ANALISIS KELEMBAGAAN PROSES OPERASIONALISASI KPH: STUDI KASUS KPHP TASIK BESAR SERKAP DI PROVINSI RIAU

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS KELEMBAGAAN PROSES OPERASIONALISASI KPH: STUDI KASUS KPHP TASIK BESAR SERKAP DI PROVINSI RIAU"

Transkripsi

1 i ANALISIS KELEMBAGAAN PROSES OPERASIONALISASI KPH: STUDI KASUS KPHP TASIK BESAR SERKAP DI PROVINSI RIAU ENO SUWARNO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

2 ii

3 iii PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Analisis Kelembagaan Proses Operasionalisasi KPH: Studi Kasus KPHP Tasik Besar Serkap di Provinsi Riau adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2014 Eno Suwarno NRP E

4 iv RINGKASAN ENO SUWARNO. Analisis Kelembagaan Proses Operasionalisasi KPH: Studi Kasus KPHP Tasik Besar Serkap di Provinsi Riau. Dibimbing oleh HARIADI KARTODIHARDJO, LALA M. KOLOPAKING dan SUDARSONO SOEDOMO. Salah satu substansi penting dari isi UU No. 41/1999 adalah mandat kepada pemerintah untuk membangun KPH pada seluruh kawasan hutan negara. Keberadaan KPH merupakan prasyarat bagi terselenggaranya pengelolaan hutan berkelanjutan dan berkeadilan. Pengelolaan hutan lindung dan hutan produksi harus dilakukan oleh organisasi KPHL/KPHP yang dibentuk oleh pemerintah daerah. Dalam implementasinya, pelaksanaan kewajiban tersebut berjalan tersendat dikarenakan adanya sejumlah kendala. Salah satu KPH yang operasonalisasinya lambat adalah KPHP Tasik Besar Serkap (KPHP-TBS) di Provinsi Riau. Struktur organisasi KPHP-TBS telah ditetapkan melalui Peraturan Gubernur Riau Nomor 47/2011 tanggal 31 Oktober Namun hingga dua tahun kemudian (hingga akhir Agustus 2013, sampai akhir penelitian ini) Pemerintah Provinsi Riau belum menempatkan personil pada struktur organisasi KPH tersebut. Akibat penundaan ini, maka organisasi KPHP TBS belum bisa menjalankan tugas pengelolaan hutan di tingkat tapak. Ditinjau dari perspektif ilmu kelembagaan, perkembangan operasionalisasi KPHP TBS merupakan outcome dari perpaduan antara struktur situasi aksi dan karakteristik para partisipan yang berinteraksi di dalam arena aksi pembangunan KPH. Struktur situasi aksi dan karakteristik partisipan tidak secara langsung menghasilkan outcome, melainkan melalui pembentukan struktur insentif/disinsentif yang dihadapi oleh para partisipan. Struktur tersebut kemudian mendorong terbentuknya pola perilaku tertentu dari para partisipan. Agregat dari keseluruhan perilaku para partisipan ini yang kemudian menghasilkan outcome. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menemukan masalah-masalah kelembagaan dan masalah-masalah dalam implementasi kebijakan yang menyebabkan terjadinya kelambatan beroperasinya organisasi KPHP TBS. Tujuan umum tersebut dijabarkan ke dalam tiga tujuan operasional, yaitu (1) menganalisis pengaruh kondisi biofisik terhadap arena aksi dan outcome pemanfaatan hutan, yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap arena aksi operasionalisasi KPHP TBS, (2) menganalisis peraturan pembentukan organisasi KPH dengan menggunakan konsep tujuh jenis aturan dari Ostrom dan Crawford, dan (3) menganalisis pengaruh faktor peraturan, kondisi biofisik, dan atribut komunitas terhadap arena aksi, pola interaksi, dan outcome dalam operasionalisasi KPHP TBS. Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Pendekatan masalah dilakukan dengan menggunakan kerangka analitis Institutional Analysis and Development (IAD) Framework dari Elinor Ostrom. Berdasarkan IAD-Framework, variabel yang dianalisis meliputi pengaruh faktor eksogen (kondisi biofisik KPHP-TBS, peraturan yang digunakan, dan atribut komunitas), kondisi arena aksi (situasi aksi dan karakteristik partisipan), dan pola interaksi para partisipan. Data dikumpulkan dengan metode

5 v studi dokumen, pengamatan langsung peneliti pada saat terlibat dalam prosesproses pembangunan KPH, dan melalui wawancara semi terstruktur. Hasil penelitian menemukan bahwa kondisi biofisik terbukti mempengaruhi situasi aksi yang dihadapi oleh para partisipan. Pada wilayah KPHP-TBS yang di dalamnya terdapat banyak ijin pemanfaatan hutan berbasis usaha besar (IUPHHK- HTI), cenderung membuka peluang dan menguatkan conflict of interest sebagian pejabat pemerintahan daerah untuk melakukan praktek-praktek korupsi. Sebagian aparatur Dinas Kehutanan memandang keberadaan KPH sebagai ancaman yang akan mengurangi kewenangannya. Temuan-temuan penting hasil analisis peraturan antara lain (1) pengaturan posisi-posisi partisipan belum sepenuhnya dirancang berdasarkan pertimbangan prospek keterjaminan kelancaran proses, (2) masih terdapat ketidaksinkronan antara PP No. 6/2007 jo PP No. 3/2008 dengan Permendagri No. 61/2010 dalam pengaturan kewenangan menetapkan organisasi KPHL/KPHP, (3) belum adanya aturan agregasi untuk mengantipasi terjadinya ketidakmufakatan di antara para partisipan dalam tahap-tahap penting pengambilan keputusan, (4) belum lengkapnya kriteria organisasi KPHL/KPHP, dan (5) masih kurangnya pasal-pasal yang bisa menjadi pendorong/insentif bagi pemerintah daerah untuk berinisiatif membangun KPH. Atribut komunitas yang paling penting dan cenderung menghambat pembangunan KPH adalah masalah paradigma dan budaya. Aparatur pemerintah daerah saat ini masih lebih mengedepankan paradigma pemanfaatan hutan daripada pengelolaan hutan secara utuh. Operasionalisasi paradigma ini hampir selalu diiringi dengan menguatnya budaya korupsi. Sementara kebijakan KPH adalah suatu konsep yang membawa paradigma pengelolaan hutan secara utuh di tingkat tapak. Ketika kebijakan KPH yang ada saat ini kurang memberikan tekanan dan insentif kepada pemerintah daerah, maka proses perubahan yang terjadi cenderung tidak dapat mengatasi resistensi yang ada. Dengan adanya masalah-masalah conflict of interest, adanya kelemahankelemahan peraturan, dan masalah paradigma dan budaya, menyebabkan munculnya perilaku yang kurang dapat bekerjasama dari Pemerintah Provinsi Riau. Sikap ini antara lain dimanifestasikan dengan cara menunda-nunda penempatan personil untuk mengisi struktur organisasi KPHP TBS. Di sisi lain, pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah belum diarahkan kepada menjawab permasalahan-permasalahan tersebut. Berdasarkan temuan-temuan penelitian, direkomendasikan kepada Kemenhut agar kebijakan pemberian bantuan sarana prasarana dan fasilitasi kepada pemerintah daerah perlu tetap dilanjutkan. Selain itu kebijakan untuk mencegah dan menanggulangi korupsi di dalam arena aksi pemanfaatan hutan juga perlu dilakukan. Kemenhut juga perlu merubah cara berfikir dan pendekatan bahwa disamping menggunakan instrument peraturan, pemerintah juga perlu meningkatkan pembinaan kepada pemerintah daerah serta meningkatkan penyebaran pengetahuan, komunikasi, dan membangun rasa saling percaya. Selain untuk mengatasi resistensi, pendekatan tersebut juga sangat diperlukan untuk mengawal proses transformasi paradigma dan budaya birokrasi kehutanan agar sejalan dengan nilai-nilai baru yang terkandung di dalam konsep KPH. Kata kunci: masalah kelembagaan, IAD-framework, paradigma pemanfaatan hutan, conflict of interest, pola interaksi, outcome

6 vi SUMMARY ENO SUWARNO. Institutional Analysis of the Operationalization Process of FMU: A Case Study of Tasik Besar Serkap FMUP in Riau Province. Supervised by HARIADI KARTODIHARDJO, LALA M KOLOPAKING and SUDARSONO SOEDOMO. One of the substantial essence of the Regulation No. 41/1999 is a mandate for the government to build the Forest Management Unit (FMU) in all of the national forest areas. The existence of the FMU is a prerequisite for the implementation of sustainable and equitable forest management. The management of protected and production forest should be carried out by the Protected FMU (KPHL) and Production FMU (KPHP) organizations formed by the local government. Along the way, thisobligation was hardly implemented due to several constraints. One of the FMU which show slow operationalization is the PFMU of Tasik Besar Serkap (PFMU-TBS) in Riau Province. The PFMU-TBS organizational structure has been established through the Riau Governor Regulation No. 47/2011 dated October 31, Yet until two years later (until the end of August 2013,or the end of this study), the Riau provincial government has not put personnel on the organizational structure of the FMU. As a result of this delay, the PFMU-TBS organization cannot perform the forest management tasks at the site level. Viewed from the institutional science perspective, the operational development of PFMU-TBS is an outcome of a combination of the action situation structure and participant s characteristics which interact in the action arena of FMU development. The action situation structure and participants characteristics did not directly produce outcome, but through the formation of the incentives/disincentives structure faced by the participants. These structures were then encourage the formation of certain participant s behavior patterns. The aggregate of this overall participant sbehavior would then produce the outcome. The general objective of this research is to find institutional problems and difficulties in the implementation of policies that lead to the delay of the PFMU- TBS operationalization. This general objective is translated into three operational objectives, i.e. (1) to analyze the influence of biophysical conditions of the action arena and forest utilization outcome, which in turn will affect the operationalization of the PFMU-TBS action arena, (2) to analyze the FMU organization formation regulation using seven rules types concept of Ostrom and Crawford, and (3) to analyze the effect of regulation, biophysical conditions and community attributes to the action arena, interaction patterns, and outcome in the PFMU-TBS operationalization. This study uses qualitative descriptive research design with case study approach. Approach to the problems is conducted by Institutional Analysis and Development (IAD) Framework of Elinor Ostrom. Based on IAD-Framework, the variables analyzed consist of the influence of exogenous factors (PFMU-TBS biophysical conditions,usedrules, and the communityattributes), action arena condition (action situation and participants characteristics), and the interaction patterns of participants. The data was collected by document review, direct

7 vii observation during the FMU development process, and semi-structured interviews. This research found that biophysical conditions shown to affect the action situations faced by participants. The PFMU-TBS region which hold a lot of forest licenses by large enterprises (IUPHHK-HTI) tends to open up opportunities and strengthen the conflict of interestof most local government officials to conduct corrupt practices. Moreover, most Forest Office personnel consider the existence of the FMU as a threat that would diminish their authority. The key findings from the regulations analysis includes (1) placement of the participants positions has not been fully designed by considering the prospect of smooth process assuredness, (2) there are discrepancies between the PP No. 6/2007 jo PP No. 3/2008 and Permendagri No. 61/2010 in authoritativesettings for the establishment of KPHL/KPHP organizations, (3) the absence of aggregation rules to anticipate the disagreement among the participants in the critical stages of decision-making, (4) incomplete KPHL/KPHP organizational criteria, and (5) lack of regulations that could drive or become an incentives for local governments to take the initiative in the FMU development. The most important community attributes which tend to inhibit the FMU development are paradigm and cultural problems. Local government personnel were still hold the "forest exploitation" paradigm rather than intact forest management. The operationalization of this paradigm is almost always accompanied by the strengthening of the corruption culture. Meanwhile,the FMU policy is a concept that brings the "intact forest management at the site level"paradigm. When current FMU policy give less pressure and incentives to local government, the changing could not overcome the existing resistance. The problems of conflict of interest, regulatory weaknesses, and paradigms and cultural issuesled to the emergence of less cooperative behavior of the Government of Riau Province. This attitude was expressed by the delaying of the personnel placement to fill the PFMU-TBS organizational structure. On the other hand, approaches taken by the national government have not been directed to answer these problems. Based on findings in this research, it is recommended to Ministry of Forestry (MoF) that the policy of infrastructure and facility support to local governments need to be continued. Moreover, policies to prevent and tackle corruption in the forest utilization action arena also needs to be done. The MoF also need to change the way of thinking and approach that -in addition to regulatory instrumentsgovernment also need to improve guidance to local authorities and to improve the dissemination of knowledge, communication, and build mutual trust. These approaches, in addition to overcoming resistance, is also needed to oversee the transformation process of forestry bureaucracy paradigms and culture aligned with the new values embodied in the concept of the FMU. Keywords: institutional problem, IAD-framework, forest management paradigm, conflict of interest, interaction patterns, outcome.

8 viii Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

9 ix

10

11 xi ANALISIS KELEMBAGAAN PROSES OPERASIONALISASI KPH: STUDI KASUS KPHP TASIK BESAR SERKAP DI PROVINSI RIAU ENO SUWARNO Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

12 xii Penguji pada Ujian Tertutup: Prof Dr Ir Bramasto Nugroho, MS (Guru Besar pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor) Dr Ir Azis Khan, MSc (Guru Besar pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor) Penguji pada Ujian Terbuka: Prof Dr Ir Dudung Darusman, MA (Guru Besar pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor) Dr Ir Hariyatno Dwiprabowo, MSc (Peneliti Utama pada Puslitbang Perubahan Iklim dan Kebijakan, Kementerian Kehutanan RI)

13 xiii Judul Disertasi : Analisis Kelembagaan Proses Operasionalisasi KPH: Studi Kasus KPHP Tasik Besar Serkap di Provinsi Riau Nama NIM : Eno Suwarno : E Disetujui oleh: Komisi Pembimbing Prof Dr Ir Hariadi Kartodihardjo, MS Ketua Dr Ir Lala M. Kolopaking, MS Anggota Dr Ir Sudarsono Soedomo, MS Anggota Diketahui oleh: Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan, Dekan Sekolah Pascasarjana, Prof Dr Ir Hardjanto, MS Dr Ir Dahrul Syah, MSc.Agr Tanggal Ujian: 17 Juli 2014 Tanggal Lulus:

14 xiv PRAKATA Syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Alloh SWT atas segala rahmat dan karunia-nya sehingga penyusunan disertasi yang berjudul Analisis Kelembagaan Proses Operasionalisasi KPH: Studi Kasus KPHP Tasik Besar Serkap di Provinsi Riau dapat diselesaikan. Disertasi ini merupakan laporan penelitian yang dilakukan sejak bulan Mei 2012 sampai Akhir Agustus Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof Dr Ir Hariadi Kartodihardjo MS, Dr Ir Lala M Kolopaking, MS, dan Dr Ir Sudarsono Soedomo, MS selaku komisi pembimbing, yang dengan sabar dan penuh perhatian telah memberikan arahan, dukungan, dan bimbingannya untuk penyelesaian disertasi ini. Selain itu penulis juga diberi kesempatan untuk terlibat di dalam beberapa kegiatan proses pembangunan KPH di Indonesia. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyediaan data, literatur, serta kebutuhan-kebutuhan lain terkait penyelesaian penelitian dan studi. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh keluarga (mertua, istri, anak-anak, dan saudara) yang telah memberikan dukungan, pengorbanan dan do anya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Semoga kebaikan Bapak Ibu dan semua pihak mendapatkan balasan kebaikan yang berlipat ganda dari Alloh SWT. Akhirnya harapan penulis semoga karya tulis ini dapat menjadi salah satu sumbangsih yang berharga bagi Bangsa Indonesia, khususnya dalam rangka mendukung pembangunan KPH di Indonesia. Bogor, Juli 2014 Eno Suwarno

15 xv DAFTAR ISI RINGKASAN iv SUMMARY vi PRAKATA xiv DAFTAR TABEL xvii DAFTAR GAMBAR xviii DAFTAR LAMPIRAN xix DAFTAR SINGKATAN xx 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 4 Tujuan Penelitian 4 Kebaruan (Novelty) 5 Manfaat Penelitian 6 Sistematika Tulisan 7 2 GAMBARAN RINGKAS KEBIJAKAN KPH DAN KERANGKA IAD 8 KPH di Indonesia 8 Definisi KPH 8 Pembentukan KPH 8 Tugas Pokok KPH 9 Urgensi KPH 9 Kerangka Kerja IAD (IAD-Framework) 11 Definisi Institusi 11 Pengembangan dan Penggunaan Kerangka Kerja IAD 12 Arena Aksi 13 Faktor Eksogen 14 Hasil atau Kinerja 14 Aturan 15 Kondisi Biofisik/Material 15 Atribut Komunitas 17 3 ANALISIS PENGARUH KONDISI BIOFISIK TERHADAP ATRIBUT KOMUNITAS DALAM PEMANFAATAN HUTAN DI AREAL KPH 18 Pendahuluan 18 Latar Belakang 18 Kerangka Penelitian 20 Perumusan Masalah 20 Tujuan 21 Metodologi Penelitian 21 Waktu dan Tempat 21 Metode Pengumpulan dan Analisis Data 21 Hasil dan Pembahasan 22 Kondisi Biofisik Wilayah KPH 22 Arena Aksi Pemanfaatan Hutan 29 Pola Interaksi dan Outcomes pada Dua KPH 41 Simpulan 49

16 xvi 4 ANALISIS PERATURAN PEMBENTUKAN ORGANISASI KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN (KPH) 51 Pendahuluan 51 Latar Belakang 51 Tujuan Penelitian 52 Metodologi Penelitian 52 Kerangka Teoritis dan Pendekatan Penelitian 52 Metode Pengumpulan dan Analisis Data 53 Hasil dan Pembahasan 54 Aturan Posisi 56 Aturan Keanggotaan 57 Aturan Otoritas 58 Aturan Agregasi 59 Aturan Informasi 59 Aturan Lingkup 60 Aturan Biaya-Manfaat 61 Simpulan 62 5 HAMBATAN KELEMBAGAAN OPERASIONALISASI KPHP TASIK BESAR SERKAP 64 Pendahuluan 64 Latar Belakang 64 Tujuan Penelitian 65 Metodologi Penelitian 65 Waktu dan Tempat 65 Metode Pengumpulan dan Analisis Data 65 Hasil dan Pembahasan 66 Pengaruh Faktor Eksogen 66 Arena Aksi 75 Pola Interaksi dan Dampak 77 Simpulan 78 6 SIMPULAN UMUM DAN SARAN 80 Simpulan Umum 80 Saran 81 DAFTAR PUSTAKA 83 Lampiran 91 RIWAYAT HIDUP 108

17 xvii DAFTAR TABEL 1 Variabel, metode pengumpulan, analisis dan sumber data 22 2 Luas wilayah KPH Tasik Besar Serkap dan KPH Rinjani Barat berdasarkan fungsi hutan 23 3 Rezim ijin pemanfaatan hutan berdasarkan PP No. 6/2007 jo. PP No. 3/ Jenis-jenis ijin pemanfaatan hutan di KPHP Tasik Besar Serkap 27 5 Ijin pemanfaatan hutan di KPHL Rinjani Barat 28 6 Keberadaan ijin pemanfaatan hutan pada dua KPH pada tahun Situasi aksi pemanfaatan hutan di KPHP TBS berdasarkan Permenhut No. P.50/2010 jo. P.26/ Karakteristik para partisipan dalam pemanfaatan hutan di KPHP TBS 31 9 Situasi aksi pemanfaatan hutan di KPH TBS berdasarkan Permenhut No. P.62/2008 jo. P.14/2009 jo. P.19/2012 tentang Rencana Kerja IUPHHK HTI dan HTR Karakteristik para partisipan dalam pemanfaatan hutan di KPHP-TBS Situasi aksi pemanfaatan hutan di KPHL-RB (Berdasarkan P.62/2008 jo. P.14/2009 jo. P.19/2012 tentang Hutan Kemasyarakatan) Karakteristik para partisipan dalam skema Hutan Kemasyarakatan di KPHL-RB Pengaruh kebijakan terhadap biaya transaksi Kasus pidana korupsi kehutanan di Provinsi Riau Kasus pidana korupsi kehutanan di Provinsi NTB Matrik tata kelola hutan, lahan dan REDD+ secara nasional berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola Hasil analisis isi tiga peraturan pembentukan organisasi KPH Metode pengumpulan data, analisis data dan sumber data Situasi aksi pembentukan dan operasionalisasi KPHP TBS Karakteristik para partisipan 77

18 xviii DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka penelitian 3 2 Kerangka analisis IAD 12 3 Kategori empat kelompok barang dan jasa 16 4 Kerangka penelitian pengaruh biofisik 20 5 Peta wilayah KPHP-TBS berdasarkan SK Menhut No. 509/Menhut- VII/ Peta wilayah KPHL-RB berdasarkan SK Menhut No. 651/Menhut- II/ Perbandingan keberadaan ijin konsesi hutan pada KPHP-TBS dan KPHL-RB 28 8 Proses perijinan IUPHHK HA/HT/RE berdasarkan Permenhut No. P.50/2010 jo No. P.26/ Proses pengesahan rencana kerja IUPHHK-HTI berdasarkan Permenhut No. P.62/2008 jo. P.14/2009 jo. P.19/ Rantai perijinan usaha kehutanan dan titik-titik terjadinya suap/peras Proses perijinan dan pelayanan rencana kerja HKm berdasarkan Permenhut No. P.37/2007 jo. P.18/2009 jo. P.13/2010 jo. P.52/ Alur terjadinya KKN Indeks tata kelola hutan, lahan dan REDD+ secara nasional berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola Hubungan antara rules-in-use dengan unsur-unsur situasi aksi 53

19 xix DAFTAR LAMPIRAN 1 Tabel daftar penelitian dalam lingkup topik besar pembangunan KPH 91 2 Tabel daftar penelitian lingkup kehutanan yang menggunakan kerangka kerja analisis dan pengembangan kelembagaan (IAD-framework) 97 3 Langkah-langkah Penggunaan Kerangka Kerja IAD 103

20 xx DAFTAR SINGKATAN DAN AKRONIM AMDAL Analisis Mengenai Dampak Lingkungan APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara BKSDA Balai Konservasi Sumber Daya Alam BKUPHHK Bagan Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu BLU Badan Layanan Umum BLUD Badan Layanan Umum Daerah BPKH Balai Pemantapan Kawasan Hutan BT Bujur Timut BTN Balai Taman Nasional BUMN Badan Usaha Milik Negara BUMS Badan Usaha Milik Swasta CPNS Calon Pegawai Negeri Sipil CPRs Common-Pool Resources Dir WP3H Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan DR Dana Reboisasi FGD Focused Group Discussions GIZ The Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit HKm Hutan Kemasyarakatan HK Hutan Konservasi HL Hutan Lindung HP Hutan Produksi HPH Hak Pengusahaan Hutan HPHH Hak Pemungutan Hasil Hutan HP-HTI Hak Pengusahaan Tanaman Industri HTR Hutan Tanaman Rakyat IAD-framework Institutional Analysis and Development Framework ICCON Information and Communication Center on Nusa Tenggara IIUPH Iuran Ijin Usaha Pemanfaatan Hutan IUPHHK Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu IUPHHK-HA Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam IUPHHK-HTI Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri IUPHHK-RE Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem IUPK Ijin Usaha Pemanfaatan Kawasan IUPJL Ijin Usaha Pemanfatan Jasa Lingkungan IUPHHK Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu IUPHHBK Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu IPHHK Ijin Pemungutan Hasil Hutan Kayu IPHHBK Ijin Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu Kadishut Kepala Dinas Kehutanan KHDTH Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus KKN Kolusi Korupsi Nepotisme KPH Kesatuan Pengelolaan Hutan KPHK Kesatuan Pengelolaan Hutan Konserrvasi

21 xxi KPHL Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung KPHP Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi KPHP TBS Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Tasik Besar Serkap KPHL RB Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Rinjani Barat KPK Komisi Pemberantasan Korupsi Jo. Juncto LU Lintang Utara NTB Nusa Tenggara Barat Orba Orde Baru RPJP Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang Pergub Peraturan Gubernur Pemprov Pemerintah Provinsi Permendagri Peraturan Menteri Dalam Negeri Permenhut Peraturan Menteri Kehutanan PERSAKI Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia PMA Penanaman Modal Asing PMDN Penanaman Modal Dalam Negeri PNS Pegawai Negeri Sipil PP Peraturan Pemerintah PSDH Provisi Sumber Daya Hutan RKUPHHK Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu RKTUPHHK Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu SDM Sumber Daya Manusia SFM Sustainable Forest Management SK Menhut Surat Keputusan Menteri Kehutanan SKPD Satuan Kerja Perangkat Daerah TGHK Tata Guna Hutan Kesepakatan VOC Verenigde Oost Indische Compagnie SKSHH Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan TII Tranparency International Indonesia UNDP United Nation Development Programme UPT Unit Pelaksana Teknis UPTD Pelaksana Teknis Daerah V. Ostrom Vincent Ostrom WA Working Area

22 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Ditinjau dari perspektif ilmu manajemen hutan dan ilmu kelembagaan, kerusakan hutan Indonesia di luar Pulau Jawa pada umumnya adalah karena tidak adanya organisasi pengelola di tingkat tapak. Situasi demikian menyebabkan pada sebagian kawasan hutan negara secara de facto menjadi sumberdaya open access. Praktek-praktek illegal logging dan perambahan hutan menyebabkan terjadinya deforestasi dan degradasi hutan (Kartodihardjo et al. 2011). Kondisi open access ini akibat lemahnya pengelolaan hutan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pemegang ijin usaha. Ketiga pihak ini di masa lalu dan bahkan hingga sekarang lebih berorientasi kepada mengeksploitasi komoditi kayu, bukan berorientasi kepada pengelolaan kawasan hutan (ICCON 2006). Seiring dengan terjadinya gerakan sosial yang menuntut reformasi politik pada tahun 1998, pada sektor kehutanan juga terjadi perubahan Undang-Undang yang menjadi landasan hukum pengurusan hutan di Indonesia. Sebelumnya berdasarkan UU No. 5/1967, selanjutnya diganti dengan UU No. 41/1999. Salah satu substansi penting dari isi UU No. 41/1999 adalah dimandatkan kepada pemerintah untuk membangun Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) pada seluruh kawasan hutan negara. Adanya KPH dipandang sebagai prasyarat terselenggaranya pengelolaan hutan berkelanjutan (Sustainable Forest Management SFM) dan berkeadilan (Kartodihardjo et al. 2011). Pada masa sebelumnya hingga diterbitkannya UU No. 41/1999, KPH hanya ada di Pulau Jawa, yaitu pada kawasan hutan negara yang dikelola oleh Perum Pehutani. Wilayah kelolanya seluas ,4 ha atau sekitar 1,6% dari luas total hutan negara yang berjumlah 127 juta ha. Pengelolaan hutan ini pun sesungguhnya hanya melanjutkan pengelolaan KPH yang sudah dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda. Kawasan hutan negara lainnya (124,5 juta ha atau sekitar 98,4%), dimana sebagian besar berada di luar Pulau Jawa, belum dikelola ke dalam bentuk KPH-KPH kecuali untuk hutan konservasi (22 juta ha atau sekitar 17%) yang telah dikelola oleh sejumlah Balai Taman Nasional (BTN) dan Badan Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA). Kebijakan pembangunan KPH meskipun sudah lama dicanangkan melalui Undang-Undang No. 41/1999, namun baru diwujudkan dalam 5 tahun terakhir terutama setelah terbitnya PP No. 6/2007 jo PP No. 3/2008 tentang Tata Hutan, Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan (Kartodihardjo dan Suwarno 2014). Pemerintah mencanangkan akan membentuk sekitar 600 unit KPH di seluruh kawasan hutan negara, dimana pembangunannya dilakukan secara bertahap mulai tahun 2009 hingga tahun Sampai akhir tahun 2014 dicanangkan akan beroperasi sebanyak 120 unit KPH (Kemenhut 2010; 2011). Berdasarkan PP No. 38/2007 dan Permendagri No. 61/2010, sebagian urusan pengelolaan hutan lindung (HL) dan hutan produksi (HP) diserahkan kepada pemerintah daerah dengan kewajiban membentuk organisasi KPHL/KPHP. Namun demikian, pelaksanaan kewajiban tersebut berjalan tersendat dikarenakan adanya sejumlah kendala. Kartodihardjo (2008) mengungkapkan kendala-kendala tersebut antara lain masih terdapat pengertian yang keliru tentang KPH, belum lengkapnya peraturan perundang-undangan, lemahnya SDM, lemahnya dukungan politis, serta kurangnya sumberdaya yang diperlukan untuk mendukung

23 2 pembangunan KPH. Disamping itu, berdasarkan hasil kajian pada tahun 2013, Kartodihardjo dan Suwarno (2014) menyatakan bahwa beberapa Kepala Daerah atau Kepala Dinas Kehutanan masih belum secara bulat menerima kehadiran KPH. Pada umumnya hal demikian disebabkan adanya pengertian bahwa KPH dianggap akan mengurangi peran Dinas Kehutanan, dan KPH dianggap hanya sebagai cost center yang merugikan daerah. Dengan demikian kendala-kendala tersebut hingga saat ini masih terus dirasakan. Salah satu KPH yang perkembangan operasionalisasinya berjalan lambat adalah KPH Produksi Model Tasik Besar Serkap (KPHP TBS) di Provinsi Riau. Wilayah KPHP TBS ditetapkan sebagai KPHP Model oleh Menteri Kehutanan melalui SK Menhut No. 509/Menhut-II/2010 pada tanggal 21 September Struktur organisasinya ditetapkan satu tahun kemudian melalui Peraturan Gubernur (Pergub) Riau No. 47/2011 tanggal 31 Oktober 2011 yang berupa Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) di Dinas Kehutanan. Namun hingga dua tahun setelah itu (sampai akhir penelitian ini, akhir bulan Agustus 2013) Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau belum menempatkan personil pada struktur organisasi KPH tersebut. Akibat penundaan ini maka organisasi KPHP TBS belum bisa beroperasi untuk menjalankan tugas-tugas pengelolaan hutan di tingkat tapak sebagaimana telah diatur di dalam PP No. 6/2007 jo PP No. 3/2008 dan Permendagri No. 61/2010. Sebagai pembanding, di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) perkembangan operasionalisasi KPH Lindung Rinjani Barat (KPHL RB) dinilai berjalan cepat. Organisasi pengelola KPH telah ditetapkan pada tanggal 26 Agustus 2008 melalui Pergub NTB No. 23/ dalam bentuk UPTD di Dinas Kehutanan. Rancang bangun KPH ditetapkan oleh Menteri Kehutanan melalui surat keputusan No. SK.337/Menhut-VII/2009. Pada tahun 2009 Dinas Kehutanan Provinsi NTB mengusulkan wilayah KPHL RB sebagai KPH Model di Provinsi NTB. Usulan tersebut disetujui oleh Menteri Kehutanan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan (SK Menhut) Nomor SK.785/Menhut-II/2009 tanggal 2 Oktober Lima bulan kemudian, yakni pada bulan Pebruari 2010, Pemda NTB menempatkan 8 orang personil untuk mengisi organisasi KPH. Setelah itu organisasi KPHL-RB segera beroperasi melaksanakan tugas-tugas pengelolaan hutan. Pada tahun anggaran 2011, KPHL-RB telah mendapat dukungan anggaran dari APBD. Pada akhir tahun 2012 personil yang ditempatkan berjumlah 186 orang, terdiri dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebanyak 15 orang dan pegawai kontrak yang ditempatkan sebagai mandor di lapangan berjumlah 171 orang. Sebagaimana yang telah diungkapkan Kartodihardjo (2008), bahwa salah satu penyebab lambatnya pembangunan KPH di daerah adalah belum lengkapnya peraturan perundang-undangan. Selain kelengkapan peraturan perundangan, kualitas peraturan juga ikut menentukan. Berdasarkan aspek biofisik, antara KPHP TBS dan KPHL-RB juga terdapat perbedaan mendasar, dimana wilayah KPHP TBS didominasi oleh Hutan Produksi (HP) dan wilayah KPHL-RB 1 Pergub NTB No. 23/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Pada Dinas Daerah dan Unit Pelaksana Teknis Badan (UPTB) Pada Inspektorat, BAPPEDA dan Lembaga Teknis Daerah Provinsi NTB. Di dalamnya termasuk penetapan organisasi Balai Kesatuan Pengelolaan Hutan (Balai KPH) sebagai Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Dinas Kehutanan Provinsi NTB.

24 3 didominasi oleh Hutan Lindung (HL). Aspek biofisik beserta peraturan yang mengikutinya, khususnya dalam pemanfaatan hutan diduga akan berpengaruh terhadap kinerja proses pembangunan dan operasionalisasi KPH. Demikian juga dengan karakteristik komunitas para pelaku implementasi kebijakan. Menurut Ostrom (2005), perilaku para partisipan yang kemudian membentuk pola interaksi di dalam arena aksi, dipengaruhi oleh struktur situasi aksi yang dihadapinya dan karakteristik dari partisipan itu sendiri. Sementara itu arena aksi (yang terdiri dari situasi aksi dan partisipan) dipengaruhi oleh faktorfaktor eksogen (peraturan, kondisi biofisik, dan atribut komunitas). Agregat perilaku para partisipan (yakni pola interaksi) pada kurun waktu tertentu akan menghasilkan dampak tertentu yang sering disebut juga sebagai outcome dari suatu penataan kelembagaan atau kebijakan. Perkembangan operasionalisasi KPHP TBS dan KPHL-RB bila ditinjau dari perspektif ilmu kelembagaan, pada dasarnya merupakan outcome dari perpaduan antara struktur situasi aksi dan karakteristik para partisipan yang berinteraksi di dalam arena aksi pembangunan KPH yang bersangkutan. Struktur situasi aksi dan karakteristik partisipan tidak secara langsung menghasilkan outcome, melainkan melalui pembentukan struktur insentif/disinsentif yang dihadapi oleh para partisipan. Struktur tersebut kemudian mendorong/mengarahkan kepada terbentuknya pola perilaku tertentu dari para partisipan. Agregat dari keseluruhan perilaku para partisipan ini (pola interaksi) kemudian menghasilkan outcome. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dibuat kerangka umum penelitian sebagaimana ditampilkan pada Gambar 1. Kerangka penelitian ini mengadopsi kerangka fikir dan alur analitis kerangka kerja alalisis dan pengembangan kelembagaan (IAD-framework) (lihat Gambar 2 halaman 12) yang dibuat oleh Ostrom dan para koleganya. Angka 1, 2, dan 3 menunjukan nomor bagian-bagian penelitian yang dapat dipilah secara mandiri sesuai dengan tujuan penelitian masing-masing. Bagian-bagian penelitian tersebut akan diuraikan pada Bab 3, Bab 4, dan Bab 5. Analisis Pengaruh Kondisi Biofisik 1 3 Analisis Rules-in Use Pembangunan Organisasi KPHL/ KPHP 2 ARENA AKSI PEMBANGUNAN ORGANISASI KPHL/ KPHP Pola Interaksi Para Partisipan Analisis Pengaruh Atribut Komunitas Outcomes: Cepat atau lambatnya operasionalisasi KPH Gambar 1. Kerangka umum penelitian

25 4 Perumusan Masalah Mengacu kepada kerangka analisis dan pengembangan kelembagaan (IADframework) 2 yang dikembangkan oleh Ostrom dan para koleganya, cepat atau lambatnya perkembangan operasinalisasi KPH tersebut pada dasarnya merupakan dampak (outcome) dari proses-proses interaksi para partisipan di dalam arena aksi implementasi kebijakan pembangunan KPH. Melalui kerangka kerja IAD yang dibuatnya, Ostrom menyatakan bahwa para partisipan pada situasi yang melingkupinya bersama-sama dengan faktor-faktor eksogen, akan mempengaruhi pola perilaku mereka yang kemudian menghasilkan dampak (outcomes) atau kinerja (performance). Selanjutnya dapat terjadi hubungan timbal balik dimana outcomes akan mempengaruhi partisipan, situasi aksi, dan secara potensial dapat mempengaruhi faktor-faktor eksogen (Ostrom 2005; Ostrom et al. 2006). Polski dan Ostrom (1999) telah memberikan arahan umum penggunaan kerangka kerja IAD untuk analisis kebijakan (lihat Lampiran 3). Menurut Polski dan Ostrom, setelah seorang analis kebijakan mendefinisikan masalah kebijakan maka fokus selanjutnya adalah pada perilaku para partisipan di dalam arena aksi, yang meliputi situasi aksi dan individu-individu dan kelompok-kelompok yang secara berkesinambungan terlibat dalam situasi tersebut. Salah satu tujuan dari analisis ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor pada masing-masing tiga bidang yang mempengaruhi perilaku individu dan kelompok dalam situasi kebijakan, yaitu: kondisi biofisik dan material, peraturan yang digunakan, dan atribut komunitas. Dua tujuan lainnya adalah untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi pola interaksi yang logis yang berhubungan dengan perilaku para partisipan di dalam arena aksi, dan hasil (outcomes) dari interaksi tersebut. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian dalam bentuk kalimat tanya sebagai berikut: Mengapa proses operasionalisasi KPHP TBS berjalan lambat? Pertanyaan umum tersebut kemudian dijabarkan kepada pertanyaan-pertanyaan yang lebih khusus, yaitu: 1. Bagaimanakah kondisi biofisik mempengaruhi arena aksi yang dihadapi para partisipan dalam pemanfaatan hutan, yang selanjutnya berpengaruh terhadap atribut komunitas di dalam operasionalisasi KPHP TBS? 2. Bagaimanakah kondisi peraturan pembentukan organisasi KPH ditinjau dari konsep aturan yang digunakan (rules-in use) dari Ostrom dan Crawford? 3. Bagaimanakah secara bersama-sama faktor kondisi biofisik, peraturan, dan atribut komunitas mempengaruhi arena aksi, pola interaksi, dan outcome dalam operasionalisasi KPHP TBS? Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menemukan masalah-masalah kelembagaan dan masalah-masalah dalam implementasi kebijakan yang menyebabkan terjadinya kelambatan beroperasinya organisasi KPHP TBS. Tujuan umum tersebut dijabarkan ke dalam tiga tujuan operasional, yaitu: 1. Menganalisis pengaruh kondisi biofisik terhadap arena aksi dan outcome pemanfaatan hutan, yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap arena aksi operasionalisasi KPHP TBS. 2 Uraian tentang kerangka teoritis IAD-framework disajikan pada Bab 2.

26 5 2. Menganalisis peraturan pembentukan organisasi KPH dengan menggunakan konsep tujuh jenis aturan dari Ostrom dan Crawford. 3. Menganalisis pengaruh faktor peraturan, kondisi biofisik, dan atribut komunitas terhadap arena aksi, pola interaksi, dan outcome dalam operasionalisasi KPHP TBS. Kebaruan (Novelty) Mengacu kepada kriteria orisinalitas dari Phillips dan Pugh (2005) dan Cryer (2006) 3, penelitian ini setidak-tidaknya mengandung tiga nilai kebaruan (novelty), yaitu pertama, pada penggunaan komponen kerja (working part) dan banyaknya variabel yang digunakan dari kerangka kerja IAD Ostrom. Permasalahan implementasi kebijakan KPH pada KPHP-TBS didekati dengan melihat pengaruh tiga unsur faktor eksogen (kondisi biofisik, peraturan yang digunakan, dan atribut komunitas) terhadap arena aksi, pola interaksi, dan dampak (outcome) yang dihasilkan. Kedua, obyek kajiannya adalah implementasi kebijakan pembangunan KPH. Ketiga, dari sisi lokus penelitian ini mengambil kasus pada proses operasionalisasi KPHP Tasik Besar Serkap di Provinsi Riau. Gabungan dari ketiganya menghasilkan sejumlah informasi baru dan kesimpulan penelitian yang berguna bagi pemecahan masalah-masalah pembangunan KPH di Indonesia. Informasi-informasi tersebut antara lain: (1) cenderungan adanya perbedaan respon pemerintah daerah terhadap pembangunan KPH antara KPHP dan KPHL 3 Phillips dan Pugh (2005) dalam bukunya yang berjudul How to get a PhD: A handbook for students and their supervisors merangkum kriteria orisinalitas suatu karya ilmiah menjadi 15 (lima belas) kriteria sebagai berikut: (1) Menyajikan bagian utama dari informasi baru untuk pertama kali; (2) Melanjutkan pekerjaan orisinal yang belum selesai; (3) Melaksanakan suatu karya ilmiah orisinal yang dirancang oleh komisi pembimbing; (4) Menyediakan suatu teknik, observasi, atau hasil yang orisinal dalam sesuatu penelitian; (5) Memiliki sejumlah ide, metode dan interpretasi orisinal dari semua yang telah dilakukan oleh orang lain; (6) Menunjukkan orisinalitas dalam pengujian ide orang lain; (7) Melaksanakan pekerjaan empiris yang belum pernah dilakukan sebelumnya; (8) Membuat sintesis yang belum pernah dibuat sebelumnya; (9) Menggunakan bahan yang sudah diketahui tetapi dengan interpretasi baru; (10) Mencoba sesuatu di suatu negara yang sebelumnya telah dilakukan di luar negeri; (11) Mengambil teknik tertentu dan menerapkannya di daerah baru; (12) Membawa bukti baru untuk mendukung isu lama; (13) Melakukan pendekatan lintas-disiplin dan menggunakan metodologi yang berbeda; (14) Menunjukan suatu wilayah pengamatan baru dimana orang-orang dalam disiplin yang sama belum melihat sebelumnya; dan (15) Menambah pengetahuan dengan cara yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Sedangkan Cryer (2006) menyediakan 8 (delapan) kriteria orisinal yang agak berbeda sebagai berikut: (1) Orisinalitas dalam peralatan, tehnik, dan prosedur penelitian, yaitu menggunakan peralatan, tehnik, dan prosedur yang baru dalam melakukan eksplorasi atau pendekatan masalah penelitian; (2) Mengeksplorasi sesuatu yang belum diketahui/dijelajahi, yaitu menyelidiki, mengeksplorasi sesuatu yang sebelumnya belum ada yang melakukan; (3) Eksplorasi tak terduga, yaitu menemukan sesuatu yang tidak terduga sebelumnya; (4) Orisinalitas dalam data, yaitu mengumpulkan data, catatan hasil pengamatan yang belum diolah pada suatu waktu, namun data tersebut mempunyai nilai guna untuk diolah kemudian; (5) Orisinalitas dalam perubahan cara atau tempat penggunaan, yaitu melakukan proses perubahan cara atau tempat penggunaan sesuatu yang sudah ada tapi baru bagi tempat lain; (6) Orisinalitas dari hasil sampingan, yaitu bisa jadi dari jalur utama penelitian tidak menemukan sesuatu yang baru, akan tetapi ada hasil sampingan yang baru. Misalnya dalam cara, peralatan, atau beberapa temuan sekunder lainnya yang menarik; (7) Orisinalitas dalam pengalaman, yaitu berupa pengalaman yang orisinil, beda, dan menarik dari proses menjalankan penelitian itu sendiri; dan (8) Berpotensi untuk diterbitkan, yaitu hasil penelitiannya berpotensi untuk diterbitkan dalam jurnal peer-reviewed. Meskipun tidak dipublikasikan namun layak untuk dipublikasikan.

27 6 yang disebabkan oleh perbedaan peluang perburuan rente ; (2) struktur peraturan pembentukan organisasi KPH masih mengandung sejumlah kelemahan dalam hal pengaturan posisi para partisipan, tidak terdapatnya aturan agregasi untuk mengatasi kemandegan pembangunan KPH oleh pemerintah daerah, dan belum terdapatnya aturan insentif bagi pemerintah daerah; dan (3) adanya hambatan paradigma dan budaya birokrasi kehutanan dalam pembangunan KPH. Penelitian dalam lingkup topik besar pembangunan KPH telah dilakukan oleh sejumlah peneliti, namun semuanya belum ada yang menggunakan IADframework sebagai kerangka analisisnya. Penelitian-penelitian tersebut antara lain dilakukan oleh Alviya dan Suryandari (2008), Kartodihardjo (2008), Supratman (2009), Suryandari dan Alviya (2009), Karsudi et al. (2010), Suryandari dan Sylviani (2010), Ruhimat (2010), Kusumedi dan Rizal (2010), Rizal et al. (2010), Nur (2012), dan Ruhimat (2013). Rincian dari penelitian-penelitian tersebut ditampilkan pada tabel di Lampiran 1. Demikian juga kerangka kerja IAD sudah banyak digunakan dalam kajian beragam bidang kelembagaan. Namun untuk melihat nilai kebaruan dari penelitian disertasi ini dapat dilihat dari perbedaan dalam tema kajian, fokus, tempat, dan aspek-aspek lainnya. Misalnya Clement dan Amezaga (2009) mengkaji proses desentralisasi kehutanan di Vietnam dengan penekanan pada hubungan antara kebijakan reboisasi dan alokasi lahan dengan tingkat partisipasi masyarakat; Andersson (2011) mengkaji kebijakan desentralisasi kehutanan di Bolivia dengan fokus pada aliran informasi dan proses pembelajaran. Laerhoven (2010) mengkaji faktor-faktor penentu keberhasilan kelembagaan pengelolaan hutan masyarakat (community forest) di beberapa negara; Hardy dan Koontz (2010) mengkaji faktor-faktor keberhasilan kolaborasi pengelolaan dua Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan pola penggunaan lahan yang berbeda di Ohio; Tucker et al. (2006) mengkaji hubungan antara kelembagaan, kondisi biofisik, sejarah, dan kepemilikan hutan di Guatemala dan Honduras; Mehring et al. (2011) membandingka tingkat efektivitas antara kelembagaan formal dan informal dalam pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu; McGinley dan Cubbage (2011) mengkaji kebijakan sertifikasi pengelolaan hutan di Costa Rica, Guatemala, dan Nikaragua; Sithole (2014) mengkaji masalah hak akses dan pemanfaatan hutan di Swaziland; J. Suwarno (2011) mengkaji kelembagaan pengelolaan DAS Ciliwung; Ardi (2011) mengkaji pengembangan institusi pengelolaan HTR pola agroforestri rotan jernang di Kabupaten Sorolangun, Jambi; dan Nursidah (2012) mengkaji pengelolaan hutan kawasan lindung DAS Arau. Rincian penelitianpenelitian tersebut ditampilkan pada tabel di Lampiran 2. Manfaat Penelitian Pembangunan KPH yang sedang berjalan saat ini kedudukannya sangat penting dalam kerangka perbaikan sistem pengurusan hutan Indonesia. Sebagaimana telah dinyatakan pada bagian awal, keberadaan KPH dipandang sebagai prasyarat terselenggaranya pengelolaan hutan berkelanjutan dan berkeadilan. Oleh karena itu, penelitian-penelitian yang dimaksudkan untuk membantu mengatasi kendala-kendala implementasi kebijakan pembangunan KPH menjadi sangat penting. Sampai sejauh ini penelitian yang mengambil fokus pada analisis hambatan kelembagaan berupa pengaruh peraturan, pengaruh kondisi biofisik, dan pengaruh karakteristik partisipan belum ada yang melakukan di Indonesia.

28 7 Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan rekomendasi kebijakan guna meningkatkan kinerja proses pembangunan dan operasionalisasi KPHP TBS. Mengingat di dalam penelitian ini juga dilakukan analisis peraturan yang digunakan secara nasional, maka rekomendasi kebijakan untuk memperbaiki peraturan akan memiliki cakupan manfaat secara nasional. Adapun manfaat teoritisnya, penelitian ini menyajikan sebuah contoh penggunaan kerangka kerja IAD yang masih sangat langka digunakan pada sektor kehutanan di Indonesia. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Sabatier et al. (2005), kerangka kerja IAD adalah pendekatan terpadu yang bertujuan untuk menjelaskan pola-pola interaksi dan hasilnya, yang dihasilkan dari keputusan dan perilaku para partisipan dalam satu susunan struktur kelembagaan. Dengan demikin maka pada dasarnya kerangka kerja IAD ini dapat digunakan untuk menganalisis beragam susunan kelembagaan lain, terutama yang berbasiskan pengelolaan sumberdaya bersama (Common-Pool Resources CPRs). Sistematika Tulisan Disertasi ini disusun terdiri dari enam bab. Bab-bab tersebut adalah: 1. Bab 1 Pendahuluan, menjelaskan latar belakang dan tujuan penelitian. 2. Bab 2 Gambaran Ringkas Kebijakan KPH dan Kerangka Kerja IAD, menyajikan dua hal penting berkaitan dengan konteks penelitian dan kerangka teoritis yang digunakan, yaitu: (a) informasi tentang konsep, kebijakan, dan urgensi KPH; dan (b) kerangka teoritis IAD-Framework. 3. Bab 3 Analisis Pengaruh Kondisi Biofisik, dengan menggunakan konsep dan variable yang disediakan di dalam IAD-framework. Disusun untuk memenuhi tujuan penelitian nomor Bab 4 Analisis Peraturan Pembentukan Organisasi KPH, dengan menggunakan konsep rules in-use Ostrom dan Crawford. Disusun untuk memenuhi tujuan penelitian nomor Bab 5 Hambatan Operasionalisasi KPHP TBS: Sebuah Analisis Kelembagaan. Disusun untuk memenuhi tujuan penelitian nomor 3. Bab ini merupakan bagian utama disertasi, dimana hasil-hasil penelitian pada Bab 3 dan Bab 4 menjadi bagian pendukung bab ini. 6. Bab 6 Simpulan Umum dan Saran, merupakan rangkuman kesimpulan dan saran dari tiga bab sebelumnya. Bab 3, Bab 4, dan Bab 5 dirancang menjadi bagian-bagian yang dapat berdiri sendiri untuk memenuhi format utuh sebuah naskah jurnal ilmiah. Oleh karena itu pada masing-masing bab tersebut berisi pendahuluan, metodologi penelitian, hasil dan pembahasan, dan kesimpulan.

29 8 Definisi KPH 2 GAMBARAN RINGKAS KEBIJAKAN KPH DAN KERANGKA KERJA IAD KPH di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Kehutanan Indonesia No. 41/1999, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) adalah kesatuan wilayah pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efesien dan lestari. Sedangkan Castaneda (2000) mendefinisikan KPH sebagai unit pengelolaan hutan yang arealnya telah ditetapkan dengan batas-batas yang jelas, dimana sebagian besar arealnya ditutupi oleh hutan, dikelola untuk jangka panjang, dan memiliki sejumlah tujuan yang jelas yang dituangkan ke dalam rencana pengelolaan hutan. Dengan demikian maka KPH adalah strategi manajemen hutan berupa pembagian areal lahan hutan ke dalam unit-unit wilayah pengelolaan berdasarkan kriteria tertentu. Luas wilayah satu unit KPH berkisar antara 5000 ha ha (lihat Dir WP3H 2012). Penetapan luas wilayah KPH tersebut sangat dipengaruhi oleh luas dan sebaran wilayah hutan yang ada pada masing-masing provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia. KPH meliputi KPH Konservasi (KPHK), KPH Lindung (KPHL), dan KPH Produksi (KPHP). KPHK adalah kesatuan pengelolaan hutan yang wilayahnya seluruhnya atau didominasi oleh kawasan hutan konservasi. KPHL adalah kesatuan pengelolaan hutan yang wilayahnya seluruhnya atau didominasi oleh kawasan hutan lindung. KPHP adalah kesatuan pengelolaan hutan yang wilayahnya seluruhnya atau didominasi oleh kawasan hutan produksi. Pembentukan KPH Seluruh kawasan hutan Negara di Indonesia akan terbagi habis ke dalam wilayah-wilayah KPH. Dari 127 juta ha kawasan hutan negara, hampir separuhnya tidak dikelola secara intensif. Adapun kawasan hutan yang telah dikelola intensif sebagian besar merupakan hutan produksi dalam bentuk Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) (Kartodihardjo dan Suwarno 2014). Kondisi ini menjadi salah satu pendorong agar pembentukan KPH segera dilaksanakan. Prosedur pembentukan wilayah KPH diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor P.6/Menhut-II/2009 tentang Pembentukan Wilayah KPH. Berdasarkan peraturan tersebut pembentukan KPH melalui empat tahap, yaitu: Tahap 1, Usulan Rancang bangun KPH oleh Dinas Kehutanan Provinsi; tahap 2, Arahan pencadangan wilayah KPH oleh Kemenhut; tahap 3, Usulan Penetapan KPH dari Dinas Kehutanan Provinsi; dan tahap akhir, Penetapan wilayah KPH oleh Kemenhut. Setelah penetapan wilayah KPH maka harus segera diikuti dengan penetapan organisasi yang akan mengelola KPH. KPH dikelola oleh sebuah organisasi pemerintah yang menyelenggarakan fungsi pengelolaan hutan di tingkat tapak (site level). Berdasarkan PP No 6/2007 jo PP No 3/2008, organisasi KPHK dibentuk dan ditetapkan oleh Kemenhut, sementara berdasarkan Permendagri No. 61/2010 organisasi pengelola KPHL dan KPHP dibentuk dan ditetapkan oleh pemerintah daerah. Pembentukan organisasi KPHL dan KPHP

30 9 yang wilayah kerjanya lintas Kabupaten/Kota dalam satu provinsi ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi. Pembentukan organisasi KPHL dan KPHP yang wilayah kerjanya dalam satu Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Tugas Pokok KPH Berdasarkan PP No. 6/2007 jo. PP No. 3/2008 Tahun 2008, yang dijabarkan dalam Permenhut No. P.6/ 2010 tentang Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria Pengelolaan Hutan pada KPHL dan KPHP, tugas pokok organisasi KPH adalah sebagai berikut: 1. Melaksanakan penataan hutan dan tata batas di dalam wilayah KPH. 2. Menyusun rencana pengelolaan hutan di tingkat wilayah KPH, termasuk rencana pengembangan organisasi KPH. 3. Melaksanakan pembinaan, monitoring dan evaluasi kinerja pengelolaan hutan yang dilaksanakan oleh pemegang ijin pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, termasuk dalam bidang rehabilitasi dan reklamasi hutan, serta perlindungan hutan dan konservasi alam. 4. Melaksanakan rehabilitasi dan reklamasi hutan. 5. Melaksanakan perlindungan hutan dan konservasi alam. 6. Melaksanakan pengelolaan hutan di kawasan tertentu bagi KPH yang telah menerapkan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU) atau Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). 7. Menjabarkan kebijakan kehutanan menjadi inovasi dan operasi pengelolaan hutan. 8. Menegakkan hukum kehutanan, termasuk perlindungan dan pengamanan kawasan. 9. Mengembangkan investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan lestari. Pelaksanaan tugas pokok dan fungsi KPH tersebut yaitu pada penyelenggaraan manajemen pengelolaan hutan di tingkat tapak/lapangan, sedangkan tugas pokok dan fungsi Dinas Kehutanan yaitu penyelenggaraan pengurusan/administrasi kehutanan. Urgensi KPH Sebuah Analogi Kartodihardjo et al. (2011) menganalogikan keberadaan organisasi dan personil KPH di tingkat tapak seperti rumah dan penghuninya yang berada pada suatu hamparan lahan. Rumah adalah organisasi KPH, penghuni rumah adalah personil organisasi KPH, sedangkan hamparan lahan adalah kawasan hutan negara. Penanaman pohon dalam kegiatan rehabilitasi hutan, khususnya pada kawasan hutan lindung selama ini terkesan mengabaikan asumsi yang harus dipenuhi, yaitu keberadaan rumah dan penghuninya yang akan melindungi dan merawat setiap waktu. Pohon dianggap akan tumbuh dengan sendirinya hingga besar bila kualitas bibitnya bagus dan ditanam sesuai musim. Cara pandang seperti ini bisa benar bila bibit ditanam oleh petani pada lahan yang diakui orang-orang sekitarnya sebagai miliknya, letaknya tidak jauh dari rumahnya, dan petani

31 10 tersebut selalu menengok dan memeliharanya untuk memastikan bibit tersebut aman dan tumbuh dengan bagus. Sedangkan bila persyaratan tersebut tidak terpenuhi, maka kelangsungan hidup bahkan keberadaan bibit pohon tersebut peluangnya sangat kecil untuk bisa tetap ada dan tumbuh hingga dewasa. Hal ini sudah dibuktikan dengan rendahnya tingkat keberhasilan tanaman GNRHL di luar lahan-lahan masyarakat atau pada lahan-lahan yang tidak ada pengelolanya. Rumah dan penghuninya bukan sesuatu yang ada dengan sendirinya. Ia harus diadakan dan sangat mungkin perhatian dan biaya untuk mengadakannya jauh lebih mahal daripada harga bibit yang ditanam di pekarangan. Ketidak-berhasilan pengelolaan hutan di Indonesia pada umumnya disebabkan oleh ketiadaan atau lemahnya rumah dan penghuninya, yaitu pengelola hutan di tingkat tapak. Ketiadaan atau kelemahan siapa yang dari waktu ke waktu mengetahui dan memperhatikan perkembangan sumberdaya hutan di lapangan, memelihara dan menjaga hasil-hasil penanaman pada lahan kritis, mengetahui batas-batas kawasan yang berubah, mengetahui siapa kelompok masyarakat yang paling terkait dan memerlukan manfaat sumberdaya hutan, dan lain-lain. Dengan demikian ditinjau dari aspek prasyarat, ketiadaan pengelola hutan di tingkat tapak, menjadi penyebab utama kegagalan pengelolaan hutan dan terputusnya informasi antara apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan dengan keputusan-keputusan yang dibuat, baik di tingkat pemerintah kabupaten/kota, pemerintah provinsi maupun pemerintah (Kartodihardjo et al. 2011). KPH dan Kelestarian Hutan Ketiadaan pengelola hutan di tingkat tapak terbukti menjadi penyebab kegagalan bagi banyak program, baik dalam rangka rehabilitasi lahan kritis, pemanfaatan hutan yang lestari, pemberdayaan masyarat, maupun dalam rangka perlindungan hutan. Kegagalan program-program tersebut dengan sendirinya menghasilkan kinerja pengelolaan hutan yang buruk. Indikasitornya dapat dilihat dari masih tingginya jumlah hutan dan lahan yang rusak, misalnya pada bulan Maret 2013 Menteri Kehutanan RI, Zulkifli Hasan, menyatakan bahwa sekitar 60% hutan Indonesia dalam kondisi rusak (Republika, 9 Maret 2013). Pembangunan KPH dimaksudkan untuk menjalankan fungsi penyelenggaraan pengelolaan hutan di tingkat tapak yang selama ini tidak ada. Adanya KPH akan membuka ruang profesional bagi para rimbawan untuk berkiprah dalam pengelolaan hutan. KPH akan menjembatani dan mengatur lalulintas kepentingan para pihak terhadap hutan. KPH bisa mengintegrasikan dan mengorganisasikan potensi-potensi para pihak yang ingin terlibat dalam pengelolaan hutan lestari. Dengan demikian maka keberadaan KPH menjadi faktor pemungkin bagi terwujudnya hutan lestari. KPH dan Akses Masyarakat Akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan dapat terdiri dari berbagai bentuk dan tipologi sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat, sejarah interaksi masyarakat dengan hutan, dan harapan ekonomi masyarakat untuk memperbaiki kehidupannya. Apabila dikaitkan dengan ijin atau penetapan status kawasan hutan, akses masyarakat yang dimaksud tidak dapat ditetapkan pada tingkat KPH, karena kewenangan untuk itu berada di tangan Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Keberadaan KPH memungkinkan identifikasi keberadaan dan kebutuhan masyarakat terhadap manfaat sumberdaya hutan dengan lebih jelas dan

32 11 cermat, sehingga proses-proses pengakuan hak, ijin maupun kolaborasi menjadi lebih mungkin dilakukan. Demikian pula penyelesaian konlik maupun pencegahan terjadinya konlik lebih dapat dikendalikan. Selain itu, KPH dapat memfasilitasi komunikasi dengan Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah untuk menata hak dan akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan (Kartodihardjo et al. 2011). Kerangka Kerja IAD (IAD-Framework) Definisi Institusi Istilah "institusi atau kelembagaan" didefiniskan dengan banyak cara. Ostrom dan Crawford (2005) mendefinisikan kelembagaan sebagai aturan yang dipahami secara luas, sebagai norma, atau sebagai strategi yang menciptakan insentif bagi perilaku dalam situasi yang berulang. Aturan adalah preskripsi bersama (tentang yang harus, tidak boleh, atau mungkin) yang melarang, mengizinkan atau memerlukan tindakan-tindakan atau hasil tertentu, dan sanksi yang terkait dengan pelanggaran peraturan. Norma adalah preskripsi yang biasanya bersifat informal, yang ditegakkan secara bersama-sama oleh para anggota. Sementara strategi adalah rencana yang sangat teratur yang dibuat oleh individu, dalam struktur insentif yang dihasilkan oleh aturan dan norma, dan harapan kemungkinan perilaku dari orang lain dalam situasi yang dipengaruhi oleh kondisi biofisik yang relevan (Ostrom 2007a). Selanjutnya Ostrom (2005) mendefisikan institusi dengan redaksi yang agak berbeda, yaitu preskripsi yang digunakan manusia untuk mengorganisasikan semua bentuk interaksi yang berulang dan terstruktur, seperti interaksi yang terjadi di dalam keluarga, antar tetangga, pasar, perusahaan, liga olah raga, gereja, asosiasi swasta, dan pemerintahan pada semua level. Institusi mungkin secara formal digambarkan dalam bentuk undang-undang, kebijakan, atau prosedur, atau mungkin muncul secara informal sebagai norma, standar operasional, atau kebiasaan. Menurut Hurwicz (1994) dalam Polski dan Ostrom (1999), baik secara sendirian atau dalam satu set pengaturan, institusi adalah mekanisme untuk mengatur perilaku dalam situasi yang membutuhkan koordinasi antara dua atau lebih individu atau kelompok individu. Analisis institusi merupakan upaya untuk memeriksa bagaimana aturan yang diadopsi oleh individu dan atau organisasi dalam mengatasi masalah mereka, yang diarahkan kepada hasil yang diinginkan (Imperial, 1999). Menurut Soedomo (2012), dalam konteks teori permainan (game theory) institusi sosial dapat memiliki tiga makna, yaitu sebagai organisasi, sebagai aturan main, dan sebagai suatu keseimbangan dari interaksi (permainan) sosial. Individu mempengaruhi dan membentuk institusi (institusi sebagai keseimbangan), sebaliknya institusi juga mengatur perilaku individu (institusi sebagai aturan main). Individu dan institusi dapat dipisahkan, tapi saling tergantung dan berkembang. Pendekatan institusi sebagai aturan main mempelajari institusi sebagai kendala eksogen yang membimbing kepada prilaku endogen, sementara penegakan aturan diperlakukan sebagai isu terpisah. Dinamika institusi pada dasarnya adalah tentang aturan yang berubah, dan fokusnya adalah pada aturan formal yang berubah. Sebaliknya, pendekatan institusi sebagai keseimbangan berfokus pada pengejawantahan dari motivasi endogen, bagaimana melanggengkan perilaku tersebut. Dinamika institusi dengan demikian berkenaan

33 12 dengan perubahan motivasi dan kebiasaan perilaku, dan fokus analitiknya pada perubahan kepercayaan, norma, dan harapan. Pengembangan dan Penggunaan Kerangka Kerja IAD Menurut Ostrom (2005), dalam menganalisis institusi kebijakan seringkali berhadapan dengan kompleksitas. Beberapa situasi kebijakan mungkin sederhana, namun kebanyakan situasi melibatkan pengetahuan dari perspektif yang berbeda, kemudian aktivitas dijalankan pada berbagai tingkatan, dan sejumlah situasi kebijakan yang given mungkin tumpang tindih dengan situasi kebijakan lain, sehingga aktivitas dalam satu situasi mempengaruhi aktivitas di situasi lain. Dalam rangka memahami apa yang sebenarnya terjadi dalam arena kebijakan, adalah penting untuk menggabungkan masukan dari berbagai disiplin ilmu, beberapa tingkat aktivitas, dan beberapa situasi kebijakan. Inilah salah satu alasan untuk mengembangkan Institutional Analysis and Development- Framework (IAD-Framework), yaitu untuk memberikan landasan umum untuk mengintegrasikan beragam unsur-unsur kebijakan dan kerangka kerja bagi analis kebijakan yang berbeda-beda. Kerangka kerja IAD dapat dipandang sebagai metode yang sistematis untuk mengorganisir aktivitas analisis kebijakan, yang kompatibel dengan berbagai macam teknik analisis yang lebih khusus yang digunakan dalam ilmu alam dan ilmu sosial. Menurut Ostrom (2005), pengembangan dan penggunaan kerangka kerja (framework) membantu kita untuk mengidentifikasi unsur-unsur dan hubungan di antara unsur. Kerangka kerja mengatur pertanyaan diagnostik dan preskriptif. Kerangka kerja menyediakan sebagian besar variabel yang harus digunakan untuk menganalisis semua jenis susunan unsur yang relevan. Kerangka kerja memberikan bahasa meta teori yang diperlukan untuk membahas dan membandingkan teori. Kerangka kerja berusaha mengidentifikasi unsur-unsur universal bahwa setiap teori yang relevan juga perlu untuk dimasukkan. Adapun posisi teori, lebih fokus pada bagian-bagian dari kerangka kerja dan membuat asumsi khusus yang diperlukan bagi analis untuk mendiagnosis fenomena, menjelaskan proses, dan memprediksi hasil. Gambar 2 Kerangka analisis IAD Sumber: Ostrom (2005)

34 13 Melalui kerangka kerja IAD yang dibuatnya Ostrom menyatakan bahwa para partisipan pada situasi yang melingkupinya, bersama-sama dengan faktorfaktor eksogen, akan mempengaruhi pola perilaku mereka yang kemudian menghasilkan dampak (outcomes) atau kinerja (performance). Selanjutnya dapat terjadi hubungan timbal balik dimana outcomes akan mempengaruhi partisipan, situasi aksi, dan secara potensial dapat mempengaruhi faktor-faktor eksogen. Kriteria evaluasi digunakan untuk menilai kinerja sistem dengan memeriksa pola interaksi dan hasil (Ostrom 2005; 2007b; 2011; Ostrom et al. 2006). Kerangka kerja IAD dikembangkan oleh Elinor Ostrom bersama para koleganya di Pusat Studi Kelembagaan, Perubahan Populasi dan Lingkungan (Center for the Study of Institutions, Population and Environmental Cange, CIPEC) di Universitas Indiana, sejak dua dekade yang lalu atau lebih (Oakerson 1990; Ostom 2005; Ostrom et al. 2006). Kerangka kerja ini dibangun dari beragam teori, diantaranya teori ekonomi politik klasik, teori mikroekonomi neoklasik, ekonomi kelembagaan, teori pilihan publik, ekonomi biaya transaksi, dan teori permainan non kerjasama (Ostrom et al. 2006). Kerangka kerja IAD telah banyak digunakan oleh para peneliti luar dan mendapat pengakuan luas, antara lain seperti yang dinyatakan oleh Schlager dan Blomquist (1996) dan Koontz (2005), yang menyatakan bahwa IAD adalah kerangka kerja yang telah mapan dan kuat, menekankan kepada analisis pengaruh peraturan terhadap pengambilan keputusan dan tindakan individu atau organisasi. Sementara Sabatier et al. (2005) menyatakan bahwa kerangka kerja IAD adalah pendekatan terpadu yang bertujuan untuk menjelaskan pola-pola interaksi dan hasilnya yang dihasilkan dari keputusan dan perilaku para partisipan (individu dan/atau organisasi) dalam satu susunan kendala kelembagaan. Konsep-konsep terpenting di dalam kerangka kerja IAD adalah arena aksi, situasi aksi, partisipan, faktor eksogen, pola interaksi dan outcomes. Terdapat dua cara atau pendekatan untuk melakukan analisis kebijakan berbasis kelembagaan. Pendekatan pertama, menggunakan kerangka kerja IAD sebagai alat diagnostik dan bekerja ke arah belakang (backward) sesuai dengan diagram alir untuk menegaskan kembali atau merevisi tujuan kebijakan, mengevaluasi hasil kebijakan, memahami struktur informasi dan insentif kebijakan, atau mengembangkan inisiatif reformasi. Pendekatan ini paling cocok digunakan untuk menganalisis situasi kebijakan yang sudah mapan atau sudah diimplementasikan. Pendekatan kedua adalah bekerja dari belakang ke depan (forward), biasanya untuk mendefinisikan isu atau tujuan kebijakan, dan menggunakan kerangka kerja IAD sebagai suatu aktivitas ekonomi politik. Pendekatan kedua ini paling cocok untuk tugas-tugas kebijakan yang melibatkan pengembangkan inisiatif kebijakan baru, atau membandingkan dengan rancangan kebijakan alternatif (Polski dan Ostrom 1999). Arena Aksi Arena aksi adalah konsep analitis yang menunjuk kepada suatu ruang sosial dimana terjadi hubungan timbal balik antara situasi aksi dan partisipan. Situasi aksi adalah ruang sosial dimana para partisipan dengan beragam preferensi berinteraksi, bertukar barang dan jasa, memecahkan masalah, mendominasi satu sama lain, atau saling berlawanan (banyak hal yang dapat dilakukan orang dalam arena aksi) (Ostrom 2005). Konsep situasi aksi merupakan sebuah konstruk

35 14 analitis yang digunakan oleh ahli teori, sebagai salah satu cara untuk melihat dunia nyata dengan jalan mengisolasi beberapa variabel kunci yang dianggap mempengaruhi perilaku manusia. Kehidupan nyata tentunya jauh lebih kompleks daripada apa yang direpresentasikan oleh suatu model situasi aksi (Ostrom 1983). Situasi aksi meliputi tujuh variabel, yaitu (1) Siapa para partisipan, (2) Posisi para partisipan, (3) Hasil (outcomes) yang mungkin terjadi, (4) Keterkaitan antara aksi dan hasil, (5) Tingkat kontrol partisipan terhadap hubungan antara aksi dan hasil, (6) Informasi yang dimiliki para partisipan tentang struktur situasi aksi, dan (7) Biaya dan manfaat yang ditanggung para partisipan. Ketujuh elemen kerja (working parts) tersebut dapat dipandang sebagai elemen-elemen terpenting dan memadai untuk menggambarkan struktur situasi aksi. Elemen-elemen tersebut mirip dengan apa yang digunakan dalam membangun model permainan formal (formal game models) (Ostrom 2005). Partisipan adalah individu dan atau organisasi yang terlibat di dalam suatu arena aksi. Partisipan meliputi empat variabel, yaitu (1) Sumberdaya partisipan yang dibawa pada situasi aksi, (2) Penilaian/persepsi partisipan terhadap arena aksi, (3) Cara partisipan dalam memperoleh, melaksanakan, menguasai, dan memanfaatkan pengetahuan dan informasi, dan (4) Proses atau strategi para partisipan memilih kriteria aksi (Ostrom 2005, 2007). Kerangka kerja IAD mengasumsikan bahwa partisipan bersifat rasional, namun tetap terbatas karena mereka dibatasi oleh sumber daya yang terbatas, pengetahuan yang tidak lengkap dan tingkat kemampuan pemrosesan informasi yang terbatas. Akibatnya, partisipan bisa melakukan kesalahan ketika memilih tindakan tertentu untuk mencapai tujuan (Ostrom 2007). Namun seiring dengan waktu, setelah pengalaman terakumulasi, para partisipan dapat mengadopsi strategi yang berbeda dan mengubah peraturan untuk memperoleh hasil yang lebih baik (Ostrom 2007). Menurut Ostrom (1999, 2005), penting untuk dicatat bahwa sebagian realitas sosial terdiri dari beberapa arena aksi saling terkait, baik secara berurutan atau secara simultan. Arena aksi sangat jarang yang bersifat independen dari arena aksi yang lain. Dalam hal ini, misalnya arena aksi pembangunan dan operasionalisasi KPH akan terkait dengan beberapa arena aksi lain antara lain arena aksi pemanfatan hutan yang mempengaruhi keputusan-keputusan dan tindakan para partisipan di arena aksi tersebut. Faktor Eksogen Faktor eksogen meliputi tiga hal, yaitu (1) Karakteristik sumberdaya biofisik/material (biophysical/material condition), (2) Penciri atau atribut komunitas (attributes of community), dan (3) Aturan-aturan yang digunakan (rules in-use). Faktor-faktor ini saling terkait dan secara bersama-sama mempengaruhi perilaku, kegiatan dan strategi yang dilakukan para partisipan (membentuk pola interaksi) dan outcomes yang dihasilkan (Ostrom 2007b). Hasil atau Kinerja Hasil (outcomes) atau kinerja (performance) adalah hasil-hasil yang terjadi sebagai hasil dari interaksi para partisipan di dalam arena aksi dikaitkan dengan tujuan kebijakan atau kelembagaan. Manurut Polski dan Ostrom (1999) perilaku para partisipan menghasilkan pola interaksi yang bisa diamati, yang pada

36 15 gilirannya menghasilkan hasil (outcomes) kebijakan. Bentuk-bentuk hasil (outcomes) dapat diprediksi dengan mencermati struktur situasi aksi yang terbentuk dan asumsi yang digunakan terhaadap paartisipan (Ostrom 2005). Aturan Definisi aturan di sini lebih dekat kepada pengertian regulasi. Aturan dapat dianggap sebagai seperangkat instruksi untuk menciptakan situasi aksi dalam lingkungan tertentu. Aturan bersifat menggabungkan unsur-unsur untuk membangun struktur situasi aksi. Property rights merupakan salah satu bentuk aplikasi pengaturan. Dalam sistem pemerintahan demokratis dan terbuka, ada banyak sumber aturan yang digunakan oleh individu. Selain undang-undang dan peraturan pemerintah pusat, juga ada aturan yang dibuat oleh pemerintah daerah dan lokal. Di dalam perusahaan swasta, struktur yang berwenang mengadopsi berbagai aturan akan menentukan siapa yang menjadi anggota, bagaimana manfaat didistribusikan, dan bagaimana keputusan dibuat (Ostrom 2005). Dalam analisis kelembagaan, langkah pertama adalah memahami aturanaturan yang secara ril digunakan individu dalam membuat keputusan (rules in use). Rules in use adalah seperangkat aturan yang menjadi referensi partisipan jika mereka diminta untuk menjelaskan dan membenarkan tindakan mereka. Individu secara sadar dapat juga memutuskan untuk mengadopsi aturan yang berbeda dan mengubah perilaku mereka untuk menyesuaikan diri dengan keputusan seperti itu (Ostrom 2005). Dilihat dari tipenya, menurut Sabatier (2007) rules in use dapat berupa aturan formal atau informal, aturan tertulis atau tidak tertulis, bahkan dapat berupa kebiasaan sosial (social habit). Aturan-aturan ini dapat diklasifikasikan berdasarkan dampaknya terhadap tujuh unsur situasi aksi, yaitu aturan posisi (position rules), aturan batas-batas (boundary rules), aturan kewenangan (authority rules), aturan agregasi (aggregation rules), aturan informasi (information rule), aturan lingkup (scope rules), dan aturan biayamanfaat (payoff rules) (Ostrom dan Crawford 2005). Kondisi Biofisik/Material Bila konfigurasi aturan mempengaruhi semua elemen situasi aksi, maka beberapa variabel dari situasi aksi (dengan demikian keseluruhan susunan insentif yang dihadapi oleh individu dalam suatu situasi) juga dipengaruhi oleh atribut dunia biofisik dan material. Tindakan apa yang secara fisik mungkin dilakukan, hasil apa yang dapat diproduksi, bagaimana tindakan terkait dengan hasil, dan apa yang terkandung di dalam informasi bagi para partisipan dipengaruhi oleh dunia biofisik. Peraturan yang sama dapat menghasilkan situasi aksi yang berbeda, tergantung kepada kondisi biofisik yang dihadapi (Ostrom 2005). Atribut biofisik sangat mempengaruhi pilihan yang tersedia bagi partisipan. Dua atribut yang sering digunakan untuk membedakan antara empat kelompok barang dan jasa, yaitu: exclusion dan subtractability dalam penggunaan barang dan jasa. Exclusion berkaitan dengan sulitnya membatasi orang-orang untuk mendapat keuntungan dari penyediaan barang atau jasa. Subtractability berkaitan dengan keadaan sejauh mana penggunaan barang atau jasa oleh individu mengurangi ketersediaan barang atau jasa untuk dikonsumsi oleh pihak lain. Keadaan kedua atribut tersebut berkisar antara rendah sampai tinggi. Ketika atribut ini didikotomiskan maka susunannya seperti pada Gambar 3. Matrik ini

37 16 dapat digunakan sebagai atribut untuk mendefinisikan empat jenis barang, yaitu: barang kelompok, barang pribadi, barang publik, dan sumber daya umum. Substractability of use Difficulty of excluding potential beneficiares Low High Low Toll goods Private goods High Public goods Common-pool resources Gambar 3 Kategori empat kelompok barang dan jasa Sumber: Ostrom (2005) Menurut Ostrom dan Hess (2007), istilah common-property resource kadangkala digunakan untuk menggambarkan jenis barang ekonomi yang lebih baik disebut sebagai common-pool resources. Semua jenis barang commonpool resources berbagi dua atribut yang penting untuk kegiatan ekonomi, yaitu (1) sangat mahal untuk mengeksklusi individu dari memanfaatkan barang, baik melalui hambatan fisik atau instrumen hukum, dan (2) manfaat yang dikonsumsi oleh satu individu akan mengurangi manfaat yang tersedia bagi orang lain. Dengan memahami kelompok jenis barang yang berbagi kedua atribut itu, memungkinkan para ahli untuk mengidentifikasi masalah inti teoritis yang dihadapi individu ketika lebih dari satu individu atau kelompok yang dapat memanfaatkan sumber daya tersebut untuk jangka waktu yang panjang. Selain berdasarkan dua atribut tersebut, khususnya untuk common-pool resources, sifatnya akan berbeda-beda tergantung kepada jenis atribut lain yang mempengaruhi kegunaan ekonomi, seperti ukuran, bentuk, produktivitas, nilai, waktu dan keteraturan unit sumber daya yang dihasilkan. Common-pool resources dapat dimiliki oleh pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, kelompok-kelompok komunal, individu swasta atau perusahaan, atau digunakan sebagai sumber daya akses terbuka (open acces). Masing-masing dari jenis rezim hak tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan, akan tetapi pada dasarnya mungkin membutuhkan dasar pengaturan yang sama mengenai akses dan penggunaan sumber daya. Dengan demikian, CPRs tidak ada hubungan otomatis dengan kepemilikan (property rights), akan tetapi terkait langsung dengan sifat pemanfaatan oleh banyak orang. Kepemilikannya dapat berupa state property, common property, ataupun private property, sementara pemanfaatan sumberdaya dilakukan oleh banyak orang dan sulit atau biayanya relatif sangat mahal untuk melakukan eksklusi. Situasi demikian, apabila tidak diatasi dengan pengaturan dan penegakkan kelembagaan yang tepat, cenderung mengarah kepada terjadinya tragedy of the common. Selain atribut ekskludabilitas dan substraktabilitas, struktur situasi aksi juga dipengaruhi oleh beragam atribut lain yang mempengaruhi bagaimana aturan digabungkan dengan kondisi fisik untuk menghasilkan insentif positif atau negatif. Jumlah atribut yang dapat mempengaruhi struktur situasi luar biasa banyaknya. Hal yang penting diketahui oleh para analis kelembagaan adalah bahwa aturanaturan yang menghasilkan insentif dalam satu pengaturan, mungkin mengalami

38 17 kegagalan ketika diterapkan pada situasi dengan kondisi biofisik yang berbeda. Sebagaimana ditunjukkan dalam studi CPRs yang telah dilakukan secara luas, misalnya pengaturan yang efektif sangat dipengaruhi oleh ukuran sumber daya, mobilitas unit sumber daya (misalnya air, satwa liar, atau pohon), keberadaan tempat penyimpanan; jumlah dan distribusi curah hujan, jenis tanah, kemiringan, ketinggian, dan berbagai faktor lainnya (Ostrom 2005). Atribut Komunitas Atribut komunitas yang penting dalam mempengaruhi arena aksi meliputi (1) nilai-nilai perilaku yang berlaku di dalam komunitas, (2) tingkat pemahaman bersama (common understanding) bahwa anggota komunitas berbagi (atau tidak berbagi) tentang bagian-bagian tertentu dari struktur arena aksi, (3) tingkat homogenitas preferensi anggota komunitas, (4) ukuran dan komposisi komunitas, dan (5) sejauh mana ketimpangan penguasaan aset dasar di antara mereka. Istilah budaya (culture) sering digunakan untuk nilai-nilai bersama dalam masyarakat (Ostrom 2005). Berkaitan dengan arena aksi, karakteristik para partisipan yang terlibat dalam suatu arena aksi biasanya sangat dipengaruhi oleh atribut komunitas tempat dimana mereka berada (Sabatier et al. 2005). Atribut tersebut dapat mempengaruhi preferensi atas kebijakan serta apakah kebijakan ini beroperasi atau tidak sebagaimana yang diharapkan (Imperial 1999).

39 18 3 ANALISIS PENGARUH KONDISI BIOFISIK DAN PERATURAN TERHADAP ATRIBUT KOMUNITAS DALAM PEMANFAATAN HUTAN DI AREAL KPH Pendahuluan Latar Belakang Pembangunan KPH yang saat ini sedang berlangsung di Indonesia diyakini sebagai prasyarat terciptanya pengelolaan hutan lestari dan berkeadilan (Kartodihardjo et al. 2011). Pembangunan KPH dilakukan pada beragam kondisi biofisik hutan. Berdasarkan kriteria fungsi hutan, KPH dikelompokan menjadi KPH Konservasi (KPHK), KPH Lindung (KPHL), dan KPH Produksi (KPHP). KPHK adalah kesatuan pengelolaan hutan dimana luas wilayahnya seluruhnya atau didominasi oleh kawasan hutan konservasi. KPHL adalah kesatuan pengelolaan hutan dimana luas wilayahnya seluruhnya atau didominasi oleh kawasan hutan lindung. KPHP adalah kesatuan pengelolaan hutan dimana luas wilayahnya seluruhnya atau didominasi oleh kawasan hutan produksi. Rintisan penetapan kawasan hutan ke dalam kategori Hutan Konservasi (HK), Hutan Lindung (HL) dan Hutan Produksi (HP) telah dilakukan sejak awal masa pemerintahan Orde Baru pada tahun Pengklasifikasian tersebut dilakukan dalam rangka persiapan eksploitasi hutan alam secara besar-besaran. Lembaga yang bertugas untuk melakukan perencanaan hutan secara nasional pada saat itu adalah Direktorat Inventarisasi dan Perencanaan Kehutanan (DITINPEK), di bawah Direktorat Jenderal Kehutan Departemen Pertanian. Pada saat itu pemerintah belum memiliki peraturan tentang kriteria penetapan kawasan hutan ke dalam kategori HP, HL dan HK. Penetapan dilakukan secara langsung melalui Keputusan Menteri Pertanian berdasarkan hasil survey dan rekomendasi dari DITINPEK. Kawasan-kawasan hutan yang berpotensi untuk diusahakan dan disetujui oleh pemerintah daerah, secara otomatis ditetapkan sebagai Hutan Produksi (Djajapertjunda dan Jamhuri 2013). Kebijakan pemerintah saat itu didorong oleh kondisi perekonomian negara yang sedang terpuruk akibat krisis politik yang berkepanjangan. Salah satu jalan untuk memulihkannya dengan cara memanfaatkan potensi sumberdaya hutan (Djajapertjunda dan Jamhuri 2013; Nurjaya 2005; Mas oed 1989; Barr 2006). Baru pada awal dekade 80-an pemerintah mengeluarkan peraturan tentang kriteria penetapan kawasan hutan berdasarkan fungsinya. Kriteria dan tata cara penetapan Hutan Lindung diatur melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/11/1980. Kriteria dan tata cara penetapan Suaka Alam dan Hutan Wisata diatur dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 681/Kpts/Um/8/1981 mengatur (terakhir diatur melalui PP No. 28/2011). Keputusan Menteri Pertanian Nomor 682/Kpts/Um/8/1981 mengatur tentang kriteria dan tata cara penetapan Hutan Produksi Konversi, dan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 683/Kpts/Um/8/1981 mengatur tentang kriteria dan tata cara penetapan Hutan Produksi. Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut, arahan pencadangan Hutan Lindung dan Hutan Produksi ditetapkan berdasarkan pemberian bobot dan nilai (scoring) kepada tiga faktor biofisik hutan, yaitu kelas kelerengan lahan, jenis tanah menurut kepekaan erosi, dan curah hujan. Hasil penjumlahan nilai dari

40 19 tiga faktor tersebut apabila sama dengan atau lebih dari 175, maka dicadangkan sebagai Hutan Lindung; nilai dicadangkan sebagai Hutan Produksi Terbatas; dan nilai lebih kecil atau sama dengan 124 dicadangkan sebagai Hutan Produksi Tetap. Arahan pencadangan Suaka Alam dan Suaka Marga Satwa ditentukan berdasarkan sumber daya alam hayati dan ekosistem yang khas dan unik yang masih utuh dan alami serta gejala alam yang unik. Secara kelembagaan, pengkatogerian kawasan hutan berdasarkan fungsinya memunculkan bentuk-bentuk pengaturan lanjutan yang berbeda, antara lain dalam pemanfaatan hutan. Saat ini pemanfaatan hutan, baik pada HK, HL dan HP diatur dalam PP No. 6/2007 jo. PP No. 3/2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan dan sejumlah peraturan turunnya. Tata cara mendapatkan IUPHHK (Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) diatur dalam Permenhut No. No. P.50/2010 jo. No. P.26/2012; tentang Rencana Kerja IUPHHK diatur dalam Permenhut No. P.62/2008 jo. P.14/2009 jo. P.19/2012; dan tentang Hutan Kemasyarakatan diatur dalam Permenhut No. P.37/2007 jo. P.18/2009 jo. P.13/2010 jo. P.52/2011. Pemanfaatan hutan dalam perjalanannya penuh diwarnai dengan praktekpraktek KKN (Smith 2003; Nurjaya 2005; Barr 2006; Mas oed 1989; Kartodihardjo 2006). Kondisi demikian berlangsung pada seluruh masa pemerintahan rezim Orde baru (32 tahun). Berdasarkan fakta di lapangan warisan kebiasaan KKN ini sampai saat ini masih terus berlangsung 4. Di sisi lain, pemerintah saat ini sedang dalam fase awal mengimplementasikan kebijakan pembangunan KPH di seluruh kawasan hutan Indonesia. Berdasarkan Permendagri No. 61/2010, pembentukan dan operasionalisasi organisasi KPHL dan KPHP dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Dari sekitar 120 KPH Model yang sedang dibangun, terdapat fakta di lapangan bahwa pembangunan dan operasionalisasi organisasi KPHP Tasik Besar Serkap (KPHP TBS) di Provinsi Riau berjalan lambat, sementara di KPHL Rinjani Barat (KPHL RB) berjalan cepat. Hal ini diduga ada hubungannya dengan perbedaan kondisi biofisik dan rezim pengaturan pemanfaatan hutan. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui situasi-situasi yang dapat menghambat proses-proses pembangunan dan operasionalisasi organisasi KPH oleh pemerintah daerah, khususnya untuk melihat pengaruh aspek biofisik. Ostrom (2005; 2007a; 2011) menyediakan kerangka kerja analisis dan pengembangan kelembagaan (IAD-framework) yang dapat digunakan untuk meneliti pengaruh kondisi biofisik terhadap suatu arena aksi yang dihadapi oleh para partisipan. Melalui kerangka kerja IAD, Ostrom menyatakan bahwa para partisipan pada situasi yang melingkupinya bersama-sama dengan faktor-faktor eksogen, akan mempengaruhi pola perilaku mereka yang kemudian menghasilkan suatu dampak (outcomes) tertentu. Faktor eksogen dimaksud terdiri dari kondisi biofisik (physical/material conditions), peraturan yang digunakan (rules in use), dan karakteristik komunitas (attributes of community). Menurut Ostrom (2005), pengembangan dan penggunaan kerangka kerja (framework) dapat membantu kita untuk mengidentifikasi unsur-unsur dan hubungan di antara unsur. Berdasarkan pernyataan Ostrom tersebut, penelitian ini mengambil fokus kepada pengaruh kondisi biofisik dan peraturannya terhadap arena aksi 4 Mengacu kepada hasil kajian KPK pada akhir tahun 2013 oleh Kartodihardjo dan Nagara (KPK 2013).

41 20 pemanfaatan hutan, yang selanjutnya akan mempengaruhi pola interaksi di antara para partisipan dan dampak yang dihasilkan. Dampak dibatasi pada penguatan atau pelemahan prinsip-prinsip tata kelola hutan pada komunitas pelaksana daerah. Anggota-anggota dari komunitas ini juga menjadi pelaksana partisipan di dalam arena aksi pembangunan KPH. Penelitian ini merupakan studi literatur dimana data yang digunakan sepenuhnya merupakan data sekunder yang dikumpulkan dari berbagai sumber. Kerangka Penelitian Penelitian ini mengadopsi alur pemikiran dan pendekatan analitis sebagaimana yang digambarkan pada kerangka kerja IAD (lihat Gambar 2 halaman 12). Menurut Ostrom (2005) kerangka kerja IAD dapat membantu para analis kelembagaan dalam mengidentifikasi variabel-variabel kunci yang membentuk struktur situasi aksi yang dihadapi oleh para partisipan. Pola hubungan di antara kelompok variabel dapat dijelaskan sebagai berikut: Interaksi para partisipan di dalam suatu arena aksi yang dihadapi bersama, cenderung akan memunculkan pola perilaku tertentu, yang selanjutnya menghasilkan dampak-dampak (outcomes) tertentu. Arena aksi terdiri dari situasi aksi dan para partisipan. Situasi aksi menunjuk pada ruang sosial dimana para partisipan dengan beragam preferensi melakukan interaksi. Partisipan adalah individu-individu atau organisasi yang melakukan interaksi di dalam arena aksi. Arena aksi dipengaruhi oleh tiga kelompok besar faktor eksogen, yaitu kondisi biofisik, peraturan yang digunakan, dan atribut komunitas. Dalam penelitian ini tidak mengambil keseluruhan komponen kerangka kerja IAD, namun mengambil secara parsial komponen-komponen kerja tersebut sesuai dengan tujuan penelitian. Kerangka fikir penelitian sebagaimana ditampilkan pada Gambar 4. Pengaruh Kondisi Biofisik Kondisi biofisik Peraturan pemanfaatan hutan ARENA AKSI PEMANFAATAN HUTAN Pola interaksi para partisipan Dampak (Outcomes): terhadap kinerja prinsip-prinsip tata kelola hutan pada komunitas partisipan daerah Perumusan Masalah Gambar 4. Kerangka penelitian pengaruh biofisik Berdasarkan uraian pada latar belakang dan kerangka fikir penelitian, maka masalah penelitian dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

42 21 1. Bagaimanakah kondisi biofisik hutan beserta peraturan pemanfaatan mempengaruhi arena aksi pemanfaatan hutan pada KPHP TBS dan KPHL RB? 2. Bagaimana pola interaksi yang terjadi? 3. Bagaimana dampak (outcomes) yang terbentuk sebagai hasil dari pola interaksi tersebut? Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mendeskripsikan pengaruh perbedaan kondisi biofisik dan peraturan pemanfaatan hutan terhadap arena aksi pemanfaatan hutan di KPHP Tasik Besar Serkap dan KPHL Rinjani Barat. 2. Mendeskripsikan pola interaksi yang terbentuk sebagai dampak dari situasi aksi yang dihadapi oleh para partisipan daerah. 3. Mendeskripsikan dampak (outcomes) yang terbentuk sebagai hasil dari pola interaksi. Metodologi Penelitian Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2012 sampai dengan bulan Mei Obyek penelitian adalah proses pembangunan dan operasionalisasi organisasi KPHP TBS dan KPHL RB. KPHP TBS merupakan KPH provinsi dimana wilayah kerjanya bersifat lintas kabupaten, yaitu pada wilayah Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Siak di Provinsi Riau. Demikian juga KPHL RB adalah KPH Provinsi dimana wilayah kerjanya berada pada Kabupaten Lombok Barat dan Kabupaten Lombok Utara di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Metode Pengumpulan dan Analisis Data Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Format penelitian deskriptif kualitatif bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial, dan berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai ciri, karakter, sifat, model, atau Gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu (Bungin 2010). Format penelitian deskriptif kualitatif menurut Bungin pada umumnya dilakukan dengan pendekatan studi kasus. Menurut Faisal (2010) pendekatan studi kasus dilakukan dengan jalan menelaah masalah secera komprehensif, mendetail, dan mendalam, dimana berbagai varibel ditelaah dan ditelusuri, termasuk juga kemungkinan hubungan antar variabel yang ada. Oleh karenanya bisa jadi penelitian studi kasus menghasilkan pernyataan-pernyataan yang bersifat eksplanasi, akan tetapi eksplanasi tersebut tidak dapat diangkat sebagai suatu generalisasi. Penelitian ini mengadopsi pendekatan analitis kerangka kerja IAD Ostrom. Mengacu kepada kerangkan kerja tersebut, jenis-jenis variabel yang dianalisis, jenis dan sumber data, metode pengumpulan dan analisis data yang disesuaikan dengan masing-masing tujuan penelitian ditampilkan pada Tabel 1.

43 22 Tabel 1 Variabel, metode pengumpulan, analisis dan sumber data Tujuan Variabel yang dianalisis dan metode analisis Metode pengumpulan Sumber data Tujuan 1: Mendeskripsikan pengaruh perbedaan kondisi biofisik dan peraturan pemanfaatan hutan terhadap arena aksi pemanfaatan hutan di KPHP Tasik Besar Serkap dan KPHL Rinjani Barat. a b c d Kondisi biofisik KPH Pengaturan pemanfatan hutan Keberadaan ijin-ijin pemanfaatan hutan Arena aksi pemanfaatan hutan Luas kawasan hutan; luas kawasan hutan berdasarkan fungsi hutan (TGHK) (Deskriptif) Rezim ijin pemanfaatan hutan (Deskriptif) Jenis dan jumlah ijin konsesi (Deskriptif) Situasi aksi terdiri dari: Para partisipan; Posisi dan peran; Jenis tindakan (Tugas/wewenang); Tingkat kontrol; Ketersediaan informasi; Biaya manfaat, dan; Dampak yang mungkin. Partisipan terdiri dari: Preferensi; Cara menggunakan informasi, dan; Kriteria seleksi. Mengumpulkan data dari dokumen cetak (hardfile) dan dokumen lunak (softfile). Secara lagsung dan melalui internet. Mengumpulkan peraturan yang dibutuhkan melalui internet. Mengumpulkan data dari dokumen cetak (hardfile) dan dokumen lunak (softfile). Secara lagsung dan melalui internet. Mengumpulkan peraturan yang dibutuhkan melalui internet. (Deskriptif) Dokumen Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang (RPJP) KPHP TBS dan RPJP KPH-RB. Situs Kementerian Kehutanan Dokumen Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang (RPJP) KPHP TBS dan RPJP KPH-RB. Situs Kementerian Kehutanan dan beberapa situs lain. Situs Kementerian Kehutanan Tujuan 2: Mendeskripsikan pola interaksi yang terbentuk sebagai dampak dari situasi aksi yang dihadapi oleh para partisipan daerah. a Pola interaksi Tingkat KKN (Deskriptif) Mengumpulkan data dari dokumen cetak (hardfile) dan dokumen lunak (softfile). Secara lagsung dan melalui internet. Tujuan 3: Mendeskripsikan dampak (outcomes) yang terbentuk sebagai hasil dari pola interaksi. a Dampak (outcomes) Penguatan/pelemahan prinsipprinsip tata kelola hutan (Deskriptif) Mengumpulkan data dari dokumen cetak (hardfile) dan dokumen lunak (softfile). Secara lagsung dan melalui internet. Buku, laporan penelitian, newsletter, dan sebagainya. Suat kabar online dan sejumlah situs yang relevan. Buku, laporan penelitian, newsletter, dan sebagainya. Suat kabar online dan sejumlah situs yang relevan. Kondisi Biofisik Wilayah KPH Hasil dan Pembahasan Lokasi Lokasi kedua KPH dijelaskan berdasarkan posisi geografis, wilayah administrasi pemerintahan, dan pulau. Berdasarkan posisi geografisnya KPH

44 23 Tasik Besar Serkap terletak di antara BT BT dan LU LU, sedangkan berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan berada di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Siak dan Kabupaten Pelalawan di Provinsi Riau, dan berdasarkan pulau berada di Pulau Sumatera (KPHP TBS 2012). KPH Rinjani Barat, berdasarkan posisi geografisnya terletak pada 116º00 116º30 LS dan 08º10 08º40 BT, berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan berada di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Lombok Barat dan Kabupaten Lombok Utara di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), dan berdasarkan pulau berada di Pulau Lombok (KPHL RB 2012). Luas dan Fungsi Hutan Wilayah kerja KPH Tasik Besar Serkap, ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 509/Menhut-VII/2010 pada tanggal 21 September 2010 dengan luas ha. Wilayah kerja KPH Rinjani Barat ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 651/Menhut- II/2010 tanggal 22 Desember 2010 dengan luas ha. Rincian luas masingmasing KPH berdasarkan fungsi hutan ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2 Luas wilayah KPH Tasik Besar Serkap dan KPH Rinjani Barat berdasarkan fungsi hutan No Nama KPH Hutan Produksi Hutan Produksi Hutan Lindung (HL) Hutan Produksi (HP) Jumlah Terbatas (HPT) Konversi (HPK) Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % 1 KPHP Tasik Besar Serkap , , , , KPHL Rinjani Barat 28, , , , Sumber: KPHP-TBS (2012) dan KPHL-RB (2012) Luas wilayah kerja KPH Tasik Besar Serkap hampir 13 kali lipat luas wilayah kerja KPH Rinjani Barat. Berdasarkan fungsi hutan wilayah kerja KPH Tasik Besar Serkap seluruhnya berupa kawasan hutan produksi (HP, 100%), sementara wilayah kerja KPH Rinjani Barat sebagian besar berupa Hutan Lindung (HL, 70,58%) dan sisanya berupa Hutan Produksi (HP, 29,42%). Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan, sementara Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. KPH yang wilayah kerjanya didominasi oleh hutan produksi diberi nama Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP), dan KPH yang wilayah kerjanya didominasi oleh hutan lindung diberi nama Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL). Pemanfaatan Hutan Pemanfaatan hutan di Indonesia, sebagaimana diungkapkan oleh Djajapertjuda dan Jamhuri (2013), secara historis telah dilakukan jauh sebelum kerajaan-kerajaan di Indonesia berkuasa. Masyarakat sudah terbiasa memanfaatkan hutan sebagai sumber bahan makanan, sumber kayu sebagai bahan bangunan dan bahan pakaian. Setelah kedatangan kompeni (VOC) pada masa

45 24 Gambar 5 Peta wilayah kerja KPHP-TBS (SK Menhut No. 509/Menhut-VII/201) Gambar 6 Peta wilayah kerja KPHL-RB (SK Menhut No. 651/Menhut-II/2010)

46 25 permulaan abad ke-17 semakin memperjelas kedudukan hutan sebagai sumber kekayaan yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan perdagangan. Pada periode-periode berikutnya pemanfaatan hutan berlangsung semakin intensif dimana kayu menjadi komoditi utama untuk keperluan bahan bangunan, perkapalan, dan kayu bakar industri. Setelah Indonesia merdeka, pemanfaatan hutan terus berlangsung dan terjadi dalam skala besar-besaran sejak awal Orde Baru (1966). Amanat Penderitaan Rakyat dilaksanakan oleh pemerintahan Orde Baru dengan kebijakan mengejar pertumbuhan ekonomi nasional secara cepat. Untuk mendukung kebijakan ini pemerintah membuat instrumen hukum (legal instrument) yang dimulai dengan pengesahan UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), kemudian UU No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Setelah minyak dan gas bumi yang dijadikan andalan, selanjutnya sumber daya hutan dieksploitasi melalui pemberian konsesi-konsesi pengusahaan hutan. Sebagai landasan hukumnya pemerintah mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, kemudian PP No. 21 Tahun 1970 jo. PP No. 18 Tahun 1975 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPH dan HPHH). Menyusul kemudian PP No. 7 Tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan Tanaman Industri (HP-HTI) (Nurjaya 2005). Pemberian ijin konsesi HPH yang dilakukan tanpa prosedur lelang antara tahun berjumlah 519 unit dengan luas wilayah 53 juta ha (Kartodihardjo 2006). Dari segi ekonomi, pemberian ijin konsesi hutan kepada Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memberi kontribusi secara nyata bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia, akan tetapi karena pelaksanaannya dilakukan secara tidak terbuka dan tidak selektif karena mengandung unsur KKN (Nurjaya 2005; Hidayat 2008), maka hal ini menyebabkan ijin konsesi didominasi oleh orang-orang atau yayasan-yayasan tertentu yang memiliki akses kuat pada elit penguasa. Selain itu, karena lemahnya pengawasan (control) dan penegakan hukum (law enforcement) di Indonesia, maka situasi itu menyebabkan terjadinya eksploitasi hutan yang tidak terkendali dan tidak tersentuh oleh hukum (Nurjaya 2005). Hasil kajian Sarjono (2004) terhadap pokok-pokok kebijakan kehutanan pemerintah selama lima periode Pelita (25 tahun) menyimpulkan bahwa politik kehutanan Indonesia tidak menghilangkan karakter politik kehutanan yang diwariskan kolonial Belanda yang menekankan pada aspek pengusahaan hutan (ekonomi). Karakter tersebut merupakan salah satu ciri dari konsep kehutanan konvesional, yaitu kebijakan yang orientasi utamanya pada pengusahaan hutan (forest utilization). Berdasarkan uraian di atas maka secara historis pengusahaan hutan selalu menjadi arus utama (mainstream) bagi kebijakan pengurusan hutan Indonesia. Konsep kehutanan konvensional ini telah menjadi paradigma yang membentuk pola fikir dan budaya mayoritas rimbawan Indonesia. Sejalan dengan itu, produkproduk hukum atau peraturan kehutanan yang dihasilkan pun didominasi oleh warna paradigma ini. Peraturan pemanfaatan hutan Undang-undang sektoral yang menjadi dasar hukum pemanfaatan hutan di Indonesia saat ini adalah UU No. 41/1999. Pada tingkat operasional mengacu

47 26 Status Kawasan Hutan berdasarkan fungsi hutan Hutan Lindung (HL) Hutan Produksi (HP) kepada PP No. 6/2007 jo. PP No. 3/2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. PP tersebut kemudian dijabarkan dengan sejumlah Peraturan Menteri dan Peraturan Direktur Jenderal. Jenis-jenis pemanfaatan hutan yang dapat dilakukan pada hutan lindung dan hutan produksi sebagaimana ditampilkan pada Tabel 3. Terdapat empat kelompok besar ijin pemanfaatan hutan, yaitu (1) Ijin Usaha Pemanfaatan Kawasan (IUPK), (2) Ijin Usaha Pemanfatan Jasa Lingkungan (IUPJL), (3) Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK), dan (4) Ijin Pemungutan Hasil Hutan Kayu (IPHHK) dan Ijin Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu (IPHHBK). Keempat kelompok jenis ijin pemanfaatan hutan tersebut semuanya dapat dilakukan pada hutan produksi, sementara pada hutan lindung hanya IUPK, IUPJL, dan IPHHBK (jenis ijin yang diberi tanda panah besar tidak boleh dilakukan pada HL). Berdasarkan peraturan tersebut maka dapat diprediksi bahwa konsentrasi keberadaan ijin-ijin usaha pemanfaatan kayu, dimana pada umumnya menjadi domain perusahaan besar, akan lebih banyak terdapat pada wilayah kerja KPHP daripada pada KPHL. Tabel 3 Rezim ijin pemanfaatan hutan berdasarkan PP No. 6/2007 jo. PP No. 3/2008 Ijin Usaha Pemanfaatan Kawasan (IUPK) IUPK, antara lain: 1. budidaya tanaman obat; 2. budidaya tanaman hias; 3. budidaya jamur; 4. budidaya lebah; 5. penangkaran satwa liar; 6. rehabilitasi satwa; 7. budidaya hijauan makanan ternak. IUPK, antara lain: 1. budidaya tanaman obat; 2. budidaya tanaman hias; 3. budidaya jamur; 4. budidaya lebah; 5. penangkaran satwa; dan 6. budidaya sarang burung walet. Ijin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan (IUPJL) IUPJL, antara lain: 1. pemanfaatan jasa aliran air; 2. pemanfaatan air; 3. wisata alam; 4. perlindungan keanekaragaman hayati; 5. penyelamatan dan perlindungan lingkungan; 6. penyerapan dan/atau penyimpanan karbon. IUPJL, antara lain: 1. pemanfaatan jasa aliran air; 2. pemanfaatan air; 3. wisata alam; 4. perlindungan keanekaragaman hayati; 5. penyelamatan dan perlindungan lingkungan; atau 6. penyerapan dan/atau penyimpanan karbon. Rezim Pemanfaatan Hutan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK) Ijin Pemungutan Hasil Hutan Kayu (IPHHK) dan Hasil Hutan Bukan Kayu (IPHHBK) - IPHHBK: 1. rotan; 2. madu; 3. getah; 4. buah; 5. jamur; atau 6. sarang burung walet. IUPHHK: 1. IUPHHK-Hutan Alam: a. IUPHHK b. IUPHHK-Restorasi Ekosistem 2. IUPHHK-Hutan Tanaman: a. Hutan Tanaman Industri (HTI) b. Hutan Tanaman Rakyat (HTR) c. Hutan Tanaman Hasil Reboisasi (HTHR) IUPHHBK: 1. Rotan, sagu, nipah, bambu, yang meliputi kegiatan penanaman, pemanenan, pengayaan, pemeliharaan,pengamanan, dan pemasaran hasil. 2. Getah, kulit kayu, daun, buah atau biji, gaharu yang meliputi kegiatan pemanenan, pengayaan, pemeliharaan, pengamanan, dan pemasaran hasil. IPHHK: 1. untuk pembangunan fasilitas umum, maksimum 50 m3 2. untuk kebutuhan individu, maksimum 20 m3 per Kepala Keluarga (KK) IPHHBK 1. Pada hutan alam: rotan, madu, getah, buah atau biji, daun, gaharu, kulit kayu, tanaman obat, dan umbiumbian, dengan ketentuan paling banyak 20 (dua puluh) ton untuk setiap kepala keluarga. 2. Pada hutan tanaman: idem

48 27 Keberadaan ijin-ijin pemanfaatan hutan pada dua KPH KPHP Tasik Besar Serkap. Di wilayah kerja KPHP TBS saat ini terdapat 20 unit ijin pemanfaatan hutan, yang terdiri dari 17 buah IUPHHK-HTI, 1 buah IUPHHK-HA, 1 buah IUPHHK-RE, dan 1 buah ijin Hutan Desa. IUPHHK-HTI semuanya untuk memproduksi kayu bahan baku pulp, IUPHHK-HA PT The Best One saat ini kondisinya sedang tidak aktif, IUPHHK-RE atas nama PT Gemilang Cipta Nusantara baru beroperasi tahun 2013, demikian juga dengan ijin Hutan Desa untuk masyarakat Desa Serapung-Segamai baru beroperasi pada tahun yang sama. Daftar para pemegang ijin sebagaimana ditampilkan pada Tabel 4. Berdasarkan data pada Tabel 4, kawasan hutan yang telah dibebani ijin seluas ha dari luas total areal kerja KPHP TBS seluas ha. Dengan demikian berarti masih ada kawasan tidak dibebani ijin seluas ha yang saat ini kondisinya secara de facto menjadi open access. Kawasan tersebut sebagian besar merupakan bekas areal kerja HPH PT Yos Raya Timber. Tabel 4 Jenis-jenis ijin pemanfaatan hutan di KPHP Tasik Besar Serkap No Nama pemegang hak Lokasi Jenis ijin Status Luas (ha) 1 PT RAPP Kab. Pelalawan IUPHHK-HT Aktif PT Mitra Hutani Jaya Kab. Pelalawan IUPHHK-HT Aktif PT Satria Perkasa Agung Kab. Pelalawan IUPHHK-HT Aktif PT Triomas FDI Kab. Pelalawan IUPHHK-HT Aktif PT Uni Seraya Kab. Pelalawan IUPHHK-HT Aktif PT Putra Riau Perkasa Kab. Pelalawan IUPHHK-HT Aktif PT Madukoro Kab. Pelalawan IUPHHK-HT Aktif PT Selaras Abadi Utama Kab. Pelalawan IUPHHK-HT Aktif CV. Bhakti Praja Mulia Kab. Pelalawan IUPHHK-HT Aktif CV. Alam Lestari Kab. Pelalawan IUPHHK-HT Aktif CV Harapan Jaya Kab. Pelalawan IUPHHK-HT Aktif CV Tuah Negeri Kab. Pelalawan IUPHHK-HT Aktif CV Mutiara Lestari Kab. Pelalawan IUPHHK-HT Aktif PT Arara Abadi Kab. Siak IUPHHK-HT Aktif PT Ekawana Lestaridharma Kab. Siak IUPHHK-HT Aktif PT National Timber dan Forest Kab. Siak IUPHHK-HT Aktif PT Balai Khayang Mandiri Kab. Siak IUPHHK-HT Aktif PT The Best One Kab. Pelalawan IUPHHK-HA Tdk Aktif PT Gemilang Cipta Nusantara Kab. Pelalawan IUPHHK-RE Aktif Desa Segamai - Serapung Kab. Pelalawan Hutan Desa Aktif Jumlah Sumber: Diolah dari KPHP TBS (2012) dan Mongabay (2013a, 2013b) KPHL Rinjani Barat. Di wilayah kerja KPHP Rinjani Barat saat ini terdapat 9 unit ijin pemanfaatan hutan yang terdiri dari IUPHHK-HTI 1 buah, ijin HKm 7 buah, dan ijin KHDTH 1 buah. IUPHHK-HTI PT. Sadhana Arif Nusa mengembangkan kayu bakar untuk memenuhi kebutuhan oven tembakau masyarakat mitra kerja PT Sampurna Grup, sedangkan ijin KHDTH adalah ijin kepada Pusat Penelitian Budidaya Gaharu Universitas Mataram. Rincian ijin pemanfaatan hutan di KPHL Rinjani Barat ditampilkan pada Tabel 5.

49 28 Tabel 5 Ijin pemanfaatan hutan di KPHL Rinjani Barat No Nama pemegang hak Lokasi Jenis ijin Status Luas (ha) 1 PT Sadana Arif Nusa Kab. Lombok Utara IUPHHK-HT Aktif 1.405,00 2 HKm Sasaot Kab. Lombok Barat Ijin HKm Aktif 46,15 3 HKm Batu Layar Kab. Lombok Barat Ijin HKm Aktif 225,56 4 HKm Jenggala 1 Kab. Lombok Utara Ijin HKm Aktif 547,38 5 HKm Jenggala 2 Kab. Lombok Utara Ijin HKm Aktif 589,13 6 HKm Monggal Kab. Lombok Utara Ijin HKm Aktif 32,45 7 HKm Kebon Baru Kab. Lombok Barat Ijin HKm Aktif 329,00 8 HKm Batu Kemali Kab. Lombok Barat Ijin HKm Aktif 142,84 9 Universitas Mataram Kab. Lombok Utara Ijin KHDTH Aktif 200,34 Jumlah 3.517,85 Sumber: Diolah dari KPHL-RB (2012) dan Kemenhut (2014) Berdasarkan data pada Tabel 5, kawasan hutan yang telah dibebani ijin seluas 3.517,85 ha dari luas total ha. Dengan demikian maka sisanya seluas ,15 ha adalah areal yang tidak dibebani ijin. Kondisi demikian, walaupun statusnya hutan lindung, namun sebelum ada organisasi pengelola di tingkat tapak maka secara de facto cenderung menjadi kawasan open acces. Berdasarkan data keberadaan ijin-ijin pemanfaatan hutan pada masingmasing KPH, maka untuk keperluan komparasi dapat ditampilkan pada Tabel 6. Tabel 6 Keberadaan ijin pemanfaatan hutan pada dua KPH pada tahun 2014 Nama KPH IUPHHK Ijin skema pemberdayaan masyarakat HA RE HTI Jml HKm Hutan Desa Jml Ijin KHDTH 1. KPHP-TBS KPHL-RB KPHP Tasik Besar Serkap KPHL Rinjani Barat Gambar 7 Perbandingan keberadaan ijin konsesi pada KPHP-TBS dan KPHL-RB

50 29 Data pada Tabel 6 dan Gambar 7 menunjukan bahwa jenis ijin yang mendominasi pada areal kerja KPHP Tasik Besar Serkap adalah IUPHHK-HTI (17 buah) dan pada real kerja KPHL Rinjani Barat adalah ijin HKm (6 buah). Tujuan utama dikeluarkannya kebijakan pemberian IUPHHK HTI adalah untuk menghasilkan pendapatan negara dari sektor kehutanan. Sementara tujuan kebijakan pemberian ijin Hutan Kemasyarakatan (HKm) adalah dalam rangka pemberdayaan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Perbedaan tujuan ini berimplikasi pada perbedaan bentuk-bentuk aktivitas yang diatur di dalam peraturan-peraturan pelaksanaannya. Arena Aksi Pemanfaatan Hutan Sebagaimana telah dirinci pada Tabel 3 tentang rezim ijin pemanfaatan hutan berdasarkan PP 6/2007 jo. PP 3/2008, penetapan kawasan hutan ke dalam kategori Hutan Produksi (HP) dan Hutan Lindung (HL), akan menentukan jenisjenis ijin yang diberikan. Pada gilirannya jenis-jenis ijin ini akan menentukan partisipan yang terlibat serta bentuk-bentuk hubungan yang terjadi di antara mereka. Bentuk-bentuk hubungan atau tata hubungan kerja antar partisipan tersebut antara lain diatur di dalam Permenhut No. P.50/2010 jo. P.26/2012 tentang Tata Cara Perijinan IUPHHK HA/HT/RE, Permenhut No. P.62/2008 jo. P.14/2009 jo. P.19/2012 tentang Rencana Kerja IUPHHK HTI dan HTR, dan dan Permenhut No. P.37/2007 jo. P.18/2009 jo. P.13/2010 jo. P.52/2011 tentang Hutan Kemasyarakatan. Situasi Aksi dan Partisipan Dalam Proses Perijinan IUPHHK-HTI di KPHP Tasik Besar Serkap. Jenis ijin konsesi yang berada di wilayah KPHP TBS didominasi oleh IUPHHK-HTI (17 buah), kemudian IUPHHK-HA dan IUPHHK-RE masing-masing 1 buah. Partisipan utama yang terlibat dalam arena aksi ini di satu pihak adalah aparatur pemerintah (pusat dan daerah) dan di pihak lain para pengusaha besar. Secara skematis bentuk-bentuk hubungan antara pemerintah dengan pemegang ijin dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar tersebut menunjukan proses Tata Cara Pemberian dan Perluan Areal Kerja Ijin Usaha Pemanfaatan Hutan Kayu (IUPHHK) Dalam Hutan Alam, Restorasi Ekosistem, atau Hutan Tanaman Industri sebagaimana diatur di dalam Permenhut No. P.50/2010 jo. P.26/2012. Dalam terminologi Ostrom di dalam kerangka kerja IAD, peraturan tersebut disebut sebagai rules in-use. Proses perijinan IUPHHK-HTI ini dilakukan satu kali untuk masa konsesi 60 tahun. Pada Gambar 8 dapat dilihat bahwa mata rantai yang harus dilalui oleh para pengusaha kehutanan untuk memperoleh IUPHHK HTI sangat panjang. Pada semua urusan yang ditandai dengan tanda adalah titik-titik rawan terjadinya praktek-praktek KKN. Menurut Ostrom (2005) arena aksi terdiri dari situasi aksi dan partisipan. Situasi aksi tersusun atas tujuh variabel, yaitu variabel partisipan, posisi partisipan, jenis tindakan, tingkat kontrol, ketersediaan informasi, biaya-manfaat, dan dampak yang potensial terjadi. Partisipan dalam hal ini tersusun atas tiga variabel, yaitu variabel preferensi terhadap struktur situasi aksi, cara memproses dan menggunakan informasi, dan kriteria seleksi yang digunakan dalam mengambil keputusan.

51 30 Pemohon Gubernur Dishut Provinsi Bupati / Walikota Dishut Kab/Kota BPKH Menteri Kehutanan Sekjen Dirjen BUK Tim Penilai Dirjen Planologi Akta pendirian Surat Izin Usaha NPWP Pernyataan pendirian cabang di daerah Peta min skala 1: Rekomendasi Gubernur + Peta min skala 1: Rekomendasi Gubernur + Peta min skala 1: Analisis fungsi kawasan Pertimbangan Bupati Tembusan Surat Permohonan Analisis hakhak lain Analisis fungsi kawasan Surat Permohonan Tembusan Surat Permohonan Penilai an TERIMA atau TOLAK Tembusan Surat Permohonan Proposal Tehnis SURAT PERMOHONAN Tembusan Surat Permohonan TERIMA atau TOLAK TERIMA atau TOLAK TERIMA atau TOLAK Menyusun AMDAL atau UKL & UPL TERIMA SP 1 AMDAL atau UKL & UPL AMDAL atau UKL & UPL AMDAL atau UKL & UPL SK IUPHHK TERIMA SP 2 Peta working area & BPTT Membayar IIUPH SK IUPHHK Telaah hukum Konsep SK IUPHHK Konsep SK IUPHHK : Titik rawan korupsi Gambar 8 Proses perijinan IUPHHK HA/HT/RE berdasarkan Permenhut No. P.50/2010 jo No. P.26/2012

52 31 Berdasarkan jenis-jenis variabel tersebut, struktur situasi aksi pemanfaatan hutan di KPHP TBS berdasarkan Permenhut No. P.50/2010 Jo. P.26/2012 tentang Tata Cara Perijinan IUPHHK HA, RE, HTI ditampilkan pada Tabel 7, sedangkan karakteristik partisipan pada Tabel 8. Tabel 7 Situasi aksi pemanfaatan hutan di KPHP TBS berdasarkan Permenhut No. P.50/2010 jo. P.26/2012 (Proses perijinan IUPHHK HA/HT/RE) Partisipan Posisi Jenis tindakan Tingkat kontrol 1. Kemenhut 2. Gubernur 3. Dinas Kehutanan Provinsi 4. Bupati 5. Dinas Kehutanan Kab/Kota 6. Perusahaan: a. HTI:17 b. HA:1 c. RE: 1 Pemberi ijin IUPHHK Pemberi rekomendasi Pelaksana analisis fungsi kawasan Pemberi pertimbangan Pelaksana analisis hak-hak lain Pemohon ijin analisis fungsi kawasan menilai permohonan IUPHHK menerbitkan SP1 menerbitkan peta working area menerbitkan SK IUPHHK menerbitkan rekomendasi menerbitkan pertimbangan Menganalisis hakhak lain Mengajukan permohonan dan melengkapi persyaratan Semua partisipan mempunyai tingkat kontrol relatif tinggi, dikarenakan pola-pola hubungan yang terbentuk telah mapan. Ketersediaan informasi Jenis-jneis informasi ttg prosedur perijinan IUPHHK terangkum di dlm peraturan. Informasi yg bersifat khusus ada dua, yaitu: (a) fungsi kawasan hutan, dan (b) keberadaan hak-hak lain. Data tersebut tersedia setelah dilakukan analisis oleh instansi terkait berdasarkan permohonan pemohon ijin (perusahaan). Biaya-Manfaat Biaya pemerintah berupa biaya administratif dan biaya pelayanan Manfaat bagi pemerintah berupa pendapatan dari IIUPH, dan hutan ada yg mengelola Biaya perusahaan berua biaya pemenuhan persyaratan, biaya AMDAL, biaya IIUPH, dan biayabiaya transaksi tidak resmi. Manfaat bagi perusahaan berupa mendapatkan ijin konsesi hutan. Dampak yang potensial terjadi Ada tiga kemungkinan: 1. Proses perijinan berjalan lancar tanpa KKN 2. Proses perijinan tidak lancar tanpa KKN 3. Proses perijinan berjalan lancar dengan KKN Tabel 8 Karakteristik para partisipan dalam pemanfaatan hutan di KPHP TBS Partisipan 1. Kemenhut 2. Gubernur 3. Dinas Kehutanan Provinsi 4. Bupati 5. Dinas Kehutanan Kab/Kota 6. Perusahaan: a. HTI: 17 b. HA: 1 c. RE: 1 Preferensi terhadap struktur situasi aksi Secara garis besar preferensi partisipan akan terbagi ke dalam tiga kelompok, yaitu: 1. Kelompok yang lebih menyukai tetap berlangsungnya situasi status quo, dimana hubungan antara aparatur pemerintah dengan pengusaha banyak diwarnai oleh praktek KKN. 2. Kelompok yang lebih menyukai tata pemerintaha yang bersih (clean governance), dan 3. Kelompok pengikut arus yang lebih dominan. Cara memperoleh/memproses/ menggunakan informasi Pemerintah: - Informasi diperoleh dari analisis peta, kemudian digunakan sebagai bahan penyusunan rencana, pelaporan, dan lain-lain. - Informasi terkadang digunakan sebagai komoditi yang diperjual-belikan secara illegal (misalnya tentang calon lokasi ijin, peta, dll) Perusahaan: - Informasi diperoleh dengan cara mencari sendiri kepada instansi kehutanan atau melalui jalur personal. - Informasi digunakan sebagai persyaratan pengajuan ijin. Menunjuk kepada isi Tabel 7, para partisipan utama yang terlibat dalam pemanfaatan hutan di wilayah KPHP TBS (kolom 1) ada tujuh organisasi, yaitu Kemenhut, Gubernur, Dinas Kehutanan Provinsi, Bupati, Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota, KPH, dan Perusahaan (17 HTI, 1 HA, 1 RE). Berdasarkan posisinya (kolom 2), masing-masing partisipan ditetapkan untuk menjalankan tugas/kewenangan atau jenis tindakan tertentu (kolom 3). Kriteria seleksi Mengacu kepada peraturan secara murni; atau mengacu kepada peraturan namun disertai dengan kepentingan (interest) pribadi

53 32 Sejauh mana tingkat kontrol masing-masing partisipan ketika melaksanakan tugas/kewenangannya diyakini bisa menghasilkan outcome yang diharapkan, dijelaskan pada kolom 4. Kolom 5 menggambarkan ketersediaan jenis-jenis informasi yang telah diatur dalam proses perijinan. Kolom 6 menggambarkan biaya-manfaat yang akan ditanggung/diperoleh oleh masing-masing partisipan. Kemudian terakhir kolom 7 menjelaskan tiga bentuk outcomes yang potensial atau mungkin terjadi. Hal-hal penting yang perlu diberi perhatian dari situasi aksi proses perijinan IUPHHK-HTI yang digambarkan pada Tabel 7 dan karakteristik partisipan pada Tabel 8 adalah: Mekanisme perijinan IUPHHK-HTI disusun dengan rangkaian proses yang sangat panjang, melibatkan sejumlah instansi pemerintah dan pemerintah daerah. Di dalam rangkaian tersebut, sebagian besar proses harus diurus sendiri oleh pemohon (misalnya untuk memperoleh data kondisi hutan, mendapatkan pertimbangan dari bupati, mendapatkan rekomendasi dari gubernur, dan lainlain), bukannya diselesaikan sendiri oleh pemerintah selaku pemilik aset hutan. Jenis informasi utama dalam proses perijinan IUPHHK-HTI adalah informasi tentang kondisi kawasan hutan, yaitu fungsi kawasan dan keberadaan hakhak lain. Analisa terhadap kedua jenis informasi ini dilakukan oleh Bupati, Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) dan Dinas Kehutanan Provinsi. Informasi tersebut diserahkan sebagai syarat kelengkapan rekomendasi dari Gubernur kepada Menteri Kehutanan. Pengadaan kedua jenis informasi tersebut sebenarnya sangat sederhana, namun penggunaan informasi tersebut menjadi tidak sederhana ketika proses pengurusan untuk mendapatkannya diserahkan kepada pemohon. Calon pemohon diposisikan sebagai pihak yang sangat membutuhkan informasi tersebut, sehingga seringkali terjadinya proses jual-beli informasi antara oknum aparat pemerintah dengan pemohon. Bila dihubungkan dengan biaya, secara formal biaya yang harus ditanggung oleh pemohon adalah biaya yang berkaitan dengan penyiapan seluruh persyaratan administratif, pelaksanaan AMDAL, dan biaya Iuran Ijin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH). Di dalam realitanya, karena sebagian besar rangkaian proses pengurusan ijin itu pengurusannya diserahkan kepada pemohon, maka pemohon pun seringkali harus mengeluarkan biaya-biaya tidak resmi dalam jumlah yang sangat besar untuk memperlancar proses perijinan tersebut. Misalnya Transprancy International Indonesia (TII, 2011) menyatalan bahwa suap digunakan untuk memperoleh ijin tanpa kajian teknis atau rekomendasi, atau melalui manipulasi data dan analisis. Praktek-praktek KKN di Provinsi Riau juga telah terbukti, dimana pada periode tahun dua orang mantan bupati, tiga orang mantan kepala dinas kehutanan provinsi, dan satu orang mantan gubernur telah dijatuhi hukuman pidana (Koran Kompas 2008; Pekanbaru Express 2010; Riau Pos 2012; Antara 2014). Kemudian penelitian KPK pada akhir tahun 2013 juga menemukan fakta bahwa di dalam pengurusan perijinan, perusahaan harus mengeluarkan uang pelicin untuk mendapatkan rekomedasi dan pertimbangan dari gubernur dan bupati sebesar Rp juta per hektar (KPK 2013). Preferensi partisipan terhadap proses perijinan IUPHHK-HTI akan terbagi ke dalam tiga kelompok, dimana ketiganya akan berkaitan dengan jenis outcome potensial yang mungkin terjadi, yaitu (1) kelompok yang lebih menyukai proses

54 33 perijinan berjalan lancar tanpa adanya KKN, (2) kelompok yang lebih menyukai proses perijinan berjalan lancar dengan adanya KKN, dan (3) Kelompok pengikut kelompok lain yang lebih dominan. Mekanisme perijinan konsesi hutan merupakan bagian dari sistem administrasi pemerintahan. Kriteria pengambilan keputusan pada seluruh mata rantai prosesprosesnya akan mengacu kepada peraturan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Dengan kata lain kriteria seleksinya adalah ketentuan-ketentuan di dalam peraturan itu sendiri. Namun demikian, di dalam sistem tata pemeritahan yang buruk, selain mengacu kepada ketentuan-ketentuan peraturan, oknum aparatur pemerintah seringkali memboncengkan kepentingan pribadinya dalam menjalankan kewenangan formalnya sehingga terjadi praktek-praktek KKN. Berdasarkan struktur situasi di atas, hasil atau outcomes yang potensial terjadi ada 3 (tiga) kemungkinan, yaitu (1) proses perijinan berjalan lancar tanpa adanya KKN, (2) proses perijinan berjalan tidak lancar karena tidak ada KKN, atau (3) proses perijinan berjalan lancar karena ada KKN. Berdasarkan data kasus hukum di provinsi Riau yang sudah diungkapkan di atas, juga berdasarkan hasil penelitian KPK (2013), maka dapat disimpulkan bahwa outcome yang saat ini sering terjadi adalah yang nomor 3, yaitu proses perijinan berjalan lancar disertai dengan adanya praktek-praktek KKN. Berdasarkan uraian di atas, maka arena aksi pemanfaatan hutan di KPHP TBS cenderung banyak diwarnai oleh praktek-praktek KKN. Praktekpraktek KKN ini sebagai efek dari penyalahgunaan wewenang dan banyaknya ijin konsesi pada wilayah KPH tersebut. Hubungan-hubungan KKN ini menjadi mapan karena kurangnya penegakan hukum yang bersih dan kuat. Dilihat dari perspektif tata pemerintahan, menurut Jain (2011) terjadinya KKN karena ada tiga kondisi, yaitu pertama, ada peluang pemburuan rente yang inheren dengan alokasi kekuasaan atau wewenang pada peraturan, kedua, aparatur yang korup memiliki keleluasaan di dalam struktur administrasi pemerintahan, dan ketiga, lemah dan tidak efektifnya lembaga-lembaga publik yang bertugas untuk mengendalikan KKN. Sedangkan dilihat dari perspektif yang lebih bersifat individu, Singleton et al. (2006) mengemukakan ada tigal hal yang mendorong terjadinya fraud (KKN), yaitu adanya pressure (dorongan), opportunity (peluang), dan rationalization (rasionalisasi). Pressure adalah dorongan yang menyebabkan seseorang melakukan KKN, contohnya karena kebutuhan biaya hidup, biaya pendidikan anak, hutang, gaya hidup mewah, keserakahan, atau harus menyetor kepada pihak-pihak tertentu. Opportunity adalah peluang yang memungkinkan terjadinya KKN, misalnya karena memiliki kewenangan tertentu dan kurangnya pengawasan. Kemudian unsur yang ketiga yaitu rasionalisasi, dimana pelaku mencari pembenaran atas tindakannya. Misalnya tindakannya untuk membahagiakan keluarga, atau menganggap sebagai hal yang telah lumrah karena orang lain pun melakukan hal yang sama. Situasi Aksi dan Partisipan Dalam Proses Pengesahanan Rencana Kerja IUPHHK-HTI di KPHP Tasik Besar Serkap. Setelah ijin IUPHHK-HTI diperoleh, selanjutnya pemegang ijin berkewajiban menyusun rencana kerja yang diatur melalui Permenhut No. P.62/2008 jo. P.14/2009 jo. P.19/2012. Bentukbentuk hubungan antar partisipan dalam proses penyusunan dan pengesahan rencana kerja IUPHHK-HTI seperti ditampilkan pada Gambar 9.

55 34 Pemegang Izin KPH Dishut Kab/Kota Dishut Provinsi BPPHP Menteri Kehutanan Direktur di Dirjen BUK Dirjen BUK Membuat usulan RKUPHHK Tembusan Usulan RKUPHHK Tembusan Usulan RKUPHHK Usulan RKUPHHK C.q. Dirjen Usulan RKUPHHK RKUPHHK yg telah disetujui Tembusan RKUPHHK yg telah disetujui Tembusan RKUPHHK yg telah disetujui Tembusan RKUPHHK yg telah disetujui Mendelegasikan Menilai dan menyetujui Usulan RKUPHHK Usulan revisi RKUPHHK Dapat mendapat pendelegasian Dapat mendelegasikan kpd Direktur Dalam hal: Bertambah atau berkurang areal kerja Berubah daur dan jenis tanaman Perubahan fisik SDH dan penggunaan kwsn oleh sektor lain sesuai peraturan per-uu Perubahan tehnik silvikultur, dll yg dpt dipertanggungjwbkan Pengembangan agroforestry dsb Revisi RKUPHHK yg telah disetujui Tembusan revisi RKUPHHK yg telah disetujui Tembusan revisi RKUPHHK yg telah disetujui Tembusan revisi RKUPHHK yg telah disetujui Dapat mendapat pendelegasian Usulan revisi RKUPHHK Menilai dan menyetujui Usulan revisi RKUPHHK Dapat mendelegasikan kpd Direktur Membuat usulan RKTUPHHK Tembusan Usulan RKTUPHHK Usulan RKTUPHHK Tembusan Usulan RKTUPHHK Data dan informasi pembayaran PSDH dan DR Data dan informasi pembayaran PSDH dan DR RKTUPHHK telah disetujui Tembusan RKUPHHK telah disetujui Menilai dan mengesahkan Usulan RKTUPHHK Tembusan RKTUPHHK telah disetujui Dlm hal IUPHHK-HA mendpt sertifikat PHPL baik, RKTUPHHK disetujui sendiri (self approval) Laporan RKTUPHHK self approval Laporan RKTUPHHK self approval Laporan RKTUPHHK self approval Laporan RKTUPHHK self approval Pelaksanaan RKTUPHHK Pengawasan Pengawasan Usulan revisi RKTUPHHK Dalam hal: Tambah atau kurang areal kerja Prubahan daur dan atau jenis tanaman Prubahan luas blok RKTUPHHK Prubahan kondisi fisik tertentu SDH Perubahan RKUPHHK Adanya pengembangan agroforestry dan atau tumpangsari Revisi RKTUPHHK yg telah disetujui Tembusan Usulan revisi RKTUPHHK Tembusan revisi RKTUPHHK yang telah disetujui Usulan revisi RKTUPHHK Menilai dan menyetujui usulan revisi RKTUPHHK Tembusan Usulan revisi RKTUPHHK Tembusan revisi RKTUPHHK yang telah disetujui Usulan Bagan Kerja (BKUPHHK) Dlm hal: Sebelum RKUPHHK dinilai dan disetujui, pemegang izin baru dapat mengajukan BKUPHHK. Disusun berdasarkan Proposal Tehnis permohon an izin. Tembusan Usulan BKUPHHK Pemeriksaan lapangan oleh WASGANIS PHPL - CANHUT Usulan BKUPHHK Tembusan Usulan BKUPHHK Berita Acara Pemeriksaan Berita Acara Pemeriksaan BKUPHHK telah disetujui Tembusan BKUPHHK telah disetujui Menilai dan menyetujui Usulan BKTUPHHK Tembusan BKUPHHK telah disetujui Tembusan BKUPHHK telah disetujui Pelaksanaan BKUPHHK atau RKTUPHHK Laporan 3 bulanan dan Tahunan pelaksanaan RKTUPHHK dan BKUPHHK Pengawasan oleh WASGANIS PHPL - CANHUT Tembusan Laporan 3 bulanan dan Laporan Tahunan Tembusan Laporan 3 bulanan dan Laporan Tahunan Tembusan Laporan 3 bulanan dan Laporan Tahunan Laporan 3 bulanan dan Laporan Tahunan Laporan 3 bulanan dan Laporan Tahunan Cq. Direktur Laporan 3 bulanan dan Tahunan Pelaksanaan RKTUPHHK dan BKUPHHK Tembusan Laporan 3 bulanan dan Laporan Tahunan Laporan 3 bulanan dan Tahunan Pelaksanaan RKTUPHHK dan BKUPHHK Pelaksanaan RKTUPHHK, RKTUPHHK atau BKUPHHK Penilaian dan Persetujuan RKUPHHK, RKTUPHHK dan BKUPHHK Pengendalian atas penilaian, persetujuan, dan pelaksanaan RKTUPHHK dan BKUPHHK : Titik rawan korupsi Gambar 9 Proses penyusunan dan pengesahan rencana kerja IUPHHK-HTI berdasarkan Permenhut No. P.62/2008 jo. P.14/2009 jo. P.19/2012

56 35 Proses pengesahan Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (RKUPHHK) 10 tahun sekali, Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (RKTUPHHK) setiap tahun, dan Bagan Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (BKUPHHK) setiap tahun. Dari Gambar 9 terlihat bahwa mata rantai yang harus dilalui oleh para pengusaha kehutanan untuk mendapatkan pengesahan tiga jenis rencana kerja IUPHHK HTI sangat panjang. Pada semua urusan yang ditandai dengan adalah titik-titik rawan KKN. Struktur situasi aksinya ditampilkan pada Tabel 9 dan karakteristik partisipannya pada Tabel 10. Tabel 9 Situasi aksi pemanfaatan hutan di KPHP TBS berdasarkan Permenhut No. P.62/2008 jo. P.14/2009 jo. P.19/2012 tentang Rencana Kerja IUPHHK HTI dan HTR Partisipan Posisi Jenis Tindakan Tingkat kontrol Ketersediaan Informasi 1. Kemenhut 2. Dinas Kehutanan Provinsi 3. Dinas Kehutanan Kab/Kota 4. Perusahaan a. HTI:17 b. HA:1 c. RE: 1 Penilai dan pengesah RKUPHHK Penilai dan Pengesah RKTUPHHK dan BKUPHHK Pemeriksa data pembayaran PSDH dan DR; Pengawas dan pemeriksa lapangan Pengusul RKUPHHK, RKTUPHHK, atau BKUPHHK Menilai dan mengesahkn RKUPHHK menilai dan mengesahkan RKTUPHHK dan BKUPHHK Memeriksa data pembayaran PSDH dan DR Melakukan pengawasan dan pemeriksaan lapangan Membuat dan mengajukan RKUPHHK, RKTUPHHK, atau BKUPHHK Membuat laporan pelaksanaan RKTUPHHK atau BKUPHHK Semua partisipan mempunyai tingkat kontrol relatif tinggi, dikarenakan pola-pola hubungan yang terbentuk sudah mapan. Informasi penting tentang kondisi dan potensi SDH lebih banyak dikuasai oleh pemegang ijin. Pemerintah mendapatkan informasi tersebut pada umumnya berdasarkan laporan dari pemegang ijin. Biaya-Manfaat Bagi pemerintah: biaya berupa biaya-biaya administratif dan biaya pelayanan.; manfaat berupa pendapatan dari PSDH, DR, pajak perusahaan, dll. Bagi perusahaan: biaya berupa pembayaran PSDH, DR, pajak, biayabiaya transaksi tidak resmi, dll; manfaat berupa keuntungan dari produksi kayu. Dampak yang potensial terjadi Ada tiga kemungkinan: 1. Proses pengesahan rencana kerja berjalan lancar tanpa KKN 2. Proses pengesahaan rencana kerja tidak lancar tanpa KKN 3. Proses pengesahan rencana kerja berjalan lancar dengan KKN Tabel 10 Karakteristik para partisipan dalam pemanfaatan hutan di KPHP TBS Partisipan 1. Kemenhut 2. Gubernur 3. Dinas Kehutanan Provinsi 4. Bupati 5. Dinas Kehutanan Kab/Kota 6. Perusahaan: a. HTI: 17 b. HA: 1 c. RE: 1 Preferensi terhadap struktur situasi aksi Secara garis besar preferensi partisipan akan terbagi ke dalam tiga kelompok, yaitu: 1. Kelompok yang lebih menyukai situasi status quo, hubungan aparatur pemerintah dengan pengusaha banyak diwarnai praktek KKN 2. Kelompok yang lebih menyukai tata pemerintahan yang bersiah (clean governance), dan 3. Kelompok pengikut arus yang dominan. Cara memproses/menggunakan informasi Pemerintah: - Informasi digunakan sebagai bahan penyusunan rencana, pelaporan, dan lain-lain. - Informasi terkadang digunakan sebagai komoditi yang diperjualbelikan secara illegal (misalnya peta, temuan pelanggaran pemegang ijin, dll) Perusahaan: - Informasi digunakan sebagai bahan penyusunan rencana, pelaporan, dan lain-lain. - Informasi terkadang juga direkayasa untuk mendapatkan keuntungan secara illegal (misalnya laporan produksi kayu). Kriteria seleksi Mengacu kepada peraturan secara murni; atau mengacu kepada peraturan tapi disertai dengan kepentingan (interest) pribadi

57 36 Sebagaimana di dalam arena aksi pengurusan ijin IUPHHK HA/HT/RE, para partisipan utama di dalam arena aksi pengurusan rencana kerja juga terdiri dari tujuh organisasi, yaitu Kemenhut, Gubernur, Dinas Kehutanan Provinsi, Bupati, Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota, KPH, dan Perusahaan (17 HTI, 1 HA, 1 RE). Adapun yang berbeda adalah pada posisi masing-masing partisipan, jenis tindakan, tingkat kontrol, ketersediaan informasi, biaya manfaat, dan hasil (outcome) yang potensial terjadi. Perbedaan ini berkaitan dengan urusannya, yaitu antara urusan perijinan dan urusan rencana kerja. Hal-hal penting dari situasi aksi proses penyusunan dan pengesahan rencana kerja IUPHHK HA/HT/RE yang digambarkan pada Tabel 9 dan karakteristik partisipan pada Tabel 10 adalah: Sebagaimana pada mekanisme perijinan, mekanisme pengesahan rencana kerja IUPHHK-HTI juga disusun dengan melibatkan sejumlah instansi pemerintah dan pemerintah daerah. RKUPHHK-HTI disahkan oleh Menteri Kehutanan (Menteri Kehutanan dapat mendelegasikan kepada Dirjen, dan Dirjen dapat mendelegasikan kepada pejabat di bawahnya), sementara RKTUPHHK dan BKUPHHK disahkan oleh Kepala Dinas Kehutanan Provinsi. Dalam penyusunan dan pengesahan rencana kerja IUPHHK-HTI, jenis informasi yang terpenting adalah tentang kondisi dan potensi sumbedaya hutan (SDH). Idealnya jenis-jenis informasi ini dimiliki secara lengkap oleh pemerintah selaku pemilik aset hutan berdasarkan hasil inventarisasi yang dilakukan sendiri. Namun dalam kenyataannya, pemerintah seringkali memperoleh kedua jenis informasi tersebut dari laporan pemegang ijin. Dengan demikian maka terjadi ketimpangan penguasaan informasi (assymetric information) antara pemerintah sebagai pemilik aset hutan (principal) dan perusahaan sebagai pemegang ijin (agent). Situasi ini sangat rentan untuk terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pemegang ijin. Berkaitan dengan biaya, secara formal biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan pemegang ijin adalah pembayaran Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), Dana Reboisasi (DR), dan pajak perusahaan. Namun di dalam kenyataannya, selain jenis-jenis biaya tersebut perusahaan juga seringkali harus mengeluarkan sejumlah besar biaya transaksi tidak resmi. Hal ini antara lain terungkap dari hasil penelitian KPK (2013) yang menemukan bahwa untuk proses revisi RKUPHHK perusahaan harus mengeluarkan biaya sebesar Rp juta, ditambah dengan biaya tidak resmi sampai dengan sebesar Rp. 200 juta. Dalam kegiatan monitoring pelaksanaan RKTUPHHK, perusahaan harus menanggung biaya perjalanan dinas petugas pemeriksa sebanyak 140 x 8 Hari Orang Kerja (HOK). Preferensi partisipan terhadap proses penyusunan dan pengesahan rencana kerja IUPHHK-HTI akan terbagi ke dalam tiga kelompok, dimana ketiganya akan berkaitan dengan jenis outcome potensial yang mungkin terjadi, yaitu: (1) kelompok yang lebih menyukai proses penyusunan dan pengesahan rencana kerja berjalan lancar tanpa adanya KKN, (2) kelompok yang lebih menyukai proses penyusunan dan pengesahan rencana kerja berjalan lancar dengan adanya KKN, dan (3) Kelompok pengikut kelompok lain yang lebih dominan. Berdasarkan struktur situasi di atas, hasil atau outcome yang potensial mungkin terjadi ada 3 (tiga) kemungkinan, yaitu: (1) proses penyusunan dan pengesahan rencana kerja berjalan lancar tanpa adanya KKN, (2) proses penyusunan dan

58 37 pengesahan rencana kerja berjalan tidak lancar karena tidak ada KKN, atau (3) proses penyusunan dan pengesahan rencana kerja berjalan lancar karena ada KKN. Berdasarkan data hasil penelitian KPK (2013) di atas maka dapat disimpulkan bahwa outcome yang saat ini sering terjadi adalah yang nomor 3, yaitu proses penyusunan dan pengesahan rencana kerja berjalan lancar disertai dengan adanya praktek-praktek KKN. Berdasarkan uraian di atas, pemanfaatan hutan di KPHP TBS baik pada arena aksi perijinan maupun pada arena aksi penyusunan dan pengesahan rencana kerja IUPHHK-HTI cenderung banyak diwarnai oleh terjadinya praktek-praktek KKN. Terjadinya praktek-praktek KKN ini selain karena telah menjadi bagian dari budaya birokrasi Indonesia, juga sebagai efek dari adanya wewenang yang disalahgunakan dan terdapatnya peluang untuk melakukan praktek-praktek tersebut. Banyaknya ijin konsesi pada wilayah KPH, pada situasi pengawasan dan penegakan hukum yang lemah, cenderung menjadi lahan subur bagi terjadinya praktek-praktek KKN. Telaah yang lebih komprehensif tentang fenomena KKN di Indonesia antara lain dikemukakan oleh Martini (2012). Menurut Martini, penyebab korupsi bervariasi di setiap negara dan akan tergantung pada kebijakan nasional, sejarah, tradisi birokrasi, dan pembangunan politik. Korupsi juga berkorelasi dengan PDB yang rendah, ketimpangan pendapatan, inflasi, dan kurangnya kompetisi. Demikian juga, korupsi berkorelasi dengan sejumlah faktor struktural dan institusional seperti ukuran pemerintah, tingkat dan bentuk desentralisasi, kualitas regulasi, administrasi pelayanan publik, hak-hak sipil dan politik. Martini menyebutkan sejumlah penyebab terjadinya korupsi di Indonesia, sebagai berikut: Aspek sejarah, dimana Indonesia telah melewati masa yang panjang di bawah kekuasaan rezim otoriter orde baru. Ketika Presiden Soeharto memerintah, dalam rangka memperoleh dukungan ia memastikan bahwa saudara-saudaranya, teman-teman dari komunitas bisnis, dan pejabat militer senior, diberikan fasilitasi untuk monopoli, kontrak pasokan eksklusif, dan keringanan pajak. Salah satu alasan mengapa reformasi pada isu-isu korupsi berjalan sangat lambat hingga saat ini antara lain karena telah tertanamnya kelembagaan budaya patronase ini. Sistem pemilihan langsung untuk memilih gubernur, bupati/walikota dan anggota DPRD juga membawa tantangan tersendiri untuk pengendalian korupsi. Tingginya biaya kampanye pemilu telah mendorong kandidat untuk mencari dukungan dari sektor swasta atau penyalahgunaan dana dan sumber daya publik. Upah pegawai pemerintah yang rendah mengakibatkan penurunan efisiensi dan produktivitas sektor publik dan menciptakan insentif dan kesempatan untuk korupsi. Independensi dan kualitas peradilan juga berkorelasi dengan tingkat korupsi. Sistem hukum dan peradilan yang tidak efektif dapat menghambat semua upaya untuk membuat pemerintah lebih transparan dan bertanggung jawab kepada warganya. Peradilan di Indonesia dinilai sebagai salah satu lembaga yang paling korup. Kelimpahan sumber daya alam di negara berkembang, dapat menjadi penyebab korupsi karena menciptakan peluang lebih lanjut untuk pemburuan rente ketika

59 38 mekanisme penegakan hukum tidak memadai. Kekayaan sumberdaya hutan Indonesia dan kurangnya transparansi dan akuntabilitas terkait dengan eksploitasi sumber daya hutan, telah membuat sektor ini sangat rentan terhadap korupsi. Selain itu, banyaknya persyaratan (baik di tingkat nasional, provinsi atau di tingkat kabupaten/kota) yang diperlukan untuk mengoperasikan konsesi hutan, memberikan banyak kesempatan untuk terjadinya korupsi. Perusahaan dilaporkan sering harus membayar suap untuk mempercepat prosedur atau untuk menyelesaikan suatu urusan. Kajian KPK (2013) menunjukkan bahwa di dalam seluruh mata rantai perizinan kehutanan mulai dari pengurusan izin, perencanaan hutan, pelaksanaan produksi, tata niaga hasil hutan, serta pengawasan dan pengendalian perizinan, terdapat biaya suap/peras (Gambar 10). PERIZINAN DAN PENYIAPAN KAWASAN RENTE IZIN Persiapan permohonan Permohonan Penilaian Tata Batas Izin IIUP TATA USAHA PRODUKSI HASIL HUTAN KAYU Working Area IHMB RKU LHP RKT LHC RENTE HASIL HUTAN KAYU TATA USAHA PENGANGKUTAN DR-PSDH SKSKB Indikasi state capture Potensi suap, pemerasan, penjualan pengaruh EVALUASI & WASDAL Sertifikasi PHPL/LK Pengalihan Izin&Saham Sanksi Administratif Sanksi Pidana Rekonsiliasi PNBP Gambar 10 Rantai perijinan usaha kehutanan dan titik-titik terjadinya suap/peras (Sumber: KPK 2013) Situasi Aksi dan Partisipan Dalam Pemanfaatan Hutan di Wilayah KPHL Rinjani Barat. Jumlah total ijin pemanfaatan hutan di wilayah kerja KPHL Rinjani ada 8 (delapan) buah, yaitu ijin HKm (6 buah), ijin IUPHHK-HTI kayu bakar (1 buah), dan ijin KHDTH (1 buah). Dengan demikian jenis ijin pemanfaatan hutan yang dominan adalah ijin HKm. Partisipan utama yang terlibat dalam arena aksi HKm di satu pihak adalah aparatur pemerintah (unsur pusat dan daerah) dan di pihak lain para petani anggota HKm. Secara skematis bentukbentuk hubungan antara pemerintah dengan pemegang ijin HKm dapat dilihat pada Gambar 11. Gambar tersebut menunjukan proses Tata Cara Pemberian Ijin HKm sekaligus dengan Penyusunan dan Pengesahan Rencana Kerja HKm sebagaimana diatur di dalam Permenhut No. P.37/2007 jo. P.18/2009 jo. P.13/2010 jo. P.52/2011 tentang Hutan Kemasyarakatan.

60 39 Masyarakat sbg pemohon KPH Dishut Kab/Kota Bupati / Walikota Dishut Provinsi Gubernur BPDAS UPT terkait Menteri Kehutanan Tim Verifikasi BPKH Dirjen BPDAS PS Sketsa lokasi Daftar nama yg diketahui oleh Camat dan Kades/Lurah SURAT PERMOHONAN Menerima fasilitasi Koordinasi Surat Permohonan Lanjutan Surat Permohonan: Peta digitasl lokasi skala min 1: Deskripsi wilayah Daftar nama Fasilitasi pembentukan dan penguatan kelembagaan Koordinasi Menentukan calon WA dan fasilitasi permohonan izin Koordinasi Lanjutan Surat Permohonan Verifikasi usulan Laporan hasil verifikasi Menerima atau Menolak Pengecekan lapangan Sebagai PJ Tim verifikasi Gambar 11 Proses perijinan dan pelayanan rencana kerja HKm berdasarkan Permenhut No. P.37/2007 jo. P.18/2009 jo. P.13/2010 jo. P.52/2011 PEMBERITA HUAN PEMBERITA HUAN MENOLAK Menerima fasilitasi Menerima Izin HKm Membuat Rencana Umum Membuat Rencana Operasional Tembusan Izin HKm Membantu fasilitasi Mengesahkan Menerima penetapan WA HKm Fasilitasi lebih lanjut: Penyusunan rencana kerja Teknologi Diklat Akses pasar Pengembangan usaha Kemitraan usaha Tembusan Izin HKm Pemberian Izin HKm Mengesahkan Menunjuk pejabat pengesah RO Membantu fasilitasi Mengesahkan Menerima penetapan WA HKm Membantu fasilitasi Pemberian Izin HKm Tembusan Izin HKm Mengesahkan Menunjuk pejabat pengesah RO Membantu fasilitasi Membantu fasilitasi Pihak-pihak yg dapat membantu fasilitasi: Perguruan Tinggi, LPPM, LSM, Lembaga Keuangan, Koperasi, BUMN, BUMD, BUMS. Koordinasi dengan Pemkab/Kota Penetapan WA HKm Membantu fasilitasi Tembusan Izin HKm MENERIMA Pembinaan dan pengedalian dalam: Penetapan WA HKm Tembusan Izin HKm Pembinaan dan pengendalian dalam: Pemberian izin HKm Pembinaan dan pengendalian dalam: Pembuatan Renja : Fasilitasi kepada petani HKm

61 40 Struktur situasi aksi pemanfaatan hutan berdasarkan Permenhut No. P.37/2007 jo. P.18/2009 jo. P.13/2010 jo. P.52/2011 tentang Hutan Kemasyarakatan seperti ditampilkan pada Tabel 11 dan karakteristik partisipannya seperti ditampilkan pada Tabel 12. Tabel 11 Situasi aksi pemanfaatan hutan skema Hutan Kemasyarakatan di KPHL RB Partisipan Posisi Jenis Tindakan Tingkat kontrol Ketersediaan Informasi Biaya- Manfaat Dampak yang potensial terjadi 1. Kemenhut 2. Gubernur 3. Bupati 4. Dinas Kehutanan 5. KPH 6. Pemohon/ pemegang ijin HKm (6 ijin) Pemberi ijin lokasi Pembina dan pengendali ijin HKm Pembina dan pengendali rencana kerja Pemberi ijin HKm Fasilitator Pengesah Rencana Umum Fasilitator Pengesah Rencana Operasional Fasilitator Fasilitator Pemohon Pemegang ijin Verifikasi dan menilai usulan calon lokasi (WA) Menetapkan WA Membina dlm pemberian ijin HKm dan pengesahan renja Memberi ijin HKm Melakukan fasilitasi Mengesahkan Rencana Umum Mengesahkan Rencana Operasional Mengajukan permohonan Membuat rencana umum dan renaca operasional Melakukan pemanfaatan hutan pola HKm Tingkat kontrol Kemenhut thd gubernur/bupati dlm hal tindak lanjut pemberian ijin HKm relatif rendah. Tingkat kontrol gubernur/bupati thd usulan penetapan areal kerja oleh Menhut relatif rendah. Tingkat kontrol Kemenhut, gubernur/bupati thd implementasi fasilitasi relative tinggi. Jenis informasi utama dlm HKm adalah: lokasi, status dan fungsi hutan calon lokasi; dan informasi kelompok tani calon petani HKm Informasi tsb relatif mudah disediakan. Informasi no. 1 oleh instansi kehutanan di daerah, no. 2 oleh kantor desa dan kecamataan. Dalam HKm sbg program pmberdayaan masyarakat, pemerintah/ pemda: mengeluarkan biaya-biaya pelayanan dan fasilitasi; mendapatkan manfaat tdk langsung Masyarakat sbg pemegang ijin membiayai pemenuhan persyaratan; mendapatkan hak pemanfaatan hutan pola HKm Ada empat kemungkinan: 1. Proses perijinan dan fasilitasi berjalan lancar 2. Proses perijinan lancar, fasilitasi tidak lancar 3. Proses perijinan tidak lancar, fasilitasi lancar 4. Proses perijinan dan fasiltasi sama-sama tidak lancar. Catatan: pengesahan rencana kerja HKm termasuk ke dlm bentuk fasilitasi pemerintah Tabel 12 Karakteristik para partisipan dalam skema Hutan Kemasyarakatan di KPHL RB Partisipan 1. Kemenhut 2. Gubernur 3. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi 4. Bupati 5. Dinas Kehutanan Kabupaten 6. KPH 7. Kelompok tani HKm : 6 bhn ijin Sumberdaya/ Pengaruh Preferensi terhadap struktur situasi aksi Secara garis besar preferensi partisipan akan terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu: 1. Kelompok yang menginginkan program pemberdayaam masyarakat melalui HKm berjalan lancar tanpa ditunggangi kepentingan pribadi. 2. Kelompok yang membonceng dengan mencari keuntungan pribadi dalam program HKm Cara memproses Informasi Pemerintah: - Informasi calon lokasi digunakan sebagai bahan usulan penetapan WA; - informasi kondisi kelompok tani digunakan sbg bahan penyusunan program kerja (faasilitasi), pelaporan, dan lain-lain. Kelompok tani: - Informasi calon lokasi dan kondisi kelompok tani digunakan sebagai bahan usulan ijin dan penyusunan rencana kerja, pelaporan, dan lain-lain. Keterangan: +++ : tinggi ++ : sedang + : rendah - : tidak ada (Pengukuran persepsional) Kriteria Seleksi Peraturan Interes pribadi Di dalam arena aksi perijinan dan rencana kerja HKm di wilayah kerja KPHL Rinjani Barat, para partisipan utama yang terlibat terdiri dari Kemenhut, Gubernur, Dinas Kehutanan Provinsi, Bupati, Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota, KPH, dan kelompok tani HKm (6 kelompok tani). Hal-hal penting berkaitan dengan arena aksi perijinan dan rencana kerja HKm di wilayah kerja KPHL

62 41 Rinjani Barat sebagaimana digambarkan pada Tabel 11 dan karakteristik partisipan pada Tabel 12 adalah: Bila di dalam perijinan IUPHHK-HTI pengurusan pemenuhan syarat-syarat perijinan dan penyusunan rencana kerja diserahkan sepenuhnya kepada perusahaan (pemohon/pemegang ijin), sementara pada perijinan HKm pemerintah diwajibkan memberikan fasilitasi kepada petani HKm mulai dari tahap penentuan calon lokasi HKm, pembentukan kelembagaan kelompok tani, bimbingan teknologi, pendidikan dan latihan, pengembangan usaha, hingga kepada pemasaran hasil produksi petani HKm (Tanda bintang di dalam Gambar 6 menunjukan titik-titik pemberian fasilitasi oleh pemerintah atau pihak lain). Perbedaan bentuk pelayanan ini disebabkan oleh perbedaan tujuan. Pemberian ijin IUPHHK-HTI oleh pemerintah bertujuan untuk memperoleh pendapatan langsung dari pemanfaatan kayu (dengan menerapkan PSDH, DR, IIUPH, dan lain-lain), sementara pemberian ijin HKm bertujuan untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat. Preferensi partisipan aparatur pemerintah terhadap perijinan HKm secara garis besar akan terbagi ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu (1) kelompok yang menginginkan program pemberdayaam masyarakat melalui HKm berjalan lancar tanpa ditunggangi kepentingan pribadi, dan (2) Kelompok yang kurang peduli dengan perijinan HKm kalau tidak ada (atau kecil) peluangperburuan rente (rent seeking) padanya, namun akan bersemangat apabila ada peluang perburuan rente padanya. Bila dihubungkan dengan preferensi tersebut, dampak (outcome) yang potensial mungkin terjadi ada 4 (empat) kemungkinan, yaitu (1) Proses perijinan HKm dan fasilitasinya berjalan lancar, (2) Proses perijinan lancar, fasilitasi tidak lancar; (3) Proses perijinan tidak lancar, fasilitasi lancar; dan (4) Proses perijinan dan fasiltasi sama-sama tidak lancar. Berdasarkan informasi dari informan KPHL Rinjani Barat, outcome yang lebih sering terjadi adalah outcome nomor 3, yaitu proses perijinan kurang lancar namun fasilitasi berjalan relatif lancar. Pola Interaksi dan Outcomes pada Dua KPH Pola Interaksi Menurut Gillin dan Gillin (1956) interaksi sosial adalah hubunganhubungan antara orang-orang secara individual, antar kelompok orang, dan antar perorangan dengan kelompok. Dalam kamus bahasa Indonesia (situs online), pola artinya adalah gambar, corak, model, sistem, cara kerja, bentuk, dan struktur. Dengan demikian pola interaksi dapat diartikan sebagai corak atau bentuk hubungan-hubungan antara individu dengan individu atau individu dengan kelompok atau kelompok dengan individu. Ostrom sendiri tidak pernah secara khusus membuat definisi pola interaksi. Di dalam beberapa tulisannya, Ostrom kadang menyebut dengan istilah pola interaksi (pattern of interaction), kadangkadang juga menyebutnya dengan istilah pola perilaku (pattern of behavior) 5. Dalam penelitian ini pola interaksi dapat didefinisikan sebagai bentuk agregat perilaku dari para partisipan yang saling berhubungan di dalam arena aksi. 5 Antara lain terdapat pada buku Ostrom, Understanding Institutional Diversity (2005:64) dan pada tulisan lamanya yang berjudul The Formulating of Institutional Analysis ( Ostrom 1985:7).

63 42 Di dalam arena aksi pemanfaatan hutan ada dua kelompok besar yang melakukan interaksi, yaitu unsur pemerintah (pusat daerah) dan unsur perusahaan. Pemerintah berperan sebagai regulator (membuat kebijakan dan peraturan) dan sebagai administratur (menerima permohonan, menilai, memberi rekomendasi/pertimbangan tehnis, memberi izin, mengesahkan rencana kerja, menerima laporan dan pembayaran resmi, memeriksa, melakukan pengawasan dan pengendalian, dan lain-lain). Sementara pihak perusahaan berperan sebagai pemohon (mengurus permohonan ijin) dan pemegang ijin (membuat rencana kerja, melakukan pemanfaatan hutan, melaksanakan ketentuan pengelolaan hutan lestari, membayar kewajiban finansial, dan lain-lain). Idealnya, kedua belah pihak menjalankan peran masing-masing secara jujur, profesional, dan bertanggungjawab. Namun secara de facto, adanya hubunganhubungan antara kedua belah pihak seringkali ditunggangi oleh kepentingan pribadi/kelompok yang mendorong kepada terjadinya perilaku illegal, yaitu praktek-praktek KKN. Misalnya Amacher (2012) menyatakan, korupsi bisa diprakarsai oleh pengawas produksi kayu yang dapat disuap oleh pengusaha untuk menghindari denda terkait dengan pembalakan liar. Sementara dilihat dari proses evolusi sistem pemerintahan, Smith et al. (2003) menyatakan bahwa pada periode transisi dari sistem pemerintahan otokrasi menuju demokrasi sangat rentan terhadap berkembangnya korupsi kolusi, karena selama masa transisi institusi penting sistem demokrasi belum berfungsi dengan baik. Dalam mengkritisi kondisi di Indonesia, Utami 6 menyatakan bahwa pengelolaan hutan di Indonesia sarat dengan praktek korupsi yang mengakar dan sistemik, dengan suap sebagai modus utamanya. Korupsi terjadi mulai dari penyusunan peraturan-perundangan, perizinan, proses teknis pemanfaatan hasil hutan, hingga penegakan hukum. Guna membuktikan terjadinya KKN tersebut, pada penelitian ini dikumpulkan data dan informasi dari beberapa sumber tertulis tentang KKN sektor kehutanan di Indonesia. Berdasarkan hasil kajian terhadap bahan-bahan tersebut, dapat disusun bagan alir mengenai celah/potensi, modus operandi, dan bukti-bukti KKN sebagaimana pada Gambar 12. Adanya celah-celah atau peluang terjadinya KKN pada situasi pelaksanaan tata kelola hutan (forestry governance) yang buruk, memunculkan beragam modus operandi praktek-praktek KKN. Kemudian praktek-praktek KKN ini dibuktikan dengan bukti-bukti kejadian KKN, baik berupa hasil penelitian maupun berupa hasil proses-proses hukum di pengadilan. CELAH / POTENSI TERJADINYA KKN MODUS OPERANDI KKN BUKTI-BUKTI KEJADIAN KKN Gambar 12 Alur terjadinya KKN Celah atau Potensi Terjadinya KKN. Pada tahun 2010 KPK melakukan penilaian resiko korupsi pada sektor kehutanan. Menurut UNDP (2013), hasil 6 Utami NH, Project Manager Forest Government Integrity (FGI) Transparency International Indonesia. Pernyataanya dimuat dalam E-Newsletter TI-Indonesia edisi VII Volume VII November 2011.

64 43 kajian tersebut menemukan sejumlah celah mengapa kebijakan hukum pada tingkat nasional maupun lokal sangat rentan disalahgunakan. Pertama, definisi hutan dan batas kawasan hutan yang terdapat didalam beberapa peraturan sangat lemah dan mengandung unsur ketidakpastian. Terutama yang diatur di dalam UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, Peraturan Pemerintah No. 44/2004 tentang Perencanaan Kehutanan, dan Peraturan Menteri Kehutanan No. 50/2009 tentang Status dan Fungsi Kawasan Hutan. Kedua, belum ada satu-kesatuan peta kawasan hutan yang disepakati bersama oleh lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki otoritas pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup maupun pemangku kepentingan lainnya, termasuk masyarakat adat dan lokal. Hal ini mengakibatkan tidak adanya rujukan yang sama bagi semua pihak ketika memberikan izin maupun dalam menyelesaian sengketa. Celah ketiga adalah adanya ketidakharmonisan atau tumpang tindih satu aturan dengan aturan lain, disamping ada ketidakpastian antara hak-hak masyarakat dan investasi. Sedangkan celah yang keempat adalah terbatasnya kapasitas dan integritas unit pengelola hutan di tingkat tapak. Kapasitas dalam melakukan perencanaan kehutanan dan penguatan unit pengelola hutan pada tingkat lokal, juga dinilai lemah. Selain itu, pemerintah dinilai belum memiliki mekanisme pengawasan dan evaluasi terhadap kinerja pemerintah lokal dalam mengelola, melindungi dan mengawasi kawasan hutan. Celah-celah seperti ini dinilai KPK menimbulkan suasana yang tidak kondusif dan aturan hukum menjadi rentan disalahgunakan. Karenanya KPK menilai setiap aktivitas di kawasan hutan memiliki potensi resiko korupsi yang sangat tinggi. Modus Operandi KKN. Berdasarkan hasil telaah terhadap empat sumber tulisan dari Callister (1999), Tranparency International Indonesia (TII, 2011), Greenomic (2004) dan Jikalahari (2012), modus operandi KKN pada sektor kehutanan di Indonesia dapat dirangkum sebagai berikut: Mengatur zonasi hutan dalam rencana tata ruang (nasional, provinsi dan kabupaten). Menyuap pejabat negara untuk mendapatkan izin dan memuluskan proses. Memperoleh lisensi tanpa kajian teknis atau rekomendasi yang memadai, atau melalui manipulasi data dan analisisnya. Menyuap untuk memanipulasi ketentuan seperti volume maupun diameter tebangan Menyuap untuk menghindari pengawasan dan hukuman atas kontrak konsesi. Membayar petugas pemeriksa atas pelanggaran kepatuhan perusahaan terhadap aturan pengelolaan hutan lestari. Menyuap atas pembiaran praktek penebangan di luar blok tebangan, di luar batas areal konsesi, penebangan di kawasan hutan lindung, Menyuap untuk mungkinkan pengangkutan kayu ilegal, dan lain-lain. Bukti-Bukti KKN. Bukti praktek-praktek KKN di Provinsi Riau dapat ditunjukan antara lain berdasarkan laporan hasil penelitian KPK tentang pengaruh kebijakan terhadap biaya transaksi. Pengumpulan data dilakukan dengan metode focus group discussion (FGD) dan wawancara dengan pelaku usaha yang berasal dari lima provinsi di Indonesia (salah satunya dari Provinsi Riau). FGD dan wawancara dilaksanakan di Bogor pada tanggal 26 Oktober Ringkasan sebagian hasil FGD dan wawancara ditampilkan pada Tabel 13.

65 44 Tabel 13 Pengaruh kebijakan kehutanan terhadap biaya transaksi Pelaksanaan Kebijakan Kehutanan 1. Pencadangan kawasan hutan (SK Menhut No. 6273/2011) 2. Pengurusan izin IUPHHK (Permenhut No. P50/10 jo. P 26/12) Rekomendasi Gubernur/ Bupati 3. Pengesahan rencana kerja tahunan (RKT) (Permenhut No. P56/2009 jo. P24/11) Menetapkan jatah produksi 4. Izin Pemanfaatan Kayu (Permenhut No. P14/11 jo. P.20/13) 5. Monitoring dan pengawasan rutin Pengaruh terhadap Biaya Transaksi Nilai Transaksi Biaya sd Rp 25 juta untuk mendapatkan peta dan arahan lokasi. Rp. 50 sd 100 ribu per ha. Pengesahan bisa sd Rp. 50 juta. Biaya monitoring RKT untuk140 hari kerja x 8 orang. Biaya tim teknis lapangan-nego. Tarif tergantung luas dan jenis kayu. Membayar biaya perjalanan dan akomodasi tim Pengaruh kebijakan terhadap biaya transaksi diukur dengan kisaran skor dari -5 (berarti sangat menurunkan biaya transaksi) sampai +5 (berarti menaikan biaya transaksi). Angka pada sel-sel yang diberi shading menunjukkan jumlah informan yang menyatakan pendapatnya. Data pada Tabel 13 mengindikasikan pelaksanaan lima jenis kebijakan kehutanan cenderung menaikan biaya transaksi. Jenis dan besarnya biaya transaksi, misalnya untuk pengurusan pencadangan kawasan, biaya tidak resmi yang dikeluarkan perusahaan untuk mendapatkan informasi dan peta sampai Rp. 25 juta. Biaya untuk mendapatkan pertimbangan dari Bupati dan rekomendasi dari Gubernur sekitar Rp ribu per ha. Biaya monitoring pra penyusunan Rencana Karya Tahunan (RKT), perusahaan menanggung biaya operasional tim pemeriksa sebanyak 140 hari kerja x 8 orang = HOK (Hari Orang Kerja). Total biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk pengesahan satu buah RKT IUPHHK-HTI sekitar Rp. 75 juta. 7 Biaya dalam pengurusan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK), dengan tim teknis (pemeriksa) nilainya dinegosiasikan, sedangkan untuk pengesahan ijinnya ada tarif tertentu berdasarkan luas dan jenis kayu. Kemudian terakhir, untuk kegiatan monitoring dan pengawasan rutin perusahaan juga hampir selalu diminta menanggung biaya perjalanan dan akomodasi para petugas. Bukti lain yang lebih khusus untuk kasus di Provinsi Riau diperoleh dari tulisan Suryadi (2012). Di dalam tulisan tersebut Suryadi mencatat pengakuan sejumlah saksi pada saat persidangan kasus korupsi Burhanuddin Husin di 7 Informasi dari mahasiswa S3 Pascasarjana IPB Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan yang sedang melakukan penelitian biaya transaksi antara perusahaan pemegang IUPHHK-HTI dan instansi kehutanan daerah di Provinsi Riau.

66 45 pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Pekanbaru tahun Pengakuan para saksi tersebut antara lain: Sandra Wibawa, Ketua Tim Survei RKT PT Seraya Sumber Lestari di Siak, menyatakan bahwa hutan yang disurvei adalah hutan alam dan mendapat uang dari perusahaan sebesar Rp juta untuk semua tim selama survey, dan mendapat uang sebesar Rp. 85 juta setiap pertimbangan teknisnya, khusus untuk tahun 2006 uang yang diterima sebesar Rp. 25 juta. Amrizal, selaku pejabat pengesah laporan hasil produksi Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan untuk perusahaan PT Triomas FDI tahun , dan untuk PT Satria Perkasa pada tahun 2007, menyatakan bahwa hutan yang disahkan adalah hutan alam dan saksi mendapatkan uang dari perusahaan sebesar Rp. 1 juta perbulan selama 3 tahun. Djamalis, selaku pejabat pengesah laporan hasil produksi Dinas Kehutanan Kabupaten Pelelawan, mengatakan di dalam persidangan bahwa ia mengesahkan lapora hasil produksi PT Satria Perkasa Agung pada tahun 2004, PT Mitra Hutani Jaya pada tahun 2005 dan PT Uniseraya pada tahun 2006 dan menyatakan bahwa tiga perusahaan tersebut kayunya merupakan kayu hutan alam. Ia mendapatkan uang dari perusahaan Rp. 500 ribu per sekali jalan dan Rp. 750 ribu per bulan. Abdul Haris, selaku PNS Dinas Kehutanan Kabupaten Siak yang pada saat itu bertugas melakukan pembinaan hasil hutuan, tata usaha kayu, dan pengamanan hasil hutan. Di dalam persidangan menyatakan bahwa hasil survey lapangan diketahui bahwa areal PT Seraya Sumber Lestari masih berupa hutan alam. Saksi mendapatkan uang dari perusahaan sebesar Rp ribu per bulan selama 2 tahun dan ada 29 orang lainnya juga menerima uang (secara rutin). Kemudian bukti terakhir berupa keputusan hukum terhadap enam mantan pejabat di Provinsi Riau yang dihukum karena melakukan tindak pidana korupsi dalam urusan kehutanan sebagaimana ditampilkan pada Tabel 14. Tabel 14 Kasus pidana korupsi kehutanan di Provinsi Riau No Terpidana Kasus hukum Hukuman 1 Syuhada Tasman, Mantan Kadishut Provinsi Riau Mengesahkan RKT IUPHHK 6 perusahaan di Kabupaten Pelalawan. Kerugian negara diperkirakan sebesar Rp 153 miliar. Divonis tanggal 25 April 2012 Hukuman penjara 5 tahun, denda Rp 250 juta Sumber informasi Riau pos, 25 April Asral Rahman, mantan Kadishut Provinsi Riau Menerima suap dan memberikan izin usaha pemanfaatan hutan di Kabupaten Siak dan Kabupaten Pelalawan dengan kerugian negara sekitar Rp 889,2 miliar. Divonis tanggal 5 November 2010 Hukuman penjara 5 tahun dan denda Rp 200 juta Pekanbaru express, 5 November Burhanuddin Husin, Mantan Kadishut Mengesahkan RKT IUPHHK 14 perusahaan di Kabupaten Siak dan Pelalawan. Kerugian Divonis tanggal 24 Oktober 2012 Hukuman penjara 2 tahun 6 bulan, denda Riau pos, 25 Oktober 2012

67 46 No Terpidana Kasus hukum Hukuman Provinsi Riau , juga mantan Bupati Kabupaten Kampar negara diperkirakan sebesar Rp 519 miliar lebih. Rp100 juta Sumber informasi 4 Azmun Jaafar, Mantan Bupati Kabupaten Pelalawan, Menerbitkan IUPHHK- HT pada perusahaan yang dinilai memiliki kedekatan dengan bupati. Kerugian negara diperkirakan sebesar Rp 1,2 triliun. Divonis tanggal 16 September 2008 Hukuman penjara 11 tahun, denda Rp 500 juta Kompas.com, 17 September Arwin As, Mantan Bupati Kabupaten Siak 2 periode, Menerbitkan 5 IUPHHKHT. Kerugian negara diperkirakan sebesar Rp. 301 milyar. Divonis tanggal 22 Desember 2011 Hukuman penjara 4 tahun, denda Rp 200 juta Pekanbaru Tribun, 22 Desember Rusli Zainal, Mantan Gubernur Provinsi Riau 2 periode, Korupsi Dana Pekan Olahraga Nasional (PON) dan kehutanan di Pelalawan dan Siak. Kasus kehutanan berupa penerbitan Bagan Kerja Usaha (BKU) IUPHHKHT untuk sembilan perusahaan di Pelalawan dan Siak pada tahun Kerugian keuangan negara diperkirakan sebesar Rp 265 miliar. Divonis tanggal 12 Maret 2014 Hukuman penjara 14 tahun, denda Rp 1 miliar. Antaranews. com, 12 Maret 2014 Berdasarkan penelusuran melalui internet, diperoleh informasi tiga kasus korupsi kehutanan di Provinsi NTB sebagaimana ditampilkan pada Tabel 15. Tabel 15 Kasus pidana korupsi kehutanan di Provinsi NTB No Terpidana Kasus hukum Hukuman 1 Burhanuddin H. Usman Mantan Kadishut Kabupaten Dompu. Menerbitkan SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan) untuk kayu-kayu illegal. Selain itu juga menggelapkan uang dari pembayaran SKSH tahun Kerugian negara sebesar Rp 147,6 juta. Divonis tahun 2007, hukuman penjara 2 tahun, denda Rp 2,5 juta. Sumber informasi Wajah-koruptor. blogspot.com, 2012 Koran Tempo, 21 Sept Komisaris Bardiono (Wakapolres Kab Membeking pembalakan liar Komisaris Bardiono dicopot dari jabatan Wakapolres dan Koran Tempo, 13 April 2005

68 47 No Terpidana Kasus hukum Hukuman Dompu) dan 3 bintara polisi: Brigadir Ponidi, Brigadir Dua Susan dan Brigadir Dua Frans. Reskrim Polres Dompu. dimutasi. Tiga bintara, dihukum kurungan 21 hari, dimutasi ke daerah pelosok. Sumber informasi 3 Abdul Rahman, Mantan Plt Kadishut Kota Bima Korupsi proyek pengembangan Hutan Rakyat pola Agroforestri tahun Kerugian negara sekitar Rp. 106,8 juta. (Tidak diperoleh keterangan lebih lanjut) Sumbawanews, 20 November 2008 Dalam pemanfaatan hutan, dapat dilihat terdapat perbedaan situasi aksi yang dihadapi oleh para partisipan antara di KPHP TBS dan KPHL RB. Pada wilayah kerja KPHP TBS yang didominasi oleh jenis ijin IUPHHK-HTI, dimana peluang perburuan rente lebih besar, sehingga pola interaksi yang terbentuk adalah menguatnya hubungan-hubungan KKN antara aparatur pemerintah dengan pihak pengusaha. Sementara di wilayah KPHL RB yang didominasi oleh ijin HKm, dimana peluang perburuan rente ekonomi lebih kecil, maka pola interaksi yang terbentuk lebih diwarnai oleh hubungan-hubungan fasilitasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat bagi petani peserta HKm. Perilaku korup pada sektor kehutanan telah mewabah hampir di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini antara lain dapat dibuktikan dari hasil penelitian KPK pada akhir tahun Demikian juga hasil kajian UNDP tahun 2012 memberi indikasi ke arah yang sama, dengan masih rendahnya indeks prinsip akuntabilitas dalam tata kelola hutan. Secara khusus berlangsungnya praktekpraktek KKN di Provinsi Riau telah dibuktikan dengan pengakuan sejumlah saksi dalam persidangan kasus korupsi, juga telah divonisnya sejumlah pejabat mantan kepala dinas kehutanan provinsi, mantan bupati, dan mantan gubernur. Bukti-bukti tersebut mendukung teori yang dikemukakan oleh para ahli, khususnya dari Jain yang menyatakan bahwa korupsi terjadi karena adanya tiga keadaan, yaitu pertama, adanya peluang pemburuan rente yang inheren dengan alokasi kekuasaan atau wewenang yang diatur dalam peraturan, kedua, aparatur yang korup memiliki keleluasaan atau independensi di dalam struktur administrasi pemerintahan, dan ketiga, lemah dan tidak efektifnya lembaga-lembaga publik yang bertugas untuk mengendalikan KKN. Peluang terjadinya praktek-praktek KKN akan lebih besar terjadi pada situasi aksi yang menyediakan peluang yang lebih besar dibanding situasi aksi yang lainnya. Peluang di sini dapat berupa kewenangan tertentu yang melekat pada jabatan atau posisi tertentu pada aparatur pemerintah, kurangnya pengawasan, lemahnya penegakan hukum, dan di sisi lain adanya peluang ekonomi yang bisa dibangkitkan dengan menggunakan penyalahgunaan kewenangan tersebut (potensi suap dari perusahaan untuk memperlancar urusan, uang damai, dan sebagainya).

69 48 Dampak (Outcomes) Hasil atau dampak (outcomes) adalah dampak-dampak yang terjadi sebagai akibat dari interaksi para partisipan di dalam arena aksi. Dampak yang dinilai di sini adalah dampak pola interaksi para partisipan terhadap penguatan atau pelemahan nilai-nilai atau prinsip-prinsip yang dapat didekati dengan nilai indeks tata kelola hutan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola hutan. Pada tahun 2012 UNDP melakukan kajian kondisi tata kelola hutan, lahan dan REDD+ dalam skala wilayah yang cukup luas di Indonesia. Penilaian dilakukan pada 31 lokasi yang tersebar di tingkat nasional, 10 tingkat provinsi dan 20 tingkat kabupaten. Pemilihan provinsi didasarkan kepada jumlah luas kawasan hutan yang dimiliki oleh masing-masing provinsi dan kemudian dipilih sepuluh provinsi yang memiliki jumlah luas kawasan hutan yang lebih besar dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia. Sementara dua kabupaten di masing-masing provinsi dipilih berdasarkan tingkat kerentanan ekologi, ekonomi dan jumlah desa atau masyarakat yang tingga di dalam kawasan hutan. Laporan hasil kajiannya antara lain menyajikan indeks tata kelola hutan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola hutan (lihat Gambar 13). Hasil kajian menunjukan, secara keseluruhan indeks tata kelola berdasarkan prinsip berada pada angka 2,35 dari kisaran nilai indeks 0,00 5,00. Skor 2,35 berasal dari nilai agregat pusat 2,71, lalu nilai agregat rata-rata provinsi 2,36, dan nilai agregat kabupaten 1,98. Nilai indeks tata kelola hutan, lahan, dan REDD+ berdasarkan prinsip tersebut masih di bawah nilai tengah yaitu nilai 3. 5,00 4,00 3,00 2, ,45 2,35 2,34 2,32 2,26 1,98 1,00 0,00 Transparansi Partisipas Indeks Keadilan Keseluruhan Kapabilitas Akuntabilitas Efektivitas Gambar 13 Indeks tata kelola hutan, lahan dan REDD+ secara nasional berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola Indeks prinsip yang paling tinggi ditempati oleh prinsip transparansi dengan skor 2,67. Tingginya nilai indeks transparansi disumbang oleh sejumlah kerangka hukum, antara lain didorong dengan keluarnya UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Namun demikian, membaiknya indikator prinsip transparansi belum berimplikasi secara signifikan terhadap membaiknya indikator akuntabilitas dan efektifitas.

Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor J u l i

Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor J u l i Oleh: Eno Suwarno (E161090031) Komisi Pembimbing: Prof Dr Ir Hariadi Kartodihardjo, MS (Ketua) Dr Ir Lala M Kolopaking, MS (Anggota) Dr Ir Sudarsono Soedomo, MS (Anggota) Program Studi Ilmu Pengelolaan

Lebih terperinci

RINGKASAN DISERTASI. ANALISIS KELEMBAGAAN PROSES OPERASIONALISASI KPH: STUDI KASUS KPHP TASIK BESAR SERKAP DI PROVINSI RIAU Oleh: ENO SUWARNO

RINGKASAN DISERTASI. ANALISIS KELEMBAGAAN PROSES OPERASIONALISASI KPH: STUDI KASUS KPHP TASIK BESAR SERKAP DI PROVINSI RIAU Oleh: ENO SUWARNO 1 RINGKASAN DISERTASI ANALISIS KELEMBAGAAN PROSES OPERASIONALISASI KPH: STUDI KASUS KPHP TASIK BESAR SERKAP DI PROVINSI RIAU Oleh: ENO SUWARNO 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Ditinjau dari perspektif ilmu

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN 1 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI (KPHP) MODEL LALAN KABUPATEN MUSI BANYUASIN PROVINSI SUMATERA SELATAN Tesis Untuk memenuhi sebagian persyaratan Mencapai derajat

Lebih terperinci

(KPH) Peraturan terkait Kesatuan Pengelolaan Hutan

(KPH) Peraturan terkait Kesatuan Pengelolaan Hutan KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN DIREKTORAT WILAYAH PENGELOLAAN DAN PENYIAPAN AREAL PEMANFAATAN KAWASAN HUTAN Peraturan terkait Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) COOPERATION

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Seluruh kawasan hutan yaitu hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi

TINJAUAN PUSTAKA. Seluruh kawasan hutan yaitu hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) 1. Pembentukan Wilayah KPH Seluruh kawasan hutan yaitu hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi harus dilaksanakan proses pembentukan

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN DIREKTORAT WILAYAH PENGELOLAAN DAN PENYIAPAN AREAL PEMANFAATAN KAWASAN HUTAN

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN DIREKTORAT WILAYAH PENGELOLAAN DAN PENYIAPAN AREAL PEMANFAATAN KAWASAN HUTAN KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN DIREKTORAT WILAYAH PENGELOLAAN DAN PENYIAPAN AREAL PEMANFAATAN KAWASAN HUTAN RINGKASAN Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Konsep,

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN DIREKTORAT WILAYAH PENGELOLAAN DAN PENYIAPAN AREAL PEMANFAATAN KAWASAN HUTAN

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN DIREKTORAT WILAYAH PENGELOLAAN DAN PENYIAPAN AREAL PEMANFAATAN KAWASAN HUTAN KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN DIREKTORAT WILAYAH PENGELOLAAN DAN PENYIAPAN AREAL PEMANFAATAN KAWASAN HUTAN RINGKASAN Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Konsep,

Lebih terperinci

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang PENDAHULUAN BAB A. Latar Belakang Pemerintah telah menetapkan bahwa pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjadi salah satu prioritas nasional, hal tersebut tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA)

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

PERAN STRATEGIS KPH. Oleh : M.Rizon, S.Hut, M.Si (KPHP Model Mukomuko) Presentasi Pada BAPPEDA Mukomuko September 2014

PERAN STRATEGIS KPH. Oleh : M.Rizon, S.Hut, M.Si (KPHP Model Mukomuko) Presentasi Pada BAPPEDA Mukomuko September 2014 PERAN STRATEGIS KPH Oleh : M.Rizon, S.Hut, M.Si (KPHP Model Mukomuko) Presentasi Pada BAPPEDA Mukomuko September 2014 KONDISI KPHP MODEL MUKOMUKO KPHP MODEL MUKOMUKO KPHP Model Mukomuko ditetapkan dengan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA PENGELOLAAN HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

this file is downloaded from

this file is downloaded from - 73 - g. pemegang IPHHK yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf b angka 2), Pasal 77 ayat (1) huruf c, huruf d, atau huruf e, dengan keharusan membayar

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN KPH

PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN KPH KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DITJEN PLANOLOGI KEHUTANAN DAN TATA LINGKUNGAN PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN KPH (Memperkuat KPH dalam Pengelolaan Hutan Lestari untuk Pembangunan Nasional / daerah

Lebih terperinci

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA 4.1. Landasan Berfikir Pengembangan SRAP REDD+ Provinsi Papua Landasan berpikir untuk pengembangan Strategi dan Rencana Aksi (SRAP) REDD+ di Provinsi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN

Lebih terperinci

REFLEKSI PEMBANGUNAN BIDANG KEHUTANAN DIKEPEMIMPINAN GUBERNUR JAMBI BAPAK Drs. H. HASAN BASRI AGUS, MM

REFLEKSI PEMBANGUNAN BIDANG KEHUTANAN DIKEPEMIMPINAN GUBERNUR JAMBI BAPAK Drs. H. HASAN BASRI AGUS, MM REFLEKSI PEMBANGUNAN BIDANG KEHUTANAN DIKEPEMIMPINAN GUBERNUR JAMBI BAPAK Drs. H. HASAN BASRI AGUS, MM Provinsi Jambi mempunyai Luas Wilayah daratan 4.882.857 ha. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan

Lebih terperinci

PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI. (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi)

PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI. (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi) PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi) RONALD FRANSISCO MARBUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

IMPLIKASI TERBITNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TERHADAP PEMBANGUNAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN DI PROVINSI RIAU

IMPLIKASI TERBITNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TERHADAP PEMBANGUNAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN DI PROVINSI RIAU IMPLIKASI TERBITNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TERHADAP PEMBANGUNAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN DI PROVINSI RIAU Eno Suwarno, Ambar Tri Ratnaningsih, Enny Insusanty Staf Pengajar Fakultas Kehutanan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengelolaan hutan lestari dibangun dari 3 (tiga) aspek pengelolaan yang berhubungan satu dengan lainnya, yaitu aspek produksi, aspek ekologi dan aspek sosial. Ketiga aspek

Lebih terperinci

Policy Brief. Skema Pendanaan Perhutanan Sosial FORUM INDONESIA UNTUK TRANSPARANSI ANGGARAN PROVINSI RIAU. Fitra Riau

Policy Brief. Skema Pendanaan Perhutanan Sosial FORUM INDONESIA UNTUK TRANSPARANSI ANGGARAN PROVINSI RIAU. Fitra Riau Skema Pendanaan Perhutanan Sosial FORUM INDONESIA UNTUK TRANSPARANSI ANGGARAN PROVINSI RIAU Fitra Riau 1 Skema Pendanaan Perhutanan Sosial SKEMA PENDANAAN PERHUTANAN SOSIAL LANDASAN KEBIJAKAN (HUKUM) Banyak

Lebih terperinci

KEBUTUHAN SARANA DAN PRASARANA OPERASIONALISASI KPH

KEBUTUHAN SARANA DAN PRASARANA OPERASIONALISASI KPH KEBUTUHAN SARANA DAN PRASARANA OPERASIONALISASI KPH Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Disampaikan pada Sosialisasi DAK Bidang Kehutanan Tahun 2014 Jakarta, 6 Februari 2014 Mandat Perundang-undangan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA

Lebih terperinci

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK Studi Kasus di Desa Sungai Langka Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung INDRA GUMAY

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DIREKTUR JENDERAL PENGENDALIAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN HUTAN LINDUNG,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DIREKTUR JENDERAL PENGENDALIAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN HUTAN LINDUNG, 1 PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PENGENDALIAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN HUTAN LINDUNG NOMOR P.7/PDASHL/SET/KUM.1/11/2016 TENTANG STANDAR OPERASIONALISASI KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN - 1 - PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN Jakarta, Juni 2012 KATA PENGANTAR Buku ini merupakan penerbitan lanjutan dari Buku Statistik Bidang Planologi Kehutanan tahun sebelumnya yang

Lebih terperinci

SERKAP DI PROVINSI RIAU

SERKAP DI PROVINSI RIAU Bab 5 ANALISIS KELEMBAGAAN OPERASIONALISASI KPHP TASIK BESAR Tujuan SERKAP DI PROVINSI RIAU Mendeskripsikan kondisi arena aksi yang menyebabkan terjadinya kelambatan beroperasinya organisasi KPHP TBS.

Lebih terperinci

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Iman Santosa T. (isantosa@dephut.go.id) Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan

Lebih terperinci

BAB II. PERENCANAAN KINERJA

BAB II. PERENCANAAN KINERJA BAB II. PERENCANAAN KINERJA A. Rencana Strategis Organisasi Penyelenggaraan pembangunan kehutanan di Sumatera Selatan telah mengalami perubahan paradigma, yaitu dari pengelolaan yang berorientasi pada

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

I. INVESTOR SWASTA. BISNIS: Adalah Semua Aktifitas Dan Usaha Untuk Mencari Keuntungan Dengan

I. INVESTOR SWASTA. BISNIS: Adalah Semua Aktifitas Dan Usaha Untuk Mencari Keuntungan Dengan A R L A N OUTLINE I. INVESTOR SWASTA... II. RESTORASI EKOSISTEM (RE) III. KEBIJAKAN RE DI HUTAN PRODUKSI (HP) IV. PROSES PERIZINAN RE - HP V. PENUTUP VI. ILUSTRASI : PERHITUNGAN INVESTASI I. INVESTOR SWASTA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

Memperhatikan pokok-pokok dalam pengelolaan (pengurusan) hutan tersebut, maka telah ditetapkan Visi dan Misi Pembangunan Kehutanan Sumatera Selatan.

Memperhatikan pokok-pokok dalam pengelolaan (pengurusan) hutan tersebut, maka telah ditetapkan Visi dan Misi Pembangunan Kehutanan Sumatera Selatan. BAB II. PERENCANAAN KINERJA A. Rencana Strategis Organisasi Penyelenggaraan pembangunan kehutanan di Sumatera Selatan telah mengalami perubahan paradigma, yaitu dari pengelolaan yang berorientasi pada

Lebih terperinci

KRITERIA CALON AREAL IUPHHK-RE DALAM HUTAN PRODUKSI

KRITERIA CALON AREAL IUPHHK-RE DALAM HUTAN PRODUKSI KRITERIA CALON AREAL IUPHHK-RE DALAM HUTAN PRODUKSI Disampaikan : Direktur Bina Rencana Pemanfaatan dan Usaha Kawasan Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan Kementerian Kehutanan pada FGD II KRITERIA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.46/Menhut-II/2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.46/Menhut-II/2013 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.46/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENGESAHAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA MOR : P.25/Menhut-II/2013 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG KEHUTANAN TAHUN 2013 KEPADA 33 GUBERNUR PEMERINTAH PROVINSI

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

OPTIMALISASI PEMANFAATAN HUTAN

OPTIMALISASI PEMANFAATAN HUTAN OPTIMALISASI PEMANFAATAN HUTAN Direktur Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan Disampaikan pada Acara Gelar Teknologi Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 12 Mei 2014

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN GROBOGAN SEBAGAI SENTRA PRODUKSI SAPI POTONG SKRIPSI DREVIAN MEITA HARDYASTUTI

STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN GROBOGAN SEBAGAI SENTRA PRODUKSI SAPI POTONG SKRIPSI DREVIAN MEITA HARDYASTUTI STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN GROBOGAN SEBAGAI SENTRA PRODUKSI SAPI POTONG SKRIPSI DREVIAN MEITA HARDYASTUTI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

2 Pemberantasan Korupsi Tahun 2013, maka perlu pengaturan kembali mengenai Tata Cara Pemberian dan Peluasan Areal Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil H

2 Pemberantasan Korupsi Tahun 2013, maka perlu pengaturan kembali mengenai Tata Cara Pemberian dan Peluasan Areal Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil H No.688, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUT. Izin Usaha. Pemanfaatan. Hutan Kayu. Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.31/Menhut-II/2014 TENTANG TATA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.7/Menhut-II/2010P. /Menhut-II/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.7/Menhut-II/2010P. /Menhut-II/2009 TENTANG Draft 10 November 2008 Draft 19 April 2009 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.7/Menhut-II/2010P. /Menhut-II/2009 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG

Lebih terperinci

SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA PEMBUKAAN RAPAT KOORDINASI TEKNIS PEMBANGUNAN KEHUTANAN BIDANG BINA PRODUKSI KEHUTANAN (Jakarta, 14 Juli 2010)

SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA PEMBUKAAN RAPAT KOORDINASI TEKNIS PEMBANGUNAN KEHUTANAN BIDANG BINA PRODUKSI KEHUTANAN (Jakarta, 14 Juli 2010) SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA PEMBUKAAN RAPAT KOORDINASI TEKNIS PEMBANGUNAN KEHUTANAN BIDANG BINA PRODUKSI KEHUTANAN (Jakarta, 14 Juli 2010) Para pejabat Eselon I dan II Lingkup Dephut yang saya hormati,

Lebih terperinci

MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : SK.635/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG PENETAPAN LOKASI FASILITASI PADA

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

VISI, MISI & SASARAN STRATEGIS

VISI, MISI & SASARAN STRATEGIS VISI, MISI & SASARAN STRATEGIS BADAN LITBANG KEHUTANAN 2010-2014 V I S I Menjadi lembaga penyedia IPTEK Kehutanan yang terkemuka dalam mendukung terwujudnya pengelolaan hutan lestari untuk kesejahteraan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Kampus IPB Dramaga Bogor, Indonesia; Diterima 10 Pebruari 2014 direvisi 28 September 2014 disetujui 28 Januari 2015

Kampus IPB Dramaga Bogor, Indonesia;   Diterima 10 Pebruari 2014 direvisi 28 September 2014 disetujui 28 Januari 2015 PENGGUNAAN KONSEP RULES-IN-USE OSTROM DALAM ANALISIS PERATURAN PEMBENTUKAN ORGANISASI KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN (The Use of Ostrom s Concept on Rules-in-Use in the Analysis of Regulation of Forest Management

Lebih terperinci

LEMBAR JUDUL LEMBAR PENGESAHAN ABSTRAK ABSTRACT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR

LEMBAR JUDUL LEMBAR PENGESAHAN ABSTRAK ABSTRACT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR ABSTRAK Dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi, disebutkan bahwa tugas dosen berkaitan dengan pelaksanaan tiga hal utama yaitu pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat. Karenanya kinerja dosen dalam

Lebih terperinci

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH (Kasus Program Community Development Perusahaan Star Energy di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Anambas) AKMARUZZAMAN

Lebih terperinci

PENATAAN KORIDOR RIMBA

PENATAAN KORIDOR RIMBA PENATAAN KORIDOR RIMBA Disampaikan Oleh: Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Dalam acara Peluncuran Sustainable Rural and Regional Development-Forum Indonesia DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2012 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2012 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG KEHUTANAN TAHUN 2012 KEPADA 33 GUBERNUR PEMERINTAH PROVINSI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hutan dan hasil hutan dengan tujuan untuk memperoleh manfaat sebesar-besarnya

I. PENDAHULUAN. hutan dan hasil hutan dengan tujuan untuk memperoleh manfaat sebesar-besarnya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penguasaan hutan oleh negara memberi wewenang kepada Pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan dengan

Lebih terperinci

Kebijakan Fiskal Sektor Kehutanan

Kebijakan Fiskal Sektor Kehutanan Kebijakan Fiskal Sektor Kehutanan Prof. Dr. Singgih Riphat Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan PENYUMBANG EMISI CO 2 TERBESAR DI DUNIA Indonesia menempati urutan ke 16 dari 25 negara penyumbang

Lebih terperinci

RENCANA KEHUTANAN TINGKAT NASIONAL (RKTN)

RENCANA KEHUTANAN TINGKAT NASIONAL (RKTN) PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P. 49/MENHUT-II/2011 RENCANA KEHUTANAN TINGKAT NASIONAL (RKTN) 2011-2030 Disampaikan Oleh : SEKJEN KEMENTERIAN KEHUTANAN Pada Acara Roundtable on Greening the National

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 958, 2013 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kemitraan Kehutanan. Masyarakat. Pemberdayaan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.39/MENHUT-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN

Lebih terperinci

SUMATERA BARAT, SEBAGAI JANTUNG SUMATERA UNTUK PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI SKEMA HUTAN NAGARI DAN HKM, DAN KAITANNYA DENGAN SKEMA PENDANAAN KARBON

SUMATERA BARAT, SEBAGAI JANTUNG SUMATERA UNTUK PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI SKEMA HUTAN NAGARI DAN HKM, DAN KAITANNYA DENGAN SKEMA PENDANAAN KARBON SUMATERA BARAT, SEBAGAI JANTUNG SUMATERA UNTUK PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI SKEMA HUTAN NAGARI DAN HKM, DAN KAITANNYA DENGAN SKEMA PENDANAAN KARBON KKI WARSI LATAR BELAKANG 1. Hutan Indonesia seluas + 132,9

Lebih terperinci

PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA

PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA 5 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.36/MENHUT-II/2013 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Firdaus, 2012). Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilakukan pada

BAB I PENDAHULUAN. (Firdaus, 2012). Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilakukan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam PP No. 6 Tahun 2007 Pasal 1 angka 1, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) diartikan sebagai wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN SISTEM MONITORING DAN EVALUASI PROYEK AGROINDUSTRI JAMBU METE NAPISMAN

PENGEMBANGAN SISTEM MONITORING DAN EVALUASI PROYEK AGROINDUSTRI JAMBU METE NAPISMAN PENGEMBANGAN SISTEM MONITORING DAN EVALUASI PROYEK AGROINDUSTRI JAMBU METE NAPISMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAITESISDANSUMBER INFORMASI Dengan inimenyatkan

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 61/Menhut-II/2008 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 61/Menhut-II/2008 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 61/Menhut-II/2008 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU RESTORASI EKOSISTEM DALAM HUTAN ALAM PADA HUTAN PRODUKSI MELALUI

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN AIR BERSIH BERBASIS MASYARAKAT

PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN AIR BERSIH BERBASIS MASYARAKAT PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN AIR BERSIH BERBASIS MASYARAKAT (Studi Kasus di Desa Bumijawa, Kecamatan Bumijawa Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah) YUDO JATMIKO SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 25 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 25 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 25 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI MODEL KOTAWARINGIN

Lebih terperinci

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi Sedang Membuka Rapat Koordinasi Perencanaan Pembangunan Kehutanan Daerah Provinsi Jambi Tahun /10/2014 2

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi Sedang Membuka Rapat Koordinasi Perencanaan Pembangunan Kehutanan Daerah Provinsi Jambi Tahun /10/2014 2 Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi Sedang Membuka Rapat Koordinasi Perencanaan Pembangunan Kehutanan Daerah Provinsi Jambi Tahun 2015 3/10/2014 2 Peserta Rapat Koordinasi Perencanaan Pembangunan Kehutanan

Lebih terperinci

LUAS KAWASAN (ha)

LUAS KAWASAN (ha) 1 2 3 Berdasarkan Revisi Pola Ruang Substansi Kehutanan sesuai amanat UU No 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang mengalami perubahan yang telah disetujui Menteri Kehutanan melalui Keputusan No. 936/Kpts-II/2013

Lebih terperinci

Oleh/By : Triyono Puspitojati ABSTRACT

Oleh/By : Triyono Puspitojati ABSTRACT KELAYAKAN RENCANA STRATEGIS DINAS KEHUTANAN SEBAGAI LANDASAN PENGELOLAAN HUTAN TERPADU (Feasibility of Provincial Forestry Office Strategic Plan as a Guideline for Integrated Forest Management) Oleh/By

Lebih terperinci

MOTIVASI PETANI DALAM MENERAPKAN TEKNOLOGI PRODUKSI KAKAO (KASUS KECAMATAN SIRENJA KABUPATEN DONGGALA, SULAWESI TENGAH) SYAMSYIAH GAFUR

MOTIVASI PETANI DALAM MENERAPKAN TEKNOLOGI PRODUKSI KAKAO (KASUS KECAMATAN SIRENJA KABUPATEN DONGGALA, SULAWESI TENGAH) SYAMSYIAH GAFUR MOTIVASI PETANI DALAM MENERAPKAN TEKNOLOGI PRODUKSI KAKAO (KASUS KECAMATAN SIRENJA KABUPATEN DONGGALA, SULAWESI TENGAH) SYAMSYIAH GAFUR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Dekonsentrasi. Pemerintah. Provinsi.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Dekonsentrasi. Pemerintah. Provinsi. 13, 2009 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Dekonsentrasi. Pemerintah. Provinsi. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.5/Menhut-II/2009 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. NOMOR : P.20/MenLHK-II/2015 TENTANG

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. NOMOR : P.20/MenLHK-II/2015 TENTANG PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA 013 NOMOR : P.20/MenLHK-II/2015 TENTANG FASILITASI BIAYA OPERASIONAL KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN PRIORITAS PEMBANGUNAN KPH

KEBIJAKAN DAN PRIORITAS PEMBANGUNAN KPH KEBIJAKAN DAN PRIORITAS PEMBANGUNAN KPH Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan Disampaikan pada Pembahasan Finalisasi RPI Periode 205-209 Jakarta, 8 Februari 204 OUTLINE:

Lebih terperinci

2011, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik I

2011, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik I BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.407, 2011 KEMENTERIAN KEHUTANAN. IUPHHK. Hutan Tanaman Rakyat. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.55/Menhut-II/2011 TENTANG TATA CARA PERMOHONAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan. langsung (tangible yield) seperti hasil hutan kayu dan hasil hutan non kayu, namun

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan. langsung (tangible yield) seperti hasil hutan kayu dan hasil hutan non kayu, namun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Hutan memberikan peranan yang sangat penting bagi kehidupan umat manusia. Manfaat yang diperoleh dari keberadaan hutan, tidak hanya manfaat langsung (tangible

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

K E P U T U S A N KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN Nomor : SK. 112 /Dik-2/2011

K E P U T U S A N KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN Nomor : SK. 112 /Dik-2/2011 KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN SDM KEHUTANAN PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN K E P U T U S A N KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN Nomor : SK. 112 /Dik-2/2011

Lebih terperinci

2 tentang Fasilitasi Biaya Operasional Kesatuan Pengelolaan Hutan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara

2 tentang Fasilitasi Biaya Operasional Kesatuan Pengelolaan Hutan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.811, 2015 KEMEN-LHK. Biaya Operasional. Kesatuan Pengelolaan Hutan. Fasilitasi. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.20/MenLHK-II/2015

Lebih terperinci

REFLEKSI PEMBANGUNAN BIDANG KEHUTANAN DIKEPEMIMPINAN GUBERNUR JAMBI BAPAK Drs. H. HASAN BASRI AGUS, MM

REFLEKSI PEMBANGUNAN BIDANG KEHUTANAN DIKEPEMIMPINAN GUBERNUR JAMBI BAPAK Drs. H. HASAN BASRI AGUS, MM REFLEKSI PEMBANGUNAN BIDANG KEHUTANAN DIKEPEMIMPINAN GUBERNUR JAMBI BAPAK Drs. H. HASAN BASRI AGUS, MM Provinsi Jambi mempunyai Luas Wilayah daratan 4.882.857 ha. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH SALINAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 37 TAHUN 2015 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PADA DINAS KEHUTANAN PROVINSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sebagai proses perubahan

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sebagai proses perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Komunikasi dan pembangunan merupakan dua hal yang saling berhubungan sangat erat. Pembangunan adalah proses perubahan yang direncanakan untuk memperbaiki berbagai

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PARTISIPASI PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT (Kasus di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah) AMIN FAUZI

PARTISIPASI PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT (Kasus di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah) AMIN FAUZI PARTISIPASI PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT (Kasus di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah) AMIN FAUZI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkeadilan melalui peningkatan

I. PENDAHULUAN. mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkeadilan melalui peningkatan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konsep pembangunan sumber daya hutan sebagai sistem penyangga kehidupan merupakan orientasi sistem pengelolaan hutan yang mempertahankan keberadaannya secara lestari untuk

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Penyelenggaraan. Sistem Informasi.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Penyelenggaraan. Sistem Informasi. No.3, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Penyelenggaraan. Sistem Informasi. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.02/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM INFORMASI KEHUTANAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI BATULANTEH KABUPATEN SUMBAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUMBAWA,

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI PERDA NO 7 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK DAERAH DALAM MENUNJANG OTONOMI DAERAH DI KOTA TANGERANG SELATAN

IMPLEMENTASI PERDA NO 7 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK DAERAH DALAM MENUNJANG OTONOMI DAERAH DI KOTA TANGERANG SELATAN IMPLEMENTASI PERDA NO 7 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK DAERAH DALAM MENUNJANG OTONOMI DAERAH DI KOTA TANGERANG SELATAN TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat S-2 Program Pascasarjana

Lebih terperinci

HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL

HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL (Kasus di Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat) HENDRO ASMORO SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PELEPASAN KAWASAN HUTAN PRODUKSI YANG DAPAT DIKONVERSI UNTUK PEMBANGUNAN DILUAR KEGIATAN KEHUTANAN

KEBIJAKAN PELEPASAN KAWASAN HUTAN PRODUKSI YANG DAPAT DIKONVERSI UNTUK PEMBANGUNAN DILUAR KEGIATAN KEHUTANAN KEBIJAKAN PELEPASAN KAWASAN HUTAN PRODUKSI YANG DAPAT DIKONVERSI UNTUK PEMBANGUNAN DILUAR KEGIATAN KEHUTANAN SOLUSI PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN UNTUK KEGIATAN NON KEHUTANAN Disampaikan oleh : Kementerian

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 7/Menhut-II/2011 TENTANG PELAYANAN INFORMASI PUBLIK DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 7/Menhut-II/2011 TENTANG PELAYANAN INFORMASI PUBLIK DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KEHUTANAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 7/Menhut-II/2011 TENTANG PELAYANAN INFORMASI PUBLIK DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

RENCANA KERJA SATUAN KERJA PERANGKAT ACEH (RENJA-SKPA) BAPEDAL ACEH TAHUN 2015

RENCANA KERJA SATUAN KERJA PERANGKAT ACEH (RENJA-SKPA) BAPEDAL ACEH TAHUN 2015 RENCANA KERJA SATUAN KERJA PERANGKAT ACEH (RENJA-SKPA) BAPEDAL ACEH TAHUN 2015 BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN (BAPEDAL ) Nomor : / /2014 Banda Aceh, Maret 2014 M Lampiran : 1 (satu) eks Jumadil Awal

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN PETA PENETAPAN WILAYAH KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

DEPARTEMEN KEHUTANAN PETA PENETAPAN WILAYAH KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT Lembar 1 116 0'0E 116 20'0E 116 40'0E 117 0'0E 117 20'0E 117 40'0E PETA PENETAPAN WILAYAH KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT Skala 1

Lebih terperinci

2 Pemberantasan Korupsi Tahun 2013, perlu perbaikan dan pemisahan dalam Peraturan tersendiri menyangkut Inventarisasi Hutan Berkala dan Rencana Kerja

2 Pemberantasan Korupsi Tahun 2013, perlu perbaikan dan pemisahan dalam Peraturan tersendiri menyangkut Inventarisasi Hutan Berkala dan Rencana Kerja No. 1327, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUT. Hutan Berkala. Rencana Kerja. Izin. Hasil Hutan. Restorasi Ekosistem. Inventarisasi. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.9/Menhut-II/2011P. /Menhut-II/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.9/Menhut-II/2011P. /Menhut-II/2009 TENTANG Draft 10 vember 2008 Draft 19 April 2009 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.9/Menhut-II/2011P. /Menhut-II/2009 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN 1 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

DATA DAN INFORMASI KEHUTANAN

DATA DAN INFORMASI KEHUTANAN DATA DAN INFORMASI KEHUTANAN Pangkal Pinang 16-17 April 2014 BAGIAN DATA DAN INFORMASI BIRO PERENCANAAN KEMENHUT email: datin_rocan@dephut.go.id PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan pelaksanaan pembangunan

Lebih terperinci

BUPATI ALOR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BUPATI ALOR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR BUPATI ALOR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG MODEL ALOR PANTAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Disampaikan pada acara : Rapat Monitoring dan Evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam Jakarta, 22

Lebih terperinci

Lampiran 1. Daftar Amanat UU yang dijadikan acuan penilaian tingkat respon pemerintah daerah terhadap UU

Lampiran 1. Daftar Amanat UU yang dijadikan acuan penilaian tingkat respon pemerintah daerah terhadap UU 137 Lampiran 1. Daftar Amanat UU yang dijadikan acuan penilaian tingkat respon pemerintah daerah terhadap UU No Amanat pertauran perundang-undangan 1 Mempertahankan kecukupan hutan minimal 30 persen dari

Lebih terperinci

PERAN DAN KOORDINASI LEMBAGA LINTAS SEKTORAL DALAM KONSERVASI SUMBER DAYA AIR (STUDI KASUS DAS GUMBASA KABUPATEN DONGGALA PROVINSI SULAWESI TENGAH)

PERAN DAN KOORDINASI LEMBAGA LINTAS SEKTORAL DALAM KONSERVASI SUMBER DAYA AIR (STUDI KASUS DAS GUMBASA KABUPATEN DONGGALA PROVINSI SULAWESI TENGAH) PERAN DAN KOORDINASI LEMBAGA LINTAS SEKTORAL DALAM KONSERVASI SUMBER DAYA AIR (STUDI KASUS DAS GUMBASA KABUPATEN DONGGALA PROVINSI SULAWESI TENGAH) MUH. ANSAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci