TEKNIK BUDIDAYA TEMBESU

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TEKNIK BUDIDAYA TEMBESU"

Transkripsi

1 TEKNIK BUDIDAYA TEMBESU ASPEK : PERLINDUNGAN SILVIKULTUR STATUS PEMBUDIDAYAAN LINGKUNGAN MANIPULASI LINGKUNGAN GROWTH&YIELD

2 Program : Pengelolaan Hutan Tanaman Judul RPI : Pengelolaan Hutan Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan Koordinator RPI : Drs. Riskan Efendi, MSc. Judul Kegiatan : Teknik Budidaya Tembesu Sub Judul Kegiatan : Aspek Perlindungan Hutan Pelaksana Kegiatan : Ir. Asmaliyah, MSc. Nesti Andriani Abstrak Salah satu permasalahan yang sering dihadapi dalam pembangunan hutan tanaman (HTI, HTR, HR) adalah adanya serangan hama dan penyakit, karena mempunyai jenis yang terbatas bahkan umumnya monokultur. Akibat serangan hama dan penyakit dapat merugikan secara ekonomis. Oleh karena itu kegiatan pengendalian terhadap serangan hama dan penyakit krusial untuk dilakukan. Untuk itu perlu dukungan penelitian karena informasi mengenai jenis hama dan penyakit serta teknik pengendaliannya pada tanaman tembesu belum ada. Mengacu pada keterangan tersebut di atas, maka dalam aspek kegiatan penelitian perlindungan hutan pada tanaman tembesu pada tahun 2010 dilakukan kegiatan inventarisasi dan identifikasi serangan hama dan penyakit pada berbagai hutan tanaman tembesu di wilayah Sumatera Selatan dan mengkaji faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya serangan hama dan penyakti tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : 1) ditemukan 4 jenis hama selain rayap yaitu penggerek pucuk dari famili Gelechidae dan Pyralidae; pemakan daun dari famili Geometridae dan penggerek batang dari famili Gelechidae. 5 jenis patogen, yaitu cendawan Diplodia mutila Fr., Curvularia sp., Pestalotiopsis sp., Fusarium sp., dan Phyllosticta capitalensis; 2) luas serangan rayap meningkat pada tahun 2010 ini, tetapi pertambahannya lebih sedikit dibandingkan pertambahan jumlah tanaman yang terserang pada tahun 2008 dan 2009; 3) luas serangan hama dan penyakit pada jarak tanam yang lebih rapat lebih tinggi; dan 4) Pola tanam tidak mempengaruhi serangan hama dan penyakit. Kata Kunci : hutan tanaman, hama, penyakit, jarak tanam, pola tanam. Ringkasan A. Latar Belakang Salah satu kendala teknis yang sering dihadapi dalam pembangunan hutan tanaman adalah ancaman adanya serangan hama dan penyakit, karena hutan tanaman umumnya dibangun secara monokultur atau dengan jenis yang terbatas. Serangan hama dan penyakit dapat mengakibatkan kerugian secara ekonomis, karena dapat menyebabkan kematian tanaman, pertumbuhan tanaman terganggu, menurunnya kualitas dan kuantitas tanaman. Untuk mengantisipasi agar kondisi ini tidak terjadi, secara dini tindakan pengendalian sudah harus dilakukan, agar perkembangan populasi hama dan penyakit dapat ditekan sehingga keberadaan hama tidak sampai menyebabkan kerusakan berat. Tindakan pengendalian akan berhasil dan efektif, apabila jenis serangga hama dan patogen penyebab penyakitnya yang menyerang tanaman diketahui, Selain itu luas serangan dan tingkat kerusakan tanaman akibat serangan hama dan 2

3 penyakit juga perlu diketahui untuk menentukan status dan potensinya. Hasil penelitian sebelumnya telah diketahui jenis rayap yang menyerang tanaman tembesu yaitu Nasutitermes matangensis (Isoptera; Termitidae). Serangan rayap ini sudah cukup meluas, karena itu perlu segera dicari solusi untuk penanggulangannya. Oleh karena itu perlu dukungan research, karena sampai saat ini laporan tentang jenis rayap yang menyerang tanaman tembesu dan pengendaliannya belum ada. Sehubungan dengan hal tersebut, maka mulai tahun 2010 telah dilakukan kegiatan penelitian berupa inventarisasi dan identifikasi hama dan penyakit pada tanaman tembesu, pengamatan terhadap luas serangan dan tingkat kerusakannya serta faktor-faktor yang menyebabkan timbul dan berkembangnya hama dan penyakit tersebut. Data dan informasi ini diperlukan untuk mengetahui jenis hama dan penyakit potensial lainnya pada tanaman tembesu serta untuk merancang suatu model Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang efektif, efisien dan aman. B. Tujuan dan Sasaran Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan teknik PHT yang efektif, efisien dan berwawasan lingkungan, yang dapat digunakan sebagai alternatif untuk kegiatan pengendalian dalam rangka pengelolaan hutan tanaman, khususnya kayu tembesu. Sedangkan sasaran dari kegiatan penelitian adalah : 1) untuk mendapatkan jenis hama dan penyakit yang potensial pada tanaman tembesu di berbagai hutan tanaman (HTI, HTR dan HR), di Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel) dan 2) untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan timbul dan berkembangnya hama dan penyakit, diantaranya teknik silvikultur yang digunakan (jarak tanan, pemupukan dan lain-lain). C. Metode Penelitian 1. Inventarisasi dan Identifikasi Hama dan Penyakit Kegiatan ini dilakukan pada areal hutan tanaman tembesu yang ada di Sumatera Bagian Selatan dengan cara membuat petak/plot pengamatan pada areal tanaman yang terserang, Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara (data sekunder) dan pengamatan langsung di lapangan. Pengumpulan data di lapangan berupa: bentuk kerusakan, bagian tanaman yang terserang, persentase serangan atau luas serangan dan tingkat kerusakan tanaman. Untuk identifikasi jenis hama dan penyakit yang menyerang dilakukan di Museum zoology LIPI di Bogor dan Klinik Tanaman Unsri. 2. Pengamatan Persentase Serangan dan Tingkat Kerusakan Tanaman Persentase serangan (P) dihitung dengan cara menghitung jumlah pohon yang terserang dalam suatu petak ukur, dibagi jumlah pohon yang terdapat dalam suatu petak ukur di kali 100 persen atau 3

4 P = Jumlah tanaman yang terserang dalam suatu petak ukur Jumlah seluruh tanaman dalam suatu petak ukur X 100 % Untuk penghitungan tingkat kerusakan tanaman (I) dilapangan (untuk kerusakan daun) dilakukan dengan cara menghitung jumlah daun yang terserang dalam satu pohon dibagi jumlah seluruh daun dalam satu pohon di kali 100 persen atau Jumlah daun yang terserang dalam satu pohon I = X 100 % Jumlah seluruh daun dalam satu pohon Adapun untuk penentuan atau klasifikasi tingkat kerusakan tanaman dilakukan dengan menggunakan klasifikasi menurut kriteria Unterstenhofer (1963) dalam Djunaedah (1994), dengan sedikit modifikasi (Tabel 1, Tabel 2 dan Tabel 3). Tabel 1. Klasifikasi tingkat kerusakan daun yang disebabkan oleh hama Tingkat Kerusakan Tanda kerusakan yang terlihat pada daun Nilai Sehat - Jumlah daun yang terserang 5 % 0 Ringan - Jumlah daun yang terserang per pohon antara 5 % - 25 % 1 Agak berat - Jumlah daun yang terserang per pohon antara 26% -50 % 2 Berat - Jumlah daun yang terserangper pohon antara 51% - 75% 3 Sangat berat - Jjumlah daun yang terserang per pohon antara % 4 - Pohon gundul/hampir gundul Tabel 2. Klasifikasi tingkat kerusakan batang yang disebabkan oleh hama Tingkat Kerusakan Tanda kerusakan yang terlihat pada tanaman Nilai Sehat - Jumlah batang rusak 0 % 0 Ringan - Jumlah batang rusak antara 1 % - 20 % 1 Agak berat - Jumlah batang rusak antara 20,1 % - 40 % 2 Berat - Jumlah batang rusak antara 40,1 % - 60 % 3 Sangat berat - Jumlah batang rusak antara 60,1 % - 80 % 4 Gagal - Jumlah batang rusak di atas 80 % 5 - Pohon tumbang/patah/mati Tabel 3. Klasifikasi tingkat kerusakan daun yang disebabkan oleh penyakit Tingkat Kerusakan Tanda kerusakan yang terlihat pada tanaman Nilai Sehat - Tidak ada serangan/daun sehat 0 Ringan - Jumlah daun yang terserang per pohon antara 1-20% 1 Agak berat - Jumlah daun yang terserang per pohon antara 21%- 50% 2 Berat - Jumlah daun yang terserang per pohon antara 51%-80% 3 Sangat berat - Jumlah daun yang terserang per pohon diatas 80 % 4 Gagal - Daun kering dan tanaman mati 3. Kajian Pengaruh Pengelolaan Tanaman Terhadap Serangan Hama dan Penyakit Kajian ini melihat semua aktivitas pengelolaan tanaman mulai dari pemilihan bibit sampai pemanenan, diantaranya jarak tanam, pola tanam, jenis 4

5 pupuk yang digunakan, pemangkasan, pemeliharaan dan lainnya. Pengumpulan data ini dilakukan dengan cara wawancara dan observasi langsung di lapangan. 4. Pengujian Di laboratorium Pengujian di laboratorium berupa kegiatan pengujian efektivitas beberapa macam bioinsektisida terhadap rayap Nasutitermes matangensis. Bioinsektisida yang digunakan adalah insektisida mikroba, insektisida nabati dan insektisida kimia. D. Hasil Yang Dicapai 1. Inventarisasi dan Identifikasi Hama dan Penyakit Hasil inventarisasi dan eksplorasi di beberapa areal pertanaman tembesu di Sumatera Selatan dan Lampung, ditemukan hama dan penyakit potensial lainnya selain rayap. Jenis hama yang ditemukan adalah hama penggerek pucuk dari famili Gelechidae dan Pyralidae; hama pemakan daun dari famili Geometridae dan hama penggerek batang dari famili Gelechidae (Gambar 1). Patogen penyebab penyakit potensial yang ditemukan pada tanaman tembesu adalah cendawan Diplodia mutila Fr., Curvularia sp., Pestalotiopsis sp., Fusarium sp., dan Phyllosticta capitalensis (Gambar 2) 2. Pengamatan Luas Serangan dan Tingkat Kerusakan Tanaman Hasil pengamatan terhadap luas serangan hama menunjukkan luas serangan hama pemakan daun berkisar antara % dengan tingkat kerusakan tanaman berkisar 10-25%; hama penggerek pucuk dengan luas serangan 20% dan tingkat kerusakan tanaman berkisar antara 20-40%, hama penggerek batang 10,06-16,09 % dengan tingkat kerusakan daun dibawah 20%. Hasil pengamatan terhadap serangan rayap menunjukkan jumlah tanaman yang terserang bertambah atau luas serangan meningkat pada tahun 2010 ini, tetapi pertambahannya lebih sedikit dibandingkan pertambahan jumlah tanaman yang terserang pada tahun 2008 dan Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Serangan Hama dan Penyakit Hasil pengamatan menunjukkan ada kecenderungan jarak tanam yang lebih rapat 3x1 m luas serangan hama penggerek batang lebih tinggi dibandingkan jarak tanam 3x2.m, masing-masing sebesar 16,09% dan 10,06%. Luas serangan hama pemakan daun juga lebih tinggi pada jarak tanam 3x1 m dibandingkan jarak tanam 3x2 m, masing-masing berkisar antara 5,26-17,84% dan 0,98-11,91%. Begitu juga terhadap serangan penyakit, luas serangan penyakit bercak kuning berpendar dan bercak coklat lebih tinggi pada jarak tanam 3x1 m dibandingkan jarak tanam 3x2 m, masing-masing sebesar 59,97% dan 20,80%; 46,15% dan 28,26%. Keragaman jenis penyakit yang ditemukan lebih banyak pada jarak tanam 3x2 m yaitu sebanyak 3 jenis (bercak kuning berpendar, bercak coklat dan embun jelaga) dibandingkan jarak tanam 3 x 1 m yaitu sebanyak 2 jenis (bercak kuning berpendar dan bercak coklat). 5

6 4. Pengaruh Pola Tanam Terhadap Serangan Hama dan Penyakit Berdasarkan hasil inventarisasi dan eksplorasi pada berbagai areal pertanaman tembesu, menunjukkan bahwa perbedaan pola tanam baik itu pola agroforestry, campuran maupun monokultur tidak berpengaruh terhadap keragaman jenis hama dan penyakit yang menyerang, luas serangan dan tingkat kerusakan tanaman. 5. Uji Efektivitas Beberapa Bioinsektisida Terhadap Rayap N.matangensis Sampai saat ini hasil belum bisa di peroleh, karena masih dalam proses pengujian. Di duga semua jenis insektisida yang digunakan efektif menyebabkan kematian rayap. a b c d Gambar 1. a= kerusakan akibat serangan ulat daun, b= ulat daun, c= hama penggerek batang, d= kerusakan akibat serangan hama penggerek batang a b c d Gambar 2, a= konidia patogen Diplodia mutila, b= Gejala serangan bercak kuning berpendar, c= Gejala serangan karat, d= Gejala serangan layu E. Kesimpulan 1. Ditemukan 4 jenis hama potensial selain rayap dan 5 jenis patogen penyebab penyakit pada pertanaman tembesu di wilayah Sumbagsel 2. Pertambahan luas serangan rayap pada tahun 2010 lebih sedikit dibandingkan pertambahan luas serangan pada tahun sebelumnya 3. Luas serangan hama dan penyakit pada jarak tanam yang lebih rapat lebih tinggi 4. Pola tanam tidak mempengaruhi serangan hama dan penyakit 6

7 Program : Pengelolaan Hutan Tanaman Judul RPI : Pengelolaan Hutan Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan Koordinator RPI : Drs. Riskan Efendi, MSc Judul Kegiatan : Teknik Budidaya Tembesu Sub Judul Kegiatan : Aspek Silvikultur Pelaksana Kegiatan : Drs. Agus Sofyan, M.Sc. Junaidah, S.Hut Ir. Abdul Hakim Lukman, M.Si Agung Wahyu Nugroho, M.Sc Sahwalita, S.Hut, MP. Nasrun Sagala, S.Hut Abstrak Tembesu (Fagraea fragrans Roxb.) merupakan salah satu jenis unggulan Sumatera Selatan yang memiliki potensi pertumbuhan baik serta pemanfaatan yang beragam. Peningkatan riap dan produktivitas hutan tanaman tembesu dapat dilakukan melalui teknik silvikultur intensif, yang memadukan penggunaan bibit unggul, manipulasi lingkungan, dan pengendalian hama terpadu. Tujuan penelitian adalah memperoleh teknologi peningkatan riap dan produktivitas hutan tanaman tembesu. Metodologi yang digunakan meliputi percobaan lapangan (eksperi men), laboratorium, survei dan eksplorasi serta wawancara dan diskusi. Data dianalisis sesuai dengan rancangan yang digunakan adalah survey, eksplorasi, pengukuran riap pertumbuhan karakter tinggi dan diameter pada tanaman masyarakat serta pertumbuhan sebagai respon pemangkasan. Data dianalisis sesuai dengan rancangan yang digunakan. Hasil yang diperoleh pada tahun 2010 adalah 1) data sebaran tegakan dan pohonpohon induk (dalam bentuk peta), materi genetik/benih tembesu dari tiga Propinsi, 2) data pertumbuhan tanaman masyarakat dan data pertumbuhan sebagai respon perlakuan pemangkasan, 3) data riap pertumbuhan (MAI) 4 tahun dan 4) terbentuknya plot penelitian penjarangan. Kata Kunci : tembesu, peningkatan riap, silvikultur intensif, materi genetik. A. Latar Belakang Pengelolaan hutan alam maupun hutan tanaman sudah semestinya diarahkan pada upaya peningkatan produkstifitas. Kebutuhan kayu yang semakin meningkat tidak lagi dapat dipenuhi dari hutan alam maupun hutan tanaman. Untuk mengurangi kesenjangan kebutuhan kayu, Kementrian Kehutanan telah melaksanakan revitalisasi antara lain program pembangunan dan pengembangan hutan tanaman. Dalam rangka peningkatan riap dan produktifitas, faktor-faktor yang mendukung pencapaian tujuan tersebut harus ditempatkan sebagai komponen yang diprioritaskan dalam pengelolaan. Sementara fakor-faktor yang dapat membatasi harus dipelajari agar dapat dirumuskan upaya pengendaliannya. Upaya peningkatan produktivitas dan dapat dilakukan melalui program riset terpadu yang melibatkan berbagai disiplin ilmu yang terkait dengan beberapa 7

8 aspek seperti 1) Aspek silvikultur intensif mulai dari pemilihan jenis, persyaratan tumbuh dan kesesuaian lahan, penggunaan sumber benih, manipulasi lingkungan, 2) Aspek perlindungan tanaman terkait gangguan hama dan penyakit yang berpotensi dapat menurunkan produktivitas, 3) Aspek sosial dan ekonomi terkait status pembudidayaan, motivasi masyarakat, nilai ekonomi serta kelayakan usaha. 4) Aspek lingkungan terkait perubahan kondisi lingkungan (keragaman je nis dan tata air). Dengan semakin langkanya potensi dan sumberdaya jenis-jenis kayu unggulan, maka pengembangan jenis-jenis lokal yang sebelumnya kurang dikenal (lesser known species) mempunyai peluang yang cukup besar dalam mengurangi kesenjangan kebutuhan kayu yang selama ini terjadi. Tembesu (Fagraea fragrans Roxb.) merupakan salah satu jenis kayu yang dapat dijadikan alternative. Tembesu tersebar luas di seluruh Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa Barat, Maluku dan Irian Jaya (Martawijaya et al., 1989). Populasinya saat ini masih cukup banyak khususnya di wilayah Sumatera. Kayu tembesu termasuk kelompok kayu berkualitas dengan kelas kuat I - II, awet I dan ketahanan terhadap jamur kelas II, mempunyai nilai komersial tinggi (harga jual juta/m 3 ). Tembesu telah digunakan untuk berbagai keperluaan antara lain sebagai pondasi rumah, lantai, papan, industri kerajinan ukiran kayu khas Palembang yang telah terkenal sampai negara-negara Asia Tenggara (Malaysia dan Singapura). Melihat potensi dan pemanfaatannya yang cukup besar, jenis ini sangat layak untuk dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman. B. Tujuan dan sasaran Tujuan kegiatan penelitian Teknik Budidaya Tembesu ( Fagraea fragrans Roxb.) tahun adalah meningkatkan produktifitas dan kualitas lingkungan serta nilai ekonomi hutan tanaman yang mendukung industri perkayuan dan perekonomian rakyat. Sasaran kegiatan penelitian pada tahun adalah tersedianya paket IPTEK peningkatan produktifitas hutan tanaman penghasil kayu pertukangan jenis tembesu secara bertahap. Adapun tujuan yang ingin dicapai pada tahun 2010 adalah diperolehnya peta sebaran tegakan dan pohon induk tembesu serta materi genetik berupa benih, data pertumbuhan tanaman sebagai respon perlakuan pemangkasan serta pembuatan plot penjarangan. Adapun sasarannya adalah peningkatan kualitas pohon/batang dan riap pertumbuhan secara bertahap melalui perlakuan pemangkasan. C. Metode Penelitian 1. Pemetaan sebaran tegakan dan pohon induk Dalam kegiatan pemetaan sebaran dan pohon induk serta pengumpulan materi genetik (benih) dilakukan dengan survei dan eksplorasi, inventarisasi, pengukuran, pengamatan kuantitatif dan kualitatif tegakan pada masing-masing lokasi. 8

9 2. Respon pertumbuhan hasil pemangkasan Untuk mengetahui respon atau pengaruh perlakuan pemangkasan dilakukan pengukuran diameter dan tinggi tanaman pada masing-masing perlakuan. 3. Pembuatan plot penjarangan Dalam pembuatan plot penelitian penjarangan, sebelumnya dilakukan inventarisasi, pengukuran diameter dan tinggi tanaman, kemudian ditentukan plotplot perlakuan metode penjarangan yang sesuai dengan kondisi tegakan. D. Hasil yang Telah Dicapai 1. Peta Sebaran alami dan pohon induk (mother trees) tembesu (fagraea fragrans) di tiga Propinsi (Sumatera Selatan, Lampung dan Jambi) 2. Diperolehnya materi genetik (benih) dari pohon induk pada berbagai lokasi yaitu : Tabel 1. Perolehan puhon induk dan materi gentik ( benih) pada berbagai lokasi No Propinsi Jumlah Pohon Induk Jumlah pohon induk berbuah (pohon) Sumatera Selatan Lampung Jambi Data respon pertumbuhan tembesu terhadap perlakuan pemangkasan Tabel 2. Pertambahan riap sebagai respon perlakuan pemangkasan : 20 bulan setelah pemangkasan (umur 16 bulan sd 36 bulan) Perlakuan Pemangkasan Tinggi Diameter P0 Kontrol 320 cm (480,22 cm) 2.9 cm (6.3 cm) P1 40% 337 cm ( cm) 3.4 cm (7.7 cm) P2 50% 333 cm ( cm) 3.6 cm (7.82 cm) P3 60% 333 cm ( cm) 3.1 cm (7.1 cm) Keterangan : 40 % = diukur dari tinggi total, sisa tinggi tajuk 60 dari tinggi total. 4. Terbentuknya Plot perlakuan penjarangan dan data awal pertumbuhan. Tabel 3. Data awal pertumbuhan pada plot penjarangan umur 4 tahun (3 x 2 m) No Perlakuan Blok diameter (cm) tinggi (m) lebar tajuk (m) rerata sd rerata sd rerata sd 1 Kontrol I 8,95 2,01 6,39 0,45 2,65 0,53 II 9,59 1,50 6,84 0,60 3,19 0,41 III 9,03 1,78 6,32 0,67 3,06 0,36 rerata 9,19 1,76 6,52 0,57 2,97 0,43 2 Untu I 8,69 1,82 6,45 1,18 2,86 0,47 walang II 9,45 1,82 7,07 0,77 III 8,99 2,14 6,72 0,81 2,92 0,42 rerata 9,04 1,93 6,75 0,92 2,89 0,45 9

10 No Perlakuan Blok diameter (cm) tinggi (m) lebar tajuk (m) rerata sd rerata sd rerata sd 3 Tebang I 8,93 2,03 6,64 0,76 2,71 0,47 baris II 9,55 1,86 6,64 0,66 3,07 0,38 III 8,84 1,85 6,25 0,71 2,87 0,37 rerata 9,11 1,91 6,51 0,71 2,88 0,41 Rerata Total 9,11 1,87 6,59 0,73 2,92 0,43 Rerata riap (MAI) 2,28 1,65 E. Kesimpulan dan Rekomendasi 1. Pemangkasan pada umur 16 bulan sampai dengan 36 bulan ( 3 tahun) memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan diameter tembesu. 2. Tembesu mempunyai kemampuan pemangkasan alami sangat rendah, karenanya perlu dilakukan pemangkasan buatan sejak awal pertumbuhan (umur 1 tahun). 3. Sebaran alami tembesu pada 3 propinsi (Sumsel, Lampung dan Jambi) masih cukup baik dan perlu segera dilakukan konservasi genetic untuk keperluan program pemuliaan, peningkatan riap dan produktivitas hutan tanaman tembesu. Berdasarkan hasil yang telah diperoleh, maka direkomendasikan beberapa hal : 1. Guna meningkatkan kualitas batang dan pertumbuhan tanaman pemangkasan buatan harus dilakukan sejak pertumbuhan awal (umur 1 tahun) 2. Dalam rangka peningkatan riap dan produktivitas dalam pembangunan hutan tanaman tembesu, maka dari tegakan yang ada harus dilakukan upaya konservasi genetik, mengingat populasinya semakin menurun. Lampiran Gambar 1. Kondisi sebelum pemangkasan dan setelah pemangkasan 10

11 Program : Pengelolaan Hutan Tanaman Judul RPI : Pengelolaan Hutan Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan Koordinator RPI : Drs. Riskan Efendi, MSc. Judul Kegiatan : Teknik Budidaya Tembesu Sub Judul Kegiatan : Aspek Status Pembudidayaan Tembesu Pelaksana Kegiatan : Edwin Martin, S. Hut, M. Si Bambang Tejo P, S. Hut, M. Si Agus Baktiawan Hidayat Abstrak Tembesu merupakan salah satu jenis tanaman khas yang terdapat di Sumatera Selatan. Tembesu termasuk jenis pohon yang memiliki banyak kegunaan dan sudah cukup dikenal di masyarakat. Pemanfaatan tembesu sudah banyak kita temui, namun pemanfaatan tersebut belum diikuti oleh kegiatan pembudidayaan oleh masyarakat, padahal tembesu merupakan salah satu jenis yang potensial yang dapat membantu perekonomian masyarakat khususnya dari pemanfaatan kayunya. Peluang pembangunan hutan tanaman tembesu adalah dengan mendorong berkembangnya pola agroforestry karet-tembesu. Ringkasan : A. Latar Belakang Ekploitasi hutan alam produksi di Indonesia yang dilaksanakan secara kurang bijaksana selama lebih dari 30 tahun menyebabkan menurunnya produktifitas hutan. Untuk mengurangi kesenjangan antara demand dan supply kayu dari hutan alam, maka pemerintah melalui Departemen Kehutanan melaksanakan program revitalisasi kehutanan antara lain adalah melalui upaya pembangunan dan pengembangan hutan tanaman. Tembesu ( Fagraea fragrans) merupakan salah satu jenis lokal yang potensial untuk dikembangkan di Sumatera. Pohon ini tergolong jenis andalan setempat dan populer di Provinsi Sumatera Selatan. Kayunya keras berwarna kuning emas tua dan coklat jingga, mudah dikerjakan, tidak mudah retak dan termasuk ke dalam kayu kelas awet I. Melihat potensi kayu dan pemanfaatan yang cukup besar, jenis ini layak untuk dikembangkan untuk menjadi komoditas hutan tanaman. Namun demikian, masih jarang sekali data dan informasi hasil analisis sosial ekonomi pengusahaan hutan tanaman tembesu yang kini tersedia B. Tujuan dan Sasaran Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan status pembudidayaan tembesu di masyarakat dan peluangnya menjadi komoditas hutan tanaman. Adapun sasaran penelitian ini adalah: 1. Tersedianya informasi nilai harapan lahan terhadap pengusahaan budidaya tembesu 2. Teridentifikasinya informasi beragam pilihan usaha pada lahan masyarakat yang berpotensi membudidayakan tembesu 11

12 3. Tersedianya informasi persepsi masyarakat mengenai pembudidayaan tembesu C. Metode Penelitian C.1. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di desa-desa yang dikenal sebagai tempat sebaran alami tembesu di Kabupaten Ogan komering Ilir (OKI). C.2. Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder yang diperoleh dengan menggunakan teknik wawancara, penelusuran pustaka, konsultasi pakar, dan diskusi kelompok fokus (DKF). Responden yang bertindak sebagai informan data primer adalah masyarakat pemilik lahan di Desa Jatisari dan Mengulak di Kabupaten OKU Timur dan pengrajin mebel ukiran Palembang yang terdapat di Kota Palembang, Sumatera Selatan. C.3. Metode Analisis Data Data yang terkumpul di analisis sesuai dengan mengikuti formula faustman yang disederhanakan sebagai berikut: dimana : C = Biaya pembangunan hutan per hektar (Rp/ha) W = Harga kayu per unit volume, misalnya per m 3 (Rp/m 3 ) V R = Volume hasil tebangan per hektar pada umur daur tanaman (m 3 /ha) R = Lamanya waktu dalam satu daur tanaman (tahun) r = Tingkat suku bunga (%/tahun) Analisis finansial menggunakan kriteria Net Present Value (NPV), B enefit Cost Ratio (BCR), dan Internal Rate of Return (IRR). D. Hasil yang Telah Dicapai D.1. Persepsi masyarakat tentang usaha budidaya tembesu Hasil penelitian menunjukkan bahwa tembesu banyak ditemukan di dalam kebun-kebun dan pekarangan rumah masyarakat yang tinggal di Kabupaten Musi Banyuasin, Banyuasin, Ogan Ilir, Ogan Komering Ilir, dan Kabupaten OKU Timur. Wilayah ini teridentifikasi sebagai dataran rendah (ketinggian < 100 m dpl). Komoditas budidaya utama masyarakatnya adalah karet dan kelapa sawit. Tembesu belum menjadi jenis yang ditanam secara sengaja dan mendapat perlakuan sebagaimana karet dan kelapa sawit. Keberadaan tembesu saat ini merupakan hasil perbanyakan alam. Tembesu yang tumbuh di dalam kebun-kebun dipelihara masyarakat dengan cara pembiaran tumbuh dan sedikit pemangkasan di antara tanaman komoditas budidaya utama. 12

13 Belum terpilihnya tembesu menjadi komoditas budidaya masyarakat dataran rendah adalah karena tembesu dipersepsikan sebagai jenis tumbuhan yang lambat tumbuh, sehingga umur panen terlalu lama (lebih dari 30 tahun). Masyarakat merasa bahwa penerapan teknik-teknik budidaya khusus sebagaimana pada karet tidak perlu bagi tembesu, karena jenis ini mudah beregenerasi dan dapat tumbuh tanpa perlakuan spesifik. Namun demikian, masyarakat juga memiliki persepsi bahwa tembesu dapat dibudidayakan seperti jati, karena harga jual kayu tembesu sebanding atau bahkan melebihi kayu jati. Sayangnya, masyarakat tidak memiliki lagi lahan kosong yang dapat diperuntukkan secara khusus bagi tembesu. Oleh karena itu, agroforestry karet-tembesu adalah pola yang paling cocok bagi pengembangan hutan tanaman tembesu di hutan rakyat. D.2. Nilai harapan budidaya tembesu di masyarakat Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Kabupaten OKU Timur rata-rata memiliki 40 batang pohon tembesu di dalam kebun karet mereka. Nilai harapan lahan pengusahaan agroforestry karet-tembesu selama 30 tahun adalah Rp ,-, lebih tinggi dari apabila masyarakat hanya mengandalkan karet saja, yaitu sebesar Rp ,-. Apabila tembesu dibudidayakan secara monokultur dengan jarak tanam 4m x 4m, maka nilai harapan lahan untuk periode pengusahaan 30 tahun adalah sebesar Rp ,- jauh lebih dibandingkan jika diusahakan dengan cara agroforestry karet-tembesu, dimana tembesu ditanam di antara karet dengan jarak 6m x 8m, yaitu sebesar Rp D.3. Pilihan usaha membangun hutan tanaman tembesu Karet adalah komoditas utama masyarakat (rakyat) di daerah dataran rendah. Total biaya masa regenerasi karet Rp dapat ditutupi oleh hasil penjualan kayu tembesu sebanyak 65 m 3, hasil penebangan 320 pohon tembesu pada tingkat riap diameter 1 cm / tahun. Pada tingkat MAI diameter antara 1,2-1,3 cm / tahun diperlukan hanya kurang lebih 200 pohon tembesu. Hasil simulasi ini dapat menjadi dasar pengaturan jumlah pohon pada agroforestry tembesu karet. Jika merujuk pada kondisi faktual saat ini, dimana jarak tanam karet 4m x 6m adalah salah satu pilihan masyarakat, maka 200 pohon tembesu dapat ditanam diantara jalur tanam karet dengan jarak tanam 6m x 8m. Hasil simulasi analisis finansial menunjukkan bahwa budidaya tembesu secara monokultur tidak layak untuk diusahakan, meskipun dengan intensitas penanaman cukup tinggi (500 pohon/ha). Sementara, jika diusahakan dengan cara agroforestry karet 4m x 6m dan tembesu 6m x 8m, nilai NPV positip, BCR lebih dari 1, dan IRR sama dengan suku bunga investasi berlaku. E. Kesimpulan dan Rekomendasi Status budidaya tembesu masyarakat Sumatera Selatan adalah pada taraf silvikultur ekstensif (mengandalkan regenerasi alami) yang mengarah ke silvikultur dasar. Lahan-lahan dataran rendah yang berpotensi sebagai areal hutan tanaman tembesu kini sebagian besar telah ditempai oleh kelapa sawit dan karet. 13

14 Agroforestry karet-tembesu adalah pola yang paling cocok untuk diterapkan dalam pembangunan hutan tanaman tembesu. Lampiran Gbr 1. Tegakan Tembesu Gbr 2. Proses pembuatan kayu tembesu menjadi bahan ukiran Gbr 3. Proses pengangkutan hasil olahan kayu tembesu Gbr 4. Produk olahan kayu tembesu 14

15 Program : Pengelolaan Hutan Tanaman Judul RPI : Pengelolaan Hutan Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan Koordinator RPI : Drs. Riskan Efendi, MSc Judul Kegiatan : Teknik Budidaya Tembesu Sub Judul Kegiatan : Aspek Lingkungan Pelaksana Kegiatan : Fatahul Azwar, S.Hut Etik Ernawati Hadi, S.Hut Saiful Islam Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana perubahan keanekaragaman jenis dan lingkungan yang terjadi akibat pembangunan hutan tanaman tembesu dan kegiatan silvikultur didalamnya. Lokasi penelitian di KHDTK Benakat, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Perubahan lingkungan yang terjadi dilihat dari 2 parameter yaitu komposisi tumbuhan bawah dibawah tegakan dan iklim mikro di hutan tanaman Tembesu. Metode penelitian yang dilakukan adalah dengan metode analisis vegetasi dengan metode purposive sampling plot dengan luasan plot 2 x 2 m sebanyak 20 plot utk masingmasing perlakuan jarak tanam Tembesu. Dari data yang diperoleh terlihat bahwa jenis rumput empritan ( Cyrtococcum acrescens (Trin) Stap) selalu mendominasi disemua areal dan menjadi tanaman perintis setelah perlakuan silvikultur yang diberikan. Perlakuan silvikultur pemangkasan, penjarangan, penebasan, dan penyemprotan gulma tidak berdampak negatif terhadap perubahan keanekaragaman jenis tumbuhan bawah yang ada dibawah tegakan hutan tanaman tembesu. Kata kunci : Tembesu, tumbuhan bawah, analisis vegetasi, lingkungan A. Latar Belakang Untuk meminimalkan dampak ekologis yang timbul akibat pembangunan hutan tanaman, kini tengah digulirkan wacana pembangunan hutan tanaman secara lestari. Pamulardi (1995) dalam Sukresno et al. (2004), menjelaskan bahwa terdapat empat prinsip umum pengelolaan hutan lestari, yaitu : 1) kawasan hutan yang dikelola secara mantap dan berencana, 2) sistem eksploitasi yang menjamin tingkat produksi yang berkelanjutan, 3) kawasan hutan yang dikelola dengan berwawasan lingkungan dan dapat memelihara kelangsungan ekosistem dan keanekaragaman hayati, 4) berdampak positif pada kondisi sosial ekonomi masyarakat. Pemerhati konsep pembangunan hutan tanaman secara lestari tidak saja datang dari pemerintah, namun dari lembaga-lembaga non pemerintah yang konsisten mendorong terwujudnya sistem pengelolaan hutan secara berkelanjutan, salah satunya CIFOR yang telah mengembangkan sistem kriteria dan indikator pengelolaan hutan tanaman lestari mengacu pada kriteria manajemen, ekologi, dan sosial. Indikator pada kriteria ekologi antara lain; pemeliharaan struktur dan fungsi ekosistem, pemeliharaan dan peningkatan sumberdaya air, serta minimalisasi dampak lingkungan yang timbul (Muhtaman et al., 2000). 15

16 Penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauh mana keanekaragaman jenis tumbuhan serta kondisi lingkungan (mikro) pada tipe hutan tanaman yang berbeda. Diharapkan dari penelitian ini, diperoleh informasi keanekaragaman jenis tumbuhan serta kondisi lingkungan (mikro) pada hutan tanaman monokultur, untuk melihat perubahan keanekaragaman jenis dan kondisi lingkungannya akibat pembangunan hutan tanaman serta dampak ekologis yang ditimbulkan secara lebih luas. B. Tujuan dan Sasaran Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana pengaruh perubahan keanekaragaman jenis dan lingkungan akibat pembangunan hutan tanaman. Sasaran penelitian ini yaitu : 1. Tersedianya data komposisi tumbuhan bawah pada hutan tanaman monokultur Tembesu. 2. Tersedianya data kondisi lingkungan (mikro) pada hutan tanaman monokultur Tembesu. C. Metode Penelitian 1. Analisis Komunitas Tumbuhan Pengambilan contoh pada penelitian ini menggunakan metode petak ganda (Indriyanto, 2006). Pada hutan monokultur, pembuatan petak contoh dilakukan pada tiap kelas umur (1 s/d 6 tahun) sebanyak 20 petak c ontoh per kelas umur. Jumlah petak contoh untuk tegakan-tegakan yang mempunyai lapisan tajuk homogen, 20 petak contoh berukuran 1m x 1m dianggap sudah cukup baik untuk studi vegetasi tingkat semak rendah, rerumputan dan terna (Bliss dalam Sumiyarso, 1995). Peletakan petak contoh dilakukan secara sistematik. Dalam penelitian ini digunakan petak ukur berukuran 2m x 2m, sebanyak 20 petak ukur pada masing-masing perlakuan jarak tanam. Identifikasi tumbuhan dilakukan dengan cara mencocokkan dengan gambar-gambar tumbuhan yang sudah diketahui identitasnya. Apabila dijumpai tumbuhan yang belum berhasil diidentifikasi, maka dibuat specimen herbarium untuk identifikasi. Dari hasil pengamatan pada petak contoh yang dibuat dilokasi penelitian, kemudian dihitung nilai kerapatan jenis, frekuensi, dominasi, indeks nilai penting, dan indeks keanekaragaman. 2. Pengamatan Kondisi Lingkungan Pengamatan faktor-faktor lingkungan dilakukan bersamaan dengan kegiatan analisis komunitas tumbuhan. Parameter yang diamati adalah cahaya, suhu tanah, dan kelembaban udara. 16

17 D. Hasil yang Telah Dicapai a. Komunitas Tumbuhan Bawah Jumlah total individu semua jenis pengamatan ke-1 Jumlah total individu semua jenis pengamatan ke-2 Jumlah total individu semua jenis pengamatan ke-3 3 x 2 m 3 x 1 m Grafik 1. Jumlah total individu semua jenis pada setiap waktu pengamatan Dari grafik diatas, terlihat bahwa perlakuan pemangkasan dan penyiangan lahan memiliki pengaruh terhadap jumlah total individu jenis yang ada dibawah tegakan. Penjarangan dan penyiangan lahan pada awalnya menurunkan jumlah total individu semua jenis namun selang beberapa waktu tumbuhan bawah mulai menunjukkan proses suksesinya bahkan dengan kuantitas yang lebih banyak daripada sebelum perlakuan. Suksesi berlangsung relatif lambat dikarenakan sifat herbisida yang sistemik, membunuh tumbuhan bawah secara perlahan membutuhkan waktu sekitar 1 2 minggu. Proses suksesi diduga diakibatkan oleh pemangkasan dimana sinar matahari yang masuk lebih banyak dari kondisi sebelumnya, sinar matahari mempercepat proses perkecambahan dan pertumbuhan biji tumbuhan bawah yang dorman serta tumbuhan bawah yang tidak mati total akibat penyemprotan herbisida. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mas ud dan Prayitno (1997), b ahwa penebangan lanskap terbukti memacu peningkatan pertumbuhan tanaman pakan badak (dalam hal ini tanaman yang dimaksud terkategorikan tanaman bawah) selama dua bulan pertama sampai satu tahun setelah penebangan yang mengakibatkan peningkatan penetrasi dan intensitas matahari ke lantai hutan. 17

18 b. Iklim Mikro pengamatan ke-1 pengamatan ke-2 pengamatan ke-3 0 SU ST IN SU ST IN *) keterangan: SU = Suhu Udara ( o C) ST = Suhu Tanah ( o C) IN = Intensitas naungan (%) Grafik 2. Data suhu udara, suhu tanah, dan intensitas naungan (%) Melihat hubungan antara grafik 1 dan grafik 2 terlihat bahwa suhu dan intensitas cahaya mempengaruhi proses suksesi tumbuhan bawah (terlihat dari jumlah total individu semua jenis). Meningkatnya suhu lingkungan dan suhu tanah pada tegakan tembesu dengan perlakuan jarak tanam 3x2 m, diduga merangsang perkecambahan dari biji atau benih tumbuhan bawah yang selama ini tertutup oleh jenis lainnya, sedangkan pada tegakan dengan perlakuan jarak tanam 3x1 m peningkatan jumlah tumbuhan bawah juga dikarenakan hal yang sama yaitu intensitas cahaya akibat hilangnya tumbuhan bawah diatas pemukaan tanah akibat penyemprotan herbisida. Cahaya matahari yang masuk menyentuh lantai hutan atau tanah tempat benih/biji tumbuhan bawah tersebar lebih banyak intensitasnya dibandingkan dengan sebelum dilakukan penyemprotan herbisida. Perlakuan penjarangan maupun penyiangan lahan tidak merubah donimasi jenis, jenis rumput empritan ( Cyrtococcum acrescens (Trin) Stap) tetap menjadi jenis yang dominan baik pada tegakan tembesu dengan perlakuan jarak tanam 3x 2 m maupun jarak tanam 3x1 m. Hal ini karena jenis ini dari awal sudah dominan, benih yang dihasilkan juga jauh lebih banyak dibanding jenis lain, dan merupakan salah satu jenis rumput yang mudah tumbuh diberbagai kondisi lahan. Perubahan dominasi terjadi pada delapan minggu setelah perlakuan silvikultur penyemprotan herbisida, dimana tumbuhan bawah yang mendominasi dibawah tegakan tembesu dengan perlakuan jarak tanam 3x1 m didominasi oleh jenis tanaman Babadotan (Ageratum conyzoides). Hal ini diduga terjadi karena ketika jenis ini mulai tumbuh yang secara morfologisnya lebih tinggi dari jenis rumput-rumputan sehingga menyebabkan berkurangnya tumbuhan dibawahnya akibat persaingan kebutuhan cahaya, selain itu juga diduga penyemprotan herbisida tanpa disertai pemangkasan tajuk pada tumbuhan bawah dibawah tegakan tembesu dengan jarak tanam 3x1 m lebih lama efeknya dibandingkan penyemprotan dibawah tegakan tembesu dengan jarak tanam 3x2 m yang disertai pemangkasan tajuk karena bila 18

19 terjadi hujan (curah hujan yang terjadi dilokasi penelitian hampir terjadi setiap bulan) penetrasi air yang jatuh ke lantai hutan lebih sedikit dibandingkan sehingga efek dari kerja herbisida dapat bertahan lebih lama. E. Kesimpulan dan Rekomendasi Dari data hasil penelitian dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu: 1. Perlakuan silvikultur pemangkasan tajuk dan penyiangan lahan (penebasan dan penyemprotan herbisida) tidak berdampak negatif terhadap keanekaragaman jenis tumbuhan bawah bila dilakukan secara terkendali, bahkan mampu menaikan jumlah total individu semua jenis tumbuhan bawah. 2. Perlakuan silvikultur berupa pemangkasan tajuk dan penyiangan lahan (penebasan dan penyemprotan herbisida) tidak berdampak merubah dominasi jenis tumbuhan bawah secara signifikan. 3. Perubahan jumlah total individu semua jenis serta perubahan dominasi jenis dikarenakan oleh faktor iklim mikro yang terjadi atau berubah akibat perlakuan silvikultur berupa pemangkasan tajuk dan penyiangan lahan (penebasan dan penyemprotan herbisida). Rekomendasi : a. Perlu dilakukan kegiatan lanjutan untuk melihat proses suksesi tumbuhan bawah dan perubahan iklim mikro (fluktuasinya) di tahun tanam berikutnya sampai pada akhir daur agar terlihat jelas dampak lingkungan yang terjadi selama kegiatan pembangunan hutan tanaman Tembesu. b. Kegiatan silvikultur dalam manajemen pembangunan hutan tanaman (dalam hal ini hutan tanaman Tembesu) harus memperhatikan aspek ekologi/lingkungan selain aspek ekonomi (target hasil). Lampiran : Gambar 1. Tegakan tembesu Gambar 2. Kegiatan pembuatan petak contoh 19

20 Program Judul RPI Koordinator RPI Judul Kegiatan Sub Judul Kegiatan Pelaksana Kegiatan Abstrak : Pengelolaan Hutan Tanaman : Pengelolaan Hutan Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan : Drs. Riskan Efendi, M.Sc. : Teknik Budidaya Tembesu : Manipulasi Lingkungan : Maliyana Ulfa, SP., M.Sc. Maman Suparman Joni Muara Jamur mikoriza arbuskular mempunyai potensi untuk dibiakkan sebagai sumber isolat yang dikembangkan sebagai sumber isolat yang diaplikasikan untuk meningkatkan riap pertumbuhan komoditi kehutanan. Jenis mikoriza tersebut mempunyai hubungan simbiose yang luas dengan beberapa jenis tanaman tingkat tinggi. Jamur mikoriza arbuskular indigenous di bawah tegakan Tembesu mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai sumber isolat, terutama dalam rangka upaya peningkatan riap Tembesu. Eksplorasi telah dilakukan dalam rangka mendapatkan jamur mikoriza arbuskular indigenous di bawah tegakan Tembesu. Jamur mikoriza arbuskular yang ditemukan adalah Glomus sp. dan Acaulospora sp. Penelitian uji efektivitas inokulasi jamur mikoriza arbuskular Acaulospora sp. tanpa pupuk, mampu meningkatkan pertambahan diameter yang terbaik, dan perlakuan gabungan antara inokulasi Mycofer dan pemberian pupuk NPK dosis 1 gram dapat meningkatkan pertambahan tinggi yang terbaik. Kata kunci : tembesu, mikoriza, pupuk, peningkatan, riap Ringkasan : A. Latar Belakang Indonesia yang selama ini dikenal sebagai negara yang mempunyai kekayaan hutan tropis, kini menghadapi ancaman deforestasi. Sektor kehutanan memegang peranan yang cukup penting dalam perekonomian nasional. MOF (2001) dalam Masripatin (2004) menyebutkan bah wa kurang lebih 23,5 juta ha hutan dan non hutan terdegradasi harus direhabilitasi. Dalam kurun waktu , laju kerusakan hutan di Indonesia telah mencapai 1,87 juta ha yang mengakibatkan Indonesia menempati peringkat ke-2 dari sepuluh negara, dengan laju kerusakan tertinggi di dunia (Forest Watch Indonesia, 2010). Kondisi tersebut merupakan potensi untuk pengembangan hutan tanaman, sebagai upaya melindungi hutan alam, yang selama ini menjadi penyangga kebutuhan kayu. Tembesu (Fagraea fragrans Roxb.) merupakan salah satu jenis tanaman unggulan yang dapat dijadikan jenis penyusun hutan tanaman kayu pertukangan. Untuk meningkatkan produktivitas tembesu, maka diperlukan manipulasi lingkungan dengan memanfaatkan jamur mikoriza arbuskular. Hal tersebut diperlukan mengingat jamur mikoriza arbuskular berpotensi dalam rangka 20

21 meningkatkan penyerapan unsur hara terutama fosfor. Dengan kemampuan enzim fosfatase yang dimiliki mikoriza untuk mengambil pospat yang terjerap Fe dan Al, sehingga dapat tersedia dan terserap oleh tanaman. B. Tujuan dan Sasaran Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan paket teknologi manipulasi lingkungan yang dapat diterapkan pada kondisi dan permasalahan di lahan marginal di Sumatera Selatan, dalam rangka mendukung peningkatan pertumbuhan tembesu ( Fagraea fragrans Roxb.). Sasaran penelitian tahun 2010 adalah : a. Tersedianya materi pembuatan bank isolat hasil eksplorasi jamur mikoriza arbuskular indigenous yang potensial untuk meningkatkan pertumbuhan tembesu. b. Tersedianya data/informasi mengenai efektifitas aplikasi jamur mikoriza arbuskular dalam efisiensi pemupukan pada tembesu. C. Metode Penelitian C.1. Eksplorasi Jamur Mikoriza Arbuskular Eksplorasi dilakukan di 3 propinsi, yaitu Sumatera Selatan, Jambi, dan Lampung. Kegiatan tersebut berupa mengambil contoh tanah dan perakaran pada beberapa titik pengambilan di daerah proyeksi pohon, disertai dengan pencatatan vegetasi bawah yang menjadi inang langsung dari jamur mikoriza arbuskular, kode lokasi dan tanggal pengambilan. C.2. Pembuatan Spora Tunggal dan Identifikasi Spora jamur mikoriza arbuskular diperoleh dengan menggunakan metode wet-sieving dari Gerdemann dan Nicolson (1963) dan teknik sentrifugasi (Brundertt et al., 1996) yang dimodifikasi. Spora kemudian diidentifikasi berdasarkan bentuk, struktur tambahan dan reaksinya terhadap larutan Melzer s (Trappe dan Schenck, 1982), untuk kemudian dilakukan identifikasi. C.3. Uji Efektifitas Jamur Mikoriza Arbuskular Pada Tembesu ( Fagraea fragrans Roxb.) di Tingkat Persemaian Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok berpola Split Plot, dengan perlakuan inokulasi jamur mikoriza arbuskular dan perlakuan pemupukan pupuk SP-36. Perlakuan inokulasi jamur mikoriza arbuskular berupa jamur mikoriza arbuskular, yaitu tidak bermikoriza (M0), Acaulospora sp. (M1) dan Mycofer (M2). Perlakuan pupuk SP -36 meliputi tanpa pupuk (P0), dosis 0,25 gram (P1), dosis 0,5 gram (P2), dosis 0,75 gram (P3), dan dosis 1 gram (P4). Data selanjutnya dianalisis keragamannya. Jika menunjukkan perbedaan yang nyata, maka dilanjutkan dengan uji beda nyata metode Duncan (Mattjik & Sumertajaya, 2002). 21

22 D. Hasil yang Telah Dicapai D.1. Eksplorasi, Pembuatan Spora Tunggal dan Identifikasi Jamur Mikoriza Arbuskular di Bawah Tegakan Tembesu Hasil eksplorasi jamur mikoriza arbuskular di bawah tegakan tembesu adalah 2 genus jamur mikoriza arbuskular, yaitu genus Glomus sp. dan Acaulospora sp. dengan tanaman inang yang beragam. D.2. Uji Efektifitas Jamur Mikoriza Arbuskular Pada Semai Tembesu (Fagraea fragrans Roxb.) di Tingkat Persemaian Perlakuan inokulasi Acaulospora sp. memberikan pertambahan tinggi terbaik dibandingkan tanpa jamur mikoriza arbuskular (M0) dan Mycofer (M1), terutama dengan perlakuan pemberian pupuk SP-36 dosis 0,5 gram (Gamba r 1). Sedangkan untuk meningkatkan pertumbuhan variabel diameter (Gambar 2), perlakuan Mycofer disertai dengan pemupukan fosfat Sp-36 dosis 0,75 gram memberikan hasil yang terbaik dibandingkan perlakuan yang lain terutama kontrol (yang tidak bermikoriza). 25 Pertambahan tinggi (cm) P0 P1 P2 P3 P4 0 M0 M1 M2 Aplikasi mikoriza + pupuk fosfat (SP-36) Gambar 1. Pengaruh inokulasi jamur mikoriza arbuskular Mycofer (M1) dan Acaulospora sp. (M) pada pertambahan tinggi tembesu ( Fagraea fragrans Roxb.) umur 6 bulan di persemaian Pertambahan diameter (mm) 2 1,8 1,6 1,4 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 M0 M1 M2 Aplikasi mikoriza + pupuk fosfat (SP-36) P0 P1 P2 P3 P4 Gambar 2. Pengaruh inokulasi jamur mikoriza arbuskular Mycofer (M1) dan Acaulospora sp. (M) pada pertambahan diameter tembesu ( Fagraea fragrans Roxb.) umur 6 bulan di persemaian 22

23 E. Kesimpulan dan Rekomendasi E.1. Kesimpulan 1. Ditemukan 2 genus jamur mikoriza arbuskular di bawah tegakan Tembesu (Fragraea fragrans Roxb.), yaitu Glomus sp. dan Acaulospora sp. 2. Perlakuan inokulasi Acaulospora sp. dan pemberian pupuk fosfat SP-36 dosis 0,5 gram dapat meningkatkan tinggi yang terbaik pada bibit Tembesu umur 6 bulan di persemaian. 3. Perlakuan Mycofer dan pemberian fosfat SP-36 dosis 0,75 gram memberikan hasil yang terbaik dibandingkan perlakuan yang lain terutama kontrol (yang tidak bermikoriza). Lampiran Lampiran 1. Jamur mikoriza arbuskular indigenous di bawah tegakan tembesu (Peronema canescens Jack.) (perbesaran 400x); (a) Glomus sp dan (b) Acaulospora sp. Lampiran 2. Inokulasi jamur mikoriza arbuskular pada semai tembesu ( Fagraea fragrans Roxb.) 23

24 Program : Pengelolaan Hutan Tanaman Judul RPI : Pengelolaan Hutan Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan Koordinator RPI : Drs. Riskan Efendi, MSc Judul Kegiatan : Teknik Budidaya Tembesu Sub Judul Kegiatan : Aspek Groeh & Yield Pelaksana Kegiatan : Agus Sumadi, S. Hut, Drs. Agus Sofyan, M. Sc. Joni Muara Abstrak Penelitian budidaya tembesu aspek growth & yield merupakan penelitian untuk menggambarkan pertumbuhan dan hasil tegakan dalam persamaan matematik. Persamaan dibangun berdasarkan hasil pengukuran tegakan dalam tiap plot. Hasil pengukuran tegakan tembesu yang dikembangkan oleh masyarakat dengan pola campuran dengan karet memberikan informasi tegakan ini memiliki pertumbuhan lambat dengan riap diameter kurang dari 2 cm/tahun dan riap tinggi kurang dari 2 m/tahun. Regresi hubungan antara diameter dan luas tajuk memberikan informasi kerapatan tegakan optimal berdasarkan besarnya diameter pohon. Kata kunci : budidaya tembesu, aspek growth&yield, riap diameter, riap tinggi, kerapatan optimal Ringkasan A. Latar Belakang Pembangunan hutan tanaman baik hutan tanaman rakyat maupun hutan tanaman industri memerlukan informasi mengenai pertumbuhan dan hasil tegakan dari jenis yang dikembangkannya. Informasi berguna dalam melakukan manajemen pengaturan hasil dan prediksi kelestarian pengelolaan hutan. Kegiatan utama dalam pengelolaan hutan tanaman pada hakekatnya adalah penanganan pertumbuhan tegakan dengan tujuan memeroleh hasil tegakan hutan yang optimal. Dalam pengelolaan hutan tanaman diperlukan informasi yang memadahi mengenai pertumbuhan dan hasil tegakan hutan tanaman. Berdasarkan kondisi tersebut diperlukan penelitian yang komprehensif terhadap hutan tanaman yang meliputi penelitian pertumbuhan tegakan, model penduga volume pohon, pengaturan hasil, daur optimal tegakan dan informasi kerapatan optimal tegakan. B. Tujuan dan Sasaran Secara garis besar, penelitian ini bertujuan untuk menyajikan informasi pertumbuhan dan hasil tegakan hutan tanaman dalam rangka mendukung peningkatan produktifitas hutan tanaman tembesu yang disajikan dalam bentuk perangkat model matematik. Sasaran penelitian pada tahun 2010 untuk menghasilkan informasi dimensi tegakan pada berbagai umur, riap tegakan yang 24

25 meliputi riap diameter dan riap tinggi serta informasi kerapatan optimal tegakan dengan pendekatan regresi antara diameter dengan luas tajuk. C. Metode Penelitian 1. Pengumpulan data Pengumpulan data pertumbuhan dan hasil tegakan dilakukan dengan pengukuran dimensi tegakan dalam tiap plot. Parameter yang diukur tiap plot berupa diameter setinggi dada, tinggi total, proyeksi tajuk dan penilaian kualitas batang. 2. Pengolahan data Pengolahan data model pertumbuhan dan hasil tegakan dengan menggunakan analisis regresi antara pertumbuhan dan hasil tegakan dengan variable-variabel yang mempengaruhinya. Pertumbuhan tegakan yang akan dianalisis meliputi pertumbuhan diameter, pertumbuhan tinggi dan regresi antara diameter dengan luas proyeksi tajuk. D. Hasil yang Telah Dicapai Penelitian growth & yield jenis tembesu dilakukan pada lokasi tempat tumbuh alami maupun tanaman yang tersebar di Provinsi Sumatera Selatan, Jambi dan Lampung. Hasil pengamatan pada berbagai lokasi memberikan hasil sebagai berikut. 1. Pertumbuhan Diameter Hasil pengukuran tegakan tembesu pada hutan rakyat berumur 2 tahun memiliki dimaeter sebesar 3.41 dengan riap rata-rata tahunan (MAI) 1.71 cm/tahun. Umur 3 tahun memiliki diameter sebesar 5.47 cm dengan MAI sebesar 1,82 cm/tahun sedangkan tegakan tertua yang teridentifikasi umurnya pada tegakan berumur 18 tahun memiliki diameter setinggi dada cm dengan nilai MAI 1.34 cm/tahun. Persamaan regresi pertumbuhan diameter terbangun berdasarkan regresi antara umur tegakan dengan diameter, formula yang terbentuk y = Ln(x) dengan nilai R 2 = 96.33%, dimana y merupakan variabel diameter setinggi dada dan x merupakan umur tegakan. 2. Pertumbuhan Tinggi Tinggi tegakan merupakan tinggi rata-rata pohon dalam plot pengamatan. Hasil pengukuran tegakan berumur 2 tahun memiliki tinggi rata-rata 3.94 m dengan MAI sebesar 1.97 m, tegakan umur 3 tahun memiliki tinggi 5.47 m dengan MAI sebesar 1.82m/tahun. Tegakan tembesu setelah berumur 18 tahun yang dikembangkan oleh masyarakat dengan pola campuran dengan karet memberikan informasi tinggi rata-rata sebesar 20.2 dengan MAI tinggi 1.12 m/tahun. Persamaan regresi pertumbuhan tinggi jenis tembesu pada hutan rakyat y = 7.178Ln(x) dengan nilai R 2 = 97.41% dimana y merupakan tinggi total tegakan sedangkan x merupakan umur tegakan. 25

26 3. Kerapatan optimal tegakan tembesu Kerapatan optimal tegakan dalam satu hamparan lahan diperoleh dengan pendekatan luas tajuk masing-masing pohon yang dikorelasikan dengan diameter pohon setinggi dada. Pohon memerlukan ruang optimal sesuai dengan bentangan/luas tajuk yang dimilikanya. Hasil analisis regresi dari 452 pohon dengan diameter pohon terkecil 1.5 cm dan diameter terbesar 87 cm. Regresi dibangun berdasarkan persamaan logistik diperoleh formula y = /( *exp(-0.08x)), dimana y merupakan luas penampang tajuk sedangkan x merupakan diameter pohon setinggi dada (dbh). Berdasarkan analisis regresi tersebut diperoleh informasi jumlah optimal pohon tiap ha seperti pada tabel berikut. Tabel 1. Hubungan antara diameter (Dbh) dengan jumlah pohon per ha Dbh (cm) Jumlah pohon/ha Dbh (cm) Jumlah pohon/ha E. Kesimpulan dan Rekomendasi Kesimpulan Tegakan tembesu yang dikembangkan oleh masyarakat dengan pola tanam campuran dengan karet memiliki pertumbuhan lambat dengan riap MAI diameter kurang dari 2 cm/tahun, MAI tinggi kurang dari 2 m/tahun. Hasil regresi antara diameter dan luas tajuk memberikan informasi dalam mengatur kerapatan tegakan dalam pembangunan hutan tanaman tembesu. Rekomendasi Hasil regresi antara diameter dan luas tajuk dapat menjadi pedoman dalam menentukan jarak tanam dalam melakukan penanaman serta pedoman dalam melakukan penjarangan untuk mendapatkan kerapatan optimal. 26

27 Lampiran Gambar 1. Gambar 2. Tegakan tembesu umur 2 tahun pola Tegakan tembesu umur 6 tahun pola campuran dengan karet campuran dengan karet Gambar 4. Tegakan tembesu umur 10 tahun Gambar 3. Tegakan tembesu umur 10 tahun 27

PENELITIAN BUDIDAYA JENIS SUNGKAI ASPEK : SILVIKULTUR MANIPULASI LINGKUNGAN

PENELITIAN BUDIDAYA JENIS SUNGKAI ASPEK : SILVIKULTUR MANIPULASI LINGKUNGAN PENELITIAN BUDIDAYA JENIS SUNGKAI ASPEK : SILVIKULTUR MANIPULASI LINGKUNGAN Program : Pengelolaan Hutan Tanaman Judul RPI : Pengelolaan Hutan Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan Koordinator RPI : Drs. Riskan

Lebih terperinci

Paket INFORMASI DAMPAK HUTAN TANAMAN TERHADAP LINGKUNGAN

Paket INFORMASI DAMPAK HUTAN TANAMAN TERHADAP LINGKUNGAN Paket INFORMASI DAMPAK HUTAN TANAMAN TERHADAP LINGKUNGAN Jenis Bambang Lanang Kajian Dampak Hutan Tanaman Jenis Penghasil Kayu Terhadap Biodiversitas Flora, Fauna, dan Potensi Invasif Paket Informasi Dampak

Lebih terperinci

Demplot sumber benih unggulan lokal

Demplot sumber benih unggulan lokal Demplot sumber benih unggulan lokal Demplot sumber benih unggulan lokal Pembangunan Demplot Sumber Benih Jenis Bambang Lanang Pembangunan Demplot Sumber Benih Jenis Tembesu Demplot Sumber Benih Unggulan

Lebih terperinci

Paket ANALISIS SOSIAL, EKONOMI DAN FINANSIAL PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN PENGHASIL KAYU

Paket ANALISIS SOSIAL, EKONOMI DAN FINANSIAL PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN PENGHASIL KAYU Paket ANALISIS SOSIAL, EKONOMI DAN FINANSIAL PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN PENGHASIL KAYU Jenis Bambang Lanang Analisis Ekonomi dan Finansial Pembangunan Hutan Tanaman penghasil kayu Jenis bawang Analisis

Lebih terperinci

ASPEK lingkungan JENIS: TEMBESU KAYU BAWANG GELAM

ASPEK lingkungan JENIS: TEMBESU KAYU BAWANG GELAM ASPEK lingkungan JENIS: TEMBESU KAYU BAWANG GELAM 75 Program : Pengelolaan Hutan Tanaman Judul RPI : Pengelolaan Hutan Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan Koordinator RPI : Drs. Riskan Efendi, MSc. Judul

Lebih terperinci

ASPEK GROWTH AND YIELD

ASPEK GROWTH AND YIELD ASPEK GROWTH AND YIELD JENIS: TEMBESU BAMBANG LANANG KAYU BAWANG GELAM 56 Program : Pengelolaan Hutan Tanaman Judul RPI : Pengelolaan Hutan Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan Koordinator RPI : Drs. Riskan

Lebih terperinci

PENELITIAN BUDIDAYA JENIS GELAM

PENELITIAN BUDIDAYA JENIS GELAM PENELITIAN BUDIDAYA JENIS GELAM ASPEK SILVIKULTUR GROWTH&YIELD STATUS PEMANFAATAN PERLINDUNGAN Program : Pengelolaan Hutan Tanaman Judul RPI : Pengelolaan Hutan Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan Koordinator

Lebih terperinci

Kata Kunci : Hutan rakyat, pertumbuhan tegakan, bambang lanang, kualitas tempat tumbuh, model matematik, model sistem simulasi

Kata Kunci : Hutan rakyat, pertumbuhan tegakan, bambang lanang, kualitas tempat tumbuh, model matematik, model sistem simulasi Program : Penelitian dan Pengembangan Produktivitas Hutan Judul RPI : Pengelolaan Hutan Tanaman Penghasil Kayu Koordinator : Prof. Dr. Ir. Nina Mindawati, MS. Judul Kegiatan : Paket Kuantitatif Pertumbuhan

Lebih terperinci

ASPEK Agroforestry JENIS: BAMBANG LANANG GELAM

ASPEK Agroforestry JENIS: BAMBANG LANANG GELAM ASPEK Agroforestry JENIS: BAMBANG LANANG GELAM Program : Pengelolaan Hutan Tanaman Judul RPI : Pengelolaan Hutan Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan Koordinator RPI : Drs. Riskan Efendi, MSc. Judul Kegiatan

Lebih terperinci

PENELITIAN BUDIDAYA JENIS KAYU BAWANG

PENELITIAN BUDIDAYA JENIS KAYU BAWANG PENELITIAN BUDIDAYA JENIS KAYU BAWANG ASPEK : SILVIKULTUR GROWTH & YIELD PERLINDUNGAN Program : Pengelolaan Hutan Tanaman Judul RPI : Pengelolaan Hutan Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan Koordinator RPI

Lebih terperinci

Program Penelitian dan Pengembangan Produktivitas Hutan Judul RPI Pengelolaan Hutan Tanaman Penghasil Kayu Koordinator

Program Penelitian dan Pengembangan Produktivitas Hutan Judul RPI Pengelolaan Hutan Tanaman Penghasil Kayu Koordinator Program : Penelitian dan Pengembangan Produktivitas Hutan Judul RPI : Pengelolaan Hutan Tanaman Penghasil Kayu Koordinator : Prof. Dr. Ir. Nina Mindawati, MS. Judul Kegiatan : Paket Teknik Silvikultur

Lebih terperinci

ASPEK PERLINDUNGAN JENIS: TEMBESU BAMBANG LANANG KAYU BAWANG GELAM

ASPEK PERLINDUNGAN JENIS: TEMBESU BAMBANG LANANG KAYU BAWANG GELAM ASPEK PERLINDUNGAN JENIS: TEMBESU BAMBANG LANANG KAYU BAWANG GELAM 31 Program : Pengelolaan Hutan Tanaman Judul RPI : Pengelolaan Hutan Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan Koordinator RPI : Drs. Riskan

Lebih terperinci

Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut terdegradasi

Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut terdegradasi Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut terdegradasi Teknologi Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Ujicoba Teknik Rehabilitasi Hutan Alam Rawa Gambut Bersulfat Masam Dengan Jenis Melaleuca leucadendron Ujicoba

Lebih terperinci

Program Penelitian dan Pengembangan Produktivitas Hutan Judul RPI Pengelolaan Hutan Tanaman Penghasil Kayu Koordinator

Program Penelitian dan Pengembangan Produktivitas Hutan Judul RPI Pengelolaan Hutan Tanaman Penghasil Kayu Koordinator Program : Penelitian dan Pengembangan Produktivitas Hutan Judul RPI : Pengelolaan Hutan Tanaman Penghasil Kayu Koordinator : Prof. Dr. Ir. Nina Mindawati, MS. Judul Kegiatan : Paket Teknik Silvikultur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kayu jati (Tectona grandis L.f.) merupakan salah satu jenis kayu komersial

BAB I PENDAHULUAN. Kayu jati (Tectona grandis L.f.) merupakan salah satu jenis kayu komersial 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kayu jati (Tectona grandis L.f.) merupakan salah satu jenis kayu komersial yang diminati dan paling banyak dipakai oleh masyarakat, khususnya di Indonesia hingga

Lebih terperinci

SINTESA HASIL PENELITIAN RPI AGROFORESTRI TAHUN

SINTESA HASIL PENELITIAN RPI AGROFORESTRI TAHUN SINTESA HASIL PENELITIAN RPI AGROFORESTRI TAHUN 2012-2014 TUJUAN untuk merumuskan model agroforestry yang dapat diterapkan dengan mempertimbangkan aspek budidaya, lingkungan dan sosial ekonomi SASARAN

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PRODUKTIVITAS AGROFORESTRI KAYU BAWANG DI PROVINSI BENGKULU

PERTUMBUHAN DAN PRODUKTIVITAS AGROFORESTRI KAYU BAWANG DI PROVINSI BENGKULU PERTUMBUHAN DAN PRODUKTIVITAS AGROFORESTRI KAYU BAWANG DI PROVINSI BENGKULU Oleh: Hengki Siahaan* dan Agus Sumadi* * Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang ABSTRAK Pengembangan kayu bawang

Lebih terperinci

Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut

Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut UjI COBA TEKNIK BIO REMEDIASI BERBAGAI KONDISI HUTAN ALAM RAWA GAMBUT TERDEGRADASI DI SUMSEL Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Sulfat Masam dengan Jenis Melaleuca

Lebih terperinci

Paket KUANTITATIF PERTUMBUHAN

Paket KUANTITATIF PERTUMBUHAN Paket KUANTITATIF PERTUMBUHAN Jenis Bambang Lanang Studi Pertumbuhan dan Hasil (Growth and Yield) Pembangunan Database Growth and Yield Kuantifikasi Kualitas Tempat Tumbuh Jenis Kayu bawang Studi Pertumbuhan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. 4 TINJAUAN PUSTAKA Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang di tunjuk dan atau di tetapkan oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan perlu di tetapkan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon

BAB I PENDAHULUAN. dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Definisi atau pengertian tentang hutan menurut Dengler (1930) dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon atau tumbuhan berkayu lainya

Lebih terperinci

Lahan rawa untuk budidaya tanaman pangan berwawasan lingkungan Sholehien

Lahan rawa untuk budidaya tanaman pangan berwawasan lingkungan Sholehien Perpustakaan Universitas Indonesia >> UI - Tesis (Membership) Lahan rawa untuk budidaya tanaman pangan berwawasan lingkungan Sholehien Deskripsi Dokumen: http://lib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=74226&lokasi=lokal

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG 133 PROSIDING Workshop Nasional 2006 134 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG PERTAMA KESIMPULAN 1. Ramin dan ekosistemnya saat ini terancam kelestariannya. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

AGROFORESTRI TEMBESU (Fagraea fragrans) BERBASIS KELAPA SAWIT DI KABUPATEN MUARO JAMBI

AGROFORESTRI TEMBESU (Fagraea fragrans) BERBASIS KELAPA SAWIT DI KABUPATEN MUARO JAMBI AGROFORESTRI TEMBESU (Fagraea fragrans) BERBASIS KELAPA SAWIT DI KABUPATEN MUARO JAMBI Nursanti, Fazriyas, Albayudi, Cory Wulan Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Jambi email: nursanti@yahoo.com ABSTRAK

Lebih terperinci

Kata kunci: rehabilitasi, mangrove, silvofhisery

Kata kunci: rehabilitasi, mangrove, silvofhisery Program : Penelitian dan Pengembangan Produktivitas Hutan Judul RPI : Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai Koordinator : Judul Kegiatan : Teknologi Penanaman Jenis Mangrove dan Tumbuhan Pantai

Lebih terperinci

Jumlah informasi dan paket iptek pendukung produktivitas hutan dan pola agroforestry berbaris kayu pertukangan

Jumlah informasi dan paket iptek pendukung produktivitas hutan dan pola agroforestry berbaris kayu pertukangan Jumlah informasi dan paket iptek pendukung produktivitas hutan dan pola agroforestry berbaris kayu pertukangan Pola agroforestry hutan rakyat penghasil kayu pertukangan Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Melalui

Lebih terperinci

Silvikultur intensif jenis rotan penghasil jernang (bibit, pola tanam, pemeliharaan)

Silvikultur intensif jenis rotan penghasil jernang (bibit, pola tanam, pemeliharaan) Silvikultur intensif jenis rotan penghasil jernang (bibit, pola tanam, pemeliharaan) Teknik Pembibitan Generatif dan Teknik Penanaman Rotan Jernang Paket Iptek Silvikultur Intensif Page 87 Program : Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perhutani sebanyak 52% adalah kelas perusahaan jati (Sukmananto, 2014).

BAB I PENDAHULUAN. Perhutani sebanyak 52% adalah kelas perusahaan jati (Sukmananto, 2014). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perum Perhutani merupakan sebuah badan usaha yang diberikan mandat oleh pemerintah untuk mengelola hutan tanaman yang ada di Pulau Jawa dan Madura dengan menggunakan

Lebih terperinci

Menengok kesuksesan Rehabilitasi Hutan di Hutan Organik Megamendung Bogor Melalui Pola Agroforestry

Menengok kesuksesan Rehabilitasi Hutan di Hutan Organik Megamendung Bogor Melalui Pola Agroforestry Menengok kesuksesan Rehabilitasi Hutan di Hutan Organik Megamendung Bogor Melalui Pola Agroforestry Oleh : Binti Masruroh Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) menurut Undang Undang Republik Indonesia Nomor

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian tentang Perkembangan Tegakan Pada Hutan Alam Produksi Dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) dilaksanakan di areal

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian

Lebih terperinci

Aplikasi pestisda nabati

Aplikasi pestisda nabati Aplikasi pestisda nabati Aplikasi Pestisida Nabati skala lapangan Aplikasi Pestisida Nabati Aplikasi Pestisida Nabati Page 95 Program : Penelitian dan Pengembangan Produktivitas Hutan Judul RPI : Laporan

Lebih terperinci

PERMUDAAN ALAM dan PERMUDAAN BUATAN

PERMUDAAN ALAM dan PERMUDAAN BUATAN Laboratorium Silvikultur &Agroforestry Jurusan Budidaya Hutan FakultasKehutanan, UGM PERMUDAAN ALAM dan PERMUDAAN BUATAN SILVIKULTUR Metode Permudaan Metode permudaan merupakan suatu prosedur dimana suatu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional,

I. PENDAHULUAN. Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional, 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional, khususnya pembangunan sektor pertanian. Perkebunan juga berperan dalam membangun perekonomian nasional,

Lebih terperinci

Lampiran 1 KUESIONER RESPONDEN/PETANI HUTAN RAKYAT

Lampiran 1 KUESIONER RESPONDEN/PETANI HUTAN RAKYAT Lampiran 1 KUESIONER RESPONDEN/PETANI HUTAN RAKYAT ANALISIS FINANSIAL PERBANDINGAN USAHA HUTAN RAKYAT MONOKULTUR DENGAN USAHA HUTAN RAKYAT CAMPURAN (Studi Kasus di Desa Jaharun, Kecamatan Galang, Kabupaten

Lebih terperinci

STRATEGI PENYELAMATAN EBONI (Diospyros celebica Bakh.) DARI ANCAMAN KEPUNAHAN. Edi Kurniawan

STRATEGI PENYELAMATAN EBONI (Diospyros celebica Bakh.) DARI ANCAMAN KEPUNAHAN. Edi Kurniawan Strategi Penyelamatan Eboni (Diospyros celebica Bakh.) dari... STRATEGI PENYELAMATAN EBONI (Diospyros celebica Bakh.) DARI ANCAMAN KEPUNAHAN Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Jl. Perintis Kemerdekaan

Lebih terperinci

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keterpurukan sektor kehutanan sudah berjalan hampir 14 tahun belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Masih besarnya angka laju kerusakan hutan serta bangkrutnya

Lebih terperinci

TEKNIK BUDIDAYA ROTAN PENGHASIL JERNANG

TEKNIK BUDIDAYA ROTAN PENGHASIL JERNANG TEKNIK BUDIDAYA ROTAN PENGHASIL JERNANG ASPEK : SILVIKULTUR Program : Pengelolaan Hutan Tanaman Judul RPI : Pengelolaan Hutan Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan Koordinator RPI : Dr. Tati Rostiwati Judul

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

PENINGKATAN RIAP PERTUMBUHAN TANAMAN TEMBESU MELALUI BEBERAPA PERLAKUAN SILVIKULTUR

PENINGKATAN RIAP PERTUMBUHAN TANAMAN TEMBESU MELALUI BEBERAPA PERLAKUAN SILVIKULTUR PENINGKATAN RIAP PERTUMBUHAN TANAMAN TEMBESU MELALUI BEBERAPA PERLAKUAN SILVIKULTUR Oleh: Agus Sofyan 1), Abdul Hakim Lukman 1), Junaidah 2) dan Nasrun S. 3) 1) Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan

Lebih terperinci

Paket Teknik Silvikultur Intensif Jenis penghasil kayu

Paket Teknik Silvikultur Intensif Jenis penghasil kayu Paket Teknik Silvikultur Intensif Jenis penghasil kayu Jenis Bambang Lanang Kajian Persyaratan tumbuh dan Teknik Manipulasi Lingkungan Teknik Pengendalian hama dan Penyakit Teknik Pengendalian Gulma dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kawasan hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

Kata kunci: hutan rawa gambut, degradasi, rehabilitasi, kondisi hidrologi, gelam

Kata kunci: hutan rawa gambut, degradasi, rehabilitasi, kondisi hidrologi, gelam Program : Penelitian dan Pengembangan Produktivitas Hutan Judul RPI : Pengelolaan Hutan Gambut Koordinator : Ir. Atok Subiakto, M.Apl.Sc Judul Kegiatan : Teknologi Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Terdegradasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk, kualitas sumber daya manusia (SDM) yang rendah, dan sempitnya kesempatan kerja merupakan akar permasalahan kemiskinan. Jumlah penduduk yang besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya dan ekonomi. Fungsi

Lebih terperinci

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT.

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT. Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH Oleh : PT. Sari Bumi Kusuma PERKEMBANGAN HPH NASIONAL *) HPH aktif : 69 % 62% 55%

Lebih terperinci

PENGARUH SISTIM TANAM MENUJU IP PADI 400 TERHADAP PERKEMBANGAN HAMA PENYAKIT

PENGARUH SISTIM TANAM MENUJU IP PADI 400 TERHADAP PERKEMBANGAN HAMA PENYAKIT PENGARUH SISTIM TANAM MENUJU IP PADI 400 TERHADAP PERKEMBANGAN HAMA PENYAKIT Handoko Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur ABSTRAK Lahan sawah intensif produktif terus mengalami alih fungsi,

Lebih terperinci

Ekologi Padang Alang-alang

Ekologi Padang Alang-alang Ekologi Padang Alang-alang Bab 2 Ekologi Padang Alang-alang Alang-alang adalah jenis rumput tahunan yang menyukai cahaya matahari, dengan bagian yang mudah terbakar di atas tanah dan akar rimpang (rhizome)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi dan hal itu telah diakui oleh negara-negara lain di dunia, terutama tentang potensi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

I. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung, Bandar Lampung.

I. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung, Bandar Lampung. I. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung, Bandar Lampung. Waktu penelitian dilaksanakan sejak bulan Mei 2010 sampai dengan panen sekitar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 25 HASIL DAN PEMBAHASAN Produktivitas Tegakan Berdasarkan Tabel 3 produktivitas masing-masing petak ukur penelitian yaitu luas bidang dasar (LBDS), volume tegakan, riap volume tegakan dan biomassa kayu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

ASPEK MANIPULASI LINGKUNGAN

ASPEK MANIPULASI LINGKUNGAN ASPEK MANIPULASI LINGKUNGAN JENIS: TEMBESU BAMBANG LANANG KAYU BAWANG SUNGKAI GELAM Program : Pengelolaan Hutan Tanaman Judul RPI : Pengelolaan Hutan Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan Koordinator RPI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pengelolaan hutan alam produksi, produktivitas hutan menjadi satu

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pengelolaan hutan alam produksi, produktivitas hutan menjadi satu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam pengelolaan hutan alam produksi, produktivitas hutan menjadi satu tuntutan yang harus dipenuhi. Produktivitas ditentukan oleh kualitas tempat tumbuh dan teknik

Lebih terperinci

PEMBUATAN BAHAN TANAM UNGGUL KAKAO HIBRIDA F1

PEMBUATAN BAHAN TANAM UNGGUL KAKAO HIBRIDA F1 PEMBUATAN BAHAN TANAM UNGGUL KAKAO HIBRIDA F1 Wahyu Asrining Cahyowati, A.Md (PBT Terampil Pelaksana) Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan Surabaya I. Pendahuluan Tanaman kakao merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mandat oleh pemerintah untuk mengelola sumber daya hutan yang terdapat di

BAB I PENDAHULUAN. mandat oleh pemerintah untuk mengelola sumber daya hutan yang terdapat di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perum Perhutani merupakan Perusahaan milik negara yang diberikan mandat oleh pemerintah untuk mengelola sumber daya hutan yang terdapat di Pulau Jawa dan Madura dengan

Lebih terperinci

TEKNIK BUDIDAYA GAHARU SERTA PERAN NYATA PENYULUH KEHUTANAN DALAM BUDIDAYA GAHARU

TEKNIK BUDIDAYA GAHARU SERTA PERAN NYATA PENYULUH KEHUTANAN DALAM BUDIDAYA GAHARU TEKNIK BUDIDAYA GAHARU SERTA PERAN NYATA PENYULUH KEHUTANAN DALAM BUDIDAYA GAHARU Oleh : Firmansyah, S.Hut, M.Si Penyuluh Kehutanan Ahli Pusat Penyuluhan BP2SDM Berdasarkan sifat fisiologis jenis-jenis

Lebih terperinci

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus TEKNIK PENANAMAN MANGROVE PADA DELTA TERDEGRADASI DI SUMSEL Teknik Penanaman Mangrove Pada Delta Terdegradasi di Sumsel Teknik Penanaman

Lebih terperinci

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM Muhdi Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan USU Medan Abstract A research was done at natural tropical

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar peranannya dalam Pembangunan Nasional, kurang lebih 70% dari luas daratan berupa hutan. Hutan sangat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli ` I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman Taman Hutan Raya (Tahura) adalah hutan yang ditetapkan pemerintah dengan fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

PENGARUH ASAL BAHAN DAN MEDIA STEK TERHADAP PERTUMBUHAN STEK BATANG TEMBESU

PENGARUH ASAL BAHAN DAN MEDIA STEK TERHADAP PERTUMBUHAN STEK BATANG TEMBESU PENGARUH ASAL BAHAN DAN MEDIA STEK TERHADAP PERTUMBUHAN STEK BATANG TEMBESU (Fragraea fragarans ROXB) 1) Oleh : Agus Sofyan 2) dan Imam Muslimin 2) ABSTRAK Tembesu (Fragraea fragrans ROXB) merupakan jenis

Lebih terperinci

V HASIL DAN PEMBAHASAN

V HASIL DAN PEMBAHASAN V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Keadaan Umum Responden Tingkat pendidikan di Desa Babakanreuma masih tergolong rendah karena dari 36 responden sebagian besar hanya menyelesaikan pendidikan sampai tingkat SD,

Lebih terperinci

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE Berdasarkan tinjauan pustaka yang bersumber dari CIFOR dan LEI, maka yang termasuk dalam indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan dilihat

Lebih terperinci

KUESIONER RESPONDEN PEMILIK ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL DAN PROSPEK PEMASARAN BUDIDAYA GAHARU PENGENALAN TEMPAT PETUGAS PROGRAM STUDI KEHUTANAN

KUESIONER RESPONDEN PEMILIK ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL DAN PROSPEK PEMASARAN BUDIDAYA GAHARU PENGENALAN TEMPAT PETUGAS PROGRAM STUDI KEHUTANAN Lampiran 1 KUESIONER RESPONDEN PEMILIK ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL DAN PROSPEK PEMASARAN BUDIDAYA GAHARU Dusun PENGENALAN TEMPAT Desa Kecamatan Kabupaten Provinsi Sumatera Utara No urut sampel PETUGAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Industri adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Industri adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Industri adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur intensif. Hal

Lebih terperinci

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM KARYA TULIS KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM OLEH : DIANA SOFIA H, SP, MP NIP 132231813 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2007 KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah,

Lebih terperinci

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN Noviana Khususiyah, Subekti Rahayu, dan S. Suyanto World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terutama pangan dan energi dunia, termasuk Indonesia akan dihadapkan pada

I. PENDAHULUAN. terutama pangan dan energi dunia, termasuk Indonesia akan dihadapkan pada I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Peningkatan jumlah penduduk akan terus menuntut pemenuhan kebutuhan dasar terutama pangan dan energi dunia, termasuk Indonesia akan dihadapkan pada krisis

Lebih terperinci

Kata kunci : Umur pertumbuhan, Dipterocarpaceae, mersawa, Anisoptera costata Korth

Kata kunci : Umur pertumbuhan, Dipterocarpaceae, mersawa, Anisoptera costata Korth PERTUMBUHAN BIBIT MERSAWA PADA BERBAGAI TINGKAT UMUR SEMAI 1) Oleh : Agus Sofyan 2) dan Syaiful Islam 2) ABSTRAK Degradasi hutan Indonesia meningkat dari tahun ke tahun dalam dekade terakhir. Degradasi

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang terpadu Universitas Lampung di

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang terpadu Universitas Lampung di 21 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang terpadu Universitas Lampung di Desa Muara Putih Kec. Natar Kab. Lampung Selatan dan Laboratorium

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. B. Bahan dan Alat Penelitian

TATA CARA PENELITIN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. B. Bahan dan Alat Penelitian III. TATA CARA PENELITIN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilakukan di areal perkebunan kelapa sawit rakyat di Kecamatan Kualuh Hilir Kabupaten Labuhanbatu Utara, Provinsi Sumatera Utara.

Lebih terperinci

CAPAIAN KEGIATAN LITBANG

CAPAIAN KEGIATAN LITBANG Balai Besar CAPAIAN KEGIATAN LITBANG 10-14 CAPAIAN RENSTRA 10-14 B2PD 1. Pengelolaan Hutan Alam /sub kegiatan A. Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari 1) pembinaan/pengayaan intensif di hutan alam pasca

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat disediakan dari hutan alam semakin berkurang. Saat ini kebutuhan kayu

BAB I PENDAHULUAN. dapat disediakan dari hutan alam semakin berkurang. Saat ini kebutuhan kayu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan kayu meningkat setiap tahun, sedangkan pasokan yang dapat disediakan dari hutan alam semakin berkurang. Saat ini kebutuhan kayu dunia diperkirakan sekitar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Berdasarkan hasil paduserasi TGHK - RTRWP pada tahun 1999, luas kawasan hutan alam diduga sekitar 120.353.104 ha (Purnama, 2003), dimana diperkirakan hutan alam yang terdegradasi,

Lebih terperinci

III. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Pelaksanaan. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Agrobioteknologi,

III. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Pelaksanaan. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Agrobioteknologi, III. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Pelaksanaan Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Agrobioteknologi, Laboratorium Penelitian, lahan percobaan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah

Lebih terperinci

PENGARUH KOMPOSISI MEDIA LIMBAH PLTU TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN TOMAT DAN INTENSITAS SERANGAN PENYAKIT LAYU FUSARIUM

PENGARUH KOMPOSISI MEDIA LIMBAH PLTU TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN TOMAT DAN INTENSITAS SERANGAN PENYAKIT LAYU FUSARIUM PENGARUH KOMPOSISI MEDIA LIMBAH PLTU TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN TOMAT DAN INTENSITAS SERANGAN PENYAKIT LAYU FUSARIUM KARYA ILMIAH TERTULIS (SKRIPSI) Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Menyelesaikan

Lebih terperinci

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak Pola Penyebaran dan Struktur Populasi Eboni (Diospyros celebica Bakh.) di Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin, Kabupaten Maros Propinsi Sulawesi Selatan Asrianny, Arghatama Djuan Laboratorium Konservasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disekitarnya. Telah menjadi realita bila alam yang memporak-porandakan hutan,

BAB I PENDAHULUAN. disekitarnya. Telah menjadi realita bila alam yang memporak-porandakan hutan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan adalah sumber kehidupan karena hutan bukan hanya penopang kehidupan manusia namun juga hewan dan bahkan tumbuhan itu sendiri. Kelangsungan hutan terancam oleh

Lebih terperinci

Sintesa Hasil Penelitian BPK Palembang Terkait RPI Pusprohut

Sintesa Hasil Penelitian BPK Palembang Terkait RPI Pusprohut Sintesa Hasil Penelitian BPK Palembang Terkait RPI Pusprohut Workshop Sintesa RPI Pusprohut Bagor, 13 November 2014 I. Mandat RPI Permenhut P. 26 Tanggal 20 April 2011 (Organisasi dan Tata Kerja BPK Palembang)

Lebih terperinci

PRINSIP AGRONOMIK BUDIDAYA UNTUK PRODUKSI BENIH. 15/04/2013

PRINSIP AGRONOMIK BUDIDAYA UNTUK PRODUKSI BENIH. 15/04/2013 PRINSIP AGRONOMIK BUDIDAYA UNTUK PRODUKSI BENIH 1 BUDIDAYA UNTUK PRODUKSI BENIH Budidaya untuk produksi benih sedikit berbeda dengan budidaya untuk produksi non benih, yakni pada prinsip genetisnya, dimana

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Intensitas cahaya dan penutupan tajuk Cahaya digunakan oleh tanaman untuk proses fotosintesis. Semakin baik proses fotosintesis, semakin baik pula pertumbuhan tanaman (Omon

Lebih terperinci

SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO

SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO Sejumlah faktor iklim dan tanah menjadi kendala bagi pertumbuhan dan produksi tanaman kakao. Lingkungan alami tanaman cokelat adalah hutan tropis. Dengan demikian curah hujan,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan alam Papua, dengan potensi merbaunya yang tinggi, merupakan satusatunya hutan alam di Indonesia yang dianggap masih relatif utuh setelah hutan alam Kalimantan dieksploitasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk menopang perekonomian nasional. Pembangunan pertanian yang baik untuk Negara Indonesia adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penting di antara rempah-rempah lainnya (king of spices), baik ditinjau dari segi

I. PENDAHULUAN. penting di antara rempah-rempah lainnya (king of spices), baik ditinjau dari segi I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Lada (Piper nigrum L.) merupakan salah satu jenis rempah yang paling penting di antara rempah-rempah lainnya (king of spices), baik ditinjau dari segi perannya dalam menyumbangkan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan rawa gambut merupakan suatu ekosistem yang unik dan di dalamnya terdapat beranekaragam flora dan fauna. Hutan rawa gambut memainkan suatu peranan yang penting

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di dua tempat, yaitu pembibitan di Kebun Percobaan Leuwikopo Institut Pertanian Bogor, Darmaga, Bogor, dan penanaman dilakukan di

Lebih terperinci

5. SIMPULAN DAN SARAN

5. SIMPULAN DAN SARAN 5. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Citra ALOS PALSAR dapat digunakan untuk membangun model pendugaan biomassa di ekosistem transisi yang telah mengalami transformasi dari hutan sekunder menjadi sistem pertanian

Lebih terperinci

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan tropis merupakan sumber utama kayu dan gudang dari sejumlah besar keanekaragaman hayati dan karbon yang diakui secara global, meskupun demikian tingginya

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Desa Manjung, Kecamatan Sawit, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Kecamatan Sawit memiliki ketinggian tempat 150 m dpl. Penelitian ini dilaksanakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan lindung. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

Pengembangan Wilayah Sentra Produksi tanaman, menyebabkan pemadatan lahan, serta menimbulkan serangan hama dan penyakit. Di beberapa lokasi perkebunan

Pengembangan Wilayah Sentra Produksi tanaman, menyebabkan pemadatan lahan, serta menimbulkan serangan hama dan penyakit. Di beberapa lokasi perkebunan BAB VII PENUTUP Perkembangan industri kelapa sawit yang cepat ini disebabkan oleh beberapa alasan, antara lain : (i) secara agroekologis kelapa sawit sangat cocok dikembangkan di Indonesia ; (ii) secara

Lebih terperinci

TUGAS I. MANAJEMEN PEMELIHARAAN KELAPA SAWIT

TUGAS I. MANAJEMEN PEMELIHARAAN KELAPA SAWIT TUGAS I. MANAJEMEN PEMELIHARAAN KELAPA SAWIT NAMA INSTANSI FASILITATOR : MU ADDIN, S.TP : SMK NEGERI 1 SIMPANG PEMATANG : Ir. SETIA PURNOMO, M.P. Perencanaan pemeliharaan merupakan tahapan awal yang sangat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman pangan penting di dunia setelah

I. PENDAHULUAN. Jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman pangan penting di dunia setelah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman pangan penting di dunia setelah gandum dan padi. Di Indonesia sendiri, jagung dijadikan sebagai sumber karbohidrat kedua

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Hutan tropis ini merupakan habitat flora dan fauna (Syarifuddin, 2011). Menurut

Lebih terperinci