IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 66 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum PLTA PLTA Saguling dan Cirata di Propinsi Jawa Barat Guna memanfaatkan debit air yang dialirkan Sungai Citarum, sungai terpanjang dan terbesar di provinsi Jawa Barat luas ,25 ha, pemerintah membuat tiga bendungan dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di sungai ini yaitu PLTA Saguling, PLTA Cirata, dan PLTA Ir. H. Djuanda (PLTA Jatiluhur). Pengoperation ketiga waduk ini diintegrasikan dalam satu pola operasi yang disebut Pola operasi waduk kaskade Citarum dengan pendekatan equal sharing yang dilakukan setiap bulan Oktober oleh ketiga pengelola waduk, yaitu Perum Jasa Tirta II (Waduk Jatiluhur), PT Pembangkit Jawa Bali (Waduk Cirata), dan PT Indonesia Power (Waduk Saguling). PLTA yang menjadi objek penelitian adalah PLTA Saguling dan PLTA Cirata. A. PLTA Saguling PLTA Saguling adalah salah satu unit bisnis pembangkitan di bawah PT. Indonesia Power. PLTA Saguling yang mulai beroperasi tahun 1986 memiliki visi menjadi perusahaan publik dengan kinerja kelas dunia dan bersahabat dengan lingkungan. Misi PLTA Saguling melakukan usaha dalam bidang ketenagalistrikan dan mengembangkan usaha-usaha lainnya yang berkaitan, berdasarkan kaidah industri dan niaga yang sehat, guna menjamin keberadaan dan pengembangan perusahaan dalam jangka panjang. UPB Saguling mengelola 29 mesin pembangkit yang tersebar di Jawa Barat dengan total kapasitas terpasang 797,36 MW. Keuntungan PLTA ini antara lain waktu pengoperasian relatif lebih cepat (15 menit), biaya produksi lebih murah karena menggunakan air, rotasi turbin rendah dan tidak mengeluarkan panas sehingga peralatan jarang mengalami kerusakan. PLTA juga ramah lingkungan, karena tidak adanya proses pembakaran sehingga tidak ada limbah bekas pembakaran yang ditimbulkan. Dam (waduk) bertindak cultivation multifungsi, seperti pengendalian banjir dan sistem irigasi sawah.

2 67 PLTA Saguling memanfaatkan air Sungai Citarum yang terbagi atas 11 sub DAS. Tujuh diantara Sub Das tersebut mempengaruhi pola aliran Sungai Citarum baik kuantitas maupun kualitasnya yaitu Sub DAS Citarik, Sub DAS Cirasea, Sub DAS Cihaur, Sub DAS Ciminyak, Sub DAS Cisangkuy, Sub DAS Ciwidey, dan Sub DAS Cikapundung. Sungai ini bermata air utama di Gunung Wayang, di selatan Bandung pada ketinggian m, dan bermuara ke Laut Jawa di daerah Tanjung Karawang. Luas DAS sekitar km 2 dan panjang sungai sekitar 270 km (Marganingrum 2007). Pengelolaan sumberdaya air secara berkelanjutan diintegrasikan ke dalam sistem manajemen perusahaan. Program penghijauan ditetapkan dalam road map tahun PLTA Saguling melibatkan masyarakat sekitar lokasi pembangkitan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan sekaligus sebagai bentuk partisipasi perusahaan membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat. PLTA bekerjasama dengan Kabupaten Bandung Barat menghimpun kepedulian 56 perusahaan untuk berpartisipasi pada program penghijauan Dinas Lingkungan Kabupaten dan melakukan kerjasama dengan Perhutani Kabupaten pada acara Tepung Lawung. Kerjasama juga dilakukan dengan masyarakat pendidikan lingkungan untuk memberikan pelatihan dan pendampingan kepada masyarakat di Kabupaten Bandung mengenai kelestarian lingkungan DAS sebagai sumber kehidupan masyarakat sekitar DAS dan keberlangsungan operasional Waduk Saguling. B. PLTA Cirata PT. Pembangkitan Jawa-Bali (PJB) adalah anak perusahaan PT. PLN (Persero) yang mengelola PLTA Cirata. PLTA Cirata beroperasi pada akhir September Visi PT.PJB adalah menjadi perusahaan pembangkit tenaga listrik Indonesia yang terkemuka dengan standar kelas dunia. Misi: (1) Memproduksi tenaga listrik yang handal dan berdaya saing. (2) Meningkatkan kinerja secara berkelanjutan melalui implementasi tata kelola pembangkitan dan sinergi business partner dengan metoda best practice dan ramah linngkungan, (3)

3 68 Mengembangkan kepasitas dan kapabilitas SDM yang mempunyai kompetensi teknik dan manjerial yang unggul serta berwawasan bisnis. Dalam menjalankan bisnisnya, PT. PJB menerapkan tiga pilar strategis yaitu pengelolaan aset (asset management), sistem manajemen SDM (human capital), dan teknologi informasi sebagai business enabler. Tiga pilar strategis dijabarkan ke dalam 10 sistem manajemen best practice yang antara lain: Manajemen aset, Manajemen Risiko, Manajemen Mutu ISO 9001, Manajemen Lingkungan ISO 14001, dan K3 OHSAS 18000, Good Corporate Governance (GCG), Manajemen Teknologi Informasi, Knowlegde Management, Manajemen SDM Berbasis Kompetensi, Manajemen Baldrige, dan Manajemen House Keeping 5S. Unit Pembangkitan Cirata berlokasi di Desa Cadas, Kecamatan Tegal Waru Plered Purwakarta. PLTA terbesar di Asia Tenggara dengan bangunan Power House 4 lantai di bawah tanah. Waduk Cirata memiliki luas 62 km 2 dengan elevasi muka air banjir 223 m, elevasi muka air normal 220 m dan elevasi muka air rendah 205 m. Volume air waduk sebesar juta meter 3 dan efektif waduk 796 juta m 3. PLTA Cirata mengoperasikan 8 x 126 MW atau 1008 MW dan mampu memproduksi listrik rata-rata sebesar juta kilowatt jam per tahun yang disalurkan melalui transmisi tegangan ekstra tinggi 500 KV ke sistem interkoneksi Jawa Bali. Kemampuan memproduksi listrik PLTA ini setara dengan kemampuan pembangkit termal yang menggunakan BBM 428 ton.untuk menghasilkan energi listrik sebesar GWh, di operasikan 8 buah turbin dengan kapasitas masing masing KW dengan putaran 187,5 RPM. Adapun tinggi air jatuh efektif untuk memutar turbin 112,5 meter dengan debit air maksimum 135 m3/detik. Penerapan sistem manajemen lingkungan di unit pembangkitan Cirata, merupakan bagian tak terpisahkan dari proses produksi yang diwujudkan dalam bentuk upaya pengelolaan lingkungan yang terencana, terintegrasi pada semua bidang kegiatan dengan melibatkan seluruh komponen dalam manajemen unit pembangkitan Cirata untuk kepentingan masyarakat, tuntutan pasar serta akrab lingkungan dan sejalan dengan visi perusahaan yang ingin menjadikan perusahaan ini peduli lingkungan.

4 PLTA Tanggari I dan II di Propinsi Sulawesi Utara Energi listrik di Sulawesi Utara bersumber dari sistem pembangkitan PLTA Tonsea Lama, PLTA Tanggari I, PLTA Tanggari II, PLTD Manado dan PLTD Bitung. PLTA yang menjadi objek penelitian adalah PLTA Tanggari I dan II. Kedua PLTA ini menggunakan sumber energi gravitasi air terjun Sungai Tondano yang bersumber dari Danau Tondano dengan hulunya Desa Tolour dan bermuara di Pantai Manado. Panjang Sungai Tondano hampir 40 km. Tahun 2006 Manajemen puncak PLTA Tanggari I dan Tanggari II memutuskan untuk menerapkan sistem manajemen lingkungan pada pengelolaan dan pengoperasian PLTA. PLTA Tanggari I berlokasi di Desa Tanggari termasuk Kecamatan Airmadidi Kabupaten Minahasa Utara Provinsi Sulawesi Utara. Terletak pada 124º BT dan 1º LU. PLTA Tanggari I dibangun pada tahun 1984 dan beroperasi pada tahun PLTA Tanggari I memiliki dua unit mesin, dengan kapasitas daya terpasang sebesar 18 MW. PLTA Tanggari II berlokasi di Desa Tanggari Kecamatan Airmadidi Kabupaten Minahasa Utara Provinsi Sulawesi Utara. Terletak pada 124º BT dan 1º LU. PLTA Tanggari II dibangun pada tahun 1995 dan mulai beroperasi pada tahun PLTA Tanggari II mampu membangkitkan tenaga listrik dengan kapasitas daya terpasang sebesar 19 MW dengan tegangan sebesar 13.2 KV. Tipe pambangkit run off river (aliran langsung), dengan headrace tunnel yang mempunyai panjang 800 meter, diameter 2.6 meter, tinggi jatuh 103 meter, dan debit maksimum sebesar 16,5 m 3 /detik. Apabila Sungai Tondano sudah tidak mampu menyalurkan debit air sebesar 16 m3/s pada saat permukaan Danau Tondano mencapai elevasi 629,27 (Low lower Level/LWL), maka pengoperasian PLTA menjadi terganggu. Pendangkalan dasar sungai sejak mulut danau hingga pintu pengambilan (intake) PLTA Tonsea lama baik yang ditimbulkan oleh bahan sedimen maupun tumbuhan ganggang yang tumbuh subur sepanjang 2-3 kilometer di hulu sungai mempengaruhi pengoperasian PLTA Tanggari. Debit air terus berkurang dapat menggangggu perputaran turbin.

5 70 Sungai Tondano mulai dari mulut danau hingga PLTA Tonsea lama melewati tengah kota Manado. Hampir di sepanjang tepi sungai telah dihuni oleh penduduk. Tidak mengherankan Sungai Tondano juga merupakan tempat pembuangan sampah baik oleh pemukim maupun oleh pasar kota. Sampah yang diperkirakan 5 6 ton per hari sangat terasa gangguannya dalam pengoperasian turbin. Danau Tondano sejak dahulu merupakan sumber ikan tawar bagi penduduk. Kini perkembangan nelayan meningkat dan penggunaan sistem keramba untuk meningkatkan volume tanggakan ikan. Sistem keramba menggunakan tepian danau untuk dijadikan tempat pemeliharaan ikan yang diberi makanan tertentu (pellet dsb). Kondisi ini menyebabkan kadar nitrogen dalam air yang mendorong pertumbuhan gulma air. PLTA Tanggari juga mengalami permasalahan pasokan air akibat waktu tempuh air dari Tonsea Lama sampai intake PLTA Tanggari. Lamanya waktu tempuh disebabkan oleh kondisi dasar sungai yang terlalu banyak hambatan berupa batuan dan sampah buangan disamping profil sungai yang tidak teratur. 4.2 Perubahan Penggunaan Lahan di Wilayah PLTA Perubahan Penggunaan Lahan pada DAS Citarum Analisis perubahan penggunaan lahan (landuse change) DAS dari citra satelit 2001 dan Citra satelit yang digunakan adalah citra Landsat ETM 7. Secara umum hasil analisis perubahan penggunaan lahan memperlihatkan adanya perubahan tutupan dan peruntukan lahan pada DAS Citarum di Jawa Barat. Peta penutupan dan penggunaan lahan berdasarkan citra satelit dan hasil analisisnya pada wilayah DAS Citarum tersebut ditampilkan dalam Gambar 13 berikut.

6 71 (a) (b) Gambar 13 Citra satelit pada DAS Citarum: (a) tahun 2001 dan (b) tahun Gambar 13 menunjukkan penutupan lahan berdasarkan citra satelit pada tahun 2001 (a) dan 2007 (b) di wilayah DAS Citarum. DAS Citarum sendiri meliputi DAS Citarum hulu di mana terdapat DAS Waduk Saguling dan DAS Citarum hilir di mana DAS Waduk Cirata berada. Guna memudahkan pemahaman selanjutnya, dalam peta penggunaan lahan kedua DAS ini dipisahkan menjadi DAS Waduk Saguling (hulu) dan DAS Waduk Cirata (hilir), meskipun keduanya merupakan satu sistem DAS yang berhubungan secara langsung. DAS Waduk Saguling merupakan bagian dari DAS Waduk Cirata yang berada di bagian hulu. Gambar 14 menunjukkan peta penggunaan lahan di DAS Saguling pada tahun 2001 dan 2007 berdasarkan hasil interpretasi citra satelit. Sementara Gambar 15 menunjukkan peta penggunaan lahan di DAS Cirata pada tahun 2001 dan Perbedaan penggunaan lahan pada tahun 2001 dan 2007 menjadi dasar analisis perubahan lahan di DAS Citarum yang menjadi daerah tangkapan air Waduk Saguling dan Cirata. Penggunaan lahan yang ditampilkan dalam kedua peta tersebut terdiri dari berbagai kelas penutupan atau liputan lahan (land cover), antara lain tutupan hutan, permukiman, sawah, semak belukar, tanah terbuka, rawa, perkebunan, pertanian dan badan air (waduk), serta tutupan awan.

7 72 (a) (b) Gambar 14 Penggunaan lahan DAS Saguling: (a) tahun 2001 dan (b) tahun 2007.

8 73 (a) (b) Gambar 15 Penggunaan lahan DAS Cirata: (a) tahun 2001 dan (b) tahun 2007.

9 74 Hasil analisis spasial menunjukkan bahwa luas DAS Waduk Saguling yang berada pada wilayah paling hulu Sungai Citarum kurang lebih meliputi wilayah seluas ha. Sementara luas DAS Waduk Cirata meliputi wilayah sekitar ha, di mana DAS Waduk Saguling tercakup di dalamnya. Hasil analisis terhadap perubahan penggunaan lahan pada DAS Waduk Saguling disajikan dalam Tabel 5. Tabel 5 Perubahan penggunaan lahan pada DAS Waduk Saguling Jenis Luas tahun 2001 Luas tahun 2007 Perubahan PL Penggunaan Lahan (ha) (%) (ha) (%) (ha) (ha/thn) (%/thn) Hutan ,80 17, ,77 5,62 (25.608,03) (4.268,01) (11,19) Permukiman ,58 17, ,90 18, ,32 279,39 0,70 Sawah ,11 29, ,33 29,17 67,22 11,20 0,02 Semak belukar 1.060,72 0, ,91 13, , ,03 464,22 Lahan terbuka 1.867,27 0,84 190,95 0,09 (1.676,32) (279,39) (14,96) Pertanian lahan kering ,11 32, ,87 19,41 (29.611,24) (4.935,21) (6,77) Perkebunan 2.300,34 1, ,94 12, , ,10 185,54 Rawa 521,49 0,23 520,81 0,23 (0,68) (0,11) (0,02) Badan air 1.353,58 0, ,52 0,61 (0,06) (0,01) (0,00) Total ,00 100, ,00 100,00 Tabel 5 di atas menunjukkan terjadinya dinamika perubahan penggunaan lahan pada DAS Waduk Saguling selama kurun waktu 6 tahun dari tahun 2001 hingga tahun Luas hutan di bagian hulu waduk pada tahun 2001 sebesar ,80 ha atau sebesar 17,12% dari luas DAS. Luasan hutan berubah menjadi hanya 5,62% atau sekitar ha pada tahun 2007, sehingga diperkirakan terjadi pengurangan luas hutan 11,19% setiap tahunnya. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi berbagai penggunaan lahan lainnya, terutama menjadi perkebunan. Luas perkebunan meningkat pesat sekitar 185% setiap tahunnya, dari luas sekitar ha pada tahun 2001 menjadi sekitar ha yang hampir seluruhnya berasal dari konversi terhadap hutan. Sementara penggunaan lahan lainnya yang mengalami pengurangan adalah lahan terbuka yang berkisar seluas ha pada tahun 2001 menjadi sekitar 190 ha saja

10 75 pada tahun Hasil analisis spasial menunjukkan bahwa hampir seluruh lahan terbuka pada tahun 2001 ini berubah menjadi lahan permukiman pada tahun Penggunaan lahan lainnya yang mengalami pertumbuhan cukup pesat adalah semak belukar yang tumbuh sekitar 462% setiap tahunnya, dari seluas ha pada tahun 2001 menjadi sekitar ha pada tahun Semak belukar ini sebagian besar berasal dari lahan pertanian kering yang berubah dari luas sekitar ha pada tahun 2001 yang menyusut menjadi ha pada tahun Sementara penggunaan lahan lainnya relatif berubah secara perlahan, seperti permukiman (0,7% per tahun), sawah dan rawa (0,02% per tahun), serta relatif tidak berubah, seperti badan air (0,0007% per tahun). Sementara Tabel 6 menunjukkan terjadinya dinamika perubahan penggunaan lahan pada DAS Waduk Cirata pada kurun waktu yang sama. Hampir sebagian luas DAS Waduk Cirata sebenarnya merupakan DAS Waduk Saguling, yang berada di hulu Waduk Cirata. Hal ini menunjukkan dinamika perubahan penggunaan lahan pada DAS Waduk Cirata, sebagian merupakan sumbangan dari perubahan yang terjadi pada DAS Waduk saguling. Tabel 6 Perubahan penggunaan lahan pada DAS Waduk Cirata Jenis Penutupan Luas tahun 2001 Luas tahun 2007 Perubahan PL Lahan (ha) (%) (ha) (%) (ha) (ha/thn) (%/thn) Hutan ,72 18, ,37 5,03 (64.425,35) (10.737,56) (12,23) Permukiman ,76 10, ,83 11, , ,01 2,32 Sawah ,40 29, ,93 29,09 131,53 21,92 0,02 Semak belukar 3.259,97 0, ,67 15, , ,78 341,50 Lahan terbuka 6.935,02 1,49 190,95 0,04 (6.744,07) (1.124,01) (16,21) Pertanian lahan kering ,20 29, ,14 14,78 (66.928,06) (11.154,68) (8,22) Perkebunan ,69 7, ,60 21, , ,65 31,10 Rawa 840,08 0,18 839,81 0,18 (0,27) (0,04) (0,01) Badan air ,08 2, ,88 2,48 (0,20) (0,03) (0,00) Awan 991,08 0,21 990,82 0,21 (0,26) (0,04) (0,00) Total ,00 100, ,00 100, Hutan pada wilayah DAS Waduk Cirata memiliki luas sekitar ha atau sebesar 18,87% dari luas DAS pada tahun Luasan hutan berubah menjadi hanya 5,03% atau sekitar ha pada tahun 2007, sehingga

11 76 diperkirakan terjadi pengurangan luas hutan 12,23% setiap tahunnya. Seperti halnya pada DAS Waduk Saguling, perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi berbagai penggunaan lahan lainnya, terutama disebabkan konversi terhadap lahan perkebunan. Hal ini mendorong peningkatan luas lahan perkebunan dari luas sekitar ha pada tahun 2001 menjadi sekitar ha, atau meningkat sekitar 12,23% setiap tahunnya. Penggunaan lahan lainnya yang mengalami pengurangan adalah lahan terbuka yang berkisar seluas ha pada tahun 2001 menjadi sekitar 190 ha saja pada tahun Hasil analisis spasial menunjukkan bahwa hampir seluruh lahan terbuka pada tahun 2001 ini berubah menjadi lahan permukiman pada tahun Seperti pada DAS Waduk saguling, semak belukar pada DAS Waduk Cirata mengalami pertumbuhan cukup pesat dari sekitar ha pada tahun 2001 menjadi sekitar ha pada tahun 2007, atau tumbuh sekitar 341% setiap tahunnya. Semak belukar ini sebagian besar berasal dari lahan pertanian kering yang berubah dari luas sekitar ha pada tahun 2001 yang menyusut menjadi ha pada tahun Penggunaan lahan lainnya relatif berubah secara perlahan, seperti sawah (0,02% per tahun) dan rawa (0,01% per tahun), serta relatif tidak berubah, seperti badan air (0,0007% per tahun). Sementara permukiman di bagian hilir memiliki tingkat pertumbuhan yang relatif lebih tinggi dibandingkan bagian hulu (DAS Waduk Saguling). Hal ini terlihat dari tingkat pertumbuhan permukiman secara keseluruhan di DAS Cirata sebesar 2,32% setiap tahun, atau lebih tinggi dari DAS Waduk Saguling (0,7% per tahun). Secara umum pengurangan luas hutan bisa meningkatkan laju degradasi lahan, karena tutupan hutan bisa mencegah terjadinya peningkatan laju erosi dan sedimentasi (Indriyanto 2008). Menurut PPSDAL UNPAD (2008), tingkat erosi di DAS Citarum Hulu pada tahun 2001 sekitar 2,20 mm/tahun dan sedimentasi m 3 /tahun. Pada tahun 2007, tingkat erosi meningkat menjadi 2,23 mm/tahun dan laju sedimentasi meningkat menjadi m 3 /tahun. Tingkat erosi dan laju sedimentasi yang tinggi dapat mengancam keberlanjutan Waduk Saguling dan Waduk Cirata yang memasok air ke PLTA. Sesuai perencanaan waduk, tingkat erosi dan laju sedimentasi yang diperbolehkan secara berturut yaitu 2,10 mm/tahun dan m 3 /tahun. Berdasarkan

12 77 prediksi PPSDAL UNPAD (2008), peningkatan sedimentasi akan mengurangi kemampuan waduk untuk menampung air sebab sedimen akan terakumulasi baik di dead storage dan life storage waduk. Peningkatan sedimen ini akan mengurangi fungsi waduk sebagai penampung air. Hutan dapat mempertahankan debit air sungai sehingga tidak akan banjir pada musim hujan dan tidak akan kekeringan pada musim kemarau (Indriyanto 2008). Air dari Waduk Saguling berasal dari Sungai Cikapundung, Sungai Cikeruh, Sungai Citarik, Sungai Cisangkuy, Sungai Ciwidey dan Sungai Cisarea. Berdasarkan data tahun , debit air sungai sangat berfluktuasi. Debit air minimum dan maksimum sungai ke Waduk Saguling yaitu 4,08-66,92 m 3 /dtk dan 141,46-306,39 m 3 /dtk (PLTA Saguling 2011). Waduk Cirata memperoleh air dari Sungai Cisokan, Sungai Cibalagung, Sungai Cimeta, Sungai Cikundul dan Sungai Citarum. Debit minimum dan maksimum air sungai ke Waduk Cirata yaitu 31,18-103,02 m 3 /dtk dan 205,21-488,66 m 3 /dtk (PLTA Cirata 2011) Perubahan Penggunaan Lahan pada DAS Tondano Gambar 16 menunjukkan penutupan lahan berdasarkan citra satelit pada tahun 2001 (a) dan 2007 (b) di wilayah DAS PLTA Tanggari dan II (DAS Tondano). Gambar 17 dan 18 menunjukkan peta penggunaan lahan di DAS Tondano pada tahun 2001 dan 2007 berdasarkan hasil interpretasi citra satelit. Perbedaan penggunaan lahan pada tahun 2001 dan 2007 menjadi dasar analisis perubahan lahan di DAS Tondano yang menjadi daerah tangkapan air PLTA Tanggari I dan II. Seperti pada peta penggunaan lahan DAS Citarum, penggunaan lahan yang ditampilkan dalam kedua peta penggunaan lahan DAS Tondano juga terdiri dari berbagai kelas penutupan lahan. Penggunaan lahan tersebut terdiri dari tutupan hutan, permukiman, sawah, semak belukar, tanah terbuka, rawa, perkebunan, pertanian dan badan air (waduk), serta tutupan awan. Penggunaan lahan berdasarkan analisis terhadap citra satelit tersebut ditampilkan dalam peta penggunaan lahan pada tahun 2001 dan tahun Perbedaan luas penggunaan lahan antara kedua tahun tersebut menjadi dasar dalam memperkirakan terjadinya perubahan penggunaan lahan di DAS Tondano setiap tahunnya.

13 78 (a) (b) Gambar 16 Citra satelit pada DAS Tondano: (a) tahun 2001 dan (b) tahun Gambar 17 Penggunaan lahan DAS Tondano pada tahun 2001.

14 79 Gambar 18 Penggunaan lahan DAS Tondano pada tahun Hasil analisis spasial menunjukkan bahwa luas DAS Tondano di mana PLTA Tanggari I dan II berada meliputi wilayah seluas ha. Penampakan tutupan lahan melalui citra satelit menunjukkan bahwa sebagian besar wilayahnya tertutup oleh vegetasi (hijau). Sementara pemukiman (merah) tersebar di beberapa wilayah, terutama terkonsentrasi di wilayah pesisir pantai pada bagian utara lokasi studi dan di pesisir Danau Tondano yang ada di bagian selatan lokasi studi. Hasil analisis terhadap perubahan penggunaan lahan pada DAS Tondano yang mempengaruhi PLTA Tanggari I dan II disajikan dalam Tabel 7.

15 80 Jenis Penutupan Lahan Tabel 7 Perubahan penggunaan lahan pada DAS Tondano Luas tahun 2001 Luas tahun 2007 Perubahan PL (ha) (%) (ha) (%) (ha) (ha/thn) (%/thn) Hutan ,83 74, ,12 73,25 (225,71) (37,62) (0,0021) Permukiman 2.000,39 8, ,62 8,90 198,23 33,04 0,0165 Sawah 1.739,37 7, ,38 7,04 0,01 0,00 0, Semak belukar 794,91 3,22 796,41 3,22 1,50 0,25 0,0315 Lahan terbuka 789,03 3,19 551,05 2,23 (237,98) (39,66) (0,0503) Bayangan Awan 18,90 0,08 17,40 0,07 (1,50) (0,25) (1,3228) Badan air 15,85 0,06 15,56 0,06 (0,29) (0,05) (0,0030) Awan 1.026,59 4, ,33 5,23 265,74 44,29 0,0431 Total ,87 100, ,87 100,00 Perubahan penggunaan lahan pada DAS Tondano selama kurun waktu 6 tahun dari tahun 2001 hingga tahun 2007 relatif tidak terlalu dinamis. Hal ini dilihat dari sedikitnya prosentase perubahan penggunaan lahan setiap tahunnya. Hasil analisis penggunaan lahan terhadap data citra satelit menunjukkan bahwa pada tahun 2001, sebagian besar wilayah DAS Tondano ditutupi oleh hutan seluas 74,16% dari luas DAS secara keseluruhan. Selain hutan, wilayah ini juga ditempati oleh permukiman (8,1%), sawah (7,04%), semak belukar (3,22%), lahan terbuka (3,19%), badan air (0,06%), serta selebihnya ditutupi awan dan bayangan awan. Penggunaan lahan pada tahun 2001 ini tidak berbeda jauh dengan penggunaan lahan pada tahun 2007, sehingga bisa disimpulkan perubahan penggunaan lahan yang terjadi di wilayah ini relatif kecil. Luas hutan di DAS Tondano pada tahun 2001 sebesar ha berubah menjadi sekitar ha pada tahun 2007, sehingga diperkirakan terjadi pengurangan luas hutan hanya sekitar 0,0021% setiap tahunnya. Luas permukiman relatif meningkat sekitar 0,0165% setiap tahunnya, dari luas sekitar ha pada tahun 2001 menjadi sekitar ha pada tahun Sementara penggunaan lahan lainnya relatif berubah secara perlahan, seperti sawah (0,000001% per tahun), semak belukar (0,0315 per tahun) dan lahan terbuka (- 0,0503% per tahun). Jenis tanah di perbukitan sekitar danau Tonado adalah latosol sehingga jumlah erosi diduga atas dasar curah hujan. Tingkat erosi di DAS Tondano pada tahun 1992 telah mencapai 0,213 ton/ha di lahan bervegetasi, serta sebesar 24,932

16 81 ton/ha di lahan terbuka tanpa vegetasi. Sementara erosi yang masih dapat ditoleransi sebesar 11,0 ton/ha. Jadi lahan harus tertutup vegetasi untuk menghindari bahaya erosi (DPE 1992). Sungai yang bermuara di Danau Tondano adalah Sungai Noogan, Sungai Panasen, Sungai Ema. Kondisi debit air minimum Sungai Tondano yang masuk ke PLTA saat ini berkisar 4,005 20,324 m 3 /dtk dan maksimum berkisar 53, ,225 m 3 /dtk. PLTA Tanggari I dan II hanya akan beroperasi jika debit air Sungai Tondano minimum 16 m 3 /dtk. Debit Sungai Tondano dipengaruhi musim. Wilayah Manado, Tondano, dan Airmadidi memiliki iklim dengan nisbah bulan kering (bulan dengan curah hujan < 60 mm) berkisar 0 % 14,30 %. Faktor lain yang mempengaruhi debit air adanya rumput air di tepian danau sampai sejauh 500 meter dari danau dan erosi dari wilayah sekitarnya. Hal ini merupakan sumber pendangkalan yang menghambat laju air (DPE 1992). 4.3 Kualitas Air Sungai di Wilayah PLTA Kualitas air suatu perairan mencerminkan kualitas lingkungan. Kualitas air waduk sangat dipengaruhi kualitas lingkungan catchment area di wilayah hulu, perubahan penutupan lahan dan penggunaannya. Kualitas air ini akan mempengaruhi dan menentukan kemampuan hidup jasad perairan tersebut dan proses teknis/produksi pembangkit listrik. Kelayakan suatu perairan sebagai lingkungan hidup dipengaruhi oleh sifat fisika kimia perairan tersebut (Krismono et al. 1987; Kartamihardja et al. 1987). Data-data yang berkaitan dengan karakteristik fisik dan kimia yang berpengaruh terhadap PLTA meliputi suhu, TDS, TSS, Fe, COD, DO, H 2 S, ph, NO -2 3, dan PO Analisis kualitas air sungai pada empat PLTA menggunakan uji T berpasangan dan metode deksriptif dengan membandingkan kualitas air di wilayah PLTA dengan baku mutu kualitas air kelas 4 (PP No.82/2001). Uji T dilakukan untuk mengetahui apakah ada perbedaan kualitas air di inlet dan outlet PLTA. Bilamana nilai P < 0,05 maka H 0 ditolak (Siregar 2004) Kualitas air PLTA Saguling dan Cirata

17 82 Hasil uji T terhadap kualitas air di inlet dan outlet PLTA dilihat pada Tabel 8. Hasil uji T kualitas air di wilayah PLTA Saguling menunjukkan bahwa secara umum kualitas air di outlet sama dengan kualitas air di inlet. Perbedaan secara nyata (α=0,05) pada kualitas air di inlet dan outlet berdasarkan hasil uji T hanya terlihat pada BOD pada tahun 2005, TSS pada tahun 2008, dan ph tahun 2008 dan tahun Tabel 8 Hasil uji T kualitas air di PLTA Saguling Parameter P-Value Saguling Tahun Suhu 0,560 0,396 0,426 0,787 0,166 0,076 TDS 0,288 0,117 0,220 0,058 0,102 0,079 TSS 0,620 0,409 0,365 0,031 0,112 0,191 ph 0,433 0,213 0,453 0,021 0,005 0,199 H 2 S 0,391 0,291 0,395 0,221 0,132 0,391-2 NO 3 0,517 0,600 0,850 0,224 0,155 0,672-3 PO 4 0,561 0,074 0,637 0,672 0,804 0,342 DO - - 0,103 0,885 0,240 0,184 COD 0,081 0,833 0,596 0,211 0,467 0,436 BOD 0,039* 0,621 0,951 0,146 0,871 0,714 Fe 0,275 0,155 0,078 0,473 0,537 0,116 Ket: nilai P < 0,05 maka H 0 ditolak (sumber : Siregar 2004) ; - : tidak ada data Konsentrasi nilai rata-rata median TSS (3 mg/l) dan ph (7,1) di oulet lebih rendah dibandingkan dengan TSS (4 mg/l) dan ph (7.9) di inlet pada tahun Konsentrasi BOD di outlet (7,85 mg/l) lebih rendah dibandingkan dengan konsentrasi rata-rata median BOD (8,75) di inlet pada tahun 2005 (Lampiran 1). Walaupun ada parameter pada tahun yang berbeda tersebut menunjukkan adanya perbedaan nyata (α=0,05) namun hal tersebut tidak menggambarkan hasil keseluruhan tentang kualitas air waduk. Dari Tabel 8 hanya sekitar 6,25 % data yang menunjukkan ada perbedaan nyata. Kualitas air yang tidak berbeda nyata secara statistik (α=0,05) sebelum dan sesudah dimanfaatkan oleh PLTA menunjukkan bahwa PLTA Saguling dalam kegiatan operasionalnya tidak menurunkan kualitas air. Hasil uji T terhadap kualitas air di inlet dan outlet PLTA Cirata secara umum menunjukkan kualitas air di PLTA Cirata di outlet sama dengan kualitas air di inlet. Perbedaan secara nyata (α=0,05) kualitas air di inlet dan outlet hanya terlihat pada konsentrasi TDS pada tahun 2010 dan phosfat pada tahun 2009.

18 83 Tabel 9 Hasil uji T kualitas air di PLTA Cirata Parameter P-Value Tahun Suhu 0,391 0,406 0,467 0,989 0,074 0,134 TDS 0,116 0,759 0,217 0,163 0,110 0,007 TSS 0,225 0,401 0,886 0,372 0,375 0,577 ph 0,532 0,118 0,623 0,139 0,097 0,059 H 2 S 0,391-0,227 0,333 0,459 0,193 - NO 3 0,381 0,198 0,759 0,310 0,627 0,284 PO4-3 _ 0,103 0,153 0,571 0,722 0,034 0,470 DO 0,861 0,779 0,373 0,192 0,018 0,832 COD 0,960 0,904 0,207 0,781 0,080 0,638 BOD 0,892 0,378 0,348 0,692 0,096 0,521 Fe 0,319 0,389 0,735 0,428 0,108 0,541 Ket: nilai P < 0,05 maka H 0 ditolak (sumber : Siregar 2004) ; - : tidak ada data Konsentrasi rata-rata median TDS (150 mg/l) di outlet Cirata pada tahun 2010 lebih tinggi dibandingkan konsentrasi TDS (112 mg/l) di inlet. Konsentrasi phosfat (0,26 mg/l) di outlet lebih tinggi dibandingkan di inlet (0,23 mg/l) pada 2009 sebagaimana tertera pada Lampiran 2. Walaupun terdapat dua parameter pada tahun yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan nyata namun hal tersebut tidak menggambarkan hasil keseluruhan tentang kualitas air waduk atau hanya sekitar 3,08 % data yang menunjukkan ada perbedaan nyata. Dengan demikian kualitas air tidak berbeda nyata secara statistik (α=0,05) sebelum dan sesudah dimanfaatkan oleh PLTA Cirata. Hal ini menunjukkan bahwa PLTA Cirata dalam kegiatan operasionalnya tidak menurunkan kualitas air. Analisis hasil uji T memperlihatkan secara statistik kualitas air (kelas IV) di inlet dan outlet PLTA Saguling dan PLTA Cirata tidak berbeda nyata (α=0,05). Proses konversi energi potensial air sungai menjadi energi mekanik kemudian energi listrik di pembangkit tidak ada indikasi adanya tambahan material dalam kegiatan konversi energi tersebut. Sehingga air yang keluar dari turbin pembangkit listrik tenaga air tidak menambah beban lingkungan. Air yang keluar dari turbin PLTA bukan merupakan sisa kegiatan PLTA (Penjelasan pasal 38 ayat 1 dari PP Nomor 82/2001). Berdasarkan data sebaran kualitas air di Waduk Saguling dan Citara secara keseluruhan masih di bawah ambang batas dari baku mutu untuk Kelas 4 (PP No.82/2001), kecuali untuk parameter Biological Oxygen Demand (BOD).

19 84 Biological Oxygen Demand (BOD) atau kebutuhan oksigen biologis merupakan jumlah oksigen yang diperlukan agar bahan buangan yang ada di dalam air dapat diurai oleh mikroorganisma. Dinamika kualitas air inlet di Waduk Saguling untuk parameter BOD tahun 2005, tahun 2007 hingga tahun 2010 adalah kurang baik. Sebaran konsentrasi BOD telah melewati ambang batas dari baku mutu untuk Kelas 4 (Lampiran 5). Hal tersebut juga terjadi di waduk di PLTA Cirata. Dinamika kualitas air BOD di waduk di Cirata telah melewati ambang baku mutu Kelas 4 dari PP No. 82/2001 pada tahun 2005, 2006, dan 2008 (Lampiran 6). Perairan yang memiliki nilai BOD yang tinggi tidak cocok bagi kepentingan perikanan dan pertanian. PLTA harus memperhatikan dinamika kualitas air baik di inlet dan outlet, sebelum dan sesudah dimanfaatkan oleh PLTA. Sesuai dengan komitmen manajemen puncak untuk selalu memenuhi ketentuan yang berlaku dan mencegah terjadinya polusi dan kerusakan lingkungan yang diikuti dengan melakukan perbaikan secara berkelanjutan. Evaluasi kualitas air terhadap pemenuhan regulasi (audit internal maupun tinjauan manajemen) tidak hanya difokuskan dampak kualitas air terhadap operasional PLTA, PLTA sebagai pemanfaat sumberdaya perlu memperhatikan keseimbangan ekosistem antara wilayah hulu dan hilir baik dalam aspek ekonomi dan pelestarian lingkungan sehingga multifungsi air tetap dapat dipertahankan. Konsentrasi Fe meskipun tidak ditetapkan persyaratan baku mutunya dalam PP No. 82/2001, Fe yang teroksidasi di dalam air berwarna kecoklatan dan tidak dapat larut dapat mengakibatkan penggunaan air menjadi terbatas untuk keperluan fungsi lainnya. Selain itu diketahui bahwa air yang terdapat pada waduk di PLTA Saguling dan Cirata digunakan juga untuk aktivitas lain seperti untuk kegiatan budidaya keramba jaring apung (KJA). Aktivitas KJA merupakan salah satu bentuk untuk mengurangi dampak sosial ekonomi saat pendirian PLTA dan pembangunan waduk dengan jumlah maksimum yang ditetapkan. Sisa limbah pakan ikan dari kegiatan KJA akan menurunkan kualitas air waduk. Peningkatan kontentrasi nitrat dan phosfat dapat terjadi karena masuknya bahan pencemar yang mengandung unsur N dan P seperti dari pakan ikan. Limbah yang berasal dari KJA (tahun ) di Waduk Saguling mengandung kg N dan

20 kg P, dan di Waduk Cirata mengandung kg N dan kg P (Garno 2002). Sementara peningkatan jumlah KJA terus meningkat hingga berjumlah 7209 petak unit pada tahun 2010 di Waduk Saguling dan sebanyak unit di Waduk Cirata. Jumlah ini telah melewati kapasitas daya dukung waduk. Daya dukung Waduk Saguling hanya dapat menampung 4514 unit petak KJA (Maulana 2010), sedangkan daya dukung Waduk Cirata dapat menampung sebanyak unit petak KJA (Hapsari 2010). Hal penting lainnya adalah keberlangsungan fungsi waduk juga tergantung pada kondisi keadaan lahan di sekitar daerah tangkapan air (DTA). Berbagai penggunaan lahan sebagaimana diuraikan dalam analisis perubahan penutupan lahan lahan dapat menghasilan berbagai bahan pencemar atau limbah yang akan mengalir ke perairan waduk. Hal ini dapat memberikan dampak negatif terhadap lingkungan perairan waduk. Adanya dinamika kualitas air di kedua waduk tersebut menunjukkan bahwa PLTA tidak bisa berhenti melakukan pengendalian terhadap kualitas air yang akan dimanfaatkannya meskipun secara statistik kualitas air waduk di wilayah PLTA Saguling dan Cirata masih sesuai untuk keperluan operasional PLTA. Pendekatan sukarela untuk perlindungan lingkungan dan sumberdaya air perlu ditunjukkan dengan adanya konsistensi untuk mempertahankan kualitas air dan melebihi (beyond) ketentuan dan persyaratan yang berlaku atau yang ditetapkan pihak yang berwenang. Selain itu, keberlanjutan sumberdaya air juga berarti keberlanjutan operasional PLTA itu sendiri. Walaupun pelestarian kualitas air inlet PLTA, terutama di bagian hulu, di luar kendali manajemen PLTA, manajemen PLTA harus mengkomunikasikan kepada stakeholder terkait yang memanfaatkan dan/atau berkepentingan terhadap sumberdaya air waduk Kualitas Air PLTA Tanggari I dan II Hasil uji T terhadap kualitas air di inlet dan outlet PLTA Tanggari I dapat dilihat pada Tabel 10. Hasil uji T menunjukkan bahwa secara umum kualitas air di outlet sama dengan kualitas air di inlet. Perbedaan secara nyata (α=0,05) pada kualitas air di inlet dan outlet berdasarkan hasil uji T hanya terlihat pada konsentrasi BOD pada tahun 2006 dan COD pada tahun 2009.

21 86 Tabel 10 Hasil uji T kualitas air di wilayah PLTA Tanggari I Parameter P-Value Tanggari I Suhu 0,500 0,252 0,224-0,151 0,675 TDS 0,500 1,000 0,055 0,143 0,116 0,779 TSS 0,305 0,642 0,295 0,062 0,387 0,170 ph - 0,391 0,090 0,238 0,209 0,570 H 2 S - - 0,393-0, NO 3 0,063 0,391 0,483 0,236 0,478 0,313-3 PO 4-0, ,807 DO COD 0,514 0,206 0,248 0,134 0,013* - BOD 0,823 0,048* 0,340 0,204 0,379 - Fe - 0,100 0,346-0,232 0,604 Ket: nilai P < 0,05 maka H 0 ditolak (sumber : Siregar 2004) ; - : tidak ada data Pada tahun 2005, konsentrasi rata-rata median BOD ( 5,93 mg/l) di oulet lebih rendah dibandingkan dengan BOD (6,01 mg/l) di inlet. Sedangkan konsentrasi rata-rata median COD (11,35 mg/l) di outlet lebih tinggi dibandingkan dengan COD (10,40 mg/l) di inlet pada tahun 2009 sebagaimana tertera pada Lampiran 3. Walaupun dua parameter yang pada tahun yang berbeda tersebut menunjukkan adanya perbedaan nyata namun hal tersebut tidak menggambarkan hasil keseluruhan tentang kualitas air waduk atau hanya sekitar 4,35 % data di wilayah PLTA Tanggari I yang menunjukkan ada perbedaan nyata (α=0,05). Kualitas air di Tanggari I tidak berbeda nyata secara statistik (α=0,05) sebelum dan sesudah dimanfaatkan oleh PLTA, menunjukkan bahwa PLTATanggari I dalam kegiatan operasionalnya tidak menurunkan kualitas air sungat yang dimanfaatkannya. Hasil uji T terhadap kualitas air di inlet dan outlet PLTA Tanggari II dapat dilihat pada Tabel 11. Hasil uji T menunjukkan bahwa secara umum kualitas air di PLTA Tanggari II di outlet sama dengan kualitas air di inlet. Berdasarkan hasil uji T perbedaan secara nyata (α=0,05) kualitas air di inlet dan outlet hanya terlihat pada suhu dan COD pada tahun 2006, dan ph, BOD, NO -2 3 pada tahun Tabel 11 Hasil uji T kualitas air di wilayah PLTA Tanggari II Parameter P-Value Suhu 0,156 0,036 0,346 0,706 0,443 0,878 TDS 0,070 0,008 0,241 0,202 0,456 0,626

22 87 TSS - 0,071 0,387-0,313 0,082 ph 0,500 0,474-0,005 0,092 0,339 H 2 S , NO 3 0,698 0,718-0,002 0,171 0,949-3 PO ,252 DO COD 0,358 0,121 0,123 0,237 0,391 - BOD 0,218 0,383 0,689 0,036 0,391 - Fe - 0,252 0,929-0,656 0,064 Ket: nilai P < 0,05 maka H 0 ditolak (sumber : Siregar 2004) ; - : tidak ada data Konsentrasi rata-rata median pada tahun 2006 COD (25,85 mg/l) di oulet Tanggari II adalah lebih tinggi dibandingkan COD (22,5 mg/l) di inlet. Sementara pada tahun 2008, konsentrasi rata-rata median di outlet Tanggari II untuk NO -2 3, BOD dan ph lebih rendah dibandingkan di inlet sebagaimana terlihat pada Lampiran 4. Dengan demikian Kualitas air di Tanggari II secara umum tidak berbeda nyata secara statistik (α=0,05) sebelum dan sesudah dimanfaatkan oleh PLTA. Hal ini menunjukkan bahwa PLTA dalam kegiatan operasionalnya tidak menurunkan kualitas air sungai yang dimanfaatkannya. Secara keseluruhan kualitas air di inlet PLTA Tanggari I dan Tanggari II masih di bawah ambang batas dari baku mutu untuk Kelas 4 dari PP No.82/2001 sebagaimana ditunjukkan pada Lampiran 7 dan 8. Namun demikian dinamika kualitas air parameter COD dan Fe di PLTA Tanggari I dan Tanggari II cenderung lebih tinggi di wilayah outlet dibandingkan di wilayah inlet meskipun tetap masih di bawah baku mutu untuk Kelas 4 (PP No.82/2001). Adanya kecenderungan konsentrasi COD dan Fe yang selalu lebih tinggi di wilayah outlet dibandingkan dengan di inlet perlu di evaluasi lebih lanjut oleh manajemen PLTA. Dinamika konsentrasi COD di outlet Tanggari I dan II (Gambar 19 dan 20) juga cenderung lebih tinggi dibandingkan di wilayah inlet mungkin disebabkan adanya aktivitas pemakaian bahan pelumas dalam pemeliharaan peralatan pembangkit yang relatif tua (tahun 1984 dan tahun 1987). Kenaikan konsentrasi besi kemungkinan terjadi karena adanya korosi pada mesin yang sudah relatif lama (berumur kurang lebih 26 tahun). Konsentrasi Fe yang melebihi 0,3 ppm dapat menyebabkan air bersifat toksik (Krismono et al. 1987, Kartamihardjo et al. 1987).

23 COD (mg/l) COD_in COD_out Tahun Gambar 19 Nilai median konsentrasi COD inlet-outlet di PLTA Tanggari I 30 tahun COD (mg/l) COD_in COD_out Tahun Gambar 20 Nilai median konsentrasi COD inlet-outlet di PLTA Tanggari II tahun Selain itu air sungai Tondano juga digunakan untuk aktivitas lainnya. Oleh karena itu PLTA tetap harus memperhatikan kelestarian sumberdaya air tersebut sehingga multifungsi sumberdaya air tetap terpelihara. Keberlanjutan sumberdaya air juga berarti keberlanjutan operasional PLTA. 4.4 Institusi dan Regulasi Terkait Pengelolaan Sumberdaya Air PLTA Mengacu pada kebijakan dan perencanaan pengelolaan sumberdaya air, PLTA melakukan serangkaian program lingkungan dengan melakukan perlindungan terhadap sumberdaya air secara berkelanjutan. Titik fokus kegiatan

24 89 konservasi sumberdaya air yang dilakukan PLTA yaitu pertama untuk menahan aliran permukaan (run-off) yang sebesar-besarnya dan memberi kesempatan selama-lamanya air untuk masuk ke dalam tanah (infiltrasi) atau tertahan di muka tanah di daerah aliran sungai bagian hulu. Serangkian program lingkungan untuk melindungi sumberdaya air secara berkelanjutan dilakukan melalui program penghijauan di wilayah Green Belt Waduk PLTA hingga daerah batas konstruksi. Pengelolaan vegetasi ini mempengaruhi waktu dan penyebaran aliran air, sehingga wilayah yang ditanami dapat menyimpan air selama musin hujan dan melepaskannya pada musim kemarau (Asdak, 2010). Kemampuan vegetasi menangkap butir air hujan sehingga energi kinetik terserap dalam tanaman dan tidak langsung ke tanah juga akan untuk memperkecil laju erosi (Suripin, 2001). PLTA Saguling menanam pohon di areal seluas ha sebagaimana ditetapkan Roadmad Program Penghijauan tahun Jenis pohon yang ditanam adalah pohon buah-buahan, kopi, aren dan jarak. PLTA Cirata mulai tahun 2003 hingga 2011 (dikelola oleh BPWC) telah menanam sebanyak pohon dengan jenis tanaman buah-buhan, aren dan kayuan seperti mahoni, mindi, angsana, karet dan trambesi. PLTA Tanggari I dan II memiliki program pohon per tahun. Penghijauan di wilayah DAS (Green Belt) Waduk PLTA belum menunjukkan pencapaian tujuan konservasi sumberdaya air secara signifikan dibandingkan dengan penurunan daya dukung lingkungan akibat tingginya perubahan tutupan di wilayah hulu PLTA. Untuk mencapai tujuan perlindungan sumberdaya alam dan lingkungan, pendekatan voluntari memberi fleksibilitas untuk mengembangkan cara untuk mencapai perlindungan lingkungan yang tentu saja memperhitungan aspek ekonomi dan sosial dan secara teknis dapat dilakukan. Pengendalian kualitas maupun kuantitas air sungai (waduk) tidak bisa dikendalikan sendiri. Pemanfaataan sumberdaya air yang notabene sebagai barang publik meminta PLTA perlu memahami perspektif dan concern stakeholder yang memiliki kepentingan terhadap ekosistem dan sumberdaya air. Selain itu, strategi dan teknik operasional pelaksanaannya harus mengacu pada regulasi yang telah ditetapkan. Pemetaan tingkat pengaruh dan kepentingan stakeholder dijadikan sebagai dasar membangun kelembagaan terkait pengelolaan sumberdaya air

25 PLTA. Sementara tinjauan regulasi (legal review) dijadikan dasar pelaksanaan pengelolaan sumberdaya air PLTA yang taat aturan Stakeholder dalam Pengelolaan Sumberdaya Air PLTA Stakeholder yang teridentifikasi terkait dengan pengelolaan sumberdaya air PLTA meliputi Kementerian Kehutanan, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian ESDM, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Perhutani/HTI, PLN, Dinas Kehutanan, Dinas Pekerjaan Umum, Perusahaan Pengguna, Masyarakat, Pemerintah Daerah, Investor, P3B dan LSM. Hasil justifikasi pakar mengenai tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholder terhadap pencapaian program pengelolaan sumberdaya air di PLTA ditunjukkan pada Tabel 12. Tabel 12 Matrik analisis stakeholder perlindungan sumberdaya air di PLTA Pemangku kepentingan Tingkat Tingkat Kepentingan Pengaruh Kementerian Kehutanan Tinggi Tinggi Kementerian Pekerjaan Umum Tinggi Tinggi Perhutani/HTI Tinggi Tinggi Kementerian ESDM Tinggi Tinggi Kementerian Kelautan dan Perikanan PLN Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) PLTA Dinas Kehutanan Dinas Pekerjaan Umum Kementerian Pertanian DPRD Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Rendah Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Rendah Rendah Rendah Tinggi Perusahaan pengguna Tinggi Rendah Masyarakat Tinggi Rendah Pemerintah Daerah Rendah Tinggi Investor Rendah Tinggi LSM P3B Sumber : data primer dari justifikasi pakar Rendah Rendah Rendah Rendah Hasil pendapat pakar mengenai besarnya tingkat kepentingan dan pengaruh masing-masing stakeholder dipetakan dalam empat kuadaran yaitu kuadaran I, II, III, dan IV yang menunjukan posisi kepentingan dan pengaruh masing-masing stakeholder. Melalui pemetaan ini, dapat diketahui peran masing-masing

26 91 stakeholder. Adapun posisi setiap stakeholder berdasarkan hasil pemetaan digambarkan seperti pada Gambar Stakeholders Primer PLTA PLN (Persero) Perusahaan Pengguna Dinas LH Perhutani Dishut Dinas PU Kemenhut Kementerian PU Kementerian ESDM Kepentingan Masyarakat Stakeholders Sekunder Kementan Kementerian KP KLH DPRD Investor LSM Pemda P3B 1.00 Stakeholders Eksternal Pengaruh Gambar 21 Pemetaan para pemangku kepentingan PLTA berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruhnya. Gambar 21 menunjukkan bahwa terdapat 3 kelompok pemangku kepentingan (stakeholder) terkait pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela. Ketiga kelompok pemangku kepentingan tersebut adalah stakeholder primer, stakeholder sekunder dan stakeholder eksternal. Stakeholder primer (primary stakeholders) atau stakeholder kunci memiliki tingkat kepentingan tinggi dengan pengaruh yang relatif lebih rendah dalam proses penentuan kebijakan. Stakeholder sekunder (secondary stakeholders) memiliki tingkat kepentingann dan pengaruh dalam proses penentuan kebijakan dengan proporsi relatif sama. Sementara stakeholder ekternal (external stakeholders) memiliki tingkat

27 92 kepentingan relatif lebih rendah dengan pengaruh yang tinggi dalam proses penentuan kebijakan. Stakeholder kunci terdiri dari Kementerian Kehutanan, PLN (Persero), PLTA, Perhutani/HTI, Dinas LH, Dinas Kehutanan, Dinas PU, Perusahaan Pengguna dan masyarakat. Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menjadi pihak yang memiliki pengaruh dan tingkat kepentingan tertinggi. Hal ini diterkait mungkinkan karena aspek pengelolaan sumberdaya air sangat dekat dengan wilayah hulu DAS yang sebagian besar merupakan kawasan hutan yang menjadi tupoksi Kemenhut. Kemenhut menjadi pihak yang paling berpengaruh dalam proses penyusunan kebijakan strategis terkait pengelolaan sumberdaya air PLTA, karena output kebijakan Kemenhut mampu menjangkau semua pihak terkait. Pada kelompok tengah stakeholder primer (kunci), PLTA menjadi pihak yang paling berkepentingan, sehingga harus menjadi pihak yang proaktif pada tataran operasional. PLTA perlu melakukan komunikasi eksternal dan kerjasama dengan stakeholder kunci lain agar program perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air PLTA tercapai. Stakeholder yang memenuhi kriteria tersebut yaitu Kemenhut, PLN dan Perhutani di tataran pusat, serta Dinas LH, Dinas Kehutanan, Dinas PU, perusahaan pengguna, dan masyarakat pada tataran daerah. Sementara masyarakat menjadi pihak kunci yang berkepentingan, tetapi memiliki pengaruh yang relatif rendah. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat merupakan pihak kunci yang lebih banyak menerima dampak kebijakan pengelolaan sumberdaya air. Oleh karena itu, setiap proses penyusunan dan pengambilan kebijakan tetap harus melibatkan masyarakat yang akan menjadi objek penerima dampak di tataran hilir pelaksanaan kebijakan. PLTA harus melibatkan masyarakat agar dapat berpartisipasi secara aktif dalam pelaksanaan kebijakan pada tataran operasional. Program lingkungan yang tidak melibatkan masyarakat tidak akan berhasil. Mereka banyak bergantung pada sumberdaya alam di wilayah ini untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Kepentingan masyarakat lebih dipengaruhi oleh kebutuhan mereka akan kelestarian sumberdaya untuk menopang hidup mereka. Masyarakat sebagian besar bersedia lahannya dijadikan lahan untuk rehabilitasi (Sundawati & Sanudin 2009).

28 93 Kementerian PU, Kementerian ESDM, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Lingkungan Hidup menjadi institusi pusat yang bisa mendukung program pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela. Hal ini disebabkan, semua institusi pusat ini berada pada kuadran stakeholder sekunder. Pada kuadran ini juga terdapat DPRD dan Pemda sebagai lembaga daerah yang bisa mendukung keberhasilan program. Sementara pihak swasta yang berada pada kuadran ini adalah pihak investor. Kelompok ini penting untuk mendukung program konservasi SDA namum perlu pemberdayaan dalam tataran operasional. PLTA harus mengajak dan meminta dukungan pihakpihak tersebut. Pemda dan investor patut diajak kerjasama dalam tataran operasional. Pemda berperan sebagai fasilitator dan pemberian izin yang terkait dengan program lingkungan. Investor meskipun memiliki tingkat kepentingan yang rendah namun penting diperhatikan karena memiliki tingkat pengaruh dalam pembentukan opini green product PLTA di pasar internasional. LSM dan Pusat Penyaluran dan pengatur Beban (P3B) memiliki tingkat kepentingan dan pengaruh yang relatif rendah dalam konservasi sumberdaya air. PLTA perlu memperhatikan kebutuhan P3B terkait dengan kebutuhan energi listrik yang dibuutuhkan. LSM dapat diajak untuk membantu memberikan advokasi dan pelatihan kepada masyarakat. PLTA perlu mengembangkan upaya untuk membangun potensi kolaborasi yang dapat dikembangkan dari stakeholder ini. Upaya konservasi sumberdaya air tidak dapat dikerjakan sendiri, tetapi membutuhkan upaya bersama dari berbagai pihak. Sebagai pihak yang memanfaatkan sumberdaya air, PLTA perlu mengetahui tipikal dan concern masing-masing stakeholder guna menetapkan kunci keberhasihan. Secara umum stakeholder memiliki perhatian lebih pada kredibilitas dan kemudahan aksesibilitas data, dan ingin mengetahui apakah tujuan pengelolaan sumberdaya air PLTA sesuai dengan strategi lingkungan mereka. Komunikasi eksternal perlu dilakukan lebih intensif dengan pemangku kepentingan guna keberhasilan program lingkungan PLTA dan memperoleh akseptasi mereka Tinjauan Regulasi dalam Pengelolaan Sumberdaya Air PLTA

29 94 Peraturan perundang-undangan yang diacu oleh ke-empat PLTA dalam melakukan perlindungan sumberdaya air pada tahap operasional adalah Undangundang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air, PP Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, dan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor KEP-02/MENKLH/I/1988 tentang Penetapan Baku Mutu Lingkungan. Selain itu, terkait pengelolaan dan perlindungan kawasan yang lebih luas (DAS hulu PLTA), PLTA juga harus megacu pada UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Secara umum UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air terdiri dari 3 komponen utama yaitu konservasi, pemanfaatan dan pengendalian daya rusak air. Hal ini menunjukkan bahwa untuk melakukan pengelolaan waduk dengan melakukan konservasi, pemanfaatan, pengendalian daya rusak air. Berdasarkan UU ini, penetapan kebijakan pengelolaan sumberdaya air berada pada pemerintah sesuai dengan wilayah penyebarannya. Wilayah sungai yang melintasi provinsi menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, wilayah sungai yang melintasi kabupaten/kota menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi, dan wilayah sungai yang hanya ada di kabupaten/kota menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Sementara PP Nomor 42 Tahun 2008, memberikan kewenangan kepada Dinas pada tingkat provinsi untuk membantu wadah koordinasi pengelolaan sumberdaya air pada wilayah sungai-sungai lintas kabupaten/kota dalam penyusunan rancangan pola pengelolaan sumberdaya air. Hal ini sejalan dengan arahan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemda Provinsi, dan Pemda Kabupaten/Kota yang mengatur kewenangan otonomi daerah. Pengelolaan DAS Citarum di mana PLTA Saguling dan Cirata berada yang melintasi dua kabupaten, menurut UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan tanggung jawab pemerintah

30 95 provinsi. Sementara DAS Tondano di mana PLTA Tanggari I dan II berada dalam satu kabupaten yang sama. Sebagai langkah antisipasi, UU Nomor 7 Tahun 2009 ini juga melarang berbagai pihak untuk melakukan kegiatan yang bisa mengakibatkan daya rusak air. Selain itu, UU ini juga memberi peluang kepada masyarakat untuk terlibat dalam proses penentuan kebijakan terkait pengelolaan sumberdaya air sekaligus memperoleh manfaat dari pengelolaannya. Berbagai peran masyarakat terhadap pengelolaan lingkungan juga diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 yang tentu saja terkait dengan pengelolaan sumberdaya air sebagai salah satu aspek dari lingkungan. Kebijakan lain terkait pengelolaan sumber daya air adalah pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran yang diatur dalam PP Nomor 82 Tahun 2001 dan PP No 42 Tahun Pengelolaan kualitas air tersebut dilakukan dengan cara memperbaiki kualitas air pada sumber air dan prasarana sumberdaya air. Perbaikan kualitas air pada sumber air dan prasarana sumberdaya air sendiri diatur untuk dilakukan Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai wewenang dan tanggung jawabnya. Sementara itu, penerapan konsep daya dukung dan daya tampung lingkungan perlu diimplementasikan dalam pengelolaan sumberdaya air, karena merupakan bagian dari aspek lingkungan. Hal ini ditegaskan dalam UU Nomor 32 Tahun Pengelolaan yang terkait kawasan lindung dan budidaya yang berada pada wilayah PLTA diatur dalam UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. UU ini mengatur juga tentang pembangunan berkelanjutan dengan mendefinisikan keberlanjutan dalam konteks penataan ruang adalah diselenggarakan dengan menjamin kelestarian dan kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan dengan memperhatikan kepentingan generasi mendatang. Selain itu, kondisi kualitas lingkungan fisik dapat dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan, termasuk pula antisipasi untuk mengembangkan orientasi ekonomi kawasan setelah habisnya sumber daya alam tak terbarukan. Terkait dengan pemenuhan peraturan perundang-undangan yang berlaku, PLTA berkomitmen untuk melakukan konservasi sumberdaya air sesuai dengan konsepsi yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang

31 96 Sumberdaya Air, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air, Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, dan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor KEP- 02/MENKLH/I/1988 tentang Penetapan Baku Mutu Lingkungan. Konservasi air ditujukan untuk meningkatkan volume air, meningkatkan efisiensi penggunaannya, memperbaiki kualitas sesuai dengan peruntukkannya, dan menjaga keberlanjutan kemampuan sumberdaya air untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Gambaran berbagai hal tentang perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air dari aspek regulasi tersebut harus menjadi acuan dalam melakukan implementasi kebijakan. Kondisi saat ini pada empat PLTA yang diteliti, masih terjadi penurunan kualitas air akibat pemanfaatannya sebagai pembangkit tenaga listrik. Hal ini terlihat dari hasil analisis deskriptif kualitas air pada inlet dan outlet PLTA yang masih menunjukkan adanya penurunan kualitas air setelah dimanfaatkan. Hal ini bertentangan dengan ketentuan regulasi yang melarang kegiatan yang bisa menyebabkan daya rusak air, termasuk penurunan kualitasnya. Selain itu, pada sisi pengelolaan masih terjadi konflik kepentingan dan lemahnya koordinasi antar berbagai stakeholder terkait sumberdaya air. Hal ini bisa menghambat pencapaian pengelolaan sumberdaya air secara berkelanjutan. Masyarakat dan pihak swasta lainnya yang diberi peluang untuk mendapat manfaat dari sumberdaya air juga masih melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Salah satunya pemanfaatan badan air waduk/genangan untuk kegiatan budidaya ikan KJA. Saat ini, sudah terjadi pemanfaatan Waduk Cirata dam Saguling untuk budidaya ikan KJA yang melampaui batas daya dukung dan daya tampung lingkungannya. Selain itu, ada juga pemanfaatan waduk untuk budidaya ikan KJA yang tidak sesuai zonasi peruntukannya. Berbagai kesenjangan antara regulasi yang harus ditaati dengan kondisi saat ini di lapangan menjadi gap yang harus dikurangi hingga dihilangkan. Hal ini bisa dilakukan dengan melakukan penaatan terhadap berbagai peraturan yang

32 97 telah ditetapkan, serta inisiatif sukarela dari stakeholder guna mengimplementasikan kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air. 4.5 Nilai Jasa Lingkungan Sumberdaya Air PLTA Perusahaan akan mengembangkan suatu program, bila benefit yang diperoleh lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Benefit akibat perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air diperoleh dari jasa yang diberikan ekosistem air yang terlindungi. Jasa ekosistem memberikan use value dan non -use value. Use value terdiri atas direct use value, indirect use value dan option value. Non-use value terkait dengan existence value. Nilai ekonomi dari akibat perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air mempertimbangkan seluruh value yang dikandung dari program tersebut jarang sekali dihitung. Berkaitan dengan program pelestaraian sumberdaya air di PLTA, dilakukan analisis valuasi ekonomi akibat program lingkungan dengan mengambil kasus di PLTA Saguling. Analisis data menggunakan pendekatan Total Economic Value (TEV) yaitu analisis kebijakan untuk menilai manfaat lingkungan secara ekonomis dengan menggabungkan unsur dari berbagai disiplin ilmu yang bersifat deskriptif, valuatif dan normatif. Nilai lingkungan tidak hanya bergantung pada nilai pemanfaatan langsung, namun juga pada seluruh fungsi sumberdaya lain yang memberi nilai (ekonomis dan non ekonomis) yang setinggi-tingginya. Model ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pemanfaataan sumberdaya yang dapat diukur secara nyata berdasarkan tolok ukur nilai moneter. Potensi benefit use value dihitung dari market output yang langsung terkait dengan PLTA yaitu nilai produksi listrik, market output tidak langsung dengan PLTA akibat dampak positif dari program lingkungan yang dilakukan PLTA, yaitu nilai produksi ikan, unprices benefit dihitung dari nilai ekowisata, serta ecological function value dihitung dari potensi nilai karbon dari program penghijauan, cadangan air tanah, dan cadangan air waduk. Sedangkan non-use terdiri atas option value, bequest value dan existence value yang dinilai melalui nilai pasar.

33 4.5.1 Nilai Ekonomi Total Jasa Lingkungan Sumberdaya Air PLTA Saguling dan Cirata di Provinsi Jawa Barat Nilai ekonomi total jasa lingkungan sumberdaya air PLTA di Provinsi Jawa Barat terdiri dari nilai guna langsung (direct use value), nilai guna tidak langsung (indirect use value), dan nilai bukan guna (non-use value). Nilai guna langsung terdiri dari nilai produksi listrik, nilai produksi ikan, dan nilai ekowisata. Sementara nilai guna tidak langsung yang juga merupakan nilai fungsi ekologis (ecological function value) terdiri dari nilai serapan karbon, nilai cadangan air tanah, dan nilai cadangan air waduk. Sementara nilai bukan guna terdiri dari nilai pilihan dan nilai kelestarian. 98 A. PLTA Saguling Nilai Guna Langsung Nilai Produksi Listrik Nilai produksi listrik merupakan keuntungan yang bisa diperoleh dari penjualan energi listrik yang diproduksi oleh PLTA. Nilai keuntungan ini ditentukan oleh jumlah produksi listrik yang bisa dijual dikurangi biaya produksinya. Produksi listrik PLTA Saguling setiap tahunnya sebesar GWh. Berdasarkan statistik listrik PLN, harga jual rata-rata per kwh sebesar Rp 591,11 dengan biaya produksi Rp 463, maka bisa diperoleh keuntungan sebesar Rp atau Rp 276 milyar setiap tahunnya. Nilai Ekonomi Produksi Ikan Usaha KJA Nilai ekonomi produksi ikan yang berasal dari usaha keramba jaring apung (KJA) merupakan keuntungan yang bisa diperoleh dari penjualan ikan hasil budidaya setiap tahunnya. Nilai keuntungan ini ditentukan oleh jumlah KJA, jumlah produksi ikan, harga jual ikan, dan biaya usaha budidaya yang dikeluarkan. Berdasarkan data pada Waduk Saguling terdapat unit KJA (Maulana 2010) dengan rata-rata produksi 2 ton per tahun ikan mas dan ikan nila setiap unitnya. Harga jual ikan mas berkisar sebesar Rp per kg dan harga jual ikan nila sebesar Rp per kg. Jika biaya produksi yang dikeluarkan Rp per unit KJA setiap

34 99 tahunnya, maka bisa diperoleh keuntungan sebesar Rp atau Rp 233,08 milyar setiap tahunnya. Nilai Ekonomi Kegiatan Ekowisata Nilai ekonomi ekowisata di Waduk Saguling dihitung dari besarnya biaya perjalanan wisata yang dikeluarkan oleh setiap pengunjung yang datang setiap tahunnya. Pengunjung yang datang umumnya wisatawan transit ke wilayah ini dan rata rata hanya berkunjung 1 kali dalam setahun. Biaya Pengeluaran terdiri atas biaya transportasi dan biaya akomodasi dan konsumsi. Dari hasil kuesioner diperoleh bahwa biaya rata rata transportasi sebesar Rp ,- dan biaya akomodasi dan konsumsi sebesar Rp ,-. Jadi biaya Pengeluaran sebesar Rp ,-/orang. Berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan diperoleh data bahwa ratarata pengunjung yang datang ke waduk Saguling pada hari-hari biasa (Senin-Jumat) berkisar 10 orang, sedangkan pada hari libur seperti hari Sabtu dan Minggu dapat mencapai 20 orang pengunjung. Dari data tersebut diketahui jumlah pengunjung rata-rata 4 orang per hari atau pengunjung per tahun. Nilai ekonomi wisata di sekitar Waduk Saguling yaitu sebesar Rp x pengunjung = Rp 217, 54 juta = Rp. 0,217 milyar setiap tahunnya. Nilai Guna Tidak Langsung Nilai Ekonomi Penghijaun (Serapan Karbon) Nilai ekonomi penyerapan karbon dapat dihitung berdasarkan besarnya kandungan karbon yang tersimpan di dalam vegetasi hutan yang dikonversikan dalam nilai finansial. Menurut Brown dan Peaece (1994) dalam Widada (2004), hutan alam primer, hutan sekunder, dan hutan terbuka memiliki kemampuan menyimpan masing-masing karbon sebesar 283 ton per hektar, 194 ton per hektar, dan 115 ton per hektar. Setiap 1 ton karbon dapat dihargai dengan nilai finansial yang berkisar antara $1 US sampai $28 US (Soemarwoto, 2001). Berdasarkan data ini, maka nilai ekonomi penyerapan karbon di kawasan hutan sekitar Waduk Saguling dapat dihitung. Untuk menghindari penilaian yang terlalu tinggi atau terlalu

35 100 rendah, maka nilai finansial yang diambil adalah nilai tengah dari yang ditetapkan oleh Soemarwoto yaitu sebesar $19 US per ton. Nilai ekonomi penyerapan karbon di sekitar Waduk Saguling, dapat dihitung dengan asumsi sebagai berikut 1. Luas kawasan hutan di sekitar Waduk Saguling hektar dimana keseluruhan merupakan hutan sekunder. 2. Satu hektar hutan sekunder di kawasan hutan sekitar Waduk Saguling menyimpan karbon sebesar menyimpan karbon sebesar 194,00 ton karbon. 3. Nilai karbon sebesar $US 19 per ton dimana untuk $US 1 = Rp 9.425,85 Adapun nilai ekonomi serapan karbon di kawasan Waduk Saguling adalah = 1403 ha x 194,00 ton x $US 19 x Rp. 9425,85 = Rp 35,57 milyar setiap tahunnya. Nilai Cadangan Air Tanah Jumlah cadangan air tanah di DAS Saguling pada dasarnya merupakan sumber utama bagi air permukaan yang mengalir di Sungai Citarum hulu. Secara tidak langsung air ini juga menjadi pemasok utama pembangkit listrik PLTA Saguling. Sehingga cadangan air tanah ini memiliki potensi ekonomi setara dengan jumlah pembangkitan energi listrik yang bisa dihasilkannya. Besarnya potensi tersebut bisa dihitung dari volume air input yang berasal dari curah hujan di seluruh DAS, dikurangi yang mengalir di air permukaan (run off) dan penguapan yang terjadi di seluruh permukaan DAS. Berdasarkan data diketahui bahwa luas DAS Waduk Saguling adalah ha, dengan rata-rata curah hujan sebesar mm/tahun dan ratarata penguapan sebesar mm/tahun, serta debit air permukaan sebesar 108 m 3 /detik. Volume cadangan air tanah dihitung dari volume input curah hujan dikali luas DAS, dikurangi volume output penguapan dikali luas DAS dan aliran permukaan. Setiap m 3 cadangan air tanah ini berpotensi menghasilkan energi listrik senilai Rp 202. Hasil perhitungan menunjukkan volume cadangan air tanah tersebut bernilai sebesar Rp atau Rp 330,17 milyar setiap tahunnya.

36 101 Nilai Cadangan Air Waduk Seperti hanya cadangan air tanah, air yang tergenang dalam waduk juga berpotensi untuk dikonversi menjadi energi listrik senilai Rp 202/m 3. Potensi ini bisa hilang jika volume air di waduk mengalami pengurangan akibat sedimentasi. Sehingga volume sedimentasi yang masuk ke dalam waduk berpotensi menghilangkan nilai ekonomi cadangan air waduk. Besarnya nilai ekonomi cadangan air waduk sebanding dengan banyaknya sedimen yang masuk ke waduk setiap tahunnya. Berdasarkan data PT Indonesia Power (2010) diketahui rata-rata volume sedimen yang masuk ke dalam Waduk Saguling sebesar 4,2 juta m 3 setiap tahunnya. Sehingga nilai cadangan air waduk yang hilang sebesar Rp 848,4 juta setiap tahunnya. Nilai Bukan Guna Nilai Pilihan Nilai pilihan waduk adalah nilai pemanfaatan sumberdaya waduk untuk pemanfaatan dimasa yang akan datang. Nilai pilihan waduk dihitung sama dengan dengan nilai keberadaan di atas yaitu menggunakan metode Contingent Valuation Method (CVM) yang didasarkan pada seberapa besar seseorang atau masyarakat mau membayar (willingness to pay) untuk melindungi sumberdaya waduk. Nilai pilihan ini dihitung berdasarkan bagaimana manfaat sumberdaya alam yang terkandung dalam waduk dapat dipertahankan sehingga dapat dimanfaatkan untuk masa yang akan datang. Untuk mengumpulkan data berkaitan dengan nilai pilihan ini, disebarkan kuisioner kepada responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua responden menyatakan bahwa Waduk perlu dipertahankan manfaat yang terkandung di dalamnya terutama untuk pemanfaatan dimasa yang akan datang. Terkait dengan kesediaan membayar agar manfaat SDA dalam hutan sekitar waduk tetap dipertahankan, sekitar 50% menyatakan bersedia membayar dan sisanya (50%) menyatakan tidak bersedia membayar. Adapun besar biaya yang bersedia dibayarkan untuk mempertahankan manfaat Waduk Saguling adalah sekitar 75 % bersedia membayar sebesar Rp ,- dan hanya sekitar 25 % bersedia membayar sebesar Rp ,-.

37 102 Dari kisaran kesediaan membayar tersebut, jika dirata-ratakan maka dapat diketahui besaran kesediaan membayar setiap responden yaitu sebesar Rp ,00/orang Berdasarkan data di atas, dihitung nilai pilihan waduk yaitu nilai manfaat (WTP) dikalikan dengan jumlah penduduk di wilayah penelitian. Berdasarkan data statistik, jumlah penduduk di sekitar waduk sebanyak jiwa, sehingga nilai pilihan Waduk Saguling = Rp x jiwa = Rp atau Rp 7,73 milyar. Nilai Kelestarian Waduk Nilai kelestarian waduk juga dihitung dengan metode Contingent Valuation Method (CVM). Nilai kelestarian waduk dihitung berdasarkan pentingnya dilestarikan kawasan waduk terutama untuk mempertahankan fungsinya sebagai kawasan konservasi air untuk operasional PLTA dan kebutuhan air bagi masyarakat sekitar. Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan kuisioner untuk 120 responden. Informasi yang ingin digali dalam kuisioner dituangkan dalam bentuk pertanyaan. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa semua responden menyatakan bahwa waduk perlu dilestarikan untuk mempertahankan fungsinya sebagai kawasan konservasi air dan pemenuhan kebutuhan air bagi masyarakat. Berkaitan dengan kesediaan membayar untuk melestarikan fungsi Waduk, sekitar 62,5 % menyatakan bersedia membayar dan 37,2 % menyatakan tidak bersedia membayar. Adapun besar biaya yang bersedia dibayarkan untuk melestarikan Waduk adalah sekitar 37,5 % bersedia membayar sebesar Rp , sekitar 12,5 % bersedia membayar sebesar Rp dan sekitar 12,5 % bersedia membayar sebesar Rp serta sisanya yaitu sekitar 37,3 % tidak bersedia membayar. Dari kisaran kesediaan membayar tersebut, jika dirataratakan maka dapat diketahui besaran kesediaan membayar setiap responden yaitu sebesar Rp ,00/orang. Berdasarkan data di atas, dapat dihitung nilai kelestarian waduk yaitu nilai kelestarian (WTP) dikalikan dengan jumlah kepala keluarga di wilayah penelitian. Jumlah kepala keluarga sebanyak diasumsikan ¼ dari jumlah

38 103 penduduk atau setiap keluarga rata-rata terdiri dari 4 orang. Nilai Pelestarian Waduk = Rp ,00 x ( jiwa/4) = Rp ,31 milyar setiap tahunnya. Nilai Ekonomi Total Nilai ekonomi total perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air di PLTA Saguling merupakan jumlah dari keseluruhan nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung, dan nilai bukan guna disajikan dalam Tabel 13. Berdasarkan hasil penelitian seperti diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa perlindungan dan pengeloaan sumberdaya air di PLTA dengan studi kasus di PLTA Saguling memiliki nilai ekonomi yang cukup besar terkait pemanfaatan jasa lingkungan waduk. Nilai ekonomi ini dihitung dari perbaikan sistem perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air PLTA dan perbaikan hubungan antara perusahaan (PLTA) dengan masyarakat sekitar sebagai manfaat utama yang diperoleh PLTA Saguling. Tabel 13 Nilai ekonomi total jasa lingkungan sumberdaya air PLTA Saguling No Parameter Jumlah (Rp) 1 Nilai Benefit Listrik Nilai Keuntungan Ikan Nilai Ekowisata Nilai Guna Langsung Nilai Serapan Karbon Nilai Potensi Cadangan Air Nilai Potensi Kelestarian Air Nilai Guna Tidak Langsung Option Value Preservation Value Nilai Bukan Guna Nilai Ekonomi Total Besar nilai ekonomi total (Total Economic Value) dari pengelolaan sumberdaya air di PLTA Saguling mencapai Rp atau sekitar Rp. 0,885 triliyun. B. PLTA Cirata

39 104 Nilai Guna Langsung Nilai Produksi Listrik Berdasarkan perhitungan yang sama, maka potensi nilai ekonomi produksi listrik PLTA Cirata yang bisa diperoleh sebesar Rp atau Rp 182,38 milyar setiap tahunnya. Nilai ini diperoleh karena PLTA Cirata memproduksi rata-rata energi listrik sebesar GWh setiap tahunnya. Nilai Ekonomi Produksi Ikan Usaha KJA Sementara potensi nilai ekonomi produksi ikan PLTA Cirata dipengaruhi oleh daya dukung waduk terhadap jumlah KJA maksimum yang bisa diusahakan, yaitu sejumlah unit (Hapsari 2010). Jumlah ini memungkinkan diperolehnya nilai ekonomi produksi budidaya perikanan sebesar Rp atau Rp 1,23 triliun setiap tahunnya. Nilai Ekonomi Kegiatan Ekowisata Jmlah kunjungan wisatawan sebanyak setiap tahun ke lokasi sekitar PLTA Cirata berkontribusi terhadap nilai ekonomi kegiatan ekowista. Berdasarkan jumlah wisatawan tersebut, maka potensi nilai ekonomi yang bisa diperoleh dari kegiatan ekowisata di sekitar PLTA Cirata sebesar Rp atau Rp 2,62 milyar setiap tahunnya. Nilai Guna Tidak Langsung Nilai Ekonomi Penghijaun (Serapan Karbon) Luasan lahan yang telah direboisasi seluas 525 ha di sekitar PLTA Cirata menghasilkan potensi nilai ekonomi penyerapan sebesar Rp atau Rp 18,25 milyar setiap tahunnya. Nilai Cadangan Air Tanah DAS Waduk Cirata yang merupakan perluasan dari DAS Waduk Saguling memiliki cadangan air tanah yang lebih banyak. DAS Cirata mencakup wilayah seluas ha dengan curah hujan rata-rata mm/tahun dan penguapan rata-rata mm/tahun. Berdasarkan kondisi tersebut, diperoleh potensi nilai ekonomi cadangan air tanah PLTA Cirata sebesar Rp atau Rp 222,23 milyar setiap tahunnya. Nilai Cadangan Air Waduk

40 105 Waduk Cirata yang berada di hilir Waduk Saguling tentu saja menerima erosi dan sedimentasi yang lebih besar. Hal ini disebabkan luas DAS yang lebih besar, sehingga perhitungan potensi nilai ekonomi cadangan air waduk PLTA Cirata menghasilkan nilai sebesar Rp atau Rp 0,96 milyar setiap tahunnya. Nilai Bukan Guna Nilai Pilihan Jumlah penduduk di sekitar Waduk Cirata yang berjumlah sebesar jiwa berpengaruh terhadap besarnya nilai pilihan. Berdasarkan perhitungan potensi nilai pilihan PLTA Cirata sebesar Rp atau Rp 2,92 milyar setiap tahunnya. Nilai Kelestarian Waduk Jumlah penduduk tersebut berkontribusi juga terhadap banyaknya kepala keluarga (KK) yang bermukim di sekitar Waduk Cirata. Hal ini menghasilkan perhitungan potensi nilai ekonomi kelestarian waduk PLTA Cirata sebesar Rp atau Rp 0,87 milyar setiap tahunnya. Nilai Ekonomi Total Nilai ekonomi total perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air di PLTA Cirata merupakan jumlah dari keseluruhan nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung, dan nilai bukan guna disajikan dalam Tabel 14. Hasil perhitungan di atas menunjukkan bahwa perlindungan dan pengeloaan sumberdaya air di PLTA dengan studi kasus di PLTA Cirata juga memiliki nilai ekonomi yang cukup besar terkait pemanfaatan jasa lingkungan waduk. Nilai ekonomi ini dihitung dari perbaikan sistem perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air PLTA dan perbaikan hubungan antara perusahaan (PLTA) dengan masyarakat sekitar sebagai manfaat utama yang diperoleh PLTA Cirata. Besar nilai ekonomi total dari pengelolaan sumberdaya air di PLTA Cirata mencapai Rp atau sekitar Rp. 1,66 triliyun. Tabel 14 Nilai ekonomi total jasa lingkungan sumberdaya air PLTA Cirata No Parameter Jumlah (Rp) 1 Nilai Benefit Listrik

41 106 2 Nilai Keuntungan Ikan Nilai Ekowisata Nilai Guna Langsung Nilai Serapan Karbon Nilai Potensi Cadangan Air Nilai Potensi Kelestarian Air Nilai Guna Tidak Langsung Option Value Preservation Value Nilai Bukan Guna Nilai Ekonomi Total Nilai Ekonomi Total Jasa Lingkungan Sumberdaya Air PLTA Tanggari I dan Tanggari II di Provinsi Sulawesi Utara Nilai ekonomi total jasa lingkungan sumberdaya air PLTA di Provinsi Sulawesi Utara terdiri dari nilai NET PLTA Tanggari I dan II. Berbeda dengan PLTA di Provinsi Jawa Barat, PLTA di Provinsi Sulawesi Utara hampir seluruh parameternya memiliki fungsi ekonomi secara bersama. Fungsi ekonomi jasa lingkungan yang dihitung terpisah hanya nilai produksi listrik masing-masing PLTA. Sehingga nilai ekonomi total PLTA Tanggari I dan II merupakan jumlah nilai ekonomi produksi listrik masing-masing PLTA ditambah nilai ekonomi parameter lainnya secara bersama-sama. Persamaan dan teknik perhitungan yang digunakan sama dengan yang dilakukan pada PLTA di Provinsi Jawa Barat. Nilai Guna Langsung Nilai Produksi Listrik Berdasarkan perhitungan, potensi nilai ekonomi produksi listrik PLTA Tanggari I yang bisa diperoleh sebesar Rp atau Rp 1,16 milyar setiap tahunnya. Sementara potensi nilai ekonomi produksi listrik PLTA Tanggari II adalah sebesar Rp atau Rp 1,39 milyar setiap tahunnya. Sehingga total nilai produksi listrik untuk PLTA Tanggari I dan II adalah sebesar Rp atau Rp 2,55 milyar per tahunnya. Nilai Ekonomi Produksi Ikan Usaha KJA Potensi nilai ekonomi produksi ikan PLTA Tanggari I dan II dengan keberadaan KJA sebanyak 6000 unit. Hal ini menghasilkan potensi nilai

42 107 ekonomi produksi ikan sebesar Rp atau Rp 0,23 triliun setiap tahunnya. Nilai Ekonomi Kegiatan Ekowisata Potensi nilai ekonomi yang bisa diperoleh dari kegiatan ekowisata di sekitar PLTA Tanggari I dan II sebesar Rp atau Rp 9,31 milyar setiap tahunnya. Hal ini diperoleh berdasarkan rata-rata jumlah wisatawan yang berkunjung sebanyak orang setiap tahunnya. Selain itu, hal ini diperoleh dari besarnya pengeluaran wisatawan yang berupa biaya transportasi dan biaya akomodasi selama melakukan kunjungan wisata. Nilai Guna Tidak Langsung Nilai Ekonomi Penghijaun (Serapan Karbon) Saat ini di sekitar PLTA Tanggari I dan II telah dilakukan penghijauan seluas 125 ha. Luas areal penghijauan tersebut menghasilkan potensi nilai ekonomi penyerapan karbon di sekitar PLTA Tanggari I dan II sebesar Rp atau Rp 4,34 milyar setiap tahunnya. Nilai Cadangan Air Tanah Potensi nilai ekonomi cadangan air tanah PLTA Tanggari I dan II berada pada DAS Tondano seluas ha. DAS seluas ini dengan tingkat curah hujan tahunan rata-rata sebesar mm menghasilkan potensi ekonomi cadangan air tanah senilai Rp atau Rp 0,48 milyar setiap tahunnya. Nilai Cadangan Air Sungai Sementara cadangan air sungai yang menjadi potensi ekonomi PLTA Tanggari I dan II senilai Rp atau Rp 0,40 milyar setiap tahunnya. Nilai Bukan Guna Nilai Pilihan Nilai pilihan pada PLTA Tanggari I dan II dihitung dari rata-rata WTP sebesar Rp dikalikan dengan jumlah penduduk di sekitar PLTA. Hasil perhitungan menunjukkan potensi nilai pilihan sebesar Rp atau Rp 0,33 milyar setiap tahunnya.

43 108 Nilai Kelestarian Waduk Berdasarkan perhitungan yang sama dengan nilai pilihan, tetapi terhadap jumlah KK di sekitar PLTA Tanggari I dan II diperoleh nilai ekonomi kelestarian menurut penduduk diperoleh sebesar Rp atau Rp 0,09 milyar setiap tahunnya. Nilai Ekonomi Total Nilai ekonomi total perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air di PLTA Tanggari I dan II disajikan dalam Tabel 15. Tabel 15 Nilai ekonomi total jasa lingkungan sumberdaya air PLTA Tanggari I dan II No Parameter Jumlah (Rp) 1 Nilai Benefit Listrik Nilai Keuntungan Ikan Nilai Ekowisata Nilai Guna Langsung Nilai Serapan Karbon Nilai Potensi Cadangan Air Nilai Potensi Kelestarian Air Nilai Guna Tidak Langsung Option Value Preservation Value Nilai Bukan Guna Nilai Ekonomi Total Hasil perhitungan menunjukkan bahwa perlindungan dan pengeloaan sumberdaya air di PLTA dengan studi kasus di PLTA Tanggari I dan II juga memiliki nilai ekonomi yang relatif besar terkait pemanfaatan jasa lingkungan sumberdaya air, meskipun tidak sebesar PLTA di Provinsi Jawa Barat. Hal ini disebabkan kapasitas produksi listrik dan potensi ekonomi lainnya yang memiliki skala lebih kecil. Nilai ekonomi total dari pengelolaan sumberdaya air di PLTA Tanggari I dan II mencapai Rp atau sekitar Rp. 0,25 triliyun.

44 Prioritas Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Air PLTA Upaya penyelamatan lingkungan merupakan tanggung jawab bersama, sebab fenomena ini menyentuh semua lapisan masyarakat dan institusi dan kehidupan selanjutnya. Kesadaran akan pentingnya kualitas lingkungan juga merupakan tanggungjawab global, sehingga berbagai kesepakatan dunia dilakukan untuk meningkatkan kinerja lingkungan. Tekanan konsumen, tekanan pemerintah dan kekuatan pasar dan kepentingan individu organisasi terhadap perlindungan lingkungan memotivasi penerapan sistem manajemen lingkungan (Uchida 2004). Perlindungan lingkungan berbasis pendekatan sukarela semakin diminati oleh pengambil keputusan sebagai tool untuk mengajak pencemar berpartisipasi dalam perlindungan lingkungan (Segerson & Thomas, 1998). Kehadiran kebijakan sukarela untuk mengurangi ketidakfleksibelan kebijakan mandatori dapat menjadi salah satu alternatif yang bersinergi dalam mempercepat perlindungan lingkungan. Kebijakan perlindungan berbasis sukarela perlu dirumuskan untuk implementasi ke depan, mengingat dalam penerapannya banyak pihak yang terkait. Untuk merumuskan desain kebijakan ini menggunakan teknik analisis hirarki proses (AHP). Teknik AHP umumnya dikembangkan untuk memecahkan persoalan yang tidak terstruktur dan komplek dalam kerangka berfikir yang terorganisir sehingga pengambilan keputusan yang efektif dan menyeluruh dapat dilakukan Struktur AHP dan Nilai Eigen Dalam merumuskan desain kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA, terlebih dahulu disusun hierarki kebijakan untuk mendukung pengambilan keputusan desain kebijakan tersebut. Hierarki kebijakan tersebut disusun berdasarkan justifikasi pakar dimana pakar menetapkan lima level hierarki yaitu : Level pertama merupakan fokus kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA. Level kedua merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi/memotivasi perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA yang

45 110 terdiri atas tekanan pemerintah, tekanan global, tekanan masyarakat, tekanan pembeli dan kepentingan PLTA. Level ketiga adalah aktor yang berperan dalam pengembangan kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA antara lain pemerintah, masyarakat, pembeli, investor, dan industri Level keempat adalah tujuan yang ingin dicapai dalam pengembangan kebijakan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA terdiri atas perlindungan lingkungan, kontinuitas PLTA, pengakuan publik, dan liabilitas lingkungan. Level kelima adalah alternatif kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA yang meliputi penguatan infrastruktur kelembagaan dan institusional, pemberian insentif dan disinsentif, peningkatan nilai lingkungan internal. Setiap elemen pada setiap level selanjutnya diboboti oleh pakar dengan menggunakan nilai bobot seperti yang telah ditetapkan oleh Saaty (1993). Pengolahan data untuk menentukan elemen prioritas dalam pengambilan keputusan kebijakan perlindungan lingkungan berbasis sukarela menggunakan software Criterium Decision Plus (CDP) versi 3,0. Hasil sintesis menghasilkan nilai eigen (bobot) untuk setiap pilihan yang ada di dalam struktur AHP. Untuk memudahkan dalam interpretasi hasil terhadap nilei eigen maka nilai tersebut dimasukkan dalam struktur AHP secara kumulatif sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 22. Hasil sistesis AHP atas pendapat pakar menunjukkan bahwa faktor yang berperan memotivasi pengembangan dan implementasi kebijakan sukarela (voluntari) di PLTA adalah tekanan pemerintah dengan nilai eigen 0,462. Kemudian tekanan global dengan bobot 0,198. Sedangkan tekanan masyarakat, kepentingan PLTA dan tekanan pembeli memiliki nilai eigen masing sebesar 0.143; 0,111 dan 0,087.

46 111 Gambar 22 Struktur AHP dan nilai eigen pada hirarki model disain kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA.

47 Konstribusi Peran Setiap Level Konstribusi peran dari masing masing level yaitu level faktor, level aktor dan level tujuan kemudian dianalisis terhadap pengembangan kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA sebagai berikut: Pertama, konstribusi peran faktor dalam disain insentif dan disinsentif kebijakan Perlindungan lingkungan berbasis sukarela, pakar melihat bahwa faktor yang paling berpengaruh adalah tekanan pemerintah (0,201), tekanan global (0,087), tekanan masyarakat (0,063), kepentingan PLTA (0,048) dan tekanan pembeli (0,038). Nilai konstribusi faktor dalam menetapkan alternatif kebijakan perlindungan lingkungan berbasis sukarela ditunjukkan pada Tabel 16 dan Gambar 23. Tabel 16 Nilai kontribusi faktor dalam menetapkan pilihan kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela Alternatif kebijakan Tekanan Pemerintah Tekanan Global Nilai Konstribusi Faktor Tekanan Masyarakat Kepentin gan PLTA Tekanan Pembeli Insentif & Disinsentif 0,201 0,087 0,063 0,048 0,038 Penguatan Infrastruktur kelembagaan 0,172 0,073 0,053 0,042 0,032 Peningkatan Nilai 0,088 0,038 0,028 0,021 0,017 Lingkungan Internal sumber : hasil analisis, ributions to Perlindungan Lingk Berbasis Sukarela Level:Faktor T. Pemerin T. Global T. Masyara K. PLTA T. Pembeli 0.00 Insentif & Disinsentif Penguatan Inf kelembagaan Peningkatan Nilai Ling Internal 0.00 Gambar 23 Kontribusi faktor terhadap alternatif kebijakan.

48 113 Kedua, kontribusi peran aktor dalam disain kebijakan perlindungan lingkungan berbasis sukarela bahwa pemerintah, pembeli, perusahaan lain dan PLTA lebih mengutamakan alternatif insentif dan disinsentif dengan nilai masing masing sebesar 0,188; 0,057; 0,037 dan 0,021. Sedangkan masyarakat dan investor lebih cenderung menginginkan penguatan infrastruktur kelembagaan dan institusional dengan nilai masing-masing 0,102 dan 0,051. Adapun nilai konstribusi peran aktor hasil analisis pendapat pakar secara rinci disajikan pada Tabel 17 dan Gambar 24. Tabel 17 Nilai kontribusi aktor dalam menetapkan pilihan kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela Alternatif kebijakan Insentif & Disinsentif Penguatan Infrastruktur kelembagaan Peningkatan Nilai Lingkungan Internal sumber : hasil analisis, 2011 Nilai Kontribusi Aktor Pemerintah Masyarakat Pembeli Investor Perusahaan lainnya PLTA 0,188 0,087 0, ,037 0,021 0,139 0,102 0,045 0,051 0,021 0,014 0,082 0,038 0,025 0,021 0,016 0, butions to Perlindungan Lingk Berbasis Sukare Level:Aktor Pemerintah Masyaraka Pembeli Investor Perusahaa PLTA.00 Insentif & Disinsentif Penguatan Inf kelembagaan Peningkatan Nilai Ling Internal 0.0 Gambar 24 Kontribusi aktor terhadap alternatif kebijakan.

49 114 Ketiga, berbagai tujuan yang diharapkan dalam mendisain kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumber daya air adalah perlindungan lingkungan, liabilitas lingkungan, kontinuitas PLTA, dan pengakuan publik. Hasil analisis atas justifikasi pakar menunjukkan bahwa untuk mencapai tujuan perlindungan lingkungan memerlukan kebijakan insentif dan disintentif. Sedangkan untuk mencapai tujuan kuntinuitas PLTA, pengakuan publik dan liabilitas lingkungan yang paling diperlukan adalah penguatan infrastruktur kelembagaan. Adapun hasil analisis secara rinci seperti pada Tabel 18 dan Gambar 25. Tabel 18 Nilai kontribusi tujuan dalam menetapkan pilihan kebijakan perlindungan sumberdaya air berbasis sukarela Alternatif Kebijakan Perlindungan Lingkungan Nilai Kontribusi Tujuan Pengakuan Publik Kontinuitas PLTA Liabilitas Lingkungan Insentif & Disinsentif 0,317 0,052 0,041 0,026 Penguatan Infrastruktur kelembagaan Peningkatan Nilai Lingkungan Internal Sumber : hasil analisis, ,033 0,116 0,122 0,102 0,145 0,017 0,018 0,011 Perlindungan Lingk Berbasis Sukarela f Perlind. Lin Kuntinuitas Pengakuan Liabilitas Li 00 Insentif & Disinsentif 0.0 Penguatan Inf kelembagaan Peningkatan Nilai Ling Internal Gambar 25 Kontribusi tujuan terhadap alternatif kebijakan.

50 Pengembangan Keputusan Alternatif Kebijakan Hasil sintesis AHP menetapkan bahwa alternatif kebijakan yang paling tinggi untuk dipilih adalah kebijakan insentif dan disinsentif. Hal ini terlihat dari nilai bobot yang lebih besar dibandingkan dengan alternatif lainnya yaitu sebesar 0,436. Alternatif selanjutnya adalah penguatan infrastruktur kelembagaan dan institusional dengan nilai bobot 0,372 dan iikuti dengan peningkatan nilai lingkungan internal dengan bobot 0,080. Nilai dan ranking alternatif kebijakan ditunjukkan pada Tabel 19. Sedangkan gambaran secara menyeluruh antar pilihan kebijakan yang ada ditunjukkan pada grafis histogram. Nilai skor keputusan tertinggi ditunjukkan dengan diagram batang terpanjang yaitu insentif dan disinsentif. Gambaran menyeluruh antar pilihan kebijakan dalam bentuk grafis histogram ditunjukkan pada Gambar 26, sedangkan dalam bentuk scatter plot pada Gambar 27. Tabel 19 Nilai alternatif kebijakan perlindungan lingkungan sukarela Level Alternatif Bobot Ranking Insentif & disinsentif 0,436 I Penguatan infrastruktur kelembagaan 0,372 II Peningkatan nilai lingkungan internal 0,192 III Konsistensi ratio = 0,080 Sumber : hasil analisis, 2011 Gambar 26 Pengambilan keputusan dengan cara histogram dalam penetapan kebijakan perlindungan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA.

51 Insentif & Disinsentif Penguatan Inf kelembagaan 0.2 Peningkatan Nilai Ling Internal Decision Score Gambar 27 Pengambilan keputusan dengan cara scatter plot dalam penetapan kebijakan perlindungan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA. Analisa di atas memperlihatkan bahwa kebijakan terbaik dalam desain pengembangan kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA adalah dengan menerapkan kebijakan memberikan insentif dan disinsentif dibandingkan dengan kebijakan pengembangan infrastuktur kelembangaan dan institusional, dan penguatan valuasi lingkungan internal. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan sebagaimana diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa alternatif desain kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela pada kasus PLTA adalah insentif dan disinsentif (0,436), diikuti penguatan infrastruktur kelembagaan dan institusional (0,372) dan Penguatan nilai lingkungan internal (0,192). Untuk memperkuat instensif dan disintentif, maka faktor yang paling berpengaruh adalah tekanan pemerintah (0,462) dibandingkan dengan tekanan global (0,198), tekanan masyarakat (0,143), kepentingan PLTA (0,111) dan tekanan pembeli (0,087). Pemerintah, pembeli, perusahaan dan PLTA lebih mengutamakan alternatif insentif dan disinsentif dalam desain kebijakan, sedangkan masyarakat dan investor cenderung menginginkan penguatan infrastruktur kelembagaan dan institusional. Kebijakan insentif dan disinsentif merupakan tool regulasi yang fundamental untuk mencapai perlindungan lingkungan berbasis sukarela.

52 117 Penguatan infrastruktur kelembagaan dan isntitusional diperlukan untuk mencapai tujuan kuntinuitas PLTA, pengakuan publik dan liabilitas lingkungan. Hasil di atas memperlihatkan faktor yang paling mempengaruhi PLTA untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air secara sukarela adalah tekanan pemerintah. Daya tekan masyarakat dan pembeli belum banyak mempengaruhi organisasi (PLTA) untuk melaksanakan program perlindungan sukarela. Hal ini dimungkinkan tekanan pemerintah telah terdiskripsikan dalam suatu tata aturan legislasi secara jelas dan dapat menjadi acuan organisasi (PLTA) untuk melaksanakan suatu tindakan. Hal ini juga sejalan dengan hasil penelitian Uchida (2004) yang menyebutkan bahwa tekanan pemerintah memotivasi perusahaan di Jepang untuk mengembangkan perlindungan lingkungan. Tekanan pemerintah dalam bentuk regulasi dan penyelenggaraannya merupakan dorongan utama praktek perlindungan lingkungan sumberdaya alam (Delmas et al. 2004). Pemerintah juga masih menjadi aktor utama untuk mendukung pencapaian tujuan perlindungan lingkungan sumberdaya air. Sektor swasta masih belum menjadi aktor utama untuk menggulirkan program perlindungan berbasis sukarela. Konsepsi pendekatan sukarela yang menekankan upaya proaktif perusahaan untuk merespon ketentuan regulasi, kebutuhan masyarakat dan pasar yang kemudian diterjemahkan dalam perencanaan strategisnya belum sepenuhnya dipahami. Keputusan penerapan inisiatif sukarela sangat penting untuk dipahami oleh pengambil keputusan dalam organisasi. Benefit inisiatif sukarela belum diterjemahkan secara luas oleh perusahaan dalam kontek sosial ekonomi yang lebih luas. Sehingga keuntungan tidak hanya terkait dengan peningkatan efisiensi penggunaan sumberdaya dan proses produksi, serta corporate image. Perbaikan sumberdaya air yang dilakukan juga berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat dan dapat meningkatkan keterlibatan perusahaan untuk memberikan input terhadap penyempurnaan regulasi saat ini untuk pelaksanaan yang lebih baik (Lyon et al. 1998). Peran pemerintah dan tekanan regulasi yang tinggi dalam pengembangan kebijakan sukarela saat ini, bisa digunakan untuk penyusunan program bersama antara pemerintah dan perusahaan dalam bentuk perjanjian negosiasi. Regulasi menjadi landasan untuk pengembangan kebijakan sukarela dan sebagai target

53 118 lingkungan yang harus disetujui oleh perusahaan dalam periode waktu tertentu. Perjanjian ini juga dapat digunakan sebagai acuan untuk mempromosikan program insentif dan disinsentif untuk mencapai tujuan perlindungan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. 4.7 Model Dinamik Pengelolaan Sumberdaya Air PLTA Secara umum dari aspek lingkungan, PLTA sangat bergantung dengan kualitas dan kuantitas sumberdaya air yang menjadi pasokan bagi pembangkitan energi listriknya. Sementara kuantitas air sangat bergantung dari sumbernya di bagian hulu PLTA. Keberadaan dan kontinuitas kuantitas air ini sangat dipengaruhi kondisi penutupan dan penggunaan lahan di hulu PLTA. Perubahan penggunaan lahan akan sangat berpengaruh terhadap karakteristik air permukaan dan air bawah permukaan yang bisa diserap lahan. Hal ini akan berpengaruh secara langsung terhadap kuantitas dan kontinuitas air pasokan bagi PLTA. Selain itu, kinerja PLTA juga masih dipengaruhi oleh kualitas air yang akan dialirkan ke dalam turbin pembangkit listrik. Kualitas air akan sangat berpengaruh terhadap mesin pembangkitan yang dialiri air. Sifat kimia yang korosif dan cemaran sedimen bisa mempengaruhi kinerja dan usia teknis mesin pembangkit listrik. Aspek sosial yang terkait pengelolaan sumberdaya air PLTA adalah hubungan antara pengelola PLTA dengan semua stakeholder terkait. Hubungan ini terkait komunikasi yang terjalin antar stakeholder serta kolaborasi dalam melakukan pengelolaan yang berbasis sukarela. Selain aspek sosial, terdapat juga aspek ekonomi baik dari pengelolaan PLTA, maupun dari jasa lingkungan sumberdaya air yang bisa dimanfaatkan oleh semua stakeholder. Pengelola PLTA bisa mendapatkan manfaat ekonomi dengan mengkonversi tenaga air menjadi tenaga listrik yang bisa dijual kepada lembaga penyalur tenaga listrik kepada konsumen. Selisih antara biaya yang dikeluarkan untuk pembangkitan dengan nilai energi listrik yang dihasilkan bisa menjadi keuntungan pengelola PLTA. Sementara jasa lingkungan sumberdaya air bisa bersifat langsung maupun tidak langsung. Manfaat jasa lingkungan air, antara lain sebagai sarana ekowisata, budidaya perikanan, dan manfaat ekologis lainnya.

54 119 Ketiga aspek terkait pengelolaan PLTA dan interaksinya tersebut disimplifikasi menjadi model dinamik pengelolaan sumberdaya air PLTA. Model dinamik ini mencakup sub-model sosial terkait aspek stakeholder, sub-model lingkungan terkait kualitas air dan perubahan penggunaan lahan, dan sub-model nilai ekonomi jasa lingkungannya. Untuk memahami sistem tersebut dilakukan simplifikasi awal melalui diagram lingkar sebab-akibat (causal loop), seperti disajikan pada Gambar 28. Gambar tersebut menunjukkan setiap sub-model memiliki keterkaitan sebab-akibat. Gambar 28 Diagram simpul-kausal (causal loop) model pengelolaan sumberdaya air PLTA. Semua sub-model tersebut ditransformasi menjadi stock flow diagram (SFD) sebagai penjabaran causal loop di atas disajikan dalam Gambar 29. Perilaku submodel dijabarkan dalam aliran energi dan informasi dalam SFD dengan pendekatan matematis. Penyusunan SFD dan pendekatan matematisnya dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Powesim Studio 2005E. Model dirancang berdasarkan hasil pembahasan berbagai aspek pada babbab sebelumnya. Aspek yang mendasari rancang bangun model adalah basis data dan basis knowledge (pengetahuan pakar dan stakeholder) yang telah dibahas sebelumnya.

55 120 Gambar 29 Stock flow diagram model pengelolaan sumberdaya air PLTA berbasis sukarela. Basis data terutama diterapkan pada elemen-elemen yang menyangkut kondisi fisik lingkungan dan nilai ekonomi langsung terkait pengelolaan PLTA. Elemen tersebut terdiri dari perubahan penggunaan lahan dan kuantitas sumberdaya air, serta nilai guna jasa lingkungan sumberdaya air. Sementara basis knowledge diterapkan pada nilai bukan guna jasa lingkungan sumberdaya air dan sistem keterkaitan berbagai elemen pengelolaan dari berbagai aspek berdasarkan persepsi pakar dan stakeholder. Model terbagi atas beberapa sub-model, yaitu sub-model sosial, sub-model lingkungan dan sub-model ekonomi. Berbagai asumsi diterapkan untuk memenuhi kelengkapan model secara keseluruhan, sehingga bisa dilakukan simulasi terhadap model tersebut. Model ini dibangun berdasarkan data dan knowledge di sekitar PLTA Saguling, karena memiliki basis data terlengkap untuk semua sub-model yang dibangun. Simulasi model dilakukan terhadap data aktual sejak tahun 2001 dan proyeksinya antara tahun 2010 hingga tahun 2021.

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI III.1 LETAK DAN KONDISI WADUK CIRATA Waduk Cirata merupakan salah satu waduk dari kaskade tiga waduk DAS Citarum. Waduk Cirata terletak diantara dua waduk lainnya, yaitu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Bila suatu saat Waduk Jatiluhur mengalami kekeringan dan tidak lagi mampu memberikan pasokan air sebagaimana biasanya, maka dampaknya tidak saja pada wilayah pantai utara (Pantura)

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laju pertambahan penduduk yang tinggi banyak terjadi di negara berkembang seperti Indonesia, telah menghabiskan surplus sumberdaya alam yang diperuntukkan bagi pembangunan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali

Lebih terperinci

2014 KAJIAN KUALITAS AIR TANAH DI SEKITAR KAWASAN BUDIDAYA IKAN PADA KERAMBA JARING APUNG DI WADUK JATILUHUR KABUPATEN PURWAKARTA

2014 KAJIAN KUALITAS AIR TANAH DI SEKITAR KAWASAN BUDIDAYA IKAN PADA KERAMBA JARING APUNG DI WADUK JATILUHUR KABUPATEN PURWAKARTA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Air merupakan komponen pokok dan mendasar dalam memenuhi kebutuhan seluruh makhluk hidup di bumi. Menurut Indarto (2012) : Air adalah substansi yang paling melimpah

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH STUDI

BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH STUDI BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH STUDI IV. 1 Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Daerah Aliran sungai (DAS) Citarum merupakan DAS terbesar di Jawa Barat dengan luas 6.614 Km 2 dan panjang 300 km (Jasa Tirta

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Zonasi pada perairan tergenang (Sumber: Goldman dan Horne 1983)

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Zonasi pada perairan tergenang (Sumber: Goldman dan Horne 1983) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Waduk Waduk merupakan badan air tergenang yang dibuat dengan cara membendung sungai, umumnya berbentuk memanjang mengikuti bentuk dasar sungai sebelum dijadikan waduk. Terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan suatu wilayah di permukaan bumi yang meliputi semua benda penyusun biosfer (atmosfer, tanah dan batuan induk, topografi, air, tumbuhtumbuhan dan binatang),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah daerah dataran yang dibatasi oleh punggung bukit yang berfungsi sebagai daerah resapan, penyimpanan air hujan dan juga sebagai pengaliran

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

Analisis Program Rehabilitasi DTA Saguling

Analisis Program Rehabilitasi DTA Saguling Analisis Program Rehabilitasi DTA Saguling Oleh : Idung Risdiyanto Permasalahan utama DTA Waduk Saguling adalah tingkat sedimentasi, limpasan permukaan yang tinggi dan kondisi neraca air DAS yang defisit.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konsep pembangunan berkelanjutan yang menekankan perlunya pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara berkesinambungan untuk memenuhi kebutuhan antar generasi,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Waduk adalah genangan air dalam suatu cekungan permukaan tanah yang terbentuk secara alami maupun sengaja dibuat oleh manusia untuk berbagai kepentingan, yang airnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan. Untuk melangsungkan kehidupannya itu, manusia banyak melakukan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan. Untuk melangsungkan kehidupannya itu, manusia banyak melakukan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia sebagai mahluk hidup, tidak lepas dari lingkungan sebagai sumber kehidupan. Untuk melangsungkan kehidupannya itu, manusia banyak melakukan caranya

Lebih terperinci

Bab III Studi Kasus. Daerah Aliran Sungai Citarum

Bab III Studi Kasus. Daerah Aliran Sungai Citarum Bab III Studi Kasus III.1 Daerah Aliran Sungai Citarum Sungai Citarum dengan panjang sungai 78,21 km, merupakan sungai terpanjang di Propinsi Jawa Barat, dan merupakan salah satu yang terpanjang di Pulau

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 18 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi Umum Waduk Cirata Waduk Cirata merupakan salah satu waduk dari kaskade tiga waduk Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum. Waduk Cirata terletak diantara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan sumber daya perairan umum untuk aktivitas budidaya ikan air tawar menjadi sangat penting seiring

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan sumber daya perairan umum untuk aktivitas budidaya ikan air tawar menjadi sangat penting seiring BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan sumber daya perairan umum untuk aktivitas budidaya ikan air tawar menjadi sangat penting seiring dengan berkembangnya pembangunan waduk di Indonesia. Pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terjadinya bencana banjir, longsor dan kekeringan yang mendera Indonesia selama ini mengindikasikan telah terjadi kerusakan lingkungan, terutama penurunan daya dukung

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan tropis di Indonesia meliputi areal seluas 143 juta hektar dengan berbagai tipe dan peruntukan (Murdiyarso dan Satjaprapdja, 1997). Kerusakan hutan (deforestasi) masih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi Di SUB DAS CIRASEA

BAB I PENDAHULUAN. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi Di SUB DAS CIRASEA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu kawasan yang berfungsi untuk menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan sampai akhirnya bermuara

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah aliran sungai (DAS) Cilamaya secara geografis terletak pada 107 0 31 107 0 41 BT dan 06 0 12-06 0 44 LS. Sub DAS Cilamaya mempunyai luas sebesar ± 33591.29

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 23 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini memanfaatkan data sekunder yang tersedia pada Perum Jasa Tirta II Jatiluhur dan BPDAS Citarum-Ciliwung untuk data seri dari tahun 2002 s/d

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Waduk adalah genangan air besar yang sengaja dibuat dengan membendung aliran sungai, sehingga dasar sungai tersebut yang menjadi bagian terdalam dari sebuah waduk. Waduk

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Definisi daerah aliran sungai dapat berbeda-beda menurut pandangan dari berbagai aspek, diantaranya menurut kamus penataan ruang dan wilayah,

Lebih terperinci

ANALISIS TUTUPAN LAHAN TERHADAP KUALITAS AIR SITU BURUNG, DESA CIKARAWANG, KABUPATEN BOGOR

ANALISIS TUTUPAN LAHAN TERHADAP KUALITAS AIR SITU BURUNG, DESA CIKARAWANG, KABUPATEN BOGOR ANALISIS TUTUPAN LAHAN TERHADAP KUALITAS AIR SITU BURUNG, DESA CIKARAWANG, KABUPATEN BOGOR R Rodlyan Ghufrona, Deviyanti, dan Syampadzi Nurroh Fakultas Kehutanan - Institut Pertanian Bogor ABSTRAK Situ

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Prototipe salah satu produk hukum dalam era reformasi adalah Undang- Undang No. 22 Tahun 1999 dan telah direvisi dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pencemaran merupakan dampak negatif dari kegiatan pembangunan yang dilakukan selama ini. Pembangunan dilakukan dengan memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air (SDA) bertujuan mewujudkan kemanfaatan sumberdaya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besar

Lebih terperinci

Lampiran 1. Curah Hujan DAS Citarum Hulu Tahun 2003

Lampiran 1. Curah Hujan DAS Citarum Hulu Tahun 2003 LAMPIRAN 34 Lampiran 1. Curah Hujan DAS Citarum Hulu Tahun 2003 Bulan Cikapundung Citarik Cirasea Cisangkuy Ciwidey mm Januari 62,9 311 177 188,5 223,6 Februari 242,1 442 149 234 264 Maret 139,3 247 190

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hubungan Curah Hujan dengan Koefisien Regim Sungai (KRS) DAS Ciliwung Hulu Penggunaan indikator koefisien regim sungai pada penelitian ini hanya digunakan untuk DAS Ciliwung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem merupakan suatu interaksi antara komponen abiotik dan biotik

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem merupakan suatu interaksi antara komponen abiotik dan biotik BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang merupakan suatu interaksi antara komponen abiotik dan biotik yang saling terkait satu sama lain. di bumi ada dua yaitu ekosistem daratan dan ekosistem perairan. Kedua

Lebih terperinci

TINJAUAN HIDROLOGI DAN SEDIMENTASI DAS KALI BRANTAS HULU 1

TINJAUAN HIDROLOGI DAN SEDIMENTASI DAS KALI BRANTAS HULU 1 TINJAUAN HIDROLOGI DAN SEDIMENTASI DAS KALI BRANTAS HULU 1 Perusahaan Umum (Perum) Jasa Tirta I Jl. Surabaya 2 A, Malang Indonesia 65115 Telp. 62-341-551976, Fax. 62-341-551976 http://www.jasatirta1.go.id

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bertambahnya jumlah penduduk dan masuknya migrasi penduduk di suatu daerah, maka akan semakin banyak jumlah lahan yang diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan sandang, papan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun 1621, 1654 dan 1918, kemudian pada tahun 1976, 1997, 2002 dan 2007. Banjir di Jakarta yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hujan adalah jatuhnya air hujan dari atmosfer ke permukaan bumi dalam wujud cair maupun es. Hujan merupakan faktor utama dalam pengendalian daur hidrologi di suatu

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI 3.1 IDENTIFIKASI PERMASALAHAN BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI PELAYANAN BADAN LINGKUNGAN HIDUP PROVINSI JAWA TENGAH Dalam penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 9 Tubuh Air Jumlah Sumber : Risdiyanto dkk. (2009, hlm.1)

BAB I PENDAHULUAN. 9 Tubuh Air Jumlah Sumber : Risdiyanto dkk. (2009, hlm.1) A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS) Cisangkuy merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum hulu yang terletak di Kabupaten Bandung, Sub DAS ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dimilikinya selain faktor-faktor penentu lain yang berasal dari luar. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dimilikinya selain faktor-faktor penentu lain yang berasal dari luar. Hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aliran permukaan adalah air yang mengalir di atas permukaan. Aliran permukaan sendiri memiliki peranan penting dalam menentukan kualitas air yang dimilikinya selain

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemanfaatan sumber daya alam yang semakin meningkat tanpa memperhitungkan kemampuan lingkungan telah menimbulkan berbagai masalah. Salah satu masalah lingkungan di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan sumber air yang dapat dipakai untuk keperluan makhluk hidup. Dalam siklus tersebut, secara

Lebih terperinci

permukaan, sedangkan erosi tanah pertanian dapat menyebabkan tingginya parameter TSS dan sedimentasi pada sungai dan waduk. Permasalahan degradasi

permukaan, sedangkan erosi tanah pertanian dapat menyebabkan tingginya parameter TSS dan sedimentasi pada sungai dan waduk. Permasalahan degradasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Degradasi lingkungan menjadi salah satu penyebab penurunan kualitas lingkungan akibat kegiatan masyarakat, sehingga komponen-komponen pembentuk lingkungan tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sejalan dengan hujan yang tidak merata sepanjang tahun menyebabkan persediaan air yang berlebihan dimusim penghujan dan kekurangan dimusim kemarau. Hal ini menimbulkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kawasan Danau Singkarak terletak di dua kabupaten yaitu KabupatenSolok dan Tanah Datar. Kedua kabupaten ini adalah daerah penghasil berasdan menjadi lumbung beras bagi Provinsi

Lebih terperinci

RENCANA TINDAK PENGELOLAAN DAS CITARUM

RENCANA TINDAK PENGELOLAAN DAS CITARUM RENCANA TINDAK PENGELOLAAN DAS CITARUM Oleh : Dr. Nana Mulyana Arifjaya, MS. Idung Risdiyanto, M.Sc Kegiatan Sosialisasi Rencana Tindak Pengelolaan DAS Citarum terpadu Bandung, 2013 LATAR BELAKANG Jumlah

Lebih terperinci

KAJIAN KUALITAS AIR UNTUK AKTIFITAS DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) KRUENG ACEH Susi Chairani 1), Siti Mechram 2), Muhammad Shilahuddin 3) Program Studi Teknik Pertanian 1,2,3) Fakultas Pertanian, Universitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang UU No. 30 tahun 2009 tentang ketenagalistrikan menyatakan pada pasal 4 ayat 2 bahwa badan usaha swasta, koperasi dan swadaya masyarakat dapat berpatisipasi dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peta Lokasi Studi.

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peta Lokasi Studi. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Waduk Jatiluhur terletak di Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta (±9 km dari pusat Kota Purwakarta). Bendungan itu dinamakan oleh pemerintah Waduk Ir. H. Juanda,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. DESKRIPSI WILAYAH STUDI. Kondisi DAS Citarum Propinsi Jawa Barat mempunyai beberapa sungai besar, antara lain Sungai Cisadane, Sungai Cimanuk, Sungai Citanduy, Sungai Cimandiri,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bendungan atau dam adalah konstruksi yang dibangun untuk menahan laju air menjadi waduk, danau, atau tempat rekreasi. Seringkali bendungan juga digunakan untuk mengalirkan

Lebih terperinci

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON OLEH : CAROLUS NIRAHUA NRP : 000 PROGRAM PASCASARJANA BIDANG KEAHLIAN TEKNIK MANAJEMEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada umumnya tujuan dari dibangunnya suatu waduk atau bendungan adalah untuk melestarikan sumberdaya air dengan cara menyimpan air disaat kelebihan yang biasanya terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sub DAS Cikapundung berada di bagian hulu Sungai Citarum dan merupakan salah satu daerah yang memberikan suplai air ke Sungai Citarum, yang meliputi Kab. Bandung Barat,

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan biodegradable) menjadi CO 2 dan H 2 O. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang digunakan untuk mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).

Lebih terperinci

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PROVINSI JAWA TIMUR

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PROVINSI JAWA TIMUR - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PROVINSI JAWA TIMUR I. UMUM Air merupakan karunia Tuhan sebagai salah satu sumberdaya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Perikanan Kabupaten Bandung Secara astronomi Kabupaten Bandung terletak pada 107 22-108 50 Bujur Timur dan 6 41-7 19 Lintang Selatan. Berdasarkan tofografi, wilayah

Lebih terperinci

RENCANA PENGELOLAAN SDA DAN LH DAS BARITO

RENCANA PENGELOLAAN SDA DAN LH DAS BARITO RENCANA PENGELOLAAN SDA DAN LH DAS BARITO Oleh: Firman Dermawan Yuda Kepala Sub Bidang Hutan dan Hasil Hutan Bidang Perencanaan Pengelolaan SDA dan LH I. Gambaran Umum DAS Barito Daerah Aliran Sungai (DAS)

Lebih terperinci

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II Bab II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah, setiap satuan kerja perangkat Daerah, SKPD harus menyusun Rencana

Lebih terperinci

Disajikan oleh: 1.Michael Ario, S.H. 2.Rizka Adellina, S.H. (Staf Bagian PUU II Subbagian Penataan Ruang, Biro Hukum, KemenPU)

Disajikan oleh: 1.Michael Ario, S.H. 2.Rizka Adellina, S.H. (Staf Bagian PUU II Subbagian Penataan Ruang, Biro Hukum, KemenPU) Disajikan oleh: 1.Michael Ario, S.H. 2.Rizka Adellina, S.H. (Staf Bagian PUU II Subbagian Penataan Ruang, Biro Hukum, KemenPU) 1 Pendahuluan Sungai adalah salah satu sumber daya alam yang banyak dijumpai

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang 1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Erosi adalah proses terkikis dan terangkutnya tanah atau bagian bagian tanah oleh media alami yang berupa air. Tanah dan bagian bagian tanah yang terangkut dari suatu

Lebih terperinci

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961):

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961): 44 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi Sungai Aspek ekologi adalah aspek yang merupakan kondisi seimbang yang unik dan memegang peranan penting dalam konservasi dan tata guna lahan serta pengembangan untuk

Lebih terperinci

kuantitas sungai sangat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan iklim komponen tersebut mengalami gangguan maka akan terjadi perubahan

kuantitas sungai sangat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan iklim komponen tersebut mengalami gangguan maka akan terjadi perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sungai merupakan sumber air yang sangat penting untuk menunjang kehidupan manusia. Sungai juga menjadi jalan air alami untuk dapat mengalir dari mata air melewati

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologis di Sub Daerah Aliran Ci Karo, maka penulis dapat menarik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu BAB I PENDAHULUAN Pembangunan pertanian merupakan bagian integral daripada pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur (Ditjen Tanaman Pangan, 1989). Agar pelaksanaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungai, yang berfungsi menampung,

I. PENDAHULUAN. satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungai, yang berfungsi menampung, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungai, yang berfungsi menampung, menyimpan,

Lebih terperinci

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) WALANAE, SULAWESI SELATAN. Oleh Yudo Asmoro, Abstrak

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) WALANAE, SULAWESI SELATAN. Oleh Yudo Asmoro, Abstrak DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) WALANAE, SULAWESI SELATAN Oleh Yudo Asmoro, 0606071922 Abstrak Tujuan dari tulisan ini adalah untuk melihat pengaruh fisik dan sosial dalam mempengaruhi suatu daerah aliran sungai.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak, bahkan oleh semua mahkluk hidup. Oleh karena itu, sumber daya air

BAB I PENDAHULUAN. banyak, bahkan oleh semua mahkluk hidup. Oleh karena itu, sumber daya air BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber daya alam yang diperlukan untuk hajat hidup orang banyak, bahkan oleh semua mahkluk hidup. Oleh karena itu, sumber daya air harus dilindungi agar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikeruh adalah merupakan Daerah Aliran

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikeruh adalah merupakan Daerah Aliran 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikeruh adalah merupakan Daerah Aliran Sungai yang mengalir meliputi dua Kabupaten yaitu Kabupaten Bandung dan Sumedang yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perkotaan Yogyakarta mulai menunjukkan perkembangan yang sangat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perkotaan Yogyakarta mulai menunjukkan perkembangan yang sangat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkotaan Yogyakarta mulai menunjukkan perkembangan yang sangat pesat di berbagai bidang, baik sektor pendidikan, ekonomi, budaya, dan pariwisata. Hal tersebut tentunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk menyimpan air yang berlebih pada

Lebih terperinci

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan Pendahuluan 1.1 Umum Sungai Brantas adalah sungai utama yang airnya mengalir melewati sebagian kota-kota besar di Jawa Timur seperti Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Mojokerto, dan Surabaya. Sungai

Lebih terperinci

DANAU TONDANO. Gambar 1. Peta lokasi Danau Tondano, Provinsi Sulawesi Utara

DANAU TONDANO. Gambar 1. Peta lokasi Danau Tondano, Provinsi Sulawesi Utara DANAU TONDANO Nama Tondano mempunyai makna yang penting bagi masyarakat Minahasa yang menghuni jazirah paling utara Pulau Sulawesi. Menurut bahasa daerah setempat, nama Tondano bermakna Orang Danau. Selain

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Dalam konteksnya sebagai sistem hidrologi, Daerah Aliran Sungai didefinisikan sebagai kawasan yang terletak di atas suatu titik pada suatu sungai yang oleh

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kecamatan Pomalaa Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara, merupakan suatu daerah yang sebagian wilayahnya merupakan lokasi kegiatan beberapa perusahaan skala nasional dan

Lebih terperinci

BAB IV PERUMUSAN KLHS DAN REKOMENDASI RPJMD

BAB IV PERUMUSAN KLHS DAN REKOMENDASI RPJMD BAB IV PERUMUSAN KLHS DAN REKOMENDASI RPJMD 4.1.Perumusan Mitigasi, Adaptasi dan Alternatif 4.1.1. Program Program yang Dirumuskan Pada umumnya program-programpada RPJMD Provinsi Jawa Barat memiliki nilai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK DAS Citarum merupakan DAS terpanjang terbesar di Jawa Barat dengan area pengairan meliputi Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Bekasi, Cianjur, Indramayu,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam 11 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan, termasuk hutan tanaman, bukan hanya sekumpulan individu pohon, namun merupakan suatu komunitas (masyarakat) tumbuhan (vegetasi) yang kompleks yang terdiri dari pohon,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya jumlah populasi penduduk pada suatu daerah akan. memenuhi ketersediaan kebutuhan penduduk. Keterbatasan lahan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya jumlah populasi penduduk pada suatu daerah akan. memenuhi ketersediaan kebutuhan penduduk. Keterbatasan lahan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meningkatnya jumlah populasi penduduk pada suatu daerah akan berpengaruh pada pemanfaatan sumberdaya lahan dalam jumlah besar untuk memenuhi ketersediaan kebutuhan

Lebih terperinci

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.62, 2012 LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung yang meliputi area tangkapan (catchment area) seluas 142,11 Km2 atau 14.211 Ha (Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air

Lebih terperinci

Makalah Baku Mutu Lingkungan

Makalah Baku Mutu Lingkungan Makalah Baku Mutu Lingkungan 1.1 Latar Belakang Pembangunan sumber daya alam dan lingkungan hidup seyogyanya menjadi acuan bagi kegiatan berbagai sektor pembangunan agar tercipta keseimbangan dan kelestarian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sistem air terdiri dari laut, air permukaan maupun air tanah. Air merupakan hal

BAB I PENDAHULUAN. Sistem air terdiri dari laut, air permukaan maupun air tanah. Air merupakan hal 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem air terdiri dari laut, air permukaan maupun air tanah. Air merupakan hal yang penting bagi kehidupan. Air yang baik adalah air yang memenuhi kriteria standar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Waduk Saguling merupakan waduk yang di terletak di Kabupaten Bandung Barat pada ketinggian 643 m diatas permukaan laut. Saguling sendiri dibangun pada agustus 1981

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam,

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, terutama vegetasi, tanah dan air berada dan tersimpan, serta tempat hidup manusia dalam memanfaatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai merupakan suatu sistem alam yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai merupakan suatu sistem alam yang menjadi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai merupakan suatu sistem alam yang menjadi faktor pendukung dalam penyediaan kebutuhan air. Lahan-lahan yang ada pada suatu DAS merupakan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Air merupakan komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Air merupakan komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Air merupakan komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan yang merupakan kebutuhan utama bagi proses kehidupan di bumi. Manusia menggunakan air untuk memenuhi

Lebih terperinci

Pendahuluan I-1 BAB I PENDAHULUAN

Pendahuluan I-1 BAB I PENDAHULUAN Pendahuluan I-1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya air merupakan salah satu unsur utama untuk kelangsungan hidup manusia, disamping itu air juga mempunyai arti penting dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komponen penting bagi semua bentuk kehidupan di bumi. Pengaturan air yang

BAB I PENDAHULUAN. komponen penting bagi semua bentuk kehidupan di bumi. Pengaturan air yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air sebagai kebutuhan primer setiap manusia dan merupakan suatu komponen penting bagi semua bentuk kehidupan di bumi. Pengaturan air yang kurang baik dapat menyebabkan

Lebih terperinci

2 sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu membangun bendungan; d. bahwa untuk membangun bendungan sebagaimana dimaksud pada huruf c, yang

2 sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu membangun bendungan; d. bahwa untuk membangun bendungan sebagaimana dimaksud pada huruf c, yang No.771, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN PU-PR. Bendungan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2015 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di dunia saat ini sudah menekankan pada prinsip berkelanjutan (sustainable development). Hal ini ditunjukkan dengan adanya World Summit on Sustainable Development

Lebih terperinci

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA (Studi Kasus: Kawasan sekitar Danau Laut Tawar, Aceh Tengah) TUGAS AKHIR Oleh: AGUS SALIM L2D

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2015 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2015 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2015 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci