DAMPAK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN AGLOMERASI INDUSTRI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL DI INDONESIA RINDANG BANGUN PRASETYO NRP.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DAMPAK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN AGLOMERASI INDUSTRI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL DI INDONESIA RINDANG BANGUN PRASETYO NRP."

Transkripsi

1 DAMPAK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN AGLOMERASI INDUSTRI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL DI INDONESIA RINDANG BANGUN PRASETYO NRP. H SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Dampak Pembangunan Infrastruktur dan Aglomerasi Industri terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Maret 2010 Rindang Bangun Prasetyo NRP : H

4 ABSTRACT RINDANG BANGUN PRASETYO. Impact of Infrastructure and Industrial Agglomeration on Regional Economic Growth in Indonesia. Under direction of NUNUNG NURYARTONO and DEDI WALUJADI. In general, the Indonesia s economic growth is significantly improved recently but the increase rate is different in each region which entitles to high regional disparity. One of the reasons why it occurs is because of the difference of infrastructure development in every region. Beside, the centralization of the economic activities tends to cause this issue. This study intends to analyze the effect of infrastructure development and industrial agglomeration to the regional economic growth in Indonesia. Based on productivity function of Cobb-Douglas model, the fixed effect model is used as data panel method which includes a range of data from 26 provinces in The estimation in this study ensues to the influence of labor, investment, human capital, physical infrastructures (electricity and roads), industrial agglomeration, and economic crisis in 1997, while water infrastructure is not significant. Due to the estimation data result, the characteristic of production activity in Indonesia is labor-based with the labor elasticity rate of 0,27 higher than investment elasticity which is 0,10. Human capital variable holds the biggest effect with 0,34 score. Physical infrastructure (electricity and roads) is significantly influential with electricity elasticity indicates 0,33 score, higher than roads elasticity score of 0,13. In addition to this, industrial agglomeration contributes positive effect on economic growth which is indicated by 0,04 elasticity score. On the other hand, the negative coefficient score as a result of economic crisis in 1997 obstructs the economic growth. To sum up, variables which deliver positive influence for regional economic growth in Indonesia are human capital, electricity, roads, and industrial agglomeration. Furthermore, distribution of infrastructure development, education, and centralization of the economy activity should be applied in order to reduce regional disparity. Keywords : Infrastructure, Industrial Agglomeration, Economic Growth, Panel Data

5 RINGKASAN RINDANG BANGUN PRASETYO. Dampak Pembangunan Infrastruktur dan Aglomerasi Industri terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di Indonesia. Dibimbing oleh NUNUNG NURYARTONO dan DEDI WALUJADI. Pertumbuhan ekonomi menggambarkan ekspansi GDP aktual atau output nasional suatu negara yang menentukan tingkat standar hidup negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di dalam pelaksanaan pembangunan merupakan sasaran utama bagi negara-negara sedang berkembang. Pertumbuhan ekonomi berkaitan erat dengan peningkatan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat. Barang dan jasa yang diproduksi semakin banyak dapat meningkatkan kemakmuran masyarakat. Perkembangan perekonomian yang dicapai bangsa Indonesia sampai saat ini ternyata masih harus menghadapi permasalahan yang mungkin juga dialami negara lain, khususnya negara sedang berkembang. Realitas pembangunan ekonomi di Indonesia yang diakibatkan oleh adanya perbedaan laju pertumbuhan adalah terciptanya ketimpangan/ disparitas antar daerah. Hal tersebut salah satunya disebabkan oleh perbedaan faktor endowment dari masing-masing daerah. Fenomena disparitas antar daerah yang terjadi dapat disebabkan oleh perbedaan ketersediaan fasilitas infrastruktur (pendidikan, kesehatan, jalan, listrik dan air bersih). Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Keberadaan infrastruktur akan mendorong terjadinya peningkatan produktivitas dalam produksi. Persebaran sumber daya yang tidak merata juga dapat menimbulkan disparitas pembangunan ekonomi antar daerah. Ketidakmerataan sumber daya ini tercermin pada konsentrasi kegiatan ekonomi yang terjadi pada daerah tertentu saja. Daerah-daerah dimana konsentrasi kegiatan ekonomi terjadi memperoleh manfaat yang disebut dengan penghematan aglomerasi (agglomeration economies). Adanya penghematan aglomerasi dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap laju pertumbuhan ekonomi apalagi jika didukung dengan fasilitas infrastruktur yang memadai. Kegiatan ekonomi yang paling banyak mendapatkan manfaat dari aglomerasi sehingga terkonsentrasi di pusat kota yaitu industri manufaktur. Industri manufaktur cenderung beraglomerasi di daerah-daerah dimana potensi dan kemampuan daerah tersebut memenuhi kebutuhan mereka, dan mereka mendapat manfaat akibat lokasi perusahaan yang berdekatan. Peningkatan prasarana infrastruktur dan penciptaan aglomerasi industri manufaktur diharapkan dapat membawa kesejahteraan dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Hal ini disebabkan karena kegiatan perekonomian akan lebih efisien. Peningkatan pertumbuhan ekonomi memerlukan strategi dan kebijakan yang tepat agar pertumbuhan ekonomi yang dipilih dan dianut bangsa Indonesia yaitu pertumbuhan disertai pemerataan (growth with equity) dapat tercapai. Bertolak dari hal tersebut, tujuan tujuan penelitian ini adalah: Pertama, menganalisis dinamika disparitas regional, pembangunan infrastruktur dan aglomerasi industri manufaktur di Indonesia. Kedua, menganalisis dampak pembangunan infrastruktur dan aglomerasi industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia. Ketiga, menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur di Indonesia.

6 Metode analisis deskriptif dan analisis spasial dengan Sistem Informasi Geografi (SIG) digunakan untuk melihat dinamika disparitas regional, pembangunan infrastruktur dan aglomerasi industri manufaktur di Indonesia. SIG dapat memberikan gambaran tentang suatu fenomena dan selalu dapat memberikan informasi mengenai lokasi dan juga persebaran dari fenomena tersebut dalam suatu ruang atau wilayah. Sedangkan analisis data panel digunakan untuk mengkaji dampak pembangunan infrastruktur dan aglomerasi industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia, dan faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur di Indonesia. Berdasarkan hasil dari analisis diskriptif dan spasial dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Indonesia dari tahun 1991 sampai 2007 sangat berfluktuatif. Krisis moneter tahun 1997, membuat perekonomian Indonesia terpuruk dan mengalami pertumbuhan yang negatif. Kontribusi sektor yang paling besar di Indonesia sejak tahun 1991 sampai 2007 yaitu industri pengolahan. Hasil penghitungan dengan menggunakan indeks Williamson menunjukkan pada tahun ketimpangan antar provinsi di Indonesia cukup tinggi yaitu berkisar 0,6 sampai 0,8. Kenaikan ketimpangan tertinggi terjadi pada tahun 2001, yaitu pada tahun pertama diberlakukan Undang-Undang Otonomi Daerah. Dinamika pembangunan infrastruktur di Indonesia selama periode tahun 1991 sampai 2007 secara umum terus mengalami peningkatan. Peningkatan fasilitas infrastruktur yang terjadi masih belum sesuai dengan yang diharapkan, karena peningkatan terhadap kebutuhan infrastruktur secara umum juga terus meningkat. Sedangkan hasil dari analisis dinamika aglomerasi industri manufaktur dapat terlihat bahwa penyebaran industri manufaktur di Indonesia masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, yaitu di ujung barat (Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat) dan di Provinsi Jawa Timur. Di daerah luar Jawa konsentrasi industri manufaktur hanya terdapat di provinsi Riau. Sedangkan provinsi yang dimungkinkan terjadi aglomerasi di masa mendatang yaitu Jawa Tengah dan Sumatera Selatan. Hasil estimasi persamaan dampak pembangunan infrastruktur dan aglomerasi industri terhadap pertumbuhan ekonomi regional menunjukkan bahwa kegiatan produksi di Indonesia masih bersifat padat karya yang ditunjukkan dari elastisitas tenaga kerja (0,27) lebih besar daripada elastisitas stok modal (0,10). Variabel human capital memiliki dampak yang terbesar dibandingkan variabel lain dengan elastisitas sebesar 0,34. Variabel listrik dan jalan berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional dengan tingkat elastisitas listrik sebesar 0,33 lebih tinggi daripada jalan (0,13). Sedangkan infrastruktur air bersih tidak berpengaruh secara statistik. Aglomerasi industri yang diwakili indeks spesialisasi industri manufaktur mempunyai dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi regional yang ditunjukkan dengan elastisitas sebesar 0,04. Di sisi lain, koefisien krisis 1997 yang negatif mempunyai arti bahwa terjadinya krisis menghambat pertumbuhan ekonomi. Analisis persamaan kedua (faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur di Indonesia) menghasilkan variabel yang memengaruhi terjadinya aglomerasi yaitu skala ekonomi (semakin besar skala usaha maka semakin meningkatkan konsentrasi industri), keanekaragaman industri (semakin beragam semakin mendukung aglomerasi industri), orientasi ekspor dan Impor (semakin tinggi orientasi semakin tinggi indeks spesialisasi industri), upah minimun provinsi (upah yang rendah mendukung terjadinya aglomerasi industri), pendidikan angkatan kerja (konsentrasi industri memerlukan dukungan tingkat pendidikan

7 tenaga kerja yang lebih tinggi), besarnya pasar (besarnya pasar akan memengaruhi pemilihan lokasi industri). Sedangkan kepemilikan modal asing dan indeks persaingan (struktur pasar) tidak berpengaruh secara statistik. Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang dirumuskan, maka beberapa saran yang dapat diberikan yaitu sebagai berikut: (1) Rasio elektrifikasi 100% harus segera dipenuhi untuk meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan. (2) Pemerataan pembangunan infrastruktur dan penciptaan aglomerasi industri di daerah-daerah yang memiliki potensi hendaknya juga menjadi perhatian pemerintah. (3) Berkaitan dengan perekonomian Indonesia yang masih bersifat padat karya maka untuk mendorong pertumbuhan ekonomi diprioritaskan pada kegiatan ekonomi dan industri-industri yang menyerap banyak tenaga kerja. (4) Pemerintah hendaknya memperhatikan aspek peningkatan sumber daya manusia karena sumber daya manusia merupakan variabel penting dan terbukti dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan terciptanya konsentrasi kegiatan ekonomi. Berkaitan dengan penelitian lebih lanjut, perlu disempurnakan dengan memasukkan beberapa infrastruktur lain misalnya infrastruktur pelabuhan laut, bandara udara, dan saluran irigasi. Sedangkan untuk penelitian yang berhubungan dengan aglomerasi akan lebih mengena jika digunakan analisis pada level kabupaten/kota.

8 Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB

9 DAMPAK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN AGLOMERASI INDUSTRI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL DI INDONESIA RINDANG BANGUN PRASETYO NRP. H Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

10

11 Judul Penelitian : Dampak Pembangunan Infrastruktur dan Aglomerasi Industri terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di Indonesia Nama : Rindang Bangun Prasetyo NRP : H Program Studi : Ilmu Ekonomi Disetujui, Komisi Pembimbing Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si Ketua Dr. H. R. Dedi Walujadi, SE, MA Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal Ujian : 25 Maret 2010 Tanggal Lulus :

12 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Sri Hartoyo, M.S.

13 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala Rahmat dan Karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Dampak Pembangunan Infrastruktur dan Aglomerasi Industri terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di Indonesia, dapat terselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi di Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. H. R. Dedi Walujadi, SE, MA selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan segala kesibukannya masih meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Sri Hartoyo, M.S atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi, dan Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.S selaku perwakilan Program Studi Ilmu Ekonomi. Demikian juga terima kasih dan penghargaan untuk semua dosen yang telah mengajar penulis dan rekan-rekan kuliah yang senantiasa membantu penulis selama mengikuti perkuliahan di kelas Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Dedikasi para dosen yang tinggi dan dukungan rekan-rekan kuliah, telah banyak membantu penulis dalam perkuliahan dengan baik. Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terkira kepada Bapak dan Ibu yang tercinta, atas segala doa dan dukungan yang telah diberikan. Ucapan terima kasih juga penulis persembahkan kepada yang penuh kesabaran, ketabahan dan kesetiaan selalu memberi motivasi dan semangat, Fara Shintha Julhija Karim istriku tersayang, semoga Allah SWT senantiasa memberikan perlindungan. Melalui kesempatan ini penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Abdullah Farid Al Hanif (anak pertama penulis) atas kesabarannya karena harus ditinggalkan selama penulis menjalani perkuliahan. Secara khusus, penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Kepala BPS yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti kuliah di Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada teman-teman BPS baik di BPS Provinsi Sulawesi Tengah maupun BPS Jakarta yang telah banyak membantu penulis mulai dari proses kuliah hingga dalam menyelesaikan tesis ini. Akhir kata penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak lain yang telah membantu namun namanya tak dapat penulis sebutkan satu persatu. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan tesis ini maka hanya penulis yang bertanggungjawab. Kiranya hanya Allah SWT yang Maha Kuasa yang akan memberi balasan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis. Bogor, Maret 2010 Rindang Bangun Prasetyo

14 RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Rindang Bangun Prasetyo lahir pada tanggal 10 Februari 1980, di Magelang (Jawa Tengah). Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan Bapak Waluyo dan Ibu Wagiyanti. Penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Negeri Arjosari 1 Tirtomoyo, Wonogiri pada tahun 1992, selanjutnya menamatkan jenjang SLTP pada SMP Negeri 1 Karanganyar pada tahun Pada tahun yang sama penulis diterima di SMUN 1 Karanganyar, Jawa Tengah dan lulus pada tahun Setelah tamat SMA, pada tahun 1998 penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta, tamat pada tahun 2002 dengan gelar Sarjana Sains Terapan (S.ST). Setelah itu bekerja pada Badan Pusat Statistik Kabupaten Morowali Provinsi Sulawesi Tengah selama lebih kurang 1,5 tahun, pada tahun 2004 penulis dipindah tugaskan ke Badan Pusat Statistik Propinsi Sulawesi Tengah. Pada tahun 2008, penulis melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Penyelenggaraan Khusus Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor hasil kerja sama BPS dan IPB. Sesuai dengan aturan yang ada, penulis harus menyusun tesis pada akhir kegiatan perkuliahan sebagai syarat menyelesaikan jenjang strata dua (S- 2) pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Untuk itulah, penulis menyusun tesis ini.

15 DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL xviii DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Tinjauan Teori-teori Pertumbuhan Ekonomi Teori Pertumbuhan Neo Klasik Teori Pertumbuhan Endogen Teori Geografi Ekonomi Baru (New Economic Geography) Teori Perdagangan Baru (New Trade Theory) Disparitas Regional Infrastruktur Aglomerasi Tinjauan Empiris Pengaruh Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi Pengaruh Aglomerasi terhadap Pertumbuhan Ekonomi Pengaruh Infrastruktur Transportasi dan Aglomerasi terhadap Pertumbuhan Ekonomi Faktor-faktor yang Memengaruhi Aglomerasi Industri Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian.. III. METODOLOGI PENELITIAN Jenis dan Sumber Data 3.2 Metode Analisis. xv xix xxi

16 3.2.1 Analisis Deskriptif Analisis Spasial/ Sistem Informasi Geografi (SIG) Regresi Data Panel. 3.3 Spesifikasi Model Dampak Pembangunan Infrastruktur dan Aglomerasi Industri terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional Faktor-faktor yang Memengaruhi Aglomerasi Industri Manufaktur 3.4 Software Analisis yang Digunakan IV. DINAMIKA DISPARITAS REGIONAL, PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN AGLOMERASI INDUSTRI MANUFAKTUR Kondisi Umum Wilayah Penelitian Kondisi Geografi Penduduk dan Kepadatannya Kondisi Perekonomian Indonesia 4.2 Dinamika Disparitas Regional Dinamika Pembangunan Infrastruktur Infrastruktur Jalan Infrastruktur Listrik Infrastruktur Air Bersih Penghitungan Indeks Infrastruktur Aglomerasi Industri Manufaktur Perbandingan antara Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia... V. DAMPAK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN AGLOMERASI INDUSTRI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL Penghitungan Stok Kapital Pemilihan Metode Regresi Data Panel Hasil Estimasi Regresi Data Panel VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI AGLOMERASI INDUSTRI MANUFAKTUR Pemilihan Metode Regresi Data Panel Hasil Estimasi Regresi Data Panel xvi

17 VII. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA. 129 LAMPIRAN xvii

18 DAFTAR TABEL Tabel 1 Distribusi PDB menurut sektor di Indonesia tahun 1965, 1992 dan Tabel 2 Prosedur dan aktivitas utama dalam Sistem Informasi Geografi (SIG).. Tabel 3 Rata-rata lama sekolah menurut tingkat pendidikan terakhir... Tabel 4 Luas area dan persentasenya, jumlah pulau dan jumlah Daerah Tingkat II di Indonesia menurut provinsi tahun Tabel 5 Jumlah penduduk, laju pertumbuhan penduduk dan sex ratio di Indonesia menurut provinsi tahun Tabel 6 Nilai dan laju pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan 2000 di Indonesia menurut provinsi tahun 1991, 1999 dan Tabel 7 PDRB atas dasar harga berlaku di Indonesia menurut provinsi tahun 1991, 1999 dan Tabel 8 Kontribusi setiap sektor terhadap PDRB menurut Provinsi tahun Tabel 9 Panjang jalan dan persentasenya menurut kondisi dan provinsi di Indonesia tahun Tabel 10 Energi listrik PLN yang terjual di Indonesia menurut provinsi tahun 1991, 1999 dan Tabel 11 Air bersih yang disalurkan di Indonesia menurut provinsi tahun 1991, 1999 dan Tabel 12 Indeks infrastruktur menurut jenis infrastruktur dan provinsi tahun Tabel 13 Jumlah tenaga kerja Industri Besar Sedang (IBS) menurut provinsi tahun 1991, 1999 dan Tabel 14 Jumlah penduduk, luas area dan kepadatan di Indonesia menurut kawasan tahun Tabel 15 Jumlah tenaga kerja dan nilai tambah Industri Besar Sedang (IBS) menurut kawasan di Indonesia tahun Tabel 16 Hasil estimasi persamaan dampak pembangunan infrastruktur dan aglomerasi industri terhadap pertumbuhan ekonomi regional Tabel 17 Hasil estimasi persamaan faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur... xviii 119

19 DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun Gambar 2 Peta tematik PDRB provinsi dan kontribusi PDRB KBI-KTI terhadap PDB di Indonesia tahun Gambar 3 Hipotesa neoklasik... Gambar 4 Skema pertumbuhan ekonomi, investasi dan infrastruktur... Gambar 5 Diagram alur kerangka pemikiran.... Gambar 6 Peta wilayah Indonesia menurut daerah administratif 26 provinsi... Gambar 7 Peta kepadatan penduduk dan laju pertumbuhan penduduk tahun Gambar 8 Pertumbuhan ekonomi menurut provinsi tahun Gambar 9 Peta PDRB per kapita menurut provinsi tahun Gambar 10 Kontribusi sektor terhadap PDRB menurut provinsi tahun Gambar 11 Peta struktur ekonomi menurut provinsi tahun Gambar 12 Tingkat disparitas di Indonesia tahun Gambar 13 Peta tingkat disparitas dalam provinsi tahun Gambar 14 Tingkat disparitas dalam provinsi tahun 1991 dan Gambar 15 Panjang jalan menurut jenis permukaannya dan tingkat kewenangan di Indonesia tahun Gambar 16 Panjang jalan, aksesibilitas, persentase baik sedang menurut provinsi tahun Gambar 17 Rasio elektrifikasi di Indonesia tahun Gambar 18 Jumlah pelanggan dan energi jual menurut kelompok pelanggan tahun Gambar 19 Peta energi listrik jual dan rasio elektrifikasi menurut provinsi tahun Gambar 20 Jumlah pelanggan dan air bersih yang disalurkan menurut kelompok pelanggan tahun xix

20 Gambar 21 Peta air bersih yang disalurkan dan rasio pelanggan per jumlah RT menurut provinsi tahun Gambar 22 Indeks infrastruktur menurut provinsi tahun 1991 dan Gambar 23 Peta indeks infrastruktur menurut provinsi tahun Gambar 24 Kontribusi sektor pertanian, pertambangan dan penggalian, dan industri manufaktur terhadap PDB Indonesia tahun Gambar 25 Jumlah perusahaan dan tenaga kerja Industri Besar Sedang (IBS) tahun Gambar 26 Peta konsentrasi tenaga kerja IBS dan nilai tambah IBS tahun Gambar 27 Persebaran tenaga kerja IBS menurut kabupaten/kota tahun Gambar 28 Peta wilayah Indonesia menurut kawasan (KBI dan KTI)... Gambar 29 Struktur ekonomi KBI dan KTI menurut lapangan usaha tahun Gambar 30 Tingkat ketimpangan antar provinsi di KBI dan KTI tahun Gambar 31 Panjang jalan menurut kondisi dan kawasan di Indonesia tahun Gambar 32 Energi listrik terjual menurut kelompok pelanggan dan kawasan di Indonesia tahun Gambar 33 Air bersih yang disalurkan menurut kelompok pelanggan dan kawasan di Indonesia tahun Gambar 34 Stok kapital di Indonesia atas dasar harga konstan 2000 tahun xx

21 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5 Lampiran 6 Lampiran 7 Lampiran 8 Lampiran 9 Hasil penghitungan indeks infrastruktur dan peringkatnya di Indonesia menurut provinsi tahun 1991 dan Hasil penghitungan stok kapital di Indonesia menurut provinsi tahun (dalam triliun rupiah)... Hasil penguijian antara FIXED dengan POOL (Uji Chow) untuk model I dampak pembangunan infrastruktur dan aglomerasi terhadap pertumbuhan ekonomi regional... Hasil penguijian antara FIXED dengan RANDOM (Uji Hausman) untuk model I dampak pembangunan infrastruktur dan aglomerasi terhadap pertumbuhan ekonomi regional... Hasil estimasi untuk model I dampak pembangunan infrastruktur dan aglomerasi terhadap pertumbuhan ekonomi regional... Hasil estimasi untuk model pertumbuhan ekonomi dengan faktor input tenaga kerja dan modal saja... Hasil penguijian antara FIXED dengan POOL (Uji Chow) untuk model II faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur... Hasil penguijian antara FIXED dengan RANDOM (Uji Hauman) untuk model II faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur... Hasil estimasi untuk model II faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur Lampiran 10 Peta persebaran tenaga kerja Industri Besar Sedang menurut kabupaten/kota tahun Lampiran 11 Peta persebaran tenaga kerja Industri Besar Sedang menurut kabupaten/kota tahun Lampiran 12 Peta persebaran tenaga kerja Industri Besar Sedang menurut kabupaten/kota tahun Lampiran 13 Peta persebaran tenaga kerja Industri Besar Sedang menurut kabupaten/kota tahun Lampiran 14 Peta persebaran tenaga kerja Industri Besar Sedang menurut kabupaten/kota tahun xxi

22 xxii Halaman ini sengaja dikosongkan.

23 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang meliputi berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Pada hakekatnya, pembangunan harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik, secara material maupun spiritual (Todaro dan Smith, 2006). Tujuan dari pembangunan ekonomi pada prinsipnya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: meningkatkan pendapatan per kapita penduduk dalam jangka panjang dan meningkatkan produktivitas. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi tak dapat lepas dari pertumbuhan ekonomi (economic growth). Pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya, pertumbuhan ekonomi memperlancar proses pembangunan ekonomi. Menurut Samuelson dan Nordhaus (2004), pertumbuhan ekonomi menggambarkan ekspansi GDP aktual atau output nasional negara, yang menentukan tingkat standar hidup negara tersebut. Dalam pelaksanaan pembangunan, pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan sasaran utama bagi negara-negara sedang berkembang. Pertumbuhan ekonomi berkaitan erat dengan peningkatan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat. Semakin banyak barang dan jasa yang diproduksi dapat meningkatkan kemakmuran masyarakat. Pertumbuhan ekonomi dapat diukur antara lain dengan besaran yang disebut Produk Domestik Bruto (PDB) pada tingkat nasional dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) untuk daerah. Perjalanan bangsa Indonesia selama 64 tahun dalam mengisi kemerdekaan telah memberikan nilai tambah yang sangat signifikan dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat baik fisik maupun non fisik. Kapasitas dari sebuah perekonomian nasional Indonesia diukur dengan nilai PDB atas dasar harga konstan 2000 mencapai 2.082,10 trilyun rupiah dan dengan pertumbuhan sebesar 6,06 persen pada tahun Demikian juga indeks ekonomi lainnya yang juga

24 2 sering digunakan untuk mengukur tingkat kemajuan pembangunan yaitu pendapatan nasional per kapita pada tahun yang sama telah mencapai 19,52 juta rupiah (BPS, 2009). Sejak tahun 1969, bangsa Indonesia sebagai negara berkembang telah melaksanakan pembangunan ekonomi secara berencana dan bertahap, tanpa mengabaikan usaha pemerataan dan kestabilan. Perkembangan pertumbuhan ekonomi di Indonesia, dapat dilihat pada Gambar 1 yang menerangkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang fluktuatif dari tahun ke tahun. 7,20 8,22 4,92 6,32 6,06-13,13 Sumber: PDB , BPS (diolah) Gambar 1 Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun Perekonomian Indonesia sejak awal pembangunan menunjukkan kinerja yang cukup baik hingga awal tahun 1997 yang ditandai oleh menguatnya beberapa indikator makro ekonomi. Tingkat pertumbuhan ekonomi mencapai 7,8% pada tahun 1996 dan investasi langsung luar negeri mencapai $6,5 juta pada tahun fiskal 1996/1997. Cadangan devisa resmi pemerintah pada bulan Maret 1997 mencapai $20 juta dan tingkat depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika masih terpelihara pada kisaran 3-5% (BI, 1997). Krisis moneter dan krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997, yang berlanjut menjadi krisis multidimensi, membawa dampak pada kondisi perekonomian di Indonesia. Akibat dari krisis tersebut perekonomian Indonesia mengalami masa yang sulit, inflasi tinggi, dan rupiah terdepresiasi. Kondisi ini mengakibatkan hampir seluruh kegiatan ekonomi terhenti (stagnan) dan laju pertumbuhan ekonomi mengalami konstraksi hingga negatif 13,13 persen.

25 3 Berbagai usaha dilakukan pemerintah melalui kebijakan-kebijakan untuk mengatasi perekonomian yang terpuruk pada saat itu. Tahun-tahun berikutnya setelah masa krisis, perekonomian Indonesia mengalami pemulihan (recovery), pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada kisaran 4 persen sampai dengan 6 persen. Perekonomian Indonesia mulai membaik, aktivitas ekonomi mulai berjalan dengan baik sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2007 mencapai 6,32 persen. Pemulihan kondisi tersebut ditunjang oleh membaiknya infrastuktur yang ada serta kebijakankebijakan yang diterapkan oleh pemerintah baik fiskal maupun moneter (Lestari, 2008). Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2008 cenderung melambat menjadi 6,06 persen, hal ini disebabkan oleh adanya tekanan dari krisis global yang cukup berat, terimbas oleh ketidakpastian pasar finansial global yang meningkat, proses perlambatan ekonomi dunia yang signifikan, dan perubahan harga komoditas global yang sangat drastis. Namun demikian, perkembangan ekonomi Indonesia tidaklah terlampau buruk dibandingkan negara lain. Perkembangan perekonomian yang dicapai bangsa Indonesia sampai saat ini ternyata masih harus menghadapi permasalahan yang mungkin juga dialami negara lain, khususnya negara sedang berkembang. Salah satu realitas pembangunan ekonomi di Indonesia yang diakibatkan oleh adanya perbedaan laju pertumbuhan adalah terciptanya ketimpangan/ disparitas antar daerah. Hal tersebut salah satunya disebabkan oleh perbedaan faktor endowment dari masingmasing daerah. Fakta adanya disparitas tersebut tercermin dalam kesenjangan kinerja pembangunan perekonomian antara provinsi satu dan lainnya, antara Pulau Jawa dan luar Jawa, serta antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Indikasi disparitas antar wilayah dapat dilihat dari perbedaan tingkat kesejahteraan dan perkembangan ekonomi antar wilayah. Data BPS tahun 2007 mengenai PDRB dan laju pertumbuhan ekonomi seluruh provinsi menunjukkan bahwa terjadi pemusatan produksi barang dan jasa di Pulau Jawa. Pulau yang luasnya hanya mencapai 7 persen dari luas Indonesia ini mendominasi sekitar 60,20 persen dari seluruh PDRB, sedangkan provinsi di Sumatera menguasai

26 4 sekitar 22,98 persen, Kalimantan menguasai 9,13 persen, Sulawesi menguasai 4,09 persen, dan provinsi di Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua hanya 3,61 persen. Sementara itu, rata-rata laju pertumbuhan ekonomi provinsi di Jawa dan Bali pada tahun 2007 sebesar 6,17 persen, provinsi di Sumatera sebesar 4,96 persen, Kalimantan sebesar 3,14 persen, Sulawesi sebesar 6,88 persen, provinsi di Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua sebesar 5,04 persen. Kecenderungan persebaran penguasaan PDRB dan laju pertumbuhan yang tidak sama akan menyebabkan semakin timpangnya pembangunan antar wilayah. Disparitas yang ditunjukkan melalui data PDRB juga terjadi antara KBI dan KTI (lihat Gambar 2). KBI dengan luas wilayah 31,25 persen dari luas Indonesia mendominasi pendapatan nasional sebesar 83,55 persen pada tahun Pada Gambar 2 juga terlihat bahwa disparitas bukan hanya terjadi antar pulau dan antar kawasan, melainkan juga terjadi antar provinsi di Indonesia. N Kilometers Legenda: Nilai PDRB Persentase Terhadap PDB KTI 16,45 % KBI 83,55 % Gambar 2 Peta tematik PDRB provinsi dan kontribusi PDRB KBI-KTI terhadap PDB di Indonesia tahun 2007 Fenomena disparitas antar daerah yang terjadi dapat disebabkan oleh perbedaan ketersediaan fasilitas infrastruktur, seperti: pendidikan, kesehatan, jalan, listrik dan air bersih. Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Keberadaan infrastruktur akan mendorong terjadinya peningkatan produktivitas bagi faktor-faktor produksi, dan sebaliknya apabila mengabaikannya akan menurunkan produktivitas.

27 5 Beberapa studi menunjukkan bahwa ketersediaan infrastruktur dengan PDB ternyata mempunyai hubungan yang erat. Elastisitas PDB terhadap infrastruktur, yaitu perubahan persentase pertumbuhan PDB sebagai akibat dari naiknya 1 persen ketersediaan infrastruktur, di berbagai negara bervariasi antara 0,07 sampai 0,44 (World Bank, 1994). Hal ini berarti dengan kenaikan 1 persen saja ketersediaan infrastruktur akan menyebabkan pertumbuhan PDB sebesar 0,07 persen sampai dengan 0,44 persen. Studi dari Calderon dan Serven (2002) menyebutkan elastisitas PDB pertenaga kerja terhadap infrastruktur di Amerika Latin untuk telepon sebesar 0,15; listrik 0,16; dan jalan 0,18. Di sisi lain berbagai studi menunjukkan bahwa economic rate of return dari investasi infrastruktur berada disekitar persen, jauh di atas biaya hutang yang mungkin berkisar 10 persen (Easterly dan Servén, 2002). Infrastruktur merupakan faktor produksi (input) dalam menghasilkan output. Pemanfaatan input yang lebih optimal akan memberikan rate of return yang tinggi (Aschauer, 1989; Demurger, 2000). Karena hubungan yang signifikan antara infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi, maka dapat disimpulkan bahwa keterbatasan ketersediaan infrastruktur akan menjadi penghambat (constraint) bagi pertumbuhan ekonomi, dan besarnya perbedaan ketersediaan infrastruktur antar daerah akan menimbulkan disparitas antar daerah yang semakin melebar. Disisi lain, persebaran sumber daya yang tidak merata juga dapat menimbulkan disparitas pembangunan ekonomi antar daerah. Ketidakmerataan sumber daya ini tercermin pada konsentrasi kegiatan ekonomi yang terjadi pada daerah tertentu saja. Daerah-daerah dimana konsentrasi kegiatan ekonomi terjadi memperoleh manfaat yang disebut dengan penghematan aglomerasi (agglomeration economies). Seperti yang dikatakan oleh Bradley dan Gans (1996), bahwa ekonomi aglomerasi adalah eksternalitas yang dihasilkan dari kedekatan geografis dari kegiatan ekonomi. Selanjutnya adanya penghematan aglomerasi dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap laju pertumbuhan ekonomi apalagi jika didukung dengan fasilitas infrastruktur yang memadai. Sebagai akibatnya, daerah-daerah yang termasuk dalam aglomerasi pada umumnya mempunyai laju pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang bukan aglomerasi.

28 6 Kegiatan ekonomi yang paling banyak mendapatkan manfaat dari aglomerasi sehingga terkonsentrasi di seputar pusat-pusat kota yaitu industri manufaktur. Industri manufaktur cenderung beraglomerasi di daerah-daerah dimana potensi dan kemampuan daerah tersebut dapat memenuhi kebutuhan mereka, dan mereka mendapat manfaat akibat lokasi perusahaan yang saling berdekatan. Kota umumnya menawarkan berbagai kelebihan dalam bentuk produktivitas dan pendapatan yang lebih tinggi, yang menarik infestasi baru, teknologi baru, pekerja terdidik dan terampil dalam jumah yang lebih tinggi dibandingkan pedesaan (Malecki 1991 dalam Kuncoro 2002). Industrialisasi telah menjadi kekuatan utama (driving force) di balik urbanisasi yang cepat di kawasan Asia sejak dasawarsa 1980-an. Industrialisasi di Indonesia telah mengakibatkan transformasi struktural. Pola pertumbuhan ekonomi secara sektoral di Indonesia sepertinya sejalan dengan kecenderungan proses transformasi struktural yang terjadi di berbagai negara, dimana terjadi penurunan kontribusi sektor pertanian (sektor primer), sementara kontribusi sektor sekunder dan tersier cenderung meningkat (Kuncoro, 2002). Kecenderungan ini terlihat pada Tabel 1. Pada tahun 1965, sektor pertanian merupakan sektor penyumbang terbesar terhadap PDB yaitu 56 persen, sementara sektor industri hanya menyumbang 13 persen. Dengan pertumbuhan yang lebih tinggi daripada sektor pertanian, sektor industri dapat menggeser peranan sektor pertanian. Pada tahun 1992 sektor industri secara keseluruhan menyumbang 40 persen terhadap PDB dan 50 persen pada tahun 2007, dimana peranan industri manufaktur cukup menonjol karena menyumbang 21 persen pada tahun 1992 dan 27 persen pada tahun Pada akhirnya, sektor industri manufaktur muncul menjadi penyumbang nilai tambah yang dominan dan telah tumbuh pesat melampaui laju pertumbuhan sektor pertanian. Tabel 1 Distribusi PDB menurut sektor di Indonesia tahun 1965, 1992 dan 2007 Sektor Pertanian Industri - Industri manufaktur Jasa dll. Sumber: BPS (diolah) Kontribusi Dalam PDB (persen)

29 7 Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dinyatakan bahwa daya saing industri manufaktur perlu terus ditingkatkan agar tetap dapat berperan sebagai sektor strategis di dalam perekonomian nasional. Sektor strategis yaitu sektor yang dapat mendorong sektor lainnya. Peningkatan daya saing industri dimaksudkan untuk menjawab tantangan globalisasi dan liberalisasi ekonomi dunia serta mampu mengantisipasi perkembangan perubahan lingkungan yang cepat. Dalam rangka meningkatkan daya saing industri manufaktur dari kurun waktu , berbagai upaya telah ditempuh baik dalam bentuk regulasi maupun dalam bentuk fasilitasi langsung pemerintah. Pertumbuhan industri manufaktur nasional memang masih belum seperti yang diharapkan, tetapi beberapa indikator menunjukkan bahwa ada potensi untuk tumbuh dengan lebih baik. Peningkatan prasarana infrastruktur dan penciptaan aglomerasi industri manufaktur diharapkan dapat membawa kesejahteraan dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Hal ini disebabkan karena kegiatan perekonomian akan lebih efisien. Dalam rangka peningkatan pertumbuhan ekonomi maka diperlukan strategi dan kebijakan yang tepat agar pertumbuhan ekonomi yang dipilih dan dianut bangsa Indonesia yaitu pertumbuhan disertai pemerataan (growth with equity) dapat tercapai Perumusan Masalah Ketimpangan dalam pembangunan ekonomi masih terjadi di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan pertumbuhan ekonomi dan nilai PDRB provinsi yang bervariasi. Perbedaan ketersediaan fasilitas infrastuktur dan tidak meratanya konsentrasi kegiatan ekonomi menambah semakin melebarnya disparitas regional. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi Indonesia masih belum merata. Fakta dan indikasi ini perlu mendapat perhatian agar upaya pembangunan ekonomi di Indonesia terus mengalami peningkatan dan merata di seluruh wilayah Indonesia. Kebijakan pemerintah dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengurangi disparitas antar daerah perlu mendapatkan perhatian yang lebih. Trade off yang terjadi antara disparitas dan pertumbuhan ekonomi membuat penentuan kebijakan harus tepat sasaran.

30 8 Upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi dapat ditempuh dengan meningkatkan efisensi dalam kegiatan ekonomi. Efisiensi memerlukan dukungan dari modal infrastruktur yang memadai sehingga mendorong peningkatan potensi daerah masing-masing secara berkesinambungan. Infrastruktur yang tersedia akan mendorong proses pertukaran sesuai dengan potensi dan kebutuhan masingmasing daerah sehingga memungkinkan bergeraknya faktor produksi dan hasil produksi. Perekonomian kemudian secara bersama-sama menuju proses pertumbuhan ekonomi nasional yang semakin meningkat sesuai dengan kemampuannya yang optimal. Selain itu, peningkatan pertumbuhan ekonomi dapat diupayakan dengan penciptaan konsentrasi kegiatan ekonomi. Seiring dengan program pemerintah dalam rangka peningkatan daya saing industri manufaktur, maka perlu adanya penciptaan konsentrasi kegiatan ekonomi di bidang industri manufaktur. Aglomerasi industri manufaktur yang terjadi di suatu daerah diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hubungan positif antara aglomerasi dari kegiatan-kegiatan ekonomi dan pertumbuhan telah banyak dibuktikan (Martin dan Octavianno, 2001). Aglomerasi menghasilkan perbedaan spasial dalam tingkat pendapatan. Semakin teraglomerasi secara spasial suatu perekonomian maka akan semakin meningkat pertumbuhannya. Daerah-daerah yang banyak industri manufaktur tumbuh lebih cepat dibandingkan daerah-daerah yang hanya mempunyai sedikit industri manufaktur. Alasannya adalah daerah-daerah yang mempunyai industri manufaktur lebih banyak mempunyai akumulasi modal. Perkembangan sektor industri manufaktur hampir selalu mendapat prioritas utama dalam rencana pembangunan negara-negara sedang berkembang, hal ini karena sektor industri manufaktur dianggap sebagai sektor pemimpin (leading sector) yang mendorong sektor lainnya. Oleh sebab itu, dalam rangka meningkatkan daya saing industri manufaktur perlu dilakukan penciptaan aglomerasi industri manufaktur agar efisiensi dan penghematan ekonomi dapat dicapai. Penciptaan aglomerasi industri manufaktur memerlukan strategi yang tepat agar aglomerasi tersebut dapat bertahan dan memberikan kontribusi yang besar dalam perekonomian daerah tersebut. Melalui penelitian ini juga akan dikaji faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur.

31 9 Berdasarkan uraian di atas, beberapa permasalahan yang hendak dijawab dalam penelitian ini antara lain: 1. Bagaimana dinamika disparitas regional, pembangunan infrastruktur, dan aglomerasi industri manufaktur di Indonesia? 2. Bagaimana dampak pembangunan infrastruktur dan aglomerasi industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia? 3. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur di Indonesia? 1.3. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan menganalisis dampak pembangunan infrastruktur dan aglomerasi industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia. Secara lebih rinci, penelitian ini bertujuan: 1. Menganalisis dinamika disparitas regional, pembangunan infrastruktur dan aglomerasi industri manufaktur di Indonesia. 2. Menganalisis dampak pembangunan infrastruktur dan aglomerasi industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia. 3. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur di Indonesia Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan gambaran kepada pembaca mengenai dinamika disparitas antar daerah, pembangunan infrastruktur, dan aglomerasi industri manufaktur di setiap provinsi di Indonesia. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi kebijakan pembangunan pemerintah yang terutama terkait dengan pembangunan infrastruktur, aglomerasi industri manufaktur dan disparitas antar daerah. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi dan informasi tambahan bagi penelitian selanjutnya khususnya terkait dengan masalah pada penelitian ini Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Ruang lingkup dalam penelitian meliputi tiga hal. Pertama, memberikan gambaran mengenai dinamika disparitas regional, infrastruktur dan aglomerasi

32 10 industri manufaktur di Indonesia dengan analisis deskriptif dan spasial. Kedua, menganalisis dampak pembangunan infrastruktur dan aglomerasi industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia dengan mengunakan metode data panel. Ketiga, mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur di Indonesia. Penelitian ini mencakup 17 tahun, dimulai dari tahun 1991 sampai dengan Analisis dan pengamatan dilakukan pada seluruh provinsi di Indonesia. Untuk menjaga konsistensi data maka dilakukan penggabungan data dari provinsi hasil pemekaran setelah tahun 1991 dan menghilangkan data Timor Timur, sehingga jumlah provinsi yang digunakan adalah 26 provinsi. Khusus untuk menggambarkan aglomerasi industri manufaktur digunakan data seluruh kabupaten/kota kondisi tahun 1991 yaitu sejumlah 285 kabupaten/kota. Infrastruktur yang digunakan dalam penelitian ini hanya terdiri atas tiga jenis, yaitu: infrastruktur jalan, listrik dan air. Pemilihan ketiga jenis infrastruktur ini mengacu pada kelompok infrastruktur ekonomi dan ketersediaan data. Untuk infrastruktur air digunakan data yang berasal dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yaitu air bersih yang disalurkan kepada pelanggan. Penggunaan data PDAM ini dikarenakan data saluran irigasi yang sedianya akan dimasukkan dalam model tidak tersedia secara lengkap. Penelitian lebih lanjut diharapkan dapat memasukkan variabel saluran irigasi. Data yang berkaitan dengan industri manufaktur dibatasi hanya khusus untuk Industri Besar Sedang (IBS) tanpa mengikutkan industri kecil. Kategori industri besar sedang mengikuti kategori yang digunakan BPS. Suatu perusahaan industri dikatakan berskala sedang jika mempunyai tenaga kerja 20 orang sampai dengan 99 orang. Sedangkan perusahaan industri berskala besar jika mempunyai tenaga kerja 100 orang atau lebih.

33 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teori-Teori Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi (economic growth) adalah perkembangan kegiatan ekonomi dari waktu ke waktu dan menyebabkan pendapatan nasional riil berubah. Tingkat pertumbuhan ekonomi menunjukkan persentase kenaikan pendapatan nasional riil pada suatu tahun tertentu dibandingkan dengan pendapatan nasional riil pada tahun sebelumnya (Sukirno, 2004). Todaro dan Smith (2006), mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai suatu proses peningkatan kapasitas produktif dalam suatu perekonomian secara terus-menerus atau berkesinambungan sepanjang waktu sehingga menghasilkan tingkat pendapatan dan output nasional yang semakin lama semakin besar. Menurut Todaro dan Smith (2006), ada tiga faktor atau komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi yaitu: 1. Akumulasi modal, yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang ditanamkan pada tanah, peralatan fisik, dan modal atau sumber daya manusia. 2. Pertumbuhan penduduk yang pada tahun-tahun berikutnya akan memperbanyak jumlah angkatan kerja. 3. Kemajuan teknologi. Selanjutnya Jhingan (2008) menyebutkan bahwa proses pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor ekonomi dan non ekonomi. Faktor ekonomi terdiri atas faktor produksi yang dipandang sebagai kekuatan utama yang memengaruhi pertumbuhan, diantaranya adalah: 1. Sumber alam, yang mencakup kesuburan tanah, letak dan susunannya, kekayaan hutan, mineral, iklim, sumber air, sumber lautan, dan sebagainya. 2. Akumulasi modal, yang berarti mengadakan persediaan faktor produksi yang secara fisik dapat direproduksi. Proses pembentukan modal bersifat kumulatif dan membiayai diri sendiri serta mencakup tiga tahap yang saling berkaitan, yaitu: (a) Keberadaan tabungan nyata dan kenaikannya,

34 12 (b) Keberadaan lembaga keuangan dan kredit untuk menggalakkan tabungan dan menyalurkannya ke jalur yang dikehendaki, (c) Menggunakan tabungan untuk investasi barang modal. 3. Organisasi, yang terdiri atas para wiraswastawan (pengusaha) dan pemerintah, yang melengkapi (komplemen) modal, buruh dan yang membantu produktivitasnya, termasuk dalam menyelenggarakan overhead sosial dan ekonomi. 4. Kemajuan teknologi, yang berkaitan dengan perubahan di dalam metode produksi yang merupakan hasil pembaharuan atau hasil dari teknik penelitian baru sehingga menaikkan produktivitas buruh, modal dan faktor produksi lainnya. 5. Pembagian kerja dan skala produksi, yang menimbulkan peningkatan produktivitas. Sedangkan faktor non ekonomi yang memengaruhi kemajuan perekonomian antara lain: 1. Faktor sosial dan budaya, yang menghasilkan perubahan pandangan, harapan, struktur dan nilai-nilai sosial. 2. Faktor sumber daya manusia, yang disebut sebagai pembentukan modal insani yaitu proses peningkatan ilmu pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan seluruh penduduk, termasuk di dalamnya aspek kesehatan, pendidikan dan pelayanan sosial lainnya. 3. Faktor politik dan administratif, termasuk pemerintahan yang baik dengan menerapkan kebijakan fiskal dan moneter yang tepat. Uraian tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan faktor terpenting dalam pembangunan. Keberhasilan pembangunan suatu negara diukur berdasarkan tinggi rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapainya. Pengukuran pertumbuhan ekonomi secara konvensional biasanya dengan menghitung peningkatan persentase dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) untuk tingkat regional/daerah dan Produk Domestik Bruto (PDB) untuk tingkat nasional. PDRB merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah tertentu atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi selama periode

35 13 tertentu. Oleh karena itu, tingkat pertumbuhan ekonomi suatu wilayah dapat diperoleh melalui tingkat pertumbuhan nilai PDRB. Laju pertumbuhan ekonomi tersebut dapat dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut : PDRB it PDRB i( t 1) LP it 100%...(1) PDRB i( t 1) Dimana: LP = laju pertumbuhan ekonomi i = sektor 1,2, 9 t = tahun t Teori Pertumbuhan Neo-Klasik Teori pertumbuhan neo-klasik dimotori oleh Harrod-Domar dan Robert Solow. Harrod-Domar beranggapan bahwa modal harus dipakai secara efektif, karena pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh peranan pembentukan modal tersebut. Sedangkan Solow berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan rangkaian kegiatan yang bersumber pada manusia, akumulasi modal, pemakaian teknologi modern dan hasil atau output. Model pertumbuhan Solow inilah yang sangat memberikan kontribusi terhadap teori pertumbuhan neo-klasik. Pada intinya model ini merupakan pengembangan dari model pertumbuhan Harrod-Domar dengan menambahkan faktor tenaga kerja dan teknologi kedalam persamaan pertumbuhan. Dalam model pertumbuhan Solow, input tenaga kerja dan modal memakai asumsi skala yang terus berkurang (diminishing returns) jika keduanya dianalisis secara terpisah, sedangkan jika keduanya dianalisis secara bersamaan memakai asumsi skala hasil tetap (constant returns to scale) (Todaro dan Smith, 2006). Kunci bagi model pertumbuhan neo-klasik adalah agregat fungsi produksi. Dalam perekonomian yang tidak ada pertumbuhan teknologi, pendapatan dapat ditentukan dari besarnya modal dan tenaga kerja. Berdasarkan variabel dalam fungsi produksi ini ada dua model pertumbuhan yaitu model pertumbuhan tanpa perkembangan teknologi dan model pertumbuhan dengan perkembangan teknologi.

36 14 A. Model Pertumbuhan Tanpa Perkembangan Teknologi Dalam model ini, fungsi produksi secara umum dapat dituliskan sebagai: Y t = f (K t, L t ).. (2) Bentuk spesifik dari hubungan ini dikenal sebagai fungsi produksi Cobb-Douglas. Fungsi produksi Cobb-Douglas dapat dituliskan sebagai: Y = AK L..(3) dengan Y adalah pendapatan riil, K adalah stok modal, L adalah tenaga kerja, t merupakan subscript untuk waktu, α dan β adalah elastisitas output terhadap modal dan tenaga kerja. Pendapatan akan meningkat bila setiap tenaga kerja mendapat modal peralatan yang lebih banyak dan proses ini disebut capital deepening. Tetapi tidak dapat terus-menerus meningkat tanpa adanya pertumbuhan teknologi karena modal (seperti juga tenaga kerja) akhirnya akan meningkat dengan pertumbuhan yang semakin berkurang (diminishing return). B. Model Pertumbuhan dengan Perkembangan Teknologi Model neo-klasik tanpa perkembangan teknologi dirasa kurang relalistis. Supaya lebih realistis maka ditambahkan faktor perkembangan teknologi yang dapat memengaruhi pertumbuhan pendapatan. Cara yang paling umum adalah memasukkan perkembangan teknologi sebagai elemen dalam fungsi produksi. Modal dan tenaga kerja diasumsikan dapat mengambil keuntungan dari adanya perkembangan teknologi. Fungsi produksi dengan perkembangan teknologi menurut Solow (1965) yaitu sebagai berikut: Y t = f (At, K t, L t ).. (4) Dimana A adalah perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi dapat dikatakan tidak melekat dalam model karena tidak tergantung dari masukan modal dan tenaga kerja. Jika diasumsikan perkembangan teknologi meningkat secara halus sepanjang waktu (tingkat pertumbuhan tetap), maka fungsi produksi Cobb- Douglas menjadi : Y = Ae K L.. (5) dengan g adalah pertumbuhan dari perkembangan teknologi per periode waktu t. Representasi ini merupakan penyederhanaan dengan mengabaikan kemungkinan terjadi perkembangan teknologi melalui investasi. Sebagai tambahan, tenaga kerja dapat juga menjadi lebih terampil sehingga dapat menaikkan efisiensi dan dalam

37 15 kasus ini (seperti juga modal) dianggap bersifat tidak homogen. Asumsi lain yang digunakan model ini adalah sistem perekonomian berdasarkan pasar berkompetisi sempurna dengan faktor harga yang fleksibel serta sumber daya pada kesempatan kerja penuh. Untuk melinearkan persamaan (5) maka dilakukan transformasi dalam logaritma natural (ln) kemudian dideferensialkan terhadap waktu maka didapat pertumbuhan pendapatan dan dinyatakan sebagai: y = g + αk + βl..(6) dengan : y = pertumbuhan pendapatan (misalnya dalam periode satu tahun) k = pertumbuhan stok modal l = pertumbuhan tenaga kerja. Notasi y, k, dan l di sini menunjukkan tingkat pertumbuhan dari Y, K dan L. Konstanta α dan β menyatakan elastisitas pendapatan terhadap modal dan tenaga kerja. Berdasarkan model pertumbuhan neo-klasik dengan perkembangan teknologi memberi landasan yang cukup untuk menunjukkan adanya faktor yang berperan dalam menjelaskan perbedaan pertumbuhan regional. Dengan mengubah persamaan 6 ke dalam model pertumbuhan regional maka akan terlihat bahwa perbedaan dapat terjadi karena: Perbedaan perkembangan teknologi antar wilayah. Pertumbuhan stok modal yang mungkin berlainan antar wilayah. Pertumbuhan tenaga kerja dapat juga berlainan antar wilayah. Dengan menghilangkan subskrip waktu (t) maka persamaan pertumbuhan untuk masing-masing wilayah dapat dinyatakan sebagai : y = g + αk + βl..(7) dengan r menyatakan wilayah tertentu. Sehingga g r dapat dibaca sebagai tingkat perkembangan teknologi di wilayah r yang nilainya untuk tiap wilayah dapat berlainan, paling tidak untuk jangka pendek Teori Pertumbuhan Endogen Model pertumbuhan endogen dikembangkan untuk memperbaiki teori pertumbuhan ekonomi neo-klasik. Model pertumbuhan neo-klasik berargumen

38 16 bahwa pertumbuhan output didorong oleh tingkat perkembangan teknologi. Tanpa perkembangan teknologi, tidak akan ada pertumbuhan jangka panjang. Tetapi karena penyebab perkembangan teknologi tidak diidentifikasi dalam model Solow, maka hal yang mendasari pertumbuhan tidak dijelaskan. Solow menganggap bahwa teknologi sebagai faktor eksogen dalam proses pertumbuhan (Capello, 2007). Dengan demikian model Solow tidak memperdulikan bagaimana mendorong kemajuan teknologi melalui proses belajar (learning by doing), investasi dalam penelitian dan akumulasi pengetahuan. Maka dari itu pengembangan teori pertumbuhan endogen berawal dari penolakan premis bahwa teknologi yang memberi sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi bersifat eksogen. Teori pertumbuhan endogen pada awalnya berkembang dalam dua cabang pemikiran yang bertumpu pada pentingnya sumber daya manusia sebagai kunci utama dalam perekonomian, yaitu: 1. Pemikiran yang percaya bahwa knowledge stock adalah sumber utama bagi peningkatan produktivitas ekonomi. 2. Pemikiran yang menekankan pada pentingnya learning by doing dan human capital dengan introduksi hal-hal baru (yang bersifat eksternal) dalam perekonomian merupakan faktor pendorong bagi peningkatan produktivitas perekonomian. Pemikiran yang pertama diangkat dan dikembangkan oleh Romer (1986). Dalam mengembangkan teorinya Romer menempatkan stok pengetahuan sebagai salah satu faktor produksi yang semakin meningkat. Sehingga tingkat pertumbuhan dapat terus ditingkatkan sesuai dengan kemampuan masing-masing negara untuk meningkatkan dan menciptakan stok pengetahuan. Oleh karena itu negara maju dengan kemampuan menciptakan pengetahuan yang lebih cepat dibandingkan dengan negara miskin akan mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dibanding dengan negara miskin. Hal ini sekaligus menolak teori konvergensi dari neo-klasik. Dalam model Romer, pertumbuhan jangka panjang sangat ditentukan oleh akumulasi pengetahuan para pelaku ekonomi. Dengan demikian variabel modal dalam pertumbuhan agregat neo-klasik sekarang sudah memperhitungkan unsur akumulasi pengetahuan. Tiga elemen utama dalam model Romer yaitu :

39 17 1. Adanya unsur eksternalitas, sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan. 2. Adanya peningkatan skala hasil yang semakin meningkat, yang menyebabkan peningkatan spesialisasi dan pembagian kerja. 3. Semakin pendeknya waktu pemanfaatan ilmu pengetahuan, karena pesatnya perkembangan di sektor riset. Secara umum model Romer dirumuskan sebagai berikut: Y = K L K dengan 0 < α < 1; 0 < β < 1..(8) Dimana: Y i adalah output produksi perusahaan i, K i adalah stok modal, L i adalah tenaga kerja, dan K adalah stok pengetahuan/teknologi (technical knowledge) agregat. K diasumsikan mempunyai efek menyebar yang positif terhadap produksi setiap perusahaan. Pemikiran kedua (teori learning) dikemukakan oleh Lucas (1988) melalui model akumulasi human capital. Teori learning memasukkan unsur ekstemalitas yang terkandung dalam peningkatan kapital pada proses produksi. Peningkatan kapital akan meningkatkan stok public knowledge, sehingga secara keseluruhan proses produksi dalam skala yang bersifat increasing return to scale. Akumulasi modal manusia dapat dilakukan melalui pendidikan formal maupun bukan jalur pendidikan formal (on the job traning). Lucas berpendapat bahwa ekstemalitas yang dihasilkan oleh investasi dalam pendidikan umum (termasuk kegiatan produksi) serta investasi dalam beberapa kegiatan tertentu inilah yang menyebabkan proses bersifat learning by doing. Model yang dikembangkan oleh Lucas menggunakan dua jenis modal, yaitu modal fisik dan modal manusia. Rumusan yang digunakan Lukas adalah sebagai berikut: Y = AK (u H L ) H..(9) Dimana: Yt adalah output produksi, A adalah konstanta, K adalah stok modal, L adalah tenaga kerja, u adalah waktu yang digunakan untuk pekerja untuk berproduksi, H adalah kualitas dari human capital yang merupakan rata-rata banyaknya pengetahuaan yang dimiliki oleh pekerja. Dengan H t yang meningkat sejalan dengan u t maka fungsi produksi akan bersifat increasing return to scale dimana H t bersifat eksternal yang bergantung pada tingkat ketrampilan rata-rata tenaga kerja dalam perusahaan tersebut.

40 Teori Geografi Ekonomi Baru (New Economic Geography) Teori ekonomi geografi baru berupaya untuk menurunkan efek-efek aglomerasi dari interaksi antara besarnya pasar, biaya transportasi dan increasing return dari perusahaan. Dalam hal ini ekonomi aglomerasi tidak diasumsikan tetapi diturunkan dari interaksi ekonomi skala pada tingkat perusahaan, biaya transportasi dan mobilitas faktor produksi. Teori ekonomi geografi baru menekankan pada adanya mekanisme kausalitas sirkular untuk menjelaskan konsentrasi spasial dari kegiatan ekonomi (Krugman, 2008). Dalam model tersebut kekuatan sentripetal berasal dari adanya variasi konsumsi atau beragamnya intermediate good pada sisi produksi. Kekuatan sentrifugal berasal dari tekanan yang dimiliki oleh konsentrasi geografis dari pasar input lokal yang menawarkan harga lebih tinggi dan menyebarnya permintaan. Jika biaya transportasi cukup rendah maka akan terjadi aglomerasi. Krugman (2008) berasumsi bahwa jika ada barang berbeda sejumlah n dan komsumen menyenangi produk yang bervariasi, dapat dirumuskan dalam fungsi: n U = v(ci)..(10) i=1 Dari fungsi ini, Krugman menjelaskan bahwa perbedaan harga antar barang membuat konsumen lebih memilih untuk mengkonsumsi lebih dari satu jenis barang. Oleh karena itu, semakin banyak barang diproduksi di satu pabrik yang sama, biaya produksi yang harus dikeluarkan akan semakin rendah. Akibatnya, pabrik baru akan memasuki pasar dengan menambah variasi produknya. Dengan kata lain, biaya produksi dapat ditekan jika unit produksi mencapai jumlah tertentu. Meski demikian, biaya produksi juga dapat kembali meningkat jika jumlah barang produksi naik atau skala ekonomi tidak lagi tercapai. Agar skala ekonomi meningkat, sebuah pabrik baru akan mencari negara lain yang mampu mendukung keberadaan unit produksi dalam jumlah yang besar. Dengan dukungan kemajuan teknologi, transportasi, dan informasi, pabrik tersebut akan memindahkan proses produksinya dengan mudah. Inilah yang akan mendorong migrasi tenaga kerja.

41 19 Krugman (2008) mengungkapkan bahwa ada kecenderungan pekerja bermigrasi ke wilayah pusat pekerja terbesar yang akhirnya akan menciptakan variasi produk yang sangat beragam. Dengan kata lain, konsentrasi terjadi dalam hal barang dan jasa yang diproduksi maupun lokasi barang tersebut dibuat. Menurut Krugman perkotaan cenderung akan terspesialisasi dengan perindustrian. Berdasarkan skala ekonomi, industri-industri akan cenderung terkonsentrasi di kota-kota besar. Konsentrasi produksi pada satu wilayah tertentu (dalam hal ini wilayah perkotaan), memungkinkan skala ekonomi dapat terealisasi karena kedekatan lokasi dengan pasar akan meminimalisasi biaya transportasi (homemarket effect). Dalam model eksternalitas teknologi, transfer pengetahuan antar perusahaan memberikan insentif bagi aglomerasi kegiatan ekonomi. Informasi diperlakukan sebagai barang publik dengan kata lain tidak ada persaingan dalam memperolehnya. Difusi informasi ini kemudian menghasilkan manfaat bagi masing-masing perusahaan. Dengan mengasumsikan bahwa masing-masing perusahaan menghasilkan informasi yang berbeda-beda, manfaat interaksi meningkat seiring dengan jumlah perusahaan. Karena interaksi ini informal, perluasan pertukaran informasi menurun dengan meningkatnya jarak. Hal ini memberikan insentif bagi pengusaha untuk berlokasi dekat dengan perusahaan lain sehingga menghasilkan aglomerasi. Studi empiris tentang aglomerasi dan ekonomi aglomerasi telah banyak menarik perhatian peneliti. Pada umumnya berbagai studi mengkaitkan aglomerasi dan pertumbuhan ekonomi dalam pengertian pertumbuhan nilai tambah industri, pertumbuhan kesempatan kerja, pertumbuhan produkstivitas tenaga kerja. Adanya berbagai konsep tentang ekonomi aglomerasi dan teori yang mendasari berdampak terhadap perbedaan ukuran aglomerasi dan ekonomi aglomerasi yang digunakan dengan asumsi yang berbeda-beda. Walaupun teori geografi ekonomi baru menawarkan wawasan yang menarik mengenai kesenjangan geografis distribusi kegiatan ekonomi, pendekatan ini memiliki beberapa kelemahan yang berarti. Suatu kajian kritis atas munculnya kembali dimensi geografi dalam ilmu ekonomi menyimpulkan bahwa teori ini bukanlah pendekatan yang sama sekali baru dalam ilmu ekonomi dan geografi,

42 20 melainkan merupakan penemuan kembali teori lokasi tradisional dari ilmu regional (Martin 1999 dalam Kuncoro 2002) Teori Perdagangan Baru (New Trade Theory) Teori perdagangan baru menawarkan perspektif yang berbeda dengan yang ditawarkan teori ekonomi geografi baru dan teori neo-klasik. Teori perdagangan baru percaya bahwa sifat dasar dan karakter transaksi internasional telah sangat berubah dewasa ini di mana aliran barang, jasa, dan aset yang menembus batas wilayah antarnegara tidak begitu dipahami oleh teori-teori perdagangan tradisional. Perbedaan utama teori perdagangan baru dengan teori perdagangan yang lama yaitu mengenai asumsi persaingan tidak sempurna, constans returns to scale, pendapatan konstan, dan barang yang homogen berubah menjadi persaingan sempurna, increasing return to scale dan perbedaan produk. Teori perdagangan baru merupakan penyempurnaan teori yang lama dan dengan penambahan faktor-faktor lain yang lebih kompleks. Para pendukung teori perdagangan baru berpendapat bahwa ukuran pasar ditentukan secara fundamental oleh besar kecilnya angkatan kerja pada suatu negara, dan tenaga kerja pada dasarnya tidak mudah berpindah lintas negara. Mereka percaya bahwa penentu utama lokasi adalah derajat tingkat pendapatan yang meningkat dari suatu pabrik, tingkat substitusi antar produk yang berbeda, dan ukuran pasar domestik (Brulhart, 1998). Dengan berkurangnya hambatanhambatan perdagangan secara substansial, diperkirakan bahwa hasil industri yang meningkat akan terkonsentrasi dalam pasar yang besar (Krugman, 1980). Krugman dan Venables (1990) menunjukkan bahwa kecenderungan untuk berlokasi di dalam pasar yang lebih besar ternyata lebih kuat apabila biaya perdagangan tidak terlalu tinggi maupun terlalu rendah. Meskipun memiliki daya tarik, teori perdagangan baru juga memiliki beberapa kelemahan. Ottaviano dan Puga (1998) mengidentifikasi tiga kelemahan utama. Pertama, teori perdagangan baru sebagai mana teori tradisional, menjelaskan perbedaan struktur produksi melalui perbedaan karakteristik yang mendasari. Kedua, teori ini tidak menjelaskan mengapa perusahaan-perusahaan dalam sektor tertentu cenderung untuk berlokasi saling berdekatan, yang mendorong terjadinya spesialisasi regional. Ketiga, teori ini menunjukkan

43 21 perkembangan industri secara bertahap dan bersama-sama di semua negara berkembang. Padahal dalam kenyataannya, industrialisasi sering kali berupa gelombang industrialisasi yang sangat cepat, di mana industri menyebar secara berturutan dari negara yang satu ke negara lain Disparitas Regional Pendapatan penduduk tidak selalu merata, bahkan yang sering terjadi justru sebaliknya. Manakala pendapatan terbagikan secara merata kepada seluruh penduduk di wilayah tersebut, maka dikatakan distribusi pendapatannya merata, sebaliknya apabila pendapatan regional tersebut terbagi secara tidak merata (ada yang kecil, sedang dan besar) dikatakan ada ketimpangan dalam distribusi pendapatannya. Semakin besar perbedaan pembagian pendapatan regional tersebut berarti semakin besar pula ketimpangan distribusi pendapatan. Sjafrizal (2008), disparitas pembangunan ekonomi regional merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan sumber daya alam dan perbedaan kondisi demografi yang terdapat pada masing-masing wilayah. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan ekonomi juga menjadi berbeda. Oleh sebab itulah, tidak mengherankan bilamana pada setiap negara/ daerah biasanya terdapat wilayah maju dan wilayah terbelakang. Terjadinya ketimpangan antar wilayah ini membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah. Karena itu, aspek ketimpangan pembangunan antar wilayah ini juga meempunyai implikasi pula terhadap formulasi kebijakan pembangunan wilayah yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Menurut Sjafrizal (2008) upaya pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang dapat dilakukan dalam rangka penanggulangan ketimpangan pembangunan antar daerah dalam suatu negara atau wilayah yaitu: Penyebaran pembangunan prasarana perhubungan Mendorong transmigrasi dan migrasi spontan Pengembangan pusat pertumbuhan Pelaksanaan otonomi daerah

44 22 Teori pertumbuhan neo-klasik memprediksi hubungan antara tingkat pembangunan ekonomi nasional dan ketimpangan pembangunan antar wilayah. Hipotesis ini kemudian dikenal sebagai hipotesis neo-klasik. Dalam hipotesis neoklasik ketimpangan pembangunan pada permulaan proses cenderung meningkat. Proses ini akan terjadi sampai ketimpangan tersebut mencapai titik puncak. Setelah itu, bila proses pembangunan terus berlanjut, maka secara berangsurangsur ketimpangan pembangunan anatar wilayah tersebut akan menurun. Dengan kata lain ketimpangan pada negara berkembang relatif lebih tinggi, sedangkan pada negara maju ketimpangan tersebut relatif lebih rendah. Kurva ketimpangan pembangunan berbentuk U terbalik, seperti pada Gambar 3. Kurva Ketimpangan Regional 0 Sumber: Sjafrizal (2008) Gambar 3 Hipotesa Neo-klasik Tingkat Pembangunan Nasional Ketimpangan pada negara sedang berkembang relatif lebih tinggi karena pada waktu proses pembangunan baru dimulai, kesempatan dan peluang pembangunan yang ada umumnya dimanfaatkan oleh daerah-daerah yang kondisi pembangunannya sudah lebih baik sedangkan daerah yang masih terbelakang tidak mampu memanfaatkan peluang ini karena keterbatasan prasarana dan sarana serta rendahnya kualitas sumber daya manusia. Oleh sebab itulah, pertumbuhan ekonomi cenderung lebih cepat didaerah dengan kondisi yang lebih baik, sedangkan daerah yang terbelakang tidak banyak mengalami kemajuan. Sedangkan di negara yang sudah maju dimana kondisi yang lebih baik dari segi prasarana dan sarana serta kualitas sumber daya manusia, setiap kesempatan peluang pembangunan dapat dimanfaatkan secara lebih merata antar daerah. Oleh sebab itu, proses pembangunan pada negara maju cenderung mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah.

45 23 Penelitian tentang hipotesis neo-klasik dilakukan oleh Williamson (1965) melalui suatu studi tentang ketimpangan pembangunan antar wilayah pada negara maju dan negara sedang berkembang dengan menggunakan data time series dan cross section. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa hipotesis neo-klasik ternyata terbukti benar secara empirik. Fakta empirik ini menunjukkan bahwa peningkatan ketimpangan pembangunan yang terjadi di negara-negara sedang berkembang sebenarnya bukanlah karena kesalahan pemerintah atau masyarakatnya, tetapi hal tersebut terjadi secara natural diseluruh negara. Ukuran ketimpangan pembangunan antar wilayah yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya ketimpangan adalah indeks Williamson. Secara ilmu statistik, indeks ini sebenarnya adalah coefficient of variation yang lazim digunakan mengukur suatu perbedaan. Formulasi indeks Williamson untuk mengukur ketimpangan di Indonesia adalah sebagai berikut: I W i 2 ( y y) i y fi n..(11) I W y i y f i n = Indeks Williamson = PDRB per kapita di provinsi i = PDRB per kapita rata-rata di Indonesia = Jumlah penduduk di provinsi i = Jumlah penduduk di Indonesia Semakin kecil indeks Williamson menunjukkan ketimpangan yang semakin kecil pula atau dapat dikatakan semakin merata. Tetapi jika angka yang didapatkan besar maka indeks ini menggambarkan ketimpangan yang semakin lebar Infrastruktur Secara umum infrastruktur dapat didefinisikan sebagai fasilitas fisik dalam mengembangkan atau membangun kegunaan publik melalui penyediaan barang dan jasa untuk umum. Infrastruktur fasilitas dan jasa biasanya disediakan secara gratis atau dengan harga yang terjangkau dan terkontrol (Akatsuka dan Yoshida, 1999).

46 24 Sistem infrastruktur merupakan pendukung utama fungsi-fungsi sistem sosial dan sistem ekonomi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Sistem infrastruktur dapat didefinisiskan sebagai fasilitas-fasilitas atau struktur-struktur dasar, peralatan-peralatan, instalasi-instalasi yang dibangun dan yang dibutuhkan untuk berfungsinya sistem sosial dan sistem ekonomi masyarakat (Kodoatie, 2003). Infrastruktur merupakan komponen penting bagi kegiatan produksi dan dapat memengaruhi kegiatan ekonomi. Peningkatan fasilitas infrastruktur dapat mendorong perkembangan teknologi sehingga dapat dicapai efisiensi dalam kegiatan produksi. Dengan efisiensi maka akan menciptakan output dan kesempatan kerja lebih besar. Disisi lain, ketersediaan infrastruktur yang memadai dapat meningkatkan investasi daerah. Menurut Dornbusch et al. (2004) investasi merupakan komponen penting permintaan agregat. Investasi juga meningkatkan modal dan meningkatkan kapasitas produksi perekonomian. Pada akhirnya pembangunan infrastruktur dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Untuk lebih jelasnya, pengaruh pembangunan infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi dapat dinyatakan melalui skema pada Gambar 4. INFRASTRUKTUR (Jalan, Listrik, Air Bersih, Telepon, Pendidikan, Kesehatan) MENDORONG PERKEMBANGAN TEKNOLOGI MENINGKATKAN INVESTASI DAERAH MENINGKATKAN OUTPUT DAERAH OUTPUT PERTANIAN OUTPUT NON PERTANIAN MENINGKATKAN PERTUMBUHAN EKONOMI Sumber: Panggabean (2008) Gambar 4 Skema pertumbuhan ekonomi, investasi dan infrastruktur

47 25 Sementara itu World Bank (1994) membagi infrastruktur menjadi tiga, yaitu: 1. Infrastruktur ekonomi, merupakan infrastruktur fisik yang diperlukan untuk menunjang aktivitas ekonomi, meliputi public utilities (tenaga, telekomunikasi, air, sanitasi, gas), public work (jalan, bendungan, kanal, irigasi dan drainase) dan sektor transportasi (jalan, rel, pelabuhan, lapangan terbang dan sebagainya). 2. Infrastruktur sosial, meliputi pendidikan, kesehatan, perumahan dan rekreasi. 3. Infrastruktur administrasi, meliputi penegakan hukum, kontrol administrasi dan koordinasi. Infrastruktur juga dapat digolongkan menjadi infrastruktur dasar dan pelengkap. Infrastruktur dasar (basic infrastructure), meliputi sektor-sektor yang mempunyai karakteristik publik dan kepentingan yang mendasar untuk perekonomian lainnya, tidak dapat diperjualbelikan (non tradable) dan tidak dapat dipisah-pisahkan baik secara teknis maupun spasial. Contohnya jalan raya, rel kereta api, pelabuhan laut, drainase, bendungan, dan sebagainya. Sedangkan infrastruktur pelengkap (complementary infrastructure) misalnya gas, listrik, telepon dan pengadaan air minum. Infrastruktur dasar biasanya diselenggarakan oleh pemerintah karena sifatnya yang dibutuhkan oleh masyarakat luas. Namun dalam penyediaannya pemerintah dapat bekerja sama dengan badan usaha atau swasta. Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2005 tentang Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur, menjelaskan beberapa jenis infrasturktur yang penyediaannya diatur pemerintah, yaitu: infrastruktur transportasi, infrastruktur jalan, infrastruktur pengairan, infrastruktur air minum dan sanitasi, infrastruktur telematika, infrastruktur ketenagalistrikan, dan infrastruktur pengangkutan minyak dan gas bumi. Penggolongan infrastruktur tersebut dapat dikategorikan sebagai infrastruktur dasar, karena sifatnya yang dibutuhkan oleh masyarakat luas sehingga penyediaannya perlu diatur oleh pemerintah. Dengan melihat jenis-jenis infrastruktur yang banyak berhubungan dengan masyarakat, peranan pemerintah sangat penting dalam penyediaannya. Walaupun

48 26 pengadaan infrastruktur bisa dilakukan dengan kerja sama dengan badan usaha yang telah ditunjuk, tidak semua layanan infrastruktur bisa dilaksanakan oleh pihak swasta karena ada layanan infrastruktur yang memerlukan modal yang besar dengan waktu pengembalian yang lama dan resiko investasi yang besar Aglomerasi Terdapat beberapa teori yang berusaha mengupas tentang konsep aglomerasi. Istilah aglomerasi muncul pada dasarnya berawal dari ide Marshall tentang penghematan aglomerasi (agglomeration economies) atau dalam istilah Marshall disebut sebagai industri yang terlokalisir (localized industries). Agglomeration economies atau localized industries menurut Marshall muncul ketika sebuah industri memilih lokasi untuk kegiatan produksinya yang memungkinkan dapat berlangsung dalam jangka panjang sehingga masyarakat akan banyak memperoleh keuntungan apabila mengikuti tindakan mendirikan usaha disekitar lokasi tersebut. Montgomery (1988) mendefinisikan penghematan aglomerasi sebagai penghematan akibat adanya lokasi yang berdekatan (economies of proximity) yang diasosiasikan dengan pengelompokan perusahaan, tenaga kerja, dan konsumen secara spasial untuk meminimisasi biaya-biaya seperti biaya transportasi, informasi dan komunikasi. Aglomerasi merupakan suatu lokasi yang tidak mudah berubah akibat adanya penghematan eksternal yang terbuka bagi semua perusahaan yang letaknya berdekatan dengan perusahaan lain dan penyedia jasajasa, dan bukan akibat kalkulasi perusahaan atau para pekerja secara individual (Kuncoro, 2002). Selanjutnya dengan mengacu pada beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa aglomerasi merupakan konsentrasi dari aktivitas ekonomi dan penduduk secara spasial yang muncul karena adanya penghematan yang diperoleh akibat lokasi yang berdekatan. Selanjutnya menurut McCann (2006) jenis sumber aglomerasi ekonomi dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: Information Spillovers. Jika banyak perusahaan pada industri yang sejenis beraglomerasi pada lokasi yang sama maka pekerja pada perusahaan tertentu secara relatif mudah berhubungan dengan pekerja-pekerja dari perusahaan lokal lain. Dengan

49 27 demikian, pertukaran informasi baik antar pekerja maupun antar perusahaan akan berlangsung setiap saat. Non-traded local inputs. Pada situasi dimana perusahaan-perusahaan dalam industri yang sejenis mengelompok di satu tempat maka ada beberapa input tertentu yang menjadi lebih efisien jika digunakan secara bersama-sama oleh pekerja di perusahaanperusahaan tersebut dibandingkan jika input tersebut dibeli secara individu oleh perusahaan-perusahaan tersebut. Local skilled-labour pool. Ketersediaan tenaga kerja terampil di wilayah tersebut akan menyebabkan turunnya biaya tenaga kerja bagi perusahaan-perusahaan di lokasi tersebut. Keuntungan atau penghematan yang diperoleh dari perusahaan-perusahan yang berkumpul pada lokasi yang terkonsentrasi dapat dikategorikan sebagai berikut (Capello, 2007): Keuntungan internal untuk perusahaan, juga disebut economies of scale. Disebabkan proses produksi dalam skala besar sehingga berdampak menurunkan biaya per unit output (menurunkan average cost). Untuk mendapatkan keuntungan dari produksi skala besar, perusahaan berkonsentrasi pada semua pabrik di suatu lokasi yang sama. Keuntungan dalam kategori ini berasal bukan dari kedekatannya dengan perusahaan lain, tetapi murni dari konsentrasi aktivitas di lokasi tersebut. Keuntungan eksternal untuk perusahaan tetapi internal untuk sektor, atau disebut juga localization economies. Disebabkan karena di daerah padat penduduk perusahaan-perusahaan beroperasi pada sektor yang sama. Sedangkan skala ekonomis bergantung pada ukuran dari perusahaan atau pabrik-pabrik tersebut, localization economies ditentukan oleh ukuran dari sektor di wilayah tersebut, dengan berbagai pilihan terhadap tenaga kerja yang terampil dan specific managerial serta keahlian teknis yang tersedia. Penghematan eksternal untuk perusahaan dan eksternal untuk sektor, atau disebut juga urbanization economies.

50 28 Disebabkan oleh kepadatan yang tinggi dan berbagai kegiatan produktif dan pemukiman di suatu daerah, kondisi yang melambangkan daerah perkotaan. Keuntungan dalam kategori ini bertambah lagi dengan adanya modal tetap sosial dalam skala besar (infrastruktur transportasi perkotaan, sistem telekomunikasi canggih) dan luas, intermediate diversifikasi dan pasar barang. Keuntungan ini meningkat seiring peningkatan ukuran fisik kota. Aglomerasi merupakan proses yang lebih kompleks jika dibandingkan kluster industri. Tiga jenis ukuran yang membedakannya yaitu: skala (zise), spesialisasi (specialisation) dan keanekaragaman (diversity) (Kuncoro, 2002). Skala dan keanekaragaman memainkan peran penting dalam pembentukan dan pertumbuhan aglomerasi. Sedangkan berbagai literatur mengenai kluster industri menegaskan bahwa ciri utama dari suatu kluster adalah spesialisasi sektoral dalam daerah yang berdekatan. Ukuran yang pertama yaitu skala. Skala ekonomi diinterpretasikan sebagai variabel kunci baik oleh teori ekonomi geografi baru maupun teori perdagangan baru. Kedua teori ini berpendapat bahwa industri yang terkonsentrasi secara geografis adalah akibat skala ekonomi. Pengukuran skala ekonomi (size) dapat diperoleh dari rata-rata ukuran pabrik yang dilihat dari rata-rata jumlah pekerja produksi atau rata-rata nilai tambah. Ukuran pabrik dapat menyediakan informasi mengenai intensitas penggunaan faktor produksi dan perilaku lokasi pada industri tertentu: perusahaan kecil dengan fleksibilitasnya dalam menyesuaikan skala operasi dapat beroperasi bahkan pada wilayah yang terisolasi di mana infrastruktur masih terbelakang sementara perusahaan-perusahaan lndustri Besar Sedang (IBS) cenderung untuk mengelompok di dalam dan di sekitar wilayah kota metropolitan (Kuncoro, 2002). Ukuran yang kedua yaitu spesialisasi. Variabel yang dapat digunakan sebagai ukuran spesialisasi industri manufaktur yaitu indeks spesialisasi. Indeks spesialisasi ini merupakan ukuran untuk menentukan seberapa jauh suatu industri terkonsentrasi pada suatu wilayah (provinsi) dibanding industri yang sama di Indonesia. Indeks ini berdasarkan koefisien lokalisasi Hoover dan populer disebut location quotient (Hayter dalam Kuncoro, 2002). Peningkatan indeks untuk suatu daerah industri menunjukkan peningkatan spesialisasi industri dalam daerah

51 29 tersebut. Sebaliknya penurunan indeks untuk suatu daerah industri menunjukkan penurunan spesialisasi industri dalam daerah tersebut. Diyakini bahwa spesialisasi yang tinggi pada suatu industri di daerah tertentu dapat mempercepat pertumbuhan industri itu dalam wilayah tersebut. Hal ini berpangkal dari kenyataan bahwa pengetahuan yang diperoleh sebuah perusahaan dapat menguntungkan perusahaan lainnya, khususnya perusahaan yang masih dalam satu industri yang sarna. Sepanjang menyangkut perspektif regional, indeks spesialisasi dapat menyediakan: 1. Dasar pertimbangan awal dan bersifat sementara untuk mencari dan mendorong industri lebih lanjut. 2. Indikator apakah suatu daerah memenuhi kebutuhannya sendiri, mengimpor, atau mengekspor produk. Ukuran yang ke tiga yaitu keanekaragaman. Studi sebelumnya menunjukkan bahwa keanekaragaman mendorong eksplorasi dan mencegah stagnasi, sehingga berperan dalam penyebaran pengetahuan (knowledge spillover) dan pertumbuhan regional. Disisi lain, adanya keragaman menunjukkan terjadinya aglomerasi karena produk lebih heterogen (Kuncoro, 2002). Untuk mengukur keanekaragaman industri di suatu daerah dapat digunakan indeks Hirschman- Herfindahl (HHI) atau indeks Relative Industrial Diversity (RID). Jika nilai indeks minimum maka tingkat keanekaragaman industri di daerah tersebut tinggi. Sebaliknya, kenaikan indeks mencerminkan menurunnya keanekaragaman industri di daerah tersebut Tinjauan Empiris Pengaruh Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi Caning (1999) dalam penelitiannya menggunakan data panel periode dan unit observasinya 57 negara dengan model efek tetap dari fungsi produksi Cobb-Dauglas. Dengan asumsi harga relatif setiap jenis kapitas sama untuk setiap negara, studi ini menunjukkan elastisitas untuk telepon lebih tinggi dibandingkan infrastruktur lainnya yaitu 0,14. Sedangkan elastisitas untuk listrik hanya 0,04. Dalam penelitian ini juga diteliti elastisitas output terhadap masingmasing infrastruktur dengan unit observasi yang dikelompokkan menjadi negara

52 30 berpendapatan rendah dan negara berpendapatan tinggi. Studi ini juga menunjukkan bahwa pengadaan telepon di banyak negara masih kurang dan investasi pada jenis infrastruktur ini akan meningkatkan output. Sibarani (2002) dalam penelitiannya mengenai kontribusi infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, menyimpulkan bahwa infrastruktur (jalan, listrik, telepon) memberikan pengaruh yang signifikan dan positif terhadap agregat output yang diwakili oleh variabel pendapatan per kapita. Terlihat perbedaan kontribusi dari setiap jenis infrastruktur untuk setiap wilayah. Untuk estimasi dengan data semua provinsi di Indonesia hasil yang diperoleh yaitu besarnya elastisitas pendapatan per kapita terhadap listrik yaitu 0,057; pendidikan 0,067; investasi 0,013. Infrastruktur jalan dan telepon tidak signifikan. Sibarani juga menganalisis bahwa kebijakan pembangunan infrastruktur yang terpusat di pulau Jawa dan Indonesia Bagian Barat (IBB) menimbulkan disparitas pendapatan perkapita di masing-masing daerah di Indonesia, terutama antara pulau Jawa dan luar Jawa dan antara Indonesia Bagian Barat (IBB) dan Indonesia Bagian Timur (IBT), meskipun pada saat yang sama pertumbuhan ekonomi meningkat. Yanuar (2006) dalam penelitiannya tentang kaitan pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan output menggunakan analisis data panel 26 provinsi dengan model fixed effects menemukan modal fisik (physical capital), infrastruktur jalan, telepon, kesehatan dan pendidikan memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan output. Hasil dari estimasi semua provinsi dan total seluruh sektor di Indonesia diperoleh elastisitas output terhadap masing-masing variabel yaitu: listrik -0,004; jalan 0,161; telepon 0,160; kesehatan 0,457; pendidikan 0,179; modal fisik 0,027. Kesenjangan yang terjadi antar daerah dan wilayah menurut Yanuar dapat disebabkan oleh kesenjangan stok infrastruktur dan besaran produktivitas infrastruktur terhadap output. Pemerintah dalam kaitan ini perlu melakukan kebijakan prioritas pembangunan infrastruktur berdasarkan besaran produktivitasnya. Peran swasta dalam pembangunan infrastruktur diharapkan dapat dilakukan pada jenis infrastruktur tertentu.

53 Pengaruh Aglomerasi terhadap Pertumbuhan Ekonomi Sjoholm (1999) melakukan studi tentang peran karateristik regional dan investasi langsung terhadap pertumbuhan produktivitas industri manufaktur di Indonesia. Studi tersebut menyimpulkan bahwa karateristik pada tingkat kabupaten tampaknya lebih mampu menjelaskan pertumbuhan produktivitas daripada tingkat provinsi. Pada tingkat kabupaten struktur industri yang terdiversifikasi lebih dapat meningkatkan pertumbuhan produktivitas secara berarti. Studi ini tidak menemukan perusahaan atau industri di tingkat kabupaten yang terspesialisasi atau yang kompetisinya tinggi mewujudkan pertumbuhan produktivitas yang tinggi. Nuryadin (2007) dalam penelitiannya yang terkait dengan aglomerasi dan pertumbuhan ekonomi bertujuan menganalisis dampak dari aglomerasi terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini menggunakan data dari 26 provinsi mulai dari tahun 1993 sampai 2003 dan dengan metode GLS untuk mengestimasi data panel. Variabel tidak bebas yang digunakan dalam model yaitu pertumbuhan ekonomi, sedangkan variabel bebasnya yaitu aglomerasi, tenaga kerja, tingkat inflasi, tingkat perdagangan, dan human capital. Hasil yang ditemukan dari peneitian tersebut yaitu pertumbuhan ekonomi regional pada periode 1993 sampai 2003 dipengaruhi oleh tenaga kerja, tingkat inflasi, dan tingkat perdagangan. Sedangkan, human capital dan aglomerasi tidak memengaruhi pertumbuhan ekonomi regional Pengaruh Infrastruktur Transportasi dan Aglomerasi terhadap Pertumbuhan Ekonomi Shi (2009) dalam penelitiannya yang berjudul An empirical study on the regional economic impacts of transport infrastructure for China bertujuan menginfestigasi hubungan antara pembangunan infrastruktur transportasi, penghematan karena aglomerasi dan pertumbuhan ekonomi di Cina dengan sudut pandang new economic geography. Metodologi yang digunakan didasarkan pada estimasi model Cobb-Douglas yang menggabungkan variabel perusahaan mikro dengan ukuran dari karakteristik regional mengenai pembangunan infrastruktur dan aglomerasi industri. Hasil dari penelitian Tuo Shi yaitu tingkat output dari setiap perusahaan dipengaruhi oleh penghematan aglomerasi yang terdiri atas

54 32 akses kepada pusat pasar, penghematan lokalisasi dan penghematan urbanisasi. Infrastruktur transportasi juga berperan dalam peningkatan output perusahaan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Aglomerasi Industri Kim (1995) menguji sejauh mana lokalisasi industri terkonsentrasi, dapat dijelaskan melalui regresi lokalisasi yang diukur dengan skala ekonomi dan faktor-faktor produksi. Ukuran yang digunakan untuk mengukur pentingnya faktor-faktor produksi yaitu intensitas bahan baku yang merupakan biaya bahan baku dibagi dengan nilai tambah pada industri manufaktur. Sedangkan ukuran skala (ukuran pabrik) dihitung dengan pendekatan rata-rata pekerja produksi, sebagaimana dalam model Heckscher-Ohlin. Hasil analisis menunjukkan dukungan terhadap model empiris dimana spesialisasi regional dapat dijelaskan oleh skala ekonomi (plant size), resource yang digunakan (raw material intensity), dummy industri, dan dummy waktu. Kuncoro dan Wahyuni (2009) dalam penelitiannya yang terkait dengan dinamika dan kekuatan aglomerasi bertujuan menganalisis bagaimana dampak dari investasi asing terhadap terjadinya konsentrasi industri dan faktor-faktor apa saja yang memengaruhi terjadinya aglomerasi industri manufaktur. Metodologi yang digunakan yaitu regresi data panel dengan menggunakan unit data kabupaten/kota di Pulau Jawa pada tahun Variabel aglomerasi yang merupakan variabel tidak bebas dalam penelitian ini didekati dengan indeks spesialisasi regional. Hasil yang diperoleh dari penelitiannya yaitu variabelvariabel spesifik industri (skala ekonomi, kandungan import, biaya tenaga kerja, orientasi ekspor dan path dependency) memengaruhi spesialisasi regional secara signifikan. Demikian juga variabel pendapatan regional per kapita sebagai variabel spesifik regional mampu menjelaskan spesialisasi regional dengan baik. Variabel kepemilikan modal asing dan indeks persaingan dalam penelitian ini tidak berpengaruh secara statistik Kerangka Pemikiran Keberhasilan pembangunan ekonomi di Indonesia masih meninggalkan masalah berupa disparitas regional. Sumber daya yang ada masih belum merata dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat sehingga masih ada daerah yang

55 33 termasuk kategori miskin dan yang kaya. Ketimpangan yang terjadi dapat menimbulkan beban ekonomi dan sosial yang tinggi. Hal ini disebabkan kemampuan masing-masing daerah untuk tumbuh dan berkembang yang bervariasi dan sangat ditentukan oleh berbagai faktor ekonomi yang dimiliki oleh suatu wilayah. Pembangunan ekonomi suatu wilayah dapat dianalisis melalui tingkat pertumbuhan ekonominya, dimana perkembangannya ditentukan oleh kapasitas output produksi yang dihasilkan wilayah tersebut. Sementara itu kapasitas output produksi sangat ditentukan oleh akumulasi modal atau investasi yang dilakukan, produktivitas tenaga kerja, serta penggunaan teknologi dalam kegiatan ekonomi. Salah satu bentuk pemanfaatan investasi publik adalah pembangunan pelayanan infrastruktur yang menunjang kegiatan ekonomi baik infrastruktur ekonomi, infrastruktur sosial, maupun infrastruktur administrasi. Pembangunan infrastruktur yang beragam dan bervariasi baik kuantitas maupun kualitasnya di setiap provinsi di Indonesia membawa pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di masing-masing wilayah, yang bisa digunakan untuk menganalisis masalah disparitas yang terjadi. Disparitas regional juga disebabkan adanya konsentrasi industri manufaktur yang tidak merata. Industri manufaktur merupakan sektor yang strategis yaitu sektor yang dapat mendorong sektor lainnya. Oleh karena itu, peningkatan industri manufaktur diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi masing-masing wilayah di Indonesia. Dalam rangka peningkatan industri manufaktur dapat dilakukan dengan penciptaan aglomerasi industri manufaktur, karena manfaat atau keuntungan dari penghematan aglomerasi akan meningkatkan efisiensi dan pada akhirnya peningkatan daya saing dari industri manufaktur tersebut. Oleh sebab itu perlu dilakukan analisis terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia dan melihat besarnya pengaruh pembangunan infrastruktur dan aglomerasi industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia. Infrastruktur yang diteliti terdiri atas infrastruktur: panjang jalan, energi listrik dan sumber daya air bersih. Sedangkan aglomerasi industri

56 34 manufaktur diwakili dengan variabel indeks spesialisasi dari tenaga kerja industri manufaktur. Tingkat produktivitas tiap infrastruktur dicerminkan oleh nilai elastisitas dari ketersediaan infrastruktur terhadap perekonomian. Semakin besar nilai elastisitas menunjukkan infrastruktur tersebut semakin produktif meningkatkan perekonomian. Layanan infrastruktur yang buruk, dilihat dari kualitas dan kuantitasnya, berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi, sebaliknya semakin efektif (optimal) layanan infrastruktur tersebut dimanfaatkan maka akan memberikan rate of return yang tinggi (Yanuar, 2006). Dalam rangka penciptaan aglomerasi industri manufaktur perlu dikaji dinamika aglomerasi industri manufaktur di Indonesia. Perkembangan industri manufaktur yang pesat di Indonesia ternyata masih terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Sumatera. Melalui penelitian ini juga akan dikaji faktor-faktor yang memengaruhi terciptanya aglomerasi industri manufaktur. Aglomerasi industri manufaktur dibatasi hanya industri berskala besar dan sedang. Berdasarkan uraian yang telah disampaikan, maka kerangka pemikiran pada penelitian ini dapat digambarkan melalui diagram flowchart pada Gambar 5.

57 35 Permasalahan: Fenomena disparitas regional Perbedaan laju pertumbuhan ekonomi Dampak infrastruktur dan aglomerasi industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi (Regresi data panel) Infrastruktur: - Jalan - Listrik - Air bersih Aglomerasi Industri: - Indeks spesialisasi Konsentrasi spasial aglomerasi industri manufaktur (SIG) Elastisitas Output terhadap infrastruktur dan Aglomerasi Industri Faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri (Regresi Data Panel) Strategi Penciptaan Aglomerasi Industri Strategi peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan disparitas regional terkait dengan pembangunan infrastruktur dan penciptaan aglomerasi industri Gambar 5 Diagram alur kerangka pemikiran

58 Hipotesis Penelitian Berdasarkan permasalahan, tujuan dan alur kerangka pemikiran di atas maka hipotesis dari penelitian ini adalah: 1. Terjadi peningkatan fasilitas infrastruktur, peningkatan konsentrasi aglomerasi industri manufaktur di beberapa daerah dan perubahan disparitas regional. 2. Meningkatnya penyediaan infrastruktur (jalan, listrik, air bersih) akan menyebabkan meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Demikian juga aglomerasi industri manufaktur (konsentrasi industri) akan memberikan pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan. 3. Faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya aglomerasi industri manufaktur dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu: kelompok spesifik industri (menggambarkan karakteristik perusahaan industri manufaktur) dan kelompok spesifik regional (menggambarkan karakteristik wilayah/ daerah). Pada kelompok pertama terdiri atas variabel: skala ekonomi, keanekaragaman industri, orientasi ekspor & impor, investasi asing, dan indeks persaingan industri manufaktur. Sedangkan pada kelompok kedua terdiri atas variabel: upah minimum regional, pendapatan daerah, dan tingkat pendidikan angkatan kerja.

59 III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber. Data yang akan digunakan merupakan data seluruh provinsi di Indonesia yang mencakup kurun waktu Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas: 1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000 seluruh provinsi yang dirinci menurut lapangan usaha (sektor), yang dipublikasikan oleh BPS. 2. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku seluruh provinsi yang dirinci menurut lapangan usaha, yang dipublikasikan oleh BPS. 3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000 seluruh kabupaten/kota, yang dirinci menurut lapangan usaha (sektor), yang dipublikasikan oleh BPS. 4. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku seluruh kabupaten/kota, yang dirinci menurut sektor, yang dipublikasikan oleh BPS. 5. Data Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atas dasar harga konstan 2000 seluruh provinsi, yang dipublikasikan oleh BPS. 6. Data kependudukan masing-masing provinsi di Indonesia yang didapatkan dari hasil Sensus Penduduk dan Survei Antar Sensus (SUPAS) yang diambil dari buku Statistik Indonesia BPS. 7. Data jumlah tenaga kerja yang dirinci menurut sektor dan tingkat pendidikan, bersumber dari BPS. 8. Data Industri Besar Sedang (IBS), bersumber dari BPS. 9. Data panjang jalan menurut kondisi jalan dan jenis permukaan, yang diambil dari publikasi Statistik Perhubungan BPS. 10. Data jumlah pelanggan listrik dan energi jual, yang diambil dari PT. PLN. 11. Data jumlah pelanggan dan volume air bersih yang disalurkan, bersumber dari BPS.

60 Data Upah Minimum Regional (UMR) setiap provinsi, bersumber dari BPS. 13. Sketsa Peta wilayah Indonesi per provinsi dan per kabupaten untuk melakukan analisis spasial yang bersumber dari BPS. 3.2 Metode Analisis Analisis Deskriptif Analisis deskriptif merupakan bentuk analisis sederhana yang bertujuan mendeskripsikan dan mempermudah penafsiran yang dilakukan dengan memberikan pemaparan dalam bentuk tabel, grafik, dan diagram. Fungsi analisis deskriptif adalah untuk memberikan gambaran umum tentang data yang telah diperoleh. Gambaran umum ini bisa menjadi acuan untuk melihat karakteristik data yang akan diteliti. Dalam penelitian ini analisis deskriptif digunakan untuk memberikan suatu gambaran secara umum mengenai kondisi sosial ekonomi di Indonesia dan karakteristik variabel-variabel yang terkait dalam penelitian. Variabel-variabel tersebut yaitu pertumbuhan ekonomi, infrastruktur, aglomerasi industri manufaktur dan disparitas antar daerah Analisis Spasial / Sistem Informasi Geografi (SIG) Analisis spasial secara sederhana dapat di artikan sebagai analisis yang menggunakan referensi keruangan (geografi). Setiap bagian dari analisis tersebut selain memberikan gambaran tentang suatu fenomena, juga selalu dapat memberikan informasi mengenai lokasi dan juga persebaran dari fenomena tersebut dalam suatu ruang (wilayah). Apabila dikaitkan dengan cara penyajian data, maka peta merupakan bentuk/cara penyajian analisis spasial yang paling tepat. Dalam penyajian data spasial diperlukan dukungan suatu Sistem Informasi Geografi (SIG). Menurut As-syukur (2006) SIG adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi atau dengan kata lain suatu SIG adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk menangani data yang bereferensi keruangan (spasial) bersamaan dengan seperangkat operasi kerja. Disamping itu,

61 39 SIG juga dapat menggabungkan data, mengatur data dan melakukan analisis data yang akhirnya akan menghasilkan keluaran yang dapat dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan pada masalah yang berhubungan dengan geografi. Tujuan analisis spasial pada penelitian ini adalah membuat peta tematik, yaitu peta yang akan memberikan gambaran suatu data atribut kedalam referensi geografi, misalkan: peta tematik nilai PDRB menurut provinsi di Indonesia, dan lain sebagainya. Analisis spasial juga digunakan untuk membuat peta yang akan memperlihatkan dinamika aglomerasi industri manufaktur di Indonesia. SIG bermanfaat untuk mengidentifikasi dimana industri manufaktur cenderung mengumpul dan membentuk aglomerasi. Aktivitas utama dalam prosedur standar untuk merancang dan menggunakan SIG pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Prosedur dan aktivitas utama dalam Sistem Informasi Geografi (SIG) PROSEDUR Mengumpulkan data Persiapan pengolahan data Konstruksi data dasar atau database Penelitian Spatial/ lokasi/ wilayah beserta analisisnya Visualisasi peta AKTIVITAS Pengumpulan data dan verifikasi data yang akan diteliti. Melakukan pengecekan kesesuaian identitas data dan peta. Mengklasifikasikan data dan menginterpetasikan data. Menyusun struktur data digital. Menetapkan struktur database Menetapkan prosedur yang digunakan dalam sistem Pemanggilan data berdasarkan lokasi Memetakan data berdasarkan variabel yang diteliti. Menemukan lokasi yang memenuhi kriteria. Mensimulasikan fenomena yang terjadi. Menampilkan peta tematik Menampilkan hasil teknik overlay peta Membuat laporan.

62 Regresi Data Panel Data yang dipergunakan dalam analisis ekonometrika dapat berupa data time series, data cross section, atau data panel. Data panel (panel data) merupakan gabungan data cross section dan data time series. Dengan kata lain, data panel merupakan unit-unit individu yang sama yang diamati dalam kurun waktu tertentu. Secara umum, data panel dicirikan oleh T periode waktu (t = 1,2,...,T) yang kecil dan n jumlah individu (i = 1,2,...,n) yang besar. Namun tidak menutup kemungkinan sebaliknya, yakni data panel terdiri atas periode waktu yang besar dan jumlah individu yang kecil. Regresi dengan menggunakan data panel disebut dengan model regresi data panel. Analisis secara terpisah, apakah cross section saja atau time series saja, akan memberikan beberapa kelemahan. Sebagai contoh untuk analisis pertumbuhan ekonomi suatu wilayah yang dilihat dari pertumbuhan PDRB, tingkat investasi dan tingkat konsumsi. Jika hanya menggunakan data cross section, yang diamati hanya pada satu titik waktu, maka perkembangan ekonomi wilayah-wilayah tersebut antar waktu tidak dapat dilihat. Di sisi lain, penggunaan model time series juga menimbulkan persoalan tersendiri melalui variabelvariabel yang diobservasi secara agregat dari satu unit individu sehingga mungkin memberikan hasil estimasi yang bias. Pendekatan data panel menggunakan informasi dari gabungan kedua pendekatan tersebut (cross section dan time series) sehingga akan meminimalisir kelemahan masing-masing pendekatan. Melalui analisis data panel, kita dapat menangkap perilaku sejumlah individu yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda dalam suatu rentang waktu yang terdiri atas unit-unit waktu yang juga berbeda. Heterogenitas antar individu maupun antar waktu digambarkan dalam model dengan intersep dan koefisien slope yang berbeda-beda. Nilai intersep dan koefisien slope yang berbeda-beda ini berasal dari pengaruh variabel yang tidak termasuk dalam variabel penjelas dalam persamaan regresi biasa. Menurut Baltagi (2005), beberapa keuntungan penggunaan data panel adalah sebagai berikut : 1. Data panel mampu mengakomodasi tingkat heterogenitas variabel-variabel yang tidak dimasukkan dalam model (unobserved heterogeneity),

63 41 2. Data panel mampu mengindikasikan dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diperoleh dengan data cross section murni atau time series murni, misalnya efek dari upah minimum, 3. Data panel mampu mengurangi kolinieritas antar variabel, 4. Data panel dapat menguji dan membangun model perilaku yang lebih kompleks, misalnya fenomena skala ekonomi dan perubahan teknologi, 5. Data panel dapat meminimalkan bias yang dihasilkan oleh agregasi individu karena unit data lebih banyak. Terdapat dua pendekatan dalam metode data panel, yaitu Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (REM). Keduanya dibedakan berdasarkan ada atau tidaknya korelasi antara komponen error dan variabel bebas. Misalkan: y it = α i + X it β + ε it...(12) Pada one way error components model, komponen error dispesifikasikan dalam bentuk: ε it = λ i + u it..(13) Untuk two way error components model, komponen error dispesifikasi dalam bentuk: u..(14) Pada pendekatan one way, error term hanya memasukkan komponen error yang merupakan efek dari individu (λ i ). Pada two way dimasukkan efek dari waktu (µ t ) ke dalam komponen error. Jadi perbedaan antara FEM dan REM terletak pada ada atau tidaknya korelasi antara λ i dan µ t dengan X it. Uji yang digunakan dalam penentuan kedua metode ini adalah uji Hausman Fixed Effect Model (FEM) FEM digunakan bila ada korelasi antara komponen eror dengan variabel bebasnya. Oleh karena itu, komponen eror dari efek individu (λ i ) dan efek dari waktu (µ t ) dapat menjadi bagian dari intersep. Dengan dua pendekatan, dapat dinyatakan sebagai berikut: A. Untuk one way error component y it i t it it X u...(15) i i it it

64 42 B. Untuk two way error component y it X u...(16) i i t it it Penduga dalam FEM dapat dihitung dengan beberapa teknik sebagai berikut: 1. Pendekatan Pooled Least Square (PLS) Pendekatan ini menggunakan gabungan dari seluruh data (pooled), sehingga terdapat N x T observasi, dimana N menunjukkan jumlah unit cross section dan T menunjukkan jumlah series yang digunakan, yang diregresikan dengan model: y it X u..(17) i it it dimana α i bersifat konstan untuk semua observasi, atau α i = α. Formula perhitungannya adalah: ˆ y ˆ x..(18) N T 1 xit yit NT i 1 t 1 ˆ...(19) N T 1 2 xit NT i 1 t 1 1 Dimana x NT N T x it i 1 t 1 dan x it x it x Dengan mengkombinasikan semua data cross section dan data time series, data panel dapat meningkatkan derajat kebebasan sehingga dapat memberikan hasil estimasi yang lebih efisien, yaitu dengan varian: ˆ) var( u ) it var( N...(20) T 2 xit i 1 t 1 Pendekatan ini memiliki kelemahan yaitu dugaan parameter β akan bias. Hal ini ditunjukkan dari arah kemiringan PLS yang tidak sejajar dengan garis regresi dari masing-masing individu. Parameter yang bias ini disebabkan karena PLS tidak dapat membedakan observasi yang berbeda pada periode yang sama, atau tidak dapat membedakan observasi yang sama pada periode yang berbeda.

65 43 2. Pendekatan Within Group (WG) Pendekatan ini digunakan untuk mengatasi masalah bias pada PLS. Teknik yang digunakan adalah dengan menggunakan data deviasi dari rata-rata individu dimana: y T x T 1 y it i 1 T 1 i T x it i 1 Dalam hal ini x * it x it x it...(21)...(22)..(23) y * it dan y i y i it y ' i it x u i Jika y it = α i + x it β + u it, maka diperoleh: y it atau y * it y i *' it..(24)..(25) ' ( ) ( x x ) ( u u )...(26) i * it i it i it x u..(27) sehingga, N T 1 * * xit yit WG NT i 1 t 1 ˆ..(28) N T 1 * x 2 it NT i 1 t 1 Berdasarkan persamaan tersebut, FEM dengan pendekatan WG tidak memiliki intersep. Kelebihan dari WG ini adalah dapat menghasilkan parameter β yang tidak bias, tetapi kelemahannya adalah nilai var (β WG ) cenderung lebih besar dari var (β PLS ) sehingga dugaan WG menjadi relatif lebih tidak efisien. Untuk melihat hal ini dapat dibuktikan dengan: i S S xx w xx N T i 1 t 1 N T i 1 t 1 2 ( x x)..(29) it 2 ( x x )..(30) it i

66 44 S b xx N i 1 2 T ( x x)...(31) i sehingga dapat dilihat bahwa: S xx S S..(32) w xx b xx diketahui bahwa: 1 var( * T uit ) var( uit )...(33) T sehingga varians dari penduga β dengan pendekatan WG adalah: ˆ WG var( ) = var( u N T i 1 t 1 * it ) x 2 it var( u * ) it = b S xx S xx T 1 var( uit ) T = b S xx S xx...(34) Berdasarkan persamaan tersebut dapat dilihat bahwa var(β) pada WG lebih besar dari var(β) pada PLS. Kelemahan lain dari WG adalah tidak dapat mengakomodir karakteristik time-invariant pada FEM, seperti terlihat dari tidak dimasukkannya intersep ke dalam model. 3. Pendekatan Least Square Dummy Variable (LSDV) Metode ini bertujuan dapat merepresentasikan perbedaan intersep, yaitu dengan dummy variable. Untuk mengilustrasikan pendekatan ini misalkan persamaan awal seperti pada persamaan PLS dan kelompok dummy variable d git = 1 (g = i): y it x u i ' it it dengan memasukkan sejumlah d git = 1 (g = i), persamaan awal menjadi: y it 1it 2it N Nit ' it it..(35) 1 d 2d... d x u..(36) persamaan ini dapat diestimasi dengan pendekatan OLS sehingga diperoleh parameter β LSDV. Kelebihan pendekatan ini (LSDV) adalah dapat menghasilkan dugaan parameter β yang tidak bias dan efisien. Tetapi kelemahannya jika jumlah

67 45 unit observasinya besar maka terlihat cumbersome. Untuk menguji apakah intersep memang signifikan atau tidak dapat menggunakan F-test dengan hipotesis sebagai berikut: H 0 H 1 : α 1 = α 2 = α 3 =... = α N dan : satu dari α ada yang tidak sama Hipotesis ini dapat secara langsung digunakan untuk menguji apakah lebih baik menggunakan PLS atau LSDV. Dasar penolakan terhadap H 0 adalah dengan menggunakan F-statistik yaitu: 2 RDV R F 2 1 R DV 2 p NT N k N 1 dimana: R : koefisien determinasi LSDV R k 2 DV 2 p : koefisien determinasi PLS : banyaknya variabel..(37) Jika nilai F hasil pengujian lebih besar dari F-tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap hipotesis nol sehingga dugaan bahwa α adalah sama untuk semua individu dapat ditolak. 4. Two Way Error Components Fixed Effect Model Model ini disusun berdasarkan fakta bahwa terkadang fixed effects tidak hanya berasal dari variasi antar individu (time invariants) tetapi juga berasal dari variasi antar waktu (time effect) sehingga model dasar yang digunakan adalah: y it x u i t ' it Dimana γ t merepresentasikan time effect. it..(38) Jika masing-masing pengaruh individu (α i ) dan time-effect (γ t ) diasumsikan berbeda, sehingga dengan menambahkan sejumlah z sit = 1 dummy akan diperoleh persamaan: y it 1it 2it N Nit 2it T Tit ' it (s = t) variabel 1 d 2d... d 2 z... z x u..(39) Penambahan sejumlah dummy variable ke dalam persamaan menyebabkan masalah pada penggunaan two way fixed effect yaitu berkurangnya derajat kebebasan, yang pada akhirnya akan mengurangi efisiensi dari parameter yang diestimasi. it

68 Random Effect Model (REM) REM muncul ketika antara efek individu dan variabel bebas tidak ada korelasi. Asumsi ini membuat komponen eror dari efek individu dan waktu dimasukkan ke dalam eror, dimana: A. Untuk one way error component sebagai: y it X u...(40) i i B. Untuk two way error component sebagai: y it i i t it it it X u...(41) Beberapa asumsi yang biasa digunakan dalam REM yaitu: it E( / ) 0...(42) E u it i 2 2 ( u it / i ) u..(43) E( / ) 0..(44) i x it E..(45) 2 2 ( i / x it ) E( ) 0..(46) u it i Untuk i j dan t s E ( u u it js ) 0..(47) Untuk i j E( ) 0..(48) i j dimana: Utuk one way error component, τ i = λ i Untuk two way error component, τ i = λ i + µ i Dari semua asumsi tersebut, yang paling penting dalam REM adalah asumsi bahwa nilai harapan dari x it untuk setiap τ i adalah 0 atau E(τ i x it ) = 0. Untuk menghitung estimator REM, ada dua jenis pendekatan yang digunakan, yaitu: 1. Pendekatan Between Estimator Pendekatan ini berkaitan dengan dimensi antar data (differences between individual), yang ditentukan sebagaimana OLS estimator pada sebuah regresi dari rata-rata individu y dalam nilai x secara individu. Between estimator konsisten untuk N tak terhingga, dengan asumsi bahwa variabel bebas dengan eror tidak saling berkorelasi atau E (x it ε i = 0) begitu juga dengan nilai ratarata eror E (x it ε i = 0).

69 47 2. Pendekatan Generalized Least Square (GLS) Pendekatan GLS mengkombinasikan informasi dari dimensi antar dan dalam (between dan within) data secara efisien. GLS dapat dipandang sebagai ratarata yang dibobotkan dari estimasi between dan within dalam sebuah regresi. Bila bobot yang dihitung tersebut tetap, maka estimator yang diperoleh disebut random effects estimator. Dalam bentuk persamaan hal ini dapat dinyatakan sebagai berikut: RE = Between + (I k - ) Within...(49) Hausman Test Dalam memilih apakah fixed atau random effects yang lebih baik, dilakukan pengujian terhadap asumsi ada tidaknya korelasi antara variabel bebas dan efek individu. Untuk menguji asumsi ini dapat digunakan Hausman Test. Dalam uji ini dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H 0 : E(τ i / x it ) = 0 atau REM adalah model yang tepat H 1 : E(τ i / x it ) 0 atau FEM adalah model yang tepat Sebagai dasar penolakan H 0 maka digunakan statistik Hausman dan membandingkannya dengan Chi-Square. Statistik Hausman dirumuskan dengan: dimana: H = (β REM β fem ) (M FEM M REM ) -1 (β REM β fem ) ~ χ 2 (k) M : matriks kovarians untuk parameter β k : degrees of freedom..(50) Jika nilai H hasil pengujian lebih besar dari χ 2 tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H 0 sehingga model yang digunakan adalah model fixed effects, begitu juga sebaliknya. 3.3 Spesifikasi Model Dampak Pembangunan Infrastruktur dan Aglomerasi Industri terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional Model pertumbuhan ekonomi biasanya menggunakan fungsi produksi agregat sebagai modelnya, karenanya asumsi-asurnsi yang mendasari fungsi produksi berlaku pula dalam model pertumbuhan ekonomi. Fungsi produksi merupakan gambaran hubungan teknis antara input dan output. Dalam teori

70 48 mikro, dikenal beberapa bentuk fungsi produksi, antara lain fungsi produksi Cobb-Douglas, fungsi produksi Leontief, fungsi produksi constant elasticity of substitution (CES), dan fungsi produksi transcedental logarithmic (translog). Salah satu pertimbangan dalam pemilihan bentuk fungsi produksi adalah bentuk faktor substitusinya. Fungsi produksi Cobb-Douglas, secara apriori menganggap bahwa substitusi antar faktor produksi dengan mudah dapat dilakukan dan elastisitas substitusi antar faktor produksi dalam fungsi produksi Cobb-Doglas adalah satu. Fungsi produksi Leontief, menganggap bahwa substitusi antar faktor produksi tidak bisa dilakukan. Elastisitas substitusi antar faktor produksi dalam fungsi Leontief adalah nol. Fungsi produksi CES menganggap bahwa substitusi antar faktor produksi dengan mudah dapat dilakukan. Berbeda dengan dua jenis fungsi produksi di atas, elastisitas substitusi antar faktor produksi dalam fungsi produksi CES tidak dibatasi dengan 0 ataupun 1, tetapi nilainya konstan. Sedangkan fungsi produksi translog, merupakan fungsi produksi yang paling fleksibel. Fungsi produksi ini memungkinkan perubahan dalam nilai elastisitas substitusi. Model fungsi produksi ini adalah pendekatan bagi model pertumbuhan ekonomi yang menggunakan data panel dengan asumsi setiap individu atau unit mempunyai akses yang sama terhadap teknologi yang digambarkan dalam fungsi produksi bersama dengan melakukan standarisasi terhadap output dan faktor-faktor produksi yaitu dengan mengalikannya terhadap faktor efisiensi (faktor konversi skalar yang konstan dan spesifik untuk setiap faktor dan setiap unit) atau sering disebut dengan faktor augmentasi. Model yang digunakan untuk menganalisis dampak pembangunan infrastruktur dan aglomerasi industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia merupakan pengembangan dari fungsi produksi Cobb- Douglas. Alasan pemilihan fungsi produksi Cobb-Douglas berkaitan dengan kelebihannya yaitu: penyelesaiannya relatif mudah (mudah untuk ditransfer dalam bentuk linier), koefisien hasil estimasi merupakan elastisitas, dan penjumlahan dari elastisitas tersebut menunjukkan besarnya return to scale, serta fungsi produksi ini telah banyak digunakan dalam penelitian-penelitian untuk

71 49 mengestimasi output potensial suatu wilayah (Soekartawi, 1994). Formula umum fungsi produksi Cobb-Douglas yaitu sebagai berikut: Y = AK α L β...(51) Dalam penelitian ini, modal infrastruktur dan human capital merupakan input terhadap produksi agregat. Model ekonometri yang digunakan didasarkan pada model yang digunakan Canning (1999) dalam paper Infrastructure's Contribution to Aggregate Output, model ini juga digunakan oleh Bronzini dan Piselli (2006). Model tersebut adalah sebagai berikut: Y it = A it K α it H β it X γ it L δ it U it..(52) Dimana: Y adalah output, A adalah total factor productivity, K adalah stok modal, H adalah human capital, X adalah modal infrastruktur, L adalah tenaga kerja, dan U adalah error term. Sedangkan untuk i adalah indeks provinsi dan t adalah indeks waktu. Proses estimasi memerlukan persamaan dalam bentuk linier, oleh karena itu persamaan (52) ditransformasikan dalam logaritma natural yaitu sebagai berikut: ln Y it = ln A it + α ln K it + β ln H it + γ ln X it + δ ln L it + e it...(53) Y it merupakan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) provinsi i pada tahun t, K it merupakan stok modal provinsi i pada tahun t, H it adalah human capital provinsi i dan tahun t, X it adalah modal infrastruktur provinsi i pada tahun t, L it merupakan tenaga kerja provinsi i pada tahun t, sedangkan A adalah besarnya produktivitas atau parameter efisiensi daerah. Menurut beberapa peneliti (Khusaini, 2004), total factor productivity (A) dipengaruhi oleh keuntungan aglomerasi. Keuntungan aglomerasi adalah keuntungan yang diperoleh akibat berkumpulnya perusahaan pada tempat tertentu. Variabel aglomerasi dilambangkan dengan (IS), sehingga persamaannya menjadi: ln Y it = a it +α ln K it + β ln H it + γ ln X it + δ ln L it + θ ln IS it + e it...(54) Dalam penelitian ini variabel aglomerasi (IS it ) akan dekati dengan ukuran indeks spesialisasi. Sedangkan modal infrastruktur (X it ) dipecah menjadi infrastruktur jalan, listrik dan air bersih. Model juga akan ditambahkan dummy

72 50 krisis, tujuannya yaitu untuk melihat dampak dari krisis 1997 terhadap pertumbuhan output. Oleh karena itu, persamaan (54) dapat dituliskan secara lengkap sebagai berikut: ln Y it = a it +α ln K it + β ln H it + γ 1 ln JL it + γ 2 ln LS it + γ 3 ln AB it + θ 1 ln IS it + δ ln L it + θdk + e it..(55) Dari persamaan tersebut dapat dijelaskan definisi operasional dari masing-masing variabel sebagai berikut: 1. Variabel Y it merupakan output yang didekati dengan PDRB atas dasar harga konstan 2000 pada provinsi i dan tahun t (satuan juta rupiah). 2. Variabel K it adalah stok modal pada provinsi i dan tahun t (satuan juta rupiah). Stok modal dihitung dengan menggunakan metode Perpetual Inventory Method (PIM). Cara penghitungan dan hasilnya disampaikan pada Bab Variabel H it adalah human capital yang didekati dengan rata-rata lama sekolah (years of schooling) di provinsi i dan tahun t (satuan tahun). Pemilihan rata-rata lama sekolah didasarkan pada penelitian Barro dan Lee (1993). Rata-rata lama sekolah dihitung dari tingkat pendidikan terakhir pekerja, dimana tiap tingkat pendidikan disetarakan dengan jumlah tahun yang dibutuhkan untuk menempuh pendidikan tersebut (Tabel 3). Tabel 3 Rata-rata lama sekolah menurut tingkat pendidikan terakhir Jumlah Tahun Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SLTA Tamat D3 Tamat S JL it adalah panjang jalan total di provinsi i dan tahun t (satuan km). Panjang jalan merupakan gabungan jalan negara, provinsi, dan kabupaten/kota yang berada di provinsi tersebut. 5. LS it adalah energi listrik terjual di provinsi i dan tahun t (satuan GWh). Energi listrik terjual merupakan total energi listrik yang dikonsumsi seluruh kelompok pelanggan di provinsi tersebut. 6. AB it adalah jumlah air bersih yang disalurkan oleh PDAM di provinsi i dan tahun t (satuan m 3 ). Jumlah air bersih yang disalurkan merupakan total air bersih yang dikonsumsi seluruh kelompok pelanggan.

73 51 7. IS it adalah indeks spesialisasi industri manufaktur yang menggambarkan konsentrasi industri di provinsi i dan tahun t. Indeks ini dihitung dengan menggunakan data tenaga kerja Industri Besar Sedang (IBS). Rumus yang digunakan sebagai berikut: E E IS ir r ir E E.. (56) i Dimana, E ir adalah tenaga kerja IBS dalam suatu provinsi r, E r adalah total tenaga kerja pada provinsi r, E i adalah tenaga kerja IBS untuk seluruh provinsi di Indonesia; E adalah total tenaga kerja di Indonesia. 8. L it merupakan jumlah tenaga kerja yang bekerja di provinsi i dan tahun t (satuan orang). 9. DK merupakan dummy krisis yang digunakan untuk melihat dampak terjadinya krisis 1997 terhadap pertumbuhan output. Variabel dummy akan bernilai 0 untuk waktu sebelum krisis (tahun 1991 sampai 1997) dan bernilai 1 untuk masa krisis dan masa recovery (tahun 1998 sampai 2007). Dilihat dari sisi ekonometri pengguanaan dummy krisis digunakan untuk menangkap adanya perbedaan pada efek waktu. Penggunaan dummy krisis ini juga dilakukan oleh Amrullah (2006) Faktor-faktor yang Memengaruhi Aglomerasi Industri Manufaktur Analisis faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur dilakukan dengan menggunakan unit observasi 26 provinsi di Indonesia pada kurun waktu Variabel yang digunakan sebagai ukuran aglomerasi industri manufaktur yaitu indeks spesialisasi regional/ Location Quotient (LQ). Pemilihan indeks spesialisasi sebagai variabel tidak bebas didasarkan pada pertimbangan teori-teori ekonomi yang hendak diuji dan pertimbangan studi empiris sebelumnya (Kuncoro dan Wahyuni, 2009). Indeks spesialisasi regional merupakan ukuran untuk menentukan seberapa jauh suatu industri terkonsentrasi pada suatu daerah dibanding industri yang sama pada wilayah yang lebih besar. Indeks spesialisasi untuk provinsi r (IS ir ) dihitung dengan persamaan (56). Model yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur didasarkan pada model yang digunakan Kuncoro dan Wahyuni (2009). Variabel bebas yang digunakan terdiri

74 52 atas karakteristik industri (spesifik-industri) dan karakteristik regional (spesifikregional) yang ditambahkan dengan variabel tingkat pendidikan dari angkatan kerja seperti yang digunakan dalam model Chen et al. (2005). Dengan menggabungakan kedua model tersebut, maka model yang digunakan adalah sebagai berikut (semua variabel dalam logaritma natural): IS it = a it + α 1 ISZ it + α 2 RID it + α 3 FDI it + α 4 IPS it + α 5 EXI it + β 1 UMR it + β 2 GDP it + β 3 EDU it + γ DK + e it..(57) Dari persamaan (57) dapat dijelaskan definisi operasional dari masing-masing variabel yaitu sebagai berikut: 1. Variabel IS it merupakan indeks spesialisasi industri manufaktur provinsi i dan tahun t. Indeks spesialisasi menggambarkan adanya konsentrasi industri manufaktur. 2. Variabel ISZ it adalah ukuran perusahaan berdasarkan rata-rata jumlah pekerja produksi di provinsi i dan tahun t. Variabel ini digunakan untuk mendekati skala ekonomi perusahaan di daerah tersebut. Perusahaan dengan skala yang lebih besar akan cenderung berada pada wilayah yang terkonsentrasi. Demikian juga sebaliknya, perusahaan yang lebih kecil cenderung beroperasi pada daerah yang jauh dari sentra industri. 3. Sedangkan RID it atau indeks relative industrial diversity adalah ukuran yang digunakan untuk melihat keanekaragaman industri di provinsi i dan tahun t. Indeks ini dihitung dari penjumlahan kuadrat share jumlah tenaga kerja masing-masing provinsi untuk industri lainnya secara relatif dibandingkan dengan penjumlahan kuadrat share tenaga kerja total seluruh provinsi untuk industri lainnya. Rumus untuk penghitungan RID yaitu: RID = ( ) ( )...(58) Dimana L adalah tenaga kerja, i adalah provinsi, j adalah industri dua digit, h adalah industri dua digit lainnya, dan t adalah waktu. Semakin merata distribusi tenaga kerja di masing-masing provinsi antar industri, maka akan semakin kecil rasio kuadrat dari share tenaga kerja di tingkat provinsi terhadap nasionalnya. Dengan demikian rasio indeks yang kecil secara

75 53 relatif menunjukan tingkat keberagaman industri yang lebih besar pada masing-masing provinsi dibanding dengan nasional. 4. FDI it adalah investasi asing yaitu rata-rata persentase kepemilikan modal oleh swasta asing di provinsi i dan tahun t. Investasi asing dimungkinkan mendorong atau menghambat konsentrasi industri. 5. IPS it adalah indeks persaingan industri yang digunakan untuk mendekati struktur pasar di provinsi i dan tahun t. Indeks ini mengukur derajat persaingan perusahaan industri di suatu daerah, rumus yang digunakan yaitu: IPS = ( )...(59) ( ) Dimana firm menunjukan jumlah perusahaan dan output menunjukkan total produksi. Semakin tinggi IPS atau semakin besar rasio jumlah perusahaan terhadap output di tingkat provinsi terhadap nasionalnya maka akan semakin besar persaingan antar perusahaan di daerah tersebut karena jumlah perusahaan relatif lebih banyak. Dengan kata lain semakin tinggi nilai IPS maka struktur pasar di daerah tersebut semakin menuju persaingan sempurna. 6. EXI it adalah orientasi ekspor dan impor yaitu penjumlahan dari persentase output yang diekspor dan input yang dimpor di provinsi i dan tahun t. Variabel ini digunakan untuk melihat hubungan vertikal dalam konteks internasional dengan terkonsentrasinya industri di suatu daerah. 7. UMR it adalah upah minimum regional di provinsi i dan tahun t. Variabel ini digunakan untuk mengkaji dampak kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan biaya tenaga kerja terhadap terjadinya aglomerasi industri di suatu daerah. 8. GDP it adalah pendapatan daerah di provinsi i dan tahun t. Pendapatan didekati dengan besarnya PDRB. Variabel ini digunakan untuk proxy ukuran pasar di suatu daerah. Semakin besar pendapatan di suatu daerah maka menggambarkan pasar yang semakin besar. 9. EDU it merupakan tingkat pendidikan angkatan kerja di provinsi i dan tahun t. Tingkat pendidikan angkatan kerja dihitung dengan rata-rata lama sekolah dari angkatan kerja di daerah tersebut. Angkatan kerja yang dimaksud yaitu

76 54 penduduk usia 15 tahun yang bekerja dan pengangguran. Rata-rata lama sekolah dihitung dari tingkat pendidikan terakhir angkatan kerja, dimana tiap tingkat pendidikan disetarakan dengan jumlah tahun yang dibutuhkan untuk menempuh pendidikan tersebut (lihat Tabel 3). 10. DK merupakan dummy krisis yang digunakan untuk melihat dampak krisis 1997 terhadap aglomerasi industri manufaktur. Variabel dummy akan bernilai 0 untuk waktu sebelum krisis (tahun 1991 sampai 1997) dan bernilai 1 untuk masa krisis dan masa recovery (tahun 1998 sampai 2007). Penggunaan dummy krisis juga dilakukan dalam penelitian Kuncoro dan Wahyuni (2009). 3.4 Software Analisis yang Digunakan Dalam menyelesaikan penelitian ini, penulis menggunakan bantuan beberapa software untuk melakukan analisis data. Software tersebut adalah sebagai berikut: 1. Microsoft Excel 2007 Ms Excel merupakan perangkat lunak berbasis spreadsheet buatan Microsoft Corp. Software ini digunakan dalam pembuatan tabel, grafik dan beberapa pengolahan data. 2. EViews 6.0 EViews adalah program komputer yang digunakan untuk mengolah data statistik dan data ekonometri. Program EViews dibuat oleh Quantitative Micro Software. Software ini digunakan untuk analisis data panel. 3. Esri ArcView GIS ver. 3.3 ArcView GIS merupakan perangkat lunak yang digunakan untuk pembuatan dan manipulasi peta dalam bentuk layer. Dalam penelitian ini ArcView dimanfaatkan untuk pembuatan peta tematik dan analisis spasial perkembangan industri manufaktur. Software ini dikembangkan oleh Environmental System Research Institute (ESRI) New York.

77 IV. DINAMIKA DISPARITAS REGIONAL, PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN AGLOMERASI INDUSTRI MANUFAKTUR 4.1 Kondisi Umum Wilayah Penelitian Kondisi Geografi Aspek-aspek geografis yang meliputi posisi, susunan keruangan dan lokasi sangat menentukan langkah-langkah kebijakan dalam pembangunan ekonomi. Pengambilan keputusan ekonomi perlu mempertimbangkan keuntungan lokasi dan pengaruh ruang secara eksplisit agar keputusan yang diambil realistis dan tidak salah (Sjafrizal, 2008). Negara Indonesia sebagai negara kepulauan terdiri atas pulau, terletak antara ' Lintang Utara dan ' Lintang Selatan serta ' sampai dengan ' Bujur Timur. Oleh karena wilayah Indonesia dilalui garis khatulistiwa, maka keadaan iklimnya dipengaruhi oleh iklim tropis, hal ini menyebabkan keragaman sumber daya alam dan faktor produksi yang terkandung di dalamnya. Ketika Negara Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia hanya memiliki 8 provinsi, yaitu: Sumatra, Borneo (Kalimantan), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku dan Sunda Kecil (Otonomi, 2009). Pada masa pergerakan kemerdekaan hingga sekarang, Indonesia mengalami perubahan wilayah yang sangat pesat. Pada awal orde baru (tahun 1966), Indonesia telah memiliki 24 provinsi yang kemudian bertambah menjadi 26 hingga tahun Timor Timur menjadi provinsi yang ke-27 pada tahun Provinsi ini memisahkan diri dari Indonesia pada tahun 1999, dan Indonesia kembali memiliki 26 provinsi. Pemekaran wilayah daerah otonomi baru semakin marak sejak disahkannya UU No 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU No 32 Tahun Hingga Desember 2008 jumlah daerah otonom mencapai 524 yang terdiri atas 33 provinsi, 398 kabupaten dan 93 kota. Berkaitan dengan cakupan penelitian yang akan dilakukan, yaitu dimulai dari tahun 1991 sampai 2007, maka wilayah provinsi yang akan menjadi penelitian yaitu sejumlah 26 provinsi. Hal ini dimaksudkan agar objek penelitian dapat konsisten dan berkelanjutan dari tahun 1991 sampai dengan Provinsi

78 56 yang mengalami pemekaran setelah tahun 1991 digabungakan dengan provinsi induknya, kecuali Timor Timur yang dikeluarkan dari cakupan penelitian. Provinsi yang mengalami penggabungan dapat dilihat pada keterangan Gambar 6. 1 N Kilometers Keterangan: 1 Nanggroe Aceh Darussalam 2 Sumatera Utara 3 Sumatera Barat 4 Riau (termasuk Kepulauan Riau) 5 Jambi 6 Sumatera Selatan (termasuk Bangka Belitung) 7 Bengkulu 8 Lampung 9 DKI Jakarta 10 Jawa Barat (termasuk Banten) 11 Jawa Tengah 12 DI Yogyakarta 13 Jawa Timur 14 Bali 15 Nusa Tenggara Timur 16 Nusa Tenggara Barat 17 Kalimantan Barat 18 Kalimantan Tengah 19 Kalimantan Selatan 20 Kalimantan Timur 21 Sulawesi Utara (termasuk Gorontalo) 22 Sulawesi Tengah 23 Sulawesi Selatan (termasuk Sulawesi Barat) 24 Sulawesi Tenggara 25 Maluku (termasuk Maluku Utara) 26 Papua (termasuk Papua Barat) Gambar 6 Peta wilayah Indonesia menurut daerah administratif 26 provinsi Potensi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ditunjukkan dengan luas wilayah yang mencapai ,32 km 2 dan terbagi dalam pulaupulau. Provinsi terluas adalah Papua, mencapai ,32 km 2 dan terdiri atas pulau. Dengan luas yang tidak mencapai setengahnya, Kalimantan Timur merupakan provinsi terluas kedua dengan luas wilayah ,34 km 2, disusul oleh Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Provinsi dengan luas terkecil adalah DKI Jakarta, yaitu hanya mencapai 664,01 km 2. Tabel 4 menunjukkan bahwa provinsi dengan Daerah Tingkat II (kabupaten/kota) terbanyak justru tidak berada di provinsi yang paling luas, tetapi berada di Jawa Timur, yaitu sejumlah 38 yang terdiri atas 29 kabupaten dan 9 kota. Selanjutnya Provinsi Jawa Tengah mempunyai 35 Daerah Tingkat II yang terdiri atas 29 kabupaten dan 6 kota. Sementara itu provinsi dengan Daerah Tingkat II yang paling sedikit adalah DI Yogyakarta, yang hanya terdiri atas 5 Daerah Tingkat II (4 kabupaten dan 1 kota).

79 57 Tabel 4 Luas area dan persentasenya, jumlah pulau dan jumlah Daerah Tingkat II di Indonesia menurut provinsi tahun 2007 No Provinsi Luas Area Jumlah Daerah Tingkat II Km 2 Pulau Kabupaten Kota Jumlah 1 D.I. Aceh , Sumatera Utara , Sumatera Barat , Riau , Jambi , Sumatera Selatan , Bengkulu , Lampung , DKI Jakarta 664, Jawa Barat , Jawa Tengah , D.I. Yogyakarta 3.133, Jawa Timur , Bali 5.780, Nusa Tenggara Barat , Nusa Tenggara Timur , Kalimantan Barat , Kalimantan Tengah , Kalimantan Selatan , Kalimantan Timur , Sulawesi Utara , Sulawesi Tengah , Sulawesi Selatan , Sulawesi Tenggara , Maluku , Papua , Indonesia , Sumber: BPS, Penduduk dan Kepadatannya Masalah kependudukan merupakan bagian yang krusial dalam perekonomian karena tidak bisa dilepaskan dalam kegiatan pembangunan. Penduduk mempunyai peran ganda dalam pembangunan yaitu sebagai obyek dan sebagai subyek. Pertambahan jumlah penduduk akan menyebabkan pertambahan jumlah penduduk usia kerja, yang merupakan faktor produksi. Bertambahnya penduduk tidak menjamin meningkatnya kesejahteraan penduduk karena ketersediaan lapangan kerja yang terbatas, sehingga muncul masalah kependudukan yang kompleks. Oleh karena itu, pertumbuhan penduduk dapat memberikan penjelasan lain tentang mengapa sebagian negara kaya dan sebagian lainnya miskin (Mankiw, 2007).

80 58 Penduduk adalah semua orang yang berdomisili di wilayah teritorial selama 6 bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan menetap (BPS, 2009). Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2007 mencapai 225,64 juta jiwa dengan rasio jenis kelamin mencapai 100,3. Ini berarti bahwa jumlah penduduk laki-laki lebih banyak daripada jumlah penduduk perempuan. Provinsi dengan rasio jenis kelamin terbesar yaitu Papua dan Riau. Sedangkan provinsi dengan rasio jenis kelamin terkecil yaitu Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan (Tabel 5). Nilai rasio jenis kelamin biasanya berhubungan dengan pola migrasi di daerah tersebut, pada umumnya provinsiprovinsi dengan rasio rendah adalah provinsi pengirim migran. Tabel 5 Jumlah penduduk, laju pertumbuhan penduduk dan sex ratio di Indonesia menurut provinsi tahun 2007 No Provinsi Jumlah Penduduk Laju Sex (000 jiwa) Persentase Pertumbuhan Ratio 1 D.I. Aceh ,87 1, Sumatera Utara ,69 1, Sumatera Barat ,08 1, Riau ,87 3, Jambi ,22 1, Sumatera Selatan ,60 1, Bengkulu ,72 1, Lampung ,23 1, DKI Jakarta ,02 1, Jawa Barat ,05 1, Jawa Tengah ,35 0, D.I. Yogyakarta ,52 1, Jawa Timur ,35 0, Bali ,54 1, Nusa Tenggara Barat ,90 0, Nusa Tenggara Timur ,97 2, Kalimantan Barat ,85 0, Kalimantan Tengah ,90 1, Kalimantan Selatan ,51 1, Kalimantan Timur ,34 3, Sulawesi Utara ,40 1, Sulawesi Tengah ,06 1, Sulawesi Selatan ,86 1, Sulawesi Tenggara ,90 1, Maluku ,00 1, Papua ,21 3, Indonesia ,00 1, Sumber: BPS, 2008

81 59 Distribusi penduduk Indonesia ternyata tidak merata di seluruh wilayah tanah air. Penduduk paling banyak berdomisili di Provinsi Jawa Barat, mencapai 49,75 juta jiwa atau sebesar 22,05 persen dari total penduduk Indonesia. Selanjutnya Provinsi Jawa Timur mempunyai jumlah penduduk sebesar 36,90 juta jiwa (16,35 persen) dan Jawa Tengah sebesar 32,38 juta jiwa (14,35 persen). Data tersebut menunjukkan bahwa lebih dari setengah jumlah penduduk Indonesia (52,75 persen) berada di tiga provinsi di Pulau Jawa. Penambahan jumlah penduduk tidak dapat dilepaskan dari angka pertumbuhannya. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, pertumbuhan penduduk pada tahun 2007 secara nasional mencapai 1,37 persen. Provinsiprovinsi dengan laju pertumbuhan yang tinggi pada umumnya berada di luar Pulau Jawa, antara lain Provinsi Riau, Kalimantan dan Papua. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk terendah terjadi di Jawa Tengah yaitu sebesar 0,52 persen. Jika dibandingkan dengan luas wilayahnya, kepadatan penduduk terbesar adalah DKI Jakarta, dengan angka yang sangat tinggi dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya, yaitu mencapai jiwa per km 2. Sementara itu Provinsi Jawa Barat pada urutan kedua dengan kepadatan penduduk sebesar jiwa per km 2 dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada urutan ketiga sebesar jiwa per km 2. Berdasarkan Gambar 7 dapat terlihat bahwa seluruh provinsi yang ada di Pulau Jawa memiliki kepadatan yang tinggi. Sementara itu, kepadatan penduduk yang paling kecil terjadi di Provinsi Papua, yang hanya mencapai 7 jiwa per km 2. Angka-angka ini perlu mendapat perhatian yang serius karena menggambarkan ketimpangan yang terjadi di wilayah Indonesia. N SUMUT RIAU KALTIM JAKARTA SULSEL PAPUA JATENG Kilometers LEGENDA: Laju Pertumbuhan Penduduk Kepadatan Pendiuduk Gambar 7 Peta kepadatan penduduk dan laju pertumbuhan penduduk tahun 2007

82 60 Konsentrasi penduduk merupakan faktor produksi di wilayah-wilayah yang padat, hal ini menyebabkan kegiatan perekonomian juga terkonsentrasi di wilayah yang menyediakan faktor produksi yang besar, sehingga tidak mengherankan kalau pusat-pusat industri besar yang bersifat padat karya berdiri di provinsi-provinsi tersebut. Gambaran ketimpangan penyebaran penduduk menunjukkan daya dukung lingkungan yang kurang seimbang di antara provinsi-provinsi di Pulau Jawa dan luar Jawa Kondisi Perekonomian Indonesia Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan dasar pengukuran atas nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha yang timbul akibat adanya aktivitas ekonomi dalam suatu wilayah tertentu. PDRB sering dianggap sebagai ukuran terbaik untuk kinerja perekonomian. Tujuan dari penghitungan PDRB adalah meringkas aktivitas ekonomi di suatu wilayah dalam suatu nilai uang tertentu selama periode waktu tertentu. Ada tiga pendekatan untuk menghitung statistik ini. Pertama, pendekatan produksi, yaitu dengan menghitung jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi. Kedua, pendekatan pendapatan, PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi. Ketiga, pendekatan pengeluaran, dengan menghitung semua komponen permintaan akhir. Ukuran yang dihitung dari PDRB atas dasar harga konstan yang menunjukkan peningkatan volume output ekonomi dari tahun ke tahun setelah menghilangkan unsur inflasi (kenaikan harga secara terus-menerus) yaitu pertumbuhan ekonomi. Ukuran ini masih digunakan sampai sekarang sebagai ukuran kinerja pembangunan. Pada tahun 2007, PDRB Indonesia mencapai trilyun rupiah secara keseluruhan atau senilai trilyun rupiah tanpa minyak dan gas jika dihitung menurut harga konstan 2000, dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,61 persen secara keseluruhan atau sebesar 5,51 persen jika dihitung tanpa minyak dan gas(tabel 6). Penurunan pertumbuhan ekonomi dari minyak dan gas yang tidak besar menunjukkan bahwa peranan produksi minyak dan gas dalam kegiatan ekonomi di Indonesia telah menurun.

83 61 Tabel 6 Nilai dan laju pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan 2000 di Indonesia menurut provinsi tahun 1991, 1999 dan 2007 No Provinsi PDRB ADHK 2000 (Juta Rupiah) Rata-rata Pertumbuhan per tahun (%) 1 D.I. Aceh ,38 2 Sumatera Utara ,31 3 Sumatera Barat ,01 4 Riau ,42 5 Jambi ,50 6 Sumatera Selatan ,20 7 Bengkulu ,00 8 Lampung ,25 9 DKI Jakarta ,85 10 Jawa Barat ,95 11 Jawa Tengah ,38 12 D.I. Yogyakarta ,13 13 Jawa Timur ,67 14 Bali ,09 15 Nusa Tenggara Barat ,43 16 Nusa Tenggara Timur ,45 17 Kalimantan Barat ,34 18 Kalimantan Tengah ,27 19 Kalimantan Selatan ,60 20 Kalimantan Timur ,12 21 Sulawesi Utara ,89 22 Sulawesi Tengah ,52 23 Sulawesi Selatan ,36 24 Sulawesi Tenggara ,84 25 Maluku ,00 26 Papua ,97 Indonesia ,41 Sumber: PDRB , BPS (diolah) Nilai PDRB atas dasar harga konstan yang menyatakan jumlah output dari aktivitas ekonomi di Indonesia dalam jangka panjang secara umum meningkat secara signifikan. Perkembangan nilai PDRB tidak dapat dipisahkan dari potensi faktor-faktor produksi yang digunakan pada tahun yang bersangkutan. PDRB masing-masing provinsi dari tahun 1991 sampai dengan 2007 berfluktuasi sesuai dengan kondisi politik dan ekonomi yang memengaruhinya (Gambar 8). Pada tahun 1998, perekonomian Indonesia mengalami kontraksi karena masa krisis moneter yang berdampak di seluruh wilayah Indonesia walaupun dengan intensitas yang berbeda-beda. Secara nasional, pertumbuhan ekonomi turun hingga mencapai -11,25 persen, walaupun dampaknya tidak merata di seluruh Indonesia. Hanya dua provinsi yang tidak mengalami pertumbuhan yang negatif

84 62 pada tahun 1998 yaitu Provinsi Sulawesi Selatan dan Papua. Selanjutnya pada tahun 1999, Provinsi Sulawesi Selatan tetap mengalami pertumbuhan yang positif sedangkan Papua negatif. 40,00 30,00 20,00 10,00 0, ,00-20,00-30,00 D.I. Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Papua Gambar 8 Pertumbuhan ekonomi menurut provinsi tahun Secara umum pendapatan setiap penduduk suatu wilayah dicerminkan oleh pendapatan per kapita. Pendapatan per kapita dapat didekati dengan PDRB per kapita yang dihitung dengan membagi nilai PDRB dengan jumlah penduduk pada pertengahan tahun. PDRB perkapita dapat digunakan sebagai ukuran tingkat kesejehteraan penduduk. Angka ini menunjukkan ukuran secara agregat, namun sampai sekarang masih dianggap sebagai ukuran yang cukup relevan digunakan, khususnya untuk membandingkan tingkat kesejahteraan wilayah-wilayah di Indonesia. Nilai output yang digunakan dalam penghitungan kesejahteraan penduduk adalah PDRB atas dasar harga berlaku (PDRB nominal). PDRB Indonesia atas dasar tahun berlaku 2007 secara keseluruhan adalah sebesar trilyun rupiah, sedangkan jika dihitung tanpa minyak dan gas sebesar trilyun rupiah. Tabel 7 menunjukkan bahwa output ekonomi terbesar di Indonesia dihasilkan di Provinsi Jawa Barat senilai 635,88 trilyun rupiah. Selanjutnya adalah Provinsi

85 63 Jawa Timur sebesar 534,92 trilyun rupiah, DKI Jakarta sebesar 566,45 trilyun rupiah dan Jawa Tengah sebesar 310,63 trilyun rupiah. Tabel 7 PDRB atas dasar harga berlaku di Indonesia menurut provinsi tahun 1991, 1999 dan 2007 No Provinsi PDRB ADHB (Juta Rupiah) D.I. Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Papua Sumber: PDRB , BPS (diolah) Besaran pendapatan per kapita suatu daerah bergantung pada besaran PDRB dan jumlah penduduk. Secara nasional besarnya pendapatan per kapita pada tahun 2007 di Indonesia adalah 17,54 juta rupiah. Provinsi dengan PDRB per kapita tertinggi yaitu DKI Jakarta, Kalimantan Timur dan Riau. Provinsi DKI Jakarta memiliki PDRB per kapita yang tinggi karena sebagai ibukota DKI Jakarta merupakan pusat perekonomian di Indonesia. Sedangkan Provinsi Kalimantan Timur dan Riau merupakan provinsi penghasil migas terbesar di Indonesia. Provinsi yang mempunyai PDRB per kapita terendah yaitu Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Maluku. Peta tematik pada Gambar 9 memberikan gambaran penyebaran PDRB per kapita melalui referensi geografi.

86 64 N RIAU KALTIM MALUKU JAKARTA NTT Kilometers LEGENDA: Gambar 9 Peta PDRB per kapita menurut provinsi tahun 2007 PDRB atas dasar harga berlaku menurut sektor menunjukkan peranan sektor ekonomi dalam suatu daerah. Sektor-sektor yang mempunyai peranan besar menunjukkan basis perekonomian di daerah tersebut. PDRB atas dasar harga berlaku menurut sektor juga dapat digunakan untuk melihat pergeseran dan struktur perekonomian. Secara nasional, sektor industri manufaktur mempunyai kontribusi yang paling tinggi sejak tahun 1991, mengalahkan sektor pertanian yang sebelumnya mendominasi perekonomian Indonesia (lihat Gambar 10). Pada tahun tersebut, sektor industri menyumbang 20,95 persen terhadap total PDB, sedangkan sektor pertanian hanya 19,66 persen. Kontribusi sektor industri terus menunjukkan peningkatan hingga tahun Krisis moneter yang berlanjut pada krisis multidimensi membuat sektor industri terpuruk dan mengalami penurunan yang paling tajam dibandingkan dengan sektor lainnya. Peran sektor industri pun mengalami penurunan pada tahun Pada masa recovery, kontribusi sektor industri kembali meningkat hingga tahun Setelah tahun 2002 hingga 2007 kontribusi sektor industri mulai mengalami penurunan sedikit demi sedikit, walaupun kontribusinya masih paling besar dibandingkan sektor lainnya. Penurunan kontribusi sektor industri sejak tahun 2002 hingga 2007 mengindikasikan adanya deindustrialisasi di Indonesia. Deindustrialisasi dapat diartikan sebagai menurunnya peran industri dalam perekonomian secara menyeluruh. Menurunnya peranan industri dalam

87 65 perekonomian bisa dilihat dari berbagai sisi, misalnya turunnya pekerja di sektor industri, turunnya produk industri, serta turunnya sektor industri dibandingkan sektor lain. Sementara itu, deindustrialisasi bagi suatu negara lebih merupakan masalah daripada sesuatu yang diharapkan (Kuncoro, 2007). Kontribusi 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan 2. Pertambangan dan penggalian 3. Industri pengolahan 4. Listrik, gas dan air bersih 5. Bangunan 6. Perdagangan, hotel dan restoran 7. Pengangkutan dan komunikasi 8. Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 9. Jasa-jasa Gambar 10 Kontribusi sektor terhadap PDRB menurut provinsi tahun 2007 Provinsi-provinsi yang ada di Indonesia mempunyai pola distribusi sektor yang berbeda-beda. Hal ini berarti sebagian besar provinsi mempunyai spesialisasi yang berbeda-beda. Perbedaan ini lebih banyak disebabkaan karena perbedaan faktor endowment. Berdasarkan Tabel 8 terlihat bahwa pada tahun 2007 kontribusi dari setiap sektor terhadap PDRB untuk masing-masing provinsi bervariasi. Jika dilihat kontribusi setiap sektor pada provinsi-provinsi di luar Jawa, maka sektor pertanian dan sektor pertambangan mendominasi perekonomian. Provinsi dengan peranan sektor industri lebih besar dibandingkan sektor lainnya adalah Provinsi Sumatera Utara, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Walaupun hanya tiga provinsi yang mempunyai sektor industri dominan, secara total sektor industri mempunyai peranan yang paling besar. Sementara itu, sektor keuangan dan jasajasa mempunyai kontribusi yang lebih besar hanya di Provinsi DKI Jakarta. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 8 dan Gambar 11.

88 66 Tabel 8 Kontribusi setiap sektor terhadap PDRB menurut Provinsi tahun 2007 No Provinsi Lapangan Usaha (Sektor) D.I. Aceh 27,35 21,53 10,99 0,24 7,60 12,30 7,86 1,92 10,20 2 Sumatera Utara 22,56 1,36 25,04 1,02 5,59 19,25 9,00 6,41 9,77 3 Sumatera Barat 24,67 3,44 12,01 1,37 5,50 17,34 15,07 4,96 15,64 4 Riau 17,65 36,73 24,20 0,26 3,70 9,43 2,32 2,59 3,12 5 Jambi 26,08 18,96 11,94 0,90 4,59 14,88 7,31 4,18 11,16 6 Sumatera Selatan 18,36 24,30 22,95 0,55 6,10 12,53 4,03 3,30 7,88 7 Bengkulu 40,27 3,24 4,01 0,48 3,10 20,00 8,90 4,53 15,48 8 Lampung 38,12 3,54 13,45 0,65 4,98 14,01 8,24 5,93 11,07 9 DKI Jakarta 0,10 0,47 15,97 1,06 11,20 20,36 9,32 28,65 12,87 10 Jawa Barat 11,91 2,00 44,97 3,10 3,01 19,04 6,40 3,00 6,57 11 Jawa Tengah 19,92 1,00 32,33 1,10 5,83 20,06 5,91 3,48 10,37 12 D.I. Yogyakarta 15,05 0,75 13,63 1,28 10,35 19,29 10,11 9,71 19,84 13 Jawa Timur 16,72 2,11 28,75 1,92 3,36 28,81 5,55 4,62 8,15 14 Bali 19,41 0,66 8,99 2,00 4,43 28,98 12,33 7,34 15,86 15 Nusa Tenggara Barat 22,94 36,00 3,54 0,35 5,72 11,58 7,62 4,04 8,20 16 Nusa Tenggara Timur 40,27 1,37 1,70 0,44 7,06 15,92 6,22 3,97 23,05 17 Kalimantan Barat 26,92 1,40 18,17 0,58 8,69 22,83 6,77 4,93 9,71 18 Kalimantan Tengah 33,81 6,92 8,31 0,67 5,40 18,47 9,50 5,16 11,76 19 Kalimantan Selatan 22,45 21,79 11,73 0,50 6,47 14,58 8,90 4,28 9,28 20 Kalimantan Timur 5,63 41,62 34,80 0,30 2,69 6,54 3,71 2,04 2,67 21 Sulawesi Utara 22,36 4,01 7,62 0,82 15,41 14,62 10,44 6,35 18,36 22 Sulawesi Tengah 43,20 3,90 7,17 0,70 6,53 11,98 6,62 4,78 15,12 23 Sulawesi Selatan 31,99 7,87 12,79 0,99 4,55 15,58 7,84 6,07 12,33 24 Sulawesi Tenggara 38,42 4,84 7,97 0,94 6,98 15,34 8,23 5,08 12,19 25 Maluku 36,10 2,23 7,81 0,72 1,60 24,97 9,01 4,35 13,21 26 Papua 12,59 60,41 4,54 0,22 5,28 5,41 4,61 1,57 5,36 Total 15,27 9,83 25,91 1,38 5,56 18,46 6,73 7,86 9,00 Keterangan: (1) Pertanian, (2) Pertambangan & Penggalian, (3) Industri Pengolahan, (4) Listrik, Gas & Air Bersih, (5) Bangunan, (6) Perdagangan, Hotel & Restoran, (7) Pengangkutan & Komunikasi, (8) Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan, (9) Jasa-Jasa Sumber: PDRB 2007, BPS (diolah) 27,35 N 25,04 36,73 24,67 26,08 40,27 24,30 38,12 26,92 33,81 41,62 22,45 22,36 43,20 31,99 38,42 36,10 60,41 28,65 44,97 Sektor Dominan Pertanian Pertambangan & Penggalian Industri Pengolahan Perdagangan, Hotel Keuangan & Persewaan Jasa-Jasa 32,33 32,33 28,81 28,98 36,00 40, Kilometers Gambar 11 Peta struktur ekonomi menurut provinsi tahun 2007

89 Dinamika Disparitas Regional Adanya sejumlah provinsi yang memiliki PDRB per kapita yang sangat tinggi, yang antara lain disebabkan oleh keberadaan migas di daerah tersebut menyebabkan terjadinya ketimpangan ekonomi antar provinsi di Indonesia. Indeks Williamson dapat digunakan untuk melihat disparitas regional. Hasil perhitungan indeks Williamson di Indonesia pada kurun waktu 1991 sampai 2007 dapat dilihat pada Gambar 12. Berdasarkan hasil yang diperoleh, nilai indeks Williamson yang menunjukkan ketimpangan antar provinsi di Indonesia dari tahun cukup besar, yaitu berada pada kisaran 0,6 sampai 0,8. Berdasarkan hal tersebut, dapat diartikan bahwa antar provinsi di Indonesia terjadi ketimpangan pendapatan yang cukup besar. Hal ini tidak terlepas dari perbedaan kemampuan fiskal tiap daerah yang berimplikasi terhadap nilai tambah bruto (PDRB) dalam perekonomian antar daerah Indeks Williamson Gambar 12 Tingkat disparitas di Indonesia tahun Pada tahun , indeks Williamson terbesar terjadi pada tahun 2001 dan 2005 yaitu 0,79. Akan tetapi peningkatan yang terbesar terjadi pada tahun Pada tahun tersebut mulai diberlakukan Undang-undang Otonomi Daerah. Dengan adanya otonomi daerah, setiap wilayah mempunyai kewenangan untuk mengatur daerahnya masing-masing. Daerah yang mempunyai potensi yang besar dan kelembagaan yang solid akan lebih cepat berkembang dibandingkan daerah lainnya. Masing-masing daerah bersaing

90 68 untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Pada awal pelaksanaan otonomi daerah ketimpangan regional meningkat, hal ini disebabkan perbedaan kesiapan dari masing-masing daerah dalam menghadapi otonomi daerah. Pada tahun-tahun selanjutnya, setiap daerah mulai dapat mengembangkan daerahnya masing-masing dalam rangka mendorong prases pembangunan ekonomi di era otonomi daerah. Walaupun demikian tingkat ketimpangan pada tahun-tahun berikutnya sampai pada tahun 2007 relatif konstan. Ketimpangan antar kabupaten dalam satu provinsi di Indonesia sangat bervariasi. Besarnya indeks Williamson di masing-masing provinsi mulai dari 0,21 sampai 3,13. Ketimpangan yang ekstrim terjadi di beberapa provinsi di Indonesia yaitu Provinsi Riau, Papua, NTB, Kalimantan Timur, Jawa Timur dan Jawa Tengah yang ditunjukkan dengan nilai indeks Williamson lebih dari satu (Gambar 13). Dalam pengolahan indeks menurut provinsi ini digunakan data PDRB per kapita kabupaten/kota. Ketimpangan yang sangat tinggi di keenam provinsi tersebut disebakkan karena ada satu atau beberapa kabupaten yang mempunyai PDRB per kapita yang sangat tinggi. Tingginya PDRB per kapita tersebut dikarenakan adanya pertambangan migas dan non migas di provinsi tersebut, kecuali Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di Jawa Timur kabupaten/kota yang mempunyai PDRB per kapita sangat tinggi yaitu Kota Kediri. Kota Kediri merupakan kota industri rokok terbesar di Indonesia. Sedangkan di Jawa Tengah kabupaten/kota yang mempunyai PDRB per kapita sangat tinggi yaitu Kabupaten Cilacap yang disebabkan oleh adanya industri pengolahan berbahan migas. Sedangkan provinsi dengan tingkat ketimpangan yang paling kecil yaitu Kalimantan Tengah dan Sulawesi Tengah. Kalimantan Tengah mempunyai indeks ketimpangan hanya 0,21 sedangkan Jambi 0,28. Kecilnya indeks pada daerah tersebut dikarenakan tipikal dan potensi daerah yang hampir sama pada kabupaten/kota di provinsi tersebut. Untuk lebih jelasnya disajikan peta ketimpangan pada Gambar 13 dengan pengelompokan ketimpangan tinggi jika nilai indeks lebih dari satu, sedang jika nilai indeks antara 0,5-1 dan rendah jika nilainya kurang dari 0,5.

91 69 0,92 0,61 0,35 3,13 0,42 LEGENDA: Rendah Sedang Tinggi 0,37 0,69 0,30 N 1,18 0,57 0,37 0,21 0,28 0,50 0,44 0,67 0,40 2,97 0,49 0,60 1,05 1,15 0,39 0,39 0,48 1, Kilometers Gambar 13 Peta tingkat disparitas dalam provinsi tahun 2007 Berdasarkan Gambar 14 dapat dilihat perubahan tingkat ketimpangan di dalam provinsi dari tahun 1991 ke Secara umum ketimpangan antar kabupaten/kota di dalam provinsi mengalami peningkatan kecuali di beberapa provinsi yang mengalami penurunan yaitu DI Aceh, Bengkulu, Lampung, dan Kalimantan Barat, sedangkan tingkat disparitas yang relatif tetap terjadi di Provinsi Sumatera Barat, Yogyakarta dan Bali. Penurunan tingkat ketimpangan terbesar terjadi di Provinsi DI Aceh yaitu 1,79 pada tahun 1991 menjadi 0,92 pada tahun Di sisi lain, peningkatan tingkat ketimpangan yang sangat besar terjadi di Provinsi Riau, Papua dan Nusa Tenggara Barat. Peningkatan disparitas ini dipicu oleh adanya aktivitas sektor penambangan dan penggalian baik migas maupun non migas yang berada di salah satu kabupaten/kota di provinsi tersebut Aceh Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Jakarta Jabar Jateng DIY Jatim Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sultra Maluku Papua Gambar 14 Tingkat disparitas dalam provinsi tahun 1991 dan 2007

92 Dinamika Pembangunan Infrastruktur Infrastruktur Jalan Infrastruktur jalan sangat penting dalam perekonomian karena angkutan darat sampai saat ini masih menjadi sistem transportasi yang utama. Pelayanan dan kapasitas jalan berkaitan dengan terselenggaranya mobilitas penduduk maupun barang dan jasa, menunjang aktivitas ekonomi dalam pembangunan dan menjadi penghubung antar wilayah yang menjadi pusat produksi dengan daerah pemasarannya. Ketersediaan jalan yang efektif memungkinkan penularan pertumbuhan ekonomi ke daerah lainnya. Penuralan disini memiliki arti bahwa prasarana jalan turut berperan dalam merangsang tumbuhnya wilayah-wilayah baru yang akhirnya akan menimbulkan trip generation baru yang akan meningkatkan volume lalu lintas yang terjadi. Keunggulan bagi suatu negara untuk bersaing secara kompetitif dalam memasarkan produknya harus didukung dengan sistem jalan yang baik. Disisi lain, sistem jalan yang berkualitas juga dapat meningkatkan pengembangan industri, mendistribusikan populasi dan meningkatkan pendapatan. Sebaliknya, prasarana jalan yang minim dan buruk menjadi hambatan dalam mengembangkan perekonomian. Sistem jalan yang tidak memadai dapat menghambat aktivitas ekonomi. Persen (%) Jalan Negara Jalan Provinsi Jalan Total Kabupaten Aspal Kerikil Tanah Lainnya Gambar 15 Panjang jalan menurut jenis permukaannya dan tingkat kewenangan di Indonesia tahun 2007 Pada tahun 2007, panjang jalan di Indonesia mencapai kilometer. Berdasarkan tingkat kewenangan pembinaan, jalan kabupaten/

93 71 kotamadya masih merupakan bagian terbesar yaiatu kilometer atau 82,27 persen dari total panjang jalan, sedangkan untuk jalan negara dan jalan provinsi masing-masing dan kilometer atau sebesar 8,21 persen dan 9,52 persen (Gambar 15). Berdasarkan jenis permukaannya, jalan di Indonesia dapat diklasifikasikan menjadi jalan aspal, kerikil, tanah dan lainnya. Panjang jalan beraspal merupakan yang terpanjang dibandingkan jenis permukaan yang lain, yaitu mencapai 60,9 persen dari total panjang jalan. Sedangkan jalan dengan permukaan kerikil hanya mencapai 17,7 persen, lebih kecil daripada jalan dengan permukaan tanah yang mencapai 19 persen. Tabel 9 Panjang jalan dan persentasenya menurut kondisi dan provinsi di Indonesia tahun 2007 No Provinsi Baik dan Sedang Rusak dan Rusak Berat Jumlah Panjang Persen-tase Panjang Persen-tase (Km) (Km) (%) (Km) (%) 1 D.I. Aceh , , Sumatera Utara , , Sumatera Barat , , Riau , , Jambi , , Sumatera Selatan , , Bengkulu , , Lampung , , DKI Jakarta , , Jawa Barat , , Jawa Tengah , , D.I. Yogyakarta , , Jawa Timur , , Bali , , Nusa Tenggara Barat , , Nusa Tenggara Timur , , Kalimantan Barat , , Kalimantan Tengah , , Kalimantan Selatan , , Kalimantan Timur , , Sulawesi Utara , , Sulawesi Tengah , , Sulawesi Selatan , , Sulawesi Tenggara , , Maluku , , Papua , , Indonesia , , Sumber: Statistik Perhubungan 2008, BPS (diolah)

94 72 Jumlah jalan paling panjang di Indonesia berada di Provinsi Sumatera Utara, yang mencapai 36,6 ribu kilometer, disusul oleh Provinsi Jawa Timur (36,5 ribu kilometer) dan Sulawesi Selatan (34 ribu km). Sedangkan provinsi dengan panjang jalan paling rendah yaitu DI Yogyakata yaitu 4,8 ribu kilometer dan Bengkulu dengan panjang hanya 5,8 ribu kilometer. Apabila dilihat menurut kualitasnya, jalan di Indonesia masih kurang memadai karena masih banyak jalan yang rusak ringan dan rusak berat seperti ditunjukkan pada Tabel 9. Panjang jalan yang mengalami kerusakan pada tahun 2007 yaitu sebesar 36,02 persen. Provinsi yang memiliki persentase jalan yang rusak tertinggi yaitu Kalimantan Tengah dan Maluku, masing-masing sebesar 62,5 dan 55,3 persen. Hal ini perlu mendapat perhatian karena jalan yang rusak dan tidak berkualitas akan meningkatkan biaya sosial dalam kegiatan ekonomi di wilayah tersebut. N 37,49% 44,75% LEGENDA: 93,91% Aksesibilitas Baik & sedang 82,19% Rusak & rusak berat 457 Rasio jumlah kendaraan per km jalan Kilometers Gambar 16 Panjang jalan, aksesibilitas, persentase baik sedang menurut provinsi tahun 2007 Berdasarkan aksesibilitas terhadap jalan yang ditunjukkan dengan nilai rasio panjang jalan per luas wilayah, maka provinsi dengan tingkat aksesibilitas tertinggi yaitu DKI Jakarta dan DI Yogyakarta. Tingkat aksesibilitas provinsiprovinsi di Pulau Jawa berada pada tingkat yang relatif tinggi dibandingkan di luar Jawa. Provinsi-provinsi di luar Jawa yang mempunyai tingkat aksesibilitas cukup tinggi yaitu Provinsi Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan (Gambar 16). Selain tingkat aksesibilitas, kinerja jalan juga dapat diukur dengan tingkat mobilitas, tingkat mobilitas merupakan ukuran kemudahan dalam

95 73 berpindah yang berhubungan erat dengan kemacetan (degree of saturation). Tingkat mobilitas diukur dengan kondisi kepadatan jalan yaitu rasio jumlah kendaraan bermotor dibagi dengan panjang jalan. Semakin tinggi nilai ini menggambarkan semakin padat kendaraan dan semakin menuju kemacetan. Kondisi macet terjadi jika nilai rasionya sebesar 1 kendaraan per meter atau 1000 kendaraan per kilometer. Berdasarkan hasil penghitungan rasio jumlah kendaraan per meter jalan pada tahun 2007, Provinsi DKI Jakarta sudah tergolong pada kategori macet dengan rasio kendaraan per meternya 1,74 sedangkan Provinsi yang menduduki peringkat kedua yaitu DI Yogyakarta dengan nilai rasio sebesar 0,46. Seluruh provinsi di Indonesia kecuali DKI Jakarta memiliki nilai rasio dibawah satu, rasio yang terkecil berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Papua. Walaupun suatu wilayah memiliki panjang jalan yang lebih dibandingkan daerah lainnya tetapi karena jumlah kendaraan bermotor yang terlalu banyak maka akan menghasilkan tingkat mobilitas yang rendah (nilai rasio tinggi). Hal ini disebabkan penambahan panjang jalan lebih rendah dibandingkan dengan penambahan kendaraan bermotor, misalnya di DKI Jakarta dengan pertumbuhan panjang jalan rata-rata per tahun hanya 2 persen dan pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor mencapai 11 persen. Hal ini perlu mendapat perhatian yang serius karena adanya keterbatasan daya dukung suatu wilayah sehingga jika tingkat mobilitas terlalu rendah maka akan menimbulkan kemacetan dan dapat mengganggu kegiatan investasi sehingga pada akhirnya akan menghambat pertumbuhan ekonomi Infrastruktur Listrik Listrik merupakan salah satu energi yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan produksi maupun konsumsi. Ketersediaan pasokan listrik merupakan prasyarat bagi terselenggaranya kegiatan ekonomi karena hampir semua aktivitas masyarakat bergantung pada tenaga listrik. Sebagian besar kebutuhan listrik di Indonesia dipenuhi oleh PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) walaupun masih belum menjangkau seluruh wilayah nusantara karena belum semua wilayah di Indonesia tersambung dalam jaringan PLN.

96 74 Pada tahun 2007, rasio elektrifikasi yang menunjukkan persentase rumah tangga yang dialiri listrik terhadap total rumah tangga hanya berkisar 60,78 persen. Menurut menteri ESDM pada saat itu, kondisi geografis Negara Indonesia yang menjadi salah satu kendala dalam mengejar target rasio elektrifikasi 100 persen. Guna mengejar target rasio elektrifikasi 100 persen, pemerintah menyusun berbagai program selain mempercepat pembangunan PLTU 10 ribu MW, PLN juga mencanangkan Visi Visi tersebut mempunyai arti saat Bangsa Indonesia merayakan kemerdekaan ke-75, pada tahun 2020 mendatang, seluruh wilayah sudah teraliri listrik (Windyaningrum et al, 2007). Perkembangan rasio elektrifikasi dari tahun 1991 sampai 2007 cenderung mengalami peningkatan (lihat Gambar 17). Peningkatan yang cukup tajam terjadi sebelum masa krisis Pada masa krisis rasio elektrifikasi sempat mengalami penurunan dari 51,76 pada tahun 1997 menjadi 51,13 pada tahun Setelah krisis hingga tahun 2005 rasio elektrifikasi cenderung tetap, hanya mengalami peningkatan yang kecil yaitu dari 51,13 menjadi 54,06 persen. Kemudian pada tahun selanjutnya, tahun 2006, rasio elektrifikasi meningkat cukup tajam. Persen (%) Rasio Elektrifikasi Gambar 17 Rasio elektrifikasi di Indonesia tahun Total jumlah pelanggan PT PLN pada tahun 2007 sebesar 37,3 juta pelanggan. Persentase kelompok pelanggan terbesar yaitu rumah tangga (92 persen), sedangkan kelompok bisnis dan industri hanya sekitar 4,3 persen dan 0,1 persen. Jumlah pelanggan listrik dari tahun ke tahun terus meningkat, baik dari kelompok pelanggan rumah tangga, bisnis, industri, maupun lainnya. Hal tersebut

97 75 harus disertai dengan peningkatan jumlah pasokan listrik ke konsumen untuk menghindari krisis pasokan listrik. Krisis listrik yang terjadi akhir-akhir ini di sejumlah provinsi di luar Jawa lebih disebabkan oleh peningkatan pertumbuhan konsumsi listrik yang tidak diimbangi dengan kapasitas daya terpasang. Hampir semua wilayah Indonesia masih mengalami krisis listrik. Dari 14 sistem pembangkitan listrik, hanya dua yang berstatus normal, yakni sistem Jawa-Bali dan Sumatera Bagian Selatan. Adapun sistem Bangka Belitung dalam status siaga, sisanya krisis (Windyaningrum et al, 2007). Persen (%) Pelanggan Energi Jual Rumah Tangga Industri Bisnis Sosial GD. Kantor Pemerintahan Penerangan Jln Umum Gambar 18 Pelanggan dan energi jual menurut kelompok pelanggan tahun 2007 Walaupun jumlah pelanggan kelompok rumah tangga mendominasi, tetapi dari sisi penggunaan energi jual untuk kelompok rumah tangga hampir sama dengan kelompok industri. Kelompok pelanggan industri dengan jumlah yang hanya 0,1 persen dari total pelanggan mengkonsumsi energi listrik sebesar 37,8 persen dari total energi jual. Demikian juga kelompok bisnis, dengan jumlah pelanggan 4,3 persen mengkonsumsi energi listrik sebesar 17 persen (Gambar 18). Hal ini berarti energi listrik lebih banyak digunakan untuk produksi daripada konsumsi. Berdasarkan Tabel 10 pengguna energi listrik terbesar yaitu Jawa Barat dan DKI Jakarta. Hal ini disebabkan penggunaan listrik yang paling banyak dimanfaatkan untuk industri dan rumah tangga yang berada di provinsi-provinsi tersebut. Sedangkan provinsi yang terendah dalam menggunakan energi listrik yaitu Sulawesi Tenggara dan Bengkulu.

98 76 Tabel 10 Energi listrik PLN yang terjual di Indonesia menurut provinsi tahun 1991, 1999 dan 2007 Energi yang Terjual (GWh) Rata-rata No Provinsi Pertumbuhan per Tahun (%) 1 D.I. Aceh 192,00 475,40 997,36 11,20 2 Sumatera Utara 1.573, , ,44 7,79 3 Sumatera Barat 299, , ,37 12,12 4 Riau 325, , ,32 15,03 5 Jambi 130,83 302,71 645,59 10,67 6 Sumatera Selatan 549, , ,01 9,42 7 Bengkulu 61,15 159,14 310,10 10,75 8 Lampung 251,49 752, ,58 12,56 9 DKI Jakarta 8.823, , ,95 7,63 10 Jawa Barat 6.654, , ,05 10,55 11 Jawa Tengah 2.769, , ,49 9,80 12 D.I. Yogyakarta 353,94 862, ,57 9,59 13 Jawa Timur 5.677, , ,44 8,09 14 Bali 475, , ,02 10,70 15 Nusa Tenggara Barat 97,44 275,86 571,06 11,80 16 Nusa Tenggara Timur 66,81 156,54 314,41 10,28 17 Kalimantan Barat 248,00 570,82 946,55 8,78 18 Kalimantan Tengah 82,68 233,52 429,86 11,28 19 Kalimantan Selatan 356,53 695, ,52 7,60 20 Kalimantan Timur 363,79 822, ,25 9,90 21 Sulawesi Utara 192,92 449,81 796,41 9,36 22 Sulawesi Tengah 77,08 186,29 365,41 10,28 23 Sulawesi Selatan 545, , ,42 10,06 24 Sulawesi Tenggara 46,50 127,84 274,38 11,89 25 Maluku 99,00 203,82 388,22 10,43 26 Papua 107,00 264,62 532,05 10,59 Indonesia , , ,83 9,10 Sumber: Statistik Listrik PLN , BPS (diolah) Secara nasional, penjualan energi listrik terus meningkat dari tahun ke tahun walaupun dengan kecepatan yang tidak sama untuk setiap tahunnya. Selama kurun waktu , energi listrik PLN yang terjual telah naik sebesar 91 ribu GWh atau sebesar tiga kali lipatnya. Peningkatan penjualan energi listrik tertinggi terjadi pada tahun 1995 dengan pertumbuhan mencapai 15,68 persen dibandingkan tahun sebelumnya, dan yang terendah terjadi pada tahun 1998 yang pertumbuhannya hanya sebesar 1,47 persen. Penjualan energi listrik pada tahun 2007 mencapai 121,25 ribu GWh, meningkat sebesar 7,67 persen dibandingkan tahun 2006 yang mencapai 112,61 ribu GWh. Pada tahun 2007, rasio elektrifikasi tertinggi yaitu di Provinsi DKI Jakarta dan DI Aceh yaitu 87,53 dan 79,16 persen. Sedangkan rasio elektrifikasi terendah yaitu Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Papua, masing-masing sebesar 21,34 dan

99 77 27,38 persen (Gambar 19). Rasio yang kecil ini mempunyai arti di daerah tersebut masih banyak rumah tangga yang belum teraliri listrik. Hanya sekitar seperempat rumah tangga yang sudah menikmati listrik. NAD SUMUT N JAKARTA PAPUA BALI NTB LEGENDA: NTT Rasio Elektrifikasi (%) Energi Jual (Kwh) Kilometers Gambar 19 Peta energi listrik jual dan rasio elektrifikasi menurut provinsi tahun Infrastruktur Air Bersih Penyediaan infrastruktur air bersih berkaitan dengan aspek-aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Dalam aspek ekonomi, sektor air bersih dituntut menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah ekonomi dalam rangka memandu alokasi sumber daya air dan mendorong terselenggaranya sektor usaha selayaknya corporate yang profesional, berperilaku efisien, dan menghasilkan manfaat bagi sektor ekonomi lainnya. Dalam aspek sosial, sektor air bersih berhubungan dengan nilai-nilai sosial yang harus diaspirasikan dalam pembangunan serta kedudukannya sebagai sektor publik yang paling mendasar. Sedangkan dalam aspek lingkungan, sektor air bersih berhadapan dengan implikasi yang bernuansa sosial dan memengaruhi alokasi sumber daya air. Sinergi antara aspek lingkungan dan sosial dapat menentukan perilaku pengelolaan sumber daya air dan permintaan air bersih (Nugroho, 2003). Secara keseluruhan, kebijaksanaan sektor air bersih sejalan dengan pencapaian manfaat setinggi-tingginya dari pembangunan dan konservasi sumber daya air antara lain (UN dalam Nugroho, 2002): (1) meningkatkan pendapatan regional atau nasional, (2) meredistribusikan pendapatan di antara wilayah, (3) meredistribusikan pendapatan di antara berbagai kelompok masyarakat, (4)

100 78 memperbaiki keadaan kesehatan masyarakat, dan (5) memperbaiki kualitas lingkungan. Kerangka kebijakan air bersih di Indonesia secara teknis dan operasional diimplementasikan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). PDAM sebagai lembaga ekonomi satu-satunya penyelenggara dan penyedia air bersih di Indonesia. Implikasinya, kinerja PDAM menjadi ukuran penting dan menjadi harapan bagi keberhasilan kebijakan sektor air bersih. Pada tahun 2008, jumlah perusahaan air bersih tercatat sebanyak 489 perusahaan yang baru melayani sekitar 13,7 persen dari seluruh rumah tangga di Indonesia. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih memperoleh air bersih melalui pompa, sumur, mata air atau membeli dari pedagang air. Persen (%) Gambar Pelanggan Air Bersih yang Disalurkan Sosial Non Niaga Niaga dan Industri Khusus Pelanggan dan air bersih yang disalurkan menurut kelompok pelanggan tahun 2007 Jumlah pelanggan air PDAM secara kontinu terus menunjukkan peningkatan yang signifikan sejalan dengan kesadaran masyarakat akan kebutuhan air bersih. Secara nasional pada tahun 1991 jumlah pelanggan mencapai 2,24 juta, sedangkan pada tahun 2007 mencapai 7,79 juta pelanggan. Berdasarkan kelompok pelanggan pada tahun 2007, kelompok non niaga (rumah tangga dan instansi) merupakan pelanggan PDAM terbesar yaitu sebesar 90,3 persen. Sedangkan pelanggan kelompok niaga dan industri hanya 7,5 persen. Distribusi yang sama juga terjadi pada volume air bersih yang disalurkan, kelompok pelanggan yang terbesar yaitu kelompok non niaga sebesar 73,9 persen, kemudian niaga dan industri sebesar 19,8 persen, sisanya kelompok lainnya (Gambar 20).

101 79 Tabel 11 Air bersih yang disalurkan di Indonesia menurut provinsi tahun 1991, 1999 dan 2007 No Provinsi Air Bersih yang Disalurkan (m 3 ) Rata-rata Pertumbuhan per Tahun (%) 1 D.I. Aceh ,27 2 Sumatera Utara ,24 3 Sumatera Barat ,37 4 Riau ,64 5 Jambi ,08 6 Sumatera Selatan ,79 7 Bengkulu ,56 8 Lampung ,17 9 DKI Jakarta ,64 10 Jawa Barat ,43 11 Jawa Tengah ,64 12 D.I. Yogyakarta ,05 13 Jawa Timur ,11 14 Bali ,51 15 Nusa Tenggara Barat ,42 16 Nusa Tenggara Timur ,36 17 Kalimantan Barat ,75 18 Kalimantan Tengah ,31 19 Kalimantan Selatan ,77 20 Kalimantan Timur ,71 21 Sulawesi Utara ,99 22 Sulawesi Tengah ,23 23 Sulawesi Selatan ,72 24 Sulawesi Tenggara ,61 25 Maluku ,82 26 Papua ,90 Indonesia ,53 Sumber: Statistik Air Bersih , BPS (diolah) Secara nasional, jumlah air bersih yang disalurkan selama tahun 1991 sampai 2007 berfluktuasi, dengan penurunan jumlah yang disalurkan pada tahun 2000, 2004 dan Keterbatasan PDAM memenuhi kebutuhan masyarakat akan air bersih dapat dilihat dari segi pemerataannya. Berdasarkan Tabel 11, DKI Jakarta merupakan pengguna air bersih PDAM terbesar yaitu sebesar m 3 (29,21 persen), disusul Jawa Timur sebesar m 3 (15,79 persen) dan Jawa Barat sebesar m 3 (9,87 persen). Hal ini menunjukkan bahwa prasarana air bersih yang disediakan oleh PDAM masih didominasi oleh masyarakat di Pulau Jawa dalam hal pemanfaatannya. Provinsi yang paling sedikit mendistribusikan air bersih melalui PDAM adalah Bengkulu, Sulawesi Tenggara dan Maluku

102 80 dengan volume masing-masing tidak lebih dari 0,40 persen dari total nasional. Apabila dilihat rasio jumlah pelanggan per jumlah rumah tangga menurut provinsi, maka Provinsi DKI Jakarta memiliki rasio tertinggi yaitu 67,24 persen, sedangkan peringkat kedua yaitu Bali hanya memiliki rasio hampir setengah dari DKI Jakarta yaitu 37,27 persen. Rasio terendah terdapat di Provinsi Lampung dan DI Aceh, masing-masing sebesar 3,78 dan 6,24 persen (Gambar 21) N LEGENDA: Rasio Pelanggan per Jumlah RT Air Bersih yang Disalurkan Kilometers Gambar 21 Peta air bersih yang disalurkan dan rasio pelanggan per jumlah RT menurut provinsi tahun Penghitungan Indeks Infrastruktur Penghitungan indeks infrastruktur dalam penelitian ini bertujuan mendapatkan suatu ukuran yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi atau membandingkan pembangunan infrastruktur antar provinsi. Komponen infrastruktur yang dilibatkan dalam penghitungan indeks dibatasi sesuai dengan infrastruktur yang digunakan dalam penelitian ini (infrastruktur jalan, listrik dan air bersih). Untuk masing-masing infrastruktur digunakan beberapa nilai penghitungan, yaitu yang berkaitan dengan kuantitas dan kualitas. Penghitungan indeks infrastruktur jalan melibatkan variabel aksesibilitas, mobilitas dan persentase kondisi baik dan sedang. Variabel aksesibilitas dan mobilitas digunakan untuk mendekati sisi kuantitas. Semakin besar aksesibilitas semakin besar kemudahan dalam mengakses jalan, demikian juga untuk tingkat mobilitas. Di sisi lain, variabel persentase baik dan sedang digunakan untuk mengukur kualitas dari infrastruktur jalan

103 81 Indeks infrastruktur listrik menggunakan variabel rasio elektrifikasi sebagai pendekatan kuantitas dan rata-rata energi jual per pelanggan sebagai pendekatan kualitas. Rasio elektrifikasi menunjukkan jumlah rumah tangga yang telah dialiri listrik, semakin besar rasio maka semakin besar pula pasokan listrik di daerah tersebut. Sedangkan rata-rata energi jual per pelanggan menunjukkan besarnya listrik yang diterima oleh setiap pelanggan, semakin besar ukuran ini maka semakin baik pula kinerja perusahaan listrik di daerah tersebut. Sebagai contoh, daerah yang sering mengalami pemadaman listrik akan mempunyai ratarata energi jual per pelanggan yang lebih kecil daripada daerah yang tidak pernah atau jarang mengalami pemadaman. Infrastruktur yang terakhir yaitu air bersih. Variabel yang digunakan untuk menilai infrastruktur air bersih yaitu rasio jumlah pelanggan terhadap total rumah tangga dan rata-rata air bersih yang disalurkan per pelangggan. Konsep yang digunakan dalam infrastruktur air bersih sama dengan infrastruktur listrik. Rasio jumlah pelanggan per total rumah tangga menggambarkan kuantitas sedangkan rata-rata air bersih yang disalurkan menggambarkan kualitas dari infrastruktur tersebut. Penghitungan indeks infrastruktur dilakukan dengan 3 tahap. Tahap pertama yaitu menstandarisasi setiap variabel dengan menggunakan z-score. Proses ini bertujuan menghilangkan perbedaan yang disebabkan penggunaan satuan. Tahap kedua yaitu menghitung indikator variabel komposit untuk masingmasing jenis infrastruktur (jalan, listrik, air bersih). Tahap ketiga yaitu menghitung indeks infrastruktur untuk setiap provinsi dengan menghitung ratarata dari ketiga infrastruktur tersebut. Langkah-langkah penghitungan indeks infrastruktur: 1. Standarisasi setiap variabel dengan menggunakan z-score dengan rumus sebagai berikut: z =...(60) Dimana z adalah hasil normalisasi, x adalah nilai dari variabel yang akan dinormalisasikan, x adalah rata-rata dari variabel x dari semua provinsi, dan σ adalah standar deviasi dari variabel yang akan dinormalisasikan.

104 82 2. Menghitung indikator variabel komposit untuk masing-masing jenis infrastruktur, dengan rumus: k = (( ( )) ( ( ) ( )) % )...(61) Dimana k adalah indikator variabel komposit untuk setiap infrastruktur, n adalah jumlah komponen untuk setiap infrastruktur (n=2). 3. Menghitung indeks infrastruktur untuk setiap provinsi: i =...(62) Dimana i adalah indeks infrastruktur dan m adalah jumlah infrastruktur yang dilibatkan (m=3). 100,00 90,00 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 Persen (%) Aceh Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Jakarta Jabar Jateng DIY Jatim Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sultra Maluku Papua Gambar 22 Indeks infrastruktur menurut provinsi tahun 1991 dan 2007 Peringkat indeks infrastruktur sangat ditentukan oleh kinerja tiap indikator yang digunakan. Indikator yang digunakan hanya dibatasi tiga jenis infrastruktur dengan masing-masing mengikutsertakan komponen penghitungan kuantitas dan kualitas. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penghitungan indeks infrastruktur (Gambar 22) dapat disimpulkan bahwa pada tahun 2007 provinsi yang masuk dalam empat peringkat teratas yaitu: DKI Jakarta, Bali, Jawa Timur dan DI Yogyakarta. Sedangkan provinsi yang mempunyai indeks infrastruktur peringkat empat terendah yaitu: NTT, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara dan Maluku. Selama kurun waktu 1991 hingga 2007 provinsi yang mengalami penurunan secara drastis peringkat indeks infrastruktur yaitu Sulawesi Utara. Pada tahun 1991 Provinsi Sulawesi Utara menduduki peringkat ke-4 sedangkan pada

105 83 tahun 2007 pada peringkat ke-21. Penurunan ini disebabkan penurunan kinerja infrastruktur air bersih (PDAM), selama kurun waktu 1991 hingga 2007 jumlah air bersih yang disalurkan turun sebesar 34 persen. Sedangkan provinsi yang mengalami peningkatan peringkat indeks infrastruktur cukup tinggi yaitu Provinsi Lampung. Pada tahun 2007 Provinsi Lampung menduduki peringkat 16, sebelumnya (tahun 1991) provinsi ini berada pada urutan ke-25 (lihat Lampiran 1). Kenaikan peringkat ini disebabkan karena kinerja ketiga jenis infrastruktur terutama listrik dan air bersih meningkat secara signifikan. Tabel 12 Indeks infrastruktur menurut jenis infrastruktur dan provinsi tahun 2007 No Provinsi Indeks Infrastruktur (%) Rata-rata Jalan Listrik Air Bersih (%) 1 D.I. Aceh 59,27 43,68 5,53 36,16 2 Sumatera Utara 53,15 46,41 36,31 45,29 3 Sumatera Barat 50,45 40,11 16,99 35,85 4 Riau 44,97 35,07 53,39 44,48 5 Jambi 48,35 21,36 16,86 28,86 6 Sumatera Selatan 53,22 27,15 21,70 34,03 7 Bengkulu 57,81 23,20 6,72 29,24 8 Lampung 56,19 22,74 17,85 32,26 9 DKI Jakarta 66,67 100,00 89,68 85,45 10 Jawa Barat 59,00 52,36 21,36 44,24 11 Jawa Tengah 70,51 39,32 11,54 40,46 12 D.I. Yogyakarta 84,53 39,86 17,70 47,36 13 Jawa Timur 70,68 42,35 30,59 47,87 14 Bali 79,88 52,48 48,04 60,14 15 Nusa Tenggara Barat 50,49 8,63 26,14 28,42 16 Nusa Tenggara Timur 51,22 1,19 15,42 22,61 17 Kalimantan Barat 39,88 25,76 22,43 29,36 18 Kalimantan Tengah 33,93 20,07 24,06 26,02 19 Kalimantan Selatan 57,27 36,06 30,63 41,32 20 Kalimantan Timur 46,80 43,67 46,94 45,80 21 Sulawesi Utara 44,52 27,73 12,68 28,31 22 Sulawesi Tengah 59,69 18,92 21,78 33,47 23 Sulawesi Selatan 57,52 33,69 20,21 37,14 24 Sulawesi Tenggara 54,19 15,45 5,43 25,02 25 Maluku 38,60 24,78 16,41 26,60 26 Papua 45,55 13,63 22,47 27,22 Rata-rata Indonesia 55,17 32,91 25,34 37,81 Jika diamati untuk masing-masing infrastruktur maka infrastruktur listrik mempunyai jangkauan nilai yang paling besar, hal ini dapat diartikan bahwa kondisi infrastruktur listrik setiap provinsi di Indonesia sangat beragam. Nilai yang terkecil berada di Provinsi NTT yaitu 22,61 persen (Tabel 12). Kecilnya indeks infrastruktur listrik ini mengindikasikan sangat kurangnya listrik di daerah

106 84 tersebut, baik secara kuantitas maupun kualitas. Indeks infrastruktur listrik yang terbesar berada di DKI Jakarta. Tidak dapat dipungkiri bahwa DKI Jakarta sebagai ibukota negara mempunyai infrastruktur listrik yang paling memadai baik kuantitas maupun kualitas. Komponen infrastruktur yang mempunyai jangkauan nilai paling kecil yaitu jalan, hanya berkisar antara 33,93 persen sampai 84,53 persen. Nilai terkecil dimiliki oleh Provinsi Kalimantan Tengah sedangkan nilai tertinggi dimiliki Provinsi DI Yogyakarta. Provinsi Kalimantan Tengah menduduki peringkat yang paling rendah dikarenakan nilai aksesibilitas terhadap jalan yang rendah dan kualitas jalan yang masih sangat kurang, hal ini disebabkan faktor kondisi geografis Kalimantan Tengah. Komponen infrastruktur air bersih memiliki jangkauan antara 5,43 persen sampai 89,68 persen. Nilai terkecil dimiliki oleh Provinsi Sulawesi Tenggara. Kecilnya nilai ini disebabkan rata-rata banyaknya air yang disalurkan per pelanggan di provinsi tersebut sangat kecil (lebih disebabkan sisi kualitas). Sedangkan provinsi dengan peringkat terbaik dari sisi infrastruktur air bersih yaitu DKI Jakarta. Sebaran indeks infrastruktur tahun 1991 dan 2007 secara spasial dapat dilihat pada Gambar 23. Provinsi yang mempunyai indeks infrastruktur tinggi jika nilainya lebih besar dari 40 persen. Provinsi dengan indeks sedang jika nilainya antara persen, dan rendah jika nilainya kurang dari 30 persen N Indeks Infrastruktur 1991 Rendah Sedang Tinggi Indeks Infrastruktur 2007 Rendah Sedang Tinggi Kilometers Gambar 23 Peta indeks infrastruktur menurut provinsi tahun 2007

107 Aglomerasi Industri Manufaktur Struktur perekonomian suatu negara dapat digunakan sebagai salah satu indikator dalam menilai kinerja pembangunan ekonominya. Struktur perekonomian yang relatif maju ditandai oleh semakin dominannya peran sektor modern dalam perekonomian negara tersebut. Sektor ini berangsur-angsur menggantikan peran sektor tradisional (pertanian) dalam penyerapan tenaga kerja dan sumber pendapatan daerah. Teori perubahan struktural menyatakan bahwa mekanisme yang memungkinkan negara-negara yang masih terbelakang untuk mentransformasikan struktur perekonomian dari pola perekonomian pertanian subsisten tradisional ke perekonomian yang lebih modern, lebih berorientasi ke kehidupan perkotaan, serta memiliki sektor industri manufaktur yang lebih bervariasi dan sektor jasa-jasa yang tangguh (Todaro dan Smith, 2006). Peran sektor industri manufaktur terhadap perekonomian di Indonesia dalam kurun waktu dua dekade telah mengalahkan peran sektor pertanian. Sejak tahun 1981, peran sektor industri pengolahan mengalami perkembangan yang relatif baik. Hal ini terlihat dari semakin meningkatnya sumbangan sektor industri manufaktur terhadap PDB Indonesia dari 10,78 persen menjadi 20,96 persen pada tahun 1991 dan melampaui sektor pertanian yang hanya 19,66 persen pada tahun yang sama (Gambar 24). Persen (%) Pertanian Pertambangan dan penggalian Industri manufaktur Gambar 24 Kontribusi sektor pertanian, pertambangan dan penggalian, dan industri manufaktur terhadap PDB Indonesia tahun Jumlah industri menufaktur berskala besar dan sedang cenderung terus meningkat dalam kurun waktu 1991 hingga Jumlah perusahaan pada

108 86 industri manufaktur secara keseluruhan sempat mengalami penurunan akibat krisis 1997/1998. Sejalan dengan hal tersebut, jumlah tenaga kerja di industri manufaktur besar sedang juga mengalami penurunan. Hal ini disebabkan menurunnya kinerja sektor industri yang mengakibatkan pengurangan/ pemberhentian karyawan dan tutupnya beberapa perusahaan. Krisis yang mengakibatkan turunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar tidak membuat ekspor produk industri manufaktur Indonesia meningkat. Turunnya nilai tukar rupiah seharusnya dapat meningkatkan keunggulan komparatif, karena harga yang lebih kompetitif di pasar dunia. Kenyataan ini disebabkan subsektor industri manufaktur yang masih menggunakan bahan baku impor, sementara pemasaran hasilnya sebagian besar di dalam negeri. Sebagai contoh, industri tekstil, kertas, kimia, elektronika dan industri otomotif, sebagian besar bahan bakunya berasal dari impor (BPS, 1997). Dilihat dari jumlah tenaga kerja yang dapat diserap, peran sektor industri manufaktur dalam menyerap tenaga kerja nasional memang masih relatif rendah yaitu hanya 12,4 persen pada tahun Distribusi penyerapan tenaga kerja masih terkonsentrasi pada sektor pertanian (43,6 persen) dan sektor perdagangan, hotel dan restoran (20 persen) pada tahun yang sama. Sementara itu pangsa tenaga kerja industri manufaktur besar sedang hanya berkisar 38,24 persen dari total tenaga kerja industri manufaktur. 5,000,000 4,000,000 3,000,000 2,000,000 1,000, Tenaga Kerja Perusahaan Gambar 25 Jumlah perusahaan dan tenaga kerja Industri Besar Sedang (IBS) tahun 2007 Jumlah tenaga kerja industri manufaktur besar sedang dari tahun 1991 hingga tahun 1996 mengalami peningkatan yang cukup berarti. Semenjak krisis

109 87 tahun 1997 hingga tahun 2005 pangsa tenaga kerja industri manufaktur besar sedang cenderung stagnan, dan bahkan cenderung berada dalam tren yang menurun. Peningkatan jumlah tenaga kerja kembali terjadi pada tahun 2006 yang mencapai jumlah tertinggi selama dua dekade yaitu 4,76 juta pekerja (Gambar 25). Apabila dilihat menurut wilayah, jumlah tenaga kerja sektor industri manufaktur besar sedang terkonsentrasi di Pulau Jawa yaitu 81,8 persen dari total seluruh tenaga kerja di Indonesia pada tahun Berdasarkan Tabel 13, provinsi dengan jumlah tenaga kerja terbanyak pada tahun yang sama yaitu Jawa Barat (1,7 juta) dan Jawa Timur (918 ribu). Sedangkan provinsi yang menyumbang jumlah tenaga kerja industri manufaktur terendah yaitu Sulawesi Tengah (tiga ribu) dan Nusa Tenggara Timur (3,6 ribu). Tabel 13 Jumlah tenaga kerja Industri Besar Sedang (IBS) menurut provinsi tahun 1991, 1999 dan 2007 No Provinsi Jumlah Tenaga Kerja Rata-rata Pertumbuhan per Tahun (%) 1 D.I. Aceh ,86 2 Sumatera Utara ,03 3 Sumatera Barat ,13 4 Riau ,89 5 Jambi ,80 6 Sumatera Selatan ,20 7 Bengkulu ,07 8 Lampung ,47 9 DKI Jakarta ,31 10 Jawa Barat ,76 11 Jawa Tengah ,64 12 D.I. Yogyakarta ,61 13 Jawa Timur ,58 14 Bali ,10 15 Nusa Tenggara Barat ,52 16 Nusa Tenggara Timur ,70 17 Kalimantan Barat ,66 18 Kalimantan Tengah ,01 19 Kalimantan Selatan ,33 20 Kalimantan Timur ,38 21 Sulawesi Utara ,55 22 Sulawesi Tengah ,63 23 Sulawesi Selatan ,51 24 Sulawesi Tenggara ,97 25 Maluku ,14 26 Papua ,71 Indonesia ,87 Sumber: Industri Besar Sedang , BPS (diolah)

110 88 Secara nasional rata-rata pertumbuhan per tahun tenaga kerja industri besar sedang dari tahun 1991 sampai 2007 yaitu sebesar 2,87 persen. Rata-rata pertumbuhan tertinggi berada di Provinsi Bengkulu dan Sulawesi Tenggara. Pertumbuhan yang tinggi di kedua provinsi tersebut tidak diimbangi dengan meningkatnya kontribusi sumbangannya terhadap jumlah tenaga kerja secara total, hal ini dikarenakan kedua provinsi tersebut mempunyai jumlah tenaga kerja yang rendah, tepatnya peringkat tiga dan empat terendah. Di sisi lain, provinsi tersebut mengalami penurunan jumlah tenaga kerja, yang diindikasikan dengan rata-rata pertumbuhan yang negatif yaitu DI Aceh, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Dalam penelitian ini, untuk dapat mengidentifikasi pola konsentrasi industri manufaktur secara spasial digunakan dua ukuran yaitu: Location Quotient (LQ) jumlah tenaga kerja dan besarnya nilai tambah. Besarnya LQ di suatu daerah menunjukkan terjadinya spesialisasi industri manufaktur di daerah tersebut. LQ merupakan ukuran untuk menentukan seberapa jauh suatu industri terkonsentrasi di suatu daerah dibanding industri yang sama di Indonesia (Kuncoro, 2002). Sedangkan besarnya nilai tambah digunakan sebagai indikator skala industri manufaktur di daerah tersebut. Kedua kriteria tersebut kemudian diterapkan bersama-sama untuk menentukan wilayah aglomerasi industri manufaktur. Langkah-langkah yang ditempuh yaitu sebagai berikut: Pertama, menghitung dua kriteria tersebut di masing-masing provinsi di Indonesia untuk tahun 2007, berdasarkan hasil yang diperoleh kemudian digambarkan menggunakan peta tematik. Kedua, setelah teridentifikasi provinsi lokasi konsentrasi kemudian dilakukan analisis spasial dengan menggunakan peta kabupaten/kota se-indonesia untuk tahun 1991, 1995, 1999, 2003 dan 2007 untuk melihat penyebarannya menurut kabupaten/ kota. Dengan menggunakan analisis spasial terlihat bahwa Indonesia memiliki empat lokasi aglomerasi industri manufaktur yang cukup dominan. Berdasarkan besarnya nilai LQ (LQ > 1) dan besarnya nilai tambah maka dapat diidentifikasi bahwa aglomerasi industri manufaktur terjadi di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur dan Riau. Sedangkan provinsi yang mempunyai LQ dan nilai tambah terkecil yaitu Provinsi Nusa Tenggara Timur (lihat Gambar 26).

111 89 N 1, juta 2, juta 1,98 LEGENDA: juta Nilai Tambah IBS LQ Tenaga Kerja Industri 0-0,5 0, ,5 Gambar 26 Peta konsentrasi tenaga kerja IBS dan nilai tambah IBS tahun 2007 Pada tahap yang kedua, untuk memperjelas gambaran aglomerasi yang terjadi di Indonesia maka akan ditampilkan peta jumlah tenaga kerja yang dibagi menurut kabupaten/kota untuk tahun 1991, 1995, 1999, 2003 dan 2007 (Gambar 27). Berdasarkan hasil yang diperoleh, perbandingan antar daerah di Jawa dan di luar Jawa jelas terlihat adanya ketimpangan distribusi aktivitas industri. Setiap daerah di Jawa mempunyai andil terhadap total tenaga kerja yang relatif lebih tinggi dibandingkan daerah lain di luar Jawa. Dari hasil identifikasi terdapat tiga lokasi aglomerasi industri manufaktur. Lokasi yang pertama yaitu di ujung barat Pulau Jawa tepatnya di Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat, lokasi kedua yaitu di Provinsi Jawa Timur, dan lokasi ketiga berada di Pulau Sumatera yaitu di Provinsi Riau. Sedangkan Provinsi Jawa Tengah dan Sumatera Utara dengan LQ dan nilai tambah yang cukup tinggi dimungkinkan untuk menjadi daerah konsentrasi industri di tahun-tahun mendatang. Di ujung barat Pulau Jawa (DKI Jakarta dan Jawa Barat) merupakan pusat aglomerasi industri terbesar di Indonesia, jumlah tenaga kerja yang diserap pada tahun 2007 mencapai 2,1 juta atau 45,33 persen dari total nasional dengan nilai tambah mencapai 48,87 persen. Sedangkan untuk lokasi konsentrasi industri kedua, Jawa Timur, tenaga kerja yang diserap mencapai 918 ribu atau 19,77 persen dan nilai tambah mencapai 20,1 persen. Di lokasi ketiga, Provinsi Riau, tenaga kerja yang berhasil diserap mencapai 210,6 ribu atau 4,6 persen dan nilai tambah mencapai 6,7 persen juta 1, juta 153,5 juta Kilometers

112 90 Tahun 1991 N 1991 Tahun Tahun Tahun Tahun Tenaga Kerja IBS Manufaktur Batas Provinsi Kilometers Batas Kabupaten/Kota Gambar 27 Persebaran tenaga kerja IBS menurut kabupaten/kota tahun

113 Perbandingan antara Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia Berdasarkan letak geografisnya provinsi-provinsi di Indonesia dapat dikelompokkan dalam Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia. KBI terdiri dari provinsi-provinsi yang berada di tiga pulau yaitu: Pulau Sumatera, Pulau Jawa, dan Pulau Bali. Sedangkan yang termasuk dalam KTI yaitu provinsi-provinsi yang berada di Pulau Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan Papua. Pengelompokan provinsi-provinsi berdasarkan kawasan dapat dilihat pada Gambar N 2 3 LEGENDA: KBI KTI Kilometers Keterangan: Kawasan Barat Indonesia (KBI): 1 Nanggroe Aceh Darussalam 2 Sumatera Utara 3 Sumatera Barat 4 Riau (termasuk Kepulauan Riau) 5 Jambi 6 Sumatera Selatan (termasuk Bangka Belitung) 7 Bengkulu 8 Lampung 9 DKI Jakarta 10 Jawa Barat (termasuk Banten) 11 Jawa Tengah 12 DI Yogyakarta 13 Jawa Timur 14 Bali Kawasan Timur Indonesia (KTI): 15 Nusa Tenggara Timur 16 Nusa Tenggara Barat 17 Kalimantan Barat 18 Kalimantan Tengah 19 Kalimantan Selatan 20 Kalimantan Timur 21 Sulawesi Utara (termasuk Gorontalo) 22 Sulawesi Tengah 23 Sulawesi Selatan (termasuk Sulawesi Barat) 24 Sulawesi Tenggara 25 Maluku (termasuk Maluku Utara) 26 Papua (termasuk Papua Barat) Gambar 28 Peta wilayah Indonesia menurut kawasan (KBI dan KTI) KBI dengan 14 provinsi mempunyai luas wilayah sebesar ,62 km 2 atau 32,24 persen dari seluruh luas wilayah Negara Indonesia. Hal ini berbeda dengan KTI yang hanya terdiri dari 12 provinsi mempunyai luas wilayah 67,76

114 92 persen dari total nasional yaitu sebesar ,70 km 2. Jika dilihat berdasarkan jumlah penduduk, KBI mempunyai jumlah penduduk sebesar 183,00 juta jiwa pada tahun Secara nasional jumlah penduduk pada tahun yang sama yaitu 225,64 juta jiwa. KBI dengan luas wilayah yang hanya 32,24 persen dari luas nasional, mempunyai jumlah penduduk 81,10 persen dari jumlah penduduk nasional. Hal ini sangat timpang ketika dibandingkan dengan KTI. KTI dengan luas wilayah 67,76 persen hanya dihuni 18,90 persen dari total penduduk (lihat Tabel 14). Tabel 14 Jumlah penduduk, luas area dan kepadatan di Indonesia menurut kawasan tahun 2007 Wilayah Jumlah Penduduk Luas Area (000) jiwa Persentase Km 2 Persentase Kepadatan KBI ,60 81, ,62 32,24 297,08 KTI ,40 18, ,70 67,76 32,93 Indonesia ,00 100, ,32 100,00 118,08 Sumber: BPS, 2008 (diolah) Jumlah penduduk yang begitu besar dan terus bertambah setiap tahun tidak diimbangi dengan pemerataan penyebaran penduduk. Selama ini sebagian besar penduduk masih terpusat di Pulau Jawa. Permasalahan penyebaran penduduk yang tidak merata juga terjadi antara KBI dan KTI. Secara keseluruhan KBI mempunyai kepadatan penduduk yang jauh jika dibandingkan dengan KTI yaitu 297 jiwa/km 2 pada tahun 2007, sedangkan KTI hanya 33 jiwa/km 2. Gambaran ketimpangan tersebut selain menunjukkan tidak meratanya penyebaran penduduk juga menunjukkan daya dukung lingkungan yang kurang seimbang di antara provinsi-provinsi di KBI dan KTI. Penyebaran penduduk yang tidak merata antara KBI dan KTI memberikan dampak pada kondisi perekonomian di kedua wilayah tersebut. Pada tahun 2007, KBI menyumbang 83,55 persen terhadap pendapatan nasional. Hal ini sangat jauh jika dibandingkan dengan KTI yang hanya menyumbang 16,45 persen. Sumbangan sektoral dalam PDRB digunakan sebagai salah satu ukuran dalam melihat struktur perekonomian suatu wilayah. Di wilayah KBI sumbangan yang diberikan oleh sektor industri pengolahan mempunyai nilai yang paling

115 93 tinggi dibandingkan sektor yang lain yaitu sebesar 27,43 persen. Sektor kedua yang memberikan sumbangan terbesar adalah perdagangan hotel dan restoran yaitu sebesar 19,85 persen. Jika dibandingkan dengan KTI perbedaannya terletak pada urutan sektor yang memberikan sumbangan terbesar, di KTI tiga sektor yang memberikan sumbangan terbesar berturut-turut yaitu sektor pertambangan dan penggalian, pertanian, dan industri pengolahan (Gambar 29). Struktur Ekonomi KBI Struktur Ekonomi KTI Keuangan 9% Pengangkutan 7% Perdagangan 20% Bangunan 6% LGA 2% Industri 27% Bangunan 5% LGA 1% Keuangan 4% Jasa-Jasa 8% Jasa-Jasa Pertanian Pertambangan Pengangkutan 9% 14% 6% 6% Pertanian 19% Perdagangan 12% Industri 18% Pertambangan 27% Gambar 29 Struktur ekonomi KBI dan KTI menurut lapangan usaha tahun 2007 Sektor pertambangan dan penggalian yang merupakan sektor dominan di KTI berimplikasi pada adanya sejumlah provinsi yang memiliki PDRB per kapita yang sangat tinggi. PDRB per kapita yang tinggi disebabkan oleh keberadaan aktivitas pertambangan dan penggalian baik migas maupun non migas di daerah tersebut. Hal ini menyebabkan tingkat ketimpangan antar provinsi di KTI relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat ketimpangan antar provinsi di KBI. Untuk melihat ketimpangan antar provinsi dapat digunakan indeks Williamson. Adapun hasil perhitungan Indeks Williamson di KBI dan KTI dapat dilihat pada Gambar 30. Dari gambar tersebut menunjukkan bahwa disparitas antar provinsi di KBI dari tahun cukup besar, yaitu berada pada kisaran 0,50-0,71. Jika dibandingkan dengan KTI, maka KTI mempunyai tingkat ketimpangan yang sangat tinggi yaitu berkisar antara 0,85-1,14. Berdasarkan hal tersebut dapat diartikan bahwa antar provinsi di KTI terjadi ketimpangan pendapatan yang besar.

KETIMPANGAN DAN PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI KAWASAN BARAT INDONESIA (KBI) OLEH RINDANG BANGUN PRASETYO H

KETIMPANGAN DAN PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI KAWASAN BARAT INDONESIA (KBI) OLEH RINDANG BANGUN PRASETYO H KETIMPANGAN DAN PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI KAWASAN BARAT INDONESIA (KBI) OLEH RINDANG BANGUN PRASETYO H14084020 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH INFRASTRUKTUR EKONOMI DAN SOSIAL TERHADAP PRODUKTIVITAS EKONOMI DI INDONESIA OLEH KRISMANTI TRI WAHYUNI H

ANALISIS PENGARUH INFRASTRUKTUR EKONOMI DAN SOSIAL TERHADAP PRODUKTIVITAS EKONOMI DI INDONESIA OLEH KRISMANTI TRI WAHYUNI H ANALISIS PENGARUH INFRASTRUKTUR EKONOMI DAN SOSIAL TERHADAP PRODUKTIVITAS EKONOMI DI INDONESIA OLEH KRISMANTI TRI WAHYUNI H14094021 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dinantikan serta diinginkan oleh rakyat Indonesia. Harapan dan cita-cita yang

BAB I PENDAHULUAN. dinantikan serta diinginkan oleh rakyat Indonesia. Harapan dan cita-cita yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemerataan pembangunan ekonomi bagi bangsa Indonesia sudah lama dinantikan serta diinginkan oleh rakyat Indonesia. Harapan dan cita-cita yang ingin dijadikan kenyataan

Lebih terperinci

ANALISIS KETIMPANGAN DAN FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI BANTEN OLEH ANDRI PRIYANTO H

ANALISIS KETIMPANGAN DAN FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI BANTEN OLEH ANDRI PRIYANTO H ANALISIS KETIMPANGAN DAN FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI BANTEN OLEH ANDRI PRIYANTO H14094023 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu daerah pada periode

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah Sjafrizal (2008) menyatakan kesenjangan ekonomi antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan pembangunan

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemajuan yang diperoleh Bangsa Indonesia selama tiga dasawarsa pembangunan ternyata masih menyisakan berbagai ketimpangan, antara lain berupa kesenjangan pendapatan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk. membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk. membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus 13 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus dilaksanakan dengan berpedoman

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun

I. PENDAHULUAN. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2004-2009 di Sektor Industri Manufaktur, Pemerintah Pusat memprioritaskan pengembangan agroindustri. Prioritas

Lebih terperinci

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN IV. DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Bertambahnya jumlah penduduk berarti pula bertambahnya kebutuhan konsumsi secara agregat. Peningkatan pendapatan diperlukan

Lebih terperinci

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR 4.1. Dinamika Disparitas Wilayah Pembangunan wilayah merupakan sub sistem dari pembangunan koridor ekonomi dan provinsi dan merupakan bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan Jangka Panjang tahun 2005 2025 merupakan kelanjutan perencanaan dari tahap pembangunan sebelumnya untuk mempercepat capaian tujuan pembangunan sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari definisi ini bahwa pembangunan ekonomi mempunyai tiga sifat penting

BAB I PENDAHULUAN. dari definisi ini bahwa pembangunan ekonomi mempunyai tiga sifat penting 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pengertian pembangunan ekonomi secara essensial dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita penduduk suatu masyarakat meningkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. modal manusia merupakan salah satu faktor penting untuk mencapai pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. modal manusia merupakan salah satu faktor penting untuk mencapai pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Modal manusia memiliki peran sentral dalam pembangunan ekonomi. Pembangunan berkelanjutan merupakan tujuan dari suatu negara maka peran modal manusia merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang. Definisi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. ekonomi di setiap negara. Tujuan peningkatan penyerapan tenaga kerja sering

BAB 1 PENDAHULUAN. ekonomi di setiap negara. Tujuan peningkatan penyerapan tenaga kerja sering BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Tenaga kerja merupakan faktor yang sangat krusial bagi pembangunan ekonomi di setiap negara. Tujuan peningkatan penyerapan tenaga kerja sering menjadi prioritas dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1. A 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator kemajuan ekonomi suatu negara. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi maka semakin baik pula perekonomian negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah resmi dimulai sejak tanggak 1 Januari Dalam UU No 22 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. telah resmi dimulai sejak tanggak 1 Januari Dalam UU No 22 tahun 1999 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada peraturan pemerintah Republik Indonesia, pelaksanaan otonomi daerah telah resmi dimulai sejak tanggak 1 Januari 2001. Dalam UU No 22 tahun 1999 menyatakan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. dipecahkan terutama melalui mekanisme efek rembesan ke bawah (trickle down

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. dipecahkan terutama melalui mekanisme efek rembesan ke bawah (trickle down BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pada mulanya pembangunan selalu diidentikkan dengan upaya peningkatan pendapatan per kapita atau populer disebut sebagai strategi pertumbuhan ekonomi (Kuncoro, 2010:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta pengentasan kemiskinan (Todaro, 1997). Salah satu indikator kemajuan

BAB I PENDAHULUAN. serta pengentasan kemiskinan (Todaro, 1997). Salah satu indikator kemajuan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan dalam perspektif luas dapat dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap

Lebih terperinci

CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA. Abstrak

CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA. Abstrak CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA Abstrak yang berkualitas adalah pertumbuhan yang menciptakan pemerataan pendapatan,pengentasan kemiskinan dan membuka kesempatan kerja yang luas. Di

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. transformasi struktur ekonomi di banyak Negara. Sebagai obat, industrialisasi. ketimpangan dan pengangguran (Kuncoro, 2007).

BAB 1 PENDAHULUAN. transformasi struktur ekonomi di banyak Negara. Sebagai obat, industrialisasi. ketimpangan dan pengangguran (Kuncoro, 2007). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sektor Industri merupakan sektor yang menjadi mesin pertumbuhan bagi sebuah perekonomian. Industiralisasi dianggap sebagai strategi sekaligus obat bagi banyak Negara.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki nilai tambah untuk mendapatkan keuntungan. Industri pengolahan

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki nilai tambah untuk mendapatkan keuntungan. Industri pengolahan 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Industri menurut BPS (Badan Pusat Statistik) adalah suatu usaha atau kegiatan pengolahan bahan mentah atau barang setengah jadi menjadi barang jadi barang jadi yang

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. Gejolak krisis ekonomi yang dialami Amerika Serikat dan beberapa negara

BAB I PENGANTAR. Gejolak krisis ekonomi yang dialami Amerika Serikat dan beberapa negara 1 BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Gejolak krisis ekonomi yang dialami Amerika Serikat dan beberapa negara maju di kawasan Eropa masih belum sepenuhnya mereda. Permasalahan mendasar seperti tingginya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor keuangan memegang peranan yang sangat signifikan dalam memacu pertumbuhan ekonomi suatu negara. Sektor keuangan menjadi lokomotif pertumbuhan sektor riil melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang melimpah. Sumber daya alam nantinya dapat digunakan sebagai pendukung

BAB I PENDAHULUAN. yang melimpah. Sumber daya alam nantinya dapat digunakan sebagai pendukung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara yang mempunyai sumber daya alam yang melimpah. Sumber daya alam nantinya dapat digunakan sebagai pendukung kegiatan industri serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang, terus melaksanakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang, terus melaksanakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang, terus melaksanakan pembangunan secara berencana dan bertahap, tanpa mengabaikan usaha pemerataan dan kestabilan. Pembangunan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akademisi ilmu ekonomi, secara tradisional pembangunan dipandang sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akademisi ilmu ekonomi, secara tradisional pembangunan dipandang sebagai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Pembangunan Ekonomi Pembangunan ekonomi memiliki pengertian yang sangat luas. Menurut akademisi ilmu ekonomi, secara tradisional pembangunan dipandang sebagai suatu fenomena

Lebih terperinci

DUKUNGAN KEBIJAKAN PERPAJAKAN PADA KONSEP PENGEMBANGAN WILAYAH TERTENTU DI INDONESIA

DUKUNGAN KEBIJAKAN PERPAJAKAN PADA KONSEP PENGEMBANGAN WILAYAH TERTENTU DI INDONESIA DUKUNGAN KEBIJAKAN PERPAJAKAN PADA KONSEP PENGEMBANGAN WILAYAH TERTENTU DI INDONESIA Oleh Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Indonesia memiliki cakupan wilayah yang sangat luas, terdiri dari pulau-pulau

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata

Lebih terperinci

ABSTRAK. ketimpangan distribusi pendapatan, IPM, biaya infrastruktur, investasi, pertumbuhan ekonomi.

ABSTRAK. ketimpangan distribusi pendapatan, IPM, biaya infrastruktur, investasi, pertumbuhan ekonomi. Judul : Analisis Pengaruh Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Biaya Infrastruktur, dan Investasi Terhadap Ketimpangan Distribusi Pendapatan Melalui Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Bali Nama : Diah Pradnyadewi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 telah menggariskan bahwa Visi Pembangunan 2010-2014 adalah Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu bangsa. Industrialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu bangsa. Industrialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam proses pembangunan ekonomi, industrialisasi merupakan salah satu tahap perkembangan yang dianggap penting untuk dapat mempercepat kemajuan ekonomi suatu bangsa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Industrialisasi telah menjadi kekuatan utama (driving force) di balik

BAB I PENDAHULUAN. Industrialisasi telah menjadi kekuatan utama (driving force) di balik A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Industrialisasi telah menjadi kekuatan utama (driving force) di balik urbanisasi yang cepat di kawasan Asia sejak dasawarsa 1980an. Berbeda dalam kasus industri berbasis

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI NTT. 4.1 Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi NTT

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI NTT. 4.1 Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi NTT BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI NTT 4.1 Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi NTT Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terdiri dari pulau-pulau yang memiliki penduduk yang beraneka ragam, dengan latar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan penduduknya. Pembangunan dalam perspektif luas dapat dipandang

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan penduduknya. Pembangunan dalam perspektif luas dapat dipandang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator dari kemajuan pembangunan, indikator ini pada dasarnya mengukur kemampuan suatu negara untuk memperbesar outputnya

Lebih terperinci

PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PERTUMBUHAN EKONOMI DAN MENGURANGI KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PEMERINTAH ACEH OLEH AGUS NAUFAL H

PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PERTUMBUHAN EKONOMI DAN MENGURANGI KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PEMERINTAH ACEH OLEH AGUS NAUFAL H PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PERTUMBUHAN EKONOMI DAN MENGURANGI KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PEMERINTAH ACEH OLEH AGUS NAUFAL H14052333 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Luas keseluruhan dari pulau-pulau di

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Luas keseluruhan dari pulau-pulau di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara yang terletak di Asia Tenggara yang dilewati garis khatulistiwa. Negara tropis tersebut memiliki jumlah pulau lebih dari 17.000 pulau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. antara ketimpangan dan pertumbuhan ekonomi. pembangunan ekonomi yang terjadi dalam suatu negara adalah pertumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. antara ketimpangan dan pertumbuhan ekonomi. pembangunan ekonomi yang terjadi dalam suatu negara adalah pertumbuhan BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai teori yang menjadi dasar dari pokok permasalahan yang diamati. Teori yang dibahas dalam bab ini terdiri dari pengertian pertumbuhan ekonomi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dalam struktur dan corak kegiatan ekonomi. 1. perkembangan ekonomi dan mempercepat pertumbuhan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dalam struktur dan corak kegiatan ekonomi. 1. perkembangan ekonomi dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan proses perubahan pada masyarakat yang diikuti penyesuaian sistem sosial untuk mencapai kesejahterahan masyarakat. Pembangunan ekonomi

Lebih terperinci

BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. wilayah telah dilaksanakan oleh beberapa peneliti yaitu :

BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. wilayah telah dilaksanakan oleh beberapa peneliti yaitu : BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS A. Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai pertumbuhan ekonomi dan disparitas pendapatan antar wilayah telah dilaksanakan oleh beberapa peneliti yaitu : Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu meningkatkan taraf hidup atau mensejahterakan seluruh rakyat melalui pembangunan ekonomi. Dengan kata

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. Gouws (2005) menyatakan perluasan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah

TINJAUAN PUSTAKA. Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Ekonomi Pembangunan Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah perekonomian nasional yang kondisi-kondisi ekonomi awalnya kurang lebih bersifat

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012 KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012 Januari 2013 Kinerja Ekonomi Daerah Cukup Kuat, Inflasi Daerah Terkendali Ditengah perlambatan perekonomian global, pertumbuhan ekonomi berbagai daerah di Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi melalui produktivitas yang tinggi, dan mendatangkan lebih banyak input ke dalam proses produksi.

Lebih terperinci

MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI

MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berbagai teori pembangunan ekonomi, mulai dari teori ekonomi klasik (Adam Smith, Robert Malthus dan David Ricardo) sampai dengan teori ekonomi modern (W.W. Rostow dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki peran penting bagi perekonomian nasional. Berdasarkan sisi perekonomian secara makro, Jawa Barat memiliki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan teori konvergensi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan teori konvergensi. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai teori yang menjadi dasar dari pokok permasalahan yang diamati. Teori yang dibahas dalam bab ini terdiri dari pengertian pembangunan ekonomi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. tujuan pembangunan ekonomi secara makro adalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. tujuan pembangunan ekonomi secara makro adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu tujuan pembangunan ekonomi secara makro adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi disamping dua tujuan lainnya yaitu pemerataan dan stabilitas. Indikator

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara dalam jangka

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara dalam jangka I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi mengukur prestasi dari perkembangan suatu perekonomian dari suatu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah sebagai salah satu wujud perubahan fundamental terhadap

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan I.PENDAHULUAN A.Latar Belakang Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan ekonomi, hal ini disebabkan karena terjadinya keterbelakangan ekonomi. Pembangunan di bidang ekonomi

Lebih terperinci

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD)

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) 3.1. Asumsi Dasar yang Digunakan Dalam APBN Kebijakan-kebijakan yang mendasari APBN 2017 ditujukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting untuk menganalisis pembangunan ekonomi yang terjadi disuatu Negara yang diukur dari perbedaan PDB tahun

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. lumpuhnya sektor-sektor perekonomian dunia, sehingga dunia dihadapkan bukan

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. lumpuhnya sektor-sektor perekonomian dunia, sehingga dunia dihadapkan bukan BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Krisis ekonomi global lebih dari 12 tahun yang lalu telah mengakibatkan lumpuhnya sektor-sektor perekonomian dunia, sehingga dunia dihadapkan bukan hanya dengan upaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil perkapita penduduk di suatu negara dalam jangka panjang yang

Lebih terperinci

MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI

MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi Daerah sebagai wujud dari sistem demokrasi dan desentralisasi merupakan landasan dalam pelaksanaan strategi pembangunan yang berkeadilan, merata, dan inklusif. Kebijakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Yagi Sofiagy, FE UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Yagi Sofiagy, FE UI, 2010. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan ekonomi adalah serangkaian usaha yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, memperluas lapangan pekerjaan, meratakan pembagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi ialah untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi ialah untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Pemerataan pembangunan ekonomi merupakan hasil yang diharapkan oleh seluruh masyarakat bagi sebuah negara. Hal ini mengingat bahwa tujuan dari pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemerataan pembangunan ekonomi bagi bangsa Indonesia sudah lama

BAB I PENDAHULUAN. Pemerataan pembangunan ekonomi bagi bangsa Indonesia sudah lama 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pemerataan pembangunan ekonomi bagi bangsa Indonesia sudah lama dinantikan serta diinginkan oleh rakyat Indonesia. Harapan dan cita-cita yang diinginkan dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi jika bergantung pada

BAB I PENDAHULUAN. menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi jika bergantung pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam yang berlimpah pada suatu daerah umumnya akan menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi jika bergantung pada sumber daya alam yang tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi dikatakan baik apabila terjadi peningkatan pada laju pertumbuhan di

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi dikatakan baik apabila terjadi peningkatan pada laju pertumbuhan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Suatu negara dikatakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses multidimensional yang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses multidimensional yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terletak pada 113 0 44-119 0 00 BT dan 4 0 24 LU-2 0 25 LS. Kalimantan Timur merupakan

Lebih terperinci

MODEL PERTUMBUHAN EKONOMI DUA DAERAH BERDASARKAN MODAL DAN KNOWLEDGE MUHAMMAD TAUFIK NUSA TAJAU

MODEL PERTUMBUHAN EKONOMI DUA DAERAH BERDASARKAN MODAL DAN KNOWLEDGE MUHAMMAD TAUFIK NUSA TAJAU MODEL PERTUMBUHAN EKONOMI DUA DAERAH BERDASARKAN MODAL DAN KNOWLEDGE MUHAMMAD TAUFIK NUSA TAJAU SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORI DAN KONSEP. pendapatan perkapita riil penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka

BAB II KERANGKA TEORI DAN KONSEP. pendapatan perkapita riil penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka BAB II KERANGKA TEORI DAN KONSEP 2.1.Pembangunan Ekonomi Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita riil penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang (Sukirno

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN TINGKAT KEMISKINAN DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TENGAH

ANALISIS PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN TINGKAT KEMISKINAN DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TENGAH ANALISIS PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN TINGKAT KEMISKINAN DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TENGAH Skripsi Diajukan untuk Melengkapi Syarat-Syarat Untuk Mendapat Gelar Sarjana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termaktub dalam alenia ke-4 pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu: (1)

BAB I PENDAHULUAN. termaktub dalam alenia ke-4 pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu: (1) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagaimana termaktub dalam alenia ke-4 pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu: (1) melindungi segenap bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. ekonomi terbesar di dunia pada tahun Tujuan pemerintah tersebut

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. ekonomi terbesar di dunia pada tahun Tujuan pemerintah tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu tujuan Pemerintah Indonesia yang tertuang dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025, adalah menjadikan Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan serangkaian usaha dalam suatu perekonomian untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak tersedia, perusahaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Pembangunan Ekonomi Pembangunan menurut Todaro dan Smith (2006) merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai suatu bangsa dan negara besar dengan pemilikan sumber daya alam yang melimpah, dalam pembangunan ekonomi yang merupakan bagian dari pembangunan nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. samping komponen konsumsi (C), investasi (I) dan pengeluaran pemerintah (G).

BAB I PENDAHULUAN. samping komponen konsumsi (C), investasi (I) dan pengeluaran pemerintah (G). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam sistem perekonomian terbuka, perdagangan internasional merupakan komponen penting dalam determinasi pendapatan nasional suatu negara atau daerah, di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam periode jangka panjang mengikuti

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam periode jangka panjang mengikuti BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi dalam periode jangka panjang mengikuti pertumbuhan pendapatan perkapita, akan membawa suatu perubahan mendasar dalam struktur ekonomi, dari ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tujuan utama pembangunan ekonomi di negara berkembang adalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tujuan utama pembangunan ekonomi di negara berkembang adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan utama pembangunan ekonomi di negara berkembang adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan pencapaian kesejahteraan tersebut dapat diukur dengan

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR TAHUN 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem negara kesatuan. Tuntutan desentralisasi atau otonomi yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem negara kesatuan. Tuntutan desentralisasi atau otonomi yang lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah memiliki kaitan erat dengan demokratisasi pemerintahan di tingkat daerah. Agar demokrasi dapat terwujud, maka daerah harus memiliki kewenangan yang lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembangunan adalah kemajuan yang diharapkan oleh setiap negara. Pembangunan adalah perubahan yang terjadi pada semua struktur ekonomi dan sosial. Selain itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan wilayah memiliki konsep yang bertujuan untuk meningkatkan fungsi dan perannya dalam menata kehidupan masyarakat dalam aspek sosial, ekonomi, budaya, pendidikan

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN PENUTUP

BAB 5 KESIMPULAN DAN PENUTUP 92 BAB 5 KESIMPULAN DAN PENUTUP First of all, human capital is considered one of the major factors in explaining a countries remarkable economic growth - Jong-Wha Lee - 5.1 Kesimpulan Dari penelitian ini,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara defenitif, pada awalnya pengertian pembangunan ekonomi diberi

BAB I PENDAHULUAN. Secara defenitif, pada awalnya pengertian pembangunan ekonomi diberi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara defenitif, pada awalnya pengertian pembangunan ekonomi diberi pemahaman yang sama dengan pertumbuhan ekonomi (Jhingan, 1988:4-5). Pertumbuhan ekonomi adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju dari pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh suatu negara untuk memperkuat proses perekonomian menuju perubahan yang diupayakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya.

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya peningkatan kapasitas pemerintahan daerah agar tercipta suatu

Lebih terperinci

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYERAPAN TENAGA KERJA SEKTOR INDUSTRI DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYERAPAN TENAGA KERJA SEKTOR INDUSTRI DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYERAPAN TENAGA KERJA SEKTOR INDUSTRI DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2010-2014 TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Magister Ekonomi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Teori Indeks Pembangunan Manusia Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Pembangunan manusia menempatkan

Lebih terperinci

DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP PEMEKARAN PROVINSI BANTEN OLEH CITRA MULIANTY NAZARA H

DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP PEMEKARAN PROVINSI BANTEN OLEH CITRA MULIANTY NAZARA H DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP PEMEKARAN PROVINSI BANTEN OLEH CITRA MULIANTY NAZARA H14102010 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN CITRA MULIANTY

Lebih terperinci

DAMPAK EFISIENSI LOKASI INDUSTRI TERHADAP NILAI TAMBAH SEKTOR INDUSTRI MANUFAKTUR DI KABUPATEN BOGOR OLEH ERIK PRIYADI SIMATUPANG H

DAMPAK EFISIENSI LOKASI INDUSTRI TERHADAP NILAI TAMBAH SEKTOR INDUSTRI MANUFAKTUR DI KABUPATEN BOGOR OLEH ERIK PRIYADI SIMATUPANG H DAMPAK EFISIENSI LOKASI INDUSTRI TERHADAP NILAI TAMBAH SEKTOR INDUSTRI MANUFAKTUR DI KABUPATEN BOGOR OLEH ERIK PRIYADI SIMATUPANG H14102031 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosial, tingkah laku sosial, dan

I. PENDAHULUAN. perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosial, tingkah laku sosial, dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang melibatkan berbagai perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosial, tingkah laku sosial, dan institusi sosial,

Lebih terperinci

PENERAPAN MODEL SOLOW-SWAN UNTUK MEMACU PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN DEMAK

PENERAPAN MODEL SOLOW-SWAN UNTUK MEMACU PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN DEMAK PENERAPAN MODEL SOLOW-SWAN UNTUK MEMACU PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN DEMAK Dhani Kurniawan Teguh Pamuji Tri Nur Hayati Fakultas Ekonomi Universitas Sultan Fattah Demak Email : ujik_angkung@yahoo.com Abstrak

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007 BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007 4.1. Gambaran Umum awa Barat adalah provinsi dengan wilayah yang sangat luas dengan jumlah penduduk sangat besar yakni sekitar 40 Juta orang. Dengan posisi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Ketimpangan Ekonomi Antar Wilayah Ketimpangan ekonomi antar wilayah merupaka ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masalah pertumbuhan ekonomi bukanlah merupakan persoalan baru. namun merupakan masalah makroekonomi yang bersifat jangka panjang.

BAB I PENDAHULUAN. Masalah pertumbuhan ekonomi bukanlah merupakan persoalan baru. namun merupakan masalah makroekonomi yang bersifat jangka panjang. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah pertumbuhan ekonomi bukanlah merupakan persoalan baru namun merupakan masalah makroekonomi yang bersifat jangka panjang. Perekonomian yang tumbuh dengan baik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan proses transformasi yang dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Pembangunan ekonomi dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci