kekuasaan. Menurutnya, tatanan geopolitik merupakan produk dari suatu gagasan politik yang disebutnya sebagai geopolitical code.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "kekuasaan. Menurutnya, tatanan geopolitik merupakan produk dari suatu gagasan politik yang disebutnya sebagai geopolitical code."

Transkripsi

1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kajian geografi politik senantiasa menekankan pada bagaimana hubungan antara aktor politik, kekuasaan, dan teritori berproses di permukaan bumi serta menciptakan berbagai variasi spasial dari gejala politik (Clark, 1991; Jones et al, 2004). Salah satu wujud dari hubungan tersebut terungkap dalam pembentukan ruang kekuasaan atau teritori. Proses terbentuknya teritori sering disebut dengan istilah teritorialisasi. Di dalamnya tercakup juga upaya pendefinisian, penguasaan, dan pengendalian teritori oleh suatu kekuatan politik tertentu (Piliang, 2005). Mengingat teritori memiliki peran penting bagi eksistensi suatu kekuatan politik, maka teritorialisasi dapat dikatakan sebagai bagian dari upaya suatu kekuatan politik tertentu untuk mengartikulasikan kekuasaannya (Hensel, 2000). Dalam hal ini dapat dinyatakan bahwa pembentukan atau penciptaan teritori merupakan produk dari politik teritorial. Dalam geografi politik, politik teritorial merupakan salah satu tema kajian yang menarik karena terkait dengan isu petarungan ideologi, persaingan kekuasaan, dan keterikatan terhadap ruang (Storey, 2001). Politik teritorial merupakan sebuah praktek politik yang terkait dengan wilayah kekuasaan. Di dalam praktek tersebut, suatu entitas politik bukan saja memperluas wilayah kekuasaannya tetapi juga membangun jaring-jaring kekuasaan yang terangkai dari satu lokasi ke lokasi yang lain. Jaringan kekuasan itulah yang nantinya akan menciptakan peluang bagi entitas politik tersebut untuk terus mempertahankan atau memperkuat kedudukannya melalui penguasaan sumber-sumber ekonomi yang tersebar di berbagai tempat. Taylor (1993) menyebut jaringan kekuasaan tersebut sebagai tatanan geopolitik atau geopolitical order. Dalam hal ini ia berpendapat bahwa tatanan geopolitik adalah suatu bentuk keteraturan spasial yang membentang dalam wilayah tertentu yang pembentukannya dilatarbelakangi dan sekaligus ditujukan untuk kepentingan 1

2 kekuasaan. Menurutnya, tatanan geopolitik merupakan produk dari suatu gagasan politik yang disebutnya sebagai geopolitical code. Sementara itu, Harvey (2010) menyatakannya sebagai wujud dari bertemunya dua logika teritorial, yaitu logika kekuasaan dan logika kapitalis. Pendapat Taylor dan Harvey di atas menegaskan bahwa setiap praktek politik selalu dilatari oleh suatu cara pandang dan cara berpikir tertentu; yang sekaligus menunjukkan bekerjanya unsur subjektivitas dari para pelaku politik. Di dunia politik subjektivitas dapat disetarakan dengan ideologi. Secara garis besar, ideologi ini dapat dipahami sebagai sebuah sistem gagasan, sistem kepercayaan, atau sistem nilai yang dapat direpresentasikan dalam berbagai bentuk (Piliang, 2003). Sementara itu, menurut Althusser (2008), ideologi merepresentasikan hadirnya imajinasi manusia tentang berbagai kenyataan dunia. Althusser juga menyatakan bahwa imajinasi tersebut memiliki eksistensi materialnya dalam bentuk praktek-praktek kehidupan. Praktek-praktek dimaksud memungkinkan terjadinya modifikasi dan reproduksi tatanan kehidupan; yang sesungguhnya juga menjadi wadah persemaian bagi ideologi itu sendiri. Althusser juga berkeyakinan bahwa ideologi bekerja dalam berbagai bentuk baik berupa pengetahuan, pencitraan, pemaknaan, dan juga penandaan; yang kesemuanya menciptakan efek mendalam bagi kehidupan manusia. Oleh sebab itu, menurut Althusser, ideologi senantiasa memuat apa yang disebut olehnya sebagai modus produksi dominan. Dengan demikian, apabila politik teritorial dipahami sebagai upaya untuk menciptakan atau memproduksi ruang kekuasaan; maka di dalamnya terkandung modus produksi ruang yang dilatari oleh sistem gagasan tertentu. Modus produksi tersebut menggambarkan bagaimana sebuah kekuatan politik membangun konsep tentang dunia, memberinya makna, serta melakukan tindakan sesuai dengan persepsi, motif, harapan, dan kepentingan yang melingkupinya. Sehubungan dengan itu, Lefebvre (1991) memperkenalkan istilah praktek spasial (spatial practice) untuk menjelaskan keterkaitan antara perasaan terhadap ruang dengan praktek kehidupan. Penjelasan tersebut diuraikannya dalam teori produksi ruang. Melalui teori tersebut. Lefebvre menyatakan bahwa ruang tidak dapat 2

3 dilepaskan dari berbagai praktek kehidupan yang terbungkus oleh hubunganhubungan sosial. Produksi ruang, menurut Lefebvre, sangat terkait dengan berbagai praktek yang dilakukan oleh manusia serta bagaimana praktek-praktek tersebut berinteraksi dengan unsur-unsur ruang baik yang dapat dideteksi oleh indera manusia maupun yang terkonsepsi di dalam pikiran manusia. Teori Lafebvre di atas dapat digolongkan sebagai bagian dari analisis spasial beraliran neo-marxian (Ritzer dan Goodmann, 2003). Berbeda dengan gagasan awal marxisme yang memandang manusia sebagai mahkluk pekerja, aliran neo-marxian lebih memandang manusia sebagai mahkluk budaya yang berpikir (Adian, 2006). Cara pandang neo-marxian tersebut mendorong kelahiran aliran geografi humanistik yang berkembang pada tahun 1980-an di bawah tradisi pemikiran kritis (Johnston, 1983; Blomley, 2006). Kemunculan aliran baru ini merupakan salah satu momentum penting dalam perkembangan disiplin geografi yang menandai semakin besarnya perhatian terhadap peranan unsur subjektivitas dan konstruksi sosial dalam membentuk gejala keruangan (Buttimer, 2003). Sejalan dengan perkembangan tersebut, ruang tidak lagi dipahami sebagai sebuah wujud fisik; melainkan sebagai representasi dari kesadaran, pengetahuan, dan perasaan manusia (Tuan, 1977; Cavalaro, 2001; Milun, 2007). Dalam disiplin geografi, perhatian pada gejala produksi ruang yang terkait dengan subjektivitas dan persaingan kekuasaan merupakan salah satu ciri utama dari tradisi geografi kritis (Johnston, dkk, 2000). Di bawah tradisi tersebut, proses-proses keruangan dipahami sebagai wujud dari adanya hubungan timbal balik yang terus menerus (dialektika) antara sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem sosial (Smith dan O Keefe, 1980; Cox, 2005). Dalam dialektika tersebut faktor kesadaran manusia berperan sebagai unsur terpenting (Ritzer dan Goodman, 2003). Soja (1980) menyebut proses ini sebagai socio-spatial dialetic yang dapat menyebabkan perubahan struktur keruangan secara radikal sebagai cermin dari berlangsungnya perubahan-perubahan fundamental situasi sosial politik masyarakat. Perubahan fundamental tersebut merupakan implikasi dari adanya pola-pola dominasi dan resistensi di tengah masyarakat (Johnston, dkk, 3

4 2000). Sehubungan dengan itu, tujuan utama geografi kritis ini adalah untuk memahami dan memaknai fenomena keruangan sebagai bagian dari proses kehidupan manusia yang terbentuk oleh dialektika antara kesadaran manusia, kondisi lingkungan, dan situasi sosial politik yang melingkupinya (Hickey dan Lawson, 2005) Dalam kajian geografi politik, salah satu implikasi penting dari perkembangan di atas adalah berkembangnya geopolitik kritis yang meyakini gejala-gejala geopolitik sebagai konsekuensi dari adanya berbagai praktek keruangan dan jaring-jaring kekuasaan dalam suatu struktur sosial politik tertentu (Agnew, 1998; O Tuathail dan Dalby, 1998). Ruang kekuasaan pun dipahami sebagai sebuah konstruksi politik yang sangat dinamis, dihasilkan oleh kesadaran manusia, serta berperan penting sebagai pembentuk identitas politik, budaya, dan sosial secara sekaligus. Berbagai gejala dan kenampakkan keruangan yang terkait dengan kekuasaan tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang tampil apa adanya, melainkan sebagai wujud eksistensi dan identitas kekuatan politik tertentu yang sarat dengan makna. Tema-tema yang terkait dengan produksi ruang seperti pemaknaan, komodifikasi, pencitraan, dan simbolisasi lokasi semakin mengemuka (Mammadouh, 1998). Salah satu gejala keruangan yang memiliki keterkaitan erat dengan politik teritorial adalah gejala pertumbuhan kota. Kota-kota utama di dunia ketiga, misalnya, muncul dan berkembang pada lokasi-lokasi yang memungkinkan terjadinya konsolidasi kekuasaan politik (Evers dan Korff 2002). Lokasi kotakota tersebut mencerminkan keuntungan komparatifnya untuk mengembangkan dominasi politik dan ekonomi terhadap wilayah sekitarnya (Grofman dan Gray, 2000). Berbagai simbol kekuasaan seperti istana, benteng pertahanan, pelabuhan laut, dan pusat perekonomian pun didirikan pada lokasi-lokasi tersebut. Semua itu menjadi pertanda akan eksistensi suatu kekuatan politik. Kota-kota itupun menjelma menjadi basis utama bagi kekuatan politik dimaksud untuk memperluas pengaruh kekuasaannya hingga menjangkau tempat-tempat lain di sekitarnya; sehingga membentuk suatu ruang kehidupan (labensraum) yang memungkinkan terbentuknya suatu sistem politik yang dikenal dengan negara. 4

5 Kota-kota, dengan demikian, tidak tumbuh pada sembarang tempat. Ia tumbuh pada lokasi-lokasi tertentu di mana kondisi-kondisi lokal dapat dikonversi menjadi sumber-sumber pertumbuhan kota. Berkenaan dengan itu, Karl Polanyi berpendapat bahwa pertumbuhan kota hanya dapat berlangsung dalam sebuah sistem yang terorganisasi di mana terdapat terdapat kekuasaan dominan yang mampu menciptakan keuntungan dari berbagai mekanisme setempat (Gilbert dan Gugler, 2007). Sistem terorganisasi dimaksud dapat diwakili oleh negara dalam berbagai bentuknya. Dengan mempertimbangkan faktor negara, kajian tentang pertumbuhan kota seyogyanya tidak lagi berorientasi pada intensive-single case namun lebih menekankan pada extensive-system case, seperti yang disarankan oleh Fields (1999). Melalui penekanan tersebut, faktor pertumbuhan kota tidak hanya mencakup penduduk, perdagangan, dan produksi; tetapi diperluas hingga faktor pembentukan negara (state building). Merujuk pada saran Field tersebut, kota tidak lagi dipandang sebagai entitas tunggal yang bersifat independen, melainkan bagian dari sebuah lingkungan lebih luas di mana kekuatan-kekuatan politik saling bersaing demi memperkokoh eksistensinya.. Segenap ulasan di atas menunjukkan bahwa gejala pertumbuhan kota, termasuk kemunculan dan keruntuhannya, mengandung dimensi geopolitik yang sangat kental (Dikshit, 1982; Agnew, 2001). Di balik pembentukan kota terdapat sistem gagasan tertentu yang terkait dengan penguasaan dan pengendalian teritorial. Demi tujuan tersebut beberapa lokasi yang memiliki nilai strategis akan diperlakukan secara khusus. Pada lokasi yang bernilai tinggi itulah, kota-kota utama ditempatkan dan dibangun sebagai pusat, simbol, dan sekaligus identitas kekuasaan politik. Pada lokasi yang lain, kota-kota yang lebih kecil juga dikembangkan sebagai pusat sekunder yang merepresentasikan hadirnya kekuasaan politik di wilayah-wilayah pinggiran yang jauh dari kota utama; namun memiliki sumber-sumber ekonomi yang penting bagi kekuasaan. Oleh karena itu, sebagaimana dinyatakan oleh Max Webber, pada dasarnya kota adalah wujud dari rasionalisasi politik (Ratna, 2004; Parker; 2004). Sebagai sebuah hasil rasionalisasi, kota adalah representasi dari kesadaran dan pengetahuan manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Atau, 5

6 dengan kata lain, kota merupakan hasil penafsiran manusia terhadap lingkungannya (Shields, 1996). Kemunculan atau keruntuhan suatu kota merupakan jejak yang ditinggalkan oleh berbagai tindakan manusia. Sehingga Françoise Choay pun berpendapat bahwa kota adalah teks tentang perkembangan manusia yang didasarkan atas sejumlah ide, visi, atau harapan (Kusumawijaya, 2008). Sebagai akibatnya, kota dapat dipahami sebagai representasi dari suatu konteks kultural tertentu yang di dalamnya terkandung sejumlah gagasan dasar. Dalam hal ini, kota akan dipandang sebagai suatu gejala keruangan yang lahir dan tumbuh sebagai akibat dari adanya keinginan kolektif manusia untuk mengekspresikan gagasannya. Hal ini menegaskan bahwa gejala pertumbuhan kota memiliki keterkaitan erat dengan sistem gagasan manusia. Pulau Jawa adalah wilayah di Indonesia memiliki sejarah yang kompleks dan panjang baik dalam kehidupan berpolitik maupun perkembangan kota. Kedua gejala tersebut telah muncul di Pulau Jawa sejak masuknya pengaruh India berupa ajaran Hindu-Budha (Rutz, 1987). Dalam hal ini, pengaruh India telah mendorong proses penggabungan wilayah dalam bentuk kerajaan-kerajaan (Lombard, 2005a) yang diikuti oleh pendirian istana dan pembentukan ibukota kerajaan. Hal ini menunjukkkan bahwa sejak masa lalu gejala pertumbuhan kota di Pulau Jawa tidak dapat dilepaskan dari dinamika politik. Berkenaan dengan itu, peneliti-peneliti seperti Wertheim (1957), Keyfitz (1976); Nas (1986), Rutz (1987), dan Rahardjo (2007) telah mencoba mengulas keterkaitan antara dinamika politik dan gejala pertumbuhan kota tersebut. Namun demikian perlu dicatat bahwa para peneliti di atas tidak membicarakan Pulau Jawa secara spesifik, namun dalam konteks Kepulauan Nusantara, sehingga bagaimana sesungguhnya implikasi dinamika politik terhadap pertumbuhan kota di Pulau Jawa belum dapat diketahui secara mendalam. Sehubungan dengan itu, pembahasan penelitian ini akan difokuskan pada penerapan politik teritorial di Pulau Jawa yang berlangsung di bawah sistem gagasan tertentu serta implikasi terhadap pertumbuhan kota. Pemilihan Pulau Jawa sebagai wilayah penelitian didasarkan pada fakta yang memperlihatkan bahwa selain sebagai tempat bertemunya berbagai kekuatan politik selama berabad-abad, Pulau Jawa adalah wilayah dengan gejala 6

7 pertumbuhan kota tertinggi di Indonesia. Kedua fenomena tersebut tidak dapat dilepaskan dari letak dan kondisi alam Pulau Jawa. Posisi strategis Pulau Jawa pada alur pelayaran Selat Malaka dan Laut Cina Selatan yang menghubungkan dua pusat kebudayaan dunia, Cina dan India telah menjadikan Pulau Jawa sebagai tempat singgah ideal bagi kelompok-kelompok pedagang mancanegara yang kemudian berkembang menjadi kekuatan politik. Sementara itu, kondisi alam Pulau Jawa yang terdiri dari dataran landai di pesisir utara, lembah-lembah luas di pedalaman, serta tanah-tanah volkanik yang subur di hampir sebagian besar pulau; memungkinkan tersedianya sumber-sumber kehidupan sebagai landasan dasar bagi pertumbuhan kota. Demi mendapatkan pemahaman yang komprehensif, penelitian ini akan mencakup keseluruhan wilayah Pulau Jawa (tidak termasuk Pulau Madura) dengan luas lebih kurang km persegi agar dapat mengulas implikasi politik teritorial pada keseluruhan wilayah topografi Jawa yang sangat bervariasi. Ditinjau dari rentang waktunya, penelitian akan berawal dari abad ke-15 sebagai kurun waktu yang mengawali pesatnya pertumbuhan kota di Pulau Jawa (Reid, 1992; de Graaf dan Pigeaud, 2001; Lombard, 2005a); dan akan berakhir pada abad ke-19 saat pertumbuhan kota di Pulau Jawa justru menunjukkan gejala penurunan (Boomgaard, 2004). Selain itu, pada kedua masa juga merepresentasikan situasi politik yang jauh berbeda. Jika pada abad ke-15 Pulau Jawa merupakan wilayah yang tersekat-sekat secara politik (Ricklef, 2001), maka pada abad ke-19 sekat-sekat tersebut telah terbuka sehingga Pulau Jawa menjelma menjadi wilayah yang jauh lebih kompak secara politik (Lombard, 2005c). Sama halnya dengan penetapan wilayah penelitian, penetapan periode pengamatan selama lebih kurang 5 abad ini ditujukan untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif karena dapat mencakup semua ideologi politik-ekonomi yang pernah hadir di Pulau Jawa baik yang dikandung oleh Indianisasi, Islamisasi, maupun Pembaratan. Luasnya wilayah serta lamanya rentang waktu pengamatan menunjukkan tingginya kompleksitas fenomena yang dikaji dalam penelitian ini. Oleh sebab itu, penelitian ini akan menerapkan dua pendekatan yang saling melengkapi, yaitu 7

8 pendekatan diakronik dan pendekatan keruangan. Penerapan pendekatan diakronik akan mengacu pada pendapat Kuntowijoyo (2003) yang menyatakan bahwa tujuan pendekatan ini bukan hanya untuk memahami secara mendalam struktur suatu gejala kehidupan, tetapi juga untuk memahami gerak yang memanjang dalam waktu dari gejala tersebut. Adapun, pendekatan keruangan berupaya memberikan penjelasan tentang persebaran keruangan (spatial distribution) dari suatu atau beberapa gejala (Whiterick, dkk, 2001; Aitken dan Valentine, 2006). Penjelasan tentang persebaran tersebut bukan hanya mencakup persoalan di mana, tetapi juga mengapa di sana sehingga dapat memberikan penjelasan yang mendalam mengenai struktur keruangan Pulau Jawa berdasarkan sudut pandang geopolitik. Dengan demikian, secara keseluruhan, perpaduan dari kedua pendekatan di atas akan memungkinkan penelitian ini untuk mendalami pola spasial pertumbuhan kota-kota di Pulau Jawa serta ideologi dan praktek politik yang melatarbelakangi terciptamya pola spasial tersebut Perumusan Masalah Selama berabad-abad berbagai kekuatan politik tumbuh dan berkembang di Pulau Jawa dengan kepentingan dan tradisinya masing-masing. Beberapa di antaranya dapat hidup dalam jangka waktu yang lama, beberapa lainnya hanya bertahan dalam periode yang sangat singkat. Pengalihan kekuasaan pun terjadi silih berganti dari satu rezim ke rezim lainnya. Paham dan tradisi politik juga bergeser dari satu ideologi ke ideologi lainnya. Pergeseran ideologi tersebut berakibat pada perubahan corak kekuasaan yang berlaku di Pulau Jawa dari waktu ke waktu. Salah satunya terlihat dari penerapan politik teritorial yang dijalankan oleh rezim-rezim kekuasaan tersebut. Kerajaan Sunda Hindu yang berkuasa di Jawa bagian barat, misalnya, menjalankan politik teritorial yang bersifat pasif jika dibandingkan dengan agresifitas politik teritorial Kerajaan Mataram Islam di Jawa Tengah (Sumardjo, 2002). Sementara itu, corak agresifitas politik teritorial Kerajaan Mataram yang dimulai dari pedalaman, juga memiliki perbedaan dengan agresifitas politik teritorial yang dijalankan oleh VOC yang berawal dari pesisir (Lombard, 2005a; 2005b). 8

9 Perbedaan corak politik teritorial di atas mencerminkan adanya perbedaan konsep ruang yang dianut oleh setiap rezim kekuasaan. Berkenaan dengan itu, Sumardjo (2002) mengetengahkan adanya tiga model pemahaman ruang yang berlaku di Pulau Jawa; yaitu (1) model dualistik, (2) model kesatuan tiga, dan (3) model kesatuan lima. Menurut Sumardjo, ketiganya merupakan produk dari gagasan dasar penduduk di Pulau Jawa mengenai diri dan lingkungannya. Sumardjo mengungkapkan bahwa sejalan dengan masuknya pengaruh India dan Islam di Pulau Jawa, ketiga model tersebut turut mengalami transformasi tanpa menghilangkan esensinya, yaitu mencapai keharmonisan. Namun, masuknya pengaruh Barat justru menganggu ketiga model dasar tersebut karena konsep ruang Barat lebih menitikberatkan pada pencapaian dominasi dari pada pencapaian harmonisasi (Capra 2002; Smith, 2005). Model-model pemahaman ruang di atas tidak hanya berlaku di tengah kehidupan masyarakat umum, tetapi juga di kalangan elit politik di Pulau Jawa. Model-model tersebut mencerminkan subjektivitas setiap rezim kekuasaan dalam memberikan penilaian dan pemaknaan pada suatu lokasi guna dijadikan landasan untuk memperlakukan serta menata ruang kekuasaannya. Dengan demikian, setiap rezim kekuasaan memiliki preferensi lokasi yang khas terutama untuk menentukan lokasi pusat kekuasaanya. Oleh karena itu tidak mengherankan jika pergantian kekuasaan dari satu rezim ke rezim lainnya akan diiringi oleh kemunculan istana baru pada lokasi yang berbeda dengan sebelumnya. Hal ini terlihat jelas dalam lima abad terakhir ini ketika pusat kekuasaan di Pulau Jawa bergeser dari timur ke barat, yaitu mulai dari Trowulan (abad ke-14), Demak (abad ke-16), Mataram (abad ke-17) dan akhirnya ke Batavia (abad ke-19). Selain memperlihatkan gejala teritorialisasi di Pulau Jawa yang terus berubah-ubah dari masa ke masa, pergeseran pusat kekuasaan di atas juga mengisyaratkan adanya keterkaitan antara teritorialisasi politik dan pertumbuhan kota. Dalam hal ini, kota-kota tersebut tumbuh dan berkembang sebagai simbol eksistensi suatu rezim kekuasaan maupun sebagai bagian dari simpul jaringan kekuasaan. Tidak tertutup kemungkinan bahwa kemunculan sebagian kota-kota 9

10 tersebut juga berkaitan erat dengan gejala penaklukan wilayah yang seringkali berjalan seiring dengan pembentukan kerajaan. Sehubungan dengan itu, situasi Pulau Jawa pada abad ke-15 dan ke-19 memperlihatkan beberapa fenomena penting yang patut memperoleh perhatian lebih. Berkenaan dengan teritorialisasi, sebagaimana dinyatakan oleh Ricklefs (2001), abad ke-15 merupakan bagian dari periode puncak pembentukan negaranegara prakolonial di nusantara dalam wujud kerajaan-kerajan besar, termasuk di Pulau Jawa. Pada masa ini, Pulau Jawa terfragmentasi ke dalam teritori-teritori politik yang mana masing-masing teritori dikendalikan oleh tradisi kekuasaan yang berbeda. Dalam situasi tersebut, ketidakstabilan politik sangat mungkin terjadi yang antara lain dipicu oleh konflik teritorial untuk menguasai sumber kehidupan atau sumber keuntungan ekonomi. Berbeda dengan situasi pada abad ke-15, kondisi politik abad ke-19 tampaknya relatif lebih stabil terutama sejak berakhirnya Perang Diponegoro tahun Sejak masa itu seluruh wilayah Pulau Jawa telah berhasil dikendalikan sepenuhnya oleh satu kekuasaan tunggal, yaitu negara kolonial Hinda Belanda (Lombard, 2005c). Konflik teritorial dan penaklukan wilayah tidak lagi menjadi fenomena utama. Sebaliknya, upayaupaya untuk mengambil keuntungan ekonomi dari kekayaan alam Pulau Jawa semakin gencar dilakukan antara lain melalui pengembangan pelabuhan, pembukaan perkebunan dan persawahan, atau pengembangan jaringan jalan Sementara itu, dalam kaitannya dengan pertumbuhan kota, abad ke-15 merupakan periode awal dari pesatnya pertumbuhan kota-kota di Pulau Jawa (Rutz, 1987) yang distimulasi oleh dua proses penting yang saling terkait yaitu ekspansi perdagangan Cina ke Asia Tenggara dan penyebarluasan agama Islam (Reid, 1999; de Graff dan Pigeaud 2001; Lombard, 2005a). Memasuki abad ke- 19, gejala pertumbuhan kota di Pulau Jawa tampaknya berubah ke pola yang lebih membingungkan. Di satu pihak, Boomgard (2004) berpendapat bahwa pada abad ke-19 pertumbuhan kota di Pulau Jawa justru mengalami penurunan. Ia menggambarkan bahwa pertumbuhan penduduk yang tinggi di Pulau Jawa pada abad ke-19 tidak berakibat pada tingginya urbanisasi. Namun di sisi lain, catatan 10

11 Rutz (1987) justru memperlihatkan bahwa pada abad ke-19 terdapat lebih kurang 50 kota yang muncul di berbagai tempat di Pulau Jawa. Dengan demikian, periode antara abad ke-15 hingga ke-19 merupakan penggalan waktu dalam sejarah panjang Pulau Jawa yang bukan hanya memperlihatkan perjalanan pulau tersebut dari suatu wilayah yang tidak stabil dan tersekat-sekat secara politik hingga menjadi suatu wilayah yang stabil dan kompak; namun juga memperlihatkan bagaimana dinamika pertumbuhan kota di Pulau Jawa mengalami perubahan dari satu pola ke pola yang lain. Hal ini mengisyaratkan bahwa bersamaan dengan penerapan berbagai corak politik teritorial di Pulau Jawa sesungguhnya juga terjadi proses pertumbuhan kota. Jika dikaitkan dengan model pemahaman ruang seperti yang disampaikan oleh Sumardjo (2002) serta berlangsungnya proses Indianisasi, Islamisasi, dan Pembaratan seperti yang digambarkan oleh Lombard (2005c), maka penerapan politik teritorial dan pertumbuhan kota tidak dapat dilepaskan dari sistem gagasan atau ideologi yang dianut oleh para rezim kekuasaan yang pernah berkuasa di Pulau Jawa. Oleh sebab itu, situasi Pulau Jawa pada abad ke-15 hingga ke-19 tersebut juga memberikan suatu penegasan bagi perlunya upaya-upaya ilmiah untuk memahami sejauh mana sistem gagasan yang terkandung dalam politik teritorial memberikan kontribusi pada terciptanya konfigurasi spasial pembentukan, pertumbuhan, dan perkembangan kota-kota di Pulau Jawa. Salah satu di antara sistem gagasan tersebut terkait dengan konsep pusat yang merupakan konsep penting dalam berbagai kajian politik dan ekonomi baik sebagai cermin dari ideologi politik, karakter pemahaman ruang yang berlaku dalam suatu masyarakat, maupun sebagai wujud konsentrasi kekuasaan. Berdasarkan hal itu, penelitian ini mencoba untuk memahami implikasi dinamika politik teritorial yang dibentuk oleh pergeseran konsep pusat pada berbagai rezim kekuasaan di Pulau Jawa sejak abad ke-15 hingga abad ke-19 terhadap pertumbuhan kota. 11

12 1.3. Keaslian Penelitian Paling tidak terdapat empat tulisan ilmiah penting yang terkait erat dengan pertumbuhan kota di Indonesia. Tulisan pertama adalah karya Nathan Keyfitz berjudul The Ecology of Indonesian Cities yang telah dipublikasikan pada tahun Tulisan berikutnya adalah The Early Indonesia Town: Rise and Decline of the City-State and Its Capital karya Peter J.M. Nas yang dipublikasikan tahun Sementara itu, tulisan ketiga merupakan hasil penelitian ahli geografi berkebangsaan Jerman bernama Werner Rutz yang dipublikasikan pada tahun 1987 di bawah judul Cities and Towns in Indonesia. Adapun, tulisan keempat yang berjudul Kota-Kota Prakolonial Indonesia, Pertumbuhan dan Keruntuhannya berasal dari tesis magister bidang arkeologi atas nama Supratikno Rahardjo yang telah dipublikasikan dalam bentuk buku pada tahun Berkenaan dengan kajian Keyfitz, terdapat satu catatan penting yang perlu diperhatikan yaitu bahwa pandangan-pandangan Keyfitz sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari gagasan yang dikemukakan oleh Profesor W.F. Wertheim melalui buku berjudul Indonesia Society in Transition, A Study of Social Change yang dipublikasikan tahun Dalam buku tersebut, Wertheim pada proses evolusi kota-kota di nusantara sebagai bagian dari sejarah sosial budaya Indonesia secara keseluruhan. Menurutnya, kota-kota di Indonesia berawal dari kota-kota tradisional (kota tua) yang bersifat feodal; baik di pesisir maupun pedalaman. Pada tahap berikutnya, kota-kota tersebut berkembang menjadi kota indische yang berbudaya campuran, untuk kemudian menjelma sebagai kota kolonial, dan akhirnya menjadi kota modern. Sejalan dengan itu, Wertheim juga menyatakan bahwa kota-kota di Indonesia bukan saja memiliki peran sebagai pusat perekonomian, tetapi juga sebagai pusat persebaran ideologi. Gagasan Wertheim mengenai pola perkembangan kota itulah yang kemudian diadopsi oleh Keyfitz. 1 Dalam karyanya tersebut, Keyfitz hanya mencantumkan dua sumber referensi. Sumber yang pertama adalah tulisan Keyfitz sendiri berjudul Developpement Economique Accroissement de Population: Un Exemple Actuel en Indonesie yang diterbitkan pada tahun 1958 dalam Population, 13, Adapun sumber yang kedua adalah karya W.F. Wertheim berjudul Indonesian Society in Transition yang dipublikasikan pada tahun

13 Berbeda dengan Wertheim yang sangat menekankan pada aspek sosial budaya, Keyfitz lebih memfokuskan perhatiannya pada hubungan politik dan ekonomi antara kota dan wilayah penyangganya (hinterland). Ia berkeyakinan bahwa pola-pola hubungan yang terbentuk antara kota dan wilayah penyangganya sangat ditentukan pada bagaimana kota-kota tersebut menjalankan fungsinya, baik itu fungsi ekonomi maupun administratif. Menurutnya pola hubungan tersebut akan berubah sejalan dengan perkembangan kota. Ini yang disebut oleh Keyfitz sebagai sifat ekologis dari suatu kota. Berdasarkan tahap perkembangan kota yang digagas oleh Wertheim, Keyfitz menguraikan bahwa pada periode pra-kolonial terdapat dua tipe sistem perkotaan, yaitu sistem perkotaan pedalaman yang berkembang di tengah budaya pertanian dan sistem perkotaan pesisir yang didominasi oleh aktivitas perdagangan. Pada sistem pedalaman, kota lebih berperan sebagai pusat administrasi, dari mana penguasa kota berupaya membina hubungan dengan para petani di wilayah penyangga. Sementara itu, pada sistem pesisir, kota lebih berperan sebagai pasar; tempat terjadinya pertukaran antara produk-produk yang dihasilkan oleh wilayah penyangga dengan barang-barang mewah dari manca negara. Memasuki periode kolonial, dualisme sistem perkotaan di atas tampaknya semakin lenyap. Pusat kekuasaan kolonial yang terletak di pesisir menjelma menjadi kekuatan dominan dan memegang kendali penuh bahkan hingga ke pedalaman. Dari pusat kekuasaanya di pesisir, penguasa kolonial mengatur aktivitas petani dan mengorganisir tanah-tanah pertanian di pedalaman demi menjaga produksi pertanian bukan saja untuk memenuhi kebutuhan kota tetapi juga untuk diperdagangkan ke luar negeri, terutama ke daratan Eropa. Pesisir dan pedalaman pun semakin terintegrasi seiring dengan dibangunnya jalur-jalur transportasi yang menghubungkan kedua wilayah tersebut. Sementara itu, berlandaskan pada konsep negara-kota, Nas (1986) secara tegas menyebutkan adanya tiga faktor yang menentukan pertumbuhan kota, yaitu: (1) aktivitas perdagangan regional dan internasional, (2) kontrol terhadap tanah dan tenaga kerja, serta (3) legitimisi kekuasaan. Dalam pandangan Nas, aktivitas 13

14 perdagangan bukan saja menciptakan basis keuntungan ekonomi bagi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, tetapi juga menjadi media bagi terjadinya difusi kebudayaan. Selain itu, Nas juga berpendapat bahwa pola perdagangan akan menentukan sejauh mana sebuah kota terintegrasi dengan sistem dunia. Oleh karenanya, keberlangsungan dan keberlanjutan aktivitas perdagangan menjadi hal yang penting. Berkenaan dengan itu, penciptaan surplus produksi pada komoditikomoditi yang bernilai tinggi dengan sendirinya menjadi suatu keharusan. Demi menjamin adanya surplus tersebut, maka kontrol terhadap faktor-faktor produksi terutama tanah dan tenaga kerja harus sepenuhnya berada di bawah kendali penguasa kota. Ditinjau dari sisi lain, kemampuan penguasa kota untuk mendapatkan keuntungan dari aktivitas perdagangan juga menjadi landasan penting untuk memperkuat legitimasi kekuasaannya selain faktor loyalitas. Dengan demikian, ketiga faktor di atas akan bekerjasama menentukan kemunculan dan keruntuhan negara-kota. Namun, secara lebih khusus, Nas menyatakan bahwa faktor pertama cenderung lebih menonjol pada kota-kota pesisir; sedangkan faktor kedua lebih mencirikan kota-kota di pedalaman. Tulisan berikutnya yang membahas pertumbuhan kota di Indonesia dibuat oleh Rutz (1987). Tidak jauh berbeda dengan tulisan-tulisan yang telah dijelaskan sebelumnya, Rutz juga menyusun pembabakan waktu guna menjelaskan asal muasal dan genetika kota-kota di Indonesia. Adapun pembabakan waktu yang dibuat oleh Rutz adalah: periode Hindu (sebelum 1400), periode Islam ( ), periode penetrasi kolonial ( ), dan periode industrialisasi modern (setelah 1900). Terkait dengan asal muasal dan genetika kota-kota di Indonesia, Rutz mengemukakan beberapa faktor yang dinilainya berperan penting dalam menentukan jejak historis kota. Faktor pertama terkait dengan aspek politik baik berupa ekspansi wilayah kekuasaan, kontrol atas sumber-sumber kehidupan, peperangan, maupun pertikaian internal antar keluarga penguasa. Faktor politik ini berperan penting pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan Hindu di pedalaman yang bersifat konsentris. Pada masa Islam, faktor politik masih tetap memegang peranan namun faktor perdagangan tampaknya lebih mendominasi. Dominasi faktor perdagangan ini antara lain ditandai oleh munculnya kota-kota pesisir yang 14

15 berfungsi sebagai pelabuhan dagang. Setelah kekuasaan Islam diambil alih sepenuhnya oleh kolonial Belanda, seluruh wilayah nusantara berada di bawah kendali kekuasaan kolonial yang berpusat di Batavia. Kota-kota baru pun bermunculan sebagai pusat kekuasaan kolonial baik untuk administrasi pemerintahan, keperluan militer, pengelolaan perkebunan, atau pun simpul transportasi. Pada periode berikutnya, faktor utama perkembangan kota adalah tingginya laju pertumbuhan penduduk perkotaan yang disebabkan terutama oleh migrasi besar-besaran tenaga kerja murah dari desa ke kota. Sebagai publikasi yang paling mutakhir, tulisan Rahardjo (2007) bertujuan untuk membuat kerangka model mengenai dinamika perkotaan di Indonesia, khususnya kemunculan dan keruntuhan kota-kota prakolonial. Demi maksud tersebut, Rahardjo menggolongkan landasan ekonomi kota-kota di Indonesia ke dalam dua kelompok, yaitu perekonomian sistem ladang dan perekonomian sistem sawah. Dalam pandangan Rahardjo, sistem ladang menggambarkan suatu bentuk masyarakat homogen dengan perekonomian non komersil yang sangat tergantung pada suplai barang-barang kebutuhan dari luar. Oleh sebab itu, kota-kota yang tergantung pada sistem ladang ini disebut oleh Rahardjo sebagai kota konsumtif. Sebaliknya, kota-kota yang berlandaskan pada sistem sawah dipahami sebagai sebuah bentuk kehidupan mandiri yang memungkinkan masyarakat di dalamnya berkembang menurut pola yang relatif kompleks. Kotakota yang termasuk dalam tipe ini selanjutnya disebut sebagai kota prosumtif. Secara keseluruhan, kerangka model yang dibangun oleh Rahardjo bukan ditujukan untuk memahami kota sebagai sebuah entitas tunggal, namun sebagai sebuah sistem yang mencakup juga wilayah penyangganya dan bahkan mencakup negara secara keseluruhan. Menurut Rahardjo, terdapat hubungan timbal balik antara kota, wilayah penyangga, dan negara. Dalam pandangannya, kekuasaan negara merupakan unsur penting yang mempengaruhi kemunculan dan keruntuhan suatu kota melalui perannya dalam menentukan redistribusi sumbersumber kehidupan. Sebaliknya, kota itu sendiri juga memiliki peran penting bagi negara yang terkait dangan empat fungsi pokok, yaitu fungsi ideologi, fungsi politik, fungsi administrasi, dan fungsi politik. Fungsi-fungsi tersebut seringkali 15

16 menjadikan kota sebagai pusat negara. Keruntuhan kota berarti juga keruntuhan negara. Namun, meskipun berkedudukan sebagai pusat, kehidupan kota juga sangat ditentukan oleh kemampuan dan kemauan wilayah penyangganya untuk menyediakan sumber-sumber kehidupan (tanah, bahan mentah, dan tenaga kerja) bagi penduduk kota. Dalam banyak hal, pola hubungan antara kota dan wilayah penyangganya hanya mungkin berjalan secara optimal jika pola kekuasaan yang dijalankan oleh negara mampu mewujudkan sistem pengendalian yang efektif atas seluruh wilayah kekuasaanya. Berdasarkan adanya hubungan timbal balik di atas, Rahardjo menyatakan bahwa sifat konsumtif atau prosumtif suatu kota akan cenderung sama dengan karakter negaranya, namun tidak selalu identik. Artinya, kota-kota konsumtif umumnya akan tumbuh pada karakter negara yang konsumtif pula. Demikian juga, kota-kota yang prosumtif pun umumnya akan ditemukan pada negara yang prosumtif. Namun, terdapat kemungkinan yang cukup besar bahwa kota prosumtif akan ditemukan pada negara yang konsumtif, atau sebaliknya. Menurut Rahardjo, fenomena yang tidak identik tersebut dapat terjadi antara lain melalui mekanisme penaklukkan. Berkenaan dengan sifat-sifat di atas, ia memberikan satu catatan penting bahwa sifat konsumtif dan prosumtif memiliki tingkat yang bervariasi antar kota dan antar negara. Boomgard (2004) mengambil sudut pandang yang berbeda dengan Rahardjo dalam membahas dinamika kota. Apabila Rahardjo menekankan pada sistem pertanian, maka Boomgard justru menekankan pada sistem ekonomi di luar pertanian yaitu sektor sekunder dan sektor tersier. Pembahasan yang dilakukan oleh Boomgard pun hanya terbatas pada hubungan antara kota dan pedalamannya di Pulau Jawa selama abad ke-18 hingga ke-19. Tanpa ditunjang dengan data demografis yang memadai, Boomgard mencoba untuk mengkaji keterkaitan antara kinerja sektor non pertanian di perkotaan dengan pertumbuhan penduduk kota, perpindahan penduduk dari desa ke kota, serta proses diversifikasi pasar tenaga kerja di kota. Selain itu, Boomgard juga berupaya untuk menjelaskan industrialisasi perdesaan-perdesaan Jawa, terutama dalam kaitannya dengan pembukaan perkebunan-perkebunan besar pada masa itu. Pada akhirnya, 16

17 Boomgard menyimpulkan bahwa diversifikasi kegiatan ekonomi non pertanian di Jawa pada masa itu berlangsung tanpa diiringi oleh urbanisasi. Menurutnya, hal ini antara lain disebabkan oleh rendahnya upah pekerja di sektor non pertanian jika dibandingkan upah kerja pada sektor pertanian. Perbedaan tingkat upah ini menahan penduduk sehingga tidak bergerak masuk ke dalam sektor sekunder di perkotaan. Aspek demografis juga menjadi perhatian Milone (1976). Ia mencoba menerapkan kriteria-kriteria demografis dalam membahas pertumbuhan kota di Indonesia. Meskipun tidak memberikan perhatian khusus pada pertumbuhan kota, namun bukan berarti bahwa karya Milone tidak perlu diperhatikan sama sekali. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dari karya Milone adalah pernyataannya bahwa penerapan kriteria demografis di Indonesia seringkali terkendala oleh terlalu banyaknya jumlah kota kecil bila dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara. Ia mengutarakan bahwa penyebab utama dari banyaknya kota kecil di Indonesia sangat terkait dengan kerumitan sistem politik yang terwujud dalam pembagian wilayah administrasi. Untuk kasus Indonesia, terdapat lima hingga enam jenjang wilayah administrasi mulai dari jenjang tertinggi (nasional) hingga jenjang terendah (kelurahan). Banyaknya jenjang administrasi ini dengan sendirinya mensyaratkan kehadiran pusat-pusat pelayanan publik baik untuk kepentingan ekonomi, sosial, maupun politik yang tersusun secara hirarkis. Belum lagi bila kita memperhitungkan kota-kota kecil yang tidak memiliki status administratif, namun berperan penting dalam perekonomian setempat. Beberapa catatan penting tentang relasi antara dinamika perkotaan dalam kaitannya dengan perubahan kekuasaan politik juga dapat diambil dari hasil penelitian Selo Soemardjan mengenai perubahan sosial di Kota Yogyakarta. Meskipun hanya mengambil kasus pada satu kota, namun penelitian ini mencakup suatu rentang waktu yang terbilang panjang yaitu sejak masa kolonial hingga tahun 1958 yang di dalamnya terjadi pergeseran status politik-administratif Kota Yogyakarta. Sejalan dengan pergeseran tersebut, Soemardjan mengetengahkan berbagai argumen tentang perubahan ideologi politik sebagai sumber sekaligus alasan bagi terjadinya perubahan sosial. 17

18 Salah satu dari argumen-argumen tersebut adalah bahwa sebuah perubahan ideologi politik pada hakekatnya menciptakan rangsangan yang terbilang kuat bagi suatu kelompok masyarakat untuk melakukan perubahan-perubahan penting selama rangsangan tersebut diyakini mampu mengatasi berbagai hambatan sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Rangsangan tersebut akan semakin kuat ketika kekuatan-kekuatan luar turut menciptakan tekanan-tekanan tertentu terhadap kehidupan masyarakat. Namun demikian bukan berarti rangsangan tersebut akan menyebabkan masyarakat melakukan perubahan atas segala hal. Beberapa aspek kehidupan yang bersifat fundamental akan tetap dipertahankan. Dalam kasus di Yogyakarta, salah satu hal fundamental yang relatif tidak mengalami perubahan adalah struktur sosial yang bersifat konsentris-hirarkis yang menempatkan raja pada posisi teratas. Struktur tersebut tetap bertahan bahkan ketika peran politik raja mengalami penurunan. Secara skematik, struktur konsentris-hirarkis tersebut tersaji pada Gambar 1.1 di bawah ini. Gambar 1.1 Struktur konsentris-hirarkis kerajaan sebagai salah satu landasan kehidupan sosial di Yogyakarta (Sumber: Soemardjan, 1981:26) Tidak diragukan lagi bahwa hasil karya Keyfitz, Wertheim, Nas, Rutz, Rahardjo hingga Soemardjo telah memberikan kontribusi besar bagi kajian perkotaan di Indonesia khususnya mengenai pertumbuhan kota. Meskipun 18

19 memiliki beberapa perbedaan, karya Keyfitz, Wertheim, dan Nas dapat dikatakan telah meletakkan dasar-dasar pemahaman mengenai evolusi sistem perkotaan di Indonesia. Sementara itu, karya Rutz telah melengkapi dasar-dasar pemahaman tersebut melalui sebuah kajian empiris yang komprehensif, bukan saja dari datadata yang digunakannya tetapi juga dari cakupan wilayah studinya. Adapun, karya Rahardjo telah menyediakan sebuah kerangka model yang relatif baru guna memahami dinamika sistem perkotaan di Indonesia. Berkenaan dengan itu, apabila kita memadusatukan gagasan-gagasan penting dari karya-karya di atas maka akan dapat dilihat bahwa unsur-unsur utama yang diperlukan untuk memahami sistem perkotaan di Indonesia telah terpenuhi. Namun demikian, tampaknya masih ada hal penting yang belum dapat dijelaskan secara memuaskan oleh karya-karya di atas, yaitu faktor sistem gagasan yang melatarbelakangi perkembangan sistem perkotaan. Dapat dikatakan bahwa semua karya di atas seakan-akan menempatkan kota dan sistem perkotaan sebagai sesuatu yang berada di luar sistem gagasan manusia. Dalam hal ini, perkembangan kota diasumsikan berjalan secara mekanistik sesuai dengan faktor lokasi, kondisi lingkungan, kegiatan produksi, atau keterkaitan regional. Bila ditinjau lebih mendalam, dari karya-karya di atas, sepertinya hanya Nas dan Rahardjo yang menyentuh sistem gagasan meskipun hanya sedikit. Sebagai contoh, Nas antara lain mengutarakan tentang adanya kepercayaan dalam tradisi Jawa yang menyatakan bahwa masa kekuasaan sebuah dinasti tidak boleh lebih dari satu abad. Tradisi tersebut diduga kuat menjadi salah satu penyebab terjadinya pergeseran lokasi pusat-pusat kekuasaan yang kemudian menyebabkan evolusi sistem perkotaan. Sementara itu, sentuhan Rahardjo terhadap sistem gagasan terlihat ketika ia menempatkan kemunculan dan keruntuhan kota-kota kolonial dalam sebuah konteks masyarakat feodal yang sangat tergantung pada tokoh sentral, sebagaimana didefinsikan oleh Sjoberg. Namun, sekali lagi, pembahasan mengenai sistem gagasan tersebut tidak menjadi tekanan utama kedua penulis tersebut. Sehubungan dengan itu, terdapat tiga catatan penting yang perlu dikemukakan. Pertama, karya-karya ilmiah terdahulu tampaknya telah 19

20 mengabaikan peranan ideologi sebagai faktor penting yang turut menentukan dinamika sistem perkotaan. Wertheim, Nas dan Rahardjo memang telah memasukkan keterlibatan kekuasaan dalam menentukan pola perkotaan di Indonesia. Namun, dengan terabaikannya peranan ideologi, maka pembahasan keterlibatan kekuasaaan (negara) tersebut pada akhirnya hanya terbatas pada fungsi-fungsi normatifnya saja. Sebagai akibatnya, berbagai perilaku kekuasaan seakan-akan hanya dipandang sebagai konsekuensi logis dari pelaksanaan fungsifungsi tersebut guna menanggapi berbagai situasi eksternal; seperti hadirnya kekuatan asing, kelangkaan sumber-sumber ekonomi, dan sebagainya. Padahal, sebagaimana dinyatakan oleh Golledge dan Stimson (1997), faktor-faktor internal seperti perspesi, keyakinan, dan sistem nilai juga memiliki peranan penting dalam mempengaruhi perilaku, termasuk perilaku kekuasaaan. Dalam konteks spasial, faktor-faktor internal di atas akan mempengaruhi eksistensi suatu entitas kekuasaan di dalam ruang kehidupannya (Milun, 1997) dan juga pemaknaannya atas suatu lokasi (Philphot, 2003). Berdasarkan kedua hal itu, suatu entitas kekuasaan selanjutnya akan berupaya menata, mengendalikan, serta mengembangkan ruang kehidupannya. Dengan demikian, pemilihan lokasi kota merupakan produk dari pemaknaan atas suatu lokasi yang berkembang dalam suatu ideologi tersebut. Atau, dengan kata lain, pertumbuhan kota tidak dapat dilepaskan dari dinamika ideologis. Hal inilah yang terlepas dari pengamatan dan pembahasan para peneliti terdahulu. Kedua, berkaitan dengan catatan pertama di atas, karya-karya terdahulu dapat dikatakan telah memberikan penjelasan yang terlalu sederhana tentang lokasi kota-kota baik secara individual maupun sebagai suatu sistem regional. Kefitz dan Nas hanya mengindikasikan secara sekilas lokasi kota-kota sebagai kota pesisir atau kota pedalaman. Bahkan Rahardjo justru terkesan menghindar dari aspek lokasi tersebut. Kemungkinan hanya karya Rutz yang memberikan perhatian besar terhadap aspek lokasi ini. Sayangnya pembahasan lokasi yang dilakukan Rutz juga masih mengikuti kerangka makro dikotomis pesisirpedalaman. Kecenderungan-kecenderungan di atas membawa implikasi pada ketidakmampuan mereka untuk memberikan penjelasan yang memuaskan 20

21 misalnya untuk menjawab: mengapa terjadi pergeseran pusat kekuasaan di Pulau Jawa dalam lima abad terakhir ini? Penjelasan yang selama ini diberikan hanya terbatas pada keuntungan-keuntungan lokasional baik karena faktor aksesibilitas, nilai strategis, maupun ketersediaan sumberdaya alam. Meskipun harus diakui bahwa faktor-faktor di atas memegang peranan penting, namun faktor-faktor tersebut sesungguhnya hanya memberikan sebuah penegasan atas teori-teori umum yang dapat berlaku di mana saja sehingga tidak dapat menghasilkan sebuah gagasan teoritis yang lebih spesifik. Ketiga, masih terkait dengan dua catatan terdahulu, karya-karya di atas tampaknya lebih memandang kota semata-mata sebagai satuan geografis dalam wujud fisiknya; yang ditandai oleh permukiman penduduk, kegiatan produksi, atau bangunan-bangunan penting. Dalam wujudnya tersebut, kemudian kota dipahami sebagai pusat konsentrasi penduduk yang dapat berkembang dengan berbagai fungsinya seperti fungsi pemerintahan, perdagangan, simpul transportasi, dan sebagainya. Cara pandang di atas menunjukkan bahwa pemahaman terhadap kota lebih didasarkan pada unsur-unsur yang tangible, sedangkan unsur yang intangible seperti halnya makna simbolik kota cenderung terlupakan. Dalam dunia politik, makna simbolik tersebut merupakan salah satu kekuatan yang mampu membentuk, melestarikan, dan bahkan mengubah realitas karena dapat membuat orang mempercayai dan tunduk pada kebenaran yang dikandungnya (Fashri, 2007). Bila pemahaman ini diterapkan dalam kajian perkotaan, maka kota dan jaringannya pun dapat dipandang sebagai simbol dari berbagai instrumen dan mekanisme kekuasaan yang dijalankan menurut ideologi tertentu. Kemunculan atau kehancuran suatu kota mengindikasikan menguatnya atau melemahnya kekuasaan politik direpresentasikannya. Demi memahami hal tersebut, kota tidak cukup hanya dipahami berdasarkan pada fungsinya melainkan dipahami berdasarkan pada makna tersembunyi yang dikandungnya. Berdasarkan uraian di atas, pada akhirnya dapat dikatakan bahwa titik tolak penelitian ini tidak dapat dilepaskan dari kajian-kajian yang pernah dilaksanakan oleh Keyfitz, Nas, Rutz, Rahardjo, dan bahkan juga Wertheim. Namun, penelitian ini mencoba menukik lebih dalam guna membongkar makna 21

22 simbolik yang dikandung oleh kota dan sistem perkotaan sehingga dapat memahami keterkaitan antara ideologi, perilaku kekuasaan, dan dinamika perkotaan. Oleh sebab itu, salah satu ide dasar dari penelitian ini adalah memposisikan pertumbuhan kota sebagai produk dari sistem gagasan, khususnya gagasan mengenai ruang. Guna lebih mempermudah, Tabel 1.1 memperlihatkan perbandingan antara muatan-muatan penting yang dikandung oleh berbagai penelitian terdahulu mengenai sistem perkotaan di Indonesia dengan muatan yang dikandung oleh penelitian ini. 22

23 Peneliti (tahun publikasi) Lingkup wilayah Tabel 1.1. Berbagai penelitian tentang pertumbuhan kota di Indonesia Ide dasar Wertheim (1957) Indonesia Kota sebagai tempat terjadinya pertukaran nilai-nilai sosial antar berbagai budaya yang pernah hadir di nusantara Keyfitz (1976) Indonesia a) Pola hubungan antar kota ditentukan oleh bagaimana kota-kota tersebut menjalankan fungsinya, baik fungsi ekonomi maupun administratif b) Pola hubungan tersebut akan berubah sejalan dengan perkembangan kota Soemardjo (1981) Yogyakarta Perubahan ideologi politik sebagai rangsangan bagi perubahan sosial Fokus penelitian Perkembangan kehidupan sosial budaya kota Hubungan ekonomi politik kota dan wilayah penyangganya Perubahan sosial masyarakat kota Substansi penelitian Metodologi a) Pendekatan historis dan sosiologis b) Membagi tahapan perkembangan kota di Indonesia menjadi: kota tua, kota indische, kota kolonial, dan kota modern Memodifikasi tahapan perkembangan kota yang dibuat oleh Wertheim menjadi: periode prakolonial, periode kolonial, dan periode kemerdekaan Meggunakan konsep perubahan sosial dalam skala komunitas yang mempertimbangkan juga keberdaaan lembagalembaga politik dan ekonomi Hasil a) Perkembangan kota di Indonesia merupakan produk dari evolusi sosial budaya masyarakat b) Kota-kota di Indonesia bukan saja berperan sebagai pusat perekonomian, tetapi juga sebagai pusat persebaran ideologi a) Pada periode pra-kolonial, kota pedalaman berperan sebagai pusat administrasi dan kota pesisir berperan sebagai pasar. b) Pada periode kolonial, kota pesisir menjelma menjadi kekuatan dominan dan memegang kendali penuh bahkan hingga ke pedalaman. c) Pada masa setelah kolonial, hubungan pesisir-pedalaman semakin meningkat dalam wujud tingginya migrasi penduduk. a) Perubahan ideologi politik akan merangsang perubahan dalam suatu kelompok masyarakat jika mampu mengatasi berbagai hambatan sosial, ekonomi, budaya, dan politik. b) Hadirnya kekuatan luar akan memperbesar tekanan untuk berubah. c) Beberapa aspek kehidupan yang fundamental akan tetap dipertahankan 23

24 Lanjutan Tabel 1.1. Peneliti (tahun publikasi) Lingkup wilayah Nas (1986) Indonesia Pertumbuhan kota dipengaruhi oleh aktivitas perdagangan, kontrol terhadap tanah dan tenaga kerja, serta legitimisi kekuasaan Rutz (1987) Indonesia Fungsi sebagai pusat pelayanan merupakan faktor terpenting dalam perkembangan kota Boomgard (2004) Pulau Jawa Dinamika kota digerakkan oleh sistem ekonomi non-pertanian yaitu sektor sekunder dan sektor tersier 24 Substansi penelitian Ide dasar Fokus penelitian Metodologi Hasil Perkembangan dan keruntuhan kota-kota lama Indonesia (the early Indonesian town) Distribusi spasial dan hirarkis kota-kota di Indonesia serta fungsi ekonomi yang dijalankan oleh kota-kota tersebut a) Hubungan antara kota dan pedalamannya selama abad ke-18 hingga ke-19 b) Keterkaitan antara kinerja sektor non pertanian dan pertumbuhan penduduk kota, migrasi desa-kota, serta diversifikasi pasar tenaga kerja di kota a) Meggunakan konsep negara-kota sebagai kerangka teoritis b) Mengklasifikasikan kota-kota lama di Indonesia menjadi: kota transit di pesisir dan kota agraris di pedalaman. a) Menggunakan rank-size rule b) Memanfaatkan data sensus penduduk c) Membedakan fungsi kota atas kota pemerintahan, kota industri, dan kota simpul transportasi a) Menggunakan pendekatan historis b) Menggunakan data demografis dari berbagai catatan dan hasil penelitian sejarah d) Kota-kota lama di Indonesia adalah pusat negara. e) Kota-kota pantai lebih permanen dibandingkan kota-kota pedalamam f) Pada kota-kota pesisir peranan faktor perdagangan lebih menonjol; sedangkan peranan faktor kontrol terhadap tanah dan tenaga kerja lebih terlihat pada kota-kota pedalaman a) Kota-kota yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan kota-kota yang berfungsi sebagai simpul transportasi atau pusat industri manufaktur. b) Terdapat perbedaan antara sistem perkotaan Jawa dan luar Jawa baik dalam hal distribusi hirarkis maupun karakteristik wilayah pengaruh kota Diversifikasi kegiatan ekonomi non pertanian di Jawa berlangsung tanpa diiringi oleh urbanisasi yang disebabkan oleh rendahnya upah pekerja di sektor non pertanian sehingga menahan penduduk untuk masuk ke dalam sektor sekunder di perkotaan

BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN

BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN 8.1. Kesimpulan 1. Selama abad ke-15 hingga ke-19 terdapat dua konsep pusat yang melandasi politik teritorial di Pulau Jawa. Kedua konsep tersebut terkait dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kota merupakan salah satu wilayah hunian manusia yang paling kompleks,

BAB I PENDAHULUAN. Kota merupakan salah satu wilayah hunian manusia yang paling kompleks, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota merupakan salah satu wilayah hunian manusia yang paling kompleks, terdiri dari berbagai sarana dan prasarana yang tersedia, kota mewadahi berbagai macam aktivitas

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perkembangan kota kecil di Joglosemar

BAB VI PENUTUP. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perkembangan kota kecil di Joglosemar BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perkembangan kota kecil di Joglosemar dalam konteks sistem perkotaan wilayah Jawa Tengah dan DIY. Ada empat pertanyaan yang ingin dijawab

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki beragam suku bangsa yang menyebar dan menetap pada berbagai pulau besar maupun pulau-pulau kecil yang membentang dari Sabang sampai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah merupakan program komprehensif dan terintegrasi dari semua kegiatan dengan mempertimbangkan

PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah merupakan program komprehensif dan terintegrasi dari semua kegiatan dengan mempertimbangkan 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah merupakan program komprehensif dan terintegrasi dari semua kegiatan dengan mempertimbangkan sumberdaya yang ada dalam rangka memberikan kontribusi untuk

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hakekatnya tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi ketimpangan kesejahteraan antar kelompok masyarakat dan wilayah. Namun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagian besar kota di Negara Indonesia tumbuh dan berkembang pada kawasan pesisir. Setiap fenomena kekotaan yang berkembang pada kawasan ini memiliki karakteristik

Lebih terperinci

STUDI KOMPARATIF POLA MORFOLOGI KOTA GRESIK DAN KOTA DEMAK SEBAGAI KOTA PERDAGANGAN DAN KOTA PUSAT PENYEBARAN AGAMA ISLAM TUGAS AKHIR

STUDI KOMPARATIF POLA MORFOLOGI KOTA GRESIK DAN KOTA DEMAK SEBAGAI KOTA PERDAGANGAN DAN KOTA PUSAT PENYEBARAN AGAMA ISLAM TUGAS AKHIR STUDI KOMPARATIF POLA MORFOLOGI KOTA GRESIK DAN KOTA DEMAK SEBAGAI KOTA PERDAGANGAN DAN KOTA PUSAT PENYEBARAN AGAMA ISLAM TUGAS AKHIR Oleh : SEVINA MAHARDINI L2D 000 456 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN

Lebih terperinci

STUDI PENENTUAN KAWASAN KONSERVASI KOTA TEGAL MELALUI PENDEKATAN MORFOLOGI KOTA TUGAS AKHIR. Oleh : PRIMA AMALIA L2D

STUDI PENENTUAN KAWASAN KONSERVASI KOTA TEGAL MELALUI PENDEKATAN MORFOLOGI KOTA TUGAS AKHIR. Oleh : PRIMA AMALIA L2D STUDI PENENTUAN KAWASAN KONSERVASI KOTA TEGAL MELALUI PENDEKATAN MORFOLOGI KOTA TUGAS AKHIR Oleh : PRIMA AMALIA L2D 001 450 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Lebih terperinci

Bagian Pertama: PENDEKATAN EKONOMI POLITIK INTERNASIONAL

Bagian Pertama: PENDEKATAN EKONOMI POLITIK INTERNASIONAL Bagian Pertama: PENDEKATAN EKONOMI POLITIK INTERNASIONAL 1 2 BAB I Memahami Ekonomi Politik Internasional A. Pendahuluan Negara dan pasar dalam perkembangannya menjadi dua komponen yang tidak terpisahkan.

Lebih terperinci

STUDI POLA MORFOLOGI KOTA DALAM PENENTUAN KAWASAN KONSERVASI KOTA DI KABUPATEN KENDAL TUGAS AKHIR

STUDI POLA MORFOLOGI KOTA DALAM PENENTUAN KAWASAN KONSERVASI KOTA DI KABUPATEN KENDAL TUGAS AKHIR STUDI POLA MORFOLOGI KOTA DALAM PENENTUAN KAWASAN KONSERVASI KOTA DI KABUPATEN KENDAL TUGAS AKHIR Oleh: LAELABILKIS L2D 001 439 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Eros Rosinah, 2013 Gerakan Donghak Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN. Eros Rosinah, 2013 Gerakan Donghak Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada abad ke-19, sebagian besar negara-negara di Asia merupakan daerah kekuasan negara-negara Eropa. Pada abad tersebut khususnya di negara-negara Asia yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. arah perubahan struktural desa-kota diharapkan dapat berlangsung secara seimbang

BAB I PENDAHULUAN. arah perubahan struktural desa-kota diharapkan dapat berlangsung secara seimbang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan dan pertumbuhan suatu daerah terkait dengan interaksi yang terjadi dengan daerah-daerah sekitarnya. Interaksi tersebut membentuk tatanan yang utuh dan

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI 318 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI A. Simpulan Berdasarkan capaian hasil penelitian dan pembahasan seperti yang tertuang pada bab IV, bahwa penelitian ini telah menghasilkan dua analisis, pertama

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. Dominasi politik Dinasti Mustohfa di Desa Puput telah dirintis sejak lama

BAB VI PENUTUP. Dominasi politik Dinasti Mustohfa di Desa Puput telah dirintis sejak lama BAB VI PENUTUP 1. KESIMPULAN Dominasi politik Dinasti Mustohfa di Desa Puput telah dirintis sejak lama di tahun-tahun awal Orde Baru. Walaupun struktur politik nasional maupun lokal mengalami perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan penderitaan bagi masyarakat Korea. Jepang melakukan eksploitasi

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan penderitaan bagi masyarakat Korea. Jepang melakukan eksploitasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian Sejarah Korea yang pernah berada di bawah kolonial kekuasaan Jepang menimbulkan penderitaan bagi masyarakat Korea. Jepang melakukan eksploitasi sumber

Lebih terperinci

Teori Kritikal mulai berkembang tahun 1937 (pengkajiannya dimulai tahun 1930) Teori Kritikal eksis sebagai ciri dari Institut Marxisme

Teori Kritikal mulai berkembang tahun 1937 (pengkajiannya dimulai tahun 1930) Teori Kritikal eksis sebagai ciri dari Institut Marxisme Studi Media Perspektif Media Krititis MIKOM Universitas Muhammadiyah Jakarta Aminah, M.Si Teori Kritikal mulai berkembang tahun 1937 (pengkajiannya dimulai tahun 1930) Teori Kritikal eksis sebagai ciri

Lebih terperinci

BELAWAN INTERNATIONAL PORT PASSANGER TERMINAL 2012 BAB I. PENDAHULUAN

BELAWAN INTERNATIONAL PORT PASSANGER TERMINAL 2012 BAB I. PENDAHULUAN BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kota Medan dewasa ini merupakan salah satu kota metropolitan di Indonesia yang mengalami perkembangan dan peningkatan di segala aspek kehidupan, mencakup bagian dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keanekaragaman kulinernya yang sangat khas. Setiap suku bangsa di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keanekaragaman kulinernya yang sangat khas. Setiap suku bangsa di Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Surakarta selain dikenal sebagai kota batik, juga populer dengan keanekaragaman kulinernya yang sangat khas. Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki kekhasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan dengan pertambahan aktivitas yang ada di kota, yaitu khususnya dalam kegiatan sosial-ekonomi. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Proses pembangunan di Indonesia terus bergulir dan ekspansi pemanfaatan ruang terus berlanjut. Sejalan dengan ini maka pengembangan lahan terus terjadi dan akan berhadapan

Lebih terperinci

POLICY BRIEF ANALISIS PERAN MODAL SOSIAL DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN DI KAWASAN PERBATASAN

POLICY BRIEF ANALISIS PERAN MODAL SOSIAL DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN DI KAWASAN PERBATASAN POLICY BRIEF ANALISIS PERAN MODAL SOSIAL DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN DI KAWASAN PERBATASAN Ir. Sunarsih, MSi Pendahuluan 1. Kawasan perbatasan negara adalah wilayah kabupaten/kota yang secara

Lebih terperinci

KAJIAN POLA STRUKTUR RUANG KOTA LASEM DITINJAU DARI SEJARAHNYA SEBAGAI KOTA PANTAI TUGAS AKHIR. Oleh: M Anwar Hidayat L2D

KAJIAN POLA STRUKTUR RUANG KOTA LASEM DITINJAU DARI SEJARAHNYA SEBAGAI KOTA PANTAI TUGAS AKHIR. Oleh: M Anwar Hidayat L2D KAJIAN POLA STRUKTUR RUANG KOTA LASEM DITINJAU DARI SEJARAHNYA SEBAGAI KOTA PANTAI TUGAS AKHIR Oleh: M Anwar Hidayat L2D 306 015 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBANGUNAN PERUMAHAN PONDOK RADEN PATAH TERHADAP PERUBAHAN KONDISI DESA SRIWULAN KECAMATAN SAYUNG DEMAK TUGAS AKHIR

PENGARUH PEMBANGUNAN PERUMAHAN PONDOK RADEN PATAH TERHADAP PERUBAHAN KONDISI DESA SRIWULAN KECAMATAN SAYUNG DEMAK TUGAS AKHIR PENGARUH PEMBANGUNAN PERUMAHAN PONDOK RADEN PATAH TERHADAP PERUBAHAN KONDISI DESA SRIWULAN KECAMATAN SAYUNG DEMAK TUGAS AKHIR Oleh: NUR ASTITI FAHMI HIDAYATI L2D 303 298 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdaulat. Merdeka yang dimaksud adalah terbebas dari kekuasaan Kerajaan

BAB I PENDAHULUAN. berdaulat. Merdeka yang dimaksud adalah terbebas dari kekuasaan Kerajaan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Menurut catatan sejarah, Sumedang mengalami dua kali merdeka dan berdaulat. Merdeka yang dimaksud adalah terbebas dari kekuasaan Kerajaan Mataram dan masa kabupatian

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sosiologi dan Sastra Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

proses sosial itulah terbangun struktur sosial yang mempengaruhi bagaimana China merumuskan politik luar negeri terhadap Zimbabwe.

proses sosial itulah terbangun struktur sosial yang mempengaruhi bagaimana China merumuskan politik luar negeri terhadap Zimbabwe. BAB V KESIMPULAN Studi ini menyimpulkan bahwa politik luar negeri Hu Jintao terhadap Zimbabwe merupakan konstruksi sosial yang dapat dipahami melalui konteks struktur sosial yang lebih luas. Khususnya

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Dengan melihat karakteristik Kabupaten Garut bagian selatan dapat dilihat bagaimana sifat ketertinggalan memang melekat pada wilayah ini. Wilayah Garut bagian selatan sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang.

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang. Adapun proses kreatif itu berasal dari pengalaman pengarang sebagai manusia yang hidup di

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. wilayahnya yang sebelumnya berbasis agraris menjadi Industri. Masuknya Industri

BAB V KESIMPULAN. wilayahnya yang sebelumnya berbasis agraris menjadi Industri. Masuknya Industri BAB V KESIMPULAN Perkembangan fisik Kota Bekasi paling besar terjadi akibat Industrialisasi dan juga Konsepsi Jabotabek. Pada awal pemerintahan Orde Baru melalui program Pelita yang salah satu tujuannya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka Proses alih fungsi lahan dapat dipandang sebagai suatu bentuk konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi serta perubahan struktur sosial ekonomi

Lebih terperinci

PERMUKIMAN UNTUK PENGEMBANGAN KUALITAS HIDUP SECARA BERKELANJUTAN. BAHAN SIDANG KABINET 13 Desember 2001

PERMUKIMAN UNTUK PENGEMBANGAN KUALITAS HIDUP SECARA BERKELANJUTAN. BAHAN SIDANG KABINET 13 Desember 2001 PERMUKIMAN UNTUK PENGEMBANGAN KUALITAS HIDUP SECARA BERKELANJUTAN BAHAN SIDANG KABINET 13 Desember 2001 PERMUKIMAN DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Agenda 21 yang dicanangkan di Rio de Janeiro tahun 1992

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang desentralisasi membuka peluang bagi daerah untuk dapat secara lebih baik dan bijaksana memanfaatkan potensi yang ada bagi peningkatan kesejahteraan dan kualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemicu munculnya permasalahan lingkungan baik biotik, sosial, kultural,

BAB I PENDAHULUAN. pemicu munculnya permasalahan lingkungan baik biotik, sosial, kultural, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan spasial kota yang tidak terkendali diyakini akan menjadi pemicu munculnya permasalahan lingkungan baik biotik, sosial, kultural, ekonomi pada masa yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki peran penting bagi perekonomian nasional. Berdasarkan sisi perekonomian secara makro, Jawa Barat memiliki

Lebih terperinci

Bab 4 PENUTUP. Semenjak berakhirnya kekuasaan Orde Baru (negara) akibat desakan arus

Bab 4 PENUTUP. Semenjak berakhirnya kekuasaan Orde Baru (negara) akibat desakan arus Bab 4 PENUTUP Semenjak berakhirnya kekuasaan Orde Baru (negara) akibat desakan arus liberalisasi, ruang-ruang publik di tanah air mulai menampakkan dirinya. Namun kuatnya arus liberalisasi tersebut, justeru

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PERANAN KOTA KECIL PADA SISTEM PERKOTAAN SEPANJANG KORIDOR JALAN REGIONAL KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR L2D

STUDI EVALUASI PERANAN KOTA KECIL PADA SISTEM PERKOTAAN SEPANJANG KORIDOR JALAN REGIONAL KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR L2D STUDI EVALUASI PERANAN KOTA KECIL PADA SISTEM PERKOTAAN SEPANJANG KORIDOR JALAN REGIONAL KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh: RICI SUSANTO L2D 099 447 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Latar belakang Sejarah pertumbuhan dan perkembangan fisik Kota Tarakan berawal dari lingkungan pulau terpencil yang tidak memiliki peran penting bagi Belanda hingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perempuan karir, dalam segala levelnya, kian hari kian mewabah. Dari posisi pucuk pimpinan negara, top executive, hingga kondektur bus bahkan tukang becak. Hingga kini

Lebih terperinci

Produksi Ruang Kekuasaan di Pulau Jawa Abad ke dan Dampaknya pada Pertumbuhan Kota

Produksi Ruang Kekuasaan di Pulau Jawa Abad ke dan Dampaknya pada Pertumbuhan Kota ISSN 0125-1790 (print) ISSN 2540-945x (online) Majalah Geografi Indonesia Vol. 31, No. 2, September 2017 (8-21) DOI: https://doi.org/10.22146/mgi.25493, web: https://jurnal.ugm.ac.id/mgi 2017 Fakultas

Lebih terperinci

Membangun Wilayah yang Produktif

Membangun Wilayah yang Produktif Membangun Wilayah yang Produktif Herry Darwanto *) Dalam dunia yang sangat kompetitif sekarang ini setiap negara perlu mengupayakan terbentuknya wilayah-wilayah yang produktif untuk memungkinkan tersedianya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang tabel 1.1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang tabel 1.1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Tegal terletak di pantai utara Jawa Tengah dengan wilayah pantai dan laut yang berbatasan dengan Kabupaten Tegal oleh Sungai Ketiwon di sebelah timur dan dengan

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH 10 SOSIOLOGI PEMBANGUNAN

BAHAN KULIAH 10 SOSIOLOGI PEMBANGUNAN BAHAN KULIAH 10 SOSIOLOGI PEMBANGUNAN TEORI DEPENDENSI Dr. Azwar, M.Si & Drs. Alfitri, MS JURUSAN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ANDALAS Latar Belakang Sejarah Teori Modernisasi

Lebih terperinci

SOSIOLOGI DALAM KEPARIWISATAAN

SOSIOLOGI DALAM KEPARIWISATAAN SOSIOLOGI DALAM KEPARIWISATAAN Pada hakekatnya manusia merupakan mahluk sosial. Hal ini dapat dilihat dari kehidupannya yang senantiasa menyukai dan membutuhkan kehadiran manusia lain. Manusia memiliki

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu isu yang muncul menjelang berakhirnya abad ke-20 adalah persoalan gender. Isu tentang gender ini telah menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis sosial. Gender

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai merauke, menyebabkan Indonesia memiliki banyak pulau. dijadikan modal bagi pengembang budaya secara keseluruhan.

BAB I PENDAHULUAN. sampai merauke, menyebabkan Indonesia memiliki banyak pulau. dijadikan modal bagi pengembang budaya secara keseluruhan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara geografis, letak Indonesia yang terbentang dari sabang sampai merauke, menyebabkan Indonesia memiliki banyak pulau. Indonesia yang terkenal dengan banyak pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan jumlah penduduk perkotaan, perubahan sosial ekonomi dan tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan jumlah penduduk perkotaan, perubahan sosial ekonomi dan tuntutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan kota secara fisik berlangsung dinamis sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk perkotaan, perubahan sosial ekonomi dan tuntutan kebutuhan ruangnya.

Lebih terperinci

Ciri Utama Disiplin Geografi (1) : Perspektif Spasial. Minggu ke-2 Pengantar Geografi Oleh : Hafid Setiadi

Ciri Utama Disiplin Geografi (1) : Perspektif Spasial. Minggu ke-2 Pengantar Geografi Oleh : Hafid Setiadi Ciri Utama Disiplin Geografi (1) : Perspektif Spasial Minggu ke-2 Pengantar Geografi Oleh : Hafid Setiadi Ruang Merupakan konsep dasar dalam kehidupan manusia Bagian dari kesadaran manusia yang bersifat

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. Perkembangan pada konstalasi politik internasional pasca-perang Dingin

BAB IV KESIMPULAN. Perkembangan pada konstalasi politik internasional pasca-perang Dingin BAB IV KESIMPULAN Perkembangan pada konstalasi politik internasional pasca-perang Dingin memiliki implikasi bagi kebijakan luar negeri India. Perubahan tersebut memiliki implikasi bagi India baik pada

Lebih terperinci

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI BAB 9 KESIMPULAN Dari apa yang telah diuraikan dan dibahas pada bab-bab sebelumnya, tergambarkan bahwa perdesaan di Tabola pada khususnya dan di Bali pada umumnya, adalah perdesaan yang berkembang dinamis.

Lebih terperinci

CIRI UTAMA DISIPLIN GEOGRAFI (2): PENDEKATAN KEILMUAN. Kuliah Pengantar Geografi Minggu ke-3 Oleh : Hafid Setiadi

CIRI UTAMA DISIPLIN GEOGRAFI (2): PENDEKATAN KEILMUAN. Kuliah Pengantar Geografi Minggu ke-3 Oleh : Hafid Setiadi CIRI UTAMA DISIPLIN GEOGRAFI (2): PENDEKATAN KEILMUAN Kuliah Pengantar Geografi Minggu ke-3 Oleh : Hafid Setiadi Pendekatan keilmuan : apakah itu? Pendekatan Membuat sesuatu yang tidak jelas, menjadi lebih

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. dituliskan dalam berbagai sumber atau laporan perjalanan bangsa-bangsa asing

BAB V KESIMPULAN. dituliskan dalam berbagai sumber atau laporan perjalanan bangsa-bangsa asing BAB V KESIMPULAN Barus merupakan bandar pelabuhan kuno di Indonesia yang penting bagi sejarah maritim Nusantara sekaligus sejarah perkembangan Islam di Pulau Sumatera. Pentingnya Barus sebagai bandar pelabuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikategorikan ke dalam dua kelompok, yaitu fasilitas yang bersifat umum dan. mempertahankan daerah yang dikuasai Belanda.

BAB I PENDAHULUAN. dikategorikan ke dalam dua kelompok, yaitu fasilitas yang bersifat umum dan. mempertahankan daerah yang dikuasai Belanda. BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Banyak fasilitas yang dibangun oleh Belanda untuk menunjang segala aktivitas Belanda selama di Nusantara. Fasilitas yang dibangun Belanda dapat dikategorikan ke dalam

Lebih terperinci

VI. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI. 1. TVRI Stasiun Sulawesi Tenggara sebagai televisi publik lokal dan Sindo TV

VI. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI. 1. TVRI Stasiun Sulawesi Tenggara sebagai televisi publik lokal dan Sindo TV VI. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI Pada bagian ini diuraikan kesimpulan, implikasi dan rekomendasi berdasar hasil penelitian yang telah dilakukan. 6.1. Kesimpulan Berdasarkan temuan-temuan dan analisa

Lebih terperinci

Situasi pangan dunia saat ini dihadapkan pada ketidakpastian akibat perubahan iklim

Situasi pangan dunia saat ini dihadapkan pada ketidakpastian akibat perubahan iklim BAB I PENDAHULUAN Situasi pangan dunia saat ini dihadapkan pada ketidakpastian akibat perubahan iklim global yang menuntut Indonesia harus mampu membangun sistem penyediaan pangannya secara mandiri. Sistem

Lebih terperinci

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan Sentralisme pemerintahan yang telah lama berlangsung di negeri ini, cenderung dianggap sebagai penghambat pembangunan daerah. Dari sekian banyak tuntutan yang diperhadapkan

Lebih terperinci

BAB V. Kesimpulan. Studi mengenai etnis Tionghoa dalam penelitian ini berupaya untuk dapat

BAB V. Kesimpulan. Studi mengenai etnis Tionghoa dalam penelitian ini berupaya untuk dapat BAB V Kesimpulan A. Masalah Cina di Indonesia Studi mengenai etnis Tionghoa dalam penelitian ini berupaya untuk dapat melihat Masalah Cina, khususnya identitas Tionghoa, melalui kacamata kultur subjektif

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. dapat terlepas dari modal yang dimilikinya, semakin besar modal yang dimiliki oleh

BAB V PENUTUP. dapat terlepas dari modal yang dimilikinya, semakin besar modal yang dimiliki oleh 180 BAB V PENUTUP Penelitian Pertarungan Tanda dalam Desain Kemasan Usaha Kecil dan Menengah ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut : 5.1. Kesimpulan 5.1.1. Praktik dan Modal Usaha Kecil Menengah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam hayati, sumberdaya alam non hayati dan sumberdaya buatan, merupakan salah satu aset pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah telah membuktikan bahwa Negara Indonesia adalah negara bahari, yang kejayaan masa lampaunya dicapai karena membangun kekuatan maritim

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mega Destatriyana, 2015 Batavia baru di Weltevreden Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.

BAB I PENDAHULUAN. Mega Destatriyana, 2015 Batavia baru di Weltevreden Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kota merupakan kawasan pemukiman yang secara fisik ditunjukkan oleh kumpulan rumah-rumah yang mendominasi tata ruangnya dan memiliki berbagai fasilitas untuk

Lebih terperinci

Teori Sosial. (Apa Kontribusinya Terhadap Pemahaman Olahraga di Masyarakat)

Teori Sosial. (Apa Kontribusinya Terhadap Pemahaman Olahraga di Masyarakat) Teori Sosial (Apa Kontribusinya Terhadap Pemahaman Olahraga di Masyarakat) Apa itu Teori dalam Sosiologi? Pada saat kita menanyakan mengapa dunia sosial kita seperti ini dan kemudian membayangkan bagaimana

Lebih terperinci

BAB VII RAGAM SIMPUL

BAB VII RAGAM SIMPUL BAB VII RAGAM SIMPUL Komunitas India merupakan bagian dari masyarakat Indonesia sejak awal abad Masehi. Mereka datang ke Indonesia melalui rute perdagangan India-Cina dengan tujuan untuk mencari kekayaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sumber daya lahan yang terdapat pada suatu wilayah, pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sumber daya lahan yang terdapat pada suatu wilayah, pada dasarnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumber daya lahan yang terdapat pada suatu wilayah, pada dasarnya merupakan modal dasar pembangunan yang perlu digali dan dimanfaatkan dengan memperhatikan karakteristiknya.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Geografi merupakan cabang ilmu yang dulunya disebut sebagai ilmu bumi

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Geografi merupakan cabang ilmu yang dulunya disebut sebagai ilmu bumi 8 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Geografi Geografi merupakan cabang ilmu yang dulunya disebut sebagai ilmu bumi sehingga banyak masyarakat menyebutnya sebagai ilmu yang

Lebih terperinci

Pertemuan 7-8 Model Kontemporer Pembangunan dan Keterbelakangan

Pertemuan 7-8 Model Kontemporer Pembangunan dan Keterbelakangan BAGIAN 1 Prinsip & Konsep Pertemuan 7-8 Model Kontemporer Pembangunan dan Keterbelakangan Berdasarkan pengalaman selama lebih dari setengah abad dengan mencoba mendorong pembangunan modern, kita telah

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang yaitu bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang yaitu bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan usaha untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Sebagaimana diamanatkan dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yaitu bahwa bumi dan air

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN. dan berkuasa dalam aspek pendidikan dan politik, bahkan dipandang lebih superior

BAB VII KESIMPULAN. dan berkuasa dalam aspek pendidikan dan politik, bahkan dipandang lebih superior BAB VII KESIMPULAN Studi ini berangkat dari dua gejala kontradiktif dari kehidupan orang Makeang. Orang Makeang di masa lalu adalah kaum subordinat dan dipandang kampungan, sedangkan orang Makeang masa

Lebih terperinci

Bab VI: Kesimpulan. 1 Pemilih idealis mengaktualisasikan suaranya berdasarkan ideologi untuk memperjuangkan nilai-nilai

Bab VI: Kesimpulan. 1 Pemilih idealis mengaktualisasikan suaranya berdasarkan ideologi untuk memperjuangkan nilai-nilai Bab VI Kesimpulan Studi ini telah mengeksplorasi relasi dari kehadiran politik klan dan demokrasi di Indonesia dekade kedua reformasi. Lebih luas lagi, studi ini telah berupaya untuk berkontribusi terhadap

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. lingkungan sekitarnya. Perubahan tersebut bisa terlihat didalam perilaku atau

BAB II KAJIAN PUSTAKA. lingkungan sekitarnya. Perubahan tersebut bisa terlihat didalam perilaku atau BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perubahan Sosial di Pedesaan Setiap individu atau masyarakat tentunya mengalami suatu perubahan. Lambat atau cepat perubahan itu terjadi tergantung kepada banyaknya faktor di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian Perwilayahan adalah usaha untuk membagi bagi permukaan bumi atau bagian permukaan bumi tertentu untuk tujuan yang tertentu pula (Hadi Sabari Yunus, 1977).

Lebih terperinci

DALAM PERUBAHAN GLOBAL

DALAM PERUBAHAN GLOBAL PERADABAN ISLAM I: TELAAH ATAS PERKEMBANGAN PEMIKIRAN PERAN KEPEMIMPINAN POLITIK DALAM PERUBAHAN GLOBAL Oleh Nurcholish Madjid Masyarakat manusia dalam berbagai bentuk kesatuannya seperti komunitas, umat,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata

Lebih terperinci

Para filsuf Eropa menyebut istilah akhir sejarah bagi modernisasi yang kemudian diikuti dengan perubahan besar.

Para filsuf Eropa menyebut istilah akhir sejarah bagi modernisasi yang kemudian diikuti dengan perubahan besar. Tiga Gelombang Demokrasi Demokrasi modern ditandai dengan adanya perubahan pada bidang politik (perubahan dalam hubungan kekuasaan) dan bidang ekonomi (perubahan hubungan dalam perdagangan). Ciriciri utama

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Konsep Tinjauan Historis Secara etimologis tinjauan historis terdiri dari dua kata yakni tinjauan dan historis. kata tinjauan dalam bahasa Indonesia berasal

Lebih terperinci

Hubungan Buruh, Modal, dan Negara By: Dini Aprilia, Eko Galih, Istiarni

Hubungan Buruh, Modal, dan Negara By: Dini Aprilia, Eko Galih, Istiarni Hubungan Buruh, Modal, dan Negara By: Dini Aprilia, Eko Galih, Istiarni INDUSTRIALISASI DAN PERUBAHAN SOSIAL Industrialisasi menjadi salah satu strategi pembangunan ekonomi nasional yang dipilih sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kondisi penggunaan lahan dinamis, sehingga perlu terus dipantau. dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan dan salah pemanfaatan.

BAB I PENDAHULUAN. kondisi penggunaan lahan dinamis, sehingga perlu terus dipantau. dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan dan salah pemanfaatan. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan sangat diperlukan untuk kelanjutan hidup manusia. Kemajuan pembangunan di suatu wilayah sejalan dengan peningkatan jumlah pertumbuhan penduduk yang diiringi

Lebih terperinci

GEOPOLITIK Program Studi Manajemen

GEOPOLITIK Program Studi Manajemen Modul ke: PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Fakultas Ekonomi dan Bisnis GEOPOLITIK Program Studi Manajemen www.mercubuana.ac.id Geopolitik berasal dari dua kata, yaitu geo dan politik. Maka, Membicarakan pengertian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas perekonomian di suatu wilayah akan menyebabkan semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mulai dari yang terdapat di daratan hingga di lautan. Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN. mulai dari yang terdapat di daratan hingga di lautan. Negara Kesatuan Republik BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kekayaan alam yang dimiliki oleh Negara ini sungguh sangat banyak mulai dari yang terdapat di daratan hingga di lautan. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Dari pembahasan mengenai Peran Sultan Iskandar Muda Dalam. Mengembangkan Kerajaan Aceh Pada Tahun , maka dapat diambil

BAB V KESIMPULAN. Dari pembahasan mengenai Peran Sultan Iskandar Muda Dalam. Mengembangkan Kerajaan Aceh Pada Tahun , maka dapat diambil BAB V KESIMPULAN Dari pembahasan mengenai Peran Sultan Iskandar Muda Dalam Mengembangkan Kerajaan Aceh Pada Tahun 1607-1636, maka dapat diambil kesimpulan baik dari segi historis maupun dari segi paedagogis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pertumbuhan untuk masa selanjutnya (Desmita, 2012). Hurlock (2004)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pertumbuhan untuk masa selanjutnya (Desmita, 2012). Hurlock (2004) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa bayi dianggap sebagai periode vital karena kondisi fisik dan psikologis pada masa ini merupakan fondasi bagi perkembangan dan pertumbuhan untuk masa selanjutnya

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA Keadaan Geografis dan Kependudukan

GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA Keadaan Geografis dan Kependudukan 41 IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA 4.1. Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Jakarta adalah ibu kota Negara Indonesia dan merupakan salah satu Provinsi di Pulau Jawa. Secara geografis, Provinsi

Lebih terperinci

KAJIAN PELESTARIAN KAWASAN BENTENG KUTO BESAK PALEMBANG SEBAGAI ASET WISATA TUGAS AKHIR. Oleh : SABRINA SABILA L2D

KAJIAN PELESTARIAN KAWASAN BENTENG KUTO BESAK PALEMBANG SEBAGAI ASET WISATA TUGAS AKHIR. Oleh : SABRINA SABILA L2D KAJIAN PELESTARIAN KAWASAN BENTENG KUTO BESAK PALEMBANG SEBAGAI ASET WISATA TUGAS AKHIR Oleh : SABRINA SABILA L2D 005 400 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. Gouws (2005) menyatakan perluasan

Lebih terperinci

TANTANGAN FILSAFAT ILMU DALAM PERKEMBANGAN GEOGRAFI YULI IFANA SARI

TANTANGAN FILSAFAT ILMU DALAM PERKEMBANGAN GEOGRAFI YULI IFANA SARI TANTANGAN FILSAFAT ILMU DALAM PERKEMBANGAN GEOGRAFI YULI IFANA SARI RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana peranan filsafat ilmu dalam perkembangan ilmu pengetahuan? 2. Bagaimana perkembangan ilmu geografi? 3. Apa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam era perkembangan ekonomi seperti saat ini, saat gelombang ekonomi mengakibatkan krisis di berbagai area kehidupan, masyarakat membutuhkan adanya sumber modal

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Wilayah dan Hirarki Wilayah Secara yuridis, dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta

Lebih terperinci

Agen-Agen Perubahan dan Aksi Tanpa Kekerasan

Agen-Agen Perubahan dan Aksi Tanpa Kekerasan Agen-Agen Perubahan dan Aksi Tanpa Kekerasan Oleh Hardy Merriman Aksi tanpa kekerasan menjadi salah satu cara bagi masyarakat pada umumnya, untuk memperjuangkan hak, kebebasan, dan keadilan. Pilihan tanpa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Matematika berasal dari bahasa Yunani adalah studi besaran, struktur,

BAB I PENDAHULUAN. Matematika berasal dari bahasa Yunani adalah studi besaran, struktur, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Matematika berasal dari bahasa Yunani adalah studi besaran, struktur, ruang, dan perubahan. Matematika dalam bahasa Belanda disebut Wiskunde atau ilmu pasti. Matematika

Lebih terperinci

PERANAN PERKEBUNAN KARET JALUPANG TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL-EKONOMI MASYARAKAT CIPEUNDEUY KABUPATEN SUBANG

PERANAN PERKEBUNAN KARET JALUPANG TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL-EKONOMI MASYARAKAT CIPEUNDEUY KABUPATEN SUBANG 1 BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Penelitian Perkebunan mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perekonomian regional secara keseluruhan. Sistem perkebunan masuk ke Indonesia pada akhir Abad

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. didalam ranah kajian ilmu-ilmu sosial bahkan hingga saat ini. Berbagai macam jenis

BAB V PENUTUP. didalam ranah kajian ilmu-ilmu sosial bahkan hingga saat ini. Berbagai macam jenis BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Daerah pedalaman di Indonesia sudah sejak lama mendapatkan tempat didalam ranah kajian ilmu-ilmu sosial bahkan hingga saat ini. Berbagai macam jenis penelitian dengan rupa-rupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jumlah penduduk Kabupaten Sukoharjo tahun 2005 tercatat sebanyak 821.213 jiwa yang terdiri dari 405.831 laki-laki (49,4%) dan 415.382 perempuan (50,6%). Kecamatan

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. Secara astronomi letak Kota Sawahlunto adalah Lintang Selatan dan

BAB IV KESIMPULAN. Secara astronomi letak Kota Sawahlunto adalah Lintang Selatan dan BAB IV KESIMPULAN Kota Sawahlunto terletak sekitar 100 km sebelah timur Kota Padang dan dalam lingkup Propinsi Sumatera Barat berlokasi pada bagian tengah propinsi ini. Secara astronomi letak Kota Sawahlunto

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Jember fashion..., Raudlatul Jannah, FISIP UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Jember fashion..., Raudlatul Jannah, FISIP UI, 2010. BAB I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan 7 sub bab antara lain latar belakang penelitian yang menjelaskan mengapa mengangkat tema JFC, Identitas Kota Jember dan diskursus masyarakat jaringan. Tujuan penelitian

Lebih terperinci

KAJIAN POLA RUANG AKTIVITAS DEMONSTRASI DI KAWASAN SIMPANG LIMA SEMARANG TUGAS AKHIR

KAJIAN POLA RUANG AKTIVITAS DEMONSTRASI DI KAWASAN SIMPANG LIMA SEMARANG TUGAS AKHIR KAJIAN POLA RUANG AKTIVITAS DEMONSTRASI DI KAWASAN SIMPANG LIMA SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh : NURUL FATIMAH Y.M. L2D 002 422 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra berfungsi sebagai penuangan ide penulis berdasarkan realita kehidupan atau imajinasi. Selain itu, karya sastra juga dapat diposisikan sebagai dokumentasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan terkonsentrasi dan ada tempat-tempat dimana penduduk atau kegiatannya

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan terkonsentrasi dan ada tempat-tempat dimana penduduk atau kegiatannya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Di dalam suatu wilayah tertentu, ada tempat-tempat dimana penduduk atau kegiatan terkonsentrasi dan ada tempat-tempat dimana penduduk atau kegiatannya yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam suku, agama dan budaya, ada

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam suku, agama dan budaya, ada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam suku, agama dan budaya, ada sekitar 1.340 suku bangsa di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan pendapatan perkapita sebuah

Lebih terperinci