PERBANDINGAN KLASIFIKASI BACK PROPAGATION

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERBANDINGAN KLASIFIKASI BACK PROPAGATION"

Transkripsi

1 PERBANDINGAN KLASIFIKASI BACK PROPAGATION NEURAL NETWORK DAN MAXIMUM LIKELIHOOD DALAM PEMETAAN SEBARAN LAHAN SAWAH DAN TEBU MENGGUNAKAN DATA LANDSAT ETM+ MULTI TEMPORAL BUKHARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Perbandingan Klasifikasi Back Propagation Neural Network dan Maximum Likelihood dalam Pemetaan Sebaran Lahan Sawah dan Tebu Menggunakan Data Landsat ETM+ Multi Temporal adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, September 2010 Bukhari NRP. A

3 ABSTRACT BUKHARI. Comparison of Back Propagation Neural Network and Maximum Likelihood Classification Method in Mapping Paddy Field and Sugarcane Using Multitemporal Data of Landsat ETM+. Supervised by MUHAMMAD ARDIANSYAH and KOMARSA GANDASASMITA. Abstract The main objectives of this research are to map the paddy field dan sugarcane area with Maximum Likelihood Classification (MLC) and Back Propagation Neural Network (BPNN) methods, and to compare the classification result generated from both classification methods. This research compared parametric method (MLC) and non parametric method (BPNN) by using the same images of Landsat ETM+ and the same training area. Seven bands (multispectral band 1,2,3,4,5,7 and Pancromatic Band 8) from multi temporal Landsat images used as input data for both classification methods. Before Landsat ETM+ used for classification process, it was corrected geometrically and radiometrically. Classification process of both methods (MLC and BPNN) used multistage approach. Landuse classified into 4 classes paddy field, sugarcane, possible paddy field/sugarcane and not paddy field/sugarcane. The target of training area was done based field data. The result show that BPNN classification method has overall accuracy 84,30 % and kappa accuracy 0,64, which is paddy field area ha and sugarcane area ha. Meanwhile MLC method show overall accuracy 83,26 % and kappa accuracy 0.60 with paddy field area ha and sugarcane ha. This research is also showed that BPNN get a better accuracy compare to MLC, but the paddy field area generating from both methods is not significantly different. Keyword: Remote sensing, parametric and non parametric classification, back popagation neural network, maximum likelihood, paddy field, sugarcane

4 RINGKASAN BUKHARI, Perbandingan Klasifikasi Back Propagation Neural Network dan Maximum Likelihood dalam Pemetaan Sebaran Lahan Sawah dan Tebu Menggunakan Data Landsat ETM+ Multi Temporal, dibawah bimbingan MUHAMMAD ARDIANSYAH dan KOMARSA GANDASASMITA. Perolehan informasi tematik dari citra penginderaan jauh dapat dilakukan dengan proses klasifikasi, yang secara umum dibedakan dalam klasifikasi terawasi (supervised classification) dan tak terawasi (unsupervised classification). Klasifikasi terawasi dapat dibedakan menjadi 2, yaitu klasifikasi parametrik dan klasifikasi non parametrik. Perbedaan antara klasifikasi parametrik dan non parametrik adalah persyaratan statistik distribusi normal, dimana klasifikasi parametrik memerlukan informasi parameter statistik dari daerah sampel pelatihan yang terdistribusi normal, sedang klasifikasi non parametrik tidak mensyaratkan distribusi normal. Metode klasifikasi citra digital yang digunakan dalam penelitian ini adalah maximum likelihood classification/mlc (parametrik) dan metode back propagation neural network/bpnn (non parametrik). Pemilihan metode klasifikasi citra yang akan digunakan sangat menentukan hasil klasifikasi citra, oleh karena itu salah satu persoalan pemetaan menggunakan data penginderaan jauh digital adalah pemilihan metode klasifikasi yang akan digunakan. Penggunaan metode BPNN diharapkan dapat meningkatkan akurasi hasil klasifikasi citra digital Landsat ETM+ untuk pemetaan tanaman padi sawah dan tebu. Namun demikian pada kenyataannya bahwa pemetaan penutup/penggunaan lahan mengunakan data penginderaan jauh mono temporal masih mengalami kesulitan dalam pemisahan kelas, dimana pada fase-fase pertumbuhan tertentu antara kelas lahan sawah dan tebu secara visual atau spektral memiliki kemiripan yang sama. Untuk meningkatkan kemampuan identifikasi dan pemetaan lahan sawah dan tebu digunakan citra satelit multi temporal dengan melakukan klasifikasi secara berjenjang. Penelitian bertujuan untuk : 1) Memetakan sebaran lahan sawah dan tebu dengan metode BPNN, 2) Memetakan sebaran lahan sawah dan tebu dengan metode MLC, 3) Melakukan perbandingan hasil klasifikasi dengan menggunakan metode BPNN dan MLC untuk penutup/penggunaan lahan sawah dan tebu. Lokasi utama penelitian ini dilakukan di lahan milik PT. Sang Hyang Seri Sukamandi dan sekitarnya dengan penutup/pengunaan lahan padi sawah, sedangkan untuk lokasi tanaman tebu dilakukan di areal perkebunan PT. Rajawali Nusantara Unit Pasir Bungur Kecamatan Purwadadi dan sekitarnya. Kedua Lokasi ini terletak di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Citra satelit Landsat ETM+ multitemporal yang digunakan adalah liputan tanggal 3 Desember 2000, 15 Juli 2001, 29 April 2002, 18 Juli 2002 dan 31 Maret Penelitian diawali dengan pengolahan awal citra, dilanjutkan tahap interpretasi secara visual dan klasifikasi secara digital menggunakan metode BPNN dan MLC. Proses klasifikasi secara digital dilakukan secara berjenjang pada semua citra multitemporal dengan menggunakan 5 skema tahapan proses klasifikasi. Hasil klasifikasi dilakukan uji akurasi untuk mengetahui akurasi hasil klasifikasi. Klasifikasi citra multitemporal secara berjenjang dengan metode

5 BPNN menghasilkan akurasi lebih baik dengan nilai overall accuracy sebesar 84,30 % dan kappa accuracy 0,64, sedangkan metode MLC menghasilkan overall accuracy sebesar 83,26 % dan kappa accuracy sebesar 0,60. Interpretasi berjenjang secara visual menghasilkan lahan sawah ha dan tebu ha. klasifikasi BPNN menghasilkan luas lahan sawah dan tebu ha, sedangkan dengan MLC menghasilkan luas lahan sawah ha dan tebu ha. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara MLC dan BPNN dalam memetakan luas lahan sawah, namun terdapat perbedaan yang signifikan pada kelas lahan tebu. Kata kunci : Penginderaan jauh, parametrik dan non parametrik, back propagation neural network, maximum likelihood, sawah, tebu

6 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

7 PERBANDINGAN KLASIFIKASI BACK PROPAGATION NEURAL NETWORK DAN MAXIMUM LIKELIHOOD DALAM PEMETAAN SEBARAN LAHAN SAWAH DAN TEBU MENGGUNAKAN DATA LANDSAT ETM MULTI TEMPORAL BUKHARI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Tanah SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

8 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Dra. Khursatul Munibah, M.Sc

9 Judul Tesis Nama NRP : Perbandingan Klasifikasi Back Propagation Neural Network dan Maximum Likelihood dalam Pemetaan Sebaran Lahan Sawah dan Tebu Menggunakan Data Landsat ETM+ Multi Temporal : Bukhari : A Program Studi : Ilmu Tanah Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah Ketua Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc. Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Ilmu Tanah Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Atang Sutandi, M.Si. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M. S. Tanggal Ujian : 28 Agustus 2010 Tanggal Lulus :

10 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan rahmat-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah Tesis dengan judul Perbandingan Klasifikasi Back Propagation Neural Network dan Maximum Likelihood dan dalam Pemetaan Sebaran Lahan Sawah dan Tebu Menggunakan Data Landsat ETM Multi Temporal. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada : 1. Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah. dan Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc. selaku komisi pembimbing yang telah memberikan saran, bimbingan dan motivasi dalam pelaksanaan dan penyelesaian penulisan tesis ini. 2. Almarhum Prof. Dr. Ir. Uup Safei Wiradisastra, M.Sc selaku mantan anggota komisi pembimbing dan mohon maaf sebesar-besarnya karena belum sempat menyelesaikan penulisan tesis, semoga beliau mendapatkan kemuliaan di sisi Yang Maha Kuasa. 3. Dr. Ir. Atang Sutandi, M.S. selaku Ketua Program Studi Ilmu Tanah beserta staf pengajar pada Program Studi Tanah, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 4. Dr. Dra. Khursatul Munibah, MSc selaku penguji luar komisi pada ujian tesis. 5. Ayahanda Tercinta Muhammad Amin, Ibunda Aminah, kakak dan adikku tercinta, serta seluruh keluarga atas do a, dukungan, kesabaran dan kasih sayangnya selama ini. 6. Dukungan moral yang sangat besar dari istri tercinta Siska Oktavia, S.Psi, Psi yang tak henti-hentinya dengan penuh kesabaran selalu mengingatkan penulis untuk segera dan jangan menunda-nunda menyelesaikan tanggung jawab penyelesaian tesis dan Ananda Muhammad Khairan Akbari motivator buat Penulis dalam menyelesaikan Studi Sekolah Pascasaarjana. Kepada pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan banyak terima kasih. Semoga karya kecil ini bermanfaat bagi banyak pihak. Amin Bogor, September 2010 Penulis

11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Lam Ujong, Kabupaten Pidie Provinsi Aceh, pada Tanggal 03 Maret Penulis merupakan putra ketiga dari sembilan bersaudara. Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri Kota Bakti dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Syiah Kuala Banda Aceh melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Penulis memilih Program Studi Ilmu Tanah, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian dan lulus pada tahun Pada tahun yang sama penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan Program Magister di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Ilmu Tanah.

12 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... xi xii xiii PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 4 Hipotesis... 4 TINJAUAN PUSTAKA... 5 Penginderaan Jauh... 5 Karakteristik Landsat ETM Klasifikasi Digital... 9 Metode Klasifikasi Backpropagation Neural Network (BPNN).. 10 Metode Klasifikasi Maximum Likelihood (MLC) Evaluasi Akurasi Hasil Klasifikasi Klasifikasi Penutup/Penggunaan Lahan METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Lokasi Bahan dan Alat Bahan Alat Metode Penelitian Tahapan Penelitian Persiapan dan Pengumpulan Data Awal Pra Pengolahan Citra Pengolahan Citra Klasifikasi Citra Kegiatan Groundcek Lapangan Analisis dan Perbandingan Hasil Klasifikasi HASIL DAN PEMBAHASAN Koreksi Geometrik Interpretasi Penutup/Penggunaan Lahan Secara Visual Klasifikasi Penutup/Penggunaan Lahan Secara Digital Pengambilan Training Area Klasifikasi Citra Multispektral Maximum Likelihood Classification Back Propagation Neural network Pengujian Hasil Klasifikasi Perbandingan Akurasi Hasil Klasifikasi MLC dan BPNN KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 74

13 DAFTAR TABEL Halaman 1. Karakteristik Landsat ETM+ dan Kegunaan Masing-masing Band Matrik Kesalahan (Confusion Matrix) Klasifikasi Penutupan Lahan Menurut FAO Contoh Matrik Konfusi Ketelitian Geometri (RMS Error) dari Koreksi Geometri Citra Luas Penutupan/Penggunaan Lahan Visual Jumlah Piksel dan Luas Training Area Luas Penutup/Penggunaan Lahan Hasil Klasifikasi Citra Multitemporal dengan MLC Luas Penutupan/Penggunaan Lahan Hasil Klasifikasi Berjenjang (multistage) dengan Metode MLC Luas Penutup/Penggunaan Lahan Hasil Klasifikasi Citra Multitemporal dengan BPNN Luas Penutup/Penggunaan Lahan Hasil Klasifikasi Berjenjang (multistage) dengan Metode BPNN Akurasi Klasifikasi Penutup/Penggunaan Lahan dengan Metode MLC untuk Masing-masing Citra Landsat Akurasi Klasifikasi Penutup/Penggunaan Lahan dengan Menggunakan Metode BPNN untuk Masing-masing Citra Landsat Perbandingan Hasil Klasifikasi MLC dan BPNN xi

14 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kurva Karakteristik Reflektan dari Objek Tanah, Air dan Vegetasi Struktur Internal Node Pemeroses Neural Network Model Generik Multi Layer Perceptron Fungsi Sigmoid Model Backpropagation Neural Network (BPNN) Neural Network dengan Fungsi Aktivasi Peta Orientasi Lokasi Penelitian Skema Klasifikasi Lahan Sawah dan Tebu secara Bertahap menggunakan Citra Landsat Multitemporal Struktur Neural Network (Backpropagation Neural Network) yang Digunakan Dalam Penelitian Model Klasifikasi BPNN Model Klasifikasi MLC Diagram Alir Metodologi Penelitian Lokasi Pengambilan Titik Kontrol (GCP) Kenampakan Fase Pertumbuhan Lahan Sawah dan Tebu pada Citra Landsat 542 Berbeda Waktu Perekaman Peta Penutup/Penggunaan Lahan Hasil Interpretasi Visual Area Contoh Lokasi Training Area pada Citra 3 Desember Hasil Klasifikasi Citra Menggunakan Metode Maximum Likelihood Hasil Klasifikasi MLC Citra Landsat 3 Desember Hasil Klasifikasi MLC Citra Landsat 15 Juli Hasil Klasifikasi MLC Citra Landsat 29 April Hasil Klasifikasi MLC Citra Landsat 18 Juli Hasil Klasifikasi MLC Citra Landsat 31 Maret Peta Sebaran Lahan Sawah dan Tebu Hasil Klasifikasi MLC Tahap Creating Data Neural Network Konfigurasi Training Data untuk Klasifikasi Neural Network Proses Klasifikasi Back Propagation Neural Network Hasil Klasifikasi Citra menggunakan BPNN Hasil Klasifikasi BPNN Citra Landsat 3 Desember Hasil Klasifikasi BPNN Citra Landsat 15 Juli xii

15 30. Hasil Klasifikasi BPNN Citra Landsat 29 April Hasil Klasifikasi BPNN Citra Landsat 18 Juli Hasil Klasifikasi BPNN Citra Landsat 31 Maret Peta Sebaran Lahan Sawah dan Tebu Hasil Klasifikasi BPNN Perbandingan Luas Masing-masing Kelas Hasil Klasifikasi xiii

16 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Citra Landsat ETM+ Komposit 542 Liputan Tanggal 3 Desember Citra Landsat ETM+ Komposit 542 Liputan Tanggal 15 Juli Citra Landsat ETM+ Komposit 542 Liputan Tanggal 29 April Citra Landsat ETM+ Komposit 542 Liputan Tanggal 18 Juli Citra Landsat ETM+ Komposit 542 Liputan Tanggal 31 Maret Ground Control Point untuk Koreksi Geometri Matrik Konfusi Akurasi Klasifikasi dengan Metode Maximum Likelihood Matrik Konfusi Akurasi Klasifikasi dengan Metode Backpropagation Neural Network xiv

17 PENDAHULUAN Latar Belakang Peta penggunaan lahan adalah upaya untuk menyajikan informasi tentang pola penggunaan lahan di suatu wilayah secara spasial. Penggunaan lahan sifatnya dinamis dan relatif cepat berubah menurut waktu dan ruang, maka peta pengunaan lahan ini harus selalu diperbaharui secara periodik. Pemetaan penggunaan lahan pada beberapa waktu lampau sangat menekankan pada survei terestrial yang memiliki hasil yang detil tetapi berimplikasi pada biaya yang besar dan waktu yang lama. Berkembangnya teknologi penginderaan jauh, kendala biaya survei dan waktu dapat dikurangi dengan nyata. Pada saat ini, citra penginderaan jauh telah digunakan pada berbagai bidang aplikasi seperti pertanian, kehutanan, kelautan, pertambangan dan bidang lainnya. Dinamika pengunaan lahan yang akan terus terjadi karena sifatnya yang mengikuti dinamika aktivitas manusia, sehingga perlu mendapat perhatian serius terutama dalam usaha-usaha pengelolaan lahan pertanian. Untuk itu diperlukan suatu metode pemantauan atau monitoring yang berkelanjutan dengan hasil-hasil yang akurat, yang secara periodik dapat memberikan informasi-informasi tentang histori penggunaan lahan suatu wilayah. Teknologi Penginderaan jauh merupakan salah satu alternatif yang dapat dipakai untuk keperluan tersebut. Menurut Lillesand and Kiefer (1990) penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan menggunakan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji. Pada berbagai hal penginderaan jauh dapat diartikan sebagai suatu proses membaca. Dengan menggunakan berbagai sensor, data dapat dikumpulkan dari jarak jauh dan dapat dianalisis, sehingga didapatkan informasi tentang obyek, daerah atau fenomena yang diteliti. Informasi obyek, daerah atau fenomena diperoleh dengan mengolah data penginderaan jauh baik secara manual maupun digital. Saat ini pengolahan data penginderaan secara digital banyak dikembangkan untuk inventarisasi sumber

18 2 daya alam karena mampu memberikan hasil yang lebih akurat dan tepat dibandingkan secara manual. Tahapan penting untuk mengekstraksi informasi dari data penginderaan jauh adalah klasifikasi. Klasifikasi citra penginderaan jauh adalah suatu proses dimana semua pixel dari suatu citra yang mempunyai penampakan spektral yang sama akan diidentifikasi dan akan menghasilkan suatu peta tematik. Menurut Dewanti et al. (1998) pada prinsipnya teknik klasifikasi adalah menggunakan informasi spektral atau informasi spasial dari suatu citra dalam rangka membagi citra menjadi beberapa kelas yang berbeda dan mempunyai arti terhadap obyeknya. Dasar klasifikasi data penginderaan jauh adalah perhitungan statistik terhadap nilai-nilai spektral (digital number). Menurut Schowengerdt (2007) algoritma klasifikasi citra dapat dibedakan menjadi non parametrik dan parametrik. Perbedaan antara klasifikasi parametrik dan non parametrik terletak pada asumsi statistik yang digunakan, dimana algoritma parametrik berasumsikan bahwa kelas terdistribusi normal dan memerlukan perkiraan distribusi parameter seperti mean vector dan kovarian matrik untuk klasifikasi sedangkan non parametrik menggunakan asumsi distribusi bebas sehingga akan lebih baik digunakan pada suatu distribusi kelas yang variabilitasnya lebar. Perolehan informasi tematik dari citra penginderaan jauh dapat dilakukan dengan proses klasifikasi, yang secara umum dibedakan dalam klasifikasi terawasi (supervised classification) dan tak terawasi (unsupervised classification) (Jensen 1996). Klasifikasi terawasi sendiri dapat dibedakan lagi menjadi 2, yaitu klasifikasi parametrik (parametric classifier) dan klasifikasi non parametrik (nonparametric classifier). Klasifikasi parametrik memerlukan informasi parameter statistik dari daerah sampel pelatihan yang terdistribusi secara normal, sedang klasifikasi non parametrik tidak. Metode klasifikasi citra digital yang sering digunakan untuk penginderaan jauh adalah maximum likelihood (MLC). MLC termasuk kedalam metode parametrik yang menggunakan asumsi dan persyaratan bahwa masing-masing kelas terdistribusi secara normal. Kenyataannya pada kondisi tertentu untuk menemukan distribusi secara normal sulit, sehingga dalam pengambilan training area untuk memisahkan piksel-piksel dari kelas yang berbeda akan terjadi kesalahan dalam klasifikasi (misclassification) yang

19 3 menyebabkan tingkat akurasi akan menurun dan standar deviasinya akan menjadi lebih tinggi. Salah satu metode non parametrik adalah metode neural network dimana asumsi yang digunakan untuk training area tidak mensyaratkan distribusi normal. Klasifikasi neural network juga lebih mudah melakukan pengolahan informasi yang berupa co-occurance matrix dari multi band yang memiliki dimensi besar sebagai masukan dan neural network sebagai pengklasifikasi sedangkan maximum likelihood tidak dapat dipergunakan untuk mengklasifikasi dengan masukan matrik. Kelebihan lain neural network mampu melakukan pengkelasan tidak hanya berdasarkan informasi warna tetapi juga bisa berdasarkan informasi bentuk, tekstural. Klasifikasi neural network menunjukkan akurasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode statistik konvensional (parametrik) seperti metode MLC (Bischof 1992, Chang 1994, Yoshida, 1994 dalam Sadly 1998; Koeshardono, 1999). Jenis metode klasifikasi citra yang akan digunakan sangat menentukan hasil klasifikasi citra, oleh karena itu salah satu persoalan pemetaan menggunakan data penginderaan jauh digital adalah pemilihan metode klasifikasi yang akan digunakan. Penggunaan metode Neural Network (Back Propagation Neural Network/BPNN) diharapkan dapat meningkatkan akurasi hasil klasifikasi citra digital Landsat ETM+ untuk pemetaan tanaman padi sawah dan tebu. Namun demikian pada kenyataannya bahwa pemetaan penutup/penggunaan lahan mengunakan data penginderaan jauh mono temporal masih mengalami kesulitan dalam pemisahan kelas, dimana pada fase-fase pertumbuhan tertentu antara kelas lahan sawah dan tebu secara visual atau spektral memiliki kemiripan yang sangat mirip. Untuk membantu identifikasi lahan sawah dan tebu dapat digunakan citra satelit multi temporal dan melakukan proses klasifikasi secara berjenjang (multistage). Ini bisa dilakukan karena lahan sawah atau tebu mempunyai karakteristik yang spesifik selama masa pertumbuhannya, sehingga dapat dijadikan sebagai dasar untuk membedakan dari jenis penggunaan lain. Beberapa peneliti yang sudah melakukan penelitian menggunakan neural network untuk klasifikasi penutup lahan menggunakan data penginderaan jauh seperti Chang (1994) dalam Sadly (1998) menggunakan dynamic neural network,

20 4 Widyastuti (2000) menggunakan BPNN untuk pemetaan mangrove menunjukan bahwa metode klasifikasi BPNN mempunyai akurasi yang tinggi. Dalam penelitian ini akan menggunakan metode klasifikasi BPNN untuk pemetaan sebaran lahan sawah dan tebu dan hasilnya akan dilakukan perbandingan dengan metode MLC. Lokasi penelitian dipilih pada lahan sawah dan tebu yang lokasi berada dalam hamparan yang berdekatan, untuk lahan sawah dipilih pada areal lahan sawah Perum Sang Hyang Seri sedangkan lahan tanaman tebu di Perkebunan milik PG. Rajawali III unit Pasir Bungur. Pertimbangan lainnya lokasi ini memiliki dokumentasi data jadwal tanam dan pola tanam yang lengkap dan teratur sehingga memudahkan dalam melakukan verifikasi dan perbandingan hasil klasifikasi lahan sawah dan tebu secara bertahap dengan menggunakan data Landsat multitemporal. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk memetakan sebaran lahan sawah dan tebu dengan metode BPNN 2. Untuk memetakan sebaran lahan sawah dan tebu dengan metode MLC. 3. Melakukan perbandingan hasil klasifikasi dengan menggunakan metode BPNN dan MLC untuk penutup/penggunaan lahan sawah dan tebu. Hipotesis Hipotesis untuk penelitian ini adalah : 1. Terdapat perbedaan akurasi klasifikasi citra metode parametrik dan non parametrik. 2. Klasifikasi BPNN akan menghasilkan akurasi yang lebih tinggi dibandingkan MLC

21 TINJAUAN PUSTAKA Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap objek, daerah atau gejala yang dikaji (Lillesand & Kiefer 1990). Menurut Hornby (1974 dalam Sutanto 1986) mengemukakan bahwa citra merupakan gambaran yang terekam oleh kamera atau oleh sensor penginderaan jauh. Data penginderaan jauh memiliki keunggulan dalam hal waktu pengamatan dibandingkan dengan cara konvensional. Data penginderaan jauh khususnya data satelit mempunyai peran yang sangat penting karena memberikan informasi menggenai penggunaan lahan yang sesuai dengan keadaan sebenarnya. Data yang didapatkan dari satelit biasanya sudah merupakan data bersifat digital. Pengolahan data penginderaan jauh atau pengolahan citra digital meliputi beberapa tahapan, yaitu memasukkan data (input data), pengolahan awal untuk memperbaiki kualitas citra secara radiomerik dan geometrik, pengolahan citra menjadi suatu output yang memberikan informasi kepada pengguna. Data yang mungkin dianalisis untuk memperoleh informasi tentang objek, area, kejadian yang diteliti dikumpulkan menggunakan berbagai sistem sensor yang dioperasikan dari suatu wahana (platform). Pada penginderaan jauh sumber daya alam, data pada umumnya dikumpulkan dalam bentuk sebaran energi elektromagnetik yang dipantulkan atau dipancarkan oleh obyek di permukaan bumi (Lillesand & Kiefer 1990) Selanjutnya menurut Lillesand & Kiefer (1990) terdapat dua proses dasar dalam penginderaan jauh sumber daya alam yaitu : pengumpulan data dan analisis data. Unsur-unsur proses pengumpulan data adalah sumber energi, perambatan energi melalui atmosfer, interaksi energi dengan kenampakan permukaan bumi dan data yang diperoleh dalam bentuk gambar. Proses analisis data menyangkut penilaian data dengan menggunakan berbagai peralatan pengamatan dan interpretasi untuk menganalisis data dalam bentuk gambar atau komputer untuk menganalisis data dalam bentuk numerik, selanjutnya data referensi tentang

22 6 sumber daya alam dipelajari untuk membantu dalam analisis data. Dengan bantuan data referensi, analisis ekstraksi informasi tentang luas, macam, lokasi dan kondisi berbagai sumber alam yang diindera oleh sensor. Informasi ini kemudian disajikan, umumnya dalam bentuk peta, tabel-tabel dan laporan. Akhirnya informasi digunakan oleh pemakai dalam proses pengambilan keputusan. Pada dasamya objek di permukaan bumi ini dapat dibedakan menjadi tiga kelompok besar, yaitu tanah, air dan vegetasi. Ketiga objek tersebut secara alami mempunyai bentuk dan sifat berbeda, sehingga apabila dipotret dengan mengunakan panjang gelombang tertentu akan menghasilkan karakteristik reflektan yang berbeda-beda. Karakteristik reflektan dari objek permukaan bumi (tanah, air dan vegetasi) dapat digunakan sebagai dasar dalam pemilihan citra penginderaan jauh yang digunakan dan dasar dalam interpretasi objek. Kurva karakteristik reflektan dari objek tanah, air dan vegetasi secara umum dapat diketahui dari Gambar 1. Dalam penerapan teknik penginderaan jauh, detail dan ketelitian yang diinginkan, luas wilayah terliput, ditentukan oleh jenis dan skala citra yang digunakan, karena setiap jenis citra tertentu dengan skala tertentu menggambarkan dan bahkan menonjolkan objek-objek tertentu sesuai dengan panjang gelombang yang digunakan untuk merekam data lapangan. Suatu hal yang perlu dipakai sebagai dasar pemikiran dalam setiap penerapan teknik penginderaan jauh bahwa pada prinsipnya kamera/sensor penginderaan jauh hanya merekam objek-objek di permukaan bumi, sehingga objek-objek di bawah permukaan bumi atau yang tertutup oleh tumbuh-tumbuhan, dinterpretasi berdasarkan objek-objek yang tampak pada permukaan bumi (Estes et al 1983; Sutanto 1987; Lillesand & Kiefer 1990).

23 7 Gambar 1. Kurva Karakteristik Reflektan dari Obyek Tanah, Air dan Vegetasi Citra Landsat (Sumber: Gao Yan 2003) Karakteristik Landsat ETM+ Karakteristik penginderaan jauh satelit dapat dibedakan menurut misinya seperti satelit cuaca dan satelit sumber daya alam. Data satelit cuaca memiliki cakupan luas dan resolusi temporal tinggi, sedangkan data satelit sumber daya alam memiliki resolusi spasial tinggi dan masing-masing band memiliki kesesuaian untuk analisis obyek tertentu, sehingga memudahkan penafsir untuk melakukan analisis spasial terhadap fenomena yang terjadi pada permukaan bumi (Asriningrum 2002). Di Indonesia data citra satelit sumber daya alam seperti Landsat, SPOT, IKONOS, JERS dan ERS sudah digunakan. Landsat dari seri satelit bumi merupakan sistem penginderaan jauh yang menyelidiki sumber daya bumi sebagai obyek operasi utamanya. Sistem Landsat mengidentifikasikan sejumlah bandband yang khusus direkam pemindai (Scanner). Landsat 4 dan 5 memuat sensor multi spectral scanner (MSS) dan sensor thematic mapper (TM). Saat ini citra satelit Landsat sudah mencapai seri Landsat 7 ETM+. Landsat ETM+ merupakan seri Landsat ke-7 atau terakhir dari Landsat yang memiliki beberapa peningkatan kemampuan dibandingkan dengan seri sebelumnya yaitu Landsat 5. Landsat 7 diluncurkan pada tanggal 15 April 1999 dengan wahana peluncur roket Delta II. Landsat 7 membawa satu sensor yaitu

24 8 Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+). Sensor tersebut merupakan duplikasi dari sensor TM pada Landsat TM 4, 5 yang mendapat tambahan satu saluran pankromatik dengan resolusi spasial 15 m, sedangkan pada infra merah thermal resolusinya spasialnya meningkat dari 120 meter pada Landsat TM menjadi 60 meter (Landsat 2000). Karakteristik Landsat ETM+ dan fungsi masing-masing saluran disajikan pada Tabel 1. Keunggulan citra Landsat ETM+ dibanding Landsat TM adalah ditambahnya band pankromatik (band 8) dengan resolusi 15 meter dan pada band 6 terdapat perekaman dengan sistem low gain dan high gain untuk analisis laut dan darat. Adapun keterbatasan citra ini adalah adanya liputan awan (akibat sistem perekaman optik), dan resolusi spasial 15 meter masih termasuk kasar untuk tujuan pemetaan skala besar (Asriningrum 2002). Tabel 1. Karakteristik Landsat ETM+ dan Kegunaan Masing-masing Band Sistem resolusi No Band Spektral (µm) Spasial (m) Tempor al (hari) Kegunaan utama 1 Biru x Penetrasi tubuh air, analisis penggunaan lahan, pembedaan vegetasi dan tanah 2 Hijau x Pengamatan puncak pantulan vegetasi, untuk membedakan jenis vegetasi dan untuk membedakan antara tanaman sehat dan tidak sehat. 3 Merah x Untuk membedakan jenis vegetasi, untuk membedakan jenis tanaman, memudahkan perbedaan antara lahan terbuka dengan lahan bervegetasi. 4 Infra merah dekat x Saluran yang peka terhadap biomassa vegetasi, juga untuk identifiaksi jenis tanaman, memudahkan perbedaan tanah dan tanaman serta lahan dan air 5 Inframerah x Saluran penting untuk pembedaan gelombang pendek jenis tanaman, kandungan air (menengah I) tanaman, kelembaban tanah. 6 Inframerah thermal x Untuk membedakan formasi batuan 7 Inframerah gelombang pendek (menengah II) dan untuk pemetaan hidrotermal x Berfungsi untuk memisahkan formasi batuan dan dapat digunakn untuk pemetaan hidrotermal 8 Pankromatik x Klasifikasi vegetasi, analisis ganguan vegetasi, pembedaan kelembaban tanah dan keperluan lain yang berhubungan dengan gejala termal Sumber : Landsat (2000)

25 9 Klasifikasi Digital Klasifikasi merupakan suatu proses dimana semua piksel dari citra yang memiliki ciri spektral yang sama dikelompokkan. Secara umum terdapat dua metode klasifikasi : klasifikasi terbimbing (supervised classification) dan klasifikasi tak terbimbing (unsupervised classification). Klasifikasi terbimbing (supervised classification) merupakan metode klasifikasi yang menggunakan training area yang telah dikenal dengan baik oleh analis. Training area yang refresentatif untuk masing-masing kelas harus ditentukan oleh pengguna. Hal yang penting diperhatikan dalam pengambilan training area adalah pencarian area yang homogen. Namun demikian kisaran variabilitas juga perlu diperhatikan untuk menghindari ketidakmampuan algoritma dalam mengklasifikasi. Informasi yang diperlukan sebagai referensi dalam penetapan training area dapat diperoleh dari survei lapangan, foto udara, peta dan data lainnya. Hanggono (1998) mengemukan bahwa asumsi terpenting dalam metode ini adalah bahwa setiap kelas spektral dapat dideskripsikan oleh suatu distribusi probabilitas dalam suatu ruang multispektral. Distribusi multivariabel ini dengan beberapa variabel sebagai dimensi ruang sehingga mampu mendeskripsikan peluang ditemukannya sebuah piksel pada sebuah kelas dilokasi manapun dalam ruang multispektral. Pendekatan klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification) pada umumnya tidak mensyaratkan data yang berlebihan atau kelas tidak dikenal secara apriori. Oleh karena itu metode ini pada umumnya diterapkan pada citra yang kurang didukung oleh data kondisi penutupan lahan. Algoritma kemudian akan mengelompokkan piksel-piksel yang memiliki kesamaan ciri spektral kedalam gerombol yang unik melalui kriteria statistika yang ditentukan melalui training area dan selanjutnya mengkombinasikan dan atau mengubah label gerombol kedalam kelas yang sesungguhnya (Manalu 2002). Berdasarkan asumsi statistik yang digunakan Schowengerdt (2007) membedakan algoritma klasifikasi citra dalam dua kelompok yaitu non parametrik dan parametrik. Algoritma klasifikasi citra non parametrik berasumsikan bahwa distribusi kelas tersebar secara bebas, yang termasuk kedalam metode ini antara lain neural network, ISODATA, nearest neighbors.

26 10 Sementara parametrik menggunakan asumsi bahwa kelas terdistribusi secara normal dan memerlukan perkiraan distribusi parameter seperti mean vektor dan kovarian matrik untuk klasifikasi, yang termasuk kedalam parametrik antara lain maximum likelihood (MLC), nearest mean. Ditinjau dari aspek statistik sampel yang ditentukan harus mencukupi. Swain dan Davis (1998) menganjurkan 10 sampai 100 piksel perkelas untuk mendapatkan statistik kelas yang sesuai. Algoritma akan menghitung variabelvariabel statistika dasar yang diperlukan yaitu rataan, standar deviasi, matrik kovarian, matrik korelasi untuk setiap area yang dijadikan training area. Selanjutnya, algoritma yang digunakan akan mengevaluasi dan memetakannya kedalam kelas yang memiliki peluang/kemiripan yang paling dekat. Fungsi utama klasifikasi adalah untuk melakukan pemisahan dari suatu populasi yang kompleks kedalam kelompok-kelompok yang disebut kelas, yang di anggap sebagai unit-unit homogen untuk tujuan tertentu (Malingreu 1978). Wiradisastra (1982) juga menjelaskan bahwa klasifikasi penutup lahan merupakan pembagian wilayah kedalam satuan-satuan yang lebih kecil dan homogen agar deskripsinya lebih sederhana. Metode Klasifikasi Back Propagation Neural Network (BPNN) Gagasan neural network berasal dari fungsi struktur dasar otak manusia. Neural network merupakan simulasi perangkat lunak yang mengambarkan sistem kerja jaringan saraf (neuron) dalam arti biologi. Dalam ilmu pengetahuan modern dan rancang bangun neural network telah memperkuat pentingnya aplikasi numerik yang berkisar pada pola pengenalan, klasifikasi dan lain-lain. Menurut Basuki (2003) metode ini berisi proses stimulasi-stimulasi yang berlangsung dalam otak yang diterjemahkan dalam simbol, nilai dan bobot. Metode ini mempunyai keunggulan dalam hal proses pembelajaran, terdapat bermacammacam jenis neural network tergantung pada penggunaan. BPNN atau back propagating perceptron paling dikenal dan digunakan secara luas pada sistem neural network. Istilah BPNN mengacu pada metode training yang menghubungkan pembobot network yang disesuaikan. BPNN mempunyai tipe dari multi layer feed forward network.

27 11 Klasifikasi neural network adalah metode klasifikasi non parametrik. Neural network perlu dilakukan training untuk membuat analisis diskriminan. Tujuan dari training adalah untuk menyesuaikan kekuatan asosiasi (atau koefisien dari pembobot) antar neuron. Kriteria dari training untuk membuat error antar keluaran (output) perhitungan vektor dependent dan vektor independent dari pola traning yang diketahui. Proses dari training adalah untuk meneruskan error terbelakang (transmit backward error) ke network. Penyesuaian pembobot antar unit antar output layer, hidden layer dan input layer oleh karena itu bentuk neural network ini dikenal dengan back propagation neural network (Zhou et al 1997) Penggunaan neural network untuk klasifikasi citra multispektral terbagi atas dua tahap, yaitu tahap pelatihan dan tahap klasifikasi. Adapun data untuk pelatihan sama dengan yang digunakan oleh algoritma klasifikasi terawasi parametrik. Pertama-tama jaringan tersebut dilatih dengan algoritma rambat-balik sampai dicapai target kesalahan minimal yang dipersyaratkan. Target kesalahan minimal tersebut merupakan perbedaan antara nilai target yang diinginkan dan nilai output yang dihasilkan. Jika proses pelatihan telah selesai, maka jaringan digunakan sebagai struktur umpan maju (feed forward structure) untuk menghasilkan klasifikasi tutupan lahan seluruh citra (Paola and Schowengerdt 1997). Elemen dasar neural network adalah node pemroses (Gambar 2). Mulamula setiap nilai input (X) dikalikan dengan nilai bobot sinapsis (W), yang berfungsi menentukan kuat lemahnya aliran sinyal input, kemudian seluruh hasil perkalian tersebut dijumlahkan untuk menghasilkan nilai jaringan (net). Nilai jaringan ini dilewatkan melalui suatu fungsi aktivasi yang dibatasi oleh suatu nilai ambang. Jika nilai jaringan melampaui tingkat ambang tersebut maka jaringan menjadi aktif. Sebaliknya, jika tidak maka jaringan tetap pasif. Oleh karena input tersebut melewati suatu model untuk menghasilkan output, sistem ini disebut sistem umpan maju.

28 12 Gambar 2. Struktur Internal Node Pemeroses Neural Network (Siang 2005) dimana : x1, x2,..xn : data masukan w1,w2,..wn : pembobot berfungsi untuk menyimpan informasi b : bias Σ : elemen pemroses yang berfungsi mengatur daerah nilai ambang f (net) : fungsi aktivasi untuk pemroses informasi Oleh karena kemampuan perhitungan atau pengolahan sistem syaraf ditentukan oleh hubungan antar neuron dalam bentuk jaringan, maka node-node pemroses tunggal tersebut diorganisasi ke dalam beberapa layer, yang setiap layer saling terhubung dengan layer berikutnya dalam bentuk jaringan. Tetapi, di dalam satu layer sendiri tidak terjadi hubungan antar node. Hubungan antar node memiliki bobot yang bersesuaian. Jika suatu nilai dilewatkan dalam hubungan tersebut akan dikalikan dengan bobot tersebut. Pemodelan ini disebut multi layer perceptron atau disebut juga multi layer feed forward. Model multi layer perceptron umumnya terdiri dari tiga jenis layer dengan topologi jaringan seperti pada Gambar 3, yaitu: layer input, layer tersembunyi, dan layer output. Gambar 3. Model Generik Multi Layer Perceptron (Paola and Schowengerdt 1997)

29 13 Fungsi aktivasi menyatakan perlakuan suatu node terhadap input secara tidak linier. Setiap fungsi diferensial dapat digunakan sebagai fungsi aktivasi f, namun yang paling banyak digunakan adalah fungsi sigmoid. Fungsi sigmoid merupakan fungsi yang bersifat kontinyu, monoton, output-nya terbatas, dan dapat dideferensialkan. Fungsi ini dibedakan atas fungsi logsigmoid dan transigmoid (Gambar 4). a. Fungsi Logsigmoid (binary sigmoid) yang didefinisikan sebagai : 1 f ( net) 1 net...(1) e b. Fungsi Tansigmoid (bipolar sigmoid) yang didefinisikan sebagai : 2 f ( net) 1 net...(2) 1 e dimana : f (net) e net = fungsi aktivasi untuk pemroses informasi = bilangan natural = Nilai Jaringan (network) Gambar 4. Fungsi Sigmoid (Ozkan and Erbek 2003) Neural network yang digunakan dalam penelitian ini adalah BPNN yang dikembangkan oleh Rumelhard et al. tahun 1986 dan merupakan metode neural network yang paling banyak digunakan (Rumelhard et al 1990 dalam Kushardono 2001). Model BPNN dan model sebuah neuron j dalam neural network disajikan pada Gambar 5 dan 6.

30 14 Gambar 5 : Model Back Propagation Neural Network (BPNN) Gambar 6. Neural Network dengan Fungsi Aktivasi BPNN merupakan metode klasifikasi terbimbing (supervised classification) yang terdiri atas banyak neuron layer seperti input layer, hidden layer (kemungkinan lebih satu layer) dan output layer (Gambar 5). Proses neuron dalam setiap layer dikenal dengan unit proses atau secara sederhana dikenal sebagai unit dan neuron. Unit dari input layer, hidden layer dan output layer dapat juga disebut input unit, hidden unit dan output unit. Tiap layer terdiri dari beberapa neuron yang modelnya seperti terlihat pada Gambar 6. Proses dari setiap neuron p dalam tiap-tiap layer menghasilkan sinyal output O p yang dihitung dari persamaan 3, dimana output ditentukan berdasarkan fungsi F dari jumlah penganda nilai sinyal oleh faktor pengali dan ditambahkan ke faktor penambah. Persamaan ditunjukkan dibawah ini (Koeshardono 2001): 1 O P F ( Wip xoi ) L i 1 p...(3)

31 15 dimana : O p = Output sinyal pada setiap neuron p pada setiap layer L p = faktor penambah untuk setiap neuron p (p = 1, 2, 3,, p) W ip = faktor pengali untuk neuron p terhadap neuron i ( i= 1, 2, 3,, l) O i yang merupakan lapisan neuron pada layer sebelumnya = nilai sinyal dari neuron i yang masuk. Besarnya faktor pengali (W ip ) dan faktor penambah (L p ) pada BPNN ini ditentukan berdasarkan metode pengajaran back propagation dengan nilai awal ditentukan secara acak dan perubahan nilai setiap waktu t+1 proses pengajaran sejumlah W ip (t+1) dan L p (t+1) seperti persamaan yang ditunjukkan berikut ini : dimana : W L ip p ( t 1) ( x E ( t 1) ( x E cp cp xo cp ) L ) ( x W p ( t)) ip ( t))...(4) η dan α = tingkat pembelajaran (learning rate) dan momentum yang merupakan nilai konstan yang besarnya berkisar 0.0 sampai 1.0 E cp = besar kesalahan (error) pengajaran pada neuron p sebelumnya, dihitung dengan persamaan 5 dan persamaan 6 untuk training sample c (c = 1, 2, 3,, c n ) O cp = besar sinyal output dari neuron p tersebut untuk training sample c. t = waktu Besar error pengajaran pada neuron p sebesar E cp pada persamaan 4 untuk output layer (lapis terakhir) dihitung dengan persamaan sebagai berikut : dimana : Ecp = (T cp -O cp ) xo cp x1-o cp )... (5) T cp = sinyal pengajaran (learning signal) yaitu suatu output jika benar untuk training data c pada neuron p, O cp = output sinyal neuron p pada output layer E cp untuk hidden layer (lapisan tengah) dihitung dengan persamaan berikut : K E O x(1 O ) x ( E xw )...(6) cp cp cp k 1 ck pk

32 16 dimana : O cp = output sinyal neuron p pada hidden layer (lapisan tengah) E ck = besar kesalahan (error) untuk training data c pada neuron k (k = 1, 2, 3,..., k) dari layer samping atau lapisan belakangnya atau layer terakhir jika neural network terdiri tiga layer W pk = faktor pengali untuk hubungan antara neuron p pada hidden layer dengan neuron k pada layer belakangnya atau lapisan sebelumnya. Fungsi F pada persamaan 3 pada BPNN yang umum digunakan adalah fungsi sigmoid, yaitu sebagai berikut : 1 F( u) 1 u e...(7) dimana : f (u) = fungsi aktivasi untuk pemroses informasi e = bilangan natural u = Nilai Jaringan (network) Secara teknis, terdapat dua hal mendasar di dalam klasifikasi neural netwok ialah daerah pelatihan dan pengaturan parameter jaringan. Daerah pelatihan yang baik yaitu daerah pelatihan yang secara statistik mempunyai nilai indeks keterpisahan antara 1,9-2 (Richard 1993) dan atau mempunyai tampilan diagram pencar yang tidak saling tumpang tindih, sedangkan nilai indek sepabilitas 0-1 mengindikasikan separabilitas tidak baik dan nilai 1-1,9 adalah indek separabilitas cukup baik. Sementara Parameter jaringan ialah parameter yang perlu diatur untuk memperoleh kinerja klasifikasi yang baik di dalam arti efisien dan efektif. Parameter jaringan ini meliputi : (a) fungsi aktivasi, (b) training threshold contribution, (c) training rate, (d) training momentum, (e) training RMS exit criteria dan (f) jumlah iterasi pelatihan (PCI Help 2001). Fungsi aktivasi. Fungsi aktivasi di dalam jaringan syaraf tiruan digunakan untuk menentukan keluaran sebuah neuron. Dua fungsi aktivasi yang sering dipergunakan adalah logistic dan hyperbolic. Fungsi aktivasi logistic atau sering disebut fungsi sigmoid biner memiliki kisaran nilai dari 0 sampai dengan 1, sedang fungsi hyperbolic mempunyai kisaran nilai antara -1 sampai dengan +1. Di dalam penelitian ini digunakan fungsi aktivasi logistic.

33 17 Training threshold contribution Training threshold contribution merupakan nilai ambang yang perlu ditentukan untuk meratakan perubahan bobot di dalam node. Hal ini digunakan untuk mempercepat konvergensi karena perataan bobot akan dapat meminimumkan kesalahan antara lapisan keluaran dan respon yang diharapkan. Perataan bobot-bobot di dalam node dapat memberikan hasil klasifikasi yang lebih baik. Nilai parameter ini berkisar antara 0 sampai dengan 1. Masukan nilai 0 pada parameter ini tidak akan meratakan bobotbobot di dalam node. Laju pelatihan (training rate) Laju pelatihan akan mempengaruhi kecepatan proses iterasi. Nilai laju pelatihan yang besar akan mempercepat perubahan bobot menuju bobot stabil, tetapi menghadapi resiko terjadinya osilasi dan ketidakstabilan selama proses iterasi. Sebaliknya, nilai laju pelatihan yang kecil akan menyebabkan perubahan bobot yang relatif lambat yang juga akan memperlambat proses konvergensi. Tidak ada kepastian tentang nilai laju pelatihan yang tepat pada proses pelatihan. Training momentum Pada metode back propagation baku, komputasi didasarkan pada perubahan bobot pada gradient yang terjadi untuk pola yang dimasukkan saat itu. Modifikasi dapat dilakukan dengan cara memperhitungkan arah gradient pola terakhir dengan arah gradient pola sebelumnya yang disebut momentum. Penambahan momentum dimaksudkan untuk menghindari perubahan bobot yang drastis akibat adanya data yang sangat berbeda atau ekstrem. Jika data terakhir yang diberikan ke jaringan memiliki pola yang serupa, maka perubahan bobot dapat dilakukan secara cepat, demikian juga sebaliknya. Training RMS exit criteria Training RMS exit criteria merupakan salah satu cara untuk menghentikan proses pelatihan atau iterasi, selain menggunakan pembatasan jumlah iterasi (number of iteration). Iterasi akan berhenti tepat pada nilai toleransi RMS yang ditetapkan di dalam jaringan.

34 18 Jumlah iterasi pelatihan Jumlah iterasi yang makin besar dapat menghasilkan klasifikasi penutup/penggunaan lahan dengan ketelitian keseluruhan yang makin baik, meskipun demikian penambahan jumlah iterasi pada batas tertentu juga akan mengalami penurunan tingkat ketelitian keseluruhan dan jumlah iterasi yang semakin besar juga akan menambah lama waktu pelatihan. Selama dekade terakhir para peneliti telah melakukan atau menggunakan neural network untuk klasifikasi penutupan lahan menggunakan data satelit penginderaan jauh. Beberapa peneliti yang menggunakan neural network dalam penelitian mereka (Sadly 1998): 1. Chang (1994) menggunakan dynamic learning neural network untuk aplikasi penginderaan jauh dan mendapatkan hasil yang baik dengan menyimpulkan bahwa neural network merupakan pengklasifikasi yang sesuai dan mudah untuk volume citra yang luas. 2. Studi yang sama juga dilakukan Bischof (1992) dan menunjukkan bahwa neural network hampir sama seperti MLC 3. Yoshida (1994) mengajukan klasifikasi neural network untuk analisis data penginderaan jauh dan juga untuk memperbaiki hubungan tetangga antar piksel dan mengurangi kemungkinan error untuk pola klasifikasi dan mendapatkan hasil yang lebih realistik dan tanpa ingar dibandingkan metode statistik konvensional. Andayani (2008) menggunakan metode BPNN untul klasifikasi penutupan lahan menggunakan data ALOS, dengan mengembangkan beberapa model parameter input data dan membandingkan hasilnya. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa metode BPNN akan meningkat akurasi dengan menambah input-input data lainnya seperti NDVI, SAVI dan RVI. Sedangkan Shafri et al. (2007) menggunakan beberapa model algoritma klasifikasi untuk pengenalan pola dalam pemetaan tutupan hutan menggunakan data hyperspektral, menunjukkan hasil bahwa MLC dan Artificial Neural Network tidak terdapat perbedaan signifikan yaitu MLC 86% dan ANN 85%. Fauzi (2001) menggunakan jaringan syaraf tiruan dan klasifikasi MLC untuk mendeteksi kondisi hutan hujan tropis didaerah konsesi Lebanan Kabupaten

35 19 Berau. Metode yang digunakan adalah klasifikasi neural network multilayer perceptron dengan fungsi aktivasi sigmoid. Hasil penelitiannya menunjukkan terdapat pemisahan yang signifikan antar kelas didalam satu skema klasifikasi. Akurasi klasifikasi dengan algoritma neural network terbukti lebih baik dibandingkan dengan MLC. Metode Klasifikasi Maximum Likelihood (MLC) Metode klasifikasi kemungkinan maksimum merupakan metode klasifikasi yang paling banyak digunakan dalam metode klasifikasi secara terbimbing untuk data penginderaan jauh. Sebelum melakukan klasifikasi, perlu menentukan training area yang digunakan untuk melihat ciri-ciri statistik masing-masing calon kelas. Metode ini dikembangkan mengikuti statistik yang dapat diterima (Richard 1993). Richard (1993) juga menambahkan bahwa teknik klasifikasi kemungkinan maksimum didasarkan pada perkiraan densitas probabilitas untuk setiap tutupan lahan. Perhitungan probabilitas disini memungkinkan untuk menemukan sebuah piksel dari kelas i pada posisi X yang didefinisikan oleh teori Bayes : P(i X) = P(X i)p(i)/p(x)... (8) Dimana : P(i X) = Probabilitas bersyarat dari kelas i, dihitung mengingat bahwa vektor X ditetapkan secara apriori (tanpa syarat), probabilitas ini juga disebut likelihood. P(X i) = Probabilitas bersyarat (conditional) dari vektor X, dihitung mengingat bahwa kelas ditetapkan secara apriori P(i) = Probabilitas kelas i muncul didalam sebuah citra P(X) = Probabilitas dari vektor X Pendekatan klasifikasi citra dengan metode MLC adalah dengan memperhatikan probabilitas anggota kelas paling maksimum dari sejumlah piksel pada citra input. Aturan keputusan dari MLC menetapkan tiap-tiap piksel memiliki pola ukuran atau ciri-ciri X ketidakpastian kelas c yang unit-unitnya paling mungkin atau mendekati pada kenaikan yang diberikan pada ciri-ciri vektor X (Swain dan Davis, 1978 dalam Foody et al dalam Jensen 1996). Sistem

36 20 klasifikasi ini berasumsi bahwa data statistik training untuk tiap-tiap kelas dalam tiap-tiap band tersebar secara normal yaitu Gausian (Blaisdell 1993 dalam Jensen 1996). Lillesand dan Kiefer (1990) menyatakan bahwa klasifikasi MLC mengevaluasi secara kuantitatif variance dan co-variance pola tanggapan spektral kategori ketika mengklasifikasi piksel yang tidak dikenal. Untuk melakukan ini, dibuat asumsi bahwa distribusinya normal. Untuk alasan matematik Surlan (2002) menyebutkan bahwa suatu distribusi normal multivariate dapat digunakan sebagai fungsi densitas probabilitas. Dalam kasus distribusi normal, Lk dapat diexpresikan sebagai berikut : Lk X (2 ) n 2 / 1 k / 1/ 2 1 exp ( X k ) 2 1 k ( X ) dimana : n = banyaknya band X = vektor penciri dari n band Lk(X) = kemungkinan dari X masuk kedalam kelas k µ k = vektor rataan dari kelas k k = matrik varian kovarian dari kelas k / k / = determinan dari k k t...(9) Dalam kasus dimana matrik varian-kovarian simetris, L k sama seperti euclidian, sedangkan jika determinan sama satu dengan lainnya, L k menjadi mahalanobis. Persamaan Mahalanobis sebagai berikut : t 1 1 d 1 Gk (X) - (X - k) k (X - k) - ( ) log (2TT)- ( ) log ( k ) log (Pk).(10) Untuk meningkatkan ketelitian klasifikasi dengan metode klasifikasi MLC Mueler (1983) dalam Surlan (2002) menekankan cara pengambilan training area haruslah memenuhi 4 syarat: 1. Ukuran dari training area : harus memenuhi syarat utama yakni agar kovarian matrik tidak singular, haruslah piksel-piksel suatu training area saling independen linear. Jadi pada n kelas obyek minimal n+1 piksel pada tiap-tiap kelasnya. Untuk mencapai hasil yang lebih baik disarankan 10 kali dari jumlah piksel minimum diatas. 2. Kehomogenan training area : untuk hal ini diharapkan hanya piksel-piksel dari kelas itu saja yang berada pada training area dan distribusinya harus

37 21 sedapat mungkin berdistribusi normal. Dalam banyak hal adalah seringkali sangat susah membuat training area untuk memisahkan piksel-piksel dari dua kelas yang berbeda, seperti terjadi pada obyek jalan atau sungai. Seringkali tercampur piksel-piksel dari dua kelas misal jalan dengan sungai. Dalam hal ini adalah membantu jika sebelumnya dilakukan klasifikasi unsupervised. 3. Kelas representatif : suatu persyaratan penting untuk dapat menerapkan metode MLC adalah masing-masing kelas berdistribusi normal. pada kenyataannya persyaratan ini seringkali tidak terpenuhi, karena tidak terpenuhinya simetrisasi dari kelas-kelas obyek pada ruang spektral. Pada penentuan kelas dapat dilakukan dengan menandai training area, sedemikian sehingga seluruh piksel dapat terkelompokan. 4. Keterpisahan kelas : untuk menajamkan keterpisahan kelas biasanya dilakukan transformasi. Evaluasi Akurasi Hasil Klasifikasi Pengujian ketelitian klasifikasi bertujuan untuk melihat kesalahan-kesalahan klasifikasi sehingga dapat diketahui persentase ketepatannya (akurasi). Pengujian akurasi menggunakan ground truth area yang didapat dari lapangan. Akurasi hasil klasifikasi diuji dengan cara membuat matrik kontingensi yang sering disebut dengan matrik kesalahan (error matrix) atau matrik konfusi (confusion matrix). Metode ini adalah metode yang paling umum dilakukan untuk mengetahui tingkat keakuratan hasil klasifikasi. Matrik kesalahan adalah matrik bujur sangkar yang berfungsi untuk membandingkan antara data lapangan dengan korespondensinya dengan hasil klasifikasi (Lillesand dan Kiefer, 1994). Persentase ketepatan klasifikasi tersebut dapat dilihat dari nilai user s accuracy, producer s accuracy, overall accuracy dan kappa accuracy. Menurut Congalton dan Green (1999) producer s dan user s accuracy adalah dua penduga dari ketelitian keseluruhan (overall accuracy). Producer s accuracy adalah peluang rata-rata (dalam persen) bahwa suatu piksel akan diklasifikasikan dengan benar dalam kelas hasil klasifikasi, ukuran ini juga mencerminkan rata-rata dari kesalahan omisi (omission error) yaitu kesalahan klasifikasi berupa kekurangan jumlah piksel suatu kelas akibat masuknya piksel-piksel kelas tersebut ke kelas

38 22 yang lain. Sedangkan user s accuracy adalah peluang rata-rata (dalam persen) bahwa suatu piksel dari citra yang terklasifikasi secara aktual mewakili kelaskelas tersebut di lapangan, ukuran ini mencerminkan rata-rata dari kesalahan komisi (commission error) yaitu kesalahan klasifikasi berupa kelebihan jumlah piksel pada suatu kelas yang diakibatkan masuknya piksel dari kelas yang lain. Sementara overall accuracy adalah suatu persentase dari piksel-piksel yang terkelaskan dengan tepat yang dibagi dengan jumlah total piksel yang diuji. Nilai akurasi yang paling banyak digunakan adalah akurasi kappa (KHAT), karena nilai ini memperhitungkan semua elemen (kolom) dari matrik. Congalton dan Green (1999) menyatakan bahwa kappa accuracy merupakan perhitungan dari setiap matrik kesalahan dan mencerminkan seberapa baik klasifikasi citra dengan data referensi yang digunakan. Nilai-nilai producer s accuracy, user s accuracy, dan overall accuracy dan nilai Kappa dapat dihitung dengan persamaan berikut : r X ii i 1 Producer s Accuracy x100% ;...(11) X r k X ii i 1 User s Accuracy x100%...(12) X r k X ii i 1 Over All Accuracy N x100%...(13) Dimana : N = jumlah semua piksel yang digunakan dalam pengamatan r = jumlah baris atau lajur pada matrik kesalahan (= jumlah kelas) X ii = Jumlah pengamatan di baris i dan kolom i X +k = jumlah semua kolom pada lajur ke- k X k+ = jumlah semua kolom pada baris ke- k Nilai akurasi yang paling banyak digunakan adalah akurasi kappa (KHAT), karena nilai ini memperhitungkan semua elemen (kolom) matriks. Secara matematis akurasi kappa dinyatakan sebagai berikut :

39 23 Kappa Accuracy = r N r i 1 i 1 N 2 X i r i 1 X X i i X X i i... (14) Dimana : N = jumlah semua piksel yang digunakan untuk pengamatan r = jumlah baris/ lajur pada matriks kesalahan (sama dengan jumlah kelas) X i+ = jumlah semua kolom pada lajur ke-i X +i = jumlah semua kolom pada baris ke-i Badan Survey Geologi Amerika Serikat (USGS) telah mensyaratkan tingkat akurasi/ ketelitian sebagai kriteria utama bagi sistem klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan yaitu tingkat akurasi klasifikasi terhadap data penginderaan jauh harus tidak kurang dari 85 %, dan ketelitian klasifikasi harus lebih kurang sama untuk beberapa katagori/ kelas (Lillesand & Kiefer 1990). Akurasi dievaluasi dengan membuat matriks contingency, yang lebih dikenal dengan matriks kesalahan (confusion matrix) seperti pada Tabel 2. Tabel 2. Matrik Kesalahan (Confusion Matrix) Data Training Diklasifikasi Ke- Kelas area A B D Total Baris Producer s A X ii X k+ X kk /X k+ B D X kk Total Kolom X +k N User s X ii /X +k Klasifikasi Penutup/Penggunaan Lahan Lahan mempunyai arti yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena semua aktivitas kehidupan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan lahan. Definisi lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi dimana faktor-faktor tersebut saling mempengaruhi potensi penggunaannya. Termasuk didalamnya adalah akibat kegiatan manusia baik pada masa lampau maupun masa sekarang, seperti reklamasi daerah pantai, alih fungsi areal persawahan, penebangan hutan

40 24 dan juga akibat-akibat lain yang menyebabkan kemunduran produktivitas lahan. Menurut Lillesand dan Kiefer (1990) penggunaan lahan berhubungan dengan kegiatan manusia pada sebidang lahan, sedangkan penutup lahan lebih merupakan perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap obyek-obyek tersebut. Klasifikasi penutup lahan/penggunaan lahan adalah upaya pengelompokkan berbagai jenis penutup/penggunaan lahan kedalam suatu kesamaan sesuai dengan sistem tertentu. Klasifikasi penutup/penggunaan lahan digunakan sebagai pedoman atau acuan dalam proses interpretasi atau penafsiran citra penginderaan jauh untuk tujuan pemetaan penutup lahan/penggunaan lahan. Banyak sistem klasifikasi penutup/penggunaan lahan yang telah dikembangkan, yang dilatarbelakangi oleh kepentingan tertentu atau pada waktu tertentu. Salah satu sistem klasifikasi penutupan/penggunaan lahan yang sering digunakan dalam mengklasifikasikan penutupan/penggunaan lahan menggunakan data penginderaan jauh adalah sistem klasifikasi FAO. Klasifikasi ini banyak dipakai sebagai standar klasifikasi penutup/penggunaan lahan dengan menggunakan citra Penginderaan Jauh, sedangkan di Indonesia sistem klasifikasi ini digunakan pada TREES Project kerjasama IPB dan Uni Eropa. Sistem klasifikasi FAO 1994 disajikan pada Tabel 3. Pemilihan kelas penutup/penggunaan lahan dalam penelitian ini adalah didasarkan pada kebutuhan dengan fokus pada lahan sawah dan tebu.

41 25 Tabel 3 Klasifikasi Penutup Lahan Menurut FAO Tahun 1994 Level 1 Level 2 Level 3 Level 4 0. Unknow A. Closed 1.Evergreen - lowland forest > 70% forest cover 1. Evergreen and 2.Evergreen-mountain forest > 70% canopy cover Semi evergreen Forest 3. Semi-evergreen forest 4. Heath forest / kerangas B. Open 5. Coniferous > 70% forest cover 9. Other 70-10% canopy cover 0. Unknown 2. Deciduous Forest 1. (Dry) Mixed deciduous C. Fragmented 4. Dry Dipterocarp 40-70% forest cover 9. Other >10% canopy cover 0. Unknow 1. Forest 1. Periodically inundated D. Undefined 3.Swampforest(permanently 3. Inundated Forest inundated 4. Swamp forest with palms 5. Peat swamp forest 9. Other 4. Gallery Forest 0 0. Unknown 1. Teak 5. Plantation 2. Pine 3. Eucalyptus 9. Other 6. Forest Regrowth Mangrove Other Mosaic 10% - 40% forest cover 0. Undefined 1. Shifting cultivation 1. 1/3 cropping 2. > 1/3 cropping 2. Cropland and Forest 3. Other vegetation and Forest 9. Other 3. Non Forest Vegetation< 10% canopy cover or < 10% forest cover Up to 10% of Forest cover 1. Wood & shrubland 0. Unknown 4. Bamboo 5. Swamp savanna 6. Humid (evergreen) type 7. Dry (savanna) type 9. Other 2. Grassland 0. Unknown 1. Dry grassland 2. Swamp grassland 9. Other 3. Regrowth of vegetation 9. Other < 10% canopy cover Or < 10% forest cover 1. Arable 0. unknown 1. Irigated 2. Rainfed 4. Agriculture Up to 10% of Forest cover 5. Non vegetated 6. Water 2. Plantations 0. Unknown 1. Rubber 2. Oil palm 3. Coffee, Cacao 9. Other 3. Ranching 9. Other 1. Urban 2. Roads 3. Infra structure 4. Bare soil 9. Other 1. River 2. Lake 7. Sea 8. Not visible 1. Clouds 2. Shadow 9. No data Sumber : FAO (1994 dalam Rosalina 2002)

42 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan mulai Agustus 2003 sampai selesai. Pengolahan data citra Landsat ETM+ dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Tanah Institut Pertanian Bogor. Lokasi utama penelitian ini dilakukan di lahan milik PT. Sang Hyang Seri Sukamandi Kecamatan Ciasem dan sekitarnya dipilih sebagai lokasi yang dominan penutupan/pengunaan lahan padi sawah sedangkan untuk lokasi yang dominan tanaman tebu dilakukan di areal perkebunan PT. Rajawali Nusantara Unit Pasir Bungur Kecamatan Purwadadi dan sekitarnya. Kedua Lokasi ini terletak di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Secara administratif lokasi penelitian mencakup seluruh Kecamatan Ciasem, Patokbeusi dan sebagian Kecamatan Blanakan, Purwadadi, Cikaum. Peta orientasi lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 7. Bahan dan Alat Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah : 1. Citra satelit Landsat ETM+ multitemporal path/row 122/64 tanggal 3 Desember 2000, 15 Juli 2001, 29 April 2002, 18 Juli 2002 dan 31 Maret Citra Landsat ETM+ komposit 5,4,2 dapat dilihat pada Lampiran Peta administrasi Kabupaten Subang 3. Peta rupa bumi skala 1 : lembar , , , dan Data jadwal dan realisasi tanam padi sawah dan tebu musim tanam Data ini selanjutnya akan diilustrasikan dalam bentuk peta yang dijadikan sebagai acuan referensi.

43 Gambar 7. Peta Orientasi Lokasi Penelitian. 27

44 28 Alat Alat-alat yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah : 1. Satu unit Komputer PC Pentium IV 2.40 Ghz 256 RAM, scanner dan printer. 2. Perangkat lunak PCI Geomatics (Geomatica 9.0, OrthoEngine SE 9.0), ArcView 3.3, ArcGIS 9.3 dan perangkat lunak pendukung lainnya. 3. GPS (Global Positioning System) 4. Kamera dan, 5. Alat-alat tulis dan gambar Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa citra secara visual dan digital. Penelitian dilakukan melalui beberapa tahapan kegiatan yaitu persiapan, pra pengolahan citra, pengolahan citra, interpretasi visual lahan sawah dan tebu, klasifikasi citra secara digital dengan metode Maximum Likelihood (MLC) dan Back Propagation Neural Network (BPNN), kegiatan lapang dan evaluasi akurasi. Tahapan Penelitian Persiapan penelitian dan Pengumpulan data awal Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data awal melalui studi pustaka dan pra survei untuk memperoleh informasi awal, penyiapan bahan dan alat-alat yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian, pengolahan awal data citra Landsat ETM+ (interpretasi citra). Perangkat lunak pengolahan data citra Landsat ETM+ yang digunakan adalah PCI Geomatics versi 9.0 (Geomatica dan Orthoengine). Pra Pengolahan Citra Pra prosessing dilakukan untuk menghilangkan kesalahan-kesalahan yang ada pada data citra. Koreksi Radiometrik dan Geometrik merupakan hal yang umum dilakukan untuk ini. Koreksi radiometrik diperlukan untuk memperbaiki kualitas visual citra dan sekaligus memperbaiki nilai-nilai pixel yang tidak sesuai dengan nilai pantulan atau pancaran obyek yang sebenarnya. Selanjutnya dilakukan koreksi

45 29 geometrik menggunakan Orthoengine/GCP Works dengan menentukan titik kontrol (Ground Control Points). Koreksi geometrik dalam penelitian ini dilakukan dengan dua cara, pertama koreksi geometrik citra pankromatik ke peta (Image to Map), dan kedua koreksi geomatrik citra ke citra (image to image). GCP diperoleh dari peta digital rupa bumi dan observasi lapangan. GCP adalah suatu titik dipermukaan bumi yang diketahui koordinatnya baik pada citra (kolom/piksel dan baris) maupun pada peta yang diukur dalam derajat lintang dan bujur. Syarat dalam pemilihan titik kontrol (GCP) adalah harus tersebar merata di seluruh citra dan merupakan obyek yang relatif permanen artinya tidak berubah dalam waktu pendek misalnya jalan dan sudut bangunan yang dapat diidentifikasi baik pada citra maupun pada peta dan nilai RMS error < 1 piksel. Setelah terkoreksi maka dilakukan proses resampling dengan mengunakan metode tetangga terdekat (nearest neighbour). Proses ini dilakukan untuk menentukan nilai digital terhadap pixel-pixel citra setelah mengalami perubahan posisi hasil koreksi serta menyesuaikan resolusi spasial tiap pixel. Pengolahan citra Pengolahan data citra Landsat ETM+ menggunakan software PCI Geomatics 9.0. Secara umum tahap pengolahan citra adalah sebagai berikut : 1. Penentuan wilayah penelitian Tujuannya adalah untuk penyesuaian ukuran citra yang menjadi objek penelitian karena citra aslinya meliputi area yang luas (185 x 185 km) dan untuk mempermudah analisa dan proses data. Potongan citra dilakukan sesuai dengan ukuran lokasi penelitian yang mengacu pada peta rupa bumi, blok areal dan batas administrasi. 2. Kombinasi Band (band composite) Tujuannya adalah untuk mengetahui secara kuantitatif kombinasi band mana yang akan menghasilkan komposit warna yang optimum, dengan menyertakan faktor koefisien korelasi dan jumlah total ragam diantara berbagai kombinasi band yang ada didalam perhitungan.

46 30 3. Penajaman citra (image enhancement) dan Pansharpening Tujuannya adalah untuk memperjelas batas antara objek-objek yang berbeda, sehingga meningkatkan jumlah informasi yang dapat diinterpretasikan secara visual pada citra. Terdapat dua jenis penajaman yaitu penajaman spektral (contrast) dan penajaman spasial (filtering). Proses penajaman dilakukan dengan memakai model-model penajaman yang terdapat pada software Geomatica v 9.0. Selain penajaman citra juga dilakukan pengabungan citra (image fusion) pankromatik dan multispektral. pengabungan ini bertujuan untuk meningkatkan informasi spasial yang dapat diperoleh dari citra. Hasil dari pengabungan ini adalah citra multispektral dengan resolusi spasial yang lebih tinggi (15 meter/piksel). Metode yang digunakan adalah dengan menggunakan algoritma Automatic Image Fusion (Zhang, 2002) Klasifikasi Citra Klasifikasi citra dilakukan secara visual dan digital. Klasifikasi secara digital digunakan metode MLC dan BPNN. 1. Klasifikasi Lahan secara Visual Klasifikasi lahan sawah dan tebu secara visual dilakukan dengan cara melakukan delineasi lahan sawah dan tebu secara langsung pada citra komposit hasil fusi antara multi spektral dan pankromatik. Delineasi dilakukan berdasarkan kenampakan citra multi temporal yang digunakan dengan bantuan peta rupa bumi skala 1 : , data realisasi tanam dan hasil survey lapangan. Proses delineasi penggunaan/penutupan lahan dilakukan secara simultan (Simultanous analysis of multitemporal image). 2. Klasifikasi Lahan secara Digital Metode klasifikasi citra digital yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode klasifikasi terbimbing (supervised classification) dengan BPNN dan MLC. Pendekatan ini dilakukan untuk mendapatkan kelas penutupan lahan sesuai dengan training area. Informasi mengenai penutup/pengunaan lahan diperoleh berdasarkan hasil survei ke lapang, data realisasi tanam padi sawah, dan peta landuse Rupabumi. Penentuan training area ditentukan berdasarkan kesamaan

47 31 warna citra, pola, bentuk, asosiasi. Selanjutnya adalah menentukan kelas lahan sawah, lahan tebu dan bukan lahan sawah atau tebu (kebun, pemukiman, hutan, tegalan/ladang, badan air dan lain-lain). Pelaksanaan klasifikasi citra landsat ETM+ multi temporal dengan metode BPNN dan MLC dilakukan secara berjenjang yaitu : 1. Tahap pertama : Klasifikasi dilakukan untuk setiap data monotemporal, 2. Tahap Kedua : Hasil klasifikasi dari seluruh data digabung untuk memperoleh hasil klasifikasi baru. Proses klasifikasi bertahap ini diskenariokan dalam 5 skema proses klasifikasi. Skema 1 adalah melakukan klasifikasi citra tanggal 3 Desember Skema 2 melakukan klasifikasi citra tanggal 15 Juli 2001, dimana pada citra tersebut terlebih dahulu dilakukan masking area dengan hasil ekstraksi lahan sawah dan tebu dari klasifikasi pada skema 1. Tujuan masking area adalah untuk melokalisasi lahan sawah dan tebu sehingga dapat meningkatkan hasil analisis. Skema 3 melakukan klasifikasi menggunakan citra tanggal 29 April 2002 dengan lahan sawah dan tebu hasil skema 2 sebagai masking area. Skema 4 melakukan klasifikasi terhadap citra 18 Juli 2002 dengan lahan sawah dan tebu hasil skema 3 sebagai masking area. Skema 5 melakukan klasifikasi menggunakan citra tanggal 31 Maret 2003 dengan masking area hasil lahan sawah dan tebu pada skema 4.

48 32 Skema 1 (3 Des 2000) Skema 2 (15 Juli 2001) Skema 3 (29 April 2002) Skema 4 (18 Juli 2002) Skema 5 (31 Maret 2003) Training Area dan Uji Seperabilitas Klasifikasi BPNN dan MLC Akurasi Klasifikasi Masking Area Sawah dan Tebu 1 Training Area dan Uji Seperabilitas Klasifikasi BPNN dan MLC Akurasi Klasifikasi Masking Area Sawah dan Tebu 2 Training Area dan Uji Seperabilitas Klasifikasi BPNN dan MLC Akurasi Klasifikasi Masking Area Sawah dan Tebu 3 Training Area dan Uji Seperabilitas Klasifikasi BPNN dan MLC Akurasi Klasifikasi Masking Area Sawah dan Tebu 4 Training Area dan Uji Seperabilitas Klasifikasi BPNN dan MLC Akurasi Klasifikasi Hasil Klasifikasi Skema 1 Hasil Klasifikasi Skema 2 Hasil Klasifikasi Skema 3 Hasil Klasifikasi Skema 4 Hasil Klasifikasi Skema 5 Pengabungan Hasil Klasifikasi Gambar 8. Skema Klasifikasi Lahan Sawah dan Tebu Secara Bertahap Menggunakan Citra Landsat ETM+ Multitemporal.

49 33 a. Back Propagation Neural network (BPNN) Komponen-komponen neural network terdiri dari hidden node (sampai 25 node), learning rate (0,2), momentum (0,5), minimum error (0,01) dan iteration ( ). Struktur Neural Network yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9. Struktur Neural Network (Back Propagation Neural Network) yang Digunakan Dalam Penelitian. Tahap klasifikasi Metode BPNN sebagai berikut (PCI Help 2001): Creating : Fungsi ini untuk menciptakan dan menginisiasi segmen atau bagian neural network baru untuk proses BPNN. Pada segmen neural network ini dilakukan training untuk mengenali kelas dengan menggunakan program Neural Network Train (NNTRAIN). Training neural network dapat mengklasifikasikan citra dengan program NNCLASS. Program NNREP digunakan untuk menghasilkan report bagi segmen neural network. Programprogram untuk proses neural network adalah NNCREAT, NNTRAIN dan NNCLASS untuk klasifikasi citra multispektral berdasarkan training area. Proses pengolahan citra dengan klasifikasi neural network dilakukan dengan pengenalan kelas. Training : Perintah ini diperlukan untuk training area. Training diperlukan untuk mempelajari pola-pola input dari yang diteliti. Classify : fungsi klasifikasi citra multi spektral dengan menggunakan BPNN dilakukan dengan program NNCREATE dan trainingnya dengan NNTRAIN.

50 34 Report : fungsi ini untuk menghasilkan report untuk neural network. Model untuk melakukan Proses klasifikasi BPNN dapat dilihat pada Gambar 10. Gambar 10. Model Klasifikasi Backpropagation Neural Network. b. Maximum Likelihood Classification (MLC) Tahap analisis MLC sebagai berikut : Tahap training area : digunakan untuk penyusunan suatu kunci interpretasi secara numerik, didasarkan pada contoh jenis penggunaan lahan atau pengunaan lahan yang telah diketahui atau cek di lapangan dan mewakili. Tahap klasifikasi : setiap pixel pada citra dibandingkan dengan setiap kategori pada kunci numerik Tahap output : output yang dihasilkan dalam bentuk citra terklasifikasi (tipe penutup lahan/penutup lahan) Model untuk melakukan Proses klasifikasi MLC dapat dilihat pada Gambar 11.

51 35 Gambar 11. Model Klasifikasi MLC. Kegiatan Ground Ceck Lapangan Kegiatan lapangan dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap pra survei dan survei. Daerah yang dilakukan pra survei hampir mencakup seluruh daerah penelitian, namun terlebih dahulu memilih pada wilayah-wilayah yang memiliki jenis pengunaan lahan padi sawah dan tebu. Tahap kedua yaitu survei lapangan yang dilakukan secara intensif pada setiap jenis penggunaan lahan. Tujuan survei ini adalah untuk melakukan pengujian dan verifikasi lebih lanjut kebenaran hasil interpretasi dan klasifikasi. Pengecekan lapangan juga dimaksudkan memperbaiki dan menambahkan informasi yang belum didapat dari interpretasi awal citra satelit. Observasi yang dilakukan pada lokasi sampel adalah untuk : 1. Memperoleh informasi tentang penggunaan lahan di lapangan 2. Membandingkan hasil citra Landsat ETM+ dengan data di lapangan 3. Menguji kesesuaian obyek hasil interpretasi citra/klasifikasi, dan 4. Melakukan ploting hasil observasi lapangan ke hasil interpretasi/klasifikasi.

52 36 Analisis dan Perbandingan Hasil Klasifikasi 1. Pengujian Akurasi Klasifikasi Evaluasi akurasi tujuannya adalah untuk melihat persentase ketelitian dalam mengkelaskan suatu areal menjadi kelas-kelas penutupan lahan dengan cara menghitung jumlah piksel area contoh (training area) yang diklasifikasikan dengan benar dan salah. Akurasi dievaluasi dengan : (1) overall accuracy, (2) producer s accuracy (3) user s accuracy (4) kappa accuracy dan kesesuaian hasil klasifikasi dengan data referensi. Data referensi yang digunakan antara lain : Data cek lapang yang diambil secara acak pada areal yang dicakup citra satelit lokasi penelitian Jadwal tanam Areal training site yang sudah dibuat sebelumnya dari hasil interpretasi secara visual pada citra satelit. Peta penutup/penggunaan lahan digital dengan ukuran data, resolusi spasial dan waktu pembuatan sama atau hampir sama dengan tanggal data satelit Landsat ETM+ yang digunakan. Tabel 4. Contoh Matrik Konfusi Hasil Diklasifikasikan ke kelas Total klasifikasi kelas 1 kelas 2 kelas k Row Producers kelas 1 n 11 n 1k n 1+ N kk /N k+ kelas 2 kelas k n k1 n kk n k+ Total colom n +1 n +2 n +k N Users N ii /N +k Ukuran akurasi yang digunakan adalah : k 1 overall accuracy n ii N i 1 nii producer ' s accuracy x 100 % nk nii user' s accuracy x 100 % n k

53 37 kappa accuracy N r n r n n kk k k k 1 k 1 x r 2 N nk n k k % dimana : N = jumlah semua piksel yang digunakan dalam pengamatan r = jumlah baris atau lajur pada matrik kesalahan (= jumlah kelas) n +k = jumlah semua kolom pada lajur ke- k n k+ = jumlah semua kolom pada baris ke- k 2. Perbandingan Hasil Klasifikasi Perbandingan hasil klasifikasi dilakukan untuk mengetahui perbedaan hasil klasifikasi yang dilakukan dengan MLC dan BPNN. Klasifikasi dengan nilai akurasi yang tertinggi menunjukkan bahwa hasil klasifikasi memiliki persentase ketepatan yang lebih besar. Perbandingan dilakukan terhadap producer accuracy, user s accuracy, overall accuracy dan kappa accuracy dan luasan lahan sawah dan tebu. Secara keseluruhan ringkasan pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada skema diagram alir yang disajikan pada Gambar 12.

54 38 1 Peta rupa bumi Citra Raw Landsat ETM Citra Landsat TM Peta Digital Peta Tematik Koreksi Radiometrik dan Geometrik Pra Pengolahan Pemilihan Area Penelitian Peta Administrasi Peta Penggunaan Lahan Pengolahan Croping area studi Image Enhancement Band composite Training Area Interpretasi visual Peta Tematik Peta Penggunaan Lahan Klasifikasi Non Parametrik Back propagation neural network Parametrik Maksimum Likelihood Pengecekan Lapang 2 Reklasifikasi Survey Visual Interpretasi Data Referensi lainnya data tanaman Matrik Konfusi Kappa Kesesuaian hasil klasifikasi dengan data lapang AKURASI 3 PETA PENUTUP/ PENGGUNAAN LAHAN SAWAH DAN TEBU Gambar 12. Diagram Alir Metodologi Penelitian.

55 HASIL DAN PEMBAHASAN Koreksi Geometrik Koreksi geometrik adalah suatu proses memproyeksikan data pada suatu bidang sehingga mempunyai proyeksi yang sama dengan proyeksi peta. Koreksi ini dilakukan untuk memudahkan pengecekan objek citra di lapangan, memudahkan penggabungan citra dengan sumber data lain agar tidak mengalami distorsi luas sehingga memungkinkan dilakukan perbandingan piksel demi piksel (Jaya, 2002). Koreksi geometrik dilakukan dengan menggunakan transformasi polynomial dengan membandingkan RMSE. Nilai RMSE terkecil merupakan gambaran kesalahan paling kecil atau merupakan hasil koreksi geometrik keakuratan dengan kondisi permukaan bumi yang tinggi. Koreksi geometrik dilakukan pada semua citra yang digunakan pada penelitian ini. Citra yang menjadi acuan koreksi geometrik adalah citra Landsat ETM+ 15 Juli 2001, citra ini terlebih dahulu sudah dilakukan koreksi geometri dengan citra referensi yang sudah dikoreksi secara orthorektifikasi oleh USGS dan dipadu serasikan kembali dengan peta Rupabumi Indonesia skala 1 : Sistem koordinat yang digunakan dalam koreksi geometrik adalah Universal Transvers Mercator (UTM), zone 48 selatan (south UTM 48) dan koordinat geografis. Ketelitian koreksi geometri (RMSE) dengan menggunakan 18 titik Ground Control Point (GCP) pada masing-masing citra dapat dilihat pada Tabel 5, sedangkan posisi masing-masing titik lokasi pengambilan GCP selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6, penyebaran lokasi pengambilan titik GCP dapat dilihat pada Gambar 13. Lokasi pengambilan titik kontrol adalah obyek yang mudah dikenali dan relatif permanen seperti persimpangan jalan. Tabel 5. Ketelitian Geometri (RMS Error) dari Koreksi Geometri Citra Data Citra Metode RMS error (pixel) 15 Juli 2001 Citra ke Citra Orthorektified hasil 0,12 paduserasi dengan Peta RBI 3 Desember 2000 Citra ke Citra 15 Juli 2001 terkoreksi 0,18 29 April 2002 Citra ke Citra 15 Juli 2001 terkoreksi 0,26 18 Juli 2002 Citra ke Citra 15 Juli 2001 terkoreksi 0,23 31 Maret 2003 Citra ke Citra 15 Juli 2001 terkoreksi 0,28

56 40 Gambar 13. Lokasi Pengambilan Titik Kontrol (GCP) Interpretasi Penutup/Penggunaan Lahan secara Visual Identifikasi penutup/penggunaan lahan sawah dan tebu secara visual dilakukan dengan menggunakan data citra Landsat ETM+ multi temporal. Citra yang digunakan dalam identifikasi secara visual adalah citra Landsat ETM+ hasil fusi. Berdasarkan kenampakan warna pada citra kombinasi band 542 dan dengan bantuan peta Rupa Bumi Indonesia skala 1 : dan pengecekan lapangan maka dapat disusun kunci interpretasi kelas penutup/penggunaan lahan terutama untuk kelas sawan dan tebu. Kemampuan citra Landsat ETM+ untuk klasifikasi lahan berdasarkan tingkat kemudahan dalam melakukan interpretasi dapat dibedakan menjadi 3 yaitu : identifikasi, delimitasi dan deleniasi. Perbedaan antara identifikasi, delimitasi dan delineasi dapat dilihat pada Gambar 14. Pada Gambar 14 sawah dan tebu dapat didelineasi pada saat sawah dalam kondisi air dan tebu dalam keadaan vegetatif (citra 3 Desember 2000 dan citra 29 April 2002), kondisi sebaliknya terjadi pada citra tanggal 15 juli 2001 lahan sawah dalam kondisi vegetatif dan tebu dalam kondisi terbuka/pasca tebang. Citra tanggal 17 September 2001 tebu dan sawah dapat diidentifikasi tetapi batasnya

57 41 keduanya kurang jelas sehingga batas antara tebu dan sawah disebut terdelimitasi sedangkan citra pada 17 September 2001 antara tebu dan sawah bera sangat sulit dibedakan dengan kampung/pemukiman sehingga disebut teridentifikasi karena obyek disekitarnya mempunyai kenampakan yang mirip. Secara umum terdapat 4 kenampakan warna pada citra multi waktu yang digunakan yaitu merah keungguan, hijau, biru dan kemerahan. Dengan bantuan peta rupa bumi, data realisasi tanam dan pengecekan lapangan, kenampakan warna merah keungguan merupakan pemukiman, warna hijau merupakan vegetasi (sawah fase vegetasi, sawah fase generatif dan tebu fase vegetatif), kenampakan warna biru mengambarkan badan air (sawah dominasi air, sungai dan tambak) dan warna pink kemerahan mengambarkan kondisi tutupan lahan sawah dan tebu dalam kondisi bera. Berdasarkan kenampakan citra multi waktu yang digunakan penutupan kelas lahan sawah vegetatif dan tebu vegetatif hampir sama, sehingga akan mengalami kesulitan dalan melakukan pemisahan kelas seperti yang terlihat pada citra tanggal 31 Maret 2003 (Lampiran 6) dan kondisi yang hampir sama juga terlihat pada citra tanggal 17 September 2001 (Lampiran 3) dimana kondisi lahan sawah dan tebu dalam kondisi bera. Sawah Sawah Sawah Tebu Tebu Tebu Citra Tgl 3 Des Sawah dominasi Air - Tebu Fase Vegetatif Sawah Citra Tgl 15 Juli Sawah fase vegetatif - Tebu kondisi bera/ pasca tebang Sawah Citra Tgl 17 Sept Sawah fase bera - Tebu fase bera/ penyiapan tanam Sawah Tebu Citra Tgl 29 Apr Sawah dominasi air&bera - Tebu fase vegetatif Tebu Citra Tgl 18 Juli Sawah fase vegetatif - Tebu fase bera Tebu Citra Tgl 31 Mar Sawah fase bera - Tebu fase vegetatif Gambar 14. Kenampakan Fase Pertumbuhan Lahan Sawah dan Tebu pada Citra Landsat ETM+ 542 Berbeda Waktu Perekaman

58 42 Gambar 14 yang mengambarkan kemampuan citra Landsat ETM+ dalam identifikasi lahan sawah dan tebu pada berbagai penutupan lahan yang berbeda, dapat dinyatakan bahwa kemampuan citra Landsat dalam memetakan lahan sawah dan tebu sangat dipengaruhi oleh kondisi fase pertumbuhan tanaman padi sawah dan tebu. Pada kondisi lahan sawah dominasi air memungkinkan delineasi lahan sawah dan tebu dan objek penutupan lahan lainnya, sedangkan lahan sawah dan tebu dalam kondisi fase bera menyebabkan identifikasi tutupan lahan lain disekitarnya menjadi sulit. Pada lahan sawah dominasi vegetasi, tanaman tebu kondisi vegetatif dan kebun campuran akan sulit diidentifikasi karena kenampakan warnanya sama dengan warna hijau vegetasi padi. Berdasarkan kenampakan visual citra pada Lampiran 1-6 akan dilakukan interpretasi secara visual dengan cara simultan pada seluruh citra. Hasil interpretasi visual tutupan lahan/penggunaan lahan dapat dilihat pada Gambar 15, sedangkan luas penutup/penggunaan lahannya dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Luas Penutup/ Penggunaan Lahan Visual Kelas Luas (Ha) % 1 Sawah % 2 Tebu % 3 Mungkin Sawah/Tebu % 4 Bukan Sawah/Tebu % Total ,00% Tabel 6 menunjukkan bahwa hasil interpretasi secara visual menghasilkan luas lahan sawah di lokasi penelitian adalah Ha yang sebaran terluas berada di Kecamatan Ciasem sedangkan luas lahan tebu ha yang berada di kecamatan Purwodadi.

59 Gambar 15. Peta Penutup/Penggunaan Lahan Hasil Interpretasi Visual 43

60 44 Klasifikasi Penutup/Penggunaan Lahan Secara Digital Pengambilan Training area Training area adalah sekumpulan piksel pada citra yang mewakili kelas penutupan lahan berdasarkan pola pengenalan yang telah ditentukan sebelumnya. Adalah sangat penting untuk memilih areal contoh yang dapat mewakili semua kelas yang akan diidentifikasi, tetapi hal ini tidak berarti bahwa areal contoh berjumlah besar dan menyebar pada seluruh citra. Beberapa areal contoh yang diketahui secara pasti akan lebih baik dari pada sejumlah besar areal contoh yang berasal dari informasi yang tidak diketahui kebenarannya (Smith dan Brown, 1997). Kegiatan ini didasarkan pada hasil interpretasi visual citra dan pengecekan lapangan yang telah dilakukan. Jumlah training area yang dibuat adalah sebanyak jumlah kategori atau kelas yang dapat didefinisikan pada masing-masing citra multitemporal yang digunakan. Jumlah training area yang digunakan dan sebarannya pada salah satu citra yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 7 dan Gambar 16 Dalam proses selanjutnya penutup/penggunaan lahan tersebut digabungkan menjadi 4 kelas yaitu kelas lahan sawah, kelas lahan tebu, kelas mungkin lahan sawah atau tebu, dan bukan lahan sawah atau tebu. Kelas sawah fase bera, fase air dan vegetatif dikelompokkan sebagai kelas lahan sawah, kelas tebu fase anakan, tebu vegetatif, tebu fase generative/masa tebang di kelompokkan menjadi kelas lahan tebu, kelas kebun campuran, kebun, tegalan/ladang, semak dikelompokkan kedalam kelas mungkin sawah atau tebu, sedangkan kampung/pemukiman dikelompokkan sebagai kelas bukan sawah dan tebu. Tabel 7. Jumlah Piksel dan Luas Training Area Kelas penutup lahan Jumlah piksel Luas (Ha) Fase Bera Fase Bera Fase Vegetatif Fase Vegetatif Fase Air Badan Air Tebu Kampung/Pemukiman Kampung/Pemukiman Kebun Campuran Kebun Campuran

61 45 Gambar 16. Area Contoh Lokasi Training Area pada Citra 3 Desember 2000 Untuk mengetahui kualitas training area yang baik dilakukan uji keterpisahan kelas (separability index). Uji seperabilitas training area menggunakan indek seperabilitas bhattacharya. Nilai Indeks ini berkisar 0 sampai 2, dimana nilai 0-1 mengindikasikan nilai seperabilitas kurang baik, nilai 1,0-1,9 cukup baik dan 1,9-2,0 sangat baik (PCI Help 2001). Hasil uji indek seperabilitas Bhattacharya menunjukkan bahwa training area yang diambil mengambarkan keterpisahan yang baik, sehingga dapat dilanjutkan pada tahap klasifikasi. Klasifikasi Citra Multispektral Interpretasi citra Landsat ETM+ dilakukan dengan melihat karakteristik dasar kenampakan masing-masing penutup/penggunaan lahan pada citra yang dibantu dengan unsur-unsur interpretasi (Avery, 1992; Lillesand dan Kiefer, 1997). Metode klasifikasi citra yang digunakan dalam penelitian ini adalah klasifikasi maximum likelihood (MLC) dan Back Propagation Neural Network (BPNN). Proses klasifikasi untuk mendapatkan luasan lahan sawah dan tebu dilakukan pada semua

62 46 citra multitemporal dengan proses pelaksanaannya dilakukan 2 tahap, dimana tahap pertama akan dilakukan klasifikasi pada masing-masing citra multitemporal dengan 5 waktu pengambilan untuk mendapatkan hasil sementara lahan sawah, tebu dan penggunaan lainnya, sedangkan tahap kedua adalah akan dilakukan proses overlay dengan pengabungan hasil klasifikasi pada tahap pertama sehingga akan memperoleh hasil klasifikasi baru, dimana lokasi tutupan yang dinyatakan sebagai sawah dan tebu pada citra yang digunakan akan tetap dipertahankan sebagai lahan sawah dan tebu, dengan skenario ini diharapkan mendapatkan data luas lahan sawah dan tebu serta sebarannya yang lebih akurat. 1. Maximum Likelihood Classification (MLC) Metode klasifikasi MLC merupakan metode klasifikasi yang umum digunakan dalam klasifikasi citra. Metode ini mengelompokkan piksel yang belum diketahui identitasnya berdasarkan vektor rata-rata dan matrik ragam peragam dari setiap pola spektral kelas informasi. Piksel-piksel citra dimasukan menjadi salah satu kelas yang memiliki probabilitas (peluang) paling tinggi Klasifikasi dengan metode ini membutuhkan sejumlah training area. Training area dibuat berdasarkan interpretasi visual yang dipadukan dengan pengecekan lapangan. Menurut Lillesand dan Kiefer (1994), paling sedikit harus dikumpulkan sejumlah n + 1 pengamatan piksel untuk setiap pola latihan dimana n adalah jumlah saluran spektral. Namun pada prakteknya digunakan minimum sejumlah 10N sampai 100N piksel dengan penalaran lebih banyak piksel yang digunakan di dalam daerah latihan akan semakin besar nilai variannya sehingga akan semakin teliti hasilnya. Pada klasifikasi menggunakan metode kemungkinan maksimum (maksimum likehood classification), tidak diberikan treshold sehingga tidak ada piksel dalam citra yang tidak terklasifikasi. Tingkat kemungkinan dalam klasifikasi adalah sama untuk semua kelas dikarenakan analis tidak memiliki informasi yang menunjukkan kecenderungan yang lebih tinggi diantara kelas penutupan lahan. Hasil klasifikasi mengunakan metode klasifikasi MLC masing-masing citra Landsat ETM+ yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 8 dan Gambar 17, sedangkan sebaran penutup/penggunaan lahan hasil klasifikasi masing-masing citra Landsat ETM+ multitemporal dapat dilihat pada Gambar Peta Gambar 18-23

63 47 merupakan hasil klasifikasi sementara penggunaan lahan sawah dan tebu pada tiaptiap tanggal citra Landsat ETM+ yang digunakan dan merupakan hasil pengabungan keseluruhan kelas yang dipilih pada pengambilan training area. Gambar 17.Hasil Klasifikasi Citra Menggunakan Metode Maximum Likelihood Tabel 8 dan Gambar 17 dapat dilihat bahwa luas lahan sawah masing-masing citra yang digunakan adalah pada citra tanggal 29 April 2002 menghasilkan luas lahan tertinggi yaitu ha (68%), diikuti citra tanggal 3 Desember 2000 dengan luas ha (70%), citra tanggal 15 Juli 2001 dengan luas ha (68%), citra tanggal 18 Juli 2002 dengan luas ha dan yang terendah pada citra 31 Maret 2003 dengan luas ha. Tingginya luasan lahan sawah yang dihasilkan citra tanggal 29 April 2002 dan 3 Desember 2000, dikarenakan kondisi lahan sawah dalam keadaan dominan air sehingga lebih mudah dipisahkan dengan kelas penggunaan disekitarnya terutama dengan lahan tebu. Luasan lahan tebu yang tertinggi diperoleh pada citra tanggal 18 Juli 2002 dan 31 Maret 2003 dengan luasan masing-masing adalah ha (18%) dan ha (18%). Tingginya kelas lahan tebu ini diakibatkan pada citra tanggal tersebut secara umum lahan sawah dalam kondisi dominan vegetatif, sehingga sulit dipisahkan yang mengakibatkan banyak bias kelas (salah klasifikasi). Citra pada tanggal 31 Maret 2003 juga berkualitas kurang baik karena banyak informasi tertutup awan dan secara visual juga memberikan kenampakan yang relatif homogen.

64 Tabel 8. Luas Penutup/Penggunaan Lahan Hasil Klasifikasi Citra Multitemporal dengan MLC 48 Kelas Luas (Ha) % Luas (Ha) % Luas (Ha) % Luas (Ha) % Luas (Ha) % Sawah 34,556 70% 33,160 68% 36,638 75% 28,923 59% 24,335 50% Tebu 5,590 11% 6,756 14% 4,738 10% 7,706 16% 8,661 18% MST 6,352 13% 7,340 15% 4,769 10% 7,983 16% 7,454 15% BST 2,519 5% 1,761 4% 2,872 6% 4,406 9% 4,976 10% Awan ,591 7% 49, % 49, % 49, % 49, % 49, % Keterangan : MST : Mungkin Sawah atau Tebu BST : Bukan Sawah atau Tebu

65 Gambar 18. Hasil Klasifikasi MLC Citra Landsat ETM+ 3 Desember

66 Gambar 19. Hasil Klasifikasi MLC Citra Landsat ETM+ 15 Juli

67 Gambar 20. Hasil Klasifikasi MLC Citra Landsat ETM+ 29 April

68 Gambar 21. Hasil Klasifikasi MLC Citra Landsat ETM+ 18 Juli

69 Gambar 22. Hasil Klasifikasi MLC Citra Landsat ETM+ 31 Maret

70 54 Setelah didapatkan masing-masing luasan lahan sawah dan tebu beserta sebarannya pada tahap pertama maka akan dilanjutkan pada tahap kedua yaitu pengabungan kelas hasil klasifikasi dari tahap pertama, tujuan pengabungan ini adalah untuk mendapatkan hasil akhir luas dan sebaran lahan sawah dan tebu dilokasi penelitian. Hasil akhir pengabungan kelas lahan sawah dan tebu dapat dilihat pada Gambar 23, sedangan luasan penggunaan lahannya dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Luas Penutup/Penggunaan Lahan Hasil Klasifikasi Berjenjang (Multistage) dengan Metode MLC No Kelas Luas (Ha) % 1 Sawah % 2 Tebu % 3 Kelas Lain % Total % Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa luas lahan sawah hasil klasifikasi MLC adalah adalah ha (78%), tebu ha (14%) dan sebagai kelas lain ha (8%). Terdapat perbedaan luas antara klasifikasi MLC dan interpretasi lahan sawah dan tebu secara visual. Sebaran penggunaan lahan sawah dan tebu hasil penggabungan keseluruhan hasil klasifikasi citra Landsat ETM+ multitemporal disajikan pada Gambar 23. Dari Gambar 23 menunjukkan bahwa lahan sawah dan tebu tersebar dibagian utara lokasi penelitian ini yaitu Kecamatan Ciasem dengan terpusat pada wilayah pengelolaan Perum Sang Hyang Seri, sedangkan lahan tebu terkonsentrasi di Kecamatan Purwadadi. Terkonsentrasinya lahan tebu di Kecamatan Purwadadi dikarena diwilayah ini terdapat HGU Tanaman Tebu PG Rajawali III, namun demikian sebaran lahan tebu ini juga masih tersebar secara spot-spot kecil di daerah lain, kemungkinan ini merupakan bias dari hasil klasifikasi yang memiliki kemiripan spektral dengan tebu terutama pada saat kondisi lahan tebu setelah tebang yang memiliki kemiripan dengan lahan terbuka, selain itu pada saat sawah dan tebu berada fase vegetatif memiliki kenampakan yang sangat mirip yang mengakibatkan sulit membedakan antara tebu dan sawah.

71 Gambar 23. Peta Sebaran Lahan Sawah dan Tebu Hasil Klasifikasi MLC. 55

72 56 2. Back Propagation Neural Network (BPNN) Klasifikasi dengan menggunakan metode BPNN dilakukan dengan beberapa tahap yaitu : - Tahap Creating Data Pada tahap ini dilakukan proses inisiasi untuk membentuk segmen baru neural network. Segment ini selanjutnya akan dilakukan proses training area pada tahapan training. Konfigurasi neural network terdiri dari tiga layer yaitu 1 input layer, 1 hiden layer dan 1 output layer. Komponen neural network terdiri dari hidden node, learning rate, momentum, minimum error, jumlah iterasi. Dalam penelitian ini konfigurasi neural network yaitu : Input layer : Citra Landsat ETM+ (band1, 2, 3, 4, 5, dan 7) Jumlah nodes hidden layer 5x dengan X=6, dimana sebagai representatif jumlah dari input layer. Nilai momentum momentum rate = 0 1 nilai pembelajaran (learning rate) = 0,1 maximum total error = 0,1 maksimum individual error = 0,1 Jumlah iterasi : 500, 1000, 2500, 5000 Berdasarkan hasil penelitian ini jumlah iterasi yang menghasilkan hasil klasifikasi dengan akurasi lebih tinggi mulai dicapai pada jumlah iterasi dan pada jumlah iterasi tingkat akurasi mulai stabil dan terdapat kecendrungan tingkat akurasi mulai menurun. Gambar 24. Tahap Creating Data Neural Network.

73 57 - Tahap Training Pada Tahap ini dilakukan training area untuk BPNN. Training area yang digunakan pada proses training area neural netwok ini sama juga yang digunakan pada metode klasifikasi MLC. Pada tahap ini akan dimasukkan nilai momentum, learning rate. Pada penelitian ini momentum rate yang digunakan adalah pada kisaran tertinggi 0,9 dengan learning rate 0,1. Nilai momentum digunakan untuk mempercepat proses pembelajaran dan membantu mengurangi oscillation antar iterasi dan memungkinkan pembelajaran yang tinggi pada hal spesifik tanpa risiko non konvergensi. Dalam proses training ini mensyaratkan lima parameter yaitu momentum rate, learning rate, maximum total error, maximum individual errror dan jumlah iterasi (100, 500, 1000, 2500, 5000 dan 10000). Konfigurasi dapat dilihat Gambar 25. Gambar 25. Konfigurasi Tahap Training Area untuk Klasifikasi Neural Network. - Tahap Klasifikasi Fungsi klasifikasi citra multispektral menggunakan metode BPNN. Klasifikasi ini dapat dibatasi untuk piksel di bawah ukuran tertentu. Jika ukurannya tidak ditentukan, maka setiap piksel pada citra akan diklasifikasikan. Dalam klasifikasi model BPNN ini terdapat 3 parameter yaitu null class, most likely classe image dan mode resampel. resampel mode dipilih harus sama dengan MLC yaitu nearest neighbourhood.

74 58 Gambar 26. Proses Klasifikasi Backpropagation Neural Network (BPNN). Hasil klasifikasi penutup/penggunaan lahan dengan mengunakan metode BPNN dengan akurasi terbaik dapat dilihat pada Gambar Berdasarkan hasil klasifikasi citra Landsat ETM+ multitemporal yang digunakan dengan menggunakan metode klasifikasi BPNN dihasilkan luas penutup/penggunaan lahan yang dapat dilihat pada Tabel 10 dan Gambar 27. Sebaran penutup/penggunaan lahan hasil klasifikasi masing-masing citra Landsat ETM+ multitemporal dapat dilihat pada Gambar Gambar 27. Hasil Klasifikasi Citra menggunakan Metode BPNN

75 59 Dari Tabel 10 dan Gambar 27 dapat dilihat bahwa hasil klasifikasi lahan sawah tertinggi diperoleh pada citra tanggal 15 Juli 2001 dan 29 April 2002 sebesar (68%) dan ha (68%). Hasil yang diperoleh dengan menggunakan BPNN mendekati hasil secara visual. Luas lahan tebu tertinggi diperoleh pada citra 29 April 2009 dengal luas (20%) dan luasan terkecil diperoleh pada citra 18 Juli 2002 dengan luasannya ha (10%). Hasil luasan tebu pada citra tanggal 18 Juli 2001 juga hampir mendekati hasil interpretasi secara visual.

76 60 Tabel 10. Luas Penutup/Penggunaan Lahan Hasil Klasifikasi Multitemporal dengan BPNN Kelas Luas (Ha) % Luas (Ha) % Luas (Ha) % Luas (Ha) % Luas (Ha) % Sawah 30,900 63% 33,130 68% 33,156 67% 32,333 66% 28,830 59% Tebu 6,327 13% 6,688 14% 9,804 20% 4,814 10% 8,875 18% MST 9,483 19% 6,124 12% 4,261 9% 7,025 14% 6,240 13% BST 2,307 5% 3,075 6% 1,796 4% 4,845 10% 1,621 3% Awan ,451 7% 49, % 49, % 49, % 49, % 49, % Keterangan : MST : Mungkin Sawah atau Tebu BST : Bukan Sawah atau Tebu

77 Gambar 28. Hasil Klasifikasi BPNN Citra Landsat ETM+ 3 Desember

78 Gambar 29. Hasil Klasifikasi BPNN Citra Landsat ETM+ 15 Juli

79 Gambar 30. Hasil Klasifikasi BPNN Citra Landsat ETM+ 29 April

80 Gambar 31. Hasil Klasifikasi BPNN Citra Landsat ETM+ 18 Juli

81 Gambar 32. Hasil Klasifikasi BPNN Citra Landsat ETM+ 31 Maret

82 66 Hasil akhir luas dan penyebaran penggunaan lahan sawah, tebu, MST dan BST dengan menggunakan metode BPNN melalui proses tahap kedua (overlay union) dapat dilihat pada Tabel 11, sedangkan sebaran penutup/penggunaan lahan hasil pengabungan semua citra melalui proses tahap kedua disajikan pada Gambar 33. Tabel 11. Luas Penutup/Penggunaan Lahan Hasil Klasifikasi Berjenjang (Multistage) dengan BPNN No Kelas Luas (Ha) % 1 Sawah % 2 Tebu % 3 Kelas Lain % Total 49,017 Sumber : Hasil olahan Berdasarkan Tabel 11 luas lahan sawah sebesar ha (78 %), tebu ha (11%) dan kelas lainnya ha (11%), sedangkan Gambar 33 memperlihatkan sebaran lahan sawah hampir di seluruh lokasi cakupan penelitian ini terutama wilayah utara lokasi penelitian (Kecamatan Ciasem) yang merupakan salah satu sentra padi sawah yang di kelola oleh Perum Sang Hyang Seri dimana luas lahan sawah yang dikelola oleh Perum Sang Hyang Seri seluas lebih kurang 3200 ha. Lahan tebu berada di kecamatan Purwadadi, dimana pada di lokasi tersebut terdapat perkebunan tebu yang PG Rajawali dengan kepemilikan HGU lebih Kurang 5000 ha. Dari Gambar 33 juga memperlihatkan bahwa sebaran lahan sawah dan tebu mirip dengan kenampakan obyek pada citra visual dan juga hasil klasifikasi MLC. Hasil klasifikasi BPNN juga menghasilkan efek salt and pepper tetapi relatif lebih sedikit dibandingkan hasil klasifikasi MLC.

83 Gambar 33. Peta Sebaran Lahan Sawah dan Tebu Hasil Klasifikasi BPNN. 67

84 68 Pengujian Hasil Klasifikasi 1. Akurasi Hasil Klasifikasi Metode Maximum Likelihood (MLC) Pengujian akurasi dilakukan menggunakan titik-titik pengamatan di lapangan yang telah diketahui penutup/penggunaan lahannya dan sebagian sudah dipilih sebagai referensi dalam pengambilan training area. referensi adalah 669 titik. Jumlah titik sebagai data Pada citra Landsat ETM+ multitemporal klasifikasi dengan 4 kelas penutup/penggunaan lahan menghasilkan nilai overall accuracy ratarata sebesar 77,91 % dan kappa accuracy 0,559. Hasil akurasi dapat dilihat pada Tabel 12 sedangkan matrik kesalahan (confusion matrix) dari hasil klasifikasi dengan MLC dapat dilihat pada Lampiran 7. Tabel 12. Akurasi Klasifikasi Penutup/Penggunaan Lahan dengan Metode MLC untuk Masing-masing Citra Landsat ETM+ No Kelas UA (%) PA (%) UA (%) PA (%) UA (%) PA (%) UA (%) PA (%) UA (%) PA (%) 1 Sawah Tebu MST BST OA (%) Kappa Keterangan : MST = Kelas Mungkin Sawah/Tebu. BST = Kelas Bukan Sawah/Tebu UA = User Accuracy, PA = Producer Accuracy, OA = Overall Accuracy Tabel 12 dapat dilihat bahwa menggunakan metode MLC, nilai akurasi tertinggi didapat pada citra tanggal 29 April 2002 dengan nilai 82,21% dan terendah diperoleh pada citra tanggal 31 Maret 2003 dengan nilai 66,52%. 2. Akurasi Hasil Klasifikasi Back Propagation Neural Network (BPNN) Hasil pengujian akurasi klasifikasi dengan menggunakan metode BPNN berdasarkan titik referensi lapangan dilihat pada Tabel 12, sedangkan matrik kesalahan dapat dilihat pada Lampiran 8.

85 69 Tabel 13. Akurasi Klasifikasi Penutup/Penggunaan Lahan dengan Metode BPNN untuk Masing-masing Citra Landsat ETM+ No Kelas UA (%) PA (%) UA (%) PA (%) UA (%) PA (%) UA (%) PA (%) UA (%) PA (%) 1 Sawah Tebu MST BST OA (%) Kappa Keterangan : MST = Kelas Mungkin Sawah/Tebu. BST = Kelas Bukan Sawah/Tebu UA = User Accuracy, PA = Producer Accuracy, OA = Overall Accuracy Berdasarkan Tabel 13 dapat dilihat hasil uji akurasi klasifikasi BPNN memberikan hasil overall accuracy tertinggi pada citra 29 April 2002 yaitu 83,11 % dan kappa 0,612, dengan sedangkan terendah pada citra 31 Maret 2003 dengan nilai overall accuracy 70,40 % dan nilai kappa sebesar 0,456. Perbandingan Akurasi Hasil Klasifikasi MLC dan BPNN Perbandingan hasil uji akurasi klasifikasi MLC dan BPNN pada hasil klasifikasi secara berjenjang (multistage) pada citra multi temporal dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Perbandingan Hasil Klasifikasi MLC dan BPNN No Metode Overal accuracy Kappa 1 Maximum Likelihood (MLC) % 0, Back propagation Neural % network (BPPN) Tabel 14 menunjukkan bahwa hasil klasifikasi BPNN memiliki nilai akurasi lebih tinggi dibandingkan dengan klasifikasi MLC. Berdasarkan overall accuracy dan nilai kappa pada Tabel 14 terlihat bahwa hasil klasifikasi menggunakan metode klasifikasi BPNN menghasilkan nilai overall accuracy 84,30 % dan nilai Kappa 0,64 sedangkan hasil klasifikasi dengan MLC menghasilkan nilai overall accuracy 83,26 % dan nilai kappa 0,60. Perbandingan hasil klasifikasi berdasarkan hasil intrepretasi visual, MLC dan BPNN terhadap luasan lahan sawah dan tebu maka hasil klasifikasi dengan metode BPNN memberikan hasil yang relatif lebih baik dibandingkan dengan hasil

86 70 klasifikasi berdasarkan MLC. Hasil pengabungan kelas pada tahap kedua, klasifikasi MLC dan BPNN juga masih menunjukkan efek salt and paper tetapi BPNN relatif sedikit. Perbandingan luasan penutup/penggunaan lahan hasil klasifikasi visual dan digital dapat dilihat pada Gambar 34. Gambar 34. Perbandingan Luas Masing-masing Kelas Hasil Klasifikasi Gambar 34 menunjukkan perbedaan luas hasil klasifikasi yang dihasilkan dengan menggunakan metode MLC dan BPNN terhadap hasil interpretasi visual pada kelas sawah dan tebu sangat besar. Luas lahan sawah pada interpretasi secara visual adalah 33,893 ha, sedangkan MLC ha dan BPNN ha, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara MLC dan BPNN terhadap luas lahan sawah yang dihasilkan. Luas lahan tebu secara visual ha, sedangkan MLC dan BPNN masing-masing 6,593 ha dan ha.

87 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Klasifikasi berjenjang citra Landsat Multitemporal dengan metode Back Propagation Neural Network (BPNN) menghasilkan luas lahan sawah dan tebu masing-masing-masing ha dan ha, sedangkan hasil klasifikasi Maximum Likelihood (MLC) menghasilkan luas lahan sawah dan tebu masingmasing ha dan ha. Kedua metode mampu mengekstrak luasan lahan sawah dan tebu dengan hasil yang tidak berbeda jauh, tetapi pada pendekatan BPNN efek salt and peper relatif lebih sedikit. 2. Metode BPNN memberikan nilai akurasi yang lebih baik dibanding dengan MLC. Nilai Overall accuracy dan Kappa metode BPNN adalah 84,30% dan Kappa 0,6404, sedangkan MLC nilai overall accuracy 83,26% dan Kappa 0, Kedua metode yang digunakan memiliki tingkat kesulitan dalam memisahkan kelas sawah dan tebu pada saat kondisi sawah dan tebu berada dalam kondisi fase vegetatif. Saran 1. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan data citra multitemporal dengan rentang waktu liputan relatif teratur dan mencakup minimal satu periode pertumbuhan tanaman padi sawah dan tebu. 2. Penelitian sejenis perlu dilakukan dengan menambahkan input-input lain seperti informasi DEM dan tekstur citra pada pendekatan dengan menggunakan metode klasifikasi BPNN.

88 DAFTAR PUSTAKA Andayani A Land Cover Classification of ALOS data Using Backpropagation Neural Network Models. Thesis Graduete School Bogor Agricultural University Asriningrum W Studi Kemampuan Landsat ETM+ untuk Identifikasi Bentuk Lahan (Landform) di Daerah Jakarta-Bogor. Thesis Program pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Basuki A Kecerdasan Komputer. [11 Juni 2003] Fauzi A Remote Sensing for Detecting Tropical Logged Over Forest [thesis]. Enschede : International Institut For Aerospace Survey and Earth Science (ITC). Enschede - Netherlands Gao Y Pixel Based and Object Oriented Image Analysis for Coal Fire Research [thesis]. Enschede : International Institut For Geo-Information Science and Earth Observation (ITC) Netherlands Jaya INS Penginderaan Jauh Satelit Untuk Kehutanan. Laboratorium Inventarisasi Hutan, Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor Jensen JR. 1996, Introductory Digital Image Processing ; A Remote Sensing Perspective, Second Edition. Prentice Hall. Upper Saddle River. New York. Koeshardono D Metode Fuzzy Neural Network Untuk Klasifikasi Penutup Lahan dari Data Penginderaan Jauh Serta Perbandingannya dengan Back Propagation Neural Network dan Maximum Likelihood. Journal of LAPAN Jakarta No. 80 Landsat, Supplying data Users Worldwide with Low Cost, Multi Purpose Land Remote Sensing Data into Next Century. Lillesand TM and R. W. Kiefer Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra diterjemahkan oleh Dulbahri, Prapto Suharsono, Hartono Suharyadi, penyunti Sutanto. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Lillesand TM and R. W. Kiefer Remote Sensing and Image Interpretation 3 rd Ed. John Willey and Sons, New York. Manalu J Klasifikasi Citra Penginderaan Jauh Menggunakan Teknik Logika Samar (Fuzzy Logic). Warta LAPAN Vol. 4 No. 2. Jakarta. Ozkan C, FS Erbek The Comparison of Activation Functions for Multispectral Landsat TM Image Classification. Photogrametric Engineering&Remote Sensing. Volume 69 No.11

89 73 Paola JD, Schowengerdt RA The Effect of Neural-Network Structure on a Multispectral Land-Use/Land-Cover Classification, Photogrammetric Engineering & Remote Sensing, Volume 63 No. 5, pp PCI Geomatics Help Manual Software Geomatica. Canada. Rosalina U et al Final Report ; Study on the Potential of Very High- Resolution Satellite Data for Mapping Tropical Forest Cover For Selected Sites in Insular Southeast Asia, Indonesia(Sumatera and Kalimantan). Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University. Rumelhard DE, G.E. Hilton, R.J. Williams Learning Internal representations by error propagation in : Neurocomputing Foundations of Research. Edited by Anderson, J.A and Ronsenfeld, E. MIT Press. Sadly M Optimized Artificial Neural Networks Based Algorithm for Pattern Classification in Remotely Sensed Images. Year book 97/98. Diretorate of Technology for Natural Resource Inventory. Deputy for Natural Resources Development Agency for The Assesment and Application of technology. Schowengerdt RA Remote Sensing Models and Methods for Image Processing. Oxford: Elsevier Inc. Shafri HZM, Suhaili A and Mansor S The Performance of Maximum Likelihood, Spectral Angle Mapper, Neural Network and Decision Tree Classifiers in Hyperspectral Image Analysis. Journal of Computer Science Siang JJ Jaringan Saraf Tiruan dan Pemogramannya Menggunakan Matlab. Penerbit Andi. Yogyakarta Sutanto Penginderaan Jauh Jilid 1. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Swain PH, SM Davis Remote Sensing-The Quantitative Approach. McGraw Hill. New York. Widyastuti A Back propagation neural network Classification Method Case ; mangrove Forest Mapping in Segara Anakan Cilacap, Central Java. Thesis Graduate Program IPB Bogor) Wiradisastra US Masalah Pengurangan Dimensi pada Pemetaan Sumber daya alam. Makalah Lokakarya Pengembangan Pendidikan dan Penelitian untuk Menunjang Program Inventarisasi dan Evaluasi Sumberdaya Alam Nasional. IPB-BAKOSURTANAL. Bogor. Zhou LE. Gao P Comparison Between The Logistic Regression and Back Propagation Neural Network. Department of Health Statistics, Shanghai Medical University, Shanghai China. [11 Juni 2003]

90 Lampiran 1. Citra Landsat ETM+ Komposit 542 Liputan Tanggal 3 Desember

91 Lampiran 2. Citra Landsat ETM+ Komposit 542 Liputan Tanggal 15 Juli

92 Lampiran 3. Citra Landsat ETM+ Komposit 542 Liputan Tanggal 29 April

93 Lampiran 4. Citra Landsat ETM+ Komposit 542 Liputan Tanggal 18 Juli

94 Lampiran 5. Citra Landsat ETM+ Komposit 542 Liputan Tanggal 31 Maret

TINJAUAN PUSTAKA Penginderaan Jauh

TINJAUAN PUSTAKA Penginderaan Jauh TINJAUAN PUSTAKA Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Koreksi Geometrik Koreksi geometrik adalah suatu proses memproyeksikan data pada suatu bidang sehingga mempunyai proyeksi yang sama dengan proyeksi peta. Koreksi ini dilakukan untuk

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain:

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain: BAB II TEORI DASAR 2.1 Tutupan Lahan Tutupan Lahan atau juga yang biasa disebut dengan Land Cover memiliki berbagai pengertian, bahkan banyak yang memiliki anggapan bahwa tutupan lahan ini sama dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hasil sensus jumlah penduduk di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 1.904.569 km 2 menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk, dari tahun 2010 jumlah penduduknya

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002) BAB III METODA 3.1 Penginderaan Jauh Pertanian Pada penginderaan jauh pertanian, total intensitas yang diterima sensor radar (radar backscattering) merupakan energi elektromagnetik yang terpantul dari

Lebih terperinci

BAB 2 KONSEP DASAR PENGENAL OBJEK

BAB 2 KONSEP DASAR PENGENAL OBJEK BAB 2 KONSEP DASAR PENGENAL OBJEK 2.1 KONSEP DASAR Pada penelitian ini, penulis menggunakan beberapa teori yang dijadikan acuan untuk menyelesaikan penelitian. Berikut ini teori yang akan digunakan penulis

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian ini. Proses persiapan data ini berpengaruh pada hasil akhir penelitian. Persiapan yang dilakukan meliputi

Lebih terperinci

Gambar 1. Satelit Landsat

Gambar 1. Satelit Landsat 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

Bab 5 Penerapan Neural Network Dalam Klasifikasi Citra Penginderaan Jauh

Bab 5 Penerapan Neural Network Dalam Klasifikasi Citra Penginderaan Jauh Penerapan Neural Dalam Klasifikasi Citra Penginderaan Jauh Klasifikasi citra penginderaan jarak jauh (inderaja) merupakan proses penentuan piksel-piksel masuk ke dalam suatu kelas obyek tertentu. Pendekatan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium dan di lapang. Pengolahan citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial dan penentuan

Lebih terperinci

Penerapan Jaringan Saraf Tiruan Metode Backpropagation Menggunakan VB 6

Penerapan Jaringan Saraf Tiruan Metode Backpropagation Menggunakan VB 6 Penerapan Jaringan Saraf Tiruan Metode Backpropagation Menggunakan VB 6 Sari Indah Anatta Setiawan SofTech, Tangerang, Indonesia cu.softech@gmail.com Diterima 30 November 2011 Disetujui 14 Desember 2011

Lebih terperinci

APLIKASI JARINGAN SARAF TIRUAN UNTUK INVENTARISASI LUAS SUMBER DAYA ALAM STUDI KASUS PULAU PARI

APLIKASI JARINGAN SARAF TIRUAN UNTUK INVENTARISASI LUAS SUMBER DAYA ALAM STUDI KASUS PULAU PARI APLIKASI JARINGAN SARAF TIRUAN UNTUK INVENTARISASI LUAS SUMBER DAYA ALAM STUDI KASUS PULAU PARI Putri Khatami Rizki 1), Muchlisin Arief 2), Priadhana Edi Kresnha 3) 1), 2), 3) Teknik Informatika Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luas mangrove di Indonesia adalah sekitar 4,25 juta hektar, yang merepresentasikan 25 % dari mangrove dunia. Indonesia merupakan pusat dari sebagian biogeografi genus mangrove

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI Pada bab ini akan dielaskan mengenai teori-teori yang berhubungan dengan penelitian ini, sehingga dapat diadikan sebagai landasan berpikir dan akan mempermudah dalam hal pembahasan

Lebih terperinci

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

PERANCANGAN PROGRAM PENGENALAN BENTUK MOBIL DENGAN METODE BACKPROPAGATION DAN ARTIFICIAL NEURAL NETWORK SKRIPSI

PERANCANGAN PROGRAM PENGENALAN BENTUK MOBIL DENGAN METODE BACKPROPAGATION DAN ARTIFICIAL NEURAL NETWORK SKRIPSI PERANCANGAN PROGRAM PENGENALAN BENTUK MOBIL DENGAN METODE BACKPROPAGATION DAN ARTIFICIAL NEURAL NETWORK SKRIPSI Oleh Nama : Januar Wiguna Nim : 0700717655 PROGRAM GANDA TEKNIK INFORMATIKA DAN MATEMATIKA

Lebih terperinci

Perumusan Masalah Bagaimana kondisi perubahan tutupan lahan yang terjadi di daerah aliran sungai Ciliwung dengan cara membandingkan citra satelit

Perumusan Masalah Bagaimana kondisi perubahan tutupan lahan yang terjadi di daerah aliran sungai Ciliwung dengan cara membandingkan citra satelit Latar Belakang Meningkatnya pembangunan di Cisarua, Bogor seringkali menimbulkan dampak tidak baik terhadap lingkungan. Salah satu contohnya adalah pembangunan yang terjadi di Daerah Aliran Sungai Ciliwung.

Lebih terperinci

KLASIFIKASI CITRA SATELIT MENGGUNAKAN JARINGAN SYARAF TIRUAN UNTUK MENGEKSTRAKSI TAMPAKAN PERMUKIMAN DAERAH PERKOTAAN

KLASIFIKASI CITRA SATELIT MENGGUNAKAN JARINGAN SYARAF TIRUAN UNTUK MENGEKSTRAKSI TAMPAKAN PERMUKIMAN DAERAH PERKOTAAN KLASIFIKASI CITRA SATELIT MENGGUNAKAN JARINGAN SYARAF TIRUAN UNTUK MENGEKSTRAKSI TAMPAKAN PERMUKIMAN DAERAH PERKOTAAN (Studi Kasus: Kota Bandarlampung) TESIS MAGISTER Diajukan untuk melengkapi tugas dan

Lebih terperinci

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan : MAKSUD DAN TUJUAN q Maksud dari kegiatan ini adalah memperoleh informasi yang upto date dari citra satelit untuk mendapatkan peta penggunaan lahan sedetail mungkin sebagai salah satu paramater dalam analisis

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. fuzzy logic dengan aplikasi neuro computing. Masing-masing memiliki cara dan proses

BAB 2 LANDASAN TEORI. fuzzy logic dengan aplikasi neuro computing. Masing-masing memiliki cara dan proses 8 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Teori Neuro Fuzzy Neuro-fuzzy sebenarnya merupakan penggabungan dari dua studi utama yaitu fuzzy logic dengan aplikasi neuro computing. Masing-masing memiliki cara dan proses

Lebih terperinci

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E14101043 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN LUKMANUL HAKIM.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.6. Jaringan Syaraf Tiruan Jaringan syaraf tiruan atau neural network merupakan suatu sistem informasi yang mempunyai cara kerja dan karakteristik menyerupai jaringan syaraf pada

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Data Yang Digunakan Dalam melakukan penelitian ini, penulis membutuhkan data input dalam proses jaringan saraf tiruan backpropagation. Data tersebut akan digunakan sebagai

Lebih terperinci

Architecture Net, Simple Neural Net

Architecture Net, Simple Neural Net Architecture Net, Simple Neural Net 1 Materi 1. Model Neuron JST 2. Arsitektur JST 3. Jenis Arsitektur JST 4. MsCulloh Pitts 5. Jaringan Hebb 2 Model Neuron JST X1 W1 z n wi xi; i1 y H ( z) Y1 X2 Y2 W2

Lebih terperinci

UNIVERSITAS BINA NUSANTARA. Jurusan Teknik Informatika Fakultas Ilmu Komputer Skripsi Sarjana Komputer Semester Ganjil tahun 2006/2007

UNIVERSITAS BINA NUSANTARA. Jurusan Teknik Informatika Fakultas Ilmu Komputer Skripsi Sarjana Komputer Semester Ganjil tahun 2006/2007 UNIVERSITAS BINA NUSANTARA Jurusan Teknik Informatika Fakultas Ilmu Komputer Skripsi Sarjana Komputer Semester Ganjil tahun 2006/2007 Peramalan Harga Indeks Saham Hang Seng dengan Menggunakan Jaringan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data PENGINDERAAN JAUH KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data Lanjutan Sumber tenaga * Alamiah/sistem pasif : sinar matahari

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file PENGINDERAAN JAUH copyright@2007 --- anna s file Pengertian Penginderaan Jauh Beberapa ahli berpendapat bahwa inderaja merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh data di permukaan bumi, jadi inderaja

Lebih terperinci

T 11 Aplikasi Model Backpropagation Neural Network Untuk Perkiraan Produksi Tebu Pada PT. Perkebunan Nusantara IX

T 11 Aplikasi Model Backpropagation Neural Network Untuk Perkiraan Produksi Tebu Pada PT. Perkebunan Nusantara IX T 11 Aplikasi Model Backpropagation Neural Network Untuk Perkiraan Produksi Tebu Pada PT. Perkebunan Nusantara IX Oleh: Intan Widya Kusuma Program Studi Matematika, FMIPA Universitas Negeri yogyakarta

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Pengenalan suara (voice recognition) dibagi menjadi dua jenis, yaitu

BAB 2 LANDASAN TEORI. Pengenalan suara (voice recognition) dibagi menjadi dua jenis, yaitu BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengenalan Suara. Pengenalan suara (voice recognition) dibagi menjadi dua jenis, yaitu speech recognition dan speaker recognition. Speech recognition adalah proses yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.. Variasi NDVI Citra AVNIR- Citra AVNIR- yang digunakan pada penelitian ini diakuisisi pada tanggal Desember 008 dan 0 Juni 009. Pada citra AVNIR- yang diakuisisi tanggal Desember

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengenalan Pola Pengenalan pola adalah suatu ilmu untuk mengklasifikasikan atau menggambarkan sesuatu berdasarkan pengukuran kuantitatif fitur (ciri) atau sifat utama dari suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Maret hingga Agustus. Kondisi ini didukung oleh suhu rata-rata 21 0 C 36 0 C dan

BAB I PENDAHULUAN. Maret hingga Agustus. Kondisi ini didukung oleh suhu rata-rata 21 0 C 36 0 C dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Dumai merupakan salah satu dari 12 Kabupaten/Kota di Provinsi Riau. Kota Dumai sangat dipengaruhi oleh iklim laut. Musim hujan jatuh pada bulan September hingga

Lebih terperinci

oleh WAHYUNI PUTRANTO NIM. M SKRIPSI ditulis dan diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Sarjana Sains Matematika

oleh WAHYUNI PUTRANTO NIM. M SKRIPSI ditulis dan diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Sarjana Sains Matematika PERBANDINGAN METODE GRADIENT DESCENT DAN GRADIENT DESCENT DENGAN MOMENTUM PADA JARINGAN SYARAF TIRUAN BACKPROPAGATION DALAM PERAMALAN KURS TENGAH RUPIAH TERHADAP DOLAR AMERIKA oleh WAHYUNI PUTRANTO NIM.

Lebih terperinci

PREDIKSI CURAH HUJAN DI KOTA MEDAN MENGGUNAKAN METODE BACKPROPAGATION NEURAL NETWORK

PREDIKSI CURAH HUJAN DI KOTA MEDAN MENGGUNAKAN METODE BACKPROPAGATION NEURAL NETWORK PREDIKSI CURAH HUJAN DI KOTA MEDAN MENGGUNAKAN METODE BACKPROPAGATION NEURAL NETWORK Yudhi Andrian 1, Erlinda Ningsih 2 1 Dosen Teknik Informatika, STMIK Potensi Utama 2 Mahasiswa Sistem Informasi, STMIK

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Forecasting Forecasting (peramalan) adalah seni dan ilmu untuk memperkirakan kejadian di masa yang akan datang. Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan data historis dan memproyeksikannya

Lebih terperinci

PERBANDINGAN KLASIFIKASI TUTUPAN LAHAN DENGAN METODE OBJECT-BASED DAN PIXEL- BASED

PERBANDINGAN KLASIFIKASI TUTUPAN LAHAN DENGAN METODE OBJECT-BASED DAN PIXEL- BASED PERBANDINGAN KLASIFIKASI TUTUPAN LAHAN DENGAN METODE OBJECT-BASED DAN PIXEL- BASED TUGAS AKHIR Karya Tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Oleh NANDHY RAMADHANNY HOESIN POETRI

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Meter Air. Gambar 2.1 Meter Air. Meter air merupakan alat untuk mengukur banyaknya aliran air secara terus

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Meter Air. Gambar 2.1 Meter Air. Meter air merupakan alat untuk mengukur banyaknya aliran air secara terus BAB II DASAR TEORI 2.1 Meter Air Gambar 2.1 Meter Air Meter air merupakan alat untuk mengukur banyaknya aliran air secara terus menerus melalui sistem kerja peralatan yang dilengkapi dengan unit sensor,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian di DAS Citarum Hulu Jawa Barat dengan luasan sebesar + 230.802 ha. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan

Lebih terperinci

PENGENALAN HURUF DAN ANGKA PADA CITRA BITMAP DENGAN JARINGAN SARAF TIRUAN METODE PROPAGASI BALIK

PENGENALAN HURUF DAN ANGKA PADA CITRA BITMAP DENGAN JARINGAN SARAF TIRUAN METODE PROPAGASI BALIK PENGENALAN HURUF DAN ANGKA PADA CITRA BITMAP DENGAN JARINGAN SARAF TIRUAN METODE PROPAGASI BALIK Naskah Publikasi disusun oleh Zul Chaedir 05.11.0999 Kepada SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER

Lebih terperinci

MODEL PERAMALAN HARGA SAHAM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK TRIANA ENDANG

MODEL PERAMALAN HARGA SAHAM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK TRIANA ENDANG MODEL PERAMALAN HARGA SAHAM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK TRIANA ENDANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini

Lebih terperinci

ANALISIS PENAMBAHAN NILAI MOMENTUM PADA PREDIKSI PRODUKTIVITAS KELAPA SAWIT MENGGUNAKAN BACKPROPAGATION

ANALISIS PENAMBAHAN NILAI MOMENTUM PADA PREDIKSI PRODUKTIVITAS KELAPA SAWIT MENGGUNAKAN BACKPROPAGATION ANALISIS PENAMBAHAN NILAI MOMENTUM PADA PREDIKSI PRODUKTIVITAS KELAPA SAWIT MENGGUNAKAN BACKPROPAGATION Eka Irawan1, M. Zarlis2, Erna Budhiarti Nababan3 Magister Teknik Informatika, Universitas Sumatera

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. and R.W. Kiefer., 1979). Penggunaan penginderaan jauh dalam mendeteksi luas

BAB I PENDAHULUAN. and R.W. Kiefer., 1979). Penggunaan penginderaan jauh dalam mendeteksi luas BAB I PENDAHULUAN Bab I menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan masalah serta sistematika penulisan yang menjadi dasar dari Perbandingan Penggunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan pada suatu wilayah akan berpengaruh terhadap perubahan suatu kawasan. Perubahan lahan terbuka hijau menjadi lahan terbangun

Lebih terperinci

KAJIAN KEMAMPUAN JARINGAN SYARAF TIRUAN ALGORITMA BACKPROPAGATION UNTUK KLASIFIKASI PENGGUNAAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA ALOS AVNIR-2

KAJIAN KEMAMPUAN JARINGAN SYARAF TIRUAN ALGORITMA BACKPROPAGATION UNTUK KLASIFIKASI PENGGUNAAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA ALOS AVNIR-2 KAJIAN KEMAMPUAN JARINGAN SYARAF TIRUAN ALGORITMA BACKPROPAGATION UNTUK KLASIFIKASI PENGGUNAAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA ALOS AVNIR-2 Candra Yogi Feriyawan yogi_candra@yahoo.com Projo Danoedoro projo.danoedoro@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan bentang permukaan bumi yang dapat bermanfaat bagi manusia baik yang sudah dikelola maupun belum. Untuk itu peran lahan cukup penting dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB 3 PERANCANGAN DAN PEMBUATAN SISTEM

BAB 3 PERANCANGAN DAN PEMBUATAN SISTEM BAB 3 PERANCANGAN DAN PEMBUATAN SISTEM Dalam bab ini akan dibahas mengenai perancangan dan pembuatan sistem aplikasi yang digunakan sebagai user interface untuk menangkap citra ikan, mengolahnya dan menampilkan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Jaringan Syaraf Biologi Jaringan Syaraf Tiruan merupakan suatu representasi buatan dari otak manusia yang dibuat agar dapat mensimulasikan apa yang dipejalari melalui proses pembelajaran

Lebih terperinci

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel. Lampiran 1. Praproses Citra 1. Perbaikan Citra Satelit Landsat Perbaikan ini dilakukan untuk menutupi citra satelit landsat yang rusak dengan data citra yang lainnya, pada penelitian ini dilakukan penggabungan

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. X, No. X, (Juni, 2013) ISSN:

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. X, No. X, (Juni, 2013) ISSN: JURNAL TEKNIK POMITS Vol. X, No. X, (Juni, 2013) ISSN: 2301-9271 1 Kajian Updating Peta Menggunakan Data Dasar Citra Satelit Worldview-2 dan Kota Surabaya Skala 1:5000 (Studi Kasus: dan Anyar) Cherie Bhekti

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan 4.1. Hasil 4.1.1. Digitasi dan Klasifikasi Kerapatan Vegetasi Mangrove Digitasi terhadap citra yang sudah terkoreksi dilakukan untuk mendapatkan tutupan vegetasi mangrove di

Lebih terperinci

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian 10 BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Maret 2011 dan berakhir pada bulan Oktober 2011. Penelitian ini terdiri atas pengamatan di lapang dan analisis

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei sampai September 2010. Lokasi penelitian di sekitar Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

MODEL PERAMALAN HARGA SAHAM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK TRIANA ENDANG

MODEL PERAMALAN HARGA SAHAM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK TRIANA ENDANG MODEL PERAMALAN HARGA SAHAM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK TRIANA ENDANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER

PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER LATHIFATURRAHMAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan materi yang terdiri dari agregat (butiran) padat yang tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain serta dari bahan bahan organik yang telah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Posisi Indonesia berada di daerah tropis mengakibatkan hampir sepanjang tahun selalu diliputi awan. Kondisi ini mempengaruhi kemampuan citra optik untuk menghasilkan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Barcode Salah satu obyek pengenalan pola yang bisa dipelajari dan akhirnya dapat dikenali yaitu PIN barcode. PIN barcode yang merupakan kode batang yang berfungsi sebagai personal

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI Jaringan Syaraf Tiruan. Universitas Sumatera Utara

BAB II DASAR TEORI Jaringan Syaraf Tiruan. Universitas Sumatera Utara BAB II DASAR TEORI Landasan teori adalah teori-teori yang relevan dan dapat digunakan untuk menjelaskan variabel-variabel penelitian. Landasan teori ini juga berfungsi sebagai dasar untuk memberi jawaban

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 14 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan September dengan mengambil lokasi penelitian di wilayah Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya (Gambar

Lebih terperinci

Estimasi Suhu Udara Bulanan Kota Pontianak Berdasarkan Metode Jaringan Syaraf Tiruan

Estimasi Suhu Udara Bulanan Kota Pontianak Berdasarkan Metode Jaringan Syaraf Tiruan Estimasi Suhu Udara Bulanan Kota Pontianak Berdasarkan Metode Jaringan Syaraf Tiruan Andi Ihwan 1), Yudha Arman 1) dan Iis Solehati 1) 1) Prodi Fisika FMIPA UNTAN Abstrak Fluktuasi suhu udara berdasarkan

Lebih terperinci

PENENTUAN MODEL RETURN HARGA SAHAM DENGAN MULTI LAYER FEED FORWARD NEURAL NETWORK MENGGUNAKAN ALGORITMA RESILENT BACKPROPAGATION SKRIPSI

PENENTUAN MODEL RETURN HARGA SAHAM DENGAN MULTI LAYER FEED FORWARD NEURAL NETWORK MENGGUNAKAN ALGORITMA RESILENT BACKPROPAGATION SKRIPSI PENENTUAN MODEL RETURN HARGA SAHAM DENGAN MULTI LAYER FEED FORWARD NEURAL NETWORK MENGGUNAKAN ALGORITMA RESILENT BACKPROPAGATION (Studi Kasus : Harga Penutupan Saham Unilever Indonesia Tbk. Periode September

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. 1.1 Latar Belakang Kajian mengenai metode non-parametrik Classification Tree Analysis (CTA) menggunakan teknik data mining untuk aplikasi penginderaan jauh masih belum banyak dilakukan,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan TINJAUAN PUSTAKA KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era Teknologi merupakan era dimana informasi serta data dapat didapatkan dan ditransfer secara lebih efektif. Perkembangan ilmu dan teknologi menyebabkan kemajuan

Lebih terperinci

TEORI DASAR INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT TM7+ METODE INTERPRETASI VISUAL ( DIGITIZE SCREEN) Oleh Dwi Nowo Martono

TEORI DASAR INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT TM7+ METODE INTERPRETASI VISUAL ( DIGITIZE SCREEN) Oleh Dwi Nowo Martono TEORI DASAR INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT TM7+ METODE INTERPRETASI VISUAL ( DIGITIZE SCREEN) Oleh Dwi Nowo Martono I. PENGANTAR Penginderaan jauh adalah ilmu dan teknik untuk memperoleh informasi

Lebih terperinci

Bab 1 P e n d a h u l u a n

Bab 1 P e n d a h u l u a n P e n d a h u l u a n 1.1 Latar Belakang Indonesia salah satu negara yang kaya dengan sumber daya alamnya. Bebagai jenis hutan, ladang, sawah, dan sungai tersebar hampir diseluruh pulau. Maka sudah selayaknya

Lebih terperinci

MODEL PEMBELAJARAN JARINGAN SYARAF TIRUAN UNTUK OTOMATISASI PENGEMUDIAN KENDARAAN BERODA TIGA

MODEL PEMBELAJARAN JARINGAN SYARAF TIRUAN UNTUK OTOMATISASI PENGEMUDIAN KENDARAAN BERODA TIGA MODEL PEMBELAJARAN JARINGAN SYARAF TIRUAN UNTUK OTOMATISASI PENGEMUDIAN KENDARAAN BERODA TIGA Ramli e-mail:ramli.brt@gmail.com Dosen Tetap Amik Harapan Medan ABSTRAK Jaringan Syaraf Tiruan adalah pemrosesan

Lebih terperinci

ARTIFICIAL NEURAL NETWORK TEKNIK PERAMALAN - A

ARTIFICIAL NEURAL NETWORK TEKNIK PERAMALAN - A ARTIFICIAL NEURAL NETWORK CAHYA YUNITA 5213100001 ALVISHA FARRASITA 5213100057 NOVIANTIANDINI 5213100075 TEKNIK PERAMALAN - A MATERI Neural Network Neural Network atau dalam bahasa Indonesia disebut Jaringan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekeringan Kekeringan (drought) secara umum bisa didefinisikan sebagai kurangnya persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume

Lebih terperinci

JARINGAN SARAF TIRUAN (ARTIFICIAL NEURAL NETWORK) ERWIEN TJIPTA WIJAYA, ST, M.KOM

JARINGAN SARAF TIRUAN (ARTIFICIAL NEURAL NETWORK) ERWIEN TJIPTA WIJAYA, ST, M.KOM JARINGAN SARAF TIRUAN (ARTIFICIAL NEURAL NETWORK) ERWIEN TJIPTA WIJAYA, ST, M.KOM INTRODUCTION Jaringan Saraf Tiruan atau JST adalah merupakan salah satu representasi tiruan dari otak manusia yang selalu

Lebih terperinci

JARINGAN SYARAF TIRUAN UNTUK PENGENALAN JENIS KAYU BERBASIS CITRA G A S I M

JARINGAN SYARAF TIRUAN UNTUK PENGENALAN JENIS KAYU BERBASIS CITRA G A S I M JARINGAN SYARAF TIRUAN UNTUK PENGENALAN JENIS KAYU BERBASIS CITRA G A S I M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK Pengenalan jenis kayu yang sering dilakukan dengan menggunakan

Lebih terperinci

DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+

DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+ DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+ Oleh : Ganjar Saefurahman C64103081 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemantauan Padi dengan SAR Polarisasi Tunggal Pada awal perkembangannya, sensor SAR hanya menyediakan satu pilihan polarisasi saja. Masalah daya di satelit, kapasitas pengiriman

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Jaringan Syaraf Tiruan Artificial Neural Network atau Jaringan Syaraf Tiruan (JST) adalah salah satu cabang dari Artificial Intelligence. JST merupakan suatu sistem pemrosesan

Lebih terperinci

Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya,

Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya, KAJIAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI BRANTAS BAGIAN HILIR MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTI TEMPORAL (STUDI KASUS: KALI PORONG, KABUPATEN SIDOARJO) Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara

Lebih terperinci

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB IV HASIL DAN ANALISIS BAB IV HASIL DAN ANALISIS 4.1 Hasil Segmentasi Dari beberapa kombinasi scale parameter yang digunakan untuk mendapatkan segmentasi terbaik, untuk mengklasifikasikan citra pada penelitian ini hanya mengambil

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Citra Digital Citra digital dapat didefenisikan sebagai fungsi f(x,y) yaitu dua dimensi, dimana x dan y merupakan koordinat spasial dan f(x,y) disebut dengan intensitas atau

Lebih terperinci

Prediksi Curah Hujan Di Kota Pontianak Menggunakan Parameter Cuaca Sebagai Prediktor Pada Skala Bulanan, Dasarian Dan Harian Asri Rachmawati 1)*

Prediksi Curah Hujan Di Kota Pontianak Menggunakan Parameter Cuaca Sebagai Prediktor Pada Skala Bulanan, Dasarian Dan Harian Asri Rachmawati 1)* Prediksi Curah Hujan Di Kota Pontianak Menggunakan Parameter Cuaca Sebagai Prediktor Pada Skala Bulanan, Dasarian Dan Harian Asri Rachmawati 1)* 1)Stasiun Meteorologi Supadio Pontianak Badan Meteorologi

Lebih terperinci

MODIFIKASI METODE RELE UNTUK MODEL PENDUDUK QUASI-STABIL CECEP A.H.F. SANTOSA

MODIFIKASI METODE RELE UNTUK MODEL PENDUDUK QUASI-STABIL CECEP A.H.F. SANTOSA MODIFIKASI METODE RELE UNTUK MODEL PENDUDUK QUASI-STABIL CECEP A.H.F. SANTOSA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi

Lebih terperinci

KLASIFIKASI CITRA PARU MENGGUNAKAN MODEL SELF-ORGANIZING MAPS RADIAL BASIS FUNCTION NEURAL NETWORKS (SOM-RBFNN) SKRIPSI

KLASIFIKASI CITRA PARU MENGGUNAKAN MODEL SELF-ORGANIZING MAPS RADIAL BASIS FUNCTION NEURAL NETWORKS (SOM-RBFNN) SKRIPSI KLASIFIKASI CITRA PARU MENGGUNAKAN MODEL SELF-ORGANIZING MAPS RADIAL BASIS FUNCTION NEURAL NETWORKS (SOM-RBFNN) SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri

Lebih terperinci

PENGKAJIAN KEAKURATAN TWOSTEP CLUSTER DALAM MENENTUKAN BANYAKNYA GEROMBOL POPULASI KUDSIATI

PENGKAJIAN KEAKURATAN TWOSTEP CLUSTER DALAM MENENTUKAN BANYAKNYA GEROMBOL POPULASI KUDSIATI PENGKAJIAN KEAKURATAN TWOSTEP CLUSTER DALAM MENENTUKAN BANYAKNYA GEROMBOL POPULASI KUDSIATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dimana sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk yang bermata pencaharian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia baik yang berlangsung secara siklus atau permanen pada sumberdaya lahan alami maupun buatan guna terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu terluar suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jaringan Syaraf Biologi Otak manusia memiliki struktur yang sangat kompleks dan memiliki kemampuan yang luar biasa. Otak terdiri dari neuron-neuron dan penghubung yang disebut

Lebih terperinci

SISTEM PENGENALAN KARAKTER DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN ALGORITMA PERCEPTRON

SISTEM PENGENALAN KARAKTER DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN ALGORITMA PERCEPTRON Jurnal Informatika Mulawarman Vol. 7 No. 3 Edisi September 2012 105 SISTEM PENGENALAN KARAKTER DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN ALGORITMA PERCEPTRON Anindita Septiarini Program Studi Ilmu Komputer FMIPA,

Lebih terperinci