ANALISIS PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP KONVERGENSI PENDAPATAN DI PULAU SUMATERA OLEH NISA KARAMI H

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP KONVERGENSI PENDAPATAN DI PULAU SUMATERA OLEH NISA KARAMI H"

Transkripsi

1 ANALISIS PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP KONVERGENSI PENDAPATAN DI PULAU SUMATERA OLEH NISA KARAMI H DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

2 RINGKASAN NISA KARAMI. Analisis Pengaruh Infrastruktur terhadap Konvergensi Pendapatan di Pulau Sumatera (dibimbing oleh HERMANTO SIREGAR). Kesenjangan atau ketimpangan pendapatan di suatu daerah akan menimbulkan berbagai permasalahan. Permasalahan tersebut dapat berupa peningkatan migrasi dari daerah yang miskin ke daerah yang lebih maju, kriminalitas, dan konflik antar masyarakat. Dalam konteks kenegaraan kesenjangan akan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang kemudian akan mengancam keutuhan suatu negara. Maka dari itu, kesenjangan harus diatasi oleh pemerintah dengan mendorong daerah yang miskin untuk mampu mengejar ketertinggalan perekonomiannya terhadap daerah yang sudah kaya. Hal ini dapat disebut sebagai konvergensi pendapatan, yaitu pengejaran pertumbuhan ekonomi oleh daerah miskin terhadap daerah kaya. Salah satu penyebab kesenjangan yang terjadi antardaerah di Indonesia dapat diakibatkan oleh kesenjangan ketersediaan infrastruktur. Infrastruktur merupakan suatu input dalam proses produksi yang dapat memberikan peningkatan produktivitas marjinal pada output. Infrastruktur yang layak dan tepat dapat membantu mendorong berbagai kegiatan ekonomi melalui fungsinya yang dapat melancarkan proses produksi dan mobilitas manusia, barang, dan jasa. Dengan demikian, infrastruktur berperan sebagai prasyarat dalam meningkatkan perekonomian. Perbedaan ketersediannya antardaerah dapat menciptakan perbedaan kemampuan antardaerah dalam menciptakan pendapatan. Selanjutnya, hal itu akan berdampak pada kesenjangan pendapatan antardaerah. Kepemilikan nilai PDRB riil per kapita dan infrastruktur di berbagai propinsi di Pulau Sumatera pada Tahun 2010 menunjukkan kondisi yang belum merata. Infrastruktur yang diamati adalah jalan, listrik, air bersih, dan kesehatan. Perbedaan tersebut menggambarkan bahwa masing-masing propinsi memiliki perbedaan sarana dan prasarana yang dapat memengaruhi perbedaan kemampuan untuk meningkatkan perekonomian daerah. Penelitian ini mencoba menganalisis proses konvergensi pendapatan di Pulau Sumatera dan mengidentifikasi peran infrastruktur terhadap konvergensi pendapatan di Pulau Sumatera. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber, yaitu Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Kesehatan RI, dan PT. PLN. Data panel yang dikumpulkan berupa data cross section yang terdiri dari sembilan propinsi di Pulau Sumatera yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, dan Kepulauan Bangka Belitung serta data time series tahunan periode Konvergensi sigma dihitung dengan standard deviasi dari logaritma PDRB riil per kapita (Barro dan Sala-i Martin, Bab 11:2004) di Pulau Sumatera dari tahun ke tahun. Analisis konvergensi beta kondisional melibatkan variabel infrastruktur. Persamaan yang digunakan yaitu persamaan pada Krismanti (2011) dengan penyesuaian terhadap penelitian ini. Metode analisis yang digunakan adalah panel dinamis dengan Sys-GMM. Hasil estimasi konvergensi sigma menunjukkan adanya konvergensi pendapatan, dilihat dari penurunan nilai standard deviasi logaritma PDRB riil per

3 kapita selama periode analisis. Analisis konvergensi beta kondisional menunjukkan bahwa proses konvergensi pendapatan di Pulau Sumatera telah terjadi. Hal itu terlihat pada koefisien dari lag PDRB riil per kapita yang kurang dari satu, yaitu sebesar 0,9301 dan signifikan. Konvergensi pendapatan di Pulau Sumatera memiliki kecepatan 7,24 persen dan waktu untuk mengurangi setengah kesenjangan menuju ke kondisi mapan adalah lebih dari 9 tahun. Infrastruktur yang mendukung terjadinya konvergensi adalah listrik. Pentingnya infrastruktur sebagai pendukung konvergensi pendapatan di Pulau Sumatera, menunjukkan bahwa pemerintah perlu terus memerhatikan pembangunan, perbaikan, dan pemeliharaan infrastruktur. Hal tersebut utamanya perlu dilakukan di daerah yang berpendapatan rendah, sehingga daerah tersebut diharapkan dapat mengejar ketertinggalannya terhadap daerah yang sudah maju. Penelitian selanjutnya disarankan menganalisis lebih lanjut mengenai pengaruh infrastruktur lainnya terhadap konvergensi pendapatan di Pulau Sumatera yang juga dapat melancarkan arus barang, jasa, manusia, dan informasi. Dengan demikian, estimasi dapat lebih lengkap dan menyeluruh.

4 ANALISIS PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP KONVERGENSI PENDAPATAN DI PULAU SUMATERA Oleh NISA KARAMI H Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

5 Judul Skripsi Nama NIM : Analisis Pengaruh Infrastruktur terhadap Konvergensi Pendapatan di Pulau Sumatera : Nisa Karami : H Menyetujui, Dosen Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. NIP Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi, Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. NIP Tanggal Kelulusan :

6 PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. Bogor, Juli 2012 Nisa Karami H

7 RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Nisa Karami lahir pada tanggal 10 Februari 1991 di Kota Jambi, Propinsi Jambi. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Dr. H. Karomani, M.Si dan Hj. Enung Juhartini. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, diawali dari menamatkan pendidikan di TK Pembina Jambi lalu SDN Cimuncang 1 Bandung kemudian MTS Mathla ul Anwar di Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang, Propinsi Banten. Selanjutnya penulis menamatkan jenjang pendidikan SMA di SMAN 2 Bandar Lampung. Pada tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan ke Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SNMPTN dan diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di organisasi Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (HIPOTESA) sebagai anggota divisi Discussion and Analysis (DnA) pada tahun Selain itu penulis juga pernah terlibat menjadi panitia berbagai kegiatan kampus baik di tingkat departemen, fakultas maupun KM. Pada bidang akademis, penulis pernah menjadi juara III Kompetisi Ekonomi Islam (KEI) yang diselenggarakan oleh SES-C Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Penulis juga merupakan salah satu anggota tim diskusi terbaik dari Lomba Karya Tulis Indonesia Economic Outlook 2012 pada tahun 2011 di Universitas Indonesia.

8 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala hidayah dan rahmat-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, yang berjudul Analisis Pengaruh Infrastruktur terhadap Konvergensi Pendapatan di Pulau Sumatera. Penelitian ini merupakan syarat bagi perolehan gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penyelesaian dan penyempurnaan skripsi ini tidak lepas dari kontribusi berbagai pihak. Maka dari itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec sebagai dosen pembimbing yang telah sabar dan ikhlas meluangkan waktu untuk membimbing dengan memberikan ide, kritik dan saran untuk menyelesaikan skripsi ini. 2. Dr. M. Parulian Hutagaol sebagai dosen penguji utama dalam sidang skripsi yang telah memberikan kritik dan saran untuk penyempurnaan skripsi ini. 3. Deni Lubis, M.A sebagai dosen komisi pendidikan yang telah memberikan masukan dalam tata cara penulisan skripsi. 4. Kedua orang tua penulis, Dr. H. Karomani, M.Si dan Hj. Enung Juhartini serta adik tersayang Mohammad Thaha Husein Haikal yang telah memberikan kasih sayang, semangat, doa, dan dukungan kepada penulis. 5. Segenap Dosen Departemen Ilmu Ekonomi yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis. 6. Teman-teman satu bimbingan Astary Pradipta dan Aditya Rakhman yang telah saling mendukung dan menjadi teman diskusi pada penyelesaian skripsi ini. 7. Teman-teman Ilmu Ekonomi 45 atas kebersamaan dan dukungannya. Khususnya Retno, Theresia, April, Laelati, Etika, dan Vevi yang juga telah memberikan semangat dan juga menjadi teman bertukar pikiran dan diskusi dalam penyelesaian skripsi ini.

9 8. Teman-teman di Villa Taman Sehat yang menjadi teman berbagi dan selalu mendukung melalui kebersamaannya selama ini di Villa Taman Sehat. Akhirnya, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang tidak dapat disebut satu per satu. Semoga Allah SWT memberikan balasan kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang memerlukannya. Bogor, Juli 2012 Nisa Karami H

10 i DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL...iii DAFTAR GAMBAR... iv DAFTAR LAMPIRAN... v I. PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Manfaat Ruang Lingkup II. TINJAUAN PUSTAKA Faktor Penentu Pertumbuhan Ekonomi Konvergensi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Infrastruktur Jalan Listrik Air Bersih Fasilitas Kesehatan Penelitian Terdahulu Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian III. METODOLOGI PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Analisis Konvergensi Metode Analisis Data Panel Data Panel Dinamis First-difference GMM (FD-GMM) System GMM (SYS-GMM)... 35

11 ii 3.4 Kriteria Model Terbaik IV GAMBARAN UMUM INFRASTRUKTUR Jalan Listrik Air Bersih Infrastruktur Kesehatan V. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Konvergensi di Pulau Sumatera Konvergensi Sigma Konvergensi Beta Analisis Sumber Pendorong Tingkat Pendapatan Implikasi Kebijakan VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 67

12 iii DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Kontribusi PDRB ADHK 2000 terhadap PDRB ADHK 2000 Pulau Sumatera menurut Propinsi Tahun Panjang Jalan menurut Kewenangan dan Kondisi di Pulau Sumatera Tahun 2010 (km) Beberapa Penemuan Konvergensi Sigma Antar Negara atau Wilayah Hasil Estimasi Konvergensi Pendapatan di Pulau Sumatera dengan Sys- GMM serta Perbandingan Koefisien antara Sys-GMM, PLS, dan FE Efektivitas Produksi Air Bersih oleh Perusahaan Air Bersih menurut Propinsi Tahun 2003 dan Tahun 2010 (%)... 55

13 iv DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Kontribusi PDRB ADHK 2000 terhadap PDB ADHK 2000 menurut Pulau Tahun PDRB per Kapita ADHK 2000 menurut Propinsi di Pulau Sumatera Tahun 2010 (Juta Rupiah) Persentase Jalan Kondisi Rusak dan Rusak Berat menurut Propinsi di Pulau Sumatera Tahun Persentase Energi Terjual terhadap Total Pulau Sumatera menurut Satuan PLN/Propinsi Tahun Jumlah Air Bersih yang Disalurkan oleh PDAM menurut Propinsi di Pulau Sumatera Tahun 2010 (ribu m 3 ) Jumlah Infrastruktur Kesehatan Tahun 2010 menurut Propinsi di Pulau Sumatera Fungsi Produksi per Kapita Konvergensi Menuju Kondisi Mapan Peran Sektor Transportasi dalam Pembangunan Wilayah Kerangka Pemikiran Persentase Panjang Jalan menurut Kondisi di Pulau Sumatera Tahun Kondisi Jalan Baik dan Sedang menurut Propinsi di Pulau Sumatera Tahun 2010 (km) Jumlah Pelanggan Listrik PLN di Pulau Sumatera Tahun Energi Listrik Terjual di Pulau Sumatera Tahun (GWh) Energi Listrik Terjual menurut Satuan PLN/Propinsi di Pulau Sumatera Tahun 2010 (GWh) Jumlah Pelanggan Air Bersih di Pulau Sumatera Tahun Persentase Pertumbuhan Jumlah Air Didistribusikan di Pulau Sumatera Tahun (%) Jumlah Air Didistribusikan menurut Propinsi di Pulau Sumatera Tahun (ribu m 3 ) Persentase Jumlah Rumah Sakit dan Puskesmas di Pulau Sumatera Tahun Jumlah Rumah Sakit dan Puskesmas menurut Propinsi di Pulau Sumatera Tahun Konvergensi Sigma Pulau Sumatera Tahun

14 v DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Estimasi Konvergensi dengan Sys-GMM Estimasi Konvergensi dengan PLS Estimasi Konvergensi dengan Fixed Effect... 69

15 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi menunjukkan proses pembangunan yang terjadi di suatu daerah. Pengukuran pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat dilihat pada besaran Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) karena PDRB merupakan ukuran yang menunjukkan nilai tambah produksi barang dan jasa dalam masyarakat. Daerah yang memiliki sumber-sumber input produksi seperti, tenaga kerja, modal, dan sumberdaya alam yang melimpah akan dapat menciptakan nilai tambah yang besar. Nilai tambah yang tercermin pada nilai PDRB tersebut merupakan pendapatan yang dapat dinikmati oleh masyarakat di suatu daerah. Akan tetapi, setiap daerah tidak memiliki sumber-sumber input produksi, sarana dan prasarana yang sama. Oleh karena itu, kemampuan daerah dalam menghasilkan pendapatan berbeda satu dengan yang lainnya. Hal ini selanjutnya akan menimbulkan kesenjangan pendapatan antardaerah. Kesenjangan tersebut dapat terjadi dalam ruang lingkup yang besar seperti antarnegara, ataupun dalam ruang lingkup yang lebih kecil yaitu antarpropinsi dalam suatu negara atau antarkabupaten/kota dalam suatu propinsi. Kesenjangan atau ketimpangan pendapatan akan menimbulkan berbagai permasalahan. Permasalahan tersebut dapat berupa peningkatan migrasi dari daerah yang miskin ke daerah yang lebih maju, kriminalitas, konflik antarmasyarakat, dan dalam konteks kenegaraan, kesenjangan akan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang kemudian akan mengancam keutuhan suatu negara. Hal ini tentu akan mengganggu proses produksi dan aktivitas ekonomi suatu negara. Oleh karena itu, kesenjangan harus diatasi oleh pemerintah. Upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah mendorong pertumbuhan ekonomi daerah yang miskin atau memiliki pendapatan yang lebih rendah. Dengan demikian, daerah miskin diharapkan mampu mengejar ketertinggalan perekonomiannya terhadap daerah yang sudah kaya. Hal ini dapat disebut sebagai konvergensi pendapatan, yaitu pengejaran pertumbuhan ekonomi

16 2 oleh daerah miskin terhadap daerah yang kaya, sehingga kesenjangan antardaerah dapat diperkecil dari waktu ke waktu. Kepemilikan pendapatan antardaerah di Indonesia masih belum menunjukkan kemerataan. Hal ini dapat dilihat pada besaran kontribusi Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) yang dimiliki oleh masing-masing wilayah atau daerah di Indonesia. Kontribusi PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) 2000 menurut pulau pada Tahun 2010 menunjukkan bahwa Pulau Jawa merupakan kontributor terbesar dalam pembentukan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) ADHK 2000, yaitu sebesar 61 persen. Pulau Sumatera merupakan daerah yang memiliki peran terbesar kedua dalam pembentukan PDB ADHK setelah Pulau Jawa dengan nilai sebesar 21 persen. Sedangkan penjumlahan kontribusi pulau-pulau lainnya memberikan kontribusi sebesar 18 persen. 3% 1% 9% 5% 21% P.Sumatera P.Jawa P.Bali P.Kalimantan P.Sulawesi Lainnya 61% Sumber : BPS, diolah. Gambar 1. Kontribusi PDRB ADHK 2000 terhadap PDB ADHK 2000 menurut Pulau Tahun 2010 Kontribusi PDRB yang terdapat di Pulau Sumatera tidak merata. Pada Tahun 2010, Propinsi Sumatera Utara yang merupakan pemilik kontribusi PDRB ADHK terbesar, menyumbang PDRB lebih dari 25 persen terhadap total PDRB Pulau Sumatera. Sedangkan Propinsi Bengkulu, Propinsi Kep. Bangka Belitung, dan Propinsi Jambi merupakan daerah yang sumbangan PDRB nya terhadap PDRB ADHK Sumatera paling rendah, yaitu di bawah lima persen. Dengan

17 3 demikian, pembangunan di wilayah tersebut perlu mendapat perhatian dari pemerintah, agar daerah tersebut mampu meningkatkan perekonomiannya. Lokasi Pulau Sumatera yang dekat dengan Pulau Jawa merupakan peluang bagi masingmasing propinsi di Pulau Sumatera untuk meningkatkan aktivitas ekonominya. Tabel 1. Kontribusi PDRB ADHK 2000 terhadap PDRB ADHK 2000 Pulau Sumatera menurut Propinsi Tahun 2010 Propinsi Kontribusi PDRB Nanggroe Aceh Darussalam 7,07% Sumatera Utara 25,35% Sumatera Barat 8,30% Riau 20,87% Jambi 3,73% Sumatera Selatan 13,62% Bengkulu 1,78% Lampung 8,18% Kepulauan Bangka Belitung 2,32% Kepulauan Riau 8,78% Sumber : BPS, diolah. Penyebab ketimpangan pendapatan di Indonesia yang dirangkum oleh Tambunan ( :2003) diantaranya adalah pertama, konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah, suatu daerah yang memiliki konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi akan tumbuh lebih cepat. Hal ini dapat menyebabkan tenaga kerja, modal, dan kegiatan perdagangan pindah ke daerah yang lebih maju. Kedua, alokasi investasi yang terpusat di suatu daerah tertentu. Hal ini menyebabkan tingkat pendapatan per kapita yang rendah di daerah minim investasi. Ketiga, tingkat mobilitas faktor produksi yang rendah antardaerah. Keempat perbedaan sumber daya antarpropinsi. Kelima, perbedaan demografis antarwilayah, seperti jumlah dan pertumbuhan penduduk, pendidikan, kesehatan, dan disiplin masyarakat serta etos kerja. Keenam, kurang lancarnya kegiatan perdagangan antarpropinsi yang disebabkan oleh keterbatasan transportasi dan komunikasi.

18 4 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa salah satu penyebab kesenjangan yang terjadi antardaerah di Indonesia adalah kesenjangan ketersediaan infrastruktur. Infrastruktur merupakan suatu input dalam proses produksi yang dapat memberikan peningkatan produktivitas marjinal pada output. Infrastruktur yang layak dan tepat dapat membantu mendorong berbagai kegiatan ekonomi. Perbedaan ketersediannya antardaerah bisa menimbulkan perbedaan kemampuan daerah dalam menjalankan berbagai aktivitas ekonomi. Infrastruktur yang berperan penting dalam proses pembangunan diantaranya adalah infrastruktur ekonomi dan sosial. Infrastruktur ekonomi dapat berupa jalan, listrik, air, irigasi, dan komunikasi. Infrastruktur ekonomi dapat menjadi modal yang digunakan oleh tenaga kerja dalam melakukan proses produksi seperti listrik dan air bersih. Konsumsi air bersih oleh rumah tangga juga dapat menjadi sesuatu yang berperan menjaga kesehatan tenaga kerja, sehingga air bersih dapat pula berperan secara tidak langsung terhadap perekonomian melalui peningkatan kesehatan tenaga kerja. Tenaga kerja yang sehat mampu bekerja dengan baik, sehingga mereka diharapkan menjadi lebih produktif. Adapun infrastruktur ekonomi lainnya seperti jalan dan komunikasi dapat menjadi sarana penunjang bagi kelancaran arus kegiatan ekonomi. Infrastruktur sosial dapat meliputi infrastruktur pendidikan dan kesehatan. Peningkatan pendidikan tenaga kerja mampu meningkatkan keahlian mereka dalam berproduksi. Infrastruktur kesehatan dapat membantu tenaga kerja mengatasi permasalahan kesehatan yang dapat menganggu jalannya kegiatan kerja mereka. Oleh sebab itu, kehadiran infrastruktur tersebut diharapkan dapat meningkatkan kualitas tenaga kerja. Penyediaan berbagai infrastruktur di atas sangat bermanfaat dalam menciptakan daya tarik investasi bagi tiap daerah. Khususnya bagi daerah yang relatif lebih miskin yang umumnya memiliki sarana dan prasarana ekonomi dan sosial yang masih rendah. Oleh sebab itu, pembangunan infrastruktur perlu direncanakan dengan sebaik mungkin agar mampu meningkatkan perekonomian daerah, terutama daerah miskin, agar kemudian dapat meminimalkan kesenjangan antardaerah. Berbagai jenis infrastruktur di atas dapat dibangun baik oleh pemerintah maupun swasta atau gabungan antara keduanya.

19 5 1.2 Rumusan Masalah Jumlah penduduk suatu daerah memengaruhi jumlah PDRB yang diterima per penduduk. Maka dari itu untuk melihat kesenjangan secara lebih jelas, akan digunakan ukuran PDRB per kapita Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) PDRB berdasarkan harga konstan merupakan pengukuran yang telah menghilangkan efek perbedaan harga, sehingga disebut PDRB riil. Kesenjangan pendapatan antarpropinsi di Pulau Sumatera pada Tahun 2010, secara sepintas dapat dilihat pada perbedaan kepemilikan PDRB per kapita Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) Propinsi Kepulauan Riau merupakan daerah dengan nilai PDRB per kapita ADHK 2000 tertinggi, yakni Rp ,30. Sedangkan nilai terendah dimiliki oleh Propinsi Bengkulu, yaitu Rp ,48. Dapat dilihat bahwa Propinsi Kepulauan Riau merupakan propinsi yang bukan merupakan kontributor PDRB terbesar terhadap PDB, namun memiliki nilai PDRB per kapita ADHK tertinggi. Sementara itu, Sumatera Utara yang merupakan kontributor PDRB tertinggi terhadap PDB memiliki PDRB per kapita yang relatif lebih rendah dari Propinsi Kepulauan Riau. Oleh karena itu, ukuran PDRB per kapita ADHK dapat dikatakan lebih baik untuk melihat kesenjangan daripada pengukurannya tanpa membagi dengan jumlah penduduk. Kep. Riau Kep. Bangka Belitung Lampung Bengkulu Sumatera Selatan Jambi Riau Sumatera Barat Sumatera Utara Nanggroe Aceh Darussalam Millions Sumber : BPS, diolah. Gambar 2. PDRB per Kapita ADHK 2000 menurut Propinsi di Pulau Sumatera Tahun 2010 (Juta Rupiah)

20 6 Infrastruktur merupakan modal yang dapat menjadi input produksi ataupun penunjang bagi kelancaran kegiatan ekonomi dan kegiatan masyarakat. Perbedaan ketersediaan infrastruktur yaitu jalan, listrik, air bersih, dan kesehatan di berbagai propinsi di Pulau Sumatera menunjukkan bahwa masing-masing propinsi memiliki perbedaan sarana dan prasarana yang dapat membantu meningkatkan produktivitas dan memudahkan akses pelaku ekonomi terhadap sumber kegiatan ekonomi. Daerah dengan akses terhadap infrastruktur yang cukup mempunyai kesempatan melaksanakan kegiatan ekonomi dengan lebih lancar dan memiliki sumber daya manusia yang lebih baik, dan sebaliknya. Hal ini selanjutnya dapat menimbulkan kesenjangan antardaerah dalam menciptakan pendapatan. Pada Tahun 2010, persentase jalan berkondisi rusak dan rusak berat tertinggi terdapat di Propinsi Sumatera Barat, Propinsi Jambi, dan Propinsi Bengkulu. Propinsi Jambi dan Propinsi Bengkulu termasuk propinsi yang memiliki PDRB per kapita relatif rendah. Sedangkan wilayah yang paling sedikit memiliki persentase jalan kondisi rusak dan rusak berat pada tahun yang sama adalah Propinsi Bangka Belitung. Meskipun propinsi ini PDRB nya berkontribusi kecil terhadap PDB, namun setelah dilihat dalam ukuran PDRB per kapita, wilayah ini memiliki nilai PDRB per kapita yang hampir sama dengan propinsi yang merupakan kontributor PDRB tertinggi di Pulau Sumatera. 50% 45% 40% 35% 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0% Sumber : BPS, diolah. Gambar 3. Persentase Jalan Kondisi Rusak dan Rusak Berat menurut Propinsi di Pulau Sumatera Tahun 2010

21 7 Persentase energi listrik terjual terhadap total energi terjual di Sumatera pada Tahun 2010 ditunjukkan pada Gambar 4. Persentase tertinggi dimiliki oleh Propinsi Sumatera Utara, yakni sebesar 31,41 persen. Adapun propinsi dengan persentase energi listrik terjual terendah adalah Propinsi Jambi, Bengkulu, dan Bangka Belitung. Propinsi Kepulauan Riau juga memiliki persentase yang rendah, akan tetapi nilai itu di luar satuan PLN Batam yang juga merupakan bagian dari Propinsi Kepulauan Riau menurut geografis kepemerintahan. Dengan demikian, Propinsi Kepulauan Riau secara keseluruhan memiliki persentase energi terjual sebesar 8,88 persen. Energi yang terjual baik kepada industri maupun rumah tangga berperan dalam meningkatkan produktivitas. Masyarakat yang memiliki akses terhadap listrik dapat memiliki kesempatan yang lebih banyak dalam melakukan berbagai kegiatan yang produktif dengan lancar, seperti belajar, bekerja, dan kegiatan lainnya. Selain itu, usaha rumahan, layaknya industri, juga membutuhkan akses listrik untuk menunjang aktivitas produksi. Batam Kep. Riau Kep. Bangka Belitung Lampung Bengkulu Sumatera Selatan Jambi Riau Sumatera Barat Sumatera Utara Nanggroe Aceh Darussalam persentase Sumber : PLN, diolah. 0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% Gambar 4. Persentase Energi Terjual terhadap Total Pulau Sumatera menurut Satuan PLN/Propinsi Tahun 2010 Konsumsi air bersih yang disalurkan oleh PDAM dapat tercermin pada jumlah air bersih yang didistribusikan kepada pelanggan. Konsumsi air bersih diantaranya dapat dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan jumlah industri. Penduduk yang memiliki akses terhadap air bersih diharapkan memiliki kesehatan

22 8 yang baik dan akhirnya dapat menjadi lebih produktif. Sedangkan industri dapat memanfaatkan air bersih sebagai salah satu bahan baku pada proses produksi. Distribusi air bersih yang meningkat akan membantu meningkatkan pendapatan melalui hal tadi. Jumlah air bersih yang didistribusikan oleh PDAM pada Tahun 2010 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan jumlah air yang didistribusikan antarpropinsi. Propinsi Bengkulu dan Propinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan daerah yang memiliki jumlah air didistribusikan paling kecil. Sedangkan distribusi air terbesar pada tahun yang sama dimiliki oleh Propinsi Sumatera Utara, yaitu hampir sebesar 200 juta kubik. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah air terdistribusikan di propinsi lainnya Sumber : BPS, diolah. Gambar 5. Jumlah Air Bersih yang Disalurkan oleh PDAM menurut Propinsi di Pulau Sumatera Tahun 2010 (ribu m 3 ) Selain infrastruktur ekonomi di atas, infrastruktur sosial juga penting untuk diperhatikan. Ketersediaan infrastruktur sosial berupa rumah sakit dan psukesmas sebagai sarana menjaga kesehatan masyarakat adalah hal yang penting. Masyarakat yang sehat diharapkan mampu menjalankan aktivitas dengan lancar dan produktif. Pada Tahun 2010, kepemilikan jumlah rumah sakit dan puskesmas di berbagai propinsi di Pulau Sumatera berbeda antardaerah. Propinsi Sumatera Utara merupakan propinsi yang memiliki jumlah rumah sakit dan puskesmas terbanyak dibandingkan dengan propinsi lainnya.

23 Sumber : Kementerian Kesehatan RI, diolah. Gambar 6. Jumlah Infrastruktur Kesehatan Tahun 2010 menurut Propinsi di Pulau Sumatera Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini memiliki rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana proses konvergensi pendapatan di Pulau Sumatera? 2. Bagaimana peran infrastruktur dan faktor lainnya terhadap konvergensi pendapatan di Pulau Sumatera? 1.3 Tujuan Berdasarkan rumusan permasalahan yang ada, maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Menganalisis proses konvergensi pendapatan di Pulau Sumatera. 2. Mengidentifikasi peran infrastruktur dan faktor lainnya terhadap konvergensi pendapatan di Pulau Sumatera. 1.4 Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan kepada pembaca mengenai proses konvergensi pendapatan di Pulau Sumatera. Selain itu, penelitian ini memberikan masukan mengenai jenis infrastruktur yang dapat berpengaruh secara signifikan sebagai pemicu konvergensi pendapatan di Pulau Sumatera dan sebagai masukan untuk perumusan kebijakan bagi pemerintah.

24 10 Penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai bahan referensi bagi para peneliti untuk mengkaji masalah konvergensi dan pengaruh infrastruktur terhadap konvergensi pendapatan di suatu daerah. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian ini membahas mengenai konvergensi yang terjadi di Pulau Sumatera pada Tahun Pengamatan meliputi sembilan propinsi di Pulau Sumatera. Propinsi Kepulauan Riau yang mekar pada tengah waktu pengamatan dimasukkan ke dalam propinsi induknya yaitu Propinsi Riau. Hal ini dilakukan untuk menjaga kepastian data. Infrastruktur yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah jalan, air bersih, listrik, dan kesehatan. Periode penelitian dipilih berdasarkan ketersediaan data untuk infrastruktur pada masa otonomi daerah di Pulau Sumatera.

25 11 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor Penentu Pertumbuhan Ekonomi Teori mengenai pertumbuhan ekonomi akan memberikan gambaran mengenai faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Teori ekonomi Neoklasik Solow menjelaskan mengenai pengaruh persediaan modal, tenaga kerja, dan kemajuan teknologi terhadap ouput. Fungsi produksi agregat dapat membantu menggambarkan mengenai hal tersebut. Mula-mula akan dibahas mengenai pertumbuhan ouput yang dipengaruhi oleh modal dan tenaga kerja tanpa memasukkan teknologi. Fungsi produksi agregat dapat ditulis sebagai berikut: Y = F(K,L).. (2.1) Model pertumbuhan Solow mengasumsikan adanya constant return to scale ketika input dianalisis secara bersamaan. Namun, ketika input dianalisis secara terpisah maka asumsi yang digunakan adalah diminishing return to scale (Todaro dan Smith, 150:2006). Pada mulanya peningkatan modal per tenaga kerja akan meningkatkan output per kapita, akan tetapi ketika penambahan modal terus dilakukan output meningkat lebih rendah (diminishing marginal product of capital). Output per kapita, y y y = f(k) k k Sumber : Dornbusch, Fischer, dan Startz (62:2008) Gambar 7. Fungsi Produksi per Kapita

26 12 Fungsi produksi tanpa memasukkan unsur kemajuan teknologi dilakukan untuk penyederhanaan, sehingga tidak dapat dilihat pertumbuhan jangka panjang pada perekonomian secara lebih lengkap. Kemajuan teknologi merupakan variabel eksogen dalam teori ekonomi neoklasik Solow. Untuk melihat hal itu dalam teori pertumbuhan neoklasik Solow, dengan memasukkan kemajuan teknologi, persamaan fungsi agregat dapat ditulis sebagai berikut (Mankiw, 212:2006) : Y = F(K, L x E) (2.2) E merupakan variabel yang mewakili efisiensi tenaga kerja, yaitu pengetahuan mengenai metode produksi. Pendidikan atau keahlian serta kesehatan tenaga kerja dapat meningkatkan efisiensi tenaga kerja. Kemajuan teknologi dapat meningkatkan efisiensi tenaga kerja ketika contohnya, teknologi komputer dipakai pada proses produksi dalam bidang manufaktur untuk proses perakitan pada akhir abad dua puluh (Mankiw, 212:2006). Peningkatan jumlah pekerja efektif akibat peningkatan teknologi tersebut mampu meningkatkan output. Akan tetapi peningkatan jumlah pekerja efektif tidak berarti menunjukkan peningkatan input atau tenaga kerja. Jumlah pekerja dapat sama dengan waktu yang lalu, tetapi dengan kemajuan teknologi yang dikuasai tenaga kerja saat ini, ketersediaan tenaga kerja efektif menjadi bertambah. Maka dari itu, dari persamaan di atas dapat dinyatakan bahwa pertumbuhan output ditentukan oleh modal (K) dan jumlah pekerja efektif (L x E). Efisiensi tenaga kerja sebagai bagian dari modal tidak dijelaskan dalam model dasar Solow, padahal dalam beberapa hal modal manusia serupa dengan modal fisik. Modal manusia mampu memberikan peningkatan kemampuan untuk memproduksi ouput. Modal manusia yaitu berupa ilmu pengetahuan dan keahlian yang dimiliki pekerja dari kegiatan pendidikan seperti on the job training dan pendidikan formal lainnya. Pada model Solow, E merupakan modal manusia yang bergabung dengan variabel tenaga kerja. Sementara yang dimaksud dengan menggunakan modal manusia di atas adalah menganalisis modal manusia dengan terpisah dari variabel tenaga kerja, yaitu sebagai bentuk baru dari modal (K). Dengan demikian, E hanya mencerminkan teknologi dan modal manusia tidak merupakan bagian di dalamnya (Mankiw, 222:2006).

27 13 Mankiw (222:2006) menyatakan bahwa pada kenyataannya, modal yang ada tidak hanya merupakan jenis modal pada model neoklasik Solow saja, yaitu tabungan. Akan tetapi, jalan raya, jembatan, sistem pembuangan air, pabrik, komputer, dan robot juga merupakan bentuk lain dari modal yang ada di dunia. Oleh sebab itu, pengembangan terhadap fungsi produksi dilakukan oleh para ekonom untuk meneliti faktor-faktor yang diperkirakan berpengaruh dalam proses perekonomian di dunia atau di suatu wilayah. 2.2 Konvergensi Teori ekonomi neoklasik berpendapat bahwa perekonomian akan bergerak menuju steady state atau kondisi mapan, pergerakan tersebut ditentukan oleh tingkat teknologi, tingkat investasi termasuk modal manusia dan modal fisik, tingkat pertumbuhan penduduk, serta tingkat depresiasi modal manusia dan modal fisik. Pergerakan perekonomian menuju kondisi mapan terjadi saat tingkat teknologi dan tabungan yang dimiliki suatu perkeonomian tinggi dan tingkat pertumbuhan populasi serta depresiasi yang terjadi rendah, dan sebaliknya. Perbedaan tingkat tabungan, tingkat teknologi, tingkat pertumbuhan populasi, serta perbedaan karakteristik lainnya antarnegara atau antardaerah menyebabkan setiap perekonomian tidak memiliki tingkat kondisi mapan yang sama. Peningkatan pendapatan per kapita hanya akan terjadi sebesar tingkat teknologinya ketika suatu perekonomian telah berada pada kondisi mapannya (Valdés, 62-63:2003). Valdés (2003) lebih lanjut memberikan ilustrasi mengenai konvergensi menuju kondisi mapan (Gambar 8). Jika suatu perekonomian berada di bawah kondisi mapannya (jalur C), maka pertumbuhan pendapatan per kapita akan lebih besar dari pada tingkat teknologi. Sedangkan jika perekonomian berada di atas kondisi mapannya (jalur D), maka perekonomian akan bergerak menuju kondisi mapan dengan pertumbuhan pendapatan per kapita yang lebih kecil dari tingkat teknologinya. Jalur B menunjukkan perekonomian yang telah berada pada kondisi mapan, pada posisi tersebut pertumbuhan ekonomi akan tumbuh sebesar tingkat teknologinya.

28 14 Sumber : Valdés (63:2003) Gambar 8. Konvergensi Menuju Kondisi Mapan Terdapat dua kosep konvergensi, yaitu σ convergence dan β convergence. Konsep yang pertama fokus pada dispersi yang dapat diukur dengan misalnya, standard deviasi dari logaritma pendapatan atau produk per kapita antardaerah. Jika nilainya menunjukkan penurunan antarwaktu maka konvergensi pendapatan terjadi. Namun, jika nilainya tidak menunjukkan penurunan maka konvergensi tidak terjadi. Sedangkan konsep yang kedua menyatakan perekonomian miskin mampu mengejar (catch up) perekonomian kaya dalam hal pendapatan atau produk per kapita (Barro dan Sala-i Martin, 462:2004). Konsep β convergence dapat dibedakan menjadi dua, yaitu absolute convergence dan conditional convergence. Konvergensi absolut terjadi ketika pengukuran konvergensi didasarkan pada tingkat pendapatan awal saja. Sedangkan konvergensi kondisional menambahkan beberapa variabel kontrol. Variabel kontrol ini merupakan karakteristik yang menentukan tingkat kondisi mapan masing-masing perekonomian. Dengan demikian konvergensi kondisional menyatakan bahwa perekonomian akan berkonvergen pada kondisi mapan masing-masing yang dipengaruhi oleh berbagai variabel kontrol seperti tingkat tabungan dan pertumbuhan populasi (Barro dan Sala-i Martin, 17:2004).

29 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) PDRB serupa dengan Produk Domestik Bruto (PDB). PDB merupakan output barang dan jasa yang dihasilkan dalam suatu perekonomian pada suatu negara (nasional), termasuk pendapatan warga negara asing di dalam negeri (Mankiw, 28:2006). Sedangkan PDRB menunjukkan output barang dan jasa yang dihasilkan oleh perekonomian di suatu daerah (regional). Terdapat dua jenis PDRB yaitu, PDRB atas dasar harga berlaku dan PDRB atas dasar harga konstan. PDRB atas dasar harga berlaku menghitung nilai tambah ouput dengan menggunakan harga pada tahun berjalan. Sedangkan PDRB atas dasar harga konstan menghitung nilai tambah ouput menggunakan harga tahun dasar tertentu. Maka dari itu, pada PDRB atas dasar harga konstan, pengaruh perbedaan harga antarwaktu telah dihilangkan. Pergeseran dan struktur perekonomian dapat dilihat dari PDRB atas dasar harga berlaku. Dengan demikian, dapat diketahui bagaimana kemampuan sumber daya ekonomi suatu daerah untuk menghasilkan output pada tahun tersebut. Sedangkan PDRB atas dasar harga konstan berguna untuk melihat pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun. Pertumbuhan ekonomi tersebut dapat dilihat secara keseluruhan atau sektoral (BPS Propinsi Banten, 10-12:2008). 2.4 Infrastruktur Terdapat beragam definisi berkaitan dengan infrastruktur, diantaranya adalah definisi infrastruktur dalam The McGraw-Hill Dictionary of Modern Economics (Greenwald, 297:1973), yakni: The foundation underlying a nation s economy (transportation and communications systems, power facilities, and other public services) upon which the degree of economic activity (industry, trade, etc) depends. Definisi lainnya untuk infrastruktur pada Kamus Istilah Ekonomi (Rochaety dan Tresnati, 163:2005), yaitu: Pelayanan kepada masyarakat dalam skala besar seperti air, jalan raya, kereta api, sistem penerbangan, telepon, komunikasi radio, dan lain-lain. Salim (48:2000) menyatakan bahwa infrastruktur terdiri dari infrastruktur fisik berupa listrik, air minum, transportasi, dan telekomunikasi, sedangkan infrastruktur sosial terdiri dari pendidikan, latihan, dan kesehatan. Selain itu,

30 16 Ramelan (5-6:1997) menjelaskan secara lebih rinci, bahwa terdapat dua jenis infrastruktur pembangunan yaitu infrastruktur ekonomi dan infrastruktur sosial. Infrastruktur ekonomi berupa infrastruktur fisik yang digunakan masyarakat ataupun pada proses produksi, seperti tenaga listrik, telekomunikasi, perhubungan, irigasi, air bersih dan sanitasi, serta pembuangan limbah. Sedangkan yang dimaksud dengan infrastruktur sosial adalah kesehatan dan pendidikan. Selanjutnya ia menyatakan bahwa infrastruktur fisik termasuk sebagai social overhead capital, penambahannya akan meningkatkan produktivitas perekonomian. Pembangunan berbagai jenis infrastruktur dapat memberikan dampak multiplier terhadap perekonomian. Infrastruktur fisik menjadi komponen modal dalam faktor produksi yang penambahannya dapat menciptakan produktivitas marjinal. Untuk mendukung terjadinya konvergensi diperlukan pembangunan yang berkaitan dengan peningkatan kuantitas maupun kualitas infrastruktur di masing-masing daerah, khususnya di daerah yang lebih miskin agar mampu mengejar ketertinggalannya terhadap daerah kaya Jalan Pembangunan infrastruktur transportasi dapat memberikan peningkatan keunggulan daya saing suatu daerah. Sistem transportasi yang efisien akan memecahkan permasalahan distribusi biaya tinggi. Hal tersebut terjadi karena sistem transportasi yang efisien tersebut membuat proses mobilitas barang dan manusia menjadi cepat, aman, dan murah. Selanjutnya, ekspor dapat meningkat dengan adanya biaya komoditi yang murah di pasar internasional. Transportasi yang baik akan menarik investor dan menciptakan lapangan pekerjaan serta meningkatkan konsumsi masyarakat. Akhirnya pendapatan daerah meningkat dan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan daerah dapat meningkat pula. Secara keseluruhan hal tersebut akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah yang dilihat dari peningkatan PDRB (Bappenas, 2003). Hal tersebut lebih lanjut dapat dilihat pada Gambar 9. Sebagai salah satu infrastruktur transportasi, jalan merupakan sarana transportasi yang digunakan dalam mendukung transportasi jangka pendek dalam

31 17 suatu pulau atau propinsi. Sejak Otonomi Daerah (Otda) diberlakukan, perencanaan, pemeliharaan, dan pelaksanaan pembangunan jaringan jalan provinsi, kabupaten, kota, dan desa merupakan wewenang pemerintah daerah. Dengan demikian, pemerintah daerah saat ini memiliki peran yang lebih besar dalam mengelola infrastruktur daerahnya masing-masing. Daerah yang memiliki infrastruktur jalan yang baik, tentu lebih memiliki kesempatan untuk mengembangkan perekonomian wilayahnya dan sebaliknya. Oleh sebab itu, perbedaan ketersediaan infrastruktur jalan dapat memengaruhi perbedaan kemampuan daerah dalam menjalankan aktivitas ekonominya, selanjutnya hal itu dapat menjadi pendorong kesenjangan perekonomian antardaerah. Sistem Transportasi Daya Saing Wilayah Investasi (I) Lapangan Kerja Pendapatan Pemerintah Ekspor (X) Konsumsi (C) Pembiayaan Pemerintah (G) Pembangunan Wilayah PDRB = C+I+G+nX Sumber : Bappenas (123:2003) Gambar 9. Peran Sektor Transportasi dalam Pembangunan Wilayah Listrik Selain jalan, energi merupakan hal penting yang dibutuhkan dalam berbagai aktivitas. Kemajuan suatu daerah akan meningkatkan kebutuhan terhadap energi listrik. Kebutuhan listrik juga meningkat seiring dengan perubahan dunia yang menjadi semakin modern. Berbagai alat rumah tangga dan telekomunikasi saat ini penggunaannya tergantung pada kesediaan listrik. Industri membutuhkan listrik untuk berproduksi,

32 18 sehingga investasi di bidang industri akan berkaitan dengan jaminan ketersediaan listrik. Beberapa rumah tangga juga menjalankan usaha, sehingga mereka membutuhkan listrik untuk berproduksi. Penduduk yang memiliki akses listrik mampu bekerja dan beraktivitas lebih lama. Kelancaran sistem transportasi pun tidak luput dari kebutuhan terhadap listrik, traffic light akan menjalankan tugasnya berdasarkan ketersediaan listrik yang mengalir. Daerah yang memiliki akses konsumsi listrik yang baik akan memiliki peluang lebih besar dalam menjalankan kegiatan, baik ekonomi maupun non-ekonomi. Daerah tersebut akan memiliki produktivitas yang lebih baik dari pada daerah yang minim akan akses listrik. Ketersediaan listrik yang berkelanjutan sangat dibutuhkan dengan semakin tergantungnya berbagai aktivitas terhadap energi listrik. Pengelolaan listrik dan penyalurannya di Indonesia sebagian besar dilakukan oleh PT. PLN. Perusahaan milik negara ini bertugas untuk menjamin ketersediaan listrik bagi seluruh masyarakat. Dengan demikian, pelanggan listrik di Indonesia bergantung pada kemampuan PT. PLN dalam menghasilkan dan menyalurkan listrik Air Bersih Ketersediaan air bersih merupakan hal yang tidak dapat diabaikan dalam perekonomian. Air bersih merupakan barang ekonomi karena penggunaannya membutuhkan kompetisi. Kompetisi tersebut terjadi karena air bersih merupakan sumberdaya yang terbatas dan penting. Oleh karena itu, air merupakan barang yang diperlukan untuk menciptakan kehidupan yang berkelanjutan. Hal tersebut merupakan beberapa prinsip Dublin yang dikemukakan pada UN Conference on Environment and Development (UNCED) Tahun 1992 di Rio de Janeiro (Bouhia, 8:2001). Pentingnya permasalahan air membuat pemerintah mengeluarkan UU Republik Indonesia No.7 Tahun 2004 mengenai Sumber Daya Air. Undangundang tersebut menjelaskan mengenai segala hal yang berkaitan dengan penyediaan, pengelolaan, dan pemanfaatan air. Pemerintah menegaskan bahwa sumber daya air mempunyai fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi. Pada undang-undang tersebut juga tertulis bahwa negara menjamin hak setiap orang

33 19 untuk mendapatkan air untuk memenuhi kehidupan yang sehat, bersih, dan produktif. Fungsi sosial dari air bersih dapat berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat yang bisa tercermin dari kesehatannya. Penduduk yang sehat mampu bekerja dengan baik dan menghasilkan pendapatan bagi kehidupannya. Daerah dengan akses air bersih yang minim, memiliki kesempatan yang terbatas dalam melakukan salah satu upaya menjaga kesehatan masyarakatnya. Pada sisi ekonomi, air bersih bisa digunakan bagi berbagai industri untuk berproduksi. Akses terhadap air bersih yang berkelanjutan menjadi salah satu dari target Millenium Development Goals 2015 (Todaro dan Smith, 31:2006). Penekanan pentingnya akses air bersih oleh lembaga dunia, yakni United Nations Development Programme (UNDP) bertujuan agar kesenjangan penyediaan kebutuhan dasar bagi kesejahteraan manusia dapat secepatnya dihilangkan. Maka dari itu, pemerintah pusat dan daerah melalui departemen terkait serta pihak lainnya harus mampu menjamin ketersediaan air bersih dan penyalurannya bagi seluruh masyarakat di berbagai daerah, khususnya daerah yang lebih miskin agar masyarakatnya memiliki kesempatan meningkatkan kesehatannya untuk dapat bekerja dengan lebih produktif Fasilitas Kesehatan Pembangunan sumber daya manusia dapat berbentuk pembangunan di bidang kesehatan. Masyarakat yang sehat diharapkan dapat bekerja lebih pruduktif, sehingga mampu menghasilkan output atau pendapatan dengan baik. Selain itu, masyarakat yang sehat senantiasa memiliki angka harapan hidup yang tinggi. Angka harapan hidup merupakan salah satu poin yang digunakan dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Investasi pada bidang kesehatan dapat berupa perbaikan dan ataupun penambahan sarana dan prasarana kesehatan. Rumah sakit dan puskesmas merupakan infrastruktur kesehatan yang dapat diakses oleh masyarakat. Pembangunan dan perbaikan kedua infrastruktur tersebut merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Dengan begitu, daerah dengan infrastruktur kesehatan yang

34 20 cukup diharapkan lebih mampu memberikan pelayanan kesehatan yang memadai kepada masyarakatnya. 2.5 Penelitian Terdahulu Konsumsi energi dalam kehidupan, terutama di era modern menjadi kebutuhan yang tidak dapat dihindari. Rumah tangga dan industri membutuhkan energi untuk melakukan berbagai aktivitas harian dan ekonomi. Lorde, Waithe, dan Francis (2010) meneliti hubungan antara GDP riil dan konsumsi energi berupa listrik di Barbados. Penelitiannya menunjukkan bahwa konsumsi energi baik oleh residensial maupun oleh kelompok non-residensial (sektor perhotelan, industri, dan bisnis) memberikan pengaruh yang signifikan dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Terdapat hubungan kausalitas bidirectional antara GDP riil dan konsumsi energi total pada jangka panjang. Akan tetapi pada jangka pendek, hanya ada satu hubungan kausalitas yaitu konsumsi energi total memengaruhi GDP riil dan tidak untuk sebaliknya. Setiadi (2006) menganalisis pengaruh pembangunan infrastruktur dasar terhadap pendapatan per kapita di Pulau Sumatera periode Variabel yang digunakan adalah panjang jalan per luas wilayah propinsi tanpa memerhitungkan kondisi jalan, jumlah telepon tetap per kapita, produksi listrik per kapita, investasi (PMA dan PMDN) per kapita, serta indeks pendidikan penduduk. Hasil analisis menunjukkan bahwa infrastruktur jalan tidak memberikan pengaruh terhadap pendapatan per kapita. Sedangkan investasi non infrastruktur, indeks pendidikan, telepon, dan listrik berpengaruh signifikan pada pendapatan per kapita. Penelitian mengenai pengaruh infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita di Kawasan Barat Indonesia (KBI) periode dilakukan oleh Prasetyo (2008). Variabel yang digunakan adalah panjang jalan sesuai kondisi baik dan sedang per kapita, energi listrik terjual per kapita, kapasitas air bersih disalurkan per kapita, investasi per kapita, dan dummy otonomi daerah. Hasilnya menunjukkan bahwa infrastruktur listrik dan jalan berpengaruh siginifikan terhadap pertumbuhan ekonomi yang dinyatakan oleh PDRB ADHK per kapita dan pendapatan per kapita yang dinyatakan oleh PDRB

35 21 atas dasar harga berlaku per kapita. Sedangkan air tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita. Penelitian tersebut juga menganalisis ketimpangan di KBI menggunakan Indeks Williamson dan Klassen Typologi. Nilai indeks ketimpangan antarpropinsi di KBI dari Tahun cukup besar yaitu 0,59-0,73. Nilai tersebut meningkat pada awal masa otonomi daerah dan menurun pada tahun-tahun setelahnya. Pada periode tanpa DKI Jakarta, Riau, dan Aceh, hasil tipologi klassen menunjukkan bahwa Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Jawa Barat berada pada kuadran 1, Sumatera Selatan, Jawa Timur, dan Bali di kuadran 2, Jambi dan Bengkulu di kuadran 3, dan Lampung, Jawa Tengah, dan D.I. Yogyakarta di kuadran 4. Manasan dan Mercado (1999) meneliti konvergensi pendapatan di Filipina. Hasil estimasi mereka menunjukkan bahwa konvergensi telah terjadi selama Konvergensi terjadi lebih cepat saat sektor pertanian tumbuh lebih besar dari sektor industri dan sebaliknya. Agarwalla dan Pangotra (2011) menemukan bahwa proses divergensi pendapatan pada Tahun terjadi di India. Sedangkan jika analisis dibagi menjadi daerah khusus dan non khusus, konvergensi sigma terjadi di daerah khusus dan divergensi terjadi di daerah non khuhus. Analisis konvergensi kondisional dengan metode cross section yang melibatkan tingkat tabungan, pertumbuhan tenaga kerja, dan depresiasi menunjukkan divergensi terjadi di India. Sedangkan jika analisis kembali dipisahkan, maka dapat dilihat konvergensi antardaerah khusus terjadi dan divergensi terjadi antardaerah non-khusus. Adapun analisis panel menunjukkan bahwa konvergensi pendapatan terjadi di India. Krismanti (2011) meneliti ketimpangan di Pulau Jawa menggunakan koefisien variasi Williamson dan konvergensi pendapatan kabupaten/kota di pulau Jawa dengan menggunakan FD-GMM. Selain itu ia juga meneliti faktor-faktor yang memengaruhi ketimpangan wilayah, termasuk infrastruktur, di Pulau Jawa. Analisis ketimpangan dengan koefisien variasi Williamson dan konvergensi menggunakan dua jenis variabel dependen yaitu PDRB per kapita atas dasar harga konstan 2000 dan pengeluaran rumah tangga per kapita. Variabel independen yang digunakan untuk meneliti konvergensi adalah investasi dan tenaga kerja.

36 22 Ketimpangan yang terjadi di Pulau Jawa pada pendekatan PDRB yaitu sebesar 0,94 sampai 0,98. Namun angka tersebut mencerminkan penurunan selama periode pengamatan. Sedangkan hasil estimasi dengan pendekatan kedua menunjukkan nilai koefisien variasi Williamson yang lebih kecil, yaitu antara 0,29 sampai 0,44. Hasil estimasi konvergensi PDRB per kapita kabupaten/kota di Pulau Jawa menunjukkan konvergensi tidak terjadi. Sedangkan hasil estimasi konvergensi dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga per kapita kabupaten/kota di Pulau Jawa menunjukkan bahwa konvergensi terjadi di Pulau Jawa dengan tingkat konvergensi 107,28 persen. Kecepatan yang cukup tinggi tersebut disebabkan karena konvergensi dilihat dari sisi rumah tangga. Analisis faktor yang memengaruhi ketimpangan wilayah kabupaten/kota antarpropinsi di Pulau Jawa juga dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu koefisien variasi Williamson dari PDRB per kapita dan pengeluaran rumah tangga per kapita. Adapun variabel independen yang digunakan untuk menganalisis ketimpangan wilayah adalah pengeluaran rutin pemerintah, share pertanian terhadap PDRB atas dasar harga konstan 2000, share manufaktur terhadap PDRB atas dasar harga konstan 2000, share jumlah tenaga kerja yang berpendidikan SMA ke atas terhadap jumlah tenaga kerja, jumlah puskesmas, jumlah energi listrik yang terjual kepada konsumen, volume air bersih yang disalurkan PDAM kepada konsumen, dan panjang jalan yang berkondisi baik dan sedang untuk Tahun Pada analisis faktor yang memengaruhi ketimpangan wilayah, propinsi DKI Jakarta dikecualikan dari pengamatan. Hasil analisis menunjukkan bahwa listrik dan air meningkatkan ketimpangan PDRB antarwilayah. Sedangkan dengan pendekatan koefisien variasi Williamson dari pengeluaran rumah tangga, tenaga kerja berpendidikan SMA ke atas merupakan variabel yang meningkatkan ketimpangan antarwilayah di Pulau Jawa. Infrastruktur merupakan variabel yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di wilayah Eropa. Selain itu, infrastruktur juga berpengaruh dalam membentuk proses konvergensi pendapatan (Del Bo, Florio, dan Manzi, 2010). Infrastruktur berupa panjang jalan dan jumlah sambungan telepon seluler, beserta variabel modal manusia dan tenaga kerja, serta stok kapital secara signifikan memengaruhi pertumbuhan regional dan konvergensi.

37 23 Konvergensi terjadi dengan kecepatan sekitar 2 persen per tahun. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa infrastruktur merupakan variabel yang penting dalam menutup kesenjangan antardaerah di Eropa. Penelitian mengenai infrastruktur dan konvergensi di Indonesia dilakukan oleh Margono (2009), ia menganalisis pengaruh infrastruktur terhadap konvergensi pertumbuhan ekonomi di Indonesia periode Metode yang digunakan adalah fixed effect pada data panel. Adapun variabel yang digunakan berupa investasi (PMA dan PMDN) per kapita, jumlah tenaga kerja tamat SMA dan universitas per kapita, panjang jalan (kondisi baik dan sedang) per kapita, kapasitas air bersih per kapita, kapasitas listrik terpasang per kapita, jumlah sambungan telepon induk per kapita, pertumbuhan jumlah penduduk, dummy otonomi daerah, dan dummy krisis. Hasil analisis α-convergence dan β- convergence menunjukkan adanya konvergensi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Pada analisis conditional convergence, variabel tenaga kerja, infrastruktur telepon, air, dan jalan, serta dummy otonomi daerah (Otda) berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Sedangkan dummy krisis dan pertumbuhan penduduk memiliki elatisistas negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Variabel investasi (PMA dan PMDN) serta listrik tidak signifikan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Waktu untuk menutup setengah kesenjangan awal adalah 14 tahun hingga 34 tahun. 2.6 Kerangka Pemikiran Pertumbuhan ekonomi merupakan sesuatu yang ingin dicapai setiap daerah. Hal tersebut menunjukkan pembangunan di suatu daerah. PDRB merupakan besaran yang dapat memerlihatkan pertumbuhan ekonomi daerah yang tercermin dari proses penciptaan nilai tambah. Daerah dengan sumber input produksi yang melimpah dan berkualitas akan memberikan nilai tambah yang besar. Akan tetapi kepemilikan terhadap sumber input produksi, sarana, dan prasarana masing-masing daerah berbeda satu sama lain. Hal itu bisa mengakibatkan perbedaan kemampuan antardaerah untuk meningkatkan pendapatan dan kemudian akan menimbulkan kesenjangan perekonomian

38 24 antardaerah. Kesenjangan pendapatan antardaerah dapat menimbulkan berbagai masalah kriminalitas, konflik antarmasyarakat, migrasi yang tinggi dari daerah miskin ke daerah yang maju, dan dalam konteks kenegaraan akan menimbulkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah berkurang, sehingga akan mengancam keutuhan suatu negara. Pemerintah dapat melakukan berbagai program untuk mendorong perkonomian daerah yang miskin agar mampu mengejar ketertinggalannya terhadap perekonomian daerah yang maju. Pengejaran perkonomian yang miskin terhadap perekonomian yang sudah maju disebut konvergensi. Konvergensi pendapatan terjadi ketika pertumbuhan ekonomi daerah miskin lebih besar daripada pertumbuhan ekonomi yang telah maju atau kaya. Pulau Sumatera merupakan wilayah yang memiliki nilai PDRB ADHK tertinggi setelah Pulau Jawa. Akan tetapi nilai PDRB yang besar tersebut tidak terdistribusi merata dalam kepemilikannya. Propinsi yang berkontribusi cukup besar terhadap PDRB ADHK total Pulau Sumatera adalah Propinsi Sumatera Utara. Sementara beberapa propinsi lainnya, yaitu Propinsi Bengkulu, Propinsi Kep. Bangka Belitung, dan Propinsi Jambi merupakan daerah yang sumbangan PDRB ADHK nya terhadap PDRB ADHK total Pulau Sumatera paling rendah. Salah satu penyebab kesenjangan dapat disebabkan oleh perbedaan ketersediaan sarana dan prasarana, seperti ketersediaan infrastruktur, baik infrastruktur sosial maupun infrastruktur ekonomi. Infrastruktur yang memadai dan layak dapat menjadi pendorong perekonomian suatu daerah. Selain itu, ketersediaan infrastruktur tersebut akan menarik minat investasi. Perbedaan ketersediaan infrastruktur antardaerah dapat menyebabkan perbedaan kemampuan daerah dalam menciptakan pendapatan, sehingga menimbulkan kesenjangan. Dengan demikian, penyediaan infrastruktur, khususnya di daerah yang miskin, penting untuk dilakukan. Ukuran terhadap kesenjangan pendapatan dilihat pada perbedaan kepemilikan PDRB riil per kapita. Pada Tahun 2010 di Pulau Sumatera, perbedaan PDRB per kapita ADHK antarpropinsi dapat terlihat. Hal ini dapat memicu kekhawatiran terhadap munculnya dampak negatif dari kesenjangan di waktu yang akan datang. Maka dari itu, penelitian ini akan menganalisis proses

39 25 konvergensi pendapatan yang terjadi di Pulau Sumatera. Selain itu, akan dilihat pula pengaruh infrastruktur jalan, air, listrik, dan kesehatan terhadap proses konvergensi. Dampak infrastruktur terhadap perekonomian dan ketimpangan telah dilakukan pada berbagai penelitian. Hasil yang ditunjukkan sangat beragam. Secara teori, infrastruktur adalah modal yang dapat berpengaruh positif terhadap perekonomian. Ketersediannya yang tidak merata dapat mencerminkan perbedaan akses terhadap sarana dan prasarana yang dimiliki antardaerah. Hal itu, selanjutnya dapat menciptakan perbedaan kemampuan antardaerah untuk menghasilkan pendapatan di daerahnya. Dengan demikian, ketersediaan infrastruktur di daerah yang miskin diharapkan dapat membantu kelancaran dan peningkatan perekonomian daerah tersebut dan kemudian mengurangi kesenjangan antarwilayah. Pada penelitian ini akan dilihat bagaimana pengaruh infrastruktur serta variabel penjelas lainnya berupa jumlah tenaga kerja terhadap konvergensi pendapatan dan perekonomian di Pulau Sumatera. Infrastruktur tersebut berupa energi listrik yang dilihat dari jumlah energi listrik terjual oleh PLN, jumlah air yang didistribusikan oleh PDAM, panjang jalan berkondisi baik dan sedang baik jalan negara, propinsi, maupun kabupaten/kota, dan jumlah fasilitas kesehatan berupa jumlah rumah sakit serta puskesmas. Analisis konvergensi dilakukan terhadap data panel pada sembilan propinsi di Pulau Sumatera yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, dan Kepulauan Bangka Belitung dalam rentang Tahun Metode analisis yang digunakan adalah analisis data panel dinamis berupa Sys-GMM. Software yang digunakan adalah STATA 12 dan Microsoft Excel. Hasil analisis akan memerlihatkan proses konvergensi pendapatan dan signifikansi pengaruh tenaga kerja serta infrastruktur terhadap konvergensi pendapatan dan perekonomian. Selanjutnya, hasil tersebut digunakan dalam menganalisis saran yang dapat berupa implikasi kebijakan bagi pihak terkait dalam rangka mendukung proses konvergensi dan mendorong perkonomian di Pulau Sumatera. Ilustrasi kerangka pemikiran pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 10.

40 26 Pulau Sumatera memiliki kontribusi PDRB terbesar setelah Pulau Jawa. Namun, kontribusi PDRB tersebut tidak merata antarpropinsi. Ketidakmerataan penyediaan infrastruktur dapat menjadi salah satu penyebab kesenjangan. Ketersediaan dan akses infrastruktur di Pulau Sumatera belum merata. Analisis proses konvergensi pendapatan di Pulau Sumatera dan pengaruh infrastruktur pada konvergensi menggunakan Sys-GMM. Terjadi Tidak Gambar 10. Kerangka Pemikiran Saran dan kebijakan bagi pihak terkait untuk mengurangi kesenjangan.

41 Hipotesis Penelitian Berdasarkan tinjauan literatur maka dapat dirumuskan beberapa hipotesis, yakni: 1) Konvergensi pendapatan terjadi di Pulau Sumatera dengan semakin berkurangnya ketimpangan regional yang ditunjukkan dengan laju konvergensi yang positif. 2) Infrastruktur dan faktor lainnya berupa jumlah penduduk yang bekerja merupakan faktor yang memengaruhi proses konvergensi pendapatan di Pulau Sumatera selama periode penelitian.

42 28 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber. Jenis data yang digunakan adalah data panel, yaitu gabungan data cross section dan time series. Data panel yang dikumpulkan berupa data cross section yang terdiri dari sembilan propinsi di Pulau Sumatera yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, dan Kepulauan Bangka Belitung serta data time series tahunan periode Adapun data yang digunakan sebagai variabel penelitian meliputi data PDRB ADHK 2000, jumlah penduduk, jumlah tenaga kerja, panjang jalan sesuai kondisi (baik dan sedang), jumlah air yang disalurkan PDAM, jumlah listrik terjual (GWh), dan jumlah rumah sakit serta puskesmas tiap propinsi dari Tahun 2003 sampai Tahun Beragam data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Kesehatan RI, dan PT. PLN. 3.2 Analisis Konvergensi Konvergensi pendapatan dapat dilihat dari penurunan dispersi pendapatan antardaerah dengan menghitung koefisien variasi atau standard deviasi dari logaritma pendapatan riil per kapita antardaerah dari tahun ke tahun. Konvergensi dengan pendekatan tersebut dinamakan konvergensi sigma ( sigma (σ) convergence). Maka dari itu, untuk mengetahui konvergensi sigma di Pulau Sumatera akan dihitung standard deviasi dari logaritma pendapatan riil per kapita (Barro dan Sala-i Martin, Bab 11:2004) di Pulau Sumatera dari tahun ke tahun. Pendekatan kedua dalam melihat konvergensi adalah konvergensi beta (beta (β) convergence). Pendekatan ini menyatakan bahwa konvergensi terjadi ketika perekonomian yang miskin mampu tumbuh lebih cepat dari perekonomian yang kaya. Dengan demikian, perekonomian miskin mampu mengejar (catch up) pendapatan per kapita perekonomian kaya (Barro dan Sala-i Martin, 462:2004). Untuk melihat hal tersebut terdapat dua jenis konvergensi beta, pertama konvergensi absolut dan kedua konvergensi kondisional.

43 29 Konvergensi absolut dilihat dengan tanpa memasukkan variabel kontrol yang merupakan karakteristik masing-masing daerah. Setiap daerah dianggap mempunyai kondisi steady state yang sama dan tidak memerhitungkan peran variabel lain yang berbeda antardaerah. Maka dari itu, untuk melihat pengaruh infrastruktur dan variabel lainnya yang diperkirakan memengaruhi kondisi steady state masing-masing daerah, akan dihitung konvergensi kondisional. Persamaan konvergensi yang digunakan oleh Krismanti (59:2011) untuk menghitung konvergensi kabupaten/kota di Pulau Jawa adalah:.. (3.1) dengan adalah PDRB per kapita atas dasar harga konstan 2000 dan pengeluaran rumah tangga per kapita yang telah dideflasi menggunakan harga tahun 2000 sebagai proksi untuk menghitung pendapatan rumah tangga. Inv adalah investasi sebagai bentuk modal dan labour adalah tenaga kerja. Modal, dalam penelitian ini, dilihat dalam bentuk ketersediaan infrastruktur. Adapun pendapatan dilihat dari PDRB per kapita. Persamaan untuk menghitung konvergensi kondisional pada penelitian ini, adalah sebagai berikut :.. (3.2) dengan : : : PDRB per kapita ADHK 2000 propinsi i pada tahun t : PDRB per kapita ADHK 2000 propinsi i pada tahun sebelumnya : jumlah rumah sakit dan puskesmas di propinsi i pada tahun t : jumlah listrik terjual di propinsi i pada tahun t : jumlah air yang disalurkan di propinsi i pada tahun t : panjang jalan sesuai kondisi (baik dan sedang) di propinsi i pada tahun t : jumlah penduduk yang bekerja di propinsi i pada tahun t : efek individu

44 30 : error term i : propinsi yang diamati (Aceh, Sumatera Utara,..., Lampung) t : periode penelitian (2003, 2004,..., 2010) Analisis pada persamaan 3.2 akan memberikan gambaran mengenai proses konvergensi pendapatan dan pengaruh infrastruktur dalam mendukung konvergensi pendapatan. Konvergensi terjadi ketika koefisien dari kurang dari satu. Tingkat konvergensi dinyatakan dengan ln. Adapun waktu yang diperlukan untuk menutup setengah dari kesenjangan awal yang disebut dengan half-life of convergence dihitung dengan (Jan dan A.R. Chaudhary, 2011) :..... (3.3) 3.3 Metode Analisis Data Panel Data panel merupakan data yang terdiri dari data cross section dan data time series. Jenis data ini memiliki keunggulan dibandingkan dengan data cross section dan time series. Penggunaan panel data dalam suatu model dapat membantu menjelaskan perbedaan antarindividu dalam satu waktu dan juga perbedaan perilaku suatu unit individu antarwaktu. Pada panel data, variabel yang digunakan memiliki analisis antarindividu dan antarwaktu yang ditandai oleh penggunaan indeks i untuk individu (i= 1,, N) dan t untuk periode waktu (t=1,, T). Dengan demikian, model yang dibangun dengan data panel dapat memberikan model yang lebih realistis daripada cross section dan time series murni (Verbeek, :2004). Kelebihan penggunaan data panel yang dirangkum oleh Baltagi (4-7:2005) menurut Hsiao, Klevmarken dan Solon adalah sebagai berikut : 1) Heterogenitas antarindividu dapat dikontrol, panel data mengusulkan bahwa individu bersifat berbeda-beda atau heterogen. 2) Penggunaan panel data dapat memberikan informasi data yang lebih banyak dan beragam, permasalahan multikolinearitas yang minim, derajat bebas yang lebih banyak, dan lebih efisien.

45 31 3) Analisis penyesuaian dinamis (dynamics of adjustment) lebih baik dilakukan oleh panel data. 4) Panel data lebih unggul dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang tidak dapat ditemukan pada data cross section murni atau time-series murni. 5) Model pada panel data dapat digunakan untuk membangun dan menguji model pada perilaku yang lebih kompleks dari pada data cross section murni atau time-series murni. Suatu panel data dikatakan balanced panel jika masing-masing unit crosssection memiliki jumlah observasi time-series yang sama. Sedangkan jika jumlah observasi time-seriesnya berbeda antar individu atau anggota panel lainnya, maka disebut unbalanced panel (Gujarati, 640:2003) Data Panel Dinamis Manfaat penggunaan data panel salah satunya adalah untuk menganalisis penyesuaian dinamis (dynamic adjustment). Hubungan dinamis tersebut dapat dideteksi dari adanya lag variabel dependen pada persamaan regresi. Hal tersebut dapat ditunjukkan pada persamaan berikut: ; i = 1,, N ; t = 1,, T.. (3.4) dimana δ merupakan skalar dan merupakan matriks berukuran dan β merupakan matriks berukuran. Asumsi pada adalah one-way error component model, yaitu :. (3.5) dengan adalah efek individu yang diasumsikan dan adalah error term yang diasumsikan, dan saling bebas satu sama lain. Ketika suatu persamaan mengandung lag dari variabel dependen maka akan muncul masalah berupa korelasi antara variabel dengan. Hal itu dapat dikarenakan merupakan fungsi dari dan berarti juga merupakan fungsi dari. Sehingga estimasi dengan panel data statis seperti OLS, fixed effect,

46 32 dan random effect pada persamaan panel dinamis menjadi bias dan inkonsisten, meskipun tidak berkorelasi secara serial (Baltagi, :2005). Hal itu juga ditekankan oleh Verbeek ( :2004). Konsistensi (robustness) dan efisiensi mengenai perlakuan ketika menggunakan Fixed Effect Method (FEM) maupun Random Effect Method (REM) pada model panel statis bisa didapatkan. Sedangkan pada panel dinamis hal ini tidaklah sama, karena tergantung pada. Permasalahan inkonsistensi tersebut dapat diatasi dengan menggunakan pendekatan method of moments atau Generalized Method of Moment (GMM). Dua jenis prosedur estimasi GMM yang biasa digunakan untuk mengatasi hal tersebut adalah (Indra, 52:2009) : 1. First-difference GMM (FD-GMM) 2. System GMM (SYS-GMM) First-difference GMM (FD-GMM) Ide dari penggunaan FD-GMM pada persamaan panel dinamis, yakni dengan menghilangkan efek individu, diantaranya diusulkan oleh Arellano dan Bond (Baltagi, 136:2005). Pada persamaan first difference, instrumen yang tepat untuk digunakan adalah variabel lag dari level. Estimasi δ yang konsisten dengan N dengan T tetap diperoleh dengan melakukan first-difference pada persamaan di bawah untuk menghilangkan pengaruh individual ( ) δ ; δ < 1 ; t=1,, T... (3.6) dengan dimana dan saling bebas satu sama lain. Sehingga: ; t = 2,, T.... (3.7) Estimasi dengan OLS pada persamaan di atas akan menghasilkan penduga δ yang inkonsisten meskipun jika T, sebab dan berkorelasi. Maka pendekatan instrumen dianjurkan untuk digunakan (Verbeek, 362:2004). Sebagai contoh, akan digunakan sebagai instrumen, berkorelasi dengan

47 33 tetapi tidak berkorelasi dengan, dan tidak berkorelasi serial. Penduga variabel instrumen untuk δ adalah sebagai berikut : (3. 8) Syarat perlu agar penduga ini konsisten adalah... (3. 9) Penduga (3.8) merupakan salah satu penduga yang diajukan oleh Anderson dan Hsiao. Mereka juga menganjurkan penduga alternatif dimana digunakan sebagai instrumen. Penduga variabel instrumen bagi δ adalah:... (3.10) Syarat perlu agar penduga tersebut konsisten adalah:. (3.11) Penduga variabel instrumen yang kedua (IV(2)) membutuhkan tambahan lag variabel untuk menciptakan instrumen, sehingga jumlah efektif pada observasi pada estimasi berkurang satu periode sampel. Kerugian dari pengurangan ukuran sampel dapat dieliminasi dengan pendekatan metode momen, pendekatan ini juga dapat menyatukan penduga. Langkah pertama pada pendekatan tersebut adalah menetapkan kondisi momen (moment condition), yakni:... (3.12) dan... (3.13)

48 34 Estimator IV dan IV(2) diberi kondisi momen pada saat estimasi. Semakin banyak kondisi momen yang digunakan, efisiensi dari penduga akan meningkat. Jika terdapat ukuran sampel sebanyak T, maka vektor transformasi eror dapat ditulis sebagai: (3.14) dan matriks instrumen berupa... (3.15) setiap baris pada matriks berisi matriks yang valid untuk periode yang diberikan. Seluruh himpunan kondisi momen dapat ditulis sebagai :... (3.16) Dengan kondisi T-1. Untuk menurunkan estimator GMM, persamaan (3.16) ditulis sebagai :.... (3.17) Estimasi δ akan dilakukan dengan meminimumkan bentuk kuadrat momen sampel yang berkoresponden karena jumlah kondisi momen biasanya melebihi jumlah koefisien yang belum diketahui. Dengan demikian, penduga GMM adalah :... (3.18)

49 35 Penduga konsisten selama matriks penimbang merupakan definit positif. Matriks penimbang yang optimal mampu memberikan penduga yang paling efisien, yaitu yang memberi matriks kovarian asimtotik terkecil untuk. Blundell dan Blond (138:1998) menyatakan bahwa pada sampel yang berukuran kecil, penduga FD-GMM dapat mengandung bias dan ketidaktepatan. Selain itu, instrumen berupa lagged level pada persamaan first-difference merupakan instrumen yang lemah pada FD-GMM. Estimasi dengan least square pada panel data dengan model AR(1) akan mengasilkan koefisien yang bias ke atas (biased upward) dan pendugaan dengan fixed effect akan menghasilkan koefisien yang bias ke bawah (biased downward). Penduga koefisien yang konsisten dapat diperoleh jika nilai koefisien terdapat di antara penduga least square atau fixed effect (Firdaus, :2011). Penduga FD-GMM yang memiliki nilai di bawah penduga fixed effect kemungkinan disebabkan oleh instrumen yang lemah (Indra, 57-58:2009) System GMM (SYS-GMM) Inti dari metode System GMM (SYS-GMM) adalah pengestimasian sistem persamaan baik pada first-difference maupun pada level. Instrumen yang digunakan pada level adalah lag first-difference. Asumsi tambahan pada metode SYS-GMM adalah, untuk i= 1,..., N. Adapun matriks instrumen bagi SYS-GMM adalah (Firdaus, 221:2011):..... (3.19) Himpunan kondisi momen dapat dituliskan sebagai :.... (3.20)... (3.21) Maka System GMM memiliki kombinasi instrumen berupa level pada persamaan first difference dan instrumen berupa first difference pada persamaan level.

50 36 Blundell dan Bond (1998) mendapatkan bahwa estimasi dengan model ini merupakan salah satu cara untuk menghindari masalah bias pada sampel yang sedikit dan ketidaktepatan yang ada pada FD-GMM pada saat T yang digunakan kecil. 3.4 Kriteria Model Terbaik Pada analisis dengan menggunakan model panel dinamis, kriteria yang digunakan untuk menguji model sedikit berbeda dengan uji pada panel statis. Pengujian model yang dilakukan adalah uji validitas dan konsistensi. Untuk menguji validitas instrumen dapat dilakukan dengan melakukan Uji Sargan. Hipotesis nol pada Uji Sargan adalah instrumen valid, berarti instrumen tidak bermasalah. Selanjutnya adalah uji konsistensi yang dapat didapat dari statistik Arellano-Bond m 1 dan m 2. Jika statistik m 1 menunjukkan nilai yang menolak hipotesis nol dan m 2 menunjukkan nilai yang menerima hipotesis nol, maka estimator konsisten. Selain itu, estimator yang tidak bias adalah yang berada di antara estimator pooled least squares dan fixed effect (Firdaus, 222: 2011).

51 37 IV. GAMBARAN UMUM INFRASTRUKTUR 4.1 Jalan Jalan merupakan infrastruktur yang penting untuk menghubungkan satu daerah ke daerah lain atau satu pusat perekonomian ke pusat perekonomian lainnya. Ketersediaan infrastruktur jalan yang baik akan melancarkan penyaluran barang serta mobilitas manusia atau tenaga kerja. Hubungan antara desa dan kota juga dibantu oleh ketersediaan infrastruktur jalan, menurut Perpres RI No. 29 Tahun 2011 tentang Rancangan Kerja Pemerintah (RKP) 2012 Buku III, hampir 90 persen pedesaan di Sumatera dapat diakses dengan jalan darat % 20.22% 40.59% 24.27% Baik Sedang Rusak Rusak Berat Sumber : BPS, diolah. Gambar 11. Persentase Panjang Jalan menurut Kondisi di Pulau Sumatera Tahun 2010 Persentase panjang jalan menurut kondisi di Pulau Sumatera pada Gambar 11. Gambar tersebut menunjukkan bahwa 40,59 persen jalan berada dalam keadaan baik. Jalan berkondisi baik adalah jalan yang dapat dilalui oleh kendaraan dengan kecepatan 60 kilometer per jam dan hingga dua tahun ke depan tanpa pemeliharaan pada pengerasan jalan. Sedangkan jalan berkondisi sedang di Pulau Sumatera pada tahun 2010 adalah sebesar 24,27 persen. Jalan dengan kondisi sedang adalah jalan yang bisa dilalui oleh kendaraan dengan kecepatan 40 hingga 60 kilometer per jam dan selama satu tahun ke depan tanpa rehabilitasi pada

52 38 pengerasan jalan. Adapun jalan berkondisi Rusak, yaitu jalan yang dapat dilalui oleh kendaraan dengan kecepatan 20 hingga 40 kilometer per jam serta perlu perbaikan kondisi jalan adalah sebesar 20,22 persen. Jalan dengan kondisi rusak berat adalah sebesar 14,92 persen. Jalan dengan kategori rusak berat adalah jalan yang bisa dilalui oleh kendaraan dengan kecepatan nol hingga 20 kilometer per jam. Tabel 2. Panjang Jalan menurut Kewenangan dan Kondisi di Pulau Sumatera Tahun 2010 (km) Kewenangan Baik Sedang Rusak Rusak Berat Negara Propinsi Kabupaten Sumber : BPS, diolah. Jika dilihat menurut kewenangannya, di Pulau Sumatera, jalan kabupaten/kota adalah jalan dengan jumlah terpanjang, yaitu mencapai 83,59 persen, disusul oleh jalan propinsi 9,33 persen, dan jalan negara 7,08 persen. Jika dilihat jalan menurut kondisi pada kewenangannya, maka jalan dalam kondisi rusak hingga rusak berat terbanyak juga berada di jalan kabupaten/kota yaitu sebesar 38,69 persen, lalu jalan propinsi 24,04 persen, dan jalan negara 7,81 persen. Pada masa otonomi daerah, perbaikan dan pemeliharaan jalan di masingmasing daerah menjadi tanggung jawab masing-masing daerah. Propinsi yang memiliki panjang jalan berkondisi baik dan sedang terbanyak berdasarkan Gambar 12 adalah Propinsi Sumatera Utara, Riau, Aceh, dan Lampung. Selanjutnya, daerah yang memiliki panjang jalan berkondisi baik dan sedang terkecil adalah Propinsi Bengkulu, Propinsi Kepulauan Bangka Belitung, dan Kepulauan Riau. Ini menunjukkan bahwa kepemilikan jalan berkondisi baik dan sedang di masing-masing propinsi di Pulau Sumatera belum merata. Jumlah di atas tidak melihat per wilayah, maka diasumsikan jalan-jalan tersebut berada pada wilayah yang merupakan pusat kegiatan atau wilayah yang tidak berada di pedalaman.

53 Sumber : BPS, diolah. Gambar 12. Kondisi Jalan Baik dan Sedang menurut Propinsi di Pulau Sumatera Tahun 2010 (km) 4.2 Listrik Listrik yang diproduksi oleh PT. PLN didistribusikan kepada berbagai jenis pelanggan. Jumlah pelanggan listrik di Pulau Sumatera dari Tahun 2003 hingga Tahun 2010 dapat terlihat pada Gambar 13. Pelanggan listrik jenis rumah tangga merupakan pelanggan dengan jumlah terbanyak dari tahun ke tahun disusul oleh jenis pelanggan bisnis setelahnya. Pertumbuhan jumlah pelanggan pada Tahun 2010 terhadap Tahun 2003 yang paling tinggi terjadi pada jenis penerangan publik yaitu sebesar 165,28 persen. Kategori pelanggan dengan pertumbuhan jumlah pelanggan tertinggi kedua adalah pelanggan bisnis, yakni sebesar 56,48 persen. Sedangkan pertumbuhan jumlah pelanggan yang negatif dimiliki oleh pelanggan jenis industri yaitu sebesar -5,36 persen. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah jenis pelanggan tersebut pada Tahun 2010 menjadi lebih kecil dibandingkan dengan jumlahnya pada Tahun 2003.

54 Sumber : PLN, diolah. Gambar 13. Jumlah Pelanggan Listrik PLN di Pulau Sumatera Tahun Jumlah energi listrik yang disalurkan tercermin pada jumlah energi listrik terjual kepada pelanggan. Sepanjang Tahun 2003 hingga Tahun 2010, energi listrik yang terjual di Pulau Sumatera terus mengalami peningkatan. Pertumbuhan energi listrik terjual pada Tahun 2010 cukup tinggi yaitu sebesar 11, 68 persen. Pertumbuhan ini tertinggi kedua selama Tahun 2003 hingga Tahun 2010, selain pada Tahun 2008 yang sebesar 11,85 persen Sumber : PLN, diolah. Gambar 14. Energi Listrik Terjual di Pulau Sumatera Tahun (GWh)

55 41 Konsumsi energi terbesar sepanjang tahun di Pulau Sumatera dimiliki oleh jenis konsumen rumah tangga, bisnis, dan industri. Konsumsi terkecil dimiliki oleh jenis konsumen sosial dan pemerintah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa meskipun jumlah pelanggan industri merupakan yang terkecil, tetapi konsumsi energi oleh jenis pelanggan tersebut termasuk yang terbesar. Pada Tahun 2010, jika dilihat dari kategori penggunaan, energi listrik terjual paling besar digunakan untuk kategori rumah tangga yaitu sebesar 51,23 persen. Sedangkan sisanya digunakan oleh kategori pelanggan bisnis 20,03 persen, industri 19,86 persen, penerangan publik 4,12 persen, sosial 2,87 persen, dan pemerintah sebesar 1,89 persen. Jumlah energi listrik terjual per propinsi pada Tahun 2010 menunjukkan bahwa Propinsi Sumatera Utara merupakan propinsi dengan pemakai energi listrik terbesar. Selanjutnya, pengguna energi listrik terbesar adalah Propinsi Sumatera Selatan. Hal ini dapat terjadi karena penggunaan listrik oleh rumah tangga dan industri terbanyak berada di Propinsi Sumatera Utara. Begitu juga dengan Propinsi Sumatera Selatan yang penggunaan energi listrik rumah tangganya terbanyak kedua setelah Propinsi Sumatera Utara Sumber : PLN, diolah. Gambar 15. Energi Listrik Terjual menurut Satuan PLN/Propinsi di Pulau Sumatera Tahun 2010 (GWh)

56 Air Bersih Perusahaan air bersih yang melakukan distribusi air bersih di Sumatera pada Tahun 2010 adalah sebanyak 204 perusahaan. Jumlah ini meningkat dibandingkan pada Tahun 2003, pada waktu itu hanya terdapat 197 perusahaan air bersih. Jumlah pelanggan air bersih di Pulau Sumatera berfluktuasi selama Tahun 2003 hingga Tahun Pertumbuhan jumlah pelanggan air bersih yang paling tinggi adalah pelanggan kelompok khusus serta niaga dan industri. Kedua jenis pelanggan tersebut pada Tahun 2010 tumbuh sebesar 261,19 persen dan 37,29 persen secara berurutan terhadap jumlahnya di Tahun Sumber : BPS, diolah. Gambar 16. Jumlah Pelanggan Air Bersih di Pulau Sumatera Tahun Konsumsi terhadap air bersih dapat terlihat pada jumlah air yang terdistribusikan kepada pelanggan. Persentase pertumbuhan air yang didistribusikan di Pulau Sumatera dapat ditunjukkan pada Gambar 17. Pada Tahun 2010, persentase pertumbuhan jumlah air yang didistribusikan di Pulau Sumatera mengalami penurunan dari Tahun Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa pertumbuhan jumlah air yang didistribusikan berfluktuatif sepanjang Tahun 2003 hingga Tahun Sepanjang tahun tersebut, konsumen jenis non-niaga serta niaga dan industri merupakan pelanggan dengan jumlah terbanyak. Mereka juga merupakan konsumen air bersih terbesar.

57 43 20% 15% 10% 5% 0% -5% % -15% -20% Sumber : BPS, diolah. Gambar 17. Persentase Pertumbuhan Jumlah Air Didistribusikan di Pulau Sumatera Tahun (%) Pada awal bagian dari penelitian ini telah diperlihatkan jumlah air yang didistribusikan di tiap propinsi yang ada di Pulau Sumatera pada Tahun Jika dilihat pada penggunaannya, air bersih pada Tahun 2010 lebih banyak digunakan oleh kategori non-niaga sebesar 83,16 persen. Kemudian disusul oleh penggunaan kelompok pelanggan niaga dan industri sebesar 10,73 persen, selanjutnya sosial 4,16 persen, dan 1,95 persen oleh kelompok khusus. Perkembangan jumlah air yang didistribusikan per propinsi pada beberapa tahun terakhir akan dilihat secara lebih jelas pada gambaran posisi tiga tahun terakhir, yaitu Tahun 2008 hingga Pada Gambar 18 dapat terlihat bahwa selama tiga tahun terakhir, Propinsi Sumatera Utara merupakan propinsi dengan konsumsi air bersih tertinggi dibandingkan propinsi lainnya dan jumlahnya terus mengalami peningkatan. Sedangkan daerah pengguna air bersih terendah adalah Propinsi Kepulauan Bangka Belitung, tetapi penggunaan air bersih terus meningkat di daerah ini. Hal di atas dapat terjadi karena penggunaan air bersih oleh kelompok non-niaga dan niaga serta industri terbesar ada di Propinsi Sumatera Utara selama tiga tahun terakhir. Propinsi yang mengalami penurunan jumlah air didistribusikan selama tiga tahun terakhir adalah Propinsi Lampung, Propinsi Sumatera Selatan, Propinsi Jambi, dan Propinsi Kepulauan Riau.

58 Sumber : BPS, diolah. Gambar 18. Jumlah Air Didistribusikan menurut Propinsi di Pulau Sumatera Tahun (ribu m 3 ) 4.4 Infrastruktur Kesehatan Selain infrastruktur ekonomi, infrastruktur sosial juga merupakan bagian penting. Infrastruktur sosial berupa infrastruktur kesehatan, berguna untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan masyarakat. Penduduk yang sehat mampu beraktivitas dengan lancar untuk menghasilkan berbagai output termasuk pendapatan. Selain dari sisi kuantitas, kualitas infrastruktur penting untuk dilihat. Akan tetapi, karena keterbatasan data, infrastruktur dilihat dari ketersediaannya dalam bentuk jumlah rumah sakit dan puskesmas. Pada Gambar 19 dapat dilihat bahwa di Pulau Sumatera pada Tahun 2010, jumlah puskesmas yang ada yaitu 85 persen. Jumlah ini merupakan porsi yang sangat besar daripada rumah sakit yang hanya 15 persen. Puskesmas memiliki jangkauan yang lebih tersebar di berbagai penjuru daerah dibandingkan rumah sakit yang biasanya hanya dibangun di pusat kota atau kabupaten, sehingga ketersediaan puskesmas sangat membantu masyarakat untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan. Namun demikian, peran rumah sakit tentu tidak dapat dikesampingkan dalam upaya pelayanan kesehatan masyarakat.

59 45 15% 85% RS Puskesmas Sumber : Kementerian Kesehatan RI, diolah. Gambar 19. Persentase Jumlah Rumah Sakit dan Puskesmas di Pulau Sumatera Tahun 2010 Jika dilihat pada Gambar 20, jumlah puskesmas merupakan yang paling dominan daripada rumah sakit pada tiap propinsi. Meskipun puskesmas memiliki kemampuan yang terbatas dalam melayani permasalahan kesehatan, tetapi puskesmas lebih unggul dilihat dari sisi kedekatannya dengan lokasi tempat tinggal masyarakat. Fasilitas yang terletak lebih dekat lagi dengan masyarakat adalah balai kesehatan masyarakat (Balkesmas), tapi karena keterbatasan data, balkesmas tidak dimasukkan dalam penelitian ini Rumah Sakit Puskesmas Sumber : Kementerian Kesehatan RI, diolah. Gambar 20. Jumlah Rumah Sakit dan Puskesmas menurut Propinsi di Pulau Sumatera Tahun 2010

II. TINJAUAN PUSTAKA Y = F(K,L).. (2.1)

II. TINJAUAN PUSTAKA Y = F(K,L).. (2.1) 11 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor Penentu Pertumbuhan Ekonomi Teori mengenai pertumbuhan ekonomi akan memberikan gambaran mengenai faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Teori ekonomi Neoklasik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi menunjukkan proses pembangunan yang terjadi di suatu daerah. Pengukuran pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat dilihat pada besaran Pendapatan Domestik

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN 28 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber. Jenis data yang digunakan adalah data panel,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Ketimpangan Ekonomi Antar Wilayah Ketimpangan ekonomi antar wilayah merupaka ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM INFRASTRUKTUR

IV. GAMBARAN UMUM INFRASTRUKTUR 37 IV. GAMBARAN UMUM INFRASTRUKTUR 4.1 Jalan Jalan merupakan infrastruktur yang penting untuk menghubungkan satu daerah ke daerah lain atau satu pusat perekonomian ke pusat perekonomian lainnya. Ketersediaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah Sjafrizal (2008) menyatakan kesenjangan ekonomi antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang. Definisi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan disertai dengan perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu negara dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Pembangunan ekonomi dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang disertai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan

I. PENDAHULUAN. menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan masyarakat meningkat dalam periode

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan teori konvergensi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan teori konvergensi. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai teori yang menjadi dasar dari pokok permasalahan yang diamati. Teori yang dibahas dalam bab ini terdiri dari pengertian pembangunan ekonomi,

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. dipecahkan terutama melalui mekanisme efek rembesan ke bawah (trickle down

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. dipecahkan terutama melalui mekanisme efek rembesan ke bawah (trickle down BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pada mulanya pembangunan selalu diidentikkan dengan upaya peningkatan pendapatan per kapita atau populer disebut sebagai strategi pertumbuhan ekonomi (Kuncoro, 2010:

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

BAB VIII PENUTUP. Pada bab pendahuluan sebelumnya telah dirumuskan bahwa ada empat

BAB VIII PENUTUP. Pada bab pendahuluan sebelumnya telah dirumuskan bahwa ada empat BAB VIII PENUTUP 8.1 Kesimpulan Pada bab pendahuluan sebelumnya telah dirumuskan bahwa ada empat tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini. Pertama, menggambarkan tingkat disparitas ekonomi antar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu daerah pada periode

Lebih terperinci

KONVERGENSI PENDAPATAN ANTAR KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA BARAT PERIODE OLEH MASRUKHIN H

KONVERGENSI PENDAPATAN ANTAR KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA BARAT PERIODE OLEH MASRUKHIN H KONVERGENSI PENDAPATAN ANTAR KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA BARAT PERIODE 2000-2007 OLEH MASRUKHIN H14052576 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 RINGKASAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup

I. PENDAHULUAN. perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan upaya yang sudah direncanakan dalam melakukan suatu perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup masyarakat, meningkatkan

Lebih terperinci

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR 4.1. Dinamika Disparitas Wilayah Pembangunan wilayah merupakan sub sistem dari pembangunan koridor ekonomi dan provinsi dan merupakan bagian

Lebih terperinci

KETIMPANGAN DAN PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI KAWASAN BARAT INDONESIA (KBI) OLEH RINDANG BANGUN PRASETYO H

KETIMPANGAN DAN PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI KAWASAN BARAT INDONESIA (KBI) OLEH RINDANG BANGUN PRASETYO H KETIMPANGAN DAN PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI KAWASAN BARAT INDONESIA (KBI) OLEH RINDANG BANGUN PRASETYO H14084020 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi di daerah adalah pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi di daerah adalah pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses pembangunan daerah diarahkan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil-hasil pembangunan yang dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan.

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH INFRASTRUKTUR EKONOMI DAN SOSIAL TERHADAP PRODUKTIVITAS EKONOMI DI INDONESIA OLEH KRISMANTI TRI WAHYUNI H

ANALISIS PENGARUH INFRASTRUKTUR EKONOMI DAN SOSIAL TERHADAP PRODUKTIVITAS EKONOMI DI INDONESIA OLEH KRISMANTI TRI WAHYUNI H ANALISIS PENGARUH INFRASTRUKTUR EKONOMI DAN SOSIAL TERHADAP PRODUKTIVITAS EKONOMI DI INDONESIA OLEH KRISMANTI TRI WAHYUNI H14094021 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. lumpuhnya sektor-sektor perekonomian dunia, sehingga dunia dihadapkan bukan

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. lumpuhnya sektor-sektor perekonomian dunia, sehingga dunia dihadapkan bukan BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Krisis ekonomi global lebih dari 12 tahun yang lalu telah mengakibatkan lumpuhnya sektor-sektor perekonomian dunia, sehingga dunia dihadapkan bukan hanya dengan upaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat menggambarkan bahwa adanya peningkatan

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat menggambarkan bahwa adanya peningkatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan dasar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Indikator untuk melihat pembangunan adalah dengan melihat pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. modal manusia merupakan salah satu faktor penting untuk mencapai pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. modal manusia merupakan salah satu faktor penting untuk mencapai pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Modal manusia memiliki peran sentral dalam pembangunan ekonomi. Pembangunan berkelanjutan merupakan tujuan dari suatu negara maka peran modal manusia merupakan

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyatnya untuk menikmati umur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembangunan adalah kemajuan yang diharapkan oleh setiap negara. Pembangunan adalah perubahan yang terjadi pada semua struktur ekonomi dan sosial. Selain itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Selama awal perkembangan literatur pembagunan, kesuksesan

BAB I PENDAHULUAN. Selama awal perkembangan literatur pembagunan, kesuksesan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Selama awal perkembangan literatur pembagunan, kesuksesan pembangunan diindikasikan dengan peningkatan pendapatan per kapita dengan anggapan bahwa peningkatan pendapatan

Lebih terperinci

BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. wilayah telah dilaksanakan oleh beberapa peneliti yaitu :

BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. wilayah telah dilaksanakan oleh beberapa peneliti yaitu : BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS A. Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai pertumbuhan ekonomi dan disparitas pendapatan antar wilayah telah dilaksanakan oleh beberapa peneliti yaitu : Penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat ke arah yang lebih baik sesuai dalam UUD 1945 (Ramelan, 1997). Peran pemerintah

Lebih terperinci

KABUPATEN/ FAKULTAS OLEH H

KABUPATEN/ FAKULTAS OLEH H ANALISIS KESENJANGANN PENDAPATAN REGIONAL KABUPATEN/ /KOTA PERIODE TAHUN 2001-2008 DI PROVINSI JAWA BARAT OLEH MEIKA PURNAMASYARI H14062577 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kultural, dengan tujuan utama meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara

BAB I PENDAHULUAN. kultural, dengan tujuan utama meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan proses yang berkesinambungan yang mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk aspek sosial, ekonomi, politik dan kultural, dengan tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan manusia merupakan salah satu syarat mutlak bagi kelangsungan hidup bangsa dalam rangka menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Menciptakan pembangunan

Lebih terperinci

PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PERTUMBUHAN EKONOMI DAN MENGURANGI KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PEMERINTAH ACEH OLEH AGUS NAUFAL H

PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PERTUMBUHAN EKONOMI DAN MENGURANGI KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PEMERINTAH ACEH OLEH AGUS NAUFAL H PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PERTUMBUHAN EKONOMI DAN MENGURANGI KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PEMERINTAH ACEH OLEH AGUS NAUFAL H14052333 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan jalan mengolah sumberdaya ekonomi potensial menjadi ekonomi riil

I. PENDAHULUAN. dengan jalan mengolah sumberdaya ekonomi potensial menjadi ekonomi riil 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi adalah usaha meningkatkan pendapatan perkapita dengan jalan mengolah sumberdaya ekonomi potensial menjadi ekonomi riil melalui penanaman modal,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan umum yang sering dihadapi oleh negara-negara sedang

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan umum yang sering dihadapi oleh negara-negara sedang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan umum yang sering dihadapi oleh negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia adalah kesenjangan ekonomi atau ketimpangan distribusi pendapatan antara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah sebagai salah satu wujud perubahan fundamental terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang, terus melaksanakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang, terus melaksanakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang, terus melaksanakan pembangunan secara berencana dan bertahap, tanpa mengabaikan usaha pemerataan dan kestabilan. Pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya

BAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang menimbulkan ketimpangan dalam pembangunan (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya makin kaya sedangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termaktub dalam alenia ke-4 pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu: (1)

BAB I PENDAHULUAN. termaktub dalam alenia ke-4 pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu: (1) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagaimana termaktub dalam alenia ke-4 pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu: (1) melindungi segenap bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dokumen RPJP Provinsi Riau tahun , Mewujudkan keseimbangan

BAB I PENDAHULUAN. dokumen RPJP Provinsi Riau tahun , Mewujudkan keseimbangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan misi pembangunan daerah Provinsi Riau yang tertera dalam dokumen RPJP Provinsi Riau tahun 2005-2025, Mewujudkan keseimbangan pembangunan antarwilayah

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI DAN PERAN SEKTOR UNGGULAN TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA DI PROVINSI DKI JAKARTA OLEH GITA IRINA ARIEF H

IDENTIFIKASI DAN PERAN SEKTOR UNGGULAN TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA DI PROVINSI DKI JAKARTA OLEH GITA IRINA ARIEF H IDENTIFIKASI DAN PERAN SEKTOR UNGGULAN TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA DI PROVINSI DKI JAKARTA OLEH GITA IRINA ARIEF H14050032 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses multidimensional yang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses multidimensional yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi merupakan perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah sehingga akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusiinstitusi

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusiinstitusi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses menuju perubahan yang diupayakan suatu negara secara terus menerus dalam rangka mengembangkan kegiatan ekonomi dan taraf

Lebih terperinci

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL 2.1 Indeks Pembangunan Manusia beserta Komponennya Indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM; Human Development Index) merupakan salah satu indikator untuk mengukur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Konsep Pembangunan Ekonomi Daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Konsep Pembangunan Ekonomi Daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Teori 2.1.1 Konsep Pembangunan Ekonomi Daerah Pembangunan ekonomi tidak dapat diartikan sama dengan pertumbuhan ataupun industrialisasi. Pembangunan

Lebih terperinci

4. GAMBARAN UMUM 4.1 Pertumbuhan Ekonomi

4. GAMBARAN UMUM 4.1 Pertumbuhan Ekonomi 4. GAMBARAN UMUM 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan dasar pengukuran atas nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha yang timbul akibat adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Oleh karena itu, pembangunan merupakan syarat mutlak bagi suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN. Oleh karena itu, pembangunan merupakan syarat mutlak bagi suatu negara. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan merupakan suatu alat yang digunakan untuk mencapai tujuan negara, dimana pembangunan mengarah pada proses untuk melakukan perubahan kearah yang lebih baik.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Teori Indeks Pembangunan Manusia Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Pembangunan manusia menempatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desentralisasi fiskal sudah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2001. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemajuan yang diperoleh Bangsa Indonesia selama tiga dasawarsa pembangunan ternyata masih menyisakan berbagai ketimpangan, antara lain berupa kesenjangan pendapatan dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penduduk merupakan suatu hal yang penting karena merupakan modal dasar dalam pembangunan suatu wilayah. Sukirno (2006) mengatakan penduduk dapat menjadi faktor pendorong

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 telah menggariskan bahwa Visi Pembangunan 2010-2014 adalah Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suatu wilayah akan berkembang sesuai dengan cara alokasi pemanfaatan sumber daya yang tersedia. Sumber daya tersebut adalah sumber daya manusi (SDM) dan sumber daya modal,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi pada dasarnya bervariasi antarwilayah, hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi pada dasarnya bervariasi antarwilayah, hal ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi pada dasarnya bervariasi antarwilayah, hal ini disebabkan oleh potensi sumber daya yang dimiliki daerah berbeda-beda. Todaro dan Smith (2012: 71)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional. Pembangunan. secara material dan spiritual (Todaro dan Smith, 2012: 16).

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional. Pembangunan. secara material dan spiritual (Todaro dan Smith, 2012: 16). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional. Pembangunan harus merepresentasikan perubahan suatu masyarakat secara menyeluruh yang bergerak dari kondisi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional dimana keadaan ekonominya mula-mula relatif statis selama jangka

BAB I PENDAHULUAN. nasional dimana keadaan ekonominya mula-mula relatif statis selama jangka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai kemampuan ekonomi nasional dimana keadaan ekonominya mula-mula relatif statis selama jangka waktu yang cukup lama untuk dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan salah satu masalah dalam proses pembangunan ekonomi. Permasalahan kemiskinan dialami oleh setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan syarat yang diperlukan dalam melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran utama keberhasilan pembangunan. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Salah satu indikator kemajuan ekonomi suatu negara dapat dilihat dari

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Salah satu indikator kemajuan ekonomi suatu negara dapat dilihat dari BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Salah satu indikator kemajuan ekonomi suatu negara dapat dilihat dari ekonomi. Semakin tinggi ekonomi semakin baik pula perekonomian negara tersebut. Laju ekonomi harus

Lebih terperinci

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN IV. DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Bertambahnya jumlah penduduk berarti pula bertambahnya kebutuhan konsumsi secara agregat. Peningkatan pendapatan diperlukan

Lebih terperinci

ANALISIS PERTUMBUHAN DAN DAYA SAING SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DI KOTA BEKASI PADA MASA OTONOMI DAERAH OLEH PRITTA AMALIA H

ANALISIS PERTUMBUHAN DAN DAYA SAING SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DI KOTA BEKASI PADA MASA OTONOMI DAERAH OLEH PRITTA AMALIA H ANALISIS PERTUMBUHAN DAN DAYA SAING SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DI KOTA BEKASI PADA MASA OTONOMI DAERAH OLEH PRITTA AMALIA H14103119 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. dipandang tidak memuaskan menjadi lebih baik secara lahir dan batin.

1 BAB I PENDAHULUAN. dipandang tidak memuaskan menjadi lebih baik secara lahir dan batin. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan suatu bangsa bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya oleh sebab itu, menurut Todaro dan Smith

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan perkapita, atau yang biasa disebut pertumbuhan ekonomi. Indikator

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan perkapita, atau yang biasa disebut pertumbuhan ekonomi. Indikator BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses pembangunan suatu negara diarahkan pada upaya meningkatkan pendapatan perkapita, atau yang biasa disebut pertumbuhan ekonomi. Indikator yang digunakan untuk melihat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk. membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk. membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus 13 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus dilaksanakan dengan berpedoman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah resmi dimulai sejak tanggak 1 Januari Dalam UU No 22 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. telah resmi dimulai sejak tanggak 1 Januari Dalam UU No 22 tahun 1999 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada peraturan pemerintah Republik Indonesia, pelaksanaan otonomi daerah telah resmi dimulai sejak tanggak 1 Januari 2001. Dalam UU No 22 tahun 1999 menyatakan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Hubungan keduanya dijelaskan dalam Hukum Okun yang menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Hubungan keduanya dijelaskan dalam Hukum Okun yang menunjukkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengangguran merupakan satu dari banyak permasalahan yang terjadi di seluruh negara di dunia, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini terjadi karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem negara kesatuan. Tuntutan desentralisasi atau otonomi yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem negara kesatuan. Tuntutan desentralisasi atau otonomi yang lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah memiliki kaitan erat dengan demokratisasi pemerintahan di tingkat daerah. Agar demokrasi dapat terwujud, maka daerah harus memiliki kewenangan yang lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek termasuk di dalamnya struktur sosial, sikap masyarakat, serta institusi nasional dan mengutamakan

Lebih terperinci

ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR EKONOMI KOTA TANGERANG PADA MASA OTONOMI DAERAH ( ) OLEH NITTA WAHYUNI H

ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR EKONOMI KOTA TANGERANG PADA MASA OTONOMI DAERAH ( ) OLEH NITTA WAHYUNI H ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR EKONOMI KOTA TANGERANG PADA MASA OTONOMI DAERAH (2001-2005) OLEH NITTA WAHYUNI H14102083 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB V TEMUAN EMPIRIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. sigma-convergence PDRB per kapita di propinsi Sumatera Barat. Sigmaconvergence

BAB V TEMUAN EMPIRIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. sigma-convergence PDRB per kapita di propinsi Sumatera Barat. Sigmaconvergence BAB V TEMUAN EMPIRIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 5.1. Temuan Empiris 5.1.1. Analisis Sigma-Convergence Tujuan pertama dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis adanya sigma-convergence PDRB per kapita

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi melalui produktivitas yang tinggi, dan mendatangkan lebih banyak input ke dalam proses produksi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan pada era 1950-an hanya berfokus pada bagaimana

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan pada era 1950-an hanya berfokus pada bagaimana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan pembangunan pada era 1950-an hanya berfokus pada bagaimana suatu negara dapat meningkatkan pendapatannya guna mencapai target pertumbuhan. Hal ini sesuai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang masih memegang peranan dalam peningkatan perekonomian nasional. Selain itu, sebagian besar penduduk Indonesia masih menggantungkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan perhatian utama semua negara terutama

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan perhatian utama semua negara terutama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan perhatian utama semua negara terutama negara berkembang. Pembangunan ekonomi dicapai diantar anya dengan melakukan usaha-usaha untuk meningkatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pada hakekatnya pembangunan daerah merupakan bagian integral dari. serta kesejahteraan penduduk. Kesenjangan laju pertumbuhan ekonomi

I. PENDAHULUAN. pada hakekatnya pembangunan daerah merupakan bagian integral dari. serta kesejahteraan penduduk. Kesenjangan laju pertumbuhan ekonomi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah tidaklah terpisahkan dari pembangunan nasional, karena pada hakekatnya pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi dikatakan baik apabila terjadi peningkatan pada laju pertumbuhan di

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi dikatakan baik apabila terjadi peningkatan pada laju pertumbuhan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Suatu negara dikatakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya.

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya peningkatan kapasitas pemerintahan daerah agar tercipta suatu

Lebih terperinci

Visi, Misi Dan Strategi KALTIM BANGKIT

Visi, Misi Dan Strategi KALTIM BANGKIT Awang Faroek Ishak Calon Gubernur 2008-2013 1 PETA KABUPATEN/KOTA KALIMANTAN TIMUR Awang Faroek Ishak Calon Gubernur 2008-2013 2 BAB 1. PENDAHULUAN Kalimantan Timur (Kaltim) merupakan propinsi terluas

Lebih terperinci

SUPPLY-SIDE ECONOMICS DAN PERTUMBUHAN EKONOMI BABEL Sebuah Tinjauan Teoritis dan Proposal Tahun Investasi di Babel

SUPPLY-SIDE ECONOMICS DAN PERTUMBUHAN EKONOMI BABEL Sebuah Tinjauan Teoritis dan Proposal Tahun Investasi di Babel SUPLEMEN 1 SUPPLY-SIDE ECONOMICS DAN PERTUMBUHAN EKONOMI BABEL Sebuah Tinjauan Teoritis dan Proposal Tahun Investasi di Babel Salah satu strategi Presiden Ronald Reagen di bidang ekonomi ketika memimpin

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tambahan pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu, karena pada

I. PENDAHULUAN. tambahan pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu, karena pada 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang amat penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai perubahan mendasar atas seluruh sistem sosial seperti politik, ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. berbagai perubahan mendasar atas seluruh sistem sosial seperti politik, ekonomi, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas seluruh sistem sosial seperti politik, ekonomi, infrastrukur dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentu dapat menjadi penghambat bagi proses pembangunan. Modal manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. tentu dapat menjadi penghambat bagi proses pembangunan. Modal manusia yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Negara sedang berkembang, pada umumnya memiliki sumber daya manusia (SDM) yang melimpah namun dengan kualitas yang masih tergolong rendah. Hal ini tentu dapat

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Proses pembangunan sebenarnya adalah merupakan suatu perubahan sosial

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Proses pembangunan sebenarnya adalah merupakan suatu perubahan sosial BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan adalah suatu orientasi dan kegiatan usaha yang tanpa akhir. Proses pembangunan sebenarnya adalah merupakan suatu perubahan sosial budaya. Pembangunan agar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. nasional dan pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. nasional dan pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang tercermin dalam pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan salah satu ukuran penting dalam menilai keberhasilan pembangunan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbedaaan kondisi demografi yang terdapat pada daerah masing-masing.

BAB I PENDAHULUAN. perbedaaan kondisi demografi yang terdapat pada daerah masing-masing. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Disparitas perekonomian antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Disparitas ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya pembangunan ekonomi jangka panjang yang terencana dan dilaksanakan secara bertahap. Pembangunan adalah suatu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi di masa lalu telah mengubah struktur ekonomi secara

BAB 1 PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi di masa lalu telah mengubah struktur ekonomi secara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan upaya yang dilakukan negara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Selama kurun waktu yang cukup panjang,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik. Pembangunan ekonomi menurut Todaro dan Smith (2006) adalah suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik. Pembangunan ekonomi menurut Todaro dan Smith (2006) adalah suatu BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teori 2.1.1. Pembangunan Ekonomi Pembangunan dapat dimaknai sebagai sesuatu yang berubah menjadi lebih baik. Pembangunan ekonomi menurut Todaro dan Smith (2006) adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. prioritas nasional dalam proses pencapain pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

I. PENDAHULUAN. prioritas nasional dalam proses pencapain pertumbuhan ekonomi yang tinggi. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sejarah pembangunan ekonomi Indonesia, infrastruktur ditempatkan pada prioritas nasional dalam proses pencapain pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Untuk mencapai

Lebih terperinci

ANALISIS INPUT-OUTPUT PERANAN INDUSTRI MINYAK GORENG DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA OLEH: NURLAELA WIJAYANTI H

ANALISIS INPUT-OUTPUT PERANAN INDUSTRI MINYAK GORENG DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA OLEH: NURLAELA WIJAYANTI H ANALISIS INPUT-OUTPUT PERANAN INDUSTRI MINYAK GORENG DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA OLEH: NURLAELA WIJAYANTI H14101038 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan, selain menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan, selain menciptakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan, selain menciptakan pertumbuhan GNP yang setinggi-tingginya dan penyediaan lapangan pekerjaan, juga menginginkan adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. riil atau pendapatan riil per kapita yang terjadi secara terus menerus (steady growth).

BAB I PENDAHULUAN. riil atau pendapatan riil per kapita yang terjadi secara terus menerus (steady growth). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konteks pembangunan secara luas dilakukan guna menciptakan suatu keadaan yang lebih baik. Pembangunan ekonomi yang dilakukan dalam berbagai tingkatan, baik nasional

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN PROVINSI DKI JAKARTA 2014

PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN PROVINSI DKI JAKARTA 2014 OUTLINE ANALISIS PROVINSI 1. Perkembangan Indikator Utama 1.1 Pertumbuhan Ekonomi 1.2 Pengurangan Pengangguran 1.3 Pengurangan Kemiskinan 2. Kinerja Pembangunan Kota/ Kabupaten 2.1 Pertumbuhan Ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indikator keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara terletak pada

I. PENDAHULUAN. Indikator keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara terletak pada I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indikator keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara terletak pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan peningkatan kesempatan kerja. Pendekatan pertumbuhan ekonomi banyak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah

TINJAUAN PUSTAKA. Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Ekonomi Pembangunan Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah perekonomian nasional yang kondisi-kondisi ekonomi awalnya kurang lebih bersifat

Lebih terperinci