PERBANDINGAN KLASIFIKASI MAXIMUM LIKELIHOOD DAN OBJECT ORIENTED PADA PEMETAAN PENUTUPAN/PENGGUNAAN LAHAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERBANDINGAN KLASIFIKASI MAXIMUM LIKELIHOOD DAN OBJECT ORIENTED PADA PEMETAAN PENUTUPAN/PENGGUNAAN LAHAN"

Transkripsi

1 PERBANDINGAN KLASIFIKASI MAXIMUM LIKELIHOOD DAN OBJECT ORIENTED PADA PEMETAAN PENUTUPAN/PENGGUNAAN LAHAN (Studi Kasus Kabupaten Gayo Lues NAD, HTI PT. Wirakarya Sakti Jambi dan Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah) MUHAMMAD RUSDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005

2 ABSTRAK MUHAMMAD RUSDI. Perbandingan Klasifikasi Maximum Likelihood dan Object Oriented pada Pemetaan Penutupan/Penggunaan Lahan (Studi Kasus Kabupaten Gayo Lues Aceh, HTI PT. Wirakarya Sakti Jambi dan Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah). Dibimbing oleh M. ARDIANSYAH dan ABUBAKAR KARIM. Permasalahan dalam klasifikasi menggunakan data penginderaan jauh digital adalah pemilihan metode klasifikasi citra, karena ketelitian diskriminasi objek pada citra tergantung dari pendekatan klasifikasi. Salah satu pendekatan klasifikasi yang baru dikembangkan adalah metode Object Oriented Classification (OOC). Perbedaan mendasar dari pendekatan ini terhadap Maximum Likelihood Classification (MLC) terletak pada unit dasar proses analisis citra berupa objek citra atau segmen, bukan piksel tunggal. Segmen atau objek ini dibentuk karena region terkecil memiliki luasan yang lebih besar dari piksel citra. Dalam studi ini, dilakukan perbandingan klasifikasi MLC dan OOC dari citra Landsat ETM+ Kabupaten Gayo Lues Aceh, HTI PT. Wirakarya Sakti Jambi dan citra QuickBird Toro Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah. Penelitian ini bertujuan memetakan, membandingkan hasil dan ketelitian klasifikasi kelas penutupan/penggunaan lahan dari MLC dan OOC. Hasil penelitian menunjukan penggunaan klasifikasi OOC menghasilkan kelas penutupan/penggunaan lahan lebih tinggi dan detil yang berhirarki dengan akurasi tinggi pada setiap level kelas klasifikasi, sehingga hasilnya lebih logis diterima secara kontektual di lapangan dibandingkan dengan sistem klasifikasi berbasis piksel.

3 PENDAHULUAN Latar Belakang Teknologi Penginderaan Jauh mengalami perkembangan yang sangat pesat sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, komunikasi dan komputer. Saat ini Penginderaan Jauh berorientasi pada teknologi satelit sebagai wahana pembawa sensor Penginderaan Jauh tersebut. Sebagai sarana pengindera, sensor satelit pada masa sekarang ini juga telah berkembang dengan kemampuan yang jauh diatas kemampuan mata manusia. Sensor tersebut merekam objek, area atau kejadian-kejadian di atas permukaan bumi, yang digunakan untuk inventarisasi dan pemetaan sumberdaya alam di permukaan bumi. Teknologi Penginderaan Jauh tersebut akan memberikan efisiensi pada banyak segi seperti perolehan data yang cepat, akurat dengan biaya dan tenaga operasional yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan teknologi konvensional. Metoda untuk memperoleh informasi dari data Penginderaan Jauh yang paling sering digunakan ialah klasifikasi multispektral berdasarkan analisis terhadap sifat reflektansi. Klasifikasi diartikan sebagai proses mengelompokkan piksel ke dalam kelas-kelas atau kategori-kategori yang telah ditentukan berdasarkan nilai kecerahan (brightness value/bv atau digital number) piksel yang bersangkutan. Dasar klasifikasi data Penginderaan Jauh adalah perhitungan statistik terhadap nilai-nilai spektral (digital number). Mengingat metode klasifikasi citra yang digunakan sangat menentukan hasil klasifikasi citra, oleh karena itu salah satu persoalan pemetaan menggunakan data Penginderaan Jauh digital adalah pemilihan metode klasifikasi yang akan digunakan dalam klasifikasi citra. Klasifikasi citra biasanya dilakukan menggunakan dua metoda yaitu klasifikasi terbimbing (supervised classification) dan klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification). Klasifikasi tidak terbimbing memiliki kelemahan, karena analis hanya memiliki sedikit kontrol terhadap kelas-kelas citra, yang menyebabkan kesulitan dalam perbandingan antar data. Disamping itu, penciri spektral selalu berubah sepanjang waktu, sehingga hubungan antara respon spektral dengan kelas informasi tidak konstan, karena itu diperlukan pengetahuan detil mengenai spektral permukaan (Richard 993).

4 2 Dalam klasifikasi terbimbing, identitas dan lokasi beberapa tipe penutup lahan seperti pemukiman, pertanian atau lahan basah diketahui secara a priori melalui kombinasi orientasi wilayah, analisis foto udara, peta dan pengalaman pribadi. Analis berusaha untuk menempatkan site spesifik ke dalam data Penginderaan Jauh yang merepresentasikan contoh-contoh tipe penutup/penggunaan lahan yang homogen. Berbagai algoritma klasifikasi terbimbing dapat digunakan untuk mengelompokkan piksel yang tidak diketahui kedalam salah satu kelas informasi. Diantara prosedur klasifikasi terbimbing, yang paling sering digunakan adalah maximum likelihood classification (MLC). Pendekatan ini memiliki kelemahan, yaitu banyak kesalahan klasifikasi yang muncul dalam bentuk poligon salt and pepper, terutama ketika piksel berada di luar area spesifik atau diantara area yang bertumpang tindih, yang dipaksakan untuk diklasifikasi. MLC banyak digunakan pada citra beresolusi rendah sampai menengah seperti Landsat dan hanya memperhatikan nilai spektral. Perkembangan citra satelit saat ini telah mengarah ke citra resolusi tinggi seperti IKONOS, QuickBird yang menyajikan informasi bentuk, pola, dan tekstur lebih baik dari citra yang beresolusi rendah atau menengah. Sejalan dengan peningkatan resolusi juga telah berkembang metode klasifikasi lain untuk mengklasifikasikan penutup/penggunaan lahan yang tidak hanya memperhatikan nilai spektral, tetapi juga bentuk, pola dan tekstur. Salah satu metode yang baru dikembangkan adalah object oriented classification (OOC). Proses klasifikasi dalam metode ini menggunakan prosedur segmentasi dengan sistem hirarki, sehingga suatu karakteristik objek dapat ditambahkan dengan kumpulan informasi tambahan dari objek yang diklasifikasikan seperti bentuk, tekstur, konteks dan informasi lain yang terkait dengan objek yang diklasifikasikan. Penggunaan informasi tambahan ini akan memperkaya informasi dalam klasifikasi, sehingga dapat menghasilkan pengelompokan yang lebih spesifik dan akurat. Perbedaan mendasar pada pendekatan ini dibandingkan dengan klasifikasi konvensional terletak pada unit dasar proses analisis citra berupa objek citra atau segmen, bukan piksel tunggal, serta tindakan klasifikasi yang harus diterapkan pada objek citra (Baatz and Shape, 2000).

5 3 Berdasarkan kendala dan keterbatasan pada klasifikasi MLC yang disebutkan sebelumnya, dilakukan penelitian dengan menerapkan metode baru yaitu OOC dengan menggunakan citra beresolusi sedang dan tinggi. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk :. Memetakan penutupan/penggunaan lahan dengan metode maximum likelihood classification (MLC) dan object oriented classification (OOC). 2. Membandingkan hasil dan ketelitian pemetaan penutupan/penggunaan lahan dengan metode maximum likelihood classification (MLC) dengan object oriented classification (OOC).

6 TINJAUAN PUSTAKA Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap objek, daerah atau gejala yang dikaji (Lillesand dan Kiefer 990). Data Penginderaan Jauh memiliki keunggulan dalam hal waktu pengamatan dibandingkan dengan cara konvensional. Data Penginderaan Jauh khususnya data satelit mempunyai peran yang sangat penting karena memberikan informasi menggenai penggunaan lahan yang sesuai dengan keadaan sebenarnya. Data yang didapatkan dari satelit biasanya sudah merupakan data digital (Hornby 974 dalam Sutanto 994) Pada dasarnya objek dipermukaan bumi ini dapat dibedakan menjadi tiga kelompok besar, yaitu tanah, air dan vegetasi. Ketiga objek tersebut secara alami mempunyai bentuk dan sifat berbeda, sehingga apabila direkam dengan mengunakan panjang gelombang tertentu akan menghasilkan karakteristik reflektan yang berbeda-beda. Karakteristik reflektan dari objek permukaan bumi (tanah, air dan vegetasi) dapat digunakan sebagai dasar dalam pemilihan citra Penginderaan Jauh yang digunakan dan dasar dalam interpretasi objek. Kurva karakteristik reflektan dari objek tanah, air dan vegetasi secara umum dapat diketahui dari Gambar. Dalam penerapan teknik Penginderaan Jauh, ketelitian dan luas wilayah terliput, ditentukan oleh jenis dan skala citra yang digunakan, karena setiap jenis citra tertentu dengan skala tertentu menggambarkan dan bahkan menonjolkan objek-objek tertentu sesuai dengan panjang gelombang yang digunakan untuk merekam data di lapangan. Suatu hal yang perlu dipakai sebagai dasar pemikiran dalam setiap penerapan teknik Penginderaan Jauh bahwa pada prinsipnya kamera/sensor Penginderaan Jauh hanya merekam objek-objek di permukaan bumi, sehingga objek-objek di bawah permukaan bumi atau yang tertutup oleh tumbuh-tumbuhan, dinterpretasi berdasarkan objek-objek yang tampak pada permukaan bumi (Sutanto 987, Lillesand dan Kiefer 990).

7 5 Tanah Vegetasi Air Gambar Kurva karakteristik reflektan dari obyek tanah, air, vegetasi serta posisi band spektral sensor beberapa jenis satelit. Citra Satelit Citra Landsat ETM+ Citra ini merupakan sebutan untuk citra yang dihasilkan oleh Landsat 7. Landsat 7 merupakan program lanjutan dari seri Landsat sebelumnya, yang diluncurkan ke orbit pada tanggal 5 April 999. Landsat 7 mengelilingi bumi pada ketinggian sekitar 705 km dengan sudut inklinasi 98 derajat dan waktu lintas khatulistiwa jam 0 pagi. Orbit satelit diprogram dengan siklus 6 hari sesuai Landsat Worlwide Reference System (NASA 2000). Landsat 7 membawa satu sensor yaitu Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+). Sensor tersebut merupakan duplikasi dari sensor TM pada Landsat TM 4, 5 yang mendapat tambahan satu saluran pankromatik dengan resolusi spasial 5 m, sedangkan pada infra merah thermal resolusinya spasialnya meningkat dari 20 meter pada Landsat TM menjadi 60 meter (Landsat, 2000). Pada saat ini Landsat 7 mengalami perbaikan pada respon detektor sensornya, sehinga citra yang dihasilkan mengalami efek line dropout, striping dan noise.

8 6 Karakteristik Landsat ETM+ dan fungsi masing-masing saluran disajikan pada Tabel. Tabel Karakteristik Landsat ETM+ dan kegunaan masing-masing band Band Spektral (µm) Sistem Resolusi Spasial (m) Temporal (hari) Radiometri (bit) Kegunaan Utama Biru x Penetrasi tubuh air, analisis penggunaan lahan, pembedaan vegetasi dan tanah 2 Hijau x Pengamatan puncak pantulan vegetasi, untuk membedakan jenis vegetasi dan untuk membedakan antara tanaman sehat dan tidak sehat 3 Merah x Untuk membedakan jenis vegetasi, untuk membedakan jenis tanaman, memudahkan perbedaan antara lahan terbuka dengan lahan bervegetasi 4 Infra merah dekat 5 Inframerah gelombang pendek (menengah I) 6 Inframerah thermal 7 Inframerah gelombang pendek (menengah II) x Saluran yang peka terhadap biomassa vegetasi, juga untuk identifiaksi jenis tanaman, memudahkan perbedaan tanah dan tanaman serta lahan dan air x Saluran penting untuk pembedaan jenis tanaman, kandungan air tanaman, kelembaban tanah x Untuk membedakan formasi batuandan untuk pemetaan hidrotermal x Berfungsi untuk memisahkan formasi batuan dan dapat digunakn untuk pemetaan hdrotermal 8 Pankromatik x5 6 8 Klasifikasi vegetasi, analisis ganguan vegetasi, pembedaan kelembaban tanah dan keperluan lain yang berhubungan dengan gejala termal Sumber : Landsat 2000 Citra QuickBird Digital Globe telah berhasil meluncurkan satelit QuickBird dengan menggunakan mesin pendorong Boeing Delta II pada tanggal 8 Oktober 200. Pada Desember 2000, DigitalGlobe telah menerima lisensi dari NOAA untuk mengoperasikan sistem satelit dengan resolusi 0.5 meter. Perusahaan ini telah berhasil memodifikasi QuickBird untuk meningkatkan resolusi sistem pengambilan citra satelit yang pada awalnya adalah meter menjadi 6 centimeter untuk panchromatic dan 4 meter menjadi 2.44 meter untuk multispectral melalui pengaturan orbit satelit. QuickBird telah didesain untuk dapat terbang rendah dan satelit ini membawa bahan bakar yang cukup agar masa misinya dapat sesuai dengan jadwal misi. Sejak diluncurkan dan

9 7 pengambilan gambar pertama kali, QuickBird merupakan satelit komersial yang mempunyai resolusi tertinggi di dunia hingga saat ini (Pandhito 2004). Tabel 2 Spesifikasi QuickBird Waktu Peluncuran 8 Oktober 200, Lokasi Peluncuran Pangkalan Udara Vandenberg, California Mesin peluncur Boeing DELTA II Ketinggian 450 km waktu orbit 93.5 menit, lewat garis katulistiwa 0:30 am (descending) Inklinasi 97.2 derajat Sun-Synchronous Lebar nominal swath 6.5 km di nadir Area target Single scene: 6.5 km x 6.5 km Sensor Resolusi Panchromatic Basic: 0.6 meter di nadir 0.72 meter di off-nadir 25o Standard & Orthorectified Resampled ke 0.7 meter GSD Multi-spectral Basic: 2.44 meter di nadir 2.88 meter di off-nadir 25o Standard & Orthorectified resampled ke 2.8 meter GSD Spectral Bandwidth Dynamic Range Sumber: Pandhito (2004) nanometer bits per piksel Biru: nanometer Hijau: nanometer Merah: nanometer Near-IR: nanometer bits per piksel Klasifikasi Manual Prinsip pengenalan objek pada citra mendasarkan atas pengenalan karakteristik atau atributnya pada citra. Karekteristik objek yang tergambar pada citra dan digunakan untuk mengenali objek disebut unsur interpretasi citra.unsur interpretasi citra terdiri dari sembilan unsur (sembilan kunci interpretasi), yaitu rona atau warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola, tinggi, bayangan, situs, dan asosiasi. Sembilan unsur interpretasi citra ini disusun secara berjenjang atau secara hirarki seperti yang disajikan pada Gambar 2. Rona (tone/color tone/grey tone) ialah tingkat kegelapan atau tingkat kecerahan objek pada citra. Bentuk merupakan variabel kualitatif yang memberikan atau kerangka suatu objek (Lo 996). Bentuk merupakan atribut yang jelas sehingga banyak objek yang dapat dikenali berdasarkan bentuknya saja. Ukuran ialah atribut objek yang berupa jarak, luas, tinggi, lereng, dan volume. Ukuran objek pada citra merupakan fungsi skala. Tekstur ialah frekuensi perubahan rona pada citra atau pengulangan rona kelompok objek yang terlalu kecil untuk dibedakan secara individual. Tekstur sering dinyatakan dengan kasar, halus. (Lillesand dan Kiefer 990, Estes dan Simonett 975 dalam Sutanto 986)

10 8 Pola atau susunan keruangan merupakan ciri yang menandai bagi banyak objek bentukan manusia dan bagi beberapa objek alamiah. Bayangan bersifat menyembunyikan detail atau objek yang berada di daerah gelap. Objek atau gejala yang terletak di daerah bayangan pada umumnya tidak tampak sama sekali atau kadang-kadang tampak samar-samar. Meskipun demikian bayangan sering merupakan kunci pengenalan yang penting bagi beherapa objek yang justru lebih tampak dari bayangannya. Situs bukan merupakan ciri objek secara langsung melainkan dalam kaitannya dengan lingkungan sekitarnya, sedangkan asosiasi dapat diartikan sebagai keterkaitan antara objek yang satu dengan objek lain. Karena adanya keterkaitan ini maka terlihatnya suatu objek pada citra sering merupakan petunjuk bagi adanya objek lain. Gambar 2 Susunan hirarki unsur interpretasi citra. Secara umum proses interpretasi visual dilakukan dengan tiga tahapan yaitu identifikasi, delineasi dan interpretasi akhir. Indentifikasi adalah orientasi awal terhadap citra yang akan diinterpretasi, selanjutnya proses pemisahan objek kenampakan dari citra (delineasi). Delineasi dilakukan sesuai dengan kunci interpretasi, yakni menggunakan elemen-elemen/unsur-unsur seperti pada Gambar 2 yaitu : warna/tone, ukuran/size, bentuk/shape, tekstur/texture, pola/pattern, tinggi/high, bayangan/shadow, situs(sebaran)/distribusi dan asosiasi. Deliniasi dimulai dari kunci interpreter yang paling mudah diinterpretasi pada citra dan paling umum. Proses ketiga adalah interpretasi akhir dimana hasil delineasi sudah disesuaikan untuk tujuan tertentu. Hasil identifikasi dan pengenalan ialah suatu daftar objek dan kenampakan dalam daerah itu. Hasil ini merupakan dasar untuk delineasi daerah yang memiliki pola dan karakteristik homogen yang dapat diamati. Setiap daerah yang didelineasi harus diklasifikasikan melalui proses induksi (pengertian umum

11 9 dari hal-hal khusus) dan deduksi (pengertian khusus dari pengamatan umum). Klasifikasi manual mempunyai keunggulan dimana interpreter dapat mempertimbangkan cukup informasi terhadap hasil klasifikasi melalui proses induksi dan deduksi. Adapun kelemahan klasifikasi manual adalah tidak mampu menangani jumlah data citra yang besar dalam waktu yang singkat serta keterbatasan kemampuan mata manusia yang hanya sensitif 30 skala warna. Klasifikasi Digital Klasifikasi merupakan suatu proses dimana semua piksel dari citra yang memiliki pengenalan spektral yang sama diidentifikasi. Fungsi utama klasifikasi adalah untuk melakukan pemisahan dari suatu populasi yang kompleks ke dalam kelompok-kelompok yang disebut kelas, yang dianggap sebagai unit-unit homogen untuk tujuan tertentu (Malingreau dan Cristiani 982). Wiradisastra (982) juga menjelaskan bahwa klasifikasi penutup lahan merupakan pembagian wilayah ke dalam satuan-satuan yang lebih kecil dan homogen agar deskripsinya lebih sederhana. Klasifikasi citra digital menggunakan asumsi bahwa variasi pola peubah ganda (multivariate) dari DN pada suatu areal mempunyai hubungan yang erat dengan kondisi penutupan Iahannya. Juga diasumsikan bahwa penutupan lahan yang sama akan mempunyai sifat-sifat reflektansi atau nilai DN) yang sama pula, sehingga karakteristik statistika dari sekumpulan piksel yang mewakili suatu penutupan lahan dapat digunakan untuk mendefinisikan decision rule yang mampu membedakan antar penutupan lahan yang satu dengan yang lainnya (Jaya 2002) Secara umum terdapat dua metode klasifikasi, yaitu klasifikasi terbimbing (supervised classification) dan klasifikasi tak terbimbing (unsupervised classification). Klasifikasi terbimbing adalah klasifikasi dimana analis mempunyai sejumlah piksel yang mewakili dari masing-masing kelas atau kategori yang diinginkan. piksel-piksel penciri tersebut sering disebut dengan training data, sementara kegiatan mengidentifikasinya pada citra dan selanjutnya digunakan untuk membuat class signature disebut dengan training area. Class signature (ciri kelas) tersebut akan berbeda-beda tergantung kepada metoda yang digunakan. Untuk metoda parallelepiped, class signature-nya adalah ambang atas dan ambang bawah dari DN, sementara pada metoda jarak minimum adalah vektor rata-rata (mean vector) dari training area untuk setiap kelas. Pada metoda

12 0 maksimum likelihood, maka class signature-nya adalah vektor rata-rata dan matrik ragam-peragam (variance-covariance matrix) dari masing-masing kelas (Jaya 2002). Berbeda dengan klasifikasi terbimbing, klasifikasi tak terbimbing secara otomatis dilakukan oleh komputer dengan mencari group berdasarkan kelompok spektral piksel yang bersangkutan (cluster). Gugus grouping dari spektral yang terbentuk kemudian ditandai sebagai objek tertentu oleh analis (Danoedoro 996) Maximum Likelihood Clasification (MLC) Metode ini merupakan metode klasifikasi terbimbing yang paling banyak digunakan untuk data Penginderaan Jauh. Sebelum melakukan klasifikasi, penguna menentukan training area yang digunakan untuk melihat ciri-ciri statistika masing-masing calon kelas (Richard 993). Klasifikasi MLC didasarkan pada perkiraan densitas probabilitas untuk setiap tutupan/penggunaan lahan. Perhitungan probabilitas disini memungkinkan untuk menemukan sebuah piksel dari kelas i pada vektor X yang didefinisikan oleh persamaan : P(i X) = P(X i)p(i)/p(x) Dimana : P(i X) = Probabilitas bersyarat dari kelas i, dihitung mengingat bahwa vektor X ditetapkan secara apriori (tanpa syarat). Probabilitas ini juga disebut likelihood. P(X i) = Probabilitas bersyarat (conditional) dari vektor X, dihitung mengingat bahwa kelas ditetapkan secara apriori P(i) = Probabilitas kelas i muncul didalam sebuah citra P(X) = Probabilitas dari vektor X Lillesand dan Kiefer (994) menyatakan bahwa klasifikasi MLC mengevaluasi secara kuantitatif variance dan co-variance pola tanggapan spektral kategori ketika mengklasifikasi piksel yang tidak dikenal. Untuk melakukan ini, dibuat asumsi bahwa distribusinya normal. Untuk alasan matematik, suatu distribusi normal multivariate dapat digunakan sebagai fungsi densitas probabilitas. Dalam kasus distribusi normal, kemungkinan nilai X masuk ke dalam kelas k dapat diexpresikan sebagai berikut:

13 Lk ( X ) = exp ( X μ ) n k / (2π ) / / k k ( X μ ) dimana : n : banyaknya band X : vektor piksel dari citra n band Lk(X) : kemungkinan dari X masuk kedalam kelas k µ k : vektor rataan dari kelas k k : matrik varian kovarian dari kelas k / k / : determinan dari k k t Object Oriented Clasification (OOC) Kebanyakan algoritma pengolahan citra yang dikembangkan untuk analisis citra resolusi rendah ( m) berbasis piksel. Pendekatan ini mempunyai keterbatasan, yang pada satu sisi tidak mempertimbangkan cukup informasi, dan pada sisi lain teori yang melatar belakangi tidak sesuai dengan baik persepsi manusia maupun dunia objektif, sehingga hasil yang diharapkan dari interpretasi atau pemaknaan citra kurang memuaskan. Dengan mengintegrasikan informasi spektral, struktur, topologi dan informasi konteks lain melalui kombinasi pengolahan citra, pengenalan obyek, computervision, kecerdasan buatan dan sistem pakar diharapkan hasil-hasil yang akan dicapai lebih baik. Oleh karena itu dikembangkanlah klasifikasi yang menambahkan suatu input pengetahuan kontektual kedalam segmentasi, yang dikenal dengan sebutan klasifikasi yang berorientasi objek (OOC). Segmentasi adalah suatu metoda untuk pengelompokan objek ke dalam region-region yang ditentukan oleh suatu ukuran kehomogenan. Metode ini menghasilkan gambaran objek suatu ukuran yang sama dalam struktur dan resolusi yang berbeda (Definiens Imaging 2004). Segmentasi menggunakan tiga parameter yaitu skala (scale), warna (color) dan bentuk (form). Parameter skala (scale parameter) adalah nilai abstrak yang menentukan heterogenitas maksimum yang diperbolehkan untuk menghasilkan objek tanpa korelasi langsung dengan ukuran piksel yang terukur. Parameter ini lebih bergantung pada heterogenitas material data. Parameter warna menyeimbangkan homogenitas warna dari segmen dan homogenitas dari bentuk. Parameter bentuk mengontrol bentuk kenampakan dari objek dengan

14 2 menyeimbangkan antara kriteria kehalusan (smoothness) dan kriteria kekompakan (compactness) dari objek (Hildebrant 996 dalam Willhauck 2000). Parameter warna dihitung dengan menggunakan rumus : h color shape f = w. h + ( w). color h shape ( ( ) c merge c obj obj 2 nmerge. σ nobj. σ nobj 2. σ c. hcmpct + ( wcmpct ) hsmooth = wc + c h = w. cmpct h smooth dan h cmpct diperoleh dihitung dengan : h smooth h cmpct = n = n merge merge. l. b l merge merge merge n merge n n obj lobj l. + nobj 2. b b l obj obj obj. + nobj 2. nobj f adalah nilai fusi penggabungan total, h adalah heterogenitas, w c dan w cmpct adalah bobot dari parameter warna dan kekompakan, n adalah ukuran objek, l adalah perimeter panjang objek, b adalah perimeter batas. (Definiens Imaging 2004). Segmentasi tidak memiliki suatu nilai tertentu. Objek citra yang dihasilkan dari prosedur segmentasi dimaksudkan untuk menjadi objek citra awal, yang menyediakan atau pembawa informasi dan kerangka klasifikasi lebih lanjut atau proses segmentasi lain. Dalam hal ini, hasil terbaik segmentasi adalah hasil yang mampu menyediakan informasi optimal untuk proses lebih lanjut. (Hofman 998 dalam Wong et al 2003). Algoritma segmentasi tidak hanya mengandalkan nilai piksel tunggal, tetapi juga spasial piksel seperti tekstur, topologi dan bentuk serta posisinya dalam network hirarki. (Humano 2000, Manakos 200) obj 2 obj 2 l obj 2 n obj 2 Gambar 3 Konsep Segmentasi dalam object oriented clasification.

15 3 Gambar 3 menunjukkan konsep segmentasi, dimana terdapat level objek citra yang berbeda yang diciptakan dengan merepresentasikan skala yang berbeda. Semua objek gambar yang terhubung secara otomatis dengan sebuah network (jaringan) setelah proses segmentasi. Setiap objek citra mengenal tetangganya, yang memberikan konteks informasi penting untuk analisis berikutnya. Kemudian, pengulangan segmentasi dengan skala parameter yang berbeda menghasilkan jaringan objek citra yang berhirarki. Tiap objek citra mengenal super-objek dan sub-objeknya (Wong et al 2003). Segmen-segmen yang ada, akan diklasifikasi menggunakan sistem klasifikasi fuzzy. Menurut Baatz (200) klasifikasi fuzzy adalah suatu teknik yang sederhana dalam mengklasifikasi dengan dasar memberikan nilai penampakan dari area dengan nilai fuzzy antara 0 dan (yang mengindikasikan derajat keanggotaan) kedalam masing masing kelas. Untuk mengubah selang dari nilai feature yang berbeda-beda kedalam ekspresi logis digunakan dua macam pengklasifikasian yaitu fungsi keanggotaan (membership function) dan klasifikasi tetangga terdekat (nearest neigbour). Semua ekspresi dari satu kelas harus dikombinasikan untuk memperoleh hasil yang diinginkan dengan menggunakan operator logis seperti and (max), and (mean), or, if and else (Mayer et al 993 dalam Willhauck, 2000). Aturan fuzzy yang digunakan adalah if then yang berarti apabila kondisi terpenuhi maka terklasifikasi dalam kelas tersebut. Aturan fuzzy ini dapat dikembangkan dan dikombinasi dengan menggunakan operator logis. Fungsi keanggotaan merupakan suatu batasan terhadap kelas yang akan diklasifikasi fungsi keanggotaan ini meliputi rata-rata (C L ), standar deviasi (δ L ) dan ratio (r L ). Rata-rata (C L ) adalah jumlah nilai digital (DN) dalam objek (C L i ) dibagi dengan jumlah piksel dalam objek (n). C = n L C Li n i= σ L = n n i= C Li C L 2 Standar deviasi ( σ ) dihitung dari layer value dari semua piksel (n) dari objek L yang dibentuk dalam citra. sedangkan ratio ( ) adalah nilai rata-rata dari objek dalam band dibagi dengan jumlah semua spektral band dalam objek. r L r L = C n L i= L C i

16 4 selain fungsi keanggotaan ekspresi yang lain adalah nearest neighbor (NN). Fungsi ini membutuhkan sejumlah training area dimana jarak kedekatan antara objek contoh dengan objek citra dihitung dengan rumus : d = f ( s) v f v σ f ( o) f 2 dimana d = jarak antara objek contoh dengan objek dalam citra (s) v f = feature value dari objek contoh (o) v f = feature value dari objek dalam citra σ f = standar deviasi Prinsip NN adalah menetapkan training area yang reseprentatif untuk masing-masing kelas, kemudian algoritma OOC mencari objek terdekat dalam ruang feature pada masing-masing objek citra, seperti yang disajikan pada Gambar 4. Jika sebuah objek citra (A) lebih dekat dengan objek (B) yang temasuk dalam kelas biru, maka objek citra (A) akan dimasukkan kedalam kelas biru (Gao 2003). Gambar 4 Konsep nearest neighbor.

17 5 Akurasi Klasifikasi Penutupan/Penggunaan Lahan Evaluasi akurasi bertujuan untuk melihat persentase ketelitian hasil klasifikasi dalam mengkelaskan suatu areal menjadi kelas-kelas penutupan/penggunaan lahan dengan cara menghitung jumlah piksel area contoh (training area) yang diklasifikasikan dengan benar dan salah. Akurasi dievaluasi dengan membuat matriks contingency, yang lebih dikenal dengan matriks kesalahan (confusion matrix) seperti yang disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Matrik kesalahan (confusion matrix) Data Training Diklasifikasi Ke- Kelas Area A B D Total Baris Producer s A X ii X k+ X kk /X k+ B D X kk Total Kolom X +k N User s X ii /X +k Berdasarkan matrik kesalahan, maka nilai akurasi yang didapat adalah adalah user s accuracy, producer s accuracy, dan overall accuracy. Nilai akurasi yang paling banyak digunakan adalah akurasi Kappa (KHAT), karena nilai ini memperhitungkan semua elemen (kolom) dari matriks. Secara matematis akurasi kappa dinyatakan sebagai berikut : Kappa Accuracy = r N r i= i= N 2 X i r i= X X i+ i+ X X + i + i Dimana : N = jumlah semua piksel yang digunakan untuk pengamatan r = jumlah baris/ lajur pada matriks kesalahan (sama dengan jumlah kelas) k i+ = X IJ (jumlah semua kolom pada baris ke-i) k +j = X ij (jumlah semua kolom pada baris ke-j)

18 6 Badan Survey Geologi Amerika Serikat (USGS) telah mensyaratkan tingkat akurasi/ ketelitian sebagai kriteria utama bagi sistem klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan yaitu tingkat akurasi klasifikasi terhadap data Penginderaan Jauh harus tidak kurang dari 85 %, dan ketelitian klasifikasi harus lebih kurang sama untuk beberapa katagori/kelas. Sistem Klasifikasi Penutupan/penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (994), penggunaan lahan berhubungan dengan kegiatan manusia pada sebidang lahan, sedangkan penutup lahan lebih merupakan perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap obyek-obyek tersebut. Salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan pemetaan penutupan/penggunaan lahan terletak pada pemilihan sistem klasifikasi yang tepat, yang dirancang untuk suatu tujuan dimaksud. Sistem klasifikasi penutupan/penggunaan lahan adalah upaya pengelompokan penutupan/penggunaan lahan dalam penyajian data spasial yang akan dijadikan pedoman atau acuan dalam proses interpretasi. Klasifikasi penutupan/penggunaan lahan yang digunakan di Indonesia umumnya disesuaikan dengan tujuan masing-masing pengguna baik individu maupun organisasi pemerintah yang bertanggung jawab dalam pemetaan lahan. Beberapa klasifikasi penutupan/penggunaan lahan yang telah ada, diuraikan di bawah ini. a) Sistem klasifikasi penutupan/penggunaan lahan menurut Badan Pertanahan Nasional (BPN 977 dalam Surlan 2002), membagi wilayah pedesaan dan perkotaan sebagai dasar klasifikasi penggunaan lahan. Klasifikasi penutupan/penggunaan lahan pedesaan disajikan dalam berbagai skala, yakni skala : s/d : ; skala : s/d : ; dan skala : s/d : Masing-masing klasifikasi disajikan secara terpisah, yakni bukan merupakan klasifikasi penggunaan lahan yang berjenjang. b) Sistem klasifikasi penutupan/penggunaan lahan untuk Indonesia menurut Malingreau (982), didasarkan pada kombinasi sistem physiognomik dan sistem fungsional. Cara penyajian masing-masing kiasifikasi dilakukan secara bertingkat, dengan empat tingkat klasifikasi, yaitu jenjang I hingga jenjang IV. Klasifikasi penggunaan lahan jenjang berikutnya merupakan rincian dari

19 7 jenjang sebelumnya. c) Klasifikasi penutupan/penggunaan lahan menurut Regional Physical Planning Programme for Transmigration (RePPPRoT 987) dibangun dengan menggunakan data Penginderaan Jauh sebagai sumber utama datanya. Peta penutup/penggunaan lahan disajikan pada skala : , ditujukan untuk evaluasi lahan, dimana peta penutup/penggunaan lahan sebagai salah satu masukan datanya. d) Sistem klasifikasi penutupan/penggunaan lahan menurut United States Geologi Survey (USGS 992 dalam Jansen 2000), dikembangkan berdasar penggunaan citra Penginderaan Jauh sebagai sumber data dalam pemetaannya. Sistem klasifikasinya merupakan sistem klasifikasi berjenjang, yaitu dari tingkat I (umum) hingga tingkat IV (rinci). e) Sistem klasifikasi penutupan/penggunaan lahan yang dikembangkan pada proyek CORINE landcover (ITC 200), sistem klasifikasi ini berdasarkan penggunaan citra Penginderaan Jauh sebagai sumber data dalam pemetaannya dan partisipatif data lokal. Sistem klasifikasinya merupakan sistem klasifikasi berlevel, yaitu dari level I (umum) hingga level III(rinci). f) Sistem klasifikasi penutupan/penggunaan lahan menurut Bakosurtanal (2000) merupakan rekomendasi untuk pemetaan tematik Dasar di Indonesia. Sistem klasifikasinya merupakan sistem klasifikasi berjenjang, yaitu dari tingkat I hingga tingkat III. Berbagai macam sistem klasifikasi di atas menunjukkan betapa sulitnya menentukan sistem klasifikasi yang dapat memuaskan semua persyaratan. Oleh karena itu dipilih sistem klasifikasi penutupan/penggunaan lahan yang sedapat mungkin mengakomodasi berbagai kebutuhan klasifikasi. Sistem klasifikasi yang dipilih adalah Klasifikasi FAO 994 dalam Rosalina Klasifikasi ini banyak dipakai sebagai standar klasifikasi penutupan/penggunaan lahan dengan menggunakan citra Penginderaan Jauh, sedangkan di Indonesia sistem klasifikasi ini digunakan pada TREES Project kerjasama IPB dan Uni Eropa. Sistem klasifikasi FAO 994 disajikan pada Tabel 4.

20 8 Tabel 4 Klasifikasi Penutup Lahan menurut FAO 994. Forest Level Level 2 Level 3 Level 4. Evergreen and Semi evergreen Forest 2. Deciduous Forest 3. Inundated Forest 9. Other 4. Gallery Forest 0 0. Unknown. Teak 5. Plantation 2. Pine 3. Eucalyptus 9. Other 6. Forest Regrowth Mangrove Other Mosaic 0% - 40% forest cover 0. Undefined. Shifting cultivation. /3 cropping 2. > /3 cropping 2. Cropland and Forest 3. Other vegetation and Forest 9. Other 3. Non Forest Vegetation< 0% canopy cover or < 0% forest cover Up to 0% of Forest cover 4. Agriculture Up to 0% of Forest cover 5. Non vegetated 6. Water. Wood & shrubland 0. Unknown 4. Bamboo 5. Swamp savanna 6. Humid (evergreen) type 7. Dry (savanna) type 9. Other 2. Grassland 0. Unknown. Dry grassland 2. Swamp grassland 9. Other 3. Regrowth of vegetation 9. Other < 0% canopy cover Or < 0% forest cover. Arable 0. unknown. Irigated 2. Rainfed 2. Plantations 0. Unknown. Rubber 2. Oil palm 3. Coffee, Cacao 9. Other 3. Ranching 9. Other. Urban 2. Roads 3. Infra structure 4. Bare soil 9. Other. River 2. Lake 7. Sea 8. Not visible. Clouds 2. Shadow 9. No data Sumber : FAO 994 dalam Rosalina Unknow A. Closed.Evergreen - lowland forest > 70% forest cover 2.Evergreen-mountain forest > 70% canopy cover 3. Semi-evergreen forest 4. Heath forest / kerangas B. Open 5. Coniferous > 70% forest cover 9. Other 70-0% canopy cover 0. Unknown. (Dry) Mixed deciduous C. Fragmented 4. Dry Dipterocarp 40-70% forest cover 9. Other >0% canopy cover 0. Unknow. Periodically inundated D. Undefined 3.Swampforest(permanently inundated 4. Swamp forest with palms 5. Peat swamp forest

DISKRIMINASI TEGAKAN HTI (Hutan Tanaman Industri) MENGGUNAKAN OBJECT ORIENTED CLASSIFICATION Studi kasus PT. HTI Wira Karya Sakti, Jambi 1

DISKRIMINASI TEGAKAN HTI (Hutan Tanaman Industri) MENGGUNAKAN OBJECT ORIENTED CLASSIFICATION Studi kasus PT. HTI Wira Karya Sakti, Jambi 1 DISKRIMINASI TEGAKAN HTI (Hutan Tanaman Industri) MENGGUNAKAN OBJECT ORIENTED CLASSIFICATION Studi kasus PT. HTI Wira Karya Sakti, Jambi 1 Muhammad Ardiansyah, Dr.-Ing 2) dan Muhammad Rusdi, SP. 3) 2.

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain:

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain: BAB II TEORI DASAR 2.1 Tutupan Lahan Tutupan Lahan atau juga yang biasa disebut dengan Land Cover memiliki berbagai pengertian, bahkan banyak yang memiliki anggapan bahwa tutupan lahan ini sama dengan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB IV HASIL DAN ANALISIS BAB IV HASIL DAN ANALISIS 4.1 Hasil Segmentasi Dari beberapa kombinasi scale parameter yang digunakan untuk mendapatkan segmentasi terbaik, untuk mengklasifikasikan citra pada penelitian ini hanya mengambil

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian ini. Proses persiapan data ini berpengaruh pada hasil akhir penelitian. Persiapan yang dilakukan meliputi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Penginderaan Jauh

TINJAUAN PUSTAKA Penginderaan Jauh TINJAUAN PUSTAKA Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat

Lebih terperinci

Gambar 1. Satelit Landsat

Gambar 1. Satelit Landsat 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan bentang permukaan bumi yang dapat bermanfaat bagi manusia baik yang sudah dikelola maupun belum. Untuk itu peran lahan cukup penting dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hasil sensus jumlah penduduk di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 1.904.569 km 2 menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk, dari tahun 2010 jumlah penduduknya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan TINJAUAN PUSTAKA KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan

Lebih terperinci

EVALUASI KLASIFIKASI BERBASIS OBJEK UNTUK PEMETAAN LIPUTAN HUTAN DAN LAHAN

EVALUASI KLASIFIKASI BERBASIS OBJEK UNTUK PEMETAAN LIPUTAN HUTAN DAN LAHAN EVALUASI KLASIFIKASI BERBASIS OBJEK UNTUK PEMETAAN LIPUTAN HUTAN DAN LAHAN Muhammad Ardiansyah 1, Muhammad Rusdi 2 dan Abu Bakar Karim 2 1 Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1 KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1 1. Pendahuluan Penginderaan jarak jauh merupakan salah satu teknologi penunjang pengelolaan sumber daya alam yang paling banyak digunakan saat ini. Teknologi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 14 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan September dengan mengambil lokasi penelitian di wilayah Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya (Gambar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

Bab II Tinjauan Pustaka

Bab II Tinjauan Pustaka 8 Bab II Tinjauan Pustaka II.1. Penelitian terdahulu Wiantoko,M, 2005, melakukan penelitian perubahan obyek bangunan PBB untuk pemeliharan data obyek PBB, dengan membandingkan peta bangunan dengan citra

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT Tujuan: Mahasiswa dapat mengidentifikasi objek yang ada pada citra landsat Mahasiswa dapat mendelineasi hasil interpretasi citra landsat secara teliti Mahasiswa dapat

Lebih terperinci

Citra Satelit IKONOS

Citra Satelit IKONOS Citra Satelit IKONOS Satelit IKONOS adalah satelit inderaja komersiil pertama yang dioperasikan dengan tingkat ketelitian 1 meter untuk model pankromatik dan 4 meter untuk model multispektral yang merupakan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian di DAS Citarum Hulu Jawa Barat dengan luasan sebesar + 230.802 ha. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni perolehan informasi objek di permukaan Bumi melalui hasil rekamannya (Sutanto,2013). Objek di permukaan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian tugas akhir ini. Proses ini sangat berpengaruh terhadap hasil akhir penellitan. Pada tahap ini dilakukan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Koreksi Geometrik Koreksi geometrik adalah suatu proses memproyeksikan data pada suatu bidang sehingga mempunyai proyeksi yang sama dengan proyeksi peta. Koreksi ini dilakukan untuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. and R.W. Kiefer., 1979). Penggunaan penginderaan jauh dalam mendeteksi luas

BAB I PENDAHULUAN. and R.W. Kiefer., 1979). Penggunaan penginderaan jauh dalam mendeteksi luas BAB I PENDAHULUAN Bab I menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan masalah serta sistematika penulisan yang menjadi dasar dari Perbandingan Penggunaan

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan pembangunan pada suatu negara dapat dijadikan sebagai tolak ukur kualitas dari pemerintahan suatu negara. Pembangunan wilayah pada suatu negara dapat

Lebih terperinci

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002) BAB III METODA 3.1 Penginderaan Jauh Pertanian Pada penginderaan jauh pertanian, total intensitas yang diterima sensor radar (radar backscattering) merupakan energi elektromagnetik yang terpantul dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu terluar suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan

Lebih terperinci

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN Rahayu *), Danang Surya Candra **) *) Universitas Jendral Soedirman

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekeringan Kekeringan (drought) secara umum bisa didefinisikan sebagai kurangnya persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bencana Alam

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bencana Alam II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bencana Alam Bencana alam pada dasarnya adalah sebuah konsekuensi dari gabungan proses-proses alami (suatu peristiwa fisik, seperti letusan gunungapi, gempa bumi, tanah longsor,

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Tutupan Lahan di Lapangan Berdasarkan hasil observasi lapangan yang telah dilakukan di Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara, dan Kabupaten

Lebih terperinci

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data PENGINDERAAN JAUH KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data Lanjutan Sumber tenaga * Alamiah/sistem pasif : sinar matahari

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Dasar Penginderaan Jauh

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Dasar Penginderaan Jauh 4 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Dasar Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, dan fenomena melalui analisis data yang diperoleh dari suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era Teknologi merupakan era dimana informasi serta data dapat didapatkan dan ditransfer secara lebih efektif. Perkembangan ilmu dan teknologi menyebabkan kemajuan

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan penggunaan lahan akhir-akhir ini semakin mengalami peningkatan. Kecenderungan peningkatan penggunaan lahan dalam sektor permukiman dan industri mengakibatkan

Lebih terperinci

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing) Pengolahan awal citra (Pre Image Proccesing) merupakan suatu kegiatan memperbaiki dan mengoreksi citra yang memiliki kesalahan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium dan di lapang. Pengolahan citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial dan penentuan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 14 III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan sejak bulan April 2009 sampai November 2009 di Laboratorium Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra, Departemen Ilmu

Lebih terperinci

TEORI DASAR INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT TM7+ METODE INTERPRETASI VISUAL ( DIGITIZE SCREEN) Oleh Dwi Nowo Martono

TEORI DASAR INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT TM7+ METODE INTERPRETASI VISUAL ( DIGITIZE SCREEN) Oleh Dwi Nowo Martono TEORI DASAR INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT TM7+ METODE INTERPRETASI VISUAL ( DIGITIZE SCREEN) Oleh Dwi Nowo Martono I. PENGANTAR Penginderaan jauh adalah ilmu dan teknik untuk memperoleh informasi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2011 sampai dengan Januari 2012 dengan daerah penelitian di Desa Sawohan, Kecamatan Buduran, Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dimana sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk yang bermata pencaharian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Di era globalisasi saat ini, perkembangan suatu daerah semakin pesat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan sarana prasarana. Akibatnya, pembangunan

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 10 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO Citra nonfoto adalah gambaran yang dihasilkan oleh sensor nonfotografik atau sensor elektronik. Sensornya

Lebih terperinci

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan : MAKSUD DAN TUJUAN q Maksud dari kegiatan ini adalah memperoleh informasi yang upto date dari citra satelit untuk mendapatkan peta penggunaan lahan sedetail mungkin sebagai salah satu paramater dalam analisis

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan 4.1. Hasil 4.1.1. Digitasi dan Klasifikasi Kerapatan Vegetasi Mangrove Digitasi terhadap citra yang sudah terkoreksi dilakukan untuk mendapatkan tutupan vegetasi mangrove di

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Penginderaan jauh merupakan salah satu alternatif dalam menyelesaikan suatu permasalahan keruangan. Dalam perkembangannya sendiri penginderaan jauh mengalami kemajuan

Lebih terperinci

BAB II IDENTIFIKASI DAERAH TERKENA BENCANA MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH

BAB II IDENTIFIKASI DAERAH TERKENA BENCANA MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH BAB II IDENTIFIKASI DAERAH TERKENA BENCANA MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH Teknologi penginderaan jauh merupakan teknologi yang memegang peranan yang sangat penting dalam manajemen bencana salah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi

Lebih terperinci

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN Rahayu *), Danang Surya Candra **) *) Universitas Jendral Soedirman

Lebih terperinci

PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG

PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG Oleh : Yofri Furqani Hakim, ST. Ir. Edwin Hendrayana Kardiman, SE. Budi Santoso Bidang Pemetaan Dasar Kedirgantaraan

Lebih terperinci

Perumusan Masalah Bagaimana kondisi perubahan tutupan lahan yang terjadi di daerah aliran sungai Ciliwung dengan cara membandingkan citra satelit

Perumusan Masalah Bagaimana kondisi perubahan tutupan lahan yang terjadi di daerah aliran sungai Ciliwung dengan cara membandingkan citra satelit Latar Belakang Meningkatnya pembangunan di Cisarua, Bogor seringkali menimbulkan dampak tidak baik terhadap lingkungan. Salah satu contohnya adalah pembangunan yang terjadi di Daerah Aliran Sungai Ciliwung.

Lebih terperinci

Anita Dwijayanti, Teguh Hariyanto Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya,

Anita Dwijayanti, Teguh Hariyanto Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya, Evaluasi Tutupan Lahan Terhadap Rencana Detil Tata Ruang Kota (RDTRK) Surabaya Pada Citra Resolusi Tinggi Dengan EVALUASI TUTUPAN LAHAN PERMUKIMAN TERHADAP RENCANA DETIL TATA RUANG KOTA (RDTRK) SURABAYA

Lebih terperinci

Image Fusion: Trik Mengatasi Keterbatasan Citra

Image Fusion: Trik Mengatasi Keterbatasan Citra Image Fusion: Trik Mengatasi Keterbatasan itra Hartanto Sanjaya Pemanfaatan cita satelit sebagai bahan kajian sumberdaya alam terus berkembang, sejalan dengan semakin majunya teknologi pemrosesan dan adanya

Lebih terperinci

Fathurrofi Braharsyah Habibi R. Suharyadi

Fathurrofi Braharsyah Habibi R. Suharyadi KLASIFIKASI RUANG TERBUKA HIJAU BERBASIS OBJEK PADA CITRA QUICKBIRD UNTUK MENGETAHUI AKURASI SEMANTIK (DI DENGGUNG, KECAMATAN SLEMAN, KABUPATEN SLEMAN TAHUN 2017) Fathurrofi Braharsyah Habibi fathurrofi.b.h@mail.ugm.ac.id

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS,

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS, Integrasi GISdan Inderaja Penginderaan jauh (remote sensing) adalah ilmu dan ketrampilan untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file PENGINDERAAN JAUH copyright@2007 --- anna s file Pengertian Penginderaan Jauh Beberapa ahli berpendapat bahwa inderaja merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh data di permukaan bumi, jadi inderaja

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan sistem penginderaan jauh satelit telah menghasilkan citra digital yang tidak pernah dibayangkan oleh praktisi pada 1980-an, yaitu citra multispektral dengan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Terhadap Citra Satelit yang digunakan 4.2 Analisis Terhadap Peta Rupabumi yang digunakan

BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Terhadap Citra Satelit yang digunakan 4.2 Analisis Terhadap Peta Rupabumi yang digunakan BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Terhadap Citra Satelit yang digunakan Citra SPOT 4 dan IKONOS yang digunakan merupakan dua citra yang memiliki resolusi spasial yang berbeda dimana SPOT 4 memiliki resolusi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis adalah sistem berbasis komputer yang terdiri atas perangkat keras komputer (hardware), perangkat lunak (software), data

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir Banjir merupakan salah satu fenomena alam yang sering terjadi di berbagai wilayah. Richard (1995 dalam Suherlan 2001) mengartikan banjir dalam dua pengertian, yaitu : 1)

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA I. Citra Foto Udara Kegiatan pengindraan jauh memberikan produk atau hasil berupa keluaran atau citra. Citra adalah gambaran suatu objek yang

Lebih terperinci

MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH

MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH 1. Tata Guna Lahan 2. Identifikasi Menggunakan Foto Udara/ Citra Identifikasi penggunaan lahan menggunakan foto udara/ citra dapat didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan fisik penggunaan lahan terutama di daerah perkotaan relatif cepat dibandingkan dengan daerah perdesaan. Maksud perkembangan fisik adalah penggunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu yang semakin berkembang pada masa sekarang, cepatnya perkembangan teknologi menghasilkan berbagai macam produk penginderaan jauh yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan materi yang terdiri dari agregat (butiran) padat yang tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain serta dari bahan bahan organik yang telah

Lebih terperinci

SAMPLING DAN KUANTISASI

SAMPLING DAN KUANTISASI SAMPLING DAN KUANTISASI Budi Setiyono 1 3/14/2013 Citra Suatu citra adalah fungsi intensitas 2 dimensi f(x, y), dimana x dan y adalahkoordinat spasial dan f pada titik (x, y) merupakan tingkat kecerahan

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xii ABSTRACT... xiii

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kemajuan teknologi penginderaan jauh mampu menyediakan citra penginderaan jauh yang mempunyai resolusi spasial, resolusi spektral dan resolusi temporal yang cukup

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia adalah salah satu Negara Mega Biodiversity yang terletak

TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia adalah salah satu Negara Mega Biodiversity yang terletak TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Penutupan Lahan Indonesia Indonesia adalah salah satu Negara Mega Biodiversity yang terletak dalam lintasan distribusi keanekaragaman hayati benua Asia (Pulau Jawa, Sumatera dan

Lebih terperinci

PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOTIK ISSN:

PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOTIK ISSN: INTERPRETASI CITRA QUICKBIRD UNTUK IDENTIFIKASI PENGGUNAAN LAHAN DI DESA KARANGTENGAH KECAMATAN SRAGEN KABUPATEN SRAGEN Munisya'ul Khosyi'ah 1, Miftahul Arozaq 2, Hoesni Noor M A 3, Vini Andarista 4, Anita

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH KOMPOSIT BAND CITRA LANDSAT DENGAN ENVI. Oleh: Nama : Deasy Rosyida Rahmayunita NRP :

LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH KOMPOSIT BAND CITRA LANDSAT DENGAN ENVI. Oleh: Nama : Deasy Rosyida Rahmayunita NRP : LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH KOMPOSIT BAND CITRA LANDSAT DENGAN ENVI Oleh: Nama : Deasy Rosyida Rahmayunita NRP : 3513100016 Dosen Pembimbing: Nama : Prof.Dr.Ir. Bangun Muljo Sukojo, DEA, DESS NIP

Lebih terperinci

Analisis Perubahan Penutup Lahan Hutan dan Perkebunan di Provinsi Jambi Periode

Analisis Perubahan Penutup Lahan Hutan dan Perkebunan di Provinsi Jambi Periode Analisis Perubahan Penutup Lahan Hutan dan Perkebunan di Provinsi Jambi Periode 2000-2008 Syahrizal Muttaqin a dan Qurrotul Aini b a Mahasiswa Program Studi Sistem Informasi FST UIN Syarif Hidayatullah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan pada suatu wilayah akan berpengaruh terhadap perubahan suatu kawasan. Perubahan lahan terbuka hijau menjadi lahan terbangun

Lebih terperinci

PERBANDINGAN KLASIFIKASI BACK PROPAGATION

PERBANDINGAN KLASIFIKASI BACK PROPAGATION PERBANDINGAN KLASIFIKASI BACK PROPAGATION NEURAL NETWORK DAN MAXIMUM LIKELIHOOD DALAM PEMETAAN SEBARAN LAHAN SAWAH DAN TEBU MENGGUNAKAN DATA LANDSAT ETM+ MULTI TEMPORAL BUKHARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: ( Print)

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: ( Print) ANALISA RELASI PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DAN SUHU PERMUKAAN TANAH DI KOTA SURABAYA MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTISPEKTRAL TAHUN 1994 2012 Dionysius Bryan S, Bangun Mulyo Sukotjo, Udiana Wahyu D Jurusan

Lebih terperinci

ISSN Jalan Udayana, Singaraja-Bali address: Jl. Prof Dr Soemantri Brodjonogoro 1-Bandar Lampung

ISSN Jalan Udayana, Singaraja-Bali  address: Jl. Prof Dr Soemantri Brodjonogoro 1-Bandar Lampung ISSN 0216-8138 73 SIMULASI FUSI CITRA IKONOS-2 PANKROMATIK DENGAN LANDSAT-7 MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN METODE PAN-SHARPEN UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS CITRA DALAM UPAYA PEMANTAUAN KAWASAN HIJAU (Studi Kasus

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Maret sampai bulan November 2009. Objek penelitian difokuskan pada wilayah Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu kawasan tujuan wisata nomor dua setelah Bali. Disamping itu, Kota Yogyakarta sebagai ibukota Propinsi DIY terkenal dengan

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini serta tahapan-tahapan yang dilakukan dalam mengklasifikasi tata guna lahan dari hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia baik yang berlangsung secara siklus atau permanen pada sumberdaya lahan alami maupun buatan guna terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal

2. TINJAUAN PUSTAKA Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal Data kedalaman merupakan salah satu data dari survei hidrografi yang biasa digunakan untuk memetakan dasar lautan, hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sumberdaya alam ialah segala sesuatu yang muncul secara alami yang dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan manusia pada umumnya. Hutan termasuk kedalam sumber daya

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Objek di Lapangan Pengamatan lapangan dilakukan di 3 (tiga) kabupaten, yaitu : Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur. Titik pengamatan sebanyak

Lebih terperinci

EVALUASI TUTUPAN LAHAN DARI CITRA RESOLUSI TINGGI DENGAN METODE KLASIFIKASI DIGITAL BERORIENTASI OBJEK (Studi Kasus: Kota Banda Aceh, NAD)

EVALUASI TUTUPAN LAHAN DARI CITRA RESOLUSI TINGGI DENGAN METODE KLASIFIKASI DIGITAL BERORIENTASI OBJEK (Studi Kasus: Kota Banda Aceh, NAD) EVALUASI TUTUPAN LAHAN DARI CITRA RESOLUSI TINGGI DENGAN METODE KLASIFIKASI DIGITAL BERORIENTASI OBJEK (Studi Kasus: Kota Banda Aceh, NAD) Dosen Pembimbing: Dr.Ing.Ir. Teguh Hariyanto, MSc Oleh: Bayu Nasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Seiring dengan berkembangnya permintaan akan pemetaan suatu wilayah dalam berbagai bidang, maka semakin berkembang pula berbagai macam metode pemetaan. Dengan memanfaatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan organik merupakan komponen tanah yang terbentuk dari jasad hidup (flora dan fauna) di tanah, perakaran tanaman hidup maupun mati yang sebagian terdekomposisi

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. I.1. Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. I.1. Latar Belakang 1 Bab I Pendahuluan I.1. Latar Belakang Identifikasi merupakan langkah strategis dalam menyukseskan suatu pekerjaan. (Supriadi, 2007). Tujuan pemerintah dalam rangka penertiban dan pendayagunaan tanah

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

Tabel 11. Klasifikasi Penutupan Lahan Data Citra Landsat 7 ETM, Maret 2004

Tabel 11. Klasifikasi Penutupan Lahan Data Citra Landsat 7 ETM, Maret 2004 53 5.1.3 Klasifikasi Penutupan Lahan Klasifikasi data Citra Landsat dilakukan untuk pengelompokan penutupan lahan pada tahun 2004. Metode yang dipergunakan adalah klasifikasi terbimbing (Supervised Classification).

Lebih terperinci