PENGEMBANGAN TEORI LENTUR PADA GLULAM I-JOIST DAN VERIFIKASI EMPIRISNYA RENTRY AUGUSTI NURBAITY

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGEMBANGAN TEORI LENTUR PADA GLULAM I-JOIST DAN VERIFIKASI EMPIRISNYA RENTRY AUGUSTI NURBAITY"

Transkripsi

1 PENGEMBANGAN TEORI LENTUR PADA GLULAM I-JOIST DAN VERIFIKASI EMPIRISNYA RENTRY AUGUSTI NURBAITY DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 9

2 PENGEMBANGAN TEORI LENTUR PADA GLULAM I-JOIST DAN VERIFIKASI EMPIRISNYA RENTRY AUGUSTI NURBAITY E4576 Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 9

3 RINGKASAN Rentry Augusti Nurbaity. Pengembangan Teori Lentur pada Glulam I-Joist dan Verifikasi Empirisnya. Di bawah bimbingan Effendi Tri Bahtiar S.Hut, M.Si dan Dr. Ir. Han Roliadi, M.Sc Kayu dapat digunakan sebagai bahan baku konstruksi bangunan. Dikarenakan adanya kebutuhan kayu berukuran besar untuk konstruksi maka dikembangkan produk rekayasa salah satunya glulam berbentuk I. Glulam disusun atas lamina-lamina yang direkatkan. Setiap lamina berpengaruh dalam menentukan kekuatan glulam menahan beban lentur sehingga kekuatan glulam dapat diprediksi dari sifat laminanya. Transformed cross section telah lama digunakan untuk menentukan nilai tunggal MOE dan MOR glulam. Namun metode ini tidak taat azas karena bertentangan dengan ilmu-ilmu dasar berkaitan dengan penurunan luas penampang untuk lamina yang memiliki MOE rendah dan peningkatan luas penampang untuk lamina yang memiliki MOE tinggi. Padahal MOE merupakan sifat bahan yang saling bebas dengan ukuran dan bentuk penampang serta nilainya tetap sehingga tidak relevan bila mengubah luas penampang berdasarkan MOE laminanya. Oleh karena ketidaktaatan azas tersebut maka diperlukan sebuah teori baru yang tidak bertentangan dengan ilmu-ilmu dasar dan mampu memberikan nilai tunggal MOE dan MOR glulam secara rasional. Bahtiar (8) telah mengembangkan sebuah metode baru untuk menghitung dan menghasilkan nilai tunggal MOE dan MOR glulam dengan tetap taat azas berdasarkan geometri analitis dan mekanika. Penelitian ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari metode yang disajikan Bahtiar (8) tersebut agar berlaku lebih umum yaitu dapat pula diaplikasikan untuk glulam berbentuk I selain untuk glulam biasa. Penelitian ini juga mengaplikasikan metode baru yang telah dikembangkan Bahtiar (8) berkaitan dengan penentuan batas elastis kayu yang menerima beban lentur. Bahtiar (8) telah mengembangkan metode untuk menghitung MOE kayu dengam menetapkan batas elastis sebagai pertemuan antara kurva linear dan kurva kuadratik. Batasan penting yang diberikan pada metode Bahtiar tersebut adalah bahwa tepat pada batas elastis, kemiringan kurva linear dan kurva kuadratik harus sama sehingga nilai fungsi derivatif (turunan) keduanya harus sama. Penelitian ini menggunakan kayu Karet sebagai bahan baku dan perekat phenol resorsinol formaldehida. Setiap potong kayu Karet dipersiapkan untuk lamina diambil salah satu ujungnya untuk pengujian lentur contoh kecil berdasarkan BS-373:957. Perhitungan MOE dilakukan dengan dua cara yaitu metode konvensional dan metode Bahtiar (8a). Setiap lamina kemudian disusun menjadi balok I dan diuji sesuai dengan standar ASTM D-98. MOE dan MOR glulam dihitung dengan cara teoritis dan empiris. Metode perhitungan teoritis dilakukan dengan dua cara yaitu metode transformed cross section dan metode baru yang telah dikembangkan. Sedangkan metode empiris dilakukan sesuai dengan ASTM D-98 yang dimodifikasi. Hasil perhitungan MOE contoh kecil kayu Karet menunjukkan adanya perbedaan hasil antara metode konvensional dan metode Bahtiar. Metode

4 konvensional cenderung menghasilkan MOE lebih tinggi sebesar ±% daripada metode Bahtiar (8). Namun terdapat korelasi yang sangat tinggi antara MOE hasil kedua metode tersebut yaitu sebesar 99,6%. Verifikasi secara teoritis dengan menggunakan metode transformed cross section telah berhasil dilakukan. Perhitungan MOE dan MOR dengan metode baru mampu menghasilkan nilai tunggal MOE dan MOR untuk glulam yang identik dengan hasil metode transformed cross section. Metode baru lebih taat azas dan tidak bertentangan dengan ilmu-ilmu dasar berkaitan dengan sifat penampang dan sifat material yang saling bebas. Dengan demikian sudah saatnya untuk menggugurkan metode transformed cross section dan menggantikannya dengan metode baru ini. Penelitian ini belum mampu memberikan verifikasi empiris yang memadai bagi metode perhitungan MOE dan MOR glulam berdasarkan lamina-lamina penyusunnya. Perhitungan teoritis (baik metode baru maupun metode transformed cross section) menghasilkan nilai MOE dan MOR yang jauh lebih besar daripada hasil empirisnya. Hal ini terjadi akibat perlemahan pada garis rekat. Sebagian besar glulam rusak pada garis rekatnya sehingga lamina-lamina tidak mampu memberikan kontribusi maksimum pada sifat lentur glulam. Perlemahan MOE berkisar antara 5,99-68,6%. Perlemahan MOR berkisar antara 76,75-95,4%. Kata Kunci: Glulam I-joist, Transformed cross section, MOE, MOR

5 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengembangan Teori Lentur pada Glulam I-Joist dan Verifikasi Empirisnya adalah karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan manapun tidak diterbitkan dari penulis lain terlah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Oktober 9 Rentry Augusti Nurbaity E4576

6 LEMBAR PENGESAHAN Judul Skripsi : Pengembangan Teori Lentur pada Glulam I-joist dan Verifikasi Empirisnya Nama Mahasiswa : Rentry Augusti Nurbaity NIM : E4576 Menyetujui: Komisi Pembimbing, Ketua, Anggota, Effendi Tri Bahtiar, S.Hut, M.Si NIP. 976 Dr. Ir. Han Roliadi, M.Sc NIP Diketahui, Dekan Fakultas Kehutanan IPB, Dr. Ir Hendrayanto, M. Agr. NIP Tanggal Lulus:

7 KATA PENGANTAR Penulis memanjatkan segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkah rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian serta menyusun karya ilmiah yang berjudul Pengembangan Teori Lentur pada Glulam I-Joist dan Verifikasi Empirisnya. Karya ilmiah ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Kayu konstruksi sering digunakan untuk menerima beban lentur. Salah satu bentuk kayu konstruksi adalah balok laminasi berbentuk I. Balok laminasi ini terdiri dari lamina-lamina yang setiap laminanya dipercaya memberikan sumbangan dalam menentukan kekuatan glulam dalam menahan beban lentur dan telah dibuktikan secara teoritis oleh Bahtiar (8b). Untuk menguji keandalan dari metode perhitungan yang disusun maka diperlukan verifikasi secara empirisnya. Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat untuk pengembangan konstruksi kayu. Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan demi penyempurnaan karya ini. Akhirnya semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak-pihak yang membutuhkan. Bogor, Oktober 9 Rentry Augusti Nurbaity

8 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 5 Agustus 987 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Parlan Harahap dan Tini Sugiarsih. Penulis telah menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN 9 Pagi Bintaro, sekolah lanjutan tingkat pertama di SLTP Negeri 78 Jakarta dan sekolah lanjutan tingkat atas di SMU Negeri 47 Jakarta. Pada tahun 5, penulis masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan terhitung sebagai mahasiswa program mayor minor. Penulis memilih Hasil Hutan sebagai mayor dan supporting course sebagai minor. Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan yaitu Paduan Suara Mahasiswa IPB Agria Swara sebagai anggota, International Forestry Students Association (IFSA) sebagai anggota, dan Himpunan Mahasiswa Hasil Hutan sebagai staf biro infokom periode 6-7 dan sekertaris periode 7-8. Penulis mengikuti kegiatan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan di Indramayu-Linggarjati, Jawa Barat dan Praktek Pengolahan Hutan di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Selain itu, penulis juga melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di pabrik glulam PT Morawa Inawood Deli Serdang, Sumatera Utara. Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan dari Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis melaksanakan kegiatan praktek khusus (skripsi) dalam bidang rekayasa dan desain bangunan kayu dengan judul Pengembangan Teori Lentur pada Glulam I-Joist dan Verifikasi Empirisnya di bawah bimbingan Effendi Tri Bahtiar S.Hut, M.Si dan Dr. Ir. Han Roliadi M.Sc.

9 UCAPAN TERIMA KASIH Seiring dengan selesainya skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:. Effendi Tri Bahtiar S.Hut, M.Si dan Dr. Ir. Han Roliadi M.Sc selaku pembimbing yang telah memberi pengarahan kepada penulis.. Ir. Sudaryanto, Ir. Edje Djamhuri, dan Ir. Rachmad Hermawan, M.Sc selaku dosen penguji pada siding komprehensif. 3. Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Departemen Kehutanan RI Bogor atas segala fasilitas yang telah diberikan selama penelitian. 4. Laboran Produk Kayu Majemuk serta Sifat Fisik dan Mekanis Kayu di puslibang kehutanan. 5. Laboran di laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu dan laboratorium Peningkatan Mutu Kayu 6. Bapak, Ibu, dan kakak (Rani Dessiasifayanty dan Rina Aprilla Afianty) atas dukungan moril dan materil yang senantiasa diberikan. 7. Irsan Alipraja yang senantiasa membantu dan memberi dukungan moril. 8. Rekan-rekan lab. Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu dan angkatan 4 Departemen Hasil Hutan: Ijup, Icha, Shinta, Danu, Lita, Nila, Iie, Nia, Ridho, Poye, Miske dan teman-teman mahasiswa Fahutan angkatan 4 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. 9. Angkatan 4 DHH (Lilis, Hans dan Lukman) dan angkatan 43 DHH (Ricky) atas bantuan dan nasehat yang diberikan.

10 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR LAMPIRAN... ix BAB I PENDAHULUAN.. Latar Belakang..... Tujuan Manfaat... 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA.. Gambaran Umum Kayu Karet Balok Laminasi Bentuk I Phenol Resorsinol Formaldehida (PRF) Momen Inersia (Second Moment) Definisi Moment Inersia (Second Moment Momen Inersia (Second Moment) Penampang Tertentu Dalil Sumbu Sejajar Momen Inersia pada Penampang Tertentu (Parallel Axis Theorem for Second Moment) Momen Inersia pada Balok Utuh Tegangan pada Balok Lentur Tegangan Normal (σ) Tegangan Geser pada Balok (V) Defleksi pada Balok Lentur Definisi Defleksi Balok Persamaan Diferensial Defleksi Balok Pembebanan Gaya Lateral Metode Statistik untuk Mengepas Kurva Beban-Deformasi Metode transformed cross section...

11 .9. Glulam Glulam Vertikal Glulam Horizontal... 4 BAB III BAHAN DAN METODE 3.. Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Prosedur Kerja Persiapan Bahan Persiapan Perekat Pembuatan Balok Glulam I-joist Penyiapan Lamina Proses Perekatan Pengempaan Pengkondisian Pengujian Sifat Fisis Kadar Air Contoh Kecil Kadar Air Glulam Berat Jenis dan Kerapatan Contoh Kecil Berat Jenis dan Kerapatan Glulam Pengujian Sifat Mekanis Lentur Statis Contoh Kecil Lentur Statis Glulam I-Joist Pengolahan Data Metode perhitungan MOE dan MOR Contoh Kecil Penurunan Rumus Lentur Glulam I... 5 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.. Sifat Fisis Kadar Air Kerapatan Berat Jenis Kurva Beban Deformasi... 9

12 4.3. Sifat Mekanis Contoh Kecil Modulus Elastisitas (MOE) Contoh Kecil Kekuatan Lentur Statis (MOR) Contoh Kecil Transformed Cross Section Penurunan Rumus Momen Lentur Sejajar Muka Lamina Momen Lentur Tegak Lurus Muka Lamina Sifat Mekanis glulam I Modulus Elastisitas (MOE) glulam Kekuatan Lentur Statis (MOR) glulam Perbandingan MOE dan MOR Glulam dan Lamina Penyusunnya BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 6.. Kesimpulan Saran... 6 DAFTAR PUSTAKA... 6 LAMPIRAN... 63

13 DAFTAR TABEL No. Halaman. Spesifikasi Perekat PRF Contoh penyajian data pada kurva beban-deformasi Ukuran dan jumlah papan kayu contoh uji Contoh tabel hubungan defleksi beban metode Bahtiar Rata-rata sifat fisis glulam dan contoh kecil Rata-rata kadar air glulam dan contoh kecil Rata-rata kerapatan glulam dan contoh kecil Rata-rata berat jenis glulam dan contoh kecil Rata-rata beban-defleksi setiap glulam Nilai rata-rata MOE contoh kecil Susunan glulam contoh dan sifat mekanisnya Susunan glulam contoh dan sifat mekanisnya Perhitungan garis netral contoh Perhitungan modulus elastisitas contoh Perhitungan keteguhan lentur contoh Susunan glulam contoh 3 dan sifat mekanisnya Perhitungan garis netral contoh Perhitungan modulus elastisitas contoh Perhitungan keteguhan lentur contoh Susunan glulam contoh 4 dan sifat mekanisnya Perhitungan garis netral contoh Perhitungan modulus elastisitas contoh Perhitungan keteguhan lentur contoh Hasil perhitungan transformed cross section Susunan glulam contoh 5 dan sifat mekanisnya Susunan glulam contoh 6 dan sifat mekanisnya Susunan glulam contoh 7 dan sifat mekanisnya Perhitungan garis netral contoh

14 9. Perhitungan modulus elastisitas contoh Perhitungan keteguhan lentur contoh Susunan glulam contoh 8 dan sifat mekanisnya Perhitungan garis netral contoh Perhitungan modulus elastisitas contoh Perhitungan keteguhan lentur contoh MOE empiris MOE teoritis metode baru dibandingkan transformed cross section MOE empiris dan teoritis metode baru MOR teoritis metode baru dibandingkan transformed cross section MOR empiris dan teoritis metode baru Uji t-berpasangan sifat mekanis glulam... 57

15 DAFTAR GAMBAR No. Halaman. Momen inersia pada balok utuh Gaya geser pada balok Multilayer Asymetric orthotropic laminate : (a) geometri (b) transformed cross section Bentuk Glulam I-joist Sambungan Jari (Finger Joint) Papan lapisan lamina dengan contoh kecil bebas cacat Pengujian MOE dan MOR pada contoh kecil Pengujian glulam Kurva distribusi MOE contoh kecil kayu karet Hubungan antara MOE Metode Bahtiar (8a) dengan MOE metode konvensional Kurva distribusi MOR contoh kecil kayu karet Diagram tegangan normal setiap lamina Defleksi glulam akibat momen lentur tegak lurus muka lamina Momen pada penampang glulam Penampang glulam contoh Tegangan normal Penampang I contoh Penampang I contoh Perbandingan MOE tiap glulam Distribusi modulus elastisitas glulam empiris dan teoritis Distribusi kekuatan lentur glulam empiris dan teoritis Hubungan MOE glulam empiris dan teoritis Hubungan MOR glulam empiris dan teoritis... 58

16 DAFTAR LAMPIRAN No. Halaman. Sifat fisis contoh kecil Sifat fisis glulam Kuva beban deformasi Perhitungan MOE-MOR metode konvensional dan Bahtiar Gambar glulam I-joist MOE teoritis dan MOE empiris MOR teoritis dan MOR empiris Dokumentasi...

17 BAB I PENDAHULUAN.. Latar Belakang Kayu sampai saat ini masih banyak dicari dan dibutuhkan orang terutama digunakan sebagai salah satu bahan konstruksi bangunan. Dengan sifat dasar kayu sebagai sumber kekayaan alam yang dapat diperbaharui (renewable resources) apabila dikelola dan diusahakan dengan baik, mudah diproses untuk dijadikan barang lain dan sifat elastis, ulet serta mempunyai ketahanan terhadap pembebanan yang tegak lurus dengan seratnya atau sejajar serat, bahan ini memiliki kelebihan yang tidak dimiliki bahan-bahan baja, beton atau bahan lain yang dibuat manusia. Kayu pada konstruksi umumnya digunakan untuk menerima beban lentur dimana tegangan normal, tegangan geser, dan perubahan bentuk berupa lendutan (defleksi) merupakan reaksi yang timbul akibat pembebanan tersebut. Untuk menahan beban lentur, kayu harus memiliki keteguhan lentur MOR (modulus of rupture) lebih besar daripada tegangan lentur atau tegangan normal yang terjadi. Modulus geser digunakan untuk mengatasi tegangan geser. Sedangkan untuk mengatasi defleksi pada balok lentur maka digunakan modulus elastisitas lentur (MOE atau modulus of elasticity). Modulus elastisitas lentur merupakan pendekatan bagi modulus elastisitas tekan arah longitudinal. Akan tetapi, sejalan dengan perkembangan jaman dan terbatasnya kayu berdiameter besar, kebutuhan bahan baku yang berdimensi besar untuk konstruksi menyebabkan pengembangan teknologi untuk mencari menciptakan suatu produk rekayasa berbahan baku kayu. Salah satu contoh produk tersebut adalah Glue Laminated atau Glulam yang merupakan kayu rekayasa, terdiri dari lapisan kayu (lamina) yang direkatkan dengan arah serat sejajar satu dengan yang lainnya sehingga membentuk balok struktural berukuran besar. Glulam bertujuan untuk memanfaatkan kayu berukuran kecil dengan kualitas rendah sehingga diperoleh produk kayu komposit dengan kualitas lebih baik daripada kayu solid berukuran sama.

18 Penelitian ini dimaksudkan untuk mencari penjelasan secara empiris berdasarkan teori yang ada, bagaimana setiap lamina memberi sumbangan dalam menentukan kekuatan glulam dalam menahan beban lentur. Penjelasan secara teoritis mengenai kekuatan gulam telah dibahas oleh Bahtiar (8). Pada penelitian ini glulam dibentuk dari lapisan lamina kayu Karet dimana variasi sifat mekanis lamina-lamina termasuk modulus elastisitas (MOE) dan keteguhan lenturnya (MOR). Penentuan sifat mekanis (MOE dan MOR) dari glulam diturunkan berdasarkan kurva beban-deformasi yang dibentuk dari titik-titik data hasil pengujian mekanis yaitu ketika beban diberikan secara kontinu dan deformasi dicatat berdasarkan beban yang terjadi. Transformed cross section merupakan salah satu teori tidak taat azas dalam penentuan nilai tunggal dari MOE dan MOR glulam dengan cara mentransformasi luas penampang lamina penyusunnya. Dalam penelitian ini, aplikasi metode perhitungan baru berdasarkan geometri analisis pada glulam berbahan baku kayu Karet dengan pembebanan lentur diuji untuk mengembangkan persamaan lentur statis pada glulam yang taat azas terhadap ilmu dasar dan selanjutnya memprediksi nilai MOE dan MOR glulam berdasarkan sifat lamina penyusunnya... Tujuan. Mengaplikasikan metode perhitungan MOE baru berdasarkan kurva beban-deformasi yang disajikan oleh Bahtiar (8a) terhadap contoh kecil lamina penyusun glulam.. Membandingkan hasil perhitungan lentur statis kayu antara metode konvensional dengan metode Bahtiar (8a). 3. Memprediksi nilai MOE dan MOR lamina penyusun glulam menggunakan metode perhitungan dari Bahtiar (8b) yang telah dimodifikasi sesuai dengan bentuk penampangnya dan melakukan uji empiris atas glulam yang dibuat. 4. Memverifikasi metode perhitungan baru dengan metode yang telah ada yaitu transformed cross section. 5. Memverifikasi metode perhitungan yang disusun secara empiris.

19 .3. Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat membuktikan formula perhitungan baru secara empiris sehingga menghasilkan teori lentur statis glulam yang runut dan taat azas. Melalui verifikasi ini, maka produsen glulam dapat menghasilkan glulam secara lebih efisien dengan cara mengatur lapisan lamina penyusunnya dimana sifat produk tersebut dapat diprediksi bahkan sebelum diproduksi.

20 BAB II TINJAUAN PUSTAKA.. Gambaran Umum Kayu Karet (Hevea brasiliensis) Kayu Karet (Hevea brasilensis) termasuk dalam golongan kayu daun lebar/ kayu berpori (hardwood/porous wood) dari famili Euphorbiaceae. Menurut Oey Djoen Seng (99), berat jenis kayu karet adalah,55-,7 dengan rata-rata,6. Kayu karet termasuk dalam kelas awet V dan kelas kuat II-III. Hal ini berarti kayu karet setara dengan kayu hutan alam seperti kayu ramin, perupuk, akasia, mahoni, pinus, meranti, durian, ketapang, keruing, sungkai, gerunggang, dan nyatoh. Pori-pori kayu karet berbentuk bulat dimana sebagian berisi tilosis, sebagian soliter (6%) dan sisanya bergabung - 5 pori dalam arah radial (Coto 987). Kayu karet memiliki beberapa kelebihan antara lain warna yang menarik dan penampilannya cukup dekoratif dimana teksturnya mirip dengan kayu ramin. Penyusutan kayu karet sangat kecil dan memiliki sifat khas yaitu perubahan warnanya yang putih kekuningan ketika baru dipotong, dan akan menjadi kuning pucat seperti warna jerami setelah dikeringkan. Dalam pengerjaannya, kayu karet mudah digergaji, permukaan gergajinya cukup halus, serta mudah dibubut dengan menghasilkan permukaan yang rata dan halus. Kayu karet juga mudah dipaku, dan mempunyai karakteristik perekatan yang baik dengan semua jenis perekat. Namun, adanya butiran latex dengan kandungan karbohidrat dan protein yang tinggi sehingga mudah terserang jamur (blue strain), mudah terserang serangga pembuat lubang (borer), dan mudah terkena oksidasi. Oleh karena itu, pengerjaan kayu karet harus segera dilakukan setelah penebangan. Pemanfaatan kayu karet dapat berupa kayu gelondongan (log) dengan diameter cm ke atas dipergunakan sebagai kayu gergajian (Boerhendhy et al. 3). Kayu ini memiliki potensi yang cukup besar karena dalam lahan perkebunan seluas 3,4 juta ha mampu menyediakan kayu karet sebesar 3,4 m 3 /tahun (Nurhayati et al. 6). Sayangnya, secara nasional pemanfaatan kayu

21 karet sebagai bahan industri kayu di Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara penghasil karet seperti Thailand, Malaysia, dan India... Balok Laminasi Bentuk I Balok laminasi (glue laminated lumber) adalah dua atau lebih lapisan kayu yang disusun secara sejajar dan digabungkan dengan perekat. Salah satu jenis balok laminasi adalah balok laminasi dengan bentuk penampang I atau balok laminasi I-joist. Balok ini umumnya digunakan dalam konstruksi bangunan. Balok laminasi I-joist memiliki bentuk penampang seperti huruf I. Bagian atas dan bawah balok I disebut dengan sayap atau flange. Bagian tengah balok I disebut dengan porsi tegak atau tubuh atau web. Proses pembuatan glulam diatur dalam BS (British Standard) 469. Lapisan kayu penyusun balok laminasi disebut dengan lamina. Lamina yang digunakan dapat beragam jenis, jumlah, ukuran, bentuk maupun ketebalannya. Pada umumnya, tebal lamina ialah,9 cm sampai 3,8 cm. lamina yang digunakan harus dikeringkan hingga mencapai kadar air -5 persen kemudian dipilah. Cacat tidak terlalu dipermasalahkan dalam lamina karena daerah penampang melintang (cross section) setiap lamina dibandingkan dengan seluruh daerah dari glulam. Lamina pada arah panjang dapat disambung dengan finger joint dan sambungan serong (:). Jika sambungan bergeser maka pengurangan kekuatan untuk seluruh balok sangat kecil dan dapat diabaikan (Yap 997). Salah satu cara penyambungan bagian sayap dengan tengah adalah dengan menggunakan perekat. Pada umumnya pelaburan perekat diberikan pada kedua permukaan. Perekatan harus dilakukan segera setelah penyerutan untuk mencegah terjadinya case hardening dan menurunnya efektifitas perekat. Perekat yang dapat digunakan untuk glulam seperti Urea Formaldehida atau resorsinol formaldehida, tergantung pada tujuan penggunaan. Salah satu penentu keberhasilan perekatan adalah pengempaan. Menurut Yap (997), ada tiga alat pengempaan menurut urutan kesempurnaannya yaitu mesin penekan hydrolis, alat pengapit dengan baut dan sekrup (klem), dan dengan

22 menggunakan baut dan paku. Tekanan yang dibutuhkan pada saat pengempaan adalah,7 N/mm² selama jam. Pembuatan balok I-joist memiliki beberapa keunggulan, antara lain: a) sifat balok I-joist dapat direkayasa sesuai dengan tujuan penggunaan, b) bahan baku dimanfaatkan secara efisien, c) meminimumkan pengaruh cacat, d) menghasilkan produk dengan bentuk yang lebih lurus dan dimensi yang stabil, e) meningkatkan kualitas dari lamina penyusun, f) dapat dimanfaatkan untuk bahan kostruksi..3. Phenol Resorsinol Formaldehida (PRF) Phenol resorsinol formaldehida adalah salah satu jenis perekat sintesis yang terdiri dari campuran fenol, resorsinol, dan formaldehida. Komposisi campuran antara phenol, resorsinol, dan formaldehida berdasarkan berat berturutturut,5:,5:,33 (Blomquist et al 98). Perekat ini telah beredar di perdagangan dan pernah diujikan oleh Santoso (). Tabel Spesifikasi perekat PRF No. Pengujian Spesifikasi PRF. Keadaan Warna coklat sampai hitam, berbau khas. Bahan Asing Tidak ada 3. Waktu Tergelatinasi (menit) Kadar resin padat (%) 57,3 5. Viskositas (5 ± ºC) (poise) 3,4 6. Keasaman (ph) 8, 7. Bobot jenis,5 8. Formaldehida bebas,4 PRF termasuk dalam jenis perekat thermosetting yaitu perekat yang dapat mengeras bila terkena panas atau reaksi kimia dengan bantuan katalisator atau hardener dan bersifat irreversible. Perekat ini dapat mengeras pada suhu ruangan dan sedang (Carney 978). Oleh karena itu, perekat ini dapat diaplikasikan untuk pengempaan dingin.

23 Pada umumnya, perekat ini digunakan sebagai perekat eksterior (karena sifatnya yang lebih tahan air) dan dapat pula digunakan untuk interior. Perekat ini dapat digunakan untuk mengikat komponen bangunan seperti sambungan jari, balok bentuk I, panel sandwich, dan sebagainya. Namun hal yang harus diperhatikan untuk perekat ini adalah membutuhkan waktu yang lama pada proses perekatan dimana akan tercipta pada suhu ºC (7ºF)..4. Momen Inersia (Second Moment).4.. Definisi Moment Inersia (Second Moment) Momen inersia adalah nilai yang menggambarkan sifat penampang. Momen inersia besar perannya untuk perencanaan balok terlentur. Momen inersia dari suatu penampang harus diambil terhadap sumbu yang melalui centroid penampang tadi. Centroid adalah titik berat benda. Besarnya momen inersia dari suatu elemen penampang terhadap sumbu yang sebidang dengan elemen tersebut adalah hasil kali dari luas elemen dengan kuadrat jarak antara elemen dengan sumbu tertentu (Nash 977). Momen Inersia elemen luas terhadap sumbu-x adalah dlx = y da. Sedangkan momen inersia elemen luas terhadap sumbu-y besarnya adalah diy = x da..4.. Momen Inersia (Second Moment) Penampang Tertentu Momen inersia suatu penampang tertentu terhadap satu sumbu yang sebidang besarnya sama dengan penjumlahan momen inersia dari seluruh elemen pembentuk penampang terhadap masing-masing sumbu yang dimaksud (Nash 977). a. Momen inersia penampang terhadap sumbu-x (Ix): Ix = d Ix = y² da b. Momen inersia penampang terhadap sumbu-y (Iy) Iy = d Iy = x² da Satuan dari momen Inersia tersebut adalah pangkat-4 dari satuan panjang (mm 4 atau m 4 ).

24 .4.3. Dalill Sumbu Sejajar Momen Inersia pada Penampang Tertentu (Parallel Axis Theorem for Second Moment) Dalil Sumbu Sejajar momen inersia adalah momen inersia dari suatu penampang terhadap suatu sumbu adalah samaa dengan momen inersia terhadap sumbu sejajar yang melalui centroid penampang tadi, ditambah dengann hasil kali luas penampang dengann pangkat dua jarak antara kedua sumbu sejajar. Dalil ini dapat digunakan untuk penampang lintang yang tidak simetris. Momen inersia pada sumbu-x dan sumbu-y masing-masinpenampang terhadap sumbu-x (Ix): dinyatakan dengan a. Momen inersia Ix = Ixc + A(y ) b. Momen inersia penampang terhadap sumbu-y (Iy) Iy = Iyc + A(x ).4.4. Momen inersia pada Balok Utuh Nash (977) mengemukakan bahwa momen inersia pada balok utuh sebagai berikut: b dy y x G Gambar Momen inersia pada balok utuh. Sehingga dari gambar tersebut didapatkan rumus momen inersia pada balok utuh (I XG ) adalah Ix G = bh 3

25 .5. Tegangan pada Balok Lentur.5.. Tegangan Normal (σ) Tegangan normal (σ) balok yang mempunyai bidang longitudinal yang simetris persamaannya: σ = tegangan normal M =Momen Lentur y = jarak dengan sumbu netral I = Momen Inersia Besarnya tegangan normal berubah dari nol pada sumbu netral dan mencapai batas maksimum pada bagian serat terluar balok (Nash 977). Tegangan normal maksimum balok harus lebih kecil daripada keteguhan lentur balok itu sendiri (S Ri// ) agar tidak terjadi kerusakan. Keteguhan lentur dilambangkan dengan MOR. MOR adalah ukuran kemampuan suatu benda menahan beban lentur sampai mengalami kerusakan..5.. Tegangan Geser pada Balok (V) Pada balok lentur terjadi gaya geser (V) pada cross-section dan tegangan geser horizontal ( ) (Nash 977). Besarnya tegangan geser horizontal ( ) sebanding dengan besarnya gaya geser. Gambar, y ialah jarak terhadap sumbu netral, I ialah momen inersia di seluruh cross-section, y o ialah jarak serat tertentu dari sumbu netral, dan b ialah lebar balok, sehingga persamaannya: N.A yo c b Gambar Gaya geser pada balok.

26 .6. Defleksi pada Balok Lentur.6.. Definisi Defleksi Balok Balok yang diberi beban akan mengalami perubahan bentuk. Perubahan bentuk tersebut dapat berupa lendutan (Nash 977). Defleksi atau lendutan adalah perubahan bentuk dari kedudukan semula. Kedudukan semula yaitu bentuknya mula-mula tanpa diberi beban..6.. Persamaan Diferensial Defleksi Balok Pembebanan Gaya Lateral Nash (977) menyatakan bahwa momen lentur M terjadi pada crosssection, R merupakan radius lekukan antara bagian yang mengalami defleksi dengan permukaan netral, E modulus elastisitas, dan I merupakan momen inersia, maka dapat dituliskan persamaan Untuk menggambarkan lendutan yang terjadi dari garis netral pada balok terlentur, maka persamaan lain dapat ditulis: Lendutan pada suatu titik yang mengakibatkan perubahan bentuk atau deformasi terhadap permukaan netral. Persamaan lendutan dapat ditulis dengan cara kalkulus diferensial / / / dy/dx digunakan untuk kemiringan yang terdapat pada lenturan di titik tertentu. Dan untuk defleksi yang kecil menggunakan asumsi bahwa maka untuk defleksi yang ukurannya kecil (small deflection) persamaannya menjadi

27 .7. Metode Statistik untuk Mengepas Kurva Beban-Deformasi Metode statistik untuk mengepas kurva beban-deformasi adalah metode perhitungan untuk menentukan batas elastis secara objektif. Selama ini, penentuan batas elastis selalu subjektif dimana hanya memanfaatkan bagian linear saja dan membuang wilayah lainnya. Pada metode baru yang disajikan pada Bahtiar (8a), pengepasan kurva beban-deformasi lebih objektif karena memanfaatkan kedua bagian dari kurva sehingga kurva beban deformasi menjadi kurva yang menerus. Pengepasan ini sangat berguna dalam menentukan nilai MOE. MOE adalah nilai yang menggambarkan kemampuan kayu untuk mempertahankan perubahan bentuk akibat beban. Dua bagian yang dimanfaatkan adalah bagian kurva linear dan bagian kurva kuadratik. Titik pertemuan antara kedua bagian tersebut disebut dengan batas elastis atau disebut juga batas proporsi. Di bawah batas elastis, kayu yang diberi beban dapat kembali ke bentuknya semula dan digambarkan dengan persamaan linear berikut ini: P = β + β Δ Sedangkan di atas batas elastis, kayu yang diberi beban akan mengalami deformasi permanen ataupun dapat terjadi kerusakan. Bagian tersebut digambarkan dengan persamaan kuadratik berikut ini: P = β + β 3 Δ + β 4 Δ² Dimana, P = Beban Δ = deformasi Β,,, = koefisien regresi Apabila data deformasi aktual dikategorikan dalam dua komponen yaitu deformasi elastis dan deformasi plastis maka dapat dikatakan: Δ = Δ e + Δ p Deformasi plastis bernilai nol ketika kurang dari atau sama dengan batas elastis. Hal tersebut dikarenakan pada saat itu deformasi plastis belum terjadi dan deformasi yang terjadi adalah deformasi elastis. Deformasi elastis bernilai maksimum terjadi tepat pada batas elastis dan konstan setelah batas tersebut. Deformasi plastis terjadi di atas batas elastis dimana besarnya sama dengan selisih antara deformasi aktual dengan deformasi elastis maksimum.

28 Tabel Contoh penyajian data pada kurva beban-deformasi P Δ Δ e Δ p Δp² 84,79 3,9 3,9 86, 3,97 3,97 87,68 4,3 4,3 Batas Elastis 89, 4,8 4,8 9,48 4,4 4,4,5, 9,9 4,9 4,4,, 93,7 4,5 4,4,6,3 94,67 4,3 4,4,,5 96,5 4,36 4,4,8,8 Dari Tabel didapat satu persamaan tunggal yaitu: P = β 5 + β 6 Δ e + β 7 Δ p + β 8 Δ² p Jika diasumsi gabungan kurva linear dan kurva kuadratik merupakan kurva menerus dan tidak patah, maka dapat dikatakan batas elastis adalah titik singgung kurva linear dan kurva kuadratik sehingga β 6 = β 7. Selanjutnya didapat persamaan baru yaitu model tunggal optimal yang secara teoritis mampu menggabungkan dua persamaan pada kurva beban deformasi. Persamaan tersebut adalah sebagai berikut: P = β 5 + β 6 (Δ e + Δ p ) + β 8 Δ² p = β 5 + β 6 Δ + β 8 Δ² p.8. Metode Transformed Cross Section Metode transformed cross section adalah sebuah metode dimana dari nilai modulus elasitisitas berbagai macam lamina dikonversi menjadi modulus elastisitas glulam yang bernilai tunggal. Namun metode ini berasumsi pada ketergantungan sifat penampang terhadap modulus elastisitas material. Asumsi ini mengakibatan pengurangan lebar lamina dengan nilai (E ) yang kecil dan penambahan lebar lamina dengan nilai (E ) yang besar, seperti terlihat pada Gambar 3.

29 Gambar 3 Multilayer asymetric orthotropic laminate : (a) geomerti (b) transformed cross section. Lapisan muka (face) pada umunya dipilih untuk standar transformasi, tetapi menurut Bodig dan Jayne (993) bisa dipilih laminaa yang manapun. Pada asimetris multi lapis lamina ortotropis, transformasi dihitung dengan persamaan: w i = w Dimana w i adalah lebar lamina transformasi pada lapis ke-i, w adalah lebar lamina, E adalah MOE standar, dan E n adalah MOE lamina a pada lapis ke-i. Dikarenakan lebar tiap lamina berlainann maka perlu ditentukan letak garis netral/ centroid. Centroid didapat dengan mengasumsi modulus elastisitas sama di setiap lamina. Centroid dihitung dengan persamaan berikut: Sedangkan momen inersia dapat dituliskan dengan persamaan I = ( I Dimana I adalah momen inersia cross section dan d jarak bidang netral terhadap centroid, dan I adalah momen inersia pada bidang netral. Tegangan normal didapat dengan persamaan E E n Ad i = c = n A i = n i= i n + A i d ) i σ = Mw i Iw y

30 .9. Glulam.9.. Glulam Vertikal Ada dua jenis glulam menurut arah penyusunan laminanya yaitu glulam vertikal dan glulam horizontal. Glulam vertikal adalah glulam yang menerima momen lentur sejajar muka laminasi. Dalam makalah yang ditulis oleh Bahtiar (8a) terdapat rumus untuk menghitung modulus elasitas dan keteguhan lentur untuk glulam vertikal. Rumus tersebut diturunkan tanpa mentransformasi luas penampang lamina, sehingga persamaan yang diperoleh tetap taat azas. Berdasarkan hasil penurunan rumus oleh Bahtiar (8b), modulus elastisitas glulam dapat dihitung dengan rumus: Sedangkan untuk keteguhan lentur (S R ) glulam sejajar muka lamina yang diturunkan dari persamaan yang taat azas didapat rumus sebagai berikut: 6 ² Tegangan normal maksimum yang dialami setiap lamina harus lebih kecil daripada keteguhan lentur lamina tersebut (S Ri// ). Oleh karena itu, untuk menduga nilai keteguhan lentur glulam sejak sebelum diproduksi dimana sifat-sifat laminanya telah diketahui dapat dihitung dengan rumus: 6 ² S // ; iv,,3, n.9.. Glulam Horizontal Jenis glulam yang kedua adalah glulam horizontal. Glulam horizontal adalah glulam yang menerima momen lentur tegak lurus muka laminasi. Dalam makalah yang ditulis oleh Bahtiar (8b) terdapat rumus untuk menghitung modulus elasitas dan keteguhan lentur untuk glulam horizontal. Rumus tersebut diturunkan tanpa mentransformasi luas penampang lamina, sehingga persamaan yang diperoleh tetap taat azas.

31 Berdasarkan hasil penurunan rumus oleh Bahtiar (8b), bentuk umum untuk mengitung nilai tunggal modulus elastisitas glulam dari lamina yang bervariasi sifat mekanisnya dapat dihitung dengan rumus: Sedangkan untuk keteguhan lentur (S R ) glulam sejajar muka lamina yang diturunkan dari persamaan yang taat azas didapat rumus sebagai berikut: Agar tidak terjadi kerusakan, maka tegangan lentur lamina harus lebih rendah daripada keteguhan lentur tiap lamina tersebut (σ S Ri ). Oleh karena itu, untuk menduga nilai keteguhan lentur glulam sejak sebelum diproduksi dimana sifatsifat laminanya telah diketahui dapat dihitung dengan rumus: S ; i,,3, n Namun dari rumus diatas nilai variabel y belum dapat ditentukan. Variabel y adalah jarak suatu titik terhadap garis netral. Oleh karena itu, perlu ditentukan posisi netral terlebih dahulu. Dalam Bahtiar (8b) telah didapat rumus menentukan letak centroid/ posisi netral pada penampang berbentuk persegi.

32 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dari bulan November 8 sampai bulan Februari 9. Tempat pembuatan dan pengujian glulam I-joist yaitu di Laboratorium Produk Kayu Majemuk dan Laboratorium Sifat Fisik dan Mekanis Kayu, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Departemen Kehutanan, Jl. Gunung Batu Bogor-Jawa Barat. Sedangkan untuk pengujian contoh kecil bebas cacat yaitu di Laboratorium Keteknikan Kayu dan Laboratorium Peningkatan Mutu Kayu Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. 3.. Alat dan Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Bahan dasar : Kayu karet tua (Hevea brasiliensis) yang diperoleh dari perkebunan tanaman karet tidak produktif di daerah Jawa Barat b. Perekat : Phenol resorsinol formaldehida (PRF) untuk sambungan antar lamina dan PVAc (Polivynil Asetat) untuk sambungan jari pada satu lapisan lamina c. Ekstender: tepung terigu Alat yang digunakan untuk pembuatan glulam I-joist yaitu : a. Band saw dan gergaji bundar (circular saw) untuk membelah dan memotong contoh uji b. Mesin serut S4S (Smooth 4 sides) untuk menghaluskan permukaan c. Mesin pembentuk sambungan jari (finger joint) d. Alat kempa dingin untuk merekatkan contoh uji e. Klem besi untuk menjepit contoh uji saat direkatkan f. Meteran Pengujian sifat fisis menggunakan alat seperti di bawah ini: a. Timbangan elektrik untuk menimbang contoh uji b. Oven untuk mengeringkan contoh uji sampai kadar air tertentu

33 c. Desikator alat kedap udara sebagai tempat penyimpanan contoh uji setelah dioven Untuk pengujian sifat mekanis menggunakan alat seperti di bawah ini: a. Kaliper digital untuk mengukur dimensi contoh uji b. Universal Testing Machine merk Instron dan Baldwin untuk alat uji mekanis c. Deflektometer untuk mengukur defleksi 3.3. Prosedur Kerja Persiapan Bahan Log kayu karet dibelah dengan mesin band saw menjadi papan dengan ukuran tebal ±cm. Papan tersebut kemudian dikeringudarakan dengan cara pengeringan alami dan bagan pengering. Pengeringan dilakukan selama -4 minggu sampai didapatkan kadar air kering udara yaitu -5%. Setelah papan mencapai kadar air yang diinginkan, papan tersebut dibelah dan dipotong sesuai ukuran yang dibutuhkan yaitu untuk pembuatan glulam I-joist. Glulam I yang akan dibuat terdiri atas tipe. Tipe tersebut dibedakan dari penyusunan lamina di bagian tubuh (web) seperti terlihat pada Gambar 4 sebagai berikut: a. Tipe : susunan lamina bagian tubuh tegak lurus dengan bagian sayap (flange) b. Tipe : susunan lamina bagian tubuh sejajar dengan bagian sayap (flange). Lapisan lamina untuk bagian badan - web (core) dan sayap - flange (face atau back) berasal dari potongan kayu karet. Banyaknya kayu yang dibutuhkan dan ukurannya seperti dijelaskan pada Tabel 3 di bawah ini: Tabel 3 Ukuran dan jumlah papan kayu contoh uji Tipe Kegunaan Ukuran (cm 3 ) Jumlah (batang) Tipe badan x6x3 8 sayap x8x3 6 Tipe badan x4x3 sayap x8x3 6

34 Tipe Tipe Gambar 4 Bentuk glulam I-joist. Papan yang berukuran seperti Tabel 3 diserut dengan mesin serut S4S (Smooth Four Side) dan dipilah potongan yang memiliki cacat berupa pingul, mata kayu, retak dan cacat mesin di permukaan yang minimum Persiapan Perekat Perekat Phenol Resorsinol Formaldehida (PRF) ditimbang sesuai kebutuhannya dan ditambahkan ekstender berupa tepung terigu sebanyak 5% dari berat perekat cair PRF. Pencampuran ekstender dengan perekat cair dilakukan sedikit demi sedikit dan diaduk menggunakan spatula (sendok pengaduk) sampai homogen Pembuatan Balok Glulam I-joist Penyiapan Lamina Dikarenakan beberapa papan yang diperoleh memiliki panjang kurang dari 3 cm, papan yang telah dipilah tersebut akan disambung dengan sambungan jari (finger joint) seperti pada Gambar 5. Sebelum papan tersebut disambung, pada salah satu ujung papan dipotong sepanjang 3 cm untuk uji lentur contoh kecil (Gambar 6).

35 Gambar 6 Sambungan jari (Finger Joint). 3 cm 4/6/8 cm cm Uji MOE, KA dan BJ Gambar 7 Papan lapisan lamina dengan contoh kecil. Perekat yang digunakan untuk sambungan jari papan adalah perekat PVAc dengan berat labur 7 g/m. Sambungan tersebut dikuatkan dengan dipukul-pukul menggunakan palu dan pengkondisian selama hari Proses Perekatan Perekatan dilaburkan melalui dua tahapan. Tahapan pertama adalah melaburkan perekat pada tiap-tiap bagian yaitu bagian sayap dan badan. Tahapan kedua adalah merekatkan bagian sayap dan badan menjadi satu. Berat labur perekat adalah 7 g/m. Pelaburan dilakukan pada kedua permukaan papan (double spread) dengan menggunakan kuas Pengempaan Kedua tahapan yang telah dijabarkan sebelumnya diklem dengan alat kempa dingin dengan tekanan kg/cm selama 8 - jam.

36 Pengkondisian Glulam I-joist yang telah dikempa selanjutnya dibiarkan dalam kondisi terbuka selama (satu) minggu. Hal ini bertujuan untuk menyesuaikan kondisi glulam dengan kondisi lingkungan Pengujian Sifat Fisis Kadar Air Contoh Kecil Contoh uji lapisan penyusun glulam berukuran xx3 cm 3 ditimbang dengan timbangan elektrik untuk mengetahui berat awal kering udara (B ). Contoh uji yang telah ditimbang kemudian digunakan untuk menguji lentur statis (MOE dan MOR). Setelah pengujian, contoh uji dimasukkan ke dalam oven dengan suhu (3 ± ) o C selama x 4 jam. Selanjutnya contoh uji diletakkan dalam desikator selama 5 menit dan ditimbang sampai beratnya konstan (B ). Besarnya kadar air dihitung dengan menggunakan rumus : Keterangan: B = berat contoh uji kering udara B = berat contoh uji setelah dioven B B KadarAir(%) = x% (3-) B Kadar Air Glulam Balok glulam I-joist yang telah diuji lentur dipotong sepanjang 5 cm pada salah satu ujungnya. Potongan tersebut ditimbang untuk mengetahui berat awal kering udara (B ). Setelah ditimbang contoh uji kemudian dimasukkan kedalam oven dengan suhu (3 ± ) o C selama x 4 jam. Selanjutnya contoh uji diletakkan dalam desikator selama 5 menit dan ditimbang sampai beratnya konstan (B ). Besarnya kadar air dihitung dengan menggunakan rumus : B B KadarAir(%) = x% (3-) B

37 Keterangan: B = berat contoh uji kering udara B = berat contoh uji setelah dioven Berat Jenis dan Kerapatan Contoh Kecil Penentuan berat jenis dan kerapatan lamina penyusun menggunakan contoh uji yang sama untuk pengujian lentur dan kadar air. Contoh uji lapisan penyusun glulam berukuran xx3 cm 3 diukur dimensinya untuk mengetahui volume kering udara (V). Selanjutnya contoh uji ditimbang untuk mengetahui berat awal kering udara (B ). Kerapatan kayu yang digunakan adalah kerapatan kayu kering udara. Sedangkan untuk menentukan berat jenis kayu digunakan rumus menurut Brown et al (95): Kerapatan kayu kering udara = (3-3) V Kerapatan kayu kering oven = V (3-4) Kerapatan kayu keringoven BJ = (3-5) Kerapatan air B B Keterangan : BJ = Berat jenis B = berat contoh uji kering udara B = berat contoh uji kering oven V = volume kering udara (cm 3 ) Berat jenis air = gram/cm 3 pada suhu 4 o C Berat Jenis dan Kerapatan Glulam Penentuan berat jenis dan kerapatan glulam menggunakan contoh uji dari glulam dipotong sepanjang 5 cm dari balok uji glulam dan diukur dimensinya untuk mengetahui volume kering udara (V). Selanjutnya contoh uji ditimbang untuk mengetahui berat awal kering udara (B ). Berat jenis kayu dan kerapatan dihitung dengan rumus berikut:

38 Kerapatan kayu kering udara = (3-6) V Kerapatan kayu kering oven = V (3-7) Kerapatan kayu keringoven BJ = (3-8) Kerapatan air B B Keterangan : BJ = Berat jenis B = berat contoh uji kering udara V = volume kering udara (cm 3 ) Berat jenis air = gram/cm 3 pada suhu 4 o C Pengujian Sifat Mekanis Lentur Statis Contoh Kecil Pengujian lentur statis contoh kecil lapisan lamina menggunakan contoh uji berukuran xx3cm 3 dengan laju pembebanan,66 cm/menit sesuai ketentuan British standard (BS 373:957) menggunakan alat UTM (Universal Testing Machine) Instron. Pembebanan diberikan di tengah bentang (One Point Loading) dimana kedua ujungnya diberi penyangga dengan jarak 8 cm. Nilai Modulus of Rupture (MOR) dan Modulus of Elasticity (MOE) didapatkan dari hasil pengujian ini. beban h Deflektometer L b Gambar 7 Pengujian MOE dan MOR pada contoh kecil.

39 3 Pl MOE = 3 4Ybh Nilai modulus elastisitas (MOE) dan modulus patah (MOR) kemudian dihitung dengan rumus: 3 P' L MOE = (3-9) 3 4Δ' bh Keterangan : MOE = Modulus elastisitas (kg/cm²) MOR = Modulus patah (kg/cm²) P = Beban sampai batas proporsional (kg) P = Beban maksimal (kg) Δ = Defleksi (cm) b = Lebar contoh uji (cm) h = Tebal contoh uji (cm) L = Panjang bentang / jarak sangga 3PL MOR = (3-) bh Lentur Statis Glulam I-Joist Pengujian lentur statis balok glulam I-joist menggunakan contoh uji ukuran pakai (full scale) sesuai dengan ketentuan ASTM D 98-5a. Pembebanan diberikan di dua tempat dengan jarak sepertiga dari panjang bentang (Third Points Loading) dimana panjang bentang adalah 4 cm. Deflektometer ditempatkan tepat ditengah bentang. Beban /3L /3L /3L deflektometer L Gambar 8 Pengujian glulam.

40 Nilai MOE third points loading pada pengujian tersebut dihitung dengan rumus berikut: 3 3PL MOE = 3 8Δbh (3-) Sedangkan nilai MOR dihitung dengan rumus: PmaxL MOR = bh (3-) Keterangan : MOE = Modulus elastisitas (kg/cm²) MOR = Modulus patah (kg/cm²) P = Beban sampai batas proporsional (kg) Pmax = Beban maksimal (kg) Δ = Defleksi (cm) b = Lebar contoh uji (cm) h = Tebal contoh uji (cm) L = Panjang bentang / jarak sangga Pengolahan Data Metode Perhitungan MOE dan MOR Contoh Kecil Pehitungan MOE dan MOR contoh kecil dilakukan dengan dua metode yaitu metode konvensional dan metode yang disajikan Bahtiar (8a). Langkah-langkah metode konvensional adalah sebagai berikut:. Plot data beban-defleksi dalam bentuk grafik yang diperoleh dari hasil pengujian dengan UTM.. Tentukan garis lurus atau linier pada grafik tersebut sedangkan data lain yang bukan merupakan titik pembentuk garis linier ini dipisahkan dari grafik. 3. Regresikan grafik tersebut dengan persamaan linier : y = mx + c (3-3) 4. Hitung MOE dengan rumus 3 L MOE = m (3-4) 3 4bh

41 Langkah-langkah metode Bahtiar (8a) adalah sebagai berikut:. Plot data beban-defleksi dalam bentuk grafik yang diperoleh dari hasil pengujian dengan UTM.. Tentukan salah satu data beban-defleksi sebagai batas elastis dengan cara membagi data menjadi dua bagian yaitu data elastis dan data plastis. Data elastis adalah data pada kurva lurus atau linear. Data plastis adalah data pada kurva kuadratik (melengkung). Titik pertemuan ujung kurva lurus dan pangkal kurva kuadratik merupakan batas elastis. 3. Data tersebut kemudian disajikan dalam tabel baru yang berisikan kolom P (beban), Δy (defleksi aktual), Δy e (defleksi elastis), dan Δy p (defleksi plastis) seperti Tabel 4. Di bawah batas elastis, Δy p bernilai nol karena defleksi plastis belum terjadi. Di atas batas elastis, Δy e bernilai maksimal atau konstan sebesar defleksi batas elastis. Sedangkan Δy p adalah selisih dari defleksi aktual dengan defleksi plastis karena defleksi aktual merupakan penjumlahan dari defleksi elastis dan plastis (Δy = Δy e + Δy p ). Tabel 4. Contoh tabel hubungan defleksi beban metode Bahtiar P Δy Δy e Δy p P Δy Δy e P Δy Δy e Batas Elastis (l) P l Δy l Δy el P (l+) Δy (l+) Δy el Δy p(l+) 4. Susun tabel baru dengan kolom P, Δy, dan Δy p kemudian regresikan dengan regresi linear berganda dimana P sebagai respon dan Δy serta Δy p sebagai variable bebas. Model regresi adalah P = aδy + bδ y p + c. 5. Hitung MOE dengan rumus : 3 L MOE = a (3-5) 3 4bh Penurunan Rumus Lentur Glulam I Rumus lentur glulam diturunkan dari perilaku tiap lamina dalam menerima beban lentur. Perilaku lamina berupa tegangan, regangan dan defleksi

42 digambarkan secara geometris, kemudian dianalisis menggunakan prinsip-prinsip kalkulus dan geometri analitis yang didukung ilmu mekanika bahan. Rumus ini merupakan suatu perbaikan dari rumus metode transformed cross section yang mengasumsikan luas penampang berubah seiring dengan perbedaan MOE lamina. Penurunan rumus lentur telah dilakukan oleh Bahtiar (8b) untuk glulam berbentuk balok dimana kondisi berbeda dengan metode transformed cross section karena tidak dibatasi asumsi perubahan luas penampang akibat perbedaan MOE lamina. Rumus tersebut kemudian dikembangkan untuk glulam berbentuk I pada penelitian ini Analisis Statistik Analisis statistik yang digunakan adalah uji-t berpasangan (dependent t- test) untuk mengetahui adanya perbedaan antara prediksi teoritis dengan hasil empiris. Variabel yang digunakan yaitu: a. MOE teoritis glulam dengan MOE empiris glulam b. MOR teoritis glulam dengan MOR empiris glulam

43 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.. Sifat Fisis Menurut Yap (997), ada beberapa faktor yang mempengaruhi sifat mekanis kayu salah satunya adalah sifat fisis kayu yaitu berupa berat jenis dan kadar air. Pada balok laminasi, lamina-lamina penyusunnya memberi pengaruh terhadap sifat fisis balok tersebut. Pada Tabel 5, sifat fisis antara contoh kecil yang merupakan lamina penyusun glulam dengan glulamnya tidak jauh berbeda. Rata-rata kadar air contoh kecil sebesar,99%, sedangkan kadar air glulam sebesar,6%. Rata-rata berat jenis antara glulam dan contoh kecil tidak jauh berbeda yaitu,6 untuk contoh kecil dan,6 untuk glulam. Rata-rata kerapatan memiliki nilai yang sama yaitu sebesar,69 kg/cm 3. Tabel 5 Rata-rata sifat fisis glulam dan contoh kecil Contoh Uji Sifat Fisis Kadar Air (%) Kerapatan (g/cm 3 ) Berat Jenis Contoh kecil,99,69,6 Glulam,6,69, Kadar Air Perubahan kadar air yang mempengaruhi kekuatan kayu adalah ketika kadar air kayu di bawah titik jenuh serat. Pada pembuatan balok laminasi, disyaratkan lamina penyusunnya memiliki kadar air -5%. Pada Tabel 6 disajikan rata-rata kadar air setiap glulam beserta rata-rata kadar air lamina penyusun dari masing-masing glulam. Dari tabel tersebut jelas terlihat bahwa lamina yang digunakan telah memenuhi persyaratan lamina untuk balok laminasi. Kisaran kadar air dari contoh kecil adalah,6%-4,%. Kisaran kadar air glulam adalah,7% -,9%.

44 Tabel 6 Rata-rata kadar air glulam dan contoh kecil Kode Kadar Air (%) Glulam lamina Glulam KI,99,7 KI 3,5,7 KI3,85,9 KI4 3,6,85 KII 3,9,65 KII,84,66 KII3 3,4,47 KII4,74,9 rata-rata 3,, Kerapatan Kerapatan sering dikaitkan dengan berat jenis. Umumnya semakin tinggi kerapatan dan berat jenis maka semakin kuat kayu tersebut. Kerapatan kayu dalam satu spesies dapat bervariasi dengan sejumlah faktor yang meliputi letaknya dalam pohon, letak dalam kisaran spesies tersebut, dan kondisi tempat tumbuh. Tabel 7 Rata-rata kerapatan glulam dan contoh kecil Kode Kerapatan (g/cm³) Glulam lamina glulam KI,7,66 KI,69,68 KI3,66,68 KI4,7,77 KII,68,67 KII,68,77 KII3,68,65 KII4,7,66 rata-rata,69,69 Pada Tabel 7 disajikan rata-rata kerapatan setiap glulam beserta rata-rata kerapatan lamina penyusun dari masing-masing glulam. Sebagian besar kerapatan lamina dalam bentuk contoh kecil sedikit lebih besar dibanding kerapatan glulamnya. Namun contoh kecil dan glulam memiliki total rata-rata yang sama.

45 Kisaran kerapatan dari contoh kecil adalah,59 g/cm³-,79 g/cm³. Kisaran kerapatan glulam adalah,65 g/cm³-,77 g/cm³ Berat Jenis Berat jenis adalah penduga kekuatan kayu yang paling baik dan mudah (Tsoumis 99). Semakin tinggi berat jenis maka semakin kuat kayu tersebut. Semakin tinggi berat jenis kayu, semakin banyak kandungan zat kayu pada dinding sel yang berarti semakin tebal dinding tersebut. Kekuatan kayu terletak pada dinding sel. Semakin tebal sel semakin kuat kayu. Tabel 8 Rata-rata berat jenis glulam dan contoh kecil Kode Berat Jenis Glulam Lamina Glulam KI,6,59 KI,6,6 KI3,59,6 KI4,63,68 KII,6,6 KII,6,69 KII3,6,58 KII4,6,59 rata-rata,6,6 Pada Tabel 8 disajikan rata-rata kerapatan setiap glulam beserta rata-rata kerapatan lamina penyusun dari masing-masing glulam. Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa berat jenis hasil pengujian sama dengan berat jenis kayu karet menurut Oey Djoen Seng (99) yang berat jenisnya bernilai,55-,7 dengan rata-rata,6. Kisaran berat jenis contoh kecil yang bernilai,5-,69 dan kisaran glulam yang bernilai,58-,69, masih termasuk dalam kisaran Oey Djoen Seng (99). 4.. Kurva Beban-Deformasi Pada saat pengujian lentur didapat data berupa hubungan antara beban dan defleksi. Hubungan tersebut diplotkan dalam grafik sehingga dapat diketahui nilai elastisitas maupun keteguhan patah kayu. Kurva beban-deformasi terbagi dua atas

46 dua wilayah yaitu daerah elastis dan plastis. Daerah elastis digambarkan dengan grafik linear dimana persamaannya adalah P=β o +β Δ. Daerah plastis digambarkan dengan grafik kuadratik dimana persamaannya adalah P=β +β 3 Δ+β 4 Δ². Pada saat diberi pembebanan, kayu akan mengalami perubahan bentuk (deformasi). Sehingga besarnya deformasi tergantung pada pembebanan. Pada daerah elastis, kayu yang diberi pembebanan dapat kembali ke bentuknya semula. Sedangkan pada daerah plastis, kayu yang telah diberi pembebanan tidak dapat kembali ke bentuk semula bahkan dapat mengalami kerusakan permanen. Diantara kedua daerah tersebut terdapat batas yaitu batas elastis/ batas proporsi. Tabel 9 Rata-rata beban-defleksi pada batas elastis setiap glulam Kode Glulam Rata-rata Defleksi (cm) Rata-rata Beban (kg) KI,3 58,65 KI,8 63, KI3,9 66,3 KI4,3 75, KII,5 55,4 KII,3 54, KII3,35 65,88 KII4,3 65,9 Dari hasil pengujian lentur, didapat kurva beban deformasi seperti yang tersaji pada Lampiran 3. Jika dirata-ratakan batas proporsi lamina-lamina setiap glulam didapatkan nilai yang disajikan pada Tabel 9. Rata-rata batas elastis terbesar adalah,35 cm yaitu pada contoh uji KII3 dengan rata-rata beban 65,88 kg. Sedangkan rata-rata batas elastis terkecil adalah,5 cm yaitu pada contoh uji KII3 dengan rata-rata beban 55,4 kg Sifat Mekanis Contoh Kecil Modulus Elastisitas (MOE) Contoh Kecil Nilai modulus elastisitas pada penelitian ini ditentukan dengan dua metode yaitu metode konvensional dan metode Bahtiar. Kedua metode tersebut berpengaruh terhadap nilai MOE yang didapat. Nilai rata-rata MOE untuk metode

47 konvensional adalah 8,75 x 4 kg/cm. Nilai rata-rata MOE untuk metode Bahtiar 8,56 x 4 kg/cm. Untuk menentukan tingkat perbedaan dari kedua metode tersebut maka dilakukan uji t-berpasangan. Tabel Nilai rata-rata MOE contoh kecil Jenis Kayu Rata-rata Modulus Elatisitas (MOE) (Kg/cm ) Metode Metode Konvensional Bahtiar (8a) Hasil Uji t-berpasangan t-hitung t-tabel,5 t-tabel, Karet 8,75 x 4 8,56 x 4,,99,63 Pada uji t-berpasangan dengan taraf 95% didapat nilai t-hitung (,) lebih besar daripada nilai t-tabel (,99). Hal itu berarti metode konvensional berbeda sangat nyata dengan metode Bahtiar pada tingkat nyata 5%. Sama halnya dengan pada uji t-berpasangan dengan taraf 99% dimana didapat nilai t-hitung (,) lebih besar daripada nilai t-tabel (,63). Hal itu mempunyai arti bahwa metode konvensional berbeda nyata dengan metode Bahtiar pada tingkat nyata %. Rata-rata MOE metode Bahtiar (8a) % lebih rendah daripada hasil perhitungan metode konvensional. Pada dasarnya, seharusnya kedua metode tersebut tidak berbeda dikarenakan metode Bahtiar (8a) merupakan perbaikan metode konvensional. Persamaan hasil metode konvensional dikoreksi dengan metode Bahtiar untuk mendapatkan batas elastis yang lebih obyektif. Persyaratan tambahan diberikan pada metode Bahtiar (8a) yaitu pada batas elastisitas kemiringan kurva linear harus sama dengan kurva kudratik dimana hal ini tidak terakomodasi pada metode konvensional. Jumlah data yang digunakan untuk metode Bahtiar lebih banyak daripada metode konvensional dimana metode konvensional hanya sekitar % dari seluruh data. Sedangkan metode Bahtiar sekitar 9% dari seluruh data. Oleh karena itu, jika dilihat dari jumlah data yang digunakan dan hasil persamaannya, dapat dikatakan metode Bahtiar lebih objektif dibanding metode konvensional untuk menentukan nilai MOE.

48 frekuensi,8,6,4,,,8,6,4, 5 5 Modulus Elastisitas (Kg/cm²) M. konvensional M. Bahtiar (8a) Gambar 9 Kurva distribusi MOE contoh kecil kayu karet. Kurva distribusi frekuensi adalah kurva yang menunjukkan tingkat keragaman dari sampel. Gambar 9 menunjukkan kurva distribusi MOE contoh kecil bebas cacat dengan metode konvensional dan metode Bahtiar. Kedua grafik tersebut hampir tidak memiliki perbedaan baik dari keragaman maupun nilai rataan. Hal ini diperkuat dengan nilai korelasi antara metode konvensional dan metode Bahtiar yang besarnya mendekati satu yaitu 99,6%. Nilai korelasi tersebut ditampilkan pada gambar regresi linear antara MOE metode Bahtiar dengan MOE metode konvensional (Gambar ). MOE Bahtiar (Kg/cm²) y =,976x + 76,4 R² =, MOE Konvensional (Kg/cm²) Gambar Hubungan antara MOE metode Bahtiar (8a) dengan MOE metode konvensional.

49 4.3.. Kekuatan Lentur Statis (MOR) Contoh Kecil Kemampuan suatu benda menahan beban lentur sampai mengalami kerusakan diukur dari kekuatan lentur statis (MOR). Rata-rata MOR kayu karet contoh kecil ialah 774,86 kg/cm² dan standar deviasi sebesar 93,4. Kurva distribusi frekuensi MOR contoh kecil bebas cacat kayu karet disajikan pada Gambar. Dari kurva Gambar dapat diketahui kisaran kekuatan lentur kayu karet antara 96,38-87,3 kg/cm². Pada kisaran tersebut, kayu karet bisa berada pada semua golongan kelas kuat. Namun jika dilihat dari rataannya, kayu karet dapat digolongkan dalam kelas kuat II-III.,5, frekuensi,5,,5 5 5 Kekuatan Lentur (MOR) (Kg/cm²) Gambar Kurva distribusi MOR contoh kecil kayu karet Transformed Cross Section Metode transformed cross section adalah metode untuk menganalisis kekuatan glulam melalui lamina-lamina penyusunnya. Pada metode ini, nilai MOE tiap-tiap lamina yang bervariasi dikonversi terhadap satu nilai MOE. Satu nilai MOE adalah nilai E salah satu lamina yang digunakan sebagai standar/acuan. Hasil dari konversi tersebut yaitu mengurangi lebar lamina dengan MOE rendah dan menambah lebar lamina dengan MOE tinggi (Bodig dan Jayne 993). Transformed cross section dianggap tidak taat azas karena memberikan efek ketergantungan sifat penampang terhadap modulus elastisitasnya (Bahtiar 8b). Pernyataan ini didasari dari cara perhitungan metode transformed cross

50 section yang akan mengurangi lebar lamina jika nilai MOE rendah dan menambah lebar lamina jika nilai MOE tinggi. Jika dilihat dari definisinya seharusnya sifat penampang dan sifat material saling bebas. Sifat penampang atau yang digambarkan dengan momen inersia bergantung pada bentuk geometri dan dimensi penampang. Momen inersia bernilai tetap pada sembarang material selama bentuk geometri dan dimensi penampangnya sama. Sedangkan modulus elastisitas bernilai tetap walaupun diukur pada bentuk geometri dan dimensi penampang yang berlainan. Utamanya, perhitungan metode transformed cross section menetapkan satu nilai MOE salah satu lamina penyusun glulam untuk dijadikan standar konversi. MOE standar dari lamina acuan umumnya, diambil dari bagian muka dan belakang glulam namun lamina manapun dapat digunakan (Bodig dan Jayne 993). Cara perhitungan tersebut ditunjukkan pada contoh,,3, dan 4. Contoh. Tabel Susunan glulam contoh dan sifat mekanisnya Lapisan ke- dimensi MOE MOR dan 5,5xx cm 4 x 4 kg/cm 7 kg/cm dan 4 xx cm 5,4 x 4 kg/cm 9 kg/cm 3 3xx cm,4 x 4 kg/cm 35 kg/cm Modulus elastisitas lentur glulam sejajar muka lamina adalah E E = I n i= n I' i E = I glulam i= 3 i h' i b glulam ,5,8, = = 4,975 kg/cm 3 8 Tegangan normal setiap lamina adalah M ( ) My h ',5 σ ; 5 = = =, M 7 M 793 kg. cm I ' h,5 3,8 3,3 3,5 + + My h' M ( ),77 σ ; 4 = = =.84 M 9 M 56 kg. cm I ' h,5 3,8 3, ( ) My h' M,3 σ 3 = = =, M 3,5 M 6583 I ' h,5 3,8 3, kg. cm

51 Kerusakan pertama terjadi pada lapisan dan 4 saat momen yang diterima mencapai 56 kg.cm. Sehingga keteguhan lentur sejajar muka lamina: S R My 56 = σ = = // max 3 I glulam 8. ( ) = 8,9kg/cm Contoh. Tabel Susunan glulam contoh dan sifat mekanisnya Lapisan ke- dimensi MOE MOR,5x6x cm 4. 4 kg/cm 7 kg/cm 4x6x cm 5,4. 4 kg/cm 9 kg/cm 3 x6x cm. 4 kg/cm 5 kg/cm Garis netral: Tabel 3 Perhitungan garis netral contoh Bagian MOE b b' h 3 b ' h A' y A y 3 4=(/ face).3 5 6=4.5³/ 7= =7.8 face 4x 4 6 6,,5,6 3, 6,5 8,75 face 5,4 x 4 6,3 4,,34 9,6 4, 37,3 core x 4 6 4,9,,86 8,57, 8,57 total,83 64,35 c = n Ad i= 64,35 = = n,83 A i= 3,9 cm Modulus elastisitas: Tabel 4 Perhitungan modulus elastisitas contoh Bagian b h MOE ' h 3 b Jarak dari =(6-c)² 8= face 6,,5 4 x 4,6 6,5 9,99 3, face,3 4, 5,4 x 4,34 4,,83, core 4,9, x 4,86, 4,37 4,3 9,33 4.9,33 38,3 y² I 9,4 /

52 Keteguhan lentur: Tabel 5 Perhitungan keteguhan lentur contoh Bagian σi Yi b b' Mtotal =.5I /4.6 Keterangan face 7 3,4 6 6, 75,88 face 9 -,9 6,3-9344,6 core 5-3,9 6 4,9-639,64 terkecil Awal kerusakan terjadi pada lapisan ke-3 karena momen lenturnya rendah. Sehingga keteguhan lentur glulam tegak lurus lamina yaitu: S R M = I ' total y 639,64 == 38,3 6,5 ( ) = 44,kg/cm Contoh 3. Tabel 6 Susunan glulam contoh 3 dan sifat mekanisnya Bagian b h MOE MOR face 7,5 5,49x 4 kg/cm 73,9 kg/cm face 7,5 5,5 x 4 kg/cm 647,84 kg/cm core 3,3,7,7 x 4 kg/cm 47,3 kg/cm core 3,3,7 7,85 x 4 kg/cm 63,34 kg/cm core 3 3,3,7,45 x 4 kg/cm 4,4 kg/cm back 7,5 7,97 x 4 kg/cm 734,94 kg/cm back 7,5 8, x 4 kg/cm 777,69 kg/cm Garis netral Tabel 7 Perhitungan garis netral contoh 3 Bagian MOE b b' h 3 b ' h A' y A y 3 4=(/ face).3 5 6=4.5³/ 7= =7.8 face 5,49x 4 7,5 7,5 5 5, 8,5 face 5,5 x 4 7,5 7,4 4,69 4,8, 4, core,7 x 4 3,3 6,65,7,7,3 8,5 93,3 core 7,85 x 4 3,3 4,7,7,93 8, 6,55 5,54 core 3,45 x 4 3,3 6,88,7,8,7 4,85 56,75 back 7,97 x 4 7,5,88 7,6, ,3 back 8, x 4 7,5,94 7,3,89,89 total 3,77 63,49 n Ad i= 63,49 c = = = n 3,77 A i= 5,9cm

53 Modulus elastisitas: Tabel 8 Perhitungan modulus elastisitas contoh 3 Bagian b h MOE ' h 3 b Jarak dari =(6-c)² 8= face 7,5, 5,49 x 4 5,, 38,9 579,3 face 7,4, 5,5 x 4 4,69, 7,54 5,6 core 6,65,7,7 x 4,7 8,5 5,46 64,54 core 4,7,7 7,85 x 4,93 6,55,4 5,9 core 3 6,88,7,45 x 4,8 4,85,3 6, back,88, 7,97 x 4 7,6 3, 8,48 9,87 back,94, 8, x 4 7,3, 4,3 535,44 total 643,99 5, ,99 6,64 / 358,63 y² I Keteguhan lentur: Tabel 9 Perhitungan keteguhan lentur contoh 3 Bagian σi Yi b b' Mtotal.I =.5I /4.6 Keterangan face 73,9 7,9 7,5 7,5,83 face 647,84 5,9 7,5 7,4 33,4 core 47,3 3,9 3,3 6,65 6,95 core 63,34,49 3,3 4,7 96,8 core 63,34 -, 3,3 4,7-8,35 core 3 4,4 -,9 3,3 6,88-6,78 back 734,94-3,9 7,5,88-9,45 back 777,69-5,9 7,5,94-9,5 terkecil MOR = Mtotal min x c (9,5.643,99) x (3,/) = I glulam 358,63 =74,49 kg/cm Contoh 4. Tabel Susunan glulam contoh 4 dan sifat mekanisnya Bagian b h MOE MOR face 7,4 3,88 x 4 kg/cm 66,43 kg/cm face 7,4,39 x 4 kg/cm 94,3 kg/cm core,8 5,48 x 4 kg/cm 946,99 kg/cm core,8 5 7,86 x 4 kg/cm 695,69 kg/cm back 7,4,79 x 4 kg/cm 973,9 kg/cm back 7,4 5, x 4 kg/cm 434,58 kg/cm

54 Garis Netral: Tabel Perhitungan garis netral contoh 4 Bagian MOE b b' h 3 b ' h A' y A y 3 4=(/ face).3 5 6=4.5³/ 7= =7.8 face 3,88 x 4 7,4 7,4 4,93 4,8 77,6 face,39 x 4 7,4,7 4,48 43,44 434,37 core,48 x 4,8 5,3 5 55,43 6,6 6,5 7,93 core 7,86 x 4,8 3, ,97 8,3 6,5 8,48 back,79 x 4 7,4,49 4,99 44, ,94 back 5, x 4 7,4 9,7 6,48 9,45 9,45 total 67,5 57,77 n Ad i = c = n A i = 57,77 = = 6,3 cm 67,5 Modulus elastisitas: Tabel Perhitungan modulus elastisitas contoh 4 Bagian b h MOE ' h 3 b Jarak dari =(6-c)² 8= face 7,4 3,88 x 4 4,93 3,3 483,4 face,7,39 x 4 4,48 3,58 64,8 core 5,3 5,48 x 4 55,43 6,5,3 56,34 core 3,65 5 7,86 x 4 37,97 6,5,3 38,6 back,49,79 x 4 4,99 3,99 59,33 back 9,7 5, x 4 6,48 8,5 555,9 total 47,69 3,88. 47,69 6,63 / 35,3 y² I Keteguhan Lentur: Perhitungan MOE dan MOR bagian tengah (core vertikal), ,86.5 9,67 / ,99. 5,3 695,69.3,65 5,3 3,65 844,8 /

55 Tabel 3 Perhitungan keteguhan lentur contoh 4 Bagian σi Yi b b' Mtotal.I =.5I /4.6 keterangan face 66,43 6,68 7,4 7,4 39,86 terkecil face 94,3 4,68 7,4,7 66,48 core atas 844,8,68 3,6 8,97 6,33 core bawah 844,8 -,3 3,6 8,97-46,5 back 973,9-4,3 7,4,49-74,6 back 434,58-6,3 7,4 9,7-5,37 MOR = Mtotal min x c (39,86.47,69) x (3/) = I glulam 35,3 =44,73 kg/cm Tabel 4 Hasil perhitungan transformed cross section Tipe Centroid MOE dengan standar MOR dengan momen pada standar pada inersia Muka belakang Muka belakang KI 6,5 99,79 7,9 x 4 7,9 x 4 44,73 44,73 KI 6,69 99,3, x 4, x 4 76,9 76,9 KI3 5,7 767,7 7,33 x 4 7,33 x 4 697,7 697,7 KI4 6,7 9,84 8,4 x 4 8,4 x 4 73, 73, KII 5,56 88,47 7,39 x 4 7,39 x 4 66, 66, KII 6,83 898,33 7,6 x 4 7,6 x 4 54,35 54,35 KII3 7,6 35,8 7,37 x 4 7,37 x 4 43,8 43,8 KII4 6,76 36,7,9 x 4,9 x 4 83, 83, Keterangan: Centroid dihitung dari bagian bawah glulam Tabel 4 menunjukkan hasil perhitungan MOE dan MOR glulam dengan metode transformed cross section yang ditinjau dari dua lamina acuan, lamina bagian muka dan bagian belakang. Nilai modulus elastisitas ditinjau dengan standar konversi yang berbeda menghasilkan nilai modulus elastisitas yang sama. Demikian juga halnya yang terjadi pada nilai keteguhan lentur yang nilainya tetap walaupun standar konversinya diubah. Hal ini membenarkan pernyataan Bodig dan Jayne (993) tentang penentuan lamina standar.

56 4.5. Penurunan Rumus Momen Lentur Sejajar Muka Lamina Pada glulam tipe, bagian tubuh (web) dikenai beban lentur sejajar muka lamina. Persamaan umum defleksi akibat momen lentur: (4-) Persamaan umum setiap lamina pada glulam yang menerima beban lentur sejajar muka lamina: ;,,3, (4-) Persamaan (4-) valid karena perubahan bentuk setiap lamina akibat momen lentur sejajar muka lamina harus sama besar. Setiap lamina mendapat momen lentur sebesar M i dikarenakan pendistribusian momen lentur dimana nilai momen tersebut harus sama dengan total momen yang bekerja. (4-3) Jika persamaan (4-) dan (4-) disubstitusikan ke dalam persamaan (4-3) maka: (4-4) Momen inersia setiap lamina dapat dihitung dengan rumus: Dan momen inersia glulam: (4-5) (4-6) Jika persamaan (4-5) dan (4-6) disubsitusikan dalam persamaan (4-4), maka persamaan untuk modulus elastisitas lentur glulamsejajar muka lamina: Bila persamaan (4-) dibagi dengan persamaan (4-): (4-7) Atau: ;,,3, (4-8) ;,,3, (4-9) Tegangan normal setiap lamina dinyatakan dengan: ;,,3, (4-)

57 Bila persamaan (4-9) disubsitusikan ke persamaan (4-) maka: (4-) Tegangan normal maksimum setiap lamina terjadi pada serat terluar tiap-tiap lamina yaitu pada saat: (4-) Sehingga tegangan normal maksimum dapat dihitung dari subsitusi persamaan (4-6), (4-) dan (4-): (4-3) Agar terjadi kerusakan, tegangan normal maksimum setiap lamina harus lebih rendah daripada keteguhan lentur tersebut (σ i(maks) S Ri// ). Oleh karena itu, momen terbesar yang dapat diterima oleh glulam adalah nilai minimum dari momen yang diterima tiap-tiap lamina (M min ): n ES Ri// b M min = MIN h ; i =,,3,...n 6 (4-4) i Ei i= Selanjutnya nilai keteguhan lentur glulam dapat dihitung dengan rumus: S 6 M (4-5) min R // = n b hi i Contoh 5. Glulam yang disusun atas 5 lembar lamina dibuat dari tiga jenis kayu dengan dimensi dan sifat material sebagai berikut: Tabel 5 Susunan glulam contoh 5 dan sifat mekanisnya Lapisan ke- dimensi MOE MOR dan 5,5xx cm 4 x 4 kg/cm 7 kg/cm dan 4 xx cm 5,4 x 4 kg/cm 9 kg/cm 3 3xx cm,4 x 4 kg/cm 35 kg/cm Modulus elastisitas lentur glulam sejajar muka lamina adalah E = n i i i = 4 4 = = 4,975 kg / n i = E h h i (4,5 + 5,4 +, ,4 + 4,5) (, ,5) cm

58 Tegangan normal setiap lamina adalah 4 6M E 6M 4 σ ;5 = = =,M 7 M 793kg. cm n 4 E (, ,5) 4,975 b h i= i 4 6M E 6M 5,4 σ ;4 = = =.84M 9 M 56kg. cm n 4 E (, ,5) 4,975 b h i i= 4 6M E3 6M,4 σ3 = = =,M 3,5 M 6583kg. cm n 4 E (, ,5) 4,975 b h i i= Gambar Diagram tegangan normal setiap lamina. Seperti yang digambarkan pada gambar, setiap lamina memiliki tegangan normal yang berbeda. Tegangan normal lapisan dan 5 paling besar dan lapisan 3 paling kecil. Kerusakan pertama terjadi pada lapisan dan 4 saat momen yang diterima mencapai 56 kg.cm. Sehingga keteguhan lentur sejajar muka lamina: S 6M 6 56 min R // = σ max = = = 8,9 kg/cm n (, ,5) b hi i Momen Lentur Tegak Lurus Muka Lamina M M h 4 h 5 h 3 h x 5 h x 4 y 5 R x x 3 x y 4 y 3 y Gambar 3 Defleksi glulam akibat momen lentur tegak lurus muka lamina. y

59 Gambar 3 menunjukan defleksi glulam akibat momen lentur. Jika R adalah jari-jari lendutan, x adalah panjang glulam mula-mula, maka di atas garis netral terjadi pemendekan dan di bawah garis netral terjadi perpanjangan. Jika jarak serat (y) dibawah garis netral diberi tanda positif (+y i ) dan di atas garis netral diberi tanda negatif (-y i ), maka secara geometri dapat ditunjukan dengan: (4-6) Melalui operasi aljabar, persamaan (4-6) dimodifikasi untuk mendapat regangan setiap lamina (ε i ): Dengan mensubstitusikan hukum Hooke ke dalam persamaan (4-7) diperoleh: (4-7) (4-8) y y y y y b b b Gambar 4 Momen pada penampang glulam. b b Momen internal yang terjadi di setiap titik pada penampang gambar 4: (4-9) Sehingga jumlah momen setiap lamina: (4-) Jumlah total momen internal yang terjadi pada satu penampang penuh: Jika persamaan (4-7) dan (4-) disubstitusi maka: (4-) (4-) Per definisi, momen inersia (I) dapat dinyatakan dengan: (4-3)

60 Dengan memasukkan momen inersia (persamaan 4-3) ke dalam persamaan (4- ) maka: Sehingga R adalah: (4-4) (4-5) Nilai R adalah tetap, sehingga untuk glulam: (4-6) Jika R dieliminasi pada persamaan (4-5) dan (4-6) maka: (4-7) Sehingga modulus elastisitas dihitung dengan: (4-8) Sedangkan untuk keteguhan lentur (S R ) glulam sejajar muka lamina diperlukan perhitungan tegangan setiap bagian lamina. Tegangan yang terjadi pada serat sejauh y i dari garis netral dapat dihitung dengan mensubstitusi persamaan (4-6) ke dalam persamaan (4-8): (4-9) Agar tidak terjadi kerusakan, maka tegangan lentur lamina harus lebih tinggi daripada keteguhan lentur tiap lamina tersebut (σ S Ri ). Oleh karena itu, untuk menduga nilai keteguhan lentur glulam sejak sebelum diproduksi dimana sifat-sifat laminanya telah diketahui dapat dihitung dengan rumus: S ; i,,3, n (4-3) Sehingga momen total maksimum yang dapat diterima oleh glulam adalah momen terkecil yang dapat diterima oleh tiap-tiap lamina (M total min ): M EI MIN S Ei yi ' total min = Ri (4-3) Oleh karena itu, tegangan yang terjadi pada tiap-tiap serat sejauh y dari garis netral pada glulam yang menerima beban lentur tegak lurus muka lamina (σ min ) adalah: (4-3)

61 Namun dari rumus diatas nilai variabel y belum dapat ditentukan. Variabel y adalah jarak suatu titik terhadap garis netral. Oleh karena itu, perlu ditentukan posisi garis netral terlebih dahulu. Langkah awal dalam menentukan garis netral, perlu dipahami bahwa setiap satu penampang penuh balok lentur, jumlah gaya tarik harus sama dengan gaya tekan karena pada kondisi kesetimbangan resultan pada arah horizontal harus sama dengan, sehingga: Pada penampang I lebar setiap lamina tidak tetap sehingga: (4-33) = (4-34) Karena semua variabel di luar tanda sigma tidak bernilai nol, maka: = (4-35) Setelah diintregasi dan ditetapkan sebuah garis bantu di muka lamina tepi luar paling bawah, maka garis netral dapat dihitung: (4-36) Untuk mendapat garis netral (c) persamaan kuadratik (4-36) dapat diselesaikan dengan aljabar sederhana menjadi: (4-37) MOR glulam dapat dihitung secara teoritis dengan persamaan (4-3) dengan nilai y adalah jarak terjauh dari garis netral. Contoh 6.,5 4 6 Garis normal Gambar 5 Penampang glulam contoh 6. Tabel 6 Susunan glulam contoh 6 dan sifat mekanisnya Lapisan ke- dimensi MOE MOR,5x6x cm 4. 4 kg/cm 7 kg/cm 4x6x cm 5,4. 4 kg/cm 9 kg/cm 3 x6x cm. 4 kg/cm 5 kg/cm

62 Garis netral: c = n i= Ei n i= i= hi n E h i i n i= h i 4 4 = ( 6,5 6 ) + 5,4 ( 6 ) + ( ) (,5 + 5,4 4 + ) = 3,9 cm Modulus elastisitas: E = 6,5 6 4 n E 4 + ( 6,5 3,9) (,5 6) 5,4 ( 4 3,9) ( 4 6) ( 3,9) ( 6) iii i= 4 = = 9,4 kg/cm 3 I 6 6,5 + ( 3,5 3,9) ( 6,5 6) 6 Keteguhan lentur: E M yi 4 M M σ = = 4 total E I EI EI total 4 total - ( 6,5 3,9) = 47,74 7 M 5,6556 EI total 4 E M total yi 4 M M σ ( lower) = = 5,4 total E I EI EI total 4 total -4 ( 3,9) = -5,886 9 M -5,95 EI E3 M yi 4 M M σ3 = = total E I EI EI total 4 total - ( 3,9) = -3,9 5 M -4,8544 EI total 4 Gambar 6 Tegangan normal Awal kerusakan terjadi pada lapisan ke-3 karena momen lenturnya rendah. Sehingga keteguhan lentur glulam tegak lurus lamina yaitu: S R ' n -4 M total 4,8544 EI = hi = I I i= -4 4,8544 9,4 (, ) = ( 6,5) = 44,kg/cm 4

63 Contoh 7. Tabel 7 Susunan glulam contoh 7 dan sifat mekanisnya Bagian b h MOE MOR face 7,5 5,49x 4 kg/cm 73,9 kg/cm face 7,5 5,5 x 4 kg/cm 647,84 kg/cm core 3,3,7,7 x 4 kg/cm 47,3 kg/cm core 3,3,7 7,85 x 4 kg/cm 63,34 kg/cm core 3 3,3,7,45 x 4 kg/cm 4,4 kg/cm back 7,5 7,97 x 4 kg/cm 734,94 kg/cm back 7,5 8, x 4 kg/cm 777,69 kg/cm Face Face Core Core Core 3 Back Back Gambar 7 Penampang I contoh 7. Garis netral Tabel 8 Perhitungan garis netral contoh 7 Bagian b h MOE n h i i= n h i i= Eb i i n i= hi n i= h i E h b =x4(5-6) 8=x3x4 face 7,5 5,49x 4 7,6 3, ,7 face 7,5 5,5 x 4 3, 8, , core 3,3,7,7 x 4 8,8 54, , core 3,3,7 7,85 x 4 54,76 3, ,5 core 3 3,3,7,45 x 4 3, ,8 back 7,5 7,97 x , back 7,5 8, x , Total i i i c = n i= Eibi i= n n h i= i i E h b i i n i= h i = = 5,9cm

64 Modulus elastisitas: Tabel 9 Perhitungan modulus elastisitas contoh 7 3 Bagian b h MOE y bh A(y²) I EI =.3.5 8=6+7 9=4.7 face 7,5 5,49x 4, 5 574,3 579, face 7,5 5,5 x 4, 5 63,6 68, core 3,3,7,7 x 4 8,5,35 3,66 3, core 3,3,7 7,85 x 4 6,55,35,8 3, core 3 3,3,7,45 x 4 4,85,35 6,33 7, back 7,5 7,97 x , 3, back 7,5 8, x ,96 366, total 358, ,63 6,64 / Keteguhan lentur: Tabel 3 Perhitungan keteguhan lentur contoh 7 Bagian σi Ei Yi Mtotal i 3 4 5=xIE/3x4 Keterangan face 73,9 5,49x 4 7,9 3, I face 647,84 5,5 x 4 5,9 6,99 I core 47,3,7 x 4 3,9 97,7 I core 63,34 7,85 x 4,49 359,6 I core 63,34,45 x 4 -, -57,3 I core 3 4,4 7,97 x 4 -,9-35,55 I back 734,94 8, x 4-3,9-56,64 I back 777,69 5,49x 4-5,9-9,8 I terkecil MOR = Mtotal min x c I = 9,8I x (3,/) I =74,49 kg/cm Contoh 8. Tabel 3 Susunan glulam contoh 8 dan sifat mekanisnya Bagian b h MOE MOR face 7,4 3,88 x 4 kg/cm 66,43 kg/cm face 7,4,39 x 4 kg/cm 94,3 kg/cm core,8 5,48 x 4 kg/cm 946,99 kg/cm core,8 5 7,86 x 4 kg/cm 695,69 kg/cm back 7,4,79 x 4 kg/cm 973,9 kg/cm back 7,4 5, x 4 kg/cm 434,58 kg/cm

65 Face Face Core Core Back Back Gambar 8 penampang I contoh 8 Perhitungan MOE dan MOR bagian tengah (core vertikal) //, , Garis Netral: Tabel 3 Perhitungan garis netral contoh 8 Bagian b h MOE n h i i= 547,46 / n h i i= 9,67 / Eb i i n i= hi n i= h i E h b =.4(5-6) 8=.3.4 face 7,4 3,88 x face 7,4,39 x Core 3,6 5 9,67 x back 7,4,79 x back 7,4 5, x Total c = n i= Eibi i= n n h i= i i E h b i i n i= h i = = 6,3 cm 65 i i i Modulus elastisitas: Tabel 33 Perhitungan modulus elastisitas contoh 8 Bagian b h MOE y A(y²) I EI =.3.5 8=6+7 9=4.7 face 7,4 3889,6 4,93 478,3 483, face 7,4 3933,5 4,93,96 5, Core 3, ,3 6,5 37,5,6 38, back 7,4 798, 3 4,93 6,65 67, back 7,4 5,3 4,93 48, 43, Total 35,3 875,44 bh 3

66 875,44 35,3 6,63 / Keteguhan Lentur: Tabel 34 Perhitungan keteguhan lentur contoh 8 Bagian σi Ei yi Mtotal i 3 4 5=EI/3.4 keterangan face 66,43 3,88 x 4 6,68 68, I terkecil face 94,3,39 x 4 4,68 3,6 I core atas 547,46 9,67 x 4,68 39,9 I core bawah 547,46 9,67 x 4 -,3-6,6 I back 973,9 5, x 4-4,3-6,9 I back 434,58 3,88 x 4-6,3-89,49 I MOR = Mtotal min x c I = 68, I x (3/) I = 44,73 kg/cm 4.6. Sifat Mekanis Glulam I Modulus Elastisitas (MOE) Glulam Modulus elastisitas adalah nilai yang menggambarkan kemampuan kayu untuk mempertahankan perubahan bentuk akibat beban. Modulus elastisitas dalam penelitian ini ditiinjau dari dua cara dimana pembedanya adalah contoh uji dan rumus untuk mementukan nilai MOE. MOE empiris adalah nilai MOE yang didapat dari pengujian contoh uji berbentuk glulam dan dihitung dengan menggunakan rumus seperti yang disajikan pada formula 3-8. Namun dikarenakan bentuk penampangnya I maka rumusnya menjadi sebagai berikut: 3 96 Dimana I adalah momen inersia dari penampang bentuk I. Pada pengujian empiris, diasumsikan bahwa E tiap-tiap lamina sudah tidak diketahui sehingga I murni merupakan sifat penampang balok glulam I-joist yang dihitung dengan rumus:

67 di mana I xi adalah momen inersia tiap-tiap lamina ke-i pada garis netral lamina yang bersangkutan, A i adalah luas penampang lamina ke-i, y i adalah jarak garis netral lamina ke-i terhadap garis netral glulam. Dari hasil perhitungan didapat nilai MOE empiris sebagai berikut: Tabel 35 MOE empiris Empiris Tipe Inersia (cm 4 ) Centroid (cm) MOE Empiris (x 4 kg/cm ) KI 35,3 6,5 7,7 KI 35,3 6,5 9,58 KI3 4, 6,5 3,9 KI4 93,98 6,3 3,9 rata-rata 66,6 6,45 5,96 KII 358,63 6,55 6,73 KII 98,57 6,35,43 KII3 34, 6,55 4,6 KII4 448,7 6,7 3, rata-rata 336,7 6,54 4,3 Rata-rata umum 3,67 6,49 5,5 Keterangan: centroid perhitungan empiris didapat dari setengah tinggi glulam MOE teoritis adalah nilai MOE yang didapat dari pengujian contoh uji lamina-lamina penyusun glulam dan dihitung dengan menggunakan formula (4-7) berikut: Dan garis netral dihitung dengan formula (4-34): MOE teoritis merupakan penyempurnaan dari metode transformed cross section. Nilai dari MOE teoritis dan metode transformed cross section pada dasarnya menghasilkan nilai yang sama. Hasil dari perhitungan nilai MOE teoritis metode baru dan metode transformed cross section tersebut dipaparkan pada Tabel 36.

68 Tabel 36 MOE teoritis metode baru dibandingkan transformed cross section Metode baru Metode Transformed cross section Tipe Inersia (cm 4 ) Centroid (cm) MOE (kg/cm ) Inersia (cm 4 ) Centroid (cm) MOE (kg/cm ) KI 34,86 6,5 7,9 x 4 99,79 6,5 7,9 x 4 KI 5,6 6,69, x 4 99,3 6,69, x 4 KI3 9,64 5,7 7,33 x 4 767,7 5,7 7,33 x 4 KI4 7,95 6,7 8,4 x 4 9,84 6,7 8,4 x 4 rata-rata 69,5 6,4 8,4 x 4 47,73 6,4 8,4 x 4 KII 437,48 5,56 7,39 x 4 88,47 5,56 7,39 x 4 KII 34,3 6,83 7,6 x 4 898,33 6,83 7,6 x 4 KII3 37,4 7,6 7,37 x 4 35,8 7,6 7,37 x 4 KII4 45,4 6,76,9 x 4 36,7 6,76,9 x 4 rata-rata 373,66 6,58 7,98 x 4 36,57 6,58 7,98 x 4 Rata-rata umum 3,4 6,49 8,9 x 4 46,5 6,49 8,9 x 4 Pada Tabel 36 dibuktikan bahwa perhitungan MOE teoritis dengan metode baru dan metode transformed cross section tidak berbeda karena menghasilkan nilai yang identik. Nilai momen inersia metode teoritis dan metode transformed cross section berbeda karena dimensi penampang keduanya berbeda akibat dari transformasi bentuk pada metode transformed cross section. Hal ini jelas menunjukkan bahwa momen inersia tergantung pada bentuk geometri dan dimensi penampangnya bukan sifat materialnya. Metode transformed cross section membuat rancu kedua sifat yang seharusnya saling bebas tersebut. Tabel 37 MOE empiris dan teoritis metode baru Tipe MOE Perlemahan MOE Empiris MOE Teoritis (%) (x 4 kg/cm ) (x 4 kg/cm ) KI 7,7 7,9 9,36 KI 9,58, 5,99 KI3 3,9 7,33 56,56 KI4 3,9 8,4 5, rata-rata 5,96 8,4 3,99 KII 6,73 7,39 8,97 KII,43 7,6 65,63 KII3 4,6 7,37 43,63 KII4 3,,9 68,6 rata-rata 4,3 7,98 46,6 Rata-rata umum 5,5 8,9 38,79

69 Berdasarkan Tabel 37 rata-rata MOE empiris yang bernilaii 5,5x 4 kg/cm² lebih kecil daripada rata-rataa MOE teoritis metode baru yang bernilai 8,9 x 4 kg/cm². Tipe, nilai rata-rata MOE empiris adalah 5,96x 4 kg/cm² dan nilai rata-rata MOE teoritis metode baru adalah 8,4x 4 kg/cm² ². Tipe, nilai rata-rata MOE empiris adalah 4,3x 4 kg/ /cm² dan nilai rata-rata MOE teoritis metode baru adalah 7,98x 4 kg/cm². Jika dibedakan dari tipenya, MOE empiris dan MOE teoritis metode baru tipe lebih besar daripada MOE empiris dan MOE teoritis metode baru tipe. Hal itu dikarenakan pada bagian tubuh glulam I disusun secara vertikal. Hal ini selaras dengan hasil penelitian Sulistyawati et al. (8), glulam yang disusun vertikal lebih kuat dari glulam yang disusun horizontal. Berdasarkan Gambar 9, terlihat jelas bahwa nilai MOE teoritis metode baru lebih besar dibanding nilai MOE empiris. Menurut Satriawan (8), nilai MOE teroritis kurang memperhatikan adanya cacat kayu dan sistem perekatan yang kurang sempurna. Kekuatan sebuah glulam turut ditentukan dari proses pembuatannya dan sistem perekatannya. MOE Glulam (kg/cm²) KI KI KI3 KI4 KII KII KII3 KII4 MOE Empiris MOE Teoritis Kode Glulam Gambar 9 Perbandingan MOE Tiap Glulam Kekuatan Lentur Statis (MOR) Glulam Kekuatan lentur dalam penelitian ini ditinjau pula dari dua cara dimana pembedanyaa adalah contoh uji dan rumus untuk mementukan nilai MOR. MOR empiris adalah nilai MOR yang didapat dari pengujian contoh uji berbentuk

70 glulam dan dihitung dengan menggunakan rumus seperti yang disajikan pada formula 3-9. Namun dikarenakan bentuk penampangnya I maka rumusnya dimodifikasi menjadi sebagai berikut: Dimana I adalah momen inersia dari penampang bentuk I. Pada pengujian empiris, diasumsikan bahwa E tiap-tiap lamina sudah tidak diketahui sehingga I murni merupakan sifat penampang balok glulam I-joist yang dihitung dengan rumus: I xi adalah momen inersia tiap-tiap lamina ke-i pada garis netral lamina yang bersangkutan, A i adalah luas penampang lamina ke-i, y i adalah jarak garis netral lamina ke-i terhadap garis netral glulam. MOR teoritis adalah nilai MOR yang didapat dari pengujian contoh uji lamina-lamina penyusun glulam dan dihitung dengan menggunakan formula (4-3) berikut: cara ini bertujuan untuk membuktikan perhitungan teoritis dapat digunakan untuk menduga nilai MOR. Tabel 38 MOR teoritis metode baru dibandingkan transformed cross section Tipe Metode baru Metode transformed cross section (kg/cm ) (kg/cm ) KI 44,73 44,73 KI 76,9 76,9 KI3 697,7 697,7 KI rata-rata 644,73 644,73 KII 66, 66, KII 54,35 54,35 KII3 43,8 43,8 KII4 83, 83, rata-rata 596,9 596,9 Rata-rata umum 6,46 6,46

71 Tabel 38 menunjukkan bahwa nilai keteguhan lentur yang dihitung dengan rumus baru identik dengan metode transformed cross section. Sebelumnya, didapat pula nilai MOE yang identik antara metode transformed cross section dengan metode baru. Oleh karena itu, metode baru dapat menggantikan metode transformed cross section yang telah dipakai sejak lama. Penggantian ini diperlukan agar tidak terjadi kerancuan pengertian sifat penampang dan sifat material, dimana kedua hal tersebut merupakan sifat yang saling bebas. Untuk selanjutnya, perhitungan secara empiris akan dibandingkan dengan metode baru. Tabel 39 MOR empiris dan teoritis metode baru MOR glulam Tipe MOR empiris (kg/cm ) MOR Teoritis (kg/cm ) Perlemahan KI 8,98 44,73 8,48 KI 89,8 76,9 87,37 KI3 7, 697,7 89,66 KI4 75,66 73, 89,66 Rata-rata 79,75 644,73 87,4 KII 89,8 66, 85,66 KII 4,8 54,35 9, KII3 93,73 43,8 76,75 KII4 4,3 83, 95,4 Rata-rata 66,66 596,9 87,39 Rata-rata umum 73, 6,46 87, Berdasarkan Tabel 39, rata-rata MOR empiris yang bernilai 73, kg/cm² lebih kecil daripada rata-rata MOR teoritis metode baru yang bernilai 6,46 kg/cm². Tipe, nilai rata-rata MOR empiris adalah 79,75 kg/cm² dan nilai ratarata MOR teoritis metode baru adalah 644,73 kg/cm². Tipe, nilai rata-rata MOR empiris adalah 66,66 kg/cm² dan nilai rata-rata MOR teoritis metode baru adalah 596,9 kg/cm². Jika dibedakan dari tipenya, MOR empiris dan MOR teoritis metode baru tipe lebih besar dari pada MOR empiris dan MOR teoritis tipe. Nilai antara MOR empiris dan MOR teoritis metode baru sangat berbeda jauh. Hal tersebut dikarenakan ketika pengujian yang mengalami kerusakan terlebih dahulu adalah perekatnya bukan serat terlemahnya. Nilai perlemahan oleh perekat diperkirakan sangat besar yaitu sekitar 87%.

72 4.7. Perbandingan MOE dan MOR Glulam dan Lamina Penyusunnya Kurva distribusi adalah kurva yang menggambarkan penyebaran dari beberapa data. Semakin lebar kurva maka semakin besar variasinya. Pada Gambar diperlihatkan penyebaran dari modulus elasitas glulam hasil pengujian empiris, MOE glulam hasil perhitungan teoritis metode baru, dan lamina penyusunnya. Dari Gambar dapat diketahui sebaran MOE glulam empiris sedikit lebih beragam daripada hasil perhitungan teoritisnya. Namun MOE glulam empiris dan MOE glulam teoritis lebih seragam dibanding lamina penyusunnya. frekuensi,35,3,5,,5,,5 5 5 Modulus Elastisitas (kg/cm²) MOE glulam empiris MOE glulam teoritis MOE contoh kecil Gambar Distribusi modulus elastisitas glulam empiris,teoritis,dan lamina. frekuensi,,,8,6,4, 5 5 MOR glulam empiris MOR glulam teoritis MOR contoh kecil Kekuatan lentur (kg/cm²) Gambar Distribusi kekuatan lentur glulam empiris dan teoritis. Kurva penyebaran kekuatan lentur yang ditunjukkan pada Gambar menunjukan bahwa penyebaran MOR glulam empiris lebih kecil variasinya

73 dibandingkan dengan MOR glulam teoritis. Variasi yang kecil pada MOR glulam empiris menunjukan bahwa glulam merupakan produk yang lebih seragam daripada lamina penyusunnya. Keseragaman tersebut menujukkan lamina menyumbangkan kekuatan kepada glulam secara proporsional sesuai dengan modulus elasitasnya. Hal tersebut lebih terlihat pada gambar dimana sebaran MOR glulam empiris dan MOR glulam teoritis lebih kecil dibanding lamina penyusunnya. Tabel 4 Uji t-berpasangan sifat mekanis glulam Sifat Mekanis Rata-rata Sifat Mekanis (Kg/cm ) Hasil Uji t-berpasangan Empiris Teoritis t-hitung t-tabel t-tabel,5, MOE 5,5x 4 8,9x 4-3,87,36 3,5 MOR 73, 6,46 -,,36 3,5 Jika dilakukan pengujian statistik yaitu uji t-berpasangan, maka didapat nilai seperti yang disajikan pada Tabel 4. Pada tabel tersebut, nilai t-hitung untuk MOE lebih kecil daripada t-tabel untuk selang kepercayaan 95% dan 99%. Jika t- hitung lebih besar daripada t-tabel, maka hasil empiris berbeda nyata dengan perhitungan teoritis (teori baru). Perbedaan MOE teoritis dan MOE empiris sebesar 38%. Pada Tabel 39, MOR menunjukan nilai t-hitungnya lebih besar daripada nilai t-tabelnya untuk selang kepercayaan 95% dan 99%. Jika t-hitung lebih besar daripada t-tabel, maka hasil empiris berbeda sangat nyata dengan perhitungan teoritis (teori baru). Perbedaan MOR teoritis dan MOR empiris sebesar 88%. Grafik hubungan antara MOE glulam teoritis dengan MOE glulam empiris menghasilkan korelasi yang kecil yaitu 6,9% seperti yang ditunjukkan pada Gambar. Nilai R² yang kurang dari,5 memiliki arti tidak ada yang korelasi antara MOE glulam teoritis dengan MOE glulam empiris.

74 MOE Glulam Teoritis (kg/cm²) y =,6x R² =, MOE Glulam Empiris (kg/cm²) Gambar Hubungan MOE glulam empiris dan teoritis. MOR Glulam Teoritis (kg/cm²) y = -,73x + 8,3 R² =, MOR Glulam Empiris (kg/cm²) Gambar 3 Hubungan MOR Glulam Empiris dan Teoritis. Pada Gambar 3 menunjukan hubungan antara MOR glulam teoritis metode baru dengan MOR glulam empiris menghasilkan korelasi yang kecil yaitu 5,3%. Nilai ini menunjukkan tidak ada korelasi antara MOR glulam teoritis metode baru dengan MOR glulam empiris. Menurut Satriawan (8), kecilnya nilai R² dikarenakan tidak terpenuhinya asumsi bahwa kekuatan geser perekat lebih besar dibanding kekuatan geser kayu. Sebagian besar glulam rusak pada garis rekatnya sehingga lamina-lamina tidak berperan optimal pada produk akhir.

75 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.. Kesimpulan. Nilai rata-rata MOE kayu Karet contoh kecil yang dihitung dengan metode konvensional adalah 8,75 x 4 kg/cm. Sedangkan bila dihitung dengan metode Bahtiar adalah 8,56 x 4 kg/cm. Rata-rata MOR kayu Karet contoh kecil ialah 774,86 kg/cm².. Berdasarkan uji t-berpasangan, MOE kayu Karet contoh kecil yang dihitung dengan metode konvensional berbeda nyata dengan metode Bahtiar (8a) tetapi memiliki korelasi yang erat yaitu sebesar 99,6%. Metode konvensional menghasilkan MOE ± % lebih tinggi daripada metode Bahtiar. 3. Nilai rata-rata MOE empiris glulam adalah 5,5 x 4 kg/cm² dan nilai rata-rata MOE teoritis glulam adalah 8,9 x 4 kg/cm². Nilai rata-rata MOR empiris adalah 73, kg/cm² dan nilai rata-rata MOR teoritis adalah 6,46 kg/cm². 4. Perhitungan MOE dan MOR secara teoritis untuk glulam I-joist menghasilkan nilai yang identik antara metode transformed cross section dengan metode baru. Metode baru dapat menggantikan metode transformed cross section karena metode baru taat azas sehingga tidak menimbulkan pertentangan dengan ilmu-ilmu dasar. 5. Hubungan antara MOE teoritis dengan MOE empiris berbeda nyata dan memiliki korelasi yang rendah (6,9%). Hubungan antara MOR teoritis dengan MOR empiris berbeda nyata dan nilai korelasi yang rendah (5,3%). Perlemahan akibat sambungan perekat belum terjadi pada batas proporsi sehingga nilai MOE teoritis dan empiris tidak berbeda jauh. Berbeda dengan MOR yang sangat terpengaruh dengan adanya kerusakan pada garis perekat sehingga nilai MOR empiris sangat kecil dibanding hasil perhitungan teoritisnya.

76 5.. Saran. Dikarenakan seringkali titik lemah glulam terjadi pada garis rekatnya maka perlu ditambahkan penyokong (support) seperti pasak untuk meningkatkan kekuatan glulam.. Perlu ditambahkan faktor pengkoreksi akibat perlemahan pada sambungan dan strength ratio dalam perhitungan MOE dan MOR glulam secara teoritis.

77 DAFTAR PUSTAKA American Society Institute. 5. ASTM D-98. Standard Test Methods of Static Test of Lumber in Structural Sizes. Annual Book of ASTM Standards. United State: Philadelphia. Bahtiar, Effendi Tri. 8a. Metode Statistik untuk Mengepas Kurva Beban- Deformasi. Di dalam: Proceeding Seminar Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI XI). Universitas Palangkaraya. Bahtiar, Effendi Tri. 8b. Modulus Elastisitas dan Keteguhan Lentur Glulam. Di dalam: Proceeding Seminar Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI XI). Universitas Palangkaraya. Bodig J, Jayne BA. 98. Mechanics of Wood and Wood Composites. New York: Van Nostrand Reinhold Company. Carney J.M., David Countryma Adhesives in Building Construction. Forest Service US Departemen Agriculture, Agriculture Handbook no 56. Indah S, Naresworo N, Surjono S, Yusuf Sudo H. 8. Kekuatan Lentur Glued Laminated (Glulam) Kayu Vertikal dan Horizontal dengan Metode Transformed Cross Section. Journal of Tropical Wood Science and Technology 6 () Island B, Cicilia N, Anang G. 3. Prospek dan Potensi Pemanfaatan Kayu Karet Sebagai Subsitusi Kayu alam. Jurnal Ilmu Teknologi Kayu Tropis Vol. No. ( 36). Nash WA Strength of Materials nd edition. Great Britain :McGraw-Hill Book Company. Nurhayati, Y. Waridi, dan Han R. 6. Progress in the Technology of Energy Conversion from Woody Biomass In Indonesia. For Stud. China, 8 (3):-8. Oey Djoen Seng. 99. Berat Jenis dari Jenis-jenis Kayu Indonesia dan Pengertian Berat Kayu untuk Keperluan Praktek. Pengumuman No 3 Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan. Bogor. Satriawan, Adi. 8. Verifikasi Empiris Persamaan Lentur Statis Glue

78 Laminated Timber (Glulam) [skripsi]. Bogor : Departemen Teknologi Hasil Hutan, fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Tsoumis G. 99. Science and Technology of Wood. Structure, Properties, Utilization. New York: Van Nostard Reinhold. Yap, Felix Konstruksi Kayu. Bandung: Binacipta.

79 LAMPIRAN

80 Lampiran Sifat fisis contoh kecil Kode b h Volume Bo B Kadar Air Kerapatan Bagian Glulam (cm) (cm) (cm³) (gram) (gram) (%) (g/cm³) Berat Jenis KI sayap atas,5,4 4,93 74,79 66, 3,7,598,58 sayap atas,8,4 3,769 7,553 64,43,935,586,59 sayap atas,35,6 4,95 97,95 85,964 3,65,778,688 sayap atas,55,847 5,5 78,43 69,63,6,68,64 Tubuh,898,49 7,68 89,76 79,54 3,545,763,67 Tubuh,55,8 5,654 9,755 8,3 3,34,73,645 Tubuh,4,89 5,37 94,35 83,3 3,384,753,664 Tubuh,37,37 9,5 8,69 7,565,75,675,599 Sayap Bawah,,36 4,53 83,83 74,533,475,673,599 Sayap Bawah,4,5 7,75 8,383 73,8,86,7,6 Sayap Bawah,878, 5,548 84,7 74, 3,377,78,64 Sayap Bawah,7,989 4,75 87,6 77,598,454,699,6 Rata-rata,989,697,67 KI sayap atas,5,7 3,43 8,67 7,35 3,375,66,584 sayap atas,53,983 3,74 84,656 74,953,945,684,66 sayap atas,994,7 7,68 79,74 69,87 3,75,67,594 sayap atas,98,7,64 89,954 79,75 3,758,74,65 Tubuh,98, 9,94 86,696 76,67 3,55,78,643 Tubuh,53,38 5,5 78,63 69,59 3,655,66,55 Tubuh,978,,3 73,79 65,545,58,63,545 Sayap Bawah,,985 9,435 8,99 73,6,744,695,66 Sayap Bawah,3,983,745 79,34 7,53,898,657,58 Sayap Bawah,4,9 3,4 85,4 75,63,969,69,6 Sayap Bawah,,5,3 93,888 8,833 3,346,776,684 Rata-rata 3,55,686,66

81 Kode Bagian b h Volume Bo B Kadar Air Kerapatan Berat Jenis Glulam (cm) (cm) (cm³) (gram) (gram) (%) (g/cm³) KI3 sayap atas,3,56 5,354 8,49 7,36 3,55,655,577 sayap atas,6,6,8 77,8 68,8,974,68,556 sayap atas,76,3 5,97 8,843 73,75,368,658,585 sayap atas,96,8,56 7,769 63,3 3,343,595,55 tubuh,46,4 9,489 8,536 73,433,396,69,65 tubuh,36,957 5,548 8,388 7,338,686,696,67 tubuh,95,996 3,8 77,853 68,9,96,687,68 tubuh,,94 8,9 8,9 7,375,493,675,6 Sayap Bawah,7,68 5,99 86,6 76,34,757,683,66 Sayap Bawah,5,39,765 8,93 7,9,764,668,59 Sayap Bawah,58,47 5,59 87,93 77,49,496,694,67 Sayap Bawah,4,6,45 75,75 66,39 3,38,6,547 Rata-rata,845,66,587 KI4 sayap atas,49,78 4,794 9,5 79,66 3,6,75,638 sayap atas,7,955,868 9,49 8,38 3,333,756,667 sayap atas,,38,4 86,67 76,68 3,5,78,66 sayap atas,9,3,567 87,489 77,374 3,73,74,63 tubuh,7,59 7,967 86,44 76,99,73,675,6 tubuh,4,59 7,333 93, 8,65 3,37,73,646 Sayap Bawah,5,978 9,678 89,97 79,375 3,8,75,663 Sayap Bawah,4,37 5,993 8,7 7,49 3,345,65,575 Sayap Bawah,9,5 8,36 75,44 66,353 3,4,637,56 Sayap Bawah,43,868 4,949 8,7 7,469,945,769,68 Rata-rata 3,63,7,69 KII sayap atas,8,4 5,68 77,349 68,97 3,587,65,54 sayap atas,3,56 5,354 8,49 7,36 3,55,655,577 sayap atas,,99 4,944 73,6 65,43 3,7,64,566 sayap atas,3,6,77 74,67 65,674 3,6,65,54 tubuh,6,53 8,44 89,58 78,98 3,,697,66

82 Kode Bagian b h Volume Bo B Kadar Air Kerapatan Berat Jenis Glulam (cm) (cm) (cm³) (gram) (gram) (%) (g/cm³) tubuh,,96 6,84 8,94 7,69,9,697,68 tubuh,43,996 3,579 84,67 74,976,845,685,67 tubuh3,64, 5,47 86, 76,45,634,686,69 tubuh3,67,869 5, 78,45 69,533,59,68,64 Sayap Bawah,3,973,977 87,85 77,3 3,75,76,638 Sayap Bawah,8,98 5,56 93,547 8,635 3,5,745,658 Sayap Bawah,845,5,556 75,943 67,35,757,68,64 Sayap Bawah,99,47 8,7 85,495 75,557 3,53,73,639 Sayap Bawah,988,98 6,56 79,46 7,38,554,68,65 Rata-rata 3,94,68,6 KII sayap atas,56,97 9,63 79,5 7,46,45,66,589 sayap atas,5,98 3,876 8,9 7,95,67,73,633 sayap atas,67,875 4,333 7,76 6,3 3,579,69,545 sayap atas,8,935 8,75 88,548 78,464,85,746,66 tubuh,4,4 3,97 8,863 7,3,63,65,58 tubuh,5,959 7,33 83,3 74,5,57,7,63 tubuh,984, 9,994 85, 75,494,77,79,69 tubuh3,,8,37 84,33 75,73,33,689,63 Sayap Bawah,99,3 9,968 73,5 64,859 3,33,63,54 Sayap Bawah,6,46 4,339 96,546 85,788,54,776,69 Sayap Bawah,983,5,87 75,885 66,883 3,459,68,545 Sayap Bawah,88,54 9,97 9,956 8,88 3,48,7,67 Rata-rata,84,684,66 KII3 sayap atas,45,63 4,455 8,53 7,663 3,98,66,584 sayap atas,9,95 5,98 7,94 64,3 3,76,69,553 sayap atas,7,5 9,686 8,74 7,67 3,75,687,67 sayap atas,7,99 6,67 75,63 66,943,95,648,574 tubuh,97,935 5,69 78,8 69,69,93,676,598 tubuh,978,7 7,885 83, 73,588,94,75,64

83 Kode Bagian b h Volume Bo B Kadar Air Kerapatan Berat Jenis Glulam (cm) (cm) (cm³) (gram) (gram) (%) (g/cm³) tubuh,67,39,645 83,64 73,638,936,678,6 tubuh,79,34 8,9 86,545 76,647,94,675,598 tubuh3,56,97,5 83,9 73,93,56,685,68 Sayap Bawah,65,44 5,38 93,9 8,93 4,6,749,656 Sayap Bawah,,843,688 7,89 63, 3,68,643,566 Sayap Bawah,86,6 4,68 9,787 8,68 3,,737,65 Sayap Bawah,37,935 8,64 77,988 69,66,59,657,584 Rata-rata 3,38,679,6 KII4 sayap atas,9,38 5,748 87,3 77,95,73,69,64 sayap atas,93,53 3,66 85,636 75,936,774,753,668 sayap atas,4,88,839 84,43 74,83,83,76,675 sayap atas,54,88 5,59 8,8 73,77,999,77,634 Tubuh,63,999 3,697 83,636 74,337,59,676,6 Tubuh,37,37 5,75 86,679 76,986,59,69,6 Tubuh,96,978 7,69 83,739 74,36,695,7,63 Tubuh,9,95 5,98 7,94 64,3 3,76,69,553 Tubuh3,48,6 5,68 89,5 79,56,695,7,63 Tubuh3,86,3 9,498 79,94 7,48,94,7,64 Sayap Bawah,8,77 8,689 73,475 65,439,8,676,6 Sayap Bawah,,6 5,895 84,3 74,864,68,67,595 Sayap Bawah,36,,69 83,956 74,754,3,684,69 Sayap Bawah,3,958 8,64 78,473 69,643,679,66,587 Rata-rata,74,697,68

84 Lampiran Sifat fisis glulam Kode Sayap (flange) Tubuh (web) Panjang Volume Bo B Kadar Air Kerapatan Glulam b (cm) h (cm) b h Berat Jenis (cm) (cm³) (gram) (gram) (%) (g/cm³) (cm) (cm) KI 7,4 4 3,6 5 4,5 348,7 3,9 6,3,7,66,59 KI 7,4 4 3,6 5 4,5 348,7 38,3 4,,65,684,65 KI , 5 5,5 369, 5,3 4,39,97,68,68 KI4 7,4 3,8 3,6 5 4,85 356,73 73,6 44,3,845,766,685 KII 7,5 4 3,3 5, 5,3 48,736 73,3 44,8,65,669,599 KII 7,3 3,8 3 5, 5,3 376,55 9,5 6,7,66,77,69 KII3 7,4 4 3,3 5, 5,33 45,4 64,6 36,88,474,65,585 KII4 7,5 4 3,3 5,4 3,45 64,977 74,3 56,6,88,658,59 Rata-rata,63,693,6

85 Lampiran 3 Kurva beban-deformasi KI Kurva Beban Deformasi KI Sayap Atas a P =,8Δp +,67Δ,44 R² =,99 Batas Elastis (3,7;7,68) y =,76x,57 y =,874x + 7,6x,7 P Pp Linear (P) Poly. (Pp) Kurva Beban Deformasi KI Sayap Atas b P =,9Δp + 9,74Δ 9,5 R² =,99 Batas Elastis (,63;6,49) y = 9,539x 8,68 y =,358x +,8x 3, P Pp Linear (P) Poly. (Pp) Kurva Beban Deformasi KI Sayap Atas c P =,37Δp + 35,6Δ 7,43 R² =.99 Batas Elastis (,;6,7) y = 36,97x 9,34 R² = y =,46x + 43,69x 3,59 R² = P Pp Linear (P) Poly. (Pp) Kurva Beban Deformasi KI Sayap Atas 5 Kurva Beban Deformasi KI4 Tubuh a 5 Kurva Beban Deformasi KI4 Tubuh b P =,43Δp + 6,89Δ,76 R² =,99 Batas Elastis (4,8;89,) y =,436x + 46,86x 6,9 R² = y = 6,99x, Pe Pp Linear (Pe) Poly. (Pp) 5 5 P = 3,5Δp + 34,6Δ 9,8 R² =.99 Batas Elastis (,44;64,9) y =,83x + 45,67x 9,4 R² = y = 35,3x,69 Linear () Poly. () 5 5 P =,377Δp + 3,5Δ,77 R² =,99 Batas Elastis (,45;56,) y = 3,38x 3, y =,4x + 4,6x 9,5 Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KI4 Tubuh c P =,83Δp + 33,5Δ 37,64 R² =,99 Batas Elastis (3,3;73,6) y =,49x + 47,77x 56,76 y = 34,47x 4,8 Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KI4 Tubuh P =,Δp + 4,67Δ 5,84 R² =,99 Batas Elastis (3,59;73,) y = 5,3x 6,53 y =,78x + 36,58x 35,4 R² = Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KI Sayap Bawah P = 3,4Δp + 36,5Δ 9,96 R² =,99 Batas Elastis (3,4;94,8) y = 36,55x 3, y = 3,3x + 59,87x 7,69 R² = P Pp Linear (P) Poly. (Pp)

86 5 5 5 Kurva Beban Deformasi KI Sayap Bawah a P =,8Δp + 5,7Δ 3,83 R² =,99 Batas Elastis (3,49;39,) y =.366x x 33.4 R² =.999 y = 5,3x 3, Pe Pp Linear (Pe) 5 5 Kurva Beban Deformasi KI Sayap Bawah b P =,99Δp + 5,93Δ 3,6 R² =,99 Batas Elastis (4,9;55,59) y = 6,7x 5,37 y =,8x +,46x, P Pp Linear (P) Poly. (Pp) Kurva Beban Deformasi KI Sayap Bawah c P =,45Δp +,55Δ 3,8 R² =,99 Batas Elastis (,88;5,58) y =,365x + 9,86x,85 y = 3,3x 4,5 R² = P Pp Linear (P) Poly. (Pp) KI Kurva Beban Deformasi KI Sayap Atas P = 3,5Δp + 36,84Δ,5 R² =,99 Batas Elastis (,46;89,7) y = 36,76x,385 R² = y = 3,5x + 55,7x 7,5 P Pp Linear (P) Poly. (Pp) Kurva Beban Deformasi KI Sayap Atas a P =,74Δp + 9,98Δ 6, R² =,99 Batas Elastis (3,39;5,) y =,44x + 8,47x 7,75 y =,5x 7, P Pp Linear (P) Poly. (Pp) 5 5 Kurva Beban Deformasi KI Sayap Atas b P =,87Δp + 3,55Δ 7,36 R² =,99 Batas Elastis (3,8;6,6) y =,74x + 34,64x 35,7 R² = y = 3,9x 7, P Pp Linear (P) Poly. (Pp) Kurva Beban Deformasi KI Sayap Atas c P =,Δp + 5,36Δ +,47 R² =,99 Batas Elastis (,74;47,) y = 6,74x +, y =,97x + 3,9x,89 R² = P Pp Linear (P) Poly. (Pp) Kurva Beban Deformasi KI Tubuh P =,6Δp + 8,69Δ 3,56 R² =,99 Batas Elastis (3,9;59,83) y = 8,9x 3,9 y =,3x + 7,44x 8,85 R² = P Pp Linear (P) Poly. (Pp) Kurva Beban Deformasi KI Tubuh a P =,4Δp + 6,8Δ,75 R² =,99 Batas Elastis (,7;8,9) y = 6,6x,657 y = 4,57x + 35,3x 9,7,5,5,5 3 P Pp Linear (P) Poly. (Pp)

87 5 5 5 Kurva Beban Deformasi KI Tubuh b P =,74Δp +,8Δ,8 R² =,99 Batas Elastis (4,6;7,54) y = 3,4x,68 y =,7x + 36,5x 49,9 R² = P Pp Linear (P) Poly. (Pp) Kurva Beban Deformasi KI Sayap Bawah a P =,39Δp + 3,5Δ +,63 R² =,99 Batas Elastis (,36;45,9) y = 33,6x +,44 y =,338x + 38,6x 3,98 R² = P Pp Linear (P) Poly. (Pp) Kurva Beban Deformasi KI Sayap Bawah b P =,45Δp + 3,Δ,5 R² =,99 Batas Elastis (3,49;7,75) y =,6x + 3,5x 8,57 y = 3,97x, P Pp Linear (P) Poly. (Pp) 3 Kurva Beban Deformasi KI Sayap Bawah a 5 Kurva Beban Deformasi KI Sayap Bawah b P = 3,4Δp + 3,99Δ 3,87 R² =,99 Batas Elastis (3,3;6,6) y = 33,83x 4,9 y =,5x + 47,x,76 P Pp Linear (P) Poly. (Pp) 5 5 P =,56Δp + 9,35Δ +,9 R² =,99 Batas Elastis (,7;6,44) y = 3,4x +,59 y =,9x + 36,77x 3,937 R² = P Pp Linear (P) Poly. (Pp) KI Kurva Beban Deformasi KI3 Sayap Atas P =,43Δp + 5,67Δ 3, R² =,99 Batas Elastis (,35;47,67) y = 6,38x 4,9 y =,4x + 34,54x,7 R² = Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KI3 Sayap Atas a P =,9Δp + 4,36Δ +,79 R² =,99 Batas Elastis (,86;4,53) y = 4,9x +,7 R² = y =,85x + 8,8x,569 Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KI3 Sayap Atas b P = 3,66Δp + 3,47Δ,7 R² =,99 Batas Elastis (3,59;9,93) y =,56x + 46,9x 3,37 R² = y = 3,94x,536 Linear () Poly. ()

88 5 Kurva Beban Deformasi KI3 Sayap Atas c 5 Kurva Beban Deformasi KI3 Tubuh a 5 Kurva Beban Deformasi KI3 Tubuh b 5 5 P =,86Δp + 6,78Δ +,79 R² =,99 Batas Elastis (,8;37,6) y =,83x + 9,77x,93 y = 7,3x +,46 Linear () Poly. () 5 5 P =,76Δp + 5,5Δ,39 R² =,99 Batas Elastis (3,9;79) y = 6,7x,944 y =,6x + 34,7x,87 R² = Linear () Poly. () 5 5 P =,7Δp + 8,Δ 3,7 R² =,99 Batas Elastis (,;59,9) y =,965x + 35,53x 9,6 y = 9,9x 4,4 Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KI3 Tubuh c P =,88Δp + 7,8Δ 3,5 R² =,99 Batas Elastis (,4;64,4) y = 8,5x 3,958 y =,3x + 37,x,95 R² = Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KI3 Tubuh P =,3Δp + 9,78Δ 7,47 R² =,99 Batas Elastis (3,;7,97) y = 3,x 8,3 y =,x + 4,79x 36, Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KI3 Sayap Bawah a P =,74Δp + 8,5Δ 7, R² =,99 Batas Elastis (,78;6,46) y =,675x + 36,87x 8,6 R² = y = 8,85x 8, Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KI3 Sayap Bawah b P =,7Δp + 5,4Δ 6,43 R² =,99 Batas Elastis (4,66;9,75) y = 5,46x 7,67 y =,98x + 4,78x 65,68 R² = Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KI3 Sayap Bawah a P = 4,3Δp + 34,6Δ +, R² =,99 Batas Elastis (,7;6,69) y = 3,758x + 46,46x 8,369 y = 35,38x, Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KI3 Sayap Bawah b P =,53Δp + 7,6Δ 6,69 R² =,99 Batas Elastis (4,9;69,8) y = 7,9x 7,7 y =,6x + 6,4x,6 R² = Linear () Poly. ()

89 KI Kurva Beban Deformasi KI4 Sayap Atas a P =,5Δp + 8,46Δ,87 R² =,99 Batas Elastis (,68;45,) y = 8,8x 3,9 y =,43x + 36,3x 8,993 R² = Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KI4 Sayap Atas b P =,9Δp + 5,7Δ,69 R² =,99 Batas Elastis (3,9;84,59) y =,79x + 35,97x 3,76 y = 6,3x, Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KI4 Sayap Atas a P =,54Δp + 8,87Δ,9 R² =,99 Batas Elastis (3,87;,9) y = 9,4x,3 y =,4x + 43,87x 35,7 R² = Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KI4 Sayap Atas b P = 3,Δp + 38,33Δ,89 R² =,99 Batas Elastis (3,4;93,) y = 38,6x 3,8 y = 3,9x + 59,34x 57,65 Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KI4 Tubuh P = 3,39Δp + 4,46Δ 6,5 R² =,99 Batas Elastis (,38;8,6) y = 4,87x 6,9 R² = y = 3,47x + 58,47x 37,95 P Pp Linear (P) Poly. (Pp) Kurva Beban Deformasi KI4 Tubuh P =,73Δp + 33,56Δ 39,47 R² =,99 Batas Elastis (3,79;89,3) y = 34,64x 4,65 y =,436x + 5,x 65, P Pp Linear (P) Poly. (Pp) Kurva Beban Deformasi KI4 Sayap Bawah a P = 3,7Δp + 3,Δ 9,3 R² =,99 Batas Elastis (3,;78) y =,37x + 4,99x 3,58 y = 3,84x, Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KI4 Sayap Bawah b P =,69Δp + 6,93Δ 9,49 R² =,99 Batas Elastis (3,89;85,63) y =,x + 4,38x 43,37 y = 7,58x, Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KI4 Sayap Bawah a P =,99Δp + 6,65Δ,7 R² =,99 Batas Elastis (3,3;4,75) y = 7,x,49 y =,9x +,84x 8, Linear () Poly. ()

90 Kurva Beban Deformasi KI4 Sayap Bawah b P =,88Δp +,69Δ,47 R² =,99 Batas Elastis (3,3;5,9) y =,6x,65 y =,665x + 3,48x 33, Linear () Poly. () KII Kurva Beban Deformasi KII Sayap Atas P =,6Δp + 7,69Δ,9 R² =,99 Batas Elastis (3,36;59,77) y =,93x +,98x 6,694 y = 8,9x,38 Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KII Sayap Atas a P =,94Δp + 6,59Δ,4 R² =,99 Batas Elastis (,45;38,9) y = 6,69x,38 R² = y =,97x +,55x 9,36 R² = Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KII Sayap Atas b P =,6Δp +,7Δ +,39 R² =,99 Batas Elastis (3,8;38,4) y =,55x + 4,64x,5 y =,3x,3 R² = Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KII Sayap Atas c P =,4Δp + 7,95Δ,64 R² =,99 Batas Elastis (3;5,3) y =,95x +,8x 5,95 y = 8,54x 3,547 Linear () Kurva Beban Deformasi KII Tubuh a P =,5Δp + 35,97Δ 5,6 R² =,99 Batas Elastis (,33;78,9) y =,338x + 45,57x 3,74 y = 37,x 6,97 R² = Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KII Tubuh b P =,8Δp + 3,73Δ 8, R² =,99 Batas Elastis (,89;6,4) y = 4,3x 8,844 y =,86x + 3,99x 8,86 Linear () Poly. ()

91 Kurva Beban Deformasi KII Tubuh P =,93Δp + 3,6Δ +,38 R² =,99 Batas Elastis (,78;44,69) y =,58x + 7,3x +,57 y = 4,9x +,96 Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KII Tubuh 3a P =,48Δp + 34,46Δ,53 R² =,99 Batas Elastis (,7;8,83) y = 35,4x 3,99 R² = y =,5x + 44,9x, Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KII Tubuh 3b P =,35Δp +,75Δ,47 R² =,99 Batas Elastis (,94;6,59) y =,9x + 8,99x,4 y =,8x,546 Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KII Sayap Bawah a P =,3Δp +,64Δ 3,5 R² =,99 Batas Elastis (,83;4,8) y = 3,8x 3,93 R² = y =,98x + 3,7x 35,4 Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KII Sayap Bawah b P =,6Δp + 3,5Δ + 3,53 R² =,99 Batas Elastis (,8;38,6) y =,48x + 36,74x +,95 y = 33,75x +,99 Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KII Sayap Bawah a P =,49Δp + 3,Δ,69 R² =,99 Batas Elastis (,68;59,6) y = 3,4x,959 R² = y =,45x + 3,6x,9 Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KII Sayap Bawah b P =,5Δp + 34,7Δ,6 R² =,99 Batas Elastis (,67;7,68) y = 35,9x,3 R² = y =,x + 46,3x 35, Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KII Sayap Bawah c P =,Δp + 3,3Δ,8 R² =,99 Batas Elastis (,53;48,8) y = 3,87x,544 R² = y =,3x + 4,x 7,94 R² = Linear () Poly. ()

92 KII Kurva Beban Deformasi KII Sayap Atas P = Δp + 5,4Δ 4,99 R² =,99 Batas Elastis (3,6;53,7) y =,7x + 33,93x 33,4 y = 6,53x 7,55 Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KII Sayap Atas a P =,3Δp +,5Δ 3,8 R² =,99 Batas Elastis (,65;39,98) y =,78x + 6,6x,6 y =,46x 4,9 R² = Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KII Sayap Atas b P =,34Δp + 8,6Δ 4,9 R² =,99 Batas Elastis (3,5;,89) y = 8,794x 4,69 y =,33x +,4x 6,34 Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KII Sayap Atas c P =,9Δp + 8,Δ,69 R² =,99 Batas Elastis (3,76;84,77) Kurva Beban Deformasi KII Tubuh P =,55Δp + 4,9Δ 4,44 R² =,99 Batas Elastis (3,74;69,4) 8 6 Kurva Beban Deformasi KII Tubuh a P =,6Δp + 3,7Δ,59 R² =,99 Batas Elastis (3,54;59,9) y =,364x + 3,96x 36, R² = 5 y = 9,x 3,56 y =,88x + 4,3x 39,6 Linear () Poly. () 5 y =,47x + 34,4x 38,5 y = 5,45x 5,58 Linear () Poly. () 4 y = 3,48x,94 R² = Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KII Tubuh b P =,6Δp + 7,3Δ 4,4 R² =,99 Batas Elastis (3,39;78,8) y = 8,3x 6,9 y =,6x + 35,57x,98 R² = Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KII Tubuh 3 P =,79Δp + 4,54Δ 7,99 R² =,99 Batas Elastis (,87;6,39) y = 4,6x 8,6 R² = y =,847x + 35,46x 4,45 R² = Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KII Sayap Bawah a P =,8Δp + 4,98Δ 5,73 R² =,99 Batas Elastis (3,6;33,34) y =,749x + 9,37x,43 y = 5,6x 7, Linear () Poly. ()

93 5 5 5 Kurva Beban Deformasi KII Sayap Bawah b P = 3,4Δp + 35,55Δ 9,8 R² =,99 Batas Elastis (,76;69,59) y =,93x + 49,x 43,7 y = 36,9x 3, Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KII Sayap Bawah c P =,39Δp + 8,6Δ 6,44 R² =,99 Batas Elastis (3,39;,7) y = 8,56x 6,367 y =,47x +,58x,97 R² = Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KII Sayap Bawah P =,Δp + 7,Δ,6 R² =,99 Batas Elastis (3,;5,3) y = 7,46x,79 R² = y =,94x +,36x 7, Linear () Poly. () KII Kurva Beban Deformasi KII3 Sayap Atas a P =,5Δp + 5,59Δ 7,33 R² =,99 Batas Elastis (3,6;56,59) y = 6,9x 8,6 y =,967x + 37,7x 43, Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KII3 Sayap Atas b P =,8Δp + 7,94Δ 9,5 R² =,99 Batas Elastis (3,96;5,33) y = 8,39x,3 y =,37x + 5,5x 3, Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KII3 Sayap Atas c P =,3Δp + 6,35Δ 9,5 R² =,99 Batas Elastis (,56;48,68) y = 7,x,49 y =,46x + 35,66x 9, Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KII3 Sayap Atas P = 3,8Δp + 37,95Δ 36,59 R² =,99 Batas Elastis (3,9;88,6) y = 38,8x 36,8 y = 3,8x + 59,36x 73,3 R² = Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KII3 Tubuh P =,35Δp +,36Δ 9,95 R² =,99 Batas Elastis (3,69;55,3) y =,49x,6 y =,397x + 3,3x 4, Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KII3 Tubuh a P =,83Δp + 3,7Δ 3,4 R² =,99 Batas Elastis (,95;57,97) y = 3,59x 3,8 R² = y =,48x + 44,5x 55, Linear () Poly. ()

94 Kurva Beban Deformasi KII3 Tubuh b P =,45Δp + 8,3Δ 3,85 R² =,99 Batas Elastis (,93;5,6) y = 8,86x 33,8 y =,9x + 35,6x 4,69 R² = Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KII3 Tubuh c P =,9Δp + 6,96Δ 7,8 R² =,99 Batas Elastis (4,7;,) y = 8,x 9,33 y =,57x + 37,x 9,3 Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KII3 Tubuh 3 P =,9Δp + 4,64Δ 38, R² =,99 Batas Elastis (3,4;85,8) y = 3,x + 59,6x 68,8 y = 4,85x 38,3 Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KII3 Sayap Bawah a P = 3,3Δp + 3,9 6,94 R² =,99 Batas Elastis (3,8;9,6) y =,55x + 48,47x 55,3 y = 3,77x 8,35 Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KII3 Sayap Bawah b P =,68Δp + 8,73Δ 4,8 R² =,99 Batas Elastis (,57;8,39) y = 8,683x 4, y =,878x + 3,6x,96 Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KII3 Sayap Bawah c P =,Δp + 8,9Δ 8,63 R² =,99 Batas Elastis (4,7;89,36) y = 9,3x 9,36 y =,6x + 44,83x 59,7 Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KII3 Sayap Bawah P =,87Δp + 4,9Δ 3,4 R² =.99 Batas Elastis (4,54;6,9) y =,8x +,33x 9, R² = y = 4,3x 3,47 Linear () Poly. () 4 6 8

95 KII Kurva Beban Deformasi KII4 Sayap Atas P =,85Δp + 33,58Δ,38 R² =,99 Batas Elastis (3,37;9,89) y = 33,89x,87 y =,853x + 5,87x 55,8 Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KII4 Sayap Atas a P =,54Δp + 8,86Δ 6,68 R² =,99 Batas Elastis (,98;7,89) y =,96x + 37,58x,75 y = 3,6x 8,89 Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KII4 Sayap Atas b P =,43Δp + 5,67Δ 3, R² =,99 Batas Elastis (,35;47,67) y = 6,38x 4,9 y =,4x + 34,54x,7 R² = Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KII4 Sayap Atas c P =,57Δp + 9,93Δ 6,3 R² =,99 Batas Elastis (,43;4,58) y =,38x 6,89 y =,49x + 5,97x,78 Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KII4 Tubuh a P =,Δp +,53Δ 6,97 R² =,99 Batas Elastis (3,36;5,7) y =,66x 7,5 R² = y =,66x + 9,33x 3,56 R² = Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KII4 Tubuh b P =,9Δp + 7,85Δ 6,53 R² =,99 Batas Elastis (,8;6,43) y = 8,79x 8, y =,75x + 35,9x 4,4 Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KII4 Tubuh a P = 3,47Δp + 38,63Δ +,5 R² =,99 Batas Elastis (,43;57,6) y = 3,8x + 46,65x,467 y = 39,85x +,5 Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KII4 Tubuh b P =,8Δp + 7,94Δ 9,5 R² =,99 Batas Elastis (3,96;5,33) y = 8,39x,3 y =,37x + 5,5x 3,6 Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KII4 Tubuh 3a P =,Δp + 8,6Δ,49 R² =,99 Batas Elastis (3,6;46,) y = 8,46x,9 y =,9x + 3,66x 7,59 Linear () Poly. ()

96 Kurva Beban Deformasi KII4 Tubuh 3b P =,97Δp + 34,59Δ 34,37 R² =,99 Batas Elastis (3,6;9,78) y =,69x + 5,5x 6,98 R² = y = 35,9x 35,6 Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KII4 Sayap Bawah a P =,89Δp + 4,33Δ 7,8 R² =,99 Batas Elastis (4,63;59,38) y = 4,4x 7,337 y =,79x +,3x,5 Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KII4 Sayap Bawah b P =,98Δp + 35,34Δ, R² =,99 Batas Elastis (3,3;87,93) y = 36,3x,65 y =,63x + 49,7x 35,77 Linear () Poly. () Kurva Beban Deformasi KII4 Sayap Bawah a 5 Kurva Beban Deformasi KII4 Sayap Bawah b P = 3,57Δp + 37,69Δ 9,88 R² =,99 Batas Elastis (3,68;9,35) y = 3,44x + 6,5x 73,65 R² = y = 37,8x 3,7 Linear () Poly. () 5 5 P =,4Δp +,85Δ,97 R² =,99 Batas Elastis (,49;5,) y =,77x + 7,3x 6,63 y =,53x 3,83 Linear () Poly. ()

97 Lampiran 4 Perhitungan MOE- MOR Metode Konvensional dan Metode Bahtiar Kode Dimensi Pmaks ΔP/ΔY MOE konv Δest MOE Bahtiar MOR Bagian Glulam b (cm) h (cm) L (cm) (Kgf) (cm) (Kg/cm²) (cm) (Kg/cm²) (Kg/cm²) KI sayap atas,5, 8 5,4 7,6 395,8 6, ,64 66,43 sayap atas,,4 8 59, 95, ,75 97,39 395,69 97,4 sayap atas,4,6 8 5,44 369,7 487,7 356,5 9937,7 999,34 sayap atas,6,85 8 5,6 69,9 4375,77 68, ,54 94,3 Tubuh,9,5 8 79,76 353, 857, 34, , 946,99 Tubuh,6, 8 74,5 33,8 54, 3,5 97,66 875,8 Tubuh,4,9 8 9,4 344,7 686,46 33, ,94 897,89 Tubuh,4,4 8 4, 5,3 8,84 46, ,53 695,69 Sayap Bawah,,4 8 93,4 365,5 84,56 365,6 798,5 973,9 Sayap Bawah,, 8 84, 5,3 587,47 5,7 5,33 434,58 Sayap Bawah,88, 8 3,37 67, 655,6 59,7 5775,3 73,37 Sayap Bawah,7, ,94 3, ,93 5, ,59 77,44 KI sayap atas,5, 8 93,3 367,6 78,88 368,4 995,7 983,9 sayap atas,5,98 8 3,4 5, 788,3 99, ,55 688,94 sayap atas,99, 8 7,4 39, 84,5 35,46 84,6 6,84 sayap atas,98, 8 5,3 67,4 96,4 53, ,69 789,56 Tubuh,98, 8 98,59 89, 64396,5 86, ,5 56,69 Tubuh,5,4 8 39,86 66, 544,8 68,4 5384,58 96,38 Tubuh,98, 8 37,93 3,4 7986,3 8, 796,76 73,7 Sayap Bawah,, ,7 33,6 597,47 35, 336,7 86,64 Sayap Bawah,3, ,8 39,7 836,89 3,3 88,5 87,54 Sayap Bawah,4,3 8 3,67 338,3 8846, 39,93 653,5 7,7 Sayap Bawah,,5 8 4,4 34, 96793,5 93, ,8 7,3 KI3 sayap atas,3,6 8 3,5 66,9 5856,85 65,9 5549,74 647,84 sayap atas,,6 8 99,78 49, 4654,99 43, ,9 49,58 sayap atas,8, 8 66,95 39,4 9884,3 34, ,9 85,57 sayap atas,96,3 8 3,4 73, 5865,58 67, ,64 678,6 tubuh,5,4 8 66,5 6,7 853,5 55,3 8398,6 89,88

98 Kode Bagian Dimensi Pmaks ΔP/ΔY MOE konv Δest MOE Bahtiar MOR Glulam b (cm) h (cm) L (cm) (Kgf) (cm) (Kg/cm²) (cm) (Kg/cm²) (Kg/cm²) tubuh,4, ,4 9,9 4654,6 8,7 53,36 83,86 tubuh,95, 8 5,4 85, 85,38 78,7 984,59 83,7 tubuh,, ,67 3, 866,3 97,8 393,35 9,9 Sayap Bawah,,7 8 7, 88,5 8874,9 8,5 8686,4 837,9 Sayap Bawah,,4 8 57, 54,6 8447,98 5,35 888,63 784,6 Sayap Bawah,6,5 8 8, 353,8 48,77 346,7 7644,9 88,93 Sayap Bawah,, 8 5,5 79, 679,9 76,3 597,67 78,9 KI4 sayap atas,5,8 8 6,93 89, ,37 84, ,9 763,57 sayap atas,7, ,8 63, 93339,79 57, 947,59 865,45 sayap atas,,4 8 77,7 94, 9575,6 88, ,34 894,4 sayap atas,,3 8 6,7 386, 5434,7 383, ,6 4,8 tubuh,7,6 8,3 48,7 76,93 44,64 587,93 96,88 tubuh,4,6 8 94,3 346,4 673,8 335, ,95 943, Sayap Bawah,5,98 8 9,9 38,4 88,67 3,9 73,89 4,38 Sayap Bawah,4,4 8 87,7 75, ,86 69,3 8568,6 98,43 Sayap Bawah,9,5 8,46 7, 5664,74 66, ,5 639,38 Sayap Bawah,4,87 8,38,6 9736, 6,98 894,46 7, KII sayap atas,8,4 8 5,99 8, ,7 76, ,78 73,9 sayap atas,3,6 8 3,5 66,9 5856,85 65,9 5549,74 647,84 sayap atas,,9 8 93,59, ,57 7, 45,47 53,6 sayap atas,3, 8 37,73 85,4 68,98 79,46 595,63 7,4 tubuh,6,5 8 6,54 37, 398,96 359,78 73,66 47,3 tubuh,, ,7 4,3 879, 37, ,6 773,8 tubuh,4, 8,39 49, 8438,47 3, ,8 63,34 tubuh3,6, 8 4,4 354, 774,46 344,57 454,5 4,4 tubuh3,7, ,77 8, 88687,94 7, ,9 836,45 Sayap Bawah,3, ,3 3,8 87,7 6, ,68 734,94 Sayap Bawah,, 8 36,7 337,5 9987,3 3, ,4 646,47 Sayap Bawah,84,5 8 43,54 34, 887,8 3,5 835,5 777,69

99 Kode Bagian Dimensi Pmaks ΔP/ΔY MOE konv Δest MOE Bahtiar MOR Glulam b (cm) h (cm) L (cm) (Kgf) (cm) (Kg/cm²) (cm) (Kg/cm²) (Kg/cm²) Sayap Bawah,9,5 8 3,7 35,9 796,46 347,6 684,55 67,5 Sayap Bawah,99, ,9 38,7 94,5 3,7 385,9 773,6 KII sayap atas,6, ,8 65,3 9898,38 5,36 945,4 738,8 sayap atas,5,9 8 7,9 4, ,34, ,46 79,67 sayap atas,7, ,36 87, ,45 86, 34666,8 44,7 sayap atas,8, ,37 9, 5593,8 8, 99,78 956,36 tubuh,,4 8 8,83 54,5 857,97 49, 79375, 9,3 tubuh,5, ,7 34, ,6 3, , 497,68 tubuh,98, 8 7,34 83, 9653,95 7,6 98,78 93,48 tubuh3,, 8 36,77 46, 8,48 45,4 898, 74,93 Sayap Bawah,99, 8 6,4 56, 53,7 49, ,7 6,5 Sayap Bawah,,5 8 8,7 369, 794,74 355,48 365,9 9,9 Sayap Bawah,98,5 8 64,6 85,6 7464,37 86, 7587,55 33,55 Sayap Bawah,9,5 8 38,3 74,6 5948,93 7,3 598,36 659,7 KII3 sayap atas,4,6 8 53,96 6,9 83,75 55,9 7897,9 74,83 sayap atas,3,95 8 4,46 83,9 6759,4 79, ,7 775,35 sayap atas,, 8 5,68 7, 964, 63, ,6 776,74 sayap atas,3, ,93 38,8 3543, 379,48 39,57 3,63 tubuh,97,93 8 7, 4, ,9 3,58 787,7 73,7 tubuh,98, 8 69,63 35,9 5,9 37, 5455, 894,33 tubuh,7,4 8 39,5 88,6 949,3 8,3 8837,54 68,93 tubuh,8,3 8, 8, 87865,8 69, ,65 98,49 tubuh3,6,97 8 5,5 48,5 46,9 46, ,56 87,3 Sayap Bawah,7,4 8 66,8 37,7 988,57 3,9 967,68 8,8 Sayap Bawah,,84 8 3,4 86, ,74 87, ,74 98,9 Sayap Bawah,9,6 8 85,7 93, 889, 89,4 878,63 878,8 Sayap Bawah,4,93 8 6,6 4,3 556,47 4, ,58 587,6 KII4 sayap atas,3,4 8 85, 338,9 89,78 335,87 75,84 9,57 sayap atas,9,5 8 58, 3, ,4 88,6 955, 89,78

100 Kode Bagian Dimensi Pmaks ΔP/ΔY MOE konv Δest MOE Bahtiar MOR Glulam b (cm) h (cm) L (cm) (Kgf) (cm) (Kg/cm²) (cm) (Kg/cm²) (Kg/cm²) sayap atas,4, ,79 63,8 6764,8 56, ,5 86,75 sayap atas,5,88 8,43 3,8 8848,7 99,3 84,6 77,67 Tubuh,6, 8 8,54 6, ,34 5,3 6847,97 64,4 Tubuh,4,4 8 63,6 87,9 983,5 78,45 888, 83,9 Tubuh,96,98 8 8,64 398,5 449,38 386,36 396,3 988,7 Tubuh,3,95 8 4,46 83,9 6759,4 79, ,7 775,35 Tubuh3,5,3 8,69 84,6 595,7 8,6 5836,7 63,9 Tubuh3,8, 8 87,68 35,9 879, 345,97 66,48 6,43 Sayap Bawah,,77 8,5 44, 749,83 43,3 758,34 73, Sayap Bawah,,6 8 9,4 36,3 49,66 353,44 954,3 94,5 Sayap Bawah,4, 8,5 378, 697,3 376, , 3,8 Sayap Bawah,3,96 8 4,88 5,3 86,6 8,5 7856,5 759,5

101 Lampiran 6 MOE teoritis dan MOE empiris KI Potongan Sayap atas Sayap atas Sayap Sayap MOE Badan Badan Bawah Bawah Teoritis 3889, , , 7869,53 798,5 5, ,4 3889, , , 7869,53 798,5 5775,3 6838, 3 395, , , 7869,53 798,5 5775, , , ,54 97, ,53 798,5 5775,3 6533, ,7 3933,54 97, ,53 798,5 5775,3 963, ,7 3933,54 97, ,53 798,5 7599, , ,7 3933, , ,53 798,5 7599,59 987,68 Rata-rata 6749, 3933, , ,53 798,5 677,96 795,7 MOE Empiris 774,7 KI Potongan Sayap atas Sayap atas Sayap Sayap MOE Badan Badan Bawah Bawah Teoritis 995, , ,5 5384,58 336,7 653,5 587,7 995,7 84, ,5 5384,58 336,7 653,5 757, ,7 84, ,5 5384,58 88,5 653,5 75, ,7 84, ,5 5384,58 88, ,8 979, ,7 8686, ,5 5384,58 88, , , ,7 8686, ,5 796,76 88, ,8 9953,7 Rata-rata 995,7 8477, ,5 5744,8 94,6 9983,84 95,63 MOE Empiris 9584,3

102 KI3 Potongan Sayap atas Sayap atas Sayap Sayap MOE MOE Badan Badan Bawah Bawah Teoritis Empiris 5549, ,9 8398,6 393, ,4 7644,9 736, 386, , ,9 8398,6 393, ,4 7644,9 8667, , ,9 53,36 393, ,4 7644,9 8997, , ,64 53,36 393, ,4 7644, , , ,64 984,59 393, ,4 7644,9 7336, , ,64 984,59 393,35 888, ,9 7844, , ,64 984,59 393,35 888,63 597, ,84 Rata-rata 5549, ,5 9446,38 393, ,6 798, 73347,3 KI4 Potongan Sayap atas Sayap atas Sayap Sayap MOE Badan Badan Bawah Bawah Teoritis 8488, ,34 587, ,95 73, ,5 799,3 8488, ,34 587, , , ,5 7649, , ,34 587, , , ,5 7886, , ,34 587, , , ,5 7886, , ,6 587, , , ,5 857, , ,6 587, , ,6 894, ,5 Rata-rata 895,79 383,76 587, ,95 896,6 658, 843,55 MOE Empiris 396,78

103 KII Potongan Sayap atas Sayap atas Sayap Sayap MOE Badan Badan Badan 3 Bawah Bawah Teoritis 5499, ,74 73, ,8 454, ,68 835, , ,78 45,47 73, ,8 454, ,68 835,5 6583, ,78 45,47 73, ,8 454, ,68 684, , ,78 45,47 73, ,8 454,5 9483,4 684, , ,78 595,63 73, ,8 454,5 9483,4 684, , ,78 595,63 73, , ,9 9483,4 684,55 788, ,78 595,63 73, , ,9 9483,4 385, , ,78 595, ,6 7858, ,9 9483,4 385,9 7683,47 Rata-rata 5499,78 596, , ,8 4769, ,5 6638,87 739,6 MOE Empiris 678,94 KII Potongan Sayap atas Sayap atas Sayap Sayap MOE Badan Badan Badan 3 Bawah Bawah Teoritis 945,4 7853, , 8835, 898, 49867,7 598, ,9 945, , , 8835, 898, 49867,7 598,36 633, , , , 8835, 898, 365,9 598, , , , , 98,78 898, 365,9 598, , ,4 99, , 98,78 898, 365,9 598,36 848, 6 945,4 99, , 98,78 898, 7587,55 598, ,53 Rata-rata 945, , , 8787,94 898, 783,4 598, ,55 MOE Empiris 455,64

104 KII3 Potongan Sayap atas Sayap atas Sayap Sayap MOE Badan Badan Badan 3 Bawah Bawah Teoritis 7897,9 39,57 787,7 5455, 4883,56 967, , , ,7 39,57 787,7 5455, 4883,56 967, , , ,7 39,57 787,7 5455, 4883, , ,58 648, ,7 39,57 787,7 8837, , , , , ,7 39,57 787,7 8837, ,56 878, , , ,6 39,57 787,7 8837, ,56 878, ,58 83, ,6 39,57 787, , ,56 878, ,58 8,77 Rata-rata 7379,5 39,57 787,7 955,7 4883, , , ,9 MOE Empiris 4565,79 KII4 Potongan Sayap atas Sayap atas Sayap Sayap MOE Badan Badan Badan 3 Bawah Bawah Teoritis 75,84 955, 6847,97 396,3 5836,7 758, , 5449,37 75,84 955, 888, 396,3 5836,7 758, , 5744, , ,5 888, 396,3 5836,7 758, , 697,4 4 75, ,5 888, 396,3 5836,7 954,3 6586, 55, , ,5 888, 396,3 5836,7 954,3 7856, , ,84 84,6 888, 396,3 5836,7 954,3 7856,5 989,5 7 75,84 84,6 888, 396,3 66,48 954,3 7856,5 9396, 8 75,84 84,6 888, 6547,7 66,48 954,3 7856,5 938,95 Rata-rata 75, ,47 865, ,99 754,65 947, 574,8 884,59 MOE Empiris 35,

105 Lampiran 7 MOR teoritis dan MOR empiris KI Potongan Sayap atas Sayap atas Sayap Sayap MOR Badan Badan Bawah Bawah Teoritis 66,43 94,3 946,99 695,69 973,9 434,58 44,73 66,43 94,3 946,99 695,69 973,9 73,37 45, ,4 94,3 946,99 695,69 973,9 73,37 589,7 4 97,4 94,3 875,8 695,69 973,9 73,37 586, ,34 94,3 875,8 695,69 973,9 73,37 95, ,34 94,3 875,8 695,69 973,9 77,44 875, ,34 94,3 897,89 695,69 973,9 77,44 874,7 Rata-rata 589,34 94,3 99,46 695,69 973,9 68,7 674,9 MOR Empiris 8,98 KI Potongan Sayap atas Sayap atas Sayap Sayap MOR Badan Badan Bawah Bawah Teoritis 983,9 688,94 56,69 96,38 86,64 7,7 834,5 983,9 6,84 56,69 96,38 86,64 7,7 859, ,9 6,84 56,69 96,38 87,54 7,7 85, ,9 6,84 56,69 96,38 87,54 7,3 76, ,9 789,56 56,69 96,38 87,54 7,3 77, ,9 789,56 56,69 73,7 87,54 7,3 7,84 Rata-rata 983,9 684,43 56,69 85,6 853,9 864,5 778,7 MOR Empiris 89,8

106 KI3 Potongan Sayap atas Sayap atas Sayap Sayap MOR Badan Badan Bawah Bawah Teoritis 647,84 49,58 89,88 9,9 837,9 88,93 697,7 647,84 85,57 89,88 9,9 837,9 88,93 736, ,84 85,57 83,86 9,9 837,9 88,93 737, ,84 678,6 83,86 9,9 837,9 88,93 77, ,84 678,6 83,7 9,9 837,9 88,93 77, ,84 678,6 83,7 9,9 784,6 88,93 698, ,84 678,6 83,7 9,9 784,6 78,9 75,4 Rata-rata 647,84 693,87 84,95 9,9 8,68 867,7 74,43 MOR Empiris 7, KI4 Potongan Sayap atas Sayap atas Sayap Sayap MOR Badan Badan Bawah Bawah Teoritis 77,8 894,4 96,88 96,9 4,37 639,38 745,73 77,8 894,4 96,88 96,9 98,43 639,38 73, 3 865,45 894,4 96,88 96,9 98,43 639,38 799, ,45 894,4 96,88 96,9 98,43 639,38 799, ,45 4,8 96,88 96,9 98,43 639,38 85, ,45 4,8 96,88 96,9 98,43 798,86 733,83 Rata-rata 833,9 94,96 96,88 96,9 94,9 665,96 776,84 MOR Empiris 75,66

107 KII Potongan Sayap atas Sayap atas Sayap Sayap MOR Badan Badan Badan 3 Bawah Bawah Teoritis 73,9 647,84 5,47 63,34 64,8 734,94 777,69 74,49 73,9 53,6 5,47 63,34 64,8 734,94 777,69 79, ,9 53,6 5,47 63,34 64,8 734,94 67,5 89, ,9 53,6 5,47 63,34 64,8 646,47 67,5 84, ,9 7,4 5,47 63,34 64,8 646,47 67,5 858,7 6 73,9 7,4 5,47 63,34 836,45 646,47 67,5 855, ,9 7,4 5,47 63,34 836,45 646,47 868,93 66, 8 73,9 7,4 773,8 63,34 836,45 646,47 868,93 66,6 Rata-rata 73,9 63,5 7,56 63,34 697,46 679,65 945,3 756,44 MOE Empiris 89,8 KII Potongan Sayap atas Sayap atas Sayap Sayap MOR Badan Badan Badan 3 Bawah Bawah Teoritis 75,64 79,67 9,3 497,68 74,93 6,5 659,7 64,8 75,64 44,7 9,3 497,68 74,93 6,5 659,7 54, ,64 44,7 9,3 497,68 74,93 9,9 659,7 565,8 4 75,64 44,7 9,3 983,68 74,93 9,9 659,7 565, ,64 956,36 9,3 983,68 74,93 9,9 659,7 69,7 6 75,64 956,36 9,3 983,68 74,93 33,55 659,7 68,9 Rata-rata 75,64 659,37 9,3 74,68 74,93 74,47 659,7 6,8 MOE Empiris 4,8

108 KII3 Potongan Sayap atas Sayap atas Sayap Sayap MOR Badan Badan Badan 3 Bawah Bawah Teoritis 78,38 3,63 73,7 894,33 87,3 86, 587,6 88,4 775,35 3,63 73,7 894,33 87,3 86, 587,6 84, ,35 3,63 73,7 894,33 87,3 98,9 587,6 44, ,35 3,63 73,7 68,93 87,3 98,9 587,6 43, ,35 3,63 73,7 68,93 87,3 878,8 587,6 776, ,74 3,63 73,7 68,93 87,3 878,8 587,6 783, ,74 3,63 73,7 98,49 87,3 878,8 587,6 783,88 Rata-rata 776,75 3,63 73,7 85,9 87,3 666,8 587,6 68,66 MOE Empiris 93,73 KII4 Potongan Sayap atas Sayap atas Sayap Sayap MOR Badan Badan Badan 3 Bawah Bawah Teoritis 96,5 847,7 64,4 988,7 38,94 73, 3,8 86, 96,5 847,7 83,9 988,7 38,94 73, 3,8 86, ,5 86,75 83,9 988,7 38,94 73, 3,8 86, ,5 86,75 83,9 988,7 38,94 993,38 3,8 939,4 5 96,5 86,75 83,9 988,7 38,94 993,38 759,5 865, 6 96,5 78,4 83,9 988,7 38,94 993,38 759,5 86, ,5 78,4 83,9 988,7 65,79 993,38 759,5 83, ,5 78,4 83,9 775,35 65,79 993,38 759,5 83, Rata-rata 96,5 8,4 787,5 96,57 45,65 894,7 895,48 854,5 MOE Empiris 4,3

109 Lampiran 8 Dokumentasi Contoh kecil Pengujian contoh kecil Lamina Pengempaan Glulam I-joist Pengujian glulam

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dari bulan November 2008 sampai bulan Februari 2009. Tempat pembuatan dan pengujian glulam I-joist yaitu di Laboratorium Produk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.. Gambaran Umum Kayu Karet (Hevea brasiliensis) Kayu Karet (Hevea brasilensis) termasuk dalam golongan kayu daun lebar/ kayu berpori (hardwood/porous wood) dari famili Euphorbiaceae.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Peningkatan Mutu Kayu untuk proses persiapan bahan baku, pembuatan panel CLT, dan pengujian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Peningkatan Mutu Kayu untuk proses persiapan bahan baku, pembuatan panel, dan pengujian

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 9 III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian pembuatan CLT dengan sambungan perekat yang dilakukan di laboratorium dan bengkel kerja terdiri dari persiapan bahan baku,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 7 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biokomposit dan pengujian sifat fisis dan mekanis dilaksanakan di Laboratorium Rekayasa dan Desain

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 9 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan September sampai dengan bulan November 2010 di Laboratorium Teknologi Peningkatan Mutu Kayu dan Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan dari bulan Mei sampai Juli 2011 bertempat di Laboratorium Biokomposit, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 13 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2011 - April 2012 di Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu dan Laboratorium Teknologi dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan mulai Juli 2011 Januari 2012 dan dilaksanakan di Bagian Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu, Bagian Kimia Hasil Hutan, Bagian Biokomposit

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Sifat-sifat Dasar dan Laboratorium Terpadu, Bagian Teknologi Peningkatan Mutu Kayu, Departemen Hasil

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Mutu Kekakuan Lamina BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penyusunan lamina diawali dengan melakukan penentuan mutu pada tiap ketebalan lamina menggunakan uji non destructive test. Data hasil pengujian NDT

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan dari bulan Juni sampai dengan bulan Oktober 2010. Tempat yang dipergunakan untuk penelitian adalah sebagai berikut : untuk pembuatan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 8 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Bahan dan Alat Penelitian ini menggunakan bahan-bahan berupa tandan kosong sawit (TKS) yang diperoleh dari pabrik kelapa sawit di PT. Perkebunan Nusantara VIII Kertajaya,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan yaitu dari bulan Juni hingga Agustus 2011 di Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu, Laboratorium Peningkatan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Agustus 204 di Workshop Program Studi Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara untuk membuat

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL JERAMI (STRAW) TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL RINO FARDIANTO

PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL JERAMI (STRAW) TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL RINO FARDIANTO PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL JERAMI (STRAW) TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL RINO FARDIANTO DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL

Lebih terperinci

Pengaruh Variasi Sambungan Satu Ruas dan Dua Ruas Bambu Terhadap Kekuatan Balok Laminasi Bambu Tali MUJAHID

Pengaruh Variasi Sambungan Satu Ruas dan Dua Ruas Bambu Terhadap Kekuatan Balok Laminasi Bambu Tali MUJAHID Pengaruh Variasi Sambungan Satu Ruas dan Dua Ruas Bambu Terhadap Kekuatan Balok Laminasi Bambu Tali MUJAHID DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 Pengaruh Variasi Penyusunan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Tabel 6 Ukuran Contoh Uji Papan Partikel dan Papan Serat Berdasarkan SNI, ISO dan ASTM SNI ISO ASTM

BAB III METODOLOGI. Tabel 6 Ukuran Contoh Uji Papan Partikel dan Papan Serat Berdasarkan SNI, ISO dan ASTM SNI ISO ASTM BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di laboratorium Produk Majemuk Kelompok Peneliti Pemanfaatan Hasil Hutan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor.

Lebih terperinci

PENGUJIAN SIFAT MEKANIS PANEL STRUKTURAL DARI KOMBINASI BAMBU TALI (Gigantochloa apus Bl. ex. (Schult. F.) Kurz) DAN KAYU LAPIS PUJA HINDRAWAN

PENGUJIAN SIFAT MEKANIS PANEL STRUKTURAL DARI KOMBINASI BAMBU TALI (Gigantochloa apus Bl. ex. (Schult. F.) Kurz) DAN KAYU LAPIS PUJA HINDRAWAN 1 PENGUJIAN SIFAT MEKANIS PANEL STRUKTURAL DARI KOMBINASI BAMBU TALI (Gigantochloa apus Bl. ex. (Schult. F.) Kurz) DAN KAYU LAPIS PUJA HINDRAWAN DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian kekuatan sambungan tarik double shear balok kayu pelat baja menurut diameter dan jumlah paku pada sesaran tertentu ini dilakukan selama kurang lebih

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 3 Bagan pembagian batang bambu.

BAB III METODOLOGI. Gambar 3 Bagan pembagian batang bambu. 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksankan mulai dari bulan November 2011 - April 2012 yang bertempat di Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu dan Laboratorium Peningkatan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Februari hingga Juni 2009 dengan rincian waktu penelitian terdapat pada Lampiran 3. Penelitian dilakukan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 4.1. Sifat Fisis IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat fisis papan laminasi pada dasarnya dipengaruhi oleh sifat bahan dasar kayu yang digunakan. Sifat fisis yang dibahas dalam penelitian ini diantaranya adalah

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari - Mei 2009, bertempat di Laboratorium Produk Majemuk dan Laboratorium Penggergajian dan Pengerjaan,

Lebih terperinci

PENGARUH PERENDAMAN PANAS DAN DINGIN SABUT KELAPA TERHADAP KUALITAS PAPAN PARTIKEL YANG DIHASILKANNYA SISKA AMELIA

PENGARUH PERENDAMAN PANAS DAN DINGIN SABUT KELAPA TERHADAP KUALITAS PAPAN PARTIKEL YANG DIHASILKANNYA SISKA AMELIA i PENGARUH PERENDAMAN PANAS DAN DINGIN SABUT KELAPA TERHADAP KUALITAS PAPAN PARTIKEL YANG DIHASILKANNYA SISKA AMELIA DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 i PENGARUH PERENDAMAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis Kayu Sifat fisis kayu akan mempengaruhi kekuatan kayu dalam menerima dan menahan beban yang terjadi pada kayu itu sendiri. Pada umumnya kayu yang memiliki kadar

Lebih terperinci

KAYU LAMINASI. Oleh : Yudi.K. Mowemba F

KAYU LAMINASI. Oleh : Yudi.K. Mowemba F KAYU LAMINASI Oleh : Yudi.K. Mowemba F 111 12 040 Pendahuluan Kayu merupakan bahan konstruksi tertua yang dapat diperbaharui dan merupakan salah satu sumber daya ekonomi yang penting. Seiring dengan perkembangan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan TINJAUAN PUSTAKA Papan Partikel Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan papan yang terbuat dari bahan berlignoselulosa yang dibuat dalam bentuk partikel dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian kekuatan sambungan menurut kekuatan lentur paku serta pembenaman paku ke dalam balok terhadap empat jenis kayu dilakukan selama kurang lebih tiga

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei - Oktober Pembuatan

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei - Oktober Pembuatan METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei - Oktober 2015. Pembuatan papan dan pengujian sifat fisis dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Hutan, Program Studi Kehutanan,

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA

PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Alat dan Bahan Test Specification SNI

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Alat dan Bahan Test Specification SNI BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Persiapan bahan baku, pembuatan dan pengujian sifat fisis papan partikel dilaksanakan di Laboratorium Bio-Komposit sedangkan untuk pengujian sifat mekanis

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 13 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan mulai bulan April 2012 Juli 2012. Dilaksanakan di Laboratorium Bio Komposit, Laboratorium Rekayasa Departemen Hasil Hutan,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.3 Pembuatan Contoh Uji

III. METODOLOGI. 3.3 Pembuatan Contoh Uji III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Persiapan bahan baku dan pembuatan papan partikel dilaksanakan di Laboratorium Kimia Hasil Hutan dan Laboratorium Bio-Komposit sedangkan untuk pengujian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis Sifat fisis pada kayu laminasi dipengaruhi oleh sifat fisis bahan pembentuknya yaitu bagian face, core, dan back. Dalam penelitian ini, bagian face adalah plywood

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI Klasifikasi Kayu Kayu Bangunan dibagi dalam 3 (tiga) golongan pemakaian yaitu :

BAB III LANDASAN TEORI Klasifikasi Kayu Kayu Bangunan dibagi dalam 3 (tiga) golongan pemakaian yaitu : BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Klasifikasi Kayu Kayu Bangunan dibagi dalam 3 (tiga) golongan pemakaian yaitu : 1. Kayu Bangunan Struktural : Kayu Bangunan yang digunakan untuk bagian struktural Bangunan dan

Lebih terperinci

SURAT KETERANGAN Nomor : '501K13.3.3rrU/2005

SURAT KETERANGAN Nomor : '501K13.3.3rrU/2005 .;.. DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR DEPIIIEIEN HISIL HUliN Kampus IPB Darmaga PO BOX 168 Bogor 161 Alamat Kawat FAHUTAN Bogor Phone: (251) 621285, Fax: (251)

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis Sifat fisis dari panel CLT yang diuji yaitu, kerapatan (ρ), kadar air (KA), pengembangan volume (KV) dan penyusutan volume (SV). Hasil pengujian sifat fisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lama berkembang sebelum munculnya teknologi beton dan baja. Pengolahan kayu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lama berkembang sebelum munculnya teknologi beton dan baja. Pengolahan kayu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemanfaatan kayu yang digunakan sebagai bahan baku konstruksi telah lama berkembang sebelum munculnya teknologi beton dan baja. Pengolahan kayu gergajian sangat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Nilai Kekakuan Lamina Kayu Ekaliptus Pemilahan lamina menggunakan metode defleksi menghasilkan nilai modulus elastisitas (MOE) yang digunakan untuk pengelompokkan lamina.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. sesuai dengan SNI no. 03 tahun 2002 untuk masing-masing pengujian. Kayu tersebut diambil

BAB III METODE PENELITIAN. sesuai dengan SNI no. 03 tahun 2002 untuk masing-masing pengujian. Kayu tersebut diambil BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Persiapan Penelitian Jenis kayu yang dipakai dalam penelitian ini adalah kayu rambung dengan ukuran sesuai dengan SNI no. 03 tahun 2002 untuk masing-masing pengujian. Kayu

Lebih terperinci

SIFAT FISIS MEKANIS PANEL SANDWICH DARI TIGA JENIS BAMBU FEBRIYANI

SIFAT FISIS MEKANIS PANEL SANDWICH DARI TIGA JENIS BAMBU FEBRIYANI SIFAT FISIS MEKANIS PANEL SANDWICH DARI TIGA JENIS BAMBU FEBRIYANI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN Febriyani. E24104030. Sifat Fisis Mekanis Panel Sandwich

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 8 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Januari 2011 sampai Agustus 2011. Pemotongan kayu dilakukan di Work Shop Laboratorium Peningkatan Mutu Kayu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam dunia teknik sipil, pengkajian dan penelitian masalah bahan bangunan dan model struktur masih terus dilakukan. Oleh karena itu masih terus dicari dan diusahakan

Lebih terperinci

KUAT LENTUR DAN PERILAKU BALOK PAPAN KAYU LAMINASI SILANG DENGAN PEREKAT (251M)

KUAT LENTUR DAN PERILAKU BALOK PAPAN KAYU LAMINASI SILANG DENGAN PEREKAT (251M) KUAT LENTUR DAN PERILAKU BALOK PAPAN KAYU LAMINASI SILANG DENGAN PEREKAT (251M) Johannes Adhijoso Tjondro 1 dan Benny Kusumo 2 1 Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan,

Lebih terperinci

PENGARUH KADAR RESIN PEREKAT UREA FORMALDEHIDA TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL DARI AMPAS TEBU AHMAD FIRMAN ALGHIFFARI

PENGARUH KADAR RESIN PEREKAT UREA FORMALDEHIDA TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL DARI AMPAS TEBU AHMAD FIRMAN ALGHIFFARI PENGARUH KADAR RESIN PEREKAT UREA FORMALDEHIDA TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL DARI AMPAS TEBU AHMAD FIRMAN ALGHIFFARI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PENGARUH

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2007 sampai Juli 2008. Pembuatan OSB dilakukan di Laboratorium Biokomposit, pembuatan contoh uji di Laboratorium

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2009 sampai dengan Mei 2010, bertempat di Laboratorium Pengeringan Kayu, Laboratorium Peningkatan Mutu Hasil Hutan dan

Lebih terperinci

Papan partikel SNI Copy SNI ini dibuat oleh BSN untuk Pusat Standardisasi dan Lingkungan Departemen Kehutanan untuk Diseminasi SNI

Papan partikel SNI Copy SNI ini dibuat oleh BSN untuk Pusat Standardisasi dan Lingkungan Departemen Kehutanan untuk Diseminasi SNI Standar Nasional Indonesia Papan partikel ICS 79.060.20 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif... 1 3 Istilah dan definisi... 1 4 Klasifikasi...

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. Kayu memiliki berat jenis yang berbeda-beda berkisar antara

BAB III LANDASAN TEORI. Kayu memiliki berat jenis yang berbeda-beda berkisar antara BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Berat Jenis dan Kerapatan Kayu Kayu memiliki berat jenis yang berbeda-beda berkisar antara 0.2-1.28 kg/cm 3. Berat jenis kayu merupakan suatu petunjuk dalam menentukan kekuatan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Tempat

3 METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Tempat 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Pengumpulan data di laboratorium berlangsung selama tujuh bulan dimulai pada bulan Juli 2006 hingga Januari 2007. Contoh bambu betung (Dendrocalamus asper) yang digunakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tampilan Kayu Pemadatan kayu menghasilkan warna yang berbeda dengan warna aslinya, dimana warnanya menjadi sedikit lebih gelap sebagai akibat dari pengaruh suhu pengeringan

Lebih terperinci

PENGUJIAN KEKAKUAN KAYU SECARA NON DESTRUKTIF GELOMBANG ULTRASONIK DAN KEKUATAN LENTUR SECARA DESTRUKTIF CONTOH KECIL KAYU JATI

PENGUJIAN KEKAKUAN KAYU SECARA NON DESTRUKTIF GELOMBANG ULTRASONIK DAN KEKUATAN LENTUR SECARA DESTRUKTIF CONTOH KECIL KAYU JATI PENGUJIAN KEKAKUAN KAYU SECARA NON DESTRUKTIF GELOMBANG ULTRASONIK DAN KEKUATAN LENTUR SECARA DESTRUKTIF CONTOH KECIL KAYU JATI (Tectona grandis. Linn. f.) IRFAN HANDRIAN DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

ANALISIS BALOK BERSUSUN DARI KAYU LAPIS DENGAN MENGGUNAKAN PAKU SEBAGAI SHEAR CONNECTOR (EKSPERIMENTAL) TUGAS AKHIR

ANALISIS BALOK BERSUSUN DARI KAYU LAPIS DENGAN MENGGUNAKAN PAKU SEBAGAI SHEAR CONNECTOR (EKSPERIMENTAL) TUGAS AKHIR ANALISIS BALOK BERSUSUN DARI KAYU LAPIS DENGAN MENGGUNAKAN PAKU SEBAGAI SHEAR CONNECTOR (EKSPERIMENTAL) TUGAS AKHIR Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat untuk Menempuh Ujian Sarjana

Lebih terperinci

PENGARUH VARIASI BENTUK KOMBINASI SHEAR CONNECTOR TERHADAP PERILAKU LENTUR BALOK KOMPOSIT BETON-KAYU ABSTRAK

PENGARUH VARIASI BENTUK KOMBINASI SHEAR CONNECTOR TERHADAP PERILAKU LENTUR BALOK KOMPOSIT BETON-KAYU ABSTRAK VOLUME 12 NO. 2, OKTOBER 2016 PENGARUH VARIASI BENTUK KOMBINASI SHEAR CONNECTOR TERHADAP PERILAKU LENTUR BALOK KOMPOSIT BETON-KAYU Fengky Satria Yoresta 1, Muhammad Irsyad Sidiq 2 ABSTRAK Tulangan besi

Lebih terperinci

TEKNIK PEMBUATAN BAMBU LAMINASI BERSILANG SEBAGAI BAHAN MEBEL DAN BANGUNAN

TEKNIK PEMBUATAN BAMBU LAMINASI BERSILANG SEBAGAI BAHAN MEBEL DAN BANGUNAN TEKNIK PEMBUATAN BAMBU LAMINASI BERSILANG SEBAGAI BAHAN MEBEL DAN BANGUNAN PENDAHULUAN Pasokan kayu sebagai bahan mebel dan bangunan belum mencukupi kebutuhan yang ada Bambu (multiguna, cepat tumbuh, tersebar

Lebih terperinci

PENGARUH PROPORSI CAMPURAN SERBUK KAYU GERGAJIAN DAN AMPAS TEBU TERHADAP KUALITAS PAPAN PARTIKEL YANG DIHASILKANNYA FATHIMA TUZZUHRAH ARSYAD

PENGARUH PROPORSI CAMPURAN SERBUK KAYU GERGAJIAN DAN AMPAS TEBU TERHADAP KUALITAS PAPAN PARTIKEL YANG DIHASILKANNYA FATHIMA TUZZUHRAH ARSYAD i PENGARUH PROPORSI CAMPURAN SERBUK KAYU GERGAJIAN DAN AMPAS TEBU TERHADAP KUALITAS PAPAN PARTIKEL YANG DIHASILKANNYA FATHIMA TUZZUHRAH ARSYAD DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Fakultas Kehutanan Univesitas Sumatera Utara Medan. mekanis kayu terdiri dari MOE dan MOR, kerapatan, WL (Weight loss) dan RS (

METODE PENELITIAN. Fakultas Kehutanan Univesitas Sumatera Utara Medan. mekanis kayu terdiri dari MOE dan MOR, kerapatan, WL (Weight loss) dan RS ( 12 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2017 - Juni 2017. Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan, dan Workshop Fakultas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tandan Kosong Sawit Jumlah produksi kelapa sawit di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, pada tahun 2010 mencapai 21.958.120 ton dan pada tahun 2011 mencapai

Lebih terperinci

d b = Diameter nominal batang tulangan, kawat atau strand prategang D = Beban mati atau momen dan gaya dalam yang berhubungan dengan beban mati e = Ek

d b = Diameter nominal batang tulangan, kawat atau strand prategang D = Beban mati atau momen dan gaya dalam yang berhubungan dengan beban mati e = Ek DAFTAR NOTASI A g = Luas bruto penampang (mm 2 ) A n = Luas bersih penampang (mm 2 ) A tp = Luas penampang tiang pancang (mm 2 ) A l =Luas total tulangan longitudinal yang menahan torsi (mm 2 ) A s = Luas

Lebih terperinci

Tegangan Dalam Balok

Tegangan Dalam Balok Mata Kuliah : Mekanika Bahan Kode : TSP 05 SKS : SKS Tegangan Dalam Balok Pertemuan 9, 0, TIU : Mahasiswa dapat menghitung tegangan yang timbul pada elemen balok akibat momen lentur, gaya normal, gaya

Lebih terperinci

3. SIFAT FISIK DAN MEKANIK BAMBU TALI Pendahuluan

3. SIFAT FISIK DAN MEKANIK BAMBU TALI Pendahuluan 3. SIFAT FISIK DAN MEKANIK BAMBU TALI 3.1. Pendahuluan Analisa teoritis dan hasil eksperimen mempunyai peranan yang sama pentingnya dalam mekanika bahan (Gere dan Timoshenko, 1997). Teori digunakan untuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Batang kelapa sawit mempunyai sifat yang berbeda antara bagian pangkal

TINJAUAN PUSTAKA. Batang kelapa sawit mempunyai sifat yang berbeda antara bagian pangkal TINJAUAN PUSTAKA Kelapa Sawit Menurut Hadi (2004), klasifikasi botani kelapa sawit dapat diuraikan sebagai berikut: Kingdom Divisi Kelas Ordo Familia Genus Spesies : Plantae : Magnoliophyta : Liliopsida

Lebih terperinci

BALOK LAMINASI DARI KAYU KELAPA (Cocos nucifera L)

BALOK LAMINASI DARI KAYU KELAPA (Cocos nucifera L) Jurnal Riset Industri Hasil Hutan Vol., No., Desember 00 : 7 BALOK LAMINASI DARI KAYU KELAPA (Cocos nucifera L) LAMINATED BEAMS FROM COCONUT WOOD (Cocos nucifera L) Djoko Purwanto *) *) Peneliti Baristand

Lebih terperinci

PERILAKU LENTUR DAN TEKAN BATANG SANDWICH BAMBU PETUNG KAYU KELAPA

PERILAKU LENTUR DAN TEKAN BATANG SANDWICH BAMBU PETUNG KAYU KELAPA PERILAKU LENTUR DAN TEKAN BATANG SANDWICH BAMBU PETUNG KAYU KELAPA Nor Intang Setyo H. 1, Gathot H. Sudibyo dan Yanuar Haryanto 3 1 Program Studi Teknik Sipil, Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TEKNOLOGI LAMINASI DALAM PEMBUATAN RUMAH KAYU

PEMANFAATAN TEKNOLOGI LAMINASI DALAM PEMBUATAN RUMAH KAYU PEMANFAATAN TEKNOLOGI LAMINASI DALAM PEMBUATAN RUMAH KAYU Abdurachman, Nurwati Hadjib dan Adi Santoso Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Jl Gunung Batu No

Lebih terperinci

HHT 232 SIFAT KEKUATAN KAYU. MK: Sifat Mekanis Kayu (HHT 331)

HHT 232 SIFAT KEKUATAN KAYU. MK: Sifat Mekanis Kayu (HHT 331) SIFAT KEKUATAN KAYU MK: Sifat Mekanis Kayu (HHT 331) 1 A. Sifat yang banyak dilakukan pengujian : 1. Kekuatan Lentur Statis (Static Bending Strength) Adalah kapasitas/kemampuan kayu dalam menerima beban

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 21 4.1 Geometri Strand pada Tabel 1. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengukuran nilai rata-rata geometri strand pada penelitian ini tertera Tabel 1 Nilai rata-rata pengukuran dimensi strand, perhitungan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat 21 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium UPT BPP Biomaterial LIPI Cibinong dan Laboratorium Laboratorium Bahan, Pusat Litbang Permukiman, Badan Litbang PU, Bandung.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 23 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Geometri Strand Hasil pengukuran geometri strand secara lengkap disajikan pada Lampiran 1, sedangkan nilai rata-ratanya tertera pada Tabel 2. Tabel 2 Nilai pengukuran

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biokompsit Departemen Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan, Laboratorium Kekuatan Bahan dan Laboratorium

Lebih terperinci

METODOLOGI. Kehutanan dan pengujian sifat mekanis dilaksanakan di UPT Biomaterial

METODOLOGI. Kehutanan dan pengujian sifat mekanis dilaksanakan di UPT Biomaterial METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai Oktober 2013. Persiapan bahan baku dan pembuatan papan laminasi dilakukan di Workshop Kehutanan dan pengujian sifat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 19 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Akustik Papan Partikel Sengon 4.1.1 Koefisien Absorbsi suara Apabila ada gelombang suara bersumber dari bahan lain mengenai bahan kayu, maka sebagian dari energi

Lebih terperinci

KUAT LENTUR DAN PERILAKU BALOK PAPAN KAYU LAMINASI SILANG DENGAN PAKU (252M)

KUAT LENTUR DAN PERILAKU BALOK PAPAN KAYU LAMINASI SILANG DENGAN PAKU (252M) KUAT LENTUR DAN PERILAKU BALOK PAPAN KAYU LAMINASI SILANG DENGAN PAKU (252M) Johannes Adhijoso Tjondro 1, Altho Sagara 2 dan Stephanus Marco 2 1 Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Sipil, Universitas Katolik

Lebih terperinci

SIFAT-SIFAT FISIKA DAN MEKANIKA KAYU KERUING - SENGON. Oleh : Lorentius Harsi Suryawan & F. Eddy Poerwodihardjo

SIFAT-SIFAT FISIKA DAN MEKANIKA KAYU KERUING - SENGON. Oleh : Lorentius Harsi Suryawan & F. Eddy Poerwodihardjo SIFAT-SIFAT FISIKA DAN MEKANIKA KAYU KERUING - SENGON Oleh : Lorentius Harsi Suryawan & F. Eddy Poerwodihardjo Abstraksi Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sifat-sifat fisika kayu keruing dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. UMUM DAN LATAR BELAKANG Sejak permulaan sejarah, manusia telah berusaha memilih bahan yang tepat untuk membangun tempat tinggalnya dan peralatan-peralatan yang dibutuhkan. Pemilihan

Lebih terperinci

Pd M Ruang lingkup

Pd M Ruang lingkup 1. Ruang lingkup 1.1 Metode ini menentukan sifat lentur potongan panel atau panel struktural yang berukuran sampai dengan (122 X 244) cm 2. Panel struktural yang digunakan meliputi kayu lapis, papan lapis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Beton merupakan fungsi dari bahan penyusunnya yang terdiri dari bahan semen hidrolik ( portland cement), agregat kasar, agregat halus, air dan bahan tambah (admixture

Lebih terperinci

Penelitian sifat-sifat fisika dan mekanika kayu Glugu dan Sengon kawasan. Merapi dalam rangka mempercepat pemulihan ekonomi masyarakat Merapi

Penelitian sifat-sifat fisika dan mekanika kayu Glugu dan Sengon kawasan. Merapi dalam rangka mempercepat pemulihan ekonomi masyarakat Merapi Laporan Penelitian sifat-sifat fisika dan mekanika kayu Glugu dan Sengon kawasan Merapi dalam rangka mempercepat pemulihan ekonomi masyarakat Merapi pasca letusan Merapi 21 Disusun oleh: Ali Awaludin,

Lebih terperinci

TEKNOLOGI KOMPOSIT KAYU SENGON DENGAN PERKUATAN BAMBU LAMINASI

TEKNOLOGI KOMPOSIT KAYU SENGON DENGAN PERKUATAN BAMBU LAMINASI Balai Litbang Perumahan Wilayah II Denpasar Puslitbang Perumahan & Permukiman, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum & Perumahan Rakyat TEKNOLOGI KOMPOSIT KAYU SENGON DENGAN PERKUATAN

Lebih terperinci

BAB 4 PENGUJIAN LABORATORIUM

BAB 4 PENGUJIAN LABORATORIUM BAB 4 PENGUJIAN LABORATORIUM Uji laboratorium dilakukan untuk mengetahui kekuatan dan perilaku struktur bambu akibat beban rencana. Pengujian menjadi penting karena bambu merupakan material yang tergolong

Lebih terperinci

STUDI EKSPERIMENTAL HUBUNGAN BALOK-KOLOM GLULAM DENGAN PENGHUBUNG BATANG BAJA BERULIR

STUDI EKSPERIMENTAL HUBUNGAN BALOK-KOLOM GLULAM DENGAN PENGHUBUNG BATANG BAJA BERULIR STUDI EKSPERIMENTAL HUBUNGAN BALOK-KOLOM GLULAM DENGAN PENGHUBUNG BATANG BAJA BERULIR Rizfan Hermanto 1* 1 Mahasiswa / Program Magister / Jurusan Teknik Sipil / Fakultas Teknik Universitas Katolik Parahyangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cross Laminated Timber 2.1.1 Definisi Cross Laminated Timber (CLT) pertama dikembangkan di Swiss pada tahun 1970-an. Produk ini merupakan perpanjangan dari teknologi rekayasa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kayu Kayu merupakan suatu bahan mentah yang didapatkan dari pengolahan pohon pohon yang terdapat di hutan. Kayu dapat menjadi bahan utama pembuatan mebel, bahkan dapat menjadi

Lebih terperinci

3.4.2 Pemeriksaan Berat Jenis dan Penyerapan Air Agregat Halus Error! Bookmark not defined Kadar Lumpur dalam Agregat... Error!

3.4.2 Pemeriksaan Berat Jenis dan Penyerapan Air Agregat Halus Error! Bookmark not defined Kadar Lumpur dalam Agregat... Error! DAFTAR ISI JUDUL... i PERSETUJUAN... ii LEMBAR PLAGIASI...iii ABSTRAK...iv KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR NOTASI...xvi BAB I PENDAHULUAN... Error!

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Umum Struktur kayu merupakan suatu struktur yang susunan elemennya adalah kayu. Dalam merancang struktur kolom kayu, hal pertama yang harus dilakukan adalah menetapkan besarnya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Ikatan Pembuluh Bambu Foto makroskopis ruas bambu tali disajikan pada Gambar 7 dan bukunya disajikan pada Gambar 8. Foto makroskopis ruas bambu betung disajikan

Lebih terperinci

SNI Standar Nasional Indonesia

SNI Standar Nasional Indonesia SNI 03-6448-2000 SNI Standar Nasional Indonesia Metode pengujian kuat tarik panel kayu struktural ICS 79.060.01 Badan Standarisasi Nasional Daftar Isi Daftar Isi...i 1 Ruang Lingkup...1 2 Acuan...2 3 Kegunaan...2

Lebih terperinci

Lampiran 1. Perhitungan bahan baku papan partikel variasi pelapis bilik bambu pada kombinasi pasahan batang kelapa sawit dan kayu mahoni

Lampiran 1. Perhitungan bahan baku papan partikel variasi pelapis bilik bambu pada kombinasi pasahan batang kelapa sawit dan kayu mahoni Lampiran 1. Perhitungan bahan baku papan partikel variasi pelapis bilik bambu pada kombinasi pasahan batang kelapa sawit dan kayu mahoni Kadar perekat urea formaldehida (UF) = 12% Ukuran sampel = 25 x

Lebih terperinci

PENGARUH PENYUSUNAN DAN JUMLAH LAPISAN VINIR TERHADAP STABILITAS DIMENSI KAYU LAPIS (PLYWOOD)

PENGARUH PENYUSUNAN DAN JUMLAH LAPISAN VINIR TERHADAP STABILITAS DIMENSI KAYU LAPIS (PLYWOOD) PENGARUH PENYUSUNAN DAN JUMLAH LAPISAN VINIR ERHADAP SABILIAS DIMENSI KAYU LAPIS (PLYWOOD) Oleh Iwan Risnasari, S.Hut, M.Si UNIVERSIAS SUMAERA UARA MEDAN 2008 DAFAR ISI Halaman Kata Pengantar.. i Daftar

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MEKANIS DAN PERILAKU LENTUR BALOK KAYU LAMINASI MEKANIK

KARAKTERISTIK MEKANIS DAN PERILAKU LENTUR BALOK KAYU LAMINASI MEKANIK KARAKTERISTIK MEKANIS DAN PERILAKU LENTUR BALOK KAYU LAMINASI MEKANIK Ratna Prasetyowati Putri Alumni Dept. Teknologi Hasil Hutan, IPB ratnathh@gmail.com Fengky Satria Yoresta Divisi Rekayasa dan Desain

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 22 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Geometri Strand Hasil pengukuran geometri strand disajikan pada Tabel 4. Berdasarkan data, nilai rata-rata dimensi strand yang ditentukan dengan menggunakan 1 strand

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pembahasan hasil penelitian ini secara umum dibagi menjadi lima bagian yaitu

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pembahasan hasil penelitian ini secara umum dibagi menjadi lima bagian yaitu IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pembahasan hasil penelitian ini secara umum dibagi menjadi lima bagian yaitu pengujian mekanik beton, pengujian benda uji balok beton bertulang, analisis hasil pengujian, perhitungan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN...1

BAB 1 PENDAHULUAN...1 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...i HALAMAN PENGESAHAN...ii HALAMAN PERNYATAAN...iii KATA PENGANTAR...iv DAFTAR ISI...v DAFTAR TABEL...ix DAFTAR GAMBAR...xi DAFTAR PERSAMAAN...xiv INTISARI...xv ABSTRACT...xvi

Lebih terperinci

sehingga menjadi satu kesatuan stmktur yang memiliki sifat stabil terhadap maka komponen-komponennya akan menerima gaya aksial desak dan tarik, hal

sehingga menjadi satu kesatuan stmktur yang memiliki sifat stabil terhadap maka komponen-komponennya akan menerima gaya aksial desak dan tarik, hal BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Kuda - Kuda Papan Kuda-kuda papan adalah rangka kuda-kuda yang komponenkomponennya terbuat dari papan-papan kayu yang didesain sedemikian rupa sehingga menjadi satu kesatuan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biokomposit Fakultas Kehutanan IPB, Bogor dan UPT Biomaterial LIPI - Cibinong Science Centre. Penelitian

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Garis perekat arah radial lurus. (c)

BAB I. PENDAHULUAN. Garis perekat arah radial lurus. (c) BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kayu dan bambu merupakan bahan bangunan yang digunakan sejak jaman dahulu sampai sekarang. Kayu berkualitas saat ini sulit didapatkan, kalaupun ada harganya sangat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cross Laminated Timber (CLT) 1) Definisi 2) Manfaat dan Keunggulan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cross Laminated Timber (CLT) 1) Definisi 2) Manfaat dan Keunggulan 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cross Laminated Timber (CLT) 1) Definisi Cross laminated timber (CLT) merupakan salah satu produk kayu rekayasa yang dibentuk dengan cara menyusun sejumlah lapisan kayu yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pozolanik) sebetulnya telah dimulai sejak zaman Yunani, Romawi dan mungkin juga

BAB I PENDAHULUAN. pozolanik) sebetulnya telah dimulai sejak zaman Yunani, Romawi dan mungkin juga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penggunaan beton dan bahan-bahan vulkanik sebagai pembentuknya (seperti abu pozolanik) sebetulnya telah dimulai sejak zaman Yunani, Romawi dan mungkin juga sebelum

Lebih terperinci