PERTUMBUHAN EKONOMI, PENGELUARAN PEMERINTAH DAN KETIMPANGAN GENDER DI PASAR TENAGA KERJA INDONESIA BETRIXIA BARBARA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERTUMBUHAN EKONOMI, PENGELUARAN PEMERINTAH DAN KETIMPANGAN GENDER DI PASAR TENAGA KERJA INDONESIA BETRIXIA BARBARA"

Transkripsi

1 PERTUMBUHAN EKONOMI, PENGELUARAN PEMERINTAH DAN KETIMPANGAN GENDER DI PASAR TENAGA KERJA INDONESIA BETRIXIA BARBARA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013

2 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dengan disertasi saya yang berjudul Pertumbuhan Ekonomi, Pengeluaran Pemerintah dan Ketimpangan Gender di Pasar Tenaga Kerja Indonesia merupakan gagasan atas hasil penelitian saya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjuk rujukkannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Seluruh sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan diperiksa kebenarannya. Bogor, Agustus 2013 Betrixia Barbara NRP. H

3 ABSTRACT BETRIXIA BARBARA. Economic Growth, Government Expenditure and Gender Inequality in the Labor Market of Indonesia (D. S PRIYARSONO as Chairman, WILSON HALOMOAN LIMBONG and RATNA WINANDI as Commission Members) The determination of economic growth target is quite effective in encouraging Indonesian economy to grow positively. Economic growth is certainly able to provide new jobs, but it is not always able to deal with gender inequality in the labor market in Indonesia, and the government indeed has a major role in reducing the gender inequality. Further investigation is undoubtedly necessary to find out whether the Indonesian government expenditure can improve the gender inequality in the labor market. The aims of this study were (1) to analyze the impact of the economic growth target on employment in Indonesia, (2) to analyze the impact of the economic growth target on gender inequality in the labor market in Indonesia and (3) to analyze the impact of the government spending on gender inequality in the labor market in Indonesia. The study was conducted in the Indonesian scope, and the data used were secondary data in form of SNSE table of Indonesia from BPS The table was adapted to the purpose of the research, resulting in 42x42 matrix, with the production factor of labor being broken up based on gender, education, and employment formality. This study concluded that sectoral economic growth target showed that there was a gender inequality because women had less opportunity to seek employment in the formal sector largely due to their low education and dual roles. It is the dual roles which eventually lead many well-educated women to choose careers in the informal economic sector so that they can still play their role as a mother, that is, taking care of their family. Although the government spending was not free from gender inequality in which more women were absorbed in the informal sector, the sectoral government spending had been admittedly able to reduce the existing gap in the Indonesian labor market. Key words: economic growth, government expenditure, gender inequality, labor market

4 RINGKASAN BETRIXIA BARBARA. Pertumbuhan Ekonomi, Pengeluaran Pemerintah dan Ketimpangan Gender di Pasar Tenaga Kerja Indonesia (D. S PRIYARSONO sebagai Ketua, WILSON HALOMOAN LIMBONG dan RATNA WINANDI sebagai Anggota Komisi) Penetapan target pertumbuhan ekonomi cukup efektif mendorong ekonomi Indonesia ke arah pertumbuhan yang positif. Pertumbuhan ekonomi tersebut mampu menyediakan lapangan kerja baru tetapi belum diketahui bagaimana dampaknya terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja Indonesia. Pemerintah memiliki peran besar dalam mengurangi ketimpangan gender tersebut melalui kebijakan anggarannya. Kebijakan pengarusutamaan gender (PUG) memberikan konsekuensi anggaran pemerintah Indonesia lebih responsif gender. Akan tetapi masih perlu diteliti lebih lanjut apakah pengeluaran pemerintah Indonesia tersebut mampu memperbaiki ketimpangan gender di pasar tenaga kerja. Berdasarkan informasi tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah: (1) Menganalisis dampak tercapainya target pertumbuhan ekonomi terhadap penyerapan tenaga kerja di Indonesia, (2) menganalisis dampak tercapainya target pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja di Indonesia, dan (3) menganalisis dampak pengeluaran pemerintah terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja di Indonesia. Penelitian dilakukan pada lingkup Indonesia. Data yang digunakan adalah data sekunder berupa tabel Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Indonesia Tahun 2008 dari BPS. Tabel SNSE tersebut dimodifikasi disesuaikan dengan tujuan penelitian. SNSE yang telah dimodifikasi berupa matriks 42x42, dengan faktor produksi tenaga kerja dipilah berdasarkan gender, pendidikan, dan formalitas pekerjaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tercapainya target pertumbuhan ekonomi lebih banyak menyerap tenaga kerja informal yaitu sebesar 3.44 juta orang, sedangkan tenaga kerja formal hanya sebesar 1.67 juta orang. Meskipun tenaga kerja formal terserap lebih kecil, tetapi persentase peningkatannya lebih tinggi yaitu sebesar 5.24 persen. Sedangkan pekerja informal hanya meningkatkan sebesar 4.81 persen. Penyerap tenaga kerja formal paling besar adalah sektor jasa. Sektor jasa mampu menyerap tenaga kerja formal sebesar 1.14 juta orang, sedangkan sektor industri dan pertanian masing-masing hanya sebesar 0.34 juta orang dan 0.19 juta orang. Selain itu, sektor jasa memiliki potensi paling tinggi dalam mendorong peningkatan penyerapan tenaga kerja formal dengan persentase peningkatan sebesar 3.57 persen, diikuti oleh sektor industri dan jasa masing-masing sebesar 1.08 persen dan 0.59 persen. Dilihat dari proporsinya, tampak bahwa tercapainya target pertumbuhan ekonomi belum mampu menciptakan proporsi lapangan pekerja formal yang memadai, yaitu hanya sebesar persen. Proporsi tersebut jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan proporsi tenaga kerja informalnya, yaitu dengan proporsi sebesar persen.

5 Kondisi yang sama tampak ketika target pertumbuhan ekonomi sektoral tercapai. Proporsi tenaga kerja formal yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi sektor pertanian, industri dan jasa masing-masing hanya sebesar persen, persen, dan persen. Sedangkan proporsi tenaga kerja informalnya masing-masing sebesar persen, persen dan sebesar persen. Akan tetapi tenaga kerja informal tersebut hanya mengakumulasi total pendapatan yang jauh lebih kecil yaitu dengan proporsi pendapatan sektor pertanian sebesar persen, diikuti oleh sektor industri dan jasa masing-masing dengan proporsi sebesar persen dan persen. Tingginya proporsi penyerapan tenaga kerja informal yang diikuti oleh rendahnya proporsi pendapatan kelompok pekerja tersebut mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia yang didorong oleh ketiga sektor utama lebih banyak menyerap tenaga kerja informal berpendapatan rendah yang rentan terhadap kemiskinan. Tingginya proporsi tenaga kerja informal terkait erat dengan rendahnya mayoritas sumber daya pekerja Indonesia. Tampak bahwa tenaga kerja baru didominasi oleh tenaga kerja berpendidikan rendah, yaitu sekitar 70 persen untuk semua sektor. Bila dianalisis dari aspek gender diketahui bahwa secara nominal peningkatan tenaga kerja laki-laki sebesar 3.1 juta orang, lebih tinggi dibandingkan perempuan yang hanya sebesar 2.0 juta orang. Hal yang sama tampak pada pertumbuhan ekonomi sektoral. Tenaga kerja laki-laki yang terserap ketika pertumbuhan ekonomi didorong oleh sektor pertanian, industri dan jasa adalah masing-masing sebesar 0.41 juta orang, 0.70 juta orang, dan 1.99 juta orang. Sedangkan tenaga kerja perempuan masing-masing hanya sebesar 0.39 juta orang, 0.49 juta orang dan 1.13 juta orang. Meskipun secara nominal perempuan terserap lebih sedikit dibandingkan laki-laki, tetapi persentase peningkatannya lebih tinggi yaitu sebesar 5,17 persen, sedangkan laki-laki hanya sebesar 4,81 persen. Persentase peningkatan lebih tinggi terutama untuk pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh sektor pertanian dan industri (1.00 persen dan 1.26 persen). Sedangkan pada sektor jasa, pertumbuhan penyerapan tenaga kerja laki-laki dan perempuan hampir berimbang (3.09 persen dan 2.90 persen). Akan tetapi, tingginya persentase peningkatan penyerapan tenaga kerja perempuan tersebut belum dapat membuktikan bahwa ketimpangan gender tidak terjadi ketika target pertumbuhan ekonomi tercapai. Apabila hasil analisis dipilah berdasarkan jenis kelamin dan formalitas pekerjaan, tampak bahwa tercapainya target pertumbuhan ekonomi menggambarkan adanya ketimpangan gender. Hal ini diketahui dari adanya gap kesempatan bekerja sebagai pekerja formal sebesar Gap tersebut disebabkan karena perempuan pekerja formal hanya sebesar persen, lebih rendah dibadingkan laki-laki dengan proporsi sebesar persen. Hal yang sama tampak ketika pertumbuhan ekonomi sektoral tercapai. Pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh sektor pertanian, industri maupun jasa menggambarkan adanya ketimpangan gender. Hal ini diketahui dari adanya gap kesempatan bekerja sebagai pekerja formal (pertanian: 17.02; industri: 15.72; jasa: 12.80). Gap ini disebabkan karena pekerja laki-laki lebih banyak terserap

6 sebagai pekerja formal dengan proporsi antara persen persen, bandingkan dengan pekerja perempuan yang hanya memiliki proporsi antara persen persen. Hal ini menyebabkan perempuan lebih banyak tertumpuk sebagai pekerja informal yaitu dengan proporsi antara persen persen, bandingkan dengan laki-laki dengan proporsi hanya sekitar persen persen. Tertumpuknya pekerja perempuan sebagai pekerja informal disebabkan karena tingginya jumlah pekerja perempuan berpendidikan rendah. Pada semua simulasi, proporsi perempuan pekerja informal berpendidikan rendah lebih banyak dibandingkan laki-laki (pertanian persen; industri persen; jasa persen). Apabila dikaitkan dengan analisis sebelumnya, tampaknya peningkatan pendidikan perempuan masih belum mampu mengakomodasi sebagian besar tenaga kerja perempuan. Keterbatasan pendidikan menyebabkan banyak perempuan berakhir sebagai pekerja informal tanpa ikatan kerja resmi, perlindungan hukum dan asuransi. Membaik atau memburuknya ketimpangan gender dapat diketahui dengan cara membandingkan nilai gap simulasi dan nilai awalnya. Tampak bahwa ketika target pertumbuhan ekonomi tercapai, gap yang tercipta (15.01) lebih besar daripada gap awal (14,85). Artinya, tecapainya target pertumbuhan ekonomi tidak hanya menggambarkan ketimpangan gender, tetapi juga potensial memperbesar ketimpangan. Kontribusi terbesar untuk memperlebar gap adalah sektor pertanian dan industri. Tampak bahwa tercapainya pertumbuhan ekonomi sektor pertanian dan industri menunjukkan nilai yang lebih besar jika dibandingkan nilai awalnya (pertanian 17.02; industri 15.72; nilai awal 14.85). Selanjutnya, sektor jasa merupakan sektor yang potensial memperkecil ketimpangan gender dengan gap sebesar 12.80, lebih kecil dari nilai awalnya. Salah satu penyebab kecilnya gap tersebut adalah karena ketika sekolah, perempuan cenderung memilih jurusan dalam sektor jasa yang memiliki lapangan kerja formal tingi diantara sektor lainnya. Gap yang tercipta dari pengeluaran pemerintah sektor pertanian, industri dan jasa masing-masing sebesar 14.11, dan Gap ini menyebabkan perempuan lebih banyak terserap sebagai pekerja informal yaitu dengan proporsi antara persen persen, bandingkan dengan laki-laki dengan proporsi sekitar persen persen. Meskipun ada gap, tetapi pengeluaran pemerintah sektoral mampu memperbaiki ketimpangan gender. Tampak bahwa gap sektor pertanian, industri, jasa menunjukkan nilai yang lebih kecil jika dibandingkan nilai awalnya (pertanian 14.11; industri 14.10; jasa 10.90; nilai awal 14.85). Hal ini menujukkan bahwa persentase peningkatan perempuan pekerja formal yang didorong pengeluaran pemerintah sektoral telah mampu memperbaiki ketimpangan gender yang terjadi di pasar tenaga kerja Indonesia. Sebagai saran, sebaiknya program pembangunan yang didorong oleh kedua sektor tersebut sebaiknya menggunakan kajian gender yang lebih mendalam agar mampu mengurangi ketimpangan. Selanjutnya, perlu kesungguhan pemerintah daerah dalam menerapkan pengeluaran pemerintah yang lebih responsif gender untuk memperbesar dampaknya terhadap pengurangan ketimpangan gender di Indonesia.

7 @ Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantum atau menyebutkan sumber: a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor

8 PERTUMBUHAN EKONOMI, PENGELUARAN PEMERINTAH DAN KETIMPANGAN GENDER DI PASAR TENAGA KERJA INDONESIA BETRIXIA BARBARA Disertasi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Doktor Pada Program Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013

9 Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup: 1. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA; Staf Pengajar Dept. Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor 2. Dr. Ir. Parulian Hutagaol, MS; Staf Pengajar Dept. Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. Harianto; Staf Pengajar Dept. Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor 2. Dr. Ir. Siti Amanah, MSc; Staf Pengajar Dept. Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor

10 Judul Disertasi Nama Mahasiswa : Pertumbuhan Ekonomi, Pengeluaran Pemerintah dan Ketimpangan Gender di Pasar Tenaga Kerja Indonesia : Betrixia Barbara Nomor Induk Mahasiswa : H Program Studi/Mayor : Ilmu Ekonomi Pertanian Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing Ir. D. S Priyarsono, Ph.D Ketua Prof. Dr. Ir. Wilson Halomoan Limbong, MS Anggota Dr. Ir. Ratna Winandi, MS Anggota Mengetahui, 2. Koordinator Mayor 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr Tanggal Ujian: 24 Juni 2013 Tanggal Lulus:

11 Judul Disertasi Nama Mahasiswa Nomor Induk Mahasiswa Program Studi/Mayor Pertumbuhan Ekonomi, Pengeluaran Pemerintah dan Ketimpangan Gender di Pasar Tenaga KeIja Indonesia Betrixia Barbara H Ilmu Ekonomi Pertanian Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing Ir. D. S Priyarsono, Ph.D Ketua Prof. Dr. Ir. Wilson Halomoan Limbong, MS Anggota Dr. Ir. Ratna W andi, MS Anggota Mengetahui, 2. Koordinator Mayor IImu Ekonomi Pertanian Dr. If. Sri Hartoyo, MS Tanggal Ujian: 24 Juni 2013 Tanggal Lulus: 2 7 AUS 2013

12 KATA PENGANTAR Puji syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga saat ini Penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Judul disertasi penulis adalah Pertumbuhan Ekonomi, Pengeluaran Pemerintah dan Ketimpangan Gender di Pasar Tenaga Kerja Indonesia. Latar belakang penelitian ini adalah karena semakin meningkatnya kesadaran masyarakat dunia terhadap kondisi ketimpangan gender yang tidak saja merugikan kaum perempuan, tetapi juga merugikan masyarakat secara keseluruhan. Banyak pihak yang telah membantu dalam penyelesaian disertasi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Staf administrasi Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian 2. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA dan Dr. Ir. Parulian Hutagaol, MS yang telah menjadi penguji luar komisi sidang tertutup Penulis. 3. Dr. Ir. Harianto dan Ir. Siti Amanah, MSc yang telah menjadi penguji luar komisi sidang terbuka Penulis 4. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian 5. Ir. D. S Priyarsono, Ph.D, selaku Ketua Komisi Pembimbingan, Prof. Dr. Ir. Wilson Halomoan Limbong, MS, dan Dr. Ir. Ratna Winandi, MS, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak membantu dan membimbing Penulis dalam penyelesaian disertasi 6. Kedua orang tua, adik dan kakak di Palangka Raya 7. Teman-teman sekerja di Universitas Palangka Raya, terutama di Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya 8. Teman-teman kuliah di EPN, terutama S3 Angkatan Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan. Namun Penulis berharap disertasi ini bermanfaat bagi pembaca. Bogor, Agustus 2013 Penulis

13 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Palangka Raya pada tanggal 25 Januari Penulis adalah anak ketiga dari pasangan Bapak Selwi Lesa dan Ibu Lundiana Dansen. Penulis menyelesaikan S1 pada Tahun 2003 di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya. Tahun 2005 Penulis mendapatkan beasiswa BPPS untuk melanjutkan pendidikan S2 di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian IPB, dan selesai pada tahun Pada tahun 2008, Penulis kembali mendapatkan beasiswa BPPS untuk melanjutkan pendidikan S3 pada Program Studi yang sama. Saat ini penulis adalah Staf pengajar di Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya.

14 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... i iii v I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan dan Kegunaan Penelitian Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian... 8 II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan teoretis Konsep Gender dan Ketimpangan Gender Landasan Hukum Kesadaran Gender Teori Tenaga Kerja dan Pasar Tenaga Kerja Pasar Tenaga Kerja dan Ketimpangan Gender Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Gender di Pasar Tenaga Kerja Pengeluaran Pemerintah dan Ketimpangan Gender di Pasar Tenaga Kerja Sistem Neraca Sosial Ekonomi Tinjauan Empiris III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Pemikiran Hipotesis IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi Penelitian, Jenis dan Sumber Data Metode Analisis Agregasi Sistem Neraca Sosial Ekonomi i

15 V. STRUKTUR PASAR TENAGA KERJA INDONESIA VI. ANALISIS HASIL PENELITIAN 6.1. Dampak Tercapainya Target Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Pendapatan dan Penyerapan Tenaga Kerja Dampak Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Ketimpangan Gender di Pasar Tenaga Kerja Dampak Pengeluaran Pemerintah Terhadap Ketimpangan Gender di Pasar Tenaga Kerja VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN ii

16 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas berdasarkan Jenis Kegiatan Seminggu yang lalu dan Jenis Kelamin di Indonesia, Tahun Jumlah Tenaga Kerja Berdasarkan Formalitas Pekerjaan dan Jenis Kelamin di Indonesia, Matriks Tenaga Kerja Formal dan Informal Kriteria Pekerja Formal dan Informal Menurut Definisi BPS Target Pertumbuhan Ekonomi Menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahap II Target Pertumbuhan Ekonomi 2013 menurut Rencana Kerja Pemerintah Proporsi Pembagian Dana Perimbangan Sebelum dan Sesudah... Diberlakukannya Undang-Undang No. 25 Tahun Kerangka Dasar SNSE Arti Hubungan Antarneraca Dalam Kerangka SNSE Nilai Injeksi Variabel Eksogen Untuk Mencapai Target Pertumbuhan Ekonomi Modifikasi Neraca Eksogen dan Endogen Secara Garis Besar Jumlah Tenaga Kerja Berdasarkan Lapangan Kerja Utama, Tahun Proporsi Tenaga Kerja Formal dan Informal Indonesia, Tahun Proporsi Tenaga Kerja Formal dan Informal Berdasarkan Jenis Kelamin di Indonesia, Tahun Tenaga Kerja Informal Berdasarkan Jenis Kelamin dan Status Pekerjaan Utama di Indonesia, Tahun Proporsi Tenaga Kerja Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Indonesia, Proporsi Tenaga Kerja Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin di Indonesia, Dampak Tercapainya Target Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penyerapan dan Pendapatan Tenaga Kerja iii

17 19. Dampak Tercapainya Target Pertumbuhan Ekonomi terhadap Peningkatan Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan Formalitas Pekerjaan Dampak Tercapainya Target Pertumbuhan Ekonomi terhadap Peningkatan Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan Pendidikan Pekerja Dampak Tercapainya Target Pertumbuhan Ekonomi terhadap Proporsi Peningkatan Penyerapan dan Pendapatan Tenaga Kerja Berdasarkan Formalitas Pekerjaan Dampak Tercapainya Target Pertumbuhan Ekonomi terhadap Proporsi Peningkatan Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan Tingkat Pendidikan Distribusi Rumahtangga Petani menurut Kelompok Pemilikan Lahan, Tahun Dampak Tercapainya Target Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan Jenis Kelamin Dampak Tercapainya Target Pertumbuhan Ekonomi terhadap Peningkatan Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan Pendidikan pekerja Dampak Tercapainya Target Pertumbuhan Ekonomi terhadap Peningkatan Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan Formalitas Pekerjaan Pertumbuhan Ekonomi, Pekerja Perempuan dan Upah Pekerja Perempuan Indonesia, Tahun Persentase peningkatan Tenaga kerja Perempuan berdasarkan Tingkat Pendidikan, Tahun Dampak Tercapainya Target Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penyerapan Tenaga Kerja dan Ketimpangan Gender di Pasar Tenaga Kerja Indonesia Dampak Pengeluaran Pemerintah Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja dan Ketimpangan Gender di Pasar Tenaga iv

18 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun Perubahan Permintaan Tenaga Kerja Perubahan Penawaran Tenaga Kerja Dampak Diskriminasi Upah terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Perempuan Dampak Diskriminasi Pekerjaan Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Perempuan Struktur Ekonomi Informal Peningkatan Partisipasi Angkatan Kerja Perempuan Sepanjang Waktu pada Setiap Tingkatan GDP Per Kapita di 130 Negara Alur Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Nasional Kurva Perpotongan Keynesian Dampak Pengeluaran Pemerintah dalam Jangka Pendek dan Penyerapan Tenaga Kerja Keterkaitan Transaksi dalam SNSE Kerangka Pemikiran Pertumbuhan PDB, Tenaga Kerja Formal dan Tenaga Kerja Informal Upah Tenaga Kerja Laki-laki dan Perempuan Indonesia, Proporsi Siswa SMK berdasarkan Jurusan dan Jenis kelamin DAFTAR LAMPIRAN v

19 Nomor Halaman 1. Klasifikasi SNSE Indonesia Berdasarkan Gender Ukuran 42x Tabel SNSE Gender Indonesia Tahun Matriks Pengganda (Mα)Dampak Tercapainya Target Pertubuhan Ekonomi Matriks Pengganda (Mα)Dampak Pengeluaran Pemerintah Perhitungan Koefisien Tenaga Kerja Matriks Koefisien Tenaga Kerja (L ) Perhitungan Target Pertumbuhan Ekonomi Kejutan Eksternal (X*) untuk Mencapai Target Pertumbuhan Ekonomi (Y) Hasil Simulasi Dampak Tercapainya Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Pendapatan Tenaga Kerja Hasil Simulasi Dampak Tercapainya Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Hasil Simulasi Dampak Pengeluaran Pemerintah Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Inpres Nomor 9 Tahun 200 Tentang Pengarusutamaan Gender vi

20 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator berjalannya roda perekonomian suatu negara. Ketika ekonomi tumbuh, maka ada peningkatan produksi barang dan jasa yang memerlukan sejumlah tambahan tenaga kerja untuk memproduksinya. Oleh karena itu, pencapaian pertumbuhan ekonomi menjadi instrumen penting untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Pentingnya pertumbuhan ekonomi menyebabkan banyak negara yang secara rutin menargetkan pertumbuhan ekonominya, kemudian berusaha untuk mencapainya. Akan tetapi pertumbuhan ekonomi tidak menjamin peningkatan kualitas hidup perempuan. World Bank (2011a) melaporkan bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi dunia antara tahun 1980 dan 2008 berdampak terhadap mengecilnya gap partisipasi kerja antara perempuan dan laki-laki dari 32 persen menjadi 26 persen, tetapi perempuan lebih banyak terwakili sebagai pekerja informal dan pekerja dengan produktivitas rendah. Hal senada diungkapkan Seguino (2000) yang menyatakan bahwa di negara semi industri yang berorientasi ekspor, perempuan merupakan sumber tenaga kerja murah yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Argumen ini didukung oleh penelitian Busse dan Spielmann (2006), yang menunjukkan bahwa negara-negara dengan upah perempuan yang lebih rendah dari laki-laki memiliki ekspor lebih tinggi pada industri padat karya. Selanjutnya, Wanjala dan Were (2010) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh investasi di Kenya menyebabkan perempuan lebih banyak terserap sebagai pekerja informal jika dibandingkan dengan laki-laki. Terkait dengan pekerja informal, Chen (2007) menyatakan bahwa pekerja informal umumnya menerima upah yang rendah tanpa fasilitas tunjangan kerja dan asuransi kesehatan seperti yang diperoleh pekerja formal, sehingga rawan terhadap kemiskinan (Lindenthal, 2005). Keterwakilan perempuan secara berlebih sebagai pekerja informal tersebut merupakan salah satu bentuk dari ketimpangan gender di pasar tenaga kerja.

21 2 Menurut Nazara (2009), keberadaan pekerjaan informal tidak bisa terhindarkan dan tidak selalu berarti buruk. Penyebabnya adalah karena pekerjaan informal merupakan alternatif pekerjaan terbaik ketika pertumbuhan ekonomi belum mampu menyediakan cukup banyak pekerjaan formal. Akan tetapi, karena sifat pekerjaan informal yang sering tidak menguntungkan pekerja, menyebabkan keberadaannya diharapkan sangat kecil. Oleh karena itu, ketersediaan lapangan pekerjaan formal senantiasa menjadi tujuan utama pembangunan suatu negara. Pilihan sebagai pekerja informal menjadi keputusan terbaik bagi sebagian perempuan, alasannya adalah fleksibilitas waktu kerja. Fleksibilitas waktu tersebut perlu karena sebagian besar tenaga kerja perempuan masih harus menanggung pekerjaan domestik seperti mengurus rumah dan anak-anak. Selain itu, pekerja informal tidak mensyaratkan pendidikan tinggi dan dapat dimulai atau diakhiri kapan saja (Hubeis, 2010). Keterwakilan perempuan secara berlebih sebagai pekerja informal menyebabkan rata-rata upah perempuan menjadi lebih rendah dari laki-laki. Kerugian ekonomi bagi negara akibat rendahnya rata-rata upah perempuan tersebut dapat dilihat dari beberapa hasil penelitian sebelumnya. Kerugian ekonomi tersebut antara lain berupa hilangnya kesempatan untuk memaksimalkan akumulasi tabungan agregat. Floro dan Seguino (2003) berkesimpulan bahwa peningkatan pendapatan perempuan relatif terhadap laki-laki berdampak pada peningkatan tabungan agregat di 20 negara semi industri. Tingkat tabungan agregat yang tinggi merupakan sumber pembiayaan investasi yang mampu mendorong perekonomian. Berikutnya adalah kehilangan kesempatan untuk meningkatkan sumberdaya manusia yang lebih tinggi. Qian (2008) menyatakan bahwa peningkatan pendapatan perempuan di China berdampak terhadap peningkatan lama sekolah anak laki-laki dan perempuan. Lebih jauh, generasi terdidik itu nantinya akan menjadi sumberdaya manusia yang mampu mendorong petumbuhan ekonomi. Selanjutnya adalah kehilangan kesempatan untuk memperbaiki gizi masyarakat. Todaro dan Smith (2003) menyatakan bahwa kesempatan istri untuk memperoleh penghasilan akan mendukung program perbaikan gizi pada

22 3 masyarakat miskin. Pendapatan istri pada keluarga miskin umumnya akan dihabiskan untuk memenuhi pangan dan kebutuhan gizi keluarga terutama anakanak. Pemerintah sebagai pengambil kebijakan, dapat menggunakan kebijakan pengeluaran pemerintah untuk memperbaiki ketimpangan gender di pasar tenaga kerja. Pengeluaran pemerintah akan meningkatkan permintaan barang dan jasa, dan selanjutnya meningkatkan sejumlah tenaga kerja untuk memproduksi tambahan permintaan barang dan jasa tersebut. Oleh karena itu, pengeluaran pemerintah yang sensitif gender diharapkan mampu memperbaiki ketimpangan di pasar tenaga kerja. Anggaran negara yang sensitif gender mengakui ketidaksetaraan yang mendasar antara laki-laki dan perempuan dan memperbaikinya melalui alokasi sumberdaya publik. Anggaran responsif gender akan mempertimbangkan penganggaran pemerintah dan manfaat pembangunan yang dicapai baik bagi laki-laki ataupun perempuan sehingga mampu memperkecil ketimpangan gender dalam segala bidang (Balmori, 2003) Perumusan Masalah Pemerintah Indonesia menetapkan target pertumbuhan ekonomi di dalam rencana pembangunan jangka panjang (RPJP) nasional, kemudian dijabarkan secara terinci dalam rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) nasional dan rencana kerja pemerintah (RKP). RPJP nasional merupakan rencana pembangunan periode dua puluh (20) tahunan, RPJM nasional merupakan rencana pembangunan periode lima (5) tahunan, sedangkan RKP merupakan rencana pembangunan periode satu (1) tahunan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di negara berkembang sangat penting, karena terkait dengan kesejahteraan masyarakat seperti ketersediaan lapangan pekerjaan. Oleh karena itu, perlu adanya target pertumbuhan ekonomi sebagai bahan evaluasi bagi pemerintah untuk memperbaiki kinerja perekonomian. Ketika target pertumbuhan ekonomi ditetapkan, pemerintah akan mengaplikasikan berbagai kebijakan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi tersebut. Penetapan target pertumbuhan ekonomi Indonesia tampaknya cukup efektif mengarahkan ekonomi ke arah pertumbuhan yang positif.

23 4 Pertumbuhan ekonomi (%) Tahun Sumber: BPS, 2012 Gambar 1. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Tahun Ekonomi Indonesia memiliki pertumbuhan yang cukup baik di dunia. Ekonomi Indonesia menunjukkan peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan di atas 4.5 persen tiap tahunnya (Gambar 1). Walaupun pertumbuhan ekonomi Indonesia belum meningkat secara konsisten, tetapi hal ini lebih disebabkan karena pengaruh perekonomian dunia yang tidak stabil. Ketika pertumbuhan ekonomi di banyak negara lain negatif akibat krisis ekonomi global yang di awali dari krisis finansial di Amerika Serikat pada tahun 2008, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2009 masih mampu mencapai pertumbuhan 4.63 persen. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cukup baik juga diungkap dalam studi World Bank (2011b). Studi tersebut menyimpulkan bahwa Indonesia merupakan salah satu pendorong perekonomian global dan diprediksi akan memberikan kontribusi untuk separuh pertumbuhan ekonomi dunia bersama lima negara lain, yakni Rusia, Korea Selatan, India, China, dan Brasil. Pertumbuhan Ekonomi yang dicapai Indonesia tersebut telah mampu menciptakan lapangan kerja baru. BPS (2011) mencatat bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2011 mampu menyediakan lapangan kerja baru kepada sekitar 1.5 juta orang. Oleh karena itu, pengejaran target pertumbuhan ekonomi masih cukup efektif untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja Indonesia. Akan tetapi, pertumbuhan ekonomi Indonesia tersebut perlu dikaji lebih lanjut bagaimana dampaknya terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja Indonesia.

24 5 Tabel 1. Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas berdasarkan Jenis Kegiatan Seminggu yang lalu dan Jenis Kelamin di Indonesia, Tahun 2010 Kegiatan Seminggu yang Lalu Jumlah (Orang) Laki-laki Persentase (%) Jumlah (Orang) Perempuan Persentase (%) 1. Angkatan Kerja Bekerja Menganggur Bukan Angkatan Kerja Sekolah Mengurus rumahtangga Lainnya Sumber: BPS, 2010 Ketimpangan gender di pasar tenaga kerja Indonesia akan terlihat ketika data dipilah berdasarkan jenis kelamin seperti pada Tabel 1. Tampak bahwa partisipasi perempuan dalam dunia kerja lebih rendah dibandingkan laki-laki. Perempuan yang bekerja hanya sebesar persen dari total perempuan umur produktif, sedangkan laki-laki sebesar persen. Ketimpangan gender dalam hal kesempatan bekerja seringkali dianggap wajar bagi sebagian besar masyarakat karena umumnya perempuan lebih banyak mengurus keluarga sehingga harus menarik diri dari dunia kerja. Hal ini tampak jelas dari data yang menunjukkan bahwa perempuan yang mengurus rumahtangga memiliki persentase yang tinggi, yaitu sebesar persen. Tabel 2. Jumlah Tenaga Kerja Berdasarkan Formalitas Pekerjaan dan Jenis Kelamin di Indonesia, Tahun 2010 Jenis Pekerja Laki-laki Persentase Perempuan Persentase (orang) (%) (orang) (%) Formal Informal Jumlah Total Tenaga Kerja = Sumber: BPS, 2010 Ketimpangan ternyata tidak hanya terjadi pada partisipasi bekerja, tetapi juga terjadi ketika para perempuan tersebut telah masuk pasar tenaga kerja. Mayoritas perempuan pekerja terserap sebagai pekerja informal, yaitu sebesar 61.0 persen (Tabel 2). Perempuan sebagai pekerja formal hanya sebesar persen. Pekerja laki-laki lebih beruntung karena memiliki peluang yang lebih besar sebagai pekerja formal, yaitu sebesar persen. Artinya, perempuan

25 6 tidak hanya memiliki kesempatan yang kecil dalam hal kesempatan bekerja, tetapi juga dalam hal mendapatkan pekerjaan dengan upah yang layak sebagai pekerja formal. KPPA (2011) mengungkapkan bahwa upah pekerja informal di Indonesia lebih rendah sekitar 30 persen dari yang diterima pekerja formal. Kondisi pekerja informal tidak hanya lebih buruk dalam hal upah, tetapi umumnya juga kurang memperoleh asuransi, pelatihan dan hak pensiun. Oleh karena itu tingginya persentase perempuan di sektor informal menggambarkan tingginya persentase perempuan yang memperoleh upah rendah dengan kondisi pekerjaan yang kurang menguntungkan. Sebagai pengambil kebijakan, pemerintah Indonesia melalui kebijakan pengeluarannya memiliki peran besar untuk memperbaiki ketimpangan gender di pasar tenaga. Teori Keynesian menjelaskan bahwa pengeluaran pemerintah akan meningkatkan output nasional. Selanjutnya, peningkatan output membutuhkan sejumlah tambahan tenaga kerja seperti yang ditunjukkan pada fungsi produksi. Oleh karena itu, dengan kebijakan pengeluaran yang sensitif gender akan mampu memperbaiki ketimpangan gender di pasar tenaga kerja. Pengeluaran pemerintah yang sensitif gender mengakui ketidaksetaraan yang mendasar antara laki-laki dan perempuan dan memperbaikinya melalui alokasi sumberdaya publik. Pengeluaran sensitif gender akan mempertimbangkan penganggaran pemerintah dan manfaat pembangunan yang dicapai baik bagi lakilaki ataupun perempuan sehingga mampu memperkecil ketimpangan gender dalam segala bidang (Balmori, 2003). Upaya pemerintah Indonesia untuk memperbaiki ketimpangan gender melalui kebijakan pengeluarannya dilakukan dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang pelaksanaan pengarusutamaan gender (PUG) dalam pembangunan. Inpres ini mengamanatkan semua kementerian dan lembaga untuk mengintegrasikan gender pada setiap tahapan proses pembangunan yaitu mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan monitoring evaluasi pada semua bidang pembangunan. Inpres ini seharusnya berimplikasi pada pengeluaran pemerintah yang lebih responsif gender.

26 7 Berdasarkan uraian sebelumnya diketahui bahwa penetapan target pertumbuhan ekonomi cukup efektif mendorong ekonomi Indonesia ke arah pertumbuhan yang positif. Pertumbuhan ekonomi tersebut mampu menyediakan lapangan kerja baru tetapi belum diketahui apakah pertumbuhan ekonomi tersebut berdampak terhadap perbaikan ketimpangan gender di pasar tenaga kerja Indonesia. Selanjutnya diketahui juga pengeluaran pemerintah berdampak terhadap penyerapan tenaga kerja dan kebijakan kesetaraan gender melalui PUG di Indonesia telah menjadi kebijakan nasional. PUG memiliki konsekuensi terhadap anggaran pemerintah yang lebih sensitif gender. Akan tetapi masih belum diketahui bagaimana dampaknya terhadap perbaikan ketimpangan gender di pasar tenaga kerja Indonesia. Berdasarkan informasi tersebut, maka dikemukakan perumusan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana dampak tercapainya target pertumbuhan ekonomi terhadap penyerapan tenaga kerja di Indonesia? 2. Bagaimana dampak tercapainya target pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja di Indonesia? 3. Bagaimana dampak pengeluaran pemerintah terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja di Indonesia? 1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Berdasarkan uraian sebelumnya maka dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut: 1. Menganalisis dampak tercapainya target pertumbuhan ekonomi terhadap penyerapan tenaga kerja di Indonesia. 2. Menganalisis dampak tercapainya target pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja di Indonesia. 3. Menganalisis dampak pengeluaran pemerintah terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja di Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pemerintah Indonesia agar mempertimbangkan perbaikan ketimpangan gender dalam pengejaran pertumbuhan ekonomi. Selain itu sebagai masukan dalam mempertimbangkan pengalokasian anggaran yang sensitif gender.

27 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis dampak pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja di Indonesia. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan ketimpangan gender adalah ketika proporsi perempuan pekerja formal lebih kecil dibandingkan laki-laki sehingga menyebabkan proporsi perempuan pekerja informal lebih besar dibandingkan laki-laki. Pekerja formal mewakili pekerja dengan upah dan kondisi pekerjaan yang layak (mendapatkan fasilitas tunjangan kerja dan asuransi). Sedangkan pekerja informal mewakili pekerja dengan upah rendah dan kondisi pekerjaan yang kurang menguntungkan (tidak mendapatkan fasilitas tunjangan kerja dan asuransi). Kriteria pekerja formal dan informal menggunakan kriteria yang digunakan BPS. Sektor ekonomi dalam penelitian ini meliputi 21 sektor. Faktor produksi dibagi menjadi dua bagian besar yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Faktor produksi tenaga kerja didisagregasi menjadi 12 berdasarkan jenis kelamin (lakilaki/perempuan), formalitas pekerjaan (formal/informal), dan tingkat pendidikan (tinggi/rendah/sedang). Selanjutnya, tenaga kerja dikatakan berpendidikan tinggi jika minimal lulus D1. Tenaga kerja dikatakan berpendidikan sedang jika lulus SMA/sederajat, dan dikatakan berpendidikan rendah jika maksimal lulus SMP. Penggunaan alat analisis SNSE ini memiliki kelebihan antara lain: 1) mampu merangkum seluruh kegiatan transaksi ekonomi yang terjadi di suatu wilayah untuk suatu kurun waktu tertentu, sehingga dapat dengan memudah memberikan gambaran umum mengenai perekonomian suatu wilayah; 2) memotret struktur sosial ekonomi di suatu wilayah, sehingga dapat mempermudah dalam memberikan gambaran distribusi pendapataan; 3) dapat menunjukkan dengan baik dampak suatu kebijakan ekonomi terhadap pendapatan masyarakat maupun distribusi pendapatan (Rustiadi, Saefulhakim, dan Panuju, 2009 dalam Daryanto dan Hafizrianda, 2010).

28 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teoretis Konsep Gender dan Ketimpangan Gender Pemahaman tentang nilai gender di dalam perencanaan pembangunan merupakan hal yang penting karena terkait masalah pembangunan yang tidak hanya ditentukan oleh faktor ekonomi saja, tetapi juga oleh faktor sosial budaya dan lingkungan. Keseluruhan faktor ini akan menentukan posisi dan bentuk hubungan laki-laki dan perempuan selaku sasaran pembangunan. Dalam hal ini pemahamanan nilai gender oleh para perencana pembangunan dengan sendirinya akan turut mempengaruhi pendekatan dan orientasi program pembangunan untuk laki-laki atau perempuan atau keduanya sekaligus (Hubeis, 2010). Membicarakan persoalan gender berarti membahas persoalan relasi sosial antara perempuan dan laki-laki yang dipertautkan dengan pembagian kerja dan tanggung jawab. Pembahasan tersebut kerap diacu pada pembedaan biologis yang merupakan produk kodrati yang dibawa oleh setiap anak manusia. Belakangan ini, persoalan relasi sosial antara perempuan dan laki-laki tidak lagi sekedar dilihat dari perbedaan biologis tetapi juga dilihat dari nilai-nilai sosial historis dan budaya, lingkungan sosial ekonomi dan politik sebagai suatu proses pembelajaran sosial yang eksis di masyarakat (Hubeis, 2010). Membedakan relasi sosial antara lelaki dan perempuan dari acuan biologis dan acuan pembelajaran sosial merupakan sesuatu yang sulit dicari garis pemisahnya secara jelas karena keduanya bersifat saling melengkapi. Namun, perbedaan peran antara perempuan dan laki-laki apapun wujudnya merupakan pusat perhatian analisis gender. Untuk memahami persoalan gender perlu dipahami dahulu pengertian gender dan seks (jenis kelamin). Menurut Sugiarti dan Handayani (2008), seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis melekat pada jenis kelamin tertentu dan tidak dapat dipertukarkan, dan bersifat kodrati, misalnya adalah bentuk tubuh dan alat reproduksi. Sedangkan gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh faktorfaktor sosial, agama, budaya, bahkan kekuasaan negara sehingga lahir beberapa

29 10 anggapan peran sosial laki-laki dan perempuan. Prosesnya cukup panjang sehingga gender lambat laun seolah-olah ketentuan Tuhan atau kodrat dan tidak dapat diubah lagi. Padahal sebenarnya sifat-sifat tersebut dapat dipertukarkan, berubah dari waktu ke waktu dan bisa berbeda antar tempat. Selanjutnya menurut Mosse (1993), gender menentukan kehidupan individu ke depannya. Gender dapat menentukan akses terhadap pendidikan, pekerjaan dan sumber daya. Gender bisa menentukan kesehatan, harapan hidup, dan kebebasan gerak. Gender akan menentukan hubungan dan kemampuan kita untuk membuat keputusan. Gender bisa jadi merupakan satu-satunya faktor terpenting dalam membentuk individu akan menjadi apa nantinya Landasan Hukum Kesadaran Gender Konferensi Internasional pertama tentang perempuan diselenggarakan di Mexico City pada tahun Pada konferensi itu hak-hak perempuan dibicarakan sebatas upaya meninjau kembali aturan/perundangan yang ada sesuai dengan instrumen internasional yang ada dan bagaimana memperkuatnya. Di konferensi internasional di Mexico City ini untuk pertama kalinya dilaksanakan pertemuan NGO internasional yang berlangsung secara paralel dengan pertemuan resmi delegasi antarnegara. Topik-topik yang dibicarakan pada konferensi pertama adalah peningkatan partisipasi perempuan dalam angkatan kerja, perlakuan yang lebih baik terhadap tenaga kerja perempuan yang mencerminkan prinsip-prinsip dalam konfensi ILO, kesehatan dan pendidikan, konsep keluarga dalam masyarakat modern, kependudukan dan tren demografi, perumahan dan berbagai fasilitas yang berhubungan dengan itu, dan masalah-masalah sosial yang mempengaruhi situasi sosial seperti kesempatan yang sama untuk mendapatkan pelayanan sosial, perempuan migran, orang tua, kriminalitas perempuan, prostitusi, dan trafficking. Konferensi ini menghasilkan world plan for action, yaitu suatu program untuk jangka waktu sepuluh tahun. Sasarannya adalah agar dalam jangka waktu sepuluh tahun tersebut perempuan dapat mencapai kemajuan sehingga dapat berpartisipasi penuh dalam semua kegiatan pembangunan. Konferensi internasional kedua diselenggarakan di Kopenhagen pada Tahun Tema yang dibahas dalam konferensi adalah pekerjaan, kesehatan,

30 11 dan pendidikan. Hal terpenting dari konferensi kedua ini adalah diadopsinya konvensi perempuan sebagai dokumen internasional yang dapat diratifikasi oleh negara-negara anggota PBB. Konvensi ini telah diratifikasi oleh lebih dari 165 negara anggota PBB. Konvensi ini merupakan dokumen internasional yang penting dalam menciptakan kesetaraan perempuan. Konvensi ini memuat kesamaan hukum bagi perempuan sebagai warga negara dan diakuinya hak-hak perempuan dalam lingkup domestik dan dalam lingkup keluarga. Konvensi ini mencerminkan seperangkat nilai dan norma sekaligus instrumen yang prinsip-prinsipnya memungkinkan dipenuhi oleh negara yang meratifikasi. Konferensi internasional yang kedua ini juga menghasilkan Conpenhagen Programme for Action yang difokuskan untuk mendukung peran perempuan dalam proses pembangunan melalui peningkatan pendidikan, pelayanan kesehatan, akses pada pasar tenaga kerja dan mendukung peran perempuan di bidang pertanian. Konferensi ketiga di Nairobi pada tahun 1985 mengambil tema equity, development and peace. Tujuan dari konferensi ketiga ini adalah untuk meninjau pencapaian dari satu dekade kesetaraan gender dan mencatat kemajuan yang telah dicapai. Hasil dari konferensi ini adalah Nairobi Forward Looking Strategies for the Advancement of Women to the year Dokumen tersebut masih menyoroti fakta bahwa masih didapati ketidaksetaraan gender, kemiskinan massal dan keterbelakangan yang dihadapi sebagian besar perempuan di muka bumi terutama di banyak negara-negara berkembang. Konferensi Internasional keempat tentang perempuan berlangsung di Beijing pada tahun Hasil konferensi keempat ini adalah penegasan secara global mengenai peran sentral dari Hak Asasi Manusia (HAM) untuk perjuangan ke arah kesetaraan gender. Konferensi ini menghasilkan Beijing Platform for action (BPFA) yang melipui 12 bidang kritis keprihatinan (critical point of concern), yaitu perempuan dan kemiskinan, perempuan dan pendidikan serta pelatihan, perempuan dan kesehatan, kekerasan terhadap perempuan, perempuan dalam konflik bersenjata, ketimpangan ekonomi, perempuan dan politik dan pengambilan keputusan, HAM perempuan, mekanisme institusional, perempuan dalam media, perempuan dan lingkungan hidup, dan hak anak perempuan.

31 12 Selanjutnya, komitmen mengkonkretkan penanganan kualitas hidup penduduk termasuk perempuan dilanjutkan dengan lahirnya deklarasi Millenium Development Goals (MDGs). MDGs merupakan paradigma pembangunan global yang disepakati secara internasional oleh 189 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium PBB bulan September 2000 silam. Majelis Umum PBB kemudian melegalkannya ke dalam Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 55/2 tanggal 18 September 2000 Tentang Deklarasi Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa (A/RES/55/2. United Nations Millennium Declaration). Lahirnya Deklarasi Milenium merupakan buah perjuangan panjang negara-negara berkembang dan sebagian negara maju. Deklarasi ini menghimpun komitmen para pemimpin dunia, yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk menangani isu perdamaian, keamanan, pembangunan, hak asasi, dan kebebasan fundamental dalam satu paket. Negara-negara anggota PBB kemudian mengadopsi MDGs. Setiap tujuan memiliki satu atau beberapa target berikut indikatornya. MDGs menempatkan pembangunan manusia sebagai fokus utama pembangunan serta memiliki tenggat waktu dan kemajuan yang terukur. MDGs didasarkan atas konsensus dan kemitraan global, sambil menekankan tanggung jawab negara berkembang untuk melaksanakan pekerjaan rumah mereka, sedangkan negara maju berkewajiban mendukung upaya tersebut. Dampak berbagai komitmen internasional tersebut terhadap Indonesia adalah dibentuknya kementerian untuk meningkatkan status dan kondisi perempuan dengan dibentuknya Menteri Muda Urusan Peningkatan Wanita (Menmud-UPW) tahun 1978 dalam rangka menindaklanjuti konferensi perempuan pertama di Mexico tahun Kementerian ini terus mengalami metamorfosis yang sampai sekarang dikenal dengan kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemeneg PP-PA). Selanjutnya, menyadari perlunya penegakan keadilan dalam perbaikan kualitas hidup penduduk, terutama perempuan maka pemerintah pada tahun 2000 telah mengeluarkan Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender (PUG) di segala bidang pembangunan beserta pedoman pelaksanaannya yang menginstruksikan pejabat daerah untuk melaksanakan PUG agar perencanaan,

32 13 penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan pengevaluasian kebijakan dan program pembangunan menjadi responsif gender. Untuk memperkuat aturan pengarusutamaan gender ke dalam semua aspek pembangunan, maka dikeluarkanlah permenndagri No. 123 tahun Kemudian, tahun 2008 dikeluarkan Inmendagri No. 15 untuk menggantikan permenndagri No. 123 tahun 2003 sebagai pedoman umum pelaksanaan PUG di daerah. Berikutnya pada tahun 2010, perencanaan dan penganggaran responsif gender sudah menjadi agenda nasional dan penyosialisasikannya ke daerahdaerah dilakukan oleh kemeneg PP-PA. Selain itu, tahun 2000 Indonesia ikut meratifikasi komitmen internasional untuk mencapai tujuan global yang dikenal dengan Millenium Development Goals (MDGs). Indonesia mempunyai kewajiban melaporkan progres pencapaian MDG setiap tahunnya, di mana butirbutir MDGs tersebut dapat dicapai salah satunya melalui kesetaraan gender Teori Tenaga Kerja dan Pasar Tenaga Kerja Menurut BPS, angkatan kerja adalah penduduk usia kerja (15 tahun dan lebih) yang bekerja atau memiliki pekerjaan tetapi tidak bekerja dan pengangguran. Selanjutnya, tenaga kerja adalah seseorang yang bekerja paling sedikit 1 jam (tidak terputus) dalam seminggu yang lalu. Kegiatan tersebut termasuk pula kegiatan pekerja tak dibayar yang membantu dalam suatu usaha/kegiatan ekonomi. Pasar tenaga kerja terbentuk karena adanya permintaan dan penawaran tenaga kerja. Permintaan tenaga kerja adalah hubungan antara tingkat upah dan jumlah tenaga kerja yang dikehendaki oleh perusahaan untuk dipekerjakan. Sedangkan penawaran tenaga kerja adalah suatu hubungan antara tingkat upah dengan jumlah tenaga kerja yang siap untuk disediakan. Terkait dengan permintaan tenaga kerja, perusahaan yang diasumsikan hendak memaksimalkan keuntungan akan membayar tenaga kerja sebesar value marginal product (VMP). Oleh karena itu, kurva permintaan tenaga kerja merupakan kurva VMP.

33 14 Sumber: Bellante dan Jackson (1990) Gambar 2. Perubahan Permintaan Tenaga Kerja Permintaan tenaga kerja dan penawaran tenaga kerja secara bersamasama menentukan tingkat upah dan penggunaan tenaga kerja keseimbangan. Pada Gambar 2 tampak bahwa tingkat upah keseimbangan (W 1 ) dan tingkat penggunaan tenaga kerja keseimbangan (L 1 ) ditentukan oleh interaksi kurva permintaan tenaga kerja (D 1 =VMP 1 ) dengan kurva penawaran tenaga kerja (S). Apabila permintaan tenaga kerja meningkat sehingga menggeser kurva permintaan menjadi D 2, maka akan terdapat kelebihan permintaan tenaga kerja sebesar L 3 -L 1 pada tingkat upah semula. Suatu keseimbangan baru akan terbentuk pada tingkat upah yang lebih tinggi yaitu sebesar W 2 dengan tingkat penggunaan tenaga kerja sebesar L 2. Selanjutnya, apabila penawaran tenaga kerja meningkat sehingga menggeser kurva permintaan menjadi S 2 (Gambar 3), maka akan terdapat kelebihan penawaran tenaga kerja sebesar L 3 -L 1 pada tingkat upah semula. Suatu keseimbangan baru akan terbentuk pada tingkat upah yang lebih rendah yaitu sebesar W 2 dengan tingkat penggunaan tenaga kerja sebesar L 2.

34 15 Sumber: Bellante dan Jackson (1990) Gambar 3. Perubahan Penawaran Tenaga Kerja Pasar Tenaga Kerja dan Ketimpangan Gender Perbedaan jenis kelamin tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender adalah suatu sistem dan struktur di mana baik laki-laki dan perempuan bisa menjadi korban dari sistem tersebut. Ketidakadilan gender menyebabkan ketimpangan gender di mana salah satu gender mengalami kerugian dari kebijakan pembangunan misalnya tidak memiliki kesempatan yang sama dalam kepemilikan sumber daya, pendidikan dan pasar tenaga kerja. a. Ketimpangan Gender di Pasar Tenaga Kerja Ketimpangan gender antara tenaga kerja laki-laki dan perempuan dapat dikaji berdasarkan karakteristik produktif identik. Menurut kajian ini, ketimpangan gender muncul karena adanya diskriminasi antara laki-laki dan perempuan yang memiliki kesamaan karakteristik produktif. Ketimpangan gender juga dapat dikaji antara laki-laki dan perempuan pada pasar tenaga kerja yang tersegmentasi. Menurut kajian ini, ketimpangan gender muncul ketika salah satu jenis kelamin terwakili secara berlebih pada segmen yang tidak menguntungkan.

35 16 Ketimpangan Gender Berdasarkan Karakteristik Produktif yang Identik Menurut Bellante dan Jackson (1983), diskriminasi pasar tenaga kerja berdasarkan gender terjadi jika pekerja yang memiliki karakteristik produktif identik tetapi diperlakukan berbeda karena berasal dari jenis kelamin tertentu. Diskriminasi tersebut merupakan sumber ketimpangan gender yang terjadi antara pekerja laki-laki dan perempuan. Diskriminasi berdasarkan gender di dalam pasar tenaga kerja dibagi ke dalam dua bentuk yaitu diskriminasi upah (wage discrimination) dan diskriminasi pekerjaan (occupational discrimination). Diskriminasi Upah (Wage Discrimination) Diskriminasi upah terjadi jika perusahaan membayar pekerja perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki dengan kondisi memiliki lama pengalaman yang sama dan bekerja di bawah kondisi yang sama di pekerjaan yang sama. Ilustrasi diskriminasi upah dapat dilihat pada Gambar 4. W f /W m S A S 2 D N 1 N 0 N 2 Sumber: Bellante dan Jackson (1990) Gambar 4. Dampak Diskriminasi Upah Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Perempuan Permintaan tenaga kerja perempuan ditentukan oleh rasio upah perempuan terhadap upah laki-laki (W f /W m ). Perusahaan yang tidak diskriminatif akan menyamakan upah antara pekerja perempuan (W f ) dan laki-laki (W m ). Sedangkan perusahaan yang diskriminatif akan menetapkan upah perempuan lebih rendah dari laki-laki. Perusahaan yang diskriminatif memiliki ukuran yang berbeda-beda

36 17 terhadap upah diskriminatifnya, ada yang rendah dan tinggi. Hal ini menyebabkan kurva permintaan tenaga kerja patah pada titik A. Kurva ini menggambarkan bahwa untuk mempekerjakan perempuan lebih dari N 0 menyebabkan turunnya rasio upah perempuan (W f ) terhadap upah laki-laki (W m ). Jika penawaran tenaga kerja perempuan relatif kecil (S 1 ), maka seluruh pekerja perempuan akan direkrut oleh perusahaan yang tidak diskriminatif sehingga tidak terjadi perbedaan upah antara pekerja laki-laki dan perempuan. Tetapi jika jumlah perempuan yang mencari pekerjaan relatif besar (S 2 ) maka sejumlah perusahaan yang diskriminatif akan merekrut pekerja perempuan sehingga menurunkan rasio upah pekerja perempuan terhadap laki-laki. kombinasi penawaran dan permintaan pekerja perempuan pada Gambar 4 menyebabkan rasio upah turun menjadi Diskriminasi Pekerjaan (Occupational Discrimination) Diskriminasi pekerjaan terjadi jika pekerja perempuan dengan pendidikan dan potensi produktivitas yang sama ditempatkan di pekerjaan dengan upah rendah, sedangkan pekerjaan bergaji tinggi diposisikan untuk laki-laki. Diskriminasi pekerjaan berbeda dengan seagregasi pekerjaan. Seagregasi pekerjaan terjadi jika suatu pekerjaan tertentu didominasi oleh perempuan dan pekerjaan yang lain didominasi oleh laki-laki. Seagregasi pekerjaan menggambarkan diskriminasi pekerjaan jika pilihan pekerjaan bagi gender tertentu tersebut secara langsung dibatasi atau menggambarkan upah yang lebih rendah pada tingkat sumberdaya manusia yang sama. Diskriminasi pekerjaan menyebabkan perempuan terkumpul pada pekerjaan tertentu yang terbatas jumlahnya, sehingga menurunkan upah di pekerjaan tersebut. Di sisi lain, luasnya lapangan pekerjaan yang didominasi lakilaki menyebabkan tingginya permintaan tenaga kerja laki-laki sehingga mendorong upah di sektor-sektor tersebut. Diskriminasi pekerjaan dapat diilustrasikan seperti Gambar 5. Misalkan ada 2 pekerjaan yang secara tradisi pekerjaan M diperuntukan bagi laki-laki dan pekerjaan F diperuntukan bagi perempuan. Tanpa ada diskriminasi pekerjaan, upah di kedua pekerjaan itu adalah sama pada tingkat W e. Hal tersebut terjadi karena ketika upah di salah satu pekerjaan meningkat, menyebabkan terjadinya

37 18 perpindahan tenaga kerja dari pekerjaan lebih murah sehingga secara perlahan upah di kedua pekerjaan tersebut bergerak kembali menjadi sama. Ketika ada diskriminasi pekerjaan, peningkatan upah di sektor M tidak menyebabkan perpindahan tenaga kerja perempuan dari sektor F yang bergaji lebih murah ke sektor M yang bergaji lebih tinggi. Hal ini menyebabkan pekerja perempuan akan menumpuk pada sektor F sehingga berdampak pada rendahnya upah W f yang diterima perempuan. Sedangkan laki-laki akan menikmati upah W m yang lebih tinggi karena pasar tenaga kerja di sektor M tidak sejenuh di sektor F. Jadi, adanya diskriminasi menghalangi pekerja perempuan untuk berpindah dari sektor F ke sektor M. S 2 S 1 W f S 1 W m S 2 W e W f D= VMP D= VMP E 2 E 1 E 1 E 2 Sektor M Sektor F Sumber: Bellante D dan Jackson M (1990) Gambar 5. Dampak Diskriminasi Pekerjaan Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Perempuan Gambar 5 menunjukkan bahwa tenaga kerja di kedua sektor dibayar berdasarkan produk marginalnya. Upah yang lebih rendah yang diterima pekerja perempuan bukan karena dibayar di bawah produk marginalnya, melainkan karena tertumpuknya pekerja perempuan pada sektor F yang memaksa produk marginal pekerja perempuan harus diturunkan lebih rendah daripada pasar tenaga kerja yang bebas. Diskriminasi pekerjaan tersebut disebabkan karena empat faktor yaitu: prasangka dari perusahaan, informasi yang kurang sempurna dari perusahaan, prasangka di pihak pekerja, dan prasangka di pihak pelanggan. Umumnya

38 19 sumber tingkah laku diskriminasi yang pertama terkait dengan alasan pribadi perusahaan sedangkan tingkah laku ketiga lainnya merupakan akibat dari tingkah laku ingin meraih keuntungan maksimal. Prasangka perusahaan dapat terjadi bila perusahaan secara pribadi menaruh prasangka terhadap pekerja perempuan. Ada kemungkinan seorang perusahaan memiliki alasan pribadi untuk menyukai atau tidak menyukai mempekerjakan pekerja perempuan sehingga mengorbankan keuntungan atas pilihannya tersebut. Sedangkan informasi yang kurang sempurna dari perusahaan bisa terjadi karena perusahaan memiliki pengalaman masa lalu yang menggambarkan bahwa pekerja perempuan memiliki produktivitas lebih rendah. Selain itu perusahaan juga bisa melakukan diskriminasi berdasarkan prasangka yang dimiliki pihak pekerja. Misalkan pekerja laki-laki bisa saja menolak bekerja secara berdampingan dengan pekerja perempuan, di mana hubungan tenaga kerja yang serius mengakibatkan perusahaan hanya memperkerjakan pekerja laki-laki saja. Sumber diskriminasi terakhir adalah prasangka dari pihak pelanggan, di mana pelanggan lebih menyukai pekerja laki-laki atau pekerja perempuan saja sehingga menyebabkan perusahaan melakukan diskriminasi dalam memilih pekerjanya. Keempat sumber diskriminasi tersebut dapat menyebabkan diskriminasi di pasar tenaga kerja, baik itu berupa diskriminasi upah ataupun diskriminasi jabatan. Ketimpangan Gender Berdasarkan Segmentasi Pasar Tenaga Kerja Menurut Hulk (2011), Pasar tenaga kerja di negara-negara berkembang cenderung sangat tersegmentasi dengan upah dan kondisi kerja yang berbeda di setiap sektor dan mobilitas tenaga kerja yang rendah dari pekerjaan "kurang produktif" ke pekerjaan "lebih produktif". Tenaga kerja akan memilih pekerjaan kurang produktif sebagai alternatif pekerjaan untuk keluar dari pengangguran. Pekerjaan kurang produktif memiliki pendapatan dan kondisi kerja di bawah pekerjaan "lebih produktif". Pekerjaan kurang produktif seringkali diwakili oleh pekerjaan informal, sedangkan pekerjaan "lebih produktif" diwakili oleh pekerjaan formal. Menurut ILO, pekerjaan informal adalah pekerjaan dengan upah lebih rendah tidak memiliki perlindungan sosial (tunjangan kerja dan asuransi kesehatan) seperti pada pekerjaan formal.

39 20 Ketimpangan dengan kriteria pekerja formal dan informal digunakan oleh Wanjala dan Were (2010) untuk melihat ketimpangan gender di pasar tenaga kerja Kenya. Wanjala dan Were (2010) menyimpulkan bahwa ketimpangan gender terjadi di pasar tenaga kerja Kenya disebabkan karena perempuan terwakili secara berlebih sebagai pekerja informal. b. Definisi dan Kriteria Pekerja Formal dan Informal Merujuk pada Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan No. 13/2003, pekerja informal mengacu pada orang yang bekerja tanpa relasi kerja, yang berarti tidak ada perjanjian yang mengatur elemen-elemen kerja, upah dan kekuasaan. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi secara umum mendefinisikan sektor informal sebagai semua bisnis komersial dan non-komersial (atau aktivitas ekonomi) yang tidak terdaftar, yang tidak memiliki struktur organisasi formal dan secara umum memiliki ciri-ciri: dimiliki oleh keluarga, kegiatan berskala kecil, padat karya, menggunakan teknologi yang diadaptasi dan bergantung pada sumber daya lokal. Banyak istilah digunakan para peneliti yang merujuk pada ekonomi informal. Istilah-istilah itu antara lain irregular economy (Ferman dan Ferman, 1973), the subterranean economy (Gutmann, 1977), the underground economy (Simon dan Witte, 1982; Houston, 1987), the black economy (Dilnot dan Morris, 1981), the shadow economy (Frey, Weck, dan Pommerehne, 1982; Cassel dan Cichy, 1986), dan informal economy (Mc Crohan dan Smith, 1986). Istilah formal dan informal dalam ketengakerjaan pertama kali diperkenalkan dalam studi ILO tentang pasar tenaga kerja Ghana. Studi tersebut menyimpulkan ada dualisme dalam pasar tenaga kerja di daerah perkotaan, yaitu sektor informal yang terdiri dari usaha-usaha tidak terdaftar dan berproduktivitas rendah sangat banyak muncul berdampingan dengan sektor formal yang terdiri dari usaha terdaftar dan sektor publik. ILO bersama sekelompok peneliti telah memperluas definisi sektor informal dengan menggunakan istilah ekonomi informal (Chen, 2007). Menurut definisi baru ini, ekonomi informal tidak hanya mencakup usaha-usaha yang tidak terdaftar, tetapi juga terkait dengan hubungan kerja yang secara resmi tidak diatur dan tidak dilindungi. Bentuk tidak dilindunginya pekerja informal adalah tidak

40 21 memiliki perlindungan sosial (tunjangan kerja dan asuransi kesehatan) seperti yang diberikan kepada tenaga kerja formal. Tenaga kerja Informal umumnya memiliki upah yang lebih rendah dibanding pekerja formal sehingga sering dihubungkan dengan tingkat kemiskinan (ILO, 2013). Secara singkat, Bertulfo (2011) meringkas pembagian tenaga kerja formal dan informal menurut ILO seperti yang terlihat pada Tabel 3. Sektor informal mengacu pada usaha informal, sedangkan tenaga kerja informal mengacu pada pekerjaan informal. Tenaga kerja di ekonomi informal didefinisikan sebagai jumlah dari tenaga kerja di sektor informal dan tenaga kerja informal yang berada di luar sektor informal (A+B+C). Tabel 3. Matriks Tenaga Kerja Formal dan Informal Jenis Usaha Pekerjaan Informal Pekerjaan Formal Usaha sektor Informal A B Usaha Sektor Formal C D Keterangan: A + C A + B C B = Orang yang bekerja sebagai tenaga kerja informal = Orang yang bekerja sebagai tenaga kerja di sektor informal = Tenaga kerja informal di luar sektor informal = Tenaga kerja formal di dalam sektor informal A + B + C = Total tenaga kerja di dalam ekonomi Selanjutnya, BPS (2009) menyatakan bahwa kegiatan informal mengacu pada kegiatan ekonomi yang umumnya dilakukan secara tradisional oleh organisasi bertingkat rendah ataupun yang tidak memiliki struktur, tidak ada akun transaksi (transaction accounts) dan ketika terdapat relasi kerja biasanya bersifat musiman (casual), pertemanan atau relasi personal, ketimbang berbasis perjanjian kontrak. Secara spesifik, kegiatan informal dan formal merupakan tabulasi silang antara status pekerjaan dan pekerjaan utama seperti yang terlihat pada Tabel 4. Selanjutnya, data yang dikumpulkan BPS tersebut digunakan sebagai data dasar penelitian ini. Status pekerjaan menurut BPS dikategorikan menjadi tujuh, yaitu: 1) Berusaha sendiri

41 22 2) Berusaha sendiri dengan bantuan keluarga atau anggota keluarga dengan tidak dibayar 3) Pengusaha dengan pekerja tetap atau pekerja diupah 4) Karyawan/staf/pekerja 5) Pekerja musiman di bidang pertanian 6) Pekerja musiman di bidang non-pertanian 7) Pekerja tidak dibayar Tabel 4. Kriteria Pekerja Formal dan Informal Menurut Definisi BPS Jenis Pekerjaan Umum Pekerja profesional, teknik, dan pekerja terkait lainnya Pekerja administrasi dan manajerial Pekerja juru tulis dan terkait Pekerja bidang penjualan Pekerja bidang jasa Pekerja pertanian, peternakan, kehutanan, nelayan dan pemburu Pekerja produksi dan terkait Berusaha sendiri Sumber: Nazara, 2009 Berusaha sendiri dengan bantuan keluarga atau anggota keluarga dengan Pengusaha dengan pekerja tetap/ pekerja diupah Status Pekerjaan Karyawan /staf/ pekerja Pekerja musiman di bidang pertanian Pekerja musiman di bidang nonpertanian Pekerja tidak dibayar F F F F F F INF F F F F F F INF F F F F F F INF INF INF F F INF INF INF INF F F F INF INF INF INF F F F INF INF INF INF F F F INF INF INF Sedangkan pekerjaan utama menurut BPS dikategorikan menjadi 10 kategori, yaitu: 1) Pekerja profesional, teknik, dan pekerja terkait lainnya 2) Pekerja administrasi dan manajerial 3) Pekerja juru tulis dan terkait 4) Pekerja bidang penjualan 5) Pekerja bidang jasa

42 23 6) Pekerja pertanian, peternakan, kehutanan, nelayan dan pemburu 7) Pekerja produksi dan terkait 8) Operator dan pekerja perlengkapan pengangkutan 9) Buruh 10) Lain-lain Pembagian pekerja informal berdasarkan kriteria BPS tersebut mirip dengan definisi ekonomi informal ILO. Bisa saja sektor informal memiliki pekerja formal. Contohnya adalah pekerjaan pemulung yang dikutip dari Nazara (2009). Seorang bos pemulung yang melaksanakan beberapa pekerjaan administratif, manajerial bahkan sejumlah pekerjaan profesional, kemungkinan mendapatkan imbalan finansial cukup banyak. Terkait dengan itu, pemulung yang sebenarnya pergi dari satu rumah ke rumah lain dapat dikategorikan sebagai pekerja informal (pekerja berusaha sendiri di bidang penjualan), namun bos yang menjalankan bisnis pemulung ini dapat dikategorikan sebagai pekerja formal. Bos tersebut menjalankan pekerjaan profesional atau manajerial. Fenomena ini banyak ditemukan di kota-kota besar di seluruh dunia. Di sisi lain, terdapat juga kasus-kasus di mana semakin banyak pekerja yang berusaha sendiri dapat dikategorikan sebagai seorang profesional. Seorang programer komputer dapat dikategorikan sebagai pekerja formal, walaupun orang tersebut mungkin saja bekerja sendiri atau dibantu oleh pekerja sementara. Meskipun pekerja informal umumnya dikenal terkait dengan kemiskinan, tetapi ada satu kajian yang dilakukan Angelini dan Hirose (2004) dalam Nazara (2009) menunjukkan bahwa hampir seperlima dari pekerja/karyawan yang terlibat dalam kegiatan informal mampu memperoleh pendapatan lebih dari rata-rata nasional. Namun menurut Nazara (2009), diperlukan sebuah kajian yang lebih sistematis dengan sampling yang dapat digeneralisir untuk mencapai kesimpulan tersebut. Menurut Nazara (2009), peningkatan informalitas tidak selalu berarti buruk dan tidak terhindarkan pekerjaan informal adalah alternatif pekerjaan terbaik ketika pertumbuhan ekonomi belum mampu menyediakan cukup banyak pekerjaan formal. Sektor informal dengan segala kekurangannya mampu berperan sebagai penampung dan alternatif peluang kerja bagi para pencari kerja. Tapi

43 24 pergerakan ke arah formalisasi ekonomi senantiasa menjadi tujuan utama pembangunan. Segmentasi ternyata juga terjadi pada ekonomi informal. Menurut Chen (2007) ekonomi informal terdiri dari beberapa segmen yang dapat memengaruhi pendapatan di setiap segmen. Segmen paling bawah adalah outworker (pekerja lepas) industrial atau pekerja rumahan, dan pekerja lepas diupah. Segmen paling atas adalah karyawan informal dan pengusaha informal. Segmen paling bawah berada dalam posisi paling terakhir dalam hal penghasilan dan didominasi oleh pekerja perempuan. Sedangkan segmen paling atas memiliki penghasilan pada posisi tertinggi dan didominasi oleh pekerja lakilaki. Penghasilan Tinggi Mayoritas Laki-laki Pengusaha Informal Pekerja Informal Operator dengan usaha sendiri Laki-laki dan Perempuan Pekerja musiman Penghasilan Rendah Pekerja lepas/pekerja rumahan Mayoritas Perempuan Sumber: Chen (2007) Gambar 6. Struktur Ekonomi Informal Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Gender di Pasar Tenaga Kerja Pakar ekonomi menggunakan banyak jenis data untuk mengukur kinerja perekonomian. Salah satu kinerja perekonomian yang penting adalah Produk Domestik Bruto (PDB). PDB merupakan indikator ekonomi yang mengukur jumlah barang dan jasa yang diproduksi suatu negara. Pertumbuhan PDB ini

44 25 disebut sebagai pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya Todaro dan Smith (2003), menyatakan bahwa pengejaran pertumbuhan ekonomi merupakan tema sentral dalam perekonomian suatu negara, bahkan sering kali program-progam pembangunan di negara berkembang dinilai berdasarkan tinggi rendahnya pertumbuhan ekonomi dan pendapatan nasional. Pertumbuhan ekonomi yang kuat dianggap sebagai cara terbaik untuk menciptakan lapangan kerja. Ketika pertumbuhan ekonomi tinggi maka semakin banyak barang dan jasa yang dihasilkan, selanjutnya semakin banyak juga tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan barang dan jasa tersebut. Oleh karena itu pertumbuhan ekonomi menjadi instrumen penting untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja disuatu negara. a. Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Gender di Pasar Tenaga Kerja Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja dapat dijelaskan dengan Hukum Okun. Hukum Okun muncul dari pengamatan bahwa untuk memproduksi lebih banyak barang dan jasa dalam suatu perekonomian diperlukan tenaga kerja yang banyak pula. Oleh karena itu hukum ini mengindikasikan hubungan negatif antara pertumbuhan ekonomi dengan pengangguran, di mana semakin tinggi tingkat pertumbuhan ekonomi, semakin rendah tingkat pengangguran. Adapun formula Hukum Okun dalam Knotek (2007), adalah sebagai berikut: Perubahan tingkat pengangguran = a + b (pertumbuhan output real) Parameter b disebut "Koefisien Okun" yang diharapkan bernilai negatif, sehingga ketika pertumbuhan output meningkat maka tingkat pengangguran akan turun. Rasio "-a/b" merupakan tingkat pertumbuhan output untuk mempertahankan tingkat pengangguran tetap stabil. Adapun hasil regresi Hukum Okun dengan data Amerika pada kuartal kedua tahun 1948 sampai dengan kuartal keempat tahun 1960, adalah sebagai berikut: Perubahan tingkat pengangguran = 0,30-0,07(pertumbuhan output real) Hasil regresi ini menunjukkan bahwa ketika pertumbuhan ekonomi yang terjadi sebesar 0% maka pengangguran akan meningkat sebesar 0,3 %. Sedangkan

45 26 laju pertumbuhan output yang mampu mempertahankan tingkat pengangguran stabil adalah sebesar 4, % (- 0,3/0,07). Pertumbuhan ekonomi lebih besar dari 4, % berarti terjadi pengurangan pengangguran, sedangkan pertumbuhan ekonomi yang kurang dari 4, % berarti terjadi penambahan pengangguran. Hukum Okun membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi berdampak terhadap peningkatan penyerapan tenaga kerja termasuk juga tenaga kerja perempuan. Tetapi peningkatan jumlah pekerja perempuan harus dicermati karena tidak bisa menggambarkan kesejahteraan perempuan karena secara umum mereka terserap pada pekerjaan kasar dan bergaji murah Abdullah (2001). Peningkatan tenaga kerja perempuan pada pekerjaan kasar mengindikasikan terjadinya ketimpangan gender khususnya di pasar tenaga kerja (Illich, 1983: Molo, 1993 dalam Abdullah, 2001). Penomena tersebut diperkuat oleh Wanjala dan Were (2010) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh investasi di Kenya menyebabkan perempuan lebih banyak terserap sebagai pekerja informal jika dibandingkan dengan laki-laki. Hal senada diungkapkan dalam studi Seguino (2000). Studi tersebut menyatakan bahwa di negara semi industri yang berorientasi ekspor, perempuan merupakan sumber tenaga kerja murah yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Rata-rata partisipasi TK perempuan Sumber: World Bank (2011a) Log, PDB per kapita (konstan Tahun 2000, US$) Gambar 7. Peningkatan Partisipasi Angkatan Kerja Perempuan Sepanjang Waktu pada Setiap Tingkatan GDP Per Kapita di 130 Negara

46 27 (2011a). Secara global, fakta yang sama ditunjukkan dalam laporan World Bank Laporan tersebut berdasarkan data GDP per kapita dan partisipasi angkatan kerja perempuan tahun 1980 dan 2008 untuk 130 negara. Disimpulkan bahwa hubungan antara pertumbahan ekonomi dan partisipasi angkatan kerja perempuan di berbagai negara berbetuk U, baik pada tahun 1980 maupun 2008 (gambar 7). Kurva U tahun 2008 bergerak ke kanan atas, yang artinya pada setiap perubahan GDP perkapita di setiap titik kurva U tersebut terjadi peningkatan jumlah partisipasi angkatan kerja perempuan. Atau dengan kata lain jumlah partisipasi tenaga kerja perempuan tahun 2008 lebih tinggi dari pada tahun 1980 seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada rentang tahun tersebut. Peningkatan partisipasi angkatan kerja perempuan tersebut menyebabkan menyempitnya gap partisipasi angkatan kerja perempuan dan laki-laki dari 32 persen di tahun 1980 menjadi 26 persen pada tahun Salah satu penyebab meningkatnya tingkat partisipasi perempuan dalam dunia kerja adalah karena membaiknya tingkat pendidikan perempuan. Selanjutnya studi World Bank tersebut menyatakan bahwa peningkatan partisipasi angkatan kerja perempuan tersebut ternyata tidak bisa menggambarkan adanya perbaikan ketimpangan gender. Hal tersebut disebabkan karena perempuan lebih banyak terserap pada pekerjaan informal dan produktivitas rendah. b. Penetapan Target Pertumbuhan Ekonomi dalam Perencanaan Pembangunan Pertumbuhan ekonomi mencerminkan peningkatan produksi barang dan jasa di suatu negara, sehingga menjadi indikator berjalannya suatu perekonomian. Oleh karena itu, penting untuk menetapkan target pertumbuhan ekonomi baik dalam jangka panjang, menengah, ataupun pendek. Di Indonesia, target pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu komponen penting dalam perencanaan pembangunan. Target pertumbuhan ekonomi tersebut dituangkan dalam rencana pembangunan jangka panjang (RPJP) nasional, rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) nasional, dan rencana kerja pemerintah (RKP).

47 28 Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional Periode 20 Tahunan RPJP nasional yang sedang berlangsung sekarang adalah RPJP nasional yang ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun RPJP Nasional merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial dalam Sebelumnya, RPJP nasional dikenal sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Pergantian ini disebabkan karena adanya perubahan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah mengakibatkan terjadinya perubahan dalam pengelolaan pembangunan. Oleh karena itu, Indonesia memerlukan perencanaan pembangunan jangka panjang baru sebagai arah dan prioritas pembangunan secara menyeluruh yang akan dilakukan secara bertahap. RPJP Nasional tahun , memiliki delapan arah pembangunan, yaitu: (1) mewujudkan masyarakat yang berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab; (2) mewujudkan bangsa yang berdaya-saing; (3) mewujudkan Indonesia yang demokratis berlandaskan hukum; (4) mewujudkan Indonesia yang aman, damai dan bersatu; (5) mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan; (6) mewujudkan Indonesia yang asri dan lestari; (7) mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat dan berbasiskan kepentingan nasional; (8) mewujudkan Indonesia yang berperan aktif dalam pergaulan internasional Untuk mencapai sasaran pokok sebagaimana dimaksud di atas, pembangunan jangka panjang membutuhkan tahapan dan skala prioritas yang akan menjadi agenda dalam rencana pembangunan jangka menengah. Tahapan dan skala prioritas yang ditetapkan mencerminkan urgensi permasalahan yang hendak diselesaikan, tanpa mengabaikan permasalahan lainnya. Oleh karena itu,

48 29 tekanan skala prioritas dalam setiap tahapan berbeda-beda, tetapi semua itu harus berkesinambungan dari periode ke periode Pelaksanaan RPJP Nasional terbagi dalam tahap-tahap perencanaan pembangunan dalam periodisasi perencanaan pembangunan jangka menengah nasional 5 (lima) tahunan, yang dituangkan dalam RPJM Nasional I Tahun , RPJM Nasional II Tahun , RPJM Nasional III Tahun , dan RPJM Nasional IV Tahun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Periode Lima (5) Tahunan Definisikan RPJM nasional, dituangkan dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Menurut UU Nomor 25 Tahun 2004, RPJM Nasional merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program presiden terpilih. Penyusunannya berpedoman pada RPJP Nasional, yang memuat strategi pembangunan Nasional, kebijakan umum, program Kementerian/Lembaga dan lintas Kementerian/Lembaga, kewilayahan dan lintas kewilayahan, serta kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. Adapun rangkaian RPJM nasional menurut RPJP nasional adalah sebagai berikut: a. RPJM ke-1 ( ), fokus kepada penataan kembali negara kesatuan Republik Indonesia, membangun Indonesia yang aman dan damai, yang adil dan demokratis, dengan tingkat kesejahteraan yang lebih baik. b. RPJM ke-2 ( ), fokus kepada memantapkan kembali negara kesatuan Republik Indonesia, meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, membangun kemampuan IPTEK, memperkuat daya saing perekonomian. c. RPJM ke-3 ( ), fokus kepada memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis sumberdaya alam yang tersedia, sumberdaya manusia yang berkualitas, serta kemampuan IPTEK.

49 30 d. RPJM ke-4 ( ), fokus kepada mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur melalui percepatan pembangunan di segala bidang struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan konpetitif. Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Periode Satu (1) Tahunan Menurut UU Nomor 25 Tahun 2004, RKP merupakan penjabaran dari RPJM Nasional. Berikutnya, RKP akan menjadi pedoman bagi penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun Rencana pembangunan memiliki kaitan erat dengan pembiayaan. Adapun alur RPJP nasional sampai dengan penyusunan APBD yang diatur oleh UU Nomor 25 Tahun 2004 dan UU Nomor 17 Tahun 2003 dapat dilihat pada Gambar 8. Ketiga tahapan perencanaan pembangunan tersebut selalu memiliki target. Target tersebut akan dicapai melalui rincian rencana program. Pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu target penting dalam setiap tahapan perencanaan pembangunan tersebut. Pertumbuhan ekonomi selalu ditargetkan baik pada RPJP nasional, RPJM nasional, dan RKP. UU 25/2004 ttg SPPN UU 17/2003 ttg KN Sumber: Riyadi, 2011 Gambar 8. Alur Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Nasional

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator berjalannya roda perekonomian suatu negara. Ketika ekonomi tumbuh, maka ada peningkatan produksi barang dan jasa yang memerlukan

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL PENELITIAN

ANALISIS HASIL PENELITIAN 69 VI. ANALISIS HASIL PENELITIAN Bab ini membahas hubungan antara realisasi target pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja Indonesia. Pertama, dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 189 negara anggota PBB pada bulan September 2000 adalah deklarasi Millenium

BAB I PENDAHULUAN. 189 negara anggota PBB pada bulan September 2000 adalah deklarasi Millenium BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai sebuah negara berkembang, Indonesia turut serta dan berperan aktif dalam setiap kegiatan dan program-program pembangunan yang menjadi agenda organisasi negara-negara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Teoretis

II. TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Teoretis 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teoretis 2.1.1. Konsep Gender dan Ketimpangan Gender Pemahaman tentang nilai gender di dalam perencanaan pembangunan merupakan hal yang penting karena terkait masalah

Lebih terperinci

ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN

ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ii ABSTRACT MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN. Analysis of Northern

Lebih terperinci

KEMENTERIAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI DALAM NEGERI PADA

KEMENTERIAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI DALAM NEGERI PADA KEMENTERIAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI DALAM NEGERI PADA ACARA PELUNCURAN STRATEGI NASIONAL (STRANAS) PERCEPATAN PENGARUSUTAMAAN GENDER (PUG) MELALUI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN

Lebih terperinci

KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA. Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG

KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA. Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

V. STRUKTUR PASAR TENAGA KERJA INDONESIA

V. STRUKTUR PASAR TENAGA KERJA INDONESIA 63 V. STRUKTUR PASAR TENAGA KERJA INDONESIA Bab berikut membahas struktur pasar tenaga kerja yang ada di Indonesia. Tampak bahwa sebagian besar tenaga kerja Indonesia terserap di sektor jasa. Sektor jasa

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords: internal and international migration, labor market, Indonesian economy

ABSTRACT. Keywords: internal and international migration, labor market, Indonesian economy ABSTRACT SAFRIDA. The Impact of Migration Policy on Labor Market and Indonesian Economy (BONAR M. SINAGA as Chairman, HERMANTO SIREGAR and HARIANTO as Members of the Advisory Committee) The problem of

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk terbesar di dunia. Jumlah penduduk Indonesia meningkat terus dari tahun ke tahun. Sensus penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keberagaman kebutuhan kelompok dan individu masyarakat, tak terkecuali

BAB I PENDAHULUAN. keberagaman kebutuhan kelompok dan individu masyarakat, tak terkecuali BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prinsip partisipasi, transparansi dan akuntabilitas dalam good governance menjamin berlangsungnya proses pembangunan yang partisipatoris dan berkesetaraan gender. Menurut

Lebih terperinci

C KONSEP PENGURUSUTAMAAN/ MAINSTREAMING GENDER

C KONSEP PENGURUSUTAMAAN/ MAINSTREAMING GENDER C KONSEP PENGURUSUTAMAAN/ MAINSTREAMING GENDER 1. Tentang Lahirnya PUG Pengarusutamaan Gender PUG secara formal diadopsi dalam Beijing Flatform For Action BPFA tahun yang menyatakan bahwa pemerintah dan

Lebih terperinci

Profil Pekerjaan yang Layak INDONESIA

Profil Pekerjaan yang Layak INDONESIA Profil Pekerjaan yang Layak INDONESIA Ringkasan Selama 15 tahun terakhir, Indonesia mengalami perubahan sosial dan politik luar biasa yang telah membentuk latar belakang bagi pekerjaan layak di negeri

Lebih terperinci

INTEGRASI PASAR FISIK CRUDE PALM OIL DI INDONESIA, MALAYSIA DAN PASAR BERJANGKA DI ROTTERDAM DIAN HAFIZAH

INTEGRASI PASAR FISIK CRUDE PALM OIL DI INDONESIA, MALAYSIA DAN PASAR BERJANGKA DI ROTTERDAM DIAN HAFIZAH 1 INTEGRASI PASAR FISIK CRUDE PALM OIL DI INDONESIA, MALAYSIA DAN PASAR BERJANGKA DI ROTTERDAM DIAN HAFIZAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 2 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan

Lebih terperinci

Asesmen Gender Indonesia

Asesmen Gender Indonesia Asesmen Gender Indonesia (Indonesia Country Gender Assessment) Southeast Asia Regional Department Regional and Sustainable Development Department Asian Development Bank Manila, Philippines July 2006 2

Lebih terperinci

PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI

PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah infrastruktur yang belum merata dan kurang memadai. Kedua, distribusi yang

BAB I PENDAHULUAN. masalah infrastruktur yang belum merata dan kurang memadai. Kedua, distribusi yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Temuan lembaga riset "The Indonesian Institute" tahun 2014 mencatat, ada tiga hal besar yang masih menjadi persoalan dalam bidang kesehatan di Indonesia. Pertama,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan oleh program pembangunan nasional ( Propenas ) yakni di

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan oleh program pembangunan nasional ( Propenas ) yakni di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu proses prioritas pembangunan nasional sebagaimana dimanfaatkan oleh program pembangunan nasional ( Propenas ) 2005-2009 yakni di bidang sumber daya

Lebih terperinci

SURAT PERNYATAAN STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA SEKTOR PERTANIAN DAN NON PERTANIAN SERTA KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA DI INDONESIA

SURAT PERNYATAAN STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA SEKTOR PERTANIAN DAN NON PERTANIAN SERTA KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA DI INDONESIA SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul: STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA SEKTOR PERTANIAN DAN NON PERTANIAN SERTA KUALITAS

Lebih terperinci

PERANAN BANK PERKREDITAN RAKYAT BINAAN TERHADAP KINERJA USAHA KECIL DI SUMATERA BARAT ZEDNITA AZRIANI

PERANAN BANK PERKREDITAN RAKYAT BINAAN TERHADAP KINERJA USAHA KECIL DI SUMATERA BARAT ZEDNITA AZRIANI PERANAN BANK PERKREDITAN RAKYAT BINAAN TERHADAP KINERJA USAHA KECIL DI SUMATERA BARAT BANK NAGARI ZEDNITA AZRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada September 2000 sebanyak 189 negara anggota PBB termasuk

BAB I PENDAHULUAN. Pada September 2000 sebanyak 189 negara anggota PBB termasuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada September 2000 sebanyak 189 negara anggota PBB termasuk Indonesia, sepakat untuk mengadopsi deklarasi Millenium Development Goals (MDG) atau Tujuan Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan antara kesetaraan jender dengan proses pembangunan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan antara kesetaraan jender dengan proses pembangunan ekonomi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan antara kesetaraan jender dengan proses pembangunan ekonomi merupakan hal penting untuk memutuskan sebuah kebijakan, hal ini karena bagian dari pembangunan

Lebih terperinci

GENDER DAN PENDIDIKAN: Pengantar

GENDER DAN PENDIDIKAN: Pengantar GENDER DAN PENDIDIKAN: Pengantar 90 menit Managed by IDP Education Australia IAPBE-2006 TUJUAN Peserta mampu: 1. Memahami konsep gender sebagai konstruksi sosial 2. Memahami pengaruh gender terhadap pendidikan

Lebih terperinci

Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional STRATEGI NASIONAL PENANGGULANGAN KEMISKINAN, RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH NASIONAL (RPJMN) 2004 2009,

Lebih terperinci

II. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 II. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu orientasi pembangunan berubah dan berkembang pada setiap urutan waktu yang berbeda. Setelah Perang Dunia Kedua (PDII), pembangunan ditujukan untuk mengejar pertumbuhan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan kualitas sumberdaya manusia di Indonesia masih perlu mendapat prioritas dalam pembangunan nasional. Berdasarkan laporan United Nation for Development Programme

Lebih terperinci

KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI & KEWENANGAN MENTERI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK UU NO. 39 TAHUN 2008 TENTANG KEMENTERIAN NEGARA

KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI & KEWENANGAN MENTERI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK UU NO. 39 TAHUN 2008 TENTANG KEMENTERIAN NEGARA KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI & KEWENANGAN MENTERI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK UU NO. 39 TAHUN 2008 TENTANG KEMENTERIAN NEGARA Penduduk Indonesia 231 Juta 49,9% Perempuan Aset dan Potensi,

Lebih terperinci

BAB III INSTRUMEN INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HAM PEREMPUAN

BAB III INSTRUMEN INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HAM PEREMPUAN BAB III INSTRUMEN INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HAM PEREMPUAN A. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women 1. Sejarah Convention on the Elimination of All Discrimination Against

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan salah satu masalah dalam proses pembangunan ekonomi. Permasalahan kemiskinan dialami oleh setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang.

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH SALINAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi pusat perhatian pemerintah di negara manapun. Salah satu aspek penting untuk mendukung strategi

Lebih terperinci

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. 1. Atas undangan Organisasi Kesehatan Dunia, kami, Kepala Pemerintahan, Menteri dan perwakilan pemerintah datang

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING Oleh: BEDY SUDJARMOKO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK BEDY SUDJARMOKO. Analisis Efisiensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk yang sangat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk yang sangat banyak, serta memiliki sumber kekayaan alam yang melimpah, hal ini membuat Indonesia pantas disebut

Lebih terperinci

PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA

PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA 1 PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender

Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender XVII Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender Salah satu strategi pokok pembangunan Propinsi Jawa Timur 2009-2014 adalah pengarusutamaan gender. Itu artinya, seluruh proses perencanaan,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Sebanyak 189 negara mendeklarasikan Millenium Development Goals (MDGs) dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan Bangsabangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingkat kesejahteraan masyarakat secara rata-rata di suatu daerah

I. PENDAHULUAN. Tingkat kesejahteraan masyarakat secara rata-rata di suatu daerah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat kesejahteraan masyarakat secara rata-rata di suatu daerah dicerminkan oleh besar kecilnya angka PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) dan PDRB Per Kapita. Kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara defenitif, pada awalnya pengertian pembangunan ekonomi diberi

BAB I PENDAHULUAN. Secara defenitif, pada awalnya pengertian pembangunan ekonomi diberi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara defenitif, pada awalnya pengertian pembangunan ekonomi diberi pemahaman yang sama dengan pertumbuhan ekonomi (Jhingan, 1988:4-5). Pertumbuhan ekonomi adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akses, bersifat privat dan tergantung kepada pihak lain (laki-laki). Perempuan

BAB I PENDAHULUAN. akses, bersifat privat dan tergantung kepada pihak lain (laki-laki). Perempuan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perempuan merupakan makhluk sosial yang membutuhkan pengakuan dan penghormatan untuk memosisikan dirinya sebagai manusia yang bermartabat. Dalam pandangan politik

Lebih terperinci

ANALISIS PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus: Rumahtangga Nelayan Tradisional Di Kecamatan Kasemen Kabupaten Serang Propinsi Banten) RANTHY PANCASASTI SEKOLAH

Lebih terperinci

MENYUSUN INDIKATOR YANG BERPERSPEKTIF GENDER

MENYUSUN INDIKATOR YANG BERPERSPEKTIF GENDER MENYUSUN INDIKATOR YANG BERPERSPEKTIF GENDER Dian Kartikasari, Seminar Nasional, Perempuan dan SDG, Koalisi Perempuan Indonesia, Jakarta, 20 Januari 2016 SDG SDG (Sustainable Development Goals/Tujuan Pembangunan

Lebih terperinci

STRATEGI PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

STRATEGI PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak STRATEGI PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN OLEH: DEPUTI BIDANG PUG BIDANG POLITIK SOSIAL DAN HUKUM Disampaikan

Lebih terperinci

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang digunakan pada penelitian ini. Hal yang dibahas pada bab ini adalah: (1) keterkaitan penerimaan daerah

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PELAKU USAHA TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PERIZINAN PADA PUSAT PERIZINAN DAN INVESTASI KEMENTERIAN PERTANIAN

ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PELAKU USAHA TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PERIZINAN PADA PUSAT PERIZINAN DAN INVESTASI KEMENTERIAN PERTANIAN ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PELAKU USAHA TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PERIZINAN PADA PUSAT PERIZINAN DAN INVESTASI KEMENTERIAN PERTANIAN Oleh : Dewi Maditya Wiyanti PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH

Lebih terperinci

BUPATI JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

BUPATI JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH BUPATI JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, Menimbang

Lebih terperinci

DAFTAR TABEL. Tabel IV.1 Data Jumlah Penduduk Kota Medan berdasarkan Kecamatan Tabel IV.2 Komposisi pegawai berdasarkan jabatan/eselon...

DAFTAR TABEL. Tabel IV.1 Data Jumlah Penduduk Kota Medan berdasarkan Kecamatan Tabel IV.2 Komposisi pegawai berdasarkan jabatan/eselon... DAFTAR TABEL Tabel IV.1 Data Jumlah Penduduk Kota Medan berdasarkan Kecamatan... 40 Tabel IV.2 Komposisi pegawai berdasarkan jabatan/eselon... 54 Tabel IV.3 Komposisi pegawai berdasarkan golongan kepangkatan...

Lebih terperinci

Menilai Pekerjaan Layak di Indonesia

Menilai Pekerjaan Layak di Indonesia Menilai Pekerjaan Layak di Indonesia Sekilas tentang Profil Nasional untuk Pekerjaan Layak Apa itu Pekerjaan Layak? Agenda Pekerjaan Layak, yang dikembangkan Organisasi (ILO) semakin luas diakui sebagai

Lebih terperinci

DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR

DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR HERNY KARTIKA WATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA. Abstrak

CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA. Abstrak CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA Abstrak yang berkualitas adalah pertumbuhan yang menciptakan pemerataan pendapatan,pengentasan kemiskinan dan membuka kesempatan kerja yang luas. Di

Lebih terperinci

(1) menghapuskan kemiskinan dan kelaparan; (2) mewujudkan pendidikan dasar untuk semua orang; (3) mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan

(1) menghapuskan kemiskinan dan kelaparan; (2) mewujudkan pendidikan dasar untuk semua orang; (3) mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan Dr. Hefrizal Handra Fakultas Ekonomi Universitas Andalas Padang 2014 Deklarasi MDGs merupakan tantangan bagi negara miskin dan negara berkembang untuk mempraktekkan good governance dan komitmen penghapusan

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA LIRA MAI LENA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2 0 0 7 ABSTRAK Lira Mai Lena. Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang

BAB I PENDAHULUAN. yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebuah negara tidak akan pernah bisa lepas dari berbagai permasalahan yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang memiliki

Lebih terperinci

(Sakernas), Proyeksi Penduduk Indonesia, hasil Sensus Penduduk (SP), Pendataan Potensi Desa/Kelurahan, Survei Industri Mikro dan Kecil serta sumber

(Sakernas), Proyeksi Penduduk Indonesia, hasil Sensus Penduduk (SP), Pendataan Potensi Desa/Kelurahan, Survei Industri Mikro dan Kecil serta sumber I. Pendahuluan Salah satu tujuan Millenium Development Goals (MDGs) dari delapan tujuan yang telah dideklarasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2000 adalah mendorong kesetaraan gender dan

Lebih terperinci

PENGARUH REFORMASI PERPAJAKAN TERHADAP KINERJA PEGAWAI PAJAK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENERIMAAN PAJAK

PENGARUH REFORMASI PERPAJAKAN TERHADAP KINERJA PEGAWAI PAJAK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENERIMAAN PAJAK PENGARUH REFORMASI PERPAJAKAN TERHADAP KINERJA PEGAWAI PAJAK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENERIMAAN PAJAK (Kasus pada : Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus) Oleh : HERRY SUMARDJITO PROGRAM

Lebih terperinci

POLICY BRIEF NO. 005/DKK.PB/2017

POLICY BRIEF NO. 005/DKK.PB/2017 POLICY BRIEF NO. 005/DKK.PB/017 Upaya Percepatan Pengarusutamaan Gender di Birokrasi Pendahuluan Istilah gender yang berasal dari bahasa Inggris tidak merujuk kepada jenis kelamin tertentu (laki-laki atau

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Provinsi Sumatera Barat yang identik dengan Minangkabau merupakan satu-satunya daerah di Indonesia yang menganut sistem matrilineal. Masyarakat Minangkabau ini pun merupakan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 21 TAHUN TAHUN 2013

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 21 TAHUN TAHUN 2013 GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 21 TAHUN 2013 21 TAHUN 2013 TENTANG PANDUAN TEKNIS PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG

PEMERINTAH KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG PEMERINTAH KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG NOMOR 04 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

Sulit menciptakan keadilan dan kesetaraan gender jika negara terus menerus memproduksi kebijakan yang bias gender. Genderisasi kebijakan publik telah

Sulit menciptakan keadilan dan kesetaraan gender jika negara terus menerus memproduksi kebijakan yang bias gender. Genderisasi kebijakan publik telah KATA PENGANTAR Pengarusutamaan Gender telah menjadi garis kebijakan pemerintah sejak keluarnya Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000. Instruksi tersebut menggariskan: seluruh departemen maupun lembaga

Lebih terperinci

PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI DALAM PASAR PERSAINGAN TIDAK SEMPURNA DI BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA. Oleh: NUNUNG KUSNADI

PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI DALAM PASAR PERSAINGAN TIDAK SEMPURNA DI BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA. Oleh: NUNUNG KUSNADI 1 PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI DALAM PASAR PERSAINGAN TIDAK SEMPURNA DI BEBERAPA PROVINSI DI INDONESIA Oleh: NUNUNG KUSNADI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 2 ABSTRAK NUNUNG KUSNADI.

Lebih terperinci

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA. a. INPRES No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA. a. INPRES No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam 10 BAB. II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengarusutamaan Gender (PUG) 1. Kebijakan Pengarusutamaan Gender Terkait dengan Pengarusutamaan Gender (PUG), terdapat beberapa isitilah yang dapat kita temukan, antara lain

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI... iii DAFTAR ISI... iv DAFTAR GAMBAR... vi DAFTAR TABEL... vii DAFTAR SINGKATAN... viii KATA PENGANTAR... ix ABSTRAK...

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN (PPRG) DALAM PERUBAHAN IKLIM

KEBIJAKAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN (PPRG) DALAM PERUBAHAN IKLIM KEBIJAKAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN (PPRG) DALAM PERUBAHAN IKLIM Disampaikan Oleh: Drg. Ida Suselo Wulan, MM Deputi Bidang PUG Bidang Politik, Sosial dan Hukum Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada hakekatnya pembangunan yang dilaksanakan oleh suatu negara

I. PENDAHULUAN. Pada hakekatnya pembangunan yang dilaksanakan oleh suatu negara I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan yang dilaksanakan oleh suatu negara bertujuan untuk mewujudkan kehidupan seluruh masyarakat yang maju, mandiri, sejahtera lahir dan batin.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data sekunder adalah data yang

METODE PENELITIAN. menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data sekunder adalah data yang III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Menurut Sugiyono (2005:129) pengumpulan data dilakukan dengan berbagai setting, berbagai sumber, dan berbagai cara. Berdasarkan sumbernya, data dibedakan

Lebih terperinci

Gambar Perkembangan Kemiskinan di Indonesia,

Gambar Perkembangan Kemiskinan di Indonesia, Kemiskinan Termasuk bagian penting dari aspek analisis ketenagakerjaan adalah melihat kondisi taraf kehidupan penduduk, yang diyakini merupakan dampak langsung dari dinamika ketenagakerjaan. Kemiskinan

Lebih terperinci

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI TERHADAP KESENJANGAN UPAH GENDER

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI TERHADAP KESENJANGAN UPAH GENDER PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI TERHADAP KESENJANGAN UPAH GENDER Dara Veri Widayanti 1 Nindy Sintya Indriani Rachman 2 Widya Mauretya 3 1,2 Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Gunadarma Jl. Margonda

Lebih terperinci

PENGARUSUTAMAAN GENDER DI INDONESIA

PENGARUSUTAMAAN GENDER DI INDONESIA PENGARUSUTAMAAN GENDER DI INDONESIA Oleh: Iklilah Muzayyanah DF., M.Si 1 (Dipresentasikan pada Workshop Pengarusutamaan Gender dan Anak di Perguruan Tinggi Agama Islam) Hotel T, 1 Oktober 2014 APA PENGARUSUTAMAAN

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses multidimensional yang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses multidimensional yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

ANALISIS PERSEPSI DAN SIKAP TERHADAP PERAN GENDER PADA MAHASISWA FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR NI NYOMAN SUSI RATNA DEWANTI

ANALISIS PERSEPSI DAN SIKAP TERHADAP PERAN GENDER PADA MAHASISWA FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR NI NYOMAN SUSI RATNA DEWANTI ANALISIS PERSEPSI DAN SIKAP TERHADAP PERAN GENDER PADA MAHASISWA FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Oleh: NI NYOMAN SUSI RATNA DEWANTI PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. 1 Universitas Indonesia. Analisis pelaksanaan..., Rama Chandra, FE UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. 1 Universitas Indonesia. Analisis pelaksanaan..., Rama Chandra, FE UI, 2010. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah kemiskinan yang dihadapi, terutama, oleh negara-negara yang sedang berkembang, memang sangatlah kompleks. Kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan

Lebih terperinci

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUKUMBA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adang nutu. Syair yang terjemahan bebasnya berbunyi ; Balada kue putu, lelaki

BAB I PENDAHULUAN. adang nutu. Syair yang terjemahan bebasnya berbunyi ; Balada kue putu, lelaki BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Emplek-emplek menir ketepu, wong lanang goleke kayu wong wadon sing adang nutu. Syair yang terjemahan bebasnya berbunyi ; Balada kue putu, lelaki carilah kayu

Lebih terperinci

Perempuan dan Industri Rumahan

Perempuan dan Industri Rumahan A B PEREMPUAN DAN INDUSTRI RUMAHAN PENGEMBANGAN INDUSTRI RUMAHAN DALAM SISTEM EKONOMI RUMAH TANGGA UNTUK PENINGKATAN KUALITAS HIDUP PEREMPUAN DAN ANAK C ...gender equality is critical to the development

Lebih terperinci

BUPATI KEBUMEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER

BUPATI KEBUMEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER SALINAN BUPATI KEBUMEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEBUMEN, Menimbang Mengingat :

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

PENGARUH INVESTASI SEKTOR PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN DI PROVINSI SULAWESI TENGAH

PENGARUH INVESTASI SEKTOR PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN DI PROVINSI SULAWESI TENGAH J. Agroland 17 (1) : 63 69, Maret 2010 ISSN : 0854 641X PENGARUH INVESTASI SEKTOR PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN DI PROVINSI SULAWESI TENGAH The Effect of Investment of Agricultural

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN DI INDONESIA

DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN DI INDONESIA DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN DI INDONESIA DISERTASI SRI HERY SUSILOWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 ii SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1429, 2014 KPP & PA. Sistem Data Gender Dan Anak. Penyelenggaraan. Pedoman. PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% Daerah Kota Kendari tahun anggaran

BAB I PENDAHULUAN. Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% Daerah Kota Kendari tahun anggaran BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% perempuan dan kaitannya dalam penyusunan anggaran responsif gender. Yang menjadi fokus dalam penelitian

Lebih terperinci

Eduard Marpaung KSBSI

Eduard Marpaung KSBSI Eduard Marpaung KSBSI Menurut data BPS 2014 Buruh Informal pada tahun 2014 sekitar 59,38%. Pertumbuhan sektor informal ini tidak banyak berubah dari 10 tahun sebelumnya. Yang hanya terjadi adalah berpindahnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Ketenagakerjaan Penduduk suatu negara dapat dibagi menjadi dua yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Tenaga kerja adalah penduduk yang berusia kerja

Lebih terperinci

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas. Bahan Konferensi Pers Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas. Bahan Konferensi Pers Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas Bahan Konferensi Pers Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Jakarta, 18 Februari 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI 2 Rencana Pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup

I. PENDAHULUAN. perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan upaya yang sudah direncanakan dalam melakukan suatu perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup masyarakat, meningkatkan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS TAHUN : 2013 NOMOR : 22 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 22 TAHUN 2013 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS TAHUN : 2013 NOMOR : 22 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 22 TAHUN 2013 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS TAHUN : 2013 NOMOR : 22 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 22 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

STATISTIK PENDIDIKAN DAN INDIKATOR BERWAWASAN GENDER

STATISTIK PENDIDIKAN DAN INDIKATOR BERWAWASAN GENDER STATISTIK PENDIDIKAN DAN INDIKATOR BERWAWASAN GENDER KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN PUSAT DATA DAN STATISTIK PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN Jakarta, November 2015 Latar Belakang Forum internasional:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keadilan dan kesetaraan gender telah menjadi isu global. Perubahan terjadi sejalan dengan pergeseran paradigma pembangunan dari pendekatan keamanan dan kestabilan (security)

Lebih terperinci

ANALISIS EFEKTIVITAS SISTEM PENILAIAN KINERJA DAN HUBUNGANNYA DENGAN PENGEMBANGAN KARIR PADA KANTOR PUSAT PT BUKIT ASAM (PERSERO), TBK.

ANALISIS EFEKTIVITAS SISTEM PENILAIAN KINERJA DAN HUBUNGANNYA DENGAN PENGEMBANGAN KARIR PADA KANTOR PUSAT PT BUKIT ASAM (PERSERO), TBK. ANALISIS EFEKTIVITAS SISTEM PENILAIAN KINERJA DAN HUBUNGANNYA DENGAN PENGEMBANGAN KARIR PADA KANTOR PUSAT PT BUKIT ASAM (PERSERO), TBK. Oleh: Gusri Ayu Farsa PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH

Lebih terperinci

Analisis Ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo. Herwin Mopangga SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

Analisis Ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo. Herwin Mopangga SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 i Analisis Ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo Herwin Mopangga SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

Fokus Negara IMF. Fokus Negara IMF. Ekonomi Asia yang Dinamis Terus Memimpin Pertumbuhan Global

Fokus Negara IMF. Fokus Negara IMF. Ekonomi Asia yang Dinamis Terus Memimpin Pertumbuhan Global Fokus Negara IMF Orang-orang berjalan kaki dan mengendarai sepeda selama hari bebas kendaraan bermotor, diadakan hari Minggu pagi di kawasan bisnis Jakarta di Indonesia. Populasi kaum muda negara berkembang

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA LIRA MAI LENA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2 0 0 7 ABSTRAK Lira Mai Lena. Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor

Lebih terperinci

BUPATI LOMBOK UTARA PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER

BUPATI LOMBOK UTARA PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER BUPATI LOMBOK UTARA PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK UTARA, Menimbang

Lebih terperinci

STUDI EMPIRIS CAPAIAN MDGS DI PROVINSI RIAU

STUDI EMPIRIS CAPAIAN MDGS DI PROVINSI RIAU STUDI EMPIRIS CAPAIAN MDGS DI PROVINSI RIAU Riski Robi Juhardi, Wahyu Hamidi dan Syapsan Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Riau ABSTRAK Millenium Development Goals (MDGs) merupakan paradigma

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN 2004-2012 RENALDO PRIMA SUTIKNO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya yang menjadi masalah

BAB I PENDAHULUAN. dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya yang menjadi masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan masalah yang bersifat multidimensional yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya yang menjadi masalah dalam pembangunan.

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR TAHUN 2010 TENTANG

BUPATI PURBALINGGA PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR TAHUN 2010 TENTANG BUPATI PURBALINGGA PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci