KONVERGENSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KETIMPANGAN WILAYAH KABUPATEN/KOTA DI PULAU JAWA KRISMANTI TRI WAHYUNI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KONVERGENSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KETIMPANGAN WILAYAH KABUPATEN/KOTA DI PULAU JAWA KRISMANTI TRI WAHYUNI"

Transkripsi

1 KONVERGENSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KETIMPANGAN WILAYAH KABUPATEN/KOTA DI PULAU JAWA KRISMANTI TRI WAHYUNI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Konvergensi dan Faktorfaktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah Kabupaten/Kota di Pulau Jawa adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Mei 2011 Krismanti Tri Wahyuni NRP. H

4

5 ABSTRACT KRISMANTI TRI WAHYUNI. Convergence and the Factors that Influence Regional Inequality of District Level in Java. Under the Supervision of MUHAMMAD FIRDAUS and WIWIEK RINDAYATI. Java is the centre of governance and also economic activity, so then its growth is faster than other islands in Indonesia. Implementation of fiscal decentralization policy since 2001 placing the district government as the important position on regional growth. The purpose of this study is analyse the income convergency using Gross Regional Domestic Product (GRDP) and household expenditure. Those two proxy variable was used to compare convergency. The result finds that no income convergency when using GDRP, meanwhile there is convergency process when using household expenditure with FD-GMM estimation technique. The biggest speed of convergence for provinces in Java happened in West Java, that was influenced on manufacture sector. Applying static panels, we obtain that Java income inequality is affected by manufacture share, labour education rate, number of public health centre, electricity energy and water infrastructure. On the other hand, increasing household expenditure is only affected by a rise of labour education. Keywords: Convergence, Inequality, GMM Panel Data

6

7 RINGKASAN KRISMANTI TRI WAHYUNI. Konvergensi dan Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah Kabupaten/Kota di Pulau Jawa. Dibimbing oleh MUHAMMAD FIRDAUS dan WIWIEK RINDAYATI. Pulau Jawa merupakan wilayah yang menjadi pusat pemerintahan sekaligus perekonomian di Indonesia dengan perkembangan yang pesat sehingga menyebabkan bias pembangunan Jawa luar Jawa semakin besar. Pelaksanaan desentralisasi fiskal menempatkan kebijakan fiskal pada level kabupaten/kota pada posisi penting dalam upaya pengembangan wilayah yang lebih luas dan konstelasi kota-kota sekitarnya. Kondisi ekonomi yang bersifat struktural di setiap daerah juga dikaitkan dengan beragamnya faktor endowment yang dimiliki setiap daerah, yang dapat memicu terjadinya ketimpangan antar wilayah. Dinamika pendapatan antar wilayah selama ini dianalisis dengan menggunakan data PDRB yang menunjukkan potensi daerah dalam proses produksi. Data ini kurang dapat merepresentasikan kemampuan masyarakatnya dalam mencapai kesejahteraan. Analisis konvergensi wilayah berdasarkan data tersebut perlu dibandingkan dengan melihat pendapatan masyarakat, yang diproksi dengan menggunakan pendekatan pengeluaran rumah tangga. Penelitian ini pada intinya bertujuan (1) menggambarkan ketimpangan wilayah di Pulau Jawa; (2) menguji konvergensi wilayah kabupaten/kota dan membandingkan fenomena konvergensi antar provinsi di Pulau Jawa dikaji dari pendekatan pendapatan regional dan pendekatan pengeluaran rumah tangga; dan (3) menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi ketimpangan wilayah di Pulau Jawa. Ruang lingkup penelitian adalah seluruh kabupaten/kota di Pulau Jawa kecuali DKI Jakarta, dengan menggabungkan daerah-daerah pemekaran untuk menjamin konsistensi data sehingga analisis penelitian diagregasi menjadi 105 wilayah. Periode waktu penelitian adalah 9 tahun, mulai dari diimplementasikannya desentralisasi fiskal yaitu dari tahun Hasil penghitungan koefisien variasi Williamson menunjukkan bahwa ketimpangan kabupaten/kota di Pulau Jawa sangat tinggi, berada pada kisaran 0,94 sampai dengan 0,98 selama periode penelitian. Ketimpangan paling tinggi terjadi di Provinsi Banten dan yang terendah terjadi di D.I. Yogyakarta. Koefisien variasi PDRB per kapita Jawa Timur tidak berada pada kisaran nilai antara 0 dan 1. Sementara itu nilai koefisien variasi Jawa Tengah dan Jawa Barat semakin melebar selisihnya karena ketimpangan Jawa Barat semakin menurun, sedangkan Jawa Tengah semakin meningkat. Besarnya ketimpangan wilayah-wilayah di Pulau Jawa didominasi adanya ketimpangan antar kota dibandingkan dengan ketimpangan antar kabupaten. Estimasi konvergensi Pulau Jawa dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan pada variabel dependennya, yaitu pendekatan PDRB dan pengeluaran rumah tangga. Koefisien y t-1 pada estimasi konvergensi PDRB per kapita lebih dari 1, yang menunjukkan bahwa konvergensi tidak terjadi (pendapatan kabupaten/kota di Pulau Jawa divergen) dengan metode data panel dinamis FD- GMM. Fenomena ketimpangan di Pulau Jawa disebabkan adanya pusat-pusat

8 industri di kota-kota besar, yang menyebabkan perbedaan tingkat pembangunan yang semakin melebar. Selain itu wilayah penelitian dengan locus kabupaten/kota menyebabkan interaksi ekonomi dan ketergantungan spasial yang tinggi antar wilayah. Estimasi konvergensi kabupaten/kota di provinsi-provinsi Pulau Jawa dengan menggunakan data pengeluaran rumah tangga semuanya konvergen, dengan tingkat konvergensi tertinggi di Jawa Barat dan terendah di Jawa Timur. Tingkat konvergensi pengeluaran rumah tangga mencapai nilai yang sangat tinggi karena pendekatan ini hanya melihat konvergensi dari pelaku ekonomi rumah tangga, berbeda dengan konvergensi PDRB yang melibatkan semua pelaku ekonomi, baik rumah tangga, swasta maupun pemerintah. Aktivitas ekonomi yang dilakukan juga berbeda, tidak hanya konsumsi seperti pada pendekatan pengeluaran rumah tangga, namun juga investasi, baik yang dilakukan perusahaan swasta maupun pemerintah. Perbandingan tingkat konvergensi ini menunjukkan bahwa tingkat pembangunan wilayah yang sama akan dicapai dalam kurun waktu yang lebih lama dibandingkan dengan kesamaan daya beli masyarakat. Estimasi faktor-faktor yang memengaruhi ketimpangan wilayah dilakukan dengan model data panel statis. Model yang terpilih pada pendekatan PDRB adalah random effect, sedangkan pada pendekatan pengeluaran rumah tangga adalah fixed effect. Ketimpangan Pulau Jawa dapat diturunkan dengan peningkatan kontribusi sektor manufaktur, peningkatan kualitas tenaga kerja sebagai upaya memacu produktivitas ekonomi dan penambahan jumlah sarana kesehatan yang dapat dijangkau kalangan menengah ke bawah serta merata ke seluruh wilayah. Namun, ketimpangan justru semakin meningkat dengan peningkatan penggunaan energi listrik dan air bersih. Pengguna energi listrik didominasi oleh industri dan bisnis yang berada di kota-kota besar. Demikian juga dengan air bersih yang disalurkan oleh PDAM, paling banyak digunakan oleh rumah tangga, terutama di daerah perkotaan yang dipadati oleh pemukiman. Ketimpangan wilayah dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga dalam penelitian ini hanya dipengaruhi oleh pendidikan tenaga kerja, dengan arah yang berlawanan dengan pendekatan PDRB. Artinya, peningkatan pendidikan akan memperlebar kesenjangan konsumsi pada level rumah tangga. Berdasarkan uraian tersebut, disarankan adanya peningkatan kegiatan ekonomi di bidang manufaktur khususnya industri yang lebih merata ke seluruh wilayah, agar meningkatkan pemerataan pendapatan dan kecepatan konvergensi serta mengurangi terjadinya pengurasan sumber daya di sekitarnya. Proses konvergensi dapat ditingkatkan dengan aktivitas ekonomi selain konsumsi, misalnya dengan pemerataan investasi dan kebijakan pemerintah. Investasi infrastruktur diarahkan untuk pembangunan sarana dan prasarana yang dapat dinikmati seluruh lapisan masyarakat dan merata di seluruh wilayah, khususnya sarana kesehatan. Kualitas sumber daya manusia terutama tenaga kerja dapat menurunkan ketimpangan secara wilayah, namun meningkatkan ketimpangan pada level rumah tangga. Oleh karena itu peningkatan pendidikan perlu diprioritaskan pada rumah tangga yang berpendapatan rendah sebagai upaya memutuskan lingkaran setan kemiskinan, yang selanjutnya meningkatkan konvergensi pendapatan wilayah Kata Kunci: Konvergensi, Ketimpangan, Data Panel GMM

9 Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.

10

11 KONVERGENSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KETIMPANGAN WILAYAH KABUPATEN/KOTA DI PULAU JAWA KRISMANTI TRI WAHYUNI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

12

13 Judul Tesis : Konvergensi dan Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah Kabupaten/Kota di Pulau Jawa Nama NRP Program Studi : Krismanti Tri Wahyuni : H : Ilmu Ekonomi Disetujui, Komisi Pembimbing Muhammad Firdaus, SP, M.Si, Ph.D Ketua Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal Ujian : 21 Mei 2011 Tanggal Lulus :

14

15 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Bambang Heru Santosa, M.Ec

16

17 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala anugerah dan karunia-nya sehingga tesis dengan judul Konvergensi dan Faktorfaktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah Kabupaten/Kota di Pulau Jawa, dapat terselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi di Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Muhammad Firdaus, SP, M.Si, Ph.D selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan segala kesibukannya masih meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Bambang Heru Santosa, M.Ec atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi serta kepada ketua dan sekretaris Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarja IPB Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si dan Dr. Lukytawati Anggraeni. Demikian juga terima kasih dan penghargaan untuk semua dosen yang telah mengajar penulis dan rekanrekan kuliah yang senantiasa membantu penulis selama mengikuti perkuliahan di kelas Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Dedikasi para dosen yang tinggi dan dukungan rekan-rekan kuliah, telah banyak membantu penulis dalam perkuliahan dengan baik. Secara khusus, penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Kepala BPS yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti kuliah di Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Demikian pula kepada Kepala Pusdiklat beserta jajarannya, yang telah membantu kelancaran administrasi selama penulis mengikuti program Tugas Belajar. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada temanteman BPS dan mahasiswa pascasarjana khususnya PS Ilmu Ekonomi yang telah banyak membantu penulis mulai dari proses kuliah hingga penyelesaian tesis ini. Akhir kata penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak lain yang telah membantu namun namanya tak dapat penulis sebutkan satu per satu. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan tesis ini maka hanya penulis yang bertanggung jawab. Akhirnya, penulis berharap bahwa apa yang telah penulis kerjakan ini bermanfaat dan dapat memberikan kontribusi yang baik kepada berbagai pihak. Bogor, Mei 2011 Krismanti Tri Wahyuni

18

19 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kulon Progo pada tanggal 14 Oktober 1981 dari pasangan Bapak Kasman Nugroho dan Ibu Suyanti Magdalena. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Penulis menamatkan pendidikan dasar di SDN I Pengasih kemudian melanjutkan ke SMPN 1 Pengasih pada tahun 1994 dan lulus pada tahun Setelah itu penulis melanjutkan ke SMAN 1 Wates pada tahun 2000 dan melanjutkan pendidikan ke Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta, tamat pada tahun 2004 dengan gelar Sarjana Sains Terapan (SST). Selanjutnya penulis bekerja pada Badan Pusat Statistik Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah selama kurang lebih satu tahun dan pada awal tahun 2006 penulis dipindahtugaskan ke Badan Pusat Statistik Kabupaten Parigi Moutong Propinsi Sulawesi Tengah. Pada tahun 2009, penulis diterima menjadi mahasiswa program studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen di Institut Pertanian Bogor melalui seleksi bea siswa tugas belajar kerja sama BPS dan IPB.

20

21 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... xv xvii xix I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Ruang Lingkup Penelitian II. TINJAUAN PUSTAKA Pendapatan Regional dan Pertumbuhan Ekonomi Konvergensi Ketimpangan Wilayah Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah Peranan Pemerintah dalam Perekonomian Tingkat Pembangunan Ekonomi Pendidikan Tenaga Kerja Infrastruktur Tinjauan Empiris Kerangka Pemikiran Hipotesis III. METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Metode Analisis Koefisien Variasi Williamson Data Penel Statis Data Panel Dinamis Spesifikasi Model Konvergensi Wilayah Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah Prosedur Analisis IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN Ketimpangan Wilayah Berdasarkan Koefisien Variasi Williamson Konvergensi Wilayah Konvergensi Pulau Jawa Konvergensi Jawa Barat Konvergensi Jawa Tengah Konvergensi Jawa Timur... 79

22 Perbandingan Konvergensi di Pulau Jawa Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah Implikasi Kebijakan V. KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xiv

23 DAFTAR TABEL Nomor Halaman Indeks Gini Indonesia Menurut Daerah, Tahun Koefisien Variasi Williamson PDRB Wilayah-wilayah di Pulau Jawa, Tahun Koefisien Variasi Williamson Pengeluaran Rumah Tangga Wilayah-wilayah di Pulau Jawa, Tahun Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB di Pulau Jawa dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM... Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Pulau Jawa dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM... Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB di Jawa Barat dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM... Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Jawa Barat dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM... Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB di Jawa Tengah dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM... Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Jawa Tengah dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM... Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB di Jawa Timur dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM... Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Jawa Timur dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM... Pengujian Validitas Instrumen dan Konsistensi Model Data Panel Dinamis FD-GMM dalam Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota di Pulau Jawa... Estimasi Tingkat Konvergensi Wilayah-wilayah di Pulau Jawa dengan Model Data Panel Dinamis FD-GMM xv

24 14 15 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah Kabupaten/Kota Antar Provinsi Pendekatan PDRB di Pulau Jawa dengan Model Data Panel Statis... Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah Kabupaten/Kota Antar Provinsi Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Pulau Jawa dengan Model Data Panel Statis xvi

25 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman PDB Indonesia dan PDRB Pulau Jawa Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun (Juta Rupiah)... Persentase Investasi Pulau Jawa terhadap Investasi Nasional, Tahun (Persen)... Jumlah Penduduk Miskin di Pulau Jawa dan Indonesia, Tahun (Ribu Jiwa)... Kontribusi Sektor Pertanian, Manufaktur dan Sektor Jasa di Pulau Jawa, Tahun Kontribusi Sektor Pertanian, Manufaktur dan Sektor Jasa di Indonesia, Tahun DAU, DAK, DBH dan Dana Perimbangan di Pulau Jawa (Tidak Termasuk DKI Jakarta), Tahun Indeks Theil Pulau Jawa Menurut Dekomposisi, Tahun PDRB Atas Dasar Harga Berlaku, PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 dan Pengeluaran Rumah Tangga Pulau Jawa, Tahun (Milyar Rupiah)... Investasi Aktual dan Break-even... Konvergensi Bersyarat/Kondisional (Conditional Convergence)... Kurva Kuznets tentang Hubungan Pendapatan dan Ketimpangan... Pengaruh Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi... Kerangka Pemikiran Penelitian... Tren Kontribusi Sektor Pertanian Wilayah-wilayah di Pulau Jawa, Tahun (Persen).... Tren Koefisien Variasi Williamson Wilayah di Pulau Jawa, Tahun Tren Koefisien Variasi Williamson Kabupaten/Kota di Pulau Jawa, Tahun xvii

26 Perbandingan Koefisien Variasi Williamson Kabupaten/Kota di Pulau Jawa dengan Pendekatan PDRB dan Pengeluaran Rumah Tangga, Tahun Perbandingan Koefisien Variasi Williamson Kabupaten/Kota di Jawa Barat dengan Pendekatan PDRB dan Pengeluaran Rumah Tangga, Tahun Perbandingan Koefisien Variasi Williamson Kabupaten/Kota di Jawa Tengah dengan Pendekatan PDRB dan Pengeluaran Rumah Tangga, Tahun Perbandingan Koefisien Variasi Williamson Kabupaten/Kota di D.I. Yogyakarta dengan Pendekatan PDRB dan Pengeluaran Rumah Tangga, Tahun Perbandingan Koefisien Variasi Williamson Kabupaten/Kota di Banten dengan Pendekatan PDRB dan Pengeluaran Rumah Tangga, Tahun xviii

27 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman Scripts Input dan Hasil Output Stata Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB di Pulau Jawa dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM... Scripts Input dan Hasil Output Stata Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Pulau Jawa dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM... Scripts Input dan Hasil Output Stata Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB di Jawa Barat dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM... Scripts Input dan Hasil Output Stata Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Jawa Barat dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM... Scripts Input dan Hasil Output Stata Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB di Jawa Tengah dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM... Scripts Input dan Hasil Output Stata Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Jawa Tengah dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM... Scripts Input dan Hasil Output Stata Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB di Jawa Timur dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM... Scripts Input dan Hasil Output Stata Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Jawa Timur dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM... Scripts Input dan Hasil Output Eviws Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB di Pulau Jawa dengan Model Data Panel Statis... Scripts Input dan Hasil Output Eviws Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Pulau Jawa dengan Model Data Panel Statis xix

28 Halaman ini sengaja dikosongkan.

29 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Jawa merupakan wilayah yang menjadi pusat pemerintahan sekaligus perekonomian di Indonesia. Di antara pulau lainnya yang tersebar di seluruh pelosok tanah air, luas wilayah Pulau Jawa hanya mencapai 6,95 persen dari luas nasional. Namun pendapatan Pulau Jawa mendominasi PDB atas dasar harga berlaku nasional sebesar 62,04 persen (dihitung dari PDB migas) atau 65,44 persen (dihitung dari PDB non migas) pada tahun Demikian pula jika dilihat dari trend PDRB Pulau Jawa menurut harga konstan, kontribusinya terhadap PDB nasional sangat tinggi, selalu di atas 50 persen sejak tahun 2001 (Gambar 1). Ketergantungan nasional terhadap aktivitas ekonomi di Pulau Jawa menyebabkan besarnya perhatian pemerintah terhadap perkembangan perekonomian di wilayah tersebut. Hal ini menjadi lingkaran setan terjadinya penumpukan sumber daya produksi terutama modal dan tenaga kerja. Daya tarik pendapatan yang besar dan segala fasilitas yang mendukungnya membuat Pulau Jawa khususnya ibukota DKI Jakarta menjadi tujuan migrasi terbesar hingga kepadatan penduduknya tertinggi di dunia, yaitu mencapai 12,5 ribu penduduk per kilometer persegi. Bukan sesuatu yang aneh apabila tenaga kerja di DKI Jakarta terus meningkat setiap tahunnya seiring dengan kemajuan perekonomian yang relatif lebih cepat meningkat dibandingkan dengan wilayahwilayah lainnya. Tak dapat dipungkiri, Pulau Jawa mempunyai pengaruh yang besar dalam memberikan pengaruh pertumbuhan ekonomi yang penting untuk daerah sekitarnya, baik teknologi dan informasi, ilmu pengetahuan, kemampuan dan skill dalam hal entrepreneurship serta kemudahan akses terhadap produksi barang dan jasa yang dihasilkan. Kuncoro (2002) dalam studinya menemukan bahwa pusat konsentrasi industri Indonesia berlokasi di pulau Jawa dengan konsentrasi yang membentuk pola dua kutub (bipolar pattern). Pola konsentrasi tersebut berada di ujung barat Pulau Jawa yang meliputi Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi) dan Bandung. Sedangkan di ujung timur Pulau Jawa berpusat di kawasan Surabaya.

30 PDB Indonesia PDRB Pulau Jawa Sumber: BPS, (diolah) Gambar 1 PDB Indonesia dan PDRB Pulau Jawa Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun (Juta Rupiah) Pesatnya perkembangan perekonomian di Pulau Jawa disebabkan besarnya investasi baik PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) maupun PMA (Penanaman Modal Asing). Investasi merupakan salah satu faktor yang krusial bagi proses kemajuan pembangunan ekonomi atau pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang melibatkan kegiatan-kegiatan produksi di semua sektor ekonomi. Dengan kontribusi investasi Pulau Jawa yang selalu berada di atas 60 persen sejak tahun 2001 (Gambar 2), pertambahan jumlah barang modal di wilayah ini akan menghasilkan lebih banyak barang dan jasa pada tahun-tahun berikutnya sehingga pertumbuhan ekonomi juga meningkat jika faktor-faktor lain tetap. Didukung oleh over head social yang relatif memadai, investasi di Pulau Jawa mempunyai resiko yang lebih kecil dibandingkan dengan wilayah-wilayah di luar Pulau Jawa. Fenomena ini menyebabkan bias pembangunan Jawa luar Jawa semakin besar. Keberhasilan pembangunan tidak hanya diukur dari tingginya pertumbuhan ekonominya, tetapi juga tingkat kemakmuran penduduknya. Tingkat kemakmuran yang dicapai tercermin dari tingginya rata-rata pendapatan penduduk dan pemerataan hasil-hasil pembangunan. Pertumbuhan ekonomi dan pemerataan bukanlah merupakan hal yang bertentangan. Oleh karena itu, muncul paradigma baru pembangunan ekonomi yang menuntut adanya keserasian dan keseimbangan

31 3 antara pertumbuhan dan pemerataan. Strategi ini merupakan koreksi atas kebijakan pembangunan terdahulu yang dikenal dengan trickle down effect, yang mengasumsikan perlunya memprioritaskan pertumbuhan ekonomi terlebih dahulu, baru kemudian pemerataan ,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 Kontribusi Investasi di Pulau Jawa Sumber: BKPM, (diolah) Gambar 2 Persentase Investasi Pulau Jawa terhadap Investasi Nasional, Tahun (Persen) Evaluasi keberhasilan pembangunan di Pulau Jawa harus pula dikaji secara simultan dengan sisi pemerataan, yang dikaitkan dengan besarnya jumlah penduduk miskin. Data kemiskinan yang diolah dari Susenas menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia secara absolut telah mengalami penurunan sebesar 6,70 persen, yaitu 34,87 juta jiwa pada tahun 2001 menjadi 32,53 juta jiwa pada tahun Dari jumlah tersebut, lebih dari 50 persen penduduk miskin berada di Pulau Jawa. Penurunan penduduk miskin di Pulau Jawa lebih sedikit dibandingkan angka nasional, yaitu mencapai 4,69 persen (dari 19,34 juta jiwa pada tahun 2001 menjadi 18,43 juta jiwa pada tahun 2009) seperti ditunjukkan pada Gambar 3. Mayoritas penduduk miskin yang berada di Pulau Jawa menyebabkan pola jumlah penduduk miskin di Pulau Jawa menentukan jumlah penduduk miskin nasional.

32 Pulau Jawa Indonesia Sumber: BPS, (diolah) Gambar 3 Jumlah Penduduk Miskin di Pulau Jawa dan Indonesia, Tahun (Ribu Jiwa) Jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami fluktuasi, yaitu peningkatan pada tahun 2002 dan Penurunan yang cukup besar terjadi pada tahun 2001 (penduduk miskin pada tahun 2000 adalah sebesar 22,47 juta jiwa di Pulau Jawa dan 38,74 juta jiwa di seluruh Indonesia), disebabkan adanya isu perubahan kebijakan pemerintahan dari yang sentralistik menjadi desentralisasi dan otonomi daerah. Sistem pemerintahan ini memberikan wewenang yang lebih besar kepada daerah untuk memutuskan setiap urusan pemerintahan termasuk prioritas pembangunan kepada daerah tanpa campur tangan pemerintah pusat. Sayangnya, program-program yang dilaksanakan daerah belum didukung oleh sistem administrasi dan keuangan yang memadai sehingga pada tahun berikutnya justru terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin, yang juga dipicu oleh tingginya tingkat inflasi pada tahun tersebut sebesar 10,03 persen dan tahun sebelumnya yang mencapai 12,55 persen. Demikian juga peningkatan persentase penduduk miskin selama tahun terjadi karena harga barang-barang kebutuhan pokok selama periode tersebut naik tinggi, yang digambarkan oleh inflasi umum sebesar 17,95 persen. Kenaikan inflasi ini dipicu adanya kenaikan harga bahan bakar minyak rata-rata sebesar 126 persen yang ditetapkan oleh pemerintah pada tahun Kenaikan ini dilakukan untuk mengurangi beban subsidi bahan bakar minyak akibat meningkatnya harga minyak mentah dunia.

33 5 Peningkatan inflasi akan menyebabkan daya beli penduduk menjadi merosot, dan menyebabkan penduduk yang penghasilannya berada sedikit di atas garis kemiskinan banyak yang bergeser posisinya menjadi miskin sehingga tingkat kemiskinan mengalami peningkatan. Menurut status daerah, distribusi pemerataan menunjukkan pola yang berbeda. Distribusi pendapatan yang merupakan porsi pendapatan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga, tergantung pada tingkat produktivitas dan peranannya dalam perekonomian. Salah satu ukuran yang sering digunakan untuk mengukur ketidakmerataan distribusi pendapatan adalah rasio gini. Ternyata rasio gini Indonesia tidak menurun sampai dengan tahun 2009, seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Daerah urban mempunyai ketimpangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah rural. Dengan nilai gini rasio di atas 0,3, dapat ditunjukkan bahwa ketimpangan terus terjadi di Indonesia. Wilayah urban yang terus mengejar pertumbuhan ekonomi justru terbentur pada masalah ketimpangan yang semakin melebar antar golongan masyarakat, antar pelaku ekonomi serta antar wilayah. Data-data tersebut memberikan gambaran bahwa upaya penanggulangan kemiskinan yang dilakukan pemerintah belum bersinergi dengan kebijakan percepatan pertumbuhan ekonomi sehingga dapat menyebabkan disintegrasi dan ketidakstabilan sosial yang meluas sehingga pembangunan yang berbasis kerakyatan dan berkeadilan sosial tidak bisa tercapai. Tabel 1 Indeks Gini Indonesia Menurut Daerah, Tahun Tahun Indeks Gini Urban Rural Total ,33 0,24 0, ,32 0,25 0, ,31 0,24 0, ,32 0,25 0, ,32 0,27 0, ,36 0,26 0, ,37 0,29 0, ,37 0,29 0,37 Sumber: BPS,

34 6 Ketimpangan antar daerah pada awal pembangunan ekonomi merupakan hal yang wajar dalam konsep pembangunan nasional. Williamson (1965) dalam Tambunan (2001) menemukan bahwa pada tahap awal pembangunan ekonomi, ketimpangan pendapatan akan membesar dan terkonsentrasi pada wilayah-wilayah tertentu yang sudah relatif maju, misalnya dalam pembangunan industri, infrastruktur dan sumber daya manusia. Kemudian dalam tahap pertumbuhan ekonomi yang lebih besar, terjadi konvergensi dan ketimpangan dalam distribusi pendapatan akan mengalami penurunan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sjafrizal (2008) yang menyatakan bahwa dengan menggunakan indeks Theil, ketimpangan di Pulau Jawa mempunyai nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya. Fenomena ketimpangan di Pulau Jawa menjadi masalah yang kompleks dengan adanya perbedaan faktor produksi dan transformasi perekonomian struktural yang telah terjadi. Jumlah penduduk yang terpusat di Pulau Jawa (57,99 persen) menjadi faktor produksi tenaga kerja yang penting sekaligus menjadi sasaran pemasaran produksi barang dan jasa yang selanjutnya mendorong economies of scale. Di sisi lain, kualitas faktor produksi tenaga kerja di wilayah ini memicu besarnya bias keberhasilan pembangunan. Aglomerasi yang terjadi di Pulau Jawa karena adanya perusahaan-perusahaan yang dominan juga dapat mengubah pola perekonomian. Pola perubahan struktur perekonomian di Pulau Jawa sama seperti struktur perekonomian nasional secara keseluruhan, namun mempunyai kontribusi sektoral yang berbeda. Kontribusi sektor jasa dalam perekonomian terjadi di kedua wilayah, tetapi dominasinya di Pulau Jawa lebih besar dibandingkan tingkat nasional. Sebaliknya untuk sektor pertanian, kontribusinya dalam perekonomian secara nasional lebih besar dibandingkan kontribusi sektor pertanian di Pulau Jawa (Gambar 4 dan 5). Sedangkan kontribusi sektor manufaktur relatif masih konstan bahkan mengalami penurunan pada tahun Struktur perekonomian dapat digunakan untuk melihat apakah suatu daerah telah mengalami transformasi pembangunan ke arah industrialisasi (perubahan tingkat pembangunan ekonomi) atau belum.

35 7 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0, Sumber: BPS, (diolah) Pertanian Manufaktur Jasa Gambar 4 Kontribusi Sektor Pertanian, Manufaktur dan Sektor Jasa di Pulau Jawa, Tahun ,00 45,00 40,00 35,00 30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 0, Sumber: BPS, (diolah) Pertanian Manufaktur Jasa Gambar 5 Kontribusi Sektor Pertanian, Manufaktur dan Sektor Jasa di Indonesia, Tahun Keberhasilan pembangunan tak dapat dilepaskan dari peranan pemerintah dalam menentukan arah pembangunan di bidang ekonomi dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pemerataan pembangunan. Salah satu bentuk peran pemerintah secara langsung adalah dengan intervensi anggaran melalui kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal dapat dilakukan melalui sisi penerimaan

36 8 (perpajakan), kebijakan bukan pajak, kebijakan anggaran belanja negara dan kebijakan pembiayaan anggaran. Tujuan dari kebijakan fiskal adalah untuk mencapai sasaran ekonomi makro yang lebih luas, yaitu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mencapai keseimbangan perekonomian. Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia yang mulai diterapkan pada tahun 2001 menyebabkan perubahan intensitas peranan pemerintah dalam pembangunan dan perekonomian. Kewenangan daerah yang semakin luas diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan cara mengalokasikan anggaran secara lebih efisien pada berbagai potensi dan kebutuhan publik lokal Perumusan Masalah Sejak desentralisasi fiskal diimplementasikan, pemerintah daerah kabupaten/kota di Pulau Jawa diharapkan bisa mempertahankan tingkat produksi yang sudah dicapai sebagai penyangga dalam pembiayaan barang publik yang sangat dibutuhkan dalam perekonomian. Kewenangan keuangan yang sebelumnya ditangani oleh pemerintah pusat telah didaerahkan kepada pemerintah daerah tingkat kabupaten/kota. Sektor-sektor ekonomi yang penting di daerah diharapkan akan lebih berkembang sesuai dengan potensinya. Desentralisasi fiskal yang memberi esensi kebebasan kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan anggaran dan pembelanjaan publik diharapkan memberikan pengaruh positif terhadap kinerja pemerataan pendapatan sebagai pencerminan peningkatan kegiatan ekonomi seluruh lapisan masyarakat. Peranan sektor-sektor ekonomi yang penting di suatu daerah menjadi fokus penting bagi pemerintah daerah karena pengembangannya didasarkan pada keanekaragaman sumber daya yang tersedia. Kajian pertumbuhan ekonomi terutama di wilayah implementai kebijakan fiskal yaitu level kabupaten/kota perlu menjadi prioritas dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat yang tepat sasaran. Pengembangan kabupaten/kota berfungsi sebagai penentu arah pengembangan fisik ruang dan pengembangan pelayanan publik, terutama dalam pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs) dan dalam mendukung peningkatan kualitas masyarakat. Kedudukan kabupaten/kota juga menempati posisi penting dalam upaya pengembangan wilayah yang lebih luas dan konstelasi kota-kota

37 9 sekitarnya. Kondisi ekonomi yang bersifat struktural di setiap daerah juga dikaitkan dengan beragamnya faktor endowment yang dimiliki setiap daerah, yang dapat memicu terjadinya ketimpangan antar wilayah. Peranan pemerintah dalam meningkatkan pemerataan adalah dengan mentransfer dana perimbangan, yang berupa DAU (Dana Alokasi Umum), DAK (Dana Alokasi Khusus) dan DBH (Dana Bagi Hasil). DAU merupakan transfer yang bersifat umum (block grant) yang diberikan kepada semua kabupaten/kota untuk tujuan mengisi kesenjangan antara kapasitas dan kebutuhan fiskalnya dan didistribusikan dengan formula berdasarkan prinsip-pinsip tertentu yang secara umum mengindikasikan bahwa daerah miskin dan terbelakang harus menerima lebih banyak dari pada daerah kaya. Dengan kata lain tujuan alokasi DAU adalah dalam rangka pemerataan kemampuan penyediaan pelayanan publik antar daerah di Indonesia. Namun, dengan fakta meningkatnya ketimpangan wilayah-wilayah di Indonesia bahkan sejak adanya DAU, dapat dikatakan bahwa implementasi DAU kurang efektif DAU DAK DBH Dana Perimbangan Sumber: BPS, (diolah) Gambar 6 DAU, DAK, DBH dan Dana Perimbangan di Pulau Jawa (Tidak Termasuk DKI Jakarta), Tahun Gambar 6 menunjukkan bahwa dana perimbangan yang didominasi oleh DAU yang diberikan oleh pemerintah mengalami peningkatan. Fakta ini

38 10 menjelaskan bahwa tujuan pemberian dana perimbangan untuk memeratakan pembangunan wilayah tidak tercapai. Berdasarkan data empiris dengan menggunakan indeks Theil, ketimpangan di Pulau Jawa cenderung mengalami peningkatan, bahkan pada tahun 2009 mencapai angka tertinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, yaitu sebesar 0,4777 (Gambar 7). Ketimpangan wilayah yang terjadi di Pulau Jawa lebih banyak disebabkan oleh ketimpangan antar provinsi dibandingkan ketimpangan dalam provinsi. Indeks Theil yang menunjukkan ketimpangan antar provinsi berada pada kisaran nilai 0,25 sedangkan ketimpangan dalam provinsi berada pada kisaran nilai 0,21. Kebijakan otonomi daerah menyebabkan kabupaten/kota dan provinsi harus berlomba menunjukkan prestasi yang nyata di tengah persaingan ekonomi yang semakin ketat. Peningkatan kegiatan perekonomian tersebut menimbulkan dominasi ketimpangan antar provinsi terhadap ketimpangan secara keseluruhan. Mobilisasi sumber daya antar kabupaten/kota yang berada di bawah kendali pemerintahan lokal dan provinsi menyebabkan persentase ketimpangan dalam provinsi lebih kecil dibandingkan dengan ketimpangan antar provinsi. Ketimpangan wilayah dapat dilihat dari sisi positif karena dapat mendorong wilayah lain yang kurang maju untuk dapat bersaing dan meningkatkan pertumbuhannya guna meningkatkan kesejahteraannya. Namun ketimpangan yang ekstrim dapat menimbulkan inefisiensi ekonomi, melemahkan stabilitas sosial dan solidaritas, serta ketidakadilan. Inefisiensi ekonomi terjadi karena dengan ketimpangan yang tinggi, tingkat tabungan secara keseluruhan di dalam perekonomian cenderung rendah. Hal ini disebabkan tingkat tabungan yang tinggi biasanya ditemukan pada kelas menengah ke atas. Meskipun orang kaya dapat menabung dalam jumlah yang lebih besar, mereka biasanya menabung dalam bagian yang lebih kecil dari pendapatan mereka, dan tentunya menabung dengan bagian yang lebih kecil lagi dari pendapatan marjinal mereka (Todaro dan Smith, 2006). Dampak negatif inilah yang menyebabkan ketimpangan yang tinggi menjadi salah satu masalah dalam pembangunan dalam menciptakan kesejahteraan di suatu wilayah.

39 11 0,5000 0,4000 0,3000 0,2000 0,1000 0, Ketimpangan dalam provinsi Ketimpangan antar provinsi Ketimpangan total (Indeks Theil) Sumber: BPS, (diolah) Gambar 7 Indeks Theil Pulau Jawa Menurut Dekomposisi, Tahun Ketimpangan pendapatan antar wilayah menjadi fenomena penting yang masih terus perlu dikaji dan dianalisis karena sangat menentukan kebijakan yang dapat diambil pemerintah dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Penelitian ini tidak hanya berusaha mengkaji masalah ketimpangan dari besaran ketimpangannya, namun juga bagaimana wilayah-wilayah saling mendukung dalam mengurangi ketimpangan yang terjadi, sehingga perekonomian menuju kepada tingkat tertentu (konvergen). Kekuatan yang dimiliki suatu wilayah tidak hanya dapat meningkatkan perekonomian wilayah sekitarnya, tetapi juga bisa sebaliknya. Adanya pusat pertumbuhan dapat menjadi rangsangan pertumbuhan ekonomi wilayah sekitarnya, namun dapat juga menjadi penyebab pengurasan sumber daya ekonomi terutama tenaga kerja. Analisis dinamika pendapatan antar wilayah selama ini dilakukan dengan menggunakan data PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) yang mencerminkan seluruh produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh daerah tersebut. Angka ini menunjukkan potensi daerah dalam proses produksi, namun kurang dapat merepresentasikan kemampuan masyarakatnya dalam mencapai kesejahteraan karena data PDRB mencakup kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perusahaan luar yang berada di wilayah tersebut. Kegiatan produksi dengan menggunakan modal yang dimiliki oleh penduduk dari luar daerah juga dihitung

40 12 sebagai produksi bruto daerah tersebut sehingga penggunaan data PDRB untuk analisis kesejahteraan masyarakat kemungkinan menyebabkan bias dan pola yang berbeda (Gambar 8). Oleh karena itu analisis konvergensi wilayah berdasarkan data tersebut perlu dibandingkan dengan melihat pendapatan masyarakat. Mengingat sulitnya data tersebut, penghitungan pendapatan masyarakat dilakukan dengan menggunakan pendekatan pengeluaran rumah tangga PDRB Atas Dasar Harga Berlaku PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Pengeluaran Rumah Tangga Sumber: BPS (diolah) Gambar 8 PDRB Atas Dasar Harga Berlaku, PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 dan Pengeluaran Rumah Tangga Pulau Jawa, Tahun (Milyar Rupiah) Permasalahan utama yang ingin dibahas di dalam penelitian ini adalah bagaimana konvergensi wilayah kabupaten/kota di Pulau Jawa dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Untuk menjawab permasalahan penelitian tersebut adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dirumuskan sebagai berikut: 1. Apakah terjadi perbedaan kecepatan pertumbuhan ekonomi antar wilayah di Pulau Jawa? 2. Apakah pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Pulau Jawa dapat saling mendukung pertumbuhan ekonomi wilayah sekitarnya?

41 13 3. Bagaimanakah konvergensi wilayah kabupaten/kota dikaji dari pendekatan pendapatan regional dan pendekatan pengeluaran rumah tangga? 4. Faktor-faktor apa yang memengaruhi terjadinya perbedaan kecepatan pertumbuhan antar wilayah di Pulau Jawa? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini pada intinya bertujuan untuk: 1. Menggambarkan dinamika ketimpangan wilayah di Pulau Jawa. 2. Menguji konvergensi wilayah kabupaten/kota dan membandingkan fenomena konvergensi antar provinsi di Pulau Jawa dikaji dari pendekatan pendapatan regional dan pendekatan pengeluaran rumah tangga. 3. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi ketimpangan wilayah di Pulau Jawa Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah kabupaten/kota di Pulau Jawa kecuali DKI Jakarta karena DKI Jakarta bukan merupakan daerah otonom, yang pengaturan keuangannya dilakukan oleh pemerintah pusat secara langsung. Analisis penelitian dilakukan dengan menggabungkan daerah-daerah pemekaran untuk menjamin konsistensi data. Oleh karena itu, analisis penelitian diagregasi menjadi 105 kabupaten/kota, dengan periode waktu penelitian adalah 9 tahun, mulai dari diimplementasikannya desentralisasi fiskal yaitu dari tahun 2001 sampai dengan 2009.

42 Halaman ini sengaja dikosongkan.

43 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pendapatan Regional dan Pertumbuhan Ekonomi Tingkat pertumbuhan perekonomian adalah kondisi dimana nilai riil Produk Do m e s t i k Bruto (PDB) mengalami peningkatan output (Dornbusch et al., 2008). Penyebab utama dari pertumbuhan ekonomi adalah tersedianya sejumlah sumber daya dan peningkatan efisiensi penggunaan faktor produksi. Konsep PDB digunakan pada tingkat nasional, sedangkan untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota digunakan konsep PDRB. PDB atau PDRB dapat diukur dengan tiga macam pendekatan, yaitu pendekatan produksi, pendekatan pendapatan dan pendekatan pengeluaran (Tambunan, 2001). Pendekatan produksi dan pendekatan pendapatan adalah pendekatan dari sisi penawaran agregat (Aggregate Supply - AS) sedangkan pendekatan pengeluaran adalah pendekatan dari sisi permintaan agregat (Aggregate Demand - AD) (Blanchard, 2006). Teori pertumbuhan ekonomi semakin berkembang dari masa ke masa. Beberapa teori pertumbuhan ekonomi yang menonjol sebagaimana diuraikan Todaro dan Smith (2006) adalah model pertumbuhan neoklasik dan model pertumbuhan endogen. Teori pertumbuhan neo-klasik dimotori oleh Harrod- Domar dan Robert Solow. Model pertumbuhan Harrod dan Domar dalam Jhingan (2008) atau lebih dikenal dengan model pertumbuhan Harrod-Domar merupakan model pertumbuhan Keynesian yang secara luas telah banyak diaplikasikan pada negaranegara sedang berkembang. Domar mengkonstruksi teorinya dengan menekankan peran ganda investasi dalam proses pertumbuhan ekonomi. Investasi memengaruhi permintaan agregat melalui proses investment multiplier dan dalam jangka panjang merupakan proses akumulasi modal yang akan menambah stok kapital dan meningkatkan kapasitas produksi sehingga investasi juga memengaruhi penawaran agregat. Domar hendak menjawab tingkat investasi yang diperlukan agar peningkatan permintaan agregat setara dengan kapasitas produksi sehingga pemanfaatan kapasitas penuh dapat dipertahankan. Model Domar menyatakan bahwa pertumbuhan permintaan agregat sama dengan investasi (I) dikalikan dengan besaran multiplier (1/s). Sedangkan

44 16 pertumbuhan kapasitas produksi (penawaran agregat) sama dengan investasi (I) dibagi rasio kapital output (k). Melalui manipulasi matematis diperoleh laju pertumbuhan investasi yang diperlukan agar dapat menyamakan laju pertumbuhan permintaan agregat dengan laju pertumbuhan penawaran, yaitu sebesar rasio MPS (Marjinal Propensity to Save = s) terhadap COR (Capital Output Rasio = k) atau dapat dinyatakan dengan persamaan berikut: Y Y = K K = I I = s k... (2.1) Dimana: Y Y = laju pertumbuhan permintaan agregat atau output K K = laju peningkatan stok kapital (penawaran agregat) I I = laju peningkatan investasi Menurut Harrod, pertumbuhan ekonomi dapat dibedakan atas pertumbuhan aktual, pertumbuhan yang diinginkan, dan pertumbuhan alamiah. Pertumbuhan aktual (the actual growth = ΔY/Y) adalah laju pertumbuhan sesungguhnya yang besarnya ditentukan oleh rasio tabungan-output (S/Y) dan rasio tambahan kapitaloutput (ΔK/ΔY). Kedua besaran ini dianggap konstan dan melalui manipulasi matematis akan sama dengan tabungan. Pada tingkat laju pertumbuhan aktual, output aktual tidak selalu sama dengan output potensial. Sedangkan Solow berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan rangkaian kegiatan yang bersumber pada manusia, akumulasi modal, pemakaian teknologi modern dan output, guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan (sustain). Model Solow diformulasikan dengan menganggap input tenaga kerja dan modal memakai asumsi skala yang terus berkurang (diminishing returns) jika keduanya dianalisis secara terpisah, sedangkan jika keduanya dianalisis secara bersamaan memakai asumsi skala hasil tetap (constant returns to scale) (Todaro dan Smith, 2006). Secara ekonomi, model pertumbuhan Solow dirancang untuk menunjukkan bagaimana pertumbuhan persediaan modal, pertumbuhan angkatan kerja, dan kemajuan teknologi berinteraksi dalam perekonomian, serta bagaimana pengaruhnya terhadap output barang dan jasa suatu negara secara keseluruhan (Mankiw, 2007).

45 17 Mankiw (2007) menyatakan bahwa asumsi fungsi produksi bersifat constant returns to scale output akan meningkat dengan proporsi yang sama apabila kapital dan tenaga kerja digandakan dan input-output yang baru digunakan sepenting input yang telah ada. Input selain kapital, tenaga kerja dan pengetahuan diasumsikan tidak penting. Dari anggapan tersebut model Solow diformulasikan sebagai suatu hubungan fungsional dimana output per tenaga kerja efektif sebagai fungsi dari kapital per tenaga kerja efektif, yaitu: y = f(k)...(2.2) Dimana: y = output per tenaga kerja efektif (Y/AL) k = kapital per tenaga kerja efektif (K/AL) Y = output K = kapital L = tenaga kerja A = efektivitas tenaga kerja (pengetahuan) AL = tenaga kerja efektif (labor augmented) Investasi aktual dan Investasi break-even Investasi break-even, (δ+n+g)k Investasi aktual, sf(k) Sumber: Mankiw (2007) 0 k* Modal per pekerja efektif, k Gambar 9 Investasi Aktual dan Break-even Menurut Solow output nasional hanya digunakan untuk dua tujuan yaitu konsumsi dan investasi. Bagian output yang digunakan untuk tujuan investasi bersumber dari tabungan. Sebagai proses akumulasi modal, satu unit investasi

46 18 menghasilkan satu unit tambahan kapital baru, sedangkan kapital yang lama mengalami penyusutan. Tingkat perubahan stok kapital per unit tenaga kerja efektif merupakan selisih antara perubahan investasi aktual dengan perubahan investasi break-even (yaitu investasi yang diperlukan untuk mengimbangi pertumbuhan tenaga kerja dan ilmu pengetahuan serta menggantikan penyusutan kapital yang lama sehingga jumlah stok kapital per tenaga kerja efektif yang ada tetap terpelihara). Stok kapital per tenaga kerja efektif akan berada pada posisi jalur pertumbuhan ekonomi yang berimbang (the balance growth path) ketika perubahan investasi aktual sama dengan perubahan investasi break-even. Sebagaimana ditunjukkan Gambar 9, apabila tingkat stok kapital per tenaga kerja efektif rendah, investasi aktual per unit tenaga kerja efektif lebih besar dari investasi break-even dan tingkat produktivitas stok kapital per tenaga kerja efektif sangat tinggi sehingga jumlahnya meningkat ke posisi stok kapital per tenaga kerja efektif keseimbangan atau laju pertumbuhannya positif. Sebaliknya pada tingkat stok kapital per tenaga kerja efektif yang tinggi, investasi aktual per unit tenaga kerja lebih kecil dari investasi break-even dan tingkat produktivitas stok kapital per tenaga kerja efektif sangat rendah sehingga jumlahnya menurun ke posisi stok kapital per tenaga kerja keseimbangan atau laju pertumbuhannya negatif. Dengan demikian stok kapital per tenaga kerja efektif selalu konvergen ke posisi keseimbangannya di titik k*. Setelah konvergensi tercapai, laju pertumbuhan stok kapital per tenaga kerja efektif mencapai nol karena pada posisi keseimbangan perubahan investasi aktual sama dengan perubahan investasi break-even. Pada posisi ini stok kapital total, tenaga kerja efektif dan output total tumbuh pada tingkat yang sama yaitu sebesar jumlah pertumbuhan tenaga kerja efektif dan pertumbuhan ilmu pengetahuan. Stok kapital per tenaga kerja dan total output per tenaga kerja tumbuh sebesar pertumbuhan ilmu pengetahuan. Pemikiran Solow di atas menunjukkan bahwa perekonomian senantiasa akan konvergen secara otomatis menuju pertumbuhan yang berimbang, yaitu suatu situasi dimana setiap peubah tumbuh pada tingkat yang konstan. Pada pertumbuhan yang berimbang, pertumbuhan output per tenaga kerja hanya

47 19 ditentukan oleh tingkat kemajuan teknologi. Di sinilah peran penting kemajuan teknologi dalam proses pertumbuhan ekonomi menurut pandangan Solow. Selanjutnya model pertumbuhan endogen dikembangkan untuk memperbaiki teori pertumbuhan ekonomi neo-klasik. Model pertumbuhan neoklasik berargumen bahwa pertumbuhan output didorong oleh tingkat perkembangan teknologi. Tanpa perkembangan teknologi, tidak akan ada pertumbuhan jangka panjang. Tetapi karena penyebab perkembangan teknologi tidak diidentifikasikan dalam model Solow, maka hal yang mendasari pertumbuhan tidak dijelaskan. Solow menganggap teknologi sebagai faktor eksogen dalam proses proses pertumbuhan (Capello, 2007). Dengan demikian model Solow tidak memperdulikan bagaimana mendorong kemajuan teknologi melalui proses belajar (learning by doing), investasi dalam penelitian dan akumulasi pengetahuan. Teori pertumbuhan endogen pada awalnya berkembang dalam dua cabang pemikiran yang bertumpu pada pentingnya sumber daya manusia sebagai kunci utama dalam perekonomian, yaitu: 1. Pemikiran yang percaya bahwa knowledge stock adalah sumber utama bagi peningkatan produktivitas ekonomi. 2. Pemikiran yang menekankan pada pentingnya learning by doing dan human capital dengan introduksi hal-hal baru (yang bersifat eksternal) dalam perekonomian merupakan faktor pendorong bagi peningkatan produktivitas perekonomian. Pemikiran yang pertama diangkat dan dikembangkan oleh Romer, yang menempatkan stok pengetahuan sebagai salah satu faktor produksi yang semakin meningkat. Sehingga tingkat pertumbuhan dapat terus ditingkatkan sesuai dengan kemampuan masing-masing negara untuk meningkatkan dan menciptakan stok pengetahuan. Oleh karena itu negara maju dengan kemampuan menciptakan pengetahuan yang lebih cepat dibandingkan dengan negara miskin akan mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dibanding dengan negara miskin. Hal ini sekaligus menolak teori konvergensi dari neo-klasik. Pertumbuhan jangka panjang sangat ditentukan oleh akumulasi pengetahuan para pelaku ekonomi dalam model Romer. Dengan demikian variabel modal

48 20 dalam pertumbuhan agregat neo-klasik sekarang sudah memperhitungkan unsur akumulasi pengetahuan. Tiga elemen utama dalam model Romer yaitu: 1. Adanya unsur eksternalitas, sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan. 2. Adanya peningkatan skala hasil yang semakin meningkat, yang menyebabkan peningkatan spesialisasi dan pembagian kerja. 3. Semakin pendeknya waktu pemanfaatan ilmu pengetahuan, karena pesatnya perkembangan di sektor riset. Secara umum model Romer dirumuskan sebagai berikut: Y = K L K dengan 0 < α < 1; 0 < β < (2.3) Dimana: Y i adalah output produksi perusahaan i, K i adalah stok modal, L i adalah tenaga kerja, dan K adalah stok pengetahuan/teknologi (technical knowledge) agregat. K diasumsikan mempunyai efek menyebar yang positif terhadap produksi setiap perusahaan. Pemikiran kedua (teori learning) dikemukakan oleh Lucas melalui model akumulasi human capital. Teori learning memasukkan unsur ekstemalitas yang terkandung dalam peningkatan kapital pada proses produksi. Peningkatan kapital akan meningkatkan stok public knowledge, sehingga secara keseluruhan proses produksi dalam skala yang bersifat increasing return to scale. Akumulasi modal manusia dapat dilakukan melalui pendidikan formal maupun bukan jalur pendidikan formal (on the job traning). Lucas berpendapat bahwa ekstemalitas yang dihasilkan oleh investasi dalam pendidikan umum (termasuk kegiatan produksi) serta investasi dalam beberapa kegiatan tertentu inilah yang menyebabkan proses bersifat learning by doing. Model yang dikembangkan oleh Lucas menggunakan dua jenis modal, yaitu modal fisik dan modal manusia. Rumusan yang digunakan Lukas adalah sebagai berikut: Y = AK (u H L ) H..... (2.4) Dimana: Yt adalah output produksi, A adalah konstanta, K adalah stok modal, L adalah tenaga kerja, u adalah waktu yang digunakan untuk pekerja untuk berproduksi, H adalah kualitas dari human capital yang merupakan rata-rata banyaknya pengetahuaan yang dimiliki oleh pekerja. Dengan H t yang meningkat sejalan dengan u t maka fungsi produksi akan bersifat increasing return to scale

49 21 dimana H t bersifat eksternal yang bergantung pada tingkat ketrampilan rata-rata tenaga kerja dalam perusahaan tersebut Konvergensi Menurut Barro dan Sala-i-Martin (1995), tingkat pertumbuhan jangka panjang ditentukan oleh variabel eksogen pada steady state, dimana k, y dan c per kapita tidak tumbuh dan variabel agregat K, Y dan C tumbuh pada tingkat laju pertumbuhan penduduk n, yang dalam persamaan dasar model Solow-Swan dinyatakan dengan: γ = = s ( ) Dengan k negatif, maka: ( ) (n + δ)....(2.5) = s f (k) ( ) /k < 0...(2.6) Jika nilai k semakin kecil maka nilai k /k lebih besar, ceteris paribus. Hal ini menunjukkan bahwa perekonomian dengan modal per orang yang lebih rendah akan tumbuh lebih cepat atau adanya kecenderungan konvergensi. Suatu daerah/negara yang mulai dengan rasio modal per tenaga kerja yang rendah akan memiliki tingkat pertumbuhan k /k per kapita yang lebih tinggi. Hipotesis bahwa ekonomi yang miskin cenderung tumbuh lebih cepat per kapita dibandingkan yang kaya tanpa melihat karakteristik perekonomian lainnya disebut konvergensi mutlak (absolute convergence) atau konvergensi nonkondisional (unconditional convergence). Hal ini berbeda dengan konvergensi bersyarat atau kondisional (conditional convergence), yang mengakomodasi heterogenitas perekonomian. Misalnya daerah yang mempunyai stok kapital yang berbeda per jumlah penduduk atau memiliki tingkat tabungan (saving rate) yang berbeda. Pada Gambar 10, kondisi steady state ditentukan oleh persimpangan s i. f(k)/k dengan garis (n+δ), dimana s poor < s rich dan k* poor < k* rich, seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pada kondisi awal k(0) poor < k(0) rich. Secara empiris, dapat dijelaskan bahwa negara-negara yang mempunyai tingkat pendapatan per kapita yang tinggi cenderung memiliki tingkat tabungan yang lebih tinggi. Jika mereka mempunyai tingkat tabungan yang sama, maka jarak antara s i. f(k)/k dengan garis (n+δ) akan lebih tinggi untuk daerah

50 22 yang miskin dan berlaku (k /k) poor > (k /k) poor. Sebaliknya, apabila daerah kaya memiliki tingkat tabungan yang lebih tinggi, perekonomian di daerah tersebut akan tumbuh lebih cepat daripada daerah miskin. Oleh karena itu, model yang digunakan untuk memprediksi konvergensi bersyarat menunjukkan bahwa daerah dengan pendapatan per kapita awal yang lebih rendah akan menghasilkan tingkat pertumbuhan per kapita yang lebih tinggi, tetapi dengan mengontrol faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi steady state (Quah, 1995). n+δ s rich. f(k)/k s poor. f(k)/k k(0) poor k* poor k(0) rich k* rich Sumber: Barro dan Sala-i-Martin (1995) Gambar 10 Konvergensi Bersyarat/Kondisional (Conditional Convergence) 2.3. Ketimpangan Wilayah Capello (2007) menyebutkan bahwa analisis pembangunan wilayah mensyaratkan dua hal, yaitu pertumbuhan absolut yang menunjukkan kemampuan sumber daya yang potensial di wilayah tersebut dan pertumbuhan relatif antar wilayah yang dapat digunakan untuk menginterpretasikan ketimpangan regional dan kemungkinan dari konvergensi pada tingkat pertumbuhannya atau pendapatan rata-ratanya. Disparitas pembangunan ekonomi regional merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan sumber daya alam dan perbedaan kondisi demografi yang terdapat pada masing-masing wilayah. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses

51 23 pembangunan ekonomi juga menjadi berbeda. Demikian pula pergeseran komposisi sektor-sektor pembangunan karena aktivitas ekonomi. Tidak mengherankan bila di setiap daerah biasanya terdapat wilayah maju dan wilayah terbelakang akibat transformasi dengan kecepatan yang berbeda. Terjadinya ketimpangan antar wilayah ini membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah. Karena itu, aspek ketimpangan pembangunan antar wilayah ini juga mempunyai implikasi pula terhadap formulasi kebijakan pembangunan wilayah yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Menurut Sjafrizal (2008) upaya pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang dapat dilakukan dalam rangka penanggulangan ketimpangan pembangunan antar daerah dalam suatu negara/wilayah yaitu: (i) penyebaran pembangunan prasarana perhubungan; (ii) mendorong transmigrasi dan migrasi spontan; (iii) pengembangan pusat pertumbuhan, dan (iv) pelaksanaan otonomi daerah. Teori pertumbuhan neo-klasik memprediksi hubungan antara tingkat pembangunan ekonomi nasional dan ketimpangan pembangunan antar wilayah. Hipotesis ini kemudian dikenal sebagai hipotesis neo-klasik. Dalam hipotesis neoklasik ketimpangan pembangunan pada permulaan proses cenderung meningkat. Proses ini akan terjadi sampai ketimpangan tersebut mencapai titik puncak. Setelah itu, bila proses pembangunan terus berlanjut, maka secara berangsurangsur ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut akan menurun. Dengan kata lain ketimpangan pada negara berkembang relatif lebih tinggi, sedangkan pada negara maju ketimpangan tersebut relatif lebih rendah. Todaro dan Smith (2006) menunjukkan ketimpangan pembangunan sebagai kurva kuznets berbentuk U terbalik, seperti pada Gambar 11. Ketimpangan di negara berkembang relatif lebih tinggi karena pada waktu proses pembangunan baru dimulai, kesempatan dan peluang pembangunan yang ada umumnya dimanfaatkan oleh daerah-daerah yang kondisi pembangunannya sudah lebih baik, sedangkan daerah yang masih terbelakang tidak mampu memanfaatkan peluang ini karena keterbatasan prasarana dan sarana serta rendahnya kualitas sumber daya manusia. Oleh sebab itu, pertumbuhan ekonomi cenderung lebih cepat di daerah dengan kondisi yang lebih baik, sedangkan daerah yang terbelakang tidak banyak mengalami kemajuan (Sjafrizal, 2008).

52 24 Koefisien Gini Kurva Ketimpangan Regional Pendapatan nasional bruto per kapita Sumber: Todaro dan Smith (2006) Gambar 11 Kurva Kuznets tentang Hubungan Pendapatan dan Ketimpangan Sedangkan di negara yang sudah maju dimana kondisi yang lebih baik dari segi prasarana dan sarana serta kualitas sumber daya manusia, setiap kesempatan peluang pembangunan dapat dimanfaatkan secara lebih merata antar daerah. Oleh sebab itu, proses pembangunan pada negara maju cenderung mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah. Perbedaan pendapatan rumah tangga dalam suatu wilayah mencerminkan adanya ketidakmerataan pendapatan. Perbedaan pendapatan tersebut juga mengakibatkan perbedaan pola konsumsi dan pengeluaran konsumsi suatu rumah tangga, sehingga perbedaan pendapatan dapat dilihat dari perbedaan pola konsumsi dan pengeluaran rumah tangga. Pendekatan ini digunakan juga dalam penghitungan distribusi pendapatan, yang menunjukkan porsi pendapatan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga dalam suatu wilayah Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah Menurut Sjafrizal (2008), ketimpangan pembangunan dipengaruhi faktorfaktor sebagai berikut: (1) Perbedaan kandungan sumber daya alam, yang akan mempengaruhi kegiatan produksi di daerah tersebut. Daerah yang kaya sumber daya alam dapat memperoduksi barang-barang tertentu dengan harga yang lebih murah sehingga mempercepat pertumbuhan ekonominya.

53 25 (2) Perbedaan kondisi demografis, meliputi tingkat pertumbuhan dan struktur kependudukan, tingkat pendidikan dan kesehatan, kondisi ketenagakerjaan, tingkah laku dan etos kerja masyarakatnya. (3) Kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa, yang menyebabkan kelebihan produksi suatu daerah tidak dapat diperdagangkan/dijual ke daerah lain yang membutuhkan sehingga daerah yang kurang maju tersebut pertumbuhannya lebih lambat. (4) Konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah akan mendorong peningkatan penyediaan lapangan kerja dan juga tingkat pendapatan masyarakat. (5) Alokasi dana pembangunan antar wilayah (investasi yang ditanamkan). Sumber investasi terdiri dari dua pelaku ekonomi yaitu pemerintah dan swasta. Hal yang hampir sama dikemukakan oleh Murty (2000), yang menyatakan bahwa ketimpangan disebabkan oleh: (1) Faktor geografi: pada suatu wilayah yang cukup luas akan terjadi perbedaan distribusi sumber daya alam, sumber daya pertanian, topografi, iklim, curah hujan, sumber daya mineral dan variasi spasial lainnya. (2) Faktor sejarah: tingkat perkembangan masyarakat dalam suatu wilayah sangat tergantung dari apa yang dilakukan pada masa lalu. Bentuk kelembagaan atau budaya dan kehidupan perekonomian pada masa lalu merupakan penyebab yang cukup penting terutama terkait dengan sistem insentif terhadap kapasitas kerja dan entrepreneurship. (3) Faktor politik: politik yang tidak stabil akan menyebabkan ketidakpastian di berbgaai bidang terutama ekonomi, terutama keraguan dalam berusaha atau berinvestasi bahkan dapat menyebabkan terjadinya crowding out ke luar daerah. (4) Faktor kebijakan: kebijakan pemerintah yang sentralistik hampir di semua sektor dan lebih menekankan pertumbuhan ekonomi untuk membangun pusat-pusat pertumbuhan di wilayah tertentu akan menyebabkan kesenjangan, baik antar sektor, antar pelaku ekonomi maupun antar daerah. (5) Faktor administrasi: wilayah yang dikelola dengan administrasi yang baik cenderung lebih maju.

54 26 (6) Faktor sosial: masyarakat yang tertinggal umumnya tidak memiliki institusi dan perilaku yang kondusif bagi berkembangnya perekonomian karena masih percaya pada kepercayaan yang primitif, tradisional dan nilai-nilai sosial yang cenderung konservatif dan menghambat perkembangan ekonomi. (7) Faktor ekonomi, yang terkait dengan: i. Kuantitas dan kualitas faktor produksi: lahan, infrastruktur, tenaga kerja, modal, organisasi, perusahaan. ii. Akumulasi dari berbagai sektor: lingkaran setan kemiskinan, kondisi masyarakat yang tertinggal, standar hidup yang rendah, efisiensi yang rendah, konsumsi yang rendah, tabungan yang rendah, investasi yang rendah dan tingkat pengangguran yang meningkat. Sebaliknya dengan masyarakat maju, mereka semakin meningkatkan taraf hidupnya. iii. Kekuatan pasar bebas dan pengaruhnya pada spread effect dan backwash effect: tenaga kerja, modal, perusahaan dan aktivitas ekonomi seperti industri, perdagangan, perbankan dan asuransi yang memberikan hasil yang lebih besar, cenderung terkonsentrasi di daerah yang maju. iv. Distorsi pasar: immobilitas, kebijakan harga, keterbatasan spesialisasi, keterbatasan ketrampilan tenaga kerja, dan sebagainya. Faktor-faktor tersebut dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu kebijakan pemerintah, faktor endowment dan hasil-hasil pembangunan. Penelitian ini hanya menganalisis faktor kebijakan pemerintah yang dinyatakan dengan pengeluaran rutin pemerintah, tingkat pembangunan ekonomi yang menunjukkan potensi wilayah dinyatakan dengan share sektor pertanian dan manufaktur, serta hasil pembangunan secara fisik dan non fisik. Infrastruktur dapat digunakan sebagai proksi untuk melihat hasil pembangunan secara fisik, sedangkan tingkat pendidikan yang telah dicapai menyatakan hasil pembangunan secara non fisik Peranan Pemerintah dalam Perekonomian Pemerintah mempunyai peranan penting dalam setiap sistem perekonomian sehingga kebijakan yang dilaksanakan akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional. Fungsi pemerintah meliputi tiga hal yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi (Stiglitz, 2000). Fungsi alokasi dilakukan

55 27 pemerintah karena adanya kegagalan pasar (market failure). Hal ini dilakukan dengan menyediakan barang dan jasa yang tidak dapat disediakan oleh sistem pasar yang disebut barang publik agar faktor-faktor produksi dapat digunakan secara efisien dalam perekonomian. Fungsi distribusi pemerintah bertujuan untuk menghasilkan distribusi pendapatan yang merata, karena kekuatan dan mekanisme pasar diyakini tidak akan pernah menghasilkannya. Distribusi pendapatan yang relatif merata merupakan satu fenomena yang diinginkan oleh masyarakat. Tugas pemerintah adalah memastikan terdapat pembagian pendapatan yang lebih merata di antara kelompok-kelompok masyarakat. Selain itu, pemerintah mempunyai peranan utama sebagai alat stabilisasi perekonomian karena perekonomian yang sepenuhnya diserahkan kepada swasta akan sangat peka terhadap goncangan keadaan, misalnya pengangguran dan inflasi untuk menciptakan stabilitas harga dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pemerintah dapat memengaruhi perekonomian makro melalui dua saluran kebijakan: kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Kebijakan fiskal merujuk kepada perilaku pemerintah di bidang pengeluaran dan perpajakan, dengan kata lain kebijakan anggarannya. Kebijakan fiskal umumnya dibagi atas tiga kategori, yaitu: kebijakan yang menyangkut pembelian pemerintah atau barang dan jasa, kebijakan yang menyangkut perpajakan, dan kebijakan yang menyangkut pembayaran transfer (seperti kompensasi pengangguran, tunjangan keamanan sosial, pembayaran kesejahteraan, dan tunjangan veteran) kepada rumah tangga. Kebijakan fiskal berhubungan erat dengan kegiatan pemerintah sebagai pelaku sektor publik. Pada prinsipnya kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang mengatur tentang penerimaan dan pengeluaran negara. Kebijakan fiskal dalam hal penerimaan pemerintah dianggap sebagai suatu cara untuk mengukur mobilisasi sumber dana domestik, dengan instrumen utamanya perpajakan. Perpajakan mempunyai tujuan ganda, yaitu menyediakan dana untuk kepentingan umum dan memengaruhi tingkah laku ekonomi. Tingkat pajak dapat ditingkatkan untuk menurunkan permintaan apabila ekonomi sedang baik dan diturunkan kalau ingin meningkatkan permintaan pada waktu resesi. Perkembangan pengeluaran pemerintah ditentukan oleh faktor-faktor yang berubah dalam perekonomian, antara lain perubahan permintaan akan barang publik, perubahan aktivitas

56 28 pemerintah dalam menghasilkan barang publik, dan juga perubahan dari kombinasi faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi, perubahan kualitas barang publik dan perubahan harga faktor produksi. Beberapa teori yang membahas tentang perkembangan pengeluaran pemerintah menurut Mangkoesoebroto (1997) adalah: 1. Model Rostow dan Musgrave Model ini menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan pemerintah tetap besar pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta semakin besar akan menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak. Selain itu pada tahap ini perkembangan ekonomi menyebabkan terjadinya hubungan antar sektor yang makin komplek. Misalnya pertumbuhan ekonomi yang ditimbulkan oleh perkembangan sektor industri akan menimbulkan semakin tingginya pencemaran atau polusi. Pemerintah harus turun tangan mengatur dan mengurangi dampak negatif dari polusi. Pemerintah juga harus melindungi buruh dalam meningkatkan kesejahteraannya. Musgrave berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan, investasi swasta dalam persentase terhadap PDB semakin besar dan persentase investasi pemerintah terhadap PDB akan semakin kecil. Pada tingkat ekonomi lebih lanjut, Rostow mengatakan bahwa aktivitas pemerintah dalam pembangunan ekonomi beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaranpengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan masyarakat. 2. Hukum Wagner Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran

57 29 pemerintah yang semakin besar dalam persentase terhadap PDB. Apabila pendapatan per kapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Hukum Wagner dikenal dengan The Law of Expanding State Expenditure. Dasar dari hukum tersebut adalah pengamatan empiris dari negaranegara maju (Amerika Serikat, Jerman, Jepang), yang menerangkan mengapa peranan pemerintah menjadi semakin besar, terutama karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat. Kelemahan hukum Wagner adalah karena hukum tersebut tidak didasarkan pada suatu teori mengenai pemilihan barang-barang publik. Wagner mendasarkan pandangannya dengan suatu teori yang disebut teori organisasi mengenai pemerintah (organic theory of the state) yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dari anggota masyarakat lainnya. 3. Teori Peacock dan Wiseman Inti dari teori Peacock dan Wiseman adalah pertumbuhan ekonomi (PDB) menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah, dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Oleh karena itu, dalam keadaan normal, meningkatnya PDB menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar. Sejak tahun 2001, pemerintah Indonesia menggunakan tata pemerintahan baru dalam melakukan strategi pembangunan. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah serta Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah menjadi titik tolak perubahan paradigma peranan pemerintah yang sebelumnya dilakukan secara sentralistik menjadi desentralisasi. Desentralisasi merupakan sebuah instrumen untuk mencapai salah satu tujuan negara dalam memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Desentralisasi didefinisikan sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara umum, konsep desentralisasi terdiri atas Desentralisasi Politik

58 30 (Political Decentralization), Desentralisasi Administratif (Administrative Decentralization), Desentralisasi Fiskal (Fiscal Decentralization); dan Desentralisasi Ekonomi (Economic or Market Decentralization). Desentralisasi fiskal merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi. Desentralisasi fiskal secara singkat dapat diartikan sebagai suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintah yang lebih tinggi kepada pemerintah yang lebih rendah, untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintah dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan. Implikasi dari pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah kewenangan pemerintah daerah yang semakin luas dalam mengelola sumber daya yang dimiliki maupun dalam melaksanakan pembangunan. Pemerintah daerah lebih mengetahui keadaan daerahnya sehingga pembangunan dapat direncanakan dan dilaksanakan dengan lebih baik daripada pemerintah pusat. Apabila terdapat masalah dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, masalah tersebut dapat diatasi dengan cepat karena pemerintah daerah lebih mengetahui masalah tersebut dan beban kerja pemerintah daerah juga lebih sedikit daripada pemerintah pusat (Sukirno, 1985). Dengan demikian, Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa pemerintah daerah tidak lagi sekedar menjalankan instruksi dari pemerintah pusat, tetapi daerah dituntut mampu mengembangkan kreatifitas dan inovasi dalam mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Pemerintah daerah dapat lebih berkonsentrasi pada pemberdayaan kekuatan ekonomi lokal, melakukan alokasi secara lebih efisien pada potensi lokal yang sesuai dengan kebutuhan publik, sehingga meningkatkan kinerja (kemampuan) keuangan daerah. Idealnya semua pengeluaran pemerintah daerah dapat dicukupi dengan menggunakan PAD (Pendapatan Asli Daerah) sehingga daerah benar-benar otonom. Namun kemampuan daerah yang berbeda-beda menyebabkan pemerintah perlu melakukan mekanisme transfer melalui dana perimbangan agar terjadi pemerataan kemampuan fiskal di setiap daerah. Dana Perimbangan Keuangan Pusat Daerah (PKPD) terdiri dari bantuan umum (block grant) dan bantuan khusus (spesific grant). Bantuan umum meliputi DAU (Dana Alokasi Umum) dan DBH (Dana Bagi Hasil), yaitu Dana Bagi Hasil Pajak dan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam. Tujuan utama DAU adalah memperkuat kondisi fiskal daerah

59 31 dan mengurangi ketimpangan antar daerah (horizontal imbalance). Pada awal penerapannya, DAU dimanfaatkan untuk membiayai pengeluaran rutin. Sedangkan DBH bertujuan untuk mengurangi ketimpangan pusat daerah (vertical imbalance). Kebijakan DBH SDA dilakukan agar masyarakat daerah dapat merasakan hasil sumber daya alam yang dimilikinya karena selama pemerintahan sentralistik, hasil SDA lebih banyak dinikmati oleh pemerintah pusat. DBH Pajak banyak diperoleh dari kota-kota metropolitan yang merupakan tempat konsentrasi perusahaan dan bisnis Tingkat Pembangunan Ekonomi Teori perubahan struktur perekonomian memperlihatkan hubungan antara besarnya pendapatan per kapita dengan persentase sumbangan berbagai sektor ekonomi terhadap produksi nasional. Peranan berbagai sektor ekonomi pada tingkat pembangunan ekonomi menjadi landasan penentuan sumber-sumber daya ke berbagai sektor ekonomi (Sukirno, 1995). Bagaimana suatu negara mencapai kemajuan dapat melalui cara yang berbeda, tergantung pada sumber daya yang tersedia dan potensi yang dimilikinya termasuk tingkat pendapatan pada awal pembangunan dan keunggulan komparatif relatif terhadap negara lainnya. Chenery (1980) menyatakan bahwa struktur ekonomi wilayah terbelakang akan berubah dari waktu ke waktu dengan adanya industri-industri baru yang menggantikan pertanian tradisional sebagai mesin pertumbuhan ekonomi. Wilayah yang maju dan terbelakang mempunyai pola pembangunan ekonomi yang tidak sama dengan latar belakang geografis yang berbeda sehingga secara alami ketimpangan wilayah merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Bose et al. (2005) juga meneliti bahwa tingkat pembangunan ekonomi menentukan keuangan publik optimal suatu wilayah Pendidikan Tenaga Kerja Pendidikan merupakan faktor produksi yang tidak dapat dipisahkan dari tenaga kerja karena menentukan kualitas tenaga kerja. Modal dan sumber daya alam hanyalah merupakan faktor produksi pasif, sedangkan manusia merupakan agen yang aktif yang dapat mengakumulasi modal, mengeksploitasi sumber daya

60 32 alam serta membangun kehidupan sosial, ekonomi dan politik serta membawa kemajuan bagi pembangunan nasional (Todaro dan Smith, 2006). UNESCO (2008) menyatakan arti penting pendidikan sebagai berikut: (1) Pendidikan dapat meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan ketrampilan seseorang sehingga menjadi lebih efektif dan produktif yang pada gilirannya dapat meningkatkan penghasilan secara memadai untuk mendorong peningkatan pendapatan, (2) Pendidikan berpengaruh terhadap peningkatan derajat kesehatan dan gizi, (3) Pendidikan akan meningkatkan mutu standar hidup, (4) Pendidikan akan mendorong proses pembangunan sosial melalui penguatan kohesi dalam masyarakat dan membuka peluang serta kesempatan yang lebih baik Infrastruktur Infrastruktur penting bagi kegiatan produksi dan dapat memengaruhi kegiatan ekonomi dalam berbagai cara baik secara langsung maupun tidak langsung. Infrastruktur tidak hanya merupakan kegiatan produksi yang akan menciptakan output dan kesempatan kerja, namun keberadaan infrastruktur juga memengaruhi efisiensi dan kelancaran kegiatan ekonomi di sektor-sektor lainnya (Gambar 12). Infrastruktur Pendapatan Rumah Tangga Pendapatan Dunia Usaha Peningkatan Kesejahteraan Pengembangan Pasar Penurunan Biaya Pertumbuhan Ekonomi Sumber: Cicilia dalam Sibarani (2002) Gambar 12 Pengaruh Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi

61 33 World Bank (1994) membagi infrastruktur menjadi tiga, yaitu: 1. Infrastruktur ekonomi, merupakan aset fisik yang diperlukan untuk menunjang aktivitas ekonomi baik dalam produksi maupun konsumsi final, meliputi public utilities (tenaga, telekomunikasi, air minum, sanitasi dan gas), public work (jalan, bendungan, kanal, saluran irigasi dan drainase) serta sektor transportasi (jalan, rel kereta api, angkutan pelabuhan, lapangan terbang dan sebagainya). 2. Infrastruktur sosial, merupakan aset yang mendukung kesehatan dan keahlian masyarakat, meliputi pendidikan (sekolah dan perpustakaan), kesehatan (rumah sakit dan pusat kesehatan), perumahan dan rekreasi (taman, museum dan lainlain). 3. Infrastruktur administrasi/institusi, meliputi penegakan hukum, kontrol administrasi dan koordinasi serta kebudayaan. Infrastruktur juga dapat digolongkan menjadi infrastruktur dasar dan pelengkap. Infrastruktur dasar (basic infrastructure), meliputi sektor-sektor yang mempunyai karakteristik publik dan kepentingan yang mendasar untuk perekonomian lainnya, tidak dapat diperjualbelikan (non tradable) dan tidak dapat dipisah-pisahkan baik secara teknis maupun spasial. Contohnya jalan raya, rel kereta api, pelabuhan laut, drainase, bendungan, dan sebagainya. Sedangkan infrastruktur pelengkap (complementary infrastructure) misalnya gas, listrik, telepon dan pengadaan air minum. Infrastruktur dasar biasanya diselenggarakan oleh pemerintah karena sifatnya yang dibutuhkan oleh masyarakat luas. Namun dalam penyediaannya, pemerintah dapat bekerja sama dengan badan usaha sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Walaupun pengadaan infrastruktur bisa dilakukan dengan kerja sama dengan badan usaha yang telah ditunjuk, tidak semua layanan infrastruktur bisa dilaksanakan oleh pihak swasta karena ada layanan infrastruktur yang memerlukan modal yang besar dengan waktu pengembalian yang lama dan resiko investasi yang besar. Fasilitas infrastruktur bukan hanya berfungsi melayani berbagai kepentingan umum tetapi juga memegang peranan penting pada kegiatan-kegiatan swasta di bidang ekonomi. Kebutuhan prasarana merupakan pilihan (preference), dimana tidak ada standar umum untuk menentukan berapa besarnya fasilitas yang tepat di

62 34 suatu daerah atau populasi. Infrastruktur penting yang akan dianalisis dalam peneltian ini adalah infrastruktur sosial berupa sarana kesehatan dan infrastruktur ekonomi yang penting khususnya di Pulau Jawa yaitu listrik, air bersih dan panjang jalan. Pembangunan kesehatan menjadi bagian integral dari pembangunan nasional karena masyarakat yang sehat akan menghasilkan tenaga kerja yang sehat dan merupakan input penting dalam kegiatan ekonomi. Negara-negara yang mempunyai tingkat kesehatan dan pendidikan yang rendah menghadapi tantangan yang lebih berat untuk mencapai pertumbuhan berkelanjutan dibandingkan dengan negara yang lebih baik tingkat kesehatan dan pendidikannya. Tenaga kerja yang berkualitas akan mempunyai peluang yang lebih besar untuk lebih produktif, mempunyai kesempatan kerja yang lebih besar, memperoleh pendapatan yang lebih tinggi, dan menghasilkan output ekonomi yang lebih besar juga. Pelayanan kesehatan melalui rumah sakit dan puskesmas serta pelayanan kesehatan lainnya diharapkan meningkatkan mutu kesehatan yang menjangkau seluruh masyarakat untuk mewujudkan pembangunan kesehatan yang merata. Puskesmas merupakan sarana pelayanan kesehatan yang memasyarakat sampai di daerah terpencil (tidak seperti rumah sakit yang secara relatif hanya berada di kota atau ibukota kabupaten saja), maka penggunaan data jumlah puskesmas dalam penelitian ini diharapkan dapat mewakili jumlah fasilitas kesehatan secara representatif di seluruh Pulau Jawa. Kebutuhan akan listrik menjadi tuntutan primer yang harus dipenuhi seiring dengan kemajuan pembangunan, tidak hanya untuk rumah tangga namun juga untuk kegiatan ekonomi terutama industri. Semakin banyak peralatan rumah tangga, peralatan kantor serta kegiatan produksi yang mengandalkan sumber energi dari listrik karena praktis. Sebagian besar kebutuhan listrik di Indonesia dipenuhi oleh PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero). Selain listrik, infrastruktur ekonomi yang penting adalah air bersih, yang merupakan kebutuhan vital yang mutlak diperlukan dalam kehidupan manusia. Penggunaan air terbesar berdasarkan sektor kegiatan dapat dibagi ke dalam tiga kelompok besar yaitu kebutuhan domestik, irigasi pertanian dan industri. Kebutuhan air domestik digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga

63 35 sehari-hari. Air untuk sektor pertanian digunakan untuk irigasi dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan penduduk yang terus bertambah. Dan dalam bidang industri, air bersih merupakan faktor penting dalam proses produksi. Infrastruktur jalan merupakan salah satu infrastruktur pengangkutan yang berperan dalam merangsang pertumbuhan ekonomi karena ketersediaan jalan akan meminimalkan modal komplementer dalam upaya mengefisienkan proses produksi dan distribusi. Pembangunan prasarana jalan turut akan meningkatkan pertumbuhan wilayah-wilayah baru dengan meningkatnya volume lalu lintas. Sebaiknya prasarana jalan yang buruk dan rusak akan menghambat alokasi sumber daya, pengembangan industri, pendistribusian faktor produksi, barang dan jasa, yang pada akhirnya akan memengaruhi pendapatan. Ikhsan (2004) mengemukakan bahwa jalan raya akan memengaruhi biaya variabel dan biaya tetap. Jika infrastruktur harus dibangun sendiri oleh sektor swasta, maka biaya akan meningkat secara signifikan dan menyebabkan cost of entry untuk suatu kegiatan ekonomi menjadi sangat mahal sehingga kegiatan-kegiatan ekonomi yang sebetulnya secara potensial mempunyai keunggulan komparatif menjadi tidak bisa terealisasikan karena tidak tersedianya infrastruktur Tinjauan Empiris Ding dan Knight (2008) melakukan penelitian dengan model Solow yang diperluas dengan memasukkan variabel modal manusia dan perubahan struktural selama periode tahun dengan interval waktu analisis 5 tahunan untuk mengurangi sensitifitas siklus bisnis dari data tahunan. Variabel dependen yang digunakan adalah PDB riil per pekerja di Cina dan negara-negara pembandingnya yang diteliti. Sedangkan variabel dependen meliputi saham tabungan diproksi dengan investasi di PDB riil, data penduduk usia tahun untuk menghitung penduduk usia kerja, modal manusia diproksi dengan rata-rata lama sekolah di atas usia 15 tahun, jumlah angkatan kerja dan tenaga kerja pertanian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi internasional bervariasi, dimana investasi modal fisik, perubahan struktur kerja, konvergensi bersyarat dan pertumbuhan penduduk merupakan sumber utama perbedaan pertumbuhan Cina dan negara-negara lainnya.

64 36 Penelitian konvergensi pendapatan dilakukan oleh Ralhan dan Dayanandan (2005) dengan level data 10 provinsi di Kanada selama periode tahun , dengan menggunakan interval waktu analisis 5 tahunan. Variabel dependen yang digunakan adalah NPDP (Net Provincial Domestic Product) per kapita riil dan variabel independennya adalah tingkat pertumbuhan tenaga kerja pada usia tahun dan investasi riil. Analisis dilakukan dengan mengadopsi model pertumbuhan Solow dinamik dengan teknik estimasi GMM dan membandingkannya dengan model data panel lainnya yaitu pendekatan fixed effect dan random effect. Hasil penelitian ini dapat menyatakan bahwa tingkat kemajuan teknologi dan fungsi produksi provinsi-provinsi di Kanada berada pada tingkat tertentu dan homogen. Tingkat konvergensi pendapatan per kapita mencapai 1,5 persen jika dilakukan dengan OLS dan teknik lainnya, namun meningkat hingga mencapai 6 sampai dengan 6,5 persen jika dilakukan dengan teknik GMM. Konvergensi personal disposible income di antara provinsi-provinsi di Kanada berada pada tingkat 2,89 persen. Selanjutnya Badinger et al. (2002) melakukan penelitian konvergensi regional menggunakan sampel 196 negara-negara Eropa selama periode tahun dengan variabel pendapatan dan investasi. Analisis dilakukan dengan memperhitungkan efek spasial dalam model data panel dinamis karena daerah yang diamati tidak menerapkan ekonomi tertutup, sehingga harus menunjukkan interaksi ekonomi dan ketergantungan spasial. Oleh karena itu diperlukan spatial filtering untuk menghilangkan hubungan spasial tersebut sebab ketidaktahuan spasial dapat mengakibatkan hasil yang berpotensi menyesatkan. Dengan menerapkan estimasi GMM terhadap variabel filter, didapatkan kecepatan mencapai konvergensi 6,9 persen dan elastisitas modal sebesar 0,43. Penelitian berikutnya juga dilakukan di negara-negara Eropa yang meliputi 206 daerah NUTS II EU15 selama kurun waktu dengan menggunakan variabel pendapatan, penduduk, tingkat investasi daerah, share sektor pertanian sebagai proksi tingkat teknologi daerah, dan pembayaran dana transfer. Penelitian ini dilakukan oleh Bussoletti dan Esposti (2004) menggunakan model ekonometrik konvergensi bersyarat dalam bentuk data panel dinamis karena model ini lebih konsisten daripada model statis. Estimasi GMM diterapkan

65 37 untuk memperoleh perkiraan dari parameter konvergensi yang mencapai 5 sampai 7,5 persen. Teknik ini juga digunakan untuk melihat pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Kebijakan regional berupa dana transfer memberikan pengaruh yang positif sedangkan share sektor pertanian berdampak negatif terhadap pendapatan. Identifikasi konvergensi di Indonesia dilakukan oleh Rumayya et al. (2005) menggunakan data PDRB perkapita atas dasar harga tahun 1983 untuk crosssection 30 kabupaten/kota di Jawa Timur selama periode Konvergensi β diperoleh dengan mempertimbangkan heterogenitas spasial dan ketergantungan spasial. Pemodelan dilakukan dengan statistik GI* untuk melihat cluster daerah berpenghasilan tinggi di bagian tengah dan timur serta cluster berpenghasilan rendah di bagian barat Jawa Timur. Regresi OLS dan GLS pada model konvergensi absolut tidak menemukan proses konvergensi. Proses konvergensi ini hanya ditemukan dalam model spasial konvergensi mutlak regresif untuk kelompok kaya saja, sedangkan kelompok miskin tidak. Model cross-regresif spasial konvergensi mutlak β menemukan bahwa koefisien lag spasial pendapatan awal adalah positif dan signifikan. Hal ini menunjukkan adanya ketergantungan ruang yang dapat menjelaskan pertumbuhan pendapatan kabupaten/kota di Jawa Timur, dimana pertumbuhan dipengaruhi oleh pendapatan awal tetangganya. Wilayah yang dikelilingi oleh tetangga kaya akan tumbuh lebih cepat dibandingkan bila dikelilingi oleh tetangga miskin. Hal ini disebabkan spillover teknologi dan keuangan, artinya teknologi dan biaya produksi suatu wilayah tidak hanya ditentukan oleh faktor kawasan tetapi juga tingkat teknologi tetangganya (adanya eksternalitas dari sisi penawaran). Belajar dari negara Cina dalam mengurangi kemiskinan, de Janvry et al. (2005) meneliti bahwa tanpa kegiatan non pertanian, kemiskinan di perdesaan akan jauh lebih tinggi dan lebih dalam serta ketimpangan akan meningkat, artinya kegiatan non pertanian memiliki pengaruh spillover yang positif terhadap produksi rumah tangga pertanian. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengurangan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan adalah pendidikan, jarak yang dekat dengan kota, wilayah sekitarnya dan pengaruh perdesaan untuk mendapatkan akses di bidang pertanian. Penelitian lainnya mengkaji ketimpangan

66 38 pendapatan dari sektor non pertanian dipengaruhi oleh pendidikan, upah dan wirausaha (Liu dan Sicular, 2008). Hasil penelitian di Nigeria menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan di perdesaan lebih tinggi dari pada di perkotaan walaupun pendapatan di sektor pertanian menurunkan ketimpangan (Oyekale et al., 2006). Peningkatan ketimpangan dipengaruhi oleh urbanisasi, tempat tinggal yang berada di daerah yang miskin, ukuran rumah tangga, pendidikan formal kepala rumah tangga, lamanya sakit, keterlibatan dalam pekerjaan yang dibayar dan bisnis non pertanian, adanya kredit formal dan informal. Sementara itu Omilola (2009) meneliti fenomena ketimpangan pendapatan yang diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu penghasilan rumah tangga pertanian yang menggunakan irigasi, tadah hujan dan non pertanian. Ketimpangan terkecil berada pada rumah tangga yang pendapatannya berasal dari non pertanian, sedangkan yang terbesar adalah rumah tangga pertanian yang menggunakan irigasi Kerangka Pemikiran Pembangunan perekonomian di suatu wilayah diupayakan untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang optimal walaupun pada tingkat pembangunan berbeda. Penelitian perekonomian di Pulau Jawa ini memasukkan variabel tingkat pembangunan ekonomi yang diproksi dengan share (kontribusi) sektor pertanian dan sektor manufaktur karena menentukan output produksi setiap daerah. Adanya keseimbangan umum dalam setiap input produksi dilakukan oleh pelaku-pelaku ekonomi. Oleh karena itu penelitian ini menggabungkan peranan pemerintah dan swasta (termasuk di dalamnya rumah tangga) dalam meningkatkan output perekonomian, yang merupakan proksi dari pendapatan regional. Peranan pemerintah dilihat dari dua sisi, yaitu sisi penerimaan dan pengeluaran, sesuai dengan format APBD sejak diberlakukannya desentralisasi fiskal. Variabel yang dikaji dalam sisi penerimaan adalah pajak, sedangkan dari sisi pengeluran adalah belanja rutin yang merupakan belanja keperluan operasional untuk menjalankan kegiatan rutin pemerintahan dan belanja pembangunan yang merupakan pengeluaran yang berkaitan dengan proyek-proyek yang meliputi belanja modal

67 39 dan belanja penunjang. Selanjutnya peranan swasta dilihat menurut faktor-faktor produksi, meliputi investasi, tenaga kerja dan pendidikan tenaga kerja. Ukuran kesejahteraan yang biasanya digunakan dalam penelitian-penelitian kewilayahan adalah PDRB, yang menunjukkan output regional yang dihasilkan, tanpa memperhatikan kepemilikan faktor produksinya. Sekalipun pemilik faktor produksinya berasal dari luar wilayah, namun jika kegiatan ekonominya dilakukan di wilayah tersebut, tetap dihitung dalam PDRB. Oleh karena itu sebagai ukuran kesejahteraan rakyat, PDRB mempunyai kelemahan karena kurang mampu merepresentasikan tingkat kesejahteraan masyarakat yang sesungguhnya. Ukuran kesejahteraan masyarakat yang seyogyanya digunakan adalah pendapatan yang diperoleh dari aktivitas ekonomi seluruh masyarakat. Karena ukuran ini sangat sulit diperoleh, penelitian ini menggunakan proksi jumlah pengeluaran yang dilakukan oleh rumah tangga. Angka ini diharapkan lebih menjelaskan seberapa besar kebutuhan masyarakat telah terpenuhi jika dilihat dari sisi konsumsi. Agar dapat melihat konvergensi dari sisi pendapatan regional dan pendapatan rumah tangga, penelitian ini menggunakan dua pendekatan. Pertama, pendekatan pendapatan melalui total output yang dihasilkan setiap wilayah yang tercermin dalam nilai PDRB (Produk Domestik Regional Bruto). Data yang digunakan adalah PDRB atas dasar harga konstan 2000 sehingga menghilangkan pengaruh inflasi. Kedua, pendekatan pendapatan rumah tangga secara agregat, yang diproksi dengan menggunakan data pengeluaran rumah tangga yang diperoleh dari data Susenas. Data pengeluaran juga telah dideflasi dengan menggunakan deflator PDRB. Berdasarkan beberapa pendekatan tersebut, diharapkan adanya implikasi kebijakan yang lebih dapat diaplikasikan secara nyata demi kesejahteraan masyarakat.

68 40 Perekonomian Pulau Jawa Tingkat Pembangunan Ekonomi Share Pertanian Share Manufaktur Pemerintah Swasta Penerimaan Pengeluaran Rutin Pembangunan Investasi Tenaga Kerja Pendidikan Tenaga Kerja Konvergensi Infrastruktur Puskesmas Listrik Air Bersih Jalan Analisis Ketimpangan Wilayah Pendekatan PDRB Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga Implikasi Kebijakan Gambar 13 Kerangka Pemikiran Penelitian

69 Hipotesis Berdasarkan permasalahan, tujuan dan kerangka pemikiran tersebut, maka hipotesis dari penelitian ini adalah: 1. Ketimpangan between dan within provinsi terjadi di Pulau Jawa. 2. Konvergensi yang dihitung dari pendekatan PDRB maupun pengeluaran rumah tangga terjadi di Pulau Jawa secara keseluruhan dan di tiga provinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur). 3. Pengeluaran rutin pemerintah dapat mengurangi ketimpangan wilayah sesuai dengan tujuannya. 4. Tingkat pembangunan ekonomi dan transformasi perekonomian di daerah menentukan keberhasilan pemerataan pembangunan regional. 5. Tingkat pendidikan tenaga kerja yang mendorong peningkatan produktivitas ekonomi diharapkan juga mengurangi ketimpangan wilayah. 6. Pembangunan infrastruktur diharapkan dapat mengurangi kesenjangan wilayah.

70 Halaman ini sengaja dikosongkan.

71 III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data dari: Penelitian ini menggunakan data sekunder tahun , yang terdiri 1. PDRB kabupaten/kota atas dasar harga konstan Pengeluaran rumah tangga yang diagregasi dari data KOR Susenas untuk wilayah kabupaten/kota dan telah dideflasi dengan menggunakan tahun dasar 2000, yang diperoleh dari deflator PDRB. 3. Investasi kabupaten/kota, yang merupakan penggabungan dua variabel: i. Investasi pemerintah berupa belanja barang modal pemerintah kabupaten/kota ii. Investasi perumahan yang dilakukan oleh rumah tangga, yang diperoleh dari data KOR Susenas untuk wilayah kabupaten/kota. 4. Jumlah tenaga kerja kabupaten/kota. 5. PDRB perkapita kabupaten/kota dan provinsi atas dasar harga konstan 2000, yang dihitung dengan membagi nilai PDRB dengan jumlah penduduk. 6. Pengeluaran rumah tangga perkapita kabupaten/kota dan provinsi, yang dihitung dengan cara membagi pengeluaran rumah tangga dengan jumlah penduduk. 7. Kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB total kabupaten/kota sebagai variabel instrumen untuk analisis konvergensi dan data kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB total pada level provinsi untuk analisis ketimpangan. 8. Kontribusi sektor manufaktur terhadap PDRB total kabupaten/kota sebagai variabel instrumen untuk analisis konvergensi dan data kontribusi sektor manufaktur terhadap PDRB total pada level provinsi untuk analisis ketimpangan. 9. Tingkat pendidikan tenaga kerja kabupaten/kota dan provinsi, yang diproksi dengan share tenaga kerja yang berpendidikan SMA ke atas terhadap jumlah tenaga kerja. Alasan penggunaan variabel ini

72 44 digunakan sebagai variabel instrumen untuk analisis konvergensi adalah adanya hubungan yang langsung antara kualitas tenaga kerja dengan produktivitas dalam kegiatan produksi. Sedangkan dalam analisis ketimpangan, share tenaga kerja yang berpendidikan SMA ke atas digunakan untuk menghilangkan bias yang disebabkan adanya lag variabel pendidikan dalam kegiatan ekonomi. 10. Pengeluaran rutin pemerintah kabupaten/kota yang digunakan sebagai variabel instrumen untuk analisis konvergensi dan data pada level provinsi untuk analisis ketimpangan. Variabel ini terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja perjalanan dinas, belanja pemeliharaan, belanja bunga, belanja subsidi, belanja bantuan keuangan, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil, belanja tak terduga dan belanja lain-lain. 11. Pajak daerah kabupaten/kota, hanya digunakan sebagai variabel instrumen untuk analisis konvergensi. 12. Jumlah puskesmas pada level provinsi, sebagai proksi variabel infrastruktur kesehatan yang menjangkau seluruh masyarakat sampai ke level kecamatan. 13. Jumlah energi listrik yang terjual kepada konsumen pada level provinsi. Pemilihan variabel ini mengacu pada konsumsi konsumen, bukan pada jumlah energi listrik yang diproduksi. 14. Volume air bersih PDAM yang disalurkan kepada konsumen pada level provinsi. Pemilihan variabel ini juga mengacu pada konsumsi konsumen, bukan pada volume air bersih yang diproduksi. 15. Panjang jalan yang kondisinya baik dan sedang, baik jalan negara, jalan provinsi maupun jalan kabupaten/kota di masing-masing provinsi. Kondisi jalan yang baik dan sedang diharapkan lebih menentukan kelancaran kegiatan ekonomi dibandingkan jalan yang rusak, sehingga panjang jalan yang digunakan dalam penelitian ini tidak memasukkan jalan yang rusak.

73 45 Sumber data yang digunakan tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Departemen Keuangan, PLN, PDAM, Dinas Kesehatan, BKPM dan data-data pendukung lainnya Metode Analisis Koefisien Variasi Williamson Koefisien variasi Williamson digunakan untuk mengukur perbedaan nilai output rata-rata yang dihasilkan suatu wilayah. Ukuran ini biasanya menggunakan data PDRB perkapita untuk mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah, yang dinyatakan dengan rumus: Dimana: y y f n CV = ( ) : PDRB perkapita wilayah ke-i : PDRB perkapita seluruh wilayah : jumlah penduduk wilayah ke-i : jumlah penduduk seluruh wilayah, 0 < CV w < 1...(3.1) Penelitian ini juga menghitung koefisien variasi Williamson untuk mengukur perbedaan nilai pengeluaran rumah tangga rata-rata yang dihasilkan suatu wilayah secara agregat. Selanjutnya pengeluaran rumah tangga tersebut dibagi dengan jumlah penduduk untuk mendapatkan nilai pengeluaran rumah tangga perkapita dan digunakan sebagai variabel y Analisis Data Panel Statis Data panel adalah data yang memiliki dimensi ruang (individu) dan waktu, yang merupakan gabungan antara data silang (cross section) dengan data runtut waktu (time series). Jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time series yang sama maka disebut sebagai balanced panel. Sebaliknya jika jumlah observasi berbeda untuk setiap unit cross section maka disebut unbalanced panel. Keunggulan dari penggunaan data panel dalam analisis ekonometrik antara lain: (i) mampu mengontrol heterogenitas individu; (ii) memberikan informasi yang lebih banyak dan beragam, meminimalkan masalah kolinieritas

74 46 (collinearity), meningkatkan jumlah derajat bebas dan lebih efisien; (iii) data panel umumnya lebih baik bila digunakan dalam studi dynamics of adjustment; (iv) data panel lebih baik dalam mengukur dan mengidentifikasi serta mengukur efek yang tidak dapat dideteksi apabila menggunakan data cross section atau time series murni; dan (v) data panel dapat digunakan untuk mengonstruksi dan menguji model perilaku yang lebih kompleks dibandingkan data cross section atau time series murni. Meskipun demikian, analisis data panel juga memiliki beberapa kelemahan dan keterbatasan dalam penggunaannya khususnya apabila data panel dikumpulkan atau diperoleh dengan metode survei. Permasalahan tersebut antara lain: (i) relatif besarnya data panel karena melibatkan komponen cross section dan time series menimbulkan masalah disain survei panel, pengumpulan dan manajemen data (masalah yang umumnya dihadapi di antaranya: coverage, nonresponse, kemampuan daya ingat responden (recall), frekuensi, dan waktu wawancara; (ii) distorsi kesalahan pengamatan (measurement error) yang umumnya terjadi karena kegagalan respon (contoh: pertanyaan yang tidak jelas, ketidaktepatan informasi, dan lain-lain); (iii) masalah selektivitas, yakni: selfselectivity, nonresponse, attrition (jumlah responden yang terus berkurang pada survey lanjutan); dan (iv) cross section dependence (contoh: apabila macro panel data dengan unit analisis negara atau wilayah dengan deret waktu yang panjang mengabaikan cross-country dependence maka dapat mengakibatkan kesimpulan-kesimpulan yang tidak tepat (miss leading inference). Data panel dapat didefinisikan sebagai observasi berulang pada setiap unit cross section yang sama, yang memiliki karakteristik di mana N > 1 dan T > 1. Misalkan y it merupakan nilai varabel dependen untuk unit cross section ke-i pada waktu ke-t dengan i = 1, 2,, N dan t = 1, 2,,T. Dan misalkan terdapat K variabel penjelas yang masing-masing diberi indeks j = 1, 2,,K serta dinotasikan sebagai X, yang menyatakan nilai variabel penjelas ke-j untuk unit ke-i pada waktu ke-t. Cara yang sering digunakan untuk mengorganisir data panel adalah dengan menuliskannya ke dalam bentuk matriks sebagai berikut:

75 47 y X X X ε y y = ; X = X X X ε ; ε =...(3.2) y X X X ε dengan ε menyatakan gangguan acak untuk unit ke-i pada waktu ke-t. Selanjutnya data tersebut disederhanakan dalam bentuk stack sebagai berikut: y X y X y = ; X = y ε ε ; ε =...(3.3) X ε dengan y adalah matriks berukuran NTx1, X adalah matriks berukuran NTxK, dan ε adalah matriks berukuran NTx1. Model standar data panel linier dapat diekspresikan sebagai y = X 'β + ε...(3.4) dengan β adalah matriks berukuran NT x 1 yang diekspresikan sebagai β β β =...(3.5) β Ada beberapa metode yang sering digunakan untuk mengestimasi parameter model data panel statis. Metode sederhana yang sering digunakan adalah pooled estimator atau dikenal sebagai metode least square yang umumnya digunakan pada model cross section dan time series murni. Sebagaimana dibahas sebelumnya bahwa data panel memiliki jumlah observasi lebih banyak dibandingkan data cross section dan time series murni. Akibatnya, ketika data digabungkan menjadi pool data, regresi yang dihasilkan cenderung lebih baik dibandingkan regresi yang menggunakan data cross section dan time series murni. Akan tetapi, dengan mengabungkan data, maka variasi atau perbedaan baik antara individu dan waktu tidak dapat terlihat. Hal ini tentunya kurang sesuai dengan tujuan dari digunakannya data panel. Lebih jauh lagi, dalam beberapa kasus, penduga yang dihasilkan melalui least square dapat menjadi bias akibat kesalahan spesifikasi data. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, ada dua metode yang biasanya digunakan dalam pemodelan data panel, yakni metode efek tetap (fixed effects model) dan metode efek random (random effects model). Persamaan berikut:

76 48 y = X β + ε...(3.6) dengan gangguan acak diasumsikan mengikuti one-way error component model sebagai berikut: ε = α + u...(3.7) dan diasumsikan bahwa u it merupakan gangguan acak yang tidak berkorelasi dengan X it. Sedangkan α i disebut sebagai efek individual (time invariant person specific effect). Beberapa aplikasi empiris data panel umumnya melibatkan satu di antara asumsi mengenai efek individual. Pertama, bila α i diperlakukan sebagai parameter tetap, namun bervariasi antar i = 1,2,, N, maka model ini disebut sebagai fixed effects model (FEM). Model efek tetap umumnya digunakan ketika terdapat korelasi antara intersep individual dan variabel independen r. Secara umum model ini dapat diekspresikan sebagai y = α + X β + u...(3.8) dengan asumsi bahwa u it ~ iid (0,σ ). Penduga dari model ini mampu menjelaskan perbedaan atau variasi antar individu (differences within individual), karena model ini memungkinkan adanya perbedaan intersep α pada setiap i. Penduga dari model ini ditentukan sebagaimana penduga least square dalam regresi namun dalam bentuk deviasi rata-rata individual. Menurut Verbeek (2000), dugaan untuk paremeter β dengan menggunakan FEM dapat diformulasikan sebagai β = ( (X X ) ) ( (X X )(y y )...(3.9) Sedangkan estimasi untuk intersep α dituliskan sebagai α = y X β ; i = 1,.., N...(3.10) Matriks kovarian untuk fixed effect estimator β, dengan u it ~ iid (0,σ ) diberikan oleh: dengan V [β ] = σ ( (X X )(X X ) )...(3.11) σ = (y ( ) y (X X ) β ).... (3.12) Pada dasarnya, FEM lebih menekankan pada perbedaan di antara individu, yakni menjelaskan bagaimana y berbeda dari y, dan tidak menjelaskan kenapa y berbeda dari y ). Di sisi lain, asumsi parametrik mengenai β, menekankan

77 49 bahwa perubahan yang terjadi dalam X memiliki pengaruh yang sama, apakah perubahan dari satu periode ke periode lainnya atau perubahan dari satu individu ke individu lainnya. Kedua, bila α diperlakukan sebagai parameter random, maka model disebut sebagai random effects model (REM). Dalam REM, perbedaan karakeristik individu diakomodasi oleh error dalam model. Secara umum model ini dapat diekspresikan sebagai: y = α + X β + u + τ...(3.13) dengan α = α + τ dan memiliki rata-rata nol. Di sini, τ merepresentasikan gangguan individu (individual disturbance) yang tetap sepanjang waktu. Beberapa asumsi yang melekat dalam REM antara lain: E (u τ ) = 0...(3.14) E (u τ ) = σ...(3.15) E (τ x ) = 0; i, t...(3.16) E (τ x ) = σ...(3.17) E u τ = 0; i, t, j...(3.18) E u u = 0; i j atau t s... (3.19) E u τ = 0; i, t, j...(3.20) Untuk menduga REM umumnya digunakan metode generalized least square (GLS). Misalkan kombinasi error pada persamaan (3.13) dituliskan menjadi w = u + τ, dengan E (w ) = 0...(3.21) E (w ) = σ + σ ; i, t...(3.22) E w w = σ ; t s...(3.23) E w w = 0; untuk i j atau t s...(3.24) Apabila gangguan sejumlah T untuk individu i dikumpulkan dalam bentuk vektor w = (w, w,, w ) maka dapat dituliskan bahwa dengan E w w = Ω...(3.25)

78 50 σ + σ σ σ σ σ σ + σ σ σ Ω = σ σ σ + σ σ...(3.26) σ σ σ σ + σ Untuk keseluruhan observasi panel, matriks kovarian error w = (w, w,, w ) dapat diturunkan sebagai Ω V NTxNT = 0 Ω Ω 0 = I Ω...(3.27) Ω dengan I menyatakan matriks identitas berdimensi N dan merepresentasikan Kronecker product. Misalkan Y pada persamaan (3.14) direpresentasikan sebagai vektor stack dari y yang dibentuk dengan pola yang sama dengan w (dengan struktur yang sama untuk X). Selanjutnya keseluruhan sistem yang dituliskan sebagai Y = Xβ + w...(3.28) dapat diestimasi dengan menggunaan metode GLS. Secara umum pendugaan GLS untuk persamaan regresi (3.28) memerlukan transformasi untuk menghilangkan struktur yang tidak baku dari matriks kovarian E(w w) = V. Kemudian dengan mendefinisikan matriks penimbang P = V / dan mengalikannya ke kedua ruas pada persamaan (3.38) diperoleh hasil transformasi sebagai berikut: atau sekarang PY = PXβ + Pw...(3.29) Y = X β + w...(3.30) E(w w ) = E(Pww P) = PE (ww )P = PVP = I Sehingga, penduga GLS pada persamaan regresi (3.38) dapat dituliskan sebagai β = (X V X) X V Y......(3.31)

79 Data Panel Dinamis Relasi di antara variabel-variabel ekonomi pada kenyataannya banyak yang bersifat dinamis. Analisis data panel dapat digunakan pada model yang bersifat dinamis dalam kaitannya dengan analisis penyesuaian dinamis (dynamic of adjustment). Hubungan dinamis ini dicirikan oleh keberadaan lag variabel dependen di antara variabel-variabel regresor. Sebagai ilustrasi, model data panel dinamis adalah sebagai berikut: y = δy, + x β + u ; i = 1,, N; t = 1,.., T...(3.32) dengan δ menyatakan suatu skalar, x menyatakan matriks berukuran 1xK dan β matriks berukuran Kx1. Dalam hal ini, u diasumsikan mengikuti model oneway error component sebagai berikut: u = μ + v...(3.33) dengan μ ~ iid (0, σ ) menyatakan pengaruh individu dan v ~ iid (0, σ ) menyatakan gangguan yang saling bebas satu sama lain atau dalam beberapa literatur disebut sebagai transient error. Dalam model data panel statis, dapat ditunjukkan adanya konsistensi dan efisiensi baik pada FEM maupun REM terkait perlakuan terhadap μ. Dalam model dinamis, situasi ini secara substansi sangat berbeda, karena y merupakan fungsi dari μ maka y, juga merupakan fungsi dari μ. Karena μ adalah fungsi dari u maka akan terjadi korelasi antara variabel regresor y, dengan u. Hal ini akan menyebabkan penduga least square (sebagaimana digunakan pada model data panel statis) menjadi bias dan inkonsisten, bahkan bila v tidak berkorelasi serial sekalipun. Untuk mengilustrasikan kasus tersebut, berikut diberikan model data panel autoregresif (AR(1)) tanpa menyertakan variabel eksogen: y = δy, + u ; δ < 1; t = 1,.., T...(3.34) dengan u = μ + v di mana μ ~ iid (0, σ ) dan v ~ iid (0, σ ) saling bebas satu sama lain. Penduga fixed effect bagi δ diberikan oleh δ = ( )(,, )...(3.35) (,, )

80 52 dengan y = 1/T y dan y, = 1/T y,. Untuk menganalis sifat dari δ, dapat disubstitusi persamaan (3.44) ke (3.45) untuk memperoleh: δ = δ + ( ) ( )(,, ) ( ) (,, )...(3.36) Penduga ini bersifat bias dan inkonsisten untuk N dan T tetap, bentuk pembagian pada persamaan (3.46) tidak memiliki nilai harapan nol dan tidak konvergen menuju nol bila N. Secara khusus, hal ini dapat ditunjukkan bahwa: plim N (v v ) y, y, = sehingga, untuk T tetap, akan dihasilkan penduga yang inkonsisten. ( ) ( ) 0...(3.37) Untuk mengatasi masalah ini, pendekatan method of moments dapat digunakan. Arrelano dan Bond menyarankan suatu pendekatan generalized method of moments (GMM). Pendekatan GMM merupakan salah satu yang populer. Setidaknya ada dua alasan yang mendasari, pertama, GMM merupakan common estimator dan memberikan kerangka yang lebih bermanfaat untuk perbandingan dan penilaian. Kedua, GMM memberikan alternatif yang sederhana terhadap estimator lainnya, terutama terhadap maximum likelihood.. Namun demikian, penduga GMM juga tidak terlepas dari kelemahan. Adapun beberapa kelemahan metode ini, yaitu: (i) GMM estimator adalah asymptotically efficient dalam ukuran contoh besar tetapi kurang efisien dalam ukuran contoh yang terbatas (finite); dan (ii) estimator ini terkadang memerlukan sejumlah implementasi pemrograman sehingga dibutuhkan suatu perangkat lunak (software) yang mendukung aplikasi pendekatan GMM. Ada dua jenis prosedur estimasi GMM yang umumnya digunakan untuk mengestimasi model linear autoregresif, yakni: (i) First-difference GMM (FD-GMM atau AB-GMM); dan (ii) System GMM (SYS-GMM). Penelitian ini hanya menggunakan pendekatan First-difference GMM (FD- GMM atau AB-GMM) yaitu menggunakan transformasi first difference untuk pendekatan variabel instrumen untuk mendapatkan estimasi δ yang konsisten di mana N dengan T tertentu dengan mengeliminasi pengaruh individual (μ ) sebagai berikut:

81 53 y y, = δ y, y, + v v, ; t = 2,.., T...(3.38) namun, pendugaan dengan least square akan menghasilkan penduga δ yang inkonsisten karena y, dan v, berdasarkan definisi berkorelasi, bahkan bila T. Untuk itu, transformasi dengan menggunakan first difference ini dapat menggunakan suatu pendekatan variabel instrumen (Baum, et al., 2003). Sebagai contoh, y, akan digunakan sebagai instrumen. Di sini, y, berkorelasi dengan y, y, tetapi tidak berkorelasi dengan v,, dan v tidak berkorelasi serial. Di sini, penduga variabel instrumen bagi δ disajikan sebagai δ =, (, ), (,, ) syarat perlu agar penduga ini konsisten adalah...(3.39) plim N ( ) v v, y, = 0...(3.40) T Penduga (3.39) merupakan penduga alternatif dimana y, y, digunakan sebagai instrumen. Penduga variabel instrumen bagi δ disajikan sebagai δ ( ) = (,, )(, ) (,, )(,, ) syarat perlu agar penduga ini konsisten adalah...(3.41) plim N ( ) v v, (y, y, ) = 0...(3.42) T Penduga variabel instrumen yang kedua memerlukan tambahan lag variabel untuk membentuk instrumen, sehingga jumlah amatan efektif yang digunakan untuk melakukan pendugaan menjadi berkurang (satu periode sampel hilang ). Dalam hal ini pendekatan metode momen dapat menyatukan penduga dan mengeliminasi kerugian dari pengurangan ukuran sampel. Langkah pertama dari pendekatan metode ini adalah mencatat bahwa plim 1 N N(T 1) v v, y, = E v v, y, = 0 T...(3.43) yang merupakan kondisi momen (moment condition). Dengan cara yang sama dapat diperoleh

82 54 plim N ( ) (v v, )(y, y, ) T = E[(v v, )(y, y, )] = (3.44) yang juga merupakan kondisi momen. Kedua estimator (IV dan IV(2)) selanjutnya dikenakan kondisi momen dalam pendugaan. Sebagaimana diketahui penggunaan lebih banyak kondisi momen meningkatkan efisiensi dari penduga. Arellano dan Bond (1991) dalam Verbeek (2000) menyatakan bahwa daftar instrumen dapat dikembangkan dengan cara menambah kondisi momen dan membiarkan jumlahnya bervariasi berdasarkan t. Untuk itu, mereka mempertahankan T tetap. Sebagai contoh, ketika T = 4 diperoleh E[(v v )y ] = 0, untuk t = 2 E[(v v )y ] = 0 dan E[(v v )y ] = 0, untuk t = 3 E[(v v )y ] = 0, E[(v v )y ] = 0 dan E[(v v )y ], untuk t = 4 Semua kondisi momen dapat diperluas ke dalam GMM. Selanjutnya, untuk memperkenalkan penduga GMM, misalkan didefinisikan ukuran sampel yang lebih umum sebanyak T, sehingga dapat dituliskan v v v =...(3.45) v, v, sebagai vektor tranformasi error, dan [y ] 0 0 Z = 0 [y, y ] y,, y,...(3.46) sebagai matriks instrumen. Setiap baris pada matriks Z berisi instrumen yang valid untuk setiap periode yang diberikan. Konsekuensinya, himpunan seluruh kondisi momen dapat dituliskan secara ringkas sebagai E Z v = 0...(3.47) yang merupakan kondisi bagi T-1. Untuk menurunkan penduga GMM, persamaan (3.47) dituliskan sebagai E Z ( y y, ) = 0...(3.48)

83 55 Karena jumlah kondisi momen umumnya akan melebihi jumlah koefisien yang belum diketahui, δ akan diduga dengan meminimumkan kuadrat momen sampel yang bersesuaian, yakni min [1/N Z ( y y, )] W [1/N Z ( y y, )]...(3.49) dengan W adalah adalah matriks penimbang definit positif yang simetris. Dengan mendifrensiasikan persamaan (3.59) terhadap δ akan diperoleh penduga GMM sebagai δ (( y, Z )W ( Z y, )) x (( y, Z )W ( Z y ))...(3.50) Sifat dari penduga GMM (3.50) bergantung pada pemilihan W yang konsisten selama W definit positif, sebagai contoh W = I yang merupakan matriks identitas. Matriks penimbang optimal (optimal weighting matrix) akan memberikan penduga yang paling efisien karena menghasilkan matriks kovarian asimtotik terkecil bagi δ. Sebagaimana diketahui dalam teori umum GMM (Verbeek, 2000), diketahui bahwa matriks penimbang optimal proposional terhadap matriks kovarian invers dari momen sampel. Dalam hal ini, matriks penimbang optimal seharusnya memenuhi plim N W = V[Z v ] = E[Z v v Z ]...(3.51) Dalam kasus biasa, dimana tidak ada restriksi yang dikenakan terhadap matriks kovarian v, matriks penimbang optimal dapat diestimasi menggunakan first-step consistent estimator bagi δ dan mengganti operator ekspektasi dengan rata-rata sampel yakni two step estimator W = [1/N Z v v Z ]...(3.52) Dengan v menyatakan vektor residual yang diperoleh dari first-step consistent estimator. Pendekatan GMM secara umum tidak menekankan bahwa v ~ iid pada seluruh individu dan waktu, dan matriks penimbang optimal kemudian diestimasi tanpa mengenakan restriksi. Sebagai catatan bahwa, ketidakberadaan autokorelasi dibutuhkan untuk menjamin validitas kondisi momen. Oleh karena pendugaan matriks penimbang optimal tidak terestriksi, maka dimungkinkan (dan sangat

84 56 dianjurkan bagi sampel berukuran kecil) menekankan ketidakberadaan autokorelasi pada v dan juga dikombinasikan dengan asumsi homoskedastis. Dengan catatan di bawah restriksi E v v = σ G = σ (3.53) matriks penimbang optimal dapat ditentukan sebagai (one step estimator) W = [1/N Z GZ ]...(3.54) Sebagai catatan bahwa (3.54) tidak mengandung parameter yang tidak diketahui, sehingga penduga GMM yang optimal dapat dihitung dalam satu langkah bila error v diasumsikan homoskedastis dan tidak mengandung autokorelasi. Jika model data panel dinamis mengandung variabel eksogenus, maka persamaan (3.34) dapat dituliskan kembali menjadi y = x β + δy, + μ + v...(3.55) Parameter persamaan (3.55) juga dapat diestimasi menggunakan generalisasi variabel instrumen atau pendekatan GMM. Bergantung pada asumsi yang dibuat terhadap x, sekumpulan instrumen tambahan yang berbeda dapat dibangun. Bila x strictly exogenous dalam arti x tidak berkorelasi dengan sembarang error v, akan diperoleh E[x, v ] = 0; untuk setiap s dan t...(3.56) sehingga x,, x dapat ditambah ke dalam daftar instrumen untuk persamaan first difference setiap periode. Hal ini akan membuat jumlah baris pada Z menjadi besar. Selanjutnya, dengan mengenakan kondisi momen E[ x, v ] = 0; untuk setiap t...(3.57) Matriks instrumen dapat dituliskan sebagai Z = y, x y, y, x y,, y,, x...(3.58) Bila variabel x tidak strictly exogenous melainkan predetermined, dalam kasus di mana x dan lag x tidak berkorelasi dengan bentuk error saat ini, akan diperoleh E[x, v ] = 0, untuk s t. Dalam kasus dimana hanya x,,, x

85 57 instrumen yang valid bagi persamaan first difference pada periode t, kondisi momen dapat dikenakan sebagai E x, v = 0; j = 1,, t 1, t...(3.59) Dalam prakteknya, kombinasi variabel x yang strictly exogenous dan predetermined dapat terjadi lebih dari sekali. Matriks Z kemudian dapat disesuaikan Spesifikasi Model Konvergensi Wilayah Kajian ini dilakukan dengan mengasumsikan fungsi Cobb-Douglas constant return to scale dengan output (Y) dan tiga input, yaitu kapital (K), tenaga kerja (L) dan Labor augmenting technological progress (A): Y(t) = K(t) (A(t)L(t)), 0 < α < 1...(3.60) Angkatan kerja dan pertumbuhan teknologi pada tingkat konstan dan eksogen: L(t) = L(0)e...(3.61) A(t) = A(0)e...(3.62) Dimana n adalah tingkat pertumbuhan tenaga kerja dan g adalah tingkat pertumbuhan kemajuan teknologi. L(0) adalah kondisi semula dari tenaga kerja dan A(0) adalah kondisi semula dari teknologi. Jika: y = K = ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) adalah output per efektif dari unit tenaga kerja adalah kapital per efektif dari unit tenaga kerja Maka: y (t) = f k (t) = k (t)...(3.63) Sehingga evolusi dari kapital dinotasikan dengan: k (t)sk (t) k (t)(n + g + δ)...(3.64) Dimana s adalah saving rate dan δ adalah tingkat depresiasi kapital. The steady state capital stock (K ) dapat ditentukan dengan membuat persamaan (3.64) sama dengan nol, sehingga: K (t) = ( )...(3.65)

86 58 Dengan mensubstitusikan persamaan (3.65) ke dalam fungsi produksi, maka the steady state output per effective unit tenaga kerja dapat diturunkan. Dalam bentuk logaritma natural dapat dituliskan sebagai berikut: ln y = [ln s ln (n + g + δ)]...(3.66) Tingkat konvergensi (λ) adalah tingkat dimana output per efektif unit tenaga kerja mendekati nilai steady state-nya, dan dinyatakan dengan: ( ) = λ[ln( y ) ln y (t)]...(3.67) ln y (t ) = (1 ς) ln y (1 ς)ln y (t )]...(3.68) Dimana λ = (1 α)(n + t + δ), ς = e dan τ = (t t ). Persamaan (3.46) mewakili proses partial adjustment dimana nilai target optimal variabel dependen ditentukan oleh variabel independen periode saat ini. Jika output dihitung dalam per efektif unit, persamaan tersebut dapat ditulis: ( ) ( ) ln y (t) = ln( ) = ln( ) atau ( ) ( ) ( ) ( ) ln y(t) = ln[ ( ) ] lna(0) gt...(3.69) ( ) Jika ln y(t) disubstitusikan ke dalam persamaan (3.68) dan kedua ruas dikurangkan dengan lny (t ) maka diperoleh: ln y(t ) ln y(t ) = (1 ς) ln y(t ) + (1 ς) ln A(0) + g(t ςt ) + α α (1 ς) ln(s) (1 ς) ln (n + g + δ) 1 α 1 α Dimana y(t) = ( ) ( ) perkapita pada steady state....(3.70) sama dengan output perkapita dan z sebagai log output Misalkan β = (1 ς) sebagai parameter pendapatan pada t 1, maka kecepatan konvergensi dapat ditulis: λ = ( )...(3.71) Persamaan (3.70) dapat ditulis sebagai model autoregressive dari model pertumbuhan menjadi: α ln y(t ) = ς ln y(t ) + (1 ς) ln A(0) + g(t ςt ) + (1 ς) 1 α ln(s) (1 ς) ln (n + g + δ)...(3.72) Atau dalam literatur data panel ditulis: z

87 59 Dimana ln y = γ ln y, + β ln s, + β ln(n + g + δ), + η + υ,...(3.73) γ = 1 + β = ς. x = (ln(s ), ln(n + g + δ), θ = ((1 ς), (1 ς) ) Persamaan akhir untuk (3.73) merupakan model yang digunakan dalam literatur tentang konvergensi pendapatan yang dilakukan oleh Firdaus (2006), ditulis sebagai berikut: z = (1 α) z, + β x + D + u...(3.74) Dengan i = 1, 2,, N dan t = 1, 2,,T. Penelitian ini membandingkan dua model yang masing-masing variabel independennya sama, sedangkan variabel dependennya berbeda untuk melihat konvergensi dari pendekatan pendapatan wilayah dan pengeluaran rumah tangga. Model penelitian tersebut adalah: ln y = (1 α) ln y, + β ln inv + β ln labour + υ...(3.75) Dimana y it dalam masing-masing model adalah variabel dependen yaitu: (i) PDRB per kapita atas dasar harga konstan 2000 untuk melihat pendapatan wilayah setelah meniadakan unsur inflasi. (ii) Pengeluaran rumah tangga per kapita yang telah dideflasi menggunakan harga tahun 2000, yang merupakan proksi untuk melihat pendapatan rumah tangga. Proses konvergensi terjadi apabila koefisien dari (1 α) kurang dari satu, dengan tingkat konvergensi dinyatakan sebagai ln (α). Adanya lag variabel dependen (y, ) pada ruas kanan menunjukkan bahwa model yang digunakan adalah model dinamis. Tambahan variabel instrumen yang dipilih selain yang dilakukan program Stata v.10 juga menggunakan data kabupaten/kota, yaitu pajak, investasi, pendidikan tenaga kerja dan share sektor pertanian. Variabel independen yang diteliti adalah investasi dan tenaga kerja. Variabel investasi merupakan gabungan investasi yang dilakukan pemerintah kabupaten/kota untuk pembangunan dan investasi rumah tangga untuk perumahan yang diagregatkan untuk wilayah kabupaten/kota. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan dengan cross section sebanyak 105 kabupaten/kota di Pulau Jawa, dengan menggabungkan daerah-daerah yang dimekarkan setelah tahun 2001 agar dapat dilakukan analisis balance panel. Kabupaten/kota di DKI Jakarta tidak dan

88 60 dapat dimasukkan dalam analisis karena bukan merupakan daerah otonomi. Keuangan daerah bahkan sampai pada tingkat kabupaten/kota di DKI Jakarta ditentukan oleh pemerintah pusat Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah Permasalahan ketiga penelitian ini dijawab menggunakan dua model dengan variabel independen yang sama namun variabel dependennya berbeda, dilihat dari dua pendekatan yaitu pendekatan pendapatan regional dan pengeluaran rumah tangga. Model penelitian dinyatakan dengan: ln y = γ + θ ln govexp + θ ln agri + θ ln manu + θ ln edu + θ ln puskes + θ ln electric + θ ln water + θ ln road + v (3.76) Dimana: y : koefisien variasi Williamson, yang dihitung dengan menggunakan dua pendekatan: (i) cvpdrb : PDRB per kapita atas dasar harga konstan 2000 (ii) cvcons : pengeluaran rumah tangga yang telah dideflasi menggunakan harga tahun 2000 govexp : pengeluaran rutin pemerintah agri : share pertanian terhadap PDRB atas dasar harga konstan 2000 manu : share manufaktur terhadap PDRB atas dasar harga konstan 2000 edu : share jumlah tenaga kerja yang berpendidikan SMA ke atas terhadap jumlah tenaga kerja puskes : jumlah puskesmas electric : jumlah energi listrik yang terjual kepada konsumen water : volume air bersih PDAM yang disalurkan kepada konsumen road : panjang jalan yang kondisinya baik dan sedang, baik jalan negara, jalan provinsi, maupun jalan kabupaten/kota yang berada di masing-masing provinsi i : provinsi di Pulau Jawa (kecuali DKI Jakarta) t : tahun penelitian, yaitu dari

89 Prosedur Analisis Parameter model pada persamaan (3.76) akan diestimasi dengan menggunakan data panel statis. Pemilihan model yang terbaik dilakukan dengan uji Hausman. Ide dasar uji Hausman adalah pengomparasi dua penduga, yaitu penduga FEM dan REM. Hipotesis nol menyatakan bahwa X it dan α i tidak berkorelasi dan hipotesis alternatif menyatakan yang sebaliknya (berkorelasi). Uji Hausman mengasumsikan bahwa E(u X ) = 0 untuk setiap s dan t sedemikian sehingga penduga REM (β ) akan konsisten dan efisien jika X it dan α i tidak berkorelasi dan penduga penduga FEM (β ) konsisten bagi β jika kondisi penduga REM (β ) yang konsisten tidak berlaku. Pendugaan uji Hausman dilakukan dengan pembedaan (difference) antara penduga FEM dan penduga REM yang dinyatakan sebagai vektor difference (β β ). Suatu kovarian bagi vektor difference tersebut diperlukan untuk mengevaluasi signifikansinya. Secara umum, hal ini memerlukan suatu estimasi kovarian antara β dan β. Karena penduga bersifat efisien jika kondisinya seperti pada hipotesis nol, dapat ditunjukkan bahwa matriks kovarian bagi vektor difference (β β ) adalah: V(β β ) = V β V(β )...(3.77) Nilai statistik uji Hausman menggunakan statistik Wald sebagai berikut: ξ = (β β ) V β V β (β β )...(3.78) dengan V menyatakan penduga bagi matriks kovarian. Pada kondisi hipotesis nol, statistik ξ mengikuti sebaran Chi-square (χ 2 ) dengan derajat bebas k, dimana k merupakan jumlah parameter dalam β. Analisis model pada persamaan (3.75) dilakukan dengan menggunakan data panel dinamis pendekatan First Difference Generalized Method of Moment (FD- GMM). Kriteria pemeriksaan model yang dilakukan adalah validitas dan konsistensi model. Uji Sargan untuk overidentifying restriction merupakan suatu pendekatan untuk mendeteksi masalah validitas instrumen. Hipotesis nol menyatakan bahwa tidak ada masalah dengan validitas instrumen (instrumen valid), artinya variabel instrumen yang digunakan tidak berkorelasi dengan error pada persamaan FD-GMM. Nilai statistik uji Sargan dihitung sebagai berikut:

90 62 S = N Z v W Z v...(3.79) Pada kondisi hipotesis nol, nilai statistik tersebut mengikuti sebaran Chi-square χ, dengan q menyatakan jumlah instrumen dikurangi jumlah parameter yang digunakan dalam model. Uji autokorelasi untuk melihat konsistensi hasil estimasi yang dihasilkan FD-GMM dilakukan dengan statistik Arellano-Bond (AB) m 1 dan m 2. Model yang konsisten ditunjukkan dengan p-value m 1 yang signifikan dan p-value m 2 yang tidak signifikan (Arellano dalam Verbeek, 2000).

91 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Ketimpangan Wilayah Berdasarkan Koefisien Variasi Williamson Ketimpangan pembangunan antar wilayah merupakan sesuatu yang wajar pada awal proses pembangunan baru dimulai terutama di negara berkembang. Perbedaan pertumbuhan ekonomi antar wilayah juga terjadi karena adanya perbedaan sumber daya. Demikian pula ketimpangan pembangunan di Pulau Jawa masih sangat tinggi. Secara umum, koefisien variasi Williamson Pulau Jawa berada pada kisaran antara 0,94 sampai dengan 0,98, artinya pendapatan antar wilayah kabupaten/kota di Pulau Jawa sangat timpang. Angka ini menunjukkan kecenderungan menurun selama periode penelitian (Tabel 2). Ketimpangan kabupaten/kota dalam provinsi relatif lebih rendah dibandingkan dengan ketimpangan kabupaten/kota Pulau Jawa. Ketimpangan paling tinggi terjadi di Banten, berada pada range yang paling lebar di antara provinsi-provinsi lainnya, yaitu pada kisaran antara 0,77 sampai 0,92. Angka ini sangat menyolok karena mengalami peningkatan yang cepat dari tahun ke tahun. Provinsi Banten merupakan pemekaran dari Jawa Barat pada tahun 2000, sehingga masih dalam proses awal pembangunan. Kabupaten/kota di wilayah ini masih sedikit, terdiri dari 4 kabupaten dan 4 kota pada tahun 2009 dan masingmasing memiliki sumber daya yang berbeda. Tangerang merupakan bagian dari kawasan metropolitan Jabodetabek (Jakarta Bogor Tangerang Bekasi) yang mempunyai potensi ekonomi yang besar pada sektor industri dan perdagangan. Kemajuan wilayah ini tidak dapat dilepaskan dari pintu gerbang transportasi baik udara (Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta) maupun laut (pelabuhan Merak). Ketimpangan terendah terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta, berada pada kisaran antara 0,38 sampai dengan 0,42 dan memiliki kecenderungan menurun. Angka ini menunjukkan perbedaan kecepatan pembangunan antar wilayah Daerah Tingkat II semakin kecil. Hal ini berbeda dengan wilayah terdekatnya. Koefisien variasi Williamson Jawa Tengah berada pada kisaran antara 0,71 sampai dengan 0,76 dan mengalami tren meningkat.

92 64 Tabel 2 Koefisien Variasi Williamson PDRB Wilayah-wilayah di Pulau Jawa, Tahun Wilayah Jawa 0,97 0,98 0,95 0,95 0,95 0,94 0,95 0,95 0,95 Jawa Barat 0,68 0,67 0,67 0,66 0,65 0,65 0,65 0,65 0,65 Jawa Tengah 0,72 0,73 0,73 0,74 0,75 0,76 0,76 0,75 0,75 DIY 0,41 0,42 0,43 0,43 0,40 0,40 0,40 0,40 0,40 Jawa Timur NA NA NA NA NA NA NA NA NA Banten 0,78 0,79 0,81 0,82 0,84 0,85 0,85 0,91 0,91 Kontribusi sektor pertanian di Jawa Tengah merupakan yang terbesar dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya di Pulau Jawa. Jawa Tengah memainkan peranan penting sebagai pemasok hasil pertanian, dengan kontribusi sebesar 34,12 persen dibandingkan dengan produksi pertanian Pulau Jawa secara keseluruhan pada tahun Oleh karena itu kegiatan industri di Jawa Tengah lebih banyak yang mengandalkan aktivitas yang berhubungan dengan pertanian dan agribisnis dengan bentuk usaha IKRT (Industri Kerajinan Rumah Tangga). 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 0, DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DIY Jawa Timur Banten Gambar 14 Tren Kontribusi Sektor Pertanian Wilayah-wilayah di Pulau Jawa, Tahun (Persen) Selanjutnya ketimpangan antar wilayah kabupaten/kota di Jawa Barat berada pada kisaran antara 0,64 sampai dengan 0,69 dan mengalami tren yang menurun. Angka ini masih tergolong tinggi, karena pertumbuhan kawasan-

93 65 kawasan industri yang besar berada di Jawa Barat. Provinsi Jawa Barat merupakan wilayah penting yang mendukung perekonomian DKI Jakarta. Sebagai dampaknya, perekonomian wilayah ini pun semakin cepat berkembang, ditandai dengan pemekaran wilayah, munculnya kawasan perkotaan dan metropolitan. Pemekaran provinsi terjadi pada tahun 2000 dengan adanya Provinsi Banten, sedangkan pemekaran kabupaten/kota sejak tahun 2001 antara lain Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi dari Kabupaten Bandung, Kota Tasikmalaya dari Kabupaten Tasikmalaya, Kota Banjar dari Kabupaten Ciamis. 1,2000 1,0000 0,8000 0,6000 0,4000 0,2000 0, Jawa Jawa Barat Jawa Tengah DIY Banten Gambar 15 Tren Koefisien Variasi Williamson Wilayah di Pulau Jawa, Tahun Jawa Barat mempunyai tiga kawasan metropolitan, yang merupakan kawasan perkotaan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa publik dan pemerintahan, pelayanan sosial serta kegiatan ekonomi (Pontoh dan Kustiawan, 2008). Dominasi kegiatan kota-kota di Jawa Barat adalah industri, pemukiman, perdagangan dan jasa. Kawasan metropolitan Bandung Raya terdiri dari Kabupaten Bandung, Kota Bandung dan Kota Cimahi. Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten Bekasi dan Kota Bekasi (Bodebek) merupakan bagian dari kawasan metropolitan Jabodetabek. Selanjutnya kawasan metropolitan Cirebon difungsikan sebagai pusat

94 66 pertumbuhan Jawa Barat bagian timur. Pertumbuhan perkotaan diharapkan mampu menciptakan aglomerasi yang berdampak positif terhadap wilayahwilayah di sekitarnya. Tingginya ketimpangan di Pulau Jawa didominasi oleh ketimpangan antar kota, dipicu oleh pembangunan kota sebagai pusat pertumbuhan. Apalagi dengan adanya desentralisasi fiskal, daerah mempunyai kewenangan yang lebih besar dalam menentukan pembangunan di wilayahnya dan berlomba membangun pusat pertumbuhan. Koefisien variasi Williamson antar kota di Pulau Jawa berada pada kisaran antara 0,84 sampai dengan 0,88, sedikit lebih rendah dibandingkan dengan ketimpangan antar kabupaten/kota. Ketimpangan antar kabupaten lebih rendah lagi, berada pada kisaran antara 0,65 sampai dengan 0,68. Namun angka ini masih relatif tinggi dalam range penghitungan koefisien variasi Williamson. 1,2000 1,0000 0,8000 0,6000 0,4000 0,2000 0, Kabupaten di Pulau Jawa Kota di Pulau Jawa Kabupaten/Kota di Pulau Jawa Gambar 16 Tren Koefisien Variasi Williamson Kabupaten/Kota di Pulau Jawa, Tahun Besaran ketimpangan antar kota dan antar kabupaten lebih kecil dibandingkan dengan ketimpangan kabupaten/kota seluruh Pulau Jawa, artinya perbedaan kabupaten dan kota meningkatkan ketimpangan wilayah di Pulau Jawa. Pendapatan per kapita yang tinggi di perkotaan disebabkan semakin meningkatnya perusahaan-perusahaan industri yang besar serta kegiatan perdagangan, akomodasi dan jasa. Namun penghitungan ini masih dalam skala makro, karena

95 67 dihitung secara agregat dari pendapatan wilayah (termasuk perusahaan asing yang berada dalam wilayah tersebut). Pendapatan yang diterima oleh masyarakat di wilayah tersebut bias, artinya tidak sebesar pendapatan rata-rata jika dihitung secara makro. Hal ini dibuktikan dengan koefisien variasi yang dihitung dari data pengeluaran rumah tangga. Tabel 3 Koefisien Variasi Williamson Pengeluaran Rumah Tangga Wilayahwilayah di Pulau Jawa, Tahun Wilayah Jawa 0,39 0,35 0,29 0,30 0,39 0,33 0,33 0,44 0,37 Jawa Barat 0,34 0,32 0,30 0,29 0,27 0,31 0,32 0,40 0,31 Jawa Tengah 0,22 0,25 0,17 0,23 0,26 0,25 0,28 0,32 0,29 DIY 0,29 0,37 0,30 0,31 0,35 0,34 0,31 0,30 0,27 Jawa Timur 0,29 0,30 0,25 0,26 0,37 0,29 0,24 0,40 0,26 Banten 0,39 0,32 0,28 0,22 0,37 0,28 0,29 0,36 0,37 Ketimpangan wilayah yang dihitung dari pengeluaran rumah tangga per kapita menunjukkan angka yang tidak jauh berbeda, tidak seperti pada penghitungan ketimpangan dengan menggunakan PDRB per kapita. Ketimpangan tertinggi dan terendah pada setiap tahun berada pada wilayah yang berbeda-beda. Artinya, perbedaan daya beli masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari antar wilayah dan dalam wilayah di Pulau Jawa tidak jauh berbeda, berada pada kisaran 0,16 sampai dengan 0,44. Ketimpangan dalam wilayah selama periode penelitian relatif lebih fluktuatif dibandingkan dengan ketimpangan dalam penghitungan dengan menggunakan data PDRB per kapita. Berdasarkan hasil penghitungan ketimpangan wilayah dengan menggunakan koefisien variasi Williamson tersebut, pendekatan PDRB dan pengeluaran rumah tangga dapat dibandingkan menurut wilayah. Secara umum, tingkat ketimpangan wilayah dengan pendekatan PDRB jauh lebih tinggi dibandingkan ketimpangan wilayah dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga (Gambar 17). Hal ini menunjukkan bahwa produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh kabupaten/kota di Pulau Jawa hanya sedikit yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat. Artinya, pendapatan yang dihasilkan dari kegiatan ekonomi masih banyak yang digunakan oleh penduduk di luar wilayah, mungkin DKI Jakarta, luar Jawa, atau luar negeri.

96 68 1,00 0,90 0,80 0,70 0,60 0,50 0,40 0,30 0,20 0,10 0, Pendekatan PDRB Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga Gambar 17 Perbandingan Koefisien Variasi Williamson Kabupaten/Kota di Pulau Jawa dengan Pendekatan PDRB dan Pengeluaran Rumah Tangga, Tahun Tingkat ketimpangan yang dihitung dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga lebih banyak dipengaruhi keadaan perekonomian dan harga barang-barang kebutuhan pokok, meskipun dalam penghitungannya inflasi sudah dihilangkan dengan mendeflasi data berdasarkan harga tahun Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan ketimpangan pada tahun 2005 dan tahun Kenaikan harga minyak dunia pada tahun 2005 menyebabkan harga-harga kebutuhan meningkat sehingga daya beli masyarakat yang berpenghasilan rendah menurun tajam. Di sisi lain, masyarakat yang berpenghasilan tinggi tetap dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, dan mengalokasikan pendapatannya untuk kebutuhan primer yang mereka anggap penting. Akibatnya ketimpangan yang dihitung dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga meningkat. Fenomena ini terjadi juga di seluruh provinsi di Pulau Jawa yang termasuk dalam penelitian, kecuali Jawa Barat. Dampak kenaikan harga minyak terhadap kegiatan ekonomi di wilayah yang didominasi oleh sektor manufaktur terhadap peningkatan ketimpangan baru dirasakan pada tahun sesudahnya, terus meningkat sampai dengan tahun 2008, dan baru dapat diturunkan pada tahun berikutnya. Krisis ekonomi dunia yang terjadi pada tahun 2008 juga berdampak terhadap peningkatan ketimpangan yang dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat di Pulau Jawa. Namun,

97 69 ketimpangan di D.I. Yogyakarta justru dapat diturunkan dari tahun sebelumnya karena struktur perekonomian yang didominasi oleh sektor jasa, hingga mencapai 57,70 persen pada tahun 2009, yang menyebabkan sedikitnya pengaruh kenaikan harga minyak dalam kegiatan ekonomi. 1,00 0,90 0,80 0,70 0,60 0,50 0,40 0,30 0,20 0,10 0, Pendekatan PDRB Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga Gambar 18 Perbandingan Koefisien Variasi Williamson Kabupaten/Kota di Jawa Barat dengan Pendekatan PDRB dan Pengeluaran Rumah Tangga, Tahun ,00 0,90 0,80 0,70 0,60 0,50 0,40 0,30 0,20 0,10 0, Pendekatan PDRB Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga Gambar 19 Perbandingan Koefisien Variasi Williamson Kabupaten/Kota di Jawa Tengah dengan Pendekatan PDRB dan Pengeluaran Rumah Tangga, Tahun

98 70 Jika ketimpangan antar provinsi di Pulau Jawa dibandingkan, selisih terbesar adanya perbedaan tingkat ketimpangan dengan dua pendekatan terjadi di Jawa Tengah, meskipun masih lebih rendah dibandingkan selisih ketimpangan di Pulau Jawa secara keseluruhan. Ketimpangan wilayah berdasarkan pengeluaran rumah tangga di Jawa Tengah memang lebih rendah dibandingkan provinsiprovinsi lainnya, artinya kemampuan daya beli masyarakat antar wilayah relatif merata. Namun, angka ini berbeda dengan tingkat ketimpangan berdasarkan pendekatan PDRB, yang lebih tinggi dibandingkan D.I. Yogyakarta dan Banten. Perbedaan ini menyebabkan besarnya selisih ketimpangan dengan dua pendekatan tersebut. Fenomena yang sebaliknya terjadi di D.I. Yogyakarta. Ketimpangan wilayah dengan pendekatan PDRB merupakan yang terkecil di seluruh Pulau Jawa, sedangkan dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga relatif tinggi, sehingga selisih perbedaan ketimpangan merupakan yang terkecil. 1,00 0,90 0,80 0,70 0,60 0,50 0,40 0,30 0,20 0,10 0, Pendekatan PDRB Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga Gambar 20 Perbandingan Koefisien Variasi Williamson Kabupaten/Kota di D.I. Yogyakarta dengan Pendekatan PDRB dan Pengeluaran Rumah Tangga, Tahun Perbedaan hasil penghitungan koefisien variasi Williamson dengan dua pendekatan dapat menggambarkan bagaimana pendapatan wilayah didistribusikan untuk kesejahteraan masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Semakin besar selisih hasil penghitungan dengan dua pendekatan, menunjukkan bahwa semakin besar pula pendapatan yang digunakan oleh orang lain yang tidak tinggal di

99 71 wilayah tersebut atau dapat dikatakan terjadi transfer pendapatan ke wilayah lain. Adanya investasi yang berasal dari luar daerah juga menjadi pemicu utama terjadinya transfer pendapatan karena pemiliknya akan mengambil pendapatan yang diperoleh dari wilayah tersebut dan dibelanjakan di luar daerah. Oleh karena itu penanaman modal dari luar daerah perlu mengkaji pengaruh negatif adanya pengurasan sumber daya lokal dan aliran pendapatan pemilik modal ke luar daerah. 1,00 0,90 0,80 0,70 0,60 0,50 0,40 0,30 0,20 0,10 0, Pendekatan PDRB Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga Gambar 21 Perbandingan Koefisien Variasi Williamson Kabupaten/Kota di Banten dengan Pendekatan PDRB dan Pengeluaran Rumah Tangga, Tahun Konvergensi Wilayah Konvergensi Pulau Jawa Estimasi konvergensi Pulau Jawa dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan pada variabel dependennya, yaitu pendekatan PDRB per kapita dan pengeluaran rumah tangga per kapita. Perbandingan ini dilakukan sebagai upaya untuk melihat apakah ada perbedaan pertumbuhan ekonomi secara makro yaitu di level wilayah kabupaten/kota dan secara mikro yaitu di level rumah tangga. Tingginya pendapatan wilayah tidak secara otomatis menyebabkan tingginya kesejahteraan masyarakatnya karena mungkin pendapatan di wilayah tersebut

ANALISIS PENGARUH INFRASTRUKTUR EKONOMI DAN SOSIAL TERHADAP PRODUKTIVITAS EKONOMI DI INDONESIA OLEH KRISMANTI TRI WAHYUNI H

ANALISIS PENGARUH INFRASTRUKTUR EKONOMI DAN SOSIAL TERHADAP PRODUKTIVITAS EKONOMI DI INDONESIA OLEH KRISMANTI TRI WAHYUNI H ANALISIS PENGARUH INFRASTRUKTUR EKONOMI DAN SOSIAL TERHADAP PRODUKTIVITAS EKONOMI DI INDONESIA OLEH KRISMANTI TRI WAHYUNI H14094021 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah Sjafrizal (2008) menyatakan kesenjangan ekonomi antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang dilaksanakan secara berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Tujuan utama

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu daerah pada periode

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil perkapita penduduk di suatu negara dalam jangka panjang yang

Lebih terperinci

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR 4.1. Dinamika Disparitas Wilayah Pembangunan wilayah merupakan sub sistem dari pembangunan koridor ekonomi dan provinsi dan merupakan bagian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Ketimpangan Ekonomi Antar Wilayah Ketimpangan ekonomi antar wilayah merupaka ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu daerah dalam jangka panjang

BAB I PENDAHULUAN. kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu daerah dalam jangka panjang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang mengakibatkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu daerah dalam jangka panjang yang diikuti oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang, terus melaksanakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang, terus melaksanakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang, terus melaksanakan pembangunan secara berencana dan bertahap, tanpa mengabaikan usaha pemerataan dan kestabilan. Pembangunan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cita-cita bangsa Indonesia dalam konstitusi negara adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN. Cita-cita bangsa Indonesia dalam konstitusi negara adalah untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cita-cita bangsa Indonesia dalam konstitusi negara adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Cita-cita mulia tersebut dapat diwujudkan melalui pelaksanaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi melalui produktivitas yang tinggi, dan mendatangkan lebih banyak input ke dalam proses produksi.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan teori konvergensi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan teori konvergensi. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai teori yang menjadi dasar dari pokok permasalahan yang diamati. Teori yang dibahas dalam bab ini terdiri dari pengertian pembangunan ekonomi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pendapatan Regional dan Pertumbuhan Ekonomi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pendapatan Regional dan Pertumbuhan Ekonomi II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pendapatan Regional dan Pertumbuhan Ekonomi Tingkat pertumbuhan perekonomian adalah kondisi dimana nilai riil Produk Do m e s t i k Bruto (PDB) mengalami peningkatan output (Dornbusch

Lebih terperinci

DESENTRALISASI FISKAL, TAX EFFORT, DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH: STUDI EMPIRIK KABUPATEN/KOTA SE-INDONESIA NELI AGUSTINA

DESENTRALISASI FISKAL, TAX EFFORT, DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH: STUDI EMPIRIK KABUPATEN/KOTA SE-INDONESIA NELI AGUSTINA DESENTRALISASI FISKAL, TAX EFFORT, DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH: STUDI EMPIRIK KABUPATEN/KOTA SE-INDONESIA 2001-2008 NELI AGUSTINA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PENGARUH INVESTASI PEMERINTAH TERHADAP KESENJANGAN PDRB PER KAPITA DI INDONESIA DESY WULAN SARY

PENGARUH INVESTASI PEMERINTAH TERHADAP KESENJANGAN PDRB PER KAPITA DI INDONESIA DESY WULAN SARY PENGARUH INVESTASI PEMERINTAH TERHADAP KESENJANGAN PDRB PER KAPITA DI INDONESIA DESY WULAN SARY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Pembangunan di bidang ekonomi ini sangat penting karena dengan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Pembangunan di bidang ekonomi ini sangat penting karena dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap Negara mempunyai tujuan dalam pembangunan ekonomi termasuk Indonesia. Pembangunan di bidang ekonomi ini sangat penting karena dengan meningkatnya pembangunan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini menguraikan gambaran dan analisis terkait dengan implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini juga menjelaskan pengaruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk. membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk. membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus 13 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus dilaksanakan dengan berpedoman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara berkembang saat ini dalam masa pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi dalam perkembangannya senantiasa memberikan dampak baik positif

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan

I. PENDAHULUAN. menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan masyarakat meningkat dalam periode

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pendapatan Regional dan Pertumbuhan Ekonomi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pendapatan Regional dan Pertumbuhan Ekonomi II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pendapatan Regional dan Pertumbuhan Ekonomi Tingkat pertumbuhan perekonomian adalah kondisi dimana nilai riil Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami peningkatan output (Dornbusch

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara dalam jangka

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara dalam jangka I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi mengukur prestasi dari perkembangan suatu perekonomian dari suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbedaaan kondisi demografi yang terdapat pada daerah masing-masing.

BAB I PENDAHULUAN. perbedaaan kondisi demografi yang terdapat pada daerah masing-masing. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Disparitas perekonomian antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Disparitas ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. antara ketimpangan dan pertumbuhan ekonomi. pembangunan ekonomi yang terjadi dalam suatu negara adalah pertumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. antara ketimpangan dan pertumbuhan ekonomi. pembangunan ekonomi yang terjadi dalam suatu negara adalah pertumbuhan BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai teori yang menjadi dasar dari pokok permasalahan yang diamati. Teori yang dibahas dalam bab ini terdiri dari pengertian pertumbuhan ekonomi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang digunakan pada penelitian ini. Hal yang dibahas pada bab ini adalah: (1) keterkaitan penerimaan daerah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi Daerah sebagai wujud dari sistem demokrasi dan desentralisasi merupakan landasan dalam pelaksanaan strategi pembangunan yang berkeadilan, merata, dan inklusif. Kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak sekedar memenuhi kebutuhan hayati saja, namun juga menyangkut kebutuhan lainnya seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Isi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 diantaranya menyatakan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Isi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 diantaranya menyatakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 diantaranya menyatakan bahwa salah satu tujuan negara Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Hal ini tidak terlepas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang. Definisi

Lebih terperinci

BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. wilayah telah dilaksanakan oleh beberapa peneliti yaitu :

BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. wilayah telah dilaksanakan oleh beberapa peneliti yaitu : BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS A. Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai pertumbuhan ekonomi dan disparitas pendapatan antar wilayah telah dilaksanakan oleh beberapa peneliti yaitu : Penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah

I. PENDAHULUAN. Salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah dibutuhkannya investasi. Investasi merupakan salah satu pendorong untuk mendapatkan pendapatan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dokumen RPJP Provinsi Riau tahun , Mewujudkan keseimbangan

BAB I PENDAHULUAN. dokumen RPJP Provinsi Riau tahun , Mewujudkan keseimbangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan misi pembangunan daerah Provinsi Riau yang tertera dalam dokumen RPJP Provinsi Riau tahun 2005-2025, Mewujudkan keseimbangan pembangunan antarwilayah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan negara adalah pemerataan pembangunan ekonomi. Dalam

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan negara adalah pemerataan pembangunan ekonomi. Dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu tujuan negara adalah pemerataan pembangunan ekonomi. Dalam mencapai tujuannya, pemerintah negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan tuntutan reformasi di Indonesia, otonomi daerah mulai diberlakukan. Hal ini salah satunya ditandai dengan adanya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi di daerah adalah pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi di daerah adalah pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses pembangunan daerah diarahkan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil-hasil pembangunan yang dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jangka panjang (Sukirno, 2006). Pembangunan ekonomi juga didefinisikan

I. PENDAHULUAN. jangka panjang (Sukirno, 2006). Pembangunan ekonomi juga didefinisikan I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Pembangunan ekonomi pada umumnya didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu wilayah meningkat dalam jangka panjang (Sukirno,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi pada hakikatnya bertujuan untuk menghapus atau mengurangi kemiskinan, mengurangi ketimpangan pendapatan, dan menyediakan lapangan pekerjaan dalam konteks

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan untuk merubah keadaan kearah yang lebih baik, dengan sasaran akhir terciptanya kesejahreraan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. banyak belum menjamin bahwa akan tersedia lapangan pekerjaan yang memadai

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. banyak belum menjamin bahwa akan tersedia lapangan pekerjaan yang memadai BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penduduk merupakan faktor penting dalam proses pembangunan yakni sebagai penyedia tenaga kerja. Namun dengan kondisi tenaga kerja dalam jumlah banyak belum menjamin bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya

BAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang menimbulkan ketimpangan dalam pembangunan (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya makin kaya sedangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Pandangan lain, reformasi telah memunculkan sikap keterbukaan dan fleksibilitas sistem

BAB I PENDAHULUAN. 1 Pandangan lain, reformasi telah memunculkan sikap keterbukaan dan fleksibilitas sistem BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi Indonesia mengalami kemunduran saat terjadi krisis ekonomi dan politik tahun 1997/1998 yang akhirnya melahirkan gerakan reformasi yang membawa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

DAMPAK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN AGLOMERASI INDUSTRI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL DI INDONESIA RINDANG BANGUN PRASETYO NRP.

DAMPAK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN AGLOMERASI INDUSTRI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL DI INDONESIA RINDANG BANGUN PRASETYO NRP. DAMPAK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN AGLOMERASI INDUSTRI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL DI INDONESIA RINDANG BANGUN PRASETYO NRP. H 151 080 334 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengukur keberhasilan pembangunan dan kemajuan perekonomian di

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengukur keberhasilan pembangunan dan kemajuan perekonomian di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator yang umumnya digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan dan kemajuan perekonomian di dalam suatu daerah dengan ditunjukkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah ekonomi dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi yag pesat merupakan feneomena penting yang

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah ekonomi dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi yag pesat merupakan feneomena penting yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah ekonomi dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi yag pesat merupakan feneomena penting yang dialami dunia hanya semenjak dua abad

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi merupakan perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah sehingga akan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu ukuran kuantitatif yang menggambarkan perkembangan suatu perekonomian dalam suatu tahun tertentu

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI PROVINSI JAWA TIMUR SITI ANNI MAKRIFAH

ANALISIS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI PROVINSI JAWA TIMUR SITI ANNI MAKRIFAH ANALISIS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI PROVINSI JAWA TIMUR SITI ANNI MAKRIFAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selalu mengalami kenaikan dalam jumlah maupun kualitas barang dan jasa

BAB I PENDAHULUAN. selalu mengalami kenaikan dalam jumlah maupun kualitas barang dan jasa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu masalah dari perekonomian dalam suatu negara adalah masalah pertumbuhan ekonomi dengan jangka waktu yang cukup lama. Perkembangan perekonomian diukur

Lebih terperinci

ABSTRAK. ketimpangan distribusi pendapatan, IPM, biaya infrastruktur, investasi, pertumbuhan ekonomi.

ABSTRAK. ketimpangan distribusi pendapatan, IPM, biaya infrastruktur, investasi, pertumbuhan ekonomi. Judul : Analisis Pengaruh Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Biaya Infrastruktur, dan Investasi Terhadap Ketimpangan Distribusi Pendapatan Melalui Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Bali Nama : Diah Pradnyadewi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang terjadi. Bagi daerah indikator ini penting untuk mengetahui

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang terjadi. Bagi daerah indikator ini penting untuk mengetahui I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai macam sektor ekonomi yang secara tidak langsung menggambarkan pertumbuhan ekonomi yang terjadi.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. perubahan struktur sosial, sikap hidup masyarakat, dan perubahan dalam

PENDAHULUAN. perubahan struktur sosial, sikap hidup masyarakat, dan perubahan dalam 1. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya merupakan proses multidimensial yang meliputi perubahan struktur sosial, sikap hidup masyarakat, dan perubahan dalam kelembagaan (institusi)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya serta

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya serta I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya serta pembangunan seluruh aspek kehidupan masyarakat. Hakikat pembangunan ini mengandung makna bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. modal manusia merupakan salah satu faktor penting untuk mencapai pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. modal manusia merupakan salah satu faktor penting untuk mencapai pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Modal manusia memiliki peran sentral dalam pembangunan ekonomi. Pembangunan berkelanjutan merupakan tujuan dari suatu negara maka peran modal manusia merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi di masa lalu telah mengubah struktur ekonomi secara

BAB 1 PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi di masa lalu telah mengubah struktur ekonomi secara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan upaya yang dilakukan negara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Selama kurun waktu yang cukup panjang,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang umum digunakan dalam menetukan keberhasilan pembangunan. Pertumbuhan ekonomi digunakan sebagai ukuran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah sebagai salah satu wujud perubahan fundamental terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor keuangan memegang peranan yang sangat signifikan dalam memacu pertumbuhan ekonomi suatu negara. Sektor keuangan menjadi lokomotif pertumbuhan sektor riil melalui

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pembangunan diarahkan untuk mewujudkan masyarakat yang semakin sejahtera, makmur dan berkeadilan. Pembangunan yang dilaksanakan melalui serangkaian program dan kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikelompokkan kedalam kegiatan memproduksi barang dan jasa. Unit-unit

BAB I PENDAHULUAN. dikelompokkan kedalam kegiatan memproduksi barang dan jasa. Unit-unit BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional. Untuk meningkatkan pembangunan nasional, maka harus didukung dengan pembangunan daerah yang dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. dipecahkan terutama melalui mekanisme efek rembesan ke bawah (trickle down

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. dipecahkan terutama melalui mekanisme efek rembesan ke bawah (trickle down BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pada mulanya pembangunan selalu diidentikkan dengan upaya peningkatan pendapatan per kapita atau populer disebut sebagai strategi pertumbuhan ekonomi (Kuncoro, 2010:

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sektor utama ke ekonomi modern yang didominasi oleh sektor-sektor

BAB 1 PENDAHULUAN. sektor utama ke ekonomi modern yang didominasi oleh sektor-sektor BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi dalam periode jangka panjang, mengikuti pertumbuhan pendapatan nasional, akan membawa suatu perubahan mendasar dalam struktur ekonomi, dari ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam mengelola potensi sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola

I. PENDAHULUAN. dalam mengelola potensi sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang pada hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan kapasitas pemerintahan daerah dalam mengelola potensi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh karena itu perekonomian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Teori Indeks Pembangunan Manusia Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Pembangunan manusia menempatkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Pembangunan Ekonomi Pembangunan menurut Todaro dan Smith (2006) merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan I.PENDAHULUAN A.Latar Belakang Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan ekonomi, hal ini disebabkan karena terjadinya keterbelakangan ekonomi. Pembangunan di bidang ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indikator keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara terletak pada

I. PENDAHULUAN. Indikator keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara terletak pada I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indikator keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara terletak pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan peningkatan kesempatan kerja. Pendekatan pertumbuhan ekonomi banyak

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), merupakan salah satu faktor pendorong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pembangunan di Indonesia diarahkan untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pembangunan di Indonesia diarahkan untuk mewujudkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perencanaan pembangunan di Indonesia diarahkan untuk mewujudkan masyarakat yang semakin sejahtera, makmur dan berkeadilan. Kebijaksanaan pembangunan dilakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosial, tingkah laku sosial, dan

I. PENDAHULUAN. perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosial, tingkah laku sosial, dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang melibatkan berbagai perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosial, tingkah laku sosial, dan institusi sosial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut

BAB I PENDAHULUAN. baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut 16 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan seluruh komponen masyarakat mengelola berbagai sumber daya yang ada dan membentuk pola

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 2012

RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 2012 RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 1 Halaman Daftar Isi Daftar Isi... 2 Kata Pengantar... 3 Indikator Makro Pembangunan Ekonomi... 4 Laju Pertumbuhan Penduduk...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Bagi daerah, indikator ini penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Bagi daerah, indikator ini penting untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai macam sektor ekonomi yang secara tidak langsung menggambarkan tingkat pertumbuhan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai perubahan mendasar atas seluruh sistem sosial seperti politik, ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. berbagai perubahan mendasar atas seluruh sistem sosial seperti politik, ekonomi, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas seluruh sistem sosial seperti politik, ekonomi, infrastrukur dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Yagi Sofiagy, FE UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Yagi Sofiagy, FE UI, 2010. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan ekonomi adalah serangkaian usaha yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, memperluas lapangan pekerjaan, meratakan pembagian

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH PROGRAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR TERHADAP PENURUNAN KEMISKINAN DI KABUPATEN TERTINGGAL PERWITA SARI NRP.

ANALISIS PENGARUH PROGRAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR TERHADAP PENURUNAN KEMISKINAN DI KABUPATEN TERTINGGAL PERWITA SARI NRP. ANALISIS PENGARUH PROGRAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR TERHADAP PENURUNAN KEMISKINAN DI KABUPATEN TERTINGGAL PERWITA SARI NRP. H 151090294 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi. Dinamika penanaman modal memengaruhi tinggi rendahnya

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi. Dinamika penanaman modal memengaruhi tinggi rendahnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Investasi pada hakekatnya adalah langkah awal kegiatan pembangunan ekonomi. Dinamika penanaman modal memengaruhi tinggi rendahnya pertumbuhan ekonomi dan mencerminkan

Lebih terperinci

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN IV. DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Bertambahnya jumlah penduduk berarti pula bertambahnya kebutuhan konsumsi secara agregat. Peningkatan pendapatan diperlukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan

I. PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum pembangunan ekonomi di definisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan masyarakat meningkat dalam periode

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu bangsa. Industrialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu bangsa. Industrialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam proses pembangunan ekonomi, industrialisasi merupakan salah satu tahap perkembangan yang dianggap penting untuk dapat mempercepat kemajuan ekonomi suatu bangsa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional dan internasional dengan pemerataan dan pertumbuhan yang diinginkan

BAB I PENDAHULUAN. nasional dan internasional dengan pemerataan dan pertumbuhan yang diinginkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia menghadapi berbagai fenomena pembangunan di tingkat daerah, nasional dan internasional dengan pemerataan dan pertumbuhan yang diinginkan sejalan dalam proses

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mendorong dan meningkatkan stabilitas, pemerataan, pertumbuhan dan

I. PENDAHULUAN. mendorong dan meningkatkan stabilitas, pemerataan, pertumbuhan dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada masa diberlakukannya Otonomi Daerah, untuk pelaksanaannya siap atau tidak siap setiap pemerintah di daerah Kabupaten/Kota harus melaksanakannya, sehingga konsep

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. setiap negara yang ada di dunia untuk berlomba lomba meningkatkan daya

I. PENDAHULUAN. setiap negara yang ada di dunia untuk berlomba lomba meningkatkan daya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berkembangnya perekonomian dunia pada era globalisasi seperti saat ini memacu setiap negara yang ada di dunia untuk berlomba lomba meningkatkan daya saing. Salah satu upaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi menunjukkan proses pembangunan yang terjadi di suatu daerah. Pengukuran pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat dilihat pada besaran Pendapatan Domestik

Lebih terperinci

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA 86 5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA Profil kinerja fiskal, perekonomian, dan kemiskinan sektoral daerah pada bagian ini dianalisis secara deskriptif berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting untuk menganalisis pembangunan ekonomi yang terjadi disuatu Negara yang diukur dari perbedaan PDB tahun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Otonomi selalu dikaitkan atau disepadankan dengan pengertian kebebasan dan kemandirian. Sesuatu akan dianggap otonomi jika ia menentukan diri sendiri, membuat

Lebih terperinci