FAKTOR-FAKTOR PENENTU KELAHIRAN KEMBAR PADA SAPI POTONG

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "FAKTOR-FAKTOR PENENTU KELAHIRAN KEMBAR PADA SAPI POTONG"

Transkripsi

1 FAKTOR-FAKTOR PENENTU KELAHIRAN KEMBAR PADA SAPI POTONG (Determining Factors of Twinning Beef Cattle) CHALID TALIB, R.H. MATONDANG dan T. HERAWATI Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Jl. Raya Pajajaran Kav. E 59, Bogor ABSTRACT Meat production in Indonesia could only meets 65% of the demand, while the rest is supplied by importing meat and feeder cattle from Australia and New Zealand. The rate of importation is about 8%/year. In order to achieve meat self sufficiency in 2014, a breakthrough program should be done. This program should have direct impact on improving population as well as productivity, such as twinning. This study was done to identify the determining factor in twinning beef cattle. Results showed that twinning is affected by: location, cow breed and sex of calf. Parity has quadratic effect on twinning that reach the peak at second up to third parity. Out of 64 born twin calves, 56% were female and 28% were male. Feed and its nutrition could not trigger twinning without interaction with location and certain physiological status of beef cow. It is suspected that PO cattle has twin genetic in a larger rate compared to other breed of beef cattle in general. Therefore PO cattle should become priority choice in developing twinning cattle breeding herd in Indonesia Key Words: Beef Cattle, PO, Factors, Twinning ABSTRAK Produksi daging sapi dan kerbau di Indonesia baru mencukupi 65% dari kebutuhan dalam negeri dan sisanya dipenuhi melalui impor daging dan sapi bakalan dari Australia dan New Zealand dengan laju sekitar 8% per tahun. Untuk bisa memenuhi target program PSDSK (Program Swasembada Daging Sapi/Kerbau) pada tahun 2014 dibutuhkan terobosan inovasi teknologi yang tidak biasa digunakan tetapi dapat berdampak langsung pada peningkatan populasi dan produktivitas ternak seperti kelahiran kembar. Tujuan penelitian ini adalah untuk identifikasi faktor-faktor pendukung terjadinya kelahiran kembar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelahiran kembar dipengaruhi oleh lokasi, bangsa induk serta jenis kelamin pedet. Paritas berpengaruh secara kuadratik terhadap kelahiran kembar dengan puncak kelahiran kembar pada paritas ke-2 dan 3. Jenis kelamin yang dominan adalah betina 56% dan jantan 28% yang berasal dari sejumlah 64 pedet kelahiran kembar. Pakan dan nutrien yang dikandungnya tidak dapat berdiri sendiri dalam memicu terjadinya kelahiran kembar, tetapi harus berinteraksi dengan lokasi dan berlaku hanya pada status fisiologis tertentu saja baru dapat memicu terjadinya ovulasi lebih dari satu yang jika pada saat tersebut terjadi pembuahan barulah dapat berakhir dengan kelahiran kembar pada sapi potong. Diduga sapi PO mengandung gen kelahiran kembar dengan persentase yang lebih besar dari sapi potong umumnya sehingga sebaiknya sapi PO dijadikan prioritas dalam membangun breeding herd sapi kembar di Indonesia. Kata Kunci: Sapi Potong, PO, Faktor, Kembar PENDAHULUAN Produksi daging sapi dan kerbau di Indonesia baru mencukupi 65% dari kebutuhan Dalam Negeri dan sisanya dipenuhi melalui impor daging dan sapi bakalan dari Australia dan New Zealand dengan laju sekitar 8% per tahun (DITJENNAK, 2007). Untuk bisa memenuhi target program PSDSK (Program Swasembada Daging Sapi/Kerbau) pada tahun 2014 guna mencapai swasembada 90% daging tersebut dari dalam negeri. Oleh karena itu dibutuhkan restrukturisasi peternakan sapi potong, pengembangan SITT (sistem integrasi ternak tanaman) di kelapa sawit, pemanfaatan sumber pakan potensial lainnya (TALIB, 2007) serta membuat dan memanfaatkan terobosan inovasi teknologi yang tidak biasa digunakan tetapi dapat berdampak langsung pada peningkatan populasi dan produktivitas ternak. 367

2 Inovasi teknologi tersebut antara lain optimalisasi daya reproduksi sapi dan kerbau dengan satu induk beranak satu ekor dalam satu tahun (calving interval 12 bulan) atau dikenal dengan nama 3S (NTB, 2009) dan sapi melahirkan kembar. Program 3S dalam prakteknya dilaksanakan dalam sistem kandang kelompok menggunakan pejantan untuk mendeteksi induk yang berahi dan langsung dikawinkan dengan pemberian pakan yang memenuhi kebutuhan maintenance sapi induk (dan pedetnya). Untuk pejantan diberikan pakan istimewa agar dapat melakukan perkawinan setiap kali dibutuhkan. Masih ada lagi berbagai cara untuk memenuhi target tersebut antara lain melalui pertumbuhan maksimal untuk mencapai bobot potong minimal 400 kg, perpanjangan umur produktif induk agar dapat melahirkan lebih dari 7 kali selama hidupnya; tetapi dalam paper ini hanya akan difokuskan pada kelahiran kembar. Walaupun sudah diketahui bahwa salah satu keterbatasan biologis sapi adalah monotoccus (setiap beranak satu anak) tetapi dengan seleksi yang ketat ternyata populasi sapi kembar dapat dikembangkan, seperti di USA selama lebih dari 30 tahun melalui seleksi, menunjukkan bahwa kelahiran kembar pada sapi potong dapat meningkatkan efisiensi reproduksi antara 24 35% (GUERRA- MARTINEZ et al. 1990; NOTTER et al., 1979). Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi terjadinya kelahiran kembar pada sapi, antara lain umur, paritas, musim kawin, pakan dan kemampuan produksi susu (GREGORY et al., 1990; KARLSEN et al., 2000; KOMISAREK dan DORYNEK, 2002; dan SILVA DE RIO, 2007). Dalam sebuah populasi sapi, kejadian kelahiran kembar sapi potong 1% (KIRKPATRICK, 2002) dan sapi perah 5% (KOMISAREK dan DORYNEK, 2002). Potensi genetik ini dapat dimanfaatkan untuk ditingkatkan dengan seleksi yang ketat pada jumlah populasi dasar yang cukup besar karena peningkatan genetik ini akan bersifat permanen. Tujuan penelitian ini adalah (1) Menelusuri keberadaan sapi-sapi kembar pada peternakan rakyat dan industri peternakan; (2) Identifikasi performan reproduksi pada sapi beranak kembar (induk dan pejantan) dan anak kembarnya termasuk sejarah melahirkan dan (3) Identifikasi faktor-faktor lingkungan pendukung kelahiran kembar. MATERI METODE Penelitian dilakukan secara berjenjang dengan beberapa langkah yaitu: (1) Survei sapi yang melahirkan anak kembar, baik pada industri peternakan maupun peternakan rakyat di Kalimantan Selatan, Jawa Tengah (Kabupaten Kendal dan Sragen) dan Jawa Timur (Kabupaten Probolinggo, Pasuruan dan Tuban); (2) Koleksi jumlah dan jenis pakan, bobot badan dan bobot pascasapih pedet kembar; (3) Silsilah dan sejarah kelahiran kembar (minimal 2 kali atau > 50% kejadian kembar dalam masa produktifnya); (4) Performan reproduksi (service per conception, lama bunting dan kesulitan melahirkan); (5) Penggunaan hormon eksternal apabila digunakan untuk menginduksi kelahiran kembar dan (6) koleksi darah dilakukan pada induk dan pejantan yang menghasilkan anak kembar, serta pada anak kembar yang dilahirkan. Prosedur penelitian: 1. Identifikasi sapi yang melahirkan/ dilahirkan kembar kemudian mencatat: (a) sistem perkawinan alam/ib/et (nomor bach-nya untuk IB/ET, tanggal kawin dan lahir); (b) silsilah sapi kembar; (c) sejarah induk yang melahirkan kembar; (d) identifikasi pejantan/semen dari pejantan yang melahirkan kembar; (e) pertumbuhan pedet-pedet kembar (pengukuran Lingkar Dada, Tinggi Pundak, Panjang Badan, Tinggi Panggul dan Lebar Panggul) dan tanggal pada saat pengukuran dan (f) identifikasi pejantan dengan nilai genetik tinggi untuk pewarisan sifat kelahiran kembar. Identifikasi didasarkan pada pengamatan langsung baik oleh peneliti, penyuluh, petugas inseminator dan petugas para medis penyakit hewan. 2. Identifikasi sapi-sapi kembar pada induk yang melahirkan kembar lebih dari 1 kali atau yang melahirkan pertama kali kembar (karena diduga penyebab kelahiran kembar adalah faktor genetik). 368

3 3. Analisa varians hanya dilakukan pada beberapa faktor yang relevan. 4. Identifikasi faktor-faktor pendukung kelahiran kembar terutama: (a) jenis bahan, kecukupan dan kualitas pakan, (b) pengamatan konsumsi melalui penimbangan pakan dan sisa pakan selama 5 hari di lapangan, (c) analisa proksimat dan komposisi botani pakan yang dikonsumsi. Contoh pakan diambil dari masing-masing lokasi digabungkan untuk bahan yang sejenis (keragaman sangat kecil) kemudian dilanjutkan dengan analisa proksimat dan analisa lanjutan di laboratorium untuk melihat kandungan nutrien. Reproduksi HASIL DAN PEMBAHASAN Performan reproduksi sapi potong yang diukur dalam penelitian ini meliputi lokasi, bangsa induk dan pedet, jenis kelamin pedet, umur dan paritas. Selengkapnya disajikan pada Tabel 1. Hasil analisa varians menunjukkan bahwa kelahiran kembar dipengaruhi secara nyata oleh lokasi, bangsa serta jenis kelamin. Dari sebaran data yang ada berdasarkan lokasi terlihat bahwa kelahiran kembar di Jawa Timur (Jatim) dan Jawa Tengah (Jateng) lebih tinggi dari di Kalimantan Selatan (Kalsel). Jika dilihat lebih dalam lagi, ternyata bahwa jumlah sampel yang diperoleh mengakibatkan pengaruh tersebut, sehingga timbul tanda tanya apakah ini dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya? Hal tersebut disebabkan karena jumlah populasi sapi potong yang ada di Jatim dan Jateng ternyata jauh melampaui jumlah sapi potong di Kalsel dan mungkin ini yang menjadi penyebab bahwa jumlah kelahiran kembar yang diperoleh di Jatim dan Jateng lebih banyak dari jumlah yang diperoleh di Kalsel. Dari pengaruh bangsa induk, jika diteliti lebih lanjut menunjukkan bahwa kelahiran kembar yang diperoleh dalam penelitian ini hampir 100 persen dilahirkan oleh bangsa induk sapi PO dan persilangannya (yaitu sebesar 66% berasal dari induk sapi PO murni dan 33% berasal dari induk sapi persilangan dengan PO) dan hanya satu ekor sapi Bali yang ditemukan melahirkan kembar di Kalsel. Yang menarik dari temuan ini adalah bahwa persilangan sapi induk PO dengan pejantan Simmental dan Limousine sangat intensif dan indukan sapi persilangan tersebut cukup banyak, ternyata kelahiran kembar hanya dihasilkan oleh sapi silangan dengan pejantan Simmental dan Brangus dan tidak ada yang berasal dari sapi induk hasil pesilangan dengan Limousine. Dari hasil ini terlihat bahwa sapi PO yang di daerah aslinya di India dikenal sebagai sapi Nellore atau sapi Ongole adalah sapi dwiguna (tipe perah dan potong), sedangkan sapi Simmental dalam pembentukannya memang disiapkan juga untuk sapi dwiguna (tipe perah dan potong), sedangkan sapi Brangus dalam pembentukannya mengandung darah sapi Brahman yang juga notabene adalah sapi India (perlu diketahui bahwa hampir semua sapi di India adalah tipe dwiguna). Berbagai literatur juga telah menyebutkan bahwa sapi perah mempunyai peluang untuk melahirkan kembar yaitu sekitar 5% (KOMISAREK dan DORYNEK, 2002) yang ternyata lebih tinggi daripada sapi potong yang peluangnya hanya 1% (KIRKPATRICK, 2002) atau dengan kata lain sapi dwiguna akan mempunyai peluang untuk melahirkan kembar lebih tinggi dari sapi potong. Hasil penelitian ini secara nyata menunjukkan hal tersebut. Pejantan yang digunakan dalam perkawinan sapi-sapi induk yang melahirkan pedet kembar bervariasi, ada pejantan Limousine, Brangus dan Simmental untuk perkawinan dengan IB dan pejantan PO untuk perkawinan alam (dengan pejantan). Penggunaan pejantan yang berbeda tersebut tidak akan berpengaruh kepada induk untuk melahirkan kembar atau tunggal, karena kelahiran kembar didominasi oleh adanya multiple ovulation (ovulasi lebih dari satu sel telur oleh sapi induk) pada saat birahi. Sehingga yang menurunkan sifat tersebut adalah tetua induk yang melahirkan kembar (pejantan dan induk dari sapi yang melahirkan kembar). Pengaruh pejantan baru bisa diduga sebagai pembawa gen kembar, jika pedet betina yang dihasilkan dari perkawinan dengan pejantan tersebut (setelah menjadi induk) dapat melahirkan kembar secara beruntun (minimal 369

4 370 Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011

5 lebih dari satu kali). Jika ada pejantan yang seperti ini, maka pejantan tersebut dikatakan secara genetik membawa sifat kelahiran gambar. Pejantan-pejantan tersebut bersama dengan induk-induk sapi yang telah melahirkan kembar akan diseleksi sebagai pejantan bagi generasi penerus jika ingin membangun breeding herd sapi kembar. Dalam pembentukan breeding herd tersebut perkawinan perlu diatur agar jumlah kelahiran kembar terus meningkat dari generasi ke generasi berikutnya dengan mempertahankan inbreeding rendah. Jenis kelamin berpengaruh nyata pada pedet kelahiran kembar dimana pedet betina dilahirkan jauh lebih banyak dari pada pedet jantan. Pasangan seksual pedet kelahiran kembar didominasi oleh pasangan kembar betina 56% (P < 0.01); kembar jantan 23% dan kembar jantan-betina 18%. Kelahiran kembar betina-betina yang dominan dalam penelitian ini perlu ditindak lanjuti karena berdampak langsung pada perbandingan antara pedet jantan dan betina, dimana jumlah betina akan lebih banyak dari yang jantan. Oleh karena itu dari total pedet yang dilahirkan kembar, jenis kelamin yang dominan adalah betina 56% dan jantan 28% yang berasal dari sejumlah 64 pedet kelahiran kembar yang dicatat. Pada kelahiran tunggal perbandingan jantan dan betina hampir mendekati 50 : 50. Jika ratio jantan dan betina ini dapat digunakan untuk menggambarkan situasi yang sesungguhnya (jumlah sample masih terlalu sedikit), maka dengan menjaring ternak-ternak kembar dan mengembangkannya secara tersendiri akan dapat menghasilkan jumlah kelahiran betina yang lebih banyak, yang tentunya akan semakin mendukung percepatan swasembada daging nasional yang ingin dicapai dalam tahun 2014 tidak hanya melalui kelahiran kembar itu sendiri tetapi juga melalui perbanyakan jumlah ternak betina produktif. Jika pedet-pedet kembar pasangan betinabetina dapat dipertahankan maka kemungkinan besar mereka membawa gen kembar dari induknya (jika penyebabnya adalah faktor genetik). Sehingga kalau dikawinkan dengan pasangan kembar jantan-jantan yang tidak berhubungan keluarga maka peluang untuk meningkatkan jumlah kelahiran kembar dalam kelompok ternak kembar yang kelak akan dibangun akan semakin tinggi (disarankan berbasis sapi PO), yang pada akhirnya bisa memastikan bahwa sebagian besar ternak dalam kelompok kembar tersebut adalah ternak pembawa sifat kembar. Ini adalah cita-cita ke depan yang ingin dibangun yaitu terbentuknya breeding herd sapi kembar di Indonesia. Kembali ke pasangan jenis kelamin pedet kembar, secara teori jika peluang kelahiran setiap pasangan seksual berjalan secara acak, maka semestinya yang terbanyak kelahiran kembar adalah adalah pasangan campuran (jantan-betina) yang mendominasi kelahiran (yaitu 50%) dan pasangan seks yang sama masing-masing hanya 25%. Tetapi kenyataannya adalah pasangan betina kembar yang dominan. Apakah gejala ini memang khas pada sapi PO di Indonesia? Kalau benar pasangan kembar BB (betina-betina) pada sapi PO adalah merupakan ciri khas sapi PO maka tentunya ini merupakan anugerah bagi Indonesia untuk mempercepat perbanyakan populasi sapi betina yang dibutuhkan untuk mencapai swasembada daging sapi pada Tahun 2014 kelak. Tentunya mempertahankan keberadaan sapi PO yang mempunyai kecendrungan cukup besar dalam melahirkan kembar dengan dominasi kembar betina-betina adalah suatu keharusan. Sedangkan begitu tingginya intensitas perkawinan silang antara sapi taurine dengan PO cukup memprihatinkan kita semua, karena belum semua kemampuan/ kelebihan sapi PO terdata dengan baik, tetapi langkah pemusnahannya berjalan dengan sangat mudah pada populasi dasar. Walaupun demikian pada daerah-daerah (sebaiknya tingkat kabupaten atau kecamatan) yang frekuensi kelahiran sapi kembarnya tinggi, mendapat perhatian khusus dari Pemda setempat untuk mulai bersama dengan Badan Litbang Pertanian membinanya untuk membangun bakal calon breeding herd sapi kembar untuk masa depan. Hal tersebut penting untuk dilakukan karena stasiun percobaan yang ada di bawah UK/UPT Badan Litbang Pertanian mempunyai banyak keterbatasan untuk mengembangkan sapi dalam jumlah yang cukup besar agar dapat melaksanakan seleksi yang akurat untuk membangun kelompok ternak sapi kembar bagi Indonesia, sebagaimana yang telah berhasil dilakukan di Amerika Serikat. Pengaruh bangsa ternak dan jenis kelamin dalam kelahiran kembar dari data lapangan 371

6 Pedet kelahiran kembar 16 jumlah pedet kembar paritas Gambar 1. Pengaruh paritas induk sapi PO pada jumlah kelahiran kembar tersebut menunjukkan sapi PO yang membawa gen kembar dalam tubuhyna, kemungkinan besar mempunyai kecenderungan untuk melahirkan kembar betina-betina lebih banyak daripada pasangan kembar lainnya. Untuk membuktikan hal tersebut dibutuhkan jumlah sample yang lebih banyak lagi. Pengaruh paritas pada kelahiran kembar dapat dilihat pada Tabel 5 dan Pengaruh paritas yang dimasukkan sebagai regresi dalam model ternyata secara statistik nyata pada level kuadratik (P < 0,05) dengan titik tertinggi pada kelahiran ke-2 dan ke-3. Dari hasil analisa ini sebenarnya tidak diragukan lagi bahwa induk sapi PO dan persilangannya yang melahirkan pedet kembar pada kelahiran pertama seharusnya mengandung sifat sebagai pembawa gen kembar dan jumlah kelahiran kembar pada kelahiran 1 3 yang mendominasi kelahiran kembar pada sapi-sapi induk tersebut. Jika sapi-sapi kembar tersebut dapat dikumpulkan dan diseleksi dengan baik dalam suatu sistem perkawinan yang diatur secara ilmiah maka tentunya kami sangat yakin untuk dapat membangun breeding herd sapi kembar di Indonesia yang berbasis pada sapi PO maupun silangannya dengan Simmental dan Brangus (diutamakan pada sapi PO). Pilihan utama pada sapi PO disebabkan karena ternyata peternak terbukti lebih mempertahankan sapi induk PO (memperpanjang umur produktif sampai rataan paritas ke-4 bahkan ada yang sampai 10 kali melahirkan) dan tetap diingat oleh peternaknya dan tetap disayang sebagai induk unggul, sedangkan untuk sapi Sim-PO hanya sampai pada paritas ke 2,5. Sedangkan sapi Brangus walaupun dipertahankan peternak fanatik sampai paritas ke 4 tetapi umumnya pesilangan ini kurang disukai di Jawa, sehingga kalau akan digunakan sebaiknya memperhatikan juga selera peternak yang akan memeliharanya. Kalau yang dipilih pengembangan sapi kembar berbasis PO maka minimal akan ada dua keuntungan yaitu: (1) induknya kecil sehingga pakannya lebih sedikit; (2) umur produktifnya lebih panjang dan (3) kemungkinan besar membawa sifat genetik kembar. Pakan Pakan (termasuk air) merupakan faktor penunjang utama dalam pengembangan peternakan sapi potong. Kekurangan pakan akan menyebabkan berbagai hambatan dalam pertumbuhan maupun kinerja reproduksi. Kekurangan air akan menghambat laju pertukaran nutrien pada tingkat sel sehingga akan menghambat suplai gizi dan oksigen termasuk mekanisme fisiologis ternak. Pakan utama yang diberikan adalah pakan sumber 372

7 serat yang berasal dari sekitarnya terdiri dari rumput alam, daun lamtoro, jerami padi, kacang tanah, klobot jagung, kangkung dan lain-lain. Dari masing-masing peternak di setiap desa pemberiannya sangat bervariasi tergantung kepada perolehan hijauan seharihari. Sedangkan sisa hasil panen pertanian sangat bergantung pada tanaman yang diusahakan pada usahatani yang dikembangkan oleh para petani sekitarnya maupun oleh parapeternak itu sendiri. Dari pengumpulan data yang dilakukan dapat dilihat bahwa variasi pakan yang diberikan tersebut dapat digambarkan seperti tercantum pada Tabel 2. Dari Tabel 2 terlihat bahwa pakan sumber serat yang diberikan didominasi oleh rumput alam sebesar 37,93 77,78%; jerami padi 20,49 41,38% dan klobot jagung, jerami kacang tanah dan kangkung antara 12,62 20,69 % tergantung pada ketersediaan. Rumput alam ini walaupun sebagai pakan utama, tidak ditanam petani dan hanya dipanen dari lahan-lahan kosong maupun dari hasil penyiangan, sistem seperti ini dipraktekkan secara luas oleh peternak ruminansia (TALIB, 2010). Persentasi penggunaan rumput alam, jerami padi dan klobot jagung di atas bisa saling bergeser jika musim kemarau berlangsung lama yang menekan keberadaan rumput alam dan berubahnya pola tanam. Terlihat adanya pemberian pakan serat berkualitas tinggi berupa daun lamtoro dan bahkan pada daerah tertentu menjadi pakan utama. Alangkah baiknya jika petani dapat menanam lamtoro di pekarangan, lahan kosong, pinggir jalan dan pematang, karena tinggi nilainya gizinya dan mempunyai perakaran dalam sehingga tetap hijau sepanjang tahun. Komposisi botani bahan pakan serat sepanjang tahun diperkirakan tetap seperti pada Tabel 2 dan perubahan hanya pada persentase (%). Kandungan nilai gizi dapat dilihat pada Tabel 3. Dari Tabel 3 terlihat bahwa pakan serat mengandung rataan kandungan protein sebesar 10,12 + 3,54% sebagai sumber bahan pembangun, pengganti sel-sel dan untuk pertumbuhan dan BETN 44,11 + 4,03% sebagai sumber energi utama ternak. Dilihat dari persentasi protein dalam ransum sebenarnya sudah cukup untuk pengganti sel yang rusak (maintenance) dan mendukung pertumbuhan sel. Artinya dapat menjamin terjadinya pertumbuhan yang cukup, Tabel 2. Komposisi botani pakan sumber serat (%) Bahan pakan serat Provinsi (%) Kalteng Kalsel Jateng Jatim 1 Jatim 2 Rumput alam 36,36 55,75 37,93 45,37 77,78 Daun lamtoro 63, Jerami padi -- 31,63 41,38 20,49 -- Kacang tanah ,49 -- Klobot jagung ,69 13,66 22,22 Kangkung -- 12, Jumlah 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Tabel 3. Analisis proksimat bahan pakan sumber serat yang dikonsumsi Bahan pakan Bahan kering Persen dari bahan kering (%) (%) Protein Lemak kasar Serat kasar Abu BETN Rumput alam 57,17 14,73 3,63 24,71 19,91 37,02 Daun lamtoro 41,11 36,19 4,59 8,73 8,58 41,92 Jerami padi 70,46 4,10 1,54 24,03 23,22 47,12 Kacang tanah 68,32 14,94 2,87 30,57 11,52 40,11 Klobot jagung 59,67 7,31 3,23 26,43 6,37 56,65 Kangkung 86,70 12,98 2,85 30,50 15,47 38,20 373

8 hanya sayang karena jumlahnya yang masih kurang banyak sehingga secara total, jumlah konsumsi protein masih di bawah kebutuhan ternak. Sedangkan kandungan BETN dalam ransum yang dikonsumsi masih di bawah kebutuhan (seharusnya minimal 56%), yang ternyata hanya tersedia sejumlah 44% di dalam total pakan yang dikonsumsi (Tabel 4). Dampak kekurangan pakan terlihat sangat jelas pada performan sapi yang kurus dengan skor kondisi tubuh nilai 2 (dari 5 skala yang digunakan). Pemberian pakan seperti ini dilakukan pada semua ternak baik yang melahirkan kembar maupun tidak (tidak ada pemberian pakan istimewa pada induk melahirkan kembar). Walaupun pakan tersebut belum memenuhi kebutuhan hidup pokok dengan baik, tetapi ternyata sapi induk masih mampu melahirkan dan melaksanakan fungsi reproduksi dengan baik, walaupun terjadi kemunduran calving interval menjadi lebih besar dari 15 bulan. Dari pengamatan menunjukkan bahwa sapisapi tersebut mengkonsumsi pakan yang sama dengan komposisi botani yang juga hampir sama. Oleh karena itu dari sisi nutrient non mineral dan total konsumsi belum memperlihatkan sebagai faktor pemicu terjadinya kelahiran kembar, walaupun ternyata ada kelahiran kembar. KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan antara lain: 1. Kelahiran kembar dipengaruhi oleh lokasi, bangsa induk serta jenis kelamin pedet. 2. Bangsa sapi induk yang terbanyak melahirkan kembar adalah PO diikuti oleh induk persilangan Simmental-PO dan induk persilangan Brangus-PO, yang ternyata ketiganya membawa sifat sebagai sapi dwiguna (tipe potong dan perah). 3. Faktor paritas berpengaruh secara kuadratik terhadap kelahiran kembar dengan puncak kelahiran kembar pada paritas ke-2 dan 3. Pedet betina kelahiran kembar yang dihasilkan dari paritas ke satu dan yang telah melahirkan lebih dari satu kali kelahiran kembar berpeluang besar membawa sifat kelahiran kembar, sehingga setelah menjadi induk diharapkan akan dapat melahirkan kembar secara beruntun (minimal lebih dari satu kali). 4. Penggunaan pejantan yang berbeda tidak berpengaruh kepada induk untuk melahirkan kembar atau tunggal karena kelahiran kembar adalah kegiatan reproduksi pada induk dan tidak ada hubungannya dengan pejantan yang mengawininya. 5. Pada penelitian ini jenis kelamin yang dominan adalah betina 56% dan jantan 28% yang berasal dari sejumlah 64 pedet kelahiran kembar. Jika ratio jantan dan betina ini dapat digunakan untuk menggambarkan situasi yang sesungguhnya, maka dengan menjaring ternak-ternak kembar dan mengembangkannya secara tersendiri akan dapat menghasilkan jumlah kelahiran betina yang lebih banyak, yang tentunya akan semakin mendukung percepatan swasembada daging nasional yang ingin dicapai dalam tahun Pakan dan nutrien yang dikandungnya tidak dapat berdiri sendiri dalam memicu terjadinya kelahiran kembar, tetapi harus berinteraksi dengan lokasi (dalam hal ini lingkungan khususnya suhu dan cahaya Tabel 4. Total kandungan nutrient 3 bahan pakan utama yang diberikan (%) Bahan pakan BK PK LK SK Abu BETN Rumput alam 28,95 7,46 1,84 12,51 10,08 18,75 Jerami padi 21,96 1,28 0,48 7,49 7,24 14,69 Klobot jagung 11,25 1,38 0,61 4,98 1,20 10,68 Jumlah 62,16 10,12 2,93 24,99 18,52 44,11 SD 8,91 3,54 0,75 3,83 4,54 4,03 374

9 pada intensitas tertentu dan hanya pada status fisiologis tertentu saja baru dapat memicu terjadinya ovulasi lebih dari satu yang jika pada saat tersebut terjadi pembuahan barulah dapat berakhir dengan kelahiran kembar pada sapi potong. 7. Diduga sapi PO mengandung gen kelahiran kembar dengan persentase yang lebih besar dari sapi potong umumnya sehingga sebaiknya sapi PO dijadikan prioritas dalam membangun breeding herd sapi kembar di Indonesia. DAFTAR PUSTAKA BERRY, S.L., A. AHMADI and M.C. THURMOND Peripaturient disease on large, dry lot dairies: interrelationships of lactation, dystocia, calf number, calf mortality and calf sex. J. Dairy Sci. 77 (Suppl. 1): 379. BOURDON, R.M Understanding animal breeding. Prentice Hall, N.Y. CADY, R.A. and L.D. VAN VLECK Factors affecting twinning and effects of twinning in Holstein dairy cattle. J. Anim. Sci. 46: DITJENNAK Pedoman P2SDS. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta. GREGORY, K.E., G.L. BENNETT, L.D. VAN VLECK, S.E. ECHTERNKAMP and L.V. CUNDIFF Genetic and environmental parameters for ovulation rate, twinning rate, and weight traits in a cattle population selected for twinning. J. Anim. Sci. 75: GREGORY, K.E., S.E. ECHTERNKAMP, G.E. DICKERSON, L.V. CUNDIFF, R.M. HOCH and L.D. VAN VLECK Twinning in cattle: I. Foundation animals and genetic and environmental effects on twinning rate. J. Anim. Sci. 68: GUERRA-MARTINEZ, P., G.E. DICKERSON, G.B. ANDERSON and R.D. GREEN Embryotransfer twinning and performance efficiency in beef cattle. J. Anim. Sci. 68: JOHANSON, J.M., P.J. BERGER, B.W. KIRKPATRICK and M.R. DENTINE Twinning Rates for North American Holstein Sires. J. Dairy Sci. 84: KARLSEN, A., J. RUANE, G. KLEMETSDAL and B. HERINGSTAD Twinning rate in Norwegian cattle: Frequency, (co)variance components, and genetic trends. J. Anim. Sci. 78: KIRKPATRICK, B.W Management of twinning cow herds. J. Anim. Sci. 80(E. Suppl.): E14 E18. KOMISAREK, J. and Z. DORYNEK Genetics aspects of twinning in cattle. J. Appl. Genet. 43(1): LIEN, S., A. KARLSEN, G. KLEMETSDAL, D.I. VA GE and I. OLSAKER et al A primary screen of the bovine genome for quantitative trait loci affecting twinning rate. Mamm. Genome 11: MORRIS, C.A. and A.M. DAY Potential for genetic twinning in cattle. In: Proc. 3 rd World Congr. Genet. Appl. to Livest. Prod., Lincoln, Nebraska. 11: NIELEN, M., Y.H. SCHUKKEN, D.T. SCHOLL, H.J. WILBRINK and A. BRAND Twinning in dairy cattle: a study of risk factors and effects. Theriogenology. 32: NOTTER, D.R., J.O. SANDERS, G.E. DICKERSON, G.M. SMITH and T.C. CARTWRIGHT Simulated efficiency of beef production for a Midwestern cow-calf-feedlot management system. I. Milk production. J. Anim. Sci. 49: SILVA DEL RIO, B.W. KIRKPATRICK, and P.M. FRICKE Observed frequency of monozygotic twinning in Holstein dairy cattle. Theriogenol. 66(2006): TALIB, C., I. INOUNU dan A. BAMUALIM Restrukturisasi peternakan di Indonesia. J. Analisis Kebijakan Pertanian (Agricultural Policy Analysis) 5(1): TALIB, C Peningkatan populasi dan produktivitas kerbau di padang penggembalaan tradisional. Pros. semiloka nasional Nov. 2009, Brebes. Disnak Jateng, Pemda Brebes, Ditjennak dan Puslitbangnak. hlm WILBANK, M.C., P.M. FRICKE, S. SONGSRITAVONG, R. SARTOI and O.J. GINTHER Mechanisms that prevent and produce double ovulations in dairy cattle. J. Dairy Sci. 83:

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011 SILSILAH TETUA, SIFAT KELAHIRAN KEMBAR, PARITAS DAN PERFORMANS PRODUKSI SAPI INDUK MELAHIRKAN KEMBAR DAN TURUNANNYA DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA, JAWA TENGAH, JAWA TIMUR DAN KALIMANTAN SELATAN

Lebih terperinci

Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU

Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU Tujuan Instruksional Umum : Mengetahui sistem produksi ternak kerbau sungai Mengetahui sistem produksi ternak kerbau lumpur Tujuan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat pedesaan pada umumnya bermatapencaharian sebagai petani, selain usaha pertaniannya, usaha peternakan pun banyak dikelola oleh masyarakat pedesaan salah satunya

Lebih terperinci

PENGARUH MUSIM, TAHUN, MANAJEMEN DAN PARITAS INDUK TERHADAP KELAHIRAN KEMBAR SAPI PERAH

PENGARUH MUSIM, TAHUN, MANAJEMEN DAN PARITAS INDUK TERHADAP KELAHIRAN KEMBAR SAPI PERAH PENGARUH MUSIM, TAHUN, MANAJEMEN DAN PARITAS INDUK TERHADAP KELAHIRAN KEMBAR SAPI PERAH (Effects of Season, Year, Management and Parity on Twinning Rate in Dairy Cattle) LISA PRAHARANI 1, RUSDIANA 2, B.

Lebih terperinci

PENGARUH BANGSA PEJANTAN TERHADAP PRODUKTIVITAS PEDET SAPI POTONG HASIL INSEMINASI BUATAN

PENGARUH BANGSA PEJANTAN TERHADAP PRODUKTIVITAS PEDET SAPI POTONG HASIL INSEMINASI BUATAN PENGARUH BANGSA PEJANTAN TERHADAP PRODUKTIVITAS PEDET SAPI POTONG HASIL INSEMINASI BUATAN (Study Breed influence to the Productivity of Beef Cattle Calf from Artificial Insemination) MATHEUS SARIUBANG,

Lebih terperinci

Pembibitan dan Budidaya ternak dapat diartikan ternak yang digunakan sebagai tetua bagi anaknya tanpa atau sedikit memperhatikan potensi genetiknya. B

Pembibitan dan Budidaya ternak dapat diartikan ternak yang digunakan sebagai tetua bagi anaknya tanpa atau sedikit memperhatikan potensi genetiknya. B Budidaya Sapi Potong Berbasis Agroekosistem Perkebunan Kelapa Sawit BAB III PEMBIBITAN DAN BUDIDAYA PENGERTIAN UMUM Secara umum pola usahaternak sapi potong dikelompokkan menjadi usaha "pembibitan" yang

Lebih terperinci

IV. POTENSI PASOKAN DAGING SAPI DAN KERBAU

IV. POTENSI PASOKAN DAGING SAPI DAN KERBAU IV. POTENSI PASOKAN DAGING SAPI DAN KERBAU Ternak mempunyai arti yang cukup penting dalam aspek pangan dan ekonomi masyarakat Indonesia. Dalam aspek pangan, daging sapi dan kerbau ditujukan terutama untuk

Lebih terperinci

FORMULASI RANSUM PADA USAHA TERNAK SAPI PENGGEMUKAN

FORMULASI RANSUM PADA USAHA TERNAK SAPI PENGGEMUKAN AgroinovasI FORMULASI RANSUM PADA USAHA TERNAK SAPI PENGGEMUKAN Usaha penggemukan sapi potong semakin menarik perhatian masyarakat karena begitu besarnya pasar tersedia untuk komoditas ini. Namun demikian,

Lebih terperinci

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN A. Kesimpulan Secara umum kinerja produksi ternak sapi dan kerbau di berbagai daerah relatif masih rendah. Potensi ternak sapi dan kerbau lokal masih dapat ditingkatkan

Lebih terperinci

HUBUNGAN BOBOT HIDUP INDUK SAAT MELAHIRKAN TERHADAP PERTUMBUHAN PEDET SAPI PO DI FOUNDATION STOCK

HUBUNGAN BOBOT HIDUP INDUK SAAT MELAHIRKAN TERHADAP PERTUMBUHAN PEDET SAPI PO DI FOUNDATION STOCK HUBUNGAN BOBOT HIDUP INDUK SAAT MELAHIRKAN TERHADAP PERTUMBUHAN PEDET SAPI PO DI FOUNDATION STOCK (The Relation of Calving Cow Body Weight with Calf Growth of PO Cattle in Foundation Stock) HARTATI dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Persepsi Peternak Terhadap IB Persepsi peternak sapi potong terhadap pelaksanaan IB adalah tanggapan para peternak yang ada di wilayah pos IB Dumati terhadap pelayanan IB

Lebih terperinci

Pemotongan Sapi Betina Produktif di Rumah Potong Hewan di Daerah Istimewa Yogyakarta

Pemotongan Sapi Betina Produktif di Rumah Potong Hewan di Daerah Istimewa Yogyakarta Sains Peternakan Vol. 7 (1), Maret 2009: 20-24 ISSN 1693-8828 Pemotongan Sapi Betina Produktif di Rumah Potong Hewan di Daerah Istimewa Yogyakarta N. Rasminati, S. Utomo dan D.A. Riyadi Jurusan Peternakan,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian

PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Tujuan umum pembangunan peternakan, sebagaimana tertulis dalam Rencana Strategis (Renstra) Direktorat Jenderal Peternakan Tahun 2010-2014, adalah meningkatkan penyediaan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum BBPTU-HPT Baturraden Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang ada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus meningkat sehingga membutuhkan ketersediaan makanan yang memiliki gizi baik yang berasal

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba merupakan salah satu ternak ruminansia kecil yang memiliki potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan sudah sangat umum dibudidayakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Populasi dan produktifitas sapi potong secara nasional selama beberapa tahun terakhir menunjukkan kecenderungan menurun dengan laju pertumbuhan sapi potong hanya mencapai

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Desa Cibeureum Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor pada Bulan Maret sampai Agustus. Pemilihan daerah Desa Cibeureum sebagai tempat penelitian

Lebih terperinci

Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura Juni, 2013 Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan KERAGAAN BOBOT LAHIR PEDET SAPI LOKAL (PERANAKAN ONGOLE/PO) KEBUMEN DAN POTENSINYA SEBAGAI SUMBER BIBIT SAPI PO YANG BERKUALITAS Subiharta dan Pita Sudrajad

Lebih terperinci

BIRTH WEIGHT AND MORPHOMETRIC OF 3 5 DAYS AGES OF THE SIMMENTAL SIMPO AND LIMOUSINE SIMPO CROSSBREED PRODUCED BY ARTIFICIAL INSEMINATION (AI) ABSTRACT

BIRTH WEIGHT AND MORPHOMETRIC OF 3 5 DAYS AGES OF THE SIMMENTAL SIMPO AND LIMOUSINE SIMPO CROSSBREED PRODUCED BY ARTIFICIAL INSEMINATION (AI) ABSTRACT BIRTH WEIGHT AND MORPHOMETRIC OF 3 5 DAYS AGES OF THE SIMMENTAL SIMPO AND LIMOUSINE SIMPO CROSSBREED PRODUCED BY ARTIFICIAL INSEMINATION (AI) Irwan Cahyo Utomo 1, Gatot Ciptadi 2 and Moch. Nasich 2 1)

Lebih terperinci

Gambar 2. Domba didalam Kandang Individu

Gambar 2. Domba didalam Kandang Individu MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Daging dan Kerja (kandang B) pada bulan Mei sampai dengan bulan November 2010. Analisis sampel dilakukan

Lebih terperinci

Contak person: ABSTRACT. Keywords: Service per Conception, Days Open, Calving Interval, Conception Rate and Index Fertility

Contak person: ABSTRACT. Keywords: Service per Conception, Days Open, Calving Interval, Conception Rate and Index Fertility REPRODUCTION PERFORMANCE OF BEEF CATTLE FILIAL LIMOUSIN AND FILIAL ONGOLE UNDERDISTRICT PALANG DISTRICT TUBAN Suprayitno, M. Nur Ihsan dan Sri Wahyuningsih ¹) Undergraduate Student of Animal Husbandry,

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Potong Sapi potong adalah jenis sapi yang khusus dipelihara untuk digemukkan karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup baik. Sapi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan kebutuhan daging sapi lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan daging sapi. Ternak sapi,

Lebih terperinci

PENGARUH SURGE FEEDING TERHADAP TAMPILAN REPRODUKSI SAPI INDUK SILANGAN PERANAKAN ONGOLE (PO) SIMENTAL

PENGARUH SURGE FEEDING TERHADAP TAMPILAN REPRODUKSI SAPI INDUK SILANGAN PERANAKAN ONGOLE (PO) SIMENTAL PENGARUH SURGE FEEDING TERHADAP TAMPILAN REPRODUKSI SAPI INDUK SILANGAN PERANAKAN ONGOLE (PO) SIMENTAL (Effect of Surge Feeding on the Reproductive Performance of PO x Simmental Cross Beef Cow) Y.N. ANGGRAENY

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Boer Jawa (Borja) Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan antara kambing Afrika lokal tipe kaki panjang dengan kambing yang berasal

Lebih terperinci

ESTIMASI OUTPUT SAPI POTONG DI KABUPATEN SUKOHARJO JAWA TENGAH

ESTIMASI OUTPUT SAPI POTONG DI KABUPATEN SUKOHARJO JAWA TENGAH ESTIMASI OUTPUT SAPI POTONG DI KABUPATEN SUKOHARJO JAWA TENGAH (The Estimation of Beef Cattle Output in Sukoharjo Central Java) SUMADI, N. NGADIYONO dan E. SULASTRI Fakultas Peternakan Universitas Gadjah

Lebih terperinci

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat UKURAN KRITERIA REPRODUKSI TERNAK Sekelompok ternak akan dapat berkembang biak apalagi pada setiap ternak (sapi) dalam kelompoknya mempunyai kesanggupan untuk berkembang biak menghasilkan keturunan (melahirkan)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sektor peternakan adalah sektor yang memberikan kontribusi tinggi dalam

TINJAUAN PUSTAKA. Sektor peternakan adalah sektor yang memberikan kontribusi tinggi dalam 9 II TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Usahaternak Sektor peternakan adalah sektor yang memberikan kontribusi tinggi dalam pembangunan pertanian. Sektor ini memiliki peluang pasar yang sangat baik, dimana pasar domestik

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang dan Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia Sapi lokal memiliki potensi sebagai penghasil daging dalam negeri. Sapi lokal memiliki kelebihan, yaitu daya adaptasi terhadap lingkungan tinggi, mampu

Lebih terperinci

RESPONS SAPI PO DAN SILANGANNYA TERHADAP PENGGUNAAN TUMPI JAGUNG DALAM RANSUM

RESPONS SAPI PO DAN SILANGANNYA TERHADAP PENGGUNAAN TUMPI JAGUNG DALAM RANSUM Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005 RESPONS SAPI PO DAN SILANGANNYA TERHADAP PENGGUNAAN TUMPI JAGUNG DALAM RANSUM (The Response of Ongole Grades and Their Crossbred on the Use Corn

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan kebutuhan daging sapi yang sampai saat ini masih mengandalkan pemasukan ternak

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan dari bulan Juli 2010 hingga April 2011 di peternakan sapi rakyat Desa Tanjung, Kecamatan Sulang, Kabupaten Rembang, dan di Departemen Ilmu Nutrisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk membajak sawah oleh petani ataupun digunakan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk membajak sawah oleh petani ataupun digunakan sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Sapi adalah salah satu hewan yang sejak jaman dulu produknya sudah dimanfaatkan oleh manusia seperti daging dan susu untuk dikonsumsi, dimanfaatkan untuk membajak

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI SAPI POTONG BAKALAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

ANALISIS POTENSI SAPI POTONG BAKALAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA ANALISIS POTENSI SAPI POTONG BAKALAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (Potency Analysis of Feeders Beef Cattle at Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) SUMADI, WARTOMO HARDJOSUBROTO dan NONO NGADIYONO Fakultas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Pemeliharaan sapi perah bertujuan utama untuk memperoleh produksi susu yang tinggi dan efisien pakan yang baik serta mendapatkan hasil samping berupa anak. Peningkatan produksi

Lebih terperinci

INDEK FERTILITAS SAPI PO DAN PERSILANGANNYA DENGAN LIMOUSIN

INDEK FERTILITAS SAPI PO DAN PERSILANGANNYA DENGAN LIMOUSIN INDEK FERTILITAS SAPI PO DAN PERSILANGANNYA DENGAN LIMOUSIN Moh. Nur Ihsan Produksi Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang ABSTRAK Suatu penelitian untuk mengetahui indeks fertilitas

Lebih terperinci

PENGGEMUKAN SAPI POTONG POLA LOW EXTERNAL INPUT SUSTAINABLE AGRICULTURE

PENGGEMUKAN SAPI POTONG POLA LOW EXTERNAL INPUT SUSTAINABLE AGRICULTURE PENGGEMUKAN SAPI POTONG POLA LOW EXTERNAL INPUT SUSTAINABLE AGRICULTURE (LEISA) DI DESA GAYAM KECAMATAN GONDANG WETAN KABUPATEN PASURUAN DALAM RANGKA MENDUKUNG UPSUS SIWAB 2017 Mokhammad Ali Fakhri, Dewi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Peranakan Ongole Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi lokal. Sapi ini tahan terhadap iklim tropis dengan musim kemaraunya (Yulianto

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Menurut

PENDAHULUAN. dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Menurut I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permintaan daging sapi terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Menurut Direktorat Jendral Peternakan (2012)

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa SawitSapi POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN ABDULLAH BAMUALIM dan SUBOWO G. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI PERANAKAN ONGOLE DAN PERANAKAN LIMOUSIN DI KABUPATEN MALANG

PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI PERANAKAN ONGOLE DAN PERANAKAN LIMOUSIN DI KABUPATEN MALANG PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI PERANAKAN ONGOLE DAN PERANAKAN LIMOUSIN DI KABUPATEN MALANG Nuryadi dan Sri Wahjuningsih Jurusan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya ABSTRAK Tujuan dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging dan merupakan komoditas peternakan yang sangat potensial. Dalam perkembangannya, populasi sapi potong belum mampu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Peternakan di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan, sehingga

I. PENDAHULUAN. Peternakan di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan, sehingga 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan, sehingga membutuhkan ketersediaan pakan yang cukup untuk ternak. Pakan merupakan hal utama dalam tata laksana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada peningkatan pendapatan, taraf hidup, dan tingkat pendidikan masyarakat yang pada akhirnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Soedjana (2011) berdasarkan data secara nasional, bahwa baik

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Soedjana (2011) berdasarkan data secara nasional, bahwa baik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Soedjana (2011) berdasarkan data secara nasional, bahwa baik dalam ketersediaan, distribusi dan konsumsi daging sapi dan kerbau belum memenuhi tujuan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. P2 * hari hari hari

HASIL DAN PEMBAHASAN. P2 * hari hari hari HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan Pra Sapih Konsumsi pakan dihitung berdasarkan banyaknya pakan yang dikonsumsi setiap harinya. Pakan yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan ternak tersebut. Pakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20 HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Bahan Kering (BK) Konsumsi adalah jumlah pakan yang dimakan oleh ternak yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok, produksi, dan reproduksi. Ratarata konsumsi

Lebih terperinci

ROAD MAP PENCAPAIAN SWASEMBADA DAGING SAPI KERBAU Kegiatan Pokok

ROAD MAP PENCAPAIAN SWASEMBADA DAGING SAPI KERBAU Kegiatan Pokok 33 Propinsi ROAD MAP PENCAPAIAN SWASEMBADA DAGING SAPI KERBAU 2014 5 Kegiatan Pokok Target Pencapaian Swasembada Daging Sapi Kerbau Tahun 2014 20 Propinsi Prioritas Kelompok I Daerah prioritas IB yaitu

Lebih terperinci

KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH

KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH Pita Sudrajad*, Muryanto, Mastur dan Subiharta Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

penampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat

penampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat Problem utama pada sub sektor peternakan saat ini adalah ketidakmampuan secara optimal menyediakan produk-produk peternakan, seperti daging, telur, dan susu untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat akan

Lebih terperinci

SISTEM BREEDING DAN PERFORMANS HASIL PERSILANGAN SAPI MADURA DI MADURA

SISTEM BREEDING DAN PERFORMANS HASIL PERSILANGAN SAPI MADURA DI MADURA SISTEM BREEDING DAN PERFORMANS HASIL PERSILANGAN SAPI MADURA DI MADURA Nurgiartiningsih, V. M. A Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya Malang ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. Zat Makanan Ransum Kandungan zat makanan ransum yang diberikan selama penelitian ini secara lengkap tercantum pada Tabel 4.

PEMBAHASAN. Zat Makanan Ransum Kandungan zat makanan ransum yang diberikan selama penelitian ini secara lengkap tercantum pada Tabel 4. PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Rata-rata suhu lingkungan dan kelembaban kandang Laboratotium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja sekitar 26,99 0 C dan 80,46%. Suhu yang nyaman untuk domba di daerah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. produksi yang dihasilkan oleh peternak rakyat rendah. Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012), produksi susu dalam negeri hanya

PENDAHULUAN. produksi yang dihasilkan oleh peternak rakyat rendah. Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012), produksi susu dalam negeri hanya 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan sapi perah di Indonesia, 90% merupakan peternakan sapi perah rakyat dengan kepemilikan kecil dan pengelolaan usaha yang masih tradisional. Pemeliharaan yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Kabupaten Rembang terletak di ujung Timur laut Propinsi Jawa Tengah yang dilalui jalan Pantai Utara Jawa (Jalur Pantura), pada garis koordinat 111,000'- 111,030'

Lebih terperinci

SISTEM PEMULIAAN INTI TERBUKA UPAYA PENINGKATAN MUTU GENETIK SAPI POTONG. Rikhanah

SISTEM PEMULIAAN INTI TERBUKA UPAYA PENINGKATAN MUTU GENETIK SAPI POTONG. Rikhanah SISTEM PEMULIAAN INTI TERBUKA UPAYA PENINGKATAN MUTU GENETIK SAPI POTONG Rikhanah Abstrak The influence of beef meat stock in Center Java is least increase on 2002-2006. However beef meat supplier more

Lebih terperinci

Hubungan antara bobot badan induk dan bobot lahir pedet sapi Brahman cross pada jenis kelamin yang berbeda

Hubungan antara bobot badan induk dan bobot lahir pedet sapi Brahman cross pada jenis kelamin yang berbeda Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan 23 (1): 18-24 ISSN: 0852-3581 Fakultas Peternakan UB, http://jiip.ub.ac.id/ Hubungan antara bobot badan induk dan bobot lahir pedet sapi Brahman cross pada jenis kelamin yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan konsumsi daging sapi penduduk Indonesia cenderung terus meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia dan kesadaran masyarakat akan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar Indonesia tetapi sudah

TINJAUAN PUSTAKA. lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar Indonesia tetapi sudah II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Lokal di Indonesia Menurut Hardjosubroto (1994) bahwa sapi potong asli indonesia adalah sapi-sapi potong yang sejak dulu sudah terdapat di Indonesia, sedangkan sapi lokal

Lebih terperinci

PERFORMANS PRODUKTIVITAS INDUK SAPI PERANAKAN ONGOLE (PO) BERANAK KEMBAR DAN TURUNANNYA DI KANDANG PERCOBAAN LOLIT SAPI POTONG, PASURUAN

PERFORMANS PRODUKTIVITAS INDUK SAPI PERANAKAN ONGOLE (PO) BERANAK KEMBAR DAN TURUNANNYA DI KANDANG PERCOBAAN LOLIT SAPI POTONG, PASURUAN PERFORMNS PRODUKTIVITS INDUK SPI PERNKN ONGOLE (PO) ERNK KEMR DN TURUNNNY DI KNDNG PERCON LOLIT SPI POTONG, PSURUN (Productivity of Ongole Grade (Po) Twinning Cattle and the Offspring in eef Research Station,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ternak disamping manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan adalah faktor manajemen lingkungan. Suhu dan kelembaban yang

Lebih terperinci

LOUNCHING PROVEN BULL SAPI PERAH INDONESIA

LOUNCHING PROVEN BULL SAPI PERAH INDONESIA LOUNCHING PROVEN BULL SAPI PERAH INDONESIA PENDAHULUAN Lounching proven bulls yang dihasilkan di Indonesia secara mandiri yang dilaksanakan secara kontinu merupakan mimpi bangsa Indonesia yang ingin diwujudkan

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI

LAPORAN AKHIR PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI LAPORAN AKHIR PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI OPTIMALISASI REPRODUKSI SAPI BETINA LOKAL (un identified bred) DENGAN TIGA SUMBER GENETIK UNGGUL MELALUI INTENSIFIKASI IB Ir. Agus Budiarto, MS NIDN :

Lebih terperinci

KINERJA REPRODUKSI SAPI BRAHMAN CROSS DI TIGA PROVINSI DI INDONESIA: STUDI KASUS DI PROVINSI JAWA TIMUR, JAWA TENGAH DAN KALIMANTAN SELATAN

KINERJA REPRODUKSI SAPI BRAHMAN CROSS DI TIGA PROVINSI DI INDONESIA: STUDI KASUS DI PROVINSI JAWA TIMUR, JAWA TENGAH DAN KALIMANTAN SELATAN KINERJA REPRODUKSI SAPI BRAHMAN CROSS DI TIGA PROVINSI DI INDONESIA: STUDI KASUS DI PROVINSI JAWA TIMUR, JAWA TENGAH DAN KALIMANTAN SELATAN (Reproductive Performance of Brahman Cross in Three Provinces

Lebih terperinci

PEMBERIAN PAKAN PADA PENGGEMUKAN SAPI

PEMBERIAN PAKAN PADA PENGGEMUKAN SAPI Tatap muka ke 7 POKOK BAHASAN : PEMBERIAN PAKAN PADA PENGGEMUKAN SAPI Tujuan Instruksional Umum : Mengetahui program pemberian pakan pada penggemukan sapi dan cara pemberian pakan agar diperoleh tingkat

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR DALAM PENGGEMUKAN SAPI POTONG

FAKTOR-FAKTOR DALAM PENGGEMUKAN SAPI POTONG Tatap muka ke 2 3 POKOK BAHASAN : FAKTOR-FAKTOR DALAM PENGGEMUKAN SAPI POTONG Tujuan Instruksional Umum : Mengetahui faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam penggemukan sapi potong dan cara memanipulasi

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN UJI PERFORMAN SAPI POTONG TAHUN 2012

PEDOMAN PELAKSANAAN UJI PERFORMAN SAPI POTONG TAHUN 2012 PEDOMAN PELAKSANAAN UJI PERFORMAN SAPI POTONG TAHUN 2012 DIREKTORAT PERBIBITAN TERNAK DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2012 KATA PENGANTAR Peningkatan produksi ternak

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi perah Sapi perah (Bos sp.) merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya dan sangat besar kontribusinya dalam memenuhi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk pengembangan ternak sapi potong. Kemampuan menampung ternak sapi di Lampung sebesar

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Gambar 1. Ternak Domba yang Digunakan

MATERI DAN METODE. Gambar 1. Ternak Domba yang Digunakan MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang dan Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi yang sangat besar

PENGANTAR. Latar Belakang. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi yang sangat besar PENGANTAR Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi yang sangat besar dalam pengembangan sektor peternakan dalam rangka mendukung upaya pemerintah dalam program pemenuhan kebutuhan

Lebih terperinci

TEKNIS BUDIDAYA SAPI POTONG

TEKNIS BUDIDAYA SAPI POTONG TEKNIS BUDIDAYA SAPI POTONG Oleh : Ir. BERTI PELATIHAN PETANI DAN PELAKU AGRIBISNIS BADAN PELAKSANA PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN DAN KEHUTANAN KABUPATEN BONE TA. 2014 1. Sapi Bali 2. Sapi Madura 3.

Lebih terperinci

KINERJA PRODUKSI DAN UMUR PUBERTAS PEDET HASIL KAWIN SILANG SAPI PO, SIMMENTAL DAN LIMOUSIN DALAM USAHA PETERNAKAN RAKYAT

KINERJA PRODUKSI DAN UMUR PUBERTAS PEDET HASIL KAWIN SILANG SAPI PO, SIMMENTAL DAN LIMOUSIN DALAM USAHA PETERNAKAN RAKYAT KINERJA PRODUKSI DAN UMUR PUBERTAS PEDET HASIL KAWIN SILANG SAPI PO, SIMMENTAL DAN LIMOUSIN DALAM USAHA PETERNAKAN RAKYAT (Production Performance Puberty Age of Calf from Crossing of PO X Simmental X Limousine

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging di Indonesia. Daging sapi merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak dibutuhkan konsumen, namun sampai

Lebih terperinci

DAYA DUKUNG LIMBAH PERTANIAN SEBAGAI SUMBER PAKAN TERNAK RUMINANSIA DI INDONESIA

DAYA DUKUNG LIMBAH PERTANIAN SEBAGAI SUMBER PAKAN TERNAK RUMINANSIA DI INDONESIA JASMAL A. SYAMSU et al.: Daya Dukung Limbah Pertanian sebagai Sumber Pakan Ternak Ruminansia di Indonesia DAYA DUKUNG LIMBAH PERTANIAN SEBAGAI SUMBER PAKAN TERNAK RUMINANSIA DI INDONESIA JASMAL A. SYAMSU

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. memadai, ditambah dengan diberlakukannya pasar bebas. Membanjirnya susu

PENDAHULUAN. memadai, ditambah dengan diberlakukannya pasar bebas. Membanjirnya susu I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sapi perah mempunyai potensi yang sangat besar untuk dikembangkan di Indonesia, dikarenakan kebutuhan akan susu domestik dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN ANAK KAMBING KOSTA SELAMA PERIODE PRASAPIH PADA INDUK YANG BERUMUR LEBIH DARI 4 TAHUN

PERTUMBUHAN ANAK KAMBING KOSTA SELAMA PERIODE PRASAPIH PADA INDUK YANG BERUMUR LEBIH DARI 4 TAHUN Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008 PERTUMBUHAN ANAK KAMBING KOSTA SELAMA PERIODE PRASAPIH PADA INDUK YANG BERUMUR LEBIH DARI 4 TAHUN (The Growth Performance of Kosta Kids During Preweaning

Lebih terperinci

Evaluasi Kecukupan Nutrien pada Sapi Perah Laktasi... Refi Rinaldi

Evaluasi Kecukupan Nutrien pada Sapi Perah Laktasi... Refi Rinaldi EVALUASI KECUKUPAN NUTRIEN PADA SAPI PERAH LAKTASI PRODUKSI SEDANG MILIK ANGGOTA KOPERASI DI KOPERASI PETERNAKAN BANDUNG SELATAN (KPBS) PANGALENGAN Refi Rinaldi*, Iman Hernaman**, Budi Ayuningsih** Fakultas

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PAKAN PROTEIN RENDAH UNTUK SAPI POTONG

TEKNOLOGI PAKAN PROTEIN RENDAH UNTUK SAPI POTONG TEKNOLOGI PAKAN PROTEIN RENDAH UNTUK SAPI POTONG Pakan merupakan komponen biaya tertinggi dalam suatu usaha peternakan, yaitu dapat mencapai 70-80%. Pengalaman telah menunjukkan kepada kita, bahwa usaha

Lebih terperinci

SeminarNosional Peternakan dan Feienner 1997

SeminarNosional Peternakan dan Feienner 1997 SeminarNosional Peternakan dan Feienner 1997 ANALISIS EKSTRA MARGINAL SATU TINGKAT' PEMBERIAN KONSENTRAT PADA SAPI PO LAKTASI DALAM SISTEM USARATANI RAKYAT DI DAERAH LAHAN KERING DI JAWA TIMUR Ditinjau

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Waktu dan Lokasi. Materi

MATERI DAN METODE. Waktu dan Lokasi. Materi MATERI DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Kandang B, Laboratorium Biologi Hewan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Laboratorium Terpadu Departemen Ilmu Nutrisi

Lebih terperinci

KINERJA REPRODUKSI SAPI POTONG PADA PETERNAKAN RAKYAT DI DAERAH KANTONG TERNAK DI JAWA TENGAH

KINERJA REPRODUKSI SAPI POTONG PADA PETERNAKAN RAKYAT DI DAERAH KANTONG TERNAK DI JAWA TENGAH KINERJA REPRODUKSI SAPI POTONG PADA PETERNAKAN RAKYAT DI DAERAH KANTONG TERNAK DI JAWA TENGAH (Beef Cattle Reproduction Performance at Farmer Level in Central Java Production Center) SUBIHARTA, B. UTOMO,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi potong merupakan salah satu komoditas ternak yang potensial dan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi potong merupakan salah satu komoditas ternak yang potensial dan PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu komoditas ternak yang potensial dan strategis untuk dikembangkan di Indonesia. Populasi ternak sapi di suatu wilayah perlu diketahui untuk menjaga

Lebih terperinci

LOKASI SAPI POTONG BERANAK KEMBAR UNTUK MENDUKUNG PROGRAM SWASEMBADA DAGING SAPI DI JAWA TENGAH

LOKASI SAPI POTONG BERANAK KEMBAR UNTUK MENDUKUNG PROGRAM SWASEMBADA DAGING SAPI DI JAWA TENGAH LOKASI SAPI POTONG BERANAK KEMBAR UNTUK MENDUKUNG PROGRAM SWASEMBADA DAGING SAPI DI JAWA TENGAH (Location of Twin Cattle in Support of Beef Self-Sufficiency Program in Central Java) SUBIHARTA 1, B. SUDARYANTO

Lebih terperinci

Pengaruh Imbangan Hijauan-Konsentrat dan Waktu Pemberian Ransum terhadap Produktivitas Kelinci Lokal Jantan

Pengaruh Imbangan Hijauan-Konsentrat dan Waktu Pemberian Ransum terhadap Produktivitas Kelinci Lokal Jantan Jurnal Penelitian Pertanian Terapan Vol. 12 (2): 69-74 ISSN 1410-5020 Pengaruh Imbangan Hijauan-Konsentrat dan Waktu Pemberian Ransum terhadap Produktivitas Kelinci Lokal Jantan The Effect of Ration with

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan I. PENDAHULUAN 1.1.Latar belakang Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan produksi menuju swasembada, memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan serta meratakan taraf hidup

Lebih terperinci

KONDISI PETERNAKAN KERBAU DI DESA TAMBAKBOYO KECAMATAN AMBARAWA, KABUPATEN SEMARANG

KONDISI PETERNAKAN KERBAU DI DESA TAMBAKBOYO KECAMATAN AMBARAWA, KABUPATEN SEMARANG KONDISI PETERNAKAN KERBAU DI DESA TAMBAKBOYO KECAMATAN AMBARAWA, KABUPATEN SEMARANG (Buffalo Livestock Conditions in the Village of Tambakboyo Ambarawa Sub district, Semarang District) ISNANI HERIANTI,

Lebih terperinci

METODE. Materi 10,76 12,09 3,19 20,90 53,16

METODE. Materi 10,76 12,09 3,19 20,90 53,16 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Daging dan Kerja Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Pemeliharaan ternak percobaan dilakukan dari bulan

Lebih terperinci

KEMAJUAN GENETIK SAPI LOKAL BERDASARKAN SELEKSI DAN PERKAWINAN TERPILIH

KEMAJUAN GENETIK SAPI LOKAL BERDASARKAN SELEKSI DAN PERKAWINAN TERPILIH KEMAJUAN GENETIK SAPI LOKAL BERDASARKAN SELEKSI DAN PERKAWINAN TERPILIH Lusty Istiqomah Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia (BPPTK)-LIPI Jln. Jogja Wonosari Km. 31, Gading, Playen, Gunungkidul,

Lebih terperinci

PENGGUNAAN BAHAN PAKAN LOKAL SEBAGAI UPAYA EFISIENSI PADA USAHA PEMBIBITAN SAPI POTONG KOMERSIAL: Studi Kasus di CV Bukit Indah Lumajang

PENGGUNAAN BAHAN PAKAN LOKAL SEBAGAI UPAYA EFISIENSI PADA USAHA PEMBIBITAN SAPI POTONG KOMERSIAL: Studi Kasus di CV Bukit Indah Lumajang PENGGUNAAN BAHAN PAKAN LOKAL SEBAGAI UPAYA EFISIENSI PADA USAHA PEMBIBITAN SAPI POTONG KOMERSIAL: Studi Kasus di CV Bukit Indah Lumajang (Efficiency of Commercial Cattle Production Effectively by Using

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan bangsa kambing hasil persilangan kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil persilangan pejantan

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Kebangkitan Peternakan II Membangun Kewirausahaan Dalam Pengelolaan Kawasan Peternakan Berbasis Sumberdaya Lokal

Prosiding Seminar Nasional Kebangkitan Peternakan II Membangun Kewirausahaan Dalam Pengelolaan Kawasan Peternakan Berbasis Sumberdaya Lokal APLIKASI KAWIN ALAM PADA SAPI POTONG MENGGUNAKAN KANDANG KELOMPOK MODEL LITBANGTAN DENGAN RASIO PEJANTAN DAN INDUK BERBEDA (The Application of Naturally Matting of Beef Cattle Using the Group Housing of

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkembangan dan kemajuan teknologi yang diikuti dengan kemajuan ilmu

I. PENDAHULUAN. Perkembangan dan kemajuan teknologi yang diikuti dengan kemajuan ilmu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Perkembangan dan kemajuan teknologi yang diikuti dengan kemajuan ilmu pengetahuan mendorong meningkatnya taraf hidup masyarakat yang ditandai dengan peningkatan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :......

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :...... LAMPIRAN 50 Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama :... 2. Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :... 4. Pendidikan Terakhir :.. 5. Mata Pencaharian a. Petani/peternak

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan Penambahan daun Som Jawa pada ransum menurunkan kandungan serat kasar dan bahan kering ransum, namun meningkatkan protein kasar ransum. Peningkatan protein disebabkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Konsumsi Pakan

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Konsumsi Pakan HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi PT. Purwakarta Agrotechnopreneur Centre (PAC), terletak di desa Pasir Jambu, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor. Berdasarkan data statistik desa setempat, daerah

Lebih terperinci

Keberhasilan Pembangunan Peternakan di Kabupaten Bangka Barat. dalam arti yang luas dan melalui pendekatan yang menyeluruh dan integratif dengan

Keberhasilan Pembangunan Peternakan di Kabupaten Bangka Barat. dalam arti yang luas dan melalui pendekatan yang menyeluruh dan integratif dengan Keberhasilan Pembangunan Peternakan di Kabupaten Bangka Barat Pembangunan peternakan merupakan bagian dari pembangunan pertanian dalam arti yang luas dan melalui pendekatan yang menyeluruh dan integratif

Lebih terperinci

PEMANFAATAN JERAMI JAGUNG FERMENTASI PADA SAPI DARA BALI (SISTEM INTEGRASI JAGUNG SAPI)

PEMANFAATAN JERAMI JAGUNG FERMENTASI PADA SAPI DARA BALI (SISTEM INTEGRASI JAGUNG SAPI) PEMANFAATAN JERAMI JAGUNG FERMENTASI PADA SAPI DARA BALI (SISTEM INTEGRASI JAGUNG SAPI) R. H. MATONDANG dan A. Y. FADWIWATI Balai Pengkajian Tekonologi Pertanian Gorontalo Jln. Kopi no. 270 Desa Moutong

Lebih terperinci

Bibit sapi peranakan Ongole (PO)

Bibit sapi peranakan Ongole (PO) Standar Nasional Indonesia Bibit sapi peranakan Ongole (PO) ICS 65.020.30 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii Pendahuluan... iii 1 Ruang lingkup... 1 2 Istilah dan definisi...

Lebih terperinci