin dimanjakan dengan ditawarkannya alat menanak nasi modern dan praktis, seperti rice cooker dan magic com. Selain itu memasak nasi tidak harus menyertakan bahan makanan lain dan rasanya netral sehingga cocok untuk dipadupadankan dengan semua jenis lauk pauk dan tidak membosankan. Dari segi kandungan gizi, beras memang terbukti memiliki kadar karbohidrat yang lebih tinggi dibanding pangan lainnya. Harga beras yang murah karena disubsidi menyebabkan beras dapat dijangkau oleh semua kalangan masyarakat dan dapat dijumpai dimana dan kapan saja. 5

21 Oleh karena itu, dibutuhkan partisipasi pemerintah dan pihak terkait untuk merealisasikan gerakan diversifikasi pangan ini. Empat Sukses Pertanian, yang salah satunya adalah Peningkatan Diversifikasi Pangan menjadi salah satu kontrak kerja antara Menteri Pertanian dengan Presiden selama tahun , dengan tujuan untuk meningkatkan keanekaragaman pangan sesuai dengan karakteristik daerah. Kontrak kerja ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan Presiden (Perpres) No. 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) Berbasis Sumber Daya Lokal, yang ditindaklanjuti oleh Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 43 Tahun P2KP menjadi acuan yang dapat mendorong percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal melalui kerjasama sinergis antara pemerintah dan pemerintah daerah. Pada tingkat provinsi, kebijakan tersebut ditindaklanjuti dengan Peraturan Gubernur dan di kabupaten/kota ditindaklanjuti dengan Peraturan Bupati/Walikota seperti yang dilakukan Pemerintah Kota Bogor, dan Depok yang saat ini menerapkan One Day No Rice kepada pegawainya. Beras analog dikembangkan oleh F-Technopark IPB sebagai pangan alternatif yang sesuai untuk menggantikan beras. Pembuatan beras analog dengan bahan baku lokal selaras dengan program Departemen Pertanian untuk tahun 2015 (Gambar 1). Nasi Consumer Nasi Beras Campur Kudapan (Snack) Mie, Roti, Pasta Processing Beras Beras Non-Padi Tepung Tepung Terigu On farm Padi 70 % Ubi, Biji-Biji Lokal Gandum Impor 15 % 15 % Gambar 1. Ide Pengembangan Alur Konsumsi Pangan Sumber : Kementerian Pertanian (2010) Berdasarkan Gambar 1. dapat dilihat bawa hingga tahun 2015 mendatang, nasi akan tetap menjadi ikon utama makanan pokok penduduk Indonesia, 6

22 sehingga bentuk beras merupakan bentuk terbaik dalam upaya diversifikasi pangan dibandingkan dengan bentuk lainnya seperti mie dan roti. Beras analog merupakan solusi tepat untuk menyukseskan program diversifikasi pangan dan mengembangkan kearifan pangan lokal. Pemanfaatan bahan pangan lokal juga merupakan upaya penting dalam meningkatkan ketahanan pangan Indonesia. Beras analog sebenarnya bukan hal baru dalam dunia pangan, beberapa negara pengonsumsi beras seperti Thailand, China, dan Filipina sudah mengonsumsi beras analog berbahan dasar menir. Pada tahun 2012, beras analog dikenal di Indonesia setelah F-Technopark IPB menghasilkan beras tiruan yang terbuat dari sumber karbohidrat non-beras seperti ubi, jagung, dan sorgum. Sebagai produk baru dan sebagai alternatif pangan pengganti beras, beras analog memiliki keunggulan sehingga diharapkan bisa diterima masyarakat. Oleh karena itu, beras analog ini sengaja didesain menyerupai bentuk beras sehingga tidak mengubah food habit masyarakat Indonesia yang mengonsumsi beras konvensional (biasa). Cara memasak dan penyajiannya pun sama dengan beras konvensional, bahkan lebih praktis karena tidak perlu dicuci terlebih dahulu. Dengan mengembangkan kearifan pangan lokal, beras analog dibuat seconvinience mungkin sehingga memiliki intangible benefit (manfaat tak berwujud) dan tidak mengubah sifat fungsional dan fisik beras. Beras analog yang diproduksi oleh F-Technopark IPB akan dipasarkan di Serambi Botani dan diperkenalkan kepada masyarakat pada November Sebagai produk baru yang belum dikenal masyarakat luas, Serambi Botani belum mengetahui apakah masyarakat bersedia membayar beras analog dengan harga yang akan ditetapkan. Berdasarkan wawancara dengan pihak Serambi Botani, beras analog akan ditawarkan dengan harga Rp ,00 per 800 gram. Harga tersebut relatif mahal jika dibandingkan dengan beras konvensional yang hanya berkisar antara Rp 7000,00 hingga Rp ,00 per kilogram. Harga beras analog yang relatif mahal ini dikarenakan produksi beras analog masih dilakukan dalam skala kecil sehingga biaya produksi menjadi mahal yaitu berkisar antara Rp 9000,00 hingga Rp ,00 per kilogram. Oleh karena itu, pihak Serambi Botani perlu melakukan survei mengenai kesedian membayar beras analog 7

23 sehingga dapat menerapkan strategi pemasaran yang tepat, terutama dari aspek penentuan harga. Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan masalah penelitian ini, adalah: 1. Bagaimana hubungan antara karakteristik responden dengan kesediaan membayar (Willingness to Pay) beras analog di Serambi Botani? 2. Berapa nilai kesediaan membayar (Willingness To Pay) beras analog di Serambi Botani? 3. Faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat kesediaan membayar (Willingness To Pay) beras analog di Serambi Botani? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis hubungan antara karakteristik responden dengan kesediaan membayar (Willingness to Pay) beras analog di Serambi Botani 2. Mengestimasi nilai kesediaan membayar (Willingness To Pay) beras analog di Serambi Botani. 3. Menganalisis faktor apa saja yang mempengaruhi nilai kesediaan membayar (Willingness To Pay) beras analog di Serambi Botani Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, diantaranya: 1. Serambi Botani dan pihak lain yang juga menyediakan beras analog, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan informasi bagi pihak perusahaan mengenai kesediaan masyarakat membayar beras analog dan menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan harga beras analog. 2. Masyarakat luas, penelitian ini diharapkan dapat menimbulkan kesadaran akan pentingnya diversivikasi pangan dan menjadikan pertimbangan untuk mengonsumsi beras analog sebagai alternatif pangan yang sehat. 3. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat memberi gagasan untuk memajukan program diversifikasi pangan melalui beras analog dengan memanfaatkan bahan pangan lokal dan mencapai ketahanan pangan nasional. 8

24 4. Pembaca, pihak institusi pendidikan, dan pihak lain yang berkepentingan, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya. 5. Penulis, penelitian ini berguna untuk menambah pengetahuan dan sebagai media untuk menerapkan ilmu yang telah diperoleh selama menempuh pendidikan Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dibatasi hanya untuk menganalisis hubungan antara karakteristik responden dengan kesediaan membayar (Willingness to Pay) beras analog di Serambi Botani, mengestimasi nilai kesediaan membayar (Willingness To Pay) beras analog di Serambi Botani serta menganalisis faktor apa saja yang mempengaruhi nilai kesediaan membayar (Willingness To Pay) beras analog tersebut. Fokus penelitian ini meneliti beras analog yang akan dipasarkan di Serambi Botani, Botani Square, Bogor dan penelitian ini hanya ditujukan kepada penguunjung Serambi Botani tersebut. 9

25 II. TINJAUAN PUSTAKA Kajian mengenai kesediaan membayar beras analog belum pernah dilakukan sebelumnya. Namun ada beberapa kajian yang terkait dengan topik Willingness to Pay khususnya dalam menilai manfaat dari sumberdaya lingkungan atau sumberdaya ekonomi lainnya yang memiliki intangible benefit Kesediaan Membayar (Willingness to Pay) Perhitungan WTP biasanya dikaitkan dengan peningkatan kualitas dan degradasi lingkungan yaitu dengan menghitung biaya yang bersedia dikeluarkan oleh individu untuk mengurangi dampak negatif pada lingkungan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Husodo et al (2009), sebanyak 40% responden bersedia membayar produk organik di Kodya Yogyakarta dengan harga premium. Hal ini menunjukkan bahwa belum semua responden memiliki penilaian yang sama terhadap produk organik, bahkan sebanyak 60 persen responden menolak untuk membayar. Keengganan membayar ini disebabkan karena belum adanva kesadaran akan manfaat produk organik. Selain itu, keraguan akan jaminan mutu produk organik seringkali juga menjadi faktor penyebab konsumen belum sanggup membayar produk organik dengan harga premium. Berbeda halnya dengan penelitian Daulay (2012) mengenai kesediaan konsumen untuk membayar mie instan sayur di Serambi Botani. Walaupun harga yang dipasarkan mie instan sayur sudah mahal yaitu Rp 8.000,00, namun sebanyak 48 persen responden masih bersedia membayar dengan harga tersebut, bahkan 36 persen responden bersedia membayar di atasnya. Sebagian besar responden mengaku bersedia membayar mie instan sayur karena memiliki manfaat yang tidak dapat dibandingkan dengan uang yaitu manfaat kesehatan, sehingga responden beranggapan bahwa harga mie instan sayur sepadan dengan manfaat yang diberikan. Radam et al. (2010) mengkaji kesediaan konsumen Malaysia membayar produk makanan yang berlabel Tanpa Tambahan MSG. Dari 200 responden, sebanyak 159 responden bersedia membayar produk berlabel Tanpa Tambahan MSG karena sebagian besar responden memiliki persepsi bahwa produk makanan yang berlabel tanpa MSG tidak membahayakan kesehatan dan memiliki

26 nutrisi yang lebih. Sisanya sebanyak 41 orang menyatakan tidak bersedia dan menyatakan produk tanpa MSG rasanya tidak enak. Ameriana (2006) mengkaji kesediaan konsumen membayar premium untuk tomat aman residu pestisida di Lembang, Bandung. Dari 162 responden yang diwawancara, 59,26% responden menyatakan bersedia untuk membayar premium bagi tomat aman residu pestisida. Dalam artian, seandainya harga tomat tanpa label Rp 2.000,00 per kilogram, mereka bersedia membayar lebih dari Rp 2.000,00 untuk tomat berlabel aman residu pestisida. Sedangkan sisanya sebanyak 40,74% menyatakan tidak bersedia membayar premium. Sedangkan hasil penelitian Bernard dan Mitra (2007) yang mengkaji kesediaan membayar produk eco-labelling di Amerika menunjukkan bahwa hanya 13% responden bersedia membayar 10% di atas harga premium, sedangkan sekitar 27% responden tidak bersedia membayar harga yang lebih tinggi untuk produk yang lebih ramah lingkungan. Hal ini dikarenakan belum adanya pemahaman yang baik dari konsumen mengenai perhatian terhadap lingkungan dan penggunaan produk ramah lingkungan. Dalam mengestimasi WTP konsumen untuk membayar beras berlabel rendah kalori di Tokyo, Iwamoto (2012) menggunakan metode Percobaan Pilihan (Choice Experiment) untuk mengevaluasi nilai setiap atribut secara individu. Metode ini selanjutnya digunakan sebagai metode analisis dalam pertimbangan beberapa atribut beras seperti atribut rendah kalori, atribut produksi asal lokal dan padi kultivar, harga, dan lain-lain. Iwamoto (2012) juga menyatakan bahwa Choice Experiment dan CVM merupakan metode analisis yang paling cocok untuk digunakan pada pengukuran nilai ekonomi dari non-market goods. Hal ini berbeda dengan yang dilakukan Daulay (2012). Untuk mengestimasi nilai WTP mie instan sayur, Daulay (2012) menggunakan pendekatan CVM (Contingent Valuation Method). Adapun tahap-tahap yang dilakukan oleh Daulay (2012), yaitu mendapatkan penawaran besarnya nilai WTP dan memperkirakan nilai-rata-rata WTP. Tahap CVM tersebut berbeda dengan yang dilakukan oleh Radam et al. (2010) yang membuat pasar hipotesis terlebih dahulu dimana Radam et al. (2010) menanyakan apakah responden bersedia 11

27 membayar jika harga produk berlabel tanpa tambahan MSG lebih tinggi RM 0,1-0,5 dibandingkan produk yang memiliki MSG. Pasar hipotesis merupakan tahapan penting sebelum mendapatkan nilai WTP, karena dari hipotesis ini seseorang dibuat memiliki preferensi yang nantinya akan dituangkan ke dalam bentuk uang (nilai WTP), berapa nilai maksimum yang bisa responden bayarkan berdasarkan hipotesis dan preferensi yang dimiliki. Untuk mendapatkan nilai lelang, Radam et al. (2010) menggunakan metode pilihan dikotomi dimana responden diberi pilihan bersedia atau tidak bersedia dengan tawaran yang diberikan. Hal ini serupa dengan metode yang digunakan Husodo et al. (2009) yang juga menggunakan teknik pilihan dikotomi. Sedangkan Daulay menggunakan metode open-ended question dalam mendapatkan nilai lelang dimana responden diberikan kebebasan dalam menyatakan nilai moneter (rupiah yang ingin dibayar) untuk mie instan sayur. Begitu juga dengan Ameriana (2006) menggunakan metode open-ended question dalam mendapatkan nilai WTP tomat yang berlabel aman residu. Dalam mendapatkan nilai lelang, tidak ada teknik yang superior dibandingkan dengan teknik lainnya, tergantung kepada masalah yang diteliti, serta ketersediaan sumberdaya penelitian. Setelah itu nilai lelang seluruh responden tersebut dihitung rataannya. Berdasarkan hasil yang diperoleh Daulay (2012), rataan nilai WTP responden untuk mie instan sayur adalah sebesar Rp 7.990,00. Nilai tersebut tidak jauh berbeda dengan harga mie instan sayur yang dipasarkan yaitu Rp 8.000,00. Sedangkan Radam et al.(2010) memperoleh rataan nilai WTP sebesar RM 0.43 untuk produk berlabel Tanpa Tambahan MSG yang mengindikasikan bahwa responden bersedia membayar dengan harga premium sebesar RM Ameriana (2006) mendapatkan harga yang sangggup dibayar konsumen untuk tomat aman residu pestisida adalah berkisar antara Rp Rp per kilogram atau sekitar 12,50% sampai 200% lebih mahal dari harga tomat tanpa label. Tetapi dari sebarannya, harga premium yang paling banyak disanggupi oleh responden berkisar antara Rp Rp per kilogram (81,24%). Untuk tahap selanjutnya perlu dibuat kurva lelang sehingga bisa menggambarkan kesediaan konsumen yang ingin membayar terhadap suatu produk, dan rataan WTP tersebut 12

28 harus diagregatkan dengan mengonversi data rataan sampel ke rataan populasi secara keseluruhan Faktor-Faktor Kesediaan Membayar Untuk menganalisis faktor yang mempengaruhi kesediaan konsumen dalam membayar mie instan sayur, Daulay (2012) menggunakan enam variabel berdasarkan karakteristik demografi, yaitu jenis kelamin, usia, status pernikahan, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan. Hasil regresi menyatakan bahwa variabel jenis kelamin perempuan, tingkat pendidikan, pekerjaan dan pendapatan memiliki pengaruh positif terhadap kesediaan membayar mie instan sayur, sedangkan variabel usia dan status pernikahan memiliki pengaruh negatif. Dari variabel-variabel tersebut, yang berpengaruh signifikan terhadap kesediaan konsumen untuk membayar mie instan sayur pada taraf nyata (α) 5 persen yaitu variabel jenis kelamin dan pendapatan. Kecenderungan perempuan untuk membayar mie instan sayur lebih tinggi dibandingkan laki-laki, hal ini dikarenakan perempuan cenderung lebih konsumtif dan umumnya perempuan merupakan pengambil keputusan dalam konsumsi rumah tangga. Variabel pendapatan juga berpengaruh positif dan signifikan terhadap besarnya kesediaan untuk membayar mie instan sayur. Responden dengan pendapatan yang lebih tinggi dibanding responden lainnya akan lebih bersedia membayar mie instan sayur. Selanjutnya untuk menganalisis faktor yang mempengaruhi nilai WTP responden terhadap mie instan sayur, Daulay (2012) menggunakan analisis faktor. Dari hasil yang didapatkan, ada tiga faktor yang mempengaruhi kesediaan konsumen membayar mie instan sayur, yaitu (1) faktor mayoritas Intangible Benefit terdiri dari variabel keamanan konsumsi, kandungan gizi, kepercayaan dan bahan baku. (2) faktor pendukung terdiri dari variabel praktis dan label. (3) faktor Tangible Benefit terdiri dari variabel rasa dan kemasan. Husodo et al. (2009) menggunakan regresi logistik binomial untuk menganalisis faktor yang mempengaruhi WTP produk organik. Adapun variabel respon yang digunakan adalah WTP (sanggup membayar lebih atau tidak). Sedangkan variabel penjelas yang digunakan yaitu keamanan produk, pembelian produk organik, manfaat teknologi pertanian organik bagi lingkungan, perbedaan 13

29 produk organik dengan non-organik, kepercayaan bahwa potensi penurunan pestisida merupakan kelebihan teknologi organik, harga, rasa, pelabelan, usia, jenis kelamin, status pernikahan, pendidikan, dan pendapatan. Variabel-variabel tersebut menunjukkan pengaruh positif, kecuali variabel status pernikahan. Dari variabel-variabel tersebut hampir semuanya berpengaruh signifikan selain variabel pembelian. Koefisien positif dari variabel pendapatan menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan reponden akan meningkatkan probabilitas responden untuk sanggup membayar WTP. Hasil ini memperkuat kecenderungan saat ini dimana perkembangan pertanian organik khususnya di Indonesia salah satunya didorong oleh munculnya kesadaran konsumen akan pentingnya produk-produk sehat dan ramah lingkungan, khususnya di kalangan konsumen berpendapatan menengah ke atas. Variabel yang berpengaruh signifikan positif lainnya menunjukkan bahwa responden yang berpandangan bahwa produk non organik tidak aman, pentingnya menjaga kelestarian lingkungan, terdapat perbedaan prinsip antara produk organik dan non organik lebih cenderung sanggup membayar WTP. Hasil ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi persepsi responden terhadap keamanan pangan, maka semakin besar pula kesanggupan mereka membayar harga premium produk organik. Kepedulian terhadap kelestarian lingkungan juga menjadi faktor yang menentukan penilaian seseorang terhadap produk organik. Demikian pula responden yang beranggapan bahwa antara produk non organik dan organik terdapat perbedaan nyata cenderung lebih besar penilaian mereka terhadap produk organik. Atribut harga juga berpengaruh nyata terhadap WTP. Kepedulian responden terhadap harga cenderung menyebabkan responden sanggup membayar harga premium untuk produk organik. Opini tentang pentingnya pelabelan pada produk organik juga memberikan pengaruh signifikan terhadap WTP dimana responden yang berpandangan bahwa pelabelan adalah sesuatu yang penting akan semakin besar pula penilaian mereka terhadap produk organik yang ditandai dengan kesanggupan mereka membayar harga premium. Husodo et al. (2009) selanjutnya menyatakan bahwa karakteristik demografi yaitu jenis kelamin, status perkawinan, umur dan pendidikan juga 14

30 memberikan pengaruh nyata. Kecuali status perkawinan, semua variabel demografi memberikan pengaruh positif. Variabel yang berpengaruh negatif terhadap WTP adalah status perkawinan, artinya responden yang belum menikah memiliki kemungkinan kesanggupan membayar WTP lebih tinggi dibanding responden yang sudah menikah. Untuk variabel demografi lain, ternyata responden pria, yang berumur relatif lebih muda dan berpendidikan lebih tinggi cenderung sanggup membayar harga premium. Begitu juga dengan Radam et al. (2010) menggunakan analisis regresi logit untuk menganalisis faktor yang mempengaruhi WTP responden terhadap produk berlabel Tanpa Tambahan MSG. Variabel dependent yang digunakan berupa variabel kategorik yaitu bersedia membayar harga tambahan untuk produk berlabel tanpa tambahan MSG atau tidak bersedia. Sedangkan variabel independent yang digunakan yaitu harga, jumlah anggota keluarga, ada atau tidak adanya anak berumur di bawah 12 tahun, pendapatan, tingkat pendidikan, dan jenis kelamin. Dari variabel-variabel tersebut didapatkan hasil yang berpengaruh signifikan adalah pendapatan, adanya anak berumur 12 tahun, harga, dan jenis kelamin perempuan. Hasil regresi mengindikasikan adanya hubungan positif dan signifikan antara pendapatan dan WTP. Konsumen dengan pendapatan lebih tinggi lebih mampu membayar produk berlabel Tanpa Tambahan MSG dan memiliki utilitas marginal yang lebih rendah. Analisis regresi juga menunjukkan hubungan positif antara rumah tangga dengan anak-anak (anggota keluarga di bawah usia 12 tahun) dan WTP. Responden tersebut cenderung kurang peduli dengan harga ketika membuat keputusan. Orang tua memiliki tanggung jawab dan kepentingan intrinsik dalam menyediakan makanan yang aman dan sehat bagi anak-anak mereka. Variabel harga berkorelasi negatif dengan WTP. Itu berarti, semakin tinggi harga produk pangan, kesediaan responden cenderung akan menurun dalam membayar produk tersebut. Selain itu, analisis regresi menunjukkan hubungan yang negatif dan signifikan antara ukuran rumah tangga dan WTP. Responden dengan ukuran rumah tangga dari 4 atau lebih orang cenderung sangat sensitif terhadap harga. Selanjutnya, responden perempuan memiliki hubungan yang positif dengan WTP 15

31 dan umumnya bersedia untuk membayar lebih untuk produk makanan tanpa MSG. Hal ini karena perempuan lebih sadar kesehatan dibandingkan dengan lakilaki saat ini. Analisis regresi dalam studi juga menunjukkan hubungan positif antara pendidikan sampai tingkat universitas dan WTP. Responden yang telah menempuh pendidikan tingkat universitas cenderung bersedia membayar lebih untuk produk-produk yang mengurangi risiko kesehatan. Analisis regresi linier digunakan Bernard dan Mitra (2007) untuk menganalisis faktor yang mempengaruhi WTP terhadap produk eco-labelling. Variabel dependent yang digunakan adalah harga, sedangkan variabel independent adalah umur, pendidikan, jenis kelamin, kesehatan, gaya hidup, pendapatan, daur ulang, pemerintah, dan pihak ketiga. Bernard dan Mitra (2007) menyatakan bahwa variabel demografi tidak memainkan peranan penting dalam mempengaruhi responden menentukan WTP, kecuali pendapatan. Hal tersebut dikarenakan variabel demografi tidak dapat mengindikasikan berapa banyak orang peduli lingkungan atau tidak. Pembelian cenderung diarahkan pada individu berpenghasilan tinggi karena produk eco-labelling biasanya lebih mahal daripada produk non eco-labelling. Variabel yang paling signifikan dalam model ini adalah verifikasi pihak ketiga. Lalu diikuti oleh variabel sehat (orang merasa produk eco-labelling lebih baik bagi mereka). Responden yakin bahwa produk eco-labeling ini masuk akal jika harganya lebih tinggi dengan harapan produk ini lebih sehat dan aman daripada produk lainnya. Selanjutnya gaya hidup juga signifikan mempengaruhi WTP. Sebagian responden ini setuju dengan pernyataan Saya bersedia mengubah gaya hidup saya saat ini jika membantu untuk menyelamatkan lingkungan. Meskipun pendidikan dianggap memainkan peran dalam menentukan kesediaan membayar, namun variabel tersebut tidak ditemukan signifikan. Responden yang memiliki pengetahuan lebih tentang eco-labellling tidak berarti benar-benar peduli tentang keramahan lingkungan dari suatu produk. Ameriana (2006) menganalisis faktor yang mempengaruhi kesediaan konsumen membayar premium untuk tomat aman residu pestisida. Adapun variabel yang digunakan adalah karakteristik responden yang terdiri dari umur, pendidikan, pekerjaan, jumlah anggota keluarga, pendapatan keluarga, kepedulian 16

32 konsumen, dan keyakinan konsumen. Dari hasil analisis logit yang digunakan, variabel umur memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kesediaan membayar premium, semakin muda umur responden, semakin mendorong kesediaan konsumen untuk membayar premium. Selanjutnya Ameriana (2006) juga menyatakan bahwa pengaruh variabel umur terhadap kesediaan membayar, sifatnya sangat spesifik. Artinya, variabel tersebut belum tentu berpengaruh terhadap kesediaan membayar premium, tergantung dari produk dan kasus yang menjadi objek penelitian. Jika berpengaruh pun arahnya bisa negatif atau positif, sehingga agak sulit untuk menjelaskannya. Variabel pendidikan tidak mempengaruhi konsumen dalam membayar premium untuk tomat aman residu, karena data pendidikan yang dianalisis oleh Ameriana (2006) hanya mencakup pendidikan formal, tanpa melibatkan pendidikan yang bersifat nonformal. Selanjutnya, variabel pekerjaan juga tidak mempengaruhi kesediaan membayar konsumen, karena peluang pasar bagi tomat berlabel aman residu pestisida tidak terbatas segmen konsumen yang bekerja saja, tetapi juga bagi konsumen yang tidak bekerja. Variabel jumlah anggota keluarga berpengaruh signifikan dalam kesediaan membayar premium. Jumlah keluarga biasanya berkaitan dengan pengeluaran keluarga, semakin besar jumlah anggota keluarga maka pengeluaran rumah tangga pun akan semakin besar. Hal ini menyebabkan keluarga dengan jumlah anggota yang lebih besar kurang leluasa dalam mengalokasikan anggaran rumah tangganya, sehingga keluarga tersebut memprioritaskan pengeluarannya bagi halhal yang dianggap lebih penting. Pendapatan keluarga diukur melalui indikator pengeluaran keluarga dan berpengaruh nyata terhadap kesediaan membayar premium tomat aman residu pestisida. Untuk memamksimumkan utilitasnya, konsumen akan memilih atribut berupa kandungan residu pestisida. Untuk membeli tomat yang aman dari residu pestisida, konsumen harus mengeluarkan biaya tambahan karena produk tersebut dijual dengan harga yang lebih mahal. Di pihak lain, konsumen memiliki keterbatasan berupa pendapatan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa alokasi untuk biaya tambahan yang harus dikeluarkan konsumen dapat dipenuhi oleh segmen konsumen dengan tingkat pendapatan tertentu. 17

33 Variabel kepedulian konsumen terhadap residu pestisida secara positif mempengaruhi kesediaan konsumen untuk membayar premium untuk tomat aman residu. Dengan demikian, sikap kepedulian konsumen dapat dijadikan indikator untuk memprediksi peluang diterimanya produk di pasaran. Variabel keyakinan konsumen secara signifikan juga mempengaruhi kesediaan membayar. keyakinan konsumen membayar tomat aman residu pestisida. Konsumen yang telah mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang cukup mengenai residu pestisida, informasi melalui pelabelan dapat membentuk/menambah keyakinan konsumen. Sementara itu, bagi konsumen yang pengetahuan dan pengalamannya masih kurang, pelabelan pada tomat aman residu pestisida dapat menimbulkan keingintahuan konsumen mengenai produk tersebut. Keingintahuan tersebut dapat berubah menjadi keinginan untuk membeli, seandainya diimbangi dengan pemberian informasi tambahan. Berbeda dengan yang dilakukan oleh Iwamoto (2012) yang menggunakan random Parameters Logit Model (RPL) dalam mengevaluasi atribut beras berlabel rendah kalori yang mempengaruhi WTP responden. Adapun atribut yang digunakan adalah asal lokal dan padi kultivar, rendah kalori, dan harga. Atribut asal lokal dan padi kultivar berpengaruh signifikan pada tingkat 1 persen dan memiliki hubungan positif. Atribut harga signifikan pada tingkat 1 persen dan memiliki hubungan negatif. sedangkan atribut rendah kalori signifikan pada tingkat 10 persen dan memiliki hubungan negatif. Pada tahap akhir, dilakukan analisis faktor-faktor yang meningkatkan utilitas dari beras rendah kalori. Atribut karakteristik konsumen sebagai kebiasaan makan tidak teratur, pengguna suplemen gizi, pasien penderita penyakit orang dewasa, kesadaran kelebihan berat badan ditambahkan. Atribut-atribut tersebut signifikan secara statistik berhubungan dengan atribut rendah kalori. Responden yang makan tidak teratur, mengonsumsi suplemen, menderita penyakit dengan orang dewasa, khawatir tentang kelebihan berat badan mereka memiliki persepsi yang positif untuk beras rendah kalori. 18

34 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Penelitian ini mengambil kerangka pemikiran teoritis dari berbagai penelusuran teori-teori yang relevan dengan permasalahan penelitian. Adapun kerangka pemikiran teoritis yang digunakan, dijelaskan di bawah ini Konsep Willingness To Pay Seluruh barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam dan lingkungan dapat dinilai secara moneter (berupa uang). Metode ekonomi dapat digunakan untuk menilai perubahan kualitas atau ketersediaan sumber daya alam, baik yang biasa diperjualbelikan sebagai produk barang atau jasa di pasar maupun tidak. Pakar ekonomi secara langsung mengamati informasi dari transaksi yang terjadi di pasar untuk mengevaluasi surplus konsumen dan surplus produsen sebagai pendekatan mengukur kepuasan masyarakat terhadap barang atau jasa tersebut. Surplus konsumen adalah kelebihan dari apa yang ingin dibayar konsumen melebihi harga yang berlaku di pasar, sedangkan surplus produsen adalah kelebihan yang ingin didapat produsen dari harga pasar sehingga melebihi biaya produksi. E P 1 consumers surplus produsens surplus marginal cost function willingness to pay function opportunity cost 0 Q 1 Gambar 2. Kurva Opportunity Cost, Consumers Surplus dan Producers Surplus Sumber : Kahn (1998) Dalam menilai sisi ekonomi dari perubahan lingkungan yang terjadi, maka unsur-unsur yang terkait dalam proses perubahan serta nilai perubahan itu harus

35 diperhitungkan. Jika penyediaan barang lingkungan meningkat, maka surplus konsumen akan meningkat karena penggunaan barang tersebut, baik penggunaan langsung maupun tidak langsung. Nilai atau benefit lingkungan bisa berasal dari pihak yang memanfaatkan langsung, atau nilai yang diperoleh bagi yang belum atau tidak memakainya. Perubahan-perubahan lingkungan baik yang menguntungkan ataupun yang merugikan, diantaranya adalah kesehatan manusia, lingkungan hidup, aliran-aliran output yang bisa direproduksi, stok yang bisa direproduksi, stok yang tidak bisa direproduksi, dan pemandangan alam dan ekosistem. Berdasarkan analisa ekonomi lingkungan, penilaian keuntungan dari perubahan lingkungan merupakan hal yang kompleks karena nilai keuntungan tersebut tidak hanya nilai moneter (berupa uang) dari konsumen yang menikmati langsung (users) jasa perbaikan kualitas lingkungan tetapi juga nilai yang berasal dari konsumen potensial dan orang lain karena alasan tertentu (non-users). Beberapa sumber benefit yang bisa diperoleh bukan pengguna langsung jasa lingkungan adalah sebagai berikut (Yakin 1997): 1. Nilai pilihan (option value). Meskipun seseorang tidak mempunyai rencana untuk menggunakan barang atau jasa itu, mereka terkadang bersedia membayar sebagai pilihan untuk memanfaatkannya di masa datang. 2. Nilai eksistensi/keberadaan (existence value). Nilai atau harga yang diberikan oleh seseorang terhadap eksistensi barang tertentu, misalnya objek tertentu, spesies, atau alam dengan didasarkan pada etika atau norma tertentu. 3. Nilai masa depan (bequest value). Seseorang bisa jadi membayar ketersediaan barang-barang lingkungan tertentu, seperti objek, spesies, alam, untuk generasi yang akan datang. 4. Nilai kepentingan orang lain (altruistic value) Seseorang menilai lingkungan tidak hanya karena keuntungan yang dirasakannya terhadap kualitas lingkungan tersebut, namun karena dia menilai lingkungan sebagai peluang agar orang lain dapat menikmati kualitas lingkungan yang lebih baik. 20

36 Secara umum, Fauzi (2006) menyatakan bahwa nilai ekonomi didefinisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang yang bersedia mengorbankan barang dan jasanya untuk memperoleh barang dan jasa lainnya. Konsep ini kemudian disebut keinginan membayar (Willingness To Pay) seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumber daya alam dan lingkungan. Yakin (1997) mendefinisikan kesediaan konsumen untuk membayar (Willingness To Pay) sebagai jumlah uang yang ingin diberikan oleh seseorang untuk memperoleh suatu peningkatan kondisi lingkungan. Dalam praktik pengukuran nilai ekonomi, WTP lebih sering digunakan daripada WTA, karena WTA bukan pengukuran yang berdasarkan intensif sehingga kurang tepat untuk dijadikan studi yang berbasis perilaku manusia (Fauzi 2006). Garrod dan Willis (1999) serta Hanley dan Spash (1999) menyatakan bahwa meski besaran WTP dan WTA sama, namun selalu terjadi perbedaan pengukuran, dimana umumnya besaran WTA berada di kisaran 2 hingga 5 kali lebih besar dari besaran WTP. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: 1. Ketidaksempurnaan dalam rancangan kuesioner dan teknik wawancara 2. Pengukuran WTA terkait dengan dampak kepemilikan, dimana responden mungkin menolak untuk memberikan nilai terhadap sumber daya yang dia miliki. Dengan kata lain, responden bisa saja mengatakan bahwa sumberdaya yang ia miliki tidak bisa tergantikan, sehingga mengakibatkan tingginya harga jual. Fenomena ini sering juga disebut dengan menghindari kerugian, dimana seseorang cenderung memeberikan nilai yang lebih besar terhadap kerugian. 3. Responden mungkin bersikap cermat terhadap jawaban WTP dengan mempertimbangkan pendapatan dan preferensinya. Pengukuran WTP yang dapat diterima (reasonable) harus memenuhi syarat (Haab dan McConnel 2002, diacu dalam Fauzi 2006): 1. WTP tidak memiliki batas bawah yang negatif 2. Batas atas WTP tidak boleh melebihi pendapatan 3. Adanya konsistensi antara keacakan (randomness) pendugaan dan keacakan perhitungannya. 21

37 Fauzi (2006) menyatakan bahwa analisis Cost-Benefit sering tidak mampu menjawab permasalahan karena konsep ini tidak memasukkan manfaat ekologis dari sifat ekologi lingkungan. Secara umum, teknik yang digunakan untuk mengukur nilai ekonomi sumber daya digolongkan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah teknik evaluasi yang mengandalkan harga implisit yaitu nilai Willingness To Pay terungkap melalui model yang dikembangkan. Adapun teknik yang termasuk ke dalam kelompok pertama ini adalah travel cost, hedonic pricing, dan teknik yang relatif baru yang disebut random utility model. Kelompok kedua adalah teknik valuasi yang didasarkan pada survei dimana keinginan membayar atau nilai WTP diperoleh langsung dari ungkapan responden secara lisan maupun tertulis. Salah satu teknik yang cukup populer dalam kelompok ini adalah Contingent Valuation Method (CVM) Pendekatan CVM Yakin (1997) mendefinisikan pendekatan CVM adalah metode dengan teknik survei yang menanyakan secara langsung kepada individu atau rumahtangga tentang nilai atau harga yang mereka berikan terhadap barang atau jasa yang tidak memiliki pasar seperti barang lingkungan, jika pasarnya benarbenar tersedia atau jika terdapat cara-cara pembayaran lain seperti pajak yang diterapkan. Pendekatan CVM telah dipakai sejak lama untuk menghitung WTP yang berkaitan dengan faktor-faktor lingkungan seperti kualitas air, kualitas pantai rekreasi, dll. Akhir-akhir ini, pendekatan CVM telah berkembang mengkaji nonlingkungan seperti nilai program pengurangan risiko sakit jantung, nilai informasi harga di supermarket, dan nilai program perusahaan terdahulu. (Field 1994). Fauzi (2006) menyataka bahwa pendekatan CVM ini secara teknis dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan teknis eksperimental melalui simulasi dan permainan, dan dengan teknik survei. Pendekatan eksperimental lebih banyak dilakukan melalui simulasi komputer sehingga penggunaannya di lapangan sedikit, sedangkan pendekatan survei lebih menggali secara langsung perbaikan lingkungan. Pendekatan ini disebut contingent (tergantung) karena pada dasarnya informasi yang diperoleh sangat tergantung pada hipotesis yang dibuat. Selain itu, untuk mendapatkan penilaian yang objektif dalam penggunaan CVM, maka harus 22

38 diperhatikan beberapa faktor yang berpengaruh terhadap hasil akhir penelitian, yaitu penentuan populasi dan objek yang dinilai, desain daftar pertanyaan, metode bertanya, ketersediaan data penunjang, dan analisis data. Pendekatan CVM ini sering digunakan untuk mengukur nilai pasif (nilai non-pemanfaatan) sumber daya alam atau sering juga disebut dengan nilai keberadaan (existence value). Adapun kelebihan dari CVM (Hanley dan Spash 1999), yaitu: 1. Dapat diaplikasikan pada semua kondisi dan memiliki dua hal penting yaitu seringkali menjadi teknik untuk mengestimasi manfaat dan dapat diaplikasikan pada berbagai kebijakan lingkungan. 2. Dapat digunakan untuk berbagai macam barang lingkungan. 3. Memiliki kemampuan untuk mengestimasi nilai non-pengguna (tidak digunakan secara langsung) 4. Hasilnya tidak begitu sulit untuk dijabarkan CVM memiliki kelemahan yaitu terjadinya berbagai bias, seperti: 1. Bias strategi (strategic bias) Bias ini seringkali terjadi karena responden memberikan nilai WTP yang relatif kecil karena alasan bahwa responden lain akan membayar upaya peningkatan kualitas lingkungan dengan harga yang lebih tinggi. Alternatif untuk mengurangi bias strategi ini adalah melalui penjelasan bahwa semua orang akan membayar nilai tawaran rata-rata atau penekanan sifat hipotetis dari perlakuan. Hal ini akan mendorong responden untuk memberikan nilai WTP yang benar. Mitchell dan Carson (1989) diacu dalam Hanley dan Spash (1999) menyarankan langkah yang bisa dilakukan untuk mengurangi bias ini adalah dengan menghilangkan semua pencilan, menekankan kepada responden bahwa pembayaran oleh responden dapat dijamin, menyembunyikan nilai tawaran responden lain, dan membuat perubahan lingkungan bergantung pada nilai penawaran. Sedangkan Hoehn dan Randall (1987) diacu dalam Hanley dan Spash (1999) menyarankan bahwa bias strategi dapat dihilangkan dengan menggunakan format referendum terhadap nilai WTP yang terlalu tinggi. 2. Bias rancangan (design bias) 23

39 Rancangan studi CVM mencakup cara informasi yang disajikan, instruksi yang diberikan, format pertanyaan, dan jumlah serta tipe informasi yang disajikan kepada responden. Bias ini dapat dihidari dengan membuat rancangan sebaik mungkin dari pemilihan jenis tawaran, penentuan titik awal, dan memperhatikan sifat informasi yang akan ditawarkan. 3. Bias yang berhubungan dengan kejiwaan responden (mental account bias) Bias ini terkait dengan langkah proses pembuatan keputusan seorang individu dalam memutuskan seberapa besar pendapatan, kekayaan, dan waktunya yang dapat dihabiskan untuk benda lingkungan tertentu dalam periode waktu tertentu. 4. Kesalahan pasar hipotetik (hypothetical market bias) Kesalahan pasar hipotetik terjadi jika fakta yang ditanyakan kepada responden di dalam pasar hipotetik membuat tanggapan responden berbeda dengan konsep yang diinginkan peneliti sehingga nilai WTP yang dihasilkan menjadi berbeda dengan nilai yang sesungguhnya. Hal ini dikarenakan studi CVM tidak berhadapan dengan perdagangan aktual, melainkan suatu perdagangan atau pasar yang murni hipotetik yang didapatkan dari pertemuan antara kondisi psikologi dan sosiologi prilaku. Terjadinya bias pasar hipotetik bergantung pada bagaimana pertanyaan disampaikan ketika melaksanakan survei, seberapa realitistik responden merasakan pasar hipotetik akan terjadi, dan bagaimana format WTP yang digunakan. Solusi untuk menghilangkan bias ini salah satunya yaitu desain dari alat survei sedemikian rupa sehingga maksimisasi realitas dari situasi yang akan diuji dan melakukan pengulangan kembali untuk kekonsistenan dari responden. Prinsip yang mendasari pendekatan ini adalah bahwa orang memiliki preferensi yang benar tetapi tersembunyi terhadap seluruh jenis barang lingkungan, kemudian diasumsikan bahwa orang tersebut memahami benar pilihan yang ditawarkan dan mampu mentransformasikan preferensi tersebut ke dalam bentuk nilai moneter (uang). Orang tersebut diasumsikan akan bertindak seperti yang dia katakan kepada suatu hipotesis yang diajukan kepadanya akan menjadi kenyataan pada masa yang akan datang. Dengan dasar asumsi ini, CVM bertujuan untuk mengetahui: 24

40 1. Berapakah jumlah maksimum uang yang ingin dibayar oleh seseorang atau rumahtangga untuk memperoleh perbaikan kualitas lingkungan (Willingness To Pay). 2. Berapakah jumlah maksimum uang yang bersedia diterima oleh seseorang atau rumahtangga sebagai kompensasi atas diterimanya kerusakan lingkungan (Willingness To Accept). Karena pendekatan CVM didasarkan pada asumsi mendasar mengenai hak kepemilikan (Garrod dan Willis 1999), apabila seseorang yang ditanya tidak memiliki hak atas barang dan jasa yang dihasilkan sumber daya alam, pengukuran yang relevan adalah keinginan membayar maksimum (maximum willingness to pay) untuk memperoleh barang tersebut. Sebaliknya, apabila seseorang yang ditanya memiliki hak atas hasil sumber daya alam tersebut, pengukuran yang relevan adalah keinginan untuk menerima minimum (minimum willingness to accept) kompensasi yang paling minimum atas hilang atau rusaknya sumber daya alam yang dimiliki. Tahap operasional yang diterapkan dalam pendekatan CVM adalah sebagai berikut (Fauzi 2006): 1. Membuat Hipotesis Pasar Hipotesis pasar merupakan tahapan penting karena hasil informasi yang diperoleh nantinya akan sangat bergantung pada hipotesis pasar yang dibuat. Dari hipotesis ini sesorang dibuat memiliki preferensi yang nantinya akan dituangkan ke dalam bentuk uang, berapa maksimum yang bisa dibayarkan berdasar hipotesis dan preferensi yang dimiliki. Kuesioner ini biasanya terlebih dahulu diujikan pada kelompk kecil untuk mengetahui reaksi atas perbaikan kualitas lingkungan yang akan dilakukan. 2. Mendapatkan Nilai Lelang (Bids) Nilai lelang didapatkan melalui survei yang dilakukan secara langsung dengan kuesioner, wawancara melalui telepon, maupun lewat surat. Tujuan survei ini adalah untuk mendapatkan nilai maksimum yang bersedia dibayar responden terhadap barang atau jasa lingkungan tersebut. Nilai lelang ini bisa dilakukan dengan beberapa teknik, diantaranya: a. Permainan Lelang (Bidding Game). 25

41 Responden diberi pertanyaan secara berulang-ulang apakah dia ingin membayar sejumlah tertentu sebagai titik awal (starting point). Jika ya, maka besarnya nilai uang dinaikkan sampai tingkat yang disepakati. Jika tidak, sebaliknya, nilai uang diturunkan sampai tingkat yang disepakati. Pertanyaan dihentikan sampai nilai yang tetap diperoleh. Kekurangan metode ini adalah kemungkinan terjadinya bias dalam menentukan nilai tawaran pertama (starting point). b. Pertanyaan terbuka (Open-Ended Question). Responden diberikan kebebasan untuk menyatakan nilai moneter (rupiah yang ingin dibayar) untuk suatu perbaikan lingkungan. Kelebihan metode ini adalah responden tidak perlu diberikan petunjuk yang bisa mempengaruhi nilai yang diberikan terhadap perubahan lingkungan. Teknik ini juga bisa dilakukan dengan baik dengan wawancara langsung. Kekurangan teknik ini adalah kurang akurasinya nilai yang diberikan, kadang terlalu rendah dan kadang terlalu tinggi. Teknik ini tidak memberikan stimulun dan informasi yang cukup terhadap responden untuk mempertimbangkan pembayaran maksimum yang akan diberikan jika pasarnya benar-benar tersedia. c. Kartu Pembayaran (Payment Cards). Nilai lelang dengan teknik ini diperoleh dengan cara menanyakan apakah responden mau membayar pada kisaran nilai tertentu dari nilai yang sudah ditentukan sebelumnya. Nilai ini diajukan kepada responden melalui kartu. Untuk meningkatkan kualitas teknik ini, kadang-kadang diberikan semacam nilai patokan yang menggambarkan nilai yang dikeluarkan oleh orang dengan tingkat pendapatan tertentu bagi barang lingkungan yang lain. Kelebihan teknik ini adalah memberikan semacam stimulun untuk membantu responden berpikir lebih leluasa tentang nilai maksimum yang akan diberikan tanpa harus berpatokan dengan nilai tertentu seperti pada teknik permainan lelang. Kekurangannya adalah nilai yang diberikan respoden bisa dipengaruhi oleh besarnya nilai yang tertera di kartu yang disodorkan. d. Referendum atau pilihan dikotomi (dichotomous choice). 26

42 Responden diberikan suatu nilai rupiah, kemudian diberi pertanyaan setuju atau tidak untuk memperoleh perbaikan lingkungan tertentu. Teknik ini seperti tahap awal yang dilakukan dengan teknik permainan lelang. Kelebihan dari teknik ini adalah responden bisa jadi menganggap lebih mudah untuk menentukan apakah nilai yang ingin dibayarkan diatas atau dibawah jumlah yang ditawarkan daripada memberikan jumlah tertentu. Kelebihan lain adalah dengan dihadapkan pilihan ya atau tidak ini menjamin kepentingan terbaik responden untuk memutuskan preferensi yang sebenarnya. Namun dengan demikian, metode ini membutuhkan sampel yang besar untuk menghitung rata-rata nilai WTP karena ada kemungkinan banyak responden menjawab tidak. Dalam mendapatkan nilai lelang, tidak ada teknik yang superior dibandingkan dengan teknik lainnya, dan hal ini sama sekali tergantung kepada masalah yang diteliti, kondisi yang dihadapi, keterbatasan peneliti, serta ketersediaan sumber daya penelitian (Yakin 1997). 3. Menghitung Rataan WTP Setelah survei dilaksanakan dan nilai lelang didapatkan, tahap berikutnya adalah menghitung nilai rataan WTP setiap individu. Perhitungan ini biasanya didasarkan pada nilai rataan (mean) dan nilai tengah (median). Pada tahap ini harus diperhatikan banyak kemungkinan timbulnya nilai yang sangat jauh menyimpang dari rata-rata (outliner). 4. Memperkirakan Kurva Lelang (Bid Curve) Kurva lelang diperoleh dengan, misalnya, meregresikan WTP sebagai variabel tidak bebas (dependet variable) dengan beberapa variabel bebas (independet variable) contohnya: WTP i = f(y i, E i, K i, A i, Q i ) Keterangan : WTP = WTP tiap responden Y = Tingkat pendapatan E = Tingkat pendidikan K = Tingkat pengetahuan A = Tingkat umur 27

43 Q = Variabel yang mengukur kualitas lingkungan 5. Mengagregatkan Data Tahap terakhir adalah mengagregatkan rataan lelang yang diperoleh pada tahap ketiga. Proses ini melibatkan konversi data rataan sampel ke rataan populasi secara keseluruhan. Salah satu cara untuk mengonversi ini adalah mengalikan rataan sampel dengan jumlah populasi Kerangka Pemikiran Operasional Saat ini, konsumsi pangan pokok masyarakat Indonesia masih didominasi oleh beras. Beras telah menjadi kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi setiap hari, bahkan di Indonesia berkembang budaya belum makan kalau tidak makan nasi (beras). Tidak mengherankan budaya ini menjadikan Indonesia sebagai konsumen beras tertinggi di dunia. Ketergantungan masyarakat Indonesia yang sangat tinggi terhadap beras akan menjadi masalah jika ketersediaan beras sudah tidak dapat tercukupi. Beras analog atau disebut juga designed rice/artificial rice dikembangkan oleh F-Technopark Institut Pertanian Bogor sebagai pangan alternatif yang sesuai untuk menggantikan beras. Beras analog merupakan solusi tepat untuk menyukseskan program diversifikasi pangan. Hal ini dikarenakan beras analog sengaja didesain sama dengan bentuk beras sehingga tidak mengubah food habit masyarakat Indonesia yang mengonsumsi beras konvensional (biasa). Penggunaan bahan baku lokal dalam diversifikasi pangan sangat dianjurkan karena selain mencapai ketahanan pangan nasional juga bisa mengembangkan kearifan pangan lokal. Dengan mengembangkan kearifan pangan lokal yaitu menggunakan bahan baku yang mudah didapatkan, beras analog dibuat se-convinience mungkin sehingga memiliki intangible benefit (manfaat tak berwujud) dan tidak mengubah sifat fungsional dan fisik beras. Sebagai produk baru, beras analog belum begitu dikenal masyarakat. Oleh karena itu, Serambi Botani belum mengetahui apakah masyarakat bersedia membayar beras analog dengan harga yang akan ditetapkan. Beras analog akan dipasarkan di Serambi Botani dengan harga Rp ,00 per 800 gram. Biaya produksi beras analog relatif mahal yaitu berkisar antara Rp 9.000,00 hingga Rp 28

44 14.000,00 per kilogram, sehingga harga jual yang ditawarkan jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan beras biasa. Oleh karena itu, pihak Serambi Botani perlu melakukan survei mengenai beras analog sehingga bisa menerapkan bauran pemasaran yang tepat, terutama dari aspek penentuan harga. Setelah diperoleh data penelitian melalui wawancara dan kuesioner, dilakukan uji Chi-Square untuk menguji hubungan antara karakteristik responden dengan kesediaan membayar beras analog. Selanjutnya dihitung besarnya nilai (harga) yang bersedia dibayarkan (willingness to pay) untuk beras analog. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan Contingent Valuation Method yang terdiri dari tahap pembuatan hipotesis pasar, mendapatkan nilai lelang, menghitung rataaan WTP, menduga kurva WTP, dan mengagregatkan WTP. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTP beras analog dapat dianalisis menggunakan analisis regresi berganda. Variabel dependent yang digunakan adalah nilai (rupiah) yang bersedia dibayarkan konsumen untuk beras analog per 800 gram. Sedangkan variabel independent nya terdiri dari variabel demografi seperti jenis kelamin, usia, status pernikahan, jumlah anggota keluarga, lama pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan. Selain variabel demografi juga digunakan variabel konsumsi beras konvensional, tingkat kepedulian terhadap diversifikasi pangan, preferensi pangan sumber karbohidrat, dan pengetahuan tentang beras analog. Berdasarkan beberapa hasil analisis tersebut dapat disusun rekomendasi bauran pemasaran beras analog yang sesuai terutama dari aspek harga. Untuk memperjelas tahapan kerangka pemikiran operasional dari analisis kesediaan membayar (willingness to pay) beras analog di Serambi Botani dapat dilihat pada kerangka pemikiran operasional di Gambar 3. 29

45 F-Technopark IPB menciptakan beras analog dan akan dipasarkan di Serambi Botani Potensi beras analog sebagai diversifikasi pangan Beras analog sebagai produk alternatif pangan baru yang belum dikenal masyarakat luas Harga beras analog yang akan ditetapkan relatif mahal dibanding beras konvensional Tahapan WTP Pasar Hipotesis Nilai Lelang Rataan WTP Kurva WTP Nilai WTP Faktor yang mempengaruhi Nilai WTP Konsumsi beras konvensional Tingkat kepedulian diversifikasi pangan Preferensi pangan sumber karbohidrat Pengetahuan mengenai beras analog Karakteristik Responden: Jenis kelamin Usia Status pernikahan Jumlah anggota keluarga Tingkat pendidikan Pekerjaan Pendapatan Kesediaan Membayar WTP Agregat Rekomendasi Harga Gambar 3. Analisis Kesediaan Membayar Beras Analog 30

46 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Serambi Botani yang berlokasi di lantai dasar GF mall Botani Square, Jalan Raya Padjajaran, Bogor. Pemilihan lokasi ini dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Serambi Botani merupakan salah satu tempat beras analog akan dipasarkan. Selain itu, adanya kecenderungan bahwa konsumen Serambi Botani merupakan konsumen yang sadar akan kesehatan dan lingkungan, sehingga menjadi peluang yang besar bagi konsumen Serambi Botani untuk bersedia membayar beras analog. Pengambilan data responden dilakukan pada bulan Juli 2012 sebelum launching beras analog diadakan di Serambi Botani Metode Penentuan Sampel Penentuan sampel yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode non-probability sampling technique, dimana tidak semua anggota populasi pengunjung Serambi Botani mempunyai peluang atau kemungkinan yang sama untuk menjadi responden. Penyebaran kuesioner dilakukan dengan menggunakan metode convenience sampling dimana responden dipilih berdasarkan kemudahan atau kenyamanan mendapatkannya. Dengan kata lain sampel diambil atau dipilih karena ada di tempat dan waktu yang tepat. Sampel yang diambil untuk dijadikan responden pada penelitian ini dipilih dari konsumen atau pengunjung Serambi Botani yang bersedia dijadikan responden. Responden tersebut telah lulus tahap screening terlebih dahulu. Screening terhadap konsumen yang akan dijadikan responden yaitu responden yang berusia lebih atau sama dengan 16 tahun karena menurut Sumarwan (2004), konsumen yang berusia pada umur tersebut dikatakan telah memiliki pola pemikiran yang lebih matang dibandingkan dengan usia dibawahnya. Selain itu, pengunjung yang akan dijadikan responden tersebut peduli terhadap diversifikasi pangan, dengan harapan agar didapat hasil yang sesuai. Apabila pengunjung Serambi Botani adalah rombongan keluarga, maka yang berhak mengisi kuesioner adalah satu orang saja, yaitu kepala keluarga sebagai pembuat keputusan pembelian dalam keluarga atau siapa saja yang telah berusia 16 tahun atau lebih. Hal ini dilakukan

47 agar jawaban dalam kuesioner tidak saling mempengaruhi. Jika pengunjung adalah rombongan teman maka yang berhak mengisi kuesioner adalah salah satu atau seluruhnya jika bersedia, namun responden harus berusia 16 tahun atau lebih dan antar responden tidak saling mempengaruhi jawaban kuesioner. Dalam pengukuran WTP, responden yang relevan adalah seseorang yang tidak memiliki hak atas barang dan jasa yang dihasilkan sumber daya alam tersebut. Oleh karena itu, pengunjung yang belum pernah mengonsumsi beras analog merupakan pilihan yang tepat untuk dijadikan responden. Pengunjung yang bersedia menjadi responden dijelaskan terlebih dahulu apa itu beras analog, apa perbedaannya dengan beras konvensional, dan apa saja manfaat yang didapat dari mengonsumsi beras analog tersebut. Hal ini dimaksudkan agar menghindari jawaban yang bias dan diharapkan konsumen yang tadinya tidak mengetahui beras analog menjadi tahu dan bersedia membeli beras analog. Jumlah responden yang diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 100 responden Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan desain penelitian secara deskriptif. Metode deskriptif dilakukan dengan pencarian fakta dan interpretasi terhadap sifat-sifat dari beberapa fenomena (Nazir 2009). Tujuan utama dari penelitian deskriptif adalah untuk menggambarkan sesuatu yang biasanya karakteristik atau fungsi pasar, misalnya (Sumarwan et al. 2011): 1. Untuk menggambarkan karakteristik kelompok-kelompok yang relevan, seperti konsumen, tenaga penjualan, organisasi, atau daerah pasar. 2. Untuk memperkirakan persentase unit-unit dalam populasi tertentu, menunjukkan perilaku tertentu. 3. Untuk menentukan persepsi karakteristik produk. 4. Untuk menentukan sejauh mana variabel pemasaran yang terkait. 5. Untuk membuat prediksi spesifik. Jenis penelitian deskriptif yang digunakan adalah metode survei yang berupa sampel. Metode survei digunakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara fakta mengenai karakteristik konsumen beras analog dan willingness to pay konsumen terhadap beras analog. 32

48 4.4. Data dan Instrumentasi Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil pengamatan (observasi) di lapangan, wawancara langsung dengan pihak Serambi Botani dan pihak F-Technopark Fakultas Teknik Pertanian Institut Pertanian Bogor serta diperoleh dari hasil kuesioner mengenai karakteristik dan nilai willingness to pay responden beras analog. Sedangkan data sekunder diperoleh dari studi literatur berbagai buku, artikel, internet dan instansi terkait seperti, Badan Pusat Statistik, Kementrian Pertanian, Badan Ketahanan Pangan, Perpustakaan Lembaga Swadaya Informasi IPB, Perpustakaan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, dan sumber lainnya yang mendukung topik penelitian. Instrumentasi atau alat pengumpul yang digunakan berupa kuesioner Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode survei. Metode survei adalah metode pengumpulan data dengan menggunakan instrumen untuk meminta tanggapan dari responden. Umumnya instrumen yang digunakan dalam metode survei adalah kuesioner. Kuesioner yang dibuat berbentuk pertanyaan tertutup, semi terbuka, dan terbuka yang diberikan kepada pengunjung Serambi Botani. Pertanyaan tertutup berisi pertanyaan yang alternatif jawabannya telah disediakan, sehingga responden hanya memilih salah satu alternatif jawaban yang menurutnya paling sesuai. Pertanyaan semi terbuka adalah pertanyaan yang selain memberikan alternatif jawaban juga menyediakan tempat menjawab secara bebas jika jawaban responden ada di luar pilihan yang tersedia. Sedangkan pertanyaan terbuka adalah pertanyaan yang memberikan kebebasan responden untuk menjawab. Penyebaran kuesioner dilakukan setiap hari, baik itu pada hari kerja (Senin-Jumat) ataupun hari libur (Sabtu, Minggu, dan hari libur nasional). Waktu penyebaran kuesioner adalah sepanjang jam operasional gerai Serambi Botani Bogor ( WIB). Pemilihan waktu tersebut dimaksudkan agar seluruh populasi konsumen terwakili pada siang hari maupun pada malam hari, baik yang mengunjungi Serambi Botani pada hari kerja maupun pada hari libur, sehingga 33

49 diharapkan hasil yang diperoleh merupakan kesimpulan dari keseluruhan populasi di Serambi Botani Metode Pengolahan Data Metode pengolahan dan analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis data kualitatif seperti karakteristik responden, digunakan untuk data-data yang diolah secara deskriptif yaitu menggunakan Microsoft Excel Analisis data kuantitatif digunakan untuk melihat hubungan antara karakteristik responden dengan kesediaan membayar beras analog dengan uji Chi-Square, mengestimasi nilai WTP beras analog menggunakan pendekatan Contingent Valuation Method (CVM). Selain itu juga dilakukan analisis regresi berganda untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTP beras analog tersebut. Pengolahan data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan Microsoft Excel 2007, SPSS 16.0, dan Minitab Uji Chi-Square Uji Chi-Square digunakan untuk melihat apakah dua variabel (X dan Y) yang berupa kategorik, berkorelasi signifikan di populasinya berdasarkan data sampel yang dimiliki (Harmini 2009). Data sampel disajikan dalam bentuk tabulasi silang yang berukuran b baris dan k kolom. Untuk menyimpulkannya, dilakukan melalui uji hipotesis sebagai berikut: H 0 H 1 = Kedua variabel tidak berkorelasi = Kedua variabel berkorelasi Hipotesis statistik tersebut diuji melalui statistik uji: b k χ 2 hit = n ij E ij 2 E ij i=1 j =1 Keterangan : b = Banyak kategori variabel X (baris) k = Banyak kategori variabel Y (kolom) N = Ukuran sampel n ij n i = Banyak objek di baris ke-i kolom ke-j (sel ke-ij) pada data sampel = Banyak objek pada baris ke-i 34

50 n j = Banyak objek pada kolom ke-i E ij = Frekuensi harapan di bawah H 0 pada sel ke-ij = n i n j N Statistik χ 2 hit menyebar mengikuti sebaran Chi-Square (χ2 ) dengan derajat bebas (df) sebesar (b-1)(k-1). Pada output SPSS, tersaji informasi Asymp.Sig (2-sided), yakni besarnya peluang sebaran χ 2 df = b 1 (k 1) yang lebih besar dari χ 2. Untuk taraf nyata α dan (df) = (b-1)(k-1), dari tabel Chi-Square hit diperoleh nilai χ 2 α df = b 1 (k 1). Apabila nilai χ2 hit > χ2 α df = b 1 (k 1), atau Asymp.Sig(2-sided) < α maka disimpulkan tolak H 0. Artinya, kedua variabel berkorelasi signifikan pada taraf nyata α. Pada penelitian ini, uji Chi-Square dilakukan untuk melihat korelasi antara karakteristik responden dengan kesediaan membayar beras analog. Adapun hipotesis yang digunakan: H 0 H 1 = Tidak terdapat hubungan antara karakteristik responden dengan kesediaan membayar beras analog = Terdapat hubungan antara karakteristik responden dengan kesediaan membayar beras analog Karakteristik responden yang akan diuji terdiri dari jenis kelamin, usia, status pernikahan, jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan. Kriteria uji digunakan dengan melihat nilai Asymp.Sig(2-sided) dengan taraf nyata (α)=5%. Adapun kriteria uji yang digunakan sebagai berikut: a. Tolak H 0 = Asymp.Sig(2-sided) < α, maka terdapat hubungan antara karakteristik responden yang diuji dengan kesediaan membayar beras analog. b. Terima H 0 = Asymp.Sig(2-sided) > α, maka tidak terdapat hubungan antara karakteristik responden yang diuji dengan kesediaan membayar beras analog Analisis Willingness to Pay Beras Analog Analisis Willingness to Pay beras analog dalam penelitian ini menggunakan pendekatan metode Contingent Valuation Method (CVM). Pendekatan ini merupakan pendekatan yang menanyakan secara langsung kepada pengunjung Serambi Botani berapa besarnya nilai maksimum yang bersedia dibayarkan untuk beras analog. Adapun tahapan yang dilakukan sebagai berikut: 1. Membuat Hipotesis Pasar 35

51 Dalam penelitian ini pasar hipotesis dibentuk atas dasar isu ketahanan pangan, yaitu suatu pasar yang menawarkan alternatif pangan sebagai upaya diversifikasi pangan. Responden sebelumnya telah menjawab pertanyaanpertanyaan mengenai identitas responden dan responden juga ditanyakan mengenai konsumsi beras konvensional, kepedulian terhadap diversifikasi pangan, preferensi pangan sumber karbohidrat, dan pengetahuan beras analog. Untuk membentuk pasar hipotesis, terlebih dahulu responden diminta untuk mendengarkan atau membaca suatu pernyataan dimana beras analog berpotensi sebagai alternatif pangan pokok masyarakat, sehingga berperan dalam perbaikan lingkungan yaitu penyuksesan program diversifikasi pangan. Pasar hipotesis dibuat dengan skenario sebagai berikut: Jika dengan adanya isu ketahanan pangan mengakibatkan Anda peduli terhadap diversifikasi pangan dan ingin mengurangi konsumsi beras, Anda diberikan solusi dengan adanya Beras Analog yang diproduksi oleh F- Technopark Fateta IPB dan akan dipasarkan di Serambi Botani, Botani Square, Bogor. Beras analog merupakan alternatif pangan berbahan baku tepung pangan lokal yang didesain menyerupai bentuk beras sehingga tidak mengubah kebiasaan masyarakat yang terbiasa mengonsumsi beras konvensional. Beras analog ini tidak hanya aman untuk dikonsumsi, namun juga terbukti lebih sehat karena memilki Indeks Glikemik yang lebih rendah dan juga dapat dimodifikasi sesuai kebutuhan gizi seperti menaikkan kadar protein, serat, dan antioksidan dengan menyesuaikan bahan baku. Selain itu, beras analog dibuat dari bahan pangan lokal sehingga dapat meningkatkan kearifan pangan lokal. Dari segi penyajiannya, beras analog lebih praktis karena pada saat memasak tidak perlu dicuci terlebih dahulu seperti beras konvensional. Pengonsumsian beras analog bertujuan dapat menurunkan konsumsi beras yang pada akhirnya berperan dalam perbaikan lingkungan yaitu mendukung program diversifikasi pangan. Oleh karena itu, Serambi Botani ingin mengetahui kesediaan masyarakat untuk membayar beras analog sesuai dengan manfaat yang dimiliki jika mengonsumsi beras analog tersebut. Bersediakah atau tidak Anda untuk membayar beras 36

52 analog dengan harga Rp ,00 per 800 gram? Berapa besar biaya maksimum yang bersedia Anda bayarkan untuk beras analog tersebut? 2. Mendapatkan Nilai Lelang (Bids) Tahap ini dilakukan melalui survei langsung dengan menggunakan kuesioner. Tujuan dari survei ini adalah untuk mendapatkan nilai maksimum yang ingin dibayarkan (Willingness to Pay) responden terhadap beras analog. Nilai lelang ini didapatkan dengan teknik permainan lelang (bidding game) dimana responden diberi pertanyaan berulang-ulang tentang keinginan membayar beras analog sejumlah harga tertentu. Nilai awal (starting point) yang diambil dalam permainan lelang ini yaitu nilai (harga) yang akan ditetapkan jika beras analog sudah dipasarkan di serambi Botani dengan harga Rp ,00 per 800 gram. Setelah itu, dilihat respon yang diberikan responden, jika responden merasa tidak bersedia dengan harga tersebut, nilai (harga) bisa diturunkan sampai nilai (harga) tertentu disepakati, begitu juga sebaliknya. 3. Menghitung Rataan WTP Nilai ini dihitung berdasarkan nilai lelang yang diperoleh pada tahap sebelumnya. Dugaan rataan WTP dapat dihitung dengan rumus: EWTP = Wi. Pfi n i=0 Keterangan : EWTP = Dugaan nilai rataan WTP (Rp) Wi = Nilai WTP ke-i (Rp) Pfi = Frekuensi relatif kelas WTP ke-i n = jumlah kelas WTP i = responden ke-i (i = 1,2,,n) 4. Memperkirakan Kurva Lelang (Bid Curve) Kurva lelang (bid curve) diperoleh dengan meregresikan WTP sebagai variabel tidak bebas (dependent variable) dengan beberapa variabel bebas (independent variable). Pada penelitian ini, kurva lelang WTP beras analog didapatkan dengan persamaan: 37

53 WTP = f (JK, USIA, PDDKN, PNKHN,JAK, PKRJN, PDPTN, KONV, DIVER, KARBO, ANLG) Keterangan : WTP = Nilai WTP responden JK = Jenis kelamin USIA = Usia PDDKN = Tingkat pendidikan PNKHN = Status pernikahan JAK = Jumlah anggota keluarga PKRJN = Pekerjaan PDPTN = Pendapatan per bulan KONV = Konsumsi beras konvensional DIVER = Tingkat kepedulian diversifikasi pangan KARBO = Preferensi konsumsi pangan sumber karbohidrat ANLG = Pengetahuan mengenai beras analog 5. Mengagregatkan Data Proses ini melibatkan konversi data rataan sampel ke rataan populasi secara keseluruhan. Salah satu cara untuk mengonversi ini adalah mengalikan rataan sampel dengan jumlah rumah tangga dalam populasi. TWTP = EWTP.Ni Keterangan : TWTP = Total WTP (Rp) EWTP = Dugaan atau rataan WTP (Rp) Ni = Populasi (orang) Analisis Regresi Berganda Seringkali ditemui suatu permasalahan bisnis, yang dalam pendekatannya melibatkan lebih dari dua variabel, dengan hubungan yang bersifat kausal. Pada dasarnya, analisis regresi berganda merupakan suatu teknik untuk merepresentasikan pola hubungan fungsional satu variabel dependent (metrik), yang dipengaruhi oleh lebih dari satu variabel independent (metrik), dalam suatu model matematis. Data sampel digunakan sebagai basis untuk membangun model dugaan. Pola hubungan pada data sampel akan direpresentasikan ke dalam model 38

54 dugaan, sehingga akurasinya antara lain ditentukan oleh tingkat kesesuaian antara model dugaan dengan pola hubungan dalam data sampel. Bila pola hubungan dalam data sampel linier maka direpresentasikan dalam model regresi linier, sebaliknya, bila pola hubungan nonlinier maka direpresentasikan dalam model regresi nonlinier. Bentuk umum rumusan model strategi: Yi = β 0 + β n X n + ε i Keterangan : Yi = Peubah tidak bebas, dengan i = 1,2,,n (sampel) β 0 β n X n ε i = Intersep (konstanta) = Parameter penduga bagi X n (koefisien regresi dari variabel bebas) = Variabel bebas ke-n dengan n= 1,2,., n = Error (galat) Pendugaan model tersebut dilakukan dengan menggunakan metode kuadrat terkecil biasa (Ordinary Least Square). Oleh karena itu, kelayakan model tersebut akan diuji berdasarkan asumsi OLS melalui pemeriksaan sisaan. Sisaan adalah menyimpangnya nilai amatan y i terhadap dugaan nilai harapannya (e i = y i y i ). Nilai sisaan dapat mengetahui asumsi-asumsi yang disyaratkan pada pendugaan dengan metode OLS dipenuhi atau tidak. Beberapa asumsi yang mendasari model tersebut adalah uji multikolinieritas, asumsi kenormalan sisaan, kehomogenan sisaan, dan kebebasan sisaan. Apabila asumsi tersebut dapat terpenuhi maka koefisien regresi (parameter) yang diperoleh merupakan penduga tak bias linear terbaik (BLUE: Best Linear Unbiased Estimator). Sebuah model dinyatakan terbebas dari masalah multikolinearitas apabila memiliki nilai VIF (Variance Inflation Factor) di bawah 10. Asumsi normalitas mengharuskan nilai residual dalam model menyebar atau terdistribusi secara normal. Untuk mengetahuinya dilakukan uji grafis normalitas residu dengan memplotkan nilai standar residual dengan probabilitasnya pada tes normal. Jika pada normal probability plot titik-titik residual yang ada tergambar mengikuti garis linier, maka dapat disimpulkan bahwa model terdistribusi secara normal. Kehomogenan sisaan berarti bahwa nilai-nilai bervariasi dalam satuan yang sama. Pengujian ini dapat menggunakan uji grafis residu yang melihat pada plot versus fit setiap sisaan memiliki lebar pita yang sama serta mendekati nol, maka asumsi 39

55 kehomogenan sisaan terpenuhi. Untuk menguji asumsi kebebasan sisaan dapat dilihat apakah tebaran berpola atau tidak. Jika pada plot versus order menunjukkan bahwa setiap plot sisaan tidak membentuk pola, maka asumsi kebebasan sisaan terpenuhi. Setelah diuji dan terbukti memenuhi asumsi-asumsi tersebut, maka dilanjutkan dengan melakukan regresi untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTP untuk beras analog di Serambi Botani. Variabel bebas (independent) yang diduga mempengaruhi nilai WTP yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu karakteristik demografi responden seperti jenis kelamin, usia, status pernikahan, jumlah anggota keluarga, lama pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan. Selain itu, variabel independent lainnya yang diduga berpengaruh adalah konsumsi beras konvensional, tingkat kepedulian terhadap diversifikasi pangan, preferensi konsumen dalam mengonsumsi pangan sumber karbohidrat, dan pengetahuan mengenai beras analog. Pendugaan faktor tersebut berdasarkan pada observasi langsung keadaan yang sedang terjadi dan wawancara yang dilakukan dengan pihak Serambi Botani. Adapun model dugaan analisis regresi linier berganda yang digunakan pada penelitian ini, yaitu: WTP = b 0 + b 1 D 1 JK i + b 2 USIA i + b 3 PDDKN i + b 4 D 2 PNKHN i + b 5 JAK i + b 6 D 3 PKRJN i + b 7 PDPTN i + b 8 D 4 KONV i + b 9 DIVER i + b 10 D 5 KARBO i + b 11 D 6 ANLG i + ε i Keterangan : WTP b 0 -b 11 D 1 JK = Nilai WTP beras analog (Rp/800gr) = Koefisien model = Dummy Jenis Kelamin (1=Perempuan; 0=Laki-laki) USIA = Usia (1=16-18 tahun; 2=19-24 tahun; 3=25-35 tahun; 4=36-50 tahun; 5=51-65 tahun; 6=lebih dari 65 tahun) PDDKN = Lama Pendidikan (Tahun) D 2 PNKHN = Dummy Status Pernikahan (Sudah menikah=1; Belum menikah=0) JAK D 3 PKRJN PDPTN = Jumlah anggota keluarga (orang) = Dummy pekerjaan (1=Pegawai; 0=Non Pegawai) = Pendapatan per bulan (1=kurang dari Rp ; 2=Rp Rp ; 3=Rp Rp ; 4=Rp 40

56 Rp ; 5=Rp Rp ; 6=lebih dari Rp ) D 4 KONV = Dummy konsumsi beras konvensional (1=tidak mengonsumsi beras konvensional setiap hari; 0=mengonsumsi beras konvensional setiap hari) DIVER = Tingkat kepedulian terhadap diversifikasi pangan (3=Sangat Peduli; 2=Peduli; 1=Cukup Peduli) D 5 KARBO = Dummy preferensi pangan sumber karbohidrat (1=untuk responden yang lebih memilih mengonsumsi pangan sumber karbohidrat berbahan baku lokal; 0=untuk responden yang lebih memilih pangan sumber karbohidrat berbahan baku impor) D 6 ANLG = Dummy pengetahuan beras analog (1=mengetahui beras analog sebelumnya; 0=tidak mengetahui beras analog sebelumnya) i = Responden ke-i ε = Galat (error) Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini sebagai jawaban sementara terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi nilai kesediaan membayar (Willingness to Pay) beras analog, yaitu: 1. Jenis kelamin perempuan diduga berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai kesediaan membayar (Willingness to Pay) beras analog di Serambi Botani karena jenis kelamin perempuan cenderung lebih konsumtif dibanding laki-laki. Selain itu, umumnya perempuan memiliki andil yang besar dalam keputusan pembelian (pembayaran) pangan pokok, seperti beras analog sehingga perempuan diduga akan meningkatkan nilai WTP beras analog yang diberikan. 2. Usia diduga berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai kesediaan membayar beras analog karena diduga semakin bertambah usia maka kebutuhan akan pangan yang lebih sehat semakin dibutuhkan, sehingga akan meningkatkan nilai WTP beras analog. 3. Lama pendidikan diduga berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai WTP beras analog karena tingkat pendidikan yang telah ditempuh responden mempengaruhi pola pikir terhadap makanan yang akan dikonsumsinya. 41

57 Seseorang yang berpendidikan lebih tinggi lebih mengetahui makanan mana yang lebih baik untuk dikonsumsi sehingga menyebabkan seseorang tersebut lebih selektif dalam pemilihan konsumsi pangannya sehari-hari. Jadi, semakin lama seseorng menempuh pendidikan diduga akan semakin meningkatkan nilai WTP beras analog yang diberikan 4. Responden yang sudah menikah diduga berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai WTP beras analog karena diduga responden yang sudah menikah dan berkeluarga lebih memilih untuk mengonsumsi pangan yang lebih sehat untuk keluarganya. 5. Jumlah anggota keluarga mempunyai pengaruh negatif terhadap nilai WTP yang diberikan. Semakin banyak jumlah anggota keluarga semakin akan mengurangi nilai WTP yang diberikan. Hal ini dikarenakan keluarga tersebut bertanggung jawab dalam pemenuhan konsumsi seluruh anggota keluarganya. 6. Pekerjaan yang dimiliki responden, terutama pegawai diduga berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesediaan membayar beras analog karena diduga responden yang berprofesi sebagai pegawai cenderung memiliki pendapatan yang lebih banyak dan akan meningkatkan nilai WTP beras analog yang diberikan. 7. Pendapatan responden diduga berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai WTP beras analog. Hal ini diduga karena semakin tinggi pendapatan responden akan meningkatkan daya beli terhadap suatu produk, sehingga akan meningkatkan nilai WTP beras analog yang diberikan. 8. Responden yang tidak mengonsumsi beras konvensional setiap hari diduga mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap nilai WTP yang diberikan. Hal ini dikarenakan jika seseorang yang sudah terbiasa menyelingi konsumsi pangannya setiap hari dengan pangan alternatif lainnya, diduga akan responsif terhadap pangan alternatif seperti beras analog dan akan meningkatkan nilai WTP yang diberikan. 9. Tingkat kepedulian terhadap diversifikasi pangan diduga mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap nilai WTP yang diberikan. Semakin 42

58 seseorang peduli terhadap diversifikasi pangan akan semakin meningkatkan nilai WTP beras analog yang diberikan. 10. Responden yang mengonsumsi pangan sumber karbohidrat berbahan baku lokal diduga mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap nilai WTP yang diberikan. Seseorang yang lebih memilih untuk mengonsumsi pangan berbahan baku lokal diduga akan meningkatkan nilai WTP beras analog yang diberikan karena karakteristik beras analog yang dibuat dari tepung berbahan baku lokal. 11. Responden yang telah mengetahui beras analog sebelumnya, diduga mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap nilai WTP yang diberikan. Apabila seseorang telah mengetahui produk beras analog sebelumnya diduga akan meningkatkan nilai WTP yang diberikan dikarenakan seseorang tersebut telah memiliki gambaran mengenai karakteristik maupun fungsi beras analog. Model regresi yang dianalisis membutuhkan pengujian terhadap hipotesishipotesis yang dilakukan. Pengujian hipotesis secara statistik bertujuan untuk melihat nyata atau tidaknya pengaruh peubah-peubah bebas yang dipilih terhadap peubah tidak bebas yang diteliti. Adapun pengujian yang dilakukan, antara lain: 1. Pengujian terhadap model penduga Pengujian ini untuk mengetahui apakah faktor yang digunakan secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap nilai WTP beras analog. Hipotesis: H 0 : b 1 = b 2 =... = b i = 0 H 1 : minimal ada salah satu dari b i ada yang 0 Uji statistik yang digunakan adalah uji F. Kriteria uji digunakan dengan melihat nilai P-value, dengan kriteria sebagai berikut: a. Tolak H 0 = P-value < α, maka secara bersama-sama variabel yang digunakan berpengaruh nyata terhadap nilai WTP beras analog. b. Terima H 0 = P-value > α, maka variabel yang digunakan secara bersamasama tidak berpengaruh nyata terhadap nilai WTP beras analog. Selain itu dihitung besarnya koefsien determinasi yang merupakan suatu nilai statistik yang dapat digunakan untuk mengukur ketepatan/kecocokan suatu 43

59 garis regresi serta dapat pula digunakan untuk mengetahui besarnya kontribusi variabel bebas (X) terhadap variasi variabel (Y) dari suatu persamaan regresi. Dalam Hanley dan Spash (1993), Mitchell dan Carson (1989) merekomendasikan 15% atau 0,15 sebagai batas minimum dari R 2 yang realibel. Apabila nilai R 2 yang diperoleh lebih kecil dari 0,15 maka penggunaan CVM ini tidak realibel, sedangkan nilai R 2 yang tinggi atau lebih besar dari 0,15 menunjukkan tingkat reabilitas yang baik dalam penggunaan CVM. 2. Pengujian untuk masing-masing parameter Pengujian untuk masing-masing parameter yaitu dengan uji-t yang menguji secara statistik bagaimana pengaruh nyata dari setiap parameter bebas (X) yang digunakan secara terpisah terhadap parameter tidak bebas (Y). Hipotesis pengujian secara statistik adalah sebagai berikut: Hipotesis: H 0 : b i = 0 H 1 : b i 0 Kriteria uji digunakan dengan melihat nilai P-value, dengan kriteria sebagai berikut: a. Tolak H 0 = P-value < α, maka variabel yang diuji berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas. b. Terima H 0 = P-value > α, maka variabel yang diuji tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas. 44

60 V. GAMBARAN UMUM 5.1. Beras Analog Beras analog merupakan tiruan beras yang terbuat dari bahan-bahan seperti umbi-umbian, serealia yang bentuk maupun komposisi gizinya mirip seperti beras. Beras analog dibuat sebagai salah satu langkah dalam upaya diversifikasi pangan Bahan Baku dan Kandungan Gizi Sebagai produk diversifikasi pangan, beras analog memiliki keunggulan jika dilihat dari komposisi bahan baku. Sorgum dipilih karena indeks glikemiknya rendah. Indeks glikemik adalah dampak makanan terhadap kadar gula darah. Makanan dengan indeks glikemik rendah lambat meningkatkan kadar gula dalam darah. Dengan demikian, makanan tersebut menyehatkan dan baik bagi penderita diabetes. Sorgum bisa ditanam di lahan kritis, seperti daerah kering Nusa Tenggara. Kelebihan lainnya, sekali tanam sorgum bisa dipanen sampai tiga kali. Batang sorgum bisa diolah menjadi silase untuk pakan ternak. Bahan baku lainnya seperti jagung juga mengandung protein lebih tinggi dibandingkan beras. Sedangkan sagu memang tidak memiliki kandungan protein, tetapi indeks glikemik sagu dan jagung juga rendah. Kandungan serat beras analog cukup tinggi sehingga menunjang perbaikan pencernaan. Dari sisi ketahanan terhadap lingkungan air payau, tanaman sagu cocok untuk menahan abrasi. Penanaman sagu di pesisir bermanfaat mengurangi dampak kenaikan muka laut akibat pemanasan global. Dengan demikian, mengonsumsi beras analog, selain memetik manfaat indeks glikemik rendah, juga berkontribusi terhadap perbaikan lingkungan. Jika mengonsumsi beras analog yang berbahan baku sorgum, jagung, dan sagu akan lebih lama merasa kenyang dan mendapat kadar protein yang lebih tinggi dibandingkan beras konvensional. Kadar protein tinggi pada beras analog bisa memperbaiki gizi masyarakat yang kesulitan mengakses sumber protein. Perbandingan kandungan gizi yang dimiliki beras analog dapat dilihat pada Tabel 3. 45

61 Tabel 3. Informasi Perbandingan Nilai Gizi Beras Analog dengan Beras Biasa Komposisi Beras Analog Beras Biasa Kadar air (%) 6, Kadar protein (%) 8, Kadar lemak (%) 1,40 0,19 Kadar abu (%) 1,39 0,19 Kadar kabrohidrat (%) 82,85 79,64 Energi per 100 gram (kalori) Sumber : Botani Square, Kandungan zat gizi dalam beras analog bisa disesuaikan dengan kebutuhan. Beras analog bisa dinaikkan kadar protein, serat, ataupun antioksidannya dengan menyesuaikan bahan baku. Beras analog bisa dibuat menggunakan bahan baku lokal daerah terkait. Sumber karbohidrat bisa diperoleh dari tepung ubi kayu, ubi jalar, talas, garut, ganyong, jagung, sorgum, hotong, sagu, dan sagu aren. Sumber protein dapat diperoleh dengan menambahkan tepung kedelai, kacang merah, atau jenis kacang-kacangan lain. Serat makanan bisa diperoleh dari bekatul atau bahan lain Teknologi Pembuatan Hingga saat ini teknologi pembuatan beras analog menggunakan metode pembutiran beras yang menghasilkan beras bentuk bulat seperti sagu mutiara, dan metode ekstrusi yang menghasilkan bentuk produk beras analog lonjong dan menyerupai bentuk beras. Pembuatan beras analog di IPB menggunakan teknologi ekstrusi dengan sistem tekanan dan pembentukan ulir yang menggunakan mesin tween screw extruder. Hasil akhirnya menyerupai beras, tetapi dengan warna kecoklat-coklatan. Hal paling kritis yang harus dikendalikan saat mencetak campuran bahan baku menjadi beras analog adalah ketepatan suhu, kecepatan ulir mesin, dan kadar air pada adonan. Proses pembuatan beras analog meliputi penyediaan tepung sorgum (30 persen), tepung jagung (40 persen), dan tepung sagu (30 persen). Ketiga bahan dicampur hingga merata, lalu ditambahkan air secukupnya. Adonan dimasukkan ke dalam mesin ekstruder. Dari proses itu, dihasilkan butiran 46

62 menyerupai beras. Pengaturan kecepatan dan tekanan ulir, serta pemotongan pisau, sangat menentukan hasil butirannya. Selanjutnya dilakukan pengeringan untuk mengurangi kadar air beras seminimal mungkin, lalu beras analog siap dikemas. Untuk lebih jelas, proses pembuatan beras analog dapat dilihat pada Lampiran 5. Dengan berbagai kelebihan tersebut, beras analog dapat dikembangkan secara luas, bahkan bisa diproduksi besar-besaran untuk ekspor. Kekayaan biodiversitas Indonesia berupa aneka tanaman sumber karbohidrat, protein, dan serat merupakan modal nyata. Namun, karena bahan baku dan proses pembuatannya masih skala kecil, harga beras analog relatif tinggi, Rp Rp per kilogram. Jika telah diproduksi secara luas, diharapkan harga bisa lebih terjangkau masyarakat luas. Beras analog yang diproduksi F-Technopark IPB telah dipasarkan di serambi Botani mulai dari tanggal 10 November Sejauh ini, beras analog yang dijual berbahan baku sorgum dan jagung Serambi Botani Serambi Botani merupakan salah satu bentuk satuan usaha komersial yang berada di bawah PT. Bogor Life Science and Tehnology perusahaan yang dimiliki oleh IPB (Institut Pertanian Bogor). Serambi botani menjadi gerai pelopor yang menyediakan produk-produk lokal berkonsep alami dan sehat bagi masyarakat. IPB melakukan banyak penelitian ilmiah dan mengaktualisasikan hasil-hasil riset tersebut dengan membina banyak UKM (Usaha Kecil Menengah) dalam menghasilkan produk-produk yang bermanfaat dan memiliki standar mutu yang tinggi. Serambi Botani didirikan pertama kali di Botani Square Bogor pada tanggal 7 Agustus 2009 yang diprakarsai oleh Dr. Ir. Meika, Ir. Lusi Fausia, MEc, Ir. Fatimah, dan Dwiko Gunawan Visi dan Misi Serambi Botani Setiap perusahaan memiliki visi dan misi yang ingin dicapai dalam menjalankan usahanya. Visi dari Serambi Botani adalah menjadi gerai inovasi produk hasil karya IPB yang tersebar di seluruh Indonesia dan mampu memberikan sumbangan bagi kesehatan dan kecerdasan bangsa. Adapun misi dari Serambi Botani, yaitu: 47

63 1. Memberikan kontribusi atau berbagai pengetahuan tentang produk-produk yang sehat dan alami kepada masyarakat 2. Meningkatkan nilai tambah produk lokal 3. Menjadi lokomotif bisnis bagi UKM binaan IPB sehingga meningkatkan kesejahteraan para UKM dan karyawannya. 4. Menjadi rekanan bisnis yang memberikan profit bagi para franchise Bauran Pemasaran Serambi Botani Serambi Botani merupakan gerai yang menjual produk-produk hasil riset IPB. Serambi Botani tersebut memiliki bauran pemasaran sebagai berikut. 1. Produk Produk yang terdapat di Serambi Botani Bogor merupakan produk hasil risetriset IPB yang alami. Produk-produk tersebut dapat dikelompokkan ke dalam enam kelompok besar, yaitu healthy drinks, healthy food, herb and medicine, personal care, essential oil, dan snack and drink. 2. Tempat Kantor Serambi Botani terletak di Kompleks Agripark, Jalan Taman Kencana No. 3, Bogor. Produsen menyalurkan produknya ke kantor Serambi Botani yang kemudian disalurkan ke gerai Serambi Botani Bogor untuk dijual. Gerai Serambi Botani Bogor tersebut terletak di Botani Square Lantai Dasar GF 14-15, Jalan Raya Pajajaran Bogor. Hingga saat ini telah terdapat gerai Serambi Botani yang tersebar di beberapa Mall, yaitu Gandaria City, Teras Kota, Kalibata City Square, Mall Artha Gading, Mall Alam Sutra, dan Mall Kasablanka. 3. Harga Harga merupakan salah satu elemen penting dari bauran pemasaran, dalam kaitannya dengan kelangsungan usaha retail yakni Serambi Botani, harga merupakan elemen yang sensitif dimana proses penentuan harga tersebut perlu dipertimbangkan dengan matang. Proses penentuan harga produk di Serambi Botani ditentukan dengan cara mark-up pricing cost structure. Harga produk Serambi Botani bermacam-macam, yaitu bekisar antara Rp 7.000,00 hingga Rp ,00 4. Promosi 48

64 Promosi yang dilakukan Serambi Botani berupa periklanan, promosi penjualan, hubungan masyarakat, penjualan pribadi, dan pemasaran langsung Segmenting, Targetting, dan Positioning Tujuan dari penetapan STP (Segmenting, Targeting, dan Positioning) adalah agar pasar yang akan dibidik terlihat dengan jelas dan terarah dalam melakukan kegiatan usahanya. Serambi Botani Bogor memiliki segmentasi yang ditujukan kepada masyarakat kota Bogor kelas menengah ke atas. Sedangkan target yang dituju adalah keluarga dengan keputusan pembelian yang lebih mengutamakan ibu-ibu karena Serambi Botani Bogor melihat bahwa dalam keluarga penentu keputusan utama pembelian terletak pada ibu rumah tangga. Serambi Botani melakukan positioning yaitu membentuk dan menciptakan suatu citra gaya hidup yang menyehatkan dengan menggunakan produk yang natural Karakteristik Responden Gambaran umum karakteristik responden yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari karakteristik demografi dan ekonomi. Adapun penjelasan masing-masing karakteristik dijelaskan sebagai berikut: Sebaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Berdasarkan data yang terkumpul, dari 100 orang pengunjung Serambi Botani yang dijadikan responden didominasi oleh responden berjenis kelamin perempuan sebanyak 70 responden, sedangkan laki-laki sebanyak 30 responden. Hal ini dikarenakan pengambil keputusan dalam konsumsi rumahtangga sebagian besar dilakukan oleh perempuan, terutama kebutuhan pangan pokok seperti beras. 30% 70% Perempuan Laki-laki Gambar 4. Sebaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Sebaran Responden Berdasarkan Usia Mayoritas responden adalah pengunjung separuh baya yang berusia diantara tahun, yaitu sebanyak 54 responden. Responden pada usia ini pada 49

65 umumnya sudah berkeluarga dan memiliki pendapatan sendiri sehingga memiliki sumberdaya yang cukup untuk membeli suatu produk sesuai tingkat kemampuannya. Selain itu, konsumen pada usia ini biasanya akan lebih selektif dalam pemilihan konsumsi pangan yang lebih sehat, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk konsumsi keluarganya. Selanjutnya, diikuti dengan responden berusia tahun sebanyak 22, responden, usia tahun sebanyak 17 responden, tahun dan tahun memiliki jumlah yang sama yaitu 3 responden, dan hanya terdapat 1 responden yang berusia lebih dari 65 tahun. Persentase sebaran responden berdasarkan usia dapat dilihat pada Gambar 5. 1% 17% 54% 22% 3% 3% Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun >65 Tahun Gambar 5. Sebaran Responden Berdasarkan Usia Sebaran Responden Berdasarkan Status Pernikahan Mayoritas responden adalah responden yang sudah menikah yaitu sebanyak 74 responden, dan sisanya adalah responden yang belum menikah yaitu sebanyak 26 responden. Status pernikahan seseorang dapat menunjukan tingkat konsumsi keluarga dalam memenuhi kebutuhan primernya. Responden yang telah memiliki keluarga lebih selektif dalam pemilihan pangan pokok karena bertanggungjawab untuk memperhatikan konsumsi keluarganya sehari-hari. 74% 26% Belum Menikah Menikah Gambar 6. Sebaran Responden berdasarkan Status Pernikahan 50

66 Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga Dalam penelitian ini, yang dimaksud anggota keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang menjadi tanggungan keluarga. Apabila responden belum menikah, maka dapat dikatakan responden tersebut tidak memiliki anggota keluarga. Sebanyak 26 responden belum berkeluarga. Sedangkan responden yang sudah berkeluarga memiliki persentase jumlah anggota keluarga yang bervariasi. Responden dengan jumlah anggota keluarga 4 orang sebanyak 20 responden, jumlah anggota keluarga 3 orang sebanyak 18 responden, jumlah anggota keluarga 5 orang sebanyak 12 responden, jumlah anggota keluarga 6 orang sebanyak 11 responden, jumlah anggota keluarga 2 orang sebanyak 8 responden, dan responden dengan jumlah anggota keluarga 7 orang sebanyak 5 responden. 12% 11% 20% 5% 0 orang 26% 2 orang 3 Orang 4Orang 18% 8% 5 Orang 6 Orang 7 orang Gambar 7. Sebaran Responden berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Responden yang memiliki pendidikan sarjana berjumlah 38 responden. Selanjutnya diikuti oleh responden yang memiliki pendidikan diploma/akademi sebanyak 32 responden, pendidikan pasca sarjana dan SMA dengan jumlah yang sama yaitu masing-masing sebanyak 15 responden. Pada penelitian ini, tidak ada responden yang berpendidikan terakhir SD maupun SMP, sehingga dapat dikatakan bahwa responden pada penelitian ini adalah orang-orang yang berpendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi pemahaman terhadap kesehatan dan diversifikasi akan pangan yang dikonsumsinya sehingga dapat dengan mudah menerima produk baru seperti beras analog. 51

67 15% 38% 32% 15% SMA Diploma/Akademi Sarjana Pasca Sarjana Gambar 8. Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Sebaran Responden Berdasarkan Pekerjaan Pekerjaan responden erat kaitannya dengan tingkat pendidikan akhir yang dimilikinya. Sebagian besar responden telah menempuh pendidikan sarjana, diploma, ataupun pasca sarjana. Responden pada penelitian ini beragam, ada yang tidak bekerja dan bekerja. Responden yang memiliki pekerjaan sebagai pegawai swasta berjumlah 35 responden. Lalu diikuti dengan ibu rumah tangga sebanyak 21 responden, pegawai negeri sebanyak 19 responden, wiraswasta sebanyak 13 responden, pelajar/mahasiswa sebanyak 9 responden, dan pensiunan sebanyak 3 responden. 3% 13% 9% 21% Pelajar/Mahasiswa 19% Pegawai Negeri Pegawai Swasta Wiraswasta/Pengusaha 35% Pensiunan Ibu Rumah Tangga Gambar 9. Sebaran Responden Berdasarkan Pekerjaan Sebaran Responden Berdasarkan Pendapatan Pendapatan responden erat kaitannya dengan pekerjaan yang dimilikinya yang pada akhirnya menentukan tingkat kesejahteraannya. Dalam penelitian ini, yang dimaksud pendapatan bagi Ibu Rumah Tangga adalah besarnya penghasilan yang diterima dari suami per bulan, sedangkan untuk pelajar dan mahasiswa adalah besarnya uang saku yang diterima per bulan. Sebaran responden berdasarkan pendapatan dapat dilihat pada Gambar 10. di bawah ini. 52

68 7% 8% 40% 13% 32% Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp >Rp Gambar 10. Sebaran Responden Berdasarkan Pendapatan Berdasarkan hasil survei, tidak ada responden yang berpendapatan ratarata per bulan kurang dari Rp ,00. Sebanyak 40 orang responden memiliki pendapatan rata-rata per bulan lebih dari Rp ,00. Selanjutnya diikuti oleh responden yang memiliki pendapatan rata-rata per bulan sebesar Rp Rp sebanyak 32 responden, pendapatan rata-rata per bulan Rp Rp sebanyak 13 responden, pendapatan rata-rata per bulan sebesar Rp Rp sebanyak 8 responden, dan responden dengan pendapatan rata-rata per bulan sebesar Rp Rp sebanyak 7 responden. Hal ini menunjukkan bahwa pengunjung Serambi Botani adalah konsumen kalangan menengah ke atas. 53

69 VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Hubungan antara Karakteristik Responden dengan Kesediaan Membayar Beras Analog Penelitian ini menganalisis apakah terdapat hubungan antara karakteristik responden seperti jenis kelamin, usia, status pernikahan, jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan dengan kesediaan responden membayar beras analog. Nilai Chi-Square didapatkan dari tabulasi silang yang diolah dengan menggunakan SPSS. Adapun ringkasan hasil uji Chi-Square karakteristik responden dengan kesediaan membayar beras analog dapat dilihat pata Tabel. 4 berikut: Tabel 4. Hasil Uji Chi-Square Karakteristik Responden dengan Kesediaan Membayar Chi-Square Test Variabel Asymp.Sig. Korelasi Value (2-sided) Jenis kelamin * Kesediaan membayar 0,463 0,496 Tidak Signifikan Usia * Kesediaan membayar 0,719 0,982 Tidak Signifikan Status pernikahan * Kesediaan membayar 7,149 0,67 Signifikan Jumlah anggota keluarga * Kesediaan membayar 0,763 0,382 Tidak Signifikan Tingkat pendidikan * Kesediaan membayar 2,129 0,345 Tidak Signifikan Pekerjaan Kesediaan * membayar 1,840 0,871 Tidak Signifikan Pendapatan * Kesediaan membayar 10,510 0,033 Signifikan Sumber : Data Primer, diolah (2012) Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Kesediaan Membayar Jumlah responden laki-laki yang bersedia membayar beras analog berjumlah 23 responden, dan yang tidak bersedia berjumlah 7 responden. Sedangkan responden perempuan yang bersedia membayar berjumlah 49 responden dan tidak bersedia sebanyak 28 responden. Persentase responden yang bersedia membayar beras analog memang lebih didominasi oleh perempuan dibanding laki-laki. Hal ini disebabkan karena perempuan cenderung ingin cobacoba dan lebih konsumtif. Selain itu, pada umumnya perempuan merupakan 54

70 pengambil keputusan dalam konsumsi rumah tangga, terutama pangan pokok. Daulay (2012) menyatakan bahwa perempuan lebih memahami masalah-masalah yang berkaitan dengan konsumsi keluarga dan pengambil keputusan dalam pembelian mie instan sayur di Serambi Botani dibanding laki-laki. Selanjutnya, Radam et al. (2010) juga menyatakan bahwa perempuan lebih sadar kesehatan dibandingkan dengan laki-laki saat ini. Namun, ternyata jenis kelamin tidak dapat mewakili kesediaan membayar. Berdasarkan output hasil uji Chi-Square pada Lampiran 1. nilai Asymp. Sig (2- sided) lebih besar dari taraf nyata yang digunakan (0,496>0,10). Maka dapat diambil kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kesediaan membayar beras analog. Berdasarkan pengamatan di lapang, meskipun responden perempuan lebih bersedia membayar beras analog, namun dalam kesediaan membayarnya responden perempuan memiliki banyak pertimbangan dan membandingkannya dengan beras-beras sehat yang lain seperti beras organik, beras merah, dan lain-lain. Berbeda dengan responden laki-laki yang mengaku tidak akan segan-segan membayar suatu produk jika produk tersebut memang memiliki manfaat lebih. Namun, karena beras analog merupakan produk baru yang belum dikenal masyarakat luas, membuat responden laki-laki belum memiliki gambaran mengenai beras analog baik dari segi keunggulan, manfaat yang didapat jika mengonsumsi, maupun kualitas beras analog Hubungan antara Usia dengan Kesediaan Membayar Responden yang bersedia membayar beras analog lebih banyak berasal dari responden dengan kalangan usia tahun yaitu sebanyak 38 responden, sedangkan yang tidak bersedia membayar pada kalangan usia ini adalah sebanyak 18 responden. Responden pada usia ini umumnya sudah berkeluarga dan memiliki pendapatan sendiri sehingga bersedia membayar beras analog sesuai tingkat kemampuannya. Selain itu, konsumen pada usia ini biasanya akan lebih selektif dalam pemilihan konsumsi pangan yang lebih sehat, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk konsumsi keluarganya. Selanjutnya, diikuti dengan responden berusia tahun, bersedia membayar beras analog sebanyak 16 responden dan tidak bersedia membayar sebanyak 6 responden. Kategori usia ini merupakan usia dimana responden berada 55

71 pada tahap dewasa lanjut dan awal pembentukan keluarga. Responden pada usia ini mengaku tidak terlalu selektif dalam pemilihan konsumsi pangan, namun sudah mulai memperhatikan pangan yang lebih sehat untuk keluarga. Sebanyak 13 responden berusia tahun bersedia membayar beras analog, 4 responden tidak bersedia. Pada usia yang sudah tergolong tua dan cenderung tidak produktif ini, umumnya persentase pengeluaran untuk pangan semakin kecil pula. Responden berusia tahun dan tahun memiliki jumlah yang sama yaitu sebanyak 2 responden bersedia membayar beras analog, 1 responden tidak bersedia membayar beras analog. Hal ini mengindikasikan bahwa beras analog tidak terlalu diminati oleh kalangan remaja lanjut dan dewasa awal, karena dalam keputusan konsumsinya mereka memiliki orangtua yang memiliki andil lebih besar. Hanya terdapat 1 responden yang berusia lebih dari 65 tahun yang bersedia membayar beras analog. Meskipun beras analog sangat baik dikonsumsi oleh kalangan usia lanjut, namun karena responden pada usia ini kemampuan fisik seseorang cenderung sudah sangat menurun sehingga orang tersebut akan menurun mobilitasnya untuk mengunjungi Serambi Botani. Nilai Asymp.Sig.(2-sided) pada Pearson Chi-Square pada karakteristik responden berdasarkan usia menunjukkan angka yang berarti lebih besar dari taraf nyata yang digunakan (0,982>0,10). Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara karakteristik usia dengan kesediaan membayar beras analog, karena beras analog merupakan produk pangan pokok yang memiliki manfaat kesehatan yang dibutuhkan oleh berbagai kalangan usia Hubungan antara Status Pernikahan dengan Kesediaan Membayar Mayoritas responden yang bersedia membayar beras analog didominasi oleh responden yang sudah menikah yaitu sebanyak 55 responden, sedangkan 19 responden tidak bersedia membayar. Sebanyak 17 responden yang belum menikah bersedia membayar beras analog, 9 responden tidak bersedia membayar. Status pernikahan seseorang dapat menunjukkan tingkat konsumsi keluarga dalam memenuhi kebutuhan primernya. Seseorang yang sudah menikah dan memiliki anak, maka pendapatan yang diperolehnya digunakan untuk memenuhi konsumsi anggota keluarga. Responden yang telah memiliki keluarga lebih selektif dalam pemilihan pangan pokok karena bertanggungjawab untuk memperhatikan 56

72 konsumsi keluarganya sehari-hari. Sedangkan responden yang belum berkeluarga cenderung lebih fleksibel dalam pemilihan konsumsinya. Namun ternyata status pernikahan tidak dapat mengindikasikan kesediaan membayar beras analog. Pada output hasil uji Chi-Square, nilai Asymp.Sig.(2- sided) menunjukkan angka 0,382 yang lebih besar dari taraf nyata yang digunakan (0,382>0,10). Sehingga tidak terdapat hubungan antara karakteristik status pernikahan dengan kesediaan membayar beras analog. Responden yang sudah menikah maupun belum menikah membutuhkan pangan pokok untuk memenuhi kebutuhan primernya sehari-hari. Beras analog memiliki peluang pasar untuk dijadikan alternatif pangan pokok, sehingga tidak membatasi segmen konsumen baik yang berstatus belum menikah maupun yang sudah menikah Hubungan antara Jumlah Anggota Keluarga dengan Kesediaan Membayar Banyaknya responden yang bersedia membayar beras analog dengan jumlah anggota keluarga 2-4 orang sebanyak 32 responden, sedangkan 14 responden tidak bersedia membayar beras analog. Selanjutnya, responden dengan jumlah anggota keluarga lebih dari 4 orang bersedia membayar beras analog berjumlah sebanyak 23 responden, dan 5 responden tidak bersedia membayar. Hal ini menunjukkan bahwa responden yang sudah berkeluarga dengan jumlah anggota keluarga yang lebih sedikit, lebih bersedia membayar beras analog. Berbeda halnya dengan responden yang tidak memiliki anggota keluarga (belum berkeluarga), bersedia membayar beras analog yaitu sebanyak 17 responden, dan tidak bersedia membayar beras analog sebanyak 9 responden. Radam et al. (2010) menyatakan bahwa responden dengan jumlah anggota keluarga 4 atau lebih cenderung sensitif terhadap harga dan enggan membayar produk yang tidak menjadi prioritasnya. Nilai Asymp.Sig.(2-sided) pada karakteristik jumlah anggota keluarga menunjukkan angka 0,345 yang lebih besar dari taraf nyata yang digunakan. Jadi, karakteristik jumlah anggota keluarga tidak berhubungan dengan kesediaan membayar beras analog. Hal ini tidak terlepas dari peluang pasar beras analog yang berpotensi sebagai alternatif pangan pokok yang lebih sehat. Sehingga tidak membatasi konsumen baik keluarga kecil, keluarga besar, atau bahkan belum berkeluarga. 57

73 Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Kesediaan Membayar Jumlah responden yang telah menempuh pendidikan sarjanana, bersedia membayar beras analog sebanyak 31 responden, sedangkan 7 responden tidak bersedia membayar. Selanjutnya diikuti oleh responden yang memiliki pendidikan diploma/akademi, sebanyak 22 responden bersedia membayar beras analog, sedangkan 10 responden tidak bersedia. Responden dengan pendidikan pasca sarjana sebanyak 12 responden bersedia membayar, 3 responden tidak bersedia. Sedangkan jumlah responden berpendidikan SMA yang bersedia membayar yaitu 7 responden, 8 responden tidak bersedia membayar. Hal tersebut menggambarkan bahwa responden yang bersedia membayar beras analog adalah orang-orang yang berpendidikan. Hasil output uji Chi-Square menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan kesediaan membayar. Nilai Asymp.Sig.(2-sided) pada output bernilai 0,067 yang lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan (0,067<0,10). Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi pemahaman terhadap kesehatan, lingkungan, dan diversifikasi akan pangan yang dikonsumsinya sehingga dapat dengan mudah menerima produk baru seperti beras analog yang memiliki keunggulan manfaat kesehatan. Hasil ini diperkuat dengan hasil penelitian Radam et al. (2010) yang menyatakan bahwa responden yang telah menempuh pendidikan tingkat universitas cenderung bersedia membayar lebih untuk produk-produk yang mengurangi risiko kesehatan Hubungan antara Pekerjaan dengan Kesediaan Membayar Responden yang bersedia membayar beras analog dengan pekerjaan sebagai pegawai swasta berjumlah 27 responden, sedangkan 8 responden tidak bersedia membayar. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Daulay (2012) yaitu konsumen yang membeli mie instan sayur di Serambi Botani memang didominasi oleh konsumen dengan jenis pekerjaan pegawai swasta. Konsumen dengan pekerjaan ini cenderung memiliki tingkat pendapatan yang lebih tinggi sehingga lebih mudah dalam melakukan pembelian terhadap suatu barang, seperti beras analog. Lalu diikuti dengan ibu rumah tangga yaitu sebanyak 14 responden bersedia membayar beras analog, sedangkan 7 responden tidak bersedia 58

74 membayar. Responden dengan pekerjaan pegawai negeri, sebanyak 12 responden bersedia membayar beras analog, sedangkan 7 responden tidak bersedia membayar. Jumlah responden wiraswasta/pengusaha bersedia membayar beras analog sebanyak 10 responden, sedangkan 3 responden tidak bersedia membayar. Sebanyak 7 responden pelajar/mahasiswa bersedia membayar beras analog, 2 responden tidak bersedia. Pada hasil uji Chi-Square dapat dilihat pada nilai Asymp.Sig.(2-sided) menunjukkan angka sebesar 0,871 yang lebih besar dari taraf nyata yang digunakan (0,871>0,10). Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan antara karakteristik pekerjaan dengan kesediaan membayar beras analog. Hal ini mengindikasikan bahwa beras analog dapat menjangkau seluruh kalangan masyarakat, baik responden yang bekerja maupun tidak bekerja, karena potensi yang dimiliki sebagai pangan alternatif Hubungan antara Pendapatan dengan Kesediaan Membayar Responden yang digunakan untuk meneliti kesediaan membayar beras analog di Serambi Botani merupakan responden dengan kalangan menengah ke atas. Sebanyak 35 responden dengan pendapatan lebih dari Rp ,00 bersedia membayar beras analog, sedangkan 5 responden tidak bersedia. Selanjutnya responden yang bersedia membayar beras analog dengan pendapatan Rp Rp berjumlah sebanyak 22 responden, tidak bersedia sebanyak 10 responden. Responden dengan pendapatan Rp Rp yang bersedia membayar beras analog berjumlah sebanyak 8 responden, 5 responden tidak bersedia. Sebanyak 4 responden dengan pendapatan Rp Rp bersedia membayar beras analog dan 4 responden tidak bersedia. Sebanyak 3 responden yang berpendapatan Rp Rp bersedia membayar beras analog, sedangkan 4 responden tidak bersedia. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan responden, semakin responden bersedia membayar beras analog. Nilai Asymp.Sig.(2-sided) pada output uji Chi-Square menunjukkan angka 0,33 yang lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan. Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa karakteristik pendapatan berhubungan signfikan dengan kesediaan membayar beras analog. Berdasarkan survei yang dilakukan, 59

75 menunjukkan bahwa dalam pemenuhan kebutuhan pangannya, responden mengalami beberapa tahap seiring tingkat pendapatan yang dimiliki. Responden dengan pendapatan relatif rendah mengaku bahwa pendapatan yang dimiliki sekedar memenuhi kebutuhan pangannya sehari-hari, sehingga dirasa lebih praktis jika memilih beras konvensional yang harganya lebih terjangkau. Lalu, dengan bertambah pendapatan, responden semakin sadar akan kesehatan dan menginginkan pangan yang lebih sehat untuk dikonsumsi. Selanjutnya, responden kalangan menengah ke atas mengaku bahwa pangan yang dipilih bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan primer dan kesehatan, melainkan lebih dijadikan gaya hidup (prestise). Husodo et al. (2009) menyatakan bahwa adanya kecenderungan saat ini dimana konsumen berpendapatan kalangan menengah ke atas cenderung lebih memiliki kesadaran akan pentingnya produk-produk sehat dan ramah lingkungan Analisis Willingness To Pay Beras Analog Berdasarkan hasil survei dari 100 responden yang dilakukan, didapatkan bahwa sebanyak 72 responden (72%) bersedia membayar beras analog dengan harga lebih dari sama dengan Rp ,00. Responden-responden tersebut mengaku kesediaan mereka membayar di atas harga premium ini didasarkan pada pengetahuan dan keyakinan bahwa beras analog lebih mendatangkan banyak manfaat dibanding beras biasa, baik itu manfaat tangible maupun intangible. Sisanya sebanyak 28 responden (28%) tidak bersedia membayar beras analog dengan harga Rp ,00 dan memilih harga lebih rendah. Responden ini mengaku akan bersedia membayar jika harga beras analog tidak jauh berbeda dengan beras konvensional. Hal ini diduga karena belum adanya kesadaran responden akan diversifikasi pangan dan konsumsi pangan yang lebih sehat. Selain itu ketidaksediaan responden juga disebabkan karena responden belum mengetahui beras analog secara baik sehingga belum mengetahui manfaat yang dimiliki jika mengonsumsi beras tersebut. Persentase perbandingan kesediaan responden dalam membayar beras analog dapat dilihat pada Gambar

76 28% 72% Bersedia Tidak Bersedia Gambar 11. Persentase Kesediaan Responden Membayar Beras Analog Analisis Willingness To Pay Beras Analog di Serambi Botani pada penelitian ini dilakukan dengan pendekatan CVM (Contingent Valuation Method). Dari langkah-langkah pendekatan CVM yang dilakukan, didapatkan hasil sebagai berikut: Pasar Hipotesis Pasar hipotesis yang digunakan telah dirumuskan pada saat penetilitian, yaitu berisi informasi mengenai rencana launching produk pangan non padi baru, yaitu beras analog. Dari hipotesis, responden memperoleh gambaran informasi karakteristik produk hingga manfaat yang dimiliki jika mengonsumsi beras analog, seperti manfaat kesehatan dan juga berpartisipasi dalam mendukung program diversifikasi pangan. Sebanyak 44 orang responden (44%) mengaku telah mengetahui beras analog sebelumnya, sehingga timbulnya jawaban yang bias dalam pengambilan data dapat berkurang. Pasar hipotesis ini pada dasarnya bertujuan untuk menanyakan langsung kepada responden berapa nilai (harga) maksimum yang bersedia dibayarkan untuk beras analog Nilai Lelang (Bids) Pada penelitian ini, metode permainan lelang (Bidding Game) digunakan untuk mengetahui nilai WTP beras analog, dimana responden diberi pertanyaan secara berulang-ulang tentang keinginan membayar sejumlah tertentu sampai mendapatkan nilai maksimum yang ingin dibayarkan untuk perbaikan lingkungan, yaitu diversifikasi pangan. Nilai awal (Starting Point) yang digunakan adalah Rp ,00. Nilai terendah yang bersedia dibayar responden Serambi Botani untuk beras analog per 800 gram adalah Rp ,00 sedangkan nilai tertinggi adalah Rp ,00. Distribusi nilai (harga) yang bersedia dibayarkan responden terhadap beras analog dapat dilihat pada Lampiran 2. 61

77 Nilai Rataan WTP Dugaan nilai rataan WTP responden di Serambi Botani terhadap harga maksimum untuk beras analog diperoleh berdasarkan nilai WTP yang diberikan responden dengan jumlah responden yang bersedia membayar dengan harga tersebut. Hasil nilai rataan WTP responden untuk beras analog menunjukkan angka Rp ,00 per 800 gram (Lampiran 2). Nilai ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga yang ingin ditawarkan oleh pihak Serambi Botani, yaitu Rp ,00 per 800 gram. Nilai rataan tersebut mengindikasikan bahwa adanya surplus konsumen karena nilai WTP yang diinginkan responden lebih tinggi daripada nilai WTP rata-rata, yaitu sebesar Rp 2.610,00. Walaupun harga tersebut sudah mahal, namun sebanyak 72 responden masih bersedia membayar beras analog dengan harga lebih tinggi. Hal ini dikarenakan responden Serambi Botani merupakan konsumen yang tidak hanya peduli akan kesehatan dan lingkungan, namun juga memengaku peduli akan diversifikasi pangan Kurva Lelang (Bid Curve) Kurva WTP responden dibentuk menggunakan jumlah kumulatif dari jumlah individu yang memilih suatu nilai WTP tertentu. Asumsinya adalah individu yang bersedia membayar suatu nilai tertentu jumlahnya akan semakin sedikit sejajar dengan peningkatan nilai WTP. Gambar 12 menjelaskan hubungan antara tingkat WTP responden dengan jumlah responden yang bersedia membayar pada tingkat WTP tersebut. Berdasarkan gambar menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat WTP, semakin rendah kesediaan responden untuk membayar beras analog. Hasil plot kurva WTP beras analog tersebut berkumpul pada titik yang menunjukkan tingkat kesediaan responden untuk membayar akan semakin berkurang seiring peningkatan nilai WTP. Hasil plot tersebut mewakili kurva permintaan responden terhadap beras analog. 62

78 Nilai WTP Jumlah Responden Gambar 12. Dugaan Kurva WTP Responden Beras Analog Sumber: Data Primer, diolah (2012) Agregat Data (Total WTP) Nilai total WTP (TWTP) responden dihitung berdasarkan data distribusi WTP responden. Nilai rataan WTP yang telah diperoleh kemudian dikalikan dengan jumlah responden pengunjung. Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh nilai TWTP responden adalah sebesar Rp , Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai WTP Responden terhadap Beras Analog Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi nilai WTP yang diberikan responden terhadap beras analog dianalisis dengan menggunakan analisis regresi berganda. Analisis regresi berganda dipilih karena variabel independent yang digunakan yaitu WTP mencapai metrik. Dalam model ini taraf nyata yang digunakan adalah lima (5) persen (α = 0,05) yang artinya tingkat kepercayaan dalam penarikan kesimpulan penelitian adalah 95 persen. Model fungsi nilai WTP yang disusun dalam penelitian ini terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan terhadap tingkat kelayakan suatu model berdasarkan asumsi OLS (Ordinary Least Square). Untuk itu model yang dihasilkan diuji asumsi multikolinieritas, normalitas sisaan, homoskedastisitas ragam sisaan, dan kebebasan sisaan terlebih dahulu. Untuk menguji multikolinieritas dapat dilihat pada nilai VIF pada output regresi pada 63

79 Tabel 5. Nilai VIF semua variabel bernilai kurang dari 10, sehingga tidak terjadi pelanggaran asumsi multikolinieritas antar variabel. Untuk uji asumsi kenormalan sisaan, kehomogenan ragam sisaan, dan kebebasan sisaan dapat dilihat pada Lampiran 4. Pada plot normal probability menunjukan bahwa data menyebar mengikuti garis linier, sehingga asumsi normalitas sisaan terpenuhi. Pada plot versus fits menunjukan bahwa plot setiap sisaan memiliki lebar pita yang sama serta mendekati nilai 0, asumsi kehomogenan ragam sisaan terpenuhi. Pada plot versus order menunjukan bahwa plot setiap sisaan tidak membentuk pola, sehingga asumsi kebebasan sisaan terpenuhi. Koefisien determinasi (R-sq) pada tabel menunjukkan angka 41,9 persen yang menunjukkan bahwa keragaman nilai WTP responden dapat dijelaskan oleh variabel dalam model sebesar 41,9 persen, sedangkan sisanya sebesar 58,1 persen dijelaskan oleh variabel di luar model. Variabel respon (dependent) adalah nilai WTP yang diberikan setiap responden. Sedangkan variabel penjelas (independent) yang diduga mempengaruhi nilai WTP tersebut terdiri dari dummy jenis kelamin (D 1 JK), usia (USIA), lama pendidikan (PDDKN), dummy status pernikahan (D 2 PNKHN), jumlah anggota keluarga (JAK), dummy pekerjaan (D 3 PKRJN), pendapatan (PDPTN), dummy konsumsi beras konvensional (D 4 KONV), tingkat kepedulian terhadap diversifikasi pangan (DIVER), dummy preferensi pangan sumber karbohidrat (D 5 KARBO), dan dummy pengetahuan beras analog (D 6 ANLG). Hasil analisis faktor-faktor yang memepengaruhi nilai WTP responden terhadap beras analog dapat dilihat pada Tabel 5. Dari hasil analisis tersebut dapat disusun dugaan model persamaan nilai WTP beras analog, sebagai berikut: WTP = D 1 JK 533 USIA PDDKN 11 D 2 PNKHN 69 JAK 2646 D 3 PKRJN PDPTN 1247D 4 KONV DIVER 863 D 5 KARBO D 6 ANLG 64

80 Tabel 5. Hasil Analisis Regresi Berganda Nilai WTP Responden Beras Analog Predictor Coef P VIF Constant ,549 JK 935 0,457 1,2 USIA -533,0 0,520 1,9 PDDKN 943,5 0,013 1,5 PNKHN -11 0,996 4,3 JAK -68,9 0,884 3,9 PKRJN ,035 1,4 PDPTN 1567,0 0,017 2,2 KONV ,408 1,9 DIVER ,002 1,7 KARBO ,457 1,2 ANLG ,003 1,2 R-Sq = 40,3% Analysis of Variance Source DF F P Regression 11 5,77 0,000 Residual Error 88 Total 99 Uji F dilakukan untuk menjelaskan apakah model analisis berganda tersebut berpengaruh nyata terhadap nilai WTP pada taraf nyata 5%. Nilai F hitung sebesar 5,77 dengan P-value yang menunjukkan angka 0,000 menunjukkan bahwa variabel-variabel penjelas dalam model secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap nilai WTP responden (P-value 0,000<0,05) pada taraf nyata 5%. Selanjutnya dilakukan uji T untuk mengetahui minimal ada peubah ke i yang berpengaruh nyata di model regresi analisis berganda tersebut. Pada taraf nyata 5%, peubah yang signifikan berpengaruh nyata terhadap nilai WTP yang diberikan responden terhadap beras analog adalah lama pendidikan, pekerjaan, pendapatan, tingkat kepedulian terhadap diversifikasi pangan, dan pengetahuan beras analog. Variabel-variabel tersebut akan signifikan pada taraf nyata 5% dan pada saat variabel lainnya tetap (ceteris paribus). Sehingga didapatkan model persamaan WTP beras analog sebagai berikut: WTP = PDDKN 2646 D 4 PKRJN PDPTN DIVER D 3 ANLG Adapun penjelasan masing-masing variabel dijelaskan sebagai berikut: 1. Jenis Kelamin 65

81 Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa nilai koefisien regresi untuk variabel jenis kelamin diperoleh bernilai positif sebesar 935 yang berarti bahwa jenis kelamin perempuan akan meningkatkan nilai WTP beras analog sebesar Rp 935,00 per 800 gram. Daulay (2012) menyatakan bahwa adanya kecenderungan perempuan yang bersedia membayar lebih tinggi dibanding laki-laki. Radam et al. (2010) juga menyatakan bahwa perempuan lebih sadar kesehatan dibandingkan dengan laki-laki saat ini. Namun, ternyata pada taraf nyata 5 persen (0,05), variabel jenis kelamin tidak berpengaruh signifikan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTP beras analog. Hal ini ditunjukkan dengan nilai P-value yang bernilai lebih besar dari taraf nyata (0,457>0,005). Berdasarkan karakteristiknya, hanya sedikit responden perempuan yang bekerja, sebagian besar responden perempuan merupakan ibu rumah tangga sehingga tidak memiliki pendapatan sendiri dan lebih terbatas dalam pembelian suatu produk. Alasan ini didukung dengan sifat perempuan yang cenderung sensitif terhadap harga membuat responden enggan membayar beras analog yang lebih mahal dibanding beras konvensional. 2. Usia Variabel usia memiliki hubungan yang negatif dan bernilai 533, yang berarti bahwa apabila usia responden naik satu tingkatan lebih tinggi, maka akan menurunkan WTP beras analog sebesar Rp 533,00. Ameriana (2006) menyatakan bahwa variabel usia belum tentu berpengaruh terhadap kesediaan membayar premium, tergantung dari produk dan kasus yang menjadi objek penelitian. Jika berpengaruh pun arahnya bisa negatif atau positif, sehingga sulit menjelaskannya. Pada penelitian ini, usia tidak berpengaruh terhadap nilai WTP beras analog. Nilai P-value pada variabel usia menunjukkan angka 0,520 yang lebih besar dari taraf nyata yang digunakan (0,520>0,05) yang berarti bahwa variabel usia tidak dapat mengindikasikan nilai yang bersedia dibayar untuk beras analog. Hal ini dikarenakan responden usia muda cenderung lebih royal dan tidak terlalu berpikir panjang, sehingga dalam pemberian nilai WTP cenderung memberikan nilai yang tinggi. Sedangkan responden pada tingkat usia lebih tua, dalam pemberian nilai WTP untuk beras analog cenderung membutuhkan banyak pertimbangan. Selain itu, kalangan usia tua sebagian besar sudah tidak produktif 66

82 dan tidak memiliki pekerjaan sehingga alokasi pendapatan yang dimiliki untuk membayar beras analog semakin berkurang dan membuat konsumen pada kalangan usia ini enggan membayar beras analog. 3. Status Pernikahan Nilai koefisien regresi pada variabel status pernikahan bernilai 11 dan menunjukkan arah yang negatif terhadap nilai WTP beras analog yang berarti bahwa responden yang sudah menikah akan menurunkan nilai WTP sebesar Rp 11,00. Pada hasil analisis regresi yang dilakukan, untuk variabel status pernikahan diperoleh nilai P-value sebesar 0,996 yang lebih besar dari taraf nyata yang digunakan (0,996>0,05). Hal ini menunjukkan pada tingkat kepercayaan 95 persen, variabel status pernikahan tidak berpengaruh signifikan terhadap nilai WTP yang bersedia dibayarkan untuk beras analog. Dengan kata lain tidak terdapat perbedaan nilai yang nyata antara responden yang sudah menikah maupun yang belum menikah untuk membayar beras analog. Husodo et al (2009) dalam penelitiannya menyatakan bahwa responden yang belum menikah memiliki kesanggupan membayar WTP lebih tinggi dibanding responden yang sudah menikah. Sedangkan Radam et al. (2010) menyatakan bahwa responden sudah menikah dan memiliki anak, cenderung kurang peduli dengan harga ketika membuat keputusan. Orang tua memiliki tanggung jawab dan kepentingan intrinsik dalam menyediakan makanan yang aman dan sehat bagi anak-anak mereka. Perbedaan hasil penelitian terdahulu tersebut menunjukkan bahwa status pernikahan tidak dapat mengindikasikan nilai yang bersedia dibayarkan konsumen terhadap suatu produk. Pada penelitian ini, beras analog merupakan alternatif pangan yang lebih sehat dan berpotensi sebagai pangan pokok, sehingga baik responden sudah menikah maupun yang belum menikah berpotensi sebagai konsumen yang akan meningkatkan nilai kesediaan membayar beras analog. 4. Jumlah anggota keluarga Berdasarkan hasil analisis regresi diketahui bahwa nilai koefisien regresi untuk jumlah anggota keluarga bernilai negatif sebesar 68,9. Ini menunjukkan bahwa jika jumlah anggota keluarga bertambah satu orang maka nilai WTP akan menurun sebesar Rp 68,00 per 800 gram. Pada tingkat kepercayaan 95 persen, 67

83 variabel jumlah anggota keluarga tidak berpengaruh nyata terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTP. Ini ditunjukkan oleh nilai P value yang lebih dari taraf nyata 5% (0,884>0,005). Sehingga dengan bertambahnya jumlah anggota keluarga maka belum tentu menurunkan nilai WTP yang diberikan responden. Responden dengan ukuran jumlah anggota keluarga yang relatif sedikit, mengaku lebih memperhatikan kandungan gizi dari pangan yang akan dikonsumsi keluarganya dan bersedia membayar beras analog, dibandingkan responden dengan jumlah anggota keluarga yang relatif banyak. Selain itu, konsumen yang sudah menikah biasanya memiliki rencana anggaran rumah tangga yang terstruktur sehingga sulit mengalokasikan pengeluaran konsumsi keluarganya dan membutuhkan banyak pertimbangan dalam kesediaan membayar. Berbeda halnya dengan responden yang belum menikah. Sebagian responden ini mengaku tidak keberatan jika membayar beras analog dengan harga premium karena hanya perlu memperhatikan konsumsi pangan dirinya sendiri. Sedangkan responden yang belum menikah lainnya mengaku tidak terlalu tertarik dengan manfaat kesehatan yang ditawarkan beras analog, karena merasa masih muda dan sehat. 5. Lama Pendidikan Berdasarkan hasil analisis regresi diketahui bahwa nilai koefisien regresi untuk variabel lama pendidikan bernilai positif yaitu sebesar 943,5 yang berarti jika lama pendidikan responden naik satu tahun, maka akan meningkatkan nilai WTP beras analog sebesar Rp 943,00 per 800 gram. Pada tingkat kepercayaan 95%, variabel lama pendidikan berpengaruh signifikan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTP beras analog. Hal ini ditunjukkan dengan nilai P- value yang lebih kecil dari taraf nyata (0,013<0,05). Semakin lama seseorang menempuh pendidikan, semakin memiliki kesadaran akan diversifikasi pangan dan kesehatan sehingga lebih responsif dan bersedia membayar beras analog. Seseorang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memiliki pengetahuan yang lebih mengenai pangan yang akan dikonsumsi. Sehingga dalam kesediaan pembayarannya, responden tersebut telah mengetahui mana pangan yang baik dan mana yang buruk untuk dikonsumsi. Radam et al. (2010) menyatakan bahwa responden yang telah menempuh pendidikan tingkat universitas cenderung bersedia membayar lebih untuk produk- 68

84 produk yang mengurangi risiko kesehatan. Pada penelitian ini, responden yang bersedia membayar beras analog adalah responden yang telah menempuh pendidikan sarjana, sehingga memiliki pengetahuan akan diversifikasi pangan yang lebih sehingga bersedia membayar beras analog, yang pada akhirnya responden tersebut akan meningkatkan nilai WTP 6. Pekerjaan Berdasarkan hasil analisis regresi, variabel pekerjaan memiliki nilai koefisien regresi negatif sebesar -2646, artinya konsumen yang memiliki pekerjaan sebagai pegawai akan mengurangi nilai WTP sebesar Rp 2.646,00 per 800 gram. Pada tingkat kepercayaaan 95 persen, variabel pekerjaan berpengaruh nyata terhadap nilai WTP beras analog. Hal ini ditunjukkan dengan nilai P value yang kurang dari taraf nyata 5% (0,035<0,05) yang berarti bahwa responden yang memiliki pekerjaan sebagai non-pegawai secara signifikan berpengaruh terhadap penurunan nilai WTP beras analog. Responden dengan pekerjaan pegawai cenderung memiliki pola pikir lurus, tidak mau mengambil resiko, dan selalu dituntut oleh rutinitas. Pola pikir ini nantinya mempengaruhi pola konsumsi pangan sehingga responden pegawai cenderung enggan mencoba beras analog yang merupakan produk baru karena telah terbiasa mengonsumsi beras konvensional. Selain itu, jika dikaitkan dengan pendapatan, responden dengan pekerjaan pegawai umumnya memiliki pendapatan yang tetap setiap bulannya, sehingga rencana anggaran untuk konsumsi telah diatur setiap bulannya. Karakteristik-karakteristik pegawai tersebut menyebabkan responden pegawai menurunkan nilai WTP. 7. Pendapatan Berdasarkan hasil analisis regresi, variabel pendapatan memiliki nilai koefisien regresi positif sebesar 1567,0 artinya konsumen dengan satu kategori pendapatan yang lebih besar akan menaikkan nilai WTP untuk beras analog sebesar Rp 1.567,00 per 800 gram untuk beras analog. Pada tingkat kepercayaaan 95 persen, variabel pendapatan berpengaruh nyata terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTP beras analog. Hal ini ditunjukkan dengan nilai P-value yang kurang dari taraf nyata 5% (0,017<0,05). Sehingga semakin tinggi tingkat 69

85 pendapatan responden maka secara signifikan akan meningkatkan nilai WTP beras analog pada taraf nyata 5%. Radam et al. (2010) menyatakan bahwa konsumen dengan pendapatan yang lebih tinggi lebih mampu membayar produk lingkungan. Pendapatan berkaitan erat dengan sumberdaya yang dimiliki konsumen. Jika sumberdaya yang dimiliki meningkat, daya beli konsumen tersebut akan meningkat. Berdasarkan survei yang dilakukan, responden beras analog didominasi oleh kalangan menengah ke atas dengan pendapatan per bulan lebih dari Rp ,00. Selanjutnya Husodo et al. (2009) juga menyatakan bahwa adanya kecenderungan saat ini dimana konsumen berpendapatan kalangan menengah ke atas cenderung lebih memiliki kesadaran akan pentingnya produk-produk sehat dan ramah lingkungan. Responden kalangan menengah ke atas yang bersedia membayar beras analog mengaku yakin bahwa produk beras analog ini masuk akal jika harganya lebih tinggi karena beras analog ini memiliki manfaat kesehatan yang lebih dan juga aman dibandingkan produk alternatif pangan lainnya. Pada penelitian Bernard dan Mitra (2007), sebagian responden kalangan menengah ke atas setuju dengan pernyataan Saya bersedia mengubah gaya hidup saya saat ini jika membantu untuk menyelamatkan lingkungan Hal ini mengindikasikan bahwa responden kalangan menengah ke atas identik dengan gaya hidup sehat dan seringkali lebih mementingkan prestise untuk menyelamatkan lingkungan. 8. Konsumsi beras konvensional Berdasarkan hasil analisis regresi diketahui bahwa nilai koefisien regresi untuk variabel konsumsi beras konvensional bernilai negatif sebesar Ini menunjukkan bahwa jika responden tersebut terbiasa mengonsumsi beras konvensional setiap hari maka nilai WTP akan menurun sebesar Rp 1247,00 per 800 gram. Namun, pada tingkat kepercayaan 95 persen, variabel konsumsi beras kovensional tidak berpengaruh nyata terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTP. Ini ditunjukkan oleh nilai P-value yang lebih besar dari taraf nyata 5% (0,408>0,005). Sehingga dengan konsumsi beras konvensional setiap hari belum tentu menurunkan nilai WTP yang diberikan responden pada taraf nyata 5%. Sebagian besar responden mengaku memiliki kesadaran akan diversifikasi 70

86 pangan dan ingin mengaplikasikannya pada pola konsumsinya sehari-hari. Namun, sampai sekarang ini belum ada pangan alternatif lain yang dianggap seseuai dan convenience untuk dikonsumsi. Ubi, jagung, singkong, tiwul, sorgum, dan pangan lainnya masih dirasa belum pas untuk menggantikan beras. Sejauh ini pangan-pangan tersebut hanya diolah menjadi bahan tambahan untuk kue dan penganan lainnya sehingga pangan tersebut hanya menjadi makanan selingan bahkan cenderung dianggap pangan inferior. 9. Tingkat kepedulian terhadap diversifikasi pangan Berdasarkan hasil analisis regresi diketahui bahwa nilai koefisien regresi untuk tingkat kepedulian terhadap diversifikasi pangan bernilai positif yaitu sebesar Ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat kepedulian responden terhadap diversifikasi pangan maka nilai WTP akan semakin meningkat sebesar Rp 3.267,00 per 800 gram. Pada tingkat kepercayaan 95 persen, variabel tingkat kepedulian terhadap diversifikasi pangan berpengaruh nyata terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTP. Nilai P-value menunjukkan angka yang kurang dari taraf nyata 5% (0,002<0,005), sehingga variabel tingkat kepedulian terhadap diversifikasi pangan berpengaruh nyata dalam nilai WTP yang diberikan responden. Responden yang digunakan pada penelitian ini merupakan responden yang peduli akan diversifikasi pangan. Ameriana (2006) menyatakan bahwa tingkat kepedulian konsumen dapat dijadikan indikator untuk memprediksi peluang diterimanya produk di pasaran. Adanya kecenderungan saat ini dimana munculnya kesadaran konsumen akan pentingnya produk-produk sehat dan ramah lingkungan adalah dari konsumen kalangan menengah ke atas. Mayoritas responden yang bersedia membayar beras analog merupakan responden kalangan menengah ke atas yang mengaku peduli akan lingkungan dan diversifikasi pangan. 10. Preferensi pangan sumber karbohidrat Berdasarkan hasil analisis regresi diketahui bahwa nilai koefisien regresi untuk variabel preferensi pangan sumber karbohidrat bernilai negatif sebesar 863. Ini menunjukkan bahwa jika responden tersebut lebih memilih untuk mengonsumsi pangan lokal sebagai sumber karbohidrat, maka nilai WTP akan 71

87 menurun sebesar Rp 863,00 per 800 gram. Namun, variabel preferensi pangan sumber karbohidrat tidak mempengaruhi nilai WTP beras analog yang diberikan responden. Pada tingkat kepercayaan 95 persen, diperoleh nilai P-value yang lebih besar dari taraf nyata yaitu 0,457 (0,457>0,005). Sehingga responden yang lebih memilih untuk mengonsumsi pangan lokal sebagai sumber karbohidrat belum tentu meningkatkan nilai WTP yang diberikan responden pada taraf nyata 5%. Kelompok responden yang lebih memilih mengonsumsi pangan lokal sebagai sumber karbohidrat mengaku lebih memilih pangan lokal seperti ubi, jagung, dan singkong karena harganya yang murah dan memang terbukti memiliki kandungan karbohidrat yang baik. Namun sejauh ini pangan pokok hanya dijadikan makanan selingan karena belum adanya olahan pangan yang convenience untuk dijadikan pangan pokok. Sedangkan kelompok responden yang lebih memilih pangan impor mengaku bahwa responden tersebut menjadikan pangan berbahan dasar gandum (mie, sereal, dan roti) sebagai sumber karbohidrat setelah beras. Responden pada kelompok ini mengaku percaya bahwa gandum memiliki kandungan gizi dan kualitas yang lebih baik. Adanya kecenderungan konsumen tersebut menyebabkan preferensi pangan sumber karbohidrat tidak berpengaruh terhadap nilai WTP. 11. Pengetahuan beras analog Pengetahuan konsumen terhadap produk diduga berpengaruh positif dalam nilai (harga) yang bersedia dibayarkan. Hasil koefisien regresi pada variabel pengetahuan responden terhadap beras analog menunjukkan angka 3585 yang berarti jika responden yang telah mengetahui beras analog sebelumnya akan meningkatkan nilai WTP sebesar Rp 3.585,00 per 800 gram. Pada tingkat kepercayaan 95 persen, variabel pengetahuan beras analog berpengaruh nyata terhadap nilai WTP yang diberikan. Dapat dilihat pada nilai P-value yang menunjukkan angka sebesar yang bernilai kurang dari taraf nyara yang digunakan (0,003<0,005). Ameriana (2006) menyatakan bahwa konsumen yang telah mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang cukup mengenai manfaat lingkungan yang ditimbulkan jika mengonsumsi suatu produk, informasi pelabelan dapat membentuk/menambah keyakinan konsumen. Sementara itu, bagi konsumen yang 72

88 pengetahuan dan pengalamannya masih kurang, pelabelan dapat menimbulkan keingintahuan konsumen mengenai produk tersebut, yang pada akhirnya dapat mendorong konsumen menjadi ingin membeli. Responden yang telah mengetahui beras analog sebelumnya, berarti telah memiliki gambaran mengenai beras analog baik dari segi karakteristik, manfaat dan kualitasnya. Beras analog yang dijual di Serambi Botani, dikemas sedemikian rupa dan diberi label seperti informasi kandungan gizi yang dimiliki beras analog dibandingkan beras biasa, hingga cara memasak nya yang lebih praktis juga disajikan (Lampiran 6.). Jadi, dengan diberi pelabelan, dapat menambah keyakinan responden. Sedangkan bagi responden yang belum memiliki pengetahuan mengenai beras analog, pelabelan pada kemasan beras analog dapat menimbulkan keingintahuan dan mendorong responden untuk bersedia membayar beras analog dan meningkatkan nilai WTP yang bersedia dibayarkan untuk beras analog. 73

89 VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Berdasarkan analisis dari hasil penelitian, diperoleh beberapa kesimpulan, yaitu beras analog memiliki peluang pasar yang cukup baik, yang ditunjukkan oleh 72% responden bersedia membayar. Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan dan pendapatan berhubungan signifikan terhadap kesediaan membayar beras analog tersebut. Hasil nilai rataan WTP responden untuk beras analog yang didapat adalah Rp ,00 per 800 gram. Nilai ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga yang ingin ditawarkan oleh pihak Serambi Botani, yaitu Rp ,00 per 800 gram. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTP tersebut dipengaruhi oleh lama pendidikan, pekerjaan, pendapatan, tingkat kepedulian terhadap diversifikasi pangan, dan pengetahuan mengenai beras analog Saran Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dalam penelitian ini, saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut: 1. Besarnya nilai rataan WTP responden dapat dijadikan acuan dalam penetapan harga beras analog, namun pihak Serambi Botani juga sebaiknya mempertimbangkan masyarakat kalangan menengah ke bawah. Serambi Botani sebaiknya menetapkan pangsa pasar yang lebih luas sehingga benefit yang dimiliki beras analog tidak hanya dirasakan oleh kalangan tertentu saja, mengingat beras analog dimaksudkan untuk menjawab kebutuhan pasar dan akan dijadikan alternatif pangan bagi seluruh masyarakat. Langkah ini dapat dicapai salah satunya dengan meningkatkan jumlah produksi sehingga efisisensi dapat tercapai dan didapatkan harga beras analog yang lebih murah. Selain itu juga bisa dilakukan diversifikasi produk beras analog untuk kalangan menengah ke bawah. 2. Untuk penelitian selanjutnya dapat dikaji mengenai Willingness to Pay atau Willingness to Accept dari responden yang sudah mengonsumsi (membeli) beras analog agar dapat dibandingkan nilai WTP yang diberikan masingmasing responden tersebut. 74

90 DAFTAR PUSTAKA Ameriana M Kesediaan Konsumen Membayar Premium untuk Tomat Aman Residu Pestisida. Jurnal Hortikultura Balitbang Pertanian 16(2): [BPS] Badan Pusat Statistik Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Barnard E, Mitra A A Contingent Valuation Method to Measure Willingness to Pay for Eco-Label Products. Proceedings of the Academy for Economics and Economic Studies. 13(2):5-10. Daulay, MD Analisis Proses Keputusan Pembelian Konsumen Untuk Membayar (Willingness To Pay) Mie Instan Sayur di Serambi Botani, Botani Square, Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Engel et al Perilaku Konsumen Edisi Keenam, jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara. Field, BC Enviromental Economics an Introduction. Singapore: McGraw- Hill Book Co. Garrod G, Willis KG Economic Valuation of The Environment Methods and Case Studies. USA: Edward Elgar Publishing Limited. Fauzi, A Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Teori dan Aplikasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Firdaus M, Farid MA Aplikasi Metode Kuantitatif Terpilih Untuk Manajemen dan Bisnis. Bogor: IPB Press. Kahn, JR The Economic Approach to Enviromental and Natural Resources. USA: Thomson Learning. [Kementan] Kementrian Pertanian Data Penting Padi Dunia dan Beberapa Negara Asia. Jakarta: Kementrian Pertanian. [Kementan] Kementrian Pertanian Pedoman Umum Peningkatan Diversifikasi dan Ketahanan Pangan Masyarakat Badan Ketahanan Pangan Tahun Jakarta: Kementrian Pertanian. Kotler, P Manajemen Pemasaran Edisi Kesebelas Jilid 1. Jakarta: PT Indeks Kelompok Gramedia. Hanley H, Spash CL Cost Benefit Aanalysis and Environment. USA: Edward Elgar Publishing Company. Harmini Modul Mata Kuliah Metode Kuantitatif Bisnis I. Bogor: Departemen Agribisnis FEM-IPB. 75

91 Husodo S, Bharoto Willingness to Pay Konsumen Terhadap Produk Pertanian Organik (Studi Kasus di Kodya Yogyakarta). Jurnal Ilmu Pertanian Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Magelang Jurusan Penyuluhan Pertanian Yogyakarta : Iwamoto H Consumers Willingness to Pay for Low Calorie Labeled Rice. Australian Agricultural and Resource Economics Society. Mishra A, Mishra HN, Rao PS Preparation of rice analog using extrusion technology. International Journal of Food Science and Technology. Nazir, M Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia. Radam A, Yacob MR, Bee TS, Selamat J Consumer s Perceptions, Attitudes dan Willingness to Pay towards Food Products with No Added MSG Labelling. International Journal of Marketing Studies. Sumarwan, Ujang Perilaku Konsumen Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran. Bogor: PT Ghalia Indonesia. Umar, H Riset Pemasaran dan Perilaku Konsumen. Jakarta: Ghalia Indonesia. Yakin, A Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta: CV Akademika Pressindo 76

92 LAMPIRAN 77

93 Lampiran 1. Hasil Uji Chi-Square Crosstabs Case Processing Summary Cases Valid Missing Total N Percent N Percent N Percent Jenis_Kelamin * Kesediaan_Membayar % 0.0% % Usia * Kesediaan_Membayar % 0.0% % Status_Pernikahan * Kesediaan_Membayar Jumlah_Angota_Keluarga * Kesediaan_Membayar Tingkat_Pendidikan * Kesediaan_Membayar Pekerjaan * Kesediaan_Membayar Pendapatan * Kesediaan_Membayar % 0.0% % % 0.0% % % 0.0% % % 0.0% % % 0.0% % 78

94 1. Jenis Kelamin Crosstab Count Kesediaan_Membayar Bersedia Tidak Be Total Jenis_Kelamin Laki-Laki Perempuan Total Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1- Value Df sided) sided) sided) Pearson Chi-Square.463 a Continuity Correction b Likelihood Ratio Fisher's Exact Test N of Valid Cases b 100 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is

95 2. Usia Crosstab Count Kesediaan_Membayar Bersedia Tidak Be Total Usia tahun tahun tahun tahun tahun >65 tahun Total Chi-Square Tests Value df Asymp. Sig. (2- sided) Pearson Chi-Square.719 a Likelihood Ratio N of Valid Cases 100 a. 7 cells (58.3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is

96 3. Status Pernikahan Crosstab Count Kesediaan_Membayar Bersedia Tidak Be Total Status_Pernikahan Belum Menikah Menikah Total Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1- Value df sided) sided) sided) Pearson Chi-Square.763 a Continuity Correction b Likelihood Ratio Fisher's Exact Test N of Valid Cases b 100 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is

97 4. Jumlah Anggota Keluarga Crosstab Count Kesediaan_Membayar Bersedia Tidak Be Total Jumlah_Angota_Keluarga 0 orang ora >4 oran Total Chi-Square Tests Value df Asymp. Sig. (2- sided) Pearson Chi-Square a Likelihood Ratio N of Valid Cases 100 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is

98 5.Tingkat Pendidikan Crosstab Count Kesediaan_Membayar Bersedia Tidak Be Total Tingkat_Pendidikan SMA Diploma Sarjana Pasca S Total Chi-Square Tests Value df Asymp. Sig. (2- sided) Pearson Chi-Square a Likelihood Ratio N of Valid Cases 100 a. 2 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is

99 6. Pekerjaan Crosstab Count Kesediaan_Membayar Bersedia Tidak Be Total Pekerjaan Pelajar/Mahasiswa Pegawai Negeri Pegawai Swasta Wiraswasta/Pengus Ibu Rumah Tangga Pensiunan Total Chi-Square Tests Value df Asymp. Sig. (2- sided) Pearson Chi-Square a Likelihood Ratio N of Valid Cases 100 a. 4 cells (33.3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is

100 7. Pendapatan Crosstab Count Kesediaan_Membayar Bersedia Tidak Be Total Pendapatan Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp > Rp Total Chi-Square Tests Value df Asymp. Sig. (2- sided) Pearson Chi-Square a Likelihood Ratio N of Valid Cases 100 a. 3 cells (30.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is

101 Lampiran 2. Distribusi Nilai (Harga) WTP Beras Analog No. Nilai WTP (Rp) Jlh Responden (orang) Frekuensi Relatif (Pfi) Mean WTP (Rp/orang) Total WTP (Rp/orang) Total

102 Lampiran 3. Hasil Analisis Regresi Berganda The regression equation is WTP = JK USIA PDDKN - 11 PNKHN - 69 JAK PKRJN PDPTN KONV DIVER KARBO ANLG Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant JK USIA PDDKN PNKHN JAK PKRJN PDPTN KONV DIVER KARBO ANLG S = R-Sq = 41.9% R-Sq(adj) = 34.6% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression Residual Error Total Source DF Seq SS JK USIA PDDKN PNKHN JAK PKRJN PDPTN KONV DIVER KARBO ANLG Unusual Observations Obs JK WTP Fit SE Fit Residual St Resid R R R R denotes an observation with a large standardized residual. Durbin-Watson statistic =

103 Residual Residual Percent Lampiran 4. Hasil Uji Asumsi 1. Uji Asumsi Kenormalan Sisaan 99.9 Normal Probability Plot of the Residuals (response is WTP) Residual Uji Asumsi Kohomogenan Ragam Sisaan Residuals Versus the Fitted Values (response is WTP) Fitted Value Uji Asumsi Kebebasan Sisaan Residuals Versus the Order of the Data (response is WTP) Observation Order

104 Lampiran 5. Proses Pembuatan Beras Analog 89

105 Lampiran 6. Dokumentasi Kegiatan Penelitian Serambi Botani Beras analog kemasan 800 gram Beras analog Kegiatan pengambilan data 90

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kesediaan Membayar ( Willingness to Pay )

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kesediaan Membayar ( Willingness to Pay ) II. TINJAUAN PUSTAKA Kajian mengenai kesediaan membayar beras analog belum pernah dilakukan sebelumnya. Namun ada beberapa kajian yang terkait dengan topik Willingness to Pay khususnya dalam menilai manfaat

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN P 1 0 Q 1. Kurva Opportunity Cost, Consumers Surplus dan Producers Surplus Sumber : Kahn (1998)

KERANGKA PEMIKIRAN P 1 0 Q 1. Kurva Opportunity Cost, Consumers Surplus dan Producers Surplus Sumber : Kahn (1998) III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Penelitian ini mengambil kerangka pemikiran teoritis dari berbagai penelusuran teori-teori yang relevan dengan permasalahan penelitian. Adapun kerangka

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Serambi Botani yang berlokasi di lantai dasar GF 14-15 mall Botani Square, Jalan Raya Padjajaran, Bogor. Pemilihan lokasi

Lebih terperinci

Tabel 1. Data produksi dan konsumsi beras tahun (dalam ton Tahun Kebutuhan Produksi Tersedia Defisit (impor)

Tabel 1. Data produksi dan konsumsi beras tahun (dalam ton Tahun Kebutuhan Produksi Tersedia Defisit (impor) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM 5.1. Beras Analog Bahan Baku dan Kandungan Gizi

GAMBARAN UMUM 5.1. Beras Analog Bahan Baku dan Kandungan Gizi V. GAMBARAN UMUM 5.1. Beras Analog Beras analog merupakan tiruan beras yang terbuat dari bahan-bahan seperti umbi-umbian, serealia yang bentuk maupun komposisi gizinya mirip seperti beras. Beras analog

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengeringan dan pengemasan (Somantri, 2014). Salah satu jenis teh adalah teh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengeringan dan pengemasan (Somantri, 2014). Salah satu jenis teh adalah teh BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teh Hijau Celup Teh merupakan minuman yang berasal dari pucuk daun muda tanaman teh (Camellia sinensis) melalui beberapa tahapan seperti pelayuan, penggulungan, pengeringan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan pertanian merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Analisis Lingkungan Eksternal. Terigu adalah salah satu bahan pangan yang banyak dibutuhkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Analisis Lingkungan Eksternal. Terigu adalah salah satu bahan pangan yang banyak dibutuhkan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Analisis Lingkungan Eksternal Terigu adalah salah satu bahan pangan yang banyak dibutuhkan oleh konsumen rumah tangga dan industri makanan di Indonesia. Tepung terigu banyak digunakan

Lebih terperinci

ANALISIS LOYALITAS KONSUMEN TERHADAP SUSU FORMULA LAKTOGEN (Studi Kasus di Ramayana Bogor Trade Mall, Kota Bogor)

ANALISIS LOYALITAS KONSUMEN TERHADAP SUSU FORMULA LAKTOGEN (Studi Kasus di Ramayana Bogor Trade Mall, Kota Bogor) ANALISIS LOYALITAS KONSUMEN TERHADAP SUSU FORMULA LAKTOGEN (Studi Kasus di Ramayana Bogor Trade Mall, Kota Bogor) SKRIPSI AULIA RAHMAN HASIBUAN A.14104522 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS

Lebih terperinci

BERAS ANALOG SEBAGAI VEHICLE PENGANEKARAGAMAN PANGAN PENGANEKARAGAMAN PANGAN ORASI ILMIAH ORASI ILMIAH. Prof. Dr. Ir.

BERAS ANALOG SEBAGAI VEHICLE PENGANEKARAGAMAN PANGAN PENGANEKARAGAMAN PANGAN ORASI ILMIAH ORASI ILMIAH. Prof. Dr. Ir. ORASI ILMIAH GURU BESAR IPB ORASI ILMIAH GURU BESAR IPB BERAS ANALOG SEBAGAI VEHICLE PENGANEKARAGAMAN PANGAN BERAS ANALOG SEBAGAI VEHICLE PENGANEKARAGAMAN PANGAN ORASI ILMIAH Guru Besar Tetap Fakultas

Lebih terperinci

ANALISIS KEPUASAN DAN LOYALITAS KONSUMEN COFFEESHOP WARUNG KOPI SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP STRATEGI PEMASARAN SKRIPSI IVAN STENLEY H

ANALISIS KEPUASAN DAN LOYALITAS KONSUMEN COFFEESHOP WARUNG KOPI SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP STRATEGI PEMASARAN SKRIPSI IVAN STENLEY H ANALISIS KEPUASAN DAN LOYALITAS KONSUMEN COFFEESHOP WARUNG KOPI SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP STRATEGI PEMASARAN SKRIPSI IVAN STENLEY H34052032 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. merupakan kebutuhan dasar manusia. Ketahanan pangan adalah ketersediaan

I. PENDAHULUAN. merupakan kebutuhan dasar manusia. Ketahanan pangan adalah ketersediaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting, mengingat pangan merupakan kebutuhan dasar manusia. Ketahanan pangan adalah ketersediaan pangan dan kemampuan seseorang

Lebih terperinci

HUBUNGAN PENGUASAAN LAHAN SAWAH DENGAN PENDAPATAN USAHATANI PADI

HUBUNGAN PENGUASAAN LAHAN SAWAH DENGAN PENDAPATAN USAHATANI PADI HUBUNGAN PENGUASAAN LAHAN SAWAH DENGAN PENDAPATAN USAHATANI PADI (Studi Kasus Kelompok Tani Harum IV Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi) SKRIPSI OCTIASARI H34070084 DEPARTEMEN AGRIBISNIS

Lebih terperinci

SKRIPSI ARDIANSYAH H

SKRIPSI ARDIANSYAH H FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PRODUKTIVITAS KERJA PETANI KEBUN PLASMA KELAPA SAWIT (Studi Kasus Kebun Plasma PTP. Mitra Ogan, Kecamatan Peninjauan, Sumatra Selatan) SKRIPSI ARDIANSYAH H34066019

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok

I. PENDAHULUAN. cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan akan pangan yang cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok masyarakat Indonesia adalah beras. Beras

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KELANCARAN PENGEMBALIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (Studi Kasus pada PT Bank BRI Unit Cimanggis, Cabang Pasar Minggu)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KELANCARAN PENGEMBALIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (Studi Kasus pada PT Bank BRI Unit Cimanggis, Cabang Pasar Minggu) FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KELANCARAN PENGEMBALIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (Studi Kasus pada PT Bank BRI Unit Cimanggis, Cabang Pasar Minggu) SKRIPSI VIRGITHA ISANDA AGUSTANIA H34050921 DEPARTEMEN

Lebih terperinci

ANALISIS PREFERENSI DAN KEPUASAN KONSUMEN TERHADAP BERAS DI KECAMATAN MULYOREJO SURABAYA JAWA TIMUR. Oleh : Endang Pudji Astuti A

ANALISIS PREFERENSI DAN KEPUASAN KONSUMEN TERHADAP BERAS DI KECAMATAN MULYOREJO SURABAYA JAWA TIMUR. Oleh : Endang Pudji Astuti A ANALISIS PREFERENSI DAN KEPUASAN KONSUMEN TERHADAP BERAS DI KECAMATAN MULYOREJO SURABAYA JAWA TIMUR Oleh : Endang Pudji Astuti A14104065 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS PERMINTAAN DAN NILAI EKONOMI WISATA PULAU SITU GINTUNG-3 DENGAN METODE BIAYA PERJALANAN TRI FIRANDARI

ANALISIS PERMINTAAN DAN NILAI EKONOMI WISATA PULAU SITU GINTUNG-3 DENGAN METODE BIAYA PERJALANAN TRI FIRANDARI ANALISIS PERMINTAAN DAN NILAI EKONOMI WISATA PULAU SITU GINTUNG-3 DENGAN METODE BIAYA PERJALANAN TRI FIRANDARI DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PERMINTAAN TEPUNG TERIGU DI INDONESIA (Periode ) OLEH M.

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PERMINTAAN TEPUNG TERIGU DI INDONESIA (Periode ) OLEH M. ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PERMINTAAN TEPUNG TERIGU DI INDONESIA (Periode 1982-2003) OLEH M. FAHREZA H14101011 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Menurut Saliem dkk dalam Ariani dan Tribastuti (2002), pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Proyeksi konsumsi kedelai nasional

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Proyeksi konsumsi kedelai nasional 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumber pangan yang diharapkan masyarakat yaitu memiliki nilai gizi tinggi serta menyehatkan. Salah satu sumber gizi yang tinggi terdapat pada bahan pangan kedelai, yang mempunyai

Lebih terperinci

PERAMALAN PRODUKSI DAN KONSUMSI UBI JALAR NASIONAL DALAM RANGKA RENCANA PROGRAM DIVERSIFIKASI PANGAN POKOK. Oleh: NOVIE KRISHNA AJI A

PERAMALAN PRODUKSI DAN KONSUMSI UBI JALAR NASIONAL DALAM RANGKA RENCANA PROGRAM DIVERSIFIKASI PANGAN POKOK. Oleh: NOVIE KRISHNA AJI A PERAMALAN PRODUKSI DAN KONSUMSI UBI JALAR NASIONAL DALAM RANGKA RENCANA PROGRAM DIVERSIFIKASI PANGAN POKOK Oleh: NOVIE KRISHNA AJI A14104024 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

ANALISIS SIKAP, PERSEPSI KONSUMEN DAN RENTANG HARGA PADA BERAS ORGANIK SAE (SEHAT AMAN ENAK)

ANALISIS SIKAP, PERSEPSI KONSUMEN DAN RENTANG HARGA PADA BERAS ORGANIK SAE (SEHAT AMAN ENAK) ANALISIS SIKAP, PERSEPSI KONSUMEN DAN RENTANG HARGA PADA BERAS ORGANIK SAE (SEHAT AMAN ENAK) PADA GAPOKTAN SILIH ASIH DESA CIBURUY KABUPATEN BOGOR JAWA BARAT SKRIPSI IPO MELANI SINAGA H34076081 DEPARTEMEN

Lebih terperinci

ANALISIS PERILAKU KONSUMEN SERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMILIHAN PRODUK CREPE (Kasus: D Crepes dan Crepes Co Pangrango Plaza - Bogor)

ANALISIS PERILAKU KONSUMEN SERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMILIHAN PRODUK CREPE (Kasus: D Crepes dan Crepes Co Pangrango Plaza - Bogor) ANALISIS PERILAKU KONSUMEN SERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMILIHAN PRODUK CREPE (Kasus: D Crepes dan Crepes Co Pangrango Plaza - Bogor) Oleh: ARYA SAJIWA A14103660 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN

Lebih terperinci

UPAYA OPTIMALISASI PANGAN BERBASIS TEPUNG NONBERAS SEBAGAI PENGEMBANGAN UMKM KABUPATEN CILACAP

UPAYA OPTIMALISASI PANGAN BERBASIS TEPUNG NONBERAS SEBAGAI PENGEMBANGAN UMKM KABUPATEN CILACAP UPAYA OPTIMALISASI PANGAN BERBASIS TEPUNG NONBERAS SEBAGAI PENGEMBANGAN UMKM KABUPATEN CILACAP oleh: Kevin Yoga Permana Sub: Pengembangan Produk UMKM di Kabupaten Cilacap Alangkah menyedihkan, menjadi

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI SEGMENTASI PENGUNJUNG WISATA AGRO STUDI KASUS KARAKTERISTIK PENGUNJUNG KAMPOENG WISATA CINANGNENG

IDENTIFIKASI SEGMENTASI PENGUNJUNG WISATA AGRO STUDI KASUS KARAKTERISTIK PENGUNJUNG KAMPOENG WISATA CINANGNENG IDENTIFIKASI SEGMENTASI PENGUNJUNG WISATA AGRO STUDI KASUS KARAKTERISTIK PENGUNJUNG KAMPOENG WISATA CINANGNENG SKRIPSI HESTI FANNY AULIA SIHALOHO H34066060 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

Lebih terperinci

memenuhi kebutuhan warga negaranya. Kemampuan produksi pangan dalam negeri dari tahun ke tahun semakin terbatas. Agar kecukupan pangan nasional bisa

memenuhi kebutuhan warga negaranya. Kemampuan produksi pangan dalam negeri dari tahun ke tahun semakin terbatas. Agar kecukupan pangan nasional bisa BAB I PENDAHULUAN Kebutuhan pangan secara nasional setiap tahun terus bertambah sesuai dengan pertambahan jumlah penduduk, sementara lahan untuk budi daya tanaman biji-bijian seperti padi dan jagung luasannya

Lebih terperinci

PERSEPSI DAN SIKAP KONSUMEN TERHADAP KEAMANAN PANGAN SUSU FORMULA DENGAN ADANYA ISU BAKTERI Enterobacter sakazakii DI KECAMATAN TANAH SAREAL BOGOR

PERSEPSI DAN SIKAP KONSUMEN TERHADAP KEAMANAN PANGAN SUSU FORMULA DENGAN ADANYA ISU BAKTERI Enterobacter sakazakii DI KECAMATAN TANAH SAREAL BOGOR PERSEPSI DAN SIKAP KONSUMEN TERHADAP KEAMANAN PANGAN SUSU FORMULA DENGAN ADANYA ISU BAKTERI Enterobacter sakazakii DI KECAMATAN TANAH SAREAL BOGOR SKRIPSI INTAN AISYAH NASUTION H34066065 DEPARTEMEN AGRIBISNIS

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan-bahan lainnya yang

BAB II LANDASAN TEORI. bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan-bahan lainnya yang 29 BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengertian Diversifikasi Pangan 2.1.1. Pengertian Pangan Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber daya hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang

Lebih terperinci

ANALISIS NILAI TAMBAH DAN PEMASARAN KAYU SENGON GERGAJIAN (Studi Kasus di Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor)

ANALISIS NILAI TAMBAH DAN PEMASARAN KAYU SENGON GERGAJIAN (Studi Kasus di Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor) ANALISIS NILAI TAMBAH DAN PEMASARAN KAYU SENGON GERGAJIAN (Studi Kasus di Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor) Skripsi AHMAD MUNAWAR H 34066007 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pengganti nasi. Mi termasuk produk pangan populer karena siap saji dan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pengganti nasi. Mi termasuk produk pangan populer karena siap saji dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagian besar penduduk di Indonesia kini mulai meminati makan mi sebagai pengganti nasi. Mi termasuk produk pangan populer karena siap saji dan harga yang terjangkau

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Responden Lokasi penelitian dilakukan di sekitar Bogor, bagi pemilik dan pengendara mobil pribadi. Lokasi yang aksidental berada di sekitar kampus IPB, Indraprasta

Lebih terperinci

ANALISIS WILLINGNESS TO PAY PENGUNJUNG TERHADAP UPAYA PELESTARIAN KAWASAN SITU BABAKAN, SRENGSENG SAWAH, JAKARTA SELATAN

ANALISIS WILLINGNESS TO PAY PENGUNJUNG TERHADAP UPAYA PELESTARIAN KAWASAN SITU BABAKAN, SRENGSENG SAWAH, JAKARTA SELATAN ANALISIS WILLINGNESS TO PAY PENGUNJUNG TERHADAP UPAYA PELESTARIAN KAWASAN SITU BABAKAN, SRENGSENG SAWAH, JAKARTA SELATAN Oleh : Ratri Hanindha Majid A14303031 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA GAYA KEPEMIMPINAN DENGAN PENCAPAIAN PRESTASI KERJA KARYAWAN DI TAMAN AKUARIUM AIR TAWAR, TAMAN MINI INDONESIA INDAH, JAKARTA

HUBUNGAN ANTARA GAYA KEPEMIMPINAN DENGAN PENCAPAIAN PRESTASI KERJA KARYAWAN DI TAMAN AKUARIUM AIR TAWAR, TAMAN MINI INDONESIA INDAH, JAKARTA HUBUNGAN ANTARA GAYA KEPEMIMPINAN DENGAN PENCAPAIAN PRESTASI KERJA KARYAWAN DI TAMAN AKUARIUM AIR TAWAR, TAMAN MINI INDONESIA INDAH, JAKARTA RYANI MUTIARA HARDY PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI

Lebih terperinci

ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA INDUSTRI KECIL OLAHAN CARICA

ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA INDUSTRI KECIL OLAHAN CARICA ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA INDUSTRI KECIL OLAHAN CARICA (Studi Kasus pada Industri Kecil Olahan Carica di Kecamatan Mojotengah, Kabupaten Wonosobo) SKRIPSI SHINTA KARTIKA DEWI H34050442 DEPARTEMEN

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian organik merupakan salah satu bagian dari sektor pertanian yang mendapat perhatian besar masyarakat di negara maju maupun negara berkembang seiring dengan perubahan

Lebih terperinci

ANALISIS SIKAP DAN KEPUASAN KONSUMEN RESTORAN DEATH BY CHOCOLATE AND SPAGHETTI BOGOR

ANALISIS SIKAP DAN KEPUASAN KONSUMEN RESTORAN DEATH BY CHOCOLATE AND SPAGHETTI BOGOR ANALISIS SIKAP DAN KEPUASAN KONSUMEN RESTORAN DEATH BY CHOCOLATE AND SPAGHETTI BOGOR SKRIPSI EGRETTA MELISTANTRI DEWI A 14105667 PROGRAM STUDI EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

ANALISIS MODERNITAS SIKAP KEWIRAUSAHAAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KEBERHASILAN UNIT USAHA KECIL TAHU SERASI BANDUNGAN

ANALISIS MODERNITAS SIKAP KEWIRAUSAHAAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KEBERHASILAN UNIT USAHA KECIL TAHU SERASI BANDUNGAN ANALISIS MODERNITAS SIKAP KEWIRAUSAHAAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KEBERHASILAN UNIT USAHA KECIL TAHU SERASI BANDUNGAN (Studi Kasus Unit Usaha Kelompok Wanita Tani Damai, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang)

Lebih terperinci

ANALISIS EKUITAS MEREK KECAP SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP STRATEGI BAURAN PEMASARAN DI KOTA TANGERANG (Studi Kasus: Kecap Merek ABC dan Bango)

ANALISIS EKUITAS MEREK KECAP SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP STRATEGI BAURAN PEMASARAN DI KOTA TANGERANG (Studi Kasus: Kecap Merek ABC dan Bango) ANALISIS EKUITAS MEREK KECAP SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP STRATEGI BAURAN PEMASARAN DI KOTA TANGERANG (Studi Kasus: Kecap Merek ABC dan Bango) DISUSUN OLEH: EFENDY A14104121 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA RESTORAN LASAGNA GULUNG BOGOR, JAWA BARAT

STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA RESTORAN LASAGNA GULUNG BOGOR, JAWA BARAT STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA RESTORAN LASAGNA GULUNG BOGOR, JAWA BARAT SKRIPSI DEFIETA H34066031 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 RINGKASAN DEFIETA.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan merupakan negara yang komoditas utama nya adalah beras. Beras merupakan

Lebih terperinci

ANALISIS PERMINTAAN DAN PENAWARAN INDUSTRI KECAP DI INDONESIA OLEH RINA MARYANI H

ANALISIS PERMINTAAN DAN PENAWARAN INDUSTRI KECAP DI INDONESIA OLEH RINA MARYANI H ANALISIS PERMINTAAN DAN PENAWARAN INDUSTRI KECAP DI INDONESIA OLEH RINA MARYANI H14103070 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 RINGKASAN RINA MARYANI. Analisis

Lebih terperinci

beras atau sebagai diversifikasi bahan pangan, bahan baku industri dan lain sebagainya.

beras atau sebagai diversifikasi bahan pangan, bahan baku industri dan lain sebagainya. PENDAHULUAN Kebutuhan pangan secara nasional setiap tahun terus bertambah sesuai dengan pertambahan jumlah penduduk sementara lahan untuk budidaya untuk tanaman bijibijian seperti padi dan jagung luasannya

Lebih terperinci

ANALISIS KEPUASAN KONSUMEN TERHADAP RESTORAN ETNIK KHAS TIMUR TENGAH RESTORAN ALI BABA, KOTA BOGOR. Titik Hidayati A

ANALISIS KEPUASAN KONSUMEN TERHADAP RESTORAN ETNIK KHAS TIMUR TENGAH RESTORAN ALI BABA, KOTA BOGOR. Titik Hidayati A ANALISIS KEPUASAN KONSUMEN TERHADAP RESTORAN ETNIK KHAS TIMUR TENGAH RESTORAN ALI BABA, KOTA BOGOR Titik Hidayati A14102584 PROGRAM STUDI SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

PENILAIAN KONSUMEN TERHADAP ATRIBUT RESTORAN ORIENTAL FOOD (Kasus Restoran Makisu dan Shanghai Garden di Gedung Bursa Efek Indonesia) SKRIPSI

PENILAIAN KONSUMEN TERHADAP ATRIBUT RESTORAN ORIENTAL FOOD (Kasus Restoran Makisu dan Shanghai Garden di Gedung Bursa Efek Indonesia) SKRIPSI PENILAIAN KONSUMEN TERHADAP ATRIBUT RESTORAN ORIENTAL FOOD (Kasus Restoran Makisu dan Shanghai Garden di Gedung Bursa Efek Indonesia) SKRIPSI DWIANA SILVI LEUNAWATI A14103669 PROGRAM EKSTENSI MANAJEMEN

Lebih terperinci

ANALISIS ATRIBUT YANG MEMPENGARUHI WISATAWAN UNTUK BERKUNJUNG KEMBALI KE PEMANDIAN AIR PANAS CV ALAM SIBAYAK BERASTAGI KABUPATEN KARO

ANALISIS ATRIBUT YANG MEMPENGARUHI WISATAWAN UNTUK BERKUNJUNG KEMBALI KE PEMANDIAN AIR PANAS CV ALAM SIBAYAK BERASTAGI KABUPATEN KARO ANALISIS ATRIBUT YANG MEMPENGARUHI WISATAWAN UNTUK BERKUNJUNG KEMBALI KE PEMANDIAN AIR PANAS CV ALAM SIBAYAK BERASTAGI KABUPATEN KARO SKRIPSI ARDIAN SURBAKTI H34076024 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI

Lebih terperinci

PENYELENGGARAAN MAKANAN, TINGKAT KECUKUPAN DAN STATUS GIZI PENDERITA SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR.

PENYELENGGARAAN MAKANAN, TINGKAT KECUKUPAN DAN STATUS GIZI PENDERITA SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR. PENYELENGGARAAN MAKANAN, TINGKAT KECUKUPAN DAN STATUS GIZI PENDERITA SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR Temu Salmawati PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai wilayah di Indonesia memiliki lahan pertanian yang dapat ditanami

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai wilayah di Indonesia memiliki lahan pertanian yang dapat ditanami BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbagai wilayah di Indonesia memiliki lahan pertanian yang dapat ditanami berbagai tanaman komoditas pangan sehingga dapat menghasilkan bermacammacam produk pangan.

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP SIKAP DAN PERILAKU MEMBELI BUKU BAJAKAN PADA MAHASISWA IPB PUSPA WIDYA UTAMI

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP SIKAP DAN PERILAKU MEMBELI BUKU BAJAKAN PADA MAHASISWA IPB PUSPA WIDYA UTAMI ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP SIKAP DAN PERILAKU MEMBELI BUKU BAJAKAN PADA MAHASISWA IPB PUSPA WIDYA UTAMI DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU KONSUMEN DALAM PEMBELIAN MINYAK GORENG BERMEREK DAN TIDAK BERMEREK

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU KONSUMEN DALAM PEMBELIAN MINYAK GORENG BERMEREK DAN TIDAK BERMEREK ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU KONSUMEN DALAM PEMBELIAN MINYAK GORENG BERMEREK DAN TIDAK BERMEREK (Kasus : Rumah Makan di Kota Bogor) EKO SUPRIYANA A.14101630 PROGRAM STUDI EKSTENSI

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN EKSPOR BATUBARA INDONESIA DI PASAR JEPANG OLEH ROCHMA SUCIATI H

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN EKSPOR BATUBARA INDONESIA DI PASAR JEPANG OLEH ROCHMA SUCIATI H i ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN EKSPOR BATUBARA INDONESIA DI PASAR JEPANG OLEH ROCHMA SUCIATI H14053157 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT KEPUASAN DEBITUR TERHADAP PELAYANAN KREDIT SISTEM REFERRAL BANK CIMB NIAGA CABANG CIBINONG KABUPATEN BOGOR

ANALISIS TINGKAT KEPUASAN DEBITUR TERHADAP PELAYANAN KREDIT SISTEM REFERRAL BANK CIMB NIAGA CABANG CIBINONG KABUPATEN BOGOR ANALISIS TINGKAT KEPUASAN DEBITUR TERHADAP PELAYANAN KREDIT SISTEM REFERRAL BANK CIMB NIAGA CABANG CIBINONG KABUPATEN BOGOR Oleh : DIKUD JATUALRIYANTI A14105531 PROGRAM STUDI EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS

Lebih terperinci

ANALISIS USAHATANI JAMUR TIRAM PUTIH (Kasus : Kelompok Wanita Tani Hanjuang, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

ANALISIS USAHATANI JAMUR TIRAM PUTIH (Kasus : Kelompok Wanita Tani Hanjuang, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat) ANALISIS USAHATANI JAMUR TIRAM PUTIH (Kasus : Kelompok Wanita Tani Hanjuang, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat) Skripsi SRI ROSMAYANTI H 34076143 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI IMPOR KACANG KEDELAI NASIONAL PERIODE

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI IMPOR KACANG KEDELAI NASIONAL PERIODE ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI IMPOR KACANG KEDELAI NASIONAL PERIODE 1987 2007 OLEH TRI PURWANTO H14094001 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kekayaan sumber daya alam dalam bidang pertanian merupakan keunggulan yang dimiliki Indonesia dan perlu dioptimalkan untuk kesejahteraan rakyat. Pertanian merupakan aset

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI REALISASI KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) STUDI KASUS USAHA AGRIBISNIS DI BRI UNIT TONGKOL, JAKARTA

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI REALISASI KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) STUDI KASUS USAHA AGRIBISNIS DI BRI UNIT TONGKOL, JAKARTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI REALISASI KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) STUDI KASUS USAHA AGRIBISNIS DI BRI UNIT TONGKOL, JAKARTA SKRIPSI EKO HIDAYANTO H34076058 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN KONSUMEN MENGGUNAKAN PILIHAN JASA LEMBAGA PEMBIAYAAN (KREDIT KONSUMSI MOBIL)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN KONSUMEN MENGGUNAKAN PILIHAN JASA LEMBAGA PEMBIAYAAN (KREDIT KONSUMSI MOBIL) ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN KONSUMEN MENGGUNAKAN PILIHAN JASA LEMBAGA PEMBIAYAAN (KREDIT KONSUMSI MOBIL) OLEH RATU DEWI HILNA ANGGRAENI H14104072 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS

Lebih terperinci

DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR ANALISIS RENCANA KEMITRAAN ANTARA PETANI KACANG TANAH DENGAN CV MITRA PRIANGAN (Kasus pada Petani Kacang Tanah di Kecamatan Sindangbarang, Kabupaten Cianjur) SKRIPSI TIARA ASRI SATRIA H34052169 DEPARTEMEN

Lebih terperinci

ANALISIS PERMINTAAN DAN SURPLUS KONSUMEN TAMAN WISATA ALAM SITU GUNUNG DENGAN METODE BIAYA PERJALANAN RANI APRILIAN

ANALISIS PERMINTAAN DAN SURPLUS KONSUMEN TAMAN WISATA ALAM SITU GUNUNG DENGAN METODE BIAYA PERJALANAN RANI APRILIAN ANALISIS PERMINTAAN DAN SURPLUS KONSUMEN TAMAN WISATA ALAM SITU GUNUNG DENGAN METODE BIAYA PERJALANAN RANI APRILIAN DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

PERILAKU KONSUMEN DALAM PROSES KEPUTUSAN PEMBELIAN PRODUK IKAN TUNA KALENG DI GIANT HYPERMARKET BOTANI SQUARE BOGOR

PERILAKU KONSUMEN DALAM PROSES KEPUTUSAN PEMBELIAN PRODUK IKAN TUNA KALENG DI GIANT HYPERMARKET BOTANI SQUARE BOGOR PERILAKU KONSUMEN DALAM PROSES KEPUTUSAN PEMBELIAN PRODUK IKAN TUNA KALENG DI GIANT HYPERMARKET BOTANI SQUARE BOGOR TITA ANGGRAHENI SKRIPSI PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN

Lebih terperinci

STUDI KASUS PERMASALAHAN KOMODITAS KEDELAI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA

STUDI KASUS PERMASALAHAN KOMODITAS KEDELAI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA STUDI KASUS PERMASALAHAN KOMODITAS KEDELAI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA BAB I PENDAHULUAN Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena berkah kekayaan alam yang berlimpah, terutama di bidang sumber

Lebih terperinci

RINGKASAN ISVENTINA. DJONI HARTONO

RINGKASAN ISVENTINA. DJONI HARTONO RINGKASAN ISVENTINA. H14102124. Analisis Dampak Peningkatan Ekspor Karet Alam Terhadap Perekonomian Indonesia: Suatu Pendekatan Analisis Input-Output. Di bawah bimbingan DJONI HARTONO. Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak

BAB I PENDAHULUAN. Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak meledaknya pertumbuhan penduduk dunia dan pengaruh perubahan iklim global yang makin sulit diprediksi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris, yakni salah satu penghasil

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris, yakni salah satu penghasil 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris, yakni salah satu penghasil komoditas pertanian berupa padi. Komoditas padi dikonsumsi dalam bentuk beras menjadi nasi.

Lebih terperinci

VALUASI EKONOMI MANFAAT REKREASI TAMAN HUTAN RAYA IR. H. DJUANDA DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN TRAVEL COST METHOD MUTIARA INDAH SUSILOWATI

VALUASI EKONOMI MANFAAT REKREASI TAMAN HUTAN RAYA IR. H. DJUANDA DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN TRAVEL COST METHOD MUTIARA INDAH SUSILOWATI VALUASI EKONOMI MANFAAT REKREASI TAMAN HUTAN RAYA IR. H. DJUANDA DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN TRAVEL COST METHOD MUTIARA INDAH SUSILOWATI DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI

Lebih terperinci

SKRIPSI MARIA MONTESORI H

SKRIPSI MARIA MONTESORI H OPTIMALISASI ALOKASI MODAL PORTOFOLIO PEMASARAN PRODUK DENGAN PENDEKATAN MINIMISASI RISIKO PADA LEMBAGA PERTANIAN SEHAT, KECAMATAN BOGOR SELATAN, KOTA BOGOR SKRIPSI MARIA MONTESORI H34066077 DEPARTEMEN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Uraian Jumlah penduduk (juta jiwa) Konsumsi beras (juta ton) (Sumber: BPS, 2012)

I. PENDAHULUAN. Uraian Jumlah penduduk (juta jiwa) Konsumsi beras (juta ton) (Sumber: BPS, 2012) 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komoditas beras memiliki peran penting dalam pembangunan pertanian dan menjadi makanan pokok oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari tingkat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penelitian ini membahas mengenai rencana pengembangan bisnis

BAB 1 PENDAHULUAN. Penelitian ini membahas mengenai rencana pengembangan bisnis BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian ini membahas mengenai rencana pengembangan bisnis pertanian padi organik dengan mengidentifikasi lingkungan eksternal dan internal perusahaan. Analisis lingkungan

Lebih terperinci

ANALISIS BUDAYA, SOSIAL, DAN PRIBADI TERHADAP KEPUTUSAN PEMBELIAN PRODUK MIE INSTAN DI KECAMATAN KALINYAMATAN KABUPATEN JEPARA

ANALISIS BUDAYA, SOSIAL, DAN PRIBADI TERHADAP KEPUTUSAN PEMBELIAN PRODUK MIE INSTAN DI KECAMATAN KALINYAMATAN KABUPATEN JEPARA 1 ANALISIS BUDAYA, SOSIAL, DAN PRIBADI TERHADAP KEPUTUSAN PEMBELIAN PRODUK MIE INSTAN DI KECAMATAN KALINYAMATAN KABUPATEN JEPARA Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang

Lebih terperinci

ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KEBUN RAYA BOGOR SEBAGAI OBJEK WISATA

ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KEBUN RAYA BOGOR SEBAGAI OBJEK WISATA ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KEBUN RAYA BOGOR SEBAGAI OBJEK WISATA SKRIPSI MUHAMMAD SALIM R H34076107 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 RINGKASAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. serealia, umbi-umbian, dan buah-buahan (Kementan RI, 2012). keunggulan yang sangat penting sebagai salah satu pilar pembangunan dalam

I. PENDAHULUAN. serealia, umbi-umbian, dan buah-buahan (Kementan RI, 2012). keunggulan yang sangat penting sebagai salah satu pilar pembangunan dalam 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati kedua terbesar setelah Brasil dengan 77 spesies tanaman sumber karbohidrat seperti serealia,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Ketela pohon atau ubi kayu dengan nama latin Manihot utilissima merupakan salah satu komoditas pangan penting di Indonesia selain tanaman padi, jagung, kedelai, kacang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan segala sesuatu yang bersumber dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah. Pangan diperuntukan bagi konsumsi manusia sebagai

Lebih terperinci

ANALISIS RISIKO PRODUKSI DAUN POTONG Di PT PESONA DAUN MAS ASRI, CIAWI KABUPATEN BOGOR, JAWABARAT

ANALISIS RISIKO PRODUKSI DAUN POTONG Di PT PESONA DAUN MAS ASRI, CIAWI KABUPATEN BOGOR, JAWABARAT ANALISIS RISIKO PRODUKSI DAUN POTONG Di PT PESONA DAUN MAS ASRI, CIAWI KABUPATEN BOGOR, JAWABARAT SKRIPSI NUR AMALIA SAFITRI H 34066094 PROGRAM SARJANA PENYELENGGARAAN KHUSUS DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS

Lebih terperinci

PILIHAN JENIS TELUR YANG DIKONSUMSI RUMAH TANGGA PASCA KASUS FLU BURUNG (Kasus di Hero Supermarket Padjajaran Bogor) Oleh : RIKA AMELIA A

PILIHAN JENIS TELUR YANG DIKONSUMSI RUMAH TANGGA PASCA KASUS FLU BURUNG (Kasus di Hero Supermarket Padjajaran Bogor) Oleh : RIKA AMELIA A PILIHAN JENIS TELUR YANG DIKONSUMSI RUMAH TANGGA PASCA KASUS FLU BURUNG (Kasus di Hero Supermarket Padjajaran Bogor) Oleh : RIKA AMELIA A 14103696 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS

Lebih terperinci

Analisis Permintaan dan Kesediaan Membayar Konsumen (Willingness To Pay) pada Teh Hijau Celup di Kelurahan Kraton Kecamatan Tegal Barat Kota Tegal

Analisis Permintaan dan Kesediaan Membayar Konsumen (Willingness To Pay) pada Teh Hijau Celup di Kelurahan Kraton Kecamatan Tegal Barat Kota Tegal KODE : Sosial Humaniora Analisis Permintaan dan Kesediaan Membayar Konsumen (Willingness To Pay) pada Teh Hijau Celup di Kelurahan Kraton Kecamatan Tegal Barat Kota Tegal Titik Pitaloka 1 *, Edy Prasetyo

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tabel 1 Jenis-jenis produk pangan IPB 2 Jenis produk. Bio yoghurt. Chicken nugget stick & wings Jambu Taiwan IPB 02

PENDAHULUAN. Tabel 1 Jenis-jenis produk pangan IPB 2 Jenis produk. Bio yoghurt. Chicken nugget stick & wings Jambu Taiwan IPB 02 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Petani yang sejahtera, kondisi ketahanan pangan yang baik, dan kemandirian teknologi tentu dapat menjadi pilar yang kokoh dalam memajukan perekonomian nasional (Hatta, 29 November

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT KEPUASAN DAN LOYALITAS KONSUMEN TERHADAP MINUMAN TEH SIAP MINUM (READY TO DRINK) MEREK TEH BOTOL SOSRO DI JAKARTA TIMUR

ANALISIS TINGKAT KEPUASAN DAN LOYALITAS KONSUMEN TERHADAP MINUMAN TEH SIAP MINUM (READY TO DRINK) MEREK TEH BOTOL SOSRO DI JAKARTA TIMUR ANALISIS TINGKAT KEPUASAN DAN LOYALITAS KONSUMEN TERHADAP MINUMAN TEH SIAP MINUM (READY TO DRINK) MEREK TEH BOTOL SOSRO DI JAKARTA TIMUR Oleh : NOVA RESKI SEPTINA K A14104117 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR ANALISIS PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI BERBASIS PANGAN LOKAL DALAM MENINGKATKAN KEANEKARAGAMAN PANGAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI PEDESAAN

LAPORAN AKHIR ANALISIS PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI BERBASIS PANGAN LOKAL DALAM MENINGKATKAN KEANEKARAGAMAN PANGAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI PEDESAAN LAPORAN AKHIR ANALISIS PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI BERBASIS PANGAN LOKAL DALAM MENINGKATKAN KEANEKARAGAMAN PANGAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI PEDESAAN Oleh : Bambang Sayaka Mewa Ariani Masdjidin Siregar Herman

Lebih terperinci

ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT KEPUASAN PETERNAK TERHADAP PELAKSANAAN KEMITRAAN AYAM BROILER

ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT KEPUASAN PETERNAK TERHADAP PELAKSANAAN KEMITRAAN AYAM BROILER ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT KEPUASAN PETERNAK TERHADAP PELAKSANAAN KEMITRAAN AYAM BROILER (Kasus Kemitraan Peternak Plasma Rudi Jaya PS Sawangan, Depok) Oleh : MAROJIE FIRWIYANTO A 14105683 PROGRAM

Lebih terperinci

ANALISIS KONSUMSI BERAS RUMAHTANGGA DAN KECUKUPAN BERAS NASIONAL TAHUN ARIS ZAINAL MUTTAQIN

ANALISIS KONSUMSI BERAS RUMAHTANGGA DAN KECUKUPAN BERAS NASIONAL TAHUN ARIS ZAINAL MUTTAQIN ANALISIS KONSUMSI BERAS RUMAHTANGGA DAN KECUKUPAN BERAS NASIONAL TAHUN 2002 2007 ARIS ZAINAL MUTTAQIN PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

ANALISIS KEPUASAN, LOYALITAS, DAN PREFERENSI KONSUMEN MARTABAK AIR MANCUR BOGOR

ANALISIS KEPUASAN, LOYALITAS, DAN PREFERENSI KONSUMEN MARTABAK AIR MANCUR BOGOR ANALISIS KEPUASAN, LOYALITAS, DAN PREFERENSI KONSUMEN MARTABAK AIR MANCUR BOGOR SKRIPSI GRACE MAHARANI H34053276 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

ANALISIS USAHATANI JAMUR TIRAM PUTIH (Kasus di Komunitas Petani Jamur Ikhlas, Desa Cibening, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor)

ANALISIS USAHATANI JAMUR TIRAM PUTIH (Kasus di Komunitas Petani Jamur Ikhlas, Desa Cibening, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor) ANALISIS USAHATANI JAMUR TIRAM PUTIH (Kasus di Komunitas Petani Jamur Ikhlas, Desa Cibening, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor) SKRIPSI PUSPA HERAWATI NASUTION H 34076122 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS

Lebih terperinci

FORMULASI STRATEGI PEMASARAN OBAT TRADISIONAL PADA TAMAN SYIFA DI KOTA BOGOR, JAWA BARAT. Oleh : FANNY SEFTA ADITYA PUTRI A

FORMULASI STRATEGI PEMASARAN OBAT TRADISIONAL PADA TAMAN SYIFA DI KOTA BOGOR, JAWA BARAT. Oleh : FANNY SEFTA ADITYA PUTRI A FORMULASI STRATEGI PEMASARAN OBAT TRADISIONAL PADA TAMAN SYIFA DI KOTA BOGOR, JAWA BARAT Oleh : FANNY SEFTA ADITYA PUTRI A14104093 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS WILLINGNESS TO PAY MASYARAKAT TERHADAP PERBAIKAN LINGKUNGAN PERUMAHAN (Kasus Perumahan Bukit Cimanggu City RW 10) GITA HERDIANI

ANALISIS WILLINGNESS TO PAY MASYARAKAT TERHADAP PERBAIKAN LINGKUNGAN PERUMAHAN (Kasus Perumahan Bukit Cimanggu City RW 10) GITA HERDIANI ANALISIS WILLINGNESS TO PAY MASYARAKAT TERHADAP PERBAIKAN LINGKUNGAN PERUMAHAN (Kasus Perumahan Bukit Cimanggu City RW 10) GITA HERDIANI DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN

Lebih terperinci

ANALISIS SIKAP DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN KUNJUNGAN KONSUMEN KAFE BACA DI BUKU KAFE, DEPOK JAWA BARAT

ANALISIS SIKAP DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN KUNJUNGAN KONSUMEN KAFE BACA DI BUKU KAFE, DEPOK JAWA BARAT ANALISIS SIKAP DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN KUNJUNGAN KONSUMEN KAFE BACA DI BUKU KAFE, DEPOK JAWA BARAT OLEH : FANNY RAMA A. 14104547 PROGRAM STUDI EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Pangan merupakan bahan-bahan yang dimakan sehari-hari untuk memenuhi

PENDAHULUAN. Pangan merupakan bahan-bahan yang dimakan sehari-hari untuk memenuhi 53 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan bahan-bahan yang dimakan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yang berfungsi sebagai pemeliharaan, pertumbuhan, kerja dan penggantian jaringan

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA Oleh : RIKA PURNAMASARI A14302053 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

ANALISIS USAHATANI DAN TATANIAGA PADI VARIETAS UNGGUL (STUDI KASUS PADI PANDAN WANGI DI KECAMATAN WARUNGKONDANG KABUPATEN CIANJUR)

ANALISIS USAHATANI DAN TATANIAGA PADI VARIETAS UNGGUL (STUDI KASUS PADI PANDAN WANGI DI KECAMATAN WARUNGKONDANG KABUPATEN CIANJUR) ANALISIS USAHATANI DAN TATANIAGA PADI VARIETAS UNGGUL (STUDI KASUS PADI PANDAN WANGI DI KECAMATAN WARUNGKONDANG KABUPATEN CIANJUR) Oleh PRIMA GANDHI A14104052 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pembuatan makanan dapat menghemat devisa negara (Herlina, 2002).

I. PENDAHULUAN. pembuatan makanan dapat menghemat devisa negara (Herlina, 2002). 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mie telah digunakan sebagai salah satu pangan alternatif pengganti nasi. Sifat mie yang praktis dan rasanya enak merupakan daya tarik, juga harganya yang relatif murah,

Lebih terperinci

STRATEGI BAURAN PEMASARAN DENGAN PENERAPAN METODE PROSES HIERARKI ANALITIK DI AGROWISATA LITTLE FARMERS LEMBANG, BANDUNG

STRATEGI BAURAN PEMASARAN DENGAN PENERAPAN METODE PROSES HIERARKI ANALITIK DI AGROWISATA LITTLE FARMERS LEMBANG, BANDUNG STRATEGI BAURAN PEMASARAN DENGAN PENERAPAN METODE PROSES HIERARKI ANALITIK DI AGROWISATA LITTLE FARMERS LEMBANG, BANDUNG SKRIPSI IMAM WAHYUDI H34066064 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

Lebih terperinci

OPTIMALISASI PRODUKSI OBAT TRADISIONAL PADA TAMAN SYIFA DI KOTA BOGOR, JAWA BARAT

OPTIMALISASI PRODUKSI OBAT TRADISIONAL PADA TAMAN SYIFA DI KOTA BOGOR, JAWA BARAT 1 OPTIMALISASI PRODUKSI OBAT TRADISIONAL PADA TAMAN SYIFA DI KOTA BOGOR, JAWA BARAT Oleh : NUR HAYATI ZAENAL A14104112 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan komoditas yang tidak bisa dilepaskan dari kebijakan ekonomi suatu negara, karena pangan merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi kehidupan manusia.

Lebih terperinci

ANALISIS KEPUASAN KONSUMEN PRODUK YOU C 1000 (Studi Kasus Mahasiswa Strata Satu Institut Pertanian Bogor) Oleh : Prawira Atma Negara A

ANALISIS KEPUASAN KONSUMEN PRODUK YOU C 1000 (Studi Kasus Mahasiswa Strata Satu Institut Pertanian Bogor) Oleh : Prawira Atma Negara A ANALISIS KEPUASAN KONSUMEN PRODUK YOU C 1000 (Studi Kasus Mahasiswa Strata Satu Institut Pertanian Bogor) Oleh : Prawira Atma Negara A 14105587 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA PADA CV DUTA TEKNIK SAMPIT KALIMANTAN TENGAH

STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA PADA CV DUTA TEKNIK SAMPIT KALIMANTAN TENGAH STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA PADA CV DUTA TEKNIK SAMPIT KALIMANTAN TENGAH SKRIPSI NOPE GROMIKORA H34076111 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 RINGKASAN NOPE

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kacang tanah. Ketela pohon merupakan tanaman yang mudah ditanam, dapat tumbuh

BAB I PENDAHULUAN. kacang tanah. Ketela pohon merupakan tanaman yang mudah ditanam, dapat tumbuh BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Ketela pohon (Manihot utilissima) adalah salah satu komoditas pangan yang termasuk tanaman penting di Indonesia selain tanaman padi, jagung, kedelai, dan kacang

Lebih terperinci

ANALISIS POLA KONSUMSI PANGAN DI PROVINSI JAWA BARAT RATNA CAHYANINGSIH

ANALISIS POLA KONSUMSI PANGAN DI PROVINSI JAWA BARAT RATNA CAHYANINGSIH ANALISIS POLA KONSUMSI PANGAN DI PROVINSI JAWA BARAT RATNA CAHYANINGSIH PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 ANALISIS POLA KONSUMSI

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis, oleh karena itu Indonesia memiliki keanekaragaman buah-buahan tropis. Banyak buah yang dapat tumbuh di Indonesia namun tidak dapat tumbuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah salah satu negara yang terbentang di sepanjang garis

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah salah satu negara yang terbentang di sepanjang garis BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara yang terbentang di sepanjang garis khatulistiwa, sehingga sepanjang tahun Indonesia hanya mengalami musim hujan dan musim kemarau.

Lebih terperinci