PERENCANAAN PENANGKARAN RUSA TIMOR (Cervus timorensis de Blainville) DENGAN SISTEM FARMING : Studi Kasus di Penangkaran Rusa Kampus IPB Darmaga

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERENCANAAN PENANGKARAN RUSA TIMOR (Cervus timorensis de Blainville) DENGAN SISTEM FARMING : Studi Kasus di Penangkaran Rusa Kampus IPB Darmaga"

Transkripsi

1 PERENCANAAN PENANGKARAN RUSA TIMOR (Cervus timorensis de Blainville) DENGAN SISTEM FARMING : Studi Kasus di Penangkaran Rusa Kampus IPB Darmaga S U M A N T O SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

2 2 PERENCANAAN PENANGKARAN RUSA TIMOR (Cervus timorensis de Blainville) DENGAN SISTEM FARMING : Studi Kasus di Penangkaran Rusa Kampus IPB Darmaga S U M A N T O Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sub Program Studi Konservasi Biodiversitas SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

3 3 Judul Tesis : Perencanaan Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan Sistem Farming : Studi Kasus di Penangkaran Rusa Kampus IPB Darmaga Nama : Sumanto Nomor Pokok : E Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sub Program Studi : Konservasi Biodiversitas Disetujui : Komisi Pembimbing Dr. Ir. Burhanuddin Masy ud, M.S Ketua Dr. Ir. H. A. Machmud Thohari, DEA Anggota Ketua Sub Program Studi, Diketahui : Dekan Sekolah Pascasarjana, Dr. Ir. H. Yanto Santosa, DEA Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc Tanggal Ujian : 13 Maret 2006 Tanggal Lulus : 27 Maret 2006

4 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Perencanaan Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan Sistem Farming : Studi Kasus di Penangkaran Rusa Kampus IPB Darmaga adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Maret 2006 Sumanto NRP E

5 Hak cipta milik Sumanto, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bentuk apa pun, baik cetak, fotocopy, microfilm, dan sebagainya iii

6 ABSTRACT SUMANTO. Captive Breeding Planning of Timor Deer (Cervus timorensis de Blainville) with farming system : Case Study in Timor Deer Captive Breeding at IPB Campus Darmaga. Under the direction of BURHANUDDIN MASY UD and A. MACHMUD THOHARI. Timor deer (Cervus timorensis de Blainville) is one of Indonesia wildlife species which population growth on natural habitat facing many threats as impact of human activities, like wild hunting and habitat destinction and fragmentation. Timor deer can be developed as livestock in the future its ability in difference geographic area of Indonesia. Farming system is appropriate model to be developed, because majority of Indonesian farmers have about less than 1 hectares of farm area. The objectives of this research are: to analyse suitable location, to analyse breeding plan and economical aspect. The research was caried out in captive breeding field labratory of IPB Darmaga Campus. Equipments which have been used are: digital camera, rool meter, weighing-machine and a set of computer with design program. Materials which used are: map, timor deers and plastic bags. This research used field observation method, literature study and interview method. Pursuant to this research with based on bioecological condition, IPB captive breeding is suitable for timor deer captive location. Farm location was devideed into: headquarter zone 0,10 hectare (2,35%) and captive breeding zone 4,15 hectare (97,65%). Captive breeding management to be executed is farming system. Based on economic analysis, until 21,35% interest, captive breeding with farming system still give advantage if population size of parent stock in first year are 105, and 210 in second year and to be taken care until ninth year, with payback period 4,53 years. Key word : timor deer, captive breeding planning, deer farming, site planning, economic analysis iv

7 ABSTRAK SUMANTO. Perencanaan Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan Sistem Farming : Studi Kasus di Penangkaran Rusa Kampus IPB Darmaga. Dibimbing oleh BURHANUDDIN MASY UD dan A. MACHMUD THOHARI. Rusa timor adalah salah satu jenis satwa liar asli indonesia. Rusa timor (Cervus timorensis de Blainville), adalah salah satu spesies dari keanekaragaman hayati milik bangsa Indonesia, yang kondisi di habitat aslinya mendapat tekanan demikian besar sebagai akibat dari kegiatan manusia, dalam bentuk perburuan liar maupun pengrusakan habitat. Sebagai satwa harapan yang mempunyai daya adaptasi sangat tinggi serta penyebaran yang luas, rusa timor sangat memungkinkan untuk dipelihara/ditangkarkan di seluruh Indonesia baik dengan sistem Deer Ranching maupun dengan sistem Deer Farming. Mengingat rata-rata kepemilikan lahan bagi masyarakat Indonesia ± 1 ha, maka sistem penangkaran yang memungkinkan untuk dikembangkan adalah dengan sistem deer farming. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kelayakan lokasi, penyusunan perencanaan penangkaran dan menganalisis kelayakan usaha. Penelitian ini dilaksanakan di lokasi penangkaran rusa kampus IPB Darmaga. Alat yang digunakan terdiri dari kamera, roll meter, timbangan dan seperangkat komputer dengan program disain. Sedangkan bahan yang digunakan adalah : peta lokasi, rusa timor dan habitatnya serta kantong plastik. Metode yang digunakan adalah pengamatan langsung dilapangan, studi litelatur dan wawancara. Berdasarkan hasil penelitian, maka lokasi yang diperuntukkan bagi penangkaran rusa di kampus IPB Darmaga dinyatakan layak secara bioekologi. Lokasi yang ada dibagi menjadi : zona perkantoran seluas 0,10 ha (2,35%) dan zona penangkaran 4,15 ha (97,65%). Manajemen penangkaran yang dilaksanakan adalah penangkaran dengan sistem deer farming. Berdasarkan hasil analisis finansial, maka usaha penangkaran rusa dengan sistem deer farming dengan populasi induk pada tahun pertama adalah 105 ekor dan tahun kedua 110 ekor yang dipertahankan sampai tahun kesembilan cukup layak dan menguntungkan sampai pada tingkat suku bunga 21,35% dengan jangka waktu pengembalian modal adalah 4,53 tahun. Kata kunci : rusa timor, perencanaan penangkaran, deer farming, perancangan tapak, analisis ekonomi v

8 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 11 Juli 1968 di Desa Gentan, Kecamatan Gantiwarno, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Merupakan anak kelima dari lima bersaudara pasangan Bapak Sonto Sumardjo dan Ibu Madiyem (Almh). Pada tahun 1981 menamatkan Pendidikan Sekolah Dasar di SD Inpres Pulau Mainan II, tahun 1984 menamatkan Pendidikan Menengah Pertama di SMP Negeri 4 Wonotiung. Tahun 1987 menamatkan Pendidikan Menengah Atas di SMT Pertanian Negeri Sitiung. Semuanya berada di Kecamatan Koto Baru, Kabupaten Sawahlunto/Sijunujung (sekarang Kab. Darmas Raya), Sumatera Barat. Tahun 1992 menamatkan Pendidikan D III/A III di Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Sejak tahun 1992 sampai sekarang bertugas sebagai staf pengajar di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Pasir Penyu, Indragiri Hulu. Riau. Tahun 2001 menamatkan Pendidikan S-1 di Fakultas Pertanian Universitas Riau Pekanbaru pada Program Studi Agronomi. Tahun 2004 diterima sebagai mahasiswa S2 Sekolah Pascasarjana IPB pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK) Sub Program Studi Konservasi Biodiversitas. Beristri Umiyati binti Nadhir Mangun Wiratmo dan dikaruniai tiga orang putra, yaitu : Hafidha Fatma Sari (12 tahun), Gilang Abiwijaya (7 tahun) dan Fathaya Putri Handayani (1,5 tahun). Alamat tempat tinggal di Komplek SMK Negeri 1 Pasir Penyu, Jl. Jend. Sudirman Air Molek, Indragiri Hulu, Riau vi

9 PRAKATA Puji dan Syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat hidayah, karunia, dan petunjuk-nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini disusun berdasarkan data dan informasi yang diperoleh selama pengambilan data di lapangan serta analisis hasilnya. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi dari Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tesis dengan judul PERENCANAAN PENANGKARAN RUSA TIMOR (Cervus timorensis de Blainville) DENGAN SISTEM FARMING : Studi Kasus di Penangkaran Rusa Kampus IPB Darmaga ini dapat terselesaikan dibawah tim komisi pembimbing yang diketuai oleh Bapak Dr. Ir. Burhanuddin Masy ud, MS. dengan anggota Bapak Dr. Ir. H. A. Machmud Thohari, DEA. Untuk itu ucapan terimakasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada komisi pembimbing, karena tanpa arahan dan masukan yang diberikan selama penelitian dan penulisan, maka sulit dibayangkan tesis ini dapat selesai dengan baik. Berbagai pihak telah memberikan kontribusinya secara langsung maupun tidak langsung bagi penyelesaian dan penyempurnaannya. Namun disadari bahwa tesis ini masih belum sempurna, baik dalam sistematika maupun teknikteknik analisis dan interpretasi data yang mungkin terjadi sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis. Ucapkan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada: (1) Yth. Direktur DIKDASMENJUR DEPDIKNAS, yang telah memberikan sponsor beasiswa dalam penyelenggaraan pendidikan Program Magister Profesi di Institut Pertanian Bogor, (2) PEMDA Kabupaten Indragiri Hulu melalui Bapak Kepala Dinas Pendidikan yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengikuti program pendidikan di Institut Pertanian Bogor, (3) Yth. Rektor, Dekan Sekolah Pascasarjana, Ketua Sub Program Studi Konservasi Biodiversitas dan seluruh civitas akademika IPB, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan S2 di Institut Pertanian Bogor, (4) Yth. Bapak Agus Rosadi, SP selaku Kepala SMK Negeri 1 Pasir Penyu yang telah memberikan izin dan motivasi kepada penulis untuk mengikuti program pendidikan di Institut Pertanian Bogor, (5) Yth. Bapak/Ibu Majelis Guru dan Staf Karyawan Tata Usaha SMK Negeri 1 Pasir Penyu yang telah memberikan dukungan, motivasi dan vii

10 pengertian kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini dengan baik dan (6) Seluruh keluarga (Bapak Sonto Sumardjo, Ibu Sumarlinah, Mas Sugiman, Mas/Mbak semuanya dan adik-adik serta keponakan semua) yang telah memberikan motivasi dan dukungan baik secara materiil maupun spirituil, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini tanpa hambatan suatu apapun. Ucapan terimakasih dan penghargaan yang besar penulis sampaikan kepada rekan-rekan satu kelas S2 Profesi Konservasi Biodiversitas Angkatan Pertama atas dukungan dan kerjasamanya, karena berkat dukungan dan kerjasama dari rekan-rekan studi S2 ini dapat penulis jalani dengan baik. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada istri (Umiyati) dan anak-anak kami (Hafidha Fatma Sari, Gilang Abiwijaya dan Fathaya Putri Handayani) atas kasih dan dukungannya selama penulis menjalani studi, sehingga mengurangi hari-hari kebersamaan kita. Tanpa pengertian dan dukungan dari istri dan anak-anak tercinta mustahil pendidikan ini dapat terselesaikan dengan baik. Selain itu tesis ini dapat terselesaikan juga atas dukungan dan dorongan berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Untuk itu penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya. Akhirnya apabila terdapat kesalahan dalam penulisan dalam tesis ini, maka hanya penulis yang bertanggungjawab. Kiranya Allah SWT sendiri yang memberi balasan berkah kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis dan anhir kata Semoga tesis ini bermanfaat bagi banyak pihak. Bogor, Maret 2006 Sumanto viii

11 DAFTAR ISI Halaman PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI... ii HAK CIPTA..... iii RIWAYAT HIDUP... iv ABSTRACT... v PRAKATA... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xi PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Tujuan... 3 Manfaat... 3 Output... 3 Kerangka Pemikiran TINJAUAN PUSTAKA Bio-ekologi RusaTimor (Cervus timorensis de Blainville) Taksonomi Morfologi... 6 Penyebaran... 7 Habitat... 8 Aktivitas Harian dan Perilaku... 8 Biologi Reproduksi Pakan Home Range Deer Farming Perancangan Tapak (Site Planning) Lanskap Penangkaran RusaTimor (Cervus timorensis de Blainville) Landasan Kebijakan Perizinan Teknik Penangkaran Kelayakan Ekonomi Usaha Penangkaran Rusa MATERI DAN METODE Tempat dan Lokasi Penelitian Alat dan Bahan Data Yang Dikumpulkan Teknik Pengumpulan Data Analisa Data ix

12 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Bio-ekologi Lokasi Penangkaran Keadaan Fisik lokasi Letak dan Luas Iklim dan Curah Hujan Topografi Air (Hidrologi) Tanah Keadaan Biologis Lokasi Penangkaran Vegetasi Satwaliar Daya Dukung Lokasi Perancangan Tapak (Site Planning) Penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan Sistem Deer Farming Analisis Perancangan Tapak Pewilayahan/Zonasi Faktor-faktor Lanskap Diskripsi dan Tata Letak Tapak Rancangan Manajemen Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) denga Sistem Deer Farming Manajemen Penangkaran Sarana dan Prasarana Penangkaran Proyeksi Perkembangan Populasi Analisis Kelayakan Finansial Usaha Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) denga Sistem Deer Farming SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA x

13 DAFTAR TABEL Halaman 1. Perbandingan kondisi fisik daerah penyebaran rusa dengan lokasi penangkaran di kampus IPB Darmaga Produktivitas hijauan pakan rusa pada setiap petak contoh di dalam lokasi penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di Kampus IPB Darmaga Proyeksi perkembangan rusa selama 10 tahun pemeliharaan di penangkaran Proyeksi komponen biaya dan penerimaan pada usaha penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) selama 10 tahun di penangkaran dengan sistem deer farming Hasil analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di Kampus IPB Darmaga Hasil analisis sensitivitas finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di Kampus IPB Darmaga terhadap beberapa kemungkinan skenario xi

14 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka Pemikiran Penelitian Disain Penagkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan Sistim Farming Rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) a. Rusa jantan, b. Rusa betina Prosedur perizinan penangkaran satwaliar dan tumbuhan alam berdasarkan SK Dirjen PHPA No.07/Kpts/DJ-VI/ Disain Metote Garis Berpetak Dalam Analisis Vegetasi Peta Topografi Lokasi Penangkaran rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) di Kampus IPB Dermaga Keadaan vegetasi yang terdapat di lokasi penangkaran rusa di kampus IPB Darmaga padasaat studi Diskripsi dan tata letak tapak pada zona penangkaran (Headquarter zone) Diskripsi dan tata letak tapak penangkaran di kampus IPB Darmaga Desain pagar yang disarankan Desain jalan inspeksi dan pintu yang disarankan xii

15 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1a. Hasil analisa vegetasi tingkat bawah/semai di dalam lokasi penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di Kampus IPB Darmaga b. Hasil analisa vegetasi tingkat pancang di dalam lokasi penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di Kampus IPB Darmaga c Hasil analisa vegetasi tingkat tiang dan pohon di dalam lokasi penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di Kampus IPB Darmaga Daftar jenis satwaliar yang ditemukan di lokasi penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di Kampus IPB Darmaga Produktivitas hijauan pakan rusa pada setiap petak contoh di dalam lokasi penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di Kampus IPB Darmaga Rencana anggaran biaya pembangunan dan pengembangan sarana fisik usaha penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan sistem deer farming Analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) pada skala usaha 100 ekor induk dengan sistem deer farming Hasil analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) pada skala usaha 100 ekor induk dengan sistem deer farming (Skenario penerimaan/harga turun 10% dan biaya tetap) Hasil analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) pada skala usaha 100 ekor induk dengan sistem deer farming (Skenario penerimaan tetap dan biaya produksi naik 10%) Hasil analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) pada skala usaha 100 ekor induk dengan sistem deer farming (Skenario penerimaan turun 10% dan biaya produksi naik 10%) xiii

16 PENDAHULUAN Latar Belakang Rusa timor (Cervus timorensis de Blainville), adalah salah satu bagian dari keanekaragaman hayati milik bangsa Indonesia, yan g kondisi di habitat aslinya mendapat tekanan demikian besar sebagai akibat dari kegiatan manusia, dalam bentuk perburuan liar maupun pengrusakan habitat. Rusa timor sebenarnya merupakan satwaliar yang relatif mudah dalam hal reproduksi/perkembangbiakan maupun penyediaan pakannya. Namun karena di habitat aslinya dikhawatirkan akan terjadi pemanfaatan yang berlebihan sehingga terancam punah, maka dengan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999, rusa timor termasuk satwaliar yang dilindungi. Sejalan dengan pertumbuhan penduduk yang demikian pesat, meningkat pula pemanfaatan kekayaan alam Indonesia untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Salah satu contohnya adalah pemenuhan kebutuhan protein hewani. Atas dasar itulah maka dalam rangka pemanfaatan sumberdaya alam yang dimiliki bangsa Indonesia, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 404/Kpts/DT.210/6/2002, rusa dimasukkan sebagai salah satu jenis satwaliar yang potensial untuk dikembangkan sebagai hewan ternak. Agar tujuan dari kedua kebijakan tersebut dapat terwujud secara bersamasama, maka dengan semangat konservasi pemanfaatan rusa timor sebagai ternak harapan tetap harus mengacu pada prinsip kelestarian, salah satu cara dapat dilakukan dengan penangkaran. Sebagai satwa harapan yang mempunyai daya adaptasi sangat tinggi serta penyebaran yang luas, rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) sangat mungkin untuk dipelihara/ditangkarkan di seluruh Indonesia. Semangat otonomi daerah merupakan satu titik terang bagi daerah-daerah yang mempunyai wilayah cukup luas sangat memungkinkan untuk mengembangkan penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) baik dengan sistem Ranching maupun dengan sistem Farming. Deer Ranching adalah suatu usaha penangkaran/pemeliharaan rusa yang dilakukan secara ekstensif, dimana hampir seluruh kebutuhan hidup bagi rusa berlangsung secara alami dan peran manusia hanya sebatas mengontrol dan mengatur daya dukung habitatnya. Sedangkan Deer Farming adalah suatu usaha

17 2 penangkaran/pemeliharaan rusa yang dilakukan secara semi-intensif, dimana sebagian besar kebutuhan hidup bagi rusa diatur dan dikendalikan oleh manusia. Kebutuhan hidup rusa yang dimaksud adalah kebutuhan ruangan, makanan, minuman, tempat perlindungan (selter), kesehatan sampai perkembangbiakannya. Untuk dapat mengembangkan penangkaran dengan sistem ranching harus tersedia lahan yang cukup luas, sementara dengan sistem farming, luasan lahan tidak merupakan kendala, karena kebutuhan utama bagi kehidupan rusa, yaitu pakan dan minum dapat dipenuhi dari luar. Mengingat rata-rata kepemilikan lahan bagi masyarakat Indonesia ± 1 ha, maka sistem penangkaran yang memungkinkan untuk dikembangkan adalah dengan sistem farming. Namun salah satu kendala yang dihadapi oleh penangkar saat ini adalah belum adanya contoh penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di Indonesia yang cukup berhasil baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Salah satu penyebabnya adalah belum adanya perencanaan penangkaran dengan sistem farming yang memperhatikan aspek bio-ekologi dari rusa timor (Cervus timorensis de Blainville). Menurut Masy ud (2003), desain (rancangan) dapat diartikan sebagai suatu rencana, struktur dan strategi kegiatan yang dimaksudkan untuk menjawab permasalahan yang dihadapi secara efisien dan efektif yang memuat secara sistematik keseluruhan kegiatan yang akan dilakukan, petunjuk prosedural cara melaksanakan kegiatan, waktu dilaksanakan, data dan informasi apa yang diperlukan, cara pengumpulan dan penganalisaan data serta kebutuhan tenaga, biaya dan peralatannya, serta gambaran hasil yang diharapkan dari kegiatan ini. Disain disebut sebagai rencana, karena disain ini memuat secara sistematis keseluruhan kegiatan yang akan dilakukan. Disebut sebagai struktur karena didalam disain tergambar model atau prinsip-prinsip operasional kegiatan serta sifat atau jenis data yang diperlukan. Disebut sebagai strategi, karena didalamnya terkandung petunjuk prosedural bagaimana rencana dan struktur kegiatan dapat dijalankan, sehingga permasalahan yang dihadapi dapat terjawab secara baik dengan variasi yang dapat dikendalikan (Masy ud, 2003). Mengacu pada permasalahan tersebut di atas, maka penelitian tentang Perencanaan Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan Sistem Farming ini dilakukan.

18 3 Penelitian ini dilakukan dengan mengambil lokasi yang mempunyai ukuran luas areal tidak terlalu luas, yaitu ± 5 ha, yaitu untuk memberikan suatu model bagi masyarakat Indonesia, bahwa sebenarnya penangkaran rusa timor tidak harus dilakukan di areal yang luas, tetapi dengan lahan yang dimiliki oleh kebanyakan petani peternak kita juga dapat dilakukan penangkaran rusa timor tergantung bagaimana disain dan manajemen penangkaran itu dilakukan. Selain itu, lokasi ini dipilih karena potensi sumberdaya berupa lokasi dan rusa timor sudah ada tetapi penataan tapak dan manajemen penangkaran yang dilakukan dirasa belum baik, sehingga sampai saat ini populasi yang ada belum berkembang sebagaimana yang diharapkan. Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam pengelolaan yang lebih baik dalam usaha penangkaran yang sudah dilakukan dan dapat dijadikan acuan bagi siapa saja yang akan mengembangkan penangkaran rusa dengan sistem deer farming. Tujuan Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah : 1. Mengkaji kelayakan lokasi yang diperuntukkan bagi penangkaran rusa timor dengan sistem Farming ditinjau dari kajian bio-ekologinya. 2. Menyusun perencanaan penangkaran rusa timor dengan sistem farming : a. Perancangan tapak penangkaran b. Rancangan manajemen penangkaran 3. Menganalisis kelayakan finansial usaha penangkaran rusa timor dengan sistem farming berdasarkan rancangan disain yang dibuat. Manfaat Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan bagi pihak pengelola dalam penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan sistem farming secara efektif dan efisien, sehingga usaha tersebut tetap lestari dan berwawasan lingkungan. Output Output yang dihasilkan dari penelitian ini adalah Perencanaan Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan sistem Farming yang sesuai dengan bio-ekologinya.

19 4 Kerangka Pemikiran Potensi sumberdaya alam yang kita miliki berupa lahan dan rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) apabila kita kelola dengan baik menjadi suatu penangkaran akan dapat memberikan kesejahteraan bagi pengelolanya. Agar penangkaran dapat berhasil dengan baik, maka prisnsip-prinsip penangkaran yang merupakan interaksi antara bio-fisik dari lahan dan bio-ekologi dari rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) menjadi syarat mutlak yang harus mendapat perhatian serius. Penelitian ini dimulai dari menganalisis kondisi bio-ekologi calon lokasi dan bio-ekologi rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) serta kebutuhan hidup rusa timor di penangkaran dan dilanjutkan dengan menganalisis persyaratan untuk membuat perancangan tapak (site planning) penangkaran yang meliputi bangunan kantor, pedok, bangunan kandang, kebun rumput, areal pembesaran dan jalan inspeksi. Bila persyaratan yang dimaksud sudah terpenuhi, maka langkah selanjutnya adalah melakukan perancangan tapak, yaitu meliputi analisis tapak, pewilayahan/zonasi dan diskripsi serta tata letak tapak. Tetapi apabila persyaratan untuk membuat perancangan tapak belum terpenuhi, maka langkah salanjutnya perlu dilakukan analisis peningkatan kualitas tapak dan sarana dan prasaran, sehingga persyaratan tersebut terpenuhi. Kemudian dilanjutkan dengan perancangan tapak. Dari analisis-analisis tersebut diatas, akhirnya akan terpilih satu alternatif perancangan tapak yang memperhatikan aspek peruntukan lahan, waktu, biaya dan tenaga pengembangnya. Selanjutnya akan dihasilkan suatu disain penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan sistem farming yang memperhatikan bio-fisik lokasi, bio-ekologi rusa, kebutuhan hidup rusa serta biaya dan tenaga pengelolanya. Secara rinci kerangka dan alur pemikiran pada Penelitian Perencanaan Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan Sistem Farming dapat dilihat pada Gambar 1.

20 5 POTENSI SUMBERDAYA ALAM Calon Lokasi Rusa Timor (Cervus timorensis) Kondisi Bio-Fisik Calon Lokasi 1. Letak dan luas : a. Iklim b. Topografi c. Hidrologi d. Tanah 2. Keadaan biologi a. Vegetasi b. Satwaliar Bio-Ekologi Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) 1. Taksonomi 2. Morfologi 3. Penyebaran 4. Habitat 5. Perilaku 6. Biologi reproduksi 7. Pakan 8. Home range Kebutuhan Hidup Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) di Penangkaran 1. Pdg. Rumput & Pedok 2. Habitat 3. Perilaku 4. Reproduksi 5. Kesehatan 6. Home range Persayaratan Perancangan Tapak 1. Bangunan kantor 2. Pedok 3. Bangunan kandang 4. Kebun rumput 5. Areal pembesaran 6. Jalan Analisis Peningkatan Kualitas Tapak dan Analisis Sarana dan Prasarana Penangkaran Memenuhi Persyaratan Tidak Ya Perancangan Tapak 1. Analisis tapak 2. Pewilayahan/zonasi 3. Diskripsi dan tata letak Pemilihan Alternatif Perancangan Tapak Alternatif terpilih (peruntukan, waktu, biaya dan tenaga pengembangannya) Perencanaan Penangkaran Rusa Ti mor (Cervus timorensis de Blainville) dengan Sistem FARMING Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian perencanaan penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan sistem farming.

21 6 TINJAUAN PUSTAKA Bio-ekologi Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) Taksonomi Rusa merupakan satwa timor yang termasuk anggota Klas Mamalia, Ordo Artiodactyla, Sub Ordo Ruminansia, Famili Cervidae dan Genus Cervus. Genus Cervus terdiri dari dua species yaitu Cervus timorensis (Rusa Timor), dan Cervus unicolor (Rusa Sambar). Rusa timor merupakan rusa tropis kedua terbesar setelah rusa sambar. Dibandingkan dengan rusa tropis Indonesia lainnya, rusa timor memiliki keunikan yaitu sebagai rusa yang memiliki banyak sub spesies, dengan daerah penyebaran yang luas serta nama lokal yang cukup beragam tergantung daerah dimana habitatnya berada. Morfologi Rusa timor merupakan dikenal juga dengan nama rusa Jawa, memiliki warna bulu coklat abu-abu sampai coklat tua kemerahan dan yang jantan warnanya lebih gelap. Warna di bagian perut lebih terang dari pada di bagian punggungnya. a b Gambar 2. Rusa timor (Cervus timorenisi de Blainville). a. rusa jantan, b. rusa betina

22 7 Tinggi bahu rusa betina dewasa 100 cm, sedangkan yang jantan dapat mencapai 110 cm. Panjang badan dengan kepala kira-kira cm, panjang ekor cm. Sedangkan bobot badannya dapat mencapai 100 kg. Rusa jantan dewasa memiliki ranggah atau tanduk yang bercabang tiga, dengan ujung-ujungnya yang runcing, kasar dan beralur memanjang dari pangkal hingga ke ujung ranggah. Panjang ranggah rata-rata cm, tapi ada yang mencapai 111,5 cm. Penyebaran Famili cervidae memiliki penyebaran yang luas, terdapat hampir di seluruh dunia, kecuali di Afrika yaitu di sebelah selatan Gurun Sahara. Di Australia, Selandia Baru, Papua dan pulau-pulau kecil yang berdekatan, rusa marupakan satwa yang diintroduksi. Di Indonesia, penyebaran rusa hampir meliputi seluruh wilayah. Khusus untuk rusa timor (Cervus timorensis) penyebarannya meliputi pulau-pulau kecil di Indonesia bagian Timur. Menurut Van Memmel (1949) dalam Schroder (1976), menyatakan bahwa di Indonesia Cervus timorensis terdiri dari 8 (delapan) sub species dengan daerah penyebarannya adalah sebagai berikut : 1. Cervus timorensis rusa, terdapat di Jawa dan Kalimantan 2. Cervus timorensis laronesiotis, terdapat di Pulau Peucang, Nusa Barung, Karimun jawa, Pulau Kemujan dan Sepanjang. 3. Cervus timorensis renschi Sody, terdapat di Bali 4. Cervus timorensis timorensis, terdapat di Timor, Roti, Semau, Alor, Pantar, Pulau Rusa dan kambing. 5. Cervus timorensis macassarius, terdapat di Bangai dan Seleyar. 6. Cervus timorensis djongga, terdapat di Pulau Buton dan Muna. 7. Cervus timorensis molucentis, terdapat di Ternate, Mareh Moti, Halmahera, Bacan, Buru dan Ambon 8. Cervus timorensis floresiensis, terdapat di Lombok, Sumbawa, Komodo, Rinca, Flores dan Solor.

23 8 Habitat Habitat adalah suatu komunitas biotik atau serangkaian komunitaskomunitas biotik yang ditempati oleh binatang atau populasi kehidupan. Habitat yang sesuai menyediakan semua kelengkapan habitat bagi suatu spesies selama musim tertentu atau sepanjang tahun. Kelengkapan habitat terdiri dari berbagai macam jenis termasuk makanan, perlindungan dan faktor-faktor lainnya yang diperlukan oleh spesies hidupan liar untuk bertahan hidup dan melangsungkan reproduksinya secara berhasil (Bailey, 1984). Habitat rusa timor berupa hutan, dataran terbuka serta padang rumput dan savanna. Rusa timor diketemukan di dataran rendah hingga pada ketinggian 2600 m di atas permukaan laut (Direktorat PPA, 1978). Padang rumput dan daerahdaerah terbuka merupakan tempat mencari makan, sedangkan hutan dan semak belukar merupakan tempat berlindung. Salah satu tempat berlindung yang disukai oleh rusa timor (Cervus timorensis) adalah semak-semak yang didominasi oleh kirinyuh (Eupatorium spp.), saliara (Lantana camara), gelagah (Saccarum spontaneum) dan alang-alang (Imperata cylindrica). Rusa timor termasuk satwa yang mudah beradaptasi dengan lingkungan yang kering bila dibandingkan dengan jenis rusa yang lain, karena ketergantungan terhadap ketersediaan air relatif lebih kecil. Dengan kemampuan adaptasi yang baik ini rusa timor mampu berkembangbiak dengan baik di daerah-daerah meskipun bukan habitat aslinya. Berdasarkan beberapa contoh perkembangan rusa timor (Cervus timorensis) di daerah yang bukan merupakan habitat aslinya, terbukti bahwa populasi rusa timor (Cervus timorensis) dapat berkembang pesat di daerah-daerah yang bukan merupakan habitat aslinya, misalnya di Papua, Maluku dan Kalimantan bila dibandingkan dengan populasi di habitat aslinya, terutama di Pulau Jawa dan Bali. Aktivitas Harian dan Perilaku Rusa adalah satwa yang aktif baik siang maupun malam hari. Namun untuk rusa timor lebih aktif pada siang hari. Meskipun bukan satwa nocturnal, rusa timor mampu berubah sifat menjadi nocturnal dalam proses adaptasinya.

24 9 Aktivitas harian rusa meliputi perjalanan dari dan ke tempat mencari makanan dan air, makan dan beristirahat. Sebagaimana herbivora pada umumnmya, rusa menghabiskan waktunya berjam-jam untuk makan dan diselingi perjalanan-perjalanan pendek untuk beristirahat maupun menuju ke tempat air. Untuk aktivitas makan rusa timor lebih banyak menghabiskan waktunya pada pagi dan sore hari. Sedangkan siang hari cenderung mencari perlindungan dari teriknya sinar matahari, beristirahat sambil memamah biak. Pada malam hari aktivitas makan juga berlangsung, tetapi tidak begitu aktif. Dalam perilaku sosial, rusa timor pada umumnya hidup dalam kelompok antara 3 ekor sampai 20 ekor. Namun jika berada di padang penggembalaan terkadang dapat membentuk kelompok besar sampai jumlah ekor. Kelompok rusa Timor sering dijumpai terdiri dari induk dan anak baik yang masih kecil maupun yang sudah remaja, serta rusa-rusa muda. Baru menjelang musim kawin berangsur-angsur rusa jantan mendekati kelompok rusa betina ini. Di dalam kelompok rusa timor biasanya dijumpai dua pemimpin. Dalam keadaan normal pemimpin kelompok adalah rusa jantan dewasa. Rusa jantan dewasa biasanya memimpin kelompoknya dalam rangka perpindahan tempat untuk mencari makan dan penjelajahan wilayah secara periodik. Dalam keadaan darurat atau menghadapi ancaman pemimpin kelompok akan diambil alih oleh induk. Dalam keadaan terdesak induk lebih bertanggung jawab terhadap kelompoknya, sedangkan pejantan akan panik dan lebih sering pergi meninggalkan kelompoknya. Pada musim kawin, perilaku rusa banyak mengalami perubahan. Pada awal musim kawin, rusa menjadi gelisah dan peka terhadap kedatangan mahluk asing di lingkungannya. Rusa jantan lebih peka terhadap kedatangan pejantan lain dan menantang pejantan lain untuk berkelahi dalam rangka memperebutkan atau mempertahankan betina. Dalam keadaan birahi, berkubang merupakan aktivitas yang menonjol. Sambil berbaring di kubangan, rusa jantan akan mengayunkan ranggahnya ke kanan kiri atau menusukkannya ke dalam lumpur. Ranggah juga sering kali digosok-gosokkan kepohon atau kesemak-semak. Perilaku ini oleh para pemburu dikenal dengan perilaku mengasah tanduk/ranggah.

25 10 Rusa jantan biasanya menetapkan dan mempertahankan daerah teritorinya dari pejantan lain. Kadang-kadang daerah teritori ini tumpang tindih untuk pejantan yang satu dengan pejantan yang lainnya, Daerah teritori ini biasanya ditandai dengan cara menggores pohon dengan ranggahnya atau ditandai dengan urin dan bau-bauan lainnya. Daerah teritori ini biasanya hanya berlaku pada musim kawin saja. Rusa betina pada musim kawin akan mondar-mandir dari daerah teritori pejantan satu ke daerah teritori pejantan yang lain untuk memilih pejantan, dan akhirnya menetap pada daerah teritori pejantan yang dipilihnya sampai terjadi perkawinan. Pada umumnya kopulasi terjadi pada malam hari. Rusa betina akan menghabiskan masa buntingnya di dalam kelompok awal. Menjelang saat-saat melahirkan calon induk menjadi gelisah dan tidak bisa diam. Kemudian akan memisahkan diri dari kelompoknya untuk mencari tempat yang sesuai untuk melahirkan anaknya. Biasanya tempat-tempat yang ditumbuhi semak-semak dan terlindung. Biologi Reproduksi 1. Musim berkembangbiak Menurut Van Bammel (1949) dalam Schroder (1976), mengatakan bahwa rusa-rusa yang ada di Indonesia, melahirkan anak sepanjang tahun, artinya tidak dibatasi musim tertentu seperti yang terjadi pada daerah yang beriklim sedang. Namun demikian puncak frekwensi melahirkan terjadi pada bulan-bulan tertentu di setiap tahunnya. Musim melahirkan biasanya terjadi pada saat datangnya musim hujan, dimana pada masa-masa ini berbarengan dengan melimpahnya tumbuh-tumbuhan sebagai sumber pakan. Sody (1940) dalam Thohari, et al. (1991) menyatakan musim kelahiran anak-anak sambar di Sumatera adalah pada bulan Juli dan Oktober dan untuk sambar di Kalimantan adalah pada bulan Maret. Untuk rusa timor, musim kelahiran berbeda-beda tergantung daerahnya. Di Jawa musim melahirkan terjadi pada bulan April-Juni dan September. Di Flores terjadi pada bulan Maret dan di Sulawesi terjadi pada bulan Januari dan Agustus. 2. Reproduksi

26 11 Rusa timor mengalami masa kebuntingan selama hari (ratarata 267 hari). Seekor induk yang bunting biasanya melahirkan satu ekor anak, dan kadang-kadang dua ekor anak kembar (van Lavieren, 1983). Umur termuda untuk melahirkan bagi rusa timor (Cervus timorensis) adalah 2 3 tahun, dan masa mengasuh anak biasanya berlangsung sekitar 4 5 bulan. Menurut Hoogerwerf (1949), nisbah seksual untuk rusa timor (Cervus timorensis) di Ujung Kulon adalah 2 : 2,3 dan di Indonesia pada umumnya adalah 1 : Musim Birahi Seperti halnya musim berkembangbiak, tidak ada batasan waktu yang jelas bagi musim birahi rusa di Indonesia. Meningkatnya aktivitas musim birahi dalam setahun dapat diamati, namun waktu-waktu ini bervariasi dari satu daerah ke daerah lainnya. Meskipun dalam musim birahi, rusa-rusa yang berada dalam tahap siklus seksual lainnya masih dapat ditemukan. Meskipun hidup bersama dalam satu kelompok, setiap rusa mengikuti siklus seksualnya masing-masing. Berdasarkan beberapa hasil penelitian, terdapat kaitan erat antara musim birahi dengan terlepasnya tanduktanduk/ranggah rusa. Masa birahi dimulai segera setelah ranggah rusa tumbuh sempurna dan ditandai dengan terkelupasnya velvet yang membungkus tanduk. Masa birahi ini lebih dari satu bulan. Hoogeerwerf (1970) menyebutkan bahwa musim birahi rusa di Jawa Barat berlangsung antara bulan Juli hingga September dan periode terkelupasnya velvet diperkirakan pada bulan Juni dan Juli. Musim birahi ini kelihatan sangat jelas ketika jumlah rusa-rusa betina yang berada dalam keadaan birahi mencapai puncaknya. Hal ini menunjukkan bahwa musim birahi ditentukan dan dipacu oleh rusa betina. Musim birahi berakhir pada saat semua betina yang berada dalam keadaan birahi telah mendapatkan pasangannya. Sementara betina-betina yang baru mencapai birahi setelah musim ini selesai, kemungkinan hanya

27 12 akan dilayani oleh rusa-rusa jantan yang abnormal siklusnya, bahkan tidak semua betina seperti ini akan mendapat pasangan. Pakan Suksesnya suatu usaha penangkaran satwa antara lain ditunjang oleh pakan yang berkualitas yang mampu diberikan oleh pemeliharanya. Secara umum bahan makanan seluruh jenis rusa di Indonesia adalah sama, yaitu rerumputan, pucuk daun dan tumbuhan muda. Namun demikian karakteristik pakan untuk Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) adalah pakan utama rumput, daun muda dan buah-buahan yang jatuh (Maradjo, 1978) dalam Thohari, et al. (1991). Pakan rusa selain dari rerumputan dan hijuan lainnya sebagai tambahannya dapat berupa konsentrat, sayur-mayur, umbi-umbian atau limbah pertanian (Semiadi dan Nugraha, 2004). Semiadi (1998), menyatakan bahwa hijauan yang dimakan rusa adalah : Imperata cylindrica, Sacharum spontaneum, Paspalum sp., Leersia hexandra, Cynodon dactylon, Eleusine indica, Anastrophus compressus, Kyllinga monochephala, Cyperus rotundus, Fimbristylis annua, Ficus sp., Berechtites hieradifolia, Centella asiatica dan Crotalaria anaqryoides. Pada pemeliharaan rusa dengan sistim Deer Farming, beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengadaan pakan adalah : 1. Daya dukung habitat Daya dukung adalah jumlah individu satwaliar dengan kualitas tertentu yang dapat didukung oleh habitat tanpa menimbulkan kerusakan terhadap sumberdaya habitat (Bailey, 1984). Menurut Dasmann (1964), Moen (1973) dan Boughey (1973) dalam Alikodra (2002), daya dukung lingkungan adalah jumlah satwa liar yang dapat ditampung oleh suatu habitat; batas (limit) atas pertumbuhan suatu populasi, yang diatasnya jumlah populasi tidak dapat berkembang lagi; jumlah satwa liar pada suatu habitat yang dapat mendukung kesehatan dan kesejahteraannya. Daya dukung akan tercapai apabila pertumbuhan suatu populasi lambat laun akan menurun dan akhirnya berhenti bertumbuh. Hal ini disebabkan

28 13 karena pertumbuhan populasi dipengaruhi oleh faktor-faktor persaingan, terbatasnya ruangan dan makanan (Tarumingkeng, 1994). Menurut Syarief (1974), besarnya daya dukung suatu areal dapat dihitung melalui pengukuran salah satu faktor habitat. Untuk menghitung produktivitas hijauan berupa padang rumput dapat menggunakan cara yang diperkenalkan oleh Mc. Ilroy Tahun 1964 yaitu dengan pemotongan hijauan dari suatu luasan padang rumput sebagai sampel, menimbangnya dan dihitung produksi per unit luas per unit waktu. Menurut Brown (1954) dalam Susetyo (1980), hijauan yang ada di lapangan tidak seluruhnya tersedia bagi satwa, tetapi harus ada sebagian yang ditinggalkan untuk menjamin pertumbuhan selanjutnya dan pemeliharaan tempat tumbuh. Bagian hijauan yang dapat dimakan oleh satwa disebut proper use. Susetyo (1980) menyatakan bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap proper use suatu padang penggembalaan adalah topografi. Karena hal itu sangat membatasi ruang gerak satwa. Proper use pada lapangan datar dan bergelombang (kemiringan 0 5 o ) adalah 60 70%, lapangan bergelombang dan dan berbukit (kemiringan 5 23 o ) adalah 40 45% dan lapangan berbukit sampai curam (kemiringan lebih dari 23 o ) proper use-nya adalah 25 30%. Menurut Susetyo (1980) apabila daya dukung suatu kawasan dihitung per hari, maka besarnya daya dukung dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Daya dukung = Produksi hijauan pakan per ha x proper use x luas areal Kebutuhan pakan per ekor per hari 2. Kebutuhan hidup Kebutuhan hidup bagi setiap satwa memerlukan hal yang sangat penting sekali untuk dapat mempertahankan hidupnya. Beberapa hal yang menyangkut kebutuhan hidup bagi seekor satwa antara lain makan, minum dan garam mineral.

29 14 Kebutuhan makan bagi seekor rusa dapat diartikan sebagai kebutuhan akan kalori setiap hari. Energi ini sangat diperlukan untuk hidup dan pertumbuhannya, mengganti bagian-bagian tubuh yang mati dan untuk reproduksi. Rusa tergolong pada hewan memamah biak dengan makanannya berupa rerumputan, daun-daun muda dan bahkan buah-buahan yang jatuh. Dalam pemenuhan kebutuhan pakan rusa hal yang harus diperhatikan adalah jumlah dan kualitas pakan. Kualitas pakan ditentukan oleh komposisi/kandungan zat gizi di dalam bahan pakan, dimana komposisi ini harus sesuai dengan kebutuhan hidup satwa. Berdasarkan sifat, kimia dan biologis zat gizi yang diperlukan oleh satwa terdiri dari air, protein, lemak karbohidrat, zat-zat organik dan vitamin. Home Range Menurut Boughey (1973), Pyke (1983) dan Van Noordwijk (1985), wilayah yang dikunjungi satwaliar secara tetap karena dapat mensuplai makanan, minuman serta mempunyai fungsi sebagai tempat berlindung, tempat kawin disebut wilayah jelajah (home range). Tempat-tempa tminum dan mencari makan pada umumnya lebih longgar dipertahankan dalam pemanfaatannya, sehingga satu tempat minum ataupun makan seringkali dimanfaatkan secara bergantian ataupun sama-sama oleh beberapa spesies satwaliar. Jika secara sepintas kita mengamati kehidupan satwaliar di habitat alamnya, akan diperoleh kesan bahwa mereka bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya tanpa aturan. Akan tetapi jika diperhatikan secara teliti, akan terlihat bahwa mereka melakukan pergerakan secara teratur. Menurut Alikodra (2002), kapan satwaliar bergerak, apa dan kemana tujuannya merupakan fenomena alam, tetapi faktor spesies, musim dan kondisi lingkungannya, termasuk campur tangan manusia sangat menentukan pola pergerakan satwaliar tersebut.

30 15 Menurut Dasmann (1981), di Arizona beberapa wilayah jelajah (home range) dari rusa merah lebih dari ha. Sedangkan di bagian Barat Daya Texas dilaporkan bahwa rata-rata wilayah jelajah dari rusa merah adalah 700 ha. Deer Farming Deer Farming adalah suatu usaha penangkaran/pemeliharaan rusa yang dilakukan secara semi-intensif, dimana sebagian besar kebutuhan hidup bagi rusa diatur dan dikendalikan oleh manusia. Kebutuhan hidup rusa yang dimaksud adalah kebutuhan ruangan, makanan, minuman, tempat perlindungan (shelter), kesehatan sampai perkembangbiakannya. Menurut Yerex dan Spiers (1987), deer farming merupakan suatu usaha menternakkan rusa secara komersil dengan tujuan utama adalah mencari keuntungan dari produksi berupa daging dan velver/ranggah. Selain itu juga menyediakan rusa untuk perburuan dan juga pembibitan. Pada pemeliharaan rusa dalam jumlah yang banyak dan sudah diarahkan pada usaha yang komersil, maka sistem pemeliharaan yang sesuai adalah dengan sistem pedok, dimana pedok juga berfungsi sebagai tempat tinggal yang dibatasi oleh pagar, maka dalam pedok harus pula tersedia sumber air minum dan naungan yang cukup, sementara kebutuhan pakan dapat dicukupi dari luar areal (Semiadi dan Nugraha, 2002). Perancangan Tapak (Site Planning) Menurut Hakim dan Utomo (2002), proses perancangan yang sistematik pada garis besarnya terbagi menjadi dua bagian, yaitu tahapan Programing dan tahapan Design, dimana pada tahapan programing ditekankan pada penganalisisan segala aspek yang terkait pada rancangan hingga menghasilkan konsep sistematik yang nantinya menjadi landasan pada tahapan Design Depelopment. Sedangkan tahapan design dititik beratkan pada bagiamana merancang penerapan dari konsep-konsep yang telah dihasilkan. Root (1985), menyatakan bahwa untuk dapat mengembangkan suatu perancangan tapak secara sistematis ada beberapa faktor yang harus diperhatikan,

31 16 yaitu ; (1) faktor alam, meliputi kontur, vegetasi dan ruangan terbuka, dan (2) faktor pelaksanaan, meliputi analisis sumberdaya, analisis lokasi, analisis penggunaan, analisis pengembangan dan rancangan induk secara menyeluruh. Perancangan tapak untuk pembuatan desain penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan sistem Farming dilakukan atas berbagai masukan data dan informasi, baik yang bersifat primer maupun sekunder. Menurut Thohari et al. (1991), pada dasarnya terdapat tiga komponen penting yang perlu dipertimbangkan dalam perancangan tapak, yaitu : 1. Kondisi bio-fisik tapak kegiatan penangkaran yang direncanakan, seperti topografi, ketersediaan air, kondisi vegetasi, tanah, elevasi, iklim dan sebagainya. 2. Sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam suatu usaha penangkaran 3. Bio-ekologi rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) Berdasarkan hasil analisis dari ketiga komponen tersebut, selanjutnya dilakukan penentuan batas-batas zona pengembangan (zonasi) dengan mempertimbangkan faktor-faktor pembatas kegiatan dan efisiensi pengelolaannya. Sebelum itu untuk meningkatkan kemampuan tapak guna mendukung pembangunan dan pengembangannya, dilakukan peningkatan kualitas tapak dengan berbagai cara, antara lain : pemenuhan kebutuhan penangkaran, penanaman pohon-pohon pelindung, perbaikan topografi, pembuatan saluran drainase dan lain sebagainya. Menurut Hakim dan Utomo (2002), data yang perlu diketahui untuk perancangan tapak adalah meliputi luas seluruh tapak, keadaan dan sifat tanah, geologi, hidrologi, iklim, curah hujan, topografi dan vegetasi. Dari semua data serta pertimbangan pengelolaan, dibuatlah alternatif tapak untuk masing-masing penggunaan yang selanjutnya akan menghasilkan satu alternatif terpilih yang paling layak dikembangkan berdasarkan peruntukan, biaya, waktu dan tenaga pengembangannya. Setelah kita memahami karakteristik tapak, maka langkah selanjutnya adalah memasukkan program aktivitas yang direncanakan ke dalam tapak dengan pertimbangan kondisi dan karakter tapak

32 17 tersebut. Kemudian tahap selanjutnya adalah melakukan perancangan tapak yang meliputi penataan letak semua sarana dan prasarana di masing-masing zona pengembangan. Lanskap Lanskap adalah karakter total dari suatu wilayah (von Humbolt dalam Ferina, 1998). Lanskap adalah konfigurasi partikel topografi, tanaman penutup, permukaan lahan dan pola kolonisasi yang tidak terbatas, beberapa koherensi dari kealamian dan proses kultural dan aktifitas (Green dalam Ferina, 1998). Harber membatasi lanskap sebagai sebuah potongan lahan yang diamati seluruhnya, tanpa melihat dekat pada komponen-komponennya (Pers Com dalam Ferina, 1998). Definisi terakhir ini lebih cocok untuk membatasi lanskap sebagai pengamatan seluruh organisme dari tanaman sampai hewan. Hal yang paling penting dalam pengelolaan lanskap adalah evaluasi nilai lanskap dan menemukan kriteria dengan cara mengevaluasi komponen-komponennya. Ekologi Lanskap dapat berguna bagi konservasi alam karena menyangkut pemikiran dari pengaturan habitat, pemikiran konsekuensi struktur dan proses untuk spesies yang berbeda. Terdapat tiga pandangan dalam ekologi lanskap (Ferina, 1998) antara lain: (1) Manusia: Pada perspektif manusia. Lanskap adalah dikelompokkan pada fungsi utama yang mempunyai arti untuk kehidupan manusia, (2) Geobotanical: Distribusi spatial dari komponen lingkungan abiotik dan biotik, dari lanskap tanah sampai yang didekati oleh tanaman, dan pada distribusi tanaman utama sebagai komunitas, tanah hutan dan sebagainya dan (3) Hewan: Pandangan akhir ini konsepnya dihubungkan dengan pengamatan lanskap manusia, walaupun terdapat perbedaan subs-tantial dalam mendekati secara langsung. Masing- masing dari tiga pendekatan ini mengamati pola-pola dan prosesproses dalam analisa akhir, yang komponen-komponennya dari seluruh sistem biologi dan sistem ekologi. Dari tiga pandangan ini kita dapat mengkombi-

33 18 nasikan teori-teori, paradigma, dan model-model yang dihasilkan oleh pendekatan monodisipliner. Terdapat sejumlah cara untuk mengukur beberapa hal pokok yang mendukung sebuah perencanaan lanskap. Pendekatan lanskap ini sangat bervariasi, sehingga tidak mungkin membahasnya secara keseluruhan dan mengacu kepada metodologi standart. Kebanyakan pendekatan itu berasal dari geostatistik, geobotanik, analisa populasi satwa, perilaku ekologi dan sebagainya. Cara-cara yang paling banyak digunakan untuk menjelaskan kerumitan suatu lanskap adalah melalui pencitraan sistem informasi geografi. Statistik ruang dan geometri per bagian. Peta-peta, foto udara dan citra satelit biasanya dilakukan sebelum dan sesudah suatu lahan dicatat atau di data. Namun hal tersebut banyak mengalami bias (penyimpangan) yang disebabkan oleh waktu, resolusi, dan kualitasnya. Pengolahan data mengenai ruang merupakan inti dari ekologi lanskap. Terdapat dua tipe informasi yang diproses dalam analisa, yaitu; Path dan Lanskap. Tipe pertama adalah dimana analisa lebih banyak difokuskan dalam berbagai ukuran bentuk dan pengaturan ruang dari setiap potongan yang ada. Tipe yang kedua lebih rumit, karena difokuskan kepada land mozaik (bentukan tanah). Pendekatan terhadap studi bentuk path ini sangat penting karena keteraturan dan ketidakteraturan bentuk path tersebut merupakan konsekuensikonsekuensi yang terdapat pada organisme. Jika kita asumsikan lingkaran merupakan bentukan path yang umum, semakin tidak beraturannya sebuah path semakin banyak tepian dan semakin berkurang area didalamnya yang tersedia. Sebuah path yang tidak teratur memiliki lebih banyak proses yang heterogen dibandingkan yang teratur. Kesesuaian habitat, resiko pemangsa dan tekanan iklim mikro merupakan beberapa konsekuensi langsung dari bentuk path yang tidak teratur. Penelusuran batas pada lanskap bukanlah suatu hal yang mudah, bahkan akhir dari berbagai habitat atau tipe lahan bukan sebagai batas sesungguhnya. Sementara batas-batas cukup sempit dan tingkat kepadatan habitat tinggi, sehingga sangat sulit menemukan antara batas struktur dan batas fungsi.

34 19 Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) Landasan Kebijakan Penangkaran satwaliar merupakan salah satu program pelestarian dan pemanfaatan satwaliar, baik untuk tujuan konservasi maupun ekonomi. Dalam hal ini penangkaran rusa termasuk salah satu upaya pelestarian dan pemanfaatan berdasarkan prinsif kelestarian hasil. Undang-undang dan peraturan tentang pelestarian pemanfaatan satwaliar yang digunakan sebagai dasar dan arahan bagi usaha pengembangan penagkaran rusa adalah : 1. Undang Undang Republik Indonesia (RI) No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 2. Undang Undang Republik Indonesia (RI) No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. 3. Undang Undang Republik Indonesia (RI) No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. 4. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 86/Kpts/II/1983 yang mengatur tentang pemanfaatan sumberdaya alam (satwaliar dan tumbuhan alam), baik di dalam maupun luar negeri dan disesuaikan dengan ratifikasi/pengesahan Konvensi Internasional tentang Perdagangan Satwa Liar dan Tumbuhan Langka (CITES) yang tertuang dalam Keputusan Presiden No. 43 Tahun Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. 6. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Perizinan Penangkaran adalah upaya perbanyakan melalui pengembang-biakan dan perbesaran tumbuhan dan satwa liar dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya. Penangkaran dapat dilakukan terhadap jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi atau yang tidak dilindungi.

35 20 Setiap orang, Badan Hukum, Koperasi atau Lembaga Konservasi yang mengajukan permohonan untuk melakukan kegiatan penangkaran wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1. Mempekerjakan dan memiliki tenaga ahli dibidang penangkaran jenis yang bersangkutan 2. Memiliki tempat dan fasilitas penangkaran yang memenuhi syarat-syarat teknis 3. Membuat dan menyerahkan proposal kerja Berdasarkan SK Dirjen PHPA No. 07/Kpts/DJ-VI/1988 tentang Penangkaran Satwaliar dan Tumbuhan Alam, maka untuk memperoleh izin usaha penangkaran satwaliar dan tumbuhan alam adalah sebagai berikut : 1. Pengajuan permohonan ke Dirjen PHPA dengan tembusan ke Kakanwil Kehutanan Propinsi dan BKSDA, dengan melampirkan SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan) dan SITU (Surat Izin Tempat Usaha) dari Departemen Perdagangan dan Berita Acara Pemeriksaan Persiapan Teknis Penangkaran. 2. Pemeriksaan oleh Kanwil Kehutanan dan BKSDA Propinsi Dati I 3. Berdasarkan lampiran, maka dikeluarkan rekomendasi penangkaran dari Kanwil Kehutanan ke Dirjen PHPA 4. Dirjen PHPA mengeluarkan izin usaha penangkaran yang berlaku selama maksimum 5 tahun untuk usaha non komersial dan 10 tahun untuk usaha komersial dan dapat diperpanjang setelah habis masa berlaku. Secara lengkap alur prosedur perizinan penangkaran satwa liar dan tumbuhan alam dapat dilihat pada Gambar 3.

36 21 PEMOHON (Perorangan, Badan Usaha, Koperasi, Lembaga Ilmiah, Lembaga Konservasi) NON KOMERSIL Dilampiri dengan : 1. Surat tidak keberatan dari Lurah Setempat 2. SIUP 3. Berita Acara pemeriksaan dari Balai/Sub Balai KSDA 4. Akta Pendirian perusahaan KOMERSIL Dilampiri dengan : 1. SIUP dan SITU 2. Berita Acara pemeriksaan dari Balai/Sub Balai KSDA 3. Akta Pendirian perusahaan Kepala Kantor Wilayah DEPHUTBUN Direktur Jenderal PHPA Izin Usaha Penangkaran Non Komersial (Masa berlaku 5 tahun) Izin Usaha Penangkaran Komersial (Masa berlaku 10 tahun) Gambar 3. Prosedur perizinan penangkaran satwa liar dan tumbuhan alam berdasarkan SK Dirjen. PHPA No. 07/Kpts/DJ-VI/1988. Teknik Penangkaran 1. Adaptasi Menurut Setiadi dan Tjondronegoro (1989), adaptasi adalah setiap sifat atau bagian yang dimiliki organisme yang berfaedah bagi kelanjutan hidupnya pada keadaan sekeliling habitatnya. Adaptasi dapat dinyatakan sebagai suatu kemampuan individu untuk mengatasi keadaan lingkungan dan menggunakan sumber-sumber alam lebih baik untuk mempertahankan hidupnya dalam relung (niche) yang diduduki. Secara alami rusa termasuk satwa yang mempunyai kemampuan adaptasi lingkungan yang sangat tinggi. Di lingkungan yang banyak aktivitas manusia, bahkan di lingkungan dengan kondisi makanan yang jelek sekalipun rusa mampu beradaptasi dengan baik. Meskipun demikian diperlukan perhatian dan penanganan maupun latihan yang baik dan teratur untuk

37 22 mencegah kemungkinan yang tidak diinginkan seperti terjadinya stres, serangan penyakit dan kematian, sehingga dapat mengoptimalkan manfaat yang diperoleh. Menurut Thohari et al., (1991), salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mempermudah penanganan rusa yang baru ditangkap ke tempat penangkaran adalah dengan menempatkan rusa dalam kandang yang gelap dan relatif tidak luas. Pedok ini dapat dibagun dalam pedok karantina. Disamping itu untuk membiasakan rusa terhadap penggiringan dapat dilakukan dengan melatih secara teratur dalam waktu tertentu dengan memperlihatkan tanda-tanda tertentu (bendera atau suara). Usaha pengadaptasian ini selain ditujukan pada rusa-rusa yang telah ada di lokasi penangkaran guna mempermudah penanganannya, juga diperlakukan pada rusa-rusa yang baru didatangkan dari luar areal penangkaran. Untuk rusa-rusa yang baru didatangkan dari luar areal penagkaran, langkah pengadaptasian ini dilakuka di pedok karantina selama 1 2 minggu, selain untuk tujuan adaptasi juga untuk mencegah kemungkinan penyakit yang dibawanya. 2. Pengembangbiakan Dalam usaha penangkaran, masalah pengembangbiakan memegang peranan yang sangat penting, karena dasar keberhasilan usaha penangkaran terletak pada keberhasilan reproduksinya. Ada tiga cara yang dapat dilakukan dalam upaya pengembangbiakan rusa di penangkaran, yaitu : a. Secara alamiah Dengan membiarkan rusa kawin dan berkembangbiak tanpa campur tangan manusia. b. Secara semi alamiah Sistim perkawinan rusa diatur manusia, antara lain dengan mengatur perbandingan jumlah jantan. Menurut Semiadi dan Nugraha (2004), imbangan kelamin untuk rusa tropis adalah 1 : 6 10, tetapi pada pemeliharaan yang lebih intensif dapat mencapai 1 : 20.

38 23 c. Secara inseminasi buatan (IB) Sistim perkawinan rusa yang tidak banyak memerlukan pejantan. Beberapa pejantan yang baik ditampung semennya. Dengan beberapa perlakuan tertentu, selanjutnya dapat dilakuan perkawinan secara buatan yang biasa disebut dengan sistim AI (Artificial Insemination). Sistem perkawinan secara inseminasi buatan dalam dunia rusa awalnya hanya untuk kepentingan penelitian, yang dimulai tahun 1980 dan meluas sejalan dengan berkembangnya industri pembibitan rusa yang mengharapkan diperolehnya pejantan unggul dalam waktu singkat dan efisien. Komersialisasi pelayanan IB ditingkat pembibitan dimulai tahun 1986an, tetapi untuk tingkat komersil masih terlalu mahal. Saat ini kegiatan IB pada rusa di Indonesia masih untuk tujuan penelitian dalam rangka pemahaman sifat reproduksi rusa tropis, tetapi sosialisasi telah pula dilakukan di beberapa penangkar yang akan diarahkan menjadi penangkar pembibit rusa. Agar dapat diperoleh kualitas keturunan yang baik, dalam usaha penangkaran perlu dilakukan pemilihan induk dan pejantan yang baik. Untuk itu dalam jangka panjang usaha penangkaran harus mendasarkan pada sistim seleksi yang benar. Untuk mendukung pelaksanaan seleksi yang benar maka perlu dilakukan pencatatan (recording ) yang benar, terhadap individu rusa yang ada di dalam penangkaran, terutama individu yang akan dijadikan bibit. 3. Seleksi Bibit Untuk memperoleh keturunan yang baik, didalam usaha penagkaran rusa perlu diperhatikan pemilihan induk-induk dan pejantan rusa yang baik. Oleh karenanya dalam jangka panjang, penangkaran rusa hendaknya mengarah pada sistim seleksi yang benar serta sistim pencatatan (recording) setiap individu yang ada dipenangkaran. Dasar seleksi yang dapat diterapkan dalam pemilihan bibit diiantaranya adalah : a. Berdasarkan silsilah/keturunan (Pedegree) yaitu pemilihan bibit yang didasarkan atas tetuanya yang mempunyai produksi dan kualitas performen yang baik, misalnya jelas induknya, pejantannya, tidak cacat atau kelainan genetis lainnya.

39 24 b. Berdasarkan penampilan (Performen) yaitu pemilihan bibit yang didasarkan atas penampilan bentuk luar dari rusa calon bibit, misalnya mempunyai pertumbuhan yang baik, tidak cacat, relatif jinak, bulu halus. c. Berdasarkan uji keturunan (Uji Zuriat) yaitu pemilihan bibit khususnya pejantan yang didasarkan atas produkstivitas keturunannya. Seleksi ini memerlukan waktu yang cukup panjang 4. Perawatan Kesehatan dan Penyakit Kesehatan rusa di penangkaran dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain kondisi lingkungan, makanan, pola manajemen, serta kelainan metabolisme. Perawatan kesehatan dan pengobatan penyakit secara baik dan lebih dini akan mendukung keberhasilan usaha penangkaran tersebut. Untuk menghindari kemungkinan berjangkitnya penyakit perlu mendapat perhatian, khususnya yang berkaitan dengan pencegahannya, misalnya : melalui vaksinasi disamping pemeriksaan mulut maupun injeksi. Dalam hal ini rusa yang baru datang dari luar loksi penangkaran dan anakanak rusa yang baru lahir segera diberi vaksin anti cacing dan penyakit lainnya. Beberapa jenis parasit yang menyerang rusa diantaranya adalah : eksternal parasit (lalat hijau dan caplak), internal parasit (cacing paru/dictyocaulus spp.), sedangkan penyakit yang perlu mendapat perhatian adalah : luka pada lambung dan usus, Salmonelosisi, Pnumonia, Malignant Catarhal Fever, Brucellosis, Tuberculosis, Capture myopathy, Antraks serta gangguan metabolisme misalnya keracunan. 5. Pembangunan Padang Pengembalaan dan Kebun Rumput Usaha penangkaran tidak dapat dipisahkan dengan ketersediaan pakannya. Ketersediaan pakan ini berupa pakan utama (rumput dan hijauan yang lain) serta pakan tambahan yang dapat berupa ubi-ubian, dedak maupun pakan konsentrat.

40 25 Sebagai ruminansia, rusa membutuhkan sebagian besar makanan berupa rumput. Oleh karena itu, untuk mendukung keberhasilan usaha penangkaran perlu adanya padang rumput. Padang rumput merupakan suatu lahan yang didomonasi oleh berbagai tipe tumbuhan terutama jenis rumput-rumputan dan tumbuhan herba yang lain. Dalam hal usaha penangkaran, keberadaan padang rumput merupakan sumber pakan hijauan utama bagi rusa yang ditangkarkan. Beberaqpa jenis rumput yang dapat dijadikan sebagai rumput padang penggembalaan antara lain rumput Bracihiaria brizanta, rumput Australia (Paspalum dilatatum), rumput kolonjono (Brachiaria mutica), Brachiaria decumbens, Panicum maximum dan Setaria sphacelata. Sedangkan untuk jenis leguminosa antara lain stylo (Sthylosanthes guyanensis), Arachis hypogea dan kerabatnya serta pohon lamtoro (Leucaena leucosephala) dan turi (Sesbania grandiflora) yang sekaligus dapat dijadiken sebagai pohon peneduh. 6. Pedok Dalam sistim penangkaran rusa skala besar dapat diterapkan pola Deer Farming. Rusa ditempatkan dalam kelompok-kelompok dalam suatu pedok yang ukurannya disesuaikan dengan jumlah rusa yang ada. Keadaan topografi tidak terlalu berpengaruh, sebab rusa termasuk satwa yang mudah beradaptasi dalam kondisi topografi yang cukup bervariasi. Namun keadaan topografi yang curam merupakan faktor pembatas bagi pembuatan jalan, baik untuk koridor maupun jalan bagi kendaraan angkut. Pada sistem pedok banyak hal yang perlu diperhatikan dalam pembangunannya. Ini tidak lain karena pada umumnya dalam sistim pedok luasan lahan yang digunakan adalah besar. Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan adalah : a. Lokasi pedok Penentuan loksai pedok memegang peranan penting demi kelancaran segala kegiatan yang berhubungan dengan penangkaran rusa itu sendiri.

41 26 b. Bentuk Pedok Bentuk pedok perlu disesuaikan dengan keadaan topografi. Pedok yang memanjang lebih memudahkan dalam hal penggiringan rusa keluar dari pedok. Tetapi pada pedok berbentuk persegi empat akan mengurangi rusa untuk bergerombol di satu sisi, sehingga mengurangi tingkat erosi atau kerusakan area rumput. c. Luasan pedok Penentuan luas pedok berkaitan dengan jumlah pedok yang akan dibuat, kemudahan pengelolaan rusa dan jumlah rusa yang akan dipelihara. Satuan pedok hendaknya tidak terlalu luas. Idealnya yang terbesar sekitar 1,5 2,0 ha, yang sedang 0,3 1,0 ha dan pedok berukuran kecil sekitar m 2. Secara garis besar kepadatan rusa pada padang penggembalaan yang cukup subur berkisar antara ekor/ha untuk rusa dewasa atau untuk rusa remaja (< 2 tahun) sekitar ekor/ha (Semiadi dan Nugraha, 2004). d. Pintu dan jalan/gang pedok Setiap pedok harus dihubungkan dengan pintu untuk menuju pedok lain. Selain itu perlu dibuat jalan/gang tersendiri dari pedok terjauh menuju kandang kerja atau pedok lainnya dengan tidak melewati pedok di sebelahnya. Dalam penempatan pintu pedok sebaiknya berada di salah satu sudut pagar pedok, hal ini untuk mempermudah saat melakukan penggiringan rusa ke pedok yang lainnya. e. Naungan Naungan baik yang alami maupun yang buatan sangat diperlukan bagi rusa yang berasda di pedok. Di alam bebas naungan akan dicari sendiri oleh rusa manakala diperlukan, tetapi di dalam pedok rusa harus dapat menerima apa adanya. Oleh sebab itu untuk menghindari stres bahkan penurunan produksi akibat ketidak nyamanan cuaca yang ekstrim (panas, hujan), maka ketersediaan naungan perlu diperhatikan. Naungan tidaklah harus berupa atap seluruhnya (buatan) atau pohon khusus di dalam pedok. Tetapi dapat dikemas sebagai bagian dari strategi pengadaan hijauan pakan, seperti penanaman pohon disepanjang pagar,

42 27 dimana kerindangan kanopi dahan dapat berfungsi sebagai naungan dan daunnya dapat dimanfaatkan sebagai hijauan tambahan. f. Pagar Sebagai pembatas antara pedok dengan dunia luar atau antara pedok yang satu dengan pedok lainnya diperlukan pemagaran. Konstruksi kandang harus kuat, sehingga dapat menjaga kenyamanan rusa yang ada di dalamnya. Bahan yang dapat dipakai diataranya adalah anyaman kawat dengan tinggi pagar untuk pemisah antara pedok dengan dunia luar ± 2,0 m dan pagar didalam (antar pedok) ± 1,75 2,0 m. Khusus pada pedok untuk kelahiran/pedok anak dijaga betul kerapatannya, sehingga anak rusa tidak dapat keluar atau tidak ada hewan liar yang masuk ke dalam pedok untuk mengganggu atau memangsa anak-anak rusa. Namun demikian pagar tidah harus terbuat bdari anyaman kawat melainnkan dapat terbuat dari bahan lain, misalnya anyaman bambu, yang penting fungsi sebagai pagar dapat terpenuhi, yaitu melindungi rusa yang ada di dalamnya dari gangguan dunia luar atau menjaga agar rusa tidak melarikan diri. g. Jenis Pedok Dalam usaha penangkaran dikembangkan beberapa macam pedok, yaitu : (a) pedok karantina, (b) pedok induk, (c) pedok pejantan, (d) pedok perkawinan (e) pedok anak dan (f) pedok terminal. Kelayakan Ekonomi Usaha Penangkaran Rusa Menurut Gray (1993), salah satu cara mencari ukuran yang menyeluruh sebagai dasar penerimaan atau perolehan suatu usaha, maka dilakukan analisa kriteria investasi. Analisis finansial dilakukan dengan menggunakan discounted cash flow. Untuk proyek-proyek yang dibiayai dari dana swasta (private investor) maka analisis/evaluasinya dititik beratkan pada hasil analisis finansial. Dalam hal ini rencana investasi ditinjau dari segi cash-flow, yakni perbandingan antara hasil penjualan kotor (gross-sales) dengan jumlah biaya-biaya (total cost). Bila menunjukkan net benefit positif (profit) maka rencana investasi tersebut

43 28 dilanjutkan, sedangkan bila menunjukkan net benefit negatif (rugi) maka rencana investasi tersebut dibatalkan. Nilai-nilai yang dihitung mencakup NPV, IRR dan BCR. Persamaan yang digunakan untuk menentukan nilai-nilai tersebut adalah sebagai berikut (Djamin, 1992) : 1. Net Present Value (NPV) Keuntungan bersih suatu usaha adalah pendapatan kotor dikurangi jumlah biaya, maka NPV suatu usaha merupakan selisih Present Value arus keuntungan dengan Present Value arus biaya. Suatu usaha dapat dinyatakan layak iuntuk dilaksanakan apabila NPV usaha tersebut sama atau lebih besar dari 0 (nol) dan bila sebaliknya maka usaha tersebut merugi. Nilai NPV dapat dihitung dengan menggunakan persamaan : NPV = n B t t= 1 1 C ( + i) t t dimana : B t = Pendapatan kotor tahunan C t n t (1+i) t = Biaya tahunan = Umur ekonomis proyek = Tahun proyek = Discounted factor (DF) 2. Benefit Cost Ratio (BRC) BRC adalah perbandingan antara pendapatan dengan biaya. Suatu usaha dikatakan layak untuk diusahakan apabila nilai BRC dari usaha tersebut lebih besar dari 1 (satu) dan bila sebaliknya, maka usaha tersebut tidak layak untuk diusahakan. Nilai BCR dapat dihitung dengan menggunakan persamaan : BCR = n t= 1 n t= 1 B ( 1+ i) C t t ( 1+ i) t t dimana : B t = Pendapatan kotor tahunan C t n t (1+i) t = Biaya tahunan = Umur ekonomis proyek = Tahun proyek = Discounted factor (DF)

44 29 3. Internal Rate of Return (IRR) IRR adalah suku bunga diskonto yang menyebabkan jumlah hasil diskonto pendapatan sama dengan jumlah hasil diskonto biaya, atau suku bunga yang membuat NPV bernilai 0 (nol). Suatu usaha dikatakan layak apabila IRR lebih besar dari suku bunga diskonto. Nilai BCR dapat dihitung dengan menggunakan persamaan : n B n t = C t ( 1+ i) t ( 1 + i) t= 1 = 1 t t NPV IRR = D F P + ( ) PVP PVN x DFN D FP dimana : D F P = Discounting factor yang digunakan yang menghasilkan present value positif D F N = Discounting factor yang digunakan yang menghasilkan present value negatif PVP = Present value positif PVN = Present value negatif Untuk mengetahui jangka waktu pengembalian (Payback Period) suatu usaha, yaitu waktu yang diperlukan untuk membayar kembali semua biaya-biaya yang telah dikeluarkan didalam investasi suatu usaha dapat dihitung dengan menggunakan rumus : Payback Period = Total Biaya Investasi Pendapatan Bersih Per Tahun

45 30 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kampus IPB Darmaga. Sebagai lokasi pembanding dilakukan pengamatan ke Penangkaran Rusa di BKPH Jonggol dan Penangkaran Rusa di Taman Monumen Nasional Jakarta. Waktu penelitian dilaksanakan selama lima bulan, yaitu bulan Agustus sampai dengan bulan Desember Alat dan Bahan Alat yang digunakan selama penelitian adalah : 1. Kamera 2. Roll meter 3. Timbangan 4. Seperangkat Komputer dan Program Disain Bahan yang digunakan selama penelitian adalah : 1. Peta lokasi 2. Rusa timor (Cervus timorensis) dan habitatnya 3. Kantong Plastik Data yang Dikumpulkan Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder, yaitu meliputi : 1. Keadaan fisik : a. Letak dan luas b. Iklim c. Topografi (kemiringan) d. Hidrologi (sumber air) e. Tanah (jenis tanah)

46 31 2. Keadaan biologi a. Vegetasi (keanekaragaman jenis dan formasi) b. Satwaliar (kompetitor, predator dan satwa lain) c. Daya dukung lokasi penangkaran Rusa timor (Cervus timorensis) dengan pendekatan ketersedaiaan sumber pakan dan keterbatasan lahan 3. Analisis finansial Data yang dikumpulkan untuk keperluan analisis finansial merupakan data hipotetik, yaitu meliputi data penerimaan dan data biaya yang ada dalam penangkaran rusa. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi tiga cara, yaitu studi litelatur, wawancara dan pengamatan langsung di lapangan. Namun demikian tidak semua cara dilakukan untuk setiap jenis data, melainkan disesuaikan dengan jenis data yang dikumpulkan, yaitu : 1. Data keadaan fisik lokasi diperoleh dari data sekunder, yaitu berasal dari Badan Meteorologi dan Geofisika Wilayah II Bogor, Bagian Propertis IPB, litelatur dan pengamatan langsung di lapangan 2. Data biologi lokasi dikumpulkan dari pengamatan langsung di lapangan yaitu melalui analisis vegetasi dan inventarisasi satwa yang ada serta pengukuran daya dukung melalui petak contoh. Secara rinci tehnik pelaksanaan analisis vegetasi dan inventarisasi satwa adalah sebagai berikut : a). Analisis vegetasi Untuk mengetahui komposisi jenis dan struktur komunitas vegetasi dilakukan dengan metode sampling. Pada penelitian ini digunakan metode garis berpetak, yaitu dengan cara melompati satu atau lebih petak-petak dalam jalur, sehingga sepanjang rintisan terdapat petakpetak dengan jarak tertentu yang sama. Bentuk dan ukuran petakan analisis vegetasi disajikan pada Gambar 4.

47 32 Arah Rintisan 1 m 10 m 5 m 20 m 20 m Gambar 4. Disain Metode Garis Berpetak Dalam Analisis Vegetasi Menurut Kusmana (1995), ukuran plot-plot yang dibuat berdasarkan stadium pertumbuhan vegetasi, yaitu sebagai berikut : 1 m x 1 m untuk semai dan tumbuhan bawah, 5 m x 5 m untuk pancang, 10 m x 10 m untuk tiang dan 20 m x 20 m untuk pohon. Adapun kreteria stadium pertumbuhan vegetasi adalah : (1). Semai : pertumbuhan mulai kecambah sampai anakan setinggi kurang dari 1,5 m. (2). Pancang : permudaan dengan tinggi 1,5 m sampai anakan berdiameter kurang dari 10 cm. (3). Tiang : Pohon muda berdiameter 10 cm 20 cm. (4). Pohon : pohon dewasa berdiameter 20 cm dan lebih. (5). Tumbuhan bawah : tumbuhan selain permudaan pohon, misalnya rumput, herba dan semak belukar. Parameter vegetasi yang diukur secara langsung di lapangan, yaitu meliputi : (1). Nama species (ilmiah dan lokal) (2). Jumlah individu untuk menghitung kerapatan (3). Penutupan tajuk untuk mengetahui prosentase penutupan vegetasi terhadap lahan b). Inventarisasi satwa Untuk mengetahui jenis satwa yang ada di lokasi penangkaran, maka dilakukan sensus/pendataan terhadap jenis-jenis satwa yang ada. Dan selanjutnya dikelompokkan berdasarkan kelas dari masingmasing satwa tersebut (reptil, aves atau mamalia).

48 33 c). Daya dukung habitat Untuk mengetahui daya dukung habitat (padang rumput) dilakukan dengan cara memotong setiap jenis rumput sampai batas permukaan tanah dalam setiap petak contoh. Setelah dilakukan pemanenan hijauan dari masing-masing petak contoh ditimbang berat basahnya (Prasetyonohadi, 1986). Hijauan pada petak contoh yang sudah dipotong dibiarkan tumbuh selama 20 hari kemudian dilakukan pemanenan dan penimbangan kembali. Perlakuan tersebut dilakukan sebanyak tiga kali. Pemotongan dilakukan terhadap semua hijauan yang tumbuh di dalam petak contoh sampai serendah mungkin dari permukaan tanah yaitu ± 5 cm (jarak pemotongan ini didasarkan atas kemampuan rusa untuk merumput sampai ± 5 cm di atas permukaan tanah), kemudian hasil potongan dimasukkan ke dalam kantong plastik yang sudah disiapkan. Selanjutnya hijauan yang sudah di potong dipisahkan masing-masing jenisnya dan dikelompokkan antara jenis hijauan yang dimakan rusa dengan yang tidak dimakan. Kemudian dilakukan penimbangan pada masing-masing jenis hijauan yang dimakan rusa untuk mengetahui berat dari masing-masing jenis tersebut. Ukuran petak contoh untuk mengukur produktivitas hijauan adalah 1 m x 1 m dengan jumlah petak contoh sebanyak 12 yang penempatan dilapangan dilakukan secara sistimatis. b. Kebutuhan hidup Rusa timor (Cervus timorensis) Untuk mengetahui kebutuhan hidup rusa meliputi pakan, minum, garam mineral, kesehatan dilakukan dengan studi litelatur dari berbagai sumber (skripsi, tesis, disertasi, makalah, buku-buku maupun hasil brownsing internet) yang berkaitan dengan data kebutuhan hidup rusa. 3. Analisis finansial Data yang diperlukan untuk kepentingan analisis finansial dikumpulkan dari berbagai sumber dan merupakan data hipotetik. Pemanfaatan hasil penangkaran pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua

49 34 yaitu pemanfaatan dalam bentuk barang dan pemanfaatan dalam bentuk jasa. Pemanfaatan dalam bentuk barang berupa penjulanan rusa dalam bentuk hidup sebagai bibit maupun pemanfaatan dalam bentuk daging. Selain itu juga dapat dimanfaatkan ranggah muda (velvet) sebagai bahan obat-obatan, maupun ranggah kerasnya untuk hiasan. Sedangkan pemanfaatan dalam bentuk jasa dapat berupa pemanfaatan sebagai obyek rekreasi maupun sebagai sarana pendidikan maupun penelitian (Feriyanto, 2002 ). Analisis Data Setelah semua data yang diperlukan terkumpul baik data primer maupun sekunder, maka selanjutnya dilakukan analisis berdasarkan pendekatan kualitatif dan kuantitatif yang dapat diterapkan, baik menyangkut aspek kelayakan bioekologi, teknis (sarana dan prasarana) maupun lingkungan (data lokasi). Keadaan Fisik dan Biologi Lokasi Data tentang keadaan fisik dan biologi lokasi yang telah terkumpul kemudian dilakukan analisis, terutama data biologi lokasi, yaitu terdiri dari : 1. Analisis vegetasi Data hasil inventarisasi vegetasi selanjutnya dianalisis untuk mengetahui keragaman jenis dan dominasinya. Menurut Kusmana (1995), parameter vegetasi yang dapat dihitung dalam analisis vegetasi adalah : a. Kerapatan suatu spesies (K) K = individu suatu spesies Luas petak contoh b. Kerapatan relatif suatu spesies (KR) KR = Kerapatan suatu spesies Kerapatan seluruh spesies x 100% c. Frekuensi suatu spesies (F) F = sub petak ditemukan suatu spesies seluruh sub petak contoh

50 35 d. Dominasi suatu spesies (D) : (1). Pohon, tiang, pancang D = Luas bidang dasar suatu spesies Luas petak contoh (2). Semai, tumbuhan bawah D = Luas penutupan tajuk Luas petak contoh e. Dominasi relatif suatu spesies (DR) DR = Dominasi suatu spesies Dominasi seluruh spesies x 100 % f. Frekuensi relatif suatu spesies (FR) FR = Frekwensi suatu spesies Frkwensi seluruh spesies x 100% g. Indek Nilai Penting (INP) INP = KR + FR + DR, tetapi untuk semai INP = KR + FR 2. Inventarisasi satwa Dari data hasil inventarisasi satwa, selanjutnya dikelompokkan berdasarkan kelas dari masing-masing satwa tersebut (reptil, aves atau mamalia) dan disajikan dalam bentuk tabulasi. 3. Daya dukung habitat Data produktivitas hijauan yang ada di lokasi penangkaran yang diperoleh dari masing-masing petak contoh kemudian dihitung dengan koreksi nilai proper use-nya yaitu dengan rumus (Susetyo, 1980) : P = produksi hijauan per petak x nilai proper use Selanjutnya produktivitas hijauan yang ada di lokasi penangkaran dapat dihitung dengan menggunakan rumus (Alikodra, 1990) : P = L p l dimana : P = Produksi hijauan seluruh areal L = Luas areal penangkaran p = Produksi hijauan seluruh petak contoh l = Luas seluruh petak contoh

51 36 Dengan diketahuinya produktivitas hijauan pakan dan tingkat konsumsi pakan oleh rusa timor (Cervus timorensis), maka daya dukung habitat dapat dihitung dengan menggunakan rumus (Susetyo, 1980) : K = P C dimana : K = Jumlah rusa yang dapat ditampung P = Produktivitas hijauan pakan per satuan waktu C = Jumlah konsumsi pakan oleh rusa per satuan waktu, dimana C = ax 1 + bx 2 + cx nx n (xn = jenis-jenis hijauan yang dimakan rusa) Analisis Finansial Data yang perlu terkumpul, yaitu meliputi semua komponen biaya dan penerimaan, selanjutnya dianalisis guna menentukan kelayakan usaha penangkaran berdasarkan analisis keproyekan, yaitu meliputi NPV, BCR, IRR dan PP. Berdasarkan analisis dari berbagai sumber, maka asumsi-asumsi yang digunakan dalam analisis finansial usaha penangkaran rusa adalah meliputi ; biaya investasi, biaya tetap, biaya variabel/operasional dan penerimaan. Secara rinci asumsi-asumsi rencana anggaran biaya dan penerimaan dari usaha penangkaran rusa dapat dilihat pada Lampiran 4, sedangkan asumsi-asumsi teknis biologis sebagai berikut : 1. Target induk jantan dan betina dari luar penangkaran adalah 105 ekor pada tahun pertama dan 210 ekor pada tahun kedua dan tetap dipertahankan sampai tahun kesembilan, kemudian secara bertahap dilakukan pengafkiran. 2. Nisbah kelamin (sex ratio) jantan dan betina adalah 1 : Bibit berasal dari luar dapat beranak pada tahun ke-2, sedangkan bibit dari hasil penangkaran dapat beranak setelah berumur 3 tahun. 4. Jumlah induk dapat beranak dalam satu periode 1 tahun diperkirakan 80% dari jumlah induk yang siap kawin 5. Lama bunting 8 9 bulan

52 37 6. Rata-rata jumlah anak per kelahiran per induk adalah 1 (satu) ekor, dengan nisbah kelamin anak yang dilahirkan sebesar 1 : 1 (50 % jantan dan 50 % betina). 7. Tingkat mortalitas anak sepanjang tahun diperkirakan 10 % dari jumlah anak yang dilahirkan. 8. Untuk anak rusa betina yang lahir pada tahun pertama seluruhnya dialokasikan untuk calon induk, mulai tahun kedua dan seterusnya anak betina yang dilahirkan ± 50% dijadikan bibit, sisanya sebagian besar dijual dan sebagian kecil di potong. Sementara anak rusa jantan yang akan dijadikan calon pejantan untuk bibit jumlahnya disesuaikan dengan nisbah 1 : 20, sementara untuk calon pejantan yang dijual nisbah kelaminnya 1 : 10. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan jumlah penerimaan. 9. Sisa dari calon induk dan jantan yang tidak terpilih dijual dalam bentuk daging dan ranggah/velvet untuk yang jantan. 10. Pengafkiran rusa induk mulai dilakukan setelah 10 tahun di penangkaran dengan pertimbangan rusa sudah berumur 12 tahun, asumsi masa produktif rusa sampai pada umur 13 tahun dan izin usaha penangkaran komersil berlaku selama 10 tahun. Setelah semua data yang diperlukan terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah menganalisis data serta pertimbangan biaya dan pengelolaan guna membuat alternatif tapak bagi masing-masing penggunaan. Dari analisis tapak akan menghasilkan suatu alternatif yang paling layak dikembangkan berdasarkan peruntukan, biaya, waktu dan tenaga pengembangannya. Dan akhirnya akan diperoleh suatu disain penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan sistim Deer Farming.

53 38 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Bio-ekologi Lokasi Penangkaran Keadaan Fisik Lokasi Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, maka diperoleh data mengenai keadaan fisik lokasi penangkaran meliputi : 1. Letak dan Luas Secara administrasi kepemerintahan, lokasi penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di Kampus IPB Darmaga termasuk ke Desa Babakan, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Proponsi Jawa Barat. Secara geografis lokasi ini terletak antara Lintang Selatan dan Bujur Timur (BMG Balai Wilayah II, 2005). Luas seluruh lokasi Kampus Institut Pertanian Bogor Darmaga adalah ± 250 ha. Sedangkan lokasi yang dipakai untuk pengembangan penangkaran rusa seluas ± 4,25 ha. 2. Iklim dan Curah Hujan Berdasarkan data iklim lima tahun terakhir yang dikeluarkan oleh Badan Meteorologi dan Geofisika Balai Wilayah II Bogor, lokasi penangkaran rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) di Kampus IPB Darmaga menurut klasifikasi iklim Schmidt & Ferguson termasuk daerah dengan iklim type A, yaitu bulan kering rata-rata 0,3 maximum 2, frekuensi 1 dan bulan basah ratarata 11,2 maximum 12 frekuensi 8. Berdasarkan data lima tahun terakhir, maka rata-rata curah hujan setahun di daerah ini 3.892,40 mm. dan hari hujan 271,84 hari. Temperatur maximum rata-rata : 31,84 0 C, minimum rata-rata 22,64 0 C dan rata-rata kelembaban 83,76%. 3. Topografi Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, lokasi penangkaran rusa yang ada di Kampus IPB-Darmaga bertopografi datar sampai bergelombang ringan, dan terletak pada ketinggian 140 m 165 m dari permukaan laut.

54 39 Berdasarkan peta kontur yang ada, maka dapat diketahui tingkat kemiringan dari lokasi tersebut, dimana kemiringan dapat ketahui dengan menghitung besar sudut yang dibentuk antara bidang miring (jarak antara dua titik) dengan bidang datar, dimana untuk mengetahui jarak bidang datar dapat dihitung secara matematis dengan mengunakan rumus pitagoras. Dari hasil analisis terhadap peta kontur lokasi, maka tingkat kemiringan lokasi penangkaran adalah kemiringan 0 8% seluas ± 50% dari luas lahan, 8 15% seluas ± 30% dan 15 20% seluas ± 20%. Hal ini sesuai dengan pendapat Root (1985), yang mengatakan bahwa garis dari kontur dapat menyatakan kemiringan suatu lokasi, dimana kemiringan merupakan perbandingan jarak antara dua titik dengan garis vertikal yang biasanya dinyakan dalam persentase. Dimana kemiringan menunjukkan 100% apabila sudut yang dibentuk antara garis vertikal dengan garis horizontal adalah 45 o. Berdasarkan data penyebaran dan habitat rusa secara alami ketinggian ini cukup mendukung kehidupan rusa timor (Cervus timorensis de Blainville). Selain itu rusa juga mampu beradaptasi dengan baik pada berbagai kondisi topografi. Namun untuk efisiensi dan efektifitas usaha penangkaran, lokasi kandang (unit-unit penangkaran) dibatasi pada areal yang memiliki kemiringan lereng kurang dari 30%. Kriteria ini digunakan agar tercapai efisiensi energi yang dikeluarkan rusa untuk pergerakan dan terjaminnya keselamatan induk-induk rusa yang sedang bunting. Hal ini diperkuat oleh Direktorat PPA (1978) yang menyatakan bahwa rusa timor ditemukan di dataran rendah hingga ketinggian dpl. Secara rinci peta topografi lokasi penangkaran rusa timor (C. timorensis de Blainville) di Kampus IPB Darmaga dapat dilihat pada gambar 5.

55 40 Skala 1 : Gambar 5. Peta topografi lokasi penangkaran rusa di Kampus IPB Darmaga. 4. Air (Hidrologi) Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, lokasi penangkaran rusa yang ada di Kampus IPB Darmaga dialiri oleh sebuah sungai kecil dengan sumber air yang tidak pernah kering walaupun musim kemarau. Selain itu dengan curah hujan yang cukup tinggi dan hampir merata sepanjang tahun, maka sungai ini diperkirakan dapat memenuhi seluruh kebutuhan air untuk kepentingan penangkaran rusa. Selain itu, tidak jauh dari batas lokasi penangkaran terdapat sungai yang mempunyai aliran air cukup besar dan sepanjang tahun, yaitu sungai Ciapus. Karena air merupakan bagian dari kebutuhan rusa yang cukup penting, baik untuk minum maupun berkubang pada musim birahi. Namun berdasarkan data kebutuhan rusa akan air, penyebaran dan habitat aslinya, rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) kurang tergantung pada ketersediaan air secara berlimpah, sehingga lokasi penangkaran rusa yang ada di Kampus IPB Darmaga dilihat dari aspek ketersediaan sumber airnya cukup memenuhi persyaratan sebagai suatu lokasi penangkaran.

56 41 5. Tanah Menurut peta tanah tinjau Propinsi Jawa Barat 1966 dengan skala 1: tanah di daerah ini termasuk jenis tanah latosol kemerah-merahan dengan bahan induk tufvolkan intermidier dengan fisiografi vulkan. Dari data kondisi fisik lokasi penangkaran rusa yang ada di Kampus IPB Darmaga sebagaimana telah diuraikan diatas, maka dapat dibuat suatu tabel gambaran fisik lokasi dan kesesuaian bagi penangkaran rusa. Tabel 1 Perbandingan kondisi fisik daerah penyebaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan lokasi penangkaran di Kampus IPB Darmaga. Peubah Spesifikasi Daerah Penyebaran Lokasi Penangkaran Kelayakan Iklim Iklim tropis Tipe A Layak Curah Hujan (mm/th) Rendah - tinggi 3.892,40 Layak Suhu ( o C) Bukan penentu 22,64 31,84 Layak Kelembaban (%) Bukan penentu 83,76 Layak Topografi/kemiringan (%) Layak Sumber Air alami sungai/alami Layak Jenis Tanah hampir semua jenis latosol Layak Elevasi (m dpl) s.d Layak Dari Tabel 1 tersebut diketahui bahwa secara fisik, lokasi penangkaran rusa yang ada di kampus IPB Darmaga sangat layak untuk dijadikan dan dikembangkan sebagai tempat penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville). Hal ini sesuai dengan pendapat Van Bemmel (1949), yang menyatakan bahwa rusa memiliki daya adaptasi yang tinggi dan mudah di introduksi pada daerah yang bukan habitatnya, dimana habitatnya mulai dari hutan dataran rendah sampai ketinggian di atas permukaan laut dengan padang rumput atau savana sebagai tempat merumput merupakan habitat yang paling disukai oleh rusa timor (Cervus timorensis de Blainville).

57 42 Keadaan Biologis Lokasi Penangkaran Berdasarkan hasil pengamatan dilapang, diperoleh data kondisi biologis lokasi adalah sebagai berikut : 1. Vegetasi Berdasarkan informasi dari beberapa sumber, lokasi penangkaran rusa yang ada di Kampus IPB Darmaga berasal dari kawasan kebun karet (Havea brasilliensis) dan kelapa sawit (Elaeis guineensis). Tetapi karena pengelolaan yang kurang baik, maka saat ini sebagian dari lokasi, yaitu ± 30% dari total lokasi penangkaran (± 1,28 ha) kondisinya menjadi semak belukar dengan vegetasi yang cukup beragam, baik pada tingkat tumbuhan bawah/semai, pancang, tiang maupun pohon. Selain vegetasi semak belukar, sebagian dari lokasi penangkaran ditanami dengan tanaman berkasiat obat, yaitu mahkota dewa (Phaleria marcocarpa), tanaman pangan dan tanaman industri, yaitu sengon/jeunjing (Paraserianthes falcataria) dan sengon buto (Enterolubium cyclocarpum). Berdasarkan hasil analisis vegetasi yang dilakukan di lapangan, ditemukan 65 spesies tumbuhan. Dari 65 spesies tumbuhan yang ditemukan di lokasi penangkaran diketahui 42 spesies merupakan sumber pakan rusa, 22 spesies dapat berfungsi sebagai pelindung/shelter. Pada tingkat semai dan tumbuhan bawah tiga spesies yang memiliki Nilai Indek Penting (INP) adalah jampang piit (Pannicum sp.)dengan INP = 17,64%, jukut karukun (Eragrostis amabilis) dengan INP = 10,67% dan jukut bau (Hyptis rhamboides) dengan INP = 9,28%. Sedangkan pada tingkat pancang tiga spesies yang memiliki INP tertinggi adalah bambu (Gigantochoa apus), yaitu 29,64%, puspa (Schima wallichii) dengan INP = 20,71% dan pinus (Pinus merkusii) dengan INP = 14,76. begitu juga pada tingkat tiang, tiga spesies yang memiliki INP tertinggi adalah bambu (Gigantochoa apus), yaitu 52,76%, puspa (Schima wallichii) dengan INP = 29,89% dan pinus (Pinus merkusii) dengan INP = 28,12. Sedangkan pada tingkat pohon spesies yang memiliki INP tertinggi adalah pinus (Pinus merkusii) dengan INP = 80,07%, sengon buto (Enterolubium cyclocarpum) dengan INP = 77,47%, dan kelapa sawit (Elaeis guineensis) dengan INP = 77,01%.

58 43 Untuk pengelolaan usaha penangkaran rusa yang intensif, penutupan tajuk vegetasi di unit-unit penangkaran, areal pembesaran, areal adaptasi dan padang penggembalaan diatur sedemikian rupa sehingga memudahkan pengawasan dan kegiatan pengelolaan yang lain tetapi tidak menghambat pertumbuhan populasi rusa itu sendiri. Penanaman tanaman yang berfungsi sebagai pelindung perlu dilakukan, terutama di areal penggembalaan. Untuk keperluan tersebut, spesies tumbuan yang sudah ada di lokasi penangkaran dapat digunakan banyak tersedia diantaranya adalah sengon (Paraserianthes falcataria), puspa (Schima wallichii) dan sengon buto (Enterolubium cyclocarpum). Secara rinci daftar jenis-jenis tumbuhan hasil analisis vegetasi yang dilakukan di dalam lokasi penangkaran dapat dilihat pada Lampiran Satwaliar Berdasarkan hasil pengamatan, lokasi penangkaran memiliki kekayaan spesies satwaliar yang cukup tinggi, yaitu tercatat 25 spesies satwaliar. Dari 25 spesies satwaliar tersebut terdiri dari kelas aves sebanyak 10 spesies, kelas reptil sebanyak 10 spesies dan kelas mamalia sebanyak 5 spesies. Berdasarkan hasil pengamatan selama melakukan penelitian, satwa besar yang bersifat kompetitor tidak ada, begitu juga satwa predator besar tidak dijumpai di lokasi, tetapi menurut informasi petugas yang ada di lokasi ancaman terhadap rusa-rusa yang ada di penangkaran berasal dari lokasi sekitarnya, dimana masih terdapat ular sanca (Pyton raticulatus) yang cukup besar yaitu yang berada di hutan kawasan Cikabayan yang letaknya berdekatan dengan loksasi penangkaran. Selain itu satwa predator yang selalu mengancam kehidupan rusa terutama anak-anak rusa yang baru dilahirkan adalah anjing (Canis lupus familiaris) yang banyak berkeliaran di sekitar lokasi penangkaran. Sehingga untuk mengantisipasi adanya gangguan dari binatang predator dari luar perlu dilakukan pemagaran lokasi dengan menggunakan bahan-bahan yang tidak dapat diterobor oleh satwa predator yang mengancamnya. Secara lengkap daftar jenis satwaliar yang ditemui di lokasi penangkaran dapat dilihat pada Lampiran 2.

59 44 3. Daya Dukung Lokasi Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, diketahui luasan areal yang ditumbuhi oleh rumput dan potensi sebagai areal penggembalaan bagi rusa adalah seluas ± 1,75 ha dari luas total lokasi ± 4,25 ha. Dari luasan tersebut berdasarkan hasil pengamatan di lapangan diperoleh data produksi hijauan pakan rusa yang didasarkan atas produktivitas hijuan pakan pada setiap petak contoh dan setiap kali pemotongan/pemanenan adalah sebagaimana tercantum dilihat pada Lampiran 3. pada Tabel 3 dan data secara rinci dapat Tabel 2 Produktivitas hijauan pakan rusa pada setiap petak contoh di dalam lokasi penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di Kampus IPB Darmaga. Nomor Petak Pemotongan pra pengamatan (gram) Pemotongan saat pengamatan (gram) I II III Rata-rata ,2 231,3 278,9 214,5 241, ,7 187,0 339,1 192,3 239, ,7 218,3 276,8 220,3 238, ,3 320,5 401,0 305,5 342, ,1 263,1 289,0 215,7 255, ,4 242,0 282,8 216,2 247, ,1 417,5 364,3 298,1 360, ,3 212,0 232,2 208,1 217, ,0 274,4 262,2 239,7 258, ,7 328,8 267,8 293,6 330, ,0 219,2 251,9 227,9 233, ,1 233,3 256,1 209,6 233,0 Rata-rata 735,38 262,28 300,18 236,79 266,42 Keterangan : Pemotongan Pra Pengamatan = pemotongan yang dilakukan sehari sebelum dimulainnya pengamatan. Hal ini dilakukan untuk memberikan kondisi awal yang sama pada setiap petak contoh. Pemotongan ini dilaksanakan pada tanggal 10 Agustus 2005 Pemotongan I = pemotongan yang dilakukan 20 hari setelah pemotongan pra mengamatan dilakukan, yaitu pada tanggal 30 Agustus 2005 Pemotongan II = pemotongan yang dilakukan 20 hari setelah pemotongan I dilakukan, yaitu pada tanggal 19 September 2005 Pemotongan III = pemotongan yang dilakukan 20 hari setelah pemotongan II dilakukan, yaitu pada tanggal 9 Oktober 2005

60 45 Dari data yang tersaji pada Tabel 2, diketahui bahwa rata-rata produksi hijauan segar pada petak contoh adalah 266,42 gram/m 2 /20 hari, maka produksi hijauan segar adalah 13,32 gram/m 2 /hari. Pada kenyataannya rumput yang terdapat di lokasi penangkaran tidak seluruhnya tersedia bagi rusa, tetapi sebagian ditinggalkan untuk menjamin tumbuhnya kembali. Sebagian rumput yang dapat dimakan oleh rusa tersebut disebut proper use. Bila diasumsikan proper use dari rumput yang ada di lokasi penangkaran = 65%, maka jumlah hijauan tersedia per m 2 per hari adalah 13,32 gram x 65% = 8,66 gram/hari. Dengan demikian jumlah hijauan yang dapat diproduksi oleh padang rumput dan tersedia bagi rusa yang ada di lokasi penangkaran adalah sebesar : m 2 1m 2 x 8,66 gram/hari = gram/ha/ha ri ==> 86,58 kg/ha/hari. Hal ini sesuai dengan pendapat Susetyo (1980) yang mengatakan bahwa untuk daerah yang bertopografi datar dan bergelombang dengan kemiringan 0 5 o, maka nilai proper use sebesar 60 70%. Bila daya dukung dihitung berdasarkan perbandingan antara produksi hijauan dengan tingkat konsumsi pakan rusa per hari, dimana tingkat konsumsi pakan adalah 6,00 kg/ekor/hari, maka daya dukung lokasi tersebut adalah : 86,58 kg 6,0 kg x 1ekor = 14,43 ekor/ha Berdasarkan data daya dukung tersebut, maka kepadatan rusa yang dapat ditampung pada lokasi rumput seluas 1,75 ha adalah 25,25 ekor. Hal ini sesuai dengan pendapat Semiadi dan Nugraha (2004) yang menyatakan bahwa secara garis besar kepadatan rusa pada padang rumput di Indonesia adalah ekor/ha. Kenyataan di lapangan, suatu padang penggembalaan tidak dapat menyediakan hijauan secara terus menerus sepanjang tahun, dimana diperlukan waktu istirahat untuk memulihkan pertumbuhannya, maka padang penggembalaan tersebut perlu diistirahatkan.

61 46 Hal ini berlaku apabila pemenuhan kebutuhan akan hijauan disediakan sepenuhnya oleh padang penggembalaan. Tetapi bila kebutuhan hijauan sebagian besar dicukupi dari luar areal penangkaran (kebun rumput) dengan perkiraan sebesar 75 % dari total kebutuhan, maka daya tampung lokasi tersebut menjadi : 86,58 kg 6,0 - (6,0 x 75%) kg/ekor/ha ri = 19,24 ekor/ha Sementara kebutuhan hijauan dari luar/kebun rumput adalah 6 kg x 75 % = 4,50 kg/ekor/hari. Jika produksi rumput unggul rata-rata = 150 ton/ha/th dengan bagian yang bisa dimakan oleh rusa sebesar 85 %, maka produksi kebun rumput yang dapat dimakan oleh rusa adalah sebanyak : 150 ton x 85 % = 127,50 ton/th = kg/ha/th = 349,32 kg/ha/hari. Dengan demikian luas kebun rumput yang harus disediakan untuk setiap ekor rusa per hari adalah : 4,5 kg/hari 349,32 kg/ha/hari = 0,013 ha Jika suatu kebun rumput setelah dipanen perlu istirahat guna memulihkan pertumbuhannya rata-rata 20 hari, sehingga seekor rusa untuk mendapatkan suplai rumput secara terus menerus memerlukan kebun rumput seluas 0,013 ha x 20 = 0,26 ha dengan sistem panen bergilir. Namun demikian untuk penangkaran dengan sistem farming, ketersediaan pakan di lokasi bukan merupakan suatu faktor pembatas, karena pemenuhan pakan didatangkan dari luar areal penangkaran. Secara rinci hasil analisis produktivitas hijauan pakan rusa di lokasi penangkaran rusa di Kampus IPB-Darmaga pada setiap petak conton disajikan pada Lampiran 3. Guna menanggulangi kekurangan hijauan pakan rusa yang ada di lokasi penangkaran dapat dilakukan dengan upaya peningkatkan daya dukung lokasi. Adapun usaha yang dapat dilakukan, adalah : 1. Meningkatkan produktivitas rumput yang ada melalui pemupukan, penanaman rumput unggul yang tahan terhadap renggutan dan injakan serta pengaturan pengembalaan yang baik.

62 47 2. Memperluas padang rumput yang ada dan meningkatkan produktivitasnya dengan menanami jenis rumput unggul yang cocok untuk penggembalaan, diantaranya adalah rumput Bracihiaria brizanta, rumput Australia (Paspalum dilatatum), rumput kolonjono (Brachiaria mutica), Brachiaria decumbens, Panicum maximum dan Setaria sphacelata. Sedangkan untuk jenis leguminosa antara lain stylo (Sthylosanthes guyanensis), Arachis hypogea dan kerabatnya serta pohon lamtoro (Leucaena leucosephala) dan turi (Sesbania glandiflora) yang sekaligus dapat dijadikan sebagai pohon peneduh. Luas padang rumput yang harus tersedia untuk seekor rusa agar dapat merumput secara terus menerus sepanjang tahun tanpa adanya hijauan tambahan dari luar adalah 0,069 ha/ekor (± 14,43 ekor/ha). 3. Mecukupi kebutuhan hijauan dari luar penangkaran, yaitu dengan membuat kebun rumput unggul di luar areal penangkaran. Melihat potensi lahan yang ada di Kampus IPB darmaga masih luas, maka sangat memungkinkan untuk pembangunan kebun rumput ini, misalnya di lokasi yang bersebelahan dengan lokasi penangkaran dengan jarak ± 50 m, yaitu di sebelah Timur dari lokasi terdapat lokasi yang cukup luas dan bertopografi datar sampai saat ini belum termanfaatkan. Kebutuhan kebun rumput untuk mencukupi kebutuhan pakan rusa di penangkaran jika ± 75% dari kebutuhan hijauan dipenuhi dari luar adalah seluas 0,013 ha/ekor (± 77 ekor/ha). Adapun jenis rumput yang dapat ditanam adalah rumput gajah (Pennisetum purpureum), rumput raja (Pennisetum purpupoides), rumput bengala (Pennisetum maximum), rumput setaria/padi (Setaria sphacelata) atau rumput mexico (Euclaena mexicana). 4. Mendatangkan/membeli rumput dari tempat lain. Berdasarkan analisis finansial yang dilakukan, maka dengan mendatangkan/ membeli rumput dari tempat lain masih dirasa cukup ekonomis pada penangkaran rusa dengan sistem farmaing, dimana harga beli hijauan diperkirakan Rp 100,00/kg. Dengan demikian lokasi penangkaran yang ada benar-benar dapat dimanfaatkan sebagai tempat tinggal bagi rusa.

63 48 Berdasarkan hasil analisis kondisi bio-fisik dari lokasi penangkaran rusa yang ada saat ini sangat memungkinkan untuk dikembangkan menjadi usaha penangkaran yang lebih baik mengarah kepada usaha yang komersil. Hal ini didukung dengan hasil wawancara dengan pengelola yang ada di lapangan yang mengatakan sesungguhnya penangkaran ini dapat berkembang dengan baik, terbukti sampai saat ini belum pernah terjadi kematian pada rusa yang diakibatkan ketidaksesuaian lingkungan tempat hidupnya. Namun demikian untuk dapat mengembangkan usaha penangkaran ini mengarah ke usaha yang komersil, yaitu penangkaran dengan sistem deer farming perlu adanya penataan tapak yang sesuai dan manajemen pengelolaan yang lebih baik. Perancangan Tapak (Site Planning) Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan Sistem Deer Farming Mengacu dari apa yang disampaikan Hakim dan Utomo (2002), maka untuk dapat melakukan perancangan tapak penangkaran dengan baik maka langkah-langkah yang harus dilakukan adalah : Analisis Rancangan Tapak Analisis perancangan tapak yang dimaksudkan adalah kita menganalisis terhadap potensi dan kendala yang mungkin timbul dari rancangan kita, dimana kita tidak akan dapat menganalisis sebelum tujuan dan sasaran yang kita inginkan dirumuskan. Adapun peran utama dari analisis perancangan adalah memberikan informasi mengenai tapak kita sebelum memulai konsep-konsep perancangan kita, sehingga pemikiran dini kita tentang bangunan dapat mengabungkan tanggapan-tanggapan yang berarti terhadap kondisi luaran. Berdasarkan hasil analisis terhadap lokasi, maka diperoleh data mengenai potensi lokasi sebagaimana tersaji pada Tabel 2. Pewilayahan/Zonasi Ditinjau dari aspek teknis penangkaran rusa, data yang diperoleh dan pertimbangan terhadap faktor-faktor pembatas serta efisiensi pengelolaan, maka

64 49 wilayah/zona yang perlu dikembangkan dalam usaha penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) minimal terdiri dari 2 zona, yaitu zona perkantoran (Headquarter zone) dan zona penangkaran (Captive Breeding Zone). Penetapan zona-zona pengembangan di lokasi penangkaran didasarkan atas pertimbangan intensitas pengelolaan, intensitas pemanfaatan serta kelayakan areal yang tersedia. Hal ini perlu diperhatikan karena dimaksudkan agar tujuan pengelolaan penangkaran rusa dapat dicapai secara efektif dan efisien. Menurut White (1985), alasan untuk menempatkan sebuah bangunan pada suatu daerah tertentu pada tapak dapat melibatkan kondisi-kondisi daya dukung tanah, kontur yang memperkecil pekerjaan tanah selama pembangunan, bukitbukit untuk pemandangan atau penghindaran akan beberapa kekayaan yang teristimewa bernilai yang harus dilestarikan, misalnya pepohonan atau beberapa kondisi yang negatif misalnya pemandangan buruk. Menurut Thohari et al. (1991), didalam penentuan zona pengembangan di lokasi penangkaran rusa harus memenuhi persayatan secara teknis, ekonomis dan lingkungan. Berdasarkan peruntukan dan fungsinya, maka lokasi penangkaran rusa dibagi menjadi dua zona, yaitu : 1. Zona Perkantoran (Headquarter zone) Zona ini merupakan areal yang berfungsi sebagai pusat pengelolaan/ administrasi kawasan. Dalam penentuan zona ini ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu : a. Topografi relatif datar sampai berbukit ringan, sehingga pendirian bagunan relatif tidak merusak tapak b. Ketersediaan sumber air mudah dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan air bagi aktivitas pengelolaan sehari-hari c. Aksesibilitas harus mudah dijangkau Sarana dan prasarana yang perlu ada di zona ini adalah kantor, pusat informasi, perumahan, pedok karantina dan klinik satwa serta sarana dan prasarana penunjang (menara air, instalasi listrik dan sarana komunikasi).

65 50 2. Zona Penangkaran (Captive Breeding Zone) Zona ini merupakan areal yang berfungsi untuk pengembangbiakan dan pembesaran/pemeliharaan satwa pedaging. Persyaratan yang harus dipertimbangkan dalam menentukan zona penangkaran ini adalah : a. Topografi diupayakan merupakan daerah yang datar, landai sampai berbukit ringan segingga rusa dapat menjelajahi dengan baik. b. Ketersediaan pakan, air dan cover ; perlu dibangun padang pengembalaan dan sistem peransuman untuk menjamin ketersediaan makanan, sistem penyaliran air dan pengaturan cover. c. Ekosistem; pembangunan areal ini diusahakan sekecil mungkin merubah kondisi fisik dan vegetasi yang ada, sehingga menjadi tempat hidup dan berkembangbiak rusa dengan baik. d. Luasan; mengingat zona penangkaran merupakan zona yang terluas dalam kegiatan penangkaran ini, maka areal harus cukup luas sesuai dengan proyeksi pengembangan dan kebutuhan normal hidup dan berkembangbiak bagi rusa. Sarana dan prasarana yang perlu ada di zona ini adalah unit penangkaran (pedok-pedok), kebun rumput, menara/instalasi air, areal pembesaran, padang pengembalaan, jalan inspeksi, gudang makanan, perumahan, bak penampungan limbah. Pada Gambar 6 disajikan keadaan vegetasi yang ada di lokasi penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) yang ada di Kampus IPB Darmaga pada saat dilakukan studi.

66 51 Gambar 6. Keadaan vegetasi yang terdapat di lokasi penangkaran rusa di Kampus IPB Darmaga pada saat studi. Faktor-faktor Lanskap Didalam penataan suatu disain tapak, faktor-faktor yang perlu diperhatikan berkaitan dengan lanskap adalah : 1. Kontur, Kontur yaitu beda tinggi suatu titik dengan titik lainnya. Kontur diperlukan agar didalam pembuatan tapak sedapat mungkin tidak merubah kondisi alami suatu lokasi. 2. Pepohonan Didalam perancangan tapak penangkaran pepohonan sangat diperlukan, karena selain berfungsi sebagai peneduh alami juga dapat berfiungsi sebagai penahan angin, erosi dan menambah nilai estetika suatu tapak. Berdasarkan data lima tahun terakhir yang dikeluarkan oleh BMG Wilayah II Bogor (2004), kecepatan angin di wilayah Darmaga rata-rata 7,02

67 52 km/jam. Ini masih tergolong kecepatan yang ringan. Dengan demikian, pepohonan yang ditanam di lokasi penangkaran mempunyai peran utama sebagai pohon pelindung (shelter) dan juga menambah nilai estetika. Untuk itu pemilihan jenis pepohonan diutamakan yang mempunyai tajuk cukup lebar dan pertumbuhannya cepat. Jenis pohon yang terbukti sudah cocok dengan lokasi penangkaran adalah sengon (Paraserianthes falcataria) dan sengon buto (Enterolubium cyclocarpum). Namun demikian dalam jangka panjang jenis beringin (Ficus binjamina) cukup baik untuk ditanam. Selain memiliki tajuk yang luas, juga mempunyai nilai keindahan yang cukup baik. 3. Sumber air Sumber air mutlak diperlukan di suatu areal penangkaran, karena air berfungsi sebagai sumber air minum dan tempat berkubang bagi rusa serta untuk keperluan lainnya. Guna menambah nilai estetika tetapi tidak mengurangi fungsinya, maka bak-bak minum yang ada di lokasi penangkaran dapat didisain sedemikian rupa menjadi bak-bak yang indah. Diskripsi dan Tata Letak Tapak 1. Zona Perkantoran (Headquarter zone) Zona perkantoran merupakan pusat kegiatan pengelolaan dan administrasi penangkaran serta sebagai tempat pelayanan kepada masyarakat dan tamu yang datang ke lokasi penangkaran. Zona perkantoran ini dibagi menjadi lima blok, yaitu : (a) kantor dan pusat informasi, (b) mes (c) karantina dan klinik hewan, (d) Gudang pakan dan peralatan, (e) rumah generator dan (f) pos jaga. Pengelompokan ini dimaksudkan untuk kelancaran pelaksanaan administrasi juga kegiatan pengelolaan dan pelayanan kepada masyarakat lebih efektif dan efisien. Bangunan kantor ditempatkan di paling depan dari zona perkantoran, hal ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan bagi pengunjung yang akan berurusan dengan pengelola penangkaran.

68 53 Berdasarkan beberapa pertimbangan, maka zona perkantoran ditetapkan di salah satu sudut lokasi penangkaran. Hal ini didasarkan atas pertimbangan : (a) lokasi ini memiliki posisi yang strategis, karena berada di lokasi yang bisa menjangkau ke semua lokasi (b) Bangunan yang akan didirikan tidak banyak memerlukan peningkatan kualitas tapak karena lokasinya memiliki topografi yang datar dan (c) dekat dengan sumber air. Pemilihan lokasi ini sesuai dengan pendapat dari Hakim dan Utomo (2002), yang mengatakan bahwa umumnya pada lokasi dengan kemiringan di bawah 4% diklasifikasikan pada daerah datar dan cocok untuk aktivitas/ kegiatan yang padat, kemiringan 4 10% untuk kegiatan sedang dan lebih dari 10% untuk keperluan ruangan khusus. Secara rinci diskripsi dan tata letak tapak pada zona perkantoran dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7. Diskripsi dan tata letak tapak pada zona perkantoran (Headquarter zone).

69 54 2. Zona Penangkaran (Captive Breeding Zone) Zona ini merupakan satu kesatuan penangkaran yang terdiri dari pedok induk, pedok jantan, pedok perkawinan dan pedok anak. Pedok induk merupakan pedok inti usaha penangkaran. Masing-masing pedok penempatannya didasarkan atas kemudahan pemindahan anak dari pedok induk ke pedok anak pada saat lepas sapih dan jantan ke dan dari pedok perkawinan serta pedok induk dari dan ke pedok perkawinan. Dalam setiap pedok dibuat shelter/tempat berteduh berupa bangunan atau pohon yang sekaligus dapat berfungsi sebagai tempat pengasinan, bak air dan palung pakan. Zona penangkaran ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu unit penangkaran dan areal pembesaran/ pemeliharaan. Berdasarkan hasil analisis lokasi penangkaran yang ada, maka pada prinsipnya lokasi penangkaran yang ada semuanya bisa dijadikan zona penangkaran, karena topografi lokasi berkisar antara 0 20 o. Selain itu sumber air dapat didistribusikan ke seluruh tapak, sehingga dalam pembangunannya tidak memerlukan banyak peningkatan tapak. Sedangkan areal pembesaran ditempatkan disebelah barat. Lokasi ini memiliki kondisi datar hingga bergelombang kecil, sumber air masih bisa terjangkau dengan pompanisasi dan pada saat ini merupakan areal padang rumput yang potensi. Hal ini didukung oleh pendapat Van Bemmel (1949) yang menyebutkan bahwa padang rumput atau savana sebagai tempat merumput merupakan habitat yang paling disukai oleh rusa timor (Cervus timorensis de Blainville). Jika kebutuhan luas pedok untuk masing-masing kelas umur dan jenis kelamin diasumsikan: induk = 60 m 2 /ekor, jantan = 125 m 2 /ekor, anak umur < 1 tahun = 22 m 2 /ekor dan anak umur 1-2 tahun = 30 m 2 /ekor, maka populasi yang dapat ditampung pada masing-masing pedok setelah 10 tahun di penangkaran dengan sistem farming adalah sebagaimana tersaji pada Tabel 4.

70 55 Secara lengkap diskripsi dan tata letak perancangan tapak yang disarankan untuk dikembangkan dalam usaha penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan sistem farming di Kampus IPB Darmaga dapat dilihat pada Gambar 8. Gambar 8. Diskripsi dan tata letak perancangan tapak penangkaran rusa di Kampus IPB Darmaga dengan sistem farming. Dari gambar di atas dapat dijelaskan bahwa : 1. Luas zona perkantoran (A) = 0,10 ha atau sama dengan 2,35% dari luas lahan, terdiri dari kantor utama (kantor dan pusat informasi), mes penangkar, gudang bahan pakan dan peralatan serta klinik/karantina satwa. 2. Luas pedok induk (B) = 1,50 ha atau sama dengan 35,29% dari luas lahan, pedok ini dapat menampung 250 ekor induk dengan luas pedok 60 m 2 /ekor. 3. Luas pedok jantan (C) = 0,28 ha atau sama dengan 6,70% dari luas lahan, pedok ini dapat menampung 23 ekor pejantan dengan luas pedok 125 m 2 /ekor.

71 56 4. Luas pedok perkawinan (BC) = 0,25 ha atau sama dengan 5,88% dari luas lahan. Pada pedok ini dapat menampung induk yang sedang birahi sebanyak ekor dengan luas pedok 100 m 2 /ekor. 5. Luas pedok anak/pembesaran terdiri dari pedok D 1 seluas 0,75 ha (17,65%) untuk anak berumur 1 tahun, dimana dapat menampung 341 ekor dengan luas pedok 22 m 2 /ekor dan pedok D 2 seluas 0,25 ha (5,90%) untuk anak berumur 1 2 tahun, dimana dapat menampung sebanyak 84 ekor dengan luas pedok 30 m 2 /ekor. Dengan demikian luas pedok anak/pembesaran (D 1 + D 2 ) adalah 1,00 ha atau sama dengan 23,55% dari luas lahan. 6. Luas kebun rumput sementara (E) = 1,0 ha atau sama dengan 23,55% dari luas lahan, dimana kebun rumput ini hanya sampai tahun ke-4. Selanjutnya seiring dengan pertambahan populasi induk, maka kebun rumput ini dijadikan pedok induk yang dapat menampung 167 ekor dengan luas pedok 60 m 2 /ekor. 7. Pagar terbuat dari kawat dengan tinggi 2 2,5 meter. Untuk menghidari masuknya binatang pengganggu (anjing), maka dibagian bawah setinggi cm dilapisi dengan kawat harmonika. Secara rinci disain pagar dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9. Desain pagar yang disarankan. 8. Lebar jalan inspeksi = 1,5 meter dengan dasar berpasir yang digunakan sebagai jarur pemindahan rusa dari dan ke ruang klinik dan karantina dan untuk jalur pemindahan rusa dari satu pedok ke pedok lainnya. Selain itu juga digunakan sebagai jalan bagi pengelola dalam pendistribusian pakan dengan menggunakan gerobak dorong dan pengontrolan. Secara rinci desain jalan inspeksi dapat dilihat pada Gambar 10.

72 57 Gambar 10. Desain jalan inspeksi dan pintu yang disarankan. 9. Untuk menghindari becek pada dasar pedok, maka dasar pedok diberi pasir dan selanjutnya ditanami rumput alam, selain untuk menggurangi erosi juga sebagai sumber pakan. Rancangan Manajemen Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan Sistem Deer Farming Manajemen Penangkaran Meskipun usaha penangkaran rusa di Indonesia belum terlalu memasyarakat, namun dengan tingkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada sekarang ini tidak ada kesulitan untuk mengadopsi dan mengembangkan teknik-teknik penangkaran rusa yang telah berhasil di luar negeri. Ditinjau dari segi teknis pada prinsipnya penerapkan teknik-teknik peterakan yang telah dikenal masyarakat, sehingga secara teknis tidak ada kesulitan. Tetapi kenyataan berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan langsung di lapangan diperoleh data mengenai penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) yang ada di Kampus IPB Darmaga sebagai berikut : 1. Populasi rusa Populasi rusa yang ada di penangkaran Kampus IPB Darmaga berjumlah 6 ekor terdiri dari 2 ekor jantan dan 4 ekor betina. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan langsung di lokasi, diketahui keempat ekor betina

73 58 yang ada sedang dalam kondisi bunting dan ternyata pada akhir pengamatan salah satu diantaranya beranak. Anak yang dilahirkan berjenis kelamin betina, sehingga populasi rusa di akhir penelitian berjumlah 7 ekor. 2. Pemberian pakan dan minum Pakan yang diberikan kepada rusa yang ada di penangkaran semata-mata mengandalkan pasokan dari luar berupa rumput alam hasil dari sabitan petugas yang ada dilapangan. Jumlah hijauan yang diberikan tidak sesuai dengan standar kebutuhan hidup rusa, dimana dari segi kuantitas sangat kurang apalagi dari segi kualitas. Makanan penguatan maupun makanan tambahan selama pengamatan belum pernah diberikan. Begitu juga kebutuhan akan air minum semata-mata hanya dipenuhi dari air yang berasal dari air yang terkandung didalam hijauan yang diberikan, sedangkan air minum tidak pernah disediakan. 3. Perkembangbiakan Perkembangbiakan yang terjadi di penangkaran saat ini adalah perkembangbiakan secara alami murni, dimana tidak ada campur tangan dari pengelola. Rusa-rusa yang ada dibiarkan melakukan perkembangbiakan dengan sendirinya, yang penting pengelola sudah menyediakan tempat dan memberinya pakan hijauan apa adanya. 4. Kontrol penyakit Kontrol terhadap penyakit selama ini tidak pernah dilakukan. Apalagi pemberian vaksin, vitamin dan obat-obatan lainnya, sehingga penampilan rusa yang ada di penangkaran kelihatan kurang sehat. Hal ini dapat dilihat dengan bulu-bulu yang kusam dan sebagian ada yang rontok. Berdasarkan hasil kajian potensi lokasi dan juga keadaan penangkaran yang ada, sesungguhnya penangkaran tersebut dapat diusahakan lebih baik lagi, yaitu dengan mengembangkan penangkaran rusa sistem deer farming. Ditinjau dari segi teknis pada prinsipnya penerapan penangkaran rusa hampir sama dengan teknik-teknik peterakan yang telah dikenal masyarakat, sehingga secara teknis sesungguhnya tidak ada kesulitan.

74 59 Secara garis besar, teknik penangkaran rusa dengan sistem farming meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut : 1. Pemeliharaan, yaitu meliputi : a. Pengadaan bibit Jenis rusa yang dikembangkan dalam usaha penangkaran adalah rusa timor (Cervus timorensis de Blainville). Berdasarkan informasi dari beberapa sumber yang diperoleh selama melakukan penelitia, bibit rusa untuk keperluan penangkaran dapat diperoleh dari suakamargasatwa, kebun binatang, penangkaran lain dan penangkapan di hutan. Jumlah rusa yang dapat ditampung dalam suatu lokasi penangkaran disesuaikan dengan kesiapan lokasi, sarana prasarana, ketersediaan biaya dan tenaga pengelola serta potensi pasar. Perkiraan jumlah rusa yang dapat diperoleh didasarkan atas beberapa pertimbangan, yaitu potensi yang ada didaerah sekitar lokasi penangkaran dan kemudahan untuk memperolehnya baik dari segi perizinan maupun penangannya. b. Seleksi Bibit Untuk memperoleh kualitas keturunan yang baik dalam usaha penangkaran rusa perlu diperhatikan pemilihan induk dan pejantan yang baik. Untuk itu dalam jangka panjang, penangkaran rusa hendaknya mengarah pada sistem seleksi yang benar serta pencatatan setiap individu rusa di penangkaran, khususnya individu-individu bibit. Salah satu masalah penting yang harus dihindari dalam usaha penangkaran adalah timbulnya inbreeding. Untuk menghindari meningkatnya koefisien inbreeding, maka seleksi bibit, pencatatan silsilah tiap individu rusa khususnya rusa-rusa induk/pejantan dan pengaturan sistem perkawinan menjadi penting untuk diperhatikan. Pejantan yang digunakan untuk mengawini betina diatur sedemikian rupa, sehingga pejantan dari satu pedok selalu digantikan dengan pejantan lain pada setiap musim kawin berikutnya, dalam hal ini dilakukan pergiliran pejantan secara teratur.

75 60 Adapun syarat-syarat rusa yang baik untuk dijadikan bibit secara umum adalah (a) berasal dari induk dan pejantan yang baik (jelas silsilahnya/tetuanya), (b) tidak cacat, (c) mempunyai pertumbuhan yang baik, (d) sehat dan (e) memiliki kemampuan adaptasi dengan lingkungan yang tinggi. c. Adaptasi Secara alami rusa termasuk satwa yang mempunyai kemampuan adaptasi lingkungan yang sangat tinggi. Di lingkungan yang banyak aktivitas manusia, bahkan di lingkungan dengan kondisi makanan yang jelek sekalipun rusa mampu beradaptasi dengan baik. Meskipun demikian diperlukan perhatian dan penanganan maupun latihan yang baik dan teratur untuk mencegah kemungkinan yang tidak diinginkan seperti terjadinya stress, serangan penyakit dan kematian, sehingga dapat mengoptimalkan manfaat yang diperoleh. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mempermudah penanganan rusa yang baru ditangkap ke tempat penangkaran adalah dengan menempatkan rusa dalam kandang yang gelap dan relatif tidak luas. Pedok ini dapat dibagun dalam pedok karantina. Disamping itu untuk membiasakan rusa terhadap penggiringan dapat dilakukan dengan melatih secara teratur dalam waktu tertentu dengan memperlihatkan tanda-tanda tertentu (bendera atau suara). Usaha pengadaptasian ini selain ditujukan pada rusa-rusa yang telah ada di lokasi penangkaran guna mempermudah penanganannya, juga diperlakukan pada rusa- rusa yang brau didatangkan dari luar areal penangkaran. Untuk rusa-rusa yang baru didatangkan dari luar arealpenagkaran, langkah pengadaptasian ini dilakuka di pedok karantina selama 1 2 minggu, selain untuk tujuan adaptasi juga untuk mencegah kemungkinan penyakit yang dibawanya. d. Penyediaan Pakan Dalam suatu usaha penangkaran, makanan merupakan salah satu komponen produksi yang membutuhkan biaya terbesar, yaitu dapat

76 61 mencapai 65 70% dari seluruh total produksi (Thohari et al. 1991). Oleh karena itu penyediaan makanan perlu mendapat perhatian khusus serta penanganan yang baik dan teratur, sehingga kualitas makanan yang diberikan mampu menhasilkan produktivitas optimum rusa yang ditangkarkan. Kaitannya dengan penyediaan makanan rusa, terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan, yaitu : (1). Jenis bahan makanan Jenis makanan yang dapat diberikan pada rusa di penangkaran dapat berupa hijuan, konsentrat dan makanan tambahan. Jenis hijauan antara lain rerumputan dan pucuk/daun muda tumbuhan polong (legum). Dari hasil analisis tumbuhan di lokasi penangkaran ditemukan beberapa jenis hijauan yang dimakan rusa, diantaranya yang dominan adalah rumput pahitan (Paspalum conjungatum), alang-alang (Imperata cylindrica), jukut kidang (Centotheca lappacea), kacangan (Desmodium heterocarpum) dan teki (Cyperus rotundus). Sedangkan jenis konsentrat yang dapat diberikan pada rusa dapat berupa campuran dedak, jagung dan umbi-umbian. Selain itu hasil limbah pertanian seperti daun jagung juga disukai dan perlu dicoba berbagai jenis limbah pertanian yang ada di sekitar lokasi penangkaran. (2). Jumlah dan frekwensi pemberian pakan Secara umum jumlah makanan yang diberikan pada satwa pemamahbiak per ekor per hari adalah sebesar 5 10% dari bobot badannya, sedangkan frekwensi pemberiannya dapat dilakukan 2 3 kali per hari. Bila rata-rata berat badan rusa timor adalah 75 kg, maka kebutuhan hijauan pakan rata-rata adalah 5,63 kg/ekor/hari. Untuk keperluan penangkaran ini makanan yang akan diberikan berdasarkan dari beberapa hasil penelitian adalah

77 62 sebanyak 6 kg hijauan segar per ekor per hari. Sedangkan konsentrat diberikan 0,5 kg/ekor/hari. (3). Cara peramuan dan penyajian pakan Hijauan yang diberikan adalah jenis rumput unggul, agar penggunaan pakan lebih efisien, maka rumput dipotong pendek (dicacah) menjadi sekitar 20 cm atau kurang saat akan diberikan kemudian diletakkan di dalam palung-palung pakan. Pemotongan ini dimaksudkan agar tidak banyak hijauan yang tersisa atau terbuang. Pakan konsentrat yang diberikan berupa campuran dedak dan umbi-umbian yang dipotong kecil-kecil, dibasahi dengan air yang dicampur dengan sedikit garam. Penmberian air ini bertujuan agar dedak tidak banyak terbuang, sementara garam diberikan selain untuk meningkatkan palatabelitas pakan juga untuk mencukupi kebutuhan mineral. Setelah pakan siap, selanjutnya ditempatkan pada palung-palung pakan. e. Pengembangbiakan Dalam usaha penangkaran, masalah pengembangbiakan memegang peranan yang sangat penting, karena dasar keberhasilan usaha penangkaran terletak pada keberhasilan reproduksinya. Ada tiga cara yang dapat dilakukan dalam upaya pengembangbiakan rusa di penangkaran, yaitu : secara alamiah, semi alamiah dan inseminasi buatan. Ada tiga cara yang dapat dilakukan dalam upaya penge mbangbiakan rusa di penangkaran : 1). secara alamiah, yaitu membiarkan rusa kawin dan berkembangbiak tanpa campur tangan manusia, 2). secara semi alamiah yaitu sistim perkawinan rusa diatur manusia, antara lain dengan mengatur perpandingan jumlah jantan, dan 3). secara inseminasi buatan (IB). Namun demikian pada saat ini kegiatan IB pada rusa di Indonesia masih untuk tujuan penelitian dalam rangka pemahaman sifat

78 63 reproduksi rusa tropis dan telah disosialisasikan di beberapa penangkar yang akan diarahkan menjadi penangkar pembibit rusa. Menurut penulis pada saat ini cara yang dirasa tepat untuk diterapkan dalam suatu penangkaran adalah dengan cara semi alami, yaitu dengan pengaturan nisbah kelamin antara jantan dan betina. Selain itu melakukan rotasi penggunaan pejantan unggul. f. Perawatan Kesehatan Berhasil tidaknya suatu usaha penangkaran rusa ditentukan oleh banyak faktor, diantaranya adalah kesehatan rusa. Perawatan dan pengobatan penyakit secara baik dan lebih dini ketika terlihat ada gejala penyakit merupakan tindakan penting yang perlu dilakukan untuk menghindari kematian dan meluasnya penyebaran penyakit. Dibandingkan dengan jenis hewan lainnya yang telah dikenal, rusa cenderung memiliki daya tahan tubuh yang lebih baik terhadap serangan penyakit. Sebatas rusa mendapatkan makanan yang cukup dari segi jumlah dan keseimbangan zat-zat nutrisinya, maka gejala defisisensi suatu unsur nutrisi tidak akan terjadi. Hingga saat ini rusa belum banyak terdeteksi sebagai pembawa penyakit bagi kelompok hewan lain atau sesama ruminansia lainnya. Tetapi justru rusalah yang sering terinfeksi dari hewan lainnya. Hasil pemantauan di lapangan ternyata rusa timor dan sabar mempunyai daya tahan terhadap serangan cacing yang cukup kuat. Untuk menghindari kemungkinan berjangkitnya penyakit perlu mendapat perhatian, khususnya yang berkaitan dengan pencegahannya, misalnya : melalui vaksinasi disamping pemeriksaan mulut maupun injeksi. Dalam hal ini rusa yang baru datang dari luar loksi penangkaran dan anak-anak rusa yang baru lahir segera diberi vaksin anti cacing dan penyakit lainnya. (1) Beberapa jenis parasit dan penyakit Beberapa jenis parasit yang biasa menyerang rusa diantaranya adalah : eksternal parasit (lalat hijau dan caplak),

79 64 internal parasit (cacing paru/dictyocaulus spp.), sedangkan penyakit yang perlu mendapat perhatian adalah : luka pada lambung dan usus, Salmonelosisi, Pnumonia, Malignant Catarhal Fever, Brucellosis, Tuberculosis, Capture myopathy, Antraks serta gangguan metabolisme misalnya keracunan. (2) Program Perawatan Kesehatan Pada prisnsipnya tindakan pencegahan lebih baik dan murah dibandingkan dengan pengobatan. Oleh karena itu sangat diperlukan suatu program perencanaan perawatan kesehatan yang baik dan teratur guna mencegak atau meminimalkan resiko pemeliharaan. Beberapa program perawatan kesehatan yang perlu dipertimbangkan untuk dilakukan adalah : (a) Vaksinasi secara tertatur terhadap penyakit-penyakit seperti TBC, salmonelosis, clostridial dan lain-lain. (b) Pembersihan/penyemprotan pedok serta pagar dengan desinfektan secara berkala. (c) Jika air didalam pedok tidak mengalir, maka dilakukan pembersihan dan penggantian air setiap harinya. (d) Pemberian vitamin dan mineral penting secara teratur (e) Pemberian dan pengaturan makanan yang baik (f) Melakukan pengujian veteriner untuk jenis-jenis penyakit tertentu. (3) Parameter kesehatan Apabila rusa mulai turun tingkat kesehatannya namun tidak terlihat disebabkan oleh suatu penyakit tertentu, maka kemungkinan besar hal itu disebabkan karena pengaruh stres yang berkepanjangan, baik karena iklim ( hujan lebat, tanah bevek atau terik panas matahari) atau lingkungan sekitar (terganggu ketenangannya).

80 65 Perlakuan yang dapat dilakukan adalah dengan perbaikan lingkungan dan pemberian vitamin. Namun demikian indikator sehatnya seekor rusaseringkali harus dianalisa lewat kondisi darah dan ini hanya bisa dilakukan setelah didiagnosa oleh dokter hewan. g. Pembibitan dan Pembesaran Yang dimaksud dengan pembibitan adalah segala usaha pengadaan dan pemeliharaan anak-anak rusa baik rusa jantan maupun betina yang disiapkan sebagai pejantan dan induk dalam penangkaran. Dalam pengertian ini termasuk pemeliharaan anak-anak rusa yang akan dijual keluar penangkaran sebagai bibit. Pemeliharaan anak-anak rusa ini dilakukan sesaat setelah dilakukan penyapihan yaitu sekitar umur 3 bulan yang ditempatkan pada pedok tersendiri. Dalam pemeliharaan ini disatukan antara rusa jantan dan betina sampai mencapai umur dewasa kelamin, dimana hal ini dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada anak-anak rusa tersebut berinteraksi dan bersosialisasi antara yang satu dengan yang lainnya. Setelah memasuki umur dewasa kelamin, yaitu lebih umur 8 bulan dengan berat badan ± 40 kg dilakukan pemisahan antara rusa jantan dengan betina. Pada saat pemisahan ini sekaligus dilakukan seleksi untuk memilih rusa-rusa yang akan dijadikan calon induk dan pejantan, yang selanjutnya akan diberikan tanda (penning) untuk memudahkan dalam pengelolaan selanjutnya. Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa rusa-rusa tersebut untuk tidak segera dikawinkan meskipun sudah dewasa kelamin, karena pada dasarnya usia produktifnya (minimum breeding age) baru dicapai pada umur 2 3 tahun. Setelah dilakukan seleksi untuk memilih calon bibit, maka rusasrusa yang tidak terpilih untuk selanjutnya dilakukan pemeliharan pembesaran/penggemukan guna mendapatkan pertumbuhan yang optimum agar diperoleh rusa-rusa yang gemuk dengan kualitas daging yang baik. Umur optimum yang diperhitungkan dalam pembesaran/

81 66 penggemukan ini untuk mencapai usia potong adalahh rata-rata satu tahun dengan berat badan 60 kg dan prosentase karkas 60% dengan rata-rata berat daging 36 kg (Thohari et al., 1991). h. Pencatatan (recording) Pencatatan (recording) adalah suatu tindakan untuk melakukan pencatatan tentang identitas satwa yang meliputi : nomor, nama, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir (umur) dan nama induk. Tujuan dilakakukannya pencatatan (recording) adalah untuk mengenali satwa secara jelas, dimana dengan mengenali identitas satwa secara jelas, diharapkan dapat menghindari terjadinya perkawinan dengan kerabat dekatnya (inbreeding), sehingga pelaksanaan penangkaran dapat berjalan dengan baik. Penandaan atau penomoran setiap individu rusa umumnya dilakukan dengan memberikan anting bernomor (penning) yang cukup besar tetapi ringan pada daun telingan rusa, sehingga mudah diamati dari jauh dengan menggunakan teropong binokuler. Penning ini dipasang pada saat anak rusa baru lahir. 2. Pemanenen, yaitu meliputi : a. Penggiringan dan Penangkapan Pengertian penggiringan adalah aktivitas memindahkan kelompok rusa dari satu pedok ke pedok lainnya sesuai dengan kehendak kita atau membawa rusa ke kandang kerja. Untuk keperluan pengobatan atau velveting, penggiringan dilakukan dengan cara menggiring rusa-rusa yang telah terpilih atau ditentukan untuk ditangkap ke suatu tempat yang sempit yang telah disiapkan melalui jalur-jalur pedok, sedangkan untuk keperluan rotasi padang penggembalaan dilakukan terhadap seluruh rusa yang ada dalam satu pedok. Apabila penggiringan dilakukan asal-asalan, maka yang terjadi hanyalah rusa berlari berputar-putar di sekitar pedok dan tidak berani keluar dari pedok. Pada akhirnya rusa menjadi stres dan kelelahan. Yang pertama kali perlu diperhatikan dalam penggiringan adalah

82 67 memperhatikan jarak melarikan diri rusa (JMD, flight distance), yaitu jarak terdekat anata manusia dengan rusa yang dapat diterima oleh rusa sebelum rusa tersebut lari menghindar karena merasa terancam. Yang dimaksud dengan penangkapan adalah baik yang dilakukan di luar lokasi penangkaran untuk dijadikan bibit maupun rusa-rusa yang ada di dalam lokasi penangkaran untuk keperluan penangananpenanganan tertentu seperti pengobatan, pemanenan/ pengambilan velvet, perangsangan birahi dan inseminasi buatan. Dalam pengertian iti juga termasuk penangkapan untuk keperluan pemanenan. Secara umum beberapa teknik penangkapan rusa yang dapat diterapkan adalah : penggiringan, penjeratan/pemerangkapan, dan pembiusan. Pemilihan teknik penengkapan tergantung dari tujuan penangkapan. Untuk tujuan pengobatan, velveting dan inseminasi buatan misalnya sejauh mungkin diusahakan untuk menggunakan teknik penangkapan yang memberikan resiko stres terkecil, yaitu dengan pembiusan. Tetapi untuk tujuan pemanenan biasa dilakukan dengan penggiringan atau penjeratan. b. Pengangkutan Apabila karena satu dan lain hal rfusa harus diangkut, maka didalam pengangkutan ada beberapa hal yang harus diperhatikan, karena sering terjadi kematian dan timbulnya penyakit akibat salah penanganan dalam pengangkutan. Beberapa hal yang perlu diperhatinan adalah : (1). Kondisi Rusa Jika rusa yang akan diangkut adalah jantan dewasa, sangat disarankan ranggah dalam pertumbuhan apapun dilakukan pemotongan terlebih dahulu, kecuali pada fase ranggah muda tidak lebih dari 10 cm. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi rusa yang cidera. Selain itu pengangkutan rusa yang tidak beranggah menjadikan ukuran kotak angkut lebih kecil, sehingga praktis dalam pengangkutan.

83 68 (2). Cuaca Pengangkutan rusa sebaiknya dilakukan pada saat cuaca sejuk. Perjalanan sangat disarankan dilakukan malam hari guna menghindari stres akibat kondisi panas matahari. (3). Kotak Pengangkutan Kotak pengangkutan harus terbuat dari bahan yang kuat, khususnya pada pengangkutan rusa dewasa, karena hentakan kaki sering membuat kotak pengangkutan menjadi rusak, sehingga bahan triplek tebal sangat baik, walaupun papan juga dapat digunakan. Dalam pwembuatan kotak angkut yang terbaik adalah jika rusa hanya dapat berdiri dan ke posisi duduk tanpa dapat berputar (4). Jarak dan Lama Pengangkutan Dalam melakukan perjalan yang membawa beberapa kotak pengangkutan sekaligus, sebaiknya ada jarak antara kotak, sehingga terjadi sirkulasi udara dengan baik. Selain itu penempatan tutup diatas alat pengangkut (terpal) perlu dipertimbangkan untuk perjalan yang panjang (> 24 jam). Bila pengangkutan memerlukan waktu perjalanan yang panjang, sebaiknya diperlukan waktu istirahat bagi rusa-rusa di tempat yang teduh dan sejuk walaupun sebentar. (5). Pengeluaran Rusa Pengeluaran rusa dari dalam kotak angkut merupakan tahapan terakhir yang justru seringkali mematikan. Tidak jarang saat sampai di lokasi kondisi rusa dalam keadaan stres dan ketakutan dan lelah, sehingga tidak mampu lagi untuk berdiri. Bila menemukan kondisi yang demikian disarankan untuk menunggu agar rusa mau keluar dengan sendirinya. Bila memungkinkan sebelum rusa keluar diberikan obat anti stres dan vitamin. Dilarang memberikan siraman air dengan maksud memberikan

84 69 kesegaran, karena justru sebaliknya yang terjadi adalah sebaliknya suatu kematian akibat perubahan suhu yang mendadak. Agar keselamatn terjamin, sebaiknya saat akan melakukan pengeluaran, kotak angkut sudah berada di dalam wilayah dimana rusa akan ditempatkan. Lingkungan yang tenang, jauh dari tontonan orang atau kebisingan saat pelepasan dilakukan sanbgat membantu rusa untuk cepat beradaptasi dengan daerah baru. c. Pemanenan Velvet (Velveting) Ciri khusus dari rusa adalah keberadaan ranggahnya dan hanya dijumpai pada kelompok rusa jantan. Ranggah merupakan suatu bentuk pertumbuhan tulang sejati yang terjadi keluar dari anggota badan dengan siklus tumbuh, mengeras dan luruh berputar secara berkala setiap tahun. Pertumbuhan ranggah bukanlah di tengkorak, tetapi dibonggolan yang memang khusus untuk pertumbuhan ranggah yang disebut dengan pedicle. Pada bibir pedicle akan terdapat bentukan yang menyerupai lingkaran cincin yang disebut brur atau ada yang menyebutnya junction. Hal inilah yang membedakan antara pengertian ranggah pada rusa dengan tanduk pada ternak kambing, domba, sapi dan kerbau. Pertumbuhan awal ranggah dimulai dengan tumbuhnya pedicle, dimana pada rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) mulai tampak pada umur 5 7 bulan pada kisaran berat badan kg. Setelah pudicle tumbuh sempurna, baru ranggah mulain tumbuh. Pada setiap siklus pertumbuhan ranggah akan terjadi perubahan bentuk, ukuran dan berat ranggah. Saat pertama kali tumbuh (tahun pertama), ranggah rusa hanya berupa sebatang ranggah bulat, kecil dan pendek. Awalnya lunak terdiri dari tulang rawan yang diselimuti jaringan kulit tipis dan bulu halus (beludru) yang biasa disebut velvet. Setelah mencapai pertumbuhan maksimum, maka ranggah muda akan mengeras atau terjadi proses penulangan (kalsifikasi) yang ditandai dengan mengelupasnya lapisan kulit tipis yang menyelimutinya. Setelah kulit tipis mengelupas, maka terlihatlah tulang ranggah keras. Pada posisi ini

85 70 ranggah telah berubah bentuk dari jaringan hidup menjadi jaringan mati. Setelah beberapa saat dalam keadaan ranggah keras, maka ranggah tersebut akan lepas (luruh) dari daerah tumbuhnya. Menurur Semiadi dan Nugraha (2002), kecepatan tumbuh ranggah muda pada pejantan berkualitas baik dapat mencapai 2 cm/hari sebelum memasuki proses kalsifikasi. Pada saat pertumbuhan cepat inilah yang dikelan sebagai ranggah muda/ranggah velvet (velvet antler), mempunyai nilai jual yang mahal. Pemanenan/pemotongan ranggah muda biasanya dilakunan pada umur hari setelah tumbuh. Penentuan kapan saat yang paling tepat untuk melakukan pemotongan ranggah muda memerlukan pengalaman dan kecermatan mata. Intinya saat pemotongan dilakukan, diharapkan akan diperoleh kualitas ranggah muda yang cukup berat tetapi porsi jaringan mudanya masih sangat besar. Cara perkiraan yang umum dipakai adalah dengan memperhatikan ujung ranggah utama (maen beam). Menurut Semiadi dan Nugraha (2004), pada rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) pemanenan ranggah muda dilakukan saat ujung ranggah masih berbentuk bulatan besar, belum terjadi percabangan dengan pemotongan dilakukan sekitar 3 5 cm di atas cincin ranggah. Sarana dan Prasarana Penangkaran Secara garis besar sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam usaha penangkaran rusa meliputi : bangunan kantor, pusat informasi, pedok-pedok dalam unit penangkaran, kebun rumput, areal pembesaran dan adaptasi (padang pengembalaan) serta jalan inspeksi. 1. Bangunan Kantor Kantor menurut fungsinya merupakan pusat pengelolaan/ administrasi. Untuk itu harus tersedia fasilitas-fasilitas yang memadai dan aksesibilitasnya cukuptinggi, sehingga kegiatan pengelolaan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.

86 71 2. Pusat Informasi Pusat informasi merupakan suatu tempat dimana didalamnya terdapat perpustakaan, ruang pamer dan ruang audiovisual, sehingga setiap pengunjung yang datang dengan mudah mendapatkan informasi yang diinginkan tentang penangkaran rusa yang dikelolanya. Ruangan yang digunakan sebagai pusat informasi merupakan bagian dari bangunan kantor utama. 3. Mes Penangkar/Pengelola Di suatu penangkaran rusa diperlukan adanya orang yang tinggal dekat dengan usaha penangkaran tersebut. Hal ini penting untuk urusan penjagaan keamanan dan terlebih lagi guna kemudahan dalam pengawasan secara intensif, seperti disaat musim kawin, musim melahirkan atau penanganan yang menyangkut rusa sakit. Dengan dekatnya mes dan penangkaran, maka rusa-rusa yang ada akan dengan mudah menyesuaikan diri/beradaptasi dengan hiruk pikuk kegiatan manusia seperti adanya suara kendaraan atau hal-hal lainnya. Karena suara ini setiap hari terdengar, maka rusa tidak mudah stres dan akan cenderung menjadi lebih tenang sifatnya. 4. Unit-unit Penangkaran/Pengelola Unit-unit penangkaran pada dasarnya merupakan komponen utama dalam pembangunan usaha penangraran rusa. Unit ini terdiri dari pedokpedok yang berfungsi sebagai kandang induk dan kandang anak rusa, jalurjalur penggiringan rusa (race) dan kandang terminal. Syarat utama dalam pemilihan lokasi untuk unit-unit penangkaran adalah kondisi topografi relatif datar sampai bergelombang, serta mudah dijangkau dari komplek perkantoran dan kandang karantina. Selain itu unitunit penangkaran harus dekat dengan areal pembesaran dan adaptasi. 5. Kebun Rumput Kebun rumput berfungsi untuk menyediakan hijauan pakan rusa di seluruh unit penangkaran. Letak kebun rumput ini tidak memerlukan pesyaratan khusus. Namun demikian luas dan jenis rumput yang ditanam

87 72 perlu diperhatikan, sehingga mampu memproduksi jumlah hijauan yang dapat mencukupi kebutuhan seluruh unit penangkaran dan palatabilitasnya tinggi. Luasan kebun rumput disesuaikan dengan populasi rusa yang di targetkan, sedangkan jenis rumput yang dapat ditanam diantaranya adalah rumput gajah (Pennisetum purpureum), rumput raja/king grass (Pennisestum purpupoides), rumpur BD (Brachiaria decumbens), rumput Setaria (Setaria sphacelata) dan lain-lain. Sementara untuk jenis kacangan (legum) dapat ditanam Lamtoro gung (Leucaena leucocephala), turi (Sesbania grandiflora), kacang ketropong (Centrocema plumieri), dan lain-lain. Luasan kebun rumput yang harus disediakan disesuaikan dengan target rusa yang akan dipelihara. Berdasarkan hasil pengamatan, maka luasan kebun rumput yang harus disediakan agar rusa-rusa yang dipelihara tidak kekurangan hijauan adalah seluas 0,26 ha/ekor. Meskipun demikian pada penangkaran rusa dengan sistem deer farming keterbatasan lahan yang dimiliki tidak merupakan suatu kendala, karena hijauan dapat dibeli dari luar. 6. Areal Pembesaran dan Adaptasi Areal pembesaran dan adaptasi adalah areal/pedok yang diperuntukkan pemeliharaan anak-anak rusa lepas sapih sebelum diseleksi untuk dijadikan bibit baik yang akan dipelihara maupun di jual. Selain itu agar anak-anak rusa dapat beradaptasi dengan lingkungan tanpa ketergantungan dengan induknya. Untuk areal ini tidak memerlukan persyaratan khusus, sebab rusa memiliki kemampuan beradabtasi dengan lingkungan yang cukup tinggi. Adapun sarana dan prasarana yang perlu disediakan pada areal ini terdiri dari : shelter (baik alami maupun buatan), palung pakan, bak minum, tempat berkubang dan tempat pengaraman. 7. Jalan Inspeksi Jalan inspeksi diperlukan pada suatu areal penangkaran, hal ini berfungsi sebagai jalan untuk melakukan pengamatan dan pengawasan terhadap rusa-rusa yang ada dilokasi. Dalam pembuatan jalan inspeksi ini

88 73 diusahakan tidak mengganggu ketenangan rusa saat mereka berada di dalam pedok, sehingga pemilihan lokasi biasanya di pinggir pedok. Panjang dari jalan inspeksi ini disesuaikan dengan panjang pedok yang ada dengan lebar 1,5-2,0 meter, karena dengan ukuran ini memudahkan pengelola untuk melakukan kontrol dan juga pengangkutan pakan ke setiap pedok yang ada dengan menggunakan gerobak dorong. 8. Gudang Gudang diperlukan untuk tempat penyimpanan peralatan dan juga stok bahan pakan. Untuk memudahkan pengelolaan, bagunan gudang pakan dan peralatan menjadi satu, tetapi ruangan yang berfungsi sebagai gudang alat dipisahkan dengan ruangan untuk gudang pakan. 9. Peralatan Peralatan yang diperlukan diantaranya adalah alat pencacah rumput (copper), alat angkut pendidtribusian pakan (gerobak dorong) dan alat mencacah umbi-umbian (sabit/parang). Proyeksi Perkembangan Populasi di Penangkaran Berdasarkan hasil analisis terhadap daya dukung lokasi yang ada dan manajemen penangkaran yang akan diterapkan (manajemen deer farming), maka dapat diperkirakan proyeksi populasi rusa di penangkaran selama 10 tahun kedepan, dengan asumsi dasar adalah luas lahan yang dimanfaatkan untuk zona penangkaran (Captive breeding zone) adalah ± 94% dari luas lokasi yang ada, yaitu 4,0 ha yang dibagi menjadi pedok induk, pedok jantan, pedok perkawinan dan pedok anak/pembesaran dan asumsi-asumsi teknis biologis sebagaimana tercantum pada bab metode penelitian. Secara rinci proyeksi populasi setelah 10 tahun di penangkaran dengan sistem farming adalah sebagaimana tersaji pada Tabel 3.

89 74 Tabel 3 Proyeksi perkembangan populasi rusa pertahun selama 10 tahun pemeliharaan di penangkaran rusa Kampus IPB Darmaga N0. Subyek Sex Jumlah Induk per tahun : a.dari luar penangkaran b. Dari hasil Penangkaran Jumlah Induk Tahun ke J B J B J B Jumlah anak per tahun : a. Jumlah anak lahir (80 % dari jumlah induk, dengan sex ratio 1 : 1) J B b. Jumlah anak yang mati J (10 % dr jml lahir) B c. Jumlah anak yg hidup J Proyeksi anak : a. Dijadikan calon bibit untuk dikembalikan ke penangkaran b. Dijual sebagai bibit c. Dijual Daging/Potong B J B J B J B Jumlah rusa yang diafkir J B Keterangan : J = jantan B = betina Dari tabel tersebut diketahui perkembangan populuasi selama 10 tahun di penangkaran adalah sebagai berikut : 1. Rusa induk sebanyak 459 ekor, yaitu terdiri dari 23 ekor jantan dan 436 ekor betina (nisbah kelamin 1 : 19 20). 2. Rusa anak berumur 1 tahun sebanyak 342 ekor, yaitu terdiri dari 171 ekor jantan dan 171 ekor betina. 3. Rusa anak umur 1 2 tahun sebanyak 84 ekor, yaitu calan bibit terdiri dari 80 ekor betina dan 4 ekor jantan. 4. Penjualan rusa bibit sampai dengan tahun ke-9 sebanyak 263 ekor, yaitu terdiri dari 33 ekor jantan dan 296 ekor betina. 5. Jumlah anak yang dipotong sampai tahun ke-9 adalah 548 ekor, semua terdiri dari rusa jantan.

90 75 6. Rusa induk yang diafkir sebanyak 105 ekor, yaitu terdiri dari 5 ekor jantan dan 100 ekor betina. 7. Total populasi pada tahun ke-10 adalah sebanyak 885 ekor, yaitu terdiri dari induk sebanyak 459 ekor, anak berumur 1 sebanyak 342 dan anak berumur 1 2 tahun sebanyak 84 ekor. Analisis Kelayakan Finansial Usaha Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan Sistem Deer Farming Berdasarkan proyeksi perkembangan populasi rusa sebagaimana tersaji pada Tabel 3 tersebut dan asumsi-asumsi yang telah dibuat, maka dapat di perkirakan analisis finansial dari usaha penangkaran yang dilaksanakan. Di dalam analisis finansial terdapat beberapa faktor yang harus diperhatikan, yakni: hasil usaha, biaya investasi (investment cost), dan biaya operasi (operation cost). Komponen biaya dan penerimaan dari usaha penangkaran rusa dengan sistem deer farming dapat dilihat pada Tabel 4 dan secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 4. Tabel 4 Proyeksi komponen biaya dan penerimaan pada usaha penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) selama 10 tahun di penangkaran dengan sistem deer farming No Komponen Jumlah Harga 1. Biaya : a. Biaya investasi b. Biaya Tetap c. Biaya Variabel Penerimaan : a. Bibit rusa yang dikembalikan ke penangkaran 542 ekor b. Bibit rusa yang dijual 353 ekor c. Penjualan daging kg d. Penjualan non daging (jerohan) kg e. Penjualan ranggah 160 pasang f. Penjualan velvet 354 kg g. Penjualan kulit 708 lembar

91 76 Dari Tabel 5 tersebut, maka dapat dilakukan analisis finansial dari usaha penangkaran rusa meliputi analisis NPV, BCR, IRR dan PP. Secara lengkap proyeksi biaya dan penerimaan setiap tahunnya dapat dilihat pada Lampiran 5. Hasil analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan target pemeliharaan 210 ekor induk dengan nisbah kelamin 1 : 20 yang didatangkan dari luar penangkaran dengan sistem farming selama 10 tahun di penangkaran dengan asumsi suku bunga (discount factor) 18,00% sebagaimana tersaji pada Tabel 5 dan secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 5. Tabel 5 Hasil analisis finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di Kampus IPB Darmaga No. Komponen Suku Bunga (%) 17,00 18,00 19,00 1 NPV (x Rp 1.000) BCR 1,16 1,12 1,06 3 IRR 21,35 % 4 PP 4,53 tahun Berdasarkan data hasil analisis finansial sebagaimana tersaji pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa usaha penangkaran rusa timor dengan sistem deer farming cukup menjanjikan, dimana pada suku bunga 18,00% diperoleh angka BCR 1,12 artinya usaha tersebut menguntungkan sampai 12,00%. Selain itu juga dapat dilihat perubahan pendapatan dan biaya yang diakibatkan oleh perubahan suku bunga pada skenario usaha penangkaran yang akan dilakukan, dimana pada setiap kenaikan suku bunga diikuti dengan penurunan NPV. Pada tingkat suku bunga diatas 21,35% (IRR), maka nilai NPV akan nol atau bernilai negatif, dengan demikian usaha yang dilakukan akan mengalami kerugian. Sedangkan waktu pengembalian seluruh biaya dalam investasi (Payback Period) adalah 4,53 tahun. Secara lengkap hasil analisis biaya dan manfaat dari usaha penangkaran rusa ini dapat dilihat pada Lampiran 5.

92 77 Selanjutnya berdasarkan hasil analisis finansial dapat diketahui tingkat sensitivitas terhadap kemungkinan penurunan penerimaan dan kenaikan biaya produksi sebagaimana tersaji pada Tabel 6, dimana asumsi penurunan dan kenaikan biaya produksi adalah sebesart 10%. Tabel 6 Hasil analisis sensitivitas finansial usaha penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di Kampus IPB Darmaga terhadap kemungkinan beberapa skenario No Skenario Kemungkinan Analisis Finansial NPV BCR IRR 1. Penerimaan turun 10% ,01 18,25 2. Biaya naik 10% ,02 18,50 3. Penerimaan turun 10% dan biaya naik 10% ( ) 0,92 15,50 Berdasarkan hasil analisis sensitivitas sebagaimana tersaji pada Tabel 6 tersebut, maka dapat disimpulkan : 1. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas terhadap penurunan peneraimaan dari seluruh produksi dengan asumsi terjadi penurunan harga sebesar 10% dan sedangkan biaya produksi tetap akan mengakibatkan penurunan pendapatan, sehingga akan berpengaruh terhadap nilai NPV, BCR dan IRR. Namun demikian usaha penangkaran tersebut masih dapat bertahan sampai pada tingkat suku bunga 18,25%. Secara rinci gambaran tentang nilai NPV, BCR dan IRR pada berbagai tingkat suku bunga dengan adanya penurunan penerimaan sebesar 10% dapat dilihat pada Lampiran Berdasarkan hasil analisis sensitivitas terhadap peningkatan seluruh biaya produksi dengan asumsi terjadi peningkatan biaya sebesar 10% sedangkan penerimaan tetap, maka akan mengakibatkan penurunan pendapatan dengan demikian juga akan berpengaruh terhadap nilai NPV, BCR dan IRR. Namun demikian usaha penangkaran tersebut masih dapat bertahan sampai pada tingkat suku bunga 18,50%. Secara rinci gambaran tentang nilai NPV, BCR dan IRR pada berbagai tingkat suku bunga dengan adanya peningkatan biaya produksi sebesar 10% dapat dilihat pada Lampiran 7.

93 78 3. Berdasarkan asumsi terjadinya penurunan penerimaan sebesar 10% dan peningkatan biaya sebesar 10%, maka akan mengakibatkan penurunan pendapatan dengan demikian juga akan berpengaruh terhadap nilai NPV, BCR dan IRR. Dimana usaha penangkaran tersebut masih layak diusahakan sampai pada tingkat bunga 15,50%, sedangkan bila suku bunga diatas 15,50% usaha sudah tidak layak untuk diteruskan. Sebab akan diperoleh nilai NPV negatif dan BCR di bawah 0. Secara rinci sebagai gambaran tentang nilai NPV, BCR dan IRR pada berbagai tingkat suku bunga dengan kenaikan biaya produksi dapat dilihat pada Lampiran 8

94 79 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil studi dan analisis kelayakan terhadap lokasi penangkaran rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) yang ada di kampus IPB Darmaga, maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Lokasi yang disediakan untuk penangkaran rusa di Kampus IPB Darmaga secara bio-ekologis, teknis dan lingkungan sesuai dengan persyaratan yang diperlukan serta mendukung kelayakan ekonomi finansial dengan adanya peningkatan kualitas pada tapak, meliputi pembersihan lahan (land clearing) kecuali pohon-pohon besar yang dapat digunakan sebagai pohon pelindung ditinggalkan secara sporadis dan penataan tapak yang sesuai. 2. Berdasarkan analisis kondisi bio-ekologi lokasi dan kebutuhan hidup rusa, maka : a. Untuk lebih mengefektifkan dan mengefisienkan dalam pengelolaan, lokasi yang ada dibagi menjadi : zona perkantoran seluas 0,10 ha (2,4%) dan zona penangkaran yang meliputi pedok induk 1,50 ha (35,3%) dan 1,00 ha (23,6%), pedok jantan seluas 0,28 ha (6,7%), pedok anak dan pembesaran seluas 1,00 ha (23,6%) dan pedok kawin seluas 0,25 ha (5,9%). b. Dalam rancangan manajemen penangkaran dengan sistem farming, maka kegiatan yang dilaksanakan terdiri dari: (1) pemeliharaan, yaitu meliputi pengadaan bibit, seleksi bibit, adaptasi, penyediaan pakan, pengemvangbiakan, perawatan kesehatan, pembibitan dan pembesaran serta pencatatan (recording), dan (2) pemanenan, yaitu meliputi penggiringan dan penangkapan, pengangkutan dan pemanenen velvet (velveting). 3. Berdasarkan hasil analisis finansial, maka usaha penangkaran rusa dengan sistem deer farming, akan layak jika populasi induk yang berasal dari luar pada tahun pertama minimal 105 ekor dan pada tahun kedua 210 ekor induk yang dipertahankan minimal sampai tahun ke sembilan, dimana akan diperoleh nilai NPV = , BCR = 1,14 dan IRR = 22,75% pada tingkat suku bunga 18%.

95 80 Saran Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, maka disarankan : 1. Untuk dapat mencukupi kebutuhan akan hijauan pakan, maka perlu dicari lokasi yang lebih dekat sebagai kebun rumput, sehingga biaya pakan lebih murah. 2. Untuk dapat mengaplikasikan perencanaan ini perlu segera dilakukan analisis Disain Enginering pada setiap tapak. 3. Untuk dapat melakukan penjualan produk dalam bentuk daging, maka perlu dilakukan kerjasama dengan tempat pemotongan hewan (RPH) terdekat.

96 81 DAFTAR PUSTAKA Alikodra, H.S Pengelolaan Satwaliar. Jilid I. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Direktorat Jenderal pendidikan Tinggi. Departemen pendidikan dan Kebudayaan. Bogor. Bailey, J.A Principles of Wildlife management. John Wiley & Sons. New York. BMG Badan Meteorologi dan Geofisika. Balai Wilayah II. Stasiun Klimatologi Kelas I. Darmaga. Bogor. Boughey, A.S Ecology of Populations. Collier MacMillan Publishers, London. Dasmann, W Deer Range Improvement and Management. McFarland & Company, Inc. Jefferson, N.C., and London. Direktorat PPA Pedoman pengelolaan Satwa Jilid I. Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam. Bogor. pp Djamin, Z Perencanaan dan Analisis Proyek. Edisi II. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Fausan, N Kumpulan Artikel tentang Deer Farming. Jurusan KSH, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor Farina, Almo Principles And Methods In Landscape Ecology. Chapman & Hall Ltd, London. Feriyanto Pengelolaan Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis de Blainville) Di Ranca Upas. KPH Bandung Selatan. PT. Perhutani Unit III Jawa Barat.(Skripsi). Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Gray, C Pengantar Evaluasi Proyek. Gramedia Pustaka Utama Jakarta. Jakarta Hakim, Rustam dan Hardi Utomo Komponen Perancangan Arsitektur Lansekap, Prinsif-Unsur dan Aplikasi Disain. Bumi Aksara. Jakarta. Hoogerweff, A De Avifouna van Tjibodas en Emgeving (Java). Koninklijke Plantentium van Indonesie, Buitenzorg. Kusmana, C Teknik Pengukuran Keanekaragaman Tumbuhan. Bahan Kuliah Pelatihan Teknik Pengukuran dan Monitoring Biodiversity di Hutan Tropika Indonesia. Angkatan III Tanggal Juni Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

97 82 Manggung, R. E. R Kajian Bio-Ekologi dan Ekonomi Usaha Penangkaran Rusa Jawa ( Cervus timorensis ) dengan Sistem Setengah Terbuka. (Skripsi). Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Masy ud, B Reproduksi pada Rusa. Laboratorium Penangkaran Satwa Liar. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor Dasar-Dasar Penangkaran Satwaliar. Laboratorium Penangkaran Satwaliar. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Prasetyonohadi, D Telaahan Tentang Daya Dukung Padang Rumput di Suaka Maargasatwa Pulau Moyo Sebagai Habitat Rusa Timor (Cervus timorensis) (Skripsi) Fakultasd Kehutanan IPB. PT. Perum Perhutani, Kesatuan Pemangjuan Hutan Bogor, Penangkaran Rusa di BKPH Jonggol, KPH Bogor, Bogor. (Tidak Diterbitkan). Pyke, G.H Animal Movements: An Optimal Foraging Approach. In : The Ecology of Animal Movements (I.R. Swingland and P.J. Greenwood ads.), pp : Oxford University Press, Oxford. Redaksi Ensiklopedi Indonesia, 2003, Ensiklopedi Indonesia (Mamalia). PT. Ikrar Mandiriabadi, Jakarta. Richard, B. P., Supriatna J., Indrawan M., Kramadibrata P.,1998. Konservasi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Seri Fauna Biologi Root, J.B Fundamentals of landscaping and Site Planning. Long Brown & Associates Fairfax, Virginia. The Avi Publishing Company. Inc. Westport. Connecticut. Schroder, T.O Deer In Indonesia. Nature Conservation Departement. Wageningen. Semiadi G., 1998, Budidaya Rusa Tropika Sebagai Hewan Ternak, Masyarakat Zoologi Indonesia, Bogor. Semiadi, G., dan Taufik P.N.R., 2004, Panduan Pemeliharaan Rusa Tropis, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bogor. Setiadi, D., dan P.D. Tjondronegoro Dasar-Dasar Ekologi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Susetyo, S Padang Pengembalaan. FakultasPeternakan. IPB. Bogor. Syarief, A Kemungkinan pembiakan dan Pembinaan Rusa di Indonesia. Direktorat Perlindungan danm pengawetan Alam. Bogor.

98 83 Tarumingkeng, Rudi C., Dinamika Pertumbuhan Populasi Serangga. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Teddy Analisis Faktor Faktor Penentu Keberhasilan Usaha Penangkaran Rusa. Studi Kasus di Penangkaran Rusa Perum Perhutani.(Tesis). Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Thohari, M Upaya Penangkaran Satwa Liar. Media Konservasi, Vol. 1 No. 3. Buletin Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Thohari, M Manajemen dan Teknologi Konservasi Ex-Situ Satwa Liar. (Materi Kuliah). Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Thohari, M., Haryanto, B. Masy ud, D. Rinaldi, H. Arief, W.A. Djatmiko, S.N. Mardiah, N. Kosmaryandi dan Sudjatnika Studi Kelayakan dan Perancangan Tapak Penangkaran Rusa Di BKPH Jonggol, KPH Bogor, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Kerjasama Antara Direksi Perum Perhutani dengan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Van Lavieren, L.P Planning, Management of Park and Reserves. School of Environmental Conservation Management. Bogor. Van Noordwijk, M.A. van The Social-Ecology of Sumatran Longtailed Macaques (Macaca fascicularis): The Behaviour of Individuals. Drukkerij Elinkwijk BV, Utrecht. White, E.T., [Site Planning]. Analisis Tapak. Pembuatan Diagram Informasi Bagi Perancangan Arsitektur. Diterjemahkan oleh A. K. Onggodiputro. Intermatra Bandung. Yerex, D and I. Spiers Modern Deer Farm Management. Ampersand Publishing Associates Ltd. Wellington. New Zealand.

99 84

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rusa timor (Rusa timorensis Blainville 1822) merupakan salah satu jenis satwa liar yang hidup tersebar pada beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sampai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bio-Ekologi Rusa Timor 1. Taksonomi Menurut Schroder (1976), rusa timor (Cervus timorensis) diklasifikasikan ke dalam : Phylum Chordata, Sub phylum Vertebrata, Class Mammalia, Ordo

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Artiodactyla, Anak Bangsa (Subordo) Ruminansia dan Suku (Family)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Artiodactyla, Anak Bangsa (Subordo) Ruminansia dan Suku (Family) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Jenis Rusa Rusa merupakan salah satu jenis satwa yang termasuk dalam Bangsa (Ordo) Artiodactyla, Anak Bangsa (Subordo) Ruminansia dan Suku (Family) Cervidae. Suku Cervidae terbagi

Lebih terperinci

BAB II RUSA TIMOR SATWA LIAR KHAS INDONESIA YANG DILINDUNGI

BAB II RUSA TIMOR SATWA LIAR KHAS INDONESIA YANG DILINDUNGI BAB II RUSA TIMOR SATWA LIAR KHAS INDONESIA YANG DILINDUNGI II.1 Pengertian Satwa Liar Di Indonesia terdapat banyak jenis satwa liar. Satwa liar adalah semua jenis satwa yang memiliki sifat-sifat liar

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia. Rusa di Indonesia terdiri dari empat spesies rusa endemik yaitu: rusa sambar (Cervus unicolor),

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 41 5.1. Ukuran Populasi Rusa Timor V. HASIL DAN PEMBAHASAN Ukuran populasi rusa timor di TWA dan CA Pananjung Pangandaran tahun 2011 adalah 68 ekor. Angka tersebut merupakan ukuran populasi tertinggi dari

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang Penentuan Kuota Panenan dan Ukuran Populasi Awal Rusa Timor di Penangkaran Hutan Penelitian Dramaga ini dilakukan di Hutan Penelitian

Lebih terperinci

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI PRODUKTIVITAS RUMPUT LAPANG DAN PALATABILITAS KULIT PISANG NANGKA (Musa paradisiaca L) UNTUK PAKAN TAMBAHAN PADA RUSA TIMOR (Cervus timorensis de Blainville) DI PENANGKARAN S U N A R N O SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa mengingat Undang-

I. PENDAHULUAN. Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa mengingat Undang- I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah langka. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang pengawetan jenis

Lebih terperinci

PENENTUAN KUOTA PEMANENAN LESTARI RUSA TIMOR (Rusa timorensis, de Blainville, 1822) RIZKI KURNIA TOHIR E

PENENTUAN KUOTA PEMANENAN LESTARI RUSA TIMOR (Rusa timorensis, de Blainville, 1822) RIZKI KURNIA TOHIR E PENENTUAN KUOTA PEMANENAN LESTARI RUSA TIMOR (Rusa timorensis, de Blainville, 1822) RIZKI KURNIA TOHIR E34120028 PROGRAM KONSERVASI BIODIVERSITAS TROPIKA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2016

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tapir asia dapat ditemukan dalam habitat alaminya di bagian selatan Burma, Peninsula Melayu, Asia Tenggara dan Sumatra. Berdasarkan Tapir International Studbook, saat ini keberadaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. di beberapa tipe habitat. Bermacam-macam jenis satwa liar ini merupakan. salah satu diantaranya adalah kepentingan ekologis.

I. PENDAHULUAN. di beberapa tipe habitat. Bermacam-macam jenis satwa liar ini merupakan. salah satu diantaranya adalah kepentingan ekologis. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman jenis satwa liar yang tinggi,dan tersebar di beberapa tipe habitat. Bermacam-macam jenis satwa liar ini merupakan sumberdaya alam yang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Timor memiliki avifauna yang unik (Noske & Saleh 1996), dan tingkat endemisme burung tertinggi dibandingkan dengan beberapa pulau besar lain di Nusa Tenggara (Pulau

Lebih terperinci

MODEL KONSEPTUAL PENGEMBANGAN LANSKAP WISATA BUDAYA DI KAWASAN SUNGAI CODE, KOTA YOGYAKARTA. Lis Noer Aini

MODEL KONSEPTUAL PENGEMBANGAN LANSKAP WISATA BUDAYA DI KAWASAN SUNGAI CODE, KOTA YOGYAKARTA. Lis Noer Aini MODEL KONSEPTUAL PENGEMBANGAN LANSKAP WISATA BUDAYA DI KAWASAN SUNGAI CODE, KOTA YOGYAKARTA Lis Noer Aini Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Arsitektur

Lebih terperinci

DISAIN PENANGKARAN RUSA TIMOR (Cervus timorensis de Blainville) BERDASARKAN SISTEM DEER FARMING DI KAMPUS IPB DARMAGA BOGOR

DISAIN PENANGKARAN RUSA TIMOR (Cervus timorensis de Blainville) BERDASARKAN SISTEM DEER FARMING DI KAMPUS IPB DARMAGA BOGOR DISAIN PENANGKARAN RUSA TIMOR (Cervus timorensis de Blainville) BERDASARKAN SISTEM DEER FARMING DI KAMPUS IPB DARMAGA BOGOR (Design of timor deer (Cervus timorensis de Blainville) captive reeding ased

Lebih terperinci

Evaluasi Plasma Nutfah Rusa Totol (Axis axis) di Halaman Istana Bogor

Evaluasi Plasma Nutfah Rusa Totol (Axis axis) di Halaman Istana Bogor Evaluasi Plasma Nutfah Rusa Totol (Axis axis) di Halaman Istana Bogor R. Garsetiasih 1 dan Nina Herlina 2 1 Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Bogor 2 Sekretariat Jenderal Departemen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung adalah provinsi yang memiliki luas wilayah ,50 km 2

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung adalah provinsi yang memiliki luas wilayah ,50 km 2 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Provinsi Lampung adalah provinsi yang memiliki luas wilayah 35.376,50 km 2 yang terdiri dari areal pemukiman, areal pertanian, perkebunan dan areal hutan yang

Lebih terperinci

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi Gajah Sumatera Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub species gajah asia (Elephas maximus). Dua sub species yang lainnya yaitu Elephas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Rusa Timor Taksonomi dan Morfologi

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Rusa Timor Taksonomi dan Morfologi II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rusa Timor 2.1.1 Taksonomi dan Morfologi Rusa timor yang dikenal juga dengan nama rusa jawa, secara taksonomi termasuk dalam Kingdom Animalia, Phylum Chordata, Sub Phyllum Vertebrata,

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Burung merupakan salah satu jenis hewan yang banyak disukai oleh manusia, hal ini di karenakan burung memiliki beberapa nilai penting, seperti nilai estetika, ekologi

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Potong Sapi potong adalah jenis sapi yang khusus dipelihara untuk digemukkan karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup baik. Sapi

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa SawitSapi POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN ABDULLAH BAMUALIM dan SUBOWO G. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

PENENTUAN KUOTA PANENAN DAN UKURAN POPULASI AWAL RUSA TIMOR DI PENANGKARAN HUTAN PENELITIAN DRAMAGA ROZZA TRI KWATRINA

PENENTUAN KUOTA PANENAN DAN UKURAN POPULASI AWAL RUSA TIMOR DI PENANGKARAN HUTAN PENELITIAN DRAMAGA ROZZA TRI KWATRINA PENENTUAN KUOTA PANENAN DAN UKURAN POPULASI AWAL RUSA TIMOR DI PENANGKARAN HUTAN PENELITIAN DRAMAGA ROZZA TRI KWATRINA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

BAB I PENDAHULUAN. asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan,

Lebih terperinci

POTENSI DAN DAYA DUKUNG LIMBAH PERTANIAN SEBAGAI PAKAN SAPI POTONG DI KABUPATEN SOPPENG SULAWESI SELATAN H A E R U D D I N

POTENSI DAN DAYA DUKUNG LIMBAH PERTANIAN SEBAGAI PAKAN SAPI POTONG DI KABUPATEN SOPPENG SULAWESI SELATAN H A E R U D D I N POTENSI DAN DAYA DUKUNG LIMBAH PERTANIAN SEBAGAI PAKAN SAPI POTONG DI KABUPATEN SOPPENG SULAWESI SELATAN H A E R U D D I N SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2004 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Burung Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem maupun bagi kepentingan kehidupan manusia dan membantu penyebaran Tumbuhan yang ada disuatu kawasan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Pemeliharaan sapi perah bertujuan utama untuk memperoleh produksi susu yang tinggi dan efisien pakan yang baik serta mendapatkan hasil samping berupa anak. Peningkatan produksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang sangat tinggi dalam berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di seluruh wilayah yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Kambing 2.1.1. Kambing Kacang Menurut Mileski dan Myers (2004), kambing diklasifikasikan ke dalam : Kerajaan Filum Kelas Ordo Famili Upafamili Genus Spesies Upaspesies

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba merupakan salah satu ternak ruminansia kecil yang memiliki potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan sudah sangat umum dibudidayakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Tekukur Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang terbentang dari India dan Sri Lanka di Asia Selatan Tropika hingga ke China Selatan dan Asia

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Orangutan Orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Pongidae (Groves, 2001). Ada dua jenis orangutan yang masih hidup, yaitu jenis dari Sumatera

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 31 IV. METODE PENELITIAN 4.1.Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan secara langsung di Taman Wisata Alam (TWA) dan Cagar Alam (CA) Pananjung Pangandaran, dan menggunakan data populasi rusa timor di Taman

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.1

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.1 SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.1 1. Akar tumbuhan selalu tumbuh ke bawah. Hal ini dipengaruhi oleh... Cahaya matahari Tekanan udara

Lebih terperinci

PERANCANGAN PROTOKOL AKTA NOTARIS DIGITAL INAYATULLAH

PERANCANGAN PROTOKOL AKTA NOTARIS DIGITAL INAYATULLAH PERANCANGAN PROTOKOL AKTA NOTARIS DIGITAL INAYATULLAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Perancangan

Lebih terperinci

LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan PENGUMPULAN DATA DAN INFORMASI PRODUKTIFITAS SAVANA BEKOL PADA MUSIM PENGHUJAN

LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan PENGUMPULAN DATA DAN INFORMASI PRODUKTIFITAS SAVANA BEKOL PADA MUSIM PENGHUJAN LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan PENGUMPULAN DATA DAN INFORMASI PRODUKTIFITAS SAVANA BEKOL PADA MUSIM PENGHUJAN TAMAN NASIONAL BALURAN 2006 I. PENDAHULUAN a. Latar Belakang Savana merupakan

Lebih terperinci

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan kebutuhan daging sapi lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan daging sapi. Ternak sapi,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman II. TINJAUAN PUSTAKA A. Keanekaragaman Burung di Pantai Trisik Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman hayati di Yogyakarta khususnya pada jenis burung. Areal persawahan, laguna

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. lingkungannya (Alikodra, 2002). Tingkah laku hewan adalah ekspresi hewan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. lingkungannya (Alikodra, 2002). Tingkah laku hewan adalah ekspresi hewan yang 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Rusa Sambar Perilaku satwa liar merupakan gerak gerik satwa liar untuk memenuhi rangsangan dalam tubuhnya dengan memanfaatkan rangsangan yang diperoleh dari lingkungannya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Organisasi merupakan suatu gabungan dari orang-orang yang bekerja sama

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Organisasi merupakan suatu gabungan dari orang-orang yang bekerja sama 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Organisasi Organisasi merupakan suatu gabungan dari orang-orang yang bekerja sama dalam suatu pembagian kerja untuk mencapai tujuan bersama (Moekijat, 1990). Fungsi struktur

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Boer Jawa (Borja) Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan antara kambing Afrika lokal tipe kaki panjang dengan kambing yang berasal

Lebih terperinci

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

PENDUGAAN POPULASI RUSA TOTOL ( Axis axis ) DI ISTANA BOGOR DENGAN METODE CONTENTRATION COUNT. Oleh :

PENDUGAAN POPULASI RUSA TOTOL ( Axis axis ) DI ISTANA BOGOR DENGAN METODE CONTENTRATION COUNT. Oleh : PENDUGAAN POPULASI RUSA TOTOL ( Axis axis ) DI ISTANA BOGOR DENGAN METODE CONTENTRATION COUNT Oleh : Isniatul Wahyuni 1) (E34120017), Rizki Kurnia Tohir 1) (E34120028), Yusi Widyaningrum 1) (E34120048),

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

> MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

> MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA > MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.18/Menhut-II/2004 TENTANG KRITERIA HUTAN PRODUKSI YANG DAPAT DIBERIKAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN ALAM

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konversi hutan di Pulau Sumatera merupakan ancaman terbesar bagi satwa liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 2000, tidak kurang

Lebih terperinci

TERNAK KAMBING 1. PENDAHULUAN 2. BIBIT

TERNAK KAMBING 1. PENDAHULUAN 2. BIBIT TERNAK KAMBING 1. PENDAHULUAN Ternak kambing sudah lama diusahakan oleh petani atau masyarakat sebagai usaha sampingan atau tabungan karena pemeliharaan dan pemasaran hasil produksi (baik daging, susu,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke dalam keluarga Hylobatidae. Klasifikasi siamang pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Hylobates syndactylus

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

FLORA DAN FAUNA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

FLORA DAN FAUNA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA FLORA DAN FAUNA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA Indentitas Flora dan Fauna Indonesia Indonesia merupakan negara yang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sumberdaya lahan merupakan suatu sumberdaya alam yang sangat penting bagi mahluk hidup, dengan tanah yang menduduki lapisan atas permukaan bumi yang tersusun

Lebih terperinci

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa 3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa Lahan basah non rawa adalah suatu lahan yang kondisinya dipengaruhi oleh air namun tidak menggenang. Lahan basah biasanya terdapat di ujung suatu daerah ketinggian

Lebih terperinci

BERTEMPAT DI GEREJA HKBP MARTAHAN KECAMATAN SIMANINDO KABUPATEN SAMOSIR Oleh: Mangonar Lumbantoruan

BERTEMPAT DI GEREJA HKBP MARTAHAN KECAMATAN SIMANINDO KABUPATEN SAMOSIR Oleh: Mangonar Lumbantoruan LAPORAN PENYULUHAN DALAM RANGKA MERESPON SERANGAN WABAH PENYAKIT NGOROK (Septicae epizootica/se) PADA TERNAK KERBAU DI KABUPATEN SAMOSIR BERTEMPAT DI GEREJA HKBP MARTAHAN KECAMATAN SIMANINDO KABUPATEN

Lebih terperinci

Individu Populasi Komunitas Ekosistem Biosfer

Individu Populasi Komunitas Ekosistem Biosfer Ekosistem adalah kesatuan interaksi antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem juga dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik yang komplek antara organisme dengan lingkungannya. Ilmu yang

Lebih terperinci

BAB V PERENCANAAN LANSKAP ANCOL ECOPARK

BAB V PERENCANAAN LANSKAP ANCOL ECOPARK 26 BAB V PERENCANAAN LANSKAP ANCOL ECOPARK 5.1 Konsep Pengembangan Ancol Ecopark Hingga saat ini Ancol Ecopark masih terus mengalami pengembangan dalam proses pembangunannya. Dalam pembentukan konsep awal,

Lebih terperinci

DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR

DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 ABSTRAK DADAN SUHENDAR. Dampak Perubahan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat Habitat adalah kawasan yang terdiri dari berbagai komponen baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang

Lebih terperinci

LEMBAR PENGESAHAN. 2. Bidang Kegiatan : ( ) PKM-AI ( ) PKM-GT

LEMBAR PENGESAHAN. 2. Bidang Kegiatan : ( ) PKM-AI ( ) PKM-GT LEMBAR PENGESAHAN 1. Judul Kegiatan : Pengembangan Kerbau Lokal sebagai Alternatif Pemenuhan Kebutuhan Daging di Indonesia dengan Recording Information System 2. Bidang Kegiatan : ( ) PKM-AI ( ) PKM-GT

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada saat ini, banteng (Bos javanicus d Alton 1823) ditetapkan sebagai jenis satwa yang dilindungi undang-undang (SK Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/7/1972) dan

Lebih terperinci

ARAHAN PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU KOTA PONTIANAK ISKANDAR ZULKARNAIN

ARAHAN PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU KOTA PONTIANAK ISKANDAR ZULKARNAIN ARAHAN PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU KOTA PONTIANAK ISKANDAR ZULKARNAIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK ISKANDAR ZULKARNAIN. Arahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau

Lebih terperinci

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. Tujuan pembangunan sub sektor peternakan Jawa Tengah adalah untuk

PENGANTAR. Latar Belakang. Tujuan pembangunan sub sektor peternakan Jawa Tengah adalah untuk PENGANTAR Latar Belakang Tujuan pembangunan sub sektor peternakan Jawa Tengah adalah untuk meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga yang berbasis pada keragaman bahan pangan asal ternak dan potensi sumber

Lebih terperinci

Ekologi Padang Alang-alang

Ekologi Padang Alang-alang Ekologi Padang Alang-alang Bab 2 Ekologi Padang Alang-alang Alang-alang adalah jenis rumput tahunan yang menyukai cahaya matahari, dengan bagian yang mudah terbakar di atas tanah dan akar rimpang (rhizome)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Tempat Penelitian 4.1.1. Sejarah UPTD BPPTD Margawati Garut Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Domba atau disingkat UPTD BPPTD yaitu

Lebih terperinci

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka Burung Jalak Bali Burung Jalak Bali Curik Bali atau yang lebih dikenal dengan nama Jalak Bali, merupakan salah satu spesies burung cantik endemis Indonesia. Burung

Lebih terperinci

Oleh: Rodianto Ismael Banunaek, peternakan, ABSTRAK

Oleh: Rodianto Ismael Banunaek, peternakan, ABSTRAK PENDEKATAN ANALISIS SWOT DALAM MANAJEMEN PEMELIHARAAN SAPI BALI PROGRAM BANTUAN SAPI BIBIT PADA TOPOGRAFI YANG BERBEDA DI KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN NTT Oleh: Rodianto Ismael Banunaek, peternakan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari Bryophyta (Giulietti et al., 2005). Sedangkan di Indonesia sekitar

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari Bryophyta (Giulietti et al., 2005). Sedangkan di Indonesia sekitar 14 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, setelah Brazil (Anonimus, 2009). Brazil merupakan salah satu negara dengan flora

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada gangguan akibat beragam aktivitas manusia, sehingga mengakibatkan kerusakan ekosistem hutan yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) 2.1.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis

Lebih terperinci

KAJIAN EKOLOGI POPULASI RUSA SAMBAR (Cervus unicolor) DALAM PENGUSAHAAN TAMAN BURU GUNUNG MASIGIT KAREUMBI 1)

KAJIAN EKOLOGI POPULASI RUSA SAMBAR (Cervus unicolor) DALAM PENGUSAHAAN TAMAN BURU GUNUNG MASIGIT KAREUMBI 1) KAJIAN EKOLOGI POPULASI RUSA SAMBAR (Cervus unicolor) DALAM PENGUSAHAAN TAMAN BURU GUNUNG MASIGIT KAREUMBI 1) (Study on Ecology of Cervus unicolor Population in the Development of Gunung Masigit Kareumbi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang (tersebar di Pulau Sumatera), Nycticebus javanicus (tersebar di Pulau Jawa), dan Nycticebus

Lebih terperinci

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E14101043 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN LUKMANUL HAKIM.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati. Negara ini dikenal sebagai negara megabiodiversitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu kawasan yang terletak pada daerah tropis adalah habitat bagi kebanyakan hewan dan tumbuhan untuk hidup dan berkembang biak. Indonesia merupakan

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. keberhasilan usaha pengembangan peternakan disamping faktor bibit dan

TINJAUAN PUSTAKA. keberhasilan usaha pengembangan peternakan disamping faktor bibit dan TINJAUAN PUSTAKA Sumberdaya Pakan Pakan adalah bahan makanan tunggal atau campuran, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diberikan kepada hewan untuk kelangsungan hidup, berproduksi, dan berkembang

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 24 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Nilai Gizi Pakan Gizi pakan rusa yang telah dianalisis mengandung komposisi kimia yang berbeda-beda dalam unsur bahan kering, abu, protein kasar, serat kasar, lemak kasar

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun II.TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun demikian burung adalah satwa yang dapat ditemui dimana saja sehingga keberadaanya sangat sulit dipisahkan

Lebih terperinci

KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH

KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH oleh : WAHYUDIONO C 64102010 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

Karakteristik Kuantitatif Sapi Pasundan di Peternakan Rakyat... Dandy Dharma Nugraha KARAKTERISTIK KUANTITATIF SAPI PASUNDAN DI PETERNAKAN RAKYAT

Karakteristik Kuantitatif Sapi Pasundan di Peternakan Rakyat... Dandy Dharma Nugraha KARAKTERISTIK KUANTITATIF SAPI PASUNDAN DI PETERNAKAN RAKYAT KARAKTERISTIK KUANTITATIF SAPI PASUNDAN DI PETERNAKAN RAKYAT QUANTITATIVE CHARACTERISTICS OF PASUNDAN CATTLE IN VILLAGE FARMING Dandy Dharma Nugraha*, Endang Yuni Setyowati**, Nono Suwarno** Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

Keberhasilan Pembangunan Peternakan di Kabupaten Bangka Barat. dalam arti yang luas dan melalui pendekatan yang menyeluruh dan integratif dengan

Keberhasilan Pembangunan Peternakan di Kabupaten Bangka Barat. dalam arti yang luas dan melalui pendekatan yang menyeluruh dan integratif dengan Keberhasilan Pembangunan Peternakan di Kabupaten Bangka Barat Pembangunan peternakan merupakan bagian dari pembangunan pertanian dalam arti yang luas dan melalui pendekatan yang menyeluruh dan integratif

Lebih terperinci